pengembangan pembelajaran bahasa indonesia bagi …
Post on 19-Oct-2021
4 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers ”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan X”
6-7 Oktober 2020
Purwokerto
ISBN 978-602-1643-65-5
249
Bidang 6 : Rekayasa sosial, pengembangan pedesaan dan pemberdayaan masyarakat
PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BAGI PENUTUR
ASING (BIPA)BERBASIS KEARIFAN LOKAL
Mustasyfa Thabib Kariadi1, M. Riyanton2
1Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan: 1) pembelajaran keterampilan
berbicara berbasis budaya lokal pada mahasiswa program BIPA di Universitas Jenderal Soedirman; 2)
kendala yang dialami dalam pembelajaran keterampilan berbicara pada mahasiswa program BIPA di
Universitas Jenderal Soedirman; 3) upaya mengatasi kendala pembelajaran keterampilan berbicara pada
mahasiswa program BIPA di Universitas Jenderal Soedirman. Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif kualitatif. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis interaktif.
Sumber data dalam penelitian ini meliputi: (1) Informan, yakni pengajar, koordinator BIPA, dan peserta
BIPA, (2) dokumen, meliputi perangkat mengajar yang meliputi silabus pembelajaran, buku-buku
penunjang dalam proses belajar mengajar di BIPA, dan (3) kegiatan pembelajaran BIPA. Dalam
penelitian ini, peneliti menggukan teknik purposive (selektif/sengaja) dalam melakukan pengambilan
sampel. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis kritis. Teknik pengambilan data
yang diterapkan, yaitu: (1) observasi, (2) wawancara, dan (3) analisis dokumen. Uji validitas data
dengan menggunakan triangulasi metode dan triangulasi sumber data. Hasil penelitian disimpulkan
bahwa 1) pembelajaran keterampilan berbicara berbasis budaya lokal pada mahasiswa program BIPA
di Universitas Jenderal Soedirman sudah berjalan dengan baik; 2) kendala-kendala dalam pembelajaran
bahasa Indonesia bagi Penutur Asing di Universitas Jenderal Soedirman dapat dibedakan ke dalam
empat sumber kesulitan, yaitu: a) peserta didik yang sangat heterogen baik dari sisi budaya,
kemampuan, dan karakter menyulitkan para pengajar untuk menyampaikan materi secara seimbang, b)
budaya pemelajar yang masih belum dapat menyesuaikan dengan budaya Indonesia, c) minat dan
motivasi pembelajar yang masih kurang dalam mempelajari bahasa Indonesia, dan d) penguasaan
bahasa Indonesia yang dimiliki oleh para pemelajar sangat beragam; 3) upaya mengatasi kendala di
atas, yaitu dengan a) membuat variasi pada metode, model, dan materi pembelajaran, b) memberikan
materi yang bersinggungan dengan budaya-budaya di Indonesia, c) memberikan motivasi pada
pembelajar secara intens.
Kata kunci: Pembelajaran keterampilan berbicara, budaya lokal, BIPA
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers ”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan X”
6-7 Oktober 2020
Purwokerto
ISBN 978-602-1643-65-5
250
PENDAHULUAN
Proses berbahasa tidak mungkin lepas dengan konteks budaya yang melatarbelakanginya. Hal
tersebut sejalan dengan Thanasoulas (2001) yang menyebutkan bahwa bahasa tidak akan terpisah dari
budaya, maksudnya, bahasa merupakan perangkat sosial yang diwarisi dari praktik dan keyakinan
yang menentukan cara hidup masyarakat tertentu. Aitchison (2008: 21) menjelaskan dalam
menyampaikan makna atau pun informasi kepada seseorang, ujaran atau pun isyarat suara yang
digunakan merupakan hal yang telah disepakati sebelumnya. Jika tata cara berbicara seseorang tidak
sesuai norma sosial dan budaya, orang tersebut akan mendapatkan penolakan oleh masyarakat.
Oleh karena itu,
Pembelajaran bahasa Indonesia yang diajarkan sebagai bahasa kedua membuat pengajaran
bahasa Indonesia untuk penutur asing (BIPA) menjadi berbeda. Pengajaran BIPA lebih kompleks
disebabkan pembelajar berasal dari berbagai negara dan latar belakang budaya yang berbeda antara
satu dengan yang lain. Kondisi ini membuat pemelajar BIPA harus diberikan sistem pembelajaran yang
sesederhana mungkin agar pemelajar merasa nyaman dalam proses pemerolehan kosakata baru.
Tingkat kemampuan pemerolehan bahasa kedua seseorang dapat diukur melalui tes yang dinamakan
MLAT (Modern Language Aptitude Test) atau pun LAB (Language Aptitude Baterry) yang
meliputi tiga komponen bakat, yaitu (1) kemampuan mengingat kata-kata baru dalam bahasa asing; (2)
kemampuan untuk menganalisis struktur kata dalam bahasa asing; (3) kemampuan dalam
mengidentifikasi pola dan hubungan makna atau struktur kalimat (Carroll, 1973; Carroll & Sapon,
1959). Banyak faktor yang menjadikan pemelajar asing tertarik dalam mempelajari bahasa
Indonesia, seperti yang dikemukakan Agustina, Andayani, dan Wardani (2013) bahwa keadaan
Indonesia yang multikultural menjadi salah satu daya tarik bagi pemelajar asing untuk belajar
bahasa Indonesia karena bahasa adalah salah satu media terpenting yang harus dimiliki agar dapat
mengetahui keunikan bangsa Indonesia. Selanjutnya, Budiana, Indrowaty, dan Ambarastuti (2018: 109)
mengemukakan pemberlakuan MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) berdampak besar pada
perkembangan minat program bahasa Indonesia untuk penutur asing (BIPA). Indonesia yang
mempunyai keanekaragaman budaya dan wilayah yang strategis ditinjau dari segi ekonomi menjadi
sasaran bagi warga asing untuk memperluas kerjasama. Para investor atau pelaku kegiatan ekonomi
harus dapat menggunakan bahasa Indonesia dalam melakukan aktivitasnya di Indonesia. Hal ini
menyebabkan peningkatan jumlah pemelajar BIPA baik yang belajar di Indonesia maupun yang di luar
negeri. Permintaan yang semakin tinggi tersebut mendorong beberapa perguruan tinggi di Indonesia
dalam merencanakan program pembelajaran bahasa Indonesia untuk penutur asing secara lebih
serius.
