prospektif lembaga hakim pemeriksa pendahuluan …digilib.unila.ac.id/54348/3/tesis tanpa bab...
Post on 26-Jul-2019
240 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PROSPEKTIF LEMBAGA HAKIM PEMERIKSA PENDAHULUAN
SEBAGAI SARANA PENJAMIN HAK ASASI MANUSIA DALAM
SISTEM PERADILAN PIDANA
TESIS
Oleh :
QUEEN SUGIARTO
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
ABSTRAK
PROSPEKTIF LEMBAGA HAKIM PEMERIKSA PENDAHULUAN
SEBAGAI SARANA PENJAMIN HAK ASASI MANUSIA DALAM
SISTEM PERADILAN PIDANA
Oleh
QUEEN SUGIARTO
Lembaga Praperadilan di dalam KUHAP merupakan suatu lembaga penjaminan
terhadap hak asasi tersangka maupun terdakwa di dalam Sistem Peradilan Pidana
Indonesia. Akan tetapi dalam pelaksanaannya terdapat kelemahan-kelemahan
yang tidak dapat melindungi hak asasi tersangka maupun terdakwa secara
efekktif. Kemudian muncul suatu gagasan untuk menggantikan lembaga
Praperadilan tersebut dengan lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan di dalam
RUU KUHAP. Mengapa perlu adanya lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan
dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia dan bagaimanakah prospektif
lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia
dapat melindungi Hak Asasi Manusia pada tersangka ?
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif
namun ditunjang dengan menggunakan data primer yang didapatkan melalui
wawancara sebagai data penunjang. Pengumpulan data dilakukan dengan studi
pustaka, studi literatur, dan wawancara. Analisis data dilakukan secara deskriptif
kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukan : lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan
menunjukan kontribusi positif dalam mewujudkan keterpaduan Sistem Peradilan
Pidana (Intergrated Criminal Justice System) yang lebih baik jika dibandingkan
dengan lembaga Praperadilan. Hal ini berdasarkan kewenangan yang dimiliki
lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan akan lebih mampu menjalankan fungsi
pengawasan pada tahap pemeriksaan pendahuluan serta menegaskan dominasi
kekuasaan kehakiman. Dengan kewenangan yang dimiliki lembaga Hakim
Pemeriksa Pendahuluan ini, maka eksistensi lembaga Hakim Pemeriksa
Pendahuluan dalam Sistem Peradilan Pidana dapat melindungi hak asasi tersangka
maupun terdakwa lebih baik dibandingkan dengan lembaga Praperadilan.
Saran penelitian : RUU KUHAP agar dapat segera disahkan agar keterpaduan
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia dapat terwujud dengan adanya lembaga
Hakim Pemeriksa Pendahuluan serta perlindungan hak asasi tersangka maupun
terdakwa akan lebih terjamin.
Kata Kunci : Praperadilan, Hakim Pemeriksa Pendahuluan, Hak Asasi
Manusia
ABSTRACT
PROSPECTIVES OF HAKIM PEMERIKSA PENDAHULUAN
INSTITUTION AS A MEANS OF HUMAN RIGHTS GUARANTEE IN
THE CRIMINAL JUSTICE SYSTEM
By
QUEEN SUGIARTO
Praperadilan Institution in KUHAP (Indonesian criminal procedural law) is a
guarantee institution of the suspect or defendant’s right in the Indonesian Criminal
Justice System. Still, in the process of the implementation there are some
shortcomings which can not protected the suspect or defendant’s right effectively.
Furthermore, an idea emerged to replace the Praperadilan institution with the
Hakim Pemeriksa Pendahuluan institution in the Criminal Procedure Draft. Why
is there a need for the Hakim Pemeriksa Pendahuluan institution in the Criminal
Justice System of Indonesia and how is the prospective of Hakim Pemeriksa
Pendahuluan institution in the Indonesian Criminal Justice System can protect
human rights on suspects or defendants?
The study was conducted by using normative juridical research methods but
supported by using primary data obtained through interviews as supporting data.
Data collection was carried out with literature studies and interviews. Data
analysis was carried out in a qualitative descriptive manner.
The result of the study showed that the Hakim Pemeriksa Pendahuluan Institution
showed a positive contribution in realizing the Integrated Criminal Justice System
which is better than Praperadilan institution. This is based on the authority
possessed by the Hakim Pemeriksa Pendahuluan Institution which will be better
to carry out the supervisory function at the preliminary examination stage and
affirm the domination of the judicial power. With the authority possessed by the
Hakim Pemeriksa Pendahuluan institution, the existence of the Hakim Pemeriksa
Pendahuluan institution in the Criminal Justice System can provide a better
protect to the rights of suspects and defendants compared to Praperadilan
institutions.
This research suggests that RUU KUHAP (the law draft of the Indonesian
criminal procedure) can be immediately ratified, so that the integration of the
Criminal Justice System in Indonesia can be realized with the existence of the
Hakim Pemeriksa Pendahuluan Institution, and the protection of the rights of
suspects and defendants will be more assured.
Keywords: Praperadilan, Hakim Pemeriksa Pendahuluans, Human Rights
PROSPEKTIF LEMBAGA HAKIM PEMERIKSA PENDAHULUAN
SEBAGAI SARANA PENJAMIN HAK ASASI MANUSIA DALAM
SISTEM PERADILAN PIDANA
Oleh :
QUEEN SUGIARTO
Tesis
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
MAGISTER HUKUM
Pada
Jurusan Sub Program Hukum Pidana
Program Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Lampung
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lampung Tengah pada tanggal 19 Juli
1995, penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara
dari pasangan Bapak Reno Sugiarto, S.H., M.H. dan Sri
Palupi, S.Tr.Keb.
Penulis memulai pendidikan pada Taman Kanak-Kanak di Ramuslimat NU 01
Desa Tanjung Harapan Kec. Seputih Banyak Kab. Lampung Tengah yang
diselesaikan Pada Tahun 2000, kemudian penulis melanjutkan pendidikan di
Sekolah Dasar Negeri 3 Seputih Banyak Lampung Tengah yang diselesaikan pada
tahun 2006. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Al-
Kautsar Bandar Lampung dan diselesaikan pada tahun 2009, setelah itu penulis
melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 9 Bandar Lampung
dan diselesaikan pada tahun 2012. Pada tahun 2012, penulis terdaftar sebagai
mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung dan lulus sebagai Sarjana
Hukum Pada 22 Februari 2016. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan pada
Program Studi Magister Ilmu Hukum Univesitas Lampung dan mengambil
konsentrasi Hukum Pidana.
MOTTO
““Tidak ada rasa bersalah yang dapat mengubah masa lalu dan Tidak
ada kekhawatiran yang dapat mengubah masa depan”.
(Umar bin Khattab. ra)
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
(QS.Al Insyirah 94:5-6)
PERSEMBAHAN
Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT, Tuhan dari segala
Alam, yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah Nya, maka dengan
segala ketulusan dan kerendahan hati serta setiap perjuangan dan jerih payah
yang selama ini telah dilakukan, dengan ini aku persembahkan sebuah karya
kepada:
Papa dan Mama tercinta yang telah membesarkanku hingga saat ini
smpai berada di tingkat pendidikan perguruan tinggi.
Terima Kasih untuk dukungannya secara moril maupun materiil, motivasinya,
perhatiannya serta pengarahannya.
Adik-adik tercintaku, terimakasih telah memberikan kakak kebahagiaan dengan
canda-tawa kalian.
Keluarga besarku terima kasih atas doa dan dukungannya selama ini.
Para guru serta dosen yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat kepadaku
Sahabat-sahabat dan teman-temanku yang selalu menemani untuk memberikan
semangat.
Almamaterku Tercinta
SANWACANA
Puji syukur selalu penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T., atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis
dengan judul “Penegakan Hukum Penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor
2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah
Denda Dalam KUHP” sebagai salah satu syarat mencapai gelar Magister di
Pascasarjana Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
Penulis menyadari dalam penulisan Tesis ini tidak terlepas dari bimbingan,
bantuan, petunjuk dan saran dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini Penulis
mengucapkan terima kasih yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam kepada:
1. Bapak Armen Yasir, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
2. Bapak Dr. Wahyu Sasongko, S.H., M.Hum., selaku Ketua Program Studi
Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
3. Ibu Dr. Nikmah Rosidah, S.H., M.H., selaku Ketua Sub Program Hukum
Pidana Pascasarjana Magister Ilmu Hukum dan selaku Dosen Pembahas II
yang senantiasa memberikan waktu, masukan dan saran selama penulisan
Tesis ini.
4. Bapak Prof. Sunarto. DM, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing I yang
telah banyak memberikan pengarahan dan sumbangan pemikiran yang
sungguh luar biasa dalam membimbing Penulis selama penulisan Tesis ini.
5. Ibu Dr. Maroni, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II yang telah
banyak memberikan pengarahan dan sumbangan pemikiran yang sungguh
luar biasa serta kesabarannya dalam membimbing Penulis selama
penulisan Tesis ini.
6. Bapak Dr. Erna Dewi, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas I yang telah
memberikan waktu, masukan, dan saran selama penulisan Tesis ini.
7. Bapak Dr. Hamzah, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik yang telah
memberikan nasehat dan bantuannya selama proses pendidikan Penulis di
Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
8. Seluruh dosen, staff dan karyawan Pascasarjana Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Lampung, terima kasih atas bantuannya
selama ini.
9. Terkhusus dan teristimewa untuk kedua orang tuaku, Bapak Reno
Sugiarto, S.H., M.H. dan Sri Palupi, S.Tr.Keb. yang selalu memberikan
dukungan, motivasi dan doa kepada Penulis, serta menjadi pendorong
semangat agar Penulis terus berusaha keras mewujudkan cita-cita dan
harapan sehingga dapat membanggakan bagi mereka berdua.
10. Teristimewa pula kepada adik-adikku, Edelweis Sugiarto, Caesar Moreno,
dan Elang Ramadhan yang senantiasa mendoakanku, memberiku
dukungan semangat dan motivasi, nasehat serta pengarahan dalam
keberhasilanku dalam menyelesaikan studi maupun kedepannya.
11. Teman-teman Magister Ilmu Hukum Universitas Lampung Frisca T.M.
Fanhar, S.H., Fiona Salfadila, S.H., Albar Diaz, S.H., Yonefki, S.H., M.
Tegar Mandala Sakti, S.H., Aisyah Muda Cemerlang, S.H., Dora
Hasibuan, S.H., Lerry Primadhino, S.H., dan semua teman-teman angkatan
2016 Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung yang
tidak dapat Penulis sebutkan semuanya. Terima Kasih atas pertemanan
yang terjalin selama ini sukses buat kita semua.
12. Untuk Almamaterku Tercinta, Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih Semoga Allah SWT memberikan
balasan atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis dan
semoga Tesis ini dapat bermanfaat untuk menambah dan wawasan keilmuan bagi
pembaca pada umumnya dan bagi penulis khususnya.
Bandar Lampung, 06 September 2018
Penulis,
Queen Sugiarto, S.H.
0
DAFTAR ISI
HALAMAN
I. PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................. 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ................................................................. 10
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .................................................................... 10
D. Kerangka Pemikiran ....................................................................................... 11
E. Alur Pikir Penelitian ....................................................................................... 21
F. Metode Penelitian ........................................................................................... 21
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 27
A. Sistem Peradilan Pidana ................................................................................. 27
B. Hak-Hak Tersangka dalam Sistem Peradilan Pidana ..................................... 33
C. Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana ...................................... 36
D. Praperadilan .................................................................................................... 39
E. Hakim Pemeriksa Pendahuluan ...................................................................... 56
III. PEMBAHASAN ............................................................................................ 68
A. Urgensi Lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam Sistem Peradilan
Pidana ............................................................................................................. 68
B. Prospektif Lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan demi
Perlindungan HAM ...................................................................................... 108
IV. PENUTUP .................................................................................................... 139
A. Simpulan ....................................................................................................... 139
B. Saran ............................................................................................................. 140
DAFTAR PUSTAKA
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan negara hukum, dimana hal ini dinyatakan secara
tegas dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD 1945). Sebagai negara hukum, Indonesia berkewajiban untuk
memberikan perlindungan hukum bagi masyarakatnya. Perlindungan hukum yang
diberikan negara kepada masyarakat ini haruslah setara atau tidak boleh dibedakan
(equality before the law).
Indonesia sebagai negara hukum memiliki tiga prinsip dasar, yaitu supremasi
hukum (supremacy of law), kesetaraan dihadapan hukum (equality before the
law), dan penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum
(due process of law). Salah satu prinsip penting yang harus dimiliki suatu negara
hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan lembaga peradilan
yang merdeka, bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial.1
Hal itu diperlukan untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
ketertiban, keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum yang mampu memberikan
1 Sudikno Mertokusumi, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta : Liberty, 2005, hlm.
135.
2
pengayoman dan rasa aman kepada masyarakat.2 Apabila seseorang yang
melakukan suatu tindak pidana, kepadanya dilakukan proses hukum yang sesuai
dengan hukum positif atau hukum yang berlaku di negara tersebut, dalam hal ini
hukum nasional Indonesia.
Penegakan hukum di Indonesia haruslah sesuai dengan ideologi negara yakni
Pancasila, serta tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945 sebagai sumber
hukum tertinggi Negara Indonesia. Salah satu hal yang harus terpenuhi dalam
penegakan hukum adalah mengenai perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).
Perlindungan HAM di Indonesia telah tertuang dalam Pasal 28A sampai dengan
Pasal 28J UUD 1945. Selain itu, negara Indonesia sebagai salah satu anggota dari
Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) mempunyai kewajiban untuk mewujudkan
tujuan PBB sebagaimana tercantum dalam mukadimah Universal Declaration of
Human Rights (UDHR), antara lain :
“Deklarasi universal bersama bagi seluruh rakyat dan semua bangsa … Agar
setiap perorangan dan setiap bagian dari masyarakat … Untuk meningkatkan rasa
hormat pada hak-hak dan kebebasan ini dan dengan berusaha secara keras baik
melalui pendidikan dan pengajaran meningkatkan terhadap hak-hak dan
kebebasan baik nasional maupun internasional untuk menjamin pengakuan dan
ketaan yang universal dan efektif.”3
Pengertian mengenai HAM terdapat dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, yaitu seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
2 Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap di Indonesia, Bandung : PT Refika Aditama, 1983,
hlm. 10. 3 Kadri Husin dan Budi Rizki Husin, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Lampung :
Universitas Lampung, 2012, hlm. 167.
3
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan YME dan merupakan anugerah-Nya
yang wajib dihormati, di junjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,
pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia.
Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut, maka hendaklan proses penegakan
hukum di Indonesia tidak melanggar HAM. Dimana hal ini secara tegas
dinyatakan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yakni “Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama dihadapan hukum”. Penegasan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
tersebut memiliki arti bahwa perlindungan HAM dalam proses penegakan hukum
juga mencakup perlindungan HAM tersangka.
