pengaruh utang terhadap return dan risiko revisi
Post on 27-Oct-2015
281 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
PENGARUH UTANG TERHADAP RETURN DAN RISIKO
Utang yang lebih besar menimbulkan resiko yang lebih besar bagi pemberi hutang,
sehingga biaya hutang menjadi lebih besar juga. Biaya utang yang besar tersebut
merupakan monitoring cost bagi manajemen. Karena biaya bunga sifatnya tetap, biaya yang
tinggi tersebut memuat para manager akan berusaha untuk menggunakan dana tersebut untuk
investasi yang benar.
Teori Asymmetric Information menerangkan bahwa di dalam pasar selalu ditemukan
informasi yang tidak sama bagi pihak-pihak yang berbeda, sehingga dikatakan informasi
yang didapat tidak sempurna. Penambahan utang baru misalnya, memberikan informasi
bahwa perusahaan dapat dipercaya oleh pihak peminjam, sedangkan penerbitan saham baru
dapat dianggap bahwa perusahaan sedang dalam kesulitan dalam pandanaannya.
TEORI STRUKTUR MODAL DALAM PASAR YANG SEMPURNA
Pasar modal yang sempurna adalah pasar modal yang yang sangat kompetitif. Dalam
pasar tersebut antara lain tidak dikenal biaya kebangkrutan, tidak ada biaya transaksi,
informasi bisa diperoleh tanpa biaya, bunga pinjaman dan simpanan sama, serta aktiva
tersebut bisa dibagi-bagi ( fully divisible ). Sebagai tambahan diasumsikan tidak ada pajak
penghasilan ( income tax ). Secara intuitif kita bisa mengatakan bahwa apabila pasar modal
tersebut adalah sempurna, maka variasi dalam struktur modal tidak akan mempengaruhi
penilaian terhadap perusahaan. Apabila perusahaan dinilai berdasarkan resiko sistematisnya,
maka tingkat leverage (yaitu perbandingan antara modal asing dengan modal sendiri) tidak
akan mempengaruhi. Tentu saja asumsi-asumsi yang telah dikemukakan diatas tidak akan
kita jumpai dalam dunia nyata. Tetapi untuk lebih mempermudah dalam memahami tentang
struktur modal ini, analisis kita awali dengan kondisi seperti yang dikemukakan diatas.
Asumsi-asumsi lain yang digunakan sebagai tambahan dalam mempermudah pemahaman
kita, antara lain :
1. Laba operasi yang diperoleh setiap tahunnya dianggap konstan. Ini berarti bahwa
perusahaan tidak merubah keputusan investasinya.
2. Semua laba yang tersedia bagi pemegang saham dibagikan sebagai deviden. Ini
berarti bahwa kita tidak memasukkan unsur kerumitan faktor kebijakan deviden.
3. Hutang yang dipergunakan bersifat permanen. Ini berarti bahwa hutang yang jatuh
tempo akan diperpanjang lagi. Asumsi ini hanya untuk mempermudah perhitungan
biaya hutang ( cost of Debt ) dan membuat hutang dan modal sendiri comparable.
4. Pergantian struktur hutang dilakukan secara langsung. Artinya, apabila perusahaan
menambah hutang, maka modal sendiri dikurangi, demikian juga sebaliknya.
Sesuai dengan asumsi diatas, bahwa hutang bersifat permanen, maka kita dapat merumuskan
biaya modal dari masing-masing sumber dana sebagai berikut ini :
E
Ke =
S
Dimana : Ke = biaya modal sendiri ( cost of equity )
E = laba per lembar saham
S = nilai pasar modal sendiri
Sedangkan bagi kreditur, biaya modal yang mereka syaratkan disebut sebagai biaya hutang
( cost of Debt ).
