pengembangan dan validasi metode analisis penetapan kadar ... · secara kromatografi cair kinerja...
Post on 09-Mar-2019
279 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PENGEMBANGAN DAN VALIDASI METODE ANALISIS PENETAPAN KADAR VITAMIN A DALAM MINYAK GORENG SAWIT SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI
SLAMET SUKARNO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir ”Pengembangan dan Validasi Metode Analisis Penetapan Kadar Vitamin A dalam Minyak Goreng Sawit Secara Kromatografi Cair kinerja Tinggi” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.
Bogor, September 2011
Slamet Sukarno F 252070025
ABSTRACT
SLAMET SUKARNO. The Development and Validation of Method Analysis for Vitamin A Determination in Palm Oil by High Performance Liquid Chromatography. Under Direction of FERI KUSNANDAR and HANIFAH NURYANI LIOE.
The fortification of vitamin A in cooking palm oil is being mandatorily regulated in 2013. To control the implementation this standard, the laboratory capacity to analyze vitamin A is required. The vitamin A analysis must be valid, selective, rapid, easy and practical. The objective of this study was to validate a modified standardized method of vitamin A analysis by a High Performance Liquid Chromatography (HPLC).
All validation parameters (liniearity, accuracy, precision, selectivity, robustness, LOD, and LOQ) met the requirement. Vitamin A in palm oil matrix could be analyzed by HPLC method by using a mobile phase of acetonitrile:water (80:20) with flux rate of 1,75 mL/min, and ultraviolet detector at 325 nm. This condition used a C-18 column.
Keywords: method analysis, vitamin A, HPLC, optimal condition, validation
RINGKASAN
SLAMET SUKARNO. Pengembangan dan Validasi Metode Analisis Penetapan Kadar Vitamin A dalam Minyak Goreng Sawit secara Kromatografi Cair kinerja Tinggi. Dibimbing oleh FERI KUSNANDAR dan HANIFAH NURYANI LIOE.
Penyakit akibat kurang vitamin A (KVA) merupakan masalah global yang menimpa sebagian besar penduduk di dunia termasuk juga di Indonesia. KVA disebabkan oleh kurangnya vitamin A di dalam jaringan yang dapat menimbulkan gangguan secara subklinis atau klinis. Salah satu kebijakan pemerintah yang ditempuh untuk menanggulangi masalah KVA adalah fortifikasi vitamin A ke dalam minyak goreng sawit. Tahun 2013 pemerintah akan mengimplementasikan Standar Nasional Indonesia (SNI) wajib minyak goreng sawit yang difortifikasi dengan vitamin A. Menurut Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI) tentang persyaratan mutu minyak goreng sawit, jumlah vitamin A yang harus ditambahkan ke dalam produk tersebut minimal 45 IU/g. Seiring dengan peraturan dan kondisi diatas maka perlu dilakukan pengawasan atau monitoring terhadap kadar vitamin A dalam minyak goreng sawit, baik pada tingkat industri, distributor dan konsumen. Untuk itu dibutuhkan suatu metode analisis yang valid, selektif, cepat, mudah dan praktis untuk identifikasi dan penetapan kadar vitamin A, khususnya vitamin A dalam minyak goreng sawit.
Metode analisis vitamin A dalam minyak goreng sawit masih sulit didapat, namun metode analisis vitamin A dalam produk pangan dengan menggunakan peralatan moderen, diantaranya dengan menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) sudah banyak yang dikembangkan oleh peneliti terdahulu. Namun kelemahan dari metode yang ada adalah kerumitan dalam penyiapan sampel (saponifikasi, ekstraksi dan pemekatan atau penguapan pelarut organik yang digunakan). Oleh karena itu, perlu dilakukan pengembangan metode analisis penetapan kadar vitamin A minyak goreng sawit yang mudah dan praktis, namun memberikan hasil yang valid. Metode analisis yang dikembangkan oleh peneliti ini berbasis kromatografi, tanpa proses saponifikasi, tanpa ekstrasi dan tanpa penguapan pelarut organik.
Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan kondisi optimum untuk analisis vitamin A dalam minyak goreng sawit, melakukan validasi metode analisis yang sudah dipilih pada optimasi metode dan melakukan uji coba penetapan kadar vitamin A dalam minyak goreng sawit yang beredar di pasaran menggunakan metode yang telah dikembangkan.
Teknik penyiapan sampel dilakukan dengan cara melarutkan sampel meng-gunakan campuran n-pentana dan 2-propanol, ditambahkan larutan butil hidroksi toluena sebagai antioksidan dan tetra-n-butil amonium hidroksida untuk melaku-kan reaksi subsitusi retinil palmitat menjadi retinol, yang selanjutnya dianalisis dengan menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi.
Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) dilakukan dengan menggunakan teknik isokratik menggunakan kolom C18 (Waters Xbridge®, dengan panjang 250 mm, diameter 4,6 mm ukuran partikel 5,0 µm). Parameter kondisi KCKT yang dioptimasi adalah: komposisi fase gerak metanol 100 % dengan laju alir: 0,6; 0,8;
1,0 mL/menit; metanol dan air (97,5:2,5; 95:5; 90:10; dan 85:15) dengan laju alir 1,5 mL/menit; asetonitril dan metanol (75:25; 50:50; dan 25:75) dengan laju alir 1,0 mL/menit, asetonitril dan air (100:0; 95:5; 90:10; 85:15; 80:20 dan 75:25) dengan laju alir: 1,5 dan 1,75 mL/menit dan detektor yang digunakan detektor ultraviolet dan detektor fluoresens. Kromatogram yang dihasilkan dievaluasi berdasarkan waktu retensi (Rt), resolusi (Rs), jumlah lempeng teoritis (N) dan faktor ikutan (Tf). Hasil pemilihan kondisi optimum yang memberikan skor tertinggi adalah: komposisi fase gerak asetonitril dan air (80:20), laju alir 1,75 mL/menit menggunakan detektor ultraviolet pada panjang gelombang 325 nm.
Metode ini valid yang ditunjukkan dengan kurva kalibrasi dan linieritas pada rentang konsentrasi 0,4443 IU/mL sampai dengan 13,5233 IU/mL dengan koefesien regresi (r) 0,99997 dan standar deviasi relatif regresi linier (Vxo) 2,54 %; presisi dengan 3 tingkat konsentrasi dengan nilai % RSD antara 1,87 sampai 1,97; akurasi dengan 3 tingkat konsentrasi yang memberikan nilai persen pero-lehan kembali antara 96,84 - 102,39 %; selektivitas dan robustness bila diban-dingkan dengan hasil uji presisi yang memberikan nilai yang tidak berbeda bermakna, batas deteksi (LOD) 1,66 IU/g dan batas kuantisasi (LOQ) 5,89 IU/g.
Hasil analisis terhadap 4 merek sampel minyak goreng sawit yang beredar di pasaran menggunakan metode analisis hasil pengembangan diperoleh kadar vitamin A berturut-turut adalah: 16,75; 28,39; 29,07 dan 66,35 IU/g. Matriks sampel yang terkandung dalam berbagai merek minyak goreng sawit yang beredar di pasaran tidak mengganggu dalam analisis penetapan kadar vitamin A. Kata kunci: metode analisis, vitamin A, KCKT, kondisi optimal, validasi.
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PENGEMBANGAN DAN VALIDASI METODE ANALISIS PENETAPAN KADAR VITAMIN A DALAM MINYAK GORENG SAWIT SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI
SLAMET SUKARNO
Tugas Akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi
Pada Program Studi Teknologi Pangan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tugas Akhir: Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi.
Judul Tugas Akhir : Pengembangan dan Validasi Metode Analisis Penetapan
Kadar Vitamin A dalam Minyak Goreng Sawit secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
Nama Mahasiswa : Slamet Sukarno Nomor Pokok : F252070025 Program Studi : Magister Profesi Teknologi Pangan
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Ferif Kusnandar, M.Sc Dr. Ir. Hanifah Nuryani Lioe, MSi (Ketua) (Anggota)
Mengetahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pasca Sarjana Magister Profesi Teknologi Pangan Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr Tanggal ujian: 13 September 2011 Tanggal lulus: ..........................
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tugas akhir ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada Program Magister Profesional Teknologi Pangan. Tema penelitian ini diangkat dari masalah yang dijumpai oleh peneliti dalam pekerjaan sehari-hari. Tugas akhir ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca, dapat memberikan kontribusi bagi dunia pendidikan di Indonesia mengenai validasi metode analisis untuk pengujian kimia pangan dan bagi pemerintah dalam rangka pengawasan program fortifikasi vitamin A dalam minyak goreng sawit.
Terima kasih yang mendalam penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc. dan Dr. Ir. Hanifah Nuryani Lioe, MSi. selaku komisi pembimbing yang telah membimbing penulis dengan sabar dalam menyusun tugas akhir ini, mulai dari awal hingga akhir. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi. selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan masukan dalam penyusunan tesis ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Lilis Nuraida, MSc selaku Koordinator Program Studi Magister Profesi Teknologi Pangan yang telah membantu, memberikan dorongan dan kesempatan yang begitu banyak kepada penulis.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh dosen pengajar di Program Studi Teknologi Pangan yang telah mencurahkan pengetahuan kepada penulis selama menjalani kuliah di sekolah pascasarjana Magister Profesi Teknologi Pangan. Tidak lupa terima kasih juga kepada ibu Tika dan ibu Mar yang telah banyak membantu dalam masalah administrasi.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Drs. Siam Subagyo, Apt., MSi selaku Kepala Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana di kampus tercinta, IPB.
Tak lupa kepada Dra. Niza Nemara, Apt., MSi selaku Kepala Bidang Pangan, penulis ucapkan terimaksih yang sebesar-besarnya atas dukungannya selama ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada sejawat di Bidang Pangan Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional terutama kepada ibu Herni, ibu Yuli dan pak Yanto. Terima kasih juga kepada teman-teman yang telah memberikan motivasi kepada penulis. Juga kepada teman-teman MPTP batch 4, terima kasih semua. Penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada istri, anak, orang tua dan keluarga tercinta atas dukungan dan doanya.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini belum sempurna, sehingga penulis lain dapat melanjutkan untuk penyempurnaannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2011
Slamet Sukarno
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 3 Oktober 1965 sebagai anak
kedua dari ayah Musnindar (almarhum) dan Ibu Hartini. Tahun 1985 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Jakarta dan pada tahun yang sama penulis diterima di Jurusan Farmasi Fakultas MIPA Universitas Indonesia Depok dan mendapatkan gelar sarjana Farmasi pada tahun 1991. Penulis melanjutkan ke program profesi apoteker pada perguruan tinggi yang sama dan menamatkannya pada tahun 1993.
Mulai tahun 1993 penulis bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Sintang Kalimantan Barat sampai dengan tahun 1996. Selanjutnya pada tahun 1996 penulis mutasi kerja ke Balai Pengawas Obat dan Makanan di Pontianak hingga tahun 2003. Sejak tahun 2003 hingga sekarang penulis mutasi kerja ke Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional, Badan POM RI di Jakarta dan ditempatkan pada Laboratorium Pangan. Berbagai pelatihan, seminar dan tugas-tugas kantor tentang laboratorium kimia pangan dan keamanan pangan telah diikuti oleh penulis selama bekerja di Badan POM RI.
xi
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ..................................................................................................... xi DAFTAR TABEL ............................................................................................. xii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xiv DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xv I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ............................................................................... 2 1.3 Tujuan .................................................................................................... 3 1.4 Manfaat .................................................................................................. 4 1.5 Ruang Lingkup Penelitian ..................................................................... 4 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Vitamin A …………….......................................................................... 5 2.2 Minyak Goreng Sawit ……................................................................... 8 2.3 Fortifikasi Pangan .................................................................................. 11 2.4 Metode Analisis Penetapan Kadar Vitamin A ...................................... 13 2.5 Instrumentasi KCKT ............................................................................. 18 2.6 Validasi Metode Analisis ...................................................................... 22 III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat ............................................................................... 27 3.2 Alat dan Bahan ...................................................................................... 27 3.3 Metode Penelitian .................................................................................. 28 IV HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………………... 41 V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ……………........................................................................ 69 5.2 Saran …….............................................................................................. 69 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………. 71 LAMPIRAN : ………………………………………………………………………. 75
xii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1 Rumus empiris dan bobot molekul dari vitamin A alkohol (retinol)
dan ester vitamin A (ester retinil) ...........................................................
5 Tabel 2 Sifat-sifat kimia fisika retinol dan retinil palmitat ................................. 6 Tabel 3 Angka kecukupan gizi (AKG) vitamin A …………………………….. 8 Tabel 4 RSNI 3 Persyaratan mutu minyak goreng sawit ……………………… 11 Tabel 5 Keberterimaan akurasi berdasarkan persen rekoveri ............................. 25 Tabel 6 Kondisi parameter KCKT untuk optimasi metode …………………… 31 Tabel 7 Penentuan skor untuk penilaian kromatogram ....................................... 32 Tabel 8 Data hasil uji penetapan aktivitas baku vitamin A ................................. 41 Tabel 9 Data pengamatan kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks
minyak goreng sawit) menggunakan komposisi fase gerak metanol 100 % kecepatan laju alir 1,0 mL/menit, 0,8 mL/menit dan 0,6 mL menit dan detektor UV…………………………………………………
47
Tabel 10 Data pengamatan kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan komposisi fase gerak metanol 100 % kecepatan laju alir 1,0 mL/menit, 0,8 mL/menit dan 0,6 mL/menit dan detektor fluoresens ………………………………….....
47
Tabel 11 Data pengamatan kromatogram vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit menggunakan variasi komposisi fase gerak methanol:air dengan perbandingan: 85:15; 90:10; 95:5 dan 97,5:2,5 pada kecepatan laju alir 1,5 mL/menit dan detektor UV ……………………………….
47
Tabel 12 Data pengamatan kromatogram vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit menggunakan variasi komposisi fase gerak methanol:air dengan perbandingan: 85:15; 90:10; 95:5 dan 97,5:2,5 pada kecepatan laju alir 1,5 mL/menit dan detektor fluoresens ………………………..
48
Tabel 13 Data pengamatan kromatogram vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit menggunakan variasi komposisi fase gerak asetonitril :metanol dengan perbandingan: 75:25; 50:50 dan 25:75 pada kecepatan laju alir 1,0 mL/menit dan detektor UV ……………………
48
Tabel 14 Data pengamatan kromatogram vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit menggunakan variasi komposisi fase gerak asetonitril: metanol dengan perbandingan 75:25; 50:50 dan 25:75 pada kecepatan laju alir 1,0 mL/menit dan detektor fluoresens ………………………..
49
Tabel 15 Data pengamatan kromatogram vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit menggunakan variasi komposisi fase gerak asetonitril dan air dengan perbandingan: 100:0; 95:5; 90:10; 85:15; 80:20 dan 75:25 pada kecepatan laju alir 1,5 mL/menit dan detektor dengan detektor UV ……………………………………………………………
49
Tabel 16 Data pengamatan kromatogram vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit menggunakan variasi komposisi fase gerak asetonitril dan air dengan perbandingan: 100:0; 95:5; 90:10; 85:15; 80:20 dan 75:25 pada kecepatan laju alir 1,5 mL/menit dan detektor dengan
50
xiii
detektor asetonitril dan air dengan detektor fluoresens ……………….. Tabel 17 Data pengamatan kromatogram vitamin A dalam matriks minyak
goreng sawit menggunakan variasi komposisi fase gerak asetonitril dan air dengan perbandingan: 100:0; 95:5; 90:10; 85:15; 80:20 dan 75:25 pada kecepatan laju alir 1,75 mL/menit dan detektor dengan detektor UV ……………………………………………………………
50
Tabel 18 Data pengamatan kromatogram vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit menggunakan variasi komposisi fase gerak asetonitril dan air dengan perbandingan: 100:0; 95:5; 90:10; 85:15; 80:20 dan 75:25 pada kecepatan laju alir 1,75 mL/menit dan detektor dengan detektor fluoresens …………………………………………………….
51
Tabel 19 Data hasil uji kesesuaian sistem (UKS) baku vitamin A ....................... 52 Tabel 20 Data uji presisi penetapan kadar vitamin A dalam matriks minyak
goreng sawit ........................................................................................... 57
Tabel 21 Data uji akurasi penetapan kadar vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit …………………………………………………………...
58
Tabel 22 Data uji selektivitas (spesifisitas) vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit …………………………………………………………...
61
Tabel 23 Data hasil uji robustness dengan perubahan penambahan jumlah pereaksi menjadi: n-pentana 3 mL, larutan antioksidan butil hidroksi toluena 3 mL dan larutan tetra-n-butil amonium hidroksida 10,5 mL ...
62
Tabel 24 Data hasil uji robustness dengan perubahan pengurangan jumlah pereaksi n-pentana 2 mL, larutan antioksi dan butil hidroksi toluena 2 mL dan larutan tetra-n-butil amonium hidroksida 9,5 mL …………….
62
Tabel 25 Data hasil uji robustness dengan perubahan komposisi fase gerak asetonitril:air (81:19) dan kecepatan laju alir 1,74 mL/menit …….…...
63
Tabel 26 Data hasil uji robustness dengan perubahan komposisi fase gerak asetonitril:air (79:21) dan kecepatan laju alir 1,76 mL/menit ….……...
63
Tabel 27 Data uji robustness vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit dengan perubahan metode penggunakan kolom C 18 yang mereknya berbeda (kolom merek Shimadzu Shim-pack, Jepang: panjang 250 mm, diameter dalam 1,46 mm dan ukuran partikel 5 µm) …………….
64
Tabel 28 Data hasil analisis penetapan kadar vitamin A dalam minyak goreng sawit yang beredar di pasaran …………………………………………
67
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1 Struktur molekul vitamin A alkohol (retinol), ester vitamin A (ester
retinil) ………………………………………………………………..
5 Gambar 2 Diagram blok sistem KCKT ................................................................ 19 Gambar 3 Reaksi antara vitamin A palmitat dengan tetra-n-butil ammonium
hidroksida ............................................................................................ 42
Gambar 4 Kromatogram A (blanko minyak goreng sawit yang tidak mengandung vitamin A) dan kromatogram B (baku vitamin A palmitat dalam matriks minyak goreng sawit); yang dianalisis menggunakan KCKT kolom C18 pada kondisi optimum dengan komposisi fase gerak yang terdiri dari campuran asetonitril:air (80:20), laju alir 1,7 mL/menit dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm…………………………………………………...
46
Gambar 5 Kurva kalibrasi baku vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit 53 Gambar 6 Hubungan antara konsentrasi vitamin A dengan faktor respon
detektor ................................................................................................
Gambar 7 Hubungan antara konsentrasi vitamin A terhadap residual …………. 54 Gambar 8 Kromatogram A (campuran senyawa kimia yang sedang dilakukan
uji selektivitasnya: butil hidroksi anisol, butil hidroksi toluena, propil galat, tersier butil hidrokuinon, vitamin D, vitamin E dan beta karoten) dan kromatogram B (baku vitamin A) dalam matriks sampel minyak goreng sawit yang dianalisis menggunakan KCKT kolom C18 pada kondisi optimum dengan komposisi fase gerak yang terdiri dari campuran asetonitril:air (80:20), laju alir 1,75 mL/menit dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………………………………………………………………………..
59
Gambar 9 Kurva regresi kadar vitamin A terhadap tinggi noise dengan sinyal (S/N) ....................................................................................................
60
xv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Contoh menghitung aktivitas baku vitamin A .................................. 76 Lampiran 2 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak metanol 100 %, laju alir 1,0 mL/menit (memberikan tekanan 78 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ……………………………………….
77 Lampiran 3 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak metanol 100 %, laju alir 1,0 mL/menit (memberikan tekanan 78 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm ………………………………………….
77 Lampiran 4 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak metanol 100 %, laju alir 0,8 mL/menit (memberikan tekanan 64 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ……………………………………….
78 Lampiran 5 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak methanol 100 %, laju alir 0,8 mL/menit (memberikan tekanan 64 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm ………………………………………….
78 Lampiran 6 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak methanol 100 %, laju alir 0,6 mL/menit (memberikan tekanan 45 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ……………………………………….
79 Lampiran 7 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak metanol 100 %, laju alir 0,6 mL/menit (memberikan tekanan 45 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm ………………………………………….
79 Lampiran 8 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak metanol:air (85:15) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 200 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………………………………….
80 Lampiran 9 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak metanol:air (85:15) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 200 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm ………………………………………….
80 Lampiran 10 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak metanol:air (90:10) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 176 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………………………………….
81
xvi
Lampiran 11 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak metanol:air (90:10) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 176 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm ………………………………………….
81 Lampiran 12 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak metanol:air (95:5) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 147 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………………………………….
82 Lampiran 13 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak metanol:air (95:5) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 147 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm ………………………………………….
82 Lampiran 14 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak metanol:air (97,5:2,5) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 132 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………………………………….
83 Lampiran 15 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak metanol:air (97,5:2,5) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 132 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm ………………………………………….
83 Lampiran 16 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:metanol (75:25) laju alir 1,0 mL/menit (memberikan tekanan 49 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ……………………………..
84 Lampiran 17 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:metanol (75:25) laju alir 1,0 mL/menit (memberikan tekanan 49 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm ………………………………………….
84 Lampiran 18 KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit)
menggunakan fase gerak asetonitril:metanol (50:50) laju alir 1,0 mL/menit (memberikan tekanan 54 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ……………………………………….
85 Lampiran 19 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:metanol (50:50) laju alir 1,0 mL/menit (memberikan tekanan 54 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm ………………………………………….
85 Lampiran 20 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:metanol (25:75) laju alir 1,0 mL/menit (memberikan tekanan 63 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ……………………………..
86
xvii
Lampiran 21 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:metanol (25:75) laju alir 1,0 mL/menit (memberikan tekanan 63 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm ………………………………………….
86 Lampiran 22 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (100:0) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 71 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ……………………………………….
87 Lampiran 23 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (100:0) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 71 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm ………………………………………….
87 Lampiran 24 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (95:5) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 75 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ……………………………………….
88 Lampiran 25 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (95:5) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 75 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm ………………………………………….
88 Lampiran 26 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (90:10) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 85 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ……………………………………….
89 Lampiran 27 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (90:10) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 85 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm ……………………….............................
89 Lampiran 28 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (85:15) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 94 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ……………………………………….
90 Lampiran 29 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (85:15) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 94 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm ………………………………………….
90 Lampiran 30 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak asetonitril : air (80:20) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 103 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………………………………….
91
xviii
Lampiran 31 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (80:20) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 103 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm ……………………….............................
91 Lampiran 32 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (75:25) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 113 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………………………………….
92 Lampiran 33 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (75:25) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 113 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm ………………………...
92 Lampiran 34 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak asetonitril : air (100:0) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 83 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………………………………….
