peminangan dalam hukum islam

Post on 24-Jul-2015

466 Views

Category:

Documents

1 Downloads

Preview:

Click to see full reader

TRANSCRIPT

I. PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Dalam UU Perkawinan sama sekali tidak membicarakan peminangan. Hal ini

mungkin disebabkan peminangan itu tidak mempunyai hubungan yang mengikat

dengan perkawinan. KHI mengatur peminangan itu dalam pasal 1, 11, 12, dan 13.

keseluruhan pasal yang mengatur peminangan ini keseluruhannya berasal dari fiqh

madzhab, terutama madzhab Syafi’ie. Namun hal-hal yang dibicarakan dalam kitab-

kitab fiqh tentang peminangan seperti hukum perkawinan yang di lakukan setelah

berlangsungnya peminangan yang tidak menurut ketentuan, tidak diatur dalam KHI.

Dalam makalah ini dijelaskan tentang hal-hal yang berhubungan dengan

pinangan atau dalam bahasa bahasa arab adalah khitbah (merujuk pada KHI 1991

Pasal 12, tentang aturan pinangan). Selain itu, permasalahan khitbah ini - sering -

dianggap sepele oleh masyarakat Indonesia tanpa mengacu kepada hukum-hukum

Islam yang ada. Oleh karena itu, dalam makalah ini diulas beberapa hal yang

berhubungan dengan khitbah.

B. Rumusan Masalah

1. Ada berapa syarat-syarat khitbah ?

2. Apa yang di maksud dari hukum pinangan ?

3. Bagaimana hukum melihat wanita yang di pinang ?

4. Apa akibat dari hukum pinangan ?

C. Tujuan

1. Agar kita mengetahui secara detail tentang makna dari khitbah

2. Untuk mengetahui bagaimana cara berkhitbah yang benar

3. Agar kita mengetahui apa saja yang menjadi syarat dan hukumnya khitbah

1

II. PEMBAHASAN

A. Pengertian

Pinangan (meminang/melamar) atau khitbah dalam bahasa Arab, merupakan

pintu gerbang menuju pernikahan. Khitbah menurut bahasa, adat dan syara, bukanlah

perkawinan. Ia hanya merupakan mukaddimah (pendahuluan) bagi perkawinan dan

pengantar kesana. Khitbah merupakan proses meminta persetujuan pihak wanita

untuk menjadi istri kepada pihak lelaki atau permohonan laki-laki terhadap wanita

untuk dijadikan bakal/calon istri.

Seluruh kitab/kamus membedakan antara kata-kata "khitbah" (melamar) dan

"zawaj" (kawin/menikah), adat/kebiasaan juga membedakan antara lelaki yang sudah

meminang (bertunangan) dengan yang sudah menikah; dan syari'at pun membedakan

secara jelas antara kedua istilah tersebut. Karena itu, khitbah tidak lebih dari sekedar

mengumumkan keinginan untuk menikah dengan wanita tertentu, sedangkan zawaj

(pernikahan) merupakan aqad yang mengikat dan perjanjian yang kuat yang

mempunyai batas-batas, syarat-syarat, hak-hak, dan akibat-akibat tertentu.

Pinangan yang kemudian berlanjut dangan “pertunangan” yang kita temukan

dalam masyarakat saat ini hanyalah merupakan budaya atau tradisi saja yang intinya

adalah khitbah itu sendiri, walaupun disertai dengan ritual-ritual seperti tukar cincin,

selamatan dll. Ada satu hal penting yang perlu kita catat, anggapan masyarakat

bahwa pertunangan itu adalah tanda pasti menuju pernikahan, hingga mereka

mengira dengan melaksanakan ritual itu, mereka sudah menjadi mahram, adalah

keliru. Pertunangan (khitbah) belum tentu berakhir dengan pernikahan. Oleh

karenanya baik pihak laki-laki maupun wanita harus tetap menjaga batasan-batasan

yang telah ditentukan oleh syariat.

Namun Masa khitbah bukan lagi saat untuk memilih. Mengkhitbah sudah jadi

komitmen untuk meneruskannya ke jenjang pernikahan. Jadi shalat istiharah

sebaiknya dilakukan sebelum khitbah. Khitbah dilaksanakan saat keyakinan sudah

bulat, masing-masing keluarga juga sudah saling mengenal dan dekat, sehingga

peluang untuk dibatalkan akan sangat kecil, kecuali ada takdir Allah yang

menghendaki lain.

