pelaksanaan perkawinan ngerorod menurut hukum …€¦ · (ngerorod) dalam hukum adat bali dan...
Post on 23-Apr-2020
23 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PELAKSANAAN PERKAWINAN NGEROROD MENURUT HUKUM
ADAT BALI
PELAKSANAAN PERKAWINAN NGEROROD MENURUT HUKUM
ADAT BALI ( Studi di Kecamatan Cakranegara )
JURNAL ILMIAH
Oleh :
NI PUTU APRIANI RAHAYU
D1A115212
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2019
PELAKSANAAN PERKAWINAN NGEROROD MENURUT HUKUM
akranegara )
HALAMAN PENGESAHAN JURNAL ILMIAH
PELAKSANAAN PERKAWINAN NGEROROD MENURUT HUKUM ADAT BALI
( Studi di Kecamatan Cakranegara )
NI PUTU APRIANI RAHAYU
HALAMAN PENGESAHAN JURNAL ILMIAH
PELAKSANAAN PERKAWINAN NGEROROD MENURUT HUKUM ADAT BALI
( Studi di Kecamatan Cakranegara )
Oleh :
NI PUTU APRIANI RAHAYU
D1A115212
Menyetujui,
Pembimbing Pertama ,
Dr. H. Lalu Sabardi, SH., MS.
NIP. 195503041984031002
PELAKSANAAN PERKAWINAN NGEROROD MENURUT HUKUM ADAT BALI
PELAKSANAAN PERKAWINAN NGEROROD MENURUT HUKUM
ADAT BALI (Studi di Kecamatan Cakranegara)
NI PUTU APRIANI RAHAYU
D1A115212
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui norma dalam perkawinan lari
(ngerorod) dalam hukum adat bali dan pelaksanaan dari perkawinan ngerorod
(kawin lari) menurut hukum adat bali. Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah penelitian empiris. Hasil penelitian adalah Norma dalam perkawinan
kawin lari (ngerorod) adalah norma hukum Hindu yang harus memenuhi syarat
antara lain Pada waktu akan pengesahan, mereka tidak terikat oleh ikatan
perkawinan, tidak mempunyai penyakit jiwa, memenuhi syarat-syarat umur
sebagai mana hukum Hindu 18 umur minimum untuk pria dan 15 untuk wanita
dan kedua mempelai tidak mempunyai hubungan darah dekat yang dilarang
menurut ketentuan agama. Sedangkan Tahapan-tahapan kawin lari (Ngerorod) di
antaranya proses melarikan sampai ditempat pesangidan dan selabar, mesayut
ketelun, ngendek, peradang pertama, peradang kedua, peradang ketiga, mencari
dewasa, mesayut (widhi widana), membawa parikrama, nyongkol, mejanguk. Jika
semua sudah terpenuhi dan sudah terlaksana maka kedua mempelai sudah dapat
dinyatakan sebagai pasangan suami istri.
Kata kunci : Perkawinan, hukum, adat, Bali
IMPLEMENTATION OF NGEROROD MARRIAGE TRADITION
ACCORDING TO BALINESE CUSTOMARY LAW (STUDY IN
CAKRANEGARA DISTRICT)
Abstract
This research aimed to find out the existed norm in runaway marriage (kawin lari)
or Ngerorod tradition and its implementation in Balinese customary law. Applied
method in this research is empirical legal research method. Research result shown
that the existed norm in Ngerorod tradition is Hindu legal system which must
meet the conditions of not marriage to other people when he/she conducted
Ngerorod tradition, mentally healthy, in the legal age according Hindu legal
system that is minimum 18 years old for the groom and 15 years old for the bride,
not closely has family relationship as arranged in Hindu religion. Implementation
stages of Ngerorod tradition namely, runaway process to Pesangidan and Selabar
place, Mesayut Ketelun, Ngendek, Peradang pertama, Peradang Kedua, maturity
ritual, mesayut (widhi widana), brought Parikrama, marriage parade
(nyongkolan), visitation to bride’s house (mejanguk). As all stages are conducted
and fulfilled, bride and groom can be declared as husband and wife.
Keywords: Marriage, law, customary, Bali
i
I. PENDAHULUAN
Perkawinan merupakan suatu kebutuhan bagi setiap orang. Baik
kebutuhan biologis maupun kebutuhan untuk mendapatkan keturunan.
