pengaruh politik uang terhadap partisipasi pemilih pada pemilu
Post on 04-Jan-2017
227 Views
Preview:
TRANSCRIPT
LAPORAN HASIL PENELITIAN RISET PEMILU
PENGARUH POLITIK UANG TERHADAPPARTISIPASI PEMILIH DALAM PEMILU
DI KABUPATEN TAPANULI UTARA
OLEH:
KOMISI PEMILIHAN UMUMKABUPATEN TAPANULI UTARA
TARUTUNGJULI 2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas pernyertaanNYA
sehingga penelitian riset pemilu ini dapat selesai dengan judul “ Pengaruh Politik Uang
Terhadap Partisipasi Pemilih dalam pemilu di Kabupaten Tapanuli Utara”.
Pada kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penelitian
ini, antara lain:
1. Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia yang telah memberikan kesempatan dan
dukungan dalam melakukan penelitian.
2. Komisi Pemilihan Umum Propinsi Sumatera Utara yang telah memberikan arahan dalam
melakukan penelitian ini.
3. Masyarakat Tapanuli Utara khususnya responden dalam penelitian ini atas waktu yang
diberikan pada saat wawancara dan pengisian kuesioner.
4. Seluruh staf dan karyawan di Sekretariat Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Tapanuli
Utara yang telah meluangkan waktu untuk turun kelapangan guna mendapatkan data
penelitian.
5. Ketua dan Anggota Komisioner Pemilihan Umum Kabupaten Tapanuli Utara yang telah
meluangkan waktu selama penelitian ini berlangsung.
6. Pemerintah Kecamatan di seluruh wilayah Kabupaten Tapanuli Utara serta semua pihak
yang telah membantu dalam melakukan penelitian ini.
Demikian laporan penelitian riset pemilu ini kami susun. Kami menyadari dalam
penyusunan laporan ini masih terdapat kekurangan. Oleh sebab itu, kami berharap
mendapatkan masukan untuk perbaikan dan kesempurnaan penelitian ini.
Semoga penelitian ini bermanfaat bagi pembaca dan menambah pemikiran dalam
dunia pendidikan politik.
Tarutung, Juli 2015
Peneliti,
KPU Kabupaten Tapanuli Utara
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK ………………………………………………………………………….… i
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………...... ii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………….. iv
DAFTAR TABEL …………………………………………………………………….. vii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………………. viii
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………..…… ix
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………... 1
1,1 Latar Belakang …………………………………………………….... 1
1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………….... 4
1.3 Tujuan Penelitian …………………………………………………….. 4
1.4 Manfaat Penelitian …………………………………………………... 4
BAB II URAIAN TEORITIS, KERANGKA PEMIKIRAN,
DAN HIPOTESIS …………………………………………………........ 5
2.1 Uraian Teoritis ………………………………………………………. 5
2.1.1 Partisipasi Pemilih …………………..………………………… 5
2.1.1.1 Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik …………………….. 8
2.1.1.2 Pemilihan Umum Sebagai Bentuk Partisipasi Politik … 14
2.1.2 Politik Uang …………………………………………………… 16
2.2 Kerangka Pemikiran …………………………………………………. 22
2.3 Hipotesis …………………………………………………………….. 23
v
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ........................................................... 24
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ……………………………………….. 24
3.2 Jenis Penelitian ……………………………………………………… 24
3.3 Populasi dan Sampel ………………………………………………… 24
3.3.1 Populasi ……………………………………………………….. 24
3.3.2 Sampel ………………………………………………………… 25
3.4 Teknik Penarikan Sampel …………………………………………… 25
3,5 Sumber Data ………………………………………………………… 26
3.6 Teknik Pengumpulan Data ………………………………………….. 27
3.7 Operasionalisasi Variabel Penelitian ………………………………... 28
3.8 Deskripsi Responden ………………………………………………… 29
3.9 Analisis Data ………………………………………………………… 29
3.9.1 Uji Validitas …………………………………………………… 29
3.9.2 Uji Reliablitas …………………………………………………. 30
3.10 Uji Model ………………………………………………………….. 30
3.11 Uji Hipotesis ……………………………………………………….. 33
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………………………. 34
4.1 Hasil Penelitian ……………………………………………………… 34
4.1.1 Deskripsi Responden ………………………………………….. 34
4.1.2 Deskripsi Jawaban Responden ………………………………... 36
4.1.3 Uji Kelayakan Data ……………………………………………. 40
4.1.3.1 Uji Validitas …………………………………………… 40
4.1.3.2 Uji Reliabilitas ………………………………………… 43
vi
4.1.4 Uji Kelayakan Model ………………………………………….. 45
4.1.4.1 Heteroskedastisitas …………………………………….. 45
4.1.4.2 Normalitas ……………………………………………… 46
4.1.5 Uji Hipotesis …………………………………………………… 47
4.2 Pembahasan ………………………………………………………….. 48
BAB V SIMPULAN DAN SARAN …………………………………………….. 52
5.1 Simpulan …………………………………………………………….. 52
5.2 Saran ………………………………………………………………… 52
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN - LAMPIRAN
vii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Bentuk Partisipasi Politik ………………………………………… 10
Tabel 3.1 Operasionalisasi Variabel Penelitian …………………………….. 28
Tabel 4.1 Usia Responden ………………………………………………….. 34
Tabel 4.2 Jenis Kelamin Responden ………………………………………… 35
Tabel 4.3 Agama Responden ……………………………………………….. 35
Tabel 4.4 Penghasilan Responden Per Bulan ……………………………….. 36
Tabel 4.5 Jawaban Responden Terhadap Item Pertanyaan VariabelPolitik Uang ………………………………………………………. 36
Tabel 4.6 Jawaban Responden Terhadap Item Pertanyaan VariabelPartisipasi Pemilih ………………………………………………… 38
viii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Piramida Partisipasi Politik ……………………………………… 11
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran ……………………………………………… 23
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar Kuesioner
Lampiran 2 Tabel Krejcie dan Morgans
Lampiran 3 Uji Validitas Variabel Penelitian
Lampiran 4 Uji Reliabilitas Variabel Penelitian
Lampiran 5 Uji Heteroskedastisitas
Lampiran 6 Uji Normalitas
Lampiran 7 Uji Hipotesis
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemilihan umum (Pemilu) merupakan salah satu tonggak penting yang
merepresentasikan kedaulatan rakyat, sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada negara
demokrasi tanpa memberikan peluang adanya pemilihan umum yang dilakukan secara sistematik
dan berkala. Oleh karenanya pemilu digolongkan juga sebagai elemen terpenting dalam sistem
demokrasi. Apabila suatu negara telah melaksanakan proses pemilu dengan baik, transparan,
adil, teratur dan berkesinambungan, maka negara tersebut dapat dikatakan sebagai negara yang
tingkat kedemokratisannya baik, namun sebaliknya apabila suatu negara tidak melaksanakan
pemilu atau tidak mampu melaksanakan pemilunya dengan baik, dimana terjadinya berbagai
kecurangan, deskriminasi, maka negara itu pula dinilai sebagai negara yang anti demokrasi.
Dalam sistem politik Negara Indonesia, pemilu merupakan salah satu proses politik yang
dilaksanakan setiap lima tahun, baik untuk memilih anggota legislatif, maupun untuk memilih
anggota eksekutif. Anggota legislatif yang dipilih dalam pemilu lima tahun tersebut, terdiri dari
anggota legislatif pusat/parlemen yang dalam ketatanegaraan Indonesia biasanya disebut sebagai
DPR-RI, kemudian DPRD Daerah Pripinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Sementara dalam
konteks pemilu untuk pemilihan eksekutif, rakyat telah diberi peluang untuk memilih President,
Gubernur dan Bupati/Walikotanya. Besarnya hak rakyat untuk menentukan para pemimipin
dalam lembagai eksekutif dan legislatif pada saat ini tidak terlepas dari perubahan dan reformasi
politik yang telah bergulir di negara ini sejak tahun 1998, dimana pada masa-masa sebelumnya
hak-hak politik masyarakat sering didiskriminasi dan digunakan untuk kepentingan politik
2
penguasa saja dengan cara mobilisasi, namun rakyat sendiri tidak diberikan hak politik yang
sepenuhnya untuk menyeleksi para pemimpin, mengkritisi kebijkan, dan proses dialogis yang
kritis, sehingga masyarakat dapat menyalurkan aspirasi dan kepentingan-kepentingannya.
Partisipasi politik yang merupakan wujud pengejawantahan kedaulatan rakyat adalah
suatu hal yang sangat fundamental dalam proses demokrasi. Apabila masyarakat memiliki
tingkat partisipasi yang tinggi, maka proses pembangunan politik dan praktik demokratisasi di
Indonesia akan berjalan dengan baik. Perwujudan demokrasi di tingkat lokal, salah satunya
adalah dengan melaksanakan pemilukada di daerah-daerah. Namun, tidak semua perwujudan
demokrasi itu berjalan dengan lancar. Masih banyak polemik mengenai partisipasi masyarakat
bawah yang dapat mempengaruhi proses pemilihan. Kecenderungan masyarakat terhadap uang
(money politic) dapat berdampak pada menurunnya tingkat partisipasi masyarakat untuk
menentukan pilihan politiknya. Sehingga ketika tidak ada uang, maka golput menjadi suara
mayoritas.
Hal tersebut merupakan salah satu tantangan dalam pemilu yaitu kecenderungan
maraknya praktek politik uang (money politic) yang berlangsung hampir di seluruh tingkatan
pemilihan umum. Ari Dwipayana (2009) menyebutkan bahwa politik uang adalah salah satu
faktor penyebab demokrasi berbiaya tinggi. Sedangkan Wahyudi Kumotomo (2009) menyatakan
bahwa setiap orang tahu bahwa kasus-kasus politik uang merupakan hal yang jamak dalam
pemilu setelah reformasi. Kendatipun semua calon jika ditanya akan selalu mengatakan bahwa
mereka tidak terlibat dalam politik uang, warga akan segera bisa menunjuk bagaimana para calon
itu menggunakan uang untuk “membeli suara” di daerah pemilihan mereka. Menurut Daniel
Dhakidae (2011) politik uang ini merupakan mata rantai dari terbentuknya kartel politik.
Demokrasi perwakilan yang mengandalkan votes (suara) dengan mudah diubah menjadi sebuah
3
komoditas, yang akan dijual pada saat sudah diperoleh dan dibeli saat belum diperoleh. Dibeli
waktu pemilihan umum dengan segala teknik dan dijual pula dengan segala teknik.
Fenomena negatif ini muncul dalam transisi demokrasi di Indonesia. John Markoff (2002:
206) mengindikasikan bahwa fenomena ini sebagai hybrid dalam demokrasi masa transisi.
Fenomena hybrid demokrasi ini merupakan percampuran elemen-elemen demokratis dengan
elemen-elemen non demokratis yang dapat ditemui secara bersamaan dalam sebuah sistem
politik. Larry Diamond memberikan sinyalemen yang tidak jauh berbeda. Ada fenomena yang
dia sebut sebagai demokrasi semu (pseudo-democracy). Indikatornya, mekanisme demokrasi
tidak menjamin adanya demokrasi hakiki. Politik uang (money politics) merupakan salah satu
fenomena negative mekanisme elektoral di dalam demokrasi. Dalam demokrasi yang belum
matang, seperti di Indonesia, politik uang dijadikan alat untuk memobilisasi dukungan.
Suburnya politik uang itu juga tidak lepas dari cara pandang masyarakat pemilih yang
permisif terhadap politik uang itu. Pada proses demokrasi di Indonesia, termasuk demokrasi di
level akar rumput (pilkades) praktek money politics tumbuh subur, karena dianggap suatu
kewajaran masyarakat tidak peka terhadap bahayanya. Mereka membiarkannya karena tidak
merasa bahwa money politics secara normatif adalah perilaku yang harus dijauhi. Studi Nico L.
Kana (2001: 9) di Kecamatan Suruh, misalnya menemukan bahwa pemberian uang (money
politics) sudah biasa berlangsung di tiap pilkades pada masa sebelumnya, oleh masyarakat
setempat hal ini dipandang sebagai simbol tali asih. Perihal politik uang dari sudut pemilih di
pilkada, Sutoro Eko (2004) juga punya penjelasan. Menurutnya politik uang terjadi karena
kuatnya persepsi bahwa pilkada sebagai perayaan, kultur pragmatisme jangka pendek, lemahnya
dialektika untuk mencari nilai-nilai ideal dan membangun visi bersama, lemahnya aturan main,
dan seterusnya. Hal-hal yang disebut oleh Sutoro Eko itu setidaknya dapat dilihat dari penelitian
4
Ahmad Yani (dkk) (2008), yang menemukan pemilih lebih menyukai bentuk kampanye terbuka
dan sebagian besar dari mereka menyarankan bagi yang ikut kampanye layak dikasih uang saku
sekitar Rp 50.000-Rp 100.000 perkali kampanye.
Berdasarkan fenomena yang telah diuraikan diatas, persoalan politik uang dalam pemilu
menarik untuk diteliti secara empiris tentang apa dan bagaimana pengaruh politik uang terhadap
partisipasi politik masyarakat dalam pemilu.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
Apakah politik uang berpengaruh signifikan terhadap partisipasi pemilih dalam pemilu di
Kabupaten Tapanuli Utara?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam melakukan penelitian ini adalah:
Untuk mengetahui pengaruh politik uang terhadap partisipasi pemilih dalam pemilu di
Kabupaten Tapanuli Utara.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Sebagai bahan rekomendasi bagi lembaga penyelenggara pemilu.
