pendidikan sosial yang terkandung dalam al...
Post on 17-Mar-2019
221 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PENDIDIKAN SOSIAL YANG TERKANDUNG DALAM AL-QURAN SURAT ALI IMRAN AYAT 159
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana
Pendidikan
Oleh
Putri Kasih Handriyani
NIM 109011000042
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
Skripsi berjudul Pendidikan Sosial Yang Terkandung Dalam Al-Quran
Surat Ali Imran Ayat 159 disusun oleh Putri Kasih Handriyani. NIM
109011000042. Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Telah
melalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya Ilmiah yang berhak
untuk diujikan pada siding munaqasah sesuai ketentuan yang ditetapkan
oleh Fakultas.
Jakarta, Januari 2014
LEMBAR PENGESAHAN
PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul Pendidikan Sosial Yang Terkandung Dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran Ayat 159 disusun oleh PUTRI KASIH HANDRIYANI NIM 109011000042, diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasah pada tanggal 25 Maret 2014 di hadapan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh gelar Sarjana S1 (S.Pd.I) dalam bidang Pendidikan Agama Islam.
Jakarta, April 2014
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Putri Kasih Handriyani
Tempat/Tgl.Lahir : Jakarta, 26 Mei 1991
NIM : 109011000042
Jurusan/Prodi : Pendidikan Agama Islam
Judul : Pendidikan Sosial Yang Terkandung Dalam Al-Qur’an Surat
Ali Imran Ayat 159
MENYATAKAN DENGAN SESUNGGUHNYA
Bahwa skripsi yang berjudul Pendidikan Sosial Yang Terkandung Dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran Ayat 159 adalah benar hasil karya sendiri di bawah bimbingan dosen :
Nama Pembimbing : Abdul Ghafur, MA
NIP : 196812081997031003 Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya siap menerima segala konsekuensi apabila terbukti bahwa skripsi ini bukan hasil karya sendiri.
i
ABSTRAK
Kata Kunci: Pendidikan Sosial, Lemah lembut, Memaafkan, Musyawarah Latar belakang penelitian ini dilandasi oleh adanya kegelisahan tentang
merosotnya nilai-nilai luhur perilaku sosial, kepekaan dan kepedulian sosial di kalangan masyarakat yang tidak berbasis pada ajaran agama. Menyadari sangat vital dan pentingnya kedudukan dan fungsi al-Qur’an bagi umat Islam, maka pengaplikasiannya menjadi urgen dan wajib mendapat kepedulian bersama, sehingga nilai-nilai pendidikan sosial yang tercakup di dalamnya menjadi terwujudkan dalam kehidupan sosial sehari-hari. Bermula dari keadaan inilah penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam nilai-nilai pendidikan sosial yang tertuang dalam QS. Ali Imran ayat 159. Penelitian ini bertujuan, Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan sosial yang terkandung dalam QS. Ali Imran ayat 159.
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research). Sumber data primer adalah kitab-kitab tafsir QS. Ali Imran ayat 159. Sedangkan data sekundernya berupa buku-buku pendidikan, artikel, atau tulisan yang menjelaskan tentang pendidikan. Adapun dalam pembahasannya penulis menggunakan metode deskriptif analitis karena data yang dikumpulkan berupa kata-kata dan bukan angka-angka. Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memaparkan masalah-masalah sebagaimana adanya, disertai argumen-argumen dan menggambarkan apa adanya tentang sesuatu variabel, gejala atau keadaan. Selain itu semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang diteliti. Dengan demikian laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Data tersebut mungkin berasal dari naskah atau dokumen lainnya.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa, nilai-nilai pendidikan sosial yang dapat digali dari nilai pendidikan sosial dalam dalam QS. Ali Imran ayat 159 adalah sikap sosial lemah lembut, pemaaf atau memaafkan, dan bermusyawarah. Relevansinya dengan pendidikan sosial adalah adanya usaha, pengorbanan, kemanusiaan untuk memiliki sikap empati, menghormati, menghargai orang lain sehingga memiliki rasa tenggang rasa dan kepedulian, toleran dan solidaritas sosial yang tinggi. Ini sifat yang melatih seseorang untuk menunjukkan eksistensi dirinya dalam bermasyarakat. Inilah nilai pendidikan sosial yang terdapat dalam QS. Ali Imran 159.
ABSTRACT
Keywords: Social Education, Gentle, Forgiveness, Deliberation
The background of this research is based on the presence of anxiety about the decline of the great value of social behavior, sensitivity and social awareness in the community that are not based on the teachings of agama.Menyadari very vital and important position and function of the Koran for Muslims, then its application become urgent and must obtain a common concern, so that the values of social education are covered in it becomes manifest in everyday social life. Starting from this situation the authors are interested in digging deeper into the social values of education as stipulated in the QS. Ali Imran verse 159. Study aims, to determine the values of social education contained in QS. Ali Imran verse 159.
This study is a library (library research). The primary data source is the books of tafsir QS. Ali Imran verse 159. While secondary data in the form of educational books, articles, or writing which describes in his discussion pendidikan.Adapun writer uses descriptive analytical method for the data collected in the form of words rather than numbers. Descriptive research is intended to describe the problems as they are, with the arguments and describe what it is about something variable, symptoms or circumstances. Moreover collected all likely to be the key to what is observed. Thus the research report will contain excerpts of data to illustrate the presentation of the report. The data may come from manuscripts or other documents.
The results of this study indicate that, the values of social education that can be extracted from the value of social education in the QS. Ali Imran verse 159 is the social attitude of gentleness, forgiveness or pardon, and deliberation. Relevance to the social education is the effort, sacrifice, humanity to have empathy, respect, respect for others that have a sense of tolerance and caring, tolerant and high social solidarity. It's the nature of the train someone to demonstrate his existence in society. This is the social value of education contained in QS. Ali Imran 159.
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahi walhamdulillah.
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Kiranya tiada kata yang lebih pantas untuk diucapkan selain
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah, sebagai manifestasi rasa syukur kita
kehadirat Illahi Rabbi yang telah menghadiahkan anugerah yang begitu mahal
harganya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat salam
semoga senantiasa tercurah bagi baginda Nabi Muhammad saw, orang yang
begitu mencintai kita sehingga diakhir hayatnya yang beliau sebut dan kenang
hanyalah kita umatnya.
Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan (FITK), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis sangat berterima kasih dan memberikan penghargaan yang setinggi-
tingginya atas bantuan, dorongan dan bimbingan dari beberapa pihak. Ucapan
terima kasih dan penghargaan tersebut diajukan kepada:
1. Ibu Dra. Nurlena Rifa’i, Ph.D, MA selaku Dekan FITK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. H. Abdul Majid Khon, M,Ag Ketua Jurusan Pendidikan Agama
Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga kebijakan yang dibuat selalu
mengarah pada kontinuitas eksistensi mahasiswanya.
3. Ibu Marhamah Saleh, Lc, MA selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama
Islam Jakarta. Terima kasih atas waktu luang yang telah diberikan untuk
memberikan pelayanan yang terbaik kepada kami selaku mahasiswa.
4. Bapak Abdul Ghafur, MA yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan
yang tulus kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
iii
5. Bapak dan Ibu Dosen Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmunya
kepada penulis selama perkuliahan.
6. Pimpinan dan staf Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah yang telah
memberikan pelayanan dan kesempatan yang seluas-luasnya kepada penulis
untuk menelaah dan meminjam buku-buku yang diperlukan dalam rangka
penyusunan skripsi ini.
7. Orang Tua penulis, Ayahanda M. Yusuf Effendi (Alm), Wawan Winata dan
Ibunda Hj. Siti Zubaidah tercinta yang dengan tulus ikhlas merawat dan
mendidik penuh rasa kasih sayang, memberikan pengorbanan yang tidak
terhitung nilainya dan senantiasa mendoakan penulis dalam menempuh
perjalanan hidup ini.
8. Kakak dan Adik-adikku tersayang, Iin Setiawati berserta buah hatinya
Tamammun Khoirun Nisa, Nazwa Khusnul Khotimah, Miya Damayanti
semoga selalu menjadi anak-anak yang membanggakan kedua orang tua kita.
Amin..
9. Nur Ahmad Soim, S.Fil,I suami pelipur lara dikala suka dan duka, yang selalu
setia mendampingi perjuanganku sampai detik ini, yang tak pernah henti
memberikan dorongan dan motivasi kepada penulis untuk cepat
menyelesaikan skripsi ini, serta senantiasa memberikan pengajaran yang
berharga dalam kehidupan ini, dan buah hati kita berdua Niyaz Najiha Ahmad
yang akan menghiasi kebahagian kita sebagai seorang ayah dan bunda.
10. Teman seperjuangan dalam menuntut ilmu, semua teman kelas PAI A
angkatan 2009 khususnya Nuy, Rahma, Acha, Wardah, Ira, Suherni dan
Salimah yang sama-sama menempuh pendidikan program S1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Jakarta, 25 Maret 2014
Penulis
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah
dan Perumusan Masalah .......................................................... 8
C. Tujuan Penelitian ............................................................................. 9
D. Manfaat Penelitian ........................................................................... 9
BAB II KAJIAN TEORI PENDIDIKAN SOSIAL A. Pengertian Pendidikan Sosial ........................................................... 10
B. Obyek Pendidikan Sosial ................................................................. 15
C. Tujuan Pendidikan Sosial ................................................................. 20
D. Unsur-Unsur Pendidikan Sosial ........................................................ 21
E. Metode dan Strategi Pendidikan Sosial ............................................. 28
F. Hasil Penelitian yang Relevan .......................................................... 34
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Objek dan Waktu Penelitian ............................................................. 36
B. Metodologi Penelitian ...................................................................... 36
C. Fokus Penelitian ............................................................................... 37
D. Teknik Pengumpulan Data ............................................................... 38
BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Teks dan Terjemah QS. Ali ‘Imran Ayat 159 ............................. 39
B. Makna Kosa Kata Inti ................................................................... 39
C. Asbabun Nuzul .............................................................................. 41
D. Tafsir Surat Ali Imran Ayat 159 .............................................. 42
E. Pendidikan Sosial yang Terkandung
dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran 159 ...................................... 53
v
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................... 68
B. Saran ............................................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 70
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Agama Islam, agama yang kita anut dan dianut oleh ratusan juta kaum
muslim di seluruh dunia, merupakan way of life yang menjamin kebahagiaan
hidup pemeluknya di dunia dan akhirat kelak. Ia mempunyai satu sendi utama
yang esensial: berfungsi memberi petunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya.
Allah berfirman, sesungguhnya Al-Quran ini memberi petunjuk menuju jalan
yang sebaik-baiknya (QS 17:9). Al-Quran memperkenalkan dirinya dengan
berbagai ciri dan sifat. Salah satu di antaranya adalah bahwa ia merupakan
kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah, dan ia adalah kitab yang selalu
dipelihara. Allah berfirman, sesungguhnya Kami yang menurunkan Al-Quran
dan kamilah pemelihara-pemelihara-Nya. (QS. 15:9)
Demikianlah Allah menjamin kemurnian dan keaslian Al-Quran,
jaminan yang diberikan atas dasar kemahakuasaan dan kemahatahuan-Nya,
serta berkat upaya-upaya yang dilakukan oleh makhluk-makhluk-Nya,
terutama oleh manusia. Dengan jaminan ayat di atas, setiap muslim percaya
bahwa apa yang dibaca dan didengarnya sebagai Al-Quran tidak berbeda
sedikitpun dengan apa yang pernah dibaca dan diajarkan oleh Rasulullah
Saw., dan yang didengar serta dibaca oleh para sahabat Nabi Saw.
2
Menurut seorang ulama besar syiah kontemporer, Muhammad Husain
al-Thabathaba’iy sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab di dalam buku
Membumikan Al-Quran,1 menyatakan bahwa sejarah Al-Quran demikian jelas
dan terbuka, sejak turunnya sampai masa kini. Ia telah dibaca oleh kaum
muslimin sejak dahulu sampai sekarang, sehingga pada hakikatnya Al-Quran
tidak membutuhkan sejarah untuk membuktikan keotentikannya. Kitab suci
tersebut lanjut Thabathaba’iy memperkenalkan dirinya sebagai firman-firman
Allah dan membuktikan hal tersebut dengan menantang siapa pun untuk
menyusun seperti keadaanya. Ini sudah cukup bukti, walaupun tanpa bukti-
bukti kesejarahan.
Al-Qur'an adalah sumber utama ajaran Islam dan merupakan pedoman
hidup bagi setiap Muslim. Al-Qur'an bukan sekedar memuat petunjuk tentang
hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga mengatur hubungan manusia
dengan sesamanya (hablum min Allâh wa hablum min al-nâs), bahkan
hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Al-Quran adalah kitabullah yang
memuat banyak ajaran luhur didalamnya. Kandungan dan rahasia yang
tertuang di balik ayat-ayat Al-Quran, sungguh tidak akan pernah tertandingi.
Dengan Al-Quran, tidak akan pernah ada kemaksiatan dan kejahatan, karena
ajaran yang di bawa oleh Al-Quran sudah jelas: sebagai rahmat bagi semua
alam. Membaca dan mengajarkan serta mengamalkan Al-Quran merupakan
tugas ideal seorang muslim, yang telah mendapatkan warisan dari Rasulullah
Saw. Al-Quran telah diwariskan kepada kita umat Islam untuk dibaca, dikaji,
diamalkan dan disebarkan, sehingga ajaran ideal Al-Quran dapat terus
membumi.
Al-Qur'an sebagaimana diketahui, diturunkan dalam bahasa Arab, baik
lafal maupun uslubnya. Suatu bahasa yang kaya kosakata dan sarat
kandungannya. Kendati Al-Quran berbahasa Arab, tidak berarti bahwa semua
1M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, (Bandung: Mizan, 2003), cet. 17, h. 21.
3
orang Arab atau orang yang mahir dalam bahasa Arab, dapat memahami Al-
Quran secara rinci.2
Menurut Abdullah Darraz, dalam Al-Naba’ Al-‘Azhim, sebagaimana
dikutip oleh Quraish Shihab, mengatakan bahwa: Apabila anda membaca Al-
Quran, maknanya akan jelas di hadapan Anda. Tetapi bila Anda membacanya
sekali lagi, akan Anda temukan pula makna-makna lain yang berbeda dengan
makna-makna sebelumnya. Demikian seterusnya, sampai-sampai Anda
(dapat) menemukan kalimat atau kata yang mempunyai arti bermacam-
macam, semuanya benar atau mungkin benar. (ayat- ayat Al-Quran) bagaikan
intan: setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang
terpancar dari sudut-sudut lain. Dan tidak mustahil, jika Anda mempersilakan
orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak ketimbang apa
yang Anda lihat.3
Al-Quran adalah peninggalan Nabi yang sangat penting, Al-Quran
adalah akhlak Nabi, sehingga dengan Al-Quran kita dapat memahami ajaran
Nabi terlebih yang terkait dengan akhlak Nabi. Dalam pandangan Islam,
akhlak dapat dilihat sebagai sebuah intuisi yang bersemayam di hati tempat
munculnya tindakan-tindakan sukarela, tindakan yang benar atau salah.
Sehingga menurut tabi'atnya, intuisi tersebut siap menerima pengaruh
pembinaan yang baik, atau pembinaan salah kepadanya. Jika intuisi tersebut
dibina untuk memilih keutamaan, kebenaran, maka itu menjadi trade mark-
nya dan perbuatan baik muncul dari padanya dengan mudah. Itulah akhlak
yang baik, misalnya akhlak lemah lembut, sabar, pemaaf, adil dan sebagainya.
Dan sebaliknya, jika intuisi tersebut disia-siakan, tidak dibina dengan
pembinaan yang proporsional, bibit-bibit kebaikan di dalamnya tidak
dikembangkan, dan dibina dengan pembinaan yang buruk hingga keburukan
menjadi sesuatu yang dicintainya, kebaikan menjadi sesuatu yang dibencinya,
dan perbuatan serta perkataan buruk keluar daripadanya dengan mudah maka
2Abdul Halim (ed), Al-qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat
Pers, 2002), cet. 1, h. 3. 3Shihab, Membumikan Al-Quran,... h. 16.
4
dikatakan akhlak yang buruk, misalnya berkhianat, pemarah, dengki dan
sebagainya.
Oleh karena itu, Islam memuji akhlak yang baik menyerukan kaum
muslim membinanya dan mengembangkan di hati mereka. Islam menegaskan
bahwa bukti keimanan ialah jiwa yang baik, dan bukti keislaman ialah akhlak
yang baik. Allah memuji Nabi Muhammad Saw., karena akhlaknya yang baik.
Akhlak yang baik merupakan tingkah laku yang harus dilakukan seperti
Rasulullah Saw.4 Sebagaimana dalam hadis Rasulullah Saw bersabda:
قال رسول اهللا عليه و سلم : انما بثعت التمكارم ماال م( روه امحد ) .قالخ “Rasulullah Saw bersabda; Bahwasanya aku diutus sebagai Rasul
untuk menyempurnakan akhlak mulia.” (HR. Ahmad)5
Orang Muslim tidak melihat akhlak berbuat baik sebagai akhlak mulia
yang layak dimiliki, namun ia melihatnya sebagai bagian dari akidah dan
keislamannya, karena agama Islam dibangun di atas tiga pilar yaitu iman,
Islam, dan ihsan. Rasulullah menanamkan iman, Islam, dan ihsan sebagai
pilar agama. Menurut Nurcholis Madjid ketiga pilar ini semuanya
menunjukkan berbagai kualitas pribadi seseorang yang beriman kepada Allah,
lebih lanjut Cak Nur (panggilan sapaan Madjid) mengatakan bahwa kualitas-
kualitas itu membentuk simpul-simpul keagamaan pribadi, sebab semuanya
terletak dalam inti kedirian seseorang dan berpangkal pada batin dan lubuk
hatinya.6 Allah memerintahkan kaum Muslim untuk berbuat baik dalam
banyak firman-Nya, misalnya dalam firman Q.S. Al-Baqarah ayat 195:
يحب الله نإ وأحسنوا التهلكة إلى بأيديكم تلقوا ولا الله سبيل في وأنفقوا )195البقرة: المحسنني. (سورة
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah
kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah,
4Abu Bakr Jabir Al-Jazairi, Ensiklopedi Muslim, (Jakarta: Darul Falah, 2000), cet. 1, h.
217. 5Muhyiddin Abdusshomad, Etika Bergaul, (Surabaya: Khalista, 2007), h. 6. 6Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2000), cet. 4 h.
41.
5
karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S.
Al-Baqarah[1]: 195)
Menurut Zakiah Daradjat, Ajaran-ajaran yang berkenaan dengan iman
tidak banyak dibicarakan dalam Al-Quran, tidak sebanyak ajaran yang
berkenaan dengan amal perbuatan. Ini menunjukkan bahwa amal itulah yang
paling banyak dilaksanakan, sebab semua amal perbuatan manusia dalam
hubungannya dengan Allah, dengan dirinya sendiri, dengan manusia
sesamanya (masyarakat), dengan alam dan lingkungannya, dengan makhluk
lainnya, termasuk dalam ruang lingkup amal saleh. Lebih lanjut Daradjat
mengatakan bahwa pendidikan karena termasuk ke dalam usaha atau tindakan
untuk membentuk manusia, termasuk ke dalam ruang lingkup mu’amalah.
Pendidikan sangat penting karena ia ikut menentukkan corak dan bentuk amal
dan kehidupan manusia, baik pribadi maupun masyarakat.7
Di dalam Al-Quran terdapat banyak ajaran yang berisi prinsip-prinsip
berkenaan dengan kegiatan atau usaha pendidikan. Sebagai contoh dapat
dibaca kisah lukman mengajari anaknya dalam surat Lukman ayat 12 s/d 19.
