pemetaan sebaran carbon di kabupaten...
Post on 01-Feb-2018
222 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1 | P a g e
PEMETAAN SEBARAN CARBON
DI KABUPATEN MERAUKE, PROVINSI PAPUA
By.
Lilik Budi Prasetyo
Ida Bagus Ketut Wedastra
Putri Tiara Maulida
Kerja Sama:
Fakultas Kehutanan – IPB dengan WWF Indonesia
2 0 1 2
Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 2
KATA PENGATAR
Penulis panjatkan puji dan Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan Karunia
dan lindungan-Nya, sehingga proses kegiatan identifikasi penutupan lahan dengan
memanfaatkan teknologi penginderaan jauh di Selatan Papua dengan lokasi kajian di Kabupaten
Merauke, Provinsi Papua dapat diselesaikan
Selatan Papua memiliki dinamika penutupan lahan yang dipengaruhi oleh musim dan
kondisi geografis yang unik. Kondisi musim dipengaruhi oleh dua musim yaitu: musim basah
dan kering yang dipengaruhi oleh kondisi tropis dan sub tropis.
Identifikasi penutupan lahan ini dilakukan dengan menggunakan teknologi penginderaan
jauh satelit sebagai alat bantu untuk mengidentifikasi tutupan lahan pada tahun 1990, 2000 dan
2010. Masing-masing tahun merupakan komposit dari berbagai bulan akuisisi. Hasil analisis
menunjukkan di lokasi kajian terdapat 18 kelas penutupan lahan, yang terdiri dari; hutan lahan
kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan rawa pasang surut, hutan rawa primer, hutan
rawa sekunder, hutan mangrove primer, hutan rawa sekunder, lahan pertanian, lahan terbuka,
rawa, rawa pasang surut, savanna, semak belukar, semak belukar pasang surut, semak belukar
rawa, perairan, dan tidak ada data (awan dan bayangan awan). Informasi penutupan lahan
tersebut diintegrasikan dengan data perhitungan carbon sehingga diperoleh informasi
perhitungan total carbon secara lanskap di Kabupaten Merauke.
Penyelesaian laporan ini sebagai akhir dari seluruh rangkaian kegiatan identifikasi
penutupan lahan di selatan papua khususnya di Kabupaten Merauke menjadi tidak lengkap tanpa
adanya kritik dan saran, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
untuk melengkapi kajian berikutnya.
Akhir kata, penulis mengucapkan banyak Terima kasih kepada para pihak yang telah
membantu penyelesaiaan
Jakarta, September 2012
Penulis
Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 3
DAFTAR ISI
Bab Keterangan Hal
.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ...................................................................................................... 1
1.2. Tujuan ................................................................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penginderaan Jauh ................................................................................................ 3
2.2. Wahana dan Sensor Penginderaan Jauh ................................................................ 3
2.3. Stok Carbon (carbon pool) ................................................................................... 4
2.4. Penginderaan Jauh untuk estimasi Potensi Stok Carbon ...................................... 5
III. KONDISI UMUM KABUPATEN MERAUKE
3.1. Geografis ............................................................................................................... 6
3.2. Jumlah Penduduk .................................................................................................. 6
3.3. Topografi ............................................................................................................... 6
3.4. Iklim/Curah Hujan ................................................................................................ 8
3.5. Hidrologi ............................................................................................................... 9
3.6. Geologi .................................................................................................................. 9
3.7. Jenis Tanah ............................................................................................................ 9
IV. METODOLOGI
4.1. Lokasi Kajian dan Data ......................................................................................... 10
4.2. Perangkat Lunak ................................................................................................... 11
4.3. Perangkat Keras .................................................................................................... 11
4.4. Harmonisasi Data .................................................................................................. 11
4.5. Pemrosesan Data/Citra .......................................................................................... 12
4.6. Survey Lapangan .................................................................................................. 19
Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 4
4.7. Integrasi Perhitungan Carbon dengan Hasil Interpretasi ...................................... 20
4.8. Diagram Alir ......................................................................................................... 21
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Tipe penutupan lahan ............................................................................................ 22
5.2. Penutupan Lahan Tahun 1990 .............................................................................. 23
5.3. Penutupan Lahan Tahun Tahun 2000 ................................................................... 25
5.4. Penutupan Lahan Tahun Tahun 2010 ................................................................... 26
5.5. Klasifikasi Penutupan Lahan ................................................................................ 28
5.6. Analisis Perubahan Kandungan Carbon ............................................................... 29
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ........................................................................................................... 32
Saran ..................................................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 33
Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 5
No DAFTAR TABEL Hal.
3.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Di Kabupaten Merauke per 31
Desember 2011 ……………………………………………......................................
7
3.2 Kelas Lereng lokasi studi ………………………………………………………….. 8
4.1 Rekapitulasi dara citra penyusun Kab. Merauke…………………………………… 12
5.1 Karakteristik tegakan/vegetasi di masing-masing kelas penutupan lahan ……….. 23
5.2 Rekapitulasi luas masing-masing penutupan lahan tahun 1990 ………………… 24
5.3 Rekapitulasi luas masing-masing penutupan lahan tahun 2000 …………………… 25
5.4 Rekapitulasi luas masing-masing penutupan lahan tahun 2010 ………………… 26
5.5 Rekapitulasi luasan deforestasi dan degradasi hutan ………………………………. 28
5.6 Perubahan carbon stock vegetasi (above ground carbon stock). …………………. 28
5.7 Perubahan below ground carbon stock …………………………………………….
30
Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 6
No DAFTAR GAMBAR Hal.
2.1 Satelit Landsat ……………………………………………………………………… 4
3.1 Peta Lokasi Kajian Kegiatan Potensi Carbon di Kabupaten Merauke, Provinsi
Papua ………………………………………………………………………………..
6
4.1 Peta Lokasi Kajian dan Survey Lapangan Studi Carbon Selatan Papua …………. 10
4.2 Path Row untuk Kab.Merauke. ……………………………………………………. 12
4.3 Diagram Alir Pengolahan Data Citra Satelit Landsat. …………………………….. 15
5.1 Penutupan Lahan Kabupaten Merauke tahun 1990 ………………………………. 24
5.2 Penutupan lahan Kabupaten Merauke tahun 2000……………………………….. 26
5.3 Penutupan lahan Kabupaten Merauke tahun 2010……………………………….. 27
5.4 Degradasi hutan 1990 – 2010……………………………………………………… 28
5.5 Deforestasi hutan 1990 – 2010 …………………………………………………… 29
Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 7
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perubahan iklim global telah dirasakan oleh manusia di berbagai belahan dunia. Perubahan
disebabkan oleh kenaikan temperature atmosfer bumi, yang memicu dampak lingkungan global.
Dampak tersebut antara lain kenaikan permukaan air laut yang disebabkan oleh melelehnya salju
di kutub, dan ketidakpastian musim hujan dan kemarau. (IPCC, 2007). Kenaikan suhu bumi ini
menjadi ancaman bagi kehidupan manusia dalam bentuk bencana cuaca yang ekstrim,
kekeringan, banjir, tenggelamnya pulau-pulau, kelaparan, kesehatan, dan lain-lain.
Perdebatan penyebab kenaikan temperature bumi masih terus berlangsung. Sebagian ahli masih
ada yang mempercayai bahwa kenaikan dan penurunan bumi adalah gejala alam. Namun para
ahli yang tergabung di dalam panel expert IPCC mempercayai bahwa kenaikan tersebut
disebabkan oleh kenaikan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK), yaitu karbon dioksida (CO2),
Methana (CH4), Nitru oxide (NOx) dan Sulphur Oxida (Sox), yang dikeluarkan karena aktivitas
manusia. Sumber GRK berasal dari berbagai aktivitas pembakaran bahan bakar fossil dari sector
industry, rumah tangga, dan transportasi, serta emisi dari sector pertanian dan kehutanan. Negara
maju penyumbang emisis GRK terbesar dari sector industry, sedangkan untuk Negara
berkembang di belahan tropika, sumber emisi GRK banyak disebabkan oleh aktivitas pertanian
dan kehutanan (deforestasi). Hilangnya hutan merupakan salah satu faktor yang berkontribusi
secara signifikan dalam perubahan iklim. Di sisi lain, kemungkinan memperluas penyimpanan
karbon di hutan diidentifikasi sebagai cara yang lebih berpotensi dalam memitigasi perubahan
iklim (FAO, 2001; deFries et al., 2000).
