pidato presiden sukarno nawaksara
Post on 04-Aug-2015
18 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PIDATO PRESIDEN SUKARNO NAWAKSARA
Di depan Sidang Umum ke-IV MPRS pada tanggal 22 Juni 1966
Saudara-saudara sekalian,
I. RETROSPEKSI
Dengan mengucap Syukur Alhamdulillah, maka pagi ini saya berada di muka Sidang Umum MPRS yang ke-lV. Sesuai dengan Ketetapan MPRS No.I/1960 yang memberikan kepada diri saya, Bung Karno, gelar
Pemimpin Besar Revolusi dan kekuasaan penuh untuk melaksanakan Ketetapan-ketetapan tersebut, maka dalam Amanat saya hari ini saya ingin mengulangi lebih dulu apa yang pernah saya kemukakan dalam Amanat saya di muka Sidang Umum ke-ll MPRS pada tanggal 15 Mei 1963, berjudul “Ambeg
Parama-Arta” tentang hal ini:
1. Pengertian Pemimpin Besar Revolusi.
Dalam pidato saya “Ambeg Parama-Arta” itu, saya berkata: “MPRS telah memberikan KEKUASAAN PENUH kepada saya untuk melaksanakannya, dan dalam memberi kekuasaan penuh kepada saya itu, MPRS menamakan saya bukan saja Presiden, bukan saja Panglima Tertinggi Angkatan Perang, tetapi
mengangkat saya juga menjadi: “PEMIMPIN BESAR REVOLUSI INDONESIA”.
Saya menerima pengangkatan itu dengan sungguh rasa terharu, karena MPRS sebagai Perwakilan Rakyat yang tertinggi di dalam Republik Indonesia, menyatakan dengan tegas dan jelas bahwa saya adalah
“Pemimpin Besar Revolusi Indonesia”, yaitu: “PEMIMPIN BESAR REPUBLIK RAKYAT INDONESIA”!
Dalam pada itu, saya sadar, bahwa hal ini bagi saya membawa konsekuensi yang amat besar! Oleh karena seperti Saudara-saudara juga mengetahui, PEMIMPIN membawa pertanggungan-jawab yang
amat berat sekali!!
“Memimpin” adalah lebih berat daripada sekedar “Melaksanakan”. “Memimpin” adalah lebih berat daripada sekedar menyuruh melaksanakan”!
Saya sadar, lebih daripada yang sudah-sudah, setelah MPRS mengangkat saya menjadi “Pemimpin Besar Revolusi”, bahwa kewajiban saya adalah amat berat sekali, tetapi Insya Allah S.W.T. saya terima
pengangkatan sebagai “Pemimpin Besar Revolusi” itu dengan rasa tanggung jawab yang setinggi-tingginya!
Saya Insya Allah, akan beri pimpinan kepada Indonesia, kepada Rakyat Indonesia, kepada Saudara-saudara sekalian, secara maksimal di bidang pertanggungan-jawab dan kemampuan saya. Moga-moga Tuhan Yang Maha Kuasa, Yang Maha Murah, dan Maha Asih, selalu memberikan bantuan kepada saya
secukup-cukupnya!
Sebaliknya, kepada MPRS dan kepada Rakyat Indonesia sendiri, hal ini pun membawa konsekuensi! Tempohari saya berkata: “Jikalau benar dan jikalau demikianlah Keputusan MPRS, yang saya diangkat
menjadi Pemimpin Revolusi Besar Indonesia, Revolusi Rakyat Indonesia, maka saya mengharap seluruh Rakyat, termasuk juga segenap Anggota MPRS, untuk selalu mengikuti, melaksanakan, menfi’ilkan
segala apa yang saya berikan dalam pimpinan itu! Pertanggungan-jawab yang MPRS, sebagai Lembaga Tertinggi Republik Indonesia letakkan di atas pundak saya, adalah suatu pertanggungan-jawab yang
berat sekali, tetapi denganridha Allah S.W.T. dan dengan bantuan seluruh Rakyat Indonesia, termasuk di dalanlnya juga Saudara-saudara para Anggota MPRS sendiri, saya percaya, bahwa Insya Allah, apa yang
digariskan oleh Pola Pembangunan itu dalam 8 tahun akan terlaksana!
Demikianlah Saudara-saudara sekalian beberapa kutipan daripada Amanat “Ambeg Parama-Arta”.
Saudara-saudara sekalian,
Dari Amanat “Ambeg Parama-Arta” tersebut, dapatlah Saudara ketahui, bagaimana visi serta interpretasi saya tentang predikat Pemimpin Besar Revolusi yang Saudara-saudara berikan kepada saya.
