perceraian di luar pengadilan agama menurut perspektif undang-undang nomor 1 tahun 1974 dan...
Post on 13-Aug-2015
1.079 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan fitrah manusia, yang dengan melakukan hal
tersebut seorang (suami) diwajibkan memikul amanah tanggung jawab yang
sangat besar di dalam dirinya terhadap orang-orang yang berhak mendapat
perlindungan dan pemeliharaan. Hakikat perkawinan adalah merupakan
hubungan hukum antara subjek yang mengikatkan diri dalam perkawinan
tersebut yakni antara seorang pria dengan seorang wanita.
Dalam membina bahtera rumah tangga sering kali dijumpai berbagai
keluhan yang dapat saja berujung pada terjadinya perceraian yang kemudian
menyebabkan bubarnya hubungan perkawinan. Dewasa ini kian marak
pergeseran makna dari hubungan antara pernikahan dan perceraian. Jika pada
masa lalu proses perceraian dalam pernikahan merupakan suatu hal yang tabu
dan aib, kini sudah umum dan perceraian telah menjadi suatu fenomena yang
biasa di masyarakat. Setiap orang pasti menginginkan yang terbaik dalam
hidupnya, termasuk dalam kehidupan rumah tangganya. Namun realita
menunjukkan sebaliknya, angka perceraian semakin meningkat setiap
tahunnya.
Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dianggap
sebagai suatu perjanjian (persetujuan) asalkan kata perjanjian diambil dalam
arti yang luas. Sebab untuk melangsungkan perkawinan diperlukan kehendak
2
yang bersesuaian antara seorang pria dengan seorang wanita serta keterangan
tentang adanya kehendak tersebut.1
Perkawinan selain harus memenuhi syarat sahnya perkawinan
menurut Agama dan kepercayaannya masing-masing sebagaimana yang
diatur dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, juga
harus dilakukan pencatatan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan
setempat. Pada saat perkawinan yang dilangsungkan itu tidak dilakukan
pencatatan maka oleh masyarakat sekarang ini sering disebut dengan
pernikahan sirri.
Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk waktu selamanya baik
itu perkawinan monogami maupun poligami. Ini sebenarnya yang
dikehendaki oleh Agama Islam. Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-
hal yang menghendaki putusnya perkawinan itu dalam arti bila hubungan
perkawinan tetap dilanjutkan, maka kemudharatan akan terjadi. Dalam hal ini
Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha
melanjutkan rumah tangga. Putusnya perkawinan dengan begitu merupakan
jalan keluar yang baik.2
Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor Tahun 1974 dinyatakan
bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga(rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.3
1 Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1992, hal. 80.2 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet. I, Jakarta, Prenada
Media, 2006, hal. 190.3 Departemen Agama R.I, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 serta Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2004), hal.
3
Definisi di atas menunjukan bahwa suatu perkawinan mencakup
ikatan lahir dan batin antara suami istri. Ikatan lahir disini dimaksudkan
bahwa adanya perpaduan antara hak dan kewajiban suami dalam susunan
kehidupan rumah tangga secara nyata, sedangkan yang yang dimaksud
dengan ikatan batin ikatan yang bersifat atau berupa perasaan cinta dan kasih
sayang dalam mencapai kebahagiaan dan kedamaian dan rumah tangga.
Kebahagian dan kedamaian dalam rumah tangga akan dapat tercapai
apabila ada rasa saling pengertian dan rasa kasih sayang antara suami dan istri
serta di dukung oleh beberapa faktor . Faktor-faktor tersebut oleh Faried
Ma’ruf Noor, diperinci sebagai berikut:
1. Setiap anggota rumah tangga atau keluarga memahami dan menjalani fungsinya masing-masing
2. Terciptanya suasana keagamaan dan kehidupan rumah tangga sehari-hari
3. Terciptanya kebutuhan ekonomi rumah tangga 4. Terciptanya fungsi pendidikan keluarga terutama bagi anak-anak.4
Apabila diperhatikan definisi pekawinan yang tercantum dalam pasal
1 di atas, Undang-undang tersebut menghendaki agar suatu perkawinan yang
sudah dilangsungkan dapat terlaksana dengan bahagia antara suami
istri,Tujuan ini dapat tercapai tergantung pada pergaulan yang baik pasangan
tersebut. Hubungan yang baik dan sangat tergantung pada pemenuhan hak
dan kewajiban masing-masing pihak.
Berdasarkan uraian di atas nyatalah bahwa tujuan perkawinan adalah
untuk terwujudnya hubungan yang kekal antara suami dan istri. Namun
14.4 Faried Ma’ruf Noor, Menuju Keluarga Sejahtera dan Bahagia, (Jakarta: Bulan Bintang,
1983), hal. 51.
4
tujuan mulia tersebut tidak selamanya dapat tercapai dalam suatu perkawinan,
bahkan tidak jarang timbul permasalahan, perselisihan atau pertengkaran
yang terus menerus antara suami dan istri. Itu ini memberi peluang kehidupan
rumah tangga menjadi tidak harmonis, sehingga harus di akhiri dengan suatu
perceraian.
Secara umum mengenai putusnya hubungan perkawinan dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan membagi sebab-
sebab putusnya perkawinan ke dalam 3 (tiga) golongan, yaitu seperti yang
tercantum dalam Pasal 38 yakni sebagai berikut:
a. Karena kematian salah satu pihak;
b. Perceraian; dan
c. Atas putusan pengadilan;
Putusnya perkawinan karena perceraian dalam istilah ahli Fiqh disebut
talak atau furqah. Arti dari talak adalah membuka ikatan, membatalkan
perjanjian, sedangkan furqah artinya bercerai, yaitu lawan dari berkumpul.
Kemudian kedua kata tersebut dipakai oleh ahli fiqh sebagai satu istilah, yang
berarti bercerai antara suami isteri. Meskipun Islam tidak melarang
perceraian, tetapi bukan berarti Agama Islam menyukai terjadinya perceraian
dalam satu perkawinan. Dan perceraianpun tidak boleh dilaksanakan setiap
saat sebagaimana dikehendaki.
Walaupun diperbolehkan, Agama Islam memandang bahwa
perceraian adalah sesuatu yang tidak disukai. Hal tersebut bisa dilihat dalam
5
hadist Nabi yang artinya “Yang halal yang paling dibenci Allah adalah
perceraian”. (HR. Abu Daud dan dinyatakan shaheh oleh Al-Hakim).
Bagi orang yang melakukan perceraian tanpa alasan, Rasullullah
SAW bersabda yang artinya: “Apakah yang menyebabkan salah seorang
kamu mempermainkan hukum Allah, ia mengatakan: Aku sesungguhnya
telah mentalak (isteriku) dan sesungguhnya” (HR. An-Nasa’i dan Ibnu
Majah).
Perceraian apapun bentuknya dapat membawa akibat terhadap suami
isteri itu sendiri maupun terhadap anak yang lahir dari perkawinan itu. Akibat
yang sangat terasa adalah terhadap anak baik secara psikis maupun yuridis.
Dari segi psikis anak akan menjadi minder, kurang tenang, kurang kasih
sayang, dan kurangnya pengawasan dari orang tua yang kesemuanya itu
menyebabkan perkembangan mental anak terganggu.
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 memuat berbagai
ketentuan tentang perceraian. Salah satu pasal dari Undang-undang tersebut
menyebutkan bahwa perceraian di bebani berbagai persyaratan sebagaimana
di tentukan dalam pasal 39 ayat (2) yang berbunyi:
1. Perceraian hanya dapat di lakukan di dalam sidang pengadilan setelah sidang yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan ke dua belah pihak.
2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami istri itu dapat akan hidup rukun sebagai suami istri.
3. Tata cara perceraian di depan siding pengadilan di utus perundangan tersendiri.
6
Selanjutnya alasan yang di sebut pada ayat (2) pasal 39 tersebut di atas
di perinci kembali dalam pasal 19 peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
sebagai berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan sebagainya yang sukar di sembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuanya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang berat yang membahayakan pihah lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga.5
Dari ketentuan di atas memperluas suatu perceraian hanya dapat di
lakukan melalui bantuan pengadilan dan untuk melakukannya harus ada
alasan yang cukup da rasional sehingga dapat di jadikan landasan yang wajar
bahwa antara suami dan istri tidak ada harapan lagi untuk hidup bersama
sebagai suami istri.
Pada perinsipnya tidak ada seorangpun yang menginginkan
perkawinannya berakhir dengan perceraian, tidak ada anggota atau
masyarakat yang mengharapkan keluarganya berakhir dengan perceraian.
Hukum Islam mengajarkan bahwa perceraian merupakan suatu perbuatan
halal tetapi sangat dibenci oleh Allah. Salah satu azas dalam Undang-Undang
perkawinan adalah mempersulit terjadinya perceraian,6 cara mempersulit ini
5 Departemen Agama, Undang-undang, hal. 77.6 Lihat huruf e angkan 4 Penjelasan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 Tentang
Perkawinan.
7
antara lain dengan menetapkan syarat-syarat tertentu seperti ikrar cerai harus
diucapkan di depan sidang pengadilan. Kebijakan tersebut dijabarkan oleh
hakim antara lain dengan menyelenggarakan beberapa kali sidang, untuk
menggali permasalahan dan memberi kesempatan kepada suami dan isteri
untuk merenungkan niatnya untuk bercerai. Akan tetapi langkah hakim ini
sering dirasakan oleh pencari keadilan sebagai memperpanjang prosedur.
Pengadilan Agama pilar utama pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974, dan dalam upaya menekan angka perceraian khususnya serta
pembinaan keluarga sejahtera pada umumnya.
Masalah perceraian merupakan masalah yang cukup komplex.
Keluarga yang mempunyai masalah cenderung merahasiakan masalah-
masalah yang dihadapi keluarganya dan berupaya memecahkannya sendiri.
Pada umumnya ketika permasalahannya sudah cukup kronis. Disamping itu
juga diakui bahwa nasehat oleh BP4 dan usaha perdamaian yang dilakukan
oleh pengadilan cenderung kurang metodologis, kurang profesional.7
Pembinaan kehidupan keluarga, penasehatan calon pengantin dan
penasehatan keluarga yang bermasalah pada hakikatnya adalah kegiatan
pendidikan yang merubah kondisi yang kurang baik kepada keadaan yang
lebih baik. Untuk kegiatan tersebt sangat tepat dilakukan melalui pendidikan,
persuasif, psikologis dan sebagainya.8
7 Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1993), hal.48.
8 Moh. Zahid, Dua Puluh Lima Tahun Pelaksanaan undang-undang Perkawinan, Cet. I, Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama R.I, 2001, hal. 78.
8
Dewasa ini, perceraian yang dilakukan oleh suami tanpa pengetahuan
pengadilan dianggap perceraian liar, ketentuan ini diberlakukan semenjak
disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Dengan demikian urusan perceraian tidak lagi menjadi urusan pribadi suami
melainkan harus ada campur tangan pengadilan/pemerintah.
Dalam pasal 39 ayat (1) Undang-Undang perkawinan disebutkan:
”Perceraian hanyan dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak”. Ketentuan di atas menunjukkan bahwa setiap pasangan
suami isteri yang akan melakukan perceraian tidak bisa disembarang tempat,
mereka diharuskan oleh Undang-Undang untuk melaksanakan perceraian di
depan hakim dalam sebuah acara persidangan di pengadilan. Meskipun
pasangan suami isteri tersebut melakukan nikah siri namun mereka wajib
memenuhi hukum yang mengharuskan suatu perceraian dilakukan di depan
persidangan. Tentunya dengan prosedur yang telah ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 dapat mengarahkan masyarakat kepada suatu tatanan hukum
yang lebih tertib, sekaligus dapat mengatasi terjadinya perceraian yang
dilakukan oleh suami secara semene-mena terhadap isterinya tanpa
mempertimbangkan akibatnya. Kecenderungan penulis dalam membahas tesis
ini supaya perceraian yang dilakukan harus melalui prosedur hukum
9
sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi pokok
permasalahan dalam penelitian ini dapat penulis rumuskan sebagai berikut :
1. Apakah sah perceraian di luar Pengadilan agama (Mahkamah Syar’iyah)
menurut perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI ?
2. Apa saja akibat yang ditimbulkan dalam perceraian yang dilakukan di
luar Pengadilan Agama (Mahkamah Syar’iyah) menurut Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI ?
C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian
Sesuai rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui sah atau tidak sah perceraian di luar Pengadilan
Agama (Mahkamah Syar’iyah) menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 dan KHI.
2. Untuk mengetahui konsekwensi hukum yang timbul dari perceraian di
luar Pengadilan Agama (Mahkamah Syar’iyah) menurut Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI.
Adapun kegunaan hasil penelitian ini sebagai berikut:
10
1. Secara teoritis: Hasil penelitian ini dapat memperluas cakrawala
pengetahuan dan pengembangan ilmu hukum pada umumnya serta
hukum perdata pada khususnya.
2. Secara Praktis: Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan
yang berarti bagi instansi pemerintah, praktisi hukum, dan masyarakat
dalam penyelesaian masalah hukum yang timbul sehubungan dengan
perceraian.
D. Keaslian Penelitian
Setelah penulis melakukan penelusuran terhadap berbagai literatur dan
hasil penelitian pada Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas
Syiah Kuala dan IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, terdapat 8 (delapan) penelitian
yang berhubungan dengan Perceraian. Pada Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Syiah Kuala diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh
Saudara Abdul Manan Hasyim yang berjudul “Eksekusi Putusan Cerai
Talak Dalam Kaitannya Dengan Gugatan Rekonpensi (Studi Kasus Pada
Mahkamah Syar’iyah Jantho Tahun 2006)”. Penelitian ini menitik
beratkan pada pelaksaksanaan eksekusi terhadap putusan cerai talak yang
dimohonkan gugatan rekonpensi. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh
Saudara Teuku Muhammad Firmansyah yang berjudul “Suatu Tinjauan
Terhadap Faktor Penyebab Cerai Gugat dan Dampaknya (Penelitian di
Kota Sabang Tahun 2006)”. Penelitian ini menitikberatkan pada faktor yang
menjadi penyebab tingginya kasus cerai gugat dan berbagai permasalahan
yang terkait lainnya di wilayah hukum Mahkamah Syar’iyah Kota Sabang.
11
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Saudara Tasmijan yang berjudul
“Cerai Gugat Suatu Tinjauan Yuridis Normatif dan Sosiologis di
Wilayah Hukum Takengon Tahun 2008)”. Penelitian ini menitikberatkan
pada faktor penyebab terjadinya cerai gugat dan pertimbangan hakim dalam
memutuskan perkara cerai gugat. Kemudian Penelitian yang dilakukan oleh
Saudara Muhammad Raihan yang berjudul “Pemeriksaan Oleh Hakim
Terhadap Penggabungan Gugatan Perceraian dan Harta Bersama (Studi
Kasus di Mahkamah Syar’yah Banda Aceh Tahun 2011)”. Penelitian ini
menitikberatkan terhadap alasan bagi hakim melakukan penggabungan
pemeriksaan perkara perceraian dengan harta bersama dan pertimbangan
hakim menentukan kebijakan pemeriksaan perkara tertutup untuk umum.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Saudari Nurasiah yang berjudul
“Kajian Yuridis Tentang Perceraian di Bawah Tangan Menurut Hukum
Islam dan Hukum Positif Tahun 2011”. Penelitian ini menitikberatkan
pada konsep perceraian dan bentuk perlindungan hukum terhadap isteri/anak
yang mengalami perceraian di bawah tangan menurut hukumIslam dan
hukum positif. Sedangkan Penelitian yang dilakukan pada Program
Pascasarjana IAIN Ar-Raniry diantaranya adalah penelitian yang dilakukan
oleh Saudara Muhammad Nasir yang berjudul “Cerai Talak dan Cerai
Gugat (Studi Kasus di Mahkamah Syar’iyah Jantho Tahun 2010)”.
Penelitian ini menitikberatkan terhadap ketetapan hukum Islam dan hukum
positif tentang cerai talak dan cerai gugat serta proses penyelesaian kasusnya.
Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Saudara Murdani yang berjudul “
12
Zina Sebagai Alasan Perceraian (Studi Kasus Pada Mahkamah
Syar’iyah Sabang Tahun 2011)”. Penelitian ini menitikberatkan terhadap
alasan perceraian di dalam pandangan fiqh, Undang-Undang Perkawinan,
KHI, dan penyelesaian kasusnya. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh
Saudara Said Rizal yang berjudul “Tinjauan Terhadap Putusan Hakim
Tentang Perceraian PNS Tanpa Izin Pejabat (Studi Kasus di Mahkamah
Syar’iyah Banda Aceh Tahun 2011)”. Penelitian ini menitikberatkan pada
kekuatan hukum izin pejabat dalam proses penyelesaian perkara perceraian
PNS, bagaimana sikap hakim dalam menyelesaikan perkara, dan apa dasar
hukumnya. Maka berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan, bahwa
penelitian atas permasalahan yang ditulis oleh penulis tersebut belum pernah
dilakukan sehingga dengan demikian penelitian dan tulisan ini dapat
dinyatakan asli.
E. KERANGKA PIKIR
1. Teori Negara Hukum
Istilah Negara Hukum merupakan terjemahan langsung dari istilah
yang dikenal dalam bahasa Jerman yaitu Rechtsstaat, ”Recht” berarti
hukum atau hak yang juga diadopsi ke dalam bahasa Belanda dalam arti yang
serupa.9
Perkembangan konsep negara hukum merupakan produk dari sejarah,
sebab rumusan atau pengertian negara hukum itu terus berkembang mengikuti
9 Jimly Asshiddiqie, Nomokrasi Modern : Konsep Negara Hukum Yang Demokratis, dikutip dari buku Refleksi Hukum dan Konstitusi di Era Reformasi, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2002, hal. 82.
13
sejarah perkembangan umat manusia. Karena itu dalam rangka memahami
secara tepat dan benar konsep negara hukum, perlu terlebih dahulu diketahui
gambaran sejarah perkembangan pemikiran politik dan hukum, yang
mendorong lahir dan berkembangnya konsepsi negara hukum.10 Selain itu
Pemikiran tentang Negara Hukum sebenarnya sudah sangat tua, jauh lebih tua
dari dari usia Ilmu Negara ataupun Ilmu Kenegaraan itu sendiri11 dan
pemikiran tentang Negara Hukum merupakan gagasan modern yang multi-
perspektif dan selalu aktual. 12
Setidaknya terdapat dua tradisi besar gagasan Negara Hukum di dunia,
yaitu Negara Hukum dalam tradisi Eropa Kontinental yang disebut
Rechtsstaat dan Negara Hukum dalam tradisi Anglo Saxon yang disebut
dengan Rule of Law. Dalam sistem hukum Eropa Kontinental, istilah
rechtsstaat juga disebut dengan concept of legality atau etat de droit,
sedangkan istilah the rule of law menjadi polpuler setelah diterbitkan buku
Albert Venn Dicey pada tahun 1985.13
Jimly Asshiddiqie14 menyatakan, ada sembilan prinsip pokok yang
menjadi pilar utama sebuah Negara Hukum, yaitu : (1) Supremasi hukum; (2)
Persamaan dalam hukum; (3) Asas Legalitas; (4) Pembatasan kekuasaan; (5)
Peradilan yang bebas dan tidak memihak; (6) Peradilan tata usaha negara; (7)
10 S.F. Marbun, Negara Hukum dan Kekuasaan Kehakiman, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, No. 9 Vol 4 – 1997, hal. 9.
11 Sobirin Malian, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2001, hal.25.
12 A. Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, Elsam, Jakarta, 2004, hal. 48.
13 Faisal A. Rani, Fungsi dan Kedudukan Mahkamah Agung Sebagai Penyelenggara Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka Sesuai dengan Paham Negara Hukum, Syiah Kuala University Press, Banda Aceh, 2009, hal. 33.
14 Jimly Asshiddiqie, Op.Cit., hal. 85-93.
14
Perlindungan hak asasi manusia; (8) Bersifat demokratis; dan (9)
Transparansi dan kontrol sosial.
Di samping konsep negara negara hukum dengan istilah rechtsstaat
dan the rule of law, juga dikenal adanya konsep negara hukum yang bersifat
Nomokrasi Islam yang bersumber pada al-Qur an dan Sunnah dengan unsur-
unsur pokok kekuasaan adalah amanah, musyawarah, keadilan, persamaan,
pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, peradilan yang
bebas, perdamaian, kesejahteraan dan ketaatan rakyat pada hukum yang
sumber tertingginya pada al-Qur an, as-Sunnah dan al-Ra’yu (ijtihad).15
Sebelum amandemen UUD RI 1945 asas Negara hukum tidak diatur
dalam pasal-pasal atau batang tubuh UUD RI 1945 melainkan diatur dalam
bagian Penjelasan UUD RI 1945 dengan istilah yang sedikit berbeda, yakni
“negara berdasar atas hukum (Rechtsstaat)”. Akan tetapi pasca amandemen
UUD RI 1945, asas Negara Hukum sudah diatur secara tegas di dalam batang
tubuh, yaitu dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi : “Negara Indonesia adalah
negara hukum”.
Dalam kepustakaan Indonesia, penyebutan negara hukum dan juga
dalam penyebutan demokrasi dalam hubungannya dengan Negara Republik
Indonesia, sering diberikan atribut ”Pancasila” sehingga banyak ditemui
istilah ”Negara Hukum Pancasila” dan ”Demokrasi Pancasila”.16 Hal ini
dikaitkan dengan dasar/falsafah negara Republik Indonesia yaitu Pancasila.
15 Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum, Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini , Bulan Bintang, Jakarta, 1992, hal. 73.
16 Faisal A. Rani, Op.Cit. hal. 34.
15
Oemar Seno Adji berpendapat bahwa negara hukum Indonesia
memiliki ciri khas tersendiri, karena Pancasila harus diangkat sebagai dasar
pokok dan sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dapat pula
dinamakan Negara Hukum Pancasila. Salah satu ciri pokok dalam negara
hukum pancasila ialah adanya jaminan terhadap kebebasan beragama
(freedom of religion). Akan tetapi kebebasan beragama di negara hukum
Pancasila selalu dalam konotasi yang positif, artinya tidak ada tempat bagi
ateisme atau propaganda anti agama di bumi Indonesia. Ciri pokok lainnya
dari negara hukum Indonesia adalah tidak ada pemisahan yang mutlak antara
agama dan negara, karena antara agama dan negara berada dalam hubungan
yang harmonis. 17
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa pengertian yang
mendasar dari negara hukum adalah bahwa kekuasaan harus tunduk pada
hukum dan semua orang sama di hadapan hukum (equality before the law).
