poskolonialisme dan spiritualisme timur: upaya …
Post on 02-May-2022
6 Views
Preview:
TRANSCRIPT
POSKOLONIALISME DAN SPIRITUALISME
TIMUR: UPAYA MENUJU UNIVERSALITAS
ILMU PENGETAHUAN ERA POSMODERN
Mahmudi
Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Sumenep mahmudiganding@gmail.com
Abstrak
Saat ini kita sampai pada era baru yaitu posmodern. Lembaran ini sekaligus menutup modern dengan kekuatannya yang hegemonik yaitu berupa arus logosentrisme dari ilmu pengetahuan. Ilmu pada saat modern haruslah berparadigma positivistik. Artinya yang menjadi pijakan dalam ilmu tersebut adalah logika rasionalisme serta logika empirisme. Fakta tersebut berarti bahwa pengalaman manusia itu dijadikan sebagai tolak ukur dari ilmu pengetahuan. Hal ini berawal dari pemikir Perancis, Rene Descartes, awalnya ia meragukan secara metodis tentang sesuatu yang ada, akhirnya ia sampai pada kesimpulan bahwa yang berpikirlah yang ada dengan sebenarnya. Ia mengatakan cogito ergo sum, dengan pikirannyalah manusia dapat berpijak. Babak ini berawal sejak abad ke 15 hingga penghujung abad 20. Ini merupakan era keemasan dari modernisme. Nah hingga pada akhirnya modernisme ini digeser oleh posmodern yang mengkritiknya. Ilmu pengetahuan ternyata “melingkar”. Ia bisa berada dimana saja. Seperti juga yang diungkap oleh Derrida, sang raja dekonstruksi, bahwa segalanya adalah teks. Tak ada sesuatu di luar teks. Alam semesta merupakan teks yang selalu melingkar. Tak ada kebenaran hakiki yang ada hanyalah interpretasi. Selain itu ada bahasa oposisi biner dalam modernitas. Sesuatu itu berlawanan secara pasti; kaya-miskin, penguasa-rakyat jelata, hitam-putih, dan sebagainya. Dari itu, maka ada sebuah teori dalam posmodern yaitu poskolonialisme. Paham ini hendak mengkritik bahwa ideologi pengetahuan adalah berakar dari kekuasaan. Namun bukan demikian adanya tetapi masalah pengetahuan adalah masalah sumber mengetahui itu sendiri. Kata Kunci: Modernisme, Poskolonial, Posmodernisme
148|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 147-169
Pendahuluan
Kehidupan modern merupakan abad yang sangat mendewakan
rasionalitas. Sesuatu yang tidak bersifat rasional tidak mendapatkan
perhatian bagi mansia modern. Memang abad ini cenderung sekuler
dan materialistis, seakan-akan meninggalkan tradisi keagamaan.
Abad baru telah dibuka oleh lembaran baru yaitu Cartesian. Rene
Descarteslah yang telah membuka lembaran baru tersebut dengan
kata-kata yang didengungkannya, cogito ergo sum, I think therefore I
am (saya berpikir maka saya ada).
Dengan adanya hal itu, dunia mengalami pergeseran paradigma,
dari yang percaya mitos bergeser menjadi kepercayaan terhadap akal
manusia. Mitos telah menjadi anomali dan terjadi krisis hingga pada
akhirnya akal menjadi pusat peradaban manusia. Dunia modern
merupakan awal dari perkembangan sains dan teknologi. Pesatnya
kemajuan teknologi ditandai dengan gedung-gedung pencakar langit
dan mesin-mesin mekanik.
Tetapi saat ini abad baru telah dimulai. Modern(isme) yang
mendengung-dengungkan akal itu telah mendapatkan banyak kritik.
Nietzsche dan Heidegger lah yang telah menutupnya sekaligus
membuka lembaran baru yaitu Postmodern. Post-modern juga
dikatakan sebagai post-Cartesian yang mana menurut James, adalah
“critical modernisme”, dimulai dari Descartes dilanjutkan oleh Kant
dan Hegel.1
Abad baru yang besar ini pada akhirnya mencita-citakan sebuah
“kebudayaan universal” (universal culture), yang bisa dibangun dari
1 James L. Marsh, Modernity and its Discontents (New York: Fordham
University Press, 1992), 1.
Mahmudi, Poskolonialisme dan Spiritualisme Timur |149
unsur-unsur parokial yang mempunyai identitas material, kognitif,
dan imajinatif. Sedangkan salah satu term dari “kebudayaan
universal”, menurut Huntington, berisi tentang asumsi-asumsi, nilai-
nilai, dan doktrin dalam masyarakat.2 Karena dengan adanya
hegemoni modern yang didengung-dengungkan Barat melalui
superioritas akalnya manusia mengalami keterasingannya sendiri,
meminjam Karl Marx, sebetulnya siapakah manusia terakbar dalam
sejarah? Dalam pandangannya, merekalah yang berkerja untuk alam
semesta.
Poskolonialisme berangkat dari sebuah keprihatinan akan
pelampauan diri yang tidak mempunyai akar-akar sejarah, sehingga
tidak ada kontinuitas ataupun identitas diri yang kokoh. Maka,
kegagalan sebuah usaha konstruksi sosial atau kultural adalah
menghilangkan masa lalu. Yang lalu bukanlah untuk dilupakan atau
dikenang secara berlebih-lebihan sehingga meninabobokan, namun
kita harus bisa membuat struktur atau formasi kaidah objektif yang
diskursif terhadapnya. Dimana, struktur atau formasi ini tidak
hegemonik ataupun monolitik, namun mampu mengakomodasi
dialektika sejarah yang sering merepresi sisi-sisi yang terpinggirkan.
