ponek upakesrujukan 2011(edit nova)
Post on 20-Jan-2016
527 Views
Preview:
TRANSCRIPT
0
Pelayanan Obstetri-Neonatal Emergensi Komprehensif
(PONEK)
Program, Investasi dan Impelementasinya di Rumah Sakit Provinsi/Kabupaten/Kota di Indonesia
Sejak Tahun 2007-2010
2011
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Direktorat Bina Upaya Kesehatan Rujukan
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Data tentang persalinan oleh tenaga kesehatan menurut SDKI 2007 berkisar diantara 73% hingga 80.36%. Di tingkat desa, sebagian besar persalinan masih terjadi di rumah, dengan proporsi sekitar 64% - 78%. Dengan kondisi tersebut diatas maka Indonesia masih menempati peringkat pertama untuk kematian maternal dan neonatal di lingkup negara-negara Asean. Menurut data tahun 2008 rasio kematian maternal adalah 228 per 100.000 kelahiran hidup dan rasio kematian bayi adalah 34/1000 kelahiran hidup. Trend penurunan angka kematian maternal dari tahun 1985 ke tahun 2007, menurun secara landai. Penurunan secara tajam, seharusnya terjadi pada tahun 2000 ketika Indonesia menyepakati inisiatif global “health for all by the year 2000” dalam upaya menurunkan rasio kematian maternal dari 450 menjadi 225 per 100.000 kelahiran hidup. Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki status kesehatan ibu, bayi baru lahir dan anak, baik melalui upaya akselerasi kematian ibu dan bayi (menu KIA, Dana Dekonsentrasi, Desa Siaga, Program Persiapan persalinan dan Pencegahan Komplikasi, Keluarga Berencana, dsb) maupun ratifikasi program ICPD Cairo 1997 (Safe Motherhood, Making Pregnancy Safer, District Team Problem Solving, Postabortion Care, Healthy Timing and Spacing of Pregnacy, dsb) tetapi hingga tahun 2009, indikator-indikator status kesehatan ibu, bayi baru lahir, dan anak ternyata belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan.
2. Status Saat ini Walaupun belum terjadi akselerasi perbaikan status kesehatan anak di Indonesia tetapi pada tahun 2007 angka kematian bayi tercatat sebesar 34/1.000 kelahiran hidup. Kondisi ini lebih baik apabila dibandingkan dengan kondisi tahun 1991 dimana angka kematian bayi (AKB) mencapai 68/1.000 kelahiran hidup dan 2002-2003 yang sebesar 35/1.000 kelahiran hidup. Indonesia diharapkan mampu mencapai target MDG untuk AKB. Angka kematian anak balita (AKBAL) pada tahun 1991 adalah 97/1.000 kelahiran hidup; tahun 2002/2003 menjadi 46/1.000 kelahiran hidup, dan pada tahun 2007 menjadi 44/1.000 kelahiran hidup. Status dan target untuk angka kematian neonatal, bayi dan balita serta angka kematian ibu ditampilkan pada tabel dibawah ini:
Indikator AKBal/1000 KH AKB/1000 KH AKN/1000 KH
Acuan Dasar (1991) 77 (SDKI) 68 (SDKI) 32 (SDKI)
Saat Ini (2007) 44 (SDKI) 34 (SDKI) 19 (SDKI)
Target Nasional (2014) 32 23 15 Angka Kematian Balita per 1.000 kelahiran hidup, Angka Kematian Bayi6 (AKB) per 1.000 kelahiran hidup Angka kematian neonatal per 1.000 kelahiran hidup, Target nasional (2014) ~ RPJMN 2010-2014
Tabel 1: Situasi saat ini dan target nasional angka kematian bayi
Indikator AKI/100.000 KH Linakes CPR ANC
Acuan Dasar (1991) 390 (SDKI) 40.70 (Susenas) 47,1 (SDKI) K1: 75%, K4: 56%
Saat Ini (2007) 228 (SDKI) 77,34 (Susenas) 57,4 (SDKI)
Target Nasional (2014) 102 90 65,0 Angka Kematian Ibu per 100.000 kelahiran hidup, CPR (Contraception Prevalence Rate) usia 15-49 tahun, Target nasional (2014) ~ RPJMN 2010-2014
Tabel 2: Situasi saat ini dan target nasional angka kematian ibu dan prevalensi kontrasepsi
2
Capaian angka prevalensi kontrasepsi (CPR) secara nasional masih rendah, yaitu 57,4% untuk cara modern dan 61,4% untuk semua cara (SDKI 2007). Selama periode 2003 - 2007, angka penggunaan kontrasepsi tidak menunjukkan peningkatan yang berarti terutama jika diacu pada CPR tahun 1991 – 2003 (1,1 % berbanding 3.5%). Untuk target MDG sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015, Indonesia harus bekerja lebih keras karena data SDKI 2007 menunjukkan angka kematian ibu sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup (2004-2007) karena hal itu menggambarkan penurunan AKI yang lambat yaitu 307 per 100.000 kelahiran hidup (1998-2002) dan 390 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1991.Menurut estimasi WHO, 15-20% ibu hamil tergolong sebagai risiko tinggi terhadap komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas sehingga sekitar 711.111-948.148 perempuan dan remaja putri Indonesia termasuk dalam kelompok tersebut.
Gambar 1: Trend AKI di Indonesia
Di Indonesia, sekitar 80% kematian ibu disebabkan oleh penyebab langsung obstetrik seperti perdarahan, sepsis, abortus tak aman, preeklampsia/eklampsia, dan distosia atau partus macet. Sekitar 20% akibat penyebab tak langsung, yaitu penyakit yang diperburuk oleh kehamilan atau persalinan. Meskipun sebagian besar penyebab kematian ibu dapat ditangani, namun masalah pendidikan, stigma sosial,dan keterbatasan akses terhadap pelayanan kesehatan, menyebabkan jutaan perempuan Indonesia memiliki risiko tinggi mengalami komplikasi fatal kehamilan/persalinan yang terkait dengan ketidak tahuan masyarakat terhadap tanda-tanda bahaya kehamilan/persalinan (Donnay dan Weil 2004). Persentase persalinan di fasilitas kesehatan (pemerintah dan swasta) lebih tinggi di daerah kota/ perkotaan (70,3%) dibanding di daerah perdesaan (28,9%). Ibu berpendidikan rendah lebih cenderung bersalin di rumah (81,4%) daripada ibu berpendidikan tinggi (28,2 persen). Ibu yang tidak melakukan asuhan antenatal, cenderung melahirkan di rumah (86,7%) daripada ibu yang melakukan kunjungan antenatal hingga 4 kali atau lebih (45,2 persen). Ibu dengan tingkat sosioekonomi rendah lebih banyak bersalin di rumah (84,8%) daripada ibu dengan tingkat sosio-ekonomi tinggi (15,5%). Terdapat kesenjangan yang substansial pada pemilihan tempat persalinan antarprovinsi maupun antardesa-kota. Apabila proporsi cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan, rasio persalinan di fasilitas kesehatan dengan persalinan di rumah, persentase tenaga kesehatan yang kompeten dan kemampuan fasilitas untuk memberikan pelayanan berkualitas masih seperti kondisi sekarang ini, tampaknya upaya akselerasi penurunan angka kematian maternal dan neonatal, tidak akan pernah mencapai Target Pembangunan Milenium (MDG 2015). Program Persiapan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) Ditjen Binkesmas Depkes RI merupakan intervensi inovatif yang akan memberi hasil guna yang tinggi apabila dilaksanakan secara tepat dan didukung oleh semua pihak yang terkait.