Sistem Peradilan Pidana Indonesia (SPPI) mengenal adanya hak-hak tersangka,
yang tertuang dalam Bab VI Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) yang terdiri atas Pasal 50 sampai dengan Pasal 68. Seseorang yang
melakukan kesalahan dalam hal ini tersangka yang disangkakan melakukan suatu
tindak pidana sepantasnya untuk diproses sesuai dengan aturan dan ketentuan
yang berlaku serta tidak melanggar HAM yang melekat padanya. Apabila terdapat
dugaan seseorang melakukan tindak pidana, negara melalui organ-organnya,
dalam hal ini aparat penegak hukum, mulai dari polisi, jaksa, hingga hakim wajib
melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga mengadili perkara
tersebut sebagaimana diamanatkan undang-undang.4 Seseorang yang disangkakan
4 Ratna Nurul Afiah, Praperadilan dan Ruang Lingkupnya, Jakarta : Akademika Pressindo,
1986, hlm. 1.
4
melakukan suatu tindak pidana harus menjalani proses peradilan pidana
berdasarkan KUHAP.
KUHAP telah mengangkat dan menempatkan tersangka atau terdakwa dalam
kedudukan yang “berderajat”, sebagai makhluk Tuhan yang memiliki harkat
derajat kemanusiaan yang utuh. Tersangka atau terdakwa telah ditempatkan
KUHAP dalam posisi his entity and dignity as human being, yang harus
diperlakukan sesuai dengan nilai-nalai luhur kemanusiaan.5 Namun dalam
pelaksanaan penegakan hukum terhadap tersangka atau terdakwa tidak jarang
terjadi pelanggaran terhadap hak asasi mereka sebagai manusia. Dalam proses
pemeriksaan tidak jarang penyidik maupun penuntut umum akan melakukan
upaya paksa terhadap orang tersebut. Upaya paksa yang dilakukan ini pada
dasarnya merupakan suatu pembatasan atau pengurangan HAM. Tindakan yang
dimaksud terwujud dalam kewenangan untuk melakukan upaya paksa baik berupa
penangkapan, penahanan, penyitaan maupun penggeledahan.6 KUHAP berfungsi
untuk membatasi kekuasaan negara dalam bertindak terhadap warga masyarakat
yang terlibat dalam proses peradilan pidana dan bertugas untuk melaksanakan
hukum pidana materiil,7
KUHAP mengenal adanya lembaga Praperadilan, dimana lembaga Praperadilan
dibentuk untuk melakukan pengawasan terhadap perlindungan HAM tersangka
5 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kemabali, Jakarta : Sinar Grafika, 2000,
hlm. 1 6 Ibid., hlm. 3.
7 Mien Rukmini, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas
Persamaan Kedudukan dalam Hukum pada Peradilan Pidana Indonesia, Bandung : Alumni, 2003,
hlm. 6.
5
atau terdakwa yang dimana terkadang demi kepentingan pemeriksaan perkara
diperlukan adanya pengurangan – pengurangan HAM bagi tersangka atau
terdakwa. Upaya paksa yang dilakukan dalam tahap penyidikan maupun tahap
penuntutan oleh lembaga yang berwenang dapat dilakukan kontrol melalui
lembaga Praperadilan. Tujuan dibentuknya lembaga Praperadilan agar hak-hak
tersangka dapat dilindungi terutama dalam hal penangkapan maupun penahanan
yang tidak sah serta adanya penghentian penyidikan maupun penuntutan. Namun
dalam aplikasinya, lembaga Praperadilan masih memiliki beberapa kelemahan
baik dalam formulasinya maupun dalam penerapannya di pengadilan sehingga
kurang adanya perlindungan hak asasi manusia bagi tersangka maupun terdakwa.
Banyaknya kelemahan yang terdapat pada praperadilan dalam KUHAP yang
berlaku saat ini telah diperbaiki dengan adanya beberapa putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) mengenai Praperadilan tersebut. Salah satu putusan MK yang
memperluas kewenangan lembaga Praperadilan adalah Putusan Nomor 21/PUU-
XII/2014, dimana dalam putusan tersebut MK memperluas kewenangan lembaga
Praperadilan dengan mencakup sah tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan,
dan penyitaan.
Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 tersebut bukan merupakan putusan yang
bulat, dari 9 (sembilan) majelis hakim terdapat 3 (tiga) hakim yang melakukan
Dissenting Opinion (pendapat berbeda). Menurut 3 (tiga) hakim tersebut
penetapan tersangka tidaklah harus dimasukkan kedalam objek kewenangan
praperadilan dengan alasan sebagai berikut :
1. Adanya asas praduga tak bersalah dalam hukum pidana Indonesia sehingga
sudah cukup untuk melindungi hak asasi manusia tersangka atau terdakwa
6
2. Pemeriksaan praperadilan tidak dapat disamakan dengan pemeriksaan
pendahuluan sebagaimana dipraktekan negara-negara ango saxon, karena
tugas dan kewenangannya berbeda
3. Penambahan objek kewenangan praperadilan tentang sah tidaknya
penetapan status tersangka akan menimbulkan ketidakadilan karena dalam
penegakkan hukum pidana yang dilindungi ada 2 (dua) kepentingan, yaitu
kepentingan publik dan kepentingan individu (tersangka atau terdakwa).
Sehingga jika dilakukan penambahna objek tersebut akan menimbulkan
ketidakseimbangan perlindungan kepentingan
4. Tidak menambahkan sah tidaknya penetapan tersangka dalam objek
kewenangan praperadilan tidak dapat dipersalahkan menurut hukum
internasional (Internationally Wrongful Act) yang dapat dijadikan dasar
untuk menuntut adanya tanggung jawab negara, khususnya berkaitan
dengan adanya ICCPR ( konvensi tentang hak hak sipil dan politik ).
5. Kewenangan mahkamah konstitusi adalah memberikan penafsiran
terhadap pasal –pasal dalam perundang-undang sesuai dengan undang-
undang dasar 1945, sedangkan penambahan objek kewenangan
praperadilan tentang sah tidaknya penetapan tersangka hal tersebut bukan
menjadi bagian dari kewenangan mahkamah konstitusi karena hal tersebut
merupakan bagian dari penerapan hukum sehingga itu merupakan bagian
dari kewenangan institusi lain. 8
Perluasan wewenang Praperadilan telah terjadi bahkan sebelum adanya Putusan
MK Nomor 21/PUU-XII/2014, dimana dalam hal mengadili penetapan tersangka.
Adanya “perluasan” wewenang Praperadilan dalam hal mengadili penetapan
tersangka ini dilakukan oleh Hakim Sarpin Rizaldi dalam Putusan Praperadilan
No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. Dalam amar putusannya, hakim Sarpin Rizaldi
mengabulkan sebagian permohonan Budi Gunawan : “Menyatakan penetapan
tersangka atas diri Pemohon (Budi Gunawan) tidak sah dan tidak berdasar
hukum”. Kemudian sebagai contoh permohonan Praperadilan mengenai sah
tidaknya penetapan tersangka setelah adanya Putusan MK Nomor 21/PUU-
XII/2014 adalah kasus Setya Novanto yang saat itu menjabat sebagai ketua Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Saat ia ditetapkan sebagai
8 Bayunugraha S.P., Analisi Yuridis Putusan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tentang
Permohonan Praperadilan Diluar Ketentuan Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 KUHAP, Karya Ilmiah,
hlm. 11
7
tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus korupsi Kartu
Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP), Setya Novanto mengajukan permohonan
Praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas penetapan dirinya sebagai
tersangka. Permohonan praperadilan Setya Novanto atas tidak sahnya penetapan
dirinya sebagai tersangka dikabulkan oleh Hakim Cepi Iskandar dalam Putusan
Praperadilan No. 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel dengan pertimbangan bahwa
penetapan tersangka Setya Novanto tidak berdasarkan prosedur dan tata cara yang
diatur dalam Undang-Undang KPK, KUHAP, serta peraturan perundang-
undangan lainnya.
Berdasarkan contoh-contoh kasus diatas dapat diketahui bahwa hingga saat ini
bahkan setelah adanya Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 mengenai perluasan
kewenangan Praperadilan tidak menjamin adanya perlindungan HAM bagi
tersangka atau terdakwa. Dimana aparat penegak hukum disini terkesan tergesa-
gesa untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka demi pengumpulan barang
bukti, dimana hal ini bertentangan dengan Pasal 1 angka 14 KUHAP yang
menyatakan bahwa tersangka adalah seseorang yang karena perbuatanya atau
keadaanya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak
pidana. Jadi berdasarkan hukum pidana formil atau KUHAP, harus adanya bukti
permulaan terlebih dahulu barulah penyidik dapat menetapkan seseorang sebagai
tersangka.
Upaya untuk memperbaiki kelemahan yang terdapat dalam praperadilan sudah
dilakukan sejak pembentukan Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara
Pidana (RUU-KUHAP) 2008 dan RUU-KUHAP 2010. Dimana baik dalam RUU-
8
KUHAP 2008 maupun RUU-KUHAP 2010 lembaga Praperadilan digantikan
dengan lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Pada dasarnya kewenangan
Hakim Pemeriksa Pendahuluan sama saja dengan kewenangan praperadilan,
hanya saja Hakim Pemeriksa Pendahuluan memiliki kewenangan yang lebih luas.
Hal menarik yang timbul dengan adanya Hakim Pemeriksa Pendahuluan adalah
persoalan penjaminan HAM bagi tersangka atau terdakwa dalam Sistem Peradilan
Pidana Indonesia. Pelanggaran yang didapatkan oleh tersangka atau terdakwa
pada proses pemeriksaan perkara pidana merupakan pelanggaran HAM. Hal
tersebut menjadi perhatian karena proses tersebut merupakan gerbang pintu dalam
penegakan hukum pidana yang dikenal sebagai keadilan prosedural (procedural
justice).
Pada tahap ini dituntut untuk ditegakannya asas-asas hukum agar tidak ada
pelanggaran pada hak-hak tersangka. Sedangkan keadilan substantif (substantive
justice) sangat bergantung kepada proses dan hasil dari keadilan prosedural.
Sehingga dapat diartikan bahwa prosedur yang adil yang diatur dalam hukum
acara pidana atau hukum pidana formil yang ditegakan merupakan syarat agar
terwujudnya keadilan subtansial yang yang diatur dalam hukum pidana materil.
Begitupun sebaliknya, jika keadilan prosedural tidak tercapai maka keadilan
susbtansialpun tidak akan tercapai.
Pembentukan Hakim Pemeriksa Pendahuluan sendiri bertujuan untuk menutupi
kelemahan yang terdapat dalam Praperadilan agar dapat lebih menjamin
penegakan hukum dan perlindungan HAM. Namun masuknya konsep Hakim
Pemeriksa Pendahuluan menimbulkan pro dan kontra pada berbagai kalangan
9
dengan argumen hukum mereka masing-masing. Masuknya Hakim Pemeriksa
Pendahuluan ke dalam RUU KUHAP tersebut melahirkan pendapat yang pro dan
kontra dengan argumen hukum yang berbeda-beda. Pada umumnya, kalangan
aparat penegak hukum dari unsur penyidik (kepolisian) yang paling keberatan,
karena dapat menghambat proses penegakan hukum yang menunutut kecepatan
dan ketepatan atau proses yang cepat, sedangkan jika harus melalaui Hakim
Pemeriksa Pendahuluan, prosesnya akan memakan waktu lebih lama dan
birokratis. Hal ini dinilai oleh berbagai kalangan tidak sesuai dengan ketentuan
KUHAP yang menuntut penyelesaian perkara yang cepat dengan biaya yang
ringan.9
Adanya pro kontra mengenai Hakim Pemeriksa Pendahuluan tersebut merupakan
hal wajar, karena dengan lahirnya Hakim Pemeriksa Pendahuluan berarti merubah
tatanan Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Selain itu, salah satu persoalan yang
mendasar dalam Praperadilan yang ada pada saat ini yaitu dimana praperadilan
cenderung hanya memperhatikan kebenaran formil saja dan kurang
memperhatikan kebenaran materiil. Oleh karena itu muncul wacana untuk
menghapus lembaga Praperadilan dan menggantikannya dengan lembaga Hakim
Pemeriksa Pendahuluan dengan harapan bahwa lembaga ini akan lebih mampu
memenuhi keadilan substansial, tidak semata keadilan formal semata karena pada
prinsipnya hukum pidana mencari kebenaran materiil. Dengan adanya Hakim
Pemeriksa Pendahuluan ini diharapkan akan memberikan jaminan yang lebih
terhadap HAM kepada tersangka saat menjalani proses peradilannya.
9 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Pemeriksa Pendahuluan dalam Sistem Peradilan
Pidana di Indonesia, Jakarta, 2011, hlm. 2.
10
Berdasarkan uraian diatas maka dilakukan penelitian dalam thesis yang berjudul :
Prospektif Lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagai Sarana
Penjamin Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana.
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Mengapa perlu adanya lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia ?
b. Bagaimanakan prospektif lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam
Sistem Peradilan Pidana Indonesia dapat melindungi Hak Asasi Manusia
pada tersangka ?
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini terbatas pada kajian bidang hukum pidana khususnya
mengenai perspektif penjaminan Hak Asasi Manusia (HAM) tersangka oleh
lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam Sistem Peradilan Pidana
Indonesia.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
a. Menganalisis mengapa perlu adanya lembaga Hakim Pemeriksa
Pendahuluan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.
11
b. Menganalisis bagaimana prospektif lembaga Hakim Pemeriksa
Pendahuluan dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia dapat melindungi
Hak Asasi Manusia pada tersangka.
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini terdiri dari kegunaan teoritis dan kegunaan
praktis, yaitu :
a. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
pemikiran dalam pemikiran mengenai lembaga pengawasan pada tahap
pemeriksaan pendahuluan untuk mewujudkan perlindingan Hak Asasi
Manusia (HAM) bagi tersangka.
b. Kegunaan Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menunjukan
kelemahan lembaga Praperadilan sebagai lembaga pengawasan pada tahap
pemeriksaan pendahuluan serta untuk mewujudkan perlindungan Hak
Asasi Manusia (HAM) bagi tersangka pada tahap pemeriksaan
pendahuluan.
D. Kerangka Pemikiran
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil
pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan
12
identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relavan oleh peneliti.10
Beberapa teori yang berkaitan dengan penelitian ini adalah :
a. Teori Kebijakan Formulasi
Kebijakan adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang
pelaku atau oleh sekelompok politik dalam usaha memilih tujuan – tujuan
dan cara untuk mencapai tujuan – tujuan itu. Pengambilan keputusan
sebagai konsep pokok dari politik menyangkut keputusan – keputusan
yang diambil secara kolektif dan yang mengikat seluruh lapisan
masyarakat.11
Kebijakan hukum pidana lazim juga diberi istilah sebagai kebijakan
kriminal atau politik kriminal terkait dengan pembentukan hukum
pidana.12
Definisi kebijakan atau politik kriminal menurut Marc Ancel
yaitu suatu usaha rasional dari masyarakat dalam menanggulangi
kejahatan.
Menurut Marc Ancel, kebijakan hukum pidana (penal policy) adalah suatu
ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk
memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan
untuk memberikan pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang,
tetapi juga kepada pengadilam yang menerapkan undang-undang, dan juga
kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.13
10 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Bandung : UI Press Alumni, 1986, Hlm
125. 1111
M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997, hlm. 3. 12
Marwan Effendy, Teori Hukum dari Perspektif Kebijakan, Perbandingan, dan Harmonisasi
Hukum Pidana, Ciputat : Referensi, 2014, hlm. 225 13
Ibid., hlm. 226
13
Kemudian menurut Prof. Sudarto, penal policy adalah usaha mewujudkan
peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan
situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datamg.14
Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa kebijakan hukum pidana (penal
policy) pada hakikatnya juga merupakan kebijakan penegakan hukum
pidana (penal law enforcement policy). Kebijakan penegakan hukum
pidana merupakan serangkaian proses yang terdiri dari tiga tahap
kebijakan, yaitu antara lain :15
1. tahap kebijakan formulatif atau tahap kebijakan legislatif, yaitu tahap
penyusunan atau perumusan hukum pidana
2. tahap yudikatif atau aplikatif, yaitu tahap penerapan hukum pidana
3. tahap kebijakan eksekutif atau administrasi, yaitu tahap pelaksanaan
atau eksekusi hukum pidana.