93 Lampiran 35 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (100:0) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 83 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm ……………………….............................
93 Lampiran 36 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (95:5) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 90 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ……………………………………….
94 Lampiran 37 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (95:5) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 90 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm ……………………….............................
94 Lampiran 38 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (90:10) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 100 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………………………………….
95 Lampiran 39 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (90:10) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 100 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm ……………………….............................
95 Lampiran 40 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (85:15) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 111 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm …………………………………
96
xix
Lampiran 41 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (85:15) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 111 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm ……………………….............................
96 Lampiran 42 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (80:20) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 123 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………………………………….
97 Lampiran 43 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air asetonitril:air (80:20) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 123 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm ………………………..
97 Lampiran 44 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (75:25) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 130 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ……………………..…………..
98 Lampiran 45 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (75:25) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 130 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm ……………………….............................
98 Lampiran 46 Data kurva kalibrasi baku vitamin A dalam matriks minyak goreng
sawit .................................................................................................
99 Lampiran 47 Contoh menghitung faktor respon detektor ……………………….. 99 Lampiran 48 Data hubungan antara konsentrasi vitamin A dengan faktor respon
detektor …………………………………………………………….
100 Lampiran 49 Data hubungan antara konsentrasi vitamin A dengan residual ......... 101 Lampiran 50 Contoh menghitung kadar vitamin A dalam sampel (pada uji presi-
si) …………………………………………………………………..
102 Lampiran 51 Contoh menghitung RSD Horwitz ………………………………... 103 Lampiran 52 Contoh menghitung akurasi vitamin A ............................................ 104 Lampiran 53 Contoh cara menghitung uji t ……………………………………... 105 Lampiran 54 Data hubungan antara konsentrasi vitamin A terhadap tinggi noise
dengan tinggi sinyal (S/N) dan perhitungan batas deteksi (LOD) dan batas kuantisasi (LOQ) ……………………………………….
106
I. PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Kesehatan masyarakat dunia dewasa ini bukan dihadapkan pada
masalah defisiensi gizi makro, tetapi pada masalah defisiensi gizi mikro.
Masalah defisiensi gizi mikro yang yang utama dihadapi adalah anemia gizi
besi, gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI) dan kekurangan vitamin A
(KVA) (Martianto, 2011). Kekurangan zat gizi mikro berpotensi mengganggu
kesehatan masyarakat, sehingga dapat merusak kualitas sumber daya manusia
Indonesia. Subdit Bina Gizi Mikro Direktorat Bina Gizi Masyarakat juga
mengemukakan bahwa masalah kekurangan gizi di kalangan masyarakat
Indonesia terjadi pada setiap siklus kehidupan (World Bank 2006).
Sampai saat ini, penduduk Indonesia, terutama yang berpenghasilan
rendah baik di perkotaan dan pedesaan, masih banyak yang mengalami
masalah kekurangan zat gizi mikro. Data Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) pada 2009 menunjukkan lebih dari sembilan juta anak-anak Indonesia
dan satu juta perempuan menderita kekurangan vitamin A. Tercatat pula 25 -
30 % kematian bayi dan balita di dunia disebabkan oleh kekurangan vitamin
A, sedangkan di Indonesia sekitar 14,6 % anak di atas usia satu tahun
mengalami kekurangan vitamin A. (Krisnamurthi, 2010)
Penyakit akibat kurang vitamin A (KVA) disebabkan oleh kurangnya
vitamin A di dalam jaringan yang dapat menimbulkan gangguan secara
subklinis maupun klinis. Menurut WHO, kurang vitamin A subklinis ditandai
dengan nilai retinol serum 0,35 – 0,70 µmol/L (10 -20 µg/dL), meskipun
pada kadar retinol serum sampai 1,05 µmol/L masih dijumpai gejala sub-
klinis. Gejala KVA subklinis ditandai dengan gangguan diferensiasi sel dan
gangguan pada sistem imunitas. KVA klinis terjadi bila retinol serum kurang
dari 0,35 µmol/L (kurang dari 10 µg/dL) dengan gejala antara lain buta senja,
gangguan pertumbuhan dan xeroptalmia (Smith, 2000).
Program penanggulangan kekurangan vitamin A di Indonesia dilakukan
dengan 3 cara yaitu: diversifikasi konsumsi pangan, suplementasi vitamin A
dosis tinggi dan fortifikasi pangan (Martianto, 2011). Strategi yang digunakan
2
untuk menanggulangi masalah kekurangan vitamin A harus tepat untuk
menjawab kebutuhan dan harus menggunakan sistem dan teknologi yang
tersedia. Kombinasi beberapa intervensi mencakup promosi pemberian air
susu ibu (ASI), modifikasi makanan (misalnya meningkatkan ketersediaan
pangan dan meningkatkan konsumsi pangan), fortifikasi pangan dan suple-
mentasi. Fortifikasi vitamin A ke dalam minyak goreng sawit perlu dilakukan
dengan alasan (1) produk pangan di Indonesia sebagian besar menggunakan
minyak goring, (2) untuk mengurangi penyakit akibat KVA, maka perlu
adanya kebijakan yang tepat untuk menanggulangi masalah KVA, (3) salah
satu kebijakan yang ditempuh adalah fortifikasi vitamin A dalam minyak
goring, dan (4) pemerintah akan menetapkan standar yang mewajibkan kepada
seluruh produsen minyak goreng sawit untuk melakukan fortifikasi vitamin A
ke dalam produknya.
Target pencapaian persiapan program fortifikasi minyak goreng sawit
dengan vitamin A adalah sebagai berikut:
1. Tahun 2004-2011 : dilaksanakan studi konsumsi (intake minyak goreng),
stabilitas, efficacy, effectiveness.
2. Tahun 2011-2012 SNI wajib untuk minyak goreng sudah selesai
disiapkan.
3. Tahun 2011-2013 dilaksanakan pilot project di beberapa wilayah
(dimulai di Jawa Timur dan Jawa Barat).
4. Tahun 2011-2012 selesai dilaksanakan capacity building.
5. Tahun 2013 diimplementasikan SNI Wajib minyak goreng yang
difortifikasi.
6. Tahun 2013-2014 dilaksanakan monitoring dan evaluasi dampak forti-
fikasi wajib.
1.2 PERUMUSAN MASALAH
Seiring dengan peraturan dan kondisi di atas, maka perlu dilakukan
pengawasan atau monitoring terhadap pemenuhan kadar vitamin A dalam
minyak goreng sawit, baik pada tingkat industri, distributor dan konsumen.
Untuk itu dibutuhkan suatu metode analisis yang valid, selektif, cepat, mudah
3
dan praktis untuk mengidentifikasi dan menetapkan kadar vitamin A,
khususnya vitamin A dalam minyak goreng sawit. Namun analisis vitamin A
dalam produk pangan sulit dilakukan dengan metode yang tersedia, karena
matriks pangan yang kompleks dan adanya bahan tambahan yang ditam-
bahkan dalam produk pangan.
Di antara metode resmi atau metode standar pengujian vitamin A yang
ada saat menggunakan metode analisis dengan kromatografi cair kinerja
tinggi (KCKT). Kesulitan yang dihadapi dalam penggunaan metode yang ada
tersebut adalah dalam tahap persiapan sampel yang harus melewati tahapan
saponifikasi, ekstraksi dan pemekatan atau penguapan pelarut organik yang
digunakan untuk ekstraksi. Panjangnya proses persiapan tersebut menyebab-
kan hasil diperoleh kurang baik. Oleh karena itu, perlu dikembangkan metode
analisis untuk penetapan kadar vitamin A dalam minyak goreng sawit dengan
menggunakan KCKT tanpa proses saponifikasi, ekstraksi dan penguapan
pelarut organik.
Suatu metode baru atau metode yang dimodifikasi dapat digunakan bila
telah dilakukan validasi yang kondisinya disesuaikan dengan kondisi labora-
torium dan peralatan yang tersedia, meskipun metode yang akan digunakan
tersebut telah dipublikasikan dalam jurnal, buku teks atau buku resmi (Indra-
yanto, 1994). Validasi metode juga perlu dilakukan bila dilakukan penyeder-
hanaan atau perbaikan metode oleh karena ada perbedaan dan keterbatasan
alat, pereaksi atau kondisi lain yang menyebabkan metode tersebut tidak
dapat diterapkan secara keseluruhan. Apabila dari hasil validasi metode
tersebut sudah memberikan hasil yang baik, maka metode ini dianggap valid,
dapat dipercaya dan dapat digunakan untuk analisis rutin.
1.3 TUJUAN PENELITIAN
1. Melakukan pengembangan metode analisis penetapan kadar vitamin A
dalam minyak goreng sawit menggunakan KCKT menggunakan kolom C
18, yaitu menentukan komposisi fase gerak dan laju alir yang cocok
dalam pemisahan vitamin A dari komponen-komponen yang lain
menggunakan KCKT; dan detektor yang cocok (detektor ultra violet atau
4
detektor fluoresens) pada penetapan kadar vitamin A dalam minyak
goreng sawit.
2. Melakukan validasi metode analisis hasil pengembangan untuk membuk-
tikan bahwa metode yang telah dikembangkan tersebut valid.
3. Melakukan uji coba metode yang telah dikembangkan dan telah divali-
dasi untuk membuktikan bahwa metode tersebut dapat digunakan untuk
penetapan kadar vitamin A dalam minyak goreng sawit yang beredar di
pasaran tanpa adanya gangguan matriks sampel yang ada di dalam
berbagai merek minyak goreng sawit.
1.4 MANFAAT PENELITIAN
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan metode analisis
yang handal (valid, selektif, cepat, mudah dan praktis) untuk analisis
penetapan kadar vitamin A dalam minyak goreng, sehingga dapat dijadikan
kontrol yang lebih baik terhadap industri pangan dalam mensukseskan
fortifikasi vitamin A dalam minyak goreng sawit. Penelitian ini juga
diharapkan dapat menambah pengetahuan baru bagi peneliti dan memberikan
kontribusi bagi dunia pendidikan di Indonesia mengenai validasi metode
analisis pangan.
1.5 RUANG LINGKUP PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian laboratorium yang dilakukan
dengan cara: mencari komposisi fase gerak, laju alir, dan detektor yang
digunakan dalam pemisahan vitamin A dengan komponen-komponen lainnya
menggunakan KCKT, sehingga didapatkan suatu metode untuk penetapan
kadar vitamin A dalam minyak goreng sawit. Untuk membuktikan kehan-
dalan metode yang didapat, maka dilakukan validasi terhadap metode tersebut
dengan parameter validasi meliputi: linieritas, presisi, akurasi, selektivitas,
robustness, batas deteksi dan batas kuantisasi; dan uji coba metode tersebut
untuk penetapan kadar vitamin A dalam berbagai merek minyak goreng sawit
yang beredar di pasaran.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 VITAMIN A
Vitamin A merujuk pada semua senyawa isoprenoid dari produk-
produk hewani yang mempunyai aktivitas all trans-retinol ( Rohman dan Ibnu,
2007). Menurut Almatsier (2009), vitamin A merupakan terminologi nama
generik yang menyatakan semua senyawa retinoid dan karotenoid (prekursor/
pro vitamin A) yang mempunyai aktivitas biologis seperti retinol. Bentuk
kimiawi senyawa retinoid berupa retinol (vitamin A bentuk alkohol), retinal
(aldehida), ester retinil dan asam retinoat. Menurut CE (2007) struktur kimia,
rumus empiris dan bobot molekul dari: retinol, retinil asetat, retinil propionat
dan retinil palmitat dapat dilihat pada Gambar 1 dan Tabel 1. Menurut
Eitenmiller dkk, (2008) sifat-sifat kimia-fisika dari retinol dan retinil palmitat
dapat dilihat pada Tabel 2.
CH3H3CCH3 CH3
OR
CH3
Gambar 1. Struktur molekul vitamin A alkohol (retinol) dan ester vitamin A (ester retinil)
Tabel 1. Rumus empiris dan bobot molekul dari vitamin A alkohol (retinol)
dan ester vitamin A (ester retinil) Nama zat R Rumus empiris Bobot Molekul
Retinol Retinil asetat Retinil propionat Retinil palmitat
H CO-CH3 CO-C2H5
CO-C15H31
C20H30O C22H32O2 C23H34O2 C30H40O2
286,5 328,5 342,5 524,9
Sumber: CE (2007)
6
Tabel 2. Sifat-sifat Kimia Fisika Retinol dan Retinil Palmitat Sifat Kimia Fisika Retinol Retinil Palmitat Bentuk Kristal kuning Kristal, amorf atau cairan
kental berwarna kuning Rumus Kimia Bobot Molekul
C20H30O 286,46
C36H60O2 524,88
Kelarutan Larut dalam: metanol, etanol, propanol, kloroform, eter, hidrokarbon, minyak
Larut dalam: metanol, etanol, propanol, kloroform, eter, hidrokarbon, minyak.
Absorbsi UV: λ maks. (etanol) E (1%, 1cm)
325 nm 1845
325 nm 940
Flourosensi: λ eksitasi λ emisi
325 nm 470 nm
325 nm 470 nm
Sumber: Eitenmiller dkk (2008)
Vitamin A pada umumnya stabil terhadap panas, asam, dan alkali,
namun mempunyai sifat yang mudah teroksidasi oleh udara dan akan rusak
bila dipanaskan pada suhu tinggi bersama udara, sinar, dan lemak yang sudah
tengik (Winarno, 2008). Menurut Favaro dkk, (1991) di dalam Hariyadi
(2011) vitamin A yang difortifikasikan ke dalam minyak goreng stabil selama
6-9 bulan jika disimpan dalam wadah tertutup dan terlindung dari cahaya,
vitamin A relatif stabil setelah proses penggorengan.
Menurut CE (2007), aktifitas vitamin A dinyatakan dalam Retinol
Ekivalen (R.E.), 1 mg R.E. sebanding dengan aktifitas 1 mg All-trans retinol.
Aktifitas ester retinol lain dihitung secara stoikiometris, sehingga didapat 1
mg R.E. vitamin A sebanding dengan: 1,147 mg all-trans-retinyl acetate,
1,195 mg all-trans-retinyl propionate dan 1,832 mg all-trans palmitate. Unit
Internasional atau International Units (IU) juga digunakan untuk menyatakan
aktifitas vitamin A. 1 IU Vitamin A ekivalen dengan aktivitas 0,300 μg All-
trans retinol. Aktifitas retinol ester lain dihitung secara stoikiometris,
sehingga didapat 1 IU vitamin A sebanding dengan aktifitas: 0,334 μg all-
trans-retinyl acetate, 0,359 μg all-trans-retinyl propionate, dan 0,550 μg all-
trans palmitate.1 mg R.E. sebanding dengan 3333 IU.
7
Aktifitas vitamin A ditentukan dengan tujuan untuk menghitung jumlah
yang dibutuhkan pada pembuatan konsentrat. Menurut BP Commision (2009),
aktivitas vitamin A palmitat ditetapkan dengan cara menimbang 25-100 mg
vitamin A dengan akurasi 0,1 %, dilarutkan dengan menggunakan 5 mL
pentana dan diencerkan dengan 2-propanol hingga diperolah konsentrasi 10 -
15 IU/mL. Pengukuran absorbansi dilakukan pada panjang gelombang yang
menghasilkan serapan maksimum pada 326 nm. Aktivitas vitamin A dihitung
dalam satuan internasional unit (IU) per gram dengan persamaan:
A326 = Absorbansi pada panjang gelombang 326 nm
V = total volume pengenceran untuk mendapatkan kadar 10 – 15 IU/mL
1900 = faktor untuk mengkonversi absorbansi spesifik ester retinol menjadi
IU per gram
m = bobot substansi yang di uji (dalam gram).
Vitamin A merupakan zat gizi yang penting (esensial) bagi manusia,
karena zat gizi ini tidak dapat disintesa oleh tubuh, sehingga harus dipenuhi
dari luar. Vitamin A penting untuk kesehatan mata dan mencegah kebutaan
dan yang lebih penting lagi vitamin A meningkatkan daya tahan tubuh. Anak-
anak yang cukup mendapatkan vitamin A, bila terkena diare, campak atau
penyakit infeksi lainnya maka penyakit-penyakit tersebut tidak mudah men-
jadi parah, sehingga tidak membahayakan jiwa anak. Dengan adanya bukti-
bukti yang menunjukkan peranan vitamin A dalam menurunkan angka
kematian, maka selain untuk mencegah kebutaan, pentingnya vitamin A saat
ini lebih dikaitkan dengan kelangsungan hidup, kesehatan dan pertumbuhan
anak (Depkes, 2009a). Fungsi vitamin A didalam tubuh adalah untuk diferen-
siasi sel penglihatan, spermatogenesis, perkembangan embrio, imunitas,
mempengaruhi indra perasa, pendengaran, nafsu makan, serta pertumbuhan
(Bagriansky dan Ranum, 1998). Fungsi lain dari vitamin A adalah membantu
memelihara penglihatan di dalam gelap dan mencegah rabun senja serta
xeropthalmia, untuk pertumbuhan, dibutuhkan dalam pertumbuhan tulang dan
8
perkembangan gigi, sebagai koenzim dalam sintesis glikoprotein, memiliki
fungsi seperti hormon steroid, diperlukan untuk pembentukan tiroksin dan
pencegahan goiter, sintesis protein dan sintesis kortikosteron dari kolesterol,
serta sintesis normal dari glikogen (Berdarnier dkk, 2002).
Angka kecukupan gizi untuk vitamin A biasanya dinyatakan dalam satuan
retinol ekivalen (RE). Satu RE setara dengan 1 mikrogram retinol atau 6
mikrogram beta karoten atau 12 mikrogram beta karoten campuran. Status
vitamin A dikatakan baik jika konsentrasi vitamin A dalam hati sebesar 20
mikrogram/gram. Penggunaan setiap harinya adalah sekitar 0,5% dari
persediaan tersebut. Konsumsi vitamin A yang baik adalah jika setengahnya
bisa disimpan didalam tubuh (Muhilal, Jalal dan Hardiansyah, 1998). Angka
kecukupan gizi vitamin A rata-rata yang dianjurkan perhari dapat dilihat pada
Tabel 3.
Tabel 3. Angka Kecukupan Gizi Vitamin A
Kelompok Usia (tahun) Angka Kecukupan (RE) Bayi 0-0,5 0,5-1
375 400
Anak-anak 1-2 2-6 6-10
400 450 500
Pria 10-12 12-70
500 600
Wanita 10-70 500 Wanita Hamil 800 Wanita Menyusui 0-6 bulan > 6 bulan
850 850
Sumber: FAO/WHO (2001) dalam Muhilal dan Sulae-man (2004)
2.2 MINYAK GORENG SAWIT
Menurut Badan POM (2006), minyak goreng (frying oil atau frying fat)
adalah: minyak dan lemak yang digunakan untuk menggoreng yang diperoleh
dari proses rafinasi/pemurnian (refining/purifying) minyak nabati dalam
bentuk tunggal atau campuran. Karakteristik dasar minyak goreng meliputi:
9
kadar air tidak lebih dari 0,15 %, kadar asam lemak bebas tidak lebih dari 0,3
%, kadar asam lemak linoleat tidak lebih dari 2 % dan bilangan peroksida
tidak lebih dari 10 mek O2/kg.
Minyak kelapa sawit (Refined Bleached Deodorized Palm Oil/RBDPO)
adalah: minyak yang diperoleh dari hasil proses rafinasi/pemurniaan minyak
kelapa sawit mentah. Karakteristik dasar minyak kelapa sawit meliputi:
bilangan penyabunan 190 mg KOH/g, bilangan iod 50 Wijs hingga 55 Wijs,
titik leleh 33 oC hingga 39 oC dan bilangan peroksida tidak lebih dari 10 mek
O2/kg (Badan POM, 2006).
Minyak olein kelapa sawit (Refined Bleached Deodorized Palm Oilein)
adalah fraksi cair minyak kelapa sawit berwarna kekuningan yang diperoleh
dari hasil proses rafinasi/pemurniaan minyak olein kelapa sawit mentah
(Crude Palm Oil/CPO) atau fraksinasi minyak kelapa sawit yang sudah dirafi-
nasi (RBD palm oil). Karakteristik dasar minyak olein kelapa sawit meliputi
titik leleh/lebur tidak lebih dari 30oC, bilangan iod tidak kurang dari 56 Wijs,
bilangan penyabunan 194 mg KOH/g hingga 202 mg KOH/g dan bilangan
peroksida tidak lebih dari 10 mek O2/kg (Badan POM, 2006).
Minyak stearin kelapa sawit (Refined Bleached Deodorized Palm
Stearin) adalah fraksi padat minyak kelapa sawit yang berwarna kekuningan
yang diperoleh dari hasil proses rafinasi/pemurnian stearin kelapa sawit
mentah (Crude Palm Stearin) atau fraksinasi minyak kelapa sawit yang sudah
dirafinasi (RBD palm oil). Karakteristik dasar minyak olein kelapa sawit
meliputi: titik leleh/lebur tidak kurang dari 44oC dan bilangan iod tidak lebih
dari 48 Wijs (Badan POM, 2006).\
Minyak sawit (palm oil) berbeda dengan minyak inti sawit (palm kernel
oil). Minyak sawit diperoleh dari daging buah kelapa sawit bagian mesokarp,
sedangkan minyak inti sawit diperoleh dari biji buah kelapa sawit. Minyak
kelapa sawit diperoleh melalui proses ekstraksi secara rendering atau penge-
presan dan proses pemurnian yang terdiri atas pengendapan dan pemisahan
gum, netralisasi, pemucatan dan deodorisasi. Secara umum minyak kelapa
sawit mempunyai karakteristik warna kuning pucat sampai jingga tua,
10
memiliki aroma yang sedap dan stabil atau tahan terhadap ketengikan
(Winarno, 2008).
Melalui proses rafinasi, pemucatan dan penghilangan bau atau disingkat
RBD (Refined, Bleached, Deodorized), minyak kelapa sawit dapat diubah
menjadi produk yang bernilai tinggi. Proses rafinasi dan fraksinasi
menghasilkan minyak yang tidak berwarna, jernih dan bersih dari kotoran
yang dikenal dengan RBD oil. Kehilangan beta karoten yang terkandung
dalam minyak kelapa sawit banyak terjadi selama proses-proses tersebut
berlangsung (Muchtadi, 1996).
Menurut Olson (1990), minyak kelapa sawit yang tidak mengalami
proses penjernihan dan bleaching memiliki warna merah karena banyak
mengandung karoten (α dan β karoten) dalam jumlah yang banyak.
Kandungan karotenoid sebanyak 0,5 mg/mL minyak kelapa sawit. Kebutuhan
vitamin A pada anak usia pra-sekolah dapat dicukupi dari konsumsi 7 mL
minyak kelapa sawit merah per hari. Menurut Martianto, Marliyati dan
Komari (2007), walaupun memiliki kandungan karotenoid yang tinggi,
minyak kelapa sawit merah tidak dapat diterima dalam banyak penggunaan
karena warna merah yang kuat dan rasanya yang sangat khas.
