referat saraf hana cerebral toxoplasmosis fix 3
Post on 30-Jan-2016
15 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Infeksi dengan Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency
Syndrome (HIV/AIDS) merupakan masalah kesehatan di semua negara di dunia, pada
kedua gender, semua umur, budaya, dan tingkat sosioekonomi. Penyakit neurologi
pada pasien HIV/AIDS sangat luas, dan frekuensi komplikasi neorologi meningkat
selama perjalanan penyakit.(1)
Pada penelitian di Mexico pasien HIV dari tahun 1995-2009 dengan infeksi
serebral paling banyak oleh karena cerebral toxoplasmosis (51,1%) diikuti cerebral
cryptococcus (33,6%), dan meningitis tuberkulosa (10,4%).(1)
Toxoplasmosis adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien
yang terinfeksi HIV, terutama di negara berkembang. (2)
Prevalensi cerebral toxoplasmosis di Brazil cukup tinggi, insiden terjadinya
antara 30-40% pada penderita AIDS yang tidak terkontrol, di Amerika mencapai 30-
50%, dan di Eropa mencapai 50-70%. Cerebral toxoplasmosis mempunyai prognosis
buruk pada pasien AIDS, dapat mengancam kehidupan bila tidak segera didiagnosis
dan ditangani secepatnya.(3)
Toxoplasmosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit obligat
intraseluler jenis protozoa yang menginfeksi manusia melalui oral ataupun
transplasenta.(4), protozoa ini biasanya didapatkan pada daging yang mentah atau
undercooked yang mengandung kista viable, air yang terkontaminasi oleh oocyts dari
feses kucing, dan sayuran yang tidak dicuci merupakan transmisi melalui oral.(1)
Pasien dengan HIV memiliki risiko berkembangnya toxoplasmosis akut yang
disebabkan oleh reaktivasi organisme bila CD4+ T-Cell menurun dibawah 100
1
cells/µL atau bila menurun dibawah 200 cells/µL dengan adanya infeksi oportunistik
atau keganasan.(5)
Diagnosis toxoplasmosis dapat dilakukan dengan tes serologi, pencitraan,
biopsy jaringan, polymerase chain reaction (PCR) assays, pada diagnosis cerebral
toxoplasmosis biasanya digunakan serologi dan pencitraan (CT-Scan atau MRI).(1)
1.2. Tujuan
Tujuan dari dibuatnya referat ini adalah untuk mengetahui definisi,
epidemiologi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi, gejala klinis, dan penanganan pada
pasien cerebral toxoplasmosis.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. TOKSOPLASMOSIS(6)
A. Definisi
Toksoplasmosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit obligat
intraseluler jenis protozoa yang menginfeksi manusia melalui oral ataupun
transplasenta.
B. Klasifikasi
Terdapat dua macam bentuk toksoplasma yaitu bentuk intraseluler yaitu
bulat atau lonjong, dan bentuk ekstaseluler atau seperti bulan sabit dengan
ujung runcing pada ujung, ukuran 4-6 mikron, dengan inti terletak di ujung
tumpul.
Jumlah parasite dalam darah akan menurun dengan terbentuknya antibodi,
namun kista toksoplasma yang ada dalam jaringan masih tetap hidup. Infeksi
toksoplasma biasa dalam bentuk cerebritis, chorioretinitis, pneumonia,
terserangnya seluruh jaringan otot, myocarditis, ruam makulopapuler, dan
atau dengan kematian, toksoplasmosis yang menyerang otak sering terjadi
pada penderita AIDS.
Infeksi primer pada awal kehamilan dapat menyebabkan gawat janin
sampai kematian bayi.
C. Etiologi
Toxoplasmosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh Toxoplasma
gondii, suatu obligat intraseluler parasite protozoa.
3 bentuk utama parasit ini adalah :
3
Tachyzoites (endozoites) bentuk bulan sabit ke oval, terlihat pada infeksi
yang aktif, dapat ditransmisikan melalui plasenta dari ibu ke janin,
transfusi darah, atau transplantasi organ.
