proposal ful
Post on 29-Jun-2015
383 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PROPOSAL PENELITIAN
PENERAPAN ASAS PEMBALIKAN BEBAN BUKTI DALAM TINDAK
PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS PENGADILAN NEGERI
BUKITTINGGI)
1.1. Latar Belakang Masalah
Sejarah perkembangan kehidupan manusia jenis kejahatan tidaklah tetap.
Pada suatu waktu timbul jenis kejahatan baru yang sebelumnya tidak dikenal
orang. Para sarjana kriminologi selalu menyadari bahwa kejahatan dalam
pandangan sosiologis akan kelihatan lebih realistis dibandingkan dengan
pandangan yuridis yang kaku dan statis1.
Semakin majunya perkembangan dunia dewasa ini baik dalam ilmu
pengetahuan maupun teknologi akan membawa dampak yang tidak saja bernilai
positif tetapi juga negatif, dan hal ini pun diikuti dengan bertambahnya kejahatan-
kejahatan yang terjadi. Paul A. Samuelson berpendapat bahwa “Kepentingan atau
kebutuhan manusia pada dasarnya tidak terbatas, sedangkan alat untuk memenuhi
kepentingan atau kebutuhan itu sangat terbatas, sehingga manusia cenderung
untuk selalu berusaha apa yang diperlukannya itu2.
Tindak pidana korupsi, merupakan jenis tindak pidana yang berkembang
pesat sejalan dengan semakin gencarnya pelaksanaan transaksi ekonomi baik
dalam tatanan mikro maupun makro, yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi,
yang pada dasarnya pelaku ekonomi itu adalah semua lapisan masyarakat. Setiap
transaksi ekonomi yang melibatkan pemindahan atau penyerahan kepemilikan
1 ?. Sudarto, Kapita Selekata Hukum Pidana, Alumni bandung, 1981, hlm 12 ? W. A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, Pustaka Sarjana, Jakarta, 1983, hal 9
atau kegunaan atas barang baik bergerak maupun tidak bergerak umumnya rentan
akan korupsi3..
Korupsi merupakan suatu momok bagi setiap negara di dunia. Korupsi
yang telah mengakar dengan demikian kuatnya akan membawa konsekuensi
terhambatnya pembangunan di suatu negara. Sehingga gaung pemberantasan
korupsi semakin bergema di seluruh dunia. Indonesia sebagai salah satu negara
dengan peringkat korupsi teratas, ikut serta dalam langkah tersebut dengan
memperkuat perangkat hukum yang ada untuk memberantas korupsi.4
Didasarkan TAP MPR No. IX/1998, Dewan Perwakilan Rakyat telah
menetapkan serangkaian undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi
yaitu: Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, dan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Peran aparat penegak hukum dalam hal ini sangatlah menentukan demi
terwujudnya keadilan dan mengurangi angka kejahatan termasuk kejahatan tindak
pidana korupsi. Tugas ini tidak hanya terletak di pihak kepolisian yang
menangkap penjahat atau jaksa yang bertugas untuk menuntut terdakwa, tetapi
hakim juga mempunyai peran yang sangat penting. Di dalam sistem peradilan
pidana, hakimlah yang bertugas untuk memutuskan apakah seorang terdakwa
bersalah atau tidak melalui putusan yang dibuatnya. Bahkan dalam kenyataannya
sering kali nasib seorang terdakwa berada mutlak ditangan hakim. Walaupun tak
3.Ari Wahyudi Hertanto, dan Arief Nurul Wicakso, Tindak Pidana Korupsi Antara Upaya Pemberantasan dan penagakkan Hukum, www.pemantauperadilan.com, 10 Feb 2004, jam 11.10 WIB
4.Jhon Waliry, Kritisisasi Terhadap Peradilan Korupsi, MaPPI FHUI, www.pemantauperadilan.com, 10 Mei 2005
2
jarang bahwa putusan yang dihasilkan oleh para hakim mengalami sesuatu yang
dilematis, karena akan dipertanyakan mengenai sisi keadilannya dari berbagai
pihak, apakah putusan tersebut adil menurut undang-undang atau tidak, atau
apakah putusan itu adil atau tidak menurut terdakwa sendiri..
Hakim dituntut dengan segala integritas dan moral yang ia miliki agar
dapat berlaku adil kepada semua pihak, untuk itu dalam mengambil putusan
hakim harus sangat jeli dan hati-hati. Karena ada sebuah adegium, lebih baik
membebaskan 1000 orang yang bersalah daripada menghukum 1 orang yang tidak
bersalah. Demikian juga halnya dalam menjatuhkan pidana, hakim juga harus
mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang akhirnya akan menimbulkan
keyakinan dalam dirinya, apakah terdakwa akan dibebaskan atau dijatuhi hukum
yang sangat berat.
Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.”
Berdasarkan Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Nomor: 14 Tahun 1970 jo
Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 dinyatakan bahwa : “Tiada seorang jua
pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian
yang sah menurut Undang-undang, mendapat keyakinan, bahwa seseorang yang
dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan
atas dirinya”.
3
Berdasarkan Pasal 183 KUHAP dan Pasal 6 ayat (2) Undang-undang
Nomor: 14 Tahun 1970 jo Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tersebut dapat
diambil kesimpulan bahwa untuk menentukan bersalah atau tidaknya seorang
terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa, harus :
a. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya “dua alat bukti yang
sah” menurut undang-undang,
b. dan atas keterbuktian dengan setidak-tidaknya dua alat bukti yang sah,
hakim “memperoleh keyakinan” bahwa tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang benar-benar melakukannya.