Proses legislasi atau formulasi merupakan tahap perencanaan awal yang
sangar strategis dari proses penegakan hukum “in concerto”. Roeslan
Saleh pernah menyatakan bahwa undang-undang merupakan bagian dari
suatu kebijaksanaan tertentu, ia tidak hanya alat untuk melaksanakan
kebijaksanaan, tetapi juga menentukan, menggariskan atau
merancanangkan suatu kebijaksanaan.16
Kebijakan formulasi (formula policy) dapat diartikan sebagai sesuatu yang
menjadi garis besar dan dasar rencana atau arah tindakan yang memiliki
14 Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung : Sinar Baru, 1983,
hlm.93 15
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Formulasi Ketentuan Pidana dalam Peraturan Perundang-
Undangan, Semarang : Pustaka Magister, 2012, hlm. 9. 16
Ibid., hlm. 10.
14
maksud dan tujuan yang ditetapkan oleh suatu lembaga yang berwenang
dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dalam pemerintahan
serta dalam mengatasi suatu permasalahan atau suatu pembaharuan di
sautu negara.17
Menurut Barda Nawai Arief, tahap yang paling strategis dari upaya
pencegahan dan penanggulangan kejahatan adalah tahap formulasi, oleh
karena itu kesalahan atau kelemahan kebijakan legislatif merupakan
kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan
penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi.18
Oleh karena
itu dalam konstruksi upaya memperbaharui hukum pidana ke depan, baik
yang menyangkut masalah perumusan tindak pidana masalah
pertanggungjawaban pidana maupun masalah pemidanaannya, kiranya
patut direnungi apa yang dikemukakan Gustav Radbruch, yakni
pembaharuan hukum pidana bukan sekedar memperbaiki hukum pidana,
akan tetapi menggariskannya dengan yang lebih baik.19
Kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam melakukan revisi terhadap
KUHAP adalah merupakan suatu wujud penegakan hukum di Indonesia.
Garis besar penegakan hukum adalah terletak pada kegiatan menyerasikan
hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap
dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai
17 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm. 334.
18 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, Bandung Citra Aditya, 2002, hlm. 73. 19
Marwan Effendy, Op.Cit., hlm. 238.
15
tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan
kedamaian pergaulan hidup.20
Penggunaan teori kebijakan formulasi ini sebagai pisau analisis berada
pada tahap kebijakan formulatif yang berkaitan dengan perumausan
Rancangan Undang-Undang KUHAP dan kebijakan yudikatif yang
berkaitan dengan tahap penyidikan dan penuntutan dalam penerapan
Praperadilan.
b. Teori Perlindungan Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia (HAM) secara teoritis dapat diartikan sebagai
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara,
hukum, pemerintah, dan setipa orang demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia.21
Marshall menyatakan bahwa hak warga
negara adalah hak untuk membela diri dan menuntut hak-haknya dengan
pengakuan atas kebersamaan kedudukannya di dalam hukum (equality
before law) dan dengan melalui proses hukum yang adil (due process of
law). Due Process of Law diartikan antara lain sebagai seperangkat
prosedur yang diisyaratkan oleh hukum sebagai standar beracara yang
berlaku universal. Setiap prosedur dalam due process of law menguji 2
(dua) hal, yakni :
20 Andi Hamzah, Op.Cit., hlm. 334.
21 Andi Hamzah, Op.Cit., hlm. 4
16
1. Apakah penuntut umum telah menghilangkan kehidupan, kebebasan,
dan hak milik tersangka tanpa prosedur.
2. Jika menggunakan prosedur, apakah prosedur yang ditempuh sudah
sesuai dengan due process.22
Sering keliru pengertian proses hukum yang adil (due process of law)
hanya dikaitkan dengan penerapan aturan – aturan KUHAP terhadap
tersangka atau terdakwa. Pertama – tama harus dipahami bahwa proses
hukum yang adil adalah lawan dari proses hukum yang sewenang-wenang,
yang hanya berdasarkan kuasa apparat penegak hukum (arbitrary process).
Kedua, bahwa makna dan hakekat proses hukum yang adil tidak hanya
berupa penerapan hukum atau peraturan perundang-undangan (yang
diasumsikan adil) secara formal, tetapi juga mengandung jaminan akan ha
katas kemerdekaan dari seseorang warga negara.
Kembali ke proses hukum yang adil dalam KUHAP, maka dasar pemikiran
beikut ini kiranya dapat membantu. Meskipun seorang warga negara telah
melakukan suatu perbuatan yang tercela atau sangat tercela (sehingga
menimbulkan keresahan dalam masyarakat), hak-haknya sebagai warga
negara tidaklah hapus atau hilang (baik sebagai tersangka, terdakwa,
maupun narapidana).23
Hak Asasi Manusia yang juga sebagai hak asasi tersangka adalah hak bagi
setiap tersangka yang menjalani proses peradilan agar tidak dianggap
bersalah sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam putusan
22 Eddy O.S. Hiariej, Teori & Hukum Pembuktian, Jakarta : Erlangga, 2012, hlm. 30-31.
23 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta :
Pusat Pelayanan Hukum dan Keadilan, 2007, hlm. 49.
17
pengadilan. Ini menjadi hal yang sangat penting, karena apabila setiap
tersangka mengerti akan hak serta kewajiban sebagai subyek hukum maka
hal itu dapat memperkecil kemungkinan diri seseorang menjadi korban
akibat kesalahan–kesalahan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum
tersebut, maka untuk memperoleh kepastian dan menghindari kesewenang-
wenangan aparat penegak hukum dibentuklah KUHAP.
c. Teori Keadilan
Beberapa konsep keadilan yang dikemukakan oleh Filsuf Amerika di akhir
abad ke-20, John Rawls, seperti A Theory of Justice, Political Liberalism,
dan The Law og Peoples yang memberikan pengaruh pemikiran cukup
besar terhadap diskursus nilai-nilai keadilan. Rawls dalam bukunya yang
berjudul Theory of Justice mengembangkan teori keadilan sebagai justice
as fairness. Menurut Rawls ada 2 (dua) prinsip keadilan, yaitu :
1. Keadilan formal (formal justice, legal justice), yaitu merupakan
keadilan yang sama bagi setiap orang sesuai dengan bunyi peraturan.
Fungsi hakim hanya sebagai corong undang-undang.
2. Keadilan yang substantif (substantial justice), yaitu melihat keadilan
lebih daripada keadilan formal saja, karena menerapkan hukum itu
berarti mencari keadilan yang hakiki, dan dalam melaksanakan
keadilan yang subtantif ini harus didukung oleh rasa keadilan sosial,
18
keadilan yang mengandung hak-hak dan kewajiban yang diterima oleh
masyarakat umum.24
Secara spesifik, John Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsip-
prinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaannya
yang dikenal dengan “posisi asli” (original position) dan “selubung
ketidakadilan” (veil of ignorance). Pandangan Rawls memposisikan
adanya situasi yang sama dan sederajat antara tiap-tiap individu di dalam
masyarakat. Tidak ada pembedaan status, kedudukan atau memiliki posisi
lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, sehingga satu pihak dengan
yang lainnya dapat melakukan kesepakatan yang seimbang, itulah
pandangan Rawls sebagai suatu “posisi asli” yang bertumpu pada
pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas
(rationality), kebebasan (freedom), dan persamaan (equality) guna
mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure of society).
Sementara konsep “selubung krtidaktahuan” diterjemahkan oleh John
Rawls bahwa setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta dan
keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi sosial dan
doktrin tertentu, sehingga membuatkan adanya konsep atau pengetahuan
tentang keadilan yang tengah berkembang. Dengan konsep itu Rawls
menggiring masyarakat untuk memperoleh prinsip persamaan yang adil
dengan teorinya disebut sebagai “justice as fairness”.
24 Herman Bakir, Filsafar Hukum : Desain dan Arsitektur Kesejarahan, Jakarta : Refika
Aditam, 2007, hlm. 34.
19
Lebih lanjut John Rawls menegaskan pandangannya terhadap keadilan
bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah
memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu pertama memberi hak dan
kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas
kebebasan yang sama bagi setiap orang, kedua mampu mengatur kembali
kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi
keuntungan yang bersifat timbal balik. Dengan demikian prinsip perbedaan
menurut diaturnya struktur dasar masyarakat sedemikian rupa sehingga
kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama kesejahteraan, pendapatan,
otoritas diperuntukan bagi keuntungan orang-orang yang paling kurang
beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan untuk dua hal,
pertama melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan
yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi sosial,
ekonomi, dan politik yang memberdayakan, kedua, setiap aturan harus
memposisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan kebijakan-
kebijakan untuk mengoreksi ketidakadilan yang dialami kaum lemah.
2. Kerangka Konseptual
Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan
dalam melaksanakan penelitian. Kerangka konseptual adalah kerangka yang
menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang mempunyai arti-
arti yang berkaitan dengan istilah yang diteliti atau diketahui.25
Beberapa konsep
yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah :
25 Soerjono Soekanto, Op.Cit., hlm. 132
20
a. Prospektif adalah ada prospeknya, dapat (mungkin) terjadi, ada harapan
(baik).26
b. Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan
memutus menurut acara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang :
1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas
permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa
tersangka
2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan
atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan
3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitas oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak
diajukan ke pengadilan. 27
c. Hakim Pemeriksa Pendahuluan adalah pejabat yang diberi wewenang
menilai jalannya penyidikan dan penuntutan. Hakim Pemeriksa
Pendahuluan berwenang menetapkan atau memutuskan :
1. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan,
atau penyadapan;
2. pembatalan atau penangguhan penahanan;
3. bahwa keterangan yang dibuat oleh tersangka atau terdakwa dengan
melanggar hak untuk tidak memberatkan diri sendiri;
4. alat bukti atau pernyataan yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat
dijadikan alat bukti
5. ganti kerugian dan/atau rehabilitasi untuk seseorang yang ditangkap
atau ditahan secara tidak sah atau ganti kerugian untuk setiap hak milik
yang disita secara tidak sah;
6. tersangka atau terdakwa berhak untuk atau diharuskan untuk
didampingi oleh pengacara;
7. bahwa penyidikan atau penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang
tidak sah;
8. penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang tidak
berdasarkan asas oportunitas;
9. layak atau tidaknya suatu perkara untuk dilakukan penuntutan ke
pengadilan.
10. pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi
selama tahap penyidikan. 28
d. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara,
hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia.29
26 Kamus Besar Bahasa Indonesia, https://kbbi.web.id/prospektif, diakses pada 10 Juli 2018.
27 Pasal 1 angka 10 KUHAP
28 Pasal 110 RUU KUHAP
29 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
21
Perlindungan HAM
Tersangka
e. Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan
yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum
pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana.
Namun demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam
kerangka atau konteks sosial. Dengan demikian demi apa yang dikatakan
sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat materiil, yang
nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang harus diperhatikan
dalam penegakan hukum.30
E. Alur Pikir Penelitian
F. Metode Penelitian
Menurut Sunarti Hartono, metode penelitian adalah cara atau jalan atau proses
pemeriksaan atau penyelidikan yang menggunakan cara penalaran dan berpikir
yang logis-analitis, berdasarkan dalil-dalil, rumus-rumus, dan teori-teori suatu
ilmu (atau beberapa cabang ilmu) tertentu, untuk menguji kebenaran (atau
mengadakan verifikasi) suatu hipotesis atau teori tentang gejala-gejala atau
30 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Bandung : Binacipta, 1996, hlm. 2
RUU-KUHAP
Pemeriksaan
Pendahuluan
Pemeriksaan
Pendahuluan
Keadilan
Prosedural
Keadilan Substansial
22
peristiwa alamiah, peristiwa sosial, atau peristiwa hukum tertentu.31
Dalam
penelitian hukum,metode penelitian yang digunakan di dalam suatu penelitian
memainkan suatu peran yang sangat signifikan agar ilmu hukum beserta temuan-
temuannya tidak terjebak dalam kemiskinan relevansi dan aktualisasinya.32
Metode penelitian adalah suatu metode yang bertujuan untuk mempelajari satu /
beberapa gejala, dengan jalan menganalisa dan mengadakan penelitian yang
mendalam terhadap fakta untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas
masalah-masalah yang ditimbulkan oleh fakta itu.33
1. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian masalah
melalui tahap-tahap yang telah ditentukan, sehingga mencapai tujuan penelitian34
.
Penulisan ini hanya menggunakan metode penelitian yuridis normatif namun
ditunjang dengan menggunakan data primer yang didapatkan melalui wawancara
sebagai data penunjang. Dimana metode penelitian yuridis normatif adalah
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara melihat dan menelaah mengenai
Hakim Pemeriksa Pendahuluan yang diatur dalam RUU-KUHAP 2008 dan RUU-
KUHAP 2010 sebagai pengganti lembaga praperadilan. Sementara wawancara
akan dilakukan terhadap pihak yang dianggap kompeten memberikan keterangan
mengenai objek yang diteliti. Wawancara dalam hal ini dilakukan dalam rangka
mendapatkan pemahaman dan analisis yang komprehensif mengenai penelitian ini
31 Soerjono Soekanto, Op.Cit., hlm. 5.
32 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang : Bayumedia
Publishing, 2006, hlm. 28. 33
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, Jakarta : Sinar Grafika, 1991, hlm. 8-
9. 34
Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,
2004, hlm. 112
23
yang dimana sering kali tidak cukup hanya dengan melakukan studi kepustakaan
(studi literatur).
2. Sumber dan Jenis Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder
yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka, yang terdiri dari bahan hukum
primer, sekunder, dan tersier.35
Berikut merupakan uraian mengenai bahan hukum tersebut :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan – bahan hukum yang mengikat.
Dalam hal ini yang menjadi bahan hukum primer adalah Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) serta
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder penelitian ini
meliputi RUU-KUHAP 2008 dan RUU-KUHAP 2010.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang berguna untuk memberikan
petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder berupa pendapat para sarjana dalam berbagai literatur, dokumen,
dan sumber internet.
35 Soerjono Soekanto, Op.Cit., hlm. 52.
24
3. Penentuan Narasumber Penelitian
Narasumber adalah orang yang memberi atau mengetahui secara jelas atau
menjadi sumber informasi. Adapun narasumber sebagai bahan hukum penunjang
dalam penelitian ini adalah :
a. Badan Pembinaan Hukum Nasional : 1 Orang
b. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang : 1 Orang
c. Dosen Magister Hukum Universitas Lampung : 1 Orang
d. Advokat : 1 Orang
+
Total Jumlah Responden : 4 Orang
4. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
a. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penulisan ini dilakukan dengan studi pustaka, studi
literatur, dan wawancara.