Setelah berakhirnya masa komitment Kyoto Protokol, skema REDD diusulkan Papua Nugini dan
Costarica pada pertemuan COP 11 di Montreal, yang kemudian diadopsi pada COP 13 (2/CP
13) dan diakui dalam Kesepakatan Kopenhagen (Copenhagen Accord) pada Pertemuan Para
Pihak (Conference of Parties, COP) ke-15 dari UNFCCC (4/CP.15). Untuk Indonesia REDD+
telah digendakan secara nasional, sebagai salah satu skema Mitigasi yang akan
diimplementasikan hingga pada level pemerintah daerah.
Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 8
Deforestasi dan Degradasi hutan di Indonesia telah mengakibatkan besarnya sumbangan emisi
pada dunia, oleh karena itu pendekatan mitigasi dengan mengamankan hutan yang ada adalah
melalui REDD (Reduction of Emission from Deforestation and Degradation), yaitu
penyelamatan hutan tersisa untuk mengurangi tingkat emisi Indonesia. REDD bertujuan untuk
menyelamatkan hutan yang ada atau tersisa dengan mencegahnya dari kerusakan dan kehilangan.
Menyadari akan permasalahan tersebut WWF-Indonesia sebagai lembaga nirlaba bersama IPB
dan ICRAF yang berbasis konservasi ekosistem memiliki tanggung jawab moral dalam
mengurangi dampak akibat kerusakan lingkungan global termasuk mitigasi dalam mengurangi
penyebab perubahan iklim. Salah satu langkah yang akan dilakukan oleh WWF adalah dengan
melakukan “Kegiatan Analisis Estimasi Nilai Carbon (ton/Ha) berdasarkan tipe tutupan lahan di
Kabupaten Merauke”, kegiatan ini dimulai dengan melakukan penghitungan potensi karbon baik
itu aboveground, belowground, soil maupun necromass di lapangan, melakukan analisis
terhadap tipe tutupan lahan di lapangan, mengekstrapolasi nilai carbon tingkat plot menjadi nilai
carbon berdasarkan tipe tutupan lahan yang diperoleh.
Luasnya wilayah yang dikaji, menjadi kebutuhan akan suatu teknologi yang dapat memberikan
informasi secara cepat dan mencakup wilayah yang besar, salah satu teknologi yang digunakan
adalah sistem informasi geografis dan pemanfaatan teknologi penginderaan jauh untuk
pemantauan penutupan lahan yang ada pada tahun lalu dan saat ini.
1.2. Tujuan
Tujuan kajian ini adalah mendukung pelaksanaan REDD di Kabupaten Merauke, dengan rincian
kegiatan sebagai berikut :
a) Melakukan analisis penutupan lahan tahun 1990, 2000 dan 2010, dengan menggunakan
teknologi remote sensing di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua.
b) Menghitung potensi stok karbon diatas dan dibawah permukaan berdasarkan perhitungan
luas penutupan lahan pada tahun 1990, 2000 dan 2010, yang didukung oleh survey
kandungan karbon pada level plot.
c) Menganalisis trend perubahan karbon stok pada rentan 1990 – 2010.
Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh berasal dari kata Remote sensing memiliki pengertian bahwa
penginderaan jauh merupakan suatu ilmu dan teknologi untuk memperoleh data dan
informasi dari suatu objek di permukaan bumi dengan menggunakan alat yang tidak
berhubungan langsung dengan objek yang dikajinya (Lillesand dan Kiefer, 1979). Jadi
penginderaan jauh merupakan ilmu dan teknologi untuk mengindera/
menganalisis permukaan bumi dari jarak yang jauh, dimana perekaman dilakukan di
udara atau di angkasa dengan menggunakan alat (sensor), yang ditempatkan pada sebuah
wahana (kendaraan).
2.2. Wahana dan sensor Penginderaan Jauh
Wahana untuk menempatkan sensor satelit berkembang dengan sangat cepat terutama setelah
teknologi satelit. Sebelum teknologi satelit ditemukan, wahana penginderaan jauh ditempatkan
pada balon udara, dan pesawat. Spesifikasi sensor ditempatkan pada satelit sangat tergantung
dari misi satelit, yaitu untuk pemantauan sumberdaya alam (terrestrial), sumberdaya laut atau
atmosfer. Sebuah sensor biasanya terdiri dari kumpulan sensor yang mempunyai kemampuan
untuk menangkap rentang panjang gelombang yang berbeda-beda, dan biasanya disebut
chanel/band. Satelit biasanya mempunyai satu band hingga ratusan bands (Hyperspectral).
Salah satu satelit yang ditujukan untuk memantau sumberdaya alam adalah satelit Landsat.
Satelit ini dikenal sebagai satelit sumber daya alam karena fungsinya adalah untuk memetakan
potensi sumber daya alam dan memantau kondisi lingkungan. Satelit ini mempunyai 7 band.
Landsat pada awalnya disebut dengan nama ERTS-1 (Earth Resource Technology Satellite) yang
diluncurkan pada tanggal 23 Juli 1972 yang mengorbit hingga 6 Januari 1978 teat sebelum
peluncuran ERTS-B. Tanggal 22 Juli 1975, NASA secara resmi menangani program ERTS
menjadi program Landsat sehingga ERTS-1 berubah menjadi Landsat 1 dan ERTS-B berubah
menjadi Landsat 2. Landsat 2 berhenti beroperasi pada tahun 1981. Landsat 3 diluncurkan pada
tanggal 5 Maret 1978 dan berhenti beroperasi pada tahun 1983. Landsat 4 diluncurkan pada Juli
Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 10
1982 dan Landsat 5 pada Maret 1984. Landsat 4 berhenti beroperasi pada tahun 1993. Landsat 6
gagal mencapai orbit karena terjadi kecelakaan yang dicoba diluncurkan pada tanggal 5 Oktober
1993. Landsat 7 diluncurkan pada tanggal 15 April 1999. Secara umum, karakteristik landsat
adalah sebagai berikut:
1. Resolusi spectral
Resolusi spectral adalah jumlah bands yang
ditempatkan pada sebuah satelit. Satelit Landsat 5 TM
mempunyai 7 band, sedangkan TM 7 sebanyak 8 band.
2. Resolusi spasial
Resolusi spasial adalah ukuran terkecil kemampuan
sensor untuk merekam sebuah obyek. Resolusi spasial
Band 1, band 2, band 3, band 4, band 5 dan band 7
adalah 30 meter. Sedangkan band 6 yang
menggunakan inframerah thermal memiliki resolusi
spasial 60 meter.
3. Resolusi temporal
Resolusi temporal adalah periode waktu yang
dibutuhkan satelit untuk dapat merekam tempat yang sama. Untuk Landsat periode resolusi
temporal 16 hari
2.3. Stok Karbon (Carbon Pool)
Stok karbon (carbon pool) adalah kandungan karbon yang terdapat pada vegetasi di atas
permukaan, perakaran, serasah, bagian tumbuhan yang mati dan tanah. Pengukuran stok karbon
di suatu daerah melibatkan pengukuran stok karbon dari 5 komponen tersebut. Karbon yang
terdapat di dalam vegetasi (above dan under ground) adalah akumulasi carbon sebagai hasil dari
akumulasi fotosintesa. Untuk pengukuran jumlah karbon di atas permukaan tanah (above ground
Gambar 2.1. Satelit Landsat 5 (sumber NASA)
Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 11
carbon stock) dapat dilakukan secara pengukuran langsung (destructive sampling) atau dengan
pengukuran secara tidak langsung dengan pendekatan matematis (allometric).
2.4. Penginderaan Jauh untuk estimasi Stok Carbon
Untuk mengestimasi stok karbon pada suatu kawasan yang lebih luas diperlukan suatu cara
untuk mengekstrapolasikan hasil pengukuran berbasis plot (dengan alometri) ke tingkat
bentang alam. Salah satu metoda yang sangat potensial untuk memenuhi kebutuhan tersebut
adalah dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh (inderaja).
Hutan mengabsorpsi CO2 selama proses fotosintesis dan menyimpannya sebagai materi organik
dalam biomassa tanaman. Banyaknya materi organik yang tersimpan dalam biomassa hutan
per unit luas dan per unit waktu merupakan pokok dari produktivitas hutan.