Berdasarkan rumusan pasal-pasal tersebut, dapat dilihat bahwa dalam hal
pembuktian adanya unsur obyektif dan unsur subyektif. Kedua unsur ini tidak ada
yang paling dominan. Misalnya saja ditinjau dari segi cara dan dengan alat-alat
bukti yang sah menurut undang-undang, kesalahan terdakwa sudah cukup
terbukti, tetapi sekalipun sudah cukup terbukti, kalau hakim “tidak yakin” akan
kesalahan terdakwa maka terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah, dan
sebaliknya apabila hakim benar-benar yakin akan kesalahan terdakwa, tetapi hal
ini tidak didukung oleh alat-alat bukti yang sah maka hakim pun tidak dapat
menjatuhkan pidana atas diri terdakwa.
Tindak pidana korupsi adalah salah satu tindak pidana yang diatur diluar
KUHP atau disebut juga dengan tindak pidana khusus. Tindak pidana Korupsi
dewasa ini diatur dengan Undang-Undang No 31 tahun 1999 tentang
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah UU No. 31 tahun 1999 tentang
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, LN tahun 1999 No. 140 yang mulai
4
berlaku tanggal 16 Agustus 1999 sebagai pengganti UU No. 3 Tahun 1971 LNRI
tahun 1971 No. 19
UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001 inilah yang
merupakan hukum positif dan dipergunakan sebagai dasar dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi di Republik Indonesia.. Undang-Undang No 31 Tahun
1999 tersebut selain mengatur mengenai hukum pidana materil (seperti
perumusan tindak pidana korupsi dan jenis-jenis hukumannya), juga diatur
mengenai hukum pidana formilnya (seperti pengusutan, penuntutan, dan
pemeriksaan tindak pidana korupsi di muka pengadilan).
Melalui UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001
diperkenal tentang asas pembuktian terbalik. asas pembuktian terbalik ini
merupakan penyimpangan dari pembuktian dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP). Namun demikian, pembuktian terbalik tersebut masih
memiliki sifat terbatas dimana Jaksa Penuntut Umum masih diwajibkan untuk
melakukan pembuktian atas dakwaan yang diajukannya. Jadi, kedua UU tersebut
tidak semata-mata memberikan terdakwa kesempatan untuk membuktikan dirinya
tidak bersalah.
Masalah pembuktian dalam tindak pidana korupsi memang merupakan
masalah yang rumit, karena pelaku tindak pidana korupsi ini melakukan
kejahatannya yang rapi. Sulitnya pembuktian dalam perkara korupsi ini
merupakan tantangan bagi para aparat penegak hukum.
Pada pasal 37 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 sebelumnya dinyatakan
bahwa: “Dalam hal Terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan
5
tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang
menguntungkan baginya.”Sementara setelah dilakukan perubahan terhadap pasal
37 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001 maka dengan lebih tegas dinyatakan bahwa:
“Dalam hal Terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak
pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai
dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti..
Tujuan diundangkannya Undang-Undang Tindak Piana Korupsi
diharapkan dapat memenuhi dan mengantisipasi perkembangan dan kebutuhan
hukum bagi masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih
efektif setiap tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan,
perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya5
Diperkenalnya asas pembuktian terbalik. melalui UU No. 31 Tahun 1999
juncto UU No. 20 Tahun 2001 yang merupakan penyimpangan dari sistem
pembuktian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka
penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang penerapan pembalikan beban
bukti ini oleh hakim di pengadilan negeri. Untuk itu prosal penelitian ini diberi
judul” Penerapan Asas Pembalikan Beban Bukti dalam Tindak Pidana
Korupsi (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Bukittinggi)
1.2. Perumusan Masalah
5 ?. Eddy Suhartono, Perihal Ketentuan-Ketentuan Tindak Pidana Korupsi, www.pu.go.id diakses tanggal 25 Agustus 2006
6
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan
yang diteli dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut yaitu :
1. Bagaimana penerapan asas pembalikan beban bukti dalam tindak pidana
korupsi di Pengadilan negeri Bukittinggi?
2. Apa permasalahan yang ditemui dalam penerapan asas pembalikan beban
bukti dalam proses penyelesaian tindak pidana korupsi di pengadilan
Negeri?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui penerapan asas pembalikan beban bukti dalam tindak
pidana korupsi di Pengadilan Negeri Bukittinggi.
2. Untuk mengetahui pemasalahan yang ditemui dalam penerapan asas
pembalikan beban bukti dalam proses penyelesaian tindak pidana korupsi
di pengadilan Negeri
1.4. Manfaat Penelitian.
Dengan selesainya penelitian ini, diharapkan dapat bermanfaat baik dari
segi teoritis maupun dari segi praktis:
1. Dari segi teoritis, diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pidana khususnya dalam hukum tindak pidaka korupsi yang berkaitan
dengan penerapan pembalikan beban bukti dalam proses penyelesaian
perkara korupsi di pengadilan negeri.
2. Secara praktis, diharapkan dapat bermanfaat dan dijadikan sebagai bahan
bagi aparat penegak hukum, terutama oleh kejaksanaan dan hakim dalam
upaya meneylesaikan perkara korupsi.