F
Kd =
B
Dimana : Kd = biaya hutang ( cost of Debt )
F = beban bunga yang dibayarkan
B = Total nilai pinjaman ( hutang )
Berdasarkan kedua formulasi diatas, maka biaya modal perusahaan dapatlah diformulasikan
sebagai berikut :
S B
ko = ke ( ) + kd ( )
B + S B + S
O Laba Operasi
ko = =
V Nilai Perusahaan
Dimana : Nilai Perusahaan ( value of the firm ) adalah V = B + S
PENDEKATAN TRADISIONAL
Pendekatan tradisional ini beranggapan bahwa dalam pasar modal yang sempurna dan
tidak ada pajak, nilai perusahaan (value of the firm) atau biaya modal perusahaan bisa
berubah dengan cara merubah struktur modalnya (yaitu B/S). Untuk lebih jelasnya perhatikan
ilustrasi perhitungan dibawah ini.
Misalkan, Perusahaan PT. XYZ mempunyai 100% modal sendiri, dan diharapkan
akan memperoleh laba bersih setiap tahunnya sebesar Rp. 10 juta. Andaikan tingkat
keuntungan yang dipersyaratkan oleh pemilik modal sendiri ( = ke ) adalah sebesar 20%,
maka value of the firm dan cost of Equity dapat dihitung sebagai berikut ini :
O Laba bersih operasi Rp. 10.000.000,-F Bunga 000,-E Laba tersedia untuk pemilik saham Rp. 10.000.000,-ke Biaya modal sendiri ( 10 juta : 50 juta ) 0,20S Nilai modal sendiri( 10 juta : 0,20 ) Rp. 50.000.000,-B Nilai pasar hutang -V Nilai perusahaan Rp. 50.000.000,-ko Biaya modal perusahaan
= 0,20 ( 50 / 50 ) + 0 ( 0 / 50 ) 0,20atau= 10.000.000 / 50.000.000 0,20
Andaikata sekarang perusahaan PT XYZ berkeinginan untuk mengganti sebagian
modal sendiri dengan hutang ( debt ), dimana biaya hutang ( kd ) atau tingkat keuntungan
yang diminta oleh kreditur adalah sebesar 16%. Dengan penggunaan hutang ini, perusahaan
mempunyai kewajiban membayar bunga sebesar Rp. 4.000.000,- setiap tahunnya. Kalau laba
operasi tidak berubah, berapakah value of the firm dan biaya modal perusahaan ?
O Laba bersih operasi Rp. 10.000.000,-F Bunga 4.000.000,-E Laba tersedia untuk pemilik saham Rp. 6.000.000,-ke Biaya modal sendiri (6 juta : 27.272 ) 0,22S Nilai modal sendiri ( 6 juta : 0,22 ) Rp. 27.272.700,-B Nilai pasar hutang ( 4 juta : 0,16 ) Rp. 25.000.000,-V Nilai perusahaan Rp. 52.272.700,-ko Biaya modal perusahaan
= 0,22 (27.272 / 52.272) + 0,16 (25.000 / 52.272 ) 0,19atau= 10.000.000 / 52.272.700 0,19
Dari ilustrasi perhitungan diatas, tampak bahwa dengan menggunakan hutang, biaya
modal sendiri ( ke ) menjadi naik yakni sebesar 22% tetapi keadaan perusahaan menjadi lebih
baik karena nilai perusahaan menjadi lebih tinggi dan biaya modal perusahaan ( ko ) menjadi
menurun yakni dari sebesar 0,20 menjadi 0,19. Andaikata, sebelum perusahaan
menggunakan hutang mempunyai 1.000 lembar saham, maka harga sahamnya ( Rp. 50 juta :
1000 ) = Rp. 50.000,- per lembar. Setelah perusahaan mengganti sebagian sahamnya dengan
hutang, maka harga sahamnya mengalami kenaikan yakni menjadi sebesar ( Rp. 27.272.700,-
: 500 ) = Rp 54.545,-
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa penggunaan hutang ( debt ) dalam struktur
modal perusahaan akan berdampak pada naiknya harga saham perusahaan serta dapat
menurunkan biaya modal perusahaan.
