pemanfaatan residu pltu tanjung b jepara
Post on 30-Dec-2015
134 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
PEMANFAATAN RESIDU PLTU TANJUNG B JEPARA
MENGGUNAKAN TEKNOLOGI ELEKTROLISIS PLASMA NON-TERMAL
SEBAGAI SOLUSI ABRASI PANTAI DI JEPARA
OLEH MUHAMMAD IMAM RAIS, 1006680386, UNIVERSITAS INDONESIA
BIDANG SOSEKLING/SDA
ABSTRAK
Indonesia adalah salah satu Negara kepulauan terbesar di dunia. Garis pantai yang sangat panjang
mencapai lebih kurang 81.000 km menempatkan Indonesia di posisi kedua garis pantai terpanjang di
dunia setelah Kanada. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita memanfaatkan potensi wilayah pesisir
yang terdapat di seluruh wilayah Indonesia. Namun, setiap pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir
dapat menyebabkan perubahan ekosistem dengan skala tertentu. Pemanfaatan dengan tidak
mempertimbangkan prinsip ekologi bisa menyebabkan turunnya mutu lingkungan dan berlanjut dengan
terjadinya kerusakan ekosistem wilayah pesisir. Salah satu kerusakan yang ditimbulkan adalah abrasi.
Abrasi merupakan suatu perubahan bentuk pantai atau erosi pantai yang disebabkan
ketidakseimbangan interaksi dinamis pantai, baik akibat faktor alam maupun non alam (ulah manusia).
Abrasi dapat mengakibatkan kerugian besar dengan rusaknya wilayah pantai dan pesisir dengan segala
kehidupan yang ada di wilayah tersebut. Salah satu masalah abrasi di Indonesia adalah abrasi pantai di
Jepara. Abrasi pantai yang mengganggu dan mengancam serta merusak kelestarian lingkungan pantai ini
semakin diperparah dengan adanya pembuangan brine water dari residu PLTU Tanjung B Jepara secara
langsung ke laut. Hal tersebut akan meningkatkan permukaan air laut meningkat. Selain itu, brine water
yang memiliki tingkat garam yang lebih tinggi dari air laut akan menyebabkan air laut menjadi tercemar.
Oleh karena itu, dibutuhkan solusi untuk menyelesaikan masalah ini. Karya tulis ini bertujuan untuk
meningkatkan produksi klorin dengan penerapan teknologi elektrolisis plasma non-termal. Elektrolisis
tersebut menggunakan brine water dari PLTU Tanjung B, Jepara, sebagai sumber yang dielektrolisis.
Gagasan ini ditulis dengan analisis potensi dari tidak termanfaatkannya brine water. Berdasarkan Jurnal
Melián-Martel, 2011 , diketahui bahwa brine water jika dielektrolisis akan menghasilkan gas klorin dan
soda api (NaOH) sebagai produk utamanya. Jumlah klorin yang dihasilkan ini akan berpotensi menjadi
lebih banyak jika menggunakan teknologi plasma non-termal. Hal ini berdasarkan pada percobaan
Mizuno dkk (2003) yang dapat menghasilkan hidrogen delapan kali lebih banyak dengan menggunakan
elektrolisis plasma daripada menggunakan elektrolisis biasa. Saat mulai terbentuknya plasma, arus listrik
yang dibutuhkan menurun secara signifikan sehingga daya listrik yang digunakan juga berkurang. Kedua
hal tersebut menyebabkan elektrolisis plasma non-termal dengan menggunakan brine water akan
menghasilkan klorin yang lebih banyak dengan penggunaan listrik yang lebih efisien daripada elektrolisis
biasa. Oleh karena potensi klorin yang dihasilkan sangat besar, maka diperlukan pengelolaan mandiri
untuk mengaplikasikan gagasan ini, yaitu dengan membangun pabrik klor-alkali.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Air garam yang digunakan saat ini pada umumnya dibuat dengan mencampurkan air tawar dengan
garam (NaCl) (Asahimas Chemical, 2012). Namun sekarang ini, air tawar / fresh water sudah menjadi
krisis di dunia, termasuk di Indonesia. Di Pulau Jawa sendiri yang penduduknya mencapai 65% total
penduduk Indonesia, hanya tersedia 4,5% potensi air tawar (Pusat Perpustakaan dan Penyebaran
Teknologi Pertanian. 2012). Penulis melihat adanya potensi sumber elektrolisis selain air garam, yaitu
brine water. Diketahui bahwa hasil elektrolisis brine water akan menghasilkan klorin yang jauh lebih
besar (main product) daripada air laut dengan hidrogen sebagai by product-nya (Abdel-Aal et al., 2010).
Brine water adalah air yang memiliki kadar garam yang lebih tinggi daripada air laut (Schlumberger,
2012). Kandungan garam pada brine water yaitu lebih dari 50 g/L, sedangkan air laut mengandung 30-50
g/L (Astle dan Weast, 1982).
Mengingat potensi pemanfaatan brine water sangat besar, penulis melihat peluang untuk
memanfaatkan air tersebut dari hasil limbah buangan PLTU di Indonesia. “Semakin banyak PLTU di
Indonesia yang umumnya berada dekat pantai, semakin banyak brine water yang tidak termanfaatkan.
