pluralisme agama (fatwa mui menurut ahmad
Post on 22-Nov-2021
16 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD
SYAFI’I MA’ARIF)
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Pada Program Studi Hukum Tatanegara (Siyasah)
Oleh
YONA MULYA KASIH
1316.015
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH)
FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) BUKITTINGGI
TAHUN 2020 M/1441 H
ii
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS
Yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Yona Mulya Kasih
NIM : 1316.015
Tempat/Tanggal Lahir : Dalam Koto/14 November 1997
Program Studi : Hukum Tata Negara (Siyasah)
Fakultas : Syariah
Judul skripsi :Pluralisme Agama (Fatwa MUI Menurut Ahmad
Syafi‟i Ma‟arif
Menyatakan dengan ini sesungguhnya bahwa karya ilmiah (skripsi) penulis
dengan judul di atas adalah benar asli karya penulis. Apabila di kemudian hari
terbukti bahwa skripsi ini bukan karya sendiri, maka penulis bersedia diproses
sesuai hukum yang berlaku dan gelar kesarjanaan penulis dicopot hingga batas
waktu yang tidak ditentukan. Demikian pernyataan ini penulis buat dengan
sesungguhnya untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
Bukittinggi, 10 Juli 2020
Yang menyatakan
Materei 6000
Yona Mulya Kasih
NIM 1316015
iii
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan rasa syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT.
Karena atas berkat dan rahmatNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat beserta salam tiada hentinya penulis sampaikan kepada Nabi
Muhammad SAW. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah
satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Hukum
Tatanegara (Siyasah) di Fakultas Syariah IAIN Bukittinggi.
Dalam penulisan skripsi ini penulis menemukan beberapa kesulitan dalam
menyusun skripsi ini, Alhamdulillah berkat bantuan dan do‟a dari berbagai pihak,
penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulis berharap setelah
menyelesaikan perkuliahan ini, penulis diberi kesempatan untuk membanggakan
orang yang penulis sayang, orang yang penulis cintai, dan semoga Allah jadikan
ilmu yang penulis dapatkan selama kuliah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Bukittinggi ini menjadi berkah dan berguna selama kehidupan penulis.
Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,
dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi
penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Ibu Rektor IAIN Bukittinggi dan Bapak Wakil Rektor IAIN Bukittinggi yang
telah memberikan fasilitas kepada penulis untuk menuntut ilmu di Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi.
v
2. Bapak Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Syari‟ah yang telah memberikan
kemudahan kepada penulis untuk segala urusan mengenai keperluan
akademik.
3. Kepada Ketua Program Studi Hukum Tatanegara (Siyasah), yakni Bapak
Helfi, M.Ag, yang telah memberikan nasehat dan arahan serta bantuan dalam
kelancaran penulis untuk mendalami Program Studi Hukum Tatanegara
(Siyasah).
4. Bapak Dr. Saiful Amin M.Ag selaku pembimbing yang telah memberikan
arahan, petunjuk serta memberikan bimbingannya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini. Sekaligus dosen penasehat akademik
(PA) penulis, juga telah memberikan arahan-arahan kepada penulis, semenjak
penulis duduk di bangku perkuliahan Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Bukittinggi.
5. Bapak dan Ibuk dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi yang
telah memberikan ilmunya yang akan menjadi bakat bagi penulis dimasa yang
akan datang.
6. Bapak dan ibuk beserta jajaran perpustakaan Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Bukittinggi yang telah memberi izin kepada penulis melakukan
penelitian.
7. Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Program Studi Hukum Tatanegara yang
telah memberikan pembelajaran dana pengalaman kepada penulis.
vi
8. Kepada keluarga besar Hukum Tatanegara angakatan 2016 yang telah sama-
sama berjuang dengan penulis semasa kuliah dan telah memberikan motivasi
kepada penulis.
9. Keluarga besar KKN angkatan 2019 yang selalu memberi arahan dan
dukungan kepada penulis.
10. Kepada sahabat tercinta Nike Karmila, Rima Zainap, Rici Putri Sari dan
Wahyuni Yuliandari (R2NAY) yang selalu memotivasi, mendampingi dan
mensuport penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
11. Teman-teman seperjuangan baik itu program studi Hukum Tatanegara
(Siyasah), Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ-HTN) periode 2017-2018,
Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS-HTN) periode 2018-2019, serta
teman-teman kos yang selalu mensuport penulis dan mengajarkan penulis
banyak hal yang bermanfaat.
Penulis berdo‟a kepada Allah SWT semoga jasa-jasa dari semua pihak
tersebut baik yang namanya tersebut maupun tidak, semoga Allah SWT membalas
dengan pahala yang berlipat ganda, Amin. Dan bagi pembaca, penulis mohon
maaf atas segala kekurangan dan kekhilafan dalam penulisan skripsi ini dan
penulis mengharapkan masukan, saran dan kritik yang kontruktif dan sehat, agar
tulisan penulis menjadi lebih baik di masa yang akan datang.
Bukittinggi, 17 Juli 2020
Penulis
Yona Mulya Kasih
NIM. 1316015
vii
DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN JUDUL i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ii
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI iii
PERNYATAAN ORISINALITAS iv
ABSTRAK v
KATA PENGANTAR vi
DAFTAR ISI vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………….……....…………...... 1
B. Rumusan Masalah…………………………………………....……..…... 6
C. Penjelasan Judul…………………………..……..………..…………..… 7
D. Tujuan dan Penggunaan Penulisan………………………...……………. 8
E. Metode Penelitian…………………………..……………....................... 9
F. Tinjauan Kepustakaan…………………………………………………. 11
G. Sistematika Penulisan………………………………….………………. 13
BAB II BIOGRAFI AHMAD SYAFI’I MA’ARIF
A. Kelahiran dan Masa Kecil Ahmad Syafi‟i Ma‟arif…………………..... 15
B. Pendidikan dan Aktifitas Sosial Ahmad Syafi‟i Ma‟arif…………….... 22
C. Karya-karya Ahmad Syafi‟i Ma‟arif………….…………………...…... 29
viii
BAB III PENDAPAT PEMUKA AGAMA ISLAM INDONESIA TENTANG
PLURALISME AGAMA
A. Pengertian Pluralisme Agama………………………………...……….. 38
B. Sejarah dan Perkembangan Pluralisme Agama……………...……...… 41
C. Pendapat Para Ahli Tentang Pluralisme Agama……………...……..… 52
BAB IV FATWA MUI DAN PENDAPAT AHMAD SYAFI’I MA’ARIF
TENTANG PLURALISME AGAMA
A. Fatwa MUI Mengenai Pluralisme Agama………………..………….... 61
B. Pendapat Ahmad Syafi‟i Ma‟arif Tentang Pluralisme Agama………... 75
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………..…………………………….. 85
B. Saran…………………………………………………………………… 87
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Istilah pluralisme agama masih sering disalah pahami atau mengandung
pengertian yang kabur, meskipun terminologi ini sangat popular dan tampak
sangat disambut hangat secara Universal. Hal ini dapat dilihat dari semakin
menjamurnya kajian Internasional, khususnya setelah konsili vatikan II. Sungguh
sangat mengejutkan, ternyata tidak banyak bahkan langka, yang mencoba
mendefiniskan pluralisme agama itu. Seakan wacana pluralisme agama sudah
disepakati secara konsesus dan final, dan untuk itu taken for granted. Karena
pengaruhnya yang luas, istilah ini memerlukan pendefinisian yang jelas dan tegas
baik dari arti segi liberalnya maupun dari segi konteks dimana ia banyak
digunakan.1
Dalam teologi masing-masing agama yang berbeda-beda bahkan mungkin
saling bertentangan yang diyakini sepenuhnya oleh masing-masing penganutnya
harus pula dihormati.2
Indonesia adalah sebuah bangsa dengan komposisi etnis yang sangat
beragam. Begitu pula dengan ras, agama, aliran, kepercayaan, bahasa, adat
istiadat, orientasi kultur kedaerahan, serta pandangan hidupnya. Dengan kata lain
bangsa Indonesia memiliki potensi, watak, karakter, hobi, tingkat pendidikan,
warna kulit, status ekonomi, kelas sosial, pangkat dan kedudukan, varian
1Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, (Jakarta: Gema Insani, 2005), cet pertama,
hal 11 2 Ibid
2
keberagamaan, cita-cita, perspektif, orientasi hidup, loyalitas organisasi,
kecendrungan dan afiliasi ideologis yang berbeda-beda. Setiap kategori sosial
memiliki budaya internal sendiri yang unik, sehingga berbeda dengan
kecenderungan budaya internal kategori sosial yang lain. Dari segi kultural
maupun struktural, fenomena tersebut mencerminkan adanya tingkat keragaman
yang tinggi. Tingginya pluralisme bangsa Indonesia, membuat potensi konflik dan
perpecahan serta kesalahpahaman juga memiliki eskalasi yang cenderung tinggi.3
Kemajemukan bangsa Indonesia, juga disebabkan hampir semua agama-
agama besar, yakni Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu, Budha dan
Konghucu hidup di negeri ini. Di sisi lain, masyarakat Indonesia juga sendiri dari
beragam suku, etnis, budaya dan bahasa. Bentuk negara kepulauan, juga
menyebabkan penghayatan dan pengamalan keagamaan bangsa ini unik di
bandingkan dengan bahasa-bahasa lain.4
Fenomena semacam ini, di satu sisi merupakan modal dasar yang dapat
memperkaya dinamika keagamaan yang positif, tetapi kenyataan seringkali
membuktikan bahwa berbagai konflik yang muncul ke permukaan, dipicu oleh
beragam perbedaan tersebut. Goresan bukti historis membuktikan bahwa umat
berlainan agama sering bertikai dan terlibat konflik. Perbedaan etnik dan
kepemelukan terhadap agama, sering dijadikan sebagai alat ampuh yang dapat
memicu konflik dan perpecahan.5
3Ibid
4M. Irfan Riyadi dan Basuki, Membangun Inklusivisme Paham Keagamaan, (Ponogoro:
STAIN Ponogoro Press, 2009) hal 1 5Umi Sumbulah, dkk, Pluralisme Agama Makna dan Lokalitas Pola Kerukunan
Antarumat Beragama, (UIN-MALIKI PRESS (Anggota IKAPI): Jalan Gajayana 50 Malang,
2013) hal 2
3
Sedangkan menurut pandangan Ahmad Syafi‟i Ma‟arif mengenai
pluralisme adalah dalam arti keragaman/kemajemukan beragama menurutnya
tidak bisa dilepaskan dengan prinsip kebebasan yang merupakan pilar utama
demokrasi, kendati di mata Al-Qur‟an kebebasan tersebut bukanlah sesuatu yang
tanpa batas, yaitu dibatasi oleh ruang lingkup kemanusiaan itu sendiri. Untuk
penjelasan lebih lanjut mengenai kebebasan ini, buya Ma‟arif mengutip
penjelasan dari Machasin, dimana Machasin memberikan penjelasan yang
proporsional terkait kebebasan tersebut menurutnya (Machasin):6
“Kebebasan itu bukan tak terbatas sama sekali. Manusia hanya bebas
melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat ikhtiariah, yakni yang didalamnya
ia mempunyai pilihan untuk melakukan atau tidak melakukannya. Tidak semua
aspek dalam kehidupannya dapat dikuasainya. Oleh karena itu, ia pun
bertanggung jawab dalam hal-hal yang benar-benar ia tidak terpaksa dalam
melakukan atau tidak melakukannya”.7
Dalam sebuah acara peluncuran buku “Muhammadiyah Gerakan
Pembaruan” di Gedung Joeang, Jumat (23/4/2010), buya Ma‟arif mengatakan
“pluralisme kenapa diharamkan itu kan tak lain dari tidak mengakui
kemajemukan. Nanti katanya akan pindah agama, itu paham siapa? Cerdas
dikitlah”.8 Ungkap pria yang kerap disapa buya itu.
9 Begitu ungkapannya pada
kesempatan tersebut. Dengan demikian, apabila agama dipahami secara benar dan
6Artawijaya, Indonesia Tanpa Liberal, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar 2012) cet pertama
109 dan 214 7Ibid (Jurnal Mukhriza Arif, Pluralisme Agama Perspektif Ahmad Syafi’I Ma’arif, tahun
2012) 8Sumber: http://guruilmu.wordpress.com dalam menduduki-pluralisme-agama-pemikiran-
ahmad-syafi‟i-ma‟arif/ (Jurnal Mukhriza Arif, Pluralisme Agama Perspektif Ahmad Syafi’i
Ma’arif, tahun 2012) 9Zaenal Arifin, Menduduki Pluralisme Agama (Pemikiran Ahmad Syafi’i Ma’arif),
Ejurnal Tentang Pluralisme Agama, 2011
4
cerdas, pasti mendorong pemeluknya untuk mengembangkan budaya dialogis,
bukan budaya saling mengunci pintu.10
Dalam pembelaannya terhadap pluralisme, buya berharap agar Majelis
Ulama Indonesia (MUI) mau meninjau ulang faktanya terkait pengharaman
pluralisme agama. Dia mengatakan, saat ini banyak pemuka agama Islam yang
berpandangan miring terhadap konsep pluralisme. “pluralisme adalah
kemajemukan, intelektualisme sama dengan pluralisme”. Pandangan miring para
ulama tersebut, ujarnya, terlihat dalam penyikapan terhadap gerakan pluralisme di
Indonesia. “Banyak ulama yang tidak paham (pluralisme), tapi langsung
menghukum,” dia mengatakan Islam adalah agama yang bersumber dari Tuhan.
“Kalau manusia tidak mampu menjaga Islam, Allah yang menjaga, “ucap pendiri
Ma‟arif Institute tersebut”.11
Dengan segala kerendahan hati dan santunnya buya tidak menyalahkan
MUI, tapi ia menyarankan agar MUI mau meninjau ulang fatwanya terkait
pengharaman pluralisme tersebut. Setelah ditinjau ia katakan boleh jadi MUI
semakin menguatkan pengharamannya atau justru mencabut fatwanya tersebut.
Apapun itu yang penting keputusan tersebut didasari dari sumber yang kuat dan
jiwa beragama yang sehat dan cerdas. Mengenai pluralisme keagamaan terdapat
dalil yang menyebutkan dalam surah Al-Baqarah ayat 256 yang berbunyi :
10
Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Mencari Autentisitas, 2014, hal 30 (Jurnal Mukhriza Arif,
Pluralisme Agama Perspektif Ahmad Syafi’i Ma’arif, tahun 2012 11
Zaenal Arifin, Menduduki Pluralisme Agama (Pemikiran Ahmad Syafi’i Ma’arif),
Ejurnal Tentang Pluralisme Agama, tahun 2011
5
Artinya: “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (islam), sesungguhnya
telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang
sesat barang siapa yang ingkar kepada tagut dan beriman kepada
Allah, sungguh ia telah berpegang teguh kepada tali yang sangat kuat
yang tidak akan putus. Allah Maha mendengar lagi Maha
Mengetahui. (Q.S Al-Baqarah ayat 256)
Ayat ini berarti Islam memberikan kebebasan sepenuhnya dalam beragama
Allah juga menegaskan dalam Q.S Yunus 10:99 yang berbunyi:
Artinya : “Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang
yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak)
memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman
semuanya?”. (Q.S Yunus Ayat 99)
Ayat ini secara tegas mengatakan bahwa seandainya Allah hendak
menjadikan manusia seluruhnya muslim, Allah pasti bisa, tapi Allah tidak
berkehendak, sebab jikalau semua orang dimuka bumi ini menjadi muslim,
mereka tetap berkelahi dan berbeda pendapat. Oleh karena itu Allah menciptakan
manusia berpuak-puak, bersuku-suku dan berbagai macam ras untuk saling
mengenal dan membangun kerjasama atas dasar kebaikan12
.
Sedangkan menurut Fatwa MUI No 7/Munas VII/MUI/11/2005 tentang
pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama yang menyatakan bahwa
12
Haedar Nashir, Muhammadiyah Gerakan Pembaharuan, (Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2018) cet ke 2 hal 173
6
pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada
bagian pertama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.13
Paham pluralisme agama, khususnya sangat membahayakan aqidah umat
sehingga bisa menyebabkan mereka kufur terhadap kebenaran agama yang
dipeluknya. Kalau diibaratkan penyakit, paham pluralisme agama seperti virus hiv
(Human Immunodeficiency Virus) yang menyebabkan rusaknya atau melemahnya
sistem kekebalan tubuh manusia sehingga rentan terhadap penyakit. Makin lama
penderita virus ini makin banyak dan semakin banyak pula yang meninggal
karenanya. Begitu juga dengan paham pluralisme agama yang sedang
dikembangkan di Indonesia, akan memperlemah keyakinan pemeluknya akan
kebenaran agama yang terjangkit olehnya dan semakin banyak pula yang akan
gugur agamanya.14
Jadi berdasarkan penjelasan dan latar belakang diatas penulis tertarik
melakukan penelitian dan dituangkan dalam sebuah skripsi yang berjudul
“Pluralisme Agama (Fatwa MUI Menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif)”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis merumuskan masalah
yang akan di bahas yaitu :
1. Kenapa MUI mengharamkan pluralisme sedangkan Ahmad Syafi‟i mendukung
pluralisme agama?
2. Apa yang membedakan pendapat MUI dengan pendapat Ahmad Syafi‟i Ma‟arif
tentang pluralisme agama?
13
Fatwa Majelis Indonesia Nomor: 7/MunasVII/MUI/II/2005. 14
Jurnal Fatwa MUI Tentang Pluralismme Agama Nomor 7/MUNAS VII/MUI/II/2005
7
C. Penjelasan Judul
Untuk menghidari kekeliruan dalam memahami judul skripsi ini maka
penulis merasa perlu menjelaskan kata-kata yang dapat meragukan pembaca.
Pluralisme: Menurut kamus bahasa Inggris pluralisme artinya
jamak atau lebih dari satu.15
Pluralisme adalah suatu
gagasan bahwa agama besar di dunia.
Pandangan John Hick tentang pluralisme adalah suatu
gagasan bahwa agama-agama besar dunia merupakan
persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang, dan
secara bertepatan merupakan respon yang beragam
terhadap yang real atau Yang Maha Agung dari dalam
pranata kultural manusia yang berpariasi dan bahwa
tranformmasi wujud manusia dari pemutusan diri
menuju pemutusan hakikat terjadi secara nyata dalam
setiap masing-masing pranata kultural manusia
tersebut dan terjadi, sejauh yang dapat diamati sampai
pada batas yang sama.16
Agama: Adalah sistem sosial yang berupa kepercayaan dan
praktek yang bersifat mengikat manusia pada kekuatan-
kekuatan non empiris untuk mencapai keselamatan dan
berjaga-jaga menghadapi masalah dalam hidup ini.17
Ahmad Syafi‟i Ma‟arif Adalah seorang ulama, ilmuwan dan pendidik
Indonesia. Ia pernah menjabat Ketua Umum Pengurus
Pusat Muhammadiyah Presiden World Conference on
Religion for Peace (WCRP) dan pendiri Ma’arif
Institute, dan juga dikenal sebagai sorang tokoh yang
mempunyai komitmen kebangsaan yang tinggi.
15
Merriam-Webster, Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary, Elevent Edition
(Masssachussets: Merriam-Webster, Incorparated, 2003), 955. (Jurnal tulisan Muhammad Qorib,
Pluralisme Buya Suafi’I Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang Guru Bangsa, (Yogyakarta: Jl.
Raya Pleret KM 2, 2019), hal 34 16
John Hick, Pandangan John Hick Tentang Pluralisme,(Yogyakarta: Institut DIAN,
2015) hal 34 17
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, (Jakarta: Gema Insani, 2005), cet pertama,
hal 1
8
Sikapnya yang plural, kritis dan bersahaja telah
memposisikannya sebagai "Bapak Bangsa".18
Jadi dari beberapa penjelasan istilah yang terdapat dalam judul yang
penulis kemukakan di atas, dapat dipahami bahwa maksud judul “Pluralisme
Agama (Fatwa MUI menurut Ahmad Syafi‟i Ma‟arif)” adalah penulis ingin
melihat dan meneliti pandangan Ahmad Syafi‟i Ma‟arif mengenai Fatwa MUI
tentang pluralisme agama.19
D. Tujuan dan Penggunaan Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Sesuai dengan masalah di atas maka pembahasan dalam skripsi ini
bertujuan untuk :
a. Untuk mengetahui alasan MUI mengharamkan pluralisme agama.
b. Untuk mengetaui alasan Ahmad Syafi‟i Ma‟arif mendukung pluralisme
agama.
c. Untuk mengetahui perbedaan pendapat MUI dengan Ahmad Syafi‟i Ma‟arif
mengenai pluralisme agama.
2. Kegunaan Penulisan
a. Untuk memenuhi salah satu syarat meraih gelar Sarjana Hukum pada
program Studi Hukum Tata Negara Fakultas Syari‟ah Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Bukittinggi.
b. Sebagai salah satu sumbangan pemikiran bagi masyarakat, insan akademis
dan lain-lain, khususnya di bidang Syari‟ah.
18
Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Krisis Arab Dan Masa Depan Dunia Islam, (Yogyakarta :PT
Bintang Pustaka, 2018) hal 114 19
Huhammad Amin Suma, Op., Cit., hal 71
9
c. Untuk mengetahui pendapat MUI dan Ahmad Syafi‟i Ma‟arif mengenai
pluralisme agama.
E. Metode Penelitian
Setiap penulisan selalu dihadapkan pada suatu penyelesaian yang paling
akurat, yang menjadi tujuan penelitian itu. Untuk mencapai suatu penelitian
tersebut diperlukan metode. Metode dalam sebuah penelitian adalah sebuah cara
atau proses untuk menemukan sesuatu data secara akurat dalam sebuah penelitian.
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian pustaka (library
research), yaitu penelitian yang menggunakan fasilitas pustaka seperti buku-buku,
kitab dan lain-lain. Oleh karena itu dalam penelitian ini yang disajikan adalah
berbagai sumber dari perpustakaan mengenai permasalahan yang akan diteliti,
yakni mengenai Pluralisme Agama (Fatwa MUI menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif).
2. Sumber Data
Jenis penelitian dalam penulisan ini adalah penelitian keperpustakaan,
maka teknik pengumpulan data yang ditempuh adalah dengan meneliti dan
mengumpulkan pendapat sarjana dan para tokoh serta ulama dalam buku-buku,
kitab-kitab dan karya ilmiah lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang
penulis angkatkan.
a. Sumber primer
Data primer adalah data penelitian langsung pada subjek sebagai sumber
informasi yang diteliti. Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah buku-
buku Fatwa Majelis Indonesia Nomor: 7/MunasVII/MUI/II/2005. Ahmad Syafi‟i
10
Ma‟arif, Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita, (Democracy Project,
2012).
b. Sumber Sekunder
Data sekunder adalah data yang mendukung atau sebagai data tambahan
bagi data pimer. Sebagai kerangka teori untuk melakukan analisa terhadap konsep
yang sudah ada sebagaimana dideskripsikan dalam prularisme menurut Ahmad
Syafi‟i Ma‟arif. Maka penulis mencari dan memakai ide dan buku-buku yang
mempunyai siknifikansi dalam bidang kajian sebagaimana diangkat oleh penulis,
baik buku ataupun kitab tersebut berupa buku-buku mengenai pluralisme agama.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah analisis kualitatif
deskriptif dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang terdapat dalam
pluralisme agama menurut Ahmad Syafi‟i Ma‟arif. Sebagai data sekunder dalam
penelitian ini adalah buku-buku yang berkaitan dengannya, diantaranya Tariq
Suwaidan, Biografi Imam Syafi’i Ma’arif, (Jakarta: Jln. Kemang Raya No.16,
2015). Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, (Jakarta: Perspektif Kelompok
Gema Insani, 2006), cet 2. Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, (Jakarta:
Perspektif, 2005), cet 1. Umi Sumbulah dan Nurjanah, Pluralisme Agama (UIN
Maliki Press (Anggota IKAPI), Jalan Gajaya 50 Malang, 2013). Abd. Moqsith
Ghazali, Argumen Pluralisme Agama, (Yogyakarta: Kab Sleman Depok).
