penilaian ekonomis pembelian kapal ( re new)
Post on 25-Jun-2015
263 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PERTIMBANGAN EKONOMIS DALAM
PEMBELIAN KAPAL
( Sebelum Keluarnya Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2005
Tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional – Apakah setelah keluarnya Inpres hal-hal berikut masih berlangsung ? )
Oleh : RIZA SYAFRIZAL CITASUARA, SE, MMIntell8charch@yahoo.com
AbstractKapal bagi pengusaha pelayaran adalah merupakan alat produksi, sama
seperti cangkul bagi seorang petani. Namun ternyata ingin memiliki kapal
tidaklah semudah membeli mobil. Padahal setelah 15 tahun kapal sudah tidak
effisien lagi sebagai alat produksi harus diganti dengan kapal baru. Setelah
berumur 15 tahun kapal bisa saja masih bagus karena kapal ditentukan oleh
kelas. Namun biaya tinggi tetap akan terjadi karena ada sisi-sisi bisnis yang
diminta asuransi. Asuransi tidak mau mempertanggungkan kalau kapal sudah
berumur 15 tahun. Seandainya setujupun untuk mengasuransikan kapal
berumur 15 tahun, perusahaan asuransi akan minta pertanggungan yang
lebih tinggi lagi walaupun kapal masih bagus. Begitu juga dari sudut
ketentuan L/C yang menyudutkan pemilik kapal yang mengingini kapal baru.
1. Tunai
Tingginya harga kapal tidak memungkinkan perusahaan pelayaran membeli
kapal. Untuk kapal dengan berat DWT 5.000 ton ( untuk keperluan Ocean
Going ) harganya sekitar USD. 175 juta dengan pembayaran cash. ( Dengan
catatan posisi harga charter adalah USD. 35.000/ ton. )
2. Kredit & Mortgage Law
Alternatif pertama, yaitu membeli dengan cara tunai kelihatannya sulit
untuk ditempuh karena hampir tidak ada perusahaan pelayaran yang akan
sanggup menyediakan dana sebesar USD. 175 Juta cash. Jadi jalan keluarnya
adalah membeli dengan cara kredit. Namun membeli dengan kredit terbentur
1
dengan masalah ketentuan bank yang sama sekali tidak mau memahami
kondisi perusahaan pelayaran.
Pinjaman Bank Dalam Negeri
Permasalahan Bank yang utama di Indonesia adalah belum adanya
dukungan yang menyeluruh tentang pengembangan sumber daya kelautan
walaupun dikatakan bahwa bangsa Indonesia memiliki jiwa Bahari sejak
nenek moyang telah menguasai lautan, dan lainnya. Namun pada
kenyataannya orientasi pembangunan kita adalah didaratan. Menggarap
sumber daya alam yang hanya ada didaratan. Tidak ada pengembangan dan
pembaharuan sumber daya lautan.
Hal ini tercermin juga dalam pemberian modal bagi pengembangan usaha
pelayaran. Pada bab II telah diuraikan bahwa ada sifat usaha pelayaran yaitu
Capital Intensive, Slow Yelding dan High Risk yang mana hal ini berakibat
pada belum didapat digolongkannya usaha pelayaran sebagai usaha yang
layak ( feasible/ Bankable ) untuk mendapat kredit dari Bank. Perbankan
yang bersedia memberi kredit menetapkan persyaratan pinjaman yang berat
yaitu :
Debt Equity Ratio/ DER 65 : 35
Artinya peruswahaan pelayaran yang menginginkan kredit/ pembiayaan
dari bank Nasional untuk membeli kapal harus menyediakan dana sendiri
sebesar 35 % dari harga asset yang akan dibeli terseubut.
Agunan ( Collateral ) : 150 % dari jumlah kredit
Suku bunga kredit yang diberikan adalah suku bunga kredit untuk
komersial/ commercial rate ). Saat ini kommersial rate adalah antara
12% hingga 15 %.
Pinjaman dengan dollar 12% sedangkan di luar negeri hanya 6-7%.