Padahal, biaya untuk proses desalinasi itu sangat mahal (Marwati, 2010)”. Salah satu PLTU yang
menghasilkan residu brine water adalah PLTU Tanjung Balai B, Jepara, Jawa Tengah, yaitu sebesar 60%
dari air laut yang digunakan . Penulis Memilih PLTU tersebut karena melihat adanya potensi industri di
Jepara, yaitu industri klor-alkali, selain industri mebel dan ukir yang menjadi ikon kota tersebut.
Teknologi yang digunakan untuk memproduksi klorin saat ini, yaitu elektrolisis biasa, membutuhkan
daya yang sangat besar. Dibutuhkan daya listrik sebesar 3400 kWh untuk memproduksi satu ton klorin
(Melián-Martel et al., 2011). Oleh karena itu, penulis melihat adanya teknologi lain untuk memproduksi
klorin dengan daya yang lebih sedikit daripada elektrolisis biasa. Teknologi tersebut adalah elektrolisis
plasma non-termal.
Studi mengenai produksi klorin dengan menggunakan elektrolisis plasma belum pernah dilakukan.
Selama ini, baru diteliti pemanfaatan elektrolisis plasma dengan air laut untuk memproduksi gas
hidrogen. Berdasarkan Jurnal Abdel-Aal et al., 2010, diketahui bahwa elektrolisis plasma dengan
menggunakan air laut akan menghasilkan efektivitas yang jauh lebih tinggi karena air laut mengandung
NaCl yang konduktivitasnya tinggi. Teknologi plasma diketahui dapat menghasilkan gas hidrogen
delapan kali lebih banyak dari elektrolisis biasa pada proses produksi hidrogen dengan menggunakan air
(Mizuno et al., 2003). Selain itu, semakin meningkatnya tegangan yang digunakan maka plasma yang
terbentuk akan semakin banyak, yang membuat produktivitas hidrogen meningkat dan konsumsi energi
menurun (Saksono et al., 2012). Berdasarkan hal tersebut, penulis berasumsi jika menggunakan
elektrolisis plasma, jumlah klorin yang diproduksi akan semakin meningkat dan efisien.
Tujuan
1. Mempelajari potensi residu brine water PLTU Tanjung Balai B, Jepara, Jawa Tengah untuk
memproduksi gas klorin
2. Mempelajari penggunaan teknologi plasma non-termal untuk meningkatkan jumlah gas klorin yang
diproduksi dan meningkatkan efisiensi penggunaan listrik
3. Mengurangi potensi abrasi pantai di daerah Jepara dengan memanfaatkan residu brine water PLTU
Tanjung Balai B Jepara yang selama ini dibuang begitu saja ke laut
Manfaat
1. Membuka wawasan pihak PLTU Tanjung Balai B, Jepara bahwa residu brine water yang selama ini
dibuang begitu saja dapat dimanfaatkan untuk memproduksi gas klorin
2. Memberikan solusi tentang produksi gas klorin yang lebih produktif dari segi jumlah dan yang lebih
efisien dari segi penggunaan listrik
3. Membuka lapangan pekerjaan dan meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar dengan
melakukan produksi klorin dari residu brine water PLTU Tanjung B Jepara
Telaah Pustaka
Penulisan gagasan ini berdasarkan jurnal Saksono et al., 2012, yang menerangkan bahwa dengan
elektrolisis plasma non-termal dapat menghasilkan produk 8 kali lebih banyak dari elektrolisis biasa dan
juga potensi brine water dari PLTU Tanjung B Jepara yang tidak termanfaatkan (Marwati, 2010)
Metode Penulisan
Metode penulisan ini bersumber dari gagasan penulis yang melihat potensi brine water untuk
menghasilkan klorin dan juga penggunaan metode elektrolisis yang menghasilkan lebih banyak produk.
Ide-ide penulis tersebut dibuktikan dan dikembangkan dengan jurnal-jurnal yang ada.
