penghapusan hak memilih hukum dalam penyelesaian …repository.radenfatah.ac.id/6579/1/pak izom...
Post on 27-Nov-2020
7 Views
Preview:
TRANSCRIPT
senan
PENGHAPUSAN HAK MEMILIH HUKUM DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERADILAN AGAMA
DI INDONESIA
TesisDiajukan untuk melengkapi salah satu syarat
guna memperoleh gelar Magister Hukum Islam (M. H. I) dalam Program Studi Hukum Islam
Konsentrasi Peradilan Agama
Oleh:M. KARSUL ASWI
NIM. 070203091
PROGRAM PASCASARJANAINSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) RADEN FATAH
PALEMBANG2014
1
Bab. IPENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Islam mengatur seluruh aspek kehidupan sosial dengan seperangkat norma-norma yang
termasuk di dalam adalah norma hukum. Di dalam Alquran banyak menyebutkan
ketentuan-ketentuan norma hukum tersebut, dan Nabi Muhammad saw telah membentuk
struktur hukum dalam mengatur kehidupan masyarakatnya (Sumitro 2005, hlm.7). Hal
yang sama disampaikan oleh Abdul Halim dan Teguh Prasetyo bahwa sejak agama Islam
lahir ia telah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Aturan-aturan tersebut kemudian
dirumuskan oleh Rasulullah saw menjadi sebuah struktur hukum yang berfungsi mengatur
kehidupan manusia.1 Dengan demikian penerimaan Islam sebagai agama serta tunduk pada
hukum Islam merupakan makna kaffah2dalam perintah perintah Allah SWT yang berbunyi:
)البقرة:ياايهاالذ ين امنواادخلوا في السلم كافة ولا تتبعوا خطوات الشيطان انه لكم عدو مبين (
Artinya:”Hai orang-orang beriman masuklah kamu kedalam Islam secara
keseluruhannya, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (Q.S. al-Baqarah: 208 ).
Ibnu Jarir al-Thabani mengutip pendapat banyak mufassir termuka, seperti Ibnu
’Abbas, Mujahid, Qatadah, al-Sudi, Ibnu Zaid dan al-Dhahhak yang memaknai al-Silm
dengan al-Islam. Pendapat ini juga dikuatkan oleh al-Thabrani dan al-Samarqandi. Dengan
demikian ayat ini dapat dimaknai sebagai perintah agar memasuki Islam secara kaffah.
Seorang muslim berkewajiban masuk Islam secara totalitas, Islam harus diterima secara
utuh dengan tidak boleh ada bagian yang ditinggalkan, diabaikan bahkan ditolak. Termasuk
dalam hal ini adalah hukum Islam harus menjadi bagian dari totalitas tersebut. Hal inilah
1http://m-syarifuddin.blogspot.com/2009/06/tranformasi-hukum-islam-dan.html. 28.08.20092 Imam an-Nasafi menafsirkan bahwa kata kaaffah adalah haal (penjelasan keadaan) dari dlomir
(kata ganti) udkhuluu(masuklah kalian) yang bermakna jamii’an (menyeluruh/semuanya, dari kalanganmukminin). Imam Qurthubi, lafadz kaaffah adalah jamii’an (menyeluruh) atau ‘aammatan (umum). (TafsirQurthubiy, Juz III hal 18). (http://www.scribd.com/doc/28451306/001-Menjadi-Muslim-Kaffah #fullscreen:on13 Juli 2010.)
2
paling tidak menjadi motivasi umat Islam untuk menjalankan hukum dalam kehidupan
mereka (http://www.khabarislam.)
Oleh sebab itu dapat dinyatakan bahwa keberadaan hukum Islam di Indonesia
adalah bersamaan dengan keberadaan Islam di Indonesia. Dalam sejarah masuknya Islam
ke Indonesia melalui kawasan nusantara adalah kawasan Utara Pulau Sumatera yang
kemudian dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Secara
perlahan gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak
Aceh Timur. Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh
berdirinya kerajaan Islam pertama di tanah air pada abad ke-13 Masehi. Kerajaan ini
dikenal dengan nama Samudera Pasai yang terletak di wilayah Aceh Utara. Kemudian tidak
beberapa jauh dari Aceh berdirilah kesultanan Malaka, di pulau Jawa berdiri Kesultanan
Demak, Mataram dan Cirebon, selanjutnya di Sulawesi dan Maluku berdiri kerajaan Gowa
dan Kesultanan Ternate serta Tidore.3
Kesultanan-kesultanan tersebut menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif
yang berlaku. Penetapan hukum Islam sebagai hukum positif di setiap kesultanan tersebut
tentu saja menguatkan pengamalannya yang memang telah berkembang di tengah
masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta itu dibuktikan dengan adanya literatur-literatur
fiqh yang ditulis oleh para ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan 17 serta adanya
lembaga-lembaga seperti lembaga tahkim dan tauliyah dari ahlal-Halli wal Aqdi
mengokohkan kebenaran pernyataan ini. Pemberlakuan hukum Islam tersebut
menunjukkan bahwa hukum Islam menempati posisi penting dalam penyelesaian perkara
hukum (Barkatullah 2006, hlm. 69).
Walaupun para ahli sejarah masih berbeda pendapat tentang masuknya Islam ke
Indonesia, ada yang mengemukakan bahwa agama Islam masuk pada abad ke-1 Hijriyah (7
Masehi) dan ada pula yang berpendapat pada abad ke-7 Hijriyah (13 Masehi). Namun
dalam seminar Masuknya Islam ke Indonesia yang diselenggarakan di Medan pada Tahun
1963 disimpulkan bahwa ”Islam telah masuk ke Indonesia pada abad ketujuh/kedelapan
Masehi” (Lubis dkk 1995, hlm.6) Demikian pula pada seminar sejarah masuknya Islam di
Indonesia yang diadakan oleh IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tanggal 8-9 Juni
1993, para cendikiawan tidak puas terhadap metodelogi penulisan yang kebanyakan dari
orang-orang non muslim yang pemahaman Islamnya patut diragukan. Kendati demikian
3http://abulmiqdad.multiply.com/journal/item/13. 28.08.2009
3
para pakar sejarah sepakat bahwa Islam masuk ke Indonesia juga sepakat pada abad ke VII
Masehi. Hamka menegaskan bahwa masuk Islam ke Indonesia bersamaan dengan
masuknya Islam ke tanah-tanah Melayu pada abad ke 1 Hijriyah, Islam masuk dengan jalan
damai dan berangsur-angsur diterima dengan sukarela oleh penduduk Indonesia walaupun
pada saat itu sudah ada agama Hindu dan Budha (Hamka 1961, hlm. 20)
Kemudian pada akhir abad ke 17 Masehi perusahaan dagang Belanda yang dikenal
dengan sebutan VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) yang merupakan gabungan
perusahaan dagang Belanda Hindia Timur merapat di pelabuhan Banten Jawa Barat (fase
pertama dalam penjajahan). Kegiatan bisnis mereka didominasi oleh ambisi untuk
mengeksploitasi sebanyak dan secepat mungkin daerah-daerah penghasil bahan pertanian,
pada saat itu persoalan hukum masyarakat pribumi sama sekali tidak dipedulikan (Lokito
2008, hlm. 201). Sikap semacam ini sangat jelas dalam cara Belanda menangani persoalan
hukum Pribumi yakni hanya hukum-hukum yang sangat penting untuk kepentingan bisnis
mereka saja yang sengaja dibuat oleh Belanda selama periode kurang lebih dua abad dari
kekuasaannya di Nusantara (Ibid, hlm. 196).
Semula maksudnya hanya sekedar berdagang, namun perkembangan lebih lanjut
tujuan itu berubah haluan yaitu ingin menguasai kepulauan Indonesia, sehingga VOC
mempunyai dua fungsi, yaitu sebagai pedagang dan sebagai badan pemerintahan. Dalam
rangka melaksanakan fungsi tersebut, VOC mempergunakan hukum Belanda untuk daerah-
daerah yang dikuasainya dan secara berangsur membentuk badan-badan peradilan.
Walaupun badan-badan peradilan tersebut tidak efektif karena tidak sesuai dengan hukum
yang hidup dan diikuti oleh masyarakat saat itu, oleh sebab itu ada beberapa kompromi
yang dilakukan VOC yaitu:
1)Dalam Statuta Batavia yang ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC dinyatakan bahwa
hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam.
2)Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku ditengah
masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760 yang kemudian dikenal dengan
Compendium Freijer.
3)Adanya upaya Kompilasi serupa di berbagai wilayah lain seperti di Semarang, Cirebon,
Gowa dan Bone. Di Semarang misalnya hasil kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab
Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini memiliki
4
kelebihan dibandingkan Compendium Freijer karena ia juga memuat kaidah-kaidah
hukum pidana Islam.4
Perubahan sikap dari berdagang ke penjajahan itu semakin menjadi saat kendali atas
Nusantara berpindah dari tangan VOC ke tangan pemerintahan Belanda (fase kedua dalam
penjajahan), sebuah fase ketika pengalihan hukum sipil ke Nusantara menjadi lebih serius
seiring dengan perubahan pendekatan Belanda terhadap Nusantara dari sekedar
pendudukan ekonomi menjadi sepenuhnya jajahan. Menurut Ratno Lukito, bisa dibilang
bahwa kemunculan pertama tradisi hukum sipil di Nusantara pada dasarnya melekat pada
praktek penjajahan, dimana ideologi sentralisme hukumnya langsung mengukuhkan
keberadaannya dalam kehidupan masyarakat pribumi (Lokito 2008, hlm. 202). Sebagai
konsekwensinya, Belanda menegakkan tradisi sipil, yang mereka bawa dari negeri asalnya
untuk membangun ideologi hukum negara ditengah berbagai nilai hukum (hukum adat dan
hukum Islam) yang sebelumnya sudah berkembang dalam masyarakat. Dari sinilah hukum
Islam di Indonesia mulai mendapat porsi tersendiri walaupun dalam kerangka balutan
sebuah exspansi.
Perkembangan selanjutnya suasana di Hindia Belanda tidak begitu aman, karena
banyaknya terjadi pelanggaran-pelanggaran nilai-nilai manusiawi, dengan diterapkan
sistem culterstelsel, tidak adanya kepastian hukum dan berjalannya roda pemerintahan
yang terjadi banyak penyimpangan kewenangan di Hindia Belanda. Tentunya hal ini
menarik perhatian dari negeri induknya yakni Belanda. Banyak kecaman datang dari
kelompok liberalisme yang tidak menyetujui dengan gaya pengelolaan negara jajahan yang
tidak manusiawi itu. Untuk itu diperlukannya kebijakan-kebijakan baru dibidang hukum
dan pemerintahan di Hindia Belanda, agar adanya kepastian hukum bagi setiap warga serta
berjalannya roda pemerintahan yang fair. Beratnya tugas yang diemban oleh administrator-
administrator sehingga tidak menghasilkan hasil yang maksimal dan membuka banyak
peluang untuk terjadinya penyelewengan-penyelewengan wewenang, ditambah lagi
kurangnya pengawasan. Hal ini ditandai dengan adanya tugas-tugas kepolisian dan tugas-
tugas peradilan perdata maupun pidana yang harus dijalankan oleh administrator tersebut.
Maka untuk mengatasi semua masalah tersebut maka dikeluarkannya
Regereringsreglement 1854, sebuah upaya untuk menciptakan Hindia Belanda sebagai
negara hukum (rechtstaat) bukan negara yang berdasarkan kepada kekuasaan (machtstaat).
4http://abulmiqdad.multiply.com/journal/item/13. 28.08.2009
5
Adapun inti dari kebijakan ini adalah memerintahkan agar pengelolaan pemerintahan di
Hindia Belanda dengan menggunakan azas trias politika dengan menyerahkan peradilan
kepada hakim yang bebas serta menerapkan azas legalitas untuk mendapat kepastian
hukum serta melarang pemidanaan yang menyebabkan seseorang akan kehilangan hak-hak
perdatanya. Dan kaum pribumi dilindungan semua hak-haknya dengan peraturan-peraturan
yang ada.
Cita-cita kaum liberal untuk mewujudkan kepastian hukum di Hindia Belanda yakni
dengan melakukan unifikasi hukum yang terkenal dengan kebijakan eenheidsbeginsel.
Dengan adanya ide ini, maka setiap masyarakat akan memperoleh hak yang sama dan roda
pemerintahan bisa berjalan dengan baik dan benar. Dengan adanya unifikasi hukum
tersebut maka akan hilangnya diskriminasi terhadap pribumi, karena hak-hak bagi pribumi
akan sama dengan hak-hak bagi kaum eropa, dengan membiarkan dualisme berjalan
ditengah kehidupan Hindia Belanda berarti sama saja dengan membiarkan diskriminasi
terus berjalan di Hindia Belanda.
Namun niat baik dari kaum liberal ini untuk melakukan unifikasi terbentur
dilapangan, karena selama ini masyarakat pribumi hidup dengan menjalankan dualisme
hukum, masyarakat sudah terbiasa dengan hal-hal tersebut, apabila dilakukan juga unifikasi
hukum dengan segera, maka akan mengakibatkan hancurnya lembaga-lembaga adat
masyarakat pribumi yang telah hidup ditengah-tengah masyarakat. Namun secara pragmatis
dan realistik, dengan diterapkannya unifikasi hukum maka akan mengeluarkan biaya yang
banyak dan waktu yang cukup lama, karena banyak yang harus disiapkan untuk menuju
kesana.
Unifikasi mudah dalam cita-cita dan rekaan ideal, tetapi sungguh terasa sulit dalam
pelaksanaan. Lebih dari dua abad lamanya dualisme hukum telah dipertahankan
berlakunya, sehingga untuk melakukan unifikasi tidaklah mudah dan selalu terbentur
tembok keras kenyataan dilapangan. Untuk mewujudkannya memerlukan waktu dan harus
hati-hati dan tidak mengejutkan administrator yang bertanggung jawab ditataran
pemerintahan kolonial.
Maka diambillah jalan tengah yakni dengan menerapkan unifikasi maka
dikeluarkan kebijakan berupa vrijwillige onderwerping dan toepasselijk verklaring.
Vrijwillige onderwerping adalah upaya kecil-kecilan oleh para pencari keadilan bangsa
pribumi secara individual yang dimungkinkan oleh hukum untuk membuat pilihan hukum
6
(antara hukum Eropa atau Adat), kebijakan toepasselijk verklaring adalah upaya besar-
besaran lewat wewenang Gubernur Jenderal untuk menerapkan peraturan perundang-
undangan Eropa tertentu ke golongan pribumi. Maka, dengan dikeluarkannya dua
kebijakan ini, hukum asli rakyat pribumi hanya akan dipakai oleh hakim sejauh hukum itu
tidak bertentangan dengan aturan-aturan yang ada. Ini merupakan bentuk kompromi dalam
melakukan unifikasi disatu sisi dan tetap mempertahankan dualisme hukum disisi yang
lain. Tetapi pada akhirnya dua kebijakan ini merupakan cikal bakal untuk menerapkan
unifikasi hukum untuk hukum-hukum tertentu seperti bidang tenaga kerja dan tanah.
Setelah 25 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, lahirlah Undang-undang Nomor
14 Tahun 1970, yang membagi kewenangan peradilan berdasarkan pada lingkungan
kewenangan yang dimiliki masing-masing berdasarkan diversity jurisdiction, kewenangan
tersebut memberikan kewenangan absolut pada masing-masing lingkungan peradilan sesuai
dengan subject matter of jurisdiction, sehingga masing-masing lingkungan berwenang
mengadili sebatas kasus yang dilimpahkan Undang-undang kepadanya. Lingkungan
kewenangan mengadili itu meliputi:
a. Peradilan Umum berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan
Umum, memeriksa dan memutus perkara dalam hukum Pidana (umum dan khusus) dan
Perdata (umum dan niaga);
b. Peradilan Agama berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama, memeriksa dan memutus perkara perkawinan, kewarisan, wakaf dan shadaqah;
c. Peradilan Tata Usaha Negera berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, memeriksa dan memutuskan sengketa Tata
Usaha Negara;
d. Peradilan Militer yang berwenang memeriksa dan memutus perkara perkara pidana yang
terdakwanya anggota TNI dengan pangkat tertentu.
Kendati masing-masing peradilan memiliki Undang-undang yang mengatur
kewenangannya, pada prakteknya masih ditemukan jenis perkara yang menjadi rebutan
lebih dari satu pengadilan untuk menangani jenis perkara tersebut atau pihak berperkara
punyak hak memilih hukum yang akan digunakan untuk menyelesaikannya yang lebih
dikenal sebagai hak opsi.
7
Ada beberapa perkara yang memiliki pilihan hukum dalam penyelesainnya, baik itu
memang dicantumkan adanya pilihan hukum, maupun karena kedua pengadilan
(Pengadilan Umum/Negeri dan Agama) sama-sama dapat mengadilinya, diantaranya:
1) Dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 diatur tentang pilihan hukum (hak opsi)
para pihak yang berperkara yaitu adanya kebebasan memilih hukum dalam
penyelesaian perkara waris. Pada penjelasan umum atas Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama pada penjelasan umum
poin 2 berbunyi: ”Bidang kewarisan ... para pihak sebelum berperkara dapat
mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan dipergunakan dalam
pembagian warisan”.5
Ketentuan hak opsi ini didahului oleh kalimat alinea yang menegaskan bahwa yang
dimaksud dengan bidang hukum kewarisan yang menjadi kewenangan lingkungan
Pengadilan Agama mengadili perkaranya bagi mereka yang beragama Islam meliputi aspek
hukum penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan harta peninggalan,
penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan pelaksanaan pembagian harta peninggalan
bilamana pewarisan tersebut dilakukan berdasarkan hukum Islam. Penjelasan inilah yang
ditimpali alinea keenam dengan ketantuan hak opsi para ahli waris dalam memilih hukum
waris yang mereka sukai. (Daud 2002. Hlm. 35).
2) Dalam perkara harta bersama yang diajukan oleh mantan suami isteri yang non muslim
dan diperoleh saat dalam pernikahan yang dilaksanakan saat keduanya beragama Islam
dan baru pindah agama setelah keduanya bercerai juga menjadi wilayah titik singgung
Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri dengan alasan pada satu sisi pihak yang
berperkara adalah non muslim namun di sisi lain jenis perkara harta bersama tersebut
adalah akibat dari hubungan perdata secara Islam yakni perkawinan secara agama
Islam.
Terkait wilayah titik singgung tersebut pihak yang mengajukan perkara harus teliti
melihat pokok perkara kemana harus diajukan. Bila salah memasukkan, maka perkara
dianggap cacat formil dan tidak dapat diterima oleh Pengadilan atau Majelis Hakim. Dan
bagi pihak lawan dapat menggunakan lembaga “eksepsi absolut” untuk memohon kepada
Majelis Hakim dalam persidangan agar perkara tersebut tidak menerima.