Zainuddin, Pluralisme Agama, (Malang: UIN Maliki Press). Muhammad Qorib,
Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang Guru Banngsa ,
(Yogyakarta: Jl. Raya Pleret KM 2, 2019).
11
F. Tinjauan Kepustakaan
Untuk menghindari adanya asumsi plagiasi, berikut ini penulis akan
memaparkan beberapa penelitian terdahulu yang memiliki kemiripan dengan
penelitian yang akan penulis lakukan. Ada beberapa penelitian yang membahas
tentang pluralisme agama.
Pertama, sebuah karya ilmiah yang ditulis oleh Fitri Fauziah/1314002
tahun 2018 Program Studi Hukum Tata Negara Fakultas Syari‟ah Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi, dengan judul “Pluralisme Agama Dalam
Pandangan Islam (Studi Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor:
7/MUNASVII/MUI/II/2005)”. Fokus penelitian ini adalah hukum pluralisme
agama yang mana dalam skripsi ini dijelaskan bahwa MUI menentang adanya
paham pluralisme agama. Hal tersebut karena pluralisme agama dianggap sebagai
suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama sama dan kebenaran setiap
agama relatif. Setiap agama tidak boleh mengklaim bahwa agamanya sajalah yang
benar sedangkan agama yang lain salah.
Kedua, Skripsi yang ditulis oleh Dewi Rahma Yuli/1315032 tahun 2019
program Studi Hukum Tata Negara Islam (Siyasah) Fakultas Syari‟ah Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi, dengan judul “Pemikiran Politik Syafi’i
Ma’arif Tentang Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara”. Fokus penelitian
ini adalah pemikiran mengenai Islam dan Pancasila memunculkan banyak
perdebatan dikalangan tokoh-tokoh Islam termasuk Ahmad Syafi‟i Ma‟arif. Hal
ini sangat menarik untuk dibahas tentang bagaimana pandangan Syafi‟i Ma‟arif
12
tentang hubungan Islam dan Pancasila sebagai dasar negara dan apa saja
persamaan dan perbedaan dengan tokoh muslim lain.
Setelah penelitian kepustakaan penulis lakukan, diproleh hasil pemikiran
politik Ahmad Syafi‟i Ma‟arif tentang hubungan Islam dan pancasila sebagai
dasar sebagai dasar Negara, bahwa hubungan Islam dan pancasila sangat erat,
karena adanya hubungan timbal balik yang saling membutuhkan dan saling
melengkapi. Islam tidak dapat berkembang dan efektif dalam masyarakat tanpa
bantuan bantuan negara pancasila sebagai alat kekuasaan untuk “memaksa”.
Begitupun sebaliknya pancasila tanpa adanya bimbingan Islam akan mengalami
kekurangan etika dan moral, dan dengan panduan Islam, pancasila juga dapat
berkembang dalam bimbingan etika.
Ketiga, sebuah karya ilmiah yang ditulis oleh Fadlan Barakah/ 08720014
tahun 2012 program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, dengan judul “Pandangan
Pluralisme Agama Ahmad Syafi’i Ma’arif Dalam Kontek Keindonesiaan Dan
Kemanusiaan”. Penelitian ini sendiri merupakan studi tokoh dengan fokus utama
Ahmad Syafi‟i Ma‟arif sebagai subjek penelitian. Penelitian ini merupakan
penelitian kepustakaan yang dilakukan dengan cara menelaah karya-karya Ahmad
Syafi‟i Ma‟arif dengan pendekatan sosiologi pengetahuan. Penelitian ini bertujuan
untuk menggali pandangan Syafi‟i Ma‟arif tentang pluralisme agama yang terjadi
di Indonesia. Dipilihnya Ahmad Syafi‟i Ma‟arif karena beliau merupakan tokoh
nasional yang berasal dari Muhammadiyah, serta pernah menjabat sebagai Ketua
Umumnya. Selain itu dari segi keilmuan, karya-karya yang dihasilkan oleh Guru
13
Besar Ilmu Sejarah ini banyak mengupas pluralisme agama. Dari penelitian ini
dapat didapati bahwa, fokus penelitian ini adalah bahwa berdasarkan keilmuan dan
pengalaman hidupnya, Ahmad Syafi‟i Ma‟arif adalah seorang yang berpaham
inklusif dalam menyikapi pluralisme agama. Syafi‟i Ma‟arif mengakui pluralisme
agama sesuai dengan realitas sejarah Indonesia. Ahmad Syafi‟i Ma‟arif
mensyaratkan untuk hidup berdampingan antar umat beragama harus memiliki
rasa lapang dada yang besar dengan segala perbedaan yang ada. Sebagai warga
Muhammadiyah, Ahmad Syafi‟i Ma‟arif sangat toleran terhadap segala bentuk
perbedaan, termasuk dalam perbedaan agama. Pluralisme menurut Syafi‟i Ma‟arif
digunakan sebagai alat untuk menjalin persatuan dan harmonisasi antar umat
beragama di Indonesia.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan memuat uraian dalam bentuk deskriptif yang
menggambarkan alur logis dari bangunan bahasa skripsi mulai dari bab
pendahuluan sampai penutup.
BAB I Pendahuluan. Pada bab ini penulis akan menguraikan latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penulisan, penjelasan
judul, metode penelitian, kajian keperpustakaan, sistematika penulisan.
BAB II Biografi. Pada bab ini penulis akan menguraikan tentang kelahiran
dan masa kecil Ahmad Syafi‟i Ma‟rif, pendidikan dan aktifitas social dan karya-
karya Ahmad Syafi‟i Ma‟arif.
14
BAB III Pluralisme Agama. Pada bab ini penulis akan menjelaskan
tentang pengertian pluralisme agama, sejarah dan perkembangan dan pendapat
para ahli tentang pluralisme agama
BAB IV Fatwa MUI dan pendapat Ahmad Syafi‟i Ma‟arif tentang
puralisme agama. Pada bab ini penulis menjelaskan mengenai dasar pengharaman
pluralisme agama dalam fatwa MUI dan pendapat Ahmad Syafi‟i Ma‟arif tentang
pluralisme agama.
BAB V Penutup. Memuat kesimpulan yang merupakan rumusan singkat
sebagai jawaban atas permasalahan yang ada dalam penelitian juga penulis akan
memasukkan beberapa masukan dan saran.
15
BAB II
BIOGRAFI AHMAD SYAFI’I MA’ARIF
A. Kelahiran dan Masa Kecil Ahmad Syafi’i Ma’arif
Ahmad Syafi‟i Ma‟arif lahir di Sumpur Kudus pada tanggal 31 Mei 1935
dari pasangan Ma‟rifah Rauf (ayah) yang lahir tahun 1900 dan meninggal pada
tahun 1955, sedangkan Fathiyah (ibu) yang lahir tahun 1905 dan meninggal pada
tahun 1937 sebagai anak bungsu dari empat bersaudara.20
Ayahnya adalah tokoh
yang terpandang di kampungnya. Ia berstatus sebagai kepala suku Melayu dengan
gelar Datuak Rajo Malayu dan sebagai Kepala Nagari (1936-1945) Sumpur
Kudus. Masyarakat Minang dikenal berkarakter egaliter, namun di antara suku-
suku itu, Chaniago adalah suku yang paling egaliter. Fathiyah, ibu Syafi‟i Ma‟arif,
berasal dari suku tersebut.21
Ayah dan ibu Syafi‟i Ma‟arif berprofesi sebagai
pedagang gambir dan karet. Dapat diduga, selain terpengaruh oleh pendidikan
Barat yang memang egaliter, sikap Syafi‟i Ma‟arif yang egaliter bisa saja dibentuk
oleh kultur Minang itu. Dugaan ini diperkuat oleh tesis Mrazek yang menjelaskan
bahwa masyarakat Minang bercirikan dua hal, yaitu: pertama, dinamisme, dan
kedua, anti-prokialisme. Yang pertama ditandai dengan jiwa merantau,22
20
Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang
Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019), hal 85 (Fathiyah wafat saat Ma‟rifah berusia 18
tahun, Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Titik-Titik Kisar dalam Perjalananku, (Yogyakarta: Ombak, 2006)
hal 42 21
Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang
Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019), hal 85 (Ahmmad Syafi‟i Ma‟arif, Titik-Titik
Kisar, vii dan 4) 22
Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang
Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019), hal 85 (Lihat Tsuyosi Kato, Adat Minangkabau
dan Merantau dalam Perspektif Sejarah, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005)
16
sedangkan yang kedua melahirkan jiwa bebas yang kosmpolit.23
Meskipun lahir di
wilayah pedesaan, secara ideologis, Syafi‟i Ma‟arif dibesarkan dalam nuansa
maritim yang dinamis dan independen. Karakter inilah yang kelak mewarnai
gagasan-gagasan yang ia gulirkan.
Keluarga Ahmad Syafi‟i Ma‟arif merupakan keluarga terhormat, ayahnya
sebagai kepala Melayu dengan menyandang gelar Datuk Rajo Melayu yang di
jabatnya sampai wafat. Secara kategori elit di kampung, tempat masyarakat
mengadu tentang berbagai masalah, tidak hanya satu yang berkaitan dengan
masalah ekonomi, juga masalah adat dan lembaga tingkat nagari. Ilmu agama
ayahnya diperoleh dari membaca. Ayahnya cerdas dan itu di akui oleh semua
orang dan Syafi‟i Ma‟arif sendiri sering melihat betapa hormatnya masyarakat
kepada ayahnya, masyarakat yang datang selalu sopan kepada ayahnya.24
Ayah Syafi‟i Ma‟arif bersaudara seayah-seibu (Abd Rauf dan Bilam)
berjumlah tujuh; Ma‟rifah, Karimah, Siti Daiyah, Saidina Hasan, Bainah, Attudin
Rauf dan Ahmad. Karimah dan Ahmad sudah wafat disaat umurnya masih muda,
Saidina Hasan wafat di rumah sakit Sawah Lunto dalam usia sekitar 32 tahun.
Sedangkan ayah Syafi‟i Ma‟arif wafat pada 5 Oktober 1995, dimakamkan di Tapi
Selo, tanah persukuan orang Melayu.25
Sementara ibu Ma‟arif bernama Fathiyah lahir di Tepi Balai pada tahun
1905 dan beliau wafat waktu Syafi‟i Ma‟rif berusia 18 bulan. Ahmad Syafi‟i
23
Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang
Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019), hal 85 (Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Titik-Titik Kisar,
xi) 24
Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Titik Kisar di Perjalananku, Autobiografi Ahmad Syafi’i
Ma’arif, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2009), hal 5 25
Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Titik Kisar di Perjalananku, Autobiografi Ahmad Syafi’i
Ma’arif, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2009), hal 66
17
Ma‟arif tidak bisa membayangkan wajah dan senyum ibunya. Ahmad Syafi‟i
Ma‟arif tidak pernah melihat foto ibunya, ini menjadi sulit baginya untuk
membayangkan wajah ibunya. Ibunya wafat pada usia sekitar 32 tahun. Banyak
orang yang mengatakan bahwa ibunya cukup cantik, tetapi Syafi‟i Ma‟arif tidak
pernah mengenal wajah ibunya.26
Setelah ibunya meninggal Ahmad Syafi‟i Ma‟arif dititipkan pada bibinya
Bainah (dipanggil etek), sekitar 500 meter dari tempat kelahirannya. Ayah Syafi‟i
Ma‟arif tampakya sengaja menitipkan anaknya dirumah adiknya sendiri agar
dapat diawasi dari dekat sebelum pergi merantau, selama 16 tahun Ma‟arif hidup
bersama bibi dan pamannya.27
Ibunya adalah seorang penunggang kuda menempuh perjalanan jauh.
Ahmad Syafi‟i Ma‟arif menceritakan “selagi sehat kabarnya ibuku kalau
bepergian biasa naik kuda dengan memakai selendang sarung bugis yang
diselempangkan dibahunya, suatu kebiasaan yang tidak lazim dikampungnya.
Sebagai isteri yang terkemuka ditingkat nagari masyarakat dapat memakluminya.
Alangkah anggunnya ibuku berada di atas punggung kuda”.28
Budaya perempuan naik kuda, berarti bahwa posisi perempuan di
kampung Syafi‟i Ma‟arif terhormat, tidak kalah juga dengan kaum pria dan
sebenarnya kultur Minangkabau adalah matrilineal, kaum perempuan secara teori
26
Jurnal Fajrul Amalia Arrohmawati, Pemikiran Pendidikan Pluralisme Keagamaan
Ahmad Syafi’i Ma’arif, (Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2017) hal
22 27
Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Titik-titik Kisar di Perjalanan, Autobiografi Ahmad Syafi’i
Ma’arif, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2009) hal 72-73 28
Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan, Autobografi Ahmad Syafi’i
Ma’arif, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2009) hal 73
18
mempunyai posisi yang dominan. Ibu Syafi‟i Ma‟arif bukanlah manusia yang
kolot pada saat Indonesia berada dibawah sistem penjajahan.29
Ahmad Syafi‟i Ma‟arif menikah pada tanggal 5 Februari tahun 1965
dengan seorang gadis bernama Nurkhalifah. Ma‟arif menikah dirumah mertuanya
(Sarialam dan Halifah) yang dikenal dengan kawasan mendahiling dalam sebuah
acara sederhana. Pada saat menikah umur Syafi‟i Ma‟arif sudah berumur 30
tahun. Perbedaan usia Nurkhalifah dengan Ma‟arif cukup jauh berbeda 9 tahun.
Ahmad Syafi‟i Ma‟arif memiliki beberapa orang anak, anak pertamanya bernama
Salman yang lahir di Yogyakarta pada bulan Maret 1966. Tetapi sayangnya,
Salman meninggal diusianya kurang sedikit 20 bulan, setelah sakit beberapa lama
di Padang.
Dengan meninggalnya Salman, Buya Syafi‟i sangat terpukul batinnya,
seperti yang diungkapkannya sungguh nak, kepergianmu menyebabkan batin ayah
sangat terguncang, tetapi inilah kenyataan ppahit yang harus dijjalani. Hanya iman
yang menolong agar tidak terus berlarut dalam suasana ketidak stabilan jiwa. Pada
November tahun 1968 lahir anak kedua yang bernama Iwan dan ia juga wafat
pada Oktober tahun 1973. Selanjutnya lahir anak ketiga Syafi‟i Ma‟arif yang
bernama Mohammad Hafiz yang lahir premature dengan berat badan 2,20 kg
pada 25 Maret 1974. Dalam perjalanan waktu kewaktu yang sepanjang itu,
29
Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan, Autobografi Ahmad Syafi’i
Ma’arif, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2009) hal 75
19
melalui suasana suka dan duka, perang dan damai, hanya satu kata ucapan syukur.
Rasa syukur yang merupakan perekat rumah tangganya.30
Keluarga kecil yang hanya beranggotakan tiga orang, yaitu Buya, ibu Hj.
Nurkhalifah, dan Mohammad Hafiz. Hubungan mereka dikatakan tetap relative
demokrasi dan liberal, dimana one person-one voice, yakni kami bertiga
mempunyai suara yang argument, malah ada di saat tertentu terjadi debat kusir
yang tidak ada ujungnya, namun opini pribadi tetap dihargai.31
Panggilan Nurkhalifah terhadaap Ahmad Syafi‟i Ma‟arif yaitu dengan
sebutan Kak Oncu, dimana sebutan tersebut adalah kebiasaan anak nagari Sumpur
Kudus memanggil suaminya berdasarkan urutan kelahiran di kalangan
keluarganya. Kak Oncu adalah anak bungsu dari empat bersaudara seayah seibu.
Namun sekarang ia tinggal sendiri, sementara saudara-saudara kandungnya yang
lain telah wafat. Sedangkan saudara seayah lebih banyak dari dua saudara seibu
yang lain.32
Sewaktu kecil tidak ada keinginan untuk meraih cita-cita yang tinggi, tidak
ada angan-angan untuk menjadi apa atau siapa karena memang lingkungan nagari
yang sempit dan sederhana. Semasa kecil Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, kota belum ada
dikampungnya, karena belum ada televisi dikampungnya dan wawasan Syafi‟i
pun hanyalah sebatas Nagari Sumpur Kudus. Sehari-hari Syafi‟i Ma‟arif bergaul
30
Abd Rohim Ghazali, Saleh Partaonan Daulay, Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafi’i
Ma’arif: cermin untuk semua, (Jakarta: MA‟AARIF Inastitute for Culture and Humanity, 2005)
hal 4 31
Karya Ilmiah Dewi Rahma Yuli, Pemikiran Politik Syafi’i Ma’arif Tentang Islam dan
Pancasila Sebaagai Dasar Negara, (Fakultas Syari‟ah Institut Agama Islam Negeri, 2019) hal 36
(Abd Rohim Ghazali, Saleh Partaonan Daulay, Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafi’i Ma’arif: cermin
untuk semua ,…, hal 8) 32
Karya Ilmiah Dewi Rahma Yuli, Pemikiran Politik Syafi’i Ma’arif Tentang Islam dan
Pancasila Sebaagai Dasar Negara, (Fakultas Syari‟ah Institut Agama Islam Negeri, 2019) hal 36
20
dengan teman-teman sekampungnya, mengadu ayam, mengail, menjala,
menembak burung dengan senapan angin milik abangnya dan mengembala sapi di
Sumpur Kudus.33
Sumpur Kudus tidak saja dikenal karena Rajo Ibadatnya sebagai petinggi
agama, tetapi dahulunya juga sebagai kawasan perdagangan emas dan kopi. Aku
tidak tahu di mana lokasi tambang emas pada masa itu, sebab bekasnya tidak
ditemukan lagi. Mungkin saja terletak di nagari lain di sekitar Sumpur Kudus.
Ada memang nama kampung Tombang (Tambang?) dalam kenagarian Sumpur
Kudus. Apakah di sekitar tempat ini dahulu terdapat tambang emas, sangat sulit
disimpulkan. Semuanya sekarang telah berubah sejalan dengan bergulirnya waktu
dalam rentang waktu yang panjang. Kalau kopi tentu tidak sulit ditelusuri karena
sampai hari ini masih ada masyarakat menanamnya. Tanaman kopi dan lada
adalah komoditas yang dapat diperbarui terus menerus, sedangkan emas jika
sudah habis, ya habis, tidak dapat diperbaharui lagi.34
Sumpur Kudus itu sendiri di samping nama nagari, juga nama kecamatan
di era modern. Sungainya pun bernama Batang Sumpur tanpa dilengkapi dengan
Kudus. Tepian pemandian Syafi‟i M‟arif di kala kecil ya sungai ini, persis seperti
anak-anak kampung yang lain. Batang Sumpur mengalir dari utara ke selatan
menuju Sisawah dan Padang Lawas. Pertemuan Batang Sumpur dengan Batang
Sinamar disebut juga Muara Sumpur (dalam bahasa Minang: Muaro Sumpu).35
33
Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Titik-Titik Kisar di Perjalananku: Autobiografi Ahmad Syafi’i
Ma’arif, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2009) hal 3 34
Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Titik-titik Kisar di Perjalananku: Autobiografi Ahmad Syafi’i
Ma’arif, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2009) hal 30 35
Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Titik-titik Kisar Perjalananku: Autoboigrafi Ahmad Syafi’i
Ma’arif, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2009) hal 34
21
Ahmad Syafi‟i Ma‟arif sering dipanggil “Buya” oleh orang yang dekat
dengannya. Istilah Buya diucapkan kepada Syafi‟i Ma‟arif karena pantas
menyandang panggilan Buya yang memang sudah menjadi ulama yang alim dan
juga dikenal sebagai pendidik, sekaligus ilmuan atau cendikiawan. Ahmad Syafi‟i
Ma‟arif lahir dari pasangan Ma‟rifah Rauf dan Fathiyah yang berprofesi sebagai
pedagang gambir dan karet kemudian menjadi kepala Nagari (1936-1945) Sumpur
Kudus.
Sumpur Kudus juga disebut dengan “Makkah Darat”, secara kultural
sebutan itu menunjukkan sebuah gerak perlawanan Islam terhadap kultur jahiliyah
yang dikuasai para parewa (preman). Penamaan Sumpur Kudus (sempurna suci)
sebagai Makkah Darat sekaligus menunjukkan keberhasilan Islam menundukkan
hati manusia Sumpr Kudus.36
Dapat dipahami, ia lahir di tengah kultur dan
dinamika keislaman yang kental itu. Makkah Darat merupakan pusat gerakan dan
kajian Islam yang jauh dari pantai (Barat dan Timur). Istilah “adat nan manurun,
syarak nan mandaki” harus dilihat dari gerak adat dari tempat yang tinggi dari
Pariangan Padang Panjang di lereng Gunung Merapi. Syarak mendaki dari dataran
rendah pantai timur dan dari Ulakan di pantai Barat menuju tempat yang tinggi.
Gerak turun dan mendaki inilah kemudian melahirkan formula strategi bersendi
kitabullah”, dan “syarak mengata adat memakai” (syarak mengato adaik
36
Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang
Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019) hal 84 (Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Titik-titik Kisar,
viii)
22
mamakai, dalam bahasa Minang), sekalipun masih banyak unsur adat itu yang
berlawanan dengan agama.37
Selain kaya akan nilai-nilai tradisi, Sumpur Kudus juga merupakan pusat
perdagangan emas dan kopi. Dua barang dagangan itu bukan hanya menjadi
kebanggaan masyarakat, tapi juga menjadi barang ekspor ke luar negeri. Emas dan
kopi tersebut dibawa ke Singapura via Riau, untuk kemudian dikirim ke Eropa.
Situasi seperti itu juga ditegaskan Christine E. Dobbin tentang kemajuan Sumpur
Kudus. Hubungan antara Sumpur Kudus dengan dunia luar merupakan sebuah
bukti bahwa daerah ini terbuka dengan berbagai kultur lain. Sebagai sebuah pusat
dagang, tentunya daerah tersebut merupakan tempat bertemunya para pendatang
dengan latar belakang kultur yang majemuk. Latar belakang budaya yang kaya,
kultur keislaman yang kental dan dinamika masyarakat yang tinggi adalah nilai
lebih tersendiri bagi terbangunnya watak yang religious, egaliter dan mandiri.