Saya menginsyafi, bahwa predikat itu adalah sekedar gelar, tetapi saya pun – dan dengan saya semua ketentuan-ketentuan progresif revolusioner di dalam masyarakat kita yang tak pernah absen dalam
kancahnya Revolusi kita – saya pun yakin seyakin-yakinnya, bahwa tiap Revolusi mensyarat-mutlakkan adanya Pimpinan Nasional. Lebih-lebih lagi Revolusi Nasional kita yang multi-kompleks sekarang ini, dan yang berhari depan Sosialisme Panca-Sila. Revolusi demikian ta’ mungkin tanpa adanya pimpinan. Dan
pimpinan itu jelas tercermin dalam tri-kesatuannya Re-So-Pim, yaitu Revolusi, Sosialisme, dan Pimpinan Nasional.
2. Pengertian Mandataris MPRS.
Karena itulah, maka pimpinan yang saya berikan itu adalah pimpinan di segala bidang. Dan sesuai dengan pertanggungan-jawab saya terhadap MPRS, pimpinan itu terutarna menyangkut garis-garis
besarnya. Ini pun adalah sesuai dan sejalan dengan kemurnian bunyi aksara dan jiwa Undang-Undang Dasar ’45, yang menugaskan kepada MPRS untuk menetapkan garis-garis besar haluan Negara. Saya tekankan garis-garis besarnya saja dari haluan Negara. Adalah tidak sesuai dengan jiwa dan aksara
kemurnian Undang-Undang Dasar ’45, apabila MPRS jatuh terpelanting kembali ke dalam alam Liberale democratie, dengan beradu debat dengan bertele-tele tentang garis-garis kecil, di mana masing-masing
golongan beradu untuk memenangkan kepentingan-kepentingan golongan dan mengalahkan kepentingan nasional, kepentingan Rakyat banyak, kepentingan Revolusi kita!
Pimpinan itu pun saya dasarkan kepada jiwa Panca-Sila, yang telah kita pancarkan bersama dalam Manipol-Usdek sebagai garis-garis besar haluan Negara. Dan lebih-lebih mendalam lagi, maka saya telah
mendasarkan pimpinan itu kepada Sabda Rasulullah S.A.W.: “Kamu sekalian adalah Pemimpin, dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungan-jawabnya tentang kepemimpinan itu di hari kemudian.”
Saudara-saudara sekalian,
Itulah jiwa daripada pimpinan saya, seperti yang telah saya nyatakan dalam Amanat “Ambeg Parama-Arta” tersebut tadi. Dan Saudarasaudara telah membenarkan amanat itu, terbukti dengan Ketetapan
MPRS No.IV/1963, yang menjadikan Resopim dan Ambeg Parama-Arta masing-masing sebagai pedoman pelaksanaan garis-garis besar haluan Negara, dan sebagai landasan kerja dalam melaksanakan Konsepsi
Pembangunan seperti terkandung dalam Ketetapan MPRS No.l dan 11 tahun 1960.
3. Pengertian Presiden seumur hidup
Malahan dalam Sidang Umum MPRS ke-ll pada bulan Mei tahun 1963 itu Saudara-saudara sekalian telah menetapkan saya menjadi Presiden se-umur-hidup. Dan pada waktu itu pun saya telah menjawab
keputusan Saudara-saudara itu dengan kata-kata: “Alangkah baiknya jikalau nanti MPR, yaitu MPR hasil pemilihan-umum, masih meninjau soal ini kembali.” Dan sekarang ini pun saya masih tetap berpendapat
demikian!
II. LANDASAN-KERJA MELANJUTKAN PEMBANGUNAN.
Kembali sekarang sebentar kepada Amanat “Ambeg Parama-Arta” tersebut tadi itu. Amanat itu kemudian disusul dengan amanat saya “Berdikari” pada pembukaan Sidang Umum MPRS ke-lll pada
tanggal 11 April 1965, di mana dengan tegas saya tekankan tiga hal:
1. Trisakti.
Pertama :
bahwa Revolusi kita mengejar suatu Idee Besar, yakni melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat; Amanat Penderitaan Rakyat seluruhnya, seluruh rakyat sebulat-bulatnya.
Kedua :
bahwa Revolusi kita berjoang mengemban Amanat Penderitaan Rakyat itu dalam persatuan dan kesatuan yang bulat-menyeluruh dan hendaknya jangan sampai watak Agung Revolusi kita,
diselewengkan sehingga mengalami dekadensi yang hanya mementingkan golongann-ya sendiri saja, atau hanya sebagian dari Ampera saja!