Cerita itu menggariskan prinsip materi pendidikan yang terdiri dari masalah
iman, akhlak ibadat, sosial dan ilmu pengetahuan. Ayat lain menceritakan
tujuan hidup dan tentang nilai sesuatu kegiatan dan amal saleh. Itu berarti
bahwa kegiatan pendidikan harus mendukung tujuan hidup tersebut. Oleh
karena itu pendidikan Islam harus menggunakan Al-Quran sebagai sumber
utama dalam merumuskan berbagai teori tentang pendidikan Islam.
Mewacanakan tentang pendidikan, maka tidak akan mungkin
melepaskannya dari dinamika kehidupan sosial manusia yang senantiasa
berkembang. Perkembangan sosial itulah yang pada akhirnya memperkaya
konsep-konsep dalam usaha pengembangan dan perbaikan pendidikan. Sudah
menjadi pendapat umum (common sense) bahwa pendidikan adalah
rancangan kegiatan yang paling banyak berpengaruh terhadap perilaku
7Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), cet. 10, h. 20.
6
seseorang dan masyarakat.8 Dengan demikian, dinamika sebuah peradaban
sosial, mau tidak mau melibatkan peranan pendidikan, sungguhpun dalam
format dan kapasitas yang sederhana.
Di dalam Islam sangat dianjurkan untuk memiliki sifat kepedulian
dengan orang lain atau dalam istilah lain dikatakan dengan kesalehan sosial.
Akhir-akhir ini kita temukan dimasyarakat, sekolah atau bahkan kampus
munculnya fenomena kekerasan serta permusuhan yang sifatnya turun
temurun seperti tawuran pelajar, mahasiswa, permusuhan antar kampung
(desa) dsb. Di masyarakat kita sepertinya sudah tidak ditemukan naluri
manusia yang hakiki, justru yang muncul belakangan ini adalah budaya
kekerasan dan permusuhan. Minimnya jiwa yang siap berkorban, lebih sering
mendahulukan kepentingan pribadi dari pada orang banyak, egoisme serta
emosional. Ini sangat mengerikan bagi tumbuh kembangnya peradaban.
Masyarakat kita harus segera berubah menjadi lebih baik. Masyarakat harus
di didik untuk memiliki nilai-nilai kebaikan dan kesalehan antar sesama
manusia dan lingkungan. Berbuat baik kepada manusia secara umum ialah
dengan berkata lembut kepada mereka, mempergauli mereka dengan
pergaulan yang baik setelah sebelumnya menyuruh mereka kepada kebaikan,
melarang mereka dari kemungkaran, memberi petunjuk kepada orang yang
tersesat di antara mereka, mengajari orang bodoh di antara mereka, mengakui
hak-hak mereka, tidak menggangu mereka dengan mengerjakan tindakan
yang membahayakan mereka, memaafkan segala kesalahan dan lain
sebagainya.9
Nilai-nilai kebaikan ini merupakan bagian penting dari pendidikan,
lebih tepatnya pendidikan yang mengarahkan pada kepedulian sosial atau
dalam istilah pendidikan sering disebut dengan pendidikan sosial. Menurut
pendapat St. Vembriarto yang dikutip oleh Soelaeman Joesoef dalam
bukunya Pengantar Pendidikan Sosial, menyatakan bahwa: “Pendidikan
sosial adalah usaha mempengaruhi dan mengembangkan sikap sosial
8Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2002), h. 133.
9Abu Bakr Jabir Al-Jazairi, Ensiklopedi Muslim,... h. 240-24.
7
seseorang.”10 S. Hamidjoyo, memperjelas bahwa pendidikan sosial
merupakan suatu proses yang diusahakan dengan sengaja di dalam
masyarakat untuk mendidik (atau membina, membimbing, membangun)
individu dalam lingkungan sosial dan alamnya supaya secara bebas dan
bertanggung jawab menjadi pendorong ke arah perubahan dan kemajuan.11
Berdasarkan pengertian tentang pendidikan sosial di atas, dapat
dipahami bahwa pengertian pendidikan sosial adalah esensi yang melekat
pada suatu kegiatan pendidikan yang mana pendidikan tersebut dilaksanakan
dalam rangka membantu proses perkembangan sosial untuk mencapai
kedewasaan seseorang. Di dalam Al-Quran terdapat nilai-nilai pendidikan
sosial yang cukup untuk mengatakan bahwa Islampun mengajarkan tentang
pendidikan sosial, sikap lemah lembut, pemaaf dan bermusyawarah,
merupakan inti dari pendidikan sosial, di dalam kehidupan ini sikap lemah
lembut merupakan awalan seseorang untuk membuka dirinya dengan orang
lain, dengan sikap lemah lembut ini seseorang dituntut untuk menghormati,
menghargai, dan berpartisipasi, toleransi dan solidaritas sosial akan segera
terjalin manakala sikap lemah lembut ini dimiliki bersama. Sementara sifat
memaafkan adalah langkah berikutnya dimana rasa pengorbanan dalam
bermasyarakat dibuktikan. Memaafkan memerlukan jiwa yang besar, yaitu
jiwa yang penuh kepasrahan pada tuhannya. Ketika perasaan sudah
dikembalikan pada sang pencipta maka secara lambat laun perilaku dan
kepribadiaan seorang pemaaf akan diangkat derajatnya oleh sang pencipta,
setelah itu secara otomatis makhluknya dengan sadar akan memuliakannya.
Sehingga terjalinlah harmonisasi kehidupan karena saling memaafkan dan
memuliakan. Dan yang terakhir adalah sikap suka bermusyawarah. Sikap yang
mulia, karena merasakan ada orang lain selain dirinya, sikap ini mengajarkan
di dalam hidup bermasyarakat, sifat egois, menang sendiri harus disingkirkan
serta memprioritaskan kepada kepentingan bersama dan kepedulian sosial.
10Soelaeman Joesoef dan Slamet Santoso, Pengantar Pendidikan Sosial, (Surabaya:
Usaha Nasional, 1981), h. 17. 11Soelaeman Joesoef, Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah, (Jakarta: Bumi Aksara,
1992), h. 100.
8
cita-cita untuk membangun masyarakat yang damai dan sejahtera segera akan
terwujud manakala dalam bermasyarakat antar warga suka bermusyawarah.
Inilah nilai-nilai pendidikan sosial yang diajarkan oleh Nabi kepada kita.
Pakar pendidikan Islam, Abdullah Nashih Ulwan pernah merumuskan
bahwa pendidikan sosial dalam Islam, adalah pendidikan anak sejak kecil
agar terbiasa menjalankan adab sosial yang baik dengan dasar-dasar psikis
yang mulia serta bersumber pada aqidah Islamiyah yang abadi dengan
diiringi perasaan keimanan yang mendalam agar di dalam masyarakat nanti ia
terbiasa dengan pergaulan dan adab yang baik, keseimbangan akal yang
matang serta tindakan yang bijaksana.12
Berdasarkan penjelasan di atas penulis tertarik untuk mengkaji serta
menganalisa konsep pendidikan sosial yang ada dalam Al-Qur'an, untuk itu
penulis mengambil judul, “PENDIDIKAN SOSIAL YANG
TERKANDUNG DALAM AL-QURAN SURAT ALI IMRAN AYAT
159.”
B. Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Adapun identifikasi masalah dalam skripsi ini adalah sebagai
berikut:
a. Masih banyak manusia (peserta didik) yang tidak mampu menahan
dirinya dari sikap egois dan lebih cenderung emosional
b. Begitu banyak manusia yang tidak mampu untuk mengelola emosinya
c. Menyelesaikan masalah dengan tidak menggunakan pendekatan
musyawarah untuk mencari kesepakatan
12Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fi al-Islam, (Arab Saudi: Darus Salam,
1997), h. 273.
9
2. Pembatasan Masalah
Dengan adanya identifikasi di atas, penulis membatasi masalah
yaitu, “pendidikan sosial yang terkandung dalam tafsir Q.S. Ali Imran ayat
159”
3. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalahnya “Bagaimana nilai-nilai pendidikan
sosial dalam Q.S. Ali Imran ayat 159?”
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan sosial dalam Q.S. Ali Imran
ayat 159.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Akademik
Dapat memotivasi bagi pengembangan khazanah keilmuan di
bidang tafsir pendidikan sosial, membuka kemungkinan penelitian lebih
lanjut dan peninjauan kembali hasil pengkajian ini.
2. Bagi Masyarakat
Dapat mengetahui dan diaplikasikan pendidikan sosial dalam
kehidupan bermasyarakat.
3. Bagi penulis
Untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana Program Strata
Satu (S-1) pada Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
10
BAB II
KAJIAN TEORI PENDIDIKAN SOSIAL
A. Pengertian Pendidikan Sosial
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,1 pendidikan berasal dari kata
“didik,” lalu diberikan awalan kata “me-” sehingga menjadi “mendidik” yang
artinya memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi
latihan diperlukan adanya ajaran, tuntutan dan pimpinan mengenai akhlak dan
kecerdasan pemikiran.
Pengertian pendidikan menurut Undang-undang Sisdiknas No.20 Th.
2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.2
Sedangkan pengertian pendidikan menurut para ahli mengemukakan
pendapatnya tentang pengertian pendidikan sebagai berikut:
Menurut Umar Tirtarahardja dan S.L. La Sulo, pendidikan diartikan
sebagai suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada
1W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1985), h. 232. 2Undang-Undang Sisdiknas UU RI No.20 Th.2003, (Jakarta: Sinar Grafika,2009), cet.2,
h. 3.
11
terbentuknya kepribadian peserta didik.3 M. Ngalim Purwanto mendefinisikan,
pendidikan ialah segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak
untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan,
lebih lanjut Purwanto menambahkan pendidikan ialah pimpinan yang
diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa kepada anak-anak, dalam
pertumbuhannya (jasmani dan rohani) agar berguna bagi diri sendiri dan bagi
masyarakat.4
Selanjutnya, menurut Poerbakawatja dan Harahap sebagaimana dikutip
oleh Muhibbin Syah, pendidikan adalah usaha secara sengaja dari orang
dewasa untuk dengan pengaruhnya meningkatkan si anak ke kedewasaan yang
selalu diartikan mampu menimbulkan tanggung jawab moril dari segala
perbuatannya, orang dewasa itu adalah orang tua si anak atau orang tua yang
atas dasar tugas dan kedudukannya mempunyai kewajiban untuk mendidik
mislanya guru sekolah, pendeta atau kiyai dalam lingkungan keagamaan,
kepala-kepala asrama dan sebagainya.5 Menurut Kingsley Price sebagaimana
dikutip oleh Hery Noer Aly, mengatakan bahwa pendidikan ialah proses di
mana kekayaan budaya non fisik dipelihara atau dikembangkan dalam
mengasuh anak-anak atau mengajar orang-orang dewasa.6
Pendidikan dalam konteks Islam, mengacu pada tiga unsur yaitu: al-
tarbiyah, al-ta’lim, dan al-ta’dib. Dari ketiga istilah tersebut, al-tarbiyah yang
terpopuler digunakan dalam praktek pendidikan Islam. Sedangkan term al-
ta’lim dan al-ta’dib jarang di gunakan.7 Penggunaan istilah al-tarbiyah berasal
dari kata rabb. Walaupun kata ini memiliki banyak arti, akan tetapi pengertian
dasarnya menunjukkan makna tumbuh, berkembang, memelihara, mengatur
dan menjaga kelestarian atau eksistensinya. Memang kata tarbiyah dengan
3Umar Tirtarahardja dan S.L.La Sulo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,
2005), cet. 2, h. 34. 4M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Rosda, 2007),
cet. 18, h. 10. 5 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013), Cet.
18, h. 11. 6Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Ciputat, Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 3. 7Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah,
Keluarga, dan Masyarakat, (Yogyakarta: LKiS, 2009), h. 14.
12
kata kerja “rabba” merupakan kata umum, kata yang digunakan adalah kata
“pengajaran” dalam bahasa arabnya adalah ta’lim, dengan kata kerjanya
“allama.” Pendidikan dan pengajaran dalam bahasa Arab berarti “tarbiyah wa
ta’lim”. Kata kerja Rabba (mendidik), sudah digunakan pada zaman Nabi
Muhammad Saw. Dalam kata benda “rabba” ini digunakan juga untuk
“Tuhan,” mungkin karena Tuhan yang bersifat mendidik, mengasuh,
memelihara, malah menciptakan. Kata lain yang berarti pendidikan itu ialah
‘addaba’ kata ta’lim dengan kata kerjanya ‘allama’ juga sudah di gunakan
pada zaman Nabi.8
Sebagai langkah awal untuk mengerti konsep, definisi kiranya dapat
digunakan. Namun, untuk mengerti konsep sebagaimana mestinya, definisi
selalu tidak representatif. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan bahasa dan
kemampuan intelektual untuk merumuskan definisi, disamping subyektivitas
si perumus itu sendiri. Akan tetapi sebagai bahan tambahan rumusan
pendidikan, didalam pendidikan Islam terdapat konsep-konsep dasar yang
membentuknya. (1) usaha. Pendidikan adalah usaha, yaitu suatu aktivitas
mengerahkan kemampuan dalam mengatasi hambatan-hambatan untuk
mencapai suatu tujuan. Pendidikan bukan penetapan yang didalamnya hanya
terdapat saat memberi dan menerima tanpa hambatan. Sebagai usaha,
pendidikan mesti berhubungan dengan tujuan. Sulit dibayangkan ada usaha
yang tidak bertujuan, terutama karena pendidikan adalah usaha yang
dilakukan manusia dan terhadap manusia. Suatu hal yang membedakan
tindakan manusia dari tindakan binatang ialah sifatnya yang teologis
(mengarah kepada tujuan). (2). Kemanusiaan. Pendidikan merupakan sesuatu
yang khas bagi manusia, dan karenanya tidak diterapkan pada binatang
ataupun tumbuh-tumbuhan. Ini sesuai tabiat risalah Islam yang memang
diperuntukkan untuk umat manusia. Atas dasar itu, pengembangan sumber
daya manusia bisa merupakan aktivitas pendidikan, tetapi pengembangan
sumber daya alam tidak akan pernah dipandang sebagai aktivitas pendidikan,
kecuali apabila dilaksanakan dalam rangka yang pertama. (3) perkembangan.
8Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 25-26.
13
Yang diperbuat pendidikan terhadap manusia ialah mengembangkannya untuk
menjadi pribadinya, bukan menjadi yang berada diluar pribadinya. Proses
“mau jadi dokter, mau jadi pramugari, bahkan mau jadi presiden “bukanlah
pendidikan, kecuali apabila semua ke-mau-an itu merupakan sesuatu yang
membedakan pribadinya dari yang lain.9
Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan
adalah usaha sadar oleh orang dewasa terhadap perkembangan jasmani dan
rohani, untuk menumbuhkan dan membentuk personalitas yang utuh dalam
melaksanakan tugas dan tanggung jawab di masyarakat.
Adapun pengertian sosial, menurut Kamus Sosiologi dan
Kependudukan, ialah hubungan seorang individu dengan yang lainnya dari
jenis yang sama; atau pada sejumlah individu yang yang membentuk lebih
banyak atau lebih sedikit kelompok-kelompok yang terorganisir, juga tentang
kecenderungan-kecenderungan dan impuls-impuls yang berhubungan dengan
yang lainnya.10 Dari beberapa pendapat di atas di simpulkan bahwa
pendidikan sosial adalah usaha sadar oleh seseorang pendidik terhadap anak
untuk mempengaruhi dan mengarahkan pada proses sosial.
Kesimpulan tersebut, selaras dengan pendapat para ahli pendidikan
dalam menafsirkan pendidikan sosial, di antaranya menurut H.A.R. Tilaar dan
Sardin Pabbadja, pendidikan sosial adalah sebagai proses sosialisasi anak,
yang berarti akan mengarahkan kegiatannya pada sosialisasi anak dalam
lingkungan sosial. Menurut Santoso S. Hamidjojo sebagaimana dikutip St.
Vembriarto, mengatakan bahwa pendidikan sosial adalah suatu proses yang
diusahakan dengan sengaja di dalam masyarakat untuk mendidik (atau
membina, membimbing, membangun) individu dalam lingkungan sosial dan
alamnya supaya secara bebas dan bertanggungjawab menjadi pendorong ke
arah perubahan dan kemajuan.11
9Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam,... h. 11. 10 G. Kartasapoetra dan Hartini, Kamus Sosiologi dan Kependudukan (Jakarta: Bumi
Aksara, 2007), cet. 2, h. 382. 11St. Vembriarto, Pendidikan Sosial, (Yogyakarta: Paramita, 1981), h. 7.
14
Sedangkan M. Ngalim Purwanto berpendapat bahwa pendidikan sosial
adalah pengaruh yang disengaja yang datang dari pendidik-pendidik (seperti
nenek, paman dan bibi, ayah dan ibu, dan guru-guru), dan pengaruh itu
berguna untuk: 1) Menjadikan anak itu anggota yang baik dalam golongannya,
2) Mengajar anak itu supaya dengan sabar berbuat sosial dalam masyarakat,
seperti dalam rapat-rapat, di jalan, dalam kereta api, di pasar, di dalam gedung
bioskop, di Kantor Pos, di warung koperasi, dan sebagainya. Pendeknya, di
mana dan bilamana saja ia berhubungan dengan orang-orang lain.12
Definisi pendidikan sosial yang lebih luas diberikan oleh Abdullah
Nasih Ulwan. Ia menjelaskan bahwa pendidikan sosial adalah:
المقصود باتربية الاجتماعية تاديب الولد منذ نعومة اظفاره على التزام اداب عية فاضلة واصول نفسية نبيلة تنبع من العقيدة الاسالمية اخلالدة والشعور اجتما
االيماني العميق ليظهر الولد فى املجتمع على خير ما يظهر به من حسن التعامل تاالب واالدموياحلك فرصالتج واضقل النالعو انز.
“Pendidikan sosial adalah pendidikan anak sejak kecil agar terbiasa
menjalankan adab sosial yang baik dan dasar-dasar psikis yang mulia dan
bersumber pada aqidah islamiyah yang abadi dan perasaan keimanan yang
mendalam agar di dalam masyarakat nanti ia terbiasa dengan pergaulan dan
adab yang baik, keseimbangan akal yang matang dan tindakan yang
bijaksana.”13
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut di atas, dapat penulis
simpulkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan sosial adalah usaha
mempengaruhi yang dilakukan dengan sadar, sengaja dan sistematis agar
individu dapat membiasakan diri dalam mengembangkan dan mengamalkan
sikap-sikap dan perilaku sosial dengan baik dan mulia dalam lingkungan
masyarakat sesuai dengan hak dan kewajibannya sebagai anggota masyarakat
dan sebagai warga negara.
12M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis,... h. 171-172. 13Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fi al-Islam, (Arab Saudi: Darus Salam,
1997), 273.
15
Atau dalam kesimpulan lain pendidikan sosial di atas, dapat penulis
simpulkan bahwa pengertian pendidikan sosial adalah esensi yang melekat
pada suatu kegiatan pendidikan yang mana pendidikan tersebut dilaksanakan
dalam rangka membantu proses perkembangan sosial sehingga anak didik
akan memilih dan melaksanakan adab sosial yang baik agar dapat hidup rukun
ditengah-tengah masyarakatnya.
