teori residu

22
Teori Residu (Teori Catur Praja) Van Vollenhoven menganjurkan teori Catur Praja (Quarto Politica) yang terdiri atas penyelenggara pemerintahan (bestuur), kepolisian, peradilan, dan legislatif. Menyelenggarakan pemerintahan mangandung makna proaktif, dan van Vollenhoven memperkenalkan prinsip vrijbestuur dalam penyelenggaraan pemerintahan, yaitu kewajiban dan hak yang melekat pada diri pejabat publik begitu diangkat. Kewajibannya menganut stelsel residual theory, yaitu melaksanakan tugas apa saja meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit, selain tugas-tugas kepolisian, peradilan, dan legislatif. Untuk melaksanakan kewajiban ini pemerintah memiliki diskresi atau kebebasan bertindak dengan prinsip freies ermessen demi menjaga kepentingan rakyat. Berdasarkan teori residu dari Van Vollenhoven dalam bukunya “Omtrek Van Het Administratief Recht”, membagi kekuasaan/fungsi pemerintah menjadi empat yang dikenal dengan teori catur praja yaitu: 1) Fungsi memerintah (bestuur) Dalam negara yang modern fungsi bestuur yaitu mempunyai tugas yang sangat luas, tidak hanya terbatas pada pelaksaan undang- undang saja. Pemerintah banyak mencampuri urusan kehidupan masyarakat, baik dalam bidang ekonomi, sosial budaya maupun politik. 2) Fungsi polisi (politie) Merupakan fungsi untuk melaksanakan pengawasan secara preventif yaikni memaksa penduduk suatu wilayah untuk mentaati ketertiban hukum serta mengadakan penjagaan sebelumnya (preventif), agar tata tertib dalam masyarakat tersebut tetap terpelihara. 3) Fungsi mengadili (justitie) Adalah fungsi pengawasan yang represif sifatnya yang berarti fungsi ini melaksanakan yang konkret, supaya perselisihan tersebut dapat diselesaikan berdasarkan peraturan hukum dengan seadil-adilnya.

Upload: sri-nur-intan-wahyuni

Post on 31-Jan-2016

177 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

ilmu negara pkn

TRANSCRIPT

Page 1: Teori Residu

Teori Residu (Teori Catur Praja) Van Vollenhoven menganjurkan teori Catur Praja (Quarto Politica) yang terdiri atas penyelenggara pemerintahan (bestuur), kepolisian, peradilan, dan legislatif. Menyelenggarakan pemerintahan mangandung makna proaktif, dan van Vollenhoven memperkenalkan prinsip vrijbestuur dalam penyelenggaraan pemerintahan, yaitu kewajiban dan hak yang melekat pada diri pejabat publik begitu diangkat.

Kewajibannya menganut stelsel residual theory, yaitu melaksanakan tugas apa saja meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit, selain tugas-tugas kepolisian, peradilan, dan legislatif. Untuk melaksanakan kewajiban ini pemerintah memiliki diskresi atau kebebasan bertindak dengan prinsip freies ermessen demi menjaga kepentingan rakyat.

Berdasarkan teori residu dari Van Vollenhoven dalam bukunya “Omtrek Van Het Administratief Recht”, membagi kekuasaan/fungsi pemerintah menjadi empat yang dikenal dengan teori catur praja yaitu:

1) Fungsi memerintah (bestuur)Dalam negara yang modern fungsi bestuur yaitu mempunyai tugas yang sangat luas, tidak hanya terbatas pada pelaksaan undang-undang saja. Pemerintah banyak mencampuri urusan kehidupan masyarakat, baik dalam bidang ekonomi, sosial budaya maupun politik.2) Fungsi polisi (politie)Merupakan fungsi untuk melaksanakan pengawasan secara preventif yaikni memaksa penduduk suatu wilayah untuk mentaati ketertiban hukum serta mengadakan penjagaan sebelumnya (preventif), agar tata tertib dalam masyarakat tersebut tetap terpelihara.3) Fungsi mengadili (justitie)Adalah fungsi pengawasan yang represif sifatnya yang berarti fungsi ini melaksanakan yang konkret, supaya perselisihan tersebut dapat diselesaikan berdasarkan peraturan hukum dengan seadil-adilnya.4) Fungsi mengatur (regelaar)Yaitu suatu tugas perundangan untuk mendapatkan atau memperoleh seluruh hasil legislatif dalam arti material. Adapun hasil dari fungsi pengaturan ini tidaklah undang-undang dalam arti formil (yang dibuat oleh presiden dan DPR), melainkan undang-undang dalam arti material yaitu setiap peraturan dan ketetapan yang dibuat oleh pemerintah mempunyai daya ikat terhadap semua atau sebagian penduduk wilayah dari suatu negara.