Produktivitas hutan merupakan gambaran kemampuan hutan dalam mengurangi emisi CO2
di atmosfir melalui aktivitas physiologinya. Pengukuran produktivitas hutan relevan
dengan pengukuran biomassa. Biomassa hutan menyediakan informasi penting dalam
menduga besarnya potensi penyerapan CO2 dan biomassa dalam umur tertentu yang dapat
dipergunakan untuk mengestimasi produktivitas hutan (Heriansyah, 2005).
Stock karbon adalah jumlah absolut karbon yang berada di permukaan dan di dalam tanah dalam
satu satuan waktu tertentu (Price et al., (1997), Kurz (1999), dan James (2005)). Dalam
penelitian ini estimasi stock karbon dibatasi hanya yang terdapat pada vegetasi terestrial.
Estimasi karbon stock dilakukan dengan menggunakan data luas tutupan vegetasi dikalikan
dengan data biomassa dan faktor konversi biomass-karbon (IPCC, 1996). Data luas tutupan
hutan diperoleh dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh.
Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 12
III. KONDISI LOKASI
3.1. Geografis
Secara geografis, Kabupaten Merauke terletak antara 50 – 9
0 Lintang Selatan dan 137
0 - 141
0
Bujur Timur. Kabupaten Merauke berbatasan langsung dengan Kabupaten Mappi dan
Kabupaten Boven Digoel di sebelah utara, sedangkan untuk sebelah selatan dan sebelah barat
berbatasan dengan Laut Arafura, dan sebelah timur berbatasan dengan Papua New Guinea
(PNG). Luas wilayah Kabupaten Merauke mencapai 45.071 km2. Sebagian besar wilayah
merupakan dataran rendah, ketinggian bervariasi antara 0 sampai dengan 100 m di atas
permukaan laut. Sejak tahun 2006 Kabupaten Merauke mempunyai 20 distrik yang terdiri dari 8
kelurahan dan 160 kampung/desa.
Gambar 3.1. Peta Lokasi Kajian Kegiatan Potensi Carbon di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua
Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 13
3.2. Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk Kabupaten Merauke per tanggal 31 Desember 2011, menurut pendataan dari
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil berjumlah 239.943 Jiwa. Dari jumlah tersebut,
Penduduk laki-laki mencapai 126.975 Jiwa dan perempuan mencapai 112.968 Jiwa. Jumlah
Kepala Keluarga tercatat sebanyak 58.199 KK. Jumlah penduduk terbanyak terdapat di Distrik
Merauke yang jumlahnya mencapai 110.819 Jiwa. Jumlah penduduk terkecil terdapat di Distrik
Kaptel dengan jumlah penduduk sebanyak 1.824 Jiwa. Data tersebut dapat disajikan pada Tabel
berikut ini :
Tabel 3.1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Di Kabupaten Merauke per 31
Desember 2011
No. Distrik Jumlah
Penduduk
Jumlah KK
Laki-Laki Perempuan 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
KIMAAM
TABONJI
WAAN
ILWAYAB
OKABA
TUBANG
NGGUTI
KAPTEL
KURIK
ANIMHA
MALIND
MERAUKE
NAUKENJERAI
SEMANGGA
TANAH MIRING
JAGEBOB
SOTA
MUTING
ELIKOBEL
ULILIN
7.153
5.765
4.492
5.511
5.185
2.854
2.053
1.824
15.386
2.410
10.483
110.819
2.280
15.666
19.979
9.076
3.868
5.622
4.596
4.921
3.742
3.007
2.333
2.982
2.742
1.489
1.086
934
8.204
1.261
5.507
58.531
1.168
8.286
10.664
4.897
2.060
2.927
2.520
2.635
3.411
2.758
2.159
2.529
2.443
1.365
967
890
7.182
1.149
4.976
52.531
1.112
7.380
9.315
4.179
1.808
2.695
2.076
2.286
1.587
1.367
1.085
1.269
1.181
673
402
372
4.153
511
2.746
25.805
532
4.213
5.169
2.495
927
1.339
1.140
1.233
Jumlah 239.943 126.975 112.968 58.199 (Sumber : Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kab. Merauke, 2011)
3.3. Topografi
Keadaan Topografi Kabupaten Merauke umumnya datar dan berawa disepanjang pantai dengan
kemiringan 0-3% dan kearah utara yakni mulai dari Distrik Tanah Miring, Jagebob, Elikobel,
Muting dan Ulilin keadaan Topografinya bergelombang dengan kemiringan 0 – 8%. Kondisi
Geografis Kabupaten Merauke yang relatif masih alami, merupakan tantangan serta peluang
Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 14
pengembangan bagi Kabupaten Merauke yang masis menyimpan banyak potensi ekonomi untuk
menunjang pembangunan. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3.2. sebagai berikut ini :
Tabel 3.2. Kelas Lereng lokasi studi
Kelas Lereng Luas (Km2) Persentase Wilayah
0–3 % 5.598 12,42 Kimaam, Okaba,Kurik, Semangga.
3–8 % 30.513 67,70 Merauke, Tanah Miring, Jagebob, Sota.
8–12 % 18.960 19,88 Okaba, Kurik, Muting, Elikobel dan Ulilin,
Jumlah 45.071 100,00 Sumber : Bappeda Kabupaten Merauke, 2010
Kemudian berdasarkan peta dasar Kabupaten Merauke (Gambar 2) terlihat sebagian besar daerah
merupakan areal dataran yang berada pada ketinggian antara 0–60 m diatas permukaan laut.
Wilayah yang benar-benar datar tersebut berada sebagian besar pada daerah selatan dan tengah.
Daerah tersebut merupakan sentra penduduk yang memulai usaha pemanfaatan lahan untuk
kegiatan budidaya dan konsentrasi pemukiman penduduk.
3.4. Iklim/Curah hujan
Kabupaten Merauke memiliki iklim yang sangat tegas antara musim penghujan dan musim
kemarau. Menurut Oldeman (1975), wilayah Kabupaten Merauke berada pada zona
(Agroclimate Zone C) yang memiliki masa basah antara 5 – 6 bulan.
Dataran Merauke mempunyai karakteristik iklim yang agak khusus yang mana curah hujan yang
terjadi dipengaruhi oleh Angin Muson, baik Muson Barat – Barat Laut (Angin Muson
Basah) dan Muson Timur – Timur Tenggara (Angin Muson Kering) dan juga dipengaruhi oleh
kondisi Topografi dan elevasi daerah setempat.
Curah hujan pertahun di Kabupaten Merauke rata-rata mencapai 1.558,7 mm.Dari data
yang ada memperlihatkan bahwa perbedaan jumlah curah hujan pertahun antara daerah
Merauke Selatan dan bagian utara. Secara umum terjadi peningkatan curah hujan per tahun dari
daerah Merauke Selatan (1000 - 1500) dibagian Muting, kemudian curah hujan dengan jumlah
1500 – 2000 mm/tahun terdapat di Kecamatan Okaba dan sebagian Muting, selebihnya
semakin menuju ke Utara curah hujannya semakin tinggi. Perbedaan tersebut
Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 15
juga berlaku pada jumlah bulan basah yaitu semakin kebagian utara masa basah sangat
panjang sedangkan pada bagian selatan terdapat masa basah yang relatif pendek.
Kondisi iklim yang demikian berpeluang untuk dua kali tanam. Musim hujan yang terjadi
merupakan kendala terhadap kondisi jalan – jalan tanah yang setiap tahun mengalami
kerusakan. Sementara disisi lain musim kemarau yang panjang justru mengakibatkan
kekurangan air bersih dan air irigasi bagi masyarakat dan petani.
Berdasarkan data iklim yamg dikeluarkan oleh Kantor Meteorologi dan Geofisika Merauke
menunjukkan bahwa kecepatan angin hanpir sama sepanjang tahun; di daerah pantai
bertiup cukup kencang sekitar 4 – 5 m/det dan dipedalaman berkisar 2 m/det. Penyinaran
matahari rata – rata di Merauke adalah 5,5 jam/hari pada bulan Juli dan yang terbesar 8,43
jam/hari pada bulan September, dengan rata – rata harian selama setahun sebesar 6,62 jam.
Tingkat kelembapan udara cukup tinggi karena dipengaruhi oleh iklim Tropis Basah,
kelembapan rata – rata berkisar antara 78 – 81%.
3.5. Hidrologi
Sungai – sungai besar yakni Bian, Digul, Maro, Yuliana, Lorents, dan Kumbe merupakan
potensi sumber air tawar untuk pengairan dan digunakan sebagai prasarana angkutan antara
kecamatan dan desa – desa. Sumber air tawar dari rawa – rawa, air permukaan dan air
tanah cukup tersedia untuk dimanfaatkan. Di beberapa tempat air tanah mengandung belerang
panas.