Imajinasi yang tenggelam, materi teks yang tersingkir, atau
pemikiran asing yang terbuang, adalah khazanah artefak yang
dokumenter, sehingga harus dilakukan upaya rekonstruksi-genealogis
dan dekonstruksi formasi-formasi yang menstrukturkannya. Akhirnya
jadilah struktur yang baru yang lebih genuine dan penuh dengan daya
hidup.
2 Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and The Remaking of
World Order, (London: Simon and Schuster Ltd, 1996), 57.
150|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 147-169
Poskolonialisme ingin membongkar persemayaman mitos-
mitos. Mitos biasanya bekerja dengan cara membuat sesuatu yang
sesungguhnya berdasar pada ideologi tertentu, kemudian lewat
perjalanan sejarah hal itu dibuat tampak dan tampil seolah-oleh
sesuatu yang alamiah, kodrati dan tak terbantahkan dalam sebuah
masyarakat. Mitos selalu mengajak kita untuk berfantasi dan inilah
yang senantiasa direproduksi kolonialisme baru, baik kolonialis lokal
maupun internasional. Poskolonialisme mengajak kita agar tidak
mudah menerima usaha pihak lain yang suka mengingatkan untuk
melestarikan sesuatu dari masa silam. Namun demikian, dengan
adanya lembaran baru modern maka diisilah dengan proyek
modernitas, modernisasi, dan modernisme.3
Bagaimanapun nostalgia yang dikonsumsi secara berlebihan
sangat membahayakan dan akan menumpulkan kesadaran kritis serta
akan melepaskan diri dari tugas yang seharusnya diemban dalam
kehidupan ini.
Terminologi poskolonial dipahami sebagai sikap dan gerakan
resisten terhadap otoritarianisme kolonialisme militer, politik dan
rezim-rezim wacana yang terus menerus dibangun oleh penguasa
kolonial. Pemaknaan ini memperlihatkan pengaruh kuat teori
(linguistik) post-strukturalisme yang kemudian dielaborasi lebih jauh
oleh tiga tokoh kritik poskolonial berpengaruh, yaitu Edward Said,
Gayatri Spivak, dan Homi Bhabha. Studi poskolonial bukan
dimaksudkan sebagai studi mengenai bekas-bekas wilayah koloni (ex-
colonies), konsep poskolonial maupun penggunaannya difokuskan
3 Mike Featherstone, Consumer Culture and Postmodernisme, (London:
Sage Publications Ltd, 1991), 2.
Mahmudi, Poskolonialisme dan Spiritualisme Timur |151
pada “analisa dan pengujian terhadap cara-cara (trik-trik) manipulatif
dalam proses budaya yang menentukan karakteristik suatu politik.
Studi poskolonial menempatkan agendanya pada wacana representasi
pengungkapan tentang bagaimana peradaban Dunia Ketiga
diproduksi (dihasilkan) melalui pengalaman kolonial. Pendekatan
poskolonial juga men-tidakstabil-kan wacana mengenai relasi “the
West and the Rest” (dunia maju-Barat dan dunia lain-yang tertinggal)
yang selama ini diasumsikan melalui kategori oposisi biner.
Negara Dunia Ketiga sebagai kesatuan poskolonial memiliki
luka atau trauma penjajahan yang terus ikut serta dalam setiap proses
pembentukan jati diri kebangsaan. Menurut Leela Gandhi, negara-
bangsa poskolonial cenderung berusaha lepas dari luka tersebut
dengan mengupayakan sebentuk diskontinuitas terhadap masa lalu
yang menyakitkan itu. Hal ini menyuburkan tumbuhnya amnesia
sejarah yang menjadikan masyarakat tercerabut dan tidak pernah bisa
kembali pada identitasnya semula, yakni identitas sebelum
mengalami penjajahan. Sedemikian besar pengaruh penjajahan,
sehingga memengaruhi pola pikir, pola penghayatan hidup serta pola
perilaku masyarakat poskolonial. Negara-bangsa yang terbentuk pun
seolah mengalami krisis identitas atau krisis percaya diri, tidak
memiliki pegangan yang jelas sehingga mudah digoyahkan dan
diombang-ambingkan oleh relasi ketergantungan.
Ketergantungan sebagai konsekuensi logis dari efek lanjutan
kolonialisme ini kita temui di dalam globalisasi. Globalisasi juga
melahirkan formasi identitas politik yang karakteristiknya dapat kita
kenali melalui praktek dan struktur “dominasi serta resistensi”.
Tetapi Soroush menganggap ideologi Islam sebagai isu sentral dalam
152|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 147-169
dunia muslim modern. Ia mendefinisikan ideologi sebagai instrumen
politik dan sosial yang biasa digunakan dalam tindakan publik.4
Kajian Teks Timur
Sebuah formasi teks yang sehat dan diskursif, harus memahami
kaidah-kaidah objektif yang berjalan dalam dirinya. Kaidah ini sering
membuat relasi-relasi yang sistemik ataupun melingkar-lingkar.
Keduanya secara konsensus sering tidak terlihat dan bersifat laten.
Namun, secara fungsional ia memperlihatkan diri melalui pengaruh
dan signifikansinya dalam fakta sosial, baik secara teoritis maupun
praktis.
Oposisi biner yang diilmiahkan oleh Edward Said dalam
bukunya “Orientalism”, cukup deskriptif dalam memaparkan proses
berjalannya kaidah relasi ini. Dengan menggunakan pisau analisa
mazhab Foucauldian, ia menemukan sebuah usaha pencitraan atau
konstruksi sosial dan kultural dari dunia Barat terhadap Timur, baik
secara imajinatif, kognitif, ataupun material.
