persaudaraan sejati suster misi fransiskanes
Post on 25-Oct-2021
17 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PERSAUDARAAN SEJATI SUSTER MISI FRANSISKANES
SANTO ANTONIUS DALAM TERANG SPIRITUALITAS
SANTO FRANSISKUS ASISI
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
OLEH:
SUSANA AYU
NIM: 021124016
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2007
PERSAUDARAAN SEJATI SUSTER MISI FRANSISKANES SANTO ANTONIUS DALAM TERANG SPIRITUALITAS
SANTO FRANSISKUS ASISI
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh:
Susana Ayu
NIM: 021124016
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2007
i
PERSEMBAHAN
Dengan penuh rasa syukur skripsi ini kupersembahkan kepada:
Kongregasi SMFA
(Suster Misi Fransiskanes Santo Antonius)
iv
MOTTO
“Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi;
sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi”.
( Yohanes 13:34)
Mengasihi orang lain berarti melihat wajah Allah
(les Miserables)
v
ABSTRAK
Judul skripsi ini adalah “PERSAUDARAAN SEJATI SUSTER MISI FRANSISKANES SANTO ANTONIUS DALAM TERANG SPIRITUALITAS SANTO FRANSISKUS ASISI”. Judul ini dipilih berdasarkan keprihatinan penulis terhadap situasi yang terjadi dalam kehidupan di biara secara khusus dalam kongregasi SMFA di mana para suster hidup, penulis juga kagum terhadap apa yang diupayakan para suster SMFA yang tetap mengusahakan dan memelihara semangat persaudaraan sejati. Persaudaraan sejati selalu memelihara hubungan antar pribadi yang sejajar. Orang menerima kehadiran sesamanya sebagai bagian dari dirinya. Hubungan itu tertuju demi suatu kepentingan tertentu, tetapi berdasarkan sikap menghargai orang lain sebagai ciptaan Tuhan. Fransiskus mengajak orang bersahabat dan tidak menfitnah orang lain. Nasihat Fransiskus itu memang ditujukan kepada orang-orang yang mengikuti dia, tetapi nilai-nilai positif dari ajakkan itu kiranya berguna bagi kita.
Persaudaraan sejati akan terwujud kalau orang mampu mengasihi, menerima kehadiran orang lain apa adanya dan tidak menjelek-jelekkannya. Mengasihi tidak hanya dengan perkataan, tetapi terutama ditunjukkan dalam perbuatan konkret. Mengasihi orang berarti menerima dan menghormati keberadaan orang itu apa pun sukunya, status sosialnya, dan agamanya. Semua akan terjadi bila manusia mampu menghargai dan menghormati martabat pribadi manusia sebagai makhluk ciptaan Allah. Akan tetapi, sayangnya, hal tersebut sekarang ini menjadi suatu yang sulit diterapkan dalam hidup sehari-hari. Orang lebih mementingkan diri sendiri, melihat sesama sebagai saingan, kebiasaan sapa menyapa mulai memudar, dengan demikian lama kelamaan persaudaraan akan memudar, bahkan bisa mati. Tidak ada hal lain yang dapat dilakukan para kaum religius terutama para Suster Misi Fransiskanes Santo Antonius, selain mengupayakan agar persaudaraan sejati tetap hidup di dalam biara dengan mengadakan rekoleksi dalam bentuk katekese model SCP. Persoalan mendasar yang penulis bahas dalam skripsi ini adalah : Bagaimana kita dapat membantu kaum religius dalam upayanya mengembangkan persaudaraan sejati, sedemikian rupa sehingga hal-hal yang menghambat persaudaraan dapat diatasi dengan semestinya. Gagasan yang ingin penulis sumbangkan, dalam skripsi sederhana ini, tidak lain adalah untuk mencapai maksud itu. Bab I adalah pendahuluan. Selanjutnya, bab II adalah berbicara tentang makna persaudaraan menurut ilmu-ilmu, Injil dan ajaran Gereja. Bab III adalah spiritualitas persaudaraan sejati Santo Fransiskus, kemudian bab IV tentang makna ungkapan saudara dina tentang kesempurnaan Injili. Bab V berbicara tentang makna kesaksian persaudaraan sejati untuk zaman sekarang, dan Bab VI adalah meningkatkan persaudaraan sejati melalui program katekese, akhirnya bab VII adalah berisikan kesimpulan dan saran. Penulis berharap, melalui skripsi ini, agar apa yang telah diupayakan oleh kaum religius secara khusus kongregasi SMFA dapat dimaksimalkan, sehingga damai dan harmoni akan sungguh dapat hidup dalam kehidupan sehari-hari kita.
vii
ABSTRACT
This Script Entitled “TRUE SISTERHOOD/BROTHERHOOD OF THE FRANSISCANESS MISSION FROM SAINT ANTONIUS IN THE LIGTH OF SAINT FRANCIS ASISI SPIRITUALITY”. The title chosen based on the writer’s concerned toward the monastery-life’s situation especially in the congregation of SMFA where all the sister living, writer also struck toward what had done by the sisters to live and taking care the true sisterhood/brotherhood spirit.
True sisterhood/brotherhood always taking care horizontal relationship berween the personal. People accept the present from the other as a part of him or her.That relationship were directed for certain interest, but based on the behavior to respect another as god’s creatures. Saint Francis invited all people to be a friend and do not slander another. The Francis’ advice directed to his followers, but the positive values suppose meaningfull for all of us.
The true sisterhood/brotherhood will become real if people capable to love, accept another’s present just like they are and do not dishonour them. Love not only by words, but especially how we show by our act. Love another which means accept and respect the human values in each personal as god’s creatures. But, so pity, that thing too hatd to apply into our daily life now days. People are to busy thingking about themselves, look another as a competitor, habbit of “Say Hello” starting fade, even dying. Nothing can Sister of Fransiscaness Mission From Saint Aantonius do, beside striving in order to keep the sisterhood live in monastery. Through the cathecesm recollection with SCP’S model.
The basic matter which is writer discuss in this script are: how we be capable to help the religious to attain the developing the true sisterhood/brotherhood, such as shape until all the obstacles can be solve. This the idea that write want show up to get the mean point. The first chapter is the beginning. Furthermore, the second chapter talk about the meaning of sisterhood/brotherhood according to sciences, gospel, and the church’s teaching. The third chapter is the sisterhood/brotheshood spirituality of Saint Francis, then the fourth chapter is about humble sisters and brothers as a perfect expresion from the gospel. The fifth chapter is about the meaningof our witnesses now days, finally the sixth chapter is about conclusion and suggestion. Chapter I is the introduction. Futhermore, chapter II talk about the meaning of sisterhood/brotherhood according to sciences, Gospel and Church teaching. Chapter III is the spirituality of true sisterhood/brotherhood of the Saint Francis Asisy, afterwards chapter IV is about the meaning of the expression from ignoble sisters/brothers about Evangelical perfection. Chapter V is about the improvement true sisterhood/brotherhood in the present day and chapter VI is about processing to improve the true sisterhood/brotherhood through program of cathecese, finally chapter VII about the conclution and suggestion. Writer have hope that through this script, in order that, what the religious had done especially congregation of SMFA, can be maximalize, so the peace and harmony really fill on our daily life.
viii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah Bapa yang telah melimpahkan kasih karunia
dan bimbingan-Nya selama penulisan skripsi ini sehingga penulis dapat
menyelesaikan pembuatan skripsi ini. Skripsi ini di susun dalam rangka memenuhi
salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Ilmu
Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik. Skripsi ini berjudul:
PERSAUDARAAN SEJATI SUSTER MISI FRANSISKANES SANTO
ANTONIUS DALAM TERANG SPIRITUALITAS SANTO FRANSISKUS
ASISI.
Proses pembuatan dan penyelesaian skripsi ini telah mendorong penulis untuk
merefleksikan makna dan pentingnya hidup dalam persaudaraan sejati. Semoga
skripsi ini dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran, inspirasi dan bahan renungan
bagi mereka yang merindukan persaudaraan sejati dan terdorong untuk
mengembangkannya, khususnya bagi kaum biarawan-biarawati dan terlebih bagi
kongregasi SMFA yang menekankan hidup dalam persaudaraan sejati.
Dalam membuat skripsi ini, penulis banyak mengalami hambatan dan
kesulitan. Namun berkat bimbingan , bantuan, perhatian, dan dorongan dari berbagai
pihak akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Maka pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan
terima kasih kepada:
1. Dr.J.Darminta, S.J. yang telah membimbing penulis dalam menyusun dan
menyelesaikan skripsi ini dengan penuh perhatian dan kesabaran.
2. Drs. Y.a.c.H. Mardiraharjo selaku penguji II sekaligus dosen wali penulis.
3. P. Banyu Dewa HS, S.Ag.,M.Si. selaku penguji III.
ix
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL............................................................................................................. .. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING.................................................................... .. ii
PENGESAHAN .............................................................................................. .. iii
PERSEMBAHAN............................................................................................ . . iv
MOTTO ........................................................................................................... .. v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .......................................................... .. vi
ABSTRAK....................................................................................................... .. vii
ABSTRACT..................................................................................................... .. viii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... .. ix
DAFTAR ISI.................................................................................................... .. xi
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. .. xvi
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................. .. 1
A. Latar Belakang ................................................................................. .. 1
B. Rumusan Permasalahan ................................................................... .. 8
C. Tujuan Penulisan............................................................................... .. 8
D. Manfaat Penulisan............................................................................. .. 9
E. Metode Pemulisan............................................................................. .. 10
F. Sistematika Penulisan ....................................................................... .. 10
BAB II MAKNA PERSAUDARAAN MENURUT ILMU-ILMU, INJIL DAN AJARAN GEREJA ................................................................. .. 13
A. Menurut Ilmu-ilmu............................................................................ .. 13
1 Ilmu Etimologi Bahasa................................................................ .. 13
2 Ilmu Filsafat .............................................................................. .. 14
3 Ilmu Sosiologi ............................................................................. .. 18
4 Ilmu Psikologi ............................................................................. .. 20
5 Ilmu Theologi.............................................................................. .. 23
B. Menurut Injil dan Ajaran Gereja....................................................... .. 25
1 Perjanjian Lama dan Baru........................................................... .. 25
xi
a) Peranjian Lama ....................................................................... .. 25
b) Perjanjian Baru ....................................................................... .. 26
2 Ajaran Gereja .............................................................................. .. 28
C. Rangkuman ...................................................................................... .. 29
BAB III SPRITUALITAS PERSAUDARAAN SEJATI SANTO FRANSISKUS
........................................................................................................... .. 32
A. Biografi Santo Fransiskus Asisi ........................................................ .. 32
1. Riwayat Hidup Santo Fransiskus ................................................ .. 32
2. Situasi SMFA ............................................................................. .. 36
3. Situasi Gereja .............................................................................. .. 38
B. Ajaran dan Pesan Fransiskus Asisi Tentang Persaudaraan............... .. 41
1 Persaudaraan dengan Alam Semesta dan Ciptaan Lainnya ........ .. 41
2 Persaudaraan dengan Saudara Seiman........................................ .. 45
3 Persaudaraan dengan Saudara yang Berbeda Iman..................... .. 48
4 Undangan SMFA ........................................................................ .. 53
C. Rangkuman ...................................................................................... .. 56
BAB IV MAKNA UNGKAPAN SAUDARA DINA TENTANG
KESEMPURNAAN INJILI.................................................................... .. 60
A. Spiritualitas Kongregasi SMFA........................................................ .. 60
B. Kenabian .......................................................................................... .. 62
C. Sikap Dasar Saudara Dina................................................................. .. 65
D. Saudara Dina Dalam Injil.................................................................. .. 68
E. Hidup Injil dan Perutusan Para SMFA Dalam Persaudaraan ........... .. 72
F. Rangkuman ...................................................................................... .. 76
BAB V MAKNA KESAKSIAN PERSAUDARAAN SEJATI UNTUK ZAMAN
SEKARANG........................................................................................... .. 81
A. Nilai-Nilai Persaudaraan ................................................................. .. 81
B. Pergulatan Nilai Zaman Sekarang..................................................... .. 82
C. Peluang Kesaksian SMFA ................................................................ .. 84
xii
D. Perlunya Pembinaan Semangat Persaudaraan................................... .. 86
1 Latar Belakang Pembinaan Sebagai Penghayatan Persaudaraan .. 87
2 Tujuan Pembinaan ................................................................. .. 88
a) Terbuka Terhadap Sesama...................................................... .. 88
b) Memandang Perbedaan Sebagai Anugerah ............................ .. 90
E. Nilai-Nilai yang Mendukung Persaudaraan...................................... .. 91
1 Cinta Kasih ................................................................................ .. 91
2 Keadilan ................................................................................ .. 92
3 Solidaritas ................................................................................ .. 93
4 Toleransi ................................................................................ .. 93
5 Perdamaian ................................................................................ .. 95
F. Nilai- Nilai yang Menghambat Persaudaraan ................................... .. 95
1 Kurang Mengampuni .................................................................. .. 96
2 Kurang Keterbukaan ................................................................... .. 97
3 Egoisme ................................................................................... .. 98
4 Fanatisme ................................................................................... .. 98
5 Prasangka dan Curiga.................................................................. .. 99
G. Kebutuhan untuk Membangun Persaudaraan yang Universal .......... .. 100
1 Memupuk Hidup Rohani............................................................. .. 101
2 Membangun Persaudaraan .......................................................... .. 101
H. Rangkuman ...................................................................................... .. 103
BABVI. MENINGKATKAN PERSAUDARAAN SEJATI MELALUI PROGRAM KATEKESE ................................................................ .. 104
A. Rekoleksi........................................................................................... .. 104 1 Pengertian Rekoleksi.................................................................. .. 104
2 Tujuan Rekoleksi ........................................................................ .. 105
3 Relevansi Rekoleksi dalam Upaya Mengembangkan Semangat
Persaudaraan Sejati melalui Katekese......................................... .. 105
B. Katekese pada umumnya .................................................................. .. 106
1 Pengertian Katekese.................................................................... .. 106
2 Tujuan Katekese.......................................................................... .. 107
xiii
3 Ciri-Ciri Katekese ....................................................................... .. 108
4 Isi Katekese ................................................................................. .. 109
C. Katekese Umat Dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Hidup Menggereja
........................................................................................................... 111
1 Pengertian Katekese Umat .......................................................... .. 111
2 Tujuan Katekese Umat................................................................ .. 113
3 Ciri-Ciri Katekese ....................................................................... .. 114
4 Model-Model Katekese............................................................... .. 115
a Katekese Umat Dengan Model Pengalaman Hidup.............. .. 115
b Katekese Umat Dengan Model Biblis................................... .. 116
c Katekese Umat Dengan Model Campur ............................... .. 116
5 Shared Christian Praxis sebagai Model Katekese Umat............. .. 116
a Pengertian SCP ..................................................................... .. 117
1) Praxis ................................................................................ .. 117
2) Kristiani ............................................................................ .. 118
3) Sharing ............................................................................. .. 119
b Langkah-Langkah SCP ......................................................... .. 119
1) Langkah Nol : Pemusatan Aktivitas ................................ .. 120
2) Langkah I: Mengungkap Pengalaman Hidup Peserta...... .. 121
3) Langkah II: Mendalami Pengalaman Hidup Peserta ....... .. 122
4) Langkah III: Menggali Pengalaman Iman Kristiani ........ .. 123
5) Langkah IV: Menerapkan Iman Kristiani Dalam Situasi
Konkrit Peserta............................................................... .. 124
6) Langkah V: Mengusahakan Suatu Aksi Konkrit ............ .. 125
D. Program Rekoleksi............................................................................ .. 126
E. Contoh Persiapan Rekoleksi ............................................................. .. 133
BAB VII. PENUTUP....................................................................................... .. 153
A. Kesimpulan ...................................................................................... .. 153
B. Saran ................................................................................................. .. 157
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... .. 161
xiv
LAMPIRAN..................................................................................................... .. 162
Lampiran 1: ............................................................................................. .. (1)
Lampiran 2: ............................................................................................. .. (2)
Lampiran 3: ............................................................................................. .. (3)
Lampiran 4: ............................................................................................. .. (4)
Lampiran 5: ............................................................................................. .. (5)
Lampiran 6: ............................................................................................. .. (6)
Lampiran 7: ............................................................................................. ... (7)
xv
DAFTAR SINGKATAN
A. Singkatan Kitab Suci
Dalam singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti singkatan dari Kitab
Suci Perjanjian Baru: Dengan Pengantar dan Catatan Singkatan. (1996-1997).
(dipersembahkan kepada umat Katolik Indonesia oleh Ditjen Bimas Katolik
Departemen Agama Republik Indonesia dalam rangka REPELITA Proyek
Sarana Keagamaan Katolik). Ende : Arnoldus, Hal 8.
B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja
GS : Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II
tentang Gereja Dunia Dewasa ini, 7 Desember 1965
KHK : Kitab Hukum Kanonik
C. Singkatan Dokumen Para Pengikut Fransiskus
Angbul : Anggaran Dasar yang diteguhkan dengan Bulla
AngTbul : Anggaran Dasar tanpa Bulla
2 Cel : Buku Thomas dari Celano, Riwayat Hidup Santo Fransiskus I
OFM : Ordo Fratrum Minorum (Ordo Saudara Dina)
Pth : Petuah-petuah Santo Fransiskus Asisi
2 SurBerim : Surat kedua kepada kaum beriman.
SMFA : Suster Misi Fransiskanes Santo Antonius
D. Singkatan Lain
Konst : Konstitusi
Art : Artikel
xvi
BAB I
PENDAHULUAN
Judul skripsi yang penulis ambil adalah “Persaudaraan Sejati Suster Misi
Fransiskanes Santo Antonius Dalam Terang Spiritualitas Santo Fransiskus Asisi”
dalam bagian pendahuluan ini, penulis akan menguraikan hal-hal yang berkaitan
dengan judul skripsi tersebut, hal-hal yang akan diuraikan adalah: latar belakang
penulisan, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, manfaat penulisan
dan sistematika penulisan. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan satu persatu.
A. Latar Belakang
Semangat dan cara hidup Fransiskus Asisi dan para Saudara awal telah
mewarnai hidup banyak orang, baik rohaniwan-rohaniwati maupun kaum awam, baik
pengikut resmi maupun sekedar pengagum, baik terpelajar maupun tidak terpelajar,
baik orang terpandang maupun orang biasa. Mereka tertarik akan kehangatan cara
hidup bersaudara, sukacita sejati, dan kesahajaan hidup miskin yang dihayati oleh
persaudaraan awal tersebut. Semuanya ini sudah berlangsung selama delapan abad
yang lalu. “Membangun Persaudaraan Sejati” merupakan sebuah obsesi yang
bernuansa idealistis. Dikatakan obsesi, karena sebagai manusia biasa yang terdiri dari
daging dan roh seringkali manusia mendambakan, bahkan mengusahakan
terwujudnya “Persaudaraan Sejati” sebagaimana dilukiskan secara amat indah oleh
Nabi Yesaya :
“Serigala akan tinggal bersama domba dan macan tutul akan berbaring di samping kambing. Anak lembu dan anak singa akan makan rumput bersama-sama, dan seorang anak kecil akan mengiringinya. Lembu dan beruang akan
1
2
sama-sama makan rumput dan anaknya akan sama-sama berbaring, sedang singa akan makan jerami seperti lembu. Anak yang menyusu akan bermain-main dekat liang ular tedung dan anak yang cerai susu akan mengulurkan tangannya ke sarang ular beludak. Tidak akan ada yang berbuat jahat atau yang berlaku busuk di seluruh gunung-Ku yang kudus” (Yes 11: 6-9). Sabda Nabi Yesaya ini senada dengan Kisah Para Rasul yang melukiskan cara
hidup jemaat yang pertama :
“... semua orang yang menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, ... Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah” (Kis 2 : 44 ; 46). Dikatakan sebagai obsesi – idealistis karena apa yang disaksikan, apa yang
dialami, dan apa yang dilakukan tidak jarang bertentangan dengan kalimat-kalimat
indah tadi. Kharisma persaudaraan awal ini pun tetap memikat sampai sekarang.
Keberadaannya bahkan sangat dibutuhkan dunia, Gereja dan Persaudaraan Fransiskan
baik saat ini maupun di waktu yang akan datang.
Fransiskus adalah salah satu tokoh yang memperjuangkan nilai persaudaraan.
Pada zaman ini ia dikenal sebagai tokoh pembawa damai. Fransiskus Asisi tidak
hanya menyerukan perdamaian tetapi juga mewujudkannya dalam seluruh sikap dan
tingkah lakunya. Dia menyebut dirinya sebagai saudara dina karena semangat
persaudaraan yang begitu kuat yang dimilikinya. Dia mampu memandang semua
ciptaan yang ada di alam semesta ini sebagai saudara, baik itu tumbuh-tumbuhan,
hewan dan semua manusia. Lewat dan dalam ciptaan, Fransiskus mampu menemukan
gambaran Allah di dalamnya. (2 Cel: 172).
Dasar dari persaudaraan Fransiskus Asisi adalah cita-cita Injil yang berbicara
tentang kesamaan semua orang sebagai anak-anak Allah. Hal ini nampak dari
pernyataannya: “Dan jika kamu berdoa, katakanlah: Bapa kami yang ada di
surga…Kamu adalah saudara; jangan menyebut siapapun bapa untuk kamu di bumi
3
ini, karena Bapamu hanya satu, yang ada di surga…di mana pun dua atau tiga orang
berkumpul dalam namaKu, Aku hadir di tengah-tengah mereka” (AngBul XXII: 28-
38).
Persaudaraan sejati menurut Fransiskus Asisi adalah persaudaraan yang
melampaui batas-batas bangsa, agama, suku, kelas, kebudayaan, gender, kekuasaan
dsb. Persaudaraan sejati adalah persaudaraan yang mengamalkan kasih secara tulus
ikhlas dengan segenap hati karena itu di dalam persaudaraan ada kasih dan
kebijaksanaan yang mengeyahkan amarah dan kegelisahan, ada belas kasih dan
timbang menimbang yang mengenyahkan kelebihan dan ketegaran (Pth 27 :182).
Persaudaraan sejati berarti saling mengasihi bukan dengan perkataan atau lidah tetapi
dengan perbuatan dengan kebenaran (AngTBul IX: 102).
Persaudaraan sejati merupakan wujud Kerajaan Allah (Angbul 3: 33), karena
itu dibutuhkan sikap kemiskinan dan kerendahan hati dalam membangun
persaudaraan. Persaudaraan hanya akan terwujud bila roh daging yaitu egoisme,
kesombongan, kebanggaan sia-sia, iri hati, kerakusan, hati batu, kepala batu dicabut
dengan Roh Tuhan (Angbul 5: 33). Sudah barang tentu pandangan Santo Fransiskus
Asisi tersebut sangat berharga untuk hidup manusia pada zaman ini.
Cita-cita dan penghayatan persaudaraan yang diwariskan oleh St. Fransiskus
itulah yang coba dihidupkan dari generasi ke generasi oleh para pengagumnya
walaupun dengan jatuh dan bangun diterpa gelombang zaman. Demikian pula putra-
putri Fransiskus yang hidup pada zaman ini tidak terlepas dari keterpaan dunia nyata.
Andil pengaruh dunia nyata yang ada disekitar kita bisa memberi pengaruh positif,
bisa juga memberi pengaruh negatif pada obsesi manusia untuk mengaktualisasikan
hidup persaudaraan warisan Bapa Fransiskus ke dalam kenyataan hidup dewasa ini.
4
Membicarakan persaudaraan sejati itu mudah, tetapi melaksanakannya itu
sulit. Kondisi persaudaraan dunia sekarang ini sedang terpecah belah. Namun, toh
penulis juga melihat ada orang yang berusaha mengembalikan semangat persaudaraan
sejati di dunia ini dengan mengembangkan semangat solidaritas, membela hak asasi
manusia, membangun kepedulian pada perempuan yang tertindas. Meskipun
demikian persaudaraan sejati tetap sulit terwujud secara maksimal, karena seringkali
mereka yang berjuang ini masih dikuasai oleh semangat mementingkan diri sendiri
atau kelompok tertentu dan tidak mau ambil resiko. Perjuangan mereka tidak pernah
selesai secara tuntas.
Dalam situasi ini perlu dicari jalan keluar untuk mengungkapkan kembali
persaudaraan yang terpendam dalam hati setiap orang. Orang Kristen harus berani
berperan sebagai pelita yang memberi teladan persaudaraan sejati di tengah
masyarakat. Teladan persaudaraan sejati pernah ditampilkan oleh Gereja purba.
Mereka hidup sehati sejiwa, saling membagi apa yang mereka miliki, yang
kepunyaan memberikan kepada mereka yang tidak punya, karena mereka yakin
bahwa apa yang mereka miliki bukan miliknya sendiri, melainkan milik bersama
sehingga tak seorang pun kekurangan. Kekuatan persaudaraan mereka adalah
kesetiaan untuk berdoa bersama.
Persaudaraan sejati bukan hanya bisa dialami pada zaman Gereja purba saja,
tetapi pada zaman ini, asalkan setiap orang menyadari kodratnya sebagai mahkluk
sosial dan bermartabat luhur dan sama dihadapan Allah. Berpijak pada keyakinan itu,
maka persaudaraan sejati akan dapat digalang dan dipupuk. Tugas orang Kristen
adalah memberi kesaksian hidup dalam persaudaraan yang tulus dalam keluarga,
komunitas, dan masyarakat.
5
Untuk menghidupi persaudaran secara terus-menerus dalam hidup sehari-hari,
berbagai upaya diusahakan. Salah satu upaya yang dilakukan oleh kongregasi SMFA
yaitu hidup dalam komunitas; kita ingin hidup sebagai saudari satu sama lain dengan
cara, mengembangkan ciri khas masing-masing, saling melayani, saling
mendengarkan, saling memberikan tempat yang aman, saling memberi keleluasaan
untuk pembedaan pendapat dan visi, saling memaafkan, tidak melarikan diri dari
tanggungjawab pribadi, demi membentuk suatu komunitas yang baik, kita ingin
mewujudkan suatu keanekaragaman (pluriformitas) dalam mengindahkan hidup
religius sebagai fransiskan missioner: dalam cara hidup dan karya, iman dan doa, cara
berpikir dan penghayatan, dalam cara berdiam, berpakaian dan berekreasi. Dalam
semangat persaudaraaan kita mau saling mendukung dan meneguhkan terutama
dalam menghayati inti panggilan kita. Dalam semangat yang sama pula, kita mau
saling memberi keleluasaan untuk menerima diri sendiri seperti apa adanya, dengan
menghormati serta menghargai kekhasaan dan keunikan masing-masing. Kita
berjuang untuk tidak meremehkan sesama saudari hanya berdasarkan keunikan dan
keanekaragaman lahiriah saja. Sebab itu, dalam membentuk suatu komunitas
hendaknya memperhatikan setiap pribadi, memberikan kemungkinan-kemungkinan
untuk terbentuknya suatu komunitas yang baik. (Konst SMFA, Bab II Art. 2.3)
Penghayatan semangat persaudaraan yang beranekaragam ini, mau kita
wujudkan di setiap komunitas, setiap regio dan antar regio. Lewat cara hidup yang
konkrit, kita mau memperlihatkan bahwa kita dapat hidup bersama dalam cinta kasih,
walaupun terdiri dari pribadi yang sangat berbeda. Hal ini kita anggap sebagai rahmat
dan sekaligus sebagai tugas. (Konst SMFA, Bab II art. 2.5).
6
Kita hendaknya hidup bersama dengan pribadi lain lewat : semagat
keterbukaan dan keramahan Fransiskan, melibatkan diri dalam kesukaran dan
masalah-masalah yang dialami sesama kita, baik yang dekat maupun yang jauh.
(Konst SMFA, Bab II art. 2.8). Sebagai perwujudan hidup komunitas, kita ingin
untuk semakin bersatu sebagai saudara, maka secara teratur pula kita berkumpul
guna: doa bersama, mendengarkan Sabda Allah, merayakan kesatuan kita dalam
iman. (Konst SMFA, Bab II art. 2.9). Dalam pertemuan komunitas secara teratur, kita
mau melihat kembali kebersamaan kita dalam hidup konkrit, agar hidup kita semakin
sesuai dengan cita-cita persaudaraan Fransiskan. (Konst SMFA, Bab II art. 2.10).
Agar hidup berkomunitas kita tetap bersemangat segar dan bergairah, maka
hendaklah kita terbuka untuk: terbuka akan segala bentuk kritikan yang membangun,
terbuka akan informasi-informasi, terbuka akan ide-ide atau gagasan baru, yaitu
tentang kejadian yang dialami oleh Gereja dan masyarakat. Kita hendak saling
menukar informasi lewat pembicaraan, studi, bacaan dan alat komunikasi yang lain,
serta ikut prihatin dengan situasi dewasa ini. (Konst SMFA, Bab II art. 2.11).
Semua anggota kongregasi SMFA baik secara pribadi maupun komunitas
mencoba menanggapi dan menghidupi isi Konstitusi dengan ikut terlibat aktif dalam
berbagai komunitas antar regio, baik sebagai anggota regio, dewan regio maupun
sebagai pemrakarsa. Tidak sedikit tantangan yang dihadapi oleh para suster SMFA
dalam hidup komunitas maupun antar pribadi dalam upaya untuk mewujudkan
persaudaraan sejati antar anggota.
Hidup persaudaraan melepaskan segala perbedaan status sosial, budaya dan
Gereja. Masing-masing sesuai dengan keberadaan, tugas pelayanan kemampuannya,
hendaklah berjuang untuk setia kepada Allah yang telah memilih kita dengan setia
7
kepada satu sama lain dalam keluarga kongregasi SMFA yang disatukan oleh Tuhan.
Wujud persaudaraan yang mendalam adalah saling mengakui dan menerima,
memberikan kesaksian hidup persaudaraan manusiawi, kristiani, religius dan
Fransiskan.
Komunitas-komunitas menjadi medan pengkonkretan cita-cita hidup dalam
persaudaraan. Kriteria hidup dalam persaudaraan SMFA antara lain: cinta kasih
dengan saling mengasihi, pelayanan dengan semangat pengorbanan diri, keterbukaan
dengan saling memberi dan menerima dengan tulus dan jujur, saling percaya dan
menggantungkan diri pada persaudaraan kristiani, saling memaafkan dan
mengampuni tanpa menunggu dan menunda.
Persaudaraan membutuhkan pembaharuan untuk meneguhkan cara hidup yang
sudah ada dan untuk menjawab tantangan-tantangan serta pembaharuan yang sedang
terjadi. Pertanyaannya adalah bagaimanakah caranya menghadirkan kembali
kharisma Fransiskus dan para suster SMFA bagi dunia, Gereja, dan Persaudaraan
Fransiskan dewasa ini? Kembali kesumber-sumber awal, itulah jawabannya. Dalam
sumber-sumber awal kharisma Fransiskus dan Persaudaraan perdana tersimpan
dengan baik. dalam sumber-sumber tersebut dapat ditemukan cara hidup dan
sejumlah nilai yang dihayati oleh Fransiskus dan para Saudara perdana. Dengan
demikian untuk menghadirkan kembali semangat dan kharisma Fransiskus dan
persaudaraan awal bagi dunia, Gereja, dan Ordo dewasa ini, sumber-sumber awal
Persaudaraan harus terus dibaca dan dipelajari. hal ini senada dengan seruan bapa-
bapa Konsili Vatikan II: “Pembaharuan hidup religius yang sesuai sekaligus
merangkum pengacuan terus-menerus kepada sumber-sumber seluruh hidup kristiani
8
dan inspirasi tarekat-tarekat yang mula-mula dan penyesuaiannya dengan kenyataan
zaman yang sudah berubah”.
Skripsi ini selain sebagai salah satu syarat untuk kelulusan studi di IPPAK,
juga merupakan usaha kecil dan sederhana untuk menghadirkan kembali kenangan
akan kharisma Fransiskus dan Persaudaraan sejati. Guna mewujudkan harapan
penulis terhadap persaudaraan yang mulai memudar dalam zaman modern ini maka
penulis menyampaikan gambaran tersebut dalam bentuk karya tulis yang berjudul:
PERSAUDARAAN SEJATI SUSTER MISI FRANSISKANES SANTO
ANTONIUS DALAM TERANG SPIRITUALITAS SANTO FRANSISKUS ASISI.
B. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah ditulis di atas dapat dirumuskan
beberapa permasalahan antara lain:
1. Apa dan bagaimana persaudaraan menurut Fransiskus Asisi ?
2. Apa yang dimaksud dengan Injil menurut Fransiskus Asisis
3. Bagaimana peranan persaudaraan sebagai dasar hidup?
4. Bagaimana tanggapan SMFA tentang persaudaraan sejati?
C. Tujuan Penulisan
Skripsi ini ditulis dengan tujuan:
1. Menggali dan memaparkan arti dan makna persaudaraan sejati menurut
Fransiskus Asisi.
2. Memaparkan pengertian mengenai Injil menurut Fransiskus Asisis.
3. Memaparkan peranan persaudaraan sebagai dasar hidup.
9
4. Memberi sumbangan pemikiran bagi Suster Misi Fransiskanes Santo Antonius
dalam meningkatkan hubungan antar anggota dalam pelayanan.
5. Memenuhi salah satu syarat kelulusan Sarjana Strata I (SI) pada Program Studi
Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik Jurusan Ilmu
Pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata
Dharma.
D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Penulis
a. Memberikan wawasan yang luas kepada penulis untuk berpikir secara kritis
dan sistematis serta mampu menuangkan gagasan secara jelas dan baik.
b. Di samping itu penulis dapat belajar untuk mengembangkan kreativitas dan
penghayatan dalam membangun persaudaraan, baik dengan sesama anggota
tarekat, dengan orang-orang yang bekerja sama dalam karya yang
dipercayakan tarekat kepada penulis.
2. Bagi Kelompok
Penulisan ini dapat menjadi masukan dalam memahami arti persaudaraan,
sehingga kelompok dapat meningkatkan persaudaraan dengan siapa saja.
3. Bagi Kongregasi
Penulisan ini dapat dipandang sebagai sumbangan pemikiran dalam
meningkatkan mutu pelayanan kongregasi pada sesama di komunitas dan di
masyarakat.
10
E. Metode Penulisan
Metode penulisan skripsi ini adalah deskriptif analistis dan argumentatif atas
sebuah studi pustaka dari buku-buku, karangan ilmiah, dan hasil-hasil penelitian
ilmiah yang berkaitan langsung dengan tema yang diangkat penulis. Deskripsi dan
analisis sangat diperlukan untuk memaparkan relevansi dan peranan Persaudaraan
Sejati Suster Misi Fransiskanes St. Antonius Dalam Terang Spiritualitas Fransiskus
Asisi.
F. Sistematika Penulisan
Bab I :PENDAHULUAN
Pendahuluan ini berisikan pendahuluan yang meliputi: latar belakang
penulisan, rumusan malah, tujuan penulisan, dan sistematika penulisan
Bab II : MAKNA PERSAUDARAAN MENURUT ILMU-ILMU, INJIL DAN
AJARAN GEREJA
Dalam bab II ini penulis menguraikan makna persaudaraan menurut Ilmu:
etimologi bahasa, filsafat, sosiologi, psikologi, teologi, menurut Injil yang
mencangkup Perjanjian Lama dan Baru serta menurut Ajaran Gereja dan
ditutup dengan rangkuman.
Bab III : SPIRITUALITAS PERSAUDARAAN SANTO FRANSISKUS
Dalam bab III penulis menguraikan spiritualitas persaudaraan St. Fransiskus
Asisi dalam dua bagian pokok. Bagian pokok pertama yaitu: biografi Santo
Fransiskus Asisi serta situasi kongegasi SMFA dan Gereja. Bagian pokok
11
yang kedua yaitu; ajaran dan pesan Santo Fransiskus Asisi yang meliputi ;
persaudaraan dengan alam semesta dan ciptaan lainnya, persaudaraan dengan
saudara seiman dan ditutup dengan rangkuman.
Bab IV:MAKNA UNGKAPAN SAUDARA DINA TENTENG KESEMPURNAAN
INJILI.
Para Saudara berusaha menjalankan “hidup Injili” dan “mengikuti jejak Tuhan
kita Yesus Kristus”. Kedua nilai yang dijalankan para saudara ini
mempengaruhi cara mereka memandang dirinya dan perutusan yang mereka
kembangkan bagi Gereja dan dunia. bagaimana kesempurnaan Injil ini terjadi
dalam hidup para saudara dibahas dalam bab IV.
Bab V :MAKNA KESAKSIAN PERSAUDARAAN SEJATI UNTUK ZAMAN
SEKARANG.
Pada bab V ini, penulis menyampaikan usaha dalam menjembatani antara
yang idealitas dengan realitas yang terjadi dalam kehidupan. Pertama tentang
pembinaan semangat persaudaraan dan penghayatan persaudaraan dan tujuan
pembinaan pesaudaraan. Kedua tentang nilai-nilai yang mendukung persaudaraan.
ketiga penulis menyampaikan tentang nilai-nilai yang menghambat persaudaraan.
Dan pokok yang kelima yaitu kebutuhan untuk membangun persaudaraan yang
universal. Pokok yang keenam rangkuman.
12
BAB VI:
MENINGKATKAN PERSAUDARAAN SEJATI MELALUI PROGRAM
KATEKESE
Dalam bab VI ini penulis menguraikan bagaimana meningkatkan
persaudaraan sejati melalui katekese dalam bentuk rekoleksi guna meningkatkan
semangat persaudaraan dalam kongregasi komunitas maupun dalam setiap pribadi
pribadi. Pertama tentang rekoleksi, apa itu rekoleksi dan tujuan dari rekoleksi itu
sendiri. Kedua tentang katekese pada umumnya, itu dilihat dari segi pengertian,
tujuan, ciri, dan isi katekese itu sendiri. Ketiga membicarakan tentang program
katekese dalam bentuk rekoleksi dengan model SCP guna mendukung meningkatkan
persaudaraan sejati Para Suster Misi Fransiskanes Santo Antonius.
BAB VII: PENUTUP
Penutup ini berisikan kesimpulan dan saran
BAB II
MAKNA PERSAUDARAAN
MENURUT ILMU-ILMU, INJIL DAN AJARAN GEREJA
Manusia tidak hanya makhluk individu, tetapi juga makhluk sosial. Sebagai
makhluk sosial manusia memiliki hubungan dengan orang lain. Ia tumbuh dan
berkembang dalam kebersamaan dengan orang lain. Komunitas, keluarga, kelompok
dan paguyuban merupakan wadah untuk membangun kebersamaan. Kebersamaan
akan bisa terwujud dalam wadah-wadah tersebut bila di dalamnya ada relasi
interpersonal yang didasarkan pada semangat persaudaraan sejati.
Lalu apakah sebenarnya yang dimaksud dengan persaudaraan sejati itu?
Untuk dapat memahami arti dan makna persaudaraan sejati, kiranya kita perlu melihat
beberapa pandangan tentang relasi, hubungan atau interaksi manusia dengan
sesamanya dari sudut ilmu-ilmu, Injil dan Ajaran Gereja.
A. Menurut Ilmu-ilmu
1. Ilmu Etimologi Bahasa
Ditinjau dari sudut etimologi bahasa Indonesia akar kata dari ‘persudaraan’
adalah saudara. Kata saudara berasal dari bahasa Sansekerta yaitu ‘sodara’. Akar kata
dari ‘sodara’ adalah ‘udara’ yang berarti perut atau isi perut, yang menunjuk pada
hubungan sekandung. (Zootmulder, 2002: 112, 1217, Wilkonson, 1961 : 243).
Yang dimaksud dengan saudara dalam bahasa Indonesia adalah ‘orang yang
seibu seayah (atau hanya seibu atau hanya seayah saja) adik atau kakak, orang yang
bertalian keluarga, sanak baik dari pihak ibu maupun dari ayahnya, orang yang
13
14
segolongan (sepaham, seagama, sesuku, sederajat, dan sebagainya) kawan, teman’
(dengan kata lain segala sesuatu yang hampir serupa atau sejenis).