3
Intervensi kunci untuk menurunkan AKI adalah perilaku hidup bersih dan sehat serta pengenalan dini tanda bahaya kehamilan/persalinan, program KB, asuhan antenatal terfokus, mencegah abortus tak aman, pertolongan persalinan oleh tenaga terampil, rujukan dini-tepat waktu kasus gawatdarurat obstetri, dan pertolongan segera dan adekuat kasus gawatdarurat obstetri di rumah sakit rujukan. Hal yang disebutkan terakhir ini sangat penting karena studi tentang risiko kematian dan saat persalinan di Matlab-Bangladesh (2005), menyebutkan risiko kematian ibu adalah 100 kali pada hari pertama dan 30 kali pada hari kedua persalinan
Tabel 3: MMR in South-East Asia Countries
Asia, southeast 1980 1990 2000 2008
Burma 1052 (401–2171) 662 (249–1484) 411 (155–874) 219 (87–495) Cambodia 499 (324–751) 409 (237–658) 511 (322–786) 266 (171–398) East Timor 1445 (549–3201) 1016 (402–2184) 953 (363–2081) 929 (374–2077) Indonesia 423 (274–631) 253 (148–411) 290 (166–477) 229 (133–379) Laos 1780 (1172–2715) 1215 (796–1816) 630 (377–996) 339 (215–511) Malaysia 137 (118–160) 76 (66–89) 59 (51–67) 42 (37–49) Maldives 1057 (405–2277) 366 (145–776) 125 (48–272) 75 (28–167) Mauritius 122 (100–144) 65 (53–77) 34 (26–43) 28 (21–36) Philippines 443 (289–661) 174 (112–261) 103 (65–160) 84 (53–130) Sri Lanka 92 (81–105) 52 (46–60) 40 (36–46) 30 (25–35) Thailand 115 (101–131) 44 (39–50) 43 (38–48) 47 (42–53) Vietnam 336 (218–504) 158 (102–233) 84 (55–125) 64 (42–95) Total 438 (337–573) 248 (187–337) 212 (155–293) 152 (112–212)
www.thelancet.com Published online April 12, 2010 DOI:10.1016/S0140-6736(10)60518-1
3. Kebijakan dan Strategi
Dengan pendekatan kualitas, persiapan persalinan adalah penyediaan tenaga kesehatan yang kompeten untuk memberikan pelayanan sesuai dengan praktik terbaik atau standar yang telah ditetapkan. Agar hal tersebut dapat memberi manfaat maksimal maka setiap anggota masyarakat harus mempunyai akses dan memperoleh asuhan persalinan oleh tenaga terampil tersebut. Dengan pendekatan program, persiapan persalinan diartikan sebagai perencanaan dan penyediaan pertolongan persalinan yang bersih dan aman, terutama apabila hal itu terjadi di fasilitas pelayanan kesehatan yang ada di dalam sistem kesehatan nasional. Pencegahan komplikasi menggunakan kedua pendekatan tersebut diatas dan bertujuan untuk membuat ibu dan bayi baru lahir dapat memperoleh derajat kesehatan yang tinggi dan terhindar berbagai ancaman atau risiko fungsi reproduksi. Tujuan tersebut harus dicapai melalui kemitraan lintas program dan sektor, pemerintah dan masyarakat, serta publik dan swasta untuk memobilisasi potensi dan sumberdaya kesehatan yang ada, upaya pemberdayaan keluarga terutama tentang budaya hidup sehat dan mengenali tanda-tanda bahaya kehamilan dan persalinan, serta peran dan kepedulian masyarakat dalam pendanaan persalinan, merujuk tepat waktu, penyediaan sarana transportasi, dan utilisasi fasilitas kesehatan yang mampu menangani komplikasi secara adekuat dan tuntas. Salah satu upaya strategik dalam P4K adalah mempromosikan dan menyediakan pelayanan persalinan yang berkualitas di setiap fasilitas kesehatan. Upaya ini telah dilaksanakan oleh negara Srilangka sejak tiga dekade yang lalu dan hasilnya sangat mengagumkan. Dengan sumberdaya dan dana kesehatan yang terbatas, Srilangka mewajibkan persalinan di fasilitas bagi setiap warga negaranya. Dengan intervensi tersebut, dalam tiga tahun terakhir, negara ini mempunyai rasio kematian maternal yang setara dengan negara-negara maju, yaitu 3-5 per 100.000 kelahiran hidup. Kebijakan tersebut, tidak akan berjalan efektif apabila tenaga kesehatan dan kinerja institusi kesehatan yang memberikan asuhan persalinan tidak dapat diandalkan dan jaminan kualitas pelayanan tidak dapat diberikan.
4
Pemerintah Indonesia memberikan perhatian khusus pada pengembangan/perluasan intervensi kunci seperti program imunisasi; MTBS; gizi terfokus; PHBS ; akses-kualitas pelayanan kesehatan khususnya bagi ibu, bayi baru lahir dan anak; perbaikan kesenjangan geografis, perbaikan status sosial-ekonomi (termasuk gender), dan pemberdayaan perempuan/ketahanan keluarga. Asuhan berkesinambungan difokuskan untuk masyarakat miskin dan di Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) dengan tujuan akhir mencapai ekuitas dan cakupan semesta, terutama bagi kelangsungan hidup anak
Penguatan Pelayanan Kesehatan Ibu dan bayi baru lahir dilakukan melalui strategi kelangsungan hidup bayi baru lahir, anak, dan balita dengan menekankan pelayanan kehamilan dan persalinan bersih dan aman, pelayanan dasar bayi baru lahir (termasuk inisiasi menyusu dini- ASI eksklusif, menjaga kehangatan, dan perawatan tali pusat), deteksi dan pengobatan infeksi, dan perawatan khusus berat badan lahir rendah dan prematur. Dilakukan pula perbaikan pelayanan esensial obstetrik-neonatal untuk pencegahan dan asuhan segera komplikasi kehamilan, persalinan, dan nifas, baik melalui pelatihan dan supervisi fasilitatif untuk perbaikan kinerja petugas dan kualitas pelayanan kesehatan. Mengatasi masalah/penyulit selama kehamilan, persalinan, dan nifas terutama pencegahan morbiditas-mortalitas ibu dan bayi baru lahir (penyebab utama kematian ibu dan neonatal). Upaya kuratif dan rehabilitatif tersebut, dilakukan bersamaan dengan upaya promotoif dan preventif lain seperti perbaikan sanitasi tempat tinggal dan lingkungan, perilaku hidup bersih dan sehat, peran serta masyarakat (termasuk pengenalan tanda bahaya kehamilan dan persalinan), ketersediaan air bersih dan gizi masyarakat, akses bagi asuhan persalinan bersih dan aman, imunisasi, dukungan pemberian suplemen zat besi untuk mencegah anemia selama masa kehamilan, pendidikan, gender dan pemberdayaan perempuan, dan program perlindungan sosial. Memperhatikan lambatnya penurunan angka kematian ibu dan rumitnya masalah dan tantangan yang dihadapi dalam rangka mencapai target AKI tahun 2015, yaitu 102 per 100.000 kelahiran hidup, maka upaya-upaya ke depan harus menjamin peningkatan:
frekuensi dan kualitas asuhan antenatal oleh tenaga kesehatan terampil,
cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan kompeten,
penanganan obstetri-neonatal emergensi (dasar dan komprehensif) pada kehamilan dan persalinan risiko tinggi,
persalinan di fasilitas kesehatan. Untuk itu, kebijakan dan strategi yang diambil meliputi: 1. peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas, dengan:
meningkatkan pelayanan di institusi kesehatan seperti puskesmas (pelayanan primer dan PONED) rumah sakit (rujukan dan PONEK), dan revitalisasi posyandu;
meningkatkan akses pelayanan KB, terutama bagi ibu pascakeguguran dan melahirkan, kelompok unmet need, kelompok rawan risiko, masyarakat miskin dan tertinggal.
memperbaiki kinerja bidan desa, kemitraan dengan institusi kesehatan perusahaan dan swasta, dan memperkuat pelayanan kesehatan berbasis masyarakat (posyandu dan poskesdes.
perbaikan sistem rujukan untuk mengatasi 3 terlambat yaitu (i) terlambat memutuskan untuk mencari pelayanan, (ii) terlambat mencapai fasilitas pelayanan, dan (iii) terlambat memperoleh pelayanan adekuat di fasilitas kesehatan.
5
2. Menciptakan kemitraan dan manajemen yang kondusif untuk penyusunan kebijakan dan
perencanaan kesehatan, melalui:
penyesuaian strategi intervensi penyedia layanan (keluarga berencana dan KIA) disesuaikan dengan kondisi geografi s dan sosial ekonomi yang ada
meningkatkan kesehatan bayi sebagai bagian tak terpisahkan dari program kesehatan ibu;
memperbaiki perencanaan dan manajemen program kesehatan ibu, bayi, dan anak
mendukung kemitraan lintas program dan sektor, swasta dan masyarakat untuk sinergi program dan penyediaan pelayanan KIA.