1. Studi Pustaka
Studi pustaka ini dilakukan dengan cara mempelajari serta memahami
peraturan perundang-undangan serta literatur hukum yang berkaitan
dengan lembaga Praperadilan dan lembaga Hakim Pemeriksa
Pendahuluan.
2. Studi Literatur
Studi literatur dilakukan dengan cara menelaah dan mengidentifikasi
literature yang berhubungan dengan Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
25
Teknik yang digunakan adalah dengan membaca dan memahami isi
ketentuan tersebut yang dapat memudahkan proses pengolahan data.
3. Wawancara
Dilakukan dengan pihak-pihak yang memahami dengan permasalahan
yang sedang diteliti. Hal ini dilakukan sebagai data pendukung dengan
mengajukan pertanyaan secara lisan, maupun dengan menggunakan
pedoman pertanyaan secara tertulis.
b. Pengolahan Data
Setelah melakukan pengumpulan data, selanjutnya pengolahan sehingga data
yang didapat dipergunakan untuk menganalisis permasalahan yang diteliti
yang pada umumnya dilakukan dengan cara36
:
a) Indentifikasi data, yaitu mencari data yang diperoleh untuk disesuaikan
dengan pembahasan yang akan dilakukan yaitu dengan menelaah
peraturan, buku atau artikel yan berkaitan dengan judul yang akan dibahas.
b) Klasifikasi data, yaitu identifikasi yang selanjutnya diklasifikasikan atau
dikelompokkan sehingga diperoleh data yang benar-benar objektif.
c) Penyusunan data, yaitu menyusun data menurut sistematika yang telah
ditetapkan dalam penelitian sehingga memudahkan peneliti dalam
menginterpretasikan data.
d) Interpretasi data, yaitu memberikan pendapat atau pandangan secara
pteoritis terhadap suatu data.
36 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2005, Hal.66.
26
5. Analisis Data
Analisis data merupakan suatu proses penyederhanaan data kedalam bentuk yang
lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Pada penulisan penelitian ini, penulis
menganalisis data yang diperoleh dengan analisis data secara deskriptif kualitatif,
yaitu cara menginterpretasikan data kedalam kalimat-kalimat yang tersusun secara
sistematis, sehingga diperoleh gambaran yang jelas mengenai jawaban dari
permasalahan. Dalam mengambil kesimpulan analisis dari data, digunakan cara
berfikir deduktif. Proses berfikir induktif yaitu proses mencari suatu kesimpulan
yang bersifat umum dari berbagai fakta atau kasus yang bersifat khusus.
27
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Sistem Peradilan Pidana
Penanggulangan kejahatan melalui sarana penal secara oprasional dilakukan
dengan melalui langkah-langkah perumusan norma-norma hukum pidana baik
hukum pidana materiil (substantive criminal law), hukum pidana formil
(procedure criminal law) maupun hukum pelaksana pidana. Perumusan norma
hukum pidana yang di dalamnya mengandung elemen-elemen substantif,
struktural, dan kutural dari masyarakat dimana sistem hukum itu diberlakukan.
Sistem hukum pidana selanjutnya akan beroperasi melalui suatu jaringan yang
disebut Sistem Peradilan Pidana atau Criminal Justice System37
. Apabila
difokuskan dalam bidang hukum pidana, dapatlah dikatakan bahwa Sistem
Peradilan Pidana atau Criminal Justice System pada hakikatnya merupakan sistem
penegakan hukum pidana yang pada hakikatnya juga identik dengan Sistem
Kekuasaan Kehakiman di bidang Hukum Pidana.38
Mardjono Reksodiputro, memberikan pendapat yang dimaksud dengan Sistem
Peradilan Pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-
37 Erna Dewi dan Firganefi, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Bandar Lampung : Fakultas
Hukum Unila, 2013, hlm. 8 38
Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradilan (Sistem Penegakan Hukum) Di
Indonesia, Semarang : Badan Penerbit Undip, 2011, hlm. 3.
28
lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan pemasyarakatan terpidana. Pusat
perhatian dari lembaga-lembaga ini tentunya adalah kejahatan. Pada umumnya
masyarakat beranggapan mengetahui apa yang diartikan dengan perilaku jahat
atau kejahatan itu.39
Muladi mengemukakan bahwa, sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan
(network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materiil, hukum pidana
formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun, kelembagaan ini harus dilihat
dalam konteks social. Sifat yang terlalu formal jika hanya dilandasi untuk
kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa
ketidakadilan.40
Muladi menegaskan bahwa makna Integrated Criminal Justice System adalah
sinkronisasi atau keserempakan dan keselarasan yang dapat dibedakan adalah :
a. Sinkronisasi struktural (structural syncronozation) adalah keserempakan
dan keselarasan dalam rangka hubungan antar lembaga penegak hukum
b. Sinkronisasi substansial adalah keserempakan dan keselarasan yang
bersifat vertikal dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif
39 Kadri Husin dan Budi Rizki Husin, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Bandar Lampung
: Penerbit Unila, 2012, hlm. 13 40
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta : Prenadamedia
Group, 2013, hlm. 5-6.
29
c. Sinkronisasi kultural adalah kerempakan dan keselarasan dalam
menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap, dana falsafah-falsafah
yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.41
Dalam sistem peradilan pidana dikenal tiga bentuk pendekatan, yaitu :
1. Pendekatan normatif
Memandang keempat aparatur penegak hukum (kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana
peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur
tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan
hukum semata-mata
2. Pendekatan administratif
Memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi
manajemen yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang besifat
horizontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi
yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem yang digunakan adalah
sistem organisasi.
3. Pendekatan sosial
Memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga masyarakat secara
keseluruhan ikut bertanggungjawab atas keberhasilan atau
41 Muladi, Kapita Selekta Peradilan Pidana, Semarang : Badan Penerbit UNDIP, 1995, hlm.
1-2.
30
ketidakberhasilan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam
melaksanakan tugasnya. Sistem yang digunakan adalah sistem sosial.42
Sistem peradilan pidana sebagi suatu sistem pada dasarnya merupakan sistem
terbuka atau open system dalam arti suatu sistem yang dalam usahanya untuk
mencapai tujuan dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat serta bidang-bidang
kehidupan manusia yang berakibat bahwa sistem peradilan pidana dalam
pelaksanaannya akan mengalami kontak dengan lingkungan dalam level-level:
masyarakat, ekonomi politik, pendidikan, dan teknologi serta subsistem-subsistem
dari sistem peradilan pidana.43
Sistem peradilan pidana dapat digambarkan secara singkat sebagai suatu sistem
yang bertujuan untuk “menanggulangi kejahatan”, saah satu usaha masyarakat
untuk mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi
yang dapat diterimanya. Sistem dianggap berhasil apabila sebagian besar dari
laporan dan keluhan masyarakat bahwa mereka telah menjadi korban dari suatu
kejahatan dan diselesaikan dengan diajukannya pelaku ke muka sidang pengadilan
dan menerima pidana. Gambaran diatas adalah memang tugas utama dari sistem
ini, tetapi merupakan keselurah tugas sistem. Masih merupakan bagian tugas
sistem adlaah mencegah terjadinya korban kejahatan maupun mencegah bahwa
mereka yang sedang ataupun telah selesai menjalani pidana tidak mengulangi lagi
perbuatan mereka yang melanggar hukum itu.44
42 Geoffrey Hazard Jr., Encyclopedia of Crime and Justice, Stanford Kadish, 1982, hlm. 450.
43 Erna Dewi dan Firganefi, Op.Cit., hlm. 13
44 Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta : Pusat
Pelayanan Hukum dan Keadilan, 2007, hlm. 140.
31
Menurut Mardjono Reksodiputro, tujuan Sistem Peradilan Pidana adalah :45
1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan
2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah didengarkan dan yang bersalah dipidana
3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi kejahatannya
Mardjono Reksodiputro mengemukakan bahwa empat komponen dalam sistem
peradilan pidana (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga
Pemasyarakatan) diharapkan dapat bekerja sama dan dapat membentuk suatu
“Integrated Criminal Justice System”. Apabila ketepaduan dalam bekerjanya
sistem tidak dilakukan, diperkirakan akan terdapat 3 (tiga) kerugian, yaitu sebagai
berikut :46
1. Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-
masing instasi, sehubungan dengan tugas mereka bersama
2. Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-
masing instansi ( sebagai subsistem dari sistem peradilan pidana )
3. Karena tanggungjawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi,
maka setiap instansi tidak perlu terlalu memperhatikan efektifitas
menyeluruh dari sistem peradilan pidana.
Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan (tugas pertama), bukan saja
tanggungjawab kepolisian. Pengadilan dan kejaksaan turut bertanggung jawab
melalui putusan yang dirasakan adil oleh masyarakat. Putusan yang tidak adil,
45 Erna Dewi dan Firganefi, Op.Cit., hlm. 9
46 Erna Dewi danFirganefi, Op.CIt., hlm. 9
32
mapun tidak berhasilnya pengadilan memberikan pidana terhadap pelaku, akan
menggoyangkan kepercayaan masyarakat kepada hukum. Selanjutnya hal ini
dapat mendorong para pelaku kejahatan untuk lebih berani melakukan
perbuatannya. Pemasyarakatanpun dapat membantu ketidakpercayaan pada
hukum ini apabila eksterpidana gagal berintegrasi kembali kep ada masyarakat.
Keterkaitan keberhasilan masing-masing instansi satu pada yang lainnya, juga
berlaku pada tugas-tugas “menyelesaikan laporan kegiatan” maupun “pembinaan
terpidana agar tidak menjadi residivis” (tugas kedua dan ketiga). Dampak hasil
kerja instansi yang satu pada instansi lainnya, karena itu tidak dapat diabaikan.47
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) membedakan tugas dan
wewenang dari setiap tingkatan pemeriksaan sejak dari penyidikan , penuntutan,
dan pemeriksaan di persidangan serta mmberikan sekat terhadap tugas dan
wewenang penyidik, penuntut umum, dan hakim. Menurut Mardjono
Reksodiputro di dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya tersebut tidak boleh
mengganggu usaha adanya suatu kebijakan penyidikan dan penuntutan yang
merupakan pedoman kerja bersmaa dalam proses peradilan pidana.48
Pembagian kewenangan tersebut dimaksudkan agar pelaksanaan tugas penegakan
hukum dapat menjadi fokus, sehingga tidak terjadi diplikasi kewenangan, tetapi
terintegrasi karena antara institusi pengak hukum dengan yang lainnya secara
fungsional ada hubungan sedemikian rupa di dalam proses penyelesaian pidana.
Pola ini dikenal dengan sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal
47 Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta : Pusat
Pelayanan Hukum dan Keadilan, 2007, hlm. 142. 48
Marwan Effendy, Op.Cit., hlm. 395
33
justice system). 49
Sistem peradilan pidana yang digariskan KUHAP merupakan
sistem terpadu (integrated criminal justice system). Sistem tepadu tersebut
diletakkan diatas landasan prinsip diferensiasi fungsional di antara aparat penegak
hukum sesuai dengan tahap proses kewenangan yang diberikan undang-undang
kepada masing-masing. Tujuan pokok gabungan fungsi dalam kerangka SPP
adalah untuk menegakkan, melaksanakan atau menjalankan, dan memutuskan
hukum pidana.50
B. Hak-Hak Tersangka dalam Sistem Peradilan Pidana
Berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku bagi tersangka / terdakwa dalam
proses peradilan pidana, hak asasi terhadapnya tetap dijamin oleh hukum.
Ketentuan yang mengatur jaminan tersebut adalah didasarkan pada suatu asas
praduga tak bersalah (preasumption of innocent). Secara eksplisit asas ini terdapat
dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
sebagai berikut :
setiap orang yang disangka, ditangkap, ditaham, dituntut atau dihadapkan
di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya
putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Oleh karena itu, seorang yang menjadi tersangka / terdakwa dalam proses
peradilan pidana harus diberikan hak-hak sebagai bentuk perlindungan dan
jaminan terhadap hak asasi yang dimilikinya. Di dalam Undang-Undang No. 8
49 Ibid.
50 M. Yahya Harapah, Op.Cit., hlm.90.
34
Tahun 1981 tentang KUHAP, hak tersangka / terdakwa dicantumkan baik secara
eksplisit yang menyebutkan haknya atau secara implisit dimana dalam pasal
tertentu terkandung makna adanya hak tersangka / terdakwa tersebut. Di samping
itu berdasarkan tahapan proses peradilan pidana hal tersangka / terdakwa dapat
dibagi hak yang berkaitan di dalam proses pra-adjudikasi (proses penyelidikan dan
penyidikan), hak yang berkaitan dalam proses adjudikasi (proses penuntutan dan
pemeriksaan di persidangan), hak yang berkaitan dengan posr-adjudikasi (proses
setelah dijatuhi hukuman tetapi belum mempunyai kekuatan hukum yang pasti).
Hak tersangka yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 diatur dalam
Pasal 50, Pasal 52, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57, Pasal
58, Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66,
Pasal 67 jo. 233, Pasal 68 jo. 95 jo. 97, Pasal 79, Pasal 213, Pasal 244, Pasal 259,
dan Pasal 263. Berdasarkan pasal-pasal tersebut yang mengatur hak tersangka /
terdakwa dalam proses peradilan pidana dalam KUHAP yang dinyatakan secara
eksplisit terdapar dalam Pasal 58 – 60, Pasal 95 dan Pasal 97. Adapun mengenai
hak tersangka / terdakwa yang ternuat secara implisit terdapat dalam Pasal 79,
Pasal 213, Pasal 233, Pasal 244, Pasal 259, dan Pasal 263.
Jika hak-hak tersangka / terdakwa yang di atur di dalam KUHAP baik yang
dinyatakan secara eksplisit maupun implisit dikaitkan dengan proses atau tahapan
peradilan pidana, maka dapat dibagi sebagai berikut :
a. Hak-hak tersangka / terdakwa terjadi dalam proses pendahuluan atau pra-
adjudikasi, yaitu dalam KUHAP diatur dalam Pasal 50-63 dan Pasal 739.
35
b. Hak-hak tersangka / terdakwa dalam proses adjudikasi, yaitu dalam
KUHAP diatur dalam Pasal 64 – 68, Pasal 213, Pasal 233, dan Pasal 244.
c. Hak-hak tersangka / terdakwa dalam proses post-adjudikasi, yaitu dalam
KUHAP diatur dalam Pasal 95 jo. 97, Pasal 259, dan Pasal 263.
Ketentuan-ketentuan tersebut adalah hak-hak normatif dari tersangka /terdakwa.
Dalam mewujudkan hak-hak tersebut harus ada usaha konkret dari pihak pencari
keadilan dalam proses peradilan pidana. Usaha konkret mana tentunya
memerlukan suatu perjuangan yang gigih untuk menghilangkan kesenjangan
antara hak secara normatif (the original legal spirit) dalam penegakan hukum
dengan hak secara nyata (the actual legal spirit).
Tujuan utama adanya hak-hak tersangka / terdakwa adalah untuk mengakui dan
menjamin terhadap harkat dan martabat manusia (human dignity), baik selaku
individu maupun sebagai anggota masyarakat. Pengakuan dan jaminan terhadap
harkat dan martabat tersebut merupakan HAM baik bersifat nasional maupun
bersifat universal atau internasional. Pengakuan terhadap harkat dan martabat
yang selanjutnya disebut HAM tersebut, tidak terbatas dalam arti politik, ekonomi
tetapi juga dalam arti hukum umumnya, dan kehidupan hukum pidana khususnya
(dalam proses peradilan pidana). Dikatakan sebagai pengakuan dan jaminan HAM
dalam sistem peradilan pidana, karena bilamana seseorang sekalipun ia melakukan
tindak pidana, selama ia dalam proses peradilan pidana tetap diakui harkat dan
martabatnya dalam bentuk adanya asas praduga tak bersalah.