2. Sebagai tambahan informasi dan rujukan bagi studi lanjutan dalam mengungkap berbagai
aspek yang berkaitan dengan fenomena politik uang didalam pemilu.
5
BAB II
URAIAN TEORITIS, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
2.1 Uraian Teoritis
Esensi demokrasi adalah partisipasi publik dalam menentukan pejabat- pejabat
publik dalam pembuatan kebijakan publik. Dalam pandangan roseau, demokrasi tanpa
partisipasi langsung oleh rakyat merupakan bentuk pengingkaran terhadap demokrasi itu
sendiri. Asumsi inilah yang mendasari bahwa pemilihan para pejabat politik secara langsung
lebih demokratis dibandigkan dengan perwakilan. Kualitas sistem demokratis ikut di
tentukan oleh kualitas proses seleksi para wakil, termasuk para wakil yang memperoleh
mandat untuk memimpin pemerintahan. Dengan demikian pemilihan umum secara langsung
merupakan salah satu alternatif yang bisa dipilih untuk menigkatkan legitimasi
pemerintahan. Bagian ini akan menguraikan konsep teoritis tentang partisipasi pemilih,
politik uang, menjelaskan kerangka pemikiran yang mendasari penelitian ini, serta
mengajukan hipotesis penelitian.
2.1.1 Partisipasi Pemilih
Partisipasi pemilih merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Partisipasi
pemilih merupakan taraf partisipasi politik warga masyarakat dalam kegiatan-kegiatan politik
baik yang bersifat aktif maupun pasif dan bersifat langsung maupun yang bersifat tidak
langsung guna mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Partisipasi politik yang meluas merupakan ciri khas modernisasi politik. Istilah
partisipasi politik telah digunakan dalam berbagai pengertian yang berkaitan dengan perilaku,
sikap dan persepsi yang merupakan syarat mutlak bagi partisipasi politik. Huntington dan
Nelson dalam bukunya Partisipasi Politik di Negara Berkembang (1994) memaknai
6
partisipasi politik sebagai By political participation we mean activity by private citizens
designed to influence government decision-making. Participation may be individual or
collective, organized or spontaneous, sustained or sporadic, peaceful or violent, legal or
illegal, effective or ineffective.
Dengan demikian, pengertian Huntington dan Nelson dibatasi beberapa hal, yaitu : (1)
mengartikan partisipasi politik hanyalah mencakup kegiatan- kegiatan dan bukan sikap-sikap.
Dalam hal ini, mereka tidak memasukkan komponen- komponen subjektif seperti
pengetahuan tentang politik, keefektifan politik, tetapi yang lebih ditekankan adalah
bagaimana berbagai sikap dan perasaan tersebut berkaitan dengan bentuk tindakan politik. (2)
yang dimaksud dengan partisipasi politik adalah warga negara biasa, bukan pejabat-pejabat
pemerintah. Hal ini didasarkan pada pejabat-pejabat yang mempunyai pekerjaan profesional
di bidang itu, padahal justru kajian ini pada warga negara biasa. (3) kegiatan politik adalah
kegiatan yang dimaksud untuk mempengaruhi keputusan pemerintah. Kegiatan yang
dimaksudkan misalnya membujuk atau menekan pejabat pemerintah untuk bertindak dengan
cara-cara tertentu untuk menggagalkan keputusan, bahkan dengan cara mengubah aspek-
aspek sistem politik. Dengan itu protes-protes, demonstrasi, kekerasan bahkan bentuk
kekerasan pemberontak untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dapat disebut sebagai
partisipasi politik. (4) partisipasi juga mencakup semua kegiatan yang mempengaruhi
pemerintah, terlepas tindakan itu efektif atau tidak, berhasil atau gagal. (5) partisipasi
politik dilakukan langsung atau tidak langsung, artinya langsung oleh pelakunya sendiri tanpa
menggunakan perantara, tetapi ada pula yang tidak langsung melalui orang-orang yang
dianggap dapat menyalurkan ke pemerintah.
Berdasarkan definisi tersebut partisipasi politik lebih berfokus pada kegiatan politik
rakyat secara pribadi dalam proses politik, seperti memberikan hak suara atau kegiatan politik
7
lain yang dipandang dapat mempengaruhi pembuatan kebijakan politik oleh Pemerintah
dalam konteks berperan serta dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Dalam perspektif lain McClosky (Budiardjo, 1998) dalam International Encyclopedia
of the Social Science menyatakan bahwa: The term “political participation” will refer to
those voluntary activities by which members of a society share in the selection of rulers and,
directly or indirectly, in the formation of public policy (partisipasi politik adalah kegiatan-
kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui makna mereka mengambil bagian dalam
proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses
pembentukan kebijakan umum”.
Dalam perspektif pengertian yang generik, Budiardjo (2008) memaknai partisipasi
politik adalah: Kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif
dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan Negara dan secara
langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan Pemerintah (public policy). Kegiatan
ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum menghadiri rapat
umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan
(contacting) dengan pejabat Pemerintah atau anggota parlemen, dan sebagainya.
Berbagai definisi partisipasi politik dari para pakar ilmu politik tersebut diatas, secara
eksplisit mereka memaknai partisipasi politik bersubstansi core political activity yang bersifat
personal dari setiap warga negara secara sukarela untuk berperan serta dalam proses
pemilihan umum untuk memilih para pejabat publik, baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam proses penetapan kebijakan publik.
Berangkat dari pengertian partisipasi politik tersebut diatas maka, dapat dikatakan
bahwa partisipasi politik dapat dibedakan dalam dua hal. Pertama, partisipasi dalam
warga masyarat dalam keadaan sadar dalam hal untuk memperjuangkan hak otonom
masyarakat yang tanpa didorong oleh kekuataan diluar diri individu atau partisipasi politik
8
tidak berdasarkan mobilisasi yang dilakoni baik oleh aktor maupun pemerintah. Kedua,
partisipasi politik yang dimobilisasi atau digerakan oleh aktor-aktor politik, sehingganya
partisipasi politik lebih bersifat semu bukan berpartisipasi dalam keadaan sadar.
Selanjutnya Mas‟oed dan Mac Andrews sebagaimana yang dijelaskan Damsar (2010)
membuat suatu model skematis startifikasi sosial politik yang dibangun berdasarkan data
dari beberapa negara tentang proporsi warga negara yang terlibat dalam berbagai tingkat
kegiatan politik. Pada puncak piramida terletak pada kelompok pembuat keputusannya itu
individu-individu yang secara langsung terlibat di dalam pembuatan kebijaksanaan nasional.
Argumentasi tersebut bisa dimasuki pada dua level pernyataan mendasar, diantarnya
keterlibatan warga masyarakat dalam proses pembuatan keputusan dan kebijakan publik serta
keterlibatan warga masyarakat dalam memilih pemimpin baik di daerah maupun nasional.
Secara teoritis dapat dipahami bahwa posisi puncak dari bangunan piramida yang mempunyai
pengaruh sentral dalam segala hal, termasuk pada level partisipasi politik. Seperti yang kita
temui pada pembuatan keputusan dan kebijakan pemerintah, posisi ini diperankan dan
dieksekusi oleh orang-orang yang menduduki posisi puncak yang secara formal telah
dimandat atau didaulat oleh rakyat pada saat pemilu. Disisi lain, posisi aktor-aktor puncak
tersebut dapat dengan leluasa dalam menggerakan atau memobilisasi dukungan politik
masyarakat pada setiap perhelatan politik. Atas hal tersebut dapat dikatakan bahwa partisipasi
politik adalah keikutsertaan warga masyarakat dalam proses politik baik dalam keadaan sadar
maupun bersifat semu dalam pengambilan keputusan dan kebijakan umum maupun
keterlibatannya dalam mendudukung dan memilih para pemimpinnya.
2.1.1.1 Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik
Partisipasi merupakan salah satu aspek penting demokrasi dengan asumsi yang
mendasari demokrasi dan partisipasi, orang yang paling tahu tentang apa yang baik bagi
9
dirinya adalah orang itu sendiri. Karena keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh
pemerintah dengan menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga masyarakat maka
warga masyarakat berhak ikut serta menentukan isi keputusan politik. karena itu yang
dimaksud dengan partisipasi politik adalah keikutsertaan warga negara biasa dalam
menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya.
Keputusan politik menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga masyarakat maka
warga masyarakat berhak mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan.
Maka partisipasi berarti keikutsertaan warga negara biasa atau yang tidak mempunyai
kewenangan dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik.
Partisipasi politik dapat dilihat dari beberapa aspek sebagai suatu kegiatan dan
membedakan partisipasi aktif dan partisipasi pasif. Partisipasi aktif merupakan mencakupi
semua kegiatan warga negara dengan mengajukan usul tentang kebijakan umum, untuk
mengajukan alternatif kebijakan umum yang berbeda dengan kebijakan pemerintah,
mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan kebijaksanaan, membayar pajak
dan ikut serta dalam kegiatan pemilihan pemimpin pemerintahan. Pada pihak yang lain
bahwa partisipasi pasif antara lain berupa kegiatan dengan mematuhi peraturan-peraturan
pemerintah, menerima dan melaksanakan dengan demikian saja setiap keputusan pemerintah.
Dalam buku Perbandingan Sistem Politik Indonesia yang dikutip oleh Mas‟oed dan
MacAndrew, sebagaimana yang ditulis Damsar (2010) Almond membedakan partisipasi
politik atas dua bentuk, yaitu:
1. Partisipasi politik konvensional yaitu suatu bentuk partisipasi politik yang normal
dalam demokrasi modern.
2. Partisipasi politik non konvensional yaitu suatu bentuk partispasi politik yang tidak
lazim dilakukan dalam kondisi normal, bahkan dapat berupa kegiatan illegal, penuh
kekerasan dan revolusioner.
10
Adapun rincian dari pandangan Almond tentang dua bentuk partisipasi politik dapat dilihat
ada tabel berikut :
Tabel 2.1
Bentuk Partisipasi Politik
Konvensional Non-Konvensional1. Pemberian suara
2. Diskusi politik
3. Kegiatan kampanye
4. Membentuk dan bergabung dalam
kelomok kepentingan
5. Komunikasi individual dengan
pejabat politik dan administratif
1. Pengajuan petisi
2. Berdemonstrasi
3. Konfrontasi
4. Mogok
5. Tindakan kekerasan politik harta
benda(pengeboman, pembakaran)
6. Tindakan kekerasan politik terhadap
manusia (penculikan, Pembunuhan)
7. Perang grilya dan revolusiSumber :Damsar (2010: 186)
Pemikiran Almond tersebut dapat dikatakan bahwa partisipasi politik dapat dilihat
dalam dua bentuk, yakni partisipasi politik yang bersifat umum, atau partisipasi politik tanpa
kekerasan serta partisipasi politik yang dilakukan oleh warga masyarakat dalam bentuk
koersif atau jalur konflik.
Sementara itu, Roth dan Wilson dalam bukunya “The Comparative Study Of Politics”
sebagaimana yang dikutip Budiardjo (1998) membuat tipologi partisipasi politik atas dasar
piramida partisipasi yang menunjukan bahwa semakin tinggi intensitas dan derajat
keterlibatan aktifitas politik seseorang, maka semakin kecil kuantitas orang yang terlibat
didalamnya. Hal ini dapat dilihat pada gambar berikut ini.
11
Gambar 2.1
Piramida Partisipasi Politik
Aktivis
Partisipan
Pengamat
Orang Opulitis
Berdasarkan Gambar 2.1 dapat dijelaskan bahwa identitas dan derajat keterlibatan
yang tinggi dalam aktifitas politik dikenal sebagai aktifis. Adapun yang masuk dalam
kelompok aktifis adalah pemimpin dan para fungsionaris partai atau kelompok kepentingan
yang mengurus organisasi secara penuh waktu (FullTime). Termasuk didalamnya kategori ini
adalah kegiatan politik yang dipandang menyimpang atau negatif seperti membunuh politik,
teroris, atau pelaku pembajakan untuk meraih tujuan politik.
Lapisan berikutnya setelah lapisan puncak piramida dikenal sebagai partisipasi.
Kelompok ini mencakup berbagai aktifitas seperti petugas atau juru kampanye, mereka yang
terlibat dalam program atau proyek sosial, sebagai pelobi politik, aktif dalam partai politik
atau kelompok kepentingan.
Lapisan selanjutnya adalah kelompok pengamat, mereka ikut dalam kegiatan politik
yang menyita waktu, tidak menuntut prakarsa sendiri, tidak intensif dan jarang
melakukannya.
Sedangkan lapisan terbawah adalah kelompok yang apolitis yaitu kelompok orang
yang tidak peduli terhadap sesuatu yang berhubungan dengan politik. mereka tidak
12
memberikan sedikitpun terhadap masalah politik. Partisipasi politik pada negara yang
menerapkan sistem politik demokrasi merupakan hak warga negara tetapi dalam
kenyataannya dengan persentase warga negara yang berpartisipasi berbeda dari satu negara
ke negara lain, dengan kata lain tidak semua warga negara ikut dalam proses politik. fakto-
faktor yang diperkirakan dengan mempengaruhi tinggi rendahnya partisipasi politik
seseorang adalah kesadaran politik merupakan kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai
warga negara.