Beberapa negara telah lama menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa asing, bahkan
program Indonesian Studies sudah dikembangkan juga di beberapa universitas di Australia dan
Cina. Di komunitas ASEAN sendiri, bahasa Indonesia memiliki posisi yang cukup penting. Dari
kalkulasi kuantitatif ada setidaknya ada 600 juta orang di Asia Tenggara, dimana 40% dari jumlah
tersebut berbahasa Indonesia (Antara News, 8 Mei 2017). Maka tidak heran ketika bahasa Indonesia
diusulkan untuk menjadi bahasa resmi negara-negara ASEAN (Kompas,10 Mei 2011).
Keadaan ini membuat bahasa Indonesia dalam lingkup internasional menduduki area penting.
Hal tersebut memengaruhi pada pengembangan kurikulum pengajaran bahasa Indonesia untuk penutur
asing agar sesuai dengan standar Internasional dan kondusif dalam penyelenggaraannya. Dalam hal
ini, identitas kultural Indonesia semestinya diintegrasikan dalam pembelajaran. Dengan mempelajari
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers ”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan X”
6-7 Oktober 2020
Purwokerto
ISBN 978-602-1643-65-5
251
konteks budaya, kehidupan sosial masyarakat Indonesia,
dan norma-norma sebagai nilai entitas masyarakat penutur asing dapat mempelajari karakter Indonesia
yang merupakan sine qua non (prasyarat mutlak). Hal ini dapat dipahami karena bahasa merupakan
salah satu cermin jati diri masyarakat sehingga kajian dan pembelajarannya tidak dapat dilepaskan dari
kehidupan masyarakat.
Bagi penyelenggara program BIPA, prinsip dasar pengajaran BIPA yang selama ini dimaksud
memang bukan sesuatu yang harus baku adanya. Namun, apabila akan mewujudkan bentuk pengajaran
BIPA sesuai dengan prosedur yang benar, maka acuan dasar pembelajaran tersebut menjadi persyaratan
penting dan seharusnya dipenuhi (Stern, 1987). Pengajaran BIPA memiliki tujuan kompetensi
tertentu, yaitu membentuk pemelajar BIPA memiliki kemampuan berbahasa secara baik dan benar.
Oleh karena itu, persoalan karakteristik personal pemelajar dan persoalan budaya ikut dilibatkan
dalam penciptaan pengajaran BIPA (Stern, 1987; Surajaya, 1996; Widodo, 1994). Pengajaran
BIPA sebagai sebuah program, tentu memiliki pijakan yang jelas sebagaimana tampak pada prinsip
dasar pembelajaran pada umumnya. Demikian pula, sebagai bentuk pembelajaran bahasa sudah
semestinya juga mendasarkan pada kaidah konseptual pembelajaran bahasa asing yang menjadi
landasan pendekatannya. Kaidah konseptual yang dimaksud terutama bersumber pada teori bahasa dan
teori pembelajaran bahasa (Spolsky, 1980; Stern, 1987). Mulyono (2004:41) mengemukakan bahwa
pembelajaran bahasa indonesia untuk pemelajar asing dibagi ke dalam tiga tingkatan, yaitu kelas
pemula, menengah, dan atas.
Pengajaran bahasa Indonesia diharapkan tidak sekadar mengajarkan teori bahasa tetapi pemelajar
mampu berbicara bahasa Indonesia. Keterampilan berbicara termasuk keterampilan bahasa yang
sangat komplek karena tidak hanya sekadar paham terhadap masalah yang akan diinformasikan,
tetapi juga memahami kemampuan dalam menggunakan perangkat kebahasaan dan nonkebahasaan
(Muliastuti: 2010). Menurut Saddhono (2013) Pembelajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing
(BIPA) bertujuan untuk meningkatkan keterampilan berbahasa mahasiswa asing di Indonesia,
termasuk yang diselenggarakan di Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED).
Keberhasilan pengajaran tergantung dari berbagai unsur, diantaranya model, metode, dan
materi pembelajaran yang dipilih dalam proses pembelajaran. Pentingnya unsur-unsur tersebut
di dalam proses pembelajaran mengharuskan seorang guru mampu merancang rencana pembelajaran
sebelum melakukan proses pembelajaran.
Dari latar belakang tersebut, peneliti tertarik melakukan penelitian terkait pembelajaran
keterampilan berbicara berbasis budaya lokal pada mahasiswa BIPA di Uniersitas Jenderal
Soedirman.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian studi kasus juga peneliti gunakan dalam penelitian ini. Robert (2001)
menjelaskan bahwa studi kasus ialah strategi yang lebih cocok digunakan jika rumusan masalah
penelitian how atau why jika peneliti hanya memiliki sedikit kesempatan dalam mengontrol berbagai
peristiwa yang akan diselidiki dan apabila fokus penelitian terletak pada fenomena masa kini di
dalam kehidupan nyata.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, maka sampel cenderung lebih bersifat purposive
(selektif/sengaja) dari pada acak (Miles dan Huberman, 1992: 47). Pemilihan sampel secara
purposive sampling dilakukan dengan mengambil sampel memakai pertimbangan tertentu (Indriantoro
dan Supomo, 2002: 131). Teknik sampling bersifat selektif dilakukan dengan pertimbangan
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers ”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan X”
6-7 Oktober 2020
Purwokerto
ISBN 978-602-1643-65-5
252
berdasarkan konsep teoritis yang digunakan, keingintahuan pribadi, karakteristik empiris yang
diarahkan bagi usaha generalisasi teoritis. Berdasarkan teknik sampling ini peneliti hanya akan memilih
informan yang dirasa mengetahui permasalahan pembelajaran BIPA khususnya keterampilan berbicara
berbasis budaya lokal di lembaga BIPA Wilayah . Peneliti memilih dari pembelajar di masing-masing
lembaga BIPA yang memiliki jenjang akademik berbeda-beda dan tujuan belajar yang berbeda-beda
pula, informan meliputi pengelola, pengajar, dan pembelajar BIPA di universitas negeri .
Sumber data yang digunakan untuk pengumpulan informasi dan data dalam penelitian ini ada
tiga. Ketiga sumber data tersebut, yaitu :
1. Informan
Informan yaitu seorang yang dapat memberikan informasi atau keterangan mengenai seluk-
beluk permasalahan yang diperlukan dalam penelitian. Sutopo (2005: 50) menjelaskan bahwa dalam
penelitian kualitatif, posisi narasumber sangat penting, sebagai individu yang memiliki informasi.
