pemetaan daerah penangkapan ikan dengan … · februari 2012 la elson abstrak la elson, c44094001....
Post on 19-Mar-2019
234 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PEMETAAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN
DENGAN METODE HIDROAKUSTIK DI SELAT MALAKA
LA ELSON
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP
DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ”Pemetaan Daerah Penangkapan Ikan
dengan Metode Hidroakustik di Selat Malaka” adalah karya sendiri dengan arahan
dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dari atau dikutip dari karya
ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Bogor, 13 Februari 2012
La Elson
ABSTRAK
LA ELSON, C44094001. Pemetaan Daerah Penangkapan Ikan dengan Metode
Hidroakustik di Selat Malaka. Dibimbing oleh DOMU SIMBOLON dan PRIHATIN IKA WAHYUNINGRUM.
Selat Malaka merupakan suatu perairan yang secara geografis cukup unik. Selat ini dikenal sebagai salah satu wilayah perairan dengan lalu lintas kapal-kapal
komersial yang padat karena fungsinya sebagai jalur perdagangan internasional. Namun disisi lain sumberdaya perikanan di perairan ini memegang peranan
penting bagi perekonomian penduduk di sekitarnya. Pemanfaatan sumberdaya ikan secara optimal dan lestari memerlukan informasi yang tepat berkaitan dengan sediaan, sebaran ikan, karakteristik perikanan dan perairannya sehingga langkah-
langkah kebijakan eksploitasi dapat dilakukan dengan tepat tanpa membahayakan kelestariannya. Pemanfaatan teknologi akustik dalam kegiatan eksplorasi
sumberdaya ikan sangat penting peranannya mengingat banyaknya keunggulan komparatif yang dimiliki dibandingkan dengan sistem konvensional. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui sebaran target strength dan densitas ikan secara
vertikal dan horizontal sebagai indikator pada penentuan daerah penangkapan ikan di Selat Malaka. Deteksi keberadaan ikan dengan menggunakan metode
hidroakustik yang didukung oleh pengamatan oseanografi dan hasil tangkapan pada saat survei digunakan untuk menduga kelimpahan ikan di Selat Malaka. Hasil analisis menunjukan bahwa nilai target strength ikan yang lebih kecil
terkonsentrasi pada lapisan permukaan dan perairan dangkal, sedangkan nilai target strength ikan yang lebih besar terkonsentrasi pada perairan yang lebih dalam. Densitas ikan yang lebih tinggi ditemukan pada lapisan permukaan dan
perairan dangkal, sedangkan densitas ikan yang lebih rendah ditemukan pada lapisan perairan yang lebih dalam. Hasil analisis tersebut dapat digunakan untuk
pemetaan daerah penangkapan ikan di Selat Malaka pada musim tertentu. Peta daerah penangkapan ikan di Selat Malaka pada bulan Juni 2008 terdiri atas daerah penangkapan ikan sedang dan kurang potensial, yang menyebar di Perairan
Kepulauan Riau dan Tanjung Balai Asahan-Belawan.
Kata kunci: daerah penangkapan ikan, metode hidroakustik, pemetaan, Selat
Malaka, sumberdaya ikan.
© Hak cipta IPB, Tahun 2012
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber:
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2) Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB
PEMETAAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN
DENGAN METODE HIDROAKUSTIK DI SELAT MALAKA
LA ELSON
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP
DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
Judul Skripsi : Pemetaan Daerah Penangkapan Ikan dengan Metode
Hidroakustik di Selat Malaka
Nama : La Elson
NIM : C44094001
Program Studi : Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Menyetujui:
Pembimbing 1, Pembimbing 2,
Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si P. Ika Wahyuningrum, S.Pi, M.Si
NIP. 19650704 199002 1 001 NIP. 19780613 200801 2 011
Mengetahui:
Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc NIP. 19621223 198703 1 001
Tanggal Lulus: 13 Februari 2012
KATA PENGANTAR
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana
pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini menggunakan data hasil
survei akustik yang dilaksanakan oleh Balai Riset Perikanan Laut (BRPL), Dirjen
Perikanan Tangkap, KKP RI pada bulan Juni 2008 di Selat Malaka. Pengolahan
dan analisis data dilaksanakan di Laboratorium Akustik Perikanan BRPL Jakarta
pada bulan September sampai November 2011.
Judul penelitian ini adalah ”Pemetaan Daerah Penangkapan Ikan dengan
Metode Hidroakustik di Selat Malaka”. Pemetaan daerah penangkapan ikan
mengunakan metode hidroakustik yang dapat mengukur secara insitu dan real
time mengenai keberadaan sumberdaya ikan di kolom maupun dasar perairan
sangat penting untuk diketahui, sehingga dapat dijadikan sebagai bahan informasi
untuk kepentingan dan pemanfaatan sumberdaya ikan bagi masyarakat khususnya
nelayan tradisional untuk melakukan operasional penangkapan ikan yang tepat
dan akurat.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si dan Prihatin Ika Wahyuningrum, S.Pi, M.Si
sebagai dosen pembimbing atas arahan dan bimbingannya dalam penulisan
skripsi ini.
2. Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc sebagai dosen penguji dalam ujian skripsi atas
masukan dan sarannya dalam penulisan skripsi ini.
3. Vita Rumanti Kurniawati, S.Pi, MT sebagai komisi pendidikan dalam ujian
skripsi atas masukan dan sarannya dalam penulisan skripsi ini.
4. Dr. Ir. Tri Wiji Nurani, M.Si sebagai dosen pembimbing akademik atas
arahan dan bimbungannya selama menempu pendidikan sarjana di IPB.
5. Prof. Dr. Ir. La Ode Muhammad Aslan, M.Sc sebagai Dekan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo Kendari yang telah
memberikan izin untuk melanjutkan pendidikan sarjana di IPB.
6. Kepala Balai Riset Perikanan Laut (BRPL), Dirjen Perikanan Tangkap, KKP
RI yang telah memberikan izin penelitian pengolahan dan analisis data hasil
survei akustik perikanan di Selat Malaka pada bulan Juni 2008.
7. Moh. Natsir S.Pi, M.Si sebagai pembimbing lapangan dan seluruh tim
peneliti dari Laboratorium Akustik Perikanan BRPL Jakarta atas segala
arahan dan bimbingannya dalam proses pengolahan dan analisis data selama
penelitian.
8. Kepala Puslitbang Sumberdaya Laut dan Pesisir, Balitbang Kelautan dan
Perikanan, KKP RI yang telah memberikan izin penelitian lapangan pada
kegiatan Cruise South China Sea and Indonesia Seas Transport/Exchange
(SITE) and Dynamics of Sunda Strait and Their Impacts on Seasonal Fish
Migration pada bulan September sampai Oktober 2011, oleh KKP RI,
Colombia University USA dan China Oseanography Institute.
9. Semua awak Kapal Riset Baruna Jaya VIII yang telah memberikan bantuan
fasilitas selama pelaksanaan penelitian lapangan.
10. Kedua orang tua saya yang selalu memberikan motivasi, semangat dan doa
selama menempu pendidikan sarjana di IPB.
11. Istri dan anak saya yang selalu memberikan semangat dan doa selama
menempu pendidikan sarjana di IPB.
12. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan masukan dalam penulisan
skripsi ini.
Semoga karya ilmiah ini tidak semata-mata menjadi syarat kelulusan dari
program sarjana pada Program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan
Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, akan tetapi penulis berharap semoga
karya ilmiah ini dapat memberikan kontribusi dan bermanfaat bagi semua pihak
yang membutuhkannya. Penulis mengakui bahwa karya ilmiah ini masih banyak
memiliki kekurangan, saran dan kritik dari pembaca sangat penulis harapkan
sehingga ke depan bisa menjadi lebih baik.
Bogor, 13 Februari 2012
La Elson
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pola, Kabupaten Muna, Provinsi
Sulawesi Tenggara pada tanggal 18 April 1977 dari pasangan
Bapak La Matete (Almarhum) dan Ibu Wa Muhunia. Penulis
merupakan putra kelima dari delapan bersaudara.
Penulis lulus dari SMU Negeri 1 Raha tahun 1997 dan
pada tahun 1998 melanjutkan pendidikan program diploma IV
di Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta melalui Seleksi Ujian Masuk Perguruan
Tinggi Negeri pada Program Studi Permesinan Perikanan dan lulus tahun 2002.
Tahun 2003 sampai 2006 penulis bekerja di kapal penangkapan ikan (trawl) milik
salah satu perusahan penangkapan ikan dalam negeri di Perairan Arafura. Tahun
2007 sampai sekarang penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo Kendari Sulawesi Tenggara.
Tahun 2009 penulis diberi kesempatan melanjutkan pendidikan program
sarjana di IPB melalui program alih jenis pendidikan pada Program Studi
Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor. Dalam rangka menyelesaikan tugas akhir, penulis melakukan penelitian
dan menyusun skripsi dengan judul ”Pemetaan Daerah Penangkapan Ikan
dengan Metode Hidroakustik di Selat Malaka”.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xiii
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ................................................................................ 2
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................... 3
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................. 3
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Daerah Penangkapan Ikan ....................................................................... 5
2.2 Sumberdaya Ikan ..................................................................................... 6
2.2.1 Sumberdaya ikan pelagis .............................................................. 6
2.2.2 Sumberdaya ikan demersal ........................................................... 7
2.3 Metode Hidroakustik .............................................................................. 8
2.3.1 Prinsip kerja metode hidroakustik................................................... 9 2.3.2 Split beam acoustic system ............................................................ 10
2.4 Estimasi Kelimpahan Ikan ...................................................................... 13
2.4.1 Target strength (TS) ..................................................................... 15
2.4.2 Volume backscattering strength (SV) .......................................... 17 2.4.3 Pendugaan densitas ikan dengan split beam acoustic system ...... 19
2.4.4 Bias pendugaan ............................................................................. 21
2.5 Rancangan Survei Akustik ..................................................................... 22
2.6 Pengaruh Faktor Oseanografi terhadap Penyebaran Ikan ...................... 23
2.6.1 Suhu .............................................................................................. 24
2.6.2 Salinitas ......................................................................................... 26 2.6.3 Arus ............................................................................................... 28
2.7 Alat Tangkap Trawl ............................................................................... 28
3 METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat ................................................................................. 30
3.2 Alat dan Bahan ......................................................................................... 31
3.3 Desain Survei............................................................................................ 32
3.4 Pengumpulan Data ................................................................................. 33
3.4.1 Data akustik ................................................................................... 33
3.4.2 Data oseanografi ........................................................................... 33 3.4.3 Data hasil tangkapan ...................................................................... 34
3.5 Pengolahan dan Analisis Data ................................................................ 35
3.5.1 Penyebaran nilai target strength (TS) dan densitas ikan ............... 36
3.5.2 Penyebaran suhu dan salinitas ......................................................... 41 3.5.3 Jenis dan ukuran ikan hasil tangkapan ............................................ 42
3.5.4 Pemetaan daerah penangkapan ikan ............................................. 42
4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1 Letak Geografis Selat Malaka ................................................................ 44
4.2 Keadaan Umum Perikanan Tangkap di Selat Malaka ............................ 45
4.2.1 Nelayan .......................................................................................... 47 4.2.2 Alat dan kapal penangkapan ikan .................................................. 48
4.2.3 Daerah penangkapan ikan .............................................................. 48 4.2.4 Musim penangkapan ikan .............................................................. 49
4.2.5 Produksi perikanan ........................................................................ 50
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil ....................................................................................................... 53
5.1.1 Penyebaran target strength ikan .................................................... 53
5.1.2 Penyebaran densitas ikan .............................................................. 58 5.1.3 Kondisi oseanografi ...................................................................... 63
1) Penyebaran suhu ....................................................................... 63 2) Penyebaran salinitas ................................................................. 67 3) Pola arus .................................................................................... 70
5.1.4 Hasil tangkapan ............................................................................. 72 1) Jenis dan jumlah hasil tangkapan ............................................ 72
2) Ukuran ikan ............................................................................. 75 5.1.5 Pemetaan daerah penangkapan ikan .............................................. 77
5.2 Pembahasan ............................................................................................ 81
5.2.1 Hubungan target strength dan ukuran ikan .................................... 81
5.2.2 Densitas dan penyebaran ikan ........................................................ 84 5.2.3 Faktor oseanografi yang mempengaruhi ukuran dan densitas ikan ................................................................................................ 86
5.2.4 Penyebaran daerah penangkapan ikan ........................................... 89
6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan ............................................................................................. 91
6.2 Saran ....................................................................................................... 92
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 93
LAMPIRAN ...................................................................................................... 98
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Penentuan daerah penangkapan ikan di Selat Malaka bulan Juni 2008 ........ 43
2 Produksi, upaya dan hasil tangkapan persatuan upaya ikan demersal di
WPP RI 571, Selat Malaka pada tahun 1992-2002 ....................................... 51
3 Jumlah dan nilai produksi perikanan di PPS Belawan tahun 2005-2010 ...... 51
4 Penyebaran vertikal target strength (dB) rata-rata ikan pelagis menurut waktu dan lokasi pengamatan di Selat Malaka pada bulan Juni 2008 .......... 54
5 Penyebaran horizontal target strength (dB) ikan demersal setiap leg di Perairan Kepulauan Riau, Selat Malaka pada bulan Juni 2008 ..................... 56
6 Penyebaran horizontal target strength (dB) ikan demersal setiap leg di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan, Selat Malaka pada bulan Juni
2008 ................................................................................................................ 57
7 Penyebaran vertikal densitas rata-rata ikan pelagis (ikan/m3) menurut
waktu dan lokasi pengamatan di Selat Malaka bulan Juni 2008 ................... 59
8 Penyebaran horizontal densitas rata-rata ikan demersal (ikan/m3) setiap leg
di Perairan Kepulauan Riau pada bulan Juni 2008 ........................................ 60
9 Penyebaran horizontal densitas rata-rata ikan demersal (ikan/m3) setiap leg
di Perairan Tanjung Balaia Asahan dan Belawan pada bulan Juni 2008 ...... 61
10 Total family dan spesies ikan berdasarkan hasil tangkapan di Perairan Selat
Malaka pada bulan Juni 2008 ........................................................................ 72
11 Komposisi umberdaya ikan berdasarkan kelompok komoditas di Perairan
Kepulauan Riau ............................................................................................. 73
12 Komposisi sumberdaya ikan berdasarkan kelompok komoditas di Perairan
Tanjung Balai Asahan dan Belawan .............................................................. 73
13 Sumberdaya ikan demersal dominan menurut family berdasarkan hasil
tangkapan di Perairan Kepulauan Riau ......................................................... 74
14 Sumberdaya ikan demersal dominan menurut family berdasarkan hasil
tangkapan di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan .......................... 74
15 Sumberdaya ikan demersal dominan menurut spesies berdasarkan hasil
tangkapan di Perairan Kepulauan Riau ........................................................... 75
16 Sumberdaya ikan demersal dominan menurut spesies berdasarkan hasil
di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan ........................................... 75
17 Komposisi panjang rata-rata ikan demersal hasil tangkapan trawl dan
dugaan panjang rata-rata berdasarkan survei hidroakustik di Perairan Kepulauan Riau, Selat Malaka pada bulan Juni 2008 .................................... 76
18 Komposisi panjang rata-rata ikan demersal hasil tangkapan trawl dan
dugaan panjang rata-rata berdasarkan survei hidroakustik di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan, Selat Malaka pada bulan Juni 2008 .... 76
19 Klasifikasi daerah penangkapan ikan pelagis di Selat Malaka pada bulan Juni 2008 ....................................................................................................... 78
20 Klasifikasi daerah penangkapan ikan demersal di Selat Malaka pada bulan Juni 2008 ....................................................................................................... 79
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Prinsip kerja metode hidroakustik ................................................................. 10
2 Blok diagram receiver split beam chosounder .............................................. 11
3 Prinsip kerja split beam echosounder ............................................................ 13
4 Pola cruise track acoustics ............................................................................ 23
5 Diagram alir pengaruh suhu air laut terhadap kelimpahan, keberadaan dan
distribusi ikan ................................................................................................ 25
6 Diagram alir pengaruh salinitas air laut terhadap kelimpahan, keberadaan
dan distribusi ikan ......................................................................................... 27
7 Desain bottom trawl ...................................................................................... 29
8 Peta lokasi penelitian ..................................................................................... 30
9 Peta lokasi stasiun bottom trawl .................................................................... 35
10 Diagram alir prosedur analisis data hasil penelitian ...................................... 36
11 Diagram alir proses pengolahan dan analisis data hidroakustik ................... 40
12 Diagram alir proses pengolahan dan analisis data oseanografi ..................... 41
13 Grafik hasil tangkapan rata-rata yang didaratkan di PPS Belawan pada tahun 1997-2002 .......................................................................................... 49
14 Grafik produksi perikanan PPS Belawan tahun 2005-2010 .......................... 52
15 Penyebaran target strength (dB) rata-rata ikan pelagis pada transek siang
dan malam hari di Selat Malaka pada bulan Juni 2008 ................................. 55
16 Penyebaran target strength (dB) rata-rata ikan pelagis di Perairan
Kepulauan Riau dan Tanjung Balai Asahan-Belawan, Selat Malaka pada bulan Juni 2008 ............................................................................................ 55
17 Penyebaran horizontal nilai TS (dB) rata-rata ikan demersal di Perairan Kepulauan Riau, Selat Malaka pada bulan Juni 2008 ................................... 56
18 Penyebaran horizontal nilai TS (dB) rata-rata ikan demersal di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan, Selat Malaka pada bulan Juni 2008 ... 57
19 Penyebaran vertikal densitas rata-rata ikan pelagis (individu/m3) pada transek siang dan malam hari di Selat Malaka bulan Juni 2008 ................... 59
20 Penyebaran vertikal densitas rata-rata ikan pelagis (individu/m3) di Perairan Kepulauan Riau dan Tanjung Balai Asahan-Belawan, Selat Malaka bulan Juni 2008 ....................................................................................................... 60
21 Penyebaran horizontal densitas total ikan pelagis (individu/m3) di Perairan Kepulauan Riau dan Tanjung Balai Asahan-Belawan, Selat Malaka bulan
Juni 2008 ....................................................................................................... 60
22 Peta sebaran horizontal densitas total ikan demersal (individu/m3) di
Perairan Kepulauan Riau dan Tanjung Balai Asahan-Belawan, Selat Malaka pada Juni 2008 ............................................................................................... 62
23 Sebaran vertikal suhu rata-rata di Perairan Kepulauan Riau dan Tanjung Balai Asahan, Selat Malaka pada bulan Juni 2008 ........................................ 65
24 Pola sebaran suhu permukaan secara horizontal di Perairan Selat Malaka pada bulan Juni 2008 ...................................................................................... 67
25 Sebaran vertikal salinitas rata-rata di Perairan Kepulauan Riau dan Tanjung Balai Asahan, Selat Malaka pada bulan Juni 2008 ........................................ 69
26 Pola sebaran salinitas permukaan secara horizontal di Selat Malaka pada bulan Juni 2008 .............................................................................................. 70
27 Pola arus permukaan di Perairan Selat Malaka pada bulan Juni ................... 71
28 Peta daerah penangkapan ikan di Selat Malaka pada bulan Juni 2008 ......... 80
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Nilai suhu air laut (°C) tiap stasiun pengamatan di Perairan Kepulauan Riau, Selat Malaka pada bulan Juni 2008 ............................................................... 99
2 Nilai suhu air laut (°C) tiap stasiun pengamatan di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan, Selat Malaka pada bulan Juni 2008 ........................... 100
3 Nilai salinitas air laut (psu) tiap stasiun pengamatan di Perairan Kepulauan Riau, Selat Malaka pada bulan Juni 2008 ..................................................... 101
4 Nilai salinitas air laut (psu) tiap stasiun pengamatan di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan, Selat Malaka pada bulan Juni 2008 .................. 102
5 Kecepatan arus air laut (m/s) tiap stasiun pengamatan di Perairan Kepulauan Riau, Malaka pada bulan Juni 2008 .............................................................. 103
6 Kecepatan arus air laut (m/s) tiap stasiun pengamatan di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan, Malaka pada bulan Juni 2008 ........................... 104
7 Arah arus air laut (°) tiap stasiun pengamatan di Perairan Kepulauan Riau, Selat Malaka pada bulan Juni 2008 ............................................................... 105
8 Arah arus air laut (°) tiap stasiun pengamatan di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan, Selat Malaka pada bulan Juni 2008 ........................... 106
9 Jenis dan ukuran ikan hasil tangkapan trawl di Perairan Kepulauan Riau, Selat Malaka pada bulan Juni 2008 ............................................................... 107
10 Jenis dan ukuran ikan hasil tangkapan trawl di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan, Selat Malaka pada bulan Juni 2008 ........................... 109
11 Spesifikasi dan kalibrasi data hidroakustik ................................................... 112
12 Contoh echogram hasil pengolahan dan analisis data hidroakustik .............. 113
13 Kapal Penelitian ............................................................................................. 114
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemanfaatan sumberdaya ikan secara optimal dan lestari memerlukan
informasi yang tepat berkaitan dengan sediaan (stock), sebaran sumberdaya ikan,
karakteristik perikanan dan perairannya sehingga langkah-langkah kebijakan
eksploitasi dapat dilakukan dengan tepat tanpa membahayakan kelestariannya.
Informasi mengenai ketersediaan sumberdaya ikan tersebut sangat penting
peranannya dalam pembangunan sektor perikanan, khususnya dalam pemanfaatan
dan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap. Informasi mengenai ketersedian
sumberdaya ikan pada suatu perairan memerlukan penelitian yang dapat
memberikan hasil yang lebih akurat sehingga informasi tersebut dapat
memberikan gambaran mengenai keberadaan sumberdaya ikan yang mendekati
keadaan yang sebenarnya. Stok sumberdaya ikan yang bersifat dinamis
memerlukan evaluasi yang dilakukan secara periodik. Namun demikian, sejauh ini
informasi sumberdaya perikanan terkini dalam bentuk kuantitatif seperti ukuran
kelimpahan, struktur ukuran ikan dan pola distribusinya belum tersedia secara
akurat. Data temporal ukuran populasi juga belum tersedia secara memadai,
sementara indikator dinamika stok sumberdaya ikan dari aspek biologi dan
ekologi, akurasinya sangat tergantung pada data temporal dan hanya dapat
diperoleh melalui penelitian secara periodik, konsisten dan berdasarkan data insitu
dan real time.
Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK)
telah dikembangkan berbagai peralatan dan metode guna mendapatkan informasi
tentang sumberdaya ikan. Salah satu jenis IPTEK untuk tujuan tersebut adalah
metode hidroakustik. Hidroakustik adalah ilmu yang mempelajari tentang
gelombang suara dan perambatannya di medium air dan menganalisis
karakteristik pantulannya (Arnaya, 1991). Pemanfaatan metode hidroakustik pada
beberapa tahun terakhir ini menjadi semakin penting untuk perkiraan kelimpahan
sediaan ikan khususnya ikan laut, dimana sulit atau tidak mungkin dilakukan
dengan metode konvesional. Kelemahan-kelemahan yang ada dalam metode
perkiraan secara konvesional sedikit banyak dapat diatasi dengan menggunakan
metode hidroakustik. Metode ini memiliki beberapa kelebihan untuk menduga
2
kelompok ikan dan distribusi kelimpahannya, antara lain informasi yang
dihasilkan tentang kelimpahan ikan cepat dan meliputi kawasan yang luas,
pendugaan stok dapat dilakukan secara insitu dan real time tanpa tergantung dari
data statistik perikanan, memiliki ketelitian dan ketepatan tinggi, dapat dipakai
ketika metode lain tidak dapat digunakan dan tidak berbahaya atau merusak
karena frekuensi suara yang digunakan tidak membahayakan bagi pengguna
maupun target survei (MacLennan dan Simmonds,1992).
Selat Malaka merupakan salah satu Wilayah Pengelolaan Perikanan
Republik Indonesia (WPP RI 571) dari sebelas WPP RI yang ada di seluruh
Perairan Indonesia (DKP RI 2009). Perairan Selat Malaka memisahkan Pulau
Sumatera di barat laut dan Semenanjung Malaysia di bagian timur,
menghubungkan Laut Andaman yang satu perairan dengan Samudera Hindia dan
di utara berhubungan dengan Laut Cina Selatan. Selat ini memiliki panjang sekitar
800 km, membujur ke arah tenggara barat laut membentuk corong terbuka dengan
lebar bervariasi dari 60 km sampai 480 km (P2O LIPI, 2001). Selat ini dikenal
sebagai salah satu wilayah perairan dengan lalu lintas kapal-kapal komersial yang
padat karena fungsinya sebagai jalur perdagangan internasional. Namun di sisi
lain sumberdaya perikanan di perairan ini memegang peranan penting bagi
perekonomian penduduk di sekitarnya sehingga perairan ini dikenal juga sebagai
wilayah padat nelayan.
Perairan ini merupakan percampuran massa air dari Laut Jawa, Laut Cina
Selatan dan Laut Hindia (Wyrtki, 1961). Pertemuan massa air tersebut dapat
memberikan pengaruh terhadap keberadaan sumberdaya ikan yang ada di perairan
ini. Oleh karena itu, keberadaan sumberdaya ikan pada perairan tersebut sangat
menarik untuk dikaji baik kelimpahan maupun penyebarannya, sebagai indikator
untuk pemetaan daerah penangkapan ikan di Selat Malaka.
1.2 Perumusan Masalah
Salah satu faktor penentu keberhasilan dalam usaha penangkapan ikan
adalah ketepatan dalam menentukan suatu daerah penangkapan ikan. Metode
penentuan suatu daerah penangkapan ikan oleh nelayan Indonesia pada umumnya
didasarkan pada faktor pengalaman yang berkaitan dengan faktor musim,
sedangkan untuk mendapatkan gerombolan ikan berdasarkan pada cara-cara
3
tradisional dengan memperhatikan tanda-tanda alam, misalnya gerombolan-
gerombolan burung di atas atau di dekat permukaan laut, ada tidaknya riak-riak
ataupun bui air di permukaan laut dan juga warna air laut (Ayodhyoa, 1981). Hal
demikian juga terjadi pada masyarakat nelayan yang tinggal di sekitar perairan
Selat Malaka. Metode seperti ini tingkat keberhasilannya sangat relatif dan
mengandung keterbatasan-keterbatasan dalam skala ruang dan waktu.
Pemetaan daerah penangkapan ikan khususnya ikan pelagis dan demersal
dengan metode yang lebih canggih perlu diinformasikan kepada nelayan, seperti
metode hidroakustik yang dapat mengukur secara insitu dan real time mengenai
keberadaan dan kelimpahan sumberdaya ikan pada suatu perairan tertentu.
Penggunaan metode ini dapat bermanfaat bagi nelayan secara efektif dan efisien
terhadap waktu, tenaga dan biaya dalam pencarian daerah penangkapan ikan.
Pemetaan daerah penangkapan ikan juga diperlukan untuk pengelolaan perikanan
tangkap di Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah
dalam penelitian ini:
1) Informasi apa yang bisa dijadikan sebagai indikator kelimpahan ikan di
Perairan Selat Malaka?
2) Bagaimana cara memberikan informasi kepada nelayan di sekitar perairan
Selat Malaka mengenai lokasi atau tempat-tempat daerah penangkapan ikan
yang potensial baik ikan pelagis maupun ikan demersal?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1) Menentukan sebaran nilai target strength (TS) ikan secara vertikal dan
horizontal
2) Menentukan densitas dan sebaran ikan secara vertikal dan horizontal
3) Memetakan daerah penangkan ikan di Selat Malaka.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah:
1) Memberikan informasi tentang kondisi sumberdaya ikan di Selat Malaka
untuk penentuan potensi daerah penangkapan ikan.
4
2) Sebagai panduan pola pemanfaatan dan dasar untuk penentuan pengelolaan
yang tepat bagi pengembangan perikanan yang berlandaskan pada konsep
ekobiologi dan biodiversiti menuju sustainable fisheries.
3) Sebagai bahan masukan bagi revisi stock assessment sebelumnya yang pada
akhirnya untuk tujuan kelangsungan usaha masyarakat nelayan.
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Daerah Penangkapan Ikan
Suatu wilayah perairan laut dapat dikatakan sebagai daerah penangkapan
ikan apabila terjadi interaksi antara sumberdaya ikan yang menjadi target
penangkapan dengan teknologi penangkapan ikan yang digunakan untuk
menangkap ikan. Hal ini dapat diartikan walaupun suatu areal perairan terdapat
sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapan tetapi alat tangkap tidak dapat
dioperasikan yang dikarenakan berbagai faktor, seperti keadaan cuaca, maka
kawasan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai daerah penangkapan ikan
demikian pula sebaliknya. Ada beberapa sebab ikan berkumpul di suatu daerah
perairan, antara lain karena ikan-ikan tersebut memiliki perairan yang cocok untuk
hidupnya, untuk mencari makanan, dan mencari tempat yang sesuai untuk
pemijahan maupun perkembangan larvanya (Nomura dan Yamazaki, 1977).
Daerah penangkapan ikan adalah wilayah perairan dimana alat tangkap dapat
dioperasikan secara sempurna untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan yang ada
di dalamnya (Simbolon et al., 2009).
Menurut Nasution (2004), karakteristik suatu perairan yang dapat dijadikan
sebagai acuan dalam menentukan daerah penangkapan ikan adalah:
1) Daerah tersebut harus memiliki kondisi dimana ikan dengan mudah datang
secara berkelompok dan tempat yang baik untuk dijadikan habitat ikan
tersebut;
2) Daerah tersebut harus merupakan tempat yang mudah menggunakan peralatan
penangkapan ikan bagi nelayan; dan
3) Daerah tersebut harus bertempat di lokasi yang bernilai ekonomis.
Menurut Simbolon et al., (2009) aspek atau komponen-komponen yang
menjadi pertimbangan dalam penentuan daerah penangkapan ikan adalah:
1) Sumberdaya ikan, yaitu target utama dalam operasi penangkapan ikan dimana
untuk mendeteksi keberadaan sumberdaya ikan tersebut dapat menggunakan
metode hydroacoustic dan eksperimental fishing untuk dapat mengetahui
berapa densitas dan distribusi ikan serta apa jenis spesiesnya.
2) Perairan, yaitu wilayah dimana tempat yang merupakan habitat dari ikan yang
dipengaruhi oleh faktor oseanografi fisik, biologi dan kimia dengan
6
menggunakan metode remote sensing untuk mengetahui dimana daerah
penangkapan ikan dan kapan musim penangkapan (fishing season) yang tepat.
3) Teknologi, yaitu peralatan yang digunakan dalam operasional penangkapan
ikan yang memiliki kemampuan tinggi sehingga efektivitas dan efisiensi dalam
penangkapan dapat berjalan dengan baik yang meliputi sumberdaya manusia,
teknologi penangkapan ikan dan metode penangkapan ikan.