Khitbah, meski bagaimanapun dilakukan berbagai upacara, hal itu tak lebih hanya

untuk menguatkan dan memantapkannya saja. Dan khitbah bagaimanapun

2

keadaannya tidak akan dapat memberikan hak apa-apa kepada si peminang

melainkan hanya dapat menghalangi lelaki lain untuk meminangnya, sebagaimana

disebutkan dalam hadits:

�ن� ب ع�يد� س� ع�ن� ه�ر�ي� الز� �ا �ن ح�د�ث �ان� ف�ي س� �ا �ن ح�د�ث �ه� الل �د� ع�ب �ن� ب �ي� ع�ل �ا �ن ح�د�ث

ص�ل�ى �ه� الل ول� س� ر� �ه�ى ن ق�ال� �ه� ع�ن �ه� الل ض�ي� ر� ة� �ر� ي ه�ر� �ي ب� أ ع�ن� �ب� ي �م�س� ال

ع�ل�ى ج�ل� الر� �يع� �ب ي و�ال� وا �اج�ش� �ن ت و�ال� �اد4 �ب ل ح�اض�ر6 �يع� �ب ي ن�� أ �م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل �ه� الل

�ه�ا ت خ�� أ ق� ط�ال� �ة� أ �م�ر� ال ل�

� أ �س� ت و�ال� خ�يه�� أ �ة� خ�ط�ب ع�ل�ى �خ�ط�ب� ي و�ال� خ�يه�

� أ �ع� �ي ب

�ه�ا �ائ �ن إ ف�ي م�ا� �ف�أ �ك �ت ل

Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rosulullah saw bersabda "………Tidak boleh salah

seorang diantara kamu meminang pinangan saudaranya……" (Muttafaq 'alaih)

Karena itu, yang penting dan harus diperhatikan di sini bahwa wanita yang telah

dipinang atau dilamar tetap merupakan orang asing (bukan mahram) bagi si pelamar

sehingga terselenggara perkawinan (akad nikah) dengannya. Tidak boleh si wanita

diajak hidup serumah (rumah tangga) kecuali setelah dilaksanakan akad nikah yang

benar menurut syara', dan rukun asasi dalam akad ini ialah ijab dan kabul. Selama

akad nikah - dengan ijab dan kabul - ini belum terlaksana, maka perkawinan itu

belum terwujud dan belum terjadi, baik menurut adat, syara', maupun undang-

undang. Wanita tunangannya tetap sebagai orang asing bagi si peminang (pelamar)

yang tidak halal bagi mereka untuk berduaan.

B. Hukum Peminangan (Khitbah)

Memang terdapat dalam Alqur’an dan banyak hadis Nabi yang membicarakan

tentang peminangan. Namun tidak ditemukan secara jelas dan terarah adanya

perintah atau larangan melakukan peminangan sebagaimana perintah untuk

mengadakan perkawinan dengan kalimat yang jelas, baik dalam Alqur’an maupun

dalam hadis Nabi. Oleh karena itu, dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat

pendapat ulama’ yang mewajibkannya.

Mayoritas ulama' mengatakan bahwa tunangan hukumnya mubah, sebab

tunangan ibarat janji dari kedua mempelai untuk menjalin hidup bersama dalam

ikatan keluarga yang harmonis. Tunangan bukan hakekat dari perkawinan melainkan

langkah awal menuju tali perkawinan. Namun sebagian ulama' cenderung bahwa

3

tunangan itu hukumnya sunah dengan alasan akad nikah adalah akad luar biasa

bukan seperti akad-akad yang lain sehingga sebelumnya disunahkan khitbah sebagai

periode penyesuaian kedua mempelai dan masa persiapan untuk menuju mahligai

rumah tanggapun akan lebih mantap.

C. Syarat-Syarat Khitbah

Membicarakan syarat pinangan tidak dapat di pisahkan dari pembicaraan

tentang halangannya. Karena itu di sini dibicarakan dalam satu subpokok bahasan,

agar di perole gambaran yang jelas. Pertunangan diperbolehkan oleh agama apabila

terpenuhi syarat-syarat di bawah ini :

a) Tidak adanya penghalang antara kedua mempelai, yaitu tidak ada hubungan

keluarga (mahram), tunggal susuan (rodhoah), mushoharoh, atau penghalang

yang lain, sebab tunangan adalah langkah awal dari perkawinan maka disamakan

hukumnya dengan akad perkawinan.

b) Tidak berstatus tunangan orang lain, seperti dalam hadits riwayat Imam Al-

Bukhari dan Imam An-Nasai mengatakan :" Tidak boleh bagi seorang lelaki

melamar tunangan orang lain sehingga ia menikahinya atau meninggalkannya

"Hadits yang senada juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Muslim.