Pada waktu itu, Timur memang belum mampu untuk
menceritakan tentang diri mereka sendiri. Sehingga, Baratlah
layaknya seorang psikiater, membantu Timur si pasiennya, untuk
menemukan dirinya yang hilang karena khazanahnya yang kaya
terepresi ke dalam ketidaksadarannya. Orang manakah yang begitu
cerdasnya bisa mengungkap imajinasi Ibnu ‘Arabi yang kaya namun
terasingkan? Layaknya seorang psikiater, Henry Corbin menganalisa
dan mengangkat sisi material, imajinasi, dan kognisi Ibnu ‘Arabi
4 John L. Esposito, Makers of Contemporary Islam (New York: Oxford
University Press, 2001), 155-156.
Mahmudi, Poskolonialisme dan Spiritualisme Timur |153
yang lama mengendap dalam tumpukan sejarah deskripsi
Spiritualisme Timur (mystic east). Disinilah, ternyata
“Kebijaksanaan Timur” belum mampu menyadari akan kekayaan
khazanahnya.
Ketika sang “psikiater” telah berhasil menelusuri, menyelami
dan mengangkat ketidaksadaran Timur ke sebuah dunia realitas, si
pasien akan terstrukturkan oleh ekses metode “hipnosa-suggestif”
yang digunakan oleh psikiater tersebut. Si pasien hanya bisa pasrah
dan tunduk akan arah-arahan sang dokter.
Demikianlah Timur dihadapan superioritas Barat. Teks Timur
sedang mengalami krisis identitas, baik subyek, materi, ataupun
intensi teks. Ada dua peradaban besar yang saling menunjukkan jati
dirinya yaitu peradaban modern Barat dan Islam.5
Studi Humanitas
Sosiologi poskolonial adalah sebuah studi kemanusiaan yang
mengarahkan dirinya ke dalam relasi-relasi dunia yang terpinggirkan.
Materi maupun bentuk studi ini banyak meramu unsur-unsur yang
sudah klasik maupun kontemporer. Ia berusaha mengangkat harkat
kemanusiaan dan bersifat emansipatoris. Humanitas yang ada dalam
studi ini tidaklah narsistik, namun ia berkaitan erat dengan ekologi
global dan habitat makhluk Tuhan yang lain. Studi poskolonial sering
dihubungkan dengan negara-negara Dunia Ketiga (third world),
dimana realitas ekonomi, politik, ataupun budayanya mengalami
keterpinggiran. Ada dua paradigma teori besar yang menjelaskan
5 Arnold J. Toynbee, Civilization on Trial (New York: Oxford University
Press, 1948), 186.
154|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 147-169
bagaimana keterpinggiran ini terjadi. Yaitu, teori modernisasi dan
teori ketergantungan.
Yang pertama adalah teori modernisasi, dimana yang
dinamakan peradaban Barat adalah sebuah tahap kebudayaan maju
yang mesti dilalui oleh negara-negara lain. Kebudayaan universal ini
dihasilkan oleh semangat dari dalam manusia yang beradab- dalam
kategori Weberian dan Norbert Elias- contoh studi klasik itu adalah
pada Philosophy of History dari Hegel, Protestan Ethic dari Weber,
atau Rise of Capitalism-nya R.H. Tawney, dan studi-studi klasik ini
telah berkembang menjadi mazhab ekonomi-politik ketika para
sarjana modernis dari Harry S. Truman mulai menganalisa sisi Dunia
Timur sebagai sebuah proyek modernitas. Kita telah mengenal studi
korelasi antara “kemakmuran ekonomi dan demokrasinya” Lipset,
atau Passing of Traditional Society-nya Learner. Dan yang tidak
kalah penting adalah teori Take Off-nya W.W. Rostow.
Yang kedua adalah teori tentang ketergantungan pada sistem
dunia. Teori ini memang sarat akan uraian-uraian ekonomi yang
melingkar. Diantaranya, Dependencists Theory dari A.G. Frank, The
World System ala Wallersten, atau Asian Drama milik Gunnar
Myrdal. Semua studi ini bisa ditelusuri asal-asulnya pada aliran
Marxian yang emansipatoris, yang melihat sisi realitas dari oposisi
biner, kaya-miskin, borjuis-proletar, pusat pinggiran, dan sebagainya.
Teori peradaban, bisa dikatakan demikian, untuk
mengidentikkan paradigma teori-teori modernisasi, secara fungsional
lebih bisa menjelaskan kenapa bentuk produksi teks Dunia Timur
(mode of text production), tidak bisa menggambarkan diri mereka
sendiri dalam analisis fakta sosial, malahan melarutkan dirinya dalam
Mahmudi, Poskolonialisme dan Spiritualisme Timur |155
keterpurukan ekonomi-politik, ataupun budaya. Five stage Economic
Growth-nya Rostow, jelas berparadigma historis, sehingga usaha
pertumbuhan ekonomi yang melompat secara ahistoris dari akar-akar
identitas ekonomi-genealogis, mengakibatkan tercerabutnya akar-
akar ekonomi sejarah yang fundamental. Hal tersebut memunculkan
ruang kosong yang menggelembung, yang kemudian suatu waktu
meledak secara eksplotif ketika terjadi sebuah malaise atau
disfungionalitas sistem.