Negara menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan segala
tindakan warga negara harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
2. Teori Kepastian Hukum
Manusia sebagai makhluk sosial saling berhubungan antara satu
dengan lainnya untuk dapat memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Dalam
hubungan antara satu dengan lainnya kadangkala timbul perselisihan karena
dalam mengerjakan kebutuhan hidupnya merugikan pihak lain. Perselisihan
yang timbul dapat mengganggu keseimbangan hidup masyarakat. Dalam
17 Oemar Seno Adji, Pengadilan Bebas Negara Hukum, Airlangga, Jakarta, 1980, hal. 16.
16
menjaga keseimbangan hidup masyarakat dan mengatasi perselisihan
diperlukan aturan yang mengaturnya. Aturan yang mengatur hidup
masyarakat disebut norma atau kaedah. Kaedah tersebut dapat berupa kaedah
agama, kaedah kesusilaan, kaedah sopan santun dan kaedah hukum.
Kaedah hukum yang berlaku dalam masyarakat dapat berupa
perundang-undangan dan kebiasaan atau adat istiadat. Menurut Sunnaryati
Hartono hukum adalah rangkaian kaedah, peraturan-peraturan, tata aturan
baik tertulis maupun tidak tertulis yang menetapkan dan mengatur hubungan
antara para anggota masyarakat.18 Hukum adalah keseluruhan peraturan atau
kaedah dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan
pelaksanaannya dengan suatu sanksi.19
Hukum adalah perangkat kaedah-kaedah dan asas-asas yang mengatur
kehidupan manusia dalam masyarakat. Salah satu fungsi terpenting dari
hukum adalah tercapainya keteraturan hidup manusia dalam masyarakat. Hal
ini yang menyebabkan orang dapat hidup dengan berkepastian, artinya orang
dapat mengadakan kegiatan-kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan
bermasyarakat karena ia dapat mengadakan perhitungan tentang apa yang
terjadi atau apa yang bisa ia harapkan.20
Demikian pentingnya fungsi hukum dalam masyarakat, sehingga ada
yang menyamakan fungsi dengan tujuannya. Dikatakan bahwa tujuan hukum
agar terpelihara dan terjamin keteraturan (kepastian) dan keterlibatan. Tanpa
18 Sunnaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni Bandung, 1991. hal. 8.
19 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2003. hal. 40.
20 Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000. Hal. 49.
17
kepastian dan ketertiban, Kehidupan manusia yang wajar tidak mungkin
terwujud. Oleh karena itu pandangan yang menyatakan tujuan hukum
menjamin kepastian dan ketertiban, pandangan tersebut tidak terlalu salah.21
Dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum
mempunyai tujuan atau sasaran yang hendak dicapai. Adapun tujuan pokok
hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan
ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban di dalam
masyarakat diharapkan kepentingan manusia terlindungi. Dalam mencapai
tujuan itu hukum menentukan hak dan kewajiban antara perorangan di dalam
masyarakat, mengatur cara memecahkan masalah hukum dan memelihara
kepastian hukum.22
Menurut Utrecht sebagaimana dikutip oleh Soerojo Wignjodipoero,
hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Ada
dua macam kepastian hukum yaitu kepastian oleh hukum dan kepastian
dalam atau demi hukum. Kepastian oleh hukum, misalnya daluarsa (Pasal
1946 KUH Perdata). Kepastian dalam hukum tercapai apabila hukum itu
tidak saling bertentangan. Peraturan perundang-undangan itu dibuat
berdasarkan keadaan yang sungguh-sungguh dan di dalamnya tidak terdapat
istilah-istilah multi-tafsir.23
Hukum sebagai salah satu kaedah yang berlaku dalam masyarakat,
bertugas untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Selain
21 Ibid. hal. 50.22 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit. hal. 77.23 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Ilmu Hukum. Haji Masagung, Jakarta, 1988. hal.
77.
18
itu dapat pula dikatakan bahwa hukum menjaga dan mencegah agar setiap
orang tidak mengadili dan menjatuhi hukuman terhadap setiap pelanggaran
hukum terhadap dirinya. Setiap perkara yang timbul harus diselesaikan
melalui proses pengadilan dengan perantara hakim berdasarkan ketentuan
hukum yang berlaku.24
3. Kedudukan Mahkamah Syar’iyah Dalam Sistem Peradilan Nasional
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (selanjutnya disebut dengan NAD) telah memberikan otonomi
khusus untuk Provinsi NAD dalam rangka pengembangan otonomi daerah
dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tujuan pemberian
otonomi tersebut adalah memberikan kewenangan yang luas, nyata dan
bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional. Hal tersebut
diwujudkan dengan peraturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya
nasional yang berkeadilan serta memberikan perimbangan keuangan antara
pusat dan daerah sesuai dengan potensi daerah masing-masing. Selain tujuan
tersebut, ada kebijakan politik hukum dari pemerintah Indonesia untuk
mengapresiasi aspirasi masyarakat Aceh yang sudah lama tertekan dengan
konflik bersenjata dan operasi militer oleh Tentara Nasional Indonesia dan
Polisi Republik Indonesia (TNI/ POLRI) yang telah menimbulkan
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat. Selain itu terutama juga untuk
24 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002. hal. 45.
19
meredam tuntutan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ingin melepaskan
diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).25
Di dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001
disebutkan bahwa peradilan Syari`at Islam di Provinsi NAD sebagai bagian
dari sistem peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syar`iyah yang
bebas dari pengaruh pihak manapun. Kemudian dalam Pasal 26 ayat (1)
disebutkan bahwa Mahkamah Syar`iyah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25 ayat (1) terdiri atas Mahkamah Syar`iyah Kabupaten/Kota sebagai
pengadilan tingkat pertama, dan Mahkamah Syar`iyah Provinsi sebagai
pengadilan tingkat banding yang berkedudukan di Ibukota Provinsi NAD.
Sedangkan untuk tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung RI.26
Berpijak atas dasar ketentuan Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2001 inilah embrio Mahkamah Syar’iyah sebagai bagian
dari sistem peradilan nasional di Indonesia mulai tumbuh dan mengalami
proses pencarian bentuk yang evolutif. Segala sesuatu yang dibutuhkan untuk
proses pembentukan Mahkamah Syar’iyah di Aceh semakin intensif
dilakukan dan dipersiapkan dengan cermat dan seksama oleh pihak
pemerintah (pusat dan daerah) bersama seluruh elemen masyarakat lainnya
yang meliputi peraturan perundang-undangan, sumber daya manusia, dan
prasarana pendukungnya.
25 http://www.advokateyurnal.com,, Yurnal, Mahkamah Syar’iyah dan Kekuasaan Kehakiman, diakses pada tanggal 21 Desember 2010.
26 Lihat Pasal 26 ayat (2) UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam.
20
Tindak lanjut pelaksanaan ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2001 tersebut di atas, disahkan pula Qanun Provinsi NAD Nomor
10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam yang di dalamnya mengatur
tentang kedudukan dan kewenangan serta struktur organisasi Mahkamah
Syar’iyah.
Di dalam Pasal 2 Qanun Provinsi NAD Nomor 10 Tahun 2002
tersebut ditegaskan bahwa Mahkamah Syar`iyah adalah lembaga peradilan
yang dibentuk untuk melaksanakan Syari`at Islam dalam wilayah Provinsi
NAD, yang merupakan pengembangan dari Pengadilan Agama yang telah ada
sebelumnya. Dalam melaksanakan kewenangannya Mahkamah Syar`iyah
bebas dari pengaruh dari pihak manapun.27
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Qanun tersebut dapat dipahami bahwa
kedudukan Mahkamah Syar’iyah di Aceh adalah sebagai pengganti dari
Pengadilan Agama yang sudah berlaku. Hal tersebut ditegaskan kembali
dalam Pasal 1 ayat (1) Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 11 Tahun 2003
tentang Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Provinsi
NAD yang menyebutkan bahwa Pengadilan Agama yang telah ada di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diubah menjadi Mahkamah Syar`iyah.
Oleh karenanya proses beracara dan hukum acara di Mahkamah Syar’iyah
27 Rumusan lengkap isi Pasal 2 Qanun Provinsi NAD Nomor 10 Tahun 2002 sesbagai berikut :
(1) Mahkamah Syar`iyah adalah Lembaga Peradilan yang dibentuk dengan Qanun ini serta melaksanakan Syari`at Islam dalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
(2) Dalam melaksanakan kewenangannya Mahkamah Syar`iyah bebas dari pengaruh dari pihak manapun.
(3) Mahkamah Syar`iyah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pengembangan dari Pengadilan Agama yang telah ada.
21
pada hakekatnya adalah sama seperti yang berlaku dalam proses beracara
yang berlaku pada lingkungan Peradilan Agama.
Eksistensi Mahkamah Syar’iyah di Aceh kemudian diakomodasikan
di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang baru sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Di dalam
Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 disebutkan bahwa
peradilan Syariah Islam di Provinsi NAD merupakan pengadilan khusus
dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut
kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam
lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut
kewenangan peradilan umum.28
Menurut Bagir Manan, oleh karena dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004, dengan tegas disebutkan ”pengadilan khusus
hanya dapat dibentuk dalam satu lingkungan peradilan”, maka pengadilan
khusus merupakan bagian (kamar) dari suatu lingkungan peradilan. Jika
bunyi ayat (2) ini diterapkan, akan terdapat dua pengadilan Syar’iyah, yaitu
di lingkungan peradilan umum dan di lingkungan peradilan agama. Hal ini
mengakibatkan tidak ada Pengadilan Syar’iyah yang berdiri di luar peradilan
agama dan peradilan umum. Yang ada adalah peradilan Syar’iyah sebagai
bagian dalam lingkungan pengadilan agama dan pengadilan Syar’iyah
sebagai bagian dalam lingkungan peradilan umum (untuk perkara pidana).
28 Lihat juga ketentuan Pasal 3A UU No. 3 tahun 2006 jo. UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan penjelasannya.
22
Hal ini bertentangan dengan tujuan pembentukan Pengadilan Syar’iyah
sebagai pengadilan yang berdiri sendiri.29
Dalam menanggapi tulisan Bagir Manan tersebut, Yurnal menyatakan
bahwa Bagir Manan terasa seperti tidak bisa berbuat apa-apa ketika dia
mengatakan “demikianlah kenyatannya” padahal dia juga mengakui bahwa
pembentukan Pengadilan Syar’iyah itu sendiri tidak sejalan dengan ketentuan
pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman.30
Berdasarkan uraian tersebut, terlihat bahwa di Aceh tidak ada lagi
Pengadilan Agama. Semua kedudukan, tugas, wewenang Pengadilan Agama
dialihkan menjadi tugas, wewenang Mahkamah Syar’iyah. Sementara itu,
untuk perkara Jinayat (pidana), berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah
Agung RI Nomor KMA/070/SK/X/2004 tanggal 6 Oktober 2004 telah
diselenggarakan pula penyerahan sebahagian wewenang dari peradilan umum
kepada Mahkamah Syar’iyah Aceh dan sejak saat itu pula Mahkamah
Syar’iyah di Aceh mulai menerima pelimpahan perkara-perkara jinayat dan
mengadili serta memutuskannya.
Perkembangan berikutnya mengenai Mahkamah Syar’iyah di Aceh
terlihat pasca penandatanganan MoU antara Pemerintah RI dan Pimpinan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinky-Finladia pada tanggal 15
Agustus 2005. Setahun kemudian yakni pada tanggal 1 Agustus 2006 telah
29 Bagir Manan, Suatu Tinjauan Terhadap Kekuasaan Kehakiman Indonesia Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 152-153.
30 Yurnal, Log.Cit.
23
diundangkan pula Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh, yang di dalamnya mengatur satu bab khusus tentang
Mahkamah Syar’iyah yaitu dalam Bab XVIII. Di dalam Pasal 128 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 disebutkan bahwa Peradilan Syari'at
Islam di Aceh adalah bagian dari sistem peradilan nasional dalam lingkungan
peradilan agama yang dilakukan oleh Mahkamah Syar'iyah yang bebas dari
pengaruh pihak manapun.
Dengan dimuatnya ketentuan yang tegas tentang Mahkamah Syar’iyah
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, secara yuridis semakin
menguatkan eksistensi dan kedudukan Mahkamah Syar’iyah di Aceh sebagai
salah satu sub sistem dari sistem peradilan nasional di Indonesia.
4. Kompetensi Mahkamah Syar’iyah di Aceh
Tugas pokok pengadilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman
adalah menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap
perkara yang diajukan kepadanya.31 Pengadilan mana yang berwenang untuk
memeriksa akan ditentukan oleh kewenangan mengadili dari setiap
pengadilan.
Kata ”kompetensi” yang berasal dari bahasa Belanda ”Competentie”,
kadang-kadang diterjemahkan dengan ”kewenangan” dan terkadang dengan
”kekuasaan”.32Kompetensi atau Kewenangan mengadili suatu lembaga
31 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hal. 75.32 Basiq Jalil, Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum (Hk. Islam, Hk.
Barat dan Hk. Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh, Kencana, Jakarta, 2006, hal. 137.
24
peradilan dapat dibedakan kepada dua yaitu kompetensi relatif dan
kompetensi absolut.
a. Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif artinya kewenangan suatu pengadilan dalam
menangani perkara tertentu yang berhubungan dengan batas wilayah hukum
dari suatu pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama dan satu
tingkatan. Roihan A. Rasyid menyatakan bahwa kekuasaan relatif diartikan
sebagai kekuasaan pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam
perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama
tingkatannya.33
Kompetensi relatif mempertanyakan Pengadilan Agama atau
Mahkamah Syar’iyah dalam daerah hukum manakah yang berwenang untuk
mengadili suatu perkara. Misalnya antara Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh
dengan Mahkamah Syar’iyah Jantho, atau Pengadilan Negeri Bireuen dengan
Pengadilan Negeri Lhokseumawe.
Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dengan Mahkamah Syar’iyah
Jantho sama-sama lingkungan peradilan agama dan sama-sama pengadilan
tingkat pertama, tetapi memiliki batas wilayah hukum masing-masing. Begitu
pula halnya antara Pengadilan Negeri Bireuen dengan Pengadilan Negeri
Lhokseumawe, sama-sama lingkungan peradilan umum dan sama-sama
pengadilan tingkat pertama, tetapi memiliki batas wilayah hukum masing-
masing.
33 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Pengadilan Agama, (Edisi Baru), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 25.
25
Secara umum mengenai kompetensi relatif Pengadilan Agama diatur
dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang
menyebutkan “Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau di ibu
kota kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau
kabupaten”.
Ketentuan secara khusus menyangkut kompetensi relatif dari
Mahkamah Syar’iyah diatur dalam Pasal 2 Keppres. Nomor 11 Tahun 2003,
yang menyebutkan bahwa daerah hukum Mahkamah Syar’iyah adalah daerah
hukum eks Pengadilan Agama yang bersangkutan. Untuk Mahkamah
Syar’iyah Aceh, daerah hukumnya adalah daerah hukum eks Pengadilan
Tinggi Agama Banda Aceh.
b. Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut artinya kekuasaan pengadilan yang berhubungan
dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkat pengadilan, dalam
perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau dengan
tingkatan pengadilan lainnya.34 Misalnya, Pengadilan Agama berwenang
mengadili perkara perkawinan, gugatan waris bagi orang-orang yang
beragama Islam, sedangkan perkara menyangkut dengan hutang piutang,
pencurian dan pembunuhan merupakan kewenangan Pengadilan Negeri.
Dalam hal lain, Pengadilan Agama berwenang memeriksa dan mengadili
perkara pada tingkat pertama, artinya perkara yang menjadi kompetensi
Pengadilan Agama tidak langsung diajukan ke tingkat banding (Pengadilan
Tinggi Agama) atau ke Mahkamah Agung. Demikian juga dengan banding
34 Ibid, hal. 25.
26
dari Pengadilan Agama harus diajukan ke Pengadilan Tinggi Agama bukan
ke Pengadilan Tinggi.
Di dalam Pasal 3 ayat (1) disebutkan pula bahwa, ”Kekuasaan dan
kewenangan Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi adalah
kekuasaan dan kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi
Agama, ditambah dengan kekuasaan dan kewenangan lain yang berkaitan
dengan kehidupan masyarakat dalam ibadah dan syi’ar Islam yang ditetapkan
dalam qanun”.
Dengan demikian untuk mengetahui kewenangan absolut Mahkamah
Syar’iyah harus diketahui terlebih dahulu apa yang menjadi kewenangan
absolut pengadilan agama dan kewenangan lainnya yang ditetapkan dengan
Qanun.
Kewenangan absolut pengadilan agama disebutkan dalam Pasal 49
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang berbunyi:
”Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq,
shadaqah, dan ekonomi syari'ah”.
Selanjutnya secara lebih rinci, mengenai sengketa-sengketa yang
menjadi kewenangan Pengadilan Agama untuk memeriksa dan mengadilinya
diterangkan dalam penjelasan Pasal 49 tersebut sebagai berikut:
”Penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syari'ah,
27
melainkan juga di bidang ekonomi syari'ah lainnya. Yang dimaksud dengan
"antara orang-orang yang beragama Islam" adalah termasuk orang atau badan
hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada
hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama
sesuai dengan ketentuan Pasal di bawah ini:
Dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, huruf a
disebutkan:
Yang dimaksud dengan "perkawinan" adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari'ah, antara lain: 1. izin beristri lebih dari seorang; 2. izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia
21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
3. dispensasi kawin; 4. pencegahan perkawinan; 5. penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah; 6. pembatalan perkawinan; 7. gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri; 8. perceraian karena talak; 9. gugatan perceraian; 10. penyelesaian harta bersama; 11. penguasaan anak-anak; 12. ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak
bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya;
13. penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
14. putusan tentang sa h tidaknya seorang anak; 15. putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua; 16. pencabutan kekuasaan wali; 17. penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal
kekuasaan seorang wali dicabut; 18. penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum
cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya;
19. pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;
28
20. penetapan asal -usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam;
21. putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran;
22. pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
Kemudian dalam Huruf b Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 disebutkan:
Yang dimaksud dengan "waris" adalah penentuan siapa yang menjadi
ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian
masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta
peninggalap tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan
seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan
bagian masing-masing ahli waris.
Selanjutnya dalam Huruf c Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 disebutkan:
Yang dimaksud dengan "wasiat" adalah perbuatan seseorang
memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau
lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut
meninggal dunia.
Selanjutnya dalam Huruf d Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 disebutkan:
Yang dimaksud dengan "hibah" adalah pemberian suatu benda secara
sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada
orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.
29
Selanjutnya dalam Huruf e Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 disebutkan:
Yang dimaksud dengan "wakaf' adalah perbuatan seseorang atau
sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagian harts benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau
untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna
keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari'ah.
Selanjutnya dalam Huruf f Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 disebutkan:
Yang dimaksud dengan "zakat" adalah harta yang wajib disisihkan
oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang
muslim sesuai dengan ketentuan syari'ah untuk diberikan kepada yang
berhak menerimanya.
Selanjutnya dalam Huruf g Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 disebutkan:
Yang dimaksud dengan "infaq" adalah perbuatan seseorang
memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan,
baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rezeki
(karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan
rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu Wata'ala.
Selanjutnya dalam Huruf h Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 disebutkan:
30
Yang dimaksud dengan "shadaqah" adalah perbuatan seseorang
memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum
secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah
tertentu dengan me ngharap ridha Allah Subhanahu Wata'ala dan
pahala semata.
Selanjutnya dalam Huruf i Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 disebutkan:
Yang dimaksud dengan "ekonomi syari'ah" adalah perbuatan atau
kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah, antara lain
meliputi:
a. Bank syari'ah; b. Lembaga keuangan mikro syari'ah; c. Asuransi syari'ah; d. Reasuransi syari'ah; e. Reksa dana syari'ah; f. Obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah; g. Sekuritas syari'ah; h. Pembiayaan syari'ah; i. Pegadaian syari'ah; j. Dana pensiun lembaga keuangan syari'ah; dan k. Bisnis syari'ah;Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa Mahkamah Syar’iyah
di Provinsi Aceh merupakan pengganti Pengadilan Agama yang sebelumnya
memang sudah ada. Oleh karena itu maka kewenangan absolut pengadilan
agama tersebut di atas dengan sendirinya menjadi kewenangan absolut
Mahkamah Syar’iyah.
Secara spesifik, kompetensi Mahkamah Syar’iyah di atur dalam Pasal
49 Qanun Nomor 10 Tahun 2002 yang menyebutkan Mahkamah Syar’iyah
31
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-
perkara pada tingkat pertama, dalam bidang :
a. Ahwal al-syakhsyiah;
b. Mu’amalah;
c. Jinayah;
Kompetensi Mahkamah Syar’iyah tersebut kemudian dipertegas lagi
dalam Pasal 128 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh yang menyebutkan Mahkamah Syar'iyah berwenang
memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi
bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata),
dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syari'at Islam.
5. Pengertian Perceraian
a. Menurut Al Qur’an
Allah SWT telah menetapkan ketentuan dalam Al-Quran bahwa kedua
pasangan suami isteri harus segera melakukan usaha antisipasi apabila tiba-
tiba timbul gejala-gejala dapat diduga akan menimbulkan ganggungan
kehidupan rumah tanganya, yaitu dalam firman-Nya yang artinya:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan Nusyuz-nya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka jangalah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 34).
32
Selanjutnya Allah SWT dalam firman-Nya, yaitu Surat An-Nisa’ ayat
128 yang artinya:
“Dan jika seorang wanita khawatir akan Nusyu’ atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir, Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari Nusyu’ dan sikap tidak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Apabila usaha antisipasi melalui ayat-ayat tersebut tidak berhasil
mempertahankan kerukunan dan kesatuan ikatan perkawinan dan tinggallah
jalan satu-satunya terpaksa harus bercerai dan putusnya perkawinan, maka
ketentuan yang berlaku adalah Surat Al-Baqarah ayat 229 yang artinya:35
“Talaq (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang tidak kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya khawatir tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim” (Surat Al-Baqarah ayat 229).