ISI
Analisis Situasi
Pada era globalisasi saat ini, banyak industri menggunakan klorin (Cl2) sebagai salah satu bahan baku
dasarnya, contohnya pada industri desinfektan, plastik, kertas, dan lain- lain (Hasan, 2006). Lebih dari
50% barang-barang kimia yang komersil menggunakan klorin sebagai bahan dasarnya (World Chlorine
Council, 2012). Salah satu teknologi biasa yang digunakan untuk menghasilkan klorin adalah melalui
elektrolisis air garam/saline water. Para pelaku industri penghasil klorin atau biasa disebut industri klor-
alkali lebih memilih air garam daripada air laut karena banyaknya pengotor pada air laut yang dapat
mempengaruhi produk (Melián-Martel et al., 2011). Elektrolisis air garam merupakan teknologi
pemecahan molekul-molekul air garam menjadi atom-atom penyusunnya. Teknologi ini diterapkan
berdasarkan teori yang dikembangkan oleh Michael Faraday yang menjelaskan hubungan kuantitatif
antara jumlah arus listrik yang dilewatkan pada sel elektrolisis dengan jumlah zat yang dihasilkan pada
elektroda. Teori yang dinyatakan oleh Faraday antara lain:
1. Jumlah zat yang dihasilkan di elektroda sebanding dengan jumlah arus listrik yang melalui sel
2. Bila sejumlah tertentu arus listrik melalui sel, jumlah mol zat yang berubah di elektroda adalah
konstan tidak bergantung jenis zat
Adapun reaksi elektrolisis biasa tersebut dari air garam untuk menghasilkan klorin (Cl2) dengan
menggunakan arus listrik yang mengalir melalui air garam adalah sebagai berikut (Abdel-Aal et al., 2010)
:
Anoda: 2Cl-(aq) → Cl2(g) + 2e- (1)
Katoda: 2Na+(aq) + 2H2O(l) + 2e- → H2(g) + 2NaOH(aq) (2)
Dari reaksi di atas, diperoleh produk utama berupa Cl2 dan NaOH, sedangkan produk sampingannya
berupa H2. NaOH dapat digunakan sebagai reaktan untuk mensintesis bahan-bahan farmasi, sedangkan
H2 dapat digunakan untuk memproduksi hidrogen peroksida dan amoniak (Euro Chlor, 2012). Proses
elektrolisis dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Proses Elektrolisis menggunakan membran sel
Sumber : http://www.eurochlor.org/media/7812/membrane_cell_process.pdf
Seiring dengan bertambahnya penduduk Indonesia maka kebutuhan akan klorin pun semakin
meningkat. Kebutuhan klorin tersebut meningkat karena pada umumnya klorin dimanfaatkan sebagai
bahan baku produk kebutuhan sehari-hari seperti plastik, deterjen, dan kertas (Gambar 2). Pertambahan
penduduk Indonesia tersebut dari tahun ke tahun terlihat dari hasil sensus penduduk yang meningkat
selama 10 tahun terakhir sebesar 15% (Badan Pusat Statistik, 2010). Mengingat kebutuhan klorin
semakin meningkat, dibutuhkan gagasan untuk menghasilkan klorin dengan skala lebih besar dan
efisien dari segi daya listrik yang digunakan.
Bahan baku dari pembuatan klorin secara biasa adalah dengan menggunakan air garam. Air garam
tersebut dibuat dengan cara melarutkan garam (NaCl) ke dalam air tawar / fresh water (Asahimas
Chemical, 2012). Namun sekarang ini, air tawar / fresh water sudah menjadi krisis di dunia, termasuk di
Indonesia. Di Pulau Jawa yang penduduknya mencapai 65% dari total penduduk Indonesia, hanya
tersedia 4,5% potensi air tawar nasional. Faktanya, jumlah ketersediaan air di Pulau Jawa yang mencapai
30.569,2 juta meter kubik per tahun tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan air bagi seluruh
penduduknya (Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian, 2012).
Gambar 2. Berbagai produk berbahan dasar klorin
Sumber : Hasan, 2006
Berdasarkan hal tersebut, dibutuhkan alternatif lain untuk menggantikan air garam, yaitu dengan
menggunakan brine water. Brine water adalah adalah air yang memiliki kadar garam yang lebih tinggi
daripada air laut (Schlumberger, 2012). Brine water memiliki potensi untuk menghasilkan klorin lebih
banyak daripada air laut. Potensi ini berdasarkan pada semakin banyak kandungan garam maka semakin
banyak gas klorin yang dihasilkan pada proses elektrolisis. Hal ini terjadi karena sumber klorin tersebut
diperoleh dari NaCl sehingga semakin banyak NaCl yang terlarut maka semakin banyak gas Cl2 yang
dihasilkan pada elektrolisis.
Sumber brine water yang diambil dalam gagasan ini adalah brine water dari limbah PLTU Tanjung B
Jepara, Jawa Tengah. Dipilihnya PLTU tersebut karena penulis melihat adanya potensi industri di Jepara,
yaitu industri klor-alkali, selain industri mebel dan ukir yang menjadi ikon kota tersebut. PLTU Tanjung B
Jepara mengambil air laut sebagai sumber untuk menggerakan generator dengan cara memanaskan air
laut menggunakan batu bara. Kemudian uapnya digunakan untuk menggerakan generator dan yang
tidak menguap, yaitu brine water, dibuang begitu saja ke laut. PLTU tersebut menghasilkan daya listrik
sebesar 1320 MW dengan membutuhkan 320 m3 air laut per jam nya. Dari 320 m3 air laut tersebut,
dihasilkan sebesar 200 m3 brine water (Marwati, 2010).
Gambar 3. PLTU Tanjung B Jepara
Sumber : http://1.bp.blogspot.com/-K-q1I4YIByQ/T0HRm2godhI/AAAAAAAAAhA
/6z5OUzN_BVo/s1600/images.jpg
Pemanfaatan Teknologi Plasma Non-Termal dalam Proses Elektrolisis
Berdasarkan teknologi untuk menghasilkan klorin, yaitu dengan menggunakan elektrolisis, penulis
melihat adanya potensi menggunakan elektrolisis plasma non-termal untuk menghasilkan klorin lebih
banyak dan efisien. Elektrolisis plasma (Contact Glow Discharge Electrolysis, CGDE) adalah proses
elektrokimia dimana plasma dihasilkan oleh arus DC antara elektroda dan permukaan elektrolit di
sekitarnya (Yan et al., 2006). Plasma non-termal memiliki densitas energi lebih rendah dari pada termal.
Terdapat perbedaan suhu besar antara elektron dan partikel yang lebih berat jika dibandingkan dengan
plasma termal. Elektron dengan energi yang cukup bertumbukan dengan gas latar (background)
menghasilkan disosiasi, eksitasi, dan ionisasi tingkat rendah tanpa peningkatan entalpi gas yang cukup
besar (Yan et al., 2006).