Dengan demikian yang dimaksud dengan persaudaraan menurut etimologi
bahasa adalah persahabatan yang sekarib saudara, pertalian persahabatan yang serupa
dengan pertalian keluarga (Tim penyusun kamus, 1990 : 788). Mengacu pada definisi
di atas maka dapat dikatakan pada akhirnya kata saudara dapat ditujukan pada semua
orang.
2. Ilmu Filsafat
Hidup manusia merupakan proses menjadi manusia. Melalui kesadaran
dirinya, manusia menemukan bahwa hidupnya ‘belum sempurna’. Hal ini juga
nampak dalam fakta antropologis yang berkaitan erat dengan konstitusi biologis
manusia, yang menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang ‘belum selesai’
pada saat lahirnya. Ini berbeda dengan binatang-binatang menyusui lainya, yang
dilahirkan dengan organisme yang pada hakekatnya telah lengkap. Contohnya anak
gajah yang baru dilahirkan dalam waktu beberapa jam sudah bisa berjalan
sedangkan anak manusia yang baru lahir membutuhkan waktu beberapa bulan untuk
bisa berjalan (Sastrapratedja, 1994: 2).
Sifat yang ‘belum selesai’ ini menjadikan manusia memiliki relasi yang
rangkap dengan dunianya. Oleh karena itu, manusia sebagai individu yang disebut
dengan ‘aku’ memiliki keterbukaan pada dunia, sesama dan Allah. Keterbukaan pada
sesama menduduki tempat yang paling besar dalam tiap-tiap orang. Bahkan dalam
pikiran pun manusia tidak bisa memisahkan diri dari orang lain.
Memisahkan diri dari orang lain menjadikan ‘Aku’ kerangka kosong dan
mati. Menutup mata bagi orang lain sama seperti menutup mata bagi diriku sendiri.
15
Dengan kata lain ‘Aku’ dikaitkan dengan orang lain atas cara yang tak terpisahkan,
sehingga ‘Aku’ tidak dapat mengenal dan menerangkan diriku sendiri kalau orang
lain tidak serentak diikutsertakan ke dalam hidupku dan diterima sebagaimana ‘ yang
langsung’ dan ‘yang seketika menampakan diri’. (Sastrapratedja, 1994: 3).
Heidegger mengatakan bahwa hidup adalah ‘Gowerfen Sein’ (terlempar).
Artinya, hidup saja sudah berarti terjalin dengan orang lain. Hidupnya tiap-tiap ‘Aku’
menunjuk kepada suatu kenyataan bahwa, disatu pihak ada jaringan relasi yang erat
memikat antara satu orang dengan yang lainnya, tetapi dilain pihak, perbedaan juga
tetap ada di antara mereka. (Sastrapratedja, 1994: 4).
Dengan demikian saling ketergantungan manusia merupakan hal yang
fundamental. Dalam hal ini dikenal 2 bentuk saling ketergantungan. Yang pertama:
bentuk saling ketergantungan yang hampir tidak melibatkan diri orang seluruhnya.
Yang kedua bentuk saling ketergantungan yang hampir tidak melibatkan diri orang
sama sekali. Hal ini tergantung pada bentuk perjumpaan yang berlangsung terus-
menerus, ada yang sementara dan ada juga yang sebentar saja. Juga ada bentuk
kontak yang terjadi karena pertalian darah, kebersatuaan emosional, kerjasama demi
tercapainya tujuan tertentu, karena saling membutuhkan dan karena ada kebutuhan
akan orang lain demi kepentingan pribadi, dan sebagainya. (Sastrapratedja, 1994: 5).
Sikap manusia dalam berelasi dengan sesamanya ditentukan oleh cara
pandangnya terhadap orang lain. Pandangan yang positif akan menjadi relasi itu
bernilai positif yaitu relasi yang didasarkan pada cinta, saling memberi, menghargai,
bersaudara dan sebagainya. Demikian juga sebaliknya, pandangan yang negatif
menjadi relasi bernilai negatif seperti penolakan, mencari untung, merendahkan orang
lain dengan menjadikannya sebagai objek.
16
Menurut para filsuf ada beberapa bentuk, cara orang dalam memandang orang
lain. Hal ini sesuai dengan cara pandangnya terhadap keberadaan dirinya sendiri.
o Soran Kierkegaard (1813-1855) memandang ‘Aku’ sebagai individu yang
memiliki ‘otentitas’. Oleh karena itu kebersamaan merupakan suatu hal yang
negatif karena menumpas orisinalitas individu. Maka manusia harus
melepaskan diri dari keterjalinan sosial. Semakin manusia berhasil mengatur
hidupnya sendiri , semakin dia sempurna. Sebab kedalaman dan makna hidup
tiap-tiap orang terletak dalam kontak pribadi ‘Aku’ dengan Allah
(Leenhouwers, 1988: 201).
o Martin Heidegger (1889-1976), memandang keterjalinan dengan sesama
manusia sebagai kenyataan yang menandai hidup manusia. Heidegger
mengatakan bahwa pribadi manusia dalam hidup sehari-hari terseret dalam
arus mayoritas. Hidup pribadi orang ditentukan oleh suasana ‘umum’,
sehingga orang bertindak, berpikir, bereaksi seperti orang lain pada umumnya.
Ini sangat mencemaskan karena akan membuat orang tidak bisa menemukan
dirinya sendiri, tidak berani untuk bertindak dan berpikir sendiri. Orang
hidup dibawah aturan norma bersama. Menjauhkan diri sama sekali dari pola
kehidupan masyarakat adalah hal yang tidak mungkin. Hanya dengan memilih
‘Aku’ ia lambat laun akan mencapai tahap keaslian dan keunikan hidupnya
dan tidak lagi mengikuti arus umum saja. Dengan kata lain, orang perlu berani
bersikap kritis, berpikir dan bertindak sendiri, tidak ikut-ikut arus, berani
memakai norma aturan sendiri (Leenhouwers, 1988: 201-202)
o Jean Paul Sartre (1904-1981) mengatakan manusia seorang bagi dirinya, yakni
makhluk yang hidup dengan sadar dan bebas untuk diri sendiri. Ia sedemikian
17
berpangkal pada dirinya sehingga memandang orang lain sebagai ancaman
bagi kebebasannya. Oleh karena itu sikap yang ditunjukkan adalah
mempertahankan otonomi diri dengan menolak setiap pendekatan orang lain
yang mengancam kemandirian dan kebebasannya (Leenhouwers, 1988: 201-
203)
o Gabriel Marcel (1889-1973), memandang bahwa ‘Aku’ hanya mungkin
mencapai kesempurnaan kalau aku mengarahkan diri kepada orang lain.
Pandangan ini memunculkan sikap keterbukaan diri kepada orang lain, saling
menghidupi, saling menerima. Ia memandang orang lain sebagai anugerah
yang sama dan setinggi panggilannya, dan karena itu ia memberikan diri
sebagai cinta bagi saudaranya (Leenhouwers, 1988: 203).
o Emmanuel Levinas (1950) mengatakan bahwa tiap-tiap orang mempunyai hak
atas kesendiriannya dan orisinalitasnya yang tak terambilkan daripadanya.
Oleh karena itu kontak dengan orang lain tak pernah mengakibatkan
seseorang di lucuti kekhasannya yang tak tergantikan itu. Hal ini membuat
orang memiliki sikap ketebukaan terhadap orang lain, keturunan lain. Manusia
perlu untuk menciptakan peluang satu dengan yang lain agar dapat menjadi
diri sendiri. Dalam hal ini setiap kontak dengan orang lain harus dimetraikan
dengan sikap hormat terhadap misteri manusia yaitu rahasia yang tidak
terucapkan (Leenhouwers, 1988: 203-204).
Pandangan Soran Kierkegaard, Martin Heidegger, Jean Paul Sartre
merupakan pandangan yang negatif dalam melihat keberadaan orang lain. Mereka
memandang relasi interpersonal sebagai suatu hambatan bahkan suatu ancaman
dalam menemukan eksistensi atau jati diri manusia. Gabriel Marcel, Emanuel
18
Levinas, memiliki pandangan yang positif tentang keberadaan orang lain. Menurut
mereka relasi interpersonal merupakan suatu kesempatan untuk mencapai ‘kepenuhan
diri’ atau kesempatan untuk menemukan jati diri.
Maka jelas kiranya bahwa tidak setiap bentuk relasi cocok untuk membantu
menusia menemukan ‘eksistensi, jati dirinya’, yang membantu manusia dalam
mengembangkan solidaritas yang mendalam, akrab dan bersaudara.
3. Ilmu Sosiologi
Manusia tidak hanya merupakan pribadi tersendiri dengan pendapat dan
kehendaknya sendiri. Manusia merupakan makhluk sosial. Ia mempunyai bakat
sosial. Dan ini nampak dari sifat-sifat manusia yang dibawanya sejak lahir, untuk
hidup bersama dengan orang lain (Sastrapradja, 1994:5).
Menurut Parson (sosiolog yang menekankan teori fungsional) individu adalah
primer dan masyarakat (atau struktur sosial apa saja) dilihat sebagai sesuatu yang
muncul dari pertukaran yang bersifat interpersonal. Pertukaran tersebut
mencerminkan kepentingan-kepentingan pribadi individu dan perilaku altruistik atau
cinta akan kebutuhan individu untuk memperoleh dukungan sosial, kebutuhan untuk
dapat diterima orang lain serta dukungan yang bersifat emosional.
Menurut Parson dalam buku teori sosiologi klasik dan modern (Lawang,
1986 : 116-118), ada 5 pola pilihan dikotomi (pembagian dalam dua kelompok yang
saling bertentangan) yang diambil seseorang secara eksplisit maupun implisit dalam
menghadapi orang lain dalam situasi sosial apa saja. Kelima pola tersebut adalah:
a. Afektivitas versus netralitas afektif. Ini merupakan dilema apakah hubungan
interpersonal untuk mencari dan mengharapkan kepuasan emosional dari
orang lain atau tidak. Bila memilih afektivitas berarti hubungan interpersonal
19
yang terjadi adalah untuk mencari atau mengharapkan kepuasan emosional
(senang satu sama yang lain) secara langsung. Contohnya adalah hubungan
antar pasangan kekasih, anggota keluarga. Sedangkan bila memilih netralitas
afektif berarti bahwa hubungan interpersonal yang terjadi menghindari
keterlibatan emosional atau pemuasan secara langsung. Contohnya adalah
hubungan antar dokter dan pasien (Lawang, 1986 :116).
b. Orentasi diri versus orientsai kolektif. Dilema yang muncul adalah yang
berhubungan dengan kepentingan yang harus diutamakan. Bila memilih
orientasi diri berarti kepentingan pribadi yang mendapat prioritas, sedangkan
bila memilih orientasi kolektif berarti kepentingan kolektiflah yang
diutamakan (Lawang, 1986:116).
c. Universalisme versus partikularisme. Dilema yang muncul berhubungan
dengan ruang lingkup dari standar normatif yang mengatur suatu hubungan
sosial. Memilih pola universalisme berarti mencakup standart yang ditetapkan
untuk semua orang yang dapat diklasifikasikan bersama menurut kategori-
kategori yang sudah dibatasi secara impersonal. Pola partikular mencakup
standart-standart yang didasarkan pada suatu hubungan tertentu diantara
mereka yang berinteraksi atau didasarkan pada sifat-sifat tertentu yang
terdapat pada kedua pihak (Lawang, 1986 :117)
d. Askripsi versus prestasi. Dilema berhubungan dengan persepsi orang yang
bertindak atau kelasifikasi orang lain bukan berdasarkan orientasi pribadi.
Orang dinilai dari apa yang dibuat. Memilih Askripsi berarti dalam hubungan
interpersonal orang lain diperlukan menurut mutu atau sifatnya yang khusus.
Contohnya para anggota keluarga diperlukan lain dari orang lain karena
20
hubungan keluarga, sedangkan pola prestasi berarti dalam hubungan
interpersonal yang ditekankan adalah penampilan atau kemampuan nyata
(Lawang, 1986 : 117).
e. Spesifikasi versus kekaburan. Dalam pola ini dilema berhubungan seseorang
dengan persepsi orang lain tentang ruang lingkup keterlibatan seseorang
dengan orang lain. Memilih spesifik berarti kewajiban untuk membuktikan
ada pada orang yang memberi tuntutan kepada orang lain untuk membenarkan
tuntutan itu. Sedangkan kekaburan berarti kewajiban untuk membuktikan ada
apa orang yang diberikan tuntutan untuk memperjelaskan mengapa tuntutan
itu tidak dipenuhi (Lawang, 1986 : 118).
4. Ilmu Psikologi
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari gejala-gejala jiwa. Salah satu cabang
ialah Psikologi Sosial. Ilmu ini mempelajari tentang relasi manusia dengan
lingkungannya yang baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Hal yang
mendorong manusia untuk mengadakan relasi interaksional dengan orang lain adalah
karena pada hakekatnya manusia itu makhluk individu dan sekaligus makhluk sosial.
Sebagai makhluk sosial di dalam diri manusia ada dorongan-dorongan secara alami
akan kebutuhan untuk menjalin hubungan atau kontak dengan orang lain.
Demikianlah kenyataannya, manusia selalu terikat pada relasi dengan sesamanya.
Interaksi antara individu yang satu dengan yang lain dipenuhi dengan banyak faktor.
Salah satunya adalah faktor lingkungan fisik, yang lain adalah faktor yang berkaitan
dengan unsur sosial. Faktor-faktor ini mempengaruhi manusia dalam menjalin
hubungan interpersonal satu dengan yang lainnya. Tidaklah mengherankan bahwa
21
dengan individu A, yang terjadi adalah penolakan, sementara dengan individu B,
penerimaan.
Menurut Abraham Maslow pada umumnya orang memiliki kemampuan untuk
bersikap kreatif, spontan, penuh perhatian pada orang lain, penuh rasa ingin tahu,
kemampuan untuk berkembang secara terus menerus, kemampuan untuk mencintai
dan dicintai (Goble, 1987: 96). Hal-hal yang membuat orang berperilaku buruk,
agresif adalah karena ia bereaksi terhadap perampasan akan kebutuhan dasarnya.
Menurut Coleman dan Hammen ada 4 model dalam hubungan interpersonal
yaitu:
a. Model Pertukaran Sosial
Model ini memandang hubungan interpersonal sebagai suatu transaksi
dagang. Dalam model ini orang berhubungan dengan orang lain karena
mengharapkan sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhannya. Setiap individu secara
sukarela memasuki dan tinggal dalam hubungan sosial hanya selama hubungan
tersebut cukup memuaskan ditinjau dari segi ganjaran dan biaya (Goble, 1987 :110).
b. Model Peranan
Dalam model peranan hubungan interpersonal dipandang sebagai panggung
sandiwara. Setiap orang harus memainkan peranannya sesuai dengan naskah yang
telah dibuat masyarakat. Hubungan interpersonal berkembangan baik bila setiap
individu bertindak sesuai dengan ekspekutasi peranan (role demands ) memiliki
keterampilan peranan (role skills) dan terhindar dari konflik peranan serta keracunan
peranan. Konflik terjadi bila individu tidak sanggup mempertemukan berbagai
tuntutan peranan (Goble,1987: 110-111).
22
c. Model permainan
Model ini berasal dari psikiater Eric Berne yang mengatakan bahwa orang-
orang berhubungan dalam bermacam-macam permainan. Dasar dari permainan ini
adalah 3 bagian kepribadian manusia yaitu: orang tua, dewasa dan anak (parent,
adult, child ). Dalam hubungan interpersonal kita menampilkan salah satu
kepribadian kita dan orang lain membalasnya dengan salah satu aspek tersebut juga.
Contohnya ketika seorang suami sakit ia meminta perhatian dari istrinya (kepribadian
anak), istri menyadari sakit suami dan ia mau merawatnya seperti seorang ibu
(kepribadian orang tua). Selama hubungan interpersonal sejalan maka hubungan ini
akan berlangsung baik tetapi bila tidak hubungan akan terpecah (Goble, 1987: 111).
d. Model Interaksional
Model ini memandang hubungan interpersonal sebagai suatu sistem. Sistem
memiliki sifat-sifat struktural, integratif dan medan (lingkungan). Semua sistem
terdiri dari sub sistem-sub sistem yang saling tergantung dan bertindak bersama
sebagai suatu kesatuan. Setiap hubungan interpersonal harus dilihat dari tujuan
bersama, metode komunikasi, ekspektasi dan pelaksanaan peran serta permainan yang
dilakukan. Atau dengan kata lain model interaksional adalah penggabungan
pertukaran, peranan dan permainan (Goble, 1987: 112).
Lalu kesimpulan apa yang bisa ditarik dari model-model hubungan antar
pribadi sebagaimana yang dilukiskan di atas? Jelas kiranya bahwa hubungan
interpersonal memegang peranan penting dalam hidup manusia. Semakin baik
hubungan interpersonal terjadi, semakin terbukalah orang untuk mengungkapkan
dirinya, makin cermat pula persepsinya tentang orang lain dan dirinya. Konsekuensi
23
dari semua ini adalah bahwa hubungan manusia semakin mendalam dan semakin
bersaudara satu sama lain.
5. Ilmu Theologi
Teologi merupakan sebuah refleksi, dan refleksi adalah suatu usaha atau suatu
proses untuk mewujudkan iman dalam sikap dan tindakan hidup sehari-hari. Secara
teologis manusia dicitrakan setara dengan Allah. Hal ini bisa kita jumpai dalam kitab
Kejadian 1: 27, “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut
gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka”.
Dengan demikian pada hakekatnya menurut kehendak Allah mausia adalah makhluk
sosial. Sebagai makhluk sosial manusia terkait antara satu dengan lainnya. Maka
manusia berelasi, beriteraksi dengan sesamanya. Salah satu bentuk interaksi manusia
dengan sesamanya adalah dengan ikut terlibat dalam hidup bersama dimasyarakat.
Dari tinjauan teologis keterlibat dalam hidup bermasyarakat, berelasi dengan
orang lain dihayati sebagai relasi manusia dengan Allah yang transenden.
Keterlibatan sosial adalah merupakan pelaksanaan hidup beriman, yaitu iman yang
terwujud dalam tanggungjawab dan ambil bagian dalam hidup bersama. Iman bukan
semacam sifat atau bentuk kehidupan tetapi sikap pribadi. Beriman dalam Kristus
berarti beriman demi keselamatan semua orang. Dengan demikian dasar dalam
keterlibatan dalam hidup bersama, dalam berinteraksi dengan orang lain adalah kasih.
Dalam kasih orang yang berhubungan dengan kita yang kita layani dipandang bukan
sebagai objek tetapi sebagai subjek yang memungkinkan cinta kasih terwujud. Dalam
cinta kasih ada sikap saling menghormati martabat pribadi manusia yang
memungkinkan terjadinya dialog manusiawi. Dialog tak akan dapat dicapai melalui
24
kemajuan-kemajuan tehnologi melainkan di dalam kesatuan antara pribadi yang
melahirkan dialog persaudaraan ( Kieser, 1992: 79-82).
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membangun hidup bersama
di masyarakat yaitu:
a. Menjadikan pribadi manusia sebagi pusat hidup bersama.
Manusia seharusnya diberi kelonggaran untuk hidup dalam pertemuan dengan
orang lain bukan dalam kolektivisme yang menyangkal kebebasan dan
martabat pribadi ( hak-hak asasi manusia). Oleh karena manusia adalah
pribadi individu pada dasarnya mampu mengkomunikasikan diri kepada orang
lain, tanpa dalam melebur dalam kebersamaan.
b. Mengakui bahwa semua orang bernilai sama dan sederajat. Maka harus
ditolak semua bentuk yang mengurbankan martabat manusia, yang
mengurbankan hak asasi manusia.
c. Prinsip solidaritas. Sadar bahwa hidup hanya mungkin dalam kebersamaan
dengan seluruh umat manusia, maka setiap orang menurut kemampuannya
dan kebutuhan sesamanya menyumbangkan pada kepentingan bersama (
kesejahteraan umum). Masing-masing pribadi bertanggungjawab atas
kehidupan bersama sebagaimana ia bertanggungjawab atas hidupnya.
d. Prinsip subsidiaritas. Dalam berhubungan dengan hidup bersama, pribadi
manusia dipandang sebagai subjek. Masing-masing individu memberikan
bantuan dalam menciptakan kondisi masyarakat yang memungkinkan
perkembangan pribadi (Kieser, 1992: 139-146).
25
B. Menurut Injil dan Ajaran Gereja
1. Perjanjian Lama dan Baru
a) Perjanjian Lama
Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama kata persaudaraan hanya ditemukan dalam
Kitab Zak 11 : 4 ”…..untuk meniadakan persaudaran antara Yehuda dan Israel”. Kata
saudara merupakan istilah yang biasa digunakan oleh bangsa Israel untuk menyebut
sesamanya sebagai saudara (‘ah,’ahim). Ah’ahim berasal dari bahasa Ibrani yang
mempunyai arti kekerabatan yang luas sama seperti kata saudara dalam bahasa
Indonesia (Harun, 2000: 211-214). Istilah ini kemudian diambil alih oleh umat
Kristen. Kata saudara dalam Perjanjian Lama mengandung arti sebagai orang
sekandung (Kej 4:2), atau untuk anggota keluarga besar (Kej 13: 8, Im 10: 4) atau
anggota suku yang sama (2 Sam 19: 12-13) atau kelompok, masyarakat yang sama
(Ul 25: 3, Hak 1: 3) atau rakyat keturunan nenek moyang yang sama Abraham, Ishak,
Yakub (Ul 2: 4, Am 1: 11) “Bukankah kita sekalian mempunyai satu bapa? Bukankah
satu Allah menciptakan kita?” (Mal 2:10).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa persaudaraan yang dihayati dalam
Perjanjian Lama adalah persaudaraan atas dasar hubungan darah, keturunan
Abraham, atas dasar kesatuan iman akan Allah yang sama dan juga atas perjanjian
yang sama dari Allah.
Persaudaraan yang universal yang mencakup seluruh bangsa, yang melahirkan
perdamainan dan kesatuan kiranya masih terjadi cita-cita para nabi yang akan
terpenuhi pada akhir zaman. Hal ini nampak dalam ungkapan nabi Yesaya 2: 1-4
yang berbunyi :
26
“….Aku terjadi pada hari-hari yang terakhir gunung tempat rumah Tuhan akan berdiri tegak …segala bangsa akan berduyun-duyun kesana….bangsa tidak akan lagi mengakat pedang terhadp bangsa lain, dan mereka tidak akan lagi belajar perang….” (Widyahadi (a), 2000: 27-29)
Namun demikian persaudaraan yang terbentuk karena pertalian darah, tidak
menjamin bahwa relasi akan berjalan dengan baik, akrab dan mendalam.
Persaudaraan ini juga kerap mengalami kegoncangan, retak bahkan putus. Hal ini
nampak dalam kisah Kain yang membunuh Habel saudaranya (Kej 4: 1-6), Esau dan
Yakub (Kej 27: 41), saudara-saudara Yusup (Kej 37: 10) dan seterusnya. Hubungan
persaudaraan goncang, retak bahkan putus disebabkan oleh iri hati, acuh tak acuh,
berselisih paham, melanggar hak satu sama lain, dan seterusnya.
Tetapi Allah tetap menghendaki persaudaraan karena itu, Allah berfirman
“…Janganlah engkau membenci saudaramu…, melainkan kasihilah sesamamu seperti
dirimu sendiri” (Im 19: 17-18). Abraham dan Lot sebagai saudara kiranya sangat
mengetahui pentingnya nilai persaudaraan oleh karena itu mereka menghindari
pertengkaran (Kej 13: 8) begitu juga dengan Yakub yang berdamai dengan Esau
saudaranya (Kej 45: 1-8) dan seterusnya.
b) Perjanjian Baru
Dalam Perjanjian Baru kata persaudaraan mengalami perkembangan makna
yang lebih luas dan universal. Kata saudara dalam Perjanjian Baru dalam bahasa
Yunani yaitu ‘Adelpos’, yang secara etimologis berasal dari kandung (yang sama),
(delpos=kandung), sekandung. Maka kalau dilihat dari segi harafiah atau biologis
kata Adelpos dalam Perjanjian Baru jauh lebih terbatas konotasinya dari pada kata
saudara dalam bahasa Indonesia (Harun, 2000: 212-214).
27
Dalam arti kiasan atau rohani, kata ‘adelpos’ dalam Perjanjian Baru menunjuk
pada sesama Kristen. Sebutan saudara dalam jemaat perdana sudah menjadi sebutan
diri yang sering digunakan dalam berbagai kesempatan seperti khotbah Petrus di
Yerusalem pada hari Pentekosta pertama. ‘Hai saudara-saudara….”(Kis 1: 15-16).
Sebutan saudara yang semula hanya ditunjukkan bagi orang-orang yang
sebangsa, sedarah, seiman, lama kelamaan mengalami perkembangan. Sebutan
saudara menjadi lebih universal menembus benteng-benteng pemisah. Paulus
(menyebut kata saudara sebanyak 133 kali, dan kata ini merupakan kata kesukaannya)
banyak berjasa dalam meluaskan hal tersebut. Salah satu contoh yang paling
mengejutkan adalah memanggil Onesimus sebagai saudara (Fil 9: 20). Onesimus
adalah seorang budak dari Felemon. Pada saat itu dalam kamus bangsa Yunani tidak
mungkin memanggil saudara bagi orang yang berbeda status sosial, golongan atau
lapisan.
Makna persaudaraan sejati mendapat kepenuhannya dalam diri Yesus seperti
yang dicita-citakan dan idam-idamkan dalam Perjanjian Lama. “Siapapun yang
melalukan kehendak BapaKu di surga, dialah saudaraKu laki-laki, dialah saudaraKu
perempuan dialah ibuKu” (Mat 12: 50, Mrk 3: 35; Luk 8: 21).
Dengan definisi ini Yesus menyatakan bahwa hubungan persaudaraan rohani
dalam keluarga yang taat kepada Allah menggantikan hubungan sedarah atau
sebangsa. Melalui kematianNya, Kristus menjadikan persaudaraan yang sebenarnya
(Ef 2: 11-18). Persaudaraan yang meniadakan batas-batas fisik, golongan darah, suku,
bangsa, kelompok jender dan sebagainya, “……dalam hal ini, tidak ada orang Yahudi
atau orang Yunani tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada lelaki atau
28
perempuan. Karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus” (Gal 3: 28) (Harun,
2000: 220).
2. Ajaran Gereja
Salah satu ensiklik yang membicarakan tentang persaudaraan adalah Gaudium
et Spes sebagai kostitusi pastoral yang berbicara tentang Gereja di dalam dunia.
Dalam GS art. 24 dikatakan bahwa Allah yang sebagai Bapa memelihara semua
orang, menghendaki agar mereka semua menjadi satu keluarga dan saling
menghadapi dengan sikap persaudraan. Sebab mereka semua diciptakan menurut
gambar Allah, yang menghendaki segenap bangsa manusia dari satu asal mendiami
seluruh muka bumi (Kis 17: 26). Oleh karena itu persaudraan perlu dikembangkan
dengan semua orang tanpa terkecuali dikarenakan satu dasar yang sama dan tujuan
yang sama yaitu Allah sendiri.
Gereja mengajak umat manusia untuk membangun persaudaraan yang
didasarkan pada cinta kasih terhadap Tuhan dan sesama. Manusia perlu membangun
persaudaraan dengan memberi diri secara tulus, saling mengembangkan sifat-sifat
pribadi manusia dan membela hak-hak asasi manusia (GS art. 25), karena Allah
menciptakan manusia bukan untuk hidup sendiri melainkan untuk membentuk
persatuan sosial.
Allah memilih orang-orang bukan melulu sebagai perorangan melainkan
sebagai anggota suatu masyarakat. Maka dalam perwartaanNya Ia memerintahkan
kepada putra-putriNya supaya mereka bertingkah laku sebagai saudara satu terhadap
lainnya (GS art. 32). Dengan demikian, persaudaraan adalah merupakan anugerah
sekaligus sebagai penugasan untuk mengembangkan lebih lanjut.
29
Seruan untuk membangun persaudaraan sejati juga dikumandangkan oleh para
uskup dengan mengeluarkan surat gembala KWI tahun 1997 yang antara lain
disebutkan
“….Bersama semua lembaga keagamaan dan umat beragama dan kepercayaan lain, gerakan spiritualitas dan moral perlu kita kembangkan…. Sebagai bagian dari bangsa yang mejemuk, amat penting bahwa kita membangun persaudaraan sejati, yang tidak membedakan suku, agama atau daerah asal. Ini tugas yang sulit dan berat untuk diwujudkan tetapi kita tidak boleh bosan dan berhenti untuk mengusahakannya. Persaudaraan sejati adalah kehendak Tuhan dan dan merupakan suatu kekuatan serta kesejahteraan besar bagi bangsa kita” (Haryanto, 2004:46)
Paus Yohanes Paulus II dalam pesannya pada hari perdamaian sedunia tanggal
1 Januari 2002 juga menghimbau seluruh umat manusia untuk menumbuhkan
kembali kasih persaudaraan dengan Allah dan sesama dengan mengembangkan sikap
keadilan dan pengampunan (Haryanto, 2004: 63-64).
C. Rangkuman
Manusia adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial, oleh karena itu
manusia berelasi dengan sesamanya. Ilmu-ilmu dan Kitab Suci termasuk Ajaran
Gereja memberi kepada kita berbagai gagasan dan cara pandang untuk memandang
arti, pola, dan alasan yang berkaitan dengan relasi manusia dan sesamanya.
Menurut Ilmu Etimologi bahasa Indonesia, yang menunjukkan pada arti
saudara, relasi manusia yang bersaudara adalah relasi yang serupa atau mirip dengan
relasi pertalian keluarga. Relasi itu diwujudkan manusia dengan sesamanya yang
merupakan kesempatan untuk membuat dirinya semakin penuh dan sempurna, karena
manusia terlahir belum sempurna. Oleh karena itu interaksi dengan sesama
merupakan hal yang mutlak dibutuhkan oleh manusia. Relasi manusia bisa bersifat
30
positif seperti yang dikatakan oleh Levinas dan Gabriel tetapi bisa juga bersifat
negative seperti yang diungkapkan oleh Kierkegaard, Jean Paul Sartre dan Heidegger,
semua tergantung pada pribadi masing-masing. Dalam membangun relasi dengan
sesamanya, manusia sering dihadapkan pada dilema pilihan yang berbeda. Oleh
karena itu dituntut keberanian dalam mengambil sikap. Relasi yang dibangun
diharapkan relasi yang berorientasi pada kepentingan kolektif dan universal untuk
kepentingan semua pihak, bukan untuk kepentingan pribadi sebagai pemuasan
kebutuhan afeksi atau terbatas hanya pada lingkup sempit.
Relasi manusia dengan sesamanya dan keterlibatannya dalam hidup bersama
dihayati dalam kerangka iman, yaitu sebagai relasi manusia dengan Allah yang
transenden. Maka relasi dengan sesama diharapkan berlandaskan pada cinta kasih.
Untuk itu dituntut sikap yang mampu menjadikan pribadi manusia sebagai pusat
hidup bersama, mengakui bahwa semua orang bernilai sama dan sederajat, berpegang
pada prinsip sikap solidaritas dan memandang pihak lain sebagai subjek. Hubungan
persaudaraan yang dihayati dalam Perjanjian Lama adalah hubungan yang
didasarkan pada hubungan darah, keturunan Abraham, kesatuan iman serta dasar
perjanjian dengan Allah. Relasi yang bersifat universal, yang terbuka pada semua
orang kiranya masih merupakan cita-cita yang belum terpenuhi.
Relasi persaudaraan yang dihayati lebih universal, mencakup semua bangsa,
menembus benteng-benteng pemisah. Seperti yang dicita-citakan oleh Perjanjian
Lama. Hal ini berkat ajaran dan tidakan Yesus “siapapun yang melakukan kehendak
BapaKu di surga, dialah saudaraKu laki-laki, dialah saudaraKu perempuan, dialah
ibuKu” (Mat 12:50, Mrk 3: 35, Luk 8: 21). Di sini Allah memelihara semua orang
dan menghendaki mereka menjadi satu keluarga. Oleh karena itu Gereja mengajak
31
umat manusia untuk membangun persaudaraan yang didasarkan cinta kasih kepada
Tuhan dan sesama dengan satu pemahaman bahwa Allah menciptakan manusia bukan
untuk hidup sendiri melainkan untuk membangun kebersamaan. Berdasar pada semua
itu maka dapat penulis katakan bahwa persaudaraan sejati adalah persaudaraan yang
universal, yang mencakup segala bangsa, yang didasarkan pada cinta kasih terhadap
Tuhan dan sesama serta diwujudkan dengan sikap saling memberi diri dan
kemampuan guna membantu perkembangan orang lain dalam menemukan eksistensi
dirinya atau relasi yang saling memanusiawikan.
BAB III
SPIRITUALITAS PERSAUDARAAN SEJATI SANTO FRANSISKUS
Spiritualitas berasal dari kata ‘spirit’ yang berarti semangat, jiwa, sukma atau
roh (Tim penyusun kamus 1990: 856). Spiritualitas merupakan suatu daya kekuatan
yang menggerakkan seseorang untuk memperkembangkan baik diri maupun
rohaninya. Spirit atau daya, kekuatan yang menggerakkan itu dibutuhkan orang untuk
bertindak atau melakukan sesuatu agar hasilnya sungguh-sungguh maksimal. Hal ini
juga berlaku dalam membangun sebuah relasi, baik relasi antar pribadi, kelompok,
maupun masyarakat luas. Relasi dapat terjalin dengan penuh kasih dan persaudaraan,
saling mengembangkan dan memanusiawikan bila di dalam relasi itu ada spiritualitas
persaudaraan. Fransiskus Asisi adalah salah satu tokoh persaudaraan. Ia dikenal
sebagai tokoh persaudaraan karena semangat persaudaraanya yang tinggi. Hal inilah
yang mendorong Fransiskus menyebut dirinya sebagai saudara dina. Bagi Fransiskus
semua makhluk ciptaan adalah saudara, baik itu hewan, tumbuhan, alam semesta
maupun manusia. Bagaimana spiritualitas persaudaraan Fransiskus Asisi itu? Kita
akan mendalaminya bersama dalam bab ini.
A. Biografi Santo Fransiskus Asisi
1. Riwayat Hidup Santo Fransiskus
Fransiskus lahir tahun 1181 di Umbria yang terletak di kota Asisi. Umbria merupakan
tanah dataran indah permai yang terbentang pada kaki Gunung Subasio. Umbria
adalah lembah subur yang banyak ditanami zaitun dan gandum dengan jumlah
penduduk sekitar 20.000 jiwa. Mata pencarian penduduk pada umumnya
32
33
adalah berdagang. Pada masa Fransiskus situasi politik di Asisi, sedang terjadi
permusuhan dan persaingan antara kota Asisi dengan Perugia yang juga merupakan
kota perdagangan. Asisi di bawah kekuasaan Paus di Roma (pada zaman itu Paus
sekaligus menjadi raja), sedangkan Perugia mendukung kaisar Jerman dan melawan
Paus (Groenen, 1997: 11-12).
Fransiskus adalah putra seorang saudagar kaya. Ayahnya bernama Pietro
Bernardone dan ibunya bernama Dona Pica. Dalam usia 12 tahun Fransiskus
menyelisaikan pendidikan dasarnya. Ia belajar menulis, membaca, menghitung dan
sedikit bahasa latin dibawah bimbingan para imam. Pengetahuan bahasa Prancis ia
dapatkan dari ibunya Pica yang kemungkinan warga Negara Prancis.
Kekayaan menjadikan masa remaja Fransiskus di isi dengan pesta-pesta dan
berfoya-foya menghamburkan uang bersama teman-temannya, ia hidup dalam
kemewahan dan berpakaian parlente. Fransiskus memiliki jiwa seni, karena itu ia
bersama teman-temannya sering berkeliaran di kota dan bernyanyi. Gaya hidup
Fransiskus mungkin mirip dengan ‘cross-boy’, pemuda ‘gondrong’ dewasa ini, yang
menarik perhatian orang. Oleh karena itu wajar saja kalau ia diangkat oleh teman-
temannya menjadi ‘Podesta’, pemimpin kelompok pemuda berandal di kotanya. Di
tengah-tengah sikap Fransiskus yang berandalan itu, ia memiliki sikap murah hati
lebih-lebih terhadap orang-orang miskin di Asisi. Ia sering memberi derma dan
sedekah yang berlimpah kepada mereka. Sifat ini kiranya mempunyai peran andil
dalam mengubah hidup Fransiskus selanjutnya.
‘Metanoia’, proses pertobatan dalam hidup Fransiskus, ditandai dengan
berbagairentetan peristiwa yang menghantarnya pada perubahan hidup yang radikal.
Ini diawali dengan pecahnya perang antara kota Asisi dengan Perugia tahun 1202,
34
dimana pasukan Asisi mengalami kekalahan. Fransiskus bersama dengan teman-
temannya ditawan dan dipenjarakan selama 1 tahun, dan setelah itu ia jatuh sakit
dalam waktu yang cukup lama. Kesembuhan menghatar Fransiskus pada perubahan
hidup, ia mulai senang menyendiri dan berdoa. Peristiwa selanjutnya yang
menghantar Fransiskus untuk mencintai orang miskin adalah saat perjumpaannya
dengan orang sakit kusta. Saat itu Fransiskus berjuang melawan batinnya dan rasa
jijik yang menyerangnya. Ia turun dari kudanya, memeluk dan mencium orang kusta
tersebut. Peristiwa ini mengubah hati Fransiskus, seperti dikatakannya, “Apa yang
dulu terasa menjijikkan kini menjadi manis dan sedap” (Klaris, 1991: 11). Bagi
Fransiskus orang kusta bukan lagi yang menjijikkan tetapi merupakan gambaran
wajah semua orang miskin. Bau-buan yang tak sedap dari orang kusta merupakan
undangan untuk melaksanakan perjamuan cinta. Peristiwa yang tak kalah pentingnya
juga adalah peristiwa saat Fransiskus berdoa di Gereja San Damiano, di depan salib
yang bergaya Byzantin. Pada saat berdoa Fransiskus mendengar suara dari salib yang
berkata, “Fransiskus perbaikilah Gereja-Ku”. Gereja yang dimaksudkan di sini
bukanlah Gereja dalam arti gedung tetapi lebih-lebih pada pembangunan rohani yang
menyangkut prilaku dan hidup moral manusia. Panggilan untuk memperbaiki Gereja
merupakan permulaan perjalan hidup religius Fransiskus. Semenjak peristiwa itu dan
pertentangan dengan ayahnya, Fransiskus memutuskan untuk meninggalkan seluruh
hidup duniawi yang penuh dengan kemewahan dan gemerlapan. Ia menggantikannya
dengan hidup miskin dan meminta-minta, seluruh hidupnya berdasarkan pada Injil,
lebih-lebih pada sabda yang tertulis dalam Injil Mateus 19 : 21, “Jikalau Engkau
hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-
35
orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di Surga, kemudian datanglah kemari
dan ikutilah Aku”.
Cara hidup Fransiskus melawan arus pada jamannya, menyentuh dan menarik
hati banyak orang. Sejak tahun 1208, satu persatu orang datang untuk
menggabungkan diri bersama Fransiskus. Dimulai dari golongan bangsawan, Imam
dan akhirnya dari kelompok awam yang telah berkeluarga maupun yang belum.
Hingga saat ini pengikut Fransiskus banyak tersebar di seluruh dunia dan dibagi
dalam tiga kelompok besar yaitu; Ordo I (OFM, Konventual dan Kapusin), Ordo II
(Klaris, untuk para suster kontemplatif) dan Ordo III sekulir maupun Regulir. Salah
satu Ordo ke III Regulir yang mengikuti semangat Santo Fransiskus Asisi adalah
Suster Misi Fransiskanes Santo Antonius (SMFA), yang merupakan tempat dimana
penulis ikut mengambungkan diri.