Menurut Kemperin (2010), minyak goreng sawit adalah: bahan pangan
dengan komposisi utama trigliserida berasal dari minyak sawit, dengan atau
tanpa pengubahan kimiawi, termasuk hidrogenasi, pendinginan dan telah
melalui proses pemurnian dengan penambahan vitamin A. Komposisi minyak
goreng sawit terdiri atas bahan baku minyak sawit dan bahan tambahan
pangan (BTP) yang penggunaannya disesuaikan dengan ketentuan yang
berlaku untuk diizinkan penggunaannya pada minyak goreng sawit. Adapun
persyaratan mutu minyak goreng sawit sesuai dengan RSNI 3 Minyak goreng
sawit 2010 dapat dilihat pada Tabel 4
11
Tabel 4 RSNI 3 Persyaratan Mutu Minyak Goreng Sawit No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan 1 Keadaan 1.1 Bau - Normal 1.2 Rasa - Normal 1.3 Warna (merah/kuning) (Lovibond 5,25
cell) maks. 5,0/50
2 Kadar air dan bahan menguap % (b/b) maks. 0,1 3 Asam lemak bebas (dihitung
sebagai asam palmitat) % maks. 0,3
4 Bilangan peroksida mek O2/kg maks. 10* 5 Vitamin A IU/g min. 45* 6 Minyak pelikan - negatif 7 Cemaran logam 7.1 Kadmium (Cd) mg/kg maks. 0,2 7.2 Timbal (Pb) mg/kg maks. 0,1 7.3 Timah (Sn) mg/kg maks. 40,0/250,0** 7.4 Raksa (Hg) mg/kg maks. 0,05 8 Cemaran arsen (As) mg/kg maks. 0,1 Catatan:
* pengambilan contoh di pabrik ** dalam kemasan kaleng
2.3 FORTIFIKASI PANGAN
Menurut Soekirman (2003), kekurangan zat gizi mikro dapat diatasi
dengan berbagai pendekatan seperti diversifikasi pangan, suplementasi dan
fortifikasi pangan. Fortifikasi adalah penambahan satu atau lebih zat gizi
mikro tertentu ke dalam bahan pangan dengan tujuan utama adalah mening-
katkan mutu gizi makanan. Fortifikasi dapat bersifat sukarela maupun wajib.
Fortifikasi yang dilakukan secara sukarela adalah fortifikasi yang dilakukan
oleh produsen untuk meningkatkan nilai tambah produknya, sedangkan
fortifikasi wajib merupakan fortifikasi yang diharuskan dan terdapat dalam
undang-undang maupun peraturan pemerintah dengan tujuan melindungi
rakyat dari kurang gizi. Target utama dari fortifikasi wajib ini adalah
masyarakat miskin yang umumnya menderita kekurangan gizi mikro seperti
kekurangan yodium, zat besi, dan vitamin A. Bahan pangan yang dapat
dilakukan fortifikasi harus memenuhi beberapa kriteria yaitu:
1. Bahan pangan harus dikonsumsi oleh semua atau sebagian besar populasi
sasaran.
2. Bahan pangan harus dikonsumsi secara rutin dalam jumlah yang tetap.
12
3. Rasa, penampakan dan bau bahan pangan yang difortifikasi tidak boleh
berubah.
4. Zat yang digunakan untuk fortifikasi harus stabil pada kondisi yang
ekstrim seperti pemasakan, pemrosesan, pengangkutan dan penyimpanan
5. Harga bahan pangan hasil fortifikasi tidak naik secara berarti.
Menurut Soekirman (2003) syarat-syarat bahan pangan yang akan
dilakukan fortifikasi adalah produsen yang memproduksi dan mengolah bahan
pangan tersebut terbatas jumlahnya, tersedianya teknologi fortifikasi untuk
bahan pangan yang dipilih dan bahan pangan tersebut tetap aman untuk
dikonsumsi dan dan tidak membahayakan kesehatan.
Menurut Martianto (2011), minyak goreng merupakan bahan pangan
yang diproduksi secara terpusat dan dikonsumsi secara luas oleh masyarakat,
sehingga dapat dipakai sebagai alternatif bahan pangan untuk difortifikasi.
Fortifikasi vitamin A ke dalam minyak goreng sawit perlu dilakukan dengan
alasan: (1) Produk makanan Indonesia sebagian besar menggunakan minyak
goreng; (2) Untuk mengurangi penyakit akibat KVA, maka perlu adanya
kebijakan yang tepat untuk menanggulangi masalah KVA; (3) Salah satu
kebijakan yang ditempuh adalah fortifikasi vitamin A dalam minyak goreng,
dan (4) Pemerintah akan menetapkan standar yang mewajibkan kepada
seluruh produsen minyak goreng sawit untuk melakukan fortifikasi vitamin A
ke dalam produknya.
Menurut Hariyadi (2011), fortifikasi vitamin A pada minyak goreng
dapat dilakukan dengan alasan: (1) Vitamin A dan pro-vitamin A sangat
mudah larut dalam minyak goreng; (2) Vitamin A umumnya lebih stabil
dalam minyak goreng dari pada dalam bahan pangan lainnya; (3) Minyak
goreng (lipida) membantu proses absorbsi dan pemanfaatan vitamin A; (4)
Minyak goreng digunakan oleh masyarakat luas; (5) Teknologinya tersedia
dan sederhana, dan (6) Biaya fortifikasi terjangkau.
13
2.4 METODE ANALISIS PENETAPAN KADAR VITAMIN A
Secara umum pengujian vitamin A dalam bahan pangan terdiri atas 3
tahap yaitu: tahap saponifikasi, tahap ektraksi, tahap pemekatan atau
penguapan pelarut organik dan tahap pengukuran menggunakan instrumen.
Saponifikasi dilakukan dengan menggunakan kalium hidroksida dengan
pelarut campuran etanol dan air, penambahan zat anti oksidan (asam askorbat,
pirogalol, butil hidroksi toluena) dan pemanasan pada suhu 60–80oC
(Eitenmiller, 2008). Tahap ekstraksi dilakukan menggunakan pelarut organik
seperti petroleum eter (Eitenmiller, 2008); eter, campuran etanol dengan tetra
hidrofuran (USP Convention 2008). Selanjutnya dilakukan pemekatan atau
penguapan terhadap pelarut organik yang digunakan, lalu dilarutkan kembali
dengan pelarut lainnya seperti metanol atau etanol dan selanjutnya siap untuk
ditetapkan kadarnya menggunakan instrumen seperti: spektrofotometri atau
kromatografi cair kinerja tinggi. Metode penetapan kadar vitamin A
menggunakan instrumen akan dijelaskan sebagai berikut:
2.4.1 Metode Spektrofotometri
2.4.1.1 Pengukuran secara langsung.
Spektrum absorbsi ultraviolet vitamin A dan vitamin A asetat
mempunyai absorbsi maksimal pada panjang gelombang antara 325
sampai 328 nm dalam berbagai pelarut. Larutan vitamin A dalam
isopropanol absorbansinya diukur pada panjang gelombang maksimal
(λmaks) dan pada dua titik, yaitu satu disebelah kanan λmaks dan satunya
pada sebelah kiri λmaks. Absorbansi pada λmaks dikoreksi terhadap
senyawa pengganggu dengan menggunakan formula koreksi karena
senyawa-senyawa ini akan ikut menyerap pada daerah UV. Beberapa
pengganggu terutama pada minyak ikan adalah vitamin A2, kitol,
anhidro vitamin A dan asam polien. Pada vitamin A sintetik senyawa
pengganggunya adalah senyawa-senyawa antara (Rohman dan
Sumantri, 2007).
14
2.4.1.2 Pengubahan retinol atau akseroftol menjadi anhidroakseroftol
Akseroftol mudah diubah menjadi anhidroakseroftol dengan
bantuan sejumlah kecil asam mineral atau asam organik kuat. Metode
Budowski dan Bondi, akseroftol diubah menjadi anhidroakseroftol
dalam pelarut benzen dengan katalisator asam toluen-p-sulfonat pada
temperatur kamar. Kenaikan absorbansi pada 399 nm merupakan hasil
dehidrasi yang berbanding langsung dengan jumlah akseroftol yang
terkandung. Reaksi ini dapat dihentikan dengan penambahan alkali.
Pengukuran absorbansi pada 358 nm, 377 nm dan 399 nm dalam
benzen merupakan cara yang baik untuk mengetahui kemurnian
akseroftol yakni dengan melihat bahwa A399 nm/A377 nm sebesar 0,868
dan A358 nm/A377 nm sebesar 0,692 (Rohman dan Sumantri, 2007).
2.4.1.3 Metode Maleat anhidrat untuk isomer vitamin A
Maleat anhidrat bereaksi dengan all-trans dan 9-cis isomer
vitamin A menghasilkan senyawa yang tidak memberikan warna biru
ketika diuji dengan menggunakan antimon (III) klorida. Potensi
kehilangan terhadap all-trans dan 9-cis isomer dapat terjadi, sehingga
perlu dilakukan dua kali pengukuran nilai antimon (III) klorida,
pertama untuk isomer campuran dan setelah penghilangan kedua
isomer tersebut. Dari perbedaan nilai pengukuran ini, maka komposisi
isomer dalam campuran dan potensi biologisnya dapat ditentukan.
2.4.1.4 Penentuan secara simultan retinol (vitamin A1) dan dehidro-
retinol (vitamin A2)
Prinsip dari metode ini adalah perbedaan panjang gelombang
maksimum dan nilai ekstinsi dari masing-masing vitamin A1 dan A2.
Vitamin A1 mempunyai panjang gelombang maksimum pada 326 nm
sedangkan vitamin A2 mempunyai panjang gelombang maksimum
pada 351 nm.
15
2.4.2 Metode kolorimetri
2.4.2.1 Metode Carr-Price
Metode Carr-Pierce mencakup perlakuan vitamin A dengan
antimon (III) klorida; warna biru yang timbul memberikan serapan
maksimum pada panjang gelombang 620 nm dan mematuhi hukum
Lambert-Beer. Antimon (III) klorida yang digunakan sebagai reagen
penghasil warna bersifat korosif, dan membutuhkan penanganan secara
khusus dan kadang-kadang menyebabkan kerusakan terhadap peralatan
spektrofotometer. Dilihat dari formasi antimon (III) klorida, zat ini
sulit untuk untuk dibersihkan dari kuvet dan juga peralatan preparasi.
Warna biru yang timbul sangat tidak stabil dan pengukuran absorbansi
harus dilakukan antara 5-10 detik dari penambahan reagen (Rohman
dan Sumantri, 2007).
2.4.2.2 Pengukuran secara spektrofotometri dengan menggunakan
Asam trifluoro asetat
Asam trifluoro asetat bereaksi dengan vitamin A dan turunannya
sehingga mengasilkan warna biru yang memberikan serapan maksi-
mum pada panjang gelombang 616 nm. Reaksi warna yang terjadi
mematuhi hukum Lambert-Beer pada kisaran konsentrasi vitamin A
sebesar 10-6 dan 10-5 M (Libman, 1966).
2.4.2.3 Pengukuran secara spektrofotometri dengan menggunakan
gliserol diklorohidrin aktif
Gliserol diklorohidrin aktif bereaksi dengan vitamin A dalam
kloroform untuk menghasilkan warna ungu yang stabil dan mem-
punyai serapan maksimum pada panjang gelombang 555 nm. Reaksi
warna yang terjadi mematuhi hukum Lambert-Beer pada kisaran yang
lebar. Intensitas warna yang timbul 1/3 jika dibandingkan dengan
intensitas warna biru dari metode Carr-Pierce yang menggunakan
antimon (III) klorida. Reaksi bergantung pada suhu pengujian dan
disarankan pembuatan kurva kalibrasi dan analisis sampel dilakukan
pada suhu yang sama (Libman, 1966).
16
2.4.2.4 Pengukuran dengan menggunakan Asam fosfotungstat
Vitamin A dalam kloroform bereaksi dengan asam fosfotungstat
dalam etil asetat dengan adanya asetat anhidrat maka menghasilkan
warna biru dan memberikan serapan maksimum pada panjang gelom-
bang 620 nm. Reaksinya mematuhi hukum Lambert-Beer. Pada pema-
nasan dengan suhu 50°C menggunakan penangas air, warna biru yang
ada akan berubah menjadi biru keunguan, ungu, dan akhirnya menjadi
merah dan mempunyai serapan maksimum pada 530 nm. Warna merah
yang timbul juga mematuhi hukum Lambert-Beer dan cocok untuk
pengujian vitamin A, akan tetapi metode ini kurang sensitif untuk
bahan dengan kadar vitamin A rendah (Libman, 1966).
2.4.2.5 Pengukuran secara kolorimetri dengan aluminium klorida
Metode ini mencakup reaksi larutan jenuh aluminium klorida
dalam kloroform anhidrat dengan vitamin A. Warna yang timbul
mempunyai serapan maksimum pada panjang gelombang 618 nm dan
mematuhi hukum Lambert-Beer (Libman, 1966).
2.4.2.6 Pengukuran menggunakan asam fosfomolibdat
Metode ini melibatkan reaksi vitamin A dengan asam fosfo-
molibdat; warna biru yang timbul memberikan serapan maksimum
pada panjang gelombang 700 serta mematuhi hukum Lambert-Beer
(Libman, 1966).
2.4.3 Metode Spektrofluorometri
Berdasarkan sifat vitamin A yang dapat memberikan flourosensi,
maka vitamin A dalam bahan pangan yang telah diekstrasi dapat diu-
kur menggunakan spektrofluorometer pada panjang gelombang eksi-
tasi 330 nm dan emisi 480 nm. Pengukuran dengan metode spektro-
fluorometri lebih spesifik dibandingkan cara spektrofotometri, karena
banyak senyawa yang memberikan serapan pada daerah UV, namun
tidak memberikan sifat flourosensi (Angustin dkk 1985).
17
2.4.4 Metode Kromatografi
2.4.4.1 Pengukuran dengan kromatografi lapis tipis
Vitamin A dapat dipisahkan dengan komponen lainnya secara
kromatografi lapis tipis menggunakan fase diam silika gel F254 dan fase
gerak campuran siklo heksana dan eter dengan perbandingan 4:1, noda
yang telah terpisah dideteksi menggunakan asam fosfomolibdat dan
bercak biru hijau yang terjadi menunjukkan adanya vitamin A.
Perkiraan harga Rf vitamin A dalam bentuk alkohol, asetat dan
palmitat berturut-turut adalah 0,1; 0,45 dan 0,7 (Depkes 1995). Untuk
mendeteksi noda vitamin A dapat juga digunakan larutan antimon (III)
klorida yang akan memberikan warna biru (Depkes 1979) atau
menggunakan UV pada pada panjang gelombang 254 nm (CE 2007).
Sebagai fase gerak selain menggunakan campuran siklo heksana dan
eter, juga dapat digunakan campuran siklo heksana dan etil asetat
dengan perbandingan 9:1 (Libman 1966).
2.4.4.2 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
Vitamin A dapat ditetapkan kadarnya menggunakan KCKT
menggunakan kolom fase normal atau kolom fase terbalik. Dengan
menggunakan kolom fase normal, vitamin A ditetapkan kadarnya
menggunakan fase diam kolom silika, fase gerak n-heksana dan
dideteksi menggunakan UV 325-nm (USP Convention 2008). Sebagai
fase gerak dapat juga digunakan campuran heptana dan diisopropil
eter, 95:5; heksana dan dietil eter 98:2; 1-5 % 2-propanol dalam
heptana; heksana dan metil etil keton, 90:10 (Nollet 2000). Dengan
kolom fase terbalk, vitamin A ditetapkan kadarnya menggunakan fase
diam kolom C18, fase gerak campuran metanol dan air dengan
perbandingan 860:140 dan dideteksi menggunakan UV 328-nm atau
313-nm (AOAC International, 2005). Sebagai fase gerak dapat juga
digunakan campuran asetonitril dengan air 90:10 (Eitenmiller, 2008);
campuran asetonitril dengan air, 90:10 atau campuran metanol dengan
air, 80:20 (Augustin dkk 1985). Persiapan sampelnya terdiri atas
18
proses saponifikasi, ekstraksi, pemekatan dan melarutkan kembali
menggunakan pelarut yang sesuai.
2.5 INTRUMENTASI KCKT
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi atau KCKT atau biasa juga disebut
dengan HPLC (High Performance Liquid Chromatography) merupakan teknik
pemisahan yang diterima secara luas untuk analisis dan pemurnian senyawa
tertentu dalam suatu sampel. Kegunaan umum KCKT adalah untuk pemisahan
senyawa organik, anorganik, maupun senyawa biologis. KCKT merupakan
metode yang tidak destruktif dan dapat digunakan baik untuk analisis kuali-
tatif maupun kuantitatif (Rohman 2007).
Kromatografi adalah suatu prosedur pemisahan zat terlarut oleh suatu
proses migrasi difrensial dinamis dalam sistem yang terdiri dari dua fase atau
lebih, salah satu diantaranya bergerak secara berkesinambungan dalam arah
tertentu dan di dalam zat tersebut menunjukkan perbedaan morbilitas disebab-
kan adanya perbedaan dalam adsorbsi, partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran
molekul atau kerapatan muatan ion (Depkes 2009b)
Instrumentasi KCKT pada dasarnya terdiri atas komponen pokok yaitu
wadah fase gerak, sistem penghantaran fase gerak, alat untuk memasukkan
sampel kolom, detektor, wadah penampung buangan fase gerak, tabung peng-
hubung dan suatu komputer atau integrator atau perekam (Johnson, 1991).
Diagram blok untuk sistem kromatografi cair kinerja tinggi ditunjukkan pada
Gambar 2.
19
Gambar 2. Diagram Blok Sistem KCKT
2.5.1 Wadah Fase Gerak pada KCKT
Wadah fase gerak harus bersih dan lembam (inert). Wadah ini
biasanya dapat menampung fase gerak antara 1 sampai 2 liter pelarut.
Fase gerak sebelum digunakan harus dilakukan degassing (penghilang
gas) yang ada pada fase gerak, sebab adanya gas akan berkumpul
dengan komponen lain terutama di pompa dan detektor sehingga akan
mengacaukan analisis.
2.5.2 Fase Gerak Pada KCKT
Fase gerak atau eluen biasanya terdiri atas campuran pelarut
yang dapat bercampur yang secara keseluruhan berperan dalam daya
elusi dan resolusi. Daya elusi dan resolusi ini ditentukan oleh polaritas
keseluruhan pelarut, polaritas fase diam dan sifat komponen-kompo-
nen sampel. Untuk fase normal (fase diam lebih polar daripada fase
20
gerak), kemampuan elusi meningkat dengan meningkatnya polaritas
pelarut. Sementara untuk fase terbalik (fase diam kurang polar dari-
pada fase gerak), kemampuan elusi menurun dengan meningkatnya
polaritas pelarut.
Fase gerak yang paling sering digunakan untuk pemisahan
dengan fase terbalik adalah campuran larutan buffer dengan metanol
atau campuran air dengan asetonitril. Untuk pemisahan dengan fase
normal, fase gerak yang paling sering digunakan adalah campuran
pelarut-pelarut hidrokarbon dengan pelarut yang terklorisasi atau
menggunakan pelarut-pelarut jenis alkohol.
2.5.3 Pompa pada KCKT
Pompa yang digunakan untuk KCKT adalah pompa yang
mempunyai syarat sebagaimana syarat wadah pelarut yakni pompa
harus inert terhadap fase gerak. Pompa yang digunakan sebaiknya
mampu memberikan tekanan sampai 5000 psi dan mampu mengalirkan
fase gerak dengan kecepatan alir 1-3 mL/menit. Untuk tujuan prepa-
ratif, pompa yang digunakan harus mampu mengalirkan fase gerak
dengan kecepatan 20 mL/menit.
Tujuan penggunaan pompa atau sistem penghantaran fase gerak
adalah untuk menjamin proses penghantaran fase gerak berlangsung
secara tepat, reproduksibel, konstan dan bebas dari gangguan.
2.5.4 Injektor/Penyuntikan Sampel Pada KCKT
Sampel-sampel cair dan larutan disuntikkan secara langsung ke
dalam fase gerak yang mengalir di bawah tekanan menuju kolom
menggunakan alat penyuntik yang terbuat dari tembaga tahan karat dan
katup teflon yang dilengkapi dengan keluk sampel (sampel loop)
internal atau eksternal.
Pada saat pengisian sampel digelontor melewati keluk sampel
dan kelebihannya dikeluarkan ke pembuang. Pada saat penyuntikan,
katup diputar sehingga fase gerak mengalir melewati keluk sampel dan
21
menggelontor sampel ke kolom. Presisi penyuntikan dengan keluk
sampel ini dapat mencapai nilai RSD 0,1%.
2.5.5 Kolom Pada KCKT
Kolom KCKT pada umumnya terbuat dari pipa baja tahan karat.
Panjang kolom antara 10-30 cm dengan diameter dalam 4,5-5,0 mm.
Kolom diisi dengan yang sesuai untuk pemisahan sampel tertentu.
Kolom untuk pemisahan analitik umumnya mempunyai diameter
dalam 2-4 mm. Kolom dapat dipanaskan sampai 60oC agar dihasilkan
pemisahan yang lebih efisien. Jika tidak dinyatakan lain, kolom
dipertahankan pada suhu kamar.
Fase diam pada KCKT berupa silika yang dimodifikasi secara
kimiawi, silika yang tidak dimodifikasi, atau polimer-polimer stiren
dan divinil benzene. Permukaan silika adalah polar dan sedikit asam
karena adanya residu gugus silanol (Si-OH), Oktadesil silan (ODS atau
C18) merupakan fase diam yang paling banyak digunakan karena
mampu memisahkan senyawa-senyawa dengan kepolaran yang rendah,
sedang, maupun tinggi. Fase diam eksklusi dan penukar ion dapat
menggunakan silika atau polimer.
2.5.6 Detektor KCKT
Detektor pada KCKT ada 2 yaitu (1) Detektor universal (yang
mampu mendeteksi zat secara umum, tidak bersifat spesifik dan tidak
bersifat selektif) seperti detektor indeks bias dan detektor spektrometri
massa, dan (2) Detektor yang spesifik yang hanya akan mendeteksi
analit secara spesifik dan selektif, seperti detector UV-VIS, detektor
fluoresensi dan elektro kimia.
2.5.7 Komputer, Integrator atau Rekorder.
Alat pengumpul data seperti komputer, integrator atau rekorder,
dihubungkan dengan detektor. Alat ini akan mengukur sinyal elektro-
nik yang dihasilkan oleh detektor lalu memplotkannya sebagai suatu
kromatogram.