Page 2: Teori Residu

Pemikiran Montesqieu Mengenai Trias Politika15 12 2009

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Meskipun pada dasarnya konsep tentang pemisahan kekuasaan telah banyak dikaji oleh para pemikir sebelum Montesquieu seperti yang serupa dengan pemikirannya yaitu John Locke, namun apa yang dilakukan oleh Montesquieu dalam merumuskan mesin politik formal dalam struktur politik teori pemisahan kekuasaan pemerintah.

Trias Politika yang kini banyak diterapkan adalah, pemisahan kekuasaan kepada 3 lembaga berbeda : Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Dari ketiga lembaga itu masing-masing mempunyai peranan dan tanggungjawab tersendiri dalam mengemudikan jalannya suatu pemerintahan yang berdiri disuatu negara.

Tak heran hampir seluruh negara-negara di dunia menerapakan konsep ini dalam kehidupan berpolitiknya karena konsep tersebut merupakan cara-cara untuk berpolitik secara demokratis dengan harapan jalannya pemerintahan negara tidak timpang, terhindar dari korupsi pemerintahan oleh satu lembaga, dan akan memunculkan mekanisme check and balances (saling koreksi, saling mengimbangi). Kendatipun demikian, jalannya Trias Politika di tiap negara tidak selamanya mulus atau tanpa halangan.[1]

Tertarik dengan latar belakang tersebut, maka penulis mencoba untuk mengangkat permasalahan tersebut dan menuangkannya dalam makalah dengan judul “PEMIKIRAN MONTESQIEU MENGENAI TRIAS POLITIKA”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan diatas, maka penulis mencoba untuk mengidentifikasi masalah yang menjadi topik pembahasan  dalam penulisan pemikiran politik barat ini, yaitu :

1. Bagaimana konsep Trias Politika yang dikemukakan oleh Montesquieu?

C. Pokok Masalah

Montesquieu menawarkan suatu konsep mengenai kehidupan bernegara dengan melakukan pemisahan kekuasaan yang diharapkan dapat saling lepas dan dalam tingkat yang sama. Hal ini

Page 3: Teori Residu

berarti bahwa lembaga-lembaga negara dipisahkan sehingga dapat saling mengawasi dan mengontrol satu sama lain.

Suatu negara bisa dikatakan sebagai negara yang berdemokrasi dalam kehidupan berpolitik dan bernegaranya apabila diterapkannya konsep trias politika ditubuh bangsa tersebut. Dengan melakukan pemisahan-pemisahan kekuasaan antar satu lembaga dengan lembaga lain memungkinkan kontrol dan pengawasan akan lembaga tersebut akan dapat dicapai dengan maksimal. Karena pada dasarnya kekuasaan di suatu negara tidak bisa hanya dilimpahkan di satu lembaga yang independen saja, namun harus dikelola dengan beberapa lembaha independen lainnya (legislatif, eksekutif, dan yudikatif).

Disini dapat dilihat bagaimana lembaga-lembaga tersebut seperti legislatif yang bertugas sebagai pembuat undang-undang, eksekutif yang bertugas sebagai pelaksana undang-udang, dan yudikatif yang bertugas sebagai pelaksana peradilan[2] dapat saling mengawasi dan mengontrol agar jalannya kehidupan berdemokrasi dapat berlangsung.

BAB II

TINJAUAN TEORITIK

Trias Politika berasal dari bahasa Yunani (Tri=tiga; As=poros/pusat; Politika=kekuasaan) yang merupakan salah satu pilar demokrasi, prinsip trias politika membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.

Konsep dasarnya adalah kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda. Lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan. Dengan adanya pemisahan kekuasaan ini, akan terjamin kebebasan pembuatan undang-undang oleh parlemen, pelaksanaan undang-undang oleh lembaga peradilan, dan pelaksanaan pekerjaan negara sehari-hari oleh pemerintah.[3]

Dalam filsafat ilmu politik pemikiran Montesquieu mengenai Trias Politika berkaitan dengan aliran filsafat idealisme karena sangat menekankan kepada demokrasi dalam tubuh pemerintahan yang tidak dapat ditemui dalam aliran filsafat lainnya.