7
1.5. Kerangka Teoritis.
Salah satu factor yang menyebabkan sulitnya mengusut tindak pidana
korupsi adalah sulitnya menemukan bukti atau membuktikan adanya tindak
pidana korupsi. Membuktikan menurut Martiman Prodjohamidjojo6 mengandung
maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa, sehingga
dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.
Sedangkan Bambang Poernomo menyatakan bahwa :“Hukum pembuktian
adalah keseluruhan aturan hukum atau peraturan undang-undang mengenai
kegiatan untuk rekonstruksi suatu kenyataan yang benar dari setiap kejadian masa
lalu yang relevan dengan persangkaan terhadap orang yang diduga melakukan
perbuatan pidana dan pengesahan setiap sarana bukti menurut ketentuan hukum
yang berlaku untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana7.
Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang
didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana. Dalam hal ini pun
hak asasi dapat dipertaruhkan. Untuk inilah maka Hukum Acara Pidana bertujuan
untuk mencari kebenaran materil berbeda dengan Hukum Acara Perdata yang
cukup puas dengan kebenaran formil.
Kebenaran dalam perkara pidana merupakan kebenaran yang disusun dan
didapatkan dari jejak, kesan, dan refleksi dan keadaan dan/atau benda yang
berdasarkan ilmu. Pengetahuan dapat berkaitan dengan kejadian masa lalu yang
diduga menjadi perbuatan pidana8.
6 ?. Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian Alat Bukti. Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983: hal. 117 ?. Bambang Poernomo, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di luar Kodifikasi Hukum Pidan, Jakarta : Bina Aksara, 1986 : hal. 388 ?. Ibid
8
Suatu pembuktian yang benar-benar sesuai dengan kebenaran tidak
mungkin dicapai. Maka Hukum Acara Pidana sebenarnya hanya menunjukkan
jalan untuk berusaha mendekati sebanyak mungkin persesuaian dengan
kebenaran. Hukum pembuktian memberi petunjuk bagaimana hakim dapat
menetapkan sesuatu hal cenderung kepada kebenaran. Dalam menilai kekuatan
pembuktian tersebut dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian, yaitu:
- Teori pembuktian yang hanya berdasarkan kepada alat-alat pembuktian
yang disebut oleh undang-undang secara positif (positief wettelijk
bewijstheorie).
Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti
yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama
sekali. Teori ini disebut juga teori pembuktian formil (formele bewijstheorie).
Teori ini berusaha menyingkirkan segala pertimbangan hakim yang
bersifat subyektif, oleh karena itu mengikat secara tegas supaya hakim hanya
tergantung pada ada atau tidak adanya sejumlah alat bukti yang formel tercantum
dalam undang-undang cukup untuk menjatuhkan putusan9.
Wirjono Prodjodikoro menolak teori ini untuk dianut di Indonesia, karena
menurutnya hakim hanya dapat menetapkan kebenaran dengan cara mengatakan
kepada keyakinannya tentang kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim
yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan
masyarakat10.
9 ?. Ibid hal. 4010 ?. Andi Hamzah, Huku Acara Pidana Indonesia, CV Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1996 hal. 159
9
- Teori pembuktian berdasar keyakinan hakim semata-mata (conviction
intime).
Teori ini maksudnya adalah jika dalam pertimbangan keputusan hakim
tela menganggap terbukti sesuatu perbuatan sesuai dengan keyakinan yang timbul
dari hati nurani seorang hakim, maka dapat dijatuhkan putusan. Sistem ini
menurut Martiman Prodjohamidjojo11 tidak dianut dalam peradilan umum ataupun
dalam KUKAP, contoh dari sistem ini dipergunakan dalam peradilan yuri.
Sedangkan menurut Wirjono Prodjodikoro sistem pembuktian demikian
pernah dianut di Indonesia yaitu pada peradilan distrik dan peradilan Kabupaten.
Sistem ini memungkinkan hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar
keyakinannya, misalnya keterangan medium atau dukun12
- Teori pembuktian berdasar keyakinan hakim dalam batas-batas tertentu
atas alasan yang logis (conviction raisonee).
Teori ini disandarkan pada keyakinan hakim atas dasar pertimbangan akal
atau menurut logika yang tepat (berendeneerde overtuiging) dan memberikan
keleluasaan kepada hakim secara bebas untuk menggunakan alat bukti yang lain.
- Teori pembuktian berdasar keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat
bukti dalam undang-undang secara negative (negatief wettelijk bewijstheori).
Dalam sistem ini ada dua hal yang merupakan syarat, yaitu :
a. wettelijk, yaitu alat-alat yang sah dan ditetapkan oleh undang-undang.
b. negatief, maksudnya dengan alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan
undang-undang saja, belum cukup untuk memaksa hakim pidana
11 ?. Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit hal. 1612 ?. Andi Hamzah, Op. cit: hal. 260
10
menganggap bukti sudah diberikan, tapi masih dibutuhkan adanya
keyakinan hakim13.
Dari keempat teori pembuktian diatas, ketentuan Hukum Acara Pidana
Indonesia mengikuti prinsip dari teori negatief wettelijk bewijstheorie. Hal ini bisa
dilihat dari ketentuan Pasal 183 KUHAP :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Berdasar ketentuan di atas, maka dalam Pasal 183 KUHAP terdapat dua
unsur, yaitu :
1. Sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah,
2. Dengan dasar alat bukti yang sah itu hakim yakin bahwa :
- Tindak pidana telah terjadi,
- Terdakwa telah bersalah.