3. Perbaikan manajemen sistem informasi melalui:
(i) pengenalan berbagai metoda analitis untuk mengukur kematian ibu dan bayi;
(ii) fokus pada kelompok dan daerah dengan risiko tinggi kematian ibudan bayi;
(iii) menemukan model untuk keberhasilan pelaksanaan strategi MPS
4. Penguatan koordinasi pusat dan daerah untuk memperkuat surveilans, monitoring, evaluasi, serta pembiayaan, di mana penentuan prioritas dan alokasi sumber daya mengacu pada intensitas sasaran di daerah tertinggal dan miskin. Penjaminan sinergi pelaksanaan program, dilakukan melalui kemitraan lintas program dan sektor, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan sektor swasta lainnya
4. Batasan
Asuhan Persalinan di Fasilitas Kesehatan adalah upaya-upaya penatalaksanaan persalinan oleh tenaga kesehatan yang terampil, mengikuti standar asuhan persalinan yang telah ditetapkan dan diselenggarakan di unit pelayanan (fasilitas) yang ada seperti yang telah diatur dalam sistem kesehatan nasional
Tenaga Kesehatan Terampil untuk Menolong Persalinan (skilled birth attendant) adalah tenaga kesehatan yang ada di dalam Sistem Kesehatan Nasional, memiliki latar belakang pengembangan profesi kesehatan melalui institusi pendidikan dan dinyatakan berkualifikasi sebagai pelaksana asuhan persalinan normal oleh institusi pelatihan klinik atau instansi yang memiliki kewenangan untuk hal tersebut
Kompetensi Klinik adalah tahapan mampu dalam ranah pengetahuan, keterampilan, dan perilaku untuk mengerjakan suatu prosedur klinik atau kegiatan penanganan masalah kesehatan, mengikuti standar yang telah ditetapkan oleh profesi kesehatan
Kualifikasi adalah pengesahan tentang kompetensi yang dimiliki oleh profesional atau petugas kesehatan untuk menerapkan kemampuannya sesuai dengan standar atau baku klinik yang telah ditetapkan, pada kasus dan area yang sesuai dengan kompetensinya
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer adalah fasilitas kesehatan pada level yang paling dekat dengan masyarakat (komunitas) dan memberikan pelayanan kesehatan dasar sesuai dengan strata, tugas pokok dan fungsi yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai regulator sistem kesehatan nasional
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Rujukan adalah fasilitas kesehatan pada level kecamatan (rujukan primer) atau kabupaten/kota (rujukan sekunder) atau provinsi (rujukan tersier) dengan sumberdaya manusia, sarana dan prasarana, dan perlengkapan kesehatan lengkap (disesuaikan dengan stratanya) serta dapat memberikan pelayanan kesehatan lanjutan dan perawatan khusus/intensif untuk kasus-kasus rujukan
6
Fasilitas Kesehatan Mampu Asuhan Persalinan Normal adalah fasilitas kesehatan yang terakreditasi secara administratif dan teknis untuk menyelenggarakan asuhan persalinan normal, memiliki sistem perbaikan kinerja dan mutu pelayanan secara mandiri ataupun melalui supervisi fasilitatif
Asuhan Persalinan Normal diberikan dengan mengacu pada baku klinis yang telah ditetapkan dan diberlakukan sama untuk setiap fasilitas kesehatan yang memberikan pelayanan tersebut, baik pada pelayanan kesehatan tingkat primer, sekunder dan tersier
PPGDON-Pertolongan Pertama Gawat-Darurat Obstetri dan Neonatal (resusitasi dan stabilisasi) dan rujukan optimal dan tepat waktu ke fasilitas kesehatan rujukan untuk kasus persalinan dan neonatal yang disertai dengan penyulit atau komplikasi adalah kompetensi esensial yang harus dimiliki oleh setiap Fasilitas Kesehatan Primer
P4K-Program Persiapan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi adalah upaya percepatan penurunan Angka Kematian Ibu dan Neonatal di Indonesia dimana Persalinan di Fasilitas Kesehatan menjadi elemen kunci bagi keberhasilan program, selain mobilisasi masyarakat dan pemberdayaan keluarga, registrasi ibu hamil dan jaminan pembiayaan persalinan
7
BAB 2 PROGRAM PONEK DI RUMAH SAKIT PEMERINTAH
1. Strategi Penyelamatan Ibu, Bayi Baru Lahir, dan Anak
Sesuai dengan konsep manajemen masalah maka Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah menetapkan strategi akselerasi penurunan kematian ibu, bayi baru lahir, dan anak dalam 2 area utama yaitu promotif-preventif dan kuratif-rehabilitatif. Strategi ini sesuai dengan strategi yang direkomendasikan oleh Mahmoud Fattala (mantan presiden Federasi Obstetri-Ginekologi Internasional) dengan four maternal mortality exit strategy yaitu: pemberdayaan perempuan, keluarga berencana, pertolongan persalinan oleh tenaga terampil, dan asuhan obstetri-neonatal emergensi yang tepat waktu dan adekuat.
Seyogyanya, semua strategi tersebut dijalankan secara simultan melalui keterpaduan lintas program dan sektor, termasuk peran-serta pihak swasta dan masyarakat di dalam melaksanakan langkah-langkah dan kegiatan terkait. Hingga saat ini, keterpaduan lintas program masih menjadi masalah yang belum dapat dipecahkan secara tuntas, apalagi jika beranjak ke keterpaduan lintas sektor dan peran-serta masyarakat. Walaupun sejak tahun 2007, departemen teknis mendapat dukungan dana program dengan besaran hampir 10 kali lipat dari periode-periode sebelumnya tetapi upaya perbaikan status kesehatan ibu, bayi baru lahir, dan anak ternyata masih berjalan lambat (AKI tahun 2007 ke 2010 bergeser dari 307 menjadi 228 /100.000 kelahiran hidup).
Menurut Buttha (Global Maternal Health Conference, New Delhi, 2010) strategi promotif-preventif KIA dapat menurunkan AKI secara bermakna, tetapi untuk mencapai tahap ideal dan berkesinambungan,diperlukan investasi yang besar dan waktu yang cukup lama (5-10 tahun). Sambil menunggu keberhasilan strategi preventif-promotif maka tugas dari pemerintah di suatu negara adalah mengorganisir sumberdaya kesehatan yang ada untuk menjamin ketersediaan pelayanan dan berfungsinya sistem rujukan gawat-darurat obstetri-neonatal. Hal ini sangat logis karena kita tidak dapat menunggu terwujudnya hasil intervensi promotif-preventif sementara kasus-kasus gawat-darurat obstetri-neonatal tidak dapat menunggu untuk diselamatkan.
Sesuai dengan struktur dan kewenangan di lingkungan Kementerian Kesehatan, strategi kuratif-rehabilitatif obstetri-neonatal dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik (yang sejak 1 Januari 2011 menjadi Direktorat Bina Upaya Kesehatan). Direktorat Bina Pelayanan Medik Spesialistik (sekarang Direktorat Bina Upaya Kesehatan Rujukan) melakukan berbagai upaya untuk menyiapkan rumah sakit pemerintah (baik vertikal maupun daerah) agar memiliki kesiapan untuk memberikan pelayanan obsteri-neonatal emergensi komprehensif. Selain pemenuhan sumberdaya kesehatan, bantuan sarana-prasarana pelayanan, dana operasional, juga dilakukan penyiapan tenaga kesehatan melalui lokakarya dan supervisi fasilitatif (on the job training) melalui lokakarya standardisasi klinik PONEK.
Program PONEK di rumah sakit (terutama pemerintah) tidak dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan, jika hanya mengandalkan lokakarya atau pelatihan klinik karena intervensi, hal ini hanya dapat memperbaiki keterampilan/kinerja tim PONEK rumah sakit. Untuk melaksanakan standar PONEK, maka perlu disiapkan pula sarana dan prasarana sesuai dengan standar yang telah ditetapkan (level 1, level 2, dan level 3), dukungan manajemen (SK Tim PONEK, mekanisme kerja, dan dana program khusus), dukungan pemerintah setempat (status BLU/BLUD, kebijakan dan dana, kerjasama perbaikan sistem rujukan dan jejaring pelayanan dengan Dinas Kesehatan, dan bimbingan teknis atau on the job training antar fasilitas kesehatan setempat.