PENDEKATAN MODIGLIANI DAN MILLER
Menurut Modigliani & Miller ( MM ), bahwa apa yang dikatakan dalam pendekatan
tradisional adalah tidak benar. MM dalam hal ini menunjukkan kemungkinan munculnya
“arbitrage process“ yang akan membuat harga saham (atau nilai perusahaan / value of the
firm) yang tidak menggunakan hutang (debt) maupun yang menggunakan hutang, akhirnya
sama.
Arbitrage process ini muncul karena investor akan lebih menyukai investasi yang
memerlukan dana yang lebih sedikit tetapi memberikan penghasilan bersih yang sama dengan
resiko yang sama pula. Dalam contoh diatas, pemodal bisa memperoleh keuntungan yang
sama tetapi dengan investasi yang lebih kecil, apabila memiliki saham PT XYZ yang tidak
memiliki hutang.
Misalkan apabila kita memiliki 20% saham PT XYZ yang menggunakan hutang
(Debt), maka nilai kekayaan yang kita miliki adalah sebesar (0,20 x Rp. 27.272.700,- ) = Rp
5.450.000,-.
Langkah dalam arbitrage process :
1. Jual saham PT. XYZ, dan kita akan memperoleh dana sebesar Rp. 5.450.000,-
2. Pinjam dana sebesar Rp. 5.000.000,-. Nilai pinjaman ini adalah sebesar 20% dari nilai
hutang PT. XYZ.
3. Beli 20% saham PT. ABC yang tidak memiliki hutang dalam struktur modalnya
senilai 0,20 x Rp. 50.000.000,- = Rp. 10.000.000,-
4. Dengan demikian kita dapat menghemat investasi sebesar Rp. 450.000,-
Apabila kita lihat sebelum menjual dan membeli, keuntungan yang diharapkan besarnya
sama, yakni :
Pada waktu memiliki saham PT. XYZ = 0,20 x Rp. 6.000.000,- = Rp. 1.200.000,-
Pada waktu membeli saham PT ABC :
- Keuntungan dari saham = 0,20 x Rp. 10.000.000,- = Rp. 2.000.000,-
- Bunga yang dibayar = 0,16 x Rp. 5.000.000,- = Rp. 800.000,-
Keuntungan bersih Rp. 1.200.000,-
Sebenarnya kalau kita amati dengan mendasarkan pada pendekatan tradisional diatas,
maka disini kita akan menjumpai kejanggalan dalam masalah penggantian struktur modal
sendiri dengan hutang yang nilainya Rp. 25 juta menjadi Rp. 27,27 juta. Andaikata nilai
modal sendiri yang asalnya sebesar Rp. 50 juta kemudian berubah menjadi Rp. 25 juta karena
adanya penggantian dengan hutang yang nilainya Rp. 25 juta, maka seharusnya biaya modal
sendiri akan menjadi :
ke = E = 6 juta = 24%
S 25 juta
Dengan kd = 16%, maka biaya modal perusahaan setelah menggunakan hutang adalah :
ko = 24% ( 25 / 50 ) + 16% ( 25 / 50 )
= 20%
Hal ini berarti bahwa biaya modal perusahaan (value of the firm) tidak berubah, dengan
adanya perubahan struktur modal tersebut. Karena pada pendekatan tradisional diasumsikan
biaya modal sendiri meningkat tetapi hanya menjadi 22%, maka perusahaan yang
menggunakan hutang menjadi lebih tinggi nilainya dari perusahaan yang tidak menggunakan
hutang.
Dalam kondisi pasar modal sempurna dan tidak ada pajak, MM merumuskan bahwa
biaya modal sendiri akan berperilaku sebagai berikut :
ke = keu + ( keu - kd ) ( B / S )
ke = 20% + ( 20% - 16% ) ( 25 / 25 )
= 24%
Dimana : keu adalah biaya modal sendiri pada saat perusahaan tidak menggunakan hutang
dalam komponen struktur modalnya.
Dari hasil perhitungan diatas, maka kita akan memperoleh hasil yang sama sebesar
24% seperti ditunjukkan dalam perhitungan sebelumnya diatas. Perhatikan bahwa biaya
hutang ( kd ) selalu lebih kecil dari modal sendiri ( keu ). Hal ini disebabkan karena pemilik
modal sendiri menanggung resiko yang lebih besar dari pemberi kredit, disamping itu kita
berada dalam pasar modal yang kompetitif. Kondisi ini disebabkan karena :
1. Penghasilan yang diterima pemilik modal sendiri bersifat lebih tidak pasti
dibandingkan dengan pemberi kredit.