Elektrolisis biasa dikembangkan menjadi elektrolisis plasma (CGDE) ketika tegangan yang diberikan
sangat tinggi. Hasil yang didapat pada elektroda pijaran plasma (glow discharge electrode) beberapa kali
lebih besar dibandingkan nilai Faraday yang dihasilkan dari elektrolisis biasa seperti H2 yang terbentuk
pada anoda dan Cl2 yang terbentuk pada katoda (Mizuno, 2003). Dalam percobaan produksi hidrogen
dengan mengunakan air (H2O) murni pada suhu 80oC dan tegangan 230V, Mizuno dkk (2003)
mendapatkan efisiensi penggunaan energi listrik hingga 800% dibandingkan kebutuhan energi listrik
menurut Hukum Faraday tersebut.
Plasma elektrolisis akan terbentuk pada kondisi tegangan yang tinggi. Sebelum plasma terbentuk, arus
akan meningkat seiring dengan bertambahnya waktu (Gambar 4). Pada grafik tersebut terlihat bahwa
pada detik sekitar 220 dan arus 10A, plasma mulai terbentuk. Setelah terbentuknya plasma, arus listrik
menurun secara signifikan menjadi sekitar 3A dan daya menurun dari 1900W menjadi 600W (Saksono et
al., 2012) sehingga dapat dikatakan bahwa penerapan teknologi plasma dalam proses elektrolisis brine
water mampu mengurangi konsumsi energi listrik.
Gambar 4. Grafik hubungan antara temperatur, arus dan tegangan terhadap waktu dalam
larutan KOH 0,1 M dan tegangan 200 volt
Sumber : Saksono et al., 2012
Pada percobaan yang menggunakan larutan KOH 0,1 M tersebut, reaksi yang terjadi pada anoda dan
katoda adalah
Anoda: 2H2O → O2(g) + 4H+(aq) + 4e- (3)
Katoda: 2H2O + 2e- → H2(g) + 2OH-(aq) (4)
Pada saat plasma mulai terbentuk, produksi H2 meningkat seiring dengan menurunnya arus listrik
(konsumsi listrik menurun). Oleh karena pembentukan spesies metastabil dari H+ dan OH- menjadi
radikal •H dan •OH, H2 dan O2 akan terbentuk sehingga total produksi H2 meningkat. Reaksi diantara
spesies metastabil dapat ditulis (Jinzhang et al., 2008):
4H+(aq) + 4e- → 4•H (5)
4OH-(aq) → 4•OH + 4e- (6)
4H+(aq) + 4OH-
(aq) → 4•H + 4•OH (7)
2•H + 2•H → 2H2(g) (8)
4•OH → 2H2(aq) + 2O2(aq) (9)
Potensi Brine Water PLTU Tanjung B Jepara Untuk Menghasilkan Klorin
Brine water pada PLTU Tanjung B Jepara dibuang begitu saja karena biaya untuk mendesalinasi yang
menghasilkan air tawar / fresh water memerlukan biaya yang tinggi. Brine water tersebut jika digunakan
kembali untuk sumber PLTU akan meningkatkan korosi pada peralatan logam PLTU. Hal tersebut dapat
terjadi karena konduktivitas yang tinggi pada brine water sehingga mengakibatkan elektron-elektron
dari peralatan logam PLTU lebih mudah untuk diikat oleh oksigen di udara yang menyebabkan terjadinya
korosi. Brine water pada limbah PLTU Tanjung B Jepara mempunyai kadar garam yang cukup tinggi.
Komposisi secara matematis perhitungan kandungan garamnya yaitu diketahui bahwa rata-rata air laut
mengandung garam 3,5 %, artinya dalam 1 liter air laut terdapat 35 gram garam (Anderson, 2008).
Namun, garam tersebut tidak semuanya NaCl. Komposisi garam tersebut dijelaskan pada Tabel 1. PLTU
Tanjung B Jepara setiap jamnya membutuhkan 320m3 atau 320.000 L air laut sehingga garam yang
terkandung sekitar 11.200.000 gram atau 11,2 ton. Setelah diupkan, menghasilkan buangan brine water
sebanyak 200 m3 atau 200.000 L. Diasumsikan air yang teruapkan, yaitu sebanyak 120.000 L, tidak
mengandung garam yang terlarut . Berdasarkan hal tersebut, kadar garam pada Brine water PLTU
Tanjung B Jepara adalah 11.200.000 gram atau sekitar 5,6% dari brine water setiap jamnya.
Tabel 1. Komposisi Kandungan Garam Laut
Ion Penyusun Garam Laut % Massa Kandungan Dalam Garam laut
Klorida 55,03
Natrium 30,59
Sulfat 7,68
Magnesium 3,68
Kalsium 1,18
Potasium 1,11
Bikarbonat 0,41
Bromida 0,19
Borat 0,08
Strontium 0,04
flour 0,003
Lain-Lain Kurang dari 0,001
Sumber : Anderson, 2008
Berdasarkan Tabel 1, persen massa ion klorida dalam garam laut adalah 55,03% sehingga potensi brine
water PLTU Tanjung B Jepara dari setiap 200 m3 untuk menghasilkan klorin jika diasumsikan semua ion
klorida menjadi gas adalah 6.163.360 gram atau sekitar 6,2 ton.