2.2 Sumberdaya Ikan
Potensi ikan laut Indonesia sebesar 6,2 juta ton, terdiri dari ikan pelagis
besar (975,05 ribu ton), ikan pelagis kecil (3.235,50 ribu ton), ikan demersal
(1.786,35 ribu ton), ikan karang konsumsi (63,99 ribu ton), udang peneid (74,00
ribu ton), lobster (4,80 ribu ton) dan cumi-cumi (28,25 ribu ton) (DKP RI, 2009).
Potensi sumberdaya perikanan tersebut tersebar di sebelas Wilayah Pengelolaan
Perikanan Republik Indonesia (WPP RI) yaitu WPP RI 571 Selat Malaka dan
Laut Andaman, WPP RI 572 Samudera Hindia sebelah barat Sumatera dan Selat
Sunda, WPP RI 573 Samudera Hindia selatan Jawa hingga sebelah selatan Nusa
Tenggara, Laut Sawu dan Laut Timur bagian barat, WPP RI 711 Selat Karimata,
Laut Natuna dan Laut Cina Selatan, WPP RI 712 Laut Jawa, WPP RI 713 Selat
Makasar, Teluk Bone, Laut Flores dan Laut Banda, WPP RI 714 Teluk Tolo dan
Laut Banda, WPP RI 715 Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut
Seram dan Teluk Berau, WPP RI 716 Laut Sulawesi dan sebelah utara Halmahera,
WPP RI 717 Teluk Cendrawasi dan Samudera Pasifik, WPP RI 718 Laut Aru,
Laut Arafura dan Laut Timur bagian Timur (DKP RI, 2009).
2.2.1 Sumberdaya ikan pelagis
Ikan pelagis merupakan organisme yang hidup di laut terbuka, lepas dari
dasar perairan dan berada ke arah bagian lapisan permukaan. Ikan pelagis
mempunyai kemampuan untuk bergerak sehingga mereka tidak bergantung pada
arus laut yang kuat atau gerakan air yang disebabkan oleh angin. Ikan-ikan utama
yang termasuk dalam kelompok ikan pelagis terbagi dalam dua kelompok yaitu
kelompok ikan pelagis besar dan kelompok ikan pelagis kecil (Nybakken, 1992).
Kelompok ikan pelagis besar berukuran 100-250 cm, seperti ikan tuna
(Thunus sp), cakalang (Katsuwonus pelamis), madidihang (Thunus albacore),
7
cucut (Hemigaleus balfouri) dan tenggiri (Scomberomorus commersoni).
Kelompok ikan pelagis kecil berukuran 5-50 cm, seperti ikan kembung
(Rastrlliger sp), tembang (Sardinella fimbriata), selar (Selar sp), lemuru
(Sardinella sp), layang (Decapterus ruselli) dan belanak (Mugil sp).
Penentuan daerah penangkapan ikan pelagis dapat diketahui melalui pola
penyebaran dan habitatnya. Penyebaran ikan pelagis dipengaruhi oleh lingkungan
perairan di sekitarnya. Ikan-ikan jenis ini selalu mencari kondisi lingkungan yang
cocok dengan kondisi tubuhnya. Perairan yang disukai oleh ikan pelagis adalah
perairan yang masih mendapatkan sinar matahari (eufotik) dengan kisaran suhu
antara 28-30°C. Siang hari ikan pelagis akan turun sampai kedalaman 12-22
meter, karena intensitas matahari yang terlalu kuat, sedangkan malam hari ikan
menyebar merata/homogen di kolom perairan. Saat itu juga ikan-ikan demersal
akan melakukan migrasi vertikal ke lapisan atas bercampur dengan ikan-ikan
pelagis (Laevestu dan Hayes, 1981).
Sebaran ikan pelagis sangat terkait dengan kedalaman batas bawah lapisan
termoklin dan kelimpahan makanan (volume zooplankton dan fitoplankton).
Konsentrasi ikan pelagis paling banyak ditemukan di area upwelling yang
produktivitasnya tinggi, umumnya sepanjang pantai barat benua. Migrasi ikan-
ikan pelagis dipengaruhi oleh arus laut, artinya bahwa ikan-ikan pelagis mampu
bergerak melawan arus, karena menyebabkan pengkonsertasian plankton maka
ikan pelagis bergerak mengikuti arus untuk mendapatkan daerah tempat
makanannya berkumpul (Laevestu dan Hayes, 1981).
2.2.2 Sumberdaya ikan demersal
Ikan demersal adalah ikan yang seluruh atau sebagian daur hidupnya berada
di dekat, di atas atau menempel pada dasar perairan. Jenis-jenis ikan demersal dari
segi ekologis diartikan sebagai jenis-jenis ikan yang habitat utamanya berada di
lapisan dekat dasar perairan (Aoyama, 1973). Sifat-sifat ikan demersal antara lain
kemampuan beradaptasi terhadap faktor kedalaman perairan umumnya tinggi,
aktivitas rendah dibandingkan dengan jenis ikan pelagis dan mempunyai daerah
ruaya yang sempit, gerombolan ikan demersal relatif kecil bila dibandingkan
dengan jenis ikan pelagis, habitat utamanya berada di lapisan dekat dasar laut
meskipun beberapa jenis diantaranya berada di lapisan yang lebih atas, kecepatan
8
pertumbuhan rendah dan komunitas ikan demersal mempunyai seluk beluk yang
kompleks (Aoyama, 1973).
Tipe substrat dapat mempengaruhi kehidupan organisme yang hidup di
dasar perairan. Jenis ikan yang termasuk ikan demersal umumnya dapat hidup
dengan baik di perairan yang bersubstrat lumpur atau lumpur berpasir (Gunarso,
1985). Penyebaran ikan demersal di perairan Indonesia sangat dipengaruhi oleh
dua musim yang menonjol yaitu musim timur dan musim barat, dimana perubahan
musim tersebut biasanya diikuti oleh adanya perubahan kondisi lingkungan
perairan. Distribusi gerombolan ikan demersal baik pada musim timur maupun
musim barat melakukan migrasi menuju suatu tempat yang relatif sempit
(Dwiponggo et al., 1989).
Ikan demersal umumnya mengelompok pada daerah yang bersubstrat
lumpur, lumpur berpasir, pasir, karang dan karang berpasir. Sehubungan dengan
tingkah laku mencari makan, secara umum ikan demersal mencari makan pada
malam hari (nocturnal) dan beristrahat pada siang hari (Burczynski et al., 1987)
2.3 Metode Hidroakustik
Hidroakustik adalah ilmu yang mempelajari tentang gelombang suara dan
perambatannya di medium air dan menganalisis karakteristik pantulannya. Metode
hidroakustik merupakan teknologi deteksi bawah air yang banyak digunakan
dalam kegiatan eksplorasi sumberdaya alam baik sumberdaya hayati maupun
sumberdaya non hayati. Pemanfaatan teknologi akustik untuk kegiatan eksplorasi
sumberdaya hayati, misalnya pada pengelolaan dan eksplorasi sumberdaya
perikanan (Arnaya, 1991).
Penggunaan metode hidroakustik dalam ekplorasi sumberdaya perikanan
khusunya di bidang perikanan tangkap antara lain kegiatan survei kelautan yang
dapat digunakan untuk menduga spesies ikan, ukuran individu ikan dan
kelimpahan/stok sumberdaya hayati laut (plankton dan ikan), kegiatan
pengelolaan sumberdaya perikanan terutama dalam operasional penangkapan
ikan seperti untuk penentuan kedalaman air pada alur pelayaran, lokasi kapal
berlabuh, untuk kegiatan aplikasi studi penampilan dan selektivitas alat
penangkapan ikan terutama dalam studi pembukaan mulut trawl, kedalaman dan
posisi trawl di dasar perairan. Selektivitas penangkapan dapat diketahui dengan
9
menghitung prosentase ikan yang tertangkap terhadap yang terdeteksi di depan
mulut trawl atau di dalam lingkaran purse seine. Penelitian tingkah laku ikan
dapat digunakan untuk mengetahui pergerakan/migrasi ikan (vertikal dan
horizontal) dan orientasi ikan (tilt angle), reaksi menghindar (avoidance)
terhadap gerak kapal dan alat tangkap, respon terhadap rangsangan (stimuli)
cahaya, suara, listrik, hydrodinamika, kimia, dan mekanik (Arnaya, 1991).
2.3.1 Prinsip kerja hidroakustik
SONAR (Sound Navigation and Ranging) merupakan sistem instrumen
yang digunakan untuk mendapatkan informasi tentang obyek-obyek bawah air.
Sistem SONAR ini terdiri dari dua bagian yaitu sistem sonar aktif yang
melakukan proses pemancaran dan penerimaan sinyal suara dan sistem sonar pasif
yang digunakan untuk menerima sinyal-sinyal suara yang dihasilkan oleh obyek-
obyek bawah air (MacLennan dan Simmonds, 1992).
Sistem SONAR diklasifikasikan menjadi dua sistem pancar, yaitu
echosounder dengan arah pancaran gelombang suara secara vertikal dan sonar
dengan arah pancaran gelombang suara secara horizontal (Scalabrin dan Masse,
1993). Secara prinsip sistem SONAR ini terdiri dari empat komponen utama,
yaitu transmitter berfungsi untuk mengirim pulsa ke dalam medium perairan,
receiver berfungsi untuk menerima pulsa dari obyek berupa echo, transducer
berfungsi untuk mengubah energi listrik menjadi gelombang suara dan sebaliknya
dan display recoder berfungsi untuk mencatat hasil echo. Selain komponen
tersebut juga terdapat time base yang digunakan untuk mengaktifkan pulsa
(MacLennan dan Simmonds, 1992).
Suatu pulsa listrik dengan frekuensi dan waktu tertentu dibangkitkan oleh
time base yang memicu transmitter untuk memancarkan sinyal listrik ke
transducer. Pulsa listrik yang masuk ke transducer diubah menjadi gelombang
suara selanjutnya dipantulkan di medium air. Gelombang tersebut merambat di
dalam air yang apabila mengenai suatu obyek akan dipantulkan sebagai gema
(echo) dan diterima oleh transducer. Selanjutnya echo akan diubah kembali
menjadi energi listrik sebelum akhirnya diterima oleh receiver dan diperkuat oleh
amplifier. Besarnya penguatan echo dapat diukur oleh sensitivitas yang
selanjutnya dikirimkan ke bagian display/recoder. Waktu yang diperlukan saat
10
sinyal dipancarkan sampai diterima kembali oleh transducer adalah sebanding
dengan jarak antara target dengan transducer. Display yang umum digunakan
suatu echosounder adalah recording echosounder dengan kertas pencatat baik
moist paper atau dry paper dan colour echosounder dengan tampilan yang lebih
menarik (MacLennan dan Simmonds, 1992). Secara garis besar prinsip kerja dari
sistem hidroakustik tersebut dapat ditampilkan pada Gambar 1.
Sumber: MacLennan dan Simmonds, 1992
Gambar 1 Prinsip kerja metode hidroakustik.
Sistem hidroakustik dibedakan beberapa jenis berdasarkan transducer
yang digunakan serta perbedaan beam yang dihasilkan, yaitu single beam acoustic
system, dual beam acoustic system, split beam acoustic system dan quasi ideal
beam acoustic system. (MacLennan dan Simmonds, 1992).
2.3.2 Split beam acoustic system
Split beam acoustic system merupakan metode baru yang dikembangkan
untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan dari metode hidroakustik sebelumnya
seperti single beam acoustic system dan dual beam acoustic system. Metode ini
ini menggunakan receiving transducer yang dibagi menjadi empat kuadaran,
yaitu fore (haluan kapal), aft (buritan kapal), port (lambung kiri kapal) dan
starboard (lambung kanan kapal). Arah target pada split beam acoustic system
ditentukan dengan cara membandingkan sinyal yang diterima oleh setiap kuadran
11
(MacLennan dan Simonds, 2005). Split beam acoustic system terdiri dari tiga
komponen utama, yaitu transducer yang berfungsi untuk mengubah energi listrik
menjadi energi suara dan sebaliknya, transceiver yang terdiri dari unit transmitter
dan receiver dilengkapi dengan sarana penghubung pararel input-output yang
terhubung dengan bagian luar echosounder, dan bagian display mempunyai
resolusi warna yang tinggi berfungsi untuk menampilkan echogram secara real
time dan sebagai pengontrol dalam pengoperasian echosounder.
Kelebihan split beam acoustic system dibanding dengan sistem
hidroakustik lainnya adalah dapat melakukan pengukuran langsung secara real
time, mengukur target strength (TS) ikan di alam yang sebenarnya lebih tepat
dan akurat, dapat menduga densitas ikan secara langsung dan lebih tahan
terhadap noise. Kelemahannya adalah memerlukan hardware dan software yang
lebih rumit dibanding dengan sistem hidroakustik lainnya seperti dual beam
acoustic system (Arnaya, 1991).
Proses pengolahan sinyal dan perolehan gema (echo) pada receiver split
beam echosounder dapat di jelaskan pada Gambar 2 dan Gambar 3. Metode ini
menggunakan receiving transducer yang merupakan penggambungan dari
keempat kuadran dimana transmisi dilakukan oleh transducer dengan
memancarkan energi ke semua bagian transducer (full beam) secara bersamaan.
Sumber: Arnaya, 1991
Gambar 2 Blok diagram receiver split beam echosounder.
12
Sinyal atau echo yang memantul kembali dari target diterima oleh masing-
masing kuadran. Target yang terdeteksi oleh transducer terletak pada pusat dari
berkas suara kemudian digabung kembali untuk membentuk suatu berkas penuh
dan dua set berkas terbagi pada waktu yang bersamaan melalui sumbu akustik.
Target yang terdeteksi tidak terletak pada sumbu akustik, maka echo yang
kembali akan diterima lebih dulu oleh bagian transducer yang lebih dekat dari
target atau mengisolasi target dengan menggunakan output dari berkas penuh.
Posisi sudut target dihitung dari kedua berkas terbagi yaitu dengan
mengukur beda fase dari echo yang diterima oleh kedua kuadran transducer.
Posisi target yang terdeteksi dalam berkas suara diberikan dalam bentuk
informasi sudut arah sejajar kapal dan arah tegak lurus kapal (Arnaya, 1991).
Echosounder dari split beam acoustic system ini sudah dilengkapi dengan
Time Varied Gain (TVG) di dalam sistem perolehan data hidroakustik. TVG ini
berfungsi secara otomatis untuk menghilangkan pengaruh attenuasi baik yang
disebabkan oleh geometrical spreading maupun penyerapan suara ketika
merambat di dalam air. Time Varied Gain (TVG) terdiri dari dua tipe yaitu TVG
40 log R yang bekerja untuk echo ikan tunggal dan TVG 20 log R yang bekerja
untuk echo kelompok ikan (Arnaya, 1991).
Keempat kuadran pada tranducer split beam acoustic system diberi label a
sampai dengan d seperti yang ditunjukan pada Gambar 3. Sudut θ target pada
satu bidang dibedakan oleh perbedaan fase (a-b) dan (c-d) atau lebih praktis
jumlah sinyal (a+c) dibandingkan dengan (b+d). Sudut Ф di dalam bidang tegak
lurus untuk yang pertama dibedahkan oleh perbedaan fase antara (a+b) dan (c+d),
dimana kedua sudut mendapatkan arah target yang spesifik. Target strength (TS)
diestimasi dari sentifitas transducer dalam arah yang relevan (beam pattern)
yang diperoleh dengan cara kalibrasi (MacLennan dan Simmonds, 2005).
13
Sumber: MacLennan dan Simmonds, 1992
Gambar 3 Prinsip kerja split beam echosounder.
2.4 Estimasi Kelimpahan Ikan
Ada dua metode dasar yang digunakan untuk memperoleh data kelimpahan
ikan dengan metode hidroakustik yaitu echo counting dan echo integration. Jika
densitas ikan pada volume yang disampling rendah dan ikan-ikan menyebar
secara merata, maka echo dari ikan-ikan tunggal dapat dengan mudah dipisahkan
dan kemudian dihitung satu persatu dengan memakai echo counting, dan apa bila
densitas ikan tinggi (ikan membentuk gerombolan), dimana echo dari target ganda
menjadi overlap dan ikan tunggal sulit dipisahkan maka total biomassa dapat
diduga dengan menggunakan echo integration. Hasil akhir dari echo integration
adalah total energi dari echo ikan dikonversi menjadi densitas dalam satuan
fish/m3 atau kg/m3. Metode integration lebih banyak digunakan dalam survei
akustik karena densitas ikan yang disurvei pada umumnya tidak merata (Arnaya,
1991). Echo integrator adalah metode untuk memperoleh data kelimpahan dengan
peralatan hidroakustik. Metode ini umum dipilih untuk kebanyakan survei akustik
14
yang bergerak, terutama untuk densitas ikan yang tinggi sering ditemukan dalam
kebanyakan survei (Johnson dan Burczynski, 1985). Echo integrator ini berfungsi
untuk mengubah energi total dari echo ikan menjadi densitas ikan dalam satuan
fish/m2. Echo integrator untuk pendugaan densitas ikan bergantung pada
hubungan linier antara jumlah intensitas echo yang diterima dengan densitas ikan
yang terdeteksi oleh echosounder (Traynor, 1984).
Echo integrator menerima semua signal dari calibrator out put echosounder
yakni signal-signal yang dalam bentuk RF (Raw Frekuency). Signal-signal
tersebut kemudian diproses mula-mula oleh demulator untuk menghasilkan
envelope detected signal, kemudian dikuatkan dengan penguat (amplifier) dengan
gain tertentu sesuai dengan dinamic range-nya, dilewatkan ke threshold dengan
tingkat tertentu sehingga noise dan revebration yang tidak diinginkan bisa
dihilangkan, selanjutnya diseleksi menurut kedalaman dan interval dengan
selektor, lalu dikuadratkan dengan voltase kuadrat agar informasi yang diperoleh
menjadi bentuk intensitas dan terakhir adalah mengintegralkan dengan integrator.
Prinsip estimasi kelimpahan ikan cukup sederhana yaitu scientific sounder
dengan integrator telah memberikan sejumlah area untuk backscattering area
(m²/nm²). Jika salah satu diketahui dari backscattering area dari masing-masing
individu ikan σbs maka dapat dikontribusikan pada area backscattering area dan
dapat dihitung densitas ikan dengan formula sebagai berikut:
ρA = Sa / σbs (fish/nm2) ……………………………….................. (1)
Keterangan: ρA adalah densitas ikan (spesies)
Sa adalah backscattering area suatu unit area
σbs adalah backscattering cross section individu ikan.
Hubungan sederhana ini valid digunakan untuk semua ikan dari spesies
yang sama dan ukuran yang sama. Namun secara normal jarang kasusnya, sebagai
akibatnya nilai Sa memiliki bagian dari berbagai variasi spesies dan ukuran
kelompok. Hal ini dapat dikerjakan menurut bagian-bagian dalam meneliti
echogram dengan mendapatkan spesies dan komposisi ukuran dari sampel
trawling. Menghitung ikan setiap unit area dari berbagai spesies dan ukuran ikan,
harus ditentukan TS atau backscattering cross section (Naken dan Olsen, 1977).
15
2.4.1 Target strength (TS)
Faktor terpenting yang harus diketahui untuk pendugaan kelimpahan ikan
dengan metode hidroakustik adalah target strength (TS). Menurut Johannesson
dan Mitson (1983), target strength adalah kekuatan dari suatu target untuk
memantulkan suara dan memiliki hubungan yang erat dengan ukuran ikan, dimana
terdapat suatu kecenderungan semakin besar ukuran ikan maka semakin besar
target strength-nya. Nilai dan karakteristik TS ikan ini ditentukan oleh beberapa
faktor, yaitu ukuran ikan (panjang badan), bentuk tubuh ikan, spesies ikan,
gelembung renang, tingkah laku ikan atau orientasi ikan, acoustic impedance,
panjang gelombang suara, beam pattern, kecepatan renang, dan multiple
scattering/shadowing effect (Arnaya, 1991).
Ikan dengan spesies yang sama, pada umumnya makin besar ukuran maka
nilai target strength-nya juga semakin besar. Foote et al., (1987) in Arnaya
(1991), menyatakan bahwa secara akustik ukuran panjang ikan (L) berhubungan
linear dengan scattering cross section (σ) menurut persamaan σ = aL2, sehingga
hubungan antara TS dengan panjang ikan (L) dapat dirumuskan sebagai berikut:
TS = 20 log L + A ........................................................................... (2)
A adalah nilai target target strength (TS) untuk 1 cm panjang ikan (Normalized
TS) yang besarnya tergantung spesies ikan. Hubungan antara panjang ikan dan
berat ikan digunakan rumus:
W = aLb ………………………………………….......................... (3)
Keterangan: W adalah berat ikan rata-rata berdasarkan hasil tangkapan (gr) L adalah panjang ikan rata-rata berdasarkan hasil tangkapan (cm)
a,b adalah konstanta.
Ikan-ikan yang mempunyai gelembung renang (bladder fish) pada
umumnya tidak mempunyai nilai target strength (TS) maksimum yang tepat pada
dorsal aspect-nya, karena gelombung renang tersebut membentuk sudut terhadap
garis sumbu memanjang ikan (horizontal) sebesar 2,2-10° atau rata-rata 5,6°.
Ikan-ikan yang tidak memiliki gelembung renang (bladderless fish) nilai
maksimum dari target strength (TS) pada umumnya tepat pada dorsal aspect-nya
kecuali untuk ikan yang bentuk tubuhnya tidak stream line (Arnaya, 1991).
Menurut Foote (1987) in Arnaya (1991), hubungan nilai TS dengan panjang
ikan (L) dapat berbeda-beda sesuai dengan jenis ikan. Umumnya untuk ikan yang
16
memiliki gelembung renang tertutup (physoclist) mempunyai nilai A sebesar -67,5
dB, ikan dengan gelembung renang terbuka (physostomes) mempunyai nilai A
sebesar -71,9 dB dan ikan tanpa gelembung renang (bladderless fish) sebesar -
80,0 dB, sesuai dengan persamaan:
1) Ikan dengan gelembung renang tertutup (physoclist),
TS = 20 log L – 67,5 dB ................................................................ (4)
2) Ikan dengan gelembung renang terbuka (physostomes),
TS = 20 log L – 71,9 dB ................................................................ (5)
3) Ikan tanpa gelembung renang (bladderless fish),
TS = 20 log L – 80,0 dB ................................................................ (6)
Menurut Johannesson dan Mitson (1983), target strength dapat didefenisikan
menjadi dua yaitu Intensity Target Strength (TSi) dan Energy Target Strength
(TSe) dengan persamaan:
TSi = 10 log Ii
Ir ............................................................................... (7)
TSe = 10 log Ei
Er ............................................................................... (8)
Keterangan: TSi adalah Intensity Target Strength Ir adalah Intensitas suara pantulan pada jarak 1 meter dari target Ii adalah Intensitas suara yang mengenai target.
TSe adalah Energy Target Strength Er adalah Energi suara pantulan pada jarak 1 meter dari target
Ei adalah Energi suara yang mengenai target
Orientasi ikan meliputi pitching (tilting), rolling, dan yawing. Pengaruh
yawing tidak menentukan karena pada umumnya bentuk transducer adalah bulat
dan dilihat dari transducer posisi ikan tidak menimbulkan perubahan sudut.
Pengaruh rolling tergantung dari spesies ikan, dimana pengaruh rolling pada ikan
yang memiliki gelembung renang tidak terlalu besar, tetapi pada ikan yang tidak
memiliki gelembung renang pengaruhnya cukup besar karena energi yang
dipantulkan bergantung dari bentuk dan komponen bukan gelembung renang. Ikan
tanpa gelembung renang target strength maksimum pada tilt angle 0° dan target
strength-nya makin rendah dengan bertambahnya tilt angle (Furusawa, 1988).
Pengaruh beam pattern tergantung dari luas permukaan transducer dan
frekuensi yang digunakan. Makin kecil luas permukaan transducer maka makin
17
besar sudut beam dari transducer. Sebaliknya semakin besar luas permukaan
transducer maka makin kecil sudut beam yang dihasilkan. Makin besar sudut
beam yang terbentuk maka semakin besar perubahan nilai target strength yang
ditimbulkan (Arnaya, 1991).
Pengaruh multiple scattering/shadowing effect terhadap target strength
menurut Foote (1987), bahwa multiple scattering baru akan terjadi jika densitas
ikan lebih besar dari 32.300 ikan/m3 yang dalam kenyataannya tidak mungkin
terjadi. Shadowing effect mungkin terjadi dari target yang berada di lapisan atas
terhadap target yang ada di bawahnya. Namun untuk teknologi sekarang ini jika
pengukuran in situ target strength yang syaratnya harus menyebar merata, maka
kekhawatiran terhadap faktor tersebut tidak beralasan lagi (Arnaya, 1991).
Acoustic scattering cross section dari spesies ikan merupakan jumlah energi
suara yang dipantulkan oleh ikan ketika dikenai oleh sinyal akustik (Traynor,
1984). Selanjutnya disebutkan bahwa backscattering cross section ikan adalah
perbandingan antara intensitas yang datang (incident intensity) dengan intensitas
yang dipantulkan kembali (reflected intensity) oleh ikan pada suatu jarak tertentu.
Maclennan dan Simmonds (1992), menyatakan bahwa target strength (TS)
merupakan cross section (π) dari pada target yang mengembalikan sinyal, yang
dinyatakan dalam decibels sesuai dengan formula berikut:
TS = 10 log (σ/4π) dB ……………………................................ (9)
Menurut Burczynski, (1982) TS ikan memiliki hubungan yang setara dengan
backscattering cross section yang dinyatakan dengan persamaan:
TS = 10 log σbs ............................................................................ (10)
Keterangan: σbs adalah target backscattering cross section (σ/4π).
2.4.2 Volume backscattering strength (SV)
Volume backscattering strength (SV) didefenisikan sebagai rasio antara
intensitas suara yang direfleksikan oleh suatu grup single target yang berada pada
suatu volume air tertentu (1 m3) dan diukur pada jarak satu meter dari kelompok
target yang bersangkutan dengan intensitas suara yang mengenai target (incident
intensity). Pengertian SV hampir sama dengan TS dimana TS untuk target
tunggal sedangkan SV untuk kelompok ikan (Mitson, 1983).
18
Menurut Nainggolan (1993), beberapa asumsi yang digunakan dalam
pengukuran volume backscattering strength (SV) adalah:
1) Ikan bersifat homogen atau terdistribusi secara merata dalam volume perairan;
2) Perambatan gelombang suara terjadi pada suatu garis lurus dimana tidak ada
refleksi oleh medium (hanya ada spreading loss);
3) Densitas ikan yang cukup dalam satuan volume;
4) Tidak ada multiple scattering; dan
5) Panjang pulsa yang pendek.
Survei hidroakustik berlaku hubungan linear antara densitas ikan dengan
energi echo dari gerombolan ikan. Total intensitas suara yang dipantulkan oleh
suatu multiple target adalah jumlah dari intensitas suara yang dipantulkan oleh
masing-masing target tunggal (Arnaya, 1991) dengan formula sebagai berikut:
Ir total = Ir1 + Ir2 + Ir3 +……….Irn ……………………….... (11)
Keterangan: n adalah jumlah target/individu ikan
Jika n memiliki sifat-sifat akustik yang serupa, maka nilai rata-rata intensitasnya
dapat diduga dengan formula:
Ir total = n x Ir ……………………………………………….. (12)
Keterangan: Ir adalah intensitas rata-rata yang direflesikan oleh target tunggal.
Acoustic cross section rata-rata tiap target diperoleh dengan formula :
n
j
jn1
1 ..................................................................................... (13)
Nilai ini juga dapat dicari dengan persamaan:
Ii
Ir4 .................................................................................... (14)
sehingga Ir = σ . Ii / 4π dan Ir total dapat dicari dengan persamaan:
Ir total = 4
nxx Ii ................................................................ (15)
Persamaan di atas dapat ditulis dalam bentuk yang lebih sederhana:
Ir total = n x x I ...................................................................... (16)
19
Persamaan di atas akan memungkinkan untuk mencari nilai target strength (TS)
rata-rata. Bila adalah densitas ikan (n/volume), dalam bentuk persamaan
logaritma dengan satuan dB, nilai SV dapat diselesaikan dengan persamaan:
SV = 10 log + TS ..................................................................... (17)
Keterangan: SV adalah volume backscattering strength (1 m3)
TS adalah target strength rata-rata ikan per individu (dB)
ρ adalah densitas ikan (ikan/m3).
2.4.3 Pendugaan densitas ikan dengan split beam acoustic system
Pendugaan densitas ikan dengan menggunakan split beam acoustic system
pada suatu perairan dilakukan dengan mengintegrasikan echo yang berasal dari
kelompok ikan terdeteksi yang dianggap membentuk suatu lapisan perairan.
Menurut Johnnesson dan Mitson (1983) untuk integrasi pada jarak
kedalaman ∆r = R2 – R1, volume backscattering strength untuk satu transmisi dan
suatu ukuran intensitas akustik direfleksikan dari tiap m3 air yang dijumlahkan
dan dirata-ratakan pada ∆R. Nilai SV pada persamaan (17) dapat diketahui
melalui persamaan:
SV = 10 log v + TS .................................................................... (18)
Nilai SV dan TS rata-rata diketahui maka rataan densitas ikan untuk suatu
integrasi dapat diketahui pada persamaan berikut:
v = )(1,010 rataTSratSV ...................................................................... (19)
Keterangan: SV adalah volume backscattering strength (1 m3)
TS adalah target strength rata-rata ikan per individu (dB) v adalah densitas ikan (ikan/m
3)
Pendugaan nilai densitas dihitung dari nilai backscattering area (Sa) yang
merupakan nilai integrasi gema. Perhitungan ini dilakukan untuk masing-masing
lapisan ESDU. Nilai backscattering area (Sa) secara matematis dapat
diilustrasikan dalam persamaan SIMRAD, (1995) berikut ini:
Sa = 4π r02.
2
1
.
r
r
drSv . (1852 m/nm)2 ............................................ (20)
20
Nilai volume backscattering cross section (Sv) yang merupakan nilai
intensitas suara yang mengenai target pada volume tertentu (m3) dari nilai Sa di
atas maka persamaan (20) dapat diubah secara matematis menjadi:
)()/1852(4 12
22
0 rrnmmr
SaSv ................................................. (21)
Keterangan: r0 adalah jarak referensi (1 m) r2 – r1 adalah tinggi lapisan perairan (kedalaman integrasi) yang
dianalisis.
