refrat deteksi dini pada tht fix
Post on 02-Dec-2015
250 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Proses belajar mendengar bagi bayi dan anak sangat kompleks dan bervariasi karena
menyangkut aspek tumbuh kembang, pekembanngan embriologi, anatomi, fisiologi,
neurologi dan audiologi. Gangguan pendengaran pada bayi dan anak kadang-kadang
disertai keterbelakangan mental, gangguan emosional maupun afasia perkembangan.
Umumnya seorang bayi atau anak yang mengalami gangguan pendengaran, lebih dahulu
diketahui keluarganya sebagai pasien yang telambat bicara (Suwento dkk, 2007).
Periode kritis perkembangan pendengaran dan berbicara dimulai dalam 6 bulan
pertama kehidupan dan terus berlanjut sampai usia 2 tahun. Beberapa faktor risiko pada
neonatus perlu diketahui untuk mengindentifikasi kemungkinan adanya gangguan
pendengaran kongenital atau didapat bayi dengan gangguan pendengaran bilateral yang
diintervensi sebelum usia 6 bulan, pada usia 3 tahun akan mempunyai kemampuan
berbahasa normal dibandingkan dengan bayi yang baru diintervensi setelah usia 6 bulan
(Rundjan dkk, 2005).
Perkembangan auditorik pada manusia sangat erat hubungannya dengan
perkembangan otak. Neuron di bagian korteks mengalami proses pematangan dalam
waktu 3 tahun pertama kehidupan, dan masa 12 bulan pertama kehidupan terjadi
perkembangan otak yang sangat cepat. Berdasarkan pertimbangan di atas, upaya untuk
melakukan deteksi gangguan pendengaran harus dilakukan sedini mungkin agar habilitasi
pendengaran sudah dapat dimulai pada saat perkembangan otak masih berlangsung
(Soetirto Indro, 2007).
Gangguan pendengaran pada bayi dan anak sulit diketahui sejak awal. Watkin dkk
melaporkan bahwa pada anak tuli berat bilateral hanya 49% orangtua mereka yang
mencurigai kemungkinan adanya gangguan pendengaran tersebut, sedangkan pada anak
dengan gangguan pendengaran ringan sampai sedang atau unilateral hanya 29%. Di
Amerika gangguan pendengaran rata-rata diidentifikasi antara usia 20-24 bulan dan
gangguan pendengaran ringan sampai sedang umumnya tidak terdeteksi sampai usia 48
bulan atau lebih (Rundjan dkk, 2005).
Insidens gangguan pendengaran pada neonatus di Amerika berkisar antara 1-3 dari
2
1000 kelahiran hidup. Sedangkan US Preventive Services Task Force melaporkan bahwa
prevalensi gangguan pendengaran neonatus di Neonatal Intensive Care Unit (NICU) 10-
20 kali lebih besar dari populasi neonatus (Rundjan dkk, 2005).
Insiden gangguan pendengaran pada neonatus berkisar antara 1-6 dari 1000 kelahiran
hidup. Survei Kesehatan Indera Pendengaran tahun 1994-1996 melaporkan insidens
gangguan pendengaran sejak lahir 0,1%. Insidens meningkat sepuluh hingga lima puluh
kali pada neonates risiko tinggi. Neonatus risiko tinggi memiliki satu atau lebih faktor
risiko sebagai penyebab gangguan pendengaran seperti riwayat keluarga dengan tuli
bawaan atau tuli sejak lahir, riwayat infeksi congenital atau perinatal seperti infeksi
TORCH, prematuritas, berat badan lahir sangat rendah (BBLSR) <1500 gram,
hiperbilirubinemia, riwayat sepsis awitan lambat dan meningitis, asfiksia, riwayat distres
pernapasan, pemakaian alat bantu napas, pemakaian obat yang bersifat ototoksik, seperti
antibiotik gentamisin selama lebih dari 5 hari dengan atau tanpa kombinasi dengan
furosemid, riwayat infeksi telinga yang berulang atau menetap, riwayat trauma atau
fraktur tulang temporal, riwayat infeksi campak, dan gondongan (Andriani, 2010).
Gejala awal gangguan pendengaran pada umumnya tidak jelas sehingga program
skrining menjadi cara yang paling efektif untuk deteksi dini. Deteksi dini gangguan
pendengaran dan intervensi segera sangat mempengaruhi prognosis. Untuk deteksi dini,
diperlukan suatu program skrining gangguan pendengaran dengan alat skrining yang
efektif, efisien, dan mudah digunakan serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang
tinggi (Andriani, 2010).
The Centers for Disease Control and Prevention Early Hearing Detection and
Intervention (EHDI) dan The Joint Commitee on Infant Hearing (JCIH),
merekomendasikan skrining gangguanpendengaran pada semua bayi baru lahir sebelum
berusia tiga bulan dan memberikan intervensi sebelum berusia enam bulan agar proses
tumbuh kembang tidak terhambat. Pemeriksaan dengan teknologi elektrofisiologi
merupakan alat skrining yang direkomendasikan karena memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi dalam mendeteksi gangguan pendengaran (Andriani, 2010).
1.2 Tujuan
3
Tujuan tulisan ini untuk membahas pentingnya deteksi dini gangguan pendengaran
pada bayi dengan ulasan beberapa cara skrining.
1.3 Manfaat
Menambah pengetahuan tentang manfaat deteksi dini gangguan pendengaran pada
bayi.
BAB II
4
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Telinga
Untuk memahami tentang gangguan pendengaran, perlu diketahui dan
dipelajari anatomi telinga, fisiologi pendengaran dan cara pemeriksaan pendengaran.
Telinga di bagi atas telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam (Soetirto Indro,
2007).
Gambar 1. Anatomi Telinga.
Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran
timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga
berbentuk huruf S,dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan
dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2 ½-3
cm. Pada sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar
serumendan rambut. Pada dua pertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar
serumen (Soetirto Indro, 2007).
5
Gambar 2. Telinga luar. Bagian-bagian daun telinga.
Telinga Tengah
Telinga tengah terletak di dalam os temporale. Telinga tengah terisi udara
dan berhubungan dengan nasopharynx melalui tuba Eustachii. Ruang ini mengandung
tulang (ossicula) pendengaran, otot pendengaran, saraf dan pembuluh darah. Telinga
tengah berbentuk kubus dengan :
- Batas luar : membran timpani
- Batas depan : tuba eustachius
- Batas bawah : vena jugularis (bulbus jugularis)
- Batas belakang : aditus ad antrum
- Batas atas : Tegmen timpani (meningen/otak)
- Batas dalam : berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi sirkularishorizontal,
kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window), tingkat bundar (round window) dan
promontorium (Soetirto Indro, 2007).
6
Gambar 3. Anatomi telinga tengah.
Membran timpani berbentuk seperti kerucut, dengan bagian atas disebut pars
flaksida, sedangkan bagian bawah pars tensa. Pars flaksida hanya berlapis dua,
yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel
kubus bersilia. Pars tensa mempunyai satu lapis lagi di tengah, yaitu bagian prosesus
longus dan prosesus brevis maleus dengan jaringan ikat di sekitarnya (Soetirto Indro,
2007).
Ujung maleus disebut umbo, dan di ujung umbo ini bermula suatu refleks
cahaya. Refleks cahaya (cone of light) ialah cahaya dari luar yang dipantulkan oleh
membrantimpani. Di membran timpani terdapat 2 macam serabut, sirkuler dan radier.
