prosiding - ilmupolitikfisipuho.com...dan posisi organisasi, melaksanakan pengisian jabatan...
Post on 04-Jun-2020
26 Views
Preview:
TRANSCRIPT
i
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL
TAHUN 2018
“TELAAH KRITIS TATA KELOLA NEGARA DALAM
PELAYANAN PUBLIK DARI PERSPEKTIF: SOSIOLOGI,
ILMU POLITIK, KESEJAHTERAAN SOSIAL,
KOMUNIKASI POLITIK DAN PEMERINTAHAN”
GRAND CLARION KENDARI, 22 NOVEMBER 2018
Diterbitkan Oleh:
Kerjasama Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Halu Oleo
Dan
Jakad Media Publishing
2019
ii
iii
PROSIDING SEMINAR NASIONAL TAHUN 2018
“TELAAH KRITIS TATA KELOLA NEGARA DALAM PELAYANAN
PUBLIK DARI PERSPEKTIF: SOSIOLOGI, ILMU POLITIK,
KESEJAHTERAAN SOSIAL, KOMUNIKASI POLITIK DAN
PEMERINTAHAN”
Panitia Pelaksana:
1. Pembina : Prof. Dr.Ir.Muhammad Zamrun F,M.Si. (Rektor)
2. Penanggung Jawab : Dr. La Tarifu,S.Pd.M.Si. (Dekan FISIP)
3. Ketua Pelaksana : Sartono,S.Sos.M.Si.
4. Sekretaris : Dr.Muh. Zein Abdullah,S.Ip.M.Si.
5. Koordinator Seksi Acara, : Prof. Dr. H. Eka Suaib., M.Si.
Materi & Narasumber
Anggota : Dr. Bahtiar,M.Si.
: Dr.Muhammad Najib Husain,M.Si.
: Dr. Muhammad Amir,M.Si.
: Dr. Jamaluddin HOS,M.Si.
: Sumadi Dilla,S.Sos.M.Si.
6. Koordinator Seksi Makalah: La Ode Herman Halika,S.Ip.M.I.Kom.
Dan Artikel
Anggota : Rahman Ako, S.Sos., M.A.P
iv
v
DAFTAR ISI
Halaman Sampul ................................................................................................................... i
Daftar Isi ................................................................................................................................ v
Kata Pengantar ...................................................................................................................... vii
Peran RENSTRA Pemberdayaan Pemerintah Kabupaten Simeulue Dalam Reformasi
Birokrasi Publik Agar Terwujudnya Masyarakat Simeulue .................................................... 1
Alimas Jonsa, S.Sos., M.Si
Menggugat Para Senator (Studi Kritis Revitalisasi Tupoksi Dewan Perwakilan
Daerah RI) ............................................................................................................................... 11
Dodi Santoso., S.Sos., M.Ipol
Model Tata Kelola Organisasi dalam Pengentasan Kemiskinan ............................................. 17
H. Joko Tri Brata
Interkoneksi Budaya, Pendidikan Dan Pelayanan Kesehatan Berbasis Keluarga Di
Kabupaten Kolaka ................................................................................................................... 25
Drs. Juhepa M.Si, Dr. Muh Arsyad, M.Si, Sarpin, S.Sos, M.Si,
Harnina Ridwan, S.IP., M.Si
Memperkuat Sistem Presidensial: Suatu Gagasan Menciptakan Efektivitas Pemerintahan ... 39
La Husen Zuada, S.IP., M.IP, Muhammad Ahsan Samad, S.Ip. M.Si
Penggunaan Instagram Sebagai Referensi Wisata Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu
Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Halu
Oleo ......................................................................................................................................... 45
La Ode Herman Halika, S.IP.M.I.Kom, Hamrul Marsula, S.Sos. M.Si
Komunikasi Antar Pribadi Guru Dan Murid Dalam Menanamkan Pengetahuan Bahasa
Wolio (Studi Pada Guru dan Murid di SD Negeri 3 Baubau) ................................................. 56
Drs. La Ode Muh. Syahartijan, M.Pd
Telaah Kritis Tata Kelola Negara Dalam Perspektif Neo Weberian State .............................. 70
Dr. Muhammad Amir, M.Si
Analisis Peran E-Government Dalam Mendukung Kepercayaan Dan Keterbukaan
Informasi Publik Di Kota Kendari (Studi Pada Kasus Website Resmi Pemerintah Kota
Kendari) ................................................................................................................................... 76
Dr. Jopang, M.Si, Dr. Muhammad Yusuf, M. Si
vi
Mantra Hitam Proses Pelayanan Publik .................................................................................. 84
Peribadi dan La Ode Montasir
Tata Kritis Tata Kelola Negara dari Perspektif Administrasi Publik ...................................... 90
Dr. Syamsul Alam, M.Si
Pemberdayaan Petani Tambak Di Desa Labokeo Kecamatan Laeya Kabupaten Konawe
Selatan ..................................................................................................................................... 100
Tanzil
Peningkatan Aksesibilitas Pelayanan Informasi Publik Di Kota Baubau ............................... 105
Wa Ode Arsyiah, Elim Mariama, dan Syahril R
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Puji Syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hanya atas
seizin-Nya lah Prosiding Seminar Nasional Tahun 2018 ini dapat disusun dan
dilaksanakan dengan baik. Seminar Nasional Tahun 2018 telah diselenggarakan di Grand
Clarion Kendari Pada Tangal 22 November 2018 dengan mengusung tema besar “Telaah
Kritis Tata Kelola Negara Dalam Pelayanan Publik Dari Perspektif: Sosiologi, Ilmu
Politik, Kesejahteraan Sosial, Komunikasi Politik Dan Pemerintahan”.
Seminar Nasional tahun 2018 ini dihadiri oleh sejumlah pakar, akademisi dan
praktisi dari lembaga daerah dan kementerian maupun perguruan tinggi. Pembicara kunci
yang kompeten baik dari pusat dan daerah maupun perguruan tinggi telah mampu
memberikan pemaparan yang sesuai dengan temu ilmiah ini. Adapun proses review para
pemakalah dilakukan agar dapat memberikan sumbangan pemikiran yang variatif dalam
memberikan ide-ide positif untuk dijadikan simpulan maupun rekomendasi bagi para
pemangku kepentingan maupun ilmu pengetahuan.
Dalam Prosiding ini terdapat 13 makalah yang merupakan karya ilmiah dari
berbagai disiplin ilmu dan kepakaran. Semua makalah dalam prosiding ini telah melalui
proses seleksi dan telah dikoreksi berdasarkan hasil diskusi yang kemudian dilakukan
proses editing oleh tim editor.
Selaku penyelenggara Seminar Nasional Tahun 2018, kami mengucapkan terima
kasih sebesar-besarnya kepada para pembicara utama, moderator, pemakalah, serta para
peserta seminar yang telah menyumbangkan pemikiran melalui karya tulis dalam
prosiding ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyelenggaraan temu
ilmiah nasional ini. Oleh karena itu, dengan tulus kami atas nama panitia dan
penyelenggara menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya dan harapan kami
semoga prosiding ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan penulisnya.
1
Peran RENSTRA Pemberdayaan Pemerintah Kabupaten Simeulue Dalam
Reformasi Birokrasi Publik Agar Terwujudnya Masyarakat Simeulue
Yang Adil Dan Sejahtera Berdasarkan Nilai-Nilai Syariat 2017-2022
Alimas Jonsa, S.Sos., M.Si
Dosen Prodi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Teuku
Umar, Meulaboh Aceh Barat.
Email: alimasjonsa@gmail.com
Abstrak
Peran Rencana Strategis (Renstra) Dalam Pemberdayaan Birokrasi Pemerintah Kabupaten
Simeulue Dalam Reformasi Birokrasi Publik Agar Terwujudnya Masyarakat Simeulue Yang Adil Dan
Sejahtera Berdasarkan Nilai-Nilai Syariat 2017-2022 telah disusun berdasarakan Aturan Undang-
Undang Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlaku sejak Pelantikan Tahun 2017. Peren-
canaan pembangunan daerah adalah proses penyusunan tahapan kegiatan yang melibatkan berbagai
unsur pemangku kepentingan di dalamnya, guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya yang
ada dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial dalam suatu lingkungan wilayah/daerah dalam
jangka waktu tertentu. Dokumen Perencanaan Pembangunan Jangka Menengah Daerah terdiri atas
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Strategis (Renstra) SKPD
(Satuan Kerja Perangkat Daerah). Hal ini sebagai implementasi/perwujudan amanat Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang memberikan
landasan bagi berbagai bentuk perencanaan dari pusat hingga daerah, setiap Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) wajib menyusun dokumen perencanaan lima tahunan, yaitu Rencana Strategis Satuan
Kerja Perangkat Daerah (Renstra-SKPD) yang memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program
dan kegiatan pembangunan sesuai dengan tugas fungsinya secara lebih spesifik dan terukur serta
dilengkapi dengan sasaran yang hendak dicapai. Ini disusun untuk memenuhi ketentuan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8
Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan Pengandalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana
Pembangunan Daerah. Rencana Strategis merupakan suatu proses yang berorientasi pada hasil yang
dicapai dalam kurun waktu 5 (lima) tahun ke depan sehingga akan menjadi pedoman pelaksanaan
program/kegiatan, dengan memperhitungkan berbagai kekuatan/potensi, hambatan dan peluang yang
ada atau mungkin timbul. Di dalam dokumen Rencana Strategis ini terkandung: tujuan, sasaran dan
kebajikan melalui program/kegiatan. Sehingga cita-cita mulia yang direncanakan oleh pemerintah
daerah akan tercapai menuju simeulue sejahtera.
Kata Kunci: Peran, Pemberdayan, Reformasi Birokrasi, Simeulue Sejahtera.
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang Peran Rencana Strategi (Renstra) Dalam Pemberdayaan Birokrasi Pemerintah
Kabupatenm Simuelue Dalam Reformasi Birokrasi Publik Agar Terwujudnya Masyarakat
Simeulue Yang Adil Dan Sejahtera Berdasarkan Nilai-Nilai Syariat 2017-2022 telah disusun
berdasarakan Aturan Undang-Undang Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlaku sejak
Pelantikan Tahun 2017. Perencanaan pembangunan daerah adalah proses penyusunan tahapan
kegiatan yang melibatkan berbagai unsur pemangku kepentingan di dalamnya, guna
pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya yang ada dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan sosial dalam suatu lingkungan wilayah/daerah dalam jangka waktu tertentu.
Dokumen Perencanaan Pembangunan Jangka Menengah Daerah terdiri atas Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Strategis Satuan Kerja
2
Perangkat Daerah (Renstra-SKPD). Hal ini sebagai implementasi/perwujudan amanat Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang
memberikan landasan bagi berbagai bentuk perencanaan dari pusat hingga daerah, setiap Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) wajib menyusun dokumen perencanaan lima tahunan, yaitu
Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra-SKPD) yang memuat visi, misi,
tujuan, strategi, kebijakan, program dan kegiatan pembangunan sesuai dengan tugas fungsinya
secara lebih spesifik dan terukur serta dilengkapi dengan sasaran yang hendak dicapai.
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
daerah dalam upaya mencapai keberhasilannya perlu didukung dengan perencanaan yang baik,
sesuai dengan visi dan misi organisasi. Pendekatan yang dilakukan adalah melalui perencanaan
strategis yang merupakan serangkaian rencana tindakan dan kegiatan mendasar yang dibuat
untuk diimplementasikan oleh organisasi dalam rangka pencapaian tujuan organisasi yang telah
ditetapkan sebelumnya.
Sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, bahwa setiap SKPD perlu
menyusun Rencana Strategis (Renstra) SKPD sebagai dokumen perencanaan pembangunan
jangka menengah di setiap SKPD untuk jangka waktu 5 (lima) tahun. Renstra SKPD disusun
sesuai dengan tugas dan fungsi SKPD, serta berpedoman kepada RPJM Daerah dan bersifat
indikatif. Adapun ketentuan mengenai tata cara penyusunan Rencana Strategis SKPD telah
diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 86 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan
Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah, yang merupakan
pedoman pelaksanaan dalam menyusun Renstra. Penyusunan Renstra SKPD terdiri dari tahapan
sebagai berikut: Persiapan penyusunan Renstra SKPD; Penyusunan rancangan Renstra SKPD;
Penyusunan rancangan akhir Renstra SKPD; dan Penetapan Renstra SKPD.
Dokumen Renstra Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Kabupaten Simeulue ini, merupakan komitmen BKPSDM Kabupaten Simeulue yang digunakan
sebagai tolok ukur dan alat bantu bagi perumusan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan
khususnya dalam kebijakan kepegawaian daerah Kabupaten Simeulue, serta sebagai pedoman
dan acuan dalam mengembangkan dan meningkatkan kinerja sesuai dengan kewenangan, tugas
pokok dan fungsinya, dengan mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki, serta
peluang dan ancaman yang dihadapi dalam rangka mendukung pencapaian visi Kabupaten
Simeulue, dengan meilihat fenomena diatas Peneliti mengambil judul penelitan antara lain
adalah “Peran RENSTRA Pemberdayaan Pemerintah Kabupaten Simeulue Dalam Reformasi
Birokrasi Publik Agar Terwujudnya Masyarakat Simeulue Yang Adil Dan Sejahtera
Berdasarkan Nilai-Nilai Syariat 2017-2022”.
2. Rumusan Masalah Bagaimanakah Peran Rencana Strategi Pemberdayaan Pemerintah Kabupaten Simeulue
Dalam Reformasi Birokrasi Publik?
Apa Permasalahan dan Tantangan Agar Terwujudnya Masyarakat Simeulue Yang Adil
Dan Sejahtera Berdasarkan Nilai-Nilai Syariat 2017-2022?.
3. Tujuan Penulisan Untuk Mengetahui Peran RENSTRA Pemberdayaan Pemerintah Kabupaten Simeulue
Dalam Reformasi Birokrasi Publik.
Untuk mengetahui Permasalahan dan Tantangan Pemerintah Daerah Kabupaten
Simeulue dalam Terwujudnya Masyarakat Simeulue Yang Adil Dan Sejahtera Berdasarkan
Nilai-Nilai Syariat 2017-2022.
3
B. Teori Dan Konsep
1. Peran RENSTRA Pemberdayaan Pemerintah Kabupaten Simeulue Dalam
Reformasi Birokrasi Publik. Strategi yang ditetapkan BKPSDM Kabupaten Simeulue untuk 5 (lima) Tahun
mendatang adalah sebagai berikut: Meningkatkan sarana dan prasarana pendukung data
kepegawaian, Meningkatkan profesionalisme dan mengembangkan kemampuan aparatur,
Mengembangkan standar kompetensi jabatan, Mengembangkan pola karir jabatan, Mening-
katkan pengetahuan aparatur, Meningkatkan SDM aparatur melalui mengikuti diklat dan rapat-
rapat/sosialisasi.
Adapun kebijakan-kebijakan yang ditetapkan BKPSDM Kabupaten Simeulue untuk 5
(lima) tahun ke depan adalah: Menyediakan komputerisasi data kepegawaian dan SAPK,
Mengelola file pegawai sebagai data otentik, Mengikuti pendidikan dan pelatihan, Menyediakan
analisis kebutuhan diklat sesuai kompetensi, Menyusun standar kompetensi jabatan,
Melaksanakan analisis jabatan dan pemetaan jabatan melalui uji kompetensi sesuai kebutuhan
dan posisi organisasi, Melaksanakan pengisian jabatan struktural dan fungsional, Melaksanakan
sosialisasi dan peningkatan wawasan aparatur, Menyelenggarakan diklat pembinaan mental dan
spiritual, Melaksanakan seleksi pendidikan dan pemberian bantuan tugas belajar.
Berdasarkan uraian dan gambaran yang menjelaskan strategi serta kebijakan Badan
Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kabupaten Simeulue dalam kurun
waktu 5 (lima) tahun ke depan guna menunjang keberhasilan capaian sumber daya PNS/ASN
berikut dijabarkan: strategi dan kebijakan yang digunakan oleh BKPSDM Kabupaten Simeulue,
seperti ditunjukkan pada tabel 1 berikut ini:
Tabel. 1
Peran Arah Kebijakan Rencana Strategi Pemberdayaan Pemerintah Kabupaten Simeulue
Dalam Reformasi Birokrasi Publik.
Visi Terwujudnya Masyarakat Simeulue Yang Adil Dan Sejahtera Berdasarkan Nilai-Nilai Syariat
Misi Mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik Bersih Dan Amanah
No Tujuan Sasaran Strategi Kebijakan
1 Meningkatkan Kua-
litas Tata Kelola
Pemerintahan Yang
Bersih, efektif dan
Amanah Secara
Berkelanjutan
Tercapainya Birokrasi
Yang Bersih Dan
Akuntabel dan Ter-
laksananya Road Map
Reformasi Birokrasi.
1. Pelayanan Profe-
sional Yang Trans-
paransi, dan Bebas
KKN.
2. Meningkatkan Sistem
Data Base Kepega-
waian Yang Lengkap
Dan Akurat.
3. Peningkatan
Pengawasan
Pelanggaran Displin
PNS.
4. Peningkatan
Peningkatan Fasilitas
Pendidikan Dan Pe-
latihan Bagi ASN.
5. Fasilitas Pendidikan
Dan Pelatihan Bagi
ASN
Meningkatkan Kualitas
Atas Kebijakan dan
Pengawasan Serta Pe-
ngembangan Sistem Ke-
pegawaian Berbasis Tek-
nologi Informasi Dalam
Pelayanan Pengadaan,
Kepangkatan/Mutasi Dan
Pelayanan Pensiun.
4
2. Arah Konsep Kebijakan Terwujudnya Masyarakat Simeulue Yang Adil Dan
Sejahtera Berdasarkan Nilai-Nilai Syariat 2017-2022. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten
Simeulue tahun 2017–2022 dimana visi Kepala Daerah Kabupaten Simeulue terpilih adalah
"Terwujudnya Masyarakat Simeulue Yang Adil, Dan Sejahtera Berdasarkan Nilai-Nilai
Syariat”. Dalam visi tersebut terdapat 3 (tiga) gagasan pokok yang menjiwai seluruh gerak dan
proses pemerintahan dan pembangunan di Kabupaten Simeulue yaitu:
a. Adil
Yaitu masyarakat simeulue yang memiliki akses dan jangkauan layanan kesehatan,
pendidikan, ekonomi dan infrastruktur yang merata dan proporsional di seluruh kecamatan
sehingga kesenjangan pelayanan masyarakat di seluruh kecamatan tidak timpang.
b. Sejahtera
Yaitu suatu kondisi terpenuhinya hak-hak dasar secara layak mencakup pemenuhan
pangan, pelayanan kesehatan, pekerjaan dan kesempatan berusaha, perumahan, air bersih
dan sanitasi, tanah, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dan tentram serta
pemenuhan hak untuk berpartisipasi dalam hal kegiatan pembangunan, politik dan sosial
kemasyarakatan.
c. Nilai-Nilai Syariat
Yaitu suatu kondisi meningkatnya nuansa-nuansa islami dalam hidup dan kehidupan
masyarakat yang ditandai dengan penerapan nilai-nilai islami yang kaffah dalam seluruh
aktifitas, berakhlak mulia, jujur dan adil, bertaqwa kepada Allah SWT, berilmu pengetahuan
tinggi, terwujudnya sakinah serta memelihara hubungan yang harmonis sesama antar umat
beragama.
Perwujudan visi di atas, ditempuh melalui misi pembangunan daerah. Misi
merupakan komitmen untuk melaksanakan agenda-agenda utama yang menjadi penentu
keberhasilan pencapaian visi pembangunan. Adapun misi dari Kepala Daerah Kabupaten
Simeulue terpilih 2017-2022, sebagai berikut: Mewujudkan pendidikan yang berkualitas
untuk menghasilkan sumber daya manusia yang unggul dan berdaya saing, Mewujudkan
pelayanan kesehatan yang berkualitas, terjangkau, dan merata, Meningkatkan kesejahteraan
masyarakat berbasis ekonomi kerakyatan dan pemanfaatan teknologi, Mewujudkan tata
kelola pemerintahan yang baik, bersih, dan amanah, Meningkatkan ketersediaan dan kualitas
infrastruktur dan fasilitas umum, Mengelola sumber daya alam secara optimal,
berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan, Mewujudkan ketahanan dan kemandirian
pangan, Mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat yang rukun dan harmonis dengan
pengamalan nilai-nilai syariat Islam.
Mencermati secara seksama visi dan misi Kabupaten Simeulue tahun 20172022
bila disandingkan dengan tugas pokok dan fungsi Badan Kepegawaian dan Pengembangan
Sumber Daya Manusia Kabupaten Simeulue, maka BKPSDM Kabupaten Simeulue sebagai
penyelenggara pemerintahan daerah di bidang kepegawaian mempunyai fungsi sebagai
berikut: Perumus kebijakan teknis di bidang kepegawaian, Pelaksana pelayanan penunjang
penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang manajemen kepegawaian, Pelaksana
penyusunan rencana dan program, monitoring, evaluasi dan pelaporan di bidang manajemen
kepegawaian, Pelaksana pengelolaan sistem informasi kepegawaian, Pelaksana koordinasi
dan fasilitasi di bidang kepegawaian.
C. Metode Penelitian Adapun metode penelitian yang dilakukan adalah Metode Penelitian Survey dengan
mengikuti beberapa langkah-langkah sebagaimana yang dikemukakan oleh Singarimbun (1995,
h.3), sebagai berikut: Merumuskan masalah penelitian dan menentukan tujuan survey, Menentukan
konsep dan hipotesa serta menggali kepustakaan, Adakalanya hipotesa tidak diperlukan, misalnya
pada penelitian operasional. Pengambilan sampel, Pembuatan kuesioner, Pekerjaan lapangan,
termasuk memilih dan melatih pewawancara, Pengolahan data, Analisa dan pelaporan.
5
1. Sumber Data Penelitian ini merupakan suatu studi kasus dengan jenis data primer dan sekunder.
Dalam penelitian ini data primer adalah jawaban langsung dari informan yang berkaitan dengan
penelitian. Data primer bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dalam penelitian. Data primer ini
seperti dikatakan Bagong Suyanto dan Sutinah (2008, h. 55) bahwa “data primer yaitu data yang
diperoleh langsung dari obyek yang akan diteliti (responden). Pengumpulan data primer dengan
menggunakan instrumen penelitian, yaitu interview guide dan wawancara tidak berstruktur.
Sedangkan menurut Bungin (2008, h. 122): “Data sekunder adalah data yang diperoleh
dari sumber kedua atau sumber sekunder dari data yang kita butuhkan misalnya melalui
dokumen”. Data sekunder itu merupakan data yang diperoleh oleh peneliti dari sumber-sumber
yang telah ada. Diketahui bahwa sebelum penelitian dilakukan oleh peneliti, data sekunder
memang sudah tersedia, data ini diperoleh dari studi kepustakaan, dokumen, koran, internet
yang berkaitan dengan kajian penelitian. Dalam penelitian ini yang akan dijadikan sumber data
sekunder adalah data-data dari beberapa literatur seperti laporan penelitian, jurnal dan buku-
buku yang berkaitan dengan pelaksanaan Keterbukaan Informasi Publik.
2. Metode Pengumpulan Data Proses penelitian Pada Instasi Pemerintah (eksekutif) atau Pelaksana Undang-Undang
Langsung pada instansi yang bersangkutan Yakni di Instansi BKPSDM Kepulauan Kabupaten
Simeulue Propinsi Aceh. Pada Tahap ini Peneliti melakukann kajian disebut dengan self
assessment (Kajian Mandiri) oleh intansi pemerintah yang berhubungan langsung dengan
Liding sektor program BKPSDM. Pada tahap ini, peneliti langsung wawancara dan
menganalisis dokumen Rentra (2017-2022) Pemerintah Kabupaten Simeulue selanjutnya
dilakukan verifikasi terhadap dokumen yang telah disediakan oleh Stakholder.
3. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilaksanakan di Kepulauan Kabupaten Simeulue Propinsi Nanggroe
Aceh Darussalam Indonesia. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kualitatif dengan
metode survey (descriptive exploratory study). Survey dalam penelitian ini dilakukan terhadap
instansi pemerintah yang berhubungan langsung dengan liding sektor seperti BKPSDM
Kabupaten Simeulue Propinsi Aceh Negara Republik Indonesia.
1. Tantangan Terwujudnya Masyarakat Simeulue Yang Adil Dan Sejahtera
Berdasarkan Nilai-Nilai Syariat 2017-2022. Sebagai salah satu Organisasi Perangkat Daerah, Badan Kepegawaian dan
Pengembangan Sumber Daya Manusia mempunyai tugas pokok dan fungsi dalam
administrasi kepegawaian di daerah, dengan sistem dan prosedur yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang meliputi: perencanaan (formasi), persyaratan
pengangkatan, penempatan dan pemindahan, pendidikan dan pelatihan, penggajian,
pemberhentian, sanksi (punishment) dan penghargaan (rewards), serta pensiun. Untuk
mendukung program pembangunan pemerintah daerah selama 5 tahun ke depan sesuai
agenda dan prioritas pembangunan diantaranya mewujudkan pemerintahan dan masyarakat
yang mandiri dan berdaya saing, yaitu suatu kondisi pemerintahan dan masyarakat yang
semakin mampu menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan berdasarkan
kemampuan sendiri dan berdaya saing tinggi yang ditandai dengan semakin berkembangnya
jiwa leadership di kalangan pemerintahan dan semangat enterpreneur di kalangan
masyarakat luas, yang selanjutnya diarahkan kedalam agenda prioritas pembangunan
Pemerintah Kabupaten Simeulue.
Dalam mendukung prioritas pembangunan daerah dalam memberikan kemudahan
pelayanan publik tentunya perlu disiapkan penataan sumber daya aparatur yang profesional
dan proporsional. Untuk menata sumber daya aparatur Pegawai Negeri Sipil Daerah, hal-hal
yang perlu diperhatikan adalah dengan melakukan identifikasi permasalahan berdasarkan
tugas pokok dan fungsi. Identifikasi permasalahan tugas pokok dan fungsi dilakukan melalui
6
Analisa SWOT, serta Analisa Strategis dan Analisa Pilihan (ASAP) atau Analisis Alternatif
yang diuraikan berikut ini:
a. Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tugas dan Fungsi Pelayanan BKPSDM
Identifikasi pemasalahan didasarkan pada tugas pokok dan fungsi pada
BKPSDM. Yang menjadi perhatian untuk 5 (lima) tahun kedepan dalam pengelolaan
Sumber Daya Manusia/Aparatur adalah melanjutkan program dan kegiatan yang belum
tercapai pada target Renstra sebelumnya sehingga perlu ditindaklanjuti pada Renstra
2017-2022 sebagai konsekuensi dalam mendukung program pemerintah daerah 5 tahun
mendatang. Meningkatnya kebutuhan pelayanan publik dari waktu ke waktu
menyebabkan tuntutan masyarakat akan pelayanan publik perlu mendapatkan perhatian
dari pemerintah termasuk di dalamnya adalah pelayanan di bidang kepegawaian. Ada 3
(tiga) masalah yang muncul dalam pengelolaan kepegawaian yaitu:
Pertama Masalah sistem, antara lain: Perubahan dominasi pengembangan sistem
karir berdasarkan senioritas menjadi sistem prestasi, Perubahan sistem sentralistik
menjadi desentralistik, Penilaian prestasi kerja pegawai kurang terukur, Adanya penataan
kelembagaan dan personal.
Kedua Masalah sumber daya manusia, antara lain: Kualitas sumber daya
manusia, baik kemampuan konseptual maupun kemampuan teknis, Budaya kerja yang
kurang mendukung profesionalitas, Etos kerja pegawai yang masih rendah, Komposisi
pegawai belum seimbang dan proporsional, Penyebaran PNS/ASN yang belum merata,
Implikasi psikologis terhadap penataan kelembagaan dan personal.
Ketiga Masalah Teknis, antara lain: Penataan dan distribusi alokasi pegawai
belum merata pasca penataan kelembagaan.
Tabel 2
Pemetaan Permasalahan Untuk Penentuan Prioritas Dan Sasaran
No Masalah Pokok Masalah Akar Masalah
1 Kedisiplinan Dan Kinerja
Pegawai Yang Belum
Maksimal
Etos Kerja Pegawai Yang
Masih Rendah
Sistem Penilaian Kinerja
ASN Belum Objektif
2 Kompetensi Pegawai Yang
Tidak Seimbang dan
Proposional Dengan
Kedudukan/Jabatan
Kurangnya Pemahaman
Atas Beban/Tanggung
Jawab Kerja/Jabatan
Adanya Penataan
Kelembagaan Dan
Personality
3 Proporsi Penempatan ASN
Tidak Sesuai Dengan
Kebutuhan
Organisasi/Kelembagaan
Kinerja Organisasi Belum
Maksimal
Tidak Meratanya
Penyebaran/Penempatan
PNS/ASN
Permasalahan-permasalahan tersebut diatas merupakan permasalahan pemba-
ngunan yang bermuara pada masih kurangnya kemampuan dan profesionalisme aparatur
pemerintah daerah. Hal tersebut menjadi tantangan berat yang dihadapi dan harus segera
mendapatkan solusi agar pada masa yang akan datang dapat terwujud pelaksanaan
pemerintahan yang berdaya guna dan berhasil guna. Seperti pada tabel berikut ini:
b. Analisis SWOT BKPSDM Tantangan Terwujudnya Masyarakat Simeulue Yang
Adil Dan Sejahtera Berdasarkan Nilai-Nilai Syariat 2017-2022.
1. Kekuatan Strenght (S)
Adanya Undang-undang dan Peraturan tentang Kepegawaian dalam
menunjang penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan bidang kepegawaian;
7
Tersedianya aparatur yang memiliki kompetensi pendidikan dan komitmen kinerja
yang baik; Tersedianya dana yang cukup untuk melaksanakan kegiatan; Kemampuan
personil dalam struktur organisasi yang relevan dan profesional.
2. Kelemahan Weakness (W)
Prasarana yang kurang memadai untuk memberikan kenyamanan pelayanan
kepada PNS/ASN dan belum tersedianya sarana yang cukup khususnya untuk
penyimpanan data arsip perorangan PNS/ASN; Terhambatnya penyampaian informasi
kepegawaian secara cepat karena jangkauan lokasi SKPD yang menyebar di daerah;
Terbatasnya personil yang menangani kepegawaian dengan jumlah PNS/ASN yang
mendapatkan pelayanan; Kurangnya fasilitas sarana dan prasarana yang memadai
untuk mendukung pelayanan.
3. Peluang/Opportunity (O)
Adanya potensi Sumber Daya Manusia Aparatur yang dapat dikembangkan
dalam penataan personil; Adanya kebijakan untuk melakukan pembinaan, pengem-
bangan dan pengawasan kepada aparatur agar PNS/ASN berdisiplin dan profesional;
Adanya kebijakan pemerintah untuk mengembangkan dan mengelola PNS/ASN yang
profesional dalam penataan manajemen PNS/ASN; Sistem teknologi Informasi dan
komputerisasi yang mendukung pelayanan yang prima, cepat dan tepat.
4. Ancaman/Thread (T)
Adanya tuntutan pelayanan yang lebih baik bagi PNS/ASN mulai dari proses
rekruitmen hingga proses pensiun; Era globalisasi dan kemajuan Iptek yang menuntut
perkembangan sistem pelayanan kepegawaian harus mengikuti perubahan.
2. Proses Peran RENSTRA Pemberdayaan Pemerintah Kabupaten Simeulue
Dalam Reformasi Birokrasi Publik. Tujuan pembangunan daerah Kabupaten Simeulue dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan 5 (lima) tahun ke depan adalah: Mewujudkan
pendidikan yang berkualitas untuk menghasilkan sumber daya manusia yang unggul dan
berdaya saing, Mewujudkan pelayanan kesehatan yang berkualitas, terjangkau dan merata,
Meningkatkan kesejahteraan masyarakat berbasis ekonomi kerakyatan dan pemanfaatan
teknologi, Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, bersih, dan amanah, Mening-
katkan ketersediaan dan kualitas infrastruktur dan fasilitas umum, Mengelola sumber daya
alam secara optimal, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan, Mewujudkan ketahanan
pangan dan kemandirian, Mewujudkan tata kehidupan masyarakat yang rukun dan harmoni
dengan pengamalan nilai-nilai syariat.
1. Telaahan Renstra K/L terhadap Renstra BKPSDM Kabupaten Simeulue
Sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang diemban oleh BKPSDM Kabupaten
Simeulue dalam konteks manajemen sumber daya aparatur, Renstra BKPSDM Kabupaten
Simeulue Tahun 20172022 memiliki keterkaitan yang erat dengan renstra kementerian,
yaitu Renstra Kementerian Pendayagunaan Aparatur dan Reformasi Birokrasi
(Kementerian PANRB). Adapun visi Kementerian PANRB Tahun 20152019 dalam
Renstra adalah sebagai berikut: Mewujudkan Aparatur Negara yang Berkepribadian,
Bersih, dan Kompeten untuk Mencapai Kualitas Pelayanan Publik yang Berkinerja
Tinggi”.
Dalam rangka mencapai visinya tersebut, Kementerian PANRB telah
merumuskan dan menetapkan misi yang harus diembannya, yaitu: Mengembangkan
Transparansi dan Akuntabilitas Kinerja Pemerintahan, Membangun SDM Aparatur yang
Kompeten dan Kompetitif, Menciptakan Pemerintahan yang Efektif dan Efisien,
Meningkatkan Kualitas Pengelolaan Reformasi Birokrasi.
2. Telaahan Rencana Tata Ruang Wilayah dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis
Lingkungan Hidup strategis berpengaruh terhadap kinerja pembangunan yang
dapat dikendalikan secara langsung. Untuk mengoptimalkan pelaksanaan kegiatan dalam
menunjang perumusan kebijakan program dirasa perlu menganalisa rencana tata ruang
8
wilayah dalam hal ini faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi pada kinerja
pembangunan daerah, antara lain: Potensi sumber daya manusia yang memadai; Letak
geografis wilayah yang sangat strategis; Potensi sumber daya alam yang memadai;
Tersedianya infrastruktur sosial ekonomi yang memadai; Suasana politik yang stabil,
kearifan sosial yang berakar pada nilai-nilai budaya dan agama yang kuat.
Dari isu strategis tersebut di atas, sasaran yang diharapkan dalam Renstra Badan
Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia kedepan adalah peningkatan
pengembangan sarana dan prasarana pelayanan kepegawaian melalui Sistem Aplikasi
Pelayanan Kepegawaian (SAPK) dan data elektronik, dengan tersedianya sistem jaringan
diharapkan mampu meningkatnya kualitas pelayanan kepegawaian daerah yang baik di
era globalisasi.
3. Penentuan Isu-Isu Strategis
Berbagai persoalan kepegawaian yang mengemuka sampai dengan saat ini cukup
memberi warna tersendiri, masyarakat memandang bahwa sebagian besar pegawai negeri
ditengarai masih tidak kompeten dalam menangani tugas dan fungsi dibidangnya
khususnya pelayanan publik, PNS yang ada tidak berkualifikasi sesuai dengan kebutuhan
tugas fungsi jabatan yang diduduki, PNS yang ada tidak terdayagunakan secara optimal,
dan kinerjanya rendah. Hal itu tampak dalam perwujudan sebagai berikut: Pembinaan dan
pengembangan karir jabatan PNS belum didasarkan pada standar kompetensi jabatan
yang dipersyaratkan, dan Pola Karier PNS yang jelas; Evalusi kinerja PNS belum
berlandaskan pada Sistem Penilaian Kinerja Berbasis Merit (mekanisme penilaian masih
menggunakan DP3/SKP), yang memungkinkan capaian kinerja individu pegawai dapat
mendorong peningkatan karirnya dan memungkinkan pemberian kompensasi dapat
dilakukan secara adil berdasarkan prestasi pegawai sesuai dengan bobot jabatannya
(Sistem Remunerasi Berbasis Kinerja); Belum terbangunnya Sistem Perencanaan dalam
Rekrutmen PNS berdasarkan kebutuhan formasi jabatan dan standar kompetensinya,
mengakibatkan distribusi dan alokasi pegawai belum merata; Berbagai regulasi dan
kebijakan pembinaan PNS (peraturan perundang-undangan kepegawaian) sebagaian besar
belum terlaksana dan disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan pembinaan lokal;
Dalam rangka perumusan kebijakan dan penyelenggaraan manajemen kepegawaian
belum sepenuhnya didukung data dan informasi (database) kepegawaian yang memadai;
Kondisi kepega-waian yang ada masih diwarnai ketidakkonsistennya penyelenggaraan
manajemen PNS/ASN terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, di berbagai
instansi pemerintah.
Isu-isu tersebut yang selalu menjadi pusat perhatian dan perbincangan, berkenaan
dengan peran BKPSDM dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, terutama dalam
memberikan pelayanan di bidang kepegawaian, yang dapat diidentifikasi sebagai berikut:
Belum optimalnya peningkatan kapasitas, kompetensi yang mengarah pada peningkatan
profesionalisme sumber daya aparatur; Penempatan pegawai belum didasarkan pada
standar kompetensi jabatan; Masih rendahnya disiplin PNS/ASN; Belum optimalnya
pemanfaatan dan penerapan teknologi informatika dalam aplikasi sistem informasi
manajemen kepegawaian dalam pelayanan administrasi maupun informasi.
D. Kesimpulan Adapun kesimpulan dalam penelitian ini adalah terkait permasalahan dan tantangan
pemerintah daerah kabupaten simeulue secara umum dengan melihat pada saat awal persentasi Visi
dan Misi Bupati terpilih priode 2017-2022 antara lain rendahnya kemampuan keuangan daerah,
masih tingginya angka kemiskinan, masih rendahnya kualitas sumber daya manusia, mahalnya
harga kebutuhan pokok, pelayanan publik belum optimal, infrastruktur belum tersedia menyeluruh.
Begitu juga terkait masalah ASN/PNS/Honerer dan bakti pada instansi pemerintah daerah
kabupaten Simuelue dengan melihat Rentra BKPSDM 2017-2022 Kabupaten Simeulue Propinsi
Aceh antara lain Pokok kedisiplinan dan kinerja pegawai yang belum maksimal, Kompetensi
pegawai yang tidak seimbang dan proposional dengan kedudukan/jabatan, proporsi penempatan
9
ASN Tidak Sesuai dengan kebutuhan organisasi/kelembagaan. Masalah etos kerja pegawai yang
masih rendah, kurangnya pemahaman atas beban/tanggung jawab kerja/jabatan, kinerja organisasi
belum maksimal. Akar masalah sistem penilaian kinerja ASN belum objektif, Adanya penataan
kelembagaan dan personality, tidak meratanya penyebaran/penempatan PNS/ASN.
Dengan melihat hal diatas maka Bupati dan Wakil Bupati kabupaten Simeulue, perlu
melakukan pemberdayaan pemerintah (Empowering Goverment) sebuah trobosan reformasi
birokrasi dengan cita-cita terwujudnya masyarakat yang adil dan sejahtera berdasarkan nilai-nilai
syariat. Adapun indikator dari sejahtera adalah, mampu secara ekonomi, sehat jiwa raga, terdidik,
cerdas, unggul dan berdaya saing menuju sejahtera.
E. Saran Pemerintah Kepulauan Daerah Kabupaten Simeulue Propinsi Aceh perlu meningkatkan
ekonomi masyarakat berbasis pemberdayaan karena kebutuhan pokok harga sangat mahal akibat
kepulauan jauh dari pulau sumatera, selanjutnya pemanfaatan potensi sumber daya alam untuk
pemetaan tanaman pangan yang hidup sehingga masyarakat dalam pemasok kebutuhan tidak dari
semua kepulauan daratan sumatera, meningkatkan kualitas sumber daya manusia simeulue yang
unggul dan berdaya saing, Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih, tertib, dan amanah,
mewujudkan tata kelola anggaran yang transparan, tertib, dan akuntabel, mewujudkan tatanan
kehidupan masyarakat yang rukun dan, harmonis dengan pengamalan nilai-nilai syariat islam.
Sehingga cita-cita visi misi bupati terpilih 2017-2022 menuju simeulue adil sejahtera berdasarkan
nilai-nilai syariat itu akan tercapai sesuai dengan target yang telah diamanahkan dalam Renstra
RPJMD dan SKPD kabuapten simeulue.
F. Daftar Pustaka ___, Moleong, J. Lexi, 2013. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Remaja Rosda Karya
Bandung.
___, Siagian. P., Sondang, 2014. Administrasi Pembangunan Konsep, Dimensi, dan Strategi. Bumi
Aksara. Jakarta.
___, Singarimbun, Masri (1995). Metode Penelitian Survei. LP3S, Jakarta.
____, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelengaraan Keistimewaan Provinsi
Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3893);.
____, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Bireuen dan
Kabupaten Simeulue (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 176, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3897).
____, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional Program Pembangunan Nasional;.
____, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah
kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008;.
____, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah;
____, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil;.
____, Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom;.
____, Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2000, tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri
Sipil, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2002;.
____, Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan
Pegawai Negeri Sipil;.
____, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003, tentang wewenang pengakatan, pemindahan
dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil;.
____, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 Tentang Tahapan, Tata cara Penyusunan,
Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah;.
10
____, Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5887);.
____, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 79 Tahun 2007 Tentang Pedoman Penyusunan
Rencana Pencapaian Standar Pelayanan Minimal;.
____, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 Tentang Perubahan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah;
____, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 86 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan PP Nomor 8
Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan
Rencana Pembangunan Daerah;.
____, Qanun Kabupaten Simeulue Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan
Perangkat Daerah Kabupaten Simeulue (Lembaran Kabupaten Simeulue Tahun 2016 Nomor 22).
____, Qanun Kabupaten Simeulue Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Kabupaten (RPJMK) Simeulue Tahun 2017-2022.
____, Peraturan Bupati Kabupaten Simeulue Nomor 24 Tahun 2017 tentang Kedudukan Susunan
Organisasi, Tugas dan Fungsi Serta Tata Kerja Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber
Daya Manusia Kabupaten Simeulue.
____, Peraturan Bupati Simeulue Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Peraturan Bupati
Simeulue Nomor 12 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pemberian Tugas Belajar Dan Izin Belajar
Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Simeulue.
11
Menggugat Para Senator
(Studi Kritis Revitalisasi Tupoksi Dewan Perwakilan Daerah RI)
Dodi Santoso., S.Sos., M.Ipol.
(Dosen Ilmu Politik Universitas Haluoleo)
Abstrak
Bicara soal keterwakilan, tentunya berkaitan dengan lembaga perwakilan yang ada di
Indonesia, dari tingkat daerah (tingkat I dan II) maupun pusat. Sebagaimana yang diatur dalam UUD
1945 pasal 19-21 yang menjelaskan DPR sebagai lembaga delibertif dengan fungsi-fungsinya sebagai
badan perwakilan. Namun seiring berjalan nya waktu (terutaman setelah reformasi) muncullah sebuah
badan perwakilan yang memiliki embel-embel daerah, yaitu DPD (Dewan Perwakilan Daerah), yang
merupakan wujud perwakilan dari daerah.
Dewan Perwakilan Daerah yang sebelumnya merupakan utusan daerah adalah merupakan
lembaga tinggi negara yang anggotanya dipilih dari masing-masing provinsi dalam mekanisme
pemilihan umum. DPD RI merupakan wadah penyampaian aspirasi yang berbasis kedaerahan, dengan
DPD RI inilah, diharapkan daerah (provinsi-provinsi) di Indonesia diharapkan memiliki wakil yang
dapat mengerti dan dapat paham akan isu-isu kedaerahan untuk dapat diangkat pada tataran
pemerintah pusat. Ini tentu nya dalam kerangka memudahkan kordinasi antara pemerintah pusat dan
daerah. Hal tersebut menjadi penting karena bisa menjadi acuan bagi pemerintah dalam membuat
kebijakan-kebijakan yang tepat dan berpihak pada tiap-tiap daerah.
Kata Kunci: Perwakilan, Utusan Daerah, Lembaga Tinggi Negara.
Abstract
Talking about representation, of course, relates to representative institutions in Indonesia,
from the regional level (level I and II) and the center. As stipulated in the 1945 Constitution article
19-21 which describes the DPR as a delibertif institution with its functions as a representative body.
But over time (especially after reform) came a representative body that had regional attachments,
namely the DPD (regional representative council), which was a representation of the region.
The Regional Representative Council which was previously a regional envoy was a state high
institution whose members were selected from each province in the mechanism of the general election.
The DPD RI is a regional-based forum for delivering aspirations, with this DPD RI, it is expected that
the regions (provinces) in Indonesia are expected to have representatives who can understand and be
able to understand regional issues to be appointed at the central government level. This is of course
within the framework of facilitating coordination between the central and regional governments. This
is important because it can be a reference for the government in making policies that are appropriate
and pro-side for each region.
Keywords: Representatives, Regional Representatives, State High Institutions
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang Bicara soal tata kelola pelayanan publik, tidak melulu soal produk atau output sebagai
obyek yang di hasilkan oleh suatu institusi yang berupa kebijakan. Dimensi tata kelola
pelayanan publik juga berbicara tentang pelaku atau subyek dari yang menghasilkan sebuah
12
produk berupa kebijakan. Salah satunya adalah instansi penyelenggara negara (tingkatan pusat)
yang bertindak sebagai subyek adalah Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI).
Pada 1 Oktober 2004 merupakan awal mula Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI
berdiri, awal mulanya hanya beranggotakan 128 orang. DPD RI merupakan lembaga tinggi
negara yang berasal dari perwakilan masing-masing provinsi, mekanisme pemilihannya juga
sama seperti DPR RI, yaitu dengan mengikuti pemilihan umum tiap 5 tahun sekali dan
keanggotaan DPD RI masing-masing 4 (empat) orang wakil dari provinsinya masing-masing.
Konsep perwakilan daerah seperti DPD RI sebenarnya telah ada sejak lama, bahkan
sejak awal kemerdekan, yaitu Moh. Yamin salah satu anggota BPUPKI (Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Gagasan-gagasan akan pentingnya keberadaan
perwakilan daerah di parlemen, pada awalnya diakomodasi dalam konstitusi pertama Indonesia,
UUD 1945, dengan konsep ―utusan daerah‖ di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),
yang bersanding dengan ―utusan golongan‖ dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal
tersebut diatur dalam Pasal 2 UUD 1945, yang menyatakan bahwa ―MPR terdiri atas anggota
DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut
aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.‖ Pengaturan yang longgar dalam UUD 1945
tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan perundang-undangan.1
B. Landasan Hukum dan Landasan Teori Amandemen UUD 1945 tahun 1999-2002 lalu menjadikan badan perwakilan di Indonesia
mengalami perubahan, yang semula menganut monokameral menjadi bikameral atau dua kamar,
yang terdiri dari DPR yang mewakili partai politik dan DPD yang mewakili kepentingan daerah.
Ada beberapa pertimbangan bagi Indonesia menuju sistem dua kamar: Pertama, seperti diutarakan
Montesquieu, sistem dua kamar merupakan suatu mekanisme checks and balances antara kamar-
kamar dalam satu badan perwakilan. Kedua, Penyederhanaan sistem badan perwakilan. Hanya ada
satu badan perwakilan tingkat pusat yang terdiri dari dua unsur yaitu unsur yang langsung mewakili
seluruh rakyat dan unsur yang mewakili daerah. Tidak diperlukan utusan golongan. Kepentingan
golongan diwakili dan disalurkan melalui unsur yang langsung mewakili seluruh rakyat.
Ketiga, wakil daerah menjadi bagian yang melaksanakan fungsi parlemen (membentuk undang-
undang, mengawasi pemerintah, menetapkan APBN, dan lain-lain).
Dengan demikian segala kepentingan daerah terintegrasi dan dapat dilaksanakan sehari-
hari dalam kegiatan parlemen. Hal ini merupakan salah satu faktor untuk menguatkan persatuan,
menghindari disintegrasi. Keempat, sistem dua kamar akan lebih produktif. Segala tugas dan
wewenang dapat dilakukan setiap unsur. Tidak perlu menunggu atau bergantung pada satu badan
seperti DPR sekarang.
Sebagai perbandingan, menurut Samuel C Patterson & Anthony Mughan, selain lahir dari
tradisi dan sejarah yang panjang, diterapkannya bikameralisme dalam sistem perwakilan di
berbagai negara pada umumnya didasarkan atas dua pertimbangan; Pertama, Representation,
perlunya perwakilan yang lebih luas dari pada hanya atas dasar jumlah penduduk. Dalam hal ini
yang paling utama adalah pertimbangan keterwakilan wilayah. Kedua, redundancy, perlu adanya
sistem yang menjamin bahwa keputusan-keputusan politik yang penting, dibahas secara berlapis
(redundancy) sehingga berbagai kepentingan dipertimbangkan secara masak dan mendalam.