2. Dalam kondisi likuidasi, pemilik modal sendiri akan menerima bagian yang paling
akhir setelah kredit-kredit dilunasi.
Jadi tidaklah benar argumen yang dikemukakan oleh pendekatan traditional yang mengatakan
bahwa apabila perusahaan menghimpun dana dalam bentuk equity, perusahaan kemudian
berhasil menghimpun dana murah. MM kemudian berpendapat bahwa semua sumber
pendanaan mempunyai biaya, dan untuk modal sendiri justru biayanya lebih mahal
dibandingkan dengan dana pinjaman.
Berdasarkan hal ini, maka MM kemudian mengemukakan argumennya “bahwa
dalam keadaan pasar modal sempurna dan tidak ada pajak, maka keputusan pembelanjaan
(financing decision) menjadi tidak relevan“. Artinya, penggunaan hutang ataukah modal
sendiri akan memberi dampak yang sama bagi kemakmuran para pemegang saham (pemilik)
perusahaan.
PASAR MODAL SEMPURNA DAN ADA PAJAK
MM mengemukakan argumentasinya bahwa “keputusan pendanaan akan menjadi
relevan dalam kondisi pasar yang sempurna dan ada pajak“. Hal ini disebabkan karena pada
umumnya bunga yang dibayarkan (dari adanya hutang) bisa dipergunakan untuk mengurangi
penghasilan yang dikenakan pajak (bersifat tax deductible). Dengan kata lain, apabila ada dua
perusahaan yang memperoleh laba operasi yang sama, tetapi yang satu menggunakan hutang
(debt) dengan adanya beban bunga, sedangkan yang satunya lagi tidak menggunakan hutang,
maka perusahaan yang membayar bunga akan membayar pajak penghasilan (income tax)
yang lebih kecil. Karena menghemat membayar pajak merupakan manfaat bagi pemilik
perusahaan, maka tentunya nilai perusahaan (value of the firm) yang menggunakan hutang
akan lebih besar dari nilai perusahaan yang tidak menggunakan hutang dalam struktur
permodalannya.
Untuk lebih memperjelas argumen dari MM tersebut, perhatikan contoh ilustrasi
perrhitungan dibawah ini :
PT. DGE PT. KLM
Laba Operasi Rp. 10.000.000,- Rp. 10.000.000,- Bunga 000,- Rp. 4.000.000,- Laba Sebelum Pajak Rp. 10.000.000,- Rp. 6.000.000,- Pajak ( 25% ) Rp. 2.500.000,- Rp. 1.500.000,- Laba Setelah Pajak Rp. 7.500.000,- Rp. 4.500.000,-
Dari ilustrasi perhitungan diatas, nampak bahwa PT. KLM membayar pajak yang
lebih kecil (lebih hemat) dari PT. DGE (dalam hal ini selisihnya sebesar Rp. 1 juta).
Persoalan yang kemudian muncul adalah : “Apakah penghematan pajak tersebut
merupakan manfaat?”. Jawabannya adalah “ya“. Masalahnya adalah“bagaimana
menghitung besarnya manfaat tersebut?“.