Hal yang menonjol dalam hidup Fransiskus yang menghatarnya sebagai tokoh
persaudaraan dan perdamaian adalah sikap Fransiskus yang penuh dengan
kegembiraan dan damai. Hal ini nampak dalam setiap tindakan yang dilakukannya
setiap kali bertemu dengan orang lain, Ia selalu menyampaikan berkat dan damai
Tuhan, dan menyapa semua orang sebagai saudara bahkan dengan semua makhluk
ciptaan. Hal ini yang dilakukannya adalah setiap kali, melihat atau menjumpai orang
yang berselisih paham atau bertengkar, ia selalu datang untuk memperdamaikan
mereka dan kerap kali ia berhasil. Beberapa contoh peristiwa permusuhan yang
didamaikan Fransiskus adalah peristiwa perang saudara yang terjadi di kota Erezzo di
mana Fransiskus bersama dengan temannya tampil untuk memperdamaikan pihak
yang berperang, kemudian peristiwa permusuhan antara uskup Asisi dengan
36
pemimpin walikota Asisi, peristiwa permusuhan antara penduduk Gubbio dengan
serigala dan sebagainya.
Fransiskus meninggal pada tanggal 3 Oktober 1226, dan tanggal 6 Juli 1228,
Fransiskus diangkat menjadi Santo oleh Paus Gregorius IX, dengan demikian ia
dimasukkan dalam golongan para kudus di surga.
2. Situasi SMFA
Gerardus Van Schijndel lahir di Boxtel, suatu desa kira-kira 40 km dari Asten,
dalam wilayah propinsi Noord-Brabant di Belanda. Ayahnya bernama Gerardje,
beliau adalah seorang tukang besi. Keluarga mereka hidup pas-pasan. Gerardus
adalah anak yang cerdas, dengan mudah dia dapat mengikuti pelajaran di sekolah,
gurunya berpendapat bahwa Gerardus dapat meneruskan pendidikannya. Namun dia
sendiri berkeinginan untuk menjadi Pastor.
Pada tanggal 24 Juni 1876 Gerardus Van Schijndel ditahbiskan menjadi imam
di kota Den Bosch. Gerardus Van Schijndel hanya bermaksud untuk menjadi
pemimpin umatnya di Brabant. Ia merasa bahwa masih banyak orang di dunia ini
yang belum mengenal injil, semangat misi dari Gerardus terkenal di paroki-paroki di
mana beliau berkarya. Ia menulis surat kepada Uskup Den Bosch untuk minta ijin
meninggalkan keuskupannya dan pergi jauh sebagai misonaris namun Uskup tidak
mengijinkannya. Tujuh tahun kemudian keinginan berkarya di daerah misi timbul
lagi, akhirnya Uskup mengijinkannya. Beliau berangkat ke Algiers di Afrika masuk
menjadi novis pastor-pastor putih (Witte Paters), waktu itu Beliau berumur 41 tahun.
Namun ia tidak bisa menyesuaikan diri dengan situasi
Akhirnya tahun 1893 dengan kecewa ia memutuskan kembali ke Belanda dan
di terima kembali oleh Uskupnya untuk menjadi pastor paroki Boerdonk. Ia merasa
37
gagal menjadi seorang misionaris, namun Gerardus Van Schijndel tak pernah
melepaskan cita-citanya untuk mendirikan suatu kongregasi misi Belanda untuk
menjadi imam dan suster misi. Sedangkan untuk mencari finansial untuk mendirikan
sebuah kongregasi harus ada dasar finansial yang cukup. Untuk itu ia berjuang
mencari finansial untuk mendirikan sebuah kongregasi dengan menerbitkan majalah
Antonius Padua karena pada permulaan abad tersebut Antonius Padua dianggap amat
suci dan dikasihi rakyat Belanda.
Sejak terbit pertama mulai tahun1905 majalah utusan St. Antonius telah
banyak menghasilkan uang sehingga dapat menjadi sumber finansial bagi pendirian
kongregasi. Oleh karena itulah St. Antonius Padua dijadikan pelindung kongregasi
SMFA. Pastor pendiri menerima surat resmi mendapat izin dari Roma pada tanggal
17 Februari 1913.
Berdirinya kongregasi SMFA ini dilatarbelakangi oleh semangat membara
untuk menjadi misionaris dalam diri Pastor Pendiri (Gerardus Van Schijndel) untuk
mewartakan kabar keselamatan kepada orang-orang yang belum mengenal Allah,
agar mereka itu menerima kabar sukacita dan keselamatan abadi. Sasaran misi
pendiri kongregasi pada waktu itu negara di dunia ketiga, termasuk Hindia Belanda
(Indonesia).
Empat suster pertama yakni Sr. Josefina, Sr. Dominica, Sr. Geraeda dan Sr.
Dolorata. Mereka berangkat dari Asten Belanda tanggal 23 Februari 1931 menuju
Indonesia dan terus berlayar menuju Borneo, dan tanggal 30 Maret tiba di pelabuhan
Pontianak. Kemudian menelusuri sungai kapuas menuju Benua Martinus tepat
tanggal 25 April 1931. Oleh karena itu kongregasi SMFA di Indonesia menetapkan
tanggal 25 April sebagai hari misi pertama kongregasi SMFA datang ke Indonesia.
38
Para suster memulai misinya dengan membuka asrama putri, rumah sakit dan kursus
keterampilan putri serta kunjungan keluarga untuk memberi pengajaran agama dan
kesehatan bagi penduduk setempat.
Dalam perkembangan kongregasi SMFA selanjutnya, para putri di Belanda
yang masuk kongregasi SMFA berarti siap menjadi misionaris, berangkat ke tanah
misi untuk seumur hidup meninggalkan tanah kelahirannya sampai mati mengabdi di
tanah misi. Pada awalnya kongregasi SMFA berada di enam Negara yaitu di Belanda,
Norwergia, Aruba, Congo, Indonesia dan Brasilia.
Misi pertama ke Norwegia pada tahun 1924, kemudian misi kedua Congo
1926, misi ketiga ke Indonesia 1931, ke Aruba 1957 dan misi terakhir ke Brasil 1961.
sampai sekarang anggota berkembang di dua Negara yakni Indonesia dan Brasilia. Di
Indonesia SMFA hadir di Keuskupan Agung Pontianak, Keuskupan Agung
Semarang, Keuskupan Sintang dan Keuskupan Sanggau.
Perkembangan anggota SMFA di Indonesia terasa lamban, faktor
penyebabnya antara lain awalnya para suster asal Belanda melayani sebagai
misionaris dan kurang mencari panggilan putri pribumi, dan daerah misi awal yang
dipilih jauh ke pedalaman, di mana masyarakat belum mengenal pendidikan
(sekolah). Sehingga membuat anggota kongregasi SMFA lambat bertambah, hingga
sampai sekarang anggota SMFA di Indonesia saat ini terdiri dari 31 suster kaul
kekal, 25 suster yunior dan 10 yang masih berada pada formasi awal.
3. Situasi Gereja
Pada masa hidup Fransiskus situasi Gereja sangat memprihatinkan. Masuknya
politik dalam kehidupan beragama menimbulkan berbagai macam sengketa.
39
Perdebatan demi perdebatan berlangsung, tentang siapa yang paling berkuasa, raja,
kaisai atau paus. Sementara itu dalam masyarakat muncul suatu sikap protes terhadap
gaya hidup metralisme yang semakin merajalela. Buah dari reaksi tersebut adalah
munculnya berbagai macam bidaah. Bidaah-bidaah ini bertujuan untuk memurnikan
ajaran Gereja, tetapi sayang mereka jatuh pada sikap ekstrim yang justru makin
memperparah keadaan. Untuk mengatasi keberadaan bidaah-bidaah ini tidak jarang
Gereja melakukan pengejaran, penindasan, bahkan pembunuhan, yang
mengakibatkan terjadi perang saudara. Hal inilah yang menimbulkan pepercahan di
dalam tubuh Gereja (Laarhoven, 1979: 61).
Di tempat lain, orang-orang Turki Seldjuk yang beragama Islam mulai
menguasai tempat-tempat suci Kristen di Palestina. Bangsa ini bersikap intoleran
terhadap kaum Kristiani, serta menutup tempat-tempat perziarahan umat Kristen.
Umat Kristen yang ada di sana di tekan dan ditindas, begitu pula para peziarah yang
datang ke Yerusalem diperlakukan kurang baik. Tak jarang mereka di rampok,
ditindas dan dianiaya bahkan ada yang dibunuh. Bangsa Turki Seldjuk ini juga
berhasil menduduki dan menerobos Anatolia di Asia minor serta mencaplok negeri-
negeri dari Kerajaan Byzantium Kristen. Hal ini membuat Kaisar Byzantium meminta
perlindungan dari Paus Urbanus II mengumumkan ‘perang suci’ (yang kemudian di
kenal dengan nama Perang Salib) untuk melawan kaum muslim dan sekaligus
merebut kembali tempat-tempat suci Kristen di Palestina dari penguasa dan
kedudukan lascar Islam (Kristiayanto, 2002: 174).
Bagaimana tanggapan umat terhadap seruan Paus tersebut dan apa dampaknya
bagi kehidupan selanjutnya? Kiranya sambutan terhadap seruan Paus Urbanus II
tersebut sungguh luar biasa. Seruan ini menarik perhatian semua lapisan masyarakat
40
mulai dari paus, raja-raja, kaum bangsawan, para imam, tantara dan petani. Orang
berteriak dalam satu suara, “Deus hoc vult” (Tuhan menghendaki ini). Akan tertapi
kebulatan suara yang tampak ini amatlah menipu, karena banyak orang memiliki
pandangan yang berbeda tentang ‘perang suci’ dan sekaligus bercampur aduk dengan
kepentingan-kepentingan pribadi. Ada yang memandang Perang Salib sebagai ziarah
apokaliptik menuju dunia yang lebih baik. Yang lain memandang Perang Salib
sebagai suatu kewajiban untuk membela rekan Kristen mereka yang telah ditaklukkan
oleh tentara Turki sekaligus kesempatan untuk membalas dendam. Yang lain lagi
memandang Perang Salib sebagai sarana untuk meraih keuntungan material dan
popularistas (Armstrong, 2001: 122-127).
Bangkitnya kegairahan umat akan hidup keagamaan serta pandangan tentang
Perang Salib yang dilontarkan oleh Paus Urbanus II sebagai tindakkan suci yang
memerangi musuh-musuh Tuhan, membuat orang-orang berbondong-bondong
mendaftarkan diri menjadi tentara salib (Armstrong, 2001 : 27). Hal ini juga
didukung dengan pemberian indulgensi penuh bagi mereka yang membela hak milik
Gereja serta pembebasan denda dosa yang dijatuhkan Gereja kepada mereka yang
telah melakukan kejahatan tertentu.
Orang-orang yang mendaftarkan diri menjadi tentara Perang Salib berasal dari
semua lapisan masyarakat; awam lelaki, perempuan bergabung menjadi satu. Para
kesatria yang bertikai berdamai dan bersatu, bergabung dengan tentara Salib. Mereka
para perampok, buron dengan reputasi yang amat kejam pun bergabung dengan
tentara Salib, seperti Pangeran Emich dari Leiningen. Ia adalah buron perampok yang
mempunyai reputasi yang amat kejam, yang mengaku diri sebagai Kaisar terakhir dari
mitos apokaliptik (Armstrong, 2001: 123). Ia mengumpulkan tentaranya untuk ikut
41
berperang, sehingga menjadikan Perang Salib sebagai sejarah yang memilukan,
melukai hati banyak orang. Para tentara Perang Salib membantai siapa saja yang
dianggap kafir secara membabi buta, sikap mereka liar dan buas. Tentara Salib tidak
hanya membantai kaum Muslim tetapi juga masyarakat Yahudi yang dipandang
sebagai masyarakat licik yang telah menyalibkan Yesus Kristus (Armstrong, 2001:
122-127).
Perang Salib berlangsung selama dua abad, dari abad ke-11 sampai abad ke-
13, dengan beberapa kali peperangan. Pada Perang Salib yang ke-5, perumusan antara
Kristen dan Islam semakin memuncak. Di tangah-tangah Perang Salib itulah, hadir
Fransiskus sebagai juru damai. Fransiskus menyadari bahwa perang bukanlah cara
yang terbaik untuk menyelesaikan pertikaiaan. Oleh karena itu ia menawarkan
perdamaian kepada ke dua belah pihak.
Memang benar apapun tujuan dan alasannya yang pasti Perang Salib telah
melukai hati umat beriman seluruhnya, lebih-lebih umat Kristen, Islam dan Yahudi,
dampak perang Salib masih terasa hingga saat kini. Perang Salib memang telah
berlalu tetapi luka yang ditimbulkan masih belum tetutup sehingga sewaktu-waktu
siap untuk meledak kembali. Perang Salib sungguh telah mengoyakkan sikap saling
percaya, saling toleransi dan saling menghargai antara umat beriman.
B. Ajaran dan Pesan Fransiskus Asisi Tentang Persaudaraan
1 Persaudaraan dengan Alam Semesta, dan Ciptaan Lainnya
Persaudaraan mutlak diperlukan dalam kehidupan. Persaudaraan tidak terbatas
hanya pada lingkup manusia saja, tetapi juga pada makhluk ciptaan lainnya, seperti
alam semesta beserta isinya. Mengapa hal tersebut dibutuhkan? Pertanyaan ini
42
mengingatkan kita pada tingginya frekuensi bencana alam yang terjadi pada akhir-
akhir ini. Tingginya frekuensi bencana alam merupakan indekasi kurangnya sikap
bersahabat manusia terhadap alam. Bersahabat atau bersaudara dengan alam, akan
menumbuhkan dalam diri manusia sikap hormat terhadap martabat ciptaan lainnya.
Penghormatan terhadap martabat makhluk ciptaan lain akan nampak dalam sikap
tidak bernafsu untuk memiliki dan menguasai alam, tetapi sebaliknya memiliki sikap
merawat dan memelihara.
Membina persaudaraan dengan alam, berarti membantu terciptanya
keseimbangan ekosistem dan kelestaraian lingkungan; dan dengan demikian
kelangsungan hidup manusia pun terjamin. Fransiskus adalah salah satu tokoh yang
dikenal sebagai orang yang memiliki jiwa kosmis. Ia mampu bersaudara dengan
makhluk ciptaan lain, dengan alam semesta berserta isinya. Maka tidak heran kalau
pada tanggal 29 November 1979, ia diangkat sebagai pelindung kelestarian
lingkungan hidup oleh Sri Paus Yohanes Paulus II, atas permintaan perkumpulan
‘Internasional planning environmental and ecological institute for quality life (Chang,
1989: 5).
Apa yang sebenarnya membuat Fransiskus mampu bersaudara dengan
makhluk ciptaan lainnya, sehingga ia menyebut semua ciptaan sebagai saudara?
Dilihat dari sejarah hidupnya, Fransiskus sudah memiliki jiwa kosmis semenjak
kanak-kanak, sebelum Tuhan masuk dalam kehidupannya. Jiwa kosmis yang
dimilikinya membuatnya senang bergaul dengan flora dan fauna. Hal ini bertalian erat
dengan pembawaan alami yang dimilikinya. Pertumbuhan jiwa kosmis Fransiskus
semakin menonjol saat Fransiskus mengalami pertobatan. Pertobatan menghantar
Fransiskus pada sikap penyangkalan harta benda dan diri secara mutlak. Pertobatan
43
juga membantunya mengikis kecendrungan diri untuk memiliki dan menguasai
makhluk ciptaan lainnya. Oleh karena itu Fransiskus mampu menjadikan makhluk
ciptaan lainnya sebagai titik kontemplasinya. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa persaudaraan Fransiskus dengan alam, dengan makhluk ciptaan lainnya tidak
terlepas dari situasi hidup religiusnya.
Bagi Fransiskus alam bukanlah sekedar benda duniawi saja, tetapi selalu
terkait erat dengan Sang Pencipta, karena semua makhluk adalah karya Sang
Pencipta. Oleh karena itu alam merupakan tempat kehadiran Allah. Melalui dan di
dalam alam, Allah menyatakan diri-Nya dan berbicara kepada manusia. Fransiskus
menemukan bahwa makhluk ciptaan memantulkan ‘essentia’ Allah yang terselubung,
kekuasaan dan keilahianNya yang kekal (Rom 1: 19).
Dari sudut penciptaan Fransiskus memandang keberadaan dirinya sebagai
‘ada bersama dengan yang lain’ bukan ‘berada diatas yang lain’. Fransiskus sadar
bahwa ia adalah bagian dari dunia yang memiliki dasar keberadaan dan keterciptaan
dari Allah Bapa yang sama dan universal (Chang, 1989: 23). Kesadaran ini
menjadikan Fransiskus menyebut makhluk ciptaan lainnya sebagai saudara, tanpa
membedakan kelas sosial yang ada dikalangan makhluk hidup. Hal ini tertuang jelas
dalam sajaknya yang di tulis saat menjelang ajalnya yang berjudul ‘Gita Sang Surya’.
Dalam sajak ‘Gita Sang Surya’, diungkapkan betapa intimnya relasi antara Fransiskus
dengan makhluk ciptaan lainnya; sedemikian dalamnya relasi tersebut sampai ia
menyebut matahari, angin, api, sebagai saudaranya, dan rembulan, bintang-bintang,
air, alam semesta, pohon-pohon yang menghasilkan buah-buahan serta beraneka
ragam bunga dan hijau-hijauan, disebutnya sebagai saudari (Ladjar, 1988: 81-83).
44
Persaudaraan kiranya menjadi nyata ketika ia dapat mewujudkan di dalam
tindakan. Begitu juga dengan Fransiskus, Ia mewujudkan persaudaraannya melalui
tindakan nyata. Salah satu bentuk tindakan yang dilakukan oleh Fransiskus sebagai
wujud dari persaudaraan dengan alam, adalah solider dengan alam. Hal ini
ditampakkannya dengan setiap kali bertemu para penebang pohon, Fransiskus selalu
mengingatkan mereka untuk tidak menebang pohon secara sembarangan, tetapi
supaya memikirkan perkembangan pohon di kemudian hari. Bila ingin menebang
pohon, ia menghimbau untuk meninggalkan pangkalnya dan memberikan
kemungkinan untuk bertunas lagi, dengan demikian kelestarian hidup tetap terjaga.
Begitu pula sikapnya terhadap hewan-hewan, ia bersikap solider. Salah satu
contoh sikap solider Fransiskus terhadap hewan ialah ketika ia mencoba
menyelamatkan nyawa beberapa ekor burung perkutut yang ditangkap seorang anak
laki-laki yang ingin menjualnya. Fransiskus meminta pada anak tersebut untuk
memberikan burung perkutut itu agar dipelihara dan dibuatkan sarang sampai burung
perkutut tersebut sembuh, setelah itu Fransiskus memberkati burung tersebut dan
membiarkannya pergi ke alam bebas (Sherley, 1997: 97). Selain dengan burung-
burung Fransiskus juga bersahabat dengan hewan lainnya seperti ; cacing, kelinci,
anak domba, ikan bahkan serigala yang ganas. Sikap Fransiskus yang bersahabat dan
hangat kiranya mampu ditangkap oleh hewan-hewan lainnya sekalipun mereka tidak
bisa berbicara. Sikap yang hangat dan bersahabat yang ditawarkan Fransiskus
membuat hewan-hewan tidak takut untuk mendekat padanya.
Persaudaraan Fransiskus dengan alam berserta isinya flora dan fauna
menghantarnya pada kearaban dengan yang ilahi, serta menumbuhkan sikap yang
penuh kasih dan damai tanpa kekerasan baik terhadap makhluk ciptaan lainnya
45
maupun sesama manusia. Akhirnya relasi Fransiskus dengan alam beserta isinya
flora dan fauna, menjadi inspirasi bagi kita manusia jaman sekarang dalam
memandang dan memperlakukan alam beserta isinya. Kita juga disadarkan bahwa
membina persaudaraan dengan alam akan menghantar kita pada kedekatan dengan
Yang Ilahi.
2 Persaudaraan dengan Saudara Seiman
Semangat persaudaraan merupakan salah satu ciri khas dari hidup Fransiskus.
Oleh karena itu Fransiskus senantiasa menyebut dirinya dan menamai para
pengikutnya sebagai ‘saudara dina’. Tentu pemberian nama tersebut memiliki arti dan
tujuan tersendiri. Sebutan ‘saudara dina’ mau mengungkapkan panggilan serta nilai-
nilai semangat rohani yang dihidupi oleh Fransiskus dan para pengikutnya dalam
mengikuti jejak Yesus Kristus.
Sebutan ‘saudara’, didasarkan pada kutipan Injil yang menyatakan : “…Kamu
semua adalah saudara. Jangan kamu menyebut siapapun bapa di bumi ini, karena
hanya satu Bapamu, yaitu Dia yang di surga. Janganlah pula kamu disebut pemimpin,
karena hanya satu pemimpinmu, yaitu Mesias” (Mat 23 : 8-10). Maka tidak
mengherankan bila Fransiskus menyapa semua orang sebagai saudara, bahkan kepada
para perampok dan penyamun pun ia menyapa mereka sebagai saudara (Sherley,
1997: 106-115). Sebutan ‘dina’ mau menunjukkan gaya hidup Fransiskus dan para
pengikutnya yaitu hidup dalam kemiskinan Injili dan perendahan diri. Kemiskinan
yang terwujud dalam hidup tanpa jaminan materi sehingga mampu bersikap lepas
bebas dan memberikan diri dituntun oleh Allah.
Dengan demikian cukup jelas, persaudaraan kiranya menjadi salah satu nilai
yang hendak diwartakan Fransiskus dalam keseluruhan hidupnya. Nilai itu
46
diwujudkannya dengan menyediakan diri sebagai saudara dan menempatkan setiap
pribadi sebagai saudara pula. Menyediakan diri sebagai saudara berarti menempatkan
diri dalam kebersamaan, dalam hubungan interpenden dengan yang lain. Dengan
menyebut diri sebagai saudara, maka ada unsur keterbukaan, inklusivisme dan saling
taat, berani membuka kekayaan diri dan misteri dirinya demi perkembangan
relasinya (Bahang, 2004: 134). Demikian pula menempatkan dan menyapa orang lain
sebagai saudara berarti memuat rasa hormat yang mendalam akan pribadi yang
disapa. Rasa hormat yang didasarkan pada pemikiran positif, tentang orang lain.
Menyapa sebagai saudara juga berarti memandang orang lain sebagai karunia dari
Allah yang patut untuk disyukuri (Bahang, 2004: 134). Dengan demikian sapaan
saudara mendahulukan keharmonisan daripada perbedaan yang ada.
Salah satu ciri khas Fransiskus dalam persaudaraan yang membedakannya
dengan tokoh persaudaraan lainnya adalah terletak pada sikap Fransiskus yang begitu
mencintai alam semesta beserta isinya, flora dan fauna. Kencintaan yang mendalam
ini membuat Fransiskus mampu menjalin relasi yang intim dan bersaudara, bahkan ia
mampu berkomunikasi dengan mereka. Fransiskus mampu menjalin relasi
persaudaraan yang intim dengan alam, demikian pula dengan saudara seiman ia
menjalin relasi yang jauh lebih mendalam.
Relasi persaudaraan Fransiskus dengan manusia tidak hanya didasarkan pada
kesamaan sebagai makhluk ciptaan dari Allah Bapa yang sama dan universal, tetapi
lebih mendalam dari itu yakni didasarkan pada keberadaan manusia sebagai ‘citra
Allah’, manusia sebagai citra Allah berarti di dalam dan melalui manusia gambaran
Allah ditemukan, di dalam diri manusia nilai-nilai ilahi ditemukan. Atas dasar ini
Fransiskus menunjukkan sikap solider dan persaudaraan yang hangat kepada setiap
47
orang, baik kepada saudara yang berbeda iman maupun dengan saudara yang
seiman.
Saudara seiman bagi Fransiskus merupakan anggota keluarga Allah yang
dipanggil untuk menerima bagian kekal yang dijanjikan Allah melalui Yesus Kristus
(2 Celano: 172). Saudara seiman juga merupakan teman seperjalanan dalam
peziarahan menuju Allah Bapa, saling menguatkan dan mengembangkan dalam iman
akan Yesus Kristus.
Oleh karena itu, bagi Fransiskus mencintai Yesus Kristus berarti juga
mencintai sahabat-sahabat dan saudara-saudaraNya, karena Yesus rela wafat untuk
keselamatan jiwa mereka dan jiwa semua orang beriman. Maka persaudaraan
Fransiskus dengan seiman. Maka persaudaraan Fransiskus dengan saudara seiman,
lebih menitikberatkan pada persaudaraan rohani. Persaudaraan yang terbentuk karena
peranan Roh Tuhan yang menyatukan satu sama lain secara tulus dan mendalam (2
SurBerim 54-56). Persaudaraan yang berakar pada pengurbanan serta penyerahan diri
Kristus di bukit Kalvari (Lanur, 2000: 224-228). Persaudaraan rohani berarti
persaudaraan yang terlaksana karena, di dalam dan melalui Yesus Kristus. Maka
corak dari persaudaraan berpola pada persaudaraan Yesus Kristus yang memberikan
seluruh hidup-Nya bagi keselamatan saudara-saudara-Nya. Persaudaraan inilah yang
dihayati Fransiskus kepada para pengikutnya untuk melakukan hal yang sama dalam
menjalin persaudaraan dengan saudara seiman, seperti yang dikatakannya dalam
wasiat Siena, tak lama sebelum ia meninggal, “Hendaklah mereka selalu saling
mengasihi sebagai tanda peringatan akan berkatku dan perjanjianku” (WasSiena 3).
“Mereka harus saling mengasihi sesuai dengan firman Tuhan; Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. Cinta kasih antar mereka itu haruslah mereka nyatakan dengan perbuatan
48
sesuai dengan kata rasul. Marilah kita saling mengasihi bukan dengan perkataan atau lidah tetapi dengan perbuatan dan kebenaran” (AngTbul IX: 5-6).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa persaudaraan dengan saudara
seiman, adalah persaudaraan rohani yang disatukan dalam diri Yesus Kristus.
Persaudaraan yang menyatukan semua orang di dalam roh, karena tidak lagi hamba
atau orang merdeka, tidak ada lagi laki-laki atau perempuan, karena semua adalah
satu di dalam Kristus Yesus (Gal 3: 26-28).
3 Persaudaraan dengan Saudara yang Berbeda Iman
Perbedaan bukanlah menjadi satu halangan untuk menjalin persaudaraan
dengan orang lain, sekalipun perbedaan tersebut menyangkut hal yang paling
ensensial dalam hidup manusia, seperti halnya yang menyangkut kenyakinan iman.
Acapkali di dalam perbedaan, justru orang semakin diperkembangakan dan
identitasnya semakin diteguhkan.
Perjumpaan Fransiskus dengan Sultan Al-Malik Kamil dan saudara-saudara
muslim menjadi contoh bagaimana persaudaraan sejati dimungkinkan untuk dapat
dilaksanakan di tengah-tengah masyarakat yang pluralis. Fransiskus menunjukkan
bahwa perbedaan kenyakinan bukanlah halangan untuk membangun persaudaraan.
hal ini nampak jelas dalam wejangannya kepada para pengikutnya, yang mengatakan
bahwa setiap saudara yang mau pergi ke tengah-tangah kaum muslim dan orang tak
beriman lainnya, hendaknya pergi membawa diri secara rohani. Cara membawa diri
ada dua yakni; pertama dengan tidak menimbulkan perselisihan dan pertengkaran
tetapi hendaklah mereka tunduk kepada setiap makhluk insani karena Allah. Yang
kedua hendaklah mereka mewartakan firman Allah dan hal-hal lain yang berkenan
kepada Allah; atau dengan kata lain berani memberi kesaksian tentang iman Kristen
49
(AngTbul XVI: 108-109). Di sini jelas, persaudaraan yang dimaksud Fransiskus
adalah persaudaraan dalam dimensi rohani, persaudaraan yang terbentuk karena
perwujudan dan penghayatan iman yang murni, sehingga membuat orang keluar dari
batas-batas dan sekat-sekat yang ada.
Didasarkan pada wejangan tersebut, kita dapat melihat bahwa pandangan
Fransiskus terhadap Agama Islam dan agama lainnya sangat sangat berbeda dengan
pandangan orang-orang semasanya bahkan orang-orang suci dan termasyur lainnya.
Menurut pandangan masyarakat Kristen pada waktu itu dan juga orang-orang suci
lainnya, seperti Bernardus dari Clairvaux, Ignasius dari Loyola, Paus Innocentius III
dst, umat Islam adalah kaum kafir dan musuh yang telah merebut tempat-tempat suci
milik Kristen. Oleh karena itu musuh harus diusir, tempat-tempat suci harus direbut
kembali, sekalipun nyawa menjadi taruhannya. Maka mati dimedan perang adalah
merupakan tindakan kemartiran, menyerang serta membunuh musuh bukanlah
perbuatan dosa, tetapi perbuatan yang dibenarkan oleh Allah, karena bertujan mulia
yakni untuk merebut tanah suci dari kaum Islam (Doornik, 1977:122).
Fransiskus tidak setuju dengan pandangan tersebut. Bagi Fransiskus orang-
orang Islam dan keyakinan lain bukanlah sebagai musuh tetapi sebagai saudara,
karena mereka pun berasal dari Allah Bapa yang sama, yang ada di Surga; yaitu Allah
Bapa yang menerbitkan matahari bagi orang jahat dan orang baik, yang menurunkan
hujan bagi orang benar dan tidak benar; Bapa yang mengasuh dan merawat manusia,
yang memberi makan burung di udara dan pakaian indah kepada semua bunga di
ladang. Oleh karena itu hanya ada satu Bapa semua orang, maka semua adalah
saudara.
50
Menurut Fransiskus (ini terjadi dalam konteks Perang Salib), jangankan
saudara, musuhpun tidak boleh dibunuh untuk mencapai tujuan suci, karena Kristus
sendiri mengatakan, “Kasihilah musuhmu, berbuat baiklah bagi mereka yang
membenci kamu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu (Mat 5: 44).
Oleh karena itu, menurut Fransiskus apapun alasannya, musuh tidak boleh dibenci
apa lagi dibunuh, mereka harus dicintai karena mereka pun dicintai Allah. Pandangan
Fransiskus ini tentu saja terasa aneh dan ganjil untuk jamannya karena melawan arus
pemikiran masyarakat Kristen pada umumnya dan mungkin juga untuk jaman
sekarang. Fransiskus berpendapat bahwa harta yang tertinggi adalah Injil, bukan
makam Kristus yang ada di Yerusalem, yang menjadi sumber pertikaiaan. Ia
menambahkan pula, bahwa Kristus lebih mencintai umat Islam dari pada makam-Nya
sendiri. Oleh karena itu keinginan untuk memiliki tanah suci, tidak boleh dijadikan
alasan untuk memusuhi dan membenci Islam serta penganut agama lainnya, apalagi
membunuhnya. Bangaimana mungkin mengumandangkan Te Deum di tengah-tengah
penderitaan orang akibat perang? (Doornik, 1977: 122).
Inilah pandangan terhadap kaum muslim; dan karena itulah ia mengajak
saudara Illuminato (salah seorang pengikut Fransiskus) untuk pergi mengibarkan
‘bendera perdamaian’ di tengah-tengah konflik yang semakin memanas. Fransiskus
dan Illuminato berangkat dengan menumpang pada kapal yang membawa para
serdadu Perang Salib ke Mesir. Sekitar bulan Juli-Agustus 1219 Fransiskus dan
Illuminato tiba di Mesir utara di Akre. Di sana ia menyaksikan betapa brutal dan
kejamnya Perang Salib itu. Menyaksikan pemandangan itu, Fransiskus mengalami
pergulatan batin yang hebat. Pergulatan ini ia ungkapkan kepada saudara Illuminato,
“Kalau aku mengatakan kepada mereka untuk membatalkan serangan itu, maka
51
mereka akan mengatakan aku ini gila, tetapi jika aku tidak mengatakannya, maka aku
akan menyesal sepanjang hidupku”. Saudara Illuminato menjawab, “Bukan hanya
hari ini sajalah engkau dianggap gila; Ikutilah suara hatimu dan takutilah Tuhan lebih
dari pada manusia” (Doornik, 1977: 125-126). Fransiskus pun berusaha mencegah
kesengsaraan, yang menuntutnya sungguh tidak dikehendaki Tuhan; dan karena itu ia
mendatangi tentara Salib di kemahnya serta meminta mereka untuk menghentikan
penyerangan. Sering usul Fransiskus di tolak.
Menjadi juru damai di tengah-tengah konflik yang memanas kiranya tidak
mudah, pasti menanggung resiko, bahkan nyawa bisa menjadi taruhannya. Maksud
baik pun belum tentu diterima oleh pihak yang bertikai, seperti yang diusulkannya
kepada para tentara Salib, tetapi cinta akan perdamaian menjadi semangat yang
mendorong Fransiskus untuk menemui Sultan. Maka dengan pertolongan Allah yang
memintakan Fransiskus dalam doa sebelum berangkat menemui Sultan, Fransiskus
memantapkan langkahnya menuju kemah kaum Muslim. Ia datang bukan dengan
sejata, tetapi dengan cinta dan persaudaraan. ia datang bukan dengan membawa
bendera politik, tetapi ia datang dengan bendera perdamaian. Ia tidak memihak
siapapun, ia hadir sebagai penengah antara Kristen dan Islam.
Maka setelah mengalami berbagai rintangan Fransiskus berhasil bertemu
dengan Sultan Al-Malik Kamil di kota Damietta. Pertemuan terjadi dalam suasana
kasih dan penuh persaudaraan. Sultan menerima kedatangan Fransiskus. Ia terpersona
akan kelembutan dan persaudaraan Fransiskus yang terpancar dari kekuatan
rohaninya. Begitu terpesonanya sehingga Sultan diliputi dengan kelembutan hati. Ia
berhari-hari mendengarkan dengan penuh perhatian ketika Fransiskus berkotbah
kepadanya dan orang-orangnya tentang iman akan Kristus. Reaksi Sultan
52
mengisyaratkan bahwa Fransiskus tidak memaksakan agamanya, bahkan terlihat
bahwa Fransiskus menghargai dan menghormati agamanya.
Kiranya satu hal yang penting yang bisa kita petik dari kejadian tersebut
adalah bahwa Fransiskus menantang sultan untuk keluar dari struktur dan intuisi
manusia yang ada, yang terjalin dengan keyakinan religius. Fransiskus mengajak
Sultan untuk keluar dari struktur yang ada guna mendapatkan kemurnian iman
religius. Fransiskus telah melakukannya, itu ia datang menghadap Sultan dengan
kemurnian iman. Ia menantang Sultan untuk melakukan hal yang sama, seperti yang
dilakukannya agar sampai dalam konteks iman yang murni (Vardy, 2001:88).
Sultan memang tidak berani menerima tantangan Fransiskus, tetapi ada satu
hal yang bisa kita petik dari pertemuan itu. Pertemuan tersebut menghasilkan dialog
yang penuh persaudaraan antara dua pihak yang berbeda keyakinan. Dialog yang
terjadi bukan hanya pada taraf permukaan saja, yang hanya didasarkan pada
pemikiran manusia yang seringkali melilit iman, tetapi dialog terjadi sungguh
mendalam yang didasarkan pada realitas yang ada di dasar keyakinan religius; yang
mengajarkan cinta kasih dan perdamaian.
Maka seperti yang dikatakan Fransiskus kepada para pengikutnya,
persaudaraan hanya akan terjadi ketika orang berani keluar dari dirinya sendiri dan
melihat orang lain sebagai anugerah Allah, maka tidak ada lagi sekat-sekat yang
menghambat persaudaraan. melihat orang lain sebagai saudara menjadikan perbedaan
sebagai sesuatu yang indah, yang memperkaya hidup seseorang. Perbedaan bukanlah
menghambat terjalinnya sebuah persaudaraan, tetapi justru menjadi kesempatan untuk
mengembangkan diri dan memperteguhkan identitas diri.
53
Persaudaraan harus diwujudkan dalam tindakan bukan dalam perkataan;
dilaksanakan dalam dimensi iman yang murni, sehingga segala kelemahan orang lain
akan ditutupi oleh cinta kasih seperti yang diungkapkan Fransiskus. Di dalam
persaudaraan ada kasih dan kebijaksanaan yang mengenyahkan ketakutan dan
kepicikan; ada kesabaran dan kerendahan hati yang mengenyahkan amarah dan
kegelisahan; ada kemiskinan bersama suka cita yang mengeyahkan ketamakan dan
kekikiran; ada ketenangan dan samadi yang mengenyahkan kecemasan dan
kebingungan; ada belaskasih dan timbang menimbang yang mengenyahkan kelebihan
dan ketegaran (AngT Bul IX: 102).
4 Undangan SMFA
Persaudaraan sejati merupakan sesuatu yang sangat didambakan. Kaum
religius sendiri mencoba mewujudkan Persaudaraan Sejati dalam kehidupan
berkomunitas, walaupun tidak sesalu berhasil. Harapan untuk mewujudkannya
Persaudaraan Sejati, bahkan tidak saja ingin mewujudkan dalam kehidupan kaum
religius dalam komunitasnya sendiri secara eksklusif, melainkan besar harapan agar
Persaudaraan Sejati itu merembes, menjalar dan meluas sampai melewati tembok
kokoh biara dan tatanan mapan biara, sebab ada kesadaran bahwa Persaudaraan Sejati
merupakan ‘Harta Karun’ yang diwariskan oleh Kristus untuk seluruh umat manusia,
bukan hanya untuk kaum religius.
Sebagai ‘Harta Karun’ milik bersama, maka Persaudaraan Sejati memang
perlu ditemukan, dihidupkan dan dibagi-bagikan. Keluhan dan harapan merupakan
tanda yang hidup dan nyata dari kaum religius bahwa kehidupan membiara bukanlah
sesuatu yang statis, melainkan sesuatu yang dinamis, yang selalu berkembang dan
dikembangkan sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan zaman, sambil tetap berpegang
54
pada cita-cita awal dan semangat warisan leluhur pendiri yakni St. Fransiskus (Kea
Kebu; 22).
Kalau penulis mencermati reaksi umat selama ini nyatalah bahwa umat tidak
menutup mata dan telinga terhadap keberadaan kaum religius. Umat rasa memiliki
dan merasa bangga terhadap kaum religius. Itulah betapa kecewanya umat jika
menyaksikan kaum religius tidak menampakan ke-religiusan-nya. Dengan demikian
penulis menanyakan bagaimana mereformasi persaudaraan kaum religius, agar
harapan-harapan umat dapat menjadi kenyataan, sehingga persaudaraan yang sedang
kita bangun sungguh menjadi Persaudaraan Sejati.
Persaudaraan yang terjadi bukan karena pertalian darah, melainkan
persaudaraan yang terjadi karena terikat oleh cinta kasih Kristus sendiri. Buktinya
kaum religius dipanggil dari berbagai suku, ras, kultur yang berbeda dengan suatu
tujuan yakni lebih dekat pada Kristus dan mewartakan kasih-Nya kepada dunia. Maka
persaudaraan religius diteguhkan dengan Ekaristi yang dirayakan setiap hari, doa baik
bersama maupun pribadi, pembinaan hidup rohani secara berkala, sharing
pengalaman iman, saling mengampuni, saling mendukung dengan doa dan
pengorbanan, saling bertanggung jawab dalam komunitas dan dalam berbagi
kegembiraan dan kesulitan sehari-hari, dialog secara terbuka bila terjadi konflik,
saling menerima dan mendengar (Statuta SMFA; Art.8).
Persaudaraan Sejati sangat besar faedahnya untuk pembinaan hidup afektif
yang harmonis. Kecintaan yang kita peroleh dari orang lain, dapat membantu kita
untuk memberikan diri sepenuh hati kepada orang lain. Persaudaraan sejati, membuat
orang lebih terbuka terhadap sesama dan membina relalsi dengan semua orang.
Sebaliknya persaudaraan yang menjauhkan diri dari komunitas religius, merupakan
55
persaudaraan yang kurang sehat. Jadi perlu adanya jalan untuk membangun
persaudaraan sejati adalah; saling cinta, saling menghargai, saling menolong, saling
percaya dan saling mendukung. Karena fungsi utama dari hidup bersama, hidup
berkomunitas adalah menciptakan kekeluargaan dan persaudaraan serta menanamkan
semangat cinta satu sama lain sebagai saudara (Statuta SMFA; Art.9).