Sumber data yang berupa manusia di dalam penelitian kualitatif lebih tepat disebut sebagai informan
daripada sebagai responden. Informan dalam penelitian ini adalah pengajar, koordinator BIPA, dan
mahasiswa BIPA.
2. Dokumen
Dokumen atau arsip merupakan bahan tertulis yang bergayutan dengan suatu peristiwa atau aktivitas
tertentu (Sutopo: 2002:54). Dokumen yang diperlukan dalam penelitian ini adalah perangkat mengajar
yang meliputi silabus pembelajaran, buku-buku penunjang dalam proses belajar mengajar.
3. Akftivitas peserta BIPA dan pengajar pada waktu melaksanakan kegiatan belajar mengajar
keterampilan berbicara. Kegiatan belajar mengajar yang diamati adalah kegiatan belajar mengajar yang
dilakukan oleh pengajar BIPA yang mengajarkan keterampilan berbicara.
Data di dalam penelitian ini dikumpulkan dengan teknik wawancara, observasi, dan analisis
dokumen. Wawancara dilakukan terhadap pengajar dan peserta BIPA di Universitas Jenderal
Soedirman . Menurut Meolong (2007: 186) wawancara merupakan percakapan antar seseorang
yang bertujuan untuk mendapatkan informasi atau maksud tertentu. Wawancara digunakan untuk
memperoleh data yang berkenaan dengan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran,
hambatan yang dialami dalam pembelajaran, solusi instruktur untuk mengatasi hambatan dalam proses
pembelajaran, dan evaluasi proses pembelajaran. Teknik pengumpulan data melalui wawancara
dilakukan kepada informan yang diperlukan yaitu pengajar, pengelola BIPA di Universitas Jenderal
Soedirman , dan pembelajar BIPA. Wawancara dalam penelitian ini dilakukan dengan pertanyaan
terstruktur dan bersifat lentur guna menggali pandangan subjek penelitian tentang hal-hal yang sangat
dibutuhkan peneliti.
Dalam observasi ini, peneliti hanya bersifat pasif di lokasi dan sama sekali tidak berperan
sebagai apapun selain hanya sebagai pengamat, tetapi hadir dalam konteksnya (Sutopo, 2002: 66).
Peneliti mengamati langsung terhadap kegiatan pembelajaran, tingkah laku pembelajar dan pengajar.
Hal- hal yang diamati terutama yang berkaitan dengan masalah (1) bagaimana pengajar melaksanakan
pembelajaran keterampilan berbicara bahasa Indonesia, (2) bagaimana pembelajar belajar keterampilan
berbicara bahasa Indonesia, dan (3) masalah- masalah yang muncul dari hasil interaksi keduanya.
Sugiyono (2011: 329) menyatakan bahwa dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah
berlalu. Sedangkan teknik analisis dokumen dilakukan dengan cara mentranskip dokumen berupa
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers ”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan X”
6-7 Oktober 2020
Purwokerto
ISBN 978-602-1643-65-5
253
administrasi yang berkaitan dengan sumber siswa yang diteliti, silabus, dan daftar nilai
keterampilan berbicara peserta BIPA terutama yang berkaitan dengan kebudayaan lokal.
Triangulasi sumber data dimaksudkan untuk: (1) membandingkan antara data hasil pengamatan
dengan hasil wawancara, (2) membandingkan apa yang dikatakan di depan umum dengan yang
dikatakan secara pribadi, (3) membandingkan wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.
Sementara itu, triangulasi metode dimaksudkan sebagai pengecekan derajat kepercayaan penemuan-
penemuan hasil penelitian melalui beberapa teknik pengumpulan data. (Moleong, 1995: 178).
Dengan demikian, triangulasi data mengarahkan peneliti agar dalam mengumpulkan data, wajib
menggunakan beragam sumber data yang tersedia. Selain itu, untuk mendapatkan data yang valid,
peneliti melakukan review informan, teknik ini digunakan untuk menanyakan informan, apakah data
yang diperoleh dari hasil wawancara sudah valid atau belum.
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis interaktif
(interactif model of analysis). Menurut Miles dan Huberman (1992: 20), teknik analisis ini
mencakup analisis kritis terhadap kelemahan dan kelebihan kinerja siswa dan guru dalam proses belajar
mengajar yang terjadi di dalam kelas selama penelitian berlangsung.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pembelajaran Keterampilan Berbicara Berbasis Budaya Lokal
Keberhasilan pembelajaran BIPA di Universitas Jenderal Soedirman di dipengaruhi oleh banyak
faktor, di antaranya model pengajaran yang diterapkan pengajar. Dalam pengajaran BIPA, model
pengajaran yang sesuai dengan kondisi pemelajar dapat meningkatkan kemampuan berbahasa dengan
cepat. Dalam kelas BIPA ada beberapa prinsip yang harus diterapkan, yaitu berbicaralah dengan semua
pemelajar dengan menggunakan bahasa Indonesia, diminimalisir penggunaan bahas Inggris (jangan
hanya berbicara dengan pemelajar yang paling fasih berbahasa Indonesia), bahasa Indonesia digunakan
sebagai bahasa pengantar proses belajar mengajar, perkenalkan pemelajar secara pribadi dengan
penutur asli atau melalui video, beri dorongan pemelajar untuk menggunakan bahasa Indonesia di
luar kelas secara mandiri, rancang aktivitas berbahasa yang melibatkan pembelajar secara pribadi,
lebih berfokus pada pengajaran bukan pada evaluasi, carilah cara yang efektif untuk memanfaatkan
media pengajaran yang sejalan dengan bahan pengajaran yang akan disajikan.
Sukses tidaknya suatu proses pembelajaran sangat ditentukan oleh pemegang kendali pelaksana
belajar mengajar. Pengajar yang berkualitas cenderung menghasilkan pembelajaran yang berkualitas,
demikian pula sebaliknya. Oleh sebab itu, pengajar BIPA hendaknya tidak hanya memiliki kompetensi,
performansi, dan sikap keindonesian yang baik. Akan tetapi, juga memiliki wawasan yang luas,
terutama pada aspek budaya, baik yang bersifat lokal maupun internasional. Sehingga proses
pembelajaran dapat berjalan lebih bervariasi, memiliki kemampuan untuk meningkatkan motivasi para
pemelajar BIPA, relevan dengan konteks budaya bahasa Indonesia, serta memiliki khasanah yang luas.