Serabut inilah yang menyebabkan timbulnya refleks cahaya yang berupa kerucut itu
(Soetirto Indro, 2007).
Membran timpani dibagi dalam 4 kuadran, dengan menarik garis searah
dengan prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo,
sehingga didapatkan bagian depan-atas, atas-belakang, bawah-depan, serta bawah-
belakang, untuk menyatakan letak perforasi membran timpani. Tulang pendengaran di
dalam telinga tengah saling berhubungan. Prosesus longus maleus melekat pada
membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes
(Soetirto Indro, 2007).
7
Gambar 4. Membran timpani.
Telinga Dalam
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah
lingkaran dan vestibulum yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung
atau puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani den
gan skala vestibuli (Soetirto Indro, 2007).
Gambar 5. Telinga dalam.
Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan
membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala
vestibulisebelah atas, skala timpani sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis)
diantaranya. Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media
berisi endolimfa. Hal ini penting untuk pendengaran. Dasar skala vestibuli disebut
sebagai membran vestibuli (Reissner’s membrane) sedangkan dasar skala media
8
adalah membran basalis. Pada membran ini terletak organ Corti. Pada skala media
terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran tektoria, dan pada
membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar
dan Kanalis Corti yang membentuk organ Corti (Soetirto Indro, 2007).
2.2 Fisiologi Pendengaran
Proses pendengaran diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telingadalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea.
Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui
rangkaiantulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya
ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan
tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes
yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibule
bergerak. Getaran diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong endolimfa,
sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran
tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya
defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan
ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel
rambut, sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan
menimbulkan potensi aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus
auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis (Soetirto
Indro, 2007).
Gambar 6. Fisiologi Pendengaran
9
2.3 Perkembangan Wicara
Bersamaan dengan proses maturasi fungsi auditorik, berlangsung pula
perkembangan kemampuan bicara. Kemahiran wicara dan berbahasa pada seseorang
hanya dapat tercapai bila input sensorik (auditorik) dan motorik dalam keadaan
normal (Depkes, 2014)
Perkembangan bicara erat kaitannya dengan tahap perkembangan mendengar,
oleh karenanya dengan memahami tahap perkembangan bicara dapat diperkirakan
adanya gangguan pendengaran. Berdasarkan kenyataan tersebut beberapa hal berikut
ini perlu mendapat perhatian terhadap kemungkinan adanya gangguan pendengaran
pada bayi dan anak (Depkes, 2014).
Tabel 1. Tahap Perkembangan Bicara
Usia Kemampuan
Neonatus Menangis
Mengeluarkan suara mendengkur seperti suara burung
Suara seperti berkumur
2-3 bulan Tertawa dan mengoceh tanpa arti
4-6 bulan Mengeluarkan suara yang merupakan kombinasi huruf hidup dan huruf
mati
Suara berupa ocehan yang berarti seperti “ pa...pa, da...da”
7-11 bulan Dapat menggabung kata/ suku kata yang tidak mengandung arti,
terdengar seperti bahasa asing
Usia 10 bulan mampu meniru suara sendiri
Memahami arti tidak, mengucapkan salam
Mulai memberi perhatian terhadap nyanyian atau musik
12-18 bulan Mampu menggabungkan kata/ kalimat pendek
Mulai mengucapkan kata pertama yang mempunyai arti
Usia 12-14 bulan mengerti instruksi sederhana, menunjukkan bagian
tubuh dan nama mainannya
Usia 18 bulan mampu mengucapkan 6-10 kata
10
Tabel 2. Perkiraan Adanya Gangguan Pendengaran Pada Bayi dan Anak
Usia Kemampuan Bicara
12 bulan Belum dapat mengoceh atau meniru bunyi
18 bulan Tidak dapat menyebutkan 1 kata yang mempunyai arti
24 bulan Perbendaharaan kata kurang dari 20 kata
30 bulan Belum dapat merangkai 2 kata
2.4 Penyebab Gangguan Pendengaran Pada Bayi
Penyebab gangguan pendengaran pada bayi dibedakan berdasarkan saat terjadinya
gangguan pendengaran yaitu pada masa pranatal, perinatal dan potnatal (Suwento,
2007).
2.4.1 Masa Prenatal
a. Genetik herediter
b. Non genetik herediter seperti gangguan/ kelaianan pada masa kehamilan,
kelainan struktur anatomik dan kekurangan zat gizi (misalnya defisiensi
yodium)
Selama kehamilan, periode yang paling penting adalah trimester pertama
sehingga setiap gangguan atau kelainan yang terjadi pada masa tersebut dapat
menyebabkan ketulian pada bayi. Infeksi bakteri maupun virus pada ibu hamil
seperti Toksoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes dan Sifilis
(TORCHS) dapat berakibat buruk pada pendengaran bayi yang akan dilahirkan.
Beberapa jenis obat ototoksik dan teratogenik berpotensi mengganggu
proses organogenesis dan merusak sel-sel rambut koklea seperti salisilat, kina,
neomisin, dihidro streptomisin, gentamisin, barbiturat, thalidomid. Selain itu,
malforasi struktur anatomi telinga seperti atresia liang telinga dan aplasia koklea
juga akan menyebabkan ketulian (Suwento, 2007).
2.4.2 Masa Perinatal
Beberapa keadaan yang dialami bayi pada saat lahir juga merupakan faktor
risiko terjadinya gangguan pendengaran/ ketulian seperti prematur, berat badan
lahir rendah (kurang dari 2500 gram), hiperbilirubinemia, asfiksia (lahir tidak
menangis). Umumnya ketulian yang terjadi akibat faktor prenatal dan perinatal
adalah tuli sensorineural bilateral dengan derajat ketulian berat atau sangat
berat (Suwento, 2007).
11
2.4.3 Masa Postnatal
Adanya infeksi bakteri atau virus seperti rubela, campak, parotis,
infeksi otak (meningitis, ensefalitis), perdarahan pada telinga tengah, trauma
temporal juga dapat menyebabkan tuli saraf atau tuli konduktif (Suwento,
2007).
