perkebunan karet di desa sidu waras jambi
Post on 27-Nov-2015
89 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejarah ekonomi karet di Indonesia sudah bermula sebelum orang mulai
menanam pohon-pohon karet pada abad ke-19. Secara tradisional penduduk
mengumpulkan berbagai jenis getah dari hutan untuk ekspor yang berasal dari
pohon yang bernama ficus elastica. Yaitu tanaman karet liar yang tumbuh secara
alamiah di hutan-hutan kepulauan Indonesia. Tanaman ini dikenal dengan nama
yang berbeda-beda menurut daerah tempatnya tumbuh. Di sekitar Palembang
misalnya disebut rambung dan di Bengkulu dinamakan karet barang1. Orang mulai
menanam ficus pada tahun 1890-an ketika harga-harga tanaman komersial merosot
seperti kopi, tembakau, lada dan kapas. Selama akhir tahun 1890-an sewaktu harga
kopi dan lada jatuh, di beberapa bagian daerah Palembang orang beralih ke
tanaman ficus. Ketika permintaan karet dunia meningkat diikuti dengan harga yang
naik pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 total ekspor produksi karet di
Keresidenan Palembang juga mengalami kenaikan dari 6.622 pikul pada tahun
1891 menjadi 12.419 pikul pada tahun 1900.
Perkebunan ficus rakyat pada sekitar akhir abad ke-19 oleh pemerintah
kolonial mendorong rakyat untuk menanamnya di beberapa tempat. Baru saja
orang mulai menyadap ficus yang ditanamnya, kemudian muncul dan
diperkenalkan jenis tanaman karet yang baru, yang lebih bernilai, yaitu havea.
1 J. Thomas Lindblad, ed., Fondasi Historis Ekonomi Indonesia, Yogyakarta: Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM, 2002, hal. 205.
1
Dari penanaman percobaan ternyata bahwa hevea lebih cocok dengan iklim dan
kondisi tanah di sebagian besar wilayah Indonesia2.
Perkembangan industri di Amerika dan di Eropa terumata dengan majunya
industri mobil yang memerlukan lebih banyak karet menyebabkan harga karet
menjadi naik. Ketika permintaan dunia terhadap karet meningkat secara tajam,
maka dilakukan usaha-usaha untuk menanam karet jenis Hevea Brasiliensis, sebab
pohon-pohon karet liar atau ficus yang diusahakan sebelumnya tidak dapat lagi
memuaskan akan permintaan karet dunia. Terdapat berbagai jenis pohon karet,
akan tetapi pohon hevea menghsilkan lebih banyak lateks dan komposisinya juga
lebih cocok dengan kebutuhan pasar dunia.
Sangat sulit untuk mengetahui secara pasti kapan penduduk di Indonesia
mulai menanam karet hevea. Menurut bekas residen Palembang awal penanaman
karet hevea oleh petani di Keresidenan Palembang adalah pada tahun 1905, yaitu
sama dengan di Jambi, bahwa perkebunan hevea tertua di perusahaan keresidenan
ini telah dibuka pada tahun 1905.
Perkembangan tanaman karet di Indoensia lebih berkembang setelah
Nedherlands Indies membuka pintu bagi investor dari luar terutama dari Inggris,
Belgia, dan Amerika. Harrison and Crossfiel Company ( 1906 ) merupakan
perusahaan asing pertama yang membuka areal perkebunan karet di Indoenesia.
Kemampuan mengerahkan modal, penerapan cara-cara budidaya secara ilmiah dan
modern, dan teknik-teknik pemasaran secara efisien adalah merupakan nilai tambah
yang dimiliki oleh para investor asing. Hal ini menyebabkan perkembangan
perkebunan karet di Indonesia sangat cepat dibandingkan dengan perkembangan
2 Ibid
2
industri karet di Malaysia. Perkembangan yang pesat tersebut ditopang oleh
berbagai fasilitas yang diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Sejarah perkembangan perkebunan di Indonesia sebagai bagian dari sejarah
perekonomian Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perkembangan kolonialisme,
kapitalisme dan modernisasi3. Di negara-negara berkembang, pada umumnya
perkebunan hadir sebagai perpanjangan dari perkembangan kapitalis agraris Barat
yang diperkenalkan memalui sistem perekonomian kolonial. Perkebunan pada awal
perkembangannya hadir sebagai sistem perekonomian baru yang semula belum
dikenal. Sebelum mengenal sistem perkebunan dari Barat, masyarakat Indoensia
lebih dahulu mengenal sistem kebun sebagai bagian dari sistem perekonomian
pertanian tradisional. Berbeda dengan sistem kebun, sistem perkebunan merupakan
bagian dari sistem perekonomian pertanian komersial atau kapitalistik.
Selain itu, perkebunan karet di Indoensia mulai diperkenalkan sejak Hofland
mendirikan perusahaan perkebunan karet di tanah Pamanukan dan Ciasem, Jawa
Barat. Jenis karet yang ditanam masih merupakan jenis karet rambung ( Ficus
Elastica ), sedangkan karet hevea ( Hevea Brasiliensis ) diperkenalkan di Sumatera
Timur pada tahun 1902, sebagai tanaman pengganti di daerah yang tidak cocok
bagi tanaman tembakau, dan di Jawa pada tahun 19064.
Keadaan sosial ekonomi petani karet mempunyai hubungan dengan hasil
produksi karet rakyat. Hal ini berarti bahwa usaha peningkatan mutu karet rakyat
menjadi kurang efektif bila keadaan sosial ekonomi petani karet tidak ditingkatkan
pula. Keadaan sosial ekonomi petani karet, yang masih kurang memadai dilihat 3 Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial
Ekonomi, Yogyakarta: Aditya Media, 1991, hal 3.4 Mubyarto dan Awan Setya Dewanta, Karet: Kajian Sosial Ekonomi, Yogyakarta: Aditya
Media, 1991, hal 17.
3
dari segi pendapatan, pengeluaran dan distribusinya, sehingga berakibat pada
pemeliharaan tanaman karet kurang intensif.
Rendahnya produktivitas disebabkan kurangnya pengelolaan dan rendahnya
harga karet petani, juga campuran karet olah adalah dua perilaku petani karet
diakibatkan oleh terdesaknya keburuhan ekonomi rumah tangga petani karet.
Keterdesakan seperti itu sering menyebabkan para petani karet sering mengambil
jalan pintas, sehingga tidak heran apabila para tengkulak jarang yang mau
membeli karet dengan harga yang tinggi. Para petani karet tersebut tidak sadar
akibat perilaku kecurangan tersebut menyebabkan kerugian di pihak mereka sendiri,
karena harga karet akan cenderung turun.
Perkebunan karet sudah lama dikenal di Indonesia, yaitu sejak pemerintahan
kolonial Belanda. Di Indonesia karet merupakan komoditi yang penting5. Selain
karena potensi ekonominya, juga potensi alam dan iklimnya yang mendukung.
Tumbuhan karet biasanya dapat tumbuh pada daerah yang mempunyai suhu tropis.
Selain itu tanaman jenis karet merupakan jenis tanaman yang sangat diminati di
pasar dunia, sehingga banyak para petani karet yang mengalami peningkatan
perekonomiannya. Tingginya mutu karet membuat hampir di semua wilayah
Indonesia terdapat jenis perkebunan karet, baik perkebunan karet besar maupun
perkebunan karet rakyat.
Desa Sugih Waras Kecamatan Rambang Kabupaten Muara Enim Sumatera
Selatan merupakan sebuah daerah yang mempunyai keadaan alam dan iklim yang
mendukung bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman perkebunan jenis karet.
5 Syamsulbahri, Bercocok Tanam Tanaman Perkebunan Tahunan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996, hal 274.
4
Potensi alam dan iklimnya yang mendukung merupakan sebuah syarat bagi
tanaman karet untuk tumbuh subur di desa Sugih Waras. Tidak heran apabila
hampir 90 % penduduknya berprofesi sebagai petani karet, sehingga usaha
perkebunan karet merupakan pola mata pencaharian yang utama bagi
masyarakatnya.
Seperti halnya perkebunan karet yang terdapat di daerah-daerah lainnya di
Indonesia, perkebunan karet rakyat di desa Sugih Waras juga memiliki sejarah
panjang. Pasang surut perekonomian masyarakat di sekitar perkebunan karet turut
memberi dampak tersendiri bagi perkembangannya. Perkebunan karet telah berperan
penting bagi kesejahteraan perekonomian masyarakat desa Sugih Waras.
Pembukaan perkebunan karet di desa Sugih Waras diperkenalkan oleh
pemerintah pada tahun 1978, di mana pada tahun 1978 masyarakat bersama-sama
Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Selatan membuka Proyek Perkebunan Karet
Rakyat (PPKR). Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Selatan membuka
perkebunan karet rakyat dengan lima tahap, Dibukanya perkebunan karet yang
pertama pada tahun 1978 sampai tahun 1984 yang merupakan tahap terakhir.
Proyek Perkembangan Karet Rakyat (PPKR) adalah program yang dicetuskan
oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk menyelamatkan perekonomian rakyat
kecil. Program ini merupakan salah satu pola pengembangan perkebunan rakyat.
Dalam konsep PPKR, pemerintah berperan sebagai inti, sedangkan perkebunan
rakyat berperan sebagai peserta
Awal dibukanya perkebunan karet rakyat di desa Sugih Waras tahun 1978-
1979, dibuka seluas 60 hektar lahan , untuk 60 kepala keluarga (KK) mendapatkan
5
bagian masing-masing satu hektar per kepala keluarga. Dengan dibukanya
perkebunan karet rakyat tersebut diharapkan dapat membantu perekonomian rakyat,
sehingga masyarakat dapat terbebas dari belenggu kemiskinan.
Pertumbuhan dan perkembangan karet diharapkan mempengaruhi tingkat
pertumbuhan perekonomian masyarakat desa Sugih Waras, sehingga Pemerintah
Daerah Tinggkat I Sumatera Selatan membuka perkebunan karet tahap kedua, yaitu
pada tahun 1980 – 1981. Pada tahap ke-dua ini dibuka perkebunan karet seluas
200 hektar. Peningkatan jumlah pembukaan lahan perkebunan karet agar dapat
lebih meningkatkan tarap hidup masyarakat desa Sugih Waras.
Pada tahun 1981 – 1982, merupakan tahap ke-tiga dibukanya lahan perkebunan
seluas 250 hektar. Selanjutnya pada tahun 1982 – 1983 yang merupakan tahap ke-
empat dibuka lahan seluas 250 hektar. Tahap ke-lima atau tahap terakhir pada
tahun 1983 – 1984, dibuka perkebunan karet oleh Pemerintah Daerah Tingkat I
Sumatera Selatan seluas 250 hektar. Lima tahap dibukanya perkebunan karet
tersebut merupakan program Proyek Perkembangan Karet Rakyat dan diharapkan
dapat membantu para penduduk desa Sugih Waras untuk meningkatkan
perekonomian mereka. Dari ke-lima tahap tersebut jumlah tanaman karet yang
telah ditanam berjumlah 1.010 hektar, tentunya sebuah bantuan yang sangat besar
artinya bagi masyarakat desa Sugih Waras mengingat besarnya jumlah tanaman
karet tersebut.
Lima tahun berikutnya, tepatnya pada tahun 1985, masyarakat desa Sugih
Waras sudah mulai menanam karet sendiri, biarpun tanpa bantuan dari pemerintah
daerah. Setahap demi setahap masyarakat desa Sugih Waras mulai berani
6
membuka sendiri perkebunan karet, meskipun dilakukan dengan cara bergotong-
royong oleh masyarakat setempat.
1.2 Rumusan Masalah
Periode yang diambil dalam penelitian ini mulai dari tahun 1978 dan
berakhir pada tahun 1990. Dimulai dari tahun 1978 karena pada tahun ini adalah
awal dimulainya pembukaan perkebunan karet di desa Sugih Waras, sedangkan
tahun 1990 merupakan batasan akhir dari penelitian ini. Diambilnya tahun 1990
sebagai batasan dari penelitian ini karena tentunya sudah banyak kemajuan-
kemajuan yang dirasakan oleh masyarakat desa Sugih Waras, terutama masalah
perekonomian dan kesejahteraan.
Agar penelitian lebih terarah, perumusan masalah disusun sebagai berikut:
1. Bagaimana keadaan masyarakat desa Sugih Waras sebelum dibukanya
perkebunan karet ?
2. Mengapa dibuka perkebunan karet oleh Pemerintah Daerah Tingkat I
Sumatera Selatan ?
3. Apa manfaat yang dirasakan oleh masyarakat desa Sugih Waras setelah
dibukanya perkebunan karet ?
1.3 Tujuan dan Manfaat
Penelitian ini memiliki tujuan dan manfaat yang penting tentunya, bukan
hanya bagi peneliti tetapi juga bagi masyarakat umum.
7
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui gambaran umum kehidupan sosial ekonomi penduduk desa Sugih
Waras.
2. Mengetahui proses dibukanya perkebunan karet rakyat di desa Sugih Waras.
3. Mengetahui perkembangan kehidupan sosial ekonomi masyarakat desa Sugih
Waras.
Manfaat dari penelitian ini, yaitu:
1. Sebagai tambahan referensi bagi masyarakat umum dalam mengetahui sejarah
perkebunan karet rakyat khusus di desa Sugih Waras Kecamatan Rambang
Kabupaten Muara Enim Sumatera Selatan.
2. Menambah inventarisasi sumber sejarah lokal umumnya di daerah Propinsi
Sumatera Selatan dan khususnya bagi masyarakat desa Sugih Waras.
1.4 Tinjauan Pustaka
Sesuai dengan judul skripsi ini “kehidupan sosial ekonomi masyarakat petani
karet rakyat desa Sugih Waras Kecamatan Rambang Lubai Sumatera Selatan
(1978–1990 )”, penulis menggunakan literatur mengenai kajian sosial ekonomi. Di
antaranya buku berjudul Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial
Ekonomi, karangan Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, menjelaskan bahwa
sistem kebun tanaman tahunan pada lahan tetap sudah berusia tua, berlangsung di
Indonesia diperkirakan sejak 1200 M. Adakalanya kebun lebih diusahakan untuk
satu jenis tanaman perdagangan tertentu, seperti pala, lada, cengkeh, atau kemudian
8
kopi, karet, dan lain-lain. Berbeda dengan sawah, kebun kurang menuntut tenaga
kerja dengan jumlah besar, karena tidak memerlukan pembangunan dan
pemeliharaan khusus, seperti irigasi yang diperlukan persawahan. Kebun juga tidak
menuntut lokasi yang istimewa, asal iklim dan struktur tanahnya cocok, penanaman
tanaman dapat diselenggarakan. Selain itu, sekali kebun dibangun di suatu tempat
akan dapat berlangsung terus dengan usianya yang cukup lama, yaitu 50 tahun
atau lebih6.
Dalam buku Karet: Kajian Sosial Ekonomi, yang ditulis oleh Mubyarto dan
Awan Setya Dewanta, mengungkapkan bahwa areal tanaman karet rakyat di tiga
provinsi produsen utama adalah Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Kalimantan
Barat. Terpusatnya areal perkebunan tersebut tidak terlepas dari faktor alam,
perkembangan ekonomi dan kebijaksanaan pengembangan yang dilakukan oleh
pemerintah Hindia Belanda. Berkembanganya perkebunan-perkebunan kecil juga
menguntungkan pemerintah, sebab tidak perlu mengeluarkan dana tambahan untuk
penyuluhan dan pembinaan perkebunan rakyat. Perkebunan rakyat berkembang
karena tuntutan ekonomi dan ikut mengambil kesempatan memperoleh harga karet
yang tinggi. Pemerintah Hindia Belanda membiarkan perkembangan produksi karet
alam, sebab produksi karet rakyat lebih luwes dibandingkan perkebunan besar.
Produksi karet rakyat dapat dikurangi dengan mudah ataupun dinaikkan tergantung
kebutuhan dan kemauan petani karet. Oleh karena pemerintah Hindia Belanda
tidak mengatur perkembangan karet rakyat, maka juga “tidak mampu“
mengendalikan produksi karet rakyat7.
6 Sartono Kartodirdjo, Op. Cit. hal. 17. 7 Mubyarto dan Awan Setya Dewanta, Op. Cit, hal. 82-83, 90.
9
Sebuah acuan konsep sangat penting dalam penulisan ini adalah hasil survei
perkembangan penanaman karet rakyat di Indonesia pada era kolonial akhir di
daerah Jambi, Palembang, dan Kalimantan Selatan, oleh Bambang Purwanto
berjudul “Ekonomi Karet Rakyat Indonesia, tahun 1890-an sampai 1940” yang
disunting oleh J. Thomas Lindblad dalam buku Fondasi Historis Ekonomi
Indonesia. Purwanto mengungkapkan bahwa di keresidenan Palembang awal
penanaman karet rakyat terjadi pada tahun 1905. Penanaman Havea di Palembang
juga menyebar hampir di semua distrik, di mana Ogan Ulu, Ogan Ilir, Lematang
Ilir, Komering Ulu, Rawas, Komering Ilir, dan Musi Ilir merupakan daerah-daerah
utama yang menghasilkan karet. Kecenderungan secara serupa temporer terjadi di
Palembang dan Kalimantan Selatan. Pada tahun 1913 dan 1914 harga-harga karet
jatuh, tetapi hal ini tidak menghentikan orang menanam karet karena ketika harga
pulih pada tahun berikutnya penanaman-penanaman baru dapat ditemukan di semua
bagian daerah-daerah temporer mengurangi pesaing ekspansi perkebunan karet
rakyat yang bergelombang, tetapi penduduk di beberapa tempat seperti Ogan Ulu
dan Komering Ulu di Palembang terus menanam pohon karet baru8.
1.5 Metode Penelitian
Penulisan sejarah merupakan suatu karya ilmiah yang memerlukan adanya
suatu metode untuk menghasilkan suatu tulisan sejarah. Metode sejarah adalah
proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dari peninggalan masa
lalu9. Metode berupa aturan-aturan yang dirancang untuk membantu dengan efektif
8 J. Thomas Lindblad, Op. Cit, hal. 206-207, 210.9 Louis Gottscalk, Mengerti Sejarah, terjemahan Nugroho Notosusanto dari judul
Understanding History, Jakarta: UI Press, 1985, hal. 32.
10
dalam mendapatkan kebenaran dari suatu peristiwa sejarah. Metode sejarah bersifat
ilmiah jika dengan ilmiah dimaksudkan mampu untuk menentukan fakta yang
dapat dibuktikan dengan fakta, maka diperoleh hasil pemeriksaan yang kritis
terhadap dokumen sejarah dan bukan suatu unsur daripada aktualitas yang
lampau10.
Tahap pertama dari penelitian ini adalah tahap heuristik yaitu:
mengumpulkan literatur termasuk bahan-bahan keterangan berkenaan dengan
penelitian, data atau laporan dari pemerintah daerah Tingkat I Sumatera Selatan
dan pemerintahan daerah Tingkat II Muara Enim, juga sebagai referensi digunakan
situs internet dan wawancara dengan informan-informan yang telah dipilih untuk
mendapatkan keterangan lebih lengkap dan mendalam. Dengan demikian penulisan
skripsi ini dilakukan melalui studi kepustakaan dan penelitian lapangan.
Dari data atau sumber yang terkumpul dilakukan kritik terhadap sumber
agar menjadi sumber yang dipilih. Langkah ini disebut kritik sumber, baik kritik
intern maupun kritik ekstern. Kemudian langkah berikutnya adalah interpretasi,
yaitu menafsirkan sumber-sumber yang terkumpul agar menjadi fakta yang valid.
Langkah yang terakhir adalah historiografi, yaitu penulisan secara sistematis dan
kronologis.
Metode sejarah digunakan oleh penulis dengan tahapan-tahapan seperti
disebutkan di atas untuk menghasilkan tulisan bersifat ilmiah.
