proposal tiku
Post on 14-Aug-2015
110 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Sebagai negara kepulauan yang besar di dunia dengan wilayah laut sangat
luas, Indonesia memiliki sumber daya alam hayati laut yang besar. Seperti halnya
daratan, laut juga dihuni oleh biota, yakni tumbuh-tumbuhan, hewan dan
mikrorganisme hidup. Biota laut menghuni hampir semua bahagian laut, mulai
dari pantai, permukaan laut sampai dasar laut terjauh. Keberadaan biota laut
sangat menarik perhatian manusia (Romimoharto & Juwana, 2009).
Biota laut menghasilkan produk alam yaitu metabolit primer dan metabolit
sekunder. Di antara biota laut, spon merupakan suatu komponen biota penyusun
terumbu karang yang mempunyai potensi bioaktif, akan tetapi belum banyak
dimanfaatkan (Piel, et all., 2004). Hewan laut ini mengandung senyawa aktif
yang persentase keaktifanya lebih besar dibandingkan dengan senyawa-senyawa
yang dihasilkan oleh tumbuhan darat (Muniarsih & Rachmanir, 1999).
Spon tergolong kedalam filum porifera yang merupakan hewan
mutiseluler paling sederhana dengan bentuk tubuh dan warna yang beraneka
ragam (Jasin,1984). Spon diketahui dapat menghasilkan sejumlah produk laut
yang bersifat alami dan mampu menunjukan keanekaragaman senyawa kimia
yang sangat besar, antara lain alkaloid, terpenoid, steroid, fenolik, dan lain-lain
(Rivai, et all .,2005). Beberapa jenis spon yang memiliki biokatifitas yang
menarik seperti aktifitas antibakteri dari Petrosia nigran (Handayani, et al.,2008),
aktifitas anti inflamasi dari Axinella brentyla (Yalcin, 2007) dan aktifitas
1
sitotoksik dari Spongia sp dan Petrosia sp (Mayer & Gustafon, 1982). Usaha
ekspolrasi senyawa-senyawa antikanker terus dilakukan dengan target
penghambatan yang lebih baik dan efek samping yang lebih rendah (Astuti, et
al.,2005).
Dari penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya mengenai uji
toksisitas terhadap spons Petrosia sp menunjukkan dua senyawa yang
menunjukkan tingkat toksisitas cukup tinggi terhadap larva Artemia salina dengan
LC50 sebesar 5,69 μg/mL. Identifikasi yang dilakukan terhadap senyawa tersebut
menunjukkan bahwa senyawa yang diisolasi merupakan golongan senyawa
alkaloid (Astuti, et al.,2005). Penelitian terdahulu menunjukkan ekstrak kloroform
spons Kaliapsis sp mengandung senyawa sitotoksik dengan aktivitas tertinggi
pada fraksi dengan harga LC50 sebesar 0,18 μg/mL. Nilai LC50 ekstrak metanol
euchema mencapai 23,3346 ppm, sedangkan LC50 dari ekstrak kloroformnya
adalah 89,7429 ppm (Brummer, et al., 2007).
Metoda Brine Shrimp lethality Test (BSLT) merupakan suatu pengujian
toksisitas dengan menggunakan Artemia salina terhadap ketoksikan ekstrak yang
merupakan syarat sebagai uji pendahuluan untuk obat kanker. Artemia salina
termasuk organisme omnivore dan bersifat non selective feeder sehingga semua
bahan yang masuk ke dalam tubuhnya dianggap sebagai makanan, begitu juga
dengan senyawa toksik sehingga Artemia salina dapat digunakan dalam penelitian
uji toksisitas (Mayer & Gustafon, 1982).
Berdasarkan potensi sitotoksik dari spon laut tersebut maka perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut dari spon laut jenis lain untuk mengetahui
2
aktifitas sitotoksik fraksi aktif dengan menggunakan metoda Brine Shrimp
Lethality Test (BSLT).