Hidup persaudaraan kaum religius yang baik membawa masyarakat untuk
menyadari bahwa masih kemungkinan terjadinya relasi antar pribadi tanpa diwarnai
oleh terjadinya saling curiga seperti yang terjadi di masyarakat saat ini. Masyarakat
juga dapat merasakan suasana kasih dan persahabatan yang terjadi di antara para
religius. Disamping itu masih ada religius yang tidak berani memberi kesaksian hidup
persaudaraan yang baik, sehingga masyarakat kurang percaya pada religius tertentu
dan mempunyai pandangan negatif terhadap religius.
Persaudaraan Religius bagaimanapun ada segi positifnya. Namun masih perlu
diperjuangkan karena masih banyak terdapat persaudaraan yang didasari semangat
mencari kepuasan diri sendiri, semangat yang rendah dari pada usaha untuk mengalah
kehendak sendiri dan memperjuangkan serta mengusahakan nilai-nilai Kristiani yang
lebih mendalam yakni: kasih, pengampunan, tenggang-rasa, ugahari dll.
Sudah sejak mula pertama, ada manusia ditempatkan oleh Allah dalam
suasana relasi. Relasi yang dikehendaki tentu saja relasi firdaus di mana cinta dan
keindahan menjadi tiang topangnya. Namun, manusia terlalu arogas sehingga lupa
akan roh kehidupan yang telah diembuskan Allah. Relasi pun lalu terganggu baik
dengan Allah, sesama maupun dengan lingkungan hidup. Kisah Kain dan Habel
memperlihatkan kegagalannya menghormati keunikan pribadi sesama sebagai citra
Allah. Kain menyangkal perannya sebagai penjaga saudarannya di hadapan Allah. Ia
56
iri terhadap kebaikan Tuhan yang dikerjakan melalui saudaranya sendiri. Santo
Fransiskus dalam Pth VIII mengingatkan bahwa itu adalah dosa. (Kea Kebu; 23).
Kita semua adalah saudara karena diciptakan oleh Allah, jatuh ke dalam dosa
dan ditebus oleh Allah yang sama dengan Yesus Kristus. Sudah pasti bahwa
pengakuan ini tidak boleh membuat kita dalam penyeragaman buta. Semua orang
pernah melakukan kesalahan dan hal itu tidak tergantung pada soal apakah seseorang
itu kepala biara, magister, anggota rumah atau karyawan. Namun demikian, fakta itu
tidak perlu mengesampingkan tuntutan untuk melakukan kritik, peringatan dan
memberi teguran dengan ramah. Moral pengakuan terletak pada: “Mungkin saya
salah dan anda benar. Mari kita bicara brsama-sama!” Keindahan hidup berkomunitas
terletak pada keterbukaan untuk saling berkomunikasi, menghargai fluralitas watak,
suku, dan sifat serta saling menjaga sebagai saudara dihadapan Allah. Sering
kesalahan atau kecelakaan besar yang dialami dalam hidup berkomunitas berawal dari
diabaikannya kesalahan-kesalahan kecil (Statuta SMFA; Art.10).
Semoga keberagaman watak, suku dan sifat yang ada dalam kongregasi
SMFA membuat orang yakin bahwa dendam, benci, iri hati, jengkel dan pertengkaran
adalah ciri kehidupan di luar taman eden. Tidak mudah memang tetapi SMFA
mengajak mari kita mulai sekali lagi dengan membawa senyum damai di sini dan
kini.
C. Rangkuman
Spiritualitas persaudaraan merupakan suatu kekuatan yang dibutuhkan
manusia dalam menjalin relasi, baik dengan flora dan fauna, serta alam ciptaan
lainnya maupun dengan sesama manusia. Oleh karena itu persaudaraan menjadi jiwa
57
dalam sebuah relasi. Fransiskus Asisi adalah tokoh yang dikenal memiliki jiwa
persaudaraan. Ia memiliki karisma tersendiri dalam menjalin relasi persaudaraan
dengan seluruh makhluk ciptaan baik flora, fauna maupun manusia, bahkan dengan
ciptaan lainnya seperti bulan, matahari, api, angin dan sebagainya. Jiwa persaudaraan
yang dimilikinya, menjadikannya mampu menempatkan semua makhluk ciptaan
sebagai saudara dan saudarinya.
Melalui relasi intim yang terjalin dengan semua makhluk ciptaan, Fransiskus
hendak menujukkan kepada kita, arti dari sebuah persaudaraan sejati. Persaudaraan
sejati kiranya tidak terletak banyaknya mengungkapkan kata ‘saudara’ kepada
makhluk ciptaan, tetapi bagaimana ‘saudara’ diartikan di dalam perbuatan. Inilah
yang ditunjukkan Fransiskus di dalam relasinya dengan semua makhluk ciptaan.
Ladjar, 1988: 78).
Persaudaraan Fransiskus dengan flora dan fauna didasarkan pada penghayatan
akan keberadaan dan keterciptaan semua makhluk dari Allah Bapa yang sama dan
universal. Hal ini mau mengungkapkan bahwa, kita berasal dan tergantung dari
sumber yang sama dan satu; yakni Allah Bapa, maka sekalipun itu flora dan fauna,
tetap harus dihormati dan dihargai, karena flora dan fauna juga adalah saudara kita.
Sebagai saudara, kita diajak untuk mencintai alam dan solider terhadapnya.
Bersaudara dengan flora dan fauna akan menghantar manusia sampai kepada
kedekatan dengan Allah, Sang Pencipta. Oleh karena, di dalam dan melalui flora dan
fauna Allah berbicara dengan manusia, sekaligus juga ‘essensia’ Allah yang
terselubung, kekuasaan dan keIlahian-Nya dipantulkan. Bersaudara dengan flora dan
fauna akan membantu mengubah prilaku manusia, dari merajai alam menjadi
58
menyayangi alam. Dari sikap mau memiliki alam menjadi solider dengan alam.
Ladjar, 1988: 80).
Persaudaraan Fransiskus dengan saudara seiman, lebih mendapat tekanan
pada keberadaan manusia sebagai citra Allah dan kesatuan sebagai keluarga Allah
yang dipanggil untuk menerima bagian bagian kekal dalam Yesus Kristus. Maka
persaudaraan dengan saudara seiman haruslah terjadi dalam konteks persaudaraan
dengan saudara seiman haruslah terjadi dalam konteks persaudaraan rohani yang
bersumber pada Yesus Kristus; persaudaraan yang saling mengasihi, mengampuni
seperti yang diteladankan oleh Yesus Kristus; persaudaraan yang saling meneguhkan,
menguatkan di dalam peziarahan menuju Allah Bapa serta membantu saudara seiman
untuk memperoleh keselamatan kekal.
Persaudaraan Fransiskus dengan saudara yang berbeda iman terjalin dalam
konteks penghayatan iman yang murni, sehingga seluruh perbedaan, sekat-sekat, dan
batas-batas yang ada tidak menjadi halangan baginya dalam menjalin relasi yang
intim. Persaudaraan karena buah dari penghayatan iman yang murni menjadikannya
keluar dari unsur-unsur politik serta institusi-institusi yang ada, dengan demikian ia
mampu melihat orang lain sebagai anugerah dari Allah. Persaudaraan dengan saudara
yang berbeda iman, tidak menjadikannya kehilangan identitas keagamaannya, tetapi
justru semakin diteguhkan. Mengapa? Alasannya adalah karena di dalam
persaudaraan dengan saudara yang berbeda iman, kita justru ditantang untuk
memberikan kesaksian tentang nilai-nilai iman kita.
Maka bisa disimpulkan bahwa persaudaraan sejati yang diwujudkan oleh
Fransiskus Asisi dengan semua makhluk ciptaan terlaksana dalam konteks rohani;
persaudaraan yang lahir dari penghayatan iman yang murni; persaudaraan yang
59
demikian menjadikan persaudaraan tidak lagi dilandaskan pada kesamaan-kesamaan
yang ada, tetapi melintasi batas-batas, sekat-sekat dan perbedaan-perbedaan yang ada;
persaudaraan universal, yang menghapus perbedaan sosial yang ada dikalangan
makhluk hidup; yang menempatkan segala makhluk ciptaan ‘ada bersama dengan
yang lain’ bukan ‘berada di atas yang lain’, dengan demikian semua adalah sama dan
sederajat, tidak ada yang lebih tinggi ataupun lebih berkuasa dari yang lain, sehingga
berwenang untuk menguasai dengan yang lain. Chang, 1989: 25
Spiritualitas persaudaraan yang dihayati oleh Fransiskus dan yang
dilaksanakannya dalam keseluruhan hidupnya, kiranya masih sangat relevan untuk
jaman sekarang ini, dan sangat dibutuhkan dalam masyarakat kita saat ini.
Menghidupi spiritualitas persaudaraan sejati yang dihayati oleh Fransiskus Asisi,
pada jaman ini akan membantu masyarakat kita mengembangkan sikap solidaritas
dan penghormatan terhadap martabat semua makhluk ciptaan, baik flora dan fauna
maupun sesama manusia. Dengan demikian orang akan lebih mengutamakan sikap
cinta kasih di atas kebencian dan iri hati; perdamaian di atas peperangan, kesatuan di
atas perpecahan, kemiskinan dan kerendahan hati di atas kerakusan dan kekuasaan.
Chang, 1989: 26
BAB IV
MAKNA UNGKAPAN SAUDARA DINA
TENTANG KESEMPURNAAN INJILI
Dalam bab IV tentunya tidak terlepas dari inspirasi pemimpin kharismatis,
Fransiskus. Secara langsung maupun tidak langsung, nilai-nilai tersebut
mempengaruhi cara para saudara memandang dirinya dan perutusan yang mereka
kembangkan bagi Gereja dan dunia pada umumnya secaa khusus dalam kongregasi
Suster Misi Fransiskanes St. Antonius. Bab IV ini akan membahasnya.
A. Spiritualitas Kongregasi SMFA
Kongregasi SMFA berpedoman pada Anggaran Dasar Ordo Ketiga Regular
St. Fransiskus Asisi, yang disahkan oleh Paus Yohanes Paulus II tanggal 08
Desember 1982. sebagai kongregasi yang berpedoman pada spiritualitas St.
Fransiskus Asisi, praktek penghayatan spiritualitas fransiskan dalam persaudaraan
SMFA, kami mengutamakan tiga nilai yakni: persaudaraan, kesederhanaan dan
pelayan (dalam sikap hidup sehari-hari). Ketiga nilai ini menjadi acuan / referensi
dalam mengambil keputusan-keputusan tentang gaya hidup, pilihan tempat karya dan
komunitas, pilihan bidang karya serta gaya pelayanan / karya SMFA.
Pendiri kongregasi mewariskan spiritualitas fransiskan dalam: semangat
persaudaraan yang mendalam untuk dihidupi oleh para anggotanya, sikap
kesederhanaan dalam hidup bagi kaum kecil, yang tidak diperhitungkan menjadi pola
pelayanaan sebagai “Suster Rakyat” yang selalu berorientasi pada orang miskin,
60
61
lemah dan tak berdaya. Dalam karya spiritualitas dipupuk dengan meningkatkan mutu
pelayanan yang semakin sesuai dengan spiritualitas fransiskan.
Tuhan kita Yesus Kristus sebagai raja damai mencintai manusia sampai
menyerahkan nyawa-Nya. Sejak peristiwa pembaptisan kita sudah tergabung sebagai
pengikut Kristus. Kristus juga menganugerahkan penggilan hidup istimewa / khusus
kepada manusia yang dicintai-Nya. Panggilan inilah yang ditempuh oleh St.
Fransiskus Asisi dari hidup mewah sebagai putra pedagang kaya, ia jatuh cinta
kepada putri kemiskinan. Pendiri kongregasi SMFA Gerardus Van Schijndel memilih
dan jatuh cinta pada spiritualitas St. Fransiskus sebagai pedoman hidup dan karyanya.
Beliau ingin agar para anggota SMFA hidup dan berkarya sebagai “Suster Rakyat”,
antara lain hadir di tengah umat yang di kampung-kampung. Berdasarkan cita-cita
pendiri para Suster SMFA sebagai pengikut Kristus dalam semangat St. Fransiskus
dipanggil sebagai pembawa damai kepada sesama di komunitas, kongregasi dan
dunia dimana SMFA hadir dan berkarya (Statuta SMFA; Art 2.11).
Dalam terang iman akan Yesus Kristus yang satu dan sama, perwujudan cinta
kasih dan damai mulai di komunitas, bersama dengan saudari sekongregasi dan
kemudian kita bawa dalam tugas pelayanan di tengah masyarakat. Hidup bersama
sebagai saudari dalam komunitas merupakan bagian yang sentral dan sangat penting
dalam kongresasi SMFA. Kehendak baik dan kemampuan hidup bersama dalam
komunitas termasuk dalam inti panggilan sebagai SMFA. (Statuta SMFA; Art 2.12).
Hidup berkomunitas merupakan persekutuan dengan Kristus dan sesama
suster, maka hidup didasarkan pada: doa bersama, mendengarkan sabda Allah,
merayakan kesatuan iman dalam ibadat dan ekaristi, memberi waktu dan ruang agar
para anggota dapat mencapai dimensi rohani yang mendalam. Oleh ikatan
62
persaudaraan sejati maka cinta kasih persaudaraan di komunitas tetap merupakan
kesaksian , maka setiap suster secara terus menerus rela menjalankan rekonsiliasi.
Kehendak baik dan kemampuan untuk hidup bersama dalam komunitas , seperti:
memupuk kepekaan, solider, sosial, komunikasi, saling memerlukan, usaha untuk
berdamai, merupakan kesaksian. Doa bersama dalam komunitas dan renungan
tentang sabda Allah secara pribadi, merupakan nafas hidup, inspirasi dan kekuatan
kita dalam menjalankan karya kerasulan. Semangat kontemplasi membuahkan
kegembiraan batin yang dipancarkan dalam corak aktif, yaitu melalui tugas perutusan
di komunitas (Statuta SMFA; Art 2.13).
Yesus Kristus mengutus murid-Nya untuk mewartakan Injil keseluruh dunia.
Sebagai orang yang terpanggil seperti halnya Santo Fransiskus Asisi dan Gerardus
Van Schijndel, SMFA pun dipanggil olah Yesus untuk ambil bagian dalam tugasnya
sebagai nabi, iman dan raja. Ketiga tugas ini direalisasikan dalam seluruh karya
kerasulan kongregasi SMFA. Cara hidup dan karya kerasulan ini SMFA jalankan
sebagai suster rakyat sesuai dengan situasi masyarakat masa kini. Kehadiran karya
SMFA mencerminkan kesederhanaan fransiskan yang tidak mencolok di mata dunia,
namun mempunyai nilai serta pengaruh yang mendalam (Statuta SMFA; Art 2.114).
B. Kenabian
Tugas missioner SMFA adalah menghidupi Kabar Baik Tuhan kita Yesus
Kristus di tengah dunia agar pengharapan akan penyelamatan dari Allah dinyatakan
lewat kehadiran dan karya (Kons.SMFA; art. 92). Sesuai dengan semangat Injil,
SMFA mengarahkan cinta kita pertama-tama kepada mereka yang diutamakan oleh
Yesus Kristus sendiri, yakni: orang yang miskin, sakit, cacat, kesepian, mereka yang
63
karena sebab tertentu hidup tersisih dalam masyarakat dan gereja, atau karena
keadaan lain tidak punya harapan lagi akan hidup dalam kegembiraan secara
manusiawi. (Kons.SMFA; art. 93).
Semangat missioner yang diwarisi Pendiri dan pola pelayanan SMFA sebagai
“Suster Rakyat” membawa anggota berkarya di segala bidang , termasuk yang tidak
mencolok di mata dunia, dan memiliki pelayanan yang berpihak pada kaum kecil dan
tertindas. Di tengah mereka, SMFA hidup dalam kesetiakawanan, mendengarkan dan
belajar dari mereka. SMFA berusaha memberdayakan mereka demi meningkatkan
taraf hidup mereka baik rohani maupun jasmani. (Kons.SMFA; art. 94).
Agar keterlibatan kongregasi SMFA ke dalam karya keselamatan Tuhan
berlangsung terus dan dapat berkembang, hendaknya setiap suster mewajibkan diri
menyisihkan waktu untuk memperkenalkan kongregasi dan mengajak orang ikut serta
dalam hidup serta karya kerasulan. Maka kegiatan aksi panggilan dengan pelbagai
cara dan bentuk merupakan bagian integral dari karya kerasulan SMFA.
(Kons.SMFA; art. 95).
Menuruti St. Fransiskus dari Asisi, para suster melaksanakan tugas sebagai
pengabdi. Pekerjaan yang dipercayakan janganlah dilakukan dengan bersungut-
sungut dan berbantah-bantah, melainkan dengan penuh tanggung jawab, dan bersikap
sederhana, lemah-lembut dan rendah hati, sopan santun dalam perkataan dan
perbuatan. (Kons.SMFA; art. 96).
Sebagai anggota kongregasi missioner, baik pribadi maupun komunitas,
SMFA mau melihat keluar batas-batas hidup dan karya serta turut prihatin terhadap
masalah-masalah dunia. Sebagai manusia yang terpanggil, hendaknya SMFA dengan
64
tekun ikut berjuang bersama dengan orang lain demi keadilan dan perdamaian.
(Kons.SMFA; art. 97).
Kongregasi SMFA terus-menerus mawas diri terhadap karya, selalu bersedia
melepaskan karya tertentu dan memulai yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman dan
kebutuhan kongregasi. SMFA tidak pernah memilih suatu jabatan , juga tidak
menerima dan menghentikan suatu tugas atau karya besar tanpa ijin Pemimpin umum.
Dalam melaksanakan tugas yang dipercayakan kongregasi , para anggota boleh
menerima apa yang merupakan kebutuhan hidup “sebab seorang pekerja patut
mendapat upahnya” (Mat 10: 10). Namun mereka akan tetap ingat bahwa tujuan
karya kerasulan SMFA tidak pertama-tama mencari nafkah, melainkan melayani
sesama, antara lain mendampingi anak asrama, memberikan pelatihan kepada putri-
putri yang tidak sekolah, kunjungan keluarga, memberi perhatian pada orang di desa
khusus mereka yang terbelakang. (Kons.SMFA; art. 101).
Hidup SMFA di tengah masyarakat diharapkan sedemikian rupa sehingga
lingkungan di mana kita berada dapat merasakan semangat fransiskan, khususnya
berkat sikap terbuka dan spontan, menerima tamu dengan ramah tamah dan penuh
kegembiraan. (Kons.SMFA; art. 102). Setiap jenjang usia tua atau muda sakit atau
sehat, tidak menjadi hambatan bagi para suster SMFA untuk berkarya demi
perkembangan Kerajaan Allah; dengan tetap memberikan sumbangan demi kwalitas
pembangunan persaudaraan dalam komunitas, memelihara mentalitas missioner dan
perhatian pada orang kecil dan lemah, di dukungan dengan doa bersama dalam
melaksanakan tugas perutusan (Kons.SMFA; art. 103).
65
C. Sikap Dasar Saudara Dina
Menjadi seorang saudara dina tidaklah sesederhana seperti yang diungkapkan
Fransiskus dalam wasiatnya “Tuhan memberi aku sejumlah saudara” (Wasiat 14).
Kata-kata tersebut menunjukkan kepercayaan bahwa panggilan untuk menjalani
hidup religius merupakan sebuah undangan yang diberikan oleh Tuhan kepada setiap
pribadi. Kenyakinan ini juga diungkapkannya kepada Klara: “Atas dorongan Ilahi,
kamu telah bersedia menjadi putri dan abdi Raja Yang Mahatinggi dan Mahaluhur,
Bapa Surgawi, dan kamu telah menyerahkan dirimu sebagai mempelai kepada Roh
Kudus….”(PedHid 1). Dengan demikian menjadi jelas bahwa Tuhan adalah sumber,
pusat dan tujuan hidup. Ia memberi kekuatan. Manusia hanya perlu membuka diri,
dan menjawab dengan bebas.
Bagi para saudara, jawaban atas panggilan Tuhan terwujud dalam bentuk
“meninggalkan dunia”. “Mereka yang datang untuk memeluk cara hidup ini
memberikan kepada orang miskin segalanya yang mungkin mereka miliki. Mereka itu
puas dengan satu jubah yang dilapisi luar dan dalam, serta tali pinggang dan celana.
Kami tidak mau memiliki lebih dari itu. Kami yang rohaniwan melakukan ibadat
harian seperti rohaniwan lainnya, sedangkan para awam mengucapkan Bapa Kami;
dan kami amat suka tinggal di dalam gereja-gereja. Kami tidak terpelajar dan menjadi
bawahan semua orang”(Wasiat 16-19).
Demikianlah proses menjadi Saudara Dina dan jalan hidup yang dianut oleh
Fransiskus dan para Saudara. Mereka hidup sederhana, bahkan keras secara fisik
Mereka puas dan bahagia untuk hidup sederhana. Mereka adalah orang-orang yang
berhati lapang. Mereka tahu apa yang mereka inginkan, yaitu menjawab panggilan
Tuhan untuk hidup menurut Injil Suci.
66
Unsur-unsur yang diungkapkan oleh Fransiskus sebagai bagian dalam proses
menjadi Saudara Dina dipertahankan oleh sumber-sumber selanjutnya. Celano
melaporkan sebagai berikut: “Dengan bajak ia membelah tanah, menaburkan benih
kehidupan dan menghasikan buah yang terberkati. Segera amat banyak orang yang
baik dan pantas, rohaniwan dan awam, berpaling dari dunia, membuang setan dengan
semangat perwira dan karena rahmat dan kehendak Allah Yang Mahatinggi lalu
mengikuti Fransiskus dalam cara hidup dan cita-citanya”(1 Cel 56). Di bagian lain
Thomas Celano juga melaporkan bahwa semua orang, kaya atau miskin, bangsawan
atau orang kebanyakkan, orang biasa atau terkemuka, arif atau sederhana, terpelajar
atau awam dari antara umat Allah, karena ilham Roh Kudus, datang untuk menerima
jubah ordo suci, (1 Cel 31).
Dengan demikian panggilan para Saudara Dina berkisar dalam tiga unsur,
yaitu Tuhan, dunia, dan Fransiskus. Artinya, Tuhan memberi inspirasi kepada
seseorang untuk berpaling dari dunia -meninggalkan nilai-nilai duniawi, menjual
harta milik dan memberikannya kepada orang miskin dan menggabungkan dirinya
dengan Fransiskus dengan menerima kebiasaan, ajaran, dan jalan hidupnya.
Bernardus dari Ouintavalle menjadi contohnya. “Ia bergegas-gegas menjual segala
miliknya dan membagi-bagikannya kepada orang-orang miskin, bukan kepada orang
tuanya….Setelah itu ia menggabungkan diri dengan Fransiskus dalam cara hidup dan
berpakaian, dan ia tinggal bersama dengannya, sampai jumlah saudara-saudara
bertambah dan ia demi ketaatan kepada bapak tersayang dipindahkan ke daerah lain.
Adapun pertobatannya kepada Allah menjadi contoh untuk orang-orang miskin (1
Cel 24).
67
Sementara itu Kisah Ketiga Sahabat menekankan bahwa Fransiskus sama
seperti magnet yang menarik banyak orang untuk bergabung bersamanya. “Tidak
dengan kata-kata hikmat manusiawi yang meyakinkan, melainkan dengan ajaran dan
kekuatan Roh Kudus serta penuh kepercayaan ia mewartakan Kerajaan Allah
….Orang, termasuk banyak orang terpelajar dan berilmu, mengagumi daya-guna
kotbahnya serta kebenaran yang tidak diajarkan manusia. Mereka bergegas-gegas
untuk melihat dan mendengar dia bagaikan seorang dari dunia lain. Oleh karena itu
banyak orang dari rakyat, bangsawan, dan bukan bangsawan, rohaniwan dan awam
mengikuti jejak-jejak Santo Fransiskus terdorong oleh ilham ilahi. Dengan
membuang kecemasan dan kebesaran hampa dunia mereka mulai hidup menurut tata
cara Fransiskus” (KKS XIII). Kharisma pribadinya menjadi milik bersama.
Di bagian lain diceritakan tentang cara masuk ke dalam ordo. Dikatakan :
“mereka memohon dengan sangat, agar Fransiskus menerima mereka menjadi
saudara” (KKS IX: 35). Laporan ini sungguh bermakna. Dengan ditunjukan ciri
dasariah dari ordo, yaitu persaudaraan. menjadi Saudara Dina berarti diterima oleh
para Saudara sebagai saudara.
Beberapa sumber membicarakan unsur lahiriah dan batiniah dalam panggilan
para Saudara. Thomas Celano melaporkan sebagai berikut: “Santo (Fransiskus )
memberi petunjuk kepada mereka yang masuk ke dalam ordo, yaitu bahwa mereka
pertama-tama harus mengundurkan diri dari dunia dengan lebih dahulu memberikan
harta duniawi kepada Tuhan dan kemudian memberikan diri mereka sendiri” (2 Cel
80). Yang dituntut Fransiskus adalah bahwa mereka harus melepaskan diri dari semua
harta benda dan menyerahkan diri mereka secara penuh kepada Tuhan.
68
Dengan caya yang sama Klara dan para saudarinya menyerahkan harta benda
dan warisan lalu mengikuti Kristus. “Diawal pertobatan ia menjual warisan yang
menjadi haknya dan memberikannya kepada kaum miskin, dengan tidak menyimpan
sekeping uangpun bagi dirinya. Kemudian, setelah meninggalkan sifat duniawi, ia
mengejar Kristus tanpa dibebani harta benda. Tidak ada yang dicintainya selain
Tuhan Yesus. Para saudarinya diajak untuk melakukan hal yang sama” (LegKlar, 13).
D. Saudara Dina Dalam Injil
Sumber-sumber awal membahas banyak hal mengenai proses menjadi seorang
Saudara Dina dan mengenai gaya hidup Fransiskus dan para saudara. Hal-hal tersebut
merupakan aspek penting dalam kehidupan fransiskan. Hal lain yang juga menarik
adalah kenyataan bahwa sumber-sumber tersebut menggunakan konsep-konsep injili
untuk menjelaskan sifat dasar Ordo Saudara Dina. Mereka mempelajari dan
merenungkan tema-tema, simbol-simbol, dan tokoh-tokoh yang terdapat dalam Injil.
Tema-tema dan simbol-simbol tersebut diharapkan pada komunitas Fransiskan.
Sebenarnya, dengan metode yang sama, para penulis Perjanjian Baru
menggunakan simbol-simbol dan kategori-kategori Perjanjian Lama saat
menbicarakan Yesus Kristus dan hidup Kristen. Mereka merefleksikan tema-tema
Injili seperti “minister”, “Kerajaan Allah”, ”Kota Suci”, “Pengantin Kristus”, ”Umat
Allah, dan sebagainya. Tema-tema ini digunakan juga oleh para Bapa Konsili Vatikan
II untuk menunjukan keberadaan Gereja kepada para umat dari abad XX.
Hal yang mencolok baik dalam Konsili Vatikan II maupun dalam sumber-
sumber Fransiskan awal adalah bahwa sejarah keselamatan tidak berhenti saat
penulis halaman terakhir Perjanjian Baru. Tuhan tetap hadir dan berkarya secara
69
dinamis dalam setiap era sejarah. Di abad XIII Tuhan membangkitkan Fransiskus dan
ordo untuk menjalankan tugasnya. Di abad XX para Bapa Konsili mengatakan bahwa
Tuhan terus menggunakan Gereja Kristus untuk menujukkan cinta-Nya kepada
manusia.
Sebuah contoh sederhana namun penuh arti ditemukan dalam biografi
Fransiskus yang ditulis oleh Julius dari Speyer. Beberapa kali ia menggunakan istilah
kawanan kecil’ (Bdk. Luk 12: 32) untuk menyebut Fransiskus dan para saudara.
Dengan menggunakan istilah ini ia mau menekankan kesederhanan, ketakberdayaan,
dan kekecilan para saudara; namun, juga mau menunjukkan totalitas ketergantungan
kepada Allah. Penekanan Fransiskus terhadap pentingnya ketergantungan kepada
Allah, yang merupakan ciri dasariah kemiskinan, menunjukkan bahwa secara sadar
maupun tidak sadar Fransiskus menganggap persaudaraannya sebagai kelompok
anawim, “kaum miskin dari Allah” (2 Cel 70).
Sementara itu Thomas Celano menggunakan istilah “anggur” dan “kebun
Tuhan”, ( Yer 2: 21) untuk menggambarkan para Saudara Dina. Menurutnya, Ordo
yang didirikan oleh Fransiskus merupakan “kebun anggur baru” yang ditanami
Tuhan dalam kerelaan-Nya, (1 Cel 74). Melalui Fransiskus, sebuah ordo baru telah
didirikan “di gurun dunia ini…. Sebuah pokok anggur subur yang meluaskan ranting-
ranting ordo suci dan menumbuhkan bunga-bunga yang harum mewangi berupa
keutamaan-keutamaan suci”, (Bdk. 1 Cel 89). Ordo ini merupakan kebun anggur
Tuhan, (Bdk. 2 Cel 24).
Dalam surat edarannya mengenai kematian Fransiskus Saudara Elias
menggunakan istilah “Umat Allah” untuk menjelaskan sifat komunitas Fransiskus.
Para saudara mendirikan suatu bangsa baru dalam kerangka sejarah keselamatan.
70
Mereka adalah “Israel Baru”, karena Fransiskus, “Musa Baru” memberikan kepada
mereka sebuah peraturan hidup dan perjanjian perdamaian. Fransiskus berkotbah
mengenai Kerajaan Allah kepada para saudara sungguh merupakan suatu “umat Allah
yang layak bagi-Nya”, (Bdk. Luk 1: 17).
Gambaran yang tidak jauh berbeda ditekankan dalam Sacrum Commercium.
Penulis menekankan bahwa Kristus memberikan Perjanjian Baru dengan meneteskan
darah . kristus tersebut adalah Kristus yang sungguh-sungguh mengosongkan diri dan
menunjukkan kemiskinan tertinggi. Hubungan antara kemiskinan dan salib Kristus
digambarkan demikian: “Engkau (tuan putri kemiskinan) bersama Dia (Kristus) saat
orang-orang Yahudi menyiksa-Nya, ketika orang-orang Farisi menghina-Nya, ketika
imam-imam kepala mengutuki-Nya; engkau bersama-Nya ketika Dia dipukul,
diludahi, dan dicambuk. Ia seharusnya dihormati semua orang. Namun hanya engkau
yang menyertai-Nya. Engkau tidak meninggalkan-Nya menuju kematian, kematian di
kayu salib.. pada salib itu, saat Ia terlanjang tergantung di atasnya, lengan terentang
dan kaki tertembus paku, engkau turut menderita bersama-Nya, sehingga tidak ada
hal lain dari diri-Nya yang lebih dari padamu” (SacCom 21).
Melihat hubungan yang erat antara kemiskinan dan salib Kristus , dengan setia
pada kemiskinan mereka, para Saudara memasuki “Perjanjian Baru Kristus dan
menjadi “Umat Alah yang Baru”. Memang kemiskinan merupakan meterai Kerajaan
Allah di mana orang-orang pilihan dimaterai. Materai inilah yang menjadi dambaan
para Saudara, (SacCom 21, 22). Dengan membuang “semua beban” para Saudara
menjadi miskin secara lahiriah dan batiniah. Karena memiliki hati yang bebas dan
terbuka, mereka diundang untuk masuk ke dalam “perjanjian damai” berjumpa
dengan Tuan Putri Kemiskinan dan Tuhan. Mereka menjadi hamba-hamba dan
71
domba gembalaan-Nya” (SacCom 14, 57). Mereka adalah biji yang telah dipilih
Tuhan dengan kasih yang tidak munafik, (SacCom 14). Inilah tafsiran tentang ordo
Fransiskan melalui simbol-simbol Injili.
Paus Gregorius IX juga menggunakan kata-kata Kitab Suci , ketika berbicara
mengenai para Saudara. Menurutnya, mereka mengalahkan musuh-musuh Gereja dan
membela Paus, karena mereka “berikatpinggangkan kebenaran dan berziarahkan
keadilan”. Di satu tangan mereka “membawa perisai iman” untuk memadamkan
panah api dari si jahat. Di tangan lain, mereka menggenggam “pedang Roh” yaitu
firman Allah, (Bdk. Ef 6: 14, 16, 17). Dengan mewartakan firman Allah dan hidup
dalam kemiskinan para Saudara menjadi manusia injili.
Sumber-sumber yang dapat dipelajari di atas menunjukkan bahwa para
Saudara memandang dirinya sebagai kekuatan baru yang muncul di dunia. Mereka
manjadi ordo baru dan jalan hidup baru, suatu pasukan kuat yang dipimpin oleh
Fransiskus menuju peperangan melawan kekuatan jahat. Pasukan spiritual ini
menggunakan untuk dirinya jalan hidup yang oleh Paulus disebut: “Kamu adalah
orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya. Karena itu, kanakanlah
belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan, dan kesabaran…
ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh terhadap yang lain,
sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian. Dan di
atas semuannya itu: kenakanlah kasih sebagai pengikat yang mempersatukan dan
menyempurnakan. Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu,
karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh. Dan bersyukurlah.
Hendaklah perkataan-perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di antara
kamu, sehingga kamu dengan segala hikmat mengajar dan menegur seorang akan
72
yang lain dan sambil menyanyikan mazmur, puji-pujian dan nyanyian rohani, kamu
mengucap syukur kepada Allah di dalam hatimu, (Kol 3: 14-16). Pesan ini sungguh
berakar di hati Fransiskus dan para Saudara. Pesan ini mengubah hidup mereka dan
menunjukkan maksud yang sebenarnya dari persaudaraan mereka.
E. Hidup Injil dan Perutusan Para SMFA Dalam Persaudaraan
Sumber-sumber awal juga berbicara mengenai perutusan yang dilakukan para
Saudara. Dalam suratnya kepada seluruh Ordo, (SurOr 6-8) Fransiskus mendorong
para Saudara untuk mendengarkan suara Putra Alah, mengindahkan perintah-Nya,
memenuhi nasehat-Nya dengan budi sempurna, “memuji Dia, sebab Dia baik”, (Bdk.
MzM 135: 1) dan meluhurkan Dia dalam semua pekerjaan, (Bdk. Tob 13:6). Katanya:
untuk itulah Dia mengutus kamu ke seluruh dunia, agar dengan perkataan dan
perbuatan kamu memberi kesaksian tentang suara-Nya dan memaklumkan kepada
semua orang bahwa tak ada yang mahakuasa selain Dia, (Bdk. Tob 13: 4). Para
saudara mencintai Tuhan, memuji-Nya dan menjadi saksi bagi yang lain betapa
mahabesarnya Tuhan.
Hal yang sama juga dikatakan Fransiskus dalam Anggaran Dasarnya:
“Marilah kita semua mencintai Tuhan Allah dengan segenap hati, dengan segenap
jiwa, dengan segenap budi, dengan penuh kekuatan dan ketabahan, dengan sepenuh
daya pengertian dan segenap tenaga, dengan segala jerih payah dan segenap perasaan,
dengan seluruh sanubari, dengan penuh hasrat dan kemauan….Apapun juga tidak
boleh mencegah, merintangi, dan menghalangi; di manapun juga di segala tempat,
pada setiap saat dan setiap waktu, setiap hari dan senantiasa, hendaklah kita semua
mengimani dengan sungguh-sungguh dan dengan rendah hati, menyimpan dalam hati
73
dan mengasihi, menghormati, menyembah, mengabdi, memuji, dan memuliakan,
meluhurkan dan menjujung tinggi, mengagungkan dan mensyukuri Allah yang kekal,
Mahatinggi dan Mahaluhur, (AngTBul XXIII: 8-11). Sungguh Fransiskus merupakan
orang yang menghabiskan seluruh waktunya untuk mencintai Tuhan dan memuji-
Nya. Hal yang sama dimintanya untuk dilakukan oleh para Saudara.
Memang tidaklah berlebihan bila Fransiskus meminta para Saudara untuk
membentuk suatu komunitas eskatologis yang senantiasa berkumpul di sekitar Allah
dan memuji-Nya. Ia bahkan menyusun suatu pujian yang diucapkan dalam setiap
ibadat, (PujIb 1-4). “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah Yang Mahakuasa, yang
kini ada, dan yang telah ada, dan yang akan datang, (Why 4: 8)….Tuhan Allah kami,
Engkau layak menerima pujian, kemuliaan, dan hormat serta puji-pujian, (Why 4:
11), …pujilah Tuhan segala karya Tuhan”, (Dan 3: 57). Ayat-ayat tersebut diselingi
dengan ulangan: “Ya, marilah kita memuji dan meluhurkan Dia selama-lamanya”.
Aspek lain dari perutusan yang dipercayakan kepada para saudara adalah
kesetian pada jalan hidup yang telah ditunjuk Allah kepada Fransiskus. Mereka harus
menjadi orang yang sesuai dengan namanya: Saudara Dina. “Dan sungguh-sungguh
mereka adalah dina, yang tunduk kepada sekalian orang dan selalu mencari tempat
kerja yang dipandang hina dan melakukan tugas yang hina, dalam mana mereka
menurut gelagatnya mudah diperlakukan tugas diperlakukan secara tidak layak, agar
mereka patut didasarkan atas kerendahan hati, sehingga berkat bantuan ilahi dalam
diri mereka dapat berdiri bangunan rohani segala keutamaan….Betapa hebatnya
murid-murid Kristus yang baru itu berkobar-kobar karena cinta kasih! Betapa besar
cinta kepada persekutuan suci itu hidup dalam hati mereka! Sebab bila mereka
berpapasan di mana saja atau seperti lazimnya saling berjumpa di jalan, maka
74
terlepaslah anak panah cinta kasih atas, yang di atas segala kecenderungan hati
kodrati menaburkan benih cinta kasih yang sejati, (1 Cel 38).
Dengan menjadi dina, para Saudara menjalankan suatu perutusan yang
penting dalam Gereja Kristus. Melalui gaya hidup yang sederhana, rendah hati, dan
kesediaan untuk menjadi yang terakhir, mereka menunjukkan maksud mengikuti
Kristus dan hidup Kristen. Hal ini diungkapkan Fransiskus ketika menanggapi
rencana Kardinal Hugolinus untuk mereformasi Gereja, termasuk di dalamnya
rencana untuk mentahbiskan para Saudara menjadi uskup. Katanya, “Saudara-
saudaraku disebut dina agar mereka tidak menganggap diri lebih besar. Panggilan
mereka mengajarkan untuk tetap bertahan pada kedudukan rendah dan untuk
menghasilkan buah, biarkan dan pertahankanlah mereka dalam keadaan sebagaimana
mereka dipanggil dan dibawalah mereka kembali ke kedudukan sebagai bawahan,
miskipun mereka tidak mau” (2 Cel 148). Demikian para saudara melayani Gereja
dalam kerendahan.
Dengan setia kepada nilai-nilai persaudaraan dan kedinaan, para Saudara
memenuhi “misteri Injil”. Mereka menjadi “terang” yang membimbing manusia
berdosa kembali kepada cinta Yesus Kristus, (Bdk. 2 Cel 155, 157). Dengan
mewujudkan kesempurnaan hidup Kristen dalam hidup, Fransiskus dan para Saudara
sedang memperbaharui dunia lama yang telah ternoda oleh dosa, (3 Cel 1).
Tugas perutusan kongregasi SMFA adalah menghidupi Kabar Gembira Tuhan
kita Yesus Kristus di tengah umat, agar dengan kehadiran para Suster Misi
Fransiskanes Santo Antonius, pengharapan akan penyelamatan dinyatakan, (Konst
SMFA, Art. 3.1).
75
Sesuai dengan maksud Pendiri SMFA Gerardus van Schijndel, SMFA tetap
memilih semangat missioner dalam tugas perutusan. Semangat itulah yang mau
dipertahankan dan dihayati secara khusus. Tentulah dalam perwujudan tugas
perutusan masa sekarang lain dari pada situasi zaman Pendiri dan suster-suster
perdana, (Konst SMFA, Art, 3.2).