Partisipasi politik dapat terwujud dalam berbagai bentuk skema-skema klasifikasi
yang berbeda-beda yaitu (Hutington dan Nelson: 1994):
1. Kegiatan pemilihan dengan mencakup suara akan tetapi juga sumbangan untuk
kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, dengan mencari dukungan dibagi seorang
calon atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan.
2. Lobbying merupakan dengan mencakup upaya perorangan atau kelompok untuk
menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin politik dengan maksud untuk
mempengaruhi keputusan tentang persoalan yang telah menyangkut sejumlah besar.
3. Kegiatan organisasi dengan merupakan menyangkut partisipasi sebagai anggota atau
pejabat dalam suatu organisasi yang tujuannnya yang utama dan eksplisit adalah
dengan mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah orang.
4. Mencari koneksi dengan merupakan tindakan perorangan yang akan ditujukan
terhadap pejabat pemerintah dan dengan memperoleh manfaat bagi hanya satu orang
atau segelintir orang.
5. Tindakan kekerasan merupakan salah satu bentuk dari partisipasi politik dan untuk
keperluan analisis ada manfaatnya untuk mendefinisikannya sebagai bentuk kategori
tersendiri dengan sebagai upaya untuk mempengaruhi pengambilan keputusan dari
13
pemerintah dengan jalan menimbulkan kerugian fisik terhadap orang ataupun harta
benda.
Dengan demikian, dalam partisipasi politik yang menjadi landasan yang lazim menurut
Mas’oed dan MacAndrews (1986) adalah:
(a) Kelas, yang menyangkut perorangan dengan status sosial, pendapatan pekerjaan yang
sama,
(b) Kelompok, merupakan perorangan yang meliputi ras, agama, bahasa, atau etnisitas
yang sama,
(c) Golongan, dengan perorangan yang akan dipersatukan oleh interaksi yang akan terus
menerus atau intens dan salah satu manivestasinya adalah pengelompokan patron- klien.
Pembentukan pemerintah yang didasarkan pada partai politik seringkali
menciptakan harapan yang tersebar luas bahwa orang dalam menjalankan kekuasaan
politik bukan karena kelahiran melainkan berkat kemahiran politik ada beberapa
faktor yang dapat memengaruhi seseorang ataupun masyarakat dalam mengambil
keputusan dalam pemilihan umum yang mempengaruhi partisipasi politik yatu :
- Pendidikan, pendidikan adalah suatu kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan
umum seseorang termasuk didalamnya dengan peningkatan penguasaan teori dan
keterampilan memutuskan terhadap persoalan yang menyangkut kegiatan
mencapai tujuan. Olah karena itu pendidikan tinggi dapat memberikan informasi
tentang politik dan persoalan-persoalan politik dapat juga dengan
mengembangkan kecakapan dalam menganalisa menciptakan minat dan
kemampuan dalam berpolitik.
- Perbedaan jenis kelamin, perbedaan jenis kelamin dan status sosial ekonomi juga
dengan mempengaruhi keaktifan seseorang dalam berpartisipasi politik, bahwa
kemajuan sosial ekonomi suatu negara dapat mendorong tingginya tingkat
14
partisipasi rakyat. Partisipasi itu juga berhubungan dengan kepentingan-
kepentingan masyarakat, sehingga apa yang dilakukan oleh rakyat
dalam partisipasi politiknya dengan menunjukan derajat kepentingan mereka.
- Aktifitas kampanye, pada umumnya kampanye-kampanye politik hanya dapat
mencapai pengikut setiap partai, dengan memperkuat komitmen mereka untuk
memberikan suara. Dengan demikian yang menjadi persoalan dalam kaitannya
dengan tingkatdan bentuk partisipasi politik masyarakat adalah terletak
dalam kedudukan partisipasi tersebut
2.1.1.2 Pemilihan Umum Sebagai BentukPartisipasi Politik
Pemilu adalah arena kompetisi untuk mengisi jabatan-jabatan politik dipemerintahan
yang didasarkan pada pilihan formal dari warga Negara yang memenuhi syarat. Pada zaman
modern ini pemilu menempati posisi penting karena terkait dengan beberapa hal; Pertama,
pemilu menempati posisi penting bagi keberlangsungan demokrasi perwakilan. Kedua,
pemilu mejadi indikator negara demokrasi. Ketiga, pemilu terkait dengan implikasi-implikasi
yang luas dimana Huntington menyebut pemilu sebagai alat serta tujuan dari
demokratisasi. Pernyataan tersebut berangkat dari kenyataan tumbangnya penguasa-penguasa
otoriter akibat dari pemilu yang mereka sponsori sendiri karena mencoba memperbaharui
legitimasi melalui pemilu (Pamungkas, 2009: 3-4).
Pemilihan umum adalah suatu contoh partisipasi politik yaitu kegiatan warga negara
biasa dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah. Pada hakekatnya pemilihan umum
merupakan cara dan sarana yang tersedia bagi rakyat unutk menentukan wakil-wakilnya
yang akan duduk dalam badan-badan perwakilan rakyat untuk menjalankan kedaulatan
rakyat. Sangat bermaknanya pemilu bagi semua orang, maka pemilihan yang menjadi
indikator demokratisnya suatu negara.
15
Untuk menjaga kelangsungan penyelenggaraan pemerintahan yang dibentuk melalui
mekanisme pemilihan umum maka keterlibatan masyarakat sangat dibutuhkan sebagai energi
demokrasi itu sendiri. Pemilihan umum dengan makna demokratisnya adalah tempat
berkompetisinya partai politik yang secara umum dapat menjadi tempat pembelajaran bagi
elit dan komponen bangsa lainnya. Selain itu pemilihan umum juga terkait dengan peran serta
masyarakat dalam memberikan dukungan kepada kandidat dan partai politik yang ada
(Hendrik, 2003:52).
Pada dasarnya ada tiga hal dalam tujuan pemilihan umum menurut Shively (1987: 138-
147), yaitu:
1. Sebagai mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin pemerintahan dan alternatif
kebijakan umum. Sesuai dengan prinsip demokrasi yang memandang rakyat yang
berdaulat, tetapi pelaksanaannya dilakukan oleh wakil-wakilnya (demokrasi
perwakilan). Oleh karena itu, pemilihan umum merupakan mekanisme penyeleksian
dan pendelegasian atau penyerahan kedaulatan kepada orang atau partai yang
dipercayai. Untuk menentukan alternatif kebijakan yang harus ditempuh oleh
pemerintah biasanya yang menyangkut hal yang prinsipil beberapa negara
menyelenggarakan pemilihan umum sebagai mekanisme penyeleksian kebijakan
umum. Biasanya rakyat yang memilih diminta untuk menyatakan ”setuju” atau ”tidak
setuju” terhadap kebijakan yang ditawarkan pemerintah. Pemilihan umum untuk
menentukan kebijakan umum yang fundamental ini disebut referendum.
2. Pemilihan umum juga dapat dikatakan sebagai mekanisme memindahkan konflik
kepentingan dari masyarakat kepada badan-badan perwakilan rakyat melalui wakil-
wakil rakyat yang terpilih atau melalui partai-partai yang memenangkan kursi
sehingga integrasi masyarakat tetap terjamin. Hal ini didasarkan atas anggapan
didalam masyarakat terdapat berbagai kepentingan yang tidak hanya berbeda, tetapi
16
juga kadang-kadang saling bertentangan, dan dalam sistem demokrasi perbedaan atau
pertentangan kepentingan tidak diselesaikan dengan kekerasan, melainkan melalui
proses musyawarah (deliberation).
3. Pemilihan umum merupakan sarana memobilisasikan dan/atau menggalang dukungan
rakyat terhadap negara dan pemerintahan dengan jalan ikut serta dalam proses politik.
Hal yang ketiga ini tidak hanya berlaku di negara-negara berkembang, tetapi juga di
negara-negara yang menganut demokrasi liberal (negara-negara industri maju),
kendati sifatnya berbeda.
Berangkat dari penjelasan di atas, maka dapat disampaikan bahwa Pemilu sebagai salah
satu bagian dari kontestasi elite dalam memperebut kekuasaan yang diatur secara prosedural
politik dalam memilih pemimpin atau wakil-wakil rakyat. Dilain sisi pemilu adalah
keterlibatan langsung warga negara dalam memberikan pilihan politik secara umum yang
diatur lewat peraturan perundang-undangan, warga masyarakat bebas dalam mengekspresikan
pilihan politik dalam keadaan rahasia dan tanpa didorong oleh kemauan orang lain.
2.1.2 Politik Uang
Arti dari politik uang sebagai suatu istilah, dipahami dalam konteks yang
berbeda-beda di dunia intemasional, tergantung kepada berbagai macam faktor seperti
lingkungan politik atau suasana pemilihan yang ada di setiap negara. Dengan kata lain,
politik uang memiliki sejumlah definisi, tergantung kepada konteks ia diaplikasikan.
Misalnya, Forest dan Teresita (2000) menyebutkan apa yang didefinisikan sebagai money
politics di Amerika Serikat, politik uang dipahami dalam konteks sumbangan uang dalam
jumlah banyak ke suatu partai politik atau calon presiden/gubemur untuk melindungi
kepentingan bisnis sang donatur dengan cara memengaruhi tindakan atau kebijakan
17
pemerintah jika calon presiden/gubemur yang disumbangnya menjadi penguasa pucuk
pimpinan jabatan publik.
. Lebih lanjut, Forest dan Teresita (2000) menyebutkan bahwa di Filipina, politik
uang dapat diartikan sebagai penggunaan uang atau imbalan dalam kegiatan pembelian
suara untuk secara langsung mempengaruhi pilihan yang dicoblos oleh si pemilih
terhadap calon untuk memastikan pilihan mereka yang bersimpati melindungi
kepentingan si penyumbang dana. Pada kedua konteks yang berbeda ini (baik di Amerika
Serikat maupun di Filipna), tujuan utama tindakan politik uang adalah untuk melindungi
kepentingan sang penyandang dana dengan mempengaruhi tindakan pemerintah.
Sementara itu, untuk kasus Indonesia, Teten Masduki (2004) menyebutkan bahwa
politik uang (money politics) berbeda dengan ongkos politik (cost politic). Politik uang
menurutnya ialah pemberian uang, atau barang, atau fasilitas tertentu, dan janji kepada para
orang• orang tertentu agar seseorang dapat dipilih apakah misalnya menjadi Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah. Sedangkan biaya politik (cost politic) misalnya biaya
kampanye yang dikeluarkan oleh seorang calon untuk memenangkan suatu jabatan,
biaya sang calon mengadakan pertemuan dengan tamu dan para pendukungnya atau bila
si calon datang ke suatu tempat untuk berkampanye untuk kemenangannya dapat dikatakan
ini adalah uang politik, atau biaya atau ongkos politik.
Lebih jauh Teten Masduki (2004) menyebutkan bahwa politik uang merupakan
fenomena baru yang rnuncul dalam dua kali pemilu terakhir. Dalam pemilu-pemilu pada era
Orde Baru, tindak korupsi dalam pemilu lebih didominasi oleh manipulasi perhitungan suara
dan pemilih, yang dilakukan oleh panitia pemilih dan birokrasi pemerintah. Di
masa lalu, upaya untuk memengaruhi pemilih dilakukan oleh partai penguasa (the
ruling party) dalam penggunaan fasilitas publik, seperti pembangunan proyek-proyek
pemerintah yang populis menjelang pelaksanaan pemilu. Perkembangan ini
18
kemungkinan ada kaitannya dengan semakin terbukanya penyelenggaraan pemilu karena
dijalankan oleh sebuah lembaga yang relatif independen dan bukan oleh birokrasi
pemerintah seperti di masa lalu. Besarnya pengaruh politik partai yang berkuasa terhadap
penyelenggaraan pemilu juga semakin berkurang. Dengan demikian, korupsi dalam
pemilu sekarang telah bergeser ke ranah yang melibatkan uang, misalnya dalam
bentuk pembelian suara (vote buying), baik langsung atau tidak.