Nilai densitas ikan berdasarkan areanya dapat diperoleh dengan
menggunakan persamaan berikut:
ρA = Sa / σbs ................................................................................. (22)
Selanjutnya untuk menghitung jumlah ikan setiap unit area dari variasi jenis dan
ukuran, harus menentukan terlebih dahulu nilai TS, yang nilainya dapat diperoleh
dari bentuk logaritma (σbs) dengan formula sebagai berikut:
TS = 10 log σbs ............................................................................. (23)
Setelah mengetahui nilai TS dan densitas relatif kelompok ukuran dalam
area yang ditunjukan dalam echogram, maka densitas ikan dalam setiap kelompok
dapat ditentukan. Pertama nilai logaritma TS harus diubah kebentuk linear untuk
mendapatkan nilai σB, dengan formula sebagai berikut:
σbs = 10Tsi/10 ................................................................................. (24)
dimana TSi adalah nilai TS untuk kelompok ikan atau ikan ke-i, yang dinyatakan
dengan frekuensi f1, f2 hingga fn sehingga diperoleh σbs1, σbs2 hingga σbsn.
Distribusi f1 adalah normal sehingga jumlah keseluruhan f1 adalah 1 (satu). Sai
merupakan koefisien backscatering area dari ikan untuk σbsi. Untuk menghitung
densitas area ikan secara keseluruhan, dapat digunakan formula sebagai berikut:
ρA = Sa / ∑fi .σbsi ........................................................................ (25)
Densitas untuk setiap kelompok ukuran ikan dihitung dengan formula:
ρi = Fi / ρA .................................................................................. (26)
Volume densitas ikan dihitung dengan menggunakan formula:
ρi = ρA . (r2 – r1) ......................................................................... (27)
dimana r adalah kedalaman integrasi.
21
Saat pendeteksian berlangsung, setiap interval jarak tertentu dilakukan
perataan nilai acoustic backscattering croos section sebagai rata-rata area
backscattering per satuan area secara horisontal. Echo Integration secara vertikal
dan perataan acoustic backscattering croos section secara horisontal untuk setiap
interval menghasilkan nilai rata-rata nilai densitas ikan per satuan volume
(Johnnesson dan Mitson, 1983).
2.4.4 Bias pendugaan
Faktor utama yang mempengaruhi terjadinya bias dalam pendugaan
kelimpahan ikan pada suatu perairan dengan menggunakan metode hidroakustik
adalah kualitas kalibrasi sistem akustik, metodologi yang digunakan dan ketelitian
rata-rata target strength yang digunakan sebagai factor skala integrator.
Parameter sistem akustik diukur secara skematik, perangkat alat dipasang di
dalam kapal penelitian dan kalibrasi setiap selesai survei (Nelson dan Dark, 1986).
Hal yang sama juga diutarakan oleh Burczynski dan Johnson (1986), dimana bias
dalam estimasi factor skala integrator juga dapat disebabkan oleh kesalahan
kalibrasi hidroakustik, perubahan parameter peralatan, dan estimasi rata-rata
backscattering cross section ikan yang tidak tepat.
Bias dalam survei akustik dapat terjadi ketika sebagian populasi ikan yang
disurvei tidak tercakup. Hal ini terjadi karena berbagai fenomena yang
berhubungan dengan tingkah laku ikan. Ikan dapat menghindari gerakan kapal
(biasanya terjadi pada saat ikan bergerombol), atau beberapa echo ikan tertutup
oleh echo dasar atau noise (Burczynski dan Johnson, 1986).
Menurut Burczynski et al., (1987) data integrator yang dikumpulkan saat
survei sebaiknya diperiksa lagi untuk menghilangkan noise yang berasal dari
perairan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1) pemeriksaan
echogram secara visual untuk noise yang terlihat, 2) membandingkan echo yang
kembali pada suatu rangkaian echogram tertentu dengan echogram lain yang
berdekatan, dimana tidak ditemukan noise akan tetapi densitas ikan yang
terdeteksi secara visual sama, 3) mereduksi nilai energi echo pada echogram yang
mempunyai noise, sehingga echogram tersebut bebas /berkurang dari noise.
Pengaruh noise dalam survei hidroakustik sebaiknya dikurangi agar
pendugaan kelimpahan tidak terlalu bias. Noise ini biasanya bersumber dari angin,
22
hujan, sistem sonar, organisme laut, dan baling-baling kapal (Clay, 1990).
MacLennan dan Simmonds (1992), menyatakan bahwa noise merupakan sinyal
yang tidak di inginkan, dapat terjadi karena beberapa faktor seperti faktor fisik
(angin, pecahan ombak dan turbulensi), faktor biologi (suara dan pergerakan
binatang di bawah air), faktor artifisial (deruman mesin kapal, baling-baling kapal
dan aliran air di sekitar kapal).
2.5 Rancangan Survei Akustik
Rancangan survei akustik adalah rencana cruise track yang perlu
dipertimbangkan untuk keberhasilan survei itu sendiri. MacLennan dan
Simmonds (1992), memaparkan beberapa prosedur dalam mendesain rencana
survei akustik yaitu:
1) Mendefinisikan area geografis yang diteliti dan menentukan prinsip-prinsip
yang digunakan dalam mengatur cakupan wilayah selama survei;
2) Menghitung sumberdaya yang dibutuhkan untuk mencangkup seluruh area
survei dengan memperhatikan luas daerah yang disurvei;
3) Menghitung waktu yang tersedia untuk survei dengan mempertimbangkan
keleluasaan aktivitas lain seperti kegiatan penangkapan ikan; dan
4) Merencanakan panjang cruise track pada peta, dipastikan bahwa sampel yang
representatif dikumpulkan dari semua bagian area sepanjang wilayah
penelitian.
Menurut MacLennan dan Simmonds (1992), ada empat pola cruise track
yang digunakan dalam survei hidroakustik (Gambar 5) yaitu systematic parallel
transect, systematic trianguler transect, completely random design dan partly
random design.
23
Sumber: MacLennan dan Simmonds, 1992
Gambar 4 Pola cruise track acoustics.
2.6 Pengaruh Faktor Oseanografi terhadap Penyebaran Ikan
Penyebaran atau distribusi ikan sangat penting untuk diketahui karena
berhubungan dengan pencarian ikan dan tehnik penangkapan ikan yang sesuai.
Pertanyaan yang sering muncul seperti di mana ikan berada pada waktu tertentu
atau sebaliknya kapan ikan akan muncul pada suatu tempat tertentu, bagaimana
sifatnya, apakah mereka membentuk kelompok ataukah menyebar, apakah ikan
tersebut bersifat menetap, sementara atau hanya sekedar lewat saja, apa saja
aktifitas ikan di tempat tersebut misalnya untuk mencari makan, memijah,
membuat sarang atau ada berbagai sebab lainnya. Selain itu juga bagaimana reaksi
ikan terhadap berbagai tenaga ataupun faktor alami yang ada di daerah
penangkapan ikan tersebut (Gunarso, 1985).
Pola kehidupan ikan tidak bisa dipisahkan dari adanya berbagai kondisi
lingkungan perairan dan fluktuasi keadaan lingkungan tersebut. Interaksi antara
berbagai faktor lingkungan tersebut terhadap ikan senantiasa akan selalu berubah-
ubah. Faktor-faktor lingkungan tersebut meliputi faktor fisik, kimia dan biologi
(Gunarso, 2985).
Beberapa jenis ikan melakukan migrasi disebabkan oleh tiga alasan utama,
yaitu usaha untuk mencari daerah yang banyak makanannya, usaha untuk mencari
daerah tempat memijah dan adanya perubahan beberapa faktor lingkungan seperti
24
arus, suhu dan salinitas (Nikolsky, 1963). Adanya perubahan baik suhu maupun
salinitas akan mempengaruhi keadaan organisme di suatu perairan (Laevastu dan
Hayes, 1981). Faktor fisik yang paling berpengaruh terhadap keberadaan
sumberdaya ikan adalah faktor suhu dan salinitas (Gunarso, 1985).
2.6.1 Suhu
Suhu adalah suatu besaran fisika yang menyatakan banyaknya panas yang
terkandung dalam suatu benda yang umumnya diukur dalam satuan derajat
Celcius (°C). Perairan samudera suhu bervariasi secara horizontal sesuai dengan
garis lintang dan secara vertikal sesuai dengan kedalaman. Suhu merupakan salah
satu faktor yang penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran
organisme di suatu perairan (Nybakken, 1992).
Distribusi suhu air laut di permukaan dipengaruhi oleh berbagai faktor
seperti jumlah bahang yang diterima dari matahari, evaporasi, curah hujan,
pemasukan air tawar dari sungai dan pembekuan serta pencairan es di kutub
(Hutabarat dan Evans, 2000). Suhu air laut permukaan di perairan Indonesia
umumnya berkisar antara 28-31°C dan suhu air di dekat pantai biasanya lebih
tinggi dibandingkan dengan suhu di lepas pantai (Nontji, 2005).
Secara umum laju fotosintesa meningkat dengan meningkatnya suhu
perairan dan akan menurun secara drastis setelah mencapai suatu titik suhu
tertentu. Hal ini disebabkan karena setiap spesies fitoplankton selalu beradaptasi
terhadap suatu kisaran suhu tertentu. Suhu dapat mempengaruhi proses
metabolisme yaitu dalam hal pertumbuhan, perkembangan, daya hidup ikan dan
aktifitas yang dilakukan oleh ikan. Ikan dapat merasakan perubahan suhu perairan
sampai dengan 0,03°C. Perairan laut dalam suhu relatif stabil yaitu berkisar antara
4-8°C sehingga suhu perairan tidak berpengaruh terhadap distribusi lokal ikan laut
dalam (Laevastu dan Hayes, 1981). Fluktuasi suhu berperan sebagai faktor
penting untuk merangsang dan menentukan pengkonsentrasian dan
pengelompokan ikan serta untuk menentukan daerah penangkapan ikan.
Penyebaran suhu secara vertikal di laut dapat dibedakan menjadi tiga
lapisan, yaitu lapisan homogen (homogeneus layer) di bagian paling atas dimana
pada lapisan ini terjadi pencampuran massa air yang diakibatkan oleh adanya
angin, arus dan pasang surut sehingga terbentuk lapisan homogen; lapisan
25
termoklin (discontinuity layer) di bagian tengah yang merupakan lapisan yang
mengalami perubahan suhu yang relatif cepat antara massa air hangat dengan
massa air yang lebih dingin di bawahnya, lapisan termoklin memiliki ketebalan
bervariasi sekitar 100-200 meter; dan lapisan ketiga adalah lapisan dingin (deep
layer) di bagian bawah yang merupakan lapisan di bawah lapisan termoklin
dimana temperatur menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman. Kedalaman
lebih dari 1000 meter suhu biasanya kurang dari 5°C (Nontji, 1987). Lapisan ini
umumnya diikuti dengan penurunan oksigen terlarut dan penaikan kadar zat hara
yang cepat. Penebalan lapisan tercampur pada sisi ke arah pantai mengindikasikan
adanya aliran APJ yang mengalir ke timur dimana pada bulan Desember sedang
mengalami perkembangan dan akan mengalami puncak pada bulan Februari
(Wyrtki, 1961). Pengaruh suhu air laut terhadap kelimpahan, keberadaan dan
distribusi ikan dapat di lihat pada Gambar 5.
Sumber: Laevastu dan Hayes, 1981
Gambar 5 Diagram alir pengaruh suhu air laut terhadap kelimpahan, keberadaan dan distribusi ikan.
26
2.6.2 Salinitas
Salinitas adalah banyaknya garam dalam gram yang terdapat pada satu
kilogram air laut dimana iodium dan bromin digantikan oleh klorin dan semua
bahan organik telah dioksidasikan secara sempurna (Rielly dan Skirow, 1975).
Satuan salinitasi dapat dinyatakan dalam practical salinity unit (psu) yang
mencerminkan nilai kira-kira sama dengan g/l atau ppt (‰).
Penyebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola
sirkulasi air, penguapan (evaporasi), curah hujan (presipitasi) dan aliran sungai
(run off) yang ada di sekitarnya. Nilai salinitas akan menurun dengan
bertambahnya pemasukan air tawar dan presipitasi namun akan meningkat jika
terjadi evaporasi (Nontji, 2005).
Penyebaran salinitas pada suatu perairan dibagi dalam tiga lapisan, yaitu
lapisan homogen (homogeneus layer) yang merupakan lapisan paling atas dengan
ketebalan berkisar antara 50-100 meter atau lebih tergantung pada kekuatan
pengadukan dengan nilai salinitas homogen; lapisan berikutnya adalah lapisan
haloklin, pada lapisan ini ditandai dengan meningkatnya salinitas secara drastis
dengan bertambahnya kedalaman, biasanya berada pada kedalaman 50 meter
namun untuk perairan Indonesia lapisan ini berada pada kedalaman kurang dari 50
meter; lapisan ketiga adalah lapisan yang berada di bawah lapisan haloklin yaitu
pada kedalaman sekitar 600-1000 meter dari permukaan dan pada lapisan ini
dapat ditemukan nilai salinitas maksimum (Ross, 1970). Penyebaran salinitas
secara horizontal menggambarkan bahwa semakin menuju ke laut lepas maka
salinitas semakin tinggi (Hutabarat dan Evans, 2000).
Perubahan salinitas pada perairan laut lepas adalah relatif lebih kecil bila
dibandingkan dengan perairan pantai karena perairan pantai banyak memperoleh
masukan air tawar dari muara-muara sungai terutama pada waktu musim hujan.
Perubahan salinitas sering menunjukan perubahan massa air dan keadaan
salinitasnya. Salinitas bersifat lebih stabil di perairan terbuka walaupun di
beberapa tempat terkadang menunjukan adanya fluktuasi perubahan. Salinitas di
perairan terbuka variasinya sangat terbatas tetapi di perairan estuaria seperti teluk
dan muara sungai sangat bervariasi menurut musimnya. Organisme pada perairan
terbuka biasanya memiliki batas toleransi yang sangat kecil untuk perubahan
27
salinitas (sternohaline) dan organisme pada perairan payau dekat pantai biasanya
memiliki batas toleransi yang sangat besar untuk perubahan salinitas (euryhaline).
Organisme laut pada umumnya memiliki kandungan garam di dalam tubuhnya
yang isotonik dengan air laut sehingga osmoregulasi tidak menjadi masalah
kecuali jika salinitas berubah (Odum, 1971).
Salinitas mempunyai peranan penting dalam kehidupan organisme,
misalnya distribusi biota akuatik. Salinitas pada kedalaman 100 meter pertama
dapat dikatakan konstan walaupun terdapat sedikit perbedaan tetapi tidak
mempengaruhi ekologi secara nyata (Nybakken, 1992). Salinitas juga erat
hubungannya dengan penyesuaian tekanan osmotik antara sitoplasma dari sel-sel
dalam tubuh ikan dengan salinitas lingkungan. Ikan cenderung untuk memilih
medium dengan kadar salinitas yang lebih sesuai dengan tekanan osmotik tubuh
mereka masing-masing (Laevastu dan Hayes, 1981). Pengaruh salinitas terhadap
kelimpahan, keberadaan dan distribusi ikan, dapat dilihat pada Gambar 6.
Sumber: Laevastu dan Hayes, 1981
Gambar 6 Diagram alir pengaruh salinitas terhadap kelimpahan, keberadaan dan
distribusi ikan.
28
2.6.3 Arus
Arus merupakan pergerakan massa air secara vertikal dan horizontal
sehingga menuju keseimbangannya dari suatu tempat ke tempat lain yang
disebabkan oleh tiupan angin, perbedaan densitas air laut, gerakan gelombang
yang panjang seperti arus yang disebabkan oleh pasang surut (Nontji, 2005).
Pergerakan arus dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu arah angin, perbedaan
tekanan air, perbedaan densitas air, gaya coriolis dan arus ekman, topografi dasar
laut, arus permukaan, upwelling dan downwelling.
Pergerakan dua massa air yang mengalir melalui suatu wilayah perairan
mempunyai karakteristik yang berbeda berupa suhu, salinitas dan zat-zat hara
yang terkandung di dalamnya karena perairan yang dilewatinya berbeda, sehingga
kondisi demikian menyebabkan sumberdaya ikan yang berada di dalamnya juga
akan berbeda baik densitas, jenis maupun pola penyebarannya (Simbolon, 1996).
Arus sangat berpengaruh terhadap keberadaan ikan antara lain dapat
mempengaruhi orientasi rute migrasi ikan, tingkah laku diural ikan, ketersediaan
makan, distribusi dan kelimpahan ikan serta dapat mengalirkan telur dan anak-
anak ikan dari spawning ground ke nursery ground dan kemudian ke feeding
ground, berpengaruh terhadap profil oseanografi dan bersama suhu membentuk
daerah penangkapan ikan yang potensial (Laevastu dan Hayes, 1981).
2.7 Alat Tangkap Trawl
Trawl adalah alat tangkap dengan jaring berbentuk kantong mengerucut
yang memiliki sayap, badan, dan kantong jaring serta dilengkapi pembuka mulut
jaring (otter board) dan alat pemisah ikan/penyu (API/BED/TED), dengan ukuran
mata jaring pada bagian kantong (cod end) tidak kurang dari 3 cm. Berdasarkan
tempat pengoperasiannya alat tangkap trawl dibedakan dalam tiga tipe, yaitu
surface trawl, mid water trawl dan bottom trawl. Trawl yang sering digunakan
dalam pendugaan stok sumberdaya ikan di suatu perairan adalah botom trawl.
Pengoperasiannya pada lapisan dasar perairan yang ditarik oleh satu buah kapal
yang bergerak aktif. Mesin bantu penangkapan yang digunakan di atas kapal dapat
berupa mesin penarik (winch atau capstan) dan derek. Target hasil tangkapan
utama dari alat ini adalah udang dan hasil tangkapan sampingan (by catch) adalah
ikan demersal.
29
Trawl termasuk alat tangkap yang tidak selektif karena bukan hanya udang
dan ikan demersal saja yang tertangkap tetapi juga ikan pelagis dari ukuran kecil
hingga yang besar dan jenis organisme lainnya seperti cumi-cumi dan kepiting
yang diduga tertangkap pada saat hauling. Alat ini dilengkapi oleh bridles dengan
panjang sekitar 200 meter yang dapat menyapu dasar perairan yang luas,
menakut-nakuti ikan dan menggiringnya ke muka jaring hingga meningkatkan
efektifitas jaring (Sparre dan siebren, 1999).
Daerah penangkapan yang baik untuk pengoperasian trawl antara lain dasar
perairan berpasir, lumpur, pasir berlumpur, kondisi cuaca yang baik seperti angin
dan kecepatan arus tidak terlalu besar serta perairan mempunyai daya
produktifitas dan sumberdaya yang melimpah. Trawl sering digunakan untuk
pendugaan kelimpahan ikan demersal yang dikombinasikan dengan teknologi
hidroakustik. Teknologi hidroakustik sangat efektif untuk mengetahui bukaan
mulut trawl pada saat dioperasikan agar tetap terbuka sempurna dengan
pemasangan transducer pada bagian otter board dan head rope yang dapat
dipantau secara langsung melalui monitor dari atas kapal.
Sumber: BRPL, 2004
Gambar 7 Desain bottom trawl.
30
3 METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini menggunakan data hasil survei akustik yang dilaksanakan oleh
Balai Riset Perikanan Laut (BRPL), Dirjen Perikanan Tangkap, KKP RI pada
bulan Juni 2008 di Selat Malaka. Pengolahan dan analisis data dilaksanakan di
Laboratorium Akustik Perikanan BRPL Jakarta pada bulan September sampai
November 2011. Pemilihan data hasil penelitian ini disebabkan karena sebagian
data hasil penelitian tersebut selain data akustik, juga diperoleh data hasil
tangkapan dan oseanografi, dimana data-data tersebut dapat dijadikan sebagai
verifikasi data akustik untuk pemetaan daerah penangkapan ikan di Selat Malaka.
Lokasi survei akustik di Selat Malaka pada bulan Juni 2008 dibagi menjadi
dua wilayah, yaitu Perairan Kepulauan Riau (tenggara Selat Malaka) yang
meliputi Perairan Pulau Bengkalis, Pulau Karimun Besar, Pulau Rupat, Perairan
Bagan Siapi-api, dan Perairan Tanjung Balai Asahan sampai Belawan (barat laut
Selat Malaka) yang terletak pada koordinat 1-4,5° LU dan 98-104° BT.
Gambar 8 Peta lokasi penelitian.
31
Penulis mengikuti kegiatan "Cruise South China Sea and Indonesia Seas
Transport/Exchange (SITE) and Dynamics of Sunda Strait and Their Impacs on
Seasonal Fish Migration" yang dilaksanakan oleh Puslitbang Sumberdaya Laut
dan Pesisir Balitbang KKP RI, China Oseanogrphy Institute dan Colombia
University USA, untuk mengetahui dan memahami pengambilan data akustik dan
oseanografi secara langsung di laut. Kegiatan tersebut dilakukan pada bulan
September sampai Oktober 2011 di Selat Sunda, Selat Karimata dan Laut Cina
Selatan menggunakan Kapal Riset Baruna Jaya VIII.
3.2 Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan pada saat survei akustik antara lain:
1) Kapal Riset Bawal Putih, sebagai wahana yang digunakan dalam pengambilan
seluruh data yang diperlukan selama survei.
2) Perangkat peralatan hidroakustik echosounder split beam acoustic system,
yaitu satu unit Scientific Echo Sounder Simrad EK 60, dilengkapi dengan
transducer model 120-07 ES yang beroperasi pada frekuensi 120 kHz,
digunakan untuk akuasisi data hidroakustik.
3) Omni-directional sonar SIMRAD SP-70, yang digunakan untuk mendeteksi
gerombolan ikan (fish shoaling) di kolom air di bawah dan sekitar lintasan
kapal. Alat ini beroperasi pada frequensi 26 kHz dengan kemampuan deteksi
horizontal sampai pada radius 8000 meter dan maksimum sudut kemiringan
(tilt angle) 90°.
4) GPS (Global Positioning System), alat ini sudah terintegrasi pada SIMRAD EK
60 Scientific Echosounder System, yang digunakan untuk membantu
mengetahui posisi dan arah kapal selama sounding.
5) CTD (Conductivity Temperature Depth) profiler Sea Bird tipe SBE 19-03 dan
Valeport 308, yang digunakan untuk mengukur karakteristik seperti suhu,
salinitas dan Current meters untuk mengukur arah dan kecepatan arus.
6) Alat tangkap trawl tipe Thailand bottom trawl, memiliki panjang tali ris atas
(head rope) 36 meter dan otter board berukuran panjang 2 meter dan lebar 1
meter, digunakan untuk menangkap ikan di 20 stasiun pengoperasian trawl.
7) Perangkat keras (PC atau Laptop) dan Kamera digital untuk pengambilan
gambar sample dan peralatan yang digunakan selama survei.
32
Alat yang digunakan pada proses pengolahan dan analisis data antara lain:
1) Komputer portabel dengan sistem operasi Microsoft Windows XP Professional
2002 SP2 yang dilengkapi program software SIMRAD ER 60, SIMRAD BI 60,
Sonar Data V4 Echoview, Surfer 8.0, Micosoft Office Excel; dan
2) Dongle (transfer data tool).
Bahan yang digunakan pada proses dan pengolahan data antara lain:
1) Data akustik hasil rekaman SIMRAD EK 60 pada saat survei akustik yang
berekstensi raw data (*.raw), indeks files (*.idx) dan bottom files (*.bot).
Ketiga kelompok data ini memiliki ekstensi yang berbeda tetapi saling
terintegrasi satu dengan lainnya;
2) Data oseanografi hasil rekaman CTD Profiler Sea Bird tipe SBE 19-03 dan
Valeport 308 yang berekstensi raw data (*.raw); dan
3) Data hasil tangkapan trawl dalam bentuk Micosoft Office Excel dan gambar.
3.3 Desain Survei
Pola survei yang digunakan dalam penelitian akustik di Selat Malaka pada
bulan Juni 2008 adalah systematic trianguler transect (Gambar 4b). Pola survei
ini diharapkan mampu mewakili daerah penelitian di Perairan Selat Malaka.
Jumlah leg sebanyak 14 buah yang panjangnya disesuaikan dengan lokasi
penelitian. Penentuan jarak tempuh dan bentuk jalur pelayaran dilakukan sesuai
dengan luas daerah yang dicakup dan waktu yang tersedia serta kecepatan kapal
pada waktu pengambilan data. Kecepatan kapal ketika melakukan perekaman data
akustik dan trawling sekitar 2-3 knot. Data direkam selama 24 jam dengan
menggunakan metode hidroakustik, bersamaan dengan itu dilakukan verifikasi
dengan alat tangkap trawl pada beberapa stasiun (disesuaikan dengan kontur
kedalaman) guna mendapatkan data hasil tangkapan di daerah survei.
Pengambilan data oseanografi ditempatkan pada setiap stasiun dari sebuah
Elementary Sampling Distance Unit (ESDU) yang berjumlah 32 stasiun, data
oseanografi diambil dalam kisaran jarak yang relatif rapat dengan selang waktu
pengambilan selama kurang lebih satu jam.
33
3.4 Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan pada saat survei akustik bulan Juni 2008 di Selat
Malaka meliputi data akustik, oseanografi dan hasil tangkapan. Pengumpulan data
dilakukan sepanjang jalur pelayaran (leg) selama tracking akustik dan bersamaan
dengan dilakukannya pengamatan oseanografi dan trawling.
3.4.1 Data akustik
Pengambilan data akustik dilakukan dengan menggunakan SIMRAD EK 60
Scientific Echosounder System, dilengkapi dengan transducer model 120-07 ES
yang beroperasi dengan frekuensi 120 kHz. Proses echo integrasi dilakukan dari
kolom air secara vertikal kemudian dirata-ratakan dalam arah horizontal
sepanjang jalur yang dilintasi kapal. Data yang diperoleh dari echosounder
frekuensi 120 kHz diteruskan ke komputer melalui LAN (Local Area Network)
untuk penyimpanan dan analisis serta perhitungan selanjutnya. Perekaman dan
pengintegrasian data dilakukan dengan menggunakan software SIMRAD ER-60.
File yang didapat dari perekaman oleh software SIMRAD ER-60 berada dalam
bentuk raw data (*.raw), indeks files (*.idx) dan bottom files (*.bot). Penetapan
Time Varied Gain (TVG) yaitu TVG 20 log R, karena pulsa yang digunakan
merupakan pulsa pendek.
Echo integration meliputi seluruh kolam air yang dibagi dalam 10 strata
kedalaman dengan selang 10 meter dan bagian dasar dengan jarak 3 meter dari
dasar perairan, hal ini disesuaikan dengan tinggi bukaan mulut bottom trawl yang
dioperasikan pada saat berlangsungnya survei akustik. Nilai integrasi
dikelompokan secara teratur dalam satuan jarak pengamatan ESDU (Elementary
Sampling Distance Unit) yang diperuntukkan dalam pendugaan rata-rata densitas
ikan per meter kubik (individu/m3) untuk setiap lapisan (strata) kedalaman.
3.4.2 Data oseanografi
Pengambilan data oseanografi seperti suhu, salinitas dan arus dilakukan di
32 stasiun pengamatan sepanjang trek akustik dengan menggunakan intrument
CTD (Conductivity Temperature Depth) profiler Sea Bird tipe SBE 19-03 dan
Valeport 308. Kedua CTD tersebut diturunkan dengan menggunakan winch
sampai permukaan air, kemudian ditahan dipermukaan beberapa saat sampai alat
34
pengukur mencapai kondisi equilibrium. Selanjutnya kedua alat diturunkan
bersama-sama secara vertikal sepanjang kolom air sesuai kedalaman perairan.
Berdasarkan panjang wire yang tersedia, maksimum pengukuran dilakukan
sampai pada kedalaman 60 meter. Kedua CTD ini mengukur properties parameter
pada setiap kedalaman 5 meter. Data pengukuran dipindahkan (upload) ke dalam
perangkat komputer dengan menggunakan perangkat lunak masing-masing alat
yaitu DataLog dan SeaSoft untuk analisis selanjutnya. Hasil pengukuran dari
kedua alat tersebut dibandingkan untuk verifikasi data.
Stasiun pengamatan oseanografi dalam penelitian ini ditempatkan sesuai
dengan tujuan penelitian yaitu sebagai gambaran karakteristik massa air pada
musim tertentu selama penelitian. Parameter ini sebagai pendukung dalam
pendugaan densitas ikan di Perairan Selat Malaka. Stasiun pengamatan tersebut
lebih banyak ditempatkan pada posisi pengumpulan data trawl.
3.4.3 Data hasil tangkapan
Data hasil tangkapan diambil di 20 stasiun pengamatan sepanjang trek
akustik dengan menggunakan alat tangkap trawl dasar jenis Thailand bottom
trawl. Hasil tangkapan dikeluarkan dari kantong trawl di atas dek, dikelompokan
berdasarkan family dan jenis, selanjutnya dilakukan penimbangan dan pengukuran
panjang dan berat terhadap contoh dari setiap spesies yang dominan. Hasil
tangkapan tersebut digunakan sebagai verifikasi data hidroakustik untuk
mengetahui kepastian jenis dan ukuran ikan yang terdeteksi dengan peralatan
hidroakustik selama penelitian dan digunakan sebagai faktor pendukung dalam
penentuan potensi daerah penangkapan ikan di Selat Malaka.
35
Gambar 9 Peta lokasi stasiun bottom trawl.
3.5 Pengolahan dan Analisis Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei, sesuai
dengan prosedur yang diuraikan oleh MacLennan dan Simmonds (1992) dengan
beberapa penyesuaian sesuai tujuan penelitian. Pengolahan dan analisis data
meliputi data akustik (penyebaran target strength dan densitas ikan), oseanografi
(suhu, salinitas dan arus) dan hasil tangkapan (jenis dan ukuran ikan). Hasil
pengolahan dan analisis data ditabulasi dan dilihat keterkaitan satu sama lain
untuk pendugaan kelimpahan ikan pelagis dan demersal di Perairan Selat Malaka
dalam menentukan lokasi daerah penangkapan ikan yang tergolong kurang
potensial, sedang dan potensial.
Diagram alir yang mengilustrasikan tahapan dan prosedur analisis terhadap
semua data akustik, oseanografi dan hasil tangkapan yang diperoleh ditampilkan
pada Gambar 10.
36
Gambar 10 Diagram alir prosedur analisis data hasil penelitian.
3.5.1 Penyebaran target strength dan densitas ikan
Data akustik yang diperoleh dari perekaman oleh software SIMRAD ER 60
berada dalam bentuk raw data (*.raw), indeks files (*.idx) dan bottom files
(*.bot), selanjutnya diolah dengan menggunakan software Echoview 4.0 dan
dongle (transfer data tool) untuk mengetahui penyebaran nilai target strength
(TS) dan densitas ikan.