Sepadan dengan norma Injil, SMFA mau mengarahkan cinta, pertama-tama
kepada mereka yang menerima cinta dan perhatian dari Yesus sendiri: yaitu orang
miskin, sakit, cacat, kesepian, mereka yang karena satu dan lain hal berada di
pinggiran masyarakat dan gereja, atau karena keadaan lain tidak mempunyai harapan
lagi akan hidup dalam kegembiraan secara manusiawi, (Konst SMFA, Art. 3.3).
Sifat Gereja adalah missioner di mana-mana, baik di negeri cikal bakal
kongregasi SMFA maupun di negeri di mana Gereja minta bantuan untuk membawa
Kabar Gembira, SMFA mau melaksanakan perutusan missioner itu. Di mana saja
SMFA hidup dan berkarya, SMFA tetap secara spontan memilih untuk orang lemah,
miskin, tertindas dan solider dengan mereka. Bersama dengan mereka, SMFA akan
mencari jalan untuk mengubahnya, agar Kerajaan Allah terwujud di dunia masa
sekarang. Setiap jenjang usia, tua atau muda, sakit atau sehat, tidak menjadi
hambatan bagi kita untuk berkarya demi perkembangan Kerajaan Allah; dengan tetap
memberikan sumbangan bagi pembangunan komunitas persaudaraan, memiliki
mentalitas missioner, perhatian untuk orang miskin dan lemah, didukung dengan
semangat doa yang tinggi, dengan demikian tugas perutusan sungguh dapat di
laksanakan dan diwujudnyatakan dalam hidup dan karya di mana pun SMFA berada.
(Konst SMFA, Art. 3.4).
76
Refleksi di atas menunjukkan bahwa perutusan para Saudara tidak terbatas
pada diri mereka sendiri tetapi juga untuk orang lain. Fransiskus telah memilih untuk
tidak hidup bagi dirinya sendiri, tetapi bagi Dia yang telah wafat untuk semua orang,
sebab ia tahu, bahwa ia diutus untuk merebut jiwa-jiwa yang hendak merampas setan,
(Bdk. 1Cel 35). Di tempat lain dilaporkan bahwa Fransiskus mengajak para Saudara
untuk mengantar banyak orang kepada Allah. “Saudara-saudara terkasih, mari kita
merenungkan panggilan kita yang dengannya Allah yang berbelas kasih memanggil
kita, tidak hanya guna penyelamatan kita sendiri, tetapi juga guna penyelamatan
banyak orang. Kita dipanggil untuk melakukan pertobatan karena dosa mereka dan
terus mengingat perintah Allah. Jangan takut oleh karena kita nampaknya tidak
seberapa dan tolol. Sebaliknya, hendaklah kalian dengan mantap dan sederhana
mewartakan pertobatan sambil percaya kepada Tuhan yang mengalahkan dunia.
Memang , Dialah yang dengan Roh-Nya berkata-kata melalui kalian dan dalam kalian
guna mengajak semua orang, agar berbalik kepada-Nya dan menepati perintah-Nya”,
( KKS X: 36). Sekali lagi kesaksian ini menunjukkan isi hati Fransiskus dan
pandangannya mengenai sifat dan perutusan ordo yang dirikannya.
F. Rangkuman
Kesadaran bahwa para Saudara merupakan sebuah “bangsa baru”, Israel baru”
dan bahwa Tuhan mempercayakan kepada mereka suatu pengutusan rohani bagi
Gereja dan dunia, membedakan mereka dari gerakan-gerakan kerasulan sebelumnya.
Konsep tentang para Saudara awal ini sangat sederhana dan penuh imajinasi. Mereka
melampaui gambaran gerekan-gerakan sebelumnya, seperti Hugo dari St Victor,
Stepahanus dari Thiers-Muret, Robertus dari Arbrisel, Bernardus dari Thiron dan
77
kaum Waldensen, yang mendasarkan diri pada model para rasul dan Gereja Perdana.
Mereka percaya bahwa mereka adalah alat khusus Tuhan dalam sejarah keselamatan
yang sedang berlangsung.
Secara sepintas agak mengejutkan bahwa mereka yang miskin dan tak
terpelajar memiliki pandangan yang sedemikian luhur. Namun, sebenarnya
kepercayaan mereka merupakan konsekuensi logis dari kesetian mereka kepada Injil.
Mereka “mengosongkan diri” dari semua harta, ikatan, dan kekhawatiran duniawi.
Dengan demikian mereka menyediakan di dalam hatinya suatu kediaman bagi Tuhan
di mana Dia dapat mengatur hidup mereka. Dengan kata lain, para saudara
menyerahkan diri sebagai alat yang dapat digunakan sesuai dengan kehendak Tuhan
sendiri.
Kepercayaan diri yang dimiliki oleh Fransiskus dan para Saudara berasal dari
pengalaman nyata mereka akan kebaikan dan cinta Tuhan. Tuhan telah menggunakan
mereka sebagai alat untuk mencapai tujuan-Nya, yaitu menyelamatkan banyak orang.
Kepercayaan ini tidak tampak dalam kelompok-kelompok kerasulan sebelumnya.
Para Saudara menyadari bahwa kekuatan Tuhan dalam diri manusia sangat
kuat dan efektif, bila manusia itu mengakui kelemahan dan ketergantungannya
kepada-Nya. Dengan menjadi hina dina, mereka melaksanakan keutamaan dan
menerima janji yang digambarkan dalam Mazmur:
“Percayalah kepada Tuhan dan lakukanlah yang baik, diamlah di negeri dan berlakulah setia, dan bergembiralah karena Tuhan; maka Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu. Serahkanlah hidupmu kepada Tuhan dan percayalah kepada-Nya, dan Ia akan bertindak; Ia akan memunculkan kebenaranmu seperti terang, dan hakmu seperti siang”. (Mzm 37 : 3-6).
78
Namun demikian keparcayaan yang dimiliki para Saudara berkaitan dengan
perutusan yang mereka terima hanyalah merupakan persoalan teoretis. Dalam
kenyataan, para Saudara melakukan pelayanan yang beraneka ragam dalam dan untuk
Gereja.
Kemanapun dan dimanapun Gereja membutuhkan, para Saudara menyediakan
diri untuk melayani. Sebagai contoh, mereka diutus untuk berkotbah kepada pasukan
perang salib, sebagian lagi dikirim sebagai misionaris untuk mempertobatkan kaum
Tartar; yang lain lagi diutus untuk membawa firman Tuhan kepada kaum serasen dan
orang-orang tak beriman. Perutusan ini merupakan konsekuensi logis dari kesetiaan
para Saudara kepada hidup Injili, khususnya berkaitan dengan perutusan Kristus. Hal
ini membuat Takhta Suci menyadari bahwa mereka dapat menjadi duta besar dan
misionaris yang efektif, khsususnya dalam menghadapi kaum bidaah. Para Saudara
menjadi lebih berguna bagi Gereja karena mereka mengikuti “kesederhanaan Juru
Selamat kita”. Demikian kata Paus Innocentius IV, (Bullarium Franciscanum hlm
359).
Menjadi sahabat orang lain berarti mau menerima segala kekurangan dan
kelebihan dirinya. Sebab dalam diri manusia selalu ada kekurangan dan kelebihan.
Sehebat-hebatnya seseorang pasti ada kekurangannya. Demikian juga sebaliknya,
dalam diri seseorang pasti ada hal yang baik karena diciptakan oleh Allah menurut
citra-Nya. Karena itu kehadiran orang lain sangat diperlukan untuk saling mengisi
kelebihan dan memperbaiki kekurangan.
Pada dasarnya manusia tidak bisa hidup sendiri. Pasti ia membutuhkan orang
lain. Kehadiran orang lain sangat membantu dalam pengembangan pribadi untuk
semakin dewasa. Orang lain yang dihadapinya mempunyai watak dan
79
pembawaannya sendiri yang dipengaruhi oleh latar belakang keluarga dan lingkungan
di mana dia tinggal. Keadaan ini kadang-kandang menjadi hambatan dalam pergulan,
misalnya: sikap sombong/ angkuh, masa bodoh, malu, malas, keadaan ekonomi,
kepandaian dan lain sebagainya.
Namun ada orang yang suka menyendiri, ada yang dengan kukuh
mempertahankan pendapatnya dan ada yang senang bergabung dengan orang lain.
Semua ini merupakan tantangan dalam pergaulan kita. Perbedaan pendapat dalam
kelompok dapat membuat suatu acara tidak berjalan dengan baik. Perbedaan pendapat
sebenarnya wajar, tetapi tidak berarti memaksakan ide kepada orang lain. Hal-hal
seperti itu biasanya akan menghambat hubungan persaudaraaan. Kita perlu
mendengarkan dan menghargai pendapat orang lain. Dengan sikap itu, orang yang
malu akan tampil dan berani mengemukakan isi hatinya. Suatu persaudaraan akan
terjalin dengan baik jika kita mampu mengatasi perbedaan-peberdaan yang ada.
Artinya kita tidak perlu memilih teman berdasarkan senang dan tidak senang, orang
yang sepaham dengan kita.
Setiap orang memiliki kemampuan untuk memperbaiki diri dalam pergaulan.
Dalam pergaulan, kita tidak sekedar menambah teman, tetapi dapat mendewasakan
diri. Sebab dalam pergaulan itu kita berhadapan dengan orang-orang yang berbeda
dan mempunyai wataknya sendiri, dan kita dapat belajar menghagai orang lain.
Suatu persaudaraan akan sunguh-sungguh bermakna jika didasari cinta kasih
yang tulus. Seseorang melanyani bukan karena senang atau karena tidak senang,
melainkan karena cinta. Memang sulit untuk dilaksanakan sepenuhnya. Akan tetapi,
kita mencoba menerima kehadiran oramg lain apa adanya, menghargai pendapat
teman, berani mengakui kesalahan, menerima kritikan teman, meminta maaf jika
80
berbuat salah, dan sebagainya. Semuanya itu merupakan sarana untuk membentuk
suatu persaudaraan.
Dalam cerita tentang Fransiskus dan saudara-saudaranya dapat kita lihat
bahwa mereka mempunyai ikatan batin yang kuat satu sama lain. Mereka mempunyai
kerinduan yang besar untuk berkumpul bersama kembali saat berjauhan. Mereka
tidak hanya kumpul, tetapi saling menceritakan pengalaman mereka selama
melaksanakan tugas yang diberikan oleh Fransiskus. Mereka bergitu akrab satu sama
lain. Mereka saling menghargai bakat atau kemampuan sesama. Mereka bersikap
terbuka sehingga tidak ada ganjalan dalam hati mereka. Atas semuanya itu mereka
bersyukur kepada Tuhan yang memberikan segala yang baik kepada mereka. Dalam
hubungan Fransiskus dengan para saudaranya itu tampak suatu ikatan batin yang
kuat. Karena persaudaraan yang baik itu, mereka selalu hidup damai dan penuh cinta
kasih. ( SEKAFI, Bhn. Katekese, hal. 31-33).
Di dalam kongregasi SMFA para anggota saling memerlukan untuk mencapai
kepenuhan dalam Kristus. Karena anugerah itu anggota berbeda sesusai dengan
rahmat yang diberikan kepada kita secara pribadi. Kesatuan diungkapkan dalam
keanekaragaman, perbedaan dalam komunitas adalah suatu kekayaan.(Konst SMFA,
Art. 2.3). Yesus berkata kepada para muridNya: “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya
kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu”. Santo Fransiskus dari
Asisi dan Pastor Gerardus van Schijndel percaya sepenuhnya, bahwa Injil Tuhan kita
Yesus Kristus merupakan penggerak dan motivasi dasar hidup SMFA, baik sebagai
pribadi maupun komunitas dan kongregasi. Sabda Yesus tentang “saling mengasihi” ,
agar menjadi perhatian serius dari setiap anggota kongregasi SMFA. (Konst SMFA,
Art. 2.4).
BAB V
MAKNA KESAKSIAN PERSAUDARAAN SEJATI
UNTUK ZAMAN SEKARANG
Kita telah melihat arti dan paham tentang persaudaraan sejati kita juga telah
melihat bagaimana Fransiskus Asisi mencoba memberikan paham persaudaraan sejati
dalam pengalaman hidupnya sehari-hari, sesuai dengan hubungan dan konteks
zamannya. Sebuah pertanyaan muncul di dini. Bagaimana persaudaraan sejati bisa
diupayakan dalam konteks zaman sekarang? Motivasi dasar apa yang mesti dibangun
untuk mewujud nyatakannya dalam hidup sehari-hari.
A. Nilai – Nilai Persaudaraan
Mengenai nilai persaudaraan, unsur yang penting untuk hidup religius ini,
Anggaran Dasar hendak mengetengahkan nilai-nilai fundamental Injil dan sekaligus
pengarahan khusus. Pertama melukiskan dasar rohani untuk hubungan persaudaraan
dan yang kedua menunjukkan perlindungan atau obat kalau hubungan itu rusak atau
terancam. Demi cintakasih Allah, hendaklah saudara-saudari saling mengasihi, sesuai
dengan firman Tuhan: “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi,
seperti aku telah mengasihi kamu” (Yoh 15, 12). Dan hendaklah mereka
menunjukkan dengan perbuatan bahwa mereka saling mengasihi. Yang satu
hendaknya dengan leluasa menyatakan kebutuhannya kepada yang lain, agar yang
lain itu menyadari apa yang dibutuhkan yang satu itu, serta memberikannya, (WasKl
18; ADTB IX, 10). Berbahagialah mereka yang begitu mengasihi seorang saudara
81
82
yang sakit, yang karena tidak mampu membalas kasih mereka, sama seperti bila
saudara itu sehat, dan mampu membalas kasih mereka, (Pth XXIV).
B. Pergulatan Nilai Zaman Sekarang
Hidup religius haruslah dihayati dalam terang Tuhan. Sehari-hari dalam terang
Tuhan berarti setiap hari hidup dihadirat Allah. Allah dijadikan satu-satunya andalan
hidupnya. Dan Allah menjadi daya penerang yang menuntun hidup religius itu
sendiri. Semangat kebangkitan Tuhan, yakni Tuhan yang hidup dan tinggal diantara
kita haruslah tetap menjadi semangat hidup, semangat untuk bersama di dalam
komunitas. Kalau Tuhan hidup di dalam diriku, dalam dirimu dan dalam setiap orang,
maka akan ada suatu respek, rasa hormat dan saling menghargai. Dasar ini harus tetap
menjadi pedoman yang jelas, khususnya dalam menghayati bersama frofesi religius
kita.
Hidup religius akan hancur, khususnya dalam hidup persaudaraan bila tidak
kesadaran yang matang akan kehadiran Allah di dalam sesamannya itu. Kalau
kehadiran Allah tidak disadari ada di dalam setiap sesama religius dalam komunitas,
maka, akan muncul berbagai tindakan yang mengarah kehancuran hidup komunitas.
Sisi kritis di dalam hidup komunitas tidak jarang kita temui tantangan ini: Iri hati,
cemburu, tidak menyukai atau bahkan membenci, berlomba-lomba dalam adu
kesombongan, keangkuhan dan pengaruh serta mencari pengikut; kurang adanya
sikap rendah hati. Hal ini merupakan suatu penyakit, yang kalau tidak segera
diselesaikan, akan tetap menggerogoti cinta cita hidup religius, yang mau
menyempurnakan injili. (Martino Sardi, hlm.14-15).
83
Religius dewasa ini kurang menampakan Persaudaraan Sejati sebagaimana
yang diharapkan oleh Yesus sendiri yaitu: “hendaklah kamu sehati sejiwa,
seperasaan, misalnya: ada yang kurang bisa menerima pendapat orang lain, ada pula
yang terkurung dalam diri sendiri. Dilihat dari segi positifnya: ada banyak religius
yang baik, menyakinkan dan pantas diteladani: semangat doanya, dedikasinya,
kerelaannya untuk membantu orang lain, perhatiannya terhadap sesama, ramah. Jika
dilihat dari segi negatifnya: kaum religius memberi kesan kurang tulus, pilih-pilih
dalam persaudaraan, sombong, mahal senyum dan mahal sapaan terhadap sesama dan
kurang membaur dengan yang lain (menyediri). (Mkl. Y.Kea Kebu, OFM)
Persaudaraan religius di zaman sekarang perlu direformasi baik dalam
kesaksian hidup, doa, persaudaraaan dan pelayanaan, kerelaan untuk memberi diri
sebagai seorang religius. Kesaksian hidupnya sudah kurang menarik lagi ini dapat
dilihat betapa minimnya kaum muda mau hidup membiara dibandingkan tahun yang
sudah-sudahnya, ditambah sudah banyaknya hal yang lebih menarik lewat
perkembangan tehnologi yang semakin canggih ini. Dengan demikian sangat
mempengaruhi kehidupan para religius seperti; hidup doa pun kurang mendalam. Doa
bukannya atas kesadaraan pribadi tetapi hanya bersifat rutinitas saja dilaksanakan,
sekedar menjalankan kewajiban karena sudah terjadualkan atau karena ada yang lebih
tua yang melihat maka berdoa. Jadi dapat dikatakan bahwa hidup doanya dangkal
sekali dan itu mempengaruhi hidupnya sehari-hari. (Mkl. Y.Kea Kebu, OFM)
Penulis mengatakan dengan semangat doa yang rendah mempengaruhi
persaudaraan sehari-hari yang sepertinya hanya bersifat basa-basi saja. Mengapa?
Karena sudah ada hal yang lebih penting antara lain belum dapat menggunakan
sarana yang ada pada tempatnya seperti: Hp yang sekarang ini sangat didewakan
84
manusia dan termasuk para kaum religius sehingga persaudaraan antara sesama yang
ada di depan mata kurang mendapat perhatian yang sepenuhnya, karena lebih
mengutamakan alat canggih tersebut ketimbang sesama yang ada di depannya. Ini
sangat mempengaruhi tergur-sapa antara satu dengan yang lain hanya sebatas basa-
basi saja, semangat untuk mendengarkan, perhatian, keramah tamahan antar sesama
tidak lagi dengan sepenuh hati dan semangat ini sudah mulai memudar. Orang
cenderung untuk menyendiri dan sibuk dengan diri sendiri dari pada berkumpul
bersama, rekreasi bersama, doa bersama dan sebagainya. Hal ini sangat
memperihatinkan sekali bagi kaum religius yang mana dalam hidup membiaranya
mengutamakan persaudaraan, sementara semangat itu sudah mulai lengser. Untuk
mengatasi semuannya itu perlu suatu tindakan yang konkret demi terwujudnya suatu
persaudaraan sejati di zaman ini.
C. Peluang Kesaksian SMFA
Tujuan hidup SMFA adalah mengejar kesempurnaan Injili, hidup dalam
kebersamaan sebagai saudari di komunitas yang dipanggil dan dipersatukan oleh
Kristus. SMFA hendaknya memberi kesempatan kepada setiap anggota melalui hidup
religius dan tugas missioner menyuburkan cinta kasih Tuhan khususnya kepada
mereka yang kecil. Panggilan dan ciri khas kongregasi SMFA adalah bersemangat
kontemplatif, yaitu hidup sebagai seorang pendoa, dan bercorak aktif serta terbuka
akan tanda-tanda dan tuntutan zaman. (Stat SMFA, Fsl;3 Art. 1).
Pendiri kongregasi bertujuan agar kongregasi SMFA pertama-tama berkarya
“ke misi jauh”, ke negara yang sedang berkembang, ke dunia ketiga. Arti misi itu
bagi SMFA sekarang, bukan hanya jauh menurut waktu, tempat dan jarak secara
85
geografis, melainkan semangat misi dalam arti luas, keluar SMFA sendiri untuk
melayani orang-orang yang belum terjangkau oleh pelayanan pihak lain. Sebagai
“Suster Rakyat “ SMFA hidup di antara masyarakat yang biasa. Dalam hidup SMFA
yang bersahaja dan sederhana, dengan semangat persaudaraan, SMFA
menumbuhkembangkan sikap solider, membela dan menyadarkan mereka akan
haknya dan berjuang bersama mereka untuk mendobrak mentalitas ketergantungan
serta menangani masalah yang timbul. (Stat SMFA, Fsl;3 Art. 2).
Sebagai kongregasi yang bertujuan untuk melayani dan berpihak kepada
orang kecil, kita menjalankan panggilan dan perutusan bersama Kristus, dalam
semangat missioner Santo Fransiskus dan cita-cita Pastor Pendiri. Sebagai suster
rakyat yang bersemangat missioner memprioritaskan karya di daerah miskin dan
hidup diantara orang biasa. Kondisi SMFA yang masih berziarah ini, adalah
menjalankan panggilan dan perutusan Kristus bersama para suster lain dan seluruh
umat yang dilayani. (Stat SMFA, Fsl;3 Art. 3).
Mewujudnyatakan panggilan bersama dalam pelayanan pastoral dasar
Gerejawi, dengan cara ambil peran aktif dalam reksa pastoral di mana saja SMFA
berada. Setiap anggota merelakan diri untuk mengerjakan tugas apa saja demi
pelayanan kongregasi kepada orang lain, sekalipun perkerjaan itu kecil dan tidak
mencolok di mata dunia. (Stat SMFA, Fsl;3 Art. 4).
Menghadapi jaman yang sedang berkembang sangat pesat ini kongregasi
SMFA ditantang dalam menghadapi dunia ini. Terutama sebagai “Suster Rakyat”.
Dalam menghadapi zaman ini tidak mudah untuk memberi kesaksian yang nyata
dimata sesama dalam komunitas, kongregasi dan masyarakat secara umum itu tidak
86
gampang, ditambah banyaknya tuntutan dari para anggota yang semakin tahun
semakin banyak ini. (Stat SMFA, Fsl;3 Art. 5).
D. Perlunya Pembinaan Semangat Persaudaraan
Pembinaan para anggota Suster Misi Fransiskanes Santo Antonius tidak
pernah selesai, tetapi berkelanjutan dalam suatu proses bersama, dimana SMFA terus
menerus peka akan pengalaman hidup dalam Gereja dan masyarakat. Dalam sikap
terbuka dan kritis, SMFA mencoba saling membantu dan memahami bagaimana
gambaran Allah dan kejaraanNya dapat terwujud sebaik mungkin dalam diri kita
masa sekarang. SMFA perlu saling mendukung dalam usaha kita menuju kepanuhan
hidup yang menjadi panggilan Tuhan, baik bagi kita pribadi maupun sebagai
kelompok (Konts SMFA Art.4.30).
Persaudaraan berarti adanya hubungan yang harmonis antara manusia seperti
halnya hubungan kakak-adik dalam satu keluarga. Dalam hubungan persaudaraan itu
diandaikan orang mampu menerima kehadiran orang lain apa adanya dengan segala
kekurangan dan kelebihannya. Sikap seperti itu dapat menghindarkan rasa curiga,
benci, iri hati, cemburu dan lain sebagainya. Jadi, dalam suasana persaudaraan orang
dapat bergaul dan berkomunikasi seakan-akan mereka berasal dari satu keluarga yang
sama.
Hal yang penting dalam hubungan persaudaraan adalah berani mengakui dan
menghormati kelebihan orang lain dan dengan jujur mengakui dan menghormati
kekurangan diri sendiri. Suatu kelompok akan sungguh berarti jika anggotanya
mampu hidup rukun dan damai tidak saling mencurigai, dan mau menerima kritikan
orang lain. Penguasaan diri ini sangat penting agar tidak terjadi pertengkaran dan
87
perkelahian. Rasa percaya sangat penting, dan perlu terus dibina. Sebab segala
pertikaian muncul dari rasa curiga, iri hati dan tidak membuka diri untuk kehadiran
orang lain.
Fransiskus dari Asisi mempunyai cita-cita yang sangat mulia. Dia
menghendaki para pengikutnya hidup kompak, saling menghormati dan menghargai.
Hanya dengan saling menghargai, kita dapat menerima orang lain apa adanya.
Persaudaraan sungguh-sungguh berarti bila orang mampu hidup damai dan saling
menghargai. Fransiskus menasehati saudara-saudaranya agar menghidari
pertengkaran, apalagi perkelahian. Baik kiranya kalau kita belajar hal itu dari
Fransiskus supaya kita tahu, dan untuk menghidupkan semangat tersebut dibutuhkan
proses pembinaan yang terus-menerus. Dengan demikian kesaksian sungguh dapat
diwujudnyatakan pada setiap pribadi dalam hidup sehari-hari. Di mana zaman
sekarang kesaksiaan akan semangat persaudaraan sangat dibutuhkan secara khusus
dalam kongregasi SMFA oleh para Suster Misi Fransiskanes Santo Antonius baik itu
dalam kongregasi, komunitas dan di masyarakat sebagai suster rakyat. Dan untuk
tetap menghidupi semangat persaudaraan itu perlu adanya suatu pembinaan lanjut
yang terus menerus di tingkatkan.
1. Latar Belakang Pembinaan Sebagai Penghayatan Persaudaraan
Munculnya masalah yang menghambat persaudaraan sejati dalam hidup
membiara kiranya menjadi latar belakang perlunya diadakan suatu pembinaan. Hal ini
diperlukan karena di dalam pembinaan orang dibantu untuk mengenal masalah, baik
yang ada di luar maupun di dalam situasi hidupnya. Singkat kata, maksud pembinaan
adalah untuk melihat sisi-sisi positif dan negatifnya serta menemukan penyelesaian
yang memungkinkan.
88
Pembinaan dapat memunculkan dan menguatkan motivasi seseorang serta
mendorongnya untuk mengambil tindakan dan melaksanakannya. Di dalam
pembinaan orang dibantu untuk mendapatkan dan mengembangkan kecakapan yang
dibutuhkan dalam mencapai tujuan dan sasaran yang mau dituju (Mangunhardjana,
1986: 14). Oleh karena itu, pembinaan merupakan salah satu cara untuk
meningkatkan kualitas atau mutu hidup seseorang.
Maka diharapkan melalui pembinaan masalah yang muncul dan menghambat
persaudaraan, seperti: kurang keterbukaan, kurang semangat pengampunan dan
mengakui kesalahan, egoisme, fanatisme, prasangka dan curiga, yang terjadi di dalam
biara bisa diatasi. Begitu pula nilai-nilai yang mendukung persaudaraan, seperti: cinta
kasih, keadilan, solidaritas, toleransi dan perdamaian yang sudah dimiliki dalam
biara, dapat semakin dikembangkan. Dengan demikian relasi persaudaraan semakin
mendalam dan berakar pada nilai-nilai universal.
2. Tujuan Pembinaan
Pembinaan merupakan proses belajar untuk memberi, menerima dan
mengolah informasi yang diterima serta memperkembangkannya dalam hidup dan
karya (Mangunhardjana, 1986: 12). Pembinaan semangat persaudaraan dalam biara
perlu diarahkan kepada spiritualitas persaudaraan yang mendalam, yaitu spiritualitas
yang berakar pada kesatuan dengan yang ‘Transenden’, seperti yang dihidupi oleh
Fransiskus Asisi. Oleh karena itu tujuan dari pembinaan adalah:
a) Terbuka Terhadap Tuhan dan Sesama
Bersikap terbuka terhadap Tuhan dan sesama lebih dimaksudkan pada
keberanian untuk tampil atau hadir apa adanya dengan segala kerapuhannya,
sekaligus juga keberanian untuk mengoreksi, memperbaharui dan
89
memperkembangkan hidupnya. Hal ini sangat diperlukan dalam membangun relasi
persaudaraan sejati. Keterbukaan membuat orang berani untuk selalu mengoreksi diri,
mengakui kesalahan dan dengan demikian orang semakin berani untuk tumbuh dan
berkembang dalam membina relasi persaudaraan dengan orang lain.
Adanya hambatan dalam mengembangkan persaudaraan di dalam biara,
kerapkali terjadi karena orang tidak berani bersikap terbuka. Orang menjadi picik dan
hanya berpusat pada dirinya sendiri, kelompok, suku atau golongannya. Kurangnya
keterbukaan membuat orang mengunakan topeng-topeng atau membangun segala
macam mekanisme pertahanan, guna menutupi kelemahan dan kekurangannya,
sekaligus ketakutannya untuk ditolak. Oleh karena itu relasi yang terjalin sering kali
bersifat dangkal, hanya sampai pada taraf permukaan saja. Tidaklah heran, ketika
terjadi konflik, atau salah paham, relasi menjadi retak, putus bahkan berganti menjadi
dendam dan permusuhan. Orang pun menjadi mudah diasut oleh pihak lain.
Menyikapi hal tersebut, maka pembinaan kiranya perlu diarahkan kepada
kesadaran akan pentingnya bersikap terbuka kepada Tuhan dan sesama, seperti yang
diteladankan oleh Fransiskus Asisi membangun sikap terbuka, lebih-lebih terbuka
pada Tuhan, akan membantu orang masuk ke dalam inti hidup religius. Di dalam
keterbukaan pada Tuhan, orang memberi dirinya untuk dipimpin, dituntun oleh
Tuhan, sehingga seluruh hidupnya bergantung pada Tuhan. Tuhan menjadi sumber
kehidupan dan kekuatannya. Dalam kesatuan dengan Tuhan, seluruh hidup, sikap,
kata, perbuatan dan tingkah lakunya diresapi oleh kehendak Allah. Maka dalam
menjalin relasi persaudaraan dengan orang lain, ia mampu melihat sesamanya,
sebagai gambaran Allah, citra Allah. Pembinaan persaudaraan di dalam biara kiranya
perlu menghantar para suster SMFA sampai pada tujuan tersebut.
90
b) Memandang Perbedaan Sebagai Anugerah
Manusia tidak dapat hidup sendirian. Manusia selalu membutuhkan kehadiran
orang lain. Kehadirian orang lain sangat penting dalam rangka mengembangkan
pribadi yang dewasa. Persaudaraan akan sungguh berarti jika seseorang mampu
menerima kehadiran orang lain apa adanya. Artinya, kekurangan yang dimiliki tidak
menjadi halangan untuk bersaudara. Perbedaan justru sebagai suatu sumbangan yang
sangat berharga bagi kelompok. Fransiskus dari Asisi menjadi teladan: ia memandang
orang sama derajat, tidak membeda-bedakan, (SEKAFI, Feb 1998). Alasan perbedaan
atau keanekaragaman suku, budaya, merupakan anugerah tersendiri yang patut untuk
disyukuri. Perbedaan atau keanekaragaman tersebut potensi yang bernilai positif
untuk mengembangkan diri, peluang untuk saling melengkapi dan mempersatukan.
Akan tetapi, kalau itu tidak diterima dan disadari, perbedaan bisa juga menjadi
ancaman yang dapat memecah belah persatuan dan menonjolkan orang lain.
Salah satu penyebab munculnya hambatan dalam mengembangkan
persaudaraan di dalam biara adalah karena ketidakmampuan ini bisa memunculkan
terbentuknya kubu-kubu di dalam biara, akibatnya biara jatuh dalam perpecahan. Hal
tersebut kiranya menjadi potensi besar dalam memicu terjadinya konflik dan
permusuhan.
Oleh karena itu pembinaan semangat persaudaraan dalam biara perlu
diarahkan kepada kesadaran akan pentingnya menerima dan menghargai perbedaan
sebagai anugerah. Melalui pembinaan, mereka diantar kepada kesadaran bahwa di
dalam perbedaan orang bisa hidup dan berkembang menjadi dirinya sendiri. Tanpa
orang lain yang berbeda dengan dirinya, orang tidak bisa menjadi dirinya sendiri yang
unik dengan identitasnya unik pula. Adanya perbedaan membuat orang bisa saling
91
melengkapi dan memperkaya, apa yang ada pada orang lain, dan tak ada pada diri kita
masing-masing dapat melengkapi dan memperkaya diri kita. Dengan ini semua, orang
belajar untuk saling berbagi.
Menyadari perbedaan sebagai anugerah akan menumbuhkan dalam diri orang
sikap menghargai kehidupan. Dan itu secara jelas terumus dalam sikap menghargai
hak asasi orang lain. Menerima dan menghargai perbedaan membantu biara mencari
cara dalam menyelesaikan berbagai macam ketegangan yang muncul karena dengan
bijaksana dan menyelesaikannya secara damai. Menghargai dan menerima perbedaan
memampukan mereka untuk memandang keberadaan sesamanya sebagai saudara
yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Dengan demikian, terjadinya konflik yang
mengarahkan kepada perpecahan dalam biara dapat dihindarkan.
E. Nilai-Nilai yang Mendukung Persaudaraan
Keberadaan persaudaraan dalam biara sampai saat ini bisa tetap eksis, tak lain
dan tak bukan karena adanya nilai-nilai yang mendukung persaudaraan di dalamnya.
Nilai-nilai tersebut membantu para anggota mengatasi segala hambatan yang
mengoyak persaudaraan diantara mereka. Nilai-nilai tersebut adalah:
1. Cinta Kasih
Cinta kasih merupakan dasar untuk mewujudkan persaudaraan sejati. Tanpa
cinta kasih persaudaraan sejati tidak akan pernah terjalin, karena hakekat dari cinta
kasih adalah Allah. Cinta kasih mendorong orang untuk saling mendahului dalam
memberi hormat, melakukan apa yang baik bagi semua orang, dan hidup berdamai
dengan semua orang (Rom 12: 9, 17, 21). Didalam cinta kasih segala perbedaan
menjadi anugerah, maka sekalipun para anggota berasal dari suku, bahasa, budaya,
92
latar belakang yang berbeda, mereka tetap merasa satu dan bersaudara. Segala
persoalan yang muncul akibat dari perbedaan bisa diatasi dengan baik dan damai,
karena cinta kasih menjadi dasarnya (Masiya, 2003: 47-51).
Semangat cinta kasih yang dimiliki oleh biara memampukan mereka untuk
saling menerima, juga menerima orang lain apa adanya, sesuai dengan identitasnya
yang berbeda. Dan memang benar cinta kasih menemukan bentuknya yang paling
dalam, ketika kita mengasihi orang lain bukan pertama-tama karena dia sama dengan
kita (dalam hal agama, suku, golongan, budaya, dan seterusnya) melainkan karena ia
saudara kita, yang berasal dari satu Allah Bapa dan menerima panggilan yang sama.
2. Keadilan
Persaudaraan mendorong orang untuk bersikap adil terhadap sesamanya,
karena persaudaraan menjadikan individu lain, bagian dari hidupnya yakni sebagai
saudara. Adil berarti hormat terhadap hak-hak dan kewajiban-kewajiban asasi
manusia. Adil berarti juga tidak membeda-bedakan atau tanpa diskriminasi. Dengan
kata lain, adil menempatkan orang pada tempat yang semestinya, dengan tidak
melihat latar belakang, suku, budaya, dan stasus sosialnya. Di sini relasi dibangun
dengan menempatkan masing-masing dalam tataran subjek dengan subjek, bukan
dalam tataran dominasi – subordinasi (menjadi bawahan) yang bisa mengakibatkan
terjadinya penindasan terhadap satu dengan yang lainnya.
Nilai keadilan yang ada di dalam biara membantu para anggotanya untuk
memperlakukan anggota lainnya, sama dan setara dengan dirinya, tidak ada yang
lebih tinggi atau lebih rendah. Di sini, tidak ada pula yang lebih berkuasa atau yang
dikuasai, semua sama pentingnya dan mempunyai fungsi dan peranannya sendiri-
93
sendiri. Hal inilah yang membuat masing-masing anggota merasa memiliki dan
mencintai biara, karena mereka merasa dihargai dan dibutuhkan oleh biara.
3. Solidaritas
Solidaritas berasal dari kata ‘solider’ yang berarti mempunyai atau
memperlihatkan perasaan bersatu, senasib, sehina, semalu, atau rasa setia kawan (Tim
Penyusun Kamus, 1990: 853). Solidaritas sangat dibutuhkan untuk mempererat relasi
persaudaraan sejati. Dengan solidaritas, masing-masing orang bisa memahami dan
mengerti akan perasaan dan keadaan orang lain, dengan demikian orang bisa sehati
dan seperasaan terhadap orang lain, tidak mudah menghakimi dan memandang
negatif terhadap orang lain.
Sikap solidaritas yang ada dalam biara membantu memperkokoh pertalian
persaudaraan antar mereka, karena solidaritas mencakup keprihatinan bersama
terhadap sesama anggota yang kurang beruntung. Solidaritas menjadikan
kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan dari para anggota biara menjadi
kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan bersama.
4. Toleransi
Toleransi berasal dari bahasa latin ‘tolerare’ yang berarti menanggung beban,
memegang rasa. Toleransi merupakan tuntutan dalam kehidupan karena hakekat
kehidupan adalah bersifat jamak, floral. Harus disadari bahwa di dalam kehidupan
ada begitu banyak perbedaan dan keanekaragaman perbedaan: jenis kelamin, fisik,
sifat, kepribadian, ras, warna kulit, agama dan sebagainya. Maka toleransi adalah
hukum alam, karena tidak ada kehidupan yang tunggal, homogen, seragam, dan sama
(Masiya, 2003: 41).
94
Toleransi bisa dipahami semata-mata sebagai sikap orang yang mengalah,
membiarkan, memperbolehkan, atau sabar menahan diri, lapang dada terhadap
keyakinan, pandangan, kebiasaan, kelakuan orang lain yang berbeda bahkan
bertentangan dengan dirinya sendiri. Tentu itu tidak cukup, harus sampai pada
toleransi sejati. Toleransi sejati adalah sikap mau menghargai dan menghormati
adanya kesetaraan martabat dan hak-hak asasi setiap manusia, mengakui dan
menerima kebebasan dan hati nurani orang lain untuk berpandangan dan hidup
berbeda.
Nilai toleransi yang dihayati oleh biara, menjadi salah satu pilar yang
menopang kelangsungan hidup persaudaraan mereka. Sikap toleransi membantu para
anggota untuk menyadari dan menerima bahwa setiap orang diciptakan sebagai
pribadi, diberi akal budi, kebebasan dan hati nurani serta dituntut untuk bertanggung
jawab atas perbuatannya sendiri. Setiap orang bebas menurut hati nuraninya, untuk
menganut agama atau kepercayaan serta melakukan ibadah menurut imannya itu.
Sikap toleransi menjadikan perbedaan dan kemajemukan yang ada dalam
biara, tidak menjadi ancaman atau sumber konflik, melainkan sebagai suatu anugerah
yang menyempurnakan kekurangan masing-masing. Toleransi menjadikan
keanekaragaman menjadi menarik karena di dalam perbedaan, manusia bisa hidup
dan berkembang menjadi dirinya sendiri. Keberadaan orang lain bisa menjadi sasaran
objektivitas (sikap jujur) serta tolok ukur perbandingan dalam menjadikan dirinya
sendiri. Juga di dalam keanekaragaman orang tidak akan kehilangan iman dan
penghayatan iman, karena keberadaan orang lain dengan segala perbedaannya, juga
agamanya yang berbeda, menjadi sebuah tantangan iman menuju kedewasaan (Keraf,
2003: 57).
95
5. Perdamaian
Seluruh umat manusia merindukan damai. Damai tidak berarti tidak adanya
perang, tetapi damai lebih mendalam dan luas adalah ‘damai sejahtera’. Damai berarti
mengharapkan kebahagiaan yang utuh, sempurna, yang mencakup semua aspek hidup
manusia, mulai dari kebutuhan jasmani dan jaminan hidup, sampai keaspek-aspek
kerohanian yang paling mendalam. Dengan kata lain damai mencakup kesehatan
jasmani-rohani dan kemerdekaan dalam mengembangkan diri menjadi manusia yang
utuh dan sempurna.
Damai dapat dibangun dengan memajukan berbagai aspek hidup manusia dan
masyarakat, hidup berdamai dengan semua orang tanpa melihat ‘status’ hidupnya.
Dalam kelompok antar umat beriman, nilai perdamaian yang dimiliki biara,
mendorong para anggota untuk menciptakan suasana damai di dalam kebersamaan
dengan saling tegur sapa, menghindari persaingan dan perselisihan, serta saling
mengampuni dan memberi ampun.
