pemaknaan al-qur’an dalam perspektif al-imam al...
Post on 04-Apr-2019
220 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Pemaknaan al-Qur’an Dalam Perspektif Al-Imam Al-Qusyairi> (Telaah Atas Kitab Tafsir Lat}a>’if al-Isya>ra>t)
Oleh:
TAJUL MULUK, S. Ud.
NIM. 1320510061
TESIS
Diajukan Kepada Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai Syarat guna Memperoleh
Gelar Magister Humaniora Program Studi Agama dan Filsafat
Konsentrasi Studi Qur’an Hadits
YOGYAKARTA
2016
Yang bertanda tangan di
Nama
NIM
Jurusan/Konsentrasi
Alamat Rumah
Telp/Hp
Judul Tesis
SIJRAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI
bawah ini saya:
Tajul Muluk
132051006r
Agama dan Filsafat/Studi Qur'an-Hadits
Pascasarjana Universitas Islam Sunan Kalijaga
Yogyakmta.
Tegal Lempuyangan DN III, No. 92, Rt. 06/ Rw. 02,
Kel. Bausasran, Kec. Bausasran, Kodya Yogyakarta.
08 1 333 3 1 149 108s6326s999
Pemaknaan Al-Qrn'an Dalam Perspektif Al-Imam
Al-Qusyairi (Telaah atas Kitab Tafsir Lata'ifAl-
Isyarat\
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis ini adalah karya pribadi dan
dibuat berdasarkan penelitian akademil dm bebas dari unstn plagiarisme.
Demikim pernyataan ini saya buat dengan sebenm-benarnya.
Yogyakarta,15 Agustus 2016
Yang bertanda tangan di
Nama
NIM
Jurusan/I(onsentrasi
Alamat Rumah
Telp/Hp
Judul Tesis
SURAT PERNYATAAN KFASLIAN TESIS
bawah ini saya:
Tajul Muluk
1320s 1006i
Agama dan Filsafat/Studi Qur'an-Hadits
Pascasarjana Universitas Islam Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Tegal Lempuyangan DN III, No. 92, Rt. 06/ Rw. 02,Kel. Bausasran, Kec. Bausasran, Kodya Yogyakarta.
08 1 33 33 I t 5 49 / 08s 63265999
Pemaknaan Al-Qu'an Dalam Perspektif Al-Imam
Al-Qusyairi (Telaah atas Kitab Tafsir Lata'ifAl-
fsyarat)
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa:
1. Tesis yang saya ajukan adalah benar asli karya ilmiah yang saya tulissendiri.
2. Bilamana tesis telah di munaqasyahkan dan diwajibkan revisi, maka sayabersedia dan sanggup merevisi dalam waklu 2 (dua) bulan terhitung daritanggal munaqasyah. Jika ternyata lebih dari 2 (dua) bulan revisi tesisbelum terselesaikan maka saya bersedia dinyatakan gugur dan bersediamrmaqasyah kembali dengan biaya sendiri.
3. Apabila dikemudian hari ternyata diketahui bahwa karya tersebut bukankarya ilmiah saya (plagiasi), maka saya bersedia menanggung sanksi dandibatalkan gelm master saya.
Demikian pemyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Yogyakarta, 15 ustus 2016yatakan,
ul
A
bahwa tesis saudara:
Nama
NIM
Jenjang
Program Studi
Konsentrasi
Judul Tesis
NOTADINAS PEMBIMBING
Kepada Yth.Direldur Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Sunan
KalijagaYogyakarta
As s aI am ual ai kum Wr. Wb.
Setelah membaca, meneliti, memberikan petunjuk dan mengoreksi serta
mengadakan perbaikan seperlunya, maka saya selaku pembimbing berpendapat
Tajul Muluk, S.Ud.
1320510061
Magister (S2)
Agama dan Filsafat
Studi al-Qrnan dan Hadis
Pemaknaan al-Qur' an Menurut al-Imam al-Qusyairi
(Telaah Atas Kitab Tafsir Lala'if al-Isynat)
sudah dapat diajukan kepada Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta untuk diujikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister dalam dalam bidang Humaniora.
Wassal amual aikum Wr. Wb.
Yogyakarta, 1 5 Agustus 201 6Pembimbing,
Dr. H. no, M.Ag.
111
NIP. 19701 199903 t 002
ffirffit
KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIAUIN SUNAN KALiJAGA YOGYAKARTAPASCASARIA}IA
Tesis berjudul
NamaNIMJenjangProgram StudiKonsentrasiTanggal Ujian
Telah dapat diterima
Hunaniora (M. Hul.)
PENCiESAILTN
Peinsknaan al-Qur'ar Dalm Perspekif ALInm al-Qnuayairi (felaah Atas Kftar"Tafsfr La@fd-kJr@
Tajul Muluh S. Ud.1320510061Magister (S2)AGAMAFILSAFATStudi Qrn'an dan Hadits23 Agustus 2016
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister
,,rl,ffi,,3o Agust us 20 I 6
PER,SETUruAT{ TIM PENGUII
Telah disetujui tim penguji ujian munaqosah:
M. Yunus Masrukhin, M.A. ph.D.
Dr. H. Waryono, M.Ag
Sunarwoto, M.A. Ph.D.
Tesis berjudul
Nama
NlMJenjangPrograrn Studi
Konsentrasi
Ketua8enguji
Pembimbing,Penguji
Penguii
UJIAN TESIS
P:maknaao al-Qur'an Dalm perspektif Al-Imm al-eusayairiffelaah Atas Kftab f afsk I$Aif aI-W@
Tajul Mulu( S. Ud.
13205 1006 IMagister (S2)AGAMAFILSAFATStudi Qur'an dan Hadits
diuji di Yogyakarta pada tanggal 23 Agustus 20 1 6
Waktn
Hasil/NilaiPredikat Kelulusan
* Coret yang tidakperlu
: 10.00-11.15 WIB: 89 (A-): Memuaskan / Sangat Menuaskan / ermtaude+
VI
MOTTO
"وأحسنوا إن الل يب المحسنني"
“…dan berbuat baiklah,
karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
QS. Al-Baqarah: 195
،إحسان النفوس توفية اخلدمة ،وإحسان القلوب حفظ احلرمة احلشمةوإحسان األرواح مراعاة آداب
Memperbaiki Diri dengan Melakukan Pelayanan (Khidmah)
Memperbaiki Hati dengan Menjaga Kehormatan (Diri Dan Orang Lain)
Memperbaiki Jiwa dengan Menjaga Adab-Perilaku Yang Baik
-Abd al-Kari>m bin Hawa>zin al-Qusyairi>-
PERSEMBAHAN
Karya ini Kupersembahkan Kepada:
(1)
Kedua orang tuaku, (Bapak Oemarkain & dan Ibu Sholihah), orang-orang berhati
mulia, pendukung dan pendo’a kebaikan untuk masa depanku, serta ibunda Hellya
Azizah, dan segenap keluarga besarku, semoga Allah senantisa memberikan rahmat dan kasih sayang-Nya.
(2)
Guru mulia, Mursyid Thariqah al-Qa>diriyyah wan-Naqsyabandiyyah al-Us}maniyyah,
KH. Ahmad Asrori al-Ishaqy (alm.), berkat tarbiyahnya, penulis sampai pada maqam
ini.
(3)
Dua almamaterku tercinta, Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah, pemberi pondasi
yang kokoh dan pembentuk karakter yang kuat dan khas, serta UIN Sunan Kalijaga,
yang telah membuka mata dan telingaku, membuatku dapat melihat dan mendengar lebih banyak segala hal tentang pengetahuan, sosial dan intelektual, semoga ilmu
yang aku dapatkan menjadi ilmu yang bermanfa'at.
(4)
Wanita berhati mulia, istriku tercinta, Khairiah Ilmiati, Amd. Par., terima kasih atas segala bentuk dukungan lahir-batin selama pengerjaan Tesis ini, dan dengan besar
hati berjuang demi membantu terselesaikannya Tesis ini, semoga Allah
memuliakanmu dunia dan akhirat.
(5)
Dua bidadari kecilku nan cantik, Hana Raneea Atheea Mawla dan Haazima Raqeeha
Azizah, para pelipur laraku, semoga Allah Jadikan kalian wanita-wanita shalihah, bertaqwa dengan taqwa terbaik sehingga mendapatkan kemuliaan terbaik di dunia
dan akhirat.
xiii
Kata Pengantar
احلمد هلل على كل حال ونعمة, احلمد هلل على كل عطاء ورمحة, احلمد هلل على صحة وعافية, وهو الرمحن جلميح خملوقاته بتعميم الرمحة والنعمة, وهو الرحيم على عباده املؤمنني ابلرمحة واملغفرة
ه الرمحة املهدى لكافة االمة, سيدان حممد والكرامة ابجلنة. والصالة والسالم على النيب الرمحة, القائل أبن :صلى هللا عليه وسلم
Syukur Alhamdulillah, tesis ini bisa selesai walau sudah melewati waktu
yang seharusnya. Dua kali melewatkan kesempatan wisuda adalah situasi yang berat,
sedih rasa di hati. Namun penulis tetap memotivasi diri agar tidak terjebak dalam
keputus-asaan, sembari tetap berusaha melanjutkan proses penelitian tesis ini lembar
demi lembar, buku demi buku. Dan penyelesaian tesis ini berkat bantuan banyak
pihak, oleh karenanya, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada;
1. Prof. Drs. K. Yudian Wahyudi, PhD., Prof. Dr. Musa Asy’ari, MA., Prof.
Dr. Machasin, MA. Tiga Rektor UIN Sunan Kalijaga selama proses studi
dan penulisan tesis ini.
2. Prof. Dr. Khiiruddin, MA. Dan Prof. Noorhaidi Hasan, S.Ag, MA.,
M.Phil., PhD. Pimpinan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga.
3. Seluruh Dosen SQH-A angkatan 2013, Guru-guru penulis yang turut
berperan penting membuka kran-kran ilmu pengetahuan dan memberikan
motivasi-motivasi demi kemajuan penulis, terima kasih atas
bimbingannya, semoga menjadi ilmu manfaat yang kebaikan akan
senatiasa mengalir kepada panjenengan semua, amin.
xiv
4. Para civitas akademik Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga yang telah
memberikan pelayanan, mulai dari Kabag. TU, perpustakaan dan seluruh
civitas yang membantu memberikan pelayanan yang baik.
5. Bapak Dr. H. Waryono Abdul Ghafur, M.Ag., yang telah bersedia
menjadi pembimbing penulisan tesis ini, di saat kesibukan beliau semakin
padat dengan tugas yang semakin banyak dan berat. Selain menjadi
pembimbing akademik, bagi penulis, beliau adalah sosok inspiratif, selalu
penuh kehangatan dalam setiap memberikan bimbingan dan nasehat.
6. Kedua orang tua penulis, Bapak Oemarkain dan Ibu Sholihah, yang telah
merelakan, meridloi, mendukung dan mendo’akan. Berkat beliau berdua,
penulis sampai pada titik ini. Ibunda Hellya Azizah dan Adinda Sonya
Azizah yang sering menggantikan penulis menjaga anak-anak saat
penulis disibukkan dalam proses penyelesaian tesis ini, Semoga Allah
senatiasa memberikan kasih sayang, keberkahan dan kebaikan dunia
akhirat, amin.
7. Keluarga kecilku, Khairiah Ilmiati, Amd. Par., pendamping dan
pendukung dalam perjalanan hidup penulis, yang selalu mensupport
penulis agar menjadi lebih baik dan maju, kebaikanmu, semoga Allah
balas dengan kebaikan dunia akhirat. Kedua putri tercinta, (kakak) Hana
Raneea Atheea Mawla dan (Adek) Haazima Raqeeha Azizah, waktu
kalian sering ayah ‘rampas’ nak, semoga kalian kelak selalu bersemangat
untuk belajar dan berusaha mcnjadi wanita-wanita yang baik, tangguh
dan memiliki jiwa juang yang kuat.
8. Pamanda penulis, dr. H. Undang Suhirianto, Sp.KK. dan Bunda Hj. Nelly
Azizah, berkat kebesalan hati dan bantuan beliau berdua, penulis dapat
meianjutkan sekolah ini, bantuan sekolah dan bantuan kehidupan.
Semoga Allah membalas dengan keberkahan dan kebaikan dunia akhirat.
9. Kawan-ka'.van SQH-A angkatan 2413, diskusi di kelas dan luar- kelas
yang selalu hidup dan dinamis, sangat berperan membentuk karakter
intelektual penulis.
10. Sahabat penulis, Syamsul Wathani, yang sering penulis repotkan selama
dalam studi, terima kasih juga telah membantu penulis memberikan
tambahan referensi dan menemani peirulis menyelesaikan tesis ini,
support dan dorongan semangat yang luar biasa, di saat penulis mulai
lelah dan pcsimis, ia datang dengan kata kunci, ayo semangat... semoga
Allah balas kebaikanmu dengan kemudahan hidup dan keberkahan.
a, 30 Agustus 2016
I
xvi
ABSTRAK
Pemikiran mengenai pemaknaan al-Qur’an di masa klasik menempati posisi
yang signifikan dalam melahirkan pandangan kontroversi mengenai status tafsir sufi dalam sejarah. Pertengkaran dan pertikaian yang sering terjadi, melahirkan
pandangan yang berseberangan hingga muncul tokoh yang mencoba
mengkompromikan keberagaman jenis penafsiran, penakwilan serta pemaknaan ayat al-Qur’an. Salah satu konflik yang terjadi pada masa itu pertikaian
pemaknaan al-Qur’an antara kaum ba>t}iniyyah dan s}ufiyyah. Al-Qusyairi>
merupakan salah satu tokoh yang muncul memberikan argumentasi untuk menjawab tuduhan bahwa praktek tasawwuf yang diterapkan oleh kalangan sufi
tidaklah menyimpang dan tidak mendasarkan diri kepada al-Qur’an dan al-
Hadits, sebagaimana yang telah dilakukan oleh kalangan ba>tiniyyah. Al-Qusyairi>
adalah salah satu ulama yang dengan lantang membantah tuduhan bahwa kalangan sufi berlepas dari syariat. Hal ini yang melatari lahirnya karya al-
Qusyairi, al-Risa>lah al-Qusyairyyah dan Tafsir Latha>’if al-Isyarat.