Pengakuan atau penjaminan hak-hak tersangka / terdakwa tersebut menimbulkan
konsekuensi perlunya pengaturan atas hak-hak tersangka / terdakwa di dalam
36
seluruh tahapan proses peradilan pidana dalam KUHAP. Jaminan tersebut tidak
hanya bersifat normatif, tetapi juga bersifat empiris. Di samping itu hak-hak
tersangka / terdakwa dapat juga dikatakan memiliki tujuan untuk membatasi
kekuasaan atau sebagai rintangan (obstacle) bagi penegak hukum (law
enforcement officials) yang berbentuk represif dalam proses penegakan hukum
dimana dilakukan secara sewenang-wenang atau melawan hukum. Perbuatan
melawan hukum diartikan segala bentuk pelaksanan kekuasaan yang merendahkan
harkat dan martabat manusia dalam bentuk penyiksaan, pelecehan, perampasan,
pembatasan hak dan penguasaan oleh aparat penegak hukum terhadap pelanggar
hukum juga pada hakikatnya merupakan pelanggaran terhadap HAM. Pelanggaran
HAM atas hak-hak tersangka / terdakwa karena perbuatan sewenang-wenang
aparat penegak hukum dapat menyebabkan negara harus mengganti rugi atau
rehabilitasi terhadap mereka yang diperlakukan demikian.
Untuk mendukung perlindungan hak-hak tersangka / terdakwa terhadap
pelangaran yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, dalam KUHAP telah
dimuat lembaga Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 – 83 KUHAP.
C. Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana
Memahami HAM tidak terlepas dari sejarah hak asasi tersebut yang dimulai sejak
abad ke XII, dimana lahirnya Magna Charta di Inggris. Lahirnya HAM
dilatarbelakangi oleh keinginan yang bersifat politik dimana rakyat Inggris pada
waktu itu menginginkan agar King John tidak sewenang-wenang memungut pajak
untuk kepentingan dirinya. Sejak saat itu dapat dianggap adanya pengakuan hak-
37
hak individu oleh negara terhadap warganegaranya. Dalam perkembangan lebih
lanjut HAM dikembangkan melalui dokumen-dokumen internasional antara lain :
1. Universal Declaration of Human Rights
2. International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights
3. International Covenant on Civil and Political Rights
4. Optional Protocol to the International Covnant on Civil and Political
Rights
Negara Indonesia mengenal dan mengakui HAM, hal ini dapat dilihat pada sila
kedua dari Pancasila, yaitu sila kemanusiaan yang adil dan beradab, maupun
dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945. Pengakuan terhadap harkat dan
martabat manusia (human dignity) dapat dilihat dari makna sila kemanusiaan yang
adil dan beradab apabila dihubungkan dengan TAP MPR No. II/MPR/1978, dalam
hal mana dijelaskan :
Dengan sila kemanusiaan yang adil dan beradab, manusia diakui dan
diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa, yang sama derajat, yang sama hak dan kewajiban
asasinya, tanpa membedakan suku, keturunan, agama, dan
kepercayaannya, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit, dan
sebagainya.
Pengakuan HAM dalam UUD 1945 memang tidak secara eksplisit menyebutkan
hak individual, tetapi menggunakan istilah hak warganegara. Namun demikian
eksistensi hak individu tidaklah hilang sama sekali karena berdasarkan historis
38
terbentuknya hak tersebut dikaitkan kehidupan manusia bernegara dan tetap
mengakui hak-hak individual. HAM menuntut implementasinya dalam negara
hukum yang dianggap sebagai salah satu unsur asas-asas umum negara demokrasi
(the element of the general principles of democracy) yang mencakup keterlibatan
warganegaranya dalam pengambilan keputusan politik, tingkatan tertentu dari
persamaan, tingkatan tertentu dari keabsahan atau kemerdekaan dan perlindungan
terhadap martabat kemanusiaan.
Rumusan UDHR oleh PBB pada tanggal 10 Desenber 1948, membuat Indonesia
sebagai salah satu anggota PBB mempunyai kewajiban untuk mewujudkan tujuan
PBB sebagaimana tercantum dalam mukadimah UDHR tersebut, antara lain :
Deklarasi universal bersama bagi seluruh rakyat dan semua bangsa …..
Agar setiap perorangan dan setiap bagian dari masyarakat ….. Untuk
meningkatkan rasa hormat pada hak-hak dan kebebasan ini dan dengan
berusaha secara keras baik melalui pendidikan dan pengajaran
meningkatkan terhadap hak-hak dan keabsahan baik nasional maupun
internasional untuk menjamin pengakuan dan ketaatan yang universal dan
efektif.
Perhatian PBB terhadap HAM dalam kaitan dengan pengadilan pidana agar
ditingkatkan pelaksanaannya menyebabkan PBB memiliki kepedulian terhadap
masalah-masalah yang menyangkut pencegahan kejahatan dan hukum pidana,
sehingga didirikan suatu komisi yang bernama Commision on Crime Prevention
and Criminal Justice (ECOSOC) yang berkedudukan di Wina. Pada tahun 1950,
untuk pertama kalinya PBB mengasumsikan adanya tanggungjawab global dalam
39
bidang pencegahan kejahatan dan perlakuan terhadap para pelaku kejahatan. Sejak
saat itu PBB telah melakukan kongres-kongres menyangkut pencegahan
kejahatan, peradilan pidana, perlakuan terhadap pelaku kejahatan yang
dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sejak 1955 sampai 1995.
Pemantauan terhadap pelaksanaan HAM dilakukan oleh ECOSOC sebagai bagian
dari PBB. Secara operasional pengawasan tersebut dilakukan oleh Komisi Hak-
Hak Asasi Manusia (The Commision on Human Rights) yang didirikan oleh
ECOSOC. Di Indonesia dalam rangka pengawasan terhadap adanya pelanggaran
atas HAM dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
yang didirikan berdasarkan Kepres No. 59 Tahun 1993. Disamping itu dalam
rangka pengawasan atas adanya pelanggaran HAM, juga dilakukan melalui proses
peradilan pidana yaitu Praperadilan, atau melalui peradilan perdata atas dasar
melakukan perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kekuasaan (abuse
of power).
D. Praperadilan
1. Latar Belakang Terbentuknya Lembaga Praperadilan dalam KUHAP
Lembaga Praperadilan merupakan suatu hal yang baru dalam Sistem Peradilan
Pidana di Indonesia. Lembaga Praperadilan muncul setelah disahkannya Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang No. 8 Tahun 1981).
KUHAP yang merupakan hukum acara pidana diberlakukan mulai tahun 1981
untuk menggantikan hukum acara pidana yang terdapat dalam HIR 1941 (het
Herzeine Inlandsch Reglement) yang diterjemahkan sebagai Reglemen Indonesia
40
yang Diperbaharui (R.I.B.).51
Praperadilan dalam KUHAP ditempatkan dalam
Bab X, Bagian Kesatu, sebagai salah satu bagian ruang lingkup wewenang
mengadili bagi Pengadilan Negeri.52
Praperadilan itu tidak merupakan badan
tersendiri, tetapi merupakan suatu wewenang saja dari pengadilan.53
Praperadilan merupakan suatu lembaga baru dalam KUHAP yang mendekati
pengertian lembaga Hakim Komisaris atau “rechter commissaris” si negeri
Belanda dan “judge d’Instruction” di Prancis, kedua-duanya merupakan suatu
lembaga pemeriksaan pendahuluan.54
Rechter Commissaris mengawasi apakah
upaya paksa dilakukan dengan sah atau tidak dan dalam melakukan tindakan
sebagai eksekutif mereka berhak untuk memanggil dan mengadakan penahanan.55
Di Eropa, keaktifan hakim mempunyai posisi penting, ia mempunyai wewenang
untuk menangani upaya paksa (dwang middlen), yang meliputi penahanan,
penyitaan, penggeledahan badan, rumah dan pemeriksaan suart-surat.56
Praperadilan merupakan suatu kontrol terhadap tindakan penyidik maupun
penuntut umum dalam menjalankan tugas wewenangnya dalam proses peradilan
pidana apakah telah dilakukan dengan benar atau tidak.
Lahirnya lembaga Praperadilan dikarenakan adanya dorongan bahwa tidak
terdapatnya pengawasan dan penilaian upaya paksa yang menjamin Hak Asasi
51 Mardjono Reksodiputro, Bunga Rampai Permasalahan dalam Sistem Peradilan Pidana
Kumpulan Karangan Buku Kelima, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum,
2007, hlm. 10-11. 52
M. Yahya Harahap, Pembahasan…., Op.CIt., hlm. 1. 53
S Tanusubroto, Penanan Praperadilan dalam Hukum Acara Pidana, Bandung : Alumni,
1983, hlm. 73. 54
Kadri Husin dan Budi Rizki Husin, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Op.Cit., hlm.
119. 55
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,
2007, hlm. 91-92. 56
Oemar Seno Adjie, Hukum, Hakim Pidana, Jakarta : Erlangga, 1980, hlm. 88.
41
Manusia dalam Herzien Inlandsch Reglement (HIR), yang dibentuk dengan
berorientasi atas kekuasaan zaman penjajahan Kolonial Belanda. Lembaga
Praperadilan bertujuan untuk melakukan pengawasan horizontal atas segala upaya
paksa yang dilakukan aparat penegak hukum untuk kepentingan pemeriksaan
perkara pidana agar benar – benar tindakan tersebut tidak bertentangan dengan
peraturan hukum dan perundang-undangan disamping adanya pengawasan secara
vertikal dalam perangkat aparat itu sendiri.
Gagasan mengenai lembaga praperdilan terinspirasi dari adanya hak Habeas
Corpus Act dalam sistem peradilan Anglo Saxon yang memberikan hak pada
seseorang untuk melalui suatu surat perintah pengadilan menuntut (menantang)
pejabat yang melakukan penahanan atas dirinya (polisi atau jaksa) membuktikan
bahwa penahanan tersebut adalah tidak melanggar hukum (ilegal) atau tegasnya
benar-benar sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.57
Habeas Corpus Act (1679) yang di tandatangani oleh Raja Charles II
menitikberatkan akan hak – hak asasi seseorang dihadapan hukum, yang
menentukan :
a. Penangkapan atau penahanan seseorang mesti berdasarkan alas an hukum
yang sah dan lengkap ;
b. Orang yang ditangkap atau ditahan harus diperiksa selambat – lambatnya
dua hari dari tanggal penangkapan atau penahanan ;
57 Adnan Buyung Nasution, Beberapa Catatan tentang Praperadilan versus Pemeriksa
Pendahuluan, disampaikan dalam acara Diskusi Tematik Pembaharuan Hukum Acara Pidana, FH
UI, 24 Maret 2010, hlm. 2.
42
c. Jika seseorang telah dibebaskan dari suatu perkara, orang tersebut tidak
boleh lagi ditangkap dan diperiksa atas dasar perkara dari mana ia telah
dibebaskan (nebis in idem). 58
Prinsip dasar habeas corpus ini memberikan inspirasi untuk menciptakan suatu
forum yang memberikan hak dan kesempatan kepada seseorang yang sedang
menderita karena dirampas atau dibatasi kemerdekaannya untuk mengadukan
nasibnya sekaligus menguji kebenaran dan ketepatan dari tindakan kekuasaan
berupa penggunaan upya paksa (dwang middelen), baik penangkapan, penahanan,
penggeledahan, penyitaan maupun pembukaan surat-surat yang dilakukan oleh
pihak kepolisian ataupun kejaksaan ataupula kekuasaan lainnya. Hal ini
dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi saat itu dimana sering terjadi perkosaan
hak asasi tersangka atau terdakwa oleh penyidik dan jaksa penuntut umum, karena
tidak adanya suatu lembaga atau mekanisme yang dapat menilai dan menguji
apakah tindakan upaya paksa yang dilakukan telah sesuai dengan ketentuan
hukum atau tidak. Seorang tersangka atau terdakwa yang ditangkap atau ditahan,
seolah-olah berada dalam suatu “ruangan gelap” dan tidak berdaya sama sekali
(helpless). Sehingga memunculkan pemikiran mengenai perlunya suatu forum
terbuka yang memberi hak berupa upaya hukum pada seseorang untuk melawan
atau menggugat tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh penguasa
sehingga lahirlah Praperadilan.59
58 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Penyidikan dan
Penuntutan, Jakarta : Sinar Grafika, 2014, hlm. 69-70. 59
Adnan Buyung Nasution, Beberapa Catatatn tentang Praperadilan Versus Pemeriksa
Pendahuluan, Op.Cit., hlm. 2-3.
43
2. Pengertian Lembaga Praperadilan
Melihat dari istilah yang digunakan oleh KUHAP terhadap Praperadilan, maka
istilah tersebut terdiri dari 2 (dua) suku kata, yaitu pra berarti sebelum, sedangkan
peradilan berarti suatu proses pemeriksaan atas tersangka, saksi-saksi, dan barang-
barang bukti oleh pengadilan guna mencari kebenaran materiil untuk kemudian
memutus perkara dengan menjatuhkan pidana atau membebaskan terdakwa atau
melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum.60
Secara harfiah, Praperadilan
berarti dilakukan sebelum proses pemeriksaan perkara di pengadilan. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa Praperadilan adalah suatu proses pemeriksaan
sebelum pemeriksaan terhadap pokok perkara berlangsung di pengadilan. Perkara
pokok dimaksud adalah suatu sangkaan atau dakwaan tentang telah terjadinya
suatu tindak pidana yang sedang dalam tahap penyidikan atau penuntutan.61
Ditinjau dari segi struktur dan susunan peradilan, Praperadilan bukan lembaga
pengadilan yang berdiri sendiri. Bukan pula sebagai instansi tingkat peradilan
yang mempunyai wewenang memberi putusan akhir atas suatu kasus peristiwa
pidana. Praperadilan hanya suatu lembaga baru yang ciri dan eksistensinya :
a. berada dan merupakan kesatuan yang melekat pada Pengadilan Negeri dan
sebagai lembaga pengadilan hanya dijumpai pada tingakat Pengadilan
Negeri sebagai satuan tugas yang tidak terpisah dari Pengadilan Negeri
60 H.A.K. Mochamad Anwar, Chalimah Suyanto dan Sunanto, Praperadilan, Jakarta : IND-
HILL-CO, 1989, hlm. 25. 61
Darwan Prindt, Praperadilan dan Perkembangannya di dalam Praktek, Bandung : Citra
Aditya Bakti, 1993, hlm. 1.
44
b. dengan demikian Praperadilan bukan berada diluar atau disamping
maupun sejajar dengan Pengadilan Negeri, tapi hanya merupakan divisi
dari Pengadilan Negeri
c. administratif yustisial, personil, peralatan, dan finansial bersatu dengan
Pengadilan Negeri dan berada dibawah pimpinan serta pengawasan dan
pembinaan Ketua Pengadilan Negeri
d. tata laksana fungsi yustisialnya merupakan bagian dari fungsi yustisial
Pengadilan Negeri itu sendiri.