Makna yang terkandung dalam Surat Al-Baqarah ayat 229 adalah
sebagai berikut:
1. Sebenarnya perceraian itu bertentangan dengan makna perkawinan itu sendiri, sehingga jika terjadi perceraian, maka sangat wajar sekali jika seandainya mereka yang bercerai ini bersedia untuk rukun dan rujuk kembali menyusun kesatuan ikatan perkawinan mereka lagi;
2. Perceraian yang boleh rujuk kembali itu hanya dua kali, yaitu talaq ke-satu dan talaq ke-dua saja. Oleh karena itu terhadap tlaq le-tiga tidak ada rujuklagi, kecuali setelah dipenuhinya persyaratan khusus untuk ini;
35 Mahmud Junus, Hukum Perkawinan Islam Menurut Mazhab: Syafi’I, Hanafi, Maliki, dan Hambali, (Jakarta: Pustaka Muhammadiyah, 1989), hlm. 163-167.
33
3. syarat atas kedua orang suami-isteri yang bercerai dengan talaq tiga, untuk bisa melakukan rujuk kembali itu di dalam Surat Al-Baqarah ayat 230;
4. Jika terjadi perceraian, maka suami dilarang mengambil harta yang pernah diberikan kepada isterinya yang dicerai itu, kecuali atas dasar alasan yang kuat;
5. Jika isteri mempunyai alasan syari’at yang kuat, maka dapat dibenarkan isteri meminta cerai dengan cara khulu’, yaitu suatu perceraian dengan pembayaran tebusan oleh isteri kepada suami;
6. Allah SWT sudah mengatur segala sesuatunya, termasuk masalah perkawinan dan hubungannya dengan berbagai macam masalahyang terkait;
7. Barang siapa yang melanggar hukum Allah SWT, sebenarnya dia itu bahka menyiksa diri sendiri dengan perbuatan zhalim;36
b. Menurut Al-Hadist
Menurut asalnya Thalaq itu hukumnya makruh berdasarkan Hadist
Rasulullah SAW, yaitu Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah
thalaq. (HR. Abu Daud dan Al-Hakim). Selanjutnya dalam hadist lain
Rasulullah SAW bersabda Perempuan mana saja yang meminta kepada
suaminya untuk cerai tanpa ada alasan apa-apa, maka haram atas dia baunya
surga. (HR. Turmudzi dan Ibnu Ma’jah).
c. Menurut Peraturan Perundang-Undangan
Meskipun perkawinan dimaksudkan untuk membentuk rumah tangga
yang sakinah, mawaddah, dan rahmat bagi pasangan suami isteri yang
memeluk agama Islam, namun dalam perjalanan kehidupan rumah tangganya
juga dimungkinkan timbulnya permasalahan yang dapat mengakibatkan
terancamnya keharmonisan ikatan perkawinannya. Bahkan apabila
permasalahan tersebut tidak memungkinkan untuk dirukunkan kembali,
sehingga keduanya sepakat untuk memutuskan ikatan perkawinannya melalui
36 Al-Hamdani, Risalah Nikah, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hlm. 202.
34
perceraian. Sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (UUP) berlaku, perkawinan diatur dalam Buku I Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) termasuk ketentuan tentang putusnya
perkawinan (perceraian). Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka ketentuan dalam Buku I Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) tentang perkawinan tidak
berlaku. Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
maupun Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak
terdapat pengertian tentang perceraian, hanya mengatur tentang putusnya
perkawinan serta akibatnya. Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan mengatur tentang putusnya perkawinan yang menyatakan
bahwa: perkawinan dapat putus karena:
a. Kematian;
b. Perceraian;
c. Atas putusan Pengadilan;
Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan hanya mengatur tentang tata cara perceraian, yaitu dalam Pasal
14 yang menyatakan bahwa: “seorang suami yang telah melangsungkan
perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan isterinya,
mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi
pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan
35
alasan-alasannya, serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang
untuk keperluan itu”.
Alasan-alasan yang dimaksud dalam Pasal 14 tersebut adalah sebagai
berikut sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UUP, yaitu:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukum lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pinak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perceraian adalah
lepasnya ikatan perkawinan dan berakhirnya hubungan perkawinan.37
d. Menurut Kompilasi Hukum Islam
Perceraian merupakan salah satu penyebab putusnya perkawinan. Hal
ini sesuai ketentuan Pasal 113 KHI, yang mengatur bahwa putusnya
perkawinan dapat dikarenakan 3 (tiga) alasan sebagai berikut:
1) Kematian;
2) Perceraian;
3) Putusan Pengadilan.
37 Loc. It.
36
Menurut Pasal 114 KHI menyatakan bahwa putusnya perkawinan
yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak oleh suami atau
gugatan perceraian oleh isteri. Selanjutnya menurut Pasal 115 KHI
menyatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
Pengadilan Agama setelah pengadilan tersebut berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
Selanjutnya dalam Pasal 116 KHI alasan-alasan terjadinya perceraian
pasangan suami isteri dapat disebabkan karena:
1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, atau lain sebagainya yang sulit disembuhkan;
2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama, 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
6) Terjadi perselisihan dan pertengkaran antara suami isteri secara terus menerus dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangganya;
7) Suami melanggar taklik-talak. Adapun makna taklik-talak adalah perjanjian yang diucapkan oleh calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang;
8) Terjadinya peralihan agama atau murtad oleh salah satu pihak yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.
Perceraian yang terjadi karena talak suami isterinya ditandai dengan
adanya pembacaan ikrar talak, yaitu ikrar suami di hadapan sidang
Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dan
37
dilakukan sesuai tata cara perceraian yang diatur dalam Pasal 129, 130, dan
131 KHI.
Sedangkan macam-macam perceraian yang dikarenakan talak suami
terdiri dari:38
1) Talak Raj’i yaitu talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama isteri dalam masa iddah (Pasal 118 KHI).
2) Talak Ba'in yang dapat dibedakan atas talak Ba'in shughraa dan talak Ba'in kubraa (Pasal 119 KHI):a) Talak ba'in shughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk tetapi
diperbolehkan akad nikah baru dengan mantan suaminya meskipun dalam masa iddah.Adapun jenis talak ba'in shughraa dapat berupa:(1) Talak yang terjadi dalam keadaan qabla al dukhul (antara suami
isteri belum pernah melakukan hubungan seksual selama perkawinannya).
(2) Talak dengan tebusan atau khuluk, yaitu perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan (iwad) kepada suaminya atas persetujuan suami pula.
(3) Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.b) Talak Ba'in kubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya.
Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahi kembali, kecuali apabila pernikahan itu setelah mantan isteri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba'da al dukhul dan habis masa iddahnya (Pasal 120 KHI).
3) Talak Sunny, yaitu talak yang diperbolehkan dan talak tersebut dijatuhkan isteri yang sedang suci serta tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut (Pasal 121 KHI).
4) Talak Bid'i, yaitu talak yang dilarang, karena talak tersebut dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid, atau isteri dalam keadaan suci tetapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut (Pasal 122 KHI).
5) Talak Li'an yaitu talak yang terjadi karena suami menuduh isterinya berbuat zina atau mengingkari anak dalam kandungan atau anak yang sudah lahir dari kandungan isterinya, sedangkan isterinya menolak atau mengingkari tuduhan tersebut. Jenis talak Li'an ini menyebabkan putusnya perkawinan antara suami isteri untuk selama-lamanya (Pasal 125 dan Pasal 126 KHI).
Mengingat putusnya perkawinan yang dikarenakan talak suami
terhadap isterinya terdapat beberapa macam yang tidak seluruhnya dapat
38 Muhammad Idrus Ramulya, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), hlm. 154.
38
dirujuk kembali, sehingga diperlukan pertimbangan yang bersifat prinsipal
bagi seorang suami sebelum menjatuhkan talaknya.
Demikian halnya dalam ajaran agama Islam, talak meupakan
perbuatan halal tetapi dibenci oleh Allah SWT. Oleh karena itu menurut
Mahmud Junus diperlukan alasan-alasan bagi suami untuk menjatuhkan
talaknya terhadap isterinya yang diperbolehkan dan tidak dibenci oleh Allah
SWT, terdiri dari:39
1) Isteri berbuat zina;2) Isteri nusyuz, setelah diberi nasihat dengan segala daya upaya;3) Isteri suka mabuk, penjudi, atau melakukan kejahatan yang
mengganggu keamanan rumah tangga;4) Sebab-sebab lain yang sifatnya berat sehingga tidak memungkinkan
untuk mendirikan rumah tangga secara damai dan teratur.
6. Tata Cara Perceraian
Tata cara perceraian yang didasarkan atas talak suami terhadap
isterinya sesuai ketentuan KHI adalah sebagai berikut:
a. Seorang suami yang akan menjatuhkan talak terhadap isterinya, terlebih dulu mengajukan permohonan secara lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama di wilayah tempat tinggal isteri dan disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan tersebut (Pasal 129 KHI);
b. Pengadilan Agama yang bersangkutan dapat mengabulkan ataupun menolak permohonan talak tersebut, dan keputusannya dapat dimintakan upaya hukum tingkat banding maupun kasasi (Pasal 130 KHI).
Lebih lanjut sesuai ketentuan Pasal 131 KHI teknis penyelesaian
perkara permohonan talak tersebut melalui tahapan berikut:
a. Pengadilan Agama setelah mempelajari, permohonan talak, maka dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari memanggil peinolion (suami) dan
39 Mahmud Junus, Op. Cit., hal. 113.
39
isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan maksud menjatuhkan talak;
b. Setelah Pengadilan Agama (Hakim) tidak berhasil menasehati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga, maka Pengadilan Agama, menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya;
c. Setelah keputusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hokum tetap, suami mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama, yang dihadiri oleh isteri atau kuasanya;
d. Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 bulan terhitung sejak Putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan hukum tetap, maka hak suami untuk mengikrarkan talaknya gugur dan ikatan perkawinan tetap utuh;
e. Setelah sidang penyaksian ikrar talak dilaksanakan, Pengadilan Agama membuat penetapan tentang Terjadinya Talak sebanyak rangkap 4 yang merupakan bukti perceraian bagi mantan suami dan isteri. Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah di wilayah .tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helaikedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada mantan suami isteri, dan helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama.
Dengan demikian perceraian menurut KHI merupakan salah satu
sebab putusnya perkawinan antara suami-isteri, di samping sebab-sebab lain
karena kematian atau putusan pengadilan. Terjadinya perceraian tersebut
dapat didasarkan atau dijatuhkannya oleh suami terhadap isterinya maupun
atas dasar gugatan isteri terhadap suaminya.
Alasan perceraian dapat disebabkan karena salah satu pihak berzina,
berperilaku buruk, meninggalkan pihak lainnya selama 2 tahun, dipidana 5
tahun atau lebih, berbuat kejam, cacat fisik, terjadi perselisihan suami isteri,
suami melanggar taklik-talak, dan peralihan againa. Perceraian terjadi setelah
ada putusan hakim Pengadilan Agama, yang sebelumnya telah dilakukan
upaya perdamaian antara suami isteri oleh hakim dan ternyata tidak tercapai
kata sepakat.
40
G. METODE PENELITIAN
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian ini bersifat Deskriptif Analitis. Deskriptif dalam arti
bahwa penelitian ini termasuk dalam ruang lingkup penelitian yang berupaya
untuk mendeskripsikan atau menggambarkan penerapan suatu peraturan
hukum dalam kontek teori-teori hukum dan pelaksanaannya dalam
masyarakat. Sedangkan analitis dalam arti bahwa penelitian ini akan
berupaya menguraikan penjelasan secara cermat, menyeluruh dan sistematis
aspek-aspek hukum mengenai pelaksanaan perceraian di luar Pengadilan
Agama setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI
Dalam melakukan penelitian ini menggunakan metode pendekatan
yuridis empiris,40 yaitu penelitian tentang keberlakuan aturan-aturan hukum
bila dilihat dari segi kenyataan. Dalam penelitian ini menggunakan data
empiris mengenai mekanisme pelaksanaan perceraian di luar Pengadilan
Agama setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI.
2. Lokasi dan Populasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan mengambil lokasi dalam wilayah
hukum Kabupaten Aceh Besar (Mahkamah Syar’iyah Jantho), karena data di
Kabupaten ini dirasakan cukup representatif untuk melihat pelaksanaan
perceraian di luar pengadilan yang dilaksanakan setelah berlakunya Undang-
40 Pendekatan penelitian yuridis-empiris pada prinsipnya adalah penggabungan antara pendekatan yuridis normatif dengan penambahan unsur-unsur empiris. Perbedaan yang paling prinsip terletak pada sasaran penelitian yaitu fakta empiris. Lihat dalam Soekanto, Soerjono, Maoedji, Azwar dan Bruce, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta, Radjawali, 1985, hal. 44.
41
Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI, karena memiliki masalah perceraian
cukup banyak pasca terjadi konflik bersenjata dan tsunami di Aceh.
Adapun populasi dalam penelitian ini adalah penetapan-penetapan
Mahkamah Syar’iyah Jantho dalam perkara perceraian pada umumnya dan
khususnya terhadap perceraian di luar pengadilan Agama yang dilaksanakan
setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI sebagai
sampel penelitian dan dari sampel inilah ditetapkan responden yaitu para
Hakim yang memeriksa dan memutus perkara dimaksud lalu diperoleh data
yang akurat mengenai landasan yuridis dari para pihak yang melakukan
perceraian sehingga diketahui alasan mereka melakukan perceraian di luar
Pengadilan Agama tersebut.
3. Metode Penentuan Sampel
Penentuan sampel penelitian dilakukan dengan cara kelayakan
(purposive sampling) yaitu memilih para informan yang terkait langsung
dengan permasalahan yang diteliti, untuk memperoleh data dan informasi
yang akurat serta diharapkan dapat mewakili seluruh populasi penelitian,
yaitu :
a. Informan
- Ketua Mahkamah Syar’iyah Jantho : 1 orang;
- Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho : 3 orang;
- Kepala KUA Dalam Wilayah Aceh Besar : 3 orang;
- Tokoh Agama Islam : 5 orang;
4. Sumber Dan Teknik Pengumpulan Data
42
Data yang diperlukan untuk penelitian ini adalah berupa data primer
dan data sekunder.
a. Data Primer
Data primer diperoleh melalui penelitian lapangan, yaitu dengan
mewawancarai responden dan informan.
b. Data Sekunder
Data skunder dapat diperoleh dengan menelusuri beberapa bahan
hukum, yaitu sebagai berikut:41
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat. Dimana
dalam penelitian ini data dari bahan hukum primer akan diperoleh
melalui pembahasan tentang peraturan perundang-undangan.
2. Bahan hukum skunder, yaitu bahan-bahan hukum yang
mempelajari penjelasan mengenai bahan hukum primer, dimana
dalam hal ini, data tersebut diperoleh dari makalah-makalah
mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi, buku-buku hukum
khususnya dalam ruang lingkup hukum tata negara.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum skunder, yang berupa kamus baik itu Kamus Bahasa
Indonesia maupun Kamus Hukum.
Untuk memperoleh data sekunder yang diperlukan dalam
penelitian ini dilakukan melalui metode penelitian kepustakaan (library
reseach), yaitu dengan cara mengumpulkan dan mempelajari bahan-bahan
41 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI-Press, 1986, hal 10
43
kepustakaan, baik berupa buku-buku, majalah, literatur-literatur,
yurisprudensi, peraturan perundang-undangan, putusan Mahkamah Syar’iyah,
hasil-hasil penelitian terdahulu dan dokumen-dokumen kepustakaan lainnya
serta analisis kasus.
5. Alat Pengumpulan dan Analisis Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan alat
pengumpulan data, yang terdiri dari kuisioner dan wawancara. Data dari
responden diperoleh dengan menggunakan kuisioner yang sifatnya terbuka
dan tertutup dan wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara,
sedangkan dengan informan dilakukan melalui wawancara.
Kemudian sesuai dengan data yang diperoleh, baik data primer
maupun data sekunder akan dianalisis dengan mengklasifikasikan masing-
masing sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Setelah data primer dan
data sekunder terkumpul, maka kemudian diolah dengan melalui tahap
editing, ini dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan terjadinya data
yang kurang lengkap juga untuk menentukan data yang benar-benar
diperlukan dan yang tidak diperlukan agar mudah dianalisis.
Selanjutnya setelah semua data yang terkumpul diseleksi, diklasifikasi
ditabulasi, akan dianalisis dengan mengunakan metode kualitatif deskriptif,
yaitu suatu metode analisis yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran
keadaan yang sebenarnya, kemudian disusun dengan sistematis sehingga pada
akhirnya diperoleh suatu kesimpulan sekaligus memberikan saran-saran yang
konstruktif.
44
G. SISTEMATIKA PENULISAN TESIS
Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Bab I yaitu bab pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,
identifikasi masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, keaslian penelitian,
kerangka pikir, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II terkait tinjauan kepustakaan yaitu tinjauan umum tentang
perceraian. Terdiri dari pengertian perceraian dan dasar hukumnya,
perceraian menurut hukum perdata Indonesia, alasan perceraian, akibat
putusnya perceraian.
Bab III mengenai objek penelitian yaitu perceraian di luar pengadilan
agama, yang terdiri dari perceraian di luar pengadilan agama, dasar hukum
yang dipergunakan, faktor penyebab perceraian, pelaksanaan perceraian,
pandangan undang-undang nomor 1 tahun 1974 terhadap perceraian di luar
pengadilan agama, dan tata cara perceraian di pengadilan agama.
Bab IV mengenai pembahasan yaitu perceraian di luar pengadilan
agama menurut perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam, yang meliputi sah perceraian di luar pengadilan
agama, dan akibat hukum dari perceraian di luar pangadilan agama.
Bab V adalah penutup yang mencakupi kesimpulan, dan saran.
45
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN
A. Pengertian Perceraian dan Dasar Hukumnya
Perceraian adalah salah satu langkah urgen yang dilalui oleh para
pihak untuk mengakhiri perkawinan. Akibat dari pemutusan tersebut dapat
berasal dari suami maupun dari istri, atas dasar dan pertimbangan yang jelas.
Selain itu, tuntutan dari akibat perceraian adalah putusnya hak dan kewajiban
suami istri dalam bingkai rumah tangga, dan memilih kehidupan masing-
masing.
46
Menurut Subekti perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan
putusan hakim atas tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.42
Disamping itu Heppy Marpaung dalam bukunya masalah perceraian,
memberikan perumusan tentang perceraian yaitu pembubaran perkawinan
ketika pihak-pihak masih hidup dengan alasan yang benar dan ditetapkan
dengan suatu putusan pengadilan.43
Dari kedua pengertian di atas dapat dipahami bahwa perceraian adalah
suatu penghapusan dan pembubaran perkawinan dari pihak suami isteri ketika
mereka masih hidup. Menyangkut pengertian perceraian dapat diketahui
bahwa, dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Undang-Undang
Hukum Perdata tidak diatur secara tegas dalam satu Pasal pun, namun
keadaan ini tidak berarti bahwa kedua Undang-Undang tersebut tidak
memberikan kemungkinan akan terjadi perceraian atau putusnya perkawinan.
Dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan
bahwa perkawinan dapat putus karena:
1. Kematian
2. Perceraian
3. Atas putusan pengadilan
Ketentuan di atas mengenai putusnya perkawinan yang disebabkan
oleh kematian tidak menjadi pembahasan dalam tesis ini. Akan tetapi yang
dibahas adalah putusnya perkawinan karena cerai hidup dan dilakukan di luar
pengadilan.
42 Subekti, R. Pokok-Pokok Hukum Perdata, CV. Pembimbing, Jakarta, hal. 18.43 Happy Marpaung, Masalah Perceraian, Tonis Bandung, tt., hal. 15.
47
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam Pasal 39
menyebutkan bahwa suatu perceraian baru dapat dilakukan apa bla terdapat
alasan yang cukup, sehingga dapat dijadikan landasan dasar bahwa antara
suami isteri tidak ada harapan lagi untuk hidup bersama sebagai suami isteri,
berikut Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, memberikan
rumusan perceraian adalah pemutusan perkawinan ketika suami isteri masih
hidup dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh Undang-Undang dan
ditetapkan suatu putusan pengadilan.44
Dalam kamus umum bahasa Indonesia, Purwadarminta menyebutkan
tentang perceraian adalah:
1. Perpisahan
2. Perihal bercerai dan
3. Perpecahan.45
Dari pendapat di atas dapat diketahui bahwa setiap terjadinya
perceraian dari perkawinan yang sah antara suami isteri dan harus dengan
alasan yang benar serta harus ditetapkan dengan putusan pengadilan.
Menurut Undang-Undang Perkawinan dan peraturan hukum Islam
dikenal bahwa jenis perceraian ada dua macam yaitu cerai talak dan cerai
gugat. Dalam hukum Islam, cerai talak diartikan sebagai melepaskan dari
rantaiannya. Menceraikan isteri berarti juga membebaskannya dari ikatan
perkawinan.46
44 Rushan Ismail, Tinjauan Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Hubungannya Dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Thesis, 1987, hal. 102.
45 Poerwodarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1961, hal. 124.
46 Arifin Bey, Pokok-Pokok Hukum Islam I, Tintamas, Jakarta, hal. 129.
48
Al-Jaziri dalam kitabnya Al-Fikiqh Alai Madhalibi Arba’ah
memberikan definisi talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan atau
mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu.47
Selanjutnya, Assayid Sabiq dalam kitabnya Fiqh Sunnah memberikan
perumusan bahwa yang dimaksud dengan talak adalah melepaskan tali
perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri.48
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa perceraian dengan talak
menurut hukum Islam merupakan perceraian yang dilakukan oleh pihak
suami terhadap isterinya dengan menggunakan kata-kata tertentu yang dapat
mengakibatkan pemutusan hubungan perkawinan antara suami isteri.
Disamping itu mengenai cerai gugat, dalam hubungannya dengan
cerai gugat, K. Wancik Saleh dalam bukunya Hukum Perkawinan Indonesia
memberikan perumusan bahwa yang dimaksud dengan cerai gugat adalah
perceraian yang disebabkan oleh adanya suatu gugatan terlebih dahulu oleh
salah satu pihak kepada pengadilan, dan perceraian itu terjadi dengan suatu
putusan pengadilan.49
Menurut hukum Islam dikenal berbagai jenis perceraian yang dapat
dikatakan terletak dalam tangan isteri, yaitu seperti fasakh, tetapi biasanya
dilakukan melalui proses hukum. Fasakh artinya “rusak atau putus”.