Proses pengolahan data dilakukan dengan membuka data *.raw untuk
melihat tampilan hasil kerja perangkat hidroakustik scientific echosounder system
EK 60 dan software SIMRAD ER 60 pada program Software Echoview 4.0.
Keluaran (output) setelah proses ini adalah file dalam bentuk *.EV. Selanjutnya
dilakukan proses pengolahan data untuk mendapatkan nilai SV (kumpulan target
tunggal) pada program software Echoview 4.0 melalui SV echogram setting.
37
Proses SV echogram setting dilakukan dengan menentukan batas analisis
integrasi ikan demersal pada kedalaman 3 meter dari dasar perairan (sesuai
dengan tinggi bukaan mulut bottom trawl pada saat dioperasikan) dan ikan pelagis
dari kedalaman 4 meter (jarak transducer yang masuk ke kolom air laut) sampai
batas analisis ikan demersal. Integrasi ikan pelagis ini dibagi beberapa strata
disesuaikan dengan kedalaman perairan dengan ketebalan setiap strata adalah 10
meter. Nilai ESDU (Elementery Sampling Distance Unit) yaitu 0,5 nautical mile
(nmi). Kisaran volume backscattering strength (SV) ikan yang digunakan yaitu
antara -80 dB sampai dengan -34 dB, hal ini diduga bahwa nilai SV ikan berada
pada kisaran tersebut. Nilai thershold untuk SV ikan ditetapkan antara -70 dB
sampai dengan -34 dB sesuai dengan penyetingan alat pada saat survei akustik.
Pengaruh noise dihilangkan melalui koreksi noise yang disesuaikan dengan kontur
kedalaman perairan, yaitu pada kisaran lapisan kedalaman 2-10 meter dari
permukaan air laut dan selanjutnya dilakukan kalibrasi data akustik. Data yang
sudah dikoreksi pada proses SV echogram setting kemudian dieksport hasil
integrasinya ke dalam bentuk file ASCII melalui software dongle dengan ekstensi
comma separated values (*.csv) yang dapat dibuka pada program Microsoft Office
Excel untuk melihat nilai sebaran target strength (TS) dan densitas ikan.
Nilai TS (dB) diperoleh dari hasil keluaran (output) SV yang merupakan
hasil pengolahan dengan software Echoview 4.0, dikaji lebih lanjut untuk melihat
besarnya nilai dugaan TS rata-rata secara vertikal dan horizontal. Analisis sebaran
nilai TS ikan pelagis secara vertikal dibuat berdasarkan selang kedalaman 10
meter, dimulai dari kedalaman 4 meter hingga 3 meter dari dasar perairan (batas
analisis ikan demersal) yang terbagi dalam beberapa strata kedalaman disesuaikan
dengan kedalaman wilayah perairan sepanjang transek akustik. Analisis sebaran
nilai TS ikan pelagis secara horizontal dilakukan dengan membandingkan nilai
rata-rata TS setiap leg sepanjang transek akustik, sedangkan analisis sebaran nilai
TS ikan demersal hanya dilakukan secara horizontal dan dibatasi sampai pada
kedalaman 3 meter dari dasar perairan, hal ini disesuaikan dengan tinggi bukaan
mulut bottom trawl yang dioperasikan pada saat berlangsungnya survei akustik.
Data akustik yang direkam oleh scientific echosounder system EK 60 tidak
disetting untuk menampilkan nilai TS, sehingga pada saat pengolahan data
38
menggunakan software Echoview 4.0 nilai TS tidak dapat diintegrasi. Nilai TS
diperoleh dari nilai SV hasil integrasi menggunakan persamaan (Echoview 4.0)
berikut :
Ts = Sv/ρ ..................................................................................... (32)
TS = 10 Log (Ts) ......................................................................... (33)
Nilai Sv dan ρ diperoleh dari persamaan (Echoview 4.0) berikut:
SV = 10 log Sv .............................................................................. (34)
Sv = 10 SV/10 ................................................................................. (35)
ρ = n/v ....................................................................................... (36)
Keterangan: TS adalah target strength (dB) Ts adalah target strength (linear)
SV adalah volume backscattering strength (dB) Sv adalah volume backscattering coefficient (linear) ρ adalah densitas ikan (individu/m3)
n adalah number of samples (individu) v adalah beam volume sum (m3)
Data target strength yang diperoleh dari split beam acoustic system
digunakan untuk menduga panjang ikan yang terdeteksi sepanjang transek
penelitian dengan fomula yang dikemukaan oleh Foote (1987):
TS = 20 Log (L) + A ................................................................... (37)
Keterangan : L adalah panjang baku ikan (cm)
A adalah nilai Normalized TS (-67,5 dB)
Dugaan panjang ikan dengan menggunakan formula Foote (1987)
dibandingkan dengan panjang rata-rata hasil tangkapan untuk analisis hubungan
antara TS dengan hasil tangkapan. Hubungan nilai TS dan hasil tangkapan yang
diperoleh selanjutnya dianalisis untuk melihat pola penyebaran ukuran ikan secara
vertikal dan horizontal. Penyebaran nilai TS ikan pelagis secara vertikal diperoleh
dari nilai rata-rata setiap strata kedalaman untuk melihat pola penyebaran ukuran
ikan secara temporal (siang dan malam hari), sedangkan penyebaran nilai TS ikan
pelagis secara horizontal diperoleh dari nilai rata-rata setiap strata kedalaman pada
setiap leg kemudian dibandingkan berdasarkan batas wilayah perairan untuk
melihat pola penyebaran ukuran ikan pelagis sepanjang transek akustik.
Penyebaran nilai TS ikan demersal secara horizontal diperoleh dari nilai rata-rata
setiap leg kemudian dibandingkan berdasarkan batas wilayah perairan untuk
39
melihat pola penyebaran ukuran ikan demersal sepanjang transek akustik. Nilai
TS yang diperoleh juga digunakan untuk menghitung densitas ikan atau kelompok
ikan. Perhitungan densitas ikan dilakukan dengan echo integration yang terdeteksi
dalam arah vertikal pada setiap lapisan perairan dan dirata-ratakan dalam arah
horizontal sepanjang transek akustik berdasarkan persamaan berikut:
SV = 10 log v + TS rata-rata …………………………........ (38)
Nilai SV dan TS rata-rata diketahui maka rataan densitas ikan untuk suatu
integrasi dapat diketahui pada persamaan berikut:
v = )(1,010 rataTSratSV ............................................................. (39)
Keterangan: SV adalah volume backscattering strength (1 m3)
TS adalah target strength rata-rata ikan per individu (dB)
v adalah densitas ikan (individu/m3)
Nilai densitas ikan (individu/m3) yang dipeoleh selanjutnya dianalisis untuk
melihat besarnya nilai dugaan densitas rata-rata secara vertikal dan denistas total
secara horizontal. Analisis sebaran nilai densitas ikan pelagis secara vertikal
dibuat berdasarkan selang kedalaman 10 meter, dimulai dari kedalaman 4 meter
hingga 3 meter dari dasar perairan (batas analisis ikan demersal) yang terbagi
dalam beberapa strata kedalaman disesuaikan dengan kedalaman wilayah perairan
sepanjang transek akustik. Analisis sebaran nilai densitas ikan pelagis secara
horizontal dilakukan dengan membandingkan nilai rata-rata dan total densitas ikan
setiap leg sepanjang transek akustik. Penyebaran nilai densitas ikan pelagis secara
vertikal diperoleh dari nilai rata-rata setiap strata kedalaman untuk melihat pola
penyebaran ikan pelagis secara temporal (siang dan malam hari), sedangkan
penyebaran nilai densitas ikan pelagis secara horizontal diperoleh dari nilai rata-
rata dan total setiap strata kedalaman pada setiap leg kemudian dibandingkan
berdasarkan batas wilayah perairan untuk melihat pola penyebaran ikan sepanjang
transek akustik. Penyebaran nilai densitas ikan demersal secara horizontal
diperoleh dari nilai rata-rata dan total setiap leg kemudian dibandingkan
berdasarkan batas wilayah perairan untuk melihat pola penyebaran ikan demersal
sepanjang transek akustik.
Nilai densitas ikan kemudian dibagi menjadi tiga selang kelas yaitu <3
individu/m3, 3-5 individu/m3 dan >5 individu/m3, hal ini berdasarkan pada
40
perhitungan secara statistik dari hasil pengolahan data, agar dapat memudahkan
dalam penentuan potensi daerah penangkapan ikan (DPI) yang dibagi dalam tiga
kategori DPI berdasarkan ukuran dan densitas ikan. Selanjutnya nilai densitas ikan
(individu/m3) yang dibagi dalam tiga kelas tersebut ditampilkan dalam bentuk
ring scatter pada sebuah peta menggunakan Surfer 8.0 untuk melihat penyebaran
nilai total densitas ikan sepanjang transek akustik. Hasil dari sebaran nilai TS (dB)
dan densitas ikan (individu/m3) pada setiap strata kedalaman dan leg sepanjang
transek akustik, selanjutnya dibahas secara deskriptif untuk menjelaskan
penyebaran TS dan densitas ikan baik secara vertikal maupun secara horizontal
dihubungkan dengan karakteristik oseanografi (suhu, salinitas dan pola arus) dan
hasil tangkapan trawl. Proses pengolahan dan analisis data akustik secara
skematik dapat ditampilkan pada Gambar 11.
Gambar 11 diagram alir proses pengolahan dan analisis data akustik.
41
3.5.2 Penyebaran suhu dan salinitas
Data oseanografi yang terdiri suhu dan salinitas pada setiap stasiun
pengamatan, diolah dan dianalisis untuk digunakan sebagai parameter pendukung
dalam pendugaan densitas atau kelimpahan ikan di suatu perairan. Suhu dan
salinitas diukur menggunakan alat CTD (Conductivity Temperature Depth) pada
setiap lapisan kedalaman perairan. Data yang diperoleh ditabulasi dan diolah
menggunakan Software Microsoft Office Excel dan Surfer 8.0. Data yang
dihasilkan adalah profil suhu dan salinitas, baik secara vertikal maupun secara
horizontal pada setiap stasiun pengamatan. Selanjutnya data tersebut dianalisis
keterkaitanya dengan data akustik yang digunakan untuk menduga kelimpahan
ikan di daerah penelitian. Tahapan pengolahan data oseanografi dapat dilihat pada
Gambar 12.
Gambar 12 Diagram alir proses pengolahan dan analisi data oseanografi.
42
3.5.3 Jenis dan ukuran ikan hasil tangkapan
Data hasil tangkapan yang diperoleh dari kegiatan penangkapan dengan
menggunakan bottom trawl pada saat berlangsungnya survei dianalis sebagai
sample pada stasiun penelitian akustik untuk mengetahui jenis, ukuran dan
kelimpahan ikan pelagis dan demersal yang terdapat pada wilayah penelitian.
Proses analisis dilakukan dengan memisahkan ikan berdasarkan jenis dan spesies,
kemudian dilakukan penimbangan dan pengukuran terhadap jenis dan spesies ikan
yang paling dominan tertangkap di wilayah penelitian. Hasil pengukuran tersebut
selanjutnya digunakan untuk melihat hubungan antara nilai TS dengan hasil
tangkapan sebagai indikator untuk penentuan pemetaan daerah penangkapan ikan
di Selat Malaka pada bulan Juni 2008.
3.5.4 Pemetaan daerah penangkapan ikan
Pemetaan daerah penangkapan ikan di Selat Malaka pada bulan Juni 2008
didasarkan pada dua indikator, yaitu nilai target strength (TS) dan densitas ikan
sepanjang transek akustik. Nilai TS pada setiap leg sepanjang transek akustik
dirata-ratakan berdasarkan strata kedalaman. Melalui pendekatan metode statistik,
hasil perhitungan tersebut dibagi menjadi tiga kriteria, yaitu jika nilai TS ikan <-
60 dB, maka nilai TS ikan tersebut dapat dikategorikan lebih kecil dan diberi
bobot 2, bila nilai TS ikan -60 ~ -57 dB, maka nilai TS ikan tersebut dapat
dikategorikan sedang dan diberi bobot 3, dan bila nilai TS ikan >-57 dB, maka
nilai TS tersebut dapat dikategorikan lebih besar dan diberi bobot 4.
Nilai densitas ikan pada setiap leg sepanjang transek akustik dirata-ratakan
berdasarkan strata kedalaman. Melalui pendekatan metode statistik, hasil
perhitungan tersebut dibagi menjadi tiga kriteria, yaitu jika densitas ikan <3
individu/m3, maka densitas ikan tersebut dapat dikategorikan lebih rendah dan
diberi bobot 2, bila densitas ikan 3-5 individu/m3, maka densitas ikan tersebut
dapat dikategorikan sedang dan diberi bobot 3, dan bila densitas ikan >5
individu/m3, maka densitas ikan tersebut dapat dikategorikan lebih tinggi dan
diberi bobot 4. Proses penentuan daerah penangkapan ikan di Selat Malaka pada
bulan Juni 2008 ditampilkan pada Tabel 1.
43
Tabel 1 Penentuan daerah penangkapan ikan di Selat Malaka bulan Juni 2008
No. Indikator DPI Kriteria Kategori Bobot
1
2
Nilai TS yang mengindikasikan
ukuran ikan
Densitas ikan
< -60 dB
-60 ~ -57 dB > -57 dB
< 3 indvidu/m3 3-5 indvidu/m3
> 5 indvidu/m3
Kecil
Sedang Besar
Rendah Sedang
Tinggi
2
3 4
2 3
4
Proses penentuan daerah penangkapan ikan (DPI) potensial, sedang dan
kurang potensial ditetapkan berdasarkan pengaruh kedua indikator penentu DPI
yang diasumsikan sama, sehingga bobot masing-masing indikator pada DPI yang
sama dapat dijumlahkan. Jumlah bobot tersebut kemudian dibagi menjadi 3
kriteria DPI, yaitu <5 menunjukkan DPI kurang potensial, 5-6 DPI sedang dan ≥7
DPI potensial.
44
4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1 Letak Geografis Selat Malaka
Perairan Selat Malaka merupakan bagian dari Paparan Sunda yang relatif
dangkal dan merupakan satu bagian dengan dataran utama Asia serta beberapa
laut dan teluk seperti Laut Cina Selatan, Teluk Thailand, dan Laut Jawa (Atmaja,
et al., 2001). Selat Malaka terletak di Indonesia bagian barat dan secara yuridiksi
politik selat ini berbatasan dengan dua perairan negara lain, yaitu perairan
Malaysia dan Singapura. Perairan Selat Malaka memisahkan Pulau Sumatera di
barat daya dan Semenanjung Malaysia di bagian timur, menghubungkan Laut
Andaman yang satu perairan dengan Samudera Hindia dan di utara berhubungan
dengan Laut Cina Selatan. Selat ini memiliki panjang sekitar 800 km, membujur
ke arah tenggara barat laut membentuk corong terbuka dengan lebar bervariasi
dari 60 km sampai 480 km (P2O LIPI, 2001).
Sebagian besar dasar perairan Selat Malaka wilayah teritorial Indonesia
memperlihatkan kedalaman relatif dangkal, terdalam mencapai kurang dari 150
meter. Perubahan kedalaman perairan yang paling mencolok ditemukan di bagian
barat laut, yang berbatasan langsung dengan Laut Andaman. Kedalaman wilayah
perairan ini mencapai lebih dari 200 meter, sebaliknya bagian tenggara Selat
Malaka relatif dangkal, yaitu kurang dari 60 meter (P2O LIPI, 2001). Sekitar
selat-selat antar pulau dan muara-muara sungai yang banyak dijumpai dekat
pantai timur Sumatera mempunyai kedalaman bervariasi antara 5 meter hingga 25
meter, bagian terdalam biasanya digunakan sebagai alur pelayaran seperti
dijumpai di Selat Rupat, Selat Bengkalis dan sebagian Selat Panjang.
Selat Malaka termasuk Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia
(WPP RI 571) dari sebelas WPP RI yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor 01/MEN/2009. Selat Malaka diketahui sebagai
salah satu wilayah perairan dengan lalu lintas kapal-kapal komersial yang padat
karena fungsinya sebagai jalur perdagangan internasional. Sumberdaya perikanan
di perairan ini memegang peranan penting bagi perekonomian penduduk di
sekitarnya, sehingga perairan ini dikenal juga sebagai daerah padat nelayan.
45
4.2 Keadaan Umum Perikanan Tangkap di Selat Malaka
Eksploitasi sumberdaya perikanan di Selat Malaka berkembang pesat dalam
tiga dekade terakhir ini. Periode akhir tahun 1980 wilayah ini telah mencapai
puncak produksi dengan memberikan kontribusi produk perikanan kedua terbesar
setelah Laut Jawa. Namun demikian, perkembangan armada perikanan dan
teknologi penangkapan serta pencemaran lingkungan telah berdampak pada
produksi yang terus menurun sejak periode akhir tahun 1990an. Sumberdaya
perikanan di Selat Malaka memegang peranan penting bagi perekonomian
penduduk di sekitarnya sehingga perairan ini juga dikenal sebagai wilayah padat
nelayan. Aktivitas eksploitasi sumberdaya perikanan telah dilakukan secara
intensif baik oleh nelayan skala kecil maupun industri.
Kegiatan penangkapan ikan tersebut secara terus menerus berdampak pada
penurunan besaran stok, perubahan struktur populasi dan pola migrasi
sumberdaya ikan. Peran strategis dari Selat Malaka sebagai jalur perdagangan
internasional, memposisikan wilayah ini rentan terhadap pencemaran lingkungan
seperti tumpahan minyak, sampah buangan dan lain-lain semakin memperbesar
dampak negatif terhadap sumberdaya tersebut.
Berbagai undang-undang dan peraturan pemerintah menyangkut
perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Indonesia telah diberlakukan,
bahkan sejak tahun 1914 (DKP RI, 2009). Pengaturan penangkapan ikan juga
telah diberlakukan oleh pemerintah melalui berbagai SK Menteri Pertanian sejak
tahun 1975, undang-undang perikanan nomor 31 tahun 2004 dan terbaru adalah
undang-undang perikanan nomor 45 tahun 2009 yang secara menyeluruh memuat
aturan dan sistem pengelolaan sumberdaya perikanan. Perlindungan dan
pemanfaatan sumberdaya ikan juga telah mendapatkan perhatian yang serius dari
masyarakat global melalui ratifikasi UNCLOS (United Nation Convention on the
Law of the Sea) pada tahun 1982, agenda 21 UNCED (Global United Nations
Conference on Environment and Development) dan secara tegas diatur dalam
Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) walaupun masih bersifat
sukarela (volunteer). Namun demikian, banyaknya peraturan-peraturan dan
undang-undang nampaknya belum mampu mengatasi permasalahan perikanan
tangkap di wilayah ini karena masih kurang memadainya sistem pengawasan.
46
Wilayah pesisir yang merupakan basis kegiatan perikanan utama di Selat
Malaka terdiri dari Bagan Siapi-api, Indragiri Hilir dan Bengkalis (Provinsi Riau)
yang terletak di bagian tenggara Selat Malaka, Belawan dan Tanjung Balai
Asahan (Provinsi Sumatera Utara) terletak di bagian tengah Selat Malaka. Bagan
Siapi-api adalah salah satu daerah di kawasan Rokan Hilir yang pernah memiliki
jejak sejarah yang membanggakan Indonesia yakni sebagai pusat industri
galangan kapal kayu terbesar dan penghasil ikan dengan produksi terbesar ke dua
di dunia setelah Norwegia pada masa sebelum tahun 1930. Kota Bagan Siapi-api
hingga saat ini telah berkembang pesat, menjadi ibukota Kabupaten Rokan Hilir.
Kabupaten ini merupakan penghasil ikan terbesar, khususnya di wilayah
Kecamatan Bangko, Sinaboi dan Kubu. Penduduk yang berprofesi sebagai
nelayan berjumlah 2.093 kepala keluarga. Produksi perikanan yang dihasilkan
sebessar 95% dari perikanan tangkap di laut, sedangkan sisanya dari perikanan
air tawar (BRPL, 2004).
Bengkalis terletak di bagian selatan Kabupaten Rokan Hilir. Penduduk
nelayan di kabupaten ini berjumlah 4.205 kepala keluarga. Armada penangkapan
yang ada masih dalam skala kecil, dimana sebagian besar nelayannya
menggunakan alat tangkap jaring insang hanyut. Kabupaten ini merupakan
penyumbang terbesar ketiga produksi perikanan di Provinsi Riau setelah Rokan
Hilir dan Indragiri Hilir.
Belawan merupakan kota pelabuhan utama di Provinsi Sumatera Utara.
Kabupaten ini termasuk salah satu kawasan di pantai timur Sumatera yang
penting, dimana di daerah ini terdapat salah satu Pelabuhan Perikanan (PP)
terbesar di Indonesia, yaitu Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Belawan, yang
merupakan salah satu basis pendaratan ikan terbesar bagi armada penangkap ikan
skala industri, terutama pukat ikan yang beroperasi di Perairan Selat Malaka.
Pusat perikanan lainnya di Provinsi ini adalah Tanjung Balai Asahan, sebagian
besar penduduknya merupakan nelayan. Pengusaha perikanan di kabupaten ini
didominasi oleh masyarakat Tiong Hwa yang sudah melakukan kegiatan industri
perikanan sejak puluhan tahun yang lalu.
47
4.2.1 Nelayan
Perairan Selat Malaka yang termasuk wilayah teritorial Indonesia,
merupakan sumber kehidupan masyarakat di sekitarnya khususnya nelayan.
Masyarakat nelayan di wilayah ini menjadikan aktifitas penangkapan ikan sebagai
mata pencaharian mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Penduduk yang berprofesi sebagai nelayan di wilayah ini merupakan penduduk
asli daerah setempat yang sudah bertahun-tahun melakukan aktivitas kegiatan
usaha di bidang perikanan, khususnya perikanan tangkap.
Bagan Siapi-api merupakan pusat kegitan perikanan terbesar di wilayah
Perairan Kepulauan Riau dengan jumlah penduduk nelayan sebanyak 2.093
kepala keluarga dan menghasilkan produksi perikanan laut sebesar 95% dari total
kegiatan produksi perikanan di daerah ini (BRPL, 2004). Bengkalis memiliki
jumlah penduduk nelayan sebanyak 4.205 kepala keluarga. Sebagian besar
nelayan di daerah ini masih tergolong nelayan skala kecil dan alat tangkap yang
digunakan didominasi oleh alat tangkap jaring insang hanyut. Tanjung Balai
Asahan yang berada di bagian tengah Selat Malaka, sebagian besar penduduknya
berprofesi sebagai nelayan. Aktivitas kegiatan usaha perikanan di Tanjung Balai
Asahan didominasi oleh masyarakat Tiong Hwa yang sudah menjadi penduduk
asli di daerah ini sejak ratusan tahun yang lalu (BRPL, 2004).
Belawan salah satu kawasan di pantai timur Sumatera yang penting, dimana
di daerah ini terdapat salah satu pelabuhan perikanan terbesar di Indonesia, yaitu
Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Belawan, yang merupakan salah satu basis
pendaratan ikan terbesar bagi armada penangkap ikan skala industri, terutama
pukat ikan yang beroperasi di Perairan Selat Malaka. Masyarakat yang melakukan
kegiatan usaha perikanan di daerah ini tidak hanya berasal dari daerah setempat,
tetapi juga dari daerah lain seperti nelayan dari Nanggro Aceh Darusalam. Jumlah
nelayan yang ada di Belawan sampai dengan tahun 2010 sebanyak 9.267 kepala
keluarga dengan kenaikan rata-rata setiap tahun 5,22% sejak tahun 2005 (PPS
Belawan, 2011). Pertumbuhan penduduk nelayan yang cukup tinggi di daerah ini
sangat dipengaruhi oleh keberadaan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS)
Belawan. Produksi perikanan yang didaratakan di daerah ini sangat menjanjikan
bagi masyarakat setempat dalam melakukan kegiatan usaha perikanan.
48
4.2.2 Alat dan kapal penangkapan ikan
Jenis alat tangkap ikan yang digunakan oleh masyarakat pesisir di Selat
Malaka seperti Kabupaten Rokan Hilir dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu
alat tangkap yang bersifat statis dan alat tangkap yang bersifat dinamis. Jenis alat
tangkap dinamis meliputi jaring insang (gillnet), jaring udang (trammel net), pukat
cincin, jaring sondong, jaring tuamang dan cantrang (mini trawl), sedangkan alat
tangkap statis meliputi bubu tiang, bubu labuh, pancing rawai dan belat.
Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP RI 571) Selat
Malaka, alat tangkap paling banyak digunakan oleh nelayan untuk menangkap
ikan demersal yang dianggap sebagai alat standar atau alat baku sesuai dengan
data statistik yang ada adalah alat tangkap dogol. Tahun 2003, komposisi armada
yang berbasis di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Belawan terdiri dari Pukat
ikan (fish net) 36%, pukat cincin 50%, gillnet 10% dan sisanya armada lampara
dasar dan pancing. Ditinjau dari ukuran kapal (GT), kapal penangkapan ikan yang
dominan di PPS Belawan adalah kapal pancing yang berukuran kurang dari 10
GT, diikuti oleh kapal yang berukuran antara 100-200 GT, ukuran 50-100 GT dan
30-50 GT (PPS Belawan, 2003).
4.2.3 Daerah penangkapan ikan
Berdasarkan Surat Dirjen Perikanan Nomor IK.120/DJ.1266/90K tentang
perizinan penangkapan ikan di Selat Malaka telah ditetapkan daerah penangkapan
ikan oleh kapal-kapal penangkap ikan adalah di perairan ZEEI Selat Malaka yang
dibatasi oleh garis 4°LU-95°BT dan di luar 12 mil dari pantai. Kenyataan di
lapangan menunjukan bahwa daerah penangkapan ikan oleh kapal penangkap ikan
di perairan tersebut kurang dari 12 mil, terutama pada kedalaman perairan antara
30-50 meter. Hal ini sesuai dengam keberadaan ikan-ikan demersal yang
terkonsentrasi pada kedalaman tersebut. Bulan Desember 1996 menunjukkan
penyebaran ikan demersal seperti kuniran, bawal hitam, layur, tigawaja, kurisi
dapat mencapai perairan di luar 12 mil dari pantai pada kedalaman antara 40-60
meter seperti di sekitar Perairan Pulau Berhala, Pulau Pandan dan Perairan Aceh
Timur (BRPL, 2004).
Perairan Pulau Berhala merupakan daerah penangkapan ikan dengan alat
tangkap seperti pukat apung, purse seine, dan lampara dasar. Daerah penangkapan
49
pukat apung (longbag set net) yang berbasis di Tanjung Balai adalah Perairan
Pulau Berhala, Pulau Salamon, Panipahan, Pulau Jemur, Tanjung Api dan
Tanjung Bagan. Daerah ini mempunyai kedalaman antara 30-50 meter (BRPL,
2003). Bulan Juli 2004 daerah penangkapan dengan menggunakan pukat apung,
banyak dilakukan di sekitar Perairan Panipahan dan Tanjung Api, sedangkan
jaring tuamang (sejenis jaring insang) banyak di operasikan di sekitar Perairan
Tanjung Balai asahan (BRPL, 2004).
4.2.4 Musim penangkapan ikan
Musim penangkapan ikan demersal di Selat Malaka berlangsung antara
bulan Juni sampai dengan bulan Agustus. Fluktuasi hasil tangkapan bulanan
(1997-2002) pukat ikan yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS)
ditampilkan pada Gambar 13. Hasil tangkapan paling rendah terjadi pada bulan
November sampai dengan bulan Desember.
.
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
4500
5000
J F M A M J J A S O N D
Bulan
Pro
du
ksi (t
on
)
Sumber: PPS Belawan, 2003
Gambar 13 Grafik hasil tangkapan rata-rata yang didaratkan di PPS Belawan pada tahun 1997-2002.
Populasi sumberdaya ikan pelagis kecil dan sumberdaya ikan demersal di
perairan ini diduga berasal dari satu unit stok yang merupakan shared stock antara
Indonesia, Malaysia dan Thailand (Sivasubrahmaniam, 1985 in BRPL, 2004).
Perubahan dominasi dan komposisi jenis hasil tangkapan ikan pelagis pada
50
perikanan pukat cincin, awalnya didominasi oleh ikan kembung (R. brachysoma)
dan banyar (R. kanagurta) digantikan oleh ikan layang (Decapterus russelli) dan
banyar (Hariati, 2005 in BRPL, 2006). Pada kurun waktu yang sama telah terjadi
perubahan ukuran kapal yang semula didominasi oleh kapal-kapal ukuaran kecil
(<30GT) dan sedang (30-50GT) menjadi ukuran sedang dan besar (>50GT)
(BRPL, 2004). Periode berikutnya terdapat indikasi adanya peningkatan peran
perikanan skala kecil dalam peningkatan produk komoditas ikan ekspor, terutama
pada perikanan demersal. Namun demikian, faktor-faktor yang mendasari dan
arah perubahan pola dan strategi penangkapan yang terjadi serta struktur
kelimpahan ikan di WPP RI 571 ini belum diketahui secara pasti.
4.2.5 Produksi perikanan
Upaya penangkapan ikan demersal selama periode 1992-2002 di Selat
Malaka cenderung naik terutama setelah tahun 2001 (BPPL, 2004). Kenaikan
upaya tersebut diikuti kenaikan produksi dari tahun ke tahun. Tingkat
pemanfaatan sumberdaya ikan demersal di Perairan Selat Malaka dapat ditinjau
dari indikator stok, misalnya perkembangan CPUE sebagai indeks kepadatan stok,
perubahan komposisi jenis dan struktur ukuran ikan yang tertangkap.
Perkembangan produksi (catch), upaya (effort) dan hasil tangkapan persatuan
upaya (catch perunit of effort, CPUE) di Selat Malaka pada tahun 1992-2002
ditampilkan pada Tabel 2.
Perubahan hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE) dapat menggambarkan
adanya perubahan kelimpahan dari sumberdaya tersebut. Hasil tangkapan
dipengaruhi oleh kemampuan menangkap suatu jenis alat tangkap
(catchability/fishing power). Suatu jenis alat tangkap yang sama tetapi
mempunyai ukuran yang berbeda, berpeluang memberikan hasil tangkapan yang
berbeda pula. Produksi perikanan di selat Malaka beberapa tahun terakhir ini
mengalami penurunan akibat dari kegiatan eksploitasi yang secara terus menerus
dilakukan oleh masyarakat di sekitarnya. Penurunan produksi tersebut juga di
pengaruhi oleh faktor lingkungan di perairan ini yang mengalami pencemaran
akibat kegitan lalu lintas kapal-kapal niaga yang melakukan pelayaran melewati
perairan ini (BRPL, 2004).