BAB III

Page 4: Teori Residu

GAMBARAN UMUM MONTESQUIEU

Montesqiueau yang mempunyai nama panjang Charles-Louis de Secondat, baron de La Brède et de Montesquieu. Lahir pada tanggal 18 January 1689 di Bordeaux dan wafat pada tanggal 10 February 1755. Ibunya wafat ketika ia masih berusia 7 tahun, ayahnya meninggal pada tahun 1713, ketika ia berusia 24 tahun. Kemudian Montesqiueau diasuh oleh pamannya, Jean Bastite de Secondat. Seorang pastur kaya dan terhormat. Ia mendalami hokum dan pernah menjadi praktisi hukum di pengadilan[4]. Setelah menyelesaikan di Catholic College of julily ia menikah dengan istrinya Jeanne de Lartigue pada usia 26 tahun. [5]

Sesudahnya dia mencapai kesuksesannya di literature dengan dipublkasikannya Letters persanaes. Seorang imajinasi koresponden Persia yang berkunjung ke paris dan mencermati kontraporer sosialnya. Lalu karya selanjutnya ialah mengenai kebangkitan dan kejatuhan Romawi, The Cosiderations on the causes of the Grandeur and Decadance of the Roman yang mirip sebuah novel dan yang paling terbaik ialah karyanya yag bejudul Spirits Of The Laws. Berisi konsep hukum modern yang didalamnya terdapat konsep Trias Politika.

Montesquieu dalam kehidupannya senang melakukan perjalanan tak heran hamper semua Negara besar di Eropa telah ia kunjungi. Dia pernah mengunjungi Jerman,  Australia, Belanda, Italia, dll. Kunjungannya itu bermakna sangat penting atas hasil pemikirannya dimasa depan. Pengalamannya itu memberikan inspirasi, pengalaman dalam pengembangan konsep Trias Politika di masa depan.

BAB IV

KONSEP TRIAS POLITIKA

Konsep Trias Politika merupakan ide pokok dalam Demokrasi Barat, yang mulai berkembang di Eropa pada abad XVII dan XVIII . Trias Politika adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan : pertama, kekuasaan legislatif atau membuat undang-undang; kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang; ketiga, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang.

Trias Politica menganggap kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara dapat lebih terjamin. Konsep ini pertama kali diperkenalkan dibukunya yang berjudul, L’Esprit des Lois (The Spirit of Laws). Sebelumnya konsep ini telah diperkenalkan oleh John Locke. Filsuf Inggris  mengemukakan konsep tersebut dalam bukunya Two Treatises on Civil Government (1690), yang ditulisnya sebagai kritik terhadap kekuasaan absolut raja-raja Stuart di Inggris serta untuk membenarkan Revolusi Gemilang tahun 1688 (The Glorious Revolution of 1688) yang telah dimenangkan oleh Parlemen Inggris.

Ide pemisahan kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu, dimaksudkan untuk memelihara kebebasan politik, yang tidak akan terwujud kecuali bila terdapat keamanan masyarakat dalam negeri. Montesquieu menekankan bahwa seseorang akan cenderung untuk mendominasi

Page 5: Teori Residu

kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat tersebut bila kekuasaan terpusat pada tangannya. Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa agar pemusatan kekuasaan tidak terjadi, haruslah ada pemisahan kekuasaan yang akan mencegah adanya dominasi satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya

Karya Montesqiueau ini hampir diterapkan diseluruh Negara didunia yang menganut Demokrasi termasuk juga Indonesia. Di Negara Komunis yang hanya mempunya satu partai cenderung menjauhi konsep Trias Politica terlihat jelas bahwa bentuk pemerintahan hanya dipegang oleh kalangan partai tunggal tersebut saja, sebut saja China, Korea Utara dan Uni Soviet (masa perang dingin) adalah sejumlah Negara yang menjauhi Trias Politica tak heran jika bentuk pemerintahannya bersifat otoriterian karna tidak adanya  pembagian kekuasaan.

Beda dengan Negara yang mengenakan sistim Trias Politica. Dengan adanya lembaga Legislatif, kepentingan rakyat dapat terwakili secara baik karma merupakan cermin kedaulatan rakyat. Selain itu lembaga ini juga mempunyai fungsi sebagai check and balance terhadap dua lembaga lainnya agar tidak terjadi penyelewengan kekuasaan dengan begitu jalannya pemerintahan bisa berjalan efektif dan efisien.[6]

BAB V

ANALISIS PENURUT PENULIS

Kekuasaan adalah gejala yang selalu ada dalam proses politik. Politik tanpa kekuasaan bagaikan agama tanpa moral karena begitu berkaitannya antara keduanya namun dalam hal ini perlu adanya  pembagian kekuasaan (trias politica). Dalam analisis ini kami berpendapat bahwa Prinsip trias politika ini terbagi menjadi tiga kekuasaan politik negara untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol. Dan salah satu prinsip trias politica ini biasa dijalani oleh Negara-negara yang demokrasi.