Tesis ini mengkaji karya dan pemikiran al-Qusyairi dengan fokus pada pandangan al-Qusyairi mengenai pemaknaan al-Qur’an dan bagaimana
pemaknaan al-Qur’an yang ditawarkan oleh al-Qusyairi. Kerangka teori yang
digunakan adalah konsep maqa>ma>t yang disinggung sendiri oleh al-Qusyairi dalam karyanya ar-Risa>lah al-Qusyairiyah. Metode yang digunakan metode
analisis-deskriptif dengan analisis pada poin hermeneutis –walaupun bukan
menjadi acuan utama-. Dengan demikian, pola tesis ini menggunakan pembahasan kitab tafsir –‘ala az-Zahabi- dan pola analisi isi kitab untuk melihat
–lebih tepatnya merumuskan- teori pemaknaan al-Qur’an al-Qusyairi.
Dengan kerangka teori, pendekatan dan analisis diatas, tesis ini menemukan beberapa kesimpulan. (1) Kitab Lat}a>’if al-Isya>ra>t memiliki sejarah
penulisan dalam menentang (meng-counter) tuduhan penyimpangan atas kaum
sufi sebagaimana yang dilakukan oleh kalangan Ba>t}iniyah. (2) Bagi al-Qusyairi, makna-makna yang terdapat dalam kalam Tuhan tidak terbilang, karena kalam
Tuhan tidak memiliki batasan akhir. Pernyataan tersebut didasari oleh kesadaran
yang sangat mendalam dan kejujuran tentang keterbatasan kemampuan manusia. Ragam pemaknaan yang diberikan oleh al-Qusyairi terhadap tema-tema tertentu,
menyiratkan pula terhadap keluasan batinnya. (3) Bagi al-Qusayiri, dalam
memahami kandungan al-Qur’an terdapat tiga level makna sesuai dengan tingkatan maqam dalam konsep tasawwuf; irfa>ni bagi kalangan aulia, burha>ni bagi kalangan sa>lik, dan baya>ni sekaligus mukjizat bagi Rasulullah saw. Secara
tersirat, al-Qusyairi juga memberikan arahan bahwa, makna-makna yang terkandung dalam setiap lafadz, akan berbeda dalam pandangan masing-masing
orang sesuai dengan kelasnya. Tiga poin kesimpulan ini termuat luas –contoh,
pola- dalam karya utamanya Lat}a>if al-Isya>ra>t dan ar-Risa>lah al-Qusyairiyah.
Kata Kunci: Makna, Pemaknaan al-Qur’an, Tafsir Sufi dan Teori
Pemaknaan.
xvii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...................................................................................... i
SURAT BEBAS PLAGIASI ........................................................................ ii
SURAT KASLIAN TESIS ........................................................................... iii
NOTA DINAS PEMBIMBING ..................................................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... v
HALAMAN MOTTO .................................................................................... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................... viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB – LATIN ....................................... ix
KATA PENGANTAR .................................................................................. xii
ABSTRAK ..................................................................................................... xvi
DAFTAR ISI .................................................................................................. xvii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 21
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ........................................................ 21
D. Kajian Pustaka .................................................................................... 22
E. Kerangka Teori .................................................................................. 24
F. Metode Penelitian ............................................................................... 29
G. Sistematika Pembahasan..................................................................... 30
BAB II : BIOGRAFI AL-QUSYAIRI DAN KITAB LAT}A >IF AL-
ISYA>RA >T
A. Setting Historis-Biografis al-Qusyairi .............................................. 32
xviii
1. Biografi dan Realitas Sosial ......................................................... 32
2. Genealogi Keilmuan ..................................................................... 37
3. Aktivitas Intelektual ..................................................................... 40
4. Gejolak Pemikiran ....................................................................... 45
5. Akhir Perjalanan .......................................................................... 49
B. Kitab Lat}a>’if al-Isya>ra>t fi> Tafsi>r al-Qur’a>n
1. Historisitas Penulisan .................................................................. 51
2. Strukturasi Kitab ......................................................................... 57
3. Tafsir Isyari Dalam Wacana Klasik ........................................... 64
4. Sumber Penafsiran Isyari ............................................................ 69
a. Menafsirkan al-Qur’an Dengan al-Qur’an .............................. 73
b. Menafsirkan al-Qur’an Dengan hadits.................................... 74
c. Menafsirkan al-Qur’an Dengan Asbab Nuzu>l ........................ 76
d. Menafsirkan Dengan penafsiran Sahabat................................ 78
e. Menafsirkan Dengan Pandangan Ulama ................................. 79
f. Menafsrkan Dengan Mengutif Sya’ir Kaum Sufi .................. 81
g. Menafsirakn Dengan Merujuk ke Qira’at ............................... 82
5. Pandangan Ulama’ Tentang Tafsir Sufi ...................................... 84
6. Kekhasan Tafsir Lat}a>’if al-Isyara>t ............................................. 86
BAB III : PEMAKNA’AN AL-QUR’AN
A. Al-Qur’an Dan Kekayaan Makna ...................................................... 91
B. Orientasi Pemaknaan Al-Qur’an Dalam Tradisi Sufi ....................... 98
C. Al-Qur’an Dan Pemaknaan Tasawwuf Imam al-Qusyairi ................. 110
xix
BAB IV : TEORITISASI PEMAKNAAN AL-QUR’AN AL-QUSYAIRI
A. Realitas Awal Tafsir Sufi ................................................................... 121
B. Hirarki Makna Ayat al-Qur’an .......................................................... 124
1. Pemaknaan Mengenai Ayat Infaq ................................................ 129
2. Pemaknaan Mengenai Ayat Iman ................................................ 135
3. Pemaknaan Mengenai Ayat Puasa ............................................... 136
C. Teorotisasi Tafsir Sufi ....................................................................... 139
D. Relevansi Tafsir Kaum Sufi Dengan Konteks Kekinia .................... 144
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................................... 147
B. Saran-Saran ......................................................................................... 150
DAFTAR PUSTAKA ................................................................
CURRICULUM VITAE ... ...........................................................
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Membincang al-Qur’an dalam berbagai aspek yang berkaitan dengannya
tidak akan pernah ada habisnya. Berbagai topik yang berkenaan dengan al-Qur’an
telah dikaji berabad-abad lamanya. Berbagai kalangan terlibat dalam kajian al-
Qur’an, bukan hanya kaum muslim sebagai insider, bahkan kalangan orientalis
selaku outsider pun tak henti-hentinya terlibat dalam kajian ini. Antusiasme yang
meliputi para pengkaji al-Qur’an tak pernah menurun apalagi pupus. Kajian yang
terus menerus dilakukan selama rentang waktu yang cukup panjang, dengan tema-
tema yang sangat beragam dari berbagai aspek, menjadikan al-Qur’an semakin
menarik dan memancing para pengkajinya untuk terus mencari dan mengeksplorasi
temuan-temuan baru darinya. Mungkin ini adalah bagian dari mukjizat yang
dimiliki oleh al-Qur’an. Seolah, ia ingin membuktikan klaimnya bahwa “seandainya
lautan dijadikan tinta untuk menuliskan kalam-kalam Tuhan, niscaya tidak akan
pernah selesai, meski kemudian didatangkan kembali lautan tinta serupa”.1
Ayat ini menegaskan tentang betapa luas dan dalam kandungan makna yang
terdapat dalam setiap ayat al-Qur’an. Tidak ada kebenaran mutlak dalam penafsiran
yang dilakukan oleh manusia, terlebih lagi jika penafsiran tersebut kemudian
diasumsikan sebagai satu-satunya tafsir yang benar. Al-Qur’an turun dengan
berbagai keunikan. Proses penyampaian, bahasa yang digunakan, dan kandungan-
kandungan yang terdapat di dalamnya, selalu dapat membungkam para
1 QS. Al-Kahfi {{[18]: 109.
2
penentangnya. Al-Qur’an turun dalam situasi yang tepat, disaat masyarakat Arab -
selaku komunitas pertama yang menjadi mukha>tabnya- sedang berada dalam situasi
yang sangat kacau. Perilaku-perilaku amoral dijumpai di sana-sini, spiritualitas yang
dipenuhi dengan kebodohan dan kesyirikan, interaksi sosial yang rentan dengan
peperangan dan pembunuhan.2
Dalam situasi yang sedemikian buruk itu, Allah swt. memulai proses
turunnya wahyu pertama kepada Muhammad saw. di Gua Hira’.3 Wahyu pertama
berisi tentang perintah Iqra’, yaitu membaca, sampai dengan 4 ayat berikutnya
dalam hemat penulis menjadi awal pembuktian tentang kemukjizatan al-Qu’an.
Muhammad saw. yang tadinya tidak memiliki kemampuan membaca, pada akhirnya
dengan mudah membaca wahyu-wahyu selanjutnya. Hal ini seolah ingin
membuktikan kebenaran ayat terakhir dalam rangkaian wahyu tersebut, bahwa
Allah menjamin akan mengajarkan segala sesuatu yang belum pernah diketahui
sebelumnya.
Sisi eksistensi al-Qur’an adalah sesuatu yang sangat menarik. Kehadiran al-
Qur’an ditujukan untuk merespon permasalahan-permasalahan yang terjadi di
sekitar Nabi Muhammad. Permasalahan yang direspon sangat beragam, baik
berkaitan langsung dengan Muhammad, syariat, umat di sekitarnya maupun al-
Qur’an itu sendiri. Hampir setiap permasalahan yang dihadapi oleh Muhammad
saw., al-Qur’an hadir memberikan jawaban atas permasalahan tersebut. Beberapa di
antaranya, saat kaum kafir menuduh Muhammad sebagai creator al-Qur’an,
2 Abu> al-H{asan ‘Ali al-H{asan al-Nadwi, Sirah Nabawiyah Sejarah Lengkap Nabi
Muhammad, (Yogyakarta: Darul Manar, 2012), hlm. 91-94. 3 S{afiyurrahmah al-Mubarakfury, al-Rahi>q al-Makhtu>m, (Mesir: Da>r al-Wava, 2010), hlm.
74.
3
menuduh al-Qur’an sebagai mantera-mantera sihir.4 Al-Qur’an membantahnya
dengan tegas, bahkan balik menantang mereka untuk membuat tandingannya.5
Turunnya al-Qur’an adalah sebagai petunjuk bagi umat manusia, tidak hanya
sebatas permasalahan akidah, namun hampir seluruh aspek kehidupan manusia
dibahas di dalamnya.
Semenjak al-Qur’an mulai diturunkan kepada Muhammad saw. pertama kali,
maka sejak itu pula ia ditugaskan untuk menyampaikannya kepada umatnya.
Muhammad secara resmi menjadi utusan Allah yang bertugas tidak hanya sebagai
penyampai, bahkan ia diberi kewenangan untuk menjelaskan maksud dan kandungan
ayat-ayat al-Qur’an.6 Tugas pertama beliau adalah menyampaikan wahyu dan
menjelaskan maksud-maksudnya berkaitan dengan fakta-fakta yang ada. Meskipun
al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, tetapi pada kenyataanya,
ia tidak mudah difaham begitu saja.7 Kesulitan tersebut pernah dialami oleh
4 QS. as-Shaf [61]: 6. 5 QS. al-Isra’ [17]: 88. Contoh lainnya adalah, ketika para sahabat merasa gelisah dan goyah
hatinya berkenaan dengan ibadah mereka. Kaum kafir menuduh mereka sebagai kaum plagiator
agama, kiblat shalat mereka dianggap ikut-ikutan kiblat mereka. Situasi ini pun tidak luput dari
sorotan al-Qur’an, hingga akhirnya kiblat shalat umat Islam berpindah dari Bait al-Maqdi>>s ke arah
Ka’bah (QS. al-Baqarah [2]: 144.) 6 QS. an-Nahl [16]: 44. 7 Az-Dzahabi menentang pendapat Ibn Khaldun yang mengatakan, “Sesungguhnya al-
Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab. Ungkapan -ungkapan yang digunakannya pun berbahasa Arab. Oleh karenanya, semua orang Arab pasti faham dan mengetahui maknanya baik dalam bentuk
kalimat mufrad (tunggal) atau pun murakkab (berangkaian dengan kalimat lain)”. Teori tersebut
menurut al-Dzahabi tidak sepenuhnya benar. Karena, meskipun al-Qur’an turun dengan bahasa Arab,
bukan berarti secara otomatis orang Arab faham dan mengetahui maknanya. Hal tersebut menurut al -
Dzahabi dapat dibuktikan dengan realitas hari ini, banyak orang-orang Arab yang memiliki
kelemahan dan tidak faham dengan kandungan kitab-kitab yang ditulis dengan bahasa Arab yang
sedikit berbeda dengan dialek dan bahasa keseharian mereka. Karena pemahaman tidak sekedar
berangkat dari mengetahui makna saja. Muh}ammad H{useyn az\-Z|ah}abi>, at-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n
(t.t, Maktabah Mus’ab bin Umar al-Isla>miyyah, 2004), I:28-29.
