pajak warteg
Post on 29-Jun-2015
506 Views
Preview:
TRANSCRIPT
UU No.28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi DaerahOKTOBER 17, 2009
tags: apbd, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, desentralisasi fiskal, PAD, Pajak Air
Permukaan, Pajak Bahan Bakar Kenderaan Bermotor, Pajak Daerah, Pajak Kenderaan
Bermotor, Pajak Rokok,Perda, Retribusi Daerah, tarif, UU No. 28/2009, UU PDRD
oleh syukriy
Pokok-Pokok Pengaturan Undang-Undang No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah
Pada tanggal 18 Agustus 2009, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah
menyetujui dan mengesahkan Rancangan Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah (RUU PDRD) menjadi Undang-undang, sebagai pengganti dari Undang-undang
Nomor 18 Tahun 1997 dan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000. Pengesahan Undang-
undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) ini
sangat strategis dan mendasar di bidang desentralisasi fiskal, karena terdapat perubahan
kebijakan yang cukup fundamental dalam penataan kembali hubungan keuangan antara
Pusat dan Daerah. Undang-undang yang baru ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari
2010.
UU PDRD ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam perpajakan dan
retribusi sejalan dengan semakin besarnya tanggung jawab Daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
2. Meningkatkan akuntabilitas daerah dalam penyediaan layanan dan
penyelenggaraan pemerintahan dan sekaligus memperkuat otonomi daerah.
3. Memberikan kepastian bagi dunia usaha mengenai jenis-jenis pungutan daerah
dan sekaligus memperkuat dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi
daerah.
Ada beberapa prinsip pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah yang dipergunakan
dalam penyusunan UU ini, yaitu:
1. Pemberian kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah tidak terlalu
membebani rakyat dan relatif netral terhadap fiskal nasional.
2. Jenis pajak dan retribusi yang dapat dipungut oleh daerah hanya yang
ditetapkan dalam Undang-undang (Closed-List).
3. Pemberian kewenangan kepada daerah untuk menetapkan tarif pajak daerah dalam
batas tarif minimum dan maksimum yang ditetapkan dalam Undang-undang.
4. Pemerintah daerah dapat tidak memungut jenis pajak dan retribusi yang tercantum
dalam undang-undang sesuai kebijakan pemerintahan daerah.
5. Pengawasan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dilakukan
secara preventif dankorektif. Rancangan Peraturan Daerah yang mengatur pajak dan
retribusi harus mendapat persetujuan Pemerintah sebelum ditetapkan menjadi Perda.
Pelanggaran terhadap aturan tersebut dikenakan sanksi.
Materi yang diatur dalam UU PDRD yang disahkan hari ini adalah sebagai berikut:
1. Penambahan jenis pajak daerah
Terdapat penambahan 4 jenis pajak daerah, yaitu 1 jenis pajak provinsi dan 3 jenis pajak
kabupaten/kota. Dengan tambahan tersebut, secara keseluruhan terdapat 16 jenis pajak
daerah, yaitu 5 jenis pajak provinsi dan 11 jenis pajak kabupaten/kota.
Jenis pajak provinsi yang baru adalah Pajak Rokok, sedangkan 3 jenis pajak kabupaten/kota
yang baru adalah PBB Perdesaan dan Perkotaan, BPHTB, dan Pajak Sarang Burung Walet.
Sebagai catatan, untuk kabupaten/kota ada penambahan 1 jenis pajak yaitu Pajak Air
Tanah yang sebelumnya merupakan pajak provinsi.
a. Pajak Rokok
Pajak Rokok dikenakan atas cukai rokok yang ditetapkan oleh Pemerintah. Hasil
penerimaan Pajak Rokok tersebut sebesar 70% dibagihasilkan kepada kabupaten/kota di
provinsi yang bersangkutan. Walaupun pajak ini merupakan jenis pajak baru, namun
diperkirakan pengenaan Pajak Rokok tidak terlalu membebani masyarakat karena rokok
bukan merupakan barang kebutuhan pokok dan bahkan pada tingkat tertentu konsumsinya
perlu dikendalikan. Di pihak lain, pengenaan pajak ini tidak terlalu berdampak pada
industri rokok karena beban Pajak Rokok akan disesuaikan dengan kebijakan strategis di
bidang cukai nasional dan besarannya disesuaikan dengan daya pikul industri rokok
mengikuti natural growth (pertumbuhan alamiah) dari industri tersebut.
Selain itu, penerimaan Pajak Rokok dialokasikan minimal 50% untuk mendanai pelayanan
kesehatan (pembangunan/pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana unit
pelayanan kesehatan, penyediaan sarana umum yang memadai bagi perokok (smoking
area), kegiatan memasyarakatkan tentang bahaya merokok, dan iklan layanan masyarakat
mengenai bahaya merokok) serta penegakan hukum (pemberantasan peredaran rokok
ilegal dan penegakan aturan mengenai larangan merokok).
b. PBB Perdesaan dan Perkotaan
Selama ini PBB merupakan pajak pusat, namun hampir seluruh penerimaannya diserahkan
kepada daerah. Untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, khusus
PBB sektor perdesaan dan perkotaan dialihkan menjadi pajak daerah. Sedangkan PBB
sektor perkebunan, perhutanan, dan pertambangan masih merupakan pajak pusat. Dengan
dijadikannya PBB Perdesaan dan Perkotaan menjadi pajak daerah, maka penerimaan jenis
pajak ini akan diperhitungkan sebagai pendapatan asli daerah (PAD).
c. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Selama ini BPHTB merupakan pajak pusat, namun seluruh hasilnya diserahkan kepada
daerah. Untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, BPHTB dialihkan
menjadi pajak daerah. Penetapan BPHTB sebagai pajak daerah akan meningkatkan PAD.
d. Pajak Sarang Burung Walet
Pajak Sarang Burung Walet merupakan jenis pajak daerah baru, yang dapat dipungut oleh
daerah untuk memperoleh manfaat ekonomis dari keberadaan dan perkembangan sarang
burung walet di wilayahnya. Bagi daerah yang memiliki potensi sarang burung walet yang
besar akan dapat meningkatkan PAD.
