paradigma hkum
Post on 02-Jan-2016
27 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
KONSEPSI DAN AKTUALISASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA (Sebuah Studi Historis-Politis)
A. Latar Belakang
Dalam sejarah pemikiran Islam, aspek hukum Islam mendapatkan porsi
yang cukup dominan dan selalu aktual dibicarakan. Bukan hanya karena paradigma
yang berkembang adalah syari’ah (fikih sentris) – terutama sejak memasuki awal
abad ke II H- akan tetapi memang aspek hukum dalam Islam sangat terkait dengan
penataan masyarakat secara konkrit. Menurut Nurcholish Madjid dari empat
disiplin ilmu keislaman tradisional yang mapan yaitu ilmu fikih (hukum Islam),
kalam, tasawuf, dan falsafah atau hikmah.1
Seiring dengan perkembangan Islam di dunia secara makro, di mana ummat
Islam sudah tersekat oleh batas-batas negara, etnis, dan geografis, hukum Islam pun
baik secara konseptual maupun praksis dituntut untuk menemukan formulasi yang
sesuai dengan habitatnya. Karena menilik realitas sekarang di negara-negara yang
mayoritas penduduknya muslim sangat kesulitan untuk menerapkan hukum Islam,
terlebih lagi kalau harus mengacu pada produk para Imam Mazhab tertentu dengan
argumentasi bahwa hukum Islam itu berlaku secara universal. Ini menjadi sebuah
1 Dari empat disiplin ilmu keislaman tradisional ini, masing-masing dapat diidentikkan sebagai berikut: Ilmu fikih merupakan disiplin dengan bidang garapan segi-segi eksoteris (lahiriah agama), yaitu aspek legal-formal dari amalan keagamaan. Para ahli fikih juga disebut ahl al-zawahir (kelompok eksoteris). Ilmu tasawuf mementingkan segi esoteris (dimensi batin agam Islam) dan para ahlinya disebut ahl al-hawatin (kelompok esoteris). Ilmu kalam menggarap segi – segi rasional namun tetap lebih mengutamakan wahyu, seangkan falsafah menggarap segi – segi spekulatif dengan kecenderungan kuat kepada meode interpretasi metaforis kepada teks-teks suci. Dari keempatnya itu falsafah adalah yang paling kontroversial, disebabkan persandarannya kepada filsafat Yunani yang amat jauh. Namun ada bagian dari filsafat yan diterima hampir universal dikalangan muslim, yaitu logika formal (silogisme) Aristoteles, yang dalam peradaban Islam dikenal dengan ilmu manthiq. Selanjutnya, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban, (Jakarta : Paramadina, 1995), 235 – 247.
agenda persoalan yang menyangkut posisi dan eksistensi hukum Islam di suatu
negara. Sebab semangat teologis umat Islam mengharuskan hukum Islam berlaku,
baik sebagai nilai-nilai normatif di masyarakat ataupun secara konstitusional
menjadi hukum negara yang sampai saat ini masih menjadi perdebatan panjang di
kalangan ulama.
Dari catatan sejarah, dapat dipahami bahwa di Indonesia terdapat pluralitas
sistem hukum, baik dari segi jenis dan waktunya. Jadi telah terdapat tiga sistem
hukum yang merupakan konsekuensi hukum yang dianut di Indonesia, yakni
pertama, dilihat dari segi pluralitas jenis penduduknya, dapat dikatakan bahwa
sistem hukum yang berlaku sejak zaman primitif dari kebiasaan atau adat-istiadat
sampai dengan keentuan yang diyakini bersama untuk dipatuhi. Ketika Indonesia
dijajah oleh kolonial Belanda, kebiasaan ini disebut dengan hukum adat.2
Kedua, dari segi agama, sudah pasti ada nilai-nilai agama yang telah
diyakini bersama dijadikan sisetm hukum dalam kehiduapan dan mengatur
hubungan antar sesama, kemudian diangap sebagai hukum. Oeh karena itu,
sebagai agama yang pemeluknya mayoritas di negeri ini maka hukum Islam
merupakan salah satu sistem hukum yang berlaku di tengah-tengah masyarakat.