4
kalangan sahabat.8 Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, dan
untuk dapat memahaminya, mesti dengan mengerahkan segenap akal fikiran.9
Berbeda dengan manusia lainnya, Nabi Muhammad saw. yang mendapat
tugas menyampaikannya telah mendapatkan mandat untuk sekaligus menjelaskan
maksudnya. Artinya, pemahaman dan penguasaan Nabi Muhammad terhadap al-
Qur’an sudah terjamin tidak bisa diragukan lagi. Kesulitan-kesulitan pemahaman
mereka terhadap ayat-ayat al-Qur’an selalu dapat diselesaikan ketika mereka
mendatangi Nabi, pemilik otoritas tabyi>n atas ayat-ayat suci al-Qur’an. Tabyi>n,
atau penjelasan yang dilakukan oleh Nabi dapat dikelompokkan dalam dua kategori;
naratif dan praksis. Keberadaan beliau sebagai Rasulullah, pada dirinya terlekat
uswah.10
Allah swt. menghendaki Nabi sebagai contoh nyata dalam penerapan syari’at
agama yang dibawanya. Maka dalam kehidupan Nabi ini lah penjelasan terhadap
kandungan al-Qur’an tersebut dijumpai. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa,
‘Aisyah memberikan gambaran bahwa akhlak Rasulullah saw. adalah inti ajaran al-
Qur’an itu sendiri (ka>na khuluquhu al-Qur’a>n).11 Dalam tataran praksis ini,
penjelasan Nabi mengenai al-Qur’an dapat digali lebih komplit. Hal ini tidak hanya
8 Disebutkan bahwa sebagian sahabat merasa kebingungan dan tidak memahami maksud
kalimat ظلم" ” dalam QS. al-An’am [6]: 82, ومل يلبسوا امينهم بظلم, hingga kemudian Nabi menjelaskan maksud
kalimat tersebut dengan lafadz شرك" ”. Lihat dalam, Badruddi>n Abi> ‘Abdilla>h Muh{ammad bin Baha>dir
bin ‘Abdilla>h az-Zarkasyi>, al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Kutu>b al-‘Ilmiyyah, 2011),
I:30 9 QS. Yusuf [12]: 2. زلناه ق رآنا عربيا لعلاكم ت عقلون إنا جعلناه ق رآنا عربيا لعلاكم ت عق لون .QS. al-Zukruf: 3 ,إنا أن 10 QS. al-Ahzab [33]:21. 11 Ah}mad bin H{anbal al-Syaibāni, Masnad Ah}mad bin H{anbal, (Kairo: Muassasah Cordoba,
tt.), VI:163.
5
terbatas pada praktek-praktek yang dicontohkan langsung oleh Nabi, melainkan
termasuk ekspresi para sahabat yang tidak dilarang oleh Nabi.
Kelanjutan syi’ar agama Islam dalam jangka panjang, pada periode-periode
selanjutnya, tak luput dari perhatian Nabi. Al-Qur’an yang menjadi sumber agama,
harus tetap lestari dan selalu hadir sebagai pendamping hidup manusia. Nabi
Muhammad saw dalam kesadaran manusiawinya telah mempersiapkan penerusnya
saat beliau wafat kelak, bukan sebagai Nabi, melainkan orang yang kiranya mampu
untuk memberikan penjelasan mengenai maksud yang dikandung dalam ayat-ayat
al-Qur’an.12 Hal ini menjadi penting terkait keberadaan al-Qur’an yang tidak mudah
difahami.
Kaderisasi dalam bidang penafsiran al-Qur’an ini telah dilakukan oleh Nabi
jauh-jauh hari. Dan sosok yang dipilih adalah salah satu sahabat yaitu Abdullah Ibn
‘Abba>s. Suatu hari, Ibn ‘Abba>s dipanggil oleh Nabi, Nabi kemudian mengusap
kepalanya sembari mendoakannya agar menjadi orang yang memiliki pemahaman
yang baik terhadap agama Islam dan memiliki kecakapan untuk menjelaskan
makna-makna yang terkandung dalam al-Qur’an, ين، وعل مه التاأو ي Peristiwa 13 .اللاهما ف ق هه ف الد
tersebut secara tidak lansung menjadi prosesi pengangkatan Ibn Abbas sebagai
mubayyin pertama al-Qur’an setelah Nabi Muhammad. Terbukti, belakangan
bermunculan pengakuan dari sahabat yang lain mengenai kecakapan Ibn Abbas
dalam memberikan penjelasan atas al-Qur’an. Di antaranya adalah pengakuan yang
12 Mus}t}afa> al-Sa>wi al-Juwayni, Mana>hij fi> al-Tafsir, (Iskadariyyah: Ma’arif, tt.), hlm. 23. 13 Ah}mad bin H{anbal al-Syaibāni, Fad}a>il al-Sah}a>bah, (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1983),
II: 956.
6
disampaikan oleh beberapa sahabat tentang baiknya penjelasan Ibn Abbas mengenai
ayat-ayat al-Qur’an.14
Pada dasarnya, secara natural, sebagian besar para sahabat telah memiliki
pemahaman terhadap al-Qur’an, meski hanya sebatas pemahaman global.15 Hal ini
dikarenakan bahasa yang digunakan dalam al-Qur’an adalah bahasa mereka, Arab.
Namun demikian, patut diketahui bahwa, terdapat perbedaan mengenai tingkat
pemahaman mereka terhadap makna ayat-ayat al-Qur’an. Al-Dzahabi mencatat,
kesulitan memahami beberapa lafadz al-Qur’an pernah dialami oleh sahabat senior,
Umar bin al-Khattab.16 Karena itu tidak jarang para sahabat mendapatkan
pemahaman terhadap makna al-Qur’an dari percakapan keseharian masyarakat
Arab. Hal ini sebagaimana dialami oleh Ibn ‘Abbas ketika ia kesulitan memahami
makna kalimat “Fat}ir”. Ia baru dapat memahami makna kalimat tersebut setelah
mendengar percakapan dua orang badui yang sedang memperebutkan kepemilikan
sebuah sumur.17
Meski para sahabat pernah mengalami kesulitan sebagaimana disebutkan,
akan tetapi mereka tetap saja memiliki kemampuan yang baik dalam memahami al-
Qur’an. Kemampuan tersebut didapatkan dari cara mempelajari al-Qur’an yang
sangat baik dan penuh kesungguhan. Mereka tidak menambah bacaan al-Qur’an
14 al-Syaibāni, Fad}a>il al-Sah}a>bah. Bab tentang keutamaan Abdullah bin Abbas. 15 az\-Z|ah}abi>, at-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, I: 28. 16 Kejadian tersebut dialami Umar ketika berkhutbah dan membacakan ayat وفاكهة واب yang
terdapat dalam surat ‘abasa, dikatakan bahwa Umar kesulitan memahami arti lafadz abba>. Dalam
riwayat yang lain disebutkan bahwa Umar juga kesulitan memahami makna lafadz al-takhawwuf yang terdapat dalam surat al-Nahl أو أيخذهم على التخوف. Kemudian datanglah kepada Umar, seorang lelaki
dari Bani Hudzail yang memberikan penjelasan tentang maksud dari kalimat tersebut. az\-Z|ah}abi>, at-
Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, I: 29. 17 Jala>luddi>n Abd ar-Rah}ma>n as-Suyut}i, Al-Itqa>n Fī ‘Ulūm al-Qur’ān, (Beirut: Da>r al-Fikr,
2008), hlm. 161.
7
yang mereka pelajari dari Nabi kecuali mereka telah menguasainya, menghafal dan
mengamalkannya.18
Sepeninggal Rasulullah saw., para sahabat kemudian menjadi rujukan
generasi berikutnya untuk belajar al-Qur’an, tidak sekedar bacaannya, bahkan
mengenai maksud dari ayat-ayat al-Qur’an yang sulit difahami. Pemahaman mereka
mengenai al-Qur’an melalui beberapa cara atau sumber. Mereka memberikan
penjelasan tentang al-Qur’an dengan berdasarkan keterangan yang mereka dengar
dari Rasulullah baik secara langsung atau pun melalui perantara orang lain. Di
samping itu, mereka juga memanfaatkan penegetahuan mereka terkait kronologi
turunnya ayat-ayat tertentu dan terkadang pula menggunakan pendapat atau ijtihad
mereka sendiri.19
Al-Suyuti membuat skema urutan popularitas sahabat di bidang penafsiran
al-Qur’an. Urutan tersebut didasarkan pada kuantitas periwayatan mereka. Dalam
catatan tersebut, al-Suyuti menempatkan empat sahabat yaitu, Abdullah Ibn
Mas’ud, Abdullah Ibn Abbas, Zaid bin Tsabit dan Ubay bin Ka’ab. Namun menurut
al-Suyuti, Ibn Abbas adalah yang paling populer dan menjadi rujukan utama.
Periwayatan yang berasal dari Ibn Abbas hampir tak terhitung jumlahnya.20
Berbeda dengan al-Suyuti, Husayn al-Dzahabi memiliki catatan lain
mengenai beberapa sahabat yang menjadi tokoh di bidang penafsiran. Bahkan
18Abu> Ja’far al-T{ah}awi>, Ah}ka>m al-Qur’a >n al-Kari>m, (Turki: al-Markaz al-Buhu>s\ al-
Isla>miyyah, 1998), I: 245. 19 az\-Z|ah}abi>, at-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n , I: 49. al-Suyuti dalam al-Itqa>n mencatat, terdapat
10 sahabat yang masyhur kecakapannya dalam menafsirkan al-Qur’an. Khulafa>’ al-Arba’ah, Ibn
Mas’ud, Ibn Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al -Asy’ari dan Abdullah bin Zubair.
Namun menurut al-Suyuti, dari keempat khalifah, Ali bin Abi Thalib adalah yang terbanyak
meriwayatkan penjelasan atau penafsiran al-Qur’an. As-Suyut}i, Al-Itqa>n Fī ‘Ulūm al-Qur’ān , hlm.
564. 20 As-Suyut}i, Al-Itqa>n Fī ‘Ulūm al-Qur’ān, hlm. 566.
8
sebelumnya tidak disebutkan oleh al-Suyuti. Di antaranya adalah, Anas bin Malik,
Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin ‘Amr bin al-
Ash dan ‘Aisyah. Namun al-Dzahabi menegaskan bahwa beberapa sahabat yang ia
sebutkan tidak didasarkan pada kuantitas periwayatan mereka, melainkan kualitas
pemahaman mereka terhadap tafsir al-Qur’an.21 Dan dari beberapa sahabat tersebut,
menurut al-Dzahabi, terdapat empat sahabat yang paling populer berdasarkan
kuantitas periwayatan.
Pertama, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ali bin Abi Thalib dan
Ubay bin Ka’ab.22 Abdullah bin Abbas adalah sahabat yang paling populer sebagai
tokoh tafsir al-Qur’an di kalangan sahabat. Terdapat beberapa hadits yang
mengisahkan tentang perlakuan Nabi terhadapnya. Nabi mendoakan secara khusus
agar Ibn Abbas memiliki pengetahuan tentang takwil, tentang tafsir al-Qur’an. Di
samping itu, banyak pula sahabat yang membuktikan bahwa Ibn Abbas memang
sangat cakap dalam menjelaskan kandungan al-Qur’an, hingga mereka kemudian
memberikan testimoni dan pujian kepada Ibn Abbas. Ia kemudian dikenal pula
dengan julukan tarjuma>n al-Qur’a>n.
Pada periode berikutnya, era tabi’in, penafsiran al-Qur’an menjadi lebih
berkembang. Kebutuhan akan tafsir al-Qur’an semakin bertambah. Beberapa
penyebabnya adalah penafsiran yang dilakukan oleh Nabi dan para Sahabat belum
menyentuh al-Qur’an secara keseluruhan. Masih banyak ayat-ayat yang belum
tersentuh oleh penafsiran mereka. Oleh karenanya, di era tabi’i >n muncullah
madrasah-madrasah tafsir yang diasuh oleh beberapa sahabat terkemuka. Di
21 az\-Z|ah}abi>, at-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n , I: hlm.49. 22Ibid.
9
samping itu, menurut al-Dzahabi, penyebaran agama Islam dan bertambahnya kaum
muslimin menjadi faktor lainnya yang mempengaruhi mengemukanya kebutuhan
tafsir. Beberapa sahabat yang pindah ke daerah-daerah baru taklukan Islam,
kemudian mendirikan madrasah-madrasah al-Qur’an, tidak hanya belajar membaca
saja tentunya, tetapi penafsirannya juga. Dari madrasah-madrasah asuhan para
sahabat tersebut, beberapa di antaranya termasyhur sebagai madarsah yang
berkualitas. Madrasah tersebut adalah madrasah asuhan tokoh-tokoh utama dari
kalangan sahabat dalam bidang tafsir.
Madrasah-madrasah asuhan para sahabat telah melahirkan tokoh-tokoh tafsir
baru dengan kelebihan dan keistimewaan masing-masing. Model penafsiran yang
dilakukan pun cukup beragam. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, para tabi’in
tidak sekedar menafsirkan al-Qur’an berdasarkan riwayat dari para sahabat.
Terkadang pula mereka menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan pendapat
pribadi mereka, di antaranya yang terkenal menempuh cara ini adalah Mujahid. Ia
terbiasa membebaskan penalarannya dalam memahami maksud dan kandungan al-
Qur’an.
