pemilu 2009 dan pendidkan politik bagi masyarakat indonesia yang multi kultur
Post on 27-Jun-2015
117 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Generasi muda adalah generasi pemilik dan pembawa arah bangsa. Kalimat
tersebut adalah kalimat yang paling tepat ditujukan bagi generasi muda, dimana
ditangan generasi muda lah suatu bangsa akan terbentuk serta berubah baik menuju
kemajuan atau sebaliknya. Agar suatu generasi muda dapat membawa kemajuan bagi
bangsa dan negaranya maka generasi muda harus mendapatkan pendidikan yang
sepadan baik pendidikan moral, terapan maupun pendidikan politik sedini mungkin,
ini dimaksudkan untuk merubah pemahaman tentang politik di masyarakat adalah
sebatas pada kesejahteraan dan keuntungan yang diwakili dengan nominal uang.
(Siswanto, 2008)
Masyarakat secara umum sangat sulit memahami aturan politik atau prosedur
birokrasi politik. Yang penting, masyarakat dimudahkan dalam berbagai akses
kehidupan. Jika perlu, sebagian masyarakat mengambil sikap abstain untuk proses
pemilihan umum, karena memilih atau tidak memilih tidak memengaruhi kenaikan
taraf hidup atau kesejahteraan. Demikianlah potret keluguan masyarakat Indonesia
dalam berpolitik. Jika kita amati, munculnya kegamangan politik berawal dari tak
adanya pendidikan politik yang benar-benar dipahami sebagian besar masyarakat.
Usia pendidikan dasar dipenuhi dengan kurikulum pengetahuan kognitif, saat usia
pendidikan menengah disibukkan dengan target nilai dan persiapan kelulusan. Proses
pembelajaran tidak menyentuh norma-norma pendidikan politik yang mencerahkan.
Hal ini berakibat saat seseorang berada di pendidikan tinggi, yang konon merupakan
tempat belajar berpolitik secara nyata. Saat di pendidikan tinggi, pendidikan politik
dipahami sebagai dasar untuk berperilaku politik praktis, itu pun berdasar pada teori
yang kadang sudah tidak relevan.
Kiranya perlu dipikirkan sebuah terobosan untuk memberikan pendidikan
politik sejak dini. Tak salah jika seorang siswa SMP atau SMA melakukan kampanye
terbuka untuk mencalonkan diri menjadi seorang ketua OSIS. Di beberapa sekolah,
kandidat ketua OSIS harus berdebat tentang program kerja mereka. Ada juga yang
melibatkan siswa-siswa SMA untuk membantu pelaksanaan pemilihan kepala desa
dan Dewan Pertimbangan Desa.
1
Politik di sekolah menengah perlu diberikan dan diintegrasikan dalam ilmu-
ilmu sosial Humaniora (Sosiologi, Sejarah, Kewarganegaraan, Antropologi) dan ilmu
bahasa, terutama Bahasa Indonesia. Dalam disiplin ilmu tersebut siswa dihadapkan
pada situasi nyata yang dihadapi dan disikapi setiap hari. Maka, sebenarnya sangat
efektif untuk memperbaiki perilaku politik lewat disiplin ilmu tersebut.
Sering dijumpai siswa usia pelajar ikut dalam kampanye terbuka parpol,
dengan mengendarai kendaraan bermotor dan mengucapkan yel-yel parpol tertentu.
Namun di saat yang sama mereka sangat tidak memahami esensi dari kampanye.
Pemahaman kampanye sebatas pada uang transpor, kaus parpol, dan back up kekuatan
massa. Sayang sekali usia kritis dihancurkan dengan pembodohan politik kelas teri.
Maka sudah saatnya bagi sekolah untuk memberanikan diri memberikan pembelajaran
politik kepada siswa-siswanya.
Pemilu 2009 yang baru saja kita lewati bersama menjadi suatu momentum
yang tepat bagi mansyaraka terpelajar untuk dapat menyaksikan bahkan ikut
berpartisipasi didalamnya. Yang dapat juga kita fungsikan sebagai media pendidikan
politik bagi kalangan pelajar menengah. Karena kita ketahui bersama pemilu 2009,
baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden sarat akan pendidikan politik.