Seperti diakui oleh Syafi‟i Ma‟arif, latar belakang potensi tersebut begitu
membekas dalam pengembangan kepribadiannya.38
B. Pendidikan dan Aktifitas Sosial Ahmad Syafi’i Ma’arif
Ahmad Syafi‟i Ma‟arif akhir-akhir ini mendapat julukan “Buya Syafi‟i”
merupakan salah satu tokoh senior dalam bidang pemikiran Islam di Indonesia.
Masa lalu Syafi‟i memang penuh gelombang pasang surut. Masa sekolahnya bisa
dibilang banyak menemui kesulitan. Ketika akan masuk SMA Muhammadiyah di
37
Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang
Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019), hal 85 (Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Titik-Titik Kisar,
hal 8 38
Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang
Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019), hal 85 (Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Titik-Titik Kisar,
hal 17
23
Yogyakarta, Syafi‟i ditolak karena asal SMP-nya dari Desa Lintau di Sumatera
Barat, yang dianggap tidak bermutu. Ia lalu mendaftar ke Madrasah Muallimin
Muhammadiyah di kota yang sama. Mulanya, suami Nurkholifah ini juga ditolak
karena tidak lulus tes. “Tapi, karena pertimbangan waktu saya berasal dari desa,
saya diterima juga”, kenang Syafi‟i.39
Di sekolah yang mencetak kader-kader da‟i Muhammadiyah itu, nilai
rapor Syafi‟i selalu bagus dan selalu mendapat peringkat satu. Setelah lulus, ahli
sejarah ini sempat terdaftar di IAIN Sunan Ampel, Surabaya, sebelum masuk
Fakultas Hukum Universitas Islam HOS Cokroaminoto Surakarta dan akhirnya
pindah ke Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan Sejarah IKIP
Yogyakarta. “Saya mengulang lagi dari semester satu”, katanya. Alasan pindah,
Syafi‟i butuh jadwal studi yang tidak teratur karena ia harus mengajar di tempat
sejauh 50 kilometer. Jadwal studi di IKIP memungkinkannya mengatur waktu,
meski semuanya harus dibayar mahal. “Saya lulus sarjana ketika umur sudah tua,
29 tahun”, aku Syafi‟i, yang pernah jadi dosen tamu di McGill University,
Kanada.40
Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia ini lantas mengambil S2 di
Illinois, Amerika, begitu lulus dari IKIP. Tapi anak laki-lakinya meninggal
menyebabkan ia meninggalkan kuliah untuk gelar masternya dan kembali ke
tanah air. Di Indonesia Syafi‟i mengajar beberapa tahun sebelum memutuskan
kembali ke Amerika dan mengambil kuliah di Jurusan Sejarah, Ohio University,
39
Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, (Jakarta: Hujjah Press, 2007) hal
81-82 40
Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, (Jakarta: Hujjah Press, 2007) hal
82
24
Athens, Ohio. Belum lagi rampung, ia juga mengambil S3 Pemikiran Islam,
Universitas Chicago, di Amerika. “Amien Rais yang mengurus semua”, Syafi‟i
menjelaskan. Di sanalah ia meraih gelar doctor pada tahun 1982, dengan disertai
Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in
the Constituent Assembly Debates in Indonesia.41
Sejak di Chicago itulah Syafi‟i mulai kuliah di bawah bimbingan Fazlur
Rahman, seorang pembaru Islam dari Mesir, yang dianggapnya banyak
memberikan pencerahan, termasuk dalam memahami Al-Qur‟an. “Saya betah di
sana, karena cocok dengan dunia intelektualitas saya”, kenang si anak desa yang
pernah bercita-cita hanya ingin menjadi penceramah di podium ini.42
Meski sejak kecil sudah mengenal Muhammadiyah, Syafi‟i baru benar-
benar menjadi pengurus organisasi Islam itu sepulang dari Chicago. Waktu itu,
tahun 1985, ia diajak masuk ke Majelis Tabligh Muhammadiyah, sampai akhirnya
“gelombang” mengempaskannya menjadi Ketua PP Muhammadiyah pada tahun
1998. Jabatan ketua itu, sebenarnya juga bukan tiba-tiba diraih Syafi‟i. dalam
beberapa kali muktamar organisasi keagamaan tersebut, ia setidakknya sudah dua
kali masuk bursa ketua. “ Muktamar di Solo saya masuk calon nomor dua belas
dan di Banda Aceh nomor tiga”, ujar Syafi‟i. Baru pada muktamar di Jakarta, ia
terpilih sebagai ketua PP.43
41
Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, (Jakarta: Hujjah Press, 2007) hal
82-83 42
Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, (Jakarta: Hujjah Press, 2007) hal
83 43
Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, (Jakarta: Hujjah Press, 2007) hal
83
25
Kesan yang diperoleh Syafi‟i Ma‟arif dalam menjalankan tugas sebagai
ketua PP Muhammadiyah dengan sebanyak mungkin kegiatan adalah:44
1. Muhammadiyah dengan segala kelemahannya masih berada di papan atas.
Namun jika parlemen yang digunakan adalah cita-cita Al-Qur‟an untuk
menciptakan sebuah masyarakat Indonesia yang bermoral, Muhammadiyah
masih berada di awal jalan, suasana sepeti ini memang memprihatinkan.
Untuk bergerak kesana merupakan tanggung jawab semua kekuatan bangsa
dengan pimpinan pemerintahan yang juga harus bermoral.
2. Pada sisi lain Syafi‟i Ma‟arif menggambarkan bahwa isu-isu pembaharuan
dikerjakan Muhammadiyah barulah sekedar menyentuh jenis ijtihad pinggiran,
sementara jenis ijtihad di luar itu sebelum disentuh banyak oleh
Muhammadiyah.
3. Yang menjadi sorotan adalah karena Muhammadiyah menyebut dirinya
sebagai gerakan Islam, gerakan da‟wah amar ma‟ruf nahi mungkar. Rumusan
semacam ini mengisyaratkan tanggung jawab yang sangat besar, sementara
energi Muhammadiyah lebih banyak terkuras oleh kerja-kerja sosial
kemasyarakatan.
4. Dalam berbagai forum Syafi‟i Ma‟arif sering mengatakan bahwa dalam
bidang pendidikan dan kesehatan, Muhammadiyah hanyalah pembantu
pemerintah, tidak lebih dan tidak kurang.
44
M. Yunan Yunus, Teologi Muhammadiyah Citra Tajdid dan Realitas Sosial, (Jakarta:
Uhamka Press, 2005) hal 72
26
5. Muhammadiyah belum mampu menawarkan sistem alternatif, baik untuk
pendidikan maupun dalam bidang kemanusiaan lain yang selalu memerlukan
perhatian khusus.
Soal keterkaitannya pada Muhammadiyah, pria yang pernah menyukai
Darul Islam ini mengaku selain karena terbuka organisasi yang didirikan oleh KH.
Ahmad Dahlan itu juga mengajarkan orang tidak menjadi pengikut yang membabi
buta. Ajaran dan sikap ini pas dengan lelaki yang suka menjadi tukang potong
sapi dan kambing saat hari raya Qurban itu. “Pertama kali yang mencerahkan otak
saya adalah Muhammadiyah”, tukas Syafi‟i.45
Ahmad Syafi‟i Maarif merupakan sosok unik yang dimiliki oleh
Muhammadiyah. Meskipun Muhammadiyah bukan merupakan organisasi yang
memberikan perhatian serius dalam hal perkembangan pemikiran Islam
menyangkut pluralisme, dialog antar agama, dan apalagi sekularisme yang
menjadi perdebatan di kalangan intelektual muslim Indonesia. Namun Syafi‟i
Maarif merupakan figur Muhammadiyah yang terkadang dipersoalkan terkait
pemikiran-pemikirannya yang dianggap tidak sejalan dengan Muhammadiyah.46
Kini selain guru besar IKIP Yogyakarta, ia juga rajin menulis, disamping
menjadi pembicara dalam sejumlah seminar. Sebagian besar tulisannya adalah
masalah-masalah Islam, dan dipublikasikan di sejumlah media cetak. Selain itu, ia
juga menuangkan pikirannya dalam bentuk beku. Bukunya yang sudah terbit,
antara lain, berjudul “Dinamika Islam” dan “Islam, Mengapa Tidak?”, kedua-
45
Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, (Jakarta: Hujjah Press, 2007) hal
83 46
Ejurnal karya Ilmiah oleh Ahmad Science Nidaus Salam, Dakwah Kebangsaan Ahmad
Syafi’i Ma’arif di Indonesia, (Universitas Isalam Negeri Walisongo Semarang, 2018) hal 22
27
duanya diterbitkan oleh Ahalahuddin Press, 1984. Kemudian “Islam dan Masalah
Kenegaraan,” yang diterbitkan oleh LP3ES, 1985 dan banyak lagi.
Membaca buku adalah kesibukan harian yang dilakukan Buya Syafi‟i
Ma‟arif, selain menjalankan aktivitasnya sebagai ketua PP Muhammadiyah,
anggota Dewan Pertimbangan Agung dan staf pengajar di IKIP Yogyakarta. Tidak
heran kalau Buya Syafi‟i Ma‟arif juga fasih menyitir ungkapan yang berharga dari
kalangan ilmuan, dan juga kaya dalam ungkapan-ungkapan puitis yang bermakna
cukup mendalam. Bahwa keterlibatan Buya Syafi‟i Ma‟arif sebagai Ketua Umum
Muhammadiyah merupakan sebuah keharusan sejarah itu sendiri. Tatkala desakan
reformasi sedang bergulir di Indonesia dan Amien Rais sebagai salah satu
lokomotif pendesak yang saat itu menakhodai Muhammadiyah harus melibatkan
diri dalam aktivitas politik untuk mengawal gerak roda reformasi secara praktis,
maka sebagai nakhoda pengganti Buya Syafi‟i Ma‟arif sadar bahwa pada saat itu
pula Muhammadiyah seumpama bahtera induk yang harus tetap diarahkan ke
haluan utamanya agar tidak terseret-seret oleh tarikan arus pergumulan politik
praktis dan kepentingan jangka pendek.47
Setelah kembali terpilih sebagai Ketua Umum Muhammadiyah dalam
Muktamar ke-44 (2000) yang berlangsung di Jakarta, Buya Syafi‟i Ma‟arif
kemudian mengemudikan perannya dalam mendinamisasi Muhammadiyah agar
dapat secara optimal menggerakkan usaha-usaha tajdid dan cita-cita pencerahan
yang hendak diraihnya. Jangan sampai gerakan pembaharuan sebagai dasar
filosofis Muhammadiyah tergerus dan hanya menjadi slogan kosong dalam
47
Jurnal Muhammadiyah, Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif (Ketua 1998-2005)
28
aktualisasi gerakannya. Salah satu usahanya adalah mendorong laju kebangkitan
intelektual di kalangan Angkatan Muda Muhammadiyah, sebab sangat menyadari
bahwa keilmuan dan keislaman adalah semangat inti segala gerak
Muhammadiyah. Dimana kepemilikan ilmu dan daya intelektualitas adalah pintu
gerbang kemampuan memahami dan mengamalkan Islam secara kaffah, dan
AMM sebagai pelaku sejarah gerakan Muhammadiyah masa depan menjadi juru
kunci cerah dan buramnya wajah Muhammadiyah dalam pergulatan dunia.48
Adapun karir-karir Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, yaitu49
guru bahasa Inggris dan
bahasa Indonesia SMP di Baturetno, Surakarta (1959-1963), guru bahasa Inggris
dan bahasa Indonesia SMA Islam Surakarta (1963-1964), dosen Sejarah dan
Kebudayaan Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta (1964-1969), dosen
IKIP Yogyakarta (1967-1969), asisten dosen paruh waktu Sejarah dan
Kebudayaan Islam di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta (1969-1972),
asisten Dosen Sejarah Asia Tenggara IKIP Yogyakarta (1969-1972), dosen paruh
waktu Sejarah Asia Barat Daya IKIP Yogyakarta (1973-1976), dosen senior
Filsafat Sejarah IKIP Yogyakarta (1983-1990), profesor tamu di University of
lowa, AS (1986), dosen senior (paruh waktu) Sejarah dan Kebudayaan Islam IAIN
Kalijaga, Yogyakarta (1983-1990), dosen senior (paruh waktu) di UII Yogyakarta
(1984-1990), dosen senior (paruh waktu) Sejarah Ideologi Politik Pasca Sarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta (1987-1990), dosen senior (pensyarah kanan)
di Universitas Kebangsaan Malaysia (1990-1994), dosen senior Filsafat Sejarah
IKIP Yogyakarta (1992-1993), profesor tamu di McGill University, Kanada
48
Jurnal Muhammadiyah, Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif (Ketua 1998-2005) 49
Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, (Jakarta: Hujjah Press, 2007) hal
80-81
29
(1992-1994), profesor Filsafat Sejarah IKIP Yogyakarta (1996-sekarang), wakil
ketua PP Muhammadiyah (1995-Agustus 1998) dan ketua PP Muhammadiyah
(September 1998-2005)
C. Karya-karya Ahmad Syafi’i Ma’arif
Ahmad Syafi‟i Ma‟arif termasuk tokoh produktif yang telah melahirkan
berbagai tulisan.50
Secara garis besar, gagasan-gagasannya dapat dikelompokkan
ke dalam beberapa persoalan: Pertama, persoalan global. Kedua, persoalan
nasional. Dari persoalan global dan persoalan nasional tersebut, isu yang menjadi
focus pemikirannya adalah tentang “Keislaman”, “keindonesiaan”,
“kemanusiaan”. Rekaman pemikiran Syafi‟i Ma‟arif dapat dilacak lewat buku-
buku yang ia tulis. Buku-buku itu penulis kelompokkan ke dalam beberapa
bagian: Pertama, buku utuh. Pemaparan yang dikemukakan dalam buku ini
bersifat komprehensif. Kedua, buku semi utuh. Buku ini merupakan kumpulan
makalah ilmiah yang ia tulis untuk berbagai seminar. Ketiga, buku popular. Buku
ini berisi kumpulan tulisan tetap maupun lepas di berbagai media massa.
Keempat, naskah khutbah Jum‟at yang kemudian ditranskipkan dan dijadikan
sebuah buku. Berbagai pemikirannya yang lain juga dapat dilacak melalui tulisan-
tulisan dan berbagai wawancara yang belum diedit dan ditranskripkan.
Beberapa buku-bukunya telah diterbitkan oleh penerbit terkenal sampai
sekarang, Ahmad Syafi‟i Ma‟arif telah menghasilkan berbagai karyanya dengan
segudang produk pemikiran dan langkah yang telah digoreskan, merupakan hasil
dari sebuah proses yang panjang dan berliku. Kesulitan dan tantangan hidup telah
50
Syafi‟i Ma‟arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993)
hal 5
30
di tuangkan sebagai peluang untuk bergerak terus tanpa henti. Diantara karya-
karya Ahmad Syafi‟i Ma‟arif adalah sebagai berikut:51
1. Gilad Atzmon: Catatan Kritikal tentang Palestina dan Masa Depan
Zionisme.52 Karya ini merupakan buku utuh yang dihasilkan dari interaksi
antara Syafi‟i Ma‟arif dengan Gilad Atzmon, seorang Yahudi yang anti
zionisme, melalui dunia maya (internet). Dalam buku ini, Syafi‟i Ma‟arif
menempatkan Atzmon sebagai pejuang kemanusiaan. Alasan yang mendasari
prediket itu didapat dari fakta bahwa Atzmon memberikan kritik-kritik yang
cukup tajam kepada Negara Israel. Hal yang cukup mengejutkan bahwa
Atzmon menyebut Negara Israel dibangun di atas berbagai pelanggaran
kemanusiaan. Buku ini juga menunjukkan bahwa tidak semua orang Yahudi
setuju dengan politik luar negeri yang dipraktikkan Israel. Poin yang termasuk
penting dalam buku ini terletak pada penempatan istilah Yahudi, Israel, dan
Zionisme secara proporsional. Tidak semua Yahudi itu Israel dan tidak semua
masyarakat Israel setuju dengan gerakan Zionisme. Zionisme adalah sebuah
gerakan politik dalam jumlah yang kecil namun memiliki kekuasaan.
2. Al-Qur’an dan Realitas Umat.53
Karya ini merupakan buku popular yang
berasal dari berbagai tulisan di media masa lalu diedit dan dijadikan buku.
Dalam buku ini Syafi‟i Ma‟arif menjelaskan bahwa umat Islam pada tataran
51
Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang
Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019) hal 96 52
Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang
Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019) hal 96 (Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Gillad Atzmon:
Catatan Kritikal tentang Palestina dan Masa Depan Zionisme, (Bandung: Mizan dan Ma‟arif
Institute, 2012) 53
Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang
Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019) hal 97 (Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Al-Qur’an dan
Realitas Umat, (Jakarta: Republika, 2010)
31
global saling merasa yang paling benar disbanding lainnya. Melihat kenyataan
ini, ia mengajak seluruh elemen umat Islam untuk mencari solusi dengan
kembali kepada Al-Qur‟an sehing ga Al-Qur‟an dapat berfungsi kembali
dalam memecahkan fundamental itu.
3. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi
Sejarah.54 Karya ini merupakan buku utuh yang penting. Syafi‟‟i Ma‟arif
menjelaskan keterkaitan antara keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan.
Tentunya bagi penulis sendiri buku ini merupakan referensi utama berkenaan
dengan penelitian penulis.
4. Titik-Titik Kisar dalam Perajalananku: Otobiografi.55 Karya ini merupakan
buku komprehensif tentang perjalanan hidup Syafi‟i Ma‟arif, mulai dari lahir
sampai sekarang. Untuk memotret sosok Syafi‟i Ma‟arif yang sesungguhnya,
buku ini dapat dijadikan referensi utama. Meskipun terdapat unsur
subjektivitas, karena ditulis sendiri, namun buku itu penuh dengan masa
kejujuran. Ia tidak segan-segan memberikan kritik kepada diri dan
keluarganya. Dalam buku ini, Syafi‟i Ma‟arif juga mengemukakan
pandangan-pandangannya tentang realitas pluralisme agama. Di sinilah
persoalan penting yang terkandung dalam buku ini.
54
Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang
Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019) hal 97 (Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Islam dalam
Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah, (Bandung: Mizan, 2009) 55
Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang
Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019) hal 98 (Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Titik-Titik Kisar
dalam Perjalananku: Otobiografi,(Yogyakarta: Ombak, 2006)
32
5. Tuhan Menyapa Kita.56 Karya ini tergolong buku semi utuh. Isinya merupakan
kumpulan makalah ilmiah dan beberapa tulisannya di berbagai media masa.
Dalam buku ini ia menjelaskan perlunya beragama yang menyapa
kemanusiaan. Agama (Islam) menurutnya harus turut serta menyelesaikan
nestapa yang diderita umat manusia.
6. Meluruskan Makna Jihad: Cerdas Beragama Ikhlas Beramal.57 Karya ini
merupakan kumpulan khutbah Jum‟at. Dalam buku ini Syafi‟i Ma‟arif
menjelaskan makna Jihad yang sesungguhnya, jihad bukan diartikan dengan
qital (perang) saja, tapi juga membantu orang-orang yang membutuhkan.
Jihad yang disalah artikan akan melahirkan stigma bagi Islam, juga nestapa
bagi eksistensi manusia itu sendiri.
7. Menerobos Kemelut: Refleksi Cendekiawan Muslim.58 Karya ini termasuk
buku popular. Dalam buku ini ia memaparkan kondisi bangsa yang kian
terpuruk. Syafi‟i Ma‟arif mengajak berbagai lapisan bangsa untuk tetap
memelihara optimisme di tengah berbagai persoalan tersebut.
8. Menggugah Nurani Bangsa.59 Karya ini termasuk buku semi utuh. Dalam
buku ini Syafi‟i Ma‟arif mengajak berbagai elemen bangsa untuk bersama-
56
Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang
Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019) hal 98 (Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Tuhan Menyapa
Kita, (Jakarta: Grafindo, 2006) 57
Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang
Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019) hal 98 (Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Meluruskan Makn
Jihad: Cerdas Beragama Ikhlas Beramal, (Jakarta: CMM, 2005) 58
Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang
Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019) hal 99 (Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Menerobos
Kememlut: Refleksi Cendekiawan Muslim, (Jakarta: Grafindo, 2005) 59
Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang
Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019) hal 99 (Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Menggugah
Nurani Bangsa, (Jakarta: Ma‟arif Institute, 2005)
33
sama memperbaiki kondisi bangsa. Langkah-langkah mendasar untuk
memperbaiki kondisi bangsa ini mesti dimulai dari diri sendiri.
9. Mencari Autentisitas di Tengah Kegalauan.60 Karya ini termasuk buku semi
utuh. Buku ini menunjukkan kegalauan Syafi‟i Ma‟arif menatap kondisi
bangsa. Di antara persoalan menarik yang ia angkat adalah jauhnya bangsa
Indonesia dari pengalaman falsafah Negara yaitu Pancasila.
10. Masa Depan dalam Taruhan.61 Karya ini termasuk buku popular. Di dalam
buku ini Syafi‟i Ma‟arif mendorong setiap anak bangsa untuk berpikir kritis.
Ia juga menganjurkan agar kekuasaan yang sedang berlangsung (di bawah
Presiden Abdurrahhman Wahid (1940-2009), kala itu) harus tetap dikawal.
Agar kekuasaan yang dipegang seseorang tetap berpihak pada kepentingan
bersama.
11. Independensi Muhammadiyah: Di Tengah Pergumulan Pemikiran Islam dan
Politik.62 Buku popular. Di dalam buku ini Syafi‟i Ma‟arif menjelaskan bahwa
Muhammadiyah selalu berhadapan dengan berbagai kepentingan politik yang
terkadang dilematis. Karenanya, Muhammadiyah harus tetap memantapkan
dirinya sebagai ormas Islam yang tidak berafiliasi dengan partai politik mana
pun.
60
Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang
Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019) hal 99 (Ahmad Syafi‟I Ma‟arif, Mencari
Autentisitas di Tengah Kegalauan, (Jakarta: PSAP, 2004) 61
Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang
Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019) hal 99 (Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Masa Depan
Bangsa dalam Taruhan, (Ygyakarta: Pustaka SM, 2000) 62
Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang
Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019) hal 100 (Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Independensi
Muhammadiyah: Di Tengah Pergumulan Pemikiran Islam dan Politik, (Jakarta: Pustaka
Cidesindo, 2000)
34
12. Ibnu Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur.63 Karya ini
termasuk buku utuh. Di dalamnya Syafi‟i Ma‟arif menjelaskan bahwa Ibnu
Khaldun sesungguhnya salah seorang dari ilmuwan Islam yang besar jasanya
dalam pengembangan ilmu-ilmu sosial. Hal itu dapat dibuktikan dalam “ilm
al-umran” yang empiris dan sistematis. Khaldun, menurut Syafi‟‟i Ma‟arif,
dapat disejajarkan dengan Niccollo Machiavelli (1469-1527) dan August
Cmte (1798-1857)
13. Membumikan Islam.64 Karya ini termasuk buku popular. Dalam buku ini
Syafi‟i Ma‟arif mengulas tentang Tuhan, manusia, alam dan lain-lain. Ia juga
menegaskan bahwa Islam mesti dibawa secara real ke tengah-tengah
masyarakat agar menyentuh setiap sisi kehidupan. Dengan demikian Islam
akan dirasakan kehadirannya sekaligus manfaatnya oleh semua manusia.