Upacara suatu perkawinan sangat penting bagi suatu kehidupan.Khususnya di
Indonesia upacara suatu perkawinan merupakan suatu hal yang mutlak harus
dilakukan, karena tanpa ada suatu upacara perkawinan maka anak atau
keturunan yang dilahirkan dianggap tidak sah. Oleh karena itu di Indonesia
perkawinan di atur melalui undang-undang nomor 1 Tahun 1974.Menurut
pasal 1 undang-undang nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan
bahwa :
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa.” Sahnya
suatu perkawinan itu apabila sudah memenuhi syarat-syat yang ada dalam
pasal 2 yang berbunyi :
1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Agama hindu dikenal tentang aturan adat. Menurut Manawa
Dharmasastra ada delapan sistem perkawinan namun yang sering dilakukan
di bali maupun oleh etnis bali di Lombok ada empat walaupun keempat
sistem yang dilakukan di bali dan di Lombok tidak persis sama dengan cara
pelaksanaan sebagaimana yang dimaksudkan menurut Manawa Dharmasastra
yaitu : 1. Sistem mepadik yaitu melamar, meminang, kalau di Lombok sering
digunakan istilah ngedeh yang artinya meminta; 2. Sistem rangkat di bali
ii
digunakan istilah ngerorod di Lombok melahib; 3. Sistem nyentana atau juga
merupakan bentuk sistem nyeburin yaitu bentuk sistem matrilokal. Sekarang
ada perkembangan baru lagi yang senada dengan sistem nyentana yaitu
sistem pada gelahang, yang artinya sama-sama memiliki; 4. Sistem
ngunggahin yaitu salah satu bentuk perkembangan tersendiri dalam sistem
rangkat.1
Dari keempat sistem diatas yang paling sering dilakukan adalah
sistem ngerorod (rangkat), sedangkan sistem memadik yang pelaksanaannya
di Lombok belum terlalu lama di mulai, dan sistem nyentana maupun
ngunggahin sangat-sangat jarang dilakukan. Pelaksanaan-pelaksanaan yang
sudah dan sedang berjalan tentu ada terdapat cara, sikap, kata-kata, kalimat
yang tidak sesuai dengan norma ajaran agama hindu, maka perlu jadi
renungan kita bersama untuk tidak dipertahankan.
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumusan permasalah
sebagai berikut : Bagaimanakah norma perkawinan ngerorod (kawin lari)
menurut hukum adat bali? Dan Bagaimana pelaksanaan perkawinan ngerorod
(kawin lari) menurut hukum adat bali ?
Berdasarkan rumusan malasah diatas, maka yang menjadi tujuan dari
penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui norma apa saja yang terdapat
dalam perkawinan ngerorod (kawin lari) menurut hukum adat bali. 2. Untuk
1 Made Metu Dahana, Sistem Kawin Lari Adat Bali Lombok dan Filosofinya,Surabaya :
Paramita, 2013.
iii
mengatahui pelaksanaan dari perkawinan ngerorod (kawin lari) menurut
hukum adat bali.
Manfaat dari penelitian yang dilakukan :1. Manfaat Teoritis Hasil dari
penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan teori tambahan dan
informasi terhadap masyarakat khususnya tentang perkawinan “ Ngerorod” (
kawin lari ) sebagai bentuk perkawinan adat bali. 2. Manfaat Praktis Sebagai
wawasan untuk mengetahui keabsahan perkawinan “Ngerorod” ( kawin lari )
menurut hukum adat bali serta mengetahui pelaksanaan perkawinan ngerorod
yang sesuai dengan hukum adat bali.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum Empiris yang mencakup
penelitian terhadap identifikasi hukum adat (tidak tertulis) dengan ilustrasi
mengenai hukum-hukum yang tertulis( Undang – undang nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan ) sebagai pembanding. Penelitian empiris ini
melihat perilaku yaitu dalam kehidupan masyarakat terhadap perkawinan
ngerorod sebagai fakta social yang ada dan hidup ditengah-tengah
masyarakat sebagai budaya hidup masyarakat hindu di lombok.