22
2.6 VALIDASI METODE ANALISIS
Suatu metode analisis terdiri atas serangkaian langkah yang harus
diikuti untuk tujuan analisis kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan
teknik tertentu. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam melakukan
pemilihan metode analisis adalah: tujuan analisis, biaya yang dibutuhkan,
serta waktu yang diperlukan; level analit yang diharapkan dan batas deteksi
yang diperlukan; macam sampel yang akan dianalisis serta pra-perlakuan
sampel yang dibutuhkan; jumlah sampel yang dianalisis; ketepatan dan
ketelitian yang diinginkan untuk analisis kuantitatif; ketersediaan bahan
rujukan, senyawa baku, bahan-bahan kimia, dan pelarut yang dibutuhkan;
peralatan yang tersedia; kemungkinan adanya gangguan pada saat deteksi
atau pada saat pengukuran sampel. Menurut Rohman dan Ibnu (2007),
kriteria yang harus dipenuhi suatu metode analisis yang baik adalah:
1. Peka (sensitive) artinya metode harus dapat digunakan untuk mene-
tapkan kadar senyawa dalam konsentrasi yang kecil.
2. Selektif, artinya untuk penetapan kadar senyawa tertentu, metode
tersebut tidak banyak terpengaruh oleh adanya senyawa lain.
3. Tepat (precise) artinya metode tersebut menghasilkan suatu hasil
analisis yang sama atau hampir sama dalam satu seri pengukuran
(penetapan).
4. Teliti (accurate) artinya metode dapat menghasilkan nilai rata-rata
(mean) yang sangat dekat dengan nilai sebenarnya (true value).
5. Kasar (rugged) artinya ada perubahan komposisi pelarut atau variasi
lingkungan tidak menyebabkan perubahan hasil analisis.
6. Praktis artinya metode tersebut mudah dikerjakan serta tidak banyak
memerlukan waktu dan biaya.
Pengembangan metode analisis biasanya didasarkan pada metode yang
sudah ada menggunakan instrumen yang sama atau hampir sama. Pengem-
bangan metode analisis biasanya membutuhkan syarat-syarat metode
tertentu dan memutuskan jenis alat yang akan digunakan. Pada tahap
pengembangan metode, keputusan yang terkait dengan pemilihan kolom,
23
fase gerak, detektor dan metode kuantisasi harus diperhatikan. Ada beberapa
alasan tertentu untuk pengembangan metode analisis yang baru, yaitu:
1. Belum ada metode yang sesuai untuk analit tertentu dalam suatu matriks
sampel tertentu.
2. Metode yang sudah ada terlalu rumit, terlalu banyak tahap perlakuan
yang dapat menimbulkan kesalahan atau metode yang sudah ada tidak
reliabel (presisi dan akurasinya rendah).
3. Metode yang sudah ada terlalu mahal, membutuhkan waktu dan energi
yang besar atau tidak dapat diotomatisasikan.
4. Metode yang sudah ada tidak memberikan sensitivitas atau spesifisitas
yang mencukupi pada sampel yang dituju.
5. Adanya kebutuhan untuk pengembangan metode alternatif, baik untuk
alasan legal atau alasan saintifik.
Suatu metode perlu divalidasi terlebih dahulu sebelum metode
tersebut digunakan untuk penggunaan lebih lanjut, sehingga metode tersebut
dapat menjamin bahwa analisis yang dilakukan dapat dipercaya dan sesuai
dengan tujuan penggunaanya serta dapat diandalkan untuk mengambil
keputusan. Metode analisis yang akan digunakan harus disesuaikan dengan
kondisi laboratorium, peralatan dan pereaksi yang tersedia. Walaupun
metode analisis vitamin A dalam minyak goreng sawit masih sulit didapat,
namun metode analisis vitamin A dalam produk pangan dengan meng-
gunakan peralatan moderen, diantaranya dengan menggunakan KCKT sudah
banyak yang dikembangkan oleh peneliti terdahulu. Namun kelemahanya
dari metode yang ada adalah kerumitan dalam penyiapan sampel (saponi-
fikasi, ekstraksi dan pemekatan atau penguapan pelarut organik yang
digunakan). Metode analisis yang dikembangkan oleh peneliti ini dipilih
karena memiliki banyak kelebihan, yaitu metodenya tanpa proses saponi-
fikasi, ekstraksi dan penguapan pelarut organik yang digunakan sehingga
waktu analisinya relatif lebih cepat.
Menurut Gunzler (1996), validasi metode adalah menetapkan dengan
percobaan laboratorium yang sistimatik, pemenuhan karakteristik unjuk
kerja metode terhadap spesifikasi yang dikaitkan dengan penggunaan hasil
24
pengujian yang dimaksudkan. Karakreristik unjuk kerja (parameter) yang
ditetapkan mencakup: presisi, akurasi, selektivitas dan spesifisitas, batas
deteksi, batas kuantisasi, rentang, linieritas, sensitivitas dan kekasaran
(ruggedness). Menurut Harmita (2004), beberapa parameter analisis yang
harus dipertimbangkan dalam validasi metode analisis yaitu kecermatan
(akurasi), keseksamaan (presisi), selektivitas (spesifisitas), linearitas dan
rentang, batas deteksi dan batas kuantitasi, ketangguhan metode
(ruggedness) dan kekuatan metode (robustness).
Validasi metode adalah konfirmasi melalui pengujian dan pengadaan
bukti yang objektif bahwa persyaratan tertentu untuk suatu tujuan khusus
dipenuhi. Proses validasi suatu metode biasanya sangat dekat dengan proses
pengembangan suatu metode. Sebuah metode harus divalidasi bila kinerja
parameter metode uji tersebut belum valid atau belum dibuktikan valid
untuk penggunaan analisis khusus (BSN 2005).
Tujuan memvalidasi metode adalah untuk mengetahui sejauh mana
penyimpangan suatu metode tidak dapat dihindari pada kondisi normal,
dimana seluruh elemen terkait telah dilaksanakan dengan baik dan benar.
Dengan memvalidasi metode, tingkat kepercayaan yang dihasilkan oleh
suatu metode pengujian dapat diperkirakan dengan pasti ( Hadi, 2007)
Menurut USP Convention (2009), presisi adalah derajat kesesuaian
diantara hasil uji individu (berdiri sendiri) jika metode uji dilakukan
berulang-ulang terhadap multi sampling dari suatu sampel yang homogen.
Presisi biasanya dinyatakan sebagai simpangan baku atau simpangan baku
relatif (koefisien variasi) dari serangkaian pengukuran. Presisi hendaknya
dilakukan pada tiga tingkat berbeda yaitu: ripitabilitas, presisi intermediat
dan reprodusibilitas. Ripitabilitas adalah penggunaan metode pengujian di
dalam satu laboratorium dalam satu periode waktu yang singkat menggu-
nakan personel penguji yang sama, dengan peralatan yang sama di bawah
kondisi sekonstan mungkin. Presisi intermediat dilakukan dengan berbagai
variasi di dalam laboratorium, seperti pada hari yang berbeda atau personil
penguji yang berbeda atau alat yang berbeda dalam laboratorium yang sama.
Reprodusibilitas atau disebut juga ruggedness adalah penggunaan metode
25
pengujian dalam berbagai laboratorium yang berbeda seperti dalam uji
kolaborasi.
Akurasi adalah ukuran ketepatan dari suatu metode pengujian, atau
kedekatan antara nilai hasil uji yang diukur dengan nilai benar, atau nilai
nilai konvensional atau nilai acuan yang dapat diterima (USP Convention
2009). Akurasi dari suatu metode dapat dilakukan dengan cara: mengguna-
kan bahan acuan bersertifikat, membandingkan hasil yang benar-benar telah
dikarakterisasi dan akurasinya telah ditetapkan atau dengan cara menghitung
persen perolehan kembali terhadap sampel yang sudah dispike (Wood R
1998). Kriteria kecermatan dalam persen perolehan kembali sangat tergan-
tung kepada konsentrasi analit dalam matriks sampel dan pada keseksamaan
metode (RSD) (Oktavia, 2006). Persen rekoveri rata-rata untuk tiap level
konsentrasi dinilai terhadap rentang % rekoveri pada Tabel 5.
Selektivitas menunjukkan kemampuan suatu metode membedakan
antara analit yang dituju dan komponen lain / bentuk-bentuk analit lain yang
mungkin ada dalam matrik untuk mengukur secara akurat dan spesifik analit
dalam matriks sampel dengan adanya zat pengganggu. Selektivitas sering-
kali dapat dinyatakan sebagai derajat penyimpangan (degree of bias) metode
yang dilakukan terhadap sampel yang mengandung bahan yang ditambahkan
berupa cemaran, hasil urai, senyawa sejenis, senyawa asing lainnya, dan
dibandingkan terhadap hasil analisis sampel yang tidak mengandung bahan
lain yang ditambahkan (Oktavia, 2006).
Tabel 5. Keberterimaan akurasi berdasarkan % rekoveri
No
% Analit
Rasio Analit Satuan Rentang
keberterimaan (% Rekoveri)
1 100 1 100 % 98 – 102 2 10 10 -1 10 % 98 – 102 3 1 10 -2 1 % 97 – 103 4 0,1 10 -3 1000 ppm 95 – 105 5 0,01 10 -4 100 ppm 90 – 107 6 0,001 10 -5 10 ppm 80 – 110 7 0,0001 10 -6 1 ppm 80 – 110 8 0,00001 10 -7 100 ppb 80 – 110 9 0,000001 10 -8 10 ppb 60 – 115
10 0,0000001 10 -9 1 ppb 40 – 120
26
Linieritas adalah kemampuan untuk menghasilkan hasil uji yang
sebanding/berbanding lurus terhadap konsentrasi analit dalam sampel pada
kisaran konsentrasi tertentu. Menentukan kemampuan suatu metode untuk
mendapatkan respon yang proporsional terhadap konsentrasi analit (Oktavia,
2006).
Rentang yaitu kemampuan untuk memperoleh hasil uji yang kadar
analitnya masih linier dengan presisi dan akurasi yang masih dapat diterima.
Ditetapkan bersamaan dengan penetapan linieritas dengan melakukan peng-
ujian terhadap sampel yang kadarnya dibawah dan diatas normal. Rentang
metoda menjelaskan rentang konsentrasi dimana metode uji diaplikasikan
yang dinyatakan dalam presisi, akurasi (trueness) dan linieritas (Oktavia,
2006).
Batas Deteksi adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat
dideteksi yang masih memberikan respon signifikan dibandingan dengan
blanko. Batas deteksi merupakan parameter uji batas. Batas kuantitasi
merupakan parameter pada analisis renik dan diartikan sebagai kuantitas
terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan
seksama. Penentuan batas deteksi suatu metode berbeda-beda tergantung
pada metode analisis itu menggunakan instrumen atau tidak. Pada analisis
yang tidak menggunakan instrumen batas tersebut ditentukan dengan
mendeteksi analit dalam sampel pada pengenceran bertingkat. Pada analisis
instrumen batas deteksi dapat dihitung dengan mengukur respon blanko
beberapa kali lalu dihitung simpangan baku respon blanko. Batas deteksi
dan kuantitasi dapat dihitung secara statistik melalui garis regresi linier dari
kurva kalibrasi (Oktavia, 2006).
III. BAHAN DAN METODE
3.1 WAKTU DAN TEMPAT
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Juli
2011, bertempat di Laboratorium Pangan Pusat Pengujian Obat dan
Makanan Nasional Badan POM RI, Jalan Percetakan Negara No. 23
Jakarta.
3.2 ALAT DAN BAHAN
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat alat
KCKT yang terdiri dari pompa (Shimadzu, Jepang), detektor ultraviolet
(Shimadzu, Jepang), detektor fluoresens (Shimadzu, Jepang), auto sampler
(Shimadzu, Jepang), kolom C18 dengan panjang 250 mm, diameter 4,6 mm
ukuran partikel 5,0 µm (Waters Xbridge, USA dan Shimadzu Shim-pack,
Jepang), penyaring 0,2 µm (Millipore), penyaring 0,45 µm (Millipore),
ultrasonik (Branson, USA), seperangkat alat spektrofotometer UV-Vis
(Shimadzu, Jepang), timbangan analitik (Precisa, Switzerland) dan peralatan
gelas.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pelarut (fase
gerak) berderajat KCKT yaitu metanol (Merck, Jerman), asetonitril (JT
Beaker, USA) dan air demineral. Pereaksi dan pelarut organik berkualitas
pro analis: butil hidroksi toluena (Merck, Jerman), n-pentana (Merck,
Jerman), 2-propanol (Merck, Jerman), tetra-n-butil ammonium hidroksida
0,1 M dalam 2-propanol (Merck, Jerman). Bahan baku pembanding yaitu:
vitamin A palmitat 1700000 IU/g (BASF, Jerman), butil hidroksi anisol
(BPFI, Indonesia), butil hidroksi toluena (BPFI, Indonesia), propil galat
(BPFI, Indonesia), tersier butil hidro kinon (BPFI, Indonesia), vitamin D
(BASF, Jerman), vitamin E (BASF, Jerman), beta karoten (BASF, Jerman),
sampel minyak goreng sawit yang tidak mengandung vitamin A dan
beberapa merek minyak goreng sawit yang mengandung vitamin A.
28
3.3 METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan percobaan laboratorium yang terdiri dari (3)
tiga tahap. Penelitian tahap I merupakan penelitian pemilihan kondisi
optimum (komposisi fase gerak, laju alir dan detektor) yang akan digunakan
dalam penetapan kadar vitamin A menggunakan KCKT. Parameter yang
dievaluasi meliputi: bentuk kromatogram, waktu retensi (Rt), resolusi (Rs),
jumlah lempeng teoritis (N) dan tailing faktor (Tf).
Penelitian tahap II merupakan validasi metode analisis penetapan
kadar vitamin A menggunakan KCKT. Parameter validasi yang akan
dilakukan adalah: kurva baku dan linieritas, presisi, akurasi, selektivitas,
robustness, batas deteksi dan batas kuantisasi metode.
Penelitian tahap III merupakan uji coba metode analisis yang telah
dikembangkan dan telah divalidasi untuk analisis vitamin A dalam minyak
goreng sawit yang beredar di pasaran. Parameter yang diuji adalah penga-
matan kromatogram dan penetapan kadar vitamin A.
3.3.1 Penetapan Aktivitas Baku Vitamin A
Aktivitas baku vitamin A ditetapkan sesuai metode Farmakope
Inggris (2009), yaitu dengan cara menimbang dengan saksama sejum-
lah baku vitamin A palmitat, dilarutkan dengan n-pentana dan diencer-
kan dengan 2-propanol hingga konsentrasinya 10 -15 IU/mL. Pengu-
kuran absorbansi dilakukan menggunakan spektrofotometer UV-Vis
pada panjang gelombang maksimum (326 nm), aktivitas baku vitamin
A dalam satuan unit internasional (IU) per gram dihitung dengan
rumus:
A26 = absorbansi pada panjang gelombang 326 nm V = total volume pengenceran untuk mendapatkan kadar 10-15
IU/mL 1900 = faktor untuk mengkonversi absorbansi spesifik ester retinol
menjadi menjadi IU per gram m = bobot substansi yang di uji (dalam gram).
29
3.3.2 Penetapan kondisi optimum KCKT
Larutan baku vitamin A yang akan disuntikkan ke dalam
sistem KCKT disiapkan sesuai metode Farmakope Inggris (2009).
Metode ini digunakan untuk penetapan kadar vitamin A dalam bentuk
baku atau konsentrat vitamin A, sehingga untuk penetapan kadar
vitamin A dalam minyak goreng sawit oleh peneliti dilakukan modifi-
asi, yaitu penambahan matriks minyak goreng sawit, perubahan
konsentrasi baku yang digunakan dan pada proses penyiapan sampel
tanpa pemanasan larutan uji.
Larutan dianalisis menggunakan KCKT dengan berbagai
kondisi percobaan seperti pada Tabel 6 dan analisis untuk setiap
kondisi percobaan dilakukan masing-masing dengan 3 kali pengu-
angan. Kromatogram yang dihasilkan dievaluasi dengan cara mencatat
atau menghitung: waktu retensi (Rt), resolusi (Rs), jumlah lempeng
teoritis (N) dan faktor ikutan atau tailing faktor (Tf) untuk masing-
masing hasil pada berbagai kondisi percobaan. Kondisi percobaan
memenuhi kriteria apabila: waktu retensi (Rt) < 15 menit; resolusi (Rs)
> 1,5; jumlah lempeng teoritis (N) > 3000 dan faktor ikutan atau
tailing faktor (Tf) mendekati 1. Untuk mempermudah dalam mengam-
bil keputusan pada pemilihan kondisi optimum, maka setiap parameter
kromatogram diberi nilai skor antara 1 - 3. Penentuan nilai skor untuk
penilaian kromatogram dapat dilihat pada Tabel 7.
Dari hasil tersebut kemudian ditentukan jumlah skor tertinggi
yang merupakan kondisi optimum dan selanjutnya digunakan pada
penelitian selanjutnya.
30
31
Tabel 6. Kondisi parameter KCKT untuk optimasi metode Kondisi Parameter Tetap Parameter Berubah
1 Kolom C 18; fase gerak metanol; detektor UV 325 nm Laju alir: 0,6; 0,8 dan 1,0 mL/menit 2 Kolom C 18; fase gerak metanol; detektor fluoresens panjang
gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm.
Laju alir: 0,6; 0,8 dan 1,0 mL/menit
3 Kolom C 18; fase gerak metanol dan air; laju alir 1,5 mL/menit; detektor UV 325 nm
Perbanding komposisi fase gerak metanol dan air (97,5:2,5; 95:5; 90:10; dan 85:15)
4 Kolom C 18; fase gerak metanol dan air; laju alir 1,5 mL/menit; detektor fluoresens panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm.
Perbanding komposisi fase gerak metanol dan air (97,5:2,5; 95:5; 90:10; dan 85:15)
5 Kolom C 18; fase gerak asetonitril dan metanol; laju alir 1,0 mL/menit; detektor UV 325nm
Perbanding komposisi fase gerak metanol dan air (75:25; 50:50; dan 25:75)
6 Kolom C 18; fase gerak asetonitril dan metanol; laju alir 1,0 mL/menit; detektor fluoresens panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm.
Perbanding komposisi fase gerak metanol dan air (75:25; 50:50; dan 25:75)
7 Kolom C 18; fase gerak asetonitril dan air; laju alir 1,5mL/menit; detektor UV 325 nm
Perbanding komposisi fase gerak asetonitril dan air (100:0; 95:5; 90:10; 85:15; 80:20 dan 75:25).
8 Kolom C 18; fase gerak asetonitril dan air; laju alir 1,5mL/menit; detektor fluoresens panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang ge-lombang emisi 470 nm.
Perbanding komposisi fase gerak asetonitril dan air (100:0; 95:5; 90:10; 85:15; 80:20 dan 75:25)
9 Kolom C 18; fase gerak asetonitril dan air; laju alir 1,75mL/menit; detektor UV 325 nm
Perbanding komposisi fase gerak asetonitril dan air (100:0; 95:5; 90:10; 85:15; 80:20 dan 75:25)
10 Kolom C 18; fase gerak asetonitril dan air; laju alir 1,75mL/menit; detektor fluoresens panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm.
Perbanding komposisi fase gerak asetonitril dan air (100:0; 95:5; 90:10; 85:15; 80:20 dan 75:25)
32
Tabel 7. Penentuan skor untuk penilaian kromatogram
Skor Pengamatan Rt Rs N Tf
1 ≥ 15 ≤ 1,5 ≥ 3000 dan < 6000 ≤ 0,75 atau ≥ 1,25 2 > 10 dan < 15 > 1,5 dan < 2,5 ≥ 6000 dan < 9000 > 0,75 atau < 1,25 3 ≤ 10 ≥ 2,5 ≥ 9000
33
3.3.3 Uji kesesuaian sistem (UKS)
Uji kesesuaian sistem dilakukan sesuai metode Farmakope
Indonesia (1995) dengan cara menyuntikkan salah satu larutan baku seri
ke dalam sistem KCKT minimal 5 kali pengulangan. Kondisi KCKT
sesuai prosedur yang telah dipilih pada uji optimasi, kemudian dihitung %
RSD dari waktu retensi dan luas area dari vitamin A. SD dan RSD
dihitung dengan menggunakan rumus:
UKS diterima bila memenuhi kriteria apabila % RSD dari waktu retensi
dan luas area dari vitamin A kurang atau sama dengan 1.
3.3.4 Pembuatan kurva baku dan uji linieritas
Untuk pembuatan kurva baku dan uji linieritas, sebelumnya dibuat
larutan baku seri vitamin A dengan konsentrasi 0,5– 4 IU/mL. Larutan
baku dibuat dengan cara menimbang dan memasukkan 2,5 g minyak
goreng sawit yang tidak mengandung vitamin A dan 2,5 mL n-pentana ke
dalam labu takar berwarna coklat 25 mL lalu dikocok sehingga minyak
goreng sawit larut, kemudian ditambahkan baku vitamin A dengan cara
memipet 0,5–7,0 mL larutan baku vitamin A 50 IU/mL dan dimasukkan
ke dalamnya. Selanjutnya dilakukan perlakuan yang sama seperti pada
pembuatan larutan larutan uji pada penetapan kondisi optimum KCKT.
Larutan baku seri disuntikan ke dalam sistem KCKT sesuai prosedur yang
telah dipilih pada uji optimasi dan masing-masing larutan baku seri
disuntikan dengan 3 kali pengulangan, kemudian dibuat kurva antara
konsentrasi analit yang berbeda-beda (x) terhadap respon instrumen atau
luas area (y) dan dikaji secara visual, apakah linier atau tidak. Selanjutnya
ditetapkan kurva linier: y = bx + a, dimana a adalah intersept (perpotongan
dengan garis dengan sumbu y) dan b adalah slope (kemiringan garis
regresi), kelinieran kurva ditentukan dengan cara menghitung koefesien
korelasi (r) dan standar deviasi relatif regresi linier (Vxo). Linieritas
34
diterima apabila nilai r > 0,995 dan Vxo ≤ 5. Untuk menentukan nilai a,
b, r dan Vxo digunakan rumus sebagai berikut:
Selanjutnya dibuat kurva konsentrasi versus faktor respon detektor
dan kurva konsentrasi versus residual. Faktor respon detektor dihitung
dengan menggunakan rumus:
Residual dihitung menggunakan rumus:
Residual = (Y^ - Y)
Y^ = Luas area vitamin A secara teoritis (dari persamaan garis regresi).
Y = Luas area vitamin A yang diamati.
Masing-masing kurva tersebut diamati secara visual, jika terjadi
penyebaran titik-titik secara random antara konsentrasi vitamin A dengan
faktor respon detektor dan konsentrasi vitamin A dengan residual yang
mendekati garis tengah menunjukkan linieritas yang baik.