2.5 Indikator Risiko Tinggi Gangguan Pendengaran
Indikator risiko tinggi gangguan pendengaran dibedakan menjadi 3 kelompok:
a. Sejak lahir – 28 hari
b. Usia 29 hari – 2 tahun
c. Usia 29 hari – 3 tahun untuk bayi yang memerlukan monitoring terhadap gangguan
pendengaran onset lambat, progresif maupun didapat (Depkes, 2014)
Tabel 3. Indikator Risiko Tinggi Gangguan Pendengaran
Sejak lahir – 28 hari
1 Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran sensorineural
2 Infeksi in utero (TORCH)
3 Kelainan kraniofasial
4 Berat badan < 1500 gram
5 Hiperbilirubinemia yang memrlukan transfusi tukar
6 Mendapat pengobatan otototoksik
7 Meningitis bakterialis
8 Skor Apgar 0 – 4 pada menit pertama atau 0-6 pada 5 menit
9 Pemakaian ventilasi mekanik ≥ 5 hari
10 Kelainan yang merupakan bagian suatu sindroma yang melibatkan tuli
sensorineural atau konduktif
Usia 29 hari – 2 tahun
1 Pada pengamatan orang tua / pengasuh terdapat keterlambatan bicara,
bahasa atau perkembangan lain
2 Meningitis bakterialis atau infeksi lain yang berhubungan dengan tuli
sensorineural
3 Trauma kepala disertai penurunan kesadaran dan patah tulang kepala
4 Kelainan yang merupakan bagian suatu sindroma yang berhubungan
12
dengan gangguan pendengaran
5 Pemakaian obat obat ototoksik
6 Otitis media efusi (OME) yang menetap atau berulang kali selama 3
bulan
29 hari – 3 tahun (Dalam hal diperlukan monitoring)
1 Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran sensorineural
2 Infeksi in utero (TORCH)
3 Neurofibromatosis tipe II dan penyakit neurodegeneratif lainnya
4 Terdapat indikasi gangguan pendengaran konduktif: Otitis media efusi
(OME), deformitas anatomi (misalnya atresia liang telinga)
2.6 Deteksi Dini Gangguan Pendengaran Pada Bayi
Tujuannya yaitu untuk menemukan gangguan pendengaran sedini mungkin pada
bayi baru lahir agar dapat segera dilakukan habilitasi pendengaran yang optimal
sehingga dampak negatif cacat pendengaran dapat dibatasi. Skrining pendengaran
dilakukan dengan maksud membedakan populasi bayi menjadi kelompok yang tidak
mempunyai masalah gangguan pendengaran (pass/ lulus) dengan kelompok bayi yang
mungkin mengalami gangguan pendengaran (refer/ tidak lulus). Skrining pendengaran
bukan diagnosis pasti karena selain kelompok pass /lulus dan kelompok refer/ tidak
lulus masih ada 2 kelompok lain, yaitu kelompok positif palsu (hasil refer namun
sebenarnya pendengaran normal) dan negatif palsu (hasil pass tetapi sebenarnya ada
gangguan pendengaran) (Depkes, 2014).
Tabel 4. Skrining pendengaran pada bayi.
Pada saat skrining Setelah diagnosis Tindak lanjut
Hasil Gangguan
pendengaran
Gangguan
pendengaran
Negatif Tidak ada (pass) Tidak ada/ normal Observasi bila
resiko (+) sampai
bisa bicara
Positif Mungkin ada
(refer)
Ada Intervensi/
habilitasi
Positif palsu Mungkin ada Ada/ tidak ada Tergantung hasil
13
(refer) diagnosis
Negatif palsu Mungkin ada
(pass)
Ada/ tidak ada
Hasil skrining pendengaran harus diterangkan dengan jelas kepada pihak
orang tua untuk mencegah kecemasan yang tidak perlu. Hasil skrining
pendengaran yang telah dilakukan oleh suatu unit/ kelompok masyarakat atau
fasilitas kesehatan (RS,Puskesmas, praktek dokter,Klinik, BKIA) harus dirujuk ke
fasilitas kesehatan yang memiliki sarana pemeriksaan pendengaran yang lengkap
dan mampu melaksanakan habilitasi pendengaran dan wicara (Depkes, 2014)
Berdasarkan usia skrining gangguan pendengaran pada bayi dan anak
dibedakan menjadi;
1) Skrining gangguan pendengaran pada bayi baru lahir (Newborn Hearing
Screening)
2) Skrining pendengaran pada bayi (Infant Hearing Screening)
3) Skrining pendengaran pada pra sekolah
4) Skrining pendengaran pada usia sekolah
Sedangkan berdasarkan fasilitas yang tersedia, skrining gangguan pendengaran
dapat dikelompokkan menjadi ;
1) Skrining gangguan pendengaran di rumah sakit (hospital based hearing
screening)
2) Skrining gangguan pendengaran pada komunitas (community based hearing
screening) (Depkes, 2014)
Pada prinsipnya gangguan pendengaran pada bayi harus diketahui sedini
mungkin. Walaupun derajat ketulian yang dialami seorang bayi/ anak hanya
bersifat ringan, namun dalam perkembangan selanjutnya akan mempengaruhi
kemampuan berbicara dan berbahasa. Dalam keadaan normal seorang bayi telah
memiliki kesiapan berkomunikasi yang efektif pada usia 18 bulan, berarti saat
tersebut merupakan periode kritis untuk mengetahui adanya gangguan
pendengaran (Suwento, 2007).
Dibandingkan dengan orang dewasa pemeriksaan pendengaran pada bayi dan
anak jauh lebih sulit dan memerlukan ketelitian dan kesabaran. Selain itu
14
pemeriksa harus memiliki pengetahuan tentang hubungan antara usia bayi dengan
taraf perkembangan motorik dan auditorik. Berdasarkan pertimbangan tersebut
adakalanya perlu dilakukan pemeriksaan ulangan atau pemeriksaan tambahan
untuk melakukan konfirmasi hasil pemeriksaan sebelumnya (Suwento, 2007).
Skrining gangguan pendengaran di rumah sakit (hospital based hearing
screening) dikelompokan menjadi:
1) Universal Newborn Hearing Screening (UNHS).
Dilakukan pada semua bayi baru lahir (dengan atau tanpa faktor risiko
terhadap gangguan pendengaran). Skrining awal dilakukan dengan
pemeriksaan Otoacoustic Emission (OAE) sebelum bayi keluar dari rumah
sakit (usia 2 hari). Bila bayi lahir pada fasilitas kesehatan yang tidak memiliki
sarana OAE, paling lambat pada usia 1 bulan telah melakukan pemeriksaan
OAE di tempat lain. Bayi dengan hasil skrining Pass (lulus) maupun Refer
(tidak lulus) harus menjalani pemeriksaan BERA (atau BERA otomatik) pada
usia 1 – 3 bulan (Depkes, 2014).
Pada usia 3 bulan diagnosis harus sudah dipastikan berdasarkan hasil
pemeriksaan: OAE, BERA,Timpanometri (menilai kondisi telinga tengah).
Untuk bayi yang telah dipastikan mengalami gangguan pendengaran
sensorineural perlu dilakukan pemeriksaan ASSR (Auditory Steady State
Response) atau BERA dengan stimulus tone burst, agar diperoleh informasi
ambang dengar pada masing-masing frekuensi; hal ini akan membantu proses
pengukuran alat bantu dengar yang optimal. Khusus untuk bayi yang tidak
memiliki liang telinga (atresia) diperlukan pemeriksaan tambahan berupa
BERA hantara tulang (bone conduction). Berdasarkan tahapan waktu tersebut
diatas, habilitasi pendengaran sudah harus dimulai pada usia 6 bulan (Depkes,
2014).
Kriteria UNHS:
a) Mudah dikerjakan serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi
sehingga kejadian refer minimal.
b) Tersedia intervensi untuk habilitasi gangguan pendengaran
c) Skrining, deteksi, dan intervensi yang dilakukan secara dini akan
15
menghasilkan outcome yang baik.
d) Cost-effective.
e) Kriteria keberhasilan : cakupan (coverage) 95 %, nilai refferal : < 4 %
(Depkes, 2014).
2) Targeted Newborn Hearing Screening
Skrining pendengaran yang dilakukan hanya pada bayi yang mempunyai
faktor risiko terhadap gangguan pendengaran. Kelemahan metode ini adalah
sekitar 50 % bayi yang lahir tuli tidak mempunyai faktor risiko. Model ini
biasanya dilakukan di NICU (Neonatal ICU) atau ruangan Perinatologi.