iv
II. PEMBAHASAN
Norma Perkawinan Ngerorod (kawin lari) menurut Hukum adat Bal
Syarat-Syarat Perkawinan Ngerorod menurut Hukum adat Bali
Untuk dapat melangsungkan perkawinan itu harus dipenuhi pula
kententuan umur para pihak. Menurut UU perkawinan yang dilakukan
antara dua orang yang telah berumur 21 tahun tidak membutuhkan adanya
ijin dari kedua orang tua yang bersangkutan sedangkan kalau sedangkan
jika perkawinan itu dilakukan sebelum umur itu maka syarat perijinan itu
diperlukan. Menurut manawadharmasastra, ketentuan umur diatur dalam
berbagai pasal yang sudah tidak sesuai lagi menurut jamannya. Oleh
karena itu pasal yang mengatur mengenai umur itu boleh dikatakan sudah
ditinggalkan. 2
Untuk mengesahkan suatu perkawinan menurut hukum Hindu, harus
dilakukan oleh Brahmana atau pendeta/pejabat agama yang diketahui
memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan itu. Karena menurut hukum
Hindu tidak semua Brahmana atau pendeta mempunyai tugas yang sama.
Pembatasan kewenangan ada diantara para pendeta itu dan bahkan
terhadap pendeta itupun ada ancaman hukuman jika ia melakukan tugas
yang bukan menjadi kewenangannya. Ada hal-hal yang perlu diperhatikan
untuk dijadikan patokan dalam melaksanakan ketentuan hukum Hindu
sebelum pengesahan itu dilakukan oleh seorang Brahmana pemimpin
2Gde Pudja, MA, Pengantar tentang perkawinan menurut hukum hindu, Jakarta maya
sari, 1975, hlm 33
v
upacara, yaitu bahwa suatu perkawinan menurut hukum Hindu, bila
memenuhi syarat berikut : a. Pada waktu akan pengesahan, mereka tidak
terikat oleh ikatan perkawinan lainnya; b. Mereka tidak mempunyai
penyakit jiwa; c. Yang bersangkutan telah memenuhi syarat-syarat umur
yang membolehkan untuk kawin, menurut berbagai pendapat penulis
hukum Hindu menetapkan syarat umur 18 sebagai umur minimum untuk
pria dan 15 untuk wanita. Ketentuan ini bersifat mengikat, artinya bila
umur kedua mempelai masih dibawah itu apapun alasannya Brahmana
pemimpin upacara dapat menolak untuk melakukan pengesahannya; d.
Antara kedua mempelai tidak mempunyai hubungan darah dekat yang
dilarang menurut ketentuan agama. Batasan ini yang disebut sapinda.
Dengan memperhatikan syarat-syarat itu, barulah seorang Brahmana
pemimpin upacara dapat bertindak dalam rangka pengesahan upacara
tersebut. Didalam pelaksanaan tugas mengenai kewenangan, demi untuk
kepastian hukum, perlu diatur dan ditetapkan pejabat-pejabat pelaksanaan
upacara karena bila tidak diatur dan ditetapkan besar kemungkinan timbul
akses-akses yang bersifat negatif.3
Pelaksanaan Perkawinan Ngerorod (kawin lari) menurut Hukum adat
Bali
Istilah ngerorod bagi orang Bali Lombok atau Balok ( sebutan bagi
masyarakat Bali yang secara turun temurun sudah berada di Lombok )
digunakan untuk sepasang rumah tangga yang sudah bersuami istri secara
3Ibid hlm 43
vi
sah, yang mana pada suatu hari karena ada pertengkaran atau suami dan istri
karena emosi, pihak istri meninggalkan rumah, pulang kerumah orang tuanya
atau keluarga dekatnya. Dalam bahasa Bali Lombok disebut ngambul atau
nyelek. Dan suatu saat akan kembali lagi ke rumah pihak suaminya apabila
suasana sudah memungkinkan untuk itu.4
Masyarakat Bali merupakan penganutan patrinial atau garis keturunan
laki-laki. Anak laki-laki merupakan waris utama pada masyarakat Bali baik
orang Bali yang masih tinggal di Bali maupun orang Bali yang berada di luar
bali termasuk Lombok. Masyarakat tradisional bali wanita bukan merupakan
ahli waris. Pengertian atau pemahaman waris bagi masyarakat bali bukan
sekedar mewarisi harta benda kekayaan orang tua sebagai haknya, melainkan
juga mewarisi segala kewajiban yang diemban oleh orang tuanya dalam hal
ini bapak (ayah).5
Disamping itu ada pendapat bahwa kawin dengan sistem lari ini
mencerminkan jiwa kesatria, karena dalam pelaksanaannya akan dapat
beresiko yang cukup berbahaya. Yaitu apabila saat melarikan di ketahui atau
di pergoki oleh orang tua atau keluarganya maka akan dapat berakibat
perang. Demikian pula ada alasan atau pendapat lain kenapa menempuh
kawin dengan sistem lari karena ada pendapat apabila dilakukan dengan cara
di minta kepada orang tuanya mereka beranggapan seperti meminta anak
4Made Metu Dahana, Sistem Kawin Lari Adat Bali Lombok dan Filosofinya,Surabaya :
Paramita, 2013. hlm 18
5 Hasil wawancara dengan Bapak I Gede Mimbeng, selaku Tokoh Agama Hindu, pada
hari selasa, 15 januari 2019, pada pukul 10.00 wita
vii
ayam atau anak kucing. Oleh karena itu akan lebih terhormat dirasakan kalau
putrinya itu dilarikan dalam rangka menuju perkawinan.