Elektrolsis Plasma Non-Termal Menggunakan Brine Water
Ion klorida dari brine water PLTU Tanjung B, Jepara, berpotensi untuk menghasilkan klorin melalui
teknologi elektrolisis plasma non-termal. Dengan menggunakan teknologi ini, kebutuhan daya listrik
akan lebih efisien daripada elektrolisis biasa. Namun, masalah besar dari brine water tersebut yaitu
banyaknya zat pengotor yang terlarut. Zat tersebut akan mempengaruhi proses elektrolisis karena
elektrolisis membutuhkan brine water yang cukup murni, khususnya metode membran sel yang
membutuhkan kemurnian yang tinggi. Zat pengotor tersebut berupa ion-ion logam maupun zat yang
terlarut. Melián-Martel dkk (2011) menjelaskan dalam jurnalnya mengenai pemurnian brine water.
Proses pemurnian tersebut tercantum dalam Gambar 5.
Gambar 5. Proses pemurnian brine water
Sumber : Melián-Martel et al., 2011
Proses pemurnian yang pertama terdiri atas pengendapan kimia , klarifikasi, dan filtrasi. Pemurnian
tahap ini akan menghilangkan kalsium, magnesium, dan sulfat pada brine water dalam bentuk CaCO3,
BaSO4, dan Mg(OH)2. Penghilangan zat kimia tersebut dilakukan melalui proses pengendapan. Kalsium
diendapkan oleh larutan natrium karbonat (Na2CO3). Untuk mengendapkan sulfat digunakan larutan
barium klorida (BaCl2), sedangkan magnesium diendapkan dengan larutan natrium hidroksida (NaOH).
Reaksi dari proses pengendapan tersebut adalah sebagai berikut :
Na2CO3•10H2O(ac) + CaCl2(ac) → CaCO3(s) + 2NaCl(ac) + 10H2O(ac) (10)
BaCl2•2H2O(ac) + Na2SO4 (ac) → BaSO4 (s) + 2NaCl(ac) + 2H2O(ac) (11)
2NaOH(ac) + MgCl2(ac) → Mg(OH)2(s) + 2NaCl(ac) (12)
Proses pengendapan magnesium tersebut dapat juga dilakukan untuk berbagai logam seperti besi, nikel
dan krom. Logam-logam tersebut akan mengendap dalam bentuk hidroksida yang terjadi pada tangki
klarifikator. Pada tangki tersebut ditambahkan beberapa pati kentang yang digunakan sebagai
penggumpal untuk zat-zat yang mengendap. Penggumpal tersebut berguna agar pada saat air dialirkan
keluar tangki, zat-zat yang mengendap tidak ikut keluar. Setelah dikeluarkan dari tangki klarifikator,
brine selanjutnya melalui proses filtrasi. Proses filtrasi tersebut berguna untuk menyaring padatan
berdiameter kecil yang tersuspensi.
Setelah melalui proses pemurnian yang pertama, selanjunya brine water memasuki proses
pensaturasian dengan cara diuapkan. Proses tersebut berguna agar konsentrasi NaCl lebih pekat
sehingga lebih mudah dielektrolisis. Persamaan kesetimbangan energi untuk setiap evaporator adalah :
Lo ·ΔHLo + Q1 = L1 ·ΔHL1 + V1 ·ΔHV1 (13)
dimana Lo adalah aliran brine yang masuk ke evaporator, L1 adalah aliran brine yang keluar dari
evaporator, V1 adalah jumlah air yang menguap dalam evaporator, Q1 adalah pertukaran panas, ΔHLo
dan ΔHL1 adalah entalpi dari cairan yang masuk dan keluar evaporator, dan ΔHV1 adalah entalpi dari uap.
Proses pemurnian pertama belum cukup untuk menghilangkan kalsium, magnesium, dan strontium.
Diperlukan proses pemurnian yang kedua, yaitu pertukaran ion (ion exchange). Proses tersebut
memerlukan resin yang karakteristiknya berhubungan dengan gugus fungsi aminometilfosfonik. Gugus
tersebut sangat berhubungan erat dengan Ca2+ dan Mg2+ sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran
ion. Setelah pemurnian tersebut, brine water dipanaskan (sampai 90oC) dan pengasaman (pH 4) dengan
tujuan agar tidak terbentuknya reaksi yang kedua pada persamaan reaksi 14 dan 15.