Gambar 1. Tachyzoit Toxoplasma gondii
Tissue cysts berisi ribuan bradyzoites, terminal life stage, ditransmisikan
melalui makanan seperti daging yang terinfeksi atau organ lain, dan
dapat bertahan hidup lama dalam hospes perantara, pada stage ini
mereka terkait dengan infeksi laten, tapi reaktifasi dapat terjadi pada
pasien dengan immunitas yang rendah.
Bradizoites (cystozoites) kurang rentan terhadap kemoterapi,
menunjukan stase infektif pada jaringan hospes yang menyebabkan
gejala klinis, khususnya pada pasien dengan immunosuppressed.
Gambar 2. Tissue cyst Toxoplasma gondii
4
Oocyst stage, berada di feses kucing, merupakan bentuk paling toleran
T. gondii, yang berada dimana-mana di alam, resintan tinggi terhadap
disinfektan dan pengaruh lingkungan, dan berperan penting sebagai
transmisi melalui fecal oral.
Gambar 3. Oocyst stage Toxoplasma gondii
D. Transmisi dan life cycle
Karnivora dan omnivora, termasuk manusia, dapat terinfeksi ketika
memakan daging mentah yang mengandung tissue cysts atau kadang-
kadang tachyzoites. Herbivora atau karnivora mungkin menelan oocysts
infective melalui makanan atau air, menghirup mereka melalui udara, atau
bersentuhan dengan tanah yang terkontaminasi. T gondii dapat ditularkan
melalui plasenta, transmisi melalui transfusi darah mungkin namun
kejadiannya langka. Lalat dan kecoa dapat menjadi vektors.
T. gondii mengalami siklus reproduksi aseksual pada semua spesies.
Tissue cyst atau dinding oosit pecah selama pencernaan, mengeluarkan
bradyzoit atau sporozoit, yang masuk melalui lamina propria atau usus
halus dan mulai bermultiplikasi sebagai tachyzoite. Tachyzoite dapat
menyebar pada jaringan ekstraintestinal dalam beberapa jam dari infeksi,
melalui pembuluh darah dan pembuluh limfa. Mereka dapat memasuki
5
sel-sel yang dekat dan bermultlifikasi, sel host sulit berkembang, sekitar 3
minggu setelah infeksi, tachyzoite mulai menghilang dari jaringan visceral
dan membentuk tissue cyst yang mengandung bradyzoite. Kista ini paling
sering di temukan di otot skeletal, otak, dan otot jantung, mereka
umumnya tidak menyebabkan reaksi host dan dapat bertahan seumur
hidup.
Tissue cysts dapat pecah pada bebeberapa periode, dalam host yang
immunocompetent, imunitas dapat sebagai pencegahan agar tidak terjadi
Gambar 4. Life Cycle Toxoplasma gondii
6
Ingestion of tissue cysts with raw meat
Cats definitive host
Tachyzoites in intestinal ephitelial cells
Asexual reproduction
merozoites
Sexual reproduction
Oocysts with 4 sporozites
Human intermediate hosts
Tachyzoites in macrophages
Asexual reproduction
Tissue cysts with bradyzoits in organs
Warm bloods animals
Tissue cysts with bradyzoits in organs
Asexual reproduction
Tachyzoites in macrophages
multipikasi, kadang-kadang pada orang dengan immunosuppressed,
bradizoite dspst berubah menjadi tachyzoite. Pada pasien AIDS,
toxoplasmosis sering diaktifkan dari pada infeksi yang baru.
E. Gejala klinik
Pada toxoplasmosis berbagai kelainan organ dapat terjadi, yaitu pada
otak, mata, paru-paru, dan yang jarang pada traktus gastrointestinal, hati,
musculoskeletal, jantung, sumsum tulang, spinal cord, vesika urinaria,
testis.
Pada otak kita sebut cerebral toxoplasmosis dengan gejala defisit
neurologis fokal, pada mata biasanya terjadi nyeri dan penurunan visus,
pada paru-paru dengan gejala klinis demam, sesak nafas, batuk tidak
berdahak.