2
Pinjaman Bank dan Non Bank Luar Negeri
Membeli kapal jika tidak menggunakan equity, harus ada loan. Namun
tidak adanya mortgage law menimbulkan kesulitan, karena bila meminjam
uang maka jaminannya meliputi keseluruhan perusahaan ( Collateral
keseluruhan perusahaan ) - tidak hanya kapalnya saja - yang menjadi
jaminan. Sehingga untuk menarik kembali kapal - dalam situasi dimana
debitur tidak mampu membayar - sebagai barang jaminan terhadap pinjaman
memerlukan keputusan yuridis yang meliputi pengadilan yang prosesnya bisa
berbulan-bulan. Bahkan dalam satu kasus malah pemberi kredit ( lender )
yang disalahkan. Hal ini disebabkan belum diratifikasinya konvensi
internasional tentang penjaminan kapal ( Mortgage Law ), sehingga kapal
belum dapat dijadikan jaminan ( Collateral ) dalam proses
pengadaan kapal dengan skim sewa guna usaha ( Leasing ) sewa beli ( Hire
Prurchase ).
Lebih lanjut dari data lapangan diketahui bahwa salah satu Principal mau
menjadi penjamin ke kreditur/ pemilik kapal agar perusahaan pelayaran
nasional dapat memiliki kapal. Biasanya pembayarannya DP 30 % sisanya 70
% dicicil perbulan sebesar 20 %, dengan pinjaman lunak. Sedangkan kreditur
dari luar negeri misalnya ORIX Corporation memberi pinjaman 1,5% diatas
Libor jadi kurang lebih 6,5 hingga 7 %.
3. Beban Pajak
Bila beli kapal dari luar negeri kena berbagai beban :
- PPN atas impor barang 10 % + bea masuk
( otomatis nilai jual jasa perusahaan pelayaran Indonesia menjadi lebih
tinggi/ mahal ).
- Tidak boleh kapal bekas dibawah 5000 dwt.
- Pajak yang dikenakan 1,2 %, untung maupun tidak untung.
3
Beban pajak terlalu tinggi dibandingkan dengan Singapur dan Malaysia,
karena belum apa-apa pemilik kapal sudah dikenakan pajak 10 %
sehingga harga jual jasa pelayaran nasional akan lebih tinggi 10 %.
Memang untuk membeli kapal pelayaran nasional diberikan loan,
bebas bea masuk tetapi PPN tetap ada disamping itu bunga bank asing
juga bebeda karena country risk, rupiah beli dollar ( 20 % ). Pada saat
pemerintahan Habibie bea masuk ditunda. Jika kapal dijual lagi setelah
itu baru atas capital gainnya, import duty diperhitungkan dengan
depresiasi
PERANAN LEMBAGA DALAM BISNIS PELAYARAN
1. Eksportir Indonesia di dalam mengirimkan barangnya melalui laut ke
importir ( pembelinya ) di luar negeri sebenarnya bisa membayar
dengan CNF. Bila membayar dengan CNF maka eksportir Indonesia
mempunyai hak untuk menentukan perusahaan pelayaran yang mana saja
untuk di gunakan. Namun dikarenakan tidak ingin menanggung resiko
eksportir batu bara misalnya cenderung menjual dengan FOB, artinya ocean
freight menjadi tanggungan dari importir ( pembeli ) di luar negeri. Pilihan ini
berdasarkan pengalaman yang ada. Misalnya saja pengjualan batu bara,
kadangkala batu bara yang dikirmkannya di tolak importir di luar negeri
dengan alasan bermacam-macam misalnya dengan alasan batu baranya
kalorinya kurang dari yang dijanjikan ( kalori batu bara antara 5000 hingga
6500 ada yang hingga 7000 walaupun jarang ). Bila hal ini terjadi pembeli
seenaknya saja menurunkan harga walaupun alasan bahwa kalori itu bisa
saja akal-akalan pembeli. Bila eksportir indonesia bertahan dengan harga
semula maka importir seenaknya saja membatalkan pembelian dan bila
pembayaran dengan CNF maka ongkos menjadi tanggungan ekportir
Indonesia.