Contohnya saja permasalahan daftar pemilih tetap (DPT) yang sebenarnya bukan
murni kesalahan komisi pemilihan umum semata jika kita lihat dari kenyataanya
masyarakat malah terkesan enggan meperhatikan daftar pemilih sementara (DPS)
yang merupakan sumber acuan dari DPT itu sendiri. Jadi dengan melihat hal tersebut
kita sebagai masyarakat terpelajar seharusnya dapat memetik pelajaran yaitu kita tak
harus selalu diam meunggu namun kita harus turut aktif berpartisipasi. Kemudian
yang lebih nyata lagi pemilu 2009 juga tidak memberi batasan terhadap lintas suku,
agama, maupun ras dalam pelaksanaanya. Sehingga timbul rasa kebersamaan antar
masyarakat walaupun di latarbelakangi atas persaimgan politik
Atas dasar di atas pendidikan politik bagi generasi muda sangat diperlukan
agar dimasa mendatang generasi muda Indonesia menjadi generasi yang cerdas
politik, dan bukan korban politik.
2
BAB II
PEMBAHASAN
1.1. Penyebab pendidikan politik pada generasi muda di Indonesia tidak
diserahkan sepenuhya kepada pemeritah
Salah satu penyebab utama tersendat-sendatnya proses reformasi untuk
mewujudkan Indonesia yang demokratis adalah kurang terdidiknya mayoritas warga
negara khususnya para remaja secara politik, akibat proses pembodohan politik yang
dilakukan secara sistematis oleh pemerintahan Orde Baru. Kurang terdidiknya
generasi muda secara politik ini, telah menyebabkan mereka cenderung pasif dan
mudah dimobilisasi untuk kepentingan pribadi atau jabatan dari para elite politik.
Lebih dari itu, mereka juga tidak bisa ikut mempengaruhi secara signifikan proses-
proses pengambilan keputusan yang berkaitan erat dengan kehidupan mereka.
Padahal, sudah menjadi rahasia umum bahwa proses demokratisasi yang sehat
mensyaratkan adanya partisipasi politik yang otonom dari warga negara. Partisipasi
politik yang otonom ini, hanya dapat dimungkinkan jika warga negara cukup terdidik
secara politik.
Untuk menumbuhkan dan atau meningkatkan partisipasi politik yang otonom
dari setiap warga negara, maka pelaksanaan pendidikan politik yang baik dan benar,
mutlak diperlukan. Pelaksanaan pendidikan politik ini, selain dapat dilakukan oleh
pemerintah melalui lembaga-lembaga pendidikan formal yang ada, juga bisa
dilaksanakan secara non-formal oleh organisasi-organisasi masyarakat sipil. Pada
konteks Indonesia, pelaksanaan pendidikan politik tidak bisa begitu saja diharapkan
atau diserahkan kepada pemerintah, hal tersebut disebabkan hal-hal sebagai berikut.
1. Pertama, berdasarkan pengalaman rezim yang pernah berkuasa di Indonesia,
belum ada indikasi kuat bahwa pemerintah yang sementara berkuasa, akan
konsisten untuk melaksanakan pendidikan politik.
2. Kedua, pemerintahan Indonesia hingga saat ini, belum mampu melahirkan
suatu kebijakan penting dalam hal pendidikan politik bagi warga negara. Itu
berarti, pendidikan politik, paling tidak untuk masa transisi (transisi dari rezim
otoritarian menuju rezim yang demokratis) sekarang ini, akan lebih efektif dan
maksimal jika dilaksanakan oleh organisasi-organisasi masyarakat sipil.
3
Dengan kerangka berpikir yang demikian, maka partai politik yang oleh
Antonio Gramsci dikategorikan sebagai salah satu organisasi masyarakat sipil
(Roger Simon, 1999), diharapkan dapat melaksanakan fungsinya sebagai
Instrumen Of Political Education dengan baik dan benar, sesuai amanat yang
tertuang dalam pasal 11 huruf a UU No. 2 Tahun 2008, tentang Partai Politik.
Dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 2 tahun 2008, tentang Partai Politik, yang
menyebutkan bahwa Partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan
dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar
kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan
politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Di Indonesia, peran partai dalam memberi pencerahan politik terhadap
kalangan remaja hampir tidak pernah dilakukan. Sepanjang sejarah pembentukan
partai politik dalam negeri, program-program garapan partai cenderung tidak
memperhatikan potensi pemilih dari kalangan ini. Remaja baru mendapat perhatian
khusus pada momen tertentu. Misalnya, masa menjelang kampanye pemilihan umum
(pemilu), partai-partai menyinggung sedikit tentang masalah remaja. Yang partai
lakukan sebatas menggelar acara-acara dialog dengan motivasi agar remaja menjadi
pemilih. Tetapi, cara itu tidak efektif memberikan pendidikan. Sebab, tidak terlalu
serius. Padahal, menurut pengamat pendidikan dari Perguruan Taman Siswa
Darmaningtyas, potensi pemilih pemula itu sangat signifikan. Masa remaja
merupakan saat-saat di mana mereka ingin mencoba mengikuti proses pemilu.
Kasus ini patut disayangkan. Pertumbuhan partai di Indonesia tidak diimbangi
dengan kemampuan memahami kepentingan anak muda. Program-program partai
belum menjangkau remaja, apalagi mewakilinya. Dalam sejarah perkembangan partai
di Indonesia, Darmaningtyas sama sekali belum menemukan program yang secara
spesifik mengelola isu remaja. penggalangan-penggalangan generasi muda untuk
pendidikan politik sama sekali tidak kelihatan. Berbeda misalnya isu-isu lain. Sebagai
contoh, partai-partai lebih tertarik mengangkat masalah keterwakilan perempuan dan
sebagainya.
4
Pendidikan politik bagi remaja merupakan masalah penting. Tidak dapat
memungkiri, remaja merupakan pemilik masa depan bangsa. Nasib bangsa Indonesia
di tangan mereka. Dengan demikian, partai mestinya tidak mengesampingkan masalah
ini. Pendidikan menjadi penting, karena mereka tidak boleh apolitis. Anak-anak muda
mesti memiliki kesadaran tinggi sebagai pemilih, kata Darmaningtyas.
Sebenarnya, partai-partai mendapat keuntungan besar bila kaum pemuda
memiliki kesadaran tinggi terhadap proses politik yang tengah terjadi. Misalnya,
partai diuntungkan karena dapat melakukan kaderisasi politik secara dini. Hanya saja,
pola pikir pengelola partai belum memahami arti penting potensi ini. Menurut kaca
mata Darmaningtyas, orientasi partai di Indonesia masih pada isu-isu besar. Lalu,
cara mendongkrak suara pemilih juga masih menggunakan cara-cara yang sudah
umum. Misalnya menggunakan pengaruh kalangan selebritis dengan cara merekruti
mereka. Realitas tersebut secara tidak langsung telah membangun sikap tertentu bagi
kalangan remaja. Peran remaja remaja sendiri juga menjadi kurang. Sebaliknya,
mereka lebih memilih menikmati masa hura-hura sebagai anak muda. Kalaupun
remaja bersedia diajak partai untuk kegiatan kampanye menjelang pemilihan umum
atau pemilihan kepala daerah, menurut Darmaningtyas, keikutsertaan mereka bukan
sebagai kesadaran politik. Melainkan lebih ke hura-hura.
Realitas pendidikan sekolah yang juga tidak mengenalkan mereka pada
perkembangan politik, juga mempengaruhi semangat remaja pada politik. Remaja
tidak diberikan ruang pengenalan politik oleh kurikilum sekolah maupun masyarakat
sendiri secara sistematis. Kondisi yang demikian terjadi pasca 1965 atau sejak
gerakan Partai Komunis Indonesia meletus. Pada umumnya, masyarakat alergi
membicarakan perkembangan politik. Begitu juga kalangan pendidik seakan-akan
tertutup bagi pengenalan politik bagi murid-murid. Pendidikan politik remaja
diperoleh dari berita-berita di media massa, baik cetak maupun elektronik. Dan
sekarang melalui media online. Dan apa yang mereka dapat dari informasi media,
tentunya bukan pengetahuan mendalam, melainkan sepotong-potong.