Trias Politika adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan : Pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasan membuat undang-undang; kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang; ketiga, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang. Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan. Dan Trias Politika ini adalah suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah supaya tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh fihak yang berkuasa. Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil penting, misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan umum tidak wajib atau

Page 6: Teori Residu

tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga negara berhak untuk memilih kecuali yang sudah memenuhi persyaratan sebagai pemilih. Jadi dalam hal ini Trias Politica banyak digunakan atau diterapkan pada negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung presidennya dan sebagai presiden itu bukan menjadi satu-satunya kekuasaan yang berwenang atas semua kekuasaan di negara itu jadi perluk adanya pembagian kekuasaan.

BAB VI

KESIMPULAN

Doktrin trias politika ini untuk pertama kali dikemukakan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755) dan doktrin ini biasa ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan. John Locke mengemukakan konsep trias politika ini dalam bukunya berjudul Two Treatises on Civil Government yang ditulisnya sebagai kritikan atas kekuasaan absolut. Menurut Locke kekuasaan negara dibagi dalam tiga kekuasaan yaitu : kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan federatif, yang masing-masing terpisah-pisah satu sama lain. Kekuasaan legislatif ialah kekuasaan membuat peraturan dan undang-undang, kekuasaan eksekutif ialah kekuasaan melaksanakan undang-undang dan di dalamnya termasuk kekuasaan mengadili dan kekuasaan federatif ialah kekuasaan yang meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan negara dalam hubungan dengan negara lain seperti membuat aliansi dan sebagainya (dewasa ini disebut hunbungan luar negeri). Beberapa puluh tahun kemudian, pada tahun 1748, filusuf Perancis Montesquieu mengembangkan lebih lanjut pemikiran Locke ini dalam bukunya L’Esprit des Lois (The Spirit of the Laws). Karena melihat sifat dari raja-raja Bourbon, dia ingin menyusun suatu sistem pemerintahan dimana warga negaranya merasa lebih terjamin haknya. Dalam uraian dia membagi kekuasaan pemerintahan dalam tiga cabang, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Menurut dia tiga kekuasaan itu haruslah terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas (fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang menyelenggarakan. Terutama adanya kebebasaan badan yudikatif yang ditekankan oleh Montesquieu, oleh karena disinilah letaknya kemerdekaan individu dan hak azasi manusia itu dijamin dan dipertaruhkan. Kekuasaan legislatif menurut dia adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang kekuasaan eksekutif meliputi penyelenggaraan undang-undang, sedangkan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang. Jadi berbeda dengan John Locke yang memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif, Montesquieu memandang kekuasaan pengadili (yudikatif) itu sebagai kekuasan yang berdiri sendiri. Hal ini disebabkan oleh karena dalam pekerjaannya sehari-hari sebagai hakim, Montesquieu mengetahui bahwa kekuasaan eksekutif itu berlainan dengan kekuasaan pengadilan. Sebaliknya oleh Montesquieu kekuasaan hubungan luar negeri yang disebut John Locke sebagai kekuasaan federatif, dimasukkan kedalam kekuasaan eksekutif. Oleh Montesquieu dikemukakan bahwa kemerdekaan hanya dapat dijamin, jika ketiga fungsi tersebut tidak dipegang oleh satu orang atau badan, tetapi oleh tiga orang atau badan yang terpisah. Dikatakan olehnya: “Kalau kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif disatukan dalam satu orang atau dalam satu badan penguasa, maka tak aka nada kemerdekaan. Akan merupakan malapetaka kalau seandainya satu orang atau satu badan, apakah terdiri dari kaum bangsawan ataukah dari rakyat jelata, diserahi menyelenggarakan ketiga-tiga kekuasaan itu, yakni kekuasaan

Page 7: Teori Residu

membuat undang-undang, menyelenggarakan keputusan-keputusan umum dan mengadili persoalan-persoalan antara individu-individu’. Pokoknya Montesquieu dengan teorinya itu menginginkan jaminan bagi kemerdekaan individu terhadap tindakan sewenang-wenang dari penguasa. Dan hal ini menurut pandangannya, hanya mungkin tercapai, jika diadakan pemisahan mutlak antara ketiga kekuasaan tersebut[7]

. Pengertian Hukum Administrasi Negara

1) Pengertian Administrasi Negara

Istilah Administrasi berasal dari bahasa Latin yaitu Administrare, yang artinya adalah

setiap penyusunan keterangan yang dilakukan secara tertulis dan sistematis dengan maksud

mendapatkan sesuatu ikhtisar keterangan itu dalam keseluruhan dan dalam hubungannya satu

dengan yang lain. Namun tidak semua himpunan catatan yang lepas dapat dijadikan administrasi.