Beberapa waktu lalu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPD) mengajukan uji materi
kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pasal yang berkaitan dengan DPD RI itu sendiri. Inilah
beberapa item ketetapan dan putusan MK terkait Uji Materi yang diajukan oleh DPD RI, terutama
dalam norma Pasal 174 ayat (1):
Menurut Mahkamah norma Pasal 174 ayat (1) Undang-Undang mengenai pertimbangan
DPD atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama disampaikan sebelum
memasuki tahapan pembahasan antara DPR dan Presiden adalah sudah tepat sebab kewenangan
1 wikipedia.org/dpdri
13
DPD atas rancangan undang-undang tersebut hanya sebatas memberikan pertimbangan dan tidak
ikut membahas rancangan undang-undang, sehingga tidak ada relevansinya sama sekali apabila
pertimbangan DPD tersebut diberikan pada saat pembahasan antara DPR dan Presiden
sebagaimana yang dimohonkan oleh Pemohon. UUD 1945 sengaja membedakan antara
pertimbangan dengan persetujuan.
C. Pembahasan 1. Ketimpangan antara DPR dan DPD
Ketimpangan wewenang antara DPR dan DPD bermula dari amandemen UUD 1945
yakni pada perubahan tahun pertama 1999, peran legislasi dan politik lembaga legislatif sudah
sepenuhnya diserahkan pada DPR. Pada awal pelaksanaan kewenangan DPR yang sangat kuat
itu, dirasakan DPR menjadi mendominasi kekuasaan presiden, sehingga awal perubahan UUD
ketiga tahun 2001 muncul wacana perlunya lembaga penyeimbang atas kewenangan DPR itu,
hadirlah DPD. DPD yang dikontruksi sebagai lembaga perwakilan daerah kewenangannya
sesungguhnya telah diambil habis oleh DPR, mulai dari penyusunan undang-undang, anggaran,
sampai dengan mekanisme pemberhentian presiden, bahkan proses–proses seleksi atas lembaga
negara; Komisi Pemilihan Umum, Komisi pemberantas korupsi, Komisi Yudisial dan lembaga
independen lainnya DPR yang melakukan uji kelayakan.
Oleh sebab itu pengaturan kewenangan DPD pun dipaksakan masuk dalam UUD namun
tidak secara optimal misalnya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 22D Ayat (1) UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945: ―Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.” Sedangkan yang diatur dalam
Pasal 5 ayat (1) UUD 1945: Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada
Dewan Perwakilan Rakyat.
2. Sifat DPD RI
DPD RI sebagai lembaga perwakilan daerah pada kenyataannya berbeda dengan
harapan awal pembentukannya, yakni diharapkan menjadi kamar aspirasi lain selain DPR RI,
berikut merupakan kondisi yang sebenarnya:
1) Indonesia tidak menganut sistem bikameral sesuai dengan bentuk negara Indonesia yaitu
Negara kesatuan.
2) Lembaga perwakilan di Indonesia menurut UUD 1945, juga tidak mengenal majelis tinggi dan
majelis rendah. Baik DPR maupun DPD adalah lembaga perwakilan yang tugas, wewenang,
dan fungsinya telah ditentukan dalam UUD 1945. DPR merupakan representasi perwakilan
rakyat, sedangkan DPD adalah representasi perwakilan daerah.
3) Secara historis, DPD tidak pernah dirancang dan diniatkan sebagai senat seperti misalnya yang
dikenal di Amerika Serikat. Oleh sebab itu, anggota DPD bukanlah senator.
4) Tugas, wewenang dan fungsi DPD sama sekali berbeda dengan tugas, wewenang, dan fungsi
senat dalam lembaga perwakilan yang merupakan model bikameral.
5) Secara historis, kelahiran DPD adalah perluasan tugas, wewenang, dan fungsi utusan daerah
yang dikenal pada masa sebelum dilakukan perubahan UUD 1945. Karena itu, namanya
sempat diusulkan sebagai Dewan Utusan Daerah.
6) Semangat yang melandasi pembentukan DPD adalah semangat memperkuat negara kesatuan
Republik Indonesia yaitu dengan cara memberikan kewenangan kepada wakil-wakil daerah
(anggota DPD) untuk turut ambil bagian dalam pengambilan putusan politik tertentu
sepanjang berkenaan dengan daerah.
3. Perbandingan di luar negeri
Sebagai perbandingan, di Jerman majelis tinggi yang disebut Bundesrat memiliki
kewenangan untuk menyetujui dan mem-veto (menolak) suatu rancangan undang-undang yang
di Basic Law telah menentukan rancangan undang-undang mana saja yang diharuskan
14
mendapat persetujuan Bundesrat, yaitu rancangan undang-undang untuk mengamandemen
konstitusi, rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pelaksanaan administrasi negara
bagian, serta rancangan undang-undang yang mempengaruhi kondisi keuangan negara. Perlu
diketahui bahwa penolakan (veto) dari Bundesrat terhadap rancangan undang-undang yang telah
ditentukan oleh Basic Law harus mendapatkan persetujuan Bundesrat dikenal sebagai absolute
veto, veto jenis ini tidak dapat dikalahkan oleh Bundestag, (majelis rendah).
Sedang di Inggris secara umum, fungsi the House of Lords—selanjutnya disebut the
Lords—serupa dengan fungsi the Commons dalam hal legislasi, membahas isu, dan bertanya
pada eksekutif. Namun, dua hal penting yang amat membedakannya adalah: pertama, para
anggota the Lords tidak merepresentasikan konstituen; kedua, mereka tidak terlibat dalam hal
yang berkaitan dengan pajak dan keuangan. Peran the Lords secara umum dipahami sebagai
sebuah peran tambahan dari apa yang telah dilakukan oleh the Commons, yaitu sebagai perevisi
rancangan undang-undang yang dianggap amat penting dan kontroversial. Semua rancangan
undang-undang harus melalui kedua kamar.
Di Amerika Serikat dalam Congress yang terdiri dari House of Representative (DPR
dan Senat), misalnya, DPR dan Senat punya kesempatan untuk mengecek semua rancangan
undang-undang sebelum disampaikan kepada presiden. Dengan demikian, dalam fungsi
legislasi, Senat punya kewenangan yang relatif simbang dengan DPR.
Dengan kata lain, contoh-contoh dewan perwakilan daerah di negara lain sudah matang,
hal ini terkait dengan tugas pokok dan fungsi, mereka menganggap dewan perwakilan daerah
bukan sekedar ―pemanis dan pelengkap‖ dalam menjalankan kehidupan demokrasi khususnya
dalam hal keterwakilan daerah di parlemen. Oleh karena itu perlu adanya tinjau ulang terkait
dengan tupoksi dari DPD RI kita, supaya jelas fungsi dan posisinya, jangan sampai hanya
menjadi ajang ―reuni‖ para politisi yang telah usai menjabat di DPR atau para mantan kepala
daerah saja.
4. Isu Sektor Komunal Daerah (Domain DPD RI)
Disaat masih belum jelasnya wilayah wewenang DPD RI dalam ketatanegaraan,
sebenarnya ada yang bisa ―digarap‖ oleh para anggota DPD RI. Karena basic keanggotaan DPD
RI ini adalah perwakilan daerah, yakni isu atau permasalahan di daerah yang sifatnya komunal,
misalnya isu kebakaran hutan, musibah asap. Kita ketahui kedua isu ini kerap kali muncul
hampir setiap tahunnya, hal ini dikarenakan negara kita beriklim tropis, sehingga pada musim
kemarau menimbulkan cuaca panas serta terjadi kebakaran hutan, selain permasalahan iklim
tersebut, faktor lainnya adalah karena faktor kesengajaan dari ulah manusia itu sendiri. Biasanya
perusahaan-perusahaan yang ini membuka lahan perkebunannya, mereka memilih jalan pintas,
yaitu dengan membakar hutan-hutan guna dijadikan perkebunan.
Dampak dari kebakaran hutan dan lahan ialah rusaknya ekosistem dan musnahnya flora
dan fauna yang tumbuh dan hidup di hutan. Asap yang ditimbulkan juga menjadi polusi udara
yang dapat menyebabkan penyakit pada saluran pernafasan seperti Infeksi Saluran Pernafasan
Atas (ISPA), asma, penyakit paru obstruktif kronik. Selain itu, asap bisa mengganggu jarak
pandang, terutama untuk transportasi penerbangan.
Dampak lainnya: Kebakaran hutan dan lahan menyebakan tersebarnya asap dan emisi
gas karbondioksida dan gas-gas lain ke udara yang berdampak pada pemanasan global dan
perubahan iklim. Kebakaran hutan akan menyebabkan hutan menjadi gundul sehingga tak
mampu menampung cadangan air saat musim hujan. Hal ini yang menjadi faktor terjadinya
tanah longsor maupun banjir. Berkurangnya sumber air bersih dan menyebabkan kekeringan
karena kebakaran hutan menyebabkan hilangnya pepohonan yang menampung cadangan air.2
5. Menangkal Radikalisme dan Separatisme
Peran lain yang dapat diambil para anggota DPD RI terkait isu komunal di daerahnya
adalah upaya preventif, yakni ancaman Radikalisme dan Separatisme. Kita ketahui bersama
2 https://nasional.kompas.com/read/2018/08/25/14340331/kebakaran-hutan-dan-lahan-apa-
dampak-dan-upaya-pencegahannya.
15
bahwa akhir-akhir ini marak kembali isu terkait Radikalisme, hal ini tentunya menjadi perhatian
kita bersama. Paham-paham radikal yang berkembang di sejumlah daerah, baiknya menjadi
concern para anggota DPD RI yang kemudian di carikan solusi agar supaya tidak dapat
berkembang lebih luas, isu ini sangat dekat dan strategis dengan para anggota DPD RI, hal ini di
karenakan background dari para anggota DPD RI itu sendiri yang merupakan tokoh dari daerah
tersebut, yang kemudian diharapkan menjadi pengayom masyarakatnya, serta dapat
memperjuangkan aspirasi daerahnya masing-masing pada tataran pusat.
Begitu juga tentang Separatisme. Separatisme merupakan budaya laten, yang sifatnya
akan muncul kapan saja, kita ketahui di daerah-daerah masih sering dijumpai permasalahan ini.
"Dengan konstruksi Indonesia sebagai negara kepulauan dan masyarakat yang
majemuk, potensi separatisme serta konflik komunal berbasis suku, agama, ras termasuk antar
golongan akan selalu ada," kata Hadi saat uji kelayakan dan kepatutan calon Panglima TNI di
Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta.3
Berikut ini merupakan kelompok-kelompok radikal dan separatis yang ada di
Indonesia4:
a. Kelompok Mujahidin Indonesia Timur
Nama kelompok separatis ini memang sedang hangat diperbincangkan di publik.
Menurut data yang dilansir aparat, kelompok Mujahidin Indonesia Timur yang dipimpin oleh
Santoso diperkirakan memiliki 40 anggota. Mereka terutama beroperasi di kawasan
pegunungan Poso, Sulawesi Tengah.
b. Kelompok Jemaah Ansharut Tauhid (JAT)
Selain Mujahidin Indonesia Timur, Jemaah Ansharut Tauhid (JAT) adalah salah satu
kelompok separatis yang berambisi menguasai Indonesia. Di bawah pimpinan Abu Bakar
Ba’asyir, yang juga pernah mengepalai Jamaah Islamiyah, kelompok ini bahkan telah
dimasukkan daftar Organisasi Teroris Asing oleh pemerintah Amerika Serikat.
c. Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) adalah salah satu organisasi separatis yang pernah
memicu gejolak di tanah air. Betapa tidak, gerakan yang mereka lancarkan selama hampir 3
dekade itu sempat membuat pemerintah kewalahan untuk membendungnya. Gerakan
tersebut juga dikenal dengan nama Aceh Sumatera National Liberation Front (ASNLF).
d. Organisasi Papua Merdeka (OPM)
Sama seperti GAM, tujuan dari organisasi separatis ini adalah untuk melepas Papua
dan Papua Barat dari NKRI. Organisasi yang memiliki bendera dengan lambang Bintang
Kejora ini diketahui telah memulai aksi militannya sejak Desember 1963. Jika GAM sudah
resmi dibubarkan, OPM masih tetap eksis sampai sekarang. Bahkan, setiap tanggap 1
Desember, ada saja yang nekad mengibarkan bendera OPM di Papua. Tindakan tentunya
dilarang karena dianggap sebagai sebuah pengkhianatan terhadap bangsa.
e. Kelompok Jamaah Islamiyah
Kelompok separatis ini tidak hanya ditemui di Indonesia, tetapi juga di negara-
negara lain di Asia Tenggara. Dinyatakan sebagai organisasi teroris, Jamaah Islamiyah juga
melancarkan gerakannya di Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand dan Filipina. Bahkan di
Indonesia sendiri, organisasi ini telah dicap sebagai korporasi terlarang.
D. Penutup Sebagai sebuah lembaga tinggi negara DPD RI, sudah barang tentu menjadi tumpuan dan
harapan dari para konstituen nya dalam rangka menyalurkan aspirasi dan membawa daerahnya
masing-masing agar lebih diperhatikan. DPD RI sebagai suatu ―kamar aspirasi‖ dalam sistem
ketatanegaraan yang menganut bikameral. Namun pada kenyataannya wewenang dari DPD RI
ternyata belum dapat menjawab ekspektasi publik, hal ini di karenakan beberapa faktor, faktor
3 https://www.merdeka.com/politik/marsekal-hadi-akui-ancaman-separatis-di-ri-akan-selalu-ada.html
4 https://www.boombastis.com/ngotot-menguasai-indonesia/69855
16
yang pertama adalah terbatasnya wewenang yang diberikan kepada DPD RI dalam Undang-
undang, faktor inilah yang menjadi masalah utama DPD RI selama ini, oleh karena itu menjadi
keharusan untuk melakukan transformasi atau perubahan yang mendasar terkait tugas dan
wewenangnya.
Hal selanjutnya terkait dengan transformasi DPD RI adalah dengan meninjau ulang
keanggotan dari DPD RI itu sendiri, kita bisa lihat bersama bahwa proporsi dari anggota DPD RI
adalah mayoritas pengurus partai politik, kader, simpatisan, atau yang sebelumnya anggota dewan
perwakilan rakyat (baik pusat maupun daerah) yang mencalon di DPD RI, bahkan sekarang ketua
DPD RI merupakan ketua umum sebuah partai politik, hal ini tentunya menjadi bisa kepentingan,
dan juga tidak baik dan tidak etis bagi lembaga tinggi negara tersebut. Hal yang harus dibenahi dari
masalah ini adalah perbaiki sistem rekrutmen DPD RI nya, anggota DPD RI harus sesuai dengan
nama dan marwah lembaga itu, yaitu orang-orang yang murni dan mengenal daerahnya, orang-
orang yang paham dan dapat dijadikan panutan bagi daerahnya. DPD RI bukan ajang reuni bagi
para mantan-mantan pejabat atau yang tidak terpilih di DPR RI.
Yang terakhir adalah, dalam kerangka optimalisasi peran DPD RI, yaitu dengan
menumbuhkan rasa sense of belonging terhadap isu komunal di daerah nya masing-masing, para
anggota DPD RI ini harus menjadi garda terdepan dalam upaya-upaya penyelesaian masalah
daerah, yang utamanya adalah masalah preventif atau sektor pencegahan, karena hal ini merupakan
domain dan ―skill‖ yang harus dimiliki oleh semua anggota DPD RI.
E. Daftar Pustaka Akbarrudin, Andika. ―Pelaksanaan Fungsi Legislasi DPR RI dan DPD RI Pasca Amandemen
UUD 1945‖, Pandecta, Vol. 8, No. 1, Januari, 2013.
Anwar, Chairul. Konstitusi dan Kelembagaan Negara, Jakarta: CV. Novindo Pustaka Mandiri,
1999.
Asshiddiqie, Jimly, 2002, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Jakarta:
Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI.
Asy’ari, Hasyim, Kedudukan dan Peran DPD dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Makalah
dalam Semiloka ―Optimalisasi Fungsi dan Kedudukan DPD RI secara Kelembagaan‖,
diselenggarakan di Semarang, 12 Januari 2006.
Bidaya, Jaini. ―Kewenangan DPD Dalam Sistem Ketatanegaraan RI Menurut UUD 1945‖, Media
Bina Ilmiah, Vol. 6, No. 6, Desember, 2012.
Budiardjo, Miriam dkk. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
https://www.merdeka.com/politik/marsekal-hadi-akui-ancaman-separatis-di-ri-akan selalu-ada.html
https://www.boombastis.com/ngotot-menguasai-indonesia/69855
www.wikipedia.com/dpdri
(1). Paper yang disampaikan pada Seminar Nasional, “Telaah Kritis Tata Kelola Negara dalam
Pelayanan Publik dari Perpektif : Administrasi Publik, Sosiologi, Ilmu Politik, Kesejahteraan
Sosial, Komunikasi Politik dan pemerintahan”, 22 November 2018, UHO Kendari
(2) Dosen Universitas Sulawesi Tenggara, Kendari
17
Model Tata Kelola Organisasi dalam Pengentasan Kemiskinan(1)
H. Joko Tri Brata
(2)
Email; tribratajoko64@gmail.com
Universitas Sulawesi Tenggara
Abstract
Penanggulangan Kemiskinan adalah suatu Model Kebijakan, dimana para pihak yang terlibat
dalam organisasi penanggulangan kemiskinan selalu hanya dalam konteks “Setting Institusional” yang
bersifat formal sehingga dalam konteks efektifitas organisasi, tata kelolanya perlu dielaborasi dalam
setting organisasi jaringan.
Hasil penelitian ini membedah suatu konsep normal tata kelola dengan mencoba
mengeluarkan model tata kelola dalam setiap elemen menjadi sebuah model terintegrasi. Kemudian
mencoba mengtegasikan lagi dalam sebuah setting lebih besar sehingga ditemukan model yang lebih
efisien dalam upaya penanggulangan kemiskinan.
Kata Kunci; Kolaborasi, Penanggulangan Kemiskinan.
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang Kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan ternyata
belum berdampak besar dalam menanggulangi masalah kemiskinan. Hal ini membuat dapat
dilihat dari masih tingginya angka kemiskinan di berbagai daerah di Indonesia. Khususnya di
Sulawesi Tenggara, angka kemiskinan masih berkisar di tataram 12%. Hal ini memaksa
Pemerintah daerah perlu membuat sebuah kebijakan alternatif dalam hal menanggulangi
kemiskinan di daerahnya.
Dalam kaitan dengan itu, konsep dasar dari Peraturan presiden Nomor 15 Tahun 2010
menetapkan bahwa kemiskinan merupakan permasalahan bangsa yang mendesak dan
memerlukan langkah-langkah penanganan dan pendekatan yang sistematik, terpadu dan
menyeluruh, dalam rangka mengurangi beban dan memenuhi hak-hak dasar warga negara
secara layak melalui pembangunan inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan untuk mewujudkan
kehidupan yang bermartabat. Kemiskinan sudah dipandang dari sudut yang berbeda-beda, dan
tegantung pada perspektif yang digunakan (Djatnika, 2009).
Berkaitan dengan konsep diatas, dalam konstelasi perencanaan, Sulistianingrum (2013)
mengemukakan bahwa tidak optimalnya perencanaan penanggulangan kemiskinan di Indonesia
karena; (1) menyangkut ketidaktepatan sasaran, ketidakpaduan lokasi dan waktu, dan
koordinasi antar program/kegiatan maupun program/kegiatan pemerintah pusat dan daerah
yang belum selaras, (2) peran dan kapasitas organisasi pengelola belum optimal, juga karena (3)
pemekaran wilayah yang terus menerus menyulitkan dalam perencanaan dan penganggaran
termasuk kebijakan kemiskinan.
1. Gambaran Umum Organisasi Penanggulangan Kemiskinan Kota Kendari
(1). Paper yang disampaikan pada Seminar Nasional, “Telaah Kritis Tata Kelola Negara dalam
Pelayanan Publik dari Perpektif : Administrasi Publik, Sosiologi, Ilmu Politik, Kesejahteraan
Sosial, Komunikasi Politik dan pemerintahan”, 22 November 2018, UHO Kendari
(2) Dosen Universitas Sulawesi Tenggara, Kendari
18
Sebuah program yang sangat membumi di tahun 2010 di Kota kendari adalah
Program persaudaraan madani, yakni sebuah program kebijakan publik pemerintah Kota
Kendari dalam upaya mengentaskan kemiskinan dengan pola pemberdayaan masyarakat
dengan memper-saudarakan keluarga yang mampu dan tidak mampu status ekonominya
dengan dilandasi rasa yang ikhlas dan sukarela dari masyarakat dalam melaksanakannya.
Program ini adalah upaya memahami masalah kemiskinan dengan membuat sebuah
kebijakan yang bersifat inovatif untuk bisa menanggulangi masalah kemiskinan.
Dalam kaitan dengan skema umum dalam organisasi penangulangan kemiskinan
adalah dengan melihat Skema Tugas Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah
(TKPKD) Kota Kendari disusun berdasarkan Format dasar Tim Koordinasi Penanggulangan
Kemiskinan Nasional (TKPKN), dimana TKPKD diserahkan tugas untuk
mengkoordinasikan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan serta
mengkoordinasikan pengendalian pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan di Kota
Kendari.
Gambar 1; Skema TNPPK tingkat Kabupaten/Kota
Tugas yang diberikan kepada TKPKD adalah melakukan koordinasi kebijakan dan
program, serta menyelenggarakan fungsi pemantauan, supervisi dan tindak lanjut terhadap
penyampaian tujuan program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan agar sesuai
kebijakan pembangunan daerah.
Di Kota Kendari, peran dan fungsi tersebut direalisasikan melalui penyusunan
dokumen Strategi Daerah Penanggulangan Kemiskinan (SDPK), dokumen ini menjadi acuan
bersama dalam upaya Penanggulangan Kemiskinan di Kota Kendari. Hasil Analisa dokumen
dan pengamanatan mengemukakan bahwa gambaran Organisasi penanggulangan kemiskinan
di Kota Kendari yang tergabung dalam TKPKD bukan merupakan suatu kerangka jaringan
yang baik, tetapi hanya sebuah “Setting Institusional” yang bersifat formal karena bentuknya
masih cenderung herarki dan belum mempunyai inovasi dari ketentuan yang ada.
B. Pembahasan
(1). Paper yang disampaikan pada Seminar Nasional, “Telaah Kritis Tata Kelola Negara dalam
Pelayanan Publik dari Perpektif : Administrasi Publik, Sosiologi, Ilmu Politik, Kesejahteraan
Sosial, Komunikasi Politik dan pemerintahan”, 22 November 2018, UHO Kendari
(2) Dosen Universitas Sulawesi Tenggara, Kendari
19
Dari hasil temuan sebelumnya yang menegaskan bahwa TKPKD adalah sebuah “Setting
Institusional”, (Tribrata, 2015), sehingga hasil penelitian Tribrata memberikan gambaran bahwa
berkaitan dengan itu, analisa model jaringan ini dikembangkan dalam sebuah setting antar lembaga
terkait dalam sebuah model terintegrasi (jaringan) karena salah satu yang menjadi fokus
keberhasilan organisasi adalah dengan penguatan organisasi terintegrasi (bahasa lain jaringan)
yang merupakan kunci utama dalam pengembangan organisasi. Hal ini sudah dikemukakan
Goldsmith (2009) yang mengemukakan bahwa keuntungan dari model jaringan adalah dengan
adanya spesialisasi, inovasi, kecepatan dan fleksibilitas, serta peningkatan jangkauan. Titik
berat Inovasi adalah dengan mengkolaborasi satuan dalam satuan organisasi sehingga tercipta suatu
satuan baru yang lebih modern dan fleksibel. Dalam konteks jaringan, disebutkan bahwa aktifitas
para pihak dalam jaringan organisasi berkaitan dengan implementasi program sangatlah
bermanfaat, dalam usaha untuk mencapai tujuan bersama. Peran institusi (kelembagaan) dengan
fokus pada bagaimana organisasi membentuk perilaku dari aktor-aktor, yang terkait
dihimpunannya, seperti dianalogi masyarakat dan warga negara (butir biru dan merah maron)
dalam sebuah konstelasi warga kelurahan/kecamatan, konstituen dari anggota DPRD dan obyek
yang dituju dalam program kedinasan (lihat gambar sebelah kiri analogi model jaringan).
Di bagian kanan gambar, analogi organisasi yang juga berperan aktif dalam
penanggulangan kemiskinan yaitu LSM perduli (warna merah) dengan upaya fasilitasi dan
dampingan warga miskin, Perguruan Tinggi (warna kuning) dengan pola kajian kemiskinan serta
Badan badan usaha (Warna Ungu) dengan Program CSR nya. Keseluruhan analogi tadi terintegrasi
dalam Model kelembagaan ini digambarkan sebagai Model Jaringan Organisasi berikut ini: (Tri
Brata, 2014).
Gambar 2: Analogi Model Jaringan yang ditawarkan (Tri Brata, 2014)
Dalam perkembangan fungsi organisasi pemerintahan, maka pelaksanaan pengentasan
kemiskinan ditandai dengan tugas lembaga terkait yaitu:
1. Lembaga yang berkaitan dengan Sosial Budaya
(1). Paper yang disampaikan pada Seminar Nasional, “Telaah Kritis Tata Kelola Negara dalam
Pelayanan Publik dari Perpektif : Administrasi Publik, Sosiologi, Ilmu Politik, Kesejahteraan
Sosial, Komunikasi Politik dan pemerintahan”, 22 November 2018, UHO Kendari
(2) Dosen Universitas Sulawesi Tenggara, Kendari
20
Berkaitan dengan pengembangan sosial budaya dalam konstelasi pananggulangan
kemiskinan, di analogi bahwa model partisipasi masyarakat, juga memberikan suatu model
sebagai berikut:
Gambaran diatas, kemudian dianalogi bahwa upaya penanggulangan kemiskinan,
dilakukan dengan model dari sektor sosial sebagai berikut:
2. Lembaga yang berkaitan dengan Ekonomi
(1). Paper yang disampaikan pada Seminar Nasional, “Telaah Kritis Tata Kelola Negara dalam
Pelayanan Publik dari Perpektif : Administrasi Publik, Sosiologi, Ilmu Politik, Kesejahteraan
Sosial, Komunikasi Politik dan pemerintahan”, 22 November 2018, UHO Kendari
(2) Dosen Universitas Sulawesi Tenggara, Kendari
21
Bekaitan dengan penanggulangan kemiskinan dari upaya organisasi yang bergerak di
sekter terkait, maka analogi dibawah ini merupakan salah satu model yang juga dapat
dikembangkan yaitu;
3. Lembaga yang berkaitan dengan Fisik dan Prasarana
4. Lembaga yang berkaitan dengan Kerjasama dalam bidang Pemerintahan.
Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang:
Pembangunan, Peningkatan Jalan dan Jembatan,
Pengembangan Air Bersih dan Drainase,
Pemanfaatan Sumber Daya Air
Pengembanngan potensi Ruang
rr
Dinas Perumahan : Seksi Pengembangan Kawasan Perumahan dan
Pemukiman, seksi Pengembangan Perumahan Swadaya dan Formal
(1). Paper yang disampaikan pada Seminar Nasional, “Telaah Kritis Tata Kelola Negara dalam
Pelayanan Publik dari Perpektif : Administrasi Publik, Sosiologi, Ilmu Politik, Kesejahteraan
Sosial, Komunikasi Politik dan pemerintahan”, 22 November 2018, UHO Kendari
(2) Dosen Universitas Sulawesi Tenggara, Kendari
22
Dari keseluruhan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa, organisasi
penanggulangan kemiskinan terbagi ke dalam empat sektor lembaga yaitu Sosial, Ekonomi,
Sarana dan Prasarana, dan Pemerintahan dan Kerjasama. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada gambar berikut:
Berdasarkan semua uraian diatas dapat diketahui keterkaitan antara beberapa Lembaga
(Satuan Kerja perangkat Dinas) yang terlibat dalam penanggulangan kemiskinan, dianalogikan
dengan gambar berikut ini:
(1). Paper yang disampaikan pada Seminar Nasional, “Telaah Kritis Tata Kelola Negara dalam
Pelayanan Publik dari Perpektif : Administrasi Publik, Sosiologi, Ilmu Politik, Kesejahteraan
Sosial, Komunikasi Politik dan pemerintahan”, 22 November 2018, UHO Kendari
(2) Dosen Universitas Sulawesi Tenggara, Kendari
23
Gambar 3 : Integrasi Kelembagaan antar Bidang Penanggulangan Kemiskinan
Dalam pembahasan lain, Tri Brata (2014) mengemukakan bahwa dalam konsep
jaringan antar organisasi tidak lagi tepat didekati lewat pendekatan ekonomi, tetapi dengan
optimalisasi penyatuan sumber daya di tiap organisasi yang dikolaborasi pada suatu tatanan
menuju kesejahteraan (Tri Brata, 2015)
Bagaimana pengelolaan program pengentasan kemiskinan tersebut bisa berkelanjutan,
menjadi tugas dari administrator, yang selama ini cenderung masih berorientasi pada konsep-
konsep penanganan lama, termasuk didalamnya adalah merubah model organisasi
konvensional yang didapatkan (Tri Brata, 2013), sehingga untuk menghadapi tantangan baru
perlu melaui re-desain organisasi. Dalam konteks inilah, maka optimalisasi penyatuan sumber
daya di tiap organisasi (kelembagaan) yang dikolaborasi pada suatu tatanan menuju
kesejahteraan (Tribrata, 2018).
C. Penutup Dari hasil temuan yang menegaskan bahwa TKPKD adalah sebuah “Setting
Institusional”, tetapi sebagai sebuah organisasi yang ada di lingkup pemerintahan, organisasi
penangulanga kemiskinan bersinergi dalam 4 bidang terkait dalam melaksanakan konektifitas
program. Hasil penelitian ini merekomendasikan perlunya redesain kelembagaan organisasi
penanggulangan kemiskinan sebagai satu-satunya lembaga organisasi pemerintah yang resmi
untuk menjawab tiga persoalan utama dalam upaya pembangunan di Indonesia yaitu Kemiskinan,
Ketimpangan dan Kerentanan yang diorganisir dalam suatu struktur organisasi yang terkoordinasi
baik antar sektor maupun antar program melalui organisasi yang sudah terbentuk dengan tugas
fungsional tersebut.
D. Daftar Pustaka (1) Djatnika, Dikcy Ustama, 2009, Peranan Pendidikan Dalam Pengentasan Kemiskinan, Jurnal
Ilmu Administrasi Dan Kebijakan Publik (JIAKP), Vol. 6, No. 1, Januari 2009:1-12.
(2) Goldsmith, Stephen and Donald F.Kettel (editor), (2009), Unlocking The Power Of Network:
Keys To the Hight Performance Government, ash institute for Democratic governance and
(1). Paper yang disampaikan pada Seminar Nasional, “Telaah Kritis Tata Kelola Negara dalam
Pelayanan Publik dari Perpektif : Administrasi Publik, Sosiologi, Ilmu Politik, Kesejahteraan
Sosial, Komunikasi Politik dan pemerintahan”, 22 November 2018, UHO Kendari
(2) Dosen Universitas Sulawesi Tenggara, Kendari
24
innovation John F. Kennedy School of Government Harvard University, Brookings institution
press Washington, D.C.
(3) Hamzah, Asiah, 2012. Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Dan Kelaparan Di Indonesia:
Realita Dan Pembelajaran, Jurnal AKK, Vol 1 No 1, September 2012, hal 1-5.
(4) Kasmad, Rulinawaty, 2015. Jaringan Pengembangan Kapasitas Organisasi Publik, Studi
Kasus Penguatan Organisasi Terintegrasi dalam Implementasi Kebijakan PKL di Kota
Makassar, Makalah disajikan pada Seminar Nasional IAPA Sulselbar, 6-7 April 2015.
(5) Ramadhan, Syahril, 2015. Model Inovasi Berbasis Kolaborasi Di Kota BauBau, Makalah
disajikan pada Seminar Nasional IAPA Sulselbar, 6-7 April 2015.
(6) Robbins, Stephen P., 1995. Teori Organisasi: Struktur, Desain dan Aplikasi. Jakarta: Arcan.
(7) Tribrata, Joko, 2014, The Organisation Network In Reduccing Poverty at Kendari City, IOSR;
Journal Of Humanitities and Social Sciense, Volume 19 Issu 1 Version-10, Feb-2014, PP 09-
14, e-ISSN; 2279-0837, p-ISSN; 2279-084.
(8) Tribrata, Joko, 2015, “Redesigning Poverty Alleviation Organization in Kendari, Jurnal
Internasional Journal of Public Administration and Governance, Doi: 10.5296/ jpag.
v5i3.8078 URL: http:// dx.doi.org/10.5296/. Volume 5, Nomor 3 Tahun 2015, Hal 10-20.
(9) Tribrata, Joko, 2017, Model Poverty Based Collaboration Disampaikan Pada International
Conferences, “Scientific Publication Toward Global Competitive Higher Education. 21 –22
Januari 2017, UNM Makassar.
(10) Tribrata, Joko, 2018, Program Effectiveness Poverty Reduction in the Context of Integrity,
Prosiding Seminar yang Disampaikan Pada International Conference on Environmental
Awareness, 9 –11 Maret 2018, ICEASD Kendari.
Bahan Pustaka Non Buku 1. Materi Woro S. Sulistyaningrum Kasubdit Pemberdayaan Masyarakat Miskin, Direktorat
Penanggulangan Kemiskinan, BAPPENAS, dalam Rangka Sosialisasi Program MP3KI, Di
Jokyakarta, Tanggal 13 Nopember 2013.
25
Interkoneksi Budaya, Pendidikan Dan Pelayanan Kesehatan Berbasis
Keluarga Di Kabupaten Kolaka
Drs Juhaepa M.Si
JuhaepaSos@gmail.com
Dr. Muh Arsyad,M.Si
arsyadsosuho@gmail.com
Sarpin,S.Sos,M.Si
sarpinezhar1969@gmai.com
Harnina Ridwan, S.IP., M.Si
ninaridwansept@gmail.com
Abstrak
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana interkoneksi antara kebudayaan,
pendidikan dan pelayanan kesehatan masyarakat berbasis keluarga di Kabupaten Kolaka. Tujuan dari
dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis interkoneksi antara
kebudayaan, pendidikan dan pelayanan kesehatan masyarakat berbasis keluarga di Kabupaten Kolaka.
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Kolaka untuk mengetahui dan menganalisis
interkoneksi budaya pendidikan dan pelayanan kesehatan berbasis keluarga di Kabupaten Kolaka.
Adapun tehnik penarikan sampling dilakukan dengan metode tehnik purposive sampling, yaitu
penarikan sampling secara sengaja dengan mempertimbangkan tujuan penelitian dan memperhatikan
kondisi sosial, budaya, dan ekonomi yang menjadi kriteria dalam penentuan informan penelitian.
Adapun hasil penelitian ini adalah Budaya kekeluargaan dan kegotongroyongan yang masih
kental dalam masyarakat Kab. Kolaka saat ini dapat dijadikan sebagai modal sosial masyarakat untuk
menciptakan tatanan masyarakat yang baik dan sejahtera dalam bidang ekonomi. Demikian halnya
dengan modal sosial masyarakat yang cenderung agamis dapat menjadi pondasi dalam menciptakan
masyarakat yang lebih humanis dan berakhlak serta sebagai penangkal dari berbagai macam penyakit
masyarakat.
Demikian pula halnya dengan pendidikan, keluarga dalam masyarakat Kolaka telah menyadari
pentingnya pendidikan dalam keluarga mereka selain pendidikan formal yang didapat melalui sekolah
formal. Walaupun masih terdapat keluarga yang tidak mampu membiayai pendidikan formal anggota
keluarga (anak) mereka namun mereka telah menyadari bahwa pendidikan sangat penting bagi anak-
anak mereka. Hal tersebut merupakan modal sosial bagi masyarakat Kolaka untuk membentuk dan
atau memberikan pendidikan berbasis keluarga pada masyarakat Kolaka.
Kata Kunci : Interkoneksi Budaya, Pendidikan, Pelayanan Kesehatan.
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Perilaku hidup sehat dalam masyarakat tentunya tidak terlepas dari budaya dan
pendidikan masyarakat tersebut. Pendidikan sebagai proses transformasi budaya merupakan
kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. Pendidikan merupakan
proses pemanusiaan untuk menjadikan manusia memiliki rasa kemanusiaan, menjadi manusia
dewasa, dan manusia seutuhnya agar mampu menjalankan tugas pokok dan fungsi secara penuh
dan mengembangkan budaya. Kebudayaan dan pendidikan memiliki hubungan timbale balik
sebab kebudayaan dapat dilestarikan dan dikembangkan dengan jalan mewariskan kebudayaan
dari generasi ke generasi penerus dengan jalan pendidikan.
26
Program Indonesia Sehat merupakan salah satu program dari agenda ke-5 Nawa Cita,
yaitu Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia Indonesia. Program ini didukung oleh program
sektoral lainnya yaitu Program Indonesia Pintar, Program Indonesia Kerja, dan Program
Indonesia Sejahtera. Program Indonesia sehat selanjutnya menjadi program utama
Pembangunan Kesehatan yang kemudian direncanakan pencapaiannya melalui Rencana
Strategis (Renstra) Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019, yang ditetapkan melalui
Keputusan Menteri Kesehatan R.I. Nomor HK.02.02/Menkes/52/2015.
Pendekatan keluarga adalah salah satu cara untuk meningkatkan jangkauan sasaran dan
mendekatkan/meningkatkan akses pelayanan kesehatan di wilayah kerja dengan mendatangi
keluarga. Terdapat Lima fungsi keluarga, yaitu: 1) Fungsi afektif (The Affective Function)
adalah fungsi keluarga yang utama untuk mengajarkan segala sesuatu untuk mempersiapkan
anggota keluarga berhubungan dengan orang lain. 2) Fungsi sosialisasi yaitu proses
perkembangan dan perubahan yang dilalui individu yang menghasilkan interaksi sosial dan
belajar berperan dalam lingkungan sosialnya. 3) Fungsi reproduksi (The Reproduction
Function) adalah fungsi untuk mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan keluarga.
4) Fungsi ekonomi (The Economic Function) yaitu keluarga berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan keluarga secara ekonomi dan tempat untuk mengembangkan kemampuan individu
meningkatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. 5) Fungsi perawatan atau
pemeliharaan kesehatan (The Health Care Function) adalah untuk mempertahankan keadaan
kesehatan anggota keluarga agar tetap memiliki produktivitas yang tinggi.
Pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Kolaka telah melakukan berbagai upaya terkait
program Indonesia Sehat dengan pendekatan Keluarga, namun hasilnya belum maksimal. Pihak
puskesmas pun berusaha mengoptimalkan program-pragram tersebut, akan tetapi hinga saat ini
masih banyak masyarakat kabupetan Kolaka yang belum mengikuti program Indonesia Sehat.
Ketika berbicara mengenai kesehatan, perilaku hidup sehat tentunya tidak terlepas dari
peranan keluarga. Fungsi sangat krusial dalam mambangun perilaku hidup sehat. Keluarga
adalah unit terkecil dalam tataran sosial. Melalui keluarga juga, individu-individu memperoleh
pendidikan dan berperilaku sehat yang didukung oleh budaya dalam masyarakat tersebut. Jadi
antara kebudayaan pendidikan dan kesehatan memiliki hubungan yang erat dikarenakan ketiga
hal tersebut hidup dan berkembang melalui keluarga.
2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah bagaimana interkoneksi antara kebudayaan, pendidikan dan pelayanan kesehatan
masyarakat berbasis keluarga di Kabupaten Kolaka?
3. Tujuan Kegiatan Adapun tujuan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui dan
menganalisis interkoneksi antara kebudayaan, pendidikan dan pelayanan kesehatan masyarakat
berbasis keluarga di Kabupaten Kolaka.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Keluarga Keluarga menurut sejumlah ahli adalah sebagai unit sosial-ekonomi terkecil dalam
masyarakat yang merupakan landasan dasar dari semua institusi, merupakan kelompok primer
yang terdiri dari dua atau lebih orang yang mempunyai jaringan interaksi interpersonal,
hubungan darah, hubungan perkawinan, dan adopsi (UU Nomor 10 Tahun 1992 Pasal 1 Ayat
10; Khairuddin, 1985; Landis, 1989; Day et al., 1995; Gelles, 1995; Ember & Ember, 1996;
Vosler, 1996). Menurut U.S. Bureau of the Census Tahun 2000 keluarga terdiri atas orang-orang
yang hidup dalam satu rumah tangga Newman & Grauerholz, (2002) dalam Puspitawati (2015).
27
2. Kebudayaan Dalam Keluarga, Pendidikan dan Kesehatan
a. Pengertian Budaya Secara sederhana kebudayaan dapat diartikan sebagai hasil dari cipta, karsa, dan rasa.
Sebenarnya Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal–hal yang
berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture,
yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan (Clifford, 1992).
b. Hubungan Budaya dengan Pendidikan Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke menyebabkan kayanya
budaya yang ada di Indonesia. Begitu juga dengan orang tua, orang tua yang berasal dari
berbagai daerah di Indonesia dapat menjadi aset yang penting dalam mengajarkan
kebudayaan pada anak. Orang tua yang berasal dari daerah yang berbeda tentunya memiliki
kebudayaan yang berbeda, sehingga memang tak dapat dipungkiri jika kadangkala orang tua
yang berasal dari kebudayaan yang berbeda memiliki perbadaan dalam hal kebiasaan dan
cara mengasuh anak. Namun, hal tersebut bukanlah menjadi penghambat bagi orang tua
dalam mengajarkan kebudayaan Indonesia pada anaknya. Justru sebaliknya, orang tua yang
berasal dari kebudayaan yang berbeda dapat mengajarkan pada anak lebih banyak ragam
budaya yang ada, sehingga anak memiliki referensi lebih banyak tentang kebudayaan yang
ada di Indonesia.
C. METODE PENELITIAN
1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Kolaka untuk mengetahui dan menganalisis
interkoneksi budaya pendidikan dan pelayanan kesehatan berbasis keluarga di Kabupaten Kolaka.
2. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan atau desain penelitian deskriptif kuantitatif
untuk mengetahui interkoneksi budaya pendidikan dan pelayanan kesehatan berbasis keluarga di
Kabupaten Kolaka.
3. Populasi dan Informan Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang ada di Kabupaten
Kolaka. Adapun tehnik penarikan sampling dilakukan dengan metode tehnik purposive
sampling, yaitu penarikan sampling secara sengajadengan mempertimbangkan tujuan penelitian
dan memperhatikan kondisi sosial, budaya, dan ekonomi yang menjadi kriteria dalam
penentuan informan penelitian.
Metode yang digunakan untuk menentukan jumlah sampel dalam penelitian ini dengan
menggunakan rumus Slovin sebagai berikut:
Dimana;
n : jumlah sampel
N : jumlah populasi
e : batas toleransi kesalahan (error tolerance),
batas toleransi kesalahan (error tolerance) ditetapkan sebesar 5%.
Selanjutnya, untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam maka dalam
penelitian ini akan ditentukan informan kunci (key informan) yang berasal dari Dinas Penduduk
dan Pencatatan Sipil, Puskesmas yang melaksanakan program Indonesia Sehat dan seluruh
masyarakat Kabupetan Kolaka.
4. Teknik Analisis Data Analisis data dilakukan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
28
5. Gambaran Umum Lokasi
5.1 Letak Geografis Kabupaten Kolaka Kabupaten Kolaka terletak dijazirah Tenggara Pulau Sulawesi. Secara geografis
tertetak di bagian barat Provinsi Sulawesi Tenggara, memanjang dari Utara ke Selatan di
antara 3036
’ – 4
0 35
’ Lintang Selatan dan membentang dari Barat ke Timur di antara 120
0
45’ - 121
0 52
’ Bujur Timur. Adapun batas wilayah Kabupaten Kolaka sebagai berikut;
1) Sebelah utara berbatasan dengan Kolaka Utara,
2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bombana,
3) Sebelah Timur berbatasan dengan KolakaTimur, dan
4) Sebelah Barat berbatasan dengan provinsi Sulawesi Selatan di Teluk Bone.
D. HASIL PENELITIAN
1. Kebudayaan, Pendidikan Dan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Berbasis
Keluarga Untuk melihat interkoneksi antara kebudayaan, pendidikan dan pelayanan kesehatan
berbasis keluarga di Kabupaten Kolaka, maka terlebih dahulu harus dilihat hubungan antara
pendidikan dan budaya keluarga, kesehatan dan budaya keluarga, serta pelayanan kesehatan
pada masyarakat di Kabupaten Kolaka.
2. Pendidikan Dan Budaya Keluarga Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat kabupaten
Kolaka menganggap bahwa pendidikan merupakan hal yang penting bagi keluarga mereka.
Oleh karena itu mereka akan berusaha untuk menyelesaikan pendidikan setiap anggota keluarga
ke tingkat yang lebih tinggi. Seperti yang ditunjukkan pada gambar diagram berikut;
Gambar 1. Persepsi Masyarakat Terhadap Pentingnya Tingkat Pendidikan
Anggota Keluarga
Sumber:
Pengolahan Data Penelitian, 2018
Masyarakat Kolaka saat ini telah mengganggap bahwa pendidikan merupakan salah
satu hal penting yang harus dipenuhi dan dimiliki oleh seluruh anggota keluarga mereka. Hal
tersebut diperkuat dengan temuan bahwa walaupun saat ini masih terdapat anggota keluarga
dalam masyarakat Kolaka yang tidak menyelesaikan pendidikan mereka, namun hal tersebut
bukan dipengaruhi oleh faktor budaya keluarga, namun lebih kepada faktor kekurangan biaya.
Seperti yang ditunjukkan oleh gambar berikut;
29
Gambar 2. Penyebab Utama Anggota Keluarga
Tidak Bersekolah
Sumber :
Pengolahan Data Penelitian, 2018
Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa penyebab utama masyarakat tidak
bersekolah/ menyelesaikan sekolah mereka dipengaruhi oleh tidak adanya/ kekurangan biaya
untuk bersekolah sehingga mereka tidak mampu menempuh jalur pendidikan formal. Data
menunjukkan bahwa sebanyak 80% responden menyatakan bahwa penyebab utama anggota
keluarga mereka tidak bersekolah tidak melanjutkan sekolah karena faktor kekurangan biaya,
dan hanya sebanyak 20% responden yang menyatakan bahwa penyebab utamanya adalah
budaya dalam keluarga.
Walaupun penyebab utama adalah faktor kekurangan biaya, namun sebagian besar
masyarakat telah merencanakan pendidikan bagi keluarga mereka hingga ke jenjang yang lebih
tinggi. Seperti yang ditunjukkan pada gambar berikut;
Gambar 3. Perencanaan Pendidikan Bagi Anggota Keluarga
Sumber:
Pengolahan Data Penelitian, 2018
80.0
20.0
0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0
Kekurangan Biaya
Faktor Budaya Keluarga
56.0
36.0
8.0
0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0
Telah Merencanakan
Belum Merencanakan
Tidak Merencanakan
30
Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa sebagian besar responden (56%)
menyatakan bahwa saat ini mereka telah merencanakan pendidikan untuk anggota keluarga
mereka yang masih berusia sekolah, sedangkan sebagian kecil responden (36%) belum
merencanakan pendidikan untuk keluarga mereka, dan hanya sebesar 8% responden
menyatakan tidak merencanakan pendidikan untuk anggota keluarga mereka.
3. Kesehatan dan Budaya Keluarga Peningkatan pola hidup sehat dalam masyarakat sering dipengaruhi oleh faktor budaya
(kebiasan) yang dilakukan oleh masyarakat ketika anggota keluarga mengalami sakit, hal
tersebut akan sangat berpengaruh terhadap penanganan penyakit yang ada dalam masyarakat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hingga saat ini sebagian besar masyarakat Kolaka telah
menyadari arti pentingnya kesehatan dan pengobatan penyakit bagi keluarga mereka. Seperti
yang ditunjukkan pada gambar berikut:
Gambar 4. Kebiasaan Berobat Ketika Sakit
Sumber:
Pengolahan Data Penelitian, 2018
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden (84%) menyatakan
bahwa mereka akan ke rumah sakit/puskesmas ketiak ada anggota keluarga mereka yang
menderita sakit, dan hanya sebagian kecil responden (16%) yang menyatakan bahwa mereka
akan ke dukun ketika ada keluarga mereka yang sakit. Hal tersebut menunjukkan bahwa
masyarakat di Kolaka saat ini telah menggunakan jasa pengobatan modern (rumah
sakit/puskesmas) dalam melakukan pengobatan terhadap penyakit yang di derita. Sehingga
dapat dikatakan bahwa saat ini masyarakat Kolaka telah memahami pentingnya upaya kesehatan
melalui pengobatan modern. Selain itu, kesadaran masyarakat untuk melakukan pengobatan
pada rumah sakit/puskesmas tentu terait dengan kepuasaan masyarakat terhadap pelayanan yang
diberikan. Saat ini masyarakat Kolaka sebagian besar telah merasa puas dengan pelayanan yang
diberikan ketika melakukan pengobatan di rumah sakit/puskesmas. Seperti yang ditunjukkan
pada gambar berikut:
84
16
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Rumah Sakit/Puskesmas
Dukun
31
Gambar 5. Kepuasaan Terhadap Pelayanan Rumah Sakit/Puskesmas
Sumber:
Pengolahan Data Penelitian, 2018
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden (76%) menyatakan
bahwa mereka sangat puas dengan pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit/puskesmas ketika
melakukan pengobatan dan hanya sebagian kecil (24%) responden menyatakan bahwa mereka
kurang puas dengan pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit/puskesmas ketika melakukan
pengobatan. Hal ini menunjukkan bahwa hingga saat ini upaya pelayanan kesehatan yang
diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten Kolaka telah dilakukan secara optimal untuk
memberi pelayanan kesehatan bagi masyarakat Kolaka.