3.6. Geologi
Pantai selatan dibentuk oleh hutan sedimen, tergolong endapan alivium, di Utara pasir Kwarsa
dan batu apung. Berdasarkan data tingkat kesuburan tanah tergolong rendah sampai sedang.
Bahan tambang/mineral yang diduga ada minyak dan emas.
3.7. Jenis Tanah
Jenis tanah yang terdapat diwilayah Kabupaten Merauke terdiri atas tanah organosol,
alluvial dan hidromorf kelabu yang terdapat didaerah – daerah rawa dan payau. Jenis tanah ini
terbentuk dari bahan induk buatan sedimen yang menyebar diwilayah distrik Okaba,
Merauke dan Kimaam.
Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 16
IV. METODOLOGI
4.1. Lokasi Kajian dan Data
Lokasi Kajian berada pada lansekap Kabupaten Merauke, Provinsi Papua (Gambar 4.1). Untuk
mendapatkan informasi penutupan lahan di lokasi kajian maka diperlukan data-data pendukung.
Data pendukung tersebut terdiri dari data sekunder dan data primer yang terdiri dari data vektor
dan data raster. Data sekunder dapat diperoleh melalui data-data yang sudah ada yang berasal
dari instansi pemerintah, LSM, maupun instansi swasta dan lembaga penelitian lainnya yang
telah melakukan kegiatan di lokasi kajian. Data raster yang digunakan adalah menggunakan citra
satelit Landsat 5 dan atau Landsat 7. Untuk mendapatkan informasi jejak ekologi dan tresn
perubahan yang terjadi, maka diperlukan kajian pada tahun sebelumnya serta kajian tahun
terbaru.
Gambar 4.1. Peta Lokasi Kajian dan Survey Lapangan Studi Carbon Selatan Papua
Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 17
4.2. Perangkat Lunak
Perangkat lunak, merupakan sistem modul yang berfungsi untuk memasukkan, menyimpan dan
mengeluarkan data yang diperlukan. Data hasil penginderaan jauh dan tambahan (data lapangan,
peta) dijadikan satu menjadi data dasar citra, geografi. Data dasar tersebut dimasukkan ke
komputer melalui unit masukan untuk disimpan dalam disket. Bila diperlukan data yang telah
disimpan tersebut dapat ditayangkan melalui layar monitor atau dicetak untuk bahan laporan
(dalam bentuk peta/gambar). Data ini juga dapat diubah untuk menjaga agar data tetap aktual
(sesuai dengan keadaan sebenarnya).
Perangkat lunak yang digunakan adalah Erdas IMAGINE, ArcGIS, Er Mapper dan Microsoft
Office
4.3. Perangkat Keras
Perangkat keras: berupa komputer beserta instrumennya (perangkat pendukungnya). Data
yang terdapat dalam Sistem Pengolahan Citra diolah melalui perangkat keras. Perangkat keras
dalam Pengolahan Citra terbagi menjadi tiga kelompok yaitu:
Alat masukan (input) sebagai alat untuk memasukkan data ke dalam jaringan komputer.
Contoh: Scanner, digitizer, CD-ROM, FlashDisk.
Alat pemrosesan, merupakan sistem dalam komputer yang berfungsi mengolah,
menganalisis dan menyimpan data yang masuk sesuai kebutuhan, contoh: CPU, tape
drive, disk drive.
Alat keluaran (ouput) yang berfungsi menayangkan informasi geografi sebagai data
dalam proses SIG, contoh: plotter, printer.
Untuk kegiatan survey lainnya diperlukan Lembar Survey, GPS, Kompas dan Kamera Foto.
4.4. Harmonisasi Data
Harmonisasi data dimaksudkan untuk membuat suatu database data yang akan dipergunakan
memiliki batas landsekap yang sama, posisi koordinat/DATUM yang sama, serta informasi
attribut data yang sama dan mudah diakses serta digunakan kembali.
Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 18
4.5. Pemerosesan Data/Citra
Kabupaten Merauke, tersusun dari 6 scene citra satelit (Gambar 4.2), sehingga langkah awal
dari tahapan proses klasifikasi adalah proses mosaic. Proses ini dilakukan setelah secara
geografi citra telah terkoreksi dengan data dasar vector. Hal ini penting dilakukan agar hasil
dari klasifikasi dapat diintegrasikan dengan data lain. Daftar scene yang digunakan
disajikan pada Tabel 4.1.
Gambar 4.2. Path Row untuk Kab.Merauke.
Tabel 4.1. Rekapitulasi dara citra penyusun Kab. Merauke.
No. Jenis Citra Path –
Row Tgl Perekaman Sumber
Tahun 1990
1 Landsat 5 TM 100 – 065 20-Nov-90 NASA – USGS
2 Landsat 5 TM 100 – 066 20-Nov-90 NASA – USGS
3 Landsat 5 TM 101 – 065 11-Sep-91 NASA – USGS
4 Landsat 5 TM 101 – 066 11-Nov-90 NASA – USGS
5 Landsat 5 TM 102 – 065 25 Oktober 1987 NASA – USGS
6 Landsat 5 TM 102 – 066 06 Juni 1991 NASA – USGS
Tahun 2000
1 Landsat 7 ETM+ 100 – 065 22 Oktober 2000 NASA – USGS
2 Landsat 7 ETM+ 100 – 066 25 Oktober 2001 NASA – USGS
Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 19
No. Jenis Citra Path –
Row Tgl Perekaman Sumber
3 Landsat 7 ETM+ 101 – 065 26 Agustus 2000 NASA – USGS
4 Landsat 7 ETM+ 101 – 066 10 Agustus 2000 NASA – USGS
5 Landsat 7 ETM+ 102 – 065 16 Mei 2001 NASA – USGS
6 Landsat 7 ETM+ 102 – 066 16 Mei 2001 NASA – USGS
No. Tahun 2009
1 Landsat 5 TM 100 – 065 03 Juli 2009 NASA – USGS
2 Landsat 5 TM 100 – 066 03 Juli 2009 NASA – USGS
3 Landsat 5 TM 101 – 065 30 Oktober 2009 NASA – USGS
4 Landsat 5 TM 101 – 066 19 Februari 2010 NASA – USGS
5 Landsat 5 TM 102 – 065 12-Apr-09 NASA – USGS
6 Landsat 5 TM 102 – 066 12-Apr-09 NASA – USGS
Bila diperhatikan detil kombinasi scene untuk setiap periode tahun tidak sama, bahkan tersebar
dalam dua iklim yang berbeda, misalnya campuran scene yang diambil pada bulan Juni
(kemarau) dan November (penghujan). Hal ini tidak bias dihindari karena ketersediaan scene
yang terbatas.
Setelah menjadi satu mosaic, pross dilanjutkan. Diagram alir pengolahan data citra disajikan
pada Gambar 4.3.
4.5.1. Koreksi Citra (Image Rectification)
Citra satelit asli dapat mengandung berbagai kesalahan dalam geometri dan radiometri
(cosmetic appearance). Oleh karena itu penting untuk memperbaiki citra sebelum
memulai interpretasi. Hal ini biasanya melibatkan pengolahan awal citra satelit asli untuk
mengkoreksi distorsi geometrik, koreksi radiometrik dan kalibrasi dan menghilangkan
kebisingan dari data (atmosferik). Proses ini juga disebut sebagai rektifikasi citra.
Koreksi geometrik dilakukan karena adanya distorsi yang disebabkan oleh kelengkungan
bumi, ketidaksamaan gerak penyiaman (scanner) dan gerak rotasi bumi, koreksi ini
dilakukan dengan merubah posisi aktual citra, tetapi nilai intensitasnya tetap tidak
berubah. Kemudian dilakukan resampling, yaitu citra ditransformasikan kepada citra
yang tidak mengalami distorsi pada posisi yang sama. Nilai intensitasnya diperoleh dari
hasil interpolasi nilai-nilai piksel disekitarnya. Kesalahan geometrik dapat dikoreksi
Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 20
melalui lintasan satelit atau informasi GCP (ground control point) yang terlihat pada citra
atau data referensi yang ada, seperti: perpotongan jalan atau garis pantai atau bentuk
sungai.
Pengkoreksian citra dalam kajian ini menggunakan metode orde polinimial dengan
minimum titik kontrol sebanyak 16 titik kontrol (cubic GCP).