2. Penambahan Jenis Retribusi Daerah
Terdapat penambahan 4 jenis retribusi daerah, yaitu Retribusi Tera/ Tera Ulang, Retribusi
Pengendalian Menara Telekomunikasi, Retribusi Pelayanan Pendidikan, dan Retribusi Izin
Usaha Perikanan. Dengan penambahan ini, secara keseluruhan terdapat 30 jenis retribusi
yang dapat dipungut oleh daerah yang dikelompokkan ke dalam 3 golongan retribusi, yaitu
retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu.
a. Retribusi Tera/Tera Ulang
Pengenaan Retribusi Tera/Tera Ulang dimaksudkan untuk membiayai fungsi pengendalian
terhadap penggunaan alat ukur, takar, timbang, dan perlengkapannya oleh masyarakat.
Dengan pengendalian tersebut, alat ukur, takar, dan timbang akan berfungsi dengan baik,
sehingga penggunaannya tidak merugikan masyarakat.
b. Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi
Pengenaan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi ditujukan untuk meningkatkan
pelayanan dan pengendalian daerah terhadap pembangunan dan pemeliharaan menara
telekomunikasi. Dengan pengendalian ini, keberadaan menara telekomunikasi akan
memenuhi aspek tata ruang, keamanan dan keselamatan, keindahan dan sekaligus
memberikan kepastian bagi pengusaha.
Untuk menjamin agar pungutan daerah tidak berlebihan, tarif retribusi pengendalian
menara telekomunikasi dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak melampaui 2% dari
Nilai Jual Objek Pajak PBB menara telekomunikasi.
c. Retribusi Pelayanan Pendidikan
Pengenaan retribusi pelayanan pendidikan dimaksudkan agar pelayanan pendidikan, di
luar pendidikan dasar dan menengah, seperti pendidikan dan pelatihan untuk keahlian
khusus yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah dapat dikenakan pungutan dan
hasilnya digunakan untuk membiayai kesinambungan dan peningkatan kualitas pendidikan
dan pelatihan dimaksud.
d. Retribusi Izin Usaha Perikanan
Pengenaan Retribusi Izin Usaha Perikanan tidak akan memberikan beban tambahan bagi
masyarakat, karena selama ini jenis retribusi tersebut telah dipungut oleh sejumlah daerah
sesuai dengan kewenangannya. Sebagaimana halnya dengan jenis retribusi lainnya,
pemungutan Retribusi Izin Usaha Perikanan dimaksudkan agar pelayanan dan
pengendalian kegiatan di bidang perikanan dapat terlaksana secara terus menerus dengan
kualitas yang lebih baik.
3. Perluasan Basis Pajak Daerah
Perluasan basis pajak daerah, antara lain adalah:
1. PKB dan BBNKB, termasuk kendaraan pemerintah
2. Pajak Hotel, mencakup seluruh persewaan di hotel, dan
3. Pajak Restoran, termasuk katering/jasa boga.
4. Perluasan Basis Retribusi Daerah
Perluasan basis retribusi daerah dilakukan dengan mengoptimalkan pengenaan Retribusi
Izin Gangguan, sehingga mencakup berbagai retribusi yang berkaitan dengan lingkungan
yang selama ini telah dipungut, seperti Retribusi Izin Pembuangan Limbah Cair, Retribusi
AMDAL, serta Retribusi Pemeriksaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja.
5. Kenaikan Tarif Maksimum Pajak Daerah
Untuk memberi ruang gerak bagi daerah mengatur sistem perpajakannya dalam rangka
peningkatan pendapatan dan peningkatan kualitas pelayanan, penghematan energi, dan
pelestarian/perbaikan lingkungan, tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah dinaikkan,
antara lain:
1. Tarif maksimum Pajak Kendaraan Bermotor, dinaikkan dari 5% menjadi 10%. Khusus
untuk kendaraan pribadi dapat diterapkan tarif progresif.
2. Tarif maksimum Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, dinaikkan dari 10% menjadi
20%.
3. Tarif maksimum Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, dinaikkan dari 5% menjadi
10%. Khusus untuk kendaraan angkutan umum, tarif dapat ditetapkan lebih rendah.
4. Tarif maksimum Pajak Parkir, dinaikkan dari 20% menjadi 30%.
5. Tarif maksimum Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (sebelumnya Pajak
Pengambilan Bahan Galian Golongan C), dinaikkan dari 20% menjadi 25%.
6. Bagi Hasil Pajak Provinsi
Dalam rangka pemerataan pembangunan dan peningkatan kemampuan keuangan
kabupaten/kota dalam membiayai fungsi pelayanan kepada masyarakat, pajak provinsi
dibagihasilkan kepada kabupaten/kota, dengan proporsi sebagai berikut:
1. Pajak Kenderaan Bermotor: Provinsi 70%, Kab/Kot 30%.
2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor: Provinsi 70%, Kab/Kot 30%.