4. Pelayanan Kesehatan Berbasis Keluarga Penelitian ini membagi beberapa indakator untuk melihat interkoneksi antara budaya,
pendidikan, serta pelayanan kesehatan pada masyarakat Kolaka.
a. Keluarga Mengikuti Program KB Budaya-budaya yang berkembang dalam masyarakat berperan penting dalam
optimalisasi program KB di Kabupaten Kolaka. Masyarakat Kolaka terbagi atas masyarakat
modern dan tradisional. Persentase Keluarga yang telah mengikuti program KB di
Kabupaten Kolaka dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 6. Persentase Keluarga Yang Mengikuti Program KB
Sumber:
Pengolahan Data Penelitian, 2018
76.0
24.0
0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0
Sangat Puas
Kurang Puas
74.0
26.0
0.0
20.0
40.0
60.0
80.0
Mengikuti Tidak Mengikuti
32
Hasil penelitian menunjukkan bahwa saat ini sebagian besar (75%) keluarga di
Kabupaten Kolaka telah mengikuti program keluarga berencana (KB) dan hanya sebagian
kecil (25%) keluarga yang belum tidak mengikuti program keluarga berencana (KB).
Adapun keluarga yang telah mengikuti program KB sebagian besar menggunakan metode
kontrasepsi suntik dan kontrasepsi spiral, sedangkan hanya sebagian kecil yang
menggunakan alat kontrasepsi Pil. Seperti yang ditunjukkan pada gambar berikut:
Gambar 7. Persentase Penggunaan Alat Kontrasepsi Di Kabupaten Kolaka
Sumber:
Pengolahan Data Penelitian, 2018
Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam penggunaan alat kontrasepsi pada
masyarakat di Kabupaten Kolaka telah mengikuti perkembangan teknologi terkait dengan
penggunaan alat kontrasepsi, dengan semakin berkurangnya penggunaan alat kontrasepsi Pil
serta tidak adanya lagi masyarakat yang menggunakan metode alamiah dalam program
keluarga berencana.
Adapun alasan keluarga yang belum/tidak mengikuti program keluarga berencana
(KB) di Kabupaten Kolaka dapat dilihat pada gambar diagram berikut:
Gambar 8. Alasan Keluarga Tidak Mengikuti Program KB Di Kabupaten Kolaka
Sumber:
Pengolahan Data Penelitian, 2018
Hal yang menarik bahwa keluarga yang tidak mengikuti program KB karena
keinginan mereka untuk memiliki jumlah anak yang lebih dari dua (banyak) serta adanya
pengaruh agama sehingga mereka tidak mau mengikuti program KB.
56.0
42.0
2.0
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
60.0
Alat Kontarsepsi Suntik
Metode Kontrasepsi Spiral
Pil KB
20.0
62.0
18.0
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
60.0
70.0
Kebiasaan Keluarga Tidak Mau Jauh Dari Fasilitas Kesehatan
33
b. Melakukan Persalinan di Fasilitas Kesehatan Pada umumya masyarakat Kolaka telah memanfaatkan fasilitas kesehatan modern
untuk melakukan persalinan baik di rumah sakit maupun di puskesmas terdekat dengan
tempat tinggalnya, baik masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan maupun tinggal di
daerah pedesaan/pelosok.
Gambar 9. Tempat Pertolongan Persalinan Keluarga Di Kabupaten Kolaka
Sumber:
Pengolahan Data Penelitian, 2018
c. Imunisasi Lengkap Pada Bayi
Masyarakat Kolaka pada umunya telah mendapatkan imunisasi lengkap, baik
yang berada di wilayah perkotaan maupun di wilayah pedesaan dengan
memanfaatkan rumah sakit, puskesmas maupun posyandu unit desa.
Gambar 10. Imunisasi Lengkap Pada Bayi
Sumber:
Pengolahan Data Penelitian, 2018
d. ASI Ekslusif Bayi
Adapun persentase bayi yang mendapatkan ASI Ekslusif pada keluarga di
Kabpaten Kolaka dapat dlihat pada gambar berikut:
6.0
76.0
18.0
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
60.0
70.0
80.0
Dokter Kandungan Bidan Dukun Terlatih
60.0
36.0
4.0
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
60.0
70.0
Sudah Semua Baru Sebagian Tidak Ada
34
Gambar 11. Persentase Bayi Yang Mendapatkan ASI Ekslusif
Sumber:
Pengolahan Data Penelitian, 2018
e. Pemantauan Pertumbuhan Pada Balita Belum semua wanita yang memiliki balita di Kabupaten Kolaka secara rutin
membawa anak mereka untuk mendapatkan pemantauan pertumbuhan meliputi pertumbuhan
tinggi badan, berat badan dan sebagainya di rumah sakit/puskesmas maupaun posyandu. hal
tersebut tidak terkait dengan tingkat pendidikan maupun budaya yang berkembang pada
masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hal tersebut lebih dipengaruhi oleh
kesadaran para ibu terkait pemantauan pertumbuhan balita mereka. Adapun tempat
pemantauan pertumbuhan Balita di Kabupaten Kolaka dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 12. Tempat Pemantauan Pertumbuhan Balita
Sumber:
Pengolahan Data Penelitian, 2018
f. Pengobatan Bagi Penderita Tuberkolosis Paru Sebagian besar masyarakat di Kabupaten Kolaka telah mendapatkan pengobatan
standar bagi penderita tuberkolosis paru. Namun terdapat sebagian kecil yang belum
mendapatkan pengobatan standar. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut:
66.0
32.0
2.0
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
60.0
70.0
Semua Hanya Sebagian Diganti Susu Formula
6.0
22.0
72.0
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
60.0
70.0
80.0
Rumah Sakit Puskesmas Posyandu
35
Gambar 13. Pengobatan Bagi Penderita Tuberkolosis Paru
Sumber:
Pengolahan Data Penelitian, 2018
g. Pengobatan Teratur Pada Penderita Hipertensi Pada umumnya penderita hipertensi di Kabupaten Kolaka tidak melakukan
pengobatan secara teratur, baik masyarakat yang tinggal di wilayah perkotaan maupun yang
tinggal diwilayah pedesaan/pelosok. Hal ini disebabkan oleh budaya/ kebiasaan masyarakat
yang masih menganggap baahwa penderita hipertensi merupakan penyakit yang umum dan
biasa di alami oleh masyarakat, serta tidak memerlukan pengobatan yang teratur. Pengobatan
teratur pada penderita hipertensi di Kabupaten Kolaka dapat dilihat pada gambar berikut:
Sumber:
Pengolahan Data Penelitian, 2018
h. Pengobatan Bagi Penderita Gangguan Jiwa Hingga saat ini penderita gangguan jiwa di Kabupaten Kolaka sebagian besar telah
mendapatkan penanganan medis dan tidak diterlantarkan. Namun masih ada sebagian kecil
76.0
22.0
2.0
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
60.0
70.0
80.0
Pengobatan Rutin Kurang Pengobatan Tidak Mau
Gambar 13. Pengobatan Penderita Tuberkolosis Paru
28.0
72.0
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
60.0
70.0
80.0
Melakukan Pengobatan Tidak Melakukan Pengobatan
Gambar 14. Pengobatan Teratur Pada Penyakit
Hipertensi
36
penderita yang melakukan pengobatan tradisional. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
gambar berikut:
Sumber:
Pengolahan Data Penelitian, 2018
i. Anggota Keluarga Yang Tidak Merokok Sebagian besar anggota keluarga yang ada dalam masyarakat di Kabupaten Kolaka
adalah perokok aktif. Lebih jelasnya dapat diihat pada gambar berikut:
Sumber:
Pengolahan Data Penelitian, 2018
j. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Bagi Keluarga Hanya sebagian kecil masyarakat Kabupaten Kolaka yang saat ini menjadi anggota
JKN. Hal ini disebabkan karena belum maksimalnya sosialisasi yang dilakukan, khususnya
bagi masyarakat yang tinggal di daerah pelosok dan berprofesi sebagai wiraswasta, petani
dan nelayan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut:
Penanganan Medis86%
Pengobatan Tradisional
14%
Gambar 15. Pengobatan Pada Penderita Gangguan Jiwa
Tidak Ad22%
1-2 Orang78%
Gambar 16. Kebiasaan Merokok Dalam Keluarga
37
Sumber:
Pengolahan Data Penelitian, 2018
k. Akses Sarana Air Bersih Pada umunya sebagian besar masyarakat Kabupaten Kolaka telah mendapatkan
akses air bersih untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Lebih jelasnya dapat dlihat
pada gambar berikut:
Sumber:
Pengolahan Data Penelitian, 2018
l. Akses Jamban Sehat Sebagian besar masyarakat Kabupaten Kolaka telah memenuhi akses jamban yang
sehat bagi keluarga mereka, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan.
Untuk masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan akses jamban sehat pada umunya belum
terpenuhi. Kebiasaan-kebiasaan warga yang melakukan MCK di sungai masih terdapat
sebagian kecil. Hal tersebut lebih cenderung dipengaruhi karena keterbatasan biaya untuk
membuat jamban sehat bagi keluarga mereka, sehingga mereka lebih memilih sungai. Lebih
jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut:
58.0
42.0
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
60.0
70.0
Mendapat JKN Tidak Mendapat JKN
Gambar 17. Keluarga Yang Mendapat Jaminan Kesehatan
Nasional
42.0
28.030.0
0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
35.0
40.0
45.0
Sumur Gali Sumur Bor PDAM
Gambar 18. Akses Sarana Air Bersih Keluarga
38
Sumber:
Pengolahan Data Penelitian, 2018
E. KESIMPULAN Budaya kekeluargaan dan kegotongroyongan yang masih kental dalam masyarakat Kab.
Kolaka saat ini dapat dijadikan sebagai modal sosial masyarakat untuk menciptakan tatanan
masyarakat yang baik dan sejahtera dalam bidang ekonomi. Demikian halnya dengan modal sosial
masyarakat yang cenderung agamis dapat menjadi pondasi dalam menciptakan masyarakat yang
lebih humanis dan berakhlak serta sebagai penangkal dari berbagai macam penyakit masyarakat.
Demikian pula halnya dengan pendidikan, keluarga dalam masyarakat Kolaka telah
menyadari pentingnya pendidikan dalam keluarga mereka selain pendidkan formal yang didapat
melalui sekolah formal. Walaupun masih terdapat keluarga yang tidak mampu membiayai
pendidikan formal anggota keluarga (anak) mereka namun mereka telah menyadari bahwa
pendidikan sangat penting bagi anak-anak mereka. Hal tersebut merupakan modal sosial bagi
masyarakat Kolaka untuk membentuk dan atau memberikan pendidikan berbasis keluarga pada
masyarakat Kolaka.
F. DAFTAR PUSTAKA Anita, L.V. 2004. Handbook of Family Comunication.USA:Lawrence Elbraum Press. hal 349.
Abbas. (2010). Strategi dan Pilihan Mengajar Berbasis Sekolah. Jakarta: Grasindo.
Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Baron, R.A dan Donn B. 2003.Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga.
Clifford, G. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Depkes. 2016. Pedoman Umum Program Indonesia Sehat. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Jallaluddin,Rakhmat. 2000. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Jalaluddin. 2012. Pendidikan Karakter Berbasis Keluarga. Ta’dib Vol. XVII, No. 01.
Telah Memenuhi
Standar56%
Kurang Memenuhi
Standar44%
Gambar 19. Akses Jamban Sehat Bagi Keluarga
39
MEMPERKUAT SISTEM PRESIDENSIAL:
SUATU GAGASAN MENCIPTAKAN EFEKTIVITAS PEMERINTAHAN
La Husen Zuada, S.IP.,M.IP,; Muhammad Ahsan Samad,S.Ip.M.Si;
Dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan, FISIP Universitas Tadulako, Palu
Email: husenzuadaui@gmail.com
Abstrak
Pasca amandemen UUD 1945, sistem pemerintahan Indonesia ikut mengalami perubahan dari
sistem presidensial murni menjadi campuran sistem presidensial dan sistem parlementer.
Pengadopsian sistem campuran ini memiliki semangat untuk mempertahankan prinsip demokrasi
dalam penyelenggaraan negara disatu sisi (parlemen sebagai penyeimbang), dan pada sisi yang lain
tetap memposisikan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan (domination power). Hal
ini memunculkan problematik ketatanegaraan dalam praketeknya, dimana presiden sering tersandera
dan lamban dalam pengambilan keputusan strategis yang memerlukan persetujuan parlemen. Tulisan
ini adalah suatu gagasan untuk memperkuat sistem presidensil dengan memperbaiki sistem regulasi
(UU), tanpa melakukan amandemen konstitusi.
Kata kunci: Sistem Presidensil, Efektivitas Pemerintahan.
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Sistem presidensil merupakan corak yang diadopsi dalam penyelenggaraan sistem
pemerintahan Indonesia. Prinsip utama dalam sistem ini adalah kekuasaan Presiden jauh lebih
dominan dibanding lembaga kekuasaan lainnya (legislative). Kekuasaan eksekutif yang kuat ini
tentu memudahkan eksekutif (Presiden) dalam menyelenggarakan pemerintahan. Namun, dalam
prakteknya di Indonesia teori ini tidak sepenuhnya terbukti karena seringkali Presiden
mengalami gangguan akibat fragmentasi kepentingan parlemen sebagai konsekuensi dari sistem
multi partai. Gangguan parlemen ini tidak sampai mengancam kekuasaan presiden, namun amat
menganggu kinerja Presiden dalam menyelesaikan tugas-tugas pemerintahan.
Kelumpuhan pemerintahan akibat dari ketidakcocokan antara sistem presidensial dan
sistem multi partai ini telah diutarakan oleh Scott Mainwaring dalam artikelnya yang berjudul
Presidentialism, Multipartism, and Democracy The Difficult Combination. Studi Mainwaring
menemukan bahwa dari 31 negara yang memadukan sistem presidensial dan sistem multi partai
mengalami kegagalan, kecuali Cili. Mainwaring mengemukakan tiga alasan mengapa sistem
presidensial tidak cocok dengan sistem multi partai. Pertama, multi partai dalam sistem
presidensil sangat mungkin menghasilkan imobilisasi kebuntuan eksekutif/legislatif, dan
kebuntuan tersebut dapat mengganggu kestabilan demokrasi. Kedua, multi partai akan
menghasilkan polarisasi ideologis yang pada ujungnya mempersulit presiden dalam
pengambilan kebijakan yang ideologis. Ketiga, kombinasi antara presidensialisme dan
multipartisme dipersulit oleh kesulitan membangun koalisi politik.1
Berangkat dari tesis Mainwaring tersebut, maka langkah yang mungkin dilakukan
dalam mewujudkan pemerintahan yang efektif adalah: pertama, melakukan perubahan sistem
pemerintahan presidensial ke parlementer; kedua, menyederhanakan sistem kepartaian. Dari dua
langkah tersebut, langkah pertama agak sulit ditempuh mengingat sistem presidensil telah
ditegaskan sebagai sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia. Disisi lain, dari aspek
1 Scoott Mainwaring, “Presidentialism, Multipartism, and Democracy The Difficult Combination”, Comparative
Political Studies 26 (2): 198-228.
40
sejarah (masa lalu) sistem parlementer pernah diberlakukan, namun tidak serta merta
menciptakan kestabilan pemerintahan, justru sebaliknya, usia pemerintahan berlangsung singkat
karena mengalami kekacauan yang berujung pada kejatuhan kabinet. Konflik parlemen ini
semakin membahayakan kedaulatan Negara, ketika saat bersamaan muncul pemberontakan di
berbagai daerah di Indonesia.
Selanjutnya, langkah kedua yaitu penyederhanan sistem kepartaian merupakan cara
paling mungkin dilakukan. Meskipun hal ini sesungguhnya agak bertolak belakang dengan
karakteristik dan pluralitas masyarakat Indonesia, dimana sistem multi partai menjadi sebuah
keniscayaan bagi Negara yang memiliki tingkat keberagaman masyarakat (Arend Lipjhart,
1968;1977). Langkah penyederhanaan partai ini telah diupayakan melalui usulan perubahan
sistem pemilu proposinal menjadi sistem pemilu distrik serta pemberlakuan parlementery
thersold.
Cara menyederhanakan partai melalui perubahan sistem pemilu distrik ini gagal
terlaksana akibat keengganan mayoritas partai di parlemen yang menolak usulan perubahan
sistem distrik, kecuali partai Golkar.2 Sebaliknya langkah pemberlakukan parlementry therlsold
merupakan pilihan yang diadopsi dan mulai diberlakukan sejak pemilu 2009 dengan batas 2,5
%. Upaya ini berhasil mengurangi jumlah partai politik di legislative menjadi sembilan partai
politik. Namun demikian berkurangnya jumlah partai politik tidak serta merta memudahkan
presiden dalam mengambil keputusan strategis, karena partai politik tidak sepenuhnya solid dan
sejalan dalam mendukung sikap politik eksekutif.
Demi menyolidkan dukungan terhadap eksekutif, Presiden SBY membentuk sekertariat
gabungan koalisi partai politik pendukung pemerintah. Keberadaan Setgab mampu menyolidkan
koalisi pendukung pemerintah dalam beberapa saat sampai berakhirnya masa jabatan presiden.
Namun setelah itu, partai politik pendukung pemerintah dan partai oposisi kembali mencair,
sehingga sulit lagi dibedakan antara partai pemerintah dan partai oposisi. Lebih lanjut, langkah
menaikan ambang batas parlemen yang tidak signifikan pada Pemilu 2014 (3,5 %) ternyata
gagal mewujudkan partai lebih sederhana, sebaliknya partai politik mengalami penambahan
menjadi 10 partai. Situasi ini kembali menyulitkan presiden dalam mengorganisir fragmentasi
partai politik di parlemen.
Pada saat pembahasan UU Pemilu 2019, usulan dinaikannya PT menjadi lebih tinggi
(minimal 5%) kembali digulirkan namun hal ini hanya bisa terwujud menjadi 4%. Dengan
batasan PT demikian dan mengacu pada hasil pemilu sebelumnya, maka dimungkinkan partai
politik yang lolos di parlemen tidak mengalami pengurangan, sebaliknya memiliki peluang
untuk bertambah. Atas situasi demikian, maka pilihan menciptakan efektivitas pemerintahan
melalui penyederhanaan partai belum bisa terwujud. Berangkat dari rumitnya tantangan
menyederhanakan partai politik, maka tulisan ini mencoba mengusulkan berbagai cara
alternative yang dapat ditempuh dalam menciptakan efektivitas pemerintahan dengan
mengambil langkah penyederhanaan fraksi di legislatif.
B. EFEKTIVITAS PEMERINTAHAN: TINJAUAN TEORI
Istilah sistem presidensiil multi partai memperlemah sistem presidensiil kurang tepat
digunakan dalam kasus Indonesia. Dalam kenyataannya di Indonesia, Presiden tidak dalam posisi
lemah, dimana ia memiliki kekuasaan preoregatif mengangkat menteri dan para pembantunya,
memegang sebagian kekuasaan legislative (mengusulkan UU dan membuat peraturan), mempunyai
sebagian kekuasaan yudikatif (abolisi, grasi, rehabilitasi) serta memegang kekuasaan militer.
Presiden tidak bisa pula dijatuhkan oleh parlemen kecuali melanggar konstitusi. Berdasarkan hal
itu, maka sistem presidensiil tidak dalam posisi lemah. Penggunaan kata efektifitas pemerintahan
merupakan frasa yang tepat untuk menyebut problematika yang dihadapi oleh sistem presidensiil
dan multi partai yang tidak kompatibel seperti Indonesia.
Efektif berarti menjadi organisasi yang efektif yang menyelesaikan setiap urusan, menjadi
agen norma demokratis dan memiliki performa dan fungsi yang dapat melayani kepentingan
2 https://nasional.tempo.co/read/75008/golkar-usulkan-pemilu-sistem-distrik
41
seluruh rakyat (Nurliah Nurdin, 2009: 464). Efektivitas juga memiliki makna terjadinya suatu efek
atau akibat seperti yang dikehendaki. Efektivitas berarti pula bahwa segala sesuatu dilaksanakan
berdaya guna yang berarti tepat, cepat, hemat dan selamat (Lubis, 1996: 33). Dengan demikian
efektivitas pemerintahan yaitu berkaitan dengan penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan yang
memilik efek berdaya guna, tepat dalam mencapai tujuan dan membutuhkan waktu yang efisien
(singkat) dalam pengambilan keputusan serta tidak berdampak negative dalam pelaksanaannya.
Berkaitan dengan kinerja pemerintahan dalam sistem presidensiil, maka pemerintahan yang efektif
adalah presidensialisme yang efektif yaitu sebuah situasi dimana sistem pemerintahan bersinergi
dengan sistem kepartaian, ditopang oleh gaya kepemimpinan presiden yang kuat, kontrol parlemen
yang berjalan sesuai konstitusi dan penyelenggaraan pemerintahan yang berjalan efektif (Hanta
Yuda, 2010: 62-63).
C. PEMBAHASAN: MENCARI FORMULA MENCIPTAKAN EFEKTIVITAS
PEMERINTAHAN Pembahasan ini mengajukan alternatif jangka pendek dan jangka panjang dalam
mewujudkan efektivitas pemerintahan dalam sistem presidensiil multi partai. Pertama, langkah
jangka pendek adalah dengan memberlakukan fraksionalisasi thersold, melembagakan koalisi
secara permanen dan redesain ruang persidangan legislatif menjadi dua blok (oposisi dan
pemerintah). Kedua, langkah jangka panjang melalui pengaturan/regulasi pendanaan partai politik
dan pelembagaan partai politik.
1. Pemberlakuan Fraksionalisasi Thersold Fraksi merupakan pengelompokkan anggota berdasarkan konfigurasi partai politik
berdasarkan hasil pemilihan umum. Fraksi merupakan perpanjangan tangan partai politik di
parlemen. Posisi fraksi memiliki peran strategis dalam melahirkan berbagai kebijakan parlemen.
Sebelum keputusan dikeluarkan di parlemen, fraksi menjadi salah satu lembaga yang membahas
berbagai opsi kebijakan yang akan diambil oleh setiap partai politik. Sebelum keputusan
parlemen diparipurnakan, sikap partai politik sudah dapat tergambar pada sikap fraksi. Ketua
fraksi menjadi semacam manajer dalam mengatur anggota partai politik di parlemen.
Banyaknya fraksi di parlemen tentu akan menyulitkan presiden ketika membutuhkan
dukungan parlemen dalam pengambilan keputusan pemerintahan. Saat ini syarat pembentukan
fraksi di parlemen berdasarkan UU Susduk Nomor 17 2014 sangat mudah. Berdasarkan pasal
82, ayat 3 UU tersebut menyebutkan bahwa fraksi dibentuk oleh partai politik yang memenuhi
ambang batas perolehan suara dalam penentuan perolehan kursi DPR. Mencermati isi dari UU
tersebut maka, setiap partai politik yang lolos ambang batas parlemen (parlementery thersold)
dapat membentuk fraksi tanpa adanya batasan jumlah kursi. Mengacu pada aturan ini maka,
jumlah fraksi di DPR akan mengikuti jumlah partai politik yang lolos PT. Jika ada 10 partai
yang lolos PT, maka akan ada 10 fraksi. Jumlah fraksi yang banyak ini tentu mempersulit
pengambilan keputusan di parlemen. Oleh karena itu, salah satu langkah yang perlu dilakukan
dalam mewujudkan efektifitas pemerintahan adalah dengan memperketat syarat pembentukan
fraksi. Cara itu diantaranya dapat dilakukan dengan menaikan syarat pembentukan fraksi
minimal 40-50 anggota DPR atau dengan mensyaratkan minimal 25% suara parlemen untuk
dapat membentuk satu fraksi. Dengan itu maka jumlah fraksi hanya akan berkisar antara 3-4
fraksi. Pengurangan jumlah fraksi ini akan mempermudah eksekutif dalam membangun
kerjasama dengan parlemen.
2. Pembentukan undang-undang koalisi Koalisi adalah sebuah pengelompokan aktor-aktor politik pesaing untuk dibawa
bersama baik melalui persepsi ancaman bersama, atau pengakuan bahwa tujuan mereka tidak
dapat dicapai dengan bekerja secara terpisah (Heywood, 2009: 194). Dalam sistem multi partai,
koalisi menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan demi menciptakan pemerintahan eksekutif yang
kuat. Praktek koalisi ini umumnya lazim dilakukan dalam sistem pemerintahan parlemen guna
membentuk suatu kabinet pemerintahan. Namun demikian, praktek koalisi juga mulai diadopsi
42
dalam sistem presidensialisme multi partai yang bertujuan menciptakan pemerintahan yang kuat
dan efektif.
Pasca tumbuhnya partai politik yang begitu banyak, koalisi merupakan cara yang
ditempuh oleh pemerintahan terpilih demi mengamankan program-program pemerintah
(eksekutif) yang memerlukan persetujuan parlemen. Koalisi politik di Indonesia mulai
terbangun sejak adanya regulasi yang mensyaratkan calon Presiden diusung oleh partai politik
dan gabungan partai politik. Pada saat menjelang Pilpres 2004, koalisi menjadi salah satu
langkah yang dibangun oleh partai politik untuk dapat memenangkan pemilihan presiden.
Model koalisi ini tidak terbangun dari awal (sebelum pemilihan legislative) namun dilakukan
setelah pemilihan legislative dan sebelum pemilihan presiden digelar. Selain itu, koalisi tersebut
dibangun tidak secara permanen, namun bersifat temporer, tergantung pada keinginan partai
politik, tidak seragam (linear dengan pemerintahan di tingkat lokal) dan sangat mencair,
sehingga sepintas koalisi tidak tampak sebagai kerjasama yang dilandasi atas tujuan
menciptakan kemaslahatan publik, namun terbaca sebagai politik transaksional.
Idealnya koalisi politik bersifat permanen, berorientasi pada ideologi, kesamaan
kebijakan dan menciptakan efisiensi. Sebaliknya menghindari motif koalisi yang berorientasi
sebagai pemegang control (seek control) dan upaya pengamanan diri (seek security) dari situasi
yang menghimpit. Dua motif koalisi yang disebutkan terakhir akan berdampak negatif bagi
kelangsungan demokrasi yang akan mengarah pada otoritarianisme dan oligarki kekuasaan.
Dengan demikian, maka format koalisi perlu diatur dalam sebuah regulasi yang mengikat partai
politik untuk bekerjasama mengedepankan kepentingan publik. Undang-undang koalisi menjadi
salah satu solusi yang dapat ditempuh dalam rangka menciptakan koalisi yang berorientasi pada
kepentingan publik.
3. Redesain ruang persidangan dewan Desain ruang persidangan dewan saat ini yang menyerupai „ruang kelas‟ atau mengikuti
model searah dengan menempatkan pimpinan di bagian depan, sementara anggota biasa
membaur tanpa ada pembatasan antara partai oposisi dan pendukung pemerintah. Model ruang
persidangan ini sulit untuk membedakan partai oposisi dan partai pemerintah saat perdebatan
legislative dilakukan. Model ruang persidangan yang membaur ini juga membuka terjadinya
lobby secara longgar (illegal) antar anggota DPR meski berbeda posisi politik (pemerintah dan
opososisi). Untuk itu, maka perlu adanya redesain ruang persidangan menjadi berhadap-hadapan
antara partai oposisi dan partai pendukung pemerintah. Dengan demikian maka publik akan
mampu membedakan partai oposisi dan pemerintah, partai yang pro kepentingan rakyat dan
tidak pro pada kepentingan rakyat dalam setiap sikap politik. Pada ujungnya situasi ini akan
menciptakan memori bagi pemilih dan memberikan feedback dalam menentukan sikap
politiknya dalam pemilu.
Untuk membedakan partai pemerintah dan partai oposisi, maka perubahan model ruang
persidangan menjadi berhadapan antara partai oposisi dan partai pemerintah menjadi cara yang
dapat dilakukan. Perubahan model ruang persidangan diikuti pula dengan perubahan jumlah
keanggotaan kepemimpinan dewan yang lebih sederhana, sehingga eksekutif akan lebih mudah
pula dalam membangun kerja sama dengan parlemen. Saat ini kepemimpinan DPR berjumlah
lima (5) orang, yang diwacanakan akan ditambah menjadi tujuh (7) orang. Banyaknya pimpinan
dewan ini secara tidak langsung mempengaruhi pengambilan keputusan di parlemen. Oleh
karena itu usulan untuk menambah jumlah pimpinan dewan tidak perlu dilakukan. Sebaliknya
adalah perlunya penyederhanaan pimpinan dewan menjadi dua pimpinan yaitu pimpinan blok
pemerintah dan pimpinan blok opsosisi.
4. Pembiayaan partai politik oleh negara Pengaturan sumber keuangan partai politik merupakan upaya jangka panjang untuk
melahirkan efektivitas pemerintahan. Asumsinya bahwa lemahnya pendanaan partai politik
memiliki korelasi dengan motif koalisi politik yang dibangun. Koalisi kartel dan koalisi
berorientasi reent seeking menjadi motif kebanyakan koalisi partai politik pasca demokratisasi
di Indonesia (Ambardi, 2009). Indikasi dari adanya koalisi kartel itu adalah: 1). Hilangnya peran
43
ideologi partai sebagai factor penentu penentu koalisi partai politik; 2). Sikap permisif dalam
pembentukan koalisi; 3). Tiadanya oposisi; 4). Hasil-hasil pemilu hampir tidak berpengaruh
dalam menentukan perilaku partai politik Motif; 5). Kuatnya kecenderungan partai politik
bertindak secara kolektif sebagai suatu kelompok.
Sumber pendanaan partai politik yang lemah menjadi salah satu pemicu munculnya
koalisi kartel, yaitu bersaing disatu sisi dan bekerjasama pada sisi yang lain demi memenuhi
kebutuhan-kebutuhan keuangan partai, baik untuk biaya kampanye maupun aktifitas partai
politik lainnya. Dalam istilah Badoh (2009: 319) pendanaan partai politik memiliki korelasi
dengan munculnya korupsi politik. Korupsi politik ini melibatkan partai politik, politisi,
birokrasi dan pengusaha yang terjadi dalam bentuk suap dan kick back yang bertujuan
mendapatkan keuntungan demi membiayai kegiatan politik. Oleh karena itu, akan lebih ideal
jika pendanaan partai politik diatur secara jelas dan dibiayai oleh negara. Hal ini tentu memiliki
alasan bahwa partai politik mengurus kepentingan publik.
Pendanaan partai politik oleh Negara akan mengarah pada kemandirian partai
politik yang pada ujungnya mendorong munculnya koalisi politik yang kompetitif dan
ideologis. Sebaliknya koalisi yang dibangun atas kepentingan reent seeking akan
berkurang secara perlahan. Pembiayaan partai politik oleh Negara ini juga mendorong
partai politik untuk lebih kosentrasi dalam bekerja mengurus kepentingan publik, tanpa
mendahulukan kepentingan pribadi mereka. Pembiayaan partai politik oleh Negara akan
mendorong kemandirian para politisi dalam setiap sikap politiknya yaitu dengan
memfokuskan perhatian mereka pada aspirasi konstituennya tanpa memikirkan sumber
pendanaan partai.
5. Pelembagaan partai politik Pelembagaan partai politik merupakan salah satu cara yang dapat menciptakan
pemerintahan yang efektif. Asumsinya bahwa kemunculan partai politik yang tidak terlembaga
dan mengandalkan kekuatan personalistik mempengaruhi pola koalisi politik yang dibangun.
Koalisi politik dalam partai yang bersifat personalistik seringkali terhambat oleh
kepentingan/ego pemilik partai. Jika kedua elit partai (pendiri partai) berkonflik, koalisi sangat
sulit dibangun meski memiliki posisi ideologi yang hampir sama, sebagaimana terjadi pada
Partai Demokrat dan PDI.P. Konflik yang melibatkan SBY dan Megawati sebagai „pemilik
partai‟ berujung pada sulitnya terbangun koalisi pada dua partai politik tersebut. Kesulitan
dalam membangun koalisi tentu tidak terjadi jika saja partai politik tersebut tidak tergatung pada
kefiguran seseorang tokoh. Sebaliknya, partai politik yang terlembaga akan menciptakan koalisi
yang berorientasi pada kepentingan publik dan mengesampingkan ego kepentingan elit partai.
Tabel. 1.
Desain Mewujudkan Efektivitas Pemerintahan Sistem Presidensiil Multi Partai
Agenda Cara Instrumen
JANGKA PENDEK Pemberlakukan fraksionalisasi thersold. UU Pemilu/ UU
Susduk
Pelembagaan koalisi UU Koalisi
Redesain ruang persidangan. UU Susduk
JANGKA PANJANG Pengaturan/regulasi pendanaan partai politik. UU Partai Politik
Pelembagaan partai politik. UU Partai Politik
44
Berdasarkan usulan tersebut, maka instrumen yang dapat dilakukan dalam mendorong
terciptanya efektivitas pemerintahan sistem presidensialisme multi partai adalah dengan
membuat dan memperbaiki paket undang-undang politik, diantaranya: UU Pemilu, UU Susduk,
UU Partai Politik dan perlunya dibuat UU Koalisi.
D. PENUTUP Kesimpulan tulisan ini perlunya langkah-langkah jangka pendek dan jangka panjang dalam
rangka menciptakan efektivitas pemerintahan. Langkah jangan pendek dilakukan melalui
pemberlakuan fraksionalisasi thersold, pelembagaan koalisi dan redesain ruang persidangan.
Sedangkan langkah jangka panjang melalui pengaturan pendanaan partai politik (dibiayai oleh
Negara) dan pelembagaan partai politik. Tulisan ini merekomendasikan perlunya dibuat regulasi
(UU) untuk melakukan pengaturan meliputi: UU Pemilu, UU Susduk, UU Koalisi dan UU Partai
Politik.
E. DAFTAR PUSTAKA Ambardi, Kuskridho. 2009. Mengungkap Politik Kartel. Studi tentang Sistem Kepartaian di
Indonesia Era Reformasi. Jakarta: PT. Gramedia.
AR. Hanta Yuda. 2010. Presidensialisme Setengah Hati. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Badoh, Ibrahim Zuhdi Fahmi. 2009. Pendanaan Politik Dalam Pemilu dan Korupsi (dalam Andy
Ramses M dan La Bakry (ed). Politik & Pemerintahan Indonesia). Jakarta: MIPI.
Lubis, Ibrahim. 1996. Pengawasan dan Pengendalian Proyek Dalam Manajemen. Jakarta: Ghalia.
Mainwaring, Scott. 1993. “Presidentialism, Multipartism, and Democracy The Difficult
Combination”, Comparative Political Studies, Volume 26 No. 2. 198-228.
Nurdin, Nurliah. 2009. Efektivitas Parlemen Sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat dan
Kontribusinya Terhadap Pemenuhan Kebutuah Rakyat. (dalam Andy Ramses M dan La Bakry
(ed). Politik & Pemerintahan Indonesia). Jakarta: MIPI.
Pamungkas, Sigit. 2011. Partai Politik Teori dan Praktik di Indonesia. Yogyakarta: Institute for
Democracy and Welfarism.
Sumber lain: https://nasional.tempo.co/read/75008/golkar-usulkan-pemilu-sistem-distrik
RIWAYAT SINGKAT Penulis saat adalah ini dosen pada program studi Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas
Tadulako, Palu. Sebelumnya pernah menjadi dosen tetap yayasan di Universitas Gorontalo (2013-
2015), dosen luar biasa di Universitas Muhamadiyah Gorontalo (2015) serta dosen tetap non PNS di
Universitas Halu Oleo, Kendari (2015-2017). Menyelesaikan studi sarjana pada tahun 2009 di Jurusan
Ilmu Pemerintahan, Universitas Jenderal Achmad Yani, Cimahi-Bandung. Tahun 2010 melanjutkan
studi pada program studi Ilmu Politik (Konsentrasi Partai Politik Pemilu dan Parlemen) di Universitas
Indonesia, selesai tahun 2012. Aktif menulis dalam jurnal nasional dan internasional. Sejak tahun 2015
bersama Prof. Eka Suaib tulisan jurnal diterbitkan oleh P2P LIPI (Fenomena Bossisme Local di
Sulawesi Tenggara). Pada tahun 2016 LIPI kembali menerbitkan jurnal berjudul Desentralisasi dan
Oligarki di Wakatobi. Pada tahun yang sama jurnal yang berjudul Institusionalisasi Partai Politik
diterbitkan oleh The Politic Unhas. Tahun 2017 tulisan dimuat jurnal internasional: Filipinalization
Politic Indonesia (PPI UKM Malaysia), Patronage Politic In Local Election In Kendari, The Effect of
The Party’s Image Relationship to Voters Satisfaction and Voters Loyality (International Law and
Management), Decentralization and Development: Sinergy Local Bos, Bandit dan Enterpreunership in
Nort Kolaka (Tulisan pernah pula dimuat dalam Jurnal Bawaslu RI dengan judul Banyak Uang Bukan
Jaminan Terpilih. Selain aktif menulis di jurnal ilmiah, aktif pula menulis dalam opini di media lokal
yang konsen pada isu-isu lokal, pemilihan lokal dan kepartaian.
45
Penggunaan Instagram Sebagai Referensi Wisata Pada Mahasiswa Jurusan
Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Halu Oleo
La Ode Herman Halika,S.Ip.M.I.Kom; Hamrul Marsula,S.Sos.M.Si.
Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Halu Oleo
No. HP : 085399445580, e-mail : Herman_khalik@yahoo.com
ABSTRAK
Permasalahan yang timbul dalam penelitian ini adalah fitur–fitur instagram apa saja yang
digunakan mahasiswa dan bagaimana penggunaan instagram sebagai referensi wisata pada mahasiswa.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui fitur–fitur instagram yang digunakan mahasiswa,
serta untuk mengetahui penggunaan instagram sebagai referensi wisata pada mahasiswa.
Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu
Politik Universitas Halu Oleo. Dalam penelitian ini informan berjumlah sebanyak 6 orang untuk
mewakili mahasiswi di Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas
Halu Oleo. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan teknik analisis
data yang digunakan dalam penelitian ini adalahdeskriptif kualitatif
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa instagram serta fitur – fitur yang ada dalam instagram
berperan penting pada mahasiswa jurusan ilmu komunikasi dalam mencari referensi wisata yang
mereka inginkan karena di dalam instagram menyediakan informasi yang lengkap tentang informasi
yang mereka cari.
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dan sumbangan ilmu pengetahuan bagi
mahasiswa, khususnya mahasiswa jurusan ilmu komunikasi. Penelitian ini juga diharapkan dapat
memberi manfaat dalam perkembangan Ilmu Komunikasi khususnya pada penelitian penggunaan
instagram sebagai referensi wisata pada mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial
Dan Ilmu Politik Universitas Halu Oleo.
Kata kunci : Instagram, Referensi Wisata.
ABSTRACT
The problems arising in this research are the anything of the features – features instagram that
used students and how to use tourism as a reference on instagram students. The purpose of this
research is to know the features – features instagram used college students, as well as to know the use
of tourism for instagram reference on students.
The location of the research carried out in the Department of communication studies, Faculty
of social and political sciences of the University of Halu Oleo. In this study informants amounted to as
many as 6 people to represent the student in the Department of communication studies, Faculty of
social and political sciences of the University of Halu Oleo. Types of data used in this research is
qualitative data and data analysis techniques used in this research is descriptive qualitative.
The results of this study suggest that intagram and features – features that exist in instagram
plays an important role in communication majors’s students in seeking the reference they want
because in instagram provides information complete about the information they are looking for.
This research is expected to benefit and contribution of science for students, particularly students
majoring in communication studies. The study also is expected to benefit in the development of
communication studies specifically on the research use of the tour as a reference on instagram students
46
majoring in communication studies Faculty of social sciences and political sciences of the University
of Halu Oleo.
Keywords: Instagram, Tourist Reference.
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Instagram adalah sebuah aplikasi jejaring sosial dengan berbagi foto atau gambar. Yang
menjadi salah satu ciri menarik dari instagram adalah adanya batas foto atau gambar ke bentuk
persegi, mirip dengan gambar kodak instamatic dan polaroid, yang sangat berbeda dengan rasio
aspek 16:9 sekarang, yang biasanya digunakan oleh kamera ponsel (Syarief, 2014:47).
Instagram memiliki daya guna sebagai media komunikasi dan informasi yaitu sebagai referensi.
Sebagai media referensi instagram menggunakan teknologi sebagai sarana komunikasi yaitu
dengan menggunakan akses internet.
Segala kegiatan dapat di publikasikan melalui foto yang di edit, yang mengambarkan
momen, kegiatan tidak sebatas mengambil gambar namun dapat menggunakan effect editing
untuk menambah daya tarik terhadap estetika editing foto yang telah diambil. Dengan demikian
instagram mampu menjadi media sosial untuk menunjukkan suatu tempat, momen, kejadian,
karya maupun beriklan kepada rekan (followers). Sejak adanya media sosial instagram foto-foto
wisata menarik yang di unggah pengguna instagram dapat mempengaruhi pengguna lainnya dan
menimbulkan respon bagi para pengguna-pengguna instagram yang lain.
Kalangan remaja saat ini khususnya para mahasiswa, biasanya memposting tentang
kegiatan pribadinya, curhatannya, melalui foto atau gambar melaui instagram. Semakin aktif
seseorang di media sosial, maka mereka akan semakin dianggap keren dan kekinian. Berbeda
dengan kalangan remaja yang tidak mempunyai media sosial biasanya dianggap kuno,
ketinggalan jaman, dan kurang bergaul.
Instagram menimbulkan manfaat bagi individu atau kelompok dalam aktivitas sosial,
khususnya dalam kegiatan berwisata. Pada kalangan mahasiswa, umumnya mereka lebih
cenderung menjadi pengguna paling aktif, pada setiap momen, kejadian, dan karya, mereka bisa
berfoto dan mengunggahnya ke instagram. Melalui Instagram, mereka dapat mengaktua-
lisasikan diri, mengeksiskan diri dan memperluas pertemanan.
Fasilitas teknologi komunikasi sekarang membuat masyarakat luas dan terkhusus
mahasiswa semakin mudah mengakses segala informasi termasuk dalam mencari lokasi wisata
yang nantinya akan menjadi list lokasi wisata terbaik mereka. Melalui instagram dengan
berbagai fasilitasnyalah mahasiswa menjadikan instagram sebagai sarana referensi mereka ,
segaligus menjadikan sebuah motivasi untuk menyalurkan hobi travelling ke tempat-tempat
menarik dan memotivasi juga pengguna instagram lainnya untuk melakukan hal yang sama.
Fakta yang terjadi pada mahasiswa jurusan ilmu komunikasi Universitas Halu Oleo
Kendari saat ini, mereka juga menggunakan instagram bukan hanya sekedar mengekspresikan
kehidupan pribadi mereka sendiri, melainkan mereka juga membagikan informasi sekaligus
mencari juga referensi tentang tempat berwisata yang menarik seperti explore wisata bahari,
panorama alam, kuliner yang ada di Sulawesi Tenggara.
Berwisata merupakan salah satu kegiatan untuk melepas kejenuhan setelah menjalani
rutinitas sehari-hari dalam kehidupan masyarakat saat ini. Apalagi bagi mahasiswa, rutinitas
kegiatan mahasiswa yang lebih disibukkan dengan tugas-tugas kuliah dan kegiatan organisasi
kemahasiswaaan membuat mahasiswa jenuh. Wisata menjadi salah satu cara bagi mahasiswa
untuk menghilangkan kejenuhan-kejenuhan yang dirasakan mahasiswa oleh karena itu
berwisata menjadi agenda penting bagi setiap mahasiswa ketika liburan di akhir semester. Bagi
mereka, instagram adalah salah satu sarana atau media untuk mencari referensi tempat wisata
yang belum pernah mereka kunjungi khususnya di Sulawesi Tenggara. Mereka bisa dengan
mudah melihat postingan foto atau video pendek tentang lokasi wisata dari akun intagram
teman.
47
Berdasarkan fenomena yang telah di jelaskan, maka peneliti tertarik untuk mengkaji
masalah tentang penggunaan instragram sebagai referensi wisata pada mahasiswa ilmu
komunikasi fakultas ilmu sosial dan ilmu politik Universitas Halu Oleo Kendari.
2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah di uraiakan di atas, Adapun yang menjadi
rumusan masalah pada penelitian ini adalah: Bagaimana penggunaan instagram sebagai referesi
wisata pada mahasiswa ilmu komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Halu
Oleo.
3. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui Bagaimana penggunaan instagram sebagai referesi wisata pada
mahasiswa ilmu komunikasi fakultas ilmu sosial dan ilmu politik Universitas Halu Oleo.
B. TINJAUAN PUSTAKA Menurut Kjell Halvor Landsvert (2014), instagram sebagai salah satu media sosial
memiliki fitur–fitur yang selalu mengalami perkembangan seiring dengan kebutuhan penggunanya,
fitur–fitur tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mengunggah Foto
Kegunaan utam dari instagram adalah sebagai wadah untuk mengunggah dan berbagi
foto-foto kepada pengguna lainnya. Foto yang ingin diunggah dapat diperoleh melalui kamera
iDevice ataupun foto-foto yang ada di album foto iDevice tersebut.
2. Kamera
Penggunaan kamera melalui instagram juga dapat langsung menggunakan efek-efek
yang ada, untuk mengatur pewarnaan dari foto yang dikehendaki oleh sang pengguna.
3. Efek Foto
Efek instagram terus diperbarui dan terakhir memiliki 25 efek terdiri dari: larik, Reyes,
Juno, Slumber, Crema, Ludwig, Aden, Perpetua, Amora, Mayfair, Rise, Hudson, velencia, X-
Prp II, Sierra, Willow, Lo-Fi, Earlybird, Brannan, Inkwell, Hefe, Nashville, yang fungsinya
adalah untuk memfokuskan pada satu titik tertentu dan sekelilingnya menjadi hiburan.
4. Judul Foto
Sebelum menunggah sebuah foto, para pengguna dapat memasukan judul untuk
menamai foto tersebut sesaui denga apa yang ada dipikiran para pengguna. Judul-judul tersebut
dapat digunakan pengguna untuk menyinggung pengguna instagram lainnya dengan
menyantumkan nama akundari orang tersebut.
5. Arroba Seperti halnya twitter dan juga facebook, instagram juga memiliki fitur yang dapat
digunakan penggunanya untuk menyinggung pengguna lainnya dengan menambahkan tanda
arroba (@) dan memasukan akun instagram dari pengguna tersebut.
6. Label Foto
Sebuah label dalam dalam instagram adalah sebuah kode yang memudahkan para
pengguna untuk mencari foto tersebut denag menggunakan “kata kunci”.
Menurut James J. Spillane (1994: 63-72) suatu objek wisata atau destination, harus
meliputi lima unsur yang penting agar wisatawan dapat merasa puas dalam menikmati
perjalanannya, maka objek wisata harus meliputi:
1. Lokasi
Motivasi wisatawan untuk mengunjungi suatu tempat tujuan adalah untuk memenuhi
atau memuaskan beberapa kebutuhan atau permintaan. Biasanya mereka tertarik pada suatu
lokasi karena ciri-ciri khas tertentu.
2. Fasilitas
Fasilitas cenderung berorientasi pada attractions disuatu lokasi karena fasilitas hams
dekat dengan pasarnya. Fasilitas cenderung mendukung bukan mendorong pertumbuhan dan
cenderung berkembang pada saat yang sama atau sesudah attractions berkembang.
48
3. Infrastruktur Infrastruktur dan fasilitas tidak dapat tercapai dengan mudah kalau belum ada
infrastruktur dasar. Infrastruktur termasuk semua konstruksi di bawah dan di atas tanah dan
suatu wilayah atau daerah.
4. Transportasi 5. Situasi
Wisatawan yang sedang berada dalam lingkungan yang belum mereka kenal maka
kepastian akan jaminan keamanan sangat penting, khususnya wisatawan asing.
Menurut Elihu Katz, Jay G. Blumler dan Michael Gurevith (dalam Rakhmat, 2005).