Dari kedua paparan di atas yang diungkapkan oleh Forest dan Teresita (2000)
mengenai politik uang dan Teten Masduki (2004), dapat diarnbil garis demarkasi yang
membedakan antara politik uang dan dana politik. Politik uang adalah uang yang
dimaksudkan untuk memengaruhi kandidat penguasa baik lokal maupun nasional guna
melindungi kepentingan bisnis maupun politik sang penyumbang dana. Politik uang
juga kita bisa definisikan sebagai biaya yang dikeluarkan oleh seorang kandidat yang
ditujukan untuk rnembeli suara (vote buying) dalam pemilu. Kesepakatan ini dibuat
umumnya dengan tidak transparan dan tidak merujuk kepada tata aturan yang ditetapkan
oleh lembaga penyelenggara pemilihan umum. Sedangkan biaya politik ialah uang yang
dikeluarkan guna menjalankan operasionalisasi kampanye seorang kandidat penguasa baik
lokal maupun nasional yang harus merujuk kepada tata aturan yang dikeluarkan oleh
pemerintah dan komisi pemilihan umum. Besamya sumbangan sudah diatur dan harus diaudit
secara terbuka oleh auditor independen. Uang politik tidak dimaksudkan untuk memengaruhi
kandidat penguasa lokal maupun nasional. jika nantinya terpilih uang poltik juga tidak
dimaksudkan untuk memengaruhi pemilih untuk memilih kandidat-kandidat penguasa lokal
maupun nasional tertentu
Sementara itu, Pfeiffer (2004) menyebutkan bahwa korupsi pemilu dengan
melakukan politik uang bisa terjadi pada relasi antara partai politik dan kandidat dengan
penyumbang pada satu sisi, dan antara partai politik dengan penyelenggara pemilu dan
19
pemilih pada sisi yang lain. Pada kasus-kasus tertentu. Antara politik uang dan ongkos
politik/uang politik ini sulit dibedakan, misalnya ketika penyumbang memberikan sejumlah
uang atau 'kebaikan' kepada pemilih secara langsung. Hal ini bisa dikatakan bahwa
manipulasi pendanaan politik (ongkos politik) dan politik uang bisa terjadi secara bersamaan.
Sementara itu, sumbangan kepada kandidat seharusnya dilakukan lewat mekanisme tertentu
yang diatur oleh undang-undang (misalnya lewat rekening dana kampanye) clan pada sisi
yang lain Sementara itu, sumbangan kepada kandidat seharusnya dilakukan lewat
mekanisme tertentu yang diatur oleh undang-undang (misalnya lewat rekening dana
kampanye). Sedangkan pada sisi yang lain telah terjadi praktek beli suara antara
penyumbang dana dengan partai politik maupun antara penyumbang dana dengan pemilih
(voters). Hal yang sama juga terjadi ketika penyumbang adalah kandidat atau elit partai itu
sendiri (Djani dan Badoh, 2006).
Lebih jauh, menurut identifikasi Didik Suprianto dalam Janah (2005) menjelaskan
bahwa, politik uang dalam pilkada bisa dibedakan menjadi dua lingkaran. Pertama,
adalah transaksi antara elit ekonomi (pemilik uang dan modal) dengan pasangan calon
kepala daerah yang akan menjadi pengambil kebijakan/keputusan politik paska pilkada,
bentuknya berupa pelanggaran dana kampanye pilkada yang dilakukan oleh pasangan calon
dan tim kampanyenya baik yang berasal dari perorangan atau swasta. UU No. 32 /2004
tentang pemerintahan daerah pasal 83 ayat 3 mengatur tentang pembatasan sumbangan dana
kampanye yakni maksimal 50 juta Rupiah dan perusahaan swasta maksimal 350 juta
Rupiah. Selain itu dalam pasal 85 ayat I undang-undang itu juga melarang pasangan calon
dan tim kampanye untuk menerima dana dari pihak asing, penyumbang yang tak jelas
identitasnya dan BUMN/BUMD. Kedua, adalah transaksi antara pasangan calon kepala
daerah dengan partai politik yang mempunyai hak untuk mencalonkan. Bentuknya berupa
uang tanda jadi pencalonan, dana penggerakan mesin partai atau dana operasional kampanye
20
yang diklaim oleh partai atau gabungan partai. Transaksi politik antara orang-orang yang
ingin menjadi calon dengan partai politik terjadi, karena hanya partai atau gabungan
partailah yang punya hak mencalonkan.
Definisi politik uang dalam UU No 32/2004 itu secara implisit tercantum dalam
Pasal 82 Ayat (l) yang menyebutkan, Pasangan calon . dan/atau tim kampanye
dilarang menjanjikan dan atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi
pemilih. Sementara itu, mengenai sumber dana kampanye, PP Nomor 6 Tahun 2005
tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan Dan Pemberhentian Kepala Daerah Dan Wakii
Kepala Daerah dalam Pasal 65 ayat 1 menyebutkan bahwa dana kampanye bersumber dari
pasangan calon; Partai Politik dan/atau Gabungan Partai Politik yang mengusulkan;
Maupun sumbangan pihak-pihak lain yang tidak mengikat yang meliputi sumbangan
perseorangan dan/atau badan hukum swasta.
Menurut USAID yang merilis tentang politik uang dalam bukunya yang berjudul
Money in Politics Handbook,(2003) ada empat resiko yang berkaitan dengan uang dalam
politik yang memerlukan langkah kontrol dengan segera yakni:
1. Lapangan bermain yang tak sama (uneven playing fieldi
Resiko atas terlalu banyaknya uang dalam politik yang memberikan
keuntungan yang berlebihan kepada calon yang memiliki uang. Meskipun sang
kandidat yang beruang banyak tersebut tak memiliki rentang rekam jejak
kaderisasi dalam partai politik yang bersangkutan, umumnya kandidat yang
memiliki uang tersebut berhasil memenangkan pencalonan dari partai
politik. Hal ini akan menciptakan hambatan bagi calon lain yang kebetulan tak
memiliki cukup banyak uang untuk ikut dalam kontestasi pemilihan pucuk pimpinan
jabatan publik. Sering kali juga terjadi, ketimpangan playing field ini berasal
dari partai yang berkuasa (ruling party) yang memberikan keuntungan bagi calon
21
yang · diusungnya dan menutup peluang bagi para kandidat penantangnya. Akses
finansial partai yang berkuasa terhadap sumber keuangan negara lebih jauh akan
memembuat distorsi playing field dan meningkatkan eskalasi biaya kontestasi
politik. Di beberapa negara, incumbent memiliki akses terhadap sumber keuangan
negara dan bersepakat untuk menyumbangkan sebagian pendapatan finansialnya
kepada partai pendukung.
2. Ketimpangan akses menuju pucuk pimpinan jabatan publik
Resiko dimana kelompok atau golongan tertentu yang tak cukup memiliki uang
terhambat untuk berkecimpung dalam jabatan publik atau tak memiliki
representasi yang signifikan. Lazimnya, kandidat . yang duduk di pucuk
pimpinan jabatan publik adalah orang yang dipilih oleh rakyat dan merupakan
representasi dari rakyat. Akan tetapi, dengan adanya persyaratan uang
menyebabkan kandidat yang tak cukup mempunyai modal finansial terhempas
dari gelanggang pertandingan sebelum perebutan jabatan publik tersebut itu
sendiri dilangsungkan. Kandidat yang tak merniliki uang ini juga tak
mempunyai kekuatan u n t u k menggelontorkan uang untuk mempersuasi rakyat
yang kebetulan banyak yang masih miskin dan uang adalah tetesan embun di
tengah gersangnya himpitan kehidupan.
3. Terpilihnya politisi yangterkooptasi (Co-opted Politicians)
Resiko dimana para politisi yang terpilih terkooptasi oleh donatur yang
menyumbang dana kepada politisi tersebut.
Situasi ini terjadi ketika pejabat yang terpilih lebih mementingkan
kepentingan para donatur finansial ketimbang para konstituennya atau
kepentingan rakyat secara keseluruhan. Tak heran, dalam arus demokratisasi
22
yang prematur di Indonesia, kita tak bisa berharap banyak · dari bualan para
politisi ketika berkampanye untuk
mewujudkan janji-janj! politiknya untuk mensejahterakan rakyat. Rakya tidak ada
dalam kamus prioritas politisi yang ''terpilih" ini, Karena ongkos politik untuk
memenangkan jabatan ini semakin mahal, incumbent akan berkonsentrasi untuk
mencari uang untuk memperoleh kembali uang yang telah terkuras dari koceknya
(payback) untuk ongkos politik dan politik uangnya dalam membeli suara dukungan.
4. Hadimya politik yang tercemar (Taintedpolitics)
Resiko dimana uang haram dan ilegal akan mencemari sistem dan melemahkan
hukum. Dalam situasi ini, kandidat yang terpilih demi memenuhi tuntutan ongkos
politik dan politik uang, menerima kucuran dana dari sindikat kriminal seperti
jaringan pengedar narkoba, perjudian, dan perdagangan manusia.
Akibatnya, sang pejabat terpilih akan sangat toleran dengan kejahatan dan
melemahkan penegakan hukum terhadap kejahatan tersebut Sekali lagi, rakyat
akan .menjadi korban dalam suasana perpolitikan yang seperti ini.
Implikasi yang paling nyata dari adanya praktik politik uang ini sebagaimana
disebutkan di atas setidaknya ada empat konsekuensi yakni: pertama, lapangan bennain
yang tak sama (uneven playing field);kedua, ketimpangan akses menuju pucuk pimpinan
jabatan publik; ketiga, terpilihnya politisi yang terkooptasi (Co-opted Politicians); dan
keempat, hadirnya politik yang tercemar (Tainted politics). Kesemua implikasi ini akan
berujung pada tercederainya tujuan dari demokratisasi itu sendiri.
2.2 Kerangka Pemikiran
Berdasarkan penjelasan uraian teoritis, kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat
digambarkan sebagai berikut:
23
Gambar 2.2
Kerangka Penelitian
Politik Uang
2.3 Hipotesis Penelitian
Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yang akan diuji kebenarannya
adalah sebagai berikut: Politik uang berpengaruh signifikan terhadap partisipasi pemilih,
PartisipasiPemilih
24
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi pada penelitian ini adalah Kabupaten Tapanuli Utara yang terdiri dari 15
kecamatan yaitu Kecamatan Adian Koting, Kecamatan Garoga, Kecamatan Muara,
Kecamatan Pagaran, Kecamatan Pahae Jae, Kecamatan Pahae Julu, Kecamatan Pangaribuan,
Kecamatan Parmonangan, Kecamatan Purbatua, Kecamatan Siatas Barita, Kecamatan
Siborong-Borong, Kecamatan Simangumban, Kecamatan Sipahutar, Kecamatan Sipoholon,
dan Kecamatan Tarutung. Adapun waktu penelitian ini dilakukan dimulai dari bulan April
sampai dengan bulan Agustus 2015.
3.2 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian deskriptif.
Penelitian deskriptif meliputi pengumpulan data untuk diuji hipotesis atau menjawab
pertanyaan mengenai status terakhir dari subyek penelitian. Tipe yang paling umum dari
penelitian ini adalah penilaian sikap atau pendapat dari individu, organisasi, keadaan ataupun
prosedur yang dikumpulkan melalui daftar pertanyaan dalam survey, wawancara, ataupun
observasi.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek atau subjek yang
mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang diterapkan oleh peneliti untuk dipelajari
dan ditetapkan kesimpulannya. Adapun populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
25
masyarakat yang telah memiliki hak suara pada pemilu kepala daerah, pemilu legislatif dan
pemilu presiden. Oleh karena pelaksanaan Pemilu Pilkada, Pemilu Legislatif, dan Pemilu
Presiden di Kabupaten Tapanuli Utara waktunya relatif berdekatan maka data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data pemilih pada saat Pemilu Presiden tahun 2014.
Berdasarkan data yang dimiliki KPU Daerah Kabupaten Tapanuli Utara diketahui bahwa
Daftar Pemilih Tetap pada saat pemilu presiden tahun 2014 di Kabupaten Tapanuli Utara
berjumlah 213.764. Dari jumlah tersebut yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 132.762
pemilih. Hal ini berarti bahwa tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu Presiden tahun 2014 di
Kabupaten Tapanuli Utara sebesar 62,1068%.
3.3.2 Sampel
Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi
tersebut. Bila populasi besar, maka peneliti tidak mungkin untuk meneliti semua yang ada
dipopulasi sehingga dalam hal ini dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu.
Untuk itu sampel yang diambil dari populasi harus betul-betul representatif (mewakili).
Untuk populasi yang cukup besar jumlah sampel dapat diambil berdasarkan tabel
sampel Krejcie dan Morgans (1970). Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa jika jumlah
populasi pada kisaran 75.000 – 1.000.000 maka jumlah sampel sebanyak 384. Dengan
demikian, jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 384 responden.
3.4 Teknik Penarikan Sampel
Untuk mendapatkan sampel dibutuhkan teknik penarikan sampel. Terdapat berbagai
teknik sampling yang dikelompokkan menjadi dua yaitu Probability sampling dan
Nonprobability sampling. Adapun penelitian ini menggunakan Probability sampling yaitu
26
teknik pengambilan sampel yang memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur (anggota)
populasi untuk dipilih untuk menjadi anggota sampel.
Oleh karena populasi dalam penelitian ini bersifat heterogen atau tidak homogen,
maka pada teknik penarikan sampel menggunakan Teknik Proportionate Stratified Random
Sampling, yakni populasi yang mempunyai anggota atau unsur yang tidak homogen dan
berstrata secara proporsional. Dari hasil ini diperoleh rincian responden sebagai berikut:
Kecamatan Adian Koting = 19
Kecamatan Garoga = 21
Kecamatan Muara = 19
Kecamatan Pagaran = 23
Kecamatan Pahae Jae = 15
Kecamatan Pahae Julu = 17
Kecamatan Pangaribuan = 36
Kecamatan Parmonangan = 20
Kecamatan Purbatua = 10
Kecamatan Siatas Barita = 18
Kecamatan Siborong-Borong = 58
Kecamatan Simangumban = 10
Kecamatan Sipahutar = 34
Kecamatan Sipoholon = 29
Kecamatan Tarutung = 55
3.5 Sumber Data
Sumber data yang diperoleh dalam melakukan penelitian yaitu:
1. Data Primer
27
Yaitu melalui pengisian angket atau daftar pertanyaan oleh responden,
2. Data Sekunder
Yaitu melalui studi kepustakaan yang relevan dengan penelitian ini dan data-data dari
lembaga penyelenggara pemilu.