Sampai saat ini pemeriksaan pendengaran yang terbaik adalah Audiometri
karena dapat memberikan informasi ambang pendengaran yang bersifat spesific
frequency. Kelemahan pemeriksaan Audiometri adalah besarnya faktor
subyektif dan membutuhkan kerja sama (pasien koperatif) dan membutuhkan
respon yang dapat dipercaya dari pasien; akibatnya pemeriksaan Audiometri
tidak dapat dilakukan pada pasien berusia di bawah 6 bulan. Sehingga U.S Joint
Committee on Infant Hearing Screening (JCIH 2000) merekomendasikan (1)
OAE dan (2) Automated ABR ( BERA Otomatik) sebagai baku emas karena
memberikan informasi status pendengaran yang lengkap dari telinga luar sampai
telinga dalam (Depkes, 2014).
Rekomendasi dari American Joint Committee on Infant Hearing (JCIH)
yang ditetapkan berdasarkan banyak penelitian menyatakan bahwa bila skrining
pendengaran pada bayi telah dimulai pada usia 2 hari, kemudian diagnosis
dipastikan pada usia 3 bulan sehingga habilitasi yang optimal dapat dimulai
pada usia 6 bulan; maka pada usia 36 bulan kemampuan wicara anak tidak
berbeda jauh dengan anak yang memiliki pendengaran normal (Depkes, 2014).
16
Gambar 7. Alur Skrining Bayi Baru Lahir
2.7 Pemeriksaan Pendengaran Pada Bayi
Pemeriksaan pendengaran dapat dibedakan menjadi pemeriksaan obyektif dan
pemeriksaan subyektif. Pemeriksaan obyektif terdiri dari Otoacoustic Emission (OAE),
BERA (Brainstem Evoked Response Audiometry) atau Auditory Brainstem Response
(ABR), BERA Otomatik (Automated ABR), Timpanometri, Auditory Steady State
Response (ASSR). Sedangkan pemeriksaan subyektif terdiri dari Behavioral Observation
Test (BOT) atau Behavioral Observation Audiometry (BOA), Visual Reinforcement
Audiometry (VRA), dan Conditioned Play Audiometry (CPA) dan tes daya dengar
modifikasi.
2.7.1 Otoacoustic Emission (OAE)
Kemp pada tahun 1978 pertama kali melaporkan mengenai OAE, yaitu suara
dengan intensitas rendah yang dibangkitkan koklea dapat timbul secara spontan
17
atau dengan dirangsang (evoked OAE). Dasar biologik OAE yaitu gerakan sel
rambut luar koklea yang sangat kecil, memproduksi energi mekanik yang diubah
menjadi energi akustik sebagai respons terhadap getaran dari organ di telinga
tengah. Sel rambut luar koklea ini sangat rentan terhadap faktor eksternal (suara
berlebihan), internal (bakteri, virus) dan kondisi (defek genetik) (Rundjan dkk,
2005).
Suara yang berasal dari dunia luar diproses oleh koklea menjadi stimulus
listrik, selanjutnya dikirim ke batang otak melalui saraf pendengaran. Sebagian
energi bunyi tidak dikirim ke saraf pendengaran melainkan kembali menuju ke
liang telinga. Koklea tidak hanya menerima dan merespon bunyi tetapi juga
dapat memproduksi energi bunyi dengan intensitas rendah yang berasal dari
sel rambut luar koklea (Outer Hair Cells) (Suwento, 2007).
Terdapat dua jenis OAE yaitu (1) Spontaneous OAE (SPOAE) dan
(2) Evoked OAE (EOAE). Spontaneous OAE (SPOAE) adalah mekanisme
aktif koklea untuk memproduksi OAE tanpa harus diberikan stimulus, namun
tidak semua orang dengan pendengaran normal mempunyai
SPOAE. Evoked OAE hanya akan timbul bila diberikan stimulus akustik yang
dibedakan menjadi (a) Transient Evoked OAE (TEOAE) (b) Distortion
Product OAE. Pada TEOAE stimulus akustik berupa click sedangkan DPOAE
menggunakan stimulus berupa 2 buah nada murni yang berbeda frekuensi dan
intensitasnya (Suwento, 2007).
Pemeriksaan OAE merupakan pemeriksaan elektrofisiologik untuk
menilai fungsi koklea yang obyektif, otomatis (menggunakan kriteria pass/
lulus dan refer/ tidak lulus), tidak invasif, mudah, tidak membutuhkan waktu
lama dan praktis sehingga sangat efisien untuk program skrining pendengaran
bayi baru lahir (Universal Newborn Hearing Screening) (Suwento, 2007).
Pemeriksaan tidak harus di ruang kedap suara, cukup di ruangan yang
tenang. Pada mesin OAE generasi terakhir nilai OAE secara otomatis akan
dikoreksi dengan noise yang terjadi selama pemeriksaan. Artefak yang terjadi
akan diseleksi saat itu juga (real time). Hal tersebut menyebabkan nilai
sensitifitas dan spesifitas OAE yang tinggi. Untuk memperoleh hasil yang
optimal doperlukan pemilihan probe (sumbat liang telinga) sesuai ukuran liang
18
telinga. Sedatif tidak diperlukan bila bayi dan anak kooperatif (Suwento,
2007).
Pada telinga sehat, OAE yang timbul dapat dicatat secara sederhana
dengan memasang probe (sumbat) dari bahan spons berisi mikrofon mini ke
dalam liang telinga untuk memberi stimulus akustik dan untuk menerima emisi
yang dihasilkan koklea tersebut. Bila terdapat gangguan pada saat suara
dihantarkan dari telinga luar seperti debris/serumen, gangguan pada telinga
tengah seperti otitis media maupun kekakuan membran timpani, maka
stimulus akustik yang sampai ke koklea akan terganggu dan akibatnya emisi
yang dibangkitkan dari koklea juga akan berkurang. Alat OAE didesain secara
otomatis mendeteksi adanya emisi (pass/ lulus) atau bila emisi tidak
ada/berkurang (refer/ rujuk), sehingga tidak membutuhkan tenaga terlatih
untuk menjalankan alat maupun menginterpretasikan hasil (Rundjan dkk,
2005).
EOAE merupakan respons elektrofisiologik koklea terhadap stimulus
akustik, berupa bunyi jenis clicks atau tone bursts. Respons tersebut
dipancarkan ke arah luar melalui telinga tengah, sehingga dapat dicatat oleh
mikrofon mini yang juga berada di dalam probe di liang telinga. EOAE dapat
ditemukan pada 100% telinga sehat, dan akan menghilang/berkurang pada
gangguan pendengaran yang berasal dari koklea (Rundjan dkk, 2005).
EOAE mempunyai beberapa karakteristik yaitu dapat diukur pada fungsi
koklea yang normal bila tidak ada kelainan telinga luar dan tengah; bersifat
frequency specific (dapat mengetahui tuli pada frekwensi tertentu); pada
neonatus dapat diukur frekuensi dengan rentang yang luas yaitu frekuensi
untuk bicara dan bahasa (500- 6000 kHz). OAE tidak muncul pada hilangnya
pendengaran lebih dari 30-40 dB (Rundjan dkk, 2005).