Ketiga :
bahwa kita dalam melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat itu tetap dan tegap berpijak dengan kokoh-kuat atas landasan Trisakti, yaitu berdaulat dan bebas dalam politik, berkepribadian dalam
kebudayaan dan berdikari dalam ekonomi; sekali lagi berdikari dalam ekonomi!
Saya sangat gembira sekali, bahwa Amanat-amanat saya itu dulu, baik “Ambeg Parama-Arta”, maupun “Berdikari” telaK Saudara-saudara tetapkan sebagai landasan-kerja dan pedoman pelaksanaan
Pembangunan Nasional Semesta Berencana untukmasa 3 tahun yang akan datang, yaitu sisa jangka-waktu tahapan pertama mulai tahun 1966 s/d 1968 dengan landasan “Berdikari di atas Kaki Sendiri”
dalam ekonomi. Ini berarti, bahwa Lembaga Tertinggi dalam Negara kita, Lembaga Tertinggi dari Revolusi kita, Lembaga Negara Tertinggi yang menurut kemurnian jiwa dan aksaranya UUD-Proklamasi kita adalah penjelmaan kedaulatan Rakyat, membenarkan Amanat-amanat saya itu. Dan tidak hanya membenarkan saja, melainkan juga menjadikannya sebagai landasan-kerja serta pedoman bagi kita-
semua, ya bagi Presiden/Mandataris MPRS/Perdana Menteri ya, bagi MPRS sendiri, ya bagi DPA, ya bagi DPR, ya bagi Kabinet, ya bagi parpol-parpol dan ormas-ormas, ya bagi ABRI, dan bagi seluruh Rakyat kita
dari Sabang sampai Merauke, dalam mengemban bersama Amanat Penderitaan Rakyat.
Memang, di dalam situasi nasional dan internasional dewasa ini, maka Trisakti kita, yaitu berdaulat dan bebas dalam politik, berkepribadian dalam kebudayaan, berdikari di bidang ekonomi, adalah senjata
yang paling ampuh di tangan seluruh rakyat kita, di tangan prajuritprajurit Revolusi kita, untuk menyelesaikan Revolusi Nasional kita yang maha dahsyat sekarang ini.
2. Rencana Ekonomi Perjoangan.
Terutama prinsip Berdikari di bidang ekonomi! Sebab dalam keadaan perekonomian bagaimanapun sulitnya, saya minta jangan dilepaskan jiwa “self-reliance” ini, jiwa percaya kepada kekuatan-diri-sendiri,
jiwa self-help atau jiwa berdikari. Karenanya, maka dalam melaksanakan Ketetapan-ketetapan MPRS No.V dan Vl tahun 1965 yang lalu, saya telah meminta Bappenas dengan bantuan dan kerja sama
dengan Muppenas, untuk menyusun garis-garis lebih lanjut daripada Pola Ekonomi Perjoangan seperti yang telah saya canangkan dalam Amanat Berdikari tahun yang lalu.
Garis-garis Ekonomi Perjoangan tersebut telah selesai, dan saya lampirkan bersama ini Ikhtisar Tahunan tentang pelaksanaan Ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960. Di dalamnya Saudara-saudara akan
memperoleh gambaran tentang Strategi Umum Pembangunan 2 tahun 1966-1968, yaitu Pra-syarat Pembangunan, dan pola Pembiayaan tahun 1966 s/d 1968 melalui Rencana Anggaran 3 tahun.
3. Pengertian Berdikari.
Khusus mengenai Prinsip Berdikari ingin saya tekankan apa yang” telah saya nyatakan dalam pidato Proklamasi 17 Agustus 1965, yaitu pidato Takari, bahwa berdikari tidak berarti mengurangi, melainkan
memperluas kerjasama internasional, terutama antara semua negara yang baru merdeka.
Yang ditolak oleh Berdikari adalah ketergantungan kepada imperialis, bukan kerja sama yang sama-derajat dan saling me nguntungkan.
Dan di dalam Rencana Ekonomi Perjoangan yang saya sampaikan bersama ini, maka Saudara-saudara dapat membaca bahwa: “Berdikari bukan saja tujuan, tetapi yang tidak kurang pentingnya harus merupakan prinsip dari cara kita mencapai tujuan itu, prinsip untuk melaksanakan Pembangunan
dengan tidak menyandarkan diri kepada bantuan negara atau bangsa lain. Adalah jelas, bahwa tidak menyandarkan diri tidak berarti bahwa kita tidak mau kerja sama berdasarkan sama-derajat dan saling
menguntungkan.”