35
3.4.5 Uji presisi
Untuk pembuatan larutan uji presisi, sebelumnya disiapkan terlebih
dahulu sampel minyak goreng sawit yang mengandung vitamin A dengan
3 tingkat konsentrasi yang berbeda yaitu: kadar rendah 22,5 IU/g, kadar
menengah 45 IU/g dan kadar tinggi 67,5 IU/g. Masing-masing sampel
tersebut ditimbang dengan saksama sejumlah 2,5 gram, dimasukkan ke
dalam labu takar berwarna coklat 25 mL, kemudian ditambahkan 2,5 mL
n-pentana, lalu dikocok sehingga minyak goreng sawit larut. Selanjutnya
dilakukan perlakuan yang sama seperti pada pembuatan larutan larutan uji
pada penetapan kondisi optimum KCKT. Uji presisi dilakukan dengan
cara menyuntikkan larutan uji ke dalam sistem KCKT menggunakan
prosedur yang telah dipilih pada uji optimasi. Masing-masing sampel
dengan 3 tingkat konsentrasi yang berbeda dianalisis sebanyak 6 kali
pengulangan. Perhitungan kadar sampel dilakukan menggunakan
persamaan kurva kalibrasi dengan menggunakan rumus:
Kemudian kadar dari masing-masing uji presisi dihitung dan
ditentukan nilai rata-ratanya, standar deviasi (SD) dan standar deviasi
relatif (RSD). Presisi diterima bila memenuhi kriteria: untuk satu penguji
(repeatabilitas): % RSD sampel ≤ ⅔ x % RSD Horwitz dan untuk intralab
(intra reprodubilitas): % RSD sampel ≤ % RSD Horwitz. RS D Horwitz
dihitung menggunakan rumus:
3.4.6 Uji akurasi
Untuk pembuatan larutan uji akurasi, digunakan sampel minyak
goreng sawit yang sama pada uji presisi. Masing-masing sampel minyak
goreng tersebut ditimbang dengan saksama sejumlah 1,25 gram,
dimasukkan ke dalam labu takar coklat 25 mL, kemudian ditambahkan 2,5
mL n-pentana, lalu dikocok sehingga minyak goreng sawit larut. Untuk
akurasi pada tingkat kadar rendah ditambahkan baku vitamin A 50 IU/mL
36
sebanyak 0,6 mL, untuk tingkat kadar menengah 1,2 mL dan untuk akurasi
tingkat kadar tinggi ditambahkan 1,8 mL. Selanjutnya dilakukan perlakuan
yang sama seperti pada pembuatan larutan larutan uji pada penetapan
kondisi optimum KCKT. Uji akurasi dilakukan dengan cara menyuntikkan
larutan uji ke dalam sistem KCKT sesuai prosedur penetapan kadar yang
telah ditentukan dari hasil uji optimasi. Masing-masing sampel dengan 3
tingkat konsentrasi yang berbeda dianalisis sebanyak 6 kali pengulangan.
Berdasarkan luas area yang didapat, dengan menggunakan kurva kalibrasi
baku selanjutnya dihitung jumlah total vitamin A, vitamin A dari sampel
dan rekoveri vitamin A. Akurasi metode dinyatakan sebagai % rekoveri
yang dihitung dengan menggunakan rumus:
Akurasi diterima bila memenuhi kriteria: rekoveri yang diperoleh pada
rentang 80–110 %
3.4.7 Uji selektivitas (spesifisitas)
Larutan untuk uji selektivitas dibuat dengan cara menimbang dengan
saksama sejumlah 2,5 gram sampel minyak goreng sawit yang sama pada
uji presisi (mengandung vitamin A dengan konsentrasi 45 IU/g), kemudian
dimasukkan ke dalam labu takar coklat 25 mL, ditambahkan 2,5 mL n-
pentana lalu dikocok sehingga minyak goreng sawit larut, ditambahkan 2,5
mL larutan butil hidroksi toluena 0,25 % dalam 2-propanol, 1 mL
campuran larutan butil hidroksi anisol (BHA), butil hidroksi toluena
(BHT), propil galat, tersier butil hidrokuinon (TBHQ), vitamin D dan
vitamin E masing-masing 1000 ppm serta beta karoten 100 ppm dalam 2-
propanol dan 10 mL larutan tetra-n-butil amonium hidroksisida 0,1 M
dalam 2-propanol, kemudian larutan diencerkan dengan 2-propanol hingga
tanda tera, lalu dikocok hingga homogen. Kemudian larutan disaring
menggunakan membran filter 0,2 µm dan dilakukan sonifikasi selama 10
menit. Uji selektivitas (spesifisitas) dilakukan dengan cara menyuntikkan
larutan ke dalam sistem KCKT sesuai prosedur yang telah dipilih pada uji
37
optimasi. Uji selektivitas (spesifisitas) dilakukan sebanyak 6 kali
pengulangan. Perhitungan kadar dilakukan menggunakan kurva kalibrasi,
kadar rata-rata dan SD dari masing-masing uji selektivitas (spesifisitas)
dihitung. Dengan menggunakan uji t, dibandingkan kadar rata-rata dan SD
yang diperoleh dari uji selektivitas (spesifisitas) dengan kadar rata-rata dan
SD yang diperoleh dari perhitungan presisi. Selektivitas (spesifisitas)
diterima apabila nilai yang diperoleh dari perhitungan uji t seperti di atas
memberikan hasil yang tidak berbeda bermakna.
3.4.8 Uji robustness
Larutan untuk uji selektivitas dibuat dengan cara menimbang dengan
saksama sejumlah 2,5 gram sampel minyak goreng sawit yang sama pada
uji presisi (mengandung vitamin A dengan konsentrasi 45 IU/g).
Selanjutnya dilakukan perlakuan yang sama seperti pada pembuatan
larutan uji pada presisi. Uji robustness dilakukan dengan cara
menyuntikkan larutan uji ke dalam sistem KCKT sesuai prosedur yang
telah dipilih pada uji optimasi, namun pada metode tersebut dilakukan
sedikit perubahan kecil seperti: perubahan penambahan atau pengurangan
jumlah pereaksi yang digunakan, perubahan komposisi fase gerak,
perubahan laju alir, dan perubahan merek kolom. Pada penelitian ini, uji
dilakukan dengan cara melakukan sedikit perubahan pada:
1. Pengurangan jumlah pereaksi n-pentana 2 mL, larutan antioksidan
butil hidroksi toluena 2 mL dan larutan tetra-n-butil amonium
hidroksida 9,5 mL
2. Penambahan jumlah pereaksi n-pentana 3 mL, larutan antioksidan butil
hidroksi toluena 3 mL dan larutan tetra-n-butil amonium hidroksida
10,5 mL
3. Perubahan komposisi fase gerak menjadi asetonitril : air (81:19) dan
laju alir 1,74 mL/menit.
4. Perubahan komposisi fase gerak menjadi asetonitri : air (79:21) dan
laju alir 1,76 mL/menit.
38
5. Perubahan penggunakan merek kolom yang berbeda: kolom C 18
panjang 250 mm, diameter dalam 4,6 mm dan ukuran partikel 5 µm
(Shimadzu Shim-pack, Jepang).
Masing-masing perubahan kondisi pada uji robutsness dilakukan
sebanyak 6 kali pengulangan. Perhitungan kadar dilakukan menggunakan
kurva kalibrasi, kadar rata-rata dan SD dari masing-masing uji dihitung.
Dengan menggunakan uji t, dibandingkan kadar rata-rata dan SD yang
diperoleh dari uji robustness dengan kadar rata-rata dan SD yang diperoleh
dari perhitungan presisi. Uji robustness diterima apabila nilai yang
diperoleh dari perhitungan uji t seperti di atas memberikan hasil yang tidak
berbeda bermakna.
3.4.9 Uji batas deteksi dan batas kuantisasi
Untuk pembuatan larutan untuk penentuan uji batas deteksi dan batas
kuantisasi, sebelumnya disiapkan terlebih dahulu sampel minyak goreng
sawit yang mengandung vitamin A dengan 7 tingkat konsentrasi yang
berbeda yaitu: kadar 0,5 IU/g, 0,625 IU/g, 1 IU/g, 1,25 IU/g, 2,5 IU/g, 5
IU/g dan 10 IU/g. Penyiapan larutan uji dilakukan dengan cara dilakukan
perlakuan yang sama seperti pada pembuatan larutan uji pada presisi. Uji
penentuan batas deteksi (LOD) dan batas kuantisasi (LOQ) dilakukan
dengan cara menyuntikkan larutan uji ke dalam sistem KCKT sesuai
prosedur yang telah dipilih pada uji optimasi. Kromatogram yang
diperoleh dianalisis dengan membuat data kadar spike yang berbeda-beda
(X), tinggi noise (N), tinggi sinyal atau puncak (S) dan perbandingkan
sinyal dengan noise (S/N). Kemudian dibuat kurva hubungan antara
konsentrasi spike (X) terhadap respon S/N (Y) dan dibuat persamaan garis
regresi kurva linier: y = bx + a. Berdasarkan kurva linier tersebut,
kemudian dihitung nilai LOD dan LOQ dengan menggunakan rumus:
LOD = harga nilai X pada S/N = 3, sedangkan nilai LOQ = harga nilai X
pada S/N = 10
39
3.4.10 Penetapan kadar vitamin A pada minyak goreng sawit yang beredar
di pasaran
Untuk penetapan kadar vitamin A pada minyak goreng sawit yang
beredar di pasaran, sebelumnya dilakukan pembelian sampel beberapa
merek minyak goreng sawit yang pada labelnya mengklaim akan
kandungan vitamin A. Penyiapan larutan uji dilakukan dengan cara
dilakukan perlakuan yang sama seperti pada pembuatan larutan uji pada
presisi. Masing-masing sampel dilakukan pengulangan pengujian minimal
2 kali. Masing-masing larutan uji tersebut kemudian disuntikkan ke dalam
sistem KCKT sesuai prosedur yang telah dipilih pada uji optimasi.
Kromatogram yang dihasilkan diamati dan perhitungan kadar vitamin A
dilakukan menggunakan kurva kalibrasi.
40
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini telah dilakukan pengembangan dan validasi metode
analisis untuk penetapan kadar vitamin A dalam minyak goreng sawit secara
KCKT menggunakan kolom C 18 dengan alasan karena kolom ini sudah umum
digunakan dan sudah dimiliki oleh sebagian besar laboratorium pangan.
Komposisi fase gerak yang digunakan terdiri dari pelarut organik dan air, tanpa
penambahan larutan buffer dan pasangan ion, sehingga setelah penggunan selesai,
alat KCKT dapat segera dimatikan tanpa pencucian kolom terlebih dahulu
menggunakan air. Penelitian hasil pengembangan, validasi dan uji coba metode
analisis yang telah dilakukan oleh peneliti sebagai berikut:
4.1 Penetapan aktivitas baku vitamin A
Sebelum penelitian ini dimulai, perlu dilakukan penetapan aktivitas baku
vitamin A menggunakan spektrofotometer UV-Vis yang sudah dikalibrasi.
Penetapan ini perlu dilakukan karena sifat dari vitamin A yang mudah rusak oleh
pengaruh udara dan cahaya. Bila tidak dilakukan penetapan aktivitas baku vitamin
A, maka kadar baku vitamin A tidak sesuai dengan kadar yang sebenarnya dan
akibatnya hasil pengujian tidak akurat. Data uji penetapan aktivitas baku vitamin
A dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Data hasil uji penetapan aktivitas baku vitamin A
No. Bobot Baku (g)
Faktor Absorban
Kadar Baku Pengenceran Vit. A (IU/g)
1 0,0733 10.000 0,6557 1.699.632 2 0,0699 10.000 0,6240 1.696.137 3 0,0720 10.000 0,6330 1.670.417 Rata-rata (IU/g) 1.688.729 SD (IU/g) 15954,51 RSD (%) 0,94
Data yang dipereleh menunjukan kadar baku vitamin A adalah 1688729
IU/g dengan RSD 0,94 %. Dari data diperoleh dapat disimpulkan bahwa baku
vitamin A tersebut dapat digunakan untuk penelitian tahap selanjutnya.
42
4.2 Pemilihan kondisi analisis optimum
Sebelum disuntikkan ke dalam sistem KCKT, larutan baku dan larutan
sampel disiapkan dengan cara menimbang, lalu melarutkannya menggunakan n-
pentana dan 2-propanol, ditambahkan larutan butil hidroksi toluena dan tetra-n-
butil ammonium hidroksida. Adapunun maksud dari penambahan perekaksi-
pereaksi tersebut adalah sebagai berikut: penambahan pereaksi n-pentana untuk
membantu kelarutan minyak goreng sawit dalam pelarut 2-propanol. Minyak
goreng sawit merupakan senyawa yang sangat non polar, sedangkan 2-propanol
bersifat semi polar. Agar minyak goreng sawit mudah bercampur dengan 2-
propanol, maka minyak goreng sawit tersebut dilarutkan terlebih dahulu dengan
pelarut lain (n-pentana) yang lebih mudah bercampur dengan minyak goreng
sawit, lalu diencerkan dengan 2-propanol. Pereaksi butil hidroksi toluena
berfungsi untuk mencegah oksidasi vitamin A. Oksidasi terjadi akibat pengaruh
udara dan cahaya, yang akan membentuk yang selanjutnya radikal bebas tersebut
dapat mengoksidasi vitamin A. Butil hidroksi toluena akan beraksi dengan radikal
bebas tersebut, sehingga mencegah terjadinya reaksi oksidasi vitamin A. Pereaksi
tetra-n-butil ammonium hidroksida berfungsi untuk mengubah vitamin A palmitat
atau retinil palmitat menjadi retinol. Tanpa adanya reaksi tersebut, retinil palmitat
sangat sulit untuk dianalisis dengan KCKT karena sifat dari retinil palmitat yang
sangat non polar, sehingga terjadi inter aksi yang kuat dengan fase diam dan
akibatnya retinil palmitat tidak dapat dielusi oleh fase gerak yang digunakan.
Reaksi yang terjadi antara vitamin A palmitat dengan tetra-n-butil ammonium
hidroksida dapat dilihat pada Gambar 3.
+
Retinil palmitat Tetra-n-butil ammonium hidroksida
Retinol
Gambar 3. Reaksi antara retinil palmitat dengan tetra-n-butil ammonium hidroksida menghasilkan retinol.
43
Untuk mendapatkan kondisi analisis optimum vitamin A dalam minyak
goreng sawit, beberapa parameter kondisi KCKT perlu dioptimasi antara lain:
komposisi fase gerak, laju alir fase gerak dan detektor yang digunakan. Komposisi
fase gerak dan laju alir yang optimum memberikan jumlah lempeng teoritis (N)
yang besar, resolusi (Rs) yang lebih besar dari 1,5, faktor ikutan (Tf) yang
mendekati satu, serta waktu retensi yang relatif singkat, sedangkan optimasi
detektor yang digunakan untuk menentukan spesifisitas dan selektivitas yang
tinggi dalam analisis tanpa adanya gangguan dari matriks sampel. Dalam
penelitian ini digunakan kolom C18 yang bersifat non polar, sehingga sistem
kromotagrafi ini merupakan sistem kromatografi fase balik. Daya elusi dalam
sistem kromatografi ini berbanding terbalik dengan polaritas fase gerak. Semakin
kecil polaritas fase gerak, maka daya elusinya semakin besar. Fase gerak yang
digunakan dalam penelitian ini terdiri dari fase gerak berupa pelarut murni
(asetonitril atau metanol) dan campuran pelarut organik (asetonitril atau metanol)
dengan air. Dalam hal ini, air merupakan senyawa yang paling polar bila
dibandingkan dengan asetonitril dan metanol. Apabila jumlah air dalam komposisi
fase gerak tersebut ditambah, maka daya elusinya semakin rendah dan akibatnya
waktu retensi analit semakin besar. Namun dengan berkurangnya daya elusi dapat
memperbaiki bentuk kromatogram tersebut (resolusi, jumlah lempeng teoritis
ataupun tailing faktor) hingga diperoleh kondisi yang optimum.
Pada pencarian kondisi analisis optimum, laju alir juga divariasikan mulai
dari 0,6 mL/menit sampai dengan 1,75 mL/menit. Laju alir berbanding lurus
dengan waktu retensi. Pada optimasi laju alir dipilih yang mempunyai waktu
terpendek tetapi tidak mengabaikan kapasitasnya. Waktu retensi dikendalikan oleh
koefesien distribusi (k), jika harga k besar maka komponen dalam fase diam lebih
besar dari pada dalam fase gerak, sehingga komponen akan tinggal lebih lama
dalam fase diam. Kecepatan migrasi ditentukan oleh jumlah komponen yang
terdapat dalam fase gerak, karena komponen hanya bergerak dibawa oleh fase
gerak, sedangkan laju alir mempengaruhi migrasi suatu komponen. Untuk fase
gerak yang viskositasnya besar akan menyebabkan peningkatan tekanan pada
kolam, sehingga bila menggunakan fase gerak dengan menggunakan pelarut yang
mempunyai viskositas yang besar, maka laju alirnya tidak boleh besar. Dalam hal
44
ini, asetonitril merupakan pelarut yang mempunyai viskositas paling kecil bila
dibandingkan denga air dan metanol. Dalam hal ini, bila komposisi fase gerak
terdiri dari asetonitril dengan jumlah yang besar maka dalam analisis bila
menggunakan laju alir yang besar tekanan kolom tetap rendah.
Pada pencarian kondisi analisis optimum, detektor yang digunakan juga
divariasikan. Detektor yang digunakan pada penelitian ini adalah detektor
ultraviolet dan detektor fluoresens. Detektor ultraviolet digunakan untuk
mendeteksi komponen zat yang dapat menyerap cahaya di daerah ultraviolet (190
– 400 nm). Keuntungan dari detektor ini adalah pemilihan panjang gelombang
yang luas dan sensitivitas terhadap alat yang baik. Detektor fluoresens digunakan
untuk mendeteksi komponen zat yang dapat menyerap cahaya dan kemudian
memancarkan cahaya pada panjang gelombang yang lebih tinggi. Dibandingkan
dengan detektor ultra violet, detektor flouresen lebih peka dan lebih selektif,
karena hanya komponen zat yang berfluoresensi saja yang dapat dideteksi.
Vitamin A dapat dideteksi baik dengan menggunakan detektor ultraviolet maupun
menggunakan detektor fluoresens.
Pada penelitian ini digunakan kolom C 18 (Waters Xbridge, dengan panjang
250 mm, diameter 4,6 mm ukuran partikel 5,0 µm). Pemilihan kondisi optimum
dilakukan dengan memvariasikn komposisi fase gerak, laju alir dan detektor yang
digunakan (detektor ultraviolet dan fluoresens). Data pengamatan kromatogram
vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit menggunakan komposisi fase
gerak metanol dengan detektor UV dapat dilihat pada Tabel 9, sedangkan data
pengamatan kromatogram vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit
menggunakan variasi komposisi fase gerak metanol dengan detektor fluoresens
dapat dilihat pada Tabel 10. Data pengamatan kromatogram vitamin A dalam
matriks minyak goreng sawit menggunakan variasi komposisi fase gerak metanol
dan air dengan detektor UV dapat dilihat pada Tabel 11, sedangkan data
pengamatan kromatogram vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit
menggunakan variasi komposisi fase gerak metanol dan air dengan detektor
fluoresens dapat dilihat pada Tabel 12. Data pengamatan kromatogram vitamin A
dalam matriks minyak goreng sawit menggunakan variasi komposisi fase gerak
asetonitril dan metanol dengan detektor UV dapat dilihat pada Tabel 13,
45
sedangkan data pengamatan kromatogram vitamin A dalam matriks minyak
goreng sawit menggunakan variasi komposisi fase gerak asetonitril dan metanol
dengan detektor fluoresens dapat dilihat pada Tabel 14. Data pengamatan
kromatogram vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit menggunakan variasi
komposisi fase gerak asetonitril dan air dengan detektor UV dapat dilihat pada
Tabel 15 dan Tabel 17, sedangkan data pengamatan kromatogram vitamin A
dalam matriks minyak goreng sawit menggunakan variasi komposisi fase gerak
asetonitril dan air dengan detektor fluoresens dapat dilihat pada Tabel 16 dan
Tabel 18.
Berdasarkan kromatogram yang dihasilkan dari berbagai kondisi optimasi
percobaan dan dengan nilai skor yang diperoleh, diperoleh 1 kondisi analisis yang
paling optimum untuk analisis vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit
yaitu: komposisi fase gerak yang terdiri dari campuran asetonitril dan air (80:20),
laju alir 1,75 mL/menit dengan detektor ultraviolet pada panjang gelombang 325
nm. Kromatogram blanko (minyak goreng sawit yang tidak mengandung
vitamin A) dan kromatogram baku vitamin A palmitat (dalam matriks minyak
goreng sawit) yang dianalisis menggunakan KCKT kolom C18 pada kondisi
optimum komposisi fase gerak yang terdiri dari campuran asetonitril dan air
(80:20), laju alir 1,75 mL/menit dengan detektor UV pada panjang gelombang 325
nm dapat dilihat pada Gambar 4. Dari gambar 4 menunjukkan bahwa walaupun
kromatogram matriks minyak goreng sawit memberikan banyak puncak, namun
pada saat vitamin A keluar dari kolom dan dideteksi oleh detektor, di sekitar
puncak/kurva vitamin A tidak ada matriks atau perekasi yang mengganggu dan
memberikan waktu retensi yang sama dengan vitamin A, sehingga dengan
kondisi KCKT tersebut matriks minyak goreng sawit dan pereaksi yang
digunakan tidak mengganggu dalam analisis vitamin A dalam kondisi KCKT
yang digunakan.
46
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 min
0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
1.25
1.50
1.75
2.00
2.25
2.50mV(x10)
Detector A:325nm
A
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 min
0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
1.25
1.50
1.75
2.00
2.25
2.50mV(x10)Detector A:325nm
Vita
min
A/7
.84
1/1
49
05
6
B
Gambar 4. Kromatogram A (blanko minyak goreng sawit yang tidak me- ngandung vitamin A) dan kromatogram B (baku vitamin A palmitat dalam matriks minyak goreng sawit); yang dianalisis menggunakan KCKT kolom C18 pada kondisi optimum dengan komposisi fase gerak yang terdiri dari campuran asetonitril dan air (80:20), laju alir 1,7 mL/menit dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm.