14. Islam dan Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin (1950-
1965).65 Buku ini menguraikan peta politik umat Islam yang sudah
memberikan kontribusi terhadap perkembangan Negara Indonesia, terutama di
masa demokrasi terpimpin secara komprehensif. Namun karena perbedaan visi
yang ada, akhirnya partai-partai Islam menjadi lemah. Partai Islam terpecah ke
dalam dua kelompok, yaitu: pertama, kritis dan kedua, pro pemerintah. Buku
63
Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang
Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019) hal 100 (Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Ibnu Khaldun
dalam Pndangan Penulis Barat,(Jakarta: Gema Insani Pers, 1996) 64
Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang
Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019) hal 100 (Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Membumikan
Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995) 65
Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang
Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019) hal 101 (Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Islam Politik di
Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin (1950-1965), (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga
Press, 1988)
35
ini juga memotret sikap pragmatis partai-partai Islam dalam meraih
keuntungan.
15. Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia.66 Karya ini termasuk buku
popular. Di dalam buku ini Syafi‟i Ma‟arif menjelaskan bahwa Islam sedang
mendapat tantangan dari peradaban Barat sekuler. Karena itu, Islam perlu
merumuskan berbagai strategi untuk mengahadapinya jika tidak ingin tergerus
peradaban itu.
16. Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Peraturan dalam
Konstituante.67 Karya ini termasuk buku utuh yang berasal dari terjemahan
disertasinya. Buku ini mengulas perjuangan umat Islam dalam
memperjuangkan Islam sebagai dasar Negara akhir tahun 50-an. Buku ini
merupakan optik yang salah digunakan oleh Syafi‟i Ma‟arif dalam
menganalisa sesuatu. Sosok sebagai kitab suci yang meliputi semua aspek
kehidupan.
17. Al-Qur’an, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah.68 Karya ini buku popular.
Syafi‟i Ma‟arif menjelaskan posisi Al-Qur‟an sebagai kitab suci yang meliputi
semua aspek kehidupan.
66
Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang
Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019) hal 101 (Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Peta Bumi
Intelektualisme Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993) 67
Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang
Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019) hal 101 (Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Islam dan
Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1985) 68
Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang
Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019) hal 102 (Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Alquran,
Realitas Sosial dan Limbo Sejarah, (Bandung: 1985)
36
Beberapa buku yang ditulis Syafi‟i Ma‟arif tidak dapat dilacak, mengingat
karya-karya itu diterbitkan pada awal tahun 70-an dan 80-an. Beberapa buku
dimaksud adalah:
1. Mengapa Vietnam Jatuh Seluruhnya ke Tangan Komunis
2. Dinamika Islam
3. Islam, Mengapa Tidak
4. Percik-Percik Pemikiran Iqbal
5. Aspirasi Umat Islam Indonesia
6. Duta Islam untuk Dunia Modern
7. Orientaslime dan Humanisme Sekular
Beberapa penghargaan baik nasional maupun internasional telah diraih
karena kiprahnya sebagai intelektual aktifvis dan dedikasinya terhadap
kemanusiaan. Pada tahun 2008, ia meraih Ramon Magsasay Award kategori
Perdamaian dan Pemahaman Internasional. Selain itu, ia juga pernah menerima
Hamengkubuwono IX Award kategori Multikulturalisme (2000), Habibie Award
(2010), IBF Award kategori Tokoh Perbukuan Islam (2011), Nabil Award (2013),
Cendekiawan Berdedikasi Harian Kompas (2013) dan UMM Award (2014).69
Di dunia Internasional, ia adalah Presiden World Conference on Religion
for Peace (WCRP) yang berpusat di Amerika. Setelah menjabat ketua PP
Muhammadiyah, ia berkonsentrasi mencurahkan gagasan dan pikirannya untuk
69
Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, (Bandung: PT
Mizan Pustaka (Anggota IKAPI), 2017) hal 311
37
masalah-masalah bangsa. Tulisannya mengalir di berbagai forum seminar dan
media. Beberapa karya tulisnya antara lain, yaitu:70
1. Gerakan Komunis Vietnam
2. Mencari Autentisitas dalam Kegalauan (2004)
3. Meluruskan Makna Jihad (2005)
4. Menerobos Kemelut (2005)
5. Menggugah Nurani Bangsa (2005)
6. Titik-tiki Kisar di Perjalananku (2006, diterbitkan ulang tahun 2009)
7. Tuhan Menyapa Kita (2006)
8. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (2009)
9. Gilad Atzmon: Catatan Kritikal tentang Palestina dan Masa Depan Zionisme
(2012)
10. Memoir Seorang Anak Kampung (2013)
Tulisan-tulisan Ahmad Syafi‟i Ma‟arif sampai sekarang masih tetap
mengalir, terutama yang selalu diterbitkan pada kolom Resonasi Republika yang
bergantian dengan penulis lainnya. Dan tulisan yang beragam tidak hanya tentang
keislaman, tetapi juga mencakup tentang Islam dan Kemanusiaan. Ahmad Syafi‟i
Ma‟arif adalah salah satu dari sedikit cendikiawan Muslim Indonesia yang secara
serius memikirkan nasib bangsanya. Melalui tulisannya Ahmad Syafi‟i Ma‟arif
ingin berbagi kegelisahan sekaligus mengajak untuk mengatasinya, kepada semua
anak bangsa.
70
Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, (Bandung: PT
Mizan Pustaka (Anggota IKAPI), 2017) hal 311-312
39
BAB III
PENDAPAT PEMUKA AGAMA ISLAM INDONESIA TENTANG
PLURALISME AGAMA
A. Pengertian Pluralisme Agama
Secara etimologis pluralisme agama berasal dari dua kata, yaitu
“pluralisme” dan “agama”. Dalam bahasa Arab diterjemahkan “al ta’addudiyah
al-diniyyah” dan dalam bahasa Inggris “religions pluralism”.71
Oleh karena itu
istilah pluralisme agama ini berasal dari bahasa Inggris, maka untuk
mendefinisikannya secara akurat harus merujuk kepada kamus bahasa tersebut.72
Pluralisme berarti “jamak” atau lebih dari satu. Dalam bahasa Inggris mempunyai
tiga pengertian, yaitu:
1. Pengertian Kegerejaan
a. Sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam
struktur kegerejaan
b. Memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat
kegerejaan maupun non kegerejaan
2. Pengertian Filosofis
Berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran
yang mendasar yang lebih dari satu.
71
“Pluralisme” dalam the Shorter Oxford English on Historical Principles, revised and
edited by C.T Onions (Oxford: The Clarendon Press, 1993 dikutip dari Dr. Anis Malik Thoha,
“Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis” Jakarta: p erspektif Cet. Ketiga, hal 12 72
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta: JI. Kalibata Utara
II No.84, 2005) hal 11
40
3. Pengertian Sosio Politis
Adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok,
baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan menjunjung tinggi
aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik diantara kelompok-kelompok
tersebut.73
Ketiga pengertian tersebut sebenarnya bisa disederhanakan dalam satu
makna dengan tetap terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan karakteristik
masing-masing.74
Ada dua istilah yang perlu dicermati dalam pembicaraan pluralisme.
Pertama, pluralitas agama. Kedua, pluralisme agama. Pluralitas agama adalah
kondisi dimana berbagai makna agama hadir secara bersamaan dalam satu
masyarakat atau Negara. Sedangkan pluralisme agama adalah suatu paham atas
kebenaran suatu agama. Pluralitas agama muncul disebabkan latar belakang
pribadi dan kelompok kalangan umat itu yang telah hadir sejak dahulu.
Menyamakan semua agama mempunyai eksklusifitasnya, sekalipun masing-
masing agama punya titik temu pada orientasi akhir yaitu kebahagiaan.75
Pluralisme memiliki banyak pengertian, bahkan ada banyak ahli yang
mendefinisikan sendiri apa itu pluralisme. Di Indonesia sikap pluralisme sangat
penting, karena Indonesia terdiri dari keberagaman ras, suku, agama, hingga
73
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta: JI. Kalibata Utara
II No.84, 2005) hal 12 (“Pluralisme” dalam The Shorter Oxford English Dictionary on Historical
Principles, revised and edited by C.T. Onions (Ox ford: The Clarendon Press, 190.
74
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Perspektif
Cet.ketiga, 2007)haal 12 75
Tulisan Helfi, Kritik Pluralisme Dalam Masyarakat Majemuk Antara Pemikir dan
Mufassir, (H Helfi-ALHURRIYAH: Jurnal Hukum Islam, 2018) hal 102 (Soejono Sukanto,
Kamus Sosiologi Ediai Baru, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993) hal 377
41
sosial, sehingga pluralisme sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Berikut ini
beberapa pendapat para ahli mengenai pluralisme agama, yaitu:76
Menurut Abdul Aziz Sachedina pluralisme agama di dasarkan pada
hubungan antara keimanan personal dan proyeksi publiknya dalam masyarakat.
Sikap Al-Qur‟an pada keimanan personal adalah nonintervensionis. Sebagaimana
hak asasi manusia, setiap orang tidak diperkenankan menggunakan otoritasnya
mengganggu keyakinan batin individu lain. Sikap terkait proyeksi publik
keimanan adalah koeksistensi, yaitu kesediaan bagi mayoritas muslim untuk
memberikan kebebasan bagi umat beragama lain menjalankan aturan mereka atau
hidup berdampingan dengan umat Islam.77
Menurut Diana L. Eck (1999), pluralisme itu bukanlah sebuah paham
bahwa agama itu semua sama. Menurutnya bahwa agama-agama itu tetap berbeda
pada dataran simbol, namun pada dataran substansi memang setara. Jadi yang
membedakan agama-agama hanyalah (jalan) atau syariat. Sedangkan secara
substansial semuanya setara untuk menuju pada kebenaran yang transcendental
itu.78
Menurut Hick berpendapat bahwa pluralisme agama merupakan sebuah
gagasan yang mengajarkan bahwa Tuhan sebagai pusat, dikelilingi oleh sejumlah
agama. Setiap kelompok mendekati Tuhan dengan cara masing-masing. Konsepsi
nasr tentang Islam pluralis, juga didasarkan pada pemahaman bahwa pada
76
Ibid 77
Jurnal Aris Kristianto, Pluralisme Agama di Indonesia (Studi tentang Tipologi
Pluralisme Agama Nonindifferent pada Keputusan Fatwa MUI Nomor 7 Tahun 2005 (Surabaya:
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2018) hal 61 (Abdulaziz
Sachedina, Kesetaraan Kaum Beriman: Akar Pluralisme Demokratis dalam Islam, (Jakarta:
Serambi, 2002) hal 51 78
Karya Ilmiah Fahma Addini, Definisi Pluralisme Agama Menurut Para Ahli, 2016
42
dasarnya setiap agama terstrukturisasi dari dua hal, yakni perumusan iman dan
pengalaman iman.79
Sementara itu definisi pluralisme agama menurut para pemikir muslim
diantaranya, menurut M. Rasjidi menurutnya pluralisme agama sebatas sebagai
realitas sosiologis, bahwa pada kenyataannya masyarakat memang plural. Namun
demikian pengakuan terhadap realitas kemajemukan ini tidak berarti memberikan
pengakuan terhadap kebenaran teologis agama-agama lain. Mukti Ali dan Alwi
Shihab berpendapat pluralisme agama tidak sekedar memberikan pengakuan
terhadap eksistensi agama-agama lain, namun sebagai dasar membangun sikap
menghargai dan membangun keharmonisan antar umat beragama. Dalam konteks
ini, kedua pemikir tersebut berada pada wilayah agree in disagreement (setuju
dalam perbedaan). Dengan demikian mereka meyakini kebenaran agamanya
sendiri, namun memperselisihkan orang lain juga meyakini kebenaran agama
yang dianut.80
B. Sejarah Perkembangan Pluralisme Agama
Dari perspektif sejarah, pluralisme agama merupakan bagian tak
terpisahkan dari spektrum sejarah lokal-geografis, politik, kultur serta sosio-
religius termasuk dinamika pemikiran Eropa pada fase pencerahannya
(enlightment periode) di abad ke-18 M. Masa ini menjadi titik tolak perubahan
fundamental dalam sejarah pemikiran manusia secara global. Ditandai dengan
dominasi dan pemujaan terhadap akal pikiran manusia, serta berlepas diri dari
79
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta: JI. Kalibata Utara
II No.84, 2005) hal 18-19 Karya Ilmiah Fahma Addini, Definisi Pluralisme Agama Menurut Para
Ahli, 2016 80
http:fahmaaddini.blogspot.com/2016/12/definisi-pluralisme-agama-menurut-
para.html?m=1 dikutip pada Jumat tanggal 1 Mei 2020 jam 15:06
43
berbagai belenggu dogma keagamaan (Gereja) kecuali yang selaras dengan akal
dan pikiran tersebut ataupun yang dapat dibuktikan secara eksperimental
(scientific). Fakta sejarah tersebut merupakan konsekuensi logis dan titik puncak
kulminasi dari “perseteruan” antara gereja Kristiani yang begitu otoriter dan
absolut dengan tantangan-tantangan kehidupan faktual (terutama dalam
perkembangan ilmu dan pengetahuan yang begitu pesat) yang sedang dihadapi
bangsa Eropa, yang akhirnya melahirkan “liberalisme”, sebuah aliran baru dalam
wacana sosial yang menyerukan kebebasan, toleransi, persamaan dan
pluralisme.81
Meskipun hembusan angin pluralisme telah mulai mewarnai Eropa pada
masa itu, namun masih belum kuat mengukur dalam kultur masyarakatnya.
Beberapa sekte Kristen ternyata masih mengalami perlakuan diskriminatif dari
gereja, sebagaimana yang dialami oleh sekte Mormon yang tetap tidak diakui oleh
gereja karena dianggap gerakan heterodox, sampai akhir abad 19 ketika muncul
protes keras dari presiden Amerika Serikat Grover Cleveland (1837-1908). Begitu
juga doktrin eksklusivisme gereja juga tetap dipegang teguh oleh Gereja Katolik,
hingga dilangsungkannya Konsili Vatikan II pada permulaan tahun 60-an abad ke-
20 yang mendeklarasikan doktrin inklusivisme bahkan bagi agama-agama selain
Kristen.82
Ketika memasuki abad ke-20, gagasan pluralisme agama telah semakin
kokoh dalam wacana pemikiran filsafat dan teologi Barat. Tokoh yang tercatat
pada barisan pemula muncul dengan gigih mengedepankan gagasan ini adalah
81
Amien Rais dan Syukriyanto, dkk, 7Abad Muhammadiyah Istiqomah Membendung
Kristenisasi & Liberalisasi, (Yogyakarta: JL. KHA Dahlan 103, 2010) hal 108 82
Ibid hal 18
44
seorang teolog Kristen Liberal Ernst Troeltsch (1865-1923). Dalam sebuah
makalahnya yang berjudul The Place of Christianity among the World Religions
(Posisi Agama Kristen diantara Agama-agama Dunia) yang disampaikan dalam
sebuah kuliah di Universitas Oxford menjelang wafatnya pada tahun 1923.83
Troeltsch melontarkan gagasan pluralisme agama secara argumentative bahwa
dalam semua agama, termasuk Kristen, selalu mengandung elemen kebenaran dan
tidak satu agama pun yang memiliki kebenaran dan tidak satu agama pun yang
memiliki kebenaran mutlak,84
konsep ketuhanan di muka bumi ini beragam dan
tidak hanya satu.85
Mengikuti jejak Troeltsch, William E. Hocking dalam bukunya
Rethinking Mission pada tahun 1923, dan yang berikutnya Living Religions and A
World Faith, dengan tanpa ragu-ragu telah memprediksi munculnya model
keyakinan atau agama universal baru yang selaras dengan konsep pemerintahan
global.86
Sejarawan Inggris ternama, Arnold Toynbee (1889-1975), juga menyusul
kemudian dengan gagasan yang kurang lebih sama dengan pemikiran Troeltsch,
83
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta: JI. Kalibata Utara
II No.84, 2005) hal 18 (Makalah „The Place of Christianity among the World Religions‟
diterbitkan bersama dengan makalah-makalah lain dalam sebuah buku yang diedit oleh John Hick
dan Brian Hebblethwaite, Christianity and Other Religions. Lihat Hick, John, dan Hebblethwaite,
Brian, (cds.), op, cip..,hal 11-31) 84
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta: JI. Kalibata Utara
II No.84, 2005) hal 18 (Ibid hal 18) 85
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta: JI. Kalibata Utara
II No.84, 2005) hal 18 (Ibid hal 31) 86
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta: JI. Kalibata Utara
II No.84, 2005) hal 19 (Parrinder, Goffrey, Comparative Religions (London: Sheldon Press, 1962)
hal 50)
45
dalam karyanya An Historian’s Approach to Religion (1956)87
dan Christianity
and World Religions (1957).88
Karya-karya tersebut di atas mencerminkan suatu fase pemikiran
pluralisme agama yang masih dalam tahap fermentasi dan pembentukan wacana.
Gagasan tersebut kemudian kelihatan semakin berkembang dalam pemikiran
teolog dan sejarawan agama Kanada, Wilfred Cantwell Smith.89
Dalam karyanya
Towards A World Theology (1981) Smith mencoba meyakinkan perlunya
menciptakan konsep teologi universal atau global yang bisa dijadikan pijakan
bersama (commond ground) bagi agama-agama dunia dalam berinteraksi dan
bermasyarakat secara damai dan harmonis. Nampaknya karya tersebut merupakan
akhir pergolakan pemikiran dan penelitian Smith, dari karya-karya sebelumnya
The Meaning and End of Religion (1962) dan Questions of Religious Truth
(1967).
Selama dua dekade terakhir abad ke-20 yang lalu, gagasan pluralisme
agama telah mencapai fase kematangannya, dan pada gilirannya, menjadi sebuah
diskursus pemikiran tersendiri pada dataran teologi modern. Fenomena sosial
politik akhir abad 20 ini juga mengetengahkan realitas baru kehidupan antar
agama yang lebih nampak sebagai penjabaran kalau bukan dampak dari gagasan
pluralisme agama ini. Dalam kerangka teoretis, pluralisme agama, pada masa ini
87
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta: JI. Kalibata Utara
II No.84, 2005) hal 19 (Toynbee, Arnold, An Historian’s Approach to Religion (London: Oxfird
University Press, 1956) Reprinted 1957) 88
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta: JI. Kalibata Utara
II No.84, 2005) hal 19 (Aslan, Adnan, Religious Pluralism in Christian and Islamic Philosophy:
The Thought of John Hick and Scyyed Hossein Nasr (Surrey: Curzon Press, 1998) hal xii) 89
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta: JI. Kalibata Utara
II No.84, 2005) hal 19 (Lahir di Toronto tahun 1919, pernah melakukan muhibah kenegeri-negeri
Islam, seperti Mesir dan Lahore)
46
telah dimatangkan oleh pemikir-pemikir teolog modern dengan konsepsi yang
lebih diterima oleh kalangan antar agama. John Hick90
telah merekonstruksi
landasan-landasan teoretis pluralisme agama sedemikian rupa, sehingga menjadi
sebuah teori yang baku dan popular yang sangat kental melekat dengan
namanya.91
Dalam bukunya An Interpretation of Religion: Human Responses to
the Transcendent yang diangkat dari serial kuliahnya, yaitu Gifford Lecture pada
tahun 1986-1987, merupakan rangkuman dari berbagai pemikiran yang ia
tuangkan dalam karya-karya sebelumnya.92
Sementara itu, dalam diskursus pemikiran Islam, pluralisme agama masih
merupakan hal baru dan tidak mempunyai akar ideologis atau bahkan teologis
yang kuat. Gagasan pluralisme agama yang muncul lebih merupakan perspektif
baru yang ditimbulkan oleh proses penetrasi kultural Barat modern dalam dunia
Islam. Pendapat ini disepakati oleh realitas bahwa gagasan pluralisme agama
dalam wacana pemikiran Islam, baru muncul pada masa-masa pasca Perang Dunia
Kedua, yaitu ketika mulai terbuka kesempatan besar bagi generasi muda muslim
untuk mengenyam pendidikan di universitas-universitas Barat sehingga mereka
dapat berkenalan dan bergesekan langsung dengan budaya Barat.
90
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta: JI. Kalibata Utara
II No.84, 2005) hal 19 (John Hick lahir di Yorkshire taahun 1922, pernah melakukan muhibah ke
Negara-negeri Islam, seperti Mesir) 91
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta: JI. Kalibata Utara
II No.84, 2005) hal 19 (Nampaknya John Hick merupakan satu-satunya teolog modern yang
memberikan perhatian terhadap masalah pluralisme agama sedemikian mendalam. Ia telah
menuangkan pemikiran-pemikirannya tentang masalah pluralisme agama ini ke dalam karya-
karyanya yang mencapai lebih dari 30 buku atau makalah yang kesemuanya mengupas masalah ini
secara teliti). 92
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta: JI. Kalibata Utara
II No.84, 2005) hal 20 (Buku terakhir John Hick yang sempat saya ketahui adalah The Fifth
Dimension (Oxford: One world, 1999)
47
Kemudian di lain pihak gagasan pluralisme agama menembus dan
menyusup kewacana pemikiran Islam melalui karya-karya pemikir-pemikir mistik
Barat Muslim seperti Rene Guenon (Abbdul Wahid Yahya) dan Frithjof Schuon
(Isa Nuruddin Ahmad). Karya-karya mereka ini sangat erat dengan pemikiran dan
gagasan yang menjadi inspirasi dasar bagi tumbuh kembangnya wacana
pluralisme agama di kalangan Islam.
Barangkali Seyyed Jhossein Nasr, seorang tokoh Muslim Syi‟ah moderat,
merupakan tokoh yang bisa dianggap bisa bertanggung jawab dalam
mempopulerkan gagasan pluralisme agama di kalangan Islam tradisional suatu
prestasi yang kemudian mengantarkannya pada sebuah posisi ilmiah caliber dunia
yang sangat bergengsi bersama-sama dalam deretan nama-nama besar seperti
Ninian Smart, John Hick, dan Annemarie Schimmel.