Menurut Darmaningtyas, membangun kesadaran politik bagi remaja di
Indonesia sulit bilamana partai-partai tidak peduli dengan realitas tadi. Ketika partai
hanya mengharapkan kemenangan dalam bursa pemilihan umum, remaja tidak akan
pernah tertarik mempelajari politik.
5
Faktor terbesar yang mempengaruhi pembentukan kesadaran remaja
tergantung pada orang tua dalam hal ini partai politik, sekolah dan lingkungan. Bila
tidak ada yang mengarahkan, mereka tidak akan pernah memiliki kepedulian.
(Siswanto, 2008)
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menyerukan semua komponen bangsa tidak
menjadikan remaja atau kaum pemilih pemula sekedar objek untuk memperoleh
suara dalam pemilu. "Mereka harusnya dipandang sebagai jumlah subjek yang
menentukan masa depan bangsa," kata Jurubicara Muslimah HTI, Febrianti
Habbasuni di Makassar. Menurut beliau, dalam suasana menjelang Pemilu 2009,
Muslimah HTI menyatakan keprihatinan terhadap masih kurangnya kegiatan
pemberdayaan politik kepada remaja Indonesia.
Terlebih jumlah remaja Indonesia yang berusia 17-23 tahun sangat besar, 36
juta orang. Atau sekitar 21 persen dari 171 juta jumlah penduduk kategori pemilih
2009 yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Untuk itu, lanjutnya, HTI
juga menyerukan agar semua pihak melakukan pemberdayaan politik berdasar
ideologi kepada remaja. Diharapkan, mereka dapat memilih pemimpin, yakni
pemimpin yang bertakwa, adil, dicintai dan mencintai rakyatnya. Pendidikan politik,
lanjutnya, juga dilakukan agar remaja di masa depan dapat menjadi pemimpin.
Dikatakan Febrianti, untuk menumbuhkan kesadaran politik itu, terlebih
dahulu politisi harus menghentikan dukungan bagi tumbuhnya gaya hidup foya-foya
(hedonisme) di kalangan remaja, yang membuat remaja tidak peduli masa depannya
sendiri dan masa depan bangsa. Politisi, katanya, perlu menanamkan dan
mencontohkan penerapan hidup berdasar nilai syariah yang luhur dan mencegah nilai
sekuler-liberal. Hidup dengan nilai sekuler-liberal, katanya, akan menyebabkan
kerusakan fisik dan mental pada remaja yang akan berdampak pada melemahnya
bangsa di masa mendatang. (Hizbut, 2009)
2.2 Langkah-langkah ideal yang harus ditempuh untuk melaksanakan suatu
pendidikan politik yang baik dan benar
Sedangkan dilain pihak pendidikan politik adalah bukan proses sepihak ketika
partai politik memobilisasi dan memanipulasi warga atau masyarakat untuk menerima
nilai, norma, maupun simbol yang dianggapnya ideal dan baik, seperti yang terjadi di
negara-negara yang menganut sistem politik totaliter. Pendidikan politik bagi warga
6
khususnya para generasi muda harusnya dipahami sebagai perbuatan memberi latihan,
ajaran, serta bimbingan untuk mengembangkan kapasitas dan potensi diri manusia,
melalui proses dialogik yang dilakukan dengan sukarela antara pemberi dan penerima
pesan secara rutin, sehingga para penerima pesan dapat memiliki kesadaran
berdemokrasi dalam kehidupan bernegara.
Definisi pendidikan politik ini mengandung tiga arti penting, yakni: Pertama,
adanya perbuatan memberi latihan, ajaran, serta bimbingan untuk mengembangkan
kapasitas dan potensi diri manusia. Kedua, perbuatan di maksud harus melalui proses
dialogik yang dilakukan dengan suka rela antara pemberi dan penerima pesan secara
rutin. Ketiga, perbuatan tersebut ditujukan untuk para penerima pesan dapat memiliki
kesadaran berdemokrasi dalam kehidupan bernegara.