Kemudian KUHAP telah memberikan pengertian menganai Praperadilan yang
terdapat dalam Pasal 1 angka 10, Praperadilan adalah wewenang Pengadilan
Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut acara yang diatur dalam undang-
undang ini, tentang :
a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas
permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa
tersangka
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan
atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan
c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitas oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak
diajukan ke pengadilan.
Dari gambaran tersebut, eksistensi dan kehadiran Praperadilan bukan merupakan
lembaga peradilan tersendiri. Tetapi hanya merupakan pemberian wewenang dan
45
fungsi baru yang dilimpahkan KUHAP kepada setiap Pengadilan Negeri sebagai
wewenang dan fungsi tambahan Pengadilan Negeri yang telah ada selama ini.62
3. Kewenangan Praperadilan
Praperadilan memiliki kewenangan yang telah diatur dalam Pasal 77 jo. Pasal 1
angka 10 KUHAP. Namun ada lagi kewenangan lain yakni memeriksa dan
memutuskan tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 95 dan Pasal 97 KUHAP. Tetapi karena undang-undang memang
belum mengatur secara tegas mengenai hal tersebut, pemberlakuan pasal-pasal ini
seringkali dianggap sebagai bentuk perluasan objek Praperadilan sehingga masih
terus menimbulkan perdebatan.
Untuk lebih jelasnya, berikut merupakan rincian wewenang yang diberikan
KUHAP kepada Praperadilan :
a. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan
Berdasarkan Pasal 1 angka 20 KUHAP, penangkapan adalah suatu
tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan
tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup alat bukti guna
kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Yang dapat
melakukan penangkapan berdasarkan Pasal 16 KUHAP adalah penyidik
62 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Op.Cit., hlm. 1.
46
dan penyidik pembantu dalam rangka melakukan penyidikan serta
penyelidik atas perintah penyidik dalam rangka melakukan penyelidikan.
Terkait pelaksanaan penangkapan ini dikenal adanya syarat formil dan
syarat materil penangkapan yang akan menjadi parameter untuk
menentukan apakah suatu penangkapan dilakukan secara sah atau tidak.
Dengan kata lain untuk melakukan penangkapan harus terpenuhi 2 (dua)
syarat sebagai berikut :
1) Syarat formil penangkapan :
a) Dilakukan oleh penyidik atau polisi atas perintah dari penyidik atau
polisi
b) Dilengkapi surat tugas dari yang berwenang (surat perintah
penangkapan)
c) Menyerahkan surat perintah penangkapan kepada tersangka dan
tembusannya kepada keluarganya
d) Kecuali dalam hal tertangkap tangan penangkapan dapat dilakukan
oleh setiap orang.
2) Syarat materil penangkapan :
a) Ada bukti permulaan yang cukup (Pasal 17 KUHAP)
b) Penangkapan paling lama untuk 1 (satu) hari (1 X 24 jam) (Pasal
19 ayat (1) KUHAP).63
63 Darwan Prinst, Op.Cit., hlm. 15-16.
47
b. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penahanan
Berdasarkan Pasal 1 angka 21 KUHAP, penahanan adalah penempatan
tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut
umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini. Penahanan pada prinsipnya
berkaitan erat dengan penangkapan karena seorang tersangka yang telah
ditangkap baru boleh ditahan apabila telah memenuhi persyaratan
sebagaimana diatur dalam undang-undang. Dengan demikian, pada
prinsipnya penangkapan merupakan langkah awal dari perampasan
kemerdekaan tersangka atau terdakwa.64
Yang dapat melakukan
penahanan berdasarkan Pasal 20 KUHAP adalah pertama pada tahap
penyidikan yang berwenang adalah penyidik dan penyidik pembantu,
kedua pada tahap penuntutan adalah penuntut umum, dan yang ketiga pada
tahap pemeriksaan di sidang pengadilan adalah hakim.
Terkait pelaksanaan penahanan ini, Prof. Moeljatno membagi syarat
penahanan menjadi 2 (dua) macam, yaitu :
1) syarat subjektif, yaitu syarat yang tergantung pada orang yang
memerintahkan dilakukannya penahanan, yaitu berupa :
a) tersangka atau terdakwa diduga keras melakukan tindakan pidana
b) dugaan tersebut didasarkan pada bukti yang cukup
64 Ratna Nurul Afiah, Op.Cit., hlm. 35-36.
48
c) adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka
atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan
alat bukti, dan mengulangi tindak pidana.
2) syarat objektif, yaitu syarat yang dapat diuji oleh orang lain, yaitu
berupa :
a) tindak pidana itu diancan dengan pidana penjara 5 (lima) tahun
atau lebih
b) tindak pidana yang ancaman hukumannya kurang dari 5 (lima)
tahun yang dalam hal ini ditentukan secara limitatif oleh undang-
undang.
Menganai masa atau jangka waktu penahanan, pada tahap penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di persidang memiliki batas yang berbeda-
beda.
No Pihak yang berwenang
melakukan Penahanan
Jangka Waktu Perpanjangan
Waktu
1 Penyidik 20 hari 40 hari
2 Penuntut Umum 20 hari 30 hari
3 Hakim 30 hari 60 hari
Kemudian di dalam KUHAP dikenal adanya jenis-jenis tahanan yang
tercantum dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Menurut ketentutan ini, jenis
penahanan dapat berupa :
1. penahanan Rumah Tahanan Negara (Rutan)
2. penahanan rumah
3. penahanan kota.65
65 M. Yahya Harahap , Pembahasan Permaslahan dan Penerapakan KUHAP : Penyidikan
dan Penuntutan, Jakarta : SInar Grafika, 2014, hlm. 169-170.
49
c. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penghentian penyidikan
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 KUHAP, penyidikan adalah serangkaian
tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan alat bukti yang
dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi guna
menemukan tersangkanya. Kemudian berdasarkan Pasal 1 angka 1
KUHAP, pihak yang berwenang melakukan penyidikan adalah pejabat
polisi republik Indonesia dan pegawai negeri sipil tertentu yang diberi
wewenang oleh undang-undang.
Syarat yang harus terpenuhi untuk melakukan tindakan penyelidikan
maupun penyidikan oleh penyelidik atau penyidik adalah :
1) Tertangkap tangan (Pasal 1 angka 19 KUHAP)
2) Laporan (Pasal 1 angka 24 KUHAP)
3) Pengaduan (Pasal 1 angka 25 KUHAP)
4) Mengetahui sendiri atau dengan cara lain.
Dalam pelaksanaan penyidikan, setelah menerima laporan atau pengaduan
atau tertangkap tangan atau mengetahui secara langsung tentang suatu
peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik wajib segera melakukan
penyidikan. Penyidikan dapat dilakukan berdasarkan berita acara
penyelidikan. Kemudian tindakan yang dapat dilakukan penyidik antara
lain meneruskan penyidikan atau menghentikan penyidikan. Menghentikan
penyidikan dapat dilakukan apabila :
1) Tidak terdapat cukup bukti
2) Peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana
50
3) Penyidikan dihentikan demi hukum.
Kemudian penyidik berdasarkan kewenangannya menghentikan
penyidikan dan memberitahu penuntut umum beserta alasan-alasan dan
seluruh hasil pemeriksaan yang telah dilakukan. Penyidik juga
memberitahukan kepada tersangka dan keluarganya.
d. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penghentian penuntutan
Berdasarkan Pasal 1 angka 7 KUHAP, penuntutan adalah tindakan
penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri
yang berwenang supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang
pengadilan. Kemudian berdasarkan Pasal 137 KUHAP penuntut umum
berwenang melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya
dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.
Penututan dapat dilakukan setelah penuntut umum menyatakan berkas
penyidikan yang diberikan penyidik lengkap (P21). Namun terdapat 2
(dua) kemungkinan sikap penuntut umum terhadap berkas perkara yang
telah disidik, yaitu :
1) Melakukan penuntutan
Setelah berkas perkara lengkap, penuntut umum memberitahukan
kepada penyidik dengan disertai permintaan supaya tersangka dan
barang bukti diserahkan kepadanya. Dalam hal penuntut umum
berpendapat bahwa hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia
dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.
51
2) Menghentikan penuntutan
Penuntut umum dapat melakukan penghentian penuntutan apabila :
a) Tidak terdapat cukup bukti
b) Peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana
c) Perkara ditutup demi hukum dengan alasan :
i. Ne bis in idem (Pasal 76 KUHAP)
ii. Terdakwa meninggal dunia (Pasal 76 KUHAP)
iii. Kadarluasa (Pasal 78 KUHAP)
Mengenai penghentian penuntutan diatur dalam Pasal 140 ayat (2)
KUHAP yang menegaskan penuntut umum “dapat menghentikan
penuntutan” suatu perkara. Dalam arti, hasil pemeriksaan penyidikan
tindak pidana yang disampaikan penyidik tidak dilimpahkan penuntut
umum ke sidang pengadilan.66
e. Memeriksa dan memutus permohonan ganti kerugian dan rehabilitasi
Berdasarkan Pasal 1 angka 22 KUHAP, ganti kerugian adalah hak
seseorang untuk mendapat pemenuhan atau tuntutannya yang berupa
imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili
tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang. Pasal 95 mengatur tuntutan ganti kerugian yang
66 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Penyidikan dan
Penuntutan, Op.Cit., hlm. 436.
52
diajukan tersangka, keluarganya, atau penasehat hukumnya kepada
Praperadilan. Tuntutan ganti kerugian diajukan berdasarkan alasan :
a. Karena penangkapan atau penahanan yang tidak sah
b. Atau oleh penggeledahan atau penyitaan yang bertentangan dengan
ketentuan hukum dan undang-undang
c. Karena kekeliruan mengenai orang yang sebenarnya mesti ditangkap,
ditahan atau diperiksa.67
Berdasarkan Pasal 1 angka 22, Pasal 95 ayat (1) dan (2), serat Pasal 77
huruf b KUHAP, maka hal-hal yang dapat digunakan sebagai dasar alasan
untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian adalah :
1) Tindakan penangkapan yang tidak sah
2) Tindakan penahanan yang tidak sah
3) Tindakan lain tanpa alasan berdasarkan undang-undang berupa :
i. Pemasukan rumah yang tidak sah menurut hukum
ii. Penggeledahan yang tidak sah
iii. Penyitaan yang tidak sah menurut hukum
4) Penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang sah
5) Dituntut atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang.68
Berdasarkan Pasal 1 angka 23 KUHAP, rehabilitasi adalah hak seseorang
untuk mendapatkan pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan
67 M. Yahya Harap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Pengajuan Kembali, Op.Cit., hlm. 6. 68
HMA Kauffal, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, Malang : UMM Press, 2008,
hlm. 307-309.
53
harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan,
penuntutan, atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun
diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini. Rehabilitasi dapat diberikan dalam
hal :
1) Seseorang diadili oleh pengadilan diputus bebas (vrijspraak) atau
diputus lepas (onslag van alle rechtsvervolging)
2) Seseorang ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa alasan
yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkan.
Ruang lingkup Praperadilan sejatinya telah dibatasi dalam ketentuan Pasal 77
KUHAP, namun ternyata perkembangan hukum 5 (lima) tahun terakhir telah
menerobos batasan-batasan tersebut bahkan mendahului pembahasan Rancangan
KUHAP. Perkembangan hukum merupakan wujud nyata dari implementasi teori
responsif yang menguraikan hukum sebagai suatu sarana respon terhadap
ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi-aspirasi masyarakat.69
Perluasan ruang lingkup kewenangan Praperadilan terjadi setelah adanya Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014. Dimana dalam Putusan MK No.
21/PUU-XII/2014 tersebut menyatakan bahwa penetapan tersangka,
penggeledahan, dan penyitaan sebagai objek dari Praperadilan. Selain itu, dalam
69 Riki Perdana R.W., Praperadilan Pasca 4 Putusan MK,
https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/index.php/peraturan/6-artikel/artikel-hakim-
agung/1449-praperadilan-pasca-4-putusan-ma-dr-riki-perdana-raya-waruwu-s-h-m-h, diakses pada
28 Mei 2018.
54
putusan tersebut, MK menyatakan bahwa frasa „bukti permulaan‟, „bukti
permulaan yang cukup‟, dan „bukti yang cukup‟ yang terdapat dalam Pasal 1
angka 14 jo. Pasal 17 jo. Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus dimaknai sebagai
minimum dua alat bukti secara kualitatif, kecuali dalam hal keterangan saksi.
4. Proses Pemeriksaan Praperadilan
Tata cara atau proses pemeriksaan sidang Praperadilan diatur oleh KUHAP dalam
Bab X, Bagian Kedua, mulai dari Pasal 79 sampai dengan Pasal 83. Berdasarkan
ketentuan pasal-pasal tersebut telah diatur tata cara pengajuan dan proses
pemeriksaan di sidang Praperadilan.
a. Yang berhak mengajukan permohonan
Yang dapat mengajukan permintaan pemeriksaan Praperadilan adalah
sebagai berikut :
1) Tersangka, Keluarganya, atau Kuasanya
2) Penuntut Umum dan Pihak Ketiga yang Berkepentingan
3) Penyidik atau Pihak Ketiga yang Berkepentingan
4) Tersangka, Ahli Warisnya, atau Kuasanya
5) Tersangka atau Pihak Ketiga yang Berkepentingan Menuntut Ganti
Rugi.
b. Acara Praperadilan
Terkait acara pemeriksaan Praperadilan di dalam KUHAP diatur beberapa
hal sebagai berikut :
1) Dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang
ditunjuk melakukan sidang (Pasal 82 ayat (1) KUHAP)
55
2) Dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan
atau penahanan sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan,
permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi akibat tidak sahnya
penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau
penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat
pembuktian, hakim mendengar keterangan baik tersangka atau pemohon
maupun dari pejabat yang berwenang (Pasal 82 ayat (1) KUHAP)
3) Pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya (Pasal 82 ayat (1)
KUHAP)
4) Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri,
sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum
selesai maka permintaan tersebut gugur (Pasal 82 ayat (1) KUHAP)
5) Putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan
untuk mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada tingkat
pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru
(Pasal 82 ayat (1) KUHAP)
6) Putusan hakim dalam acara pemeriksaan peradilan dalam ketiga hal
tersebut di muka harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya (Pasal 82
ayat (2) KUHAP)
7) Selain daripada itu, putusan hakim itu memuat pula :
a) dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau
penahanan tidak sah maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada
tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan
tersangka
b) dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penghentian penyidikan
atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap
tersangka wajib dilanjutkan
c) dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penagkapan atau
penahanan tidak sah maka dalam putusan dicantumkan jumlah
besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan
dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah
dan tersangkanya tidak ditahan makan dalam putusan dicantumkan
rehabilitasnya
d) dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang
tidak termasuk alat pembuktian maka dalam putusan dicantumkan
bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka
atau dari siapa benda itu disita.70
70 Andi Hamzah, Op.Cit., hlm. 191-193.
56
E. Hakim Pemeriksa Pendahuluan
Istilah Hakim Pemeriksa Pendahuluan merupakan suatu penyebutan atau istilah
baru yang lahir dalam RUU KUHAP 2012, dimana sebelumnya pada RUU
KUHAP 2010 istilah yang digunakan adalah Hakim Komisaris. Pengaturan
mengenai Hakim Komisaris maupun Hakim Pemeriksaan Pendahuluan tidak
mengalami perubahan baik dalam RUU KUHAP 2010 maupun RUU KUHAP
2012, yang mengalami perubahan hanyalah istilah penyebutan dari lembaga
tersebut. Hakim Komisaris bukan merupakan suatu hal yang bari di Indonesia.