Dalam rangka pengertian politik Berdikari demikian inilah, kita harus menanggulangi kesulitan-kesulitan di bidang Ekubang kita dewasa ini, baik yang hubungan dengan inflasi maupun yang hubungan dengan
pembayaran hutang-hutang luar negeri kita.
III. HUBUNGAN POLITIK DAN EKONOMI
Masalah Ekubang tidak dapat dilepaskan dari masalah politik, malahan harus didasarkan atas Manifesto Politik kita.
Dekon kita pun adalah Manipohdi bidang ekonomi, atau dengan lain perkataan “political-economy”-nya pembangunan kita. Dekon merupakan strategi-umum, dan strategi-umum di bidang pembangunan 3
tahun di depan kita, yaitu tahun 1966–1968, didasarkan atas pemeliharaan hubungan yang tepat antara keperluan untuk melaksanakan tugas politik dan tugas ekonomi. Demikianlah tugas politik-keamanan
kita, politik-pertahanan kita, politik dalam-negeri kita, politik luar-negeri kita dan sebagainya.
IV. DETAIL KE-DPR
Detail dari tugas-tugas ini kiranya tidak perlu diperbincangkana dalam Sidang Umum MPRS, karena tugas MPRS ialah menyangkut garisgaris besarnya saja. Detailnya seyogyanya ditentukan oleh Pemerintah
bersama-sama dengan DPR, dalam rangka pemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945.
V. TETAP DEMOKRASI TERPIMPIN
Sekalipun demikian perlu saya peringatkan di sini, bahwa UndangUndang Dasar 1945 memungkinkan Mandataris MPRS bertindak lekas dan tepat dalam keadaan darurat demi keselamatan Negara, Rakyat
dan Revolusi kita.
Dan sejak Dekrit 5 Juli 1959 dulu itu, Revolusi kita terus meningkat dan bergerak cepat, yang mau-tidak-mau mengharuskan semua Lembaga-lembaga Demokrasi kita untuk bergerak cepat pula tanpa
menyelewengkan Demokrasi Terpimpin kita ke arah Demokrasi Liberal.
VI. MERINTIS JALAN KE ARAH PEMURNIAN PELAKSANAAN UUD 1945
Dalam rangka merintis jalan ke arah kemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 itulah, saya dengan surat saya tertanggal 4 Mei 1966 kepada Pimpinan DPRGR memajukan:
a. RUU Penyusunan MPR, DPR dan DPRD.
b. RUU Pemilihan Umum.
c. Penetapan Presiden No.3 tahun 1959 jo. Penetapan Presiden No.3 tahun 1966 untuk diubah menjadi Undang-Undang supaya DPA dapat ditetapkan menurut pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
VII. WEWENANG MPR DAN MPRS
Tidak lain harapan saya ialah hendaknya MPRS dalam rangka pemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 itu menyadari apa tugas dan fungsinya, juga dalam hubungan-persamaan dan perbedaannya
dengan MPR hasil pemilihan-umum nanti.
Wewenang MPR selaku pelaksanaan kedaulatan Rakyat adalah menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan Negara (pasal 3 UUD), serta memilih Presiden dan Wakil Presiden
(pasal 6 UUD ayat 2).
Undang-Undang Dasar serta garis-garis besar haluan Negara telah kita tentukan bersama, yaitu Undang-Undang Dasar Proklamasi 1945 dan Manipol/Usdek.
VIII. KEDUDUKAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN
Undang-Undang Dasar 1945 itu menyebut pemilihan jabatan Presiden dan Wakil Presiden, masa jabatannya serta isi-sumpahnya dalam satu nafas, yang tegas bertujuan agar terjamin kesatuan-
pandangan, kesatuan-pendapat, kesatuan-pikiran dan kesatuan-tindak antara Presiden dan Wakil Presiden, yang membantu Presiden (pasal 4 ayat 2 UUD).
Dalam pada itu, Presiden memegang dan menjalankan tugas, wewenang dan kekuasaan Negara serta Pemerintahan. (pasal 4, 5, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, ayat 2). Jiwa kesatuan antara kedua pejabat
Negara ini, serta pembagian tugas dan wewenang seperti yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945 hendaknya kita sadari sepenuhnya.