Sehingga dengan demikian antara alat-alat bukti dan keyakinan hakim
harus ada hubungan causal (sebab-akibat). Hal tersebut sama dengan ketentuan
Pasal 294 Ayat (1) HIR yang menyatakan : “tidak seorang pun boleh dikenakan
pidana selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa
benar telah terjadi perbuatan yang dapat dipidana dan bahwa orang-orang yang
didakwa itulah yang bersalah melakukan perbuatan itu.”
Ketentuan yang sama juga telah diatur dalam pasal 6 UU No. 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman :
“Tiada seorang pun juga dapat dijatuhi pidana kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat
13 ?. Martiman Prodjohamidjojo, Op. cit. hal. 14
11
keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.”
Selain itu, asas negatief wettelijk juga tercermin dalam Pasal 189 Ayat (4)
KUHAP : “keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia
bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus
disertai dengan alat bukti yang lain,”
Sedangkan mengenai kewajiban pembuktian, atau siapa yang harus
membuktikan, menurut KUHAP adalah dibebankan kepada Penuntut Umum. Hal
ini sebagaimana diatur dalam Pasal 66 KUHAP :“Tersangka atau terdakwa tidak
dibebani kewajiban pembuktian.”
Menurut penjelasan Pasal 66 tersebut, ketentuan ini adalah penjelmaan
asas “praduga tak bersalah”, di mana mengenai asas tersebut diatur dalam
penjelasan umum butir 3 c KUHAP :“Setiap orang yang disangka, ditangkap,
ditahan,dituntut dan/atau dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib dianggap
tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya
dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Asas praduga tak bersalah ini juga telah diakui oleh dunia internasional.
Antara lain diatur dalam Pasal 14 Ayat (2) Perjanjian Internasional tentang Hak-
Hak Sipil dan Politik Tahun 1996. “Setiap orang yang dituduh melakukan
pelanggaran pidana akan berhak atas praduga tak bersalah sampai terbukti
bersalah menurut hukum.”
Sebagai komponen dasar dari hak atas suatu peradilan yang fair, asas
praduga tak bersalah antara lain berarti bahwa beban pembuktian dalam suatu
12
peradilan pidana tergantung pada penuntutan dan di tertuduh mempunyai
keuntungan sebagai orang yang diragukan14.
Selain itu dalam Pasal 14 Ayat (3) huruf g Perjanjian Internasional
tersebut dinyatakan bahwa : “Dalam penentuan tuduhan pelanggaran pidana
terhadapnya, setiap orang berhak untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian
terhadap diri sendiri atau mengaku bersalah.”. Ketentuan ini seiring disebut juga
dengan asas non self inerimination, Meskipun ketentuan ini tidak secara tegas
mengatur tentang bukti yang didapat dengan cara pemaksaan, namun telah lama
ditafsirkan baha bukti tersebut tidak dapat diterima di pengadilan. Di samping itu
diamnya tersangka atau terdakwa tidak dapat digunakan sebagai bukti untuk
menyatakan bersalah dan tidak ada konsekuensi yang negative dapat ditarik dari
pelaksanaan hak untuk diam dari seseorang tersangka15
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa asas praduga tak bersalah secara
tegas telah diatur oleh peraturan perundang-undangan, yang tidak hanya diakui di
Indonesia, tetapi juga diakui di dunia Internasional. Asas praduga tak bersalah ini
merupakan salah satu bentuk jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Penerapan asas pembuktian terbalik dalam suatu perkara pidana jelas-jelas
merupakan pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah ini. Dalam asas
pembuktian terbalik hakim berangkat dan praduga bahwa terdakwa telah bersalah
melakukan sesuatu pelanggaran hukum atau presumption of guilt. Kemudian
terdakwalah yang harus membuktikan bahwa dirinya tak bersalah, dan jika dia
tidak dapat membuktikan hal itu, maka ia dinyatakan bersalah tanpa perlu
14 ? . Lawyer Committee for Human Right, Fair Trial (Prinsip-Prinsip Peradilan yang Adil dan Tidak Memihak), Diterjemahkan oleh Ahmad Fauzan, S.H.,LLM., Jakarta : Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1997 : hal. 2315 ?. Ibid hal. 33
13
pembuktian lagi dari pihak Penuntut Umum, Bila tersangka atau terdakwa ditahan
maka hampir mustahil hal itu bisa dilakukan.
Dalam sistem pembuktian seperti tersebut diatas, tampak bahwa hak-hak
seseorang terdakwa tidak dijamin, bahkan dilanggar. Padahal dalam Pasal 183
KUHAP, sebagaimana telah dijelaskan di atas telah diatur secara tegas bahwa
“Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana kepada seseorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah
yang bersalah melakukannya.”
Asas pembuktian terbalik secara terang-terangan disimpangi, karena
Hakim dapat saja menjatuhkan putusan pidana tanpa adanya suatu alat bukti, yaitu
jika terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Jadi di sini
hanya dengan adanya keyakinan hakim sudah cukup untuk menyatakan kesalahan
terdakwa, tanpa perlu adanya alat bukti. Hal ini sama dengan sistem dalam teori
pembuktian conviction intime (pembuktian berdasar keyakinan hakim semata)
yang telah dijelaskan di atas. Hal ini tentu saja sangat merugikan terdakwa.