B. Obyek Pendidikan Sosial
Pembahasan tentang pendidikan tidak mungkin terlepas dari obyek
yang menjadi sasarannya, yaitu manusia. Manusia diciptakan Tuhan dengan
kedudukan yang mulia, bentuk fisik yang bagus dan seimbang. Untuk
mempertahankan kedudukannya yang mulia dan bentuk pribadi yang bagus
itu, Allah melengkapinya dengan akal dan perasaan yang memungkinkannya
menerima dan mengembangkan ilmu pengetahuan, dan membudayakan ilmu
yang dimilikinya. Ini berarti bahwa kedudukan manusia sebagai makhluk yang
mulia itu karena (1) akal dan perasaan, (2) ilmu pengetahuan dan (3)
kebudayaan, yang seluruhnya dikaitkan kepada pengabdian pada sang
pencipta, Allah Swt.14 Obyek dari pendidikan sosial yang ingin penulis capai
adalah, manusia (peserta didik) setidaknya memiliki minimal tiga sikap
dibawah ini:
1. Sikap Berserah Diri Kepada Tuhan.
Menurut Nurcholis Madjid, Sikap berserah diri kepada Tuhan (ber-
islam) itu secara inheren mengandung berbagai konsekuensi. Pertama,
konsekuensi dalam bentuk pengakuan yang tulus bahwa Tuhanlah satu-
satunya sumber otoritas yang serba mutlak. Karena itu Tuhan bukan untuk
diketahui, sebab “mengetahui Tuhan” adalah mustahil. Dalam keadaan
tidak mungkin mengetahui, yang harus dilakukan manusia ialah usaha
terus menerus dan penuh kesungguhan untuk mendekatkan diri kepada-
Nya. Ini diwujudkan dengan merentangkan garis lurus itu merentang
sejajar secara berhimpitan dengan hati nurani. Berada di lubuk yang paling
14Zakiah Daradjat dkk, Ilmu Pendidikan Islam,... h. 4.
16
dalam pada hati nurani itu ialah kerinduan kepada kebenaran, yang dalam
bentuk tertingginya ialah hasrat bertemu Tuhan itu dalam semangat
berserah diri kepada-Nya. Inilah alam, tabiat atau fitrah manusia. Alam
manusia ini merupakan wujud perjanjian primordial antara Tuhan dan
manusia. Maka sikap berserah diri kepada Tuhan itulah jalan lurus menuju
kepada-Nya. Karena sikap itu berada dalam lubuk hati yang paling dalam
pada diri manusia sendiri, menerima jalan lurus itu bagi manusia adalah
sikap yang paling fitri, alami dan wajar.
Jadi sikap berserah diri kepada Tuhan ber-islam bagi manusia
adalah sesuatu yang alami dan wajar. Ber-islam menghasilkan bentuk
hubungan yang serasi antara manusia dan alam sekitar, karena alam sekitar
ini semuanya telah berserah diri serta tunduk patuh kepada Tuhan secara
alami pula. Sebaliknya, tidak berserah diri kepada Tuhan bagi manusia
adalah tindakan yang tidak alami. Manusia harus mencari kemuliaan
hanya pada Tuhan, dan bukannya pada yang lain. Ber-islam sebagai jalan
mendekati Tuhan itu ialah dengan berbuat baik kepada sesama manusia,
disertai sikap menunggalkan tujuan hidup kepada-Nya tanpa kepada yang
lain apa pun juga.15
Lebih lanjut Cak Nur (panggilan Nurcholis Madjid) menyatakan
bahwa salah satu kelanjutan logis prinsip ketuhanan itu ialah paham
persamaan manusia. Yakni bahwa seluruh umat manusia, dari segi harkat
dan martabatnya asasinya, adalah sama. Tidak seorangpun dari sesama
manusia berhak merendahkan atau menguasai harkat dan martabat
manusia lainnya, misalnya dengan memaksakan kehendak dan
pandangannya kepada orang lain. Manusia tidak mungkin mengetahui
kebenaran mutlak, pengetahuan manusia itu, betapa pun tingginya, tetap
terbatas. Karena itu setiap manusia dituntut untuk bersikap rendah diri
guna bisa mengakui adanya kemungkinan orang lain yang mempunyai
pengetahuan yang lebih tinggi. Dia harus selalu menginsafi dan
15 Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 2000), cet. 4 h.
2-3.
17
memastikan bahwa senantiasa ada Dia Yang Maha tahu. Maka manusia
dituntut untuk bisa saling mendengar sesamannya, dan mengikuti mana
saja dari banyak pandangan manusia itu paling baik.16
2. Sikap Toleransi
Toleransi adalah sikap bersedia menerima keanekaragaman dan
kebebasan agama yang dianut dan kepercayaan yang dihayati oleh pihak
atau golongan lain. Hal ini dapat terjadi karena keberadaan atau eksistensi
suatu golongan, agama, atau kepercayaan diakui dan dihormati oleh pihak
lain. Pengakuan tersebut tidak terbatas pada persamaan derajat, baik dalam
tatanan kenegaraan, tatanan kemasyarakatan, maupun dihadapan Tuhan
tetapi juga perbedaan-perbedaan dalam cara-cara penghayatan dan
peribadatannya yang sesuai dengan dasar kemanusian dan beradab.
Menurut Umar Hasyim, toleransi diartikan sebagai pemberian kebebasan
kepada sesama manusia atau kepada sesama warga masyarakat untuk
menjalankan keyakinannya, atau mengatur hidupnya, dan menentukan
nasibnya masing-masing selama tidak melanggar dan tidak bertentangan
dengan syarat-syarat asas terciptanya ketertiban dan keamanan dalam
masyarakat. Berdasarkan pemahaman ini, pada dasarnya bentuk sikap
toleransi, lebih-lebih di suatu kawasan yang menjunjung tinggi nilai-nilai
demokrasi dan egalitarianisme, sangat terkait erat dengan suatu pandangan
yang mengakui the right of self determination, yaitu suatu hak menentukan
sendiri nasib pribadi masing-masing umat dalam menentukan
keyakinannya untuk memilih suatu agama. Selanjutnya untuk lebih
memperjelas aplikasi terminologi toleransi di atas dalam kehidupan umat
beragama, ada baiknya diperhatikan segi-segi atau elemen-elemen dalam
toleransi, yang dalam hal ini setidak-tidaknya dijumpai 5 hal,17 yaitu:
16 Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban,... h. 4-5. 17 Haris Muchit (eds), Sarung dan Demokrasi dari NU untuk Peradaban Keindonesiaan,
(Surabaya: Khalista, 2008), h. 256.
18
a. Mengakui hak setiap orang. Artinya suatu sikap mental dari kalangan
umat beragama yang mengakui hak setiap orang di dalam menentukan
pilihannya dalam beragama.
b. Menghormati keyakinan orang lain. Arah dari elemen yang kedua ini
adalah tidak dibenarkan seseorang memaksakan apa yang diyakininya
untuk juga diyakini oleh orang atau golongan lain. Karena
bagaimanapun soal keyakinan dalam hal ini agama adalah urusan
pribadi yang bersifat transendental.
c. Agree in disagreement, yakni setuju dalam perbedaan. Fokus elemen
ini adalah perbedaan itu tidak harus melahirkan permusuhan, karena ia
selalu ada di dunia ini kapanpun dan dimanapun. Untuk itu, fenomena
perbedaan agama tidak semestinya memunculkan pertentangan.
d. Saling pengertian di antara umat beragama. Artinya, bila hal ini tidak
dimiliki oleh masing-masing pemeluk agama maka yang terjadi adalah
saling membenci, saling berebut pengaruh dalam rangka memonopoli
kebenaran. Dan ujung-ujungnya adalah konflik di antara umat
beragama akan terjadi.
e. Kesadaran dan kejujuran. Dalam hal ini dapat diilustrasikan, di sebuah
kendaraan bus umum terdapat seorang ibu dengan anaknya yang masih
kecil menangis dengan keras. Orang-orang yang ada disekitarnya bila
tidak toleran, tentunya mereka akan menggerutu atau bahkan
mengumpat ibu itu karena dirasakan sangat menganggu. Sementara
yang berjiwa toleran, tentunya mereka akan menekan perasaannya,
atau justru merasa kasihan kepada si ibu tadi. Dari ilustrasi tadi dapat
disimpulkan, bahwa toleransi itu menyangkut sikap jiwa dan kesadaran
batin seseorang. Kesadaran jiwa menimbulkan kejujuran dalam sikap
dan tingkah laku.18
18Haris Muchit (eds), Sarung dan Demokrasi dari NU,.... h. 257.
19
3. Solidaritas Sosial
Manusia adalah makhluk sosial. Kebersamaan antara beberapa
individu dalam wilayah membentuk masyarakat yang walaupun berbeda
sifatnya dengan individu-individu tersebut, namun tidak dapat dipisahkan
darinya. Manusia tidak dapat hidup tanpa masyarakatnya, sekian banyak
pengetahuan diperolehnya melalui masyarakatnya seperti bahasa, adat
istiadat, sopan santun dan lain-lain. Demikan juga dalam bidang material.
Betapapun seseorang memiliki kepandaian, namun hasil-hasil material
yang diperolehnya adalah berkat bantuan pihak-pihak lain, baik secara
langsung dan disadari, maupun tidak. Seseorang bisa berhasil itu tidak
mungkin dengan sendirinya dan diwujudkannya dengan mandiri. Manusia
itu mengelola, tetapi Allah yang menciptakan dan memilikinya. Dengan
demikian wajar jika Allah memerintahkan untuk mengeluarkan sebagian
kecil dari harta yang diamanatkan kepada seseorang itu demi kepentingan
orang lain.19
Menurut Said Aqil Siroj, lahirnya persaudaraan (ukhuwah)
diilhami oleh eksistensi manusia sebagai makhluk sosial. Ia lahir dari
lembaga institusi terkecil dalam komunitas sosial yang dinamakan
keluarga. Beberapa keluarga kemudian membentuk RT, RW, desa,
kelurahan, kecamatan, kabupaten, propinsi, hingga terwujud sebuah
bangunan negara. Semakin melebar dan membesarnya institusi-institusi di
atas keluarga, tentu tidak dimaksudkan untuk memudarkan nilai-nilai
persaudaraan, namun justru harus semakin merekatkan suatu bangunan
keluarga besar. Segenap individu yang berada dalam suatu wadah negara,
dengan demikian, mutlak memerlukan adanya rasa saling memilki,
mencintai serta menyayangi antara satu dengan lainnya sebagai
manifestasi kehidupan “keluarga besar” tersebut.20
19M. Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2000), h. 324. 20 Said Aqil Siroj, Tasawuf sebagai kritik sosial, (Jakarta: LTN PBNU, 2012), h. 282.
20
C. Tujuan Pendidikan Sosial
Pendidikan adalah suatu kegiatan yang sadar akan tujuan. Dengan
demikian tujuan merupakan salah satu hal yang penting dalam kegiatan
pendidikan. Menurut undang-undang SISDIKNAS RI tahun 2003 tujuan
pendidikan adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggungjawab.21 Secara umum tujuan
pendidikan dapat dikatakan membawa anak didik agar dapat berdiri sendiri
(mandiri) di dalam hidupnya di tengah-tengah masyarakat.22 Menurut
Jalaluddin, karena pendidikan berdimensi sosial, maka tujuan pendidikan
diarahkan kepada pembentukan manusia yang memiliki kesadaran akan
kewajiban, hak dan tanggung jawab sosial, serta sikap toleran, agar
keharmonisan hubungan antar sesama manusia dapat berjalan dengan
harmonis. Lebih lanjut Jalaluddin, menyatakan dalam kaitan dengan
kehidupan bermasyarakat tujuan pendidikan diarahkan pada pembentukan
manusia sosial yang memiliki sifat takwa sebagai dasar sikap dan perilaku.23
Sementara tujuan pendidikan sosial sebagaimana dijelaskan oleh M. Ngalim
Purwanto MP adalah:
1. Mengajar anak-anak yang hanya mempunyai hak saja, menjadi manusia
yang tahu dan menginsafi tugas dan kewajibannya terhadap bermacam-
macam golongan dalam masyarakat.
2. Membiasakan anak-anak berbuat mematuhi dan memenuhi tugas
kewajiban sebagai anggota masyarakat dan sebagai warga negar.24
Dari pengertian di atas, pendidikan sosial bertujuan agar individu dapat
mengimplementasikan hak dan kewajibannya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
21Undang-Undang SISDIKNAS UU RI Nomor 20 Tahun 2003, (Jakarta: Sinar Grafika,
2009), h. 7. 22B. Suryosubroto, Beberapa Aspek Dasar-dasar Kependidikan (Jakarta: Rineka cipta,
2010), h. 9. 23Jalaluddin, Teologi Pendidikan, ( Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), cet. 2 h. 97. 24M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis,.... h. 171.
21
D. Unsur-Unsur Pendidikan Sosial
Unsur-unsur pendidikan sosial adalah hal yang memungkinkan
terselenggaranya proses pendidikan, unsur tersebut memiliki hubungan yang
erat antara satu unsur dengan unsur yang lainnya. Dalam pendidikan sosial
tidak dijelaskan secara khusus tentang unsur-unsur pendidikan sosial,
melainkan merupakan penjabaran atas unsur-unsur pendidikan secara umum
kemudian diarahkan kepada pendidikan sosial. Di dalam buku pengantar
pendidikan, dijelaskan beberapa unsur pokok pendidikan yaitu: Subjek yang
dibimbing (peserta didik), orang yang membimbing (pendidik), interaksi
antara peserta didik dengan pendidik (interaksi edukatif), Ke arah mana
bimbingan ditujukkan (tujuan pendidikan), pengaruh yang diberikan dalam
bimbingan (materi pendidikan), cara yang digunakan dalam bimbingan (alat
dan metode).25
Berdasarkan pendidikan tersebut di atas maka unsur-unsur yang harus
ada dalam pendidikan sosial adalah:
1. Subjek Yang Di Bimbing (Peserta Didik)
Peserta didik berstatus sebagai subjek didik. Pandangan modern
cenderung menyebut demikian oleh karena peserta didik (tanpa pandang
usia) adalah subjek atau pribadi yang otonom, yang ingin diakui
keberadaannya. Selaku pribadi yang memiliki ciri khas dan otonomi, ia
ingin mengembangkan diri (mendidik diri) secara terus-menerus guna
memecahkan masalah-masalah hidup yang dijumpai sepanjang hidupnya.
Ciri khas peserta didik yang perlu dipahami oleh pendidik, yaitu:
a. Individu Yang Memiliki Potensi Fisik Dan Psikis Yang Khas,
Sehingga Menjadi Insan Yang Unik.
Anak sejak lahir telah memiliki potensi-potensi yang ingin
dikembangkan dan diaktualisasikan. Unuk mengaktualisasikannya
membutuhkan bantuan dan bimbingan.
25Umar Tirtarahardja dan S.L.La Sulo, Pengantar Pendidikan,.... h. 51-52.
22
b. Individu Yang Sedang Berkembang
Yang dimaksud dengan perkembangan disini ialah perubahan
yang terjadi dalam diri peserta didik secara wajar, baik ditujukan
kepada diri sendiri maupun ke arah penyesuaian dengan lingkungan.
c. Individu Yang Membutuhkan Bimbingan Individual Dan Perlakuan
Manusiawi.
Dalam proses perkembangannya peserta didik membutuhkan
bantuan dan bimbingan. Bayi yang baru lahir secara badani dan hayati
tidak terlepas dari ibunya, seharusnya setelah ia tumbuh berkembang
menjadi dewasa ia sudah dapat hidup sendiri. Tetapi kenyataannya
untuk kebutuhan perkembangan hidupnya, ia masih menggantungkan
diri sepenuhnya kepada orang dewasa, sepanjang ia belum dewasa. Hal
ini menunjukkan bahwa pada diri peserta didik ada dua hal yang
menggejala, yaitu:
1) Keadaannya yang tidak berdaya menyebabkan ia membutuhkan
bantuan. Hal ini menimbulkan kewajiban orang tua untuk
membantunya.
2) Adanya kemampuan untuk mengembangkan dirinya, hal ini
membutuhkan bimbingan. Orang tua berkewajiban untuk
membimbingnya. Agar bantuan dan bimbingan itu mencapai hasil
maka harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak.
d. Individu Yang Memiliki Kemampuan Untuk Mandiri
Dalam perkembangan peserta didik ia mempunyai kemampuan
untuk berkembang ke arah kedewasaan. Pada diri anak ada
kecenderungan untuk memerdekakan diri. Hal ini menimbulkan
kewajiban pendidik dan orang tua (si pendidik) untuk setapak demi
setapak memberikan kebebasan dan pada akhirnya mengundurkan diri.
Jadi, pendidik tidak boleh memaksakan agar peserta didik berbuat
menurut pola yang dikehendaki pendidik. Ini dimaksud agar peserta
didik memperoleh kesempatan memerdekakan diri dan bertanggung
23
jawab sesuai dengan kepribadiannya sendiri. Pada saat ini si anak telah
dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab sendiri.26
Menurut M. Ngalim Purwanto, mengapa mendidik itu
dikatakan memimpin perkembangan anak, dan bukan membentuk
anak? Memang, kata “memimpin” di sini tepat. Anak bukanlah
seumpama segumpal tanah liat yang dapat di remas-remas dan
dibentuk dijadikan sesuatu menurut kehendak si pendidik. Jika
sekiranya betul demikian, sudah tentu kita dapat mengharapkan bahwa
nanti manusia itu akan menjadi “baik” semua. Sebab menurut
kenyataan hampir semua manusia diusahakan dididik, baik oleh orang
tuanya maupun oleh masyarakat dan negara. Sehingga akhirnya
mungkin pemerintah atau negara tidak perlu lagi mengadakan polisi
dan penjara.
Pendidikan disebut pimpinan karena dengan perkataan ini
tersimpul arti bahwa si anak aktif sendiri, memperkembangkan diri,
tumbuh sendiri, tetapi di dalam keaktifannya itu harus dibantu dan di
pimpin.27
2. Orang Yang Membimbing (Pendidik)
Yang dimaksud dengan pendidik adalah orang yang
bertanggungjawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran
peserta didik. Peserta didik mengalami pendidikannya dalam tiga
lingkungan yaitu, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan
lingkungan masyarakat. Oleh sebab itu yang bertanggungjawab terhadap
pendidikan ialah orang tua, guru dan masyarakat.
Orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak
mereka, karena dari merekalah anak mula-mula menerima pendidikan.
Dengan demikian bentuk pertama dari pendidikan terdapat dalam
kehidupan keluarga. Pada umumnya pendidikan dalam rumah tangga itu
26Umar Tirtarahardja dan S.L.La Sulo, Pengantar Pendidikan,.... h. 52-53. 27M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis,.... h. 15.
24
bukan berpangkal tolak dari kesadaran dan pengertian yang lahir dari
pengetahuan mendidik, melainkan karena secara kodrati suasana dan
strukturnya memberikan kemungkinan alami membangun situasi
pendidikan. Situasi pendidikan itu terwujud berkat adanya pergaulan dan
hubungan pengaruh mempengaruhi secara timbal balik antara orang tua
dan anak.28
Sementara tugas sebagai guru harus didukung oleh suatu perasaan
bangga akan tugas yang dipercayakan kepadanya untuk mempersiapkan
generasi kualitas masa depan bangsa. Walaupun berat tantangan dan
rintangan yang dihadapi dalam pelaksanaan tugasnya harus tetap tegar
dalam melaksanakan tugas sebagai seorang guru.
Pendidikan adalah proses yang direncanakan agar semua
berkembang melalui proses pembelajaran. Guru sebagai pendidik harus
dapat mempengaruhi ke arah proses itu sesuai dengan tata nilai yang
dianggap baik dan berlaku dalam masyarakat.
Tata nilai termasuk norma, moral, estetika, dan ilmu pengetahuan,
mempengaruhi perilaku etik siswa sebagai pribadi dan sebagai anggota
masyarakat. Penerapan disiplin yang baik dalam proses pendidikan akan
menghasilkan sikap mental, watak, dan kepribadian siswa yang kuat. Guru
dituntut harus mampu membelajarkan kepada siswanya tentang
kedisiplinan diri, belajar membaca, mencintai buku, menghargai waktu,
belajar bagaimana cara belajar, mematuhi aturan/tata tertib dan belajar
bagaimana harus berbuat. Semuanya itu akan berhasil apabila guru juga
disiplin dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.29 Sedangkan
tanggungjawab masyarakat, besar pengaruhnya dalam memberi arah
terhadap pendidikan anak, terutama para pemimpin mayarakat atau
penguasa yang ada didalamnya. Pemimpin masyarakat agamis tentu saja
menghendaki agar setiap anak didik menjadi anggota yang taat dan patuh
menjalankan agamanya, baik dalam lingkungan keluarganya, anggota
28Zakiah Darajat dkk, Ilmu Pendidikan Islam,.... h. 35. 29Rusman, Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2011), h. 55.