Penggunaan media massa oleh khalayak aktif. Dengan kata lain, penggunaan media oleh khalayak
diasumsikan sebagai perilaku aktif dimana khalayak dengan sadar memilih dan menggunakan
media tertentu untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan. Pemilihan media dan isinya merupakan
sebuah tindakan yang beralasan serta memiliki tujuan dan kepuasan tertentu.
1. Kognitif: Kepuasan yang berkaitan dengan pemenuhan informasi, pengetahuan dan pemahaman
mengenai lingkungan. Kepuasann ini didasarkan pada hasrat untuk memahami dan menguasai
lingkungan; juga memuaskan rasa penasaran kita dan dorongan untuk penyelidikan kita.
2. Efektif: Kepuasan yang berkaitan dengan peneguhan pengalaman-pengalaman yang estetis,
menyenangkan, dan emosional.
3. Behaviour: Kepuasaan tingkah laku merujuk pada perilaku nyata yang dapat diamati; yang
meliputi pola-pola tindakan, kegiatan, atau kebiasaan berperilaku
C. METODE PENELITIAN
1. Lokasi Penelitian Penelitian ini di lakukan di Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu
Politik Universitas Halu Oleo (UHO). Lokasi ini dipilih karena peneliti menemukan beberapa
mahasiswa yang menggunakan instagram sebagai referensi wisata yang tentunya menyangkut
dengan judul atau rumusan masalah yang akan di teliti oleh peneliti. Selain itu lokasi peneliti
dekat dengan wilayah tempat tinggal peneliti sehingga memudahkan peneliti untuk meneliti.
2. Subjek dan Informan Penelitian
a. Subjek Penelitian Subjek pada penelitian ini adalah seluruh mahasiswa yang menempuh pendidikan di
Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Halu Oleo
(UHO) Angkatan 2014 yang menggunakan media sosial instagram yakni 38 pengguna
instagram.
b. Informan Informan dalam penelitian ini sebanyak 6 orang dimana Informan yang diambil yaitu
yang mampu memberikan keterangan masalah yang sedang diteliti.
c. Teknik Penentuan Informan Penentuan informan dilakukan dengan cara snowble sampling (secara sengaja), yaitu
informan ditentukan berdasarkan tujuan dan kebutuhan peneliti, dengan mempertimbangkan
bahwa informan mampu memberikan keterangan terhadap permasalahan yang diteliti.
Mahasiswa yang digunakan pada subyek penelitian yaitu dengan kriteria sebagai berikut:
1) Mahasiswa memiliki akun instagram.
2) Aktif mengakses instagram dan mengunggah foto minimal satu kali dalam seminggu.
3) Mahasiswa pernah menggunakan akun instagram sebagai referensi wisata.
4) Mahasiswa pernah berwisata berdasarkan referensi dari instagram.
49
d. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti terdapat dua teknik yaitu:
1. Observasi (pengamatan)
2. Wawancara
3. Dokumentasi
4. Studi Pustaka
e. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari:
1. Data Primer
Sumber data primer adalah data yang diperoleh secara langsung yang
berhubungan dengan penelitian dan mampu memberikan informasi.
2. Data Sekunder
Sumber data yang diperoleh dari penulis melalui kajian kepustakaan yang relevan
dengan masalah penelitian dan merupakan data pendukung dalam penelitian.
f. Teknik Analisis Data Data-data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara deskriptif kualitatif
yang berkaitan dengan jawaban dari rumusan masalah mengapa mahasiswa menggunakan
media sosial instagram sebagai media referensi wisata.
Teknik analisis data dapat di gambarkan sebagai berikut:
1. Pengumpulan Data (Data Collection)
2. Penyajian data (Data Display)
3. Kesimpulan
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Penggunaan Fitur Instagram pada Mahasiswa Fitur instagram yang ada pada instagram ada beberapa macam, antara lain:
menggunggah foto, kamera, efek foto, arroba (@), label foto dan judul foto. Dimana masing–
masing fitur ini memiliki fungsi dan kegunaan yang berbeda juga. Fitur-fitur inilah yang
mahasiswa gunakan dalam menggunakan instagram.
Setelah memaparkan hasil wawancara mengenai penggunaan fitur instagram pada
mahasiswa. Hasil wawancara yang didapatkan dari beberapa mahasiswa, peneliti akan
menganalisis hasil wawancara dari beberapa informan tersebut. Berikut ini penggunaan fitur-
fitur instagram pada mahasiswa.
a. Mengunggah Foto
Hasil wawancara dengan informan Dandy Arfriansyah, peneliti dapat menganalisis
bahwa mahasiswa sering menggunggah foto kedalam instagram dikarenakan proses
pengunggahan sangat cepat dan hanya butuh beberapa detik gambar langsung bisa muncul
ke beranda, ini adalah salah satu kelebihan instagram dimana proses pengunggahan sangat
cepat.
Selanjutnya dari hasil wawancara dengan informan Wa Ode Aning Sartika peneliti
dapat menganalisa bahwa mahasiswa mengunggah foto ke dalam instagram dikarenakan
mereka ingin foto-foto mengenai aktifitas mereka dapat dilihat oleh teman-teman mereka
maupun orang lain. Maka dari itu sesering mungkin mereka mengunggah foto kedalam
instagram.
b. Kamera Instagram
Hasil penelitian yang didapatkan dari mahasiswa Rini bahwa mahasiswa tidak selalu
mengunggah foto dengan menggunakan kamera instagram dikarenakan gambar yang
dihasilkan kurang memuaskan dan juga kualitas pengambilan gambar oleh kamera
50
handphone kurang bagus, maka dari itu mereka biasanya menggunakan bantuan aplikasi
kamera yang memberikan hasil gambar yanng memuaskan.
Selanjutnya dari hasil wawancara dengan informan Hesti Yuspita, peneliti dapat
menganalisa bahwa mereka tidak menggunakan kamera instagram disebabkan pengambilan
gambar terbatas karena dibatasi dengan ukuran foto sehinggah foto yang dihasilkan kurang
memuaskan. Maka dari itu kamera instagram kurang diminati oleh penggunanya.
c. Efek Foto
Hasil penelitian yang didapatkan dari mahasiswa Wa Ode Aning Sartika, peneliti
dapat menganalisa bahwa mahasiwa sangat suka menggunakan efek foto pada setiap foto
yang mereka unggah dimana efek yang disediakan oleh instagram bermacam–macam
dengan begitu meraka dapat memilih sesuai yang mereka inginkan.
Selanjutnya dari hasil wawancara dengan informan Ririn Pratiwi, peneliti dapat
menganalisa bahwa mahasiwa menyukai efek yang disediakan oleh instagram untuk
penggunanya, dan efek yang ada sangat bagus serta efek yang disediakan oleh instagram
sangat halus sehinggah hasilnya natural walaupun dengan tambahan efek. Sehinggah
tampilan foto sangat bagus dilihat oleh pengikut mereka.
d. Judul Foto Hasil penelitian yang didapatkan dari mahasiswa Ririn Pratiwi, peneliti dapat
menganalisa bahwa mahasiswa, tidak semua foto yang mereka unggah menggunakan judul
foto itu sebabkan sebagian pengguna kurang bisa berkata- kata dalam sebuah foto, jadi
mereka sangat terbantu dengan adanya instagram karena mereka bisa melihat berbagai
gambar yang sertai judul foto dan biasanya mereka menggunakan kata yang sama saat
mengunggah foto kedalam instagram.
Selanjutnya dari hasil wawancara dengan informan Wa Ode Aning Sartika peneliti
dapat menganalisa bahwa dia menggunakana judul foto sesuai apa yang dirasakan pada saat
itu dan biasa sesuai apa yang mengambarakan situasi pada gambar/ foto yang akan mereka
unggah, jadi disini sesuai perasaan penggungah pada saat itu.
e. Arobba (@)
Hasil penelitian yang didapatkan dari mahasiswa Rini, peneliti dapat menganalisa
bahwa mereka menggunakan arobba (@) pada saat mereka mengunggah foto yang dimana
didalam tersebut terdapat teman – teman oleh pengunggah dan untuk menyinggung gambar
yang ada mereka menyertakan @ sehingga orang yang berada pada gambar tersebut
langsung di ketahui.
Selanjutnya dari hasil wawancara dengan informan Dandy Arfriansyah, peneliti
dapat menganalisa bahwa saat mereka mengomentari satu sama lain antar pengguna
instagram mereka menggunakan arobba (@), hal itu dilakukan agar pesan yang mereka tujuh
sesuai sasaran pesan.
f. Label foto
Hasil penelitian yang didapatkan dari mahasiswa Ririn Pratiwi, peneliti dapat
menganalisa bahwa mereka menggunakan label foto (#) ketika mereka sedang bingung
mencari apa yang mereka telah cari maka mereka akan menulis kata kunci, maka akan
muncul semua yang berhubungan dengan kata kunci yang mereka cari. Semua itu sangat
membantu mereka karena mereka tidak perlu mengecek satu per satu apa yang mereka cari.
Selanjutnya dari hasil wawancara dengan informan Dandy Arfriansyah, peneliti dapat
menganalisa bahwa ketika mencari sesuatu informasi tentang referensi wisata yang sedang
booming, hits dan kekinian sangat mudah didapatkan dengan bantuan label foto (#).
Contohnya saja dengan menulis #bokori maka semua yang berhungan dengan bokori akan
muncul.
2. Penggunaan Instagram Sebagai Referensi Wisata Pada Mahasiswa Instagram tentunya menjadi penting, karena Instagram menimbulkan manfaat bagi
individu atau kelompok dalam aktivitas sosial, khususnya dalam kegiatan berwisata. Pada
kalangan mahasiswa, umumnya mereka lebih cenderung menjadi pengguna paling aktif, pada
51
setiap momen, kejadian, dan karya , mereka bisa berfoto dan mengunggahnya ke instagram.
Bagi mereka, instagram adalah salah satu sarana atau media untuk mencari referensi tempat
wisata yang belum pernah mereka kunjungi. Mereka bisa dengan mudah melihat postingan foto
tentang lokasi wisata dari akun intagram teman dan instagram juga memiliki fitur-fitur yang
memiliki banyak manfaat untuk penggunanya.
Penggunaan instagram juga terjadi pada mahasiswa di jurusan ilmu komunikasi fakultas
ilmu sosial dan ilmu politik, dari hasil wawancara informan mahasiswa tidak hanya
menggunakan instagram sebagai tempat untuk mengunggah foto tetapi juga sebagai salah satu
wadah untuk mencari referensi wisata.
Setelah mendapatkan informasi dari beberapa informan peneliti akan menganalisis
penggunaan instagram sebagai referensi wisata pada mahasiswa jurusan ilmu komunikasi
fakultas ilmu sosial san ilmu politik Universitas Halu Oleo.
1. Objek wisata
Suatu objek wisata atau destination, memiliki unsur-unsur ialah lokasi, fasilitas,
transportasi, situasi. Yang penting agar wisatawan dapat merasa puas dalam menikmati
perjalanannya.
a. Lokasi
Hasil penelitian yang didapatkan dari mahasiswa waode aning sartika, peneliti
dapat menganalisa ketika mencari objek wisata yang pertama mereka perhatikan adalah
lokasinya apakah lokasinya dekat atau jauh, apabila jauh maka, akan memakan ongkos
banyak, tetapi apabila lokasi tersebut belum pernah mereka kunjungi, mereka akan
mempertimbangkan apakah akan kesana atau tidak.
Selanjutnya dari hasil wawancara dengan informan Rini, peneliti dapat
menganalisa bahwa hal yang paling mereka perhatikan sebelum memulai perjalanan yaitu
lokasi dan fasilitas apabila lokasi wisata masih baru, lagi hits, kekinian. Maka tanpa
berpikir panjang langsung bisa dijadikan referensi wisata. Karena mereka ingin mengikuti
trend yang ada pada saat itu.
b. Fasilitas
Hasil penelitian yang didapatkan dari mahasiswa Dandy Arfriansyah, peneliti
dapat menganalisa ketika mereka mencari objek wisata, mereka melihat fasilitas–fasilitas
apa saja yang ada objek wisata tersebut, dan mereka melihat fasilitas baru apa saja yang
ada. Apabila tempat tersebut memiliki fasilitias baru maka akan membuat pengunjung
senang, apa lagi kalau berbedah dengan yang lain.
Selanjutnya dari hasil wawancara dengan informan Ririn Pratiwi, peneliti dapat
menganalisa bahwa dia tidak terlalu menuntut untuk fasilitas yang terbaru dari suatu
objek wisata, tetapi yang dia inginkan yakni fasilitas yang umum yang memang harus ada
pada setiap objek wisata yakni wc umum dan rumah singgah atau rumah rumah buat
berteduh.
c. Transportasi Hasil penelitian yang didapatkan dari mahasiswa Ririn Pratiwi, peneliti dapat
menganalisa bahwa yang mereka harapkan jalan untuk ke suatu objek wisata harus bagus,
apabila jalan kesana sudah bagus, maka bisa naik transportasi apa saja sesuai kebutuhan
mereka. Jadi semua itu tergantung dari kondisi jalan.
Selanjutnya dari hasil wawancara dengan informan Dendi Apriansyah, peneliti
dapat menganalisa, bahwa dia tidak terlalu mempermasalahkan transportasinya ketika
menuju objek wisata, karena semakin menantang perjalanan ke lokasi wisata semakin
mereka suka, yang utama yakni ketika objek wisata tersebut bagus, maka perjalanan
menuju kesana atau transportasi yang digunakan tidak menjadi suatu tantangan untuk
mereka.
d. Situasi Hasil penelitian yang didapatkan dari mahasiswa rini. Peneliti dapat menganalisa
bahwa yang menjadi faktor utama ketika mereka mencari objek wisata yakni situasinya
52
harus aman, karna menurut mereka percuma saja lokasinya bagus dan banyak
fasilitasnya, tapi jika situasinya kurang aman, maka para pengunjung tidak akan nyaman
berda di tempat tersebut.
Selanjutnya dari hasil wawancara dengan informan Wa Ode Aning Sartika,
peneliti dapat menganalisa bahwa, katika situasi perjalanan mau ke objek wisata agak
menantang maka, objek wisata tersebut akan dipertimbangkan, mengingat dia adalah
seorang wanita, jadi ketika dia merasa tidak nyaman akan situasi yang ada maka akan
dipertimbangkan dulu apakah bisa dijadikan referensi wisata atau tidak.
Penenliti dapat menganalisa mahasiswa sebelum mereka memutuskan untuk
ketempat yang mereka inginkan, mereka sangat memperhatikan lokasi, fasilitas,
transportasi, situasi yang mereka pilih karena mereka memperhitungkan biaya, apabila
lokasinya dekat maka tidak memakan biaya banyak dan mudah mereka tempuh apalagi
didukung dengan fasilitas yang bagus dengan situasi yang aman untuk pengunjung,
karena mereka mencari tempat wisata untuk refresing dan mencari hiburan apa lagi di
tambah dengan lokasi wisata yang baru dan kekinian. Dengan begitu semua aspek
tersebut sangat menentukan ketertarikan wisatawan untuk mendatangi suatu objek wisata
pada daerah tertentu.
Peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa mahasiswa memperhatikan situasi
dimana ketika suatu objek wisata yang mereka akan tujuh memilih akses jalan bagus itu
menjadi satu pertimbangan, apalagi ditambah situasi yang aman untuk para pengunjung,
maka hal itu bisa langsung dijadikan referensi wisata mereka.
2. Kepuasan
1. Kognitif
Hasil penelitian yang didapatkan dari mahasiswa Wa Ode Aning Sartika, peneliti
dapat menganalisa bahwa mahasiwa mengikuti akun-akun wisata ataupun akun selebriti
dan akun teman mereka, karena dari situ mereka mendapatkan informasi yang lengkap
mengenai tempat wisata. Dalam hal ini judul foto dan pengambilan gambar yang bagus
juga ikut mempengaruhi informasi mereka.
Selanjutnya dari hasil wawancara dengan informan Hesti Yuspita, peneliti dapat
menganalisa bahwa mereka mengikuti akun–akun wisata karena mereka menyukai
gambar yang disugukan oleh akun tersebut dimana terdapat pemandangan yang indah,
dan disanalah mereka mendapatkan referensi wisata yang menjelaskan tempat tersebut
secara mendetail dan rinci, sehingga pengunjung tak perlu melihat tempat itu terlebih
dahulu.
2. Afektif Hasil penelitian yang didapatkan dari mahasiswa Ririn Pratiwi, peneliti dapat
menganalisa bahwa mereka senang menggunakan instagram karena status yang dibuat
dalam bentuk gambar/foto dimana foto yang diunggah berbagai beraneka ragam, salah
satunya gambar/foto tentang tempat wisata yang di unggah oleh akun temannya dimana
foto tersebut menunjukan pemandangan yang indah serta pengambilan foto yang bagus
dan di tambahkan sedikit efek sehingga memepercantik tampilan foto. Hal itu
mempengaruhi perasaan mereka untuk mengunjungi tempat tersebut.
Selanjutnya dari hasil wawancara dengan informan Hesti Yuspita, peneliti dapat
menganalisa bahwa ketika mereka menyukai sesuatu karena hal itu masih baru contohnya
yang lagi tempat wisata pulau labengki dimana tempat tersebut merupakan tempat wisata
yang pemandangannya tidak perlu diragukan lagi karena tempat tersebut sering disebut
raja ampatnya sulawesi. Dan ketika salah satu akun teman mereka mengunggah foto
tentang tempat tersebut tanpa disadari mereka akan langsung mencari tau dan hal tersebut
menimbulkan rasa penasaran dan mereka ingin mengunjungi tempat tersebut.
3. Tingkah laku
Hasil penelitian yang didapatkan dari mahasiswa Wa Ode Aning Sartika, peneliti
dapat menganalisa bahwa mereka sangat terbantu dengan adanya instagram dimana saat
mereka mencari tempat wisata, maka semua informasi yang mereka cari akan muncul
53
melalui foto-foto yang menjelaskan secara detail mengenai tempat itu. Contohnya ketika
menunjungi pulau bokori, mereka tidak kecewa karena informasi sesuai apa yang
dijelaskan oleh akun yang mereka ikuti.
Selanjutnya dari hasil wawancara dengan informan Rini, peneliti dapat
menganalisa bahwa mereka menggunakan intagram karena informasi yang sediakan
selalu baru dan diperbaharui. Salah satunya saja informasi wisata, mereka mencari
referensi wisata berdasarkan yang sedang hitz, booming, kekinian dan terbaru karena
mereka ingin kelihatan kekinian, maka dari itu mereka selalu mengikuti perkembangan
trend dalam hal wisata.
Setelah menganalisis mengenai penggunaan instagram sebagai refrensi wisata
pada mahasiswa berdasarkan hasil wawancara dari beberapa informan yang merupakan
beberapa mahasiswa di jurusan ilmu komunikasi fakultas ilmu sosial dan ilmu politik
Universitas Halu Oleo, peneliti akan menghubungkan dengan teori yang digunakan.
Menurut para pendirinya, Elihu Katz, Jay G. Blumler, dan Michael Gurevitch
(dalam Rakhmat, 2005) penggunaan media massa oleh khalayak aktif. Dengan kata lain,
penggunaan media oleh khalayak diasumsikan sebagai sebuah perilaku aktif dimana
khalayak dengan sadar memilih dan mengkonsumsi media tertentu untuk memenuhi
kebutuhan serta kepuasan Pemilihan media dan isinya merupakan sebuah tindakan yang
beralasan serta memiliki tujuan dan kepuasan tertentu sesuai dengan inisiatif khalayak.
Kepuasan penggunaan instagram mahasiswa mengenai referensi wisata
didasarkan pada kurangnya informasi yang disediakan oleh aplikasi lain sehinggah
mereka lebih memilih instagram sebagai wadah untuk mencari referensi wisata karena
pada instagram segala informasi yang mereka cari dapat dengan mudah di temukan.
Disini bisa dilihat bahwa instagram merupakan aplikasi yang akan kaya dengan informasi
yang sangat berguna untuk penggunanya serta menambah pengetahuan dan pengalaman
untuk penggunanya. (Elihu Katz, Jay G. Blumler, dan Michael Gurevitch (dalam
Rakhmat, 2005))
Kepuasan yang mereka dapatkan ketika melihat dan menggunakan akun
instagram yaitu suatu kesenangan tersendiri bisa mendapatkan hiburan dari unggahan foto
yang berisi berbagai macam gambar, dari yang lucu, konyol bahkan pemandangan indah,
dan didalam instagram terdapat berbagai macam akun-akun wisata, dan itu memanjakan
para pengikutnya dimana mereka mendapatkan nilai estetika di setiap gambar. (Elihu
Katz, Jay G. Blumler, dan Michael Gurevitch (dalam Rakhmat, 2005))
Kepuasan yang paling utama yakni ketika mereka sudah mendapatkan informasi
tentang suatu tempat dan ketika hal itu mempengaruhi perasaan mereka. Mereka akan
kesana dan ketika informasi yang didapatkan sesuai dengan apa yang mereka kunjungi
maka menimbulkan kepuasan tersendiri sudah melakukan wisata dengan informasi yang
mereka dapatkan dari akun instagram. (Elihu Katz, Jay G. Blumler, dan Michael
Gurevitch (dalam Rakhmat, 2005))
E. KESIMPULAN Dari penelitian yang telah dilakukan mengenai penggunaan instagram sebagai referensi
wisata pada mahasiswa fakultas ilmu sosial dan ilmu politik Universitas Halu Oleo. Berikut
kesimpulan rumusan masalah yang sedang diteliti:
A. Penggunaan fitur instagram pada mahasiswa
1. Fitur Instagram
a. Mengunggah foto
b. Kamera
c. Efek foto
d. Judul foto
e. Arobba (@)
f. Label foto
54
B. Penggunaan instagram sebagai refrensi wisata pada mahasiswa
1. Objek Wisata
a. Lokasi
b. Fasilitas
c. Transportasi
d. Situasi
2. Kepuasan
a. Penggunaan instagram menimbulkan kepuasan kognitif pada pengguna instagram yang
terjadi adalah pengguna instagram mendapatkan informasi. Dengan adanya instagram
pengguna instagram menjadi tahu tentang informasi-informasi wisata yang diunggah pada
akun-akun wisata di instagram. Informasi dari akun-akun wisata instagram juga
merupakan sesuatu hal yang baru.
Seperti tempat-tempat wisata baru yang belum banyak dikunjungi wisatawan. Spot-
spot dari tempat yang indah dan menarik. Jadi instagram dalam kepuasan kognitif ini
sangatlah mempengaruhi dalam hal informasi karena pengguna instagram mengalami
penambahan informasi yang diakses melalui instagram.
b. Pengguna instagram juga menimbulkan kepuasan afektif, pengguna instagram mengalami
perubahan sikap atau emosi pada dirinya. Perubahan terjadi ketika pesan yang ditangkap
dari sumber informasi. Pesan dalam hal ini foto atau video yang dilihat dari akun wisata
instagram yang menarik perubahan sikap/emosi ditunjukkan dengan keinginan untuk
mengunjungi tempat wisata tersebut.
Sehingga akun akun wisata tersebut secara tidak langsung mempengaruhi pengguna
instagram. Pesan-pesan yang disampaikan melalui gambar dan dikemas dengan menarik
dengan fotografi yang indah merupakan salah satu daya tarik yang membuat kepuasan
afektif pada pengguna instagram dan membuat perasaan ingin tahu dan penasaran untuk
mengunjungi tempat-tempat wisata tersebut.
c. Penggunaan instagram juga menimbulkan kepuasan tingkah laku (behaviour), namun
pada pengguna instagran tampaknya kepuasan tingkah laku belum begitu mempengaruhi
pengguna instagram dalam berwisata setelah melihat referensi dari instagram secara
keseluruhan. Sehingga, kepuasan penggunaan instagram hanya sebatas kepuasan afektif.
Namun, adapula pengguna instagram yang mendapatkan informasi wisata setelah
mengakses instagram sampai pada kepuasan tingkah laku. Kepuasan tingkah laku
dijalankan oleh pengguna instagram yang mengakses akun wisata dengan beberapa
pertimbangan adalah waktu dan ekonomi. Jika keduanya memungkinkan terjadilah
kepuasan tingkah laku pada pengguna instagram.
DAFTAR PUSTAKA
A. Sumber Buku
Abrar, Ana Nadhya. 2003. Teknologi Komunikasi: Perspektif Ilmu Komunikasi. Yogyakarta:
LESFI.
Bagyono. 2006. Teori dan Praktek Hotel Front Office. Bandung: CV.Alfabeta.
Burkart, A. J. and Medlik, S. 1981. Tourism: Past, Present, and Sejarah Pariwisata dan
Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Grasindo
Effendy, Onong Uchjana. 1993. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti.
Fidler, Roger. 2003. Mediamorphosis: Mema hami Media Baru. Terjemahan: Hartono
Hadikusumo. Yogyakarta: Bentang.
Kodhyat, h. (1983:4). Pengertian pariwisata dan kepariwisataan, yogyakarta.
Kusumaningrum, Dian. 2009. Persepsi Wisatawan Nusantara Terhadap Daya Tarik Wisata Di
Kota Palembang. Tesis PS. Magister Kajian Pariwisata. Universitas Gadjah Mada.
55
Landsverk, Kjell Halvor. (2014). The Instagram Book: Edition 2014. United Kingdom: Prime Head
Limited.
Morissan. 2014. Teori Komunikasi Individu Hingga Massa. Jakarta: Kencana. Prenadamedia
Group.
Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Pendit. Nyoman S. 1994. Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar. Perdana. Jakarta.
P. Sumarji. 1996. Pelayanan referensi di perpustakaan. yogyajarta: Kanisius.
Rakhmat, J. 2004. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Wahab, S. (1996). Manajemen kepariwisataan. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
B. Sumber Lain
Bintang, Agusta Lesmana. 2012. Pengertian dari Macromedia Flash dan Multimedia serta Fungsi-
fungsi Penjelasan Tollbarnya. http://bintangagustalesmana. blogsport.com. Diakses pada 14
Maret 2017
Puntoadi, Danis, 2011. Meningkatkan Penjualan Melalui Sosial Media. Elexgramedia, 2011.
Purnama, Hadi, (2011). Media sosial di era pemasaran 3.0. corporate and marketing
communikacaton. Jakarta: Pusat studi Komunikasi dan Bisnis Pasca Sarjana Universitar Mercu
Buana. Pp 107-124.
56
KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI GURU DAN MURID DALAM
MENANAMKAN PENGETAHUAN BAHASA WOLIO (STUDI PADA
GURU DAN MURID DI SD NEGERI 3 BAUBAU)
Drs. La Ode Muh. Syahartijan,M.Pd.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Halu Oleo
Email: Herman_khalik@yahoo.com
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui komunikasi antarpribadi yang terjalin dalam
proses pembelajaran antara guru dan murid di SD Negeri 3 Baubau, serta untuk mengetahui faktor
yang berpengaruh dalam proses pembelajaran Bahasa Wolio di SD Negeri 3 Baubau. Lokasi penelitian
ini dilaksanakan di SD Negeri 3 Baubau di Kelurahan Wale kecamatan Wolio Kota Baubau. Teori
yang digunakan adalah teori Komunikasi Antarpribadi Joseph Devitto dengan jumlah informan
sebanyak 13 orang. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif deskriptif,
dimana data yang disampaikan berupa narasi dan diperoleh melalui wawancara dan observasi,
Hasil penelitian menunjukan bahwa komunikasi antarpribadi di SD Negeri 3 Baubau ini
diterapkan dengan baik oleh guru mulai dari sikap guru dalam menerima pendapat dan pertanyaan dari
murid, memahami kondisi dari muridnya, memberikan dukungan pada muridnya, memberikan
pengajaran yang efektif dan menciptakan pembelajaran yang nyaman. Faktor pendukung yang
berpengaruh dalam proses pembelajaran Bahasa Wolio di SD Negeri 3 Baubau terdiri dari adanya
dukungan dari kepala sekolah, dukungan dari orang tua murid, serta antusias belajar siswa yang tinggi
dalam belajar. Serta hambatan yang menjadi kendala dalam proses pembelajaran Bahasa Wolio di SD
Negeri 3 Baubau adalah keragaman murid yang ada di sekolah ini, jam pelajaran yang kurang,
kurangnya guru mata pelajaran Bahasa Wolio, serta kurangnya media pembelajaran.
Kata Kunci: Komunikasi Pendidikan, Komunikasi Antar Pribadi dan Pengetahuan Bahasa
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar dalam upaya memajukan perkembangan jasmani
maupun rohani dengan penuh tanggung jawab, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan
pelatihan untuk membawa anak didik menjadi dewasa yang berjalan secara berurutan dan
terencana. Pendidikan mempunyai peranan proses untuk meningkatkan sumber daya manusia.
Menyadari pentingnya pendidikan maka pemerintah bersama-sama masyarakat telah berupaya
mewujudkan peningkatan kualitas yaitu melalui perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi
pendidikan guru dan tenaga pendidikan lainnya.
Proses pembelajaran di kelas merupakan suatu interaksi antara guru dengan siswa dan
suatu komunikasi timbal balik yang berlangsung dalam suasana eduakatif untuk pencapaian
tujuan belajar. Dalam proses pembelajaran ini, kedua komponen tersebut yaitu interaksi dan
komunikasi harus saling menunjang agar hasil belajar siswa dapat tercapai secara optimal.
Sebab komunikasi dan interaksi di dalam maupun di luar kelas sangat menentukan efektifitas
dan mutu pendidikan.
Terkait dengan proses pembelajaran, komunikasi dikatakan efektif jika pesan yang
dalam hal ini adalah materi pelajaran dapat diterima dan dipahami, serta menimbulkan umpan
balik yang positif oleh siswa. Komunikasi efektif dalam pembelajaran harus didukung
keterampilan komunikasi antarpribadi yang harus dimiliki oleh seorang guru. Komunikasi
antarpribadi merupakan komunikasi yang berlangsung secara informal antara dua orang
individu. Komunikasi ini berlangsung dari hati ke hati, karena diantara kedua belah pihak
57
terdapat hubungan saling mempercayai. Komunikasi antarpribadi merupakan salah satu bentuk
komunikasi manusia yang dianggap paling efektif dibandingkan dengan bentuk komunikasi
antar manusia lainnya. Keistimewaan komunikasi antarpribadi melalui tatap muka terletak pada
efek umpan balik, aksi dan reaksi langsung dapat terlihat antara komunikator dan komunikan
lebih secara verbal maupun non verbal. Jarak fisik partisipan yang dekat dan dilakukan dengan
saling pengertian dapat mengembangkan komunikasi tersebut termasuk dalam kerangka
hubungan guru dan murid.
Komunikasi antarpribadi merupakan suatu keharusan dalam kegiatan belajar mengajar,
agar terjadi hubungan yang harmonis antara guru dengan peserta belajar. Keefektifan
komunikasi dalam kegiatan belajar mengajar ini sangat tergantung dari kedua belah pihak. Akan
tetapi karena guru yang memegang kendali kelas, maka tanggung jawab terjadinya komunikasi
dalam kelas yang sehat dan efektif terletak pada tangan guru. Keberhasilan guru dalam
mengemban tanggung jawab tersebut dipengaruhi oleh keterampilannya dalam melakukan
komunikasi ini. Arismunandar mengatakan bahwa, tantangan guru adalah bagaimana dapat
menjelaskan materi dengan baik, memberikan yang esensial dengan cara yang menarik, percaya
diri, dan membangkitkan motivasi para siswanya. Guru yang menjelaskan, siswa yang bertanya,
berbicara dan mendengarkan yang terjadi silih berganti, semuanya itu merupakan bagian dari
pendidikan yang penting serta berlaku dalam kehidupan yang sejahtera. Bertanya pun harus
jelas serta menggunakan bahasa yang baik dan benar, supaya diperoleh jawaban yang baik dan
benar pula. Belajar mengajar sebagai suatu proses komunikasi yang menekankan aspek kognitif
mengandung makna bahwa guru sebagai pemberi informasi akan menyampaikan gagasan atau
konsep kepada siswanya. Setelah siswa mendapatkan gagasan dari guru, siswa akan
mengubahnya menjadi kode-kode di dalam pikirannya sehingga pengetahuan yang ada menjadi
milik siswa.
Pembelajaran muatan lokal di sekolah telah menjadi suatu sasaran pendidikan yang
selalu diterapkan pada setiap kurikulum pembelajaran. Bahasa wolio yang merupakan bahasa
pemersatu yang digunakan oleh masyarakat daerah eks kesultanan Buton, turut di masukan
dalam system pengajaran bagi sekolah-sekolah yang ada di lingkup pendidikan Kota Baubau.
Dimana hal ini dimaksudkan untuk memberikan pelajaran dan pemahaman kembali kepada para
generasi muda agar tidak melupakan bahasa daerahnya sendiri. Kelak bahasa daerah itu tidak
terhapus dengan sendirinya seiring dengan berkembangnya zaman, serta melihat kini
kebanyakan dari generasi muda sekarang lebih sering menggunakan bahasa asing ketimbang
mempelajari bahasa daerahnya sendiri. Oleh karena itu dengan kehadiran pelajaran muatan lokal
di sekolah terutama dimulai dari tingkat dasar diharapkan dapat membantu generasi muda untuk
lebih melestarikan bahasa daerahnya sendiri.
Berkaitan dengan pembelajaran muatan lokal, SD Negeri 3 Baubau yang merupakan
salah satu sekolah dasar yang ada di Kota Baubau, dimana dalam sistem pengajarannya masih
menyajikan bahasa wolio sebagai pelajaran muatan lokal dalam kurikulum pelajaran mereka.
Para siswa di sekolah ini diberikan dan diperkenalkan kembali mengenai Bahasa Wolio, oleh
karena itu para guru dituntut untuk bisa memberikan pengajaran yang efektif kepada para
muridnya dalam penyajian materi yang diberikan, karena melihat siswa yang ada di SD Negeri
3 Baubau umumnya heterogen, dan siswanya kebanyakan berasal dari luar daerah, serta
sebagian dari para siswanya belum mengetahui Bahasa Wolio. Sehingga terciptalah tantangan
tersendiri bagi para guru untuk bisa membawakan materi pembelajaran kepada murid secara
efektif agar timbul kesepahaman dari para murid. Terutama bagi murid yang belum mengetahui
akan pelajaran bahasa wolio ini.
Komunikasi antarpribadi berperan penting dalam proses komunikasi antara guru dan
murid dalam pembelajaran. Karena sebagian siswa di sekolah ini bukan berasal dari daerah Kota
Baubau, otomatis butuh pendekatan tersendiri dari guru untuk menciptakan komunikasi yang
lebih efektif dalam menciptakan pembelajaran yang baik, serta untuk lebih membantu murid
agar bisa memahami pelajaran tersebut. Karena apabila materi pembelajaran tidak disampaikan
secara baik oleh guru maka akan menimbulkan kesusahan bagi murid dalam menerima materi
tersebut. Terlebih lagi bagi murid yang bukan berasal dari Kota Baubau dimana pelajaran ini
58
menjadi hal baru yang mereka dapatkan, ketika di rumah mereka tidak pernah mendengar
bahasa ini tapi ketika di sekolah mereka dihadapkan oleh pelajaran Bahasa Wolio.
Oleh karena itu para guru di sekolah ini menggunakan komunikasi antarpribadi untuk
lebih membantu mereka dalam memberikan pengajaran kepada para muridnya. Dengan ini juga,
seorang guru sekreatifnya melakukan komunikasi secara intensif dan terus menerus agar dapat
mengetahui perkembangan siswa yang dapat membantu dalam pemecahan masalah-masalah
yang ada dan dapat menunjang tingkat prestasi belajarnya. Serta bagaimana sikap dari seorang
guru kepada murid, dalam memperhatikan unsur keterbukaan kreatif guru maupun murid, agar
dapat mengetahui keinginan potensi masing-masing. Serta para murid tidak ragu untuk bisa
berdiskusi dengan guru mengenai pelajaran Bahasa Wolio ini.
2. Rumusan Masalah Berangkat dari paparan latar belakang masalah diatas maka peneliti merumuskan suatu
permasalahan yakni:
1. Bagaimana komunikasi antarpribadi yang terjalin dalam proses pembelajaran antara guru dan
murid di SD Negeri 3 Baubau guna menanamkan pengetahuan para siswa akan Bahasa Wolio?
2. Faktor apa yang mempengaruhi proses pembelajaran Bahasa Wolio di SD Negeri 3 Baubau
guna menanamkan pengetahuan para siswa akan Bahasa Wolio?
3. Tujuan Penelitian Tujuan peneliti dalam penelitian ini adalah:
1. Mengetahui komunikasi antarpribadi yang terjalin dalam proses pembelajaran antara guru
dan murid di SD Negeri 3 Baubau guna menanamkan pengetahuan para siswa akan bahasa
wolio.
2. Mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi pada proses pembelajaran Bahasa Wolio di
SD Negeri 3 Baubau guna menanamkan pengetahuan para siswa akan Bahasa Wolio
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Efektifitas Komunikasi Antarpribadi Manusia selalu melakukan kegiatan komunikasi sebagai bukti kesadaran akan
keberadaannya, yaitu mengadakan aksi dan bereaksi atas stimuli yang datang padanya.
Seseorang yang mencoba memisahkan diri atau mengasingkan diri dari dunia ramai, dan hidup
menyendiri di tempat terpencil, pada hakekatnya juga tidak dapat memisahkan hidupnya dari
kegiatan komunikasi, karena setidaknya ia akan berkomunikasi dengan dirinya sendiri.
Menurut Wilbur Scramm yang dikutip oleh Liliweri dikatakan bahwa: “Diantara
manusia yang bergaul, mereka sering berbagi informasi, gagasan, sikap” (Liliweri, 1991:11).
Manusia sebagai makhluk sosial harus hidup bermasyarakat. Semakin besar suatu masyarakat,
berarti semakin banyak manusia yang dicakup, dan cenderung akan semakin banyak masalah
yang timbul, akibat perbedaan-perbedaan yang terdapat diantara manusia-manusia tersebut.
Pada masing-masing individu yang beraneka ragam itu, dalam pergaulan hidupnya terjadi
interaksi dan saling mempengaruhi demi kepentingan dan keuntungan pribadi masing-masing.
Komunikasi dianggap efektif untuk mengubah sikap, pendapat, perilaku seseorang,
karena sifatnya dialogis berupa percakapan. Rogers yang dikutip oleh Alo Liliweri
mengemukakan bahwa: “Komunikasi antarpribadi merupakan komunikasi dari mulut ke mulut,
terjadi dalam interaksi tatap muka antara beberapa pribadi” (Liliweri 1991:12). Komunikasi
antarpribadi mempunyai berbagai macam manfaat. Dimana melalui komunikasi antarpribadi,
kita dapat mengenal diri kita sendiri dan orang lain. Melalui komunikasi antarpribadi kita bisa
mengetahui dunia luar. Melalui komunikasi antarpribadi kita bisa menjalin hubungan yang lebih
bermakna. Melalui komunikasi antarpribadi kita bisa melepaskan ketegangan. Melalui
komunikasi antarpribadi kita bisa mengubah nilai-nilai dan sikap hidup seseorang. Melalui
komunikasi antarpribadi seseorang bisa memperoleh hiburan dan menghibur orang lain dan
sebagainya. Singkatnya komunikasi antarpribadi bisa mempunyai berbagai macam kegunaan.
Alo Liliweri mengutip pendapat Joseph A.Devito (Liliweri, 1991:13) dalam buku
Komunikasi antarpribadi mengenai efektivitas komunikasi antarpribadi dimulai dengan lima
59
kualitas umum yang dipertimbangkan yaitu keterbukaan (openness), empati (empathy),sikap
mendukung (supportiveness), sikap positif (positiveness), dan kesetaraan (equality).
1. Keterbukaan (Openness)
Kualitas keterbukaan mengacu pada sedikitnya tiga aspek dari komunikasi
interpersonal. Pertama, komunikator interpersonal yang efektif harus terbuka kepada orang
yang diajaknya berinteraksi. Ini tidaklah berarti bahwa orang harus dengan segera
membukakan semua riwayat hidupnya, memang ini mungkin menarik tapi biasanya tidak
membantu komunikasi. Sebaliknya, harus ada kesediaan untuk membuka diri
mengungkapkan informasi yang biasanya disembunyikan, asalkan pengungkapan diri ini
patut. Aspek keterbukaan yang kedua mengacu kepada kesediaan komunikator untuk
bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Aspek ketiga menyangkut
“kepemilikan” perasaan dan pikiran (Bochner dan Kelly, 1974). Terbuka dalam pengertian
ini adalah mengakui bahwa perasaan dan pikiran yang seseorang lontarkan adalah memang
miliknya dan orang tersebut bertanggungjawab atasnya.
2. Empati (empathy)
Henry Backrack (1976) mendefinisikan empati sebagai ”kemampuan seseorang
untuk „mengetahui‟ apa yang sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut
pandang orang lain itu, melalui kacamata orang lain itu.” Bersimpati, dipihak lain adalah
merasakan bagi orang lain atau merasa ikut bersedih. Sedangkan berempati adalah
merasakan sesuatu seperti orang yang mengalaminya, berada dikapal yang sama dan
merasakan perasaan yang sama dengan cara yang sama. Individu dapat mengkomunikasikan
empati baik secara verbal maupun non verbal. Secara nonverbal, dapat mengkomunikasikan
empati dengan memperlihatkan (1) keterlibatan aktif dengan orang itu melalui ekspresi
wajah dan gerak-gerik yang sesuai; (2) konsentrasi terpusat meliputi kontak mata, postur
tubuh yang penuh perhatian, dan kedekatan fisik; serta (3) sentuhan atau belaian yang
sepantasnya.
3. Sikap mendukung (supportiveness)
Hubungan interpersonal yang efektif adalah hubungan dimana terdapat sikap
mendukung (supportiveness). Komunikasi yang terbuka dan empatik tidak dapat
berlangsung dalam suasana yang tidak mendukung. Seseorang memperlihatkan sikap
mendukung dengan bersikap (1) deskriptif, bukan evaluatif, (2) spontan, bukan strategik, dan
(3) profesional, bukan sangat yakin.
4. Sikap positif (positiveness)
Sikap positif mengacu pada sedikitnya dua aspek dari komunikasi interpersonal.
Pertama, komunikasi interpersonal terbina jika seseorang memiliki sikap positif terhadap diri
mereka sendiri. Kedua, perasaan positif untuk situasi komunikasi pada umumnya sangat
penting untuk interaksi yang efektif. Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada
berkomunikasi dengan orang yang tidak menikmati interaksi atau tidak bereaksi secara
menyenangkan terhadap situasi atau suasana interaksi.
5. Kesetaraan (Equality)
Terkadang terjadi ketidaksetaraan dalam sebuah situasi. Salah seorang mungkin
lebih pandai, lebih kaya, lebih tampan atau cantik, atau lebih atletis daripada yang lain.
Terlepas dari ketidaksetaraan ini, komunikasi interpersonal akan lebih efektif bila
suasananya setara. Artinya, harus ada pengakuan secara diam-diam bahwa kedua pihak
sama-sama bernilai dan berharga, dan bahwa masing-masing pihak mempunyai sesuatu yang
penting untuk disumbangkan. Kesetaraan berarti kita menerima pihak lain, atau menurut
istilah Carl Rogers, kesetaraan meminta seseorang untuk memberikan “penghargaan positif
tak bersyarat” kepada orang lain.
2. Fungsi dan Keampuhan Komunikasi Antarpribadi Dibandingkan dengan bentuk-bentuk komunikasi lainnya, komunikasi antarpribadi
dinilai paling ampuh dalam kegiatan mengubah sikap, kepercayaan, opini, dan perilaku
komunikan. Alasannya adalah komunikasi antarpribadi umumnya berlangsung secara tatap
muka (face-to-face). Oleh karena itu individu (komunikator) dengan individu (komunikan)
60
saling bertatap muka, maka terjadilah kontak pribadi (personal contact); pribadi komunikator
menyentuh pribadi komunikan. Ketika komunikator menyampaikan pesan, umpan balik
berlangsung seketika (immediate feedback); komunikator mengetahui pada saat itu tanggapan
komunikan terhadap pesan, ekspresi wajah, dan gaya bicara komunikator. Apabila umpan
baliknya positif, artinya tanggapan komunikan menyenangkan komunikator, sehingga
komunikator mempertahankan gaya komunikasinya; sebaliknya jika tanggapan komunikan
negatif, komunikator harus mengubah gaya komunikasinya sampai berhasil.
Oleh karena keampuhan dalam mengubah sikap, kepercayaan, opini, dan perilaku
komunikan itulah maka bentuk komunikasi antarpribadi acapkali dipergunakan untuk
melancarkan komunikasi persuasif (persuasive communication) yakni suatu teknik komunikasi
secara psikologis manusiawi yang sifatnya halus, luwes berupa ajakan, bujukan atau rayuan.
Adapun fungsi komunikasi antarpribadi ialah berusaha meningkatkan hubungan insan (human
relations), menghindari dan mengatasi konflik-konflik pribadi, mengurangi ketidakpastian
sesuatu, serta berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan orang lain.
3. Komunikasi Pendidikan Menurut Onong Uchjana Effendi dalam buku Ilmu Komunikasi (Teori dan Praktek)
menyatakan: “Ditinjau dari prosesnya, pendidikan adalah komunikasi dalam arti kata bahwa
dalam proses tersebut terlibat dua komponen yang terdiri atas manusia, yakni pengajar sebagai
komunikator dan pelajar sebagai komunikan”. Pendapat tersebut menekankan pendidikan itu
berlangsung secara berencana didalam kelas secara tatap muka dan mengabaikan kegiatan
pendidikan secara umum pada masyarakat dan pendidikan secara khusus dalam keluarga. Hal
ini dapat dilihat pada pendapat berikutnya bahwa perbedaan antara komunikasi dan pendidikan
terletak pada tujuan atau efek yang diharapkan.
4. Bahasa Wolio
Bahasa Wolio termasuk salah satu kelompok bahasa yang terdapat di wilayah kerajaan
Buton, selain bahasa Pancana (Muna), bahasa Cia-Cia, bahasa Moronene, bahasa Kulisusu dan
bahasa Kepulauan Tukang Besi (Wakatobi). Wilayah pemakaian Bahasa Wolio pada masa
pemerintahan kerajaan Buton meliputi wilayah pusat pemerintahan atau Keraton Buton di
Wolio sekarang ini menjadi wilayah pemerintahan Kota Baubau. Bahasa Wolio, selain
digunakan sebagai alat komunikasi di pusat kerajaan Buton di Wolio, juga digunakan sebagai
bahasa resmi di tingkat kerajaan Buton.
Salah satu keunggulan bahasa Wolio dibandingkan dengan kelompok bahasa lainnya
yang terdapat di kerajaan Buton adalah, Bahasa Wolio memiliki sistem aksara yang baku yang
diadopsi dari aksara Arab dan aksara Jawi (Arab-Melayu). Hal ini dapat disaksikan melalui
berbagai peninggalan tertulis (naskah kuno) yang tersimpan di berbagai koleksi masyarakat
Buton terutama di pusat koleksi almarhum Abdul Mulku Zahari di Kota Baubau Wolio-Buton.
Naskah-naskah kuno yang tersimpan di koleksi itu, selain menggunakan bahasa Wolio juga
menggunakan beberapa bahasa yaitu bahasa Melayu, Arab, Bugis, Belanda dan Jepang.
Penggunaan bahasa Wolio sebagai bahasa resmi kerajaan Buton selain bahasa Melayu
dan bahasa Arab pada hakekatnya adalah untuk menunjukkan jati diri bangsa Buton dalam
menggambarkan kepada masyarakat dunia pada masa itu bahwa kerajaan Buton tidak sedang
dalam jajahan bangsa lain, atau tegasnya kerajaan Buton adalah kerajaan yang bebas dan
merdeka. Bahasa Wolio dijadikan sebagai lambang kebangsaan, lambang kebanggaan dan alat
komunikasi yang dapat mempersatukan negerinya. Dengan demikian, maka tentu salah satu
alasan utama penetapan bahasa Wolio sebagai bahasa resmi pada masa itu adalah lebih bersifat
politik selain menjaga wibawa dan martabat bangsanya.
C. METODE PENELITIAN
1. Lokasi Penelitian Penelitian ini berhubungan dengan masalah pembelajaran Bahasa Wolio yang
merupakan bahasa daerah yang ada di Kota Baubau, maka dari itu lokasi penelitian ini
dipusatkan di SD Negeri 3 Baubau. Peneliti memilih lokasi ini karena melihat siswa yang ada di
61
sekolah tersebut umumnya heterogen dan berasal dari berbagai daerah. Sehingga para guru di
sekolah ini menggunakan komunikasi antarpribadi dalam proses pembelajaran Bahasa Wolio,
untuk lebih membantu mereka dalam memperkenalkan kembali Bahasa Wolio kepada para
muridnya. Oleh karena itu memungkinkan peneliti untuk lebih mengetahui bagaimana
komunikasi antarpribadi digunakan dalam pembelajaran bahasa wolio guna menciptakan
pemahaman siswa akan pelajaran ini.