Hakim Komisaris pernah dimasukan ke dalam RUU-KUHAP 1974 pada masa
Prof. Oemar Seno Adjie, S.H. menjabat sebagai Menteri Kehakiman. Hakim
Komisaris ini bukan hanya bertindak sebagai hakim pengawas dalam tahap
pemeriksaan pendahuluan, akan tetapi juga bertindak aktif dalam pelaksanaan
upaya paksa selama pemeriksaan pendahuluan.71
Hakim Komisaris mempunyai
wewenang sebagai berikut :
1. Melakukan pengawasan upaya paksa (dwang middlen) sudah dilaksanakan
sesuai dengan hukum
2. Menetapkan siapa yang akan melakukan penyidikan jika terdapat sengketa
antara polisi dan jaksa dalam hal melakukan penyidikan
3. Bertindak secara eksekutif, antara lain turut serta memimpin pelaksanaan
upaya paksa
71 Loebby Luqman, Pra-Peradilan di Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1990, hlm. 29-30.
57
4. Megambil keputusan atas pengaduan yang diajukan oleh pencari
keadilan.72
Kehadiran Hakim Komisaris dalam RUU-KUHAP 1974 ini menimbulkan
berbagai tanggapan. Adanya pihak yang menyetujui dan ada pihak yang
menolaknya. Keberatan datang dari kalangan Kejaksaan yang beranggapan bahwa
kewenangan pengawasan pada pemeriksaan pendahuluan ada pada Kejaksaan
sesuai dengan Undang-Undang Pokok Kepolisian maupun Undang-Undang Pokok
Kejaksaan. Disamping itu, hadirnya Hakim Komisaris ini akan menambahkan
hambatan birokrasi yang negatif mengingat banyaknya instansi yang sudah
berperan pada tahap pemeriksaan pendahuluan yang telah melibatkan baik
Kepolisian maupun Kejaksaan.
Sedangkan yang menyetujui adanya Hakim Komisaris berpendapat bahwa
memang dalam tahap pemeriksaaan pendahuluan tidak cukup apabila hanya ada
pengawasan secara vertikal saja, yakni pengawasan yang dilakukan baik oleh
Kepolisian sendiri secara struktural maupun Kejaksaan sebagaimana pengaturan
dalam HIR maupun Undang-Undang Pokok Kejaksaan, akan tetapi masih
diperlukan suatu pengawasan horizontal, yaitu pengawasan dari Hakim Komisaris
tersebut. Hal ini dilatarbelakangi seiring terjadinya pelanggaran dalam
pelaksanaan upaya paksa, dan dalam hal ini Hakim Komisaris yang diharapkan
dapat menjalankan fungsi pengawasan dalam fase pemeriksaan pendahuluan,
khususnya dalam pelaksanaan upaya paksa.
72 Ibid., hlm 30
58
Pembicaraan menganai RUU-KUHAP 1974 terhenti disebabkan oleh adanya
pergantian Menteri Kehakiman dimana semula dijabat oleh Prof. Oemar Seno
Adjie, S.H. yang kemudian diangkat menjadi Ketua Mahkamah Agung.
Pembicaraan menganai pembentukan KUHAP mulai timbul kembali semenjak
Menteri Kehakiman dijabat oleh Mudjono, S.H. Akan tetapi rancangan yang
digunakan untuk menyusun KUHAP bukanlan RUU-KUHAP 1974, namun
diajukan RUU-KUHAP 1979. Dalam rancangan tersebut tidak ada lembaga
Hakim Pemeriksa Pendahuluan.73
Dalam RUU-KUHAP 1979 tersebut, apabila adanya pelanggaran-pelanggaran
yang terjadi pada tahap pemeriksaan pendahuluan tidaklah ditangani oleh suatu
badan tertentu, akan tetapi ditangani oleh Pengadilan Negeri, dan ternyata lebih
dikhususkan dalam kesalahan penangkapan dan penahanan saja, sedangkan
pelanggaran terhadap pelaksanaan upaya paksa lainnya tidak ditemui dalam
rancangan ini. Telah dilakukan perubahan mendasar terhadap RUU-KUHAP 1979
ini sehingga terciptalah suatu lembaga hakim yang telah aktif dalam pemeriksaan
pendahuluan yang dikenal dengan Praperadilan. Dan setelah disahkan menjadi
KUHAP lembaga Praperadilan inilah yang melakukan pengawasan terhadap
upaya paksa yang dilakukan penyidik ataupun penuntut umum.
Kembali munculnya gagasan lembaga Hakim Komisaris dalam RUU-KUHAP
2010 dilatarbelakangi oleh persoalan terkait kewenangan Praperadilan yang tidak
memadai dan juga terkait persoalan hak untuk mengajukan permohonan
Praperadilan (legal standing). Lembaga Hakim Komisaris yang terdapat dalam
73 Loebby Luqman, Op.Cit., hlm. 37
59
RUU-KUHAP 2010 sama sekali bukan tiruan atau sama dengan Rechter
Commissaris di Netherland atau juge d’instruction di Prancis atau inschungrichter
di Jerman yang sudah di hapus, guidice istructtore di Italia yang sudah di hapus
juga. Rechter Commissaris di Netherland sama dengan juge d’instruction di
Prancis memimpin penyidikan. Di Perancis, penyidikan delik yang diancam
dengan pidana 5 (lima) tahun ke atas yang disebut crime, dipimpin oleh juge
d’instruction, yang diancam dengan pidana kurang dari lima tahun disebut delit,
dipimpin oleh jaksa. Hakim Komisaris versi RUU-KUHAP 2010 sama sekali
tidak ada hubungan dengan penyidikan. Jadi, jika rechter-commisaris di
Nederland atau juge d’instruction di Perancis disebut dalam bahasan Inggris
investigating juge (hakim penyidik), maka Hakim Komisaris versi RUU-KUHAP,
tidak mungkin diterjemahkan sebagai investigating juge. Oleh karena itu Mr
Robert Strang yang banyak membantu antara lain studi banding di Amerika dan
Malaysia, memakai istilah commissioner juge untuk Hakim Komisaris versi RUU-
KUHAP.74
Wewenang Hakim Komisaris versi RUU-KUHAP 2010 sama dengan
Praperadilan sekarang, namum ditambah dengan wewenang memperpanjang
penahanan dan yang memutuskan layak tidaknya suatu perkara diajukan ke
pengadilan atas permintaan jaksa. Istilah Praperadilan tidak digunakan karena
peradilan pidana itu dimulai dari penyidikan sampai terpidana keluar dari penjara.
74 Andi Hamzah, Penjelasan Beberapa Hal dalam RUU Hukum Acara Pidama, Makalah,
disampaikan pada Sosialisasi NA RUU HAP di Jakarta, 1 November 2010.
60
Jadi, tidak mungkin ada hakim pra penyidikan. Istilah lain yang dapat dipakai
ialah hakim pra sidang (pre trial).75
Perbedaan lain antara praperadilan dan Hakim Komisaris versi RUU-KUHAP
2010 yang tercantum dalam naskah akademiknya adalah sebagai berikut:
1. Hakim Komisaris dilepaskan dari organisasi pengadilan negeri dan berdiri
sendiri dan independen di luar struktur pengadilan negeri, walaupun
hakimnya direkrut secara ketat dari hakim pengadilan negeri melalui
seleksi PANSEL di Pengadilan Tinggi, karena dibutuhkan hakim yang
jujur, berpengalaman, berani dan mempunyai hati nurani untuk
kepentingan nusa dan bangsa.
Alasan: Jika wewenang memperpanjang penahanan yang tersangka harus
dibawa secara fisik ke hakim untuk dilakukan penahanan, sesuai dengan
ketentuan Pasal 9 International Covenant on Civil and Political Rights
yang sudah diratifikasi dan telah diundangkan oleh Indonesia dengan
Undang-undang No. 12 Tahun 2005, dilakukan oleh hakim (praperadilan)
di Pengadilan Negeri, maka betapa sibuknya hakim di Pengadilan Negeri
menerima dan memeriksa secara fisik tersangka, saksi, yang dihadiri oleh
polisi, jaksa dan penasihat hukum setiap hari. Dapat dibayangkan yang
sekarang rata-rata 30 orang tahanan baru dimasukkan ke lembaga Salemba
oleh Jaksa. Jika perpanjangan penahanan dengan surat saja tanpa dilihat
secara fisik tersangka dan tanpa tanya jawab seperti perpanjangan
penahanan sekarang yang dilakukan oleh jaksa tanpa melihat secara fisik
75 Ibid.
61
dan duduk perkara secara mendetail, memang tidak perlu dibentuk hakim
khusus.
Untuk memperpanjang penahanan oleh hakim sesuai dengan Covenant,
maka tersangka harus dibawa (secara fisik) segera (promptly) ke hakim
untuk dilakukan penahanan. Untuk itu, di Perancis dibentuk hakim khusus
yang namanya juge des liberte et de la detention (hakim pembebasan dan
penahanan). Hakim ini duduk setiap hari kerja menunggu tersangka
dibawa kepadanya oleh polisi dan jaksa. Sebelum menandatangani surat
perintah penahanan hakim itu menanyakan beberapa hal mengenai duduk
perkara. Ruang hakim ini tidak lebih dari empat meter persegi dengan
perabotan ala kadarnya. Penasihat hukum boleh hadir dan memohon
dengan alasan agar tersangka tidak ditahan. Lamanya penahanan 400 hari
sampai sidang pengadilan hingga ke Mahkamah Agung selesai. Di
Nederland yang memperpanjang penahanan tetap rechter-commisaris yang
juga tersangka dibawa secara fisik. Perbedaan dengan Perancis, sidang
penahanan di Nederland tertutup dengan semua pintu terkunci secara
elektronik sedangkan di Perancis terbuka untuk umum. Pemeriksaan
sebelum penandatanganan surat perintah penahanan oleh rechter-
commisaris bahkan dapat mendengar keterangan saksi termasuk saksi di
luar negeri melalui tanya-jawab teleconference (ruangan sidang penahanan
di Nederland penuh dengan peralatan elektronik). Lamanya penahanan
oleh rechter-commisaris hanya 14 hari yang dapat diperpanjang oleh
hakim majelis selama 3 kali 30 hari. Penahanan oleh penyidik (polisi)
hanya enam jam kecuali perkara serius seperti pembunuhan dan terorisme
62
selama 3 kali 24 jam. Di Perancis penahanan oleh penyidik (polisi) hanya
enam jam kecuali perkara serius seperti pembunuhan dan terorisme selama
3 kali 24 jam. Di Perancis penahanan oleh penyidik (polisi) hanya satu
kali 24 jam yang dapat diperpanjang jaksa selama satu kali 24 jam sebelum
dibawa secara fisik ke hakim pembebasan dan penahanan.
Penahanan yang dilakukan penyidik berdasarkan Rancangan ialah lima
kali 24 jam. Jangka waktu paling lama bagi negara yang menandatangani
covenant. Penahanan yang dilakukan oleh polisi Malaysia hanya satu kali
24 jam, yang selanjutnya harus dibawa ke hakim. Di Thailand, ada hakim
piket 24 jam selama seminggu untuk menandatangani surat perintah
penahanan.
2. Perbedaan wewenang yang lain antara Hakim Praperadilan dan Hakim
Komisaris versi Rancangan ialah hakim praperadilan hanya menunggu
adanya tuntutan dari pihak yang berkepentingan sedangkan Hakim
Komisaris dapat proaktif menentukan suatu penghentian penyidikan
misalnya, tidak sah. Saling menuntut ke praperadilan antara penyidik dan
penuntut umum ditiadakan, karena dipandang antara penyidik dan
penuntut umum merupakan satu pihak berhadapan dengan
tersangka/penasihat hukum di pihak lain.
3. Hakim Komisaris juga berwenang memutus suatu perkara layak atau tidak
layak diajukan ke pengadilan, suatu hal yang sejak lama diperjuangkan
oleh Adnan Buyung Nasution.
63
4. Kantor Hakim Komisaris di atau dekat Rutan agar tahanan langsung
dimasukkan ke tahanan tanpa dibawa lagi pulang.
Sebagai catatan atas adanya alasan lain menolak adanya Hakim Komisaris
karena akan memakan biaya besar yang setiap kota/kabupaten ada Hakim
Pemeriksa Pendahuluan, dapat dikemukakan bahwa:
Sebelum terbentuk Hakim Komisaris, wewenangnya dilaksanakan oleh
Wakil Ketua Pengadilan. Jadi, pembentukan Hakim Komisaris
bertahap. Kantornya pun dapat meminjam sementara ruangan (ukuran
cukup dengan 3 kali 4 meter persegi) di dekat ruangan Kepala Lapas.
Hanya dia ruangan yang dibutuhkan, satu ruang sidang yang
merangkap ruangan hakim itu. Dia duduk di belakang meja pada hari
kerja dari jam 8.00 sampai dengan jam 16.00 menunggu tahanan
dibawa kepadanya. Ruangan lain untuk panitera dan pegawai lain.
Ruangan rechter-commissaris di Nederland memang mewah penuh
dengan perlengkapan elektronik dan ada ruangan tahanan. Memang
mereka sibuk sekali karena selain memperpanjang penahanan juga
memimpin penyidikan. Berbeda dengan ruangan sidang juge des
liberté et de la detention di Perancis yang sederhana. Memang
tugasnya hanya memperpanjang penahanan.
Secara tidak sengaja, justru wewenang Hakim Komisaris versi
Rancangan mirip dengan wewenang guidice perle indagini preliminary
(Hakim Pemeriksa Pendahuluan) di Italia yang baru dibentuk. Justru
gudice istructtore yang sama dengan rechter-commossaris di
64
Nederland dan juge d’instruction di Perancis, dihapus di Italia. Begitu
pula di Jerman, hakim investigasi itu telah dihapus, kerna dipandang
bersifat inquisitoir. Betapa bodohnya jika Tim RUU KUHAP meniru
lembaga yang justru telah dihapus di negara lain. Agar tidak ada
kesalahpahaman dan alergi, maka saya mengusulkan kepada mantan
anggota Tim RUU (RUU secara resmi telah diserahkan kepada Menteri
Hukum dan HAM, Andi Mattalatta sebelum pemilu yang lalu) agar
istilah Hakim Komisaris dalam Rancangan diganti dengan Hakim
Pemeriksa Pendahuluan (sama dengan Italia: guidice per le indagini
preliminary) atau hakim prasidang.
Pendeknya sama dengan praperadilan sekarang yang wewenangnya
diperluas dan berdiri sendiri terlepas dari organisasi Pengadilan Negeri,
tidak berada di bawah pimpinan ketua pengadilan negeri. tidak setiap
kasus harus ditunjuk hakim praperadilan.