47 Departemen Agama, ilmu Fiqh, Jilid II, Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, Jakarta, 1984, hal. 275
48 Ibid, hal. 276.49 Wanchik saleh. K, Hukum Perkawinan Indonesia, PT. Ichtiar Baru, 1976, hal. 40.
49
Maksudnya ialah perceraian dengan merusak atau merombak hubungan nikah
antara suami isteri.50
Selain fasakh, ada juga jenis perceraian lain yang juga dapat
digolongkan terletak dalam tangan isteri yaitu khuluk. Walaupun pada
hakekatnya baru sah bila pihak suami bersedia menerimanya. Jadi, jenis
perceraian ini lebih tepat dikatakan jenis perceraian yang termasuk dalam
bentuk persetujuan bersama antara suami isteri. Khuluk adalah suatu
perbuatan yang dilakukan oleh isteri berupa pengembalian mas kawin kepada
suami agar dengan demikian perkawinan tersebut menjadi bubar.
Berdasarkan praktek jenis ini sukar dilakukan, sebab pengembalian
mas kawin itu harus diterima oleh suami. Jika mas kawin diterima, maka akan
sama halnya seperti suami memberi talak. Selain itu ada juga jenis perceraian
yang terletak ditangan pihak ketiga, yaitu “Syiqaq” atau pembatalan
perkawinan oleh pengadilan atau Hakam. Yaitu perceraian yang terjadi
karena perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus yang tidak dapat
didamaikan lagi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa perceraian itu ada
beberapa macam cara yang dilakukannya, dan perceraian itu adalah
merupakan suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh suami atau isteri
dengan tujuan untuk mengakhiri hubungan perkawinan ketika keduanya
masih hidup.
B. Perceraian Menurut Hukum Perdata Indonesia
50 Mohd. Rifai, Ilmu Fiqh Islam Lengkap, CV. Toha Putra Semarang, Tanpa Tahun, hal. 490.
50
Hampir di seluruh negara Islam maupun negara yang mayoritas
penduduk beragama Islam, permasalahan mengenai perceraian antara suami
isteri telah dikenal atau bahkan telah dihukum positifkan. Begitu juga di
Indonesia hukum Islam tentang talak atau perceraian ini telah diqanunkan
menjadi sebuah hukum positif yang merupakan rujukan dan kepastian hukum
bagi umat Islam di Indonesia, yaitu sebagaimana termaktub dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Inpres Nomor 1
Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
Ada dua hal yang sangat penting untuk dipikirkan dengan adanya
perceraian ini. Pertama adalah penyebab perceraian dan yang kedua adalah
akibat perceraian. Langkah pertama yaitu melakukan analisa secara
komprehensif terhadap penyebab perceraian, sehingga perceraian mungkin
dapat dicegah atau setidaknya angka perceraian dapat diminimalkan. Langkah
kedua adalah melihat dan menganalisa fakta yang terjadi akibat dari
perceraian, sehingga dapat melengkapi ketentuan hukum dalam kaitannya
dengan akibat perceraian. Dengan kata lain, pendekatan politik hukum dapat
diterapkan dalam aktifitas ini.
Kata hukum perdata yaitu segala hukum pokok yang mengatur
kepentingan-kepentingan perseorangan.51 Senada dengan Abdul Kadir
Muhammad mengartikan hukum perdata adalah segala peraturan hukum yang
mengatur hubungan antara orang satu dengan orang lain.52 Dalam
terminology Islam perdata ini sepadan dengan pengertian mu’amalah.
51 R. Sobekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1979, hal. 9.52 Abdul Kadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya
Bakri, Bandung, 1993, hal. 1.
51
Hukum perdata adalah hukum yang bertujuan menjamin adanya
kepastian di dalam hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain
kedua-duanya sebagai anggota masyarakat dan benda dalam masyarakat.
Istilah hukum perdata dapat meliputi hukum formil atau disebut pula dengan
hukum acara perdata dan hukum perdata materil.53
Bahwa sejalan dengan perkembangan peradaban manusia sekarang,
batas-batas yang jelas antara hukum publik dan hukum privat semakin sulit
ditentukan karena terjadinya proses sosialisasi di dalam hukum sebagai akibat
dari makin banyaknya bidang kehidupan masyarakat yang walaupun pada
dasarnya menyangkut kepentingan perorangan, ternyata memperlihatkan
adanya unsur kepentingan umum atau masyarakat yang perlu dilindungi dan
dijamin serta makin banyaknya ikut campur negara dalam bidang kehidupan
yang sebelumnya hanya menyangkut hubungan perorangan dapat
disimpulkan bahwa hukum perdata merupakan segenap peraturan hukum
yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang
lainnya dengan titik berat pada kepentingan perseorangan atau pribadi.
Seperti halnya dengan perkara perceraian yang juga diatur dalam
KUHPerdata.
Di Indonesia dengan keharusan mengucapkan talak di depan sidang
pengadilan, praktisis konsep talak tiga yang dijatuhkan sekaligus juga tidak
berlaku lagi. Semua pengaturan ini dilakukan untuk melindungi hak-hak
53 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Keluarga di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal. 1.
52
wanita.54 Perceraian yang dimaksud dengan hukum perdata adalah perceraian
yang dilangsungkan pada pengadilan agama atau Mahkamah Syar’iyah.
Sesuai dengan kedudukannya sebagai pengadilan negara Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 menyatakan bahwa peradilan agama
merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur
dalam Undang-Undang.55
Berbeda yang berlaku di pengadilan negeri, orang yang mengajukan
gugatan perceraian tidak dibolehkan menggabungkan dengan gugatan harta
bersama, baru setelah ada putusan perceraian yang mempunyai kekuatan
hukum tetap gugatan harta bersama dapat diajukan atau dikenal dengan
komulasi gugat.56 Untuk lebih sederhana, proses ini menurut Yahya Harahap
tidak lain bertujuan untuk mewujudkan peradilan yang sederhana.57 Secara
sistematis ilmu pengetahuan hukum didasarkan kepada perkembangan sikrus
kehidupan manusia, yakni dari lahir, dewasa (kawin), cari harta (nafkah
hidup), dan mati (pewarisan).58
Selanjutnya dalam Undang-Undang Perkawinan di Indonesia
kelihatannya lebih sepadan dengan isyarat-isyarat Al-Qur’an dan fiqh dan
juga lebih sesuai dengan kondisi saat ini, mungkin perumusan Undang-
Undang tempo dulu mempertimbangkan dari aspek munasid. Sedangkan fiqh
54 Mudzhar, M. Antho’, Dampak Gender Terhadap Perkembangan Hukum Islam, Dalam Profetika Jurnal Studi Islam, Vol. 1 Nomor 1 Tahun 1999, hal. 116.
55 Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Jakarta, 1996/1997, hal. 20.
56 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hal. 102.57 Ibid, hal. 104.58 Abdul Kadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, hal. 17.
53
yang begitu mudah dalam menjatuhkan talak sepertinya saat ini kurang
relevan karena kurang sesuai dengan prisip Al-Qur’an yang begitu selektif
dan ketat dalam menjatuhkan talak karena ini menyangkut aspek rumah
tangga yang mana keutuhannya harus dipertahankan.59 Sebagaimana
termaktub dalam Undang-Undang Perkawinan di Indonesia bahwa perceraian
dibolehkan bila terdapat alasan yang dapat sebagaimana dijelaskan dalam
Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan terdiri dari 3 ayat dengan
rumusan:
1. Perceraian hanya dapat di lakukan di dalam sidang pengadilan setelah sidang yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan ke dua belah pihak.
2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami istri itu dapat akan hidup rukun sebagai suami istri.
3. Tata cara perceraian di depan siding pengadilan di utus perundangan tersendiri.
Dalam hukum positif dikatakan bahwa beberapa hal yang merupakan
alasan untuk menjatuhkan cerai adalah sebagai berikut:
a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan sebagainya yang sukar di sembuhkan.
b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuanya.
c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang berat yang membahayakan pihah lain.
e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
f) Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga
g) Suami melanggar taklik talak
59 Wahbah Zuhaily, Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa As-Syariah wa al-Minhaj, Dar al-Fikr al-Ma’asir, Beirut, 1991, hal. 230.
54
h) Peralihan agama/murtad.60
Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, semua tata
cara perceraian yang berlaku di lingkungan peradilan agama mengacu kepada
ketentuan yang ada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
sehingga hukum acara tentang perceraian yang diberlakukan di lingkungan
peradilan agama sama dengan yang diberlakukan di lingkungan peradilan
umum. Sementara itu menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
mengenai perkawinan, bagi yang akan melakukan perkawinan harus memiliki
satu agama dan bagi orang Islam yang bercerai pengadilan agama ditunjuk
sebagai tempat bercerai, sedangkan pengadilan umum untuk kaum non
muslim.
Namun setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
terdapat beberapa ketentuan khusus yang tidak ditemukan dalam Peraturan
Pemerintah, salah satunya adalah ketentuan yang mengatur tentang kebolehan
menggabungkan gugatan perceraian dengan beberapa gugatan lain
sebagaimana diatur dalam Pasal 66 ayat (5) dan Pasal 86 ayat (1) Undang-
Undang tersebut. Kedua Pasal ini membolehkan seorang suami atau isteri
yang mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan agama sekaligus
mengajukan gugatan penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta
bersama.
Selain kedua ketentuan ini terdapat pengaturan lain yang dikhususkan
bagi orang Islam yaitu yang terdapat dalam kompilasi hukum Islam dan
60 Tim Penulis, Seluk Beluk Hukum Perkawinan Dalam Islam, KANWIL DEPAG NAD, Banda Aceh, 2007, hal. 36.
55
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang
dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Sebelum lahirnya
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, semua tata cara perceraian yang
berlaku di lingkungan peradilan agama mengacu kepada ketentaun yang ada
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sehingga hukum acara
tentang perceraian yang diberlakukan di lingkungan peradilan agama sama
dengan yang diberlakukan di lingkungan peradilan umum.
Berbeda dengan yang berlaku di pengadilan negeri, orang yang
mengajukan gugatan perceraian tidak dibolehkan menggabungkan dengan
gugatan harta bersama, baru setelah ada putusan perceraian yang mempunyai
kekuatan hukum tetap gugatan harta bersama dapat diajukan.
Dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 Pasal 14 dinyatakan
bahwa seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama
Islam, yang akan menceraikan isterinya atau cerai talak, mengajukan surat
kepada pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia
bermaksud menceraikan isterinya dengan alasan-alasannya serta meminta
kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.61
Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan
untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam Pasal 14 apabila
memang terdapat alasan-alasan seperti yang dimaksud dalam Pasal 19
Peraturan Pemerintah ini, dan pengadilan berpendapat bahwa antara suami
isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun
lagi dalam rumah tangga. Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan
61 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum.., Op., Cit., hal. 337.
56
sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam Pasal
14 apabila memang terdapat alasan-alasan seperti yang dimaksud dalam Pasal
19 adalah sebagai berikut:1-6
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan sebagainya yang sukar di sembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuanya.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang berat yang membahayakan pihah lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga
Tata cara pengajuan percerian sebagaimana dalam Pasal 20 adalah
sebagai berikut:
1. Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuwasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat
2. Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan di tempat kediaman penggugat
3. Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan di tempat kediaman penggugat. Ketua pengadilan menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui perwakilan RI setempat.
Pasal 21 adalah sebagai berikut:
1. Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 19 huruf b, diajukan kepada pengadilan di tempat kediaman penggugat
2. Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah
3. Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama.
57
Berkaitan dengan gugatan perceraian sebagaimana dimaksudkan
dalam Pasal 22 adalah Sebagai berikut:
1. Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 19 huruf f diajukan kepada pengadilan di tempat kediaman tergugat
2. Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengan pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami isteri itu.
Pasal 23 mengatakan gugatan perceraian karena alasan salah satu dari
suami isteri mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau lebih berat dari
itu. Adapun dalam Pasal 24 menyatakan bahwa mengenai akibat-akibat yang
akan ditimbulkan dari perceraian sebagaimana tersebut dalam Pasal ini adalah
sebagai berikut:
1. Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, pengadilan dapat mengizinkan suami isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.
2. Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, pengadilan dapat:a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami.b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan
pendidikan anak.c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya
barang-barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri.
Pasal 25 berkaitan dengan gugatan perceraian sebagaimana dimaksud
adalah gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum
adanya putusan pengadilan mengenai gugatan perceraian itu. Peraturan
Pemerintah dan pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang
58
bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam
rumah tangga, walaupun sebelumnya telah ada perjanjian.62
Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa suatu perkawinan bubar
Karena perceraian. Sebelumnya perceraian bukan merupakan satu-satunya
penyebab bubarnya perkawinan. Menurut kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPerdata), yang dapat dikatakan sebagai penyebab bubarnya
sebuah perkawinan adalah sebagai berikut:
1. Karena kematian2. Karena keadaan tidak hadir suami atau isteri, selama sepuluh tahun,
diikuti dengan perkawinan baru isterinya/suaminya3. Karena putusan hukum setelah adanya perpisahan meja dan ranjang dan
pembukuan pernyataan bubarnya perkawinan dalam putusan itu dalam register catatan sipil.
4. Karena perceraian.Melihat ketentuan di atas, tidaklah heran apabila perkawinan selalu
dihantui oleh perceraian. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk
mengukur kuantitas perceraian adalah dengan melihat angka perceraian itu
sendiri, tampaknya hal ini pun berlaku pula di Indonnesia. Perceraian di
Indonesia tiap tahun semakin bertambah banyak jumlahnya, terbukti dalam
beberapa tahun ini, angka permohonan di pengadilan, baik pengadilan negeri
maupun pangadilan agama semakin meningkat. Apabila melihat pemberitaan
di televisi, perceraian artis yang sedang menjadi sorotan semakin banyak
jumlahnya.
Meskipun hal ini bukan data yang tepat untuk menentukan suatu
kesimpulan yanh valid, akan tetapi setidaknya hal tersebut merupakan
parameter bahwa fakta perceraian dikalangan artis pada khususnya dan
62 Moch Khaidir Ali, Pengertian Elemen Hukum Perjanjian Perdata, Mandar Maju, Bandung, 1993, hal. 12.
59
umumna bagi masyarakat semakin tinggi. Dengan begitu, secara de facto
perceraian dapat dikatakan telah merajalela.
Dengan melihat hal di atas, menimbulkan pertanyaan bagi banyak
kalangan yang salah satunya adalah bagaimana bagaimana memenimalkan
angka perceraian tersebut, karena secara sosiologi perceraian membawa
dampak global yang negative. Sebetulnya, apabila melihat secara
komprehensif ke dalam peraturan perundang-Undangan yang ada, perceraian
pada umumnya dapat di atasi. Karena di dalam peraturan Perundang-
Undangan terdapat hal-hal yang mempersulit seseorang untuk melakukan
perceraian.
Sebagai contoh dalam Peraturan pemerintah Nomor 10 Tahun 1983
tentang Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, yang
merupakan produk hukum aplikatif dari Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974 tentang Perkawinan. Dalam Peraturan Pemerintha itu disebutkan bahwa
seorang pegawai negeri yang ingin melakukan perceraian harus mendapatkan
izin tertulis dari atasannya. Hal ini merupakan bentuk hambatan dalam rangka
menurunkan angka perceraian. Akan tetapi hal ini menjadi mubazir, apabila
tidak dibarengi dengan pengadaan hukum yang tepat.
Akibat yang ditimbulkan dengan adanya percerian terutama
dampaknya bagi anak hasil perkawinan, antara lain:
a. Perwalian bagi anak
Maksud dari perwalian bagi anak disini belaku apabila anak dari
hasil perkawinan tersebut masih berada di bawah umur, yang artinya
60
anak tersebut belim dewasa secara hukum. Ada dualism arti dewasa
dimata hukum, pertama menurut hukum perdata, seseorang dikatakan
dwasa apabila telah mencapai umur 21 tahun, kedua menurut Undang-
Undang Perkawinan, seseorang dikatakan dewasa apabila mencapai umur
16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi laki-laki atau telah melakukan
perkawinan.
Mengenai perwalian ini, KUHPerdata pun tidak ketinggalan oleh
karena KUHPerdata sebagai ius geralis dan undang-Undang Perkawinan
sebagai ius specialis yang sama-sama mengatur tentang perwalian. Maka
berlakulah asas lex specialis derogate legi generali. Artinya apabila
terjadi pertentangan ketentuan diantara dua produk hukum tersebut, maka
yang digunakan adalah ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan.
Maka dari itu tidak perlu terjadi kekawatiran adanya dualisme ketentuan
yangdalam hal yang sama oleh kedua produk hukum yang membahas
mengenai persoalan dimaksud.
Dalam hal perwalian, Pasal 359 KUHPerdata menyebutkan
bahwa yang berhk menjadi wali dalam perwalian anak adalah seorang
nyang dikatakan oleh pengadilan negeri, setelah mendengar atau
memanggil dengan sah para keluarga sedarah dan semenda. Biasanya
yang menjadi wali adalah salah satu dari kedua orang tua kandungnya
yang telah bercerai tersebut, baik ibu maupun bapak. Dalam praktek
biasanya hakim menentukan ibu sebagai wali bigi anak yang masih
61
dibawah umur dan apabilaanak sudah dewasa menurut hukum, maka
pilihan diserahkan kepada kehendak anak tersebut.
Ketentuan serupa sebagimanaterrebut di atas juga tersurat di
dalam Undang-Unang perkawinan. Di dalam Pasal 41 huruf a dan b
Undang-Undang perwalian menimbulkan konsekuensi bagi kedua orang
tua yang bercerai sebagai berikut:
- Baik ibu maupun bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anaknya, dan bila mana terdapat perselihan mengenai penguasaan anak, maka pengadilan yang member keputusan.
- Bapak bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bila mana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya.
Perbedaan yang muncuk disini adalah adanya kewajiban terhadap
anak bagi orang tua yang telah berceri berdasarkan ketentuan Undang-
undang perkawinan, kewajiban sebagaimana telah disebutkan di atas itu
tetap berlangsung terus sampai anak tersebut kawin atau dapat berdiri
sendiri. Artinya kewajiban tersebut dapat berakhir apabila anak sudah
dewasa dimata hukum.
b. Pembagian Harta bersama
Yang dimaksud dengan harta persatuan disini adalah harta yang
diperoleh pada waktu perkawinan berlangsung, tidak termasuk harta asal
yang dibawa masing-masing pihak, baik dari bapak maupun dari ibu.
Secara umum, harta perkawinan dikenal sebagai harta gono gini,
perbedaan istilah mengenai harta perkawinan dapat dilihat sebagai
berikut:
62
1. Munurut Undang-Undang Perkawinan, harta persatuan disebut
sebagai harta bersama bersama
2. Menurut hukum Islam, harta persatuan disebut sebagai harta
kekayaan suami isteri
3. Menurut hukum adat, harta persatuan disebut sebagai harta
perkawinan.
Perbedaan istilah di atas tidak secara siknifikan merubah arti dari
harta persatuan atau disebut juga harta bersama sehingga tidak
menghambat jalannya penegakan hukum dalam kaitannya dengan harta.
c. Pewarisan
Yang dimaksud dengan pewarisan disini adalah terjadinya
pewarisanoleh karena harta persatuan yang telah dibagi maupun harta
asal untuk si anak. Separti diketahui juga bahwa warisan terjadi hanya
urusan kematian, itu artinya si anak berhak akan harta pewarisan apabila
pewaris sudah meninggal dunia. Selama anak tersebut adalah anak secara
biologis yang lahir disaat maupun di luar pekawinan terjadi,
dimungkinkan bagi sianak untuk mendapatkan warisan dari orang tuanya
ang telah bercerai.
Khusus untuk anak yang berstatus anak angkat, tetap
mendapatkan warisan tetapi tidak termasuk harta asal. Tentu saja ada
pengecualian untuk dapat disebut sebagai ahli waris. Bagi si anak,
pengecualian tersebut adalah sebagi berikut:
63
1. Apabila anak telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh pewaris
2. Apabila anak dengan putusan hukum pernah dipersalahkan karena secara fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap pewaris ialah suatu pengaduan telah melakukan suatu kejahatan yang teracaam dengan hukuman penjara 5 tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat
3. Apabila anak dengan kekerasa atau perbuatan telah mencegah pewaris untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya
4. Apabila anak telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat pewaris.
Oleh karenanya perceraian atau putusnya perkawinan baiakkarena
cerai talak maupun cerai gugat sebagaimana disampaikan dalam hukum
perdata atau KUHPerdata sebagai landasan yuridis terhadap suami isteri
yang ingin melangsungkan gugatan cerai dengan berbagai konsekuensi
yang ditimbulkan akibat dari perceraian dimaksud.
C. Alasan perceraian
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, di dalam salah satu Pasalnya
dinyatakan bahwa suatu perceraian baru dapat dilakukan apabila terdapat
alasan yang cukup, sehingga dapat dijadikan landasan yang wajar bahwa
antara suami isteri tidak ada harapan lagi untuk hidup bersama sebagai suami
isteri (Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974).
Alasan tersebut secara terperinci disebutkan dalam penjelasan Pasal
39 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, dan diulangi lagi
menyebutkan dengan bunyi yang sama dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975, sebagai berikut:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan sebagainya yang sukar di sembuhkan.
64
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuanya.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang berat yang membahayakan pihah lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga
Ad. 1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan
sebagainya yang sukar di sembuhkan.
Pengertian zina pada perumusan alasan perceraian merupakan zina
menurut konsepsi agama. Karena setiap agama memandang perbuatan
tersebut sebagai perbuatan yang terkutuk dan dilaknat oleh Tuhan. Oleh
sebab itu cukuplah beralasan apabila perbuatan zina itu dijadikan salah
satu alasan untuk melakukan gugatan perceraian.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, tidak memberikan perumusan tentang
apa yang dimaksud dengan zina, pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain-lain
yang sukar disembuhkan. Menurut bahasa Indonesia, zina diartikan
sebagai perbuatn persetubuhan yang tidak sah, seperti bersundal,
bermukah, bergendok, dan sebagainya.63 Dalam hukum perdata, zina
adalah hubungan sexual oleh orang yang telah kawin dengan orang lain.64
63 W.J. Poerwadarminta, Op. Cit., hal. 1121.64 Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, dan Hukum Pembuktian Munurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1984, hal. 126.