Akar-akar identitas sejarah lokal, dibangun oleh individu-
individu daerah yang membentuk komunitas-komunitas permanen
maupun kontraktual. Mereka mempunyai modal semangat dan
strategi kebudayaan yang masih genuine dan orisinil. Hanya saja,
ketika terjadi penetrasi yang terlalu hegemonik dari struktur Negara
Bangsa (nation-state), sering menjadikan individu ini termistifikasi
oleh patologi modernitas yang memang, itu dimulai sejak abad 16
sampai 17 sedangkan dalam seni kebudayaan terdapat pergeseran
paradigma dalam arus modernisme tersebut.6
Karakter dan patologi modernitas, bisa ditanggulangi dengan
individuasi yang integral dan holistik. Demistifikasi kesadaran dalam
penyejarahan individu yang lahir dalam realitas sosial merupakan
langkah awal dekonstruksi identitas diri yang historis. Kembalinya
individu pada sejarah aslinya, atau dalam bahasa Rousseau, kembali
pada alam, yaitu dunia yang dulu tercerabut kekhasannya, merupakan
usaha pembersihan diri. Merekonstruksi masa lampau yang diskursif,
yaitu bagaimana sejarah asli berinteraksi secara dialektis dan rasional
6 Barry Smart, Modern Conditions, Postmodern Controversies (London and
New York: Routledge, 1992), 150.
156|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 147-169
dengan Kebudayaan Universal dari luar dirinya. Individu yang sehat,
terbuka, dan mempunyai identitas sejarah yang kokoh, merupakan
modal terpenting bagi munculnya peradaban kosmopolit. Dan
pergerakan sosial itu membutuhkan uang dalam segala hal.7
Kebijaksanaan Timur
Poskolonialisme yang mengembangkan visi kritis,
transformatif, dan emansipatoris, belum berdiri kokoh tanpa ditopang
oleh individuasi yang utuh dan penuh kebijaksanaan. Menciptakan
sebuah sistem tanpa mau memperhatikan siapakah yang akan
menjalankan sistem tersebut sama saja dengan mustahil dan absurd.
Sistem tidak akan mempunyai ruh kalau hanya bentuk saja tanpa
adanya individu-individu yang arif dan tegas. Kebijaksanaan Timur
(oriental wisdom) mengisi akan tugas ini. Ia diramu dari “akar-akar
hati semesta” ke-Timuran yang ingin menyejarah tanpa kehilangan
identitas diri. Bukankah Agama-agama dunia berasal dari Timur?
Timur adalah sumber agama-agama dunia (source of world religion).
Kebijaksanaan Timur adalah milik individu-individu yang
berpengatahuan mendalam dan pemegang kekuasaan yang adil
(fairness power).
Kebijaksanaan Timur berkaitan erat dengan inti Spiritualisme
Universal yang lintas agama, yaitu daya hidup (elan vital). Manusia
dinamis yang digambarkan oleh Bergson, adalah manusia religius
yang memiliki daya semangat hidup tinggi. Salah satu spiritualisme
tertinggi adalah kebijaksanaan untuk menghargai kehidupan. Ia bisa
7 James L. Wood, Social Movements: Development, Participation, and
Dynamics, (California: Wadsworth Publishing Company, 1982), 186.
Mahmudi, Poskolonialisme dan Spiritualisme Timur |157
menghidupkan dan meramaikan semesta dengan kebajikan. Individu
yang mempunyai semgangat dan daya hidup tinggi, dapat
mengakselerasikan seluruh potensi-potensi sejarah manusia yang ada
sebelumnya. Ia mempunyai “arketipe” kemanusiaan dari alam. Elan
vital ini diabdikan untuk menghidupi semesta. Ia merupakan energi
kosmis yang diselubungi ketidaksadaran. Individu ini menganggap
seluruh organ alam adalah hidup dan mempunyai jiwa-jiwa damai.
Kebijaksanaan Timur diciptakan dari anugerah alam. Karena
alam ini distrukturkan oleh ruang semesta, yaitu waktu, maka “jiwa
kebijaksanaan timur” selalu berpindah-pindah dari waktu ke waktu.
Ia menelusuri rentang sejarah dan memasuki individu-individu yang
mau menyedekahkan hatinya untuk semesta, yaitu orang yang cinta
akan kebajikan universal, kepada manusia, hewan, tumbuhan, dan
benda-benda lainnya. Ia adalah sahabat alam dan mempunyai “hati
semesta”.
Studi Wong Cilik (Subaltern Studies)
Benda-benda penghias kehidupan manusia, ternyata lebih kuat
mempengaruhi dan mengkooptasi kesadaran manusia, dari pada
manusia itu sendiri yang mengolah, memanfaatkannya, dan
melestarikannya. Studi wong cilik adalah keharusan yang layak
dimiliki para akademisi kita yang sombong akan keberadaannya dan
tidak mau menyejarah secara material ataupun imajinasinya dengan
kawulo alit, dimana mereka telah mengalami "mistifikasi kesadaran".
Kesombongan itu terwujud dalam bentuk gengsi berkelas dan
keengganan untuk menyedekahkan hati dan jiwanya bagi penderitaan
mereka. Marx menyebutnya, "pekerja semesta". Para kaum elit
158|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 147-169
"intelektual" lebih menidurkan diri oleh ranjang mereka yang hangat
dan perut yang dimanjakan prestasi kerja. Mereka terkungkung oleh
dunia intelektual mereka sendiri. Studi wong cilik lebih berpusat
pada psikologi yang hermeneutis.