Untuk memahami pluralisme agama, perlu ditelusuri sejarahnya, paling
kurang sejak awal abad ke-20. Ketika itu seorang teolog Kristen Jerman bernama
Ernst Troeltsch mengungkapkan perlunya bersikap pluralis ditengah
berkembangnya konflik internal agama Kristen maupun antar agama. Dalam
artikelnya berjudul “The Place of Chritianity among the Word Relegions”, ia
menyatakan, umat Kristiani tidak berhak mengklaim paling benar sendiri.93
Pendapat senada banyak dilontarkan sejumlah pemikir dan teolog Kristen antara
lain, seperti William E. Hocking dan sejarawan terkenal Arnpld Toynbee. Oleh
karena itu gerakan ini dapat dikatakan sebagai “liberalisasi agama Kristen” yang
93
Jurnal Al-Ulum Fitriyani, Pluralisme Agama-Budaya Dalam Perspektif Islam, (Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon, 2011) hal 329 (Paham pluralisme agama menurut Frans
Magnis Suseno, dalam bukunya “Menjadi Saksi Kr istus di Tengah Masyarakat Majemuk”,
(Jakarta: Obor, 2004)
48
telah dirintis dan diasaskan oleh tokoh Protestan liberal Friedrich Schleiremacher
pada sekitar abad pertengahan ke-19 lewat pergerakannya yang dikenal dengan
“Liberal Protestantism”. Konflik internal Kristen yang hebat ketika itu sampai
mendorong Presiden AS, Grover Cleveland, turun tangan untuk mengakhiri
perang antar aliran tersebut. Pada awal abad ke-20 juga mulai bermunculan
bermacam-macam aliran fundamentalis Kristen di Amerika Serikat. Jadi selain
konflik antar aliran Kristen, ternyata faktor politik juga sangat erat dengan latar
belakang gagasan ini.94
Menurut Anis Malik Thoha, wacana pluralisme lahir dari rahim paham
“liberalism”. Maka tidaklah aneh jika kemudian gagasan pluralisme agama itu
sendiri muncul dan hadir dalam kemasan “pluralisme politik “political
liberalism”. Jelas, paham “liberalism” tidak lebih merupakan respon politis
terhadap kondisi sosial masyarakat Kristen Eropa yang plural dengan keragaman
sekte, kelompok dan mazhab. Namun kondisi pluralistik semacam ini masih
senantiasa terbatas dalam masyarakat Kristen Eropa untuk sekian lama, baru
kemudian pada abad ke-20 berkembang hingga mencakup komunitas-komunitas
lain di dunia.95
Paham “liberalisme” pada awalnya muncul sebagai mazhab sosio politis,
maka wacana pluralisme yang lahir dari rahimnya, termasuk gagasan pluralisme
agama, juga lebih kental dengan nuansa dan aroma politik. Maka tidaklah aneh
jika kemudian gagasan pluralisme agama itu sendiri muncul dan hadir dalam
94
Jurnal Al-Ulum Fitriyani, Pluralisme Agama-Budaya Dalam Perspektif Islam, (Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon, 2011) hal 330 (Anas Malik Toha, Op.Cit., h.50.) 95
Jurnal Al-Ulum Fitriyani, Pluralisme Agama-Budaya Dalam Perspektif Islam, (Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon, 2011) hal 330 (Anas Malik Toha, Op.Cit., h.50.)
49
kemasan “pluralisme politik” (political pluralism), yang merupakan produk dari
“liberalisme politik” (political liberalism).96
Muhammad Legenhausen, seorang pemikir. Muslim kontemporer, juga
berpendapat bahwa munculnya paham “liberalisme politik” di Eropa pada abad ke
18, sebagian besar didorong oleh kondisi masyarakat yang carut-marut akibat
memuncaknya sikap-sikap intoleran dan konflik-konflik etnis dan sektarian yang
pada akhirnya menyeret kepada pertumpahan darah antar ras, sekte dan mazhab
pada masa reformasi keagamaan.97
Jelas, paham “liberalisme” tidak lebih
merupakan respon politis terhadap kondisi sosial masyarakat Kristen Eropa yang
plural dengan keagamaan sekte, kelompok dan mazhab. Namun kondisi
pluralistik semacam ini hanyalah terbatas dalam masyarakat Kristen Eropa yang
untuk kesekian lama, baru kemudian pada adab ke-20 berkembang hingga
mencakup komunitas-komunitas lain di dunia.
Mengikuti jejak Troeltsch, William E. Hocking dalam bukunya
Rethinking Mission pada tahun 1923, dan yang berikutnya Living Religions and A
World Faith, dengan tanpa ragu-ragu telah memprediksi munculnya model
keyakinan atau agama universal baru yang selaras dengan konsep pemerintahan
global.98
Sejarawan Inggris ternama, Arnold Toynbee (1889-1975), juga menyusul
96
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta: JI. Kalibata Utara
II No.84, 2005) hal 17 (Pluralisme dalam Terminologi Sosiologis Lebih Merupakan Permasalahan
Politik dan Pada Sebagai Permasalahan Agama, lihat coker, Francis W., “Pluralism”, dalam
Seligman. Edwin R. A. (cd,,), op. cip.., Vol. XII, hlm 170-174; dan Karie, Henry S.., “Pluralism”,
dalam Sills, David L., (cd..), op. cip.., Vol 12, hlm 164-169) 97
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta: JI. Kalibata Utara
II No.84, 2005) hal 17 (Muhammad Legenhausen, Islam and Religious Pluralisme, (Dalam Al-
Tawhid, Vol 14, No 3, 1997) hal 115) 98
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta: JI. Kalibata Utara
II No.84, 2005) hal 19 (Parrinder, Goffrey, Comparative Religions (London: Sheldon Press, 1962)
hal 50)
50
kemudian dengan gagasan yang kurang lebih sama dengan pemikiran Troeltsch,
dalam karyanya An Historian’s Approach to Religion (1956)99
dan Christianity
and World Religions (1957).100
Kemudian, paham pluralisme masuk ke Indonesia pada saat cendekiawan
muslim membuka kran liberalisasi yang di usung oleh Nuecholish Madjid.
Berawal dari sinilah pluralisme dijadikan tren kehidupan umat beragama. Dengan
dalih mencegah dan meredam konflik antar umat beragama yang sering di
suarakan oleh para pendukung pluralisme agama. Pluralisme agama adalah
sebuah bentuk untuk menuntut kesamaan dan kesetaraan (equality) dalam segala
hal antar agama. Sehingga jika diterapkan dalam agama, akan menghilangkan
istilah iman-kufur, tauhid-musyrik dan lain sebagainya. Dari konsekuensi paham
ini adalah perubahan ajaran pada tingkat akidah.101
Gagasan pluralisme agama lahir dan muncul dari paham “liberalisme
politik” dan merupakan upaya peletakan landasan teoritis dalam teologi Kristen
sekaligus merupakan gerakan reformasi pemikiran liberalisasi agama yang di
lancarkan oleh Gereja Kristen pada abad ke-19 dalam gerakan “Liberal
Protestantism”.102
99
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta: JI. Kalibata Utara
II No.84, 2005) hal 19 (Toynbee, Arnold, An Historian’s Approach to Religion (London: Oxfird
University Press, 1956) Reprinted 1957) 100
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta: JI. Kalibata Utara
II No.84, 2005) hal 19 (Aslan, Adnan, Religious Pluralism in Christian and Islamic Philosophy:
The Thought of John Hick and Scyyed Hossein Nasr (Surrey: Curzon Press, 1998) hal xii) 101
Chaerani Azizah, dalam
http://kepribadianquranioche.blogspot.co.id/search/label/ABOU%20ISLAM (Senin, 07 November
2016) 102
Jurnal Al- Ulum, Fitriyani, Pluralisme Agama-Budaya dalam Persppektif Islam,
(Ambon: Institut Agama Islam Negeri (IAIN), 2011) hal 340 (Nurchalish Madid, Islam Doktrin
dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan
kemoderenan, (Jakarta: Paramadina, 2004),Cet. IV h. 47)
51
Teori-teori yang mendasari lahirnya paham pluralisme agama dapat
diklasifikasi dalam empat kategori yakni Humanisme Sekuler, Teologi Global,
Sinkretisme dan Sophia Perennis. Dalam hal pluralitas agama, Islam memberikan
kebebasan untuk memilih dan meyakini serta beribadah menurut keyakinan
masing-masing. Pemilihan sebuah keyakinan merupakan pilihan bebas yang
bersifat personal. Meskipun demikian, manusia diminta untuk memilih dan
menegakkan agama fitrah.
Meskipun Islam mengakui adanya pluralitas akan tetapi menolak ide
pluralisme agama (kesatuan agama-agama). Toleransi dalam Islam tidak berarti
pluralisme agama, saling menghargai dan menghormati antar penganut agama
atau paham tidak berarti menganggap semua agama adalah sama lebih dengan
mengatasnamakan Islam. Pada surat Ali-Imran 3:19 ini secara tidak langsung
dapat dipahami bahwa klaim kebenaran pada dasarnya boleh-boleh saja.
Artinya: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.
Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab (189) kecuali
sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang
ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah
Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya”. (QS Ali-Imran ayat
19)
Truth Claim masing-masing agama adalah sifat jiwa ke dalam, tidak
menuntut pernyataan atau kenyataan di luar bagi yang tidak meyakininya dalam
52
arti silahkan masing-masing untuk mengatakan bahwa agamanya yang paling
benar tetapi menurut keyakinannya masing-masing.
Nurchalis Madjid dikutip Adian Husaini, dalam majalah Media Dakwah
Edisi No. 358 2005 menyatakan bahwa Pluralisme agama adalah istilah khas
dalam teologi. Dia mengelompokan ada tiga sikap dialog agama yang dapat
diambil, yaitu: Pertama, sikap ekslusif dalam melihat agama lain (agama-agama
yang lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan bagi pengikutnya. Kedua,
sikap inklusif (agama-agama lain adalah bentuk inplisit agama kita). Ketiga, sikap
pluralis yang bisa terekspresi dalam macam-macam rumusan, misalnya “agama-
agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang
sama”, “agama-agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan kebenaran-
kebenaran yang sama sah”. Atau “setiap agama mengekspresikan bagian penting
sebuah kebenaran”.103
Dari kasus di atas dapat disimpulkan bahwa gagasan pluralisme agama
sebenarnya merupakan upaya peletakan landasan teoretis dalam teologi Kristen
untuk berinteraksi secara toleran dengan agama lain. Pada dataran ini, gagasan
pluralisme agama bisa dilihat sebagai salah satu elemen gerakan reformasi
pemikiran agama atau liberalisasi agama yang dilancarkan oleh Gereja Kristen
pada abad ke-19, dalam gerakan “Liberal Protestantism” yang dipelopori
Friedrich Schleiermacher.104
103
Jurnal Al- Ulum, Fitriyani, Pluralisme Agama-Budaya dalam Persppektif Islam,
(Ambon: Institut Agama Islam Negeri (IAIN), 2011) hal 337 (Ambon Adian Usiani, Op.Cit.,
h.45.) 104
Muhammad Legenhausen, op.Cit. Hal 116; yang dikutip dari buku Anis Malik Thoha,
Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, hal 18
53
C. Pendapat Para Ahli Tentang Pluralisme Agama
Ide untuk tetap memperjuangkan pluralisme dalam konteks Indonesia
tidak hanya dikemukakan Syafi‟i Ma‟arif. Banyak akademisi maupun aktivis
Organisasi Massa Islam menaruh perhatian besar terhadap isu ini. Beberapa di
antaranya adalah Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid. Dasar yang
digunakan oleh mereka untuk tetap mengawal bangunan pluralisme ini berangkat
dari sebuah kenyataan bahwa Indonesia adalah negeri yang tidak hanya dihuni
oleh satu agama saja, melainkan ada banyak agama bahkan aliran kepercayaan
yang lahir dari produk asli bangsa Indonesia. Bahkan agama-agama yang
kemudian diakui secara resmi datang belakangan setelah kepercayaan tersebut.
Kesadaran ini bermuara pada pentingnya melahirkan gagasan-gagasan untuk
merespons secara positif berbagai keragamaan yang ada. Oleh sebab itu, untuk
memperkaya dan mempertajam pembahasan pluralisme beberapa pokok
pemikiran dari Madjid dan Wahid penting dipertimbangkan.
Tema-tema penting yang selalu menjadi concern Syafi‟i Ma‟arif, Madjid
dan Wahid meliputi tiga ranah, yaitu: masalah keislaman, masalah keindonesiaan
dan masalah kemanusiaan. Meskipun ketiga ranah itu menjadi tema besar dari
pemikiran utama Syafi‟i Ma‟arif seperti dapat dilihat dalam bukunya Islam dalam
Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (2010),105 namun baik Madjid maupun
Wahid menaruh perhatian yang tidak kalah besar dibanding Syafi‟i Ma‟arif.
Madjid menulis sebuah buku yang berjudul Indonesia Kita (2004),106 sementara
Wahid menulis buku Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia dan
105
Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan:
Sebuah Refleksi Sejarah (Bandung: Mizan, 2010) 106
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, ( Jakarta: Gramedia, 2004)
54
Transformasi Kebudayaan (2007).107 Dilihat dari rentang waktunya, terbitnya
ketiga karya itu tidak dipisahkan oleh jarak yang terlalu jauh. Hal ini memberikan
sebuah isyarat bahwa masalah keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan perlu
diteguhkan kembali. Hal keindonesiaan dan kemanusiaan perlu diteguhkan
kembali. Hal menarik dari ketiga buku tersebut di antaranya terletak pada
persoalan pluralisme. Baik Syafi‟i Ma‟arif, Madjid maupun Wahid menaruh atensi
besar terhadap pentingnya memperluas dan memperkuat kultur pluralisme di
Indonesia.
Ketiga tokoh pluralisme tersebut tumbuh dan dibesarkan dalam
lingkungan yang berbeda. Syafi‟i Ma‟arif tumbuh dan besar di lingkungan
Muhammadiyah yang berhaluan modernis dan puritan. Karakter tersebut
membentuknya menjadi pribadi yang setiap saat melihat Islam dalam perspektif
legal formal. Formalisasi syariat Islam dalam perspektif kekuasaan terlihat
semakin mengental dalam pemikirannya terjadi ketika ia mengidealisasikan
Indonesia sebagai sebuah Negara Islam. Seperti diakuinya, corak berpikir
fundamentalis saat itu menjadi pilihan utamanya.108
Proses pencarian itu
mengalami perubahan drastik setelah ia berinteraksi dengan Fazlur Rahman di
Universitas Chicago.109
Hal mendasar yang dialami Syafi‟i Ma‟arif adalah
bergesernya tema pokok dalam konstruksi pemikirannya. Jika pada awalnya ia
menjadi pendukung berdirinya Negara Islam, kini ia menjadi penentangnya. Pada
fase ini, Syafi‟i Ma‟arif lebih mengedepankan isi daripada bentuk. Ia lebih
107
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi
Kebudayaan , (Jakarta: The Wahid Institute, 2007) 108
Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Titik-Titik Kisar dalam Perjalananku: Otobigrafi , (Jakarta:
MAARIF Institute, 2006), hal 195 109
Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Titik-Titik Kisar, hal 194
55
mengutamakan nilai-nilai Islam seperti keadilan, toleransi, egalitarianisme
terwujud dalam masyarakat meskipun tidak dalam bingkai Negara Islam.110
Ia
mencita-citakan Islam rahmatan li al-alamin yang akan memberi manfaat kepada
siapa saja.
A Mukti Ali, seorang ahli perbandingan agama terkemuka, meskipun
secara tidak tegas menyatakan gagasannya sebagai teori pluralisme agama, namun
ia menjelaskan lima “jalan” yang dapat ditempuh oleh umat beragama untuk
mewujudkan kedamaian dan kerukunan dalam realitas yang majemuk dan
pluralistik. Pandangan ini lebih mengesankan sikap intern umat Islam dalam
membangun kehidupan koeksisten dengan pemeluk agama-agama lain. Beliau
menjelaskan sebagai berikut; pertama, Sinkretisme. Paham ini berkeyakinan
bahwa pada dasarnya semua agama itu adalah sama. Sinkretisme berpendapat
bahwa semua tindak laku harus dilihat sebagai wujud dan manifestasi dari
Keberadaan Asli (zat), sebagai pancaran dari Terang Asli yang Satu dan sebagai
ombak dari samudera yang Satu. Aliran ini disebut pula Pantheisme,
Pankomisme, Universalisme atau Theopanisme. Tokoh terkenlnya adalah S.
Radhakrishnan, seorang ahli pikir India. Jalan ini tidak dapat diterima sebab
dalam ajaran Islam, misalnya, Khaliq (sang Pencipta) adalah sama sekali berbeda
dengan makhluq (yang diciptakan). Dengan demikian menjadi jelas siapa yang
disembah dan untuk sia pa seseorang berbakti dan mengabdi. Kedua, Rekonsepsi
(reconception). Pandangan ini menawarkan pemikiran bahwa orang harus
110
Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan
dalam Konstituante (Jakarta: LP3ES, 1985), hal 160-165
56
menyelami secara mendalam dan meninjau kembali ajaran-ajaran agamanya
sendiri dalam rangka konfrontasinya dengan agama-agama lain.111
Ketiga, Sintesis, yaitu menciptakan suatu agama baru yang elemen-
elemennya diambilkan dari agama lain. Dengan cara ini, tiap-tiap pemeluk dari
suatu agama merasa bahwa sebagian dari ajaran agamanya telah diambil dan
dimasukkan ke dalam agama sintesis tersebut. Pendekatan ini tidak dapat diterima
karena, setiap agama memiliki latar belakang histories masing-masing yang tidak
mudah untuk diputuskan begitu saja. Dengan kata lain masing-masing agama
telah terikat secara kental kepada nilai-nilai dan hukum-hukum sejarahnya
sendiri.112
Selanjutnya keempat, Penggantian. Pandangan ini menyatakan bahwa
agama sendirilah yang benar sedang agama orang lain salah, seraya berupaya
keras agar pengikut agama-agama lain itu memeluk agamanya. Ia tidak rela
melihat orang lain yang memeluk agama dan keyakinan selain dari agamanya
sendiri. Pendekatan dan pandangan ini tidak dapat diterima karena sosok
kehidupan masyarakat itu menurut kodratnya adalah bersifat pluralistik dan
majemuk dalam kehidupan agama, etnis, tradisi, seni budaya dan cara hidup.
Terahir Pendekatan setuju dalam perbedaan (agree in disagree). Gagasan ini
menekankan bahwa agama yang ia peluk itulah agama yang paling baik.
Meskipun demikian ia mengakui, diantara agama yang satu dengan agama-agama
111
Amien Rais dan Syukriyanto, dkk, 7Abad Muhammadiyah Istiqomah Membendung
Kristenisasi & Liberalisasi, (Yogyakarta: JL. KHA Dahlan 103, 2010) hal 117-118 112
Amien Rais dan Syukriyanto, dkk, 7Abad Muhammadiyah Istiqomah Membendung
Kristenisasi & Liberalisasi, (Yogyakarta: JL. KHA Dahlan 103, 2010) hal 118
57
lainnya selain terdapat perbedaan juga terdapat persamaan. Pendekatan ini cukup
ideal karena akan melahirkan sikap toleransi dan saling menghormati.113
Adapun tokoh-tokoh yang menentang paham pluralisme agama adalah
Anis Malik Thoha, Adian Husaini dan Amien Rais. Menurut Anis Malik Thoha,,
munculnya pluralisme agama dilatar belakangi oleh maraknya pemikiran
liberalisme dibidang sosial politik yang menandai dunia modern. Berbeda dengan
pemikir muslim lainnya yang menganggap pluralisme sebagai potensi positif
untuk mengelola kemajemukan, menurut Thoha sebaliknya. Baginya pluralisme
agama di dunia Islam merupakan wacana baru yang tidak memiliki akar ideologis
dan teologis yang kuat. Ide pluralisme agama adalah akibat dari pengaruh
penetrasi Barat modern yang muncul pada perang dunia kedua, yaitu ketika para
generasi Islam mengenyam pendidikan di Universitas Barat.114
Pandangan pluralisme agama juga dikemukakan oleh Budhy Munawar-
Rahman, dalam buku Islam Pluralis. Menurutnya bahwa “pluralisme agama”
sebagai paham yang menyatakan bahwa semua agama mempunyai peluang untuk
memperoleh keselamatan pada hari akhirat.115
Dengan kata lain, pluralisme agama
memandang bahwa selain agama kita (Islam), yaitu pemeluk agama lain, juga
berpotensi akan memperoleh keselamatan. Dalam kesempatan lain, Budhy
menulis bahwa konsep teolog pluralis akan memberikan legitimasi kepada
“kebenaran semua agama”, sebab pemeluk agama manapun layak disebut sebagai
113
Amien Rais dan Syukriyanto, dkk, 7Abad Muhammadiyah Istiqomah Membendung
Kristenisasi & Liberalisasi, (Yogyakarta: JL. KHA Dahlan 103, 2010) hal 118 114
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta: JI. Kalibata
Utara II No.84, 2005) hal 25 atau dalam Ummi Sumbulah dan Nur Jannah 115
Budhy Munawar Rahman, Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme,
dan Pluralisme, Paradigma Baru Islam di Indonesia, (Jakarta: LSAF dann Paramadina, 2010) hal
553
58
orang yang beriman, dengan makna orang yang percaya dan menaruh percaya
kepada Tuhan. Karenanya, Budhy menyimpulkan, “yang diperlukan sekarang ini
dalam pengahayatan masalah pluralisme antar agama, yakni pandangan bahwa
siapa pun yang beriman yanpa harus melihat agamanya apa, karena semua sama
di hadapan Allah. Untuk itu, Tuhan kita semua adalah Tuhan Yang Esa”.116
Nurcholish Madjid adalah orang yang dianggap sebagai salah satu tokoh
pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Nurcholish Madjid dikenal
dengan konsep pluralismenya yang mengakomodasi keberagaman keyakinan di
Indonesia. Menurut Madjid, keyakinan adalah hak paling dasar setiap manusia
dan keyakinan meyakini keberadaan Tuhan adalah keyakinan yang mendasar.
Madjid mendukung konsep kebebasan dalam beragama, namun bebas dalam
konsep Madjid tersebut dimaksudkan sebagai kebebasan dalam menjalankan
agama tertentu yang disertai dengan tanggung jawab penuh atas apa yang dipilih.
Madjid meyakini bahwa manusia sebagai individu yang sempurna, ketika
menghadap Tuhan di kehidupan yang akan datang akan bertanggung jawab atas
apa yang ia lakukan dan kebebasan dalam memilih adalah konsep yang logis.
Dalam pemahaman keagamaan Islam Madjid menegaskan bahwa
pluralisme memiliki dasar keagamaan yang kuat dalam Al-Qur‟an, seperti: “untuk
tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang.
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu akan dijadikan-Nya satu umat (saja),
tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah lah kembali ayat
116
Budhy Munawar Rahman, Basis Teologi Persaudaraan Antar-Agama, dalam buku
Wajah Liberal Islam di Indonesia, (Jakarta: JIL, 2002), hal 51-53
59
tersebut, menurut Madjid dimulai dengan pernyataan fakta bahwa masyarakat
dalam dirinya sendiri terbagi kedalam berbagai macam komunitas yang masing-
masing memilik orientasi kehidupannya sendiri ke arah petunjuk. Disamping itu
ada ayat Al-Qur‟an yang memberi pengakuan terhadap keragaman budaya, bahasa
dan agama sebagai bahan untuk saling berlomba dalam mengukir kebajikan dan
bekerja sama dalam kebenaran:117
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara manusia disisi Allah ialah orang yang
paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal”. (Q.S. Al-Hujarat ayat 13).
Oleh karena itu, kata Madjid, yang diharapkan dari setiap masyarakat
manusia adalah menerima kemajemukan itu sebagai adanya, kemudian
menumbuhkan sikap bersama yang sehat dalam rangka kemajemukan itu sendiri.