Menurut Luhut MP Pangaribuan16, bila sistem pembuktian terbalik ini
diterapkan maka akan membawa implikasi negatif yang luar biasa yaitu :
“Pertama, secara umum kita akan kembali pada suatu zaman yang disebut dengan
ancient regime. Pada zaman ini berkuasa The Holy Inqusition yang kemudian
dikenal dalam hukum acara pidana dengan sistem inkusitoir, tersangka dan
terdakwa menjadi objek. Sebab pengakuan merupakan alat bukti yang penting.
Kedua, dalam situasi rendahnya kapabilitas dan integritas aparatur penegak
16 ?.Luhut MP Pangaribuan, Sistem Pembuktian Terbalik, Kompas, 2 April 200, hal. 1
14
hukum dewasa ini maka sistem pembuktian terbalik bisa menjadi alat back-
mailing yang efektif untuk memperkaya diri dan bentuk penyalahgunaan
penegakan hukum yang lain. Ketiga, usaha untuk meningkatkan profesionalitas
dan integrasi penegak hukum akan menjadi tidak perlu bila sistem pembuktian
terbalik diterima. Sebab ia cukup mengandalkan perasaan maka bila orang itu
gagal narapidanalah ia. Jadi aparatur penegak hukum itu cukup sebagai debt
collector.”
Akan tetapi meskipun asas pembuktian terbalik mengandung banyak
kelemahan seperti di atas, hal ini bukan berarti asas pembuktian terbalik tidak
dapat diterapkan. Penerapan sistem pembuktian terbalik terhadap tindak pidana
korupsi ini sudah dianut di Hongkong, Malaysia, dan Singapura.
Penerapan sistem pembuktian terbaik ini menurut keterangan seorang
pejabat Independent Commision Against Corruption Hongkong cukup efektif
untuk pemberantasan tindak pidana korupsi, karena seseorang akan takut
melakukan korupsi. Sebab akan sulit baginya memberikan penjelasan yang
memuaskan tentang sumber kekayaannya kalau memang kekayaannya itu
diperoleh dengan cara yang tidak sah17.
Mengingat “merajalelanya” tindak pidana korupsi di Indonesia, maka
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang telah diamandemen dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 dengan
menerapkan pembuktian terbalik terhadap perkara korupsi..
Undang-Undang No. 31 1999 memang telah diatur mengenai pembuktian
terbalik, tetapi ketentuan tersebut bersifat terbatas, artinya terdakwa berhak untuk
17 ?.Kompas, Pembuktian Terbalik, Kenapa Tidak?, 14 April 2001)
15
membuktikan, tetapi, karena Penuntut Umum tetap wajib membuktikan
dakwaannya. Setelah UU No. 31 Tahun 1999 dilakukan perubahan pembuktian
terbalik tersebut bersifat murni, di mana terdakwa wajib membuktikan bahwa ia
tidak melakukan korupsi, jika ia tidak berhasil membuktikan maka berarti ia
terbukti melakukan korupsi. Sistem ini digunakan terhadap setiap pemberian
kepada pegawai negeri (dalam arti luas) yang nilainya diatas Rp 10 juta,
sedangkan yang nilainya dibawah Rp 10 juta masih menggunakan sistem
pembuktian biasa.
Meskipun penerapan sistem pembuktian terbalik bertentangan dengan asas
praduga tak bersalah yang telah diatur dalam KUHAP, dalam hal ini berlaku asas
lex specialist derogate lex geneali. Selain itu hal ini merupakan salah satu sarana
yang dapat ditempuh untuk memberatas korupsi yang sudah mengakar di
Indonesia.
Hal ini sesuai dengan tujuan hukum menurut Jeremy Bentham dalam
bukunya Introduction to the Morals and Legislation, yaitu bahwa hukum
bertujuan untuk mewujudkan semata-mata berfaedah bagi orang. Karena apa yang
berfaedah bagi seseorang mungkin saja merugikan orang lain, maka tujuan hukum
adalah menjamin kebahagiaan sebanyak-banyaknya bagi orang sebanyak-
banyaknya18.
Penerapan pembuktian terbalik terhadap tindak pidana korupsi memang di
satu pihak akan merugikan terdakwa, karena hak-haknya kurang terlindungi,
tetapi di lain pihak hal ini akan membawa kebahagiaan atau kemanfaatan bagi
18 ?. CS.T Kansil, Op. cit : hal 44
16
banyak orang, karena dapat mengurangi tindak pidana korupsi yang telah begitu
banyak merugikan Negara.
Meskipun demikian, untuk dapat menerapkan pembuktian terbalik
terhadap tindak pidana korupsi perlu dikaji terlebih dahulu, karena menurut Topo
Santoso, dalam hal ini terdapat beberapa masalah, yaitu :
1. Bagaimana pihak kejaksaan membiasakan diri dari pola yang sebelumnya.
2. Apakah perangkat penegak hukum sudah siap dengan itu (pembuktian
terbalik), mulai dari pengacara, hakimnya, jaksa penuntut umumnya.