Keberhasilan madrasah-madrasah tafsir yang telah melahirkan tokoh-tokoh
terkemuka tak pelak pula memunculkan keragaman penafsiran. Keragaman tersebut
muncul disebabkan oleh perbedaan metode penafsiran mereka. Sebagaimana
disebutkan sebelumnya, bahwa terdapat beberapa mufassir yang melakukan ijtihad
dalam menafsirkan al-Qur’an, dengan memberikan ruang penalaran di dalamnya, hal
itu merupakan salah satu faktor munculnya perbedaan hasil penafsiran di antara
mereka. Bukan hanya dari sisi keragaman mufassir, cara penafsiran dan sumber
10
penafsiran saja yang menjadi latar belar belakang keberagaman penafsiran al-
Qur’an, tetapi dari sisi al-Qur’annya sendiri yang memiliki kandungan makna yang
tak terbatas, ia begitu kaya dengan makna.
Berkenaan dengan hal ini, Quraish Syihab mengutip pendapat ‘Abdullah
Darraz yang mengumpamakan al-Qur’an dengan intan yang setiap sudutnya
memancarkan cahaya yang berbeda-beda, bahkan setiap mata yang memandangnya,
akan menemukan cahaya yang berbeda-beda pula.23 Quraish Shihab juga mengutip
pendapat tokoh lainnya, Arkoun, yang mengatakan bahwa, al-Qur’an memiliki
kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Oleh karenanya, ayat-ayat al-
Qur’an selalu terbuka untuk pemahaman dan interpretasi baru tanpa ada yang boeh
mmbatasinya dengan memberikan penafsiran tunggal.24
Pada akhirnya penafsiran al-Qur’an semakin berkembang dan bervariasi.
Bukan hanya sekedar metode penafsirannya belaka, tetapi coraknya pun cukup
beragam. Jika pada tataran metodenya terdapat beberapa model yang sudah familiar
dengan istilah tahlili, ijmali, muqa>ran dan mawd}u’i, maka pada ranah
kecenderungan dalam penafsiran, terdapat beberapa varian yang sekaligus menjadi
identitas penafsiran. Variasi corak-corak penafsiran tersebut masing-masing
memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Latar belakang tersebut kemudian
mendorong munculnya corak penafsiran tertentu, seperti: linguis-sastrawi, filosofis-
teologis, ‘ilmi, fiqhi, sufi (isya>ri), dll.25
23 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an ( Bandung: Mizan, 1999), hlm. 72. 24 Ibid. 25Ibid. hlm. 73.
11
Pemaknaan al-Qur’an memiliki ruang lingkup yang sangat luas bahkan
mungkin tak terbatas. Al-Qur’an tidak akan pernah kering dan kehilangan makna-
makna baru dari setiap ayatnya. ‘Abdulla>h bin Sah}l at-Tustari> menulis:
Andai seorang Hamba diberikan seribu pemahaman tentang satu huruf
al-Qur’an, maka makna-makna tersebut tidak akan sampai pada titik-
titik akhir makna yang Allah titipkan pada ayat-ayat al-Qur’an, karena pada dasarnya al-Qur’an adalah Kala>mullah dan kala>m adalah sifat-
Nya, sebab tidak terbatasnya sifat Allah begitu juga tidak terbatas
upaya memahami kalam-Nya, dan sebenarnya yang terbatas adalah kemampuan pemahaman itu sendiri.26
Menurut Quraish Shihab, banyak tokoh-tokoh muslim yang menyatakan hal
serupa sebagaimana diungkapkan oleh at-Tustari>. Ibra>him bin Umar al-Biqa>’iy
misalnya, ia mengatakan bahwa, terkadang ia perlu waktu berbulan-bulan hanya
untuk memahami hubungan satu ayat dengan ayat lainnya. Sedangkan Abd-Allah
Darraz menyatakan, jika anda membaca al-Qur’an maknanya akan jelas di hadapan
Anda, tetapi jika anda baca sekali lagi, maka anda akan menemukan makna-makna
lainnya.27
Dalam al-Qur’an, Allah swt. memberikan pernyataan tegas bahwa
memberikan penafsiran atau pun pemaknaan terhadap al-Qur’an tidak akan pernah
ada akhirnya dan tidak akan pernah selesai. Bahkan sampai seluruh lautan dan
pepohonan di muka bumi dijadikan media untuk menuliskannya, tetap tidak akan
menghabiskan kekayaan kalam Tuhan tersebut. Pada akhirnya, ketika akal manusia
telah mencapai titik yang tertinggi dari kemampuan berfikir mereka, kemudian
mereka akan menghentikan dan membatasi makna al-Qur’an sesuai dengan
26 Badr al-Din Abi Abd Allah al-Zarkazy, Al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, (Mesir: Da>r Ihya’
al-Kutub al-Arabiyyah. 1957), I: 9. 27 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, hlm. 16.
12
kemampuannya. Tentu hal ini adalah pendapat yang sangat subjektif. Mengapa
demikian?, karena sebagaimana diketahui bahwa akal, pemahaman dan pengetahuan
setiap individu sangatlah beragam dan berbeda antara satu dengan lainnya. Belum
lagi historisitas yang dimiliki, baik histori sosial, intelektual bahkan spiritual yang
berbeda-beda, semua ini menjadi penyumbang yang cukup signifikan dalam
memahami makna ayat-ayat al-Qur’an.
Berbicara mengenai memaknai ayat al-Qur’an sebagai sebuah aktivitas
penafsiran, at-Tustari> tercatat sebagai orang pertama yang merintis penafsiran al-
Qur’an dengan menggali kemungkinan-kemungkinan makna dari setiap ayat-ayat al-
Qur’an.28 Metode tafsir yang digunakan oleh Sahl al-Tustari adalah metode tafsir
tahlili. Tafsir ini termasuk tafsir periode awal dan pada periode tersebut hampir
seluruh kitab-kitab tafsir dari berbagai aliran menggunakan metode tafsir tahlili.29
Mengenai sumber penafsiran al-Tustari, meski kemudian tafsir ini dikelompokkan
pada tafsir sufi isyari, ia menggunakan perpaduan atara sumber ma’s\ur (riwayat)
dan ijtihad (ra’yi). Dalam beberapa surat yang ditafsirkan, al-Tustari tidak hanya
menggunakan pendapatnya sendiri, ia juga mengutip ayat-ayat al-Qur’an, hadits,
maupun pendapat para sahabat dan tabi’in serta beberapa ulama.
Salah satu pendapat Sahl al-Tustari yang cukup populer mengenai makna
ayat al-Qur’an adalah, bahwa setiap ayat al-Qur’an tak hanya memiliki1makna.
28 Al-Tustari lahir antara tahun 200 atau 201 H. dan wafat pada tahun 283 H. Semenjak
usia sangat muda, 6 tahun, Sahl telah memulai mendalami al -Qur’an. Sebagai langkah awal, di usia
semuda itu, Sahl telah menghafal al-Qur’an. Sahl al-Tustari adalah seorang Ulama yang cukup
produktif. Terdapat beberapa karya tulis yang dikaitkan kepadanya, dan di antaranya adalah Tafsir
al-Tustari. Latar belakang penulisan tafsir ini adalah permintaan murid -muridnya agar Sahl menulis
tafsir al-Qur’an. Sah}l bin ‘Abdulla>h at-Tustari>, Tafsi>r al-Tustari>, (Lebanon: Da>r al-Kutub al-
Ilmiyyah, 2007), hlm. 3-13. 29 Ahmad Izzan, Metodologi Tafsir, (Bandung:Tafakkur, 2009), hlm. 104.
13
وما من آية ف القرآن إل وهلا أربعة معان، ظاهر وبطن وحد ومطلع، فالظاهر “التالوة، والباطن الفهم، واحلد حالهلا وحرامها، واملطلع إشراف القلب على املراد هبا
ا 30.”فقها من هللا عزا وج
“Dan tidak terdapat dari setia ayat dalam al-Qur’an kecuali ia
mempunyai empat makna, z}ahir, batin, batasan (hukum) dan sumber. Makna z}ahirnya berupa tilawah (makna literar), makna batin berupa
pemahaman, batasannya berupa hukum halal-haram dan makna yang
dapat menjadi sumber inspirasi dan terbimbingnya hati menuju pemahaman yang benar sebagai suatu pemberian dari Allah swt.”
Al-Tustari menggambarkan bahwa setiap ayat al-Qur’an tak bisa dibatasi
dengan satu makna saja. Dalam setiap ayat, sangat mungkin terdapat beberapa
makna sekaligus dari berbagai aspek yang berbeda, aspek dlahir, aspek batin, aspek
batasan-batasan hukum maupun aspek sumber-sumber pengetahuan yang dapat
digali darinya.31 Jika merujuk pada klaim al-Qur’an sendiri, QS.al-Kahfi [18]:109,
maka pernyataan tersebut tidak lah berlebihan. Al-Qur’an yang diposisikan sebagai
pedoman hidup manusia sepanjang masa, memang seharusnya memuat makna-
makna solutif. Dengan demikian, al-Qur’an dapat selalu eksis dan terserap dalam
setiap zaman dan waktu. Menjadi rujukan dalam segala bentuk problematika
kehidupan manusia.
Pandangan bahwa ayat-ayat al-Qur’an memiliki makna lebih dari satu, tak
hanya diutarakan oleh al-Tustari. Kalangan syiah pun berpandangan demikian.
Syi’ah is\na asy’riyyah meyakini bahwa setiap ayat al-Qur’an memiliki makna lahir
dan batin. Kalangan Syiah cukup serius di bidang tafsir al-Qur’an. Ulama-ulama
mereka cukup produktif menulis kitab-kitab tafsir. Kekayaan intelektual di bidang
30 At-Tustari>, Tafsi>r at-Tustari>, hlm. 16. 31 Ibid.
14
tafsir tidak lepas dari upaya menguatkan dan menyebarkan aqidah mereka. Kitab-
kitab tafsir yang ditulis oleh kalangan ulama mereka cukup beragam. Mulai dari
yang berupa penafsiran al-Qur’an secara keseluruhan atau pun juga yang sebagian.
Terdapat juga yang tafsir klasik maupun yang modern.
Model penafsiran yang mengandalkan penggalian makna al-Qur’an di abad-
abad awal cukup populer. Bukan hanya di kalangan sunni saja model penafsiran
tersebut ditemukan, di kalangan Syi’ah pun banyak dijumpai. Jika melihat dua
contoh mufassir yang disebutkan sebelumnya, Sahl al-Tustari dari kalangan
Sufiyyu>n dan al-Hasan al-Askari dari kalangan Syi’i>, maka akan ditemukan titik
kesamaan di antara keduanya. Mereka sama-sama meyakini adanya makna bathin
dari ayat-ayat al-Qur’an itu. Namun bedanya, al-Askari pada akhirnya lebih sering
mengabaikan makna lahir dan terkesan memaksakan diri untuk memasukkan
ideologinya dalam penafsirannya. Kesamaan lainnya dari kedua tafsir tersebut
adalah, sama-sama tidak menafsirkan al-Qur’an secara keseluruhan. Al-Askari
seolah memiliki misi tertentu untuk memasukkan pemahaman syi’ah terutama
mengenai wilayah Ali dan hal-hal terkait.
Sedangkan tafsir al-Tustari pada penafsiran di surat-surat akhir lebih banyak
menampilkan pendapat pribadinya daripada merujuk kepada ayat al-Qur’an, hadits
atau riwayat lainnya. Dalam tafsir ini tidak akan dijumpai pembahasan mengenai
asba>b al-nuzu>l sebagaimana beberapa penafsiran lainnya. Hampir dapat dipastikan
bahwa al-Tustari hanya mengandalkan pemahamannya saja. Hal ini dapat dilihat
dari klaim yang disampaikannya ketika menanggapi pertanyaan seseorang tentang
kepemilikan ilmu hikmah atas dirinya. Al-Tustari mengatakan bahwa dirinya
15
diberikan (ilmu) hikmah, juga diberi kemampuan melihat keghaiban yang bersifat
transenden.32
Sahl al-Tustari dan Hasan al-Askari adalah dua mufassir yang hidup di era
yang sama, abad kedua hijriyyah. Penafsiran mereka dengan metode yang hampir
sama, memiliki pengaruh terhadap para mufassir berikutnya. Dari masing-masing
mereka berdua, muncullah penafsir-penafsir yang mengikuti dan mengembangkan
model penafsiran tersebut. Kemudian, model penafsiran seperti yang dilakukan oleh
al-Askari ini populer disebut dengan istilah tafsir ba>tiniyyah, merujuk pada, lebih
mementingkan untuk mengimani makna batin dari pada makna lahir ayat.
Sedangkan penafsiran yang dilakukan oleh al-Tustari kemudian populer dengan
istilah tafsir isya>ri atau tafsir su>fi>. Istilah tersebut merujuk kepada, produk
penafsiran Ulama Sufi yang cenderung menfasirkan al-Qur’an berdasarkan isyarat-
isyarat yang mereka tangkap dan fahami.