Ketiga, sebagai negara yang pernah dijajah, maka sangat mungkin para penjajah
itu akan memaksakan hukumnya kepada masyarakat. Ini yang kemudian disebut
sebagai hukum sipil (civil law) yang selalu diidentikkan denagn hukum Barat.3
2 Dalam pengertianya yang dinamis, jenis hukum ini lebih tepat disebut dengan hukum kebiasaan (customary law) atau hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Namun hukum adat sebagai sebuah disiplin dan diteorikan secara baku terasa menjadi statis. Lengkapnya, A. Qadry Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional Komepetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), 109-110.
3 Mengidentikkan hukum Barat dengan hukum pemerintah Belanda adalah dalam pengertian yang statis dan berorientasi ke belakang. Oleh
2
Sejarah hukum Indonesia membuktikan fakta bahwa dua sistem hukum
tersebut, yakni hukum Islam dan hukum adat sesunguhnya tidak dapat dipisahkan.
Paada era sebelum kemerdekaan, walaupun kekuatan kolonial berusaha
sedemikian rupa dalam rangka untuk merealisasikan politik devide at impera, dan
pemisahan antara kedua tradisi hukum tersebut, namun masyarakat Indonesia baik
dalam betuk sinkretik maupun puris, senantiasa melakukan proses harmonisasi
kedua sistem hukum ini dengan jalan pengkompromian ketika keputusan yang
berbeda muncul, dan melahirkan jalan keluar yang didasarkan pada elemen-
elemen yang diambil dari dua sistem hukum tersebut.
Hukum Islam masuk ke wilayah Indonesia ( dulu nusantara ) bersama-sama
dengan masuknya agama Islam di Indonesia. Sejak kedatangannya ia merupakan
hukum yang hidup (Living law) di dalam masyarakat.4 Bukan saja karena hukum
Islam merupakan entitas agama yang dianut oleh mayoritas penduduk hingga saat
ini, akan tetapi dalam dimensi amaliahnya di beberapa daerah ia menjadi bagian
tradisi (adat ) masyarakat, yang terkadang dianggap sakral. Ada beberapa daerah
yang hukum adatnya syarat dengan nilai-nilai hukum Islam antara lain Aceh ( kini
Nangroe Aceh Darussalam ), Padang, Minangkabau, Sulawesi Selatan, dan Riau.
Ungkapan petatah–petitih yang berkaitan dengan itu seperti “ adat bersendi Syara’,
Syara’ Bersendi Kitabullah “,5 dan Syara’ mengata, adat Memakai “ adalah
menjadi evidensi sirkumstansial ( dilalah qarinah ) dari tesis di atas.
karena itu dalam pengertiannya yang dinamis, maka hukum Barat ini harus dipahami sebagai hukum yang berasal dari luar, terutama sekali pengaruh dari negara-negara maju sebagai konsekunesi hubungan internasional dan majunya perwujudan era globalisasi. Ibid, 110-111.
4 Ahmad Azhar Basyir, “Corak lokal dalam hukum positif Islam di Indonesia (Sebuah Tinjauan Historis)”, Mimbar Hukum No. 13/Th. IV/1994), 29.
5 Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia, (Yogyakarta, Gama Media, 2001), 72.
3
Jadi, secara sosiologis dan kultural, hukum Islam adalah hukum yang
mengalir dan berurat akar pada budaya masyarakat. Hal tersebut disebabkan karena
fleksibilitas dan elastisitas yang dimiliki hukum Islam. Artinya, kendatipun hukum
Islam tergolong hukum yang non otonom – karena adanya otoritas Tuhan di
dalamnya – akan tetapi dalam tataran realitas ia sangatlah applicable dan
acceptable dengan berbagai jenis budaya lokal.6
Di akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 telah terjadi perubahan politik
hukum yang signifikan daripenjajah Belanda. Peruahan ini,klau ditelusri, tidak
lepas dari perkembangan politik dan reaksi para pejuang, terutama gejolak reaksi
dari para tokoh-tokoh Ilam dan masyarakat terhadap ssitem politik hukum
Belanda. Mak menjadi tak terhindarkan adalah terjadinya pergulatan sistem
hukum dengan tiga sistem lainnya, yakni hukum Adat, hukum Islam dan hukum
Barat.7
Hukum Islam dewasa ini sebagian merupakan hukum yang tidak tertulis
dalam kitab perundang-undangan, tetapi menjadi hukum yang hidup, berkembang
dan berlaku serta dipahami oleh masyarakat Islam yang berdiri sendiri di samping
undang-undang tertulis dan ini merupakan keharusan sejarah untuk memenuhi
kebutuhan serta hajat hidup masyarakat.