65
Zina menurut kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah
persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah
kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya
dan perbuatan itu dilakukan dengan suka sama suka serta tidak boleh ada
paksaan dari salah satu pihak.65 Selain itu, juga terdapat pengertian zina
menurut hukum Islam, yaitu persertubuhan yang dilakukan antara orang
yang satu dengan lainnya tidak dalam ikatan yang sah.66
Dari beberapa perumusan di atas dapat diketahui bahwa yang
dimaksud dengan zina adalah setiap persetubuhan bukan dengan isteri atau
suami sendiri dan dilakukan secara sadar. Disamping perbuatan zina yang
jelas terkutuk dan dilaknat itu, juga perbuatan menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi, merupakan perbuatan yang sangat tercela, yang tidak saja
merugikan bagi diri pelaku tetapi juga dapat menimbulkan keresahan
bahkan kerugian masyarakat. Oleh karena itu sudah sepantasnya perbuatan
tersebut dicantumkan dalam Undang-Undang sebagai salah satu alasan
untuk melakukan perceraian.
Dalam Undang-Undang perkawinan tidak dijelaskan lebih lanjut
tentang ukuran atau batasan dari perbuatan tersebut, sehingga dapat
dijadikan alasan untuk bercerai. Dalam hal ini sudah barang tentu
memerlukan suatu penilaian secara kasuistis dan memang sukar untuk
disembuhkan.67
65 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, PT. Karya Nusantara, Bandung, 1981, hal. 181.
66 Notosusanto, Organisasi dan Yurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia, Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, Yogyakarta, 1963, hal. 24.
67 Abdurrahman dan Ridwan Syahrani, Masalah-Masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, Alumni, Bandung, 1976, hal. 57.
66
Ad. 2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuanya.
Untuk dapat dijadilkan alasan perceraian seperti tersebut di atas,
bahwa meninggalkan pihak lain itu haruslah benar-benar tanpa izin dan
tanpa alasan yang sah. Dan pihak yang meninggalkan itu tetap
menunjukkan sikap untuk tidak mau kembali kepada pihak yang
ditinggalkan.
Apabila salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain disebabkan
hal-hal dalam rumah tangga suami isteri yang kurang baik, sehingga
dianggap layak salah satu pihak meninggalkan pihak lainnya, maka hal
tersebut tidak merupakan alasan bagi pihak yang ditinggalkan untuk
melakukan perceraian. Bila pihak yang meninggalkan tersebut masih
bersedia kembali lagi kepada pihak yang ditinggalkan sesudah hal-hal
yang tidak baik itu hilang.68
Ad. 3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman
lebih berat setelah perkawinan berlangsung
Dalam kehidupan rumah tangga, suami isteri mempunyai hak dan
kewajiban satu sama lain, kewajiban itu harus dilaksanakan sebagaimana
mestinya sesuai menurut kemampuan para pihak.
68 Jamil Latif. M, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1962, hal. 94.
67
Apabila salah satu pihak menjalani hukuman 5 (lima) tahun atau
hukuman lebih berat, sudah barang tentu pihak yang menjalani hukuman
tidak akan lagidapat melaksanakan kewajiban sebagaimana mestinya,
sehingga dapat mengakibatkan kehilangan sebahagian yang merupakan
hak dari pihak yang tidak terhukum. Oleh karena itu sepantasnya apabila
alasan tersebut dijadikan dasar untuk melakukan perceraian. Sebab jangan
sampai kepentingan pihak yang tidak terhukum dikorbankan karena
perbuatan atau kesalahan pihak lain yang menjalani hukuman 5 (lima)
tahun atau lebih dalam penjara.
Ad. 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang berat yang
membahayakan pihah lain
Perbuatan kekejaman atau penganiayaan berat terhadap salah satu
pihak oleh suami isteri adalah sangat bertentangan dengan tujuan suatu
perkawinan yang dijalin oleh perasaan cinta dan kasih saying yang selalu
harus ada untuk menjadi fundasi kerukunan dan kebahagiaan dalam suatu
rumah tangga.
Yang demikian sudah menjadi kewajiban apabila salah satu pihak
melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak
lain, kemudian dijadikan sebagai alasan untuk melakukan perceraian oleh
pihak yang dianiaya.
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, tidak
memberikan penjelasan lebih lanjut tentang ukuran perbuatan kekejaman
atau penganiayaan dimaksud. Untuk penilaian diperlukan surat keterangan
68
dari dokter (visum et repertum) yang menyatakan bahwa perbuatan
kekejaman atau penganiayaan. Selain itu juga diperlukan keterangan dari
orang-orang yang melihat dan atau mendengar secara langsung kekejaman
atau penganiayaan tersebut dilakukan.69
Ad. 5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
menjalankan kewajibannya sebagai suami istri
Dalam Undang-Undang Perkawinan juga tidak terdapat penjelasan
yang lebih lanjut tentang jenis cacat badan atau penyakit yang diderita oleh
salah sutu pihak, sehingga tidak bisa menjalankan kewajiban sebagai
suami isteri.
Alasan ini merupakan alasan perceraian yang sangat relavatif
sekali. Oleh karena itu untuk menjadi penilaiannya diperlukan
pertimbangan tentang jenis cacat yang diderita oleh salah satu pihak serta
adanya keterangan dari dokter yang menjelaskan tentang cacat badan atau
penyakit yang menyebabkan pihak lain tersebut memang tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri dalam rumah tangga.70
Ad. 6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga
Alasan perceraian ini merupakan alasan yang tepat dan layak untuk
dijadikan alasan dalam melakukan perceraian. Sebab perselisihan dan
pertengkaran yang terus menerus antara suami isteri dapat mengakibatkan
69 Heppy Marpaung, Op. Cit., hal. 33.70 Ruslan Ismail, Op. Cit, hal. 114.
69
rumah tangga tidak harmonis, masing-masing mereka tersiksa. Jauh dari
rasa ketenteraman dan kebahagiaan. Keadaan yang demikian sudah barang
tentu antara suami isteri tidak terdapat lagi sikap yang baik dalam
mengatur rumah tangganya.
Apabila hal tersebut ditinjau dari segi tujuan perkawinan, yaitu
untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana tercantum dalam
Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, maka
perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus dalam suatu rumah
tangga, merupakan suatu keadaan yang sangat prinsipil yang terhambat
tercapainya tujuan perkawinan, apabila usaha perdamaian tidak mungkin
tercapai, maka sudah sewajarnya kedua suami isteri yang bersangkutan
harus bercerai demi kepentingan masing-masing mereka dan masa depan
anak-anaknya.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak terdapat
penjelasan tentang cara penggunaan alasan-alasan tersebut, dapat
digunakan secara alternatif dan kualitatif. Akan tetapi dari uraian alasan-
alasan perceraian di atas dapat diketahui bahwa semua alasan perceraian
tersebut merupakan bentuk-bentuk perbuatan dan keadaan yang dapat
mempengaruhi tercapainya tujuan perkawinan. Dengan demikian tidak ada
alasannya jika digunakan lebih dari satu alasan, yang penting mempunyai
alasan yang cukup bahwa antara suami isteri tidak dapat hidup rukun lagi
sebagai suami isteri.71
71 Ibid, hal. 115.
70
D. Akibat Putusnya Perceraian
Sebagaimana diuraikan pada uraian terdahulu, bahwa perceraian
merupakan tindakan yang terakhir ikhtiar dan segala daya upaya yang telah
dilakukan guna perbaikan kehidupan perkawinan dan ternyata tidak ada jalan
lain lagi kecuali hanya dengan perceraian antara suami isteri. Untuk sahnya
suatu perceraian harus memenuhi berbagai persyaratan dan alasan serta harus
dilaksanakan menurut prosedur yang telah diperuntukkan untuk itu.
Dalam Undang-Undang perkawinan ditentukan bahwa suatu
perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak. Untuk melakukannya harus memenuhi alasan bahwa
antara suami isteri.
Dengan adanya ketentuan tersebut, maka sejak berlakunya Undang-
Undang Perkawinan secara efektif, yaitu sejak tanggal 1 Oktober 1975, suatu
perceraian tidak dapat dibenarkan lagi dilakukan secara sewenang-wenang.
Tetapi harus dilaksanakan menurut prosedur tertentu dan dilakukan di depan
sidang pengadilan. Untuk melakukan harus didasarkan kepada alasan yang
dibenarkan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang
perkawinan yang berbunyi:
1. Perceraian hanya dapat di lakukan di dalam sidang pengadilan setelah sidang yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan ke dua belah pihak.
2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami istri itu dapat akan hidup rukun sebagai suami istri.
3. Tata cara perceraian di depan siding pengadilan di utus perundangan tersendiri.
71
Undang-Undang perkawinan dan peraturan pelaksananya, tidak
memuat secara jelas tentang syarat sah suatu perceraian. Namun demikian
apabila diperhatikan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 18 dan 34 ayat (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Jo Pasal 30 ayat (5) Peraturan
Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 dapat disimpulkan bahwa terdapat
perbedaan keabsahan menurut jenis perceraian dan kepercayaan yang dianut
oleh pihak yang melakukan perceraian.
Terhadap cerai talak yang dilakukan oleh suami yang beragama Islam
terhadap isterinya, baru dianggap terjadi dan sah hukumnya, terhitung sejak
pernyataan ikrar talak diucapkan di depan sidang mahkamah syar’iyah.
Terhadap cerai gugat, apabila perceraian itu dilakukan oleh isteri yang
beragama Islam, maka perceraian tersebut baru dianggap terjadi dan sah
hukumnya terhitung sejak jatuh putusan mahkamah syar’iyah yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan perceraian yang dilakukan
oleh suami isteri yang beragama selain Islam, terhitung sejak saat pendaftaran
pada daftar pencatatan oleh pegawai pada kantor catatan sipil. (Pasal 30 ayat
(4) Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975).
Di dalam hukum Islam terdapat beberapa syarat untuk menentukan
sah tidaknya suatu perceraian yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya.
Beberapa syarat tersebut adalah sudah dewasa, berpikiran sehat, mempunyai
kehendak bebas, dan masih mempunyai hak talak.72
72 Jamil Latif, Op. Cit., hal. 44.
72
Ketiadaan salah satu dari syarat yang telah disebutkan di atas, maka
perceraian yang telah dilakukan oleh suami terhadap isterinya dianggap tidak
sah, oleh karena itu ia tidak mempunyai akibat hukum apapun.
Apabila seorang suami yang berpikiran sehat, dengan tanpa ada suatu
paksaan melafalkan talak kepada isterinya adalah sah hukumnya. Seperti
suami berkata kepada isterinya, kamu telah kuceraikan atau saya telah
menceraikan kamu mulai sekarang. Perceraian seperti itu berlaku sejak
diucapkan.73
Selain dari pada itu, Islam juga mengakui sah suatu perceraian yang
dilakukan dengan kata-kata kiasan dan atau secara tulisan yang disampaikan
kepada isterinya. Pada pelaksanaan perceraian seperti itu, pada saat
pengucapan lafal talak, harus disertai dengan niat yang bahwa suami akan
menceraikan isterinya. Begitu pula halnya jika dilakukan dengan tulisan, jika
tidak diniatkan, maka perceraian dengan kata-kata kiasan atau tulisan tidak
sah hukumnya.
Islam memang mengakui bahwa hak untuk menjatuhkan talak ada
pada suami. Suami dapat menjatuhkan talak satu atau dua bahkan tiga
sekaligus terhadap isterinya dan dapat dianggap sah apabila memenuhi
persyaratan sebagaimana yang telah ditetapkan di atas. Akan tetapi Islam
tidak membenarkan suatu talak dilakukan secara semena-mena tanpa suatu
sebab yang dapat dibenarkan. Hal ini dapat dimengerti dari Hadits Nabi
Muhammad SAW yang menyatakan tidak suatu yang halal yang amat dibenci
73 Arifin Bey, Op. Cit., hal. 192.
73
oleh Allah SWT selain dari pada talak.74 Dalam hadits yang lain disebutkan
perempuan yang meminta cerai dari suaminya tanpa suatu sebab, maka haram
baginya bau syurga.75
Selain kedua hadits tersebut di atas, Allah juga mengwahyukan, yang
artinya sebagai beikut:
1. Isteri-isteri yang kamu khawatir melalaikan kewajibannya, hendaknya kamu nasehati.
2. Apabila nasehat itu tidak mampan, Pisahlah dari tempat tidur mereka.3. Bila tidak mampan juga pukullah mereka.4. Kemudian apabila mereka mentaati kamu janganlah kamu mencari-cari
jalan untuk menyusahkannya.
Bertitik tolak dari firman Allah tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa apabila timbul perselisihan antara suami isteri, suami berkewajiban
meneguri isterinya agar tidak lagi melalaikan kewajibannya atau membuat
hal-hal yang tidak disenangi oleh suaminya. Nasehat tersebut dimaksudkan
bertujuan agar pihak yang melalaikan kewajiban itu benar-benar sadar akan
kesalahannya.
Apabila nasehat tersebut tidak diperhatikan atau diabaikan oleh isteri,
suami dapat bertindak lebih jauh lagi dengan tujuan memberikan nasehat
kepada pihak isteri supaya sadar akan kesalahannya, tetapi tetap berada dalam
satu rumah.
Bilamana langkah kedua ini masih belum membawa hasil, suami
dapat mengambil langkah selanjutnya yaitu menasehati isteri dengan
74 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Mazhab Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hambali, PT. Hidakarya Agung, Jakarta, 1956, hal. 112.
75 Ibid, hal. 113.
74
menggunakan kata-kata yang keras, sekaligus isteri dapat menyadari akan
kesalahannya.
Setelah beberapa upaya tersebut dilakukan, suami belum boleh
mentalak isternya, tetapi harus terlebih dahulu menghadiri 2 (dua) orang
hakam atau hakim yang disebut hakamain, satu terdiri dari keluarga pihak
suami dan satu lagi dari pihak keluarga isteri. Hal ini sebagaimana ditentukan
dalam Al-Quran Surat An-Nas ayat 35 yang artinya sebagai berikut: “Kalau
terjadi persengketaan yang hebat antara suami isteri, maka haruslah seorang
hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.
Jika kedua hakam tersebut bermaksud mengadakan perbaikan niscaya Allah
memberi petunjuk kepada kedua suami isteri itu”.76
Apabila kedua hakam tersebut berpendapat bahwa tidak cukup alasan
untuk bercerai, maka perceraian tidak dapat dilaksanakan. Tetapi bila mana
menurut pertimbangan hakim memang terdapat alasan yang cukup dan tidak
dimungkinkan lagi untuk hidup rukun dalam rumah tangga, barulah boleh
suami isteri menjatuhkan talak terhadap isterinya.
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa Islam menghendaki untuk
melakukan perceraian, sebenarnya harus dilakukan dihadapan dan atau
putusan hakim setelah upaya perdamaian yang dilakukan tidak berhasil dan
tidak dibenarkan melakukan secara sewenang-wenang tanpa suatu sebab yang
dibenarkan.
Apabila ketentuan tersebut dihubungkan dengan ketentuan yang
terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka keharusan
76 Ibid, hal. 114.
75
melakukan perceraian di depan sidang mahkamah syar’iyah menurut Undang-
Undang tersebut adalah selaras dengan ajaran Islam, hanya saja segi
keabsahannya yang berbeda. Sebab Islam mengakui sebagai perbuatan yang
sah apabila suami telah mengucapkan suatu perceraian terhadap isterinya dan
memenuhi syarat sebagaimana telah disebutkan di atas, walaupun pengucapan
itu tidak dilakukan di depan sidang Mahkamah Syar’iyah.
76
BAB III
PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA
A. Perceraian di Luar Pengadilan Agama
Pada dasarnya masalah perceraian adalah perbuatan yang sangat
dicegah, baik dalam hukum adat maupun dalam hukum agama, sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan bahwa tujuan dari perkawinan adalah untuk membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
yang Maha Esa.
Dalam kenyataannya, meswkipun melalui pemilihan yang sangat
selektif sebelum ima perkawinan, melalui cara dan kriteria tertentu
(agamanya, keturunannya, kecantikannya, dan hartanya). Namun demikian,
perceraian yang merupkan perbuatan yang sangat dibenci terkadang tidak
dapat dihindarkan.
Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 bahwa perceraian
ini harus dilakukan di depan sidang engadilan agama berdasarkan alasan-
alasan yang telah ditentukan oleh Perundang Undangan. Namun demikian
masih banyak kasus-kasus perceraian yang dilakukan oleh sebagian
masyarakat tidak melalui pengadilan, seperti yang terjadi di Desa Blang
Krueng Kecamatan Baitussalam Kabupaten Aceh Besar. Pada tahun 2010 ada
77
2 kasus, tahun 2011 ada 2 kasus, tahun 2012 ada 1 kasus, yang perceraiannya
tidak melalui pengadilan.77
Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 diterangkan
bahwa suatu perceraian dilakukan di depan sidang pengadilan setelah
pengadilan bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua
belah pihak.
Pembentukan Undang-undang tersebutdan Undang-Undang pada
umumnya tidak terlepasdari perhatian terhadap kenyataan-kenyataan sosial
dalam masyarakat tempat dimana Undang-Undang tersebut diberlakukan.
Berdasarkan hal itu, Undang-Undang perkawinan memberikan jaminan
bahwa ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi penganut agama di Indonesia,
tidak akan dilecehkan baik secara formil maupun materil sebagaimana yang
tercermin dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan yang menyatkn
bahwa sahnya perkawinan jika berlangsung menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya.
Berdasarkan penjelasan dari Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 dan
peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, penulis berkesimpulan bahwa
suami yang melkukan perceraian tanpa mengucapkan ikrar talak di depan
sidang pengadilan berarti perceraian tersebut belum mempunyai kekuatan
hukum. Oleh karenanya, perceraian semacam itu tidak sah menurut
administrasi atau disebut juga dengan perceraian liar. Jadi, pengertian
77 Wawancara dengan Khairul Huda, Keuchik Gampong Blang Krueng Kec. Baitussalam Kab. Aceh Besar , Tanggal 13 Januari 2013.
78
perceraian di luar pengadilan adalah perceraian yang dilakukan bukan
menurut prosedur sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang.
Walaupun undang-Undang perkawinan dan mazhab Syafi’i berbeda
dalam menetapkan hukum, namun penulis berpendapat demi kemaslahatan
dan kebaikan dari undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatur
tentang perceraian harus diamalkan sehingga suami tidak semena-mena dapat
menjatuhkan talak terhadap isterinya.
B. Dasar Hukum Yang Dipergunakan
Suatu perceraian tidak saja dapat terjadi di depan sidang pengadilan,
akan tetapi juga dapat terjadi di luar sidang pengadilan yang dilakukan
menurut kebiasaan yang berlaku dalam masysarat tersebut dilakukan dengan
melakukan talak, baik secarablisan maupu tulisan yang disampaikan kepada
isterinya dengan maksud melakukuan perceraian.
Dasar hukum yang dipergunakan dalam melakukan perceraian
tersebut adalah ketentuan hukum menurut salah satu mazhab, yaitu Syafi’i.
Karena menurut ketentuan mazhab Syafi’i, suatu perceraian yang diucapkan
oleh suami terhadap isterinya sudah dianggap terjadi dan sah menurut
hukumnya sejak diikrarkan dan memenuhi persyaratan untuk itu.
Mazhab yang empat yaitu, Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hambali
sependapat bahwa suatu talak atau perceraian dapat dijatuhkan dengan
mengikrarkan secara lisan.78 Lafadz talak ada yang diucapkan dalam bentuk
sarih dan ada yang diucapkan dalam bentuk kinayah.
78 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, Menurut Mazhab Syafi’I, Hanafi, Maliki, dan Hambali, Cet. XIII, Hidakarya Agung,Jakarta, 1991, hal. 115.
79
Dalam bentuk sarih, yaitu lafadz talak yang diikrarkan oleh suami
dengan mempergunakan kata-kata yang jelas dan tegas serta dapat
dipahamisebagai persyaratan talak. Seperti suami berkata kepada
isterinya,”aku talak engkau (dengan talak satu) atau aku cerai engkau (dengan
satu cerai)”.79
Apabila suami telah mengucapkan atau mengikrarkan talak terhadap
isterinya dengan lafadz talak sarih, seperti yang tersebut di atas, dan
diucapkan dalam keadaan sadar serta atas kemauan sendiri, maka jatuhlah
talak itu sejak saat ia mengucapkannya. Sedangkan talak dalam bentuk
kinayah, yaitu talak yang diucapkan oleh suami kepada isterinya dengan
menggunakan kata-kata sindiran, atau samar-samar, seperti suami berkata
kepada isterinya, “pergilah engkau dari rumah ini sekarang juga, atau
pulanglah ke rumah orang tuamu”. Ucapan seperti itu apabila ddisertai
dengan niat cerai atau talak, maka terjadilah talak atau perceraianantara suami
isteri tersebut. Tetapi apabila tidak disertai dengan niat, maka tidak terjadi
talak atau perceraian suami kepada isterinya.
Disamping talak lisan sebagaimana tersebut di atas, talak juga dapat
dilakukan dengan tulisan yang disampaikan oleh suami dengan maksud untuk
menceraikan isteri. Dalam melakukan talak atau perceraian dengan tukisan,
menurut Syafi’i, pada saat pembuatan surat untuk maksud tersebut harus
disertai dengan niat bahwa suami ingin menceraikan isterinya. Jika tidak
disertai dengan niat, maka tidak jatuh talak tersebut. Jadi menurut imam
Syafi’i, tulisan itu diartikan sebagai kiasan atau kinayah.
79 Ibid, hal. 115.
80
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa dasarhukum yang
dilakukan untuk melakukan perceraian di luar sidang pengadilan agama yang
terjadi dalam masyarakat adalah berdasarkan ketentuan yang dianut oleh
suatu mazhab tertentu sebagai hukum yang dianut oleh masyarakata setempat.
C. Faktor Penyebab Perceraian
Perceraian yang terjadi di luar pengadilan agama disebabkan oleh
perselihan suami isteri, dipengaruhi oleh beberapa masalah yang dapat
merusak keharmonisan/ketenteraman dalam rumah tangga. Diantara beberapa
faktor sebab terjadinya perceraian di luar pengadilan agama, secara garis
besarnya disebabkan oleh beberapa masalah berikut:
1. Masalah ekonomi
2. Masalah moral
3. Masalah campur tanggan pihak ke tiga
4. Masalah perkawinan baru (dimadu)80
Masing-masing masalah tersebut, biasanya tidaklah berdiri sendiri
secara utuh, akan tetapi saling berkaitan dan berhubungan satu sama lain.