2.2. CEREBRAL TOXOPLASMOSIS
A. Cerebral toxoplasmosis
Cerebral toxoplasmosis merupakan penyakit infeksi oportunistik yang
biasa terjadi pada pasien dengan acquired immunodeficiency syndrome
(AIDS), terutama pada pasien dengan jumlah CD4+ <200 cells/mm3,
walaupun insidensi menurun pada penggunaan antiretroviral treatment (ART).(7)
Gejala klinis yang terlihat pada pasien dengan yaitu sakit kepala, defisit
neurologi fokal, kebingungan, demam, letargi, kejang, parese nervus cranial,
perubahan status mental, dan ataxia. Diagnosis yang cepat dan tatalaksana
yang sesuai pada pemeriksaan klinis dan radiologi dapat memperbaiki
keadaan.(8)
7
B. Insiden dan etiologi (3)
Pada populasi AIDS, cerebral toxoplasmosis merupakan penyebab utama
terjadinya abses otak, disebabkan oleh infeksi oportunistik oleh obligat
intraseluler protozoa Toxoplasma gondii, insiden terjadi antara 13,4%-33%
pada pasien dengan komplikasi central nervous system (CNS) pada AIDS.
Penelitian epidemiologi toxoplasmosis memperlihatkan CT menjadi salah
satu yang paling umum infeksi oportunistik pada pasien AIDS, dan 5 yang
paling banyak dilaporkan adalah Asia (india, Malaysia, dan Thailand), Eropa
(Perancis, Inggris, dan Jerman), Amerika Utara (USA), Amerika Selatan
(Brasil dan Mexico), dan yang terbaru dari Afrika Selatan.(9)
Pada pasien AIDS di USA dan UK ditemukan toxoplasma pada CT 16-
40%, Spanyol 60%, Brazil 50-80%, Perancis 75-90% dan <20% pada negara-
negara di Asia.
RSCM pada tahun 2002, 2003, 2004 total kasus terbaru HIV-AIDS pada
2002 adalah 128, 2003 330 orang, 2004 917 orang dan yang paling banyak
hamper 90% adalah laki-laki. Data retrospektif dari Januari 2004-Januari
2007, dari 300 kasus ditemukan 125 suspek cerebral toxoplasmosis.(10)
C. Tanda dan gejala (11)
Gejala awal pada toxoplasmic enchepalitis pada pasien dengan AIDS
dapat subakut. Pasien menunjukkan perubahan status mental (62%), nyeri
kepala/headaches (59%), dan demam (41%) dan berhubungan dengan usculo
neurologis fokal.
Infeksi progresif dapat menimbulkan kebingungan, mengantuk, kejang,
hemiparesis, hemianopsia, afasia, ataxia, parese nervus kranial. Kelemahan
motorik dan gangguan berbicara terlihat pada kelanjutan dari penyakit. Jika
tidak ditangani dengan tepat, pasien dapat berlanjut koma berhari-hari atau
berminggu-minggu. Toxoplasmosis mungkin jarang hadir dengan bentuk
fatal yang cepat atau ensefalitis global perubahan mental status yang
8
mendalam, mual dan muntah, biasanya indikasi peningkatan tekanan
intrakranial.
Mata dan paru-paru merupakan tempat yang paling banyak pada
manifestasi ekstraserebral dari toxoplasmosis. Toxoplasmic chorioretinis
(posterior uveitis) dengan nyeri pada mata dan menurunkan kemampuan
penglihatan, serupa dengan ocular infections pada HIV (terutama
Cytomegalovirus retinitis) dan jarang mimic acute retinal necrosis.
Toxoplasma pneumonitis menunjukkan demam, sesak nafas, batuk tidak
berdahak. Foto toraks memperlihatkan infiltrat retikulonodular, gejala klinik
tidak dapat dibedakan dari pneumocystic jiroveci pneumonitis. Manifestasi
lain yang jarang termasuk keterlibatan traktus gastrointestinal, hati, system
musculoskeletal, jantung, vesikaurinaria, bone marrow, spinal cord dan testis.
penatalaksanaan ekstraserebral toxoplasmosis sama dengan serebral
toksoplasmosis.