Menurut Liang Gie dalam Ali Mufiz (2004:1.4) menyebutkan bahwa Administrasi adalah suatu

rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam bentuk kerjasama untuk

mencapai tujuan tertentu. Sehingga dengan demikian Ilmu Administrasi dapat diartikan sebagai

suatu ilmu yang mempelajari proses, kegiatan dan dinamika kerjasama manusia. Dari definisi

administrasi menurut Liang Gie kita mendapatkan tiga unsur administrasi, yang terdiri:

1. kegiatan melibatkan dua orang atau lebih

2. kegiatan dilakukan secara bersama-sama, dan

3. ada tujuan tertentu yang hendak dicapai

Kerjasama itu sendiri merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dua

orang atau lebih, kerjasama dapat terjadi dalam semua hal bidang kehidupan baik sosial,

ekonomi, politik, atau budaya. Dari sifat dan kepentingannya, kerjasama dapat dibedakan

menjadi dua yaitu kegiatan yang bersifat privat dan kegiatan yang bersifat publik. Sehingga ilmu

yang mempelajarinya dibedakan menjadi dua pula yaitu ilmu administrasi privat (private

administration) dan ilmu administrasi negara (public administration). Perbedaan antara dua

cabang ilmu ini (private administration dan public administration) terletak pada fokus

Page 8: Teori Residu

pembahasan atau obyek studi dari masing-masing cabang ilmu tersebut. Administrasi negara

memusatkan perhatiannya pada kerjasama yang dilakukan dalam lembaga-lembaga pemerintah,

sedangkan administrasi privat memfokuskan perhatiannya pada lembaga-lembaga bisnis swasta.

Dengan demikian ilmu administrasi negara (public administration) dapat diartikan sebagai ilmu

yang mempelajari kegiatan kerjasama dalam organisasi atau institusi yang bersifat publik yaitu

negara.

Mengenai arti dan apakah yang dimaksud dengan administrasi, lebih lanjut Liang Gie

dalam Ali Mufiz (2004: 1.5) mengelompokkan menjadi tiga macam kategori definisi

administrasi yaitu:

1. Administrasi dalam pengertian proses atau kegiatan

Sebagaimana dikemukakan oleh Sondang P. Siagian bahwa administrasi adalah

keseluruhan proses kerjasama antara dua orang manusia atau lebih yang didasarkan atas

rasionalitas tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.

2. Administrasi dalam pengertian tata usaha

a. Menurut Munawardi Reksodiprawiro, bahwa dalam arti sempit administrasi berarti tata

usaha yang mencakup setiap pengaturan yang rapi dan sistematis serta penentuan

fakta-fakta secara tertulis, dengan tujuan memperoleh pandangan yang menyeluruh

serta hubungan timbal balik antara satu fakta dengan fakta lainnya.

b. G. Kartasapoetra, mendefinisikan bahwa administrasi adalah suatu alat yang dapat

dipakai menjamin kelancaran dan keberesan bagi setiap manusia untuk melakukan

perhubungan, persetujuan dan perjanjian atau lain sebagainya antara sesama manusia

dan/atau badan hukum yang dilakukan secara tertulis.

c. Harris Muda, administrasi adalah suatu pekerjaan yang sifatnya mengatur segala

sesuatu pekerjaan yang berhubungan dengan tulis menulis, surat menyurat dan

mencatat (membukukan) setiap perubahan/kejadian yang terjadi di dalam organisasi

itu.

Page 9: Teori Residu

3. Administrasi dalam pengertian pemerintah atau administrasi negara

a. Wijana, Administrasi negara adalah rangkaian semua organ-organ negara terendah dan

tinggi yang bertugas menjalankan pemerintahan, pelaksanaan dan kepolisian.

b. Y. Wayong, menyebutkan bahwa administrasi Negara adalah kegiatan yang dilakukan

untuk mengendalikan usaha-usaha instansi pemerintah agar tujuannya tercapai.

Dari berbagai definisi tentang administrasi Negara, Ali Mufiz (2004:1.7) menyebutkan

ada dua pola pemikiran yang berbeda tentang administrasi negara yaitu:

1. Pola Pemikiran Pertama

Memandang administrasi Negara sebagai satu kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah,

khususnya oleh lembaga eksekutif. Marshall Edward Dimock dan Gladys Ogden Dimock

(1964), yang mengutif definisi W.F. Willougby, yaitu bahwa fungsi administrasi adalah

fungsi untuk secara nyata mengatur pelaksanaan hukum yang dibuat oleh lembaga

legislative dan ditafsirkan oleh lembaga yudikatif.