BAB II
GAMBARAN UMUM DESA SUGIH WARAS
10 Ibid, hal. 143.
11
Desa merupakan sebagai satu kesatuan teritorial dan administrasi terkecil bagi
sebuah komunitas masyarakat, sehingga tidak jarang apabila desa sering dikatakan
sebagai tempat terkecil bagi sebuah masyarakat. Sugih Waras merupakan sebuah
daerah terkecil bagi masyarakatnya. Ciri terluar dari suatu desa adalah sifat
kebersamaannya dalam berbagai hal, terlebih bagi kepentingan umum. Rasa
kebersamaan itulah yang membuat masyarakat di sebuah desa hidup rukun dan
damai. Begitu pula dengan masyarakat desa Sugih Waras. Masyarakat desa Sugih
Waras yang rata-rata merupakan petani karet turut menjadikan desa tersebut
berkembang sebagaimana desa-desa lainnya di Indonesia.
Pada dasarnya masyarakat pedesaan menggantungkan kehidupannya dengan
melakukan pekerjaan sebagai petani. Selain itu sistem kehidupannya berkelompok
atas dasar sistem kekeluargaan, yang membuat sifat kegotong-royongan masyarakat
di pedesaan tetap berlangsung. Hal demikian juga turut dirasakan oleh sebagian
besar masyarakat di desa Sugih Waras, di mana masyarakat desa Sugih Waras
menggantungkan kehidupannya dari sektor pertanian dan juga perkebunan.
Dalam menanami lahan pertanian, masyarakat desa Sugih Waras hanya
menanam padi di samping tanaman yang dapat mereka konsumsi sehari-hari,
seperti jagung, ubi kayu, ubi rambat, pisang, dan berbagai tanaman sehari-hari
yang dapat mereka konsumsi. Sungguh sebuah kehidupan yang praktis mereka
jalani.
2.1 Kondisi Desa
12
Desa Sugih Waras berada di dalam wilayah Kecamatan Rambang Lubai
Kabupaten Muara Enim Sumatera Selatan. Desa Sugih Waras dibelah oleh sebuah
jalan utama yaitu jalan raya Rambang. Desa Sugih Waras memiliki luas wilayah
4.518 hektar, sedangkan luas wilayah desa yang menjadi pemukiman penduduk
ialah 50 hektar. Selebihnya yaitu 4.468 Ha merupakan wilayah tanaman
perkebunan karet rakyat, lahan pertanian dan lahan-lahan lainnya.
Desa Sugih Waras diapit oleh tiga buah sungai yang mengelilingi
daratannya, yaitu di sebelah selatan dan timur mengalir sungai Telaga, di sebelah
barat terdapat sungai Air Itam dan di sebelah utara terdapat sungai Rambang.
Sungai Telaga mengelilingi sebagian wilayah desa Sugih Waras.
Desa Sugih Waras terdiri atas enam dusun. Adapun ke-enam dusun
berbanjar mengikuti arah jalan utama desa. Di bagian selatan merupakan wilayah
Dusun I dengan Dusun VI, sedangkan bagian tengah desa merupakan wilayah
Dusun II dengan Dusun V.
Selanjutnya di sebelah timur desa ialah wilayah bagi Dusun III dengan
Dusun IV. Begitulah dusun-dusun yang terdapat di dalam wilayah desa Sugih
Waras. Setiap dusun dikepalai oleh seorang kepala dusun atau sering disingkat
KADUS.
Keadaan jalan utama desa cukup baik, sudah beraspal. Pada tahun 1984
jalan utama desa mulai dibangun dengan diaspal. Sebelumnya memang jalannya
sudah besar tetapi belum diaspal atau masih tanah liat campur dengan batu-batu
kerikil. Dari kota Palembang untuk mencapai daerah desa Sugih Waras berjarak
kira-kira 103 km, atau sekitar empat jam jarak tempuh menggunakan bus umum,
13
sedangkan untuk mencapai Kabupaten Muara Enim dari desa Sugih Waras berjarak
kira-kira 76 km, atau dua jam jarak tempuh menggunakan bus umum.
Keadaan jalan yang cukup baik tersebut sangat membantu masyarakat desa
Sugih Waras dalam melakukan hubungan dengan daerah-daerah di luar desa Sugih
Waras. Selain itu jalan juga menjadi sarana transportasi bagi masyarakat dalam
menjual hasil-hasil karet mereka kepada para pembeli karet yang sering disebut
penduduk sebagai “toke karet”.
Kondisi tanah desa Sugih Waras pada umumnya dataran rendah, sehingga
hampir sebagian wilayah desa Sugih Waras rawan terkena bencana banjir, seperti
wilayah Dusun I dan Dusun VI yang merupakan daerah terendah. Pada umumnya
daerah desa Sugih Waras merupakan daerah pertanian ladang atau mesyarakat
sering menyebutnya “ume”. Sistem pertanian tersebut dilakukan secara berpindah-
pindah, setelah tiga tahun mereka akan membuka lahan pertanian yang baru
dengan meninggalkan ladang atau ume mereka.
Apabila pada awalnya lahan pertanian penduduk hanya ditanami tanaman
kebutuhan sehari-hari, akan tetapi setelah adanya pembukaan perkebunan karet
rakyat oleh pemerintah, maka masyarakat desa Sugih Waras menanam karet
sendiri. Mereka membuka lahan pertanian ladang sekaligus menanam tanam karet.
Kantor kepala desa Sugih Waras terletak di sebelah timur desa, sehingga
apabila pertama kali masuk ke desa tidak akan menjumpai kantor kepala desa,
karena letak kantor tersebut di hulu desa. Bangunan Sekolah Dasar terdapat di
wilayah tengah desa, tepatnya berada di wilayah Dusun IV. Selanjutnya di dekat
kantor kepala desa terdapat bangunan Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS),
14
tapi sarana kesehatan ini belum bisa menerima rawat inap, karena bangunannya
yang masih kecil dan peralatanya belum memadai untuk menerima pasien rawat
inap.
Selain itu terdapat bangunan mesjid Jami’i Asyuhadda yang merupakan
tempat masyarakat melakukan ibadah keagamaan. Di samping mesjid terdapat
bangunan balai desa, di mana bangunan ini digunakan oleh masyarakat untuk
melakukan acara-acara yang berhubungan dengan desa. Di antarannya untuk
upacara-upacara adat, rapat-rapat desa, tempat pemilihan kepala desa, hingga
tempat melaksanakan pementasan seni budaya.
2.2 Kondisi Geografis
Penulisan sejarah tidak terlepas dari salah satu unsurnya yang penting, yakni
lokasi atau tempat penelitian. Desa Sugih Waras yang merupakan sebuah daerah
yang berada di wilayah Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan, letak
astronomisnya berada antara 40 Lintang Selatan - 60 Lintang Selatan dan 1040
Bujur Timur - 1060 Bujur Timur. Desa Sugih Waras berada pada ketinggian 25
meter di atas permukaan laut serta beriklim tropis, dengan temperatur rata-rata
280C. Iklim ini dipengaruhi oleh angin pegunungan dan angin laut.
Adapun letak geografis desa Sugih Waras adalah sebagai berikut :
a. Sebelah utara berbatasan dengan desa Kencana Mulya
b. Sebelah timur dan selatan berbatasan dengan desa Pagar Agung
c. Sebelah barat berbatasan dengan desa Sumber Rahayu
15
Sebagai desa yang hampir semua penduduknya adalah bekerja sebagai petani
karet tentunya memiliki potensi untuk berkembang lebih maju. Hal itu disebabkan
pola perekonomian masyarakatnya yang sudah lebih baik dan juga faktor
masyarakatnya yang menginginkan kemajuan, sehingga desa Sugih Waras
mengalami perkembangan. Dengan adanya pembukaan perkebunan karet rakyat
pada tahun 1978 masyarakat sangat tertolong perekonomiannya.
Dengan luas wilayah lahan perkebunan karet rakyat yang berkisar 4.518 Ha
perkembangan masyarakat dan juga perekonomian penduduk desa Sugih Waras
turut berkembang. Selain itu potensi alamnya yang mendukung pertumbuhan
tanaman karet, juga faktor iklimnya yang cocok untuk pertumbuhan dan
perkembangan tanaman karet di desa Sugih Waras.
Keadaan iklim yang mendukung itulah yang menjadi keuntungan tersendiri
bagi masyarakat desa Sugih Waras untuk mengembangkan perkebunan karet untuk
meningkatkan tarap hidup mereka. Di samping itu desa Sugih Waras memiliki
dua musim yang datang secara bergantian.
Dengan dua musim ini ada masyarakat yang diuntungkan, akan tetapi ada
pula yang dirugikan. Apabila produksi tanaman karet mengalami penurunan,
sehingga pendapatan mereka menjadi terganggu sebab datangnya musim kemarau
berdampak kepada berkurangnya kelembaban tanah. Musim kemarau mengakibatkan
menurunnya produksi lateks tanaman karet.
Pada musim hujan di mana sebagian daerah desa Sugih Waras merupakan
daerah rawan banjir, sehingga air menggenang di jalan-jalan ke daerah
16
perkebunan karet. Hal ini juga berdampak terhadap sumber mata pencaharian
penduduk.
2.3 Keadaan Penduduk
Berdasarkan sumber kantor kepala desa Sugih Waras tahun 1990 penduduk
desa Sugih Waras berjumlah 3.220 orang, terdiri dari 540 kepala keluarga. Adapun
jumlah penduduk dapat diperinci menurut jenis kelamin, kelompok umur, kelompok
tenaga kerja, dan agama yang dianut. Jumlah penduduk tersebut terdiri dari 2.130
jiwa laki-laki dan 1.120 jiwa perempuan.
Berdasarkan data jumlah penduduk desa Sugih Waras tahun 1990 itu dapat
diketahui bahwa rata-rata setiap keluarga mempunyai empat orang anak. Tak
diperoleh data kependudukan pada tahun 1978 sebagai awal penelitian maupun
data dalam rentang waktu 12 tahun ( 1978 – 1990 ) periode penelitian ini.
Kesulitan untuk memperoleh data tersebut disebabkan tidak ada tersimpan arsip
surat menyurat sebagai inventaris kantor kepala desa. Dengan demikian analisis
kehidupan sosial ekonomi masyarakat desa Sugih Waras dilakukan secara kualitatif
tanpa data kuantitatif pertumbuhan jumlah penduduk.
Berdasarkan wawancara diketahui bahwa jumlah penduduk desa Sugih
Waras mengalami peningkatan dibandingkan dari tahun-tahun sebelumnya. Populasi
penduduk lebih besar angka kelahiran laki-laki daripada kaum perempuan. Tak
diperoleh keterangan mengenai jumlah penduduk desa Sugih Waras tahun 1978
sebagai awal penelitian, kecuali bahwa jumlah penduduk desa Sugih Waras dari
tahun ke tahun terus mengalami pertambahan. Pernyataan ini berdasarkan
17
pengamatan dan pengalaman bahwa pada umumnya secara rata-rata angka
kelahiran akan lebih besar daripada angka kematian, yang menyebabkan bahwa
setiap tahunnya populasi penduduk akan terus bertambah.
Mengenai jumlah penduduk desa Sugih Waras berdasarkan tingkat usia
sebagaimana terlihat pada tabel ! di bawah ini :
TABEL 1
Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur
No. Kelompok Umur Jumlah
1. 0 - 6 tahun 491
2. 7 - 12 tahun 557
3. 13 - 15 tahun 445
4. 16 - 19 tahun 398
5. 20 - 25 tahun 296
6. 26 - 35 tahun 280
7. 36 - 45 tahun 240
8. 46 - ke atas 543
Jumlah 3.250
Sumber : Kantor Kepala Desa Sugih Waras, tahun 1990.
Tabel di atas memperlihatkan bahwa tingkat populasi penduduk desa Sugih
Waras yang cenderung hampir berimbang antara kelahiran dan kematian. Di
samping itu penduduk berusia 7 tahun sampai dengan 19 tahun berjumlah 1.400
18
orang, artinya bahwa sekitar 43 % penduduk desa Sugih Waras adalah pada usia
sekolah. Tingkat pertumbuhan penduduk rata-rata 2,0 % per tahun.
Pada tabel 2 adalah distribusi penduduk berdasarkan usia kerja, yaitu dapat
dilihat dalam tabel di bawah ini :
TABEL 2
Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia Kerja
No. Kelompok Tenaga Kerja Jumlah
1. 13 - 19 tahun 292 jiwa
2. 20 - 25 tahun 457 jiwa
3. 26 - 30 tahun 435 jiwa
4. 31 - 40 tahun 550 jiwa
5. 41 - 50 tahun 444 jiwa
6. 51 - 60 tahun 431 jiwa
7. 60 - tahun ke atas 191 jiwa
Jumlah 2.802 jiwa
Sumber : Kantor Kepala Desa Sugih Waras, tahun 1990.
Dari tabel di atas dapat diketahui perbedaan tingkat akurasi umur
penduduk berdasarkan usia kerja. Tidak terjadi pergeseran terlalu signifikan
terhadap perbedaan umur. Apabila usia 7 sampai 19 tahun dianggap sebagai usia
sekolah dan usia 20 sampai usia 50 tahun adalah usia kerja, maka lebih dari
separuh jumlah penduduk terlibat dalam kegiatan perkebunan karet rakyat, yaitu
19
1.886 orang atau sekitar 51 %. Begitupun perlu diketahui bahwa dalam angka
tersebut tentu terdapat penduduk bermatapencaharian lain, ialah sebagai pedagang,
PNS, dan sebagainya. Bahkan tidak jarang pula usia di bawah 19 tahun atau usia
di atas 50 tahun mereka masih aktif dalam kegiatan perkebunan karet rakyat.
Atau sebaliknya dalam angka sekitar 51 % tersebut terdapat di antaranya tidak
terlibat sama sekali dalam kegiatan perkebunan karet rakyat.
Penduduk desa Sugih Waras seluruhnya ( 100 % ) penganut agama Islam,
yaitu agama yang sudah dianut secara turun temurun semenjak orang tua mereka.
Hal ini juga menjelaskan bagaimana persatuan dan kesatuan mereka yang
disatukan oleh persamaan keyakinan di antara mereka yaitu agama Islam.
Di desa Sugih Waras terdapat satu bangunan mesjid yang cukup besar
untuk menampung dalam melakukan peribadatannya. Untuk merayakan hari-hari
besar Islam seperti sholat idul fitri dan sholat idul adha, masyarakat desa Sugih
Waras melakukannya di lapangan Sekolah Dasar Negeri No. 1. Dalam keadaan
seperti ini masyarakat sangat merasakan eratnya persaudaraan sesama umat Islam.
2.4 Latar Belakang Historis
Desa Sugih Waras adalah merupakan desa pertanian khususnya perkebunan
karet rakyat. Hal ini tidak terlepas dari faktor alam yang mendukung untuk
pertumbuhan perkebunan karet. Menurut beberapa informan, mengatakan bahwa
20
desa Sugih Waras berdiri pada tahun 186811. Pada mulanya desa ini berbentuk
sebuah kampung kecil atau dikenal dengan sebutan “talang”. Awalnya kampung
Sugih Waras dipimpin oleh seorang ketua kampung, di mana ketua kampung inilah
yang bertanggung jawab akan hal-hal yang berkaitan dengan kesejahteraan
masyarakatnya. Ketua kampung yang pertama bernama Ngawak Ditangai. Beliaulah
yang memberikan nama Sugih Waras kepada kampung yang sekarang ini.
Sebelum nama Sugih Waras diresmikan menjadi nama kampung, nama
kampung tersebut adalah Talang Medang dan Talang Pulau. Kedua kampung ini
belakangan menjadi satu dengan nama Sugih Waras. Menurut ceritanya Ngawak
Ditangai memiliki ilmu kesaktian mandraguna, sehingga ia mampu memimpin
kampung Sugih Waras. Adapun arti dari kata sugih adalah kaye atau kaya,
sedangkan kata waras adalah sehat. Jadi arti keseluruhan dari kata Sugih Waras
adalah desa yang masyarakatnya kaya dan sehat.
Masyarakat yang mendiami desa Sugih Waras merupakan masyarakat dari
suku Melayu. Awalnya orang-orang Melayu datang ke desa Sugih Waras melalui
muara sungai Rambang, yaitu sungai Ogan yang berada di wilayah Muara Enim.
Rie Tungkat Kaye dan istrinya Rie Sekati memimpin rombongan yang datang ke
desa Sugih Waras. Pasangan suami istri inilah yang menyebarkan agama Islam di
bumi Rambang. Selain itu juga orang-orang Melayu ini juga membawa adat-
istiadat Melayu dari daerah mereka ke desa Sugih Waras. Sehingga semenjak
kedatangan orang-orang Melayu tersebut masyarakat kampung Sugih Waras
memeluk agama Islam dan menerima kebudayaan masyarakat Melayu yang mereka
11 Hasil wawancara dengan Bapak Burani Taji, tokoh adat desa Sugih Waras, pada tanggal 14 Juli 2008.
21
bawa. Tak diperoleh keterangan mengenai tahun berapa Rie Tungkat Kaye beserta
rombongan tiba di desa Sugih Waras, karena tidak terdapat tulisan-tulisan atau
arsip peninggalan yang dapat menjelaskan kapan Rie Tungkat Kaye dan
rombongan tiba di desa Sugih Waras.
22
BAB III
PROYEK PERKEBUNAN KARET RAKYAT
DESA SUGIH WARAS DI SUMATERA SELATAN
Perkebunan rakyat atau kebun rakyat adalah satu di antara kegiatan sistem
pertanian yang telah lama dikenal di Indonesia. Tiga bentuk kegiatan pertanian
lainnya adalah sistem perladangan, sistem sawah, dan sistem tegalan. Sistem kebun
( garden system ) ialah kegiatan pertanian yang menggarap tanaman ( perdu )
berusia panjang ( perennial ) atau tanaman penghasil panenan ( crops ) yang
ditanam pada lahan tetap. Semua sistem itu telah berlaku di Indonesia sebelum
kedatangan bangsa Eropa, di mana masing-masing hingga saat sekarang juga masih
berlaku. Kebun kopi dan karet telah meluas ke wilayah perladangan kuno di
daerah Minangkabau ( Sumatera Barat ) sejak akhir abad ke-19. Marsden, penulis
Sejarah Sumatera, menegaskan bahwa sistem kebun sudah banyak dilakukan di
Sumatera pada abad ke-1812.
Penanaman karet jenis havea ( Havea Brasiliensis) mulai dikenal penduduk
keresidenan Palembang pada tahun 1905. Kemudian tanaman karet rakyat ini
menyebar hampir ke seluruh distrik, seperti Ogan Ulu, Ogan Ilir, Lematang Ilir,
Rawas, Komering Ulu, Komering Ilir, dan Musi Ilir. Karet adalah tanaman
komersial, sehingga penduduk terus membuka lahan-lahan baru penanaman karet.
Perkebunan rakyat berkembang seiring dengan perkembangan permintaan karet
dunia, terutama pengaruh dari “boom” harga pada tahun 1910 dan 1911. Yaitu
tingginya permintaan bahan baku karet di pasaran dunia.
12 Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, Loc. Cit., hal. 15-16, 17-18.
23
Pada umumnya perkebunan karet di Indonesia memiliki dua pola
pengembangan, yaitu pola tradisional dan pola subsisten ( utama atau pokok )
dengan pola modern dan komersial. Perkebunan rakyat tetap memiliki peranan
yang penting dalam ekspor karet pada awal perkembangan karet di Indonesia
hingga saat ini.
Faktor tanah dan keadaan alam yang mendukung merupakan alasan
bagaimana tanaman perkebunan karet dapat tumbuh dan berkembang di bumi
Indonesia. Faktor lain yang mendukung perkembangan tanaman karet ialah karena
dipengaruhi oleh permintaan bahan baku jenis karet di pasaran Eropa. Permintaan
akan bahan baku karet ini mengakibatkan terjadi “boom” harga.