25
sepermainannya, kelompok kelasnya dan sekolahnya. Bila anak telah besar
diharapkan menjadi anggota yang baik pula sebagai warga desa, warga
kota dan warga negara. 30
Dengan demikian, dipundak mereka terpikul keikutsertaan
membimbing pertumbuhan dan perkembangan anak. Ini berarti bahwa
orang tua, guru, dan pemimpin/penguasa dari masyarakat ikut
bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan pendidikan. Sebab
tanggungjawab pendidikan pada hakikatnya merupakan tanggungjawab
moral dari setiap orang dewasa baik sebagai perseorangan maupun sebagai
kelompok sosial.
3. Interaksi Antara Peserta Didik Dengan Pendidik (Interaksi Edukatif)
Interaksi edukatif pada dasarnya adalah komunikasi timbal balik
antar peserta didik dan pendidik yang terarah kepada tujuan pendidikan.
Pencapaian tujuan pendidikan secara optimal ditempuh melalui proses
berkomunikasi intensif dengan memanipulasi isi, metode serta alat-alat
pendidikan.
4. Pengaruh Yang Diberikan Dalam Bimbingan (Materi Pendidikan)
Dalam sistem pendidikan persekolahan, materi telah disiapkan
dalam kurikulum yang akan disajikan sebagai sarana pencapaian tujuan.
Materi ini meliputi materi inti maupun muatan lokal. Materi ini bersifat
nasional yang mengandung misi pengendalian dan persatuan bangsa.
Sedangkan muatan lokal misinya adalah mengembangkan kebhinekaan
kekayaan budaya sesuai dengan kondisi lingkungan. Dengan demikian
jiwa dan semangat bhineka tunggal ika dapat di tumbuh kembangkan.
5. Cara Yang Digunakan Dalam Bimbingan (Alat Dan Metode)
Alat dan metode pendidikan merupakan dua sisi dari satu mata uang.
Alat melihat jenisnya sedangkan metode melihat efisiensi dan
30Zakiah Darajat dkk, Ilmu Pendidikan Islam,..... h. 45.
26
efektivitasnya. Alat dan metode diartikan sebagai segala sesuatu yang
dilakukan ataupun diadakan dengan sengaja untuk mencapai tujuan
pendidikan. Alat pendidikan dibedakan atas yang preventif dan yang
kuratif.
a. Yang bersifat preventif, yaitu yang bermaksud mencegah terjadinya
hal-hal yang tidak dikehendaki misalnya larangan, pembatasan,
peringatan bahkan juga hukuman.
b. Yang bersifat kuratif, yaitu yang bermaksud memperbaiki, misalnya
ajakan, contoh, nasihat, dorongan, pemberian kepercayaan, saran,
penjelasan, bahkan juga hukuman.
Untuk memilih dan menggunakan alat pendidikan yang efektif ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
1) Kesesuaian denggan tujuan yang ingin dicapai
2) Kesesuaian dengan peserta didik
3) Kesesuaian dengan pendidik
4) Kesesuaian dengan situasi dan kondisi saat digunakannya alat
tersebut.
Persyaratan tersebut perlu diperhatikan agar jangan sampai salah.
Sebab kesalahan pemakaian alat dan metode menjadikan peserta didik frustasi.
Salah satu alat pendidikan yang sangat istimewa dan bersifat khusus yaitu
hukuman. Sebab karena hukuman menimbulkan penderitaan, sehingga
penggunaan hukuman harus dipertimbangkan dengan seksama, baru boleh
digunakan manakala sudah tidak ada alat lain yang berkhasiat. Itu pun harus
diperhitungkan sedemikian rupa sehingga hukuman dapat menimbulkan efek
jera sesuai dengan kemampuan si pelaku untuk memikulnya. Inilah yang
dimaksud dengan hukuman yang pedagogis. Hanya hukuman yang demikian
bersifat memperbaiki yaitu menjadikan si pelaku menyadari kesalahannya,
menyesali perbuatannya, dan memperbaiki dirinya. 31
Sebagai alat pendidikan, hukuman hendaklah: senantiasa merupakan
jawaban atas suatu pelanggaran, sedikit-banyaknya selalu bersifat tidak
31Umar Tirtarahardja dan S.L.La Sulo, Pengantar Pendidikan,.... h. 52-56.
27
menyenangkan, selalu bertujuan ke arah perbaikan; hukuman itu hendaklah
diberikan untuk kepentingan anak itu sendiri, Ngalim Purwanto menyatakan
bahwa maksud orang memberi hukuman itu bermacam-macam. Hal ini sangat
bertalian erat dengan pendapat orang tentang teori-teori hukuman.
1. Teori Pembalasan
Teori inilah yang tertua. Menurut teori ini, hukuman diadakan
sebagai pembalasan dendam terhadap kelainan dan pelanggaran yang telah
dilakukan seseorang. Tentu saja teori ini tidak boleh dipakai dalam
pendidikan di sekolah.
2. Teori Perbaikan
Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk membasmi kejahatan.
Jadi, maksud hukuman itu ialah untuk memperbaiki si pelanggar agar
jangan berbuat kesalahan semaacam itu lagi. Teori inilah yang lebih
bersifat pedagogis karena bermaksud memperbaiki si pelanggar, baik
lahiriah maupun batiniahnya.
3. Teori Perlindungan
Menurut teori ini hukuman diadakan untuk melindungi masyarakat
dari perbuatan-perbuatan yang tidak wajar. Dengan adanya hukuman ini,
masyarakat dapat dilindungi dari kejahatan yang telah dilakukan oleh si
pelanggar.
4. Teori Ganti Rugi
Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk mengganti kerugian
yang telah diderita akibat dari kejahatan atau pelanggaran itu. Hukuman
ini banyak dilakukan dalam masyarakat atau pemerintahan. Dalam proses
pendidikan, teori ini masih belum cukup. Sebab dengan hukuman
semacam itu anak mungkin menjadi tidak merasa bersalah atau berdosa
karena kesalahannya itu telah terbayar dengan hukuman.
28
5. Teori Menakut-nakuti
Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk menimbulkan perasaan
takut kepada si pelanggar akan akibat perbuatannya yang melannggar itu
sehingga ia akan selalu takut melakukan perbuatan itu dan mau
meninggalkannya. Teori ini masih membutuhkan teori perbaikan. Sebab
dengan teori ini besar kemungkinan anak meninggalkan suatu perbuatan
itu hanya karena takut, bukan keinsafan bahwa perbuatannya memang
sesat atau memang buruk. Dalam hal ini anak tidak terbentuk kata
hatinya.32
E. Metode dan Strategi Pendidikan Sosial
Pemilihan strategi pembelajaran (pendidikan) yang tepat sangatlah
penting. Artinya, bagaimana guru dapat memilih kegiatan pembelajaran yang
paling efektif dan efisien untuk menciptakan pengalaman belajar yang baik,
yaitu yang dapat memberikan fasilitas kepada peserta didik mencapai tujuan
pembelajaran. Namun perlu diingat bahwa tidak satu pun strategi
pembelajaran yang paling sesuai untuk semua situasi dan kondisi yang
berbeda, walaupun tujuan pembelajaran yang ingin dicapai sama. Artinya
dibutuhkan kreativitas dan keterampilan guru dalam memilih dan
menggunakan strategi pembelajaran, yaitu yang disusun berdasarkan
karakteristik peserta didik dan sesuai kondisi yang diharapkan.
Strategi pembelajaran pada dasarnya adalah suatu rencana untuk
mencapai tujuan. Terdiri dari metode, teknik, dan prosedur yang mampu
menjamin peserta didik benar-benar akan dapat mencapai tujuan akhir
kegiataan pembelajaran (pendidikan).33
Terkait dengan strategi pendidikan sosial penyusun berupaya
menggabungkan dengan metode pendidikan sosial, hal ini dikarenakan karena
metode adalah bagian dari strategi pendidikan.
32M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis,.... h.187-188. 33Hamzah B. Uno, Nurdin Mohamad, Belajar dengan Pendekatan PAILKEM (Jakarta:
Bumi Aksara 2011), h. 6.
29
Menurut Abdullah Nashih Ulwan, metode pendidikan sosial ini
berkisar pada hal-hal berikut ini:
1. Penanaman Dasar-dasar Psikis yang mulia
Islam telah menegaskan dasar-dasar pendidikan yang utama di
dalam jiwa individu-individu, baik kecil maupun besar, laki-laki maupun
wanita, orang tua maupun pemuda, di atas dasar-dasar kejiwaan yang
mulia dan mapan. Untuk menanamkan dasar-dasar psikhis di dalam diri
individu dan kelompok, Islam telah menetapkan arahan-arahan yang
sangat berharga, demi tercapainya kesempurnaan pendidikan sosial, dari
segi makna maupun tujuannya. Berikut ini beberapa dasar psikis
terpenting yang diutamakan Islam untuk ditanamkan antara lain:
a. Takwa
Takwa ialah membersihkan hati dari kotoran dan membersihkan badan
dari dosa, baik dosa tangan, kaki, kemaluan, mulut, mata, hidung,
maupun telinga. Takwa ialah waspada dan berhati-hati dari
penyimpangan apa pun. Orang tanpa dosa itulah orang yang benar-
benar bertakwa.34 Takwa merupakan suatu nilai akhir dan hasil alami
dari perasaan keimanan secara mendalam yang berhubungan dengan
ingat kepada Allah, takut kepada murka dan siksa-Nya serta harapan
akan ampunan dan pahala-Nya. Menurut definisi para ulama, takwa
adalah Allah tidak melihatmu di dalam apa saja yang diperintahkan-
Nya kepadamu. Menurut sebagian ulama lain, takwa adalah
menghindarkan adzab Allah Swt, dengan jalan melaksanakan amal
saleh, dan takut kepada Allah, baik dalam keadaan sembunyi-
sembunyi maupun terang-terangan.35
Di samping dapat menguasai hati orang mu’min dengan ketakutan
kepada Allah dan selalu mengingat-Nya, takwa juga merupakan
sumber, keutamaan sosial, bahkan satu-satunya jalan untuk
menghindar berbagai kerusakan, kejahatan, dosa dan duri. Bahkan ia
34Muchlis M. Hanafi (ed), Spiritualitas dan Akhlak, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran, 2010), h. 78.
35Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fi al-Islam,.... h. 274.
30
merupakan sarana pertama yang mewujudkan kesadarannya di dalam
diri individu secara sempurna terhadap masyarakat dan seluruh
makhluk hidup yang ditemuinya.
b. Persaudaraan
Persaudaraan adalah ikatan kejiwaan yang mewarisi perasaan
mendalam tentang kasih sayang, kecintaan dan pengorbanan terhadap
setiap orang yang diikat oleh perjanjian-perjanjian akidah islamiyah,
keimanan dan ketakwaan. Perasaan persaudaraan yang benar ini
melahirkan perasaan-perasaan mulia di dalam jiwa muslim untuk
membentuk sikap-sikap positif, seperti saling tolong menolong,
mengutamakan orang lain, kasih sayang, dan pemberian maaf serta
menjauhi sikap-sikap negatif, seperti menjauhi setiap hal yang
membahayakan manusia di dalam diri, harta dan kehormatan mereka.
Islam telah menganjurkan persaudaraan ini di jalan Allah, dan telah
menjelaskan segala permasalahan dan kelazimannya di dalam banyak
ayat Al-Qur’an dan hadits.36 Sebagai hasil dari persaudaraan dan
percintaan dijalan Allah ini mereka saling kasih mengasihi, saling
mengutamakan kepentingan orang lain, saling tolong menolong dan
saling memberi jaminan.
c. Kasih Sayang
Kasih sayang adalah suatu kelembutan di dalam hati, perasaan halus di
dalam hati nurani, dan suatu ketajaman perasaan yang mengarah pada
perlakuan lemah lembut terhadap orang lain, keturutsertaan di dalam
merasakan kepedihan, belas kasih terhadap mereka dan upaya
menghapus air mata kesedihan dan penderitaan. Ia merupakan suatu
perasaan yang menyerukan orang mu’min untuk lari dari penderitaan,
36Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fi al-Islam,... h. 276.
31
menjauhi kejahatan menjadi suatu sumber kebaikan, kebajikan dan
keselamatan bagi seluruh umat manusia 37
d. Mengutamakan Orang Lain
Masalah ini merupakan suatu perasaan psikologis yang lebih
mengutamakan orang lain dibanding dirinya sendiri dalam berbagai
kebaikan dan kepentingan pribadi yang bermanfaat. Mengutamakan
orang lain merupakan suatu perangai mulia yang apabila dimaksudkan
untuk mendapatkan keridhaan Allah, ia akan menjadi salah satu dasar
kejiwaan berdasarkan kebenaran iman, ketulusan niat dan kesucian
diri. Pada waktu yang bersamaan, ia merupakan salah satu sendi yang
kuat bagi jaminan sosial dan perwujudan kebaikan bagi umat
manusia.38
e. Pemberian Maaf
Pemberian maaf merupakan suatu kemuliaan perasaan psikologis yang
meliputi rasa toleransi penyerahan hak, sekalipun orang yang
memusuhi itu adalah orang zalim. Dengan syarat, bahwa orang
teraniaya itu mampu membalas dendam bukan terhadap kehormatan
ad-din dan kesucian Islam. Jika tidak demikian, maka pemberian maaf
disini bermakna suatu kehinaan, penyerahan diri dan sikap tunduk.
Maaf dengan makna dan persyaratan ini merupakan tabiat akhlak
secara murni yang menunjukkan dalamnya keimanan dan ketinggian
adab Islami. 39
f. Keberanian
Keberanian merupakan suatu kekuatan psikologis yang diserap oleh
orang mu’min dari keimanan terhadap Tuhan yang diyakini sebagai
kebenaran yang ia peluk, keabadian yang ia yakini, qadar yang ia
37Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fi al-Islam,... h. 278. 38Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fi al-Islam,.... h. 280. 39Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fi al-Islam,.... h. 282.
32
serahkan dirinya kepadanya, tanggungjawab yang ia sadari dan
pendidikan yang menumbuhkannya. Kadar kekuatan keberanian dan
mengatakan kalimat yang haq yang dimiliki
oleh seorang mu’min sesuai dengan kadar keimanannya kepada Allah
yang tiada terkalahkan, kebenaran yang tiada terabaikan, qadar yang
tidak berubah, tanggungjawab yang tiada pernah lelah dan pendidikan
yang tiada membosankan.40
2. Memelihara Hak-hak Orang-orang Lain
Hak-hak sosial terpenting yang harus disampaikan sebagai upaya
pendidikan kepada anak agar ia dapat melaksanakannya secara baik
adalah: hak terhadap kedua orang tua, hak terhadap saudara-saudara, hak
terhadap guru, hak terhadap teman, hak terhadap orang besar. Tugas
pendidik hendaknya mengajarkan dan menanamkan semua itu kepada
anak-anak didik.
Sehingga setahap demi setahap anak dapat menghormati orang
yang lebih tua dan orang tua. Di samping itu, sejak kecilnya ia sudah dapat
memahami hak orang yang usianya lebih tua dibanding dirinya, serta
berlaku sopan terhadap orang-orang yang mempunyai kelebihan di dalam
ilmu, keutamaan dan kedudukan. Jika pendidik meletakkan dasar-dasar
kesopanan dan berbuat baik kepada anak-anak, maka tidak diragukan lagi
mereka akan menghormati orang-orang yang mempunyai keutamaan,
terutama orang tua.
Untuk ini kita sangat membutuhkan para pendidik dan guru yang
memahami hakekat-hakekat pendidikan dalam Islam, di samping gigih di
dalam menanamkan sistem ini, maka umat Islam akan dapat mencapai
akhlak sosial dan adab islami yang tinggi. Dan ketika itu seluruh kaum
mu’minin akan merasa gembira dengan terciptanya generasi yang tumbuh,
masyarakat yang mulia dan ketenteraman yang diharapkan.41
40Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fi al-Islam,.... h. 285. 41Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fi al-Islam,.... h. 290.
33
3. Melaksanakan Adab-adab Sosial
Adab-adab sosial berkait erat dengan penanaman dasar-dasar
psikhis. Pelaksanaan adab-adab sosial secara umum berpijak pada
landasan akidah iman dan takwa, persaudaraan, kasih sayang, lebih
mengutamakan orang lain dan sopan santun, sehingga pendidikan sosial
akan mencapai tujuannya yang paling tinggi. Bahkan ia akan tampil di
masyarakat dengan perangai, akhlak dan interaksi yang sangat baik
sebagai insan yang lurus, cerdas, bijak dan harmonis.
Contoh dari adab-adab sosial adalah adab makan dan minum, adab
memberi salam, adab meminta izin, adab di dalam majelis, adab berbicara,
adab bergurau, adab mengucapkan selamat, adab menjenguk orang sakit,
adab bertakziyah, adab bersin dan menguap.42
4. Pengawasan Dan Kritik Sosial
Di antara dasar sosial terpenting di dalam membentuk perangai dan
mendidik kehidupan sosial anak, adalah membiasakan anak sejak kecil
untuk mengadakan pengawasan dan kritik sosial, membina setiap individu
yang dipergauli, diikuti atau mengikuti, dan memberikan nasehat kepada
setiap individu yang tampaknya menyimpang dan menyeleweng43.
Ringkasnya, membiasakan anak sejak masa pertumbuhannya untuk
melaksanakan kewajiban memerintahkan kebaikan dan mencegah
kemungkaran, yang merupakan salah satu dasar Islam yang fundamental di
dalam memelihara pendapat umum, memerangi kerusakan dan
penyimpangan serta memelihara nilai, keteladanan dan akhlak umat Islam.
Kata kunci dalam pengawasan dan kritik sosial adalah introspeksi
dan menerima kritikan orang lain. Menurut Khalil al-Musawi Introspeksi
adalah salah satu bentuk penghitungan diri, dan merupakan alat penting
bagi manusia dalam memperbaiki kesalahan-kesalahannya. Bila orang
tidak mempunyai penasehat dari dalam dirinya, maka nasihat apapun tidak
42Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fi al-Islam,.... h.300. 43Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fi al-Islam,.... h.310.
34
bermanfaat baginya. Bila orang tidak mau menerima kritikan dari
nuraninya sendiri, maka ia tidak akan dapat menerimanya dari orang lain.
Lebih lanjut Khalil menyatakan, disamping melakukan introspeksi diri,
seseorang juga harus mau menerima kritikan yang dilontarkan orang lain.
Orang yang mau menerima kritikan orang lain adalah orang yang memiliki
jiwa positif dan konstruktif. Mau menerima kritikan orang lain adalah
pertanda kelapangan dada, kesabaran, kemampuan mengendalikan diri,
kedalaman akal dan hikmah. 44
F. Hasil Penelitian yang Relevan
Adapun hasil penelitian yang relevan dengan penelitian yang penulis
lakukan adalah sebagai berikut:
1. Ninik Chamidah, dengan tema “Konsep Zakat dalam Islam dan
Implikasinya Terhadap Pendidikan Sosial.” Karya ini menjelaskan
pengaruh zakat dalam pendidikan sosial mempunyai arti dan peran penting
yang berkaitan dengan kesejahteraan dan pemerataan pengembangan
ekonomi masyarakat miskin melalui jalan memperkecil jurang dan jarak
antara si kaya dan si miskin dan akan menumbuhkan rasa kasih sayang dan
persaudaraan dalam persatuan Islam di dalam masyarakat yang
bersangkutan.45 Ajaran Islam menjadikan Ibadah yang mempunyai aspek
sosial sebagai landasan membangun satu sistem yang mewujudkan
kesejahteraan dunia dan akhirat. Dengan mengintegrasikannya dalam
Ibadah berarti memberikan peranan penting pada keyakinan keimanan
yang mengendalikan seorang mukmin dalam hidupnya. Namun demikian,
zakat bukanlah satu-satunya gambaran dari sistem yang ditampilkan oleh
ajaran Islam dalam mewujudkan keejahteraan umum bagi masyarakat.