5 Lihat. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
8
Bila kedua belah pihak tidak menyadari atau tidak mengetahui mengenai
kewenangan sebuah Pengadilan maka dalam pemeriksaan, seorang hakim diberikan
wewenang secara ex officio untuk menyatakan pengadilan tersebut tidak berwenang
meskipun tidak ada eksepsi dari Tergugat. Begitu detailnya pengaturan mengenai
kewenangan absolut tersebut dimaksudkan untuk menghindari kekacauan atau
ketidakpastian hukum bagi pencari keadilan oleh karenanya Yahya Harahap menyebut
kewenangan absolut adalah termasuk public order (kepentingan umum)
(http://www.padompu.com/index.php?option=com_content&view=article&id=245: 22
Januari 2014)
3) Demikian pula pada perkara pengangkatan anak (Adopsi), dalam Undang-undang
Nomor. 3 Tahun 2006 memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk
mengadili permohonan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam, namun Undang-
undang tersebut tidak mencabut kewenangan Pengadilan Negeri untuk mengadili
permohonan pengangkatan anak bagi pemohon beragama Islam, sehingga bagi
Pemohon yang beragama Islam ada 2 (dua) Pengadilan yang mempunyai kewenangan
untuk memeriksa dan menyidangkan perkara permohonan pengangkatan anak, yaitu
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama.
Adanya kewenangan absolut yang sama-sama dimiliki Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Agama terhadap perkara permohonan pengangkatan anak, dapat mengakibatkan
persinggungan kewenangan antara kedua lembaga pengadilan tersebut. Mungkin saja
terhadap permohonan tersebut, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama menyatakan
sama-sama berwenang untuk mengadili, dan bisa pula kedua lembaga pengadilan tersebut
menyatakan tidak berwenang untuk mengadili perkara tersebut.
4) Lahirnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-undang
Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama telah membawa perubahan besar
dalam eksistensi lembaga Peradilan Agama saat ini. Salah satu perubahan yang
mendasar adalah penambahan wewenang lembaga Peradilan Agama (PA) dalam
bidang ekonomi syariah. Berdasarkan pasal 49 huruf (i) Undang-undang Nomor 3
Tahun 2006 ditegaskan bahwa, Peradilan Agama memiliki kewenangan dalam
memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara termasuk ekonomi syariah.
Namun dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan dalam
Pasal 52 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah huruf b
9
membuka peluang adanya pilihan hukum dalam penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah ke
badan non litigasi dan peradilan umum.
Didalam hukum perdata, pilihan hukum terdapat pada kontrak, jika para pihak tidak
menentukan sendiri pilihan hukum, pilihan forum dan pilihan domisilinya, maka sektor
hukum dalam hal ini menyediakan kaidahnya untuk mengatur hal tersebut, yakni mengatur
bahwa dalam kasus yang demikian, hukum manakah yang berlaku pengadilan mana yang
berwenang, atau domisili mana yang dipakai. Tidak begitu banyak menjadi soal jika para
pihak dalam kontrak tersebut berasal dari hukum yang sama, atau berasal dari wilayah
pengadilan yang sama, atau hanya memiliki 1 (satu) domisili. Akan tetapi, akan menjadi
suatu masalah yuridis untuk menentukan hukum mana yang berlaku jika terhadap para
pihak berlaku hukum yang berbeda, misalnya karena masing-masing pihak berasal dari
negara yang berbeda. Pengadilan mana yang berwenang untuk mengadilinya jika
terdapat perselisihan yang berkenaan dengan kontrak, yakni jika para pihak
bertempat tinggal atau berdomisili dari 2 (dua) wilayah pengadilan yang berbeda.
Sebagai konsekuensi logis dari diberlakukannya prinsip kebebasan berkontrak
(freedom of contract), maka para pihak dalam suatu kontrak dapat juga menentukan sendiri
hal-hal sebagai berikut:
- Pilihan hukum (choice of law), dalam hal ini para pihak menentukan sendiri dalam
kontrak tentang hukum mana yang berlaku terhadap interpretasi kontrak tersebut.
- Pilihan forum (choice of jurisdiction), yakni para pihak menentukan sendiri dalam
kontrak tentang pengadilan atau forum mana yang berlaku jika terjadi sengketa di
antara para pihak dalam kontrak tersebut.
- Pilihan domisili (choice of domicile), dalam hal ini masing-masing pihak melakukan
penunjukkan di manakah domisili hukum dari para pihak tersebut.
Ketika para pihak melakukan pilihan hukum, pilihan forum dan pilihan domisili,
tentu hal tersebut dilakukan dengan berbagai pertimbangan dengan untung rugi yang sudah
dipertimbangkan masak-masak. Jika tidak dilakukan pilihan hukum, pilihan forum dan
pilihan domisili, akan menjadi persoalan yuridis yang serius di mana sektor hukum
haruslah memberikan jawaban terutama terhadap pertanyaan, hukum mana yang berlaku
dan pengadilan mana yang berwenang. Sedangkan mengenai domisili mana yang berlaku
juga sering kali menjadi faktor yang digunakan untuk menjawab pertanyaan mengenai
10
pengadilan mana yang berwenang dalam hubungannya dengan kompetensi absolut atau
kompetensi relatif dari pengadilan tersebut.
Yang pertama sekali dilihat untuk menentukan hukum mana yang berlaku terhadap
suatu transaksi adalah apakah para pihak ada menentukan sendiri dalam kontrak tentang
hukum mana yang berlaku jika sengketa. Dalam hal ini, memang kepada para pihak
diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri hukum mana yang berlaku terhadap kontrak
tersebut, Inilah yang disebut dengan prinsip kebebasan berkontrak, yang dalam bahasa
Inggris disebut dengan istilah "Party Autonomy" atau "Freedom of Contract". Meskipun
begitu, pilihan hukum oleh para pihak dalam kontrak bukannya tanpa batas. Batas-batas
tersebut adalah sebagai berikut :
a. Tidak melanggar ketertiban umum;
b. Hanya di bidang hukum kontrak;
c. Tidak boleh mengenai hukum kontrak kerja;
d. Tidak boleh mengenai ketentuan perdata dengan sifat publik.
Penempatan klausula pilihan hukum dalam suatu kontrak mempunyai arti penting
disebabkan hal-hal sebagai berikut :
a. Sebagai sarana untuk menghindari ketentuan hukum memaksa yang tidak efisien;
b. Untuk meningkatkan persaingan yurisdiksial;
c. Memecahkan masalah peraturan berbagai negara.
Tiap-tiap negara memiliki batasan tersendiri sampai sejauh mana hukum dari negara lain
dapat diberlakukan di negara tersebut. Hukum di Amerika Serikat misalnya, sebagaimana
diatur dalam Restate-ment Second menentukan bahwa hakim di sana dapat menolak
pemberlakuan klausula pilihan hukum (menolak pilihan hukum) jika terdapat salah satu di
antara alasan-alasan sebagai berikut :
(1) Tidak mempunyai alasan yang cukup bagi pilihan hukum para pihak;
(2) Tidak mempunyai hubungan yang substansial dengan transaksi yang bersangkutan.
Yang dimaksudkan dengan hubungan yang substansial di sini adalah:
(a) Place of contract formation;
(b) Place of performance;
(c) Domiciles of the licensor and licensee;
(d) Licensor's and licensee's place Tof incorporation, place of corporate
headquarters and place of branch offices.
11
(3) Pilihan hukum melanggar ketertiban umum dari negara bagian yang mempunyai the
most significant relationship;
(4) Negara bagian yang mempunyai the most significant relationship mempunyai suatu
materially greater interest dalam pemecahan masalah khusus dibandingkan dengan
negara bagian yang dipilih.
Di Ontario, Kanada, pilihan hukum asing dapat dibenarkan dengan rambu-rambu
sebagai berikut:
a. Pilihan hukum tersebut sah menurut hukum di negara asing yang bersangkutan;
b. Pilihan hukum tersebut bukan untuk mengelak dari berlakunya hukum memaksa yang
akan diberlakukan oleh pengadilan-pengadilan di Ontario;
c. Pilihan hukum tersebut tidak bertentangan dengan asas ketertiban umum;
d. Pemberlakuan hukum asing tersebut berkenaan dengan masalah fakta hukum.
Pilihan hukum asing bukanlah pernyataan kedaulatan dalam pengertian politik oleh
negara asing tersebut. Yang dimaksud dengan kontrak dengan penetapan waktu adalah
suatu kontrak yang meskipun kontraknya sudah ditandatangani, tetapi prestasi dari salah
satu atau kedua belah pihak baru akan dilaksanakan pada waktu tertentu di kemudian hari.
Lahirnya pilihan hukum dari zaman Penjajahan Belanda yang kemudian setelah
kemerdekaan bertransformasi pada beberapa perkara di peradilan agama merupakan bagian
dari perubahan-perubahan zaman yang diikuti dengan perubahan sosial tata aturan
termasuk didalamnya perkembangan norma atau nilai-nilai yang menjadi kesepakatan
universal yang harus ditaati sebagai patokan hubungan antar manusia, dengan alam dan
dengan Tuhan, dimana beberapa hal tersebut diatas selalu berjalan beriringan. Dinamika
sejarah dan faktor-faktor penggerak yang menyebabkan gerak maju masyarakat biasanya
dirumuskan dalam suatu cara pemikiran tertentu. Beberapa teori yang berkaitan dengan
gerak sejarah adalah:
- Teori Rasial;
Menurut teori ini, ras-ras tertentu merupakan penyebab utama kemajuan sejarah.
Beberapa ras mampu menciptakan budaya dan peradaban, sedang ras lain tidak memiliki
bakat semacam itu. Beberapa ras memberikan sumbangan kepada ilmu pengetahuan,
falsafah, kesenian, keterampilan, dan moralitas, sementara ras-ras lainnya hanya
merupakan konsumen produk-produk ras-ras tertentu.
12
- Teori Geografis;
Menurut teori ini, faktor utama penyebab terciptanya perbedaan dan budaya serta
perkembangan industri ialah lingkungan fisik. Perangai-perangai moderat dan pikiran-
pikiran kuat berkembang di kawasan-kawasan beriklim sedang. Menurut Ibn Sina dalam
bukunya, al-Qanun, faktor lingkungan fisik adalah ragam pemikiran, rasa, dan segi-segi
kejiwaan lainnya dari kepribadian manusia.
- Teori Peranan Jenius dan Pahlawan;
Menurut teori ini, seluruh perubahan dan perkembangan ilmiah, politik, teknologi, dan
moral sepanjang sejarah ditimbulkan oleh orang-orang jenius. Perbedaan antara manusia
dan hewan-hewan lainnya adalah bahwa, dari sudut pandang biologis, seluruh hewan
lainnya adalah sama dalam hal kemampuan-kemampuan alamiah. Sebaliknya, individu-
individu manusia memiliki perbedaan-perbedaan besar dalam hal kemampuan dan bakat
alami. Para jenius setiap masyarakat merupakan individu-individu luar biasa yang
memiliki kemampuan-kemampuan istimewa yang berupa daya berpikir, rasa, kehendak,
dan kreativitas luar biasa. Hampir selalau ada sekelompok kecil individu kreatif pada
hampir semua masyarakat, yang bertindak sebagai pemimpin, pelopor, pembaru dan
penemu, yang menciptakan gagasan-gagasan baru, cara-cara baru dan teknologi baru.
- Teori Ekonomi;
Menurut teori ini, ekonomi merupakan faktor penggerak sejarah. Semua ragam
masyarakat dan sejarah setiap bangsa, termasuk segi-segi budaya, agama, politik,
militer, dan masyarakat, mencerminkan ragam dan hubungan-hubungan produksi suatu
masyarakat. Perubahan apa pun dalam dasar ekonomi suatu masyarakat, secara
keseluruhan, mengubahnya dan membawanya maju. Orang-rang jenius, yang peranan
mereka telah dibahas sebelumnya, merupakan ungkapan-ungkapan kebutuhan ekonomi,
politik, dan sosial masyarakat dan kebutuhan-kebutuhan ini, pada gilirannya,
mempengaruhi perubahan-perubahan sarana produksi.
- Teori Keagamaan;
Menurut teori ini, semua kejadian di dunia berasal dari Tuhan dan ditentukan oleh
kebijaksanaan sempurna Tuhan. Segala evolusi dan perubahan yang terjadi dalam
sejarah merupakan perwujudan-perwujudan kehendak Tuhan dan Kebijaksanaan
Sempurna Tuhan. Jadi, penggerak dan pengubah sejarah ialah Kehendak Tuhan. Drama
sejarah ditulis dan diarahkan oleh Kehendak Tuhan.
13
- Teori Alam;
Ada teori ketiga yang dapat disebut 'teori sifat manusia'. Menurut teori ini, manusia
memiliki sifat-sifat melekat tertentu, yang bertanggung jawab atas watak evolusioner
kehidupan masyarakat. Salah satu sifat semacam itu ialah kemampuan mengumpulkan
dan menyimpan pengalaman-pengalaman hidup. Segala yang telah diperoleh melalui
pengalaman disimpan sehingga menjadi dasar bagi pengalaman-pengalaman
selanjutnya. Sifat kedua manusia adalah kemampuannya untuk belajar lisan dan tulisan.
Pengalaman-pengalaman dan hasil-hasil yang telah dicapai orang lain dikomunikasikan
melalui lisan dan tulisan. Sifat ketiga manusia adalah bahwa ia mampu bernalar dan
mencipta. Sifat ketiga ini membuatnya mampu mencipta dan menemukan, yang
merupakan perwujudan dari daya ciptanya (Murtadha Muthahhari, 1986:208-215)
Dalam teori lain yang dikemukakan Fatum, bahwa manusia pada dasarnya sama
dengan jagad raya, alam. Manusia disebut mikro-cosmos (alam kecil), jagad raya disebut
makro-cosmos (alam raya). Baik alam raya maupun alam kecil tunduk pada suatu hukum
yang dinamakan hukum alam yang telah ditetapkan yakni nasib/fatum. Perjalanan hidup
matahari, bintang, manusia dan sebagainya, tidak menyimpang dari jalan/lingkaran yang
ditentukan oleh nasib/fatum. Menurut Santo Agustinus bahwa sejarah adalah epos
perjuangan antara dua unsur yang saling bertentangan, yakni yang baik dan yang jahat atau
civitas dei dengan civitas diaboli (diaboli = setan, iblis). Sedangkan Menurut Ibnu Khaldun
dengan teori progresif-linear menyatakan bahwa sejarah adalah berdasarkan pada
kenyataan dan tujuan sejarah adalah agar manusia sadar akan perubahan masyarakat.
Seluruh peristiwa dalam panggung sejarah kemanusiaan itu adalah suatu garis menaik dan
meningkat ke arah kemajuan dan kesempurnaan. Menurut Oswald Spengler dengan
bukunya yang berjudul Der Untergang des Abendlandes (Decline of the West = keruntuhan
dunia barat-eropa) ia bertindak laksana seorang ahli nujum dan meramalkan keruntuhan
eropa.
Menurut Arnold J. Toynbee dalam karangannya ”A Study of History” yang
didasarkan pada penyelidikan 21 kebudayaan sempurnah seperti Yunani-Roma, Maya
(Amerika Tengah), Hindu, Barat (Eropa), Eropa Timur dan seterusnya dan 9 kebudayaan
tidak sempurnah seperti Eskimo, Sparta, Polynesia, Turki dan lain-lain. Kesimpulannya
adalah bahwa dalam gerak sejarah tidak terdapat hukum tertentu yang menguasai dan
mengetur timbul tenggelamnya kebudayaan-kebudayaan dengan pasti.
14
Menurut Pitirim Sorokin dengan teorinya Fluctuation from age to age yaitu naik
turun, pasang surut, timbul tenggelam dengan berganti-ganti. Ia menyatakan tentang
adanya cultural universe atau alam kebudayaan dan didalam alam kebudayaan itu terdapat
masyarakat-masyarakat dan aliran-aliran kebudayaan dan menurut William H. Frederick
dengan tiga teorinya; teori perputaran yang mengatakan bahwa pola kejadian dan ide
mengenai manusia terbatas sama sekali dan diulangi lagi pada selang-selang waktu
tertentu; teori takdir yang menganggap bahwa semua sebab-penyebab berasal dari ikut
campurnya takdir atau Allah; teori kemajuan, yang berpusatkan kepada sebab-penyebab
kejadian mengenai manusia, dan selanjutnya bahwa dengan berlakunya waktu, peradaban
manusia dalam keseluruhan secara otomatis mengalami perbaikan.
Berdasarkan uraian tentang sejarah lahirnya hukum Islam dalam kehidupan
masyarakat Islam Indonesia yang kemudian lahirnya Peradilan Agama menunjukkan
antusiasme umat Islam dalam upaya menerapkan hukum Islam dan gambaran akan
kebutuhan mereka terhadap hukum tersebut. Sejak lahirnya pilihan hukum pada zaman
penjajahan sampai kemudian terdapat pada beberapa perkara Peradilan Agama lahir dan
dihapusnya hak memilih hukum menjadi warna tersendiri dalam perkembangan hukum
Islam di Indonesia. Tulisan ini mencoba menelaah tentang ”Penghapusan Hak Memilih
Hukum dalam Penyelesaian Perkara Waris, Adopsi Anak, Pembagian Harta Bersama dan
Ekonomi Syari’ah di Indonesia dikaitkan dengan asas-asas Peradilan, teori sejarah dan
dampaknya pada perkembangan hukum Islam di Indonesia.
Rumusan Masalah:
Berdasarkan dari latar belakang di atas, maka masalah pokok yang akan dibahas dalam
tulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah yang melatarbelakangi lahirnya pilihan hukum dalam perkara di
Peradilan Agama di Indonesia?
2. Mengapa hak memilih hukum dihapuskan dalam perkara Peradilan Agama di Indonesia?
3. Apa dasar penetapan hukum waris, pengangkatan anak, pembagian harta bersama dan
ekonomi syari’ah sebagai wewenang absolut Peradilan Agama di Indonesia?
15
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui sejarah yang melatarbelakangi lahirnya pilihan hukum dalam
perkara di Peradilan Agama di Indonesia.
2. Untuk mengetahui alasan dihapusnya pilihan hukum dalam perkara di Peradilan
Agama di Indoensia.
3. Untuk mengetahui dasar hukum penetapan waris, pengangkatan anak, pembagian
harta bersama dan ekonomi syari’ah sebagai wewenang absolut Peradilan Agama di
Indonesia.
Tinjauan Pustaka
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-undang Nomor 3
Tahun 2006 sebagai amandemen pertama dan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009
amandemen kedua Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, dari penelusuran
penulis tidak banyak dibahas secara khusus oleh para pemikir dan pemerhati perkembangan
hukum Islam di Indonesia khususnya tentang penghapusan hak memilih hukum dalam
perkara waris, pengangkatan anak, pembagian harta bersama dan ekonomi syari’ah.