Harga karet yang sangat rendah terjadi dalam tahun 1967 – 1972
menyebabkan luas areal “karet tidur” mencapai ratusan ribu hektar di wilayah-
wilayah karet di Jambi, Riau, dan Sumatera Selatan. Hal itu mengakibatkan
produksi karet Indonesia merosot sekali, dan secara keseluruhan produktivitas karet
rakyat di Indonesia sangat rendah selama kurun waktu 20 tahun sejak tahun 1965,
bahkan hampir mengalami kemandegan. Faktor-faktor penyebab rendahnya hasil
kebun karet rakyat adalah belum dilakukannya peremajaan dengan bibit unggul,
tidak dilakukannya pemupukan dan pemeliharaan tanaman, serta penyadapan yang
tidak teratur13.
Menghadapi merosotnya produktivitas karet rakyat secara meyeluruh di
Indonesia demikian, maka pada awal Pelita I pemerintah menempuh upaya serius
untuk merehabilitasi dan meremajakan tanaman karet rakyat melalui proyek-proyek
13 Mubyarto dan Awan Setya Dewanta, Op. cit., hal. 160.
24
PRPTE ( Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Tanaman Ekspor ) sekaligus juga
membangun pusat-pusat pengolahan karet di sentra-sentra produksi karet rakyat.
Di Sembawa dekat Palembang, Balai Penelitian karet secara terus menerus
mencari cara-cara diversifikasi yang bisa membantu kombinasi tanaman karet
untuk meningkatkan pendapatan keluarga. Sejak tahun 1977 pemerintah melalui
satu proyek yang cukup ambisius dan radikal, yaitu yang dikenal sebagai
perkebunan inti rakyat ( PIR ). Adapun landasan berpikir proyek ini adalah
menjadikan perkebunan-perkebunan milik negara ( PTP ) yang luas, sehat dan
maju teknologi dan manajerialnya menjadi bapak angkat bagi petani perkebunan
karet rakyat.
Perkebunan karet untuk pertama sekali dibuka di desa Sugih Waras ialah
pada tahun 1978, yaitu melalui pemerintah daerah Provinsi Sumatera Selatan
bekerja sama dengan pemerintah Kabupaten Muara Enim melakukan sosialisasi
kepada masyarakat Kecamatan Rambang Lubai, khususnya masyarakat desa Sugih
Waras untuk memperkenalkan tanaman perkebunan jenis karet. Oleh karena untuk
pembukaan kebun karet tersebut, masyarakat harus memahami terlebih dahulu
bagaimana sifat jenis tanamannya, cara penanaman, perawatan, hingga pemeliharaan
akan hama dan penyakit.
Pada tahun 1974, kepada semua penduduk desa Sugih Waras dihimbau oleh
kepala desa yang saat itu dijabat oleh Bapak A. Kohar, untuk menjadi petani
karet yang modern. Hal ini merupakan sebuah program dari pemerintah daerah
Sumatera Selatan dalam rangka memajukan tingkat perekonomian penduduk desa
25
Sugih Waras. Untuk tujuan itu penduduk desa Sugih Waras di tata oleh perangkat
pemerintahan desa.
Guna kelancaran program menuju petani karet yang medern tersebut,
terlebih dahulu mereka diberi pelatihan dan pendidikan selama satu bulan. Hal ini
dimaksudkan agar penduduk dapat mengerti bagaimana perilaku menjadi petani
karet modern. Selama sekolah satu bulan tersebut mereka dididik langsung oleh
Bapak Ir. Arbainayah, kepala proyek perkebunan Sumatera Selatan. Pengetahuan
yang diberikan dalam pembelajaran satu bulan itu ialah :
1. Pengetahuan mengenai tata cara yang baik dalam melakukan penanaman
tanaman karet.
2. Pengetahuan mengenai tata cara pemupukan tanaman karet.
3. Pengetahuan mengenai tata cara pemeliharaan tanaman karet.
4. Pengetahuan mengenai melakukan pemberantasan hama dan penyakit
tanaman karet.
Selain itu maksud dari diadakannya sekolah tersebut agar masyarakat dapat
mengerti terlebih dahulu tentang sifat tanaman karet, bagaimana cara penanaman
dan pemeliharaannya. Dengan diadakannya pendidikan membuat program
pembukaan perkebunan karet di desa Sugih Waras dapat berjalan dengan lancar
tanpa hambatan yang berarti. Dengan demikian pemerintah telah melakukan
pendekatan terhadap masyarakat yang sebelumnya tidak mengerti sama sekali
tentang sistem pertanian modern khususnya penanaman karet. Sebelum menerima
pengetahuan melalui sekolah tersebut, mereka masih bertani secara tradisioanal
yang mereka dapatkan secara turun menurun.
26
Oleh karena untuk membuka perkebunan karet tersebut dibutuhkan lahan
atau tanah, maka untuk itu harus lebih dahulu dibicarakan dengan para tokoh
masyarakat dan juga penduduk. Selanjutnya akan dibicarakan bagaimana sistem
penyediaan tanah sampai dengan pembukaan Proyek Perkebunan Karet Rakyat di
desa Sugih Waras.
3.1 Sistem Penyediaan Tanah Perkebunan
Pada tahun 1978 merupakan tahun awal pembukaan perkebunan karet di
desa Sugih Waras. Dalam penyediaan lahan permasalahannya dapat dikatakan
rumit, tetapi juga tidak serumit yang dibayangkan, sebab tergantung pendekatan
terhadap masyarakat. Artinya tidak ada penduduk yang merasa dirugikan maupun
yang memperoleh keuntungan. Dalam hal ini diperlukan jalan penyelesaian yang
baik, apalagi proyek yang akan direalisasikan adalah untuk kepentingan bersama
penduduk di desa itu sendiri.
Untuk mewujudkan program tersebut disepakatilah bahwa tanah yang akan
digunakan untuk penanaman karet adalah tanah rakyat atau tanah bersama yang
merupakan hak marge. Setelah masalah tanah yang akan digunakan untuk
penanaman kebun karet dapat disepakati dan diselesaikan, maka program
pembukaan perkebunan karet tersebut akan dapat dilaksanakan.
Kemudian beberapa orang ditunjuk oleh kepala desa untuk menentukan
tanah di bagian mana yang akan digunakan untuk penanaman tanaman perkebunan
karet. Yaitu lahan yang merupakan hasil kesepakatan bersama sebagai tanah
rakyat. Hal ini disebabkan hingga pada saat itu belum ada tanah yang
27
disertifikatkan, sehingga siapa saja yang ingin bercocok tanam di suatu lahan tidak
dipermasalahkan oleh penduduk lainnya, sepanjang tanah tersebut tidak sedang
digarap oleh orang lain.
Dengan adanya program Proyek Perkebunan Karet Rakyat tersebut sekaligus
rakyat dapat memahami tentang paraturan kepemilikan tanah. Diadakannya
musyawarah desa untuk membahas mengenai kepemilikan tanah nantinya setelah
pembukaan perkebunan karet, maka disepakati bersama bahwa lahan yang sudah
didapatkan oleh seseorang setelah pembukaan perkebunan karet akan menjadi hak
miliknya. Hal ini dipertegas oleh pihak pemerintah desa dan pihak proyek, bahwa
nantinya tanah tersebut akan diberi sertifikat kepemilikan yang sah.
Dalam pembukaan lahan tersebut masyarakat melakukanya secara bergotong-
royong. Kegiatan seperti ini biasa dilakukan oleh masyarakat pedesaan, begitu juga
dengan masyarakat dea Sugih Waras. Rasa kebersamaan yang kuat membuat
mereka selalu melakukan berbagai pekerjaan yang dianggap berat secara bersama-
sama.
Dalam lima tahap pembukaan lahan tanah untuk perkebunan karet tersebut
adalah sebagai berikut :
1. Tahun 1978/1979 lahan yang dibuka seluas 60 hektar untuk 60 KK
yang ikut menjadi petani karet.
2. Tahun 1980/1981 lahan yang dibuka seluas 200 hektar dengan petani
berjumlah 200 KK.
3. Tahun 1981/1982 lahan yang dibuka seluas 250 hektar dengan jumlah
petani 120 KK.
28
4. Tahun 1982/1983 jumlah lahan yang dibuka seluas 250 hektar dengan
jumlah petani 120 KK.
5. Tahun 1983/1984 jumlah lahan yang dibuka seluas 250 hektar dengan
jumlah petani 120 KK.
Dari kelima musim penanaman karet dalam program Proyek Perkebunan
Karet Rakyat ( PPKR ) di desa Sugih Waras selama tahun 1978/1979 sampai
1983/1984 seluruhnya berjumlah 1.010 hektar. Penduduk yang menjadi petani karet
berjumlah 620 orang. Perlu dijelaskan bahwa pada tahun 1978/1978 dan 1980/1981
setiap petani mendapatkan lahan perkebunan masing-masing 1 hektar saja. Mulai
tahun penanaman berikutnya, yaitu tahun 1981/1982 sampai 1983/1984 petani yang
ikut ada yang sudah mendapatkan lebih dari 1 haktar, yaitu 1,5 hektar sampai 2
hektar. Dengan pembukaan kebun karet rakyat itu diharapkan tingkat perekonomian
dan kesejahteraan masyarakat desa Sugih Waras dapat lebih meningkat lagi,
sekaligus produksi karet Indonesia secara nasional juga akan naik.
Penduduk yang mendukung program PPKR itu pada tahun pertama tahun
1978/1979 hanya berjumlah 60 orang, akan tetapi pada tahun-tahun berikutnya
penduduk yang menggabungkan diri menjadi petani karet jumlahnya bertambah,
sehingga pada akhir program total petani karet sebanyak 620 orang dengan areal
kebun karet seluas 1.010 hektar.
Sebenarnya dalam pembukaan Program Perkebunan Karet Rakyat ( PPKR )
ini juga terdapat suatu permasalahan. Yaitu kurangnya minat penduduk untuk
menjadi petani karet, penyebabnya adalah penduduk mendengar berita bahwa
masuk PPKR berarti masuk PKI, sehingga pada pembukaan perkebunan karet
29
pertama penduduk yang ikut menjadi petani karet sangat sedikit. Berita-berita
mengenai PKI tersebut masih sering mereka dengar sampai akhir tahun 1980-an.
Akan tetapi dengan seringnya pihak pemerintah memberikan penyuluhan-penyulahan
bahwa PPKR bukanlah PKI membuat penduduk yakin dan ikut bergabung menjadi
petani karet.
Dalam membuka lahan kebun dikerjakan secara gotong-royong. Petani ada
yang membawa cangkul, golok, ataupun berbagai jenis peralatan pertanian lainnya.
Mereka bekerja mulai dari pagi hari hingga sore, sedangkan para isteri
mempersiapkan makanan dan mengantarkannya kepada suami-suaminya yang
sedang bekerja. Ibu-ibu rumah tangga memasak nasi dan lauk pauk juga secara
bersama-sama.
Pada saat itu lahan yang dibuka adalah semak belukar dan alang-alang,
serta pohon-pohon besar yang sangat menguras tenaga, tetapi semua petani bekerja
penuh semangat untuk tujuan kehidupan yang lebih sejahtera. Selama tiga bulan
lahan yang tadinya semak belukar dan alang-alang berhasil dibuka untuk
selanjutnya ditanami tanaman karet. Tahap pertama tahun 1978 berhasil dibuka
lahan seluas 60 hektar.
3.2 Proyek Perkebunan Karet Rakyat ( PPKR )
Tingginya nilai ekonomi tanaman perkebunan jenis karet menjadikan usaha
perkebunan karet menjadi menguntungkan. Hal ini membuat pembukaan areal
perkebunan karet terus berkembang dan terus berperan dalam peningkatan
pendapatan perkebunan baik perkebunan besar maupun perkebunan rakyat.
30
Sejak awal tanaman karet diperkenalkan di Indonesia dan sampai sekarang
tanaman karet tetap menjadi salah satu andalan bangsa Indonesia dalam
membangun perekonomian rakyat, khususnya di daerah-daerah yang menjadi basis
perkebunan karet. Selain peranan ekspor karet Indonesia yang telah mendunia turut
menjadikan hasil-hasil perkebunan karet berkembang dengan cepat dan pesat.
Menurut Mubyarto dan Awan Setya Dewanta, pada tahun 1917 produksi karet
olah rakyat telah menyamai hasil produksi dari perkebunan besar, dan tahun-tahun
selanjutnya perkebunan karet rakyat mendominasi produksi karet alam Indonesia.
Harga karet Indonesia sempat mengalami penurunan seperti terjadi pada
awal-awal kemerdekaan dan terakhir pada tahun-tahun 1967-1972. Begitupun
pertumbuhan karet dalam negeri cenderung meningkat. Situasi seperti ini ikut
mendorong peningkatan produksi karet alam, bahkan setelah kemerdekaan
Indonesia menjadi produsen karet alam yang mendunia.
Tanaman karet untuk pertama sekali ditanam di desa Sugih Waras, yaitu
pada tahun 1978. Tahun ini merupakan awal dari sejarah perkembangan
perkebunan karet rakyat di desa Sugih Waras, sekaligus juga merupakan awal
perubahan sistem pertanian masyarakat desa Sugih Waras menuju pertumbuhan
sosial ekonomi masyarakat pada tahun-tahun berikutnya. Perubahan sistem
pertanian tradisional ke bentuk perkebunan karet setelah tanaman mulai berproduksi
maka petani lambat laun menikmati usaha jerih payahnya yang membawa mereka
mengalami perubahan kehidupan sosial ekonominnya.
Proyek Perkebunan Karet Rakyat ( PPKR ), merupakan suatu program yang
dicetuskan oleh pemerintah Republik Indonesia untuk menyelamatkan perekonomian
31
rakyat kecil. Program ini merupakan salah satu pengembangan perkebunan karet
rakyat. Dalam konsep PPKR pemerintah berperan sebagai inti, sedangkan
perkebunan rakyat sebagai peserta.
Dengan pelaksanaan proyek PPKR diharapkan dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi masyarakat desa Sugih Waras, sebab sektor ekonomi adalah
paling dasar dan paling sering dirasakan rakyat kecil. Untuk itulah melalui
program PPKR pemerintah mengharapkan dapat menanggulangi masalah
kemiskinan. Setidak-tidaknya akan mengurangi jumlah pengangguran yang selalu
menjadi permasalahan dan menjadi ukuran perkembangan perekonomian nasional
suatu negara.
Rendahnya tingkat pendapatan suatu keluarga atau komunitas sering
mengakibatkan terjadinya dekadensi moralitas. Dalam situasi seperti ini moral
tidaklah lebih berharga daripada sesuap nasi. Keadaaan seperti inilah yang
dirasakan oleh masyarakat desa Sugih Waras. Masyarakat desa Sugih Waras
mengalami titik terendah dalam hal kemiskinan. Tentunya keadaan sepeti ini juga
dialami penduduk miskin lainnya di Indonesia pasca kemerdekaan.
Di saat situasi sosial yang tidak menentu, pemerintah Provinsi Sumatera
Selatan menawarkan sebuah program, yaitu program PPKR dan diharapkan dapat
menanggulangi masalah kemiskinan di desa Sugih Waras. Program tersebut
disambut baik oleh penduduk desa Sugih Waras dengan penuh harapan akan
memberikan jalan untuk berusaha menuju yang lebih baik.
Pada awalnya tidak semua penduduk desa Sugih Waras bersedia mengikuti
program PPKR. Alasannya sebagian penduduk tidak mau bergabung karena mereka
32
merasa ragu terhadap program pemerintah tersebut, selain itu juga berita mengenai
PKI yang terjadi pada tahun 1960-an cukup menghantui mereka, banyak yang
menganggap masuk PPKR berarti masuk PKI. Sementara itu pada musim tanam
pertama pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan kepala desa Sugih Waras
memang belum terlalu mengharapkan agar seluruh masyarakat bisa ikut ambil
bagian. Apalagi pada tahun pertama ini merupakan tahun percobaan bagi
penanaman kebun karet rakyat.
Di Kecamatan Rambang Lubai program PPKR untuk pertama sekali dibuka
pada tahun 1973-1974, yaitu di desa Tanjung Rambang, Sukamerindu, Tanjung
Dalam, dan Pagar Agung. Keempat desa inilah yang pertama sekali mendapatkan
program PPKR, sekaligus merupakan desa percontohan bagi desa-desa lainnya di
Kecamatan Rambang Lubai. Setelah itu barulah menyusul PPKR di desa Sugih
Waras.
Untuk tahun musim penanaman yang pertama, yaitu tahun 1978-1979,
perkebunan karet dibuka di atas lahan tanah seluas 60 hektar, dengan jumlah
penduduk yang mendaftar sebanyak 60 KK. Pada penanaman yang pertama ini
masing-masing KK mendapatkan 1 hektar lahan perkebunan karet. Dengan luas 60
hektar lahan yang dibuka diharapkan dapat menjadi uji coba tumbuh dan
berkembangnya tanaman karet di desa Sugih Waras. Pada musim tanam tahun
1978-1979, bibit yang ditanam berasal dari Medan. Hal ini menunjukkan
masyarakat di Sumatera Utara telah lebih dahulu membudidayakan tanaman
perkebunan karet.
33
Ukuran jarak jauhnya penanaman karet satu dengan yang lain ialah 7 x 3
m. Setelah membuat ukuran ( ajir ), kemudian petani membuat lobang untuk
tanaman dengan ukuran luas lingkarannya 60 cm x 40 cm, sedangkan kedalaman
lobangnya adalam 30 cm. Pada bulan Juli 1978 peserta PPKR disuruh melakukan
pemupukan dasar, yaitu pemupukan lobang. Kegiatan ini dilakukan agar tanah
lobang yang akan ditanami bibit karet terbebas hama, sehingga pohon karet dapat
tumbuh subur. Pada bulan September 1978 bibit karet didatangkan oleh pihak
proyek ke desa Sugih Waras dengan cara pembagian. Dalam pembagiannya untuk
satu orang anggota mendapatkan 462 batang bibit karet dalam 1 hektar. Maka
dengan datangnya bibit karet tersebut mulailah penduduk yang ikut menjadi
anggota proyek untuk menanam bibit karet.
Setelah enam bulan masa umur tanaman karet didatangkanlah pupuk
tanaman oleh pihak proyek. Dalam pembagiannya untuk satu orang anggota
mendapatkan 250 kg pupuk. Adapun jenis-jenis pupuk tersebut terdiri dari TPS,
KCL dan puspat alam masing-masing 50 kg, sedangkan pupuk urea sebanyak
100 kg.
Setelah pemupukan selanjutnya adalah pemeliharaan. Berikutnya petani
menunggu sampai pohon karet bisa disadap. Dalam hal ini usia tanaman karet
rata-rata lima sampai enam tahun sudah mulai disadap, tetapi kebanyakan petani
menyadap karet pada usia lima tahun. Yang sangat istimewa bagi petani karet
desa Sugih Waras bahwa pada saat penyadapan karet yang pertama diresmikan
oleh Gubernur Provinsi Sumatera Selatan yang pada saat itu dijabat oleh Bapak
Sainan Sagiman.
34
Untuk masa penanaman karet pada tahun 1980-1981 perkebunan karet
dibuka seluas 200 hektar. Dengan dibukannya areal perkebunan karet ini,
pemerintah mengharapkan kesadaran penduduk desa Sugih Waras akan lebih
meningkat tentang pentingnya kebun karet bagi perekonomian. Sebanyak 120 orang
penduduk ikut serta di dalam pembukaan perkebunan pada tahun tersebut.
Peningkatan jumlah peserta pada tahun 1980-1981 ini memang sangat diharapkan
oleh pemerintah daerah Provinsi Sumatera Selatan.