1. Masalah ekonomi
Yang dimaksud masalah ekonomi sebagai penyebab terjadinya
perceraian di luar pengadilan agama, adalah keterbatasankemampuan
biaya suami isteri dalam memenuhi kebutuhan hidup rumah tangganya.
80 Wawancara dengan Khairul Huda, Keuchik Gampong Blang Krueng Kec. Baitussalam Kab. Aceh Besar , Tanggal 13 Januari 2013
81
Keterbatasan kemampuan ekonomi tersebut disebabkan karena suami
isteri tersebut tidak mempunyai pekerjaan atau pendapatan yang tetap.
Disamping itu juga dapat dikatakan masih tergolong belum cukup
dewasa baik dari segi usia maupun pemikirannya untuk membina suatu
rumah tangga. Dengan demikian kesulitan ekonomi yang disebabkan
pendapatan tidak tetap itu belum mampu diatasi, sehingga
menimbulkan perselisihan dalam rumah tangga yang berakhir dengan
perceraian.
2. Masalah moral
Yang dimaksud dengan masalah moral sebagai penyebab
terjadinya perceraian adalah setiap tindakan dan perbuatan suamiisteri
yang bertentangan dengan agama,adat kebiasaan, dan norma
kehidupan berumah tangga. Masalah moral ini, pada umumnya
dilakukan oleh pihak suami, sehingga dapat memberikan pengaruh
negative terhadap salah seorang diantara keduanya. Seperti sikap
suami yang terlalu kejam, tidak bertanggungjawab, dan suka main
perempuan.
Dilain pihak, sikap isteri yang kurang tanggap terhadap urusan
rumah tangga atau isteri melakukan penyelewengan dengan laki-laki
lain. Disebabkan perbuatan dan tindakan yang demikian, menimbulkan
perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangga yang berakhir
dengan perceraian.
3. Masalah campur tanggan pihak ke tiga
82
Selain masalah perceraian yang telah diurutkan di atas, masalah
camput tanggan pihak ketiga juga turut mempengaruhi terjadinya
perceraian di luar pengadilan agama. Camput tangan pihak ketiga ini,
adakalanya datang dari pihak keluarga suami dan ada kalanya datang
dari pihak keluarga isteri yang mencampuri urusan rumah tangga
mereka.
Akan tetapi masalah ini biasanya baru timbul diawali oleh
masalah lain, seperti masalah ekonomi dan masalah moral
sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
4. Masalah perkawinan Baru (dimadu)
Disamping berbagai macam penyebab perceraian yang telah
diuraikan di atas, masalah perkawinan baru (dimadu) juga merupakan
salah satu penyebab yang sering mempenguruhi terjadinya perselisihan
dan pertengkaran dalam rumah tangga suami isteri yang berakhir
dengan perceraian.
Perkawinan baru ini, biasanya dilakukan oleh suami tanpa
sepengetahuan dan persetujuan isteri pertama dan biasanya dilakukan
tidak menurut prosedur perkawinan yang berlaku. Pada umumnya
perkawinan baru ini disebabkan tempat tinggal suami dan isteri
terpisah karena melakukan pekerjaan ditempat lain yang jauh letaknya
dari kediaman isteri.
Dari berbagai macam masalah tersebut, masalah moral dan masalah
ekonomi merupakan yang banyak menimbulkan perselisihan dalam rumah
83
tangga yang berakhir dengan perceraian. Sedangkan yang disebkan oleh
campur tangan pihak ketiga dan perkawinan baru tidak begitu banyak.
Perselisihan dalam rumah tangga sebagaimana yang telah diuraikan di
atas, biasanya bukan perselisihan yang terus menerus sehingga suami isteri
tidak dapat hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Akan tetapi perselisihan
biasa sebagai akibat dari hal-hal yang dapat merusak keharmonisan rumah
tangga seperti yang telah disebutkan di atas. Jadi dapat diketahui bahwa
perselisihan semacam ini, sering menjadi penyebab terjadinya kasus
perceraian di luar pengadilan agama. Sedangkan perceraian yang disebabkan
oleh perselisihan terus menerus dapat dikatakan jarang terjadi.
Sehubungan dengan uraian di atas, dapat dinilai bahwa penyebab
perceraian seperti diuraikan di atas merupakan perceraian yang belum dapat
dipertanggungjawabkan menurut Undang-Undang perkawinan yang berlaku.
Dikatakan demikian, karena perselisihan yang terjadi bukanlah
perselisihan yang terus menerus sehingga tidak dapat hidup rukun lagi dalam
rumah tangga. Akan tetapi hanya perselisihan biasa yang disebabkan oleh hal-
hal yang dapt merusak keharmonisan rumah tangga, dengan emosi yang tidak
terkendali, suami terlalu cepat mengambil keputusan pada pemutusan
perkawinan.
Oleh sebab itu, jika dihubungkan dengan ketentuan yang diatur dalam
Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan
alasan-alasan perceraian yang tercantum dalam Pasal 19 huruf f, Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, maka perceraian tersebut belum memenuhi
84
persyaratan sebagaimana yang dimaksudkan Undang-Undang,
Pelaksanaannya juga tidak menurut prosedur yang telah ditentukan.
Adapun penyebab enggannya masyarakat untuk melakukan perceraian
dipengadilan agama yaitu kurangnya pengetahuan dan pemahaman sebagian
masyarakat tentang tata cara berperadilan di pengadilan agama.81 Selain dari
pada itu, penyebab yang lain adalah bahwa ada anggapan dari sebagian
masyarakat yang menganggap biaya untuk persidangan membutuhkan biaya
yang besar, pada hal menurut ketentuan mahkamah syar’iyah Kabupaten
Aceh Besar, besar kecilnya biaya tersebut tergantung domisili para pihak.82
Selain dari alasan-alasan di atas, yang membuat sebagian masyarakat merasa
enggan melakukan perceraian di pengadilan agama adalah kurangnya
kesadaran masyarakat terhadap akibat hukum yang ditimbulkan akibat
perceraian di luar pengadilan agama bagi kedua belah pihak terutama isteri.
Ada juga yang disebabkan karena pernikan mereka tidak tercatat di KUA atau
kawin sirri sehingga tidak dapat diproses melalui pengadilan agama.
Untuk menanggulangi masalah perceraian liar ini, diperlukan
komitmen pemerintah supaya Undang-Undang yang telah ditetapka dapat
berjalan ditengan masyarakat dengan baik, perlu diadakan penyuluhan-
penyuluhan hukum kepada masyarakat secara berkelanjutan dengan
melibatkan pihak-pihak terkait seperti kementerian agama, dinas syari’at
Islam, mejelis permusyawaratan ulama, dan lain-lain.83
81 Wawancara dengan Khairul Huda, Keuchik Gampong Blang Krueng Kec. Baitussalam Kab. Aceh Besar , Tanggal 13 Januari 2013
82 Wawancara Dengan Juwaini, Hakim Mahkamah Syar’iyah Kabupaten Aceh Besar, Tanggal 18 Januari 2013.
83 Wawancara Dengan Juwaini, Hakim Mahkamah Syar’iyah Kabupaten Aceh Besar, Tanggal 18 Januari 2013.
85
Selain dari pihak itu, sudah sepantasnya pemerintah memberikan
sanksi tertentu kepada pihak yang melakukan praktek perceraian liar, agar
memberikan efek takut dan jera kepada masyarakat dengan tujuan Undang-
Undang yang telah diterapkan pemerintah tersebut dapat berjalan dengan
baik. Sebagaimana kita ketahui perceraian liar masih saja terjadi disebabkan
tidak adanya sanksi tegas secara langsung kepada pihak yang melanggar
ketentuan Undang-Undang yang telah ditetapkan tersebut.
D. Pelaksanaan Perceraian
Sebagaimana telah diuraikan pada bab di atas, bahwa perceraian yang
dilakukan di luar sidang pengadilan agama, pada umumnya adalah perceraian
yang dilangsungkan cerai talak oleh suami terhadap isterinya. Perceraian
tersebut dilakukan menurut kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Dalam
pelaksanaannya tidak terdapat prosedur tertentu, akan tetapi tergantung pada
bentuk peristiwa yang terjadi.
Pelaksanaan Perceraian di luar pengadilan agama, biasanya sering
dilakukan dalam 2 (dua) katagori pelaksanaannya yaitu:
1. Pelaksanaan perceraian dilakukan secara lisan saja.
2. Pelaksanaan perceraian yang dilakuan secara diam-diam tanpa memberi
nafkah.84
Ad. 1. Pelaksanaan perceraian dilakukan secara lisan saja
84 Wawancara dengan Khairul Huda, Keuchik Gampong Blang Krueng Kec. Baitussalam Kab. Aceh Besar , Tanggal 13 Januari 2013
86
Dalam pelaksanaa seperti ini, biasanya diucapkan cerai dilakukan
oleh suami pada saat atau sesaat setelah terjadi perselisihan dalam rumah
tangga. Setelah perceraaian tersebut terjadi, suami, isteri, atau keluarga
dari keduanya, member tahu kepada kepala desa atau imam mesjid bahwa
kedua suami isteri tersebut telah bercerai.
Prihal apabila suami isteri yang telah bercerai itu masih berada di
tempat kediaman bersama, maka setelah mendapat informasi tersebut,
kepala desa dan imam mesjid memanggil kedua suami isteri dan
keluarganya untuk bermusyawarah mencari jalan keluar yang baik.
Musyawarah tersebut, kepala desa beserta anggota badan
musyawarah lainnya, mengajak suami isteri yang telah bercerai untuk
berdamai kembali. Apabila berhasil didamaikan, maka imam mesjid
melakukan perujukan terhadap suami isteri, yang disaksikan oleh keluarga
musyawarah lainnya dan keluarga kedua belah pihak selanjutnya
memberikan pandangan dan nasehat kepada suami isteri tersebut untuk
membina rumah tangga di masa yang akan datang dengan lebih baik lagi.
Dalam hal pihak suami isteri tetap mempertahankan prinsipnya untuk
bercerai, maka perceraian yang telah diucapkan oleh suami terhadap isteri
dianggap sah hukumnya. Setelah itu kepaladesa menganjurkan kepada
kedua belah pihak untuk menyelesaikan administrasi talak melalui
pengadilan agama.
Ad. 2. Perlakukan perceraian secara diam-diam dengan tanpa memberi nafkah.
87
Dalam perlakukan perceraian semacam ini, suami meninggalkan
isteri tanpa member nafkah dan tidak member kabar apapun kepada isteri,
apakah dia telah menceraikan isterinya atau tidak, yang jelas ia tidak
pernah pulang lagi pada isterinya. Jika dapat diketahui bahwa pelaksanaan
perceraian di luar sidang pengadilan agama masih mengikuti kebiasaan
berlaku dalam sebagian masyarakat setempat. Ketentuanyang telah diatur
dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang
mengharuskan suatu perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
pengadilan, kurang mendapat perhatian dari sebahagian masyarakat.
Hal ini disebabkan sebahagian masyarakat beranggapan bahwa
dalam melakukan perceraian tidak perlu bersusah payah yang penting
perceraian sah hukumnya menurut agama (Islam). Sedangkan keharusan
melakukan perceraian melalui pengadilan agama, hanya merupakan
prosedur administrasi saja.
E. Pandangan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Terhadap Perceraian
di Luar Pengadilan Agama
Untuk mendapatkan gambaran tentang posisinya dari Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, penulis mengawali dengan
meninjau secara ringkas beberapa peraturan yang pernah berlaku di Indonesia
berkenaan perkawinan, yaitu:
1. Peraturan perkawinan campuran (Regeling Opde Gemen de
Huwelijhen) yang sering disebut dengan nama GHR, staatsblad 1989
Nomor 158
88
2. Undang-Undang orang Indonesia Kristen, yang disebut dengan HOCI,
staatsblad 1933 Nomor 74
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang penetapan berlakunya
Undang-Undang tentang pencatatan nikah, talaq, rujuk, lembaran
negara 1954 Nomor 32
4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, lembaran
negara RI 1974 Nomor 1
Dengan berlakunya undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka
semua peraturan-peraturan yang berhubungan dengan perkawinan
dibatalkan. Khusus putusnya perkawinan dalam hal “talak liar” Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 memberi pengertian bahwa seorang suami
yang menceraikan isterinya di luar pengadilan agama, dianggap tidak sah.
Semestinya, suami atau isteri harus mengajukan permohonan perceraiannya
ke pengadilan agama setempat, agar perceraian tersebut mempunyai
kekuatan hukum tetap.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memandang bahwa perceraian
di luar pengadilan agama merupakan perbuatan melanggar hukum. Ini dapat
dilihat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yang pada prinsipnya
seorang suami “harus” mengikrarkan talaknya di depan sidang pengadilan.
Dalam pengertian lain apabila terjadi perceraian di luar sidang
pengadilan agama atau cerai liar yaitu suatu cerai yang terjadi tidak melalui
prosedur yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang ini, maka mereka tidak
89
dapat menuntut hak-haknya kepada negara melalui pengadilan, seperti
melakukan pernikahan berikutnya, perwalian anak, dan pembagian harta
gono gini. Dalam hal perwalian anak dan harta gono gini, apabila
penguasaannya dikuasai secara sepihak oleh salah satu pihak, maka pihak
yang lain akan sulit untuk mendapatkan haknya secara adil sebagaimana
yang diatur dalam Undang-Undang.
Sedemikian komplitnya permasalahan perceraian ini, Undang-Undang
Nomo 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan telah memberikan cara
pengelompokan pola sebab-sebab peceraian. Pengadilan agama melakukan
inovasi sebab-sebab perceraian. Tetapi temuan sebab-sebab perceraian yang
diperoleh pengadilan agama masih bersifat umum atau masih perlu
ditelusuri lebih mendalam. Sehingga pemanfaatan informasi sebab-sebab
perceraian dari pengadilan agama tersebut kurang dapat dipergunakan untuk
penasehatan bagi pasangan suami isteri yang bermasalah. Untuk
memperoleh bahan penasehatan yang lebih baik, diperlukan kajian khusus
tentang sebab-sebab perceraian yang terjadi dalam masyarakat.85
Salah satu pendekatan yang perlu dilakukan adalah memisahkan
antara sebab langsungnya dengan sebab tidak langsung. Sebab langsung
adalah yang bersifat sangat individual, kasuistis, seperti salah satu pihak
tidak mencintai, tidakmempercayai atau mencurigai pihak lain. Atau salah
satu pihak sudah mencintai laki-laki/perempuan lain. Adapun sebab-sebab
85 Moh. Zahid, Dua Puluh Lima, .. Op., Cit., hal. 79.
90
tidak langsung dapat berupa pandangan hidup, nilai-nilai yang dianut
sekelompok masyarakat dimana seseorang menjadi anggotanya.86
F. Tata Cara Perceraian di Pengadilan Agama.
Undang-Undang perkawinan mengatur tata cara perceraian dalam
Pasal 39 sampai dengan Pasal 41 dan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 Pasal 14 sampai dengan Pasal 36.
Bersandar pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal-Pasal
tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perceraian itu ada dua
macam, yaitu:
1. Cerai talaq
2. Cerai gugat
Baik cerai talaq maupun cerai gugat, keduanya harus menggunakan
salah satu alasan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah
Tahun 1975 sebagai berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan sebagainya yang sukar di sembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuanya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang berat yang membahayakan pihah lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga
86 Ibid, hal. 79.
91
Memiliki alasan-alasan perceraian tersebut di atas dan ketentuan
bahwa perceraian harus dilakukan di depan sidang pengadilan, maka dapat
dikatakan bahwa walaupun Undang-Undang perkawinan memandang
perceraian sebagai sesuatu yang wajar dan dibolehkan. Tetapi oleh Undang-
Undang tidak diperkenankan begitu saja terjadi perceraian tanpa alasan yang
kuat. Dengan perkataan lain, undang-undang perkawinan mempersulit
terjadinya perceraian, dan hal ini sesuai dengan tujuan perkawinan itu sendiri
yang menentukan bahwa perkawinan pada dasarnya adalah untuk selama-
lamanya.
Ad. 1. Cerai talak
Tata cara seorang suami yang hendak menjatuhkan talak
kepada isterinya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 dalam Pasal 14 sampai Pasal 18, yang pada dasarnya sebagai
berikut:
a. Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut
agama Islam yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat
kepada pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi
pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya
dengan alasan-alasannya serta meminta kepada pengadilan agar
diadakan sidang untuk itu.
Disini ditegaskan bahwa pemberitahuan itu harus secara tertulis
dan diajukan oleh suami bukan surat permohonan, tetapi surat
pemberitahuan. Isi surat tersebut memberitahukan bahwa ia akan
92
menceraikan isterinya dan untuk itu iam meminta kepada
pengadilan agar mengadakan sidang untuk menyaksikan
perceraian tersebut. Setelah terjadi perceraian di pengadilan, ketua
pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya
perceraian tersebut, bukan surat penetapan atau putusan.
b. Kemudian ketua pengadilan member surat keterangan tentang
terjadinya perceraian tersebut, dan surat keterangan tersebut
dikirim kepada pegawai pencatat di tempat perceraian itu terjadi
untuk diadakan pencatatan perceraian.
c. Perceraian itu terjadi mulai dihitung pada saat perceraian
dinyatakan di depan pengadilan.
Ad. 2. Cerai Gugat
Yang dimaksud dengan cerai gugat adalah perceraian yang
disebabkan oleh adanya suatu gugatan dahulu oleh salah satu pihak
kepada pengadilan dan perceraian dan perceraian itu terjadi dengan
suatu putusan pengadilan.87 Tentang tata cara gugatan perceraian
gugat diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dalam
Pasal 20 sampai dengan Pasal 36, yang pada dasarnya adalah sebagai
berikut:
a. Pengajuan gugatan
87 K. Wantik, Hukum Perkawinan Idonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1976, hal. 40.
93
1. Gugatan cerai diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya
kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
tergugat.
2. Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak
diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap,
begitu juga tergugat berkediaman di luar negari, gugatan
diajukan kepada pengadilan ditempat kediaman tergugat.
3. Demikian juga gugatan cerai dengan alasan salah satu pihak
meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau hal lain
diluar kemampuannya, gugatan diajukan kepada pengadilan
di tempat tergugat.
b. Pemanggilan
1. Pemanggilan harus disampaikan kepada pribadi yang
bersangkutan yang apabila tidak dapat dijumpai, pengadilan
disampaikan melalui surat atau yang dipersamakan
dengannya. Panggilan dilakukan setiap kali akan diadakan
persidangan.
2. Yang melakukan penggilan tersebut adalah petugas yang
ditunjuk oleh pengadilan agama.
3. Panggilan tersebut harus dilakukan dengan cara yang patut
dan sudah diterima oleh para pihak atau kuasanya selambat-
lambatnya 3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka. Panggilan
94
kepada tergugat harus dilampirkan dengan salinan surat
gugat.
4. Panggilan bagi tergugat yang tempat kediamannya atau tidak
mempunyai tempat kediaman yang tetap, panggilan
dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan
pengumuman di pengadilan dan mengumumkan melalui satu
atau beberapa surat kabar atau mass media lain yang
ditetapkan oleh pengadilan yang dilakukan 2 (dua) kali
dengan tenggang waktu 1 (satu) bulan antara pengumuman
pertama dengan pengumuman yang ke 2 (dua).
5. Apabila tergugat berdiam di luar negari, panggilan dilakukan
melalui perwakilan RI setempat.
c. Persidangan
1. Persidangan untuk memeriksa gugatan cerai harus dilakukan
oleh pengadilan selambat-lambatnya 30 (tiga Puluh) hari
setelah diterimanya surat gugatan di kepaniteraan. Khusus
bagi gugatan yang tergugatnya bertempat kediaman di luar
negeri, persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam)
bulan terhitung sejak dimasukkan gugatan cerai.
2. Para pihak yang berperkara dapat menghadiri sidang atau
didampingi oleh kuasa hukumnya atau sama sekali
menyerahkan kepada penguasanya dengan membawa surat
95
nikah/rujuk, akta perkawinan dan surat keterangan lain yang
diperlukan.
3. Apabila tergugat tidak hadir dan sudah dipanggil sepatutnya,
maka gugatan itu dapat diterima tanpa hadirnya tergugat
terkecuali bila tidak beralasan
4. Pemeriksaan perkara gugatan perceraian dilakukan dalam
sidang tertutup.
d. Perdamaian
1. Pengadilan harus berusaha untuk mendamaikan kedua belah
pihak, baik sebelum maupun selama persidangan sebelum
gugatan diputuskan
2. Apabila terjadi perdamaian, maka tidak boleh diajukan
gugatan perceraian baru berdasarkan alasan-alasan yang ada
sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh tergugat pada
saat tercapainya perdamaian
3. Dalam usaha mendamaikan kedua belah pihak, pengadilan
dapat meminta bantuan kepada orang lain atau badan lain
yang dianggap perlu.
e. Putusan
1. Pengucapan putusan pengadilan harus dilakukan dalam
sidang terbuka
96
2. Putusan dapat dijatuhkan walaupun tergugat tidak hadir, asal
gugatan itu didasarkan pada alasan yang telah ditetapkan
3. Perceraian dianggap terjadi dengan segala akibatnya terdapat
perbedaan antara yang beragama Islam dan yang lainnya.
Bagi yang beragama Islam Perceraian dianggap terjadi sejak
jatuhnya putusan pengadilan agama yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap. Sedangkan bagi yang beragama lain
terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan
kantor pencatatan sipil oleh pegawai pencatat
Dalam hal apabila setelah waktu 14 (empat belas) hari
semenjak dibacakan hasil sidang oleh hakim, atau semenjak
hasil sidang tersebut disampaikan dan telah diterima oleh
tergugat apabila ia tidak hadir pada pembacaan hasil sidang,
tidak ada banding dari tergugat, cerai talak atau cerai gugat
tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila
perkara yang disidangkan itu adalah perkara cerai talak (yang
diajukan oleh suami), maka hasil sidangnya berupa
“penetapan”. Adapun apabila kasus yang disidangkan adalah
masalah cerai gugat (yang diajukan oleh isteri), maka hasil
sidangnya berupa “putusan”. Adapun masa iddahnya
terhitung semenjak putusan atau penetapan tersebut
mempunyai kekuatan hukum tetap.