Sebagai contoh dalam buku ”Hukum Waris Islam (Lengkap & Praktis)” karangan
Suhrawardi K. Lubis, S.H dan Komis Simanjuntak, S.H pada halaman 16 dan 17
dipaparkan analisa singkat tentang penetapan secara tegas dalam pasal 49 ayat (2) huruf b
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 bahwa bagi rakyat yang beragama Islam lembaga
peradilan yang berwenang untuk memutus perkara warisnya hanya Pengadilan Agama,
akan tetapi undang-undang tersebut masih membuka kemungkinan dengan adanya hak opsi
(hak para ahli waris untuk memilih hukum waris mana yang mereka sukai untuk
menyelesaikan perkara warisan mereka).
Suhrawardi dan kawan-kawan berpendapat bahwa pembuat Undang-undang ini
sebenarnya masih ragu-ragu (belum konsekuen), sebab dengan adanya hak opsi ini maka
ketentuan yang terdapat di dalam pasal 49 ayat (2) huruf b tersebut telah dianulir. Namun
demikian apabila ditinjau dari sudut ilmu hukum ”hak opsi” ini sebenarnya sudah tepat,
sebab masalah kewarisan termasuk dalam lingkup hukum perdata (hukum privat),
sedangkan hukum privat itu selalu ”bersifat mengatur atau aanvullrenrecht.
16
Di dalam buku ”Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia” karangan
Sulaikun Lubis dan kawan-kawan diterangkan 42 perubahan namun juga tidak membahas
secara khusus tentang penghapusan hak opsi dimaksud. Hanya pada bab V halaman 61
sampai 62 ada pembahasan tentang asas-asas umum yang terdapat dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 di antaranya adalah asas personalitas keislaman. Asas ini bermakna
bahwa yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan lingkungan Peradilan
Agama hanya mereka yang beragama Islam. Dengan perkataan lain, seorang non muslim,
tidak tunduk dan tidak dapat dipaksakan tunduk kepada kekuasaan Peradilan Agama.
Namun Prof. Abdul Gani Abdullah6 dalam buku yang sama di halaman berikutnya
menyatakan bahwa ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang asas
personalitas keislaman lebih menekankan pada asas agama pihak pengaju perkara tanpa
memperdulikan agama pihak lain.
Kerangka Teori
Pengadilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia, ikut
memikul tugas pelayanan, penegakan hukum dan keadilan bidang-bidang hukum tertentu
yang diberikan Undang-undang. Tugas pokoknya adalah “Menerima, memeriksa dan
mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya”, di dalamnya terkandung
apa yang disebut proses peradilan. Hukum yang mengatur bagaimana cara-cara pengadilan
menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara yang diterima adalah hukum
acara.
Hukum acara perdata merupakan norma-norma imperatif prosuderal untuk dipatuhi
oleh Hakim dan penegak hukum lainnya seperti panitera pengganti, juru sita, advokat,
kuasa insidental dan pihak-pihak lainnya. Di dalam norma-norma tersebut terdapat asas-
asas yang juga harus patuhi dalam proses peradilan misalnya asas umum peradilan, asas
badan peradilan, asas pada hakim dan pejabat peradilan dan asas dalam pemeriksaan
perkara. Pilihan hukum bersentuhan langsung dengan asas-asas dimaksud misalnya, Asas
mengadili menurut hukum, Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
tentang Kekuasaan Kehakiman, “Peradilan mengadili menurut hukum dengan tidak
membedakan orang”, Asas Nondiskriminasi Kategoris (asas yang melarang membeda-
6 Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia,Penyunting Subhan dan Neng Djubaedah (Jakarta: Gema Insani Press, 1994) hlm. 50-52. Lihat pula A. GaniAbdullah dalam Mimbar Hukum no. 12 Tahun V/1994, hlm. 46-48.
17
bedakan perlakuan pelayanan berdasarkan status sosial, ras, agama, suku, jenis kelamin dan
budaya), Asas hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya, dalam
Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama ada asas personalitas keislaman, asas Lex Specialis
derogate legi generali (aturan yang khusus mengalahkan aturan yang umum), lex
posteriori derogate lex priori (aturan yang lama [yang berlaku terdahulu]
dikalahkan/dibatalkan aturan yang baru [berlaku belakangan]), lex superiori derogat legi
inferiori (aturan yang lebih tinggi hirarkinya mengalahkan yang lebih rendah).
Transformasi pilihan hukum dapat dilihat dari aspek sejarah, dalam teori sejarah,
beberapa ahli mengemukanan diantaranya Ibnu Khaldun dengan teorinya progresif-linear,
berdasarkan kenyataan. Menurut Ibnu Khaldun bahwa seluruh peristiwa dalam panggung
sejarah kemanusiaan itu adalah suatu garis menaik dan meningkat ke arah kemajuan dan
kesempurnaan. Sedangkan menurut Pitirim Sorokin berpendapat bahwa gerak sejarah
terutama menunjukan fluctuation from age to age yaitu naik turun, pasang surut, timbul
tenggelam dengan berganti ganti. Sementara menurut Musthada Mutachari gerak sejarah
ditentukan beberapa hal sebagai berikut: ras, geografis, jenius dan pahlawan, ekonomi,
keagamaan dan alam.
Metodologi Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan penulis adalah penelitian deskriftif dengan pendekatan
sejarah.7 Menurut Mohammad Nazir (1988; hlm. 55-62) metode sejarah mempunyai
perspektif historis yang banyak sekali macamnya, tapi secara umum dapat dibagi atas
empat jenis, yaitu: Penelitian sejarah komparatif, penelitian yuridis atau legal, penelitian
biografis dan penelitian bibliografis.8
Dalam penelitian ini penekanannya kepada jenis penelitian yuridis atau legal
metode yaitu menggunakan sejarah diinginkan untuk menyelidiki hal-hal yang menyangkut
7 Sejarah adalah deskripsi yang terpadu dari keadaan-keadaan atau fakta-fakta masa lampau yangditulis berdasarkan penelitian serta studi yang kritis untuk mencari kebenaran (Nevin, 1933). Penelitiandengan menggunakan metode sejarah penyelidikan yang kritis terhadap keadaan-keadaan, perkembangan,serta pengalaman dimasa lampau dan menimbang secara cukup teliti dan hati-hati tentang bukti validitas darisumber sejarah serta interpretasi dari sumber-sumber keterangan tersebut.
8Pertama: Penelitian sejarah komparatif metode sejarah dipergunakan untuk membandingkan factor-faktor dari fenomena-fenomena sejenis pada suatu periode masa lampau. Kedua: Penelitian yuridis atau legalmetode sejarah diinginkan untuk menyelidiki hal-hal yang menyangkut dengan hukum, baik hukum formalataupun hukum nonformal masa yang lalu. Ketiga: Penelitian biografis metode sejarah yang digunakan untukmeneliti kehidupan seseorang dan hubungannya dengan masyarakat dinamakan penelitian biografis.
18
dengan hukum, baik hukum formal ataupun hukum nonformal masa yang lalu. Dan oleh
karena penelitian ini bersifat penelitian pustaka, maka untuk menuju hasil yang akan
dicapai penelitian ini menggunakan metode studi perpustakaan, yaitu mencari teori-teori
dan konsep-konsep yang dapat dijadikan landasan teoritis bagi penelitian yang akan
dilakukan (Suryabrata 1997, hlm.16).
Namun jika dilihat dari segi kegunaan atau menfaatnya, penelitian ini dapat
dikategorikan sebagai jenis penelitian terapan (applied research), yakni jenis penelitian
yang dilakukan dalam rangka menjawab kebutuhan dan memecahkan masalah-masalah
praktis, sehingga jenis penelitian ini dapat juga disebut dengan operational research
(penelitian operasi) atau action research (penelitian kerja) (Supardi 2005, hlm.26).
Pendekatan
Sedangkan pendekatan yang dipakai dalam menjawab persoalan yang telah dirumuskan
adalah menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan
konseptual (conceptual approach). Pendekatan Undang-undang (statute approach)
dilakukan dengan cara menelaah undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan
masalah yang sedang diteliti (Marzuki 2005, hlm.93). Pendekatan konseptual (conceptual
approach) beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang yang
selanjutnya akan menjadi sandaran argumentasi dalam memecahkan permasalahan (Ibid,
hlm.95).
Sumber Data
Sumber data primer penelitian ini diambil dari ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis yang ada
kaitannya dengan waris dan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 perubahan atas Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang
pelaksanaan Pengangkatan anak, Buku Pelaksanaan tugas dan administrasi Pengadilan
dalam empat lingkungan peradilan, buku II edisi 2007 tentang peradilan umum, terbitan
mahkamah agung RI tahun 2009 pada alinea 2 angka 7. Sedangkan sumber data sekunder
diambil dari buku: ”Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah
Syari’ah di Indonesia” yang ditulis oleh Dr. Drs. H. M. Fauzan, SH., M.M., M.H.,
”Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia” dan ”Hukum Islam dan
19
Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan)” yang ditulis oleh Mohammad Daud Ali,
”Pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia” yang ditulis oleh Bustanul Arifin serta buku-
buku lain yang ada kaitannya dengan pembahasan.
Teknik Pengumpulan Data
Karena penelitian ini merupakan penelitian perpustakan, maka dalam kegiatan
pengumpulan data peneliti mencari dan mengumpulkan sumber-sumber data yang ada pada
perpustakaan. Selanjutnya dari sumber-sumber tersebut dicari bagian-bagian yang ada
relevansinya dengan penelitian yang akan dilakukan, kemudian dikelompokkan
berdasarkan pokok-pokok bahasan yang akan dibahas dalam penelitian ini.
Teknik Pengolahan
Data yang diperoleh akan dianalisa secara deskriftif kualitatif, yaitu dengan cara
memberikan interpretasi terhadap data yang diperoleh secara rasional dan obyektif,
kemudian menggambarkan hubungan antara variabel yang satu dengan variabel lain yang
diteliti kemudian dihubungkan dengan teori-teori, asas-asas dan kaeidah-kaidah hukum
yang diperoleh dari studi kepustakaan sehingga dapat menggambarkan fenomena yang ada
secara lebih konkret dan terperinci.
Sistematika Pembahasan
Dalam kajian ini penulis mensistematisasikan pembahasan ke dalam beberapa bab yang
pada dasarnya merupakan suatu kesatuan utuh. Tulisan ini terdiri dari empat bab, yaitu;
Bab pertama menyajikan latar belakang munculnya masalah yang akan diteliti, pokok
permasalahan yang menjadi fokus kajian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
kerangka teori, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua akan membahas eksistensi dan sejarah penerapan hukum Islam di
Indonesia. Pada bab ini akan dipaparkan fakta pada tiap fase sejarah tentang eksistensi
hukum Islam di Indonesia dengan perkembangan situasi politik dan sosial masyarakat
Indonesia sampai pada sekarang dan sampai pada lahir dan dihapusnya pilihan hukum.
Bab ketiga merupakan inti pembahasan yang membahas secara mendalam tentang
masalah hukum waris, pengangkatan anak, pembagian harta bersama dan ekonomi syari’ah
dan pilihan hukum yang menyertainya baik sejak kemunculannya maupun dihapusnya
20
pilihan hukum tersebut dikaitkan dengan beberapa asas-asas umum peradilan, asas badan
peradilan, asas pada hakim dan pejabat peradilan dan asas dalam pemeriksaan perkara,
kemudian akan dilihat dari sisi filosofi hukum, sosiologi hukum dan uridis hukumnya serta
dalam kontek pengaruhnya pada eksistensi hukum Islam di Indonesia. Dalam bab ini juga
data yang diperoleh dari penelitian, disusun dan ditulis dalam bentuk deskripsi dan
dianalisa dengan menggunakan teknik deskriptif kualitatif, yakni dengan memberikan
interpretasi terhadap data yang diperoleh secara rasional dan obyektif, kemudian
menggambarkan hubungan antara variabel yang satu dengan variabel lain yang diteliti agar
dapat menggambarkan fenomena yang ada secara lebih konkret dan terperinci.
Bab keempat, sebagai bab penutup dari kajian ini, yang berisikan penegasan
jawaban terhadap pokok-pokok permasalahan yang telah diuraikan pada bab pendahuluan.
Selain itu juga akan dikemukakan pula sejumlah saran serta rekomendasi dan implikasi
sebagai pijakan untuk melakukan aksi lebih lanjut berkenan dengan obyek yang dikaji lebih
dalam penelitian ini.
21
Bab. II
EKSISTENSI DAN SEJARAH PENERAPAN HUKUM ISLAM
DI INDONESIA
Pengertian Hukum Islam
Ada banyak pendapat para pakar hukum tentang defenisi hukum di antaranya adalah
menurut Pertama, Tullius Cicerco (Romawi) dalam “de legibus” Hukum adalah akal
tertinggi yanng ditanamkan oleh alam dalam diri manusia untuk menetapkan apa yang
boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Kedua, Hugo Grotius (Hugo De Grot) dalam
“De Jure Belli Pacis” (Hukum Perang dan Damai), 1625: Hukum adalah aturan tentang
tindakan moral yang mewajibkan apa yang benar. Ketiga, J.C.T. Simorangkir, SH dan
Woerjono Sastropranoto mengatakan bahwa: Hukum adalah peraturan-peraturan yang
bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat
yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib. Keempat, Thomas Hobbes dalam
“Leviathan” 1651: Hukum adalah perintah-perintah dari orang yang memiliki kekuasaan
untuk memerintahkan dan memaksakan perintahnya kepada orang lain. Kelima, Rudolf von
Jhering dalam “Der Zweck Im Recht” 1877-1882. Hukum adalah keseluruhan peraturan
yang memaksa yang berlakku dalam suatu negara. Keenam, Plato. Hukum merupakan
peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat. Ketujuh,
ArisToteles. Hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat
masyarakat tetapi juga hakim. Kedelapan, Mochtar Kusumaatmadja dalam “Hukum,
Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional” (1976:15): Pengertian hukum yang memadai
harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas
yang mengatur kehidupan manusia dalam masyrakat, tetapi harus pula mencakup lembaga
(institusi) dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan
(http://putracenter.net)
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia ada empat pengertian, (1) peraturan atau adat
yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah;(2)
Undang-undang, peraturan, dsb untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat; (3) patokan
(kaidah, tertentu) mengenai peristiwa (alam dsb) yang tertentu, (4) keputusan
22
(pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dl pengadilan); vonis
(http://kamusbahasaindonesia.org/hukum)
Kata hukum berasal dari bahasa Arab hukm yang berarti putusan (judgement) atau
ketetapan (provision). Dalam buku Ensiklopedi Hukum Islam, hukum berarti menetapkan
sesuatu atau meniadakannya (Hafiz 1997, hlm. 571) Sementara dalam A Dictionary of Law
dijelaskan tentang pengertian hukum sebagai berikut:
“Law is the enforceable body of rules that govern any society or one of the rules making up
the body of law, such as Act of Parliament”(Elizabeth 1997, hlm. 259)
Artinya: “Hukum adalah suatu kumpulan aturan yang dapat dilaksanakan untuk mengatur/
memerintah masyarakat atau aturan apa pun yang dibuat sebagai suatu aturan
hukum seperti tindakan dari Parlemen.”
Bagi kalangan muslim, jelas yang dimaksudkan sebagai hukum adalah Hukum
Islam, yaitu keseluruhan aturan hukum yang bersumber pada Alquran dan untuk kurun
zaman tertentu lebih dikonkretkan oleh Nabi Muhammad dalam tingkah laku Beliau yang
lazim disebut Sunnah Rasul. Di dalam Alquran dan al-Sunnah tidak ditemukan istilah al-
hukm al-Islam, yang digunakan adalah kata syari’at yang dalam penjabarannya kemudian
lahir istilah fiqh (Rofiq 1995, hlm. 3)
Sementara itu Rifyal Ka’bah9 mengemukakan bahwa hukum Islam adalah
terjemahan dari istilah Syariat Islam (asy-syari’ah al-Islamiyyah) atau figh (al-Fiqh al-
Islami). Syariat Islam dan figh Islam adalah dua buah istilah otentik Islam yang berasal dari
perbendaharaan kajian Islam sejak lama. Kedua istilah ini dipakai secara bersamaan atau
silih berganti di Indonesia dari dahulu sampai sekarang dengan pengertian yang kadang-
kadang berbeda, tetapi juga sering mirip. Hal ini sering menimbulkan kerancuan-kerancuan
di kalangan masyarakat bahkan diantara para ahli.
Hasbi Ash-Shiddieqi memberikan defenisi bahwa hukum Islam adalah koleksi daya
upaya para ahli hukum untuk menerapkan syari’at atas kebutuhan masyarakat (Syarifuddin
1993, hlm.18) Dalam khasanah ilmu hukum di Indonesia, istilah hukum Islam dipahami
sebagai penggabungan dua kata, hukum dan Islam. Hukum adalah seperangkat peraturan
tentang tindak tanduk atau tingkah laku yang diakui oleh suatu negara atau masyarakat
yang berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya.10 Kemudian kata hukum disandarkan
kepada kata Islam. Jadi dapat dipahami bahwa hukum Islam adalah peraturan yang9 Ulusan berikut dikutif dan disarikan dari, Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia,Buletin
Dakwah, 19 Mei 2006.
23
dirumuskan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku Mukallaf
yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk Islam (Syarifuddin, op.cit.,
hlm.18)
Pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia
Sejarah hukum Islam di Indonesia pernah mengakar sebelum masuknya kolonialisasi di
Indonesia. Masa ini terjadi pada masa kerajaan-kerajaan Islam ke Indonesia yang
memberlakukan hukum Islam dan corak pemerintahan Islam (Gani 1983, hlm. 20) Proses
Islamisasi hukum Islam terjadi pada awalnya dilakukan oleh saudagar-saudagar Arab dan
masyrakat Indonesia dengan cara kontak dagang dan perkawinan. Kontak dagang dan
perkawinan dengan orang Indonesia dilakukan berdasarkan kaedah-kaedah nilai-nilai Islam
yang disesuaikan dengan budaya setempat. Pembentukan keluarga Islam inilah kemudian
menjadi masyarakat Islam Indonesia.
Setelah hukum Islam mengakar kemudian tugas saudagar digantikan oleh ulama
untuk melaksanakan syiar Islam di Indonesia, dari ulama inilah kemudian raja-raja belajar
Islam dan selanjutnya memberlakukan hukum Islam walaupun tidak secara penuh (Hamka
1961, hlm. 53) Hukum Islam berlaku setapak demi setapak tanpa paksaan dan tanpa
menimbulkan bentrokan dengan budaya dan adat asli Indonesia yang telah lama hidup,
bukan dengan cara penaklukan atau “Par Conques” akan tetapi hukum Islam dapat
diterima oleh masyarakat Indonesia dengan bijaksana, penetrasi damai dan menghargai
budaya asli Indonesia.