2. Teknik Penentuan Informan Teknik penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan secara purposive, peneliti
memilih informan menurut kriteria tertentu yang telah ditetapkan. Dimana peneliti memilih dua
orang guru yang mengajarkan Bahasa Wolio, dan memilih sepuluh orang murid yang ditentukan
langsung oleh Guru Bahasa Wolio dan sering berkomunikasi dengan guru dalam hal
pembelajaran Bahasa Wolio.
3. Informan penelitian Adapun informan dari penelitian ini adalah Kepala Sekolah SD Negeri 3 Baubau dan
dua orang guru yang mengajarkan mata pelajaran bahasa wolio di SD Negeri 3 Baubau dan 10
orang murid di SD Negeri 3 Baubau.
4. Teknik Pengumpulan data Data penelitian ini diperoleh dengan menggunakan metode pengumpulan data melalui:
Wawancara, Observasi (pengamatan) dan Dokumentasi.
5. Teknik analisis data Analisis data akan dilakukan sejak awal hingga akhir penelitian secara deskriptif
kualitatif dan data yang diperoleh melalui wawancara dan pengamatan akan diolah dan
dikelompokkan sesuai dengan kategori masing-masing, kemudian dihubungkan dengan teori
atau konsep yang ada. Teknik analisis data dalam penelitian ini, dilakukan setelah data-data
diperoleh melalui teknik wawancara mendalam dan observasi.
D. HASIL PENELITIAN
1. Komunikasi Antarpribadi Guru dan Murid dalam Proses Pembelajaran Bahasa
Wolio
Komunikasi antarpribadi terjalin dengan baik antara guru dan murid pada proses
pembelajaran Bahasa Wolio di SD Negeri 3 Baubau, dimana guru berusaha untuk selalu
bersikap terbuka dalam menanggapi setiap pendapat dan pertanyaan dari muridnya, selalu
memahami kondisi dari murid, memberikan dukungan bagi muridnya dalam pembelajaran,
memberikan pengajaran yang efektif dan menciptakan suasana pembelajaran yang nyaman.
Guru Bahasa Wolio menilai bahwa sikap tersebut harus ada dan mesti diterapkan guna
menciptakan suatu pembelajaran yang baik dan menimbulkan pemahaman belajar bagi
muridnya, apalagi melihat kondisi murid di sekolah ini yang beragam baik suku maupun agama.
Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan dari para guru untuk bisa membawakan materi
pelajaran Bahasa Wolio ini dengan baik. Sehingga para murid bisa belajar dan menerima
pelajaran dengan baik dan menimbulkan pemahaman dari para murid.
Adapun komunikasi antarpribadi terjalin antara guru dan murid dalam proses
pembelajaran Bahasa Wolio di SD Negeri 3 Baubau dapat dilihat pada matriks hasil penelitian
berikut beserta dengan uraian dari hasil penelitian yang dilakukan.
62
MATRIKS HASIL PENELITIAN
KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI YANG TERJALIN ANTARA GURU DAN MURID DALAM
PROSES PEMBELAJARAN
NO Unit Analisis Struktur Kerangka
Analisis Uraian
1. Komunikasi
antarpribadi
1. Menerima
pertanyaan dan
pendapat dari
murid
Guru Bahasa Wolio di sekolah ini selalu
bersikap terbuka dan bersikap baik dalam
menanggapi segala bentuk pertanyaan yang
dilontarkan oleh muridnya yang berkaitan
dengan pembelajaran Bahasa Wolio jawaban
yang baik da positif, sehingga siswa bisa
menjadi mengerti dan paham. Guru pun
berusaha untuk menerima dan menanggapi
secara baik dengan memberikan setiap pendapat
atau masukan yang diberikan oleh muridnya
yang berkaitan dengan pembelajaran.
2. Memahami
kondisi
Pada proses pembelajaran di kelas guru Bahasa
Wolio selalu memperhatikan terlebih dahulu
kondisi dari muridnya, oleh karena itu sebelum
pembelajaran di kelas dimulai maka guru akan
berusaha untuk menguasai kelas terlebih dahulu
dengan melihat bagaimana kondisi dari
muridnya hari itu apakah mereka sudah siap
untuk menerima pelajaran atau malah
sebaliknya.
3. Memberi
dukungan
Guru Bahasa Wolio selalu memberikan
dukungan bagi murid-muridnya dalam belajar,
terutama dukungan diberikan bagi murid yang
belum memahami tentang pelajaran ini, dimana
guru akan memberikan pelajaran tambahan bagi
murid tersebut. Guru Bahasa Wolio pun turut
memberikan dukungan bagi muridnya dengan
mengikutkan mereka pada lomba-lomba yang
berkaitan dengan Bahasa Wolio.
4. Memberikan
pengajaran
yang efektif
Pada proses pembelajaran di kelas guru
berusaha untuk memberikan suatu pengajaran
yang baik dan efektif bagi muridnya dimana
guru Bahasa Wolio tidak hanya memenuhi
kewajibannya dalam menyajikan materi
pelajaran dan mengoreksi pekerjaan siswanya,
akan tetapi guru selalu bertanggung jawab
terhadap pelaksanaan bimbingan belajar.
5. Menciptakan
suasana belajar
yang nyaman
Guru Bahasa Wolio di sekolah ini berusaha
untuk menciptakan suatu suasana pembelajaran
yang nyaman di dalam kelas, dimana tidak ada
suasana kaku antara guru dan murid, sehingga
murid bisa lebih terbuka pada guru terhadap
masalah yang mereka hadapi yang berkaitan
dengan pembelajaran Bahasa Wolio.
2. Faktor Yang Mempengaruhi Proses Pembelajaran Bahasa Wolio di SD Negeri 3
Baubau Proses pembelajaran Bahasa Wolio di SD Negeri 3 Baubau dipengaruhi oleh beberapa
faktor, dimana faktor tersebut menjadi sebuah dukungan dan hambatan bagi guru dan murid
pada proses pembelajaran di kelas. Adapun faktor yang menjadi pendukung dalam proses
pembelajaran Bahasa Wolio di SD Negeri 3 Baubau yaitu adanya dukungan dari kepala sekolah
63
dimana kepala sekolah turut andil dalam memperhatikan proses pembelajaran Bahasa Wolio di
sekolah ini, adanya dukungan dari orang tua murid dimana orang tua murid turut mengikuti
perkembangan anaknya dalam pembelajaran, serta adanya antusias belajar yang tinggi dari
siswa untuk belajar Bahasa Wolio.
Selain adanya dukungan yang diberikan para guru dihadapkan pula oleh beberapa
hambatan yang menjadi kendala dalam pembelajaran, dimana hambatan tersebut yaitu
kurangnya jam pelajaran dimana jam pelajaran Bahasa Wolio ini dinilai guru sangat kurang,
kurangnya tenaga guru untuk pelajaran Bahasa Wolio, serta kurangnya media pembelajaran
seperti buku yang kurang tersedia bagi siswa, dan keragaman siswa yang ada di sekolah ini
menjadi suatu kendala dan tantangan sendiri bagi guru untuk bisa menciptakan suatu
pembelajaran yang efektif. Adapun faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran Bahasa
Wolio di SD Negeri 3 Baubau ini dapat dilihat pada matriks hasil penelitian berikut, beserta
dengan uraian dari hasil penelitian yang dilakukan.
MATRIKS HASIL PENELITIAN
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES PEMBELAJARAN BAHASA WOLIO
NO Unit Analisis Struktur Kerangka
Analisis URAIAN
1. Dukungan dalam
pembelajaran
1. Dukungan dari
Kepala Sekolah
Kepala sekolah selalu memberikan
pengarahan kepada guru Bahasa Wolio untuk
bisa lebih menciptakan suatu pembelajaran
yang baik sehingga murid bisa mendapatkan
pengetahuan yang baik pula.
2. Dukungan dari
orang tua murid
Dalam pembelajaran Bahasa Wolio orang tua
murid turut memberikan dukungan mereka,
dimana orang tua turut aktif untuk memantau
anak-anak mereka ketika belajar di rumah dan
orang tua murid pun selalu berkomunikasi
dengan guru mengenai tingkat pembelajaran
anak mereka. Serta membantu guru tentang
beberapa hal yang berkaitan dengan
pembelajaran Bahasa Wolio.
3. Antusias dari
siswa
Rasa antusias dan keinginan yang besar dari
siswa untuk mau belajar Bahasa Wolio
memberikan dukungan tersendiri bagi guru,
terutama bagi siswa yang berasal dari daerah
lain keinginan mereka untuk belajar sangatlah
tinggi. Oleh karena itu sikap ini bisa
membantu guru dalam memberikan
pengajaran yang efektif bagi para muridnya.
2. Hambatan dalam
pembelajaran
1. Keragaman
murid yang ada
di SD Negeri 3
Baubau.
Keragaman murid yang ada di sekolah ini
menjadi salah satu hambatan bagi guru dalam
proses pembelajaran Bahasa Wolio, karena
sebagian murid dari sekolah ini bukan berasal
dari Kota Baubau, sehingga membuat mereka
cukuo kesulitan dalam belajar.
2. Jam pelajaran
yang kurang.
Kurangnya jam pelajaran Bahasa Wolio di
sekolah ini turut menjadikan kendala bagi
guru dalam memberikan materi, dimana jam
pelajaran Bahasa Wolio hanya dilaksanakan
dalam waktu 90 menit, dan dilaksanakan
sekali dalam seminggu untuk tiap kelas,
sehingga hal ini dirasa guru kurang cukup
untuk bisa lebih membantu murid untuk
belajar di kelas.
64
3. Kurangnya guru
Bahasa Wolio.
Guru Bahasa Wolio di sekolah ini kurang
mencukupi, dimana guru Bahasa Wolio hanya
berjumlah dua orang sementara jumlah kelas
yang harus diajar ada 21 kelas, ditambah lagi
dengan jumlah muridnya yang banyak.
Sehingga hal ini menjadikan suatu ekndala
tersendiri bagi guru.
4. Kurangnya
media
pembelajaran.
Kurangnya buku pembelajaran Bahasa Wolio
di sekolah ini menjadikan suatu kendala
belajar bagi siswa, oleh karena itu guru
dituntut untuk harus bisa menyesuaikan
materi pelajaran dan mempersiapkan bahan
ajar dengan baik sehingga murid bisa
mendapatkan materi dengan baik pula dan
mempunyai panduan belajar.
E. PEMBAHASAN 1. Komunikasi Antarpribadi Guru dan Murid
Komunikasi antarpribadi guru dan murid dalam pembelajaran bahasa wolio di kelas
meliputi beberapa hal yang dilakukan oleh guru sebagai bentuk dari pembelajaran bahasa wolio
di SD Negeri 3 Baubau. Mengenai keterbukaan guru dalam menerima pendapat dan pertanyaan,
memahami kondisi, memberikan dukungan, memberikan pengajaran yang efektif, menciptakan
suasana belajar yang nyaman, serta melihat bagaimana hambatan dan kemudahan yang
diperoleh dalam proses pengajaran dan pembelajaran di kelas.
2. Menerima Pendapat atau Pertanyaan
Pada proses pembelajaran di SD Negeri 3 Baubau terlihat guru selalu terbuka dengan
para muridnya dengan merespon dan menerima dengan baik segala bentuk pertanyaan dan
pendapat yang diajukan oleh para murid terkait denngan pelajaran Bahasa Wolio tersebut. Guru
selalu memberikan jawaban yang baik dan secara langsung terhadap pertanyaan yang diberikan
oleh siswa. Dan guru pun biasa mengajak siswanya untuk mengobrol dengan membahas
mengenai materi pelajaran, dan dari sini para siswa terlihat menjadi leluasa untuk terbuka dalam
menanyakan beberapa hal yang tidak mereka mengerti dari materi pelajaran Bahasa Wolio ini.
Sebagaimana yang dikutip oleh Alo liliweri dari pendapat Joseph A. Devito bahwa
efektifitas dari komunikasi antarpribadi itu dapat dilihat dari aspek keterbukaan dalam
komunikasi antarpribadi yang mengacu kepada kesediaan komunikator untuk bereaksi secara
jujur terhadap stimulus yang datang. Hal ini menjadi sangat penting karena para pendidik juga
adalah pemimpin yang harus mengakomodasi berbagai pertanyaan dan kebutuhan peserta didik
secara transparan, toleran, dan tidak arogan, dengan membuka seluas-luasnya kesempatan-
kesempatan dialog kepada peserta didik.
Sejatinya seorang guru dikelas merupakan seorang pembimbing serta pengajar bagi
muridnya. Dengan begitu guru hendaknya mengembangkan kemampuan anak dalam
memecahkan masalah yang dihadapinya terutama yang berkaitan dengan masalah pembelajaran.
Dimana dalam pembelajaran dikelas hendaknya guru bisa menerima pendapat ataupun
pertanyaan yang dilontarkan oleh para murid, ini merupakan suatu keterbukaan yang harus
dimiliki oleh seorang guru. Melalui pendapat dan pertanyaan yang diberikan oleh murid ini,
sudah sewajarnya jika seorang guru harus bersikap spontan terhadap stimulus yang datang.
Kita bisa melihat bahwa keterbukaan sangat diperlukan oleh seorang guru dalam
menanggapi segala bentuk pertanyaan dan pendapat dari para murid sehingga para murid bisa
terbantu dalam menyelesaikan permasalahan mereka terutama yang berkaitan dengan materi
pembelajarannya, serta dengan adanya sikap seperti ini dari para guru menjadikan murid jadi
terbuka terhadap guru untuk lebih sering berkomunikasi dalam membahas pelajaran di kelas.
Dari hasil wawancara dan pengamatan yang dilakukan didapatkan pemahaman bagaimanan
dengan sikap terbuka yang diterapkan oleh para guru dalam menerima dan menanggapi segala
65
bentuk pertanyaaan dan pendapat murid mengenai pembelajaran di kelas sangatlah membantu
murid dalam mengatasi masalah belajar mereka. Dengan adanya sikap tersebut maka kendala
dalam pembelajaran yang dihadapi oleh para siswa dapat diatasi.
3. Memahami Kondisi
Pemahaman kondisi murid oleh para guru sangatlah diperhatikan pada proses
pembelajaran Bahasa Wolio di SD Negeri 3 Baubau, karena bagi para guru kondisi dari siswa
turut berpengaruh terhadap pelajaran yang diterima. Serta suasana hati dari siswa pun turut
menjadi perhatian bagi guru, terlebih lagi dengan kondisi keragaman dari sebagian murid yang
ada di sekolah ini, dimana sebagian murid berasal dari daerah yang berbeda, sehingga
menjadikan suatu perhatian khusus bagi para guru untuk lebih memahami kondisi dari siswanya
guna memudahkan mereka dalam pembelajaran bahasa wolio di kelas.
Sebagaimana yang dikutip oleh Alo liliweri dari pendapat Joseph A. Devito bahwa
efektifitas dari komunikasi antarpribadi itu dapat dilihat dari aspek empati yang menjadi
kemampuan seseorang untuk mengetahui apa yang sedang dialami oleh orang lain pada suatu
saat tertentu, dari sudut pandang orang lain itu, melalui kacamata orang lain itu. Dengan melihat
dari pandangan para ahli tersebut maka dapat dipahami bahwa pemahaman kondisi murid
menjadi sesuatu yang harus diperhatikan oleh para guru. Mengacu pada beberapa pandangan
tentang belajar seringkali dikemukakan bahwa masalah-masalah belajar baik interen maupun
ekstern dapat dikaji dari dimensi guru maupun dari dimensi siswa. Sedangkan jika dikaji dari
tahapannya, masalah belajar dapat terjadi pada waktu sebelum belajar, selama proses belajar dan
sesudah belajar. Dari dimensi siswa, masalah-masalah belajar yang dapat muncul sebelum
kegiatan belajar dapat berhubungan dengan karakteristik atau ciri siswa, baik berkenaan dengan
minat, kecakapan maupun pengalaman.
Pengalaman siswa akan turut menentukan muncul tidaknya masalah belajar sebelum
kegiatan belajar dimulai. Siswa-siswa yang akan memiliki latar pengalaman yang baik yang
mendukung materi pelajaran yang akan dipelajari, tidak memiliki banyak masalah sebelum
belajar dan dalam proses belajar selanjutnya. Namun bagi siswa yang kurang memiliki
pengalaman yang terkait dengan mata pelajaran atau materi yang akan dipelajari akan
menghadapi masalah dalam belajar, terutama berkaitan dengan kesiapannya untuk belajar. Oleh
karena itu para guru pun dituntut untuk bisa memahami bagaimana kondisi dari para murid-
murid mereka pada saat pembelajaran, karena terkadang semangat siswa dalam belajar itu
tergantung dari kondisi hati mereka.
Pemahaman kondisi yang dilakukan oleh guru Bahasa Wolio di SD Negeri 3 Baubau ini
bisa membuat guru untuk lebih melihat apa saja yang menjadi kendala belajar dari para
siswanya. Karena dengan begitu guru akan lebih membantu dalam proses belajar dikelas dan
antusias siswa dalam menerima pelajaran dapat terlihat. Terkait dengan hal ini menjadikan guru
Bahasa Wolio di sekolah ini selalu berusaha untuk memperhatikan kondisi dari murid mereka
mengingat dari keragaman yang ada pada setiap murid menjadikan kendala belajar yang akan
dihadapi oleh para murid akan berbeda satu sama lainnya.
4. Memberi Dukungan
Pemberian dukungan berupa motivasi kepada murid sangatlah dibutuhkan dalam
pembelajaran di kelas, karena dengan begitu murid akan mempunyai dorongan untuk selalu
aktif dalam belajar. Sebagaimana yang dikutip oleh Alo liliweri dari pendapat Joseph A. Devito
bahwa efektifitas dari komunikasi antarpribadi itu dapat dilihat dari aspek sikap mendukung
dimana hubungan interpersonal yang efektif adalah hubungan dimana terdapat sikap
mendukung (supportiveness). Komunikasi yang terbuka dan empatik tidak dapat berlangsung
dalam suasana yang tidak mendukung.
Dukungan berupa motivasi terhadap anak sangat dibutuhkan dalam proses pembelajaran
di kelas. Dengan dukungan yang diberikan bisa menimbulkan motivasi anak untuk bisa tampil
atau aktif dalam pembelajarannya. Dalam kegiatan belajar, peran dan dukungan dari guru sangat
penting didalam menumbuhkan motivasi belajar siswa. Menyadari bahwa motivasi terkait erat
dengan kebutuhan, maka tugas guru adalah meyakinkan para siswa agar tujuan belajar yang
ingin diwujudkan menjadi suatu kebutuhan bagi setiap siswa.
66
Guru hendaknya dalam meyakinkan siswa bahwa hasil belajar yang baik adalah suatu
kebutuhan guna mencapai sukses yang dicita-citakan. Dukungan dari guru berupa motivasi
dapat bersifat internal dan eksternal. Beberapa penulis atau ahli yang lain menyebutnya sebagai
motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi internal atau motivasi intrinsik adalah dukungan atau
dorongan dari dalam diri individu untuk melakukan suatu aktivitas. Sedangkan motivasi
eksternal adalah dorongan yang berasal dari luar diri individu.
Kita dapat memahami bahwa sebuah dukungan diperlukan oleh para murid untuk lebih
memotivasi mereka dalam belajar. Serta dukungan sewajarnya bisa menjadi bantuan bagi siswa
untuk lebih mengantarkan mereka untuk aktif dalam mengikuti pelajaran dan mereka bisa lebih
memahami pentingnya pelajaran tersebut dalam hal ini adalah bahasa wolio, sehingga rasa
antusias siswa dalam belajar semakin tinggi. Berdasarkan dari hasil wawancara dan
pengamatan yang dilakukan terlihat bagaimana guru bahasa wolio selalu memberikan dukungan
serta motivasi penuh bagi anak didik mereka, agar anak bisa lebih mau untuk aktif dalam
mengikuti pembelajaran. Guru selalu berusaha membimbing siswanya dalam proses belajar
apalagi jika siswa tersebut terlihat kesulitan dalam mengerjakan tugas, guru pun terlihat tampil
untuk selalu memberikan arahan dan mendukung siswanya untuk berusaha dan tidak bosan atau
menjadi malas menghadapi pelajaran tersebut. Dukungan dari guru juga terlihat dengan
diikutkannya siswa yang keturunan Cina dan bukan berasal langsung dari Kota Baubau untuk
diikutkan dalam perlombaan pidato Bahasa Wolio. Dengan dukungan yang diberikan oleh guru
tersebut membuat murid menjadi lebih percaya diri dan semangat untuk bisa dan mampu
mengikuti lomba tersebut dengan baik.
5. Memberi Pengajaran efektif
Guru selalu berusaha tampil dengan selalu percaya diri dan yakin dalam membawakan
pelajaran pada proses belajar mengajar di kelas untuk membantu siswa dalam memberikan
pemahaman dan pengetahuan akan Bahasa Wolio terutama bagi murid yang bukan berasal dari
kota Baubau dimana guru selalu berusaha memberikan pengajaran yang baik guna mencapai
tujuan belajar yang diharapkan. Guru pun selalu berusaha untuk membantu murid guna
menghadapi kesulitan mereka dalam belajar.
Sebagaimana yang dikutip oleh Alo liliweri dari pendapat Joseph A. Devito bahwa
efektifitas dari komunikasi antarpribadi itu dapat dilihat dari aspek sikap positif dimana, sikap
positif mengacu pada sedikitnya dua aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikasi
interpersonal terbina jika seseorang memiliki sikap positif terhadap diri mereka sendiri. Kedua,
perasaan positif untuk situasi komunikasi pada umumnya sangat penting untuk interaksi yang
efektif. Suatu pembelajaran menuntut seorang guru untuk bisa memberikan suatu pengajaran
yang baik dan efektif bagi muridnya. Suatu pembelajaran dengan pencapaian tujuan dari hasil
pembelajaran yang diberikan. Bagi guru, kemampuan menerapkan suatu prinsip-prinsip belajar
dalam proses pembelajaran akan membantu meningkatkan efektivitas pengelolaan
pembelajaran. Dengan adanya prinsip-prinsip dalam pembelajaran maka dapat membantu guru
dalam mendukung terjadinya proses belajar dan pencapaian hasil belajar yang efektif dengan
hasil yang diharapkan.
Kita dapat melihat bahwa sikap positif perlulah ada dalam diri para guru bahwa mereka
bisa untuk memberikan suatu pengajaran yang efektif dan mampu untuk mendidik para
muridnya, menanamkan suatu pengetahuan kepada muridnya sehingga para murid yang tadinya
belum mengetahui menjadi paham melalui ilmu yang didapat di sekolah yang diajarkan oleh
para guru.
Dalam pembelajaran Bahasa Wolio di SD Negeri 3 Baubau guru Bahasa Wolio
berusaha untuk memberikan pengajaran yang efektif pada murid-muridnya, guna pencapaian
dari tujuan belajar yang diharapkan. Para guru pun menciptakan sikap positif didalam dirinya
dimana mereka yakin kalau mereka bisa memberikan suatu pengajaran yang baik pada anak
didiknya. Melalui wawancara dan pengamatan yang dilakukan, guru bahasa wolio di sekolah ini
berusaha memberikan pengajaran yang efektif bagi para murid, dimana para guru sangat
memperhatikan materi dan metode pembelajaran dan berbagai hal yang bisa membantu guru
guna terciptanya pembelajaran yang baik.
67
6. Menciptakan Suasana Belajar yang Nyaman
Suasana pembelajaran yang nyaman sangat diperhatikan oleh para guru dalam proses
pembelajaran Bahasa Wolio di kelas karena suasana seperti ini sangat diperlukan oleh para
siswa sehingga dengan begitu mereka akan mudah dalam menangkap pelajaran, guru juga
berusaha membuat suatu kondisi belajar yang nyamana dengan tidak adanya suasana
ketegangan didalam kelas, dan menciptakan hubungan yang harmonis antara guru dengan murid
sehingga bisa menjadikan suasana pembelajaran berjalan dengan baik.
Berdasarkan wawancara dan pengamatan yang dilakukan, terlihat bahwa guru bahasa
wolio di sekolah ini sangat memperhatikan kondisi dan suasana belajar di kelas, adanya
kedekatan antara guru dengan murid menjadi suatu hal yang sangat diperhatikan oleh para guru
karena dengan begitu bisa menjadi salah satu manfaat bagi guru dan juga bagi murid dalam
pembelajaran di kelas. Kedekatan yang dibuat oleh guru terhadap murid tersebut bisa membawa
suasana nyaman antara murid dan guru dalam suasana belajar di kelas, dimana murid akan
berani terbuka terhadap kesulitan yang dihadapi olehnya mengenai materi pelajaran yang
dihadapi. Dan guru pun bisa melihat tingkat kemampuan siswanya dalam menguasai pelajaran.
Sebagaimana yang dikutip oleh Alo liliweri dari pendapat Joseph A. Devito bahwa
efektifitas dari komunikasi antarpribadi itu dapat dilihat dari aspek kesetaraan. Komunikasi
interpersonal akan lebih efektif bila suasananya setara. Artinya, harus ada pengakuan secara
diam-diam bahwa kedua pihak sama-sama bernilai dan berharga, dan bahwa masing-masing
pihak mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan. Kesetaraan berarti kita menerima
pihak lain, atau menurut istilah Carl Rogers, kesetaraan meminta seseorang untuk memberikan
“penghargaan positif tak bersyarat” kepada orang lain. Proses pembelajaran juga misalnya,
pengembangan suasana kesetaraan melalui komunikasi dialogis yang transparan, toleran dan
tidak arogan seharusnya terwujud di dalam aktivitas pembelajaran. Suasana yang memberi
kesempatan luas bagi setiap peserta didik untuk berdialog dan mempertanyakan berbagai hal
yang berkaitan dengan pengembangan diri dan potensinya.
Kelas menjadi sentral dan upaya-upaya pengembangan potensi-potensi peserta didik
secara komprehensif. Karena itu proses pembelajaran di kelas harus benar-benar dibimbing
sebaik mungkin untuk memungkinkan berkembangnya potensi-potensi siswa secara optimal.
Keberhasilan proses pembelajaran tidak terlepas dari kemampuan guru dalam mengembangkan
model-model pembelajaran yang berorientasi pada peningkatan intensitas keterlibatan siswa
secara efektif dalam proses pembelajaran.
Pengembangan model pembelajaran yang tepat pada dasarnya bertujuan untuk
menciptakan kondisi pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat belajar secara aktif dan
menyenangkan sehingga siswa dapat meraih hasil belajar dan prestasi yang optimal.
Penggunaan model pembelajaran yang tepat dapat mendorong tumbuhnya rasa senang siswa
terhadap pelajaran. Menumbuhkan dan meningkatkan motivasi dalam mengerjakan tugas,
memberikan kemudahan bagi siswa untuk memahami pelajaran sehingga memungkinkan siswa
mencapai hasil belajar yang lebih baik.
Kita juga dapat memahami bahwa adanya hubungan yang harmonis antara guru dan
murid sangatlah dibutuhkan. Bagi guru Bahasa Wolio di sekolah ini mereka bukan hanya
sebagai guru bagi muridnya tapi mereka bisa menjadi teman dan orang tua bagi muridnya.
Dengan adanya sikap seperti inilah maka akan menciptakan suatu suasana belajar yang nyaman
tanpa adanya suasana kaku dan rasa takut bagi murid untuk bisa mengutarakan kesulitan belajar
mereka. Dan murid tidak akan merasa takut untuk dekat dengan guru dan terbuka mengenai
kendala yang dihadapi selama dalam proses belajar dikelas, karena adanya hubungan yang baik
tersebut dan murid pun menjadi lebih menghargai gurunya. Untuk penciptaanNsuasana
pembelajaran yang nyaman pula guru biasa membawa muridnya untuk belajar ke tempat-tempat
yang santai, karena menurut guru hal ini bisa membantu siswa dalam proses belajar mereka agar
mereka tidak merasa bosan dan jenuh.
68
7. Faktor Yang Mempengaruhi Proses Pembelajaran Bahasa Wolio di SD Negeri 3 Baubau
a. Dukungan dalam Pembelajaran
Adanya suatu bentuk pembelajaran yang baik dengan metode pembelajaran yang
telah disesuaikan dalam proses pembelajaran Bahasa Wolio di SD Negeri 3 Baubau,
membawa suatu kemudahan belajar bagi para murid. Apalagi ditambah dengan sikap dan
antusias siswa dalam pembelajaran, membuat guru diberikan kemudahan tersendiri dalam
menjalankan tugasnya sebagai seorang pendidik dan pengajar. Berdasarkan dari wawancara
dan pengamatan yang dilakukan dapat kita pahami bahwa guru Bahasa Wolio disini
walaupun terkadang mengalami hambatan dalam proses belajar mengajar dikelas tapi
disamping itu ada kemudahan yang dirasakan dalam proses pembelajarannya. Kemudahan
ini merupakan suatu dukungan yang didapat oleh guru untuk bisa memberikan yang terbaik
bagi muridnya. Dengan melihat besarnya antusias dari siswa untuk belajar pelajaran bahasa
wolio dan rasa ingin tahu untuk bisa lebih mengenal lagi kebudayaan yang ada di kerajaan
Buton, dan dari semangat siswa dalam belajar inilah membuat kemudahan bagi guru, terlebih
dalam menerapkan metode-metode pembelajaran untuk para siswanya. Ditambah lagi
dengan adanya dukungan dari kepala sekolah yang selalu memperhatikan proses
pembelajaran Bahasa Wolio dan selalu mengarahkan guru untuk bisa memberikan yang
terbaik bagi para muridnya menjadikan guru memiliki motivasi tersendiri untuk bisa berbuat
lebih baik dalam proses pembelajaran di kelas.
b. Hambatan dalam Pembelajaran
Diungkapkan oleh guru Bahasa Wolio di SD Negeri 3 Baubau bahwa mereka biasa
dihadapkan oleh beberapa hambatan dalam pembelajaran di kelas. Dimana ada berbagai hal
yang menjadi hambatan dalam proses pembelajaran tersebut. Berdasarkan dari wawancara
dan pengamatan yang dilakukan dapat dilihat bahwa dalam pembelajaran Bahasa Wolio
hambatan yang dihadapi oleh para guru adalah keragaman dari murid yang ada di sekolah
dimana banyak murid yang berbeda latar belakang baik suku maupun agama, waktu dari
pembelajaran di kelas yang kurang, sampai pada tenaga pendidik untuk pelajaran muatan
lokal di sekolah ini yang belum memadai ditambah lagi dengan kurangnya media dalam
pembelajaran bahasa wolio.
Mengacu pada beberapa pandangan tentang belajar seringkali dikemukakan bahwa
masalah-masalah belajar baik intern maupun ekstern dapat dikaji dari dimensi guru mapun
dari dimensi siswa. Sedangkan dikaji dari tahapannya, masalah belajar dapat terjadi pada
waktu sebelum belajar, selama proses belajar dan sesudah belajar.
Masalah-masalah belajar yang dapat muncul sebelum kegiatan belajar dapat
berhubungan dengan karakteristik siswa/ciri siswa, baik berkenaan dengan minat, kecakapan
maupun pengalaman-pengalaman. Selama proses belajar, masalah belajar seringkali
berkaitan dengan sikap terhadap belajar, motivasi, konsentrasi, pengolahan pesan
pembelajaran, menyimpan pesan, menggali kembali pesan yang telah tersimpan, unjuk hasil
belajar. Sesudah belajar, masalah belajar dimungkinkan berkaitan dengan penerapan prestasi
atau keterampilan yang sudah diperoleh melalui proses belajar sebelumnya.
Sedangkan dari dimensi guru, masalah belajar dapat terjadi sebelum kegiatan belajar,
selama proses belajar dan evaluasi hasil belajar. Sebelum belajar masalah belajar seringkali
berkaitan dengan pengorganisasian belajar. Selama proses belajar, masalah belajar seringkali
berkenaan dengan bahan belajar dan sumber belajar. Sedangkan sesudah kegiatan belajar,
masalah belajar yang dihadapi guru kebanyakan berkaitan dengan evaluasi hasil belajar.
Disini kita dapat memahami bahwa ada beberapa hambatan atau masalah yang dapat terjadi
dalam proses pembelajaran baik itu masalah yang dihadapi oleh para murid maupun guru
selama dalam proses belajar mengajar di kelas. Untuk pembelajaran Bahasa Wolio di SD
Negeri 3 Baubau ini faktor pengajar dan keragaman serta kurangnya media pembelajaran
menjadi suatu kendala yang harus dihadapi oleh para guru.
69
F. KESIMPULAN Berdasarkan dari hasil wawancara dan pengamatan yang dilakukan di SD Negeri 3 Baubau
terhadap komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh guru Bahasa Wolio pada muridnya dalam
menanamkan pengetahuan Bahasa Wolio maka dapat ditarik sebuah kesimpulan sebagai berikut:
Berdasarkan dari hasil penelitian yang dilakukan pada proses pembelajaran Bahasa Wolio
di SD Negeri 3 Baubau terlihat bahwa komunikasi antarpribadi di sekolah ini diterapkan dengan
baik oleh guru dalam pembelajaran di kelas. Dilihat dari sikap guru yang selalu bersikap terbuka
dalam menerima pendapat dan pertanyaan dari murid, bersikap empati dalam memahami kondisi
dari muridnya pada saat pembelajaran di kelas, memberikan dukungan pada muridnya, bersikap
positif dalam memberikan pengajaran yang efektif dan menciptakan pembelajaran yang nyaman.
Semuanya ini diterapkan dengan baik oleh guru Bahasa Wolio agar bisa menciptakan suatu
pembelajaran yang baik dan bisa membantu murid dalam proses belajar mereka. Serta jika dilihat
dari Komunikasi Antarpribadi Joseph Devito sikap yang diterapkan guru Bahasa Wolio di sekolah
ini sangat mendukung efektivitas dari komunikasi antarpribadi. Sehingga bisa dilihat dalam proses
komunikasi antarpribadi yang terjalin dengan baik antara guru dan murid di sekolah ini dalam
proses pembelajaran Bahasa Wolio di kelas dapat membantu dalam menciptakan suatu
pembelajaran yang efektif.
Faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran Bahasa Wolio. Melalui hasil penelitian
yang dilakukan pada proses pembelajaran Bahasa Wolio di SD Negeri 3 Baubau dapat dilihat
bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran Bahasa Wolio di SD Negeri 3
Baubau, faktor tersebut ada yang sebagai dukungan dan ada pula sebagai penghambat dalam proses
pembelajaran. Faktor pendukung yang mempengaruhi proses pembelajaran Bahasa Wolio di SD
Negeri 3 Baubau dilihat dari adanya dukungan dari kepala sekolah, dukungan dari orang tua murid,
serta antusias belajar siswa yang tinggi dalam belajar. Adapun hambatan yang menjadi kendala
dalam proses pembelajaran Bahasa Wolio ini dapat dilihat dari keragaman murid yang ada di
sekolah ini, jam pelajaran yang kurang, kurangnya guru mata pelajaran Bahasa Wolio, serta
kurangnya media pembelajaran yang tersedia untuk murid.
DAFTAR PUSTAKA Aunurrahman.2010. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Baharuddin & Esa Nur Wahyuni. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media.
Devito,A.Joseph.1997. Komunikasi Antar Manusia.Jakarta:Profesional Books.
Djamarah, S.B., 1994. Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru, Surabaya.Usahan Nasional.
Effendi,Onong Uchjana. 2006. Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Fisher, B. Audrey. 1990. Teori-Teori Komunikasi. Bandung : Remaja Rosda Karya.
Gene, Ambo. 1986. Morfologi Kata Kerja Bahasa Wolio. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa.
Mulyana, Deddy dan Solatun.2008. Metode Penelitian Komunikasi.Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Nasution,S. 1982. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
Sardiman, 2001 Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta. Rajawali.
Sumber lain
http://aansalam.blogspot.com/2011/01/ada-apa-dengan-bahasa-wolio.html (tanggal download28
November 2017)
http://www.jurnallingua.com/edisi-2009/9-vol-1-no-1/69-proses-morfonologis-prefiks-dalam-bahasa-
wolio-kajian-transformasi-generatif.html(tanggal download28 November 2017)
70
TELAAH KRITIS TATA KELOLA NEGARA DALAM PERSPEKTIF
NEO WEBERIAN STATE
Dr. H. Muhammad Amir, M. Si
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Peran birokrasi di negara berkembang sangat penting. Birokrasi di Negara tersebut
merupakan mesin utama sektor pemerintah.Selain berperan mengefektifkan kebijakan dan
penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintah, birokrasi juga memfasilitasi demokratisasi. Dalam
mendorong efektivitas negara: tinjauan pustaka dan hipotesis penelitian
Kehadiran sektor publik yang berfungsi dengan baik dapat memberikan efektif
kebijakan adalah prakondisi kunci untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan sosial
transformasi (Azulai et al., 2014). 2 Efektivitas tergantung pada keberadaan
siklus proyek teknis, yaitu mekanisme yang memungkinkan untuk menerjemahkan visi dan tujuan
ke dalam keputusan yang terinformasi, disiplin, dan dapat dipertanggungjawabkan (dan
demokratisasi Birokrasi di negara tersebut selain birokrasi merupakan mesin utama sektor
pemerintah. The role of the public bureaucracy as a key instrument in the management of national
development efforts.
Peran birokrasi dalam mendorong efektivitas negara: tinjauan pustaka dan hipotesis
penelitian. Kehadiran sektor publik yang berfungsi dengan baik dapat memberikan efektif
kebijakan adalah prakondisi kunci untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan sosial
transformasi (Azulai et al., 2014). 2 Efektivitas tergantung pada keberadaan
siklus proyek teknis, yaitu mekanisme yang memungkinkan untuk menerjemahkan visi dan
tujuan ke dalam keputusan yang terinformasi, disiplin, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Peran birokrasi sebagai alat perubahan dan pengembangan yang nyata di seluruh dunia
tidak diragukan dimanapun. Ini karena peran pemerintah dan lembaga-lembaganya sangat
penting mengingat jangkauan yang semakin meningkat jika kegiatan-kegiatan dilakukan oleh
negara modern. Oleh karena itu, kecukupan dan efisiensi birokrasi sangat penting bagi seluruh
bangsa karena warga negara memandang negara dan birokrasi publik untuk melakukan hampir
semua hal di luar kehidupan pribadi bagi mereka (Shively dikutip dalam Mohammed, O.A,
2008: 171). Dengan kata lain, Pemerintah, di seluruh dunia biasanya dibebani dengan berbagai
fungsi dan tanggung jawab yang mencakup bidang sosio-ekonomi, politik dan lainnya.
Instrumen di mana kebijakan publik dalam hal pemerintahan diubah menjadi tindakan nyata di
semua negara modern adalah Birokrasi (Mohammad O.A, 2008: 171).
Birokrasi diperlukan untuk memfasilitasi fungsi pemerintah dan demokratisasi, namun
pada sisi lain birokrasi kekurangan kapasitas untuk memfasilitasi tugas-tugas pemerintahan
secara efektif. Pemerintah di negara-negara berkembang terutama di era reformasi dinilai sangat
fungsional bagi keberhasilan pembangunan.
Tulisan ini menelaah secara kritis penyelenggaraan negara pada era reformasi saat ini
dengan menggunakan perspektif Neo Weberian Sate (NWS) sebagai salah satu model reformasi
birokrasi. Reformasi birokrasi dapat membuat pemerintah bekerja dengan lebih baik dan hemat
biaya (Schacter, 2000). Namun, pengertian dari bekerja dengan lebih baik, dapat berbeda antara
pemerintah yang satu dengan lainnya, bahkan di antara komponen yang berbeda dalam suatu
pemerintahan. Gagasan dasarnya adalah bahwa jika pemerintah dapat menangani ketidakpuasan
dan kecurigaan warga negaranya, maka ia harus menemukan cara-cara untuk menjadi lebih
efisien dan efektif dalam proses-proses formulasi dan implementasi kebijakan publik.
Bersamaan dengan itu, pemerintah juga dituntut untuk menjadi lebih responsif terhadap publik.
71
Pollitt & Bouckaert (2011) menganjurkan agar usaha reformasi birokrasi di negara
berkembang mengikuti model NWS. Model umum NWS pada tahun 2004 diajukan sebagai
suatu summary description dan suatu peta konseptual. Dari peta konseptual tersebut kita dapat
mengembangkan tipologi atau teori yang lebih spesifik untuk menjelaskan pola-pola spesifik
dan kecenderungan reformasi sektor publik dalam suatu pemerintahan tertentu.
NWS berfungsi sebagai omega, suatu visi tentang aparatur negara yang modern.
Aparatur yang modern ini lebih efisien dan responsif terhadap kebutuhan warganegara.NWS
tidak menyediakan kerangka kerja analitik yang dapat diterapkan untuk menganalisis
pengalaman reformasi di berbagai pemerintahan. Sebagai alternatif, Cepiku & Mititelu(2010)
mengembangkan kerangka analitik NWS yang diklaim dapat digunakan untuk menganalisis
pengalaman reformasi administrasi public di negara-negara berkembang.
Kerangka analitik reformasi birokrasi dalam perspektif NWS dariCepiku &
Mititelu(2010) mencakup enam prinsip, sebagai berikut: (1) orientasi eksternal ke arah
kebutuhan warga negara; (2) peran sentral para manajer profesional; (3) kolaborasi sektor publik
dan sektor privat; (4) etos pelayanan publik; (5) suplementasi demokrasi dengan konsultasi dan
partisipasi; dan (6) pemisahan politik-administrasi dan menekankan pada profesionalisasi
administrasi.
Kerangka analitik yang penulis gunakan dalam tulisan ini mengacu kepada Cepiku &
Mititelu (2010), tetapi tidak memasukkan unsur-unsur: etos pelayanan publik, suplementasi
demokrasi dengan konsultasi dan partisipasi, dan pemisahan politik-administrasi yang
menekankan pada profesionalisasi administrasi.
2. Permasalahan
Berdasarkan fenomena empiris pada latar belakang, maka masalah yang dikaji dalam
tulisan ini adalah bagaimana tata kelola negara dilihat dari perspektif NWS, meliputi: (1)
orientasi eksternal ke arah pemenuhan kebutuhan warga negara, (2) peran stratejik manajer
profesional dalam implementasi kebijakan, dan (3) Kolaborasi sektor publik dan sektor privat.
B. MODEL TEORITIS REFORMASI BIROKRASI Terdapat beberapa model utama reformasi birokrasi yang terdokumendasi dalam literatur
administrasi publik. Goldfinch (2009) mengidentifikasi dua model utama: Old Public
Administration (OPA), dan New Public Management (NPM). Selain kedua model tersebut,
Denhardt & Denhardt (2007) menambahkan dengan model New Public Services (NPS).
Selanjutnya, Cepiku & Mititelu (2010) membahas model New Public Governance (NPG) selain
OPA dan NPM. Terakhir, Pollitt & Bouckaert (2011) mengajukan model Neo-Weberian State
(NWS).
Menu yang disajikan oleh model reformasi NWS sebagian sama namun sebagian berbeda
dengan menu dalam model-model reformasi Weberian, NPM, dan NPG. Ada menu manajemen
tertentu yang digunakan dalam NWS dan digunakan juga dalam model-model reformasi lainnya.
Sebagai contoh, NWS menggunakan pengukuran kinerja sebagai suatu menu modernisasi
sedangkan pengukuran kinerja merupakan fitur utama dalam NPM (Pollitt & Bouckaert, 2011).
Meski demikian, masing-masing model reformasi mempunyai piranti utama yang membedakannya
dengan model lain.
Model NWS diajukan oleh Pollitt & Bouckaert pada tahun 2004 dalam rangka menjelaskan
perbedaan governance di antara tiga kelompok negara, yakni the maintainers, themodernizers, dan
the marketizers. Dua dari tiga kelompok ini menaruh perhatian besar pada reformasi, yakni Anglo-
American NPM marketizers dan Continental European modernizers. Model reformasi Continental
European modernizers ini diklasifikasikan oleh Pollitt & Bouckaert sebagai NWS (Amir et al,
2016).
Model NWS ini dimaksudkan untuk membantu memahami apa yang berlangsung di Eropa.
NWS menggambarkan suatu omega, yakni suatu destinasi, suatu dunia ideal yang ingin diraih,
suatu visi tentang masa depan yang diinginkan. Situasi omega ini dapat berupa suatu kritik
terhadap situasi awal, situasi status quo, atau suatu alpha. NWS sebagai suatu omega adalah
72
berfungsi sebagai suatu visi tentang aparatur negara yang modern, efisien, dan ramah terhadap
warga negara.
Situasi omega memerlukan suatu trajectory, yakni suatu pola intensional, suatu rute yang
dicoba ditempuh. Trajectory berangkat dari suatu titik awal (alpha) menuju suatu keadaan yang
diinginkan di masa yang akan datang (omega). Suatu omega tanpa suatu trajectory dan suatu alpha
tidak lain adalah suatu utopia. Elemen-elemen kondisi awal (alpha), trajectory, dan keadaan masa
depan (omega) secara keseluruhan membentuk scenario reformasi. Gambar memperlihatkan
konsep trajectory dari Pollitt & Bouckaert (2011).
Gambar: Konsep Trajectory (Pollit & Bouckaert, 2011).
C. PEMBAHASAN 1. Orientasi eksternal ke arah pemenuhan kebutuhan warga negara
Perubahan dalam orientasi eksternal ke arah pemenuhan kebutuhan warga negara terjadi
hanya pada sebagian kecil saja dari aspek-aspek yang diamati. Birokrasi masih lebih
berorientasi internal, yakni cenderung melayani kepentingan-kepentingan pribadi birokrat dan
institusinya sendiri.
Program-program prioritas pembangunan di daerah, secara kuantitatif lebih banyak
yang berorientasi eksternal untuk kebutuhan langsung warga negara. Persoalannya adalah,
program-program dan kegiatan-kegiatan yang telah direncanakan, seringkali diganti dengan
memasukkan program-program baru dan kegiatan-kegiatan baru ketika akan diimplementasikan
dalam Rencana kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).
Usaha pemerintah untuk memperbaiki hubungan dengan warganegara melalui prosedur
umpan-balik tentang kelemahan dan ketidakberfungsian pemerintah, juga menggambarkan
proses dan hasil yang tidak konsisten. Ada survei kepuasan warga negara dan ada unit
pengaduan publik. Tetapi, hasil survei kepuasan warga negara dan pengaduan publik tidak
ditindaklanjuti. Fakta ini menunjukan bahwa mekanisme bagi pengaduan publik hanya tersedia
pada level formal tetapi tanpa tindak lanjut (Prasojo, 2012).
Selanjutnya usaha pemerintah meminimalisir kegelisahan dan ketidaknyamanan
pelayanan dengan mempermudah cara pelayanan, juga masih menggambarkan proses dan hasil
yang tidak konsisten. Hanya sebagian kecil dari bidang-bidang pelayanan kesehatan yang
dibuatkan standar pelayanan minimal guna memenuhi hak-hak dan kebutuhan warga negara di
bidang pelayanan. Lagi pula, standar pelayanan minimal yang banyak dibuat oleh para birokrat
lebih banyak berorientasi internal dan tidak sesuai lagi dengan arahan kebijakan dari pusat.
Dari uraian tersebut, dapat dijelaskan bahwa perubahan-perubahan menuju orientasi
eksternal ke arah kebutuhan warga negara baru mencakup tampilan luar, bersifat seremonial.
Ada penggantian program dengan mengatasnamakan ketiadaan anggaran; hasil survei kepuasan
warga negara dan pengaduan publik tidak ditindaklanjuti; standar pelayanan minimal lebih
berorientasi internal kepentingan birokrasi; anggaran untuk kepentingan birokrat dan
institusinya jauh lebih besar daripada anggaran untuk kebutuhan prioritas dari seluruh
komunitas.
73
Kondisi yang diharapkan adalah pelayanan birokrasi berfokus pada harapan-harapan
warga negara, persepsi dan prioritasnya untuk perbaikan. Aktivitas pemerintah bersifat demand-
driven, melayani kepentingan terbesar rakyat. Birokrasi melakukan introspeksi lewat pandangan
warga negara, menggunakannya sebagai umpan-balik dalam memperbaiki efektivitas
administrasi. Pemerintah selalu berusaha meminimalisir kegelisahan dan ketidaknyamanan
ketika warga negara berurusan dengan pemerintah. Kondisi-kondisi tersebut seharusnya menjadi
trajectory dari para birokrat di perangkat daerah. Namun, rute yang dipilih tidak mengikuti
suatu pola intensional atau trajectory yang terarah secara jelas.
2. Peran stratejik manajer profesional dalam implementasi kebijakan Banyak fakta yang ditemukan mengenai penempatan pejabat struktural masih
menyerupai suatu black-box yang diketahui hanya oleh Baperjakat dan pejabat publik. Track
record seharusnya merupakan bagian penting dari proses seleksi pejabat birokratik. Faktanya
track record dan responsivitas belum menjadi penekanan dalam promosi jabatan. Pejabat
kepegawaian masih menekankan persyaratan minimal yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan. Hal ini terjadi karena pelaksanaan prosedur promosi jabatan sering
diintervensi oleh pejabat publik dengan memaksakan kepentingan politis dan primordial.