Cl2 + H2O → Cl− + H+ ↔ ClO− + Cl− + 2H+ (14)
HClO+ + ClO− → ClO3− + 2Cl− + 2H+ (15)
Selanjutnya terbentuk produk buangan/limbah dari elektrolisis tersebut, yaitu depleted brine. Depleted
brine tersebut dapat dicampurkan kembali untuk proses elektrolisis selanjutnya. pencampuran tersebut
dapat dilakukan setelah proses ion exchange. Namun sebelum dicampurkan, depleted brine tersebut
harus melalui proses deklorinasi. Dalam proses deklorinasi, beberapa asam klorida (pH 2-2,5)
ditambahkan sehingga ekstraksi klorin yang lebih baik dapat diperoleh. Penambahan asam klorida, yang
mempunyai pH 2-2.5, tidak hanya mengurangi kelarutan klorin melalui perubahan kesetimbangan
hidrolisis titik, tetapi juga dapat meghambat pembentukan klorat dan hipoklorit. Hasil pemurnian
tersebut menghasilkan kemurnian sekitar NaCl 30.6% berat. Jika dielektrolisis menggunakan eneltrolisis
biasa maka akan menghasilkan gas klorin dengan konsentrasi 98% (Melián-Martel et al., 2011)
Pada proses elektrolisis plasma non-termal dengan menggunakan brine water, reaksi yang terjadi pada
anoda dan katoda akan sama dengan elektrolisis biasa menggunakan air garam (reaksi 1 dan 2) karena
brine water tersebut hanya mempunyai kandungan garam yang lebih tinggi daripada air laut sehingga
tidak mempengaruhi elektrolisi (Schmittinger, 2000). Setelah terbentuk plasma, akan terbentuk spesi-
spesi aktif radikal dari komponen-komponen penyusunnya.
Menurut Mizuno (2003), elektrolisis biasa dapat dikembangkan menjadi elektrolisis plasma dengan cara
menaikan tegangan diatas 100V. Berdasarkan hal tersebut, aplikasi teknologi elektrolisis plasma dengan
menggunakan metode membrane sel hanya dengan menaikan tegangannya sampai terbentuk plasma.
Oleh karena potensi klorin yang dihasilkan dari elektrolisis plasma non-termal dengan menggunakan
bahan baku brine water sangat besar, diperlukan pendirian pabrik klor-alkali di sekitar PLTU Tanjung B,
Jepara, untuk pengembangan lebih lanjut.
Pada sub bab sebelumnya, diketahui potensi brine water PLTU Tanjung B Jepara dari setiap 200 m3
untuk menghasilkan klorin jika diasumsikan semua ion klorida menjadi gas adalah 6,2 ton. Dari hasil
tersebut, pendapatan pabrik klor-alkali jika diketahui harga gas klorin dunia dengan kemurni 98%-99%
(Steward,2013) yaitu $0,15 per 100 gram adalah $9.300 per 200 m3 brine water.
Pihak-Pihak yang Terkait dalam Pengimplementasian Gagasan
Pengimplementasian teknologi plasma non-termal dengan menggunakan brine water dari PLTU Tanjung
B, Jepara, berupa pendirian pabrik klor-alkali. Pihak-pihak yang terkait dalam pendirian pabrik tersebut
adalah:
Tabel 2. Peranan elemen terkait dalam pengimplementasian gagasan
No Lembaga Peranan
1 Lembaga Penelitian
Melakukan riset atau uji coba kelayakan
terhadap metode elektrolisis plasma
dengan brine water yang akan diterapkan di
daerah Jepara
2 Kalangan Akademisi
Meneliti, merancang, dan
mengambangkan teknologi plasma non-
termal agar dapat diimplementasikan
dalam skala besar
3 Pemerintah Jepara
Menyiapkan lahan industri yang siap pakai
serta membantu mengurus izin dan studi
AMDAL
4 PLTU Tanjung B, Jepara Sebagai penyedia brine water dan sumber
listrik yang digunakan dalam memproduksi
klorin
5
Perusahaan di daerah
Kudus: PT. Pura Barutama
dan PT. Kasih Sumber
Rezeki
Sebagai investor yang akan menggunakan
gas klorin sebagai bahan baku dalam proses
produksinya
6 Kontraktor Bangunan
Membangun pabrik klor alkali sesuai
dengan analisis dari lembaga penelitian dan
kalangan akademisi
7 Media Massa
Membantu menyosialisasikan industri
pembuatan gas klorin dari elektrolisis
plasma menggunakan brine water kepada
publik agar teknologi serupa dapat
diterapkan pada PLTU lainnya di Indonesia
8 Masyarakat Sekitar
Sebagai sumber daya manusia yang
digunakan untuk menjalankan industri Klor-
Alkali dalam tujuan untuk menyejahterakan
masyarakat di sekitar Jepara
Sumber : Hasil analisis, 2012
Alasan mengapa penulis mengadakan kerjasama dengan perusahaan di daerah Kudus adalah karena
belum adanya industri yang memanfaatkan ataupun menghasilkan klorin di Jepara. Mayoritas industri
yang ada di Jepara adalah industri mebel dan ukir. Industri mebel dan ukir di Jepara yang aktif mencapai
3.821 unit. Unit tersebut dapat menyerap sumber daya manusia sebesar 50.668, yaitu sekitar 22% dari
jumlah penduduk Jepara (Badan Pusat Statistik Kabupaten Jepara, 2008). Oleh karena di Jepara tidak
ada industri yang memanfaatkan klorin sebagai bahan baku produksi maka penulis menilik potensi
industri-industri di kota terdekat, yaitu Kota Kudus yang terletak 28km dari Kota Jepara (Bismania,
2012).