Namun juga harus diakui bahwa zakat sangat penting arti dan
kedudukannya karena merupakan titik sentral dari sistem tersebut.
44 Khalil al-Musawi, Terapi Akhlak, (Jakarta: Zaytuna, 2011), h. 102-103. 45Ninik Chamidah, Konsep Zakat dalam Islam dan Implikasinya Terhadap Pendidikan
Sosial (Semarang: UIN Sunan Kalijaga Press, 2006).
35
2. Aunur Rofiq, dengan karya ilmiah berjudul “Konsep Metode Pendidikan
Sosial Anak Perspektif Abdullah Nashih Ulwan (Studi Dalam Manusiab
Tarbiyatul Awlad Fil Islam).46 Karya ini menjelaskan bahwa metode
pendidikan sosial anak ialah jalan/cara untuk menanamkan pengetahuan
sosial pada diri seseorang anak sehingga terlihat dalam pribadi obyek
sasaran yaitu pribadi yang mempunyai kecakapan sosial. Adapun Macam-
macam Metode Pendidikan sosial anak menurut Nashih Ulwan meliputi 4
hal yakni metode penanaman dasar-dasar kejiwaan yang mulia, metode
memelihara hak orang lain, metode disiplin etika sosial, dan metode
kontrol dan kritik sosial. Sementara macam-macam metode pendidikan
sosial konvensional Islam, antara lain: Metode Keteladanan, Metode
Pembiasaan, Metode Hukuman dan Ganjaran, Metode kisah Qur'ani,
Metode Ibrah dan Mauidzah, Metode tarhib wa targhib.
3. Suyadi, dengan tema “Konsep Fiqih Sosial dan Implikasinya Terhadap
Pendidikan Islam (Telaah Pemikiran KH. Sahal Mahfudh).” Karya ini
berpijak pada kerangka epistemologi Fiqih sosial KH. MA. Sahal
Mahfudh. Fiqih sosial, perbincangan antara fiqih dengan realitas yang ada,
berkembang. Menempatkan fiqih tidak hanya sebagai mengenai ritual
agama (hubungan vertikal). Tapi lebih pada prinsip mencari kemaslahatan
bersama (ibadah sosial). Dengan dalil, yaitu mempertahankan hal lama
yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik. Kemudian manusia
cari implikasi pemikiran di atas terhadap Pendidikan Islam.
Karenanya secara konteksnya, antara fiqih dengan pendidikan Islam
mempunyai kesamaan. Penulis merujuk pada buku babon fikih sosialnya
Sahal Mahfudh untuk kemudian dibandingkan dengan Tafsir al-Qur'an
Tematik (Sosial).47
46Aunur Rofiq, Konsep Metode Pendidikan Sosial Anak Perspektif Abdullah Nashih
Ulwan (Studi Dalam Kitab Tarbiyatul Awlad Fil Islam) (Surabaya: UIN-Sunan Ampel Press, 2010).
47Suyadi, Konsep Fiqih Sosial dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam (Telaah Pemikiran KH. Sahal Mahfudh) , (Solo: Tiga Serangkai, 2006).
36
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitian
1. Objek penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah mengenai pendidikan sosial
yang terkandung dalam surat Ali Imran ayat 159.
2. Waktu penelitian
Adapun waktu yang dilalui penulis dalam penelitian ini adalah
mulai tanggal 19 februari 2013 sampai tanggal 15 Januari 2014.
B. Metode Penulisan
1. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan data penelitian
kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif analisis dengan
menggunakan teknik analisis kajian melalui studi kepustakaan (Library
Reseach).
2. Sumber Data
Sumber data pada penelitian ini berasal dari literatur-literatur yang
berkaitan dengan tema dalam penelitian ini. Sumber-sumber tersebut
terdiri dari data primer, yaitu kitab suci al-Qur’an dan kitab-kitab tafsir al-
Qur’an yang menjelaskan ayat 159 surat Ali Imran, di antaranya: kitab
Al-Qur’an dan Tafsirnya, Tafsir Al-Mishbah karya M. Quraish Shihab,
Tafsir Nurul Qur’an karya Alamah Kamal Faqih Imani, Tafsir Al-
37
Qurthubi dan Tafsir Al-Azhar karya Hamka. Dan data sekunder, yaitu
dari buku-buku yang membahas mengenai pendidikan sosial.
3. Analisis Data
Adapun analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan analisis metode tafsir tahlili.
Dalam metode ini biasanya mufasir menguraikan makna yang
dikandung oleh Al-Qur’an ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai
dengan urutannya di dalam mushaf. Uraian tersebut menyangkut berbagai
aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan seperti pengertian, kosa kata,
konotasi, kalimatnya, latar belakang turun ayat, kaitannya dengan ayat
lain, baik sebelum maupun sesudahnya (munasabat), dan tidak
ketinggalan pendapat-pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan
tafsiran ayat-ayat tersebut; baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat
maupun para tabi’in dan ahli tafsir lainnya.1
C. Fokus Penelitian
Menurut Sugiyono, “batasan masalah dalam penelitian kualitatif
disebut fokus, yang berisi pokok masalah yang masih bersifat umum”.2
Dengan melihat pendapat Sugiyono, maka penulis mencantumkan apa yang
terdapat dalam batasan masalah menjadi fokus penelitian dalam penulisan ini.
Adapun fokus penelitian tersebut adalah mengenai pendidikan sosial yang
terdapat dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 159. Jadi dalam penelitian ini
penulis bermaksud mencari nilai-nilai nilai-nilai pendidikan sosial yang
terkandung dalam ayat tersebut, dengan mencari data-data dan sumber-
sumber yang membahas mengenai ayat 159 dalam surat Ali Imran.
1M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan
Umat, (Bandung, Mizan: 1996), h. xi-xii. 2Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitataif dan R&D,
(Bandung: Alfabeta, 2008), cet. IV, h. 285-286.
38
D. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan. Oleh karena itu teknik
yang digunakan dalam pengumpulan data adalah pengumpulan data literer
yaitu bahan-bahan pustaka yang koheren dengan objek pembahasan yang
dimaksud.3 Data yang ada dalam kepustakaan tersebut dikumpulkan dan
diolah dengan cara:
1. Editing yaitu pemeriksaan kembali data yang diperoleh terutama dari segi
kelengkapan, kejelasan makna, dan keselarasan makna antara yang satu
dengan yang lain.
2. Organizing, yaitu mengorganisir data-data yang diperoleh dengan
kerangka yang sudah diperlukan.
3. Penemuan hasil penelitian yaitu melakukan analisis lanjutan terhadap
hasil pengorganisasian data dengan menggunakan kaidah-kaidah, teori
dan metode yang telah ditentukan sehingga diperoleh kesimpulan tertentu
yang merupakan hasil jawaban dari rumusan masalah.
3 Suharsimi Arikunto, Prosedur Peneltian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1990), h. 24.
39
BAB IV
TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Teks dan Terjemah QS. Ali ‘Imran Ayat 159 حولك من لانفضوا القلب غليظ فظا كنت ولو لهم لنت الله من رحمة فبما
ففاع مهنع رفغتاسو مله مهاورشي ور ففإذا الأم تمزكل عولى فتع إن الله الله بحي نيكلوت159عمران: آل سورة. (الم(
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran[3]: 159)
B. Makna Kosa Kata Inti
Secara etimologis, linta (تنل) terambil dari akar kata al-lin (نيل) yang
berarti “lemah lembut”, lawan al-khusyunah atau kasar. Pada asalnya kata lin
( لينا وليانا ولينة –الن ) bermakna lunak atau lemas, هنلاي نلي bersikap halus, نليت
هالنتسا menjadi sangat lembut, menganggap lembut, نة الينوالليو yang lunak,
lembek, ناللي نالليو kelembutan, kelunakkan, kelembekan, نااللي )ج االين ( yang
40
lunak, halus, kelemahlembutan.1 Dengan demikian, makna Linta berarti kamu
lemah lembut.
Dalam kalimat selanjutnya disebutkan sebagai fa’fu anhum (مهنع ففاع)
(maafkan mereka). Kata فاع -فوعا-يفوع berarti memaafkan, mengampuni
dosanya, فىأع, menyembuhkan, membiarkan, افىعت berarti sembuh dan afiat.
Kata فاهعتسا, meminta ma’af kepadanya, فوفاء-عع , hapus, افوع dengan kemauan
sendiri atau maafkanlah saya. Kata افع-فتعم , yang hapus. Sedangkan kata,
bermakna meminta maaf.2 استفاء
M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kosa kata afwun bermakna
memberi maaf dan membuka lembaran baru. Memaafkan adalah
menghapuskan bekas luka dihati akibat perilaku pihak lain yang tidak wajar.3
Kalimat selanjutnya مهاورشو “maka bermusyawarahlah.” Kata
musyawarah berasal dari ارش-روشا-يروش bermakna mengeluarkan mengambil
madu dari sarang lebah. Kata روش-ارأش , berarti mengisyaratkan, menunjukkan,
kata هراوة-شراوشم , mengandung arti bermusyawarah atau meminta nasehat
kepadanya. Sedangkan kata ىروالش- هروشالم , bermakna permusyawaratan atau
hal bermusyawarah.4
Menurut M. Quraish Shihab kata musyawarah dari akar kata (روش)
yang pada mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna
ini kemudian berkembang sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat
1AW. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka
Prograssif, 1997), h. 1302-1303. 2Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), h. 272-273. 3M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 2
(Jakarta: Lentera Hati, 2011), h. 313. 4Yunus, Kamus Arab-Indonesia,.... h. 207.
41
diambil/dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Kata musyawarah,
pada dasarnya, hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan
makna dasar di atas5Musyawarah dimaksud adalah salaing bertukar
pandangan untuk menemukan penyelesaian terbaik dalam menghadapi suatu
masalah.
C. Asbabun Nuzul
Asbabun Nuzul ayat ini adalah, Pada waktu kaum muslimin
mendapatkan kemenangan dalam peperangan Badar, banyak orang-orang
musyrikin yang menjadi tawanan perang. Untuk menyelesaikan masalah itu
Rasulullah Saw mengadakan musyawarah dengan Abu Bakar As-Shiddiq dan
Umar bin Khattab. Rasulullah meminta pendapat Abu Bakar tentang tawanan
perang itu, menurut Abu Bakar sebaiknya dikembalikan kepada keluarganya
dengan membayar tebusan. Hal ini sebagaimana sebagai bukti bahwa Islam itu
lunak, apalagi kehadirannya baru saja. Kepada Umar bin Khattab juga
dimintai pendapatnya. Dia mengemukakan, bahwa tawanan perang itu
dibunuh saja. Yang diperintah membunuh adalah keluarganya. Hal ini
sebagaimana dimaksudkan agar di belakang hari mereka tidak berani lagi
menghina dan mencaci Islam. Sebab bagaimanapun Islam perlu menunjukkan
kekuatannya di hadapan mereka.
Dari dua pendapat yang bertolak belakang ini Rasulullah sangat
kesulitan untuk mengambil kesimpulan. Akhirnya Allah menurunkan surat Ali
Imran ayat ke 159 yang menegaskan agar Rasulullah Saw., berbuat lemah
lembut. Kalau berkeras hati, tentu mereka tidak akan menarik simpati
sehingga mereka akan lari dari ajaran Islam. Alhasil ayat ini diturunkan
sebagai dukungan atas pendapat Abu Bakar As-Shiddiq. Di sisi lain memberi
peringatan kepada Umar bin Khattab, apabila dalam permusyawarahan
pendapatnya tidak diterima hendaklah bertawakkal kepada Allah swt. Sebab
Allah sangat mencintai orang-orang yang bertawakkal. Dengan turunnya ayat
5M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah,.... h. 312.
42
ini maka tawanan perang dilepaskan sebagaimana saran Abu Bakar As-
Shiddiq. ( HR. Kalabi dari Abi Shalih dari Ibnu Abbas ).6
D. Tafsir Surat Ali Imran Ayat 159
رحمة من اهللا لنت لهم فبما adalah (maka disebabkan rahmat dari Allah-lah) فبما رحمة من اهللا
tambahan untuk penegasan. Demikian yang dikatakan oleh Sibawaih dan
lainnya. Ibnu Kaisan mengatakan, “Kata ini nakirah pada posisi jar karena
pengaruh huruf ba’, sementara rahmah sebagai badal darinya.” Pendapat
pertama lebih sesuai dengan kaidah bahasa Arab, ini seperti firman-Nya :
“maka kami lakukan terhadap mereka beberapa tindakan”, disebabkan
mereka melanggar perjanjian itu.”(QS. An-Nnisaa’ ayat 155). Jar dan
majrur-nya terkait dengan kalimat “kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka” yang pengungkapannya didahulukan untuk maksud membatasi, dan
tanwin pada kata رمحة untuk menunjukkan betapa besarnya. Maknanya: Bahwa
sikap lemah lembut terhadap mereka hanyalah karena disebabkan rahmat yang
besar dari Allah. Ada juga yang mengatakan, bahwa kata ما di sini adalah
partikel tanya, maknanya: maka dengan rahmat Allah yang mana kamu
berlaku lemah lembut terhadap mereka ? Di sini terkandung makna takjub.
Namun pendapat ini jauh dari tepat, karena jika demikian, tentulah alif-nya
pada kata ما dibuang. Ada juga yang mengatakan, bahwa maknanya adalah:
Maka disebabkan rahmat dari Allah.7
Di dalam kitab Tajut Tafsir kata لنت لھم (kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka) diartikan bersikap lembut kepada mereka dan
memperlakukan mereka dengan kasih sayang serta berakhlak mulia yang telah
dianugerahkan oleh Allah kepadamu, dan yang kamu akui sendiri melalui
6A. Mujab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman al-Qur'an (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), cet. 1, h. 184.
7Imam Asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir 2, (Jakarta: Buku Islsm Rahmatan, 2008), h. 568.
43
sabdamu yang mengatakan “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk
menyempurnakan akhlak-akhlak yang mulia.”8
Di dalam kitab Tarikhnya Imam Bukhari sebagaimana dikutip oleh Al-
Imam Muhammad ‘Usman ‘Abdullah Al-Mirgani disebutkan bahwa
Rasulullah telah bersabda : “Sesungguhnya aku diutus hanyalah membawa
rahmat dan aku diutus bukan untuk membawa azab (Allah).”9
Menurut penulis, ini adalah seruan untuk bertutur kata dengan lembut
dan baik. Ini adalah salah satu sifat orang mukmin. Salah satu sifat Nabi
adalah lemah lembut dalam bertutur kata. Sifat ini sangat tepat untuk
menyatukan manusia, sikap yang mampu membawa toleransi dalam beragama
atau bermasyarakat.
لوو تكنكلوح نوا مفضيظ القلب ال نا غلفظ Menurut Al-Sa’di, penggalan افظ تكن لوو, “.... sekiranya kamu bersikap
keras....,” artinya berakhlak buruk, kemudian lagi ظ القلبيغل “lagi berhati
keras,” artinya, berhati kasar, ال كلوح نا موفضن , “tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu,” karena sikap seperti ini membuat mereka lari dan
mereka benci orang yang memiliki akhlak jelek. Akhlak yang baik merupakan
ajaran pokok dalam agama yang menarik manusia kepada agama Allah dan
membuat mereka senang kepadanya. Sebaliknya, akhlak yang buruk
merupakan masalah paling pokok dalam agama yang menjauhkan manusia
dari agama Allah dan membuat mereka benci kepadanya disamping apa yang
diperoleh oleh pelakunya berupa celaan dan hukuman yang setimpal.10
Sementara menurut M. Quraish Shihab Firman-Nya: sekiranya engkau
bersikap keras lagi berhati kasar...., mengandung makna bahwa engkau
Muhammad, bukanlah seseorang yang berhati keras. Ini dipahami dari kata
yang diterjemahkan sekiranya. Kata ini digunakan untuk menggambarkan (لو)
8Al-Imam Muhammad ‘Usman ‘Abdullah al-Mirgani, Mahkota Tafsir, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009), cet. 1, h. 482.
9Al-Imam Muhammad ‘Usman ‘Abdullah al-Mirgani, Mahkota Tafsir,... h. 483. 10Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Tafsir As-Sa’di (terj.), Muhammad Iqbal
et.al, (Jakarta: Darul Haq, 2006), h. 574.
44
sesuatu yang bersyarat, tetapi syarat tersebut tidak dapat wujud. Lebih lanjut
Quraish mencontohkan dengan ilustrasi sebagai berikut “sekiranya ayah saya
hidup, saya akan menamatkan kuliah.” Karena ayahnya telah wafat, kehidupan
yang diandaikannya pada hakikatnya tidak ada dan dengan demikian, tamat
yang diharapkannya pun tidak mungkin wujud. Jika demikian, ketika ayat ini
menyatakan sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati keras, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, tidak akan pernah terjadi.11 Masih
menurut Quraish firman-Nya: berlaku keras lagi berhati keras
menggambarkan sisi dalam dan sisi luar manusia, berlaku keras menunjukkan
sisi luar manusia dan berhati kasar, menunjukkan sisi dalamnya. Kedua hal itu
dinafikan dari Rasul saw. Memang keduanya perlu dinafikan secara
bersamaan karena boleh jadi ada yang berlaku keras tapi hatinya lembut atau
hatinya lembut tapi tidak mengetehui sopan santun. Karena yang terbaik
adalah yang menggabung keindahan sisi luar dalam perilaku yang sopan, kata-
kata yang indah, sekaligus hati yang luhur. Penuh kasih sayang.12
Dalam tafsir Nurul Quran dijelaskan bahwa orang yang berhati keras
dan kaku tidak bisa beramah tamah dengan orang lain.13 Menurut penulis
sikap ramah dan lembutnya nabi merupakan magnet tersendiri didalam
dakwah Islam saat itu, kekerasan jangan dilawan dengan kekerasan, maka
sungguh tepat nabi mengajarkan akan sikap lembut dalam mensyiarkan agama
Allah.
مهنع ففاع مله رفغتاسو
مهنع ففاع “maka maafkanlah mereka,” mohon maafkanlah mereka,
mohonkanlah ampunan untuk mereka.14 Diperbolehkan memaafkan atas
perlakuan zalim kepadamu, dan atas dosa yang mereka perbuat, yang
berkaitan dengan Allah. Mohonkanlah ampun bagi mereka kepada Allah, dan
11M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah,.... h. 311. 12 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah,.... h. 311-312. 13Allamah Kamal Faqih Imani, Tafsir Nurul Quran, (Jakarta: Al-Huda, 2003), cet. 1, h.
370. 14Muhammad Nasib Ar-Rifai, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir (terj) Syihabuddin, (Jakarta:
Gema Insan Press, 1999), h. 608.
45
awasilah mereka dengan bermusyawarah dengan mereka dalam urusan-urusan
politik dan sosial.15Allah swt memerintahkan kepada Nabi-Nya dengan
perintah-perintah secara berangsur-angsur. Artinya, Allah swt memerintahkan
kepada beliau untuk memaafkan mereka atas kesalahan mereka terhadap
beliau karena telah meninggalkan tanggung jawab yang diberikan beliau.
Setelah mereka mendapatkan maaf, Allah swt memerintahkan beliau untuk
memintakan ampun atas kesalahan mereka terhadap Allah swt. Setelah mereka
mendapatkan hal ini, maka mereka pantas untuk diajak bermusyawarah dalam
segala perkara.16
Menurut Quraish ayat ini terkait dengan sikap dalam bermusyawarah.