Sebagian Ulama kemudian mengkategorikan keduanya beserta produk
penafsirannya sebagai tafsir yang memiliki kekeliruan dalam memberikan
pemakanaan pada ayat-ayat al-Qur’an. Kontroversi terhadap metode penafsiran
keduanya berlangsung cukup lama hingga beberapa generasi berikutnya. Imbas dari
kontroversi tersebut merambah pula pada ranah keilmuan lainnya. Para Sufi sebagai
praktisi ilmu tasawwuf tidak luput dari tuduhan kekeliruan manhaj beragama
mereka. kalangan sufi pun dituduh mengada-ada atas metode tasawwuf yang
mereka terapkan.33 Hingga di abad keempat, muncul salah satu ulama dari kalangan
32 At-Tustari>, Tafsi>r at-Tustari>, hlm. 26. 33 Az\-Z|ah}abi>, at-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, I: 200-201.
16
kaum sufi yang tergerak untuk meluruskan tuduhan tersebut, Abdul karim bin
Hawazin al-Qusyairi>, ia adalah seorang sufi yang hidup di abad keempat hijriyah.
Al-Qusyairi> bermaksud memberikan argumentasi untuk menjawab tuduhan
bahwa praktek tasawwuf yang diterapkan kalangan oleh sufi tidaklah menyimpang
dan tidak mendasarkan diri kepada al-Qur’an dan al-Hadits, sebagaimana yang telah
dilakukan oleh kalangan ba>tiniyyah. Al-Qusyairi> adalah salah satu ulama yang
dengan lantang membantah tuduhan bahwa kalangan sufi berlepas dari syariat.
Menurutnya, syariat sebagai amal dlahir tidak bisa dipisahkan dari hakikat sebagai
persaksian kepada tuhan secara batin. Syariat merupakan perkara yang wajib
dilakukan sebagai bentuk penghambaan, dan hakikat adalah persaksian ketuhanan.34
Ungkapan-ungkapan al-Qusyairi> dalam menentang tuduhan penyimpangan
atas kaum sufi sangat menarik. Al-Qusyairi> misalnya mengutip ucapan al-Junayd al-
Baghdadi ketika dilapori tentang seorang lelaki yang dikenal sebagai ahli tasawwuf.
Menurut lelaki tersebut, orang-orang yang telah makrifat kepada Allah swt. tidak
perlu lagi melakukan amal-amal lahir dan kebaikan lainnya untuk dekat kepada
Allah, karena mereka pada hakikatnya telah wushul, sampai ke hadirat Allah swt.
mendengar laporan tersebut, al-Junayd dengan tegas mematahkan pendapat tersebut
dengan mengatakan, orang-orang yang menggugurkan kewajiban amal lahir tersebut
telah melakukan dosa besar. Bahkan yag demikian tersebut lebih buruk dari perilaku
orang yang mencuri atau berzina sekalipun.35 Dan secara tegas, al-Qusyairi>
menggaris-bahawi bahwa, kalangan ulama tasawwuf, mengambil dasar ilmunya dari
34 Muh}ammad ‘A>bid al-Ja>biri>, Binyah al-Aql al-Arabi>, (Mesir: Markaz Dira>sat al-Wahdah
al-Arabiyyah, 2009), hlm. 280. 35 Ibid.
17
al-Qur’an dan al-Hadits. Ia mengutip pernyataan al-Junayd al-Baghdadi yang
berbunyi;
يث ل يقتدى به ف هذا المر, لن علمنا هذا مقيد "من مل حيفظ القران ومل يكتب احلد 36بلكتاب والسنة"
“Barang siapa yang tidak menjaga dan mengamalkan al-Qur’an dan tidak menulis dan mengikuti hadis\/sunnah Nabi, maka ia tidak layak
dijadikan panutan dalam tasawwuf, karena ilmu tasawwuf diikat
dan dikuatkan dengan al-Qur’an dan al-Hadis\”
Sampai di sini, al-Qusyairi> ingin menegaskan bahwa tidak ada
penyimpangan dalam manhaj tasawwuf yang ditempuh oleh kaum sufi. Tuduhan
bahwa mereka meninggalkan amal-amal syariat adalah tidak benar. Dan untuk
meluruskan tuduhan-tuduhan penyimpangan yang dialamatkan kepada kalangan
sufi, al-Qusyairi> menulis beberapa karya ilmiah. Beberapa di antaranya adalah al-
Risa>lah al-Qusyairyyah dan Tafsir Latha>’if al-Isyarat. Dalam mukaddimah al-
Risa>lah al-Qusyairi>yah, al-Qusyairi> kembali menegaskan bahwa, ahli tasawwuf
adalah orang-orang yang mengikuti manhaj al-Qur’an dan al-Hadits, tidak sedikit
pun terdapat penyimpangan di dalamnya, mereka adalah orang-orang yang
mengikuti jalan salaf al-sha>lih dalam keimanan, akidah dan cara ibadahnya.37
‘A>bid al-Ja>biri menilai, tafsir karya al-Qusyairi> merupakan karya tafsir sufi
sunni yang paling sempurna sampai saat itu.38 Dan yang menjadi sangat menarik
dari tafsir tersebut, dari awal, al-Qusyairi> telah mengisyaratkan beberapa hal. Yang
pertama, bahwa dalam memahami kandungan al-Qur’an terdapat tiga level makna
sesuai dengan tingkatan maqam dalam konsep tasawwuf; irfani bagi kalangan aulia,
36 Al-Ja>biri>, Binyah al-Aql al-Arabi, hlm. I80. 37 Abdul Kari>m bin H{awa>zin al-Qusyairi>, al-Risa>lah al-Qusyairi>yyah, (t.t, Da>r al-Kheir,
t.th.), hlm. 20. 38 Al-Ja>biri>, Binyah al-Aql al-Arabi>, hlm. 284.
18
burhani bagi kalangan salik, dan bayani sekaligus mukizat bagi Rasulullah saw.
yang kedua, secara tersirat, al-Qusyairi> juga memberikan arahan bahwa, makna-
makna yang terkandung dalam setiap lafadz, akan berbeda dalam pandangan
masing-masing orang sesuai dengan kelasnya. Hal ini pula lah yang menjadi alasan
al-Jabiri mengklaim bahwa tafsir al-Qusyairi> adalah tafsir sufi sunni yang paling
bagus, di samping itu, terdapat kesesuaian dengan konsep epistemologi burha>ni,
irfa>ni dan baya>ni yang diusungnya.39
Salah satunya dari penafsiran al-Qusyairi>, yakni penggunaan istilah-istilah
yang tidak dijumpai dan digunakan oleh para mufassir lainnya, misalnya
penggunaan istilah يقال ,الشارت, dan beberapa istilah lainnya. Namun di samping
penggunaan istilah ‘baru’ tersebut, penafsiran al-Qusyairi> juga memiliki keunikan
lain, yaitu pemaknaan yang bertingkat dari suatu ayat sebagaimana disebutkan
sebelumnya. Pemaknaan bertingkat tersebut hampir terdapat pada setiap ayat-ayat
al-Qur’an, tetapi pada tema-tema tertentu al-Qusyairi> tidak menafsirkan dengan
cara demikian. Berikut contoh pemaknaan bertingkat yang dilakukan oleh al-
Qusyairi>;
ا بيديكم إل الت اهلكة وأحسنوا إنا اللا حيب المحسني وأنفقوا ف سبي اللا ول ت لقو
إنفاق األغنياء من أمواهلم، وإنفاق العابدين بنفوسهم ل يدخروهنا عن العبادات والوظائف،
إنفاق العارفي بقلوهبم ل يدخروهنا عن أحكامه، وإنفاق احملبي برواحهم ل يدخروهنا حب ه.عن
.إنفاق األغنياء من الن عم وإنفاق الفقراء من اهلمم
39 Al-Ja>biri>, Binyah al-Aql al-Arabi>, hlm. 284.
19
،إنفاق األغنياء إخراج املال من الكيس، وإنفاق الفقراء إخراج الروح عن أنفس النفيس وإنفاق املوح دين إخراج اخللق من الس ر.
Dalam contoh di atas, al-Qusyairi> menafsirkan lafadz انفقوا dengan
memberikan klasifikasi dan tingkatan makna.
Infaq orang-orang yang kaya adalah harta benda mereka, sedangkan
infaq orang-orang yang ahli ibadah adalah dengan jiwanya.
Infaq orang-orang yang makrifat kepada Allah adalah dengan hati mereka.
Infaq orang-orang yang mencintai Allah swt. dengan ruh mereka.
Infaq orang-orang kaya berasal dari kenikmatan yang mereka miliki,
sedang infaq dari kalangan orang miskin berasal dari semangat mereka, infaq orang-orang yang kaya cukup merogoh sakunya,
sedang infaq orang-orang yang faqir adalah dengan mengeluarkan
ruh dari hati mereka dan menjauh dari kenikmatan jiwa.
Infaq orang-orang yang senantiasa mentauhidkan Allah adalah
dengan mengeluarkan dan mengusir makhluq yang terdapat di dalam
hati sanubari mereka.40
Al-Qusyairi> dengan kapasitas keilmuan dan karyanya sangat layak diteliti.
Secara tegas, al-Jabiri mengklaim bahwa tafsir lat}a>if al-isya>ra>t adalah tafsir sufi
sunni yang paling sempurna.41 Dan dalam sebuah penelitian tentang penafsiran al-
Qusyairi> menyimpulkan bahwa, al-Qusyairi> adalah seorang tokoh sufi sunni yang
memiliki kehati-hatian yg cukup tinggi. Sikap ikhtiya>t}/hati-hati ini lah yang
mempengaruhi penafsiran al-Qusyairi>.42 Di samping itu, al-Qusyairi> sendiri
menyatakan dengan tegas bahwa karya tafsirnya ini ditujukan sebagai pembuktian
kelurusan i’tiqa>d kaum sufi sekaligus sebagai kritik dan penolakan atas penafsiran
kaum bat}iniyyah.
40 Al-Qusyairi>, Lat}a>’if al-Isya>ra>t, I: 94. 41 Al-Ja>biri>, Binyah al-Aql al-Arabi>, hlm. 284 42 Annabel Keeler, Tafsir Sufistik Sebagai Cermin; Al-Qusyairi> Sang Mursyid dalam
karyanya Latha’if al Isyarat, diterjemahkan oleh Eva F. Amrullah dan Faried F. Saenong dari Journal
of Qur’anic Studies 8:1 (2006).
20
Keragaman penafsiran al-Qur’an yang telah dilakukan oleh para ulama,
dengan berbagai latar belakang keilmuan dan model penafsiran masing-masing,
menggambarkan kekayaan makna yang terkandung dalam setiap lafaz al-Qur’an. Di
antara hasil penafsiran yang ada, tafsir dengan corak sufi menjadi salah satu model
yang bersifat eksploratif. Al-Qusyairi>, sebagaimana contoh-contoh penafsirannya
yang telah dikemukakan sebelumnya, melakukan eksplorasi terhadap lafaz-lafaz al-
Qur’an. Ia mengungkap makna-makna yang hampir tak terfikir oleh oleh para
penafsir lainnya. Namun demikian, penafsiran kaum sufi masih saja diperdebatkan
oleh kalangan mufassir sendiri. Berbagai alasan dikemukaan untuk menolak
penafsiran kaum sufi, hingga kemudian muncul kalangan yang menawarkan solusi
berupa aturan penafsiran yang diberlakukan bagi penafsiran kaum sufi.43
Sampai disini, al-Qusyairi> dan metode penafsirannya sangatlah layak dan
menarik untuk dikaji lebih jauh. Ketokohan al-Qusyairi> dalam bidang tasawwuf,
keluasan pengetahuan dan integritasnya dalam menjaga kelurusan aqidah umat
islam, -sebagaimana latar belakang penulisan tafsirnya- serta metode penafsirannya
yang tergolong unik, menjadi alasan kuat untuk menelitinya lebih mendalam. Tesis
ini, akan difokuskan untuk mengkaji model pemaknaan ayat-ayat al-Quran oleh al-
Qusyairi> serta mencari penafsiran yang sesuai atau pun tidak sesuai dengan
persyaratan penerimaan tafsir sufi. Hal ini menjadi sangat penting, mengingat al-
Qusyairi> adalah tokoh yang pendapat dan pandangan keagamaannya selalu menjadi
43 Terdapat 4 persyaratan yang harus terpenuhi dalam penafsiran sufi agar dapat diterima; 1.
Penafsiran tersebut tidak bertentangan dengan makana zahir ayat, 2. Maknanya sendiri harus sahih,
3. Pada lafaz yang ditafsirkan terdapat indikasi bagi makna isyari tersebut, 4. Antara makna syarat
dan makna zahir ayat, terdapat keterkaitan. Manna’ Khalil al -Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an,
(Litera antar Nusa- Halim Jaya, 2007), hlm. 495-496. Kha>lid Abd al-Rah}ma>n al-‘Akd, Us}u>l al-Tafsi>r
wa Qawa>’iduh, (t.t: Da>r al-Nafa>is, 1986), hlm. 208.
21
rujukan oleh sebagian besar umat Islam, terutama kalangan pelaku t\}ari>qah. Dan di
samping itu, secara sujektif, penulis menilai bahwa al-Qusyairi adalah tokoh sufi
yang memiliki konsistensi dalam menjaga keseimbangan syariat dan tasawwuf baik
di tataran teoritik maupun di tataran prakteknya oleh para pengagum dan pengikut
ajaran tasawwuf.