1.2 Rumusan Masalah
1) Ekstrak spon laut manakah yang memiliki aktifitas sitotoksik ?
2) Fraksi dari ekstrak spon laut manakah yang memiliki aktifitas sitotoksik ?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitiaan ini bertujuan untuk menguji aktifitas sitotoksik dari ekstrak
dan fraksi spon laut yang di ambil dari perairan pantai Tiku dan pantai Pasir
dengan metoda Brine Shrimp Lethality Test.
1.4 Hipotesis Penelitian
Ekstrak dan fraksi spon laut memiliki aktivitas aktifitas sitotoksik.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat :
1. Untuk mengeksplorasi potensi sumber daya alam kelautan sebagai sumber
penghasil obat-obatan.
2. Inventarisir spon laut dengan kandungan senyawa sitotoksik.
3. Pengembangan ilmu pengetahuan kimia bahan alam kelautan dan memberikan
informasi tentang senyawa aktivitas sitotoksik yang dapat dikembangkan lebih
lanjut sehingga bermanfaat dibidang farmasi dan kesehatan.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Spon (Porifera) (Jasin, 1984)
Spon merupakan hewan multiseluler dan termasuk dalam golongan
invertebrata. Spon merupakan filum porifera dimana berasal dari kata latin,
phorus = lubang kecil dan ferre = mengandung, membawa. Jadi kata tersebut
menunjukkan kekhususan hewan yang bersangkutan, yaitu memiliki banyak
lubang kecil.
Spon merupakan hewan multiseluler, bersifat simetris radial atau
asimetris, tubuhnya memiliki banyak pori, belum memiliki sistem saluran
pencernaan makanan, dimana pencernaan makanan berlangsung di dalam sel atau
intraseluler, spon tidak memiliki organ khusus untuk respirasi dan ekskresi, spon
berkembang biak secara aseksual maupun seksual. Perkembangbiakan secara
aseksual dilakukan dengan membentuk tunas. Sedangkan pada perkembangbiakan
secara seksual melalui pembuahan sel telur oleh spermatozoid, makanan hewan
spon berupa partikel organik dan organisme kecil.
Habitat dari spon umumnya terdapat di laut, tapi ada beberapa genus yang
hidup di air tawar. Spon hidup mulai dari perairan laut dangkal sampai beberapa
meter di bawah permukaan laut. Penyebaran hampir di seluruh laut di dunia
(Marwa & Hamann, 2003). Hewan porifera (spon) mempunyai rongga di dalam
tubuhnya yang disebut spongosoel. Di ujung spongosoel terdapat lubang terbuka
tempat keluarnya air yang disebut oskulum. Spongosoel dikelilingi oleh dinding
yang tersusun atas 2 lapisan yaitu :4
Lapisan luar yang disebut lapisan epidermis atau ephitelium dermal. Sering
juga disebut pinakosit yang kadang-kadang mempunyai satu flagellum. Pada
epidermis tertentu terdapat porus atau lubang kecil yang disebut ostium.
Lapisan dalam yang terdiri dari jajaran sel-sel berleher yang disebut koanosit
yang berbentuk botol dan berflagellum.
Diantara kedua lapisan itu terdapat zat antara yang berbahan gelatin yang
disebut mesoglea. Mesoglea merupakan lapisan nonseluler. Pada mesoglea
terdapat:
1. Amoebosit yang berfungsi mengambil dan mengedarkan zat-zat makanan
yang telah dicerna oleh sel-sel koanosit ke sel-sel lainnya dan menghasilkan
gelatin.
2. Porosit (sel pori) atau miosit yang terletak disekitar pori yang berfungsi
membuka dan menutup pori.
3. Skleroblast yang berfungsi membentuk spikula (kerangka tubuh).
4. Arkeosit merupakan sel amoebasit embrional yang tumpul dan berfungsi
melaksanakan reproduksi sel, membentuk sel-sel tunas gamet, mengganti sel
rusak.
5. Spikula merupakan unsur pembentuk tubuh. Biasanya spikula tersusun dari
zat kapur dan serat-serat organik.