Di dalam bermusyawarah seseorang harus menyiapkan mentalnya untuk selalu
bersedia memberi maaf karena boleh jadi, ketika melakukan musyawarah,
terjadi perbedaan pendapat atau keluar dari pihak lain kalimat atau pendapat
yang menyinggung, dan bila mampir ke hati akan mengeruhkan pikiran,
bahkan boleh jadi mengubah musyawarah menjadi pertengkaran. Kemudian,
yang melakukan musyawarah harus menyadari bahwa kecerahan pikiran atau
ketajaman analisis saja belum cukup.17 Untuk mencapai yang terbaik dari hasil
musyawarah hubungan dengan Tuhan pun harus harmonis, itu sebabnya hal
yang harus mengiringi musyawarah adalah permohonan maghfirah dan
ampunan Ilahi, sebagaimana ditegaskan oleh pesan Q.S. Ali Imran [3]: 159 di
atas, wa istighfir lahum18
Menurut penulis Sikap memaafkan merupakan sikap yang mulia, yang
harus dimiliki oleh seseorang yang ingin menebar perdamaian, toleransi dan
kemanusiaan. Allah Swt berfirman “Pemberian maafmu itu lebih dekat kepada
takwa”. Seorang hakim berkata, “salah satu keutamaan dari akhlak adalah
dimaafkannya dosa”19
15Allamah Kamal Faqih Imani, Tafsir Nurul Quran,... h. 370. 16Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi 4, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), cet.1,
h. 622. 17M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah,.... h. 313. 18M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah,.... h. 314. 19Lukman Hakim Arifin, dkk, Kumpulan Kata Mutiara dan Falsafah Hidup, (Jakarta:
Turos, 2013), h. 209.
46
وشاور هم فى األمر
Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan“ وشاور هم ىف االمر
itu” menunjukkan kebolehan ijtihad dalam semua perkara dan menentukkan
perkiraan bersama yang didasari dengan wahyu. Sebab Allah mengizinkan hal
ini kepada Rasul-Nya. Para ta’wil berpendapat tentang makna perintah Allah
swt itu, sebagaimana ditulis oleh Imam al-Qurthubi di dalam kitab tafsirnya,
Tafsir al-Qurthubi, pendapat sekelompok ulama berkata, bahwa musyawarah
yang dimaksud adalah dalam hal taktik perang dan ketika berhadapan dengan
musuh untuk menenangkan hati mereka, meninggikan derajat mereka dan
menumbuhkan rasa cinta kepada agama mereka, sekalipun Allah swt telah
mencukupkan beliau dengan wahyu-Nya dari pendapat mereka”
Kelompok lain berkata, “Musyawarah yang dimaksud adalah dalam
hal yang tidak ada wahyu tentangnya.” Pendapat ini diriwayatkan dari Hasan
al-Bashri dan Dhahhak. Mereka berkata, “Allah swt tidak memerintahkan
kepada Nabi-Nya untuk bermusyawarah karena Dia membutuhlkan pendapat
mereka, akan tetapi Dia hanya ingin memberitahukan keutamaan yang ada di
dalam musyawarah kepada mereka dan agar umat beliau dapat
menauladaninya.20
Menurut Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, tafsir “Dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu” yaitu perkara-perkara
yang membutuhkan musyawarah, tukar pikiran dan pendapat. Karena
bermusyawarah memiliki faedah yang banyak dalam mashlahat agama
maupun dunia yang tidak mungkin dibatasi.21 Di dalam kitab Mu’jamal Ausat,
Imam Tabrani sebagaimana dikutip oleh Al-Imam Muhammad Usman
Abdullah al-Mirgani, mengatakan bahwa Rasulullah saw. Pernah bersabda:
“Tidak akan merugi orang yang beristikharah, dan tidak akan menyesal orang
yang bermusyawarah, serta tidak akan jatuh miskin orang yang berhemat.”
20Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi,.... h. 623-624. 21Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Tafsir As-sa’di, (terj) Muhammad Iqbal dkk,
(Jakarta: Pustaka Sahifa, 2007), h. 574-575.
47
Lebih lanjut al-Mirgani mengatakan bahwa sehubungan dengan etika
musyawarah Rasulullah Saw telah bersabda: “Orang yang dimintai pendapat
adalah orang yang dipercaya.”22 Di dalam tafsir al-Qurthubi dikatakan bahwa
kriteria orang yang diajak musyawah adalah orang yang memiliki ilmu dan
mengamalkan ajaran agama, memilki akal, pengalaman dan santun kepada
orang yang mengajak bermusyawarah.23 Bermusyawarah dengan orang yang
memiliki pengalaman, akan memberikan pendapatnya kepadamu berdasarkan
pengalaman berharga yang pernah dialaminya.
Menurut Sayyid Quthb, Urgensi bermusyawarah ialah membolak-
balikkan pemikiran dan memilih pandangan yang diajukan. Apabila sudah
sampai pada batas ini, maka selesailah putaran syura (bermusyawarah) dan
tibalah tahap pelaksanaan dengan penuh tekad dan semangat, dengan
bertawakal kepada Allah, menghubungkan urusan kepada kadar-Nya, dan
menyerahkan kepada kehendak-Nya, bagaimanapun hasilnya nanti.24
Rasul saw, tidak meletakkan petunjuk tegas yang terperinci tentang
cara dan pola syura karena, jika beliau sendiri yang meletakkannya, ini
bertentangan dengan prinsip syura yang diperintahkan al-Quran, sedang bila
beliau bersama yang lain yang menetapkannya, itu pun hanya berlaku untuk
masa beliau saja. Tidak berlaku perincian itu untuk masa sesudahnya.
Sungguh tepat keterangan pakar tafsir Muhammad Rasyid Ridha sebagaimana
dinukil oleh Quraish Shihab, menyatakan bahawa “Allah telah
menganugerahkan kepada kita kemerdekaan penuh dan kebebasan yang
sempurna dalam urusan dunia dan kepentingan masyarakat dengan jalan
memberi petunjuk untuk melakukan musyawarah, yakni yang dilakukan oleh
orang-orang yang cakap dan terpandang yang kita percayai, guna menetapkan
bagi kita (masyarakat) pada setiap periode hal-hal-yang bermanfaat dan
membahagiakan masyarakat.
22Al-Imam Muhammad ‘Usman ‘Abdullah al-Mirgani, Mahkota Tafsir,.... h. 483. 23Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi,.... h. 625-626. 24Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur’an, (terj). As’ad Yasin dkk, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001), h. 195.
48
Kita sering kali mengikat diri kita sendiri dengan berbagai ikatan
(syarat) yang kita ciptakan, kemudian kita namakan syarat itu sebagai ajaran
agama, tetapi pada akhirnya syarat-syarat itu membelenggu diri kita
sendiri.25Dalam bermusyawarah pasti ada perbedaan. Maka orang yang
bermusyawarah harus memperhatikan perbedaan itu dan memperhatikan
pendapat yang paling dekat dengan kitabullah dan Sunnah.
Di dalam kitab Tafsir Imam Syafii karya Syaikh Ahmad Musthafa al-
Farran, tafsir “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”
Imam Syafii menyatakan sebenarnya Nabi tidak membutuhkan musyawarah
dengan mereka, hanya saja Allah berkehendak agar beliau memberikan
tauladan kepada para pemimpin setelahnya.26
Menurut penulis, Allah mengajarkan melalui Nabinya bahwa
musyawarah adalah mengambil manfaat dari sekumpulan pendapat yang ada
tentang suatu masalah, dengan mengambil pendapat yang paling benar. Cara
yang demikian akan menjauhkan manusia dari kesalahan dan kegagalan.
ى اهللالع لكوتف تمزا عذأف
Kemudian apabila kamu telah membulatkan“ فا ذا عزمت فتوكل على اهللا
tekad maka bertawakallah kepada Allah.” Qatadah berkata, “Allah swt
memerintahkan kepada Nabi-Nya apabila telah membulatkan tekad atas suatu
perkara agar melaksanakannya sambil bertawakal kepada Allah, bukan
tawakal kepada musyawarah mereka. العزم adalah perkara yang diputuskan
dengan hati-hati lagi teliti. Sedangkan mengambil pendapat tanpa kehati-
hatian bukan disebut مزع. Naqqasy berkata, العزم dan احلزم bermakna sama.
Huruf ha’ adalah pengganti huruf ‘ain.” Ibnu ‘Athiyah berkata, “Ini adalah
keliru. Sebab احلزم adalah betul-betul waspada dari terjadinya kesalahan di
dalamnya. Sedangkan العزم adalah bertekad untuk melakukan. Allah swt
25M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah,.... h. 317-318. 26Ahmad Musthafa al-Farran, Tafsir Imam Syafii, (Jakarta: Almahira, 2007), h. 577.
49
berfirman ىف االمر وشاورهم “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu. ”.Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad فاذا عزمت
Maksudnya musyawarah atau yang semakna dengannnya disebut احلزم.Orang
Arab berkata, قد احزم لو اعزم “Sungguh sudah kupikirkan betul-betul
seandainya aku sudah bertekad untuk melakukannya.”
Ja’far Ash-Shadiq dan Jabir bin Zaid membaca فاذا عزمت “Apabila aku
membulatkan tekad,” yaitu dengan huruf ta” berharakat dhamamah.
Disandarkan kebulatan tekad kepada Allah, karena hal itu adalah dengan
sebab hidayah dan taufik-Nya. Sama seperti firman Allah وما رميت اذ رميت ولكن
رمىاهللا “Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-
lah yang melempar.” Jadi maknanya Aku telah membulatkan tekad untukmu,
memberi taufik kepadamu dan menunjukimu. فتوكل على اهللا “maka
bertawakallah kepada Allah.” Sementara ahli qiraat lainnya membaca dengan
huruf ta’ berharakat fathah.27
Sementara menurut As-Sa’di, فإذا عزمت, “kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad,” yaitu atas suatu perkara setelah bermusyawarah
padanya, apabila membutuhkan kepada musyawarah, فتوكل على اهللا “Maka
bertawakal kepada Allah,” maksudnya bersandarlah kepada upaya Allah dan
kekuatan-Nya dan berlepas diri dari kemampuan dan kekuatan dirimu.28
Menurut penulis dari penjelasan di atas dapat di pahami bahwa
menghasilkan tekad bulat itu melalui proses, sehingga menghasilkan
keputusan yang baik, prosesnya berwujud musyawarah, karena dengan cara
musyawarah maka akan mendapatkan hasil yang maksimal dan bisa
memperkecil dampak perpecahan dalam sebuah keputusan.
27Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi,.... h. 628. 28Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Tafsir As-sa’di,.... h. 576.
50
ان اهللا يحب المتوكلين فتوكل على اهللا
artinya berpegang teguh kepada Allah sembari menampakkan التوكل
kelemahan. Bentuk isimnya adalah التكال ن . Dikatakan, عليه ىف امري اتكلت (aku
berpegang kepadanya pada perkaraku). Asalnya adalah اوتكلت, lalu huruf waw
diganti dengan huruf ya’ karena sebelumnya berharakat kasrah, kemudian
huruf ya’ itu diganti dengan huruf ta’, lalu diidghamkan (dimasukkan) pada
huruf ta’ pola افتعال.
Para ulama berbeda pendapat tentang tawakal. Suatu kelompok sufi
berkata, “Tidak akan dapat melakukannya kecuali orang yang hatinya tidak
dicampuri oleh takut kepada selain Allah, baik takut kepada binatang buas
atau lainnya dan hingga dia meninggalkan usaha mencari rezeki karena yakin
dengan jaminan Allah.
Mayoritas ahli fikih mengatakan seperti apa yang telah dipaparkan
pada penjelasan firman Allah وعلى اهللا فليتوكل املؤمنون“Karena itu hendaklah
kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal,” dan inilah yang benar
sebagaimana yang telah kami terangkan.29
Menurut Quraish Shihab, tawakal adalah kesadaran akan kelemahan
diri di hadapan Allah dan habisnya upaya disertai kesadaran bahwa Allah
adalah penyebab yang menentukkan keberhasilan dan kegagalan manusia.
Dengan demikian, upaya dan tawakal adalah gabungan sebab dan penyebab.
Allah mensyaratkan melalui sunatullah bahwa penyebab baru akan turun
tangan jika sebab telah dilaksanakan. Karena itu, perintah bertawakal dalam
Al-Qur’an selalu didahului oleh perintah berupaya sekuat kemampuan.30
Menurut Hamka dalam ilmu tasawuf, tawakal selalu diiringi dengan
syukur dan sabar. Syukur jika apa yang dikehendaki tercapai, sabar jika hasil
29Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi,.... h. 631. 30M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah,.... h.318.
51
yang didapat masih mengecewakan, dan ikhlas menyerahkan diri kepada
Allah, sehingga hidayahNya selalu turun dan kita tidak kehilangan akal.31
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa tawakal adalah pengakuan
seorang hamba pada sang pencipta akan keterbatasan hamba, sehingga
berharap akan bantuan dan arahan dari sang pencipta, biarkan Tuhan yang
mengarahkan kita, jangan kita yang menginginkan, kalau tuhan yang
mengarahkan pasti itu yang terbaik buat hambanya.
Para pakar tafsir sangat beragam ketika menafsirkan Tafsir surat Ali
Imran ayat 159, Menurut Allamah Kamal Faqih Imani, Surat Ali Imran ayat
159 ini bisa diterapkan sebagai perintah umum tertentu, namun sebab
turunnya ayat ini adalah tentang perang uhud. Umat Islam yang melarikan diri
dari Perang Uhud dan kalah., dilanda penyesalan yang dalam, rasa bersalah,
dan penderitaan. Mereka berkumpul di sekeliling Nabi saw dan memohon
maaf. Lantas, Tuhan memberikan perintah untuk memberikan maaf secara
umum bagi mereka, melalui ayat ini.32 Sementara Menurut Hamka, dalam ayat
ini bertemulah pujian yang tinggi dari Allah terhadap Rasul-Nya, karena
sikapnya yang lemah lembut, tidak lekas marah kepada umatNya yang tengah
dituntun dan dididiknya iman mereka lebih sempurna. Sudah demikian
kesalah beberapa orang yang meninggalkan tugasnya, karena laba akan harta
itu, namun Rasulullah tidaklah terus marah-marah saja. Melainkan dengan
jiwa besar mereka dipimpin. Dalam ayat ini Allah menegaskan, sebagai pujian
kepada Rasul, bahwasanya sikap yang lemah lembut itu, ialah karena ke
dalam dirinya telah dimasukkan oleh Allah rahmatNya. Rasa rahmat, belas
kasihan, cinta kasih itu telah ditanamkan Allah ke dalam diri beliau, sehingga
rahmat itu pulalah yang mempengaruhi sikap beliau dalam memimpin.33
Sementara Sayyid Quthb berpendapat bahawa ayat ini ditujukan
kepada Rasulullah saw. Untuk menenangkan dan menyenangkan hati beliau,
dan ditujukan kepada kaum muslimin untuk menyadarkan mereka terhadap
nikmat Allah atas mereka. Diingatkan-Nya kepada beliau dan kepada mereka
31Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987), cet 1, h. 137. 32Allamah Kamal Faqih Imani, Tafsir Nurul Quran,..., h. 369. 33Hamka, Tafsir Al-Azhar,.... h. 129.
52
akan rahmat Allah yang terlukis di dalam akhlak beliau yang mulia dan
penyayang, yang menjadi tambatan hati para pengikut beliau. Hal itu
dimaksudkan untuk memfokuskan perhatian kepada rahmat yang tersimpan di
dalam hati beliau sehingga bekas-bekasnya dapat mengungguli tindakan
mereka terhadap beliau dan mereka dapat merasakan hakikat nikmat Ilahi
yang berupa nabi yang penyayang ini. Kemudian diserunya mereka,
dimaafkannya kesalahan mereka, dan dimintakannya ampunan kepada Allah
bagi mereka. Diajaknya mereka bermusyawarah dalam menghadapi urusan
ini, sebagaimana beliau bisa bermusyawarah dengan mereka, dengan tidak
terpengaruh emosinya terhadap hasil-hasil musyawarah itu yang dapat
membatalkan prinsip yang asasi dalam kehidupan Islami.34
M. Quraish Shihab, di dalam Tafsirnya al-Misbah menyatakan bahwa
ayat ini diberikan Allah kepada Nabi Muhammad saw untuk menuntun dan
membimbingnya, sambil menyebutkan sikap lemah lembut Nabi kepada kaum
muslimin, khususnya mereka yang telah melakukan pelanggaran dan
kesalahan dalam perang uhud itu. Sebenarnya cukup banyak hal dalam
peristiwa Perang Uhud yang dapat mengandung emosi manusia untuk marah,
namun demikian, cukup banyak pula bukti yang menunjukan kelemah
lembutan Nabi saw. Beliau bermusyawarah dengan mereka sebelum
memutuskan perang, beliau menerima masukan mayoritas mereka, walau
beliau kurang berkenan, beliau tidak memaki dan mempersalahkan para
pemanah yang meninggalkan markas mereka, tetapi hanya menegurnya
dengan halus, dan lain lain.35
Meskipun para ahli tafsir berbeda namun mereka tetap sepakat bahwa
rahmat yang diberikan oleh Allah untuk kekasih itu merupakan kehendak
Allah yang mutlak, sementara sifat terpuji yang dimiliki oleh Rasul adalah
bagian penting dari alat atau media yang harus dimiliki dalam rangka syiar
agama Allah, Tanpa sifat mulia maka agama tidak akan berkembang.
Musyawarah adalah pembuktian bahwa agama Islam sangat menjunjung
34Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, juz 2 (Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 192. 35M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah,.... h. 309.
53
tinggi akan peranan akal, tanpa akal tidak mungkin akan terjadi musyawarah,
maka tidak berlebihan jika mengatakan bahwa musyawarah adalah ladang
berijtihad dalam memutuskan sebuah permasalahan keduniaan.
E. Pendidikan Sosial yang Terkandung dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran
159
Dari berbagai aspek yang terkandung dalam surat Ali Imran Ayat 159,
hasil penelitian yang penulis temukan tentang nilai-nilai pendidikan sosial
yang terkandung dalam surat Ali Imran ayat 159 adalah sebagai berikut:
1. Lemah-Lembut
Nilai pendidikan sosial yang terdapat dalam Surat Ali Imran ayat
159 yang pertama ialah sifat lemah lembut, sifat lemah lembut selalu
dicontohkan Nabi, Kepribadian beliau dibentuk sehingga bukan hanya
pengetahuan yang Allah limpahkan kepada beliau melalui wahyu-wahyu
al-Qur’an, tetapi juga qalbu beliau disinari, bahkan totalitas wujud beliau
merupakan rahmat bagi seluruh alam.36ini dapat menjadi salah satu bukti
bahwa Allah sendiri yang mendidik dan membentuk kepribadian Nabi
Muhammad saw, sebagaimana sabda Beliau: “Aku di didik oleh Tuhan-
Ku, maka sungguh baik hasil pendidikan-Nya.”
Inilah salah satu sifat yang dicintai Allah dan disukai oleh manusia.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. Disebutkan bahwa
Rasulullah bersabda kepada Mundzir bin’Aidz ra. “Sesungguhnya pada
dirimu terdapat dua sifat yang disukai Allah Swt: lemah lembut dan
sabar.” (HR. Muslim)37
Kasih sayang adalah suatu kelembutan di dalam hati, perasaan
halus di dalam hati nurani, dan suatu ketajaman perasaan yang mengarah
pada perlakuan lemah lembut terhadap orang lain. Rasulallah Saw telah
menjadikan kasih sayang manusia sesama mereka sebagai jalan untuk
36Al-Imam Abu al-Fida Ismail Ibnu Katsir al-Dimasqi, Tafsir Ibnu Katsir Juz 4: Surat Ali
Imran 92 s.d An-Nisa 23, (terj.) Syihabuddin, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2000), h. 244. 37Mahran Mahir Utsman, Serba Tiga Dari Nabi Muhammad Saw, (terj) Abdullah Abbas
& Arif Rahman (Ciputat: Lentera Hati, 2011 ), h. 312.