B. Rumusan masalah
Melihat latar belakang di atas, cukup banyak poin-poin yang sangat menarik
untuk dibahas. Di samping itu, keberadaan al-Qur’an yang selalu menantang para
pengkajinya untuk menemukan hal-hal baru di dalamnya, sekaligus merupakan
pembuktian nilai-nilai I’jaz yang tak terbatas. Namun demikian, penulis akan
membatasi pembahasan dalam penelitian ini terhadap penafsiran al-Qur’an yang
dilakukan oleh al-Imam al-Qusyairi> berdasar beberapa alasan yang telah dituturkan
sebelumnya. Dan agar pembahasan dalam tesis ini terfokus, maka akan dirumuskan
dalam beberapa permasalahan sebagai berikut;
1. Bagaimana pandangan al-Qusyairi mengenai penafsiran al-Qur’an ?
2. Bagaimana pemaknaan ayat al-Qur’an menurut al-Qusyairi dalam kitab
Lat}a>if al-Isaya>ra>t?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini memiliki tujuan dan
kegunaan yang diarahkan pada mengekplorasi pandangan al-Qusyairi tentang
penafsiran al-Qur’an serta mengetahui tentang bentuk pemaknaan al-Qur’an yang
dilakukan oleh al-Qusyairi dalam karya utamanya Lat}a>if al-Isya>ra>t.
22
D. Kajian Pustaka
Dalam rangka menjaga originalitas penelitian yang akan dilakukan, berikut
akan ditampilkan beberapa karya yang membahas tentang tafsir Latha>if al Isya>ra>t
karya al-Qusyairi> yang telah dilakukan sebelumnya di lingkungan UIN Sunan
Kalijaga.
Beberapa karya ilmiah yang berkaitan dengan al Qusyairi dan tafsirnya,
penulis jumpai di lingkungan UIN Sunan Kalijaga. Pertama, sebuah skripsi yang
ditulis oleh Ali Ghufron dengan judul Tafsir Bismillahirrahmaanirrahiim Menurut al
Qusyairi (Aplikasi Terhadap Metode Penafsiran Seorang Sufi). Dijelaskan di dalam
skripsi ini bahwa al- Qusyairi menganggap basmalah merupakan bagian dari ayat al-
Qur’an dan penempatannya dalam setiap awalan surat bertujuan untuk mencari
keberkahan ( li at-tabarruk ). Di samping itu, pada bab ini penulis menampilkan
beberapa contoh penafsiran basmalah.
Kedua, skripsi yang ditulis oleh Zainal Abidin dengan judul Penafsiran al-
Qusyairi> Tentang al-Ahruf al-Muqattha’ah Dalam Latha’if al-Isyarat. Sebagaimana
judulnya, skripsi ini membahas tentang huruf-huruf terpisah dalam beberapa awalan
surat al-Qur’an serta beberapa pendapat ulama mengenai hal tersebut. selanjutnya,
penulis memetakan beberapa penafsiran al-Qusyairi> terhadap ahruf al-muqattha’ah
satu persatu kemudian dilanjutkan dengan klasifikasi penafsiran. Selain pembahasan
tersebut, penulis menggambarkan metode penafsiran yang dilakukan oleh al-
Qusyairi> yang lebih mengarah kepada hermeneutika keruhaniaan. Kemudian penulis
mengkategorikan metode yang digunakan oleh al-Qusyairi> ke dalam kategori tafsir
23
ijmali. Sedangkan corak yang mewarnai penafsirannya adalah corak sufi. Hal ini
tentu sesuai dengan keahlian dan ketokohannya di bidang tasawuf.
Ketiga, skripsi yang ditulis oleh Moh. Toha Mahsun dengan judul Kisah
Musa dan Khidir dalam Surat al-Kahfi (Studi atas Penafsiran al-Qusyairi> dalam
Kitab Latha’if al-Isyarat). Dalam penelitian ini, penulis memetakan penafsiran al-
Qusyari mengenai kisah Musa dan Khidir menjadi dua dimensi; dimensi lahir dan
batin. Penulis juga memberikan penilaian mengenai penafsiran al-Qusyairi> baik dari
sisi kelebihan maupun kekurangannya. Selain itu, penulis menampilkan temuannya
terkait relevansi penafsiran dengan konteks kekinian. Hal tersebut meliputi
kewajiban bagi manusia untuk membekali diri dengan ilmu pengetahuan, kesabaran
dan selalu berprasangka baik.
Keempat, sebuah Disertasi yang ditulis oleh Abdul Munir dengan judul
Penafsiran Imam al-Qusyairi> dalam Kitab Tafsir Latha’if al-Isyarat (Studi Tentang
Metode Penafsiran dan Aplikasinya). Dalam disertasi ini dibahas tentang al-
Qusyairi> yang diposisikan sebagai salah satu dari tokoh-tokoh sufi sekaligus
mufassir. Penulis melihat bahwa al-Qusyairi> berupaya mengkompromikan antara
makna lahir ayat dan makna batinnya. Namun di samping upaya tersebut, penulis
juga menemukan inkonsistensi penafsiran al-Qusyairi> terhadap metodenya sendiri.
Pada beberapa ayat, al-Qusyairi> terkesan mengabaikan aspek lahir ayat dan tidak
ada upaya untuk mengkorelasikan antara makna lahir dan makna isyarat, sehingga
terkesan lebih sering memasukkan pemikiran dalam penafsirannya.
Dengan demikian, tulisan-tulisan di atas tidak ada yang membahas tentang
kajian yang akan dilakukan oleh penulis. Namun penulis tidak mengabaikan adanya
24
kebersinggungan antara penelitian ini dengan karya-karya tersebut baik secara
langsung atau pun tidak langsung, semisal pembahasan tentang biografi al-Qusyairi>,
setting sejarah dan metode penafsiran. Yang jelas materi pokok yang menjadi inti
kajian berbeda sama sekali. Ulasan ini diperlukan untuk menjamin otentisitas
penelitian yang akan dilakukan oleh penulis.
E. Kerangka Teoritik
Kerangka teori adalah hal penting yang harus ada dalam sebuah penelitian.
Setidaknya, secara garis besar, kerangka teori dimaksudkan agar penelitian yang
dilakukan tetap fokus pada objek dan arah yang ditentukan. Di samping itu, agar
alur logika dan langkah-langkah penelitian berjalan secara sistematis. Adapun
kerangka teori yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah konsep maqa>ma>t
yang digagas oleh al-Qusyairi> sendiri di dalam karyanya, al-Risa>lah al-
Qusyairi>yyah. Konsep tersebut dinilai relevan untuk digunakan sebagai kerangka
teori untuk memudahkan pemetaan level makna-makna ayat yang diberikan oleh al-
Qusyairi>. Terlebih, bahwa al-Qusyairi> sejak awal telah menyinggungnya dalam
mukaddimah tafsirnya.
Secara teoritis, konsep maqamat dijelaskan oleh al-Qusyairi> dalam al-
Risa>lah al-Qusyairi>yah sebagai berikut;
ه بنوع تصرف، واملقام: وهو ما يتحقق به العبد مبنازلته من اآلداب مبا يتوص إلي ويتحقق به بضرب تطلب ومقاساة تكلف, فمقام ك أحد موضع إقامته عند ذلك
وشرطه أن ل يرتقي من مقام إل مقام آخر ما مل وما هو مشتغ بلرايضة له.ل يستوف أحكام ذلك املقام فان من ل قناعة له ل يصح له التوك ومن ل توك له
يصح له التسليم، وكذلك من ل توبة له ل تصح له اإلنبة ومن ل ورع له ل يصح له
25
واملقام هو اإلقامة كاملدخ مبعىن اإلدخال واملخرج مبعىن اإلخراج، ول يصح الزهد.اء أمره على ألحد منازلة مقام إل بشهود إقامة اللا ت عال إايه بذلك املقام ليصح بن
قاعدة صحيحة، مسعت األستاذ أب علي الدقاق رمحه اللا ت عال، ي قول: ملا دخالواسطي بنيسابور سأل أصحاب أب عثمان مباذا كان أيمركم شيخكم؟ ف قالوا: كان
احملضة، هال أمركم أيمرن بلتزام الطاعات ورؤية التفسري فيها، ف قال: أمركم بجملوسية بلغيبة عن ها برؤية منشئها وجمريها، وإمنا أراد الواسطي هبذا صبياهنم عن حم
44اإلعجاب ل تعرجياا ف أوطان للتقصري أو جتويزاا لإلخالل بدب من األداب.
“Maqa>m adalah suatu kondisi spiritual yang diupayakan dan
diwujudkan oleh seorang Sa>lik (seorang hamba yang menjalani laku
spiritual tertentu) dalam suatu nilai etika tertentu. Hal tersebut didapatkan dengan melalui serangkaian muja>hadah yang dilakukan
secara gradual dan dilakukan dengan penuh kesungguhan melawan
berbagai kesulitan dan kepayahan, hingga kemudian sampai lah pada satu maqa>m. Maka setiap orang yang sedang berada dalam suatu
maqa>m tertentu, dia harus menjalaninya dengan baik dan penuh
kesungguhan, sehingga ia hanya menyibukkan diri dengan berbagai riyadlah demi meraih keberhasilan dalam maqa>m tersebut.
Dalam melalui perjalanan maqa>mat ini, seorang salik disyaratkan
agar tidak berpindah-pindah maqa>m selama maqa>m yang sedang dijalani belum sempurna. Gambaran sederhananya, seseorang yang
belum sempurna menjalani maqa>m qana>’ah, maka tidak sah baginya
berpindah menjalani maqa>m tawakkal, barang siapa yang belum menyempurnakan perjalanan maqa>m tawakkal, maka belum
diperkenankan berpindah pada maqa>m parsah, orang yang belum
memenuhi maqa>m taubat dengan baik, maka belum sah menjalani
maqam ina>bah, dan jika belum menyempurnakan perjalanan maqam wara’, maka belum sah berpindah menjalani maqa>m zuhud.
Maqa>m yang dimaksudkan adalah iqa>mah, yaitu suatu upaya
penegakan atau aktualisasi suatu nilai etika spiritual. Maqa>m sama halnya bermakna sebagaimana madkhal yang bermakna idkha>l, dan
makhraj yang bermakna ikhra>j. Oleh karena itu, perpindahan dari satu
maqam ke maqam lainnya dianggap tidak sah jika belum mengalami persaksian terhadap kehadiran Tuhan dalam maqa>m yang sedang
dijalaninya, tujuannya agar bagunan setiap maqa>m yang dilalui
menjadi kokoh berdiri di atas kaidah yang benar. Saya medengar Syaikh Abi Ali ad-Daqqaq berkata “ketika al-Wasit}i masuk ke Naisapur, ia bertanya kepada para pengikut Syaikh Abu
44 Al-Qusyairi>, al-Risa>lah al-Qusyairi>yyah,hlm. 56-57.
26
Us\man, apa yang diperintahkan guru kalian? Kemudian mereka menjawab, guru kami memerintahkan agar kami berpegang teguh pada ketaatan dan senantiasa melihat kekurangan di dalamnya. Kalau begitu kalian diperintahkan untuk melakukan amalan Majusi. Kenapa tidak memerintahkan kalian untuk melakukan peniadaan diri dari amal ketaatan dan melihat kekurangan di dalamnya. Pada dasarnya, apa yang dikatakan oleh al-Wasit\i kepada para pengikut Abu Us\man agar mereka tidak mengalami ketakjuban pada diri mereka sendiri. Dan agar mereka tidak tenggelam dalam keraguan dan selalu merasa kurang, namu di sisi lain agar mereka tidak mudah berpindah-pindah dari satu etika ke etika lainnya.”
Terdapat istilah-istilah yang populer digunakan di kalangan ahli tasawwuf
dan terkadang tidak dapat difahami oleh kalangan lainnya. Penggunaan istilah-
istilah tersebut hanya mereka yang bisa memahaminya. Hal itu memang disengaja.
Di samping bertujuan untuk selalu mendalami makna dari istilah tersebut, juga
sebagai ungkapan yang tetap tersamarkan bagi orang lain.45 Pendapat lain
mengatakan bahwa, ungkapan atau istilah yang terdapat di kalangan ahli tasawwuf
muncul karena beberapa faktor. Di antaranya, ketika mereka berbicara tentang
kondisi hati atau kondisi kejiwaan yang sedang mereka rasakan, mereka sering tidak
menemukan ungkapan yang sesuai untuk menggambarkan apa yang sedang mereka
alami. Dzauqiyyah, perasaan tertentu yang datang secara tiba-tiba, tidak sempat
untuk mereka carikan perumpamaan sebagai materi untuk memberinya nama.46
Di antara sekian banyak istilah yang berlaku di kalangan ahli tasawwuf,
maqam adalah salah satu istilah penting dan menjadi kunci untuk memahami
istilah-istilah lainnya. Dalam bahasa arab, maqam memiliki beberapa makna,
tempat, kedudukan, posisi, pangkat dan derajat. Maqam sendiri merupakan bentuk
45Ibid. hlm. 53. 46 Ibid.
27
tunggal dari lafadz maqa>mat sebagai bentuk jama’nya. Dalam pengertian ahli
tasawwuf, maqam adalah suatu derajat atau kedudukan yang diraih atau sedang
dijalani oleh seorang hamba di sisi Allah swt. untuk mendapatkan maqam tertentu,
seorang hamba harus melakukan berbagai macam upaya, membuktikan keinginan-
keinginannya dengan usaha yang keras dan sungguh-sungguh hingga kemudian
dapat menduduki suatu maqam tertentu. dan untuk mendapatkan maqam tersebut,
haruslah pula disertai dengan riyadlah, olah jiwa dengan banyak ibadah kepada
Allah swt.
Dalam proses menjalani maqa>ma>t ini, seorang Sa>lik atau pun hamba, tidak
diperkenankan berpindah dari satu maqa>m ke maqa>m lainnya selama belum
memenuhi dan menyempurnakan laku (proses) pada maqa>m yang sedang dijalani.