3. Pajak Bahan Bakar Kend. Bermotor: Provinsi 30%, Kab/Kot 70%.
4. Pajak Air Permukaan: Provinsi 50%, Kab/Kot 50%.
5. Pajak Rokok: Provinsi 30%, Kab/Kot 70%.
7. Earmarking
Untuk meningkatkan kualitas pelayanan secara bertahap dan terus menerus dan sekaligus
menciptakan good governance dan clean government, penerimaan beberapa jenis pajak
daerah wajib dialokasikan (di-earmark) untuk mendanai pembangunan sarana dan
prasarana yang secara langsung dapat dinikmati oleh pembayar pajak dan seluruh
masyarakat. Pengaturanearmarking tersebut adalah:
10% dari penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor wajib dialokasikan untuk pemeliharaan
dan pembangunan jalan, serta peningkatan sarana transportasi umum.
50% dari penerimaan pajak rokok dialokasikan untuk mendanai pelayanan kesehatan dan
penegakan hukum.
Sebagian penerimaan pajak penerangan jalan digunakan untuk penyediaan penerangan
jalan.
Dengan penetapan UU PDRD ini, diharapkan struktur APBD menjadi lebih baik, iklim
investasi di daerah menjadi lebih kondusif karena Perda-Perda pungutan daerah yang
membebani masyarakat secara berlebihan dapat dihindari, serta memberikan kepastian
hukum bagi semua pihak.
Pajak Warteg Diatur dalam UU No 28/2009Kamis, 2 Desember 2010 - 18:14 wib
Sugito Halim - Okezone
Ilustrasi (Foto: Koran SI)
JAKARTA - Pemerintah Provinsi DKI tidak begitu saja akan menerapkan kebijakan pajak untuk warung Tegal.
Rencana kebijakan ini memiliki payung hukum yang jelas.
Kepala Dinas Perpajakan DKI Iwan Setiawandi menjelaskan pajak restoran berlaku terhadap perusahaan atau
pribadi yang menyediakan jual beli makanan dan minuman dengan omset lebih dari Rp60 juta per tahun.
“Hal tersebut sesuai dengan UU nomor 28/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah,” ujarnya kepada okezone di
Jakarta, Kamis (2/12/2010).
Berkaitan dengan itu, warung Tegal ataupun rumah makan Padang yang banyak dijumpai di Jakarta bisa saja
dikenakan pajak.
Diperkirakan, penerapan pajak untuk warung Tegal dan sejenisnya akan berlaku mulai awal tahun depan. Saat ini
Pemprov DKI sedang melakukan pendataan terhadap jasa penyedia makanan dan minuman yang ada di Jakarta.
Menurut Iwan, pendapatan penyedia jasa makanan dan minuman terus meningkat, hal ini berdasarkan pendapatan
pajak daerah DKI Jakarta. "Pendapatan pajak dari rumah makan di Jakarta mengalami peningkatan, pada 2009
pajak yang masuk Rp650 miliar, sedang tahun ini Rp800 miliar," pungkasnya.(ful)
detikNews » Berita
Kamis, 02/12/2010 10:53 WIB
DPRD DKI Setuju Pajak Warteg Demi Keadilan Hery Winarno - detikNews
Jakarta - Kebijakan baru Pemprov DKI Jakarta yang bakal menarik pajak dari warung tegal alias warteg, langsung menjadi kontroversi. DPRD DKI Jakarta setuju dengan aturan baru itu. Asas keadilan menjadi alasan.
"Ya sebenarnya untuk asas keadilan, karena warteg juga ada yang omsetnya besar, dan selama ini tidak kena pajak," kata Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Triwisaksana saat berbincang dengan detikcom, Kamis (2/12/2010).
Pria yang akrab disapa Sani ini membandingkan semua restoran yang semuanya terkena pajak. Padahal dari segi omzet, bisa saja ada restoran yang lebih sedikit omzetnya dari warteg-warteg tertentu.
"Tapi yang namanya restoran, kecil pun mereka kena pajak dengan batasan omzet, ini jadi adil," kata politisi asal PKS ini.
Sani mengatakan, aturan baru ini diatur dalam Perda Pajak Restoran yang baru-baru ini diselesaikan oleh DPRD DKI Jakarta. Dalam aturan itu, warteg masuk dalam syarat-syarat usaha yang wajib terkena pajak.
Sani pun meminta agar Pemprov DKI Jakarta menyosialisasikan terlebih dulu kebijakan baru ini. "Disosialisasikan dulu saja," katanya.
Aturan pajak untuk warteg ini bakal tercantum dalam Perda Pajak Restoran yang saat ini sudah selesai dibahas di DPRD DKI Jakarta. Namun perda tersebut belum disahkan. Rencananya, Pemprov DKI Jakarta juga akan membuat Pergub untuk khusus mengatur soal pajak warteg ini.
Perda tersebut merupakan turunan dari UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam pasal 22 berbunyi pajak restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran. Sedang pasal 23 berbuyi restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering.
(ken/fay)
detikNews » Berita
Rabu, 05/01/2011 19:48 WIB
Aturan Pajak Warteg di DKI Diharapkan Rampung Sebelum 2012 Nurvita Indarini - detikNews
Jakarta - Warung penyedia jasa boga, seperi warteg, dengan omzet tertentu rencananya dikenai pajak restoran mulai 2011 ini. Namun karena Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo menunda meneken raperdanya, maka perlu pengkajian lebih lanjut. Diharapkan sebelum 2012 sudah rampung.
"Dewan yang harus membuat agenda. Kalau target sih inginnya sebelum 2012. Lebih cepat lebih baik," kata Kepala
Dinas Pelayanan Pajak Pemprov DKI, Iwan Setiawandi, Rabu (5/1/2011).
Dalam UU No 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, disebutkan toleransi dari pajak restoran termasuk warung berlaku 2 tahun yakni hingga 2012. Apabila perda tersebut belum disiapkan Pemda, maka pajak ini tidak bisa dipungut.