Transformasi sosial yang bercorak Islam ini kemudian diberlakukan oleh raja-raja
di Indonesia. Hukum Islam diberlakukan oleh raja-raja dengan cara mengangkat ulama-
ulama untuk menyelesaikan sengketa. Bentuk peradilannya berbeda-beda tergantung
bentuk peradilan adat. Karena pelaksanaan peradilan yang bercorak Islam dilakukan
dengan cara mencampurkan (mengawinkan) dengan bentuk peradilan adat di Indonesia
pada kerajaan-kerajaan di Jawa pada pelaksanaannya ahli hukum Islam memilki tempat
yang terhormat yang kemudian dikenal dengan sebutan penghulu dimana tugasnya di
samping sebagai ulama juga menyelesaikan perkara-perkara perdata, perkawinan dan
kekeluargaan yang prosesnya diselesaikan di masjid (Ali 1984, hlm.6)
10McDonald menggambarkan hukum Islam itu sebagai pengetahuan tentang semua hal baik bersifat manusiawi maupun ketuhanan, Development of Muslim Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory, Khayats Oriental Reprints No. 10. Beirut, 1965, hlm. 66.
24
Hukum Islam di Indonesia lahir dari hasil perkawinan antara hukum Islam normatif
(syari’ah) dengan muatan-muatan lokal Indonesia. Oleh karenanya untuk melihat hukum
Islam di Indonesia secara utuh, penggunaan perspektif historis sangatlah penting. Sejarah
pemberlakuan hukum Islam di Indonesia terbagi menjadi tiga periode yaitu sebagai berikut:
Pertama Masa Kerajaan, sebelum Islam datang ke Indonesia, di Indonesia telah ada dua
macam peradilan, yakni peradilan pradata dan peradilan padu. Peradilan pradata yang
mengurusi perkara-perkara yang menjadi urusan raja dan peradilan padu yang mengurusi
perkara-perkara yang bukan menjadi urusan agama. Dilihat dari segi materi hukumnya,
pengadilan pradata bersumber pada hukum Hindu, sedangkan pengadilan padu berdasarkan
pada hukum Indonesia asli. Selain berbeda sumbernya, dua macam pengadilan tersebut
juga berbeda lingkungan kekuasaannya. Aturan-aturan hukum pradata dilukiskan dalam
Papakem atau kitab hukum sehingga menjadi hukum tertulis, sedangkan hukum padu
bersumber pada hukum kebiasaan dalam praktik sehari-hari, sehingga merupakan hukum
tidak tertulis (Departemen Agama 2004, Hlm. 303-304)
Setelah Islam masuk ke Indonesia dan berdirilah beberapa kerajaan Islam, maka
saat periode ini hukum Islam berlaku secara penuh terhadap orang Islam karena mereka
memeluk agama Islam yang lebih dikenal dengan teori Receptie in complexu. Ini terjadi
sejak adanya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia sampai zaman VOC. Untuk masuk
kepada sejarah kerajaan-kerajaan Islam dimaksud ada 3 teori tentang masuknya Islam ke
Indonesia menurut Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya yang berjudul Menemukan
Sejarah dikemukakan teori-teori sebagai berikut:
1. Teori Gujarat
Teori ini berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13 dan
pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay) India. Dasar dari teori ini adalah:
a. Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di
Indonesia;
b. Hubungan dagang Indonesia dengan India telah lama melalui jalur Indonesia-
Cambai-Timur Tengah-Eropa;
c. Adanya batu nisan Sultan Samudra Pasai yaitu Malik al-Saleh tahun 1297 yang
bercorak khas Gujarat.
Pendukung teori Gujarat adalah Snouck Hurgronye, WF. Stutterheim dan Bernard
H.M.Vlekke. Para ahli yang mendukung teori Gujarat lebih memusatkan perhatiannya
25
kepada saat timbulnya kekuasaan politik Islam yaitu adanya kerajaan Samudera Pasai. Hal
ini juga bersumber dari keterangan Marcopolo dari Vanesia (Italia) yang pernah singgah ke
Peureulak tahun 1292. Ia menceritakan bahwa di Peureulak sudah banyak penduduk yang
memeluk agama Islam dan banyak pedagang Islam dari India yang menyebarkan agama
Islam.
2. Teori Makkah
Teori ini muncul sebagai sanggahan terhadap teori Gujarat. Teori Makkah berpendapat
bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 dan pembawanya berasal dari bangsa
Arab (Mesir). Dasar teori ini adalah:
a. Pada abad ke 7 yaitu tahun 674 di pantai barat Sumatera sudah terdapat
perkampungan Islam (Arab) dengan pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah
mendirikan perkampungan di Kanton sejak abad ke 4. Hal ini juga sesuai dengan
berita Cina;
b. Kerajaan Samudera Pasai menganut aliran mazhab Syafi’i, pengaruh mazhab Syafi’i
terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Makkah, sedangkan Gujarat/India
penganut mazhab Hanafi;;
c. Raja-raja Samudera Pasai menggunakan gelar al-Malik, gelar tersebut berasal dari
Mesir.
Pendukung teori ini adalah Hamka, van Leur dan T.W. Arnold. Para ahli yang
mendukung teori ini menyatakan bahwa abad 13 telah berdiri kekuasaan politik Islam, jadi
masuknya ke Indonesia terjadi jauh sebelumnya yaitu abad ke 7 dan yang berperan besar
terhadap proses penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri.
3. Teori Persia
Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad ke 13 dan pembawanya
berasal dari Persia (Iran). Dasar teori ini adalah kesamaan budaya Persia dengan budaya
masyarakat Islam Indonesia seperti:
a. Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Hasan dan Husien cucu
Nabi Muhammad saw, yang sangat dijunjung oleh orang syi’ah/Islam Iran. Di
Sumatera Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut.
Sedangkan di Pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur syuro.
b. Kesamaan ajaran Syufi yang dianut Syaikh Seti Jennar dengan Syufi dari Iran yaitu
al-Hallaj;
26
c. Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab untuk tanda-tanda
bunyi Harakat;
d. Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik;
e. Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik. Leren adalah nama salah
satu pendukung teori ini yaitu Umar Amir Husien dan P.A. Husien Jayadiningrat.
Ketiga teori tersebut pada dasarnya masing-masing memiliki kebenaran dan
kelemahan masing-masing. Maka dapat disimpulkan dari ketiga teori tersebut dapatlah
disimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan jalan damai pada abad ke 7 dan
mengalami perkembangannya pada abad ke 13. Sebagai pemegang peranan dalam
penyebaran Islam adalah bangsa Arab, bangsa Persia dan Gujarat (India).
Sejarah telah membuktikan bahwa beberapa kerajaan-kerajaan Islam Indonesia
telah memberlakukan hukum Islam secara penuh di antaranya adalah:
Pertama, Kerajaan Samudera Pasai. Kerajaan initelah memberlakukanhukum Islam secara
penuh terhadap orang Islam. Mengenai awal dan tahun berdirinya kerajaan ini tidak
diketahui dengan pasti. Akan tetapi menurut Prof. A. Hasyim berdasarkan naskah tua yang
berjudul Izharul Haq yang ditulis oleh al-Tashi dikatakan bahwa sebelum Samudera Pasai
berkembang sudah ada pusat pemerintahan Islam di Peureulak (Perlak) pada pertengahan
abad ke-9.
Perlak berkembang sebagai pusat perdagangan, tetapi setelah keamanannya tidak
stabil maka banyak pedagang yang mengalihkan kegiatannya ketempat lain yakni ke Pasai,
akhirnya Perlak mengalami kemunduran. Dengan kemunduran Perlak maka tampillah
seorang penguasa lokal yang bernama Marah Silu dari Samudera yang berhasil
mempersatukan daerah Samudera dan Pasai. Dan kedua daerah tersebut dijadikan sebuah
kerajaan dengan nama Samudera Pasai.
Kerajaan Samudera Pasai terletak di Lhokseumauwe, Aceh Utara yang berbatasan
dengan Selat Malaka. Posisi Samudera Pasai sangat strategis karena terletak dijalur
perdagangan Internasional yang melewati Selat Malaka. Dengan kondisi itu Samudera
Pasai berkembang menjadi kerajaan Islam yang cukup kuat, dan di pihak lain Samudera
Pasai berkembang sebagai bandar transito yang menghubungkan para pedagang Islam yang
datang dari barat dan para pedagang Islam yang datang dari arah timur. Keadaan ini
mengakibatkan Samudera Pasai mengalami perkembangan yang cukup pesat pada masa itu
baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya.
27
Kerajaan Samudera Pasai didirikan oleh Marah Silu bergelar Sultan Malik al-Saleh
sebagai raja pertama yang memerintah tahun 1285-1297. Pada masa pemerintahannya
datang seorang musafir dari Vanetia (Italia) tahun 1292 yang bernama Marcopolo, melalui
catatan perjalanan Marcopolo-lah maka dapat diketahui bahwa raja Samudera Pasai
bergelar Sultan. Setelah sultan Malik al-Saleh wafat, maka pemerintahannya digantikan
oleh keturunannya yaitu Sultan Muhammad yang bergelar Sultan Malik al-Tahir (1297-
1326). Pengganti Sultan Muhammad adalah Sultan Ahmad yang juga bergelar Sultan Malik
al-Tahir II (1326-1348). Pada masa ini pemerintahan Samudera Pasai berkembang pesat
dan terus menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan Islam di India maupun Arab.
Bahkan melalui catatan kunjungan Ibnu Batu-lah seorang utusan dari Sultan Delhi tahun
1345 dapat diketahui bahwa Samudera Pasai merupakan pelabuhan yang penting da
istananya disusun dan diatur secara India dan Fatihnya bergelar Amir.
Pada masa selajutnya pemerintahan Samudera Pasai tidak banyak diketahui karena
pemerintahan Sultan Zaenal Abidin yang juga bergelar Sultan Malik al-Tahir III kurang
begitu jelas. Menurut sejarah Melayu, kerajaan Samudera Pasai diserang oleh kerajaan
Siam. Dengan demikian karena tidak adanya data sejarah yang lengkap, maka runtuhnya
Samudera Pasai tidak diketahui secara jelas.
Hukum Islam sudah mulai diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat Islam
Indonesia pada saat itu. Meski didominasi oleh fiqh Syafi’iyah karena lebih dekat dengan
kepribadian Indonesia. Namun lambat laun pengaruh mazhab Hanafy mulai diterima.
Penerimaan dan pelaksanaan hukum Islam sudah bahkan diberlakukan secara resmi sebagai
hukum negara. Misalnya di Aceh atau pada saat pemerintahan Sultan Agung, hukum Islam
telah diberlakukan walau masih tampak sederhana (Wahid 1991, hlm; 229-230)
Kedua, Kerajaan Demak. Demak pada masa sebelumnya sebagai suatu daerah yang
dikenal dengan nama Bintoro atau GelagahWangi yang merupakan daerah Kadipaten
dibawah kekuasaaan Majapahit. Kadipaten Demak tersebut dikuasai oleh Raden Fatah
salah seorang keturunan Raja Brawijaya V (Bhre Kertabumi) yaitu Raja Majapahit.
Dengan berkembangnya Islam di Demak, maka Demak berkembang sebagai kota dagang
dan pusat penyebaran Islam di pulau Jawa. Hal ini dijadikan kesempatan bagi Demak untuk
melepaskan diri dengan melakukan penyerangan terhadap Majapahit.
Setelah Majapahit hancur maka Demak berdiri sebagai kerajaan Islam pertama di
pulau Jawa yang dipimpin rajanya Raden Fatah. Kerajaan Demak secara geografis terletak
28
di Jawa Tengah dengan pusat pemerintahannya didaerah Bintoro di muara sungai Demak,
yang dikelilingi daerah rawa yang luas diperairan laut Muria. Sekarang laut Muria sudah
merupakan dataran rendah yang dialiri sungai Lusi.
Bintoro sebagai pusat kerajaan Demak terletak antara Bergola dan Jepara. Bergola
adalah pelabuhan yang penting pada masa berlangsungnya kerajaan Mataram (Wangsa
Syailendara), sedangkan Jepara akhirnya berkembang sebagai pelabuhan yang penting bagi
kerajaan Demak. Lokasi kerajaan Demak sangat strategis untuk perdagangan nasional,
karena menghubungkan perdagangan anatara Indonesia bagian Barat dengan Indonesia
bagian Timur, serta keadaan Majapahit yang sudah hancur, maka Demak berkembang
sebagai kerajaan besar di pulau Jawa dengan rajanya yang pertama yaitu Raden Fatah. Ia
bergelar Sultan Alam Akbar al-Fatah (1500-1518).
Pada masa pemerintahannya, Demak memiliki peranan yang penting dalam rangka
penyebaran agama Islam khususnya di pulau Jawa, karena Demak berhasil menggantikan
peranan Malaka setelah jatuh ke tangan Portugis (1511). Kehadiran Portugis di Malaka
merupakan ancaman bagi Demak di pulau Jawa. Untuk mengatasi keadaan tersebut maka
pada tahun 1513, Demak melakukan penyerangan terhadap Portugis di Malaka yang
dipimpin oleh Adipati Unus atau terkenal dengan sebutan Pangeran Sabrang Lor.
Serangan Demak terhadap Portugis walaupun mengalami kegagalan namun Demak
tetap berusaha membendung masuknya Portugis ke pulau Jawa. Pada masa pemerintahan
Adipati Unus (1518-1521), Demak melakukan blokade pengiriman beras ke Malaka
sehingga Portugis kekurangan makanan.
Puncak kebesaran Demak terjadi pada masa pemerintahan Sultan Trenggono (1521-
1546) karena pada masa pemerintahannya Demak memiliki kekuasaan yang luas dari Jawa
Barat sampai Jawa Timur. Daerah kekuasaan Demak berhasil dikembangkan anatar lain
karena Sultan Trenggono melakukan penyerangan terhadap daerah-daerah kerajaan-
kerajaan Hindu yang mengadakan hubungan dengan Portugis seperti Sunda Kelapa
(Pajajaran) dan Blambangan.
Kehidupan sosial dan budaya masyarakat Demak lebih berdasarkan pada agama dan
budaya Islam karena pada dasarnya Demak adalah pusat penyebaran Islam. Sebagai pusat
penyebaran Islam Demak menjadi tempat berkumpulnya para wali seperti Sunan Kalijaga,
Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan Bonar. Para wali tersebut memiliki peranan yang
penting pada masa perkembangan kerajaan Demak bahkan para wali tersebut menjadi
29
penasehat bagi Raja Demak. Dengan demikian terjalin hubungan yang erat antara
raja/bangsawan-para wali/ulama dengan rakyat.
Hubumgan erat tersebut tercipta melalui pembinaan masyarakat baik pembinaan
agama maupun pembinaan sosial yang diselenggarakan di masjid maupun pondok
pesantren. Sehingga tercipta kebersamaan atau ukhuwah islamiyah (persaudaraan di antara
orang-orang Islam).
Ketiga, Kerajaan Banten. Seperti yang telah dijelaskan pada uraian materi tentang
kerajaan Demak, bahwa daerah ujung barat pulau Jawa yaitu Banten dan Sunda Kelapa
dapat direbut oleh Demak, di bawah pimpinan Fatahillah, daerah tersebut berada dibawah
kekuasaan Demak. Setelah Banten di-Islamkan oleh Fatahillah maka daerah Banten
diserahkan kepada putranya yang bernama Hasanuddin, sedangkan Fatahillah sendiri
menetap di Cirebon dan lebih menekuni keagamaan. Dengan diberikannya Banten kepada
Hasanuddin, maka Hasanuddin meletakkan dasar-dasar pemerintahan kerajaan Banten dan
mengangkat dirinya sebagai raja pertama yang memerintah pada tahun 1552-1570.
Lokasi kerajaan Banten terletak di wilayah Banten sekarang, yaitu di Tepi Timur
Selat Sunda yang strategis dan sangat ramai untuk perdagangan nasional. Pada masa
pemerintahan Hasanuddin, Banten dapat melepaskan diri dari kerajaan Demak, sehingga
Banten dapat berkembang cukup pesat dalam berbagai bidang kehidupan.
Berkembangnya kerajaan Banten tidak terlepas dari peranan raja-raja yang
memerintah di Banten, dan selain Banten berusaha melepaskan diri dari kekuasaan kerajaan
Demak, Banten juga berusaha memperluas kekuasaannya di Jawa Barat yaitu menduduki
Pajajaran pada tahun 1519. Dengan dikuasainya Pajajaran, maka seluruh daerah Jawa Barat
berada dibawah kekuasaan Banten. Hal ini terjadi pada masa pemerintahan Raja
Panembahan Yusuf. Pada masa pemerintahan Maulana Muhammad, perluasan wilayah
Banten diteruskan ke Sumatera yaitu berusaha menguasai daerah-daerah yang banyak
menghasilkan lada seperti Lampung, Bengkulu dan Palembang. Lampung dan Bengkulu
dapat dikuasai Banten, tetapi Palembang mengalami kegagalan, bahkan Maulana
Muhammad meninggal ketika melakukan serangan ke Palembang.
Dengan dikuasainya pelabuhan-pelabuhan penting di Jawa Barat dan beberapa
daerah di Sumatera, maka kerajaan Banten semakin ramai untuk perdagangan, bahkan
berkembang sebagai kerajaan maritim. Hal ini terjadi pada masa pemerintahan Sultan
Ageng Tirtayasa. Pada masa pemerintahan Sultan Ageng, Banten mencapai puncak
30
keemasannya karena sebagai kerajaan maritim, Banten menjadi pusat perdagangan yang
didatangi oleh berbagai bangsa seperti Arab, Cina, India, Portugis dan Belanda. Pada masa
pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa ini juga berhasil menyatukan hukum Islam dan
hukum adat sehingga tidak ada beda diantara keduanya (Rofiq 1995, hlm. 13).
Belanda pada awal datangnya ke Indonesia, mendarat di Banten pada tahun 1596,
tetapi karena kesombongannya para pedagang Belanda tersebut diusir dari Banten dan
menetap di Jayakarta. Di Jayakarta Belanda mendirikan kongsi dagang (VOC) tahun 1602
bahkan setelah itu mendirikan benteng dan akhirnya menetap dan mengubah nama
Jayakarta menjadi Batavia tahun 1619.
Adanya kekuasaan Belanda di Batavia menjadi saingan bagi Banten dalam
perdagangan. Persaingan tersebut berubah menjadi pertentangan politik, sehingga Sultan
Ageng Tirtayasa sangat anti kepada VOC, sampai memerintahkan untuk perang gerilya dan
perampokan terhadap Belanda di Batavia. Akibat tindakan tersebut Belanda menjadi
kewalahan menghadapi Banten. Untuk itu Belanda mengadakan politik adu domba (Devide
et Impera) antara Sultan Ageng dengan putranya yaitu Sultan Haji.
Akibat politik adu domba tersebut, maka terjadilah perang saudara di Banten,
sehingga Belanda dapat ikut campur dalam perang saudara tersebut. Belanda memihak
kepada Sultan Haji yang akhirnya perang tersebut dimenangkan oleh Sultan Haji. Dengan
kemenangan tersebut, Sultan Ageng ditawan dan dipenjarakan di Batavia sampai
meninggal pada tahun 1692. Konsekwensi bantuan Belanda terhadap Sultan Haji maka
Banten harus membayar mahal dengan penandatanganan perjanjian oleh Sultan Haji
dengan VOC pada tahun 1684. Perjanjian tersebut sangat memberatkan dan merugikan
kerajaan Banten, sehingga Banten kehilangan kendali atas perdagangan bebasnya, karena
Belanda sudah memonopoli perdagangan di Banten. Akibat terberatnya adalah kehancuran
kerajaan Banten karena VOC/Belanda mengatur dan mengendalikan kekuasaan raja
Banten. Raja-raja sejak saat itu berfungsi sebagai boneka.