Perkara-perkara yang berhubungan dengan resolusi problem-problem
sepesifik bagi umat Islam Indonesia tidak seharusnya dibatasi oleh satu mazhab
saja (dalam hal ini yakni mazhab Syafi’i an sich) mazhab ini harus dikembangkan
sesuai dengan nilai-nilai lokal.
6 Marzuki Wahid dan Rumadi, Fikih Mazhab Negara (Yogyakarta; LKiS, 2001), 81.
7 Qadry Azizy, Eklektisme, 153
4
Satu dekade kemudian, Hasby mengajukan pendapatnya tentang fikih
Indonesia dengan bahasa yang lebih koheren ketimbang apa yang telah ia diajukan
sebelumnya. Bermula dari premis yang sama dengan apa yang telah dikemukakan
oleh Hazarin, Hasby juga mendekati isu ini dengan sedikit perbedaan, yakni
dengan sengaja para eksponen hukum Islam untuk meningkatkan aktivitas ijtihad
dan konstruksi fikih ala Indonesia.8
Ide-ide inilah diantaranya yang telah melempangkan jalan bagi
terwujudnya sinkretisme nilai-nilai yang berasal dari adat maupun hukum Islam
ke dalam entitas hukum. Dalam bidang hukum keluarga–lah fenomena saling
akomodasi antara kedua sitem hukum ini paling menonjol. Pengakomodasian
lembaga wasiat wajibah, salah satunya adalah sebagian dari bentuk reformasi
hukum terhadap hukum kewarisan Islam dalam praktek di masyarakat. Dalam
KHI pasal 209 telah menggunakan wasiat wajib untuk membolehkan anak angkat
dan orang tua angkat untuk mengajuan klaim atas bagian tertentu dalam
pembagian warisan. Dasar dari reforamasi hukum ini sangat tergantung dari usaha
pengadopsian anak dalam lembaga adat masyarakat. 9
8 Dalam pandangannya Hasby, dalam hal ini berpenadapat bawa fikih yang dikembangkan oleh orang Indonesia selam ini tidak lain adalah fikih Hijazi, yang dibangun berdasarkan atas adat istiadat masyarakat Hijaz, atau fikih Misri yang diciptakan atas dasar adat istiadat Mesir. Dengan demikian, karakteristik yang khusus dari masyarakat Islam Indonesia menurutnya dikesampingkan, karena fikih asing tersebut dipaksakan berlakunya ke dalam komunitas lokal melalui taqlid (meniru secara membabi buta). Sehingga ia kemudian mempelopori pembangunan fikih baru oleh masyarakat Islam Indoensia yang berakar dari nilai-nilai yang khusus yang ada daam masyarakat setempat dan sumber-sumber dasar syari’ah dan logika hukum sebagaimana yang dikembangkan dalam semua mazhab hukum Islam. Selengkapnya, Hasby Ash-Shiddieqy, Syari;at Islam Menjawab Tantangan Zaman, (Jakarta: Bulan Bintang, 1966), 43-4.
9 Tentang penjelasan yang lebih jelas dalam proses dialog kedua lembaga hukum ini sekaligus pada tataran praktisnya dalam khidupan masyarakat dan proses positivisasinya dalam hukum nasional, lihat Ratno Lukito, Pergumulan, 75-91.
5
Eksplanasi ini setidaknya telah menunjukkan adanya kenyataan bahwa
antara kedua sistem hukum ini memiliki hubungan harmonis dalam masyarakat
Indonesia. Walaupun konstelasi politik nasional yang senantiasa berubah telah
memberikan pengaruh kepada posisi lembaga peradilan dari kedua sistem hukum,
dengan terhapusnya pengadilan adat sebagai salah satu imbas dari perubahan ini,
proses kreasi hukum keluarga menjadi saksi terhadap ketahanan dari doktrin-
doktrin substanstif kedua sistem hukum dalam masyarakat.