Keharaman ini jika tidak mendapat izin dari pelamar pertama atau ada unsur

penolakan dari pihak mempelai wanita, itu tadi adalah pendapat mayoritas

ulama' (Hanafiah, Malikiah dan Hanabilah), namun sebagian ulama' lain

memperbolehkan khitbah tersebut apabila tidak ada jawaban yang jelas dari

mempelai wanita.

Adapun cara menyampaikan ucapan peminangan terdapat dua cara :

a) Menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang dalam arti langsung dipahami

atau tidak mungkin dipahami dari ucapan itu kecuali untuk peminangan seperti

ucapan : “saya berkeinginan untuk menikahimu”.

b) Menggunakan ucapan yang kurang jelas dan tidak terus terang (kinayah) yang

berarti ucapan itu dapat mengandung arti bukan untuk peminangan, seperti

ucapan : “tidak ada orang yang tidak senang kepadamu”.

Perempuan yang belum menikah atau sudah menikah dan telah habis masa

iddahnya boleh dipinang dengan ucapan terus terang dan boleh pula dengan ucapan

sindiran. Tidak boleh meminang seorang perempuan yang masih punya suami,

4

meskipun dengan janji akan dinikahinya pada waktu dia telah boleh dinikahi; baik

dengan menggunakan bahasa terus terang seperti : “Bila kamu dicerai suamimu saya

akan menikahi kamu” atau dengan bahasa sindiran, seperti : “Jangan khawatir dicerai

suamimu, saya yang akan melindungimu”.

Perempuan yang telah dicerai suaminya dan sedang menjalani iddah raj’i,

sama keadaannya dengan perempuan yang punya suami dalam hal

ketidakbolehannya untuk dipinang bak dengan bahasa terus terang atau bahasa

sindiran. Alasannya, ialah bahwa perempuan dalam iddah talak raj’i statusnya sama

dengan perempuan yang sedang terikat dalam perkawinan. Sedangkan perempuan

yang sedang menjalani iddah karena kematian suaminya, tidak boleh dipinang

dengan menggunakan bahasa terus terang, namun boleh meminangnya dengan

bahasa sindiran

Perempuan yang sedang menjalani iddah dari talak ba’in dalam bentuk fasakh

atau talak tiga tidak boleh dipinang secara terus terang, namun dapat dilakukan

dengan cara sindiran, sebagaimana yang berlaku pada perempuan yang kematian

suami. Kebolehan ini karena perempuan tersebut telah putus hubungannya dengan

bekas suaminya.

D. Melihat Wanita Yang Dipinang

Waktu berlangsungnya peminangan, laki-laki yang melakukan peminangan

diperbolehkan melihat perempuan yang dipinangnya. Meskipun menurut asalnya

seorang laki-laki haram melihat kepada seorang perempuan. Kebolehan melihat ini

didasarkan kepada hadis Nabi saw dari jabir:

�ن� ب م�ح�م�د� �ا �ن ح�د�ث �اد4 ز�ي �ن� ب �و�اح�د� ال �د� ع�ب �ا �ن د�ث ح� م�ح�م�د4 �ن� ب �س� �ون ي �ا �ن ح�د�ث

�ن� ب ع�د� س� �ن� ب ح�م�ن� الر� �د� ع�ب �ن� ب و�اق�د� ع�ن� �ن� �ح�ص�ي ال �ن� ب د�او�د� ع�ن� ح�اق� �س� إ

�ه� �ي ع�ل �ه� الل ص�ل�ى �ه� الل ول� س� ر� ق�ال� ق�ال� �ر4 اب ج� ع�ن� �ذ�ا م�ع�اذ4 إ �م� ل و�س�

�م� ح�د�ك� أ �ط�اع� خ�ط�ب� ت اس� �ن� ف�إ ة�

� أ �م�ر� �ل�ى ال إ �د�ع�وه� ي م�ا �ل�ى إ �ه�ا م�ن �ظ�ر� �ن ي ن�� أ

�ه�ا ل �ئ� �ب ت خ�� أ �ت� �ن ف�ك �م�ة� ل س� �ي �ن ب م�ن� Rة� ار�ي ج� �ت� ف�خ�ط�ب ق�ال� �ف�ع�ل� �ي ف�ل ه�ا �اح� �ك ن