Misalnya, yang secara harfiah dijelaskan dalam ayat Al-Qur‟an, sikap yang sehat
itu adalah menggunakan segi-segi kelebihan masing-masing untuk secara
maksimal saling mendorong dalam usaha mewujudkan berbagai kebaikan dalam
masyarakat.118
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, dikenal karena sering membela kaum
minoritas. Pembelaanya kepada kelompok minoritas dirasakan sebagai suatu hal
117
Ibid 118
http://www.google.com/amp/s/www.kompasiana.com/amp/kang_maman72/pluralisme-
negara-dan-agama dikutip pada Jumat tanggal 1 Mei 2020 jam 22:03
60
yang berani. Reputasi ini sangat menonjol pada era orde baru. Gus Dur bersikap
tegas menjadi pembela pluralisme dalam beragama. Dalam pemikiran Gus Dur, ia
tidak menginginkan agama menjadi sekedar simbol, jargon, dan menawarkan
janji-janji yang serba akhirat sementara realitas kehidupan yang ada dibiarkan
tidak tersentuh.119
Sikap demikian sangat mengkhawatirkan, terutama bagi mereka yang
mengedepankan simbol-simbol dan ritus-ritus formal saja. Kelompok yang tidak
setuju, berpendapat bahwa klaim kebenaran dan eksklusifisme secara sepihak,
dicela oleh Al-Qur‟an surah Al-Baqarah 2: 113 yaitu:
Artinya: “Dan orang-orang Yahudi berkata: “Orang-orang Nasrani itu tidak
mempunyai suatu pegangan”, dan orang-orang Nasrani berkata:
“Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan”, Padahal
mereka (sama-sama) membaca Al Kitab. demikian pula orang-orang
yang tidak mengetahui, mengatakan seperti Ucapan mereka itu. Maka
Allah akan mengadili diantara mereka pada hari kiamat, tentang apa-
apa yang mereka berselisih padanya”. (Q.S Al-Baqarah ayat 113)
sebaliknya Al-Qur‟an mengajarkan ingklusifitas dalam beragama dalam surah Ali
Imran ayat 84 yaitu:
119
Ibid
61
Artinya: “Katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang
diturunkan kepada Kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail,
Ishaq, Ya’qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa,
Isa dan Para Nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan
seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-Nyalah kami
menyerahkan diri”. (Q.S Ali-Imran ayat 84).
Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa adanya perpecahan dan
perbedaan agama tersebut disebabkan oleh wahyu-wahyu Allah yang disampaikan
oleh para Nabi, yang ini merupakan sunah dan rahasia Allah.120
120
Jurnal Al-Ulum Fitriyani, Pluralisme Agama-Budaya Dalam Perspektif Islam, (Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon, 2011) hal 336 atau dalam Amin Abdullah dalam Hidayat,
Op.Cit, h. 104.
63
BAB IV
FATWA MUI DAN PENDAPAT AHMAD SYAFI’I MA’ARIF TENTANG
PLURALISME AGAMA
A. Fatwa MUI Mengenai Pluralisme Agama
1. Latar Belakang Fatwa MUI mengenai Pluralisme Agama
Latar belakang lahirnya MUI diawali dengan lahirnya “PIAGAM
BERDIRINYA MUI” dalam musyawarah para ulama, cendekiawan, dan zu‟ama
dari berbagai penjuru tanah air. Kemudian, pertemuan tersebut dianggap sebagai
Musyawarah Nasional Ulama Indonesia ketika itu hadir 26 ulama yang mewakili
26 Provinsi di Indonesia, 10 ulama dari ormas-ormas besar Islam tingkat pusat,
seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti, Al-
Washliyah, Math‟laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al-Ittihadiyyah, 4 ulama
dari Dinas Rohani Islam AD, AU, AL dan POLRI, serta 13 orang
tokoh/cendekiawan yang mewakili pribadi.
Berdirinya MUI dilatarbelakangi oleh setidaknya dua hal, pertama respons
atas kebangkitan kembali bangsa Indonesia setelah 30 tahun merdeka. Kedua,
keprihatinan terhadap sektarianisme yang amat mendominasi perpolitikan umat
Islam di tahun 1970-an, sehingga mulai mengabaikan masalah kesejahteraan
rohani umat. Selain itu, tantangan global yang sangat berat yang ditandai oleh
kemajemukan sains dan teknologi yang dapat menerobos sekat-sekat etika dan
moral. Serta sebuah budaya global yang didominasi alam pikir Barat. Munculnya
silang pendapat membuat konferensi yang diadakan di Pusat Dakwah Islam tidak
64
menghasilkan keputusan apa-apa. Konferensi tersebut hanya merekomendasikan
bahwa Pusat Dakwah Islam akan melihat kembali kemungkinan pembentukan
majelis ulama dengan berbagai pertimbangan. Sampai dengan empat tahun
berikutnya, rekomendasi itu bahkan tidak diperhatikan lagi.121
Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah wadah para ulama, zu‟ama dan
cendekiawan muslim Indonesia yang terbentuk dalam rangka mengnaungi dan
mengakomodir berbagai kegelisahan umat Islam Indonesia, terkait dengan
ketentuan hukum suatu masalah. Hal ini disebabkan oleh ketidaksanggupan semua
orang memahami hukum Islam secara langsung dari dalil yang sumbernya,
mengingat kecerdasan, daya tangkap dan ilmu dimiliki seseorang bagaimanapun
tidaklah sama. Setiap orang atau komunitas memiliki konsekuensi perbedaan
dalam mengkonstruksi “ajaran agama”. Untuk mengetahui hukum Islam yang
akan diamalkannya, tentu mereka harus lewat perantara, dan fatwa MUI
merupakan salah satu solusi bagi berbagai permasalahan yang dihadapi oleh umat
Islam di Indonesia.122
Dalam berbagai kasus keagamaan belakangan ini, beberapa fatwa yang
dikeluarkan oleh MUI seringkali menuai kontroversi. Pro dan kontra terhadap
eksistensi fatwa tampak menyelimuti berbagai perbedaan seputar kecendrungan
MUI pada penguatan agenda-agenda Islamist. Fatwa MUI oleh sebagian golongan
dinilai alih-alih akan menghadirkan solusi ataupun kemaslahatan bagi umat,
bahkan sebaliknya ia membuat masyarakat Indonesia merasa terbebani dengan
121
http://kangsantri.id/sejarah-berdirinya-majelis-ulama-indonesia/ dikutip hari Jumat
tanggal 5 Juni 2020 pukul 20:09 122
Karya ilmiah Ilman Nafi‟a, Fatwa Pluralisme dan Pliralisme dan Pluralitas Agama
MUI (Majelis Ulama Indonesia) Dalam Perspektif Tokoh Islam Cirebon, 2013, hal 126
65
hadirnya fatwa tersebut, dan yang sangat ironis, menjadi pemicu tindakan
anarkhis dengan justifikasi fatwa tersebut.123
Salah satu fatwa MUI yang dianggap kontraversial dan mengkhawatirkan
keselamatan bangsa adalah fatwa tentang pluralisme dan pluralitas agama. Fatwa
ini dianggap sebagian masyarakat sebagai bentuk “ketidak pahaman” MUI dalam
memahami persoalan dan wacana pluralisme yang dipahami komponen
masyarakat lain. Bahkan dalam pandangan yang lain, MUI dianggap tidak
memahami “taklif” dalam terminologi hukum Islam, karena “taklif” hanya
dikenakan kepada manusia, tidak pada “pemikiran”. Diantara kelompok yang
kontra adalah lembaga Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D), Jaringan Islam
Liberal (JIL), Indonesia Conference on Religion and Peace (ICRP), Perhimpunan
Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), dan berbagai institiusi lain yang
bergerak di bidang penegak HAM, pluralisme, dan kebebasan berpendapat.
Berbeda dengan kelompok di atas, bagi Komite Islam untuk Solidaritas
Dunia Islam (KISDI), Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI),
dan berbagai ormas Islam militant lainnya, berbagai fatwa yang dikeluarkan MUI
adalah bentuk final hukum Islam yang ditetapkan oleh orang-orang yang
kompeten dengan dalil yang sahih serta dikeluarkan melalui forum tertinggi para
ulama seluruh Indonesia. Fatwa pluralisme dann pluralitas agama MUI adalah
sebuah bentuk kepedulian kaum ulama terhadap berbagai problematika
keagamaan yang dipandang telah keluar dari idealitas Islam yang sesungguhnya.
123
Karya ilmiah Ilman Nafi‟a, Fatwa Pluralisme dan Pluralisme dan Pluralitas Agama
MUI (Majelis Ulama Indonesia) Dalam Perspektif Tokoh Islam Cirebon, 2013, hal 126
66
Pluralisme bagi mereka dianggap telah merusak dan mengancam ajaran Islam,
sehingga fatwa MUI ini sangatlah urgen demi menjaga kemurnian ajaran Islam
dari rongrongan berbagai pihak yang terus berupaya melakukan pendangkalan
atas aqidah Islam.124
Fatwa ini menjadi pro dan kontra di masyarakat luas, khususnya mereka
yang latar belakang pendidikan agama saja atau pemuka agama dengan kalangan
akademisi, bahkan kontraversi fatwa sudah menjadi perbincangan nasional dan
internasional.
2. Sejarah Munculnya Fatwa MUI
Dalam musyawarah VII Majelis Ulama Indonesia yang berakhir pada
jumat (29/7)), MUI telah mengeluarkan 11 fatwa. Dijelaskan juga bahwa belum
pernah Munas MUI mengeluarkan fatwa sebanyak itu sebelumnya. Di antara
fatwa-fatwa itu, yang boleh dikatakan mencerminkan pandangan elite keagamaan
Islam Indonesia, Munas MUI kurang lebih telah mengharamkan umat Islam untuk
mengikuti tiga paham kontemporer, yaitu sekularisme, liberalisme dan pluralisme.
Fatwa ini bisa diartikan sebagai pelarangan kemerdekaan berpikir, berpendapat,
dan berkeyakinan yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Kita bisa
berpendapat yang isinya menolak suatu paham. Namun, jika kita melarang
masyarakat menganut suatu paham, itu namanya mengingkari kemerdekaan
berpikir dan berpendapat. Latar belakang pengharaman itu agaknya adalah
timbulnya aliran Islam Liberal yang dikembangkan oleh generasi muda, terutama
dari kalangan Nahdlatul Ulama ataupun Muhammadiyah, dengan tokohnya yang
124
Karya ilmiah Ilman Nafi‟a, Fatwa Pluralisme dan Pluralisme dan Pluralitas Agama
MUI (Majelis Ulama Indonesia) Dalam Perspektif Tokoh Islam Cirebon, 2013, hal 126
67
paling vocal Ulil Abshar-Abdalla. Unsur-unsur liberal dalam kedua organisasi itu
memang akidah dan syariat, tapi didukung pula oleh beberapa tokoh senior dari
dalam organisasi itu sendiri, bahkan menduduki posisi pemimpin. Aliran ini,
berkat kepemimpinan yang dinamis dari tokoh-tokohnya, semakin menarik
perhatian masyarakat, bahkan dinilai telah mempengaruhi cara berpikir dalam
organisasi formal. Gejala inilah yang menimbulkan kegelisahan kalangan MUI
yang secara informal bertindak sebagai “posisi akidah” atau “menjaga kemurnian
akidah” menurut imbauan Presiden Yudhoyono ketika membuka musyawarah
nasional itu. Padahal wacana yang mereka lontarkan selalu bersifat pencerahan.
Menurut Majelis Ulama Indonesia, istilah pluralisme agama merupakan
istilah populer, tetapi pengertiannya sering disalah pahami. Beberapa pihak
memahami pluralisme agama sama dengan pluralitas agama dan sebagian lain
memaknai toleransi beragama. Adanya kerancuan tersebut menyebabkan MUI
mengeluarkan fatwa keharaman paham pluralisme agama.125
Pengharaman
pluralisme agama menurut Din Syamsudin, sesungguhnya didasarkan pada
anggapan, yaitu sama dengan relativisme.126
Sebagian pemikir Islam di Indonesia
tanpa disadari telah mengaburkan atau membelokkan makna pluralisme agama,
yaitu semua agama adalah benar sehingga kebenaran agama adalah relatif.127
125
Jurnal Aris Kristianto, Pluralisme Agama di Indonesia (Studi tentang Tipologi
Pluralisme Agama Nonindifferent pada Keputusan Fatwa MUI Nomor 7 Tahun 2005 (Surabaya:
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2018) hal 232 atau dalam Ainul
Yaqin, Menolak Liberalisme Islam, 57. 126
Jurnal Aris Kristianto, Pluralisme Agama di Indonesia (Studi tentang Tipologi
Pluralisme Agama Nonindifferent pada Keputusan Fatwa MUI Nomor 7 Tahun 2005 (Surabaya:
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2018) hal 232 atau dalam Suhadi
Cholil (ed.), Resonansi Dialog Agama dan Budaya Dari Kebangsaan Beragama, Pendidikan
Multikultural, Sampai RUU Anti Pornografi (Yogyakarta: CRCS, 2008), vi. 127
Jurnal Aris Kristianto, Pluralisme Agama di Indonesia (Studi tentang Tipologi
Pluralisme Agama Nonindifferent pada Keputusan Fatwa MUI Nomor 7 Tahun 2005 (Surabaya:
68
Majelis Ulama Indonesia mendefinisikan Pluralisme Agama sebagai:
“Pluralisme Agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama
adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu,
setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang
benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa
semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga”.128
Sebagaimana firman Allah mengenai pluralisme agama menurut putusan
Fatwa MUI dalam surah Ali-Imran ayat 85, surah Al-Kafirun ayat 6 yaitu:129
Artinya: “Barang siapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan Dia di akhirat
termasuk orang-orang yang rugi”. (Q.S Ali-Imran ayat 85).
Artinya: “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (Q.S Al-Kafirun ayat
6)
Sebagian pihak menilainya sebagai wujud pertanggungjawaban MUI
untuk melindungi aqidah umat Islam. Sebagaimana disebutkan dalam konsideran
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2018) hal 232 atau dalam
http://news.detik.com/mostpopular Din: Pelaksanaan Fatwa Bukan Lagi Wewenang MUI (24
Februari 2016). 128
Jurnal Al-Ulum Fitriyani, Pluralisme Agama-Budaya Dalam Perspektif Islam, (Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon, 2011) hal 329 atau dalam Lihat Fatwa MUI dalam majalah
Media Dakwah No. 358 Ed. Sya'ban 1426 H/September 2005, h. 49. 129
http://m.eramuslim.com/tahukah-anda/fatwa-mui-tentang-pluralisme-liberalisme-dan-
sekularisme-agama dikutip pada hari Jumat tanggal 30 Mei 2020 pada pukul 00:00
69
fatwa bagian menimbang yang memuat latar belakang, alasan, dan urgensi
penetapan fatwa pada Pedoman dan Prose dur Penetapan Fatwa MUI, yaitu:130
1. Munculnya fatwa MUI Nomor 7 Tahun 2005 karena berkembangnya paham
pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama serta paham-paham sejenis.
2. Berkembangnya paham-paham di kalangan masyarakat tersebut telah
meresahkan sehingga sebagian masyarakat meminta MUI menetapkan fatwa.
3. MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang paham pluralisme,
liberalisme, dan sekularisme agama untuk dijadikan pedoman umat Islam.131
Respons ulama dalam fatwa MUI Nomor 7 Tahun 2005 mengenai masalah
aqidah dan ibadah atas pertanyaan peminta fatwa terkait perkembangan pranata
sosial di Indonesia menunjukkan pengaruh yang signifikan. Disebutkan dalam
Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa Bab VI tentang kewenangan dan wilayah
fatwa, “MUI berwenang menetapkan fatwa mengenai masalah-masalah
keagamaan secara umum, terutama masalah hukum (fikih) dan masalah akidah
yang menyangkut kebenaran dan kemurnian keimanan umat Islam Indonesia”.132
Fatwa sebagai produk kajian melibatkan tinjauan dari berbagai sudut pandang
sehingga hasil keputusan kolektif lembaga fatwa MUI memiliki otoritas dalam
memutuskan hukum berbagai kebijakan. Pada Musyawarah Nasional VII tanggal
19-22 Jumadil Akhir 1426 H / 26-29 Juli 2005 M Majelis Ulama Indonesia yang
130
Tim Penyusun Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,
hal 7 131
Ibid 132
Jurnal Aris Kristianto, Pluralisme Agama di Indonesia (Studi tentang Tipologi
Pluralisme Agama Nonindifferent pada Keputusan Fatwa MUI Nomor 7 Tahun 2005
(Surabaya:Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2018) hal 210 (Ainul
Yaqin, Menolak Liberalisme Islam, hal 7)
70
diketuai oleh Pimpinan Sidang Komisi C Bidang Fatwa, Ma‟ruf Amin
mengeluarkan sebelas keputusan fatwa, yaitu:
1. MUI mengharamkan pelanggaran hak atas kekayaan intelektual termasuk hak
cipta.
2. MUI mengharamkan perdukunan dan peramalan termasuk publikasi hal
tersebut di media.
3. MUI mengharamkan do‟a bersama antaragama, kecuali do‟a menurut
keyakinan atau ajaran agama masing-masing, dan mengamini pemimpin do‟a
yang berasal dari agama Islam. Fatwa ini dikeluarkan karena do‟a bersama
antar agama dianggap sebagai sesuatu yang bid‟ah atau tidak diajarkan dalam
syariat agama Islam.
4. MUI mengharamkan kawin beda agama kecuali tidak ada lagi Muslim atau
Muslimah untuk dinikahi.
5. MUI mengharamkan warisan beda agama kecuali dengan wasiat dan hibah.
6. MUI mengeluarkan kriteria maṣlaḥah atau kebaikan bagi orang banyak.
7. MUI mengharamkan pluralisme (pandangan yang menganggap semua agama
sama) sekularisme dan liberalisme.
8. MUI memfatwakan, hak milik pribadi wajib dilindungi oleh negara dan tidak
ada hak bagi negara merampas bahkan memperkecilnya, namun jika
berbenturan dengan kepentingan umum yang didahulukan adalah kepentingan
umum. Pemerintah dapat mencabut hak pribadi untuk kepentingan umum jika
dilakukan dengan cara musyawarah dan tanpa paksaan serta harus
menyediakan ganti rugi dan tidak untuk kepentingan komersial.
71
9. MUI mengharamkan perempuan menjadi imam sholat selama ada pria yang
telah akil baliq. Perempuan mubah jika men jadi imam salat bagi sesama
perempuan.
10. MUI mengharamkan aliran Ahmadiyah.
11. MUI memperbolehkan hukuman mati untuk tindak pidana berat.133
Dalam membentengi umat dari paham menyimpang, maka MUI
menerbitkan keputusan fatwa larangan mengikuti paham liberalisme, sekularisme
dan pluralisme agama.134
Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005
adalah satu dari sebelas fatwa yang dikeluarkan dan ditetapkan di Jakarta, 21
Jumadil Akhir 1426 H / 28 Juli 2005 M melalui Munas VII Tahun 2005 tidak
dapat dilepaskan dari konteks lokal dan global. Pada tingkat lokal maraknya
gerakan pemikiran yang mengagungkan pluralisme sebagai agama baru cukup
meresahkan para elit MUI. MUI khawatir jika kaum Muslim semakin jauh dari
Islam, kehilangan identitas, dan meragukan Islam itu sendiri karena pandangan
semua agama sama.135
Demikian pula pada tingkat global terjadi desakan dari
beberapa negara untuk membangun sebuah tatanan kehidupan dunia yang damai
dengan dialog intensif antaragama. Salah satu upayanya adalah membentuk
133
Jurnal Aris Kristianto, Pluralisme Agama di Indonesia (Studi tentang Tipologi
Pluralisme Agama Nonindifferent pada Keputusan Fatwa MUI Nomor 7 Tahun 2005 (Surabaya:
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2018) hal 211 (Alirsyad.net/11-
fatwa-hasil-munas-mui-vii (4 April 2017) 134
Jurnal Aris Kristianto, Pluralisme Agama di Indonesia (Studi tentang Tipologi
Pluralisme Agama Nonindifferent pada Keputusan Fatwa MUI Nomor 7 Tahun 2005 (Surabaya:
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2018) hal 211 (Ainul Yaqin,
Menolak Liberalisme Islam, hal 18) 135
Imam Subkhan, Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya, hal 30
72
berbagai forum dan organisasi dunia yang secara spesifik mempromosikan
pluralisme.136
Menurut Ma‟ruf Amin, munculnya pendapat yang mencerca fatwa
membuatnya semakin yakin bahwa ulama harus memberikan bimbingan dan
pedoman, yaitu membetulkan aqidah karena banyak yang menyimpang. Dalam
memilih pendapat, MUI menggunakan metode mana yang paling kuat (unggul,
bukan asal memilih) sebab ada pedomannya. Jika ada pendapat berbeda, maka
dicari yang terunggul. Memberikan hukum dengan sesuatu yang tidak unggul
sama dengan memberikan hukum selain hukum Allah.137
Pada diktum fatwa yang memuat substansi hukum fatwa dalam Pedoman
dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI, ada dua ketentuan, yaitu:138
a. Ketentuan Umum
Dalam Fatwa MUI menerangkan pluralisme agama adalah paham yang
mengajarkan semua agama adalah sama karena kebenaran setiap agama relatif
sehingga tidak boleh mengklaim hanya agamanya saja yang benar sedangkan
yang lain salah. Pluralisme mengajarkan semua pemeluk agama akan masuk dan
hidup berdampingan di surga. Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan di negara
atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup
berdampingan.139
136
Ibid., hal 31. 137
Ma‟ruf Amin, Yang Kontroversial Bukan Fatwa MUI, tapi Tanggapannya, dalam
alirsyad.net, 2017. 138
Ibid., hal 7. 139
Jurnal Aris Kristianto, Pluralisme Agama di Indonesia (Studi tentang Tipologi
Pluralisme Agama Nonindifferent pada Keputusan Fatwa MUI Nomor 7 Tahun 2005 (Surabaya:
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2018) hal 212 (Tim Penyusun
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal 91)
73
b. Ketentuan Hukum
Maksud pluralisme agama di bagian ketentuan umum adalah paham yang
bertentangan dengan ajaran Islam sehingga haram mengikutinya. Menurut MUI
untuk masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif. Artinya,
haram mencampuradukkan aqidah dan ibadah umat Islam dengan pemeluk agama
lain. Masyarakat Muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas),
atau masalah sosial yang tidak berkaitan aqidah dan ibadah harus bersifat inklusif.
Artinya, tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang
tidak saling merugikan.140
Dalam Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI bagian penjelasan
berisi uraian dan analisis secukupnya tentang fatwa.141
Penjelasan keharaman
pluralisme agama yang dimasukkan pada bidang aqidah dan aliran keagamaan
tersebut, yaitu:142
a. Umat Islam Indonesia menghadapi perang pemikiran (ghazwul fikr) seperti
berkembangnya paham pluralisme agama. Perang nonfisik ini berdampak luas
pada ajaran, kepercayaan dan keberagamaan umat karena pluralisme agama
tidak lagi bermakna kemajemukan agama, tetapi menyamakan semua agama.
Semua agama sama benar dan baik serta hidup beragama diibaratkan seperti
memakai baju dan boleh berganti-ganti sehingga jelas mengarah pada ajaran
relativisme agama yang dapat mendangkalkan keyakinan aqidah.
140
Ibid., hal 91-92. 141
Jurnal Aris Kristianto, Pluralisme Agama di Indonesia (Studi tentang Tipologi
Pluralisme Agama Nonindifferent pada Keputusan Fatwa MUI Nomor 7 Tahun 2005 (Surabaya:
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2018) hal 216 (Tim Penyusun
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal 7) 142
Ibid., hal 93-95.