Ditinjau dari bahan pembentuk rangkanya, maka spon ini dapat dibedakan
atas tiga golongan:
1. Porifera lunak, porifera jenis ini kerangka tubuhnya tersusun dari bahan
spongin (organis).
5
2. Porifera kapur, porifera jenis ini kerangka tubuhnya terbuat dari bahan Kristal
zat kapur atau CaCO3.
3. Porifera silikat, porifera jenis ini kerangka tubuhnya terbuat dari bahan
Kristal.
2.2 Sitotoksik
2.2.1 Pengertian Sitotoksik
Sitotoksik adalah suatu senyawa atau calon obat yang bekerja dapat
membunuh dan menghambat pertumbuhan sel yang sedang berkembang (Mayer
& Gustafon, 2004). Sel kanker adalah golongan penyakit yang di tandai dengan
pembelahan sel yang tidak terkendali dan kemampuan sel-sel tersebut menyerang
jaringan biologis lainya (Astana, 2009).
2.2.2 Uji Efek Sitotoksik
Pengujian efek sitotoksik dapat dilakukan dengan beberapa metode
diantaranya: metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT), metode Crown-Gall
Potato Disc (CGPD) dan metode Microculture Tetrazolium (MTT) assay. Brine
Shrimp Lethality Test merupakan suatu metode untuk menguji bahan-bahan yang
bersifat sitotoksik. Metode ini menggunakan larva Artemia salina L. sebagai
hewan percobaan. Metode Brine Shrimp Lethality Test dapat dipercaya untuk
menguji aktifitas sitotoksik dari suatu bahan. Crown-Gall Potato Disc merupakan
suatu metode pengujian toksisitas yang relatif cepat pengerjaanya, tidak mahal,
6
tidak memerlukan hewan percobaan serta menunjukan korelasi yang sangat baik
dengan uji aktifitas sitotoksik lainya. Crown-Gall merupakan suatu penyakit
noeplastik pada tumbuhan yang disebabkan bakteri gram negatif Agrobacterium
tumefacies yang selanjutnya menyebabkan pertumbuhan jaringan tumor secara
otonom dan tidak dipengaruhi oleh mekanisme kontrol normal tumbuhan.
Pengujian dilakukan dengan mengukur kemampuan suatu senyawa menghambat
pertumbuhan tumor Crown-Gall pada umbi kentang yang diinfeksikan dengan
bakteri Agrobacterium tumefacies.
Sedangkan metode Microculture Tetrazolium (MTT) assay merupakan
metode pengujian aktifitas sitotoksik dengan menggukan sel limfoma tikus.
Metode ini merupakan metode lanjutan setelah suatu senyawa diketahui
mempunyai aktifitas sitotoksik. Pada penelitian ini digunakan metode Brine
Shrimp Lethalyti Test (BSLT). Metode ini dapat digunakan untuk skrining awal
senyawa-senyawa yang di duga berkhasiat sebagai antikanker (Mayer &
Gustafon, 1982).
2.2.3 Skrining Bioaktifitas
Berbagai disiplin ilmu seperti: kimia, biokimia, mikrobiologi,
farmakologi, enzimalogi dan lainya sangat dibutuhkan dalam melakukan skrining
bioaktifitas (Mc Laughlin, 1991). Akhir-akhir ini penelitian terhadap senyawa-
senyawa metabolit sekunder yang berasal dari organisme laut semakin menjadi
pusat perhatian para ahli. Hal ini disebabkan karena organisme laut mampu
memproduksi senyawa kimia yang berguna sebagai bahan obat-obat baru (Carte,
7
et al.,1996). Usaha pencarian obat baru dari organisme laut pada umumnya
ditunjukan untuk mengatasi penyakit-penyakit yang hingga kini belum ditemukan
obatnya, seperti kanker dan AIDS (Rangel, et al.,2001).