"Selama ini pajak restoran 10 persen sudah jalan. Bedanya di aturan yang dulu, tidak menyebut warung. Sementara definisi restoran di aturan yang baru termasuk warung juga, mau warung tegal, warung padang akan kena sepanjang penuhi syaratnya," terang Iwan.
Dia menambahkan, restoran adalah fasilitas tempat menyantap makanan dan minuman. Karena itulah, warteg yang termasuk kategori warung penyedia makanan dengan ketentuan tertentu (standar minimum wajib pajaknya belum dibahas) juga dikenai pajak.
Sekarang ini, menurut Iwan, belum ada diskusi apa-apa terkait standar minumum wajib pajak. Sebab beberapa waktu lalu Fauzi Bowo menyampaikan kembali draf raperda ke Dewan.
"Ini masih di Dewan, masih menunggu legislasi untuk membahas. Mudah-mudahan saat pembahasan nanti semua pihak terkait berkenan mendengarkannya sehingga menjadi jelas," tutup Iwan.
Pajak restoran yang akan dikenakan kepada warteg tertuang dalam raperda yang berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 22 dan 23 UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menjadi payung hukum bagi Pemprov DKI Jakarta mengenakan pajak restoran sebesar 10 persen untuk warung penyedia jasa boga.
Berikut bunyi pasal 22 dan 23 UU No 28/2009 tentang Pajak Daerah:
Pasal 22 Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran.
Pasal 23 Restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering.
(vit/lrn)
The Phenomenon of Taxed WartegPosted by nuri on Dec 10, 2010 | 3 Comments
http://www.financialnewsagency.org/the-phenomenon-of-taxed-warteg/456312.html
That humble species of eatery identified because the warteg may possibly not be known for gourmand cuisine or even cleanliness, but there’s something about these casual, affordable foods stalls that keeps clients coming again time and time again.For thousands and thousands of low-income men and women, warteg meals is a weekly staple, as well as the stalls are a widespread sight in most cities, with Jakarta being no exception.
In contrast to the occasionally impersonal expertise of consuming at a restaurant, a meal at a warteg can really feel quite much like a family affair.
The food is frequently ready and served by women whom customers refer to as mbok (sister) or ibu (mom).
Many individuals get pleasure from the homey environment of wartegs and also the notion that they’re consuming familiar, home-cooked food.
Many wartegs in Jakarta serve Javanese dishes such as fried and grilled chicken, fish, tempeh, tofu and greens, and, needless to say, rice.
The meals typically comes in large portions, and the prices are low. Eating at even probably the most modest mall food court would be a minimum of twice as high-priced.
Warteg is brief for “warung Tegal,” (actually Tegal store), but it is not clear whether men and women from Tegal, a tiny city in Central Java, were truly the very first ones to begin working this kind of meals stalls.
Budi Indrawan, whose task like a Jakarta taxi driver keeps him on the move all day, says he often tries to discover a warteg for lunch or dinner.
“It’s not that they’ve the tastiest food, it is simply since they are cheap,” he says.
“Unlike other standard foods stalls, you are able to locate plenty of diverse dishes at cost-effective costs,” he says, including that his invoice to get a meal at a warteg is typically much less than Rp 15,000 ($1.70).
Maryono, who functions at a store within the capital, agrees that it is the value that keeps him a warteg normal.
“If I were wealthy I would certainly eat at malls or fancy restaurants where they serve super-expensive and tasty foods,” he says. “But right now, I’d say that wartegs are the best for me.”
With low-cost prices the principal draw for customers, last week’s announcement that the Jakarta administration planned to impose a 10 percent tax on foods stalls within the capital had each warteg proprietors and their loyal consumers apprehensive.
It was introduced the tax would apply to any warteg with annual income of Rp 60 million or a lot more, also as eating places, cafes, bars and small catering companies.
But subsequent the general public outcry, Jakarta Governor Fauzi Bowo agreed to postpone the brand new tax indefinitely.
“I want the policy to be reviewed prior to imposing it,” the governor mentioned. “I do not wish to create a choice that hurts the little individuals.”
Burhanudin, who functions in Tebet, South Jakarta, eats at wartegs around twice per week, and says it is the reduced prices that maintain him coming back.
While he enjoys eating at fast-food retailers or “fancier Indonesian restaurants” together with his pals, he says eating at this kind of establishments on the normal basis would not be financially possible. “I’d be broke if I did that every day,” he provides.
Burhanudin says that while the taste with the food in the distinct wartegs in the city is basically the same, the far more common ones usually have a greater option of food and are cleaner.
“Eating at a warteg just isn’t about consuming scrumptious food. It’s just about filling your belly,” he says, including the quantity of rice that comes with each meal guarantees that he constantly goes home full.
Nuvish Aditya, a freelance music engineer, is an additional warteg fan whose meals spending budget is hardly ever in accordance together with his big urge for food.
He loves the truth that at a warteg you are assured “a towering mound of rice.”
“For big guys like me, wartegs would be the reply,” he says, jokingly patting his belly.
“And simply because I have to consume lunch and dinner outside as a result of my working hours, it is difficult for me to eat at eating places or meals courts all of the time.”
Warteg lovers are also willing to miss the establishments’ sometimes seeming disregard for hygiene.
After all, they’ll tell you, most locals are used to eating at dodgy meals stalls and carts by the facet of the road.
However, bacteria- infested warteg foods has been recognized to conquer even the strongest abdomen.
Fani Tiara, a 17-year-old pupil, says she prefers likely to wartegs simply because of what she calls her “3M rule,” which stands for: murah (inexpensive), mulia (wonderful) and murus (diarrhea) – a humorous reference to your questionable cleanliness of many such institutions.
“You know how dirty they largely are, with flies hovering over many of the dishes. But you still go anyway, due to the fact of how inexpensive the foods is,” Fani says.