Sebelum proses pembelajaran berlangsung salah satu yang harus dipahami pengajar adalah
model pembelajaran. Bagaimana seorang pengajar mampu menggunakan model pembelajaran
yang tepat disesuaikan dengan materi dan kondisi pemelajar. Sebagai pelaksana pembelajaran,
pengajar wajib menguasai komponen pembelajaran dan mampu menyajikannya materi yang
diajarkan kepada pemelajar BIPA secara efisien dan sederhana sehingga mereka mampu menyerap
dan menguasai dan menggunakan bahasa Indonesia sebagaimana tujuan dari pembelajaran BIPA
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers ”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan X”
6-7 Oktober 2020
Purwokerto
ISBN 978-602-1643-65-5
254
tersebut.
Melalui temuan di lapangan dan dari hasil analisis data, peneliti menyimpulkan bahwa pengajar
telah menggunakan model yang menyenangkan seperti halnya model contextual teaching and learning,
yaitu pengajar membantu pemelajar untuk menghubungkan kegiatan dan bahan ajar dengan situasi
nyata yang ada dan mengambil materi tentang budaya lokal bagi pemelajar, yang dapat memotivasi
pemelajar untuk dapat menghubungkan pengetahuan dan terapannya dengan kehidupan sehari-hari
para pemelajar BIPA, entah konteks lingkungan ketika mereka di Indonesia atau pun konteks
lingkungan yang berkaitan dengan negeri asal para pemelajar BIPA tersebut.
Pembelajaran pada dasarnya merupakan upaya untuk mengarahkan para pemelajar ke dalam
proses belajar sehingga mereka dapat memperoleh tujuan belajar sesuai dengan yang diharapkan.
Pembelajaran seharusnya memperhatikan kondisi individu pemelajar BIPA karena mereka yang
belajar, dan setiap mahasiswa tentunya memiliki kemampuan dan budaya yang berbeda-beda.
Masing-masing mahasiswa memiliki karakter yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Oleh
karena itu, pembelajaran hendaknya memperhatikan perbedaan perbedaan setiap individu. Selama
ini masih sangat jarang hal-hal seperti ini diperhatikan. Kebanyakan guru/pendidik masih melihat
kemampuan anak didiknya dari satu sudut pandang saja.
Pembelajaran bahasa Indonesia meliputi beberapa keterampilan berbahasa (menyimak, membaca,
menulis, dan berbicara). Berbicara merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang sangat penting
dan menunjang ilmu-ilmu lainnya. Akan tetapi, selama ini masih memiliki porsi perhatian yang tidak
lebih dibandingkan keterampilan berbahasa lain (membaca, dan menulis).
Berdasarkan hasil temuan di lapangan, dapat diketahui bahwa pelaksanaan pembelajaran BIPA
yang dilaksanakan oleh pengajar sudah mengarah pada empat aspek keterampilan berbahasa. Pola
pembelajaran berjalan dua arah, jadi pembelajar berperan aktif dalam proses pembelajaran tidak hanya
didominasi oleh pengajar. Kegiatan pembelajaran yang sudah mengarah pada kemampuan
berbahasa Indonesia ini terlihat dari beberapa kegiatan, yaitu presentasi pembelajar di dengan topik
tertentu baik secara kelompok maupun individu, diskusi antar pemelajar dan pengajar, tanya jawab antar
pemelajar dan dosen.
Dari sisi pemilihan model, model yang digunakan dalam proses pembelajaran merupakan salah
satu faktor yang menentukan keberhasilan kegiatan pembelajaran. Oleh karena itu, pengajar harus
menguasai dan menggunakan model pengajaran yang tepat dan sesuai dengan materi dan kondisi
pembelajar. Begitu juga dengan pemilihan metode pembelajaran pengajar dalam pelaksanaan
pembelajaran BIPA tidak hanya menggunakan satu metode saja, tetapi menggunakan metode yang
bervariasi sehingga pembelajar merasa nyaman dan tidak bosan. Selain itu, menurut Andayani
(2012) keefektifan penerapan media interaktif dapat dilihat pada hasil kajian yang menyatakan
bahwa penerapan program media interaktif berusaha sungguh-sungguh dalam menciptakan
kegembiraan saat proses pembelajaran. Penelitian yang dilakukan Andayani menemukan bagaimana
cara mengarahkan kelas menjadi kelas dengan proses pembelajaran yang optimal dan dapat
mencapai semua jenis latar belakang murid. Selain itu, dapat membuat sekolah menjadi lebih produktif
dan menyenangkan bagi murid, Marrie (dalam Andayani: 2012)
Dalam menerapkan model atau metode yang dilakukan pengajar, faktor pemelajar tidak terlalu
berpengaruh, namun menurut pengajar yang menjadikan penentu tingginya motivasi dalam proses
pembelajaran adalah tingkat kesulitan materi. Penggunaan metode yang tidak bervariasi juga dapat
menimbulkan kejenuhan bagi pembelajar. Hal ini sesuai dengan pendapat Sudjana (1986:69) bahwa
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers ”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan X”
6-7 Oktober 2020
Purwokerto
ISBN 978-602-1643-65-5
255
dalam praktik mengajar metode yang baik digunakan adalah metode mengajar yang bervariasi/
kombinasi dari beberapa metode. Pernyataan Sudjana tersebut diperkuat oleh pendapat Djamarah
(1996:83), bahwa penggunaan metode yang tidak bervariasi akan mengakibatkan pengajaran
monoton dan membosankan. Apabila hal itu menjadikan minat belajar mahasiswa BIPA hilang.
Setiap metode pembelajaran memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Salah satu
metode dikatakan baik apabila menjadikan proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik, sesuai
dengan materi yang disampaikan dan menjadikan pemelajar senantiasa termotivasi dalam proses
pembelajaran.
Metode pembelajaran yang bervariasi secara tidak langsung dapat menimbulkan semangat dan
motivasi peserta didik dalam proses pembelajaran. Seperti halnya yang diungkapkan Asmani
(2011) memahami dan mempraktikakan metode mengajar adalah suatu keniscayaan, karena dari sini
guru dapat mengetahui metode mana yang bisa membuat proses pembelajaran menjadi aktif, kreatif,
efektif, dan menyenangkan. Selain itu, menurut Wojowasito (dalam Soegihartono: Prosiding The
4th
International Conference on Indonesian Studies:
“Unity, Diversity and Future”) pembelajaran BIPA dimaksudkan untukmemperkenalkan bahasa
Indonesia kepadapara penutur asing untuk berbagaikepentingan, baik pengajaran maupun komunikasi
praktis.