Dibidang ekonomi kerajaan Banten terletak di ujung barat pulau Jawa dan di tepi
Selat Sunda merupakan jalur lalu-lintas pelayaran dan perdagangan khususnya setelah
Malaka jatuh tahun 1511, menjadikan Banten sebagai pelabuhan yang ramai dikunjungi
oleh para pedagang dari berbagai bangsa. Pelabuhan Banten juga cukup aman, sebab
terletak disebuah teluk yang terlindungi oleh Pulau Panjang dan di samping itu Banten juga
merupakan daerah penghasil ekspor seperti lada. Selain perdagangan kerajaan Banten juga
31
meningkatkan kegiatan pertanian dengan memperluas areal sawah dan ladang serta
membangun bendungan dan irigasi. Kemudian membangun terusan untuk memperlancar
arus pengiriman barang dari pedalaman ke pelabuhan.
Kehidupan masyarakat Banten yang berkecimpung dalam dunia pelayaran,
perdagangan dan pertanian mengakibatkan masyarakat Banten berjiwa bebas, bersifat
terbuka karena bergaul dengan pedagang-pedagang lain dari berbagai bangsa. Para
pedagang lain tersebut banyak yang menetap dan mendirikan perkampungan di Banten,
seperti perkampungan Keling, perkampungan Pekoyan (Arab), perkampungan Pecinan
(Cina) dan sebagainya. Di samping perkampungan seperti tersebut di atas, ada
perkampungan yang dibentuk berdasarkan pekerjaan seperti kampung Pande (para pandai
besi), kampung Panjunan (kampung pembuat pecah belah).
Dengan adanya perkampungan tersebut, membuktikan bahwa kehidupan
masyarakatnya teratur dan berlangsung dengan baik bahkan kehidupan masyarakat Banten
dipengaruhi ajaran Islam. Ini dibuktikan dengan adanya akulturasi kebudayaan antara
Hindu, Islam dan Eropa.
Keempat, Kerajaan Mataram. Pada awal perkembangannya kerajaan Mataram
adalah daerah kadipaten yang dikuasai oleh Ki Gede Pamanahan. Daerah tersebut diberikan
oleh Pangeran Hadiwijaya (Jaka Tingkir) yaitu raja Pajang kepada Ki Gede Pamanahan
atas jasanya membantu mengatasi perang saudara di Demak yang menjadi latar belakang
munculnya kerajaan Pajang.
Ki Gede Pamanahan memiliki putra bernama Sutawijaya yang juga mengabdi
kepada raja Pajang sebagai komando pasukan pengawal raja. Setelah Ki Gede Pamanahan
meninggal tahun 1575, maka Sutawijaya menggantikannya sebagai Adipati di Kota Gede
tersebut.
Setelah pemerintahan Hadiwijaya di Pajang berakhir, maka kembali terjadi perang
saudara antara Pangeran Benowo putra Hadiwijaya dengan Arya Pangiri, Bupati Demak
yang merupakan keturunan dari Raden Trenggono. Akibat dari perang saudara tersebut,
maka banyak daerah yang dikuasai Pajang melepaskan diri, sehingga hal inilah yang
mendorong Pangeran Benowo meminta bantuan kepada Sutawijaya. Maka atas bantuan
Sutawijaya tersebut perang saudara tersebut dapat di atasi dank arena ketidak-mampuannya
maka secara sukarela Pangeran Benowo menyerahkan tahtanya kepada Sutawijaya. Dengan
32
demikian berakhirlah kerajaan Pajang dan sebai kelanjutannya muncullah kerajaan
Mataram.
Lokasi kerajaan Mataram tersebut berada di Jawa Tengah bagian Selatan dengan
pusatnya di kota Gede yaitu disekitar kota Yogyakarta sekarang. Sedangkan pendiri
kerajaan Mataram adalah Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senopati, memerintah
pada tahun 1586-1601. Pada awal pemerintahannya ia berusaha menundukkan daerah-
daerah seperti Ponorogo, Madiun, Pasuruan dan Cirebon serta Galuh. Sebelum usahanya
untuk memperluas dan memperkuat kerajaan Mataram, Sutawijaya digantikan oleh
putranya yaitu Mas Jolang yang bergelar Sultan Anyakrawati tahun 1601-1613.
Sebagai raja Mataram ia juga berusaha meneruskan apa yang telah dilakukan oleh
Panembahan Senopati untuk memperoleh kekuasaan Mataram dengan menundukkan
daerah-daerah yang melepaskan diri dari Mataram. Akan tetapi sebelum usahanya selesai
Mas Jolang meninggal tahun 1613 dan dikenal dengan sebutan Panembahan Sedo Krapyak.
Untuk selanjutnya yang menjadi raja Mataram adalah Mas Rangsang yang bergelar Sultan
Agung Senopati Ing Alogo Ngabdurrahman yang memerintah tahun 1613-1645.
Sultan Agung merupakan raja terbesar. Pada masa pemerintahannya Mataram
mencapai puncaknya, karena ia seorang raja yang pemberani, cakap dan bijaksana. Pada
saat itu Sultan Agung memindahkan Mataram yang pada mulanya berada di Kerta
kemudian dipindahkan ke Plered. Sultan Agung bercita-cita mempersatukan seluruh pulau
Jawa dibawah kekuasaan Mataram. Maka pada tahun 1625 hampir seluruh pulau Jawa
dikuasainya kecuali Batavia dan Banten. Dalam rangka mempersatukan itu ditempuh
beberapa cara di antaranya melalui ikatan perkawinan antara adipati-adipati dengan putri-
putri Mataram, bahkan sultan Agung sendiri menikah dengan putrid Cirebon sehingga
daerah Cirebon juga mengakui kekuasaan Mataram.
Di samping mempersatukan berbagai daerah-daerah di pulau Jawa, sultan Agung
juga berusaha mengusir VOC/Belanda dari Batavia. Untuk itu sultan Agung melakukan
penyerangan terhadap VOC ke Batavia pada tahun 1628 dan 1629 akan tetapi penyerangan
tersebut mengalami kegagalan. Penyebab kegagalan itu antara lain karena jarak tempuh
dari pusat Mataram ke Batavia terlalu jauh, kira-kira membutuhkan waktu 1 bulan untuk
berjalan kaki, sehingga bantuan tentara sulit diharapkan dalam waktu singkat. Dan daerah-
daerah yang dipersiapkan untuk mendukung pasukan sebagai lumbung padi yaitu Kerwang
dan Bekasi dibakar oleh VOC/Belanda, sebagai akibatnya pasukan Mataram kekurangan
33
bahan makanan. Dampak pembakaran lumbung padi maka tersebar wabah penyakit yang
menjangkiti pasukan Mataram, sedangkan pengobatan belum sempurna. Hal inilah yang
menimbulkan korban dari pasukan Mataram. Di samping itu juga sitem persenjataan
Belanda lebih unggul dibandingkan pasukan Mataram.
Walaupun penyerangan terhadap Batavia gagal namun sultan Agung tetap berusaha
memperkuat penjagaan terhadap daerah-daerah yang berbatasan dengan Batavia, sehingga
pada masa pemerintahannya VOC sulit menembus masuk ke pusat pemerintahan Mataram.
Setelah wafatnya sultan Agung tahun 1645, Mataram tidak memiliki raja-raja yang
cakap dan berani seperti sultan Agung, bahkan putranya sendiri yaitu Amangkurat I dan
cucunya Amangkurat II merupakan raja-raja yang lemah. Kelemahan raja-raja Mataram
setelah sultan Agung dimanfaatkan oleh penguasa daerah untuk melepaskan diri dari
kekuasaan Mataram juga VOC. Akhirnya VOC berhasil juga menembus ke ibu kota
dengan cara mengadu domba sehingga kerajaan Mataram berhasil dikendalikan VOC.
Bukti berhasilnya VOC dengan politik devide et impera, kerajaan Mataram terbelah
dua melalui perjanjian Gianti tahun 1755. Sehingga Mataram yang luashampir meliputi
seluruh pulau Jawa akhirnya terpecah belah menjadi 2 wilayah kerajaan yaitu:
1. Kesultanan Yogyakarta, dengan Mangkubumi sebagai raja yang bergelar Sultan
Hamengkubuwono I;
2. Kesunanan Surakarta yang diperintah oleh Sunan Paku Buwono III.
Belanda ternyata belum puas memecah belah kerajaan Mataram. Akhirnya melalui
politik devide et impera kembali pada tahun 1757 diadakan perjanjian Salatiga. Mataram
terbagi 4 wilayah, yaitu sebagian Surakarta diberikan kepada Mangkunegara selaku Adipati
tahun 1757, kemudian sebagian Yogyakarta juga diberikan kepada Paku Alam selaku
Adipati tahun 1813.
Letak kerajaan Mataram di padalaman, maka Mataram berkembang sebagai
kerajaan agraris yang menekankan dan mengandalkan bidang pertanian. Sekalipun
demikian kegiatan perdagangan tetap diusahakan dan dipertahankan, karena Mataram juga
menguasai daerah-daerah pesisir yang mata pencariannya sebagai pelayaran dan
perdagangan.
Sebagai kerajaan agraris, maka masyarakat Mataram disusun berdasarkan sistem
Feodalisme. Dengan sistem tersebut maka raja adalah pemilik tanah kerajaan beserta
isinya. Untuk melaksanakan pemerintahannya, raja dibantu oleh seperangkat pegawai dan
34
keluarga istana yang mendapatkan upah atau gaji berupa tanah lungguh atau tanah garapan.
Sultan memiliki kedudukan tinggi juga dikenal sebagai Panatagama yaitu sebagai pengatur
agama.
Kelima, Kerajaan Gowa-Tallo. Di Sulawesi Selatan pada abad 16 terdapat beberapa
kerajaan di antaranya Gowa, Tallo, Bone, Sopeng, Wajo dan Sidenreng. Masing-masing
kerajaan tersebut membentuk persekutuan mereka masing-masing. Salah satunya adalah
kerajaan Gowa dan Tallo membentuk persekutuan pada tahun 1528, sehingga melahirkan
kerajaan yang lebih dikenal dengan sebwutan kerajaan Makasar. Nama Makasar
sebenarnya adalah ibukota dari kerajaan Gowa dan sekarang masih digunakan sebagai
nama ibukota provinsi Sulawesi Selatan. Secara geografis daerah Sulawesi Selatan
memiliki posisi yang sangat strategis karena berada dijalur pelayaran (perdagangan
nasional). Bahkan daerah Makasar menjadi pusat persinggahan para pedagang baik yang
berasal dari Indonesia Timur maupun berasal dari Indonesia Barat. Dengan posisi strategis
tersebut maka kerajaan Makasar berkembang menjadi kerajaan besar dan berkuasa atas
jalur perdagangan nusantara.
Penyebaran Islam di Sulawesi Selatan dilakukan oleh Datuk Rebandang dari
Sumatera, sehingga pada abad ke 17 agam Islam berkembang pesat di Sulewesi Selatan,
bahkan raja Makasar pun memeluk agam Islam. Raja Makasar pertama yang memeluk
agama Islam adalah Karaeng Matoaya (raja Gowa) yang bergelar Sultan Alaudin yang
memerintah Makasar pada tahun 1593-1639 dan dibantu oleh Daeng Manrabia (raja Tallo)
sebagai Mangkubumi yang bergelar Sultan Abdullah.
Sejak pemerintahan Sultan Alaudin kerajaan Makasar berkembang sebagai kerajaan
maritim dan berkembang pesat pada masa pemerintahan raja Malekul Said (1639-1653).
Selanjutnya kerajaan Makasar mencapai masa kebesarannya pada masa pemerintahan
Sultan Hasanuddin (1653-1669). Pada masa pemerintahannya Makasar berhasil
memperluas wilayah kekuasaannya yaitu dengan menguasai daerah-daerah yanh subur
serta daerah-daerah yang dapat menunjang keperluan perdagangan Makasar. Perluasan
daerah Makasar tersebut sampai ke Nusa Tenggara Barat.
Sultan Hasanuddin sangat menentang dominasi asing dalam hal ini VOC yang telah
berkuasa di Ambon, sehingga terjadi perperangan di daerah Maluku yang memporak
porandakan pasukan Belanda dan atas keberaniannya Belanda memberikan julukan sebagai
Ayam Jantan dari Timur.
35
Belanda kembali menggunakan politik adu domba antara Makasar dengan kerajaan
Bone (daerah kekuasaan Makasar). Raja Bone Aru Palaka yang merasa dijajah oleh
Makasar meminta bantuan kepada VOC untuk melepaskan diri dari Makasar. Akhirnya
persekutuan itu mengakibatkan Belanda dapat menguasai kerajaan Makasar yang
kemudian melahirkan perjanjian Bongaya tahun 1667 yang berisi antara lain:
1. VOC memperoleh hak monopoli perdagangan di Makasar;
2. Belanda dapat mendirikan Benteng di Makasar;
3. Makasar harus melepaskan daerah-daerah jajahannya seperti Bone dan pulau-pulau
diluar Makasar;
4. Aru Palaka di akui sebagai raja Bone.
Perlawanan Makasar terus dilakukan sampai kepada pengganti Sultan Hasanuddin
yaitu Mapasomba (putra Hasanuddin) sehingga memaksa Belanda mengerahkan pasukan
secara besar-besaran yang mengakibatkan berakhirnya kerajaan Makasar.
Di samping letak yang strategis, kerajaan Malaka memiliki pelabuhan yang baik
dan didukung oleh jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511 yang menyebabkan
banyak pedagang-pedagang pindah ke Indonesia Timur. Sebagai pusat perdagangan,
Makasar berkembang sebagai pelabuhan Internasional dan banyak disinggahi pedagang-
pedagang asing seperti Portugis, Inggris, Denmark dan sebagainya yang datang untuk
berdagang di Makasar.
Dalam mencapai kehidupannya masyarakat Makasar memiliki kebebasan walaupun
mereka juga sangat terikat dengan norma adat yang mereka anggap sakral. Norma
kehidupan masyarakat Makasar diatur berdasarkan adat dan agama Islam yang disebut
pangadakkang. Di Wajo misalnya, hukum waris menggunakan hukum Islam dan hukum
adat, keduanya menyatu dan hukum adat itu menyesuaikan diri dengan hukum Islam (Rofiq
1995, hlm. 13)
Keenam, Kerajaan Ternate–Tidore. Kerajaan Ternate dan Tidore terletak di
kepulauan Maluku yang berada antara Pulau Sulawesi dan Irian. Pulaunya berjumlah
ratusan dan berbentuk bergunung-gunung yang sangat subur. Keadaan Maluku yang subur
dan diliputi oleh hutan rimba, maka daerah Maluku terkenal sebagai penghasil rempah
seperti cengkeh dan pala.
Cengkeh dan pala merupakan komoditi perdagangan rempah-rempah yang terkenal
pada masa itu, sehingga pada abad 12 ketika permintaan rempah-rempah sangat meningkat,
36
maka masyarakat Maluku mulai mengusahakan perkebunan dan tidak hanya mengandalkan
hasil dari hutan.
Perkebunan cengkeh banyak terdapat dikepulauan Buru, Seram dan Ambon. Dalam
rangka mendapatkan rempah-rempah tersebut, banyak pedagang-pedagang yang datang ke
kepulauan Maluku. Salah satunya pedagang Islam dari Jawa Timur. Dengan demikian
melalui jalur perdagangan tersebut agama Islam masuk ke Maluku, khususnya daerah-
daerah perdagangan seperti Hitu di Ambon, Ternate dan Tidore. Selain melalui
perdagangan, penyebaran Islam di Maluku dilakukan oleh para mubaligh (penceramah)
dari Jawa, salah satunya Mubaligh yang terkenal yaitu Maulana Hussain dari Jawa Timur
yang sangat aktif menyebarkan Islam di Maluku sehingga pada abad 15 Islam sudah
berkembang pesat di Maluku.
Dengan berkembangnya Islam di kepulauan Maluku, maka rakyat Maluku baik dari
kalangan atas atau rakyat umum memeluk agama Islam, sebagai contohnya raja Ternate
yaitu Sultan Marhum, bahkan putra mahkotanya yaitu Sultan Zaenal Abidin pernah
mempelajari Islam di pesantren Sunan Giri, Gresik, Jawa Timur sekitar abad 15. Dengan
demikian di Maluku banyak berkembang kerajaan-kerajaan Islam.
Kepulauan Maluku adalah penghasil rempah-rempah terbesar di dunia. Rempah-
rempah tersebut menjadi komoditi utama dalam dunia pelayaran dan perdagangan pada
abad 15 -17. Demi kepentingan penguasaan perdagangan rempah-rempah tersebut maka
terbentuklah persekutuan Ulilima (Ternate, Obi, Bacan, Seram dan Ambon) dan
Ulisiwa(Tidore, Makayan, Jailolo dan pulau-pulau yang terletak di kepulauan Halamhera
sampai Irian Barat).
Antara persekutuan ini terjadi persaingan yang diperparah dengan datangnya
Portugis (1512) dengan misi penguasaan perdagangan dan penyebaran agama Katolik yang
kemudian bersekutu dengan Ternate dan Spanyol yang bersekutu dengan Tidore.
Persaingan tersebut menyebabkan perperangan yang melibatkan kedua sekutu yang
akhirnya dimenangkan oleh kerajaan Ternate yang dibantu Portugis. Keterlibatan Spanyol
dan Portugis dalam peperangan antara Ternate dan Tidore ini menyebabkan Paus turun
tangan mendamaikan dengan mengeluarkan dekrit yang berjudul Inter Caetera Devinae
yang berarti Keputusan Ilahi pada tahun 1494 di Thordessilas yang kemudian dikenal
dengan Perjanjian Thordessilas. Dan selanjutnya setelah adanya persoalan Maluku, kembali
Paus mengeluarkan dekrit kedua yang disebut Perjanjian Saragosa 1528.
37
Kedua perjanjian tersebut pada intinya menetapkan garis batas kekuasaan antara
Portugis (garis Selatan) dan Spanyol (garis Utara). Hasil dari Perjanjian Saragosa tersebut
menyebabkan Portugis tetap berkuasa di Maluku, sementara Spanyol harus meninggalkan
Maluku dan berkonsentrasi di Philipina.
Portugis semakin berkuasa dan semakin menunjukkan keserakahannya untuk
menguasai dan memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku. Tindakan sewenang-
wenang ini melahirkan kebencian rakyat Ternate bahkan bersama-sama rakyat Tidore dan
rakyat di pulau-pulau lainnya bersatu melawan Portugis. Perlawanan pertama sekali
dipimpin oleh Sultan Hairun dari Ternate dan berhasil mengepung benteng Portugis. Dalam
keadaan terkepung Portugis menawarkan perundingan yang sesungguhnya merupakan
siasat untuk membunuh Sultan Hairun. Dengan terbunuhnya Sultan Hairun ternyata
menambah kebencian rakyat Maluku dan kembali menyerang Portugis yang dipimpin oleh
Sultan Baabullah pada tahun 1575 sehingga dapat menguasai benteng Sao Paolo Portugis
serta menyebabkan Portugis menyerah bahkan meninggalkan Maluku.