Hal ini merupakan sebuah tindakan yang akan menghambat bahkan membatalkan
proses perjalanan meniti maqa>m yang sedang berlangsung lantaran dianggap sebagai
Sa>lik atau hamba yang tidak memiliki sifat qana>’ah. Dan barang siapa yang tidak
memiliki sifat qana>’ah, maka ia juga tidak memiliki sifat tawakkal, sedangkan jika
tidak memiliki sifat tawakkal, maka ia tidak sah untuk menjalani maqa>m lainnya
yaitu tasli>m, memasrahkan diri sepenuhnya kepada kehendak Tuhan. Analogi
lainnya berbunyi, barang siapa yang tidak bertaubat dengan benar dan penuh
kesungguhan, maka tidak sah baginya ina>bah dan barang siapa yang tidak wara’
maka tidak sah baginya zuhud.47
Secara etimologis, maqa>m adalah semakna dengan iqa>mah yang berarti
bertempat tinggal, sebagaimana madkhal yang semakna dengan idkha>l yang berarti
47 Ibid. hlm. 56.
28
pintu masuk dan juga sama dengan makhraj yang semakna dengan ikhra>j yang
berarti jalan keluar. Ketika seseorang sedang berada dalam suatu maqa>m tertentu,
maka tolak ukur keberhasilannya adalah penyaksian Tuhan atas keberadaannya
menjalani maqa>m tersebut. hal itu menjadi syarat penting agar penitian setiap
maqa>m berada dalam kondisi yang sempurna.48
Dalam penjelasannya mengenai beberapa maqa>m, al-Qusyairi>
membandingkannya agar mudah untuk difahami perbedaannya. Contohnya ketika
menjelaskan tentang pengertian syari>’at dan haqi>qat. Menurutnya, syari’at
merupakan suatu perintah untuk melakukan peribadatan (penghambaan), sedangkan
haqi>qat adalah persaksian tentang ketuhanan. Namun meski keduanya memiliki
perbedaan, menurut al-Qusyairi, keduanya tidak bisa dipisahkan. Kerena, syari>’at
tanpa ditopang oleh haqi>qat maka tidak dapat diterima. Begitu pula haqi>qat tanpa
disertai penguatan syari>’at maka tujuannya tidak akan diperoleh. Dalam tataran
praksis, syari’at datang sebagai sebuah takli>f, perintah yang wajib dilakukan oleh
hamba, sedangkan haqiqat merupakan pengetahuan tentang pelaksanaan kuasa
Tuhan. Dalam tatanan syari>’at, manusia hanya berkewajiban melaksanakan perintah
beribadah saja. Berbeda dengan tatanan haqi>qah, pada tahap ini, seorang hamba
harus berupaya agar dalam penghambaannya, ia dapat menyaksikan eksistensi
Tuhan.49
Ini lah perbedaan maqa>m yang dimaksudkan oleh al-Qusyairi> dalam konsep
maqa>matnya. Maqa>m ini menjadi menarik untuk dijadikan kerangka teori, untuk
mendapatkan pandangan yang sintesis antara kedau karya al-Qusyairi, ar-Risa>lah al-
48Ibid. hlm. 57. 49Ibid.
29
Qusyairiyah dan Lat}a>’if al-Isya>ra>t. Dengan kerangka ini, maka diharapkan
pandangan yang otentik dari sosok al-Qusyairi mengenai tafsir al-Qur’an dapat
digali dan difahami serta diteoritisasikan secara baik.
F. Metode Penelitian
Akurasi hasil suatu penelitian sebagian ditentukan oleh kesesuaian metode
yang digunakan. Dalam penelitian ini, penggunaan metode yang diaplikasikan dapat
diuraikan sebagai berikut;
1. Jenis Penelitian dan Sumber Data
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat kualitatif, yaitu
penelitian yang dilakukan dengan cara menggali data-data tertulis baik berupa
buku, jurnal, ensiklopedi, dan sumber rujukan-rujukan lainnya yang dianggap
sesuai. Sumber data rimer penelitian ini adalah tafsir lat{a>if al-is{a>ra>t karya al-
Qusyairi> dan karya-karyanya yg lain. Dan karena penelitian ini adalah
penelitian tokoh, maka semua data karya tokoh menjadi sumber primer dan kitab
tafsirnya menjadi smber yang paling primer karena menjadi pusat data penelitian
tesis ini. adapun sumber sekunder adalah semua buku, jurnal atau lainnya yang
berkaitan dengan obyek penelitian tesis ini baik yang objek formal maupun
obyek material.
2. Metode dan Pendekatan
Berkenaan dengan data, metode yang digunakan adalah analisis-
deskriftif. Sedangkan pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan
hermeneutis. Pendekatan ini digunakan untuk menganalisis, memetakan serta
30
merumuskan teori pemaknaan al-Qur’an al-Qusyairi> dalam kitabnya lat}a>if al-
isya>rah.
3. Langkah penelitian:
Dalam melakukan penelitian, ada beberapa langkah penelitian yang akan
ditempuh: (1) Mengidentifikasi dan menginventarisir ayat- ayat yang diberi
makna bertingkat oleh al-Qusyairi>. (2) Mengkaji secara mendalam data-data
mengenai tingkatan makna beserta tafsir ayat yang berkenaan dengan tingkatan
makna tersebut. (3) Setelah mengkaji, kemudian dipetakan secara urut, serta
beberapa hal yang berkaitan dengan pemetaan tersebut akan dikaji secara
mendalam. dan yang ke (4) Menyimpulkan dan memberikan alur yang baik dari
tingkatan makna yang ditawarkan oleh al-Qusyairi>. Pada kesimpulan inilah
merupakan hasil perumusan dan penelitian mendalam dari penulis.
G. Sistematika Pembahasan
Pembahasan tesis ini akan dibagi dalam lima bab bahasan. Bab pertama
berisikan pendahuluan penelitian. Sebagaimana penelitian literatur pada umumnya,
pada bab ini akan membahas bagian-bagian pendahuluan penelitian, meliputi: latar
belakang penelitian, rumusan masalah, kerangka teoritis penelitian dan lain-lain.
Bab kedua, pembahasan tentang tokoh yang karyanya menjadi objek penelitian ini,
al-Imam al-Qusyairi>. Dalam bab ini, analisis historis-sosiologis tokoh menjadi poin
dan fokus narasi kesejarahan tokoh. Selain itu, Dan dalam bab ini pula, akan dibahas
tetang kitab Lat}a>if al-Isyarah dengan pola pembahasan kitab tafsir (mabahis fi
kutub at-tafsir), yang termuat dalam karya al-Zahabi, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n.
Gambaran kitab tafsir ini diperlukan dalam mengungkap gambaran secara holistik
31
kitab tasir Lat}a>if al-Isya>ra>t, dan posisinya dalam sejarah penafsiran al-Qur’an. Bab
ketiga, akan membahas tentang pemaknaan al-Qur’an. Pembahasan tentang tema ini
akan dimulai dengan kekayaan makna al-Qur’an, kemudian akan diarahkan pada
penafsiran al-Qur’an oleh kalangan sufi dan secara spesifik membahas al-Qusyairi.
Sedangkan, bab keempat akan membahas Teoritisasi pemaknaan al-Qur’an oleh al-
Qusyairi. Dan dalam bab ini, penulis juga akan melakukan teoritisasi dan rumusan
hermeneutis dari pola pemaknaan al-Qursyairi terhadap ayat al-Qur’an. Terakhir,
bab kelima berisi kesimpulan dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya dan saran-
saran untuk penelitian berikutnya sebagai tindak lanjut dari penelitian ini.
147
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemikiran mengenai pemaknaan al-Qur’an di masa klasik menempati
posisi yang signifikan dalam melahirkan pandangan konroversi mengenai status
tafsir sufi dalam sejarah. Pertengkaran dan pertikaian yang sering terjadi,
melahirkan pandangan yang berseberangan hingga muncul tokoh yang mencoba
mengkompromikan keberagaman jenis penafsiran, penakwilan serta pemaknaan
ayat al-Qur’a. Dalam hal inilah al-Qusyairi> bermaksud memberikan argumentasi
untuk menjawah tuduhan bahwa praktek tasawwuf yang diterapkan oleh
kalangan sufi tidaklah menyimpang dan tidak mendasarkan diri kepada al-Qur’an
dan al-Hadits, sebagaimana yang juga telah dituduhkan kepada kalangan
ba>tiniyyah. Al-Qusyairi> adalah salah satu ulama yang dengan lantang
membantah tuduhan bahwa kalangan sufi berlepas dari syariat.
Dari kajian mengenai pemaknaan ayat al-Qur’an dalam pandangan al-
Qusyairi, tesis ini memberikan kesimpulan yang bisa ditarik pada tiga haluan
besar:
a. Kitab Lat}a>’if al-Isya>ra>t memiliki sejarah penulisan dalam menjawab
(meng-counter) tuduhan penyimpangan oleh kaum sufi sebagaimana
dituduhkan oleh kelompok Mu’tazilah. Al-Qusyairi> menggaris-
bawahii bahwa, kalangan ulama tasawwuf, mengambil dasar ilmunya
dari al-Qur’an dan al-Hadits, karena mereka sadar betul bahwa
hakikat tidak dapat dipisahkan dari syari’at.
148
Al-Qusyairi> menegaskan bahwa tidak ada penyimpangan
dalam manhaj tasawwuf yang ditempuh oleh kaum sufi. Tuduhan
bahwa mereka meninggalkan amal-amal syariat adalah tidak benar.
Dan untuk meluruskan tuduhan-tuduhan penyimpangan yang
dialamatkan kepada kalangan sufi, al-Qusyairi> menulis beberapa karya
ilmiah. Beberapa di antaranya adalah al-Risa>lah al-Qusyairyyah dan
Tafsir Latha>’if al-Isyarat. Dalam mukaddimah al-Risa>lah al-
Qusyairi>yyah, al-Qusyairi> kembali menegaskan bahwa, ahli tasawwuf
adalah orang-orang yang mengikuti manhaj al-Qur’an dan al-Hadits,
tidak sedikit pun terdapat penyimpangan di dalamnya, mereka adalah
orang-orang yang mengikuti jalan salaf al-sha>lih dalam keimanan,
akidah dan cara ibadahnya. Oleh karena itu, kehadiran karya tafsir al-
Qusyairi tersebut diklaim sebagai alternatif atas kekacauan tafsir al-
Qur’an di kalangan para tokoh yang mengklaim pemahaman mereka
sebagai madzhab tasawwuf.
b. Pandangan al-Qusyairi mengenai penafsiran dan pemaknaan al-Qur’an
adalah dengan melihat hakikat al-Qur’an, sebagaimana pandangan
sufi pada umumnya. Bagi al-Qusyairi, makna-makna yang terdapat
dalam kalam Tuhan tidak terbilang, karena kalam Tuhan tidak
memiliki batasan. Pernyataan tersebut didasari oleh kesadaran yang
sangat mendalam dan kejujuran tentang keterbatasan kemampuan
yang dimiliki oleh manusia. Ragam pemaknaan yang diberikan oleh
149
al-Qusyairi terhadap tema-tema tertentu, menyiratkan pula terhadap
keluasan batin dan tingkatan spiritualitasnya.
Dalam memaknai al-Qur’an, al-Qusyairi berusaha
menggabungkan dan memadu-padankan antara ilmu hakikat dan
syari’at. Ini adalah hal yang sangat penting dalam tafsir ini, karena
keduanya sangat erat dan saling menguatkan. Tujuan yang paling
mendasar dari teori al-qusyairi ini adalah, menolak segala bentuk
pemahaman dan pendapat yang bertentangan jauh dari syari’at
maupun hakikat. Setiap ilmu atau pemahaman syariat yang tidak
dikokohkan dengan pengetahuan tentang hakikat, maka akan
kesulitan untuk dapat diterima. Sebaliknya, ilmu hakikat yang tidak
didasarkan dan diikat dengan ilmu syariat, maka tidak akan
menghasilkan suatu apa pun. Dalam keyakinan al-Qusyairi, setiap
ayat dalam al-Qur’an memiliki kekayaan makna. Bukan hanya makna
literar kebahasaan saja, melainkan terdapat makna-makna isyarat
yang sangat lembut dan dalam, dan hanya orang-orang yang
dibukakan mata hatinya (mukasyafah) yang dapat menemukan makna
itu.
c. Dalam kitab Lat}a>’if al-Isya>ra>t, Al-Qusyairi telah mengisyaratkan
beberapa hal kaitannya dengan pemaknaan al-Qur’an, diantaranya
adanya tingkayan makna dalam setiap ayat al-Qur’an. Pandangan ini
dapat dipolakan menjadi dua: (1) bahwa dalam memahami kandungan
al-Qur’an terdapat tiga level makna sesuai dengan tingkatan maqam
150
dalam konsep tasawwuf; irfani bagi kalangan aulia, burhani bagi
kalangan salik, dan bayani sekaligus mukjizat bagi Rasulullah saw. (2)
secara tersirat, al-Qusyairi juga memberikan arahan bahwa, makna-
makna yang terkandung dalam setiap lafadz, akan berbeda dalam
pandangan masing-masing orang sesuai dengan kelasnya.
Pemaknaan yang bertingkat dan variatif sebagaimana
ditawarkan oleh al-Qusyairi dapat dikatakan sebagai bentuk
pembuktian atas keyakinannya bahwa al-Qur’an memiliki makna tak
terhitung. Selain itu, tingkatan makna tersebut terpengaruh oleh
konsep maqamat yang digagasnya dalam ilmu tasawwuf. Penjelasan,
narasi dan contoh diatas menjadi penguat bahwa dalam tradisi sufi,
tafsir al-Qur’an atau lebih tepatnya pemaknaan al-Qur’an memiliki
tempat yang khas, maqam yang lain dibandingkan dengan tafsir al-
Qur’an jenis lainnya.