Catatan lain tentang Hakim Pemeriksa Pendahuluan:
a) Pro Aktif Meneliti Sah Tidaknya Penahanan, Penghentian
Penyidikan.
b) Pembatalan Atau Penangguhan Penahanan
c) Perpanjangan Penahanan 25 Hari
d) Menyatakan Bahwa Keterangan Yang Dibuat Oleh Tersangka Atau
Terdakwa Melanggar Hak Untuk Tidak Menjawab
e) Menyatakan Alat Bukti Atau Pernyataan Yang Diperoleh Secara
Tidak Sah Tidak Dapat Dijadikan Alat Bukti
f) Ganti Kerugian Dan/Atau Rehabvilitasi Untuk Seorang Yang
Ditangkap Atau Ditahan Secara Tidak Sah Atau Ganti Kerugian
Untuk Setiap Hak Milik Yang Disita Seacara Tidak Sah.
g) Tersangka Atau Terdakwa Berhak Untuk Atau Diharuskan Untuk
Didampingi Oleh Pengacara
h) Bahwa Penyidikan Atau Penuntutan Telah Dilakukan Untuk
Tujuan Tidak Sah
65
i) Penghentian Penyidikan Atau Penghentian Penuntut Yang Tidak
Berdasarkan Asas Oportunitas
j) Layak Atau Tidak Layaknya Suatu Perkara Diajukan Ke
Pengadilan (Pretrial)
k) Pelanggaran Terhadap Hak Tersangka Apapum Yang Lain Yang
Terjadi Selama Tahap Penyidikan
Berdasarkan hal yang diuangkapkan poin ke 4 (empat) tersebut, maka dalam RUU
KUHAP 2010 sudah tidak lagi digunakan istilah Hakim Komisaris, tetapi
digunakan istilah Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
1. Kewenangan Hakim Pemeriksa Pendahuluan
Lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan memiliki kewenangan yang lebih luas
jika dibandingkan dengan Praperadilan. Salah satu wewenang Hakim Pemeriksa
Pendahuluan dalam RUU-KUHAP 2012 adalah menentukan layak tidak layaknya
suatu perkara diajukan ke Pengadilan atas permohonan Jaksa (pretrial). Dengan
demikian, jika Jaksa tidak menuntut dan terjadi desakan masyarakat awam, Jaksa
dapat menunjuk putusan Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Namun demikian, jika
kemudian ditemukan bukti baru, dapat diajukan lagi ke Hakim Pemeriksa
Pendahuluan agar penuntutan dapat dilakukan. Dalam pemeriksaan itu, tersangka
dan saksi dapat didengar keterangannya begitu pula konklusi penuntutan.76
Wewenang Hakim Pemeriksa Pendahuluan diatur dalam Bab IX Bagian Kesatu
Pasal 111 ayat (1) RUU-KUHAP 2010, dimana Hakim Pemeriksa Pendahuluan
berwenang menetapkan atau memutuskan :
a) sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan,
atau penyadapan;
b) pembatalan atau penangguhan penahanan;
76 Marwan Effendy, Op.Cit., hlm. 373.
66
c) bahwa keterangan yang dibuat oleh tersangka atau terdakwa dengan
melanggar hak untuk tidak memberatkan diri sendiri;
d) alat bukti atau pernyataan yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat
dijadikan alat bukti
e) ganti kerugian dan/atau rehabilitasi untuk seseorang yang ditangkap atau
ditahan secara tidak sah atau ganti kerugian untuk setiap hak milik yang
disita secara tidak sah;
f) tersangka atau terdakwa berhak untuk atau diharuskan untuk didampingi
olehpengacara;
g) bahwa penyidikan atau penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang
tidak sah;
h) penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang tidak
berdasarkan asas oportunitas;
i) layak atau tidaknya suatu perkara untuk dilakukan penuntutan ke
pengadilan.
j) pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama
tahap penyidikan.
Dari ketentuan Pasal 111 RUU-KUHAP 2010 tersebut dapat dilihat bahwa Hakim
Pemeriksa Pendahuluan memiliki wewenang yang lebih luas dibandingkan dengan
Praperadilan. Dengan demikian tindakan Hakim Pemeriksa Pendahuluan di tahap
pemeriksaan pendahuluan bersifat aktif, dan berfungsi baik sebagai examinating
judge maupun investigating judge.77
2. Pihak yang Berhak Mengajukan Permohonan kepada Hakim Pemeriksa
Pendahuluan
Pemeriksaan yang dilakukan Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapat dilakukan
berdasarkan Pasal 111 ayat (2) dan ayat (3), yaitu sebagai berikut :
a) Atas permohonan tersangka atau penasehat hukumnya atau Penuntut
Umum
b) Hanya atas permohonan Penuntut Umum (khusus mengenai layak atau
tidaknya penuntutan suatu perkara ke pengadilan
77 Luhut M.P. Pangaribuan, Pembaharuan Hukum Acara Pidana : Surat- Surat Resmi di
Pengadilan oleh Advokat, Jakarta : Djambatan, 2008, hlm. 68.
67
c) Inisiatifnya sendiri
3. Proses Pemeriksaan oleh Hakim Pemeriksa Pendahuluan
RUU-KUHAP 2012 mengatur mengenai tata cara pemeriksaan oleh Hakim
Pemeriksa Pendahuluan dalam Pasal 112, yaitu sebagai berikut :
a) Hakim Pemeriksa Pendahuluan memberikan keputusan dalam waktu
paling lambat 2 (dua) hari terhitung sejak menerima permohonan
b) Hakim Pemeriksa Pendahuluan memberikan putusan berdasarkan hasil
penelitian salinan dari surat perintah penangkapan, penahanan, penyitaan,
atau catatan lainnya yang relevan
c) Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapat mendengar keterangan dari
tersangka atau penasehat hukumnya, penyidik, atau penuntut umum
d) Apabila diperlukan, Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapat meminta
keterangan dibawah sumpah dari saksi yang relevan dan alat bukti surat
yang relevan
e) Permohonan sebagaimana dimaksud tidak menunda proses penyidikan.
Di dalam KUHAP yang berlaku saat ini, terdapat ketentuan apabila suatu perkara
sudah mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri, sedangkan pemeriksan terhadap
permohonan Praperadilan belum selesai, permohonan Praperadilan tersebut akan
gugur secara otomatis. Dalam RUU-KUHAP ini tidak diatur ketentuan mengenai
gugurnyanya permohonan yang diajukan kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
139
IV. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dibahas dalam bab-bab sebelumnya, dan
setelah melakukan pembahasan terhadap data-data yang diperoleh, maka dalam
Bab IV dapat diambil simpulan sebagai berikut :
1. Dominasi kekuasaan kehakiman melalui Hakim Pemeriksa Pendahuluan
ini terlihat dari kewenangannya untuk melakukan pengawasan atas
tindakan penyidik dan penuntut umum dalam pemeriksaan pendahuluan.
Lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan akan lebih mampu menjalankan
fungsi pengawasan pada tahap pemeriksaan pendahuluan. Dimana hal ini
menunjukan kontribusi positif lembaga baru ini dalam mewujudkan
keterpaduan SPP (Integrated Criminal Justice System / ICJS) yang lebih
baik jika di bandingkan dengan lembaga Praperadilan.
2. Penjaminan HAM tersangka atau terdakwa akan terwujud lebih baik
dengan adanya lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan bila dibandingkan
dengan lembaga Praperadilan. Hal ini dikarenakan wewenang yang di
miliki oleh lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan lebih luas dan
140
lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan ini dapat bertindak aktif
memeriksa dan mengawasi upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik.
B. Saran
Berdasarkan simpulan tersebut, maka penulis menyarankan agar Rancangan
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) agar dapat segera
disahkan, hal ini dikarenakan KUHAP yang berlaku saat ini sudah tidak sesuai
dengan kebutuhan hukum bangsa Indonesia saat ini. Selain itu dalam RUU-
KUHAP lembaga Praperadilan yang dalam praktiknya ditemukan ketidak
efektifannya telah digantikan dengan lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan
yang memiliki wewenang lebih luas. Selain itu dengan wewenang yang dimiliki
lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan ini akan lebih terwujudnya keterpaduan
sistem peradilan pidana (Intergrated Criminal Justice System / ICJS) di Indonesia,
serta penjaminan Hak Asasi Manusia milik tersangka atau terdakwa akan lebih
terwujud dengan hadirnya lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan ini.
141
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Adji, Indriyanto Seno. KUHAP dalam prospektif, Jakarta : Sinar Grafika, 2011
Adji, Oemar Seno. Hukum, Hakim Pidana, Jakarta : Erlangga, 1980.
---------- Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta : Erlangga, 1980.
Afiah, Ratna Nurul. Praperadilan dan Ruang Lingkupnya, Jakarta : Akademika
Pressindo, 1986.
Anwar, H.A.K. Mochamad. Chalimah Suyanto dan Sunanto, Praperadilan,
Jakarta : IND-HILL-CO, 1989.
Asmawie, M. Hanafi. Ganti Rugi dan Rehabilitasi Menurut KUHAP, Jakarta :
Pradnya Paramita, 1990.
Asshidique, Jimly. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi, Jakarta :
BIP, Kelompok Gramedia, 2007, Hlm. 521.
Atmasasmita, Romli. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta :
Prenadamedia Group, 2013.---------- Sistem Peradilan Pidana, Bandung :
Binacipta, 1996.
Bakir, Herman. Filsafar Hukum : Desain dan Arsitektur Kesejarahan, Jakarta :
Refika Aditam, 2007
142
Dewi , Erna dan Firganefi, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Bandar Lampung :
Fakultas Hukum Unila, 2013.
Effendy, Marwan. Teori Hukum dari Perspektif Kebijakan, Perbandingan, dan
Harmonisasi Hukum Pidana, Ciputat : Referensi, 2014.
Hamdan, M. Politik Hukum Pidana, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997.
Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
---------- Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia dalam Hukum Acara Pidana,
Jakarta : Penerbit Universitas Trisakti, 2010.
Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permaslahan dan Penerapakan KUHAP :
Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta : SInar Grafika, 2014.
---------- Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kemabali, Jakarta :
Sinar Grafika, 2000.
Hiariej, Eddy O.S. Teori & Hukum Pembuktian, Jakarta : Erlangga, 2012.
Husin, Kadri. dan Budi Rizki Husin, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia,
Lampung : Universitas Lampung, 2012.
Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang :
Bayumedia Publishing, 2006.
Jr., Geoffrey Hazard. Encyclopedia of Crime and Justice, Stanford Kadish, 1982.
Kaligis, O C. Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan
Terpidana, Bandung : Alumni, 2006.
Kauffal, HMA. Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, Malang : UMM Press,
2008.
Luqman, Loebby. Pra-Peradilan di Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1990.
143
Mertokusumi, Sudikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta : Liberty,
2005.
Muhammad, Rusli. Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti, 2007.
Mujahidin, Ahmad. Peradilan Satu Atap di Indonesia, Bandung : PT Refika
Aditama, 1983.
Muladi, Kapita Selekta Peradilan Pidana, Semarang : Badan Penerbit UNDIP,
1995.
Nasional, Badan Pembinaan Hukum. Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Jakarta, 2011.
Nawawi Arief, Barda Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1998.
---------- Kebijakan Formulasi Ketentuan Pidana dalam Peraturan Perundang-
Undangan, Semarang : Pustaka Magister, 2012.
---------- Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,
Bandung : Citra Aditya, 2002.
---------- Reformasi Sistem Peradilan (Sistem Penegakan Hukum) Di Indonesia,
Semarang : Badan Penerbit Undip, 2011.
Pangaribuan, M.P. Lay Judges & Hakim Ad Hoc : Suatu Studi Teoritis mengenai
Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Jakarta : FH Pasca Sarjana UI, 2009.
---------- Pembaharuan Hukum Acara Pidana : Surat- Surat Resmi di Pengadilan
oleh Advokat, Jakarta : Djambatan, 2008
Prinst, Darwan. Praperadilan dan Perkembangannya di dalam Praktek, Bandung
: Citra Aditya Bakti, 1993.
144
Purnomo, Pokok-Pokok Tata Cara Peradilan Pidana Indonesia dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981, Yogyakarta : Liberty, 1993.
Rawls, John. Teori Keadilan : Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan
Kesejahteraan Sosial, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1995.
Reksodiputro, Mardjono. Bunga Rampai Permasalahan dalam Sistem Peradilan
Pidana Kumpulan Karangan Buku Kelima, Jakarta : Pusat Pelayanan
Keadilan dan Pengabdian Hukum, 2007.
---------- Hak Asasi dalam Sistem Peradilan Pidana Kumpulan Karangan Buku
Ketiga, Jakarta : Pusat Pelayanan Hukum dan Keadilan, 2007.
---------- Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta : Pusat
Pelayanan Hukum dan Keadilan, 2007.
---------- Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta : Pusat Pelayanan
Hukum dan Keadilan, 2007.
---------- Menuju pada suatu Kebijakan Kriminal dalam HAM dalam SPP, Jakarta
: Pusat Pelayanan Hukum dan Keadilan, 1993.
Salam, F. Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Bandung : Mandar
Maju, 2001.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Bandung : UI Press Alumni,
1986.
Steenhuis, D. W. Individual Rights and Collective Interest in the Application of
Criminal Law, dikutip dari “Criminologi in the 21th Century”, 1990.
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung : Sinar Baru,
1983.
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2005.
145
Tanusubroto, S. Penanan Praperadilan dalam Hukum Acara Pidana, Bandung :
Alumni, 1983.
Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum dalam Praktek, Jakarta : Sinar Grafika,
1991.
Wisnubroto, Al. dan G. Widiartama, Pembaharuan Hukum Acara Pidana,
Bandung : Citra Aditya, 2005.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Undang – Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang – Undang Nomor 81 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Indonesia
(Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana)
C. Makalah
Hamzah, Andi. Penjelasan Beberapa Hal dalam RUU Hukum Acara Pidama,
Makalah, disampaikan pada Sosialisasi NA RUU HAP di Jakarta, 1
November 2010.
Nasution, Adnan Buyung. Beberapa Catatan tentang Praperadilan versus Hakim
Pemeriksa Pendahuluan, disampaikan dalam acara Diskusi Tematik
Pembaharuan Hukum Acara Pidana, FH UI, 24 Maret 2010.
Reksodiputro, Mardjono. Rekonstruksi SIstem Peradilan Pidana Indonesia,
Makalah, disampaikan pada Seminar Komisi Hukum Nasional pada 9
Desember 2009.
146
S.P., Bayunugraha. Analisi Yuridis Putusan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel
tentang Permohonan Praperadilan Diluar Ketentuan Pasal 1 angka 10 jo. Pasal
77 KUHAP, Karya Ilmiah.
Setiabudhi, I. K. Rai. Terkait Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
disampaikan dalam acara dengar pendapat dengan DPR RI terkait dengan
RUU KUHP dan KUHAP di Provinsi Bali, 20 Juni 2013.
D. Internet
Kamus Besar Bahasa Indonesia, https://kbbi.web.id/prospektif.
Penelitin KHN : Praperadilan Memang Mengandung Banyak Kelemahan,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b29bab9ef3a7/penelitian-khn-
%20praperadilan-mengandung-banyak-kelemahan.
R.W., Riki Perdana. Praperadilan Pasca 4 Putusan MK,
https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/index.php/peraturan/6-
artikel/artikel-hakim-agung/1449-praperadilan-pasca-4-putusan-ma-dr-riki-
perdana-raya-waruwu-s-h-m-h.
E. Lain – lain
Naskah Akademik Rancangan Undang – Undang Hukum Acara Pidana oleh Tim
Perancang Undang – Undang KUHAP
Rancanagn Undang – Undang Hukum Acara Pidana Tahun 2010
Rancanagn Undang – Undang Hukum Acara Pidana Tahun 2012
top related