EOAE dipengaruhi oleh verniks kaseosa, debris dan kondisi telinga
tengah (cavum tympani), hal ini menyebabkan hasil refer 5-20% bila skrining
dilakukan 24 jam setelah lahir. Balkany seperti dikutip dari Chang dkk
melaporkan neonatus berusia kurang dari 24 jam liang telinganya terisi verniks
caseosa dan semua verniks caseosa ini akan dialirkan keluar dalam 24-48 jam
setelah lahir. Sehingga angka refer < 3% dapat dicapai bila skrining dilakukan
dalam 24-48 jam setelah lahir. Bonfils dkk melaporkan maturasi sel rambut
19
luar lengkap terjadi setelah usia gestasi 32 minggu (Rundjan dkk, 2005).
Sebelum melakukan pemeriksaan EOAE perlu dilakukan timpanometri,
karena dalam keadaan fungsi koklea yang normal, bila terdapat obstruksi liang
telinga luar atau cairan di telinga tengah dapat memberi hasil positif palsu.
Tujuan dilakukan timpanometri adalah untuk mengetahui keadaan kavum
timpani, misalnya ada cairan di telinga tengah, gangguan rangkaian tulang
pendengaran, kekakuan membran timpani dan membran timpani yang sangat
lentur. Masalah telinga tengah pada bayi cukup bulan jarang
dilaporkan.Timpanogram pada bayi cukup bulan akan menunjukkan hasil yang
normal > 50% pada usia 1 hari sedangkan pada usia 3 hari mencapai 100%
(Rundjan dkk, 2005).
Selain neonatus, OAE dapat dipakai untuk memeriksa dan memonitor
bayi dan anak < 3 tahun, anak yang menerima obat ototoksik, noise-induced
hearing loss, orangtua dan cacat multipel. Pemeriksaan OAE dapat
menentukan penilaian klinik telinga perifer/ jalur preneural. OAE potensial
tidak dapat mendeteksi bayi dengan gangguan retrokoklea/jalur neural, tetapi
insidens keterlibatan nervus VIII dan batang otak jarang terjadi pada kelompok
neonatus, yaitu 1 dari 25.000 populasi. Dibandingkan dengan ABR
konvensional, OAE lebih cepat dan lebih nyaman karena tidak perlu
memasang elektroda di kulit kepala. Pemeriksaan OAE pada kedua telinga
menghabiskan waktu (median) 7,2 menit, AABR 14 menit, sedangkan ABR
konvensional 20 menit. Pada pemeriksaan OAE, sebaiknya bayi dalam
keadaan tidur, untuk mengurangi artefak akibat gerakan otot. Bising
lingkungan yang berlebihan akan menurunkan spesifisitas OAE. Mesin OAE
generasi terakhir secara otomatis dapat melakukan perhitungan/koreksi
terhadap bising dari luar. Bila bising terlalu besar, maka pemeriksaan tidak
dapat dilanjutkan (Rundjan dkk, 2005).
20
Gambar 8. Sumbat telinga.
Gambar 8 menunjukkan gambar sumbat telinga. Sumbat telinga TEOAE
mengandung miniatur sumber suara dan mikrofon transduser. Ujung sumbat
telinga yang lunak membawa port suara untuk dan untuk mikrofon. Sumbat
telinga DPOAE memiliki port stimulus suara tambahan. Sumbat telinga perlu
dimasukkan mendalam ke dalam liang telinga untuk mendapatkan hasil OAE
yang maksimal dan mencegah kebisingan, dengan kabel diposisikan
sedemikian rupa untuk menghindari kebisingan pada pergerakan, seperti yang
ditunjukkan pada gambar 9 (Kemp, 2002).
Gambar 9. Contoh pemasangan sumbat telinga pada bayi.
21
Gambar 10. Hasil Pemeriksaan OAE
2.7.2 BERA (Brainstem Evoked Response Audiometry) atau Auditory Brainstem
Response (ABR)
BERA merupakan pemeriksaan elektrofisiologi untuk menilai integritas
sistem auditorik, bersifat objektif dan tidak invasif. Dapat memeriksa bayi, anak,
dewasa, dan penderita koma (Suwento, 2007).
BERA merupakan respon listrik saraf kedelapan dan sebagian batang otak
yang timbul dalam 10-12 mili detik setelah suatu rangsang pendengaran ditangkap
oleh telinga dalam. Dengan menghadirkan sejumlah bunyi klik pada telinga,
dibangkitkan letupan-letupan sinkron dari serabut-serabut auditorik frekuensi
tinggi. Sangat disayangkan bahwa amat sukar untuk membaca suatu respon listrik
tunggal. Supaya pola ini dapat terlihat jelas, harus digunakan skema untuk
membuat rata-rata agar setiap gelombang atau lokasi perangsangan menjadi nyata.
Standar mutakhir menghadirkan rangsang klik pada tingkat 75 atau 80 dB di atas
ambang pendengaran. Bunyi klik ini di ulangi dengan kecepatan pengulangan
pasti, misal 11/ detik atau 33/ detik hingga respons klik 1500 atau 2000 telah “di
rata-ratakan”. Elektroda yang dipasang pada mastoid dibandingkan dengan
elektroda di tengah dahi, menciptakan suatu EEG. Dengan mengambil angka rata-
22
rata gelombang-gelombang EEG ini, terbentuklah suatu pola. Bentuk-bentuk
gelombang ini dikemukakan oleh Jewtt pada tahun 1971 dan diberi label I sampai
VII. Kini sudah jelas bahwa gelombang I dan II berasal dari daerah saraf kranial
kedelapan dan gelombang selanjutnya berasal lebih tinggi di batang otak
(Lassman, 1997).
Respon terhadap stimulus auditorik berupa respon auditory evoked potential
yang sinkron direkam melalui elektroda permukaaan (surface electrode) yang
ditempel pada kulit kepala. Respon auditory evoked potential yang berhasil
direkam kemudian diproses melalui program komputer dan ditampilkan sebagai 5
gelombang defleksi positif (gelombang I sampai V) yang terjadi sekitar 2 – 12 ms
setelah stimulus diberikan. Analisis gelombang BERA berdasarkan (1) morfologi
gelombang, (2) masa laten dan (3) amplitudo gelombang (Suwento, 2007).
Salah satu faktor penting dalam menganalisa gelombang BERA adalah
menentukan masa laten, yaitu waktu (milidetik) yang diperlukan sejak stimulus
diberikan sampai terjadi EP untuk masing-masing gelombang (gelombang I
sampai V) Dikenal 3 jenis masa laten: (1)masa laten absolut dan (2) masa laten
antar gelombang (interwave latency atau interpeak latency) dan (3) masa laten
antar telinga (interaural latency). Masa laten absolut gelombang I adalah waktu
yang dibutuhkan sejak diberikan stimulus sampai timbulnya gelombang I. Masa
laten antar gelombang adalah selisih waktu antar gelombang, misalnya masa laten
gelombang I-III,III-V, I-V. Masa laten antar telinga yaitu membandingkan masa
laten absolut gelombang yang sama pada kedua telinga. Hal lain yang perlu
diperhatikan adalah pemanjangan masa laten fisiologik yang terjadi bila intensitas
stimulus diperkecil. Terdapatnya pemanjangan masa laten pada beberapa
frekuensi menunjukkan adanya suatu gangguan konduksi (Suwento, 2007).