54
mendapatkan kasih sayang dari Allah kepada mereka. At-Tirmidzi, Abu
Daud dan Ahmad meriwayatkan bahwa Rasulullah saw, bersabda:
“Orang-orang yang mengasihi akan dikasihi oleh Yang Maha Pengasih.
Kasihilah oleh kalian siapa yang ada di bumi, niscaya kalian akan
dikasihi oleh siapa yang ada di langit”38
Islam mengajarkan agar kita senantiasa menebarkan kebaikan.
Penetrasi kebaikan seseorang bisa dilihat dari sikap, perbuatan dan tutur
katanya yang selalu membawa kesejukan. Nabi Muhammad Saw
bersabda: “Sebagian dari akhlak orang yanag beriman adalah baik tutur
katanya ketika berbicara, mendengarrkan dengan baik apabila diajak
bicara, manis muka ketika bertemu dan menepati janji manakala berjanji”
(HR. Ad-Dailami).
Hadist di atas menegaskan betapa perilaku seseorang mempunyai
keterkaitan erat dengan keimanan yang dimiliki. Lidah orang yang
beriman akan senantiasa mengeluarkan tutur kata yang lemah lembut dan
baik. Sebab apa yang keluar dari lidah adalah merupakan cerminan apa
yang ada di dalam qolbu. Apabila qolbu dilumuri dengan berbagai macam
kotoran dan dosa, maka ia hanya akan merekam kesalahan dan kekeliruan
orang lain. Disamping hasud dan dengki enggan untuk pergi
meninggalkannya, yang pada gilirannya lidah mengeluarkan caci maki,
fitnah, dan semacamnya sembari menganggap dirinya paling suci.
Namun sebaliknya, apabila qolbu dihiasi berbagai sifat terpuji,
maka tentu kata-kata indah akan selalu menghiasi ucapannya. Yakni
untaian perkataan yang penuh hikmah dan membawa kesejukan,
kedamaian serta kebahagiaan bagi siapa saja yang mendengarnya.
Sehingga orang lain menaruh hormat dan segan. Namun, orang bijak tidak
hanya bisa bertutur kata yanga baik. Perlu diingat, orang tidak hanya ingin
mendengarkan kata-kata kita, tapi mereka juga ingin didengarkan
pembicaraannya. Bermuka manis adalah bagian dari yang dianjurkan Nabi
38Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak Dalam Islam, (Jakarta: Asy-Syifa),
h. 400.
55
Saw. Wajah yang cerah, berseri-seri adalah ekspresi dari kegembiraan
dalam menyongsong lawan bicara. Hal ini akan memberi kesejukan
kepada orang yanag kita hadapai. Tanpa bicarapun, mereka sudah tau, kita
senang dan terbuka.
Tauladan Rasulullah Saw., di dalam kelembutan dan kehalusan itu,
tampak dalam contoh berikut ini: Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu
Hurairah ra. “Seorang Badawi kencing di dalam masjid. Kemudian, orang-
orang berdiri menghampirinya untuk menghantamnya. Maka Nabi Saw.
Bersabda, ‘Tinggalkan dia dan siramkanlah seember air di tempat air
kencingnya. Karena sesungguhnya kalian itu di utus untuk menjadi orang-
orang yang memudahkan dan tidak diutus untuk menjadi orang-orang
yang menyukarkan”.39
Sikap lemah lembut sebenarnya tidak hanya dianjurkan kepada
saudara seiman saja tapi juga kepada semua orang termasuk juga pemeluk
agama lain dan orang-orang yang telah berbuat jelek kepada kita. Selain
secara tekstual Islam mengajarkan tentang sikap lemah lembut, Islam juga
memberikan contoh konkrit melalui sikap dan perilaku nabi Muhammad
saw, ketika beliau disakiti dan mendapatkan berbagai macam perlakuan
jelek dari kaum kafir Quraish saat awal-awal beliau mensyiarkan Islam.
Rasulullah bersabda: “Tidaklah kalian akan beriman sebelum kalian
mengasihi.” Mereka berkata, “Wahai Rasullullah, masing-masing kami
adalah orang yang mengasihi.” Beliau bersabda, “Kasih sayang itu
bukanlah kasih sayang seseorang di antara kamu kepada sahabatnya
(yang mu’min) saja, tetapi kasih sayang yang menyeluruh (kepada seluruh
umat manusia).”
Berbuat baik kepada manusia secara umum ialah dengan berkata
lemah lembut kepada mereka, mempergauli mereka dengan pergaulan
yang baik setelah sebelumnya menyuruh mereka kepada kebaikan,
melarang mereka dari kemungkaran, memberi pertunjuk kepada orang
yang tersesat di antara mereka, mengajari orang bodoh diantara mereka,
39Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan,.... h. 555.
56
mempergauli hak-hak mereka, tidak mengganggu mereka dengan
mengerjakan tindakan yang membahayakan mereka, dan sebagainya.40
Individu memiliki kemampuan emosional tertentu untuk menghadapi
orang lain, hal ini sering dianggap sebagai inteligensi emosional. Sebagai
contoh, sebagian orang mampu berempati, toleran sementara yang lain tak
acuh. Psikolog Daniel Goleman sebagaimana dikutip oleh Howard S.
Friedman dan Miriam W. Schustack mengemukakan bahwa inteligensi
emosional terdiri dari 5 komponen: mampu menyadari diri sendiri, mampu
mengontrol amarah dan kecemasan, tekun dan optimis dalam menghadapi
hambatan, mampu berempati, dan mampu berinteraksi dengan baik dengan
orang lain.41
Kemampuan untuk mengambil sudut pandang orang lain dan untuk
menempatkan dirinya ke dalam posisi orang lain merupakan sumber
kesadaran akan persamaan derajat dan timbal balik yang berdasarkan
keadilan. Karena kebanyakan persoalan yang terjadi di masyarakat
disebabkan oleh ketidakmampuan untuk membayangkan aspek batiniah
dari kehidupan orang lain. Untuk itu pengelolaan pembelajaran moral yang
bertujuan meningkatkan empati siswa perlu ditingkatkan dan
dikembangkan. Kegiatan-kegiatan diskusi kelompok dalam bentuk
sharing,. Permainan peran, penyelesaian tugas-tugas secara kelompok, dan
keterlibatan dalam kegiatan sosial dimasyarakat yang dirancang sesuai
dengan kemampuan siswa akan meningkatkan empatinya.
Untuk meningkatkan empati dan peran sosial. Goleman,
sebagaimana ditulis C. Asri Budiningsih, menyarankan agar dalam
pembelajaran moral kegiatan bermain peran dan partisipasi aktif dalam
kegiatan sosial kemasyarakatan ditingkatkan. Kegiatan-kegiatan tersebut
akan mendukung perkembangan moral, sebab kematangan moral didukung
40Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Ensiklopedi Muslim, (Jakarta: Darul Falah, 2000), cet. 1, h.
242. 41Howard S. Friedman dan Miriam W. Schustack, Kepribadian Teori Klasik dan Riset
Modern, (terj) Fransiska Dian Ikarini, (Jakarta: Erlangga, 2008), h. 268.
57
dan berkembang sejajar dengan perkembangan empati dan peran sosial.42
Menurut Bertens moral selain dikaji secara kognitif juga menyangkut
sikap batin seseorang, dan norma-norma moral kitu sifatnya subyektif.
Hukum hanya dapat melarang perbuatan-perbuatan manusia secara
lahiriah, sedangkan dalam konteks moralitas sikap batin sangat
dipentingkan. Satu-satunya sanksi di bidang moralitas adalah hati nurani
yang tidak tenang karena menuduh si pelaku akan perbuatannya yang tidak
baik. Hati nurani juga memainkan peranan, baik yang menyangkut
perasaan, kehendak, maupun rasio. Hati nurani akan berkembang sejalan
dengan perkembangan seluruh pribadi manusia.43 Manusia yang
mempunyai hati nurani biasanya memiliki hati yang lembut sehingga
punya sikap lemah lembut juga, sikap batiniah akan memancarkan ke sifat
lahiriah.
Di hal lain, Sikap lemah-lembut memberikan pengaruh timbal
balik dalam hubungan antara guru dan murid. Ketika seseorang guru,
misalnya, tidak mencintai anak didiknya maka bagaimana mungkin ia
mampu mengarahkan dan membimbingnya. Karena itu, sikap lemah
lembut memiliki peran penting dalam dunia pendidikan, dan ia bisa
dikategorikan sebagai salah satu faktor utama dalam pendidikan dan dalam
membangun hubungan/interaksi yang harmonis antara pendidik dan
peserta didiknya.
Secara psikologis peserta didik membutuhkan dalam pergaulan dan
persahabatan dengan sikap kasih sayang, sikap lemah lembut, dan
perhatian. Orang tua sebagai pembimbing awal peserta didik harus
memperhatikan apakah sikap lemah lembut sudah terpenuhi dengan baik
pada mereka, karena kasih sayang dengan sikap lemah lembut merupakan
pilar dan pondasi dalam pendidikan. Ketika kasih sayang terpenuhi dengan
baik maka akan terwujud ketenangan jiwa, perasaan aman, percaya diri,
dan timbulnya kepercayaan kepada orang tua. Bahkan sejatinya kasih
42C. Asri budiningsih, Pembelajaran Moral, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h. 89. 43C. Asri budiningsih, Pembelajaran Moral,.... h. 69.
58
sayang yang didapatkan seorang anak secara proporsional akan
berpengaruh pada keselamatan jasmani peserta didik tersebut.
Betapa besarnya kemauan kita kepada para pendidik yang
mengetahui sistem Islam di dalam pendidikan psikis dan metode rasulullah
di dalam mengadakan perbaikan supaya mereka dapat menjalankan
kewajiban dan tanggung jawab dengan sebaik-baiknya, dan agar kita
mendapatkan generasi berkepribadian sempurna, baik gerak langkanya,
luhur budinya dan selamat dari bahaya psikologis, jika para pendidik
berusaha keras dalam melaksanakan tanggung jawab mereka, maka tidak
sulit bagi pendidik untuk mewujudkan nilai-nilai sosial dalam dunia
pendidikan.
2. Pemaaf
Nilai pendidikan sosial yang terdapat dalam Surat Ali Imran ayat
159 yang kedua ialah sifat pemaaf, memaafkan kesalahan yang dilakukan
orang lain, artinya memaafkan menghapus bekas-bekas luka di hatinya.
Bukanlah memaafkan namanya, apabila masih ada tersisa bekas luka itu di
dalam hati, bila masih ada dendam yang membara. Boleh jadi, ketika itu,
apa yang dilakukan baru sampai pada tahap “menahan amarah”. Usahakan
untuk menghilangkan segala noda itu, sebab dengan begitu baru bisa
dikatakan memaafkan orang lain.
Ayat ini menurut Quraish Shihab sekali lagi bukanlah kewajiban.
Ini karena membalas merupakan salah satu yang menyertai setiap jiwa
sehingga sangat sulit jika hal itu diwajibkan. Allah menganjurkan agar
seseorang dapat meningkat pada tingkat terpuji dengan meneladani sifat-
sifat Allah.
Di dalam QS.Al Imran ayat 134 Allah mengemukakan adanya tiga
tingkatan manusia dalam jenjang sikapnya. Pertama, yang mampu
menahan amarahnya, yakni seseorang berusaha menahan dirinya untuk
tidak membalas dengang perbuatan negatif. Kedua adalah tingkatan yang
lebih tinggi yakni yang memaafkan. Kata maaf di sini juga bisa diartikan
59
menghapus. Seseorang yang telah memaafkan orang lain berarti ia
menghapus bekas luka hatinya akibat kesalahan yang dilakukan orang lain.
Ketiga, adalah berbuat baik kepada orang yang telah pernah melakukan
kesalahan sebab Allah sangat menyukai sikap tersebut.Demikianlah
penjelasan Quraish Shihab mengenai ayat ini.44
Orang yang bermurah hati seperti itulah yang dijanjikan oleh Allah
SWT pahala (kebaikan dunia dan akhirat).
يحب لا إنه الله على فأجره وأصلح عفا فمن مثلها سيئة سيئة وجزاء .نيم40(سورة الشورى: الظال (
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan serupa.Maka
barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya (menjadi
tanggungan) Allah. Sungguh Dia tidak menyukai orang-orang yang
zhalim.” (QS. Asy-Syura [42]: 40).
Ath-Thabrani meriwayatkan bahwa Ubadah bin Shamit berkata:
Rasulallah Saw bersabda, “Bolehkah aku memberitahukan kepada kalian
apa yang dapat meninggikan bangunan dan mengangkat derajat?” Mereka
berkata, “Ya, wahai Rasulallah!. Beliau bersabda, “Berlemah lembutlah
terhadap orang yang berlaku bodoh kepadamu, berilah maaf kepada orang
yang berbuat aniaya kepadamu, berilah orang yang kikir kepadamu dan
bersilaturahmilah dengan orang memutuskannya darimu”.45
Keluhuran akhlak seseorang dan kemampuannya mengenali
amarah tidak begitu mencolok dengan sifatnya memaafkan orang lain pada
saat tidak berkuasa. Kemampuannya menahan amarah akan sangat
mencolok manakala dia memaafkan orang lain dikala berkuasa.
Memberikan maaf tatkala mampu dan berkuasa adalah salah satu sifat
menonjol dari Rasulullah Saw, shiddiqin, para orang-orang saleh.
Dikisahkan bahwa Rasulullah Saw, usai melakukan salah satu
peperangan, duduk dikaki sebuah bukit. Lalu seorang musyrik
44M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah,.... h. 265. 45Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan,.... h. 411.
60
mendatanginya, mengambil pedangnya dan menghunuskannya kepada
Rasulullah Saw, seraya berkata,”sekarang siapa yang akan
membebaskanmu dari ku, wahai Muhammad”. Tatkala itu, batu tempat
orang musyrik itu berdiri bergerak, dan iapun jatuh ke bumi, sementara
pedangnya terlepas dari tangannya. Rasulullah Saw menggunakan
kesempatan tersebut dengan mengambil pedangnya, kemudian berkata,
“sekarang, siapa yang akan membebaskanmu dari ku”. Orang musyrik itu
berkata, “ampunanmu, wahai Rasulallah, “Mendengar itu, Rasulullah pun
mengampuninya, padahal dia mampu membunuhnya dan mengirimnya ke
neraka. Imam Ali AS berkata, “sesuatu yang paling durhaka adalah
berbuat lalim tatkala kuasa”.46
Berdasarkan teks-teks keagamaan para pakar hukum menuntut dari
seseorang yang memohon maaf dari orang lain agar terlebih dahulu
menyesali perbuatannya, bertekad untuk tidak akan melakukannya lagi,
serta memohon maaf sambil mengembalikan hak yang pernah diambilnya
itu. Kalau berupa materi, maka materinya itu dijelaskan kepada yang
dimohonkan maafnya.
Dari segi praktis, mungkin hal itu akan sangat sulit dilakukan oleh
seseorang yang telah berbuat kesalahan. Apalagi dengan menyampaikan
kesalahan yang telah dilakukan terhadap orang lain-mungkin bukanya
maaf yang akan diterima, tetapi justru kemarahan dan putus hubungan.47
Dalam hal ini, Rasul mengajarkan sebuah doa: “Ya Allah,
sesungguhnya aku memiliki dosa padaMu dan dosa yang kulakukan pada
makhlukMu. Aku bermohon ya Allah, agar Engkau mengampuni dosa
yang kulakukkan padaMu, serta mengambil alih dan menanggung dosa
yang kulakukan pada makhlukMu.” Dengan demikian, diharapkan dosa-
dosa yang dilakukan terhadap orang lain, yang telah dimohonkan maaf
kepada yang bersangkutan akan diambil alih oleh Allah, walaupun yang
bersangkutan tidak memaafkannya. Pengambilalihan tersebut antara lain
46Khalil al-Musawi, Terapi Akhlak, (terj) Ahmad Subandi, (Jakarta: Zaytuna, 2011), h. 161.
47M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Jakarta: Mizan, 2003), h. 322.
61
dengan jalan memberikan kepada yang bersangkutan ganti rugi berupa
imbalan kebaikan atau pengampunan dosa-dosanya.
Memaafkan bukan berarti menafikan penegakan hukum dan
keadilan, melainkan mengedepankan moral kemanusiaan. Mereka yang
terbukti bersalah secara hukum harus ditindak tegas. Jika hukuman sudah
dijalani dan yang bersangkutan sudah menyadari kesalahannya, maka dosa
sosial dan moralnya perlu dimaafkan. Jadi, kita semua perlu terus belajar
menjadi arif, agar kita tidak mudah terjebak dalam kemarahan permanen.
Dalam dunia pendidikan, nilai memaafkan sangat penting
diterapkan oleh civitas akademika pendidikan, terutama guru. Guru
sebagai pendidik ataupun pengajar merupakan faktor penentu kesuksesan
setiap usaha pendidikan.
Tentunya suatu cobaan bagi seorang guru apabila anak didiknya
berperilaku yang tidak baik. Entah itu bertutur kata kotor, melawan guru
atau hal-hal yang mencerminkan perilaku tercela. Akan tetapi justru
disitulah sikap seorang guru dituntut agar mampu mengubahnya. Bertolak
pada pemikiran KH. Hasyim Asy’ari bahwa Penyiaran Islam itu untuk
memperbaiki manusia, jika manusia sudah baik maka apalagi yang harus
diperbaiki.48Dari pernyataan tersebut kita tahu bahwa pendidikan itu
berusaha agar manusia berperilaku selayaknya manusia, bukan didasari
pada hawa nafsu. Meskipun belum tentu pendidikan itu mampu mengubah
karakter manusia secara total, tetapi setidaknya ada upaya bagi kita selaku
pendidik untuk mengupayakannya. Karena sejatinya manusia tidak senang
pada keburukan atau kemungkaran, maka tidaklah salah jika ada
pernyataan bahwa pendidikan itu berusaha mengubah manusia agar
memiliki budi pekerti yang baik.
Seseorang yang berakhlak mulia, pemaaf dan toleran, berarti ia
akan menjadi teladan yang diikuti dalam kelembutannya, ketinggian
akhlak, dan kebaikan pergaulannya. Bahkan ia akan menjadi seperti
48Rohinah M.Noor, MA, KH. Hasyim Asy’ari Memodernisasi NU & Pendidikan Islam,
(Jakarta Selatan: Grafindo Khazanah Ilmu, 2010), Cet. II, h. 15.
62
malaikat yang berjalan di muka bumi dalam kemulian, kesucian dan
ketulusannya, inilah yang dimaksud dengan sifat pemaaf adalah bagian
penting dari awal sifat sesorang menjadi sosial, sehingga tepat kalau
dikatakan bahwa pemaaf adalah sifat yang mengandung nilai-nilai
pendidikan sosial.
3. Musyawarah
Nilai pendidikan sosial yang terdapat dalam Surat Ali Imran ayat
159 yang ketiga adalah musyawarah, Islam memandang musyawarah
sebagai salah satu hal yang amat penting bagi kehidupan insani, bukan saja
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melainkan dalam kehidupan
berumah tangga dan lain-lainnya. Ini terbukti dari perhatian al-Qur’an dan
Hadis yang memerintahkan atau menganjurkan umat pemeluknya supaya
bermusyawarah dalam memecah berbagai persoalan yang mereka hadapi.
Dari al-Qur’an, ditemukan dua ayat lain yang menggunakan akar
kata musyawarah, yang dapat diangkat di sini, guna memahami lapangan
musyawarah.
Pertama Q.S. al-Baqarah [2]: 223.
كماؤث نسرح وا لكمفأت ثكمرى حأن مئتوا شمقدو فسكمأنقوا لاتو الله )223البقرة: سورةالمؤمنني. ( وبشر ملاقوه أنكم واعلموا
Ayat ini membicarakan bagaimana seharusnya hubungan suami-
istri dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan
anak-anak, seperti soal menyapih anak. Di sana, Allah memberi petunjuk
agar persoalan itu (dan juga persoalan-persoalan rumah tangga lainnya)
dimusyawarahkan antara suami-istri.