2. Pola Pemikiran Kedua

Pola kedua menyatakan bahwa administrasi Negara lebih luas daripada sekedar

membahas aktivitas-aktivitas lembaga eksekutif saja. Artinya Administrasi Negara

meliput seluuh aktivitas dari ketiga cabang pemerintahan, mencakup baik lembaga

eksekutif maupun lembaga legislative dan yudikatif, yang semuanya bermuara pada

fungsi untuk memberikan pelayanan publik. J.M. Pfifftner berpendapat bahwa

administrasi Negara adalah koordinasi dari usaha-saha kolektif yang dimaksudkan untuk

melaksanakan kebijaksanaan pemerintah.

Mendasarkan pada pola kedua di atas, Felix A. Nigro dan Lloyd G. Nigro (1977:18)

menyimpulkan bahwa administrasi negara adalah:

1) usaha kelompok yang bersifat kooperatif yang diselenggarakan dalam satu lingkungan

publik

Page 10: Teori Residu

2) meliputi seluruh cabang pemerintahan serta merupakan pertalian diantara cabang

pemerintahan (eksekutif, yudikatif, dan legislatif).

3) Mempunyai peranan penting dalam perumusan kebijaksanaan publik (public policy)

dan merupakan bagian dari proses politik

4) Amat berbeda dengan administrasi privat

5) Berhubungan erat dengan kelompok-kelompok privat dan individual dalam

memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Sementara C.S.T. Kansil (1985:2) mengemukakan arti Administrasi Negara adalah

sebagai berikut:

1) Sebagai aparatur negara, aparatur pemerintahan, atau istansi politik (kenegaraan)

artinya meliputi organ yang berada di bawah pemerintah, mulai dari presiden,

menteri, termasuk gubernur, bupati/walikota (semua organ yang menjalankan

administrasi negara).

2) Sebagai fungsi atau sebagai aktivitas, yakni sebagai kegiatan mengurus kepentingan

negara

3) Sebagai proses teknis penyelenggaraan undang-undang, artinya meliputi segala

tindakan aparatur negara dalam menjalankan undang-undang.

Tujuan administrasi negara sangat tergantung pada tujuan dari negara itu sendiri.

Indonesia yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945, selayaknya pula bahwa tujuan dari

administrasi negaranya berdasar dan bersumber pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 dimana

dalam Pembukaannya disebutkan bahwa Negara Indonesia bertujuan untuk bagaimana

melindungi segenap bangsa Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, mewujudkan keadilan

sosial, memajukan kesejahteraan umum dan ikut serta dalam usaha perdamaian dunia. Jadi tugas

administrasi negara adalah memberikan pelayanan (service) yang baik kepada kepentingan

masyarakat, bangsa dan negara, serta mengabdi kepada kepentingan masyarakat. Bukan

sebaliknya yang seringkali terjadi masyarakat yang harus melayani administrator negara. Untuk

Page 11: Teori Residu

itu agar penyelenggaraan administrasi negara ini dapat berjalan sesuai dengan tujuan dan cita-

cita bangsa maka dituntut partisipasi masyarakat (social participation), dukungan dari

masyarakat kepada administrasi negara (social support), pengawasan dari masyarakat terhadap

kinerja administrasi negara (social control), serta harus ada pertanggung jawaban dari kegiatan

administrasi negara (social responsibility).

2) Hukum Administrasi Negara

Istilah Hukum Administrasi Negara (yang dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan No. 0198/LI/1972 tentang Pedoman Mengenai Kurikulum Minimal Fakultas

Hukum Negeri maupun Swasta di Indonesia, dalam pasal 5 disebut Hukum Tata

Pemerintahan) berasal dari bahasa Belanda Administratiefrecht, Administrative Law (Inggris),

Droit Administratief (Perancis), atau Verwaltungsrecht (Jerman). Dalam Keputusan Dirjen Dikti

Depdikbud No. 30/DJ/Kep/1983 tentang Kurikulum Inti Program Pendidikan Sarjana Bidang

Hukum disebut dengan istilah Hukum Administrasi Negara Indonesia, sedangkan dalam

Keputusan Dirjen Dikti No. 02/DJ/Kep/1991, mata kuliah ini dinamakan Asas-Asas Hukum

Administrasi Negara. Dalam rapat dosen Fakultas Hukum Negeri seluruh Indonesia pada bulan