Organisme laut sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai sumber senyawa
kimia baru, khususnya yang bersifat aktif biologis. Senyawa-senyawa ini
digunakan untuk mengobati berbagai penyakit, salah satunya adalah penyakit
kanker (Mayer, et all.,2009). Suatu metode yang berguna untuk mendeteksi
aktifitas biologis adalah bioassay primer. Ekstrak spon laut diujikan aktifitasnya
dengan berbagai konsentrasi secara in vitro, ekstrak yang memperlihatkan
aktifitas yang kuat dilanjutkan pengujian terhadap komponenya. Apabila masih
menunjukan aktifitas yang nyata maka di lanjutkan pengujian secara in vivo pada
hewan percobaan yang ditransplantasikan dengan sel tumor manusia (Djamal, et
al.,2003).
Beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk skirining bioassay yaitu :
cepat, tepat, dapat dipercaya, murah, sensitif, membutuhkan sedikit sampel dan
bisa mengidentifikasikan aktifitas secara luas serta dapat dilakukan sendiri oleh
peneliti yang memiliki pengalaman yang terbatas dalam melakukan bioassay
secara mendalam (Mc Laughlin, 1991).
Banyak faktor yang mempengaruhi dalam usaha mendapatkan senyawa
aktif biologis melalui pendekatan aktifitasnya, diantaranya adalah kecilnya
kelarutan dari suatu ekstrak atau fraksi dalam pelarut yang digunakan. Untuk
mengatasi hal ini, ekstrak tersebut biasanya disuspensikan dalam
polivinilpirolidon atau menggunakan pelarut yang cocok seperti dimetilsulfoksida
8
(DMSO). Faktor lain yang mempengaruhi adalah kombinasi efek sinergis,
perubahan kimia selama ektraksi, manipulasi ekstrak dan hilangnya aktifitas suatu
senyawa yang di sebabkan oleh adanya senyawa lain yang mempunyai efek yang
berlawanan (Harbone, 1987).
2.2.4 Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)
Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) merupakan salah satu metoda untuk
menguji bahan-bahan yang bersifat aktif. Metoda ini pertama kali dilakukan oleh
Meyer.,dkk (1982). Pengujian dengan cara ini mempunyai beberapa keuntungan
yaitu cepat, murah, mudah pengerjaanya, tidak memerlukan kondisi yang aseptis
dan dapat dipercaya. Uji ini digunakan untuk skrining awal senyawa-senyawa
yang diduga berkhasiat sebagai antikanker (Mayer & Gustafon, 1982).
Metoda ini menggunakan larva Artemia salina Linn sebagai hewan
percobaan, telur Artemia salina Linn dimasukan dalam air laut yang telah
disiapkan, dan setelah 24 jam larva dapat digunakan untuk pengujian aktifitas
sitotoksik. Larva Artemia salina Linn dikenal juga dengan nama Brine Shrimp
yang merupakan Zooplanton, Filum Arthopoda, Kelas Crustacea dan Famili
Artemidae. Kista Artemia salina Linn merupakan telur yang terbungkus
cangkang. Telur Artemia salina Linn yang kering berbentuk bulat cekung,
berwarna coklat, berdiameter 200-300 µm dan di dalamya terdapat embrio yang
tidak aktif (Hafera, 1997; Mujiman, 1987).
9
Untuk proses penetasan sebaiknya pH larutan berada pada kisaran 7,5-8,5.
pH diatas 8,5 dan pH dibawah 6,5 dapat mengakibatkan penurunan hasil
penetasan. Sedangkan pH dibawah 5 dan lebih dari 10 dapat membunuh biakan
larva Artemia salina. Temperatur untuk proses penetasan larva berkisar antara 25-
30ºC, dengan suhu optimal 25ºC. Pengaruh cahaya terhadap Artemia salina yang
diketahui adalah berkaitan dengan tingkatan keberhasilan penetasan. Sistem airasi
udara juga merupakan faktor penting dalam proses penetasan telur Artemia salina.