Perlu ditambahkan dalam hal ini juga, bahwa dalam konteks fikih
mu’amalat, maka metodologi penggalian hukum yang dipergunakan
meniscayakan pendekatan yang kontekstual. Prinsip maslahat mursalah yang
sama artinya dengan istihsan dan sad adz-zari’ah serta urf (adat kebiasaan)
setempat dijadian sebagai sumber hukum yang dapat diterapkan pada masyarakat
pendukung adat (kebiasaan) tersebut.10
Perlu diketahui, bahwa Islam dengan ajaran dan perangkat hukumnya
adalah salah satu sistem hukum yang masih berlaku (di samping hukum Adat dan
hukum Barat). Jadi ditinjau dari teori sumber hukum bagi pembentukan hukum
nasional di Indonesia, maka hukum pidana Islam seharusnya merupakan salah
satu sumber hukum pembentukan hukum pidana nasional.
Cukup banyak penelitian yang menunjukkan adanya kecenderungan kuat
bahwa orang Islam menghendaki dan memperlakukan hukum Islam dalam
kehidupannya, termasuk dalam bidang hukum perkawinan dan kewarisan. Posisi
hukum selanjutnya tidak lagi ditentukan oleh politik hukum kolonial, tetapi
10 Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqih Indonesia Penggagas dan Gagasannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 240.
6
diselaraskan dengan kebijakan hukum nasional, terutama sebagaimana digariskan
dalam GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara). Kebijakan yang kelihatannya
telah diterima adalah bahwa dalam konteks pembinaan hukum nasional, hukum
Islam menjadi salah satu bahan dan sumber, selain dari hukum adat dan hukum
Barat.
Hukum Islam dewasa ini sebagian merupakan hukum yang tidak tertulis
dalam kitab perundang-undangan, tetapi menjadi hukum yang hidup, berkembang
dan berlaku serta dipahami oleh masyarakat Islam yang berdiri sendiri di samping
undang-undang tertulis dan ini merupakan keharusan sejarah untuk memenuhi
kebutuhan serta hajat hidup masyarakat. Dari sudut pandang filsafat, tepat kiranya
meninjau nilai-nilai hukum Islam dan eksistensinya dalam praktek Pengadilan
Agama. Putusan atau penetapan adalah hasil dari proses peradilan yang harus
mengedepankan perasaan keadilan dan penggapaian kemaslahatan masyarakat.
Kekuatan putusan sangat mempengaruhi materi hukum yang dijadikan dasar
putusan tersebut. Sebaliknya putusan yang tidak mempunyai daya ikat
mengakibatkan tidak dihargainya putusan tersebut. Dengan demikian hukum Islam
akan mengalami nasib yang sama jika tidak mempunyai daya ikat dan
ditransformasikan dalam praktek perundang-undangan negara.11
Dalam konteks ini, masih perlu diformulasikan model artikulasi hukum
Islam yang tepat dalam wacana kebangsaaan dan kenegaraan. Maka untuk
mengarah pada pretensi ini layak kiranya bagi kita sebagai insan muslim untuk
11 Idris Ramulyo, Asas Asas–asas Hukum Islam; Sejarah Timbul dan Berkembangnya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1997), 52
7
berijtihad mencari ruang yang pas bagi perjalanan hukum Islam pada situasi yang
dapat “menegara” dan “membangsa”.
B. Rumusan Masalah
Dengan mencermati latar belakang di atas, maka di sini dapatlah diajukan
pertanyaaan mendasar sebagai pokok masalah:
1. Bagaimana konsep hukum Islam dalam realitas masyarakat Indonesia ?
2. Bagaimana formulasi aktualisasi hukum Islam di Indonesia dalam
konteks kebangsaan dan kenegaraan ?.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan penyusunan dalam penelitian ini adalah untuk mengkaji secara
mendalam tentang bagaimana konsepsi hukum Islam dalam masyarakat Islam
Indonesia. Kajian ini selanjutnya melakukan bagaimana formulasi aktualisasi
hukum Islam tersebut terlaksana dalam realitas masyarakat Indonesia dan dalam
konteks kebangsaan dan kenegaraan.
Adapun urgensi dari penelitian ini diharapkan memberikan
kontribusi referensial bagi pengamat hukum secara secara
khusus dan bagi masyarakat pada umumnya, demi
pembangunan hukum nasional yang secara substansial
memberikan keadilan bagi semua elemen masyarakat,
khususnya umat Islam Indonesia. Di samping itu juga, dengan
kajian ini akan dapat menambah pengkayaan literatur-literatur
dalam diskursus antara hukum Islam dan tata hukum nasional.