Doni Kuswandi, a sales officer in the city, says you simply have to “go for it” when eating at a warteg.
He provides that each and every warteg lover ultimately builds up some thing akin to an immunity to “dirty meals.”
Doni says he’s been consuming at a warteg near his workplace regularly for the past 5 years, and has but to suffer any serious gastric issues.
He considers it proof of his immunity to poorly made food.
“Sometimes I do go property having a stomach ache,” he says. “But it has always been very gentle.”
Rani, a 32-year-old revenue promotion woman here, says she usually will get stared at and chatted up at her regular warteg because of your way she has to dress for her job.
But it is all really worth it, she provides, because she is aware of the owners, an elderly married couple.
“Not to sound as well melodramatic, but occasionally being in the location that is familiar assists you cope using the stresses of your position, like previous males flirting with you,” Rani says.
“And when you are at that acquainted location, being served acquainted food, although you’ve to shell out for it, it is a comforting feeling.”
The Wonders of the Indonesian WartegTasa Nugraza Barley & Marcel Thee | December 09, 2010
http://www.thejakartaglobe.com/food/the-wonders-of-the-indonesian-warteg/410804(JG Photo/Safir Makki) Wartegs serve up a wide variety of home-style dishes at very low prices. Many people eat at
these small, informal eateries several times a week, lured in not only by the cheap food, but also by the homey
atmosphere.
1That humble species of eatery known as the warteg may not be known for gourmet cuisine or even cleanliness, but there is something about these informal, inexpensive food stalls that keeps customers coming back time and time again.
For millions of low-income people, warteg food is a weekly staple, and the stalls are a common sight in most cities, with Jakarta being no exception.
Unlike the sometimes impersonal experience of eating at a restaurant, a meal at a warteg can feel very much like a family affair.
The food is often prepared and served by women whom customers refer to as mbok (sister) or ibu (mother).
Many people enjoy the homey atmosphere of wartegs and the notion that they are eating familiar, home-cooked food.
Many wartegs in Jakarta serve Javanese dishes such as fried and grilled chicken, fish, tempeh, tofu and vegetables, and, of course, rice.
The food usually comes in large portions, and the prices are low. Dining at even the most modest mall food court would be at least twice as expensive.
Warteg is short for “warung Tegal,” (literally Tegal store), but it’s not clear whether people from Tegal, a small city in Central Java, were actually the first ones to start running such food stalls.
Budi Indrawan, whose job as a Jakarta taxi driver keeps him on the move all day, says he always tries to find a warteg for lunch or dinner.
“It’s not that they have the tastiest food, it’s simply because they are cheap,” he says.
“Unlike other traditional food stalls, you can find lots of different dishes at affordable prices,” he says, adding that his bill for a meal at a warteg is usually less than Rp 15,000 ($1.70).
Maryono, who works at a store in the capital, agrees that it is the price that keeps him a warteg regular.
“If I were rich I would surely eat at malls or fancy restaurants where they serve super-expensive and tasty food,” he says. “But right now, I would say that wartegs are the best for me.”
With cheap prices the main draw for customers, last week’s announcement that the Jakarta administration planned to impose a 10 percent tax on food stalls in the capital had both warteg owners and their loyal customers worried.
It was announced that the tax would apply to any warteg with annual revenue of Rp 60 million or more, as well as restaurants, cafes, bars and small catering businesses.
But following the public outcry, Jakarta Governor Fauzi Bowo agreed to postpone the new tax indefinitely.
“I want the policy to be reviewed before imposing it,” the governor said. “I don’t want to make a decision that hurts the little people.”
Burhanudin, who works in Tebet, South Jakarta, eats at wartegs around twice a week, and says it is the low prices that keep him coming back.
While he enjoys eating at fast-food outlets or “fancier Indonesian restaurants” with his friends, he says eating at such establishments on a regular basis would not be financially feasible. “I’d be broke if I did that every day,” he adds.
Burhanudin says that while the taste of the food at the different wartegs in the city is basically the same, the more popular ones usually have a greater choice of food and are cleaner.
“Eating at a warteg is not about eating delicious food. It’s simply about filling your stomach,” he says, adding that the amount of rice that comes with each meal guarantees that he always goes home full.
Nuvish Aditya, a freelance music engineer, is another warteg fan whose food budget is rarely in accordance with his large appetite.
He loves the fact that at a warteg you are guaranteed “a towering mound of rice.”
“For large guys like me, wartegs are the answer,” he says, jokingly patting his belly.
“And because I have to eat lunch and dinner outside due to my working hours, it’s impossible for me to eat at restaurants or food courts all the time.”
Warteg enthusiasts are also willing to overlook the establishments’ sometimes seeming disregard for hygiene.
After all, they will tell you, most locals are used to dining at dodgy food stalls and carts by the side of the road.
However, bacteria- infested warteg food has been known to conquer even the strongest stomach.
Fani Tiara, a 17-year-old student, says she prefers going to wartegs because of what she calls her “3M rule,” which stands for: murah (cheap), mulia (glorious) and murus (diarrhea) — a humorous reference to the questionable cleanliness of many such establishments.
“You know how dirty they mostly are, with flies hovering above most of the dishes. But you still go anyway, because of how cheap the food is,” Fani says.
Doni Kuswandi, a sales officer in the city, says you just have to “go for it” when dining at a warteg.
He adds that every warteg lover eventually builds up something akin to an immunity to “dirty food.”
Doni says he’s been eating at a warteg near his office regularly for the past five years, and has yet to suffer any serious gastric problems.
He considers it proof of his immunity to poorly made food.
“Sometimes I do go home with a stomach ache,” he says. “But it has always been very mild.”
Rani, a 32-year-old sales promotion girl here, says she usually gets stared at and chatted up at her regular warteg because of the way she has to dress for her job.