Disini sistem airasi mempunyai dua fungsi yaitu untuk pemeliharaan tingkat
oksigen dan untuk menjaga agar telur-telur tidak mengendap (Mayer & Gustafon,
1982).
Jumlah larva yang digunakan untuk pengamatan adalah 10 ekor untuk
masing-masing vial. Senyawa murni yang akan diuji dibuat larutan dengan
konsentrasi 1000, 100, dan 10 ppm. Kematian larva udang diamati setelah 24 jam.
Penggunaan Artemia salina Linn sebagai hewan uji mempunyai beberapa
keuntungan antara lain telurnya mudah didapat, murah, dapat disimpan beberapa
tahun ditempat kering, memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap senyawa aktif
dibandingkan dengan organisme lainya. Pertumbuhan yang cepat menjadi larva,
dan mempunyai range toleransi salinitas yang luas antara 10-220 g/l (Hafera,
1997). Data dapat dihitung menggunakan analisis probit atau dihitung secara
matematika sesuai yang tertera pada Farmakope Indonesia edisi IV (Departemen
Kesehatan, 1995). Atau dapat juga diproses dengan menggunakan program
computer Finney (Mc Laughlin, 1991 ; Mayer & Gustafon, 2004). Suatu ekstrak
10
dinyatakan aktif jika memiliki lC50 < 1000 ppm dan untuk senyawa murni nilai
lC50 < 200 ppm (Mayer & Gustafon, 1982).
2.3 Metoda Penentuan LC50
Secara umum metoda penetuan LC50 ada 3 macam yaitu metoda
Farmakope Indonesia, metoda kurva dan metoda Finney. Ketiga metoda ini
berdasarkan pengukuran persentase individu yang kisaran konsentrasi tertentu
(Mc Laughin, 1991; Depertemen Kesehatan, 1995).
2.3.1 Metode Farmakope Indonesia
LC50 dihitung secara matematika sesuai yang tertera pada pada Farmakope
Indonesia edisi IV dengan rumus yaitu:
m = a-b ( ∑pi-0,5 )
Dimana:
m = log LC50
a = log konsentrasi terendah yang masih menyebabkan kematian 100% pada
hewan percobaan.
b = beda log konsentrasi yang berurutan.
Pi =Jumlah hewan yang mati setelah menerima zat dengan konsentrasi
tertentu dibagi dengan jumlah hewan seluruhnya yang menerima
konsentrasi tersebut.
11
Persyaratan untuk menggunakan metoda Farmakope Indonesia:
1. Menggunkan seri dosis atau konsentrasi dengan pengenceran kelipatan
tetap.
2. Jumlah hewan dalam kelompok harus sama.
3. Dosis atau konsentrasi diatur sedemikian rupa sehingga memberikan efek
dari 0% sampai 100% dan perhitungan dibatasi pada kelompok percobaan
yang memberikan efek 0% sampai 100%.
2.2.3 Metode Kurva
Metode ini dikembangkan oleh Miller dan Trainer menggunakan kertas
log probit yang didesain bagi perhitungan dosis/ respon. Garis vertikal
menyatakan nilai probit dan persentase respon, dimana nilai probit pada sisi kiri
sama dengan 3 sampai 7, sedangkan garis horizontal menyatakan
dosis/konsentrasi yang di gunakan. Plot garis lurus. Dari kurva baku dapat di
turunkan harga LC50 ( Mc Laughlin, 1991).
Table I. Nilai Probit Sesuai Persentase Kematian.