4.5.2. Koreksi Atmosfer
Menurut Energi yang berasal dari sumbernya atau energi yang diterima sensor
dipengaruhi oleh atmosfer (hamburan, pantulan dan penyerapan). Gangguan atmosfer ini
perlu dikoreksi, terutama objek-objek yang gelap atau tingkat keabuan yang rendah
seperti air.
Untuk evaluasi subjektif (Kualitatif) dari sebuah citra, koreksi atmosfer tidak terlalu
penting, akan tetapi untuk mendapatkan informasi secara kuantitatif maka koreksi
atmosfer sangat penting dilakukan. Teknik koreksi atmosferik terdiri dari 3 cara, yaitu:
1. Teknik dark pixel saturation
2. Tehnik histogram matching/adjustment
3. Teknik mathematical modeling
Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 21
Gambar 4.3. Diagram Alir Pengolahan Data Citra Satelit Landsat.
Koreksi Geometrik
Harmonisasi Data
Koreksi Atmosferik
Penajaman Citra
(RGBI dan PCA)
Klasifikasi Citra
Tidak Terbimbing
(Unsupervised Classification)
Klasifikasi Citra Terbimbing
(Supervised Classification)
Area sampel (Training Area)
Pemotongan Citra
Aku
sisi
dan
Har
mo
nis
asi
Citra Satelit Landsat 5
Tahun 1990
Citra Satelit Landsat 5
Tahun 2000
Citra Satelit Landsat 5
Tahun 2010
Survey Lapangan
Tidak Teliti
Peta Penutupan
Lahan
Uji Ketelitian Klasifikasi
(Confusion Matrix)
Pen
go
lahan A
wal
Dat
a
Kla
sifi
kasi
dan
Uji
Uji Ketelitian Hasil Klasifikasi terhadap
Hasil Survey Lapangan
Has
il A
nal
isis
Analisis
Perhitungan
Stok Carbon
PETA POTENSI
SEBARAN CARBON
Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 22
Pada Kajian ini mempergunakan teknik/metode penyesuaian histogram (histogram
adjustment). Asumsi yang melandasi metode ini adalah nilai piksel terendah tiap saluran
seharusnya bernilai 0. Apabila nilai lebih besar dari nol (>0), maka dihitung sebagai bias
atau offset, dan koreksi dilakukan dengan cara menghilangkan bias tersebut, yaitu
mengurangi keseluruhan nilai spektral pada saluran asli dengan nilai biasnya masing-
masing.
4.5.3. Penajaman Citra (Image Enhancement)
Penajaman citra bertujuan untuk memperbaiki penampakkan citra secara visual dengan
meningkatkan perbedaan nyata diantara objek dalam citra. Penajaman ini dilakukan
sebelum proses interpretasi atau klasifikasi citra. Hal ini membantu dalam penafsiran
yang lebih baik dari gambar dan dalam memisahkan satu jenis fitur yang lain. Penajaman
citra melibatkan penggunaan sejumlah fungsi manipulasi statistik dan citra yang
disediakan dalam perangkat lunak pengolah citra. Ini termasuk peningkatan kontras,
histogram equalization, kepadatan mengiris, penyaringan spasial, citra rasio, transformasi
warna, fusi gambar, dll.
Pada kajian ini menggunakan metode kombinasi warna Merah, Hijau, Biru dan Intensity
(color composite/RGBI) dan Perbandingan nilai spektral (spectral rationing).
Metode kombinasi warna adalah pengabungan nilai spektral dari kanal/band pada tingkat
keabuan yang terdapat pada citra satelit sehingga menghasilkan pengabungan warna
merah, hijau, biru serta peningkatan intensitas pada kanal yang menjadi fokus perhatian,
pada kajian ini kombinasi yang digunakan adalah kombinasi kanal 4(R), 5(G), 3(B) dan
5(I), kanal 5(R), 4(G), 2(B) dan 4(I), dan kanal 7(R), 4(G), 2(B),dan 7(I).
Metode perbandingan nilai spektral dilakukan dengan melakukan proses secara statistik
dari nilai spektral yang terdapat pada kanal/band citra sehingga menghasilkan
karakteristik spektral/warna dari objek yang ada. Metode perbandingan nilai spektral
menggunakan analisis komponen utama (PCA).
4.5.4. Klasifikasi Citra dan koreksi awan
(a) Klasifikasi Citra
klasifikasi citra satelit untuk identifikasi penggunaan/penutupan lahan, dilakukan dengan
integrasi beberapa metode pendekatan, yaitu:
Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 23
1. Klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification) adalah klasifikasi
berdasarkan perbedaan nilai spektralnya. Dilakukan dengan membagi nilai digital
pada citra kedalam 255 kelas dan dilakukan secara automatisasi oleh peringkat
lunak yang digunakan.
2. Klasifikasi terbimbing (supervised classification) dengan menggunakan input
data/informasi acuan yang dianggap benar (hasil Penajaman citra RGBI, Analisis
PCA, hasil pengamatan lapangan dan referensi peta lainnya).
3. Klasifikasi Kombinasi (hibrid classification). hasil kedua klasifikasi tersebut,
kemudian digabungkan sehingga dalam analisis dan klasifikasi citra telah
mempertimbangkan masukan keterpisahan nilai spektral dan data informasi
lapangan.
Pada analisis klasifikasi citra penutupan lahan menggunakan metode kombinasi (hybrid
classification), hasil klasifikasi tidak Terbimbing digunakan sebagai salah satu acuan
dalam pengambilan areal contoh (training area), selain Komposit RGBI dan PCA pada
proses klasifikasi Terbimbing (supervised classification).
Hasil dari klasifikasi belum dapat membedakan berbagai tipe hutan dan derajad gangguan
terhadap ekosistem hutan. Untuk mendapatkan kelas tipe hutan, hasil klasifikasi dioverlay
dengan peta tipe ekosistem yang telah dibangun oleh WWF sebelumnya. Dari overlay ini
didapatkan berbagai tipe hutan, yaitu hutan lahan kering dataran rendah, hutan rawa,
hutan rawa pasang surut dan mangrove.
Derajad gangguan hutan (hutan primer dan sekunder), sulit dilakukan dengan
menggunakan klasifikasi digital, sehingga untuk menentukan primer dan sekunder untuk
penutupan lahan tahun 2000 dan 2010 dilakukan setelah klasifikasi (Post classification).
Logika yang digunakan adalah penutupan hutan karena regrowth dari tahun sebelumnya
disebut hutan sekunder.
(b) Koreksi awan
Masalah utama untuk komparasi data hasil klasifikasi adalah keberadaan awan. Untuk
mengatasi hal ini dan menghindari komparasi yang bias, maka dilakukan analisis spasial
sbb:
Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 24
1. Land cover yang berada di bawah awan pada tahun 2000 akan sama dengan 1990,
apabila land cover pada tahun 2010 sama dengan 1990.
2. Pada tahap akhir, semua penutupan awan dan bayangan awan (tidak ada data),
disamakan untuk semua tahun analisis (1990, 2000dan 2010).
4.5.5. Uji Ketelitian/Validasi Hasil Analisis klasifikasi Citra Satelit
Uji ketelitian sangat penting dalam setiap hasil penelitian dari setiap jenis
data penginderaan jauh. Tingkat ketelitian data sangat mempengaruhi besarnya
kepercayaan pengguna terhadap setiap jenis data penginderaan jauh. Uji ketelitian
analisis untuk identifikasi penutupan lahan dilakukan dengan dua cara yaitu: (1) Akurasi
pengambilan sampel area (area sampling accuracy) dan (2) Akurasi Pengambilan sampel
titik/data survey lapangan (point sampling accuracy)
a. Uji Akurasi Pengambilan Area Contoh (Area Sampling Accuracy)
Accuracy assessment citra hasil klasifikasi dapat dilakukan dengan matrik kekeliruan
(confusion matrix). Matrik ini didapat dengan cara membandingkan antara jumlah pixel
hasil klasifikasi citra dengan jumlah piksel dalam area pengambilan contoh (training
area) pada proses klasifikasi yang mempresentasikan data hasil interpretasi dari kelas
yang sama sebagai pembanding dengan hasil proses klasifikasi. Sehingga dapat diperoleh
tingkat akurasi dari pengambilan contoh area (user accuracy) dan juga akurasi dari proses
klasifikasi yang dilakukan (producer accuracy).