Ayat kedua, adalah QS. Asy-Syura ayat 38.
ينالذوا وابجتاس همبروا لأقاملاة والص مهرأمى وورش مهنيا بممو ماهقنزر )38: الشورى سورةينفقون. (
Ayat yang menjanjikan bagi orang mukmin ganjaran yang lebih
baik dan kekal di sisi Allah. Orang-orang mukmin dimaksud memiliki
63
sifat-sifat, antara lain adalah urusan mereka diputuskan dengan
musyawarah antar-mereka.
Dalam soal amr atau urusan, dari Al-Qur’an ditemukan adanya
urusan yang hanya menjadi wewenang Allah semata-mata, bukan
wewenang manusia betapa pun agungnya. Ia antara lain, terlihat dalam
jawaban Allah tentang ruh. Demikian juga soal taubat, serta ketentuan
syariat agama, dan lain-lain. Dalam konteks ketetapan Allah dan ketetapan
Rasul yang bersumber dari wahyu, secara tegas al-qur’an menyatakan
bahwa: “Tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka
sungguh, dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab ayat 36)49Jika
demikian, lapangan musyawarah adalah persoalan-persoalan
kemasyarakatan, seperti yang dipahami dari Q.S. Asy-Syura diatas.
Musyawarah itu di pandang penting, antara lain karena
musyawarah merupakan salah satu alat yang mampu mempersekutukan
sekelompok orang atau umat di samping sebagai salah satu sarana untuk
menghimpun atau mencari pendapat yang lebih dan baik. Adapun
bagaimana sistem permusyawaratan itu harus dilakukan, baik Al-Qur’an
maupun Hadis tidak memberikan penjelasan secara tegas. Oleh karena itu
soal sistem permusyawaratan diserahkan sepenuhnya kepada umat sesuai
dengan cara yang mereka anggap baik.
Tertera dalam tulisan Abu Daud, dari Abu Hurairah ra. Dia
berkata. “Rasulullah Saw, bersabda, yang artinya: “Orang yang diajak
bermusyawarah adalah orang yang dapat dipercaya”. Para ulama berkata,
“Kriteria orang yang layak untuk diajak musyawarah dalam masalah
hukum adalah memiliki ilmu dan mengamalkan ajaran agama. Dan kriteria
ini jarang sekali ada kecuali pada orang yang berakal.” Hasan berkata,
49M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah,.... h. 312.
64
“Tidaklah sempurna agama seseorang selama akalnya belum sempurna.”50
Maka apabila orang yang memenuhi kriteria di atas diajak untuk
bermusyawarah dan dia bersungguh-sungguh dalam memberikan pendapat
namun pendapat yang disampaikannya keliru maka tidak ada ganti rugi
atasnya. Demikian yang dikatakan oleh Al Khaththabi dan lainnya.
Musyawarah menjadi keharusan karena manusia mempunyai
kekuatan dan kelemahan yang tidak sama dari individu ke individu yang
lain. Kekuatan dan kelemahan dalam bidang yang berbeda-beda membuat
individu-individu manusia berlebih dan berkurang. Adanya kelebihan dan
kekurangan itu tidak mengganggu kesamaan manusia dalam hal harkat dan
martabat. Tetapi ia melahirkan keharusan adanya penyusunan masyarakat
melalui organisasi (pendidikan), dengan kejelasan pembagian kerja antara
para anggotanya.
Sebagian orang berpendapat bahwa musyawarah akan
memperlemah keberanian mengambil keputusan pada diri manusia.
Pendapat tersebut salah! Justru, musyawarah adalah penolong bagi
keteguhan dan keberanian dalam mengambil keputusan. Musyawarah
tidak terbatas pada orang-orang awam saja. Setiap manusia, sebanyak apa
pun ilmu dan keahlian yang dimilikinya, dari bangsa mana pun dia, dan
seberapa besar pun sifat-sifat kepemimpinan yang ada pada dirinya, tetap
memerlukan musyawarah.
Dalam dunia pendidikan, metode musyawarah dalam memecahkan
masalah kerap digunakan untuk melatih peserta didik dalam memutuskan
masalah secara sistematis dan dengan cara-cara yang logis. Bila peserta
didik terbiasa terlatih dengan pemecahan semacam ini, kelak mereka akan
mudah mengenal permasalahan yang dihadapi. Metode musyawarah ini
akan dapat menghilangkan sikap-sikap emosional, yang hanya akan
merugikan perkembangan intelektual dan mental seseorang.
Dalam membiasakan peserta didik bermusyawarah dalam
memecahkan permasalahan mereka, hendaklah orang tua bersedia
50Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi,.... h. 625.
65
mendengarkan keluhan anak, atau menanyakan problem yang dihadapi
anak dan meluangkan waktu yang cukup membantu anak-anak
memecahkan problemnya. Orang tua harus dapat menunjukkan cara
pemecahan masalah dari yang mudah sampai yang sulit, dengan metode
sederhana sampai yang rumit. Selain itu, dalam menghadapi problem
dirinya orang tua juga membiasakan musyawarah dengan ibu atau ayah
anak-anaknya. Seorang bapak jangan sampai memberikan kesan kepada
anak-anaknya bahwa kalau mereka memecahkan masaah, mereka
menyelesaikannya secara emosional saja. Karena hal semacam ini tidak
akan memberikan contoh yang baik kepada mereka. Dengan praktek
sehari-hari yang dilakukan orang tua bersama anak-anaknya atau sesama
orang tua yaitu bapak dan ibu, insya Allah kelak menempuh cara-cara
yang benar dan diridhai oleh Allah. Memecahkan masalah secara benar
dan diridhai oleh Allah adalah bagian dari amal saleh.51
Dalam menerapkan pendidikan sosial, sikap sosial bermusyawarah
seringkali digunakan untuk melatih peserta didik, menurut Ramayulis,
dikenal pula dalam metode pembelajaran dengan sistem diskusi. Metode
"diskusi" berasal dari bahasa latin yaitu "discussus" yang berarti "to
examine", atau "investigate" yang berarti memeriksa, menyelidiki. Dalam
pengertian yang umum diskusi ialah "suatu proses yang melibatkan dua
atau lebih individu yang berintegrasi secara verbal dan saling berhadapan
muka mengenai tujuan atau sasaran yang sudah tertentu melalui cara
tukar-menukar informasi (information sharing), mempertahankan
pendapat (self maintenance), atau pemecahan masalah (problem
solving).”52
Zakiah Darajat mengatakan bahwa, “metode diskusi bukanlah
hanya percakapan atau debat biasa saja, tapi diskusi timbul karena ada
masalah yang memerlukan jawaban atau pendapat yang bermacam-
51Muhammad Thalib, 50 Pedoman Mendidik Anak Menjadi Shalih, (Bandung: Irsyad
Baitus Salam, 1996), cet. 10, h. 179. 52Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), h.
127.
66
macam”.53 Maka peran guru dalam pelaksanaan metode diskusi ini adalah
sebagai fasilitator, yaitu yang memfasilitasi, memantau, mengarahkan
murid-muridnya dalam melaksanakan metode diskusi ini. Zakiah Darajat
juga menerangkan peran guru menggunakan metode diskusi ini, di
antaranya; pertama, Guru atau pemimpin diskusi harus berusaha dengan
semaksimal mungkin agar semua murid turut aktif dan berperan dalam
diskusi tersebut. kedua, Guru atau pemimpin diskusi sebagai pengatur lalu
lintas pembicaraan, harus bijaksana dalam mengarahkan diskusi, sehingga
diskusi tersebut berjalan dengan lancar dan aman. ketiga, Membimbing
diskusi agar sampai kepada suatu kesimpulan.54
Metode diskusi yang terkandung dalam ayat ini adalah contoh dari
kegiatan active learning yang merupakan salah satu kegiatan yang
dilakukan dalam proses belajar mengajar dalam acuan kurikulum 2013. Ini
membuktikan bahwa, jauh sebelum para pakar pendidikan merancang
mengenai kegiatan active learning ini al-Qur’an telah lebih dahulu
menjelaskan mengenai kegiatan pendidikan yang menjadikan murid
sebagai center-nya.
Bagi seorang pendidik yang mempunyai tanggung jawab yang
besar untuk mendidik untuk bisa mengarahkan peserta didiknya
sebagaimana dijelaskan di atas, hal ini sesuai dengan fitrah yang telah
diberikan Allah kepada mereka. Manusia harus berbuat fitri kepada yang
lain. Salah satu sikap fitri itu ialah mendahulukan baik sangka kepada
sesama. Sebaliknya, sebagian dari prasangka sendiri adalah kejahatan
(dosa), karena tidak sejalan dengan asas kemanusiaan yang fitri. Lagi pula
prasangka tidak akan membawa seseorang kepada kebenaran. Karena itu
setiap orang harus mampu menilai sesamanya secara adil. Rasa keadilan
adalah sikap jiwa yang paling diridhai Tuhan, karena rasa keadilan itu
paling mendekati realisasi pandangan hidup yang bertaqwa kepada-Nya.
Sikap fitri manusia inilah yang diajarkan Nabi melalui firman Tuhannya.
53Zakiah Darajat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,2008), cet. IV, h. 292.
54Zakiah Darajat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam,.... h. 292-293.
67
Mengamalkan akhlak merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari pengamalan Ajaran Islam. Sikap lemah lembut, pemaaf dan
bermusyawarah, sebenarnya merupakan inti dari kehidupan
bermasyarakat, di dalam kehidupan ini sikap lemah lembut merupakan
awalan seseorang untuk membuka dirinya dengan orang lain, dengan sikap
lemah lembut ini seseorang dituntut untuk menghormati, menghargai, dan
berpartisipasi, toleransi dan solidaritas sosial akan segera terjalin manakala
sikap lemah lembut ini dimiliki bersama.
Sementara sifat memaafkan adalah langkah berikutnya dimana rasa
pengorbanan dalam bermasyarakat dibuktikan. Memaafkan memerlukan
jiwa yang besar, yaitu jiwa yang penuh kepasrahan pada tuhannya. Ketika
perasaan sudah dikembalikan pada sang pencipta maka secara lambat laun
perilaku dan kepribadiaan seorang pemaaf akan diangkat derajatnya oleh
sang pencipta, setelah itu secara otomatis makhluknya dengan sadar akan
memuliakannya. Sehingga terjalinlah harmonisasi kehidupan karena saling
memaafkan dan memuliakan.
Dan yang terakhir adalah sikap suka bermusyawarah. Sikap yang
mulia, karena merasakan ada orang lain selain dirinya, sikap ini
mengajarkan di dalam hidup bermasyarakat, sifat egois, menang sendiri
harus disingkirkan serta memprioritaskan kepada kepentingan bersama
dan kepedulian sosial. cita-cita untuk membangun masyarakat yang damai
dan sejahtera segera akan terwujud manakala dalam bermasyarakat antar
warga suka bermusyawarah. Inilah nilai-nilai pendidikan social yang
diajarkan oleh Nabi kepada kita. Bersikap dengan hal yang telah
dijelaskan di atas berarti telah melaksanakan perintah Allah dan Rasulnya.
Dan itulah yang kelak akan menjadi salah satu perantara yang dapat
mengantarkan seorang muslim menuju ketenangan dan kesuksesan hidup
di dunia. Sekaligus menggapai bahagia di kehidupan akhirat yang kekal
dan abadi.
68
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari rumusan masalah diatas maka dapat di tarik kesimpulan bahwa
nilai-nilai pendidikan sosial dalam Q.S Ali Imran ayat 159, yaitu:
Pertama, sifat lembut merupakan nilai pendidikan sosial yang terdapat
dalam QS. Ali Imran 159, sifat ini mempunyai nilai pendidikan sosial karena
terkait dengan adanya usaha untuk menjadi orang yang bisa menghargai orang
lain, kepedulian dan toleran. Sifat lemah lembut bisa dipelajari dan dilatih
sehingga terdapat nilai pendidikan yang terdapat didalam nya.
Kedua, Pemaaf atau memaafkan adalah sifat yang mengandung nilai
kemanusian dan pengorbanan yang tinggi didalam pendikan sosial sangat
terkait sekali dengan pertimbangan kemanusian. Ketiga, Musyawarah. Sifat
ini adalah merupakan perkembangan sikap yang dituntun seseorang didalam
bermasyarakat untuk menjadikan dirinya memiliki eksistensi hidup didalam
bermasyarakat. Yang diperbuat pendidikan terhadap manusia ialah
mengembangkannya untuk menjadi pribadinya, bukan menjadi yang berada
diluar pribadinya. Inilah nilai-nilai pendidikan sosial terdapat dalam QS Ali
Imran 159.
69
B. Saran
Dunia pendidikan di Indonesia sangat urgen untuk sesegera mungkin
membumikan nilai-nilai pendidikan sosial sebagaimana yang terkandung
dalam QS. Ali Imran ayat 159. Begitu penting peran kasih sayang dalam
pengembangan ruh dan keseimbangan jiwa anak-anak.Teguh tidaknya
pendirian dan kebaikan perilaku seseorang bergantung banyak sejauh mana
kasih sayang yang diterimanya selama masa pendidikan. Kondisi keluarga
yang penuh dengan kasih sayang menyebabkan kelembutan sikap anak-anak.
Anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang penuh kasih sayang dan
perhatian akan memiliki kepribadian yang mulia, suka mencintai orang lain
dan berperilaku baik dalam masyarakat. Kehangatan cinta dan kasih saying
yang diterima anak-anak akan menjadikan kehidupan mereka bermakna,
membangkitkan semangat, melejitkan potensi dan bakat yang terpendam, serta
mendorong untuk bekerja/berusaha secara kreatif.
70
DAFTAR PUSTAKA
Abdusshomad, Muhyiddin, Etika Bergaul, Surabaya : Khalista, 2007, Cet. 1 Al-Dimasqi Al-Imam Abu al-Fida Ismail Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Juz 4:
Surat Ali Imran 92 s.d An-Nisa 23 (terj.) Syihabuddin, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2000
Al-Farran, Ahmad Musthafa, Tafsir Imam Syafii, Jakarta: Almahira, 2007 Al-Jazairi, Abu Bakr Jabir, Ensiklopedi Muslim, Jakarta: Darul Falah, 2000, Cet. 1 Al-Mirgani, Al-Imam Muhammad ‘Usman ‘Abdullah, Mahkota Tafsir, Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 2009, Cet. 1 Al-Musawi, Khalil, Terapi Akhlak, Jakarta: Zaytuna, 2011 Aly, Hery Noer, Ilmu Pendidikan Islam, Ciputat, Logos Wacana Ilmu, 1999 Arifin, Lukman Hakim, dkk, Kumpulan Kata Mutiara dan Falsafah Hidup,
Jakarta: Turos, 2013 Ar-Rifai, Muhammad Nasib, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir (terj) Syihabuddin,
Jakarta: Gema Insan Press, 1999 As-Sa’di, Syaikh Abdurrahman bin Nashir, Tafsir As-Sa’di (terj.), Muhammad
Iqbal et.al, Jakarta: Darul Haq, 2006 Asy-Syaukani, Imam Tafsir Fathul Qadir 2, Jakarta : Buku Islsm Rahmatan, 2008
Arikunto, Suharsimi Prosedur Peneltian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1990
Chamidah, Ninik, Konsep Zakat dalam Islam dan Implikasinya Terhadap
Pendidikan Sosial Semarang: UIN Sunan Kalijaga Press, 2006
Budiningsih, C. Asri, Pembelajaran Moral, Jakarta: Rineka Cipta, 2008 Daradjat, Zakiah dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996 Daradjat, Zakiah, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi
Aksara,2008), cet. IV
71
Friedman, Howard S. dan Schustack, Miriam W., Kepribadian Teori Klasik dan
Riset Modern, (terj) Fransiska Dian Ikarini, Jakarta: Erlangga, 2008 Halim, Abdul, Al-qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat
Pers, 2002, Cet. 1 Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987, Cet 1 Hanafi, Muchlis M.(ed), Spiritualitas dan Akhlak, Jakarta: Lajnah Pentashihan
Mushaf Al-Quran, 2010 Haris, Muchit (eds), Sarung dan Demokrasi dari NU untuk Peradaban
Keindonesiaan, (ed) Tim LTN-NU Jawa Timur, Surabaya: Khalista, 2008
Imani, Allamah Kamal Faqih, Tafsir Nurul Quran, Jakarta: Al-Huda, 2003, Cet. 1 Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002, Cet. 2 Joesoef, Soelaman dan Slamet Santoso, Pengantar Pendidikan Sosial, Surabaya:
Usaha Nasional, 1981 Joesoef, Soelaman , Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992). Kartasapoetra, G. dan Hartini, Kamus Sosiologi dan Kependudukan Jakarta: Bumi
Aksara, 2007 Madjid, Nurcholis, Islam, Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2000,
Cet. 4 Mahali, A. Mujab, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’an, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2002, Cet. 1 Mahran, Mahir Utsman, Serba Tiga Dari Nabi Muhammad Saw, (terj) Abdullah
Abbas & Arif Rahman, Ciputat: Lentera Hati, 2011 Mohamad, Hamzah B. Uno, Nurdin Belajar dengan Pendekatan PAILKEM,
Jakarta: Bumi Aksara 2011 Munawwir, AW. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya:
Pustaka Prograssif, 1997
72
Noor, Rohinah M., MA, KH. Hasyim Asy’ari Memodernisasi NU & Pendidikan Islam, Jakarta Selatan : Grafindo Khazanah Ilmu, 2010, Cet. II
Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
1985 Purwanto, M. Ngalim, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2000 Qurthubi, Imam, Tafsir al-Qurthubi, (terj). Dudi Rosyadi, dkk, Jakarta: Azzam,
2008 Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Juz 2, Jakarta: Gema Insani, 2001 Rahardjo, Mudjia, Penelitian Manajemen Pendidikan Islam: (Sebuah Pencarian
Metodologik), diakses pada 14 April 2012 05:47 Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 1994 Rofiq, Ainur, Konsep Metode Pendidikan Sosial Anak Perspektif Abdullah Nashih
Ulwan (Studi Dalam Kitab Tarbiyatul Awlad Fil Islam) Surabaya: UIN-Sunan Ampel Press, 2010.
Roqib, Moh. Ilmu Pendidikan Islam; Pengembangan Pendidikan Integratif di
Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat , Yogyakarta: LKIS, 2009. Rusman, Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru,,
Jakarta: Rajawali Pers, 2011 Shihab, M. Quraish Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an
Vol. 2, Jakarta: Lentera Hati, 2011 Shihab, M. Quraish Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai
Persoalan Umat, Bandung, Mizan: 1996 Shihab, Quraisy Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2000 Siroj, Said Aqil, Tasawuf sebagai kritik sosial, Jakarta: LTN PBNU, 2012 Suryosubroto, B. Beberapa Aspek Dasar-Dasar Kependidikan, Jakarta: Rineka
Cipta, 2010 Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013,
Cet. 18 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan pendekatan kuantitatif, kualitataif dan
R&D, Bandung: Alfabeta, 2008, cet. IV
73
Suyadi, Konsep Fiqih Sosial dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam (Telaah Pemikiran KH. Sahal Mahfudh) ,Solo: Tiga Serangkai, 2006.
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam Jakarta: Rajawali Pers, 2002 Thalib, Muhammad, 50 Pedoman Mendidik Anak Menjadi Shalih, Bandung:
Irsyad Baitus Salam, 1996, Cet. 10 Ulwan, Abdullah Nashih Tarbiyatul Aulad Fi al-Islam, Arab Saudi: Darus Salam,
1997 Umar Tirtarahardja dan S.L.La Sulo, Pengantar Pendidikan, Jakarta : PT. Rineka
Cipta, 2005, Cet. 2 Undang-Undang Sisdiknas UU RI No.20 Th.2003, Jakarta: Sinar Grafika, 2009,
Cet.2 Vembriarto, St. Pendidikan sosial, Yogyakarta: Paramita, 1981 Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1989
top related