Pada tahun ke-dua ini, masyarakat melakukan pembukaan lahan perkebunan
sudah melakukannya dengan menggunakan traktor. Dinas Perkebunan Sumatera
Selatan memberikan pinjaman traktor kepada warga yang akan membuka lahan
perkebunan karet di desa Sugih Waras. Dengan menggunakan traktor masyarakat
tidak terlalu lama melakukan pembukaan lahan perkebunan. Setelah selesai
membuka lahan, petani peserta program disuruh membuat ajir untuk menentukan
jarak tanaman, yaitu sama seperti tahun sebelumnya. Adapun jarak jauhnya
tanaman ialah 7 x 3 m. Kegiatan-kegiatan selanjutnya dilakukan sama seperti
penanaman karet pada tahun 1978-1979.
Selanjutnya kegiatan-kegiatan sebelum dan masa penanaman yang dilakukan
pada masa penanaman pertama juga dilakukan di tahun-tahun berikutnya. Begitu
pula masa penyadapan juga sama dengan penyadapan pada tahun 1979-1979.
Pada masa penanaman tahun 1981-1982 yang merupakan tahap penanaman
yang ke-tiga dibuka lahan seluas 250 hektar dengan jumlah anggota 120 KK.
Pada tahun ini anggota sudah ada yang mendapatkan lahan kebun lebih dari 1
hektar, yaitu 1 setengah hingga 2 hektar. Selanjutnya untuk masa penanaman
35
tahun 1983-1984 dibuka lahan seluas 250 hektar dengan jumlah anggota sebanyak
120 orang. Dengan lahan seluas 1.010 hektar yang dibuka untuk perkebunan karet
di desa Sugih Waras diharapkan dapat membantu masyarakat untuk menciptakan
perekonomian yang lebih baik demi kesejahteraan mereka. Dalam hal ini
pemerintah Provinsi Sumatera Selatan membantu pelaksanaan pembukaan kebun
karet rakyat, di mana semua kebutuhan yang berhubungan dengan pembukaan
perkebunan dibantu oleh pemerintah daerah Sumatera Selatan.
Selanjutnya bibit yang didatangkan ke desa Sugih Waras berasal dari
Medan dan Malaysia. Sebaliknya pemerintah daerah Sumatera Selatan dalam
mewujudkan program ini tidak gratis. Dalam hal ini pemerintah daerah Sumatera
Selatan memberikan semua bibit, pupuk, dan lain sebagainya dengan kredit jangka
panjang. Petani yang telah menerima program PPKR harus membayar kepada
pemerintah daerah Sumatera Selatan dengan sistem kredit. Adapun kredit jangka
panjang tersebut merupakan kredit selama 30 tahun dan setelah selesai maka
masyarakat diberikan sertifikat kepemilikan perkebunan yang sah.
Terhadap pembayaran dengan cara kredit itu tidak terlalu memberatkan
masyarakat, karena mulai dari penggarapan sampai pemeliharaan selama tiga tahun
semuanya dibiayai oleh pemerintah daerah Provinsi Sumatera Selatan. Pembayaran
dilakukan setelah perkebunan disadap dan menghasilkan. Jadi setiap penjualan hasil
perkebunan karet kepada para petani diwajibkan untuk mencicil hutang mereka
yang berlangsung selama 30 tahun.
36
BAB IV
KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI
MASYARAKAT PETANI KARET RAKYAT DESA SUGIH WARAS
Bab IV ini yang membicarakan perkembangan kehidupan sosial ekonomi
masyarakat petani Proyek Perkebunan Karet Rakyat ( PPKR ) desa Sugih Waras
pada tahun 1978 dan susudahnya. Sebagaimana dijelaskan pada bagian-bagian
terdahulu bahwa tanaman karet jenis Havea Brasiliensis diperkenalkan pemerintah
kolonial di keresidenan Palembang sejak tahun 1905, yaitu bersamaan dengan di
Jambi, yaitu wilayah tetangga keresidenan yang berbatasan. Sebagaimana diketahui
sejak tahun 1905 itu pula tanaman karet ini menyebar hampir ke seluruh wilayah
keresidenan Palembang. Apabila setelah tahun 1905 itu penyebaran karet sangat
luas mencapai Ogan dan Komering bahwa desa Sugih Waras adalah bagian dari
kawasan ini. Memang tak diketahui secara pasti kapan tanaman karet mulai
ditanam penduduk desa Sugih Waras, tetapi terdapat bukti bahwa tanaman karet
tersebut sudah diusahakan sebelum pemerintahan daerah Provinsi Sumatera Selatan
menjalankan program PPKR pada tahun 1878. Sementara desa Sugih Waras sendiri
berdiri sejak tahun 1868. Angka tahun ini pun tak ada catatan resminya kecuali
berdasarkan tradisi lisan penduduk yang sudah berlangsung turun temurun.
4.1 Mata Pencaharian Penduduk Pra PPKR
Sebelum penduduk desa Sugih Waras mengikuti program Proyek
Perkebunan Karet Rakyat ( PPKR ) pada tahun 1978, pada umumnya sumber mata
37
pencaharian penduduk adalah bertani, yaitu sistem pertanian ladang berpindah-
pindah. Dalam hal ini penduduk membuka hutan belukar dan menggarapnya
selama tiga tahun berturut-turut, kemudian meninggalkannya. Jenis tanaman yang
diusahakan oleh penduduk terutama padi sebagai bahan makanan pokok, kemudian
palawija dan tanaman kopi liar. Selain bertani menanam padi, palawija dan kopi,
mata pencaharian penduduk juga menangkap ikan dan berburu. Adapun semua
hasil produksi pertanian mereka baik padi dan kopi maupun dari menangkap ikan
dan berburu semuanya untuk dikonsumsi sendiri atau untuk kebutuhan keluarga
saja. Artinya tidak ada hasil dari yang diproduksi masyarakat untuk dijual ke
pasar secara khusus.
Di bawah ini penulis akan membicarakan kehidupan sosial ekonomi
penduduk desa Sugih Waras pra program Proyek Perkebuan Karet Rakyat (PPKR)
pada tahun 1978. yaitu mata pencaharian penduduk yang bersumber dari bertani
ladang, petani kopi liar, mengkap ikan, dan berburu.
1. Bertani ladang
Sebelum adanya pembukaan perkebunan karet rakyat di desa Sugih Waras
yang dimulai dengan program PKKR pada tahun 1978, pada umumnya mata
pencaharian pokok penduduk adalah bertani ladang atau petani ladang. Yaitu
sistem pertanian yang dilakukan secara berpindah-pindah setelah menggarap lahan
yang dibuka selama tiga tahun mengusahakannya. Setelah tiga tahun penduduk
mengusahakan lahannya, kemudian mereka meninggalkannya dan pindah ke tempat
yang lain dengan membuka lahan baru. Begitu juga setelah mereka menggarap
38
lahan baru ini selama tiga tahun secara berturut-turut, lalu ditinggalkan dan
dibiarkan begitu saja. Demikianlah kegiatan seperti itu terus terjadi dalam sistem
pertanian ladang di desa Sugih Waras. Oleh karena jarak hutan yang akan dibuka
menjadi lahan pertanian semakin jauh dari desa tempat tinggal, maka terdapat di
antara penduduk desa Sugih Waras yang pergi ke desa lain untuk membuka lahan
pertanian. Di tempat lain juga, sebagaimana halnya banyak dijumpai di berbagai
tempat di Indonesia, di mana hutan masih luas serta penduduk masih jarang, pada
umumnya banyak dilakukan penduduk di luar pulau Jawa adalah pertanian ladang
berpindah-pindah. Petani desa Sugih Waras yang pergi membuka tanah pertanian
di tempat lain, setelah lama merantau akhirnya mereka kembali lagi ke desa
asalnya ke desa Sugih Waras.
Sistem pertanian ladang berpindah-pindah di desa Sugih Waras
sesungguhnya tidak serta-merta terjadi sebagaimana terdapat pada umumnya di
tempat-tempat yang disebabkan luasnya areal hutan dan masih jarangnya jumlah
penduduk. Sistem pertanian ladang berpindah-pindah yang mengusahakan lahan
selama tiga tahun dan kemudian meninggalkannya disebabkan tingkat kesuburan
tanah yang rendah. Hutan yang dibuka oleh penduduk pada dasarnya tidak lebih
dari hutan belukar atau semak belukar yang memang sudah kurang subur dan
bukan hutan belantara yang humusnya tinggi yang dibuka oleh penduduk.
Pada bab-bab terdahulu sudah diceritakan bahwa tanaman karet jenis Hevea
Brasiliensis atau tanaman karet yang dikenal sekarang ini sudah masuk ke
keresidenan Palembang sejak 1905. Memang tidak diketahui secara pasti kapan
tanaman karet mulai ditanam oleh penduduk desa Sugih Waras, tapi berdasarkan
39
keterangan penduduk bahwa di desa Sugih Waras penduduk sudah menanam karet.
Apalagi seperti keterangan yang dikutip sebelumnya bahwa sejak tahun 1905
tanaman karet sudah menyebar hampir ke semua distrik di Palembang, di mana
Ogan Ulu, Ogan Ilir, Lematang Ilir, Komering Ulu, Rawas, Komering Ilir, dan
Musi Ilir adalah merupakan daerah-daerah utama penghasil karet. Adapun desa
Sugih Waras adalah merupakan termasuk kawasan dari distrik Ogan. Dengan
demikian tanaman karet sudah masuk ke desa Sugih Waras dan ditanam oleh
penduduk sebagai tanaman komersial sesudah tahun 1905 itu, setidak-tidaknya
selama penjajahan kolonial Belanda. Diperkirakan selama kurang lebih empat
dasawarsa tanaman karet menempati arti penting bagi kehidupan penduduk desa
Sugih Waras, walaupun diketahui bahwa sepanjang periode hingga masuknya
Jepang ke Palembang harga karet mengalami pasang surut. Sejauh itu seperti
halnya kondisi perekonomian penduduk di mana penduduk menanam karet bahwa
produksi karet sangat menentukan turun-naiknya perekonomian masyarakat
setempat.
Selama pendudukan Jepang di Palembang perekonomian penduduk desa
Sugih Waras mengalami perubahan sangat drastis, tetapi bukan menuju
peningkatan, sebaliknya mengalami kemerosotan. Apabila dalam waktu sangat lama
penduduk hidup dengan sumber mata pencahariannya berasal dari karet, tapi sejak
masuknya pendudukan Jepang di Palembang maka semua pohon karet harus
“dipangkas” menurut istilah penduduk lokal di sana, yaitu semua pohon karet
termasuk di desa Sugih Waras harus ditebang. Hutan tanaman karet milik
penduduk dibuka menjadi tanah pertanian untuk menghasilkan pangan. Tujuannya
40
adalah untuk mendapatkan persediaan pangan bagi pasukan Jepang yang sedang
berperang. Tindakan Jepang untuk memaksa penduduk di mana saja mereka berada
agar menyediakan persediaan makanan dengan cara bertani. Untuk tujuan
memperoleh lahan pertanian yang menghasilkan lahan pangan itulah sebabnya
semua karet rakyat ditebang dan dijadikan lahan pertanian.
Sejak pendudukan Jepang pola sumber mata pencaharian penduduk desa
Sugih Waras mengalami perubahan dari pertanian karet menjadi pertanian pangan
yang manghasilkan padi. Di bawah pendudukan Jepang kehidupan penduduk sangat
menderita dan mengalami kemiskinan, karena selama periode pendudukan tersebut
mulai tahun 1942 sampai tahun 1945 penduduk hanya bekerja mengusahakan tanah
pertanian, tetapi hasilnya bukan untuk dinikmati sendiri, melainkan seluruh hasil
pertanian yang didapatkan penduduk diserahkan kepada pemeriatah Jepang.
Apabila selama pendudukan Jepang di Indonesia secara keseluruhan
penduduk Indonesia sangat melarat, demikian pula halnya di desa Sugih Waras.
Kemiskinan melanda kehidupan penduduk disebabkan mereka tidak mempunyai
kesempatan untuk memproduksi pangan untuk kebutuhan mereka sendiri, karena
seluruh waktunya semata-mata digunakan untuk memproduksi pangan bagi tentara
pendudukan Jepang. Semua hasil pertanian penduduk diserahkan bagi kebutuhan
pemerintah Jepang yang berkuasa.
Setelah Indonesia merdeka kehidupan ekonomi penduduk desa Sugih Waras
tidak banyak mengalami perubahan. Kecuali tidak ada lagi pemaksaan pemerintah
untuk meyerahkan hasil panennya. Proklamasi kemerdekaan RI tak membawa
perubahan penting dalam kehidupan perekonomian penduduk desa Sugih Waras,
41
dalam arti kata sistem pertanian ladang kembali dilanjutkan. Sejak masa
pendudukan Jepang penduduk tidak pernah lagi menanam tanaman karet, bahkan
sesudah kemerdekaan pun. Periode yang cukup panjang setelah proklamasi sampai
sekitar pertengahan tahun 1980-an barulah belakangan penduduk desa Sugih Waras
yang tidak ikut serta dalam program PPKR mereka termotivasi untuk ikut
menanam karet. Artinya dalam kurun waktu yang panjang itu penduduk desa
Sugih Waras tetap hidup bercocok tanam dengan sistem pertanian ladang
berpindah-pindah.
Dalam sistem pertanian ladang berpindah-pindah tersebut setelah penduduk
membuka lahan hutan belukar dan membakarnya, selanjutnya kesuburan tanaman
dan keberhasilan panen sangat tergantung kepada turunnya hujan. Pembukaan lahan
dengan cara membakarnya juga mendukung kesuburan tanah selain air hujan yang
turun.
Sistem pertanian ladang berpindah-pindah merupakan pertanian pangan
sebagai sumber mata pencarian pokok bagi kehidupan penduduk desa Sugih
Waras. Faktor pendukung sistem pertanian ini masih tersedianya hutan belukar
untuk dijadikan lahan pertaniaan. Penduduk percaya setelah lahan ditanami secara
terus-terusan, maka tanah perladangan mereka akan berkurang tingkat
kesuburannya. Setelah tiga tahun mengusahakan ladang tanah perladangan tersebut
penduduk mencari hutan lain untuk dibuka dan dijadikan tanah pertanian baru,
yaitu selama tiga tahun juga, dan begitu seterusnya. Demikianlah sistem pertanian
penduduk desa Suugih Waras selama puluhan tahun berlangsung secara turun
temurun.
42
Dalam bertani di ladang penduduk menanam tanaman pokok selain padi,
juga berbagai jenis tanaman palawija, pada umumnya untuk konsumsi keluarga
sendiri. Penduduk yang hidup bertani seringkali mengalami bencana alam seperti
datangnya banjir, maupun diserang hama, sehingga hasil pertanian mereka tidak
memperoleh hasil yang memuaskan. Akibatnya tidak jarang penduduk tak bisa
memenuhi kebutuhan hidup mereka, sehingga mereka terpaksa mencari pekerjaan
lain, bahkan adakalanya pergi ke desa lain untuk mengadu nasib.
Kegiatan pertanian berpindah-pindah yang dilakukan penduduk desa Sugih
Waras secara turun temurun masih terjadi hingga sekarang. Mereka membuka hutan
belukar dengan menebang pohon-pohon, yang biasanya dilakukan pada musim
kemarau, yakni sebelum bulan September, sebab umumnya pada akhir bulan
September merupakan berakhirnya musim kemarau setiap tahun. Setelah kayu-kayu
yang ditebang dan kering barulah penduduk membakarnya. Lahan yang dibuka
dibakar sebelum tiba musim penghujan, sebab pada musim penghujan pohon-pohon
yang ditebang dan rumput ilalang yang merupakan semak belukar paling utama,
apabila sudah hujan tidak akan bisa terbakar musnah. Apabila api tidak dapat
melalap pohon-pohon dan rumput ilalang seluruhnya, maka kesuburan tanah tidak
didapatkan. Selanjutnya memasuki bulan Oktober sudah tiba musim penghujan dan
penduduk mulai menanam padi, sehingga bibit-bibit padi yang akan ditanam akan
tumbuh baik.
Dalam kegiatan pertanian terutama saat membakar lahan untuk dijadikan
tanah paetanian dan ketika menanam padi dilakukan penduduk desa Sugih Waras
secara begotong royong dan sudah menjadi tradisi yang turun temurun. Biasanya
43
menjelang pembakaran lahan yang dibuka dan untuk menanam padi dilakukan
secara bergiliran di antara penduduk dengan bergotong royong. Penduduk yang
akan melakukan kegiatan tersebut terlebih dahulu memberitahukan rencana
pembakaran lahan maupun bertanam padi pada hari yang akan ditentukan untuk
meminta bantuan kerabat-kerabat penduduk setempat. Pada umumnya penduduk
desa Sugih Waras masih terikat oleh sistem kekerabatan yang sangat kuat.
Kegiatan dilakukan secara bergotong royong tanpa upah, di mana pekerjaan
dilaksanakan berdasarkan rasa kekeluargaan. Penduduk yang ikut berpartisipasi
pada saat membakar lahan untuk pertanian dan bekerja menanam padi biasanya si
empunya pekerjaan yang mengundang akan menjamu makan dan minum di
rumahnya. Para ibu rumah tangga yang suami-suaminya terlibat dalam kegiatan
pekerjaan tersebut, mereka menanak nasi serta lauk-pauknya yang disediakan oleh
si empunya ladang.
Demikian juga pada saat tiba masa panen biasanya para kerabat dan jiran
tetangga akan datang untuk menuai padi. Dalam kegiatan menuai padi ini biasanya
yang empunya ladang tidak perlu lagi memberitahukan secara formal kepada
kerabat-kerabat maupun jiran tetangga, tetapi cukup dengan menyampaikan saja
baik langsung ataupun tidak, maka mereka akan datang dengan sendirinya, sebab
di antara penduduk desa Sugih Warah memiliki tingkat kesadaran yang tinggi di
mana mereka masih terikat kuat oleh kekerabatan. Setelah selesai menuai padi
biasanya kerabat-kerabat dekat dan jiran tetangga yang ikut membantu memanen
padi kepada mereka diberikan beras hasil panen tersebut. Biasanya kepada setiap
orang akan diberi beras sebanyak dua hingga empat liter beras.
44
Tradisi bergotong royong penduduk desa Sugih Waras sudah berlangsung
secara turun temurun sejak dari orang-orang tua mereka sebelumnya. Gotong
royong tidak hanya dilakukan dalam kegiatan-kegiatan pertanian saja, seperti ketika
membakar lahan untuk dijadikan tanah perrtanian, saat bertanam padi ataupun
masa menuai padi. Kegiatan gotong royong juga dilakukan apabila sesuatu
pekerjaan dengan melibatkan orang banyak dan tradisi ini sudah berurat-berakar
dalam kehidupan masyarakat.
Dalam masa yang cukup panjang, yakni setelah kemerdekaan RI hingga
sekitar tahun 1980-an atau kurang lebih empat dasawarsa seluruh penduduk desa
Sugih Waras hidup dari pertanian ladang secara berpindah-pindah. Sesuai dengan
kondisi alamnya, maka masa tanam hanya dapat dilakukan sekali dalam setahun.
Hasil panen padi yang diperoleh itulah yang menjadi persediaan pangan untuk
keluarga selama setahun sampai panen lagi pada tahun berikutnya. Di samping
tanaman pokok padi, maka untuk kebutuhan pokok sehari-hari lainnya penduduk
juga menanam sayur mayur seperti cabe, singkong, ubi rambat, terong, bawang
putih, bawang merah, dan berbagai jenis tanaman palawija lainnya.
Sudah disinggung sebelumnya bahwa produktivitas pertanian penduduk desa
Sugih Waras semata-mata berasal dari padi ditambah sayur mayur, maka hasil
pertanian sangat tergantung kepada kemurahan alam. Artinya produksi pertanian
akan berhasil apabila tanaman mereka tidak diterpa banjir atau datangnya musim
kemarau yang parah maupun disebabkan hama yang berasal dari binatang hutan.