Berdasarkan hasil observasi terhadap pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan tim pengajar,
dapat dilaporkan bahwa pengajar menggunakan metode yang bervariasi. Beberapa metode yang
digunakan adalah: (1) metode ceramah, (2) metode tanya jawab, (3) metode cooperative script, (4)
metode penugasan, (5) metode latihan, (6) metode demonstrasi dan (7) permainan.
Dilihat dari sisi media, pengajar sudah memanfaatkan media sehingga dapat memberikan
pengaruh positif bagi pembelajar untuk mencapai tujuan pembelajaran. Media tersebut dapat digunakan
untuk memotivasi pembelajar agar lebih aktif dalam menggunakan bahasa Indonesia, memperjelas
informasi atau pesan pelajaran, memberikan penekanan pada bagian-bagian yang penting,
memberikan variasi proses pembelajaran, dan mengurangi rasa jenuh.
Dari sisi penilaian, penilaian pasti ada dalam setiap proses pembelajaran. Adanya penilaian
dimaksudkan sebagai suatu kegiatan untuk mengetahui perkembangan dan kemajuan hasil belajar
pembelajar selama kegiatan pembelajaran. Suwandi (2005:3) mengatakan bahwa penilaian adalah suatu
proses untuk mengetahui apakah suatu program telah sesuai dengan tujuan atau kriteria yang telah
ditetapkan. Penilaian yang dilakukan dalam pembelajaran BIPA dapat dilakukan sebelum, saat, dan
sesudah kegiatan pembelajaran. Penilaian dapat dilakukan dengan menggunakan tes maupun non tes.
Penilaian mempunyai tujuan untuk: (1) mengetahui ketercapaian tujuan pembelajaran, (2)
mengetahui kinerja belajar siswa, (3) mengetahui kesulitan belajar siswa, (4) memberikan
umpan balik terhadap peningkatan mutu program pembelajaran, (5) menjadi alat pendorong dalam
meningkatkan kemampuan siswa, (6) menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan jurusan,
kenaikan kelas, atau kelulusan, (7) menjadi alat penjamin, pengawasan, dan pengendalian mutu
pendidikan, dan (8) merupakan bentuk akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat
jika penilaian dilakukan secara sistematik.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pengajar, penilaian pembelajaran BIPA dilaksanakan
sebelum, saat, dan setelah proses pembelajaran berlangsung. Penilaian proses dilakukan dengan
mengamati aktivitas yang dilakukan pemelajar BIPA selama proses pembelajaran. Penilaian hasil
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers ”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan X”
6-7 Oktober 2020
Purwokerto
ISBN 978-602-1643-65-5
256
dilakukan saat pengajar memberikan latihan atau tes pada siswa. Penilaian dilakukan dengan tes atau
nontes.
Penilaian yang dilakukan pengajar selain itu adalah penilaian kinerja pemelajar. Misalnya mereka
diminta untuk membuat kerangka penulisan ilmiah dan dipresentasikan lalu dievaluasi oleh
pengajar. Setelah mengalami revisi dari pengajar, pemelajar memperbaiki tulisannya, sampai
pada tahap sempurna.
2. Kendala yang Dihadapi dalam Pembelajaran BIPA
Setiap pelaksanaan pembelajaran pasti mengalami kendala. Begitu juga pelaksanaan pembelajaran
BIPA pada Universitas Jenderal Soedirman di pastilah terdapat beberapa kendala yang dihadapi
pengajar. Kendala-kendala pembelajaran yang sudah diidentifikasi oleh peneliti kemudian didiskusikan
dengan cara musyawarah antar pengajar untuk mencari solusinya. Dengan ditemukannya solusi atas
kendala-kendala yang menghambat pembelajaran di kelas BIPA, maka diharapkan agar pembelajaran
BIPA dapat berlangsung lebih baik dari sebelumnya, maka kendala-kendala yang dialami harus dicari
solusinya baik oleh pengajar maupun penyelenggara pendidikan.
Dari hasil wawancara dan observasi, tidak terdapat banyak kendala dari faktor pengajar. Kendala
yang ditemukan lebih banyak berasal dari faktor pemelajar BIPA. Adanya perbedaan kemampuan,
minat, dan budaya menjadikan pembelajaran BIPA harus dilaksanakan sedikit terhambat. Namun
demikian, dengan motivasi belajar bahasa yang berbeda-beda menjadikan proses pembelajaran
kurang bisa berjalan sesuai dengan harapan. Pemelajar yang memiliki tingkat motivasi lebih rendah
cenderung kurang memperhatikan, daripada mahasiswa yang memiliki tingkat akademik tinggi.
Kendala lain yang disampaikan oleh pemelajar yaitu kurangnya waktu yang tersedia.
Berkomunikasi dengan bahasa non formal menurut mereka dapat dilakukan dengan mudah namun yang
diperlukan waktu lebih adalah belajar bahasa yang formal. Seperti halnya hasil observasi peneliti,
mahasiswa Jepang dan Korea masih belum tepat dalam melafalkan kosa kata bahasa Indonesia.
Menurut pengajar, untuk memperbaiki pelafalan membutuhkan waktu yang lebih. Sehingga tidak
cukup dengan waktu yang tersedia harus memperbaiki pelafalan.
3. Upaya untuk Mengatasi Kendala dalam Pembelajaran BIPA
Berdasarkan temuan di lapangan, dapat dijabarkan beberapa upaya pengajar untuk mengatasi
kendala-kendala yang dihadapi pada pembelajaran keterampilan berbicara BIPA. Upaya yang
dilakukan mengatasi kendala yang berasal dari kondisi kelas yang sangat heterogen, bisa diatasi dengan
memberikan porsi yang sesuai antara mahasiswa yang akan lanjut studi dan yang hanya belajar bahasa.
Pengajar mencoba memilih materi yang sesuai dengan karakteristik pembelajar sehingga semua
dapat berperan aktif dalam proses pembelajaran. Tidak ada yang merasa terlalu diperhatikan atau
sebaliknya. Pengajar juga menerapkan model, metode yang variatif sehingga tidak membosankan
pembelajar.