8
Hal ini penting guna menumbuhkan proses pemahaman dan
kesadaran hukum sekaligus membangun hukum nasional yang
beridentitas ke-Indonesia-an.
D. Kerangka Teori
1. Realitas Hukum Di Indonesia
Menyikapi upaya-upaya legislasi dan legalisasi hukum Islam di Indonesia
dalam bebebapa tahun belakangan ini kian menunjukkan eksistensi hukum Islam
makin kokoh secara yuridis, maka muncullah gagasan untuk mengeleminasi dan
melakukan distorsi sedemikian rupa oleh kolonial. Ide-ide ini dikemas dalam
konsep Het Indishe Adatrecht yang datang dari Van Bollenhoven dan dipelopori
oleh C.S. Hurgronye (1857 – 1936) yang kemudian dikenal dengan Teori Receptie.
Menurut teori ini hukum yag berlaku bagi ummat Islam adalah hukum adat mereka
masing-masing. Hukum Islam dapat berlaku apabila telah diresepsi oleh hukum
adat. Jadi hukum adatlah yang menentukan ada tidaknya hukum Islam. Klaim
distorsif ini sangat berpengaruh hingga sekarang, sehingga sangat wajar bila
Hazarain menyebutnya sebagai teori “ iblis “.12
Demikianlah kedudukan politik hukum Islam pada masa pra kemerdekaan,
hukum Islam berada pada posisi yang tidak pasti. Di samping didorong oleh
kepentingan kolomialisme, juga dikarenakan bahwa negara jajahan belum
12 Ahmad Rofiq, Hukum Islam dalam Sistem PolitikHukum Nasional, Makalah disampaikan pada SarNas dan Kongres II FORMASI SMF Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, 1997), 4. Hal yang sama juga, Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum, 68.
9
mempunyai sistem hukum yang mampu mengakomodasi pluralitas hukum yang ada
dalam masyarakat.
Setelah Indonesia merdeka, Pancasila dan UUD 1945 telah ditetapkan
sebagai sumber hukum, maka dalam konteks pemberlakuan hukum Islam mucul
beberapa teori sebagai counter theory terhadap teori masa kolonial. Paling tidak
ada tiga teori yaitu : Pertama, teori receptie harus exit ( keluar ) dari teori hukum
nasional Indonesia karena bertentangan dengan UUD 1945 serta Al-Quran dan al-
Hadis. Kedua, teori receptio a contrario dikemukakan oleh Sayuti Thalib, yang
menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi rakyat adalah hukum agamanya,
hukum adat hanya berlaku jika tiak bertentangan dengan agama ; Ketiga yaitu teori
eksistensi yang mempertegas teori receptio a contrario dalam hubungannya dengan
hukum nasional. Menurut teori ini, hukum Islam ada dalam arti sebagai bagian
integral dari hukum nasional, ada dalam arti dengan kemandiriannya dan kekuatan
wibawanya, ia diakui oleh hukum nasional serta diberi status sebagai hukum
nasional, ada dalam arti norma yang berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan
hukum nasional dan hukum Islam ada dalam arti sebagai bahan utama dan sumber
utama hukum nasional.13
2. Aktualisasi Hukum Islam : Problem dan Solusi
Ikhtiar aktualisasi hukum Islam di Indonesia masih saja memunculkan
situasi yang polemis, bahkan paradoks, tidak hanya pada segmen teknis yuridis
melainkan bersinggungan pula dengan realitas politik kenapa ? Pertama, karena
wacana hukum Islam berada pada titik tengah antara paradigma agama (entitas
13 Abdul Halim, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta Raja Grafindo Persada, 2000 ), 83-84.
10
sakral) dan paradigam negara (entitas profan). Tarik menarik yang terjadi antara dua
paradigma itulah – melaksanakan misi suci agama dan legitimasi negara atas
pluralitas – yang kemudian secara nyata menebarkan asap ketegangan
(antagonistis). Situasinya jelas mengapa peranan hukum Islam rumit ? Karena
hukum Islam berada di wilayah agama sekaligus negara.