Sistem pertanian semata-mata bersumber dari satu jenis tanaman seperti padi, maka
apabila panan gagal akan berakibat sangat fatal bagi penduduk. Apalagi kondisi
45
alam desa Sugih Waras yang dialiri sungai hampir mengelilingi desa menyebabkan
desa Sugih Waras berpotensi rawan banjir.
Dalam sejarah desa Sugih Waras, sekitar tahun 1959 sampai tahun 1960-an
penduduknya pernah ditimpa bencana kelaparan yang sangat parah, di mana setiap
hari ada yang meninggal disebabkan oleh kelaparan. Peristiwa ini dikenang
penduduk dengan menyebutnya “tahun serit”14. Bencana tersebut menimpa
penduduk disebabkan tidak ada persediaan bahan makanan, bahkan oleh karena
kemiskinan mereka tidak mampu untuk membeli beras. Oleh sebab ketiadaan beras
untuk dimasak hampir semua penduduk ketika itu harus mengkonsumsi apa saja
yang bisa dimakan seperti pelepah daun keladi, rebung bambu muda, juga buah-
buahan yang diperoleh dati hutan, dan sebagainya. Menurut keterangan penduduk,
selain setiap hari ada di antara penduduk yang meninggal, juga setiap orang yang
pergi entah ke mana saja pergi meninggalkan desanya, mereka tak pernah kembali
lagi ke tengah-tengah keluarganya, dan akan diperoleh kabar bahwa mereka telah
meninggal di suatu tempat.
2. Pertanian kopi
Usaha penanaman kopi di desa Sugih Waras dilakukan penduduk setelah
selesai penanaman padi di ladang. Dengan demikian tanaman kopi tumbuh di
lahan bekas pertanian padi yang ditinggalkan oleh penduduk setelah mereka
membuka lahan pertanian padi di tempat yang baru. Jenis kopi yang
dibudidayakan penduduk yang menyebut perkebunan kopi mereka sebagai usaha
14 Hasil wawancara dengan Bapak Burani Taji, tokoh adat desa Sugih Waras pada tanggal 14 Juli 2008.
46
rakyat, menurut keterangan yang diperoleh bibit yang ditanam berasal dari tanaman
kopi liar yang tumbuh di hutan. Penanaman kopi dilakukan secara tradisional
sesuai dengan metode yang didapat secara turun temurun dari para orang tua
mereka sebelumnya. Tanaman kopi penduduk dapat tumbuh dengan baik dan
berbuah, paling tidak begitulah pendapat mereka sesuai pendapat awam yang tak
mengetahui secara benar tentang seluk-beluk tanaman kopi.
Usaha pertanian kopi dilakukan penduduk sebagai pekerjaan sambilan, yaitu
penduduk menanam kopi di atas lahan pertanian ladang yang sudah selesai masa
bertanam padi. Tanaman kopi dibiarkan tumbuh di bekas lahan pertanian padi
yang ditinggalkan tanpa dipelihara atau dirawat dengan baik. Begitupun tanaman
kopi dapat tumbuh dan berbuah, di mana kebun kopi itu merupakan milik petani
yang menanamnya. Rata-rata penduduk memiliki satu sampai dua hektar kebun
kopi. Sebelum pertumbuhan ekonomi penduduk desa Sugih Waras yang ditandai
dengan petani peserta PPKR mulai menyadap kebun karetnya, produksi kopi dapat
dikatakan masih belum bernilai ekonomis.
3. Menangkap ikan
Pekerjaan menangkap ikan dilakukan penduduk di sungai. Hasil tangkapan
ikan terutama untuk dikonsumsi sendiri oleh keluarga. Dengan demikian sungai di
desa Sugih Waras berfungsi penting bagi kehidupan penduduk. Pada masa ini
terdapat di kalangan penduduk yang sudah merusak keseimbangan alam, yaitu
untuk memperoleh ikan yang banyak dengan cara yang mudah mereka
menggunakan tuba. Tanaman tuba yang diambil adalah akarnya yang didapatkan
47
dari hutan-hutan belukar. Akar-akar tuba ini dipukul-pukul sampai hancur,
kemudian dibuang ke sungai di tempat yang diperkirakan banyak ikannya. Air
tuba akan membuat ikan menjadi mabuk bahkan bagi ikan kecil akan
menyebabkan mati. Apabila ikan dalam keadaan mabuk, maka penduduk yang
menuba itu dengan mudah akan dapat menangkap ikan-ikan tersebut. Yang
disayangkan bahwa menangkap ikan dengan mempergunakan tuba akan
menyebabkan ikan-ikan kecil akan mati, sehingga populasinya menjadi menurun.
Cara lain yang lazim dilakukan penduduk untuk menangkap ikan ialah
dengan menggunakan peralatan seperti jaring, jala, bubue (bubu), ataupun dengan
cara memancing. Bubue adalah alat untuk menangkap ikan di sungai yang terbuat
dari rotan yang dianyam dan dijalin berbentuk bulat panjang. Pada mulut bubue
dibuat kerucut yang terbuat dari rotan dengan ujungnya dibuat runcing dan
menyempit, sehingga ikan hanya bisa masuk dari mulut bubue yang lebar, tetapi
tidak bisa keluar lagi. Biasanya bubue dipasang untuk menangkap ikan apabila air
sungai sedang surut, sebab jika digunakan saat air naik atau banjir, maka bubue
akan hanyut terbawa arus yang deras. Dengan menggunakan jenis peralatan
penangkap ikan tersebut sehari-harinya penduduk dapat menghasilkan ikan untuk
kebutuhan hidup mereka. Menurut salah seorang penduduk mengatakan bahwa
orang tuanya pernah mendapatkan ikan sebanyak dua karung. Adapun jenis-jenis
ikan yang berhasil ditangkap penduduk dari sungai di antaranya gabus, lais, bawal,
toman, lampam, sebarau, dan berbagai jenis ikan lainnya.
48
4. Berburu
Pekerjaan berburu juga sering dilakukan oleh penduduk desa Sugih Waras.
Kegiatan ini dimungkinkan oleh karena lingkungan alamnya di mana masih
terdapat hutan belukar. Biasanya berburu dilakukan pada malam hari secara
berkelompok terdiri dari lima atau enam orang. Kebiasaan berburu pada malam
hari dilakukan karena binatang-binatang yang diburu jarang melarikan diri, bahkan
binatang-binatang itu menentang cahaya sorotan senter pemburu, sehingga pemburu
menjadi lebih mudah untuk menjerat ataupun menembaknya. Adapun binatang-
binatang yang diburu tersebut di antaranya adalah rusa, kancil, trenggiling, kijang,
dan lain-lain.
Sebelum tahun 1980-an hasil buruan penduduk hanya untuk dikonsumsi
sendiri oleh penduduk. Apabila hasil buruan yang diperoleh cukup besar biasanya
para tetangga juga akan memperoleh daging, yaitu mereka yang tidak ikut
berburu, dan begitu pula sebaliknya jika warga lainnya yang berburu dan
mendapatkan buruan yang besar.
4.2 Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Setelah PPKR
Kedatangan Jepang ke Palembang telah mematikan perekonomian penduuduk
desa Sugih Waras, karena tentara pendudukan Jepang telah memaksa semua
penduduk untuk menebang pohon-pohon karet miliknya yang menjadi sumber mata
pencahariannya turun temurun setidak-tidaknya sekitar 30 tahun, yaitu semenjak
diperkenalkan tanaman karet di keresiden Palembang pada tahun 1905. Lahan
perkebunan karet rakyat ditebang habis untuk dijadikan tanah pertanian yang
49
menghasilkan pangan, tetapi produksi yang dihasilkan dengan jerih payah mereka
bukan untuk dinikmati sendiri, melainkan harus diserahkan kepada pemerintah
Jepang yang berkuasa. Sistem politik pemerintahan pendudukan Jepang telah
menyengsarakan penduduk, selain dilanda ketakutan dan menderita kemiskinan.
Penduduk tidak diberi kesempatan sama sekali untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya sendiri, selain dipaksa bekerja tanpa kenal lelah dan waktu untuk
menimbun sebanyak-banyaknya produksi pangan untuk keperluan perang Jepang.
Kehidupan sosial ekonomi masyarakat desa Sugih Waras benar-benar mengalami
perubahan yang sangat merosot dan parah. Selama pendudukan Jepang aktivitas
ekonomi penduduk desa Sugih Waras merosot sangat dahsyat, di mana
perekonomian sama sekali menjadi mati. Dalam kehidupan sosial juga mengalami
hal yang sama, sebab penduduk dihimpit terus dengan beban-beban yang tak
memungkinkan penduduk berkesempatan untuk bertemu dan berkumpul.
Dengan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, peristiwa politik sangat
penting ini tak banyak memberikan arti ekonomi bagi penduduk desa Sugih
Waras. kecuali penduduk sudah memperoleh kebebasan untuk menghasilkan pangan
bagi kebutuhan sendiri tanpa ada tekanan untuk menyerahkan hasil panen kepada
pemerintah. Sejauh itu penduduk telah diselimuti sikap apatis setelah ditekan dan
sangat menderita selama pendudukan Jepang. Kemiskinan sebelumnya menyebabkan
mereka sangat susah untuk bangkit kembali. Satu-satunya yang masih bisa
dilakukan mereka hanyalah bertani dan bertanam padi. Mata pencaharian ini pun
tidak mampu mengangkat perekonomian mereka, selain hanya bisa bertahan hidup.
Dengan hanya ekonomi pertanian padi ternyata basis perekonomian penduduk
50
sangat lemah terbukti ketika sekitar tahun 1960-an awal di desa Sugih Waras
terjadi bencana yang menyebabkan banyak penduduk yang meninggal karena
kelaparan.
Dengan hanya sistem pertanian ladang berpindah-pindah sejak periode
kemerdekaan RI hingga sekitar tahun 1986 dilakukan oleh penduduk desa Sugih
Waras tak terjadi perubahan ekonomi. Di sektor pertanian ini juga tak ada
perubahan, baik dalam modal, alat produksi pertanian maupun tenaga kerja.
Semuanya berlangsung secara tetap berdasarkan tradisi turun temurun ialah dengan
cara bergotong royong. Sistem gotong royong walaupun merupakan nilai sosial
bangsa, akan tetapi sistem ini tak bernilai ekonomis yang dapat memberi dan
membawa perkembangan ekonomi.
Pada bab III terdahulu sudah dibicarakan bahwa pemerintah daerah Provinsi
Sumatera Selatan diteruskan ke pemerintah daerah kabupaten Muara Enim telah
mencanangkan program untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk melalui
program PPKR. Menyikapi program itu pada tahun 1974 kepala desa Sugih Waras
menginformasikan kepada warganya agar mereka yang bersedia mengikutinya
supaya mendaftarkan diri. Dapat dimengerti bahwa ajakan kepala desa agar
penduduk ikut menjadi peserta Proyek Perkebunan Karet Rakyat pada awalnya tak
mendapatkan sambutan warga, di mana selama kurang lebih tiga tahun program
diisukan hanya terdapat 60 KK penduduk yang bersedia mengikutinya. Pada tahun
1978-1979, yaitu saat awal pembukaan PPKR ke-60 KK itulah pesertanya setelah
selama setahun sebelumnya kepada mereka diberikan sosialisasi, pendidikan tentang
sifat dan karakteristik tanam karet.
51
Apabila sejak tahun 1974 sudah diisukan oleh kepala desa mengenai
rencana pemerintah akan membuka perkebunan karet yang diperuntukkan bagi
rakyat ternyata selama kurang lebih tiga tahun penduduk yang bersedia menjadi
peserta hanya 60 KK. Kurangnya respons mayarakat terhadap ajakan pemerintah
lewat kepala desa tersebut berdasarkan dua faktor penting. Yaitu pertama,
kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap tanaman karet itu sendiri, di samping
pengalaman hampir selama 30 tahun setelah pendudukan Jepang dan masa
kemerdekaan penduduk tak mengalami perubahan ekonomi sama sekali. Dalam
waktu yang panjang demikian, bahkan sekitar tahun 1960-an penduduk mengalami
kehidupan sangat parah karena tidak adanya bahan makanan, sehingga banyak
penduduk yang meninggal dunia. Situasi itu meyebabkan sikap penduduk menjadi
apatis terhadap rencana-rencana pemerintah, apalagi yang sifatnya berupa rencana.
Kondisi ini ditambah lagi dengan pengetahuan yang tidak dimiliki oleh masyarakat
mengenai perkebunan karet yang direncanakan oleh pemerintah tersebut, selain
termasuk juga mengenai sifat dan karakteristik tanaman karet itu sendiri yang
tidak mereka ketahui. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa sejak pendudukan
Jepang penduduk desa Sugih Waras tidak mengenal lagi tanaman karet, yakni
setelah semua kebun karet rakyat ditebang habis di mana di atas bekas lahannya
dijadikan tanah pertanian untuk kepentingan pangan tentara pendudukan Jepang.
Kedua, kenapa program PPKR yang bertujuan untuk meningkatkan
perekonomian penduduk, masyarakat pada umumnya ragu-ragu bahkan di kalangan
masyarakat merasa takut apakah benar program itu memang tujuannya sungguh-
sungguh untuk mensejahterakan kehidupan penduduk. Hal ini disebabkan
52
pengalaman sejarah sebelum meletusnya G.30.S. pada tahun 1965. Oleh karena
sangat minimnya informasi dan pengetahuan politik yang tidak ada sama sekali
masyarakat tidak dapat dengan mudah diajak untuk mengikuti suatu program atau
kegiatan, walaupun program itu datangnya dari pemerintah. Masyarakat masih
belum bisa melupakan peristiwa G.30.S. yang terjadi baru saja 10 tahun dan
masih segar dalam ingatan hampir semua orang. Masyarakat belum bisa
membedakan apakah ajakan mengikuti program PPKR itu adalah benar-benar dari
pemerintah ataukah merupakan ajakan golongan atau pihak-pihak tertentu untuk
tujuan tertentu yang merekrut masyarakat. Situasi ini pun mengakibatkan pada
awal program PPKR jumlah penduduk yang ikut serta baru mencapai 60 KK.
Terlepas dari kedua masalah masih kurangnya minat penduduk untuk
melibatkan diri untuk mengikuti program PPKR, ternyata program itu sendiri
terbukti menjadi kenyataan pada tahun 1978, yaitu dengan membuka lahan 60
hektar untuk 60 KK di mana setiap keluarga memperoleh 1 hektar. Selama lima
tahun pembukaan PPKR setiap tahunnya jumlah penduduk yang ikut serta dan
lahan yang dibuka terus meningkat. Yaitu mulai dari 60 hektar, 200 hektar, dan
tiga tahun terakhir dibuka setiap tahun seluas 250 hektar, sehingga total seluruh
luas areal PPKR dalam waktu lima tahun di desa Sugih Waras mencapai 1.010
hektar. Sejak tahun ke-3 program jumlah areal yang diperoleh penduduk juga tidak
lagi hanya 1 hektar per KK, tetapi sudah bervariasi yaitu antara 1 hektar sampai
1,5 hektar dan bahkan ada yang mendapatkan 2 hektar. Dalam hal ini ternyata
kesadaran masyarakat telah tumbuh bahwa realisasi program yang benar-benar
53
terbukti menyebabkan masyarakat percaya bahwa program itu berasal dari
pemerintah dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
Rencana program PPKR terbukti menjadi kenyataan dan bukan hanya
rencana melulu, secara berangsur-angsur menumbuhkan minat penduduk untuk ikut
terjun ke dalam program PPKR. Pada akhir program PPKR setelah lima tahun
berjalan maka sebagian besar penduduk desa Sugih Waras sudah menjadi anggota
PPKR. Artinya di desa Sugih Waras sejak tahun 1978 penduduk sudah beralih
mata pencahariannya dari semula bersumber kepada pertanian padi, kemudian
setelah tahun 1978 menjadi petani karet. Terhadap perekonomian penduduk
memang tidak segera sejak tahun 1978 itu masyarakat mengalami perubahannya.
Hal ini dikarenakan bahwa pohon karet baru bisa disadap setelah berumur sekitar
5 tahun. Artinya secara ekonomis dapat dikatakan mulai sekitar tahun 1986
penduduk petani karet desa Sugih Waras telah menikmati hasil panen tanaman
karetnya, yaitu sejak pohon-pohon karet berhasil disadap. Dengan demikian sejak
tahun 1986 setelah proses program PPKR yang dimulai tahun 1978 maka
perekonomian penduduk mengalami perubahan.
Perkembangan ekonomi penduduk desa Sugih Waras disebabkan pertanian
karet tersebut telah membuka pertumbuhan pada sektor tidak semata-mata
mengenai perkebunan karet rakyat, tetapi berpengaruh terhadap aspek-aspek
kehidupan lainnya. Sebagaimana ternyata di luar meningkatnya ekonomi petani
karet, maka muncul pedagang-pedagang atau roke-toke karet, KUD, buruh baik
buruh penyadap karet maupun buruh pengangkut produksi, berkembang nilai uang,
dan sebagainya. Di samping itu pekerjaan sehari-hari penduduk seperti sebelumnya
54
juga terus berlanjut, misalnya bertani padi, kopi, menangkap ikan, dan berburu.
Hasil tanaman kopi, tangkapan ikan dan hasil buruan juga sudah bisa diuangkan
atau dijual, di mana sebelum program PPKR masyarakat hampir tidak mengenal
nilai uang, dalam arti hasil-hasil tanaman pertanian maupun hasil berburu dan
menangkap ikan tidak ada dijual untuk mendapatkan uang. Tidak ada sesuatu yang
berniali ekonomis di tengah-tengah masyarakat, oleh karena sumber mata
pencaharian pokok yang berasal dari bertanam padi ditujukan hanya untuk
memenuhi kebutuhan hidup keluarga semata-mata. Bahkan tanaman kopi dibiarkan
tumbuh dan ditinggalkan penduduk begitu saja.
Hingga sekitar pertengahan tahun 1980-an penduduk desa Sugih Waras
boleh dikatakan masih hidup secara tradisional dengan mencukupi kebutuhan
keluarga. Tidak ada pasar untuk kegiatan ekonomi, sebab semuanya diproduksi
cuma bagi kebutuhan hidup primer saja. Kebutuhan pangan diperoleh dari hasil
pertanian padi, sedangkan kebutuhan sandang tidak terlalu mendapatkan prioritas,
asalkan sudah berpakaian dianggap hal itu sudah cukup. Begitu pula kebutuhan
akan papan, yaitu rumah tempat tinggal penduduk sudah memilikinya, sebab yang
terpenting mereka sudah punya tempat berlindung sesuai dengan kondisi pada
masa itu.
Salah satu kebutuhan sehari-hari yang sangat dibutuhkan oleh manusia di
mana pun adalah garam, yang dicari penduduk ke mana pun. Dalam sejarah,
permulaan kontak manusia antara penduduk yang berasal dari pedalaman dengan
penduduk di pesisir pantai dalam hal perdagangan adalah untuk mendapatkan
bahan-bahan perkakas besi, pakaian termasuk garam. Dahulu untuk mendapatkan
55
kebutuhan tersebut di-“barter” dengan produk yang dibawa oleh penduduk
pedalaman. Berbeda halnya di desa Sugih Waras bahwa kebutuhan akan garam
diperoleh penduduk dari alam di mana mereka bertempat tinggal. Yaitu kebutuhan
garam bagi penduduk berasal dari sejenis buah yang disebut “sunti”, ialah sejenis
pohon perdu kira-kira setinggi pohon petai. Buahnya kurang lebih sebesar buah
duku yang rasanya asin bercampur asam. Buah sunti tersebut diambil dari hutan
di sekeliling mereka tinggal, kemudian dipotong-potong dan diiris lalu dijemur.