3. Jangan sampai pembuktian terbalik ini justru menjadi alat pemerasan baru,
dimana setiap orang dapat saja disudutkan melakukan korupsi. Dan pihak
kejaksaan tidak akan merasa bersalah dengan menuduhkan berbagai macam-
macam korupsi. Orang yang dituduh korupsi disuruh membuktikan bahwa ia
tidak melakukan korupsi, sehingga banyak sekali orang yang akan “diperas”
karena dituduh melakukan korupsi19.
Selain itu menurut Todung Mulia Lubis penerapan asas pembuktian
terbalik ini tidak mudah, karena selama ini laporan kekayaan-kekayaan “haram”
yang dia peroleh seharusnya disyaratkan laporan kekayaan pejabat sebalum
menjabat dan diumumkan kekayaannya setiap tahun, sehingga si pejabat bisa
diinvestigasi20.
1.6. Kerangka Konseptual.
1. Penegakkan hukum
19 ?.Topo Santoso, Pembuktian Terbalik Hanya Pengalihan Isu. http://www.hukumonline.com/ (5 April 2001)20 ?. T Mulia Lubis, Pembuktian Terbalik Tidak Mudah, http://www.hukumonline.com/ (5 April 2001)
17
Penegakan hukum merupakan bagian tak terpisahkan dari pembangunan
hukum dan sebagai komponen integral dari pembangunan nasional yang
dilaksanakan dalam rangka menegakkan pilar-pilar negara hukum. Tujuan yang
hendak dicapai adalah mewujudkan tujuan nasional sebagaimana terpatri dalam
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Indonesia sebagai negara hukum,
mengharuskan terwujudnya supremasi hukum. 21
Penegakan hukum dalam pengertian makro meliputi seluruh aspek
kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara, sedangkan dalam pengertian
mikro terbatas dalam proses pemeriksaan di pengadilan termasuk proses
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga pelaksanaan putusan pidana yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap22.
Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai
yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah, pandangan-pandangan yang mantap dan
mengejawantahkannya dalam sikap, tindak sebagai serangakaian penjabaran nilai
tahap akhir untuk menciptakan kedamaian pergaulan hidup23. Menurut Satjipto
Rahardjo penegakkan hukum adalah suatu proses untuk mewuijudkan keinginan-
keinginan hukum menjadi kenyataan24
Fungsi penegakan hukum meliputi fungsi represif dan preventif. Fungsi
represif mencakup kepidanaan, melakukan penuntutan dalam perkara pidana,
melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan, melakukan pengawasan
21 ?. Abdul Rahman Saleh, Penegakan Hukum Sebagai Komponen Integral Pembangunan Nasional, wacana hukum, Juni 200522 ?. Ibid 23 ?. Soekamto, Soejono, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta:1983, hlm 3.24 ?. Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, suatu tinjauan sosiologis, Sinar baru , Bandung, tt, hlm 24.
18
terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat, melengkapi berkas perkara
tertentu, yang berasal dari penyidik Polri dan PPNS, serta keperdataan dan tata
usaha negara. Fungsi preventif berupa peningkatan kesadaran hukum masyarakat,
pengamanan kebijakan penegakan hukum, pengamanan peredaran barang
cetakan, pengawasan aliran kepercayaan, pencegahan penyalahgunaan dan/atau
penodaan agama, penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal25.
Hakekat deskripsi di atas, memperlihatkan bahwa fungsi penegakan
hukum dalam proses penegakan hukum mengacu kepada beberapa tujuan hukum
di atas yang dikonkritkan dalam hukum positif, maka dapat dikata bahwa
penegakan hukum menjadi suatu badan yang berorientasi pada pencapaian tujuan
hukum bagi pencari keadilan, baik itu masyarakat maupun pemerintah sendiri,
yaitu kepastian hukum, keadilan, dan kesejahteraan bagi masyarakat hukum
Penegakkan hukum bukanlah merupakan suatu kegiatan yang berdiri
sedniri, melainkan mempunyai hubungan timbal balik yang erat dengan
masyarakatnya26 Karena itu tegaknya hukum ditandai oleh beberapa faktor yang
saling terkait sangat erat yaitu:
- Hukum dan aturannya sendiri. perlu adanya keserasian antara
peraturan perundang-undangan yang ada
- Fasilitas pelaksanaan hukum, diperlukan fasilitas yang
memadai sebab sering kali hukum sulit ditegakkan bahkan tak tertangani
karena fasilitas untuk menegakkannya tidak memadai ataupun tidak tersedia.
- Kesadaran dan kepastian hukum serta prilaku masyarakat
25 ?. Abdul Rahman Saleh, Op. cit.26 ?. Satjipto Rahardjo, op. cit, hlm. 30.
19
- Mental aparat penegak hukum. Pelaku hukum secara langsung
adalah polisi, jaksa, pengacara, hakim, petugas lembaga pemasyarakatan dan
sebagainya.
Penegakan hukum selain ditentukan oleh aturan-aturan hukumnya sendiri,
fasilitas, kesadaran dan kepatuhan masyarakat, juga sangat tergantung kepada
faktor Penegak Hukum secara personal. Namun meski faktor-faktor itu telah
memenuhi standar yang diperlukan untuk tegaknya hukum dengan baik, masih
diperlukan system politik demokratis yang berlaku dalam suatu negara. Pada saat
system politik tampil secara demokratis maka fungsi hukum dapat tegak dengan
baik dan penegakkan hukum menjadi lebih dimungkinkan27.