IX. PENUTUP
Demikian pula hendaknya kita semua, di luar dan di dalam MPRS menyadari sepenuhnya perbedaan dan persamaannya antara MPRS sekarang, dengan MPR-hasil-pemilihan-umum yang akan datang, agar
supaya benar-benar kemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 dapat kita rintis bersama, sambil membuka lembaran baru dalam sejarah kelanjutan Revolusi Panca-Sila kita.
Demikianlah Saudara-saudara, teks laporan progress saya kepadaMPRS. lzinkanlah saya sekarang mengucapkan beberapa patah kata pribadi kepada Saudara-saudara, terutama sekali mengenai pribadi
saya.
Lebih dahulu tentang hal laporan progress ini.
Laporan progress itu saya simpulkan dalam sembilan pasal, sembilan golongan, sembilan punt. Maka oleh karena itu saya ingin memberi judul kepada amanat saya tadi itu.
Sebagaimana biasa saya memberi judul kepada pidato-pidato saya, ada yang bernama Resopim, ada yang bernama Gesuri dan lain-lain sebagainya. Amanat saya ini, saya beri judul apa? Sembilan perkara,
pokok, pokok, pokok, pokok, saya tuliskan di dalam Amanat ini.
Karena itu saya ingin memberi nama kepada Amanat ini, kepada pidato ini “Pidato Sembilan Pokok”. Sembilan, ya sembilan apa? Kita itu biasa memakai bahasa Sanskrit kalau memberi nama kepada amanat-amanat, bahkan kita sering memakai perkataan Dwi, Tri, Tri Sakti, dua-duanya perkataan
Sanskrit. Catur Pra Setia, catur-empat setia, kesetiaan, Panca Azimat, Panca adalah lima. Ini sembilan pokok; ini saya namakan apa?
Sembilan di dalam bahasa Sanskrit adalah “Nawa”. Eka, Dwi, Tri, Catur, Panca, enam-yam, tujuh-sapta, delapan-hasta, sembilan-nawa, sepuluh-dasa. Jadi saya mau beri nama dengan perkataan “Nawa”.
“Nawa” apa? Ya, karena saya tulis, saya mau beri nama “NAWA AKSARA”, dus “NAWA iAKSARA” atau kalau mau disingkatkan “NAWAKSARA”. Tadinya ada orang yang mengusulkan diberi nama “Sembilan
Ucapan Presiden”. “NAWA SABDA”. Nanti kalau saya kasih nama Nawa Sabda, ada saja yang salah-salah berkata: “Uh, uh, Presiden bersabda”. Sabda itu seperti raja bersabda. Tidak, saya tidak mau memakai
perkataan “sabda” itu, saya mau memakai perkataan “Aksara”; bukan dalam arti tulisan, jadi ada aksara latin, ada aksara Belanda dan sebagainya. NAWA AKSARA atau NAWAKSARA, itu judul yang saya berikan
kepada pidato ini. Saya minta wartawan-wartawan mengumumkan hal ini, bahwa pidato Presiden dinamakan oleh Presiden NAWAKSARA .
Kemudian saya mau menyampaikan beberapa patah kata mengenai diri saya sendiri. Saudara-saudara semua mengetahui, bahwa tatkala saya masih muda, masih amat muda sekali, bahwa saya miskin dan oleh karena saya miskin, maka demikianlah saya sering ucapkan: “Saya tinggalkan this material world.
Dunia jasmani sekarang ini laksana saya tinggalkan, karena dunia jasmani ini tidak memberi hiburan dan kepuasan kepada saya, oleh karena saya miskin.”
Maka saya meninggalkan dunia jasmani ini dan saya masuk katagori dalam pidato dan keterangan-keterangan yang sering masuk ke dalam world of the mind. Saya meninggalkan dunia yang material ini,
saya masuk di dalam world of the mind. Dunianya alam cipta, dunia khayal, dunia pikiran. Dan telah sering saya katakan, bahwa di dalam wolrd of the mind itu, di situ saya berjumpa dengan orang-orang
besar dari segala bangsa dan segala negara. Di dalam world of the mind itu saya berjumpa dengan nabi-nabi besar; di dalam world of the mind itusaya berjumpa dengan ahli falsafah, ahli falsafah besar. Di dalam world of the mind itu saya berjumpa dengan pemimpin-pemimpin bangsa yang besar, dan di dalam world of the mind itu saya berjumpa dengan pejuang-pejuang kemerdekaan yang berkaliber
besar.