Perlu dipertimbangkan faktor maturitas jaras saraf auditorik pada bayi dan
anak yang usianya kurang dari 12-18 bulan, karena terdapat perbedaan masa laten,
amplitudo dan morfologi gelombang dibandingkan dengan anak yang lebih besar
maupun orang dewasa (Suwento, 2007).
Prinsip dasar BERA adalah penilaian perubahan potensial listrik di otak
yang timbul setelah pemberian stimulus suara. ABR berfungsi untuk menilai
integritas saraf sepanjang jalur pendengaran. Pemeriksaan BERA yang dilakukan
umumnya menggunakan stimulus suara jenis click, pemeriksaan ini tidak
frequency spesific artinya hanya diketahui ambang respons pada frekuensi rata-
23
rata ( 2000 – 4000 Hz). Agar dapat memperoleh ambang pada masing-masing
frekuensi harus ditambahkan pemeriksaan BERA dengan stimulus tone burst.
Pemeriksaan BERA sebaiknya dilakukan pada ruang kedap suara. Pada bayi
diperlukan sedatif untuk mencegah internal noise yang berlebihan. Bila digunakan
BERA otomatis, karena waktunya singkat dapat dilakukan tanpa sedatif. Respons
terhadap stimulus direkam komputer melalui elektroda permukaan (surface
electrode) yang ditempelkan pada kepala (dahi dan prosesus mastoid) (Depkes,
2007).
Parameter yang dinilai berdasarkan morfologi gelombang, amplitudo dan
masa laten. Hasil penilaian adalah intensitas stimulus terkecil (desibel) yang
masih memberikan gelombang BERA. Ada 5 gelombang BERA yang dapat
dibaca, masing masing menggambarkan respons dari bagian bagian jaras auditorik
mulai dari nervus akustikus sampai kolikulus inferior. Pada bayi yang paling
mudah diidentifikasi adalah gelombang V (kolikulus inferior) (Depkes, 2007).
Hasil-hasil uji ini kemudian dipetakan untuk melihat waktu relatif dari
gelombang I hingga V. Periode waktu ini dikenal sebagai masa laten dari tiap-tiap
gelombang dan selang waktu laten antar gelombang. Dari rekaman ini mungkin
pula diketahui amplitudo dan morfologi secara umum (Lassman, 1997).
Perlu diperhatikan agar pemeriksaan BERA pada bayi di bawah usia 3 bulan
atau bayi lahir prematur mungkin terjadi pemanjangan masa laten sehingga
didapat kesan adanya tuli konduktif, pada kasus seperti ini perlu dilakukan BERA
ulangan pada saat usia lebih dari 3 bulan dan dilakukan koreksi usia (pada
prematur) (Depkes, 2007).
Secara klinis ABR berguna pada beberapa kondisi. Pertama, uji ini sangat
membantu dalam diagnosis tumor sudut serebelopontin. Kedua, dapat pula
membantu pada penyakit Meniere pusing non Meniere lainnya. Ketiga, ABR
berguna dalam menetapkan ambang pendengaran pada bayi dan pasien-pasien
yang sukar diperiksa. Akhirnya, uji ini mungkin bernilai dalam evaluasi gangguan
proses pendengaran. ABR sering digunakan pada keadaan-keadaan di mana
neonatus memrlukan perawatan intensif dan khususnya mudah mengalami
ketulian sensori neural (Lassman, 1997).
24
Gambar 11. Contoh Pemasangan Elektroda BERA
Gambar 12. Berbagai gelombang BERA sesuai dengan lokasi respon
2.7.3 BERA Otomatik (Automated ABR)
Merupakan pemeriksaan BERA otomatis sehingga tidak diperlukan analisis
gelombang evoked potential karena hasil pencatatan mudah dibaca, berdasarkan
kriteria pass atau refer (tidak lulus). Pemeriksaan ini sama dengan BERA
konvensional yaitu menggunakan elektroda permukaan dengan pemberian
stimulus click, mudah dilakukan, praktis, tidak invasif dan hanya dapat
menggunakan intensitas 30 – 40 dB. Umumnya digunakan untuk keperluan
skrining pendengaran (Depkes, 2014)). Sensitivitas AABR mencapai 99,96%
sedangkan spesifitasnya 98,7 %. Karena sangat praktis dan memiliki sensitivitas
25
yang tinggi maka AABR ditetapkan sebagai baku emas untuk skrining
pendengaran pada bayi (Suwento, 2007).
Gambar 13. Automated ABR
2.7.4 Timpanometri
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai keadaan telinga tengah (normal,
tekanan negatif, cairan) dan fungsi tuba Eustachius. Pada bayi berusia kurang dari
6 bulan digunakan Timpanometri Frekuensi tinggi (High Frequency
Tympanometry) dengan pertimbangan pada usia tersebut liang telinga lebih lentur
sehingga sering kolaps sehingga menghalangi stimulus suara yang masuk
(Depkes, 2014).
Gambaran timpanometri yang abnormal (adanya cairan atau tekanan negatif
di telinga tengah) merupakan petunjuk adanya gangguan pendengaran konduktif.
Melalui probe tone (sumbat liang telinga) yang dipasang pada liang telinga dapat
diketahui besarnya tekanan di liang telinga berdasarkan energi suara yang
dipantulkan kembali (ke arah luar) oleh gendang telinga. Pada orang dewasa atau
bayi berusia di atas 7 bulan digunakna probe tone frekuensi 226 Hz karena akan
terjadi resonansi pada liang telinga sehingga harus digunakan probe tone
frekuensi tinggi (668,678 atau 1000 Hz).
Terdapat 4 jenis timpanogram yaitu:
1. Tipe A (normal)
2. Tipe (diskontinuitas tulang-tulang pendengaran)
3. Tipe (kekakuan rangkaian tulang pendengaran)
26
4. Tipe B (cairan di dalam telinga tengah)
5. Tipe C (gangguan fungsi tuba Eustachius)
Pada bayi usia kurang dari 6 bulan ketentuan jenis timpanogram tidak
mengikuti ketentuan di atas. Timpanometri merupakan pemeriksaan pendahuluan
sebelum tes OAE, dan bila terdapat gangguan pada telinga tengah maka
pemeriksaan OAE harus ditunda sampai telinga tengah normal. Refleks akustik
pada bayi juga berbeda dengan orang dewasa. Dengan menggunakan probe tone
frekuensi tinggi, refleks akustik bayi usia 4 bulan atau lebih sudah mirip dengan
dewasa (Suwento, 2007).
Gambar 14. Timpanogram
2.7.5 Auditory Steady State Response (ASSR)
Metode pemeriksaan ini dianggap sebagai suatu estimasi atau prediksi
audiometri (predicting audiometry) atau evoked potential audiometry karena
dapat memberikan gambaran audiogram pada bayi dan anak. Hal ini
dimungkinkan karena ASSR memberikan informasi ambang pendengaran pada
frekuensi spesifik secara otomatis dan simultan, yaitu pada frekuensi 500,
1.000 ,2.000 dan 4.000 Hz. Bila perlu dapat di setting untuk frekuensi 250, 1.500
dan 8.000 Hz. Stimulasi berupa bunyi modulasi yang kontinu berupa AM
(Amplitude Modulation) dan FM (Frequency modulated ) melalui insert phone.
Intensitas stimulus dapat mencapai 127 dB HL. Selain dapat memberikan
informasi ambang pendengaran, ASSR sangat bermanfaat untuk fitting alat bantu
27
dengar pada bayi dan menilai sisa pendengaran sebagai pertimbangan untuk
implantasi koklea (Depkes, 2014).