4
Tidak menunjuk pelayaran nasional ternyata tidak saja oleh pihak swasta
namun juga oleh departemen pemerintah. Departemen –departemen
pemerintah sering juga membeli barang-barang berat dengan kondisi CIF
yang berarti penjual luar negeri yang mencari dan menentukan perusahaan
pelayarannya. Sehingga selalu dengan belanjanya yang besar departemen
pemerintahan memberikan keuntungan pada perusahaan pelayaran asing,
misalnya saja untuk pembelian kereta api.
2. Adanya perusahaan pelayaran Indonesia yang tidak mempunyai kapal .
Walaupun kedengarannya aneh namun ini merupakan realita yang tidak
bertentangan dengan undang-undang. Perusahaan yang mengageni
pelayaran asing ada yang memiliki kapal dan ada juga yang tidak memiliki
kapal. Perusahaan pelayaran yang bertindak sebagai agen dan tidak
mempunyai kapal sepenuhnya bertindak sebagai agen tanpa harus
membayar biaya tambahan atas pengelolaan kapal. Hal ini merupakan
kelebihan dari perusahaan pelayaran tanpa kapal sehingga dapat
menawarkan harga yang lebih murah kepada perusahaan pelayaran asing.
Sehingga bisa menawarkan pelayanan 1 call fee bisa sampai US $.100.
walaupun tarif normal adalah US $.500. Itupun sering di subkan ke orang lain.
3. Permasalahan lainnya yang bisa muncul adalah dari organisasi broker
( ISABA ). Perusahaan maupun perorangan yang bertindak sebagai broker
seharusnya bertindak sebagai mediator diantara ships owner dengan cargo
owner. ISABA sebenarnya partner dari National ship owner tetapi pada
kenyataannya mereka menentang poluicy pemerintah. Sehingga cargo-cargo
yang semustinya untuk ke kapal nasional naik ke kapal
asing. Ada anggota-anggota ISABA yang bertindak sebagai charterer untuk
keuntungan yang lebih besar, sehingga sebagai agen mendapatkan komisi,
namun juga mendapatkan keuntungan sebagai broker ( dengan menaik dan
menurunkan harga ). Dengan begitu anggota-anggota ISABA mendapatkan
5
keuntungan sebagai pemilik ( agen ) namun juga mendapat percentase dari
menjual jasa kapal asing yang ketimbang pulang dengan “ tangan kosong ‘
menjual murah jasanya .
4. Dari sisi lain bisa saja perusahaan pelayaran nasional kekurangan tonnage
( space ) sehingga mencharter kapal asing atas nama perusahaan pelayaran
nasional. Sebagai contoh adalah Pertamina yang mencharter kapal-kapal
tanker asing. Namun sebaliknya sering juga terjadi kapal asing digunakan
dengan cara back to back charter dengan dinyatakan di operasikan oleh
orang Indonesia dan dengan UTM ( under tabel Money ) selalu lolos.
6
Tabel III.520 PERUSAHAAN PELAYARAN TERBESAR DI DUNIA
YANG MENGANGKUT PETI KEMAS
Rangking Operator Country / Teritory
No. of Ships
TEU Capacity
in 2001 in 20011 Maersk - SeaLand Denmark 297 694,0542 P&O Nedlloyd United Kingdom/
Netherlands138 343,554
3 Evergreen Group Taiwan 129 325,3854 Hanjin/ DSR-Senator Republic of Korea /
Germany82 258,023
5 Mediterranean Shipping
Switzerland 138 246,708
6 NOL/ APL Singapore 81 224,3447 COSCO China 113 206,1208 NYK Japan 86 170,6089 CP Ship Group Canada 80 147,995
10 CMA-CGM Group Frances 81 141,84211 MOL Japan 65 138,57312 K Line Japan 62 136,46013 Zim Israel 75 131,77614 OOCL Hong Kong 48 129,12115 Hapag-Lloyd Group Germany 32 116,11216 Yang Ming Taiwan 45 112,64917 China Shipping China 92 110,15918 Hyundai Republic of Korea 32 106,15019 CSAV Chile 54 96,93220 Hamburg-Sud Germany 45 79,989
Total 1,775 3,916,554World Fleet 7,009 6,661,963
Sumber : Review of Maritime Transport, UNCTAD, 2001
7
top related