51
Tabel 2 Produksi, upaya dan hasil tangkapan per satuan upaya ikan demersal di
Selat Malaka tahun 1992-2002
Tahun Produksi
(ton)
Upaya
(unit)
CPUE
(ton/unit)
1992 116.234,18 12.326 9,43 1993 132.160 14.080 9,39 1994 138.938 11.576 12,00 1995 156.125 13.067 11,95 1996 162.312 15.899 10,21 1997 160.543 15.386 10,43 1998 173.034 15.732 11,00 1999 177.793 16.265 10,93 2000 173.114 15.242 11,36 2001 186.258 14.499 12,85 2002 186.312 16.777 11,11
Sumber: BRPL, 2004
Hasil tangkapan yang didaratkan di PPS Belawan sebagian besar berasal
dari nelayan yang melakukan penangkapan ikan di Perairan Selat Malaka dan
Laut Andaman. Hasil tangkapan tersebut merupakan produksi perikanan di daerah
ini dalam menunjung kegiatan usaha perikanan masyarakat setempat. Jenis
produksi yang dihasilkan dari kegiatan usaha perikanan di PPS Belawan antara
lain produksi olahan, lokal dan ekspor. Hasil olahan terdiri dari ikan asin dan
kering dan produksi perikanan untuk tujuan lokal dalam bentuk segar serta
produksi perikanan untuk tujuan ekspor terdiri dari ikan segar dan beku (PPS
Belawan, 2011). Jumlah dan nilai produksi perikanan di PPS Belawan tahun
2005-2010 ditampilkan pada Tabel 3.
Tabel 3 Jumlah dan nilai produksi perikanan PPS di Belawan 2005-2010
Tahun Jumlah Produksi
(ton) Nilai Produksi Total
(juta) Olahan Lokal Ekspor Total
2005 5.081 59.010 7.364 71.455 1.014.976 2006 16.924 17.839 7.829 42.592 657.644 2007 4.025 23.727 11.382 39.134 575.670 2008 2.934 21.130 16.467 40.531 684.643 2009 12.008 35.509 10.067 57.584 1.000.699 2010 15.319 32.284 13.138 60.741 1.130.628
Sumber: PPS Belawan, 2011
52
Berdasarkan data hasil laporan kegiatan operasional PPS Belawan tahun
2005-2010 menunjukan, bahwa produksi perikanan di daerah ini dari tahun 2005-
2008 mengalami penurunan sangat signifikan, dari 71.455 ton/tahun menjadi
39.134 ton/tahun. Tahun 2009-2010 terjadi peningkatan produksi menjadi 60.741
ton/tahun. Peningkatan jumlah produksi tersebut juga diikuti oleh peningkatan
nilai produksi yang tinggi. Jumlah produksi perikanan pada tahun 2005 sebesar
71.455 ton/tahun dengan nilai produksi sebesar 1.014.976 juta rupiah lebih
rendah dibandingkan dengan nilai produksi tahun 2010 sebesar 1.130.628 juta
rupiah yang memiliki jumlah produksi hanya 60.741 ton/tahun. Pola perubahan
jumlah dan nilai produksi di PPS Belawan tahun 2005-2010 ditampilkan pada
Gambar 14.
Sumber: PPS Belawan, 2011
Gambar 14 Grafik produksi perikanan PPS Belawan 2005-2010.
53
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil
5.1.1 Penyebaran target strength ikan
Target strength (TS) sangat penting dalam pendugaan densitas ikan dengan
metode hidroakustik karena untuk dapat mengetahui ukuran besar kecilnya target
(ikan) diperoleh dari nilai TS-nya. TS berbanding lurus dengan ukuran ikan, yaitu
semakin besar nilai TS maka ukuran ikan juga semakin besar dan semakin kecil
nilai TS maka ukuran ikan juga semakin kecil.
Penyebaran TS rata-rata ikan pelagis per kedalaman menurut waktu dan
lokasi pengamatan di Selat Malaka pada bulan Juni 2008 ditampilkan pada Tabel
4, Gambar 15 dan Gambar 16. Nilai TS rata-rata ikan pelagis pada transek siang
dan malam hari di Selat Malaka terdapat perbedaan, walaupun relatif kecil. Nilai
TS rata-rata pada transek siang hari cenderung meningkat dengan bertambahnya
kedalaman, namun pada kedalaman 4-14 meter nilai TS rata-rata lebih besar
dibandingkan dengan lapisan di bawahnya sampai pada kedalaman 54 meter. Nila
TS yang lebih besar pada transek siang hari terkonsentrasi di lapisan kedalaman
54-74 meter, yaitu berkisar antara -60,34 dB sampai -59,05 dB, sedangkan nilai
TS terkecil yaitu -86,33 dB yang terdapat pada strata kedalaman 14-24 meter.
Nilai TS rata-rata ikan pelagis pada transek malam hari cenderung
meningkat dengan bertambahnya kedalaman. Nilai TS terbesar terkonsentrasi
pada lapisan kedalaman 54-74 meter berkisar antara -63,72 dB sampai -65,60 dB
dan strata kedalaman 94-104 meter sebesar -63,27 dB. Nilai TS ikan pelagis
berdasarkan strata kedalaman pada transek siang hari lebih besar dari pada malam
hari terutama pada lapisan kedalaman 54-74 meter. Hal ini berarti bahwa ikan
pelagis yang terdeteksi pada transek siang hari memiliki ukuran yang lebih besar
dari pada transek malam hari terutama pada lapisan kedalaman 54-74 meter.
54
Tabel 4 Penyebaran vertikal TS (dB) rata-rata ikan pelagis menurut waktu dan
lokasi pengamatan di Selat Malaka pada bulan Juni 2008
Strata Target Strength Rata-rata Ikan Pelagis (dB)
Kedalaman Waktu Lokasi
(meter) Siang Malam Perairan KEPRI *)
Perairan TBAB **)
4-14 -65,38 -73,34 -74,87 -65,38
14-24 -86,33 -72,92 -74,81 -82,55
24-34 -79,81 -70,62 -77,80 -68,59
34-44 -68,93 -67,87 -72,25 -67,06
44-54 -66,14 -67,81 -66,89 -68,53
54-64 -60,34 -60,65 -62,40 -59,74
64-74 -59,05 -63,72 -66,29 -60,53
74-84 -68,90 -67,69 -67,45 -69,14
84-94 -63,73 -67,05 -65,66 -66,41
94-104 -63,67 -63,27 -63,79 -63,72
Rata-rata -56,16 -67,49 -69,22 -67,17 Keterangan: *) KEPRI = Kepualauan Riau
**) TBAB = Tanjung Balai Asahan dan Belawan
Nilai TS ikan pelagis di Perairan Kepulauan Riau berkisar antara -74,87
dB sampai -62,40 dB dengan rata-rata -69,22 dB, sedangkan di Perairan Tanjung
Balai Asahan dan Belawan berkisar antara -82 dB sampai -59,74 dB dengan rata-
rata -67,17 dB. Sebaran nilai TS ikan pelagis secara horizontal di Selat Malaka
dari bagian tenggara yang meliputi Perairan Pulau Karimun Besar, Pulau
Bengkalis, Pulau Rupat dan Perairan Bagan Siapi-api (Kepulauan Riau) ke arah
barat laut (Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan) cenderung meningkat
kecuali pada strata kedalaman 14-24 meter, 74-84 meter dan 84-94 meter dengan
selang perbedaan yang relatif kecil sekitar -2,05 dB. Hal ini berarti bahwa rata-
rata ukuran ikan pelagis di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan lebih
besar dibandingkan dengan Perairan Kepulauan Riau.
55
Gambar 15 Penyebaran vertikal TS (dB) rata-rata ikan pelagis pada transek siang dan malam hari di Selat Malaka pada bulan Juni 2008.
Gambar 16 Penyebaran vertikal TS (dB) rata-rata ikan pelagis di Perairan Kepulauan Riau dan Tanjung Balai Asahan-Belawan, Selat Malaka
pada bulan Juni 2008.
56
Penyebaran nilai TS ikan demersal secara horizontal di Selat Malaka pada
bulan Juni 2008 ditampilkan pada Tabel 5, Tabel 6, Gambar 17 dan Gambar 18.
Nilai TS ikan demersal diperoleh dari kedalaman 3 meter dari dasar perairan
sepanjang transek akustik. Nilai TS ikan demersal pada area penelitian tersebar di
14 leg dari Perairan Kepulauan Riau (bagian tenggara Selat Malaka) ke arah
Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan (bagian barat laut Selat Malaka).
Nilai TS yang terdeteksi menyebar pada kisaran antara -91,55 dB sampai -33,10
dB. Nilai TS terkecil terdapat pada leg ke-2 yang berlokasi di Perairan Kepulauan
Riau sekitar Pulau Bengkalis, sedangkan nilai TS terbesar terdapat pada leg ke-7B
yang berlokasi di Perairan antara Tanjung Balai Asahan dan Belawan.
Tabel 5 Penyebaran horizontal target strength (dB) ikan demersal setiap leg di Perairan Kepulauan Riau, Selat Malaka pada bulan Juni 2008
Leg Target strength (dB)
Minimum Maksimal Rata-rata 1 -84,70 -42,17 -65,77 2 -91,55 -38,82 -68,06 3 -75,45 -38,21 -47,71 4 -78,41 -40,71 -57,84 5 -90,91 -39,55 -64,50 6 -76,28 -38,67 -58,29
7A -77,47 -41,10 -58,86 14B -89,23 -36,69 -60,78
Rata-rata -83,00 -39,49 -60,23
Gambar 17 Penyebaran horizontal nilai TS (dB) rata-rata ikan demersal di
Perairan Kepulauan Riau, Selat Malaka pada bulan Juni 2008.
57
Tabel 6 Penyebaran horizontal nilai target strength (dB) ikan demersal setiap leg
di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan, Selat Malaka pada bulan Juni 2008
Leg Target Strength (dB)
Minimum Maksimal Rata-rata 7B -80,67 -33,10 -57,37 8 -87,21 -48,88 -67,52 9 -78,22 -39,09 -59,26 10 -77,23 -35,83 -58,00 11 -82,46 -47,65 -69,45 12 -76,74 -33,89 -50,93 13 -76,65 -38,34 -51,84
14A -79,61 -40,91 -61,75
Rata-rata -79,85 -39,71 -59,52
Gambar 18 Penyebaran horizontal nilai TS (dB) rata-rata ikan demersal di
Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan, Selat Malaka pada
bulan Juni 2008.
Penyebaran nilai TS rata-rata ikan demersal di Perairan Kepulauan Riau
cenderung lebih kecil dibandingkan dengan di Perairan Tanjung Balai Asahan dan
Belawan. Secara horizontal nilai target strength (TS) terkecil ikan demersal di
perairan Selat Malaka cenderung berada pada perairan dangkal atau mendekati
pantai, sebaliknya nilai TS terbesar cenderung berada di perairan yang lebih
dalam atau menjauhi pantai. Secara alami nilai target strength ikan demersal akan
semakin besar dengan bertambahnya kedalaman perairan (Pujiyati 2008).
58
5.1.2 Penyebaran densitas ikan
Penyebaran densitas rata-rata ikan pelagis (individu/m3) setiap kedalaman
menurut waktu dan lokasi pengamatan di Selat Malaka pada bulan Juni 2008
ditampilkan pada Tabel 7, Gambar 19, Gambar 20 dan Gambar 21. Nilai densitas
ikan pelagis yang terdeteksi baik pada transek siang maupun malam hari
umumnya cenderung menurun dengan bertambahnya kedalaman. Nilai densitas
ikan pelagis pada transek siang hari berkisar antara 0,14-30,76 individu/m3
(terdapat pada strata kedalaman 94-104 dan 4-14 meter), dengan rata-rata sebesar
4,20 individu/m3. Nilai densitas ikan pelagis pada transek malam hari berkisar
antara 0,14-14,74 individu/m3 (terdapat pada strata kedalaman 94-104 dan 4-14
meter ), dengan rata-rata sebesar 2,61 individu/m3. Ikan pelagis yang terdeteksi
pada transek malam maupun siang hari lebih banyak menyebar pada lapisan
kedalaman 4-44 meter dengan jumlah yang berbeda, khususnya pada strata
kedalaman 4-14 meter.
Penyebaran nilai densitas ikan pelagis secara horizontal di Selat Malaka dari
bagian tenggara yang meliputi Perairan Pulau Karimun Besar, Pulau Bengkalis,
Pulau Rupat dan Perairan Bagan Siapi-api (Kepulauan Riau) ke arah barat laut
(Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan) cenderung menurun kecuali pada
strata kedalaman 4-14 meter, dengan selang perbedaan yang cukup besar sekitar
8,46 individu/m3. Nilai densitas ikan pelagis di Perairan Kepulauan Riau berkisar
antara 1,85-32,50 individu/m3 (terdapat pada strata kedalaman 94-104 dan 44-54
meter ), dengan rata-rata 12,63 individu/m3, sedangkan di Perairan Tanjung Balai
Asahan dan Belawan berkisar antara 0,14 individu/m3 (terdapat pada strata
kedalaman 94-104 meter) sampai 30,76 individu/m3 (terdapat pada strata
kedalaman 4-14 meter) dengan rata-rata 4,17 individu/m3. Densitas ikan pelagis di
Perairan Kepulauan Riau paling tinggi terdapat pada lapisan kedalaman 24-54
meter dengan nilai antara 16,31 individu/m3 sampai 32,50 individu/m3, lebih tebal
dibandingkan dengan Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan yang memiliki
nilai densitas tertinggi sebesar 30,76 individu/m3 pada strata kedalaman 4-14
meter.
59
Tabel 7 Penyebaran vertikal densitas rata-rata ikan pelagis (individu/m3) menurut
waktu dan lokasi pengamatan di Selat Malaka bulan Juni 2008
Strata Densitas Rata-rata Ikan Pelagis (individu/m3)
Kedalaman Waktu Lokasi
(meter) Siang Malam Kepulauan Riau Tg. Balai dan Belawan
4-14 30,76 14,74 14,25 30,76
14-24 5,48 6,03 12,05 5,48
24-34 2,43 2,22 16,31 2,26
34-44 1,28 1,12 29,05 1,15
44-54 0,77 0,72 32,50 0,73
54-64 0,42 0,44 13,06 0,44
64-74 0,31 0,31 2,17 0,31
74-84 0,23 0,23 2,76 0,23
84-94 0,18 0,18 2,30 0,18
94-104 0,14 0,14 1,85 0,14
Rata-rata 4,20 2,61 12,63 4,17
Gambar 19 Penyebaran vertikal densitas rata-rata ikan pelagis (individu/m3)
pada transek siang dan malam hari di Selat Malaka bulan Juni 2008.
60
Gambar 20 Penyebaran vertikal densitas rata-rata ikan pelagis (individu/m3) di Perairan Kepulauan Riau dan Tanjung Balai Asahan-Belawan, Selat
Malaka bulan Juni 2008.
Gambar 21 Peta sebaran horizontal densitas total ikan pelagis (individu/m3) di
Perairan Kepulauan Riau dan Tanjung Balai Asahan-Belawan, Selat Malaka pada Juni 2008.
61
Penyebaran nilai densitas rata-rata ikan demersal secara horizontal di Selat
Malaka pada bulan Juni 2008 ditampilkan pada Tabel 8, Tabel 9 dan Gambar 22.
Nilai densitas ikan demersal diperoleh dari kedalaman 3 meter dari dasar perairan
sepanjang transek akustik. Nilai densitas ikan demersal pada area penelitian
tersebar di 14 leg dari Perairan Kepulauan Riau (bagian tenggara Selat Malaka) ke
arah Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan (bagian barat laut Selat
Malaka). Nilai densitas yang terdeteksi menyebar pada kisaran antara 0,13-109,27
individu/m3. Nilai densitas terkecil sebesar 0,13 individu/m3, terdapat pada leg
ke-3 yang berlokasi di Perairan Kepulauan Riau sekitar Pulau Bengkalis,
sedangkan nilai densitas terbesar (109,27 individu/m3), terdapat pada leg ke-8
yang berlokasi di Perairan Belawan. Densitas ikan demersal di Perairan
Kepulauan Riau rata-rata 3,08 individu/m3, sedangkan di Perairan Tanjung Balai
Asahan dan Belawan rata-rata 2,88 individu/m3. Penyebaran densitas ikan
demersal di area penelitian menunjukan penurunan kepadatan dengan
bertambahnya kedalaman perairan. Nilai densitas tertinggi terkonsentrasi di
sekitar perairan dangkal, sedangkan nilai densitas rendah terdapat pada perairan
yang lebih dalam.
Tabel 8 Penyebaran horizontal densitas rata-rata ikan demersal (individu/m3)
setiap leg di Perairan Kepulauan Riau pada bulan Juni 2008
Leg Nilai Densitas (individu/m3)
Minimum Maksimal Rata-rata 1 0,72 5,52 2,24 2 0,51 96,88 5,12 3 0,13 0,46 0,25 4 0,14 37,99 3,03 5 0,14 38,02 4,18 6 0,14 38,02 2,40
7A 0,14 38,02 4,32 14B 0,14 50,98 3,11
Rata-rata 0,26 38,23 3,08
62
Tabel 9 Penyebaran horizontal densitas rata-rata ikan demersal (individu/m3)
setiap leg di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan pada bulan Juni 2008
Leg Nilai Densitas (individu/m3)
Minimum Maksimal Rata-rata 7B 0,14 38,02 1,81 8 0,76 109,27 8,37 9 0,35 38,00 1,67 10 0,14 38,00 1,39 11 0,45 24,37 4,17 12 0,24 38,02 1,85 13 0,17 37,97 2,04
14A 0,15 37,97 1,75
Rata-rata 0,30 45,20 2,88
Gambar 22 Peta sebaran horizontal densitas total ikan demersal (individu/m3) di
Perairan Kepulauan Riau dan Tanjung Balai Asahan-Belawan, Selat
Malaka bulan Juni 2008.
63
5.1.3 Kondisi oseanografi
Karakteristik suatu kolom perairan pada wilayah tertentu memiliki
perbedaan menurut letak geografis dan strata kedalamannya. Perbedaan tersebut
dapat dilihat dengan mudah melalui pembuatan grafik menegak dan melintang
dari profil perairan tersebut. Nilai suhu, salinitas dan pola arus dari suatu
lingkungan perairan merupakan parameter fisik yang sangat mempengaruhi
kondisi ekosistem yang ada di dalamanya.
1) Penyebaran suhu
Berdasarkan hasil pengukuran nilai suhu pada setiap stasiun umumnya tidak
menunjukkan adanya stratifikasi. Beberapa stasiun pengamatan di area yang lebih
dalam terlihat sedikit penurunan suhu pada lapisan kedalaman lebih dari 40 meter.
Penyebaran suhu secara vertikal di perairan Selat Malaka pada bulan Juni 2008
ditampilkan dalam bentuk grafik, sebagai gambaran profil suhu perairan tersebut
dari 32 stasiun pengamatan yang dibagi dalam dua lokasi perairan, yaitu Perairan
Kepulauan Riau dan sekitar Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan.
Penyebaran suhu rata-rata secara vertikal di Perairan Kepulauan Riau (stasiun 1-7
dan stasiun 26-32) dan Perairan Tanjung Balai Asahan-Belawan (stasiun 8-25)
ditampilkan pada Gambar 23.
Penyebaran suhu permukaan air laut di Perairan Kepulauan Riau pada setiap
stasiun variasinya tidak terlalu lebar, berkisar antara 29,25-30,05°C, dengan rata-
rata 29,76°C. Stasiun 1, 4 dan 5 kedalamannya masing-masing mencapai 15 dan
10 meter, sehingga perairan di ketiga tempat ini masih tergolong lapisan
permukaan dengan nilai suhu yang relatif sama. Stasiun 2 dan stasiun 6 terlihat
perubahan suhu yang cenderung menurun dari permukaan hingga kedalaman 10
meter kemudian stabil sampai pada kedalaman 40 meter. Hal ini disebabkan
karena pada kedua stasiun tersebut berada pada lokasi dekat pulau-pulau kecil
dan aliran muara sungai sehingga menyebabkan percampuran air yang bersuhu
tinggi dan rendah yang tidak stabil sehingga pada lapisan permukaan sampai pada
kedalaman 10 meter terjadi perubahan besaran nilai suhu, walaupun tidak terlalu
besar. Pengaruh radiasi sinar matahari dari pinggir pantai sangat mempengaruhi
kehangatan suhu permukaan di daerah tersebut. Stasiun 27 memiliki kisaran suhu
yang hampir sama dari permukaan hingga kedalaman 30 meter. Kondisi ini
64
disebabkan oleh wilayah pada stasiun tersebut berada di daerah yang sangat
sempit dan mendekati pantai sehingga nilai suhu dari permukaan sampai pada
kedalaman 30 meter hampir sama, lebih tebal dibandingkan dengan stasiun
lainnya pada area ini. Kondisi suhu secara vertikal di Perairan Kepulauan Riau
Selat Malaka pada bulan Juni 2008 relatif stabil, walaupun di beberapa stasiun
memperlihatkan perubahan suhu dari permukaan sampai kedalaman tertentu
menurun dengan selang yang relatif kecil.
Penyebaran suhu secara vertikal di Perairan Tanjung Balai Asahan dan
Belawan terjadi secara perlahan seiring dengan bertambahnya kedalaman. Lokasi
pengamatan di beberapa stasiun Tanjung Balai Asahan lebih dalam dibandingkan
dengan Perairan Kepulauan Riau, kedalaman maksimum pada daerah ini terdapat
pada stasiun 23, dengan kedalaman mencapai 60 meter. Kecenderungan
penurunan suhu terlihat stabil dari permukaan sampai dasar. Hal ini disebabkan
pada wilayah ini termasuk perairan yang lebar karena sudah mendekati perairan
Laut Andaman yang memiliki kedalaman lebih dari 100 meter (P2O-LIPI, 2001).
Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan terdapat beberapa stasiun yang
mendekati pantai seperti stasiun 8, 9, 12, 13, 18 dan 19 yang lokasinya mengikuti
transek akustik bentuk zig-zag. Stasiun-stasiun tersebut memiliki nilai suhu yang
tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya pada transek ini. Nilai suhu pada
lokasi ini berkisar antara 29,44-30,17°C. Pengaruh radiasi matahari terhadap
pantai sangat nyata terhadap peningkatan suhu di stasiun tersebut. Stasiun 10, 11,
14-17 dan stasiun 20-23 (trasek akustik zig-zag) di bagian yang menjauhi pantai
suhu sudah mulai menurun walaupun relatif kecil dengan selisih sekitar 0,15°C.
Pengaruh radiasi matahari terhadap pantai yang dipantulkan ke arah lokasi
pengamatan tersebut sudah mulai berkurang. Nilai suhu pada lokasi ini berkisar
antara 29,44-30,12°C.
Stasiun 24, 25 dan 26 posisinya terpisah dengan stasiun lain di Tanjung
Balai Asahan dan Belawan. Pada stasiun ini posisinya mengikuti transek akustik
yang berbentuk tegak lurus yang berada di tengah-tengah Selat Malaka. Stasiun
pengamatan di trasek lurus tersebut perubahan suhu menurut strata kedalaman
pada setiap stasiun memiliki kecenderungan penurunan yang stabil, karena
lokasinya yang sudah menjauhi pantai dimana suhu sudah semakin menurun baik
65
secara vertikal maupun secara horizontal, kecuali stasiun 26 yang lokasinya
mendekati Perairan Kepulauan Riau yang merupakan perairan sempit di selat ini.
Nilai Suhu pada stasiun pengamatan tersebut berkisar antara 29,56-29,96°C.
Secara alami suhu air permukaan merupakan lapisan hangat karena
mendapat radiasi sinar matahari pada siang hari. Intesitas matahari ini akan
semakin berkurang seiring dengan bertambahnya kedalaman sehingga nilai suhu
pun akan cenderung menurun (Nontji, 2005). Suhu yang cenderung homogen
pada lapisan permukaan untuk setiap stasiun di daerah ini terjadi karena adanya
pengadukan lapisan oleh angin, arus dan pasang surut di permukaan.
Perubahan suhu air laut secara vertikal baik di Perairan Kepulauan Riau
maupun sekitar Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan dari lapisan
permukaan hingga pada kedalaman 60 meter, Selat Malaka pada bulan Juni 2008
tidak memperlihatkan indikasi termoklin. Perubahan terjadi secara perlahan dari
lapisan permukaan dengan suhu 29,77°C, kemudian menurun menjadi 29,28°C
pada kedalaman 60 meter. Tidak terdapatnya daerah termoklin di perairan ini
karena kondisi kedalamannya masih tergolong perairan dangkal.
Gambar 23 Sebaran vertikal suhu rata-rata di Perairan Kepulauan Riau dan
Tanjung Balai Asahan-Belawan, Selat Malaka pada bulan Juni 2008.
66
Pola sebaran horizontal suhu permukaan di Perairan Selat Malaka pada
bulan Juni 2008 yang ditampilkan pada Gambar 24, menunjukan bahwa suhu
tertinggi terkonsentrasi pada 4 wilayah yang sebagian besar dimulai dekat pantai
yakni, sekitar Bengkalis (Stasiun 5 dan stasiun 6) dengan suhu berkisar antara
29,85-30,05°C, Bagan Siapi-api (Stasiun 26, 27, 28) berkisar antara 29,86-
30,01°C, Tanjung Balai Asahan (Stasiun 2 dan stasiun 22) dengan suhu sekitar
30,00-30,05°C dan mendekati Belawan (stasiun 9 dan stasiun 10) dengan suhu
berkisar antara 30,12-30,17°C. Penyebaran suhu cenderung semakin rendah
menuju ke arah lepas pantai karena intensitas matahari yang dipantulkan dari
pantai ke arah laut lepas semakin menjauhi pantai semakin berkurang. Selat
Malaka merupakan perairan sempit khususnya di Perairan Kepulauan Riau. Suhu
di perairan ini cenderung meningkat dan mulai berkurang menuju ke arah barat
laut yang berhadapan dengan Laut Andaman.
Suhu rendah di Selat Malaka terkonsentrasi pada beberapa stasiun yang
sudah menjauhi pantai, terutama di Perairan sekitar Tanjung Balai Asahan dan
Belawan yang sebagian besar lokasi stasiunnya berada di perairan luas dan
menjauhi pantai kecuali stasiun 26 yang lokasinya merupakan perbatasan dengan
Perairan Kepulauan Riau yang mengarah ke selat sempit. Suhu permukaan
terendah sebesar 29,25°C terdapat di stasiun 1. Stasiun 1 berada di lokasi dekat
pantai namun suhu permukaan di stasiun ini paling rendah. Hal ini disebabkan
karena adanya aliran sungai yang memasuki lautan sehingga laut menjadi lebih
dingin. Stasiun yang menjauhi pantai rata-rata suhunya lebih rendah dibandingkan
dengan yang mendekat pantai, yaitu berkisar antara 29,27-29,74°C. Secara
keseluruhan hasil pengukuran suhu setiap stasiun (32 stasiun) di Perairan
Kepulauan Riau dan Tanjung Balai Asahan-Belawan, Selat Malaka pada bulan
Juni 2008 dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2.
67
Gambar 24 Pola sebaran suhu permukaan secara horizontal di Perairan Selat Malaka pada bulan Juni 2008.
2) Penyebaran salinitas
Berdasarkan hasil pengukuran nilai salinitas di setiap stasiun pengamatan
memperlihatkan salinitas semakin meningkat seiring dengan bertambahnya
kedalaman perairan, tetapi perubahannya tidak terlalu besar terutama pada
perairan yang memiliki kedalaman yang relatif dangkal (kurang dari 25 meter).
Nilai salinitas minimum pada lapisan permukaan 28,95 psu dan maksimal 32,50
psu dengan rata-rata sebesar 31,05 psu, nilai maksimum sebesar 33,07 psu,
ditemukan pada kedalaman 60 meter di stasiun 23. Penyebaran salinitas rata-rata
secara vertikal di Perairan Kepulauan Riau (stasiun 1-7 dan stasiun 26-32) dan
Tanjung Balai Asahan-Belawan (stasiun 8-25) ditampilkan pada Gambar 25.
Penyebaran salinitas secara vertikal di Perairan Kepulauan Riau cenderung
meningkat dengan bertambahnya kedalaman, dengan perubahan yang relatif kecil,
yaitu berkisar antara 0,02-0,06 psu setiap lapisan kedalaman. Nilai salinitas
minimum dari permukaan sampai dasar terdapat pada stasiun 1 dengan kisaran
28,95-29,05 psu, nilai maksimum terdapat pada stasiun 23 berkisar antara 32,04-
33,05 psu. Rata-rata nilai salinitas di Perairan Kepulauan Riau dari permukaan
sampai dasar (kedalaman 0-40 meter) berkisar antara 29,69-29,89 psu. Salinitas
98° 98.5° 99° 99.5° 100° 100.5° 101° 101.5° 102° 102.5° 103° 103.5° 104°
Bujur Timur
1°
1.5°
2°
2.5°
3°
3.5°
4°
4.5°
5°
Lin
tan
g U
tara
M A L A Y S I A
P . S U M A T E R A
P.Bengkalis
P.Rupat
Bagansiapi
Dumai
P.Padang
Tg.Balai
Belawan
68
rendah rata-rata terdapat di stasiun-stasiun pengamatan Perairan Kepulauan Riau,
hal ini disebabkan karena lokasi tersebut berada dekat dengan pantai dan
merupakan daerah aliran sungai, sehingga pengaruh radiasi matahari dan aliran air
sungai yang masuk ke laut sangat mempengaruhi rendahnya nilai salinitas di area
ini, dengan nilai perubahan yang tidak terlalu signifikan.
Penyebaran salinitas secara vertikal di Perairan Tanjung Balai Asahan dan
Belawan, menunjukan bahwa perubahan nilai salinitas relatif stabil dari lapisan
permukaan sampai pada kedalaman 60 meter. Salinitas minimum pada lapisan
permukaan sebesar 30,91 psu yang terdapat pada stasiun 25, salinitas maksimal
sebesar 32,50 psu terdapat di stasiun 14. Rata-rata nilai salinitas permukaan di
perairan ini sebesar 32,11 psu. Nilai minimum salinitas berdasarkan kedalaman di
area ini sebesar 30,91 psu terdapat pada stasiun 25, sedangkan nilai maksimal
sebesar 33,50 psu terdapat di stasiun 11 pada kedalaman 45 meter dan nilai
salinitas rata-rata sebesar 32,70 psu.