Pada masa pemerintahan Sultan Baabullah 1570-1583 kerajaan Ternate mencapai
kejayaannya karena daerah kekuasaannya meluas terbentang dari Sulawesi sampai Irian
dan Mindanau sampai Bima, sehingga Sultan Baabullah mendapat julukan Tuan dari 72
Pulau.
Secara yuridis raja-raja di Indonesia memberlakukan hukum Islam akan tetapi tidak
dalam konteks peraturan atau perUndang-undangan kerajaan. Hukum Islam diberlakukan
dalam konteks ijtihad ulama, permasalahan-permasalahan yang terjadi terkadang tidak bisa
diselesaikan oleh perUndang-undangan kerajaan, maka ditanyakan kepada ulama. Saat
itulah ulama melakukan ijtihad atau menyandarkan pendapatnya kepada kitab-kitab fiqh.
Dengan pola ini mazhab Imam Syafi’ei, Hanafi, Maliki dan Hambali berkembang di
Indonesia hingga saat ini (Ali 1990, hlm. 189)
Walaupun kurang terpupuk dengan secara baik hukum Islam pada masa kerajaan
Islam (sebelum era penjajahan) merupakan fase penting dalam sejarah hukum Islam di
Indonesia. Hal itu disebabkan bahwa setelah kerajaan Hindu dan Budha runtuh dan
digantikan dengan sistem kerajaan Islam (kesultanan), secara realistis hukum Islam telah
eksis secara formal sebagai hukum positif disebagian wilayah kepulauan Nusantara pada
waktu itu. Hal tersebut diindikasikan dengan jelas melalui prilaku yang sudah menjadi
tradisi kerajaan yang syarat dengan nilai-nilai kegamaan (Islam). Sebagai contohnyo, kita
38
lihat dibeberapa kerajaan Islam yang sekarang masih hidup (walaupun kecil) melaksanakan
ritual yang berhubungan dengan Islam, seperti grebek di kesultanan Yogyakarta dan
Surakarta. Pemberian gelar Sultan kepada raja juga menunjukkan bahwa raja adalah
seorang pemimpin yang memberlakukan hukum agama. Ini juga menunjukkan bahwa
agama dan pemerintahan saat itu adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Oleh
karena itu dapat dikatakan sebelum Belanda menjajah Indonesia hukum Islam adalah
hukum yang berdiri sendiri dan tealah ada dalam kehidupan masyarakat, tumbuh dan
berkembang di samping kebiasaan atau adat masyarakat yang mendiami kepulauan
Nusantara.
Sistem hukum Islam itu terus berjalan bersamaan dengan sistem hukum adat di
Indonesia hingga masuknya kolonialisasi yang dilakukan oleh negara-negara Barat di
Indonesia. Semula pedagang dari Portugis, kemudian Spanyol, disusul oleh Belanda dan
Inggris (Gani 1983, hlm. 20)
Jika dilihat seccara kronologis tentang pemberlakuan hukum Islam secara
menyeluruh, maka dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Statuta Batavia 1642 menyebutkan bahwa: “Sengketa warisan antara orang pribumi
yang beragama Islam harus diselesaikan dengan menggunakan hukum Islam, yakni
hukum yang dipakai oleh rakyat sehari-hari”. (Mohammad Daud Ali 2002, hlm; 71)
Untuk keperluan ini D.W. Freijer menyusun Compendium (buku ringkasan) mengenai
hukum perkawinan dan kewarisan Islam, yang setelah direvisi dan disempurnakan para
penghulu, kemudian diberlakukan didaerah jajahan VOC. Compendium ini dikenal
kemudian dengan sebutan Compendium Freijer.
- Selain itu dipergunakan juga kitab Muharrar dan Papekam Cirebon serta peraturan yang
dibuat oleh B.J.D. Clootwijk untuk daerah Bone dan Gowa di Sulawesi Selatan. Jadi
selama VOC berkuasa (1602-1800) selama dua abad, kedudukan hukum Islam tetap
seperti semula, berlaku dan berkembang dikalangan ummat Islam Indonesia. Kenyataan
ini dimungkinkan karena jasa Nuruddin al-Raniri yang hidup pada abad ke 17 di Aceh.
Ia menulis buku Sirat al-Mustaqim (jalan lurus) tahun 1628 M. Kitab ini merupakan
kitab pertama yang disebarkan ke seluruh wilayah Indonesia untuk menjadi pegangan
umat Islam.
Kitab ini oleh mufti Banjarmasi, Syekh Aarsyad al-Banjari, yanng dikomentari
(disyarahkan) dalam suatu kitab yang diberi judul Sabil al-Muhtadi (jalan orang yang
39
mendapat petunjuk). Buku ini dijadikan pegangan dalam menyelesaikan sengketa antara
umat Islam di daerah kesultanan Banjar.
Di daerah Kesultanan Palembang dan Banten juga diterbitkan beberapa kitab hukum
Islam yanng dijadikan pegangan dalam masalah hukum keluarga dan warisan. Juga
diikuti oleh kerajaan-kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Ngampel.
- Pada tanggal 25 Mei 1960 VOC mengeluarkan peraturan senada yang disebut dengan
Resolutie der Indesche Regeering.
- Permulaan abad ke -19 telah mulai muncul sikap-sikap curiga dari sementara pejabat
kolonial. Scholtlen van Oud Harlem, ketua Mahkamah Agung Belanda, menasehati agar
pemerintah berhati-hati. Namun sejauh itu, ia tetap menegaskan agar bagi kaum muslim
tetap diberlakukan hukum agamanya (pasal 75 Regeering Reglement 1854).
- Salomon Keyzer (1823-1868) dan Christian van den Berg (1845-1927) menyatakan
hukum mengikuti agama yang dianut seseorang.
- Sebagai klimaksnya, karena pengadilan Belanda tidak mampu menerapkan Undang-
undang agama bagi bumi putra, maka dibentuklah Pengadilan Agama dengan nama
yang salah, yaitu Priesterraad atau pengadilan pendeta, melalui stbl. 1882 No. 152.
Priesterraad ini dibentuk di setiap wilayah Landraad atau pengadilan negeri. Adapun
wewenangnya meliputi perkara-perkara antara orang Islam diselesaikan menurut hukum
Islam.
Sebelum keluarnya Stbl. 1882 No. 152 tersebut, Belanda telah mencoba melakukan
pengawasan terhadap jalannya hukum Islam, meski disisi lain sesungguhnya justru
merupakan pengakuan sejarah terhadap eksistensi hukum Islam. Dijelaskan oleh Munawir
Sjadzali, bahwa langkah-langkah tersebut dituangkan:
1. Pada bulan September 1808 ada suatu instruksi dari
pemerintah Hindia Belanda kepada para bupati yang berbunyi: “Terhadap urusan-urusan
agama orang Jawa tidak akan dilakukan gangguan-gangguan, sedangkan pemuka-
pemuka agama mereka dibiarkan untuk memutuskan perkara-perkara tertentu dalam
bidang perkawinan dan kewarisan dengan syarat bahwa tidak ada penyalahgunaan dan
banding dapat dimintakan kepada hakim banding.”
2. Pada tahun 1820 melalui stbl. No. 22 pasal 13
ditentukan bahwa bupati wajib memperhatikan soal-soal agama Islam dan untuk
menjaga supaya para pemuka agama dapat melakukan tugas mereka sesuai dengan adat
40
kebiasaan orang Jawa seperti dalam soal perkawinan, pembagian pusaka dan yang
sejenis. Dari istilah bupati, dalam ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
peradilan agama telah ada di seluruh pulau Jawa.
3. Pada tahun 1823 dengan resolusi gubernur jenderal
tanggal 3 Juni 1823 No. 12 diresmikan Pengadilan Agama di Palembang yang diketuai
oleh Pangeran Penghulu. Sedangkan banding dapat dimintakan kepada Sultan.
Wewenang Pengadilan Agama meliputi: a) perkawinan, b) perceraian, c) pembagian
harta, d) kepada siapa diserahkan anak apabila orang tua bercerai, e) apa hak-hak orang
tua terhadap anak tersebut, f) pusaka dan wasiat, g) perwalian, h) perkara-perkara
lainnya yang menyangkut agama.
4. Pada tahun 1835 melalui resolusi tanggal 7 Desember
1835 yang dimuat dalam Stbl. 1835 No. 58 pemerintah mengeluarkan penjelasan tentang
pasal 13 Stbl. 1820 No. 20 yang isinya sebagai berikut: “Apabila terjadi sengketa antara
orang-orang Jawa satu sama lain mengenai soal-soal perkawinan, pembagian harta dan
sengketa-sengketa yang sejenis, yang harus diputus menurut hukum Islam, para pemuka
agama memberi keputusan, tetapi gugatan untuk mendapat pembayaran yang timbul dari
keputusan para pemuka agam itu harus dimajukan kepada pengadilan-pengadilan biasa”.
Kedua Masa Penjajahan, sejarah pemberlakuan hukum Islam di Indonesia pada
periode ini sangat tergantung pada penerimaan hukum adat yang kemudian disebut teori
receptie. Teori ini seperti yang telah disampaikan sebelumnya mengandung pengertian
bahwa hukum Islam itu berlaku apabila diterima atau dikehendaki oleh hukum adat. Teori
ini diberi dasar hukum dalam Undang-undang Dasar Hindia Belanda yang menjadi
pengganti RR, yaitu Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie (IS). Oleh karena itu,
tahun 1929 melalui IS yang diundangkan dalam Stbl. Nomor. 212 hukum Islam dicabut
dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda. Belanda ingin menguatkan kekuasaannya di
bumi Nusantara serta berusaha menjauhkan hukum Islam dari masyarakat Islam dengan
dasar teori tersebut. Dan upaya ”pembatasan” hukum Islam dalam kehidupan Umat Islam
Indonesia terus dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda secara perlahan dan sistematis.
Karena memang di samping tujuan kolonialisme mereka juga datang untuk tujuan
misionaris. Ini terdapat pada 3 misi Belanda datang ke nusantara yaitu; gold
(emas/kekayaan), glory (kekuasaan) dan gospel (kristenisasi).
41
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa cikal bakal penjajahan Belanda
terhadap kawasan nusantara dimulai kehadiran Organisasi Perdagangan Belanda di Hindia
Timur yang lebih dikenal dengan VOC. VOC memiliki dua fungsi sekaligus, satu sisi
berperan sebagai organisasi perdagangan dan pada sisi lain merupakan perpanjangtangan
pemerintah Hindia Belanda dengan menggunakan hukum yang mereka bawa. Walaupun
pada kenyataannya menemukan kesulitan karena masyarakat pribumi memegang teguh
dengan apa yang telah mereka jalankan selama ini. Oleh sebab itulah lahirlah kompromi-
komproni antara pihak VOC dan masyarakat pribumi seperti yang telah diuraikan
sebelumnya yang sekaligus sesungguhnya ini merupakan bentuk pengakuan terhadap
eksistensi hukum Islam di Indonesia.
Proses ini terus berlanjut sampai menjelang peralihan kekuasaan dari kerajaan
Inggris kepada kerajaan Belanda kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat
sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan
terhadap wilayah Hindia Belanda dan semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha
keras mencengkramkan kekuasaanya di Indonesia. Namun sekali lagi mereka menemui
kesulitan akibat perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat jajahannya,
khususnya umat Islam yang mengenal konsep dar al-Islam dan dar al-Harb. Itulah
sebabnya, pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara untuk menyelesaikan
permasalahan itu di antaranya dengan (1) menyebarkan agama Kristen kepada rakyat
pribumi, dan (2) membatasi pemberlakuan hukum Islam hanya pada aspek bathiniyah
(spritual) saja.
Kehadiran Belanda di Indonesia sejak awal sudah ditentang dengan kerajaan-
kerajaan Islam di Indonesia, bahkan dari kerajaan Banten (Jawa Barat) mendapat protes
sangat keras, sikap seperti ini diikuti oleh kerajaan-kerajaan lainnya di nusantara. Akan
tetapi dengan politik liciknya Belanda dengan dalih sebagai pedagang berhasil menguasai
bumi Indonesia, sejak itulah Indonesia menjadi tanah jajahan (daerah koloni) pemerintah
Hindia Belanda.
Pada tahun 1742 Belanda yang dikenal dengan VOC dalam statuta Jakarta
memperkenalkan sistem peradilan di Indonesia. Badan peradilan dibentuk maksudnya di
samping berlaku untuk orang-orang Belanda juga diupayakan diberlakukan untuk orang-
orang pribumi Indonesia. Akan tetapi usaha Belanda (VOC) tidak berhasil karena mendapat
reaksi keras dari masyarakat Islam di Indonesia, sehingga kemudian Belanda membiarkan
42
lembaga-lembaga yang hidup dimasyarakat pribumi berjalan seperti biasa, di antaranya
hukum perkawinan Islam dan waris Islam.
Untuk melegakan umat Islam di Indonesia seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, VOC pada tahun 1760 menerbitkan Compendium Frijer yang isinya
menghimpun hukum perkawinan Islam dengan hukum kewarisan Islam yang diberlakukan
di pengadilan-pengadilan guna menyelesaikan sengketa umat Islam di Indonesia.
Diterbitkan pula kitab “Muharrar” untuk pengadilan di Semarang yang memuat hukum-
hukum Jawa yang dijiwai hukum Islam. Di Cirebon diterbitkan Kitab “Papekam” yang
berisikan hukum-hukum Jawa kuno dan untuk luar Jawa untuk daerah Goa dan Bone.
Demikian hukum Islam diberlakukan penuh hingga dari tahun 1602 – 1800 M (Artikel
1992, hlm. 4-5)
Setelah VOC mengakhiri masa kekuasaannya di Indonesia kemudian diteruskan
sepenuhnya oleh pemerintahan Belanda, pada masa ini kekuasaan kolonialnya diperluas
sampai seluruh nusantara. Sejak inilah hukum Islam mengalami pergesaran dan
pengikisan, tahun 1848 pemerintah Belanda membentuk panitia kodifikasi yang diketua
oleh Mr. C. J. Scholten van Oudh Aarlem. Tujuan dibentuknya panitia kodifikasi hukum ini
adalah mencari persesuaian hukum di negeri Belanda dengan hukum yang hidup di
Indonesia (Kansil t.t. hlm.212)
Hukum kekeluargaan Islam khususnya hukum perkawinan dan waris tetap diakui
oleh Belanda. Bahkan VOC mengakuinya dalam bentuk peraturan Resolutio der Indische
Regeering tanggal 25 Mei 1760 yang kemudian oleh Belanda diberi dasar hukum dalam
Regeering Reglement (RR) tahun 1885.
Politik hukum Belanda berupa azas dualisme hukum yang berlaku di Indonesia satu
sisi hukum perdata barat diberlakukan untuk golongan Eropa yang kemudian diberlakukan
pula bagi Pribumi dan golongan Timur Asing dengan azaz sukarela, sesungguhnya ini
merupakan pengkebirian hukum adat dan hukum Islam di Indonesia dengan tunduknya
kepada hukum perdata barat yang jelas-jelas tidak sesuai dengan kondisi masyarakat
Indonesia. Dan tentunya ini akan mempermudah pemerintah Belanda menguasai bumi
Indonesia dengan kedudukan sangat kuat sebagai penguasa dan rakyat Indonesia sebagai
pribumi selamanya.
Menurut analisa Sudirman (editor hukum Islam) yang dikutip Dedi Supriyadi
mengatakan bahwa:
43
- “Status minoritas politik Islam dan kekejaman sejarah Belanda terhadap hukum Islam
terefleksi dalam status sekunder kedudukan lembaga hukum Islam. Di Jawa, asal muasal
pengadilan agama dapat ditelusuri dari penghulu atau kepala administrasi masjid daerah
yang mengurusi urusan keluarga serta warisan dari sejak abad ke-16, saat itu pengadilan
dilaksanakan di serambi masjid dan keputusannya didasarkan pada mazhab Syafi’I
melalui kerajaan tahun 1835, pemerintah kolonial secara formal mengakui kekuasaan
penghulu untuk memutuskan segala masalah dalam masyarakat Jawa berkenaan dengan
perkawinan, warisan dan semua yang berkaitan dengannya, namun aturan pelaksanaan
keputusannya tetap dibawah aturan hukum yang terpisah” (Supriyadi 2007, hlm. 302)
Sejarah politik hukum pada zaman penjajahan Belanda menjadi faktor penting
dalam pembentukan hukum di Indonesia. Rezim kolonial di Indonesia selama tiga setengah
abad telah berhasil merekayasa secara ilmiah hukum di Indonesia sedemikian rupa
sehingga terjadi pembenturan antara tiga sistem hukum, yaitu hukum Islam, hukum adat
dan hukum barat (Belanda). Hukum Islam sebagai hukum yang hidup dan diterapkan oleh
masyarakat ketika itu dipengaruhi bahkan sedikit demi sedikit disingkirkan. Kenyataan ini
dapat diinterpretasikan dari aturan-aturan yang dikeluarkan oleh mereka
(http//serbasejarah.wordpress.com)
Sedikitnya ada dua aturan yang secara jelas bertujuan untuk menghambat hukum
Islam. Pertama, ketentuan pasal 163 IS (Indische Staatsregeling) dan kedua adalah pasal
131 ketentuan serupa. Di ketentuan pertama, yakni pasal 163 IS mereka membagi
penduduk kepada tiga kelompok, golongan Eropa, golongan Timur Asing dan golongan
Bumi Putera. Pembagian kelompok ini tentu berimbas kepada bidang hukum yang berlaku
bagi masing-masing kelompok.
Golongan Eropa terdiri dari orang-orang Belanda, orang Eropa lain diluar Belanda,
orang Jepang, semua orang yang berasal dari wilayah lain dengan ketentuan wilayah itu
tunduk kepada hukum keluarga yang secara substansial memiliki azas hukum yang sama
dengan hukum Belanda. Kemudian ditambah dengan anak sah yang diakui dengan Undang-
undang serta anak-anak klasifikasi golongan Eropa dimaksud yang lahir di tanah jajahan.