F. Hal-Hal yang Menghambat Persaudaraan
Di samping nilai-nilai yang mengembangkan persaudaraan yang ada di dalam
biara, ada juga nilai-nilai yang menghambat persaudaraan. Nilai-nilai ini menjadikan
putusnya sebuah relasi, terkoyaknya sebuah persaudaraan, bahkan bisa menimbulkan
dendam yang melahirkan kesengsaraan. Kelompok-kelompok, paguyuban-paguyuban
baik yang terbentuk karena kesamaan (suku, agama, budaya, profesi, status sosial,
dan seterusnya) maupun yang bersifat universal (lintas agama, suku, budaya, latar
belakang, status sosial, dan lain-lain) bisa terpecah, mati, vacum dan ditunggangi oleh
kepentingan-kepentingan lain, bila nilai-nilai yang menghambat persaudaraan masih
96
terus bercokol di dalam biara. Nilai-nilai yang menghambat persaudaraan tersebut
adalah:
1. Kurang Mengampuni
Kehidupan bersama baik di dalam komunitas, kelompok, paguyuban ataupun
dalam masyarakat sering menjadi kurang harmonis, karena semangat persaudaraan
sejati yang menjadi dasar dalam hidup bersama sering dicemari oleh kelemahan dan
kesalahan pribadi. Kelemahan atau kesalahan tersebut sering menjadikan
persaudaraan menjadi renggang. Maka untuk mengembalikan relasi keadaan semula
mutlak diperlukan sikap saling mengampuni dalam kehidupan sehari-hari menjadi
syarat utama dalam membangun hidup berkomunitas, karena tidak mungkin ada cinta
kasih yang tulus dalam komunitas, paguyuban, kelompok, bila salah satu anggota ada
yang memendam marah dalam dirinya.
Dalam realita kehidupan, sikap saling mengampuni, meminta maaf ataupun
memberi maaf terasa sangat sulit, dan hal ini juga terjadi dalam biara. Kecendrungan
yang terjadi, orang mudah mendendam dan balas dendam. Ketidakmampun dalam
memberi maaf atau meminta maaf menjadikan orang sakit hati dan tersinggung. Hal
ini bisa berdampak negatif. Dalam biara yang terjadi adalah biasanya anggota yang
sakit hati tidak aktif lagi di berbagai kegiatan kelompok dan ada kemungkinan untuk
menjauhkan diri dari kelompok atau keluar dari keanggotaan kelompok.
Begitu pula, bisa terjadi orang yang sakit hati menghasut pihak lain dengan
membicarakan atau menyebarluaskan kelemahan dan kesalahan orang lain, demi
mencari pembenaran atau pengakuan diri. Maka sering terjadi pengelompokan atau
‘kubu-kubu’ yang membawa kearah perpecahan, dan hal ini tentu menjadi
penghambat terjadinya persaudaraan sejati di dalam biara maupun dalam masyarakat.
97
2. Kurang Keterbukaan
Kecenderungan manusia adalah takut untuk bersikap terbuka. Keterbukaan
terkadang beresiko dijauhi atau dibenci orang lain. Dalam hidup bersama,
keterbukaan menjadi salah satu nilai yang sangat diperlukan untuk menghidari
prasangka atau curiga yang tidak beralasan. Sikap kurang terbuka menjadi
penghalang dalam hidup bersama karena orang sering mendendam apa yang menjadi
permasalahan dan akhirnya menggerutu di belakang, membicarakan kejelekan orang
lain.
Dengan demikian jelas, bukan penyelesaian yang didapat tetapi keretakan atau
putusnya persaudaraan. keterbukaan menuntut kejujuran, sikap saling menghargai dan
saling mempercayai. Tidak adanya keterbukaan dalam biara dapat menimbulkan salah
paham dan prasangka negatif terhadap satu dengan yang lainnya. Hal ini bisa terjadi
mengingat para anggota berasal dari suku, budaya, bahasa, latar belakang sosial yang
berbeda. Misalnya menghargai pendapat orang lain. Ini suatu pekerjaan yang tidak
mudah. Kadang-kadang karena merasa lebih pandai, orang mengabaikan pendapat
teman lain. Dia cenderung memaksakan pendapatnya agar diterima oleh semua orang.
Supaya bisa menghargai pendapat orang lain, perlu berlatih terus-menerus;
mendengarkan, mengalahkan keinginan sendiri dan lain sebagainya. Jika ini bisa
diatasi, maka sikap menghargai pendapat orang lain akan muncul dengan sendirinya.
Perbedaan pendapat dalam kelompok dilihat sebagai hal yang wajar untuk
mendapatkan kata mufakat. Dengan demikian keputusan yang diambil bukanlah
pendapat satu orang, melainkan keputusan bersama atau keputusan kelompok.
(SEKAFI, 1998 hal.26)
98
3. Egoisme
Hambatan dari persaudaraan adalah egoisme yang tampil dalam mengambil
sosok nafsu mencari keuntungan dan kekuasaan sendiri dan kelompoknya. Egoisme
merupakan sikap mementingkan diri sendiri. Di sini, segala sesuatu dipusatkan pada
dirinya sendiri, asyik dengan dirinya sendiri.
Egoisme menyebabkan kesengsaraan hati nurani, dan juga menyebabkan
orang tidak lagi mempunyai kepekaan terhadap orang lain, tidak bisa merasakan apa
yang dirasakan orang lain, sulit untuk sehati – seperasaan dan solider dengan orang
lain.
Dalam hidup bersama, dalam biara, sikap egoisme menjadi penghabat dalam
mewujudkan persaudaraan karena pribadi tersebut, hanya akan mau berelasi dengan
orang lain sejauh itu menguntungkannya. Relasi persaudaraan diukur dengan kaca
mata ekonomi, untung – rugi, senang-tidak senang. Hal ini menjadikan persaudaraan
di dalam biara menjadi semu, dan anggota yang dianggap ‘tidak menguntungkan’
akan tersingkir dan terpojokkan. Oleh karena itu sikap egoisme perlu diatasi dengan
berani keluar dari diri sendiri dan terbuka dengan orang lain.
4. Fanatisme
Berbagai kasus kemuatan SARA, yang belakangan ini marak di Indonesia
salah satu penyebabnya adalah karena masing-masing pihak, umat beragama atau
kepercayaan yang dianutnya. Orang hanya sampai pada tahap simbolis atau
permukaan, dan terjebak dalam sikap fanatisme. Masing-masing pribadi hanya
menonjolkan bahwa agamanya sendirilah yang paling benar dan paling baik, serta
paling sempurna. Dalam hal ini, orang kurang mendalami ajaran agamanya, hanya
mengedepankan masalah-masalah ritual atau upacara dan hanya mengejar sebanyak
99
mungkin jemaat, tetapi jauh dari hakekat ke-Tuhan-an itu sendiri. Dengan kata lain,
sisi kehidupan religius diabaikan (Setiawan, 2002: 63-65).
Fanatisme menjadikan orang tidak mau menerima pihak yang berbeda
dengannya dan curiga terhadap pihak lain. Fanatisme melahirkan sikap-sikap ekstrem
irrasional yang mau melakukan apa saja demi membela keyakinannya atau
agamanya. Sikap fanatisme yang ada dalam kelompok antar umat beriman bisa
mengakibatkan para anggota kelompok terpecah-pecah, karena mereka akan
bersahabat hanya dengan orang yang memiliki kesamaan dengan dirinya. Kesamaan
entah dalam hal suku, agama, status sosial, hobby, kemampuan dan sebagainya.
Sikap fanatisme bisa diatasi dengan mengembangkan sikap berani keluar dari
diri sendiri dan kelompok sempit. Sikap fanatisme bisa juga diatasi dengan
menumbuhkan semangat berani menerima dan menghormati perbedaan-perbedaan
yang ada, mengakui bahwa di luar dirinya, termasuk agamanya juga ada kebenaran.
5. Prasangka dan Curiga
Manusia dilahirkan sama, tetapi hidup dan gambaran manusia di mata
sesamanya tidak sama. Bisa jadi muncul suatu sikap yang tidak disadari yakni
prasangka dan curiga. Memang tidak bisa dihindari bahwa manusia terikat pada
sejumlah gagasan, gambaran yang sudah mereka warisi dari pendahulu mereka,
keluarga, lingkungan dan kelumpok mereka. Gagasan dan gambaran ini tentu saja
juga meliputi berbagai pemikiran negatif atau prasangka.
Prasangka merupakan suatu corak pemikiran yang stereotip yang
mempengaruhi seseorang dalam memandang sesuatu. Prasangka biasanya bersumber
dari adanya perbedaan-perbedaan, baik itu di dalam biara, etnis, agama, status sosial,
kejadian sejarah dan sebagainya.
100
Prasangka atau curiga membuat seseorang mengingkari kesamaan dan
persamaan, bahkan hak-hak dan kebaikan-kebaikan yang mendasar yang terdapat
dalam diri orang lain, kelompok lain serta memberinya perlakuan-perlakuan negatif.
Relasi yang baik dan penuh persaudaraan tidak akan pernah terjalin bila masing-
masing pihak memiliki prasangka terhadap pihak lain. Begitu pula bila di dalam
biara, tidak akan pernah bertahan dan berkembang bila masing-masing anggota saling
berprasangka terhadap satu dengan yang lainnya. Untuk itu sikap prasangka perlu
diatasi dengan keterbukaan dan dialog.
G. Kebutuhan untuk Membangun Persaudaraan yang Universal
Situasi bangsa Indonesia yang terpuruk dan maraknya konflik-konflik social
yang berbau SARA yang mengarah kepada disintegrasi, menjadi suatu fenomena
yang menunjukkan ketidakmampuan masyarakat dalam menghargai perbedaan yang
ada di dalam masyarakat kita yang pluralis ini. Oleh karena itu membangun
persaudaraan yang universal kiranya menjadi suatu kebutuhan di dalam masyarakat
kita dewasa ini. Persaudaraan sejati merupakan suatu kebutuhan pokok dalam
membangun hidup bersama. Tanpa persaudaraan sejati, hidup bersama akan terasa
sulit dan sukar, karena persaudaraan sejati merupakan lem perekat yang menyatukan
Demikian pula adanya hambatan-hambatan yang muncul dalam mewujudkan
persaudaraan sejati di dalam biara, menunjukkan adanya kebutuhan untuk
membangun yang universal. Untuk itu ada beberapa hal yang perlu diusahakan dalam
pembinaan
101
1. Memupuk hidup rohani
Kunci untuk mewujudkan persaudaraan sejati adalah kematangan hidup
rohani dan kedewasaan iman. Untuk sampai pada tahap kematangan dan kedewasaan
orang perlu terus menerus memupuk hidup rohaninya. Seperti yang diungkapkan oleh
Fowler bahwa hidup rohani berkembang dari tahap ke tahap, maka perlu usaha terus
menerus untuk memupuk hidup rohani agar sampai pada tahap kematangan dan
kedewasaan iman. Semakin dalam hidup rohani seseorang, semakin ia sehati,
seperasaan dan sepikiran dengan Allah. Dengan demikian besar pula keterlibatannya
dalam mewujudkan ‘nilai-nilai’, membela kebenaran, menentang ketidakadilaan dan
menelanjangi dosa dari struktur yang ada.
Dengan memupuk hidup rohani orang semakin mengalami Allah secara
pribadi dan seluruh corak hidupnya dimotivasi oleh cinta kasih Allah. Hal ini
mendorongnya untuk melakukan segala suatu dalam dimensi Ilahi, lepas dari segala
sekat-sekat yang mengikat, entah itu agama, suku, status sosial, latar belakang dsb.
Memupuk hidup rohani menjadikan mutu hidup seseorang semakin berkembang dan
mengarahkannya kepada universalitas.
2. Membangun persaudaraan
Persaudaraan adalah kata yang sering diucapkan orang, meskipun tidak jelas
arti dan makna. Kata yang mudah diucapkan dan terdengar begitu bagus itu, ternyata
sangat sulit diamalkan dalam hidup setiap hari. Arti dan makna persaudaraan yang
sesungguhnya dapat kita lihat dalam penghayatan Santo Fransiskus dari Asisi.
Fransiskus memandang semua makhluk ciptaan Tuhan sebagai saudara. Pemahaman
yang paling mendasar ialah bahwa semua makhluk bergantung pada Tuhan.
Fransiskus menghormati semua makhluk itu sebagai cipataan Allah yang luhur.
102
Perlakuan hormat Fransiskus terhadap setiap makhluk ciptaan mewujudkan sikap
bersahabat. Bagi Fransiskus, makhluk-makhluk itu tidak hanya manusia, tetapi juga
ciptaan Allah lainnya perlu diberi kesempatan untuk hidup. Itu berarti bahwa tidak
seorang pun boleh merampas hak hidup orang atau makhluk lain karena yang
berkuasa atas hidup adalah Allah.
Persaudaraan sejati selalu memelihara hubungan antar pribadi yang sejajar.
Orang menerima kehadiran sesamanya sebagai bagian dari dirinya. Hubungan itu
tidak tertuju demi suatu kepentingan tertentu, tetapi berdasarkan sikap menghargai
orang lain menuju kedewasaan pribadi. Dalam hubungan itu seseorang akan
mengakui kekurangannya dan menerima orang lain apa adanya. Dalam hubungan
yang sejajar ini akan terjadi:
a. Saling membantu dalam kesulitan dan saling mendukung dalam mengejar
cita-cita.
b. Dapat saling belajar dan menghormati perbedaan yang dimiliki setiap orang
c. Dapat memahami watak orang lain
d. Pergaulan semakin luas sekaligus menambah wawasan dan semakin dewasa
Fransiskus mengajak orang bersahabat dan tidak menfitnah orang lain.
Pembinaan dalam kongregasi diarahkan kepada penghayatan spiritualitas
persaudaraan yang universal, yaitu spiritualitas persaudaraan yang keluar dari
pengalaman iman akan Allah , Bapa semua orang. Hal ini penting mengingat anggota
berasal dari berbagai suku, bahasa, budaya, latar belakang yang berbeda. (SEKAFI,
1998 hal.49
103
H. Rangkuman
Penulis mengatakan bahwa, pribadi yang beriman akan mampu mewujudkan
persaudaraan sejati dan mampu mengembangkan nilai-nilai yang mendukung
persaudaraan sejati kalau itu dibangun dengan berlandaskan pada penghayatan moral
dan iman yang dewasa akan menumbuhkan cinta kasih, keadilan, toleransi dan
perdamaian. Sebaliknya, ketika pribadi tidak memiliki dasar yang kuat dalam hal
moral dan iman, maka dengan sendirinya upaya untuk mengembangkan persaudaraan
sejati seperti akan terlambat. Akibatnya, munculah sikap kurang mengampuni, kurang
terbuka, egoisme, fanateisme, prasangka dan curiga.
Hubungan dengan Allah harus tetap merupakan pusat satu persaudaraan
religius. Kalau komunitas itu hanya satu “tim kerja” yang tidak mau kehilangan
waktu untuk kebaktian cuma-cuma bagi Allah, ini pertanda bahwa para anggota tidak
memahami lagi dasar adanya persekutuan mereka. Dari segi yang paling dalam inilah
komunitas religius merupakan tanda bagi Gereja, yang adalah persekutuan orang-
orang beriman yang dihimpun oleh Kristus, persekutuan ini merupakan “sakramen”
Kerajaan, meskipun masih dalam bentuk yang kabur dan terbatas. Persekutuan
religius itu, yang pola hidupnya mengikuti pola hidup Yesus Kristus, menjadi tanda
dan perwartaan kedaulatan Allah (Ladjar OFM, hlm 21-22).
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa persaudaraan sejati akan terwujud
sepenuhnya kalau setiap pribadi di dasari pada penghayatan moral dan memiliki iman
yang matang serta dewasa. Di sini orang akan mampu membangun dan
mengembangkan persaudaraan sejati bila terus menerus di bina dan mau menghayati
dan mendalami hidup religiusnya, sehingga sanggup menghargai setiap pribadi
manusia yang ada dalam hidupnya.
BAB VI
MENINGKATKAN PERSAUDARAAN SEJATI
MELALUI PROGRAM REKOLEKSI
Pembentukan diri para suster SMFA tidak pernah selesai, melainkan dalam
proses yang sedang berlangsung dan akan terus dijalankan. SMFA sedang berziarah
dan bersama-sama menuju pertobatan sejati, di mana semangat SMFA selalu
diperbaharui menuju kepenuhan dalam Kristus. Dalam perjalanan panggilan
hendaknya para suster SMFA secara bijak dan kritis menanggapi tuntutan zaman
yang sedang berkembang.
Maka dari itu untuk menyikapi semuanya itu perlu suatu tindakan yang nyata
antara lain mengadakan rekoleksi bersama, menggunakan metode katekese dengan
tema umumnya adalah : “Persaudaraan Sejati”, karena setiap suster hendaknya
berusaha memupuk kualitas kepribadian dan hidup rohani yang mendalam, agar
persaudaraan sejati dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
A. Rekoleksi
1 Pengertian Rekoleksi
Rekoleksi, recollectio, sebagai usaha untuk mengumpulkan kembali
pengalaman hidup yang telah dijalani sebagai usaha untuk memperkembangkan
kehidupan iman atau rohani berhubungan dengan peristiwa tertentu. Dalam rekoleksi
itu kita meninjau salah satu unsur atau segi karya Allah, cara kerja serta bimbingan-
Nya dan tanggapan kita atas karya Allah itu. Dengan demikian , dapat merupakan
104
105
saat-saat penyegaran rohani yang memperkaya hidup dan menggairahkan pengabdian
dalam hidup kita (Mangunhardjana, SJ, hlm; 7-18).
2 Tujuan Kegiatan Rekoleksi
Rekoleksi ini diadakan, pertama untuk menyampaikan inspirasi iman tentang
pengembangan bakat-bakat dan memberi dorongan serta informasi tentang cara
pengembangan bakat-bakat, sebagai salah satu segi penting dalam pengembangan
diri. Agar para peserta dapat mengenal diri dan membentuk gambaran diri yang
seimbang. Kedua untuk menanamkan sikap yang benar terhadap masa depan, sebagai
landasan untuk bersikap dan mengambil langkah untuk mengembangkan sikap-sikap
positif, yang merupakan salah satu segi pengembangan diri yang pokok. Agar peserta
mempunyai pengertian yang benar tentang pengembangan diri dan arahnya dan
berani mengambil sikap dan langkah yang sesuai (Mangunhardjana, SJ, hlm; 30-31).
3 Relevansi Rekoleksi dalam Upaya Mengembangkan Semangat
Persaudaraaan Sejati melalui Katekese
Dalam upaya mengembangkan semangat persaudaraan sejati dalam
kongregasi SMFA, kiranya metode rekoleksi sangat relevan untuk digunakan dalam
pembinaan. Dikatakan relevan karena metode rekoleksi sudah dikenal oleh para
suster, tidak merupakan hal yang baru sehingga memungkinkan perserta bisa ikut
terlibat secara aktif. Rekoleksi para Suster Misi Fransiskanes Santo Antonius ini
adalah sebagai langkah awal untuk penyelenggaraan katekese sebagai upaya
meningkatkan kualitas pembinaan hidup dalam penghayatan persaudaraan sejati dan
menumbuhkembangkan imannya dan dapat mengaktualisasikannya dalam hidup
sehari-hari.
106
Bentuk kegiatan yang penulis tawarkan di sini adalah rekoleksi bagi para
Suster SMFA. Adapun langkah-langkah dalam pelaksanaan rekoleksi para suster
SMFA ini dengan menggunakan katekese model Shared Christian Praxis. Di bawah
ini akan disajikan suatu usulan program rekoleksi bagi pembinaan para suster SMFA
dalam rangka meningkatkan semangat persaudaraan sejati (pada hlm; 126)
B. Katekese Pada Umumnya
Katekese terus mengalami perkembangan sesuai dengan keadaan hidup umat
yang dihadapi. Hal itu dikarenakan umat kristiani sebagai subyek katekese tidak
dapat dipisahkan dari lingkungan tempat mereka tinggal, yang terus mengalami
perubahan.
1. Pengertian Katekese
Istilah katekese berasal dari kata Yunani “katechein”, bentuk dari akar kata
“kat” yang berarti pergi atau meluas, dan “echo” yang artinya menggemakan atau
menyuarakan ke luar. Berdasarkan bentuk kata tersebut kata “katechein” berarti
menggemakan atau menyuarakan keluar. Kata “katechein” digunakan oleh orang
kristen untuk menyampaikan pelbagai harta kekayaan iman Gereja seperti ajaran
Tuhan dan Gereja, serta keadaan manusia dalam hidup konkret. Segala macam usaha
penyampaian ajaran, pendidikan oleh Gereja disebut katekese (Papo, 1988: 11).
Anjuran Aspotolik, Paus Yohanes Paulus II dalam dokumenn Catechesi
Tradendae, memberikan pengertian katekese sebagai :
Pembinaan anak-anak, kaum muda dan orang-orang dewasa dalam iman, yang khususnya mencakup penyampaian ajaran Kristen, yang pada umumnya diberikan secara organis dan sistematis, dengan maksud mengantar para pendengar memasuki kepenuhan hidup kristen (CT, art. 18).
107
Rumusan diatas memandang katekese sebagai pembinaan iman bagi semua
orang beriman. Pembinaan iman di atas ditujukan bagi siapa saja tanpa ada
diskriminasi warna kulit, budaya, kaya atau miskin, dan yang lainnya. Hal yang
utama dalam kegiatan katekese adalah menyampaikan ajaran kristen secara terus
menerus dan teratur kepada anak-anak, kaum muda dan orang dewasa agar mereka
semua menuju pada kedewasaan iman.
Katekese merupakan usaha dari Gereja untuk menolong umat, agar semakin
memahami, menghayati dan mengembangkan imannya serta mewujudnyatakannya
dalam tindakan konkret sehari-hari. Usaha gereja dalam karya katekese tersebut
diharapkan dapat membantu umat membangun diri sendiri menuju kematangan hidup
beriman.
2. Tujuan Katekese
Ajuran Apostolik Catechesi Tradendae, Paus Yohanes II menjelaskan tujuan
khas katekese yaitu : “mengembangkan iman yang baru mulai tumbuh, dan dari hari-
hari kehari memekarkan menuju kepenuhannya serta makin memantapkan prihidup
kristen umat beriman, mudah maupun tua”(CT,art:20). Penjelasan ini memandang
katekese pertama-tama ditujukan pada mereka imannya yang baru tumbuh. Dari situ
katekese membantu umat untuk mengembangkan imannya menuju pada kepenuhan
hidup Kristen.
Dalam rangka mengembangkan imannya katekese membantu jemaat kristiani
memperoleh pengetahuan yang lebih hidup dan mendalam tentang Allah dan karya
penyelamatannya. Katekese juga bertujuan mendampingi umat untuk makin
memperdalam imannya, dan mampu memberi kesaksian imannya itu bagi semua
orang dalam hidup sehari-hari.
108
Tujuan katekese di atas telah dirumuskan dalam sinode Para Uskup di Roma
tahun 1977 yaitu membawa jemaat mampu maupun anggotanya perorangan kepada
kematangan iman, memupuk pengertian lebih hidup mendalam tentang Allah dan
rencana keselamatanya, dan membantu orang memahami rencana Allah dalam
hidupnya. (Bapa-Bapa Uskup, 1978;14)
3. Ciri-Ciri Katekese
Katekese merupakan salah satu bentuk pelayanan sabda. Sebagai salah satu
pelayanan sabda katekese mempunyai ciri-ciri yang membedakannya dengan
pelayanan sabda yang lain. Anjuran Apostolik Catechesi Tradendae menguraikan
bahwa :
• Katekese harus bersifat sistematis, bukan hasil improvisasi, melainkan
sungguh berencana untuk mencapai tujuan tertentu.
• Katekese harus mengkaji hal-hal yang pokok, tanpa berpretensi mau
menangani segala soal yang diperdebatkan atau mau berubah menjadi teologi
atau eksegese ilmiah .
• Tetapi katekese harus cukup lengkap juga, tidak membatasi diri pada
perwartaan awal misteri Kristen seperti dalam kerygma.
• Katekese harus merupakan inisiasi Kristen intergeral terbuka bagi semua
faktor hidup Kristen lainnya (CT,art.21).
Di sini menjadi jelas bahwa katekese merupakan suatu kegiatan/proses yang
menuntut suatu persiapan yang sungguh-sungguh. Katekese itu sendiri mempunyai
tujuan yang jelas dan untuk itu harus punya langkah-langkah yang jelas untuk
mencapai tujuan. Adanya tujuan yang jelas maka arah katekesepun harus jelas pula.
Proses katekese dibatasi dengan persoalan-persoalan pokok sehubungan dengan isi
109
dan tujuan katekese tersebut. Dengan berbicara hal-hal yang pokok, maka dengan
sendirinya katekese tidak mengarah pada persoalan teologis yang diperdebatkan.
Katekese di sini lebih mengarah pada penghayatan iman umat bukannya penafsiran
Kitab Suci yang harus ilmiah. Di sisi lain, katekese tidak sebatas pada perwartaan
akan kebangkitan Kristus. Lebih dari itu katekese juga terbuka pada persoalan-
persoalan yang terjadi disekitar umat. Persoalan yang terjadi di sekitar hidup umat
perlu ditanggapi agar perwujudan iman umat semakin nampak dalam hidup sehari-
hari.
Buku dengan judul arah katekese di Indonesia (Afra Siauwarjaya, 1987:109)
merumuskan fungsi katekese yaitu bahwa katekese tidak pertama-tama menyuguhkan
sederetan pengajaran, melainkan menolong perserta untuk meneguhkan dan
menghayati iman, mengembangkan dan menghayati nilai-nilai hidup, serta
mendorong peserta agar membaharui diri serta seluruh jemaat beriman. Ciri terebut
menegaskan bahwa katekese bukan merupakan penyajian pengajaran, melainkan
suatu bentuk kegiatan yang memungkinkan perserta untuk saling berkomunikasi,
saling meneguhkan iman, memperkaya iman dan memperbaharui diri.
4. Isi Katekese
Katekese merupakan suatu momen atau aspek dalam perwataan Injil, isinya
juga tidak dapat lain kecuali perwartaan Injil secara menyeluruh (CT,art.26). isi
katekese yang menjadi inti dari perwartaan Injil adalah Allah dan seluruh misteri
keselamatan dan pribadi-Nya. Allah yang penuh misteri itu tidak dapat langsung
dikenal manusia tetapi perlu dipahami dan perlu didalami lebih lanjut melalui proses
yang terus menerus.
110
Paus Yohanes Paulus II menekankan juga inti katekese yaitu Yesus Kristus
yang menjadi Kabar Gembira penyelamat manusia (CT, art. 6). Yesus Kristus yang
menjadi inti katekese disebabkan karena dialah Allah yang melaksanakan karya-Nya
ditengah-tengah hidup manusia. Kehadiran Yesus Kristus di tengah-tengah manusia
adalah sebagai bukti bahwa Allah sungguh-sungguh mencintai manusia dan secara
langsung melaksanakan karya keselamatan-Nya. Maka karya keselamatan perlu
ditanggapi dengan keterbukaan iman melalui proses yang terus menerus.
Katekese mau menunjukkan karya keselamatan telah, sedang dan akan
terlaksana. Karya keselamatan Allah tersebut ditujukan untuk semua orang dengan
segala situasi dan sampai sekarang pun Allah tetap dekat dengan manusia. Katekese
mengusahakan agar karya keselamatan itu didalami oleh umat sekarang ini dengan
menyelami misteri Kristus. Agar karya keselamatan Allah dapat dipahami oleh umat
sekarang, isi katekese Harus disampaikan berdasarkan keadaan konkrit umat.
Pengalaman umat dalam hidup nyata merupakan karya penyelamatan Allah.
Setiap orang dalam pengalaman hidup sehari-hari dipanggil untuk menanggapi
panggilan Allah. Allah sendiri menwahyukan dirinya melalui pengalaman hidup
manusia. Pengalaman hidup manusia seutuhnya merupakan isi katekese. Pengalaman
konkrit umat sebagai isi katekese dimengerti sebagai keseluruhan umat manusia yang
terlibat dalam hubunganya dengan pribadi-Nya sendiri, dengan lingkungan alam
sekitar, dengan masyarakat dan dengan pristiwa-pristiwa lainnya.
Karya penyelamatan Allah dalam hidup manusia berlangsung terus menerus
sampai sekarang ini. Melalui pengalaman seperti yang terungkap dalam Perjanjian
Lama, umat purba meyakini bahwa Allah ikut campur tangan dalam mengatur
perjalanan sejarah manusia menuju keselamatan. Dilanjutkan dalam Perjanjian Baru
111
yang menyatakan bahwa Kristuslah sebagai puncak dari karya keselamatan Allah.
Dapat dikatakan bahwa pengalaman hidup manusia sejak jaman umat purba sampai
hidup manusia sekarang ini adalah bagian sejarah penyelamatan Allah. Dengan
demikian katekese menghantar umat untuk menghayati pengalaman hidupnya sampai
pada keyakinan akan karya keselamatan. Pengalaman hidup umat itu dikembangkan
dan diteguhkan dalam terang Injil Kristus sebagai puncak dari karya penyelamatan
Allah.
C. Katekese Umat Dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Hidup Menggereja
Mulai tahun 1977, Komisi Kateketik MAWI menyelenggarakan pertemuan
kateketik nasional. Pertemuan itu dihadiri oleh utusan dari seluruh keuskupan di
Indonesia. Pertemuan pertama (PKKI I) di Sindanglaya tahun 1977 mencari dan
membahas arah katekese di Indonesia yang kemudian disepakati bahwa yang
dikembangkan di Indonesia adalah katekese umat.
1. Pengertian Katekese Umat
Kesepakatan tentang pengertian katekese umat yang dijadikan arah katekese
di Indonesia ditegaskan dalam PKKI II. Katekese umat dimengerti sebagai:
Komunikasi iman atau pengalaman iman (penghayatan iman) antara anggota jemaat atau kelompok. Melalui kesaksian para perserta saling membantu sedemikian rupa, sehingga iman masing-masing diteguhkan dan dihayati semakin sempurna (Huber, 1981:15). Rumusan di atas menegaskan bahwa katekese umat merupakan komunikasi
iman. Komunikasi iman ini bukan saja antara pembimbing dengan perserta, tetapi
lebih-lebih antar komunikasi antar perserta sendiri. Dalam katekese umat yang
112
dikomunikasikan adalah penghayatan iman dan bukan pengetahuan tentang rumusan
iman (Setyakarjana, 1997:68-69).
Pengertian katekese umat di atas menunjukkan bahwa yang berkatekese
adalah umat, artinya semua orang beriman yang secara pribadi memilih Kristus dan
secara bebas untuk lebih memahami Kristus dengan mengusahakan suasana Kristen
dalam kelompok di mana setiap orang di percaya dan di hargai. Katekese umat
merupakan komunikasi iman umat yang saling bersaksi tentang iman mereka di
harapkan perserta berdialog dalam suasana terbuka, ditandai sikap saling menghargai
dan saling mendengarkan (Setyakarjana, 1997:70).
Rumusan katekese umat dalam PKKI II tersebut, dikembangkan lebih lanjut
dalam buku Membangun Gereja Indonesia II oleh Afra Siauwarjaya(1987:38) yang
dimengerti sebagai :
Usaha kelompk secara terencana untuk saling menolomg mengartikan hidup nyata dalan terang Yesus Kristus sebagimana telah di hayati dalam tradisi Gereja, agar kelompok makin mampu mengungkapkan dan mengwujudkan imannya dalan hidup nyata.
Katekese umat mengajak perserta untuk saling menolong menyadari
kehadiran Allah dalam hidup nyata dan bagaimana mereka menghayati imannya
dalam hidup nyata. Iman personal yang di kembangkan dalam katekese umat adalah
iman yang dihayati Gereja dalam tradisi. Maka dari itu dalam usaha saling tolong
menolong mengartikan hidup nyata, Kitab Suci perlu mendapat sentral. Dalam
katekese umat hidup nyata diartikan sebagai penghayatan relasi umat dengan yesus
Kristus. Relasi itu sekaligus menuntut keterlibatan umat dalam pengutusan-Nya
dalam melaksanakan kehendak Allah dalam segala dimensi hidup manusia (Afra
Siauwarjaya 1987:42-43) .
113
2. Tujuan katekese umat
Dalam PKKI II, katekese umat dipahami sebagai komunikasi iman atau tukar
pengalaman iman yang bertujuan :
• Supaya dalam terang Injil kita semakin meresapi arti pengalaman-pengalaman kita sehari-hari,
• Dan kita bertobat (metanoia ) kepada Allah dan semakin menyadari kehadiran-Nya dalam kenyataan hidup sehari-hari
• Dengan demikian kita semakin sempurna beriman, berharap, mengamalkan cinta kasih, dan semakin dikukuhkan hidup Kristiani.
• Pula kita makin bersatu dalam Kristus, makin menjemaat, makin tegas mewujudkan tugas Gereja setempat dan mengokohkan Gereja semesta
• Sehingga hidup kita sanggup memberi kesaksian tentang Kristus di tengah masyarakat (Afra Siauwarjaya,1997:72). Kelima rumusan tujuan komunikasi iman di atas menyoroti tujuan katekese
umat dari sudut yang berbeda-beda. Ketiga sorotan pertama lebih-lebih
memperthatikan peserta sendiri-sendiri secara pribadi. Kemudian pada kedua sorotan
berikutnya menegaskan tujuan bahwa sebagai Gereja dan semuanya berpuncak pada
hidup di tengah-tengah masyarakat (Setyakarjana, 1997: 72).
Dengan demikian, tujuan katekese umat selain bersifat personal juga bersifat
eklesial yakni demi kepentingan bersama dalam Gereja universal. Tugas setiap orang
Kristen adalah menjadi saksi Kristus di tengah dunia melalui tindakkan konkrit.
Diharapkan umat semakin sadar dalam menempatkan pengalaman religius ke dalam
hidupnya sebagai sejarah penyelamatan-Nya. Di samping itu umat disadarkan untuk
terlibat dalam pembangunan Gereja. Pewartaan tentang Kristus dilakukan dengan
melaksanakan tugas-tugas Gereja. Tetapi Gereja sendiri bukan merupakan tujuan,
melainkan sarana untuk bersaksi tentang Kristus (Setyakarjana, 1997: 72).
Afra Siauwarjana (1987: 42) menegaskan bahwa tujuan katekese umat adalah
menolong umat agar makin mampu mengungkapkan dan melaksanakan imannya
114
dalam hidup nyata. Penghayatan iman yang tidak hanya dinyatakan dalam ungkapan
saja, tetapi lebih-lebih di laksanakan dalam tindakkan konkrit.
3. Ciri-Ciri Katekese
Di atas telah diuraikan pengertian katekese umat sebagai komunikasi iman.
Komunikasi iman sebagai salah satu kekhasan katekese umat merupakan usaha umat
untuk saling mengarahkan, mengembangkan dan menumbuhkan imannya.
Komunikasi iman di sini adalah komunikasi yang melibatkan seluruh peserta. Melalui
sharing pengalaman, peserta yang hadir dalam pertemuan saling tukar menukar
pengalamannya. Mereka saling membagikan dan saling melengkapi pengalaman
imannya sehingga iman mereka semakin diteguhkan dan diperkaya. Mereka
berkumpul bersama-sama untuk menggali dan menanggapi pengalaman hidupnya.
Pengalaman hidup inilah yang kemudian dihayati sebagai pengalaman iman akan
Yesus Kristus.
Katekese umat adalah katekese dari, oleh dan untuk umat. Hasil PKKI II
merumuskan bahwa “yang berkatekese adalah umat...” (Komkat KWI, 1992:17), ini
berarti bahwa katekese umat menempatkan umat sebagai subyek atau pelaku utama
dalam katekese. Umat diharuskan untuk terlibat lebih aktif dan punya inisiatif,
sehingga prosesnya lebih hidup dan menarik. Sebagai pelaku utama katekese umat,
umat ditantang untuk mengolah dan menanggapi pokok persoalan yang tengah
mereka hadapi. Melalui komunikasi, situasi konkrit yang dihadapi ditanggapi dalam
iman. Dalam prosesnya mereka berguru pada hidup Kristus. Kristuslah sebagai pola
katekese umat. Peserta katekese saling membantu menggali makna hidup dalam
terang Injil dan diperkaya melalui sharing pengalaman. Setiap umat harus
115
menemukan karya keselamatan Allah yang terungkap dalam Kristus melalui
pengalaman konkrit.
4. Model –Model Katekese Umat
Model ini adalah suatu konstruksi teoritis, skematis dan abstrak yang
menawarkan pokok-pokok pemikiran yang menghubungkan secara sistematis unsur-
unsur pembentuk realitas. Model ini juga menawarkan suatu cara konseptual, suatu
bentuk analisa, suatu alat untuk memahami realita yang memungkinkan,
menerangkan dan menelusuri suatu tindakan manusia.
Model-model katekese sebagai bentuk yang utuh mempunyai latar belakang
pemahaman tertentu dan menggunakan metode tertentu. Berikut ini penulis akan
menyajikan tiga model pada umumnya yaitu model pengalaman hidup, model biblis
dan model campuran.
a Katekese Umat dengan Model Pengalaman Hidup
Model pengalaman hidup merupakan model katekese yang bertitik tolak pada
pengalaman hidup peserta. Katekese dengan model pengalaman hidup ini bermaksud
mengusahakan umat beriman agar dapat mengalami kehadiran Allah dan mampu
menangkap kehendak Allah dalam peristiwa hidup sehari-hari dalam terang iman.
Secara garis besar, model pengalaman hidup meliputi langkah-langkah sebagai
berikut yaitu introduksi, penyajian suatu pengalaman hidup, rangkuman pendalaman
pengalaman hidup, pembacaan Kitab Suci atau Tradisi Gereja, pendalaman teks Kitab
Suci atau Tradisi, penerapan dalam hidup konkrit dan penutup (Sumarno Ds,
2003:16).
116
b Katekese Umat dengan Model Biblis
Model biblis merupakan model katekese yang bertitik tolak pada teks Kitab
Suci. Katekese dengan model biblis ini mengajak peserta untuk mendalami sabda
Tuhan, merenungkan dan berusaha mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Katekese model ini mengusahakan agar umat mengalami kehadiran Allah dalam
hidupnya dengan merenungkan Sabda Tuhan dalam Kitab suci. Langkah-langkah
pokok dari model ini adalah pembukaan, pembacaan Kitab Suci, pendalaman teks
Kitab Suci, pendalaman pengalaman hidup, penerapan dalam hidup peserta, penutup
(Sumarno, 2003): 17).
c Katekese Umat dengan Model Campur
Katekese dengan model campur bertitik tolak pada pengalaman hidup religius
pengalaman tradisi. Model ini bertujuan membantu umat dalam mengkonfrontasikan
antara nilai-nilai pengalaman hidup peserta dengan nilai-nilai tradisi maupun dengan
teks Kitab Suci. Diharapkan melalui model ini peserta mampu menarik pelajaran
nyata dalam hidup menggereja maupun memasyarakat. Model berlangsung melalui
langkah-langkah pembukaan, pembacaan teks Kitab Suci atau Tradisi, penyajian
pengalaman hidup, pendalaman pengalaman hidup dan teks Kitab Suci atau Tradisi,
penerapan meditatif, evaluasi singkat atas jalannya katekese, dan penutup (Sumarno,
2003:18).
5. Shared Christian Praxis sebagai Model Katekese Umat
Katekese dengan model SCP ini pertama kali diperkenalkan oleh Thomas H.
Groome seorang ahli katekese yang berusaha mencari pendekatan katekese yang
handal dan efektif, yaitu suatu model yang sungguh mempunyai dasar teologis yang
kuat, mampu memanfaatkan perkembangan ilmu pendidikan dan memiliki
117
keprihatinan pastoral yang aktual. Model ini ditawarkan untuk menjawab kebutuhan
para katekekis dalam membantu umat demi perkembangan iman mereka. Untuk lebih
jelasnya, pada bagian ini akan diuraikan pengertian model SCP serta langkah-langkah
SCP.
a Pengertian SCP
Model SCP merupakan salah satu model katekese yang menekankan proses
yang bersifat dialogis partisivatif. Tujuan dari proses ini adalah agar dapat mendorong
peserta untuk mampu mengkomunikasikan antara tradisi dan visi hidup peserta
dengan tradisi dan visi kristiani. Dan pada akhirnya baik secara pribadi maupun
bersama mampu mengadakan penegasan dan pengambilan keputusan demi makin
terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah.