Salinitas di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan rata-rata memiliki
nilai yang tinggi dibandingkan dengan di Perairan Kepulauan Riau. Hal ini
disebabkan karena lokasi Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan berada
lebih jauh dari pinggir pantai sehingga pengaruh radiasi matahari sudah mulai
berkurang, akibatnya salinitas mulai meningkat. Secara vertikal maupun
horisontal perubahan nilai salinitas berbanding terbalik dengan perubahan nilai
suhu, dimana salinitas secara vertikal akan meningkat dengan bertambahnya
kedalaman sedangkan suhu akan menurun seiring dengan bertambahnya
kedalaman. Demikian pula secara horizontal, salinitas akan meningkat menuju ke
arah laut lepas dan menurun apabila mendekati pantai, sedangkan suhu semakin
menjauhi pantai akan menurun dan semakin mendekati pantai, suhu semakin
meningkat. Sebaran salinitas secara vertikal, baik di Perairan Kepulauan Riau
maupun di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan menunjukan perubahan
nilai yang relatif kecil yaitu berkisar antara 28,95-33,07 psu.
69
Gambar 25 Sebaran vertikal salinitas rata-rata di Perairan Kepulauan Riau dan Tanjung Balai Asahan-Belawan, Selat Malaka pada bulan Juni 2008.
Pola sebaran horizontal salinitas permukaan di Perairan Selat Malaka pada
bulan Juni 2008 yang ditampilkan pada Gambar 26, menunjukan bahwa salinitas
rendah terkonsentrasi di wilayah Perairan Kepulauan Riau, dengan kisaran antara
28,95-30,94 psu, rata-rata 29,67 psu. Salinitas tinggi terkonsentrasi di wilayah
Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan, dengan kisaran antara 30,91-33,50
psu, rata-rata 32,70 psu. Perbedaan nilai suhu dari kedua lokasi ini disebabkan
karena di Perairan Kepulauan Riau lokasinya sangat sempit dan berdekatan
dengan pulau-pulau kecil di bagian tenggara Selat Malaka yang merupakan
perairan sempit dari selat ini. Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan
lokasinya berada di perairan bagian barat laut Selat Malaka yang merupakan
perairan lebar dari selat ini dan berbatasan langsung dengan Laut Andaman.
Kondisi demikian sangat berpengaruh dengan nilai salinitas masing-masing lokasi
perairan. Stasiun yang lokasinya menjauhi pantai salinitasnya semakin meningkat,
sebaliknya stasiun yang lokasinya mendekati pantai salinitasnya akan semakin
menurun. Secara keseluruhan hasil pengukuran salinitas setiap stasiun (32 stasiun)
di Perairan Kepulauan Riau dan Tanjung Balai Asahan-Belawan, Selat Malaka
pada bulan Juni 2008 dapat dilihat pada Lampiran 3 dan Lampiran 4.
70
Gambar 26 Pola sebaran salinitas permukaan secara horizontal di Perairan Selat Malaka pada bulan Juni 2008.
Secara umum penyebaran horizontal salinitas di Perairan Selat Malaka pada
bulan Juni 2008, menunjukan bahwa nilai salinitas terendah terdapat pada lokasi
bagian ujung tenggara (Perairan Kepulauan Riau) kemudian cenderung meningkat
ke arah barat laut (Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan).
3) Pola arus
Kecepatan arus umumnya lebih kuat di Perairan Pulau Bengkalis dan Pulau
Karimun Besar (wilayah Perairan Kepulauan Riau), terutama di selat sempit dan
dekat muara sungai dengan arah yang bervariasi. Pengaruh pasang surut sangat
nyata memicu kecepatan arus yang mencapai lebih dari 0,74 m/s. Pada perairan
ini kecepatan arus permukaan umumnya berkisar antara 0,07-0,74 m/s. Kecepatan
arus permukaan minimum sebesar 0,07 m/s di stasiun 7, kecepatan maksimal
mencapai 0,74 m/s di stasiun 6 dan rata-rata mencapai 0,28 m/s. Kecepatan arus
meningkat dengan bertambahnya kedalaman, walaupun relatif kecil karena
kondisi perairan yang masih tergolong dangkal. Kecepatan arus bagian dasar
minimum 0,26 m/s dan maksimal 0,36 m/s dengan rata-rata 0,30 m/s, terdapat di
kedalaman 40 meter. Secara umum di Perairan Pulau Bengkalis dan Pulau
Karimun Besar, Pulau Rupat dan Bagan Siapi-api yang termasuk dalam wilayah
98° 98.5° 99° 99.5° 100° 100.5° 101° 101.5° 102° 102.5° 103° 103.5° 104°
Bujur Timur
1°
1.5°
2°
2.5°
3°
3.5°
4°
4.5°
5°
Lin
tan
g U
tara
M A L A Y S I A
P . S U M A T E R A
P.Bengkalis
P.Rupat
Bagansiapi
Dumai
P.Padang
Tg.Balai
Belawan
71
Perairan Kepulauan Riau, kecepatan arus lebih tinggi dibandingkan dengan
Perairan di Tanjung Balai Asahan dan Belawan. Hal ini disebabkan karena
pengaruh pasang surut yang terjadi di ujung tenggara Selat Malaka sangat tinggi
akibat perairan selat yang sempit.
Arus permukaan di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan memiliki
kecepatan yang relatif lemah, berkisar antara 0,07-0,58 m/s dengan rata-rata 0,21
m/s. Sedangkan arus dasar berkisar antara 0,33-0,36 m/s, rata-rata 0,36 m/s. Dasar
laut Selat Malaka memiliki arus pasang surut yang kuat terjadi dan terbentuk riak-
riakan pasir besar (sand ripples) yang bentuknya sama, bagian puncak searah
dengan arus pasang surut tersebut (Wyrtki, 1961). Pola arus dan sirkulasi massa
air dominan mengalir dari tenggara ke barat laut di kedua musim yang berbeda.
Walaupun demikian pada bagian barat laut yang merupakan bagian yang lebar
dari selat ini pada musim timur dipengaruhi oleh massa air dari Samudera Hindia.
Hasil pengukuran kecepatan dan arah arus setiap stasiun (32 stasiun) di Perairan
Selat Malaka pada bulan Juni 2008 dapat dilihat pada Lampiran 5, Lampiran 6,
Lampiran 7 dan Lampiran 8.
Sumber: Purwandani, 2000
Gambar 27 Pola arus permukaan di Perairan Selat Malaka pada bulan Juni.
72
5.1.4 Hasil tangkapan
1) Jenis dan jumlah hasil tangkapan
Hasil tangkapan yang teridentifikasi pada saat survei akustik di Selat
Malaka bulan Juni 2008 terdiri dari 52 family dan 96 spesies terdapat di Perairan
Kepulauan Riau, 65 family dan 151 spesies di Perairan Tanjung Balai Asahan dan
Belawan masing-masing tergolong dalam 12 dan 11 kelompok sumberdaya ikan,
yaitu ikan hiu (Shark), ikan pari (rays), ikan pelagis, ikan demersal, cumi-cumi
(Cephalopoda), udang, kepiting, kerang (shell) dan beberapa biota lain. Total
family dan spesies ikan berdasarkan hasil tangkapan trawl di Perairan Kepulauan
Riau dan Perairan Tanjung Balai Asahan-Belawan, Selat Malaka pada bulan Juni
2008 ditampilkan pada Tabel 10
Tabel 10 Total family dan spesies ikan berdasarkan hasil tangkapan di Perairan
Selat Malaka pada bulan Juni 2008
No. Komposisi Perairan KEPRI *)
Perairan TBAB **)
1 Kelompok Komoditas 12 11 2 Jumlah Family 52 65 3 Jumlah Spesies 96 151
Keterangan: *) KEPRI = Kepualauan Riau
**) TBAB = Tanjung Balai Asahan dan Belawan
Komposisi sumberdaya ikan berdasarkan kelompok komoditas di Perairan
Kepulauan Riau dan Tanjung Balai Asahan-Belawan, Selat Malaka pada bulan
Juni 2008 ditampilkan pada Tabel 11 dan Tabel 12. Kelompok ikan demersal
berjumlah 70,89% dari total hasil hasil tangkapan berada di Perairan Kepulauan
Riau dan 69,94% di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan. Cephalopoda
yang hanya 0,17% dari total hasil tangkapan di Perairan Kepulauan Riau menjadi
12,60% di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan, dan merupakan hasil
tangkapan kedua terbanyak dari seluruh hasil tangkapan trawl selama survei.
73
Tabel 11 Komposisi sumberdaya ikan berdasarkan kelompok komoditas di
Perairan Kepulauan Riau
No. Perairan Kepulauan Riau
Kelompok Berat (kg) Presentase (%)
1 Demersal 136,11 70,89 2 Rays 21,74 11,32 3 Pelagic 17,00 8,86 4 Shrimp 6,29 3,27 5 Sharks 5,42 2,82 6 Sea cucumber 2,44 1,27 7 Sea urchin 1,68 0,88 8 Crabs 0,44 0,23 9 Cephalopoda 0,33 0,17 10 Sea star 0,25 0,13 11 Gastropoda 0,22 0,11 12 Jelly fish 0,08 0,04
Jumlah 191,99 100
Tabel 12 Komposisi sumberdaya ikan berdasarkan kelompok komoditas di
Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan
No. Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan
Kelompok Berat (kg) Presentase (%) 1 Demersal 221,84 69,94 2 Cephalopoda 39,98 12,60 3 Rays 30,76 9,70 4 Crabs 9,15 2,88 5 Shrimp 5,39 1,70 6 Pelagic 3,84 1,21 7 Sea urchin 2,22 0,70 8 Shark 1,50 0,47 9 Sea cucumber 1,28 0,40 10 Gastropoda 0,91 0,29 11 Sea star 0,30 0,09
Jumlah 317,18 100
Sumberdaya ikan demersal dominan menurut family berdasarkan hasil
tangkapan trawl di Perairan Kepulauan Riau dan Tanjung Balai Asahan-Belawan,
Selat Malaka pada bulan Juni 2008 ditampilkan pada Tabel 13 dan Tabel 14.
Dominasi maupun komposisi family ikan demersal terlihat berbeda antara Perairan
Kepulauan Riau dan Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan. Hasil
tangkapan trawl yang diperoleh menunjukkan bahwa family Scianidae
mendominasi sumberdaya ikan demersal di Perairan Kepulauan Riau sebesar
74
26,95%, diikuti oleh family Pomadasidae, Dasyatidae, dan Tetraodontidae.
Family Clupeidae dan Engraulidae. Family Mullidae yang sangat jarang
keberadaannya di Perairan Kepulauan Riau, mendominasi sumberdaya ikan
demersal di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan sebesar 20,02%.
Tabel 13 Sumberdaya ikan demersal dominan menurut family berdasarkan hasil
tangkapan di Perairan Kepulauan Riau
No. Perairan Kepulauan Riau
Family Berat (kg) Presentase (%) 1 Scianidae 43,99 26,95 2 Pomadasidae 33,46 20,50 3 Dasyatidae 29,21 17,90 4 Tetraodontidae 26,85 16,45 5 Clupeidae 13,29 8,14 6 Engraulidae 12,08 7,40 7 Lain-lain 3,16 2,66
Jumlah 163,22 100
Tabel 14 Sumberdaya ikan demersal dominan menurut family berdasarkan hasil tangkapan di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan
No. Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan
Family Berat (Kg) Presentase (%)
1 Mullidae 53,01 20,02 2 Loligonidae 39,79 15,03 3 Synodontidae 32,75 12,37 4 Dasyatidae 31,46 11,88 5 Nemipteridae 29,19 11,02 6 Tetraodontidae 24,56 9,27 7 Siganidae 17,53 6,62 8 Platycephalidae 15,86 5,99 9 Apogonidae 14,52 5,48
10 Lain-lain 6,14 2,32
Jumlah 264,80 100
Sumberdaya ikan demersal dominan menurut spesies berdasarkan hasil
tangkapan trawl di Perairan Kepulauan Riau dan Perairan Tanjung Balai Asahan-
Belawan, Selat Malaka pada bulan Juni 2008 di tampilkan pada Tabel 15 dan
Tabel 16. Berdasarkan spesies, Pomadasys hasta jumlahnya 24,24% dari total
kelompok ikan demersal di Perairan Kepulauan Riau, diikuti oleh Arothron sp,
Johnius grypotus, Dasyatis kuhli, Nibea mitsukurii dan Harpadon nehereus, dan
spesies lainnya kurang dari 5%. Loligo sp menunjukkan persentase tertinggi di
75
Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan, sebesar 19,71% dari total kelompok
ikan demersal yang tertangkap, diikuti Upeneus sundaicus, Dasyatis kuhli,
Lagocephalus inermis, Upeneus sulphureus, Saurida undosquamis dan Siganus
canaliculatus serta spesies lainnya kurang dari 5%.
Tabel 15 Sumberdaya ikan demersal dominan menurut spesies berdasarkan hasil
tangkapan di Perairan Kepulauan Riau
No. Perairan Kepulauan Riau
Spesies Berat (Kg) Presentase (%)
1 Gerot-gerot (Pomadasys hasta) 33,00 24,24 2 Buntal (Arothron nigropuncatatus) 26,96 19,81 3 Gulam (Johnius grypotus) 22,45 16,49 4 Pari (Dasyatis kuhli) 16,70 12,27 5 Tigawaja (Nibea mitsukurii ) 16,16 11,87 6 Nomei (Harpadon nehereus) 14,74 10,83 7 Lain-lain 6,11 4,49
Jumlah 136,10 100
Tabel 16 Sumberdaya ikan demersal dominan menurut spesies berdasarkan hasil tangkapan di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan
No. Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan
Spesies Berat (Kg) Presentase (%) 1 Cumi-cumi (Loligo sp) 37,39 19,71 2 Kuniran (Upeneus sundaicus) 22,84 12,04 3 Pari (Dasyatis kuhli) 22,50 11,85 4 Buntal (Lagocephalus inermis) 20,49 10,80 5 Kuniran (Upeneus sulphureus) 19,95 10,52 6 Beloso (Saurida undosquamis) 18,49 9,74 7 Baronang (Siganus canaliculatus) 16,83 8,87 8 Kurisi (Nemipterus peroni) 12,07 6,36 9 Beloso (Saurida micropectoralis) 10,20 5,38
10 Lain-lain 8,95 4,72
jumlah 189,72 100
2) Ukuran ikan
Identifikasi ikan pelagis pada penelitian ini tidak dilakukan karena kegiatan
penangkapan hanya terfokus pada ikan demersal. Pendugaan ukuran dan jenis
ikan pelagis hanya dilakukan dengan metode split beam acoustic system. Panjang
rata-rata ikan demersal hasil tangkapan trawl pada saat survei hidroakustik di
Perairan Kepulauan Riau dan Perairan Tanjung Balai Asahan-Belawan, Selat
76
Malaka pada bulan Juni 2008 ditampilkan pada Tabel 17 dan Tabel 18. Panjang
rata-rata ikan demersal hasil tangkapan trawl di Perairan Kepulauan Riau sebesar
22,82 cm, sedangkan dugaan panjang rata-rata ikan demersal menurut formula
Foote (1987) sebesar 25,15 cm. Panjang rata-rata ikan demersal hasil tangkapan
trawl di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan sebesar 23,18 cm,
sedangkan dugaan panjang rata-rata ikan demersal menurut formula Foote (1987)
sebesar 25,59 cm. Hal demikian menunjukan bahwa ikan yang tertangkap oleh
trawl di Perairan Kepulauan Riau lebih kecil dibandingkan di perairan Tanjung
Balai Asahan dan Belawan.
Tabel 17 Komposisi panjang rata-rata ikan demersal hasil tangkapan trawl dan
dugaan panjang rata-rata berdasarkan survei akustik di Perairan Kepulauan Riau, Selat Malaka pada bulan Juni 2008
No. Perairan Kepulauan Riau
Spesies L (cm)
1 Gerot-gerot (Pomadasys hasta) 32,14 2 Buntal (Arothron nigropunctatus,) 21,36 3 Gulama (Johnius grypotus) 30,25 4 Pari (Dasyatis kuhli) 16,39 5 Tigawaja (Nibea mitsukurii ) 18,27 6 Nomei (Harpadon nehereus) 18,50 Panjang Rata-rata Hasil Tangkapan Trawl 22,82 Dugaan Panjang Ikan Demersal Menurut Formula Foote (1987) 25,12
Tabel 18 Komposisi panjang rata-rata ikan demersal hasil tangkapan trawl dan
dugaan panjang rata-rata berdasarkan survei akustik di Perairan
Tanjung Balai Asahan dan Belawan, Selat Malaka pada bulan Juni 2008
No. Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan
Spesies L (cm) 1 Cumi-cumi (Loligo sp) 17,60
2 Kuniran (Upeneus sundaicus) 18,61 3 Pari (Dasyatis kuhli) 20,57 4 Buntal (Lagocephalus inermis) 16,18 5 Kuniran (Upeneus sulphureus) 19,36 6 Beloso (Saurida undosquamis) 31,75 7 Baronang (Siganus canaliculatus) 25,14 8 Kurisi (Nemipterus peroni) 24,16 9 Beloso (Saurida micropectoralis) 35,20
Panjang Rata-rata Hasil Tangkapan Trawl 23,18 Dugaan Panjang Ikan Demersal Menurut Formula Foote (1987) 25,59
77
5.1.5 Pemetaan daerah penangkapan ikan
Berdasarkan hasil survei akustik di Selat Malaka pada bulan Juni 2008
diperoleh peta daerah penangkapan ikan pelagis dan demersal di 14 leg sepanjang
transek akustik dari Kepulauan Riau (tenggara Selat Malaka) sampai Perairan
Tanjung Balai Asahan dan Belawan (bagian barat laut Selat Malaka). Peta
tersebut berdasarkan dua indikator penentuan daerah penangkapan ikan yang telah
ditetapkan (nilai TS dan densitas ikan), yang terdiri dari dua klasifikasi, yaitu
daerah penangkapan ikan sedang dan kurang potensial.
Daerah penangkapan ikan pelagis yang memiliki potensi sedang di Perairan
Kepulauan Riau menyebar pada kedalaman 24-54 meter yang terletak di bagian
timur Pulau Bengkalis, sedangkan DPI kurang potensial menyebar pada
kedalaman 4-24 meter yang terletak antara Pulau Karimun Besar dan Pulau
Panjang, dan sekitar Pulau Rupat. Daerah penangkapan ikan pelagis yang
memiliki potensi sedang di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan
menyebar pada kedalaman 4-14 meter dan 54-74 meter yang terletak di bagian
utara dan barat laut Bagan Siapi-api, utara Tanjung Balai Asahan, dan timur
Perairan Belawan, sedangkan DPI kurang potensial menyebar pada kedalaman 14-
54 meter yang terletak di bagian barat laut Perairan Tanjung Balai Asahan.
Daerah penangkapan ikan demersal yang memiliki potensi sedang di
Perairan Kepulauan Riau terletak di sekitar Perairan Pulau Bengkalis, timur Pulau
Rupat dan utara Bagan Siapi-api yang menyebar pada kedalaman 30-50 meter,
sedangkan DPI kurang potensial terletak di sekitar Perairan Karimun Besar dan
timur Pulau Rupat yang menyebar pada kedalaman 15-25 meter. Daerah
penangkapan ikan demersal yang memiliki potensi sedang di Perairan Tanjung
Balai Asahan dan Belawan terletak di bagian timur Perairan Tanjung Balai
Asahan dan bagian tenggara dan utara Perairan Belawan yang menyebar pada
kedalaman 30-60 meter, sedangkan DPI kurang potensial terletak di bagian
tenggara Perairan Tanjung Balai Asahan yang menyebar pada kedalaman 20-40
meter. Hal ini sesuai dengan keberadaan ikan demersal yang terkonsentrasi pada
kedalaman tersebut. Pemetaan daerah penangkapan ikan dengan menggunakan
metode hidroakustik di Selat Malaka pada bulan Juni 2008 ditampilkan pada
Tabel 19, Tabel 20 dan Gambar 28.
78
Tabel 19 Klasifikasi daerah penangkapan ikan pelagis di Selat Malaka pada bulan Juni 2008
Leg Posisi Indikator Bobot
Total
Klasifikasi
DPI TS (dB) Bobot Densitas (individu/m3) Bobot
1
2
3
4
5
6
7A
7B
8
9
10
11
12
13
14A
14B
0° 08' 400" dan 103° 12' 800" ~ 1° 00' 750" dan 103° 08' 433"
1° 00' 850" dan 103° 08' 367" ~ 1° 06' 217" dan 102° 10' 267"
2° 00' 433" dan 102° 13' 700" ~ 2° 02' 967" dan 101° 11' 600"
2° 02' 967" dan 101° 11' 600" ~ 2° 05' 600" dan 101° 09' 233"
2° 05' 650" dan 101° 09' 183" ~ 2° 08' 500" dan 101° 06' 600"
2° 08' 500" dan 101° 06' 600" ~ 2° 09' 983" dan 101° 04' 600"
2° 10' 050" dan 101° 04' 483" ~ 2° 13' 033" dan 101° 00' 333"
3° 15' 850" dan 100° 08' 008" ~ 3° 15' 317" dan 098° 13' 042"
3° 14' 333" dan 098° 12' 040" ~ 4° 02' 083" dan 099° 00' 083"
4° 03' 100" dan 099° 00' 093" ~ 3° 11' 433" dan 099° 04' 063"
3° 12' 617" dan 099° 04' 037" ~ 3° 12' 067" dan 099° 09' 000"
3° 11' 367" dan 099° 09' 002" ~ 3° 09' 300" dan 099° 11' 092"
3° 09' 750" dan 099° 12' 045" ~ 3° 07' 900" dan 100° 00' 013"
3° 07' 800" dan 100° 00' 020" ~ 3° 00' 450" dan 100° 10' 052"
3° 00' 450" dan 100° 10' 052" ~ 2° 13' 400" dan 100° 16' 062"
2° 13' 317" dan 101° 00' 005" ~ 0° 13' 233" dan 103° 10' 022"
< -60 dB
< -60 dB
< -60 dB
< -60 dB
< -60 dB
< -60 dB
< -60 dB
-60 ~ -57 dB
< -60 dB
< -60 dB
-60 ~ -57 dB
< -60 dB
< -60 dB
-60 ~ -57 dB
-60 ~ -57 dB
< -60 dB
2
2
2
2
2
2
2
3
2
2
3
2
2
3
3
2
< 3
< 3
< 3
< 3
< 3
< 3
< 3
3-5
< 3
3-5
3-5
< 3
< 3
< 3
3-5
>5
2
2
2
2
2
2
2
3
2
3
3
2
2
2
3
4
4
4
4
4
4
4
4
6
4
5
6
4
4
5
6
6
Kurang
Kurang
Kurang
Kurang
Kurang
Kurang
Kurang
Sedang
Kurang
Sedang
Sedang
Kurang
Kurang
Kurang
Sedang
Sedang
79
Tabel 20 Klasifikasi daerah penangkapan ikan demersal di Selat Malaka pada bulan Juni 2008
Leg Posisi Indikator Bobot
Total
Klasifikasi
DPI TS (dB) Bobot Densitas (individu/m3) Bobot
1
2
3
4
5
6
7A
7B
8
9
10
11
12
13
14A
14B
0° 08' 400" dan 103° 12' 800" ~ 1° 00' 750" dan 103° 08' 433"
1° 00' 850" dan 103° 08' 367" ~ 1° 06' 217" dan 102° 10' 267"
2° 00' 433" dan 102° 13' 700" ~ 2° 02' 967" dan 101° 11' 600"
2° 02' 967" dan 101° 11' 600" ~ 2° 05' 600" dan 101° 09' 233"
2° 05' 650" dan 101° 09' 183" ~ 2° 08' 500" dan 101° 06' 600"
2° 08' 500" dan 101° 06' 600" ~ 2° 09' 983" dan 101° 04' 600"
2° 10' 050" dan 101° 04' 483" ~ 2° 13' 033" dan 101° 00' 333"
3° 15' 850" dan 100° 08' 008" ~ 3° 15' 317" dan 098° 13' 042"
3° 14' 333" dan 098° 12' 040" ~ 4° 02' 083" dan 099° 00' 083"
4° 03' 100" dan 099° 00' 093" ~ 3° 11' 433" dan 099° 04' 063"
3° 12' 617" dan 099° 04' 037" ~ 3° 12' 067" dan 099° 09' 000"
3° 11' 367" dan 099° 09' 002" ~ 3° 09' 300" dan 099° 11' 092"
3° 09' 750" dan 099° 12' 045" ~ 3° 07' 900" dan 100° 00' 013"
3° 07' 800" dan 100° 00' 020" ~ 3° 00' 450" dan 100° 10' 052"
3° 00' 450" dan 100° 10' 052" ~ 2° 13' 400" dan 100° 16' 062"
2° 13' 317" dan 101° 00' 005" ~ 0° 13' 233" dan 103° 10' 022"
< -60 dB
< -60 dB
> -57 dB
-60 ~ -57 dB
< -60 dB
-60 ~ -57 dB
-60 ~ -57 dB
-60 ~ -57 dB
< -60 dB
-60 ~ -57 dB
-60 ~ -57 dB
< -60 dB
> -57 dB
> -57 dB
< -60 dB
< -60 dB
2
2
4
3
2
3
3
3
2
3
3
2
4
4
2
2
< 3
> 5
< 3
3-5
3-5
< 3
3-5
< 3
> 5
< 3
< 3
3-5
< 3
< 3
< 3
< 3
2
3
2
3
3
2
3
2
4
2
2
3
2
2
2
2
4
5
6
6
5
5
6
5
6
5
5
5
6
6
4
4
Kurang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Kurang
Kurang
80
Gambar 28 Peta daerah penangkapan ikan di Selat Malaka pada bulan Juni 2008.
81
5.2 Pembahasan
5.2.1 Hubungan target strength dan ukuran ikan
Dugaan panjang rata-rata ikan demersal dari data hidroakustik split beam
echosounder diperoleh dengan menggunakan formula Foote (1987). Pemilihan
formula Foote (1987) didasarkan pada nilai normalisasi TS (A) dalam persamaan
umum, hubungan antara TS dengan panjang ikan (L), yaitu TS = 20 Log(L) + A.
Menurut Foote (1987) in Arnaya (1991), persamaan ini dapat menjelaskan
mengenai gambaran kasar dari ukuran ikan. Hubungan nilai TS dengan panjang
ikan (L) dapat berbeda-beda sesuai dengan jenis ikan. Umumnya untuk ikan yang
memiliki gelembung renang tertutup (physoclist) mempunyai nilai A sebesar -67,5
dB, ikan dengan gelembung renang terbuka (physostomes) mempunyai nilai A
sebesar -71,9 dB dan ikan tanpa gelembung renang (bladderless fish) sebesar -
80,0 dB (Foote, 1987 in Arnaya, 1991). Jenis ikan hasil tangkapan trawl pada saat
survei akustik umumnya memiliki gelembung renang tertutup (physoclist). Hasil
tangkapan trawl yang diperoleh dalam penelitian ini sebagian besar ikan-ikan
demersal (91,14%), sedangkan ikan pelagis hanya (8,86%) dari total hasil
tangkapan selama survei, sehingga hasil tangkapan ikan pelagis tidak dilakukan
pengukuran panjang untuk verifikasi dengan data hidroakustik.
Nilai TS ikan pelagis di lokasi penelitian, pada transek siang maupun malam
hari cenderung meningkat dengan bertambahnya kedalaman. Kecenderungan
meningkatnya nilai TS dengan meningkatnya kedalaman perairan disebabkan oleh
meningkatnya ukuran ikan. Hal demikian menandakan bahwa ikan-ikan yang
berukuran lebih kecil menyebar di bagian lapisan permukaan, sedangkan ikan
yang berukuran lebih besar menyebar di lapisan perairan yang lebih dalam.
Keberadaan ikan-ikan pelagis tersebut berkaitan dengan pola tingkah laku makan
ikan sebagaimana diutarakan oleh Nelson dan Dark (1986), bahwa ikan-ikan yang
lebih kecil umumnya memangsa plankton di lapisan permukaan, sedangkan ikan-
ikan yang lebih besar mencari makan tidak hanya terbatas di lapisan permukaan
dan kolom perairan, tetapi juga mencari mangsa lain yang berada di lapisan
perairan yang lebih dalam.
Nilai TS ikan pelagis yang terdeteksi pada transek siang hari terkonsentrasi
pada strata kedalaman 4-14 meter, sedangkan pada transek malam hari
82
terkonsentrasi pada strata kedalaman 54-74 meter. Kisaran penyebaran nilai TS
pada transek malam hari lebih tebal dibandingkan dengan siang hari, hal ini
dipengaruhi oleh perubahan tingkah laku ikan pada periode terang dan gelap,
sebagaimana dikemukakan oleh Laevastu dan Hayes (1981), bahwa pada waktu
siang hari ikan pelagis cenderung bergerombol di permukaan, sedangkan pada
malam hari mereka lebih menyebar secara merata/homogen di kolom perairan.
Nilai TS ikan yang lebih besar di strata kedalaman 94-104 meter pada waktu
malam hari, diduga merupakan nilai TS dari ikan demersal, dimana tingkah laku
makan ikan demersal pada waktu malam hari menyebar merata pada lapisan
kolom perairan (midwater), sedangkan pada siang hari umumnya berkumpul di
dasar perairan (Burczynski et al., 1987).
Berdasarkan pola penyebaran nilai TS ikan pelagis secara vertikal tersebut
di atas dapat dihubungkan dengan potensi keberadaan sumberdaya ikan yang
potensial dalam operasi penangkapan ikan. Siang hari ikan-ikan pelagis lebih
terkonsentarsi pada lapisan permukaan sehingga pengoperasian alat tangkap dapat
dilakukan dengan baik pada lapisan tersebut seperti jenis alat tangkap pukat cincin
(purse seine). Malam hari ikan pelagis terkonsentrasi pada lapisan kolom perairan
(54-74 meter) bersama dengan ikan demersal yang melakukan aktivitas pada
malam hari, sehimgga alat tangkap sangat baik dioperasikan pada kedalaman
tersebut.
Secara horizontal penyebaran nilai TS ikan pelagis dari Perairan Kepulauan
Riau (bagian tenggara Selat Malaka) ke arah Perairan Tanjung Balai Asahan dan
Belawan (bagian barat laut Selat Malaka) cenderung meningkat. Hal ini berarti
bahwa rata-rata ukuran ikan pelagis di Perairan Tanjung Balai Asahan dan
Belawan lebih besar dibandingkan dengan Perairan Kepulauan Riau. Keadaan ini
sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan yang berbeda di kedua wilayah tersebut.
Perairan Kepulauan Riau termasuk perairan dangkal, sedangkan Perairan Tanjung
Balai Asahan dan Belawan merupakan perairan dalam yang berbatasan langsung
dengan Laut Andaman. Selain itu Maclennan et al, (1990) menyatakan bahwa
perubahan variasi nilai TS mungkin disebabkan oleh perubahan nilai distribusi
secara horizontal oleh ikan itu sendiri.