�ه�ا ت و�ج� �ز� ف�ت ه�ا �اح� �ك ن �ى �ل إ �ي د�ع�ان م�ا �ع�ض� ب �ه�ا م�ن �ت� ي� أ ر� �ى ح�ت ب� �ر� �ك ال �ح�ت� ت

5

Dari Mu’adz bin Jabir, Rosulullah saw bersabda: “……Bila seseorang diantara kamu

meminang perempuan dan ia mampu melihatnya yang akan mendorong untuk

menikahnya, maka lakukanlah…….”

Banyak hadis Nabi yang berkenaan dengan melihat perempuan yang

dipinang, baik menggunakan kalimat suruhan, maupun dengan menggunakan

ungkapan “tidak mengapa”. Namun tidak ditemukan secara langsung ulama’

mewajibkannya. Bahkan juga tidak dalam literature ulama’ Dzahiri yang biasanya

memahami perintah itu sebagai suatu kewajiban. Ulama’ jumhur menetapkan

hukumnya adalah boleh, tidak sunnah apalagi menetapkan hukum wajib.

Batas yang boleh dilihat

Meskipun hadis Nabi menetapkan boleh melihat perempuan yang dipinang,

namun ada batas-batas yang boleh dilihat. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat

dikalangan ulama’. Alasan disamakan dengan muka dan telapak tangan saja, karena

dengan melihat muka dapat diketahui kecantikannya dan dengan melihat telapak

tangannya dapat diketahui kesuburan tangannya.

Ulama’ lain seperti Al awza’iy berpendapat boleh melihat bagian-bagian yang

berdaging. Daud Dzahiri berpendapat boleh melihat semua badan, karena hadis Nabi

yang membolehkan melihat waktu meminang itu tidak menyebutkan batas-batasnya.

Hal tersebut mengandung arti “boleh” melihat bagian manapun tubuh seorang

perempuan. Walaupun yang demikian adalah aurat. Namun telah dikecualikan oleh

Nabi untuk kepentingan peminangan.

Adapun untuk melihat kepada perempuan itu adalah saat menjelang

menyapaikan pinangan bukan setelahnya, karena bila ia tidak suka setelah melihat ia

akan dapat meninggalkannya tanpa menyakitinya.

E. Menikahi Wanita Tunangan Orang Lain

Di atas tertera bahwa melamar wanita tunangan orang lain dilarang oleh

agama, hal itu demi untuk menjaga hak si lelaki pelamar pertama dan juga upaya

menghindari timbulnya sengketa umat manusia. Akan tetapi sering terjadi pula

seorang lelaki yang nekat melangsungkan akad pernikahan dengan wanita tunangan

orang lain, sebab kondisinya yang kuat atau karena faktor lain yang mendukung.

Keadaan keadaan perempuan yang dipinang dapat dibagi dalam tiga hal :

6

a) Perempuan tersebut menyukai laki-laki yang meminangnya dan menyetujui

pinangan itu secara jelas memberi izin kepada walinya untuk menerima pinangan

itu.

b) Perempuan tersebut tidak senang dengan laki-laki yang meminang dan secara terus

terang menyatakan ketidaksetujuannya baik dengan ucapan atau dengan tindakan

atau isyarat.

c) Perempuan itu tidak memberikan jawaban yang jelas, namun ada isyarat dia

menyenangi peminangan itu.

Perempuan dalam keadaan yang pertama tersebut tidak boleh dipinang oleh

seseorang. Sedangkan dalam keadaan kedua boleh dipinang karena pinangan pertama

jelas ditolak. Adapun perempuan dalam keadaan yang ketiga menurut sebagian

ulama’ diantaranya Ahmad bin Hanbal juga tidak boleh dipinang sama keadaannya

dengan perempuan dalam keadaan pertama. Namun, sebagian ulama’ berpendapat

bahwa tidak haram meminang perempuan yang tidak secara jelas menerima pinangan

pertama.

Tentang hukum pernikahan yang telah (terlanjur) dilaksanakan

(melangsungkan akad pernikahan dengan wanita tunangan orang lain – dalam

perbedaan pendapat ulama). Menurut Ahmad bin Hanbal dan Imam Asy Syafi’ie

serta Imam Abu Hanifah pernikahan tersebut adalah sah dan tidak dapat dibatalkan.