Apabila dipergunakan asumsi bahwa hutang bersifat permanen, maka PT. KLM akan
memperoleh manfaat yang berupa penghematan pajak sebesar Rp. 1 juta setiap tahun
selamanya. Berapakah nilai manfaat tersebut ? Nilai penghematan pajak bisa dicari dengan
perhitungan berikut ini :
∞ Rp. 1 juta
PV penghematan pajak = Σ
t=1 ( 1 + r )t
Dimana : PV = present value
r = tingkat bunga (biaya hutang / kd), dan karena n = ∞
PV penghematan pajak = Rp. 1 juta / kd
Karena itu kemudian MM berargumen bahwa nilai perusahaan yang menggunakan
hutang (debt) akan lebih besar daripada yang tidak menggunakan hutang. Selisihnya adalah
sebesar “present value penghematan pajak“. Atau secara lebih mudahnya dapat
diformulasikan sebagai berikut :
VL = VU + PV penghematan pajak
Dimana : VL = nilai perusahaan yang menggunakan hutang
VU = nilai perusahaan yang tidak menggunakan hutang
Andaikata biaya modal sendiri (keu) sebesar 20% dan biaya hutang (kd) adalah
sebesar 16% maka nilai perusahaan (value of the firm) PT. DGE adalah :
VU = Rp. 7.500.000,- / 0,20
= Rp. 37.500.000,-
Penghematan pajak = Rp. 1.000.000,- / 0,16
= Rp. 6.250.000,-
Dengan demikian maka nilai perusahaan (value of the firm) PT. KLM yang menggunakan
hutang didalam struktur permodalannya adalah :
VL = VU + PV penghematan pajak
= Rp. 37.500.000,- + Rp. 6.250.000,-
= Rp. 43.750.000,-
Perhatikan bahwa laba yang tersedia untuk pemilik modal sendiri pada PT. DGE adalah
sebesar Rp. 7.500.000,-. Dengan demikian nilai modal sendiri (S) PT. DGE adalah Rp.
37.500.000,- dan karena PT. DGE tidak menggunakan hutang dalam struktur permodalannya
(unleverage), maka berarti nilai perusahaan (value of the firm / V) adalah sebesar Rp.
37.500.000,-. Untuk lebih jelasnya perhatikan ilustrasi dibawah ini.
PT. DGE PT. KLM
Laba Operasi Rp. 10.000.000,- Rp. 10.000.000,- Bunga 000,- Rp. 4.000.000,- Laba Sebelum Pajak Rp. 10.000.000,- Rp. 6.000.000,- Pajak ( 25% ) Rp. 2.500.000,- Rp. 1.500.000,- Laba Setelah Pajak Rp. 7.500.000,- Rp. 4.500.000,- kd - 0,16 B ( 4 juta : 0,16 ) Rp. 25.000.000,- Ke ( 4,5 juta : 18,750 juta ) 0,20 0,24 S ( 4,5 juta : 0,24 ) Rp. 37.500.000,- Rp. 18.750.000,- V Rp. 37.500.000,- Rp. 43.750.000,- ko 0,2000 0,1714
Biaya rata-rata tertimbang ( weighted average cost of capital ) dapat dihitung dengan
cara :
ko = Laba Operasi ( 1 – t ) / V
= [ 10.000.000 ( 1 – 0,25 ) ] / 43.750.000
= 0,1714
Cara kedua adalah dengan menghitung biaya rata-rata tertimbang ( weighted average cost of
capital ) atas dasar setelah pajak sebagai berikut ini :
ko = ke ( S / V ) + kd ( 1 – t ) ( B / V )
= 0,24 (18.750.000 /43.750.000) + 0,16(1–0,25)( 25.000.000/43.750.000 )
= 0,1714
Argumen yang dikemukakan oleh MM yang menunjukkan bahwa “perusahaan akan bisa
meningkatkan nilainya (value of the firm) kalau menggunakan hutang sebesar-besarnya
dalam struktur permodalannya (dalam keadaan ada pajak)“, tentu saja banyak mengundang
kritikan dan keberatan dari para praktisi keuangan. Keberatan ini muncul salah satunya
disebabkan oleh asumsi yang dipergunakan oleh MM yang menyiratkan bahwa dalam pasar
modal yang sempurna, biaya modal sendiri ( ke ) akan mengikuti rumus sebelumnya yakni :
ke = keu + ( keu - kd ) ( B / S ) ( 1 – t )
Dalam contoh kasus ini, berarti bahwa ke PT. KLM adalah
ke = 20% + ( 20% - 16% ) ( 25.000.000 / 18.750.000 ) ( 1 – 0,25 )
= 24%
Apabila kita gambarkan pendapat MM, baik dalam keadaan tidak ada maupun ada pajak, mengenai perilaku biaya modal ( baik biaya modal sendiri, biaya hutang, maupun biaya modal perusahaan ) akan nampak seperti gambar dibawah ini.