83
Nilai TS rata-rata ikan demersal di Perairan Kepulauan Riau lebih kecil
dibandingkan dengan Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan. Perbedaan ini
dipengaruhi oleh kedalaman perairan di kedua lokasi tersebut, dimana Perairan
Kepulauan Riau termasuk perairan dangkal, sedangkan Perairan Tanjung Balai
Asahan dan Belawan merupakan perairan yang lebih dalam. Hal demikian
menunjukan bahwa nilai TS ikan demersal yang lebih kecil cenderung berada
pada perairan dangkal atau mendekati pantai, sebaliknya nilai TS yang lebih besar
cenderung berada di perairan yang lebih dalam atau menjauhi pantai, sebagaimana
dikemukakan oleh Pujiyati (2008), bahwa nilai TS ikan demersal akan semakin
besar dengan bertambahnya kedalaman perairan. Selain hal tersebut di atas
perbedaan nilai TS ikan demersal juga dipengaruhi oleh jenis ikan di Perairan
Kepulauan Riau berbeda dengan jenis ikan di Perairan Tanjung Balai Asahan dan
Belawan. Habitat ikan demersal yang berada di dekat dasar perairan
mengakibatkan koreksi hasil deteksi akustik terhadap ikan demersal memerlukan
ketelitian yang tinggi agar echo dari ikan demersal tidak bercampur dengan echo
yang berasal dari dasar perairan. Hal ini dapat dilakukan dengan menghilangkan
echo yang bersasal dari dasar perairan melalui koreksi bottom noise pada saat
analisis data ikan demersal.
Berdasarkan data hidroakustik split beam echosounder diperoleh dugaan
panjang rata-rata ikan demersal di Perairan Kepulauan Riau sebesar 25,12 cm dan
panjang rata-rata hasil tangkapan trawl sebesar 22,82 cm, sedangkan di Perairan
Tanjung Balai Asahan dan Belawan dugaan panjang rata-rata ikan demersal hasil
deteksi hidroakustik sebesar 25,59 cm dan panjang rata-rata hasil tangkapan trawl
sebesar 23,18 cm. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh metode pengambilan
contoh, sistem pengoperasian alat tangkap (trawl) dan pengoperasian transducer
di bawah permukaan laut. Pengambilan contoh TS sulit dilakukan secara
bersamaan dengan proses penangkapan, karena pengoperasian trawl hanya
dilakukan pada waktu-waktu tertentu saja dan terbatas pada perairan dengan
kedalaman maksimal 60 meter, sedangkan deteksi hidroakustik dilakukan sampai
pada dasar perairan sepanjang jalur pelayaran. Hal demikian mengakibatkan ikan
yang terdeteksi pada perairan yang memiliki kedalaman lebih dari 60 meter tidak
84
ikut tertangkap oleh trawl, sehingga data hasil tangkapan trawl yang ada tidak
mewakili seluruh data hasil deteksi dari hidroakustik split beam echosounder.
Pengoperasian transducer di bawah permukaan laut yang mencapai
kedalaman sampai 1,5 meter dari lunas kapal, dimana badan kapal yang trendam
air ±2,5 meter, sehingga total lapisan perairan yang dapat terdeteksi oleh pancaran
beam akustik secara vertikal mulai dari kedalaman 4 meter. Hal demikian
mengakibatkan ikan-ikan yang berada pada lapisan kedalaman 0-4 meter tidak
terdeteksi oleh transducer.
5.2.2 Densitas dan penyebaran ikan
Densitas dan penyebaran ikan pelagis baik pada transek siang maupun
malam hari cenderung menurun dengan bertambahnya kedalaman. Tingginya
densitas ikan pada lapisan permukaan, disebabkan karena ikan cenderung mencari
tempat dengan fluktuasi yang rendah sehingga tidak memerlukan usaha yang berat
untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Densitas ikan pelagis pada transek
siang dan malam hari mulai dari kedalaman 14 meter sampai 104 meter
mengalami perubahan nilai yang relatif sama, akan tetapi pada lapisan permukaan
(strata kedalaman 4-14 meter), densitas ikan pelagis yang terdeteksi pada siang
hari lebih besar dibandingkan dengan malam hari. Perbedaan nilai densitas ini
disebabkan oleh aktivitas ikan yang berbeda pada waktu siang dan malam hari.
Pola tingkah laku ikan pelagis terhadap periode terang dan gelap telah
dikemukakan oleh Laevestu dan Hayes (1981), bahwa pada waktu siang hari ikan
pelagis cenderung bergerombol di permukaan, sedangkan pada malam hari
mereka lebih menyebar secara merata/homogen di kolom perairan. Keadaan
tersebut mengakibatkan konsentrasi penyebaran ikan pelagis di lapisan permukaan
pada siang hari lebih tinggi dibandingkan dengan malam hari.
Densitas ikan pelagis tertinggi di Perairan Kepulauan Riau terkonsentrasi
pada kedalaman 4-54 meter, sedangkan Perairan Tanjung Balai Asahan dan
Belawan terkonsentrasi pada strata kedalaman 4-14 meter. Secara horizontal
penyebaran densitas ikan pelagis dari Perairan Kepulauan Riau (bagian tenggara
Selat Malaka) ke arah Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan (bagian barat
laut Selat Malaka) cenderung menurun dengan perbedaan yang cukup tinggi
sekitar 8,46 individu/m3. Perbedaan densitas ini dipengaruhi oleh kesuburan
85
Perairan Kepulauan Riau lebih tinggi dibandingkan dengan Perairan Tanjung
Balai Asahan dan Belawan, sesuai dengan hasil penelitian BRPL (2004),
disebutkan bahwa penyebaran kandungan oksigen terlarut dari barat laut ke arah
tenggara Perairan Selat Malaka semakin meningkat dan keberadaan fitoplankton
serta zooplakton lebih tinggi di Perairan Kepulauan Riau daripada Perairan
Tanjung Balai Asahan dan Belawan, tetapi di Perairan Belawan pada bagian yang
mengarah ke Laut Andaman memiliki tingkat kesuburan perairan dominan tinggi
dibandingkan dengan lokasi lainnya di wilayah ini. Keadaan tersebut
mengakibatkan konsentrasi ikan pelagis di Perairan Kepulauan Riau rata-rata
lebih tinggi dibandingkan dengan perairan Belawan.
Densitas ikan pelagis pada strata kedalaman 4-14 meter di Perairan Tanjung
Balai Asahan dan Belawan lebih tinggi dibandingkan dengan Perairan Kepulauan
Riau. Hal ini menunjukan bahwa pada saat survei hidroakustik di Perairan
Tanjung Balai Asahan dan Belawan pada strata kedalaman 4-14 meter terdapat
kelompok ikan pelagis dalam jumlah yang banyak dengan volume perairan yang
kecil karena bentuk pancaran beam yang berbentuk kerucut pada bagian atas.
Densitas ikan pelagis pada lapisan kedalaman 24-54 meter di Perairan Kepulauan
Riau lebih tinggi dibandingkan dengan Perairan Tanjung Balai Asahan dan
Belawan. Hal ini sangat dipengaruhi oleh tingkat kesuburan perairan yang tinggi
di Kepulauan Riau pada lapisan kedalaman tersebut (BRPL, 2004) dan jenis ikan
pelagis di Perairan Kepulauan Riau berbeda dengan jenis ikan pelagis yang ada di
Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan.
Berdasarkan nilai densitas dan penyebaran ikan pelagis sebagaimana
disebutkan di atas, maka dapat dihubungkan dengan metode operasional
penangkapan ikan yang dilakukan untuk mendapatkan lokasi atau daerah
penangkapan ikan yang baik berkaitan dengan keberadaan sumberdaya ikan
sebagai target utama dalam kegiatan penangkapan ikan. Daerah penangkapan ikan
yang baik di Perairan Kepulauan Riau berdasarkan hal tersebut di atas adalah pada
lapisan kedalaman perairan 24-54 meter, sedangkan di Perairan Tanjung Balai
Asahan dan Belawan berada pada lapisan kedalaman 4-14 meter. Jenis alat
tangkap yang dapat dioperasikan pada kedalaman perairan tersebut adalah purse
seine dan pancing.
86
Densitas ikan demersal di Perairan Kepulauan Riau rata-rata lebih tinggi
dibandingkan dengan Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan, tetapi pada
leg 8 yang berlokasi di Perairan Belawan densitas ikan demersal yang terdeteksi
lebih tinggi dibandingkan dengan 13 leg lainya. Hal ini sangat dipengaruhi oleh
kesuburan perairan pada lokasi tersebut, sesuai dengan hasil pengamatan yang
dilakukan oleh BRPL (2004), disebutkan bahwa wilayah yang berlokasi di
Perairan Belawan bagian yang mengarah ke Laut Andaman memiliki kesuburan
perairan dominan tinggi dibandingkan lokasi lainnya di wilayah ini. Selain hal
tersebut di atas perbedaan densitas ikan juga dipengaruhi oleh jenis ikan demersal
di Perairan Kepulauan Riau berbeda dengan jenis ikan demersal yang ada di
Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan. Jenis ikan demersal di Perairan
Kepulauan Riau didominasi oleh jenis ikan-ikan yang lebih kecil dari family
Scianidae, sedangkan di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan didominasi
oleh ikan-ikan demersal yang lebih besar dari family Mullidae.
Penyebaran densitas ikan demersal di daerah penelitian menunjukan
penurunan kepadatan dengan bertambahnya kedalaman perairan. Ikan demersal di
Perairan Kepulauan Riau tersebar pada kedalaman 20-60 meter. Nilai densitas
ikan demersal tertinggi terkonsentrasi di sekitar perairan dangkal (Perairan Pulau
Karimun Besar, Pulau Bengkalis dan Pulau Rupat) sedangkan nilai densitas
rendah terdapat pada perairan yang lebih dalam (Perairan Tanjung Balai Asahan).
Menurut Pujiyati (2008), penyebaran densitas ikan demersal di perairan dangkal
relatif tinggi, sedangkan di perairan dalam lebih rendah. Berdasarkan hal tersebut
di atas keberadaan ikan-ikan demersal dapat dihubunganya dengan metode operasi
penangkapan ikan untuk mendapat daerah penangkapan ikan yang baik berkaitan
dengan keberadaan ikan demersal. Daerah penangkapan ikan demersal yang baik
di wilayah penelitian berada pada perairan dangkal dan jenis alat tangkap yang
dapat dioperasikan pada wilayah tersebut adalah gillnet, dan jaring dasar lainnya.
5.2.3 Faktor oseanografi yang mempengaruhi ukuran dan densitas ikan
Suhu perairan di Selat Malaka pada umumnya menurun dengan
bertambahnya kedalaman, sebaliknya salinitas meningkat dengan bertambahnya
kedalaman perairan. Kondisi lingkungan perairan sangat mempengaruhi pola
kehidupan organisme yang ada di dalamnya, termasuk ikan. Suhu dan salinitas di
87
Perairan Kepulauan Riau relatif rendah (rata-rata 29,76°C dan 29,69 psu)
dibandingkan dengan Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan (rata-rata
29,70°C dan 32,11 psu). Kisaran suhu dan salinitas ini masih dapat ditoleransi
oleh ikan untuk kelangsungan hidupnya, seperti diutarakan oleh Laevestu dan
Hayes, (1981), bahwa lingkungan perairan yang disukai oleh ikan pelagis adalah
perairan yang masih mendapatkan sinar matahari (eufotik) dengan kisaran suhu
antara 28-30°C. Perbedaan suhu dan salinitas di kedua perairan tersebut sangat
dipengaruhi oleh letak geografis masing-masing daerah. Perairan Kepulauan Riau
merupakan perairan dangkal terletak di tenggara Selat Malaka yang merupakan
bagian sempit dari selat ini, sedangkan Perairan Tanjung Balai Asahan dan
Belawan merupakan perairan yang lebih dalam terletak di barat laut Selat Malaka
dan merupakan bagian yang lebar dari selat ini.
Berdasarkan nilai TS, baik ikan pelagis maupun ikan demersal tampak
bahwa semakin bertambahnya kedalaman perairan maka nilai TS cenderung
meningkat. Hasil deteksi hidroakustik dan hasil tangkapan trawl menunjukan
bahwa, ukuran ikan yang ada di Perairan Kepulaun Riau sebagian besar berukuran
kecil, sedangkan di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan umumnya
berukuran besar. Hal ini berarti bahwa ikan-ikan yang berada pada lokasi perairan
dangkal memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan yang berada di
perairan yang lebih dalam. Kondisi ini juga menjelaskan bahwa ikan-ikan yang
berukuran kecil selalu mencari makan di lapisan permukaan dan perairan dangkal
yang memiliki suhu relatif hangat dan salinitas rendah, sebaliknya ikan yang
berukuran besar mencari makan pada lapisan perairan yang lebih dalam dengan
suhu rendah dan salinitis relatif tinggi.
Densitas ikan mempunyai penyebaran yang berbeda dengan TS, yaitu
semakin bertambahnya kedalaman perairan maka nilai densitas ikan semakin
rendah. Hal ini menunjukan bahwa densitas ikan lebih padat pada lapisan
permukaan dan bagian perairan dangkal dan mulai menurun pada perairan yang
lebih dalam. Densitas ikan pelagis di Perairan Kepulauan Riau paling tinggi
terdapat pada kedalaman 24-54 berbeda dengan Perairan Tanjung Balai Asahan
dan Belawan yang memiliki kepadatan densitas ikan pelagis tertinggi pada strata
kedalaman 4-14 meter. Suhu di Perairan Kepulauan Riau pada lapisan kedalaman
88
dengan kepadatan densitas ikan tertinggi tersebut berkisar antara 29,53-29,64°C
dan salinitas 29,87-29,89 psu. Kondisi demikian menunjukan bahwa ikan
berusaha mencari lapisan perairan dimana mereka masih mampu untuk
beradaptasi dengan perubahan suhu dan salinitas perairan, sebagaimana
diutarakan oleh Laevastu dan Hayes (1981), bahwa perubahan suhu perairan yang
sangat kecil (0,03°C) saja dapat menyebabkan perubahan densitas ikan.
Kepadatan densitas ikan pelagis tertinggi, baik di Perairan Kepulauan Riau
maupun di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan terkonsentrasi pada
lapisan kedalaman 4 meter sampai 54 meter, dengan suhu berkisar antara 29,24-
29,76°C dan salinitas 29,69-33,06 psu. Hal ini disebabkan karena pada lapisan
kedalaman tersebut mendapatkan masukan sinar matahari (eufotik) yang cukup
untuk fitoplankton dalam melakukan proses fotosintesis yang menghasilkan
oksigen sebagai sumber kehidupan organisme laut terutama ikan.
Densitas ikan demersal di Selat Malaka umumnya tinggi di perairan dangkal
dan rendah pada perairan yang lebih dalam. Suhu dan salinitas di selat ini pada
bagian dasar perairan rata-rata berkisar antara 29,24-29,53°C dan 29,89-33,07
psu. Kondisi lingkungan tersebut masih dapat ditoleransi oleh ikan demersal
sebagai lingkungan hidupnya, sebagaimana diutarakan oleh Widodo in Affandi
(1998), bahwa salinitas optimum bagi ikan demersal sekitar 33 psu. Umumnya
ikan demersal tidak terlalu dipengaruhi oleh fluktuasi suhu maupun salinitas. Ikan
demersal tidak akan melakukan ruaya hanya karena perubahan fluktuasi suhu dan
salinitas, akan tetapi ikan demersal lebih dipengaruhi oleh kondisi substrat yang
berpengaruh terhadap ketersediaan makanan (Okonski in Gunarso, 1985).
Penyebaran densitas ikan pelagis dan demersal di Selat Malaka secara
horizontal dari barat laut (Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan) ke arah
tenggara (Perairan Kepulauan Riau) cenderung semakin meningkat. Perbedaan
densitas ikan tersebut, juga dipengaruhi oleh pola arus yang terjadi di selat ini.
Pola dan sirkulasi massa air dominan yang bergerak ke arah barat laut Selat
Malaka merupakan arus permukaan yang berasal dari Samudera Pasifik melalui
Laut Cina Selatan pada dua musim yang berbeda, walaupun demikian pada musim
timur, massa air yang bergerak dari Samudera Hindia masuk ke Selat Malaka
melalui Laut Andaman (Wyrtki, 1961). Dua massa air tersebut mempunyai
89
karakteristik yang berbeda berupa suhu, salinitas dan zat-zat hara yang terkandung
di dalamnya, karena wilayah perairan yang dilewatinya berbeda. Kondisi
demikian menyebabkan sumberdaya ikan yang ada di dalamnya juga akan
berbeda, baik densitas, jenis maupun pola penyebarannya (Simbolon, 1996).
5.2.4 Penyebaran daerah penangkapan ikan
Daerah penangkapan ikan (DPI) di Selat Malaka pada bulan Juni 2008
tersebar di 14 leg transek akustik dari Perairan Kepulauan Riau (bagian tenggara
Selat Malaka) sampai Tanjung Balai Asahan dan Belawan (bagian barat laut Selat
Malaka). Daerah penangkapan ikan pelagis (DPI sedang) di Perairan Kepulauan
Riau terletak di bagian timur Perairan Pulau Bengkalis dan utara Pulau Rupat
yang menyebar pada kedalaman 24-54 meter. Penyebaran ikan pelagis pada
kedalaman tersebut bila dihubungkan dengan kegiatan operasional penangkapan
ikan, maka alat tangkap yang baik untuk dioperasikan adalah gillnet, jaring apung
dan pancing. Lokasi DPI ini berjarak kurang dari 12 mil dari garis pantai dan
merupakan daerah penangkapan ikan yang selama ini menjadi wilayah operasi
penangkapan yang dilakukan oleh nelayan setempat (BRPL, 2004). Wilayah
perairan yang termasuk DPI pelagis kurang potensial berada pada kedalaman 4-24
meter, menyebar di Perairan Pulau Karimun Besar, Pulau Panjang dan sekitar
Perairan Pulau Rupat. Wilayah ini tidak baik dilakukan kegiatan penangkapan
ikan karena sumberdaya ikan yang ada masih belum layak tangkap.
Daerah penangkapan ikan pelagis di Perairan Tanjung Balai Asahan dan
Belawan yang memiliki potensi sedang, menyebar di bagian utara dan barat laut
Tanjung Balai Asahan yang berada pada kedalaman 4-14 meter dan 54-74 meter.
Alat tangkap yang bisa dioperasikan di wilayah perairan ini adalah purse seine,
pancing, gillnet dan jaring apung lainnya. Lokasi ini dapat dijangkau oleh nelayan
setempat karena jaraknya lebih dekat dengan pantai dan tidak memerlukan kapal
yang berukuran lebih besar. Daerah penangkapan ikan pelagis kurang potensial di
Perairan Tanjung Balai asahan dan Belawan menyebar di bagian barat laut
Perairan Tanjung Balai Asahan, berada pada kedalaman 14-54 meter. Kondisi
demikian sangat mempengaruhi kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh
nelayan yang tinggal di pesisir Tanjung Balai Asahan, sehingga mereka harus
90
melakukan penangkapan ikan di daerah yang lebih jauh, yaitu sekitar Perairan
Pulau Berhala dan Pulau Panipahan (BRPL, 2004).
Daerah Penangkapan ikan demersal (DPI sedang) menyebar di Perairan
Pulau Berhala dan Pulau Pandan yang terletak di bagian barat laut Selat Malaka,
jaraknya kurang dari 12 mil dari garis pantai. Perairan Pulau Berhala merupakan
fishing ground dari alat tangkap pukat apung, purse seine dan lampara dasar.
Wilayah perairan ini merupakan penyebaran ikan-ikan demersal, seperti kurisi,
kuniran dan tigawaja, berada pada kedalaman 30-50 meter.
Perairan Kepulauan Riau didominasi oleh ikan-ikan yang berukuran lebih
kecil dan masih tergolong DPI kurang potensial, sedangkan Perairan Tanjung
Balai Asahan dan Belawan memiliki sumberdaya ikan yang tergolong DPI
sedang, untuk dikelolah dan dimanfaatkan dengan baik tanpa merusak
lingkungannya dan keberlanjutan sumberdaya ikan tersebut. Kegiatan
penangkapan ikan yang dilakukan oleh masyarakat pesisir di Perairan Selat
Malaka secara terus menerus mengakibatkan potensi sumberdaya perikanan di
wilayah ini semakin menurun. Selain hal tersebut, pencemaran lingkungan di
wilayah perairan ini juga sangat mempengaruhi kondisi perikanan di dalamnya
terutama di sekitar Perairan Kepulauan Riau. Wilayah ini sangat rentan terhadap
pencemaran lingkungan karena adanya lalu lintas kapal-kapal komersial yang
padat dan limbah masyarakat yang masuk ke laut melalui aliran sungai.
91
6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah:
1) Berdasarkan nilai target strength (TS) yang terdeteksi, ikan yang berukuran
lebih kecil cenderung menyebar pada lapisan permukaan dan perairan
dangkal, sedangkan ikan yang berukuran besar menyebar di lapisan perairan
yang lebih dalam. Penyebaran nilai TS ikan dari bagian tenggara Selat
Malaka (Perairan Kepulauan Riau) ke arah barat laut Selat Malaka (Perairan
Tanjung Balai Asahan dan Belawan) cenderung semakin besar.
2) Nilai densitas ikan pelagis pada transek siang hari berkisar antara 0,14-30,76
individu/m3, sedangkan pada transek malam hari berkisar antara 0,14-14,74
individu/m3. Nilai densitas ikan pelagis yang terdeteksi di Perairan Kepulauan
Riau berkisar antara 1,85-32,50 individu/m3 dan ikan demersal berkisar antara
0,13-96,88 individu/m3, sedangkan di Perairan Tanjung Balai Asahan dan
Belawan nilai densitas ikan pelagis sebesar 0,14-30,76 individu/m3 dan ikan
demersal sebesar 0,14-109,27 individu/m3.
3) Penyebaran densitas ikan pelagis secara horizontal dari kedalaman 4-104
meter menunjukan bahwa densitas ikan lebih tinggi pada lapisan permukaan
dan lebih rendah pada perairan yang lebih dalam. Densitas ikan yang
terdeteksi pada transek siang hari relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
transek malam hari terutama pada lapisan permukaan.
4) Penyebaran densitas ikan pelagis dan demersal secara horizontal dari bagian
tenggara Selat Malaka (Perairan Kepulauan Riau) ke arah barat laut Selat
Malaka (Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan) cenderung semakin
rendah. Densitas ikan pelagis di Perairan Kepulauan Riau terkonsentrasi pada
strata kedalaman 24-34 meter, sedangkan di Perairan Tanjung Balai Asahan
dan Belawan lebih terkonsentrasi pada strata kedalaman 4-14 meter.
5) Peta daerah penangkapan ikan (DPI) baik pelagis maupun demersal di Selat
Malaka pada bulan Juni 2008 terdiri dari DPI sedang dan kurang potensial,
yang menyebar di Perairan Kepulauan Riau dan Tanjung Balai Asahan-
Belawan.
92
6.2 Saran
Saran dari penelitian ini antara lain:
1) Frekuensi pengoperasian trawl sebaiknya ditingkatkan supaya hasil tangkapan
sebagai data verfikasi dapat mewakili ukuran dan jenis ikan yang terdeteksi
oleh split beam echosounder.
2) Analisis hasil tangkapan perlu dilakukan terhadap semua jenis ikan yang
tertangkap terutama ikan pelagis sebagai verifikasi data dari hasil deteksi
hidroakustik.
3) Pengamatan faktor oseanografi sebaiknya dilakukan di semua lapisan
kedalaman, agar diketahui hubungan yang lebih pasti antara kondisi perairan
dengan kelimpahan dan penyebaran sumberdaya ikan di dalamnya.
4) Melihat kondisi sumberdaya ikan di Selat Malaka yang masih tergolong
sedang dan kurang potensial maka perlu dikurangi intensitas kegiatan
penangkapan ikan untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya
perikanan di wilayah tersebut.
5) Perlu dilakukan penelitian secara berkala untuk mengetahui pola penyebaran
ikan pada setiap musim agar dapat menentukan daerah penangkapan ikan
yang baik dalam kegiatan operasional penangkapan ikan.
93
DAFTAR PUSTAKA
Aliňo, P. M. 2001. The South China Sea-Revisiting The Large Marine Ecosystem
Approach. The Marine Science Institute University of the Philippines Diliman 1101 Quezon City Philippines. 15 p.
Aoyama, T.1973. The Demersal Fish Stocks and Fisheries of The South China
Sea. SCS/EV/73/3, FAO. Rome. Hal. 124-136.
Arnaya, I. N. 1991. Akustik Kelautan. Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi.
Bogor: Institut Pertanian Bogor. 86 hlm. Atmaja, S. B., E. S. Wiyono dan D. Nugroho. 2001. Karakteristik Sumber Daya
Ikan Pelagis Kecil di Laut Cina Selatan dan Perkembangan Eksploitasinya. Buletin PSP. Vol. X. No. 1. Hal. 51-64.
Atmaja, S. B., Nugroho, D. Suwarsono, Hariati, T. Mahisworo, 2003. Pengkajian
Stok Ikan di WPP Laut Jawa. Prosiding Forum Pengkajian Stok Ikan Laut
2003 (WPP: Samudra Hindia, Laut Arafura, Laut Cina Selatan dan Laut Jawa). Jakarta: Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan
Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Hal. 67-88. Ayodhyoa, A. U. 1981. Metode Penangkapan Ikan. Bogor: Yayasan Dewi Sri. 97
hlm. Boer, M., K. A. Aziz., J. Widodo., A. Djamali., A. Ghofar dan R. Kurnia. 2001.
Potensi, Pemanfaatan dan Peluang Pengembangan Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Bogor: Direktorat Riset dan Eksplorasi Sumberdaya
Hayati, Direktorat Jenderal Penyerasian Riset dan Eksplorasi Laut. Departemen Kelautan dan Perikanan. Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Perikanan Laut. PKSPL Institut Pertanian Bogor. 58p.
[BRPL DKP] Badan Riset Perikanan Laut Departemen Kelautan dan Perikanan.
2004. Penelitian Kompetitif Selat Malaka 2003-2009. Jakarta: BRPL DKP. Burczynski, J. 1979. Introduction to the use of sonar system for estimating fish
biomass. FAO Fisheries Technical Paper.No. 191.89 pp.
Burczynski, J. and R. L Johnson. 1986. Application of Dual Beam Acoustics Survey Techniques to Limnetic Popolation of Juvenile Sockeye Salmon (Oncorhynchusnerka). Can. Journal Fish.Aquat. Sci. 43: 1776-1788.
Burczynski, J., Paul H. Michaletz, and Gary Marrone. 1987. Hydroacoustics
Assessment Techniques of The Abundance and Distribution of Rainbow Smelt in Lake Oahe. Journal of Fisheries Management 7: 106-116.
Clay, C. S. 1990. Status of Fisheries Acoustics Theory and Technique.Rapp. P-V Reun. Int. Explor. Mer, 189: 50-53.
94
Cly, C. S. and Madwin, H. 1977. Acoustical Oceanography. Jhon Wiley & Sons.
New York. USA. 712 pp.
[DKP-LIPI] Departemen Kelautan dan Perikanan-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2001. Pengkajian Stok Ikan di Perairan Indonesia. Jakarta: DKP LIPI. 125 hlm.
Dwiponggo, A. Badaruddin, D. Nugroho dan S. Yono. 1989. Potensi dan
Penyebaran Sumberdaya Ikan Demersal. Jakarta: Dirjen Perikanan, Pustlitbang Oseanologi. Deptan.
FAO. 1990. Petunjuk Praktis bagi Nelayan. Alih Bahasa: Prodo, J. dan Dremiere, P. Y. 1996. Edisi ke-2. Semarang: Balai Pengembangan Penangkapan Ikan.
Foote, K. G. 1987. Fish Target For Use in Echo Integrator Surveyes. J. Acoust.
Soc. Am. 82 (3) : 981-987.
Furusawa, M. 1988. Prolate Spheroidal Models for Predicting General Trends of
Fish Target Strength. J. Acoust. Soc. Japan. E, 9, 13-24. Gullad, J. A., 1983. Fish Stock Assessament A Manual of Basic Methods.
FAO/Wiky Series on Food and Agriculture.
Gunarso, W. 1985. Tingkah Laku Ikan dalam Hubungannya dengan Alat, Metode dan Tehnik Penangkapan. Diktat Kuliah Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Bogor: Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor.
HUANG Qi-Zhou, WANG Wen-Zhi, Y. S. LI dan C. W. LI. 1994.Current
Characteristics of South China Sea Oceanoology of China Sea. Vol.1. Edited by: Zhou Di, Liang Yuan-Bo and Zeng Cheng-Kui. Kluwer Academic Publisher.
Hutabarat, S. dan Stewart M. E. 2000. Pengantar Oseanografi. Jakarta: UI. Press.
Johannesson, K. A. dan R. B. Mitson. 1983. Fisheries Acoustic: A Practical
Manual for Aquatic Biomass Estimation. FAO.Fisheries Technical
Paper.Roma.viii + 249 h.
Johnson, R. L. and J. J. Burczynski. 1985. Aplication of Dual Beam Acoustic Procedures to Estimate Limnetic Juvenile Sockeye Salmon. Progres Report 41. New West Minster, B.C., Canada. 34p.
[DKP RI] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2009. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 01/MEN/2009 tentang
Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Jakarta: DKP. Kurusawa, H. 2002. Marine Palynological Recorders in the South China Sea
Over the Last 44 kry. Disertation. Der Cristian-Albrechts-Universitat. Kiel. 145. P.
95
Khemakorn, P. 2006. Sustainable Management of Pelagic Fisheries in the South China Sea Region. United Nations-The Nippon Foundation Fellow. New
York. 86. P. Laevastu, T. dan M. L. Hayes. 1981. Fisheries Oceanography and Ecology.
Fishing News Books Ltd.Farnham.xiv + 199 h.
Love, R. H. 1977.Target Strength of an Individual Fish at any Aspect . J. Acousti. Soc. Am, (62): 1397-1403.
Lurton, X. 2002. An Introduction to Underwater Acoustics: Principles and Applications. Institut Francais de Recherche pour I’Exploitation de la mer
(IFREMER) Plouzane. France. MacLennan, D. N. and E. J. Simmonds. 1992. Fisheries Acoustics. First
Edition.Chapman and Hall. New York. 325p.
MacLennan, D. N. and E. J. Simmonds. 2005. Fisheries Acoustics. 2nd Edition. Blackwell Science. Oxford. UK. 437p.