% 0 1 2 3 4 5 6 7 8 90 …. 2,674 2,946 3,119 3,249 3,355 3,445 4,524 3,595 3,65910 3,718 3,773 3,825 3,874 3,920 3,964 4,006 4,046 4,085 4,12220 4,158 4,194 4,228 4,261 4,294 4,326 4,357 4,387 4,417 4,44730 4,476 4,504 4,532 4,560 4,597 4,615 4,642 4,668 4,695 4,72140 4,747 4,773 4,798 4,824 4,849 4,900 4,925 4,950 4,950 4,97550 5,000 5,025 5,050 5,075 5,100 5,126 5,151 5,202 5,202 5,22760 5,253 5,279 5,305 5,332 5,358 5,358 5,413 5,468 5,468 5,49670 5,524 5,553 5,583 5,613 5,643 5,674 5,706 5,772 5,772 5,80680 5,842 5,878 5,915 5,954 5,994 6,036 6,080 6,175 6,175 6,22790 6,282 6,341 6,405 6,476 955 6,645 6,751 6,881 7,054 7,326- 0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9
99 7,326 7,37 7,41 7,46 7,51 7,58 7,65 7,75 7,88 8,0912
2.2.4 Metode Finney
Metode ini telah didesain sedemikian rupa dengan memasukan data dari
dosis yang di gunakan (minimal 3 dosis) kita akan memperoleh nilai LC50 ( Mc
Laughlin, 1991).
13
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Penelitian Sekolah
Tinggi Ilmu Farmasi (STIFARM) Padang selama lebih kurang 4 bulan terhitung
bulan Mei – Agustus 2012.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat yang Digunakan
Botol gelap, kertas saring, corong, erlenmeyer, seperangkat alat Rotary
Evaporator (IKA®), gelas ukur, plat tetes, tabung reaksi, spatel, pipet tetes, corong
pisah, timbangan analitik, vial, wadah pembiakan larva, airasi (pembentuk
gelembung udara), dan pipet mikro ( Hamilton® ).
3.2.2 Bahan yang Digunakan
Empat belas jenis spon laut, metanol, aquadest, kloroform, besi (III)
klorida, norit, asam asetat anhidrat, asam sulfat pekat, asam sulfat 2 N, asam
klorida pekat, amoniak, pereaksi Mayer, pereaksi Dragendorff, n-heksan, etil
asetat, butanol, air laut, dan dimetilsulfoksida (DMSO).
3.2.3 Hewan Percobaan
Hewan percobaan yang digunakan adalah larva Artemia salina L. Telur
Artemia salina L. Sebelumya dibiarkan terlebih dahulu di dalam wadah biak yang
berisi air laut yang dilengkapi airasi dan cahaya. Untuk penetasan sebaiknya pH 14
larutan berada pada kisaran 7,5-8,5. Sedangkan temperatur untuk penetasan larva
berkisar antara 25-300C. Kemudian dibiarkan selama 48 jam sehingga terbentuk
larva Artemia salina L.
3.3 Prosedur Kerja
3.3.1 Pengambilan dan Identifikasi Sampel Spon Laut
14 jenis spon laut yang dikoleksi dari perairan pulau Pasir kelurahan Nan
Tigo, kecamatan Koto Tangah dan Pulau Tangah Pantai Tiku, Sumatera Barat
dengan kedalaman 4-8 m. Spon dimasukkan ke dalam plastik dan diberi metanol
hingga semua bahagian terendam. Setelah dibawa ke laboratorium, spon
dipotong-potong, lalu dimasukkan ke dalam botol gelap dan dimaserasi dengan
metanol di dalam wadah tertutup rapat dan terlindung dari cahaya matahari.
Untuk identifikasi mengenai klasifikasi dari spon tersebut, sebagian
sampel dikirim ke Belanda dan diidentifikasi oleh Dr. Nicole J. de Voogd di
Museum Zoologi Amsterdam, Belanda.
3.3.2 Ekstraksi
Sampel segar (spon) dirajang kemudian dimaserasi dengan metanol sampai
terendam masing-masingnya selama 3x5 hari dan disaring dengan kertas saring.
Maserat kemudian diuapkan in vacuo dengan Rotary evaporator sampai terbentuk
ekstrak kental. Kemudian ditimbang dan didapatkan berat ekstrak kental.