Upaya pengajar untuk mengatasi perbedaan budaya dari masing- masing pembelajar dan agar
pembelajar belajar memahami budaya di Indonesia, pengajar mencoba untuk menyelipkan materi-
materi tentang budaya sehingga sedikit demi sedikit mereka dapat memahami budaya satu dengan
yang lainnya. Lestyarini (2012) menyampaikan bahwa satu hal lagi yang menjadi bentuk kesadaran
sebagai bagian dari masyarakat internasional adalah pengembangan wawasan global yang menjadi
sarana dan upaya mengenal dan memahami negara lain. Upaya ini terus dilakukan untuk
mengharmonisasikan berbagai dimensi kehidupan yang tercermin dari sikap, perilaku, dan kebiasaan
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers ”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan X”
6-7 Oktober 2020
Purwokerto
ISBN 978-602-1643-65-5
257
yang terpuji dalam proses pembelajaran di kelas maupun dalam keseharian hidup.
Upaya pengajar untuk mengatasi kurangnya minat dan motivasi pembelajar dalam mengikuti
proses pembelajaran dengan memberikan motivasi misalkan memberikan cerita-cerita, mencoba
mencari materi- materi yang menarik seperti budaya lokal yang dapat mereka nikmati secara langsung
sehingga dapat mengurangi kejenuhan dan menumbuhkan motivasi pembelajar, dan menjelaskan
manfaat belajar bahasa Indonesia.
Menurut Uno (2006:28), seorang anak yang telah termotivasi untuk belajar sesuatu akan berusaha
mempelajarinya dengan baik dan tekun, dengan harapan memperoleh hasil yang baik. Sebaliknya,
apabila seseorang kurang atau tidak memiliki motivasi untuk belajar, maka dia tidak tahan lama belajar.
Dia mudah tergoda untuk mengerjakan hal yang lain. Hal tersebut berarti bahwa motivasi sangat
berpengaruh terhadap ketahanan dan ketekunan belajar serta hasil belajar siswa.
Selain itu, motivasi belajar penting bagi peserta didik dan guru. Bagi peserta didik pentingnya
motivasi belajar adalah sebagai berikut: (1) Menyadarkan kedudukan pada awal belajar, proses, dan
hasil akhir. (2) Menginformasikan tentang kekuatan usaha belajar. (3) Mengarahkan kegiatan belajar.
(4) Membesarkan semangat belajar. (5) Menyadarkan tentang adanya perjalanan belajar dan
kemudian bekerja (di sela-sela istirahat atau bermain) yang berkesinambungan; individu dilatih untuk
menggunakan kekuatannya sedemikian rupa sehingga dapat berhasil (Dimyati dan Mudjiono, 2002).
Pengajar memberikan waktu tambahan bagi mahasiswa yang merasa kurang puas atau ingin
menanyakan beberapa hal pada saat pembelajaran di luar jam pelajaran. Selain itu pengajar harus
selalu siap dengan berbagai macam materi sehingga ketika pembelajar belum siap untuk
melanjutkan materi sebelumnya, pengajar dapat mengganti sementara dengan yang lain. Hal
ini menghindari kejenuhan atau kebosanan pembelajar.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa upaya yang dilakukan pengajar untuk mengatasi
kendala-kendala pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing, yaitu: a) kendala yang
diakibatkan penempatan peserta didik yang sangat heterogen sehingga tidak berimbang dapat
diatasi dengan membuat variasi pada metode, model, dan materi pembelajaran, b) kendala yang
diakibatkan budaya pembelajar yang masih belum dapat menyesuaikan dengan budaya Indonesia bisa
diatasi dengan memberikan materi yang bersinggungan dengan budaya- budaya di Indonesia, c)
kendala yang disebabkan motivasi pembelajar yang masih kurang dapat diatasi dengan memberikan
motivasi pada pembelajar secara intens, d) kendala yang disebabkan materi, pembelajar berusaha
menyediakan bermacam-macam materi.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil temuan penelitian dan hasil analisis data, dapat disimpulkan sebagai
berikut.
1. Perencanaan pembelajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing diawali dengan menyusun
silabus, pemilihan sumber ajar yang sesuai, setelah itu menentukan materi yang dapat
meningkatkan motivasi peserta BIPA dalam belajar bahasa Indonesia. Kurikulum dan silabus
sudah dipersiapkan dari pihak BIPA UNSOED sehingga pengajar hanya mempersiapkan RPP
yang dibuat secara sederhana. Pengajar tidak diwajibkan menyusun RPP, tetapi diwajibkan
menyusun laporan pembelajaran yang telah dilakukan.
2. Pembelajaran pada materi keterampilan berbicara bahasa Indonesia bagi penutur asing
senantiasa dilaksanakan dengan menghubungkan kegiatan dan bahan ajar yang berkaitan dengan
situasi nyata, dan tak jarang para pengajar menyelipkan materi budaya untuk dapat memotivasi
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers ”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan X”
6-7 Oktober 2020
Purwokerto
ISBN 978-602-1643-65-5
258
pembelajar untuk menghubungkan antara budaya yang ada di Indonesia dengan budaya yang
ada di negara asal masing-masing dari mahasiswa BIPA, dan pengajar lebih sering menggunakan
model contextual teaching learning.
3. Kendala-kendala dalam pembelajaran bahasa Indonesia bagi Penutur Asing di Universitas
Jenderal Soedirman di dapat dibedakan ke dalam empat sumber kesulitan, yaitu: a) peserta
didik yang sangat heterogen baik dari sisi budaya, kemampuan, dan karakter menyulitkan para
pengajar untuk menyampaikan materi secara seimbang, b) budaya pemelajar yang masih belum
dapat menyesuaikan dengan budaya Indonesia, c) minat dan motivasi pembelajar yang masih
kurang dalam mempelajari bahasa Indonesia, dan d) penguasaan bahasa Indonesia yang dimiliki
oleh para pemelajar sangat beragam sehingga komunikasi antara pengajar dan pemelajar sedikit
terhambat. Upaya yang dilakukan pengajar untuk mengatasi kendala-kendala pembelajaran
bahasa Indonesia bagi Penutur Asing, yaitu a) Peserta didik yang sangat heterogen baik dari sisi
budaya, kemampuan, dan karakter dapat diatasi dengan membuat variasi pada metode, model,
dan materi pembelajaran, b) budaya pemelajar yang masih belum dapat menyesuaikan
dengan budaya Indonesia dapat diatasi dengan memberikan materi yang bersinggungan
antara budaya-budaya yang ada di Indonesia dengan budaya asal mahasiswa BIPA di dalam
pembelajaran tersebut, c) kendala yang disebabkan minat dan motivasi dapat diatasi dengan
memberikan arahan tentang pentingnya mempelajari bahasa Indonesia dan mengajak berdiskusi
dengan tentang budaya di daerah asal mereka lalu dikaitkan dengan materi bahasa Indonesia,
d) kendala yang disebabkan materi, pembelajar berusaha menyediakan bermacam-macam materi,
terutama materi budaya lokal yang bisa mereka nikmati secara langsung.