3.6 Teknik Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data
primer yaitu informasi yang diperoleh pertama kali sumber asli oleh peneliti, sedangkan data
sekunder yaitu data yang sudah tersedia sehingga hanya mencari dan mengumpulkan. Data
primer dalam penelitian ini didapat melalui kuesioner yang disebarkan pada responden. Data
sekunder diperoleh dari studi literatur berupa teknik kepustakaan yang dilakukan dengan cara
membaca buku-buku referensi yang berhubungan dengan penelitian dan jurnal-jurnal
penelitian sebelumnya, serta informasi dan data personalia yang didapat dari lembaga
penyelenggara pemilu.
Pengumpulan data menggunakan metode survey dengan melakukan penyebaran
kuesioner kepada responden secara langsung. Kuesioner merupakan mekanisme
pengumpulan data yang efisien sehingga peneliti secara tepat mengetahui apa yang diminta
dan bagaimana mengukur variabel penelitian tersebut. Selain itu, dengan menggunakan
kuesioner maka proses pengumpulan data akan lebih cepat serta hasilnya lebih akurat
(Sekaran 2003, 236).
Keuntungan dari metode survey yaitu biaya yang digunakan relatif kecil, tingkat
pengambilan kuesioner yang telah diisi oleh responden dapat mencapai hampir 100%. Nama
responden tidak perlu dicantumkan pada kuesioner sehingga kerahasiaan identitas responden
dapat tetap terjaga. Apabila responden tidak memahami pertanyaan dalam kuesioner atau
terdapat pertanyaan yang kurang jelas, responden dapat langsung menanyakan kepada
28
petugas lapangan.
3.7 Operasionalisasi Variabel Penelitian
Untuk memudahkan pelaksanaan penelitian ini perlu dirumuskan definisi konseptual
dan operasional setiap variabel yang diikutsertakan pada penelitian ini. Selain itu juga
dijelaskan indikator-indikator yang mewakili pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner.
Penelitian ini mencakup dua variabel yaitu Politik Uang sebagai variabel bebas dengan 3
indikator dan 9 item pertanyaan serta Partisipasi Pemilih sebagai variabel terikat dengan 4
indikator dan 10 item pertanyaan. Adapun defenisi konseptual dan operasioanlisasi variabel
penelitian ini dapat dilihat pada tabel 3.1 dibawah ini.
TABEL 3.1Operasionalisasi Variabel Penelitian
Variabel Penelitian Defenisi Indikator Skala
Partisipasi Pemilih
(Y)
Kegiatan seseorang ataukelompok orang untukikut serta secara aktifdalam kehidupan politik,yaitu dengan jalanmemilih pimpinan dansecara langsung atautidak langsung,mempengaruhi kebijakanpemerintah.
Percaya terhadap pemilu
Aktivitas peserta pemilu
Isu Pemilu
Kedekatan kekerabatan
Ordinal
Ordinal
Ordinal
Ordinal
Politik Uang
(X)
Suatu upayamempengaruhi orang laindengan menggunakanimbalan materi atau dapatjuga diartikan jual belisuara pada proses politikdan kekuasaan dantindakan membagi-bagikan uang baik milikpribadi atau partai untukmempengaruhi suarapemilih.
Pemberian uang
Pemberian sembako
Keinginan pemilih
Ordinal
Ordinal
Ordinal
29
3.8 Deskripsi Responden
Deskripsi responden ini dilakukan untuk memberikan gambaran tentang demografi
responden dalam penelitian ini. Hal ini bertujuan untuk memberikan informasi yang
sebenarnya mengenai kaitan latar belakang responden terhadap hasil penelitian ini.
Deskripsi responden ini juga akan menjelaskan setiap jawaban yang diberikan
responden. Hal ini bertujuan untuk mengetahui tanggapan atau pendapat responden terhadap
setiap item pertanyaan penelitian. Dengan demikian, akan diperoleh gambaran umum
bagaimana persepsi responden terhadap politik uang dan partisipasi mereka dalam
menggunakan hak pilihnya pada pemilu.
3.9 Analisis Data
Secara umum, analisis data untuk dapat menjawab permasalahan penelitian
menggunakan analisis regresi, namun demikian untuk memastikan bahwa data yang
digunakan adalah data yang baik maka perlu memenuhi asumsi distribusi data yang normal,
tidak terjadinya tumpang tindih data, data yang sudah andal, dan data yang layak untuk
dianalisis lebih lanjut. Untuk itu perlu dilakukan uji kelayakan data melalui uji validitas dan
reliabiltas.
3.9.1 Uji Validitas
Suatu kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan pada kuesioner mampu untuk
mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner tersebut. Dengan kata lain,
validitas ingin mengukur apakah pertanyaan dalam kuesioner yang sudah dibuat betul-betul
dapat mengukur apa yang hendak diukur dalam penelitian ini. Mengukur validitas instrumen
penelitian dapat dilakukan dengan cara (a) melakukan korelasi antar skor item-item
pertanyaan dengan total skor variabel atau konstruk; (b) dengan melakukan korelasi bivariate
30
antara masing-masing skor indikator dengan total skor variabel atau konstruk; dan (c) dengan
uji Confirmatory Factor Analysis (Ghozali, 2006). Dalam penelitian ini, pengujian validitas
instrumen penelitian dilakukan dengan menggunakan confirmatory factor analysis. Melalui
analisis faktor akan dapat meningkatkan kesahan pengukuran (Nunnally, 1978).
3.9.2 Uji Reliabilitas
. Pengujian reliabilitas dilakukan untuk mengukur suatu kuesioner yang merupakan
indikator dari variabel atau konstruk penelitian. Bagi tujuan reliabilitas instrumen penelitian,
pengujian alfa Cronbach akan dilakukan. Pelaksanaan pengujian ini akan menentukan
kesesuaian instrumen di dalam mendapatkan data-data jawaban terhadap masalah dalam
penelitian. Pengujian ini juga membolehkan tingkat keabsahan item-item dalam kuesioner
yang dapat digunakan di dalam penelitian ini. Pengukuran alfa Cronbach adalah yang terbaik
di dalam mengukur reliabilitas yang menunjukkan konsistensi dan stabilitas dari suatu skala
pengukuran. Apabila alfanya rendah atau dibawah 0,70, maka item-item tersebut tidak boleh
digunakan sebagai pengukur variabel atau konstruk yang berkenaan (Nunnally, 1978).
3.10 Uji Model
Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis regresi.
Alasan penggunaaan metode analisis regresi karena hasil dari metode ini bisa digunakan
untuk memprediksi suatu gejala dan menjelaskan suatu gejala yang muncul (Hair et al. 2006,
223). Pada dasarnya analisis regresi adalah studi mengenai ketergantungan variabel dependen
dengan variabel independen, yang bertujuan untuk mengestimasi atau memprediksi rata-rata
populasi atau nilai rata-rata variabel terikat berdasarkan nilai variabel bebas yang diketahui.
Untuk mengetahui apakah model penelitian ini sudah memenuhi asumsi yang dipersyaratkan
dalam model analisis regresi, maka perlu dilakukan pengujian yang seringkali disebut dengan
31
uji asumsi klasik.
Beberapa macam pengujian asumsi klasik dalam model analisis regresi terdiri dari:
1) Autocorrelation
Autokorelasi adalah hubungan antara data-data yang diobservasi pada satu penelitian
yang sama. Menurut Hair et al. (2006) autokorelasi adalah gangguan pada fungsi regresi
yang berupa korelasi di antara faktor gangguan tersebut diikuti dengan suatu ciri-ciri yang
sama. Keberadaan autokorelasi dapat diidentifikasi melalui analisis korelasi serial ret, et-1,
bila n tergolong kecil. Bila korelasinya signifikan atau mendekati 1 atau –1, berarti
terdapat autokorelasi. Selain itu dapat juga digunakan uji Durbin Watson. Untuk uji
Durbin Watson dapat dilihat dari tabel Durbin Watson dengan critical values 95%,
dengan melihat k yaitu jumlah variabel independen dengan jumlah sampel yang dipakai
pada penelitian, dilihat dL dan dU nya dan kemudian membandingkan antara dU dan (4-
dU). Oleh karena penelitian ini menggunakan data cross section maka pengujian ini tidak
perlu dilakukan.
2) Multicollinearity
Multikolinearitas mewakili tingkatan dari variabel yang mempengaruhi di mana hal
tersebut dapat diprediksi dan dianalisis dari variabel yang lain. Multikolinearitas terjadi
jika sebuah variabel dapat dijelaskan oleh variabel lain dan memiliki korelasi yang tinggi
(Hair et al. 2006, 227). Multikolinearitas berarti adanya suatu hubungan linear yang
sempurna antar variabel pada model regresi. Multikolinearitas juga dapat dilihat dari nilai
tolerance dan Variance inflation factor (VIF). Teknik untuk menguji multikolienaritas
adalah dengan pengujian nilai VIF. Nilai VIF dihitung dengan rumus 1/Tolerance. Nilai
VIF akan semakin baik bila mendekati angka 1, sehingga nilai tolerance juga akan
semakin baik bila mendekati angka 1. Oleh karena variabel independen dalam penelitian
ini hanya 1 (satu) maka pengujian ini tidak perlu dilakukan.
32
3) Heteroscedastic
Tujuan dari uji ini adalah untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi
ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain. Jika variance
dari residual satu ke pengamatan lain tetap, maka disebut homoskedastisitas dan jika
berbeda disebut heteroskedastisitas. Heteroskedastisitas akan muncul akibat dari
kesalahan transformasi data dan kesalahan bentuk fungsional. Cara mendeteksi adanya
heteroscedastic adalah dengan melihat bentuk penyebaran sebuah data dalam graphical
test of equal variance (Hair et al. 2006, 83-84) atau dengan Uji Park.
4) Normality
Terjadinya Normalitas apabila nilai variabel bebas dan variabel gayut berdistribusi
normal atau mendekati normal. Asumsi bahwa garis regresi yang dihasilkan bersifat
linear yaitu membentuk garis lurus yang berarti bahwa hubungan antara variabel bebas
dan variabel gayut bersifat linear. Uji normalitas dapat dideteksi dengan grafik ataupun
analisis statistik (Ghozali 2005, 110). Ketentuan Dasar untuk melihat secara grafik yaitu:
pertama, jika data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis
diagonalnya maka menunjukan pola distribusi normal, dan model regresi yang digunakan
berarti memenuhi asumsi normalitas, sedangkan untuk uji normalitas dengan analisis
statistik, menggunakan dua komponen normalitas yaitu skewness dan kurtosis. Skewness
berhubungan dengan simetri distribusi sedangkan kurtosis berhubungan dengan puncak
dari suatu distribusi (Hair et al. 2006, 81-82).
Dengan demikian, berdasarkan model penelitian ini, maka pengujian asumsi klasik dalam
model regresi ini hanya meliputi uji heteroskedastisitas dan uji normalitas.
33
3.11 Uji Hipotesis
Berdasarkan model penelitian ini, maka untuk melakukan pengujian hipotesis
digunakan Uji t. Uji statistik t pada dasarnya menunjukan apakah variabel independen atau
bebas yang dimasukan dalam model mempunyai pengaruh terhadap variabel dependen.
Menurut Ghozali (2005, 84) hipotesis nol (Ho) yang hendak diuji apakah semua parameter
dalam model sama dengan nol atau tidak sama dengan nol. Suatu data regresi dari setiap
variabel disebut signifikan apabila tingkat signifikan dari koefisiennya lebih kecil dari 0,05
(Hair et al. 2006: 216).
34
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Deskripsi Responden
Berikut ini akan dijelaskan deskripsi responden. Hal ini untuk memberikan gambaran
tentang kondisi real dari responden dalam penelitian ini. Hasil gambaran profil responden
dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 4.1
Usia Responden
Usia Jumlah Persentase
< 20 tahun 48 12,50
20 – 29,9 tahun 76 19,79
30 – 39,9 tahun 103 26,82
40 – 49,9 tahun 87 22,66
> 50 tahun 70 18,23
384 100
Sumber: Data Penelitian, 2015
Berdasarkan Tabel 4.1 dapat diketahui bahwa mayoritas responden pada penelitian
berusia lebih dari 30 tahun. Hal ini berarti mayoritas responden bukan merupakan pemilih
pemula atau sudah pernah ikut pada pemilu-pemilu sebelumnya.
35
Tabel 4.2
Jenis Kelamin Responden
Jenis Kelamin Jumlah Persentase
Perempuan 169 44,01
Laki-Laki 215 55,99
384 100
Sumber: Data Penelitian, 2015
Dari Tabel 4.2 dapat dijelaskan bahwa mayoristas responden pada penelitian ini
adalah laki-laki.
Tabel 4.3
Agama Responden
Usia Jumlah Persentase
Islam 37 9,63
Kristen Protestan 231 60,16
Kristen Katolik 116 30,21
384 100
Sumber: Data Penelitian, 2015
Dari Tabel 4.3 dapat dijelaskan bahwa mayoristas responden pada penelitian ini
adalah beragama Kristen Protestan.