Saya berjumpa denganorang-orang besar ini, tegasnya, jelasnya dari membaca buku-buku. Salah satu pemimpin besar daripada sesuatu bangsa yang berjuang untuk kemerdekaan, ia mengucapkan kalimat sebagai berikut: “The cause of freedom is a deathless cause. The cause of freedom is a deathless cause.
Perjuangan untuk kemerdekaan adalah satu perjuangan yang tidak mengenal mati. The cause of freedom is a deathless cause.
Sesudah saya baca kalimat itu dan renungkan kalimat itu, bukan saja saya tertarik kepada cause of freedom daripada bangsa saya sendiri dan bukan saja saya tertarik pada cause of freedom daripada
seluruh umat manusia di dunia ini, tetapi saya, karena tertarik kepada cause of freedom ini saya menyumbangkan diriku kepada deathless cause ini, deathless cause of my own people, deathless cause
of all people on this. Dan lantas saya mendapat keyakinan, bukan saja the cause of freedom is a deathless cause, tetapi juga the service of freedom is a deathless service. Pengabdian kepada
perjuangan kemerdekaan, pengabdian kepada kemerdekaan itupun tidak mengenal maut, tidak mengenal habis. Pengabdian yang sungguh-sungguh pengabdian, bukan service yang hanya lip-service, tetapi service yang betul-betul masuk di dalam jiwa, service yang betul-betul pengabdian, service yang
demikian itu adalah satu deathless service.
Dan saya tertarik oeh saya punya pendapat sendiri, pendapat pemimpin besar daripada bangsa yang saya sitir itu tadi, yang berkata “the cause of freedom is deathless cause”. Saya berkata “not only the
cause of freedom is deathless cause, but also the service of freedom is a deatheless service”.
Dan saya, Saudara-saudara, telah memberikan, menyumbangkan atau menawarkan diri saya sendiri, dengan segala apa yang ada pada saya ini, kepada service of freedom, dan saya sadar sampai sekarang:
the service of freedom is deathless service, yang tidak mengenal akhir, yang tidak mengenal mati. Itu adalah tulisan isi hati. Badan manusia bisa hancur, badan manusia bisa dimasukkan di dalam
kerangkeng, badan manusia bisa dimasukkan di dalam penjara, badan manusia bisa ditembak mati, badan manusia bisa dibuang ke tanah pengasingan yang jauh dari tempat kelahirannya, tetapi ia punya
service of freedom tidak bisa ditembak mati, tidak bisa dikerangkeng, tidak bisa dibuang di tempat pengasingan, tidak bisa ditembak mati.
Dan saya beritahu kepada Saudara-saudara, menurut perasaanku sendiri, saya, Saudara-saudara, telah lebih daripada tiga puluh lima tahun, hampir empat tahun dedicate myself to this service of freedom.
Yang saya menghendaki supaya seluruh, seluruh, seluruh rakyat Indonesia masing-masing juga dedicate jiwa raganya kepada service of freedom ini, oleh karena memang service of freedom ini is a deathless
service. Tetapi akhirnya segala sesuatu adalah di tangannya
Tuhan. Apakah Tuhan memberi saya dedicate myself, my all to this service of freedom, itu adalah Tuhan punya urusan.
Karena itu maka saya terus, terus, terus selalu memohon kepada Allah S.W.T., agar saya diberi kesempatan untuk ikut menjalankan aku punya service of freedom ini. Tuhan yang menentukan. De
mens wikt, God beslist; manusia bisa berkehendak ,macam-macam Tuhan yang menentukan. Demikianpun saya selalu bersandarkan kepada keputusan Tuhan itu. Cuma saya juga di hadapan Tuhan
berkata: Ya Allah, ya Rabbi, berilah saya kesempatan, kekuatan, taufik, hidayat untuk dedicate my self to this great cause of freedom and to this great service.
Inilah Saudara-saudara yang saya hendak katakan kepadamu;dalam saya pada hari sekarang ini memberi laporan kepadamu. Moga-moga Tuhan selalu memimpin saya, moga-moga Tuhan selalu memimpin
Saudara-saudara sekalian. Sekianlah.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Jakarta, 10 Januari 1967
Kepada Yth, Pimpinan MPRS
di JAKARTA.
No.: 01/Pres/67.
Hal: Pelengkapan Pidato Nawaksara.