Adapun golongan Timur Asing terdiri dari semua orang yang bukan golongan Eropa
maupun penduduk asli tanah jajahan, mereka itu di antaranya adalah orang Arab, India dan
China. Sedangkan golongan terakhir yakni golongan Bumi Putera terdiri dari orang
44
Indonesia asli. Pengelompokkan seperti ini sekali lagi berimbas kepada bidang hukum yang
berlaku bagi tiap-tiap kelompok. Sebagaimana diatur pada pasal 131 IS bahwa bagi
golongan Eropa hukum yang berlaku adalah hukum yang berlakku dinegeri Belanda,
sementara golongan Timur Asing berlaku hukumnya sendiri
(http//serbasejarah.wordpress.com)
Selanjutnya bagi golongan terakhir yaitu golongan Bumi Putera, hukum yang
berlaku adalah hukum adat. Jika kepentingan sosial menghendaki maka hukum Eropa dapat
berlaku lintas golongan. Keberlakuan ini selanjutnya disebut sebagai penundukkan diri
terhadap hukum Eropa, baik secara sempurna maupun sebagian saja. Penundukan
sempurna dipahami bahwa ketentuan hukum Eropa berlaku utuh bagi setiap subjek hukum
yang melakukan suatu perbuatan hukum. Dengan kata lain, subyek hukum tersebut
dianggap sama dengan golongan Eropa sehingga hukumnya juga hukum Eropa. Berbeda
halnya dengan jenis penundukan hukum yang disebutkan terakhir. Pada penundukan ini
hukum Eropa baru berlaku ketika perbuatan hukum yang dilakukan oleh golongan lain
tersebut tidak dikenal dalam hukum mereka. Pemberlakuan hukum adat bagi golongan
Bumi Putera sudah tentu menimbulkan masalah. Karena hukum adat di Indonesia sangat
beraneka-ragam sesuai dengan etnis, kondisi sosial budaya, maupun agamanya. Paling
tidak dengan adanya ketentuan tertulis akan menimbulkan bias negatif terhadap hukum
agama yang dianut oleh bangsa Indonesia yang mayoritas Islam. Bias negatif itu adalah
membenamkan hukum Islam dibawah bayang-bayang hukum adat. Hal ini sudah tentu
dapat dimengerti, bagaimana juga bangsa penjajah selalu berusaha agar ideologi mereka
bisa diikuti oleh bangsa jajahannya (http//serbasejarah.wordpress.com)
Seiring dengan upaya menanamkan ideologi ini, ada tiga teori yang diperkenalkan.
Dua teori pertama diperkenalkan oleh bangsa Belanda dan satu teori terakhir dilontarkan
oleh orang Indonesia. Teori terakhir ini merupakan teori bantahan sekaligus teori pematah.
Ketiga teori itu secara berurut adalah: Receptie in Complexu oleh van den Berg (1854-
1927), Receptie Theorie oleh Snouck Hurgronje (1857-1936), dan Receptie a Contrario
oleh Sayuti Thalib. Walaupun ada beberapa ahli hukum yang berpendapat lebih dari ketiga
teori di atas, seperti pendapat Dedi Supriyadi, Ichtianto dan lain-lain.
Pengaruh politik hukum Hindia Belanda terhadap peradilan agama di Indonesia
cukup besar baik pada masa Indonesia sebelum merdeka dan setelah Indonesia merdeka
dimana hukum Islam dalam perjalanannya selalu dibayangi teori Receptie, terbukti dengan
45
lahirnya beberapa Undang-undang yang masih menyudutkan hukum Islam sebagai
peradilan kelas dua, hal ini terlihat dengan pelaksanaan eksekusi putusan peradilan hingga
tahun 1989 masih dibutuhkan pengukuhan dari pengadilan negeri (Executoir Verklaring)
(http://smujiono.wordpress.com.sejarah-hukum-islam-di-indonesia)
Maka secara kronologis upaya pembatasan pemberlakuan hukum Islam oleh
pemerintah Hindia Belanda adalah sebagai berikut:
- Pada pertengahan abad 19, pemerintahan Hindia Belanda melaksanakan politik hukum
yang sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan mengubah
kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda;
- Atas dasar nota yang disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem, pemerintah
Belanda menginstruksikan penggunaan Undang-undang agama, lembaga-lembaga dan
kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi diantara mereka, selama tidak
bertentangan azaz kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini
kemudian menempatkan hukum Islam dibawah subordinasi dari hukum Belanda;
- Atas dasar teori Receptie yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, pemerintah Hindia
Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk meninjau ulang
wewenang peradilan agama di Jawa dalam memeriksa kasus-kasus kewarisan (dengan
alasan ia belum diterima oleh hukum adat setempat);
- Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap pasal 134 ayat 2 Indesche
Staatsregeling (yang isinya sama dengan pasal 78 Regerringsreglement), yang intinya
perkara perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal
itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain oleh sesuatu ordonansi.
Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga menjelang berakhirnya
kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942
(http://balianzahab.wordpress.com)
Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima
militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah
Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu di antaranya adalah Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepang meneruskan segala
kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan
baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam
sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan Belanda.
46
Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai
kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia, di antaranya adalah:
1. Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama
mayoritas penduduk pulau Jawa.
2. Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa
Indonesia sendiri.
3. Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.
4. Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan
oktober 1943.
5. Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi
berdirinya PETA.
6. Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan
Pengadilan Agama dengan meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan
Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian
“dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga
Indonesia merdeka.
Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam
selama masa pendudukan Jepang di tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa
pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi
para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno
Tjokrosujoso menyatakan bahwa kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi
Islam. Islam tidak memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih di masjid-masjid
atau pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik yang
memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa Islam
adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan.
Ketiga Masa Kemerdekaan, yaitu fase pemberlakuan hukum yang berlaku bagi
rakyat adalah hukum agamanya yang kemudian dikenal dengan teori Receptie a contrario
atau Receptie Exit, sekaligus bahkan berlakunya hukum adat jika tidak bertentangan dengan
hukum agama dengan ditandai lahirnya UUD 1945 setelah Indonesia merdeka. Pasca
proklamasi kemerdekaan, tanggal 17 Agustus 1945 berdasarkan pada Pasal II Aturan
Peralihan Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi “Segala badan negara dan peraturan
yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-
47
undang Dasar ini”, kemudian dipertegas dengan Peraturan Presiden Nomor 2 pada tanggal
10 Oktober 1945 dalam Pasal 1 dijelaskan bahwa “Segala badan-badan negara yang ada
sampai berdirinya Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar, maka tetap berlaku asal saja tidak
bertentangan dengan Undang-undang tersebut" Dengan demikian Peradilan Agama sebagai
produk hukum kolonial Hindia Belanda masih dipergunakan di Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, untuk pertama kalinya lahir Undang-undang Hukum
Islam, berdasarkan pertimbangan bahwa peraturan nikah, talak, dan rujuk seperti yang
diatur dalam Huwelijksordonantie S. 1929 No. 348 jo. S. 1931 No. 467, Vorszenlandsche
Hueelijksordonantie Buitengewesten S. 1932 No. 482 tidak sesuai lagi dengan keadaan,
sedangkan pembuatan peraturan baru mengenai hal tersebut tidak mungkin dilaksanakan
dalam waktu singkat, maka sambil menunggu peraturan baru untuk memenuhi keperluan
yang sangat mendesak, pada tanggal 21 November 1946 disahkan dan diundangkanlah
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.
Undang-undang ini hanya berlaku untuk Jawa dan Madura. Pada saat ini telah terjadi
pergeseran beberapa bagian hukum Islam ke arah tertulis dan termuat dalam beberapa
bagian penjelasan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946. Dijelaskan pula bahwa pada saat
itu hukum perkawinan sedang dikerjakan oleh Penyelidik Hukum Perkawinan yang
dipimpin oleh Mr. Teuku Mohammad Hasan.
Meskipun pendudukan Jepang memberikan banyak pengalaman baru kepada para
pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya, seiring dengan semakin lemahnya langkah
strategis Jepang memenangkan perang yang kemudian membuat mereka membuka lebar
jalan kemerdekaan untuk Indonesia, Jepang mulai merubah arah kebijakannya. Mereka
mulai melirik dan memberi dukungan kepada tokoh-tokoh nasionalis Indonesia. Dalam hal
ini nampaknya Jepang lebih mempercayai kelompok nasionalis untuk memimpin Indonesia
dimasa akan datang. Maka tidak mengherankan jika beberapa badan dan komite negara,
seperti Dewan Penasehat (Sanyo Kaigi) dan BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai)
kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga Mei 1945, komite yang terdiri dari
62 orang ini, 11 di antaranya yang mewakili kelompok Islam. Atas dasar itulah, Ramly
Hutabarat menyatakan bahwa “BPUPKI bukanlah badan yang dibentuk atas dasar
pemilihan yang demokratis, meskipun Soekarno dan Muhammad Hatta berusaha agar
48
anggota badan ini cukup representatif mewakili berbagai golongan dalam masyarakat
Indonesia” (http://balianzahab.wordpress.com)
Banyak upaya yang dilakukan untuk memasukkan kembali hukum Islam kedalam
tata hukum Indonesia kembali terbuka luas setelah terbentuknya BPUPKI (Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan bersidang pada zaman
penjajahan Jepang. Para pemimpin Islam memperjuangkan kembali hukum Islam dengan
kekuatan hukum Islam itu sendiri tanpa hubungannya dengan hukum adat. Karena anggota
BPUPKI bukanlah orang Islam semuanya, ada yang termasuk dalam kategori “Nasionalis
Islami” dan ada pula yang masuk kategori “Nasionalis Sekuler”. Oleh karena itu sebagai
jalan komprominya terbentuklah Piagam Jakarta.
Kalimat kompromi yang paling penting dalam Piagam Jakarta adalah terutama
terdapat pada kalimat “Negara berdasarkan atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin menjadikan
Indonesia merdeka bukan sebagai negara sekuler dan bukan pula negara Islam
(http://balianzahab.wordpress.com)
Dapat dipahami bahwa dengan rumusan ini mestinya mengharuskan adanya
Undang-undang untuk melaksanakan syari’at Islam bagi pemeluknya. Tetapi rumusan
kompromis Piagam Jakarta itu akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal
18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab gagalnya hal
itu. Tapi semua versi mengarah kepada Muhammad Hatta yang menyampaikan keberatan
golongan Kristen di Indonesia Timur. Hatta mengatakan bahwa ia mendapat informasi
tersebut dari seorang opsir angkatan laut Jepang pada sore hari pada tanggal 17 Agustus
1945. Namun letkol Shegeta Nishijima satu-satunya opsir angkatan laut Jepang yang
ditemui Hatta pada saat itu, menyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru
Latuharhary yang menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu
dipertanyakan mengingat Latuharhary bersama dengan Maramis, seorang tokoh Kristen
dari Indonesia Timur lainnya telah menyetujui rumusan kompromi itu saat sidang PUPKI.
Pada akhirnya di periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-samar. Isa Ashary
mengatakan, kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu
“permainan sulap” yang masih diliputi kabut rahasia sekaligus sebagai bentuk pengepungan
cita-cita umat Islam. Hukum Islam pada masa kemerdekaan periode revolusi hingga
keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1950 selama hampir 5 tahun setelah proklamasi
49
kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan
Jepang oleh tentara-tentara sekutu, Belanda ingin kembali menduduki kepulauan nusantara.
Dari beberapa pertempuran, Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia,
dimana kemudian Belanda mendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk
mengepung Republik Indonesia. Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan,
hingga akhirnya tidak lama setelah perjanjian Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan
Konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949. Dengan berlakunya
konstitusi RIS tersebut maka UUD 1945 dinyatakan berlaku sebagai konstitusi Republik
Indoensia yang merupakan satu dari 16 bagian negara Republik Indoesia Serikat.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa konstitusi RIS bukanlah konstitusi
yang menampung aspirasi hukum Islam. Karena sekali lagi muqoddimah konstitusi ini
misalnya sama sekali tidak menegaskan posisi hukum Islam sebagaimana rancangan UUD
1945 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula pada batang tubuhnya yang bahkan
dipengaruhi oleh paham liberal yang berkembang di Amerika dan Eropa Barat, serta
rumusan deklarasi HAM versi PBB.
Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisa negara
Sumatera Timur dan Indonesia Timur saja, salah seorang tokoh umat Islam Muhammad
Natsir mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir” subagai
upaya untuk melebur negara-negara bagian yang tersisa. Akhirnya pada tanggal 19 Mei
1950 semuanya sepakat untuk membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Proklamasi 1945. Dan dengan demikian, konstitusi RIS dinyatakan tidak
berlaku, digantikan UUD Sementara 1950.
Jika dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan ini tidaklah membawa dampak yang
signifikan, sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam muqoddimah
maupun dalam batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang
rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa “Negara berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan
agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara
dalam urusan-urusan keagamaan. Kelebihan lain dari UUD Sementara 1950 ini adalah
terbukanya kembali peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan
perUndang-undangan. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD Sementara
1950. Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam saat mengajukan
50
rancangan Undang-undang tentang perkawinanumat Islam pada tahun 1954. Meskipun
pada akhirnya gagal karena “hadangan” kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan
Undang-undang perkawinan nasional. Dan setelah itu semua tokoh politik nyaris tidak lagi
memikirkan pembuatan materi Undang-undang baru, karena konsentrasi mereka tertuju
pada bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan Undang-undang yang bersifat
tetap.
Perjuangan menggantikan Undang-undang sementara 1950 itu kemudian
diwujudkan dalam Pemilihan Umum untuk memilih dan membentuk Majlis Konstituante
pada akhir 1955. Majelis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh Presiden
Soekarno pada tanggal 10 November 1959. Namun delapan bulan sebelum batas akhir
masa kerjanya, Majelis ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada
tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan hukum Islam dalam peristiwa Dekrit ini
adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni
menjiwai UUD 1945” dan merupakan “satu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini
tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD, bahkan menurut
Anwar Harjono lebih dari sekedar sebuah “dokumen historis”.
Pada tataran aplikasi penentunya adalah faktor politik atau yang lebih dikenal
dengan political will. Oleh sebab itu pada periode ini terjadi beberapa pemberontakan
bernuansa Islam, di antaranya di Jawa Barat adalah gerakan DI/TII yang dipelopori oleh
Kartosuwirjo yang telah memproklamirkan negara Islamnya pada tanggal 14 Agustus 1945.
Kemudian dia melepas aspirasinya dan bergabung kembali dengan Republik Indonesia.
Namun ketika kontrol RI terhadap wilayahnya semakin merosot akibat agresi Belanda,
terutama setelah diproklamirkan Negara Boneka Pasundan dibawah kontrol Belanda, ia pun
kembali memproklamirkan berdirinya negara Islam pada tahun 1948. Namun pada
akhirnya ini menjadi pemicu konflik yang berakhir pada tahun 1962 dan mencatat 25.000
korban tewas itu, bahkan menurut sebagian peneliti lebih banyak dari itu, diakibatkan oleh
kekecewaan Kartosuwirjo terhadap strategi para pemimpin pusat dalam mempertahankan
diri dari upaya pendudukan Belanda kembali, dan bukan atas dasar apa yang mereka sebut
dengan “kesadaran teologis-politis”nya.
Pada zaman kemerdekaan hukum Islampun melewati dua periode, pertama, periode
penerimaan hukum Islam secara persuasive, kedua, penerimaan hukum Islam sebagai
sumber outoritatif. Sumber persuasive (persuasive source) dalam hukum konstitusi ialah
51
sumber hukum yang baru diterima orang apabila telah diyakini. Dalam konteks hukum
Islam, Piagam Jakarta sebagai salah satu hasil sidang BPUPKI merupakan persuasive
source bagi gront wet-interpretatie dari UUD 1945 selama 14 tahun (sejak tanggal 22 Juni
1945 ketika ditandatangangi gentelment agreement antara pemimpin Nasionalis Islami
dengan Nasionalis Sekuler sampai 5 Juli 1959 sebelum Dekrit Presiden diundangkan
(Mahfud 1993, hlm. 19)
Hukum Islam baru menjadi autoritatif source (sumber hukum yang telah
mempunyai kekuatan hukum) dalam hukum tata negara ketika ditempatkannya Piagam
Jakarta dalam Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 sebagaimana dapat disimak dalam
konsideran Dekrit tersebut ini: “bahwa Kami (Presiden RI) berkeyakinan bahwa Piagam
Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan adalah merupakan suatu
rangkaian kesatuan dalam konstitusi tersebut”.
Kata “menjiwai” berarti bahwa tidak dibuat aturan perundangan yang bertentangan
dengan syari’at Islam. Kata ini juga dapat berarti pemeluk Islam diwajibkan menjalankan
syari’at Islam. Oleh karena itu harus dibuat Undang-undang yang akan memberlakukan
hukum Islam dalam hukum nasional. Pendapat ini sesuai dengan keterangan Perdana
Menteri Juanda tahun 1959 yang berbunyi pengakuan adanya Piagam Jakarta sebagai
dokumen historis bagi pemerintah berarti pengakuan pula akan pengaruhnya terhadap UUD
1945. Jadi pengakuan tersebut tidak hanya terhadap pembukuaan UUD 1945 saja, tetapi
juga mengenai pasal 29 UUD 1945, pasal mana selanjutnya harus menjadi dasar bagi
kehidupan hukum dibidang keagamaan.
Hal yang sama disampaikan oleh Hazairin karena memang sangat realistis sejalan
dengan bukti-bukti historis yang ada. Di Aceh misalnya, masyarakatnya menghendaki agar
soal-soal perkawinan dan mengenai harta termasuk kewarisan diatur menurut hukum Islam.
Di Sumatera Barat, Minangkabau dikenal sangat kuat adatnya, disini sangat dikenal
pepatah-petitih Adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah (Adat bersendi syara’ dan
syara’ bersendi Kitabullah).
Menurut analisa Daud Ali, hukum Islam yang berlaku di Indonesia dapat dipilah
menjadi dua. Pertama, hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis, yaitu hukum Islam
yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dan benda yang disebut hukum
Muammalat (perdata). Bagian ini menjadi hukum positif berdasarkan atau ditunjuk oleh
peraturan perUndang-undangan, seperti perkawinan, warisan, dan wakaf. Kedua, hukum
52
Islam yang bersifat normatif, yang mempunyai sanksi atau padanan kemasyarakatan. Ini
bisa berupa ibadah murni atau hukum pidana.
Sejak munculnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
menurut Prof. Mahadi, telah sampailah ajal teori Receptie tersebut. Ia mengutip pasal 1 ayat
(1) yang menyatakanbahwa: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut ketentuan
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Dengan demikian, hukum Islam
menjadi sumber hukum yang langsung tanpa harus melalui hukum adat dalam menilai
apakah suatu perkawinan sah atau tidak. Jadi secara yuridis formal, hukum Islam dalam
perkawinan dan segala akibat hukum yang diakibatkannya telah berlaku. Dari sinilah
Muhammad Daud Ali menyimpulkan bahwa sejak tahun 1974, 1) Secara formal yuridis
hukum Islam dapat berlaku langsung, tanpa melalui hukum adat. 2) Hukum Islam sama
kedudukannya dengan hukum adat dan hukum barat, dan 3). Republik Indonesia dapat
mengatur suatu masalah sesuai dengan hukum Islam sepanjanng pengaturan itu untuk
memenuhi kebutuhan hukum khusu umat Islam dan berlaku hanya bagi umat Islam seperti
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Wakaf Tanah Milik.