But it’s all worth it, she adds, because she knows the owners, an elderly married couple.
“Not to sound too melodramatic, but sometimes being in a place that’s familiar helps you cope with the stresses of your job, like old men flirting with you,” Rani says.
“And when you’re at that familiar place, being served familiar food, even though you have to pay for it, it’s a comforting feeling.”
PKS Dukung Pajak Warteg, Tapi ..."Jadi, itu kan berdasarkan Peraturan Daerah yang menerjemahkan Undang-undang Perpajakan."
KAMIS, 2 DESEMBER 2010, 16:37 WIB
Arfi Bambani Amri
Atribut PKS (VivaNews/ Tri Saputro)
BERITA TERKAIT
Dipajaki, Ini Komentar Para Pelanggan Warteg Prijanto: Kalau Bikin Sengsara Itu Tidak Baik Dipajaki, Pengusaha Warung Keberatan Pajak Warteg Demi Keadilan? Warteg Warmo Tebet Protes Kena Pajak
VIVAnews - Fraksi Partai Keadilan Sejahtera di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta menyatakan
memahami upaya mengenakan pajak atas rumah makan, restoran dan warung.
Politisi PKS yang menjadi Wakil Ketua DPRD Jakarta, Triwisaksana, menjelaskan, pajak hanya
dikenakan pada warung yang memiliki omzet lebih dari Rp60 juta per tahun.
"Jadi, itu kan berdasarkan Peraturan Daerah yang menerjemahkan Undang-undang Perpajakan," kata
Sani, panggilan Triwisaksana, saat dihubungi VIVAnews, Kamis 2 Desember 2010. Sama seperti
sebelumnya, restoran dan rumah makan dikenakan pajak 10 persen, ujarnya.
"Ketika pembahasan, Dinas Pajak menceritakan, ada kecenderungan rumah makan berganti nama jadi
warung yang tak terkena pajak. Jika tidak dikenakan pajak juga atas rumah makan yang bernama
warung, nanti ada prinsip ketidakadilan. Atau rumah makan berganti nama ke warung, untuk
kemudian tidak kena pajak," katanya.
Lalu, kata Sani, Dinas Pajak mengusulkan, pendekatannya jangan berdasarkan nama. "Kalau nama
bisa dimain-mainkan," kata Sani. "Pendekatan omzet," katanya. "Jadi semua rumah makan, apa pun
namanya, mau kafe atau warung, omzetnya di atas Rp60 juta per tahun."
Jadi, PKS mendukung pajak atas warung Tegal yang banyak terdapat di Jakarta? "Jika berpenghasilan
di atas Rp60 juta, iya," kata Sani. "Tapi, tentu harus dilakukan evaluasi terlebih dulu. Apakah
pendekatan omzet sudah cukup, kemudian kedua, apakah konsumen tidak merasa terbebani,"
katanya.
Sani hanya memastikan, omzet warteg diketahui melalui pengukuran sendiri atau self-
assessment seperti atas wajib pajak pribadi. "Kalau restoran berizin harus ada faktur," katanya.
Sebelumnya, Kepala Bidang Peraturan dan Penyuluhan Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta, Arif Susilo,
mengatakan pemberlakuan pajak warung makan, termasuk warteg sebesar 10 persen itu karena jenis
usaha ini dinilai sudah masuk dalam prasyarat obyek pajak yang diatur dalam Undang-Undang No 28
tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Arif memprediksi, dengan menerapkan pajak warteg, potensi pendapatan pajak akan bertambah Rp50
miliar. Apalagi jumlah warteg di Jakarta saat ini sudah sekitar 2.000 unit. (umi)
• VIVAnews
Standar Pajak Warteg Dinaikkan
Rabu, 5 Januari 2011 - 04:32 wib
Ilustrasi (Foto: Koran SI)
JAKARTA - Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mengubah standar minimum wajib pajak bagi restoran dan
sejenisnya termasuk warung tegal (warteg).
Rencananya, ketentuan pajak 10 persen akan dikenakan terhadap restoran yang beromzet Rp500.000 per hari atau
Rp182 juta setahun. Semula, restoran maupun warung makan yang beromzet Rp167.000 per hari atau Rp60 juta
setahun dikenai ketentuan tersebut. Namun, karena banyak menuai protes dari publik rencana tersebut dibatalkan.
Kepala Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta Iwan Setiawandi mengatakan, ketentuan tersebut berlaku secara umum,
tidak hanya bagi pengusaha warteg. Menurut dia, pengusaha makanan dan minuman berbayar seperti kantin,
kafetaria, warung makan di pinggir jalan juga dikenai pajak 10 persen jika omzetnya mencapai Rp500.000.
“Awalnya penetapan omzet Rp167.000 per hari dianggap LSM (lembaga swadaya masyarakat) dan YLKI (Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia) sangat kecil,maka kebijakan ini ditunda dan mungkin diubah menjadi Rp500.000
atau bahkan Rp700.000 per hari,” kata Iwan di Jakarta kemarin.
Pihaknya menargetkan, ketentuan ini berlaku efektif mulai 2012. Iwan menambahkan, Pemprov DKI mengalami
kerugian 10 persen dari total pendapatan sektor pajak tahun 2011 sebesar Rp900 miliar.
Sementara itu, Ketua Harian Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia (MKPI) Riant Nugroho meminta besaran
minimum penerimaan kena pajak harus ditetapkan secara benar dan tidak semena- mena.
Menurut dia, rencana menerapkan pajak 10 persen bagi rumah makan yang beromzet Rp500.000 per hari
merupakan tindakan sewenang- wenang. “Untuk membuat fair, maka kita perlu melihat kriteria usaha kecil antara lain
memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp200 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, dan memiliki
hasil penjualan tahunan paling banyak Rp1 miliar,”ungkap Riant.