Masrikat, J. A. N. 2009. Kajian Standing Stock Ikan Pelagis Kecil dan Demersal Serta Hubungannya Dengan Kondisi Oseanografi di Laut Cina Selatan
Perairan Indonesia. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Mitson, R. B. 1983. Acoustic Detection and Estimation of Fish Near The Sea Bed and Surface. FAO Fish. Rep. (300). Rome 27-34p.
Mustafa, M. A. 2004. Pendugaan Nilai dan Distribusi Spasial Densitas Ikan
dengan Sistem Akustik Bim Terbagi (Split Beam Acoustic System) di Laut
Arafura pada bulan Oktober 2003. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Nainggolan, C. 1993. Study of Acoustical Method For Fish Stock Assesment, In
Situ Measurement Beam Echosounder. Graduate School of Fiheries, Tokyo
University of Fisheries.
Naken, O. and K. Olsen. 1977. Target Strength of Fish. Rapp. P-V Renn. Cond int. Explor. Mer., pp. 82-91.
Nasution. R. M. H. 2004. Daerah Penangkapan Ikan. Makalah Pribadi Falsafa Sains (PPS 702).
Nelson, O. M. and Thomas A. Dark. 1986. The Distribution, Abundance and
Biological Features of The Pasific Whiting Resources Based on 1877 and
1980 Research Vessel Surveys. Bulletin No. 45. INFC, Seattle, Washington. 9p.
96
Nikolsky, K. V. 1963. The Ecology of Fisheries. Academic Press Inc. London and
New York.
Nomura. M. and Yamazaki. 1977. Fishing Techniques 1. Tokyo: Japan International Coorperation Agency. 25p.
Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan. 351 hal.
Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan oleh: H. M. Eidiman, Koesoebiono, D. G. Bengen, M. Hutomo, dan S. Sukardjo. Jakarta: PT Gramedia Pusaka Utama. xv + 459 h.
Odum, E. P. 1971. Dasar-dasar Ekologi. Edisi ke-3. Diterjemahkan oleh H. M.
Eidman, Koesbiono, D. G. Bengan, M. Hutomo, dan Sukarjo. Jakarta: PT Gramedia. Pusaka Utama. xv + 459h.
Pasaribu, B. dan Nainggolan, C. 1998. Pengembangan Algoritma untuk Pemetaan Sumberdaya Ikan dengan Teknologi Akustik di Perairan Laut Sunda.
[Laporan Riset RUT V]. Jakarta: Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi. Dewan Riset Nasional.
Pauly. D., P. Martosubroto dan J. Saeger. 1996. The Mutiara 4 Surveyes in The Java and South China Seas, November 1974 to July 1976. p: 47-54. The
Fish Resourse of Western Indonesia. Ed. Pauly and Martosubroto. DGF-GT2-ICLARM.
[P2O LIPI] Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2001. Penelitian Kompetitif Selat Malaka dan Laut Cina Selatan 2001-2002.
Jakarta: P2O LIPI. [PPS Belawan] Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan. 2011. Laporan Kegiatan
Operasional Tahun 2011. Belawan: PPS Belawan.
Pujiyati, S. 1996. Pendugaan Nilai Target Strength Ikan dengan Menggunakan Transducer Bim Ganda di Perairan Selat Sunda. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Pujiyati, S. 2008. Pendekatan Metode Hidroakustik untuk Melihat Klasifikasi
Tipe Substrat Dasar Perairan. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Purwandani, A. 2000. Peta Laut Indonesia: Tinjauan dari Bidang Oseanografi Skala Regional. Penelitian Pengembangan Riset Kelautan di Indonesia.
Jakarata: Badan Pengembangan dan Pengkajian Teknologi (BPPT). [Puslit LIPI] Pusat Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2003.
Penelitian Kompetitif Kalimantan Timur dan Bangka Belitung 2004-2013. Jakarta: Puslit LIPI.
97
Ross, D. A. 1970. Introduction to Oceanography. New York: Meredith
Coorporation.
Rilley, J. P. dan G. Skirrov. 1995. Chemical Oceanography. Vol. 1. London: Academic Press.
Scalabrin. C. and Masse. J. 1993. Acoustic Detection of The Spatial and Temporal Distribution of Fish Shoal in The Bay of Biscay. Aquatic, Living Resourse,
6: 269 – 283. Simbolon, D. 1996. Pendugaan Densitas dan Penyebaran Ikan dengan Sistem
Akustik Bim Ganda di Selat Makasar. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Simbolon, D., Irnawati. R., Sitanggang. P. L., Ningsi. E. D., Tadjuddah. M.,
Manoppa. E. N. V., Karnan dan Mohamad. 2009. Pembentukan Daerah
Penangkapan Ikan. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor.
Sparre, P. dan Siebren, C.V. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Buku
1: Manual Pustlitbang Perikanan Jakarta. Indonesia.
Suyarso. 1997. Lingkungan Fisik Kawasan Laut Cina Selatan. Atlas Oseanografi
Laut Cina Selatan. Hal. 1-6. Jakarta: Puslitbang Oseanografi-LIPI. Syamsuddin, S. 1998. Studi Tentang Densitas Ikan Pelagis Dengan Sistem
Akustik Bim Terbagi dan Hubungan Kondisi Oseanografis di Selat Sunda. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Traynor, J. J. and Williamson, N. J. 1983.Target Strength Measurements of
Walleye Pollock (Theraga Chalcogramma) and A Simulation Study of The
Dual Beam Method. FAO Fish. Rep,. 300, 112-124.
Urick, J. R. 1967. Principles of Under Water Sound.3rd Edition. McGraw, Hill. Inc. New York.
Wyrtki, K. 1961. Physical Oceanography of South Ast Asian Waters. Naga Report, Vol. 2. The University of California. Sripps Institution of
Oceanography La Jolla. California.
DAFTAR LAMPIRAN
99
Lampiran 1 Nilai suhu air laut (°C) tiap stasiun di Perairan Kepulauan Riau, Selat Malaka pada bulan Juni 2008
Stasiun Posisi Nilai Suhu (°C) Berdasarkan Strata Kedalaman
Longitude Latitude 0 m 10 m 15 m 20 m 25 m 30 m 35 m 40 m
1 102,35 1,35 29,25 29,24 29,22
2 102,19 1,67 30,00 29,85 29,74 29,50
3 102,12 1,80 29,62 29,61 29,60 29,57 29,57 29,54 29,50 29,47
4 10962 1,95 29,57 29,55
5 98,92 3,94 29,85 29,72
6 98,02 3,98 30,05 29,67 29,67 29,66 29,65 29,65 29,65 29,62
7 99,06 4,07 29,89 29,79 29,79 29,78 29,78 29,75
26 100,81 3,70 30,01 29,96 29,78 29,68 29,49 29,21
27 101,15 2,77 29,96 29,96 29,95 29,95 29,95 29,93
28 101,47 2,33 29,86 29,86 29,86 29,79
29 102,16 1,12 29,65 29,65 29,65 29,63 29,63 29,62 29,61 29,50
30 102,49 1,70 29,63 29,63 29,63 29,57 29,50 29,47 29,40
31 102,83 1,47 29,56 29,55 29,55 29,54 29,54 29,49
32 103,21 1,28 29,71 29,71 29,71 29,69
Minimum 29,25 29,24 29,22 29,50 29,49 29,21 29,40 29,47
Maksimum 30,05 29,96 29,95 29,95 29,95 29,93 29,65 29,62
Rata-rata 29,76 29,70 29,68 29,67 29,64 29,58 29,54 29,53
100
Lampiran 2 Nilai suhu air laut (°C) tiap stasiun di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan, Selat Malaka pada bulan Juni 2008
Stasiun Posisi Nilai Suhu (°C) Berdasarkan Strata Kedalaman
Longitude Latitude 0 m 10 m 15 m 20 m 25 m 30 m 35 m 40 m 45 m 50 m 55 m 60 m
8 99,14 4,13 29,92 29,72 29,72
9 99,22 3,63 30,17 29,92 29,92 29,85 29,72
10 99,28 3,69 30,12 29,95 29,92 29,88 29,59 29,34
11 99,33 3,76 29,94 30,00 29,93 29,71 29,53 29,50 29,30 29,28 29,27
12 99,42 3,82 29,51 29,60 29,57 29,56
13 99,48 3,91 29,66 29,66 29,64 29,64 29,59 29,58 29,50
14 99,55 4,00 29,69 29,67 29,67 29,64 29,59 29,56
15 99,56 3,41 29,62 29,60 29,54 29,54 29,53 29,52 29,46 29,42
16 99,48 3,91 29,61 29,61 29,56 29,54 29,53 29,52 29,42 29,40
17 99,55 4,00 29,63 29,60 29,50 29,50 29,47 29,45 29,40 29,37 29,35 29,20
18 99,56 3,41 29,44 29,51 29,55 29,54
19 99,63 3,50 29,52 29,50 29,50 29,47 29,46 29,45
20 99,71 3,56 29,60 29,51 29,51 29,51 29,47 29,44 29,44 29,43 29,42 29,35 29,25
21 99,79 3,93 30,12 29,54 29,53 29,49 29,49 29,42 29,38 29,37 29,36 29,33 29,33
22 99,86 3,69 30,05 29,55 29,48 29,45 29,42 29,38 29,33 29,33 29,33 29,32
23 99,90 3,47 29,66 29,45 29,44 29,40 29,37 29,34 29,.30 29,28 29,25 29,25 29,24 29,24
24 100,06 3,95 29,74 29,56 29,43 29,37 29,33 29,31 29,28 29,28 29,27 29,26
25 100,43 3,62 29,96 29,91 29,60 29,40 29,17 29,17 29,14 29,13 29,13
Minimum 29,44 29,45 29,43 29,37 29,17 29,17 29,14 29,13 29,13 29,20 29,24 29,24
Maksimum 30,17 30,00 29,93 29,88 29,72 29,58 29,50 29,43 29,42 29,35 29,33 29,24
Rata-rata 29,70 29,66 29,61 29,56 29,48 29,43 29,36 29,33 29,30 29,28 29,27 29,24
101
Lampiran 3 Nilai Salinitas air laut (psu) tiap stasiun di Perairan Kepulauan Riau, Selat Malaka pada bulan Juni 2008
Stasiun Posisi Nilai Salinitas (psu) Berdasarkan Strata Kedalaman
Longitude Latitude 0 m 10 m 15 m 20 m 25 m 30 m 35 m 40 m
1 102,35 1,35 28,95 28,97 29,05
2 102,19 1,67 29,02 29,10 29,12 29,16
3 102,12 1,80 29,35 29,45 29,46 29,46 29,52 29,52 29,80 29,82
4 109,62 1,95 29,40 29,42
5 98,92 3,94 29,62 29,62
6 98,02 3,98 29,68 29,69 29,70 29,69 29,71 29,72 29,86 29,93
7 99,06 4,07 29,62 29,68 29,70 29,71 29,75 29,75
26 100,81 3,70 30,88 30,86 30,90 30,92 30,93 30,94
27 101,15 2,77 30,25 30,28 30,30 30,32 30,31 30,32
28 101,47 2,33 30,02 30,07 30,08 30,08
29 102,16 1,12 29,59 29,60 29,60 29,60 29,61 29,62 29,90 29,91
30 102,49 1,70 29,46 29,47 29,50 29,51 29,52 29,53 29,89
31 102,83 1,47 29,60 29,61 29,61 29,60 29,61 29,61
32 103,21 1,28 30,25 30,27 30,27 30,27
Minimum 28,95 28,97 29,05 29,16 29,52 29,52 29,80 29,82
Maksimum 30,88 30,86 30,90 30,92 30,93 30,94 29,90 29,93
Rata-rata 29,69 29,72 29,77 29,85 29,87 29,88 29,86 29,89
102
Lampiran 4 Nilai Salinitas air laut (psu) tiap stasiun di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan, Selat Malaka pada bulan Juni 2008
Stasiun Posisi Nilai Salinitas (psu) Berdasarkan Strata Kedalaman
Longitude Latitude 0 m 10 m 15 m 20 m 25 m 30 m 35 m 40 m 45 m 50 m 55 m 60 m
8 99,14 4,13 32,42 32,43 32,77
9 99,22 3,63 32,27 32,34 32,46 32,83 33,08
10 99,28 3,69 32,23 32,31 32,42 32,66 32,95 33,23
11 99,33 3,76 32,34 32,32 32,46 32,66 32,94 33,13 33,33 33,46 33,50
12 99,42 3,82 32,45 32,53 32,55 32,57
13 99,48 3,91 32,27 32,52 32,52 32,60 32,63 32,68 32,74
14 99,55 4,00 32,50 32,48 32,47 32,51 32,81 32,95
15 99,56 3,41 32,44 32,43 32,45 32,48 32,71 32,80 32,90 33,06
16 99,48 3,91 32,37 32,42 32,43 32,46 32,55 32,65 32,78 32,91
17 99,55 4,00 32,37 32,36 32,36 32,41 32,42 32,60 32,78 32,90 33,10 33,38
18 99,56 3,41 32,12 32,17 32,16 32,23
19 99,63 3,50 32,27 32,48 32,51 32,55 32,63 32,75
20 99,71 3,56 32,20 32,25 32,29 32,31 32,32 32,33 32,53 32,91 32,92 32,94 33,01
21 99,79 3,93 31,78 32,10 32,17 32,21 32,25 32,25 32,78 32,80 32,90 33,01 33,15
22 99,86 3,69 32,03 32,03 32,04 32,07 32,12 32,91 32,98 32,99 33,00 33,00
23 99,90 3,47 31,99 32,04 32,13 32,41 32,59 32,93 32,95 32,97 32,99 33,02 33,03 33,07
24 100,06 3,95 31,00 31,50 31,77 32,02 32,48 32,74 32,77 32,81 32,84 32,86
25 100,43 3,62 30,91 31,11 31,42 31,87 32,49 32,80 32,87 32,90 32,91
Minimum 30,91 31,11 31,42 31,87 32,12 32,25 32,53 32,80 32,84 32,86 33,01 33,07
Maksimum 32,50 32,53 32,77 32,83 33,08 33,23 33,33 33,46 33,50 33,38 33,15 33,07
Rata-rata 32,11 32,21 32,30 32,40 32,60 32,77 32,86 32,97 33,02 33,04 33,06 33,07
103
Lampiran 5 Kecepatan arus air laut (m/s) tiap stasiun di Perairan Kepulauan Riau, Selat Malaka pada bulan Juni 2008
Stasiun Posisi Kecepatan Arus (m/s) Berdasarkan Strata Kedalaman
Longitude Latitude 0 m 10 m 15 m 20 m 25 m 30 m 35 m 40 m
1 102,35 1,35 0,11 0,17 0,30
2 102,19 1,67 0,67 0,53 0,42 0,47
3 102,12 1,80 0,25 0,21 0,36 0,28 0,42 0,29 0,42 0,27
4 109,62 1,95 0,56 0,41
5 98,92 3,94 0,25 0,29
6 98,02 3,98 0,74 0,74 0,65 0,52 0,53 0,38 0,42 0,26
7 99,06 4,07 0,27 0,21 0,24 0,13 0,24 0,06
26 100,81 3,70 0,35 0,33 0,30 0,36 0,36 0,45
27 101,15 2,77 0,26 0,30 0,27 0,24 0,24 0,27
28 101,47 2,33 0,08 0,24 0,36 0,42
29 102,16 1,12 0,07 0,24 0,22 0,22 0,24 0,30 0,42 0,36
30 102,49 1,70 0,09 0,32 0,42 0,45 0,59 0,53 0,45
31 102,83 1,47 0,10 0,36 0,39 0,42 0,45 0,39
32 103,21 1,28 0,21 0,24 0,27 0,17
Minimum 0,07 0,17 0,22 0,13 0,24 0,06 0,42 0,26
Maksimum 0,74 0,74 0,65 0,52 0,59 0,53 0,45 0,36
Rata-rata 0,29 0,33 0,35 0,34 0,38 0,33 0,43 0,30
104
Lampiran 6 Kecepatan arus air laut (m/s) tiap stasiun di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan, Selat Malaka pada bulan Juni 2008
Stasiun Posisi Kecepatan Arus (m/s) Berdasarkan Strata Kedalaman
Longitude Latitude 0 m 10 m 15 m 20 m 25 m 30 m 35 m 40 m 45 m 50 m 55 m 60 m
8 99,14 4,13 0,24 0,18 0,25
9 99,22 3,63 0,22 0,25 0,36 0,33 0,20
10 99,28 3,69 0,15 0,08 0,16 0,06 0,07 0,15
11 99,33 3,76 0,12 0,25 0,30 0,42 0,43 0,53 0,47 0,47 0,42
12 99,42 3,82 0,58 0,50 0,26 0,27
3 99,48 3,91 0,37 0,29 0,36 0,39 0,28 0,39 0,32
14 99,55 4,00 0,51 0,38 0,45 0,36 0,50 0,48
15 99,56 3,41 0,34 0,23 0,33 0,24 0,36 0,22 0,42 0,28
16 99,48 3,91 0,56 0,39 0,42 0,37 0,36 0,32 0,42 0,26
17 99,55 4,00 0,45 0,39 0,42 0,39 0,28 0,39 0,36 0,42 0,42 0,24
18 99,56 3,41 0,07 0,12 0,27 0,30
19 99,63 3,50 0,33 0,32 0,42 0,33 0,42 0,31
20 99,71 3,56 0,26 0,16 0,27 0,19 0,33 0,23 0,33 0,24 0,33 0,23 0,36
21 99,79 3,93 0,45 0,66 0,56 0,46 0,50 0,42 0,53 0,56 0,52 0,53 0,45
22 99,86 3,69 0,17 0,20 0,33 0,27 0,42 0,34 0,42 0,39 0,39 0,21
23 99,90 3,47 0,18 0,24 0,42 0,24 0,36 0,12 0,30 0,24 0,24 0,11 0,33 0,36
24 100,06 3,95 0,27 0,43 0,59 0,54 0,62 0,62 0,65 0,59 0,62 0,58
25 100,43 3,62 0,18 0,25 0,42 0,57 0,68 0,72 0,68 0,59 0,59
Minimum 0,07 0,08 0,16 0,06 0,07 0,12 0,30 0,24 0,24 0,11 0,33 0,36
Maksimum 0,58 0,66 0,59 0,57 0,68 0,72 0,68 0,59 0,62 0,58 0,45 0,36
Rata-rata 0,30 0,30 0,36 0,34 0,39 0,37 0,44 0,41 0,44 0,32 0,38 0,36
105
Lampiran 7 Arah arus air laut (°) tiap stasiun di Perairan Kepulauan Riau, Selat Malaka pada bulan Juni 2008
Stasiun Posisi Arah Arus (°) Berdasarkan Strata Kedalaman
Longitude Latitude 0 m 10 m 15 m 20 m 25 m 30 m 35 m 40 m
1 102,35 1,35 74 157 172
2 102,19 1,67 299 338 358 351
3 102,12 1,80 73 131 139 151 156 165 167 173
4 109,62 1,95 84 123
5 98,92 3,94 82 126
6 98,02 3,98 212 190 190 196 192 190 187 189
7 99,06 4,07 43 74 58 59 52 89
26 100,81 3,70 96 123 116 98 105 116
27 101,15 2,77 328 360 17 25 45 21
28 101,47 2,33 96 18 10 325
29 102,16 1,12 91 147 106 126 168 155 155 152
30 102,49 1,70 255 190 187 177 174 181 192
31 102,83 1,47 145 191 196 203 224 224
32 103,21 1,28 122 168 214 215
Minimum 43 18 10 25 45 21 155 152
Maksimum 328 360 358 351 224 224 192 189
Rata-rata 143 167 147 175 139 143 175 171
106
Lampiran 8 Arah arus air laut (°) tiap stasiun di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan, Selat Malaka pada bulan Juni 2008
Stasiun Posisi Arah Arus (°) Berdasarkan Strata Kedalaman
Longitude Latitude 0 m 10 m 15 m 20 m 25 m 30 m 35 m 40 m 45 m 50 m 55 m 60 m
8 99,14 4,13 127 187 157
9 99,22 3,63 272 247 240 234 267
10 99,28 3,69 29 47 22 272 272 61
11 99,33 3,76 154 145 157 167 169 159 145 143 152
12 99,42 3,82 321 340 342 319
13 99,48 3,91 147 149 146 144 153 160 156
14 99,55 4,00 100 121 129 134 132 132
15 99,56 3,41 324 348 354 188 27 56 71 53
16 99,48 3,91 150 29 38 42 59 55 43 19
17 99,55 4,00 42 41 40 42 36 43 77 65 55 73
18 99,56 3,41 94 154 164 219
19 99,63 3,50 136 157 159 155 144 129
20 99,71 3,56 66 64 60 65 64 68 63 64 75 84 86
21 99,79 3,93 111 100 84 81 83 88 95 103 110 109 112
22 99,86 3,69 329 83 82 82 80 101 95 94 97 82
23 99,90 3,47 208 175 160 137 140 204 239 233 173 144 171 154
24 100,06 3,95 178 152 142 134 127 135 133 140 145 151
25 100,43 3,62 66 99 109 107 115 122 118 119 117
Minimum 29 29 22 42 27 43 43 19 55 73 86 154
Maksimum 329 348 354 319 272 204 239 233 173 151 171 154
Rata-rata 158 147 144 148 125 108 112 103 116 107 123 154
107
Lampiran 9 Jenis dan ukuran ikan demersal hasil tangkapan trawl di Perairan
Kepulauan Riau, Selat Malaka pada bulan Juni 2008
1) Jenis ikan (spesies)
Gerot-gerot (Pomadasys hasta) Buntal (Arothron nigropunctatus)
Gulama (Johnius grypotus) Pari (Dasyatis kuhli)
Tigawaja (Nibea mitsukurii ) Nomei (Harpadon nehere
108
Lampiran 9 (Lanjutan)
2) Ukuran ikan (spesies)
Gerot-gerot Buntal Gulama Pari
N (ekor) P (cm) N (ekor) P (cm) N (ekor) P (cm) N (ekor) P (cm) 15 27,9 8 13 31 25,2 2 7,4
17 28,6 12 16 41 26 5 12
19 29 10 17 25 27 7 13,5
20 30 14 18 20 28 3 14
19 31 11 19 17 29 2 15
20 32 10 20 10 30 5 18
19 33 13 21 7 31 4 19
10 34 14 22 8 33 3 20
21 35 11 23 6 34 2 22
12 36 12 24 6 35 2 23
16 37 14 25 3 36 35 16,39
190 32,14 13 26 2 37
10 27 176 30,25
11 28
173 21,36
Tigawaja Nomei
N (ekor) P (cm) N (ekor) P (cm) 10 10 1 6
26 11 10 7
29 12 10 8
43 13 28 9
47 14 21 10
22 15 29 11
41 16 18 12
22 17 13 13
15 18 6 14
11 19 4 15
1 20 11 16
1 22 7 17
3 28 5 18
5 29 18 19
9 30 26 20
285 18,27 23 21
21 22
15 23
10 24
12 25
13 26
3 27
4 28
5 29
5 30
1 31
319 18,50
109
Lampiran 10 Jenis dan ukuran ikan demersal hasil tangkapan trawl di Perairan
Tanjung Balai Asahan dan Belawan, Selat Malaka bulan Juni 2008
1) Jenis ikan (spesies)
Cumi-cumi (Loligo sp) Kuniran (Upeneus sulphureus)
Pari (Dasyatis kuhli) Buntal (Lagocephalus inermis)
Kuniran (Upeneus sundaicus) Ikan Beloso (Saurida undosquamis)
Baronang (Siganus canaliculatus) Kurisi (Nemipterus peroni)
110
Lampiran 10 (Lanjutan)
2) Ukuran ikan (spesies)
Cumi-cumi Kuniran_1 Pari Buntal
N (ekor) P (cm) N (ekor) P (cm) N (ekor) P (cm) N (ekor) P (cm) 1 3 9 12,5 8 13 8 10,8
5 4 40 13,6 5 14 12 11,4
27 5 52 14,9 16 15,5 14 12,6
109 6 77 16,6 12 16,6 10 13,5
99 7 68 17,40 10 17 8 14
134 8 55 18 6 18 7 15
148 9 27 19,5 11 19 5 16
140 10 10 20 7 20 3 17
95 11 2 21,8 6 21 14 18
86 12 2 22 10 22 12 19
40 13 1 23 12 23 9 20
23 14 1 24 3 24 1 21
15 15 344 18,61 4 25 1 22
15 16 2 26 104 16,18
24 17 1 27
20 18 1 28
38 19 115 20,57
18 20
13 21
14 22
14 23
13 24
8 25
2 26
2 27
2 28
3 29
4 30
4 31
1 35
1117 17,60
111
Lampiran 10 (Lanjutan)
Kuniran_2 Beloso_1 Baronang Kurisi
N (ekor) P (cm) N (ekor) P (cm) N (ekor) P (cm) N (ekor) P (cm) 26 11,3 12 23,5 12 16 13 18,5
17 12,5 15 24,5 16 17 29 19,5
2 12,8 10 25,8 10 18,5 48 20,5
3 13,9 8 26,7 12 19,6 57 21,5
7 14,9 8 28,7 14 20,8 40 22,5
6 15,6 12 29,6 8 21 14 23,6
11 16,8 17 30,7 7 22 8 24,0
12 17,8 6 31,0 7 23,7 5 25,0
8 18,5 7 31,6 12 24 5 26,0
11 19,7 4 32,0 6 25 4 27,0
12 20,5 5 32,8 4 26 6 28,0
8 21,0 5 33,0 4 27 4 29,0
7 21,7 3 33,9 1 28 4 30,0
21 22,6 6 34,0 3 29 237 24,16
10 23,7 3 34,6 2 30
11 24,9 3 35,0 3 31
8 25,8 2 35,5 1 32
2 26,7 2 36,0 2 33
2 27,2 1 36,6 1 34
184 19,36 1 36,9 125 25,14
1 37,2
1 38,0
132 31,75
Beloso_2
N (ekor) P (cm)
10 31,5 13 32,4
10 35,7
8 36,1 6 37,5
4 38 51 35,20
112
Lampiran 11 Spesifikasi dan kalibrasi data hidroakustik
Parameter Nilai
Data File Hasil Kalibrasi
Absorption coefficient (dB/m) 0,0415869 0,0418810
Sound speed (m/s) 1545,28 1541,13
Transmitted power (W) 500,0 500,0
Two-way beam angle (dB re1Steradian) -21,00 -21,00
Transducer gain (dB) 27,0000 27,0000
Sa correction (dB) 0,00 0,00
Transmitted pulse length (ms) 0,512 0,512
Frequency (kHz) 120,00 120,00
Minor-axis 3dB beam angle 7,00 7,10
Major-axis 3dB beam angle 7,00 7,10
Temperature (°C) 29,60 29,76
Salinity (ppt) 31,34 31,05
Depth (m) 15,00 40,00
pH 8 8
113
Lampiran 12 Contoh echogram hasil pengolahan dan analisis data hidroakustik
Kelompok ikan Batas analisis ikan demersal
Dasar perairan
114
Lampiran 13 Kapal penelitian
PARTICULAR SHIP OF BARUNA JAYA VIII
General Information:
Ship Name : KR. BARUNA JAYA VIII Call Sign : YFZQ
IMO Number : 9155171 Nationality : Indonesia
Owner : Indonesian Institute of Sciences, Research Center for Oceanography
Address : Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur, Jakarta Utara,
Indonesia Phone:62-21-64713850; Fax:62-21-64711948
Port Register : Jakarta, Indonesia Purposes : Multi Purpose Research Vessel Name and Place Builder : Mjellem & Karlsen AS Bergen, Norway
Year of Build : July 1997 - August 1998 Certificate Class : BKI
Class : BKI + A100 E0 Construction : Hull Carbon Steel (Marine use) Superstructure
Marine Aluminium
115
Lampiran 13 (Lanjutan)
Main Dimension:
LOA : 53,20 m LBP : 46,50 m
LWL : 48,89 m Moulded Breath : 12,50 m
Maximum Draft : 4,30 m + 0,5 m Gross Tonnage : 1273 ton Net Tonnage : 382 ton
Cruise Speed : 10 knot/12 knot (emergency) Duration : 5000 mile/20 days
Accomodation : 24 persons Crew & 30 persons Surveyor
Propulsion System and Auxiliary Machine:
Main Engine : Caterpillar 3516B, 1491.5 KW Auxiliary Engine : Cummins (2 units) KTA 19-G2, @336 KW ,
Emergency generator Cummins Seri C, 163 KW Fuel Tank Capacity : 176,6 KL Fresh Water Generator : Aquasep 8 ton/day
Fresh Water Tank Capacity : 51,28 ton Maneuver Equipment : Steering Gear Auto Pilot, Steering Gear Auto Pilot,
Ship Auto Motion, Joystick, Forward & Aft
Thruster
Navigation and Telecomunication:
Communication Equipment : VHF Sailor Console, GMDSS Compact Sailor Console, Inmarsat C Sailor, Inmarsat B (Phone,
Fax, Telex, Data), SSB Icom - M710, Byru Satellite Phone
Navigation Equipment : Radar 72 mil (Freq 9 GHz), Radar ARPA 120 mil, Simrad Planning Station, Echo Sounder, Doppler Log (Speed Log), GPS / DGPS, Navtec, Weather
Station
Deck Machinery:
Deck Crane Hydroulic (Aft) : 3 Ton Capacity (12 m) Deck Crane Hydroulic (Fwd) : 2 Ton Capacity ( 6 m)
Trawl / Try Net Winch : 13 mm diameter, 1500 m, 8 ton SWL Oceanography Winch : 4 mm diameter, 2500 m, 2.5 ton SWL
CTD Winch : 8 mm diameter, 6000 m, 6 ton SWL Multipurpose Winch : 14 mm diameter, 10300 m, 8 ton SWL Capstan : 4 ton
116
Lampiran 13 (Lanjutan)
KR BAWAL PUTIH
Spesifikasi Nama Kapal : KAPAL RISET BAWAL PUTIH
Bendera : Republik Indonesia
Pemilik : Badan Riset Perikanan Laut, Jakarta
Tempat Pemeriksaan : Semarang
Tipe : Stern Trawler
Bahan Kasko : Baja
Panjang : 31, 2 meter
Lebar : 6,82 meter
Tinggi : 3,2 meter
Kapasitas : 188 GT
Kekuatan Mesin Induk : 550 PK
Merek Mesin Induk : Yanmar 6 MA-DT (550 HP)
Mesin Bantu (Generator) : Yanmar 6 RD-GE dan 6 KF (170 HP/Unit)
Kecepatan Rata-rata : 5 Knot
Kecepatan Maksimal : 7,5 Knot
Kapasitas bahan Bakar : 62.440 Liter
Kapasitas Air Tawar : 18.750 Liter
Alat Tangkap : Trawl Dasar Tipe Thailand Bottom Trawl
top related