4.3 Uji kesesuaian sistem (UKS)
Uji kesesuaian sistem perlu dilakukan sebelum instrumen KCKT
digunakan. Secara normal terdapat variasi dalam peralatan dan teknik
analisis, maka uji kesesuaian sistem dilakukan untuk memastikan bahwa
sistem operasional sudah sesuai dan memberikan hasil yang diharapkan
sesuai dengan tujuan analisis. Data uji kesesuaian sistem dapat dilihat
pada Tabel 19. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa pada penyuntikan
ulang larutan baku vitamin A dengan 6 kali pengulangan, diperoleh
waktu retensi (Rt) 7,900 menit dengan standar deviasi relatif (RSD)
0,223 %, luas area 169352 dengan RSD 0,726 %. Nilai RSD kurang dari
1,0 %, maka data ini menunjukkan tidak terjadi perubahan yang
signifikan dari waktu retensi dan luas area baku vitamin A dan sistem
operasional yang digunakan teruji efektif untuk analisis dan dapat
disimpulkan bahwa UKS sudah memberikan hasil yang baik dan sistem
KCKT tersebut dapat digunakan untuk analisis vitamin A.
47
Tabel 9. Data pengamatan dan evaluasi kromatogram vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit menggunakan, fase gerak metanol 100% dengan berbagai variasi laju alir, detektor UV pada panjang gelombang 325 nm
No, Laju Alir (mL/menit) Waktu Retensi (Rt) Resolusi (Rs)
Jumlah Lempeng Teoritis (N) Tailing Faktor (Tf) Total
Skor Rata-rata Skor Rata-rata Skor Rata-rata Skor Rata-rata Skor 1 1,0 4,481 3 2,392 2 3673 1 1,205 2 8 2 0,8 5,285 3 2,276 2 3759 1 1,223 2 8 3 0,6 7,021 3 2,380 2 4038 1 1,224 2 8
Tabel 10. Data pengamatan dan evaluasi kromatogram vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit menggunakan: fase gerak
metanol 100% dengan berbagai variasi laju alir detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm
No, Laju Alir (mL/menit) Waktu Retensi (Rt) Resolusi (Rs)
Jumlah Lempeng Teoritis (N) Tailing Faktor (Tf) Total
Skor Rata-rata Skor Rata-rata Skor Rata-rata Skor Rata-rata Skor 1 1,0 4,624 3 1,701 2 3239 1 1,172 2 8 2 0,8 5,613 3 1,887 2 3336 1 1,177 2 8 3 0,6 7,452 3 2,006 2 3579 1 1,185 2 8
Tabel 11. Data pengamatan dan evaluasi kromatogram vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit menggunakan variasi
komposisi fase gerak metanol dan air; laju alir: 1,50 mL/menit, detektor UV pada panjang gelombang 325 nm
No, Komposis Fase Gerak Waktu Retensi (Rt) Resolusi (Rs)
Jumlah Lempeng Teoritis (N) Tailing Faktor (Tf) Total
Skor Rata-rata Skor Rata-rata Skor Rata-rata Skor Rata-rata Skor 1 85:15 14,106 2 8,273 3 8619 2 1,036 2 9 2 90:10 7,641 3 4,112 3 6382 2 1,030 2 10 3 95:5 4,515 3 3,146 3 4931 1 1,078 2 9 4 97,5:2,5 3,576 3 1,559 2 3878 1 1,120 2 8
48
Tabel 12. Data pengamatan dan evaluasi kromatogram vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit menggunakan variasi
komposisi fase gerak metanol dan air; laju alir: 1,50 mL/menit, detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm
No, Komposis Fase Gerak Waktu Retensi (Rt) Resolusi (Rs)
Jumlah Lempeng Teoritis (N) Tailing Faktor (Tf) Total
Skor Rata-rata Skor Rata-rata Skor Rata-rata Skor Rata-rata Skor 1 85:15 14,293 2 Baik 3 8380 2 1,041 2 9 2 90:10 7,835 3 Baik 3 6138 2 1,075 2 10 3 95:5 4,678 3 2,150 2 4020 1 1,108 2 8 4 97,5:2,5 3,777 3 1,514 2 3267 1 1,130 2 8
Tabel 13. Data pengamatan dan evaluasi kromatogram vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit menggunakan variasi
komposisi fase gerak asetonitril dan metanol; laju alir: 1,0 mL/menit, detektor UV pada panjang gelombang 325 nm
No, Komposisi Fase Gerak Waktu Retensi (Rt) Resolusi (Rs)
Jumlah Lempeng Teoritis (N) Tailing Faktor (Tf) Total
Skor Rata-rata Skor Rata-rata Skor Rata-rata Skor Rata-rata Skor 1 75:25 5,035 3 3,801 3 5203 1 1,164 2 9 2 50:50 4,814 3 2,192 2 4413 1 1,213 2 8 3 25:75 4,623 3 1,605 2 4063 1 1,187 2 8
49
Tabel 14. Data pengamatan dan evaluasi kromatogram vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit menggunakan variasi
komposisi fase gerak asetonitril dan metanol; laju alir: 1,0 mL/menit, detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm
No, Komposisi Fase Gerak Waktu Retensi (Rt) Resolusi (Rs)
Jumlah Lempeng Teoritis (N) Tailing Faktor (Tf) Total
Skor Rata-rata Skor Rata-rata Skor Rata-rata Skor Rata-rata Skor 1 75:25 5,158 3 1,391 1 15301 1 1,622 1 6 2 50:50 4,969 3 2,220 2 3733 1 1,140 2 8 3 25:75 4,747 3 2,107 2 3515 1 1,182 2 8
Tabel 15. Data pengamatan dan evaluasi kromatogram vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit menggunakan variasi komposisi fase gerak asetonitril dan air; laju alir: 1,5 mL/menit, detektor UV panjang 325 nm
No, Komposisi Fase Gerak Waktu Retensi (Rt) Resolusi (Rs)
Jumlah Lempeng Teoritis (N) Tailing Faktor (Tf) Total
Skor Rata-rata Skor Rata-rata Skor Rata-rata Skor Rata-rata Skor 1 100:0 3,572 3 3,487 3 4174 1 1,196 2 9 2 95:5 4,412 3 2,549 3 5589 1 1,102 2 9 3 90:10 5,634 3 2,777 3 7125 2 1,034 2 10 4 85:15 7,206 3 2,485 2 9317 3 1,047 2 10 5 80:20 9,537 3 2,046 2 8525 2 1,059 2 9 6 75:25 13,163 2 Baik 3 10869 3 1,024 2 10
50
Tabel 16. Data pengamatan dan evaluasi kromatogram vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit menggunakan variasi
komposisi fase gerak asetonitril dan air; laju alir: 1,5 mL/menit, dengan detector fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm
No, Komposisi Fase Gerak Waktu Retensi (Rt) Resolusi (Rs)
Jumlah Lempeng Teoritis (N) Tailing Faktor (Tf) Total
Skor Rata-rata Skor Rata-rata Skor Rata-rata Skor Rata-rata Skor 1 100:0 3,799 3 1,700 2 3486 1 1,123 2 8 2 95:5 4,607 3 1,251 1 4540 1 1,170 2 7 3 90:10 5,828 3 1,834 2 4534 1 1,077 2 8 4 85:15 7,397 3 2,879 3 7837 2 1,031 2 10 5 80:20 9,703 3 1,699 2 9536 3 1,377 2 10 6 75:25 13,352 2 Baik 3 10254 3 1,040 2 10
Tabel 17. Data pengamatan dan evaluasi kromatogram vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit menggunakan variasi komposisi fase gerak asetonitril dan air; laju alir: 1,75 mL/menit, detektor UV pada panjang gelombang 325 nm
No, Komposisi Fase Gerak Waktu Retensi (Rt) Resolusi (Rs)
Jumlah Lempeng Teoritis (N) Tailing Faktor (Tf) Total
Skor Rata-rata Skor Rata-rata Skor Rata-rata Skor Rata-rata Skor 1 100:0 3,258 3 1,533 2 3916 1 1,239 1 7 2 95:5 3,789 3 Baik 3 5167 1 1,096 2 9 3 90:10 4,778 3 Baik 3 6956 2 1,025 2 10 4 85:15 6,250 3 Baik 3 8556 2 1,026 2 10 5 80:20 8,456 3 Baik 3 9830 3 1,028 2 11 6 75:25 11,259 2 Baik 3 9096 3 1,037 2 10
51
Tabel 18. Data pengamatan dan evaluasi kromatogram vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit menggunakan
variasi komposisi fase gerak asetonitril dan air; laju alir: 1,5 mL/menit, detektor fluoresens panjang gelombang eksitasi 325 nm
dan panjang gelombang emisi 470 nm
No. Komposisi Fase Gerak Waktu Retensi (Rt) Resolusi (Rs)
Jumlah Lempeng Teoritis (N) Tailing Faktor (Tf) Total
Skor Rata-rata Skor Rata-rata Skor Rata-rata Skor Rata-rata Skor 1 100:0 3,355 3 1,446 1 3337 1 1,148 2 7 2 95:5 3,921 3 1,302 1 4230 1 1,120 2 7 3 90:10 4,943 3 1,219 1 5868 1 0,995 2 7 4 85:15 6,305 3 3,560 3 7132 2 0,959 2 10 5 80:20 8,624 3 5,171 3 8150 2 1,509 1 9 6 75:25 11,428 2 2,023 2 9004 3 1,036 2 9
52
Tabel 19. Data hasil uji kesesuaian sistem (UKS) baku vitamin A No Kode Waktu Retensi (Rt) Luas Area 1 UKS 1 7,931 169736 2 UKS 2 7,881 170247 3 UKS 3 7,906 168218 4 UKS 4 7,899 169386 5 UKS 5 7,895 170891 6 UKS 6 7,887 167634 Rata-rata 7,900 169352 SD 0,018 1229,279 RSD 0,223 0,726 Syarat RSD (%) ≤ 1,0 ≤ 1,0
4.4 Validasi metode analisis penetapan kadar vitamin A 4.4.1 Kurva kalibrasi dan uji linieritas.
Setelah diperoleh kondisi optimum untuk analisis dan uji kese-
suaian sistem telah memenuhi sesuai dengan yang diinginkan, selanjut-
nya dilakukan validasi terhadap metode analisis tersebut. Validasi ini
diawali dengan pembuatan kurva kalibrasi dan linieritas dengan rentang
konsentrasi 0,4443 IU/mL sampai dengan 13,5233 IU/mL. Pemilihan
rentang konsentrasi ini berdasarkan konsentrasi vitamin A yang
ditambahkan ke dalam minyak goreng sawit yang beredar di pasaran
dan mencakup konsentrasi batas kuantisasi yaitu 5,73 IU/g. Untuk
analisis vitamin A dalam minyak goreng sawit, baku untuk pembuatan
kurva kalibrasi diperlakukan sama terhadap larutan uji, yaitu ditam-
bahkan minyak goreng sawit yang tidak mengandung vitamin A. Hal ini
dimaksudkan untuk menyamakan adanya gangguan matriks dari
minyak goreng sawit antara larutan uji dan larutan baku. Kurva kali-
brasi vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit dapat dilihat pada
gambar 5.
Dari hasil perhitungan statistik kurva kalibrasi memberikan nilai r
0,99997 dan Vxo 2,54 dimana kriteria linieritas yang dapat diterima
adalah r minimal 0,995 dan Vxo maksimal 5 % sehingga dapat disim-
pulkan bahwa linieritas baku vitamin A memenuhi uji linieritas. Selan-
jutnya dibuat kurva konsentrasi versus faktor respon detektor dan kurva
konsentrasi versus residual. Kurva hubungan antara konsentrasi vitamin
53
A terhadap faktor respon detektor dapat dilihat pada Gambar 6 dan
kurva hubungan antara konsentrasi vitamin A terhadap residual dapat
dilihat pada Gambar 7.
Dari kedua kurva tersebut dapat dilihat adanya penyebaran secara
random antara konsentrasi vitamin A dengan faktor respon detektor dan
konsentrasi vitamin A dengan residual yang mendekati garis tengah
menunjukkan linieritas yang baik. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa linieritas baku vitamin A dengan rentang konsentrasi 0,4443
IU/mL sampai dengan 13,5233 IU/mL memenuhi kritria uji linieritas
dan dapat diterima untuk perhitungan analisis selanjutnya.
0
100000
200000
300000
400000
500000
600000
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Konsentrasi Vitamin A (IU/mL)
Luas
Area
Gambar 5. Kurva kalibrasi baku vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit
54
32897
33897
34897
35897
36897
37897
38897
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Konsentrasi Vit. A (IU/mL)
Fakt
or R
espo
n D
etek
tor
-8000
-6000
-4000
-2000
0
2000
4000
6000
8000
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Konsentrasi Vitamin A (IU/mL)
Resi
dual
Gambar 6. Hubungan antara konse- trasi vitamin A dengan faktor respon detektor.
Gambar 7. Hubungan antara konsen sentrasi vitamin A terha- residual.
4.3.2 Uji presisi
Presisi pengukuran kuantitatif dapat ditentukan dengan mengana-
lisis sampel yang sama secara berulang-ulang (minimal 6 x pengu-
langan), kemudian dihitung nilai standar deviasinya (SD) dan dari nilai
standar deviasi tersebut dihitung nilai standar deviasi baku relatif (RSD)
atau koefesien variasi (KV). Dari nilai % RSD yang diperoleh diban-
dingkan dengan % RSD Horwitz yaitu suatu kurva berbentuk terompet
yang menghubungkan reprodusibilitas (presisi yang dinyatakan sebagai
% RSD dengan konsentrasi analit). Presisi metode analisis diekspresikan
sebagai fungsi dari konsentrasi melalui persamaan:
Presisi suatu metode akan memenuhi syarat apabila %RSD yang diper-
oleh dari percobaan lebih kecil dari 2/3 % RSD Horwitz dan berdasarkan
persamaan Horwitz dapat dipastikan bahwa, semakin kecil konsentrasi
suatu analit, maka nilai presisi yang dapat diterima akan semakin besar.
Pada penelitian ini, uji presisi dilakukan analisis terhadap tiga
konsentrasi, yaitu konsentrasi rendah ( 23,48 IU/g), konsentrasi sedang
(46,74 IU/g) dan konsentrasi tinggi (71,28 IU/g), dari masing-masing
55
konsentrasi tersebut selanjutnya dilakukan uji presisi sebanyak 6 kali
pengulangan dan pengujian dilakukan oleh analis yang sama dan waktu
yang hampir bersamaan (ripitabilitas). Presisi suatu metode dinyatakan
memenuhi syarat keberterimaan jika % RDS lebih kecil dari 2/3 CV
Horwitz. Data hasil uji presisi dapat dilihat pada Tabel 20.
Data yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai RSD untuk
ripitabilitas yang dihasilkan tidak melebihi 2/3 dari nilai RSD berdasar-
kan rumus Horwizt. Hal ini menunjukkan bahwa sistem operasional alat
dan analis memiliki nilai presisi yang baik terhadap metode dengan
respon yang relatif konstan, sehingga hasil pengukuran memiliki nilai
presisi yang memenuhi persyaratan.
4.3.3 Uji akurasi
Berbeda halnya dengan presisi yang merujuk pada pengertian
ketelitian, akurasi merujuk pada pengertian ketepatan (kecermatan).
Penentuan akurasi metode untuk membuktikan kedekatan hasil analisis
dengan nilai benar. Akurasi dapat ditetapkan dengan 3 cara yaitu; pene-
tapan dengan menggunakan bahan acuan bersertifikat atau standard
reference material (SRM), membandingkan menggunakan metode yang
telah valid (metode resmi atau metode standar) dan menghitung uji
perolehan kembali dengan menggunakan penambahan standar (standar
adisi). Pada penelitian ini digunakan metode penambahan standar adisi
dan menghitung persen perolehan kembali. Uji perolehan kembali
dilakukan dengan cara menambahkan sejumlah baku pembanding vita-
min A ke dalam sampel yang sebelumnya telah ditentukan kadar vitamin
A-nya (sampel yang telah ditentukan nilai presisinya). Selanjutnya sam-
pel dianalisis hingga diperoleh nilai persen perolehan kembalinya. Nilai
persen perolehan kembali yang mendekati 100 % menunjukkan
bahwa metode tersebut memiliki ketepatan yang baik dalam menunjuk-
kan tingkat kesesuaian dari rata-rata suatu pengukuran yang sebanding
dengan nilai sebenarnya (true value).
56
Pada penelitian ini, uji akurasi dilakukan analisis terhadap tiga
konsentrasi yang berbeda, yaitu konsentrasi rendah ( 23,48 IU/g), kon-
sentrasi sedang (46,74 IU/g) dan konsentrasi tinggi (71,28 IU/g), dari
masing-masing konsentrasi tersebut selanjutnya dilakukan uji akurasi
sebanyak 6 kali pengulangan dan pengujian dilakukan pada waktu yang
hampir bersamaan. Pengujian akurasi dilakukan dengan cara penam-
bahan standar adisi dan akurasi dinyatakan sebagai persen perolehan
kembali. Data hasil uji akurasi dapat dilihat pada Tabel 21.
Dari tabel hasil uji akurasi dapat dilihat, secara keseluruhan nilai
persen perolehan kembali berada dalam rentang 96,84–102,39 %,
dimana kriteria persen perolehan kembali yang dapat diterima adalah 80-
110 %. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa metode analisis yang
digunakan memenuhi kriteria untuk uji akurasi dan dengan kata lain
metode yang telah dikembangkan ini memberikan hasil akurasi yang
tidak berbeda dengan metode standar atau metode resmi.
4.3.4 Uji selektivitas (spesifisitas)
Pada uji selektivitas (spesifisitas), dilakukan analisis terhadap
sampel minyak goreng sawit yang sama pada uji presisi, namun pada saat
penyiapan larutan uji ditambahkan senyawa-senyawa kimia lainnya yang
mungkin terdapat atau sengaja ditambahkan ke dalam minyak goreng
sawit. Senyawa kimia tersebut dapat berupa: senyawa anti oksidan (butil
hidroksi anisol, butil hidroksi toluena, propil galat, tersier butil
hidrokinon), vitamin yang larut dalam minyak (vitamin D dan vitamin E)
dan senyawa kimia alami yang terdapat dalam minyak goreng sawit (beta
karoten). Kromatogram campuran senyawa kimia yang sedang dilakukan
uji selektivitasnya (tanpa penambahan vitamin A) dan baku vitamin A
dengan matriks sampel minyak goreng sawit dapat dilihat pada Gambar 8.
Data hasil uji selektivitas (spesifisitas) dapat dilihat pada Tabel 22.
57
Tabel 20. Data uji presisi penetapan kadar vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit No.
Bobot Sampel Pengenceran Luas Area
Kadar Vit. A Kadar Vit. A SD (IU/g) RSD (%) RSD 2/3 RSD
(g) (IU/g) Rata-rata (IU/g) Horwitz (%) Horwitz (%) 1 2,5147 25 84957 23,56 2 2,4991 25 85404 23,83 3 2,5593 25 85028 23,17 23,48 0,46 1,97 7,26 4,84 4 2,5138 25 86478 23,99 5 2,5942 25 84535 22,73 6 2,5343 25 85764 23,60 7 2,4914 25 167239 46,83 8 2,5104 25 167814 46,63 9 2,5336 25 167056 46,00 46,74 0,90 1,93 6,54 4,36
10 2,5004 25 170554 47,58 11 2,5777 25 168170 45,51 12 2,4902 25 170849 47,86 13 2,5045 25 258306 71,96 14 2,4904 25 261964 73,39 15 2,5092 25 252020 70,07 71,28 1,33 1,87 6,14 4,09 16 2,5055 25 257386 71,67 17 2,4901 25 252416 70,72 18 2,5202 25 252344 69,86
Kurva Kalibrasi yang digunakan untuk perhitungan presisi vitamin A
n a (Intersep) b (Slope) r 12 51,9937563 35825,84683 0,999973
58
Tabel 21. Data uji akurasi penetapan kadar vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit No Bobot
Sampel (g) Vit. A yang
ditambahkan (IU) Pengenceran Luas Area
Vit. A total (IU)
Vit. A dari sampel (IU)
Rekoveri Vit. A (%)
Rata-Rata Rekoveri (%) SD (%) RSD (%)
1 1,2647 28,98 25 84610 59,0063 29,6952 101,15
98,40 1,87 1,90
2 1,2317 28,98 25 81711 56,9833 28,9203 96,84 3 1,2402 28,98 25 82138 57,2813 29,1199 97,18 4 1,2507 28,98 25 82822 57,7586 29,3664 97,98 5 1,2413 28,98 25 82067 57,2317 29,1457 96,92 6 1,2504 28,98 25 83783 58,4292 29,3594 100,31 7 1,2307 57,96 25 163743 114,2269 57,5229 97,94
98,76 1,81 1,83
8 1,2439 57,96 25 164669 114,8731 58,1399 97,89 9 1,2503 57,96 25 165772 115,6428 58,4390 98,70 10 1,2468 57,96 25 164814 114,9743 58,2754 97,83 11 1,2416 57,96 25 164546 114,7872 58,0324 97,93 12 1,2592 57,96 25 169434 118,1982 58,8550 102,39 13 1,2577 86,94 25 254429 117,5094 89,6489 101,06
98,29 1,50 1,52
14 1,2425 86,94 25 249940 174,3769 88,5654 98,71 15 1,2404 86,94 25 247577 172,7280 88,4157 96,98 16 1,2506 86,94 25 249957 174,3888 89,1428 98,06 17 1,2503 86,94 25 249607 174,1445 89,1214 97,80 18 1,2407 86,94 25 247784 172,8724 88,4371 97,12
Kurva Kalibrasi yang digunakan untuk perhitungan akurasi vitamin A
n a (Intersep) b (Slope) r 12 51,9937563 35825,84683 0,999973
59
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 min
0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
1.25
1.50
1.75
2.00
2.25
2.50mV(x10)Detector A:325nm
A
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 min
0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
1.25
1.50
1.75
2.00
2.25
2.50mV(x10)Detector A:325nm
Vita
min
A/7
.87
9/1
69
49
0
B
Gambar 8. Kromatogram A (campuran senyawa kimia yang sedang di- lakukan uji selektivitasnya: butil hidroksi anisol, butil hidroksi toluena, propil galat, tersier butil hidrokuinon, vita- min D, vitamin E dan beta karoten) dan kromatogram B (baku vitamin A) dalam matriks sampel minyak goreng sawit yang dianalisis menggunakan KCKT kolom C18 pada kondisi optimum dengan komposisi fase gerak yang yang terdiri dari campuran asetonitril dan air (80:20) laju alir 1,75 mL/menit dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm.
Data yang diperoleh menunjukkan bahwa kromatogram yang dihasilkan
tidak diganggu oleh adanya senyawa-senyawa yang sengaja ditambahkan
ke dalam minyak goreng sawit dan pada uji t diperoleh hasil yang tidak
berbeda bermakna bila dibandingkan dengan hasil dari presisi yang telah
dilakukan, sehingga dapat disimpulkan bahwa metode analisis yang
digunakan memenuhi syarat uji selektivitas (spesifitas) terhadap analit:
senyawa anti oksidan (butil hidroksi anisol, butil hidroksi toluena, propil
galat, tersier butil hidrokinon), vitamin yang larut dalam minyak (vitamin
D dan vitamin E) dan senyawa kimia alami yang terdapat dalam minyak
goreng sawit (beta karoten).