Pemahaman di atas pada dasarnya menunjukan bahwa Pelaksanaan pendidikan
politik harus dilakukan tanpa unsur paksaan dengan fokus penekanan pada upaya
untuk mengembangkan pengetahuan (Kognisi), menumbuhkan nilai dan keberpihakan
(Afeksi) dan mewujudkan kecakapan (Psikomotorik) warga sebagai individu maupun
sebagai anggota kelompok.
Oleh karenanya, materi-materi pendidikan politik yang harus disampaikan
harus mencakup hal-hal sebagai berikut : Pertama, posisi individu dalam kehidupan
bernegara. Kedua, posisi konstitusi dalam kehidupan bernegara. Ketiga, posisi negara
dalam menjalin relasi dengan warganya. Keempat, posisi individu, negara, dan
konstitusi dalam konstelasi politik terkini. Sedangkan media pelaksanaan pendidikan
politik yang dapat dipergunakan antara lain: latihan kepemimpinan, seminar,
workshop, dialog publik, debat terbuka, kampanye dialogis, dan lain-lain yang sejenis
dengannya.
Berkaitan dengan itu, M. Nur Khoiron (1999), berpendapat bahwa untuk
melaksanakan suatu pendidikan politik yang baik dan benar, idealnya langkah-
langkah yang harus di tempuh oleh pihak penyelenggara, adalah:
1. Pertama, Pahami Persoalan Warga atau Masyarakat khususnya para remaja.
Sebelum program pendidikan politik dilaksanakan, harus terlebih dahulu
diteliti dan diobservasi secara mendalam apa sesungguhnya persoalan
mendasar yang dihadapi oleh warga negara atau masyarakat di suatu daerah,
karena persoalan warga negara atau masyarakat di suatu daerah berbeda
dengan persoalan warga negara atau masyarakat di daerah yang lain.
7
2. Kedua, Tentukan dan Petakan Kebutuhan masyarakat. Setelah persoalan
mendasar-aktual warga negara/masyarakat di ketahui, kemudian tentukan dan
petakan kebutuhan mereka berdasarkan skala prioritas. Skala prioritas ini akan
menjadi sangat penting, terutama ketika kebutuhan dan aspirasi warga
negara/masyarakat sangat banyak dan beragam.
3. Ketiga, Rumuskan Tujuan dan Pilih Kelompok Sasaran. Rumusan dari tujuan
pendidikan politik akan memberikan arah dan juga sasaran yang akan dicapai
dari pihak penyelenggara. Kelompok sasaran bisa ditentukan setelah tujuan
dari pendidikan politik berhasil dirumuskan. Keterpaduan antara tujuan dan
kelompok sasaran dari suatu pendidikan politik, akan mengefektifkan program
yang dilaksanakan.
4. Keempat, Rancang Aktivitas Kerja dan Tentukan Media. Dalam merancang
aktivitas kerja, harus di buat terlebih dahulu adalah: (a). Rancangan kegiatan.
(b). Berapa lama waktu yang dibutuhkan. (c). Pembagian tugas dan tanggung
jawab. (d). Fasilitas atau peralatan yang dimiliki. (e). Anggaran yang
dibutuhkan. (NB: Poin-poin di atas ini juga, harus menjadi pertimbangan
dalam memilih media pendidikan politik yang akan dipergunakan, serta satu
hal yang tidak boleh dilupakan ialah media pendidikan politik yang akan
digunakan harus diselaraskan dengan tujuan yang akan di capai dan kelompok
sasaran yang telah di pilih).
5. Kelima, Laksanakan Aktivitas. Pelaksanaan kegiatan pendidikan politik akan
menjadi efektif, jika dalam implemantasinya dapat dilaksanakan sesuai
rencana kerja.