Proses kawin lari ( ngerorod )
Tahapan-tahapan proses kawin lari perlu diketahui bahwa di pulau
Lombok proses tahapan yang dilaksanakan tidak persis sama, misalnya
tentang istilah-istilah yang dipakai, interpal waktu ngendek, meperadang
ada 3 hari, 5 hari, 7 hari, 9 atau 10 hari.
Tahap Pertama
Proses melarikan sampai di Tempat Pesangidan dan Selabar
Sebelum pelaksanaan sang gadis melarikan diri dalam rangka
kawin, sebelumnya diadakan kesepakatan antara sang gadis
dengan sang pacar tentang hari dan waktu pelaksanaan lari.
Pada jaman dahulu pelaksanaan melarikan ini biasanya pada
malam hari walaupun tidak menutup kemungkinan dapat
dilaksanakan pada siang hari, sangat tergantung dengan situasi
dan kondisi yang ada. Setelah sang gadis tiba ditempat
persembunyian maka dikirim utusan sebanyak 2 orang sebagai
petugas untuk memberitahukan orang tua pihak wanita bahwa
putrinya telah dilarikan untuk kawin dengan si Anu putra dari si
Anu.
Petugas ini disebut selabar/pejati untuk etnis Bali Lombok.
Selabar ini datang ke rumah pihak wanita pada senjakala atau
setelah matahari tenggelam dengan berpakaian adat. Dalam
viii
pelaksanaan melarikan sang gadis bisa langsung oleh laki-laki
yang berstatus sebagai pacarnya namun bisa juga tidak, untuk
menghindari kecurigaan pihak keluarga wanita atau demi
keamanan. Setelah yakin bahwa sang gadis yang dimaksud sudah
berada di persembunyian maka 2 orang petugas selabar/pejati bisa
diberangkatkan, yang seorang sebagai juru bicara langsung dan
yang seorang sebagai saksi. Biasanya selabar atau pejati ini ke
rumah keluarga yang wanita dalam jarak waktu tidak lebih dari 1
x 24 jam sejak sang gadis berada di tempat persembunyian.
Pelaksanaan selabar/pejati ini tidak boleh sebelum matahari
tenggelam. Petugas pada zaman dahulu pasti memakai pakaian
adat lengkap dengan senjata kerisnya, dan bobok yaitu daun
kelapa kering yang dinyalakan sebagai obor penerangan.
Mesayut Ketelun
Menurut adat etnis Bali di Lombok, begitu sang gadis tiba
ditempat persembunyian/pengkeban pada saat itu pula sudah
boleh berada dalam satu kamar, dan 3 hari kemudian harus
dilangsungkan upacara ritual agama yang disebut mesayut ketelun
dalam rangka pensucian atau pembersihan karena dalam kurun
waktu 3 hari dianggap dalam keadaan kotor.
Tahap kedua
Ngendek
ix
Petugas ngendek ini terdiri dari dua orang yang bertugas
menyampaikan bahwa besoknya ada petugas peradang akan
datang mohon kesediannya untuk menunggu.
Peradang Pertama
Dalam peradang pertama ini hanya untuk minta maaf atas
perbuatan pihak calon penganten laki-laki ( Purusa ) yang
berani melarikan putrid kesayangan dari pihak perempuan (
perdana ). Di Cakranegara ada ketentuan apabila peradang
sudah dilaksanakan tiga kali tetapi pembicaraan belum bisa
selesai maka berlaku waneng bawak yaitu pihak purusa boleh
melaksanakan upacara perkawinannya tanpa pemberitahuan
kepada pihak perdana. Menurut Gde Wangsa SH, SU
mengatakan bahwa untuk peradang-peradang berikutnya kata-
kata maaf atau nunas ampura harus tetap disampaikan sebagai
pernyataan sangat menyadari akan kesalahan karena berani
melarikan anak gadisnya dalam rangka kawin.