D. Patofisiologi(2)
Manusia adalah intermediate host untuk T. gondii, dan kucing adalah
definitive host, penyebaran melalui kucing adalah dari feses mereka yang
mengandung oosit, dan tertelan oleh manusia, oosit ini berubah menjadi
takizoit, yang cepat bereplikasi. Takizoit ini penetrasi ke nucleated cell dan
membentuk fakuol, ketika sel ini mati takizoit melanjutkan penyebaran ke
seluruh tubuh dan menginfeksi jaringan lain serta menyebabkan respon
inflamasi. Pada host yg imunokompeten, sel imunitas dan mediatornya
mengontrol infeksi akut toxoplasmasa serta mencegah reaktivasi penyakit.
Kehadiran takizoit dalam darah mengaktivasi CD4+ T Cell untuk
menghadirkan CD154 (atau yang disebut ligand CD40), pengaruh CD154
menyebabkan dendritic cells dan makrofag mengsekresi interleukin-12
(IL12), yang mengaktivasi T-cell agar memproduksi interferon gamma
(IFNɤ).
9
IFNɤ menstimulasi makrofag dan sel non fagosit lain untuk respon
antitoksoplasmik. Tumor necrosis factor alfa (TNF-α) juga menunjukkan
peranan penting dalam mengontrol T. gondii untuk respon T-cell yang lebih
kuat, pada respon ini takizoit berubah menjadi bradizoit dengan morfologi
yang sama namun reflikasinya lebih lambat.
Bradizoit membentuk kista dan tertahan di otak, jantung, otot skeletal
pada tubuh host sampai meninggal. Kesimpulannya adalah fase kronik dari
infeksi ini adalah kista jaringan. Jika host dalam keadaan
immunocompromised, kista ini dapat berubah kembali menjadi takizoit untuk
menginfeksi jaringan lain pada host.
Infeksi pada pasien HIV, CD154 dalam respon terhadap Toxoplasma
gondii terganggu karena permasalahan dari CD4+, sehingga menyebabkan
penurunan produksi IL-12 dan IFN-ɤ dalam respon T. gondii pada pasien
HIV. Aktivitas sel sitotoksikpun terganggu, sehingga menurunkan kembali
kekuatan melawan T. gondii. Penurunan kekuatan melawan T. gondii
menyebabkan infeksi toxoplasma pada pasien HIV, terutama ketika jumlah sel
CD4+ kurang dari 100 cells/µ.
E. Diagnosa
Pemeriksaan serologi, imaging, biopsi jaringan, polymerase chain
reaction (PCR) merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk
diagnosis toxoplasmosis. Pada pasien dengan suspek toxoplasmosis, serologi
dan imaging (CT atau MRI) merupakan yang biasa dipakai untuk
mendiagnosis toxoplasmosis.
1. Serologi(12,13)
Infeksi T. gondii biasanya dideteksi dengan pemeriksaan serologi yaitu
antibodi antitoxoplasma. Titer serum IgG antitoksoplasma puncaknya
10
antara 1 dan 2 bulan setelah infeksi pertama dan biasanya tetap terdeteksi
selama masa kehidupan pasien.
Pada umumnya, pemeriksan darah tidak seharusnya digunakan
sebagai pemeriksaan penunjang tunggal untuk mendiagnosis
toksoplasmosis akut, karena pemeriksaan ini tidak dapat membedakan
antara fase aktif dan laten. Bagaimanapun, pasien yang diketahui
mempunyai IgG antitoksoplasma, peningkatan jumlah IgG dengan adanya
gejala klinis dapat menunjukkan reaktivasi infeksi toksoplasma.
IgM antitoksoplasma biasanya menghilang dalam beberapa pekan atau
bulan kedepan setelah infeksi primer tetapi dapat tinggi selama lebih dari
1 tahun. Oleh karena itu, peningkatan IgM tidak selalu menunjukkan
infeksi. IgM biasanya tidak hadir pada pada pasien ensefalitis
toxoplasmosis degan HIV, namun pada wanita hamil penting karena untuk
menentukan infeksi baru dan kekhawatiran infeksi transplasental.