Model katekese ini dapat dikatakan sebagai model praksis, karena bermula,
direfleksikan secara kritis sehingga peserta mampu menemukan maknanya, kemudian
dikonfrontasikan dengan tradisi dan visi kristiani supaya muncul pemahaman sikap
dan kesadaran baru yang memberi motivasi dan fraksis baru. Orientasi model ini
adalah praksis peserta sebagai subyek yang bebas dan bertanggung jawab (Heryatno
WW,1997:1)
Sesuai dengan tiga huruf (S-C-P), model ini memiliki tiga komponen yaitu praksis,
Kristiani dan ”shared”. Penjelasan masing-masing komponen itu sebagai berikut:
1) Praksis
Praksis adalah suatu tindakan manusia yang sudah direfleksikan sebagai
tindakkan, praksis meliputi seluruh keterlibatan manusia dalam dunia yang
mempunyai tujuan untuk mencapai perubahan hidup yang meliputi kesatuan antar
praktek dan teori antara refleksi kritis dan kesadaran historis sintesis praktek dan
118
teori akan membentuk suatu kreativitas, sedangkan refleksi kritis dan kesadaran
historis akan mengarah pada keterlibatan baru.
Praksis mempunyai tiga unsur yaitu aktivitas, refleksi dan kreativitas. Ketiga
unsur itu berfungsi membangkitkan berkembangnya imajinasi, meneguhkan kehendak
dan mendorong praksis baru yang dapat dipertanggungjawabkan secara etis dan
moral. Penjelasan singkat arti ketiga unsur itu adalah sebagai berikut:
Unsur pertama, aktivitas meliputi kegiatan mental dan fisik, kesadaran.
Tindakkan personal dan sosial, hidup pribadi dan kegiatan publik yang merupakan
medan untuk perwujudan diri sebagai manusia.
Kedua, refleksi menekankan refleksi kritis terhadap tindakkan historis pribadi dan
sosial terhadap kehidupan bersama serta terhadap ”tradisi” dan “visi” iman Kristiani
sepanjang sejarah.
Ketiga, kreativitas merupakan perpaduan antara aktivitas dan refleksi yang
menekankan transendensi manusia dalam dinamika menuju masa depan yang terus
berkembang sehingga melahirkan praksis baru (Heryatno WW,1997 :2)
2) Kristiani
Maksud kristiani dalam SCP adalah mengusahakan agar kekayaan iman
Kristiani sepanjang sejarah dan visinya makin terjangkau dan relevan untuk
kehidupan peserta. Kekayaan iman Kristiani yang ditekankan dalam model ini adalah
pengalaman iman tradisi Kristiani sepanjang sejarah dan visinya.
Tradisi Kristiani mengungkapkan realitas iman jemaat yang hidup dan
sungguh dihidupi. Ini mengungkapkan tanggapan manusia terhadap pewahyuan diri
Allah yang terlaksana dalam hidup mereka sebagai realitas iman, tradisi senantiasa
mengundang keterlibatan praktis. Sedang visi Kristiani menegaskan tuntutan dan janji
119
Allah yang terkandung di dalam tradisi, tanggung jawab dan pengutusan orang
Kristiani sebagai jalan untuk menghidupi semangat dan sikap kemuridan.Visi
Kristiani yang paling hakiki adalah terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah di dalam
kehidupan manusia (Heryatno WW,1997:3).
3) Sharing
Istilah shared atau sharing mengandung pengertian komunikasi timbal balik,
partisipasi aktif dan kritis dari semua peserta baik. Istilah ini juga merupakan proses
katekese yang menekankan unsur dialog partisipatif peserta yang ditandai dengan
suasana kebersamaan, persaudaraan, keterlibatan dan solidaritas. Dalam sharing
semua peserta diharapkan untuk ikut aktif, terbuka, siap mendengar dengan hati
pengalaman orang lain dan berkomunikasi dengan kebebasan hati (Heryatno
WW,1997:4)
Dikatakan pula bahwa sharing berarti berbagi rasa, pengetahuan serta saling
mendengarkan pengalaman orang lain. Ada dua unsur penting yaitu membicarakan
dan mendengarkan. Arti dari membicarakan disini adalah lebih pada menyampaikan
atau mengungkapkan pengalaman hidup yang didasari oleh sikap keterbukaan,
kepercayaan dan kerendahan hati untuk mengungkapkan pengalaman dan
pengetahuan yang nyata dalam dirinya sedangkan maksud dari mendengarkan disini
adalah berarti mendengar dengan hati yang disharingkan. Mendengarkan berarti juga
melibatkan keseluruhan diri sehingga dalam mendengarkan timbullah gerak hati,
empati terhadap apa yang disharingkan peserta yang lain (Sumarno Ds,2003:21).
b Langkah-langkah SCP
SCP sebagai suatu model berkomunikasi tentang makna pengalaman hidup
antar peserta, dalam prosesnya memiliki langkah-langkah yang berurutan dan terus
120
mengalir. Thomas H.Groome mengemukakan lima langkah pokok yang didahului
dengan langkah awal / pendahuluan sebagai berikut:
1) Langkah Nol : Pemusatan Aktivitas
Langkah ini bertujuan mendorong peserta sebagai subyek utama untuk
menemukan topik pertemuan yang bertolak dari kehidupan kongkrit yang selanjutnya
menjadi tema dasar pertemuan. Dengan demikian tema dasar pertemuan dapat
sungguh-sungguh mencerminkan pokok-pokok hidup, keprihatinan, permasalahan
dan kebutuhan peserta. Pemilihan tema pertemuan perlu memperhatikan situasi
kongkret peserta, tujuannya, dinamika pendekatan perlu yang bersifat dialogis, dan
sumber-sumber iman Kristiani (Heryatno WW,1997:10). Tema dasar hendaknya
sungguh-sungguh mendorong peserta untuk terlibat aktif dalam pertemuan,
menekankan partisipasi dan dialog, dan tidak bertentangan dengan iman Kristiani.
Untuk itu seorang pendamping harus dapat membantu peserta merumuskan prioritas
tema yang tepat.
Pada tahap ini pendamping dapat menggunakan sarana-sarana yang
menunjang untuk dapat menemukan salah satu aspek yang dapat menjadi topik dasar
pertemuan. Sarana-sarana tersebut dapat melalui cerita, simbol, poster, video, kaset
suara lainnya yang dapat mendukung dalam pemilihan tema bersama.Untuk itu
seorang pendamping harus dapat memilih sarana yang tepat. Di samping itu
pendamping harus dapat menciptakan lingkungan psikososial dan fisik yang
mendukung supaya peserta dapat berpartisipasi aktif dan kreatif dalam suasana dialog
dan kebersamaan (Heryatno WW,1997:10)
121
2) Langkah 1: Mengungkap Pengalaman Hidup Peserta
Langkah ini membantu dan mendorong peserta supaya menyadari pengalaman
mereka sendiri, menginterprestasikan, membahasakan dan mengkomunikasikan pada
peserta lain. Pengungkapan pengalaman hidup Faktual ini bisa berupa pengalaman
peserta sendiri, atau kehidupan dan permasalahan yang terjadi dalam masyarakat,
ataupun gabungan keduanya yang dipandang cocok dengan tema yang sudah digali
bersama (Heryatno WW,1997:11).
Bertitik tolak dari pemusatan aktivitas, langkah ini diawali dengan tuntunan
pertanyaan sebagai bantuan yang sesuai dengan topik dasar. Perumusan pertanyaan
harus jelas, terarah tidak menyinggung harga diri orang, sesuai dengan latar belakang
peserta dan bersifat terbuka dan obyektif. Kemudian peserta dapat membagikan
pengalaman hidupnya dan tidak boleh ditanggapi sebagai suatu laporan. Selain itu
mereka juga diberi kebebasan untuk mengungkapkan dengan gaya dan pilihan
mereka. Mereka dapat mengemukakannya melalui puisi, nyanyian, tarian, gambar,
lambang, simbol, maupun yang lainnya (Heryatno WW,1997:12).
Tekanan dari langkah ini adalah proses dan kehidupan konkrit yang menjadi
pokok penting dalam proses katekese. Oleh karena itu, pendamping harus menyadari
tujuan dan pokok pemikiran dasar dari langkah ini. Pokok pemikiran dasar perlu
diajukan secara jelas dan terbuka serta hubungan dengan tema utama dan menggaris
bawahi aspek-aspek pokok dari praksis keterlibatan faktual peserta.
Pada langkah ini pendamping lebih berperan sebagai fasilitator. Peran sebagai
fasilisator ini bertujuan untuk menciptakan suasana yang hangat dan mendukung
peserta membagikan pengalamannya. Bila beserta jumlahnya banyak, pendamping
perlu membaginya dalam kelompok-kelompok kecil (Heryatno WW,1997:13).
122
3) Langkah II: Mendalami Pengalaman Hidup Peserta
Pada langkah kedua ini berkaitan erat dengan seluruh proses katekese ini
bersifat konatif. Bersifat konatif di sini bermaksud bahwa katekese sungguh
membantu peserta supaya berdasar pengalaman hidupnya sampai pada tingkat
kesadaran terdalam, mengolah dan menemukan makna yang mendorong peserta
untuk melangkah pada fraksis baru. Ada beberapa perspektif yang perlu diperhatikan
dalam langkah ini yaitu refleksi kritis dan kreatif pada komunikasi pengalaman
faktual, serta komunikasi tradisi dan visi peserta. (Heryatno WW,1997:12-13).
Refleksi kritis pada tahap ini hakekatnya ingin membantu peserta untuk
merefleksikan secara kritis praksis faktual yang mereka komunikasikan dengan
mendalam, mempertajam dan mengolah pengalaman mereka yang menekankan segi
pemahaman, kenangan dan imajinasi. Sedangkan interpretasi bertujuan untuk
memberi arti dan nilai pada praksis faktual, menanamkan unsur-unsur yang dapat
memperteguh, yang harus ditolak dan yang hendak dikembangkan lebih lanjut.
Sementara dialog dan visi peserta hendaknya berkualitas, artinya dialog tersebut
menekankan terwujudnya relasi subyek dengan subyek yang mengandalkan
kejujuran, keterbukaan dan partisipasi aktif dari semua peserta dengan rasa hormat
(Heryatno WW, 1997:14-16)
Pada langkah ini, pendamping dituntut untuk dapat menciptakan suasana pertemuan
yang menghormati dan mendukung setiap gagasan serta sumbang saran peserta.
Pendamping harus dapat mendorong peserta untuk mengadakan dialog dan penegasan
bersama yang bertujuan memperdalam, menguji pemahaman, kenangan dan imajinasi
peserta. Setiap peserta diajak untuk mengkomunikasikannya, namun perlu
menghindari suatu kesan yang sifatnya memaksa. Di sini pendamping perlu
123
menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat analisis dan tidak menggangu
harga diri peserta. Pendamping perlu juga menyadari keadaan peserta karena refleksi
merupakan tahap yang sulit yang membutuhkan kesabaran dan keterampilan untuk
memperkembangkannya (Heryatno WW,1997:18-19).
4) Langkah III: Menggali Pengalaman Iman Kristiani
Pokok dari langkah ini adalah mengusahakan supaya tradisi dan visi kristiani
lebih terjangkau dan lebih mengena untuk kehidupan peserta yang konteks dan latar
belakang kebudayaan berbeda. Tradisi Kristiani mengungkapkan iman jemaat
Kristiani sepanjang sejarah pewahyuan ilahi. Tradisi hadir dalam kitab suci, liturgi,
adat kebiasaan jemaat, doa, credo, dogma, teologi, sakramen, bahasa religius, seni
dan kepemimpinan kehidupan jemaat. Visi kristiani merupakan suatu konsekuensi
dari janji dan tanggungjawab yang muncul pada tradisi.Visi kristiani mengungkapkan
janji keselamatan dan kepenuhan yang mendorong peserta pada tanggung jawab
mereka untuk menjadi patner Allah dalam mewujudkan kehendakNya yaitu
menyelamatkan manusia (Heryatno WW,1997:19-20).
Pada langkah ini pendamping menginterprestasikan dan mengkomunikasikan
aspek tradisi dan visi kristiani terhadap peserta.Dalam menginterprestasikan dan
mengkomunikasikan nilai-nilai tradisi dan visi kristiani, pendamping perlu: memiliki
latar belakang yang cukup dalam hal penafsiran, menghormati tradisi dan visi
kristiani yang otentik dan normatif, kritis mengambil nilai-nilai yang terkandung
dalam tradisi dan visi kristiani, menggunakan metode interprestasi yang sifatnya
menegaskan, meneguhkan, mempertanyakan, dan mengundang keterlibatan peserta.
Pada tahap ini pendamping dapat berfungsi sebagai “guru” dan sekaligus
sebagai “murid”. Sebagai guru pendamping bukankah pengajar tetapi sebagai patner,
124
yang bersama peserta berusaha untuk menyadari kehendak Allah. Sedangkan sebagai
murid, pendamping siap belajar dan maju untuk segala ilmu. Sementara itu dalam
memberikan penafsiran, pendamping perlu mengikutsertakan kesaksian iman,
harapan dan cinta pada nilai tradisi dan visi kristiani. Untuk itu seorang pendamping
harus membuat persiapan yang matang sebelum melaksanakan proses katekese
(Sumarno Ds,2003:25).
5) Langkah IV: Menerapkan Iman Kristiani Dalam Situasi Konkrit Peserta
Langkah ini lebih menekankan interprestasi yang dialektis antara tradisi dan
visi faktual peserta dengan tradisi dan visi kristiani yang akan melahirkan kesadaran
sikap dan niat baru sebagai jemaat kristiani. Jadi dalam langkah ini bertujuan untuk
mengajak peserta, berdasar nilai tradisi dan visi kristiani untuk menemukan sikap dan
nilai hidup yang hendak dipertahankan dan diperkembangkan. Disatu pihak peserta
mengintegrasikan nilai-nilai hidup mereka kedalam tradisi dan visi kristiani (Sumarno
Ds,2003:26).
Pada langkah ini peserta mendialogkan pengolahan mereka pada langkah
pertama dan kedua dengan isi pokok pada langkah ketiga peserta diberi kebebasan
untuk mempertimbangkan dan menilai mengenai nilai tradisi dan visi kristiani
berdasar situasi konkrit. Peserta dapat mengemukakan apa yang sungguh-sungguh
mereka pikirkan serta mengungkapkan perasaan, sikap intuisi, persepsi dan
penegasan (Heryatno WW,1997:32-33).
Pada tahap ini pendamping perlu menghormati kebebasan dan hasil
penegasan peserta dengan meyakinkan peserta bahwa mereka mampu
mempertemukan nilai pengalaman hidup dan visi mereka dengan nilai tradisi dan visi
kristiani. Oleh karena itu, pendamping hendaknya mendorong peserta untuk merubah
125
sikap dari pendengar pasif menjadi pihak aktif. Selain itu pendamping perlu
menyadari bahwa tafsirannya bukan merupakan harga mati, yang bukan merupakan
kebenaran satu-satunya (Sumarno Ds,2003:26).
6) Langkah V: Mengusahakan Suatu Aksi Konkrit
Langkah kelima ini memberi peluang kepada peserta untuk mengambil
keputusan dalam meningkatkan penghayatan imannya. Langkah ini mendorong
peserta untuk sampai pada pemahaman, kesadaran niat-niat, dan tindakan baru yang
membantu perkembangan kehidupan mereka. Langkah ini mendorong peserta pada
keterlibatan baru dengan jalan mengusahakan pertobatan terus menerus.Untuk itu
keputusan yang diambil dalam langkah ini hendaknya praktis, mudah dilaksanakan
dan menyemangati peserta untuk setia melaksanakannya. Keputusan yang diambil
dapat beranekaragam tingkat dan bentuknya. Pada umumnya keputusan dapat
dikategorikan dalam empat kelompok:
(a). Yang bersifat kongnitif, affektif, dan praktikal;
(b). Level personal, dan sosial;
(c). Berkenaan dengan aktivitas pribadi dan kelompok
(d). Menjadi operasional dalam kelompok sendiri atau diluar kelompok (Heryatno
WW, 1997:34-35)
Sesuai dengan tujuan langkah ini, pendamping harus sungguh-sungguh
mengusahakan agar peserta sampai pada keputusan pribadi dan bersama. Pendamping
dapat merangkum hasil langkah keempat, supaya dapat lebih membantu peserta
dalam mengambil keputusan. Dalam hal ini pendamping perlu menekankan pada
peserta sikap optimis dan realistis terhadap masa depan yang lebih baik dengan
kesadaran bahwa Allah senantiasa hadir dalam situasi apapun.
126
D. Program Rekoleksi
Suatu kegiatan dapat berjalan dengan baik dan lancar serta mencapai tujuan
yang diharapkan bila direncanakan secara sistematis dan matang. Untuk itu perlu
disusun program kegiatan. Program merupakan landasan untuk menentukan isi dan
urutan kegiatan yang akan dilakukan. Program bersifat menyeluruh, yang memuat
serangkaian kegiatan. Oleh karena itu program mempunyai peranan penting untuk
kemantapan dan kelancaran dalam pelaksanaan kegiatan (Mangunhardjana, 1986: 16-
17).
Di dalam suatu pembinaan perlu pembuatan program, sehingga arah dan
tujuan program menjadi jelas. Demikian pula untuk meningkatkan semangat
persaudaraan sejati dalam kongregasi SMFA melalui metode rekoleksi perlu
pembuatan program. Hal ini bertujuan untuk memperjelas arah dan tujuan rekoleksi
yang mau dicapai serta memperlancar pelaksanaan rekoleksi.
Penjabaran Prorgam Rekoleksi Tema : Persaudaraan Sejati Kelompok sasaran : Para Suster SMFA Tujuan : Peserta semakin memiliki jiwa dan semangat persaudaraan sejati No Sub Tema Tujuan Tema Judul
Pertemuan Tujuan Pertemuan
Isi/gagasan pokok
Metode Sarana Sumber Bahan
1 Spiritualitas “Suster Rakyat” sebagai sumber Membangun persaudaraan sejati dengan sesama
Peserta menyadari pentingannya membangun persaudaraan dengan sesama dan menghindari permusuhan sehingga terciptalah suasana damai
1 Sesamaku adalah saudaraku
• Peserta semakin menyadari bahwa sesama itu sangat berarti bagi dirinya untuk dapat terwujudnya suatu persaudaraan.
• Pentingnya bersaudara dengan sesama.
• Persaudaraan dengan sesama adalah persaudaraan yang terbuka bagi siapa saja tanpa dibatasi agama, etnis, suku, warna kulit, dsb.
• Setiap orang tidak ada yang di tundukkan oleh kuasa dan wewenang yang mengusai hidupnya, Fransiskus telah memberi contoh bagaimana
• Sharing • Informasi • Refleksi
• Teks cerita cergam merpati dan semut
• Konstitusi SMFA, art. 4
• Teks cerita • Konstitusi
SMFA, art.4 • Pengalaman
peserta
127
bersaudara yang baik, setiap ada permusuhan ia menjadi pembawa damai
2 Permusuhan menghancur-kan sesama
• Peserta menyadari sebab dan akibat hancurnya persaudaraan dengan sesama
• Ada banyak sebab terjadinya keretakkan di dalam hidup bersaudara karena saling menguasai, menganggap diri lebih dari yang lain, tidak mau mengalah, tidak rendah hati, tidak menerima keberadaan orang lain, dsb.
• Sebagai akibatnya adalah permusuhan terjadi dimana-mana, keharmonisan terkoyak lebar, tidak ada rasa kepercayaan terhadap sesama
• Sharing • Informasi • Refleksi
• Kitab Suci Kej 4:1-16
• Kitab Suci Kej 4: 1-16
• Pengalaman peserta
128
3 Kau dan akusaudara
• Perserta bersedia menalin persaudaraan dan menjaga kedamaian.
• Dunia perlu perlindungan dan perdamaian
• Setiap orang berhak mengalami rasa damai, aman tanpa permusuhan.
• Persaudaraan dibutuhkan dimana-mana sebagai wujud dari kesatuan umat manusia sebagai anak-anak Allah.
• Sharing • Informasi • Refleksi
• Teks doa“jadi-kan aku pembawa damai”
• Konstitusi SMFA art.5
• MB / FKK • Konstitusi
SMFA art.5 • Pengalaman
peserta
2 Penghayatan Persaudaraan Sejati Dalam Hidup Berkomunitas
Bersama peserta semakin memahami, mendalami penghayatan hidup bersaudara dalam berkomunitas sehingga mampu mewujudkannya dalam hidup secara konkrit
1 Pemahaman dan perananhidup berkomunitas
• Bersama peserta semakin mengerti dan memahami arti dan peranan hidup berkomunitas dan mewujudkannya dalam kehidupan nyata.
• Pemahaman tentang hidup berkomunitas
• Peranan hidup berkomunitas
• Sharing • Informasi
• Kitab Suci • Konsep
konstitusi SMFA art. 7
• Madah Bakti
• Kis. 2:41-47 • Kis 4: 32-37 • Konsep
Konstitusi art. 7
• Darminta.J. Metodologi Membaca Konstitusi, tt. 161-162
• Jacobs, Tom. Hidup Membiara
129
Makna dan Tantangan-nya, Kanisius 1987, hlm 130-136
2.Corak HidupPersaudaraan dalam Berkomunitas
• Bersama peserta semakin memahami dan mendalami corak hidup persaudaraan dalam berkomunitas sehingga dapat mewujudkannya dalam sikap dan tindakan yang nyata
• Komunitas Perjanian Baru
• Komunitas Religius
• Komunias Religius SMFA
• Sharing • Informasi
• Kitab Suci • Konstitusi
SMFA, art.8
• Mrk 3:13-19 • Kis 2: 42-47;
4:32-37 • Konstitusi
SMFA, art. 8 • Dokumen
Konsili Vatikan II (PC. Art 1)
• Henri JM, Neuwen, Satu Hati dan Satu Jiwa, Kanisius, 1987, hlm.103
3.Persaudaraan yang SalingMenghamba dan Melanyani
• Bersama peserta semakin memahami dan mendalami persaudaraan tarekat yang saling menghamba dan
• Pemahaman hamba dan pelayan
• Makna hamba dan pelayan
• Permainan • Sharing • Informasi
• Kitab Suci • Konsep
Konstitusi SMFA, art.12-15
• Madah Bakti
• Kertas,
• Luk 17:7-10 • Konsep
Konstitusi SMFA, art.12-15
• Koptari, Spiritualitas Melayani.
130
melanyani sehingga mampu menghayati dan mewujudkannya dalam sikap dan tindakan sehari-hari.
spidol Jakarta, 1987, hlm.7-12
3 Persaudaraan dengan semangat baru
Peserta berani merefleksikan hidup persaudaraannya dengan orang lain, mengoreksi dan memperbaikinya serta meningkatkannya dengan semangat baru
1 Rekonsiliasi • Peserta semakin menyadari bahwa permusuhan membawa kehancuran dan mengakibatkan retaknya hubungan dengan sesama, sehingga mendorong untuk saling mengampuni dan memperbaiki hubungannya dengan hati yang baru
• Ikatan darah tidak menjamin harmonisnya hubungan antara saudara.
• Kelemahan manusia bisa menyebabkan retaknya hubungan persaudaraan.
• Relasi yang putus dapat terjalin kembali bila masing-masing pihak saling memaafkan dan minta maaf
• Rekonsiliasi bersama.
• Sharing • Informasi • Refleksi
• Kitab Suci • Konsep
Konstitusi SMFA, art.96-98
• Madah Bakti
• Kertas, spidol
• Yoh. 8:1-11 • Konsep
Konstitusi SMFA, art. 96-98
• Smedes, Lewis B. Memaafkan Kekuatan Yang Membebas-kan. Kanisius, 19991, hlm.31-35
• Pengalaman peserta
2.Menumbuh-kan sikap
• Peserta semakin berani untuk
• Keterbukaan yaitu berani
• Sharing • Informasi
• Teks cerita “Hidup
• SEKAFI, Mengenal
131
keterbukaan bersikap terbuka berani menerima hal-hal yang baru dalam dirinya
untuk mengukapkan dirinya dan segala kebutuhannya dan berani menerima diri apa adanya
• Menceritakan pengalaman keterbukaan
• Refleksi Beberapa Saudara Pertama”
• Konstitusi SMFA, art. 102-103
Kebaikan St. Fransiskus dari Asisi, hlm; 23
• Konstitusi SMFA, art. 102-103
• Pengalaman peserta
3.Semangat saling berbagi
• Peserta semakin memiliki sikap solidaritas dan semangat saling berbagi dengan sesama
• Arti solidaritas dan semangat saling berbagi
• Semangat berbagi menjadikan relasi persaudaraan semakin akrab dan dekat
• Dengan berbagi orang keluar dari diri sendiri
• Mendalami Teks cerita
• Informasi • Refleksi
• Teks cerita • Konstitusi
SMFA, art. 100-101
• Teks cerita • Konstitusi
SMFA, art. 100-101
• Pengalaman peserta
132
133
Contoh Persiapan Rekoleksi yang pertama
Tema Umum Rekoleksi : Spiritualitas “Suster Rakyat” sebagai
sumber untuk membangun persaudaraan
sejati dengan sesama
Sub Tema : Spiritualitas “Suster Rakyat”
Tujuan Rekoleksi : Agar para Suster SMFA mampu memahami
dan mendalami arti dan makna spiritualitas
SMFA sebagai suster rakyat sehingga
semakin mampu menghayatinya dalam
hidup persaudaraan dan perutusan.
Materi : 1 Pengertian Spiritualitas
2 Spiritualitas SMFA: Spiritualitas suster
rakyat memilih hadir, hidup dan berkarya di
tengah rakyat biasa dimana kita
membagikan kasih dan damai yang dialami
antara saudari sekongregasi
Metode : Sharing, renungan, informasi, diskusi
Peserta : Para suster SMFA
Model : Shared Christian Praxis
Sarana : Kitab Suci, Madah Bakti, Konstitusi SMFA,
kertas flap, spidol, tali, straples
Sumber bahan : 1. Konstitusi SMFA
2. J. Darminta, SJ. Spiritualitas Pada
Umumnya. Rohani 8-8-1973.
3. Jacob, Tom, SJ. Spiritualitas (Salatiga:1989)
4. Cavanaugh Brian, T.O.R. (Rangkaian Kisah
Bermakna, 100 Cerita bijak 1995)
134
PEMIKIRAN DASAR
Mengasihi adalah kata yang sering diucapkan orang meskipun tidak jelas arti
dan makna. Kata yang mudah diucapkan dan terdengar begitu bagus itu, ternyata
sangat sulit diamalkan dalam hidup setiap hari. Dewasa ini kita hidup dalam zaman
yang ditandai dengan perubahan masyarakat yang sangat cepat. Berbagai macam
dampak positif maupun negatif perkembangan kemajuan manusia tersebut. Kemajuan
tersebut menuntut manusia untuk terus mengembangkan hidupnya. Demikian pula
kehadiran biarawan-biarawati ditengah masyarakat juga mendapat banyak pengaruh
dari perubahan masyarakat yang begitu cepat. Kaum religius ditantang dan dituntut
untuk hidup lebih bermutu. Mutu hidup para religius sangat bergantung pada
kekhasan penghayatan kerohanian masing-masing kongregasi. Salah satu kerohanian
kongregasi adalah spiritualitas. Penghayatan spiritualitas berarti hidup menurut
teladan iman kristiani tertentu yang dianugerahkan Roh Kudus kepada kongregasi
tertentu melalui para pendiri. Khasan penghayatan hidup ini harus terus digali,
diperdalam, sehingga tidak menyimpang dari semangat pendiri dan semakin
memperkaya penghayatan dalam hidup dan karya.
Berangkat dari situasi di atas, para suster SMFA terus berusaha untuk
meningkatkan pemahaman dan penghayatan spiritualitas kongregasi adalah “Suster
Rakyat” : memilih hadir, hidup dan berkarya ditengah rakyat biasa dimana kita
membagikan kasih dan damai yang dialami antara saudari sekongregasi (K.Konst,
2005: art. 9).
Arti dan makna persaudaraan yang sesungguhnya dapat kita lihat dalam
penghayatan Santo Fransiskus dari Asisi. Fransiskus memandang semua makhluk
ciptaan Tuhan sebagai saudara. Pemahamannya yang paling mendasar ialah bahwa
135
semua makhluk bergantung kepada Tuhan. Fransiskus menghormati semua makhluk
itu sebagai ciptaan Allah yang luhur. Perlakuan hormat Fransiskus terhadap setiap
makhluk ciptaan mewujudkan sikap bersahabat. Bagi Fransiskus, makhluk ciptaan
mewujudkan sikap bersahabat. Bagi Fransiskus, makhluk-makhluk itu tidak hanya
manusia, tetapi juga ciptaan Allah lainnya perlu diberi kesempatan untuk hidup. Itu
berarti bahwa tidak seorang pun boleh merampas hak hidup orang/makhluk lain
karena yang berkuasa atas hidup adalah Allah.
Melalui pemahaman dan penghayatan spiritualitas suster rakyat diharapkan
para suster SMFA mampu membangun hidup berkomunitas. Membangun hidup
berkomunitas berarti membangun setiap anggota untuk mampu hidup dalam cinta
yang menyerahkan/memberikan diri bagi orang lain (Yoh 15: 13). Dalam pertemuan
ini kita bersama-sama diundang untuk saling berbagi, saling membantu dan saling
memperkaya dalam usaha semakin memahami dan mendalami spiritualitas kita.
Dengan demikian kita mendapatkan dan penghayatan yang utuh dan jelas.
Pengembangan Langkah-Langkah
1 Pembukaan
a Lagu Pembukaan :
b Doa Pembukaan
Allah Bapa yang penuh belas kasih, Engkaulah dasar dan tujuan hidup kami.
Engkau telah memanggil dan mempersatukan kami di dalam kongregasi SMFA untuk
menjadi abdi-Mu pewarta belas kasih-Mu kepada sesama. Pada kesempatan ini kami
berkumpul atas nama-Mu untuk mendalami spiritualitas kami. Kami mohon
berkatilah dan anugerahilah kami yang hadir di sini dengan karunia Roh KudusMu,
136
sehingga kami mampu mengikuti kegiatan ini dan mengambil makna yang berguna
bagi pembaharuan hidup kami. Kami mohon ini dengan perantaraan Kristus Tuhan
kami. Amin.
2 Langkah I: Pengungkapan Pengalaman Faktual
a Pengantar
Para suster yang dikasihi Tuhan, pada saat ini kita diajak untuk mendalami
spiritualitas kita. Hal ini mengingat situasi masyarakat yang sekian berkembang
turut berpengaruh terhadap hidup religius. Kita diajak untuk melihat kembali
semangat hidup kita berdasarkan spiritualitas SMFA, dengan harapan kita
semakin mampu menghadapi tantangan zaman, dan tetap teguh menampakkan
kekhasan dalam penghayatan hidup persaudaraan sebagai suster rakyat setiap hari
ditengah masyarakat.
b Membagikan teks cerita bergambar kepada peserta. Seorang peserta membaca
serita tersebut di depan peserta yang lain.
c
BURUNG MERPATI DAN SEMUT
Seekor semut hitam kecil merasa capai, setelah berkerja keras sepanang hari.
Dalam perjalanan ke rumahnya dengan badan penuh keringat dia sampai kesebuah
sungai dengan airnya yang sejuk dan segar. Katanya: “Di sini ada obat haus, saya
akan minum sedikit”, tetapi celaka, dia tergelinjir dan jatuh.
Byur............Tolong............... tolong.........semut itu terbawa arus. Seekor merpati
melihat dia dari atas pohon dan melemparkan sebatang ranting. Semut itu dapat naik
ke atas ranting itu dan berakit sampai ke daun-daun di tepi sungai.
137
Sementara dia berjemur di sinar matahari dan beristirahat...’waduh, pemburu
ini pasti mau menembak si merpati. Segera dia lari menuju ke tempat pemburu itu.
Sampai di kaki si pemburu, semut itu mulai menggigit sekuat tenaga. Aduh..............!
binatang apa ini? Mendengar teriakan pemburu, merpati itu sadar akan bahaya yang
mengancam lalu terbang. Kata pemburu itu: “sialan! Persis pada saat saya akan dapat
merpati itu. Setelah pemburu itu pergi, merpati dan semut saling bertemu. Siapa yang
berbuat baik akan memperoleh kebaikkan juga (Studio A.V. Puskat; cerita binatang)
d Pertanyaan panduan:
a) Apakah yang dialami semut dan merpati sampai selamat dari bahaya?
b) Apakah Anda memiliki pengalaman yang mirip dengan pengalaman semut dan
merpati?
e Rangkuman dan peneguhan
Betulkah bahwa kebaikan yang dilakukan oleh sikuat akan dibalas dengan
kebaikan juga? Mungkin semut itu pada dasarnya tidak mampu untuk membantu
merpati, tetapi dalam hal ini kebetulan dia mendapat kesempatan yang tak terduga.
Pasti kesempatan ini tidak diduga oleh merpati, sehingga boleh diandaikan bahwa
pertolongannya kepada semut sungguh dengan tulus hati. Mungkin justru itulah yang
dirasakan oleh semut dan mendorong dia untuk membalas dengan kebaikan.
Persaudaraan yang digambarkan di sini tidak dapat diperoleh dengan sikap balas
jasa saja. Dengan sikap demikian, siapa yang akan memulai memberi jasa? Pasti
merpati tidak mempunyai alasan untuk itu. Syarat di sini ialah bahwa kebaikan itu
diberikan secara gratis oleh Tuhan pada kita masing-masing, namun apakah kita
bersedia membagikan kebaikan itu kepada sesama yang ada di sekitar kita? Dan
138
apakah kita dapat memberi kepada yang membutuh bantuan tanpa mengharapkan
balas jasa?
3 Langkah II: Refleksi Kritis atas Sharing Pengalaman Faktual
a Peserta diajak untuk merefleksikan pengalaman pada langkah I.
Dari pengalaman atau ungkapan yang telah kita bicarakan bersama, maka marilah
kita mencoba untuk menggalinya lebih dalam dengan beberapa pertanyaan
sebagai berikut:
Sharing: kelompok, dilanjutkan dengan pleno.
1) Mengapa Anda berusaha memahami dan mendalami spiritualitas SMFA?
2) Bagaimana caranya Anda berusaha memahami dan mendalami spiritualitas
SMFA?
b Rangkuman dan peneguhan
Sebagai suster SMFA, kita akan bertumbuh dan berkembang jika dalam hidup
berlandaskan spiritualitas suster rakyat, karena spiritualitas adalah anugerah Roh
Kudus untuk menghayati kekhasan iman kongregasi. Untuk mendalami spiritualitas
kongregasi kita telah menempuh beberapa cara, misalnya melalui pelajaran ketika
masih di novisiat, melalui retret dan rekoleksi dengan tema tentang spiritualitas,
pertemuan komunitas dan segala macam bentuk telah kita tempuh.
Kemajuan masyarakat zaman ini sangat pesat, dengan tawaran nilai dunia yang
bertentangan dengan nilai iman Kristiani. Menghadapi situasi itu para suster SMFA
dituntut untuk memantapkan hidupnya melalui penghayatan iman sesuai spiritualitas
kongregasi yang diwariskan Bapa Pendiri. Dengan demikian para suster SMFA dapat
139
menampilkan hidup yang tetap bermutu ditengah masyarakat dalam menghadapi
kemajuan dunia yang semakin cangih ini.
4 Langkah III: Mengusahakan supaya Tradisi dan Visi akristiani lebih
terjangkau
a Salah seorang peserta dimohon membacakan teks konsep Konstitusi art. 9.
Spiritualitas SMFA adalah Suster Rakyar:
“Tuhan kita Yesus Kristus telah memberikan teladan kepada kita dengan
‘menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kita menjadi kaya oleh karena
kemiskinanNya’ teladan inilah yang diikuti St. Fransiskus Asisi dan dipilih oleh
Pastor Gerardus van Schijndel sebagai spiritualitas dan pedoman bagi para
anggota kongregasi kita yang dicita-citakannya sebagai :’suster rakyat’.
Disemangati spiritualitas ini dan dalam kesetiaan akan cita-cita pendiri, kita
memilih hadir, hidup dan berkarya ditengah rakyat biasa dimana kita
membagikan kasih serta damai yang dialami antara saudari sekongregasi”.
b Peserta diberi waktu untuk hening sejenak secara pribadi merenungkan dan
menanggapi teks konstitusi dengan dibantu beberapa pertanyaan:
1) Apa yang dikatakan oleh artikel tadi tentang spiritualitas suster rakyat?
2) Adakah kalimat atau kata dari artikel yang telah dibacakan tadi menarik perhatian
Anda atau mengesan dalam hati Anda? Mengapa?
c Interprestasi dari pendamping sehubungan dengan artikel Konsep Konstitusi yang
telah dibacakan dan dikaitkan dengan jawaban peserta atas pertanyaan panduan
yang telah diajukan.
Spiritualitas SMFA adalah Spiritualitas Suster Rakyat.
140
Sebagai suster rakyat, kita perlu membentuk suatu ikatan persaudaraan yang
kuat, diperlukan sikap kasih. Setiap orang hendaknya mampu menghormati pribadi
lain sebagai ciptaan Allah yang sama dengan dirinya, yang mempunyai kelebihan dan
kekurangan. Dengan sikap ini orang akan mampu menerima kehadiran orang lain
sebagai pribadi yang unik. Dengan menghargai kekhususan yang dimiliki orang lain
itu berarti menghargai martabat pribadi manusia sehingga dapat mengasihi sesama
dalam hidup sehari-hari. Beberapa hal yang positif untuk membina ikatan
persaudaraan, misalnya:
Menghargai orang lain
Menerima orang lain apa adanya
Solider dengan teman yang mengalami kesulitan
Mengasihi.
Halangan untuk membentuk suatu ikatan persaudaraan ialah sikap dasar
manusia yang mementingkan diri sendiri. Orang sering melihat sesama sebagai
saingan. Tanpa disadari persaingan antar kelompok bisa menjadi sumber permusuhan.
Persaingan itu muncul karena setiap kelompok ingin menunjukkan sebagai yang
terbaik. Di samping itu ada keinginan tersembunyi dalam diri pribadi agar diakui
keberadaannya.
Pengalaman saat membagi kelompok tadi memperlihatkan bahwa orang masih
memilih-milih teman. Kita mengalami bahwa ada teman yang dipilih paling akhir.
Sepintas muncul kesan bahwa ia terpaksa diterima dalam kelompok. Suster yang
mengalami itu mungkin merasa disingkirkan. Pengalaman itu mengganjal hati dan
pergaulan, serta menghambat hubungan satu sama lain.
141
Persaudaraan sejati selalu memelihara hubungan antar-pribadi yang sejajar.
Orang menerima kehadiran sesamanya sebagai bagian dari dirinya. Hubungan itu
berdasarkan sikap menghargai orang lain sebagai ciptaan Tuhan. Persaudaraan seperti
itu selalu membawa orang menuju kedewasaan pribadi. dalam hubungan itu
seseorang akan mengakui kekurangannya dan menerima orang lain apa adanya.
Dalam hubungan persaudaraan yang sejajar ini akan terjadi:
Saling membantu dalam kesulitan dan saling mendukung dalam mengejar
cita-cita.
Dapat saling belajar dan menghormati perbedaan yang dimiliki setiap orang.
Dapat memahami watak orang lain
Pergaulan semakin luas sekaligus menambah wawasan dan makin dewasa.
Fransiskus mengajak orang bersahabat dan tidak menfitnah orang lain.
Nasihat Fransiskus itu memang ditunjukan kepada orang-orang yang mengikuti dia,
tetapi nilai- nilai positif dari ajakan Fransiskus itu kiranya berguna bagi kita. Sikap
Fransiskus itu tepat sebab perlakuan lembut terhadap orang lain dapat menghindarkan
perselisihan. Sikap lemah lembut dan rendah hati dapat mendorong terwujudnya
kedamaian.
Persaudaraan yang sejati akan terwujud kalau orang mampu mengasihi,
menerima kehadiran orang lain apa adanya dan tidak menjelek-jelekannya. Mengasihi
orang berarti menerima dan menghormati keberadaan orang itu apapun sukunya,
status sosialnya, dan agamanya. Semua akan terjadi bila manusia mampu menghargai
dan menghormati martabat pribadi manusia sebagai makhluk ciptaan Allah.