74
b. Selain mengarah pada ajaran relativisme agama, paham pluralisme agama
sebagaimana hasil dialog antarumat beragama di Indonesia yang dipelopori
oleh A. Mukti Ali tahun 70-an dengan pengertian setuju dalam perbedaan
(agree in disagreement) dan adanya klaim kebenaran masing-masing agama
ternyata dibelokkan kepada paham sinkretisme (penyampuradukan ajaran
agama).
c. Paham pluralisme agama yang tidak banyak mendapat perhatian dari para
ulama dan tokoh umat tersebut telah disebarkan secara aktif menyelusup jauh
ke pusat atau lembaga pendidikan umat dipahami oleh masyarakat
sebagaimana maksud para penganjurnya. Munas VII MUI perlu merespons
usul para ulama dari berbagai daerah agar MUI mengeluarkan keputusan
fatwa sebagai tuntunan dan bimbingan kepada umat untuk tidak mengikuti
paham pluralisme agama.143
d. Diktum fatwa mengenai pluralisme agama terbagi menjadi dua bagian yang
tidak terpisahkan, yakni ketentuan umum dan ketentuan hukum. Ketetapan
hukum bagian kedua secara substansial menunjuk kepada definisi dan
pengertian yang disebutkan pada ketentuan umum bagian pertama. Definisi
dalam fatwa tersebut bersifat empiris, bukan definisi akademis sebagaimana
hasil rumusan para ulama peserta Munas VII MUI. Definisi pluralisme agama
adalah paham (isme) yang hidup dan terpahami oleh masyarakat sehingga
143
Jurnal Aris Kristianto, Pluralisme Agama di Indonesia (Studi tentang Tipologi
Pluralisme Agama Nonindifferent pada Keputusan Fatwa MUI Nomor 7 Tahun 2005 (Surabaya:
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2018) hal 217 (Tim Penyusun
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal 93)
75
bukan definisi yang mengada-ngada, tetapi untuk merespons apa yang selama
ini telah disebarluaskan oleh para pendukungnya.144
e. Fatwa MUI menegaskan pluralisme agama berbeda dengan pluralitas agama,
karena pluralitas agama berarti kemajemukan agama. Banyaknya agama-
agama di Indonesia merupakan sebuah kenyataan dimana semua warga
negara, termasuk umat Islam Indonesia, harus menerimanya sebagai suatu
keniscayaan dan menyikapinya dengan toleransi dan hidup berdampingan
secara damai. Pluralitas agama merupakan hukum sejarah (sunatullah) yang
tidak mungkin terelakkan keberadaannya dalam kehidupan kita sehari-hari.
f. Fatwa MUI dimaksudkan untuk membantah berkembangnya paham
relativisme agama, yaitu kebenaran suatu agama bersifat relatif dan tidak
absolut. Fatwa ini justru menegaskan masing-masing agama dapat mengklaim
kebenaran agamanya (truth claim) sendiri-sendiri, tetapi tetap berkomitmen
saling menghargai satu sama lain dan mewujudkan keharmonisan antar
pemeluk.145
Keputusan fatwa MUI Nomor 7 Tahun 2005 terbagi menjadi dua bagian,
yaitu Ketentuan Umum dan Ketentuan Hukum. Ketetapan hukum secara
substansial menunjuk kepada ketentuan umum fatwa. Definisi dan pengertian
pluralisme agama bersifat empirik, bukan definisi akademis. Artinya, paham
(isme) yang hidup dan dianut oleh masyarakat. Definisi pluralisme agama
144
Ibid., hal 94. Diktum hukum adalah bagian yang memuat hal yang ditetapkan hakim
dalam putusan pengadilan atau amar putusan. Ali Mustafa Yaqub, Toleransi Antar Umat
Beragama (Jakarta: PustakaFirdaus, 2008), hal 44. 145
Jurnal Aris Kristianto, Pluralisme Agama di Indonesia (Studi tentang Tipologi
Pluralisme Agama Nonindifferent pada Keputusan Fatwa MUI Nomor 7 Tahun 2005 (Surabaya:
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2018) hal 218 (Tim Penyusun
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal 95)
76
sebagaimana rumusan para ulama peserta Munas VII MUI bukanlah definisi yang
mengada-ngada, tetapi untuk merespons maraknya penyebaran ajaran
pluralisme.146
Penjelasan fatwa MUI tentang keharaman pluralisme agama dimaksudkan
membantah berkembangnya paham relativisme agama, yaitu kebenaran suatu
agama bersifat relatif dan tidak absolut. Fatwa ini justru menegaskan masing-
masing agama dapat mengklaim kebenaran agamanya (truth claim) sendiri-
sendiri, tetapi tetap berkomitmen saling menghargai satu sama lain dengan
mewujudkan keharmonisan hubungan antar pemeluk.147
Dari uraian diatas mengenai fatwa MUI terhadap pluralisme agama saya
berpendapat bahwa menurut setiap orang maupun kelompok berhak menganut
atau meyakini satu agama tanpa mengklaim agama lain tidak benar. Semua agama
adalah sama dan setiap agama adalah relatif. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), agama adalah suatu ajaran yang mengatur tata keimanan atau
kepercayaan dan peribadatan seseorang kepada Tuhan yang Maha Kuasa, serta
tata kaidah berkaitan dengan pergaulan manusia dengan manusia serta
lingkungannya. Jadi seseorang berhak menganut agama yang menurutnya agama
tersebut mampu ia jalankan syariatnya tanpa merendahkan atau mengklaim agama
lain.
146
Ibid hal 94. 147
Jurnal Aris Kristianto, Pluralisme Agama di Indonesia (Studi tentang Tipologi
Pluralisme Agama Nonindifferent pada Keputusan Fatwa MUI Nomor 7 Tahun 2005 (Surabaya:
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2018) hal 224 (Tim Penyusun
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal 95)
77
B. Pendapat Ahmad Syafi’i Ma’arif Tentang Pluralisme Agama
1. Latar Belakang Ahmad Syafi‟i Ma‟arif Mengemukakan Pendapatnya Tentang
Pluralisme Agama
Manusia adalah makhluk individu sekaligus sebagai makhluk sosial.
Sebagai mahkluk sosial tentunya dituntut untuk mampu berinteraksi dengan
individu lain dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Dalam menjalani kehidupan
sosial dalam masyarakat, seorang individu akan dihadapkan dengan kelompok-
kelompok yang berbeda dengannya. Perbedaan yang terkait dengan suku, agama
maupun ras dari masing-masing individu tersebut.148
Dalam menjalani kehidupan sosialnya tidak bisa dipungkiri akan ada
gesekan-gesekan yang akan dapat terjadi antar kelompok masyarakat. Dalam
rangka menjaga keutuhan dan persatuan dalam masyarakat, maka diperlukan
sikap saling menghormati dan saling menghargai, sehingga gesekan-gesekan yang
dapat menimbulkan pertikaian dapat dihindari. Masyarakat juga dituntut untuk
saling menjaga hak dan kewajiban antara yang satu dengan yang lainnya.149
Kebebasan beragama pada hakikatnya adalah dasar bagi terciptanya
kerukunan antar umat beragama. Tanpa kebebasan beragama tidak mungkin ada
kerukunan antar umat beragama. Kebebasan beragama adalah hak setiap manusia.
Hak untuk menyembah Tuhan diberikan oleh Tuhan, dan tidak ada seorang pun
yang boleh mencabutnya.150
148
Karya ilmiah Muhammad Wahid Nur Tualeka, Konsep Toleransi Beragama Menurut
Buya Syafi’i Ma’arif, Program Studi Agama-agama, FAI UMSurabaya 149
Karya ilmiah Muhammad Wahid Nur Tualeka, Konsep Toleransi Beragama Menurut
Buya Syafi’i Ma’arif, Program Studi Agama-agama, FAI UMSurabaya 150
Karya ilmiah Muhammad Wahid Nur Tualeka, Konsep Toleransi Beragama Menurut
Buya Syafi’i Ma’arif, Program Studi Agama-agama, FAI UMSurabaya
78
Demikian sebaliknya, toleransi antar umat beragama adalah cara agar
kebebasan beragama dapat terlindungi dengan baik. Kebebasan dan toleransi tidak
dapat diabaikan. Namun yang sering kali terjadi adalah penekanan dari salah
satunya, misalnya penekanan kebebasan yang mengabaikan toleransi dan usaha
untuk merukunkan dengan memaksakan toleransi dengan membelenggu
kebebasan. Untuk dapat mempersandingan keduanya, pemahaman yang benar
mengenai kebebasan beragama dan toleransi antar umat beragama merupakan
sesuatu yang penting dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat.151
Dalam hal pluralisme agama, Al-Qur‟an tampaknya berangkat lebih jauh.
Tidak saja orang harus mengakui keragaman agama yang dipeluk oleh umat
manusia, mereka yang tidak beragama pun harus punya tempat untuk
melangsungkan hidupnya di bumi. Dalam masalah ini Al-Qur‟an lebih toleran
dibandingkan dengan kebanyakan umat Islam yang seringkali memusuhi orang
ateis, karena Al-Qur‟an selalu mengajak manusia untuk beriman, karena beriman
itu teramat penting bagi perjalanan hidupnya sampai di akhirat. Beriman memang
memberikan keamanan ontologis kepada manusia dalam pengembangan hidupnya
yang sarat dengan keguncangan dan tantangan. Tetapi jika mereka merasa tidak
memerlukan keamanan tersebut, kantas kita mau apa? Karena sesungguhnya tugas
para Nabi dan pengikutnya hanyalah mengajak manusia untuk beriman kepada
Allah dan hari akhir dengan cara beradab dan penuh kebijaksanaan, bukan dengan
paksaan.152
151
Karya ilmiah Muhammad Wahid Nur Tualeka, Konsep Toleransi Beragama Menurut
Buya Syafi’i Ma’arif, Program Studi Agama-agama, FAI UMSurabaya 152
Karya ilmiah Muhammad Wahid Nur Tualeka, Konsep Toleransi Beragama Menurut
Buya Syafi’i Ma’arif, Program Studi Agama-agama, FAI UMSurabaya
79
Kemajemukan bangsa Indonesia, juga disebabkan hampir semua agama-
agama besar, yakni Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu, Budha dan
Konghucu hidup di negeri ini. Di sisi lain, masyarakat Indonesia juga terdiri dari
beragam suku, etnis, budaya dan bahasa. Bentuk Negara kepulauan, juga
menyebabkan penghayatan dan pengamalan keagamaan bangsa ini unik
dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain.
Pluralisme agama sebagai bentuk kemajemukan/keragaman dalam
beragama merupakan sebuah realita yang harus diterima. Seseorang baru dapat
dikatakan menyandang sifat tersebut apabila ia dapat berinteraksi positif dalam
lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain, pengertian pluralisme
agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengaku
keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan
dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan.153
Dalam kaitan ini, buya Ma‟arif telah berbicara cukup banyak dan jelas.
Pluralisme dalam arti keragaman/kemajemukan beragama menurutnya tidak bisa
dilepaskan dengan prinsip kebebasan yang merupakan pilar utama demokrasi,
kendati dimata Al-Qur‟an kebebasan tersebut bukanlah sesuatu yang tanpa batas,
yaitu dibatasi oleh ruang lingkup kemanusiaan itu sendiri.154
Menurut pandangan Ahmad Syafi‟i Ma‟arif mengenai pluralisme adalah
dalam arti keragaman/kemajemukan beragama menurutnya tidak bisa dilepaskan
dengan prinsip kebebasan yang merupakan pilar utama demokrasi, kendati di mata
153
Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, 2009, Islam Dalam Bingkai Ke Indonesiaan dan Ke
Manusiaan; Sebuah Refleksi Sejarah, Mizan, Bandung, h. 165. 154
Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, 2009, Islam Dalam Bingkai Ke Indonesiaan dan Ke
Manusiaan; Sebuah Refleksi Sejarah, Mizan, Bandung, h. 165.
80
Al-Qur‟an kebebasan tersebut bukanlah sesuatu yang tanpa batas, yaitu dibatasi
oleh ruang lingkup kemanusiaan itu sendiri. Untuk penjelasan lebih lanjut
mengenai kebebasan ini, buya Ma‟arif mengutip penjelasan dari Machasin,
dimana Machasin memberikan penjelesan yang proporsional terkait kebebasan
tersebut, menurutnya (Machasin):155
Pemikiran pluralisme agama Ahmad Syafi‟i Ma‟arif dipengaruhi oleh
pendekatan Neo-Modernisme Islamnya Fazlur Rahman. Dan seperti yang
dijelaskan oleh Rahman sendiri bahwa gerakan pembaharuannya bertumpu pada
pertama, perumusan pandangan dunia Al-Qur‟an. Kedua, menciptakan suatu
analisis yang sistematis terhadap ajaran-ajaran moral Al-Qur‟an dan pada
gilirannya akan tercipta etika Al-Qur‟an. Ketiga, merupakan sistem dan formula
hukum yang selaras dengan kebutuhan kontemporer berdasarkan etika tersebut.156
Arah gerakan Rahman ini mengambil bentuknya pada hipotesanya tentang arus
kebangkitan Islam yang menyebar di dunia yang muncul sebagai reaksi yang kuat
terhadap kelemahan ulama tradisional dan kegagalan negara Islam dalam
menanggulangi pengaruh Barat. Singkatnya, model berfikir Neo-Modernisme
Islam ala Rahman, seperti yang secara kritis diungkapkan juga oleh Farid Essack
dalam bukunya Qur’an Liberation & Pluralism.157
Dalam rumusan model diatas, pemikiran Islam Ahmad Syafi‟i Ma‟arif
mengenai dasar-dasar Islam apakah itu konsepsinya tentang Al-Qur‟an dan
155
Artawijaya, Indonesia Tanpa Liberal, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar 2012) cet pertama
109 dan 214 156
Ihsan Ali Fauzi, Menuju Sistematisasi Etika Al-Qur’an, (Al-Hikmah No 9, 1993) hal
41-42 157
Wan Mohd, Nor Wan Daud, Fazlur Rahman: Kesan Seorang Murid dan Teman,
Ummul Qur‟an No. 8, Vol. II, (1991/1411) hal 109
81
Sunnah Nabi lahir dari bentuk pemahaman yang diperolehnya dari sang guru Neo-
Modernisme Islam Fazlur Rahman.158
Ahmad Syafi‟i Ma‟arif mempunyai prinsip bahwa pluralisme harus dijaga
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Pluralisme menunjukkan
kemajuan suatu bangsa. Oleh karena itu, Syafi‟i heran bila banyak pihak menilai
pluralisme sebagai prinsip yang haram. Dalam peluncuran buku “Muhammadiyah
Gerakan Pembaruan” di Gedung Joeang. Ahmad Syafi‟i Ma‟arif menilai bahwa
pluralisme menunjukkan tingkat intelektualisme disuatu bangsa. Menurutnya,
intelektualisme itu sama dengan pluralisme.159
Syafi‟i memastikan negara atau masyarakat tanpa pluralisme akan
menghasilkan kondisi yang berantakan. Baginya, setiap insan yang ingin melintasi
abad harus berfikir cerdas. Maka, dia juga menilai pentingnya muncul majelis
taarjih dan kemerdekaan berpikir di tengah-tengah PP Muhammadiyah.160
Pemikiran utama Syafi‟i Ma‟arif seperti dapat dilihat dalam bukunya Islam
dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (2010),161 namun baik Madjid
maupun Wahid menaruh perhatian yang tidak kalah besar dibanding Syafi‟i
Ma‟arif.
Dalam menyikapi paham pluralisme agama di Indonesia, Ahmad Syafi‟i
Ma‟arif memposisikan diri sebagai tokoh yang mendukung terhadap
pengembangan paham ini. Hal ini dapat terlihat dari karya-karya yang dihasilkan
158
Ibid 159
Ibid 160
Jurnal Zaenal Arifin, Mendukung Pluralisme Agama (Pemikiran Ahmad Syafi’i
Ma’arif) 161
Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan:
Sebuah Refleksi Sejarah (Bandung: Mizan, 2010)
82
sang buya. Syafi‟i Ma‟arif memaknai bahwa pluralisme agama sebagai realitas
yang juga tertuang dalam diktum Al-Qur‟an serta merupakan fakta sejarah.
Menurutnya, perbedaan agama yang harus disikapi lapang dada. Selain itu, bagi
Syafi‟i Ma‟arif paham pluralisme agama memiliki fungsi ganda. Pertama,
dijadikan perekat kesatuan bagi seluruh rakyat Indonesia yang terdiri atas
multireligius. Kedua, meredam potensi konflik dan kekerasan atas nama agama
diantara sesama anak bangsa.162
Jika dilihat dari jejak organisasinya, Syafi‟i Ma‟arif merupakan seorang
yang sangat setia dengan Muhammadiyah sepanjang hidupnya. Roh pembaharuan
yang diusung Muhammadiyah mewarnai corak berpikirnya. Kondisi Umat Islam
dan bangsa Indonesia yang disebutnya dalam krisis multi dimensi, dikritiknya
dengan tajam. Hal ini bukan karena sang Buya pesimitis terhadap masa depan
Islam dann Indonesia tapi merupakan bentuk iman terhadap agamanya, bentuk
cinta Pancasila, UUD 1945 dan Semboyan Bhineka Tungga Ika yang
diperjungkan para pendiri bangsa. Buya Syafi‟i secara sadar bahwa diktum
agama, realitas sejarah, keadaan bangsa membawanya menjadi seorang pribadi
dan tokoh yang berpaham inklusif yang pluralis.163
162
Jurnal Fadlan Barakah, Pandangan Pluralisme Agama Ahmad Syafi’i Ma’arif Dalam
Kontek Keindonesiaan dan Kemanusiaan, (Jakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga,
2012) hal 82 163
Jurnal Fadlan Barakah, Pandangan Pluralisme Agama Ahmad Syafi’i Ma’arif Dalam
Kontek Keindonesiaan dan Kemanusiaan, (Jakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga,
2012) hal 82-83
83
2. Pendapat Ahmad Syafi‟i Ma‟arif Sebenarnya Mengenai Pluralisme Agama
a. Pendapat yang Mendukung Pluralisme Agama
Nurcholish Madjid adalah salah satu tokoh yang mendukung adanya
pluralisme agama. Menurutnya ada dua pendekatan yang digunakan untuk
merumuskan konsep pluralisme agama, yaitu pendekatan filologis dan
pendekatan historis. Pendekatan filologi berangkat dari term “Islam”, ia
mendefinisikan tentang kata Islam dari Al-Qur‟an. Menurutnya kata Islam dalam
bahasa Arab berarti “pasrah”, berserah diri”. Pengertian Islam ini dibedakan
menjadi Islam secara khusus dan Islam secara umum. Islam secara khusus dalam
kaitannya dengan agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, sedangkan
Islam secara umum dapat kita artikan sebagai sikap pasrah, berserah diri kepada
Allah semata. Sedangkan pendekatan historis, menurutnya kesadaran sejarahlah
yang sangat menentukan, maka dari itu kesadaran sejarah harus ditekankan
sebagai pendekatan dan dijauhkan dari sikap memutlakan apa yang ada dalam
sejarah.164
Konsep penting yang terdapat dalam pemikiran tentang pluralisme agama
Nurcholish Madjid ialah adanya titik temu, common platform, atau kalimah sawa,
yaitu prinsip-prinsip yang sama dalam semua agama yang benar. Bagi Nurcholish
Madjid titik temu itu akan sama yaitu Allah Yang Maha Benar (al-haqq). Semua
Nabi dan Rasul membawa kebenaran yang sama hanya saja yang membedakan
adalah tentang bagaimana seorang Rasul menyikapi tuntutan tempat dan zaman.
164
Lihat Purwanto, “Pluralisme Agama dalam Prespektif Nurcholish Madjid”, dalam
http://doaj.org, diakses pada tanggal 21 Februari 2017, hlm 2-3
84
Jadi, perbedaan yang ada bukan pada level hakikat melainkan hanya dimensi
luarnya saja.165
Lebih jauh, Dawam Raharjo dalam artikel “Pluralisme Agama dalam
Perspektif Nurcholish Madjid” karya Puwanto juga memberi respon terhadap
pluralisme agama. Menurutnya meski Nurcholish Madjid banyak dinilai sebagai
seorang pluralis, tapi orang pluralis bukan sekedar orang yang menerima
perbedaan terhadap kebenaran agama yang berbeda, tapi lebih jauh harus
mempelajari kebenaran agama-agama lain dengan sikap yang adil. Sosok cak Nur
menurutnya merupakan seorang teolog muslim yang tetap bertegang teguh pada
teks-teks Al-Qur‟an dan Al-Sunnah (lebih luas pada Al-Qur‟an). Di situlah
keterbatasan cak Nur yang menurut Dawan Raharjo belum sepenuhnya pluralis,
tetapi baru sebagai seorang teolog inklusif.166
Senada dengan Dawam Raharjo, dalam artikel yang sama diterangkan
bahwa menurut Kuntowijoyo, pluralisme agama dapat ditipologikan menjadi dua,
pluralisme negatif dan pluralisme positif. Istilah pluralisme negatif digunakan
untuk menunjukkan sikap keberagaman seseorang yang sangat ekstrim. Sikap
ekstrem itu misalnya ditujukan dengan mengatakan bahwa beragama itu ibarat
memakai baju sehingga ia dapat menggantinya kapan pun dikehendaki. Jadi
terdapat pengakuan bahwa ada banyak agama. Secara prinsip pernyataan ini
memang sesuai realitas. Tetapi dengan menyatakan bahwa perpindahann agama
(konversi) itu wajar terjadi, semudah orang mengganti baju tentu merupakan hal
yang dapat menimbulkan kontroversi. Pluralisme disebut negatif jika ada orang
165
Purwanto, “Pluralisme Agama dalam Prespektif Nurcholish Madjid…”, hlm. 16 166
Purwanto, “Pluralisme Agama dalam Prespektif Nurcholish Madjid…”, hlm. 19-20
85
berpandangan tidak perlu memegang teguh keyakinan agamanya. Agama itu
ibarat baju, yang terpenting adalah iman yang ada dalam dada.167
Sementara pluralisme positif merupakan sikap keberagamaan yang sangat
mengedepankan penghormatan terhadap pendapat, pilihan hidup, dan keyakinan.
Ketika menjelaskan makna pluralisme positif ini, Kuntowijoyo banyak
mencontohkan pengalamannya pada saat belajar di luar negeri.168
Tokoh lain yang mendukung pluralisme agama adalah Sukidi, dalam
Pengalaman Muhammadiyah Membumikan Nilai-nilai Pluralisme, beliau
meyakini bahwa setiap agama memiliki misi yang sama dalam membimbing
manusia pada sumber asalnya (Tuhan). Setiap agama memiliki kebenaran dan
jalan keselamatannya sendiri. Menurutnya kebenaran dan Tuhan adalah satu
secara esensial, tetapi menjadi plural dalam bentuk kebenaran-kebenaran dan
tuhan-tuhan ketika ditangkap oleh manusia dengan latar belakang yang
beragam.169
b. Pendapat yang Menolak Pluralisme Agama
Sebagaimana dijelaskan diawal bahwa para tokoh berbeda pendapat dalam
menanggapi pluralisme agama. Setelah dijabarkan pandangan tokoh yang
mendukung pluralitas agama, kali ini peneliti akan menjabarkan pendapat
sebagian tokoh yang menolak adanya pluralisme agama.