Memang, membangun formasi sebuah peradaban sering
mengorbankan kehidupan manusia. Bagaimana Borobudur terbangun
dengan peras keringat kuli-kuli miskin, atau Piramida Mesir yang
menelan ribuan darah kaum papa, telah tercatat dalam lembaran
sejarah yang terpinggir dan tak terpikirkan. Kini, modernitas pun
telah menjadi lintah yang membutuhkan sesajen manusia, sehingga
Berger menyebutnya “Pyramid of Sacrifice”. Parameter peradaban
yang maju bukanlah hanya dilihat dari “proyek mercusuarnya” saja,
namun yang lebih penting dari itu, yaitu “pemanusiaan manusia”
bersama alam yang terjaga keseimbangan dan kontinuitasnya dalam
sejarah. Sejarah tak akan bisa berbalik, dan akan tetap melaju pelan
namun pasti. Alam adalah anugerah bagi penghuninya tanpa adanya
dominasi, penguasaan pribadi, atau pemilikan yang bersifat
pengelompokan. Salah satu yang penting dalam masyarakat adalah
kesejahteraan individu. Dalam masyarakat yang memiliki
kepentingan-kepentingan tergantung dari posisi mereka dalam
produksi. Kelas sosial masyarakat menentukan kesejahteraan dalam
ekonominya.8
Negara investasi sosial harus mengarahkan dirinya demi
kebebasan akan kesempatan dan keadilan atas perbedaan. Di
dalamnya ada sebuah kompetisi yang fair, tidak ada dominasi, dan
8 Ralf Dahrendorf, Class and Class Conflict in Industrial Society (USA:
Stanford University Press, 1959), 12.
Mahmudi, Poskolonialisme dan Spiritualisme Timur |159
membagi secara adil bagi mereka yang memiliki potensi dan
kecakapan berbeda. Rawls menyebutnya, principle of greatest equal
liberty dan principle of differnce.
Ketika sebuah negara bermodelkan “nation-state” dikuasai,
dihiasi, dan diatur oleh prinsip “sirkulasi elit”, tentu terjadilah
ketidakadilan secara politis maupun ekonomi bagi seluruh warganya.
Mosca menyebutnya kelas pengatur. Kelas pengatur percaya akan
paradigma demokrasi mayoritas, bahwa masyarakat adalah bodoh dan
meyebalkan. Sehingga mendeklarasikan diri, bahwa merekalah orang-
orang bijak, berpengetahuan, dan berkesadaran tinggi. Hal ini
mendapatkan kekuatan penyokong dari kaum menengah (middle
class), yaitu organisasi-organisasi sosial berbasiskan agama dan
ekonomi. Akhirnya, terjadilah apa yang dinamakan Michels hukum
besi oligarki. Singkatnya, demokrasi adalah kebodohan, kebusukan,
dan kebebalan.
Sejarah telah banyak mengungkapakan kepada kita, bagaimana
proses cerita munculnya perubahan-perubahan besar di belahan Timur
maupun Barat, yang digerakkan oleh pemikir-pemikir alienatif atau
segelintir orang yang berparadigmakan penderitaan masyarakat
bawah (subaltern society).
Mereka bukanlah orang yang melakukan "mistifikasi
kesadaran" dengan indoktrinasi yang agitatif atau provokatif, namun
mereka melakukan sesbuah pembelajaran yang mendewasakan diri
masyarakat dan dunia. Rata-rata, mereka adalah pemikir-pemikir
besar penentu gerak zaman, yang dianugerahi oleh alam, potensi-
potensi unik dan berkepribadian yang lain dari biasanya. Ketika kaum
subaltern, didefinisikan sebagai "civil society" yang pesakitan dan
160|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 147-169
"uncivilized", tentu mereka membutuhkan "dokter" yang bisa meraba
bagian mana yang mereka anggap sakit. Namun, dokter terbaik
adalah diri sendiri.
Studi wong cilik merupakan analisa diri (self-analysis) para
akademisi terhadap daya-daya potensial mereka selama ini yang
terpinggirkan oleh arus besar kesadaran mistifikasi yang dilazimkan
dan pemikiran-pemikiran yang terasingkan, karena tak bisa dipikirkan
atau tak sempat terpikirkan sama sekali.
Sosiologi mempertanyakan persoalan sosial yang muncul
sebagai akibat dari kolonialisme. Pengembalian sosilogi kepada
publik dalam kerangka poskolonialisme, adalah mengembalikan
fungsi sosiologi untuk membela subaltern. Sosiologi bertugas
membebaskan mereka yang lemah dan terpinggirkan. Dalam teori
sosial, setiap organisme yang berevolusi memiliki fungsinya masing-
masing dalam kehidupan dasn itu sudah terstruktur dalam kenyataan
itu sendiri.9
Arketipe, sebagaimana didefinsikan oleh Jung, adalah pola
dasar yang menggambarkan proses-proses ketidaksadaran manusia
dari alur sejarah manusia awal sampai kini. Dimana, imajinasi dan
kognisi manusia adalah bagian penting dari ketidaksadaran tersebut.
Keduanya sambung-menyambung membentuk mata rantai sejarah
dan susun menyusun layaknya kerangka manusia universal yang
dapat diputar dan direkonstruksi secara arkeologis ataupun
geneologis.
9 Percy S. Cohen, Modern Social Theory (London: Heinemann Educational
Books Ltd, 1968), 34-35.
Mahmudi, Poskolonialisme dan Spiritualisme Timur |161
Manusia dewasa yang otonom dan melampaui zamannya adalah
tanda adanya arketipe ini. Karena elan vital diatas berdaya fluktuatif,
tentu spirit kemanusiaanlah yang menjadi basis fundamental bagi
segala usaha pemberdayaan diri (self-empowerment). Spirit
kemanusiaan selalu mengarahkan diri secara kognitif maupun
material, langsung dengan penderitaan masyarakat dan dunia. Pekerja
semesta adalah kuli bangsa. Namun, di punggungnya lah bangsa besar
dilahirkan.