36
Tabel. 4.4
Penghasilan Responden Per Bulan
Penghasilan Jumlah Persentase
< Rp 1.500.000 48 12,50
Rp 1.500.000 – Rp 2.000.000 153 39,84
Rp 2.000.000 – Rp 2.500.000 51 13,28
Rp 2.500.000 – Rp 3.000.000 65 16,93
> Rp 3.000.000 67 17,15
384 100
Sumber: Data Penelitian, 2015
Dari Tabel 4.4 dapat diketahui bahwa mayoritas reponden berpenghasilan kurang dari
Rp 2.000.000 setiap bulannya. Hal ini menggambarkan bahwa secara ekonomi mayoritas
kehidupan responden tidak dapat dikatakan berkecukupan.
4.1.2 Deskripsi Jawaban Responden
Analisis ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang jawaban responden
terhadap item-item pertanyaan penelitian seperti pada Tabel 4.1 dan 4.2 dibawah ini.
Tabel 4.5
Jawaban Responden Terhadap Item Pertanyaan Variabel Politik Uang
No Item Pertanyaan SS S N TS STS Jumlah1 Saya mengetahui ada calon
legislatif/kepala daerah membagi-bagikan uang pada saat melakukankampanye.
0 19 106 146 113 384
2 Saya mengetahui ada calonlegislatif/kepala daerah membagi-bagikan sembako pada saat melakukankampanye
1 63 98 111 111 384
3 Saya memilih calon legislatif yangmemberikan uang.
0 21 104 147 112 384
4 Saya memilih calon legislatif yangmemberikan sembako.
0 19 88 167 110 384
37
5 Saya memilih calon kepala daerah yangmemberikan uang.
1 30 69 164 120 384
6 Saya memilih calon kepala daerah yangmemberikan sembako.
5 25 107 147 100 384
7 Ketika mendekati waktu pelaksanaanpemilu, calon legislatif/kepala daerahmelakukan kunjungan ke tempat saya danmembagi-bagikan uang dan/atau sembako.
3 24 97 143 117 384
8 Ketika tidak ada calon yang memberikanuang dan/atau sembako saya tidak ikutmencoblos di TPS.
1 18 108 128 129 384
9 Saya menginginkan pemilu yang bebasdari politik uang.
2 28 91 152 111 384
Sumber: Data Olahan, 2015
Berdasarkan jawaban responden pada Tabel 4.1 dapat dijelaskan bahwa mayoritas
responden mengatakan tidak ada calon anggota legistlatif maupun kepala daerah yang
melakukan praktek politik uang. Hal ini menggambarkan bahwa pada pelaksanaan pemilu
tahun 2013/2014 di daerah Kabupaten Tapanuli Utara tidak ada calon anggota legislatif
maupun calon kepala daerah yang membagi-bagikan uang dan/atau sembako.
Namun hasil ini berbanding terbalik dengan pendapat responden atas item pertanyaan:
“Saya menginginkan pemilu yang bebas dari politik uang”. Dimana mayoritas responden
menjawab tidak setuju. Hal ini menjelaskan bahwa sesungguhnya mayoritas responden masih
menginginkan adanya pemberian uang dan/atau sembako dari para calon anngota
legislatif/kepala daearah. Tetapi karena calon anggota legislatif maupun calon kepala daerah
tidak terlibat dalam praktek pembagian sembako dan/atau pemberian uang sehingga praktek
politik uang tidak terjadi di Kabupaten Tapanuli Utara. Hal ini dapat dilihat masih terdapat
sebanyak 33% responden yang cenderung tidak ikut mecoblos ke TPS jika tidak ada calon
yang memberikan uang dan/atau sembako (item pertanyaan nomor 8).
Secara keseluruhan dari Tabel 4.1 dapat disimpulkan bahwa pada pelaksanaan pemilu
2013/2014 yang lalu, berdasarkan jawaban responden diketahui tidak ada praktek pembagian
sembako dan/atau pemberian uang sebagai bentuk manifestasi dari politik uang.
38
Tabel 4.6Jawaban Responden Terhadap Item Pertanyaan Variabel Partisipasi Pemilih
No Item Pertanyaan SS S N TS STS Jumlah1 Saya mempercayai dan merasa perlu
untuk mengikuti Pemilu.24 60 130 113 57 384
2 Visi dan misi yang disampaikan olehmasing-masing peserta pemilumempengaruhi saya untuk ikut memilih.
23 62 118 109 72 384
3 Saya merasa peserta pemilu sudahmemperjuangkan kepentinganmasyarakat.
27 87 98 100 72 384
4 Sosialisasi politik yang dilakukan pesertapemilu mempengaruhi saya untukmemilih.
24 56 110 114 80 384
5 Rekruitmen peserta pemilu yangdilakukan partai politik sudah sesuaidengan keinginan masyarakat.
22 60 124 106 72 384
6 Isu SARA dari peserta pemilumempengaruhi saya untuk ikutmemilih.
29 68 113 109 65 384
7 Isu ekonomi dari peserta pemilumempengaruhi saya untuk ikut memilih.
32 61 109 109 23 384
8 Isu-isu yang disampaikan peserta pemilumempengaruhi saya untuk ikut memilih.
22 51 113 125 73 384
9 Saya menggunakan hak pilih saya karenasaya mengenal peserta pemilu.
1 11 103 139 130 384
10 Pihak keluarga memberikan pengaruhkepada saya dalam hal ikut memilihpada pemilu legislatif/pilkada/pilprestahun 2013/2014 yang lalu.
2 34 110 163 75 384
Sumber: Data Olahan, 2015
Berdasarkan pada Tabel 4.2 dapat dijelaskan bahwa mayoritas responden
menggunakan hak politik mereka untuk ikut berpartisipasi dalam pemilu karena mereka
percaya dan merasa perlu untuk mengikuti pemilu, Hal ini menggambarkan bahwa kesadaran
masyarakat Kabupaten Tapanuli Utara akan pentingnya pemilu sudah cukup baik. Dari Tabel
4.2 juga dapat diketahui bahwa mayoritas responden cenderung ikut memilih karena
dipengaruhi oleh visi dan misi yang disampaikan oleh peserta pemilu. Hal ini
menggambarkan bahwa visi dan misi yang disampaikan peserta pemilu dapat dipahami dan
diterima oleh masyarakat Tapanuli Utara. Sehingga dengan ikut memilih mereka berharap
39
jika kelak terpilih, maka peserta pemilu tersebut dapat mewujudkan visi dan misi yang
mereka sampaikan.
Selanjutnya, dari Tabel 4.2 dapat dijelaskan bahwa mayoritas responden berpartisipasi
pada pemilu karena mereka menilai peserta pemilu sudah memperjuangkan kepentingan
masyarakat. Namun demikian, sebanyak 50,52% responden mengatakan bahwa mereka
memilih pada pemilu bukan karena sosialisasi yang dilakukan peserta pemilu (item
pertanyaan nomor 4). Hal ini menggambarkan bahwa sosialisasi pemilu yang dilakukan oleh
peserta pemilu ternyata belum sepenuhnya dapat mempempengaruhi masyarakat untuk
memilih,
Dalam hal rekruitmen peserta pemilu, sebanyak 53,65% responden mengatakan
bahwa rekruitmen yang dilakukan partai politik sudah sesuai dengan keinginan masyarakat.
Hal ini menjelaskan bahwa menurut responden rekruitmen peserta pemilu yang dilakukan
partai politik masih ada yang belum sesuai dengan keinginan masyarakat. Sedangkan dalam
hal isu-isu yang disampaikan oleh peserta pemilu, mayoritas responden menyatakan bahwa
mereka ikut memilih karena dipengaruhi oleh isu-isu yang disampaikan peserta pemilu.
Berdasarkan Tabel 4.2 juga dapat dilihat bahwa mayoritas responden menggunakan
hak pilihnya bukan karena mengenal peserta pemilu ataupun karena dipengaruhi oleh pihak
keluarga. Hal ini konsisten dengan sikap responden yang mengatakan bahwa mereka memilih
karena mereka percaya pada pemilu dan karena visi misi yang disampaikan peserta pemilu.
Secara keseluruhan dari Tabel 4.2 dapat disimpulkan bahwa pada pelaksanaan pemilu
2013/2014 yang lalu, berdasarkan jawaban responden diketahui bahwa partisipasi masyarakat
Tapanuli Utara dalam pemilu sudah baik.
40
4.1.3 Uji Kelayakan Data
Sebelum melakukan pengujian hipotesis penelitan, terlebih dahulu dilakukan
pengujian terhadap kelayakan data penelitian. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya
bias terhadap hasil penelitian yang disebabkan karena kesalahan pada data penelitian. Uji
kelayakan data yang dilakukan meliputi uji validitas dan uji reliabilitas.
4.1.3.1 Uji Validitas
Uji validitas dilakukan ingin mengukur apakah pertanyaan dalam kuesioner yang sudah
dibuat betul-betul dapat mengukur apa yang hendak diukur dalam penelitian ini. Dalam
penelitian ini, pengujian validitas instrumen penelitian dilakukan dengan menggunakan
confirmatory factor analysis. Berdasarkan hasil pengujian dengan menggunakan Statistical
Package for the Social Sciences (SPSS) versi 20 diperoleh hasil sebagai berikut:
1. Validitas Variabel Politik Uang
KMO and Bartlett's Test
Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. ,903
Bartlett's Test of Sphericity
Approx. Chi-Square 1491,605
df 36
Sig. ,000
Total Variance Explained
Component Initial Eigenvalues Extraction Sums of Squared Loadings
Total % of Variance Cumulative % Total % of Variance Cumulative %
1 4,722 52,472 52,472 4,722 52,472 52,472
2 ,918 10,205 62,677
3 ,731 8,121 70,799
4 ,607 6,742 77,541
5 ,495 5,502 83,043
6 ,434 4,825 87,868
7 ,421 4,679 92,547
8 ,348 3,869 96,416
9 ,323 3,584 100,000
Extraction Method: Principal Component Analysis.
41
Berdasarkan hasil pengujian diketahui bahwa nilai Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling
Adequacy (KMO MSA) lebih besar dari 0,50. Begitu juga dengan nilai Bartlett test dengan
Chi-squares = 1491,605 dan signifikan pada 0,000. Dengan demikian uji analisis faktor
dapat dilanjutkan. Hasil selanjutnya menunjukan bahwa indikator varabel politik uang
semuanya valid karena membentuk kedalam 1 (satu) faktor dan memiliki nilai faktor lebih
besar dari 0,50 yakni 52,472%.
2. Validitas Variabel Partisipasi Pemilih
KMO and Bartlett's Test
Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. ,881
Bartlett's Test of Sphericity
Approx. Chi-Square 1850,944
df 45
Sig. ,000
Total Variance Explained
Component Initial Eigenvalues Extraction Sums of Squared Loadings
Total % of Variance Cumulative % Total % of Variance Cumulative %
1 4,754 47,542 47,542 4,754 47,542 47,542
2 1,208 12,077 59,619
3 1,006 10,060 69,679
4 ,905 9,046 78,726
5 ,579 5,795 84,520
6 ,426 4,264 88,784
7 ,352 3,516 92,300
8 ,289 2,891 95,191
9 ,257 2,567 97,758
10 ,224 2,242 100,000
Extraction Method: Principal Component Analysis.
42
Berdasarkan hasil pengujian diketahui bahwa nilai Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling
Adequacy (KMO MSA) lebih besar dari 0,50. Begitu juga dengan nilai Bartlett test dengan
Chi-squares = 1850,944 dan signifikan pada 0,000. Dengan demikian uji analisis faktor
dapat dilanjutkan. Hasil selanjutnya menunjukan bahwa indikator varabel partisipasi pemili
membentuk kedalam 1 (satu) faktor akan tetapi memiliki nilai faktor kurang dari dari 0,50
yakni 47,542%. Sehingga dengan demikian perlu dilakukan rotasi kembali. Untuk melakukan
rotasi kembali setiap item pertanyaan yang memiliki nilai Anti-image Correlation kurang dari
0,50 harus dihapus. Berdasarkan hasil rotasi pertama diketahui bahwa item pertanyaan yang
Anti-image Correlationnya kurang dari 0.50 adalah item pertanyaan nomor sepuluh yakni
“Pihak keluarga memberikan pengaruh kepada saya dalam hal ikut memilih pada pemilu
legislatif/pilkada/pilpres tahun 2013/2014 yang lalu” (Lampiran 3). Setelah dilakukan rotasi
kedua kalinya diperoleh hasil sebagai berikut:
KMO and Bartlett's Test
Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. ,882
Bartlett's Test of Sphericity
Approx. Chi-Square 1847,473
df 36
Sig. ,000
Total Variance Explained
Component Initial Eigenvalues Extraction Sums of Squared Loadings
Total % of Variance Cumulative % Total % of Variance Cumulative %
1 4,750 52,783 52,783 4,750 52,783 52,783
2 1,207 13,414 66,197
3 ,908 10,090 76,287
4 ,583 6,474 82,760
5 ,428 4,751 87,512
6 ,352 3,910 91,422
7 ,290 3,222 94,644
8 ,258 2,864 97,508
9 ,224 2,492 100,000
Extraction Method: Principal Component Analysis.