Kedua, aktualisasi hukum Islam berada di “daerah rawan konflik” antar
agama itu sendiri. Dalam masyarakat yang multi agama, implementasi -apalagi
desiminasi – suatu agama akan menjadi ancaman bagi agama lainnya. Di sini
integritas negara bangsa mendapat taruhan besar. Oleh sebab itu untuk menjaga
komitmen atas pluralitas, akan ditemui realitas hukum Islam yang direduksi sampai
pada tingkat yang mana “orang lain “ tidak merasa terancam.
Adapun kerangka berpikir tentang paradigma aktualisasi tersebut, berpijak
pada dua persoalan pokok. Pertama, menyangkut bangunan konsep epistemologis
hukum Islam, dan kedua adalah aspek politik dan sistm hukum di Indonesia, baik
itu sebagai norma yang hidup dan di patuhi di masyarakat ataupun dalam bentuk
legislasi. Diskursus tentang hal ini harus berangkat dari pola pikir yang holistic,
termasuk tentang hukum Islam dan negara. Oleh karenanya, antara dimensi
epistemologis hukum Islam dan politik serta sistem hukum di Indonesia saling
berkait dan tidak dapat dipisahkan.
Hukum Islam dengan sifat universalitasnya sebenarnya menuntut berlaku
tanpa batas waktu dan tempat. Akan tetapi realitas ummat Islam sudah tersekat
secara geografis dan sosial, sehingga persoalannya menjadi krusial. Upaya
aktualisasi hukum Islam akan berhadapan dengan masalah pluralitas budaya dan
11
kebangsaan, sekaligus pilihan politik negara yang pluralis tadi. Dari sinilah tuntutan
relevansi aktualitas dan fleksibilitas hukum Islam berangkat. Ujung-ujungnya
adalah keharusan adanya pembaharuan hukum Islam agar mampu merespon
tuntutan realitas perkembangan dalam kehidupan manusia.
Tuntutan aktualisasi hukum Islam di Indonesia memang cukup beralasan.
Menurut Mahfud, setidaknya ada dua alasan mengapa ikhtiar mencari peluang
aktualisasi hukum Islam di Indonesia selalu timbul, pertama, secara nyata pemeluk
Islam merupakan mayoritas dengan segala variannya (87 %) yang tentunya
memiliki ide dan kesadaran hukum yang khas, kedua, dalam realitasnya upaya
memperjuangkan berlakunya hukum Islam bagi ummat Islam sering timbul
meskipun tidak semua tokoh atau gerakan Islam selalu menyetujuinya dikarenakan
oleh setiap komunitas (yang pro-kontra) memiliki referensi nilai dan preferensi
kepentingan yang tidak seragam, sehingga ketidak seragaman itu pada gilirannya
membawa konsekuensi perbedaan dalam mensikapi ide tersebut.14
Alasan lain yang perlu dikemukakan di sini adalah karena hukum Islam di
Indonesia mempunyai potensi historisitas yang sangat kuat. Sejak zaman kolonial
sampai posteolonial, berlakunya hukum Islam sudah mendapat pengakuan, bahkan
dalam bentuk legislasi dan konstitusi, walaupun hal itu dalam segmen-segmen
tertentu.
Dalam graduasi perkembangan hukum Islam di Indonesia, lahirnya Piagam
Jakarta merupakan buah perjuangan ummat Islam secara ideologis. Dengan
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan berlakunya UUD 1945 –walaupun
14 Moh. Mahfud MD, Draft Kuliah Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, PPs IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1.
12
di dalamnya tidak dimuat tujuh kata Piagam Jakarta - maka teori “resepsi”
kehilangan dasar hukumnya. Sebab dasar hukum teori resepsi adalah IS ( Indische
Staatsregeling ) sehingga dengan berlakunya UUD 1945 IS tidak berlaku lagi.
Selanjutnya hukum Islampun berlaku bagi warga bangsa Indonesia yang beragama
Islam karena kedudukan hukum Islam itu sendiri, bukan karena ia telah diterima
oleh hukum adat.
Selama 14 tahun –sejak ditandatanganinya gentlement agreement antara
para pemimpin nasionalis sekuler dan nasionalis Islami pada tanggal 22 Juni 1945
sampai dengan saat diundangkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 – kedudukan
ketentuan “ kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya “
adalah sebagai persuasive source.