Sesungguhnya sejak tahun 1970 dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman usaha
menempatkan hukum Islam sebagai subsistem hukum nasional telah dilakukan. Pada tahun
1974 melalui Undang-undang Perkawinan, sebagian usaha itu mulai tampak, kendati
keputusan Pengadilan Agama harus dikukuhkan oleh Pengadilan Negeri. Pada tahun 1989
setelah melalui usaha keras dan perjuangan panjang, akhirnya lahirlah Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Meski di dalamnya lebih banyak memuat
hal-halyang bersifat teknis dan beracara di Pengadilan Agama, di dalamnya
mengisyaratkan bahwa hukum Islam telah diterima dan diberlakukan bagi umat Islam,
meski diakui di dalamnya terdapat juga pilihan atau alternatif kepada subyek hukum.
Misalnya dalam soal warisan, pihak yang berperkara dapat memilih beracara di Pengadilan
Agama atau Pengadilan Negeri yang kemudian dalam tulisan ini disebut dengan hak opsi
dalam perkara waris. Undang-undang ini kemudian disempurnakan dengan lahirnya
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 perubahan pertama dan Undang-undang Nomor 50
Tahun 2009 perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama yang kesemuanya mengarah pada pemberlakuan teori ReceptieExit atau Receptie a
Contrario.
53
Bab. IV
KESIMPULAN
54
rumusanAdopsi
1) Perubahan sikap dari berdagang ke penjajahan yang mengharuskan pemerintahan
Belanda menerapkan ideologi sentralisme hukum guna mengukuhkan keberadaannya
dalam kehidupan masyarakat pribumi yang telah hidup dengan hukum adat dan hukum
Islam maka asas Vrijwillige onderwerping (penundukan diri terhadap hukum tertentu
secara sukarela atas dasar keinginan yang bersangkutan sendiri) yang kemudian
terealisasi dengan cara memilih hukum adalah sebuah solusi mempertahan eksistensi
hukum yang telah lama diterapkan oleh pribumi. Namun setelah kemerdekaan RI
tepatnya sejak lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama maka dalam proses itu terjadilah tumpang tindihnya hukum dengan peradilan
umum yang telah lama berdiri. Dan terjadi kesalahpahaman terhadap asas kebebasan
berkontrak (freedom of contract) pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa:
“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang bagi mereka
yang membuatnya” maka lahirlah pilihan hukum pada beberapa perkara di peradilan
agama di Indonesia;
2) Salah satu tuntutan reformasi hukum adalah menghapuskan tumpang tindih hukum
yang berdampak pada lahirnya pilihan hukum dan berakibat melahirkan ketidakpastian
hukum dalam masyarakat dan bertentang dengan salah satu fungsi hukum sebagai
social control. Kemudian diantara ciri-ciri hukum modern itu adalah adanya
spesialisasi dan hukum itu dilaksanakan oleh orang-orang yang berkompeten, maka
dalam perkara ekonomi syari’ah misalnya saja memang spesialisasi Hakim Peradilan
Agama. Selanjutnya pilihan hukum itu bertentangan dengan hakekat memilih hukum
Islam yang yakini berdimensi dunia akhirat.
3) - Adopsi atau Pengangkatan Anak, yang menjadi dasar penetapannya menjadi
wewenang absolut Peradilan Agama adalah Asas Personalitas Keislaman dalam
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1978 tentang Peradilan Agama, Pasal 171 huruf h
Kompilasi Hukum Islam yang memberikan defenisi anak angkat, SEMA Nomor 6
Tahun 1983 isi petitum permohonan pengangkatan anak harus bersifat tunggal yang
menyatakan sahnya pengangkatan anak, dan tidak boleh memuat petitum lain
seperti petitum menyatakan anak angkat sebagai ahli waris, Undang-undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak khususnya pasal 39 ayat 2 menyatakan
bahwa Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak
55
memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya,
denda paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006 pasal 49;
- Sengketa Waris, Asas Personalitas Keislaman dalam Undang-undang Nomor 7
Tahun 1978 tentang Peradilan Agama, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 pada
penjelasan umum alenia ke dua dinyatakan “...Para Pihak sebelum berperkara dapat
mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam
pembagian warisan”, dinyatakan dihapus”. Dan dipertegas dengan Asas Lex
speciali derogate legi generali artinya aturan yang khusus mengalahkan aturan yang
umum, serta asas lex posteriori derogate lex priori artinya aturan yang lama (yang
berlaku terdahulu) dikalahkan/dibatalkan aturan yang baru (berlaku belakangan)
- Sengketa Perbankan Syari’ah, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 pasal 49 yang
menyertakan ekonomi syari’ah sebagai salah satu wewenang absolut peradilan
agama, Pasal 55 ayat (2) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah yang menentukan Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang
untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah, Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 93/PUU-X/2012 menyatakan bahwa penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-
undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah bertentangan dengan
UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan akan
menyebabkan adanya tumpang tindih kewenangan.
- Pembagian Harta Bersama, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 dan nomor 3
Tahun 2006 pasal 49 huruf a nomor 10 “penyelesaian harta bersama”, dalam pasal
97 KHI disebutkan: “Janda atau duda cerai hidup, masing-masing berhak seperdua
dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.”
Gugatan terhadap pembagian harta bersama ini diajukan ke Pengadilan Agama di
wilayah tergugat tinggal bagi yang beragama Islam dan Pengadian Negeri di
wilayah tergugat tinggal bagi Non Muslim dan pengadilanlah yang akan mensahkan
tentang pembagian harta bersama tersebut (asas tempat tergugat)
Daftar Referensi
56
Abdullah, M. Amin 1995, “Falsafah Kalam di Era Postmodernisme”, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, Cet. I. Yogyakarta.
Abdullah, M. Amin 1995, “Hukum Acara Umum”, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Cet. I.
Yogyakarta.
Abdurrahman 1992, “Kompilasi Hukum Islam di Indonesia” Cet, ke-1, Akademika
Pressindo. Jakarta.
Ahmad Noeh, Zaini dan Abdul Basit Adnan 1993, “Sejarah Singkat Peradilan Agama
Islam di Indonesia”, Bina Ilmu. Surabaya.
Ahmad Warson Munawir Al-Munawir 1992, “Kamus Arab Indonesia”, Pondok Pesantren
Al-Munawir. Yogyakarta.
AF, Hasanudin dkk 2004, “Pengantar Ilmu Hukum”, Pustaka Al-Husna Baru, Jakarta.
Ali, Mohammad Daud 2002. Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Ali, Mohammad Daud 1984. Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia,
Yayasan Risalah, Jakarta.
Ali, Mohammad Daud 1990. Asas-asas Islam (Hukum I), Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia, RajaWali Press, Jakarta.
Aladip, Machfuddin t.t, Terjemahan Bulughul Maram, CV. Toha Putra, Semarang.
Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, 1994, Bandung, Mizan.
Al-Khin, Musthafa Sa’id, Dirasat Taribiyyat lilfiqh wa Ushulih, Damsyiq: Syirkat al
Muttahidat.
Arifin, Bustanul 1983. Pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia” al-Mizan Nomor 3
Tahun I.
57
Arifin, Bustanul 1999. “Trasformasi Syariah ke dalam Hukum Nasional” (Bertenun
dengan Benang-Benang Kusut), Yayasan al-Hikmah. Jakarta.
Artikel 1992. Hukum Islam di Indoneisa dari Masa-Kemasa, Majalah UNISIA no. 16 th
TW V.
Amrullah Ahmad, SF. Dkk., “Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum
Nasional” (Jakarta: Gema Insani Press, 1966), h. Ix
Anwar, Syamsul t.t, Kerangka Epistemologi Hukum Islam, Makalah Tidak Diterbitkan.
Anderson, N.J,Islamic Law in the Muslim World (New York: New York University Press,
1956)
Attamimi, A.Hamid S 1996, “Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional” Gema
Insani, Jakarta.
Barkatullah, Abdul Halim dan Teguh Prasetyo 2006, Hukum Islam Menjawab Tantangan
Zaman Yang Terus Berkembang, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Basyir,Ahmad Azhar 1983, “Hukum Adat Bagi Umat Islam”, Nur Cahaya,Yogyakarta
BJ. Boland. Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970, 1985, Jakarta: Grafiti Pers.
Bisri, Cik Hasan (penyunting) 1999, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama Dalam
Sistem Hukum Nasional, Logos, Jakarta.
Darmodiharjo, Darji dan Shidarta, “Pokok-pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia”
Daniel S. Lev 1990, “Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan”,
Jakarta: LP3S.
Departemen Agama 2004, “Himpunan Peraturan PerUndang-undangan dalam
Lingkungan Peradilan Agama”. Proyek Peningkatan Pelayanan Aparatur Hukum,
Jakarta.
58
Djazuli, H.A 2006, “Kaidah-kaidah Fikih”, Prenada Media Group, Jakarta.
Effendi, Bahtiar 1998, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik
Islam di Indonesia, Jakarta, Paramadina.
Elizabeth A. Martin (editor) 1997. a Dictionary of Law, New York: Oxford University
Press, Fourth Edition.
Esposito, Women, in Muslim Family Law (Syracouse: Syracouse University Press: 1982)
Fauzan 2013, ”Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah
Syari’ah di Indonesia” Kencana Prenada Media Group, Cet. Ke-4, Jakarta.
Gani, Roeslan Abdul 1983. Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia,Antar Kota,
Jakarta.
Habiburrahman 2011. ”Rekonstruk Hukum Kewarisan Islam di Indonesia”, Fajar
Interpratama Offset, Jakarta.
HA. Hafizh Dasuki 1997. Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru van Hoeve,
VIKIMA. Jakarta.
Hadikuma, H. Hilman 1991. “Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan, Hukum
Adat, Hukum Agama Hindu, Islam”. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
http://notary-herman.blogspot.com/2009/03/hukum-waris-islam-di-indonesia.html.
04.11.2009
http://click-gtg.blogspot.com/2008/06/ perubahan – kewenangan – pengadilan - agama.
html.30.10.2008.
http://yofikapratiwi.blogspot.com/2013/05/makalah-hukum-waris.html/22.07.2013
http: //www.scribd.com/ doc/ 28451306/ 001- Menjadi- Muslim- Kaffah# fullscreen: on 13
Juli 2010.
http://putracenter.net/2009/02/16/definisi-hukum-menurut-para-ahli. 27 Februari 2012.
59
http://kamusbahasaindonesia.org/hukum. 27 Februari 2012.
http://www.google.co.id/search?q=UU+no+50+tahun+2009&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls
=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a 27 Februari 2012. UU no 50 2009,
http://smujiono.wordpress.com/2011/03/17/sejarah-hukum-islam-di-indonesia/ 29 Februari
2012.
http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-islam/hukum-islam-dalam-
sejarah/29022012
http://digilib.sunan-ampel.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jtptiain-gdl-s1-
2005nurkhamim2-136
http//serbasejarah.wordpress.com/2009/04/09/politik-hukum-kolonial-belanda-pengaruhnya
-terhadap-pelaksanaan-hukum-islam.
http://ryono.multiply.com/journal/item/4. 12.02.2010
http://arifsubarkah.wordpress.com/2010/01/02/pembagian-hukum/04.05.2012
http://zfikri.wordpress.com/2007/08/03/jimly-asshiddiqie-hukum-islam-reformasi-hukum-
nasional/.22.01.2010.
http://lindadewiwulan.blogspot.com/2013/04/hukum-adat-waris.html/22.07.2013
http://www.padompu.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=245:dualisme-peradilan-pada-perkara-
pengangkatan-anak-yang-diajukan-oleh-pemohon-beragama-
islam&catid=49:opini&Itemid=78. Tanggal 22 Januari 2014
60
http://www.badilag.net/raker-badilag-2012/315-berita-kegiatan/16996-lima-peristiwa-
penting-di-akhir-agustus-2013-mengenai-peradilan-agama-dan-ekonomi-syariah-
59.html 25012014.
http://hidayatpratama.blogspot.com/2012/03/pengertian-hukum-asas-norma-dan-kaidah.
html, 13 Mei 2014.
Harahap, M. Yahya 2001, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama Undang-
undang Nomor. 7 Tahun 1989, Sinar Grafika, Jakarta.
Harahap, M. Yahya 2007, “Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama
Undang-undang nomor 7 tahun 1989”, Sinar Grafika, Edisi Kedua, Jakarta.
Hamka, 1961, Sejarah Umat Islam, N. V. Nusantara, Bukit Tinggi.
Harjono, Dr. Anwar 1968, “Hukum Islam, Keluasaan dan Keadilan”, Bulan Bintang,
Jakarta.
Hazairin, 1974, “Kewarisan Bilateral Menurut Alquran dan Hadis”, Tintamas, Cetakan
ke-III, Jakarta.
Hutagalung, Mura P 1985, “Hukum Islam Dalam Era Pembangunan”, Cetakan Pertama,
Ind Hill co, Jakarta.
Huijber, Theo 1982, “Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah”, Kanisius, Yogyakarta.
Ibnu Majah al-Daraquthni dan Al-Hakim yang dikutip dari Sayid Sabiq 1973, “Fiqh
Sunah”, Juz. 3 Cet. Ke-4, Darul al-Fikr, Beirut, Libanon.
Ichtijanto 1994, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam
hukum Islam di Indonesia, Remaja Rosdakarya cet. ke-2, Bandung.
Kamali, Mohammad Hasyim 1996, Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam, alih bahasa
Noorhadi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
61
Kansil, C. S. T. t.t, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta.
Koesnoe, Moch. 1980, Mengenai hukum Islam, hukum adat, hukum Eropa yang berlaku di
Indonesia dewasa ini, Perbandingan antara Hukum Islam, Hukum Eropa dan Hukum
Adat. Seminar Pembinaan Kurikulum Hukum Islam di Perguruan Tinggi, Badan
Kerjasama PTIS, Kaliurang.
Kompas, Tajuk rencana, Selasa 19 Juni 1984
Lokito, Ratno 2008, Tradisi hukum Indonesia, Cet.1, Teras, Yogyakarta.
Lubis, Suhrawardi K dan Komis Simanjuntak 1995, Hukum Waris Islam (Lengkap &
Praktis), Cetakan Pertama, Sinar Grafika Offset, Jakarta.
Lubis, Sulaikin, Wismar ’ain Marzuki dan Gemala Dewi 2006, Hukum Acara Perdata
Peradilan Agama di Indonesia, Cetakan Kedua, Fajar Interpratama Offset, Jakarta.
Marzuki, Peter Mahmud 2005. Penelitian Hukum, Edisi Pertama, cet. Ke-2, Kencana,
Jakarta.
Mas’adi, Ghufron A 1997, Pemikiran Fazlur Rahman tentang: Metodologi Pembaruan
Hukum Islam, Manajemen PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Muchsin t.t, Kontribusi Hukum Islam Terhadap Perkembangan Hukum Nasional, ...?
Muchsin 2004,”Masa Depan Hukum Islam di Indonesia”,BP. IBLAM, Jakarta.
Mulkhan, Abdul Munir 1994, Paradigma Intelektual Muslim, SIPRESS, Yogyakarta.
Muhthohhar, Abdul Hadi 2003.Pengaruh Mazhab Syafi’i di Asia Tenggara, Fiqh dalam
Peraturan PerUndang-undangan tentang Perkawinan di Indonesia, Brunei dan
Malaysia. Semarang: 2003. Aneka Limit.
62
Mahfud, Moh. (Editor) 1993, “Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata
Hukum Indonesia, dalamPeradilan Agama dan KHI dalam Tata Hukum Indonesia”
Yogyakarta. UII Press.
Muttaqien, Dadan (Editor) 1999, “Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam
Tata Hukum Indonesia”, UII Press edisi II, Yogyakarta.
M. Arsjad Th. Lubis 1953, ”Ilmu Pembagian Pusaka” Toko Buku Islamiyah, Medan.
Musthofa 2008, “Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama” Cetakan Pertama
Kencana, Jakarta.
Notosusanto, Lihat 1963. Organisasi dan Jurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia,
B.P. Gadjah Mada, Yogyakarta.
Nasution 2002, Metode Research, Bumi Aksara, Jakarta.
Praja, Juhaya S t.t, Hukum Islam di Indonesia ..., p. Xviii
Ranulyo, Mohd. Idris 1995, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara
Peradilan Agama dan Zakat, Sinar Grafika, Cetakan Pertama, Jakarta.
Rahim, Husni 1978, “Hukum Perkawinan”. Bulan Bintang, Jakarta.
Rahardjo, Satjipto 1983, “Hukum dan Perubahan Sosial”, Bandung.
Redaksi Sinar Grafika 2006, “Amandemen Undang-undang Peradilan Agama (Undang-
undang RI No. 3 Th. 2006)”, Cetakan pertama, Sinar Grafika Offset, Jakarta.
Rofiq, Ahmad 2001, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta.
Rofiq, Ahmad 1995,“Hukum Islam di Indonesisa”, RajaWali Pers, PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta.
Sabiq, Sayyid 1983, “Fiqhus Sunah”, Jil. 3, Dar al-Fikr, Bayrut.
63
Sabiq, Sayyid, sebagaimana dikutip oleh Amir Syarifuddin 1985, “Pelaksanaan Hukum
Waris dalam Lingkungan Minangkabau” Gunung Agung, Jakarta.
Subekti 1995, “Aneka Perjanjian” PT. Aditya Bakti. Bandung.
Sumitro, Warkum 2005. Perkembangan Hukum Islam di tengah Kehidupan Sosial Politik
di Indonesia. Bayumedia Publishing, Malang
Suma, M.Amin 2004, Himpunan Undang-undang Perdata Islam dan Peraturan
Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Suryabrata, Sumadi 1997. Metode Penelitian, PT. Rajagravindo Persada, Jakarta.
Suparman, Eman 2007, “Hukum Waris Indonesia, dalam Perpsektif Islam, Adat dan B.W”,
PT. Repika Aditama, Bandung.
Supardi 2005. Metode Penelitian Ekonomi dan Bisnis, Cet 1, UII Press, Yogyakarta.
Syamsul Anwar, Kerangka Epistemologi Hukum Islam, makalah tidak diterbitkan.
Syarifuddin,Amir 1984, “Pelaksanaan Hukum Kewarisan dalam Lingkungan Adat
Minangkabau”, Gunung Agung, Jakarta.
Syarifuddin,Amir 1993, “Pembaruan Pemikiran dalam Hukum Islam”, Angkasa Raya,
Cet.2, Padang.
Syafe;i, Rachmat 2007, “Ilmu Ushul Fiqh untuk UIN, STAIN, PTAIS” Pustaka Setia, Cet.
III, Bandung.
Supriyadi, Dedi 2007. Sejarah Hukum Islam. CV. Pustaka Setia,Bandung.
Shihab, M. Quraish 2007, “Tafsir al-Misbah” Lentera Hati, Jakarta.
Thalib,Cf. Sajuti 1982.Receptie A Contrario (Hubungan Hukum Adat dengan Hukum
Islam).Bina Aksara, Jakarta.
64
Wahid, Abdurrahman 1991. “Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia” Rosda Karya,
Bandung.
Wahid, Abdurrahman 1992. “Kompilasi Hukum Islam di Indonesia” Humaniora Utama
Press.
Zuhdi,Masjfuk 1983.“Pelaksanaan Hukum Faraid di Indonesia”, Al-Mizan, Nomor 2
Tahun I.
top related