b. Uji Akurasi Pengambilan Titik Contoh (Point Sampling Accuracy)
Uji ketelitian/kebenaran analisis dan klasifikasi dalam penggunaan/penutupan lahan
digunakan pendekatan metode tingkat akurasi pengambilan titik contoh (point sampling
accuracy) berdasarkan matrik kekeliruan (confusion matrix) untuk menguji kebenaran
hasil deteksi dan klasifikasi pada citra dengan kondisi dilapang. Uji ketelitian analisis
dalam deteksi tutupan lahan antara hasil analisis dengan kondisi di lapang digunakan
pendekatan pengambilan contoh acak terstratifikasi (stratified random sampling). Uji
ketelitian ini mengikuti metode seperti yang telah disarankan oleh Sutanto, (1994) dengan
tahapan: (i) melakukan pengecekan lapangan pada beberapa titik sampel yang dipilih dari
Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 25
setiap kelas penggunaan/penutupan lahan. Setiap jenis penggunaan/penutupan lahan
diambil beberapa sampel area didasarkan atas homogenitas kenampakannya dan diuji
kebenarannya di lapangan, (ii) menilai kecocokan hasil analisis citra inderaja dengan
kondisi sebenarnya di lapangan, dan (iii) membuat matrik perhitungan setiap kesalahan
(confusion matrix) pada setiap jenis penggunaan/penutupan lahan dari hasil analisis data
digital citra satelit, sehingga diketahui tingkat ketelitiannya. Ketelitian analisis dibuat
dalam beberapa kelas X yang dihitung dengan rumus (Sutanto, 1994):
Dimana:
MA : Ketelitian analisis/klasifikasi
Xcr : Jumlah pixel/site kelas yang benar
Xo : Jumlah pixel/site kelas X yang masuk ke kelas lain (ommision)
Xco : jumlah pixel/site kelas X tambahan dari kelas lain (commision)
4.6. Survey Lapangan
Dalam klasifikasi citra penginderaan jauh satelit, survey lapangan (ground truth)
merupakan suatu hal yang harus dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui kondisi di
lapangan seperti jenis penutup lahan dan atau penggunaan lahan yang sesungguhnya. Data
lapangan ini digunakan sebagai dasar dalam interpretasi citra satelit yang mewakili daerah
tersebut sehingga dapat mendukung dalam proses pembuatan peta penggunaan/penutup lahan.
Berdasarkan data lapangan yang ada, dapat diketahui bahwa ada perbedaan atau tidak
antara peta, citra, dengan hasil survey lapangan. Perbedaan itu dapat terjadi karena adanya
perbedaan antara waktu perekaman citra dengan waktu pengambilan data lapangan. Titik-titik
sample pada citra diambil dengan memperhatikan aspek keberadaan obyek. Semua titik sampel
mewakili semua obyek yang ada pada citra.
Tahapan yang dilakukan untuk melaksanakan survey lapangan:
1. Perencanaan dan Persiapan.
Pengenalan lokasi survey pada citra dengan syarat mudah dikenal dan diidentifikasi di
lapangan sebagai lokasi pengukuran posisi pada citra penginderaan jauh satelit dan
interpretasi citra penginderaan jauh. Lokasi suatu titik umumnya ditentukan oleh garis
MA =
Xcr pixel
Xcr + Xo +Xco
Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 26
lintang (latitude) dan bujur (longitude) atau dalam format UTM (East/West) untuk posisi
dua dimensi. Hasil klasifikasi citra merupakan informasi awal yang diperoleh sebagai
acuan untuk merencakan lokasi titik survey yang akan dituju, kemudian pencatatan
dilakukan dengan menggunakan formulir survey (Lampiran 1).
Persiapan peralatan pengukuran.
Merencanakan rute
2. Pelaksanaan Pengamatan.
Hasil Perencanaan dan Persiapan dilanjutkan dengan pelaksanaan pengamatan di lokasi yang
telah dipersiapkan. Titik Survey yang diamati dimulai dengan titik survey atau pengamatan
yang jaraknya lebih dekat dengan posisi awal. Pengambilan titik-titik di sepanjang perjalanan
menuju titik survey dilakukan pada kondisi penutupan lahan mengalami perbedaan. Tujuan
dari pengambilan titik-titik koordinat serta tipe penutupan lahan diantara titik survey
dilakukan untuk membantu memberikan informasi lebih pada hasil pengamatan dan
perbaikkan citra hasil interpretasi penutupan lahannya.
Pengambilan foto lokasi dengan memperhatikan antara nomor foto pada kamera dengan
nomor lokasi titik survey serta posisi koordinatnya, hal ini untuk membantu proses pelaporan
antara posisi koordinat dari hasil pengamatan lapangan dengan foto lokasi pengamatan.
4.7. Integrasi Perhitungan Carbon Dengan Hasil Klasifikasi
Pengukuran karbon pada biomass hidup (living biomass) dilakukan dengan menkonversi
luas tutupan hutan dikalikan dengan faktor volume vegetasi. Total berat karbon yang didapat
dikalikan dengan faktor konversi karbon-CO2 (CFS, 2000).
Persamaan-persamaan tersebut (Rokhmatuloh dan Rudy P. Tambunan, 2010) dapat dilihat seperti
dibawah ini:
Total Volume Vegetasi = volume vegetasi x 1,454 x 0,396
Total Biomass = luas tutupan vegetasi x total volume vegetasi
Total Carbon = total biomass x 0,5
Total CO2 = total karbon x 3,6667
Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 27
4.8. Perubahan penutupan lahan
Analisis dilakukan dengan teknik overlay. Dari proses overly, selain diketahui perubahan setiap
land cover secara kuantitatif juga diketahui distribusi spasialnya. Analisis juga ditujukan untuk
identifikasi degradasi hutan. Deradasi hutan didefinisikan adalah daerah yang mengalami
perubahan dari hutan primer ke sekunder.
Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 28
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Tipe Penutupan Lahan
Terdapat 17 tipe penutupan lahan. Berdasarkan hasil survey lapangan, kondisi struktur vegetasi
masing-masing penutupan lahan disajikan pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1. Karakteristik tegakan/vegetasi di masing-masing kelas penutupan lahan.
no Tipe penutupan Lahan Karakteristik
1 Hutan lahan kering primer
Hutan yang tumbuh di lahan yang tidak terendam, karena
lokasinya lebih tinggi. Dari survey diketahui bahwa struktur
vegetasi hutan lahan kering bisa sangat beragam atau
didominasi oleh species tertentu. Paling tidak ada 3 tipe,
yaitu hutan campuran (Anisoptera sp., Syzygium sp., Vatica
papuana, Elaeocarpus sp., Sterculia sp., Knema tomentella),
hutan yang didominasi Acacia (Acacia mangium and Acacia
auriculiformis), dan hutan yang didominasi oleh Myrtaceae ( Melaleuca leucadendron, Eucalyptus pellita, Myristica fatua
and Syzygium catastega )
2 Hutan lahan kering
sekunder
Hutan lahan kering yang terganggu, atau hasil dari proses suksesi
alami. Lahan didominasi oleh pohon berdiameter kecil . Struktur
vegetasi sangat dipengaruhi oleh tegakan awal. Untuk pohon
berdiameter besar dapat didominansi oleh Myrtaceae, Ryparosa
fasciculate atau Syzygium catastega.
3 Hutan rawa primer
Hutan rawa tumbuh pada lahan yang secara periodic/permanen
tergenang, karena lokasi berdekatan dengan sungai dan lebih
rendah. Kerapatan pohon (dbh >30cm) dapat mencapai 100
pohon/ha. Species yang ditemukan adalah Eucalyptus pellita,
Carallia brachiata, Gmelina moluccana, Decaspermum
fruticosum, Calophyllum inophyllum, Barringtonia racemosa,
Cryptocarya palmarensis, Flindersia pimenteliana, Acacia
auriculiformis, Melaleuca leucadendron dan species palma:
Leopoldinia piassaba dan Licuala rumphi.
4 Hutan rawa sekunder
Hutan rawa terganggu atau yang terjadi karena proses suksesi.
Gangguan utama pada hutan rawa adalah api, yang digunakan
masyarakat untuk membuka lading/meremajakan padang
penggembalaan. Terdapat 3 tipe hutan rawa sekunder, yaitu hutan
rawa sekunder dengan vegetasi campuran, hutan rawa sekunder
yang didominasi oleh Melaleuca dan yang didominasi oleh
Myrtaceae.