Peradang kedua
Dalam pelaksanaan peradang ke dua ini adalah untuk
meminta maaf dan keledangan ( keikhlasan ) pengantin untuk
di izinkan pulang dari pesangidan atau tempat persembunyian
ke rumah keluarga purusa.
Peradang ketiga
x
Dilaksanakan untuk meminta maaf dan keledangan (
keihlasan ) agar diizinkan keluar dari rumah dalam rangka
keperluan bekerja ( tugas ) dan untuk mencari dewasa/hari baik
dalam kaitannya pengesahan perkawinan.
Mencari Dewasa
Khusus untuk mencari dewasa atau hari baik dalam rangka
upacara perkawinan kebiasaan etnis Bali yang beragama Hindu
di Lombok mempertimbangkan Penanggal dan panglong atau
bulan hidup dan bulan mati, yang dimaksud dengan bulan
hidup adalah setelah Tilem yaitu pada saat bulan sama sekali
tidak kelihatan, sehari setelah itu disebut penanggal dan sampai
hari ke 14 yang disebut Prawani atau purwani yaitu sehari
sebelum bulan Purnama, pada hari-hari tersebut digunakan
dalam rangka upacara perkawinan ( Manusa Yadnya ) dan
tidak tertutup kemungkinan digunakan juga dalam upacara atau
yadnya-yadnya yang lain. Tetapi tidak setiap penanggal di
anggap dewasa. Sedangkan yang disebut bulan mati adalah
sehari-hari setelah bulan Purnama sampai dengan Tilem atau
sama sekali tidak terlihat bulan. Untuk menentukan hari baik
atau hari kurang baik dalam rangka upacara pawiwahan atau
perkawinan maupun upacara-upacara lainnya ditentukan oleh
Pandita ( Sulinggih ). Jika dewasa sudah diberikan atau
ditentukan oleh sulinggih maka sesuai hari dan tanggal yang
xi
disepakati itulah menjadi hari H upacara mesayut/mawidhi
widhana dalam rangka/pengesahan perkawinannya.
Tahap ketiga
Mesayut ( Widhi Widana )
Mewidhi Widana adalah proses upacara yang dilakukan dalam
rangka pengesahan perkawinan sang penganten di pimpin oleh
seorang sulunggih (Dwijati) yang dihadiri oleh keluarga, sidikara
maupun undangan lainnya. Widhi widana dapat terlaksana jika
sudah mendapatkan hari baik untuk melangsungkan pengesahan
perkawinan, hari baik yang dimaksud adalah sasih kelima atau
sehabis mati bulan (Tilem).
Membawa Parikrama
Parikrama merupakan prosedural maupun sarana terdiri dari jaja
penyongkol beserta runtuttannya, pisuguh, wakul bersama
runtuttannya, tegen-tegenan, tebu, ceraken, rantasan, kunyit
keladi, panak biyu, dan aji gama berupa uang. Kesemuanya itu
akan di bawa ke rumah pihak perdana pada hari mesayut pagi
harinya.
Nyongkol
Pelaksanaan nyongkol ini dilakukan pada sore hari setelah kedua
pengantin melaksanakan Widhi Widana dalam rangka pengesahan
perkawinannya. Pengantin diiringi oleh keluarga dan para tamu
xii
undangan berangkat dari rumah pihak purusa ke rumah pihak
perdana.
Mejanguk
Mejanguk yang disertai dengan upacara Mekunyit Keladi.
Upacara ini biasanya dilaksanakan secara kekeluargaan tanpa
disertai oleh para tamu undangan, biasanya acaranya sangat
sederhana namun penuh humor dan romantic. Waktunya dapat
dilakukan pada malam harinya setelah upacara Nyongkol atau hari
lain sesuai kesepakatan kedua belah pihak yaitu antara keluarga
penganten laki dengan keluarga penganten wanita.