6. Keenam, Monitoring dan Evaluasi Hasil Kerja. Pada bagian yang paling akhir
dari langkah-langkah ini adalah Monitoring dan evaluasi. Monitoring dan
evaluasi (Monev), ini harus ditujukan untuk mengetahui apakah strategi yang
dipergunakan cukup efektif atau harus dirubah dan apakah isu ini masih dapat
diteruskan atau tidak. Untuk melakukan Monev, ada sejumlah prinsip yang
8
harus dipegang teguh, yakni : (1). Objektif. Artinya, pelaksanaan monev harus
dilakukan atas dasar indikator-indikator yang sudah disepakati tanpa tndensi
apriori. (2). Transparan (Keterbukaan) . Pelaksanaan monev harus dilakukan
secara terbuka dan diinformasikan kepada seluruh pihak yang terkait dengan
pelaksanaan monev ini. (3). Partisipatif. Pelaksanaan monev harus melibatkan
secara aktif dan interaktif bagi para pelaku. (4). Akuntabilitas (Tanggung
Gugat). Pelaksanaan monev dapat dipertanggungjawabk an secara internal
maupun eksternal. (5). Tepat Waktu. Pelaksanaan monev harus sesuai waktu
yang dijadwalkan. (6). Berkesinambungan. Artinya, hasil monev harus dipakai
sebagai umpan balik untuk penyempurnaan atas berbagai kekurangan dalam
pelaksanaan pendidikan politik tersebut.
Pada akhirnya harus diingat bahwa keseluruhan langkah dalam melakukan
pendidikan politik sebagaimana yang telah dipaparkan diatas, hendaknya dipahami
secara dinamis. Artinya langkah-langkah ini tidaklah bersifat kaku dan dapat
dikembangkan dan diterapkan sesuai kebutuhan. Satu hal yang tidak boleh dilupakan
juga adalah terlaksananya pendidikan politik oleh suatu partai politik sangat
ditentukan oleh faktor internal dari partai politik itu sendiri.
Oleh karena itu, apabila ada partai politik yang hendak mempergunakan
konsep pelaksanaan pendidikan politik ini, otomatis partai politik tersebut di tuntut
untuk harus memiliki manajemen yang sudah tertata dengan baik dan mempunyai
sumber daya (potensi manusia atau pengurus, potensi dana, dan potensi penunjang)
yang memadai secara kualitas maupun kuantitas. (Admin, 2008)
9
2.3 Peranan Pemilu 2009 Dalam Pelaksanaan Pendidikan Politik
Pemilihan umum kata yang sudah tak asing lagi bagi telinga kita semua
apalagi akhir-akhir ini banyak media massa yang mengangkat mengenai hal ini,
bahkan setelah perhelatan politik ini selesai, masih banyak pemberitaan-pemberitaan
yang beredar. Ini dikarenakan dalam suatu proses demokrasi selalu ada pro-kontra,
guna menghasilkan kondisi yang diharapkan oleh seluruh lapisan rakyat.sehingga
dengan pemilu akan tejadi proses pembelajaran politik bagi masyarakat. Bukan malah
menjadi ajang mencari kekuasaan bagi elit-elit politik semata namun ada hal yang
mengganjal proses tersebut dimana terjadi penurunan partisipasi politik dari rakyat
yang diwujudkan dengan masih tingginya angka gologan putih(golput) dalam pemilu
2009 yang lalu. Belum lagi beberapa permasalahan teknis yang terjadi seerti maslah
DPT, serta sengketa hasil keputusan KPU. Dan masih banyak lagi permasalahan yang
ada dalam pemilu 2009.
Dari serangkaiyan kenyataan diatas kita tentu faham seberapa rendah
pendidikan politik yang diterima masyarakat kita sungguh ironis memang jika melihat
negara kita sedang berkembang tetapi generasi mudanya tidak memahami politik
secara mendalam. Namun ada hal yang perlu ketahui pemilihan umum yang baru saja
kita lalui bersama ini ternyata memiliki peran, walaupun tak begitu terlihat namun
besar pengaruhnya. Tentu anda pernah mendengar bahkan merasakan langsung
mengenai berbagai pro-kontra dalam proses demokrasi yang berlangsung di indonesia
begitupun dengan pemilu 2009. Didalam proses tersebut banyak terjadi perbedaan
persepsi dari tiap elemen yang terlibat namun satu hal yang dapat kita petik adalah
pemilu dapat dilaksanakan dengan aman.
Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam keadaan tensi politik yang memanas
dikalangan elite politik kita sebagai masyarakat tidak perlu mengadakan konflik baik
fisik maupun batin antar masyarakat. Karena kita tahu bahwa kita melakukan pemilu
didasarkan atas keinginan bersama untuk mendapatkan pemimpin yang sesuai dengan
hati nurani kita. Artinya dalam pemilu kita telah memiliki hak politik secara pribadi
sehingga keberadaan kita sebagai pemilih diperhitungkan. Jadi dapat dikatakan dalam
proses pemilu kita mendapat susatu pembelajaran berupa penentuan pilihan terhadap
wakil yang kita anggap terbaik bagi kita dandapat mewakili aspirasi kita. Namun kita
tetap berpegang pada nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa. Yang kita wujudkan
dengan pemilu damai.
10
Selain pendidikan tadi ada juga pendidikan politik lain yang terjadi saat
berlangsungnya proses pemilu yaitu pendidikan akan kesadaran partisipasi politik.
Hal ini tergambar jelas saat masyarakat yang seharuhnya memiliki hak pilih namun
tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap(DPT) menuntut hak pilih mereka kepada
pihak KPU. Artinya mereka sadar akan hak politik yang mereka punyai.
Kita sebagai kaum intlektual seharusnya lebih peka terhadap hal-hal tersebut
diatas karena dengan kemanpuan intlektual kita mampu menidentifikasi hak-hak
politik yang kita miliki. Walaupun sebenarnya kita belum menjalankan politik secara
praktis dimana kita ikut berperan dalam setiap kegiatan berpolitik namun setidaknya
kita mampu belajar dari proses yang terjadi. Karena sebatas belajar kita tidak harus
larut didalamnya. Proses pembelajaran kita bisa kita umpamakan sebagai saat
menonton sebuah konser musik dari televisi walaupun kita menikmati musik yang
disajikan namun kita tidak harus larutseperti penonton yang menonton langsung.
Artinya dalam pendidikan politik perlu ada sebuah model nyata yang
diberikan sebagai visualisasi nilai-nilai yang ada sehingga dapat terjadi pembelajaran
yang efektif. Dan pemilu menyediakan sarana tersebut dimana setiap warga negara
baik memiliki hak pilih maupun tidak, berasal dari suku, agama,atau ras manapun
masing- masing telah memiliki peranan dalam berlangsungnya pemilu itu sendiri.
Secara langsung maupun tidak langsung akan berimbas terhadap kualitas demokrasi
negeri ini.
11
2.4 Pengaruh Masyarakat Multi Kultur Terhadap Pendidikan Politik
setelah kita sadar akan adanya hubungan antara pemilu dan pendidikan politik
tentu akan terlintas dipikiran kita mengapa walaupun negeri kita ini telah melakukan
pemilu bahkan melakukan secara langsung, tetapi tidak terjadi partisispasi optimal
dari setiap elemen masyarakat atau dapaat kita katakan pendidikan politik tidak
telaksana secara efektif.
Jika ditinjau dari segi sosial fenomena ini terjadi akibat proses sosialaisasi
yang tidak sempurna, artinya nilai-nilai yang disampaikan oleh agen-agen sosialisasi
tidak diterima denga baik oleh individu yang mengalami sosilisasi. Sehingga terjadi
kesalahan persepsi terhadap suatu obyek sosial. Dalam kaitanya dengan pemilihan
umum 2009 adalah dimana masyarakat kita kurang faham akan makna mendasar dari
pemilu itu sendiri sehingga terbentuk individu-individu yang apolitik ( tidak sadar
akan hak-hak politik yang dimilikinya). Hal ini akan langsung berimbas terhadap
kualitas demokrasi yang berlangsung. Karena rendahnya partisipasi masyarakat
terhadap kegiatan politik dalam negaranya khususnya kegiatan pemilu.
Ada beberapa hal mendasar yang menyebabkan itu semua bisa terjadi salah
satunya adalah fenomena masyarakat multi kultur di negara kita ini. megapa multi
kultur? Pasti itu yang terbersit dipikiran anda. Hal ini karena seperti yang kita ketahui
kita bahwa masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai jenis suku, agama, dan
ras. Sehingga terbentuk berbagai jenis kebudayaan dari setiap elemen yang ada.