Selain itu, pihaknya menilai pemerintah belum mempunyai keahlian yang cukup dalam merumuskan kebijakan publik
dengan memanfaatkan metode “sensitivitas kebijakan”.Yakni, semacam simulasi yang dibuka kepada stakeholder
berapa beban finansial yang diberikan dan berapa beban ekonomi secara keseluruhan kepada pelaku dan
pengguna.
Menurut Riant,dengan penetapan pajak 5 persen saja, harga makanan dapat naik sampai 20 persen. Misalnya, di
Malaysia ketika terjadi kenaikan harga gula dan bahan bakar kurang dari 5 persen, justru mendorong kenaikan harga
makanan sampai 25 persen. “Pasar bukan sektor yang dapat diatur pemerintah, jadi jika ada kebijakan yang akan
mengganggu pasar, pemerintah harus lebih hatihati dan cermat,” terangnya.
Sementara itu, Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD DKI Jakarta sedang mengkaji penerapan pajak restoran
dan rumah makan sebesar 10 persen yang mulai berlaku tahun ini. Namun, Balegda memastikan ketentuan tersebut
tidak berlaku untuk warteg.
Ketua Balegda Triwisaksana mengatakan, kajian tersebut dilakukan setelah Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI
Jakarta mengembalikan perda mengenai pajak restoran. Namun, Balegda belum bisa melakukan kajian secara
mendalam karena surat dari Pemprov DKI Jakarta baru diterima. Meski demikian, Politikus Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) ini meminta pengusaha warteg tidak resah dengan aturan pajak 10 persen bagi pengusaha yang
berpenghasilan di atas Rp60 juta.
“Selama pajak restoran ini (yang lama) berlaku, maka warteg dan warung kecil lainnya tidak dikenakan. Jadi, tidak
perlu khawatir,” kata Triwisaksana. Wakil Ketua DPRD DKI ini berjanji dalam pembahasan mengenai pajak restoran
tidak akan memberatkan masyarakat kecil.
(Koran SI/Koran SI/ful)
Pajak Warteg Tidak Bisa Semena-menaEditor : yuli
Jumat, 3 Desember 2010 | 07:20 WIB
KOMPAS/DANU KUSWORO
Suasana Warteg Warmo di Tebet, Jakarta Selatan.
TERKAIT:
DPRD Tolak Pajak Warteg
Tanpa Bon, Apa Tak Dikorupsi?
Omzet Warteg Harus Dikaji Ulang
Warteg Kena Pajak, Banyak Kongkalingkong
Jakarta Akan Tarik Pajak Juragan Warteg
JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah daerah tidak dapat semena-mena mengenakan pajak pada
usaha mikro dan kecil yang memiliki peredaran usaha atau omzet di bawah Rp 300 juta per tahun.
Pertimbangannya, pengusaha seperti itu sebaiknya tidak dibebani pajak apapun. Atas dasar itu,
pajak atas warung tegal pun tidak bisa diterapkan secara merata, karena harus melihat omzetnya
terlebih dahulu.
Hal itu dikatakan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI sekaligus mantan Ketua Panitia Khusus Rancangan
Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), Harry Azhar Azis di Surabaya, Jumat
(3/11/2010).
Menurut Harry, sebagai usaha rumah makan, warung tegal (warteg) bisa dikenakan pajak restoran
yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi. Namun, tidak semua warteg bisa dikenakan pajak
restoran karena hanya usaha atau bisnis beromzet Rp 300 juta ke atas per tahun yang bisa dipajaki.
"Jika masalah omzet itu tidak terpenuhi, tidak ada basis hukum dan undang-undang yang dapat
mendukungnya. Aturannya menjadi lemah," katanya.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak memberlakukan pengenaan Pajak Penghasilan atau PPh
pada warung atau tempat usaha yang dimiliki wajib pajak orang pribadi, mulai dari usaha rumahan
hingga ke mal.
Setiap tempat usaha wajib membayar PPh sebesar 0,75 persen dari omzet atau jumlah peredaran
setiap bulan sesuai dengan ketentuan Pasal 25 Undang-undang PPh Nomor 36 Tahun 2008.
Ini ditetapkan karena banyak orang Indonesia yang memiliki usaha lebih dari satu tempat. Oleh
karena itu, pemungutan pajaknya perlu ditertibkan agar pengusahanya memiliki kepastian
pembayaran, dan pemerintah memiliki kepastian penerimaan negara.
Wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu (WP OPPT) ini mencakup orang yang membuka
warung (usaha jasa) di garasi rumahnya hingga pedagang yang memiliki satu kios atau lebih di
berbagai tempat, baik di mal maupun rumah toko (ruko). Oleh karena itu juga termasuk warteg.
Penghasilan yang diperoleh dari setiap kios merupakan obyek pajak yang harus dibayar secara
berangsur-angsur setiap bulan (PPh Pasal 25) agar tidak memberatkan wajib pajak tersebut.
Setelah satu tahun, wajib pajak tersebut wajib melaporkan surat pemberitahuan pajak tahunan
dengan melampirkan surat setoran pajak (SSP) Pasal 25 (pajak bulanan).
SSP PPh Pasal 25 itu akan mengurangi jumlah PPh tahunan yang akan dibayarnya setiap bulan
Maret. Ini sesuai dengan prinsip PPh Pasal 25, yakni mendekati jumlah pembayaran PPh
tahunannya. Namun, tidak semua warung dikenai kewajiban membayar PPh Pasal 25.
Jika jumlah peredaran di warung itu lebih kecil daripada penghasilan tidak kena pajak (PTKP), yakni
Rp 1,32 juta per bulan, pemilik warung itu tidak termasuk subyek pajak sehingga dibebaskan dari
kewajiban membayar PPh Pasal 25.