8
2. Penyiapan Pelayanan Obstetri-Neonatal Emergensi Komprehensif di Rumah Sakit
Menurut data program dan Lancet, 2005 disebutkan bahwa angka kematian ibu tertinggi terjadi di rumah sakit (40-70%) yang diikuti dengan di rumah (20-35%) dan di perjalanan (10-18%). Data ini kemudain diartikan sebagai rumah sakit menjadi penyumbang kematian ibu terbanyak di Indonesia dan upaya penurunan AKI harus difokuskan di rumah sakit. Data lain yang menunjuk rumah sakit atau fasilitas kesehatan dianggap bertanggung jawab terhadap tingginya AKI didapat dari penelitian Matlab-Bangladesh yaitu risiko kematian ibu tertinggi (100 kali dari kondisi normal) terjadi pada hari persalinan (Gambar 2). Stigma ini membuat pihak Direktorat Bina Pelayanan Medik Spesialistik menugaskan Sub-direktorat Rumah Sakit untuk melakukan upaya-upaya perbaikan dan penyiapan PONEK di rumah sakit vertikal dan daerah.
Gambar 2: Risiko kematian ibu menurut periode hari persalinan, Matlab-Bangladesh
Gambar 3: Hubungan AKI, tingkat sosio-ekonomi, dan cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan di Kabupaten Serang dan Pandeglang, 2008
9
Sementara melakukan penyiapan PONEK di rumah sakit, diperoleh data baru sebagai hasil penelitian Impacct-University of Aberdeen di dua kabupaten (Serang dan Pandeglang) yang dapat menjelaskan situasi dan penyebab sebenarnya dari tingginya AKI di Indonesia. Kesenjangan sosio-ekonomi yang lebar, cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan, kompetensi penolong persalinan, sistem rujukan, dan kondisi pasien saat tiba di rumah sakit rujukan ternyata menjadi penyumbang terbesar AKI.
Standardisasi PONEK untuk rumah sakit dilakukan oleh Direktorat Bina Pelayanan Medik Spesialistik bekerjasama dengan Jaringan Nasional Pelatihan Klinik-Kesehatan Reproduksi (Badan Khusus POGI yang menghimpun unit-unit pelatihan klinik organisasi profesi POGI, IDAI, IBI dan PPNI). Lokakarya PONEK dilakukan selama 5 hari, meliputi materi manajemen dan klinik PONEK yang kemudian diikuti dengan latihan on the job training PONEK untuk mengenalkan cara melakukan bimbingan teknis untuk perbaikan kinerja Tim PONEK rumah sakit.
Tabel 4.: Jumlah Rumah Sakit dan Status PONEK di Indonesia
No PROVINSI/RS PONEK
Telah Mengikuti Workshop
PONEK
OJT RS SIAP PONEK
Belum Mengikuti Workshop
PONEK
RS
1 NAD 45% 9% 77% 23% 22
2 SUMATERA UTARA 13% 10% 81% 19% 31
3 SUMATERA BARAT 61% 11% 72% 28% 18
4 RIAU 9% 9% 82% 18% 11
5 KEPULAUAN RIAU 75% 0% 88% 13% 8
6 JAMBI 58% 17% 92% 8% 12
7 SUMATERA SELATAN 83% 17% 89% 11% 18
8 BANGKA BELITUNG 29% 14% 57% 43% 7
9 BENGKULU 22% 11% 78% 22% 9
10 LAMPUNG 36% 27% 73% 27% 11
11 DKI Jakarta 20% 0% 100% 0% 10
12 JAWA BARAT 86% 17% 91% 9% 35
13 BANTEN 83% 50% 83% 17% 6
14 JAWA TENGAH 42% 2% 80% 20% 45
15 DIY 57% 14% 86% 14% 7
16 JAWA TIMUR 44% 8% 73% 27% 48
17 KALIMANTAN BARAT 46% 31% 69% 31% 13
18 KALIMANTAN TENGAH 79% 7% 86% 14% 14
19 KALIMANTAN SELATAN 93% 21% 93% 7% 14
20 KALIMANTAN TIMUR 40% 27% 60% 40% 15
21 SULAWESI UTARA 22% 11% 33% 67% 9
22 GORONTALO 50% 67% 50% 50% 6
23 SULAWESI TENGAH 69% 31% 69% 31% 13
24 SULAWESI SELATAN 60% 10% 67% 33% 30
25 SULAWESI BARAT 14% 14% 43% 57% 7
26 SULAWESI TENGGARA 15% 15% 54% 46% 13
27 BALI 40% 30% 60% 40% 10
28 NTB 50% 50% 75% 25% 8
29 NTT 29% 18% 35% 65% 17
30 MALUKU 30% 30% 30% 70% 10
31 MALUKU UTARA 38% 38% 50% 50% 8
32 PAPUA 45% 27% 64% 36% 11
33 IRIAN JAYA BARAT 11% 11% 33% 67% 9
INDONESIA 45% 20% 69% 31% 505
10
Tabel 5: Pencapaian dan Kesiapan RS PONEK
Pencapaian dan pelaksanaan program TAHUN 2007-2010 : Total RS siap PONEK hingga Oktober 2010 ( daftar RS terlampir)
= 364 (81,98%) dari 444 RS Sedangkan RS yang telah mendapatkan Bimbingan teknis standarisasi PONEK melalui Workshop
PONEK sebanyak 240 (54,05%) RS dari 444 RS dan baru 72 RS (32,5%) yang di monitoring evaluasi / On The Job Training (OJT)
Tabel 6: Persentase Rumah Sakit yang telah distandardisasi PONEK
11
Kementerian Kesehatan juga telah dilakukan Evaluasi hasil pelatihan berupa On The Job training kepada RS yang telah dilatih dan didapatkan hasil bahwa nilai standar masukan (sarana dan prasarana) RS PONEK dan hanya mendapatkan nilai 68,89 % untuk maternal dan 51,12 % untuk neonatal sehungga belum mencapai batas minimal standar masukan yaitu 100%.
Untuk itu Kementerian Kesehatan berupaya membantu RS daerah untuk Pemenuhan standar masukan berupa:
• Pembangunan sarana prasarana • Pengadaan peralatan kesehatan
Tabel 9: Sumber dana pusat untuk sarana dan prasarana PONEK
Sumber dana Peralatan Gedung Keterangan
DAK 2009 133 RS 42 RS Realisasi Pengadaan peralatan PONEK yang dilakukan melalui anggaran DAK tidak sepenuhnya dapat memenuhi standar input yang di inginkan sesuai dengan Juknis DAK dan Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK) 24 Jam di Rumah Sakit yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI Tahun 2007 karena keterbatasan dana yang di terima oleh semua RS melalui anggaran DAK pada tahun tersebut. Hal ini menyebabkan banyak RS yang mengusulkan peralatan yang sama pada tahun anggaran berikutnya
DAK 2010 114 RS 42 RS
DAK 2011 233 RS 133
Sumber dana Peralatan
APBN 2008 33
APBN 2009 90
12
BAB 3
PENILAIAN DAN PEMANTAUAN KINERJA RS PONEK
1. Kegiatan dan instrumen penilaian kinerja PONEK
Selama mengikuti lokakarya standardisasi PONEK, tim rumah sakit dikenalkan dan melakukan
praktik penilaian kelengkapan sarana-prasarana (standar input), manajemen dan kualitas
pelayanan, baik langsung maupun retrospektif (standar proses), dan keluaran pelayanan
(standar output). Proses dan instrumen penilaian kinerja PONEK yang digunakan selama praktik
penilaian kinerja (termasuk cara penghitungan dan analisisnya), tercantum di dalam buku OJT
PONEK, yang akan dibawa oleh tim rumah sakit ke tempat kerja mereka masing-masing.
Dengan kata lain, tim rumah sakit telah memahami area dan upaya untuk menyelenggarakan
PONEK di tempat mereka bekerja. Tim rumah sakit diminta untuk menggunakan instrumen
penilaian kinerja PONEK untuk melakukan upaya perbaikan, penilaian mandiri (self-assessment),
dan penyiapan fasilitas dan manajemen PONEK manakala dilakukan OJT atau bimbingan teknis
oleh Tim PONEK Pusat (Organisasi Profesi, JNPK, dan Direktorat Bina Pelayanan Medik
Spesialistik).