2. Imaging(14,15)
Contrast-Enhanched MRI atau CT otak merupakan indikasi ketika
pasien HIV suspek memiliki cerebral toxoplasmosis. Pemeriksaan
imaging biasanya menunjukkan lokasi lesi multiple di region korteks
serebral, corticomedullary junction, atau basal ganglia, terkadang
menunjukkan lesi tunggal. Tanda karakteristik dari cerebral toxoplasmosis
merupakan asimetrik target, yang menujukkan ring-enhanching abcess
yang terlihat pada CT atau MRI. Non-contrast CT dapat memperlihatkan
lesi hipodens pada otak yang dapat keliru oleh lesi fokal tipe lain,
bagaimanapun CT dengan kontras akan menunjukkan tanda ring-
enhancing. Pada T1-weighted MRI, lesi biasanya hipointens, lesi
toksoplasma menunjukkan hipointens dari jaringan otak sekitarnya, pada
T2-weighted MRI, lesi biasanya hiperintens. Seperti terlihat dengan CT
kontras, gadolinium-enhanced MRI biasanya menunjukkan ring-
enhancing lesi dengan edema sekitarnya. MRI merupakan pilihan untuk
11
diagnosis dan monitoring respon tatalaksana toksoplasma karena lebih
sensitif dibandingkan CT untuk mendeteksi lesi multiple. Bagaimanapun,
membedakan cerebral toxoplasmosis dari CNS lymphoma dapat sulit pada
presentasi edema sekitarnya dan mass effect.
Single photos emission computed tomography (SPECT) merupakan
alat penting untuk membedakan CNS lymphoma dari toxoplasma
ensefalitis, hanya terdapat pada spesialis senter. Neuroimaging dengan
thalium SPECT menunjukkan peningkatan uptake pada pasien AIDS
dengan CNS Limfoma, sensitivitasnya 86%-100%.
Gambar 5. Brain CT Scan Contrast, Multiple lesion ring-enhancing
12
Gambar 6. a. T1-W menunjukkan lesi hipodens, b. T1-W menunjukkan lesi hiperdens, c.
FLAIR, d. diffusion weighted, e. gadolinium administration, f. spectroscopy showed the
lipid peak
3. Cerebrospinal fluid analysis
Pemeriksaan cairan serebrospinal jarang dilakukan pada diagnosis
cerebral toxoplasmosis dan tidak dianjurkan karena dapat beresiko pada
TTIK. Dapat ditemukan peningkatan protein, glukosa, peningkatan sel
darah putih dengan dominan sel mononuclear.
4. Pathologic evaluation
Pemeriksaan patologi dari biopsy otak merupakan diagnosis definitive
dari toxoplasmosis ensefalitis, menemukan takizoit atau kista pada daerha
inflamasi. Reaktivasi dapat menyebabkan abses otak dengan area
avascular. Sekitar jaringan otak dapat menunjukkan edema dan infiltrasi
sel limfosit.
Biopsy otak tidak rutin digunakan pada cerebral toxoplasmosis karena
karena diagnosis dengan serologi dan imaging cukup untuk mendiagnosis
toxoplasma otak. Selain itu, biopsy otak meningkatkan faktor risiko
terjadinya perdarahan, merusak jaringan sekitarnya, dan infeksi.
F. Differential Diagnosis (16)
Differential diagnosis pada pasien yang memiliki multiple ring-
enhanching lesion pada CT atau MRI adalah Primary central nervous
system lymphoma, Primary brain tumors, Brain metastasis, Infection
(brain abcess, tuberculoma), Multifocal infacts, AVM.
Penyebab abnormalitas CNS pada pasien HIV (<50 cell/µL) termasuk
toxoplasmic encephalitis (19%), Prymary CNS lymphoma (4-7%),
progressive multifocal leukoencepalophaty, HIV encepalophaty,
cytomegalovirus ensepalofati, dan infeksi lain seperti Staphylococcus,
Steptococcus, Listeria, dll.