2. Penerapan asas-asas pembalikan beban bukti
Menurut kamus besar bahasa Indonesia28 “penerapan” berarti ”proses,
cara”, atau dapat juga bermakna ”pemasangan”, serta arti lainnya adalah
“pemanfaatan”, dan “mempraktekan" seperti “teori sosiologi pedesaan hendaklah
dilakukan untuk pembinaan desa transmigrasi”.
Sedangkan kata “asas” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia29 berarti
(1) “dasar” yaitu sesuatu yang menjadi tumpuan beripikir atau berpendapat.
Kemudian kata “asas” juga berarti (2) “dasar cita-cita” yang biasanya ditujukan
kepada perkumpulan atau atau organiasasi, dan (3) asas berarti “hukum dasar”.
Membuktikan menurut Martiman Prodjohamidjojo mengandung maksud
dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa, sehingga dapat
27 ?. M Rais Ahmad, Peran Manusia Dalam Penegakan Hukum Dari Perspektif Akhlak Islami. Artikel, www.wacanahukum.com 27 Maret 200528 ?.Departemen Pendidikan Nasional , Kamus Besar Bahasa Indonesi, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, 2001, hlm 118029 ?.Ibid hlm. 70.
20
diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut30. Sedangkan Bambang
Poernomo menyatakan bahwa :“Hukum pembuktian adalah keseluruhan aturan
hukum atau peraturan undang-undang mengenai kegiatan untuk rekonstruksi
suatu kenyataan yang benar dari setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan
persangkaan terhadap orang yang diduga melakukan perbuatan pidana dan
pengesahan setiap sarana bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk
kepentingan peradilan dalam perkara pidana31.
Pembalikan beban bukti atau disebut juga dengan pembuktian terbalik
(omkering van bewijslast) adalah jenis pembuktian dalam hukum pidana yang
diperkenalkan dalam UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001,
yaitu beban pembuktian yang merupakan penyimpangan dari pembuktian dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Pasal 37 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001 dengan tegas dinyatakan bahwa:
“Dalam hal Terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak
pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai
dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti32.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan penerapan asas
pembalikan beban bukti adalah suatu proses dalam upaya mencari kebanaran dari
suatu peristiwa atau kejadian yang diatur oleh peraturan perundang-undangan
30 ?. Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian Alat Bukti. Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983: hal. 1131 ?. Bambang Poernomo, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di luar Kodifikasi Hukum Pidana, Jakarta : Bina Aksara, 1986 : hal. 3832 ?. Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 20 tahun 2001, LN No. 134 tahun 2001, TLN No. 4150, ps. 37 ayat (2
21
oleh pihak yang disangka telah melakukan kesalahan, yang diberi kesampatan
untuk memberikan penjelasan bahwa ia tidak melakukan kesalahan.
1.7. Metodelogi Penelitian
1. Tipe penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
empiris, yaitu melihat ketentuan-ketentuan maupun norma-norma yang berkaitan
dengan penerapan pembalikan bukti dalam proses penyelesaian tindak pidana
korupsi di pengadilan negeri Bukittinggi yang dihubungan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Sedangkan sifat penelitian ini adalah deskripstif
yaitu menggambarkan secara rinci proses penyelesaian perkara tindak pidana
korupsi di Pengadilan Negeri Bukittinggi.
2. Kasus Penelitian
Kasus penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Bukittinggi. Kasus
penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa Pengadilan Negeri
Bukittinggi telah menyelesaikan kasus tindak pidana korupsi yang didasarkan
kepada UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2002 yang menganut sistem
pembuktian terbalik dalam menyelesaian perkara tindak pidana korupsi.
Penelitian ini untuk melihat proses pembuktian dalam kasus tindak pidana
korupsi dan proses pembuktian yang dilakukan terdakwa sendiri bahwa dan
melihat tentang penilaian hakim tentang proses pembuktian baik oleh Jaksa
ataupun oleh terdakwa sendiri.
3. Jenis data dan Sumber data.
22
Dalam penelitian ini jensi data terdiri dari data primer dan data sekunder.
Data primer diperoleh secara langsung dari responden, Ketua dan hakim
Pengadilan negeri Bukittinggi, serta dari kejaksanaan negeri Bukittinggi.
Data sekunder dalam penelitian adalah dokumen-dokumen yang berkaitan
proses penyelesaian perkara tindak pidana korupsi, peraturan perundang-
undangan seperti Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana, serta berbagai literatur lainnya yang diperoleh dari
perpustakaan (buku-buku, makalah, hasil penelitian dan sebagainya).
4. Teknik Sampling.
Oleh karena penelitian memakai rancangan studi kasus, maka teknik
pengambilan sampling dilakukan secara non-probability sampling dengan
menggunakan metode purposive sampling, yaitu pengambilan sampel dilakukan
berdasarkan kreteria tertentu dengan alasan untuk memudahkan peneliti
mendapatkan data penelitian.
Dengan demikian dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah:
1. Hakim pengadilan Negeri Bukittinggi..
2. Penuntut Umum pada kejaksanaan Negeri Bukittinggi.
3. Penasehat Hukum yang mendampingi perkara tindak pidana korupsi di
Bukittinggi.
4. terdakwa dalam perkara tindak pidana yang diteli.
Sebagai objek penelitian ini adalah Penerapan asas pembalikan beban
bukti dalam proses penyelesaian perkara tindak pidana korupsi yang terjadi di
Pengadilan Negeri Bukittinggi.