DAFTAR PUSTAKA
Ades, S.. (2011). Model-model Pembelajaran. Bumi Aksara. Jakarta
Aitchison, J. 2008. Linguistics. London : Hodder Headline.
Agustina, R. (2013). Implementasi Pembelajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing di UPT P2B,
Universitas Sebelas Maret. Tesis (tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana, UNS Surakarta.
Akhadiah, S.dkk.(1992). Bahasa Indonesia 1. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan.
Alwasilah, C. (1986). Linguistik Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa.
Antara News edisi B Mei 2011,. Wartawan Asean tentang Bahasa Indonesia
.http://www.antaraw.com/berita/25769a/wartawan-asean-tentang-bahasaindonesia.
Arsjad, A. G. dan Mukti U.S. (1991). Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia. Jakarta:
Erlangga.
Bashir, Marriam, Azeem, Muhammad, and Dogar, Ashiq H.. (2011). Factor Effecting Students’
English Speaking Skills. British Journal of Arts and Social Sciences. Vol.2 No.1
Bloofield, L.. (1993). Language. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Bora, F, D. (2012). The impact of emotional intelligence on developing speaking skills: From brain-
based perspective. Procedia-Social and Behavioural Sciences, 46, 2094-2098.
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2012.05.434
Bovee, C. (1997). Business Comunication Today. New York: Prentice Hall.
Brecht, R. D. and Ingold, C.W. (1998). Tapping a National Resource: Heritage Languagesin the United
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers ”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan X”
6-7 Oktober 2020
Purwokerto
ISBN 978-602-1643-65-5
259
States. Washington DC: National Foreign Language Center Occasional Paper (NFLC).
Brecht, R.D. and Walton, A.R. (1993) National Strategic Planning in the Less Commonly Taught
Languages. Washington DC: National Foreign Language Center Occasional Paper (NFLC).
Brown, Gillian, and George Y. (1983). Teaching the Spoken Language. Cambridge: Cambridge
University Press
Brown, H. D. (1994). Principles of language learning and teaching. 3rd edition. Englewood Cliffs,
NJ: Prentice Hall Regents.
Brown, H., Douglas. (2001). Teaching by Principles an Interactive Approach to Language
Pedagogy, New York: Pearson Education.
Bueno, A, D. M. and McLaren N., (eds). (2006) TEFL in Secondary Education. Granada: Editorial
Universidad de Granada.
Burn, Anne, and Hele J..(1997). Focus on Speaking,Sydney: Macquarie.
Bygate, M. 1998. “Theoretical perspectives on speaking” Annual Review of Applied Linguistics, 18:
20-42.
Carroll, J. B. (1973). Implications of aptitude test research and psycholinguistic theory for foreign
language teaching. International Journal of Psycholinguistics, 2(1), 5-14.
Carroll, J. B., & Sapon, S. M. (1959). Modern Language Aptitude Test: MLAT; manual. New
York: Psychological Corporation.
Celce-Murcia, M. (2013). Teaching English in the context of world Englishes. In M. CelceMurcia, D.
M. Brinton,& M. A. Snow (Eds.), Teaching English as a Second or Foreign Language (4th ed,
pp. 2-14). Boston, MA: National Geographic Learning/Cengage Learning.
Chalil, K. (2005). Kiat Sukses Menjadi Pembicara yang Menggugah dan Mengubah. Bandung: MQS
Publishing.
Chauhan, S.S. (1979). Innovations in Teaching Learning Process. New Delhi: Vikas Publishing House
PVT LTD.
Clark, R. E., Mayer, Richard. (2008). E-Learning – second edition. New York : Pfeiffer.
Daley, Kevin dan Caravella, Laura D.. (2005). Speaking Mastering: Menguasai Strategi Presentasi
yang Efektif. Jakarta: Bhuaba Ilmu Populer.
Eckard, R., & M. Kearny. (1981). Teaching Conversational Skills in ESL. Washington:
Center of Applied Linguistics
Florez, M. A. (1999). Improving Adult English Language Learners’ Speaking Skills. ERIC Digest.
(ERIC Document Reproduction Service No. ED: 435204)
Gagne, R.A. dan Driscoll, M.P. (1988). Essential of Learning for Instruction. New Jersey: Prentice
Hall Inc.
Gagne, Robert M. (1989). Kondisi Belajar dan Teori Pembelajaran. (terjemah Munandir). PAU
Dirjen Dikti Depdikbud. Jakarta.
Gordon dan Guiltinan, J. (1994). Manajemen Pemasaran. (Terjemahan Agus Maulana). Edisi
6. Jilid I. Jakarta: Erlangga.
Gunter, M.A, Estes, T. H, & Schwab, J. H. (1990). Instruction: A model Approach. London: Allyn
and Bacon
Gutierrez, Alfonso, Tyner, and Kathleen. (2012). Media Education: Media Literacy and Digital
Competence. Scientific Journal of Media Education. Halaman 31,39.
Halim, A., Jazir B., and Haroen A. R. (1982). Ujian Bahasa. Jakarta: Wira Nurbakti. Harmer, Jeremy.
(2007). The Practice of English Language Teaching. London: Longman
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers ”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan X”
6-7 Oktober 2020
Purwokerto
ISBN 978-602-1643-65-5
260
Harris, David P. (1969). Testing English as a Second Language. New York: McGra Hill
Company
Howarth, P. (2001). Process Speaking. Preparing to Repeat Yourself. MET, 10(1), 39-44.
Joyce, B., dan Weil, M. (1980). Model of Teaching. New Jersey: Prentice-Hall, Inc
Kavaliauskienė, G.(2006). Good Practice in Teaching ESP Presentations. ESP
World.Vol.5,Issue2(13).
Kayi, H. (2006). Teaching Speaking: Activities to Promote Speaking in a Second Language.
University of Nevada. The Internet TESL Journal,XII(11).
Knight, B. (1992). Assessing speaking skills:. a workshop for teacher development. ELT Journal.