Adapun setelah ditempatkannya Piagam Jakarta dalam dekrit Presiden,
maka Piagam Jakarta atau penerimaan hukum Islam menjadi authoritative source
dalam hukum tata negara Indonesia, bukan sekedar persuasive source. Oleh
karenanya, dengan sila pertama Piagam Jakarta yang tetap menjadi dokumen
historis bagi pembuatan hukum selanjutnya, maka tidak boleh dan tidak dibenarkan
adanya produk-produk hukum yang bertentangan dengan nilai-nilai hukum Islam.15
E. Telaah Pustaka
Penelitian tentang tema yang penyusun sajikan ini, khususnya tentang
konfigurasi politik dan hukum sebenarnya telah cukup banyak dilakukan dengan
beragam analisis, pendekatan, dan bidang yang menjadi ranah obyek penelitian.
15 Ismail Sunny, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, dalam Amrullah Ahmad dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, ( Jakarta ; Gema Insani Press, 1996 ), 133-134.
13
Adapun diantara penelitian yang dimaksudkan antara lain, tesis Ahmatrijar,
Transformasi Hukum Islam ke dalam Hukum Nasional (Studi tentang Sejarah
Sosial Hukum Islam di Indonesia Tahun 1974-1998). Penelitian ini
mengungkapkan proses taqnin (pengundang-undangan) hukum Islam di Indonesia
yang dilatar belakangi oleh tiga hal yakni, adanya tuntutan dari institusi seperti
Pengadilan Agama, adanya tuntutan politik, yakni bahwa hukum Islam di
Indonesia sebagai suatu sistem hukum juga dipengaruhi oleh Adat dan Agama,
dan terakhir bahwa keutamaan hukum Islam dalam dimensi hukum Nasional itu
sendiri.
Penelitian puncak yang sebenarnya dari kajian-kajian politik hukum ini
memang direpresentasikan oleh Moh.Mahfud yang berjudul Politik Hukum di
Indonesia. Penelitian ini membahas tentang keterkaitan antara sistem politik dan
sistem hukum, dimana konfigurasi politik akan sangata berpengaruh pada lahirnya
produk hukum yang dikeluarkan. Konfigurasi politik terhadap hukum ini
mengambil bentuk antara lain seperti: KHI, PA, dan UU No. 1 Tahun 1974.
Satu lagi penelitian yang dilakukan oleh Marzuki Wahid dan Rumadi,
Fikih Mazhab Negara Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia. Isu yang
dijadikan fokus bahasan yakni bagaimana menjelaskan sedikit dari kehendak
sosial politik negara Orde Baru berikut beberapa konsekuensi politik dari legislasi
hukum Islam, baik dalam cerminan sejarah maupun pantulan kekinian. Kompilasi
Hukum Islam dalam proses pembentukannya ternyata tidak steril dari
kepentingan-kepentingan politik di dalamnya.
14
Adapun penelitian ini akan melakukan pembacaan atas wacana politik
hukum Islam dan aktualisasinya dalam beberapa tahun belakangan ini dengan
melihat secara historis proses perkembangan dan aktualisasi hukum Islam secara
umum sampai detik ini, baik dalam lingkup perdata maupun pidana.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research). Oleh karena itu,
maka teknik yang digunakan adalah pengumpulan data secara literer, yakni
penggalian bahan-bahan pustaka yang koheren dengan obyek pembahasan.
2. Sifat Penelitian.
Penelitian ini bersifat deskriftif-analitik, yaitu menuturkan,
menggambarkan dan mengklarifikasikan secara obyektif data-data tentang
peraturan-peraturan doktrinal hukum negara-negara muslim yang dikaji, sekaligus
melakukan analisis terhadap data tersebut.
3. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang dipergunakan peneliti dalam hal ini adalah
pendekatan historis-sosiologis. Pendekatan historis adalah dengan melacak proses
munculnya gagasan dan ide pembaharuan guna melaksanakan ide aktualisasi
hukum tersebut, sedangkan pendekatan sosiologis dalam konteks ini adalah
dengan pendekatan dengan melakukan analisis atas fakta-fakta dan realitas sosial
masyarakat yang kian menggejala guna melacak segala permasalahan dalam
penelitian.