Setelah mengikuti lokakarya PONEK, tim rumah sakit akan menerapkan hasil lokakarya dan
menyelenggarakan PONEK di tempat kerja mereka sebagai tanggung-jawab dari diterbitkannya
SK Direktur Rumah Sakit tentang pembentukan tim dan penyelenggaraan PONEK di rumah sakit.
Keberhasilan PONEK di rumah sakit tersebut, tentunya tidak hanya telah mengikuti lokakarya
dan mendapat SK Direktur. Tim PONEK RS harus melakukan sosialisasi PONEK di unit kerja
mereka dan unit kerja terkait lainnya.
Tim PONEK IGD harus menyiapkan sarana-prasarana, mekanisme dan prosedur baku, dan
jaminan pelayanan purnawaktu. Demikian pula halnya dengan di unit obstetri dan neonatologi.
Pemenuhan standar input dan proses serta kehandalan kinerja Tim PONEK, akan menghasilkan
keluaran yang berkualitas seperti yang diharapkan. Jelas bahwa kinerja teknis, harus didikung
oleh kinerja manajemen yang mumpuni demi keberhasilan program PONEK.
Sebagai pelengkap SK Tim PONEK Rumah Sakit, tim rumah sakit seharusnya juga mendapat SK
Tim PONEK Provinsi atau Tim PONEK Kabupaten dari Kepala Dinas Kesehatan Provinsi atau
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten agar tim tersebut mendapat kewenangan untuk melakukan
pembinaan atau perbaikan kinerja Tim PONEK RS Kabupaten/Kota atau Tim PONED Puskesmas.
Pemanfaatan Tim PONEK RS Provinsi atau RS Pusat Rujukan Provinsi bagi RS Kabupaten dan
Puskesmas, bukan saja akan memperbaiki kinerja profesional kesehatan yang ada di berbagai
tingkat fasilitas kesehatan, tetapi juga membangun sistem rujukan yang efektif melalui interaksi
dan komunikasi serta pembentukan jejaring pelayanan.
2. Hasil penilaian kinerja PONEK RS melalui bimbingan teknis atau on the job training
Status atau kondisi standar input, proses, dan output di berbagai rumah sakit yang telah
mengikuti standardisasi PONEK, ditampilkan melalui gambar atau grafik berikut ini:
13
Gambar 4: Level Input, Proses & Output Maternal RS Terlatih PONEK di Pulau Sumatera pada OJT I
Gambar 5: Level Input, Proses & Output Neonatal RS Terlatih PONEK di Pulau Sumatera pada OJT I
Gambar 4 menunjukkan tingkat pencapaian standar input (warna biru) dan proses (warna coklat)
yang seharusnya mencapai nilai 100% (tidak dapat dilakukan pelayanan standar atau berkualitas
jika tidak tersedia sarana-prasarana yang disyaratkan). Untuk garis input dan proses, dipakai
perkalian 10 (misalnya, angka 5 menunjukkan 50%) dan untuk garis output (maternal), dipakai
perkalian 100 (misalnya, angka 6 menunjukkan AKI 600/100.000 kelahiran hidup). Pada gambar
3, untuk garis output neonatal, dipakai perkalian 10 (misalnya, angka 4,25 menunjukkan AKN
42/1000 kelahiran hidup).
14
Jika dilihat dari rumah sakit di pulau Sumatera yang telah mengikuti lokakarya PONEK, dapat
dikatakan tidak ada yang memenuhi standar input (kisaran 67,7-92%). Untuk standar proses
yang ditetapkan 85% maka tidak satu rumah sakitpun yang mencapai atau melebihi nilai
tersebut (kisaran 37-75%). Untuk batasan output (AKI 300/100.000 kelahiran hidup) ternyata
tidak satu rumah sakitpun yang dapat memenuhi nilai ambang tersebut (kisaran 400-800 per
100.000 kelahiran hidup). Dengan hasil penilaian melalui OJT tersebut maka kinerja PONEK RS di
pulau Sumatera, ternyata belum memenuhi harapan atau target yang diinginkan.
Hal yang sama terjadi pada penilaian kinerja PONEK untuk komponen neonatal. Tidak ada satu
rumah sakitpun yang dapat memenuhi standar input neonatal, malahan RS Tanjung Pura, nilai
tersebut berada dibawah 30%, sedangkan yang lain berada diatas 67% atau malahan ada yang
mencapai 82% (RS M Yunus Bengkulu). Untuk standar proses, berkisar antara 30-80% sehingga
tidak satu rumah sakitpun mencapai atau melebihi baku nilai 85%. Ada 7 rumah sakit dengan
standar output (AKI) sama atau dibawah 60/1000 kelahiran hidup, sisanya berada diatas nilai
ambang tersebut, malahan RS Tanjung Pura mempunyai AKI sebesar 120/1000 kelahiran hidup.
Pada tahun berikutnya (2009) hanya 9 dari 15 RS PONEK di pulau Sumatera yang mendapat
kesempatan untuk memperoleh bimbingan teknis kedua. Hasil penilaian OJT II menunjukkan ada
perbaikan dari standar input dan hal ini terkait langsung dengan bantuan pengadaan sarana-
prasarana dari pemerintah pusat. Hanya beberapa RS PONEK yang menunjukkan perbaikan
kinerja (proses dan output) seiring dengan perbaikan standar input (RS Takengon, Meuraksa,
dan Abdoel Moeloek) beberapa RS PONEK lainnya, tidak menunjukkan perbaikan kinerja yang
bermakna.
Gambar6: Level Input, Proses & Output Maternal RS Terlatih PONEK di Pulau Sumatera pada OJT II
Penilaian kinerja RS PONEK di pulau Jawa dan Bali menunjukkan gambaran standar input dan
proses yang hampir sama tetapi sangat berbeda jika ditinjau dari standar outputnya. Rumah
sakit pendidikan dan pusat rujukan provinsi ternyata belum dapat menembus batasan standar
output karena masih diatas 300/100.000 kelahiran hidup. Kinerja terbaik dimiliki RS Tabanan
15
dengan AKI dibawah 200/100.000 kelahiran hidup. AKI RS PONEK tertinggi berada di RS Serang
dan RS Indramayu (800 dan 1000/100.000 kelahiran hidup)
Gambar7: Level Input, Proses & Output Maternal RS Terlatih PONEK di Pulau Jawa dan Bali
Gambar8: Level Input, Proses & Output Neonatal RS Terlatih PONEK di Pulau Jawa dan Bali
Gambaran serupa, juga ditampilkan dari penilaian kinerja PONEK komponen neonatal dimana
standar input dan proses memiliki trend yang hampir sama dengan komponen maternal, yang
berbeda adalah profil AKN dimana ada 8 RS PONEK mempunyai besaran dibawah 60/1000
kelahiran hidup dan nilai terbaik dimiliki RS Tabanan dengan AKN 30/1000 kelahiran hidup. Profil
ini sekaligus menunjukkan bahwa kualitas manajemen, waktu tanggap darurat (response time)
dan pelayanan purnawaktu sangat menentukan kualitas output pada standar input dan proses
yang relatif sama.
16
Gambar9: Level Input, Proses & Output Maternal RS Terlatih PONEK di Pulau Jawa dan Bali pada OJT II
Pada OJT II hanya 6 dari 16 RS PONEK yang mendapat bimbingan teknis pada tahun sebelumnya,
yang mendapat kesempatan untuk dilakukan penilaian ulang. Hal ini menunjukkan bahwa proses
penilaian ulang hanya dapat dilaksanakan pada sebagian dari keseluruhan RS PONEK di pulau
Jawa dan Bali. Selain itu, bimbingan teknis yang hanya setahun sekali, ternyata tidak dapat
memberikan dampak bermakna terhadap upaya perbaikan kinerja PONEK. Instrumen penilaian
yang dapat dijadikan referensi untuk penilaian mandiri, ternyata tidak banyak digunakan atau
lebih banyak disimpan daripada dimanfaatkan.