Dari ilustrasi gambar mengenai perilaku biaya modal berdasarkan argumen MM
diatas, maka dapatlah dijelaskan bahwa dalam keadaan tidak ada pajak, maka biaya modal
perusahaan ( ko ) akan konstan, berapapun komposisi hutang yang dipergunakan dalam
struktur permodalannya. Sebaliknya, dalam keadaan ada pajak, maka ko akan makin menurun
dengan semakin besarnya komposisi hutang yang dipergunakan, turun mendekati biaya
hutang setelah pajak. Biaya modal sendiri meningkat secara linier, meskipun slope-nya
B/S B/S0 1.00 1.33
1620
24
12
2024
0
ke
kokd
ke ( 1 – t )
ko
ke
Tidak ada pajak Ada pajak
berbeda antara keadaan tidak ada pajak dengan keadaan ada pajak. Biaya hutang ( kd )
diasumsikan konstan, berapapun proporsi hutang yang dipergunakan dalam struktur
permodalam perusahaan.
MENGAPA TIDAK MENGGUNAKAN EXTREME LEVERAGE
Apa yang telah kita uraikan diatas menunjukkan bahwa penggunaan hutang akan
menguntungkan karena sifat tax deductibility of interest payment. Apabila diperhatikan
adanya ketidaksempurnaan pasar modal maka pemilik perusahaan (pemegang saham)
mungkin keberatan untuk menggunakan leverage yang ekstrim dalam struktur
permodalannya karena akan menurunkan nilai perusahaan.
Apabila pasar modal tidak sempurna, salah satu kemungkinan yang muncul adalah
adanya biaya kebangkrutan (bankcruptcy cost) yang cukup tinggi. Biaya kebangkrutan
(bankcruptcy cost) terdiri antara lain dari legal fee (biaya yang harus dibayar kepada para ahli
hukum untuk menyelesaikan claim), dan distress price (kekayaan perusahaan terpaksa dijual
dengan harga murah sewaktu perusahaan dinyatakan bangkrut). Semakin besar kemungkinan
terjadi kebangkrutan (bankcruptcy), dan semakin besar biaya kebangkrutannya (bankcruptcy
cost) semakin tidak menarik penggunaan hutang.
Dalam hal adanya biaya kebangkrutan, biaya modal sendiri akan naik dengan tingkat
yang makin cepat, tidak lagi mengikuti persamaan dalam pasar modal yang sempurna seperti
dikemukakan sebelumnya dibawah ini.
ke = keu + ( keu - kd ) ( B / S ) ( 1 – t )
Misalkan dengan menggunakan contoh perhitungan sebelumnya, apabila biaya
kebangkrutan dipertimbangkan maka bisa terjadi biaya modal sendiri akan lebih besar dari
24%. Sebagai akibatnya, penggunaan hutang yang besar meskipun memperoleh manfaat dari
penghematan pajak, akhirnya akan menaikkan biaya modal sendiri ( ko ).
Misalkan perusahaan akan menggunakan B/S = 2,00. Anggaplah bahwa biaya modal sendiri
masih tetap sebesar 20%, maka :
ke = 20% + ( 20% - 16% ) ( 2.00 ) ( 1 – 0,25 )
= 26%
Apabila kd tidak berubah, maka biaya modal perusahaan akan sebesar :
ko = 16% ( 1 – 0,25 ) ( 2 / 3 ) + 26% ( 1 / 3 )
= 16,67%
Andaikan sekarang misalkan ke naik menjadi 30% ( tidak lagi sebesar 26% ), apa yang
akan terjadi dengan biaya modal perusahaan ( ko ).
ko = 16% ( 1 – 0,25 ) ( 2 / 3 ) + 30% ( 1 / 3 )
= 18,00%
Ini berarti bahwa biaya modal rata-rata sudah lebih besar apabila dibandingkan dengan
sewaktu B/S = 1.33. Artinya, struktur modal yang menggunakan hutang sampai dua kali lipat
modal sendiri (yaitu B/S = 2) dinilai lebih jelek daripada apabila B/S hanya sebesar 1.33.