Republika OnLine » Breaking News » Metropolitan
Pajak Warteg akan Sengsarakan Rakyat dan PengusahaKamis, 02 Desember 2010, 19:27 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA-–Rencana Pemprov DKI Jakarta menenakan pajak terhadap warteg menuai kontroversi. Sebab, kebijakan ini dinilai akan menyengsarakan rakyat dan pengusaha. Pengamat kebijakan public, Andrinof Chaniago menilai penerapan itu sebaiknya diberlakukan kepada semua jasa boga yang beromzet di atas Rp60 juta.
“Idealnya, pengenaan pajak restoran ini untuk jasa boga yang beromzet sekurang-kurangnya Rp150 juta per tahun,” katanya. Jika suatu kebijakan menyengkut kalangan ekonomi menengah, Pemprov harus merumuskan secara lebih hati-hati dengan mempertimbangkan dampak ekonomi dan kesejahteraan.
Menurutnya, kenaikan itu akan sangat diarasakan pembeli usaha jasa boga berskala kecil dibandingkan pembeli usaha jasa boga berskala menengah. Maka, lanjutnya, tetapi lebih tepat mengenakan retribusi yang selama ini sudah berjalan dan terasa langsung di masyarakat. Contohnya retribusi kebersihan dan keamanan.
Penerapan target penerapan pajak restoran yang mencapai Rp50 miliar pun dinilainya terlalu besar. Yang lebih penting adalah dampak dari penerimaan pajak tersebut. “DKI harus bisa menunjukkan dampak signifikan terhadap pembangunan yang nantinya menggunakan dana pajak restoran,” katanya.
Seperti diberitakan sebelumnya, jasa tata boga termasuk warteg di DKI Jakarta akan dikenai pajak. Rencananya, hal itu akan berlaku mulai 1 Januari 2011. DPRD DKI telah menyetujui rencana penerapan pajak restoran terhadap segala jenis tata boga di Jakarta sebesar 10 persen karena sesuai dengan amanat Undang-Undang 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Di dalamnya disebutkan warung, kafetaria, dan semua yang menyediakan jasa makanan dan minuman, wajib kena pajak. Dasar pengenaan pajak pada warteg adalah pajak restoran dan peraturan ini
sebenarnya sudah berlaku lama. Tetapi akan dikembangkan lagi oleh Pemprov.
Diharapkan usaha-usaha tersebut dapat lebih memberikan kontribusi terhadap pembangunan di Jakarta. Saat ini, peraturan itu sudah berada di meja Kementerian Dalam Negeri untuk disahkan. Setelah itu akan dikembalikan ke tangan Gubernur untuk dibuatkan Pergubnya.
Kepala Bidang Peraturan dan Penyuluhan Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta, Arif Susilo mengatakan pihaknya memprediksikan dari perluasan pajak restoran dan rumah makan ini, potensi pajak yang akan didapatkan dari jenis usaha warteg akan bertambah Rp 50 miliar.
Arif menegaskan, Dinas Pelayanan Pajak DKI akan mengklarifikasi warteg dengan melakukan pendataan warteg yang memiliki penghasilan Rp 60 juta ke atas dan di bawah Rp 60 juta per tahunnya. Setelah didapatkan data tersebut, maka akan dilakukan sosialisasi kepada asosiasi pengusaha rumah makan warteg.
Menurutnya, sebagian besar pemilik usaha rumah makan warteg di Jakarta banyak yang sudah mapan sehingga kebijakan ini tidak terlalu menuai kontroversi. “Kami berharap kebijakan ini bisa dilaksanakan dengan baik karena dananya akan dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk prasarana publik,” imbuhnya.
Dia juga mengimbau agar warteg yang memiliki penghasilan diatas Rp 60 juta per tahun dengan sukarela mendaftarkan dirinya ke Dinas Pelayanan Pajak. Kemudian, pihaknya akan melakukan pemantauan dan monitoring dengan melihat catatan keuangan pengusaha tersebut.
Jika mereka memenuhi syarat, akan diberikan nomor pokok wajib pajak atau NPWP. “Nanti mereka memberikan setoran pajak ke kantor badan pengelola keuangan daerah, melalui unit kas daerah yang ada di kecamatan. Nanti kita akan kembangkan lagi kantor-kantor ini agar ada di seluruh kecamatan,” paparnya.
Kepala Dinas Pelayanan Pajak Pemprov DKI Jakarta Iwan Setiawandi mengatakan warung yang beromzet tinggi bakal didata. Ia berdalih penerapan pajak ini diberlakukan demi azas keadilan. Sebab, selama ini pajak tersebut hanya diberlakukan bagi restoran. Padahal, ada juga warteg yang omzetnya sangat besar. Ia mencontohkan warteg Warmo yang terletak di kawasan Tebet, Jakarta Selatan.
Ia menegaskan tak semua warteg dikenai pajak ini, yaitu bagi mereka yang omzetnya lebih dari Rp60 juta/tahun. “Jadi kalau ada warung bubur kacang ijo dan Indomie rebus yang omzetnya di atas itu kena pajak, juga warung bakso, soto, mie ayam yang dia menyewa tempat omzetnya di atas Rp 60 juta/tahun, mereka juga kena pajak," papar Iwan
Seperti diberitakan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, mulai tahun depan diberlakukan pajak 10 persen untuk semua jenis rumah makan dengan omzet Rp 60 juta per tahun atau Rp 5 juta per bulan atau sekitar Rp 167.000 per hari. Pemprov juga mengimbau agar restoran yang memenuhi ketentuan segera mendaftar sebagai wajib pajak. JAKARTA, KOMPAS.com
top related