Saudara-saudara,
Menjawab nota Pimpinan MPRS No. Nota 2/Pimp. MPRS 1966 perihal melengkapi laporan pertanggunganjawab sesuai keputusan MPRS No.5/MPRS/1966, maka dengan ini saya menyatakan:
Dalam Undang-Undang Dasar 1945, ataupun dalam Ketetapan dan Keputusan MPRS sebelum Sidang Umum ke-IV, tidak ada ketentuan, bahwa Mandataris harus memberikan pertanggungan-jawab atas hal-
hal yang “cabang”. Pidato saya yang saya namakan “Nawaksara” adalah atas kesadaran dan tanggung-jawab saya–sendiri, dan saya maksudkan sebagai semacam “Progres-report sukarela” tentang
pelaksanaan mandat MPRS yang telah saya terima terdahulu.Dalam Undang-Undang Dasar 1945 di~etapkan bahwa MPR menentukan garis-garis-besar haluan Negara, dan tentang pelaksanaan garis-garis-besar haluan Negara inilah Mandataris harus mempertanggung-jawabkan. (Lihat UUD pasal 3).
Juga dalam penjelasan daripada pasal 3 UUD ini nyata benar, bahwa Mandataris harus mempertanggung-jawabkan tentang pelaksanaan keputusan MPR mengenai garis-garis-besar haluan Negara itu. Dus tidak tentang hal-hal lain. Namun, “for the sake of state-speech-making”, maka atas
kehendak saya sendiri saya mengucapkan “Nawaksara” itu.
Sebagai pemenuhan daripada ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 mengenai hubungan fungsional antara Presiden/Mandataris dengan MPRS, maka-setelah berkonsultasi dengan Presidium
Kabinet Ampera, khususnya dengan Pengemban SP 11 Maret 1966, dan para Panglima Angkatan Bersenjata beberapa kali -, dengan ini saya menyampaikan penjelasan-penjelasan sebagai pelengkap
Nawaksara sebagai berikut:Pertama-tama saya memperingatkan Saudara-saudara bahwa saya di samping “Nawaksara” itu telah menyerahkan banyak lampiran kepada MPRS. Dan saya sekarang
mengajak Saudara-saudara dan segenap Rakyat Indonesia untuk menyadari lagi, bahwa situasi politik di tanah-air kita adalah gawat, sehingga kita bersama harus berusaha sekuat tenaga untuk meniadakan situasi-konflik, demi untuk menyelamatkan Revolusi kita. Untuk itu, maka perlu kita kembali kepada
prinsip perjoangan yang berulang-ulang saya tandaskan, yaitu: pemupukan persatuan dan kesatuan di antara segenap kekuatan progressif revolusioner di kalangan Rakyat Indonesia, serta menekan kepada
kewaspadaan istimewa terhadap bahaya kekuatan kontra revolusi di dalam Negeri dan bahaya kekuatan subversif–kontra revolusioner di luar Negeri.Untuk memenuhi permintaan Saudara-saudara kepada saya
mengenai penilaian terhadap peristiwa G.30.S/PKI, maka saya sendiri nyatakan:
G.30.S. ada satu “complete overrompeling” bagi saya.
Saya, dalam pidato 17 Agustus 1966, dan dalam pidato 5 Oktober 1966 mengutuk Gestok.
17 Agustus saya berkata: “sudah terang, Gestok kita kutuk! Dan saya, saya mengutuknya pula! ” Dan sudah berulang-ulang kali pula saya katakan dengan jelas dan tandas, bahwa “Yang bersalah harus
dihukum! Untuk itu kubangunkan MAHMILLUB.”
Saya telah memberi autorisasi kepada pidato Pengemban SP 11 Maret yang diucapkan pada malam peringatan Isra dan Mi’raj di Istana Negara yang lalu, yang antara lain berbunyi: “Setelah saya mencoba memahami pidato Bapak Presiden pada tanggal 17 Agustus 1966, pidato pada tanggal 5 Oktober 1966,
dan pada kesempatan-kesempatan yang lain, maka saya sebagai salah seorang yang turut aktif menumpas Gerakan 30-September yang didalangi oleh PKI, berkesimpulan bahwa Bapak Presiden juga
telah mengutuk Gerakan 30 September/PKI, walaupun Bapak Presiden menggunakan istilah Gestok. “Autorisasi ini saya berikan kepada Jenderal Soeharto, pagi sebelum ia mengucapkan pidato itu pada
malam-harinya di Istana Negara. Saya memang selalu memakai kata Gestok. Pembunuhan kepada Jenderal-jenderal dan ajudan dan pengawal-pengawal terjadi pada I Oktober pagi-pagi sekali. Saya
menyebutnya “Gerakan satu Oktober”, — singkatnya, Gestok.