Langkah-Langkah Strategis Implementasi Gagasan
Gagasan pemanfaatan brine water dari hasil residu PLTU Tanjung B, Jepara, dengan teknologi
elektrolisis plasma non-termal dapat diimplementasikan dengan mendirikan pabrik klor-alkali. Sebelum
pabrik tersebut didirikan, harus melalui beberapa tahapan penelitian sebagai berikut:
1. Tahap 1
Pada tahap ini, dilakukan riset tentang pengembangan teknologi elektrolisis plasma non-termal dengan
menggunakan brine water agar dapat diimplementasikan, khususnya di Jepara. Hasil yang diharapkan
dari riset ini adalah diketahui seberapa signifikannya jumlah gas klorin yang dihasilkan dengan teknologi
plasma non-termal dari residu PLTU Tanjung B, Jepara, berupa brine water
2. Tahap 2
Pada tahap ini, dilakukan studi kelayakan tentang pendirian pabrik klor alkali disekitar PLTU Tanjung B,
Jepara. Studi kelayakan ini meliputi berbagai aspek, diantaranya adalah studi AMDAL. Studi tersebut
juga termasuk survei pendapat kepada warga sekitar mengenai pembangunan pabrik. Hasil yang
diharapkan adalah terpenuhinya segala aspek yang dibutuhkan untuk pendirian pabrik ini, termasuk
penyediaan lahan oleh pemerintah setempat
3. Tahap 3
Pada tahap ini, dilakukan kerjasama dengan PLTU Tanjung B Jepara dalam penggunaan brine water yang
dihasilkan agar dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuatan gas klorin. Kerjasama ini berupa
pendistribusian brine water ke pabrik klor alkali yang penulis canangkan melalui jalur perpipaan
4. Tahap 4
Pada tahap ini, dilakukan kerjasama dengan berbagai industri di Kudus yang menggunakan klorin
sebagai bahan baku produksi, seperti: PT. Pura Barutama dan PT. Kasih Sumber Rezeki
5. Tahap 5
Tahap kelima ini merupakan tahap pembangunan pabrik. Diharapkan dana untuk membangun industri
ini berasal dari Pemerintah Kota Jepara dan para investor
6. Tahap 6
Tahap ini merupakan tahap penyosialisasian industri ini melalui media massa setempat maupun media
massa nasional. Melalui media massa ini diharapkan teknologi serupa dapat dimanfaatkan oleh PLTU
lainnya di Indonesia
7. Tahap 7
Pada tahap terakhir ini, dilakukan pembuatan hak paten jika telah berhasil diterapkan pada skala besar.
KESIMPULAN
Inti Gagasan
Hal pokok dari dirancangnya gagasan ini adalah sebagai bentuk pemanfaatan brine water hasil residu
PLTU Tanjung B, Jepara, yang sebelumnya dibuang begitu saja ke laut untuk memproduksi gas klorin
dengan teknologi plasma non-termal. Residu tersebut berpotensi untuk menghasilkan klorin sebagai
main product melalui proses elektrolisis (Abdel-Aal et al., 2010). Adapun elektrolisis yang digunakan
adalah elektrolisis plasma non-termal. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan produksi klorin itu sendiri
dan juga untuk menghemat penggunaan arus listrik.
Teknik Implementasi Gagasan
Agar gagasan ini dapat diimplementasikan, diperlukan kerjasama antara pihak-pihak yang telah
disebutkan sebelumnya. Sebelum gagasan ini dapat terealisasikan maka seorang peneliti dari suatu
lembaga penelitian harus bekerjasama dengan kalangan akademisi. Kerjasama ini dalam hal pengujian
teknologi elektrolisis plasma non-termal dengan menggunakan brine water agar dapat diterapkan dalam
skala besar. Kemudian Pemerintah Kota Jepara diharapkan dapat membantu dari segi pendanaan dan
penyediaan lahan untuk pembangunan pabrik klor alkali yang sumber brine water-nya berasal dari PLTU
Tanjung B, Jepara.
Pemerintah Kota Jepara diharapkan juga melakukan kerjasama dengan kontraktor setempat untuk
membangun pabrik tersebut. Selanjutnya diadakan kerjasama dengan beberapa perusahaan di daerah
Kudus yang menggunakan gas klorin sebagai bahan baku kegiatan industrinya, seperti: PT. Pura
Barutama dan PT. Kasih Sumber Rezeki. Adapun media massa diharapkan berperan dalam
menyosialisasikan penerapan teknologi baru ini kepada publik sekaligus menginformasikan bahwa
pembangunan pabrik klor alkali ini akan membuka lapangan kerja baru, khususnya bagi penduduk
Jepara.
Prediksi Keberhasilan Gagasan
Ditinjau dari segi ekonomi, bahan baku (brine water) yang tersedia sangat melimpah karena setiap
jamnya dihasilkan 200 m3 dari hasil residu PLTU Tanjung B, Jepara. Dari 200 m3 tersebut, potensi klorin
yang dihasilkan adalah sebanyak 6,2 ton. Pendapatan yang diperoleh dari 200 m3 brine water adalah
$9.300. Selain itu, konsumsi listrik akan lebih efisien dengan menggunakan teknologi elektrolisis plasma
non-termal dibandingkan elektrolisis biasa. Berdasarkan kedua hal tersebut, dibutuhkan pengelolaan
klorin yang mandiri, salah satunya yaitu dengan didirikan pabrik klor alkali. Pabrik ini diprediksikan akan
menyerap tenaga kerja yang banyak, khususnya bagi penduduk Jepara sehingga dapat mengurangi
angka pengangguran.
Ditinjau dari segi teknis, penggunaan brine water akan mengurangi konsumsi air tawar yang digunakan
dalam industri klor alkali. Hal ini akan mengurangi dampak krisis air tawar yang melanda beberapa
daerah di Indonesia, termasuk di Pulau Jawa.