Manusia intelektual yang bergelut dengan keilmuan-keilmuan
empiris hegemonik, tidak akan mencampurkan identitas dirinya
sendiri dengan watak yang lain. Artinya, belenggu sirkulasi elit bisa
diputuskan dengan memunculkan elit yang dipungut dari anak kaum
subaltern yang tahu arketipe dirinya dan mampu menjaga tapal batas
eksistensi kesadarannya secara tegas.
Postmodern: Globalisasi Dan Glokalisasi
Kenyataan simbol merupakan permainan modifikasi. Seperti
yang diungkap oleh Baudrillard sebagaimana juga dikutip oleh
Muzakki, bahwa simbol saat ini telah menjadi “raja”. Ia adalah
pengatur segala urusan dalam dunia ini melalui komoditas simbol.10
Kita bisa melihat Mcdonalisasi, misalnya, ia telah membumi dan
dimana-mana kita bisa melihat dan menikmatinya. Hal itu merupakan
bahasa lain dari imperialisme kultural dimana Amerikalah yang
menjadi dominan. Kita sebut globalisasi tersebut dengan
Amerikanisasi. Mcdonald hanya sedikit contoh dari simbol kaum
10 Akh. Muzakki, “Islamisme dan Politisasi Agama Model PKS dalam Pilpres
2009”, Jurnal Islamica, Volume 5, Nomor 1 (September 2010), 73.
162|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 147-169
hedonis, yang telah berubah. Banyak aspek lain selain itu. Namun
semuanya mengacu pada satu hal yang mendasar dalam kehidupan
umat manusia, yakni gaya hidup itu sendiri.
Posmodernisme adalah wacana kesadaran yang mencoba
mempertanyakan kembali batas-batas, milik dan realisasi asumsi-
asumsi modernisme. Kegairahan untuk meperluas cakrawala estetika,
tanda dan kode seni modern. Wacana kebudayaan yang ditandai
dengan kejayaan kapitalisme, penyebaran informasi dan teknologi
secara masssif, meledaknya konsumerisme, lahirnya realitas semu,
dunia hiper-realits dan simulasi, serta tumbangnya nilai guna dan
nilai tukar oleh tanda dan nilai simbol. Dan serangkaian kesadaran
dan keyakinan ini mencakup berbagai bidang kehidupaan.
Menurut Baudrillard, kebudayaan posmodern mempunyai ciri-
ciri, yaitu kebudayaaan uang sehingga uang mendapatkan peranan
penting dalam masyarakat posmodern dan bukan sebagai fungsi atau
makna uang sebagai alat tukar, tetapi sebagai simbol. Ada kesatuan
tanda dan penanda dalam hiper realitas posmodern.
Umat manusia telah terbentuk sebagaimana produk industri itu
sendiri, tak ada lagi keunikan, yang ada hanyalah kekakuan yang
seragam, Sehingga secara sadar atau tidak sadar manusia berangsur-
angsur kehilangan asas kemerdekaannya, pada itulah yang dijadikan
tumpuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Suatu iktikad
dikembangakannya ilmu pengetahuan dan teknlogi sebagai
pembebasan keterbatasan manusia, justru menghadirkan kerumitan
hidup dan kegelapan ruang spiritual. Waktu yang berjalan telah
dianggap terlampau cepat berlalu tanpa makna. Tanpa membawa
penyelesaian masalah hidup yang direncanakan. Manusia terpacu oleh
Mahmudi, Poskolonialisme dan Spiritualisme Timur |163
situasi mekanistik yang telah diciptakannya sendiri, sehingga
kehilangan waktu untuk merenungkan ayat-ayat Allah dan makna
hidup. Manusia telah kehilangan kontak dengan alam, dan oleh
karena itu kerusakan lingkungan menjadi masalah utama dalam
kehidupan modern. Manusia telah kehilangan kemampuan kontak
hubungan dengan dimensi transendentalnya. Ketika manusia telah
kehilangan orientasi tidak tahu kemana arah hidup tertuju, disinilah
manusia telah kehilangan segala-galanya.