Volume 46/3. 295-296
Kompas edisi 10 Mei 2011". Bahasa Indonesia Wajar jadi Bahasa Asean.
http://oase.kompas.com/read/20II/05/1,0/235L4357/Bahasa.lndonesia.Wajaradi. Bahasa.ASEA
Kusmiatun, A. (2015). Mengenal BIPA dan Pembelajarannya. Yogyakarta: K- Media.
Krashen, S. (1982). Principles and Practice in Second Language Acquisition. Pergamon Press.
Lambert, W. (1975). Culture and language as factors in learning and education. In A. Wolfgang (ed.)
Education of Immigrant Students. Toronto: Ontario Institute for Studies in Education.
LaFromboise, T., Coleman, H. and Gerton, J. (1993). Psychological impact of biculturalism: Evidence
and theory. Psychological Bulletin 114 (3), 395–412
Lestyarini, B. (2012). Model Sintetik dan Analitik Berbasis Karakter Indonesia dalam
Pembelajaran BIPA di Era Global, (Prosiding Seminar Internatioanal ASLI 2012 & KIPBIPA
VII LTC-UKSW, Salatiga,2012)
Louma, S. (2004). Assessing Speaking (Cambridge Language Assessment). Cambridge:
Cambridge University Press.
Macaro, E. (1997). Target Language, Collaborative learning, and Autonomy Moden Language in
Practice. UK: Multilingual Matters, Ltd.
Madsen, H. S. (1983). Technique in Testing. Oxford : Oxford University Press.
Marno dan Idris, M. (2008). Strategi & Metode Pengajaran: MenciptakanKeterampilan
Mengajar yang Efektif dan Edukatif. Yogyakarta: Ar-ruzz Media.
Morrell, E. dan Andrade, Jeffrey D.. (2006). Popular Culture and Critical Media Pedagogy in
Secondary Literacy Classrooms. Internatioanl Journal of Learning. Volume 12. Halaman 1.
Mudini & Agus S.. (2009). Pembelajaran Berbicara. Jakarta: PPPPTK
Muslich, M. (2006). Kesantunan Berbahasa: Sebuah Kajian Sosiolinguistik. Makalah. Malang:
Universitas Negeri Malang.
Muliastuti, L. (2010). Linguistik Umum. Jakarta: Universitas Terbuka. Nadler (1986). Keterampilan
Belajar. Jakarta : Bumi Aksara.
Nunan, D. (1991). Language Teaching Methodology a Textbook for Teachers. Prentice Hall:
Sydney
Nunan, D.(2010) Language Teaching Methodology, Prentice Hall: Sydney
Nurgiyantoro, B. 2001. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Yogjakarta:
BPFE.
Ounis, A. (2017). The Assessment of Speaking Skills at the Tertiary Level. International
Journal of English Linguistics; Vol. 7(No. 4), 96
Pateda, M. (1994). Linguistik (sebuah Pengantar). Bandung: Angksa
Robbins, S. P. (1995). Teori Organisasi. Terjemahan Yusuf Udaya. Jakarta: Acam.
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers ”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan X”
6-7 Oktober 2020
Purwokerto
ISBN 978-602-1643-65-5
261
Ruben, Brent, D. dan Lea P. S.. (1998). Communication and Human Behavior. USA: Viacom Company
Rusman. (2011). Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta:
PT. Rajagrafindo Persada.
Suwandi, S. (2011). Model-model Asesmen dalam Pembelajaran. Surakarta: Yuma Pustaka.
Sadhono, K. dan Slamet. (2012). Meningkatkan Keterampilan Berbahasa Indonesia. Bandung: Karya
Putra Darwati
Suyitno. (2004). Dasar-Dasar dan Proses Pembelajaran Matematika I. Semarang: Universitas Negeri
Semarang
Suyitno, I. (2007). Pengembangan Bahan Ajar Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA)
berdasarkan Hasil Analisis Kebutuhan Pelajar. Wacana, Journal of The Humanities of
Indonesia. Volume 9 (1), 62-78.
Slameto. (2003). Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi. Jakarta: PT. Renika Cipta.
Soegihartono, A. (2012). Prosiding the 4th
International Conference on Indonesian Studies: “Unity,
Diversity, dan Future”.
Spolsky, Bernand. (1989). Conditions For Second Language Learning: Introduction to a General
Theory: Oxford Universuty Press
Sutrisno, A. K. (2014). Analisis Asesmen Keterampilan Berbicara dalam Pembelajaran
BIPA Program CLS 2013. NOSI Volume 2, No. 1, 2014.
Stern, H. H. (1987). Fundamental Concepts of Language Teaching. London: Oxford University Press.
Taftiaawati, M. (2013). Strategi Komunikasi Pembelajaran Asing Dalam Pembelajaran
BIPA Tingkat Dasar. (Tidak dipublikasikan), UPI. Bandung.
Tarigan, H. G. (1990). Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa.
Tarigan, H. G. (1993). Berbicara sebagai suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung :Angkasa
Badudu.
Thanasoulas, D. (2001). The Importance of Teaching Culture in The Foreign Language Classroom
dalam Radical Pedagogy. Tersedia pada
http://www.radicalpedagogy.org/radicalpedagogy/The_Importance_of_Teaching_Culture_in_th
e_Foreign_Language_Classroom.html. Diakses pada 19 Februari 2019 (online).
Thornbury, S. (2005). How to Teach Speaking, New York: Pearson Education Limited.
Wardhaugh, R. (2002). An introduction to sociolinguistics. (Fourth Ed.). Oxford: Blackwell Publishers.
Wallace, Trudy., Winifred E. Stariha., and Herbert J. Walberg. (2005). Teaching Speaking. Listening,
and Writing. Geneva: The International Academy of Education.
Widodo H. S. (1994). Meningkatkan Motivasi dan Pajanan Pembelajaran Bahasa Indonesia bagi
Penutur Asing. Makalah KIPBIPA I (TISOL). Salatiga: UKSW
Widianto, E. (2016). Budaya Lokal Joglosemar dalam Pembelajaran Membaca Menulis Bagi
Pembelajar BIPA Tingkat Dasar. Prosiding SEMAR (Seminar Kepakaran) BIPA: Volume1.
APPBIPA Jawa Tengah Hal 102-108.
Yule, G. (1989). The Spoken Language. Annual Review of Applied Linguistics, 10(2), 163-173.
Zaremba, A. J. (2006). Speaking professionally. Canada
top related