Dengan demikian garam yang dikonsumsi penduduk desa Sugih Waras bukanlah
jenis garam yang sesungguhnya seperti di daerah-daerah lain yang lazim dikenal,
melainkan garam dari jenis buah pohon. Bahkan hingga saat penelitian ini (2008)
masih ditemukan di antara penduduk yang mengkonsumsi garam berasal dari buah
sunti tersebut. Rasa garam buah sunti terasa keras asinnya dan ada rasa asamnya
digunakan untuk menggulai sehari-hari. Penduduk yang sudah terbiasa dengan rasa
asin buah sunti itu lebih senang mengkonsumsinya daripada garam biasa yang
dijual di pekan.
1. Petani karet
Demikianlah sejak tahun 1978 penduduk desa Sugih Waras sebagian besar
menjadi petani karet dan sampai akhir program PPKR jumlah lahan perkebunan
karet rakyat mencapai seluas 1.010 hektar. Adapun jenis bibit karet yang ditanam
penduduk yang diberikan pemerintah adalah jenis bibit okulasi (rambung kawin).
Bibit karet yang diperoleh dari pemerintah akan dibayar oleh petani dengan cara
mencicilnya selama jangka waktu 30 tahun. Dalam hal ini petani mulai mencicil
56
investasi yang ditanamkan pemerintah yaitu bibit dan pupuk setelah tanaman karet
berproduksi atau sudah mulai dideres. Sistem pembayaran secara kredit tidak
ditentukan angka nominal jumlah setoran per bulannya, sebab bagi pihak PPKR
yang penting bahwa selama 30 tahun setelah pohon karet berproduksi petani sudah
melunaskan kredit PPKR. Hal ini sangat membantu perekonomian penduduk dan
cukup meringankan, tetapi memang tujuan itulah yang ingin diharapkan pemerintah
untuk dapat meningkatkan perekonomian masyarakat agar bisa hidup lebih
sejahtera.
Pada tahun 1970 didirikan Asosiasi Negara-negara Produsen Karet Alam
(ANPRC) beranggotakan 6 negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand, Srilanka,
India, dan Papua New Guinea. Asosiasi ini bertujuan untuk mempersatukan
kebijaksanaan semua negara anggota dalam rangka memajukan industri/perkebunan
karet baik ke dalam maupun ke luar. Kalau ke dalam setiap negara saling bertukar
pikiran tentang upaya-upaya peningkatan perekonomian karet khususnya karet
rakyat yang menyangkut kehidupan jutaan manusia, sedangkan ke luar asosiasi
membina kerja sama dalam kaitan hubungan dengan negara-negara konsumen
karet. Berkaitan dengan ini sejak 1977 pemerintah memulai satu proyek yang
cukup ambisius dan radikal yaitu PIR (mula-mula PIR-BUN). Adapun landasan
berpikir proyek ini adalah menjadikan perkebunan-perkebunan milik negara atau
PTP yang luas, sehat dan maju teknologi dan manajerialnya menjadi bapak
angkat bagi petani pekebun karet rakyat. Dengan semakin tersedianya dana yang
berasal dari naiknya harga ekspor minyak, proyek PIR dianggap sangat tepat untuk
meningkatkan program-program pemerataan15.
15 Mubyaro dan Awan Setya Dewanta, Op. cit, hal . 168 - 169.
57
Program pemerataan itulah pada prinsipnya mendasari terciptanya
perkebunan karet rakyat dalam periode tahun 1970-an, termasuk proyek PPKR di
desa Sugih Waras tahun 1978. Dukungan perkembangan karet rakyat oleh
pemerintah kelihatan lebih nyata di bawah pemerintahan Orde Baru, yaitu
dibuktikan dengan program-program yang lebih terarah terhadap pengembangan dan
pembinaan kepada para petani. Pembangunan perkebunan karet rakyat oleh
pemerintah Orde Baru dimulai dengan pelaksanaan proyek NES (Nucleus Estate
and Smallholder) di mana PTP diberi tujuan untuk membimbing petani dan
mengalihkan teknologi kepada perkebunan rakyat di wilayahnya. Bagaimana
besarnya perhatian pemerintah akan pengembangan karet rakyat bahwa sejak
program hingga tahun 1983 berdasarkan data-data yang dikumpulkan dari sensus
pertanian jumlah petani yang mengusahakan perkebunan karet adalah sebesar
881.908 petani yang tersebar di 12 provinsi. Di antaranya terdapat 3 provinsi
dengan jumlah petani yang terbesar, yaitu di Kalimantan Barat (29,81 %),
Sumatera Selatan (15,90 %), dan Sumatera Utara (12,64 %)16.
Apabila sampai tahun 1983 Sumatera Selatan menempati urutan ke-2
terbesar di Indonesia dari 12 provinsi jumlah petani karet rakyatnya yakni sebesar
140.221 petani (15,90 %) berarti di desa Sugih Waras dengan PPKR sudah
terhitung di dalamnya. Dengan demikian Sumatera Selatan termasuk desa Sugih
Waras dengan program PPKR penting artinya dan mendapat perhatian dalam
rangka pemerataan pertumbuhan ekonomi nasional. Program PPKR di desa Sugih
Waras mulai tahun 1978 sampai 1984 luas areal perkebunan karet rakyat mencapai
seluas 1.010 hektar.
16 Ibid, hal. 84 - 88.
58
Setelah tanaman karet petani desa Sugih Waras mulai bisa dideres atau
dalam istilah masyarakat setempat “ditakok”, maka mata pencaharian penduduk
bersumber dari pertanian karet. Dalam hal ini petani pemilik kebun karet
menyadap kebun karetnya sendiri, tetapi terdapat juga di antara penduduk yang
harus menyadap kebun karet milik petani lainnya, karena masih ada penduduk
yang tidak memiliki kebun karet PPKR. Penduduk yang tidak memiliki kebun
karet di desa Sugih Waras sampai tahun 1980-an disebabkan :
1. Penduduk yang pergi merantau ke daerah lain. Ketika program PPKR dibuka
mereka tidak berada di desanya dan setelah kembali mereka tidak mendapatkan
bagian tanah kebun karet dari keluarganya, sehingga tidak jarang mereka harus
menyadap kebun karet milik keluarganya sendiri ataupun menyadap kebun karet
milik orang lain di desanya.
2. Penduduk tidak memiliki modal untuk membuka kebun karet sendiri disebabkan
pada saat program PPKR diselenggarakan pemerintah daerah Sumatera Selatan
tahun 1978 sampai tahun 1984 mereka tidak ikut menjadi peserta program
PPKR. Sebagaimana diketahui sewaktu dibuka perkebunan karet tersebut tidak
semua penduduk menjadi peserta PPKR dengan alasan-alasan tertentu.
3. Di antara penduduk yang sebelumnya memiliki kebun yang berasal dari
program PPKR belakangan terpaksa menjual kebunnya karena membutuhkan
uang dalam jumlah besar untuk sesuatu keperluan penting, sehingga kebun
karet miliknya dijual kepada orang lain.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya bagi penduduk desa Sugih
Waras yang tidak memiliki kebun karet, maka mereka terpaksa menyadap kebun
59
karet orang lain. Dalam hal ini kebun karet menjadi sumber mata pencaharian
penduduk, baik bagi penduduk pemilik kebun karet maupun penduduk yang tidak
memiliki kebun karet, yakni dengan menyadap kebun karet orang lain. Bagi
penduduk yang menyadap kebun karet orang lain mereka harus bisa merawat
secara teliti pohon karet yang disadapnya, sebab jika tidak pandai menjaga dan
memeliharanya, bukan tidak mungkin mereka akan diberhentikan oleh pemilik
kebun karet tersebut.
Pada awalnya petani pekebun karet menjual produksi tanaman karet sekali
dalam seminggu. Sebelum produksi dijual terlebih dahulu disimpan atau
dikumpulkan di sebuah gudang penyimpanan. Hasil sadapan karet yang sudah
membeku itu dijual ke KUD Serampu Jaya. Dalam satu minggu setiap petani bisa
menghasilkan getah karet antara 100 sampai 150 kg. Pada saat penjualan pertama
produksi tanaman karet harganya berkisar antara Rp 2000,00 hingga Rp 4.000,00
per/kg.
Sejak tahun 1988 petani pekebun karet desa Sugih Waras menjual hasil
sadapan karetnya sekali dalam satu bulan yang disebut penduduk dengan istilah
“nimbang”. Dalam tahun itu pula petani bisa menjual produksinya kepada para
pedagang swasta yang sudah mulai muncul. Artinya bahwa petani karet mulai
tahun 1988 itu tidak harus menjual produksinya ke KUD. Adakalanya menjual
hasil karet lebih tinggi dibeli oleh pihak pedagang daripada harga yang ditawarkan
oleh KUD. Dalam pembelian produksi karet timbullah persaingan antara pihak
KUD dengan pedagang-pedagang swasta.
60
Pada umumnya tanaman karet rakyat dalam usia antara lima sampai enam
tahun sudah bisa dideres atau disadap, sedangkan usia tanaman ini bisa mencapai
30 tahun. Yaitu sampai usia 30 tahun tanaman karet masih produktif. Begitupun
tanaman karet harus dipelihara dan dirawat terutama memperhatikan sistem
penyadapan yang tidak sembarangan. Jika menyadap pohon karet misalnya kandas
terkena batang kayunya, maka apabila terkena hujan maka bekas sadapan akan
membusuk, sehingga pohon karet bisa terkena hama dan lebih cepat mati, tidak
sampai berusia 30 tahun.
Adapun produksi tanaman karet produksi desa Sugih Waras ada dua jenis,
yaitu dalam bentuk getah beku dan getah cair atau lateks. Jenis getah beku ialah
getah cair hasil sadapan setelah dikumpulkan kemudian dimasak dengan cuka asam
semut sampai menjadi kental. Getah cair dimasukkan ke dalam sebuah bak kayu
berukuran 40 cm x 60 cm, kemudian dicampur ke cairan itu cuka asam semut lalu
diaduk hingga mengental. Getah cair adalah getah atau lateks yang berasal dari
hasil sadapan pohon karet.
Bentuk produksi tanaman karet petani berkaitan dengan pemasaran. Getah
cair atau lateks tidak diolah, tapi langsung dijual. Getah cair dari setiap pohon
dikumpulkan ke dalam sebuah ember besar atau tong kecil dan biasanya langsung
dijual pada hari itu juga ke KUD Serampu Jaya atau ke KUD Mufakat Jaya yang
berdiri di desa Sugih Waras sejak tahun 1985, yaitu dengan ketuanya yang
pertama Bapak A. Kohar Gemasek. Getah beku, oleh karena sudah diolah dan
masak maka dapat disimpan lama baru kemudian dijual. Seperti telah disinggung
sebelumnya pada awal petani berhasil menyadap tanaman karetnya, produksinya
61
dijual dalam seminggu sekali, sedangkan sejak tahun 1988 produksi dijual dalam
satu bulan sekali. Getah beku setelah tahun 1988 itu biasanya dijual kepada para
pedagang karet alam atau toke-toke karet.
Untuk terus meningkatkan mutu produksi karet dan perawatan tanaman ini
pemerintah daerah Sumatera Selatan secara kontinyu memberikan penyuluhan
kepada para petani karet rakyat peserta PPKR. Penyuluhan tersebut bertujuan
untuk menjaga mutu produksi karet rakyat sekaligus produksi yang diperolah dapat
meningkat, sehingga tarap kehidupan masyarakat juga meningkat dan menciptakan
pertumbuhan ekonomi. Penyelenggaraan penyuluhan dilakukan dua kali dalam satu
tahun dengan tempat penyuluhan biasanya berpindah-pindah dari satu desa ke desa
lain, tetapi dengan peserta adalah petani yang memiliki kebun karet.
Sejak tahun 1986 pertanian ladang dengan menanam padi tidak lagi
merupakan sumber mata pencaharian pokok. Keadaan ini disebabkan lahan-lahan
pertanian ladang semakin berkurang. Setelah program PPKR penduduk yang tidak
ikut serta di dalamnya mulai pada terjun mengusahakan tanaman karet di ladang-
ladang pertanian mereka. Atau di antara para petani peserta PPKR ada pula yang
membuka lahan baru dengan mengganti atau meremajakan tanaman baru. Dengan
demikian secara umum sejak tahun 1986 pola sumber mata pencaharian penduduk
desa Sugih Waras sudah beralih kepada tanaman karet rakyat.
Pembukaan PPKR di desa Sugih Waras oleh pemerintah pada tahun 1978
merupakan awal meluasnya perkebunan karet rakyat di sana, sebab sesudah tahun
1978 itu penduduk membuka kebun karet sendiri. Perluasan kebun karet terjadi
dengan dua cara. Yaitu dilakukan oleh petani peserta PPKR setelah mempunyai
62
modal mereka membuka lagi lahan-lahan kebun karet yang baru. Kemudian
pembukaan kebun karet dilakukan oleh penduduk dengan bantuan modal dari
orang lain, yaitu dari toke-toke karet yang adakalanya masih terikat tali
kekeluargaan. Dalam pembukaan kebun karet oleh petani yang sudah berhasil dan
punya modal tidak jarang mereka sering mempekerjakan orang lain untuk
menggarap lahannya. Sebagai upahnya selain mereka diberi uang maka selama tiga
tahun mereka boleh mengusahakan lahan tersebut dengan menanaminya padi atau
jenis tanaman lainnya, tetapi mereka harus merawat tanaman karet di antara lahan
tersebut. Biasanya ladang-ladang karet demikian setelah tiga tahun akan
ditinggalkan dan menunggu pohon-pohon karet tumbuh besar sampai bisa disadap.
Cara pembukaan kebun karet melalui bantuan modal orang lain yang
biasanya adalah pedagang atau toke-toke karet, cara ini adalah merupakan
investasi, yaitu dengan memberikan bibit-bibit karet kepada penduduk. Selain
petani tersebut adalah masih tergolong keluarga maupun tidak, terkadang bibit-bibit
tanaman dicicil dengan pembayaran yang tidak ditentukan. Dalam hemat si
pemberi bibit bagaimana pun jika tanaman karet sudah berproduksi tentulah akan
dijual kepada mereka.
Di samping itu penduduk yang semula bertani ladang akhirnya menanam
karet pula, yaitu dengan mengumpulkan biji-biji karet dari perkebunan yang sudah
ada. Biji-biji karet tersebut dikecambahkan atau disemaikan sampai kira-kira
berumur satu atau dua tahun. Pohon-pohon karet yang masih kecil dipotong
ujungnya dan setelah bertunas barulah ditanam di ladang-ladang pertanian mereka.
Dengan demikian penduduk menanam padi sekaligus menanam pohon karet.
63
Tanaman padi ditanam di sela-sela pohon karet muda selama tiga tahun, sebab
setelah tiga tahun ladang akan ditinggalkan, tetapi mereka terus merawat tanaman
karetnya sampai bisa disadap.
Tanaman karet petani yang bukan PPKR harus dilakukan penyadapan pagi-
pagi sekali yaitu sekitar pukul 05.30 Wib. Jika pohon karet disadap lebih siang
maka hasil lateksnya cuma sedikit. Hal ini adalah disebabkan bibit yang kurang
baik, sebab berasal dari biji-biji karet yang dikutip dari PPKR hingga mutunya
memang tidak terjamin. Memperhatikan perbedaan produksi kebun karet mereka
dibandingkan dengan PPKR bantuan pemerintah, maka belakangan tanaman karet
mereka diganti dengan bibit-bibit unggul okulasi yang didapatkan dari perkebunan
atau dari Sembawa. Dalam hal ini mereka meminjam modal pembelian bibit
tersebut dari toke-toke karet atau pengusaha swasta yang akan dibayar kembali
setelah pohon karet mereka dapat menghasilkan atau sudah bisa disadap atau
dideres.
Dalam pekerjaan menyadap karet biasanya dilakukan oleh suami dan isteri
yang bersama berangkat ke kebun karet mereka. Terkadang terdapat juga hanya
suami yang pergi ke kebun untuk meyadap, sedangkan si isteri pergi ke ladang
mereka untuk menjaga tanaman-tanaman dari gangguan binatang-binatang yang
akan memakan atau merusak tanaman.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa sumber mata pencaharian
penduduk desa Sugih Waras pada awalnya adalah bertani ladang dengan menanam
padi. Kemudian mata pencaharian penduduk beralih ke tanaman karet sejak tahun
1978 yaitu sejak pemerintah daerah Provinsi Sumatera Selatan membuka PPKR.
64
Lambat laun petani ladang mengikut pula bertanam karet disebabkan menyaksikan
petani PPKR berhasil meningkatkan tarap hidupnya, sehingga perkebunan karet
dianggap menguntungkan dan cukup menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi
masa depan. Tanaman karet diusahakan di atas lahan ladang pertanian padi, sebab
dengan bertanam padi mereka tidak membeli beras lagi untuk kebutuhan keluarga,
tetapi sekaligus kebun karet penduduk terus dibangun. Jadi sejak tahun 1980-an
penduduk yang pada awalnya tidak ikut program pemerintah PPKR mulai beralih
ke tanaman karet atau menjadi petani karet, sehingga pada tahun 1986 penduduk
desa Sugih Waras sudah meninggalkan pertanian ladang. Dalam arti kata kebun
karet rakyat telah menjadi sumber mata pencaharian pokok menggantikan pertanian
ladang menanam padi.
Sehubungan dengan perubahan pola sumber mata pencaharian penduduk
desa Sugih Waras tersebut, maka muncul pula bidang-bidang pekerjaan lain baik
yang berkaitan dengan perkebunan karet rakyat itu sendiri maupun jenis pekerjaan
yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan perkebunan karet. Pada tabel 3
dapat dilihat distribusi penduduk desa Sugih Waras berdasarkan sumber mata
pencaharian. Tabel tersebut bersumber dari tahun 1990. Tidak ada diperoleh data
kependudukan sebelum tahun 1990. Keadaan ini memang menyulitkan pembahasan
mengenai distribusi kependudukan dalam periode penulisan skripsi ini, kecuali
jalan keluar yang bisa diambil bahwa jumlah petani mencapai angka paling tinggi,
yaitu lebih separuh jumlah penduduk adalah sebagai petani, baik petani ladang dan
petani kopi walaupun mata pencaharian ini bukanlah merupakan mata pencaharian
pokok, tetapi merupakan mata pencaharian sampingan.
65
TABEL 3
Distribusi Penduduk Bedasarkan Mata Pencaharian
No. Jenis Mata Pnecaharian Jumah
1. Petani 1.896 orang
2. Buruh 355 orang
3. P N S 36 orang
4. Wiraswasta 77 orang
5. Pertukangan 25 orang
6. Pensiunan 7 orang
7. Lain-lainnya 854 orang
Jumlah 3.250 orang
Catatan : Anak-anak, orang-orang jompo, orang-orang cacat,
dan lain-lain dimasukkan dalam kategori no.7
dalam tabel.
Sumber : Kantor Kepala Desa Sugih Waras tahun 1990.
2. Toke karet
Salah satu bidang mata pencharian yang muncul dari perkebunan karet
rakyat di desa Sugih Waras adalah sebagai pedagang karet atau disebut toke
karet. Mereka adalah orang-orang yang memiliki uang dalam jumlah besar, di
samping mereka juga memiliki perkebunan karet yang cukup luas mencapai
puluhan hektar. Artinya tidak sembarang orang bisa disebut sebagai toke karet.
Mereka membeli produksi karet petani di antaranya berasal dari kota. Sejak tahun
1988 ada toke karet dari desa Sugih Waras sendiri, tetapi jumlahnya tidak banyak,
66
menurut keterangan penduduk cuma ada tiga orang, yaitu H.M. Fadil, Juhardi H.J.,
dan Abuyamin. Mereka bertiga lah yang membeli hasil karet penduduk di
Kecamatan Rambang Lubai, di samping itu pembeli hasil karet juga dilakukan oleh
KUD Mufakat Jaya dan KUD Serampu Jaya. Para toke karet yang datang
membeli produksi karet ke desa Sugih Waras dari kota mereka bukan berasal dari
Kecamatan Rambang Lubai.