Menjelang berakhirnya abad 20, terjadi perkembangan
pemikiran baru yang mulai meyadari bahwa manusia selama ini telah
salah dalam menjalani kehidupannya. Manusia mulai merindukan
dimensi spiritual yang "hilang" dari kehidupannya. Di dunia ilmu
pengetahuan muncul pandangan-pandangan yang menggugat
paradigma postivisme. Tokoh seperti Thomas Kuhn, dalam buku
”The Structure of Scientific Revolution” mengisyaratkan adanya
upaya pendobrakan bahwa ilmu bukanlah sesuatu yang mempunyai
kebenaran sui generis atau objektif. Kuhn menyerang paham
positivistik dan menyerang pendekatan rasionalistik, karena ilmu
pengetahuan tidak dapat terlepas dari ruang dan waktu. Ilmu
pengetahuan mempunyai kuasa mutlak. Kendati dalam masyarakat
sesorang boleh memilih agama atau tidak, tetapi ia tetap mau tidak
mau harus memilih ilmu pengetahuan. Sehingga ilmu pengetahua
tidak lagi berfungsi membebaskan manusia tetapi justru
memperbudaknya. Capra dalam buku “The Turning Point” menulis
bahwa manusia dihadapkan pada krisis global yang menyentuh
seluruh aspek kehidupan. Sedangkan perbedaan antara hubungan
tertutup dan terbuka dalaml masyarakat adalah sebuah usaha untuk
164|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 147-169
memaksimalkan keuntungan dan keanggotaan sosial di dalam
solidaritas masyarakat. Ada hubungan komunal yang diasosiasikan
dalam hubungan pedesaan (rural) dan partai politik.11
Fenomena budaya saat ini adalah budaya dominasi. Dalam hal
ini Barat telah menjadi cerminan. Ada yang mengatakan bahwa
budaya Timur merupakan “cetak biru” dari peradaban Barat. Timur
harus melalui tahap yang telah dijalani oleh Barat berupa
modernisasi. Kritikus budaya dan filsuf, Thodore Adorno dan Max
Horkheimer pernah menyinggung dengan istilah cultural industry
yang berperan penting dalam reproduksi kapitalisme sehingga
menghasilkan mass culture. Ada juga yang menyebut bahwa
meskipun sudah tidak tinggal dalam negara yang dijajah namun kita
masih berada dalam kondisi pasca penjajahan atau postcolonial
condition.12
Benturan adalah satu dari sejumlah kemungkinan yang terjadi
saat kontak antar budaya berlangsung. Bila sejarah dan peradaban
dibagi dalam term modernis dan posmodernis, kita memang bisa
melihat adanya benturan-benturan, perlawanan, resistensi bahkan
penolakan. Kebudayaan modernis memberi prioritas pada tatanan
(order), keseluruhan (totalitiy) dan kesatuan (unity) yang terobsesi
pada, “controlling, regulating dan classifying”. Hasilnya adalah
sebuah masyarakat yang tipikal berupaya menciptakan tatanan atau
ketertiban lewat pengadaan peraturan, lembaga, hukum dan kode-
kode moral. Kebudayaan yang dituliskan oleh kaum posmodernis
11 Bryan S. Turner, Status (Minneapolis: University of Minnesota Press,
1988), 24-25. 12 Stephen Slemon, “Post-colonial Critical Theories”, dalam Gregory Castle
(ed), Postcolonial Discourse: An Anthology, (Massachusetts: Blackwell, 2001), 102.
Mahmudi, Poskolonialisme dan Spiritualisme Timur |165
adalah budaya perayaan: perayaan atas kosmopolitanisme, diversitas
dan konsumsi. Dalam model pemahaman kaum posmodernis seperti
ini, memang bisa dilihat adanya benturan antara kebudayaan
modernis dengan kebudayaan posmodernis karena perbedaan persepsi
dan prioritas yang pada gilirannya menghasilkan perilaku dan
tindakan yang juga berbeda. Ilmu pengetahuan posmodern ditandai
dengan tidak adanya stabilitas dalam penelitian. Hal ini terkait
dengan legetimasi dalam ranah pengetahuan itu sendiri.13
Ada kompleksitas permainan di antara yang global dan yang
lokal. Meskipun penggunaan kedua istilah ini begitu elusif, dan
cenderung mempertentangkan dalam model oposisi biner, namun
diakui bahwa “yang global” disini mau mengacu pada daya-daya
sosial dan kultural yang identik dengan globalisasi (seperti
konsumerisme, komunikasi via satelit, industri budaya, migrasi) yang
mengalami perluasan secara spasial. Sementara, “yang local” mau
mengacu pada tradisi dan cara hidup yang berskala kecil dan terbatas
secara geografis (sepeti tradisi kesukuan, bahasa, agama). Para ahli
dalam model kedua ini melihat bahwa “yang global dan local” tidak
secara niscaya berkonlik, melainkan berkontak dan menghasilkan
sejumlah kemungkinan yang kompleks dan tidak bisa diramalkan,
seperti hibridisasi (yang lahir dari percampuran aneka macam budaya
dan gaya hidup), politik perbedaan (yang bisa dilihat sebagian reaksi
defensif terhadap globalisasi, seperti nampak dalam fundamentalisme
religius, kebangkitan cinta etnis, perjuangan penegakan hak-hak).
13 Jean Francois Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge (London: Manchester University Press, 1979), 53.
166|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 147-169
Spiritualisme Islam: Sebuah Tawaran
Menurut Seyyed Hossein Nasr, masyarakat Islam merupakan
kumpulan-kumpulan individu yang menemukan makna dan dorongan
hidup dalam eksistensinya. Masyarakat Islam didasarkan atas pribadi-
pribadinya yang terkumpul dalam sistem sosial14
Perkembangan
modern yang telah melahirkan diskriminasi dan industrialisasi buta
telah merusak struktur atau tatanan masyarakat tradisional. Itu juga
sangat berdampak sekali terhadap lingkungan. Modern bukanlah hal
yang memiliki segala kemajuan di segala lini, tetapi lebih kepada
realisasi pengembangan pribadi manusia di dalam beradaptasi di
dunia ini sesuai standar apa yang telah diberikan oleh Tuhan terlepas
di abad modern umat Islam mengalami stagnasi pemikiran atau
tidak.15
Paradigma modern yang dibangun atas premis-premis
rasionalisme, empirisme dan postivisme tidak akan mampu
menyikapi kesemestaan kehidupan karena sejak awal menolak atau
mendekonstruksi realitas yang berada di luar jangkauan indera dan
rasio manusia.16
Karena indera kita ini semua menipu. Paradigma ini
sudah barang tentu bertolak belakang dengan pandangan orang yang
beriman yang berkeyakinan bahwa realitas indrawi merupakan
derivasi dari realitas yang lebih tinggi.