Maret 1973 di Cibulan, diputuskan bahwa sebaiknya istilah yang dipakai adalah “Hukum

Administrasi Negara”, dengan tidak menutup kemungkinan penggunaan istilah lain seperti

Hukum Tata Usaha Negara, Hukum Tata Pemerintahan atau lainnya. Alasan penggunaan istilah

Hukum Administrasi Negara ini adalah bahwa Hukum Administrasi Negara merupakan istilah

yang luas pengertiannya sehingga membuka kemungkinan ke arah pengembangan yang sesuai

dengan perkembangan dan kemajuan negara Republik Indonesia ke depan. Dan berdasarkan

Kurikulum Program Sarjana Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Dirjen Dikti Depdiknas

tahun 2000, mata kuliah ini disebut Hukum Administrasi Negara dengan bobot 2 SKS.

Hukum Administrasi Negara sebagai salah satu bidang ilmu pengetahuan hukum; dan

oleh karena hukum itu sukar dirumuskan dalam suatu definisi yang tepat, maka demikian pula

halnya dengan Hukum Administrasi Negara juga sukar diadakan suatu perumusan yang sesuai

dan tepat. Mengenai Hukum Administrasi Negara para sarjana hukum di negeri Belanda selalu

berpegang pada paham Thorbecke, beliau dikenal sebagai Bapak Sistematik Hukum Tata Negara

dan Hukum Administrasi Negara. Adapun salah satu muridnya adalah Oppenheim, yang juga

Page 12: Teori Residu

memiliki murid Mr. C. Van Vollenhoven. Thorbecke menulis buku yang berjudul Aantekeningen

op de Grondwet (Catatan atas undang-undang dasar) yang pada pokoknya isi buku ini mengkritik

kebijaksanaan Raja Belanda Willem I, Thorbecke adalah orang yang pertama kali mengadakan

organisasi pemerintahan atau mengadakan sistem pemerintahan di Belanda, dimana pada saat itu

Raja Willem I memerintah menurut kehendaknya sendiri pemerintahan di Den Haag, membentuk

dan mengubah kementerian-kementerian menurut orang-orang dalam pemerintahan.

Oppenheim memberikan suatu definisi Hukum Administrasi Negara adalah sebagai suatu

gabungan ketentuan-ketentuan yang mengikat badan-badan yang tinggi maupun yang rendah

apabila badan-badan itu menggunakan wewenang yang telah diberikan kepadanya oleh Hukum

Tata Negara. Hukum Administrasi Negara menurut Oppenheim adalah sebagai peraturan-

peraturan tentang negara dan alat-alat perlengkapannya dilihat dalam geraknya (hukum negara

dalam keadaan bergerak atau staat in beweging). Sedangkan murid Oppenheim yaitu Van

Vollenhoven membagi Hukum Administrasi Negara menjadi 4 yaitu sebagai berikut:

1) Hukum Peraturan Perundangan (regelaarsrecht/the law of the legislative process)

2) Hukum Tata Pemerintahan (bestuurssrecht/ the law of government)

3) Hukum Kepolisian (politierecht/ the law of the administration of security)

4) Hukum Acara Peradilan (justitierecht/ the law of the administration of justice), yang

terdiri dari:

a. Peradilan Ketatanegaraan

b. Peradilan Perdata

c. Peradilan Pidana

d. Peradilan Administrasi

Utrecht (1985) dalam bukunya Pengantar Hukum Administrasi Negara mengatakan

bahwa Hukum Administrasi Negara ialah himpunan peraturan –peraturan tertentu yang menjadi

Page 13: Teori Residu

sebab, maka negara berfungsi. Dengan kata lain Hukum Administrasi Negara merupakan

sekumpulan peraturan yang memberi wewenang kepada administrasi negara untuk mengatur

masyarakat.

Sementara itu pakar hukum Indonesia seperti Prof. Dr. Prajudi Atmosudirjo, S.H. (1994),

berpendirian bahwa tidak ada perbedaan yuridis prinsipal antara Hukum Administrasi Negara

dan Hukum Tata Negara. Perbedaannya menurut Prajudi hanyalah terletak pada titik berat dari

pembahasannya. Dalam mempelajari Hukum Tata Negara kita membuka fokus terhadap

konstitusi negara sebagai keseluruhan, sedangkan dalam membahas Hukum Administrasi Negara

lebih menitikberatkan perhatian secara khas kepada administrasi negara saja. Administrasi

merupakan salah satu bagian yang terpenting dalam konstitusi negara di samping legislatif,

yudikatif, dan eksaminasi. Dapat dikatakan bahwa hubungan antara Hukum Administrasi Negara

dan Hukum Tata Negara adalah mirip dengan hubungan antara hukum dagang terhadap hukum

perdata, dimana hukum dagang merupakan pengkhususan atau spesialisasi dari hukum perikatan

di dalam hukum perdata. Hukum Administrasi Negara adalah sebagai suatu pengkhususan atau

spesialisasi dari Hukum Tata Negara yakni bagian hukum mengenai administrasi negara.