B. Saran-saran
Tesis ini tentu penulis harapkan dapat memberikan sumbangsih kegunaan
akademik, antara lain:
a. Pertama, metode dan teknik pemaknaan ayat al-Qur’an yang dilakukan
oleh para penafsir klasik sebenarnya banyak variasinya yang perlu
diungkap. Secara teoretik dan metodologis mereka belum
mengungkapkan jenis maupun macamnya, tetapi secara praktis para
penafsir telah membuat pola-pola yang dapat diamati sesuai dengan
metode yang banyak dikembangkan sekarang ini. Dengan demikian,
151
maka dalam kitab lat}a>’if al-isya>ra>t – sebagai contoh kecil-, perlu
diadakan identifikasi secara metodologis, terutama yang terkait dengan
penggunaan metode dan teknik analisis pemaknaan ayat dikalangan
sufi. Tesis ini sudah mencoba menyentuh kearah tersebut.
b. Memberikan sumbangan secara teoretik terhadap kajian metodologis
Ilmu Tafsir dan Ilmu al-Qur'an. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya
untuk memberikan sumbangan -bahkan- mengisi kekosongan
metodologis terhadap pola pemaknaan ayat al-Qur'an yang selama ini
masih jarang disentuh.
c. Memberikan masukan sesuai dengan ancangan teoretik terhadap
pengembangan metodologis pemaknaan sufi untuk dapat
dipertimbangkan sebagai sebuah metode yang layak dipakai dalam
membumikan –atau dalam maksud umum memahami- ayat-ayat al-
Qur’an. Walla>hu A’lam . . .
DAFTAR PUSTAKA
al-‘Akd, Kha>lid Abd al-Rah}ma>n. Us}u>l al-Tafsi>r wa Qawa>’iduh. t.t: Da>r al-Nafa>is,
1986.
al-Bukhari, Muh}ammad bin Isma>il bin Ibra>himS}ah}i>h al-Bukha>ri. Beirut: Da>r al-
Kutub al-Ilmiyyah, 2013.
al-Ghazali, Abu> H{amid Muh{ammad bin Muh{ammad. Ihya’ ‘Ulu>m al-Din, (Beirut:
Dar Ibn Hazm, 2006), hlm. 277.
al-Ja>biri>, Muh}ammad ‘A>bid. Binyah al-Aql al-Arabi>. Mesir: Markaz Dira>sat al-
Wahdah al-Arabiyyah, 2009.
al-Juwayni, Mus}t}afa>. Mana>hij fi> at-Tafsi>r. Iskandariyah: al-Ma’a>rif, t.th.
al-Mubarakfury, S{afiyurrahmah. al-Rahi>q al-Makhtu>m. Mesir: Dar al-Wava, 2010.
al-Nadwi, Abu> al-H{asan ‘Ali al-H{asan. Sirah Nabawiyah Sejarah Lengkap Nabi Muhammad. Yogyakarta: Darul Manar, 2012.
al-Qardlawy, Yusuf. Kaifa Nata’ammal Ma’a al-Qur’a>n al ‘Az}i>m. Kairo: Da>r al-
Syuru>q, 2000.
al-Qattan, Manna’ Khalil. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Jakarta: Litera antar Nusa-
Halim Jaya 2007.
al-Qurtuby, Abu ‘Amr Yu>suf bin ‘Abdilla>h al-Na>miri>. al-Intiqa>’ fi> Fad}a>’il al-S|alati al-Aimmati al-Fuqaha>’, Ma>lik wa al-Sya>fi’I wa Abi> H}ani>fah. Beirut: Da>r al-
Kutub al-Ilmiyyah, tt.
Al-Qusyairi>, Abdul Kari>m bin H{awa>zin. Lat}a>’if al-Isya>ra>t. t.t: Da>r al-Khair, t.th Jilid
I,II dan III.
al-Qusyairi>, Abdul Kari>m bin H{awa>zin. al-Risa>lah al-Qusyairi>yyah. t.t, Da>r al-
Kheir, t.th.
al-Ru>mi, Fah}d bin ‘Abd al-Rah}ma>n bin Sulayman. Buhu>s\ fi> Us}u>l al-Tafsi>r wa Mana>hijuh. Riya>d}: Maktabah al-Taubah,t.t.
‘Ali, Mahmu<d al-Nuqrasyi al-Sayyid. Mana>hij al-Mufassiri>n, t.t: Maktabah an-
Nahd}ah, 1986
az\-Z|ah}abi>, Muh}ammad H{useyn. at-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n. t.t. Maktabah Mus’ab
bin Umar al-Islamiyyah, 2004. Jilid I
az-Z|ahabi, Muh}ammad bin Ah}mad bin ‘Us \ma>n bin Qaima>z Ta>rikh al-Isla>m wa Wa>fiya>t al-Masya>hir wa al-A’la>m. t.t: Da>r al-Gharb al-Isla>mi, 2003. Jilid
X.
az-Zahabi, Syamsu ad-Di>n Muh}ammad bin Ah}mad bin ‘Us \man. Siya>r A’lam an-Nubala>’. Libanon: Muassasah al-Risa>lah, 1990. Jilid XVIII.
az-Zarkasyi>, Badruddi>n Abi> ‘Abdilla>h Muh{ammad bin Baha>dir bin ‘Abdilla>h. al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Beirut: Da>r al-Kutu>b al-‘Ilmiyyah, 20011. Jilid
1
al-Syaibāni, Ahmad bin Hanbal. Masnad Ahmad bin Hanbal. Kairo: Muassasah
Cordoba, tt.) Jilid VI.
al-Syaibāni, Ahmad bin Hanbal. Fad}a>il al-S}ah}a>bah. Beirut: Muassasah al-Risalah,
1983. Jilid II
as-Suyut}i, Jala>luddi>n Abd ar-Rah}ma>n. Al-Itqa>n Fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Beirut: Da>r al-
Fikr, 2008.
as-S}a>buni, Muh}ammad ‘Ali.> al-Tibya>n fi>>' ‘Ulu>m Al-Qur’a>n. Jakarta: Pustaka Amani,
2001.
at-Tustari>, Sah}l bin ‘Abdulla>h Tafsi>r al-Tustari>. Lebanon: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah,
2007.
Dosen Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Studi Kitab Tafsir. Yogyakarta: Teras, 2004.
Isa, Abd al-Qa>dir. Haqa>’iq an al-Tasawwuf. Syiria: Aleppo, 1961.
Itr, Nur al-Din. ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Damaskus: Mat}ba’ah al-Shabbah, 1996.
Izzan, Ahmad. Metodologi Tafsir. Bandung:Tafakkur, 2009.
Kaelan, ‚Kajian Makna al-Qur’an (Suatu Pendekatan Analitika Bahasa)‛ Sahiron
Syamsudin (ed.). Hermeneutika al-Quran Mazhab Yogya. Yogyakarta:
Islamika, 2003.
Katsir, Abu al-Fida’ Ismail bin Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Adzi >m. Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiah, 2012. Jilid I
Keeler, Annabel. Tafsir Sufistik Sebagai Cermin; Al-Qusyairi> Sang Mursyid dalam karyanya Latha’if al Isyarat, diterjemahkan oleh Eva F. Amrullah dan
Faried F. Saenong dari Journal of Qur’anic Studies 8:1 (2006).
Latif, Hilman. ‚Kritisisme Tekstual dan Relasi Intertekstualitas Dalam Interpretasi
Teks al-Qur’an‛, dalam Muzairi, ‚Hermeneutika Dalam Pemikiran Islam‛
dalam Sahiron Syamsudin (ed.). Hermeneutika al-Quran Mazhab Yogya. Yogyakarta: Islamika, 2003.
Mahmud, Mani’ Abd al-H}ali>m. Mana>hij al-Mufassiri>n. Kairo: Da>r al-Kitab al-
Mishry, 1978.
Matsna, Moh. Orientasi Semantik al-Zamakhsyari: Kajian Makna Ayat-ayat Kalam. Jakarta: Anglo Media, 2006.
Muslim, Mus}t}afa> Maba>hits fi> I’ja>z al-Qur’a>n. Riya>d: Da>r al-Muslim, 1997.
Muzairi, ‚Hermeneutika Dalam Pemikiran Islam‛ dalam Sahiron Syamsudin (ed.).
Hermeneutika al-Quran Mazhab Yogya.Yogyakarta: Islamika, 2003.
Sahiron Syamsudin (ed.). Hermeneutika al-Quran Mazhab Yogya,. Yogyakarta:
Islamika, 2003.
Setiawan, M. Nur Kholis. Pemikiran Progresif Dalam Kajian al-Qur’an. Jakarta:
Kencana, 2008.
Setiawan, M. Nur Kholis. Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar. Yogyakarta: Elsaq
Press, 2006.
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1999.
Sholeh‚ A. Khudori. ‚M. Abid Al-Jabiri: Model Epitemologi Islam‛, dalam A.
Khudori Sholeh (Ed.), Pemikiran Islam Kontemporer. Yogyakarta. Jendela,
2003.
Sugiyono, Sugeng. Lisan dan Kalam: Kajian Semantik al-Qur’an. Yogyakarta: Suka
Press, 2009.
Sunarwoto, ‚Nas}r H{a>mid Abu> Zayd dan Rekonstruksi Studi-studi al-Qur’an‛, dalam
Sahiron Syamsudin (ed.). Hermeneutika al-Quran Mazhab Yogya. Yogyakarta: Islamika, 2003.
Wathani, Syamsul. ‚Tradisi Akademik Dalam Halaqah Tafsi>r (Melihat Orientasi
Semantik al-Qur’an Klasik Dalam Diskursus Hermeneutik)‛, makalah
disampaikan dalam Seminar Nasional dan Call for Papers Fakultas
Ushuluddin, Adab dan Humaniora (FUAH) IAIN Purwokerto, tema ‚Trend Kajian Ilmu al-Qur’an dan Tafsir Di Indonesia‛, di Lantai 4 Gedung
rektorat IAIN Purwokerto tanggal 28 April 2016
Wathani, Syamsul ‚Konstruksi Ta’wil al-Qur’an Ibn Qutaybah: Telaah
Hermeneutis-Epistemologis‛ Tesis Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga,
2016.
Wijaya, Aksin. Teori Interpetasi Ibn Rusyd; Kritik Ideologis-Hermeneutis.
Yogyakarta. LkiS, 2009.
CURRICULUM VITAE
A. DATA DIRI
Nama : Tajul Muluk, S.Ud.
Alamat : Tegal Lempuyangan DN III, No. 92, Bausasran,
Danurejan, Yogyakarta
Tempat & Tgl. Lahir : Bangkalan, 15 Juli 1982
Status perkawinan : Kawin
Istri : Khairiah Ilmiati, Amd.Par.
Anak : 1. Hana Raneea AM., 2. Haazima Raqeeha Azizah
Nomor Hp. : 081 3333 11 549/0856 3265 999
Alamat Email : tajulmuluk.md@gmail.com
B. LATAR BELAKANG PENDIDIKAN
1. Formal
a. Strata Satu (S1) Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al Fithrah, Jur.
Ushuluddin, Program Studi Tafsir Hadits, Tahun Masuk 2008 dan
Lulus 2012.
b. Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah, Lulus Th.
2005/2006.
c. Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah, Lulus
Th. 2002/2003.
d. Madrasah Ibtida’iyah Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah, Lulus
Th. 1999/2000.
e. Sekolah Dasar Negeri Sadah 02, Lulus Th. 1994.
2. Non-Formal
a. Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah, 1999-2012.
b. Kursus Bahasa Arab di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah.
C. PENGALAMAN MENGAJAR
1. Madrasah Aliyah Al Fithrah Tahun 2006-2012.
2. Madrasah Tsanawiyah Al Fithrah tahun 2006-2009.
3. Madrasah Ibtidaiyah Al Fithrah Tahun 2006-2007.
4. Ektrakurikuler Bahasa Arab Tahun 2008-2012.
D. PENGALAMAN ORGANISASI
1. Sekretaris Thoriqoh Al-Qodiriyah wan Naqsyabandiyyah Al-
‘Utsmaniyyah, Tahun 2006-2009.
2. Kepala Departemen Pendidikan Ekstrakurikuler Pondok Pesantren
Assalafi Al Fithrah, Tahun 2009-2012.
3. Koordinator Jam’iyyah Thoriqoh Al-Qodiriyah wan-Naqsyabandiyyah
Al-‘Utsmaniyyah, Wil. D.I. Yogyakarta. Tahun 2012-2016.
4. Penasehat Jama’ah AL-KHIDMAH Kota Yogyakarta, Th. 2013-
Sekarang.
E. KARYA TULIS
1. Kemuliaan Manusia Dalam Perspektif al-Quran, (skripsi) Tahun 2012.
2. Relevansi Penerapan tuntunan Al Quran dalam Organisasi, Buletin Al-
Fithrah edisi 20.
3. Ringkasan Tuntunan Fiqh Wanita (Haidl), Madrasah Tsanawiyah Al-
Fithrah, 2010.
4. Terjemah Al-Maqshad Al-Asna Syarah Al-Asma Al-Husna, Karya Al-
Ghazali, Madrasah Aliyah Al-Fithrah, Tahun 2012.
top related