23
5. Metode dan Alat Pengmpul data.
Teknik atau metode pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini
adalah wawancara mendalam (depth interview) secara langsung responden dan
informan untuk menggali informasi sebanyak-banyaknya dengan menggunakan
intrumen berupa pedoman wawancara (interview guide) tidak terstruktur yang
telah disusun sebelumnya.
Metode pengumpulan data lainnya dalah melalui studi dokumen,
mempelajari data-data yang sudah diolah dan disusun secara sistematis lalu
dibubungkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam
penyelesaian perkara tindak pidana korupsi dengan ketentuan-ketentuan tentang
penyelesaian perkara pidana di Pengadilan Negeri.
6. Teknis Analisis data.
Data yang diperoleh data berupa data primer, dianalisis melalui beberapa
tahap. Pada tahap analisis data penelitian dilakukan bersamaan dengan proses
pengambilan data. Hal ini dilakukan mengingat pada dasarnya kedua proses
tersebut tidak saling terpisah, karena pada saat proses pengambilan data tersebut
secara tidak langsung terdapat proses analisis meskipun tidak dilakukan secara
mendalam. Analisis data yang dilakukan secara bersamaan dengan proses
pengambilan data akan dapat menentukan seberapa jauh informasi perlu ditambah
dan beberapa serta siapa lagi informan yang akan diwawancarai serta untuk
menentukan data apa yang selanjutnya perlu lebih diperdalam lagi.
Semua hasil penelitian dihubungkan dengan peraturan perundang-
undangan, konsep, maupun teori-teori yang telah dikemukakan sebelumnya.
24
Setelah itu disajikan dalam bentuk uraian yang bermuara pada kesimpulan
jawaban atas permasalahan yang telah dikemukakan.
25
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rahman Saleh, Penegakan Hukum Sebagai Komponen Integral
Pembangunan Nasional, wacana hukum, Juni 2005
Andi Hamzah, Huku Acara Pidana Indonesia, CV Sapta Artha Jaya, Jakarta,
1996
Ari Wahyudi Hertanto, dan Arief Nurul Wicakso, Tindak Pidana Korupsi Antara
Upaya Pemberantasan dan penagakkan Hukum,
www.pemantauperadilan.com, 10 Feb 2004,
Bambang Poernomo, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di luar Kodifikasi
Hukum Pidana, Jakarta : Bina Aksara, 1986
Barda Nawawi Arif, Pencegahan dan penanggulangan Kejahatan, Bahan
Ceramah Diklat Aparatur Penegak Hukum, Departemen Hukum
dan Perundang-undangan, Cinere, Jakarta, 2000 :
DepartemenPendidikan Nasional , Kamus Besar Bahasa Indonesi, Edisi Ketiga,
Balai Pustaka, 2001,
Eddy Suhartono, Perihal Ketentuan-Ketentuan Tindak Pidana Korupsi,
www.pu.go.id diakses tanggal 25 Agustus 2006
Elwi Danil, Hukum Pidana Kourpsi, Hand Out, 2004
Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Hukum Pidana, Kantor Pengacara &
Konsultan Hukum “Prof. Oemar Seni Adji, SH & Rekan” Edisi
Pertama, 2001
Jhon Waliry, Kritisisasi Terhadap Peradilan Korupsi, MaPPI FHUI,
www.pemantauperadilan.com, 10 Mei 2005
K. Wantjik Saleh, Tindak Pidana Karupsi dan Suap, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1983
Lawyer Committee for Human Right, Fair Trial (Prinsip-Prinsip Peradilan yang
Adil dan Tidak Memihak), Diterjemahkan oleh Ahmad Fauzan,
26
S.H.,LLM., Jakarta : Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia, 1997 :
Luhut MP Pangaribuan, Sistem Pembuktian Terbalik, Kompas, 2 April 200, hal.
M Rais Ahmad, Peran Manusia Dalam Penegakan Hukum Dari Perspektif
Akhlak Islami. Artikel, www.wacanahukum.com 27 Maret 2005
M Sudrajat Bassar, Hukum Pidana (Pelengkap KUHP) CV Armeco, Bandung
1983
Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian Alat Bukti. Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1983:
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, suatu tinjauan sosiologis, Sinar
baru , Bandung, tt,
Singgih, Dunia pun memerangi Korupsi, Beberapa Catatan dari Internasitinal
Anti Corruption Conference I-X dan Dokumen PBB tentang
pemberantasan Korupsi, Pusat Studi Hukum Bisnis, FH UPH
Lippo Kawaraci Tangerang, 2002
Soekamto, Soejono, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta:1983,
Sudarto, Kapita Selekata Hukum Pidana, Alumni bandung, 1981,
Syed Huusein Alatas, Sosilogi Korupsi, Jakarta, LP3ES, 1986
T Mulia Lubis, Pembuktian Terbalik Tidak Mudah, http:/www.hukumonline.com/
2001
Topo Santoso, Pembuktian Terbalik Hanya Pengalihan Isu.
http://www.hukumonline.com/ 2001
W. A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, Pustaka Sarjana, Jakarta, 1983,
27
Peraturan Perundang-undangan:
Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU
No. 20 tahun 2001, LN No. 134 tahun 2001, TLN No. 4150.
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang No. 8 tahun
1981
.
28
top related