5 Hutan rawa pasang surut
Ekosistem ini selain mengalami perendaman
permanent/periodic, juga mendapat pengaruh dari
pasang/surut air laut. Pada saat survey lapangan dijumpai
dua tipe hutan rawa pasang surut, yaitu hutan rawa pasang
Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 29
no Tipe penutupan Lahan Karakteristik
surut yang didominasi oleh Eucalyptur pellita, dan
didominasi oleh Melaleuca leucodendron
6 Mangrove primer
Mangrove yang belum terganggu. Species yang dapat dijumpai
adalah Avicennia officinalis, Heritiera littoralis, Ceriops tagal
dan Bruguiera parviflora
7 Mangrove sekunder
Mangrove yang mengalami gangguan/pemanenan, atau hasil dari
pross suksesi . Terdapat 4 tipa, yaitu didominasi oleh Avicennia
alba, Avicennia officinalis dan Bruguiera gymnorrhiza Ceriops
tagal dan Avicennia marina
8 Savanna Savana didominasi oleh rumput, dan secara periodic terendam
pada musim penghujan karena relative lebih rendah serta datar.
9 Semak belukar rawa
Semak belukar rawa adalah tahap awal dari proses suksesi, setelah
terjadinya gangguan (api). Struktur vegetasi yang terbentuk
beragam sesuai dengan tegakan asli. Dari data survey lapangan
terdapat 4 tipe belukar rawa dengan dominansi species yang
berbeda, yaitu belukar dengan dominansi Acacia sp, keluarga
palma, Melaleuca dan campuran berbagai species (Musa sp,
Garcinia sp, Glochidion sp serta Sonneratia)
10 Semak belukar pasang surut Semak belukar yang dipengaruhi oleh pasang surut laut.
11 Semak belukar
Semak belukar merupakan suksesi awal dari lahan pertanian yang
diberakan. Species pionir yang ditemukan adalah Alstonia
actinophylla, Aglaia sp., Alphitonia sp., Euodia sp. dan
Timonius sp
12 Rawa Lahan yg tergenang dalam/dangkal, dapat ditutupi oleh vegetasi.
13 Rawa pasang surut Lahan yg tergenang dalam/dangkal, dapat ditutupi oleh vegetasi,
yang mendapat pengaruh pasang surut laut..
14 Lahan terbuka Lahan dengan penutupan vegetasi sangat rendah
15 Lahan pertanian Lahan yang ditanami berbagai tanaman pangan (ubi) dan polowija
16 Perairan Sungai
5.2. Penutupan lahan tahun 1990.
Mozaic landsat TM 5 tahun 1990, yang digunakan untuk membangun data penutupan lahan
direkam pada bulan Nopember, sehingga data citra satelit sangat dominan dipengaruhi oleh air.
Rawa, Rawa pasang surut dan belukar pasang surut mendominasi penutupan lahan Kabupaten
Merauke, sedangkan luas savanna sangat kecil (0.60 ha). Hutan lahan kering dan hutan rawa,
(primer dan sekunder), masing-masing sebesar 13.44% dan 11.99%. Rincian detil disajikan
pada Tabel 5.2. Rawa, Rawa pasang surut, dan semak belukar rawa banyak tersebar di
Kecamatan Kimaam dan Okaba. Sedangkan hutan lahan kering dataran rendah terdapat di
Kecamatan Muting.
Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 30
Tabel 5.2. Rekapitulasi luas masing-masing penutupan lahan tahun 1990
No Tipe Penutupan Lahan Luas (Ha) %
1 Hutan lahan kering primer 515,818.80 11.04
2 Hutan lahan kering sekunder 112,397.22 2.40
3 Hutan rawa primer 355,199.22 7.60
4 Hutan rawa sekunder 538,745.67 11.53
5 Hutan rawa pasang surut 21,631.14 0.46
6 Mangrove primer 379,876.23 8.13
7 Mangrove sekunder 0.00 0.00
8 Savanna 0.63 0.00
9 Semak belukar rawa 355,443.66 7.60
10 Semak belukar pasang surut 638,416.17 13.66
11 Semak belukar 6,756.75 0.14
12 Rawa pasang surut 759,297.96 16.24
13 Rawa 562,233.51 12.03
14 Lahan terbuka 171,805.23 3.68
15 Lahan pertanian 7,805.25 0.17
16 Perairan 38,606.04 0.83
17 Tidak ada data 210,197.34 4.50
Total 4,674,230.82 100.00
Gambar 5.1. Penutupan Lahan Kabupaten Merauke tahun 1990
Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 31
5.3. Penutupan lahan tahun 2000
Berbeda dengan kondisi tahun 1990, kondisi tahun 2000 relatif lebih kering,sehingga rawa dan
rawa pasang surut banyak berkurang, sehingga memperluas permukaan yang ditumbuhi semak
belukar. Fenomena ini dapat terlihat jelas di Kecamatan Kimaam (P. Dolak).
Untuk penutupan hutan tidak banyak mengalami perubahan. Hutan rawa primer menurun, diikuti
dengan meningkatnya hutan rawa sekunder. Demikian juga untukhutan lahan kering primer,
dibandingkan dengan tahun 1990, megalami penurunan, berubah menjadi hutan lahan kering
sekunder (Tabel 5.3).
Tabel 5.3. Rekapitulasi luas masing-masing penutupan lahan tahun 2000
No Tipe Penutupan Lahan Luas (Ha) %
1 Hutan lahan kering primer 441731.16 9.45
2 Hutan lahan kering sekunder 185,919.21 3.98
3 Hutan rawa primer 272,736.81 5.83
4 Hutan rawa sekunder 712,124.19 15.24
5 Hutan rawa pasang surut 256,576.86 5.49
6 Mangrove primer 213,576.75 4.57
7 Mangrove sekunder 94,434.66 2.02
8 Savanna 87,854.49 1.88
9 Semak belukar rawa 695,767.77 14.89
10 Semak belukar pasang surut 975,563.91 20.87
11 Semak belukar 18,591.21 0.40
12 Rawa pasang surut 237,794.40 5.09
13 Rawa 155,846.61 3.33
14 Lahan terbuka 20,343.24 0.44
15 Lahan pertanian 33,732.54 0.72
16 Perairan 61,439.67 1.31
17 Tidak ada data 210,197.34 4.50
Total 4,674,230.82 100.00
Distribusi spasial penutupan lahn tahun 2000 disajikn pada Gambar 5.2.
Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 32
5.4. Penutupan lahan tahun 2010
Pada tahu 2010, luasan hutan primer terus menyusut, berganti menjadi hutan sekunder (Tabel
5.4). Distribusi penutupan lahan disajikan pada Gambar 5.4.
Tabel 5.4. Rekapitulasi luas masing-masing penutupan lahan tahun 2010
No Tipe Penutupan Lahan Luas (Ha) %
1 Hutan lahan kering primer 331,822.08 7.10
2 Hutan lahan kering sekunder 294,543.18 6.30
3 Hutan rawa primer 190,672.92 4.08
4 Hutan rawa sekunder 803,227.41 17.18
5 Hutan rawa pasang surut 319,092.93 6.83
6 Mangrove primer 116,567.73 2.49
Gambar 5.2. Penutupan lahan Kabupaten Merauke tahun 2000
Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 33
No Tipe Penutupan Lahan Luas (Ha) %
7 Mangrove sekunder 180,210.69 3.86
8 Savanna 0.00 0.00
9 Semak belukar rawa 788,253.21 16.86
10 Semak belukar pasang surut 1,027,321.74 21.98
11 Semak belukar 10,988.46 0.24
12 Rawa pasang surut 24,898.32 0.53
13 Rawa 208,874.52 4.47
14 Lahan terbuka 77,083.47 1.65
15 Lahan pertanian 48,031.74 1.03
16 Perairan 42,445.08 0.91
17 Tidak ada data 210,197.34 4.50
Total 4,674,230.82 100.00
Gambar 5.3. Penutupan lahan Kabupaten Merauke tahun 2010
Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 34
5.5. Perubahan penutupan lahan
Proses perubahan penutpan lahan banyak dipengaruhi oleh iklim, terutama untuk semak belukar
dan rawa. Namun untuk penutupan hutan, eksploitasi/pemanenan sangat berpengaruh, sehingga
menghilangkan atau menurunkan kualitas tegakan hutan. Proses tebang pilih akan menyebabkan
degradasi hutan, sedangkan tebang habis akan menyebabkan deforestasi. Perubahan luasan
hutan disebabkan oleh dua hal ini disajikan pada Tabel 5.5.