Di samping itu toke-toke karet besar yang bermodal besar terdapat pula
toke karet kecil dengan modal pas-pasan atau modalnya tidak besar. Oleh karena
modal toke kecil hanya kecil maka hasil karet yang dibeli juga dalam jumlah
kecil.. Apabila toke karet besar menjual produksi karet yang dibeli langsung ke
pabrik, maka para toke karet kecil menjual produksi karet yang dibeli kepada toke
karet besar atau ke KUD, yaitu dengan mengambil selisih harga untuk
mendapatkan keuntungan antara harga pembeli dari petani karet dengan harga
penjualan kepada toke karet besar. Keadaan seperti ini sudah berlangsung sejak
tahun 1988 sampai saat penelitian ini dilakukan. Dalam kegiatan jual-beli produksi
karet petani sering juga para toke karet mengalami kerugian maka mereka
menurunkan harga pembelian karet, yang tentunya sangat merugikan petani. Harga
penjualan hasil karet petani sering turun-naik, tetapi patani karet tetap harus
menjual produksinya kepada mereka.
Pada umumnya toke karet mempunyai beberapa orang kepercayaan yang
membantu pembelian produksi karet tersebut, sebab toke-toke karet besar tidak
pernah terlibat langsung dengan petani untuk membeli karet. Kegiatan-kegiatan
seperti menjadi tukang timbang, transaksi dengan petani karet, bahkan sampai
67
membawa produksi ke pabrik di Palembang dilakukan oleh para pembantu toke
karet. Mereka menjadi orang-orang kepercayaan sebagai tangan kanan toke dan
menempati posisi penting yang sangat strategis dalam jaringan jual-beli dan pasar
produksi karet petani di desa Sugih Waras. Semua posisi penting tersebut diduduki
oleh kerabat dekat atau keluarga toke karet yang jumlahnya mencapai 80 %,
walaupun terdapat juga di antaranya orang lain yang bukan keluarga. Itulah
sebabnya di tengah-tengah masyarakat muncul istilah bahwa usaha toke karet
adalah sebagai “Usaha Keluarga”.
Sifat perdagangan produksi karet seperti disebutkan di atas di desa Sugih
Waras mempunyai dua sisi yang bertolak belakang, bahkan juga bertentangan,
sebab di satu sisi bisa menguntungkan petani, tapi di sisi lain malah merugikan
petani. Dari sisi positifnya yaitu menguntungkan petani karena harga produksi
mereka tidak stabil, maka banyak di antara petani karet yang lahannya sedikit,
yaitu sekitar 1 hektar, maka hasil tanaman karet mereka hanya bisa mencukupi
kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam kondisi demikian apabila petani karet
membutuhkan uang kontan untuk sesuatu keperluan misalnya pesta, maka para
petani bisa mendapatkan dari toke tersebut. Begitu juga jika petani butuh barang-
barang elektronik atau sepeda motor, bahkan bibit karet, maka dalam hal ini toke
karet dapat memenuhi permintaan mereka. Dari segi negatifnya, dalam arti
merugikan petani karet, maka secara moral si petani harus menjual produksi
karetnya kepada toke karet tempat mereka memperoleh bantuan. Akibatnya adalah
berapa pun harga karet ditetapkan oleh toke karet terpaksa mereka terima.
Memang sewaktu toke karet meluluskan permohonan bantuan si petani tidak
68
pernah ditegaskan bahwa produksi karet harus dijual kepada mereka. Sebaliknya
beban moral bagi petani bahwa mau tidak mau mereka harus menjual produksi
karetnya kepada toke karet yang membantunya, meskipun terhadap toke karet lain
membeli karet dengan harga tinggi. Apalagi di antara penduduk desa Sugih Waras
terjalin tali kekeluargaan yang akrab, di mana tidak jarang petani karet yang
dibantu oleh toke karet di antara mereka masih ada hubungan kekeluargaan.
3. Buruh
Pekerjaan sebagai buruh cukup banyak terdapat di desa Sugih Waras, baik
dilihat dari jumlah tenaga kerja maupun jenis pekerjaannya, meskipun tidak ada
pabrik besar di sini, dan penduduk banyak yang bekerja untuk mengurus kebun
karetnya sendiri. Jenis pekerjaan yang ada yaitu sebagai buruh tukang gancu getah.
Mereka bekerja mengangkat getah ke atas truk hasil karet yang dibeli oleh toke
karet dari para petani. Biasanya toke karet akan membawa truk untuk mengangkut
getah yang dibeli. Setelah getah selesai ditimbang, maka buruh-buruh
mengangkatnya ke dalam truk. Mereka disebut tukang gancu getah karena untuk
mengangkat getah tersebut mereka menggunakan gancu.
Buruh-buruh tukang gancu tersebut digaji oleh toke karet secara bulanan,
sebab getah yang dibeli memang ditimbang dan diangkut sekali dalam sebulan,
yaitu berkisar antara tanggal 27 sampai tanggal 30. Mereka diberi upah per bulan
karena pekerjaan mengangkat getah tidak hanya dilakukan di desa Sugih Waras
saja, tetapi juga ke desa-desa lain, di mana toke karet bersangkutan membeli
getah. Sebenarnya pekerjaan sebagai buruh angkat getah bukanlah pekerjaan utama
69
mereka, sebab kegiatan menimbang dan mengangkut getah tidak dilakukan setiap
hari. Di waktu senggang tidak ada kegiatan memburuh mereka menyadap karet
milik orang lain atau juga menyadap karet milik toke karet tempat mereka kerja
sebagai tukang angkat getah.
Untuk satu truk biasanya terdiri dari 6 sampai 8 buruh angkat yang
bersama-sama bekerja menimbang dan mengangkat getah ke dalam truk. Apabila
tiba saat giliran menimbang getah hasil sadapan mereka sendiri, mereka juga ikut
melakukan penimbangan, yaitu getah yang mereka sadap di hari-hari tidak ada
pekerjaan menimbang dan mengangkut getah. Dalam hal ini buruh angkat
sesungguhnya sekaligus juga sebagai buruh tani kebun karet rakyat, tetapi dalam
prakteknya adalah bagi hasil, yaitu 2 : 1. Artinya dari hasil getah yang dijual
pemilik kebun memperoleh dua bagian, sedangkan buruh penyadap memperoleh
satu bagian. Misalnya ketika hasil penjualan getah satu bulan setelah ditimbang
memperoleh Rp. 600.000,00, maka si pemilik kebun menerima Rp. 4.00.00,00
sedangkan buruh penyadap menerima Rp. 200.000,00. Dalam hal ini semua biaya
pemeliharaan untuk membersihkan kebun, ember atau tong kecil untuk mengumpul
getah, bak tempat mebekukan retah, dan cuka asam semut atau sejenisnya
semuanya ditanggung si pemilik kebun karet. Dengan demikian buruh penyadap
karet hanya mengeluarkan tenaganya saja untuk meyadap tanaman karet.
Penghasilan sebagai buruh mereka terima dari bagian menyadap kebun karet orang
lain dan upah bulanan dari toke karet.
4. Pedagang
70
Perkebunan karet rakyat di desa Sugih Waras secara tidak langsung tidak
menciptakan lapangan usaha-usaha baru mulai bersifat ekonomis walaupun masih
tahap awal, tetapi setidak-tidaknya nilai uang sudah mantap berlaku di tengah-
tengah masyarakat. Keadaan ini jauh berbeda dengan keadaan sebelum tahun 1980-
an, ketika penduduk masih bertani ladang dengan sistem perekonomian rumah
tangga, di mana masyarakat hanya berkutat pada pertanian ladang untuk memenuhi
kebutuhan hidup keluarga dan hampir tak membutuhkan uang.
Berkaitan dengan berkembangnya perkebunan karet rakyat di desa Sugih
Waras, satu hal yang tak bisa dihindarkan adalah munculnya sikap konsumerisme
penduduk, yaitu keinginan untuk mendapatkan barang-barang di luar lebutuhan
hidup sehari-hari. Hal ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang dirasakan
masyarakat, oleh karena kebun karet mereka cukup menjamin adanya pendapatan
setiap bulan, meskipun sering terjadi harga getah mereka turun-naik, tapi mereka
sudah lebih optimis menghadapi kehidupan.
Adapun perdagangan yang dilakukan penduduk desa Sugih Waras hanyalah
bersifat kecil-kecilan, yaitu berupa kedai sampah. Kedai sampah tersebut juga tidak
berjalan lancar disebabkan kurangnya modal usaha, di samping itu di Dusun IV
diselenggarakan pekan, yaitu kegiatan pasar sekali dalam seminggu, yaitu pada hari
Minggu.
Usaha kedai sampah yang dilakukan penduduk hanyalah pekerjaan
sampingan untuk menambah pendapatan keluarga sekaligus mengisi kegiatan sehari-
hari. Para pedagang kedai sampah menyadari sendiri bahwa usaha itu tidak begitu
menguntungkan. Apalagi jika harga getah petani menurun dengan sendirinya
71
kondisi ini membawa pengaruh bagi usaha kedai sampah mereka. Menurutnya
harga getah membuat daya beli masyarakat menurun, bahkan penduduk cenderung
akan mengutang di kedai, padahal modal kedai-kedai sampah tak memungkinkan
hal sedemikian, sehingga kedai sampah milik mereka akan terancam bangkrut atau
tutup.
Jiwa konsumerisme penduduk untuk mendapatkan barang-barang di luar
kebutuhan pokok seperti radio, tape recorder, barang pecah belah maupun pakaian
yang bagus-bagus termasuk alat-alat produksi kebun karet, semuanya sudah
dipegang oleh pedagang keliling yang datang dari daerah lain ataupun yang datang
dari kota. Dalam memenuhi permintaan masyarakat desa Sugih Waras tersebut
pedagang keliling menjalankan cara berdagang dengan sistem kredit yang dicicil
pembayaranya per minggu atau per bulan.
5. Petani kopi.
Sejak sekitar tahun 1985 areal tanaman kopi penduduk desa Sugih Waras
semakin berkurang disebabkan makin meluasnya kebun karet rakyat. Tanaman kopi
liar yang dikebunkan penduduk ditebang untuk digantikan kebun karet, kecuali
hanya tersisa di daerah-daerah tertentu yang tidak dibuka menjadi perkebunan karet
terutama di tempat-tempat yang curam dan dataran tinggi di mana tanaman karet
tidak dapat tumbuh dengan baik. Di samping populasi tanaman karet tidak terjadi
lagi, bertani kopi juga hanya merupakan pekerjaan sampingan, tapi sejak
pertengahan tahun 1980-an itu hasil tanaman kopi sudah bernilai ekonomis karena
sudah dijual ke pekan.
72
Menanam kopi liar sudah dilakukan penduduk desa Sugih Waras secara
turun temurun. Sejak tahun 1985 atau setelah kebun karet hasil PPKR mulai
berproduksi, maka biji-biji kopi sudah dijual oleh penduduk ke pekan di Dusun
IV yang berlangsung sekali dalam satu minggu, yaitu pada hari Minggu. Para
pedagang akan membeli biji-biji kopi tersebut di pekan. Dalam tahun 1980-an
kopi dijual seharga Rp. 1.500,00 sampai Rp. 2.000,00 per/kg. Penghasilan tambahan
penduduk dari penjualan kopi tersebut kemudian dibelikan kepada barang-barang
keperluan sehari-hari lainnya, seperti gula, pakaian maupun beras bagi penduduk
yang tidak mempunyai ladang.
Selain biji-biji kopi yang dijual ke pekan, penduduk mengkonsumsi kopi
untuk diminum sendiri, sehingga mereka tidak perlu membeli kopi. Dalam
pengolahan kopi tersebut, biji-biji kopi yang masak dikumpulkan ditumbuk di
lesung lalu dijemur di panas terik matahari. Setelah dijemur dan benar-benar
kering maka biji-biji kopi kering itu ditumbuk halus dan pengolahan berikutnya
adalah dengan menggongsengnya dalam kuali tanpa minyak makan atau minyak
goreng, yang menurut istilah setempat menggongseng kopi ini disebut dengan
“mehendang kopi”. Dengan proses terakhir tersebutlah tersedia bubuk kopi dan
sudah siap untuk dikonsumsi.
Di atas disebutkan bahwa pekerjaan menanam kopi penduduk desa Sugih
Waras sudah berlangsung turun temurun. Sejak tahun 1985 produksinya tidak
berkembang lagi, tetapi penduduk masih mengusahakannya untuk sekedar
menambah penghasilan keluarga, walau harga biji kopi sangat bervariasi dan juga
turun-naik. Penduduk menjual hasil tanaman kopi dalam bentuk buah mentah atau
73
biji yang sudah dikeringkan, tetapi ada juga yang menjualnya berupa kopi yang
sudah diolah dengan ditumbuk. Kopi yang dijual sudah ditumbuk kurang diminati
pembeli, tidak di ketahui alasannya kenapa kurang pembelinya.
Kebun kopi penduduk di desa Sugih Waras yang sudah dikenal semenjak
lama disebut oleh penduduk sebagai kebun “himbe”. Himbe adalah panggilan lain
dari perkebunan. Dahulu sering penduduk tinggal di kebun himbe selama beberapa
hari untuk memetik buah kopi, disebabkan lokasi kebun kopi penduduk cukup
jauh dari desa tempat tinggal, di samping pekerjaan memetik buah kopi sangat
menyita waktu karena harus memilih buah yang masak.
6. Berburu dan Menangkap Ikan
Seperti halnya bertanam kopi masih diusahakan penduduk desa Sugih Waras
setelah mata pencaharian bersumber dari pertanian karet, begitu pula pekerjaan
berburu dan menangkap ikan masih dilakukan oleh penduduk. Jenis pekerjaan itu
didukung terutama oleh faktor lingkungan alam, yaitu perladangan dan hutan
semak belukar serta sungai Rambang, sungai Telaga, dan sungai Air Itam sebagai
tempat menangkap ikan. Selain itu di antara yang tidak memiliki kebun karet,
mereka berburu atau menangkap ikan. Setelah perkebunan karet mulai berproduksi
hasil tangkapan berburu dan menangkap ikan sudah bisa dijual dan penduduk
bersedia dan mampu membelinya.
Pada bagian terdahulu disebutkan hewan yang diburu oleh penduduk
biasanya adalah kancil, kijang, rusa, dan trenggiling. Hewan kecil hasil tangkapan
adalah untuk dikonsumsi sendiri, tetapi hewan-hewan yang lebih besar setelah
74
perkebunan karet ada yang dijual kepada penduduk lain, yaitu dalam tahun 1980-
an harganya sekitar Rp. 10.000,00 per/kg. Pekerjaan berburu tidak hanya dilakukan
oleh penduduk yang tidak punya kebun karet, tetapi juga dilakukan oleh petani
pemilik kebun, selain untuk bisa mengkonsumsi daging, tetapi juga disebabkan
sudah merupakan hobi semenjak lama.
Adapun jenis ikan yang ditangkap penduduk dari sungai terdiri dari gabus,
lais, baung, toman, lampam, dan sebarau, dan lain-lain. Dahulu juga ikan tapa dan
belida banyak di sungai, tetapi sekarang ikan tersebut sudah hampir punah dan
tidak pernah lagi berhasil diperoleh. Hasil tangkapan ikan penduduk dijual kepada
penduduk lain di desa Sugih Waras.
Penduduk menangkap ikan dengan menggunakan alat seperti jaring, jala,
bubue maupun pancing. Memancing di atas rakit banyak dilakukan penduduk di
sungai Rambang, yaitu sungai terbesar di Sugih Waras. Memancing di atas rakit
terkadang dilakukan beberapa orang, yaitu dengan menambatkan rakit di tengah
sungai ketika air sungai sedang surut, dan mereka memancing di atas rakit
tersebut. Cara lain untuk menangkap ikan yang juga dilakukan adalah memasang
pancing berukuran lebih besar dari ukuran pancing biasa yang diikatkan pada
kayu-kayu kecil seperti pancing dengan umpan pada pancingnya berupa ikan-ikan
kecil. Pancing-pancing seperti ini dipasang di beberapa tempat lubuk sungai dan
ditinggalkan, dan baru akan didatangi pada keesokan harinya. Cara memancing
sepert ini biasanya untuk menangkap ikan-ikan yang lebih besar, sebab ikan-ikan
besar memangsa ikan-ikan yang kecil, sehingga ikan besar akan menyambar ikan
kecil yang menjadi umpan pancing.
75
7. Mata pencaharian lain-lain.
Selain mata pencaharian yang telah disebutkan di atas, di desa Sugih
Waras masih terdapat jenis-jenis pekerjaan lain, seperti PNS, wiraswasta, tukang
dan pensiunan, juga pekerjaan tidak tetap. Pekerjaan berwiraswasta kebanyakan
dilakukan oleh para toke karet, di mana selain mereka membeli produksi karet
petani, menjual bibit karet dan membuka toko manisan. Ada juga penduduk yang
membuka toko manisan, tetapi tidak pernah bertahan lama disebabkan kekurangan
modal. Apalagi jika harga getah jatuh, maka pembeli menjadi sepi dan akhirnya
toko manisan merugi dan tutup.
Pekerjaan sebagai tukang pada umumnya adalah tukang bangunan. Keahlian
dalam bidang pekerjaan ini didapatkan penduduk desa Sugih Waras karena mereka
pernah merantau dan menjadi kuli bangunan di kota. Yang lainnya memperoleh
keahlian bertukang untuk membuat bangunan rumah berasal dari tukang-tukang
yang datang dari desa-desa tetangga. Pekerjaan bertukang dilakukan secara
musiman, pada umumnya berlangsung saat musim kemarau, yaitu orang bisa
mengeruk pasir dari sungai, sehingga pasir sebagai bahan bangunan dapat
diperoleh dengan mudah.
Adapun pensiunan jumlahnya tidak banyak, hanya tujuh orang. Dua orang
di antaranya berasal dari penduduk desa Sugih Waras, yaitu pensiunan dari SD I
dan SD II Sugih Waras. Kelima orang pensiunan lainnya sebelumnya menjadi
PNS di daerah lain dan setelah pensiun mereka kembali ke kampung asalnya ke
76
desa Sugih Waras. Mereka berasal dari pensiunan guru SMP, Dinas Pertanian
Kabupaten Muara Enim dan pensiunan Kantor Camat Rambang Lubai.
4.3 Kehidupan Sosial
Pada bab II sudah dijelaskan bahwa penduduk desa Sugih Waras adalah
etnis Melayu yang mendiami daerah ini sejak 1868, yang sekaligus dianggap
sebagai tahun berdirinya desa Sugih Waras. Mereka bermukim di daerah tepi-tepi
sungai, sehingga pada awalnya kehidupannya bergantung kepada hasil-hasil dari
sungai di sekitar lingkungannya.
Tidak diperoleh keterangan yang menjelaskan bagaimana orang-orang
Melayu tiba ke kawaasan Rambang Lumbai. Kecuali menurut tradisi lisan setempat
didukung kondisi geografis bahwa mereka sampai di desa Sugih Waras dengan
menyusuri sungai Rambang yang bermuara ke sungai Ogan, di mana sungai ini
berada di wilayah Muara Enim. Sebagai orang Melayu yang identik dengan Islam
mereka menanamkan dan mengembangkan kebudayaannya, yang dibawa ke Sugih
Waras oleh pasangan suami-isteri yaitu Rie Tungkat Kaye dan Rie Sekati.
Terdapat kemiripan orang Melayu penduduk desa Sugih Waras dengan
orang Melayu Deli di Sumatera Utara seperti terlihat dalam hal bahasa. Misalnya
ucapan “nak ke mane”, “mane acii”, “name”, due”, “kejap”, dan lain-lain. Kecuali
sedikit perbedaan dalam logat bahasa, bahwa logat melayu di Deli pengucapannya
lebih dilagukan, sedangkan logat Melayu di desa Sugih Waras terkesan datar saja.