Keberhasilan dari gagasan ini akan tercapai apabila setiap residu dari seluruh PLTU di Indonesia dapat
dikelola untuk menghasilkan klorin dengan teknologi plasma non-termal. Hal ini akan menjadi salah satu
alternatif dalam memenuhi kebutuhan klorin nasional oleh industri klor-alkali seiring dengan
bertambahnya jumlah penduduk.
DAFTAR PUSTAKA
Abdel-Aal, H. K., Zohdy, K. M. & Kareem, M. A. 2010. Hydrogen Production Using Sea Water
Electrolysis. the Open Fuel Cells Journal 3: 1-7.
Anderson, Genny. (2008) Seawater Composition [Internet], Marine Science. Tersedia dalam:
<http://www.marinebio.net/marinescience/02ocean/swcomposition.htm> [Diakses 17 Februari
2010].
Asahimas Chemical. 2012. Proses [Internet]. Tersedia dalam: <http://www.asc.co.id/?idm=2> [Diakses
20 Februari 2012].
Astle, M.J., Weast, R.C. ed. 1982. CRC Handbook of Chemistry and Physics. Florida : CRC Press.
Badan Pusat Statistik. 2010. Penduduk Indonesia menurut Provinsi 1971, 1980, 1990, 1995, 2000 dan
2010 [Internet]. Tersedia dalam: <http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?
tabel=1&daftar=1&id_subyek=12¬ab=1> [Diakses 26 Februari 2012].
Badan Pusat Statistik Kabupaten Jepara. 2008. Jepara Dalam Angka. [Internet]. Tersedia dalam:
<http://jeparakab.bps.go.id/publikasi/2009/jda_2009.pdf> [Diakses 26 Februari 2012].
Bismania. 2012. Jarak Tempuh Bus AKAP - Hitung Biaya Solar/Bensin-mu Disini [Internet]. Tersedia
dalam: http://www.bismania.com/home/showthread.php?t=3312&page=1 [Diakses 24 Februari
2012]
Budiman, Aditya., &Triyono, Heru.2011. DKI Jakarta Nyaris Kelebihan Penduduk [Internet], Tempo,
Tersedia dalam: <http://www.tempo.co/read/news/2011/09/10/057355494/DKI-Jakarta-Nyaris-
Kelebihan-Penduduk> [Diakses: 25 Februari 2012].
Euro Chlor. 2012. How to Produce Chlorine [Internet]. Tersedia dalam: <http://www.eurochlor.org/>
[Diakses 9 Februari 2012].
Hasan, A. 2006.Dampak Penggunaan Klorin. Jurnal Teknologi Lingkungan 7(1): 90-96.
Jinzhang, G., et al. 2008.Analysis of Energetic Species Caused by Contact Glow
Discharge Electrolysis in Aqueous Solution. Plasma Science and Technology 10(1).
Marwati. (2010) Achieving Doctoral Degree by Researching Economic Potential of Brine Water Residues
from Steam Power Plant [Internet]. Tersedia dalam:
<http://www.ugm.ac.id/en/?q=news/achieving-doctoral-degree-researching-economic-potential-
brine-water-residues-steam-power-plant> [Diakses 8 Februari 2012].
Melián-Martel, N., Sadhwani, J.J. & Báez, S. Ovidio Pérez. 2011.Saline waste
disposal reuse for desalination plants for the chlor-alkali industry
The particular case of pozo izquierdo SWRO desalination plant. Desalination 281: 35-41.
Mizuno, T., Akimoto, T., Ohmori, T., 2003. Confirmation of Anomalous Hydrogen Generation by Plasma
Electrolysis. In:4th Meeting of Japan CF Research Society, Iwate, Japan: Iwate University.
Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian. 2012. Indonesia akan Krisis Air. [Internet].
Tersedia dalam: <http://pustaka.litbang.deptan.go.id/inovasi/
kl060218.pdf> [Diakses 16 Februari 2012].
Saksono, Nelson., Ariawan, Bondan., Bismo, Setijo. 2012.Hydrogen Production
System Using Non-Thermal Plasma Electrolysis in Glycerol-KOH Solution. International
Journal of Technologi 1: 8-15.
Santorelli, Rosanna; Schervan, Ardian. (2009). Energy Production From Hydrogen Co-Generated In
Chlor-Alkali Plants By The Means Of Pem Fuel Cells Systems. Via XXV Aprile 2, 20097. Italy:
San Donate Milanese (Milano).
Schlumberger. 2012. Oil Field Glossary. Terdapat dalam: <glossary.oilfield.slb.com> [Diakses 9 Februari
2012].
Schmittinger, P. ed. 2000. Chlorine : Principle and Industrial Practice. Freiburg : Wiley-VCH.
Steward, Dough. 2012.Chlorine Element Facts [internet]. Tersedia dalam :
<http://www.chemicool.com/elements/chlorine.html> [Diakses 4 November 2012]
World Chlorine Council. 2012. Chlorine Products & Benefits [Internet]. Tersedia dalam:
<http://www.eurochlor.org/> [Diakses 16 Februari 2012].
Yan, Z.C., Li, C. & Wang, H. 2006. Hydrogen generation by glow discharge plasma electrolysis of
methanol solutions. International Journal of Hydrogen Energy 34 : 48-55.
top related