97
BAB IV
PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN
KOMPILASI HUKUM ISLAM
98
A. Sah Perceraian di Luar Mahkamah Syar’iyah Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Huhum Islam di Indonesia
1. Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Hukum perkawinan nasional yang telah dicantumkan dalam
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 jo Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 jo Undang-Undang Paradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989,
juga mengatur masalah perceraian. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa
Pasal, antara lain Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun1974. Pasal
ini menyatakan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian,
perceraian, atau atas putusan pengadilan.
Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dinyatakan
bahwa seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut
agama Islam, kalau ingin menceraikan isterinya, harus terlebih dahulu
mengajukan surat kepada mahkamah syar’iyah di tempat tinggalnya.
Surat tersebut berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud akan
menceraikan isterinya yang disertai dengan alasan-alasannya, dan
meminta kepada pengadilan/mahkamah syar’iyah agar diadakan sidang
untuk keperluan tersebut.
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, juga ditemui ketentuan yang mengatur masalah perceraian.
Misalnya pada Pasal 65 yang menyatakan bahwa perceraian hanya dapat
dilakukan di ddepan sidang mahkamah syar’iyah, setelah mahkamah
99
yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua
belah pihak.
Pasal ini sejalan dengan Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor
1 tahun 1974 yang secara tegas menyatakan, perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang mahkamah. Kemudian Pasal 66 ayat (1)
Undang-Undang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 menyatakan
bahwa seorang suami muslim yang akan menceraikan isterinyaharus
mengajukan surat permohonan kepada mahkamah untuk mengadakan
sidang guna menyaksikan ikrar talak. Pasal ini isinya sama dengan Pasal
14 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, hanya saja Pasal ini tidak
menyebutkan kata-kata ikrar talak, sedangkan Pasal 66 ayat (2) Undang-
Undang Peradilan Agama menyebutkannya.
Dari Pasal-Pasal di atas dapat diketahui bahwa pengertian
perceraian menurut hukum perkawinan nasional belum dinyatakan secara
ekplisit. Namun dapat dipahami perceraian itu adalah salah satu faktor
penyeban putusnya hubungan perkawinan, seperti yang telah dinyatakan
dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Pengertian perceraian (talak) secara ekplisit baru ditemui dalam
kompilasi hukum Islam di Indonesia pada Pasal 117. Pasal ini
menyatakan bahwa talak adalah “ikrar suami di depan pengadilan agama
(sekarang mahkamah syar’iyah) dan menjadi salah satu sebab putusnya
perkawinan”. Ketentuan Pasal ini sejalan dengan Pasal 39 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa
100
perceraian itu hanya dapat dilakukan di depan sidang mahkamah.
Ketentuan yang sama akan dapat ditemui pada Pasal 16 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, dan Pasal 65 Undang-Undang
Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989. Dengan demikian tampak
dengan jelas singkronisasi antara kompilasi hukum Islam sebagai hukum
materil dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun, dan Undang-Undang Peradilan Agama.
Apabila dicermati dengan seksama dapat kita temukan bahwa
menurut hukum perkawinan nasional cerai itu bukan lagi dipandang
sebagai hak absolute bagi suami, sebab dalam pengertian talak terdapat
kata-kata”ikrar suami di depan sidang pengadilan agama”.konsekuensi
logis dari ketentuan ini, suami tidak lagi memiliki haka absolute seperti
dalam perspektif ulama fikih masa lalu. Sehingga betapapun suami talak
ingin menceraikan isterinya, tanpa melalui proses mahkamah syar’iyah,
tidak mungkin talak itu dapat dijatuhkan secara sah menurut pandangan
Perundang-Undangan yang berlaku.
Dalam uraian tentang pengertian talak (perceraian) dalam
perspektif hukum perkawinan nasional, telah dinyatakan bahwa Undang-
Undang tidak pernah memberikan definisi talak, kecuali dalam kompilasi
huku, Islam. Sejalan dengan ini, tidak pula ditemui uraian yang sifatnya
eksplisit tentang rukun dan syarat-syarat talak, namun ditemuirincian
tentang alasan-alasan perceraian.
101
Bardasarkan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 alasan perceraian itu ada apabila suami isteri tidak akan dapat hidup
rukun sebagai suami isteri. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 alasan ini dijelaskan secara detail sebagai berikut:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi, dan sebagainya yang sukar di sembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain di luar kemampuanya.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau
hukuman lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang
berat yang membahayakan pihah lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah
tangga
Alasan-alasan perceraian di atas diulang kembali dengan redaksi
yang sama tanpa ada penambahan atau pengurangan satu katapun dalam
Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, dan dalam
penjelasannya dikatakan dengan ungkapan cukup jelas. Dalam Undang-
Undang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 tidak ditemui adanya
102
pengulangan alsan-alasan perceraian tersebut, tetapi hanya disinggung
secara sepintas.
Misalnya dalam Pasal 70 ayat (1) dinyatakan bahwa pengadilan
menetapkan permohonan cerai suami isteri setelah keduanya tidak
mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan. Pasal 74 menjelaskan
bahwa gugatan perceraian yang didasarkan atas salah satu pihak
mendapat pidana penjara, penggugat cukup menyampaikan salinan
putusan pengadilan yang berwenang. Pasal 75 menjelaskan bahwa
gugatan perceraian yang didasarkan atas cacat badan atau penyakit
dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami,
diperlukan adanya surat keterangan dari dokter. Sedangkan alasan cerai
yang didasarkan atas alasan syiqaq, harus didengar keterangan saksi-
saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan
suami isteri.
Penjelasan-penjelasan yang ada dalam Undang-Undang Peradilan
Agama tersebut tampak lebih berfokus pada hukum acaranya dari pada
hukum materilnya, dan ini logis karena Undang-Undang Peradilan
Agama merupakan hukum acara pengadilan agama. Tambahan dari
alasan-alasan cerai seperti yang ada dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975, dapat ditemui dalam kompilasi hukum Islam Pasal
116. Pasal ini pada mulanya mengulang semua alasan-alasan perceraian
yang sudah ada, namun setelah itu memberikan dua tambahan. Tambahan
103
pertamanya adalah pelanggaran terhadapt taklik talak dan tambahan
keduanya karena murtad.
Dari uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa hukum perkawinan
nasional tidak memakai istilah (term) rukun dan syarat-syarat talak
seperti yang ada dalam fikih mazhab. Hukum perkawinan nasional juga
tidak memakai (term) sah dan tidak sah dalam perceraian. Bahasa yang
dipakai tampakcukup jelas dan lugas, seperti yang dinyatakan dalam
Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yakni
“perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak”. Ungkapan ini secara implicit sebenarnya sudah
mengan dung makna sah dan tidak sah. Ketentuan Pasal ini dapat
dikatakan sebagai unsur yang sangat esensial untuk menentuka legalitas
suatu perceraian, dan ini dapat disebut sebagai rukun, sebab perceraian
tidak dapat terjadi tanpa di depan sidang pengadilan.
Disamping itu juga masih ada ketentuan lain yang dapat
dikatakan sebagai unsur penting dalam rangka mewujudkan perceraian,
yaitu adanya alasan-alasan perceraian seperti yang telah dikemukakan di
atas. Kemudian unsure lainnya adalah pemenuhan administrasi, seperti
adanya surat gugatan yang ditujukan kepada pengadilan di tempat
tinggalnya. Kedua unsur ini persyaratan utama untuk dapat terlaksananya
perceraian di depan mahkamah syar’iyah, ini tampaknya dapat
dikatagorikan sebagai syarat. Dengan demikian dapat dinyatakan setidak-
104
tidaknya ada tiga unsur penting (rukun dan syarat) untuk terlaksananya
9legal atau illegalnya) perceraian menurut hukum pekawinan nasional.
Tiga unsur penting ini adalah (1) dilaksanakan di depan sidang
mahkamah syar’iyah, (2), terdapat satu atau beberapa alasan perceraian,
(3), memenuhi persyaratan administrasi.
Perceraian merupakan peristiwa pengakhiran ikatan antara suami
dan isteri disebabkan oleh tidak dapat mempertahankan kembali
keutuhan rumah tanga atau dengan kata lain sebagai penghapusan
perkawinan. Dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam
perkawinan.88 Juga disebut sebagai pembubaran ikatan perkawinan
ketika pihak-pihak masih hidup dengan alasan yang dapat dibenarkan dan
ditetapkan dengan suatu putusan pengadilan.89
Oleh karena perkawinan juga merupakan bentuk dari suatu
perikatan, maka ketika perikatan itu berakhir timbul berbagai akibat
hukum sebagaimana lazimnya suatu perikatan. Namun demikian, karena
perkawinan merupakan bentuk perikatan yang bersifat sangat khusus
berupa ikatan batiniah, maka pengaturannya tidak tunduk kepada
ketentuan perikatan pada umumnya, melainkan diatur secara khusus
dalam sebuah Undang- Undang tersendiri yaitu Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai
peraturan pelaksananya.
88 Sobekti, Pokok-Pokok,.. Op., Cit., hal. 42.89 Happy Marpaung, Masalah Perceraian,Tems, Bandung, 1983, hal. 24.
105
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur berbagai
ketentuan hukum materil perkawinan dengan segala sesuatu yang terkait
dengannya, sedangkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
mengatur tata cara perkawinan dan perceraian, sekaligus merupakan
hukum acara dalam menyelesaikan sengketa rumah tangga (perceraian).
Selain kedua ketentuan ini terdapat pengetahuan lain yang dikhususkan
bagi orang beragama Islam yaitu terdapat dalan kompilasi hukum Islam
dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, yang akan
dijelaskan pada uraian selanjutnya.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 14 seorang
suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam,
yang akan menceraiakan isterinya, maka mengajukan surat kepada
pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia
bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta
meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
Pada Pasal 15 pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat yang
dimaksud dalam Pasal 14, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari
memanggil pengirim surat dan juga isterinya untuk meminta penjelasan
tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian.
Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 menyetakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan
sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan
106
tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak dan batalnya perkawinan
sebagaimana pada Pasal 37 diputuskan oleh pengadilan, aturan ini
berbeda dengan kitab-kitab figh klasik yang menyatakan bahwa talak
dapat terjadi dengan persyaratan sepihak oleh suami baik secara lisan
maupun tertulis secara bersungguh-sungguh atau bersenda gurau.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menetapakan bahwa perceraian
hanya dapat dilakukan di depan sidang mahkamah syar’iyah setelah
mahkamah syar’iyah tersebut telah berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan. Apabila tidak tercapai perdamaian maka pemeriksaan
gugutan perceraian dilaksanakan dalam sidang tertutup sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 33.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 ditetapkan
percerian baik diminta oleh suami atau isteri hanya dapat dilakukan
dengan alasan sebagai berikut: pertama, Salah satu pihak berbuat zina
atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan sebagainya yang sukar di
sembuhkan.90 Kedua, Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama
dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah
atau karena hal lain di luar kemampuanya.91 Ketiga, Salah satu pihak
mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman lebih berat setelah
perkawinan berlangsung.92 Keempat, Salah satu pihak melakukan
kekejaman atau penganiayaan yang berat yang membahayakan pihah
90 Pasal 19 Butir a Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Lihat Juga Pasal 87 jo Pasal 88 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.
91 Pasal 19 Butir b Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.92 Pasal 19 Butir c jo Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Lihat Juga
Pasal 74 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.
107
lain.93 Kelima, Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit
dengan akibat tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.94
Keenam, Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah
tangga.95
Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 menyatakan perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak. aturan ini berbeda dengan
kitab-kitab figh klasik yang menyatakan bahwa talak dapat terjadi dengan
persyaratan sepihak oleh suami baik secara lisan maupun tertulis secara
bersungguh-sungguh atau bersenda gurau.96
Pada Pasal 38 ayat (1) permohonan pembatalan suatu perkawinan
diajukan oleh pihak-pihak yang berhak mengajukannya kepada
pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya
perkawinan, atau tempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri.
Dan dalam ayat (2) tentang tata cara pengajuan permohonan pembatalan
perkawinan dilakukan sesuai dengan tata cara pengujuan gugatan. Ayat
(3) hal-hal yang berhubungan dengan pemeriksaan pembatalan
93 Pasal 19 Butir d Peraturan Pemerintah Tahun 1975.94 Pasal 19 Butir e Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Lihat Juga Pasal 75
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.95 Pasal 19 Butir f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974, Alasan Keenam Dikenal Dengan Istilah Syiqaq: Lihat Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Beserta Penjelasan Pasal Demi Pasal Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.
96 Mudzhar, M. Antho’, Dampak Gender Terhadap Perkembangan Hukum Islam Dalam Profetika Jurnal Studi Islam, Vol. 1 Nomor 1 Tahun 1999, hal. 116.
108
perkawinan dan putusan pengadilan, dilakukan sesuai dengan tata cara
tersebut dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah.
Setelah menerima putusan perceraian, maka untuk selanjutnya bagi
seorang wanita harus memperhatikan masa tunggu yang telah ditetapkan
dalam Pasal 39 sebagai berikut:
Pada ayat (1) waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang ditentukan adalah:
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu
ditetapkan 130 hari
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi
yang masih haid ditetapkan 3 kali suci dan sekurang-kurangnya 90
hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 hari
c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan
hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
Pada ayat (2) tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus
perkawinan karena perceraian sedangkan antara janda tersebut dengan
bekas suaminya belum pernah terjaadi hubungan. Sedangkan dalam ayat
(3) bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu
tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum yang tetap, sedang bagi perkawinan yang putus karena
kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian.
109
2. Menurut Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia
Penerapan hukum Islam dalam proses pengambilan keputusan di
pengadilan agama selalu menjadi masalah, oleh karena rujukan yang
digunakan oleh pengadilan agama senantiasa beraneka ragam. Ia terdiri
dari berbagai aliran pemikiran (mazhab), yang berakibat munculnya
keragaman keputusan pengadilan terhadap perkara serupa. Untuk
mengatasi masalah tersebut, maka dalam suatu lokakarya yang
diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 10 Juni 1991 mendapat legalisasi
pemerintah dalam bentuk instruksi presiden kepada menteri agama untuk
digunakan oleh instansi pemerintah dan oleh masyarakat yang
memerlukan. Kompilasi hukum Islam disusun dan dirumuskan untuk
mengisi kekosongan hukum substansial (mencakup perkawinan,
kewarisan, dan pewakafan). Dengan diberlakukannya kompilasi hukum
Islam, kekosongan hukum itu telah terisi dan kerisauan para petinggi
hukum teratasi.97
Pengajuan cerai talak/gugat ke mahkamah syar’iyah, baik yang
dilakukan oleh suami atau isteri sangat erat kaitannya dengan hak dan
kewajiban suami isteri sebagai landasan keluarga yang jauh dari noda
dan nista untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah warahmah.
Pelanggaran terhadap hak dan kewajiban suami isteri itulah yang
menyebabkan ketidak harmonisan keluarga, sehingga dalam satu Pasal
disebutkan yang terdapat pada Bab XII bagian kesatu umum tentang hak
97 Lihat Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Pamulang Timur, PT. Logos Wacana ilmu, 1999, hal. 1-2.
110
dan kewajiban suami isteri Pasal 77 Nomor 5 yaitu “jika suami atau isteri
melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan
kepada pengadilan agama (mahkamah syar’iyah)”. Dengan demikian
terjadilah perceraian di mahkamah syar’iyah.
Pada Pasal 77 dimaktubkan bahwa kewajiban suami isteri tersebut
sebagai berikut:
1. Suami isteri mimikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah yang menjadi
sendi dasar dari susunan masyarakat.
2. Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati,
setia, dan memberikan bantuan lahir batin yang satu kepada yang
lain
Takkala rasa cinta telah memudar antara suami isteri dan tidak
menghormati lagi kesucian akad nikah serta kesetiaan telah hilang
dengan melakukan perzinaan atau perselingkuhan dengan orang lain,
maka masing-masing mereka berhak mengajukan permohonan cerai
kepada mahkamah syar’iyah. Karena mereka juga telah melanggar Pasal
77 Nomor 4 ”suami isteri wajib memelihara kehormatannya”. Dengan
melakukan perzinaan atau perselingkuhan, maka jelas mereka tidak lagi
memelihara kehormatan mereka sebagai kewajiban masing-masing suami
isteri.
Seorang suami sebagai pembimbing terhadap isteri yang wajib
memberikan pendidikan agama dan member kesempatan belajar
111
pengetahuan yang berguna, telah diambang kegagalan apabila isterinya
nusyuz, walaupun suami dapat member sanksi kepada isterinya berupa
tidak memberikan nafaqah lahir dan batin sebagaimana tersebut dalam
Pasal 80 Nomor (4), (5), dan (7), yaitu:
(4) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:
a. Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman isteri
b. Biaya rumah tangga, biaya perewatan, dan biaya pengobatan bagi
isteri dan anak
c. Biaya pendidikan anak.
(5) Kewajiban suami terhadap isteri, seperti tersebut pada ayat (4) huruf
a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari
isterinya.
(7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri
nusyuz.
Perbuatan hukum yang dilakukan oleh suami tersebut, boleh juga
dilakukan oleh isteri, apabila suami melanggar kewajiban. Karena dalam
Pasal 79 Nomor 3 menyebutkan “masing-masing pihak berhak untuk
melakukan perbuatan hukum”. Pihak disini adalah suami isteri. Jadi
suami atau isteri boleh melakukan perbuatan hukum, karena hak dan
kedudukan suami isteri adalah seimbang dalam kehidupan rumah tangga
dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
Keretakan rumah tangga diawali dengan perbuatan melanggar hak
dan kewajiban suami isteri, bahkan sampai melakukan hubungan
112
perzinaan atau perselingjuhan dengan pasangan lain, masing-masing
mereka dapat melakukanperbuatan hikum berupa pengajuan cerai
talak/gugat ke mahkamah syar’iyah, dengan alasan salah satu atau
keduanya melakukan perbuatan zina. Hal ini jelas termaktub dalam Pasal
116 sebagai berikut:
Perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan sebagainya yang sukar di sembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuanya.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang berat yang membahayakan pihah lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga
Pada Pasal 116 huruf a jelas tertera, boleh diceraikan dengan
alasan ssalah satu atau keduanya melakukan perbuatan zina. Apa yang
termaktub dalam kompilasi hukum Islam tentang alasan-alasan dapat
diceraikan, tidak ada beda yang terdapat dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974. Telah menjadi ketentuan hukum bahwa
kompilasi hukum Islam merupakan hukum Islam yang diundangkan
Negara di zaman orde baru. Kompilasi hukum Islam disusun berdasarkan
keputusan bersama ketua mahkamah agung dan menteri agama, pada
tanggal 21 Maret 1985. Penyusunan Kompilasi hukum Islam selama 6
tahun (1986-1991), dan pada tanggal 10 Juni 1991 berdasarkan intruksi
113
presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991, kompilasi hukum Islam
dikukuhkan sebagai pedoman tersendiri dalam bidang hukum materil
bagi para hakim di lingkungan peradilan agama di seluruh Indonesia.
Kompilasi hukum Islam merupakan respon pemerintah terhadap
timbulnya berbagai keresahan di masyarakat akibat beragamnya
keputusan pengadilan agama untuk suatu kasus yang sama. Keberagaman
itu merupakan konsekuensi logis dari beragamnya sumber pengambilan
hukum, berupa kitab-kitab fiqh yang dipakai oleh para hakim dlam
memutuskan suatu perkara. Karena itu, muncul suatu gagasan mengenai
perlunya suatu hukum positif yang dirumuskan secara sistematis sebagai
landasan rujukan bagi para hakim agama sekaligus sebagai langkah awal
untuk mewujudkan kodifikasi hukum nasional.
Solusi yang diambil pemerinth dengan lahirnya kompilasi hukum
Islam mengandung dua hal, disatu sisi memudahkan kerja para hakim
agama dan pihak-pihak lainnya yang akan mencari rujukan hukum, tetapi
disisi lain berarti memangkas kreativitas dan upaya-uoaya ijtihad dalam
hukum keluarga. Persoalan-persoalan baru bermunculan mengikuti
dinamika masyarakat, seprti persolan kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) sementara rujukan hukum tidak berubah, hal ini pada gilirannya
menimbulkan kesulitan baru bagi para hakim itu sendiri dalam
melaksanakan tugas merela di lapangan.
Adapun pengaturan tentang perceraian dalam kompilasi hukum
Islam diatur dalam Bab XVI putusnya perkawinan Pasal 113 sampai
114
Pasal 148. Beberapa Pasal yang prinsipil dalam talak di Indonesia adalah:
Pasal 113 perkawinan dapat putus karena:
a. Kematian
b. Perceraian, dan
c. Putusan penadilan.98
Pasal 114 putusnya perkawinan yang disebabkan karena
perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan
perceraian. Pasal 115 perceraian hanya dapar dilakukan di depan sidang
pengadilan agama setelah pengadilan agama tersebut berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Pasal 116 Perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai
berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan sebagainya yang sukar di sembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuanya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang berat yang membahayakan pihah lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga
g. Suami melanggar taklik talak
98 Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 117 Pengertian Talak Adalah Ikrar Suami Dihadapan Sidang Pengadilan Agama Yang Menjadi Sebab Salah Satu Putusnya Perkawinan. Dengan Cara Sebagaimana dimaksud Pada Pasal 129, 130, dan 131. Lihat Intruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Departemen Agama RI, 2000), hal. 57.
115
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.99
Kompilasi hukum Islam menetapkan perceraian boleh didasarkan
alasan bahwa seorang suami melanggar taklik talak atau peralihan agama
atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah
tangga. Dalam masalah putusnya hubungn perkawinan (percerian)
keputusan untuk bercerai atau tidak sangat tergantung kepada laki-laki
(suami). Suami dapat menjatuhkan kata-kata cerai kepada isterinya kapan
saja dan dimana saja. Kemudian, hak talak yang berada ditangan
suami,100 syar’i tidak membenarkan suami menggunakan haknya itu
dengan gegabah dan sesuka hati melakukannya.101 Bahkan dianggap
makruh bila tanpa sebab.102 Maka tidak boleh mentalak isteri bila tanpa
alasan yang dikehendaki oleh syar’i yaitu adanya nusyuz dari pihak
isteri.103
Selain itu, kompilasi hukum Islam menetapkan bahwa seorang
suami dapat menegakkan kewajiban isterinya nusyuz. Dalam keadaan
bahwa seorang isteri melalaikan keawajibannya, dia dapat dianggap
nusyuz.104 Selama dia nusyuz, seorang suami tidak wajib member nafkah,
kiswah, tempat kediaman maupun biaya rumah tangga, biaya perawatan
99 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, 1992, hal. 140-141.