Selain dalam bidang bahasa, dalam tata cara lamaran untuk perkawinan di
Sugih Waras ada kemiripan dengan yang dilakukan oleh orang-orang Melayu di
77
tempat lain. Yaitu sewaktu melakukan lamaran pertama-tama utusan dari pihak
laki-laki maupun pihak wanita akan melantunkan beberapa pantun, yang
selanjutnya terjadi berbalas pantun. Biasanya mereka yang ditunjuk untuk menjadi
utusan masing-masing pihak adalah orang-orang yang disegani di tengah-tengah
masyarakat dan mamahami adat budaya Melayu yang disebut “tetue adat”.
Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial penduduk Sugih Waras meskipun tampak tidak jelas,
tetapi masih dapat dibedakan berdasarkan keturunan, tingkat kekayaan dan
pendidikan. Sifat keturunan dapat dilihat bahwa tetue adat menempati golongan
tertentu, yaitu disebabkan pengetahuan mereka yang luas terhadap adat istiadat dan
kharismanya, sehingga mereka dan keturunan keluarga sangat dihormati. Perbedaan
dalam tingkat kekayaan terlihat berdasarkan perbedaan ekonomi, di mana toke-toke
karet dan para pedagang oleh karena kekayaannya mereka memiliki status
tersendiri. Adapun PNS, termasuk guru-guru sekolah dan guru-guru mengaji yang
memiliki pengetahuan karena pendidikannya baik dalam bidang pengetahuan umum
maupun pendidikan agama mereka mempunyai status sosial yang dihormati dalam
stratifikasi sosial.
Terhadap kelompok masyarakat lainnya, terdiri dari petani, buruh, dan lain-
lain dapat digolongkan tersendiri. Secara keseluruhan pada prinsipnya sukar
menetapkan stratifikasi sosial tersebut, apalagi terhadap kelompok masyarakat yang
sangat kecil.
78
Kehidupan sosial ekonomi penduduk desa Sugih Waras dalam kaitan
stratifikasi sosial dalam penulisan skripsi ini dapat ditinjau dengan meilhat dua
kelompok masyarakat yang jauh berbeda, tetapi tidak terpisahkan karena saling
tergantung dan saling isi-mengisi. Yaitu golongan petani karet dan buruh baik
buruh penyadap karet maupun buruh angkat gancu getah di suatu pihak,
sedangkan toke karet berada di pihak yang lain. Dalam perkebunan karet yang
membedakan antara keduanya hanyalah tingkat kekayaan, tetapi pertumbuhan
ekonomi tidak akan terjadi apabila keduanya dipisahkan sebagaimana telah dibahas
pada sub judul 4.2 di atas.
Solidaritas Sosial
Kondisi solidaritas sosial masyarakat desa Sugih Waras masih sangat kuat,
sebagaimana ciri masyarakat pedesaan pada umumnya. Mereka berpegang pada
rasa kebersamaan dan menganggap satu sama lain adalah keluarga, sehingga
kehidupan sosial masyarakat hidup berdampingan. Apabila ada di antara anggota
masyarakat yang tertimpa musibah atau melaksanakan suatu acara misalnya pesta
perkawinan, penduduk akan datang beramai-ramai memberi bantuan. Berbagai
macam bantuan materi dibawa mereka, apa saja yang dipunyai misalnya sayur
mayur, gula, kopi, garam, beras, kayu bakar, bahkan ada juga yang memberi
sejumlah uang kepada keluarga yang tertimpa kemalangan ataupun yang
menyelenggarakan hajatan.
Rasa solidaritas sosial demikian yang sudah berlangsung secara turun
temurun masih tertanam di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Seperti sudah
79
dijelaskan sebelumnya rasa kebersamaan dalam bentuk gotong royong terlihat
ketika pembukaan lahan pada saat pembakaran, menanam padi dan juga pada
waktu panen. Yaitu penduduk secara bergantian bergotong royong membantu
penduduk lainnya tanpa memperoleh upah. Setelah program PPKR di desa Sugih
Waras terutama sesudah pohon-pohon karet berproduksi dan penduduk beralih dari
pertanian ladang ke kebun karet, maka secara praktis pertanian ladang hampir
tidak ada lagi. Dampaknya kegiatan bergotong royong berangsur-angsur juga mulai
hilang, kecuali rasa solidaritas yang masih tetap terpelihara.
Pendidikan
Sarana pendidikan tingkat sekolah dasar sudah ada dibangun pemerintah
pada tahun 1976 yaitu SD Negeri I, kemudia pada tahun 1984 dibangun lagi SD
Negeri II. Dengan demikian anak-anak desa Sugih Waras sudah bisa bersekolah di
tempat tinggalnya sendiri tanpa harus pergi ke tempat lain yang jauh.
Untuk tingkat sekolah lanjutan menengah dan atas apalagi perguruan tinggi
belum ada di desa Sugih Waras, sehingga untuk menempuh sekolah SMP dan
SMA anak-anak harus pergi ke kota seperti ke Prabumulih, Muara Enim,
sedangkan perguruan tinggi baik negeri maupun swasta hanya ada di ibu kota
provinsi di Palembang. Anak-anak yang ingin melanjutkan sekolah setelah
menamatkan SD harus pergi ke kota.
Kedua SD Inpres di desa Sugih Waras terdapat di Dusun IV, sehingga
anak-anak dari dusun lain untuk bersekolah harus datang ke Dusun IV yang
berlokasi di bagian hulu desa. Jarak sekolah dari dusun-dusun lainnya rata-rata 700
80
meter, di antara anak-anak ada yang pergi ke sekolah dengan bersepeda, tetapi ada
juga yang berjalan kaki.
Selain pendidikan umum SD di desa Sugih Waras terdapat tempat mengaji
Al Qur’an maupun TPA (Taman Pendidikan Al Qur’an). Guru-guru mengaji yang
juga dipanggil ustads menerima belajar mengaji anak-anak mulai dari Iqra’ sampai
membaca Al Qur’an. Pendidikan agama termasuk membaca Al Qur’an sangat
diutamakan bagi anak-anak penduduk desa Sugih Waras.
Sejak tahun 1980-an sudah ada anak-anak penduduk yang melanjukan
pendidikan ke perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. Menurut sumber
kantor kepala desa sampai tahun 1990 terdapat sekitar 60 orang yang menempuh
pendidikan di tingkat perguruan tinggi. Minat penduduk untuk menyekolahkan
anak-anak ke tingkat yang lebih tinggi terutama perguruan tinggi pada umumnya
masih sangat rendah. Hal ini disebabkan selain faktor ekonomi juga faktor
keluarga yang tidak mendukung anak-anak untuk maju. Mereka manganggap
meyekolahkan anak-anak hanya menghambur-hamburkan uang tanpa hasil yang
jelas apakah mereka akan berhasil mendapatkan pekerjaan, sehingga kapan uang
yang dikeluarkan untuk biaya pendidikan akan kembali. Dengan sikap tersebut
maka anak-anak mereka hanya disekolahkan hanya sampai tingkat SMP atau SMA
saja.
Sarana Kesehatan
Pada tahun 1986 di desa Sugih Waras dibangun pusat kesehatan masyarakat
(Puskesmas) untuk memenuhi sarana kesehatan masyarakat setempat, sehingga
81
untuk berobat tidak perlu lagi harus pergi ke tempat lain. Kecuali untuk penderita
penyakit yang parah maupun harus dioperasi penduduk masih harus pergi ke kota.
Bagi ibu-ibu yang akan melahirkan sudah bisa memeriksakan kehamilannya
termasuk untuk melahirkan di Puskesmas.
Masyarakat desa Sugih Waras selain berobat ke Puskesmas dengan dirawat
oleh dokter-dokternya, mereka masih pergi berobat ke mantri suntik. Hingga saat
penelitian skripsi ini di desa Sugih Waras ada dua orang mantri suntik yang
sudah bertahun-tahun lamanya melayani masyarakat di desa itu.
Keluarga Berencana ( KB )
Program KB di desa Sugih Waras sudah ada sejak tahun 1982, tapi dapat
dikatakan tidak berhasil. Terbukti jumlah anak rata-rata setiap keluarga lebih dari
dua orang, tapi berjumlah tiga atau empat orang, bahkan terdapat di antara
penduduk yang mempunyai tujuh orang anak. Ketidakberhasilan KB tersebut selain
masih adanya anggapan masyarakat bahwa banyak anak banyak rezekinya, juga
dalam kehidupan bertani baik berkebun karet dan berladang padi membutuhkan
tenaga kerja, sehingga jumlah anak yang banyak akan dapat membantu keluarga.
Kegagalan program KB juga disebabkan kepada masyarakat tidak pernah
diberikan penyuluhan, sehingga masyarakat tidak mengerti pada umumnya untuk
apa program itu dijalankan. Memang ada juga di antara penduduk pernah
mengikuti penyuluhan, tetapi tidak dilakukan secara intensif, sehingga mereka tidak
mendapatkan pengetahuan yang cukup.
82
Upacara-upacara.
Jenis upacara yang biasanya banyak dilakukan penduduk desa Sugih Waras
adalah yang berkenaan dengan kehidupan mereka sehari-hari terutama dalam
bidang pertanian baik pertanian ladang maupun pertanian karet. Biasanya upacara-
upacara pertanian dilakukan pada saat membuka ladang, saat menanam padi, yaitu
didahului upacara bersedekah dengan tujuan agar membuka hutan terhindar dari
marabahaya serta diberikan hasil panen yang melimpah. Upacara saat menanam
padi bertujuan agar tanaman tumbuh subur dan tidak mendapat gangguan binatang-
binatang dan hama. Upacara panen sebagai ucapan rasa syukur atas karunia hasil
panen yang diperoleh. Upacara-upacara tersebut ditujukan kepada makhluk
penunggu hutan atau tanah yang disebut penduduk sebagai orang halus atau
“orang kelam”. Selain upacara demikian penduduk juga tidak lupa bersujud syukur
kepada Allah SWT.
Berdasarkan keterangan penduduk desa Sugih Waras kenapa upacara-upacara
kepada makhluk halus masih dilakukan, padahal mereka adalah menganut agama
Islam, pengetua adat setempat menjelaskan bahwa upacara-upacara tersebut berasal
dari nenek moyang, sehingga tidak mungkin untuk ditinggalkan. Terkadang hasil
upacara tersebut terbukti pula kebenarannya. Pernah ada kejadian salah seorang
penduduk yang tidak melakukan upacara ketika membuka lahan ladangnya, orang
tersebut menderita sakit parah dan tidak berhasil disembuhkan meskipun sudah
berobat ke beberapa rumah sakit. Setelah orang tersebut mendatangi seorang dukun
maka dijelaskan bahwa makhluk penunggu lahan yang dibuka itu marah kepadanya
karena menebang kayu-kayu yang menjadi rumah tempat tinggalnya tanpa permisi
83
terlebih dahulu. Dukun tersebut menyuruh supaya dilakukan upacara sebagai
permintaan maaf kepada mahluk penunggu hutan. Tiga hari setelah upacara itu
dilaksanakan maka orang tersebut langsung sehat seperti orang yang tidak pernah
sakit.
Selain upacara untuk pertanian, upacara yang juga sering dilakukan adalah
pada saat mendirikan rumah. Sebelum menegakkan tiang sebatang, demikian
penduduk sering menyebutnya, oleh orang yang akan mendirikan rumah terlebih
dahulu diadakan upacara bersedekah. Biasanya upacara dipimpin oleh seorang
dukun kampung yang memang sudah terbiasa berhubungan dan berdialog dengan
“orang kelam”. Setelah rumah selesai dibangun masih diadakan upacara sedekah
penunggu dengan tujuan agar rumah mendapat berkah dan rumah dijaga oleh
makhluk penunggu tanah tersebut.
Upacara-upacara demikian telah dianggap biasa sebagai adat, bahkan sebagai
keharusan bagi masyarakat. Sejak tahun 1980-an upacara yang dilakukan terasa
tidak terlalu sakral lagi seperti saat-saat sebelumnya. Hal ini disebabkan semakin
banyak generasi yang berpendidikan, tetapi upacara masih tetap dilaksanakan,
meskipun penyelenggaraannya tidak lagi sebesar tahun-tahun sebelumnya.
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya maka sampailah penulis pada
bab terakhir, yaitu kesimpulan. Dalam bab ini penulis berusaha untuk
menyimpulkan pembahasan-pembahasan sebelumnnya.
84
Sebelum tahun 1978 penduduk desa Sugih Waras semata-mata
menggantungkan hidup mereka kepada pertanian ladang, di mana mata pencaharian
bercocok tanam padi sudah berlangsung secara turun temurun dari nenek moyang.
Tahun 1978 merupakan tonggak sejarah perubahan ekonomi penduduk, yaitu
pemerintah menjalankan program Proyek Perkebunan Karet Rakyat (PPKR) yang
direalisasikan oleh pemerintah daerah Provinsi Sumatera Selatan. Pada awalnya
program ini kurang mendapatkan sambutan dari penduduk, tetapi dari tahun ke
tahun pesertanya bertambah terus, sehingga setelah lima tahun pembukaan proyek
lahan yang dibuka mencapai seluas 1.010 hektar, sebagian besar penduduk desa
Sugih Waras beralih dari bertani padi menjadi petani kebun karet.
Menyaksikan keberhasilan tanaman karet setelah berproduksi dan
perekonomian petani karet mengalami perubahan, hal itu menimbulkan minat
penduduk lainnya untuk menanam karet, sehingga pada tahun 1986 hampir seluruh
penduduk sudah menjadi petani karet. Dengan sendirinya pertanian ladang hampir
tidak ada lagi, sebab lahan-lahan pertanian ladang yang ada kemudian dibuka
menjadi kebun karet rakyat.
Dengan beralihnya sumber mata pencaharian penduduk ke perkebunan karet
maka muncul pula pekerja-pekerja lain yang berkaitan dengan karet tersebut, di
antaranya pedagang-pedagang karet atau toke karet dan buruh baik buruh angkut
getah maupun buruh membuka lahan kebun karet dan buruh menyadap kebun
karet. Apabila sebelumnya mata pencaharian penduduk adalah selain bertani ladang
adalah bertani kopi, berburu dan menangkap ikan semua penghasilan mereka
adalah untuk memenuhi kebutuhan keluarga sendiri. Dalam sistem perekonomian
85
ini tidak ada ekonomi uang karena semua kebutuhan hidup sehari-hari dapat
dipenuhi oleh setiap keluarga.
Setelah tahun 1986 di mana mata pencaharian penduduk sudah bersumber
dari perkebunan karet berarti dari hasil penjualan produksi getah penduduk yang
menjualnya sudah menerima uang, dalam arti kata uang sudah beredar di kalangan
masyarakat. Memang mata pencaharian sebelumnya terutama hasil pertanian kopi,
berburu dan menangkap ikan hasilnya sudah dapat dijual kepada penduduk lain.
Penduduk yang tidak mempunyai kebun karet akhirnya setelah tahun 1986
juga menggantungkan hidup mereka kepada perkebunan karet, di antaranya menjadi
buruh penyadap karet dengan sistem bagi hasil, buruh angkat getah maupun buruh
untuk membuka lahan-lahan baru perkebunan karet. Berkaitan dengan munculnya
buruh yang bekerja membuka lahan baru perkebunan karet rakyat ini oleh
penduduk dalam rangka peremajaan tanaman karet maupun perluasan kebun karet,
maka dengan memberi upah hal ini telah menghilangkan tradisi gotong royong.
Sebelumnya dalam membuka lahan pertanian terutama kegiatan membakar,
menanam dan panen dilakukan secara bergotong royong. Dalam tradisi gotong
royong masyarakat tidak diberi upah, kecuali memberikan makan penduduk yang
ikut bergotong royong oleh penduduk yang dibantu. Penduduk secara bergantian
mendapatkan kesempatan yang sama untuk ikut maupun menerima kegiatan
bergotong royong di desanya.
Dengan dibukanya perkebunan karet rakyat di desa Sugih Waras dan
beralihnya sumber mata pencaharian penduduk dari pertanian ladang ke perkebunan
karet sekaligus masuknya ekonomi uang ke tengah-tengah masyarakat. Sejak itu
86
perekonomian penduduk mengalami pertumbuhan, sekaligus bersifat konsumtif.
Oleh karena perekonomian menjadi tergantung kepada karet maka penghasilannya
sangat tergantung kepada turun-naiknya harga karet. Apabila harga karet sedang
naik atau membaik maka kehidupan penduduk menjadi cerah di mana penduduk
pun membeli barang-barang luks, sebaliknya jika harga produksi getah menurun
maka kehidupan penduduk menjadi lesu kurang bergairah. Dalam keadaan seperti
ini penduduk tetap menyadap tanaman karet, sebab mereka sudah tergantung,
sumber penghasilan mereka bersumber dari tanaman kebun karet.
Daftar Pustaka
Booth, Anne, et.al., Penyunting, Sejarah Ekonomi Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1988.
Chambers, Robert, Pembangunan Desa Mulai dari Belakang, LP3ES, Jakarta: 1984.
Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah, terjemahan Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI Press, 1985.
Kartodirdjo, Sartono, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992.
87
Kartodirdjo, Sartono dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi, Yogyakarta: Adytia Media, 1991.
Kuntowijoyo, Metode Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.
Lindblad, J. Thomas, ed., Fondasi Historis Ekonomi Indonesia, Yogyakarta: Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM, 2002.
Mubyarto, Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Jakarta: Sinar Harapan, 1994.
Mobyarto dan Awan Setya Dewanta, Karet: Kajian Sosial Ekonomi, Yogyakarta: Adytia Media, 1991.
Pelzer, Karl J, Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria, Jakarta: Sinar Harapan, 1985.
Ricklefs, M.C,. Sejarah Indonesia Modern, terj., Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991.
Stoler, Ann Laura, Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatra, 1870-1979, Yogyakarta: Karsa, 2005.
Syamsulbahri, Bercocok Tanam Tanaman Perkebunan Tahunan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996.
Scott, James C., Moral Ekonomi Petani Rakyat, Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara, terj., Jakarta: LP3ES, 1981.
DAFTAR INFORMAN
LAMPIRAN I
1. Nama : A. Manap
Umur : 90 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Tempat Tinggal : Sugih Waras
88
2. Nama : Mat Jate
Umur : 80 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Tempat Tinggal : Sugih Waras
3. Nama : Alugin Jani
Umur : 80 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Tempat Tinggal : Sugih Waras
4. Nama : A. Korna
Umur : 80 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Tempat Tinggal : Sugih Waras
5. Nama : Burani Taji
Umur : 78 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Tempat Tingga : Sugih Waras
6. Nama : Mat Agang
Umur : 78 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Tempat Tinggal : Sugih Waras
7. Nama : Guru Amin
Umur : 75 tahun
Agama : Islam
89
Pendidikan :
Tempat Tinggal : Sugih Waras
8. Nama : Gemile
Umur : 75 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Tempat Tinggal : Sugih Waras
9. Nama : M. Deli
Umur : 74 tahun
Agama : Islam
Pendidikan :
Tempat Tinggal : Sugih Waras
10. Nama : M. Waja
Umur : 74 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Tempat Tinggal : Sugih Waras
11. Nama : M. Buan
Umur : 74 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Tempat Tinggal : Sugih Waras
12. Nama : Nurudin
Umur : 73 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Tempat Tinggal : Sugih Waras
13. Nama : Mat Sine
Umur : 70 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SD
90
Tempat Tinggal : Sugih Waras
14. Nama : M. Gasup
Umur : 68 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Tempat Tinggal : Sugih Waras
15. Nama : M. Agu
Umur : 68 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Tempat Tinggal : Sugih Waras
16. Nama : Siasan
Umur : 65 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Tempat Tinggal : Sugih Waras
17. Nama : M. Dewi
Umur : 60 tahun
Agama : Islam
Pendidikan :
Tempat Tinggal : Sugih Waras
18. Nama : M. Soli
Umur : 55 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Tempat Tinggal : Sugih Waras
19. Nama : Sulaidin
Umur : 51 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
91
top related