Dengan hal itu ada tiga kemungkinan yang mungkin timbul yaitu gesekan
antar kebudayan, kerjasama( asimilasi/ akulturasi) antar kebudayaan, dan yang terahir
antara budaya satu dengan budaya lain saling menjauh.Gesekan budaya fenomena
sosial ini akan terjadi saat dua kebudayaan yang saling bertentangan berkembang
disebuah lingkungan sosial sehingga mendoron konflik antar anggota masyarakat.
Kemudian berikutnya mengenai hal yang mendorong terjadinya suatu proses
kerjasama antar budaya bisa kita katakan seperti itu walau, sebenarnya bukan
kebudayaanya yang bekerja sama melainkan individu-individu yang membawa
kebudayaanya ke tengah-tengah masyarakat untuk disesuaikan dengan kebudaayan
yang ada. Saat semua elemen dalam masyarakat menerima kebudayaan tersebut
barulah proses kerja sama akan terjadi. Kemudia jika terjadi kondisi dimana
kebudayaan saling menjauh atau tidak ada apresiasi antar masyarakat menyangkut
12
kebudayaan mereka. Hal ini di karenakan tidak ada interaksi antara kebudayaan satu
dan lainya sehinnga tidak ada proses sosialisasi yang berlangsung.
Jika kita telaah secara mendalam sebenarnya indonesia sudah hampir
mendekati proses keselarasan antar budaya namun masih saja ada pihak-pihak yang
tidak menginginkan kesatuan dan persatuan tersebut. Hal ini akhirnya dimanfaatkan
oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab untuk memecah belah persatuan serta untuk
meraih tujuan-tujuan politiknya. Jadi dapat dikataka bahwa kondisi diatas akan
mendorong terjadinya proses pembelajaran politik yang kurang berkualitas dimana
akan terjadi suatu kenderungan bahwa politik hanya monopoli dari suatu golongan
saja. Yang akhirnya malahan mengurangi partisipasi politik dari golongan masyarakat
yang tidak ingin adanya perpecahan. Terlebih kaum siswa yang menganggap politik
sebagai hal yang tabu karena mereka beranggapan bahwa politik hanya untuk
membuat masyarakat terkotak-kotak. Sehingga dengan kondisi ini pendidkan politik
tidak berlangsung baik.
Untuk menanggulangi hal tersebut hendaknya para elite politok harus mampu
mengurangi pengankatan isu-isu kebudayaan untuk mencari simpati rakyat karena
degan hal mengankat isu-isu kebudayaan akan mengakibatkan gesekan- gesekan di
masyarakat dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda
13
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penulisan makalah tersebut, maka dapat ditarik simpulan
sebagai berikut.
1. Pemerintah sampai saat ini belum konsisten dalam melaksanakan pendidikan
politik dan belum mampu melahirkan kebijakan penting dalam hal pendidikan
politik bagi warga negara.
2. Pemerintah sebagai penyelenggara belum mampu menjalankan langkah-
langkah melaksanakan pendidikan politik dengan baik dan benar.
3. Pemilu 2009 sangat berperan dalam pendidikan politik dikalangan siswa
pendidikan menengah karena pemilu 2009 menyuguhkan banyak
pembelajaran nyata bagi pelajar itu sendiri( sebagai model yang nyata)
4. Untuk menciptakan situasi pembelajaran politik yang kondusif hendaknya
proses pelaksanaan pemilu tidak menyinggung masalah perbedaan kultur
karena dapat meningkatkan resiko perpecahan dan konflik.
3.2 Saran
1. Sebaiknya pemerintah tidak memandang sebelah mata generasi muda dalam
penentuan dan pengambilan segala keputusan yang berkaitan dengan
pemerintahan.
2. Sebaiknya pemerintah tidak menjadikan generasi muda sebagai alat untuk
mencapai kekuasaan
3. Sebaiknya perlu dilibatkanya semua elemen yang berkepentingan dalam
pemilu guna menghasilkan pemilu yang berkualitas
4. Sebaiknya isu-isu yang diangkat elit politik untuk menghipun suara adalah
isu-isu yang berdekatan dengan rakyat seperti isu pendidikan dan isu ekonomi
sehingga rakyat tertarik berpartisipasi dalam politik
14
top related