43
Berdasarkan hasil pengujian dari hasil rotasi kedua diketahui bahwa nilai Kaiser-Meyer-Olkin
Measure of Sampling Adequacy (KMO MSA) lebih besar dari 0,50. Begitu juga dengan nilai
Bartlett test dengan Chi-squares = 1847,473 dan signifikan pada 0,000. Dengan demikian uji
analisis faktor dapat dilanjutkan. Hasil selanjutnya menunjukan bahwa indikator varabel
partisipasi pemilih semuanya valid karena membentuk kedalam 1 (satu) faktor dan memiliki
nilai faktor lebih besar dari 0,50 yakni 52,783%.
4.1.3.2 Uji Reliabilitas
Pengujian ini dilakukan untuk menentukan kesesuaian instrumen di dalam mendapatkan data-
data jawaban terhadap masalah dalam penelitian. Pengujian ini juga membolehkan tingkat
keabsahan item-item dalam kuesioner yang dapat digunakan di dalam penelitian ini.
Pengukuran alfa Cronbach adalah yang terbaik di dalam mengukur reliabilitas yang
menunjukkan konsistensi dan stabilitas dari suatu skala pengukuran dengan nilai alfanya
lebih besar dari 0,70. Berdasarkan hasil pengujian dengan menggunakan Statistical Package
for the Social Sciences (SPSS) versi 20 diperoleh hasil sebagai berikut:
1. Reliabilitas Variabel Politik Uang
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha
Cronbach's
Alpha Based on
Standardized
Items
N of Items
,885 ,886 9
44
Item-Total Statistics
Scale Mean if
Item Deleted
Scale Variance
if Item Deleted
Corrected Item-
Total
Correlation
Squared
Multiple
Correlation
Cronbach's
Alpha if Item
Deleted
x1 31,1042 28,992 ,663 ,501 ,870
x2 31,3255 28,074 ,601 ,403 ,876
x3 31,1120 28,528 ,711 ,567 ,866
x4 31,0651 29,513 ,628 ,480 ,873
x5 31,0495 28,846 ,638 ,476 ,872
x6 31,2109 28,538 ,654 ,483 ,871
x7 31,1172 28,798 ,628 ,454 ,873
x8 31,0703 29,011 ,628 ,439 ,873
x9 31,1328 29,322 ,581 ,383 ,877
Berdasarkan hasil pengujian diketahui bahwa variabel politik uang reliabel karena memiliki
nilai alfa Cronbach lebih besar dari 0,70 yakni sebesar 0, 885 dan semua item pertanyaan
memiliki nilai lebih besar dari 0,50.
2. Reliabilitas Variabel Partisipasi Pemilih
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha
Cronbach's
Alpha Based on
Standardized
Items
N of Items
,883 ,876 9
45
Item-Total Statistics
Scale Mean if
Item Deleted
Scale Variance
if Item Deleted
Corrected Item-
Total
Correlation
Squared
Multiple
Correlation
Cronbach's
Alpha if Item
Deleted
y1 27,6172 43,370 ,617 ,515 ,871
y2 27,5547 41,903 ,704 ,653 ,864
y3 27,6641 40,694 ,744 ,662 ,860
y4 27,4870 42,057 ,676 ,542 ,866
y5 27,5469 42,191 ,683 ,495 ,865
y6 27,6380 41,401 ,721 ,600 ,862
y7 27,5781 41,372 ,684 ,637 ,865
y8 27,4453 42,712 ,627 ,591 ,870
y9 26,9271 50,804 ,164 ,053 ,900
Berdasarkan hasil pengujian diketahui bahwa variabel partisipasi pemilih reliabel karena
memiliki nilai alfa Cronbach lebih besar dari 0,70 yakni sebesar 0, 883 dan semua item
pertanyaan memiliki nilai lebih besar dari 0,50.
4.1.4 Uji Kelayakan Model
Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis regresi.
Untuk mengetahui apakah model penelitian ini sudah memenuhi asumsi yang dipersyaratkan
dalam model analisis regresi, maka perlu dilakukan pengujian yang seringkali disebut dengan
uji asumsi klasik. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada Bab III, pengujian yang dilakukan
dalam model regresi ini hanya meliputi uji heteroskedastisitas dan uji normalitas.
4.1.4.1 Heteroskedastisitas
Tujuan dari uji ini adalah untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi
ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain. Model yang baik
adalah jika tidak terjadi heteroskedastisitas. Dalam pengujian ini dilakukan dengan
menggunakan Uji Park. Apabila koefisien parameter beta dari persamaan regresi melalui Uji
46
Park tersebut tidak signifikan secara statistik, menunjukkan bahwa dalam data model empiris
yang distimasi tidak terdapat heteroskedastisitas. Ringkasan hasil pengujian dengan
menggunakan Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) versi 20 diperoleh hasil
sebagai berikut:
Coefficientsa
Model Unstandardized Coefficients Standardized
Coefficients
t Sig.
B Std. Error Beta
1(Constant) ,664 ,132 5,042 ,000
Politikuang ,004 ,033 ,007 ,134 ,894
a. Dependent Variable: AbsRes
Hasil pengujian memberikan koefisien parameter untuk variabel independen tidak signifikan.
Hal ini berarti bahwa model regresi pada penelitian ini tidak terjadi heteroskedastisitas.
4.1.4.2 Normalitas
Terjadinya normalitas apabila nilai variabel bebas dan variabel gayut berdistribusi normal
atau mendekati normal. Asumsi bahwa garis regresi yang dihasilkan bersifat linear yaitu
membentuk garis lurus yang berarti bahwa hubungan antara variabel bebas dan variabel gayut
bersifat linear. Model regresi yang baik adalah jika memenuhi asumsi normalitas. Uji
normalitas yang dilakukan dengan menggunakan dengan analisis statistik skewness.
Ringkasan hasil pengujian dengan menggunakan Statistical Package for the Social Sciences
(SPSS) versi 20 diperoleh hasil sebagai berikut:
Descriptive Statistics
N Skewness
Statistic Statistic Std. Error
Unstandardized Residual 384 -,284 ,125
Valid N (listwise) 384
47
0,284Zskewness = ------------------ = 2,272
√ 6/384
Hasil perhitungan Zskewness lebih kecil dari nilai Z tabel pada tingkat signifikan 0,01 =
2,326. Dengan demikian dapat disimpulkan data terdistribusi normal.
4.1.5 Uji Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang akan di uji
kebenarannya. Dimana hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah politik uang
berpengaruh signifikan terhadap partisipasi pemilih. Berdasarkan model penelitian ini, maka
untuk melakukan pengujian hipotesis digunakan Uji t. Uji statistik t pada dasarnya
menunjukan apakah variabel independen atau bebas yang dimasukan dalam model
mempunyai pengaruh terhadap variabel dependen. Suatu data regresi dari setiap variabel
disebut signifikan apabila tingkat signifikan dari koefisiennya lebih kecil dari 0,05 (Hair et al.
2006: 216). Ringkasan hasil pengujian hipotesis dengan menggunakan Statistical Package for
the Social Sciences (SPSS) versi 20 diperoleh hasil sebagai berikut:
Model Summary
Model R R Square Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate
1 ,096a ,009 ,007 ,81052
a. Predictors: (Constant), Politikuang
Coefficientsa
Model Unstandardized Coefficients Standardized
Coefficients
t Sig.
B Std. Error Beta
1(Constant) 2,981 ,245 12,153 ,000
Politikuang ,117 ,062 ,096 1,885 ,060
a. Dependent Variable: Partisipasipemilih
48
Berdasarkan hasil pengujian diketahui bahwa hipotesis penelitian ini ditolak karena
tingkat signifikansi koefisiennya lebih besar dari 0,05. Hal ini berarti politik uang tidak
berpengaruh secara signifikan positif terhadap partisipasi pemilih.
4.2 Pembahasan
Dalam pemilihan kepala daerah maupun pemilihan umum secara umum, banyak
terjadinya perbuatan politik uang (Money Politics) yang ikut mewarnai acara pesta dan peta
demokrasi yang berlangsung di negara ini. Money Politics banyak membawa pengaruh akan
peta perpolitikan nasional serta juga dalam proses yang terjadi dalam pesta politik. Dalam
norma standar demokrasi, dukungan politik yang diberikan oleh satu aktor terhadap aktor
politik lainnya didasarkan pada persamaan preferensi politik dalam rangka memperjuangkan
kepentingan publik. Dan juga setiap warga negara mempunyai hak dan nilai suara yang sama
(satu orang, satu suara, satu nilai). Namun, melalui Money Politics dukungan politik
diberikan atas pertimbangan uang dan sumber daya ekonomi lainnya yang diterima oleh aktor
politik tertentu. Praktek politik ini sangat tertutup yang hanya di ketahui oleh para calon atau
orang-orang yang berada pada “Ring Dalam” para calon saja. Besarnya uang yang diperlukan
untuk membeli suara juga berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya (Juliansyah,.
2007).
Persoalannya seorang calon harus tahu benar kapan dana yang dibutuhkan harus
dikeluarkan. Dalam permainan politik uang (Money Politics), seorang calon kepala daerah
berserta tim suksesnya harus menguasai benar kondisi di lapangan. Pertimbangan hati-hati ini
dilakukan oleh para calon agar uang yang tersedia diberikan kepada orang yang tepat
sasarannya. Kalau penggunaan uang tidak hati-hati bukan hanya salah sasaran berakibat uang
hilang percuma saja, tetapi sangat beresiko apabila informasi jatuh kepada mereka yang tidak
dapat dipercaya, dalam pemberian uang kepada pemilih dalam membeli suara calon pemilih.
49
Apabila uang jatuh kepada kelompok yang tidak dapat dipecaya, maka boleh jadi akan
menjadi bumerang apabila kelak terpilih dengan suara terbanyak akan mendapat perlawanan
dari kelompok yang kalah. Terutama banyaknya pengungkitan dari pihak lawan akan
pekerjaan yang dilakukan oleh pihak kandidat yang menang dalam pemilihan kepala daerah.
Pada semua tingkatan yang ada. Biasanya kelompok yang kalah akan berusaha mendapatkan
bukti-bukti tentang adanya bukti praktek uang (Money Politics) tersebut guna mereka untuk
mencari keuntungan bagi pihak-pihak kandidat yang kalah dalam acara pesta demokrasi
tersebut (Rifa’I, 2004).
Gambaran yang dipaparkan diatas ternyata tidak terjadi di Kabupaten Tapanuli Utara.
Walaupun berdasarkan hasil penelitian terdahulu bahwa di beberapa daerah terjadi politik
uang seperti di Sumatera Barat dan Kepulauan Riau (Teddy Lesmana, 2007) dan di
Kabupaten Pati ((Syaiful Huda, 2014). Namun berdasarkan hasil pengujian hipotesis
diketahui bahwa politik uang tidak berpengaruh signifikan positip terhadap partisipasi
pemilih di Kabupaten Tapanuli Utara. Hasil penelitian ini sesuai dengan jawaban responden
bahwa sebanyak 67, 45% responden menjawan tidak setuju atas pertanyaan “Saya
mengetahui ada calon legislatif/kepala daerah membagi-bagikan uang pada saat
melakukan kampanye”. Sedangkan yang mengatakan setuju ada sebanyak 4,95% dan
selebihnya tidak menyatakan sikap setuju atau tidak setuju (bersikap netral). Sementara itu
ada sebanyak 57,87% responden menjawab tidak setuju atas pertanyaan “Saya mengetahui
ada calon legislatif/kepala daerah membagi-bagikan sembako pada saat melakukan
kampanye”. Sedangkan yang mengatakan setuju ada sebanyak 16,67% dan selebihnya tidak
menyatakan sikap setuju atau tidak setuju (bersikap netral). Hasil ini menjelaskan bahwa
pada saat pemilu legislatif/kepala daerah, tidak ada calon yang membagi-bagikan uang
dan/atau sembako kepada masyarakat.
50
Hasil penelitian ini yang menyatakan bahwa politik uang tidak berpengaruh signifikan
positip terhadap partisipasi pemilih juga didukung oleh data yang menunjukkan mayoritas
responden tidak memilih calon anggota legislatif dan/atau kepala daerah karena faktor uang
dan/atau sembako (item pertanyaan 3,4,5, dan 6) yaitu sekitar sebanyak 70%. Sedangkan
yang menyatak setuju sekitar 6% dan yang tidak menyatakan sikap setuju atau tidak setuju
(bersikap netral) sebanyak 24%. Begitu juga dengan pernyataan “Ketika mendekati waktu
pelaksanaan pemilu, calon legislatif/kepala daerah melakukan kunjungan ke tempat saya dan
membagi-bagikan uang dan/atau sembako” mayoritas responden (67,71%) menyatakan tidak
setuju, 7,03% menyatakan setuju, dan 25,26% bersikap netral. Begitu juga dengan pernyataan
“Ketika tidak ada calon yang memberikan uang dan/atau sembako saya tidak ikut mencoblos
di TPS”, sebanyak 66,93% responden menyatakan tidak setuju, 4,95% menyatakan setuju,
dan bersikap netral sebanyak 28,12%. Semua hasil ini sekali lagi menjelaskan bahwa calon
anggota legislatif/kepala daerah tidak ada melakukan praktek politik uang dengan cara
membagikan uang dan/atau sembako pada saat pemilu 2013/2014 yang lalu.