Pejabat birokratik level menengah di perangkat daerah tidak memperoleh pelimpahan
kewenangan yang memadai untuk melaksanakan jabatannya secara obyektif. Hal ini
dikarenakan distribusi kewenangan secara umum mengambil basis organisasional, sedangkan
kepala SKPD yang memiliki kewenangan tidak selalu melimpahkan kewenangan secara tertulis
kepada para pejabat setingkat di bawahnya. Pelimpahan kewenangan oleh kepala SKPD, seperti
dalam penunjukan Kuasa Pengguna Anggaran, dilakukan hanya ketika pimpinan puncak
beranggapan bahwa beban tugas yang bersumber dari kewenangan-kewenangannya sudah tidak
mungkin dilakukan sendiri.
Strategi implementasi kebijakan mengkombinasikan peraturan dan kecepatan tindakan.
Organisasi birokratik mendasarkan keputusan dan tindakannya pada peraturan tertulis.Prinsip
ini sering dikenal dengan formalisasi dan menjadi penekanan dari teori organisasi Weberian.
Keuntungan formalisasi adalah menjadikan perilaku lebih dapat diprediksi (Organ and Greene,
1981). Dalam praktek, formalisasi seringkali tampil sebagai penghambat karena menurunkan
daya adaptabilitas organisasi terhadap perubahan-perubahan lingkungan. Formalisasi
memperlemah inovasi dan menurunkan kecepatan komunikasi intern organisasi (Hatch, 2006).
Perspektif NWS berusaha menggabungkan sandaran pada basis peraturan dan kecepatan
tindakan birokrat, yakni birokrat profesional diharapkan bertindak cepat di atas kerangka
peraturan (Amir et al, 2016). Hal ini dapat dilakukan dengan membuat peraturan yang bersandar
pada kepatutan dan rasionalitas, dan para birokrat harus bertindak selaras dengan peraturan yang
ada (Olsen, 2005).
Strategi implementasi kebijakan kesehatan oleh birokrat di perangkat daerah belum
mengkombinasikan peraturan dan kecepatan tindakan secara baik. Prosedur perencanaan dan
penyusunan dokumen pelaksanaan mengacu kepada peraturan hanya dalam format fisiknya,
dalam hal-hal yang substansial mengabaikan peraturan. Implementasi kebijakan strategis
sebagian sudah mengadopsi prinsip kecepatan tindakan namun sebagian lainnya bersikap
menunggu dan tidak menunjukkan prakarsa untuk mengambil jalan lain sambil melakukan
perbaikan peraturan.
Kondisi yang diharapkan adalah pengisian jabatan struktural dengan sistem terbuka,
mempertimbangkan senioritas dan kualifikasi namun lebih menekankan track record
pencapaian hasil dan responsivitas.
3. Kolaborasi Sektor Publik dan Sektor Privat Hasil telaah kritis menunjukkan bahwa pemerintah hanya menyediakan sedikit
dukungan empiris tentang prinsip ini. Birokrat di perangkat daerah baru membangun kolaborasi
dengan sektor swasta dalam program sanitasi tertentu (Kota Kendari dengan Program Sanitasi
Kota). Tuntutan untuk melakukan kolaborasi di bidang ini turun dari pemerintah pusat.
Sebagian besar pemerintah daerah di Indonesia telah membangun kolaborasi yang sama.
74
Namun, format kolaborasi hanya dalam kulit luarnya saja, sedangkan isinya masih cenderung
pada tujuan “to inform”. Empat parameter yang diterapkan untuk menganalisis prinsip ini,
seluruhnya menyediakan bukti empiris yang minim. Secara umum, birokrat di perangkat daerah
masih tampil sebagai pemain tunggal.
Perencanaan bersama antara pemerintah daerah dan swasta dalam domain masalah
publik yang urgen, pada umumnya hanya dalam penyusunan memorandum (lihat kasus sanitasi
kota) yang mencantumkan komitmen keterlibatan swasta sebagai sumber dana. Program-
program yang berkenaan dengan masalah-masalah lain yang urgen belum mencakup
perencanaan bersama.
Prinsip penjabaran peran dan tanggung jawab untuk masing-masing pihak (pemerintah
daerah dan sektor swasta) dalam implementasi rencana. Tidak ada fakta empiris untuk dapat
mengkonfirmasi parameter ini. Dalam berbagai rencana aksi pelayanan publik, tidak ditemukan
rencana bersama sehingga tidak ada penjabaran peran dan tanggung jawab untuk masing-
masing pihak dalam implementasi rencana. Dalam memorandum sanitasi kota misalnya yang
disebutkan di atas, peran sektor swasta hanya sebagai penyedia dana. Tidak ada skema peran
dan tanggung jawab yang lebih rinci dalam seluruh tahapan proses keputusan.
Demikian halnya dengan aktivitas monitoring bersama sektor pemerintah dan sektor
swasta terhadap implementasi rencana. Dalam berbagai rencana aksi pelayanan publik, tidak
ada rencana bersama, tidak ada penjabaran peran dan tanggung jawab untuk masing-masing
pihak dalam implementasi rencana, sehingga tidak ada aktivitas monitoring bersama. Peran ini
masih dimainkan secara tunggal oleh pemerintah daerah.
Meskipun tidak ada perencanaan bersama dalam penanganan program, tetapi masih
biasa ditemukan program yang dilengkapi blue-print yang rinci di mana di dalamnya tercantum
skema sharing pendanaan antara sektor pemerintah, sektor swasta, masyarakat sipil, dan
lembaga donor. Program dimaksud adalah program sanitasi kota di Kota Kendari. Skema
sharing pendanaan dalam program ini telah diimplementasinya pada tahun 2014.
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa kolaborasi antara sektor pemerintah dan sektor
swasta dalam berbagai kebijakan daerah belum terbangun secara baik. Penjabaran peran dan
tanggung jawab bersama belum dilakukan. Idealnya ada koordinasi diantara pelaku manajmen
dan pemangku kepentingan guna mewujudkan kebijakan-kebijakan besar menjadi kenyataan
(Tikson, 2011). Peran sektor swasta masih terbatas pada penyedia dana. Aktivitas monitoring
bersama terhadap implementasi rencana belum berjalan. Fakta yang ada di pemerintah daerah
dan sektor swasta, belum mengembangkan rencana bersama, menjabarkan peran dan
tanggungjawab untuk masing-masing, dan mengembangkan rencana monitoring bersama.
Komitmen pendanaan baru mulai dibangun dan wujud implementasinya masih harus ditunggu.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kolaborasi antara pemerintah daerah dan
sektor swasta sudah terbentuk namun masih terbatas ruang lingkupnya. Kolaborasi masih perlu
dibangun dan dikembangkan pada sejumlah besar bidang pelayanan yang urgen. Kolaborasi
juga masih perlu dikembangkan menuju tipe tertutup-datar (closed-flat) di mana partisipan
sektor pemerintah dan sektor swasta berbagi informasi dan kekayaan intelektual serta dapat
membuat keputusan-keputusan kritis bersama-sama. Hal ini penting untuk mendorong rasa
tanggung jawab bersama dalam jangka panjang.
Birokrat di perangkat daerah secara umum belum konsisten memilih trajectory
tersebut.Meskipun telah memasuki ranah kolaborasi dengan sektor swasta, tetapi pemerintah
daerah masih membatasi peran sektor swasta hanya pada pendanaan program. Fakta tentang
reformasi birokrasi pada berbagai sektor kurang menyediakan dukungan empiris terhadap
kolaborasi sektor pemerintah dan sektor swasta dalam implementasi kebijakan.
75
D. KESIMPULAN Kesimpulan dari tulisan ini adalah:
1. Orientasi eksternal ke arah pemenuhan kebutuhan warga negara di pemerintah daerah masih
lebih berorientasi internal, melayani kepentingan-kepentingan pribadi birokrat dan institusinya
sendiri.
2. Prinsip peran stratejik manajer profesional dalam implementasi kebijakan di pemerintah daerah
belum trajectory. Birokrasi masih cenderung memberikan peran yang besar pada birokrat spoil
dan yang membayar untuk memperoleh jabatan.
3. Prinsip kolaborasi sektor publik dan privat juga belum trajectory. Peranan sektor swasta dalam
berbagai bidang pembangunan masih dibatasi pada penyediaan dukungan dana.
DAFTAR PUSTAKA Amir, Muhammad, et al, 2016. Quo Vadis of Bureucracy Reformation on Health Sector in Perspektive
of Neo Weberian State, International Journal Science and Research (IJSR), ISSN (online):
2319-7064 Vol 5 (3) pp: 65-70.
Brown, Jr., A.H. 2008. Public Management Reform In Developing Countries: An Empirical
Investigation of Operational and Financial Efficiency of Private Versus Public Airports in
Latin America and The Caribbean.A Dissertation.The University of Texas at Arlington.
Cepiku, D., and Mititelu, C. 2010. Public Administration Reforms in Transition Countries: Albania
and Romania Between The Weberian Model and The New Public Management.
Transylvanian Review of Administrative Sciences, No. 30E/2010, pp. 55-78.
Denhardt, J. V., and Denhardt, R. B., 2007. The New Public Service: Serving, Not Steering. New
York: M.E. Sharpe.
Drechsler, W., 2005. “The Re-Emergence of “Weberian” Public Administration after the Fall of New
Public Management: The Central and Eastern European Perspective”, Halduskultuur, vol 6,
pp. 94-108.
Farazmand, A., 2002. “Administrative Reform and Development: An Introduction”, in Administrative
Reform in Developing Nations, edited by Ali Farazmand. Westport, CT: Praeger Publishers,
pp. 1-17.
Fountain, J.E. 2007.Bureaucratic Reform and E-Government in the United States: An Institutional
Perspective. A pre-publication version of a chapter to be printed Andrew Chadwick and Philip
N. Howard (Eds).The Handbook of Internet Politics. New York: Routledge.
Hadna, A.H. 2007. Local Public Administration Reform: An Empirical Study of Local Government
Reform in Indonesia during the Local Autonomy Implementation (1999-2004). A Dissertation,
Universität Duisburg-Essen.
Hatch, Marry Joe, 2006. Organization Theory (Modern, Symbolic and Postmodern Descriptive).
Tehran: Afkar.
Hughes, O.E. 2003.Public Management and Administration: An Introduction.New York: Palgrave
Macmillan.
Olsen, J.P. 2005. Maybe It Is Time to Rediscover Bureaucracy. Journal of Public Administration
Research and Theory, JPART, 16:1–24
Pollitt, C. and Bouckaert, G. 2011. Public Management Reform: A Comparative Analysis - New Public
Management, Governance, and the Neo-Weberian State. Oxford: Oxford University Press.
Prasojo, E., 2012. Accelerating Bureaucratic Reform.The Jakarta Post, Tue, June 05, 2012.
Schacter, M. 2006. Public Sector Reform in Developing Countries: Issues, Lessons and Future
Directions. Prepared for Policy Branch Canadian International Development Agency,
December, (Online at www.iog.ca).
Tikson, Deddy T., 2011. “Tantangan Administrasi Negara Menghadapi Ketimpangan Global”. Pidato
penerimaan jabatan Guru Besar dalam bidang Ilmu Administrasi Pembangunan pada
Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Hasanuddin, Makassar, 12 Juli 2011
76
ANALISIS PERAN E-GOVERNMENT DALAM MENDUKUNG
KEPERCAYAAN DAN KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI
KOTA KENDARI
(Studi Pada Kasus Website Resmi Pemerintah Kota Kendari)
Dr. Jopang, M.Si.
Dr. Muhammad Yusuf, M.Si.
ABSTRAK
Analysis of the implementation of the website of Kendari City Government is a means to be
able to realize the trust and public information disclosure based on the principle of good governance.
In Kendari City Government website there are applications that provide information needed by the
community as users of information. These applications include information relating to transparency,
official government agenda, data banks, and news that includes performance activities from the
Government of Kendari. In its journey, there are several factors that are support and factors that are
inhibiting the development of the website. Factors that include support category is the website of
Kendari City Government based on usher friendly or easy to understand and accessed by users as well
as website appearance which is very different from other government-owned websites. Another
supporting factor is the commitment of the regional head or Kendari Mayor who fully supports the
existence of Kendari City Government website as a means to realize an open and accountable
government.
Factors that become obstacles are among others still lack of experts or human resources in
the field of IT placed to manage the website. The next factor is still less maximal role of information
management and documentation official, still not maximizing the performance of PPID in formulating
and declaring information causes the flow of information into the website to be slightly happened. The
last inhibiting factor is the absence of legal instruments both in the form of text and the context that
governs the existence of the website of Kendari City Government. This result in a lack of coordination
between Diskominfo as website manager with other agencies in order to provide information.
Keywords: e-government, the government of kendari City website, transparency and public
disclosure
A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi semakin pesat berkembang di
hampir seluruh negara di dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Era globalisasi yang menuntut
masyarakat bergerak cepat dan dinamis serta bertindak efektif dan efesien dalam menghadapi
persaingan yang begitu ketat membuat teknologi informasi dan komunikasi yang sedemikian
canggih sangat diperlukan keberadaannya. Hal ini membuat beberapa segmentasi kehidupan
masyarakat perlahan mengikuti perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang ada,
diantaranya sektor perdagangan, produksi barang dan jasa, pendidikan, keamanan, sosial, politik,
termasuk dalam bidang pemerintahan.
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dalam bidang pemerintahan diwujudkan
dengan sebuah sistem yang disebut dengan e- government atau electronic government. E-
government merupakan suatu sistem dimana pemerintah menggunakan kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi khususnya internet dalam memberikan pelayanan dan juga informasi
kepada publik. E-government juga merupakan sebuah sistem yang akan mengintegrasikan
instansi-instansi pemerintah yang ada serta mempermudah jalur bagi masyarakat luas dalam
77
mengakses berbagai informasi yang dibutuhkan. Penggunaan sistem e-government akan semakin
menyempurnakan konsep Good Government atau pemerintahan yang baik dan bersih yang telah
lama didengungkan oleh pemerintah. Dengan adanya pemerintahan berbasis electronic, pola
birokrasi lama yang penuh dengan intrik korupsi, kolusi dan nepotisme diharapkan dapat
berganti menjadi sistem birokrasi yang bersih, transparan, serta akuntabel dalam proses
administrasi. E-government juga akan menjauhkan kesan pemerintah yang tidak melek teknologi
atau apatis terhadap berbagai perubahan yang terjadi.
Penerapan sistem e-government di Indonesia diatur didalam Inpres RI Nomor 3 Tahun
2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E- government. Didalam Inpres
tersebut diatur bahwa setiap lembaga pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat
daerah wajib untuk membuat, mengembangkan serta menerapkan konsep e-government pada
masing-masing lembaga, terutama berkaitan dengan penyediaan informasi kepada publik. Hal
lain yang melatarbelakangi penerbitan Inpres tersebut adalah untuk memberikan gambaran yang
jelas tentang mekanisme atau konsep e-government yang harus diterapkan pada masing-masing
lembaga baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah serta memberikan persepsi atau
pemahaman yang sama bagi semua instansi pemerintah tentang e-government sehingga akan
terjadi keseragaman dalam menerapkan sistem atau konsep e-government pada masing- masing
instansi pemerintah.
Diterbitkannya Inpres No. 3 Tahun 2003 tersebut mengharuskan instansi pemerintah di
tingkat pusat dan daerah memiliki website sebagai sistem yang akan menaungi e-government itu
sendiri. Di provinsi Sulawesi Tenggara, instansi pemerintahan daerah baik itu pemerintah
provinsi maupun pemerintah kabupaten telah menerapkan sistem e- government. Pemerintah
Kota Kendari merupakan satu dari dua belas pemerintah kabupaten dan kota di provinsi
Sulawesi Tenggara yang telah menerapkan sistem e-government. Situs atau website Pemerintah
Kota Kendari dapat diakses pada alamat www.kendarikota.go.id. Atau
https://kendarikota.go.id/.
Diluncurkannya website resmi tersebut bertujuan untuk semakin membuka keran
informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat sekaligus menjembatani komunikasi antara
Pemerintah Kota Kendari dengan masyarakat luas. Apabila penerapan e-government tersebut
berjalan dengan lancar dan baik, maka akan sangat menunjang kepercayaan dan keterbukaan
informasi oleh pemerintah kepada publik/masyarakat Kota Kendari. Kepercayaan dan
Keterbukaan informasi publik didasari oleh kebebasan masyarakat dalam mengakses berbagai
informasi yang dibutuhkan dan pemerintah diwajibkan untuk menyediakan seluruh informasi
tersebut dengan jaminan informasi yang disediakan sesuai dengan fakta serta mengandung
makna yang mudah dipahami oleh masyarakat luas.
Namun, dalam perjalanannya penerapan e-government oleh Pemerintah Kota Kendari
baik secara teknis maupun operasional masih terdapat beberapa kekurangan. Secara teknis,
website resmi Pemerintah Kota Kendari dikelola oleh 12 orang pegawai dibawah naungan Dinas
Komunikasi dan Informatika Pemerintah Kota Kendari. Namun, dari 12 orang pegawai hanya 4
orang yang memiliki latar belakang pendidikan di bidang teknologi informasi. Faktor Teknis
berikutnya adalah Pemerintah Kota Kendari belum memiliki program atau tupoksi yang jelas
berkaitan dengan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) sebagaimana yang
diamanatkan oleh Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik.
Secara operasional, manfaat website resmi Pemerintah Kota Kendari belum memberikan
peningkatan yang signifikan terhadap tingkat kepuasan masyarakat dalam mengakses informasi.
Hal ini dibuktikan dengan data statistik dimana pengunjung website resmi Pemerintah Kota
Kendari rata-rata hanya berjumlah 20 pengunjung per harinya. Faktor operasional lain yang
perlu dilihat adalah website resmi Pemerintah Kota Kendari masih belum terintegrasi dengan
dinas-dinas maupun badan-badan yang terdapat di lingkungan Pemerintah Kota Kendari
sehingga membuat pengunjung situs tersebut tidak mendapatkan informasi yang lengkap tentang
dinas maupun badan tersebut.
Penerapan e-government oleh Pemerintah Kota Kendari sebagai sarana untuk
memberikan informasi dan menunjang adanya kepercayaan dan keterbukaan informasi publik
78
guna mewujudkan good governance pada kenyataannya masih terdapat kekurangan pada
beberapa sektor. Permasalahan-permasalahan serta serta fakta-fakta yang terdapat di lapangan
membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai bagaimana peranan e-
government dalam mendukung kepercayaan dan keterbukaan publik pada masyarakat Kota
Kendari.
2. Rumusan Masalah
Setelah melihat permasalah yang ada maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
Bagaimana Analisis Peran E-Government Dalam Mendukung Kepercayaan Dan Keterbukaan
Informasi Publik Di Kota Kendari (Studi Pada Kasus Website Resmi Pemerintah Kota Kendari)?
3. Tujuan Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah Untuk mengetahui Bagaimana Analisis Peran
E-Government Dalam Mendukung Kepercayaan Dan Keterbukaan Informasi Publik Di Kota
Kendari
B. KAJIAN PUSTAKA 1. E-Government
UNDP (United Nation Development Program) dalam Indrajit (2002:2) mendefinisikan
e-government secara sederhana, yaitu “e-government is the application of information and
communication technology (ICT) by government agencies”. (E-government merupakan aplikasi
informasi dan juga komunikasi (ICT) dari pemerintah).
Selanjutnya, Organization Economic of Community Development (OECD) dalam
Budianti (2003:11) memberikan pengertian bahwa e- government merupakan penghantar jasa
internet dan kegiatan dengan penggunaan internet lainnya seperti e- consulting: e-government
merupakan kesamaan kegunaan dari teknologi informasi dan komunikasi dalam pemerintahan
dengan fokus pada penghantaran layanan dan juga pemrosesan seluruh kegiatan pemerintah, dan
yang terakhir e- government merupakan kapasitas untuk mentransformasikan administrasi
publik melalui penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.
Dari dua definisi yang dikemukakan oleh dua lembaga internasional diatas dapat kita
lihat bahwa e-government memiliki kalimat kunci, yaitu pemanfaatan teknologi informasi dan
komunikasi oleh pemerintah. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi disini lebih
ditekankan pada penggunaan internet didalam membangun sebuah sistem yang dapat membuka
akses informasi kepada masyarakat luas serta memberikan kemudahan pemberian layanan publik
kepada masyarakat. Sistem inilah yang kemudian dibangun oleh pemerintah sehingga
masyarakat dapat dengan mudah mengakses berbagai keperluan, khususnya yang berkaitan
dengan layanan pemerintahan tanpa harus melalui mata rantai birokrasi yang lama dan berbelit-
belit.
2. Good Governance Good Governance merupakan Pemerintahan yang baik antara lain, partisipatif,
transparan, dan akuntabel. Juga termasuk didalamnya objektif, adil, serta promosi terhadap
aturan hukum. Pemerintahan yang baik menjamin bahwa prioritas politik, sosial dan ekonomi
yang didasarkan dengan konsensus bisa didengar didalam pengambilan keputusan terhadap
pengalokasian sumber daya pembangunan sebagaimana yang dijelaskan oleh UNDP didalam
Srijanti (2007:230).
Mewujudkan pemerintahan yang partisipatif, transparan dan akuntabel dapat ditempuh
dengan penerapan konsep e-government. Hal ini merujuk pada salah satu fungsi e-government,
yaitu Government to Citizens yang mana e-government akan membuat interaksi antara
masyarakat dengan pemerintah akan menjadi lebih mudah melalui kanal-kanal akses yang
disediakan di dalam sistem tersebut. Sehingga hal tersebut dapat membuat masyarakat dapat
secara langsung mengikuti atau bahkan berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan
ataupun kegiatan lain yang dilakukan oleh pemerintah. Selain itu, untuk dapat mewujudkan
pemerintahan yang transparan dan akuntabel, pemerintah dapat menyediakan informasi
pemerintahan, khususnya berkaitan dengan pengelolaan anggaran.
79
3. Kepercayaan dan Keterbukaan Informasi Publik Menurut Piotrwosky dan Van Rizin (2007) dalam Dwiyanto (2011:241) menjelaskan
bahwa kepercayaan dalam pemerintahan dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk
menjelaskan apa yang terjadi didalam organisasi di sektor publik melalui pertemuan terbuka,
pemberian akses terhadap dokumen, publikasi informasi melalui website secara aktif,
perlindungan terhadap whistle blowers dan bahkan melalui pembocoran informasi secara ilegal.
Pada prinsipnya transparansi adalah bagian dari upaya pemerintah untuk menumbuhkan
kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sekaligus melibatkan masyarakat dalam
menjalankan fungsi controlling terhadap segala upaya atau usaha yang dilakukan oleh
pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Prinsip kepercayaan senantiasa akan dibarengi oleh prinsip keterbukaan informasi. Di
Indonesia, keterbukaan informasi publik sejak tahun 2008 telah diatur ke dalam Undang-
Undang No.14 Tahun 2008. Dalam pasal 1 undang- undang ini disebutkan bahwa informasi
adalah keterangan, penyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna dan
pesan baik data, fakta maupun penjelasannya yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format
sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik maupun
non-elektronik. Sedang informasi publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola,
dikirim dan/atau diterima oleh penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang
sesuai dengan undang-undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan
publik. Badan publik adalah lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif dan badan-badan lain
yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau
seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD, sumbangan masyarakat atau bantuan
luar negeri.
C. METODE PENELITIAN Dalam melakukan penelitian ini, penulis mempergunakan metode penelitian kualitatif
deskriptif. Menurut Bogdan dan Taylor (1975) dalam Moleong (2000:3) penelitian kualitatif
merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
Sedangkan penelitian deskriptif merupakan penelitian yang menghasilkan data lapangan
berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Pada laporan penelitiannya, akan berisi kutipan-
kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Data tersebut mungkin berasal
dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto, video-tape, dokumen pribadi, catatan atau memo,
dan dokumen resmi lainnya (Moleong, 2000:6).
Penelitian ini mengambil lokasi di Pemerintah Kota Kendari yaknik Walikota Kendari.
Dalam penelitian ini, penulis melakukan observasi pada website Pemerintah Kota Kendari untuk
mendapatkan data-data yang bersifat primer. Selain itu penulis juga memperdalam informasi
dengan melakukan wawancara dengan beberapa pihak yang terkait atau memiliki kompetensi pada
bidang penelitian yang penulis lakukan.
D. PEMBAHASAN PENELITIAN Pada prinsipnya, penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam bidang
pemerintahan adalah sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk dapat mewujudkan efesiensi dan
efektifitas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, membangun kepercayaan dalam
pengelolaan keuangan, dan untuk membantu meningkatkan kinerja pada sektor-sektor yang
lainnya. Dalam bidang pelayanan publik, penggunaan teknologi informasi bertujuan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan serta mengurangi biaya-biaya administrasi yang akan
dikeluarkan oleh masyarakat. Selain itu, dengan adanya pelayanan publik yang berbasiskan pada
teknologi informasi akan memutus mata rantai suap yang selama ini menghantui birokrasi di
Indonesia.
Dalam bidang pengelolaan anggaran, pemerintah dapat menggunakan teknologi informasi
dengan membuka nota keuangan atau laporan pertanggungjawaban anggaran melalui media yang
80
disediakan oleh teknologi informasi. Keterbukaan yang sedemikian rupa akan mempersempit
celah bagi terjadinya penyalahgunaan wewenang atau praktek korupsi di bidang anggaran karena
nota keuangan atau laporan pertanggungjawaban anggaran yang dibuka oleh pemerintah akan
dapat dipantau secara langsung oleh masyarakat. Sehingga apabila terjadi penyimpangan sekecil
apapun, masyarakat dapat segera melaporkan kepada pihak yang berwenang.
Teknologi informasi juga berperan besar dalam meningkatkan pola-pola hubungan antara
pemerintah dengan berbagai kalangan, termasuk masyarakat dan pemerintah itu sendiri.
Masyarakat dapat dengan mudah berinteraksi dengan pemerintah dan dimudahkan untuk
memberikan kritik dan saran apabila terdapat kebijakan atau keputusan pemerintah yang
bertentangan dengan hati nurani masyarakat. Pola hubungan antara pemerintah dengan pemerintah
dimaksudkan untuk menjalin hubungan yang harmonis antar instansi dalam rangka meningkatkan
pelayanan publik kepada masyarakat. Dalam penerapan website Pemerintah Kota Kendari,
terdapat beberapa faktor yang menjadi pendukung dan penghambat bagi kepercayaan dan
keterbukaan informasi publik yang tercantum didalam website. Faktor pendukung yang pertama
adalah ketersediaan infrastruktur teknologi yang memadai. Fasilitas ini merupakan 50% dari
kunci keberhasilan penerapan konsep e-government (Indrajit, 2006:17).
Dalam kaitannya dengan kepercayaan dan keterbukaan informasi publik, ketersediaan
infrastrukur yang dimaksud adalah adanya aplikasi yang menyediakan atau memfasilitasi adanya
informasi-informasi publik. Didalam website Pemerintah Kota Kendari terdapat beberapa aplikasi
atau konten yang berisikan informasi publik, yaitu konten keterbukaan pengelolaan anggaran
daerah, konten pengumuman, dan beberapa informasi publik lainnya, konten informasi bank
data yang berisikan informasi mengenai produk hukum dan informasi perijinan daerah. Aplikasi-
aplikasi tersebut merupakan sarana pendukung yang akan mempermudah masyarakat sebagai
pengguna informasi dalam mengakses informasi yang diinginkan.
Komitmen dari kepala daerah (walikota) merupakan faktor pendukung yang kedua dalam
penerapan website Pemerintah Kota Kendari sebagai sarana penunjang kepercayaan dan
keterbukaan informasi publik. Menurut Indrajit (2006:16), bahwa untuk dapat menyukseskan
penerapan e- government harus dimulai dengan komitmen dari pimpinan atau dalam hal ini kepala
daerah yang bersangkutan sehingga penerapan e-government tersebut tidak hanya mengikuti trend
semata. Penerapan website dalam hal ini harus benar-benar memberikan manfaat yang signifikan
bagi masyarakat berkaitan dengan informasi publik. Dalam kaitannya dengan komitmen
kepercayaan dan keterbukaan informasi publik, bapak Adriatma Dwi Putra selaku Walikota
Kendari ingin menciptakan pemerintahan yang berlandaskan prinsip good coporate governance
yang didalamnya berisikan tentang transparansi, akuntabilitas,dan manajemen yang baik.
Seluruh informasi yang berkaitan dengan kinerja pemerintahan akan di post kan melalui
media website. Komitmen seorang kepala daerah dalam mewujudkan kepercayaan dan
keterbukaan informasi publik di pemerintahannya merupakan sebuah langkah untuk memperbaiki
citra birokrasi selama ini yang terkesan kaku dan tertutup. Komitmen seperti inilah yang harusnya
di sikapi secara lebih bijak serta ditransformasikan secara baik oleh jajaran SKPD sehingga
program pemerintah yang berkaitan dengan masalah keterbukaan informasi publik dapat terlaksana
dengan baik.
Selain faktor pendukung, juga terdapat faktor yang menjadi penghambat penerapan
website Pemerintah Kota Kendari dalam mewujudkan kepercayaan dan keterbukaan informasi
publik. Belum adanya aturan hukum yang menaungi keberadaan website Pemerintah Kota Kendari
merupakan faktor penghambat yang pertama. Ketiadaan instrument hukum yang mengatur
keberadaan website tersebut membuat pola kerja dari peng-update-an informasi secara berkala
tidak dapat berjalan dengan baik. Hal ini membuat, bagian Diskominfo Kota Kendari yang
bertugas dalam mengelola website menjadi kesulitan untuk menghimpun informasi- informasi
yang berkaitan dengan kinerja pemerintah dari masing-masing SKPD. Selain itu, terkendalanya
fungsi koordinasi tersebut juga disebabkan oleh masih adanya ego sektoral antar dinas, sehingga
keberadaan aturan tegas yang menaungi website dan memberi ruang aturan untuk mewajibkan
seluruh SKPD memberikan informasi publik secara berkala sangat diperlukan.
81
Faktor penghambat yang kedua adalah belum maksimalnya peranan pejabat pengelola
informasi dan dokumentasi (PPID). Terbatasnya sumber daya manusia di bidang teknologi
informasi yang dimiliki oleh Pemerintah Kota Kendari menjadi faktor penghambat yang ketiga.
Bagian komunikasi dan informatika yang menjadi pengelola website Pemerintah Kota Kendari
saat ini hanya memiliki empat orang yang mempunyai latar belakang pendidikan di bidang
teknologi dan informasi. Dari segi kuantitas, tentu jumlah tersebut sangat jauh dari kata cukup dan
akan berpengaruh bagi kualitas pengelolaan website Pemerintah Kota Kendari. Keberadaan
sumber daya yang memiliki kompetensi di bidang IT dibutuhkan agar pengelolaan website
menjadi maksimal dan memastikan bahwa tidak ada gangguan keamanan atau malware yang
menyerang sistem dari website tersebut. Dengan maksimalnya pengelolaan website, tentu akan
berimplikasi positif pada penyediaan data dan juga kenyamanan masyarakat pengguna informasi
dalam mengakses website Pemerintah Kota Kendari.
1. Analisis Penerapan Website Pemerintah Kota Kendari Berkaitan dengan UU
No.14 Tahun 2008
Kebijakan penerapan e- government dalam bentuk website resmi Pemerintah Kota
Kendari merupakan tipe kebijakan distribute policy. Menurut James E Anderson dalam
Soenarko 2003:64), distribute policy merupakan suatu kebijakan yang berkaitan dengan
pemberian pelayanan dan kemudahan kepada masyarakat, baik perseorangan maupun kelompok
masyarakat, badan-badan ataupun golongan. Pelayanan yang diberikan dalam hal ini adalah
pelayanan yang berkaitan dengan pemberian atau penyediaan ruang akses informasi kepada
masyarakat. Sesuai dengan pengertian distribute policy, dengan adanya website tersebut
masyarakat diharapkan dapat lebih mudah untuk mengakses informasi yang disediakan oleh
pemerintah.
Sebagaimana tertulis didalam pasal 2 ayat 1 disebutkan bahwa setiap informasi publik
bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap pengguna informasi publik. Dijelaskan lebih lanjut
dalam ayat 2 bahwa informasi yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas. Selanjutnya didalam
pasal 9 ayat 1 UU No.14 Tahun 2008 diatur bahwa setiap badan publik wajib mengumumkan
informasi publik secara berkala, yaitu yang selanjutnya diatur dalam ayat 2 adalah informasi
yang berkaitan dengan badan publik, informasi mengenai kegiatan dan kinerja badan publik
terkait, informasi mengenai laporan keuangan, dan atau informasi lain yang diatur didalam
peraturan perundang- undangan. Untuk informasi keuangan yang berkaitan dengan atau perihal
keterbukaan keuangan, didalam website Pemerintah Kota Kendari telah tersedia aplikasi yang
secara khusus menyediakan hal tersebut. Laporan yang berkaitan dengan keuangan daerah,
khususnya APBD Kota Kendari di-update secara berkala dalam website. Juga, laporan
mengenai rencana pembangunan jangka pendek hingga jangka panjang Pemerintah Kota
Kendari dapat di unduh secara regular oleh pengguna informasi. Begitu pun untuk informasi
publik yang berkaitan dengan pengumuman pemenang tender dan perjanjian dengan pihak
ketiga. Laporan yang tercantum didalam website tersebut dapat di unduh oleh masyarakat dalam
bentuk file pdf.
Dianalisis berdasarkan tujuan dari UU No.14 Tahun 2008, informasi publik yang
terdapat didalam website Pemerintah Kota Kendari, baik informasi mengenai keterbukaan
anggaran maupun informasi yang berkaitan dengan kegiatan pemerintah lainnya dapat dengan
mudah di unduh oleh para pengguna informasi. Prinsip-prinsip yang berkaitan dengan
kemudahan, kecepatan, dan biaya murah dalam mengakses informasi telah sepenuhnya terpenuhi
dengan penyediaan aplikasi penyedia informasi pada website Pemerintah Kota Kendari. Hal ini
juga berkaitan dengan pengertian distribute policy yang mana kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah ini memang benar-benar untuk memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk
mengakses layanan informasi oleh pemerintah.
Berkaitan dengan permasalahan kepercayaan dan keterbukaan informasi publik,
sebenarnya tidak hanya berbicara mengenai tersedianya suatu informasi bagi publik, tetapi juga
menyangkut masalah kebaruan data yang dapat dinikmati oleh para pengguna data. Hal tersebut
berkaitan dengan pengertian Kepercayaan dalam informasi publik yang dikemukakan oleh
82
Piotrwosky dan Van Rizin (2007) dalam Dwiyanto (2011:241) yang menyebutkan bahwa
bagaimana kepercayaan tersebut berkaitan dengan publikasi informasi yang dilakukan secara
aktif melalui media website. Poin mengenai masalah ini juga telah diatur didalam pasal 9 ayat 1
UU No.14 Tahun 2008 yang menyebutkan bahwa setiap badan publik wajib untuk
mengumumkan informasi publik secara berkala. Berkala yang dimaksud adalah setiap informasi
yang terdapat di dalam website tersebut terjamin keterkiniannya sehingga masyarakat tidak
hanya menikmati informasi yang telah usang saja.
Pada website Pemerintah Kota Kendari, masih banyak informasi yang belum di update
secara berkala. Informasi tersebut diantaranya informasi yang berkaitan dengan informasi
produk hukum dan informasi agenda kegiatan pemerintah termasuk juga laporan terkait dengan
realisasi anggaran APBD Kota Kendari. Terdapat 2 faktor yang menjadi penyebab terjadinya
permasalahan tersebut. Yang pertama adalah belum maksimalnya peranan pejabat pengelola
informasi dan dokumentasi (PPID) dalam mematakan informasi publik. PPID sebagaimana
diatur dalam pasal 13 UU No.14 Tahun 2008 adalah pejabat yang mempunyai tugas pokok dan
fungsi dalam mengelola informasi yang dimiliki daerah serta memetakan informasi kedalam
sekat-sekat informasi, yakni informasi yang wajib untuk dipublikasikan dan informasi yang
bersifat pengecualian sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Sejauh ini, peran tersebut
belum berjalan secara maksimal dilakukan oleh PPID Kota Kendari.
Keberadaan website Pemerintah Kota Kendari sebenarnya telah sangat berperan dalam
proses membuka informasi mengenai kinerja pemerintah kepada publik. Peran website tersebut
sangat relevan dengan salah satu poin inti dari UU No.14 Tahun 2008, yakni masyarakat
sebagai pengguna informasi mendapatkan informasi dengan cara yang mudah, cepat dan biaya
murah. Beberapa informasi yang tercantum didalam website telah mencerminkan semangat
keterbukaan informasi publik pemerintah daerah sebagaimana salah satu poin dalam prinsip
good governance. Akan tetapi yang perlu diperhatikan untuk benar- benar mewujudkan prinsip-
prinsip kepercayaan dan keterbukaan informasi publik Pemerintah Kota Kendari melalui media
website adalah kekinian informasi dan aturan yang tegas agar langkah-langkah dalam mencapai
good governance mendapatkan satu pemahaman dari dinas-dinas terkait. Disamping itu,
permasalahan yang dapat menghambat kinerja pengelola website, seperti masalah belum adanya
payung hukum yang jelas, belum maksimalnya peran dari PPID dan tenaga IT mumpuni yang
secara kuantitas belum terpenuhi perlu segera dibenahi dan dicari solusi yang terbaik agar
website tersebut dapat semakin berperan aktif dalam menyediakan informasi publik yang mana
muara akhirnya adalah meningkatnya partisipasi masyarakat dalam mengawasi kinerja
pemerintah dan pemerintah pun dapat mewujudkan prinsip-prinsip good governance secara
utuh.
E. KESIMPULAN Berdasarkan pemaparan hasil penelitian yang telah dijabarkan sebelumnya, maka
kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah analisis penerapan website Pemerintah
Kota Kendari merupakan sarana untuk dapat mewujudkan kepercayaan dan keterbukaan informasi
publik berdasarkan pada prinsip good governance. Didalam website Pemerintah Kota Kendari
terdapat aplikasi-aplikasi yang menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat sebagai
pengguna informasi. Aplikasi tersebut antara lain memuat informasi yang berkaitan dengan
transparansi, agenda resmi pemerintah, bank data, dan berita yang memuat aktivitas kinerja dari
Pemerintah Kota Kendari.
Dalam perjalanannya, terdapat beberapa faktor yang bersifat sebagai pendukung dan faktor
yang bersifat sebagai penghambat perkembangan website tersebut. Faktor yang termasuk kategori
pendukung adalah website Pemerintah Kota Kendari yang berbasiskan usher friendly atau mudah
untuk dipahami serta diakses oleh pengguna serta tampilan website yang sangat berbeda dengan
website milik pemerintah lainnya. Faktor pendukung lainnya adalah adanya komitmen kepala
daerah atau Walikota Kendari yang mendukung secara penuh keberadaan website Pemerintah
Kota Kendari sebagai sarana untuk mewujudkan pemerintahan yang terbuka dan akuntabel.
83
Faktor yang menjadi penghambat adalah antara lain masih kurangnya tenaga ahli atau
sumber daya manusia di bidang IT yang ditempatkan untuk mengelola website tersebut. Faktor
selanjutnya adalah masih kurang maksimalnya peran pejabat pengelola informasi dan dokumentasi.
Masih belum maksimalnya kinerja PPID dalam merumuskan dan mematakan informasi
menyebabkan alur informasi ke dalam website menjadi sedikit terhambat. Faktor penghambat yang
terakhir adalah belum adanya instrument hukum baik dalam bentuk teks dan konteks yang
mengatur keberadaan website Pemerintah Kota Kendari. Hal ini mengakibatkan kurangnya
koordinasi antara Diskominfo selaku pengelola website dengan dinas-dinas lainnya dalam rangka
penyediaan informasi.
Terlepas dari faktor yang menjadi penghambat perkembangan website Pemerintah Kota
Kendari, data yang terdapat dalam website tersebut dapat dikatakan cukup lengkap. Masyarakat
sebagai pengguna informasi juga dapat mengakses informasi secara cepat, mudah, dan dengan
biaya yang murah. Hal tersebut sesuai dengan amanat Undang-Undang No.14 Tahun 2014 tentang
Keterbukaan Informasi Publik. Namun, permasalahan yang perlu dicermati adalah terkait dengan
penyediaan informasi secara berkala. Didalam website tersebut masih terdapat informasi yang
belum di- update secara berkala sehingga tidak terjamin kekinian informasinya. Hal tersebutlah
yang harus menjadi fokus Pemerintah Kota Kendari untuk dapat mewujudkan prinsip-prinsip good
governance secara utuh.
DAFTAR PUSTAKA Budianti, Ayuning. 2003. Improving E- Government Implementation to Enhance Public Service
Delivery in Indonesia. Australia: Monash University.
Dwiyanto, Agus. 2011. Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi. Jakarta. PT
Gramedia Pustaka Utama.
Indrajit, Richardus Eko. 2002. Electronic Government, Strategi Pembangunan dan Pengembangan
Sistem Pelayanan Publik Berbasis Teknologi Digital. Yogyakarta: ANDI
Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Srijanti dkk. 2007. Etika Berwarga Negara, Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi.
Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
Wrihatnolo, Randy R dan Riant Nugroho D. 2007. Manajemen Pemberdayaan, Sebuah Pengantar dan
Panduan untuk Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: PT Elex Media Komputindo
Soenarko. 2000. Public Policy, Pengertian Pokok Untuk Memahami dan Analisa Kebijaksanaan
Pemerintah. Surabaya: Airlangga University Press
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif ,Kualitatif, dan R&D. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Welsch, Glen A, dan kawan-kawan. 2000. Anggaran: Perencanaan dan Pengendalian Laba, Edisi
Pertama. Jakarta: Salemba Empat
Peraturan: Republik Indonesia, Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengembangan E-Government
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik
84
MANTRA HITAM PROSES PELAYANAN PUBLIK
By: Peribadi dan La Ode Montasir
Kertas Kerja yang dipresentasikan dalam Forum Seminar Nasional telaah kritis Tata kelola
Negara dalam Pelayanan Public, 24 November 2018.
citaperibadi@gmail.com
ABSTRAK
Buruknya pelayanan publik masih menjadi masalah utama yang lazim ditemui dalam sistem
birokrasi di Indonesia. Beragam kritik dan keluhan yang dilontarkan masyarakat terkait dengan kinerja
birokrasi di Indonesia telah menjadi rahasia publik sejak lama. Trend pelayanan publik dalam sistem
birokrasi di Indonesia lebih menunjukkan pada kondisi empirik yang sangat buruk serta bisa
digolongkan dalam sejenis penyakit (bureau patology), layaknya Parkinsonian (big bureaucracy),
Orwellian (peraturan yang menggurita sebagai perpanjangan tangan negara untuk mengontrol
masyarakat) atau Jacksonian (bureaucratic polity). Betapa kecenderungan negatif antithesis dengan
keberadaannya sebagai hal yang positif atau rasional (bureau rationality) sebagaimana diharapkan
oleh kaum Hegelian dan Weberian.
Kata Kunci. Birokrasi, Pelayanan, Publik dan Mantra Hitam
Prolog. Birokrasi merupakan sarana yang sangat vital dalam menunjang berjalannya sistem
pemerintahan, utamannya yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Berkenaan
dengan ihwal tersebut, maka birokrasi mempunyai fungsi dan andil yang sangat besar dalam proses
penyelengggaraan Negara. Secara teoritis birokraksi memiliki fungsi untuk melayani kepentingan
masyarakat dengan sebaik-baiknya yang mampu mengahadirkan kepuasan bagi masyarakat. Hal itu
ditandaskan oleh Tjiptono (1996) bahwa pelayanan publik yang prima (service excellence) harus
mengandung empat unsur, yaitu kecepatan, ketepatan, keramahan, dan kenyamanan. Keempat
komponen tersebut adalah satu kesatuan yang terintegrasi. Artinya bahwa proses pelayanan publik
menjadi tidak “excellence” apabila ada komponen yang masih kurang. Kualitas jasa atau pelayanan
yang baik akan dapat memberikan kepuasan kepada masyarakat. Hal ini pada akhirnya akan
menciptakan loyalitas masyarakat kepada organisasi (institusi). Namun dalam tataran emprik fungsi
pelayanan tersebut diliputi oleh berbagai macam problematika, diantaranya adalah buruknya sistem
dan proses pelayanan yang diberikan kepada masyarakat.
Kondisi tersebut tergambar dalam lambannya proses pelayanan publik, prosedur pelayanan
yang berbelit-belit dan tidak transparan, hingga kian diperparah dengan penyalahgunaan wewenang
dan jabatan serta geliat korupsi yang dilakukan pejabat publik dengan aneka macam modus
operandinya. Buruknya pelayanan publik tersebut pada akhirnya mendorong masyarakat untuk
mencari “jalan pintas” dalam menyelesaikan urusan-urusan yang tersangkut paut dengan birokrasi.
Utamanya untuk memperoleh pelayanan yang baik dan cepat. Karena itu, upaya “jalan pintas” yang
paling memungkinkan untuk ditempuh masyarakat adalah salah satu melalui sogok atau suap,
sehingga menampilkan sektor pelayanan publik sebagai arena suap menyuap yang telah tumbuh dan
berkembang subur dengan segala konsekuensinya.
Fenomena suap dalam proses pelayanan publik merupakan salah satu dari sekian jenis
penyimpanagan (patologi) dalam birokrasi. Tak bisa dipungkiri aktivitas suap dalam proses pelayanan
publik semakin berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Hasil temuan Indonesian Corruption
85
Watch yang menempatkan Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai pelaku utama yang dominan dalam
kasus korupsi di Negeri ini sejak tahun 2010-2016 tercatat setidaknya sejumlah 3.417 aparatur sipil
negara terjerat kasus korupsi di sejumlah daerah di Indonesia. Kondisi ini juga ditunjukkan oleh
laporan The Global Competitiveness Report 2016-2017 yang dirilis oleh Forum Ekonomi Dunia
bahwa korupsi dan infisensi birokrasi masih menjadi masalah utama yang menghambat proses
investasi di Indonesia. Demikian pula yang lain, juga telah menempatkan Indonesia pada peringkat ke-
41 dari 138 negara. Dalam konteks ini, Indonesia berada di bawah negara ASEAN, seperti Singapura,
Malaysia dan Thailand (Nasional kompas, 2017).
Tampaknya, masalah gratifikasi, suap menyuap dan pungli dalam proses pelayanan publik
merupakan fenomena “gunung es” yang telah mendarah daging dalam sistem birokrasi di Negeri ini.
Dewasa ini aksi suap menyuap tampaknya telah menjadi budaya sehingga dalam perkembangannya
seolah-olah telah dilegitimasi sebagai kewajiban yang harus ditunaikan dalam rangka untuk
memperoleh layanan yang baik dan maksimal. Aneka modus yang digunakan untuk memaksa klien
agar melakukan sogok terus dikembangkan, diantaranya dengan memperlambat proses pelayanan,
mencari berbagai dalih, seperti kekuranglengkapan dokumen pendukung, keterlambatan pengajuan
permohonan, dan dalih lain berupa kesibukan melaksanakan tugas, sulit dihubungi, atau
memperlambat dengan menggunakan kata-kata “sedang diproses”.
A. Potret Gratifikasi, Suap dan Pungli dalam Sektor Pelayanan Publik Korupsi merupakan patologi sosial yang seolah-olah telah membudaya di Indonesia.
Praktik korupsi bisa dikatakan telah menjangkiti dan terjadi disemua lini kehidupan. Berbagai
upaya penanggulangan korupsi pun telah dilakukan baik secara preventif maupun dengan cara
represif, namun semua usaha tersebut belum mampu mencegah dan mengatasi praktik korupsi yang
terjadi. Sektor pelayan publik merupakan merupakan wilayah yang sangat rentan terjadi korupsi.
Sektor pelayanan publik yang berada dibawah pengelolaan pemerintah, baik departemen,
lembaga pemerintah non departemen, maupun yang berada dibawah kendali pengelolaan
pemerintah daerah, seperti sektor pelayanan pajak, sektor perizinan, sektor investasi, pembuatan
KTP, SIM, STNK, IMB, transportasi, pembuatan akta, pembuatan sertifikat tanah, listrik, air,
telepon, pos, dan lain sebagainya merupakan ranah yang rentan untuk terjadinya korupsi. Hal itu
disebabkan oleh sektor-sektor yang amat berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat.