Kondisi ini menunjukkan bahwa penggunaan leverage yang ekstrim akan sangat merugikan
pihak kreditur.
Keberatan juga mungkin diajukan oleh pemberi kredit. Apabila perusahaan berbentuk
PT dan pemilik melakukan diversifikasi usaha, maka ada kecenderungan untuk menggunakan
hutang sebesar-besarnya. Hal ini dikarenakan oleh penggunaan hutang yang tinggi akan
menggeser resiko ke kreditur.
Sebagai contoh, andaikan ada seorang pemodal yang memiliki dana sebesar Rp. 1000
juta yang akan mendirikan perusahaan berupa PT. Dan kemudian perusahaan akan
mengadakan investasi, untuk kepentingan ini ia memerlukan dana Rp. 1000 juta. Seandainya
ia menanamkan seluruh dananya, maka modal sendirinya akan sebesar Rp. 1000 juta.
Misalkan kemudian ia hanya menyetorkan dananya hanya sebesar Rp. 100 juta sebagai modal
sendiri dan sisanya sebesar Rp. 900 juta dibiayai dengan oleh kreditur berupa hutang, maka
ratio hutang terhadap modal sendiri akan sebesar 900%. Kemudian, andaikan prediksi
mengenai pendapatan dari investasi tersebut merosot hanya sebesar Rp. 600 juta.
Dari ilustrasi diatas dapatlah dijelaskan bahwa seandainya perusahaan memiliki
modal sendiri sebesar 100%, maka kerugihan yang ia tanggung menjadi sebesar Rp. 400 juta.
Akan tetapi karena struktur modalnya terdiri dari Rp. 900 juta berupa hutang dan Rp. 100 juta
berupa modal sendiri, maka kerugian yang ia tanggung hanya sebesar Rp. 100 juta ( yaitu
maksimum sebesar modal sendiri yang ia setor ) sedangkan yang Rp. 300 juta ditanggung
oleh kreditur. Dengan kondisi yang demikian ini, oleh karenanya para kreditur akan enggan
untuk memberikan kredit yang besar yang melebihi dari jumlah modal sendiri yang dimiliki
dalam struktur permodalannya, kecuali ada jaminan tambahan.
PERSONAL TAX
Gambaran mengenai struktur modal yang dijelaskan diatas, sama sekali belum memasukkan
pajak pribadi ( personal tax ), yakni pajak yang harus dibayar oleh pemodal manakala mereka
menerima pembayaran deviden atau bunga obligasi dari perusahaan dan hasil penjualan
saham atau obligasi yang mereka miliki.
Andaikan sekarang personal tax ditentukan sebesar 25%, bagaimana dampaknya bagi para
pemegang saham ? Kalau kemudian PT. KLM mengambil kebijakan akan membagikan
deviden secara keseluruhan, maka para pemegang saham akan menerima sebesar : ( 1 – 0,25 )
( 4.500.000 ) = Rp. 3.375.000, dan bukannya sebesar Rp. 4.500.000,- seperti nampak dalam
contoh perhitungan sebelumnya. Demikian juga kalau pemodal memiliki obligasi PT. KLM
maka apabila sewaktu PT. KLM membagikan bunga obligasi, penghasilan bersih yang
diterima oleh pemilik obligasi adalah sebesar : ( 1 – 0,25 ) ( Rp. 4.000.000, - ) = Rp.
3.000.000,- dan bukannya sebesar Rp. 4.000.000,-.
Contoh pengenaan personal tax diatas, tentunya akan mempunyai dampak yang sama bagi
para pemodal. Dengan demikian, preferensi atas penggunaan hutang masihlah tetap berlaku.
Masalahnya sekarang adalah : bagaimana laba itu akan dibagikan, apakah seluruh laba akan
dibagikan ataukah hanya sebagaian saja yang akan dibagikan sebagai deviden ? Apakah
besarnya tarif pajak untuk capital gain dan deviden berbeda ?