15
III.3.3 Pembuatan Pereaksi (Tarmizi & Naim, 1993)
1. Pereaksi Mayer
Ditimbang sebanyak 1,35 g HgCl2 dan KI sebanyak 5 g dilarutkan dengan
aquadest dalam labu ukur 1000 mL, cukupkan dengan aquadest sampai tanda
batas, homogenkan.
2. Pereaksi Dragendorff
Larutan A: ditimbang sebanyak 4 g Bi(NO3). 5H2O kemudian dilarutkan
dengan asam nitrat sampai 10 mL. Larutan B: ditimbang 13,6 g KI kemudian
dilarutkan dengan aquadest sampai 25 mL. Larutan A dan B dicampurkan dan
didiamkan sampai memisah. Ambillah cairan jernih (orange), dilarutkan dalam
aquadest sampai 50 mL.
3. Pereaksi FeCl3
Ditimbang sebanyak 1 g FeCl3.6H2O, dilarutkan dengan aquadest dalam
labu ukur 100 mL, cukupkan dengan aquadest sampai tanda batas, homogenkan.
4. Ammoniak 0,05 N
Ammoniak 0,05 N dibuat dengan cara pengenceran yaitu dengan cara
memipet sebanyak 0,4 mL ammoniak pekat. Dimasukkan ke dalam labu ukur,
ditambahkan aquadest dan dihomogenkan. Kemudian volume dicukupkan hingga
100 mL.
16
5. H2SO4 2N
H2SO4 2N dibuat dengan cara pengenceran yaitu dengan cara memipet
sebanyak 1,5 mL H2SO4 pekat. Dimasukkan ke dalam labu ukur yang sebelumnya
telah diisi dengan sedikit aquadest. Ditambahkan sedikit aquadest dan
dihomogenkan. Kemudian volume dicukupkan hingga 25 mL.
3.3.4 Pemeriksaan Pendahuluan Kandungan Kimia ( Harbone, 1987)
Pemeriksaan terhadap kandungan metabolit sekunder dilakukan terhadap
ekstrak kental dan fraksi, dimana ditambahkan air suling dan kloroforom sama
banyak (1:1), lalu dikocok kuat dan dibiarkan sampai terbentuk dua lapisan.
Lapisan air digunakan untuk uji senyawa fenolik dan sponin. Lapisan kloroforom
digunakan untuk uji senyawa terpenoid, steroid dan alkaloid.
a. Identifikasi Fenolik
Beberapa tetes lapisan air pada plat tetes ditambah 1-2 tetes larutan besi
(III) klorida 1%. Bila terbentuk warna hijau sampai biru, berarti terdapat senyawa
fenolik.
b. Identifikasi Saponin
Identifikasi saponin dilakukan dengan mengocok lapisan air dalam tabung
reaksi, bila terbentuk busa yang tahan selama ± 10 menit berarti positif adanya
saponin.
17
c. Identifikasi Terpenoid dan Steroid
Lapisan kloroforom disaring melalui pipet yang berisi norit. Hasil saringan
dipipet 2-3 tetes dan dibiarkan mengering pada plat tetes. Setelah kering
ditambahkan pereaksi Lieberman-Burchad (2 tetes asam asetat anhidrat dan 1
tetes asam sulfat pekat). Terbentuknya warna merah / merah jambu / violet berarti
positif terpenoid, sedangkan jika berwarna hijau atau biru berarti positif adanya
steroid.
d. Identifikasi Alkaloid
Beberapa tetes lapisan kloroform lalu ditambahkan amoniak 0,05 N,
dikocok, diamkan hingga terjadi pemisahan lapisan, diambil lapisan kloroform
ditambahkan beberapa tetes asam sulfat 2N, dikocok kuat, kemudian didiamkan
hingga terjadi pemisahan. Lapisan asam diambil dan ditambahkan 1-2 tetes
pereaksi Mayer atau pereaksi Dragendorff, jika terbentuk endapan putih dengan
pereaksi Mayer atau warna jingga dengan pereaksi Dragendorff menunjukkan
hasil yang positif untuk alkaloid.