2.7.6 Behavioral Observation Audiometry (BOA)
Pemeriksaan behavioral merupakan pemeriksaan pendengaran yang bersifat
subyektif karena respon dari bayi dan anak tidak konsisten. Namun demikian
pemeriksaan Behavioral memiliki kemampuan frequency specific. Tentu saja nilai
sensitifitas dan spesifitasnya kurang dibandingkan pemeriksaan obyektif seperti
OAE dan BERA. Idealnya dilakukan diruang kedap suara (Depkes, 2014).
Bila tidak tersedia sarana pemeriksaan pendengaran yang lebih obyektif
dapat dimanfaatkan untuk bayi dibawah 6 bulan misalnya pemeriksaan Behavioral
Observation Test (BOT) atau Behavioral Observation Audiometry (BOA). Pada
anak usia 6 bulan atau lebih pemeriksaan behavioral juga dapat dilakukan untuk
konfirmasi pemeriksaan obyektif yang telah dilakukan, terutama bila menghadapi
kendala untuk memperoleh pemeriksaan yang bersifat frequency specific (Depkes,
2014).
Tujuan pemeriksaan ini untuk menentukan ambang pendengaran
berdasarkan unconditioned responses terhadap bunyi; misalnya refleks
behavioral. Untuk menilai bayi / anak 0 – 6 bulan. Persyaratan:
- Pemeriksaan sebaiknya di ruang kedap suara atau cukup tenang
- Respon bayi di nilai oleh 2 orang pemeriksa. Stimulus berjarak 1 meter
dari dari telinga, di belakang garis lapang pandangan
- Stimulus : Audiometer + loud speaker : variasi stimulus standart
- Intensitas stimulus di kalibrasi dengan sound level meter
Respon yang dinilai : respon behavioral/refleks (unconditioned response)
seperti ;
- mengejapkan mata (refleks auropalpebral)
- ritme jantung yang bertambah cepat bila mendengar bunyi,
- berhenti meyusu (cessation reflex)
- mengerutkan wajah (grimacing)
- terkejut (refleks Moro)
28
Prosedur BOA:
- Bayi di pangku dalam kondisi siap memberi respon/ setengah tidur
- Dapat sambil menyusu
- Bila tidur nyenyak ; bangunkan. Bila ketakutan: tunda
- Orang tua tidak ikut membantu respon
- Respon harus konsisten dan dapat diulang
- Pada saat terjadi respons, catat intensitas
- Bila respon ( - ) catat intensitas paling besar
Keterbatasan pemeriksaan BOA adalah tidak dapat menentukan threshold
(ambang pendengaran). Prosedur Behavioral Obsevation Test sama dengan BOA,
tetapi menggunakan stimulus yang tidak terukur frekuensi dan intensitasnya
(misalnya bertepuk tangan) (Depkes, 2014).
2.7.7 Visual Reinforcement Audiometry (VRA)
Tujuan pemeriksaan ini yaitu untuk menentukan ambang pendengaran bayi
7 -30 bulan dengan menilai conditioned response ( respon yang telah dilatih
terlebih dahulu). Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menentukan ambang
pendengaran. Keterbatasan karena stimulus berasal dari pengeras suara
(loudspeaker), maka ambang yang diperoleh menunjukkan kondisi telinga yang
lebih baik (Depkes, 2014).
Cara pemeriksaan: bayi dilatih terlebih dahulu untuk memberikan respons
khusus (misal memutar kepala) terhadap stimulus bunyi dengan kekerasan bunyi
(intensitas) tertentu. Bila bayi memberikan respon, berikan hadiah berupa cahaya
lampu. Kemudian pemeriksaan diulang dengan intensitas yang lebih rendah
sampai tercapai ambang dengar yaitu stimulus terkecil yang masih menghasilkan
respons (Depkes, 2014).
29
Gambar 15. S: speaker, VR: visual reinforcer, P: orangtua
(memangku bayi), I: Bayi, A: pemeriksa, TA: observer
Gambar 16. Pemeriksaan Visual Reinforcement Audiometry (VRA)
2.7.8 Conditioned Play Audiometry (CPA)
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai ambang pendengaran berdasarkan
respons yang telah dilatih (conditioned) melalui kegiatan bermain terhadap
stimulus bunyi. Stimulus bunyi diberikan melalui ear phone sehingga dapat
diperoleh ambang pada masing masing frekuensi (frequencyspecific) dan masing
30
masing telinga (ear specific). Dengan teknik ini dapat ditentukan jenis dan derajat
ganggguan pendengaran.Dilakukan untuk anak usia 30 bulan – 5 tahun (Depkes,
2014).
Cara pemeriksaan: terlebih dahulu anak dilatih memberikan respon melalui
kegiatan bermain, misalnya memasukkan sebuah balok ke dalam kotak bila anak
mendengar suara dengan intensitas (kekerasan bunyi) tertentu. Selanjutnya
intensitas di turunkan sampai diperoleh intensitas terkecil dimana anak masih
memberikan respons terhadap bunyi. Bila suara diganti dengan ucapan ( kata-
kata) dapat juga ditentukan speech reception threshold (SRT) (Depkes, 2014).
2.7.9 Tes Daya Dengar (TDD) modifikasi
Tes daya dengar merupakan salah satu instrumen yang dikeluarkan oleh
Direktorat Jendral Pembinaan Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI
pada tahun 1997 yang berguna sebagai alat skrining gangguan pendengaran.
Instrumen TDD memiliki beberapa kekurangan pada materi tes dan pembagian
umur sehingga dibuat instrumen baru yang merupakan hasil modifikasi TDD
(MTDD) sebagai alat skrining gangguan pendengaran (Andriani, 2010).
Merupakan pemeriksaan subyektif untuk deteksi dini gangguan
pendengaran pada bayi dan anak dengan menggunakan kuesioner berisikan
pertanyaan pertanyaan ada tidaknya respons (Daya dengar) bayi atau anak
terhadap stimulus bunyi. Pertanyaan berbeda untuk kelompok usia. Untuk tiap
kelompok usia, daftar pertanyaan terbagi menjadi 3 kelompok penilaian
kemampuan: a) Ekspresif, b) Reseptif c) Visual, masing-masing terdiri dari 3
pertanyaan dengan jawaban “Ya” atau “Tidak” (Depkes, 2014).
31
Gambar 17. Daftar pertanyaan tes daya dengar modifikasi.
Cara penilaian
a) Bila semua pertanyaan ( 3 buah) di jawab “Ya” berarti tidak terdapat
kelainan daya dengar (Kode N/normal )
b) Bila terdapat minimal 1(satu) jawaban “Tidak” berarti kita harus hati hati
terhadap kemungkinan gangguan daya dengar (Kode HTN/ Hati hati Tidak
Normal). Tes harus diulang 1 bulan lagi.
c) Bila semua jawaban adalah “Tidak” mungkin terdapat gangguan lain
dengan atau tanpa kelainan daya dengar (Ada gangguan lain dan tidak
normal).
d) Bila semua jawaban pada kemampuan ekspresif dan reseptif adalah
“Tidak” Dengan kemampuan visual normal berarti ada kelainan pada daya
dengar (Kode TN/ Tidak normal)
32
Anak dengan kode HTN, GTN, dan TN dicatat pada kemampuan mana anak
tidak bisa mengerjakan; dan bila dilakukan tes di bawah kelompok usianya
sampai usia mana anak bisa mengerjakan tes tersebut (Depkes, 2014).