142
5 Langkah IV: Interprestasi Dialektis antara Pengalaman dan Visi Hidup
Peserta dengan Tradisi dan Visi Kristiani
a Pengantar :
Berdasarkan tradisi dan visi yang terungkap pada langkah I dan II, pendamping
dan peserta mengkonfrontasikannya dengan langkah III sesuai dengan kesadaran
masing-masing. Untuk memperlancar proses ini pendamping membantu peserta
dengan pertanyaan panduan.
Pertanyaan panduan:
1) Apakah Anda merasa disadarkan, ditantang, diteguhkan setelah mendengar paham
tentang spiritualitas suster rakyat, menurut kongregasi kita? Mengapa?
2) Bagaimana usaha Anda untuk hidup berdasarkan paham spiritualitas kongregasi?
b Rangkuman
Lebih bersifat mengulang jawaban-jawaban yang muncul dari peserta dan
membuka jalan untuk ke langkah kelima.
6 Langkah V: Keterlibatan Baru demi makin terwujudnya Kerajaan Allah
a Peserta diberi waktu untuk meresapkan dua pertanyaan refleksi di atas untuk
semakin memahami spiritualitas SMFA.
b Memberi kesempatan kepada yang ingin mengungkapkan pengalaman imannya
setelah merenungkan dua pertanyaan di atas.
c Merumuskan niat dan keterlibatan bersama.
d Dilanjutkan dengan doa permohonan secara spontan
Merangkum keseluruhan pembicaraan dan mengakhiri dengan doa penutup.
e Doa Penutup:
143
Tuhan yang berbelas kasih, kami bersyukur atas penyertaan dan bimbingan-Mu
sehingga kami dapat mengakhiri pertemuan ini, dengan membawa sesuatu hal
yang baru, peneguhan dan dorongan untuk semakin berusaha memahami dan
menghayati semangat hidup sebagai suster rakyat yang menjadi spiritualitas kami.
Kami mendapat kesadaran baru bahwa hidup berdasarkan spiritualitas kongregasi
akan memperkaya dan mempersubur penggilan kami sebagai religius SMFA, dan
mendapat peneguhan dari yang kami imani dan hayati selama ini yang bersumber
pada semangat hidup Yesus walaupun masih jauh dari harapan dan kehendak-Mu.
Semoga dengan bimbingan dan kekuatan-Mu kami semakin mampu mengikuti
jalan hidup Yesus Putra-Mu kami wujudkan dalam kongregasi, komunitas dan
ditengah masyarakat dimana tempat kami merasul sehingga Engkau semakin
dimuliakan kini dan sepanjang masa. amin.
f Lagu Penutup: Teks “Serikat Persaudaraan”.
144
Contoh Persiapan Rekoleksi yang II
Tema Umum Rekoleksi : Penghayatan Persaudaraan Sejati Dalam Hidup
Berkomunitas
Sub Tema : Persaudaraan yang Saling Mengampuni
Tujuan Rekoleksi : Bersama peserta memahami kekuarangn dan
kelebihan diri sendiri dan sesama sehingga mampu
mengampuni dalam sikap dan tindakan sehari-hari.
Materi : - Saling memahami kelemahan dan kekurangan
diri sendiri dan sesama
- Saling menerima dan mengampuni
- Makna pengampunan
Metode : Sharing, Informasi
Peserta : Para Suster SMFA
Model : Shared Christian Praxis
Sarana : - Konstitusi, Kitab Suci
- Madah Bakti,
- Spidol,
- Kertas
Sumber Bahan : - Injil Yoh 8 :1-8
- Konsep Konstitusi SMFA art. 4
- Lewis B. Semedes “Memaafkan Kekuatan yang
Membebaskan”
145
PEMIKIRAN DASAR
Salah satu hidup religius adalah hidup bersama dalam komunitas yang
didasarkan pada cinta persaudaraan. Dalam hidup berkomunitas zaman sekarang,
khususnya dalam komunitas SMFA, belum menampakkan persaudaraan sejati antar
anggota/pribadi dalam komunitas, seperti sering kali dibicarakan dalam Kapitel
Umum Biasa maupun dalam rapat komunitas. Dalam kongregasi kita mengalami
bahwa persaudaraan belum sungguh bersaudara karena kita tidak dekat dari hati ke
hati. Kedekatan dari hati ke hati merupakan kedekatan antara pribadi dalam
komunitas.
Setiap pribadi dalam komunitas memiliki kecendrungan yang berbeda-beda
antara lain berpikir dan berbicara terhadap sesama. Kecendrungan menilai diri lebih
baik dari orang lain. Kecendrungan itu dapat disebut sebagai kelemahan. Kelemahan
tersebut dapat merusak hubungan persaudaraan. Untuk mengembalikan hubungan
persaudaraan menjadi baik (akrab kembali), mutlak perlu adanya sikap untuk saling
memaafkan atau saling mengampuni antara satu dengan yang lain.
Namun kenyataan tidak begitu mudah untuk memaafkan, mengampuni
kesalahan atau kelemahan orang lain. Kecendrungan terjadi justru membicarakan atau
menyebar luaskan kelemahan sesama. Dapat terjadi pula memberi maaf/ampun tetapi
tidak iklas, karena menyimpan dendam dan benci. Situasi seperti ini mengambarkan
bahwa kita tidak memberi kesempatan untuk sesama memperbaiki kelemahan atau
kesalahannya dan tidak mudah bersikap bijaksana dengan menyapa, menasehati,
memaafkan dan menyadarkan kesalahannya. Untuk mampu mengampuni/memaafkan
dituntut pula kerendahan hati seperti yang ditegaskan dalam Konstitusi SMFA:
“Yesus berkata :”Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti
146
Aku telah mengasihi kamu”. Injil Tuhan kita Yesus Kristus merupakan pengerak dan
motivasi dasar hidup kita, baik sebagai pribadi maupun komunitas dan kongregasi.”
(Konsep Konstitusi art.4).
Mengampuni merupakan sesuatu yang penting dalam hidup persaudaraan
sebagai seorang kristiani seperti yang telah dilakukan oleh Yesus terhadap perempuan
yang berzinah (Yoh 8:1-11). Yesus memberi ampun dan membebaskan perempuan
itu dari rasa malu. Perempuan itu menyesal atas kesalahannya. Yesus menasehati dan
memberi pesan kepadanya supaya tidak berbuat dosa lagi. Pesan ini yang memberi
kekuatan baginya. Ia mendamaikan si pendosa dengan Bapa dan pertobatan diterima
dengan pengampunan. Kepada kelompok-kelompok ahli Taurat dan Farisi, Yesus
menyadarkan mereka bahwa setiap manusia tidak luput dari kesalahan dan dosa.
Dalam rekoleksi ini para Suster SMFA diajak untuk menyadari bahwa
kesatuan dan persaudaraan dalam kongregasi sangat dibutuhkan untuk saling
mengasihi, mengampuni dan tidak mudah menghakimi secara curiga kepada sesama,
serta menyadarkan bahwa kita adalah mahkluk yang berdosa. Oleh karena itu, dalam
dunia yang penuh dosa ini hanya dimungkinkan hidup tenteram dan damai, jika ada
pengampunan dan kasih. Untuk mencapai tujuan ini kita perlu merefleksi pengalaman
hidup mengenai pengampunan dengan bantuan teks Yoh 8:1-11, yang menghantar
kita ke dalam rekonsiliasi bersama.
Pengembangan Langkah-Langkah
2. Pembukaan
a. Pengantar
Pengampunan merupakan dasar persaudaraan sejati. Persaudaraan rusak karena
kelemahan dan kekurangan serta dosa kita. Untuk mengutuhkan kembali
147
persaudaraan itu, mutlak dibutuhkan sikap mengampuni. Sikap mengampuni ini
didukung oleh sikap menerima kelebihan dan kekurangan diri sendiri dan sesama.
Kenyataan itu tidak mudah kita lakukan. Mengapa kita sulit memberi maaf atau
memberi pengampunan. Apa yang harus kita lakukan untuk berani memaafkan atau
mengampuni?
Dalam pertemuan ini, kita akan mendalami hal tersebut dengan mendasarkan
refleksi pada Kitab Suci.
b. Lagu Pembukaan : Madah Bakti. No. 366, bait 1 dan2 2
3. Doa Pembukaan
Allah Bapa yang Maha belaskasih, kami bersyukur kepada-Mu karena Engkau
tetap mencintai kami yang kecil dan pendosa ini. Dalam pertemuan ini kami ingin
mendalami pengalaman hidup kami sehubungan dengan sikap saling mengampuni
untuk meningkatkan persaudaraan sejati diantara kami dalam kongregasi ini.
Kami sadar bahwa mengampuni dan memaafkan sesama kami dengan ikhlas,
tidak mudah kami wujudkan, sehingga persaudaraan kami tampak menjadi suram.
Kami mohon ya Bapa, bukalah hati dan budi kami dengan Roh-Mu yang
mahakudus, supaya kami mampu mengoreksi hidup kami dan berani mau
mengampuni sesama kami. Kami mohon ini dengan perantaraan Kristus Tuhan
kami. Amin.
a Langkah 1 : Pengungkapan Pengalaman Faktual : Sebuah Artikel
Joe berkata “Aku begitu tegang dan culas”, sedangkan Dave begitu santai dan
kelihatan bahagia. Aku belum dapat melupakan perdebatan yang menyakitkan itu.
Aku tidak dapat memaafkan Dave. Aku tidak dapat menerimanya kembali.
148
Setelah tenang dan diriku aku berkata: “Apa gunanya aku berdoa Bapa Kami?
Aku menjadi sadar, namun belum dapat memaafkan Dave (Semedes, 1991:95)
1 Pendamping membagikan artikel untuk direfleksi, dengan pertanyaan penuntun
sebagai berikut:
a) Apa perasaan Anda pada waktu membaca teks tersebut?
b) Apakah Anda mempunyai pengalaman seperti Joe?
2 Rangkuman dan Peneguhan
Memberi maaf/mengampuni, dapat membebaskan diri dari belenggu dendam dan
kebencian serta membuat hidup lebih bahagia. Dendam yang berkepanjangan
menyiksa diri sendiri, hidup tidak bahagia, kegiatan harian bisa macet. Kesadaran
sebagai orang kristiani melalui doa “Bapa Kami” yang diajarkan oleh Yesus,
menunjukkan keterbukaan hati untuk mau berdamai kembali dengan sesama.
Kemauan itu harus diwujudkan dalam tindakan.
b Langkah II: Refleksi Kritis Atas Sharing Pengalaman Faktual
1 Peserta diajak untuk merefleksikan pengalaman pada langkah I. Dari pengalaman
atau ungkapan yang telah kita bicarakan bersama, maka marilah kita mencoba
untuk menggalinya lebih dalam dengan beberapa pertanyaan sebagai berikut:
a) Bagaimana sikap kita terhadap kekurangan sesama?
b) Mengapa kita sulit memaafkan/mengampuni?
2 Rangkuman dan Peneguhan
Kesulitan mengampuni, memaafkan, karena kita merasa diri yang paling baik,
paling benar, tidak melihat bahwa dalam diri sendiri juga memiliki kekurangan. Mata
batin kita belum dapat melihat kelebihan dan kebaikan-kebaikan orang lain, sehingga
149
kesalahan kesalahan sesama sulit diterima dan dimaafkan, bahkan semakin mudah
untuk menghakimi, mencela, marah dan jengkel. Hal seperti ini menimbulkan
keretakan dalam persaudaraan. Kegiatan-kegiatan biasa berantakan, termasuk
kegiatan rohani.
Menyadari diri sebagai seorang kristiani yang religius, seharusnya kita lebih
mampu membawa damai dan pengampunan seperti yang dilakukan oleh Yesus dalam
Kitab Suci yang akan kita dengar dalam renungan bersama.
c Langkah III: Mengusahakan supaya tradisi dan Visi Kristiani lebih
terjangkau
1 Salah seorang peserta dimohon untuk membacakan Inil Yoh 8: 1-11.
2 Peserta diberi waktu hening sejenak secara pribadi , kemudian dilanjutkan dengan
diskusi, dengan pertanyaan sebagai berikut:
a) Kalimat mana yang menunjukkan adanya pengampunan dalam Yoh 8:1-11?
b) Apa pesan Yesus kepada perempuan yang berzinah?
c) Bagaimanakah model pengampunan yang dituntut dari kita berdasarkan model
pengampunan Yesus dalam Kitab Suci tadi?
3 Interpretasi
Kemampuan untuk mengampuni memerlukan kesadaran diri sebagai pendosa
yang setiap kali membutuhkan pengampunan demi orang lain dan pernah diampuni
oleh orang lain. Pengampunan dari Allah yang setiap kali kita terima menjadi dasar
yang kokoh untuk mengampuni sesama. Hal ini sangat jelas dilukiskan dalan kisah
perempuan berzinah yang diampuni Yesus (Yoh 8:1-11). Yesus dalam kelembutan
hati menerima perempuan itu dan mendamaikannya dengan Allah Bapa. Pertobatan
150
dari perempuan itu diterima Yesus dengan pengampunan yang memberikan kekuatan
untuk hidup baru.
Menyadari diri sebagai pendosa yang pernah merusak hubungan persaudaraan,
baik dengan kata-kata maupun perbuatan, seharusnya kita lebih rela dan ikhlas
memberi maaf dan ampun serta menerima sesama dalam hidup kita. Persaudaraan
akan terpulih kembali apa bila adanya keterbukaan dan usaha setiap pribadi untuk
memperbaharui diri dalam saling mengampuni. Dengan demikian kita dapat maju,
bertumbuh dan berkembang sebagai satu kongregasi. “Hendaknya setiap anggota
komunitas senantiasa rela memberikan waktu dan tempat, dengan bijaksana dan
rendah hati, untuk mengupayakan rekonsiliasi antara sesama dalam
komunitas”(K.Konst, art.8). Dari kesatuan ini muncullah cinta dan hubungan pribadi
dengan setiap anggota, dimana ada keramahtamahan penuh kasih mesra dan saling
mengampuni terjadi.
Sikap memaafkan merupakan penghayatan spiritualitas Santo Fransiskus Asisi.
Mengampuni merupakan hal yang mutlak bagi seorang kristiani karena merupakan
wujud dari cinta persaudaraan. Terus menerus mengampuni merupakan kesadaran
bahwa setiap saat kita dapat jatuh dalam kelemahan yang sama dan membutuhkan
saling mengampuni. Hal ini secara tegas dikatakan oleh Yesus kepada Petrus untuk
mengampuni tanpa batas (Mat 18:21-29).
Sikap saling mengampuni, didasarkan pada iman kita bahwa Allah sendiri sudah
mengampuni dosa kita. Cinta dan belaskasih Allah jauh lebih besar dibandingkan
dosa dan kelemahan kita. Karena itu seharusnya kita menyalurkan belaskasih Allah
melalui sikap dan tindakan yang terbuka untuk menerima, memaafkan dan
mengampuni sesama dalam komunitas maupun di tempat kerasulan.
151
d Langkah IV: Interprestasi Dialektis antara Pengalaman dan Visi Hidup
peserta dengan Tradisi dan Visi Kristiani
1 Pengantar
Berdasarkan tradisi dan visi yang terungkap pada langkah I dan II pendamping
dan peserta mengkonfrontasikannya dengan langkah III sesuai dengan kesadaran
masing-masing. Pertanyaan panduan:
a) Sejauh mana pesan teks Yoh 8:1-11 berserta ulasannya menyadarkan, menantang,
menyentuh, dan meneguhkan Anda?
b) Bagaimana usaha Anda mengampuni orang lain?
2 Rangkuman
Lebih bersifat mengulang jawaban-jawaban yang muncul dari peserta atau
mengambil intisari jawaban peserta dan membuka jalan untuk masuk kelangkah
ke V.
e Langkah V: Keterlibaan Baru Demi Makin Terwujudnya Kerajaan Allah
1 Peserta diberi waktu cukup untuk meresapkan dua pertanyaan refleksi diatas
sebagai wujud persaudaraan.
2 Diberi waktu untuk rekonsiliasi bersama (bagi peserta yang bersedia secara
spontan memberi maaf dan ampun).
3 Membangun niat bersama dalam bentuk doa spontan
4 Doa Penutup
Allah Bapa yang maharahim, kami bersyukur kepada-Mu karena Engkau
mendampingi kami sampai akhir pertemuan ini. Kami merasakan bimbingan-Mu
yang menyadarkan kami untuk mengampuni sesama, terlebih yang pernah
152
bersalah kepada kami. Kami merasa ditantang karena kami belum sungguh-
sungguh menjadi saksi pengampunan dan damai bagi dunia. Kami mohon,
ampunilah dosa dan kesalahan kami. Ajarilah kami mengampuni tanpa batas
sehingga terwujudlah persaudaraan sejati yang penuh kasih. Semua ini kami
mohon kepada-Mu dengan perantaraan Kristus Tuhan kami. Amin.
5 Lagu Penutup :Madah Bakti no. 378 bait 1dan3.
BAB VII
PENUTUP
Pada bagian akhir dari karya tulis ini penulis mencoba melihat kembali secara
keseluruhan Bab I sampai Bab VI, yaitu beberapa hal yang mendasar mengenai
penghayatan hidup persaudaraan sejati bagi para Suster Misi Fransiskanes Santo
Antonius. Dalam bagian ini penulis akan mengemukakan kesimpulan berserta saran
sehubungan dengan upaya meningkatkan kualitas penghayatan semangat
persaudaraan sejati dalam hidup sehari-hari bagi para suster SMFA melalui rekoleksi
dalam bentuk katekese model SCP.
A. Kesimpulan
Pada bagian kesimpulan ini, penulis akan mengemukakan beberapa hal yang
perlu ditegaskan dan dipikirkan kembali untuk meningkatkan penghayatan semangat
persaudaraan sejati dalam kongregasi Suster Misi Fransiskanes Santo Antonius.
Skripsi yang berjudul “Persaudaraan Sejati Suster Misi Fransiskanes Santo
Antonius Dalam Terang Spiritualitas Santo Fransiskus Asisi”, ingin mengajak para
suster SMFA untuk lebih meningkatkan penghayatan semangat persaudaraan sejati
dan mewujudnyatakannya dalam hidup sehari-hari melalui pertemuan katekese
dalam bentuk rekoleksi. Persaudaraan merupakan suatu nilai manusiawi dan kristiani
yang amat penting. Persaudaraan juga nilai yang amat penting dalam hidup religius
dan hidup fransiskan secara khusus bagi kongregasi Suster Misi Fransiskanes Santo
Antonius. Sebab sesungguhnya Allah menghendaki agar semua manusia, yang
diciptakan seturut gambar dan keserupaan dengan-Nya, dipanggil untuk membentuk
153
154
suatu keluarga umat manusia dan memperlakukan satu sama lain dalam semangat
bersaudara.
Manusia diciptakan Allah, seturut citra-Nya, sebagai mahkluk individu
sekaligus mahkluk sosial. Dalam keberadaannya sebagai mahkluk sosial, manusia
tidak dapat memisahkan diri dari yang lain, ia tidak dapat hidup sendiri. Sebaliknya,
ia perlu membangun relasi dengan yang lain pada kenyataannya, melalui relasi
dengan yang lain, manusia justru akan semakin diperkembangkan dan
disempurnakan. Dengan kata lain, eksistensi dan jati dirinya yang sesungguhnya akan
semakin diteguhkan.
Relasi yang perlu dibangun oleh manusia dengan sesamanya adalah relasi
persaudaraan yang bersifat universal, yang menembus segala batas pemisah, entah
suku, bahasa, agama, golongan sosial, atau aspek yang lainnya. Inilah relasi dalam
arti sesunggunhnya, relasi yang didasarkan pada kasih akan Allah dan sesama,
sebagaimana Allah telah membangun relasi dengan manusia atas dasar kasih tanpa
batas dan pemberian diri yang total. Inilah relasi yang menjadikan diri sendiri dan
pihak lain mampu menemukan eksistensi kemanusiaanya. Singkat kata inilah relasi
yang menusiawikan.
Persaudaraan adalah suatu cita-cita kehidupan yang hendak diwujudkan oleh
semua orang tarekat hidup bakti. Ideal hidup ini sudah muncul dalam anggaran dasar
tua para rahib. Ideal hidup ini diterima dalam KHK bagi semua tarekat religius
dengan rumusan berikut, “Oleh hidup persaudaraan yang menjadi ciri masing-masing
lembaga, semua anggota dipersatukan bagaikan dalam suatu keluarga khusus dalam
Kristus. Hendaknya hidup persaudaraan itu ditentukan sedemikian rupa sehingga
semua saling membantu untuk memenuhi panggilan masing-masing. Dengan
155
persekutuan persaudaraan itu, yang berakar dan berdasar dalam cinta kasih, para
anggota menjadi gambar dari perdamaian menyeluruh dalam Kristus.
Dalam rangka memberi kesaksian tentang hidup persaudaraan kepada Gereja
dan dunia oleh tarekat-tarekat hidup bakti, persaudaraan fransiskan menanggung misi
khusus sebagaimana Fransiskus telah melaksanakan dan mengerjakan dalam
perjuangannya untuk menyerupai Kristus dan Injil.
Tugas Fransiskus dan saudara-saudaranya adalah menyelaraskan kehidupan
mereka dengan Kristus dan melaksanakan Injil. Persaudaraan fransiskan secara hakiki
meneruskan tugas ini dengan memberikan suatu kesaksian akan universalitas
kebapaan Allah dan persaudaraan universal manusia kepada Gereja dan dunia.
Persaudaraan sejati ini terbuka kepada seluruh makhluk ciptaan sebagai model
idealnya adalah persaudaraan yang dihayati oleh Kristus dan para rasul-Nya (Mrk 3:
14-15).
Manusia tidak bisa hidup sendirian. Manusia selalu membutuhkan kehadiran
orang lain. Kehadiran orang lain sangat penting dalam rangka mengembangkan
kepribadian menjadi dewasa. Pesaudaraan sejati akan sungguh berarti jika seseorang
mampu menerima kehadiran orang lain apa adanya. Artinya, kekurangan yang
dimiliki tidak menjadi halangan untuk berteman. Perbedaan itu justru sebagai suatu
sumbangan yang sangat berharga bagi suatu kelompok. Fransiskus dari Asisi menjadi
teladan: ia memandang semua orang sama derajad, tidak membeda-bedakan. Bahkan
orang-orang miskin dan menderita kusta menjadi saudara Fransiskus. Ia secara
khusus melayani orang-orang yang disingkirkan dalam pergaulan masyarakat.
Persaudaraan sejati berarti adanya hubungan yang harmonis antar manusia
seperti halnya hubungan adik-kakak dalam satu keluarga. Dalam hubungan
156
persaudaraan itu diandaikan orang mampu menerima kehadiran orang lain apa adanya
dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Sikap seperti itu dapat menghidarkan
rasa curiga, benci, iri hati, cemburu dan lain sebagainya. Jadi dalam suasana
persaudaraan orang-orang dapat bergaul dan berkomunikasi seakan-akan mereka
berasal dari satu keluarga yang sama.
Hal yang penting dalam hubungan persaudaraan adalah berani mengakui dan
menghormati kelebihan orang lain dan dengan jujur mengakui kekurangan diri
sendiri. Suatu kelompok persaudaraan akan sungguh berarti jika anggotanya mampu
hidup rukun dan damai tidak saling mencurigai, dan mampu menerima keritikan
orang lain. Penguasaan diri ini sangat penting agar tidak terjadi pertengkaran dan
perkelahian. Rasa percaya sangat penting, dan perlu terus dibina. Sebab segala
pertikaian muncul dari rasa curiga, iri hati dan tidak membuka diri untuk kehadiran
orang lain.
Fransiskus dari Asisi mempunyai cita-cita yang sangat mulia. Dia menghendaki
para pengikutnya hidup kompak, saling menghormati dan menghargai. Hanya dengan
menghargai, kita dapat menerima orang lain apa adanya. Suatu persaudaraan sejati
sungguh-sungguh berarti bila orang mampu hidup damai dan saling menghargai.
Fransiskus menasehati saudara-saudaranya agar menghidari pertengkaran , apalagi
perkelahian. Baik kiranya kita belajar hal itu dari Fransiskus supaya kita juga tahu
menghargai kehadiran orang lain sebagai saudara kita.
Persaudaraan sejati adalah kata yang sering diucapkan orang, meskipun tidak
jelas arti dan makna. Kata yang mudah diucapkan dan terdengar begitu bagus itu,
ternyata sangat sulit diamalkan dalam hidup setiap hari. Di mana zaman sekarang
kesaksiaan akan semangat persaudaraan sangat dibutuhkan secara khusus dalam
157
kongregasi SMFA oleh para Suster Misi Fransiskanes Santo Antonius baik itu dalam
kongregasi, komunitas dan di masyarakat sebagai suster rakyat. Dan untuk tetap
menghidupi semangat persaudaraan itu perlu adanya suatu pembinaan lanjut yang
terus menerus di tingkatkan, dengan demikian semangat persaudaraan itu tetap
bergema dalam setiap pribadi suster seperti yang diajarkan oleh Santo Fransiskus
kepada para pengikutnya.
Arti dan makna persaudaraan yang sesungguhnya dapat kita lihat dalam
penghayatan Santo Fransiskus dari Asisi. Fransiskus memandang semua makhluk
ciptaan Tuhan sebagai saudara. Pemahaman yang paling mendasar ialah bahwa
semua makhluk bergantung kepada Tuhan. Fransiskus menghormati semua makhluk
itu sebagai ciptaan Allah yang luhur. Perlakuan hormat Fransiskus terhadap setiap
makhluk ciptaan mewujudkan sikap bersahabat. Bagi Fransiskus, makhluk-makhluk
itu tidak hanya manusia, tetapi juga ciptaan Allah lainnya perlu diberi kesempatan
untuk hidup. Itu berarti bahwa tidak seorang pun boleh merampas hak hidup orang
atau makhluk lain karena yang berkuasa atas hidup adalah Allah.
B. Saran
Berdasarkan beberapa kesimpulan di atas, penulis ingin menyampaikan
beberapa saran sebagai hasil dari refleksi selama ini. Para Suster SMFA sebagai
kongregasi yang mempunyai harapan yang besar terhadap perwujudan semangat
persaudaraan sejati. Para Suster SMFA mengemban tugas tanggungjawab dalam
hidup persaudaraan sebagai bentuk perwujudan yang nyata dalam hidup sehari-hari.
Hidup persaudaraan di sini lebih pada keterlibatan anggota kongregasi dalam hidup di
komunitas maupun di masyarakat.
158
Melalui usaha menyarikan nilai-nilai dasariah dari sumber-sumber Fransiskan
tentang kehidupan persaudaraan sejati dan menunjukkan adanya perubahan dari nilai-
nilai tersebut yang terjadi selama beberapa puluh tahun lalu, sumber-sumber itu telah
membantu penulis menghadirkan kembali akan kharisma persaudaraan sejati. Dasar
pesaudaraan sejati adalah pengamalan pribadi yang mesra dengan Allah. Sedangkan
pusatnya adalah hukum cinta kasih, yaitu mencintai Tuhan dan sesama.
Nilai dan sikap hidup dalam persaudaraan sejati dapat ditemukan dalam tulisan-
tulisan Fransiskus sendiri dan Thomas Celano. Thomas Celano dalam 1Cel 58-61, 76-
80 mengambarkan sikap Fransiskus terhadap makhluk ciptaan lainnya. Diceritakan
bahwa Fransiskus dapat berbicara kepada mereka. Begitu tingginya sikap hormat
kepada sesama ciptaan, Fransiskus mengubah kidung Saudara Matahari. Masih ada
tulisannya sendiri Fransiskus memberi kesaksian perihal sikap toleransinya dengan
semua orang yang berkeyakinan lain, khususnya kaum muslimin. Kesaksian ini dapat
di temukan dalam AngTBul XVI dan AngBul XII. Sedangkan Thomas Celano
menunjukkan hal yang sama dengan menceritakan pengalaman Fransiskus ketika
menghadapi Sultan Mesir Melek el Kamel pada September 1219 (1 Cel 57).
Demikianlah nilai atau sikap hidup tersebut sebenarnya sangat relevan bagi keadaan
zaman sekarang ini. Fransiskus dan para saudaranya mempunyai pengalaman pribadi
akan dan hubungan mesra dengan Allah, dunia, Gereja dan Persaudaraan Fransiskan
dewasa ini perlu merasakan hal yang sama. Karena itu pentinglah bagi setiap anggota
dunia, Gereja dan Persaudaraan Fransiskan dewasa ini untuk merenungkan setiap
perubahan yang terjadi dan menemukan Allah di dalamnya. Pengalaman akan Allah
harus menjadi dasar bagi mereka dalam menghadapi perubahan. Secara khusus
kepada persaudaraan para Suster Misi Fransiskanes Santo Antonius, Minister General
159
Giacomo Bini mengatakan sebagai berikut: “Adalah penting bagi kita untuk belajar
dalam setiap peristiwa hidup kita ‘suatu jalan’ yang mengantar kepada Allah.
Dengan demikian segalanya diikutsertakan ke dalam persekutuan kita dengan Allah
yang hadir dalam hidup kita dan sejarah pribadi kita.” Fransiskus sendiri
mengingatkan pentingnya membangun dalam hati “suatu tempat tinggal bagi Allah”
yang menjadi pusat aktivitas.
Hidup yang dijalankan Fransiskus dan para saudaranya berpusat pada hukum
cinta kasih, yaitu mencintai Tuhan dan sesama. Cinta kasih inilah yang diperlukan
oleh dunia, Gereja dan Persaudaraan Suster Misi Fransiskanes Santo Antonius
dewasa ini. Bila cinta kasih meraja maka segala pertentangan yang terjadi akan sirna.
Khusus bagi para Suster SMFA dewasa ini, dengan menjalankan hukum cinta kasih
para suster harus mampu untuk menjadi saksi-saksi tentang Allah dengan hidup
dalam persaudaraan sejati. Mereka pun harus mampu menjaga kehidupan.
Lewat studi pustaka ini, telah membantu penulis menghadirkan kembali nilai-
nilai dasariah kehidupan persaudaraan sejati. Pertanyaannya sekarang adalah
mampukah dunia, Gereja dan Persaudaraan Fransiskan dewasa ini khususnya para
suster SMFA melakukan pembaharuan dengan melaksanakan apa yang menjadi tugas
masing-masing? Fransiskus Asisi menantang dengan kata-katanya, “Aku telah
melakukan apa yang menjadi bagianku; semoga Kristus mengajarkan apa yang
menjadi bagianmu, (2 Cel 214).
Penulis berharap semoga dengan katekese dalam bentuk rekoleksi yang menjadi
salah satu upaya meningkatkan semangat persaudaraan sejati dapat membantu para
suster SMFA dalam mengungkapkan pengalaman hidupnya pada sesama saudari.
Kegiatan katekese perlu diadakan secara rutin dan terprogram, agar tema-tema
160
katekese sungguh-sungguh dapat menjawab kebutuhan para suster dalam
meningkatkan semangat persaudaraan sejati dalam hidup sehari-hari baik itu di
kongregasi, komunitas maupun di masyarakat di mana kita berada. Penulis uga
berharap agar pemikiran yang penulis sumbangkan dapat memberikan inspirasi dalam
upaya meningkatkan semangat persaudaraan sejati bagi para suster SMFA dan kita
semua.
161
DAFTAR PUSTAKA
Aturan Hidup SMFA. (2005) Statut SMFA Regio Indonesia . Kalimantan Barat;
Pontianak . Armstrong, Karen. (2001). Perang Suci, Dari Perang Salib Hingga Perang Teluk.
Jakarta: Serambi. Bahang, Konstantinus. Nilai Persaudaraan dalam Spiritualitas Fransiskan.
Edisi Khusus Yubelium 75 Tahun Kehadiran kembali OFM di Indonesia. (2004). Perantau. Jakarta: Sekafi.
Banawiratma, J.B. Ed (1988). Aspek-Aspek Teologi Sosial. Yogyakarta: Kanisius.
Bonaventura. (1984). St. Fransiskus. (Y. Wahyosudibyo OFM, penerjermah). Jakarta : Sekafi.
Celano, Thomas. (1984). St. Fransiskus Asisi. Cet. Ke-2. (Y. Wahyosudibyo OFM, penerjermah). Jakarta : Sekafi.
Chang William. (1989). Jiwa Kommis Fransiskus dari Asisi. Cet. Ke-1. Ende: Nusa Indah.
........................... Dampak Politik dalam Hidup Sosial. Harian Umum Kompas, 23 Juni 2004.
Cremers, Agus. (1995). Tahap-Tahap Perkembangan Kepercayaan Menurut James W. Fowler. Yogyakarta: Kanisius.
Darmaatmadja, Julius. (2000). Persaudaraan Sejati, Asali dan Asli, Bunga Rampai III. Jakarta: Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi KWI.
Ester, Kajetan, OFM. (tanpa tahun). Spritualitas dan Tugas Ordo dalam Kerajaan Allah. Manuskrip.
Goble, G. Frank. (1987). Mazhab Ketiga, Psikologi Humanistik Abraham Maslow. Yogyakarta: Kanisius.
Groonen, Cletus. (1997). Fransiskus dari Asisi. Cet. Ke- 1. Bogor: Mardi Yuana
Hadisumarta, F.X. (2000). Persaudaraan Kristiani, Bunga Rampai III. Jakarta Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi KWI.
Harun, Martin. Kamu Semua adalah Saudara. Perantau thn. XXI No. 6, November-Desember 2000. Jakarta : Sekafi.
Haryanto, Ignatius. (2004). Terbuka Terhadap Umat Beragama. Yogyakarta: Kanisius.
Heryatno Wono Wulung, F.X., SJ. (1997). Shared Christian Praksis: Suatu Model Katekese (Seri Puskat No. 356). Yogayakarta: LPKP.
Ladjar Leo, L,. OFM. (1988). Fransiskus Asisi, Karya-karyanya. (Cet ke-1). Yogyakarta: Kanisius.
Mangunharjdjana. A. M, SJ. (1984). Membimbing Rekoleksi. Yogyakarta: Kanisius
162
Pedoman Hidup SMFA (2005) Konstitusi Suster Misi Fransiskanes Santo Antonius. Kalimantan; Barat Pontianak
Sastrapratedja, M. (1994). Filsafat Manusia; bagian I. Jakarta: STF Driyarkara.
Sekafi. (1984). Anggaran Dasar Dan Cara Hidup Saudara-Saudari Ordo Ketiga Regular Santo Fransiskus. Jakarta.
Sekafi. Mengenal Kebaikan Santo Fransiskus Dari Asisi, buku 1-3. Jakarta.
Therese Rienen, Sr. Sejarah Awal Misi Suster SMFA Di Indonesia. Kalimantan Barat: Sintang
Sumarno Ds, M., MA., SJ. (2003). Praktek Pengalaman Lapangan Pendidikan Agama Katolik di Paroki. Yogyakarta.
Tim Penyusun Kamus. ( 1990). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet 2. Jakarta: Balai Pustaka
Van Doornik, M.S.C. (1977). Fransiskus Asisi Nabi Masa Kini. Bogor Mardi Yuana.
Vardy Peter. (2001). Fransiskus dan Bonaventura. Yogyakarta Kanisius.
Vefie Poels. Sejarah Berdirinya Kongregasi Suster-Suster Misi Asten. Belanda: Asten
Lampiran I: Teks Doa
TUHAN JADIKANLAH AKU PEMBAWA DAMAI
I :Tuhan jadikanlah daku pembawa damai,
Bila terjadi kebencian,
U :Jadikanlah aku pembawa cinta kasih
I :Bila terjadi penghinaan,
U :Jadikanlah daku pembawa pengampunan
I :Bila terjadi perselisihan,
U :Jadikanlah aku pembawa kerukunan
I :Bila terjadi kebimbangan,
U :Jadikanlah aku pembawa kepastian.
I :Bila terjadi kesesatan,
U :Jadikanlah aku pembawa kebenaran
I :Bila terjadi kecemasan
U :Jadikanlah aku pembawa harapan
I :Bila terjadi kesedihan
U :Jadikanlah aku sumber kegembiraan
I :Bila terjadi kegelapan
U :Jadikanlah aku pembawa terang
I :Tuhan, semoga aku lebih ingin menghibur dari pada dihibur, memahami dari
pada dipahami, mencintai dari pada dicintai.
U :Sebab dengan memberi kami menerima, dengan mengampuni kami
diampuni. Dengan mati suci kami bangkit lagi untuk hidup selama-lamanya.
Amin
(1)
Lampiran II: Teks Doa
DOA DI DEPAN SALIB I
Kami menyembah Engkau Tuhan Yesus Kristus
Di sini dan di semua Gereja-Mu
yang ada di seluruh dunia
dan kami memuji Engkau
sebab Engkau telah menebus dunia
dengan salib-Mu yang suci
DOA DI DEPAN SALIB II
Allah mahatinggi dan penuh kemulian
Terangilah kegelapan hatiku
dan berilah aku iman yang benar
dan pengharapan yang teguh
dan kasih yang sempurna
berilah aku ya Tuhan perasaan yang peka
dan budi yang cerah
agar aku mampu melaksanakan perintahmu
yang kudus dan takkan menyesatkan.
Amin.
(2)
Lampiran III: Teks Doa
MAZMUR 133
Sungguh alangkah baiknya dan indahnya,
Apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun.
Seperti minyak diatas kepala meleleh ke jangut Harun
Dan keleher Jubahnya.
Seperti embun gunung Hermon yang
Turun
Ke atas gunung-gunung Sion.
Sebab ke sanalah Tuhan memerintahkan berkat,
Kehidupan untuk selama-lamanya
(3)
Lampiran IV: Teks lagu
KASIH
Kasih pasti lemah lembut
Kasih pasti murah hati
Kasih pasti memaafkan
KasihMu-kasihMu Tuhan
Aarilah kami ini saling mengasihi
Ajarilah kami ini saling mengampuni
Ajarilah kami ini kasihMu ya Tuhan
KasihMu kudus tiada batasnya
(4)
Lampiran V: Teks Lagu
MENGASIHI
Mengasihi-mengasihi lebih sungguh
Mengasihi-mengasihi lebih sungguh
Tuhan lebih dulu mengasihi kepadaku
Mengasihi-mengasihi lebih sungguh
Mencintai-mencintai lebih sungguh
Mencintai-mencintai lebih sungguh
Tuhan lebih dulu mencintai kepadaku
Mencintai-mencintai lebih sungguh
Melayani-melayani lebih sungguh
Melayani-melayani lebih sungguh
Tuhan lebih dulu melayani kepadaku
Melayani-melayani lebih sungguh
(5)
Lampiran VI: Teks Lagu
DALAM YESUS KITA BERSAUDARA
Dalam Yesus kita bersaudara Dalam Yesus ada cinta kasih
Dalam Yesus kita bersaudara Dalam Yesus ada cinta kasih
Dalam Yesus kita bersaudara Dalam Yesus ada cinta kasih
Sekarang dan selamanya Sekarang dan selamanya
Dalam Yesus kita bersaudara Dalam Yesus ada cinta kasih
Dalam Yesus ada pengampunan Dalam Yesus ada kedamaian
Dalam Yesus ada pengampunan Dalam Yesus ada kedamaian
Dalam Yesus ada pengampunan Dalam Yesus ada kedamaian
Sekarang dan selamanya Sekarang dan selamanya
Dalam Yesus ada pengampunan Dalam Yesus ada kedamaian
(6)
LampiranVII: Teks Lagu
SERIKAT PERSAUDARAAN
Serikat persaudaraan berdirilah teguh
Sempurnakan persatuan di dalam Tuhanmu
Bersama-sama majulah dikuatkan iman
Berdamai dan bersaudara dengan pengasihan
Serikatmu tetap teguh di atas landasan
Yaitu satu Tuhan dan satulah iman
Dan satu juga baptisan dan Bapa satulah
Yang olehmu sekalian dipuji disembah
Dan masing-masing darimu terima anugerah
Supaya kamupun tekun dan rajin bekerja
Hendaklah hatimu rendah turut perintah Allah
Umat-Mu menurut firmannya berkasih-kasihan
(7)
top related