14 Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in The Modern World (London
and New York: Kegan Paul Ltd, 1987), 117. 15 Muhtar Solihin, “Epistemologi Keilmuan Kontemporer dalam Perspektif
Sufistik”, Jurnal al Afkar, Edisi XIII, Tahun ke 11 (Januari-Juni, 2006), 3. 16 Karena indera kita ini semua menipu. Misal ketika melihat sedotan yang
diletakkan di air. Kelihatannya sedotan itu bengkok, namun akal kita tidak menerima
begitu saja bahwa sedotan itu betul- betul bengkok. Pada hakikatnya sedotan
tersebut lurus. Akal kita yang bilang seperti itu.
Mahmudi, Poskolonialisme dan Spiritualisme Timur |167
Pengalaman manusia modern tidaklah selalu rasional
adakalanya mereka juga mengalami pengalaman mistik yang berada
diluar jangkauan rasional manusia. Alasan manusia modern saat ini
mulai tertarik terhadap spiritual pada dasarnya ingi mencari
keseimbagnan baru dalam hidupnya, dan dalam pandangan yang agak
eksistensialis, ia ingin kembali kepada kemerkdekaan manusia yang
telah mengalami reduksioalisasi dalam kehidupan modern. Kehidupan
dengan perspektif tersebut dapat dicapai apabila manusia senantiasa
mengalami transendensi terus menerus.
Dalam proses transendensi ini, hidup kemudian tidak hanya
berhenti pada realitas yang profan (keduniawian) dalam konteks
ruang dan waktu yang amat terbatas, tetapi ditransendensikan kepada
realita yang mutlak (ultimate realitty). Keseimbangan yang sempurna
serta kemerdekaan yang hakiki, terletak dalam proses transendensi
tersebut.
Munculnya sufi modern atau neo sufisme yang diawali oleh Ibn
Taimiyah, dan yang terpenting dari neo-sufisme adalah dimensi
eksoterisnya yang menghantarkan seorang pada ekstase
keberagamaan yang menyejukkan dan memberikan kedamaian
(peaceful). Karena dimensi esoteris tidak berhenti dan terbatas pada
aktifitas keagamaan agama yang formal dan simbolik, maka efek dari
penghayatan esoterik ini akan muncul menjadi sikap hidup yang
signifikan dan fungsional. Manusia yang sudah sampai pada
penghayatan esoteris, ia menjadikan agama sebagai suatu wacana
yang terbuka, yang terlihat dialektik dengan kompleksitas kehidupan
ini.
168|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 147-169
Simpulan
Universalitas kebudayaan sangat signifikan untuk diwacanakan
saat ini. Sudah saatnya Barat tidak menghegemoni lagi dalam bentuk
wacana semacam Westernisasi, Amerikanisasi, maupun McDonalisasi
dan sebagainya. Budaya sejatinya bersifat universal di satu sisi dan
beragam di sisi yang lain. Inilah idealisme dari poskolonialisme.
Di era posmodern saat ini dimana logosentrisme telah
mengalami kritikan yang tajam terutama dari dunia Timur, maka
tawaran spiritualitas dari dunia Timur akan mendapatkan tempat
yang dominan. Hal itu akan menjadi tambahan “nutrisi” yang selama
ini seakan “terlupakan” dari “dunia” Barat yang bak menjadi
“psikiater”/dokter dari Timur yang mengalami pesakit.
Kaum intelektual atau kalangan akademisi yang elitis tidak
lagi menjadi hal yang superior dalam realita oposisi biner yang saat
ini memang hendak di lawan oleh kalangan posmodern. Kaum
subaltern atau kita sebut orang “terpinggirkan” dalam pergumulan
arus modern(isme) pada saat ini, mendapatkan “porsi” sama dalam
mencapai ilmu pengetahuan yang holistik. Meminjam Karl Marx,
siapakah pejuang semesta yang sebenarnya? Jawabannya merekalah
yang berdiri kokoh dan memikirkan tentang semesta, dalam arti tidak
hanya berpikir tetapi bekerja untuk semesta.
Daftar Pustaka
Cohen, Percy S. Modern Social Theory, London: Heinemann
Educational Books Ltd, 1968.
Dahrendorf, Ralf. Class and Class Conflict in Industrial Society,
USA: Stanford University Press, 1959.
Mahmudi, Poskolonialisme dan Spiritualisme Timur |169
Esposito, John L. Makers of Contemporary Islam, New York: Oxford
University Press, 2001
Featherstone, Mike Consumer Culture and Postmodernisme, London:
Sage Publications Ltd, 1991.
Huntington, Samuel P. The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order, London: Simon and Schuster Ltd, 1996.
Lyotard, Jean Francois. The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, London: Manchester University Press, 1979.
Marsh, James L. Modernity and its Discontents, New York: Fordham
University Press, 1992.
Muzakki, Akh. “Islamisme dan Politisasi Agama Model PKS dalam
Pilpres 2009”, Jurnal Islamica, Volume 5, Nomor 1
(September 2010).
Nasr, Hossein, Seyyed Traditional Islam in The Modern World, London and New York: Kegan Paul Ltd, 1987.
Slemon, Stephen “Post-Colonial Critical Theories”, dalam Gregory
Castle (ed), Postcolonial Discourse: An Anthology,
Massachusetts: Blackwell, 2001.
Smart, Barry. Modern Conditions, Postmodern Controversies,
London and New York: Routledge, 1992.
Solihin, Muhtar. “Epistemologi Keilmuan Kontemporer dalam
Perspektif Sufistik”, Jurnal al Afkar, Edisi XIII, Tahun ke 11
(Januari-Juni, 2006).
Toynbee, Arnold J. Civilization on Trial, New York: Oxford
University Press, 1948.
Turner, Bryan S. Status, Minneapolis: University of Minnesota Press,
1988.
Wood, James L. Social Movements: Development, Participation, and
Dynamics, California: Wadsworth Publishing Company,
1982.
top related