G. Penalaksanaan (17)
13
Toksoplasmosis otak diobati dengan kombinasi primetamin dan sulfadiazine,
kedua obat ini dapat melewati sawar darah otak
Toxoplasma gondii, membutuhkan vitamin B untuk hidup. Pirimetamin
menghambat pemerolehan vitamin B oleh tokso. Sulfadiazine menghambat
penggunaannya
Kombinasi primetamin 50-100 mg perhari yang dikombinasikan dengan
sulfadiazine 1-2 g tiap 6 jam
Pasien yang alergi terhadap sulfa dapat diberikan kombinasi pirimetamin 50-
100 mg perhari dengan clindamycin 450-600 mg tiap 6 jam
Pemberian asam folinic 5-10 mg perhari untuk mencegah depresi sumsum
tulang
Pasien alergi terhadap sulfa dan clindamycin, dapat diganti dengan
azithromycin 1200 mg/hari, atau claritomiicin 1 gram tiap 12 jam. Terapi ini
diberikan selama 4-6 minggu atau 3 minggu setelah perbaikan gejala klinis
Terapi antiretro viral (ARV) diindikasikan pada penderita yang terinfeksi HIV
dengan HIV dengan CD4 kurang dari 200 sel/mL, dengan gejala (AIDS) atau
limfosit total kurang dari 1200. Pada pasien ini, CD4 42 sehingga diberikan
ARV.
Pasien harus di edukasi untuk cuci tangan setelah memegang daging mentah,
mencuci sayur dan buah, mengindari kontak langsung dengan feses kucing
terutama, membersihkan box kucing, terutama pasien dengan HIV jangan
berkontak langsung dengan kucing.
Terapi profilaksis untuk pencegahan Primary : untuk pasien dengan CD4+ <100
cells/mm3 atau CD4+ <200 cells/mm3 dengan infeksi oportunistik / keganasan :
TMP – SMX (160 mg TMP/ 800 mg SMX) tablet/hari Secondary : tidak
mendapatkan maintenance risiko relaps 50-80%. Sulfadiazine (500-1000 mg
oral 4 kali/hari), pyrimetamine 25-50 mg/hari oral, leucovorin (10-25 mg/hari
oral)
14
Preferred Theraphy and
Duration
Alternative Regimens
Pyrimethamine (200 mg oral
loading dose, followed by 50-75
mg/day orraly), sulfadiazine
(1000-1500 mg 4 kali perhari)
dan leucovorin (10-20 mg/hari)
sampai 6 minggu
• Pyrimethamine (200 mg oral
loading dose, followed by 50-75
mg/hari oral) dan clindamycin
(600 mg IV/ 4 kali sehari oral)
• TMP (5mg/kgbb) dan SMX (25
mg/kgbb) IV / 2 kali sehari
• Atovaquone (1500 mg oral 2
kali/hari) dan Pyrimethamine (50-
75 mg/hari) dan leucovorin (10-
20 mg/hari)
• Atovaquone (1500 mg oral 2
kali/hari) dan sulfadiazine (1000-
1500 mg 4 kali/hari)
• Atovaquone 1500 mg oral 2
kali/hari
• Pirimetamine (50-75 mg/hari)
leucovorin (10-20 mg/hari) dan
azytromicin (900-1200 mg/hari
oral)
• TMP (10mg/kgbb/hari) dan SMX
(50mg/kg/hari. IV
Table 1. Tatalaksana medikamentosa pada cerebral toxoplasmosis
15
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Acute cerebral toxoplasmosis merupakan penyebab teranyak gangguan
neurology fokal pada pasien AIDS. Jika tidak di deteksi dan ditangani secara
tepat, dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan.
Propilaksis merupakan kunci untuk mencegah outcomes yang buruk. Semua
pasien HIV harus di edukasi tentang non-farmakologi dan profilaksis untuk
infeksi T.gondii .
16
top related