Menurut ulama’ Dzahiry pernikahan tersebut tidak sah dengan arti harus dibatalkan.

Sedangkan pendapat ketiga dikalangan Malikiyah berpendapat, bila telah

berlangsung hubungan kelamin dalam pernikahan tersebut, maka pernikahan tersebut

tidak dibatalkan sedangkan bila belum terjadi hubungan kelamin dalam

pernikahannya maka pernikahan tersebut harus dibatalkan.

F. Pembatalan Tali Pertunangan

Memang sering kali tali pertunangan putus di tengah jalan tanpa

membuahkan hasil sampai ke jenjang perkawinan, mungkin sebab terlalu lama

menunggu, kondisi yang kurang mendukung atau karena kemelut badai yang

mengguncang eratnya tali pertunangan hingga pudar. Ulama' berpendapat, boleh saja

membatalkan tali pertunangan, namun itu adalah makruh, sebab pertunangan ibarat

ikatan janji setia dari kedua mempelai untuk menjalin hidup bersama membina

7

rumah tangga bahagia, sedangkan pembatalan pertunangan ini adalah sebuah

pengkhianatan ikatan janji setia.Belum juga imbas dari pembatalan tali pertunangan

ini, sudah tidak asing lagi, tunangan yang batal adalah ajang percorengan muka,

kebahagiaan yang indah, kenangan manis dan canda ria pun ikut hangus terbakar,

kemelut mengguncang. Lalu bagaimana sikap ulama' menanggapi masalah ini?

Meskipun Islam mengajarkan bahwa memenuhi janji adalah suatu kewajiban,

dalam masalah janji akan menikah ini kadang-kadang terjadi hal-hal yang dapat

menjadi alasan yang sah menurut Islam untuk memutuskan hubungan petunangan.

Misalnya, diketahui adanya cacat fisik atau mental pada salah satu pihak beberapa

waktu setelah pertunangan, yang dirasakan akan mengganggu tercapainya tujuan itu

tidak dipandang melanggar kewajiban termasuk hak khiyar.

Berbeda halnya pemutusan pertunangan tanpa alasan yang sah menurut ajaran

Islam. Misalnya, karena ingin mendapatkan yang lebih baik dari segi keduniaan.

Ditinjau dari segi nilai moral Islam, pemutusan pertunangan seperti itu sama sekali

tidak dapat dibenarkan.

Masalah yang sering muncul adalah pada masa peminangan, pihak laki-laki

memberikan hadiah-hadiah pertunangan atau – mungkin – mahar telah dibayarkan

kepada pihak perempuan sebelum akad nikah dilaksanakan, bagaimana nasib hadiah-

hadiah atau mahar tersebut apabila akhirnya pertunangan terputus? Apakah

dikembalikan pada pihak laki-laki atau tetap menjadi hak sepenuhnya calon istri yang

urung tersebut? Mahar yang dibayarkan sebelum akad nikah (dalam masa tunangan)

menjadi hak laki-laki, kecuali apabila direlakan, sebab kewajiban suami membayar

maskawin adalah setelah terjadi ikatan pernikahan.

Sedangkan mengenai hadiah-hadiah pertunangan, seperti tanda pengokoh

(peningset atau pikukuh di jawa) para ulama’ berbeda pendapat :

a. Sebagian ulama' (Syafi’iyah) mengatakan bahwa kedua belah pihak boleh

menuntut kembali atas pemberiannya, baik pembatalan tunangan tersebut

bersumber dari pihak mempelai pria maupun dari mempelai wanita, dan jika

barang pemberian tersebut telah rusak atau berubah menjadi barang lain maka

wajib mengembalikan qimahnya.

b. Madzhab Hanafiah mengatakan jika hadiah itu masih utuh dan tidak ada

perubahan, maka kedua belah pihak boleh menuntutnya kembali, namun bila

8

terjadi perubahan atau rusak, maka kedua belah pihak tidak boleh saling

menuntut kembali atas pemberiannya itu.

c. Berbeda lagi dengan pendapat Malikiah, menurutnya pihak yang menghendaki

pembatalan tali tunangan tidak berhak apa-apa atas pemberiannya, dan harus

mengembalikan hadiah-hadiah yang pernah diterima dari pihak lain baik

barangnya masih utuh ataupun telah rusak, atau berubah menjadi barang lain.

Penyimpangan dari ketentuan tersebut hanya dibanarkan apabila ada syarat lain

antara keduabelah pihak, atau apabila ‘urf (adat kebiasaan) tempat piha-pihak

bersangkutan mengatakan lain.