4.3.5 Uji robustness.
Pada uji robustness, dilakukan analisis terhadap sampel minyak
goreng sawit yang sama pada uji presisi, namun pada metode tersebut
dilakukan sedikit perubahan kecil seperti: perubahan penambahan atau
pengurangan jumlah pereaksi yang digunakan, perubahan komposisi fase
gerak, perubahan laju alir, dan perubahan merek kolom. Data hasil uji
robustness dengan perubahan penambahan jumlah pereaksi menjadi: n-
60
pentana 3 mL, larutan antioksidan butil hidroksi toluena 3 mL dan larutan
tetra-n-butil amonium hidroksida 10,5 mL dapat dilihat pada Tabel 23.
Data hasil uji robustness dengan perubahan pengurangan jumlah pereaksi
n-pentana 2 mL, larutan antioksidan butil hidroksi toluena 2 mL dan
larutan tetra-n-butil amonium hidroksida 9,5 mL dapat dilihat pada Tabel
24. Data hasil uji robustness dengan perubahan komposisi fase gerak
asetonitril:air (81:19) dan laju alir 1,74 mL/menit dapat dilihat pada Tabel
25. Data hasil uji robustness dengan perubahan komposisi fase gerak
asetonitril:air (79:21) dan laju alir 1,76 mL/menit dapat dilihat pada Tabel
26. Data hasil uji robustness dengan perubahan menggunakan merek
kolom yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 27. Dari Tabel 23–27
menunjukkan dalam uji t diperolah nilai t hitung lebih kecil dari t tabel,
sehingga dapat disimpulkan hasil pengujian kondisi normal dengan hasil
pengujian pada kondisi yang sedang diuji robutsnessnya memberikan
hasil uji yang tidak berbeda bermakna.
4.3.6 Uji batas deteksi dan batas kuantisasi
Pada penentuan uji batas deteksi dan batas kuantisasi dibuat
larutan vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit dengan
konsentrasi 0,4988 IU/g sampai dengan 9,9970 IU/g. Kurva regresi
kadar vitamin A terhadap tinggi noise dengan sinyal pada penentuan
uji batas deteksi dan batas kuantisasi dapat dilihat pada Gambar 9.
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
0 2 4 6 8 10 12
Kadar Vit. A (IU/g)
Perband
ingan tin
ggi nois
e terhad
ap tingg
i sinyal
(S/N)
Gambar 9. Kurva regresi kadar vitamin A terhadap tinggi noise dengan sinyal (S/N).
61
Tabel 22. Data uji selektivitas (spesifisitas) vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit
No Bobot Sampel Pengenceran Luas Area Kadar Vit. A Kadar Vit. A SD Uji t (g) (IU/g) Rata-Rata (IU/g) (IU/g) t Hitung t Tabel 1 2,5087 25 169742 47,20 2 2,5419 25 173729 47,68 3 2,5703 25 168767 45,81 47,36 0,99 1,609 2,228 4 2,5007 25 172544 48,13 5 2,5098 25 168382 46,80 6 2,4949 25 173673 48,56
Kurva Kalibrasi yang digunakan untuk perhitungan uji selektivitas (spesifisitas)
n a (Intersep) b (Slope) r 12 51,9937563 35825,84683 0,999973
62
Tabel 23. Data uji robustness vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit dengan perubahan metode pengurangan jumlah pereaksi menjadi: n-pentana 2 mL, larutan antioksidan butil toluena 2 mL dan larutan tetra-n-butil amonium hidroksida 9,5 mL
No Bobot Sampel Pengenceran Luas Area Kadar Vit. A Kadar Vit. A SD Uji t (g) (IU/g) Rata-Rata (IU/g) (IU/g) t Hitung t Tabel 1 2,5996 25 169883 45,59 2 2,5442 25 173088 47,46 3 2,4957 25 168412 47,07 47,24 0,91 1,431 2,228 4 2,5394 25 173671 47,71 5 2,5097 25 170380 47,36 6 2,5102 25 173697 48,27
Kurva Kalibrasi yang digunakan untuk perhitungan uji selektivitas (spesifisitas)
n a (Intersep) b (Slope) R 12 51,9937563 35825,84683 0,999973
Tabel 24. Data uji robustness vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit dengan perubahan metode pengurangan jumlah pereaksi menjadi:
n-pentana 3 mL, larutan antioksidan butil toluena 3 mL dan larutan tetra-n-butil amonium hidroksida 10,5 mL No Bobot Sampel Pengenceran Luas Area Kadar Vit. A Kadar Vit. A SD Uji t (g) (IU/g) Rata-Rata (IU/g) (IU/g) t Hitung t Tabel 1 2,5047 25 169864 47,31 2 2,5995 25 173708 46,62 3 2,5989 25 170548 45,78 46,90 0,99 0,415 2,228 4 2,5491 25 173648 47,52 5 2,5994 25 170851 45,85 6 2,4902 25 172393 48,29
Kurva Kalibrasi yang digunakan untuk perhitungan uji selektivitas (spesifisitas)
n a (Intersep) b (Slope) R 12 51,9937563 35825,84683 0,999973
63
Tabel 25. Data uji robustness vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit dengan perubahan metode perubahan komposisi fase gerak menjadi asetonitri: air (81:19) dan laju alir 1,74 mL/menit
No Bobot Sampel Pengenceran Luas Area Kadar Vit. A Kadar Vit. A SD Uji t (g) (IU/g) Rata-Rata (IU/g) (IU/g) t Hitung t Tabel 1 2,5997 25 171587 45,59 2 2,5892 25 173454 47,46 3 2,4989 25 169622 47,07 47,23 0,86 1,364 2,228 4 2,5974 25 174505 47,71 5 2,4907 25 171451 47,36 6 2,4966 25 173072 48,27
Kurva Kalibrasi yang digunakan untuk perhitungan uji selektivitas (spesifisitas)
n a (Intersep) b (Slope) R 12 51,9937563 35825,84683 0,999973
Tabel 26. Data uji robustness vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit dengan perubahan metode perubahan komposisi fase gerak
asetonitri menjadi: air (79:21) dan laju alir 1,76 mL/menit No Bobot Sampel Pengenceran Luas Area Kadar Vit. A Kadar Vit. A SD Uji t (g) (IU/g) Rata-Rata (IU/g) (IU/g) t Hitung t Tabel 1 2,5989 25 174788 46,92 2 2,5993 25 173576 46,59 3 2,5972 25 173804 46,68 47,37 0,87 1,744 2,228 4 2,5908 25 175049 47,13 5 2,4902 25 173647 48,65 6 2,4907 25 172261 48,25
Kurva Kalibrasi yang digunakan untuk perhitungan uji selektivitas (spesifisitas)
n a (Intersep) b (Slope) R 12 51,9937563 35825,84683 0,999973
64
Tabel 27. Data uji robustness vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit dengan perubahan metode penggunakan merek kolom C 18 yang berbeda (kolom merek Shimadzu Shim-pack, Jepang: panjang 250 mm, diameter dalam 1,46 mm dan ukuran partikel 5 µm)
No Bobot Sampel Pengenceran Luas Area Kadar Vit. A Kadar Vit. A SD Uji t (g) (IU/g) Rata-Rata (IU/g) (IU/g) t Hitung t Tabel 1 2,5002 25 180532 46,75 2 2,5752 25 179055 45,02 3 2,4902 25 183651 47,75 46,41 0,99 0,856 2,228 4 2,5389 25 180359 45,99 5 2,5448 25 180120 45,82 6 2,4902 25 181337 47,15
Kurva Kalibrasi yang digunakan untuk perhitungan uji selektivitas (spesifisitas)
n a (Intersep) b (Slope) R 12 51,9937563 35825,84683 0,999973
65
Setelah dianalisis dan dibuat persamaan regresi linier, diperoleh
nilai batas deteksi vitamin A dalam minyak goreng sawit adalah 1,66
IU/g dan nilai batas kuantisasi vitamin A dalam minyak goreng sawit
adalah 5,89 IU/g. Batas deteksi dan batas kuantisasi yang diperoleh
sudah dapat diterima, karena untuk mengetahui apakah minyak goreng
sawit yang diuji memenuhi syarat atau tidak dalam hal kandungan
vitamin A adalah minimal 45 IU/g, sedangkan batas deteksi dan batas
kuantitasi yang diperolah jauh di bawah 45 IU/g.
4.4 Uji coba penetapan kadar vitamin A dalam minyak goreng sawit
yang beredar di pasaran.
Hasil analisis terhadap minyak goreng sawit yang beredar di pasaran
dan pada labelnya mengklaim akan kandungan vitamin A menunjukkan
bahwa pada ke-empat sampel mengandung vitamin A berturut-turut sebesar
16,75 IU/g, 28,39 IU/g, 29,07 IU/g dan 66,65 IU/g (75 % sampel tidak
memenuhi persyaratan kadar vitamin A yang akan ditetapkan pemerintah).
Data hasil analisis terhadap sampel minyak goreng sawit yang beredar di
pasaran dapat dilihat pada tabel 28. Dari tabel tesebut dapat disimpulkan
bahwa kandungan vitamin A dalam sampel yang diuji masih banyak yang
belum memenuhi persyaratan kadar vitamin A yang akan ditetapkan oleh
pemerintah. Hasil evaluasi kromatogram dan SD yang diperoleh dari
penetapan kadar vitamin A dapat disimpulkan bahwa matriks sampel yang
terkandung dalam berbagai merek minyak goreng sawit yang beredar di
pasaran tidak mengganggu dalam analisis penetapan kadar vitamin A,
sehingga metode yang telah dikembangkan dan telah divalidasi oleh peneliti
dapat digunakan sebagai metode alternatif untuk penetapan kadar vitamin A
dalam berbagai merek minyak goreng sawit.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap metode analisis yang
telah dikembangkan dan telah divalidasi oleh peneliti, dapat dibuat ringkasan hasil
penelitian sebagai berikut:
66
1. Hasil optimasi metode analisis penetapan kadar vitamin A dalam minyak
goreng sawit secara KCKT menggunakan kolom C 18 diperoleh hasil yang
optimal menggunakan komposis fase gerak asetonitril:air (80:20) dengan
laju alir 1,75 mL/menit menggunakan detektor ultraviolet pada panjang
gelombang 325 nm, dibuktikan dengan perolehan skor yang tinggi dalam
penilaian kromatogram KCKT.
2. Metode yang telah dikembangkan peneliti hasilnya sudah valid yang
dibuktikan dengan hasil validasi dari metode tersebut yang sudah
memenuhi persyaratan yang ditentukan.
3. Metodenya selektif, dibuktikan dari hasil selektivitas pada bagian uji
validasi yang telah dilakukan dan hasilnya sudah memenuhi persyaratan
yang ditentukan.
4. Metodenya cepat, dibuktikan dengan persiapan sampel pada metode yang
telah dikembangkan peneliti tanpa proses saponifikasi, tanpa proses
ektraksi dan tanpa proses pemekatan atau penguapan pelarut, sehingga
untuk sekali pengujian sampel menggunakan metode tersebut diperlukan
waktu sekitar 2 jam, sedangkan bila menggunakan metode resmi yang
sudah ada (dengan proses saponifikasi, ekstraksi dan proses pemekatan
atau penguapan pelarut) dari pengalaman yang pernah diperoleh peneliti
diperlukan waktu sekitar 6 jam.
5. Metodenya mudah dan praktis, karena metode yang telah dikembangkan
peneliti persiapan sampelnya tanpa proses saponifikasi, tanpa proses
ekstraksi dan tanpa proses pemekatan atau penguapan pelarut, sehingga
metode ini lebih mudah dan praktis; tanpa diperlukan keahlian dan
peralatan khusus untuk proses persiapan sampel.
6. Metode yang sudah dikembangkan dan divalidasi oleh peneliti memiliki
keunggulan-keunggulan seperti telah diuraikan di atas, namun
kelemahannya metode ini hanya dapat digunanakan untuk penetapan kadar
vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit dan tidak dapat digunakan
untuk penetapan kadar vitamin A dalam produk pangan yang lain,
misalnya: susu, daging dan telur.
67
Tabel 28. Data hasil analisis penetapan kadar vitamin A dalam minyak goreng sawit yang beredar di pasaran No Kode Bobot Sampel Pengenceran Luas Area Kadar Vit. A Kadar Vit. A SD RSD (g) (IU/g) Rata-Rata (IU/g) (IU/g) (%) 1 Avn A 2,4907 25 58070 16,25 2 Avn B 2,5928 25 64114 17,24 16,75 0,70 4,17 3 Fvt 2,4917 25 99450 27,84 4 Fvt 2,5892 25 107451 28,95 28,39 0,78 2,76 5 Sva A 2,4974 25 104545 29,20 6 Sva B 2,4989 25 103703 28,94 29,07 0,18 0,61 7 Snc A 2,4916 25 232286 65,04 8 Snc B 2,5015 25 242568 67,65 66,35 1,85 2,78
Kurva Kalibrasi yang digunakan untuk perhitungan kadar vitamin A
n a (Intersep) b (Slope) r 12 51,9937563 35825,84683 0,999973
68
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN
Kondisi optimum untuk analisis penetapan kadar vitamin A dalam minyak
goreng sawit menggunakan KCKT dengan kolom C-18 (Waters Xbridge, panjang
250 mm, diameter 4,6 mm ukuran partikel 5,0 µm) adalah menggunakan fase
gerak asetonitril-air (80:20), kecepatan alir 1,75 mL/menit dan menggunakan
detektor ultraviolet pada panjang gelombang 325 nm.
Hasil validasi metode analisis yang telah dilakukan menunjukkan bahwa
parameter validasi linieritas, presisi, akurasi, selektivitas, robustness, penetapan
batas deteksi dan batas kuantisasi memenuhi kriteria yang telah ditetapkan
sehingga metode analisis ini valid, selanjutnya dapat digunakan sebagai metode
alternatif untuk penetapan kadar vitamin A dalam minyak goreng sawit.
Parameter yang digunakan pada pencarian kondisi analisis optimum pada
penetapan kadar vitamin A dengan menggunakan KCKT kolom C 18 dengan
variasi komposisi fase gerak, laju alir dan detektor ultraviolet dan atau detektor
fluoresens yang memberikan nilai resolusi (Rs) dan nilai lempeng teoritis (N)
yang baik, dapat digunakan sebagai konfirmasi identitas vitamin A dalam minyak
goreng sawit.
Hasil analisis terhadap 4 merek sampel minyak goreng sawit yang beredar
di pasaran yang pada labelnya mengklaim kandungan vitamin A diperoleh 75 %
mengandung vitamin A dibawah standar yang akan ditetapkan. Matriks sampel
yang terkandung dalam berbagai merek minyak goreng sawit yang beredar di
pasaran tidak mengganggu dalam analisis penetapan kadar vitamin A, sehingga
metode yang telah dikembangkan dan telah divalidasi oleh peneliti dapat
digunakan sebagai metode alternatif untuk penetapan kadar vitamin A dalam
berbagai merek minyak goreng sawit.
5.2 SARAN
Terhadap metode ini agar dilakukan validasi lebih lanjut seperti: uji
selektivitas menggunakan matriks minyak goreng sawit yang sudah mengalami
penurunan mutu (bilangan asam dan bilangan peroksidanya tinggi), uji presisi
70
antara (intermediate reproducibility) dan ketangguhan metode (ruggednes/
reproducibility) dengan cara melakuan uji kolaborasi yang melibatkan
laboratorium lain, sehingga kehandalan metode ini benar-benar diyakini dan untuk
selanjutnya dapat diusulkan sebagai metode resmi dalam Standar Nasional
Indonesia (SNI).
Untuk penelitian selanjutnya agar dilakukan perhitungan estimasi
ketidakpastian pengukuran dalam penetapan kadar vitamin A dalam minyak
goreng sawit agar dapat mengetahui sumber-sumber kesalahan dalam pengukuran,
yang selanjutnya dapat menghindari terjadinya kesalahan yang besar dalam suatu
analisis.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier S. 2009. Prinsif Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
[AOAC International] Association of Official Analytical Chemist International. 2005. Official Methods of Analysis of AOAC International. Ed ke-18. Gaithersburg.
Augustin J, Barbara PK, Deborah B, Paul BV. 1985. Methods of Vitamin Assay. New York: A Wiley-Interscience.
[Badan POM] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2006. Kategori Pangan. Jakarta.
Bagriansky J dan P Ranum. 1998. Vitamin A Fortification of P. L. 480 Vegetables Oil [terhubung berkala]. http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/PNACK055.pdf [1 Mar 2011]
Berdanier et. all. 2002. Hanbook of Nutrion and Food. Washington DC: CRC Press.
[BP Commision] British Pharmacopoeia Commision. 2009. British Pharmaco-poeia. London.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2005. Persyaratan Umum Kompetensi Laboratorium Pengujian dan Laboratorium Kalibrasi. ISO/IEC 17025: 2005. Jakarta.
[CE] Council of Europe. 2007. European Pharmacopoia. Strasbourg: European Directorate for the Quality of Medicine and Health Care.
[Depkes] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1979. Kodeks Makanan Indonesia. Jakarta.
[Depkes] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indo-nesia. Ed ke-4. Jakarta.
[Depkes] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009a. Profil Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta.
[Depkes] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009b. Suplemen I Farma-kope Indonesia. Ed ke-4. Jakarta.
Eitenmiller RR, Lin Ye, WO Landen Jr. 2008. Vitamin Analysis for the Health and Food Sciences. Ed ke-2. Boca Raton: CRC Press.
Favaro, R., J. Ferreira, I. Desai, and J. Dutra de Oliveira. 1991. Studies on Fortification of Refined Soybean Oil with All-trans Retinyl Palmitate in Brazil: Stability During Cooking and Storage. J. Food Comp. Anal. 4: 237-244. Di dalam: Hariyadi P. 2011. Teknologi Fortifikasi Vitamin A pada Minyak Sawit. Di dalam: Workshop Fortifikasi Vitamin A pada Minyak Goreng Sawit; Jakarta, 16 Mar 2011. Jakarta:
72
Direktorat Industri Makanan, Hasil Laut dan Perikanan-Kementrian Perindustrian RI
Gunzler H. 1996. Accreditation and Quality Assurance in Analytical Chemistry. Springer. Di dalam: Siregar CJP, Tomi H. 2007. Praktik Sistem Manaje-men Laboratorium-Pengujian yang Baik (Good Testing-Laboratory Mana-gement System Practice). Jakarta: EGC.
Hadi A. 2007. Pemahaman dan Penerapan ISO/IEC 17025-2005: Persyaratan Umum Kompetensi Laboratorium Pengujian dan Laboratorium Kalibrasi. Jakarta: PT Granedia Pustaka Utama.
Harmita. 2004. Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara Perhitungan-nya. Majalah Ilmu Kefarmasian. Vol. 1 No. 3. 117-135
Hariyadi P. 2011. Teknologi Fortifikasi Vitamin A pada Minyak Sawit. Di dalam: Workshop Fortifikasi Vitamin A pada Minyak Goreng Sawit; Jakarta, 16 Mar 2011. Jakarta: Direktorat Industri Makanan, Hasil Laut dan Peri-kanan-Kementrian Perindustrian RI
Johnson EL, Robert S., 1991. Dasar Kromatografi Cair. Bandung: Penerbit ITB. Terjemahan dari: Basic Liquid Chromatography.
[Kemperin] Kementrian Perindustrian Republik Indonesia. 2010. RSNI 3 Minyak Goreng Sawit. Jakarta.
Krisnamurthi B. 2010. Menambahkan Vitamin A pada Minyak Goreng [terhubung berkala]. http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php? id=49585 [ 27 Feb 2011]
Libman DD. 1966. Vitamin Assay Tested Methods. Verlagsnummer: Omnitypie Geseeschaft Nachf.
Martianto D, SA Marliyati, Komari. 2007. Vitamin A Fortification of Cooking Oil at Distribution Site Gudeline. Koalisi Fortifikasi Indonesia for Japan Fund for Poverty Reduction Project. Direktorat Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
Martianto D. 2011. Penanggulangan Kurang Vitamin A (KVA) di Indonesia Melalui Fortifikasi Minyak Goreng Sawit. Di dalam: Workshop Fortifikasi Vitamin A pada Minyak Goreng Sawit; Jakarta, 16 Mar 2011. Jakarta: Direktorat Industri Makanan, Hasil Laut dan Perikanan-Kementrian Perindustrian RI.
Muchtadi TR. 1996. Peranan Teknologi Pangan dalam Meningkatkan Nilai Tambah Produk Minyak Sawit Indonesia. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu dan Teknologi Pertanian. IPB Bogor.
Muhilal F, Jalal, Hardiansyah. 1998. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan. Di dalam: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
73
Neil MJO, et. All. 2006 The Merck Indeks. Ed ke-14. Whitehouse Station: Merck Research Labratories.
Nielsen S. 2003. Food Analysis. Ed ke-2. New York: Springer Science.
Nollet LML. 2000. Food Analysis by HPLC. New York: Marcel Dekker.
Nollet LML. 2004. Handbook of Food Analysis. Ed ke-2. New York: Marcel Dekker.
Oktavia E. 2006. Teknik Validasi Metode Analisis Kadar Ketopropen Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Buletin Teknik Pertanian Vol.11No.1. 23-28
Olson JA. 1990. Vitamin A LJ. Machilin (Ed). Di dalam: Handbook of Vitamins. Ed ke-2. New York: Marcel Dekker.
Rohman A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Rohman A, Ibnu GG. 2007. Metode Kromatografi untuk Analisi Makanan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Rohman A, Sumantri. 2007. Analisis Makanan. Yogyakarta: Gadjah Mada Uni-versity Press.
Smith J, Stelnemann TL. Vitamin A deficiency and The Eye. In: Friedlaender MH.Eds. International Opthalmology Clinics. Nutrition, Philadelphia. Lippincott Willimns. 2000. Di dalam: Sekarsari N. 2004. Efek Suplemen-tasi Vitamin A terhadap Sensitivitas Kontras Penderita Defisiensi Vitamin A [tesis]. Jakarta: Fakultas Kedokteran Departemen Ilmu Penyakit Mata, Universitas Indonesia.
Soekirman. 2003. Fortifikasi dalam Program Gizi, Apa dan Mengapa. Jakarta: Koalisi Fortifikasi Indonesia.
Soendegaard C. 2011. Semi-quantitative Analysis of Vitamin A in Cooking Oil. Di dalam: Technical Seminar Quality Control of Vitamin A in Fortified Oil; Surabaya, 26 Jan 2011. Jakarta: BASF, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, Koalisi Fortifikasi Indonesia.