Dari 6 rumah sakit yang dinilai ulang, ternyata RS Serang dan RS Tabanan saja yang menunjukkan
perbaikan bermakna. Perbaikan pada RS Serang disebabkan oleh adanya bimbingan teknis setiap
bulan dari hasil kerjasama Direktorat Bina Pelayanan Medik Spesialistik, Jaringan Nasional
Pelatihan Klinik-Kesehatan Reproduksi, Pathfinder International-Extending Service Delivery, dan
Dinas Kesehatan Provinsi Banten melalui program Improvement Colaborative PONEK. Sedangkan
RS Tabanan, perbaikan terjadi karena instrumen penilaian OJT selalu dijadikan acuan perbaikan,
kualitas manajemen RS, status BLUD, dukungan penuh dari pemerintah daerah, asuransi mandiri
untuk jaminan pembiayaan pelayanan kesehatan, dan kolaborasi jejaring pelayanan dengan
Dinas Kesehatan Kabupaten Tabanan.
Untuk RS PONEK yang ada di pulau Kalimantan, Lombok, Ternate, dan Papua terlihat gambaran
variatif antara standar input dan proses dimana pada satu bagian akan memperlihatkan adanya
kisaran yang jauh antara keduanya. Pada bagian lain, input dan proses tidak memperlihatkan
hubungan linier (nilai tinggi input, diikuti nilai yang tinggi pada proses) seperti yang tampak pada
RS Banjar Baru, RS Abunawas,RS Anutapura, RS Kolaka, RS Wahidin, dan RS Abepura. Tidak ada
satu rumah sakit dalam kategori ini yang memenuhi standar ouput karena besaran AKI masih
diatas 300/100.000 kelahiran hidup. Nilai kinerja PONEK komponen maternal, juga tidak linier
dengan nilai kinerja neonatal karena beberapa rumah sakit ternyata memiliki kesenjangan yang
berbeda cukup bermakna diantara kedua nilai kinerja tersebut.
17
Gambar10: Level Input, Proses & Output Maternal RS PONEK di Pulau Kalimantan, Lombok, Sulawesi, Ternate, dan Papua
Gambar11: Level Input, Proses & Output Neonatal RS PONEK di Pulau Kalimantan, Lombok, Sulawesi, Ternate, dan Papua
Variasi diantara variabel input, proses, dan output berbagai rumah sakit di pulau Kalimantan,
Sulawesi, Lombok, Ternate dan Papua merefleksikan situasi dan kondisi yang sama dengan
rumah sakit di pulau Sumatera, Jawa, dan Bali. Pemenuhan standar input semata, tak menjamin
baiknya kinerja RS PONEK. Secara internal, kinerja sangat ditentukan oleh manajemen rumah
sakit, efektifitas Tim PONEK RS dan unit terkait, sistem jaga mutu, kompetensi operasionalisasi
sarana-prasarana, IGD integratif/komprehensif, uraian tugas dan tanggung-jawab tim, dan nilai
PONEK terhadap akreditasi rumah sakit. Secara eksternal tergantung dari kebijakan dan regulasi
pendukung PONEK, prioritisasi program KIA oleh pemerintah setempat, status RS (BLU/BLUD
atau sumber PAD pemerintah setempat), legislasi dan penerapan sistem insentif pegawai.
18
BAB 4
KOLABORASI PERBAIKAN PONEK DI RS TANGERANG, SERANG, CILEGON, DAN FATMAWATI
1. Pendekatan kolaboratif untuk perbaikan PONEK di Rumah Sakit
Penggunaan istilah komprehensif dalam PONEK, sering diartikan sebagai ketersediaan dan
kelengkapan pelayanan emergensi obstetri-ginekologi di Instalasi Gawat-Darurat (IGD) dan unit
pelayanan fungsional (UPF) Obstetri dan Neonatal. Dengan pemahaman seperti itu, maka RS
PONEK hanya akan memfokuskan pada pelayanan tersebut pada pasien-pasien yang datang ke
rumah sakit. Dengan kata lain, PONEK menjadi pelayanan statis dan pasif seperti yang terjadi
pada masa-masa sebelum ini.
Komprehensif pada PONEK, hendaknya diartikan sebagai pelayanan tanpa dinding dan proaktif.
Bagaimana rumah sakit sebagai institusi medik yang statis dapat juga memberikan pelayanan
bagi masyarakat yang ada di dalam area cakupan wilayah kerja mereka? Untuk mereka yang
sudah familier dengan program kesehatan masyarakat, akan sangat mudah untuk melakukan
transformasi pelayanan individual menjadi pelayanan komunal. Penatalaksanaan pasien yang
dirujuk ke rumah sakit, tidak dimulai sejak pasien masuk ke IGD atau UPF Obstetri atau Unit
Perinatal tetapi justru sejak pasien tersebut dikenali dan ditangani oleh petugas kesehatan yang
ada di level komunitas. Kondisi seperti ini hanya dapat dilakukan apabila petugas kesehatan atau
fasilitas kesehatan primer menjadi bagian atau jejaring pelayanan rumah sakit. Konsisi inilah
yang seharusnya dibangun oleh rumah sakit melalui program PONEK Rumah Sakit.
Pendekatan kolaboratif untuk PONEK dimulai dengan orientasi mekanisme dan tujuan dari
kerjasama untuk perbaikan PONEK di rumah sakit diantara pengampu program. Setelah itu
ditentukan unit manajemen dan pelaksana program kolaborasi untuk perbaikan (improvement
collaborative) PONEK.
Gambar 12: perbaikan standar input, proses dan output maternal dengan program IC PONEK di RS Tangerang
19
Unit manajemen pusat (Direktorat Bina Pelayanan Medik Spesialistik-JNPK-KR-ESD Pathfinder
International) menentukan lokasi untuk ujicoba kolaborasi perbaikan (IC) dan menugaskan JNPK-
KR untuk melaksanakan ujicoba. Setelah memutuskan RS Tangerang sebagai tempat ujicoba,
kemudian dilakukan kordinasi dengan Direktur RS Tangerang dan staf unit terkait (Obstetri dan
Perinatologi), Dinas Kesehatan Kabupaten, dan Pusat Pelatihan Klinik Primer Kabupaten
Tangerang tentang tujuan dan mekanisme IC PONEK.
Kolaborasi perbaikan dimulai dengan melatih staf unit Obstetri dan Perinatologi serta IGD untuk
menyelengarakan PONEK. Materi pelatihan selama 5 hari tersebut mencakup konsep pelayanan
perinatal regional, manajemen dan sistem jaga mutu pelayanan, gawat-darurat obstetri
(perdarahan, preeklampsia/eklampsia, infeksi dan sepsis, partus macet, dan kegawat-daruratan
medik), gawat-darurat neonatal (asfiksia dan gagal napas, kejang neonatus, thermoregulasi,
nutrisi parenteral, prematuritas/BBLR, ikterus), dan penilaian kinerja PONEK Rumah Sakit. Dalam
lokakarya ini, juga diundang Seksi Pelayanan Kesehatan dan KIA untuk memahami apa yang
dilakukan dan bagaimana pihak Dinas Kesehatan memberikan dukungan yang diperlukan.
Setelah pelatihan, Tim PONEK RS diberi waktu 2 minggu untuk melakukan standardisasi dan
menerapkan hasil lokakarya di tempat kerja. Setelah itu, RS Tangerang bekerjasama dengan
P2KP Tangerang untuk melakukan pelatihan LSS (Life Saving Skills) untuk gawat-darurat obstetri-
neonatal. Peserta pelatihan ini adalah Tim Puskesmas dan Bidan di Desa yang berada di dalam
wilayah kerja dan yang paling banyak merujuk pasien ke RS Tangerang. Dua minggu setelah
lokakarya PONEK di RS Tangerang, Tim PONEK Pusat melakukan supervisi fasilitatif atau on the
job training (OJT) ke RS Tangerang dan diikuti dengan OJT Tim PONEK RS Tangerang ke
Puskesmas Balaraja yang di fasilitasi oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang. Pada bulan
berikutnya, setelah Tim PONEK Pusat melaksanakan OJT ke RS Tangerang, kemudian bersama-
sama dengan Tim PONEK RS dan staf Dinas Kesehatan Kabupaten melakukan OJT ke Puskesmas
Sepatan, dan pada bulan berikutnya dilakukan OJT ke Puskesmas Curug dan Mauk.