100 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hal. 215.101 Abd Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 212.102 Ibn Hajar, Fath al-Bari…….. hal. 445.103 Ibid, 491.104 Pasal 83 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam
116
dan pengobatan untuk isterinya.105 Ketentuan seorang suami terhadap
adanya nusyuz wajib didasarkan bukti yang sah.106
Namun demikian, ada juga yang berpendapat mengatakan bahwa
kedua belah pihak perkawinan boleh dianggap nusyuz. Kalau seorang
suami dianggap nusyuz, isterinya berhak membuat perjanjian yang
dimaksud untuk memperbaiki hubungan dengan suaminya. Kalau
seorang isteri dianggap nusyuz, suaminya wajib bertindak sebagai
berikut: Pertama, seorang suami menasehati isterinya dengan baik.
Kedua, jika isteri tersebut tidak memperhatikan suaminya, mereka harus
berpisah tidur. Ketiga, jika isterinya tersebut masih tidak memperhatikan
suaminya, dia boleh memukul isterinya dengan pukulan yang tidak berat.
Atas semua bentuk harta tersebut suami dan isteri mempunyai hak
sempurna untuk melakukan perbuatan hukum.107 Suami isteri masih
berhak mengubah ketentuan tersebut melalui perjanjian perkawinan.108
Harta suami isteri masing-masing tidak dapat menutup keberadaan harta
bersama.109 Harta bersama diperbolehkan dalam berbagai bentuk. Hak
suami dan hak isteri terhadap harta bersama dilindungi, yaitu seorang
suami atau isteri tidak boleh menjual atau memindahkan harta bersama
tanpa persetujuan pihak lain.110 Lagi pula, harta bersama hanya boleh
menjadi barang jaminan untuk salah satu pihka atas persetujuan pihak
105 Pasal 84 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam106 Pasal 84 ayat (5) Kompilasi Hukum Islam107 Pasal 87 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam108 Pasal 87 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam109 Pasal 85 kompilasi Hukum Islam. Untuk Harta Bersama Dalam Perkawinan Yang
Bersifat Isteri Lebih Dari Seorang Lihat Pasal 94 Kompilasi Hukum Islam. 110 Pasal 92 Kompilasi Hukum Islam
117
lainnya.111 Harta bersama dibagi pada masa putusnya perkawinan.112
Kedua pihak perkawinan bertanggungjawab sendiri maupun bersama
untuk menjaga harta masing-masing maupun harta bersama.113
Argumen yang dikeluarkan untuk masalah ini tetap menggunakan
argument tafsir ayat tentang keunggulan laki-laki (afdhaliyah al rajul)
dan kekuasaan ekonomi; laki-laki rosional dan penuh pertimbangan,
sementara perempuan cepat emusional, laki-laki menafkahi, perempuan
dinafkahi, laki-laki membayar mas kawin dan kebutuhan lainnya,
perempuan penerima semuanya, dst. Ini benar-benar bias gender. Jika
relasi suami isteri adalah relasi privacy, maka perlindungan hukum bagi
perempuan menjadi sangat sulit dan tertutup. Dengan begitu,
keselamatan perempuan dari tindakan suami untuk suatu perceraian
sangat tergantung pada tingkat moralitas suaminya yang tentu saja sangat
subjektif. Dalam rangka menghindari terjadinya perceraian sepihak yang
tidak terkontrol, subjektif dan sering merugikan perempua, sejumlah
negara Islam telah melakukan pembaharuan hukum melalui proses
perceraian di pengadilan termasuk dalam hal ini adalah rumusan dalam
kompilasi hukum Islam Indonesia.
Baik pernikahan maupun perceraian menurut kitab-kitab fiqh
dinyatakan sah sepanjang memenuhi persyaratan dan rukunnya.
Pencatatan di kantor urusan agama (KUA) bukanlah merupakan
kewajiban dan bukan pula bagian dari rukun perkawinan.
111 Pasal 91 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam112 Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam113 Pasal 90 Kompilasi Hukum Islam
118
Pertanggungjawaban dan pembuktian hukum atas berlangsungnya
perkawinan sudah dianggap cukup memadai melalui kesaksian dua orang
yang adil (jujur). Dalam hal perceraian keadaannya jauh lebih sederhana
lagi yaitu bukan hanya tidak diperlukan pencatatan bahkan juga tidak
wajib adanya kesaksian. Kesaksian dapat dipenuhi sebagai anjuran
belaka (mustahab).
Ketentuan-ketentuan fiqh seperti itu sesungguhnya dapat
dipahami ketika kejujuran merupakan tradisi masyarakat. Dengan kata
lain….. bisa diterima hanya untuk masyarakat yang menjujung tinggi
kejujuran sedemikian rupa sehingga kesaksian dua orang yangjujur
dipercaya sebagai dasar pembuktian perkawinan. Konteks sosial budaya
masyarakat hari ini tampaknya telah berubah. Kesaksian dua orang tidak
lagi cukup sebagai dasar pembuktian yang kuat dan menentukan. Dalam
syitem hukum modern dimanapun pembuktian selain keterangan saksi
diperlukan pembuktian tertulis. Maka ketika pencatatan oleh negara tidak
dilakukan, manipulasi pernikahan sangat mungkin terjadi. Dalam
keadaan seperti ini, perempuan (isteri) sering kali menjadi korban dengan
berbagai akibat yang ditimbulkannya.
Sejalan dengan prinsip pernikahan dalam Islam bahwa pernikahan
untuk selamanya, maka dalam masalah talak Islam memberikan langkah-
langkah pendahuluan sebagai berikut:
a. Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri, terlebih dahulu
sedapat mungkin diselesaikan sendiri
119
b. Apabila tidak dapat diselesaikan, hendaklah mengangkat hakim
(wasit) dari keluarga suami dan isteri
c. Apabila terpaksa perceraian tidak bisa dihindari, haruslah
dijatuhkan talak satu, sehingga bagi suami isteri itu masih ada
kemungkinan untuk rujuk.
Menyimak alasan-alasan yang harus dipahami sebelum
dijatuhkannya talak atau cerai, anjuran untuk menempuh langkah-
langkah tertentu sebelum benar-benar memutuskan ikatan pernikahan,
dapatlah dipahami bahwa hukum positif dan hukum agama sangat tidak
menghendaki terjadinya perceraian.
B. Akibat Hukum Dari Perceraian di Luar Pengadilan Agama
Perceraain di luar pengadilan agama, membawa akibat putusnya
hubungan hukum antara suami isteri yang bersangkutan, status suami berubah
menjadi duda, dan isteri menjadi janda. Selanjutnya dengan putusnya
hubungan itu, menyebabkan hilangnya hak dan kewajiban suami isteri dalam
rumah tangga. Keduanya harus menjalani hidup secara terpisah dan tidak
mempunyai hubungan lagi satu sama lain. Masing-masing pihak bebas
menentukan sikapnya untuk tetap dalam status duda atau janda atau kawin
lagi.
Selain akibat tersebut, perceraian di luar pengadilan agama, juga dapat
menimbulkan akibat lanjut sebagai berikut:
1. Akibat terhadap isteri
a. Tidak dapat melakukan perkawinan dengan orang lain melalui KUA.
120
Salah satu akibat hukum yang dialami oleh bekas isteri, bahwa ia tidak
dapat melakukan perkawinan dengan orang lain, karena perceraian yang
telah terjadi dengan suaminya di luar sidang pengadilan agama tidak
dapat dibuktikan secara otentik dan perceraian tersebut belum dapat
diakui keabsahannya menurut Undang-Undang perkawinan yang berlaku.
Oleh karena, jika bekas isteri ingin melakukan perkawinan dengan pihak
lain, maka akan mendapat kesulitan bahkan tidak dapat dilaksanakan
melalui KUA.
b. Tidak dapat menuntut biaya hidup melalui pangadilan agama
Bekas isteri tidak dapat melakukan penuntutan biaya hidup dari bekas
suaminya melalui pengadilan agama. Hal ini terjadi karena perceraian
antara suami isteri yang bersangkutan tidak dapat dibuktikan secara
otentik dan tidak diakui keabsahannya menurut Undang—Undang
perkawinan yang berlaku.
c. Berakhirnya tanggungjawab terhadap biaya pemeliharaan anak
Disamping beberapa akibat yang telah dikemukakan di atas, isteri juga
mempunyai tanggungjawab yang berat terhadap pemeliharaan anak-anak
yang hidup bersamanya. Sedangkan bekas suaminya kurang
memperhatikan biaya tersebut.
d. Akibat terhadap harta kekayaan
Setelah perceraian terjadi, harta kekayaan suami isteri yang diperoleh
selama perkawinan diadakan pembagian. Pembagian dilakukan menurut
hukum adat yang berlaku dalam masyarakat setempat. Pembagian yang
121
dimaksud, dilakukan dengan membagikan harta bersama suami isteri
menjadi dua bagian. Satu bagian untuk bekas suami dan satu bagian lagi
untuk bekas isteri.
Cara pembagiannya, yaitu dengan terlebih dahulu mengalkulasikan
semua harta kekayaan yang ada dalam jumlah uang. Kemudian setelah
dikurangi untuk perlunasan hutang kedua belah pihak jika ada dan segala
biaya untuk keperluan tersebut, sisanya dibagi kepada suami isteri yang
masing-masing mendapat satu bagian.
e. Akibat terhadap anak
Akibat berakhirnya rumah tangga yang dibina oleh suamiisteri,
sering kali membawa goncangan dan penderitaan bagi anak-anaknya.
Anak-anak tidak dapat lagi merasakan kasih sayang dan perhatian
sebagaimana diharapkan, yang sesuai dengan kebutuhan kejiwaan
mereke. Anak-anak yang sudah sejak lahir tergantung dan hanya
mengenal ayah dan ibunya yang selama ini mencurahkan kasih sayang
penuh terhadap mereka telah tiada sebagaimana semula.
Bukan hanya itu saja, juga ayah atau ibunya kawin lagi dalam
rumah tangga baru, maka anak-anak akan terasa asing dalam hidupnya.
Apalagi kalau mereka ikut bersama ayah atau ibu tirinya, mereka
mungkin tidak merasa ketenteraman dan nyaman dengan keadaan
demikian. Kadang-kadang membuat anak-anak lebih memilih tempat
tinggal bersama orang lain seperti paman atau nenek/kakeknya.
Sebenarnya sudah tidak terbatas bahkan suami bertanggungjawab
122
mengurus masa depan anak-anaknya. Secara khusus, kewajiban suami
untuk memberikan mareri kepada anak-anaknya lebih diperioritaskan,
jika dalam kenyataannya suami tidak dapat memenuhi kewajibannya itu,
pengadilan dapat menentukan bahwa ibunya turut memikul biaya
tersebut ( Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1975).
Uraian di atas dapat memberikan gambaran bahwa pembubaran
perkawinan suami isteri membawa akibatnya yang tidak baik bahkan
anak-anak. Apalagi perceraian itu tidak dilakukan melalui pengadilan
agama, maka bekas isteri akan menemukan jalan buntu, karena
perceraian yang terjadi atas dirinya tidak dapat diakui keabsahannya
menurut Undang-Undang perkawinan yang berlaku. Dengan demikian
kepastian hukum terhadap status dirinya tidak dapat dibuktikan secara
Perundang-Undangan yang berlaku.
Berdasarkan uraian di atas sebelumnya berkenaan dengan perceraian
baik dalam hukum Islam sebagaimana telah diuraikan melalui nas Al-Qur’an
dan Hadits serta pendangan ulama dan ulama mazhab terhadap permasalah
cerai, secara umum dalam pandangan dan analisis ulama terdapat beberapa
perbedaan terhadap penetapan hukum dan akibat yang ditimbulkan oleh
perceraian. Begitu juga halnya dalam hukum positif yang telah diatur dalam
Pasal demi Pasal berkaitan dengan perceraian, tentunya kedua pandangan
hukum yang ada ini bertujuan dalam upaya memberikan kemaslahatan bagi
umat dalam rangka melaksanakan perceraian.
123
Ketika perkara perceraian diajukan kepengadilan, pada umumnya
kondisi rumah tangga mereka sudah mengalami keretakan yang serius dan
kedua belah pihak tidak ingin mempertahankan keutuhan rumah tangganya
sehingga mereka berharap segera terjadi perceraian. Dengan disegerakannya
penyelesaian perceraian ini, maka masing-masing pihak dapat segera
membina rumah tangga kembali dengan pasangan lain yang lebih cocok.
Namun adakalanya keretakan rumah tangga mereka belum sampai taraf yang
serius sehingga mereka bisa didamaikan, bahkan ada juga yang semula sudah
sama-sama menghendaki perceraian dan telah telah diputus oleh pengadilan
agama ternyata ketika perkaranya masih dalam upaya hukum
(banding/kasasi) mereka rukun kembali, hanya saja kasus terakhir ini
persentasenya sangat kecil.
Memperhatikan kasus demikian, maka hakim dapat memperhatikan
kondisi rumah tangga mereka serta sikap mereka dalam mempertahankan
keutuhan rumah tangga. Apabila salah satu pihak tidak menghendaki
perceraian dan keretakan rumah tangga mereka belum terlalu parah, maka
cara yang lebih baik diputus secara bersama. Melalui cara ini diharapkan,
apabila pihak yang keberatan bercerai melakukan upaya hukum, maka waktu
penantian putusan ini dapat digunakan untuk intropeksi sehingga masing-
masing menyadari akan kesalahan dan pada akhirnya rukun kembali.
Tetapi jika kedua belah pihak sudah tidak menghendaki untuk
membina keutuhan rumah tangga dan memandang perceraian sebagai
alternatif yang terbaik, maka cara yang lebih baik diputuskan secara terpisah
124
dengan mendahulukan gugatan cerainya agar segera ada kepastian. Begitu
juga halnya apabila kedua belah pihak sama-sama sudah tidak ingin
mempertahankan rumah tangga mereka sementara secara lahiriah rumah
tangga mereka belum terlalu parah, apakah lebih baik diputuskan secara
bersama-sama atau secara terpisah, sebab jika diputus secara terpisah seperti
boleh jadi dengan masih sederhananya konflik rumah tangga dan tidak
menutupi kemungkinan bisa rukun lagi.
Dengan adanya ketentuan-ketentuan hukum berkaitan dengan
perceraian baik pedoman dalam perceraian, maka dapat menjadi sebagai
pedoman dan rujukan bagi suami isteri yang rumah tangganya tidak
mengalami kerukunan dan selalu terjadi pertengkaran dan perbedaan antara
kedua belah pihak, sehingga keinginan untuk melangsungkan cerai dapat
dilangsungkan pada lembaga pengadilan agama ataupun mahkamah syar’iyah
sebagai lembaga legal dan resmi serta diakui oleh pemerintah.
125
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Untuk melakukan suatu perceraian harus terdapat alasan yang cukup
sehingga dapat dijadikan landasan yang wajar apabila antara kedua suami
isteri tidak dapat rukun lagi dan harus dilaksanakan menurut prosedur
yang telah ditentukan dalam Undang-Undang. Sahnya perceraian harus
memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Undang-Undang.
Terhadap cerai talaq, baru dianggap terjadi dan sah hukumnya sejak
diikrarkan di depan sidang mahkamah syar’iyah dan ketetapan hakim
telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan terhadap cerai gugat,
perceraian baru dianggap sah hukumnya sejak putusan mahkamah
syar’iyah mempunyai kekuatan hukum tetap.
2. Pemicu utama terjadinya perceraian di luar mahkamah syar’iyah adalah
keterbatasan pengetahuan sebagian masyarakat tentang tata cara beracara
di mahkamah syar’iyah. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa
pelaksanaan perceraian melalui mahkamah syar’iyah sebagaimana yang
diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, hanya
merupakan prosedur administrasi saja dan tidak berpengaruh terhadap
keabsahan perceraian yang telah dilakukan. Sistem pelaksanaan
perceraian di luar mahkamah syar’iyah yang dilakukan dikalangan
masyarakat, dapat dinilai masih mengikuti kebiasaan yang berlaku dalam
masyarakat. Perceraian dilakukan dengan melafazdkan talak, baik secara
126
lisan ataupun tulisan yang disampaikan kepada isterinya. Pelaksanaan
perceraian yang demikian merupakan penyimpangan dari ketentuan yang
diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yang
mengharuskan suatu perceraian dilakukan di depan sidang Mahkamah
Syar’iyah.
B. Saran-saran
1. Supaya sebuah perceraian tercatat dan sah hukumnya, maka perceraian
tersebut harus dilakukan di depan sidang Mahkamah Syar’iyah. Untuk
mencegah atau sekurang-kurangnya memperkecil terjadinya perceraian di
luar mahkamah syar’iyah, maka hendaknya pemerintah konsisten
mengadakan penyuluhan hukum kepada masyarakat guna untuk
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman sehingga meningkatkan
kesadaran hukum masyarakat dengan melibatkan instansi-instansi terkait,
seperti Kementerian Agama, Dinas Syari’at Islam, dan lain-lain dalam
setiap kesempatan.
2. Agar masyarakat tertarik untuk melakukan perceraian melalui Mahkamah
Syar’iyah, hendaknya pihak mahkamah syar’iyah memberikan bantuan
tertentu untuk memudahkan masyarakat dalam mengurus perceraian
selama bantuan tersebut tidak bertentangan dengan hukum. Kepada warga
masyarakat yang telah melakukan perceraian dengan cara melafazdkan
talak, baik secara lisan ataupun tulisan di luar sidang Mahkamah
Syar’iyah, agar perceraian kedua suami isteri tersebut dapat diselesaikan
menurut Perundang-Undangan yang berlaku.
127
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Ahmad Ichsan, Hukum Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam, Jakarta: Prenadya Paramita, 1987.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992.
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta Pustaka Fakultas Hukum: UII, 1995.
Agusni Yahya dkk., Hak dan Kewajiban Perempuan Sebagai Isteri, Banda Aceh: Yayasan Flower Aceh, 2002.
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2003.
Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, Elsam, Jakarta, 2004.
Abdurrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2006.
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet. I, Jakarta, Prenada Media, 2006.
---------, Hukum Pekawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Prenada Media, 2006.
Bagir Manan, Suatu Tinjauan Terhadap Kekuasaan Kehakiman Indonesia Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 2005.
Basiq Jalil, Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum (Hk. Islam, Hk. Barat dan Hk. Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh, Kencana, Jakarta, 2006.
Departemen Agama RI, Bahan Penyuluh Hukum, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1996/1997
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: Toha Putra, 1999.
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 2001
128
Departemen Agama R.I, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Serta Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2004).
Faried Ma’ruf Noor, Menuju Keluarga Sejahtera dan Bahagia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983).
Faisal A. Rani, Fungsi dan Kedudukan Mahkamah Agung Sebagai Penyelenggara Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka Sesuai dengan Paham Negara Hukum, Syiah Kuala University Press, Banda Aceh, 2009.
Happy Marpaung, Masalah Perkawinan, Bandung: Tonis, tt.
----------, Masalah Perceraian, Bandung: Tems, 1983.
Hamid Sarong, dkk, Fiqh, Editor Soraya Devi, Banda Aceh: Bandar Publishing, 2009.
Ibrahim Hoesin, Fiqh Perbandingan Dalam Masalah Nikah, Talak, dan Rujuk, Jakarta: Ihya Ulumuddin, 1971.
Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Departeman Agama RI, 2000.
Ilyas Supena dan M. Fauzi, Dekostruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, Cet. I, Yogyakarta: Gama Media, 2002.
Jaih Mubarok, Modifikasi hukum Islam: Studi Tentang Qawl Qadim dan Qaul Jadid, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Jimly Asshiddiqie, Nomokrasi Modern : Konsep Negara Hukum Yang Demokratis, dikutip dari buku Refleksi Hukum dan Konstitusi di Era Reformasi, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2002.
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Menurut Mazhab Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hambali, Cet. XIII, Jakarta: Hidakarya Agung, 1991.
Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum, Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Bulan Bintang, Jakarta, 1992.
----------, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta, Hidakarya Agung, 1996.
129
Muhammad Jawad Maghniyah, Fiqh Lima Mazhab, Terjemahan Masykur AB. dkk, Jakarta, Lentera, 1998.
M. Antho Mudzhar, Dampak Gender Terhadap Perkembangan Hukum Islam Dalam Profetika Jurnal Studi Islam, Vol. 1 Nomor 1, 1999.
Moh. Zahid, Dua Puluh Lima Tahun Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, Cet. I, Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama R.I, 2001.
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2001.
Muzakkir dan Ahmad (ed), Seluk Beluk Hukum Perkawinan Dalam Islam, Banda Aceh: Bidang Urusan Agama Islam KANWIL DEPAG NAD, 2007.
Oemar Seno Adji, Pengadilan Bebas Negara Hukum, Airlangga, Jakarta, 1980.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Edisi III, cet. 3, Jakarta: Balai Pustaka, 2006.
R. Sobekti, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Jakarta: Intermasa, 1979.
---------, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Bina Cipta, 1989.
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Pengadilan Agama, (Edisi Baru), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.
Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Cet. IV, Jilid2, Beirut: Dar al-Ma’arif, 1983.
Soerjono S, Maoedji, Azwar dan Bruce, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta, Rajawali, 1985.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI-Press, 1986.
----------, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, Jakarta: Rajawali, 1987.
Suparman Usman, Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Penerbit Saudara, 1995.
S.F. Marbun, Negara Hukum dan Kekuasaan Kehakiman, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, No. 9 Vol 4 – 1997.
Slamet Abidin, Fiqh Munakahat, Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta.
130
Sobirin Malian, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2001.
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, Terjemahan, M. Adul Ghafar, Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2001.
Tim Penyusun, Kompilasi Hukum di Indonesia, Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Departemen Agama RI, 2000.
Tarmizi M. Jakfar, Poligami dan Talak Liar Dalam Perspektif Hukum Agama di Indonesia, Editor Maskur Samir dan Munzir, Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2007.
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Sumur Bandung, 1981.
Wahbah Zuhaily, Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa As-syariah wa al-Minhaj, Beirut: Dar al-Fikr al-Ma’asir, 1991.
Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1992.
Yahya Harahap, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional Cet. I, Medan: Zahir Trading, 1975.
-----------------, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1993).
B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Peradilan Agama.
131
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2003 Tentang Mahkamah Syar`iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Instruksi Presiden R.I Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syari’at Islam.
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syi’ar Islam.
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor KMA/070/SK/X/2004 Tanggal 06 Oktober 2004 tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan dari Peradilan umum kepada Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
top related