[USP Convention] United States Pharmacopeial Convention. 2008. Food Chemi-cal Codex. Twinbrook Parkway: United States Pharmacopeial Convention.
[USP Convention] United States Pharmacopeial Convention. 2009. United States Pharmacopoeia National Formulary, USP 32/NF 27. Twinbrook Parkway: United States Pharmacopeial Convention.
Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: M-Brio Press.
Winarno FG, Felicia K. 2007. Pangan Fungsional dan Minuman Energi. Bogor: M-Brio Press.
Wood R, et all. 1998. Quality in the Food Analysis Laboratory. The Royal Soci-ety of Chemistery. Di dalam: Siregar CJP, Tomi H. 2007. Praktik Sistem Manajemen
74
Laboratorium-Pengujian yang Baik (Good Testing-Labora-tory Management System Practice). Jakarta: EGC.
World Bank. 2006. Reposition Nutrition as Central to Development, dikutip oleh Subdit Bina Gizi Mikro Direktorat Bina Gizi Masyarakat, pada “Workshop Nasional tentang Standar Fortifikasi Pangan” Hotel Bumi Karsa Jakarta, 31 Jul 2008.
Lampiran
76
Lampiran 1. Contoh menghitung aktivitas baku vitamin A
Penimbangan baku (m) vitamin A : 0,0733 g
Faktor pengenceran (V) : 10.000
Absoban pada 326 nm (A326) : 0,6557
Maka aktivitas baku vitamin A dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
77
Lampiran 2. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak metanol 100 %, laju alir 1,0 mL/ menit (memberikan tekanan 78 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm.
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 min
0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
1.25
1.50
1.75
2.00
2.25
2.50
2.75
3.00
3.25
3.50
mV(x10)Detector A:325nm
/3.7
84/2
3988
Vita
min
A/4
.356
/344
490
/4.7
24/1
311
Lampiran 3. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak metanol 100 %, laju alir 1,0 mL/menit (memberikan tekanan 78 kgf) dengan detektor flouresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm.
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 min
0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
1.25
1.50
mV(x100)Detector B:Ex:325nm,Em:470nm
RT4.0
39/4.
071/1
0436
2
Vitam
in A/
4.646
/1895
027
/5.35
9/142
65
78
Lampiran 4. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak metanol 100 %, laju alir 0,8 mL/menit (memberikan tekanan 64 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 min
0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
1.25
1.50
1.75
2.00
2.25
2.50
2.75
3.00
3.25
3.50
3.75mV(x10)
Detector A:325nm
/4.63
9/28
995
Vitam
in A/
5.28
2/42
8019
.
Lampiran 5. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak metanol 100 %, laju alir 0,8 mL/menit (memberikan tekanan 64 kgf) dengan detektor pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 min
0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
1.25
1.50
1.75
mV(x100)Detector B:Ex:325nm,Em:470nm
RT4.9
81/4.
983/6
7496
Vitam
in A/5
.610/2
3859
48
RT6.4
38/6.
422/1
2395
.
79
Lampiran 6. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak metanol 100 %, laju alir 0,6 mL/menit (memberikan tekanan 45 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm.
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 min
0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
1.25
1.50
1.75
2.00
2.25
2.50
2.75
3.00
3.25
3.50
3.75mV(x10)
Detector A:325nm
/6.1
64/4
5068
Vita
min
A/7
.020
/568
224
Lampiran 7. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak metanol 100 %, laju alir 0,6 mL/menit (memberikan tekanan 45 kgf) dengan detektor pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm.
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 min
0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
1.25
1.50
1.75mV(x100)
Detector B:Ex:325nm,Em:470nm
RT6.5
96/6.
609/
9528
5
Vitam
in A/
7.45
3/30
9068
6
RT8.4
86/8.
503/
3076
0
80
Lampiran 8. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak metanol:air (85:15) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 200 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm.
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0 12.0 13.0 14.0 15.0 min
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1.0
mV(x10)Detector A:325nm
/9.6
12/2
878
Vita
min
A/1
4.12
8/21
9687
Lampiran 9. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak metanol:air (85:15) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 200 kgf) dengan detektor pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm.
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0 12.0 13.0 14.0 15.0 min
0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
1.25
1.50
1.75
2.00
2.25
2.50
2.75
3.00
3.25
3.50
mV(x10)Detector B:Ex:325nm,Em:470nm
RT14
.318
/14.
259/
7884
93
81
Lampiran 10. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak metanol:air (90:10) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 176 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm.
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 min
0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
1.25
1.50
1.75
mV(x10)Detector A:325nm
/5.7
13/6
741
Vita
min
A/7
.642
/237
597
Lampiran 11. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak metanol:air (90:10) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 176 kgf) dengan detektor pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm.
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 min
-0.5
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
4.0
4.5
5.0
5.5
6.0
6.5
mV(x10)Detector B:Ex:325nm,Em:470nm
Vitam
in A/
7.830
/9285
22
82
Lampiran 12. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak metanol:air (95:5) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 147 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm.
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 5.5 min
0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
1.25
1.50
1.75
2.00
2.25
2.50mV(x10)
Detector A:325nm
/3.4
69/1
1021
Vita
min
A/4
.462
/224
343
/5.0
17/2
164
Lampiran 13. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak metanol:air (95:5) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 147 kgf) dengan detektor pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm.
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 5.5 6.0 min
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1.0
1.1mV(x100)
Detector B:Ex:325nm,Em:470nm
RT3.6
26/3.
813/1
1278
Vitam
in A/4
.696/1
0946
45
RT5.4
47/5.
479/9
841
83
Lampiran 14. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak metanol:air (97,5:2,5) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 132 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm.
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 min
0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
1.25
1.50
1.75
2.00
2.25
2.50
2.75
3.00mV(x10)
Detector A:325nm
/2.7
99/1
5221
Vita
min
A/3
.608
/230
923
/4.1
64/1
620
Lampiran 15. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak metanol:air (97,5:2,5) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 132 kgf) dengan detektor pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm.
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 min
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1.0
1.1
1.2
1.3
mV(x100)Detector B:Ex:325nm,Em:470nm
/0.05
0/151
0
RT3.3
19/3.
319/6
153
Vitam
in A/
3.796
/1144
504
RT4.1
21/4.
121/1
6814
84
Lampiran 16. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:metanol (75:25) laju alir 1,0 mL/menit (memberikan tekanan 49 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm.
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 min
0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
1.25
1.50
1.75
2.00
2.25
2.50
2.75
3.00
3.25
3.50mV(x10)
Detector A:325nm
/4.0
15/1
7054
Vita
min
A/5
.032
/328
196
Lampiran 17. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:metanol (75:25) laju alir 1,0 mL/menit (memberikan tekanan 49 kgf) dengan detektor pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm.
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 min
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
6.0
7.0
8.0
mV(x10)Detector B:Ex:325nm,Em:470nm
/4.38
6/727
24
Vitam
in A/
5.327
/9511
12
/6.49
6/406
64
85
Lampiran 18. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:metanol (50:50) laju alir 1,0 mL/menit (memberikan tekanan 54 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm.
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 min
0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
1.25
1.50
1.75
2.00
2.25
2.50
2.75
3.00
3.25
3.50mV(x10)
Detector A:325nm
/4.01
4/411
3
Vitam
in A/
4.700
/3405
61
/5.36
5/865
2
Lampiran 19. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:metanol (50:50) laju alir 1,0 mL/menit (memberikan tekanan 54 kgf) dengan detektor pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm.
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 min
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
6.0
7.0
8.0
9.0mV(x10)
Detector B:Ex:325nm,Em:470nm
RT4.2
65/4.
270/6
1254
Vitam
in A/4
.969/9
7857
2
RT5.6
47/5.
763/2
6631
86
Lampiran 20. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:metanol (25:75) laju alir 1,0 mL/menit (memberikan tekanan 63 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm.
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 min
0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
1.25
1.50
1.75
2.00
2.25
2.50
2.75
3.00
3.25
3.50
mV(x10)Detector A:325nm
/3.7
77/2
1233
Vita
min
A/4
.479
/338
198
/4.9
28/3
569
Lampiran 21. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:metanol (25:75) laju alir 1,0 mL/menit (memberikan tekanan 63 kgf) dengan detektor pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm.
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 min
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1.0
1.1
mV(x100)Detector B:Ex:325nm,Em:470nm
RT4.1
63/4.
163/4
7424
Vitam
in A/
4.742
/1207
183
RT5.4
60/5.
460/1
9711
87
Lampiran 22. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (100:0) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 71 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm.
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 min
0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
1.25
1.50
1.75
2.00
2.25
2.50
2.75
mV(x10)Detector A:325nm
/2.8
22/2
3825
Vita
min
A/3
.575
/228
693
/4.2
63/2
512
Lampiran 23. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (100:0) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 71 kgf) dengan detektor pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm.
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 min
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1.0
mV(x100)Detector B:Ex:325nm,Em:470nm
RT3.0
41/3.
074/2
4498
8
Vitam
in A/3
.769/6
1468
2
RT4.3
60/4.
187/6
5198
88
Lampiran 24. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (95:5) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 75 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm.
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 5.5 min
0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
1.25
1.50
1.75
2.00
2.25
2.50
2.75mV(x10)
Detector A:325nm
Vita
min
A/4
.407
/219
738
/5.2
38/7
938
Lampiran 25. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (95:5) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 75 kgf) dengan detektor pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm.
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 5.5 min
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
4.0
4.5
5.0
5.5mV(x10)
Detector B:Ex:325nm,Em:470nm
RT3.9
90/3.
988/2
9121
Vitam
in A/4
.601/5
0472
9
RT5.0
59/5.
071/2
3644
89
Lampiran 26. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (90:10) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 85 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm.
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 5.5 6.0 6.5 7.0 min
0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
1.25
1.50
1.75
2.00
2.25
mV(x10)Detector A:325nm
/4.8
58/1
763
Vita
min
A/5
.618
/223
005
/6.6
18/1
017
Lampiran 27. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (90:10) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 85 kgf) dengan detektor pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 5.5 6.0 6.5 7.0 min
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
4.0
4.5
5.0
mV(x10)Detector B:Ex:325nm,Em:470nm
RT5.2
83/5.
283/3
208
Vitam
in A/5
.817/5
9422
1
90
Lampiran 28. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (85:15) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 94 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm.
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 5.5 6.0 6.5 7.0 7.5 min
0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
1.25
1.50
1.75
2.00
mV(x10)Detector A:325nm
/6.0
58/1
430
Vita
min
A/7
.202
/215
390
/7.7
98/2
513
Lampiran 29. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (85:15) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 94 kgf) dengan detektor pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm.
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 5.5 6.0 6.5 7.0 7.5 min
0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
1.25
1.50
1.75
2.00
2.25
2.50
2.75
3.00
3.25
3.50mV(x10)
Detector B:Ex:325nm,Em:470nm
RT5.5
90/5.
590/1
9097
Vitam
in A/
7.350
/4002
21
RT7.8
50/7.
850/4
203
91
Lampiran 30. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (80:20) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 103 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm.
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0 min
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1.0
1.1
1.2
1.3
1.4
1.5
1.6
mV(x10)Detector A:325nm
Vita
min
A/9
.477
/210
769
/10.
306/
2467
Lampiran 31. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (80:20) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 103 kgf) dengan detektor pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0 min
0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
1.25
1.50
1.75
2.00
2.25
2.50
mV(x10)Detector B:Ex:325nm,Em:470nm
/9.16
0/425
1
Vitam
in A/9
.688/3
4049
0
/10.59
8/283
2
.
92
Lampiran 32. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (75:25) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 113 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm.
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0 12.0 13.0 14.0 min
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1.0
1.1
1.2mV(x10)
Detector A:325nm
Vita
min
A/1
3.19
8/21
0780
Lampiran 33. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (75:25) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 113 kgf) dengan detektor pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm.
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0 12.0 13.0 14.0 min
0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
1.25
1.50
1.75
2.00
2.25
mV(x10)Detector B:Ex:325nm,Em:470nm
Vitam
in A/1
3.347
/3379
12
93
Lampiran 34. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (100:0) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 83 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 min-0.25
0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
1.25
1.50
1.75
2.00
2.25
2.50
2.75
mV(x10)Detector A:325nm
/3.1
05/7
321
Vita
min
A/3
.342
/208
224
/4.0
32/2
842
. Lampiran 35. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (100:0) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 83 kgf) dengan detektor pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm.
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 min
-0.1
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1.0
1.1
1.2mV(x100)Detector B:Ex:325nm,Em:470nm
RT3.1
01/3.
101/7
5197
Vitam
in A/3
.496/5
7808
7
RT4.0
68/4.
068/2
2770
94
Lampiran 36. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (95:5) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 90 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm.
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 5.5 min
0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
1.25
1.50
1.75
2.00
2.25
2.50
mV(x10)Detector A:325nm
Vita
min
A/3
.760
/186
241
/4.4
64/4
896
Lampiran 37. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (95:5) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 90 kgf) dengan detektor pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm.
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 5.5 min
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
4.0
4.5
5.0
5.5
mV(x10)Detector B:Ex:325nm,Em:470nm
RT3.3
58/3.
357/6
3474
Vitam
in A/3
.928/4
6189
0
RT4.3
28/4.
338/2
9191
95
Lampiran 38. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (90:10) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 100 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 5.5 6.0 6.5 7.0 7.5 min
0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
1.25
1.50
1.75
2.00
2.25
mV(x10)Detector A:325nm
/4.1
23/1
381
Vita
min
A/4
.780
/184
194
/5.1
92/2
024
.
Lampiran 39. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (90:10) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 100 kgf) dengan detektor pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 5.5 6.0 6.5 7.0 min
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
4.0
4.5mV(x10)
Detector B:Ex:325nm,Em:470nm
/4.48
0/326
6
Vitam
in A/4
.946/3
8641
9
RT5.2
69/5.
363/1
4686
.
96
Lampiran 40. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (85:15) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 111 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm.
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 min
0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
1.25
1.50
1.75
2.00mV(x10)Detector A:325nm
/5.4
13/2
765
Vita
min
A/6
.255
/183
645
/7.0
70/1
646
Lampiran 41. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (85:15) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 111 kgf) dengan detektor pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm.
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 min-0.25
0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
1.25
1.50
1.75
2.00
2.25
2.50
2.75
3.00
3.25
3.50mV(x10)
Detector B:Ex:325nm,Em:470nm
Vitam
in A/
6.420
/3728
50
RT8.0
33/8.
089/1
3890
7
97
Lampiran 42. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (80:20) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 123 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 min
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1.0
1.1
1.2
1.3
1.4
1.5
mV(x10)Detector A:325nm
Vita
min
A/8
.455
/181
518
. Lampiran 43. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng
sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (80:20) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 123 kgf) dengan detektor pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm.
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 min
0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
1.25
1.50
1.75
2.00
2.25
2.50
2.75
3.00mV(x10)
Detector B:Ex:325nm,Em:470nm
RT5.6
78/5.
843/
1184
8
RT8.5
87/8.
623/
4259
37
98
Lampiran 44. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (75:25) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 130 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0 12.0 13.0min
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1.0
1.1mV(x10)
Detector A:325nm
Vita
min
A/1
1.26
4/18
0871
.
Lampiran 45. Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril: (75:25) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 130 kgf) dengan detektor pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm.
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0 12.0 13.0 min
0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
1.25
1.50
1.75
2.00
2.25
2.50
mV(x10)Detector B:Ex:325nm,Em:470nm
RT10
.403/1
0.403
/3675
Vitam
in A/1
1.408
/2874
27
RT12
.830/1
2.830
/6480
99
Lampiran 46. Data kurva kalibrasi baku vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit
No. Konsentrasi Vitamin A (IU/mL) Luas Area Rata-Rata 1 0,4443 16237 2 0,9660 34951 3 1,9319 68853 4 2,8979 103539 5 3,8638 137995 6 4,8684 175886 7 5,7957 206279 8 6,7617 240872 9 7,7276 279377
10 9,6595 346368 11 11,5914 414637 12 13,5233 484571
r (koefesien regresi) 0,99997 a (intersep) 51,99376 b (slope) 35825,84683
Lampiran 47. Contoh menghitung faktor respon detektor
Konsentrasi vitamin A : 0,4443 IU/mL
Luas area : 16244
= 36520
100
Lampiran 48. Data hubungan antara konsentrasi vitamin A dengan faktor respon detektor
No. Konsentrasi Vitamin A (IU/mL) Luas Area Faktor Respon 1 0,4443 16244 36520 2 0,4443 16305 36695 3 0,4443 16161 36371 4 0,9660 34668 35890 5 0,9660 34958 36190 6 0,9660 35227 36469 7 1,9319 68818 35622 8 1,9319 69031 35732 9 1,9319 68710 35566
10 2,8979 104322 36000 11 2,8979 102741 35454 12 2,8979 103554 35735 13 3,8638 136811 35408 14 3,8638 137852 35678 15 3,8638 139322 36058 16 4,8684 175203 35988 17 4,8684 176795 36315 18 4,8684 175659 36081 19 5,7957 204310 35252 20 5,7957 206575 35643 21 5,7957 207952 35880 22 6,7617 238851 35324 23 6,7617 239429 35410 24 6,7617 244336 36135 25 7,7276 278054 35982 26 7,7276 279671 36191 27 7,7276 280405 36286 28 9,6595 350039 36238 29 9,6595 346370 35858 30 9,6595 342696 35478 31 11,5914 414102 35725 32 11,5914 415082 35809 33 11,5914 414728 35779 34 13,5233 481595 35612 35 13,5233 484637 35837 36 13,5233 487482 36047
Rata-rata 35897
101
Lampiran 49. Data hubungan antara konsentrasi vitamin A dengan residual No. Konsentrasi
= xi (IU/mL) Luas Area
Pengamatan = yi Luas Area
Teoritis (y^) Residual (y^ - y) (y^ - y)²
1 0,4443 16244 15589 -655 429304 2 0,4443 16305 15589 -716 512961 3 0,4443 16161 15589 -572 327427 4 0,9660 34668 33641 -1027 1054783 5 0,9660 34958 33641 -1317 1734559 6 0,9660 35227 33641 -1586 2515480 7 1,9319 68818 67071 -1747 3052191 8 1,9319 69031 67071 -1960 3841804 9 1,9319 68710 67071 -1639 2686491
10 2,8979 104322 100501 -3821 14600633 11 2,8979 102741 100501 -2240 5017947 12 2,8979 103554 100501 -3053 9321282 13 3,8638 136811 133931 -2880 8294994 14 3,8638 137852 133931 -3921 15375049 15 3,8638 139322 133931 -5391 29063992 16 4,8684 175203 168698 -6505 42314109 17 4,8684 176795 168698 -8097 65560269 18 4,8684 175659 168698 -6961 48454541 19 5,7957 204310 200791 -3519 12384446 20 5,7957 206575 200791 -5784 33456439 21 5,7957 207952 200791 -7161 51282128 22 6,7617 238851 234221 -4630 21438564 23 6,7617 239429 234221 -5208 27125135 24 6,7617 244336 234221 -10115 102316859 25 7,7276 278054 267651 -10403 108226678 26 7,7276 279671 267651 -12020 144485333 27 7,7276 280405 267651 -12754 162669750 28 9,6595 350039 334511 -15528 241126742 29 9,6595 346370 334511 -11859 140641959 30 9,6595 342696 334511 -8185 66998420 31 11,5914 414102 401371 -12731 162086186 32 11,5914 415082 401371 -13711 187999948 33 11,5914 414728 401371 -13357 178417659 34 13,5233 481595 468231 -13364 178606075 35 13,5233 484637 468231 -16406 269168595 36 13,5233 487482 468231 -19251 370614799
Jumlah 210,0948 7528695 7278615 -250080 2713203532 Rata-rata 5,8360 209130 202184 -6947 75366765
r 0,9999 a 51,9938 b 35825,8468
Vxo 2,54
102
Lampiran 50. Contoh menghitung kadar vitamin A dalam sampel (pada uji presisi)
Bobot saepel : 2,5147 g
Faktor pengenceran : 25
Luas area : 84957
Persamaan kurva kalibrasi yang digunakan :
- Intersept (a) : 51,9937563
- Slope (b) : 35825,84683
103
Lampiran 51. Contoh menghitung RSD Horwitz
Kadar vitamin A palmitat rata-rata 23,48 IU/g
1 IU setara dengan 0,550 µg vitamin A palmitat
Maka kadar vitamin A palmitat dalam minyak goreng sawit
= 23,48 x 0,550 = 12,914 µg/g
= 0,0000012914 g/g (fraksi konsentrasi = C), maka:
104
Lampiran 52. Contoh menghitung akurasi vitamin A
Bobot sampel : 1,2647 g
Kadar vitamin A dalam sampel : 23,48 IU/g (data dari hasil presisi)
Vitamin A yang ditambahkan : 28,98 IU
Faktor pengenceran : 25
Luas area : 84610
Persamaan kurva kalibrasi yang digunakan :
- Intersept (a) : 51,9937563
- Slope (b) : 35825,84683
Vitamin A yang diperoleh kembali = Vitamin A total – Vitamin A dari sampel
= 59,0063 IU – 29,6952 IU
= 29,3111 IU
= 101,14 %
105
Lampiran 53. Contoh cara menghitung uji t
Hasil pengujian Metode 1:
Kadar rata-rata hasil pengujian ( ) : 46,74 IU/g
Standar deviasi (S1) : 0,90 IU/g
Jumlah data (N1) : 6
Hasil pengujian Metode 2 (dari hasil presisi):
Kadar rata-rata hasil pengujian ( ): 47,36 IU/g
Standar deviasi (S2) : 0,99 IU/g
Jumlah data (N2) : 6
Nilai kritis dari tabel dengan derajat bebas = 10 (N1 + N2 -2), maka diperoleh
t10 = 2,228 (P=0,05)
Karena nilai t-hitung lebih kecil dari t-tabel, maka kedua metode tidak berbeda
bermakna.
106
Tabel 54. Data hubungan antara konsentrasi vitamin A terhadap tinggi noise dengan tinggi sinyal (S/N) dan perhitungan batas deteksi (LOD) dan batas kuantisasi (LOQ)
No. Kadar spike Vitamin A IU/g ( X )
Perbandingan tinggi sinyal terhadap noise (S / N) ( Y )
1 0,4998 1,03 2 0,6248 1,38 3 0,9372 1,59 4 1,2496 2,32 5 2,4993 4,41 6 4,9985 8,78 7 9,9970 16,67 r (koefesien regresi) 0,9997 a (intersep) 0,2515 b (slope) 1,6543
Batas deteksi (LOD) : Batas kuantisasi (LOQ) : Untuk S / N = 3, maka x adalah: Untuk S / N = 10, maka x adalah: = y – a =
y - a
B b = 3 - 0,2515 =
10 - 0,2515 16,543 16,543
= 1,66 IU/g = 5,89 IU/g
top related