Andaikan asumsi dalam pertanyaan diatas berlaku, maka preferensi atas hutang mungkin
tidak akan selalu berlaku. Dalam contoh diatas, dapatlah dijelaskan kalau pemegang saham
akan menerima penghasilan bersih yang lebih besar apabila mereka memiliki saham, maka
mereka akan lebih menyukai membeli saham dibandingkan dengan obligasi. Implikasinya
adalah perusahaan akan lebih mudah menerbitkan saham baru daripada obligasi. Bahkan
dalam kondisi dimana personal tax yang dibayarkan besarnya sama, para pemegang saham
masih akan lebih baik memilih alternatif saham daripada obligasi. Masalahnya adalah bahwa
para pemegang saham dapat menunda pembayaran pajak atas capital gains dengan
memutuskan untuk tidak membagikan devidennya terlebih dahulu. Sedangkan dalam
alternatif obligasi, pembayaran bunga atas obligasi tidak akan mungkin dapat dilakukan
penundanaan.
AGENCY COST THEORY
Agency theory menyatakan bahwa dalam menentukan struktur modal perlu pula
dipertimbangkan biaya yang ditimbulkan dengan adanya perbedaan kepentingan antara
pemilik dengan pihak manajemen perusahaan. Berdasarkan teori ini struktur modal
berpengaruh positif terhadap kemungkinan kebangkrutan, nilai lebih arus kas, nilai likuidasi,
target take over, dan reputasi manager. Struktur modal berpengaruh yang lebih besar bagi
pemberi hutang, sehingga biaya hutang menjadi lebih besar juga. Biaya hutang yang besar
tersebut merupakan monitoring cost bagi manajemen. Karena biaya bunga sifatnya tetap,
biaya yang tinggi tersebut memuat para manager akan berusaha untuk menggunakan dana
tersebut untuk investasi yang benar.
Teori tersebut menegaskan bahwa struktur keuangan dipengaruhi oleh insentif dan
perilaku dari pembuat keputusan (pihak manajemen). Jensen dan Meckling mengemukakan
adanya dua potensi konflik, yaitu konflik antara pemegang saham dengan kreditur, dan
konflik antara pemegang saham dengan pihak manajemen.
1. Konflik antara Pemegang Saham dengan Kreditur Kreditur menerima uang dalam
jumlah tetap dari perusahaan (bunga hutang), sedangkan pendapatan pemegang saham
bergantung pada besaran laba perusahaan. Dalam situasi ini, kreditur lebih
memperhatikan kemampuan perusahaan untuk membayar kembali hutangnya, dan
pemegang saham lebih memperhatikan kemampuan perusahaan dalam meraih laba
yang banyak. Cara perusahaan untuk memperoleh kembalian yang besar adalah
melakukan investasi pada proyek-proyek yang berisiko. Apabila pelaksanaan proyek
yang berisiko itu berhasil, kreditur tidak dapat menikmati keberhasilan tersebut, tetapi
bila proyek mengalami kegagalan, kreditur mungkin akan menderita kerugian akibat
dari ketidak-mampuan pemegang saham memenuhi kewajibannya. Untuk
mengantisipasi kemungkinan rugi, kreditur mengenakan biaya keagenan hutang (debt
agency cost), dalam bentuk pembatasan penggunaan hutang oleh manajer. Salah satu
pembatasan adalah membatasi jumlah penggunaan hutang untuk investasi dalam
proyek baru (seperticapital rationing).
2. Konflik antara Pemegang Saham dengan Pihak Manajemen Pihak manajemen tidak
selalu bertindak yang terbaik untuk kepentingan pemegang saham, tetapi agak
mengarah kepada kepentingan dirinya sendiri. Akibatnya, pemegang saham
menanggung biaya keagenan ekuitas (equity agency cost) untuk memantau kegiatan
pihak manajemen. Salah satu biaya keagenan adalah kompensasi bagi akuntan publik
untuk mengaudit perusahaan.
top related