Alasan-alasan melakukan perkawinan ngerorod
Beragamnya sistem perkawinan yang dipilih masyarakat dapat
didorong oleh adanya beberapa alasan yang ada. Dari hasil wawancara
saya dengan bapak I Gede Mimbeng selaku tokoh agama Hindu,
diketahui beberapa alasan masyarakat dalam memilih macam sistem
perkawinan yang dikehendaki.6
Sistem perkawinan ngerorod (kawin lari) merupakan sistem
perkawinan yang sudah ada sejak zaman dahulu, dan merupakan tradisi
adat atau budaya yang masih dapat diterima secara turun temurun bahkan
sampai saat ini. Hal ini mengindikasikan bahwa sistem perkawinan ini
masih dihargai oleh masyarakat Hindu.7
6 Hasil wawancara dengan Bapak I Gede Mimbeng, selaku Tokoh Agama Hindu, pada
hari selasa, 15 januari 2019, pada pukul 10.00 wita 7 Hasil wawancara dengan bapak Drs. Made Metu Dahana, SH,MH, pada hari senin, 7
januari 2019.
xiii
Dari uraian diatas dapat dibuktikan dengan pengakuan para responden
yang menjadi sampel dalam penelitian ini. Namun perlu kiranya
diuraikan mengenai identitas dari para responden yaitu enam pasangan
suami istri sebagai sampel penelitian, sebagi berikit :
Nama : I Made Tegeg
Tempat/tanggal lahir : Mataram, 31-12-1968
Agama : Hindu
Pekerjaan : Guru
Alamat :Sweta Timur
Nama : Ni Kadek Bagiarthi
Tempat/tanggal lahir : Sweta Timur, 09-01-1971
Agama : Hindu
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat :Sweta Timur
Menurut keterangan para responden bahwa pada umumnya meraka
berkeinginan untuk menikah secara baik-baik menurut tata cara adat yang
berlaku dan kebetulan sudah saatnya untuk itu. Keterangan responden
tersebut juga telah sesuai dengan bunyi pasal dan syarat perkawinan yang
berbunyi perkawinan diizinkan jika pria sudah mencapai umur 18 tahun
dan wanita 15 tahun. Dalam kenyataannya hubungan mereka tidak
direstui oleh orang tua dan keluarganya, dengan demikian si anak merasa
tidak tenang dan selalu mengurung diri. Pada situasi ini si laki-laki terus
melakukan berbagai macam upaya untuk mencari jalan yang terbaik,
xiv
termasuk meminta orang lain untuk melakukan peminangan, namun
masih tetap ditolak. Karena segala upayanya selalu ditolak, sehingga si
anak merasa kesal dan terasa suasana rumah yang sudah tidak
menyenangkan lagi. Dalam suasana yang bingung si anak mengambil
keputusan/tindakan sendiri untuk melakukan perkawinan Ngerorod
berdasarkan informasi dari atas cerita dari masing-masing responden
yang menjadi sampel dalam penelitian ini, bahwa alasan orang tua
responden sehingga tidak menyetujui hubungan anatara anaknya dengan
laki-laki yang menjadi pilihannya adalah : 1. laki-laki tersebut belum
memiliki pekerjaan yang layak; 2. Laki-laki tersebut tidak berkelakuan
yang baik dipandangan keluarga pihak perempuan
Orang tua dan keluarga tidak menyetujui hubungannya, mereka akan
menempuh jalan kawin lari atau Ngerorod untuk menerobos ketidak
setujuan orang tuanya. Dengan menghitung hari yang tepat dan sambil
mengelabuin orang tua dan keluarganya seolah-olah mereka sudah tidak
berhubungan lagi, pada saatnya perempuan dan laki-laki tersebut secara
diam-diam merencanakan kapan waktunya untuk keluar dari rumah.
Karena dalam melaksanakan kawin lari, pemilihan waktu yang paling
tepat sangat menentukan keberhasilannya artinya agar proses kawin lari
atau Ngerorod mereka tidak diketahui oleh orang lain dan bisa sampai
ketempat tujuan dengan aman dan selamat. Selain tidak mendapat restu
dari pihak orang tua perempuan mereka akan tetap melakukan
perkawinan dengan cara kawin lari/ Ngerorod karena dengan sistem ini
xv
mereka tidak akan ribet akan apa tuntutan dari pihak perempuan yang
harus dipenuhi oleh pihak laki-laki sebelum perempuan tersebut di ambil
dan dijadikan istrinya. Dari para responden yang saya wawancarai
mereka semua memilih jalan untuk kawin lari karena tidak ingin ribet
atau berbelit-belit untuk menikahi sang perempuan yang sangat ia cintai
dan ingin secepatnya untuk dijadikan istri.