Dari hasil penelitian ini, temuan lainnya yang menarik untuk dicermati adalah hasil
jawaban responden atas pernyataan “Saya menginginkan pemilu yang bebas dari politik
uang”. Dimana mayoritas responden, yakni sebanyak 68,49 responden menjawab tidak
setuju. Hal ini tentu bertolak belakang dengan pernyataan mereka sebelumnya yang pada
prinsipnya menyatakan bahwa tidak ada praktek politik uang dan mereka tidak memilih
karena pemberian uang/sembako.
Fenomena jawaban responden yang bertolak belakang ini menarik untuk dipahami
dalam konteks, apakah politik uang tidak terjadi di Kabupaten Tapanuli Utara karena pelaku
peserta pemilu (calon anggota legislatif/kepala daerah) tidak ada melakukan praktek politik
uang, ataukah karena kesadaran politik masyarakat akan bahaya politik uang sudah baik?
51
Untuk menjawab fenomena ini, dapat dianalisa berdasarkan hasil penelitian Teddy
Lesmana (2007) yang menyatakan bahwa wilayah yang paling rawan politik uang adalah
masyarakat miskin yang sering disebut sebagai pemilih irasional. Jika angka perkiraan figur
pemilih dapat dipercaya, yaitu sekitar 70 persen, pemilih kita tergolong sebagai locked-in
electorates, meminjam istilah James Scott, yang sangat terikat dengan kondisi sosial-
ekonomi dan sangat dipengaruhi oleh community leader-nya.
Dengan demikian fenomena jawaban responden yang bertolak belakang tersebut
dapat dianalisa sebagai berikut. Bahwa penghasilan per bulan mayoritas responden adalah
dibawah Rp 2.000.000. Dengan memiliki penghasilan tersebut secara ekonomi kehidupan
mereka tidak dapat dikatakan hidup dalam kondisi berkecukupan. Sehingga dengan adanya
kegiatan pemilu, mereka berharap memiliki kesempatan untuk mendapatkan uang tambahan
dari calon anggota legislatif maupun dari calon kepala daerah. Dan sebagai kompensasinya
mereka akan memberikan suaranya kepada calon yang memberikan uang. Namun di sisi lain,
ternyata calon anggota legislatif/kepala daerah tidak ada memberikan uang dan/atau sembako
kepada masyarakat pada saat pemilu. Kondisi inilah yang bisa menyebabkan terjadinya
perbedaan hasil jawaban responden atas pernyataan “Saya menginginkan pemilu yang bebas
dari politik uang” (dimana mayoritas responden 68,49% menjawab tidak setuju), dengan
pernyataan mereka sebelumnya yang menyatakan bahwa tidak ada praktek politik uang dan
mereka tidak memilih karena pemberian uang/sembako.
52
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan dapat diambil
simpulan sebagai berikut:
1. Politik uang tidak berpengaruh secara signifikan positif terhadap partisipasi pemilih
dengan tingkat signifikansi sebesar 0,06.
2. Mayoritas responden tidak menginginkan pemilu yang bebas dari politik uang. Hal ini
terlihat dari kuesioner yang menunjukkan bahwa mayoritas responden (68,49%) yang
menjawab tidak setuju atas pernyataan “Saya menginginkan pemilu yang bebas dari
politik uang”
5.2 Saran
Berdasarkan temuan hasil penelitian disarankan hal-hal sebagai berikut:
1. Kepada partai politik, penyelenggara pemilu dan instansi pemerintah terkait yang ada
di Kabupaten Tapanuli Utara supaya meningkatkan pendidikan dan pembinaan politik
kepada masyarakat akan bahaya politik uang dalam pemilu.
2. Kepada masyarakat Kabupaten Tapanuli Utara, sebaiknya untuk lebih berhati-hati
dalam menghadapi hadirnya politik uang sehingga dapat memilih pemimpin yang
bersih dari politik uang.
53
DAFTAR PUSTAKA
AAGN Ari Dwipayana (2009), Demokrasi Biaya Tinggi, Yogyakarta: Jurnal FISIPOL UGM,
Budiarjo, Miriam (1998), Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.
Budiardjo, Miriam (2008), Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Dakhidae, Daniel (2011), Melawan Politik Kartel Dalam Demokrasi di Indonesia, MakalahIlmiah, Yogyakarta: FISIPOL UGM
Damsar (2010), Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta; Kencana Prenada Media Group
Djani, Luki, dan Badoh, Ibrahim (2006), Dana Kampanye Kerap Luput dariPerhatian, Kompas, 16 Desember 2006.
Eko, Sutoro (2004), Pilkada Secara Langsung: Konteks, Proses, dan Implikasi,Jakarta: Yayasan Harkat Bangsa.
Forest, Liacco and Teresita Dy (2000), Controlling Illegal Influence Of'Money Politics', IFES.
Ghozali, Imam (2006), Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS, Semarang:Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Hair, Jr., J.F Black., W.C. Babin, B,J., Anderson, R.E., and Tatham, R.L (2006), MultivariateData Analysis, 6th Edition, Prentice Hall.
Hendrik, Doni (2003), Perilaku Memilih Etnis Cina dalam Pemilu Tahun 1999, Padang
Huntington, Samuel P. dan Joan Nelson (1994), Partisipasi Politik Di Negara Berkembang,Jakarta: Rineka Cipta.
Janah, Maulana (2005), Politik Uang Dalam Pilkada (analisis penyimpanganPilkada), www.kammi.or.id, diakses tanggal 14 November 2007
Kana, Nico L (2001), Strategi Pengelolaan Persaingan Politik Elit Desa di WilayahKecamatan Suruh: Kasus Pemilihan Kepala Desa, Jurnal Renai Tahun 1 No. 2E Hall
Krejcie, Robert. V dan Daryle W. Morgan (1970), Determining Sample Size For ResearchActivities, Educational and Psychological Measurement , 30: 607 – 610.
54
Kumorotomo, Wahyudi (2009), Intervensi Parpol, Politik Uang dan Korupsi, MakalahIlmiah: UNDIP.
Markoff, John (2002), Gelombang Demokrasi Dunia, Gerakan Sosial dan PerubahanPolitik, Yogyakarta: CCSS
Masduki, Teten (2004), Politik Uang Dalam Pemenangan Pemilu, Kompas, 2 Juli 2004
Mas’oed, Mochatar dan Collin MacAndrews (1986), Perbandingan Sistem Politik,Yogyakarta: Gajahmada University.
Nunnaly, J (1978), Psychometric Methods, New York: McGraww-Hill.
Pamungkas, Sigit (2009), Perihal Pemilu. Yokyakarta: Lab. Jurusan Ilmu PemerintahanUniversitas Gadjah Mada.
Pfeiffer, Silke,2004, Vote Buying and Its Implications for Democracy: Evidencefrom Latin America, TI.
Sekaran, Uma (2003), Research Methods for Business, A skill building approach, 4th edition,John Wiley &Sons.hair
Shively, Phillips, W (1987), Power and Choice: An Introduction to Political Science, NewYork : Random House.
USAID ( 2003), Money in Politics Handbook: A Guide to Increasing Transparency inEmerging Democracies, Technical Publication Series, November 2003,Washington D.C
Yani, Ahmad, Sri Hayati, dan Wahyu Eridiana (2008), Kajian Geografi Politik TerhadapHasil Pemilihan Gubernur Jawa Barat (www.upi.edu)
KPUD Tapanuli Utara
LAMPIRAN 1
KUESIONER PENELITIAN
I. Kata Pengantar
Dengan hormat, Sehubungan dengan penelitian yang sedang dilakukan KPUD TapanuliUtara mengenai politik uang dan partisipasi pemilih, maka KPUD Tapanuli Utaramengharapkan partisipasi Bapak/Ibu/Sdr/Sdri sekalian untuk mengisi kuesioner inisebagai data yang akan dipergunakan dalam penelitian. Atas kesediaan dankerjasamanya, kami ucapkan terima kasih.
II. Petunjuk Pengisian
1. Kuesioner ini semata-mata untuk keperluan penelitian, mohon dijawab sesuaikeadaan yang sebenarnya.
2. Bacalah dan jawablah semua pertanyaan dengan teliti tanpa ada yangterlewatkan.
3. Berilah tanda (X) pada jawaban yang menurut anda tepat sesuai dengan kondisi yangsebenarnya.
4. Pilihan jawaban dari daftar pertanyaan adalah sebagai berikut:SS= Sangat setuju S= Setuju N= Netral TS= Tidak setujuSTS= Sangat tidak setuju
III. Data Responden
1. Usia :………tahun2. Jenis Kelamin : a. laki-laki b. perempuan3. Etnis/Suku : ………4. Agama : a. Islam
b. Kristen Katolikc. Kristen Protestand. Hindue. Budha
5. Pendidikan : ..............6. Pekerjaan : ………..7. Penghasilan per bulan: a. < Rp 1.500.000
b. Rp 1.500.000 – Rp 2.000.000c. Rp 2.000.000 – Rp 2.500.000d. Rp 2.500.000 – Rp 3.000.000e. > Rp 3.000.000
8. Apakah anda telah terdaftar sebagai pemilih pada Pemilu Legislatif/PemiluKepala Daerah/Pemilu Presiden pada tahun 2013/2014 yang lalu?
a. Terdaftarb. Tidak terdaftar
KPUD Tapanuli Utara
9. Apakah anda ikut memilih pada Pemilu Legislatif/Pemilu KepalaDaerah/Pemilu Presiden pada tahun 2013/2014 yang lalu?
a. Ikut memilihb. Tidak ikut memilih
IV. Daftar Pertanyaan
4.1 Partisipasi Pemilih
No Item Pertanyaan SS S N TS STS1 Saya mempercayai dan merasa perlu untuk mengikuti
Pemilu.2 Visi dan misi yang disampaikan oleh masing-
masing peserta pemilu mempengaruhi saya untukikut memilih.
3 Saya merasa peserta pemilu sudah memperjuangkankepentingan masyarakat.
4 Sosialisasi politik yang dilakukan peserta pemilumempengaruhi saya untuk memilih.
5 Rekruitmen peserta pemilu yang dilakukan partaipolitik sudah sesuai dengan keinginan masyarakat.
6 Isu SARA dari peserta pemilu mempengaruhisaya untuk ikut memilih.
7 Isu ekonomi dari peserta pemilu mempengaruhisaya untuk ikut memilih.
8 Isu-isu yang disampaikan peserta pemilumempengaruhi saya untuk ikut memilih.
9 Saya menggunakan hak pilih saya karena sayamengenal peserta pemilu.
10 Pihak keluarga memberikan pengaruh kepada sayadalam hal ikut memilih pada pemilulegislatif/pilkada/pilpres tahun 2013/2014 yang lalu.
4.2 Politik Uang
No Item Pertanyaan SS S N TS STS1 Saya mengetahui ada calon legislatif/kepala daerah
membagi-bagikan uang pada saat melakukankampanye.
2 Saya mengetahui ada calon legislatif/kepala daerahmembagi-bagikan sembako pada saat melakukankampanye
3 Saya memilih calon legislatif yang memberikan uang.4 Saya memilih calon legislatif yang memberikan
sembako.5 Saya memilih calon kepala daerah yang memberikan
uang.6 Saya memilih calon kepala daerah yang memberikan
sembako.7 Ketika mendekati waktu pelaksanaan pemilu, calon
legislatif/kepala daerah melakukan kunjungan ke tempatsaya dan membagi-bagikan uang dan/atau sembako.
KPUD Tapanuli Utara
8 Ketika tidak ada calon yang memberikan uangdan/atau sembako saya tidak ikut mencoblos di TPS.
9 Saya menginginkan pemilu yang bebas dari politikuang.
LAMPIRAN 2
Table for Determining Sample Size from a Given Population
N S N S N S
10 10 220 140 1200 291
15 14 230 144 1300 297
20 19 240 148 1400 302
25 24 250 152 1500 306
30 28 260 155 1600 310
35 32 270 159 1700 313
40 36 280 162 1800 317
45 40 290 165 1900 320
50 44 300 169 2000 322
55 48 320 175 2200 327
60 52 340 181 2400 331
65 56 360 186 2600 335
70 59 380 191 2800 338
75 63 400 196 3000 341
80 66 420 201 3500 346
85 70 440 205 4000 351
90 73 460 210 4500 354
95 76 480 214 5000 357
100 80 500 217 6000 361
110 86 550 226 7000 364
120 92 600 234 8000 367
130 97 650 242 9000 368
140 103 700 248 10000 370
150 108 750 254 15000 375
160 113 800 260 20000 377
170 118 850 265 30000 379
180 123 900 269 40000 380
190 127 950 274 50000 381
200 132 1000 278 75000 382
210 136 1100 285 1000000 384
N is population size.S is sample size.
LAMPIRAN 6
Descriptive Statistics
N Skewness
Statistic Statistic Std. Error
Unstandardized Residual 384 -,284 ,125
Valid N (listwise) 384
0,284Zskewness = ------------------ = 2,272
√ 6/384
Hasil perhitungan Zskewness lebih kecil dari nilai Z tabel pada tingkat signifikan 0,01 =
2,326. Dengan demikian dapat disimpulkan data terdistribusi normal.
top related