3.3.5 Pengujian Aktifitas Sitotoksik Ekstrak Kental dengan Metoda Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)
Pengujian pendahuluan terhadap aktifitas ekstrak kental metanol sampel di
lakukan sebagai berikut: ekstrak kental ditimbang sebanyak 30 mg, kemudian
dilarutkan dalam 3 mL metanol dan ini merupakan larutan induk sampel.
Pengujian dilakukan dengan cara 3 variasi konsentrasi yaitu 1000, 100, dan 10
18
ppm, dan setiap konsentrasi dibuat rangkap 3. Larutan uji disiapkan dengan
memipet masing-masing 500, 50 dan 5 µL dari larutan induk, setelah itu larutan
uji dimasukan ke dalam desikator sampai semua pelarutnya menguap. Sebagai
kontrol disiapkan 3 vial yang hanya diisi 50 µL larutan DMSO, ekstrak yang
sudah kering dari masing-masing vial dilarutkan dengan 50 µL DMSO, kemudian
ditambahkan air laut 2 mL. Sebanyak 10 ekor larva udang dimasukan ke dalam
vial tersebut, kemudian volume dicukupkan 5 mL dengan air laut. JumLah larva
yang hidup dihitung setelah 24 jam, maka dapat diketahui jumLah larva yang
mati, nilai LC50 dihitung dengan menggunakan metoda kurva, selanjutanya ekstrak
yang menunjukan aktifitas sitotoksik difraksinasi.
3.3.6 Fraksinasi
Ekstrak kental metanol difraksinasi dalam corong pisah, dengan
menambahkan air dan n-heksan (1:2), kemudian dikocok dan dibiarkan sehingga
terbentuk 2 lapisan, yaitu lapisan n-heksan dan lapisan air, lapisan n-heksan
dipisahkan dari air. Kemudian fraksi n-heksan diuapkan dengan Rotary
evaporator dan didapatkan fraksi kental n-heksan. Kemudian ditimbang dan
didapatkan berat fraksi n-heksan.
Fraksi air selanjutnya difraksinasi dengan etil asetat, kemudian dikocok
dan dibiarkan sehingga terbentuk 2 lapisan, yaitu lapisan etil asetat dan lapisan
air. Fraksi etil asetat diuapkan dengan Rotary Evaporator dan didapatkan fraksi
kental etil asetat. Kemudian ditimbang dan didapatkan berat fraksi etil asetat.
19
Fraksi air selanjutnya difraksinasi dengan butanol, kemudian dikocok dan
dibiarkan sehingga terbentuk 2 lapisan, yaitu lapisan butanol dan lapisan air.
Fraksi butanol diuapkan dengan Rotary Evaporator dan didapatkan fraksi kental
butanol. Kemudian ditimbang dan didapatkan berat fraksi butanol.
3.3.7 Uji Aktifitas Sitotoksik Fraksi
Fraksi kental ditimbang sebanyak 30 mg, kemudian dilarutkan dalam 3
mL metanol dan ini merupakan larutan induk sampel (10.000 ppm). Pengujian
dilakukan dengan cara 3 variasi konsetrasi yaitu 1000, 100, dan 10 ppm, dan
setiap konsentrasi dibuat rangkap 3. Larutan uji dibuat dengan memipet masing-
masing 500, 50, dan 5 µL dari larutan induk sampel, setelah itu larutan uji
dimasukan dalam desikator sampai semua pelarutnya menguap. Sebagai kontrol
disiapkan 3 vial yang hanya diisi 50 µL larutan DMSO. Fraksi yang sudah kering
dari masing-masing vial dilarutkan dengan 50 µL DMSO, kemudian ditambahkan
air laut 2 mL. Sebanyak 10 larva udang dimasukan kedalam vial tersebut dan
kemudian volumenya dicukupkan 5 mL dengan air laut. Jumlah larva yang hidup
di hitung setelah 24 jam, maka dapat diketahui jumLah larva yang mati, nilai LC50
dihitung dengan menggunkan metoda kurva.
20
top related