Syarat yang harus dipenuhi untuk membuat akta nikah bagi yang
beragama hindu : 1. Surat keterangan dari masing-masing kelurahan
terdiri dari surat N1 (surat keterangan nikah), N2 (surat keterangan asal
usul) dan N4 (surat keterangan tentang orang tua), asli dan foto kopi; 2.
Foto kopi KTP kedua mempelai yang telah dilegalisasi lurah (2 lembar);
3. Foto kopi KK kedua mempelai yang telah dilegalisasi lurah (2 lembar);
4. Akta kelahiran kedua mempelai, asli dan foto kopi(2 lembar); 5. Pas
foto suami istri berdampingan ukuran 4 x 6 berwarna (6 lembar); 6. Foto
kopi KTP kedua orang tua (2 lembar); 7. Foto kopi KTP melepaskan
kedua mempelai (2 lembar); 8. Surat persetujuan belum pernah menikah
dengan materai Rp6000 dan diakui oleh dua orang saksi + stempel
RT/RW; 9. Surat nikah perkawinan agama ( yang diberikan oleh seorang
pedanda atau brahmana ), asli dan foto kopi (2 lembar)
Dokumen tambahan yang mungkin diperlukan : 1. Akta kematian atau
akta perceraian dari catatan sipil untuk anda yang sudah pernah
menikah, asli dan salinan (2 lembar); 2. SK ganti nama jika anda tidak
xvi
pernah ganti nama (2 lembar); 3. Ijin dari Komandan untuk anda
anggota TNI atau Kepolisian, asli dan foto kopi (2 lembar).
xvii
III. PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan diatas maka dapat
disimpulkan bahwa : 1. Dengan memperhatikan syarat-syarat norma,
barulah seorang Brahmana pemimpin upacara dapat bertindak dalam
rangka pengesahan upacara tersebut. Didalam pelaksanaan tugas
mengenai kewenangan, demi untuk kepastian hukum, perlu diatur dan
ditetapkan pejabat-pejabat pelaksanaan upacara karena bila tidak
diatur dan ditetapkan besar kemungkinan timbul akses-akses yang
bersifat negatif; 2. Pelaksanaan perkawinan Ngerorod (kawin lari)
menurut hukum adat Bali dapat terlaksana jika sudah memenuhi
tahapan-tahapan seperti proses melarikan sampai ditempat pesangidan
dan selabar, mesayut ketelun, ngendek, peradang pertama, peradang
kedua, peradang ketiga, mencari dewasa, mesayut (widhi widana),
membawa parikrama, nyongkol, mejanguk. Jika semua sudah
terpenuhi dan sudah terlaksana maka kedua mempelai sudah dapat
dinyatakan sebagai pasangan suami istri.
Saran
1. Mengingatakan pentingnya suatu perkawinan menurut adat Bali,
maka para tokoh adat memberikan pemahaman kepada
masyarakat Bali untuk melaksanakan perkawinan sesuai dengan
tahapan-tahapan yang sudah ada; 2. Kepada pasangan yang belum
memenuhi syarat-syarat atau norma-norma yang telah
xviii
dicantumkan tetapi sudah menikah agar segera memenuhi apasaja
yang harus dipenuhi agar suatu saat anak yang dilahirkan mudah
untuk mencari sesuatu yang melibatkan pernikahan orang tuanya.
xix
Daftar Pustaka
Buku
Amiruddin dan H. Zaenal Asikin, 2018, Pengantar Metode Penelitian
Hukum, Depok : Rajawali Pers.
Gde Pudja, MA,1975, Pengantar tentang perkawinan menurut hukum
hindu, Jakarta Maya Sari
Made Metu Dahana, 2013, Sistem Kawin Lari Adat Bali Lombok dan
Filosofinya, Surabaya : Paramita.
Peraturan – peraturan
Indonesia, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Indonesia, Undang-undang Peradilan Agama Nomor 32 Tahun 1954,
Pencatatan nikah, talak, rujuk. Pasal 2 (1)
Internet
serlania.blogspot.com/2012/01/hukum-perkawinan-adat.html
viva-justicia.blogspot.com/2015/06/syarat-sahnya-suatu-perkawinan-uu
adat.html
top related