15
4. Sumber Data.
Adapun sumber pokok dalam penelitian ini adalah karya Moh. Mahfud
MD tentang Politik Hukum di Indonesia, dan karya-karya tulisan lainnya yang
tersebar dalam pelbagai buku, majalah, jurnal, dan karya lainnya yang koheren
dengan obyek pembahasan.
Adapun sumber sekunder dalam penelitian ini berupa karya-karya ilmiah
lainnya yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan tema
dimaksud.
5. Analisis Data.
Adapun metode analisis data yang dipergunakan dalam hal ini adalah
dengan metode analisis isi (content analysis), yakni dengan analisis terminologi
hukum Islam dengan pelbagai variannya. Selanjutnya dilakukan studi historis
tentang perkembangan konsepsi dan aktualisasi hukum Islam yang tengah
berlangsung dalam tataran pembangunan etika seluruh elemen masyarakat, baik
dalam dimensi struktural (politik) maupun kultural. Pencarian dan pelacakan nilai-
nilai yang melintasi heterogenitas sosial budaya masyarakat juga sebagai penguat
dan justifikasi adanya keterkaitan unsur-unsur pembentuk hukum yang hidup di
masyarakat untuk mempertajam analisis tentang aktualisasi hukum Islam di
Indonesia sebagaimana dimaksud.
G. Sistematika Pembahasan
16
Sistematika pembahasan penelitian ini disusun dalam lima bab yang
terdiri dari bagian pendahuluan, isi dan penutup. Bab pertama adalah pendahuluan
dengan memaparkan argumentasi praktis yang menjadi latar belakang timbulnya
penelitian, kegelisahan akademis dalam bentuk pokok masalah, tujuan penelitian,
kerangka teori, telaah pustaka, dan metode penelitian yang dipergunakan.
Pada bab kedua, penyusun melakukan identifikasi tentang hubungan
Islam dan Negara yang terpolarisasi dalam berbagai alternatif politiknya. Hal ini
penting dalam pengamatan penyusun karena akan mempunyai pengaruh besar
terhadap konfigurasi politik hukum yang tercipta nantinya.
Pada bab ketiga sebagai kelanjutan dari bab kedua di atas, maka
dilakukan penjelasan secara teoritis tentang sistem, kedudukan, dan fungsi hukum
Islam dalam tataran tata hukum Nasional. Selanjutnya, bab ini juga akan
menjelaskan tentang proses pembaharuan hukum yang telah terjadi dalam
beberapa dekade belakangan ini sebagai wujud keberadaan sistem hukum Islam
dan secara politis merupakan mayoritas.
Sebagai bab analisis, maka pada bab keempat, penyusun akan melakukan
analisis tentang aktualisasi hukum Islam, baik secara historis-politis. Kajian ini
akan melihat bagaimana korelasi polarisasi politik dan hukum yang mewarnai
proses aktualisasi hukum Islam di Indonesia.
Sebagai akhir penulisan, pada bab kelima, berisikan kesimpulan dan
penutup. Urgensi penelitian lanjutan dalam hal ini dimasukkan dalam bagian
saran-saran.
17
DAFTAR PUSTAKA
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban, cet. III (Jakarta: Paramadina, 1995).
A. Qadry Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional Komepetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum, (Yogyakarta: Gama Media, 2002).
Ahmad Azhar Basyir, Corak lokal dalam hukum positif Islam di Indonesia (Sebuah Tinjauan Histori ), Dalam Mimbar Hukum No. 13/Th. IV/1994).
Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia, ( Jogjakarta, Gama Media, 2001 ).
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fikih Mazhab Negara ( Jogjakarta; LkiS, 2001).
Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek, dalam Kata Pengantar, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994).
Hasby Ash-Shiddieqy, Syari’at Islam Menjawab Tantangan Zaman, (Jakarta: Bulan Bintang, 1966).
Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indoneisa, (Jakarta:
INIS, 1998).
Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqih Indonesia Penggagas dan Gagasannya, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1997).
Idris Ramulyo, Asas Asas–asas Hukum Islam;Sejarah Timbul dan Berkembangnya (Jakarta ; Sinar Grafika, 1997).
Abdul Halim, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta Raja Grafindo Persada, 2000).
Moh. Mahfud MD, Draft Kuliah Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, PPs IAIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta).
Ismail Sunny, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, dalam Amrullah Ahmad dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996).
18
19
top related