Bila anak menderita salah satu kelainan yang tersebut di bawah ini
sebaiknya anak tersebut dirujuk ke pusat kesehatan yang memiliki alat
pemeriksaan pendengaran obyektif, seperti OAE (Otoacustic Emission) dan
BERA (Brain Evoked Response Audiometry). Kelainan tersebut antara lain:
kelainan anatomi kepala dan leher, sindrom tertentu, palsi serebral, retardasi
mental dan autism. Anak dengan gangguan pendengaran pada umumnya
menggunakan isyarat penglihatan lebih baik. Misalnya anak masih bisa bermain
dengan teman sepermainan, masih dapat disuruh dengan menggunakan bahasa
tubuh atau dengan peragaan sebelumnya. Hal ini dapat membedakannya dengan
retardasi mental atau autism. Kelainan anatomi pada kepala serta leher serta
kecurigaan terhadap sindrom tertentu dapat dilihat pada pemeriksaan fisik Bila
anak menderita salah satu kelainan yang tersebut di bawah ini sebaiknya anak
tersebut dirujuk ke pusat kesehatan yang memiliki alat pemeriksaan pendengaran
obyektif, seperti OAE (Otoacustic Emission) dan BERA (Brain Evoked Response
Audiometry). Kelainan tersebut antara lain: kelainan anatomi kepala dan leher,
sindrom tertentu, palsi serebral, retardasi mental dan autism (Andriani, 2010).
Anak dengan gangguan pendengaran pada umumnya menggunakan isyarat
penglihatan lebih baik. Misalnya anak masih bisa bermain dengan teman
sepermainan, masih dapat disuruh dengan menggunakan bahasa tubuh atau
dengan peragaan sebelumnya. Hal ini dapat membedakannya dengan retardasi
mental atau autism. Kelainan anatomi pada kepala serta leher serta kecurigaan
terhadap sindrom tertentu dapat dilihat pada pemeriksaan fisik (Andriani, 2010).
2.8 Tindak Lanjut Setelah Skrining Pendengaran
Bayi yang tidak lulus skrining tahap kedua harus di rujuk untuk pemeriksaan
audiologi lengkap termasuk pemeriksaan OAE, ABR dan Behavioral Audiometry,
sehingga dapat dipastikan ambang pendengaran pada kedua telinga dan lokasi lesi
auditorik. Diagnostik pasti idealnya telah selesai dikerjakan pada saat bayi berusia 3
bulan (Depkes, 2014).
Berdasarkan alur skrining pendengaran bayi HTA 2006:
33
a) bayi yang gagal pada skrining awal dilakukan pemeriksaan timpanometri,
DPOAE dan AABR pada usia 3 bulan. Bila tetap tidak lulus segera dilakukan
pemeriksaan BERA stimulus click + tone burst 500 Hz atau ASSR, sedangkan
BERA bone conduction diperiksa bila ada pemanjangan masa laten. Sebaiknya
pemeriksaan tsb diatas dikonfirmasi dengan Behavioral Audiometry.
b) bayi yang lulus skrining awal tetap dilakukan pemeriksaan DPOAE dan AABR
pada usia 3 bulan. Bila tidak lulus, segera dilanjutkan dengan pemeriksaan
audiologik lengkap. Untuk bayi yang lulus skrining namun mempunyai faktor
risiko terhadap gangguan pendengaran dianjurkan untuk follow up sampai anak
bisa berbicara (Depkes, 2014).
2.9 Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan THT,pemeriksaan
pendengaran baik secara subyektif maupun obyektif, pemeriksaan perkembangan
motorik, kemampuan berbicara serta psikologik. Diagnosis banding: ADHD, Autism,
CAPD, Afasia, Retardasi Mental, Disleksia dan gangguan komunikasi lainnya
(Depkes, 2014).
2.10 Penatalaksanaan
Apabila ditemukan adanya gangguan pendengaran sensorineural:
a) harus dilakukan rehabilitasi berupa amplifikasi pendengaran misalnya dengan alat
bantu dengar (ABD).
b) selain itu bayi/anak juga perlu mendapat habilitasi wicara berupa terapi wicara atau
terapi audioverbal terapi (AVT) sehingga dapat belajar mendeteksi suara dan
memahami percakapan agar mampu berkomunikasi dengan optimal (Depkes, 2014).
Dalam hal pemasangan ABD harus dilakukan seleksi ABD yang tepat dan
proses fitting yang sesuai dengan kebutuhan, sehingga diperoleh amplifikasi yang
optimal. Proses fitting ABD pada bayi/anak jauh lebih sulit dibandingkan orang
dewasa. Akhir akhir ini ambang pendengaran yang spesifik pada bayi dapat
ditentukan melalui teknik Auditory Steady State Response (ASSR) yang hasilnya
dianggap sebagai prediksi audiogram, sehingga proses fitting ABD bayi lebih optimal.
Bila ternyata ABD tidak dapat membantu, salah satu alternatif adalah implantasi
koklea (Depkes, 2014).
34
2.11 Pencegahan
Mengingat tingginya angka infeksi yang dapat terjadi pada ibu hamil dan anak
maka perlu dilakukan imunisasi misalnya untuk rubela, sehingga pemeriksaan
kehamilanpun dianjurkan untuk dilakukan secara teratur. Apabila diketahui
kemungkinan adanya faktor genetik , maka dianjurkan untuk konseling genetik
(Depkes, 2014).
Rekomendasi dari American Joint Committee on Infant Hearing (JCIH) yang
ditetapkan berdasarkan banyak penelitian menyatakan bahwa bila skrining
pendengaran pada bayi telah dimulai pada usia 2 hari, kemudian diagnosis dipastikan
pada usia 3 bulan sehingga habilitasi yang optimal dapat dimulai pada usia 6 bulan;
maka pada usia 36 bulan kemampuan wicara anak tidak berbeda jauh dengan anak
yang memiliki pendengaran normal (Depkes, 2014).
35
DAFTAR PUSTAKA
Andriani Rini, dkk. 2010. Peran Instrumen Modifikasi Tes Daya Dengar Sebagai Alat
Skrining Gangguan Pendengaran Pada Bayi Risiko Tinggi Usia 0-6 Bulan. Sari Pediatri Vol
12 No 03.
Kemp, David T. 2002. Otoacoustic Emissions, Their Origin In Cochlear Function, And Use.
[Internet]. Tersedia dalam: <bmb.oxfordjournals.org> [Di akses pada tanggal 30 Mei 2015].
Lassman Frank M, dkk. 1997 BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta.EGC.
Rundjan Lily, dkk. 2005 Skrining Gangguan Pendengaran Pada Neonatus Risiko Tinggi.
Sari Pediatri.
Suwento Ronny, dkk. 2007 Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
Dan Leher Edisi Keenam. Jakarta. Gaya Baru.
Soetirto Indro, dkk. 2007 Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Dan
Leher Edisi Keenam. Jakarta. Gaya Baru.
http://www.nlm.nih.gov/ Di akses pada tanggal 29 Mei 2015.
http://www.hukor.depkes.go.id/ Di akses pada tanggal 29 Mei 2015
top related