Selain melakukan OJT, Tim PONEK RS Tangerang, juga membentuk jejaring pelayanan emergensi
dan komunikasi via telefon seluler selama 24 jam sehari dengan seluruh Puskesmas dan Bidan di
Desa yang tergabung dalam program IC PONEK. RS Tangerang membuat jadwal dokter jaga yang
siap untuk dihubungi oleh dokter dan bidan selama 24 jam penuh sehari. Tim PONEK RS akan
memberikan petunjuk dan saran untuk penanganan kasus emergensi obstetri-neonatal, baik
untuk resusitasi, stabilisasi, dan rujukan. Tim PONEK RS akan dengan mudah mengarahkan dan
membimbing dokter atau bidan mitra IC PONEK karena mereka sangat mengetahui (melalui
kunjungan OJT) tentang situasi dan kondisi sumberdaya dan fasilitas kesehatan setempat.
Pada saat OJT di Puskesmas, dilakukan kajian
kasus dan laporan kemajuan penanganan
kasus gawat-darurat obstetri-neonatal di
masing-masing Puskesmas, termasuk tingkat
efektifitas komunikasi untuk konsultasi dan
kemajuan penerimaan petugas dan pasien
yang di rujuk ke RS Tangerang Tangerang
(sebelumnya saling menyalahkan antara
penerima dan pengantar). Gambar 13: OJT PKM
20
Melalui kerjasama seperti ini, pasien gawat-
darurat yang sebelumnya banyak mengalami
keterlambatan waktu untuk dirujuk (karena
takut disalahkan) dan kondisinya tidak stabil
saat di rujuk (petugas tidak kompeten untuk
melakukan stabilisasi dan dilarang oleh pihak-
pihak tertentu), dirujuk secara tepat waktu
dan optimal sehingga upaya penyelamatan
pasien menjadi efektif. Gambar 14: OJT PKM
Gambar 15: Perbaikan kinerja PKM Balaraja pasca OJT oleh Tim PONEK RS dan Tim PONEK Pusat
Gambar 16: perbaikan mandiri area cuci-tangan (waskom jadi wastafel) di Puskesmas Balaraja
Pasien yang dirujuk ke RS pada
bulan Januari, jumlahnya lebih
sedikit/menurun pada bulan
Februari 2008 karena mampu
ditangani oleh Tim Puskesmas
OJT 1 OJT 2
21
Gambar 17: perbaikan standar input, proses dan output neonatal dengan program IC PONEK di RS Tangerang
2. Ekspansi IC PONEK ke RS Serang, RS Cilegon, dan RS Fatmawati
Setelah melakukan ujicoba IC PONEK di RS Tangerang, maka Direktorat Bina Pelayanan Medik
Spesialistik meminta JNPK-KR dan ESD Pathfinder International untuk melakukan ekspansi IC
PONEK di 3 rumah sakit lainnya, yaitu RSUD Serang dan RSUD Cilegon di provinsi Banten dan
rumah sakit vertikal Kementerian Kesehatan yaitu RS Fatmawati di Jakarta Selatan. Sebelum
pelaksanaan IC PONEK di tiga rumah sakit tersebut, terlebih dulu dilakukan lokakarya kolaborasi
perbaikan (IC) PONEK untuk memilih intervensi berdasarkan bukti dan praktik terbaik yang akan
diterapkan di masing-masing rumah sakit, mempelajari mekanisme pelaksanaan program IC
PONEK di RS Tangerang, dan menentukan Puskesmas binaan masing-masing rumah sakit.
Peserta lokakarya terdiri dari Tim PONEK RS, Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten, P2KP dari
masing-masing kabupaten/kota, JNPK-KR, dan ESD Pathfinder International. Hasil lokakarya ini
adalah rencana kerja IC PONEK di masing-masing Rumah Sakit, Puskesmas, dan Bidan di Desa
yang ada diwilayah kerja mereka.
RS Serang memilih Serang Kota, Cikesal, Krawat Watu sebagai Puskesmas (dan Bidan di Desa)
binaan. RS Cilegon memilih Cibeber, Ciwandan, dan Pulo Merak sebagai Puskesmas binaan. RS
Fatmawati memilih Cilandak, Jagakarsa, Pasar Minggu sebagai Puskesmas Binaan. Setelah
lokakarya standardisasi PONEK di masing-masing rumah sakit, maka setiap RS PONEK tersebut
akan melakukan pelatihan LSS Emergensi Obstetri-Neonatal untuk Puskesmas binaan mereka.
Seperti di RS Tangerang, setiap bulan dilakukan OJT RS PONEK oleh Tim Ponek Pusat dan
kemudian dilanjutkan dengan OJT Puskesmas PONED oleh Tim PONEK RS, Dinas Kesehatan
Kabupaten, dan Tim PONEK Pusat. Tim PONEK Pusat akan melakukan bimbingan teknis dan
penilaian kinerja RS PONEK. Tim PONEK RS akan melakukan bimbingan teknis dan penilaian
kinerja Puskesmas (menggunakan instrumen OJT Puskesmas).
Setiap RS PONEK, juga diwajibkan untuk membangun jejaring pelayanan emergensi dan
komunikasi nir kabel (telefon selular) ke setiap Puskesmas binaan dan Bidan di Desa yang ada di
masing-masing wilayah kerja Puskesmas. Untuk meningkatkan efisiensi dan proses pembelajaran
22
perbaikan kinerja Puskesmas dan Bidan di Desa maka OJT untuk Puskesmas spesifik (seperti yang
dilaksanakan saat IC PONEK di RS Tangerang) dilakukan OJT komprehensif. Pada OJT dengan
pendekatan komprehensif, Tim PONED Puskesmas dan Bidan di Desa dari kecamatan lain, akan
diajak untuk mengikuti OJT Puskesmas pada waktu yang telah ditentukan. Sebagai contoh, Tim
Puskesmas Jaga Karsa dan Puskesmas Pasar Minggu akan mengikuti OJT Puskesmas Cilandak.
Pada OJT Puskesmas berikutnya, Tim Puskesmas Cilandak dan Tim Puskesmas Jagakarsa, akan
datang ke OJT Puskesmas Pasar Minggu untuk belajar dan membandingkan kondisi PONED di
Puskesmas mereka dengan kondisi di Puskesmas yang sedang dilakukan OJT. Hasil program dan
kegiatan IC PONEK di RS Serang, RS Cilegon, dan RS Fatmawati ditampilkan pada grafik-grafik
berikut ini:
Gambar 18: Hasil IC PONEK (Input, Proses, dan Output) di RS Serang (2010)
Gambar 19: Hasil IC PONEK (Input, Proses, dan Output) di RS Cilegon (2010)
23
Gambar 20: Hasil IC PONEK (Input, Proses, dan Output) di RS Fatmawati (2010)
Selain melalui OJT RS PONEK dan Puskesmas, pelaksanaan dan penilaian kemajuan IC PONEK di 4
rumah sakit ini, juga dilakukan melalui pertemuan tingkat pusat yang dilakukan setiap 3 bulan
sekali. Walaupun RS Tangerang tidak lagi mendapat supervisi rutin sejak November 2009 tetapi
diminta untuk dapat memfasilitasi dan membagi pengalamannya melaksanakan IC PONEK di
pertemuan ini. Pertemuan tiga bulanan ini disebut sebagai Learning Session, dimana masing-
masing rumah sakit akan menyampaikan kemajuan program kolaborasi untuk perbaikan, baik
hasil-hasil yang dapat dijadikan contoh atau rekomendasi untuk peningkatan kualitas pelayanan.
Pada bagian lain, juga disampaikan tantangan atau masalah-masalah yang perlu diatasi sehingga
IC PONEK dapat dijalankan secara efektif dan efisien. Hampir semua provinsi menyatakan
mereka melanjutkan OJT PONEK/PONED setelah IC PONEK berakhir.
Membangun jejaring pelayanan dan komunikasi, serta kordinasi dengan Dinas Kesehatan
merupakan hal yang sangat penting dalam upaya menurunkan angka kematian di rumah sakit
rujukan. Data dari RS Tangerang, RS Serang, RS Cilegon, dan RS Fatmawati menunjukkan bahwa
sebagian besar kematian ibu-neonatal di rumah sakit merupakan kelanjutan salah penanganan
di level sebelum rumah sakit. Hal ini sangat konsisten dengan data yang diperoleh dari RS
Batam-Kepulauan Riau, RS Selong-Lombok Barat, RS Bari-Palembang, RS Cibabat-Cimahi, dan RS
Tabanan-Bali yang menunjukkan bahwa kasus kematian pada kasus rujukan (non-bookcase)
adalah 4-5 kali dari kasus yang sejak awal memang ditangani oleh rumah sakit (bookcase).