Melihat dari sudut pandangan MUI yang memberi respon penolakan yang
serius terhadap wacana pluralisme agama, serta dianggap mengancam teologi
167
Biyanto, “Pengalaman Muhammadiyah Membumikan Nilai-nilai Pluralisme”, dalam
http://doaj.org, diakses pada tanggal 9 Februari 2017, hlm. 3 168
Biyanto, “Pengalaman Muhammadiyah Membumikan Nilai-nilai Pluralisme…”, hlm.
4 169
Lihat: Biyanto, Pluralisme Keagamaan dalam Perdebatan…, hlm. 249
86
Islam itu sendiri, sebab MUI bukan hanya menilai ide pluralisme agama itu sesat,
melainkan mereka diberi hukuman dengan label haram.170
Dalam skripsi “Pluralisme Agama di Indonesia Studi Komparasi
Pemikiran Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid” karya Abdul Mukti,
Adian Husaini mengatakan pluralisme merupakan konsep yang khas dalam
teologi yang mengajarkan kesamaan agama. Pluralisme berarti paham yang
menyamakan Islam dengan semua agama dann menolak kebenaran eksklusif
dalam Islam. Lebih jauh ia menganggap bahwa pluralisme agama adalah bentuk
ideology baru atau agama baru. Selayaknya agama, dia punya kitab sendiri, Nabi
sendiri, dan bahkan Tuhan sendiri. Maka dari itu ia menyambut baik fatwa MUI
yang mengharamkan pluralisme agama dan bahkan menjadikan legitimasi untuk
menyerang orang-orang yang setuju dengan ide pluralisme agama di Indonesia.171
170
Lihat: Abdul Mukti, “Pluralisme Agama di Indonesia Studi Komparasi Pemikiran
Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid”, Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2014. Hal 29
171
Lihat: Abdul Mukti, “Pluralisme Agama di Indonesia Studi Komparasi Pemikiran
Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid”…, hl m 30
88
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan penelitian mengenai Fatwa MUI dan pandangan
Ahmad Syafi‟i Ma‟arif tentang pluralisme agama dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. MUI mengharamkan pluralisme agama dalam Fatwa MUI No 7/Munas
VII/MUI/11/2005 tentang pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama yang
menyatakan bahwa pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama adalah
paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Majelis Ulama
Indonesia mendefinisikan Pluralisme Agama sebagai: “pluralisme agama
adalah paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan
karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif oleh sebab itu, setiap
pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang
benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa
semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.
Respons ulama dalam fatwa MUI Nomor 7 Tahun 2005 mengenai masalah
aqidah dan ibadah atas pertanyaan peminta fatwa terkait perkembangan pranata
sosial di Indonesia menunjukkan pengaruh yang signifikan. Disebutkan dalam
pedoman dan prosedur penetapan fatwa bab VI tentang kewenangan dan
wilayah fatwa, “MUI berwenang menetapkan fatwa mengenai masalah-
masalah keagamaan secara umum, terutama masalah hukum (fikih) dan
masalah akidah yang menyangkut kebenaran dan kemurnian keimanan umat
89
Islam Indonesia”. Fatwa sebagai produk kajian melibatkan tinjauan dari
berbagai sudut pandang sehingga hasil keputusan kolektif lembaga fatwa MUI
memiliki otoritas dalam memutuskan hukum berbagai kebijakan.
Dalam membentengi umat dari paham menyimpang, maka MUI
menerbitkan keputusan fatwa larangan mengikuti paham liberalisme,
sekularisme dan pluralisme agama. Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS
VII/MUI/11/2005 adalah satu dari sebelas fatwa yang dikeluarkan dan
ditetapkan di Jakarta, 21 Jumadil Akhir 1426 H / 28 Juli 2005 M melalui
Munas VII Tahun 2005 tidak dapat dilepaskan dari konteks lokal dan global.
Pada tingkat lokal maraknya gerakan pemikiran yang mengagungkan
pluralisme sebagai agama baru cukup meresahkan para elit MUI. MUI
khawatir jika kaum Muslim semakin jauh dari Islam, kehilangan identitas, dan
meragukan Islam itu sendiri karena pandangan semua agama sama.
Sedangkan Ahmad Syafi‟i Ma‟arif mendukung pluralisme agama karena
Syafi‟i Ma‟arif melihat pluralisme agama dalam arti keragaman/kemajemukan
beragama menurutnya tidak bisa dilepaskan dengan prinsip kebebasan yang
merupakan pilar utama demokrasi, kendati di mata Al-Qur‟an kebebasan
tersebut bukanlah sesuatu yang tanpa batas, yaitu dibatasi oleh ruang lingkup
kemanusiaan itu sendiri.
2. Perbedaan fatwa MUI dengan pendapat Ahmad Syafi‟i Ma‟arif disebabkan
oleh fatwa MUI melihat pluralisme agama dari pandangan taklif (pembebanan
suatu kewajiban kepada seseorang). Fatwa MUI yang dianggap kontroversial
dan mengkhawatirkan keselamatan bangsa adalah fatwa tentang pluralisme dan
90
pluralitas agama. Fatwa ini dianggap sebagian masyarakat sebagai bentuk
“ketidak pahaman” MUI dalam memahami persoalan dan wacana pluralisme
yang dipahami komponen masyarakat lain. Bahkan dalam pandangan yang
lain, MUI dianggap tidak memahami “taklif” dalam terminologi hukum Islam,
karena “taklif” hanya dikenakan kepada manusia, tidak pada “pemikiran”.
Fatwa ini menjadi pro dan kontra di masyarakat luas, khususnya mereka
yang latar belakang pendidikan agama saja atau pemuka agama dengan
kalangan akademisi, bahkan kontroversi fatwa sudah menjadi perbincangan
nasional dan internasional.
Sedangkan Ahmad Syafi‟i Ma‟arif melihat pluralisme agama dari sudut
pandang realitas sejarah Indonesia. Ahmad Syafi‟i Ma‟arif mensyaratkan untuk
hidup berdampingan antar umat beragama harus memiliki rasa lapang dada
yang besar dengan segala perbedaan yang ada. Sebagai warga Muhammadiyah,
Ahmad Syafi‟i Ma‟arif sangat toleran terhadap segala bentuk perbedaan,
termasuk dalam perbedaan agama. Pluralisme menurut Syafi‟i Ma‟arif
digunakan sebagai alat untuk menjalin persatuan dan harmonisasi antar umat
beragama di Indonesia.
B. Saran
Setelah mempelajari dan melakukan analisa terhadap beberapa teori
tentang pluralisme agama, khususnya Ahmad Syafi‟i Ma‟arif perlu kiranya
penulis memberikan beberapa saran: Bagi mahasiswa akademik, dosen, pelajar,
peneliti dan para birokrat, anggaplah hasil dari penelitian ini merupakan wacana
yang dapat meramaikan perbincangan pluralisme agama yang terkait dalam
91
pendapat fatwa MUI. Mudah-mudahan percikannya yang sedikit setidaknya dapat
menambah titik terangnya kajian pluralisme agama menjadi masalah dan
perbedaan pendapat diantara para tokoh-tokoh.
Dari hasil penelitian ini setidaknya juga memiliki kelayakan untuk
dijadikan pertimbangan bagi penelitian lain yang akan mengkaji objek penelitian
lain yang sama dengan penelitian ini, dengan metode pendekatan yang berbeda-
beda. Dengan demikian kajian tentang Pluralisme Agama (Fatwa Agama MUI
menurut Ahmad Syafi‟i Ma‟arif) dapat mengemukakan pandangan masing-masing
tokoh.
Penulis menyadari bahwa penelitian dalam skripsi ini masih jauh dari kata
sempurna, sehingga pada penelitian-penelitian selanjutnya penulis berharap dapat
memberikan koreksi dan deskripsi dengan analisa yang lebih baik sebagai satu
kajian pluralisme agama menurut pandangan fatwa MUI dan Ahmad Syafi‟i
Ma‟arif.
Akhirnya, penulis mengucapkan rasa syukur yang sebesar-besarnya
kepada Allah SWT yang senantiasa memberikan petunjuk, kemampuan dan segala
nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dalam skripsi ini,
dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Penulis juga mengharapkan kritik
dan saran yang konstruktif untuk kesempurnaan skripsi ini.
92
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Ma‟ruf. Yang Kontroversial Bukan Fatwa MUI, tapi Tanggapannya, dalam
alirsyad.net, 2017.
Arifin, Zaenal, Menduduki Pluralisme Agama (Pemikiran Ahmad Syafi’i Ma’arif),
Ejurnal Tentang Pluralisme Agama, 2011
Artawijaya, Indonesia Tanpa Liberal, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar 2012) cet
pertama 109 dan 214
Artawijaya, Indonesia Tanpa Liberal, Jakarta: Pustaka Al Kautsar cet pertama, 2012
Biyanto, “Pengalaman Muhammadiyah Membumikan Nilai-nilai Pluralisme”, dalam
http://doaj.org, diakses pada tanggal 9 Februari 2017
Chaerani, Azizah, dalam
http://kepribadianquranioche.blogspot.co.id/search/label/ABOU%20ISLAM
(Senin, 07 November 2016)
Fatwa Majelis Indonesia Nomor: 7/MunasVII/MUI/II/2005.
Fauzi, Ihsan Ali. Menuju Sistematisasi Etika Al-Qur’an, (Al-Hikmah No 9, 1993)
Fitriyani, Jurnal Al-Ulum, Pluralisme Agama-Budaya Dalam Perspektif Islam,
(Institut Agama Islam Islam Negeri (IAIN) Ambon, 2011
Ghazali, Abd Rohim dan Saleh Partaonan Daulay, Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafi’i
Ma’arif: cermin untuk semua, Jakarta: MA‟AARIF Institute for Culture and
Humanity, 2005
Hakim, Abdul Dubbun, dkk, Bayang-Bayang Fanatisme Esai-esai Mengenang
Nurcholis Majid, Jakarta: Pusat Studi Islam Kenegaraan (PSIK) Universitas
Paramadina, cet pertama, 2007
Handrianto, Budi, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, Jakarta: Hujjah Press, 2007
93
Hick, John, Pandangan John Hick Tentang Pluralisme, Yogyakarta: Institut
DIAN, 2015
http://kangsantri.id/sejarah-berdirinya-majelis-ulama-indonesia/ dikutip hari Jumat
tanggal 5 Juni 2020 pukul 20:09
http://m.eramuslim.com/tahukah-anda/fatwa-mui-tentang-pluralisme-liberalisme-dan-
sekularisme-agama dikutip pada hari Jumat tanggal 30 Mei 2020 pada pukul
00:00
http://www.google.com/amp/s/www.kompasiana.com/amp/kang_maman72/pluralism
e-negara-dan-agama dikutip pada Jumat tanggal 1 Mei 2020 jam 22:03
Husaini, Adian. Wajah Peradaban Barat
Ibid
Jurnal Al-Ulum Fitriyani, Pluralisme Agama-Budaya Dalam Perspektif Islam,
(Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon, (Paham pluralisme agama
menurut Frans Magnis Suseno, dalam bukunya “Menjadi Saksi Kristus di
Tengah Masyarakat Majemuk”, (Jakarta: Obor, 2004), 2011
Jurnal Al-Ulum Fitriyani, Pluralisme Agama-Budaya Dalam Perspektif Islam,
(Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon, 2011) hal 329 atau dalam Lihat
Fatwa MUI dalam majalah Media Dakwah No. 358 Ed. Sya'ban 1426
H/September 2005
Jurnal Aris Kristianto, Pluralisme Agama di Indonesia (Studi tentang Tipologi
Pluralisme Agama Nonindifferent pada Keputusan Fatwa MUI Nomor 7
Tahun 2005 (Surabaya: Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Surabaya, 2018) hal 232 atau dalam http://news.detik.com/mostpopular Din:
Pelaksanaan Fatwa Bukan Lagi Wewenang MUI (24 Februari 2016).
Jurnal Aris Kristianto, Pluralisme Agama di Indonesia (Studi tentang Tipologi
Pluralisme Agama Nonindifferent pada Keputusan Fatwa MUI Nomor 7
Tahun 2005 (Surabaya: Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Surabaya. (Abdulaziz Sachedina, Kesetaraan Kaum Beriman: Akar
Pluralisme Demokratis dalam Islam, (Jakarta: Serambi, 2002), 2018
94
Jurnal Aris Kristianto, Pluralisme Agama di Indonesia (Studi tentang Tipologi
Pluralisme Agama Nonindifferent pada Keputusan Fatwa MUI Nomor 7
Tahun 2005 (Surabaya: Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Surabaya, 2018) hal 232 atau dalam Ainul Yaqin, Menolak Liberalisme Islam
Jurnal Aris Kristianto, Pluralisme Agama di Indonesia (Studi tentang Tipologi
Pluralisme Agama Nonindifferent pada Keputusan Fatwa MUI Nomor 7
Tahun 2005 (Surabaya: Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Surabaya, 2018) hal 232 atau dalam Suhadi Cholil (ed.), Resonansi Dialog
Agama dan Budaya Dari Kebangsaan Beragama, Pendidikan Multikultural,
Sampai RUU Anti Pornografi (Yogyakarta: CRCS, 2008), vi.
Jurnal Aris Kristianto, Pluralisme Agama di Indonesia (Studi tentang Tipologi
Pluralisme Agama Nonindifferent pada Keputusan Fatwa MUI Nomor 7
Tahun 2005 (Surabaya: Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Surabaya, 2018) hal 211 (Alirsyad.net/11-fatwa-hasil-munas-mui-vii (4 April
2017)
Jurnal Aris Kristianto, Pluralisme Agama di Indonesia (Studi tentang Tipologi
Pluralisme Agama Nonindifferent pada Keputusan Fatwa MUI Nomor 7
Tahun 2005 (Surabaya: Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Surabaya, 2018) hal 218 (Tim Penyusun Majelis Ulama Indonesia, Himpunan
Fatwa Majelis Ulama Indonesia)
Jurnal Arrohmawati, Fajrul Amalia, Pemikiran Pendidikan Pluralisme Keagamaan
Ahmad Syafi’i Ma’arif. Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah
Surakarta, 2017
Jurnal Fadlan Barakah, Pandangan Pluralisme Agama Ahmad Syafi’i Ma’arif Dalam
Kontek Keindonesiaan dan Kemanusiaan, (Jakarta: Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga, 2012
Jurnal Fatwa MUI Tentang Pluralismme Agama
Jurnal karya Ilmiah oleh Ahmad Science Nidaus Salam, Dakwah Kebangsaan Ahmad
Syafi’i Ma’arif di Indonesia, Universitas Isalam Negeri Walisongo Semarang,
2018
95
Jurnal karya Ilmiah oleh Ahmad Science Nidaus Salam, Dakwah Kebangsaan Ahmad
Syafi’i Ma’arif di Indonesia, (Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang,
2018
Jurnal Muhammadiyah, Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif (Ketua 1998-2005)
Jurnal Zaenal Arifin, Mendukung Pluralisme Agama (Pemikiran Ahmad Syafi’i
Ma’arif)
Karya Ilmiah Fahma Addini, Definisi Pluralisme Agama Menurut Para Ahli, 2016
Karya ilmiah Ilman Nafi‟a, Fatwa Pluralisme dan Pliralisme dan Pluralitas Agama
MUI (Majelis Ulama Indonesia) Dalam Perspektif Tokoh Islam Cirebon, 2013
Karya ilmiah Muhammad Wahid Nur Tualeka, Konsep Toleransi Beragama Menurut
Buya Syafi’i Ma’arif, Program Studi Agama-agama, FAI UM Surabaya
Karya Ilmiah Yuli, Dewi Rahma, Pemikiran Politik Syafi’i Ma’arif Tentang Islam
dan Pancasila Sebaagai Dasar Negara, Fakultas Syari‟ah Institut Agama
Islam Negeri (Abd Rohim Ghazali, Saleh Partaonan Daulay, Refleksi 70
Tahun Ahmad Syafi’i Ma’arif: cermin untuk semua ,…,2019
Legenhausen, Muhammad, op.Cit. yang dikutip dari buku Anis Malik Thoha, Tren
Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis
Lihat Purwanto, “Pluralisme Agama dalam Prespektif Nurcholish Madjid”, dalam
http://doaj.org, diakses pada tanggal 21 Februari 2017
Lihat: Abdul Mukti, “Pluralisme Agama di Indonesia Studi Komparasi Pemikiran
Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid”, Skripsi Fakultas Ushuluddin
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014
Ma‟arif, Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah, Bandung: Mizan, 2010
Ma‟arif, Ahmad Syafi‟i, Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam, Yogyakarta: PT
Bentang Pustaka, 2018
96
Ma‟arif, Ahmad Syafi‟i, Islam Dalam Bingkai Ke Indonesiaan dan Ke Manusiaan;
Sebuah Refleksi Sejarah, Mizan, Bandung, 2009
Ma‟arif, Ahmad Syafi‟i, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan
dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES, 1985
Ma‟arif, Ahmad Syafi‟i, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, Bandung: PT
Mizan Pustaka (Anggota IKAPI), 2017
Ma‟arif, Ahmad Syafi‟i, Islam dan Politik, Yogyakarta: IRCiSoD (Anggota IKAPI),
2018
Ma‟arif, Ahmad Syafi‟i, Mencari Autentisitas, (Jurnal Mukhriza Arif, 2012.
Pluralisme Agama Perspektif Ahmad Syafi’i Ma’arif, 2014
Ma‟arif, Ahmad Syafi‟i, Titik Kisar di Perjalananku, Autobiografi Ahmad Syafi’i
Ma’arif, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2009
Ma‟arif, Ahmad Syafi‟i, Titik-Titik Kisar dalam Perjalananku: Otobigrafi , Jakarta:
MAARIF Institute, 2006
Ma‟arif, Syafi‟i, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Bandung: Mizan,
1993
Madjid, Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, Jakarta: Gramedia, 2004
Merriam-Webster, Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary, Elevent Edition
(Masssachussets: Merriam-Webster, Incorparated). (Jurnal tulisan Muhammad
Qorib, 2019. Pluralisme Buya Suafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang
Guru Bangsa, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret KM 2), 2003
Nashir, Haedar, Muhammadiyah Gerakan Pembaharuan, Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2018
Qorib, Muhammad, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang
Guru Besar. Yogyakarta: Jl. Raya Pleret. (Fathiyah wafat saat Ma‟rifah
97
berusia 18 tahun, Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Titik-Titik Kisar dalam
Perjalananku, (Yogyakarta: Ombak, 2006), 2019
Qorib, Muhammad, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang
Guru Besar, Yogyakarta: Jl. Raya Pleret. (Lihat Tsuyosi Kato, Adat
Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2005), 2019
Rachman, Budhy Munawar, Basis Teologi Persaudaraan Antar-Agama, dalam buku
Wajah Liberal Islam di Indonesia, (Jakarta: JIL), 2002
Rachman, Budhy Munawar, Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme,
Liberalisme, dan Pluralisme, Paradigma Baru Islam di Indonesia, (Jakarta:
LSAF dann Paramadina), 2010
Rais, Amien dan Syukriyanto, dkk, 7 Abad Muhammadiyah Istiqomah Membendung
Kristenisasi & Liberalisasi, (Yogyakarta: JL. KHA Dahlan 103), 2010
Riyadi, M. Irfan, dan Basuki, Membangun Inklusivisme Paham Keagamaan.
Ponogoro: STAIN Ponogoron Press, 2009
Subkhan, Imam. Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya
Suma, Muhammad Amin. Op., Cit.,
Sumber: http://guruilmu.wordpress.com dalam menduduki-pluralisme-agama-
pemikiran-ahmad-syafi‟i-ma‟arif/ (Jurnal Mukhriza Arif, Pluralisme Agama
Perspektif Ahmad Syafi’i Ma’arif, tahun 2012)
Sumbulah, Umi, dkk, Pluralisme Agama Makna dan Lokalitas Pola Kerukunan
Antarumat Beragama, UIN-MALIKI PRESS (Anggota IKAPI): Jalan
Gajayana 50 Malang, 2013
Thoha, Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, Jakarta: JI.
Kalibata Utara II No.84, 2005
Thoha, Anis Malik, Tren Pluralisme Agama, Jakarta: Gema Insani, cet pertama, 2005
98
Thoha, Anis Malik. Doktrin Pluralisme Agama: Telaah Konsep dan Implikasinya
bagi Agama-Agama, dalam Dialogia Jurnal Studi Islam dan Sosial
Tim Penyusun Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Tulisan Helfi, Kritik Pluralisme Dalam Masyarakat Majemuk Antara Pemikir dan
Mufassir, (H Helfi-ALHURRIYAH: Jurnal Hukum Islam hal 102 (Soejono
Sukanto, Kamus Sosiologi Edisi Baru, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1993), 2018
Wahid, Abdurrahman, Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi
Kebudayaan , Jakarta: The Wahid Institute, 2007
Wan Mohd, Nor Wan Daud, Fazlur Rahman: Kesan Seorang Murid dan Teman,
Ummul Qur‟an No. 8, Vol. II, (1991/1411)
Yunus, M. Yunan, Teologi Muhammadiyah Citra Tajdid dan Realitas Sosial, Jakarta:
Uhamka Press, 2005
99
100
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : YONA MULYA KASIH
Tempat/Tanggal Lahir : Dalam Koto/ 14 November 1997
Agama : Islam
NIM : 1316.015
Jurusan : Hukum Tatanegara (Siyasah)
Fakultas : Syariah
Alamat : Jorong Padang Parit Panjang Dalam Koto Nagari Taeh
Baruah Kec.Payakumbuh Kab.Lima Puluh Kota,
Provinsi Sumatera Barat
No Hp/ WA : 0822 8311 2276
Email : yonamulya1411@gmail.com
Status : Belum Kawin
Warga Negara : Indonesia
Jumlah Saudara : 2 Orang
ORANG TUA
Ayah : Dasni Rianto
Ibu : Yusra
101
Alamat : Jorong Padang Parit Panjang Dalam Koto Nagari Taeh
Baruah Kec.Payakumbuh Kab.Lima Puluh Kota,
Provinsi Sumatera Barat
RIWAYAT PENDIDIKAN
1. Sekolah Dasar (SD) Negeri 04 Taeh Baruah, tahun 2004-2009
2. Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 3 Kec Payakumbuh, tahun 2010-2012
3. Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Kec Payakumbuh, tahun 2013-2016
4. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi, Fakultas Syariah, Jurusan
Hukum Tatanegara, tahun 2016-2020
PENGALAMAN ORGANISASI
1. Anggota Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Hukum Tata Negara, dari tahun
2017-2018
2. Anggota Bidang Tahsin Unit Kegiatan Mahasiswa Forum Tahfidzul Qur‟an
(UKM-FTQ) IAIN Bukittinggi, periode 2017-2018
3. Bendahara Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Hukum Tata Negara,
Fakultas Syariah, IAIN Bukittinggi periode 2018-2019
PENGALAMAN KERJA
1. Praktek kerja Ketata Negara di DPRD Kota Payakumbuh tahun 2019
2. Praktek kerja Peradilan Agama di Pengadilan Agama Payakumbuh tahun 2019
top related