Dalam sektor pelayanan publik terjadi hubungan antar domain, yakni pemerintah atau birokrasi
sebagai penyelenggara pemerintahan, sektor usaha, dan masyarakat umum. Karena itu, adalah tidak
mengherankan jika beragam kasus seperti pungutan liar, gratifikasi, dan sejenisnya kerapkali
terjadi. Kondisi tersebut pada gilirannya menyebabkan birokrasi tidak dapat berjalan secara efektif
dan efisien. Atau birokrasi pada akhirnya hanya menjadi abdi penguasa yang siap menghalalkan
segala cara. Korupsi sebagaimana digambarkan oleh Larmour (dalam Fakhturi, 2017) menjauhkan
diri dari tipe ideal sebuah negara yang semestinya harus memenuhi fungsi-fungsi keadilan dalam
pelayanan publik (the fairness of public service), persamaan terhadap masyarakat (the equality of
society), dan kemerdekaan dalam kompetisi ekonomi (the freedom for economic competition)
Korupsi, kolusi, dan nepotisme pada hakikatnya timbul dari proses interaksi antar aktor
dalam domain yang berbeda, misalnya interaksi yang terjadi antara aparat pemerintah dengan
pengusaha. Sebagai akibat dari proses intraksi tersebut lahirlah KKN yang diantaranya berupa
gratifikasi atau penyuapan atau sogok yang kadangkala disamarkan sebagai hibah, hadiah atau
sebagai ucapan terima kasih dan cara-cara lain yang tidak dapat di pertanggungjawabkan, sehingga
kesemuanya menimbulkan biaya ekonomi yang tinggi (high cost economy).
Fenomena gratifikasi dan suap atau bahkan pungli yang semakin hari kian menunjukkan
potret yang semakin suram dan semakin menggerus ketidak percayaan masyarakat terhadap para
pejabat publik, harus dipahami sebagai masalah yang melibatkan dua pihak secara timbal balik
atau resiprokal.
Secara bahasa baik gratifikasi dan suap ataupun pungli memiliki definisi yang berbeda.
Akan tetapi dalam tataran empirik ketiga hal tersebut seringkali tidak bisa dipisahkan karena dalam
implementasinya ketiganya mempunyai kesamaan subtansi yaitu berlaku prinsip simbiosis
mutualisme dalam aspek pemberian stimulus dan respon antara aktor-aktor yang terlibat di
86
dalamnya. Praktik grafikasi sangat lumrah ditemukan di kantor-kantor. Fenomena pemberian tip
atau amplop pada pertugas dalam proses pelayanan publik kerap kali ditemukan. Hal ini dilakukan
guna memperlancar setiap urusan yang terkadang sengaja dibuat lamban dan berbelit-belit.
Posisi masyarakat yang lemah kerapkali dijadikan sasaran empuk oleh oknum petugas
yakni sebagai objek bagi praktik curang di sektor pelayanan publik. Oknum petugas acapkali
bermain dengan memeras oknum masyarakat yang berurusan dengan birokrat. Jika tidak demikian,
maka kerap kali masyakat tidak akan memperoleh pelayanan yang semestinya, sehingga mereka
mau memberikan “amplop” atau janji tertentu kepada oknum petugas. Jika ada diantara oknum
masyarakat atau pelaku usaha yang melakukan penolakan terhadap praktik suap dan sejenisnya,
biasanya mereka akan menanggung risiko sebagai akibat dari hal tersebut seperti tidak mendapat
pelayanan yang simpatik, prosedur yang berbelit-belit sehingga terasa dipinpong kesana kemari,
rugi waktu, rugi tenaga dan rugi biaya atau bahkan kalah dalam persaingan bisnis.
Keluhan yang sama juga dilayangkan pada proses pelayanan publik yang bersentuhan
dengan aparat penegak hukum, utamanya pihak kepolisian, dan kejaksaan. Yang mana berbagai
kasus praktik jual beli hukum dan keadilan kerap kali terjadi, sehingga kondisi tersebut
mengakibatkan masyarakat menjadi bersikap apriori dan skeptis ketika berurusan dengan aparat
penegak hukum. Begitu sulit bagi masyarakat kecil untuk memperoleh akses keadilan, tanpa
embel-embel gratifikasi dan amplovisme, apalagi ketika dihadapkan dengan kasus hukum dengan
oknum pejabat, atau orang berduit. karena faktanya kerap kali hukum seolah tidak berdaya ketika
berhadapan dengan uang dan kekuasaan.
Lebih jauh fenomena suap dalam proses pelayanan publik dapat ditelusuri secara kasuistik
melalui media massa atau laporan masyarakat. Berdasarkan fakta empirik kasus suap dalam proses
pelayanan publik dapat diidentifikasi terjadi pada lingkup kelas “esek-esek” sampai dengan kelas
elit yang melibatkan oknum pejabat teras dan kepala daerah dengan nominal yang sangat fantastis.
Beberapa contoh kasus dapat dilihat pada rangkuman dari berbagai upaya suap di berbagai daerah
yang dirilis oleh berbagai media lokal dan nasional berikut ini:
1. Kasus suap yang melibatkan tiga orang pegawai dari Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta,
metodenya dengan membantu wajib pajak menghindari pajak. Caranya, ketiga pegawai pajak
itu mendekati wajib pajak yang menunggak pajak. Setelah itu, mereka mulai menawari para
wajib pajak untuk dihapuskan tunggakannya, namun harus memberikan sejumlah uang atau
persenan kepada ketiga pegawai pajak itu (Kaskus, 2015)
2. Kasus yang melibatkan oknum pegawai direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak berinisial JJ oknum
pegawai pajak berinisial JJ tersebut telah menerima gratifikasi sebesar Rp14,1 miliar dalam
penjualan faktur pajak. Dan sebelumnya, penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus
(JAM Pidsus) juga menahan eks-pejabat Kantor Pelayanan Pajak Madya Gambir, AP tersangka
dugaan korupsi penerimaan gratifikasi, hadiah atau janji dalam pengurusan pajak
(hukumonline.com, 2017).
3. Kasus yang menjerat dua pegawai Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Malang kedua orang
tersebut berinisial Agus dan Anis, keduannya merupakan Kasi Pengadaan Tanah dan, Kasi
Penataan Pertanahan. Modus yang kerapkali di lakukan oleh kedua oknum pegawai Kantor
Pertanahan Kabupaten Bekasi tersebut adalah mematok biaya kepengurusan sertifikat rumah
dan tanah hingga Rp 400.000. Padahal menurut Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
biayanya hanya Rp 50.000. Mereka memanfaatkan seorang pemohon yang sedang mengurus 75
berkas sertifikat. Setelah berkas itu rampung dicetak, mereka menagih uang Rp 20 juta ke
pemohon itu.
4. Kasus gratifikasi yang menjerat Kepala Subseksi Pemeliharaan Data Pertanahan BPN Kota
Semarang, WR. Yang mana bersama tersangka berhasil ditemukan barang bukti berupa Uang
dengan jumlah total sekitar Rp 598 juta yang diamankan dari 125 amplop yang berada di laci
meja kerja, kos, mobil, dan tas milik tersangka. Besaran jumlah uang dalam amplop itu pun
berbeda-beda (inikata.com, 2017)
5. Kasus yang menjerat salah satu oknum pegawai kelurahan Gandaria Utara. Dalam kasus
tersebut pelaku diketahui melakukan pungli kepada warga, terkait dengan pengurusan sertifikat
rumah. Pelaku memeras warga dalam proses pengurusan tersebut hingga mencapai 8 juta
87
rupiah. Dengan dalih sebagai biaya pengurusan dokumen dan alasan-alasan lain yang tidak bisa
dipertanggungjawabkan. Anehnya dalam proses transaksi oknum pegawai tersebut tidak
menyediakan tanda terima dalam bentuk apapun (Kompas.com, 2018).
6. Kasus pungli oknum Lurah Paninggilan Kota Tangerang modusnya yaitu sang lurah
memudahkan pengurusan surat menyurat dan penandatanganan berkas tanah. Dengan cara itu,
ASN ini mengantongi uang pungli PTSL mencapai Rp 900 juta (radartegal.com, 2018)
7. Kasus pungli Seorang oknum pegawai Perusahaan Air Minum Daerah (PDAM) Tirtalihou
bersinial ES, ia meminta uang dalam pemasangan baru instalasi air di rumah warga, yang
seharusnya gratis, atas aksinya tersebut ES berhasil mengantongi uang warga hingga 11 juta
rupiah (medanbisnisdaily.com, 2018).
8. Kasus pungli yang menjerat Seorang oknum Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pegawai honorer
di Unit Pelayanan Tekhnis Dinas (UPTD) Pasar Palabuhan ratu, Sukabumi Jawa Barat berinisial
DR dan SA. Kedua pelaku melakukan pungli kepada pedagang pasar dengan meminta uang
dengan jumlah yang bervariasi. Pungutan tersebut dilakukan dengan dalih untuk keamanan dan
kebersihan, uang itu di luar restribusi sebesar Rp 2.000 per ruko dan per pedagang kaki lima
(news.detik.com, 2016).
9. Kasus yang yang melibatkan pegawai negeri sipil (PNS) Dinas Perhubungan (Dishub) Kota
Depok. Para pelaku kedapatan meminta pungutan kepada sopir angkot melebihi tarif retribusi
angkot. Jumlah pungutan yang mereka minta bervariasi mulai dari 20 ribu hingga 40 ribu rupiah
perharinya (liputan6.com, 2017).
10. Kasus pungli yang menjerat oknum aparatur sipil negara (ASN) Pemerintah Kabupaten
(Pemkab) Sukabumi, berinisial DS, Oknum pegawai Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
(Disdukcapil) itu diciduk dalam operasi tangkap tangan (OTT) Polres Sukabumi Kota saat
meminta sejumlah uang kepada warga yang sedang mengurus pengambilan KTP (kompas.com,
2018).
Demikianlah sekelumit problematika suap dan pungli dalam proses pelayanan publik yang
ada di negeri ini. Sesungguhnya beberapa kasus tersebut hanya sebagian kecil dari sekian banyak
kasus suap dan pungli yang terjadi, namun belum atau tidak terungkap ke publik. Tingginya kasus
suap dan pungli masih menjadi potret buram sektor pelayanan publik di Negeri ini. Terlepas dari
berbagai usaha dan upaya yang dilakukan dalam rangka untuk mengatasi masalah tersebut, kondisi
ini menunjukan bahwa usaha pemerintah dan pihak-pihak terkait dalam menangani persoalan
korupsi utamanya suap dan pungli pada sektor pelayanan publik terkesan belum maksimal jika
tidak ingin dikatakan gagal.
Unit-unit kecil yang ditugaskan untuk memberantas korupsi dalam sektor pelayanan publik
tampaknya tidak mampu menjangkau semua lini yang terindikasi telah terjadi korupsi. Kondisi
tersebut disebabkan karena masalah korupsi dan segala turunannya baik suap dan pungli telah
membudaya dan menggurita dalam sektor pelayanan publik.
Telah menjadi rahasia umum bahwa di banyak instansi pelayanan publik milik pemerintah
seolah tidak ada lagi meja yang terbebas dari praktik suap, sementara rangkaian meja yang
ditelusuri kerapkali teramat sangat panjang, sehingga dapat dibayangkan berapa banyak uang suap
yang dikeluarkan untuk memperpendek pelayanan birokrasi tersebut. Atau bagi masyarakat yang
enggan berurusan dengan birokrasi tersebut, terkadang lebih memilih untuk menyelesaikan
urusannya melalui perantaraan calo.
Tak bisa dipungkiri walaupun pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dengan segala perangkatnya pendukungnya, seperti Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas
Tipikor), dan Tim Pemburu Koruptor, tetap saja korupsi utamanya di sektor pelayanan publik
tumbuh, berkembang semakin merajalela, bahkan semakin bertambah parah.
88
B. Simpulan: Urgensi Revitalisasi Di Sektor Pelayanan Publik Jika ditelusuri lebih dalam, problematika di sektor pelayanan publik memiliki akar masalah
yang sangat kompleks. Upaya penanggulangan korupsi di sektor pelayanan publik tentunya tidak
bisa dilakukan dengan setengah hati. Pada tataran aplikatifnya, dibutuhkan seriusan dan kerja keras
dari pihak pemerintah selaku pengambil kebijakan utamanya dalam aspek penegakan supremasi
hukum yang tegas dan tidak pandang bulu. Disamping itu juga dibutuhkan kesadaran dari semua
pihak untuk mencegah, melaporkan atau bahkan menghentikan praktik-praktik tersebut, oleh
karena itu perlu dibangun sinergitas dan kerjasama yang apik antara pemerintah dan masyarakat
guna mensukseskan usaha tersebut. Kesimpulnnya bahwa dalam upaya penanggulangan masalah
korupsi di sektor pelayanan publik pemerintah harus memaksimalkan fungsi dominasi dan
hegemoni secara aktual tentunya dengan tidak merugikan pihak-pihak yang tidak bersalah. Untuk
mengatasi masalah korupsi utamanya dalam bentuk suap dan sejenisnya perlu diberlakukan sanksi
yang tegas kepada kedua belah pihak yakni pemberi suap dan penerima suap.
Sesuai dengan kompleksitas akar permasalahan, maka seharusnya banyak cara yang dapat
dilakukan untuk mencegah dan mengatasi praktik suap di sektor pelayanan publik diantaranya
adalah:
a. Usaha Preventif
Pertama, pencegahan korupsi di sektor pelayanan dapat dilakukan dengan menciptakan
pelayanan yang berkualitas, pelayanan berkualitas yang dimaksud adalah pelayanan yang
mengutamakan transparansi, akuntabilitas, tidak berbelit-belit dan memiliki patokan biaya yang
pasti dan terjangkau khususnya oleh masyarakat kurang mampu.
Kedua Pelayanan dalam sektor pelayanan publik harus di buat semudah mungkin.
Untuk menghindari praktek percaloan. Usaha ini dapat dilakukan dengan cara memaksimalkan
fungsi pelayanan melaui Internet. Memaksimalkan pelayanan melalui ranah digital sangat
efektif apalagi masyarakat Indonesia di kenal sebagai masyarakat dengan intensitas dunia maya
yang sangat tinggi Melebihi Negara Amerika Serikat.
Ketiga, pemerintah khususnya pihak-pihak terkait harus melakukan sosialisasi secara
proaktif kepada masyarakat terkait prosedur pelayanan yang benar, usaha ini bisa dilakukan
secara langsung dengan melakukan kunjungan langsung ke masyarakat, sosialisasi melalui
media cetak dan media elektronik atau memaksimalkan media sosial, blogging atau website
yang dapat diakses oleh siapapun.
Keempat, memaksimalkan fungsi pengawasan internal dengan cara mengadakan
kesepakatan dan kerjasama dengan lembaga pengawasan yang disokong oleh pemerintah seperti
misalnya Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK).
Kelima, untuk mencegah terjadinya penyelewangan dengan membentuk dan
memaksimalkan fungsi unit-unit yang bertugas dalam menerima laporan serta keluhan yang
terkait dengan indikasi pelanggaran di sektor pelayanan publik yang ditemukan oleh
masyarakat.
Keenam, Sekaliwaktu, unsur pimpinan perlu melakukan insepeksi mendadak guna
untuk melihat kinerja bawahannya sekaligus menanyakan prosedur dan keluhan dalam
pelaksanaan pelayanan publik kepada masyarakat.
b. Upaya Kuratif
Upaya kuratif merupakan upaya penindakan langsung, yang mana upaya ini dapat
dilakukan jika masalah suap atau pungli telah terjadi dan telah melalui proses pembuktian, maka
pemberian sanksi tegas, dalam bentuk pemecatan secara tidak terhormat, pemiskinan,
pengucilan, pencabutan hak politik dan pemberian sanksi hukum yang tegas.
89
DAFTAR PUSTAKA
Fandy Tjiptono, 1996, Manajemen Jasa, Penerbit Andi, Yogyakarta.
Fatkhuri. 2017. Korupsi Dalam Birokrasi dan Strategi Pencegahannya. Jurnal Ilmiah Manajemen
Publik dan Kebijakan Publik Vol 1, No 2 (2017).
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
Sumber Internet
https://nasional.kompas.com/read/2018/09/18/15475381/catatan-icw-soal-penindakan-kasus-korupsi-
semester-i-2018 diakses tanggal 10 November 2018 pukul 22.00 WITA
http://www.infonitas.com/megapolitan/diduga-terima-suap-oknum-pegawai-pajak-dibekuk-di-
ancol/12739 diakses tanggal 11 November 2018 pukul 16.00 WITA
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt59b91b4bd1676/oknum-pajak-ditahan-terlibat-suap--ini-
klarifikasi-ditjen-pajak diakses tanggal 11 November 2018 pukul 16.10 WITA
https://www.jawapos.com/jpg-today/02/11/2017/diduga-terima-suap-2-pegawai-bpn-kota-malang-
kena-ott-saber-pungli diakses tanggal 11 November 2018 pukul 16.18 WITA
http://www.inikata.com/tak-berkategori/IK-57843/bidik-tersangka-lain-kasus-suap-di-bpn-semarang-
kejaksaan-mulai-periksa-nama-di-amplop/ diakses tanggal 11 November 2018 pukul 16.25 WITA
https://megapolitan.kompas.com/read/2018/07/24/07243501/terungkapnya-praktik-pungli-di-
kelurahan-gandaria-utara diakses tanggal 11 November 2018 pukul 16.35 WITA
https://radartegal.com/berita-kriminal/pungli-ptsl-lurah-jadi-tersangka.25297.htmldiakses tanggal 11
November 2018 pukul 16.41 WITA
http://www.medanbisnisdaily.com/m/news/online/read/2018/11/07/56916/pungli_warga_pegawai_pda
m_tirtalihou_kena_ott_polisi/ diakses tanggal 11 November 2018 pukul 16.48 WITA
https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-3365200/tim-saber-pungli-amankan-oknum-pns-dan-
pegawai-honorer-uptd-pasar-di-sukabumi diakses tanggal 11 November 2018 pukul 16.55 WITA
https://www.liputan6.com/news/read/2871867/kasus-pungli-angkot-polisi-akan-panggil-kadishub-
depok diakses tanggal 11 November 2018 pukul 17.07 WITA
https://regional.kompas.com/read/2018/03/06/20060021/selain-oknum-asn-tersangka-pungli-ktp-
elektronik-di-sukabumi-bertambah-satu diakses tanggal 11 November 2018 pukul 17.15 WITA
90
TELAAH KRITIS TATA KELOLA NEGARA DARI PERSPEKTIF
ADMINISTRASI PUBLIK
Dr. Syamsul Alam, M.Si.
syamsulalam330@gmail.com
FISIP UHO KENDARI
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Manusia modern berafiliasi kepada negara. Definisi negara secara sederhana adalah
komunitas etis yang diorganisir secara politik. Negara mengejar berbagai tujuan yang konsisten
dengan kepentingan mereka. Kepentingan adalah keperluan atau kebutuhan bagi berjalannya
kehidupan yang beradab, kepentingan adalah preferensi tercerahkan di antara pilihan kebijakan
(Dahl, 1989). Tergantung pada kepentingannya, fungsi negara bervariasi mulai dari fungsi level
minimal “menyediakan barang publik”, fungsi menengah “menangani eksternalitas”, sampai
fungsi aktivis “kebijakan industri”. Fungsi-fungsi negara dijalankan oleh administrasi publik
sehingga kualitas tata kelola negara seringkali digambarkan melalui kualitas administrasi publik
(Fukuyama, 2013).
Negara adalah institusi yang kompleks yang telah dipelajari dari berbagai titik masuk
dan titik pandang. Sementara literatur tradisional membahas negara dari elemen-elemen
esensialnya, administrasi publik kontemporer lebih perduli dengan bagaimana negara dikelola
(how states are governed). Governance (tata kelola) telah menjadi paradigma administrasi
publik sejak tahun 1990-an sebagai kritikan atas model administrasi publik tradisional dan
manajemen publik (Frederickson et al., 2012). Governance diyakini memiliki implikasi yang
lebih besar untuk efisiensi, keadilan, reduksi kemiskinan, dan kualitas hidup ketimbang
administrasi publik tradisional dan manajemen publik (Bojic, 2011).
Pembentukan ilmu administrasi publik di tahun 1887 dimaksudkan untuk menemukan,
pertama, apa yang dapat dilakukan pemerintah dengan benar dan sukses, dan, kedua, bagaimana
ia dapat melakukan hal-hal yang benar ini dengan efisiensi semaksimal mungkin dan dengan
biaya sekecil mungkin, baik uang maupun energi (Wilson, 1887). Namun demikian, sampai
sekarang masih banyak warga yang hidup di luar jangkauan negara dan administrasi publik.
Fenomena kemiskinan, kelaparan, buta huruf, pengangguran, dan kehidupan primitif seperti
saling menyerang, menyebar fitnah dan kabar bohong ataupun semacamnya masih begitu nyata
di sekitar kita.
Kekurangan utama administrasi publik di negara berkembang, menurut Levi (2006),
adalah teori yang dinamis, yang menunjukkan bagaimana cara beralih dari tata kelola yang
tradisional ke tata kelola yang baik dalam kelima pilarnya: efisiensi, efektivitas, kehematan,
keadilan sosial, dan berbasis hukum. Administrasi publik mutakhir masih perlu memperbanyak
telaah kritis di negara berkembang untuk meningkatkan pemahaman tentang apa yang membuat
tata kelola negara yang baik dan bagaimana membangunnya. Makalah ini akan mendeskripsikan
dan membahas tentang administrasi publik, governance sebagai paradigma administrasi publik
mutakhir, peran teori kritis dalam administrasi publik, dan bagaimana mempersiapkan
administrator publik yang kompeten dalam semua pilar administrasi publik tersebut.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Administrasi Publik
Administrasi publik didefinisikan sebagai penggunaan teori, praktik, dan proses
manajemen, politik, dan hukum untuk memenuhi mandat legislatif, eksekutif, dan yudisial
dalam rangka penyelenggaraan fungsi regulasi/pengaturan dan layanan pemerintah
91
(Rosenbloom et al., 2009). Administrasi publik merupakan suatu praktek profesional dan suatu
disiplin akademik (Vigoda, 2002; Marini, 2000). Administrasi publik sebagai suatu profesi
adalah berkenaan dengan formulasi dan implementasi kebijakan pemerintahan dan program-
program publik lainnya, dan manajemen terhadap organisasi dan aktivitas yang tercakup di
dalamnya. Profesi administrasi negara terdapat pada cabang legislatif, eksekutif maupun
yudisial pemerintahan (Bevir, 2007), di semua level pemerintahan (Denhardt & Denhardt,
2006).
Administrasi negara sebagai disiplin akademik (ilmu) adalah berkenaan dengan studi
mengenai, perbaikan terhadap, dan pelatihan untuk aktivitas yang disebutkan di atas (Marini,
2000). Ilmu administrasi publik merupakan salah satu cabang dari ilmu-ilmu sosial (Riccucci,
2008). Bidang perhatian esensial ilmu administrasi publik adalah kebahagiaan publik (Holzer,
Zhang & Dong, 2005). Kelahiran administrasi publik sebagai suatu disiplin ditandai dengan
karya tulis Wilson (1887): The Study of Administration. Ilmu administrasi publik, menurut
Riccucci (2008), termasuk dalam kategori postnormal science, yakni ilmu yang mempelajari
tentang eksistensi kompleksitas sosial dan etik. Dalam postnormal science, obyektivitas alamiah
seringkali sulit dicapai karena faktor-faktor lingkungan khususnya politik bersinggungan
dengan pertanyaan-pertanyaan tentang obyektivitas.
2. Governance Sebagai Paradigma Administrasi Publik Paradigma adalah seperangkat keyakinan yang dimiliki oleh kelompok ilmuwan
berkenaan dengan struktur realitas, pengetahuan yang benar dan valid, dan pertanyaan-
pertanyaan yang harus diajukan serta prosedur-prosedur yang harus diikuti agar kita bisa sampai
kepada jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut (Joshua, 2014). Administrasi publik
sebagai suatu disiplin akademik mempunyai paradigma. Sampai dengan awal 1970an,
administrasi publik diarahkan oleh paradigma positivis, berangkat dari landasan teoritis dan
epistemologis primer teori politik dan ilmu sosial naif (Denhardt & Denhardt, 2007). Karakter
administrasi publik tradisional adalah berstruktur birokratik; akuntabilitas hirarkis; berfokus
pada planning, organizing, staffing, directing, coordinating, reporting and budgeting
(POSDCoRB); mekanisme pencapaian tujuan kebijakan melalui agensi pemerintah; dan output
dominan hard-policies. Fitur intervensionis administrasi publik diletakkan oleh Weber (Islam,
2015).
Ketidakmampuan administrasi publik tradisional untuk melayani kepentingan umum
dalam publik di tengah lingkungan yang berubah cepat pada 1980-an memunculkan paradigma
manajemen publik (Frederickson et al., 2012). Manajemen publik seringkali disebut
manajerialisme baru dan manajemen publik baru. Rahman et al. (2013) mengemukakan bahwa
manajemen publik mengajukan prinsip-prinsip downsizing, entrepreneurship, desentralisasi,
manajemen kinerja, serta perencanaan dan pengendalian terhadap pengelolaan sektor publik. Di
negara-negara maju di Barat, model manajemen publik menunjukkan keberhasilan yang
memukau namun tidak berhasil membawa reformasi sektor publik ke arah yang diinginkan di
negara berkembang. Berbagai kritikan memunculkan paradigma governance yang diakui
sebagai paradigma administrasi publik mutakhir (Chhotray & Stoker, 2009).
Istilah governance berasal dari bahasa Yunani klasik, kybernan, yang berarti
mengarahkan. Governance secara sederhana diartikan sebagai tatanan yang terkoordinasi
(Bevir, 2010). Penggunaan istilah governance sebagai alternatif terhadap konsep administrasi
publik pertama kali oleh Cleveland pada pertengahan tahun 1970an (Ferlie et al., 2007).
Namun, secara formal penggunaan istilah governance pertama kali dicantumkan dalam World
Bank Report 1989 (Bovaird & Löffler, 2005). Penggunaan istilah governance oleh The World
Bank menandai suatu pendekatan baru terhadap pembangunan. Dalam policy paper UNDP
tahun 1997 governance didefinisikan sebagai pelaksanaan otoritas ekonomi, politik dan
administratif untuk mengelola urusan-urusan negara pada semua level (Farazmand, 2004).
Governance memiliki tiga kaki: ekonomi, politik dan administratif. Kaki ekonomi
mencakup proses pengambilan keputusan ekonomi yang berimplikasi besar untuk keadilan,
reduksi kemiskinan, dan kualitas hidup. Kaki politik adalah proses perumusan kebijakan yang
berpusat pada negara tetapi melibatkan swasta dan civil society. Kaki administratif governance
92
adalah sistem implementasi kebijakan (Bojic, 2011). Bovaird & Löffler (2005) menyimpulkan
bahwa governance dalam sektor publik adalah cara di mana para stakeholders negara,
organisasi-organisasi civil society dan sektor privat berinteraksi dan berkoordinasi dalam rangka
untuk mempengaruhi outcomes kebijakan publik.
Governance bukanlah pengganti dari istilah government atau pemerintah (Pollitt &
Bouckaert, 2011). Adopsi konsep governance bukan untuk menggantikan konsep pemerintah.
Governance lebih luas dan lebih inklusif ketimbang pemerintah. Walaupun telah ada konsep
governance, tetapi pemerintah tetap menjadi salah satu dari elemen konsituen yang prinsip.
Stivers (2009) menerangkan bahwa dalam paradigma baru ini pemerintah atau government
hanyalah salah satu institusi di antara banyak institusi yang berkoordinasi dalam tatanan
governance. Pierre & Peters (2005) mengemukakan bahwa di dalam governance, negara masih
tetap memerintah dan mengarahkan serta mempunyai otoritas yang esensial, hanya saja
negara/pemerintah negara tidak lagi menganut cara “komando dan pengawasan” konvensional
sebagaimana era administrasi publik tradisional.
Output governance tidak berbeda dari output government, perbedaan di antara keduanya
hanya dalam proses. Governance mengacu pada perkembangan gaya tata kelola di mana batas
antara dan di dalam sektor publik dan swasta menjadi kabur (Stoker, 1998). Pertanyaan-
pertanyaan kritis yang harus dijawab oleh teori governance, yakni: (1) governance mengacu
pada lembaga dan aktor dari dalam dan luar pemerintahan; (2) governance mengidentifikasi
kekaburan batas-batas dan tanggung jawab untuk menangani masalah sosial dan ekonomi; (3)
governance mengidentifikasi ketergantungan kekuasaan yang tercakup dalam hubungan di
antara institusi yang terlibat dalam tindakan kolektif; (4) governance adalah tentang jaringan
aktor yang mengatur diri secara otonom; dan (5) governance mengakui kapasitas untuk
menyelesaikan sesuatu yang tidak bergantung pada kekuasaan pemerintah untuk memberi
perintah atau menggunakan otoritasnya.
3. Peran Teori Kritis Dalam Administrasi Publik
Teori kritis digunakan sebagai alternatif terhadap teori tradisional. Teori tradisional
berorientasi untuk memahami atau menjelaskan perubahan masyarakat. Teori kritis di lain pihak
berorientasi pada pengkritisan dan perubahan masyarakat secara menyeluruh. Merujuk
Frankfurt School, teori sosial kritis memenuhi tiga kriteria sekaligus: penjelasan, praktis, dan
normatif. Dalam konteks administrasi publik, teori kritis harus menjelaskan apa yang salah
dengan realitas administrasi publik saat ini, mengidentifikasi aktor untuk mengubahnya, dan
memberikan norma-norma yang jelas untuk tujuan praktis yang dapat dicapai untuk
transformasi sosial. Teori kritis dalam administrasi publik perlu mengintegrasikan semua ilmu
sosial utama, termasuk demografi, ekonomi, sosiologi, sejarah, ilmu politik, antropologi, dan
psikologi.
Dalam administrasi publik, premis penting dari teori sosial kritis adalah bahwa
masyarakat kontemporer tidak demokratis atau bebas, tetapi kapitalisme global modern
menciptakan warga yang kenyang dengan barang-barang konsumsi, tidak menyadari cara hidup
alternatif (Box, 2004). Di sektor publik, teori kritis menunjukkan bahwa sistem tata kelola
dipengaruhi, jika tidak dikontrol, oleh yang kaya dan berkuasa. Tata kelola sektor publik
melupakan profesionalisme untuk memutuskan apakah akan melayani kepentingan yang kaya
dan berkuasa ataukah kepentingan publik yang lebih luas. Teori kritis dalam administrasi publik
masih perlu menimbulkan dan meningkatkan kesadaran para ahli dan praktisi administrasi
publik tentang kondisi-kondisi sosial yang cenderung menghambat keilmuan, praktek,
pengajaran dan perubahan sosial. Penerapan teori sosial kritis dalam administrasi publik dapat
dilihat misalnya dalam Martin (2010) untuk bidang kebijakan publik, dan Miller & Dunn (2006)
untuk penerapan strategi manajemen publik baru.
4. Mempersiapkan Administrator Publik yang Kompeten Makalah ini berangkat dari asumsi teori Weberian dan teori pilihan publik dari Downs
mengenai sentralitas birokrat/administrator. Perbedaan di antara keduanya adalah, kalau
Weberian mengasumsikan bahwa birokrat akan berperilaku sesuai dengan norma dan aturan
93
yang ditentukan, Downs berpendapat bahwa setidaknya sebagian waktu birokrat akan
dimotivasi oleh kepentingan pribadi dalam proses pengambilan keputusan. Birokrat, menurut
Downs, bukan hanya individu yang bekerja untuk birokrasi, tetapi juga sebagai agen yang
memaksimalkan rasional dan utilitas yang mengejar satu set kompleks tujuan pribadi dan
organisasi. Berdasarkan kepentingan mendasar yang mendorong perilaku individu birokrat,
Downs mengelompokkan birokrat menjadi lima kelompok: climbers (pendaki), konserver
(pemelihara), zealots (fanatis), advocates (advokat), dan statesman (negarawan). Literatur
mutakhir kebijakan publik juga menekankan sentralitas administrator, sebagaimana tergambar
dari teori-teori pembelajaran kebijakan (Rufini et al., 2016).
Literatur Neo Weberian State (NWS) dalam administrasi publik mengajukan model
reformasi yang berfokus pada administrator. Model NWS mengatakan bahwa negara adalah
fasilitator utama dari solusi-solusi terhadap masalah-masalah baru dari globalisasi, perubahan
teknologi, pergeseran demografi dan ancaman lingkungan. Tentu saja peran negara dimainkan
oleh birokrat. Terkait hal ini, model NWS meminjam keunggulan manajemen publik baru
dengan mengajukan profesionalisasi pelayanan publik dengan tujuan agar para birokrat menjadi
ahli, baik dalam bidang hukum yang relevan dengan substansi aktivitasnya, maupun menjadi
manajer profesional yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan warga negara atau pengguna
(Pollitt & Bouckaert, 2011). Namun, model NWS kurang komprehensif dalam menguraikan
tentang bagaimana mempersiapkan administrator/manajer publik yang kompeten dari aspek
hukum, manajerial dan politik. Makalah ini menggunakan teori sosial kritis untuk menunjukkan
bagaimana mempersiapkan administrator publik.
Teori sosial kritis, misalnya dari Horkheimer dan Habermas, memiliki kemiripan
dengan Weber dalam asumsinya tentang rasionalitas instrumental. Weber berpendapat bahwa
birokrasi adalah perwujudan sempurna rasionalitas instrumental. Organisasi birokrasi dapat
mencapai kemajuan yang tertinggi karena keunggulan teknisnya, yakni ketepatan, kecepatan,
prediktabilitas, pengetahuan tentang file, kontinuitas, subordinasi yang ketat, pengurangan
gesekan dan biaya material, dan sebagainya. Teori kritis Habermas juga mengasumsikan
rasionalitas manusia. Dalam periode modern, ilmu pengetahuan, teknologi, dan keahlian
profesional mengambil peran ini, sehingga tugas di masyarakat saat ini adalah untuk mengenali
bahwa sains dan teknologi, termasuk teknologi sosial seperti administrasi publik dan analisis
kebijakan, mewakili dominasi instrumental rasionalitas di ruang publik. Karena itu, kehadiran
governance sebagai perspektif mutakhir administrasi publik, dimana birokrasi (pemerintah)
sebagai elemen inti, memungkinkan penilaian kritis sistematis terhadap kekuatan, kelemahan,
dan kemungkinan dalam tradisi administrasi publik di negara berkembang termasuk Indonesia.
Secara umum, governance adalah tentang tatanan yang terkoordinasi di antara sektor
publik, civil society dan privat dalam pelaksanaan urusan ekonomi, politik dan administratif.
Tatanan yang terkoordinasi ini mengandaikan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan
keahlian profesional. Gagasan ini sejalan dengan tiga tipe rasionalitas dalam masyarakat
modern, yakni:
1) Rasionalitas instrumental. Bentuk penalaran ini memandu ilmu analisis empiris dan
teknologi sosial serta manajemen, termasuk administrasi publik dan analisis kebijakan.
Kepentingan utama yang mendasari rasionalitas instrumental adalah kontrol terhadap
manusia dan alam material. Tanpa adanya kontrol instrumental, koordinasi di antara elemen
governance tidak akan terwujud.
2) Rasionalitas hermeneutik (interpretif). Bentuk penalaran ini memandu penafsiran teks-teks
tertulis dan lebih penting lagi teks-teks dalam bentuk tindakan manusia yang secara
subyektif berarti ilmu-ilmu hermeneutic, termasuk berbagai metodologi kualitatif seperti
fenomenologi, etnometodologi dan verstehen dari Weber dan penerusnya. Kepentingan
utama yang mendasari rasionalitas hermeneutik adalah memahami bahasa dan tindakan yang
bertujuan dari individu dan kelompok, sehingga dapat mengurangi atau menghilangkan
komunikasi terdistorsi yang diciptakan oleh ilmu pengetahuan, teknologi sosial, dan profesi.
3) Rasionalitas kritis (emansipatori). Bentuk penalaran ini memandu proses mencapai
kebebasan dari komunikasi terdistorsi, kebebasan pilihan konsep dan diksi yang diciptakan
94
oleh profesi dan sains, kebebasan dari keyakinan yang salah bahwa institusi politik dan
ekonomi (misalnya pasar) adalah entitas alami yang diatur oleh hukum abadi dari dominasi
politik dan birokrasi. Kepentingan utama yang mendasari rasionalitas kritis adalah
emansipasi individu dan kelompok melalui refleksi diri yang kritis dan penciptaan institusi
baru, norma, nilai, dan tujuan melalui wacana moral dan refleksi etis. Teori-teori
kelembagaan sebagai bagian dari governance sangat berkepentingan dengan rasionalitas
kritis emansipatori ini.
Para teorikus kritis dalam administrasi publik mendorong untuk terus mempertanyakan
bukan hanya nilai-nilai dan asumsi yang mendasari semua keputusan/kebijakan dan tindakan
pemerintah tetapi juga konteksnya (Guy & Rubin, 2015). Pertanyaan paling mendasar adalah
apa itu publik dalam administrasi publik? Literatur teoritis administrasi publik tradisional dan
manajemen publik menyatakan bahwa baik dalam teori maupun penelitian, istilah publik
mengandung makna pemerintah (Frederickson, 2012). Publik adalah sinonim dari pemerintah,
sedangkan sektor publik adalah sinonim dari sektor pemerintah (Schoenhard, 2008). Pemerintah
mencakup seluruh departemen, kantor, organisasi dan badan-badan lainnya yang merupakan
agensi atau instrumen dari otoritas publik pusat, negara bagian atau lokal, baik yang
diakuntansikan untuk atau didanai dalam anggaran budjeter maupun dana-dana ekstra-budjeter
(Ruggeri, 2005).
Definisi publik seperti di atas bias pada pemerintah dan dapat menjadi alasan untuk
dilembagakannya teori state-over-citizen. Kita perlu meluruskan definisi publik menjadi
persoalan-persoalan yang berkenaan dengan orang-orang dalam suatu komunitas, bangsa,
nasional dan internasional. Definisi dari Parsons (2006) cukup memadai untuk hal ini, yakni
publik adalah dimensi-dimensi aktivitas warga negara yang dipandang sebagai memerlukan
regulasi atau intervensi oleh pemerintah atau aturan sosial, atau setidaknya oleh tindakan
bersama. Definisi ini memadai untuk melembagakan teori citizen-over-state yang berorientasi
eksternal ke arah kebutuhan warganegara dalam konteks mempromosikan kesejahteraan umum
dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Redefinisi konsep publik seperti di atas berimplikasi pada makna dari realitas
administrasi publik. Administrasi publik era Wilson tahun 1887 adalah tentang operasi
pemerintahan di luar politik, administrasi publik adalah tentang pelaksanaan kebijakan publik.
Argumen ini diperkuat oleh Simon di tahun 1940an dengan menegaskan bahwa studi
administrasi publik seharusnya berfokus pada prinsip-prinsip yang dihasilkan dari penyelidikan
saintifik. Sampai dengan 1940an, administrasi publik dipandang sebagai fakta yang dapat
dijabarkan secara empiris, diukur dan diverifikasi. Nilai tidak mendapat tempat dalam studi
administrasi publik.
Di era Waldo tahun 1950an mulai dominan pandangan bahwa administrasi publik
adalah nilai, setidaknya bauran yang kompleks antara fakta obyektif dan nilai subyektif. Bidang
perhatian ilmu administrasi publik adalah kompleksitas sosial dan etik. Karena itulah ilmu
administrasi publik dikategorikan sebagai postnormal science, yakni ilmu yang mempelajari
tentang eksistensi kompleksitas sosial dan etik. Dalam postnormal science, obyektivitas alamiah
seringkali sulit dicapai karena faktor-faktor lingkungan khususnya politik bersinggungan
dengan pertanyaan-pertanyaan tentang obyektivitas (Riccucci, 2008). Waldo menyatakan bahwa
studi administrasi publik secara umum berkenaan dengan pertanyaan tentang nilai. Administrasi
publik memberikan perhatian utama pada manusia, sedangkan manusia mempunyai karakter
berpikir dan menilai (thinking and valuing).
Pergeseran dari fakta ke nilai berimplikasi pada metodologi penelitian administrasi
publik. Jika pertanyaan-pertanyaan tentang fakta lebih tepat ditangani dengan metode kuantitatif
sebagaimana digunakan dalam ilmu-ilmu eksakta, maka pertanyaan-pertanyaan tentang nilai
hanya dapat diinvestigasi secara lebih akurat dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang
mempunyai epistemologi konstruktivisme dan interpretivisme. Realitas konstruktif dan
interpretif seperti ini, menurut Riccucci (2008:5-6) mensyaratkan kehadiran peneliti sendiri
sebagai instrumen penelitian pada setting dunia nyata. Tanpa kehadiran peneliti pada setting
dunia nyata yang natural, fenomena administrasi publik tidak akan dapat dipamahami secara
95
komprehensif dan akurat. Lebih dari itu, Herbert Marcuse memperkenalkan teori sosial kritis
dan aplikasinya untuk penelitian dalam administrasi publik secara total yang berdasarkan
metode campuran (mixed-methods), kritis dan postmodern.
Di era administrasi publik klasik, peran administrasi publik berkonsentrasi pada
pelaksanaan kebijakan negara. Gulick mengajukan akronim POSDCORB sebagai fungsi-fungsi
utama administrasi publik (Gargan, 2007). Di era public governance, peran umum administrasi
publik sebagai suatu disiplin terletak pada kontribusinya terhadap kewarganegaraan yang
kreatif. Dalam demokrasi, kebutuhan warga negara adalah mengetahui apa yang dilakukan atau
tidak dilakukan oleh pemerintah. Literasi pemerintahan adalah sine qua non kewarganegaraan
yang baik. Orang berkepentingan untuk mengetahui tentang organisasi pemerintahan dan
kegiatannya, apa yang dilakukan dan cara di mana kegiatan ini dilakukan dengan benar.
Sebagai suatu disiplin, administrasi publik memiliki ruang yang luas untuk mendidik
warga awam tentang mesin dan prosedur kerja di pemerintahan. Lebih dari itu, sektor publik
memiliki peran dalam mempromosikan keadilan, kedamaian dan ketertiban, dan hubungan
internasional yang sehat (CIPFA & IFAC 2013). Sejalan dengan pendapat tersebut, Jackson
(2003) menyatakan bahwa tugas yang paling esensial dari domain publik adalah menyediakan
kemungkinan bagi pilihan publik otoritatif berkenaan dengan aktivitas kolektif dan tujuan
kolektif. Pollitt & Bouckaert (2011) menyatakan bahwa negara harus berperan sebagai suatu
fasilitator utama dari solusi-solusi terhadap masalah-masalah baru dari globalisasi, perubahan
teknologi, pergeseran demografi dan ancaman lingkungan. Negara harus mengusahakan
perlindungan atas gagasan pelayanan publik dengan mengakui perbedaan status, budaya, dan
kondisi masyarakat, bukan melakukan penyeragaman sebagaimana di era administrasi publik
tradisional.
Sejalan dengan pendapat di atas, Public Sector & Governance Board (PSGB), suatu unit
dari The World Bank, mengemukakan bahwa sektor publik:
(1) Menyediakan pelayanan bagi warga negara dan rumah tangga, seperti pelayanan kesehatan,
pendidikan, perumahan, transportasi, listrik atau keamanan, baik melalui penyediaan
langsung maupun melalui pendanaan;
(2) Mengelola infrastruktur dan investasi publik lainnya yang mungkin tidak dapat didanai
oleh sektor swasta, atau sektor swasta mungkin tidak bersedia menanggung semua
risikonya;
(3) Mengatur perilaku sosial dan ekonomi bila diperlukan, seperti keamanan pangan dan
transportasi jalan raya;
(4) Secara proaktif mengidentifikasi tantangan sosial dan ekonomi yang muncul dan
mengusulkan solusi dan menetapkan tujuan kebijakan sektoral, seperti mengalokasikan
anggaran berulang ke rumah sakit atau insentif untuk efisiensi penggunaan air bersih;
(5) Mendorong keberlanjutan fiskal dan kelembagaan, yakni menyediakan sistem dan proses
yang memungkinkan pemerintah mengelola pendapatan, pengeluaran, dan hutang publik
yang memastikan mereka tetap berada dalam agregat fiskal yang disepakati; dan
(6) Bekerja sama dengan dan mendukung mekanisme akuntabilitas dan tata kelola (yudikatif,
legislatif, dan lembaga negara non-eksekutif lainnya seperti Badan Pemeriksa Keuangan)
untuk menjamin transparansi melalui pengawasan yang kredibel (PSGB, 2012:2).
Selain issue-issue tersebut, ada satu issue paling strategis yang dikemukakan oleh
Deddy T. Tikson dalam pidato pengukuhan guru besar administrasi publik di Universitas
Hasanuddin (2011). Tikson menegaskan tentang ketidakmampuan sistem perekonomian global
dalam menciptakan kebahagiaan publik bagi semua. Perekonomian global, menurut Tikson,
sampai sekarang baru dapat menciptakan ketimpangan pendapatan dan ketimpangan
kemakmuran, terutama di antara negara core dan negara periphery. Persoalannya menjadi
strategis bukan saja karena ada ketimpangan yang sangat lebar di antara keduanya tetapi juga
karena kelompok pengusaha dan pemerintah di negara core mempengaruhi mekanisme politik
dan ekonomi. Pemerintahnya melindungi kelas kapitalis, memfasilitasinya, sehingga
menghasilkan keuntungan melimpah.
96
Kaum buruh di negara core dilindungi secara ekonomi dengan upah yang tinggi. Hal
yang sama tidak pernah terjadi di negara periphery. Ketimpangan global terjadi bukan saja
karena kecenderungan dominasi dan proteksi di negara core, tetapi juga kegagalan kebijakan di
negara periphery sendiri. Fukuyama dalam bukunya Falling Behind (2008) telah menegaskan
bahwa penyebab utama dari ketimpangan antara Amerika Serikat dengan Amerika Latin adalah
kebijakan publik. Sejalan dengan hal tersebut, Tikson menganjurkan bahwa administrasi publik
di negara periphery perlu lebih cerdas dalam mengakses sumber daya internasional secara
efisien dan efektif dan menggunakannya untuk kepentingan kesejahteraan rakyat seluas-luasnya.
Apa yang diperlukan adalah kapasitas kebijakan publik untuk pembentukan modal
dalam negeri dan memperkuat diri agar memiliki posisi bargaining yang memadai dalam
menghadapi negara-negara penjarah. Administrasi publik di negara berkembang, termasuk
Indonesia, masih perlu berfokus secara simultan pada penyediaan hard-policies dan soft-
policies. Public policy issues yang berkenaan dengan hard-policies adalah penciptaan kekayaan
nasional, subsistensi bagi penduduk, the physical well-being, dan penyediaan infrastruktur fisik.
Public policy issues yang berkenaan dengan soft-policies secara garis besar terangkum dalam
Tujuan-tujuan Pembangunan Berkelanjutan, yang mencakup kemiskinan dan kelaparan,
pendidikan dasar untuk semua, kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, angka
kematian anak, kesehatan ibu, HIV/Aids, malaria dan penyakit menular lainnya, kelestarian
lingkungan hidup, dan kemitraan global untuk pembangunan.
Administrasi publik mutakhir perlu lebih fokus dan komitmen untuk mendukung tata
kelola yang keadilan sosial. Keadilan sosial dalam administrasi publik dapat didefinisikan
sebagai manajemen yang fair dan berkeadilan dari semua lembaga yang melayani publik secara
langsung maupun dengan kontrak; distribusi layanan publik yang adil dan merata, dan
implementasi kebijakan publik; dan komitmen untuk mempromosikan keadilan dan kesetaraan
dalam pembentukan kebijakan publik. Dengan menerapkan teori keadilan sosial, administrator
publik mampu meningkatkan akses publik ke pendidikan dan sumber daya, sambil memastikan
bahwa suara semua orang didengar ketika mendiskusikan hal-hal yang menjadi perhatian
publik. Tingkat kesetaraan sosial dalam administrasi publik dapat diukur melalui empat kriteria,
yaitu ekuitas distribusi, kesenjangan hasil, keadilan prosedural, dan keadilan proses.
Administrasi publik yang mempromosikan keadilan seharusnya berangkat dari gagasan
bahwa administrasi publik berbeda dalam hal yang esensial dengan administrasi privat. Pada
akhir 1970-an, Wallace Sayre menegaskan bahwa "manajemen publik dan manajemen privat
pada dasarnya sama hanya dalam hal yang tidak penting. Namun, di tahun 1990an, distinsi
publik-privat banyak dikritik. Dalam suatu simposium di University of Pennsylvania tahun
1982, Professor Duncan Kennedy menyatakan bahwa distinksi publik-privat sudah mati tetapi ia
mengatur kita dari dalam kuburannya (McFarlane, 2009). Realitasnya, organisasi-organisasi
publik berbeda secara fundamental dalam respek-respek kunci dengan organisasi-organisasi
privat (Christensen et al., 2007). Tiga karakteristik utama sektor publik yang membedakannya
dari privat, yakni: organisasi publik bersifat multifungsional, mengabdi kepada pemimpin
politik, dan mayoritas tidak beroperasi dalam suatu pasar eksternal yang kompetitif.