Berdasarkan definisi Hukum Administrasi Negara menurut Prajudi Atmosudirdjo (1994),

maka dapatlah disimpulkan bahwa Hukum Administrasi Negara adalah hukum mengenai seluk-

beluk administrasi negara (hukum administrasi negara heteronom) dan hukum operasional hasil

ciptaan administrasi negara sendiri (hukum administrasi negara otonom) di dalam rangka

memperlancar penyelenggaraan dari segala apa yang dikehendaki dan menjadi keputusan

pemerintah di dalam rangka penunaian tugas-tugasnya.

Hukum administrasi negara merupakan bagian operasional dan pengkhususan teknis dari

hukum tata negara, atau hukum konstitusi negara atau hukum politik negara. Hukum administrasi

negara sebagai hukum operasional negara di dalam menghadapi masyarakat serta penyelesaian

pada kebutuhan-kebutuhan dari masyarakat tersebut.

Hukum Administrasi Negara diartikan juga sebagai sekumpulan peraturan yang mengatur

hubungan antara administrasi Negara dengan warga masyarakat, dimana administrasi Negara

Page 14: Teori Residu

diberi wewenang untuk melakukan tindakan hukumnya sebagai implementasi dari policy suatu

pemerintahan.

Contoh, policy pemerintah Indonesia adalah mengatur tata ruang di setiap kota dan

daerah di seluruh Indonesia dalam rangka penataan lingkungan hidup. Implementasinya adalah

dengan mengeluarkan undang-undang yang mengatur tentang lingkungan hidup. Undang-undang

ini menghendaki bahwa setiap pembangunan harus mendapatkan izin dari pejabat yang

berwenang. Pelaksanaannya adalah bahwa disetiap daerah ada pejabat administrasi Negara yang

berwenang memberi/menolak izin bangunan yang diajukan masyarakat melalui Keputusan

Administrasi Negara yang berupa izin mendirikan bangunan.

B. Lapangan Pekerjaan Administrasi Negara

Sebelum abad ke 17 adalah sukar untuk menentukan mana lapangan administrasi Negara dan

mana termasuk lapangan membuat undang-undang dan lapangan kehakiman, karena pada waktu

itu belum dikenal “pemisahan kekuasaan”, pada waktu itu kekuasaan Negara dipusatkan pada

tangan raja kemudian pada birokrasi-birokrasi kerajaan. Tapi setelah abad ke 17 timbulah aliran

baru yang menghendaki agar kekuasaan negara dipisahkan dari kekuasaan raja dan diserahkan

kepada tiga badan kenegaraan yang masing-masing mempunyai lapangan pekerjaan sendiri-

sendiri terpisah yang satu dari yang lainnya seperti yang telah dikemukakan oleh John Locke dan

Montesquieu.

Sejak itu baru kita mengetahui apakah yang menjadi lapangan administrasi negara itu. Maka

yang menjadi lapangan administrasi negara berdasarkan teori Trias Politica John Locke maupun

Monesquieu adalah lapangan eksekutif yaitu lapangan yang melaksanakan undang-undang.

Bahkan oleh John Locke tugas kehakiman dimasukkan ke dalam lapangan eksekutif karena

mengadili itu termasuk melaksanakan undang-undang. Sejak adanya teori “pemisahan

kekuasaan” ini lapangan administrasi negara mengalami perkembangan yang pesat.

Tetapi ajaran Trias Politica ini hanya dapat diterapkan secara murni di negara-negara seperti

yang digambarkan oleh Immanuel Kant dan Fichte yaitu di negara-negara hukum dalam arti

sempit atau seperti yang disebut Utrech “Negara Hukum Klasik” (klasieke rechtsstaat), tetapi

tidak dapat diterapkan kedalam system pemerintahan dari suatu negara hukum modern

Page 15: Teori Residu

(moderneechsstaat), karena lapangan pekerjaan administrasi negara pada Negara hukum modern

adalah lebih luas dari pada dalam negara hukum klasik. Apakah sebabnya maka lapangan

administrasi negara dalam negara hukum modern itu lebih luas dari pada dalam negara hukum

klasik, hal ini dapat dilihat dari ciri-ciri kedua negara tersebut.