Penyelidikan yang seksama menunjukkan, bahwa peristiwa G-30-S itu ditimbulkan oleh “pertemuannya” tiga sebab, yaitu: a. kebelingeran pimpinan PKI, b. kelihatan subversi Nekolim, c. memang adanya
oknum-oknum yang “tidak benar”.
Kenapa saya saja yang diminta pertanggungan-jawab atas terjadinya G-30-S atau yang saya namakan Gestok itu? Tidakkah misalnya Menko Hankam (waktu itu) juga bertanggung jawab? Sehubungan dengan ini saya menanya: Siapa yang bertanggung jawab atas usaha membunuh Presiden~Pangti
dengan penggranatan hebat di Cikini?
Siapa yang bertanggung jawab atas usaha membunuh saya dalam “peristiwa Idhul Adha?”
Siapa yang bertanggung jawab atas pembrondongan dari pesawat udara kepada saya oleh Maukar?
Siapa yang bertanggung jawab atas penggranatan kepada saya di Makassar?
Siapa yang bertanggung jawab atas pemortiran kepada saya di Makassar?
Siapa yang bertanggung jawab atas pencegatan bersenjata kepada saya di dekat gedung Stanvac?
Siapa yang bertanggung jawab atas pencegatan bersenjata kepada saya di sebelah Cisalak?
Dll. Dll.
Syukur Alhamdulillah, saya dalam semua peristiwa itu dilindungi oleh Tuhan! Kalau tidak, tentu saya sudah mati terbunuh! Dan mungkin akan Saudara namakan satu “tragedi nasional” pula. Tetapi sekali
lagi saya menanya: Kalau saya disuruh bertanggung jawab atas terjadinya G-30-S, maka saya menanya: siapa yang harus dimintai pertanggunganjawab atas usaha pembunuhan kepada Presiden/Pangti, dalam
tujuh peristiwa yang saya sebutkan di atas itu? Kalau bicara tentang “Kebenaran dan Keadilan”, maka saya pun minta, “Kebenaran dan Keadilan”!
Adilkah saya sendiri disuruh bertanggung jawab atas kemerosotan di bidang ekonomi? Marilah kita sadari, bahwa keadaan ekonomi sesuatu bangsa atau Negara, bukanlah disebabkan oleh satu orang saja,
tetapi adalah satu resultante daripada proses faktor-faktor objektif dan tindakan-tindakan daripada keseluruhan aparatur pemerintahan dan masyarakat. Satu contoh pertanyaan: Siapakah yang
bertanggung jawab atas terus menanjaknya harga-harga dewasa ini, dan macetnya banyak perusahaan-perusahaan swasta? Sebagaimana telah saya kemukakan dalam salah satu pidato saya, maka saya
mengkonstatir bahwa dengan adanya peristiwa-peristiwa seperti Dl/DII, PKI-Madiun, Andi Azis, RMS, PRRI/Permesta, (juga di sini saya menanya: siapa yang harus bertanggung jawab?)-maka kita tidak boleh tidak tentu mengalami kemunduran di segala bidang. Dengan sendirinya kemunduran itu menyangkut
pula pada bidang ekonomi.
Tentang “kemerosotan akhlak”? Di sini juga saya sendiri saja yang harus bertanggung jawab? Mengenai soal akhlak, perlu dimaklumi bahwa keadaan akhlak pada suatu waktu adalah hasil perkembangan daripada proses kesadaran dan laku-tindak masyarakat dalam keseluruhannya, yang tidak mungkin
disebabkan oleh satu orang saja. Satu contoh pertanyaan misalnya: Siapakah yang bertanggung jawab bahwa sekarang ini puluhan pemudi sekolah menengah dan Mahasiswa-wanita menjadi korban
daripada perbuatan a-moral?
Dus: Dengan menyadari adanya faktor-faktor yang kompleks, yang menjadi sebab-musabab dari terjadinya peristiwa-peristiwa sebagai termaktub di atas, demikian pula mengingat kompleksitas dari
pengaruh-pengaruh peristiwa-peristiwa tersebut kepada segala bidang, maka tidak adillah kiranya hal-hal itu ditekankan pertanggungan-jawabnya kepada satu orang saja.
Demikianlah jawaban saya atas surat Saudara-saudara tertanggal 22 Oktober itu. Hendaknya jawaban saya ini Saudara anggap sebagai pelengkap Nawaksara, yang Saudara minta, sebagai pelaksanaan
daripada keputusan MPRS No.5/MPRS/1966.
Wassalam,
PRESIDEN/MANDATARIS MPRS.
ttd.
SUKARNO.
top related