G. Akibat Hukum Pinangan

Pada prinsipnya apabila peminangan telah di lakukan oleh seorang laki-laki

terhadap seorang wanita, belum berakibat hukum. Kompilasi menegaskan :

1. Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan

hubungan peminangan.

2. Kebebasan memutuskan hubungan pinangan di lakukan dengan tata cara yang

baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap

terbina kerukunan dan saaling menghargai.

Peminangan itu adalah suatu usaha yang dilakukan mendahului pernikahan.

Namun peminangan itu bukan suatu perjanjian yang mengikat untuk dipatuhi. Laki-

laki yang meminang atau pihak yang dipinang dalam masa menjelang pernikahan

dapat saja membatalkan pinangan tersebut, meskipun dulunya ia menerima.

Meskipun demikian, pemutusan peminangan tersebut sebaiknya dilakukan secara

baik dan tidak menyakiti pihak manapun. Pemberian yang dilakukan dalam acara

pinangan tersebut tidak mempunyai kaitan apapun dengan mahar yang diberikan

kemudian dalam pernikahan. Dengan demikian, pemberian tersebut dapat diambil

kembali bila peminangan itu tidak berlanjut dengan pernikahan.

Hubungan antara laki-laki yang meminang dengan perempuan yang dipinang

selama masa antara peminangan dan perkawinan adalah sebagaimana hubungan laki-

laki dan perempuan asing (ajnabi dan ajnabiyah). Oleh karena itu, belum berlaku hak

dan kewajiban (suami-istri) diantara keduanya.

9

III. PENUTUP

Kesimpulan dan Saran

Dalam pasal 13 sendiri dibahas tentang akibat hukum suatu peminangan.

“hukum” yang dimaksud dalam pasal 13 ayat 1 adalah hukum atau hubungan antara

laki-laki yang meminang dengan perempuan yang dipinang adalah “orang asing” dan

tidak menimbulkan akibat hukum yang mengikat. Namun, di dalamnya terdapat

hukum sebagaimana yang tertulis dalam pasal 12 (peraturan pinangan) ayat 3 yaitu

tidak boleh meminang wanita yang masih dalam pinangan orang lain, selama

pinangan tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita. Disisis

lain, dalam pasal 12 poin 1 yang berbunyi “peminangan dapat dilakukan terhadap

seorang yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya.”

Dalam pasal ini tidak disebutkan bahwa wanita yang ditinggal mati oleh suaminya

namun masih dalam masa iddah, boleh dilamar namun harus dengan cara kinayah

(sindiran) tidak boleh menggunakan cara yang shorih (jelas). Begitu juga dengan

seorang wanita yang menjalani masa iddah dari talaq ba’in dalam bentuk fasakh atau

talaq tiga boleh dipinang namun dengan cara sindiran.

Begitulah tunangan yang membudaya saat ini, ada yang membuahkan hasil

positif sebagi langkah awal membina rumah tangga, dan juga banyak yang kandas di

tengah jalan, mungkin karena belum ada kesiapan atau sebab beberapa pertimbangan

yang wajib dibuat acuan malah dilupakan.

Dengan demikian cenderung perlu adanya tali pertunangan sebagai langkah

awal menuju perkawinan, namun harus memperhatikan hal-hal yang perlu

dipertimbangkan diantaranya sebagai berikut:

1) Punya rencana kapan penikahan akan diadakan, jangan sampai jarak antara

tunangan dan perkawinan terlalu lama.

2) Sudah yakin siap mengikatkan diri pada satu orang.

3) Menikah dengan motivasi yang positif.

4) Kesiapan kedua belah pihak menhadapi limpahan tanggung jawab.

5) Status pendidikan dan penghasilan pasangan.

10

DAFTAR PUSTAKA

Drs. Ahmad Rofiq, M.A. Hukum islam di indonesia cetakan pertama PT rajawali

pers.

Sabiq, Sayid. (1980). Fiqih Sunnah, Alih Bahasa: Muhammad Thalib. Cetakan

Pertama. PT Al Ma’arif. Bandung

Undang-undang perkawinan Indonesia 2007 (Kompilasi Hukum Islam). Cetakan I,

WIPRESS

Azhar Basyir, Ahmad. (1999). Hukum Perkawinan Islam. Cet. Ke-9. UII Press.

Yogyakarta

11

top related