Sejalan dengan redefinisi istilah publik, fungsi utama sektor publik, dan distinksi
publik-privat, maka teoritikus kritis administrasi publik juga menganjurkan perlunya reorientasi
pengukuran kinerja sektor publik. Para penganjur teori manajemen publik, yang berasumsi
bahwa publik-privat adalah sama, seringkali menggunakan model-model pengukuran kinerja
yang diadopsi mentah-mentah dari sektor privat. Sebagian peneliti administrasi publik yang
menggunakan model Balanced Score Card dari Harvard Business School yang berfokus pada
kinerja keuangan dan non keuangan (Kaplan, 2010), sebagian lainnya mengukur kehematan
sumber daya, biaya (input), keluaran (output), efek (outcomes), efisiensi, efektivitas dan kualitas
pelayanan, yang semuanya dikuantifikasi. Administrasi publik mutakhir yang berupa nilai
subyektif yang dapat dideskripsikan dengan metode kualitatif memerlukan model pengukuran
kinerja yang berbeda. Denhardt & Denhardt (2007) mengatakan bahwa administrasi publik
bukan sekedar mengukur produktivitas tetapi menilai orang, model pengukuran kinerja sektor
publik harus berbasis pada respek terhadap semua orang.
97
Pengukuran kinerja berbasis individu di sektor publik juga kebanyakan hanya melihat
kinerja tugas formal, yakni perilaku tugas yang diuraikan dalam deskripsi jabatan dan yang
dikaitkan langsung dengan imbalan finansial, dan mengabaikan perilaku diskresional
(organizational citizenship behavior, OCB) (Robbins & Judge, 2013). Masalahnya adalah,
selain sulit untuk menspesifikasi semua dimensi dan parameter perilaku tugas formal, juga telah
terbukti bahwa perilaku diskresional (organizational citizenship behavior, OCB) berkaitan
secara positif dengan kinerja dan kapabilitas organisasi untuk secara berkelanjutan memecahkan
masalah-masalah yang kompleks (Ibrahim & Aslinda, 2014). Pengukuran kinerja di sektor
publik perlu memasukkan parameter OCB.
Pada akhirnya kekuatan administrasi publik mutakhir akan tergantung pada faktor
manusia, yakni administrator dan warga negara. Untuk administrator/ manajer, literatur
Weberian telah menganjurkan perlunya profesionalisasi agar para birokrat menjadi ahli bukan
hanya dalam hukum yang relevan dengan bidang aktivitasnya, tetapi juga menjadi manajer
profesional yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan warga negara atau pengguna (Pollitt
& Bouckaert, 2011). Untuk warga negara, telah ada model civic culture dari Almond dan Verba
yang menekankan pada persyaratan politik demokratis, yakni warga negara harus tertarik secara
politik, aktif, sadar diri, dan kritis, tetapi pada saat yang sama harus loyal/setia, percaya, dan
hormat. Di antara beberapa persyaratan tersebut, Almond & Verba menggarisbawahi rasa kritis
dan aktivisme, kalau loyal tapi tidak ada rasa kritis dan aktivisme maka semakin tinggi risiko
penyalahgunaan kekuasaan politik oleh para petualang politik. Terkait hal ini, penting untuk
menambahkan dengan sub-dimensi solidaritas dan saling memikirkan satu sama lain dari Rose
& Pettersen (2002). Para peneliti administrasi publik masih perlu mengidentifikasi mekanisme-
mekanisme yang dapat menumbuhkan rasa kritis, aktivisme, loyalitas, dan solidaritas
administrator dan warganegara tanpa dihantui oleh kehawatiran akan situasi ketidakadilan kelas
dan penindasan yang merupakan keprihatinan tradisional pemikiran radikal.
C. PENUTUP Administrasi publik dapat menjadi penyumbang yang potensial bagi tata kelola negara
karena administrasi publik adalah institusi negara. Tata kelola negara dalam ranah administrasi
publik telah menerapkan teori-teori sosial kritis, seperti manajemen publik baru, pilihan publik, dan
NWS. Namun, bayang-bayang administrasi publik tradisional masih sangat kuat dan menjadi salah
satu kendala bagi keberfungsian secara optimal dari administrasi publik. Untuk lebih
mengoptimalkan kontribusinya bagi tata negara kelola yang efektif, administrasi publik perlu
mengkritisi faktor manusia sebagai unsur inti dalam administrasi dan manajemen. Manusia di sini
mencakup administrator maupun warganegara. Peneliti dan praktisi administrasi publik masih perlu
mengidentifikasi mekanisme-mekanisme yang dapat menumbuhkan rasa kritis, aktivisme, loyalitas,
dan solidaritas administrator dan warga negara dalam governance.
DAFTAR PUSTAKA Bevir, M., 2007. Encyclopedia of Governance. California: Sage Publications, Inc.
------------, 2010. Democratic Governance. Princeton: Princeton University Press.
Bojic, Dubravka, 2011. The Concept of Governance: Origins and Key Elements. Food Security
Governance Workshop, Rome, 5 December 2011.
Bovaird, T., and Löffler, E. (eds), 2005. Public Management and Governance. London: Routledge.
Box, Richard, 2004. Critical Social Theory in Public Administration. London: Routledge.
Chhotray, Vasudha, and Gerry Stoker, 2009. Governance Theory and Practice: A Cross-Disciplinary
Approach. Hampshire UK: Palgrave Macmillan.
CIPFA (Chartered Institute of Public Finance and Accountancy) and IFAC (the International
Federation of Accountants), 2013. Good Governance in the Public Sector—Consultation Draft
for an International Framework. June 2013.
Dahl, Robert. Democracy and Its Critics. New Haven: Yale University Press, 1989.
98
Denhardt, Janet V. and Denhardt, Robert B., 2007. The New Public Service: Serving, Not Steering.
New York: M.E. Sharpe, Inc.
Denhardt, R.B. and Denhardt, Janet V., 2006. Public Administration: An Action Oriented. Fifth
Edition. Belmont: Thomson Higher Education.
Farazmand, A. (Editor) 2004. Sound Governance: Policy and Administrative Innovations. London:
Praeger.
Ferlie, Ewan, Laurence E. Lynn Jr., and Christopher Pollitt (editors), 2007. The Oxford Handbook of
Public Management. Oxford: Oxford University Press.
Frederickson, H. G., Kevin B. Smith, Larimer, Christopher W., and Licari, Michael J., 2012. The
Public Administration Theory Primer. Cambridge: Westview Press.
Fukuyama, Francis, 2013. What Is Governance? CGD Working Paper 314. Washington, DC: Center
for Global Development.
Gargan, J.J., 2007. The Public Administration Community and the Search for Professionalism. In
Handbook of Public Administration. Edited by Jack Rabin, W. Bartley Hildreth, and Gerald J.
Miller. Boca Raton: Taylor & Francis Group, LLC., pp. 1125-1204.
Guy, Mary E. and Marilyn M. Rubin (Eds.), 2015. Public Administration Evolving. Taylor & Francis
Group.
Holzer, M., Zhang, M., and Dong, K., 2005. “Preface: A New Era of Global Governance and Public
Policy Transfer”. Dalam Frontiers of Public Administration, edited by Marc Holzer,
Mengzhong Zhang, and Keyong Dong. New York: The United Nations Public Administration
Network.
Horkheimer, M. and T.W. Adorno, 1992. Dialectic of Enlightenment, New York: Seabury.
Ibrahim, Muhammad Akmal, & Aslinda, 2014. The Effect of Motivation on Organizational
Citizenship Behavior (OCB) at Telkom Indonesia in Makassar. International Journal of
Administrative Science & Organization, Volume 21, Number 2, pp. 114-120.
Levi, Margaret, 2006. Why We Need a New Theory of Government. March 2006 | Vol. 4/No. 1, pp. 5-
19.
Marini, F., 2000. Public Administration. In Defining Public Administration: Selections from the
International Policy and Administration. Edited by Jay M. Shafritz. Colorado: Westview
Press. pp. 3-16.
Martin, Edward, 2010. The role of critical social analysis in public policy and administration: A
service learning course application in race, inequality, and public policy. Journal
Contemporary Justice Review, Issues in Criminal, Social, and Restorative Justice, Volume 5,
2002 - Issue 4.
McFarlane, Audrey G., 2009. Rebuilding the Public-Private City: Regulatory Taking's Anti-
Subordination Insights for Eminent Domain and Redevelopment. Indiana Law Review, Vol.
42, pp. 97-163.
Miller, David Y., and William N. Dunn, 2006. A Critical Theory Of New Public Management.
http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/
Parsons, Wayne, 2006. Public Policy: An Introdustion to the Theory and Practice of Policy Analysis.
Cambridge: Edward Elgar Publishing, Inc.
Pierre, J., and Peters, B. Guy, 2005. Governing Complex Societies: Trajectories and Scenarios. New
York: Palgrave Macmillan.
Pollitt, C. and Bouckaert, G. 2011. Public Management Reform: A Comparative Analysis - New
Public Management, Governance, and the Neo-Weberian State. Oxford: Oxford University
Press.
PSGB (Public Sector & Governance Board), 2012. The World Bank’s Approach to Public Sector
Management 2011-2020: “Better Results from Public Sector Institutions”. Poverty Reduction
and Economic Management, February 3, 2012.
Rahman, Md. Mizanur, Leslie Sue Liberman, Vincentas Rolandas Giedraitis, Tahmina Akhter, 2013.
“The Paradigm from Traditional Public Administration to New Public Management System in
Bangladesh: What Do Reform Initiatives Stand for?” Advances in Economics and Business
1(3): 297-303, DOI: 10.13189/aeb.2013.010307.
99
Riccucci, N.M., 2008. The Logic of Inquiry in the Field of Public Administration. In Handbook of
Research Methods in Public Administration, Edited byGerald J. Miller & Kaifeng Yang. Boca
Raton: CRC Press, pp. 3-11.
Robbins, Stephen P. & Timothy A. Judge, 2013. Organizational Behavior. 15 edition. New Jersey:
Pearson Education, Inc.
Rosenbloom, David H. and Kravchuk, R.S., 2005. Public Administration: Understanding
Management, Politics, and Law in the Public Sector. Boston: McGraw-Hill.
Rufini, La Ode Mustafa, Syamsul Alam, dan Jamal Bake, 2016. Policy Learning of Mineral Mining
Management. The International Journal of Engineering and Science (IJES) Volume 5 Issue 10
Pages 68-75.
Ruggeri, G., 2005. Public Expenditure Incidence Analysis. In Public Expenditure Analysis. Anwar
Shah (Editor). Washington DC: The International Bank for Reconstruction and
Development/The World Bank, pp. 1-32.
Stivers, C., (Editor), 2001. Democracy, Bureaucracy, and the Study of Administration. Colorado:
Westview Press.
Vigoda, E., 2002. The Legacy of Public Administration Background and Review. In Public
Administration: An Interdisciplinary Critical Analysis, edited by Eran Vigoda. New York:
Marcel Dekker, Inc., pp 1-18.
Wilson, Woodrow, 1887. The Study of Administration. Political Science Quarterly, June II (2), 197-
222.
100
PEMBERDAYAAN PETANI TAMBAK DI DESA LABOKEO
KECAMATAN LAEYA KABUPATEN KONAWE SELATAN
Tanzil
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Halu Oleo Kendari, Indonesia
tanzilsosio@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini melihat hasil usaha petani tambak di desa Labokeo belum dapat memenuhi
kebutuhan rumah tangga secara memadai, sehingga untuk menghadapi kesulitan ekonomi
tersebut disamping mengolah tambak, petani tambak juga berusaha mencari sumber-sumber
pendapatan lain. Penelitian ini dilakukan di Desa Labokeo Kecamatan Laeya Kabupaten
Konawe Selatan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain metodologis
studi kasus. Teknik pengumpulan data yang digunakan yakni observasi dan wawancara
mendalam. Hasil penelitian menunjukan; pengetahuan dan keterampilan petani masih rendah,
kurangnya modal, dan fasilitas yang tidak memadai. Tiga masalah tersebut baik secara sendiri
sediri maupun bersama-sama diasumsikan menjadi penyebab rendahnya tingkat produksi petani
tambak di lokasi penelitian. Oleh karena itu perlu adanya upaya pemberdayaan untuk
mendorong petani tambak dapat memenuhi kebutuhan mereka secara memadai.
Kata Kunci: Pemberdayaan, Petani Tambak
A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang
Upaya pemberdayaan terhadap petani tambak memegang peranan penting, karena
pemberdayaan adalah sebuah upaya yang dilakukan untuk meningkatkan daya tahan fisik,
sosial, ekonomi dan justisy. Dalam konteks pemberdayaan komunitas, maka peran
pemerintah seharusnya adalah sebagai agen perubahan (agent of change). Pemberdayaan
adalah proses panjang yang mengacu pada prinsip development from within
(pembangunan dari dalam), melalui mobilisasi sumber daya internal dan eksternal.Konsep
ini lahir sebagai perbaikan terhadap paradigma pembangunan yang meletakkan peran
negara atau pemerintah pada posisi sentral dalam merencanakan dan melaksanakan
pembangunan (Soetrisno, 1995). Munculnya konsep ini merupakan gagasan yang ingin
menempatkan manusia sebagai subyek dari dunianya sendiri.
Kemudian berkaitandengan pemberdayaan warga komunitas miskin,
pemberdayaan merupakan salah satu fungsi pemerintahan seperti dikemukakan oleh
Ndhara (2000) bahwa pemberdayaan merupakan fungsi sekunder pemerintah, yaitu fungsi
yang berhubungan negatif dengan tingkat keberdayaan yang diperintah, semakin berdaya
yang diperintah semakin kurang fungsi ini yaitu dari rowing ke steering. Pemberdayaan
merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat guna
mengentaskan kemiskinan. Hal ini mengingat ketidakberdayaan merupakan salah satu
101
faktor penyebab kemiskinan (ketidakberuntungan/disadvantages) seperti dikemukakan
Chambers (1983) yaitu kemiskinan (poverty), fisik yang lemah (physical weakness),
kerentanan (vulnerability), keterisolasian (isolatian) dan ketidakberdayaan
(powerlessness).
Fungsi pemberdayaan dapat dilakukan melalui 2 (dua) bentuk atau tahap yaitu
pemberian kemampuan melalui membangun aset material dan menstimulasi, mendorong,
memotivasi mereka agar mempunyai kemampuan dalam mengembangkannya, seperti
yang dikemukakan Oakley dan Marsden (dalam Mubyarto, 1955) bahwa pemberdayaan
merupakan suatu proses. Pertama, penekanan pada proses pemberian kemampuan kepada
masyarakat agar individu berdaya. Proses ini dilengkapi dengan upaya pembangunan asset
material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka. Kedua, proses
menstimulasi, mendorong atau memotivasi agar mempunyai kemampuan atau
keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihannya.
Mardikanto (2012) menyatakan bahwa pemberdayaan dilakukan melalui tahapan-
tahapan berikut: (1) menumbuhkan kesadaran untuk berubah, (2) merumuskan kebutuhan
akan perubahan-perubahan yang dikehendaki, (3) menetapkan tujuan yang akan dicapai,
(4) membuat perencanaan-perencanaan; (5) melakukan inventarisasi terhadap strategi-
strategi yang akan digunakan untuk mencapai tujuan; (7) implementasi perencanaan; dan
(8) monitoring dan Evaluasi. Dalam proses pemberdayaan, kesadaran akan posisi setiap
pihak sangat dipentingkan. Dalam kerangkan pembangunan yang lebih kedepan, tolok
ukur keberhasilan pembangunan dalam setiap tahapan dirumuskan secara partisipatif
bersama masyarakat, dimiliki dan disosialisasikan secara luas. Keberhasilan dan
kegagalan pembangunan adalah milik dan tanggung jawab bersama. Dinamika perubahan
dan pembangunan senantiasa membawa aspirasi dan tuntutan baru dari masyarakat untuk
mewujudkan kualitas kehidupan yang lebih baik. Aspirasi dan tuntutan masyarakat
tersebut dilandasi oleh hasrat yang untuk lebih berperan serta dalam mewujudkan
masyarakat yang maju, mandiri dan berdasarkan keadilan. Dalam pembangunan yang
makin kompleks, masyarakat perlu diberikan rangsangan untuk ikut memikirkan masalah-
masalah pembangunan yang dihadapi dan turut merumuskan jalan pemecahannya,
sehingga peran serta masyarakat yang aktif akan lebih menumbuhkan kebersamaan dan
berimplikasi pada percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang adil dan
makmur.
B. KAJIAN LITERATUR Zubaedi (2013) menjelaskan, dalam sejarahnya pemberdayaan menjadi sebuah
gerakan perlawanan pembangunan alternatif terhadap hegemoni developmentalisme (teori
modernisasi). Sejak tiga dekade silam, para ahli pembangunan haluan kritis telah
melontarkan pernyataan besar, mengapa terjadi kemiskinan di tengah-tengah gencarnya
proyek-proyek pembangunan? Penilaian inilah yang mengundang pemikiran kembali doktrin-
doktrin pembangunan. Munculnya penilaian bahwa merajalelanya kemiskinan di Dunia
Ketiga disebabkan karena gagalnya model pembangunan ekonomi yang sangat dipengaruhi
oleh teori modernisasi atau doktrin developmentalisme.
World Bank mengartikan empowerment is defined as „the expansion of assets and
capabilities of poor people to participate in, negotiate with, influence, control and hold
accountable institutions that affect their lives‟ (Narayan, et al., 2002). Menurut Ife (1995)15,
“empowerment means providing people with the resources, opportunities, knowledge and
skills to increase their capacity to determine their own future, and to participate in and affect
102
the life of their community. Empowerment should be aim of all community development”.
Lebih lanjut mengatakan bahwa “a complete strategy of empowerment requires the barries to
people exercising power be understood, addressed and overcome. These include the
structures of oppression (class, gender and rase/ethnicity), language, education, personal
mobility, and the domination by elites of power structures of society. Understood in these
theme, then, empowering is a form of radical change, whing would overturn exiting
structures of domination” (Ife, Jim, 1995).
Selanjutnya, Deepa Narayan menjelaskan; A growing body of evidence points to the
links between empowerment and development effectiveness at society-wide, grassroots and
project levels. For example, projects in countries with strong civil liberties – particularly
citizen voice, participation and accountability – significantly outperform projects in countries
with weak civil liberties. It is important to strengthen the demand side of governance by
focusing on laws, rules and procedures that enable citizens and poor people‟s organisations to
interact effectively with their governments. Four key elements act in synergy to strengthen
the demand side of governance: Access to information: Two-way information flows from
citizens to government and from government to citizens are essential. It is most important to
provide information on state and private sector performance, financial services and markets,
and rules and rights regarding basic services. Inclusion and participation: Poor people need to
be recognised and treated as co-producers, with authority and control over decisions and
resources devolved to the lowest appropriate level. Accountability: Social or public
accountability mechanisms hold agencies accountable to citizens. Local organisational
capacity: „Voice‟ is magnified when people work together, organise themselves and mobilise
resources to address common concerns (Narayan, et al.,2002).
C. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Desa Labokeo Kecamatan Laeya Kabupaten Konawe
Selatan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain metodologis studi
kasus. Teknik pengumpulan data yang digunakan yakni observasi dan wawancara mendalam.
Selanjutnya data yang diperoleh disederhanakan dan dikelompokkan agar dapat digunakan
menjelaskan permasalahan penelitian. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif, dikaji secara
konprehensif agar diperoleh jenis data yang memiliki relevansi dengan permasalahan
penelitian.
D. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil penelitian dapat diidentifikasi beberapa problematika yang dihadapi
komunitas petani tambak di desa Labokeo: Pertama, berkaitan dengan sumber daya manusia.
Kualitas sumber daya manusia yang rendah telah mempersulit pengembangan dalam aktifitas
usaha tambak. Tingkat pendidikan anak-anak mereka juga rendah. Bahkan banyak anak-anak
dari petani tambak putus sekolah karena keterbatasan dari segi keuangan. Hal ini disebabkan
tingkat penghasilan yang sangat rendah sehingga pada umumnya petani tambak hanya
terfokus pada upaya pemenuhan kebutuhan dasar.
Terkait dengan dukungan modal finansial yang dibutuhkan dalam pengembangan
usaha tambak, petani mendapatkannya dari beberapa sumber, yaitu; (a). bantuan keluarga, (b)
arisan, (c) koperasi. Modal yang bersumber dari keluarga, biasanya masih dalam ikatan
keluarga dekat. Seperti pengakuan Ali Imran (52) salah seorang petani tambak: bila saya
butuh uang untuk pemeliharaan tambak, peluang untuk memperolehnya lebih banyak berasal
dari keluarga. Kami sudah terbiasa saling membantu dan itu kami sudah lakukan sejak
dahulu. Demikian juga, Hamdani (48) mendapatkan bantuan dari saudaranya, ketika ia
103
membutuhkan uang untuk biaya pemeliharaan tambak. Dengan demikian, penelitian ini
menemukan bahwa ketika petani memerlukan bantuan finansial, mereka mendapatkannya
antara lain melalui keluarga. Kecenderungan ini terkait dengan hubungan saling percaya
antara mereka yang dibangun sejak dahulu. Modal finansial juga diperoleh melalui kegiatan
arisan, karena modal yang mereka miliki belum cukup memadai. Sebagian petani tambak
membentuk arisan kelompok untuk kebutuhan penambahan modal.
Kesulitan memperoleh modal yang dirasakan oleh petani tambak kemudian
mendorong petani tambak untuk bergabung dalam koperasi simpan-pinjam yang pada
umumnya beranggotakan kelompok petani sawah. Walaupun bantuan yang diberikan oleh
koperasi masih relatif kecil jumlahnya, namun keberadaan koperasi bagi petani tambak
sangat penting dalam mengatasi kesulitan modal finansial.
Hasil observasi juga dapat diidentifikasi beberapa kebutuhan warga petani tambak
yang seharusnya bisa dipenuhi dalam upaya mendorong keberlangsungan aktifitas ekonomi
mereka: (1) Kebutuhan yang sangat mendesak untuk segera diatasi adalah pembuatan jalan
dan jembatan ke tambak. Kondisi jalanan yang menuju ke tambak saat ini umumnya masih
berupa jalan setapak. Hanya sebagian kecil yang berupa jalan pengerasan, dan ini pun tidak
dapat dilalui kendaraan baik itu roda empat mapun roda dua bila musim hujan. Disamping itu
ada beberapa jembatan yang telah mengalami kerusakan yang membutuhkan perbaikan dan
pembuatan jembatan baru untuk memudahkan hubungan ke kawasan pertambakan.
Pembuatan pematang baru juga sangat dibutuhkan oleh petani tambak. Hal ini untuk
menghindari meluapnya air hujan bila curah hujan cukup banyak. Dari hasil observasi dengan
informan menuturkan bila hujan terlalu lebat air pada Tambak biasanya meluap sehingga
bibit ikan pada Tambak terkadang ikut terbuang. Bibit ikan untuk menghasilkan jenis ikan
yang memiliki nilai jual yang tinggi juga juga diinginkan oleh petani tambak.
Walaupun mata pencaharian menggarap Tambak di kenal sebagai jenis pekerjaan
yang dapat mendatangkan keuntungan ekonomi yang besar bagi pemenuhan kebutuhan
rumah tangga, tetapi keadaan tersebut tidaklah terjadi pada komunitas petani Tambak di
lokasi penelitian, karena dalam keseharian mereka masih hidup dalam keterbatasan. Secara
umum, problematika yang dihadapi petani tambak di di desa Labokeo: (1) rendahnya
pengetahuan dan ketrampilan, (2) kurangnya modal, (3) fasilitas yang tidak memadai. Tiga
masalah tersebut baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama diasumsikan menjadi
penyebab rendahnya tingkat produksi petani tambak di lokasi penelitian.
Secara fisik, kondisi kesulitan yang mereka alami dari hasil observasi dapat
digambarkan dengan lingkungan pemukiman yang mereka tempati yakni tempat tinggal
petani tambah sangatlah sederhana dimana umumnya berbentuk rumah panggung dengan
perabot rumah tangga yang sangat terbatas. Dindingnya terbuat dari kayu atau papan, sedang
atap rumah terbuat dari daun rumbia.
Walaupun demikian petani tambak di lokasi penelitian, bukanlah komunitas yang
mudah menyerah dengan keadaan yang dialami. Justru dengan kesulitan tersebut mereka
berupaya sekuat tenaga untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga secara mandiri. Anggota
keluarga bahu-membahu mengatasi kesulitan ekonomi. Sebagai dampak dari penghasilan
yang sangat rendah dari usaha tambak, petani tambak dalam memenuhi kebutuhan rumah
tangganya tidak semata-mata mengandalkan dari usaha tambak, tetapi mereka berupaya
mendapatkan finansial pada usaha-usaha lainnya. Hal ini mereka lakukan ketika produktifitas
usaha tambak dirasakan tidak dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Diversifikasi mata pencaharian untuk menghadapi kesulitan ekonomi tersebut.
disamping mengolah Tambak, mereka bekerja sebagai petani yang menggarap kebun-kebun
yang ada di sekitar pemukiman mereka. Ketika musim tanam biasa mereka menanan jagung,
104
atau padi dan sayur-sayuran. Dari usaha kebun ini mereka dapat memenuhi kebutuhan
penyediaan bahan makanan beberapa saat. Sebagian kecil dari mereka memiliki pekerjaan
tambahan sebagai tukang ojek. Penghasilan sebagai tukang ojek dapat pulah menutupi
kebutuhan sehari-hari dari beberapa petani tambak walaupun dengan pekerjaan ini
pehanghasilannya juga relatif kecil karena penumpang agak sepi. Akibat kesulitan ekonomi
isrti dan anak–anak mereka turut membantu dalam aktifitas mencari nafkah. Istri mereka
biasanya membentu dikebun untuk menanam jagung, sedang anak-anak mereka terutama
anak laki-laki yang sudah besar membantu orang tuanya mengolah ladang atau kebun.
Aktifitas ekonomi lain yakni beternak Sapi, dan menjadi buruh bangunan yang biasanya
menjadi buruh pada proyek-proyek pembangunan gedung atau perbaikan rumah penduduk.
E. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan Secara umum, rendahnya produksi petani tambak di di desa Labokeo Kecamatan
Laeya Kabupaten Konawe Selatan dapat diklasifikasi: (1) rendahnya pengetahuan dan
ketrampilan, (2) kurangnya modal, (3) fasilitas yang tidak memadai.Tiga masalah tersebut
baik secara sendiri sediri maupun bersama-sama diasumsikan menjadi penyebab
rendahnya tingkat produksi petani tambak di lokasi penelitian.Oleh karena itu, strategi
pemberdayaan harus dijiwai nilai-nilai kekeluargaan. Dengan demikian, upaya
pengembangan masyarakat perlu didekati dengan pengembangan berbasis lokal agar dapat
menjalin ikatan-ikatan sosial dalam komunitas petani.
2. Saran Kebijakan-kebijakan pemberdayaan masyarakat pada umumnya dan
pemberdayaan petani tambak khususnya, perlu disempurnakan untuk menciptakan kultur
yang mampu merangsang dan mendorong upaya masyarakat dalam memenuhi kebutuhan
mereka. Dalam perspektif good governance, negara perlu di batasi dalam urusan
masyarakat dan pasar. Pembatasan tersebut dilakukan agar terjadi pembatasan intervensi
negara sehingga mampu melepaskan ketergantungan masyarakat negara, selanjutnya
diperlukan kapasitas responsif, yakni kemampuan untuk peka dan memiliki daya tanggap
terhadap aspirasi dan kebutuhan masyarakat untuk dijadikan sebagai basis dalam
pemberdayaan komunitas petani tambak.
DAFTAR PUSTAKA Chambers, Robert. 1983. Pembangunan Desa Mulai Dari Belakang. LP3ES, Jakarta
Ife, James William (1995) Community Development, Creating Community Alternatives (Vision,
Analysis and Practice), Longman, Australia.
Mardikanto, Totok dan Poerwoko Soebianto, 2012. Pemberdayaan Masyarakat dalam Perspektif
Kebijakan Publik. Alfabeta, Bandung.
Mubyarto. 1995. Program IDT dan Pemberdayaan Masyarakat. Aditya Media, Yogyakarta.
Ndraha, Taliziduhu. 2000. Ilmu Pemerintahan Jilid I, II, III dan IV, Program Magister Ilmu-ilmu
Sosial (PM IIS) Bidang Kajian Utama (BKU) Ilmu Pemerintahan (IP) Kerjasama IIP-
UNPAD, Jakarta.
Narayan-Parker, D., 2002, 'Empowerment and Poverty Reduction: A Sourcebook', World Bank,
Washington, D.C.
Soetrisno, Lukman, 1995. Menuju masyarakat Partisipatif. Kanisius, Jakarta.
Zubaedi. (2013). PengembanganMasyarakat. Jakarta: KencanaPrenada Media Group.
105
PENINGKATAN AKSESIBILITAS PELAYANAN INFORMASI
PUBLIK DI KOTA BAUBAU
Wa Ode Arsyiah1, Elim Mariama
2, dan Syahril R
3.
Program Studi Ilmu Administrasi Negara dan Program Pascasarjana
Universitas Dayanu Ikhsanuddin
Email: arsyiahwaode@gmail.com
ABSTRAK
Pelayanan Informasi Publik memiliki peran penting dalam pelaksanaan
pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah. Kehadiran PIB diharapkan membuka
ruang akses seluas-luasnya bagi masyarakat, guna mewujudkan tata kelola pemerintahan
yang baik (good governance) berdasarkan pada prinsip transparansi. Pemberian layanan
publik merupakan salah satu fungsi dan tugas pokok pemerintah baik pusat maupun
daerah. Itu dilakukan oleh perangkat pemerintah ialah Aparatur Sipil Negara. Pelayanan
informasi di Kota Baubau khususnya penyebaran informasi tentang pembangunan,
pemerintahan dan sosial kemasyarakatan kota Baubau, Pemerintah Kota Baubau melalui
Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Baubau melaksanakan kerjasama dengan pihak
swasta pengelola informasi di Kota Baubau. Pelayanan informasi yang disepakati oleh
Dinas Komunikasi dan Informatika dan pengelola informasi di Kota Baubau sesuai
dengan fungsinya masing-masing. Peningkatan aksesibilitas pelayanan informasi publik
dilaksanakan dengan pola kemitraan yang dibangun oleh pihak Pemerintah Kota Baubau
dengan pihak swasta yaitu kerjasama yang bersifat kontraktual, jangka pendek dan
dengan intensitas yang terbatas. Kontrak kerjasama berupa nota kesepahaman yang
dituangkan dalam bentuk Surat Perintah Kerja (SPK) yang menjelaskan tentang pekerjaan
dan nilainya.
Kata Kunci: Pelayanan, Informasi Publik, Aksesibilitas Pelayanan.
A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang
Pelayanan Informasi Publik (PIB) memiliki peran penting dalam
pelaksanaan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah. Kehadiran PIB
diharapkan membuka ruang akses seluas-luasnya bagi masyarakat, guna
mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) berdasarkan
pada prinsip transparansi. Hal ini yang menjadi salah satu dasar filosofis
diformulasikannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik (KIP).
Kehadiran undang-undang tersebut, secara empirik semakin menegaskan
jika informasi telah menjadi hak asasi, atau bagian dari kebutuhan dasar
masyarakat, sebagaimana negara ini mengakui dan menjamin hak asasi atas
informasi dalam konstitusi perubahan kedua Undang-Undang Dasar 1945 pada
Pasal 28F yang berbunyi: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya,
serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
Persoalannya kemudian adalah tidak semua keinginan tentang pemenuhan
informasi publik ini dapat terpenuhi secara maksimal, bahkan hingga kini akses
publik terhadap informasi penyelenggaraan pemerintahan masih begitu sulit dan
106
sangat terbatas (Dwiyanto, 2012). Bahkan terdapat beberapa pendapat yang
menyebutkan bila institusi pemerintah beranggapan bila tidak semua akses
informasi pemerintah penting diketahui publik, karena ada kekhawatiran dapat
menciptakan instabilitas bagi masyarakat luas.
Sinyalemen kondisi tersebut terjadi di semua lapis struktur pemerintahan,
baik di pusat maupun di daerah-daerah dengan alasan yang cukup beragam,
diantaranya; fasilitas informasi yang kurang memadai; minimnya dukungan
penganggaran negara dan daerah berkaitan penyebarluasan informasi; hingga
persoalan keterbatasan sumber daya manusia (SDM), dan lain-lain sebagainya.
Di Kota Baubau–Sulawesi Tenggara, dalam beberapa kegiatan
Musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) tingkat kelurahan beberapa
tahun terakhir, tak sedikit pendapat masyarakat terungkap di forum tersebut
menyoroti persoalan berkaitan dengan pelayanan informasi publik, yang dinilainya
sangat minim, dan sulit terakses.
Beberapa contoh persepsi negatif dimaksud adalah; minimnya informasi
pembangunan yang menyebar ke masyarakat; minimnya fasilitas publik berkaitan
infrastruktur dan perangkat teknologi informasi yang mendukung arus informasi
dari masyarakat ke pemerintah; yang mengakibatkan publik mengeneralisasi
sebagai kelemahan kepemimpinan kepala daerah dan perangkat-perangkat daerah
yang berkaitan. Menyikapi hal tersebut, Pemerintah Kota Baubau melakukan
akselerasi akses pelayanan informasi publik dengan memaksimalkan organisasi
kelembagaan daerah dengan kehadiran Dinas Komunikasi dan Informatika Kota
Baubau.
Fenomena empirik yang menjadi perhatian peneliti terhadap perkembangan
informasi publik di Kota Baubau, yakni adanya asumsi jika intensitas kedekatan
instansi Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Baubau, dengan pengelolah
informasi publik yang dimiliki masyarakat, sangat mempengaruhi serapan
informasi Pemerintah Kota Baubau kepada masyarakatnya. Dengan kata lain,
semakin kuat kedekatan itu, semakin banyak informasi beredar ke masyarakat,
sebaliknya jika kurang intensif, maka kurang pula serapan informasi pemerintahan
di masyarakat.
B. LANDASAN TEORETIK Pelayanan publik atau pelayanan umum juga didefinisikan sebagai segala
bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang maupun jasa publik yang pada
prinsipnya menjadi tanggungjawab dan dilaksanakan oleh instansi pemerintah di
pusat, di daerah dan di lingkungan Badan Usaha Negara atau Badan Usaha Milik
Daerah, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka
pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan (Ratminto dan Atik 2010).
Pelayanan publik dapat didefinisikan sebagai: “Serangkaian aktivitas yang dilakukan
oleh birokrasi publik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu,
pelayanan publik merupakan serangkaian aktifitas yang diberikan oleh suatu
organisasi atau birokrasi publik untuk memenuhi kebutuhan yang dibutuhkan
masyarakat (Dwiyanto, 2005). Pelayanan publik dapat diartikan sebagai “Pemenuhan
keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara pemerintah, serangkaian
aktivitas yang dilakukan oleh birokrasi publik untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat, Negara didirikan oleh publik (masyarakat) tentu saja dengan tujuan agar
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat” (Sinambela, 2011).
Kegiatan layanan publik yang diberikan pemerintah melalui ASN menyangkut
semua kebutuhan masyarakat, baik layanan barang publik dan layanan administratif;
baik layanan untuk kepentingan masyarakat dan individu maupun untuk kepentingan
kehidupan berbangsa, bernegara dan berpemerintahan. Jadi, pemberian layanan publik
107
merupakan salah satu fungsi dan tugas pokok pemerintah baik pusat maupun daerah.
Itu dilakukan oleh perangkat pemerintah ialah Aparatur Sipil Negara (ASN). Mereka
adalah abdi Negara untuk memberikan layanan kepada warga. Karena itu kedudukan
ASN sangat strategis dalam pemberian layanan publik yang berkualitas dan
memuaskan. ASN adalah representasi dari pemerintah. Dengan demikian, jika layanan
yang diberikan oleh ASN berkualitas dan memuaskan publik, maka citra pemerintah
akan positif di mata publik. Ketika pemerintah melalui ASN tidak memberikan
layanan publik berkualitas dan memuaskan, itu akan menimbulkan negative public
image (King dan Stivers 1998:6).
Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Layanan Publik maupun
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 2012 tentang pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009 mendefinisikan layanan publik sebagai
kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan layanan sesuai
dengan peraturan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa dan/atau
layanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara layanan publik.
Nunuk Febriananingsih, melalui jurnal „Rechvinding, Media Pembinaan
Hukum Nasional‟ Vol.1 No.1 Tahun 2012, berjudul Keterbukaan Informasi Publik
dalam Pemerintahan Terbuka Menuju Tata Pemerintahan yang Baik. mengurai secara
kritis tentang kesiapan pemerintah dengan lahirnya Undang-Undang Keterbukaan
Informasi Publik, serta bagaimana cara pemerintah membuat regulasi, agar
masyarakat bisa memperoleh akses informasi yang seluas-luasnya. Sayangnya
penelitian ini lebih bersifat „menegur‟ dan menyarankan metode, agar pemerintah
dengan kehadiran undang-undang ini tidak lalai dan abai dengan tugas pokoknya,
untuk membuka ruang informasi.
Endang Retnowati melalui jurnal hukum PERSPEKTIF Volume XVII No. 1
Tahun 2012 Edisi Januari, berjudul „Keterbukaan Informasi Publik dan Good
Governance (antara Das Sein dan Das Sollen) menyimpulkan bahwa keterbukaan
informasi publik dalam penyelenggaraan negara atau pemerintahan merupakan hak
rakyat. Pelaksanaan keterbukaan informasi publik dalam penyelenggaraan suatu
negara atau pemerintahan, merupakan perwujudan adanya tata pemerintahan yang
baik (Good Governance). Keterbukaan akan informasi publik berdasarkan
pengaturannya bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap pengguna informasi
dengan beberapa pengecualian, yang ditetapkan di dalam UU KIP. Perangkat atau
instrument yang harus dipersiapkan dalam rangka pelaksanaan keterbukaan informasi
publik khususnya oleh pemerintah daerah adalah, SDM (keahlian, mental) dan sarana
prasarana yang memadai sesuai perkembangan teknologi informasi. Oleh karena itu,
pemerintah selayaknya mendukung pelaksanaan dari keterbukaan informasi publik
dalam rangka Good Governance, maka pemerintah daerah harus menyiapkan sarana
prasarana, SDM yang punya kemampuan, dan kemauan serta komitmen dari seluruh
penyelenggara pemerintahan atau badan publik (pemerintah pusat atau daerah dan
aparat atau komponennya) untuk melaksanakannya.
Pentingnya penegakan hukum yang berkeadilan serta dukungan penegak
hukum yang profesional dan yang menjunjung tinggi keadilan. Penulis menyimpulkan
jika penelitian kedua ini, lebih bersifat positivistik yang melihat hubungan antar
penerapan undang-undang dengan pihak pemerintah sebagai lembaga yang
menjalankannya.
Menurut LAN-Makassar (2012) berbagai keluhan sudah umum disuarakan
seperti pelayanan yang berbelit-belit, adanya pungutan liar, tidak adanya kepastian
biaya, waktu dan persyaratan pelayanan lainnya. Oleh sebagian kalangan, rendahnya
kualitas pelayanan publik pemerintah dianggap bisa dimaklumi mengingat pelayanan
pemerintah bersifat sosial dan tidak bermotif bisnis sehingga anggaran pelayanan
terbatas. Namun kalangan lainnya beranggapan bahwa karakteristik pelayanan
pemerintah yang tidak mengejar keuntungan tidak boleh dijadikan pembenaran atas
108
kinerja pelayanan pemerintah yang rendah. Meskipun pelayanan yang diberikan
berlabel pelayanan gratis, namun sesungguhnya masyarakat telah membayar biaya
pelayanan tersebut dalam bentuk pajak sehingga mereka berhak menikmati kualitas
pelayanan yang setara dengan yang diberikan oleh organisasi swasta.
C. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di Kota Baubau tahun 2017. Penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif. Data di kumpulkan melalui wawancara. Penentuan informan
dalam penelitian ini dilakukan secara sengaja (Purposive Sampling), yakni peneliti
mengambil beberapa orang yang dianggap memiliki cukup informasi tentang
pelayanan informasi publik di Kota Baubau. Analisis data dilakukan melalui proses
mengatur urutan data, mengklasifikasikan ke dalam suatu pola, kategori dan satuan
uraian dasar, hingga penarikan kesimpulan.
D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pelayanan informasi di Kota Baubau khususnya penyebaran informasi tentang
pembangunan, pemerintahan dan sosial kemasyarakatan kota Baubau, Pemerintah kota
Baubau melalui Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Baubau melaksanakan
kemitraan dengan pihak swasta pengelola informasi di Kota Baubau. Pelayanan
informasi yang disepakati oleh Dinas Komunikasi dan Informatika dan pengelola
informasi di Kota Baubau sesuai dengan fungsinya masing-masing yang tertuang
dalam Surat Perintah Kerja. Kemitraan Dinas Komunikasi dan Informatika dengan
Media Cetak yaitu dalam penyebaran informasi kegiatan pembangunan, pemerintahan
dan sosial kemasyarakatan melalui berita Koran Harian di Kota Baubau yakni Kendari
Post, Baubau Post, Buton Post, Kepton Post, Berita Kota Kendari, dan Rakyat Sultra.
Selain pemuatan berita, ada langganan Koran untuk RT dan RW yang dibayarkan oleh
Pemerintah Kota Baubau. Selain bermitra dengan media cetak, Dinas Komunikasi dan
Informatika Kota Baubau juga melakukan kemitraan dengan media elektronik yaitu
media online melalui internet, siaran TV dan siaran Radio dalam penyebaran
informasi di Kota Baubau.
Berkaitan dengan itu, pola kemitraan yang dibangun kedua belah pihak telah
dipahami maknanya bahwa kemitraan merupakan pengaturan dimana pihak, yang
dikenal sebagai mitra, setuju untuk bekerja sama untuk memajukan kepentingan
bersama mereka. Para mitra dalam suatu kemitraan mungkin individu, bisnis,
organisasi, sekolah, pemerintah atau kombinasi. Organisasi bermitra untuk
meningkatkan kemungkinan masing-masing mencapai misi mereka dan untuk
memperkuat jangkauan mereka. Kemitraan dapat mengakibatkan penerbitan dan
pemilikan saham yang diatur oleh sebuah kontrak.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, terdapat 4 (empat) fungsi pokok yang
harus dijalankan oleh pemerintah yaitu fungsi layanan, fungsi pembangunan, fungsi
pemberdayaan dan fungsi perlindungan. Kendati demikian tidak berarti bahwa
pemerintah memonopoli fungsi-fungsi tersebut. Dalam Governance system, ada tiga
actor utama yang ikut serta melaksanakan fungsi-fungsi tersebut ialah pemerintah atau
sector publik, pelaku usaha/swasta/sector privat dan masyarakat.
Baik sektor swasta maupun masyarakat dapat ikut ambil bagian untuk
melaksanakan bagian-bagian tertentu dari fungsi-fungsi tersebut atau bermitra dengan
pemerintah. Pentingnya pola kemitraan dalam menyalurkan informasi kepada publik
dengan pihak media massa, bagi pihak pemerintah yang diwakilkan oleh Dinas
Komunikasi dan Informatika, tentu memiliki persyaratan tersendiri bagi lembaga mitra
dimaksud, seperti; harus didukung dengan kelembagaan yang terorganisir, memiliki
perusahaan yang jelas, atau persyaratan-persyaratan sebagaimana idealnya perusahaan
yang sehat.
109
Kemitraan di Dinas Komunikasi dan Informatika, ada empat kriteria utama
yang harus dipenuhi yaitu perusahaan yang bergerak dibidang media massa, memiliki
izin resmi, bersedia bekerja sesuai dengan kontrak atau kesepakatan yang dibuat, dan
memiliki akses yang mudah dijangkau oleh masyarakat luas. Kemitraan yang selama
ini terjalin antara pihak Pemerintah Kota Baubau yang diwakili Dinas Komunikasi dan
Informatika Kota Baubau dengan pihak pengelola media massa di daerah ini, didesain
dalam bentuk saling menguntungkan kedua pihak, dengan mekanisme yang diatur
sedemikian rupa.
Secara teoretis, kemitraan menghadirkan pihak-pihak yang terlibat dengan
negosiasi yang kompleks dan tantangan khusus yang harus dinavigasi sesuai
kesepakatan. Tujuan menyeluruh, tingkat memberi dan mengambil, bidang tanggung
jawab, jalur kewenangan dan suksesi, bagaimana keberhasilan dievaluasi dan
didistribusikan, dan sering berbagai faktor lainnya semua harus dinegosiasikan.
Mekanisme kemitraan ini umumnya dimulai atau diinisiasi oleh pihak pemerintah,
tetapi terkadang juga terdapat penawaran dari pihak media itu sendiri. Proses
kemitraan tidak serta merta memberikan kepada pengelola media yang bisa diajak
bekerjasama, tetapi berkaitan dengan kelayakan media, jumlah oplah, jangkuan,
termasuk durasi siar bagi pihak media elektronik. Karenanya evaluasi sudah berjalan
sejak awal, hingga proses kerjasama berakhir.
Berkaitan dengan hal ini, menjadi perhatian serius pihak Pemerintah Kota
Baubau agar penyebaran informasi berjalan secara maksimal, sebagaimana target
utama pihaknya. Kerjasama Pemerintah Kota Baubau dengan pihak media massa
(swasta) bersifat aliansi yang menguntungkan kedua belah pihak. Pihak pemerintah
diuntungkan dengan kemudahan penyaluran informasi komunikasi, sementara pihak
swasta banyak hal selain kepentingan ekonomi diantaranya; dukungan sumber daya
dalam penyediaan narasumber pemberitaan, pemahaman sistem birokrasi,
perkembagan informasi pemerintahan, dan lain-lain sebagainya.
E. KESIMPULAN
Peningkatan aksesibilitas pelayanan informasi publik dilaksanakan
dengan pola kemitraan yang dibangun oleh pihak Pemerintah Kota Baubau
dengan pihak swasta yaitu kerjasama yang bersifat kontraktual, jangka pendek
dan dengan intensitas yang terbatas. Kontrak kerjasama berupa nota
kesepahaman yang dituangkan dalam bentuk Surat Perintah Kerja (SPK) yang
menjelaskan tentang pekerjaan dan nilainya. Pemerintah dalam hal ini Dinas
Kominfo melaksanakan kemitraan dalam pelayanan informasi publik di Kota
Baubau dengan media massa yaitu media cetak dan elektronik. Media cetak
yakni Koran Harian yang beredar di Kota Baubau untuk menyebarkan
informasi melalui pemuatan berita pembangunan dan pemerintahan kota
Baubau dan langganan Koran untuk RT RW Kota Baubau. Dan media
elektronik terdiri dari media online, Siaran TV dan Siaran Radio yaitu
pemuatan berita pembangunan kota BauBau melalui internet, jaringan TV
Kabel dan jaringan radio. Kemitraan yang terjalin antara pemerintah dan
swasta dalam pelayanan informasi publik di Kota Baubau telah berjalan efektif
dan memberikan dampak positif untuk setiap aktor pelaksana, mulai dari dinas
Kominfo Kota Baubau dalam menyebarluaskan informasi program-program
pembangunan pemerintahan Kota dan Media Massa maupun masyarakat luas
sebagai konsumen secara langsung maupun tidak langsung dapat mengetahui
program dan kebijakan pemerintah.
110
DAFTAR PUSTAKA Dwiyanto, Agus. 2005. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik.
Yogyakarta. Gajah Mada.
----------------. 2012. Manajemen Pelayanan Publik: Peduli, Inklusif dan Kolaboratif.
Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.
Endang Retnowati, Jurnal Hukum Perspektif Vol XVII No.1 Tahun 2012 Edisi Januari,
Keterbukaan Informasi Publik dan Good Governance.
King, Cs & Stivers, 1998, Governmnt is Us: Public Administration in an Anti
Government Era. Thousand Oak, California, Sage Publications.
Nunuk Febrianingsih Jurnal Rchvinding Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 1 No.1
Tahun 2012.Keterbukaan Informasi publik dalam pemerintahan Terbuka
Menuju Tata Pemerintahan yang baik.
PKP2-A, LAN Makassarr SIPP. Kesiapan Daerah Dalam Menyediakan Sistem Informasi
Pelayanan Publik (SIPP). Makassar. 2012.
Ratminto dan Winarsi, Atik Septi. Manajemen Pelayanan.Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
2010.
Sinambela, L.P. Reformasi Pelayanan Publik: Teori, Kebijakan dan Implementasi.
Cetakan Keenam. Jakarta. Bumi Aksara. 2011.
Zainal Asikin, 2013, Jurnal Mimbar Hukum Vol.25 No.1 Pebruari 2013, Perjanjian
Kerjasama antara Pemerintah dan Swasta dalam Penyediaan Infrastruktur
Publik.
top related