Sehubungan dengan itu, banyak kasus kematian ibu dan bayi baru lahir di rumah sakit, ternyata
di rujuk dari kabupaten/kota tetangga seperti Jakarta Barat ke RS Tangerang, Tangerang Selatan
ke RS Fatmawati, Bandung Selatan ke RS Cibabat-Cimahi. Peningkatan AKI di RS Tangerang pada
awal IC PONEK ternyata dipasok dari Jakarta Barat dan mulai mengalami penurunan setelah
petugas kesehatan/penolong persalinan di wilayah tersebut, dilatih oleh Tim RS Tangerang. Dua
kasus kematian di RS Fatmawati (menaikkan grafik AKI pada bulan Februari dan Juli 2010)
dipasok dari Tangerang Selatan sehingga dilakukan kordinasi Dinkes-RS untuk perbaikan kinerja.
24
BAB 5
RINGKASAN EKSEKUTIF
Di dalam program Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir, Pelayanan Obstetri-Neonatal Emergensi
Komprehensif di Rumah Sakit merupakan upaya terakhir untuk menyelamatkan kelompok rentan
risiko tersebut. Tetapi hal tersebut jangan disalah-artikan dengan hanya upaya kuratif-rehabilitatif
yang dijalankan melalui program ini. Selain pelayanan gawat-darurat, PONEK juga memberikan
intervensi promotif-preventif seperti keluarga berencana, pencegahan infeksi, pemantauan dengan
partograf, manajemen aktif kala III, penundaan penjepitan tali pusat, inisiasi menyusu dini,
thermoregulasi, imunisasi, pemberian vitamin K, dan sebagainya.
Program PONEK menggunakan intervensi berdasarkan bukti dan menggunakan praktik terbaik di
bidang obstetri dan neonatologi. Jika dilaksanakan secara lengkap (seperti Kolaborasi untuk
Perbaikan atau Improvement Collaborative) dan benar (mengikuti standar yang telah ditetapkan dan
didukung oleh semua pengampu) maka dapat secara bermakna menurunkan AKI di rumah sakit.
Mereka yang melihat PONEK dari satu sisi (pemenuhan sarana-prasarana atau menganggap
pelatihan dapat menyelesaikan masalah) akan berasumsi bahwa bantuan peralatan dan pelatihan
tidak bermanfaat. Mereka lupa bahwa pelatihan adalah intervensi untuk masalah kompetensi dan
peralatan adalah syarat untuk melaksanakan prosedur klinik sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan. Masih banyak persyaratan dan masalah yang harus diatasi, agar PONEK memberikan
manfaat seperti yang kita inginkan.
Berbagai kegiatan dan dana yang telah diinvestasikan oleh Direktorat Bina Pelayanan Medik
Spesialistik untuk program PONEK, baru memenuhi persyaratan awal dan masih berproses untuk
sampai pada tahap ideal dan menghasilkan. Pelatihan dilakukan untuk standardisasi pelayanan,
peralatan diberikan untuk menyelenggarakan pelayanan, dan supervisi fasilitatif dilakukan untuk
membantu rumah sakit dapat menerapkan hasil pelatihan dan menyelenggarakan pelayanan
berkualitas.
Inventasi pelatihan dan penyediaan sarana-prasarana, baru dapat menggerakkan sebagian mesin
produksi PONEK karena program pemerintah pusat, tidak akan memberikan hasil yang memuaskan
apabila tidak ada patisipasi dari pemerintah daerah. Hasil kajian dan analisis kegiatan PONEK yang
dilakukan sejak tahun 2007 hingga 2010 mengungkapkan bahwa kondisi RS PONEK tidak banyak
berubah jika pemerintah daerah menganggap bahwa PONEK adalah program dan milik pemerintah
pusat. Standar input hanya meningkat bermakna apabila Kementerian Kesehatan mengirimkan
peralatan, tetapi demikian apabila pengadaannya diserahkan pada pihak rumah sakit.
Penerbitan SK Tim PONEK (baik dari Direktur RS atau Kepala Dinas Kesehatan) tidak sepenuhnya
dilaksanakan dan hal ini menjadi cerminan dari rendahnya peran serta pihak RS atau Pemda
terhadap program PONEK. Selain itu, kualitas peralatan yang rendah menyebabkan sering terjadinya
konflik antara RS dan Kementerian Kesehatan. Permintaan untuk menentukan Puskesmas binaan RS
PONEK, hampir dapat dikatakan tidak mendapat tanggapan. Hanya satu atau dua provinsi yang
melakukan OJT PONEK/PONED dengan dana APBD, selebihnya tidak ada. Kerumitan seperti inilah
yang tidak dilihat oleh mereka yang menyatakan program PONEK kurang berhasil.
25
Pendekatan kolaborasi untuk perbaikan PONEK telah memberikan pembelajaran dan gambaran
tentang bagaimana seharusnya program PONEK dilaksanakan. Kordinasi antar pengampu di
tingkat pusat, dapat mengarahkan para pelaksana program untuk melakukan kordinasi dan
mengajak para pengampu di tingkat kabupaten/kota memperoleh hasil terbaik dan bermanfaat
bagi masyarakat dan pemerintah daerah setempat.
Pertemuan dan lokakarya IC PONEK, tidak saja memberdayakan petugas kesehatan/profesional
kesehatan pada aspek teknis, tetapi juga memberikan wawasan untuk perbaikan manajemen
dan kemitraan diantara para pengampu. Pertemuan bulanan melalui supervisi fasilitatif atau OJT
PONEK/PONED membuat persoalan kami menjadi persoalan kita sehingga perlu dihadapi atau
diselesaikan bersama. RS Tangerang, RS Serang, RS Cilegon, dan RS Fatmawati banyak sekali
melakukan perbaikan yang diprakarsai dan ditanggung bersama antara Tim PONEK RS dan pihak
manajemen. Perbaikan/penggantian wastafel, mengganti cat hidrofilik dengan bahan keramik,
memperbaiki sakelar atau socket listrik, mengganti tirai kain dengan tirai plastik, mengubah
konstruksi bangunan atau ruang, membeli kotak obat untuk paket obat dan peralatan
emergensi, dan masih banyak lagi perbaikan yang dilakukan dengan dana pribadi, jasa medik,
dana taktis sebagai cerminan dari kebersamaan dan dedikasi Staf dan Tim RS pONEK.
Kolaborasi untuk perbaikan yang dilakukan di 4 rumah sakit telah membuktikan bahwa
kerjasama, tanggung-jawab, dan komitmen dari semua pihak yang terlibat, dapat memberikan
hasil yang membanggakan dan sekaligus membuktikan bahwa program (PONEK), seharusnya
dijalankan secara benar dan sungguh-sungguh. IC PONEK di 4 rumah sakit (Tangerang, Serang,
Cilegon, dan Fatmawati) telah berhasil menurunkan AKI dan AKN di tingkat rumah sakit dengan
kisaran 30-60% dan 35-50%. Walaupun penilaian utama dilihat dari standar output tersebut
tetapi hasil tak ternilai dari kegiatan ini adalah terbangunnya sistem dan jejaring pelayanan
emergensi obstetri-neonatal dan kemitraan antar program dan sektor, pemerintah dan swasta
yang sangat sulit untuk diwujudkan di daerah lain.
Pendekatan kolaborasi untuk perbaikan (Improvement Collaborative), sebaiknya dapat
dilaksanakan di semua rumah sakit pemerintah, terutama rumah sakit vertikal karena hasil yang
ditunjukkan oleh sebagian besar rumah sakit yang mengikuti program PONEK 2007-2010 masih
tetap berada dalam tahap konsolidasi dan belum beranjak ke tahap operasionalisasi akibat
berbagai masalah (keterbatasan dana, program pusat vs. program daerah, otonomi, dukungan
dan kebijakan pemerintah daerah, supervisi fasilitatif atau bimbingan teknis rutin dan terjadwal,
kompetisi program dan kepentingan donor atau lembaga kesehatan internasional, kritik
berdasarkan asumsi, dsb) yang dapat menimbulkan salah interpretasi terhadap program PONEK
dan tidak berupaya agar program PONEK menjadi efektif dan membawa manfaat.
a.n Team POKJANAS PONEK Kementerian Kesehatan
Subdit Bina Upaya Kesehatan Rujukan di RSU Publik
26
Lampiran
27
28
29
30
31
32
top related