.
Tabel 5.5. Rekapitulasi luasan deforestasi dan degradasi hutan
Proses 1990-2000 2000-2010 1990-2010
Degradasi hutan 123,888.06 216,728.82 379,123.56
Deforestasi hutan 212,240.16 284,527.98 218,252.43
Distribusi degradasi dan deforestasi disajikan pada Gambar 5.4 dan 5.5.
Gambar 5.4. Degradasi hutan 1990 - 2010
Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 35
5.6. Analisis Perubahan kandungan karbon
(a) Above ground carbon stock
Perubahan penutupan lahan disebakan oleh iklim atau aktivitas manusia menyebabkan perubahan
kandungan karbon di vegetasi (above ground carbon stock/ABG). Total ABG pada tahun 2010
mencapai kurang lebih 277.9 juta ton, menurun dari tahun 2000, tetapi mempunyai trend naik
dari tahun 1990 (Tabel 5.6.)
Tabel 5.6. Perubahan carbon stock vegetasi (above ground carbon stock).
No Tipe Penutupan
Lahan
Carbonper Ha
Luas (Hektar) Kandungan karbon vegetasi
1990 2000 2010 1990 2000 2010
1 Hutan lahan kering primer
144.75 515,818.80 441731.16 331,822.08 74,664,771.30 63,940,585.41 48,031,246.08
2 Hutan lahan kering sekunder
89.76 112,397.22 185,919.21 294,543.18 10,088,774.47 16,688,108.29 26,438,195.84
3 Hutan rawa primer 200.23 355,199.22 272,736.81 190,672.92 71,121,539.82 54,610,091.47 38,178,438.77
Gambar 5.5. Deforestasi hutan 1990 - 2010
Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 36
No Tipe Penutupan
Lahan
Carbonper Ha
Luas (Hektar) Kandungan karbon vegetasi
1990 2000 2010 1990 2000 2010
4 Hutan rawa sekunder 92.34 538,745.67 712,124.19 803,227.41 49,747,775.17 65,757,547.70 74,170,019.04
5 Hutan rawa pasang surut
124.81 21,631.14 256,576.86 319,092.93 2,699,782.58 32,023,357.90 39,825,988.59
6 Mangrove primer 116.79 379,876.23 213,576.75 116,567.73 29,216,280.85 16,426,187.84 13,613,945.19
7 Mangrove sekunder 37.03 0 94,434.66 180,210.69 0 0 6,673,201.85
8 Savanna 2.79 0.63 87,854.49 0.00 1.76 245,114.03 0.00
9 Semak belukar rawa 19.85 355,443.66 695,767.77 788,253.21 7,055,556.65 13,810,990.23 15,646,826.22
10 Semak belukar pasang surut
14.77 638,416.17 975,563.91 1,027,321.74 9,429,406.83 14,409,078.95 15,173,542.10
11 Semak belukar 4.31 6,756.75 18,591.21 10,988.46 29,121.59 80,128.12 47,360.26
12 Rawa pasang surut 0 759,297.96 237,794.40 24,898.32 0 0 0.00
13 Rawa 0 562,233.51 155,846.61 208,874.52 0 0 0.00
14 Lahan terbuka 0 171,805.23 20,343.24 77,083.47 0 0 0.00
15 Lahan pertanian 1.41 7,805.25 33,732.54 48,031.74 11,005.40 47,562.88 67,724.75
16 Perairan 0 38,606.04 61,439.67 42,445.08 0 0 0.00
17 Tidak ada data 0 210,197.34 210,197.34 210,197.34 0 0 0.00
4,674,230.82 4,674,230.82 4,674,230.82 254,066,006.42 278,040,752.82 277,866,488.69
(b) Below ground carbon stock.
Below ground carbon stock adalah jumlah carbon di dalam tanah, serasah dan nekromasa. Total
below ground stok carbon, terus meningkat dari tahun 1990. Pada tahun 2010 mencapai kurang
lebih 466 juta ton (Table 5.7). Bila dibandingkan dengan aboveground, total kandungan karbon
below ground lebih tinggi.
Tabel 5.7. Perubahan below ground carbon stock
No Tipe Penutupan
Lahan
Carbonper
Luas (Hektar) Kandungan karbon tanah
Ha 1990 2000 2010 1990 2000 2010
1 Hutan lahan kering primer
119.5 515,818.80 441,731.16 331,822.08 61,640,346.60 52,786,873.62 39,652,738.56
2 Hutan lahan kering sekunder
128.21 112,397.22 185,919.21 294,543.18 14,410,447.58 23,836,701.91 37,763,381.11
3 Hutan rawa primer 106.43 355,199.22 272,736.81 190,672.92 37,803,852.98 29,027,378.69 20,293,318.88
4 Hutan rawa sekunder 135.63 538,745.67 712,124.19 803,227.41 73,070,075.22 96,585,403.89 108,941,733.62
5 Hutan rawa pasang surut
132.32 21,631.14 256,576.86 319,092.93 2,862,232.44 33,950,250.12 42,222,376.50
6 Mangrove primer 81.24 379,876.23 213,576.75 116,567.73 30,861,144.93 17,350,975.17 9,469,962.39
7 Mangrove sekunder 87.94 0 94,434.66 180,210.69 0 8,304,584.00 15,847,728.08
8 Savanna 92.89 0.63 87,854.49 0.00 58.52 8,160,803.58 0.00
Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 37
No Tipe Penutupan
Lahan
Carbonper
Luas (Hektar) Kandungan karbon tanah
Ha 1990 2000 2010 1990 2000 2010
9 Semak belukar rawa 123.23 355,443.66 695,767.77 788,253.21 43,801,322.22 85,739,462.30 97,136,443.07
10 Semak belukar pasang surut
86.67 638,416.17 975,563.91 1,027,321.74 55,331,529.45 84,552,124.08 89,037,975.21
11 Semak belukar 89.3 6,756.75 18,591.21 10,988.46 603,377.78 1,660,195.05 981,269.48
12 Rawa pasang surut 0 759,297.96 237,794.40 24,898.32 0 0 0.00
13 Rawa 0 562,233.51 155,846.61 208,874.52 0 0 0.00
14 Lahan terbuka 0 171,805.23 20,343.24 77,083.47 0 0 0.00
15 Lahan pertanian 98.12 7,805.25 33,732.54 48,031.74 765,851.13 3,309,836.82 4,712,874.33
16 Perairan 0 38,606.04 61,439.67 42,445.08 0 0 0.00
17 Tidak ada data 0 210,197.34 210,197.34 210,197.34 0 0 0.00
Total 4,674,230.82 4,674,230.82 4,674,230.82 321,150,238.85 445,264,589.23 466,061,811.20
Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 38
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
Beberapa point dapat diambil dari analisis trend perubahan penutupan lahan dan perhitungan
kandungan karbon adalah sbb:
a. Perubahan lahan yang terjadi, selain disebabkan oleh aktivitas manusia, juga disebabkan
oleh perubahan iklim, terutama di daerah yang mengalami pengaruh pasang surut sungai
dan laut.
b. Aktivitas kegiatan lebih banyak menyebabkan degradasi hutan, dibandingkan dengan
deforestasi.
c. Berdasarkan pengukuran karbon pada level plot, maka total kandungan karbon vegetasi
di atas permukaan tanah (above ground) adalah sebesar 277.9 juta ton, mengalami
kenaikan bila dibandingkan dengan kandungan karbon tahun 1990.
d. Total kandungan di bawah permukaan (below ground carbon), lebih besar dibandingkan
dengan above ground, yaitu sebesar 466 juta ton.
Dari data yang dihasilkan masih ada beberapa kelemahan, diantaranya adalah keberadaan awan
dan variasi kombinasi scene yang diambil pada musim yang berbeda, sehingga menyulitkan
analisisnya.
Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 39
DAFTAR PUSTAKA Lillesand.T.M. and R.W.Kiefer, 1979, Remote Sensing and Image Interpretation, John Willey and Sons,
New York.
Rokhmatuloh dan Rudy P. Tambunan, 2010, Model Perhitungan Karbon Terestrial dan Aplikasinya di
Indonesia, Departemen Geografi FMIPA UI.
Sutanto, 1986., Penginderaan Jauh, Jilid 1 dan 2, Gadjah Mada University Press Yogyakarta.
top related