outlook pertanian 2010-2025 - pse.litbang.pertanian.go.id · kebijakan pembangunan pertanian...
Post on 24-Jul-2019
228 Views
Preview:
TRANSCRIPT
0
OUTLOOK PERTANIAN 2010-2025
Oleh:
Prajogo U. HadiSri Hery SusilowatiMuchjidin RachmatDewa K.S. Swastika
Reny KustiariSri Nuryanti
PUSAT SOSIAL EKONOMI DANKEBIJAKAN PERTANIANBADAN PENELITIAN DAN
PENGEMBANGAN PERTANIANKEMENTERIAN PERTANIAN
2011
0
OUTLOOK PERTANIAN 2010-2025
Oleh:
Prajogo U. HadiSri Hery SusilowatiMuchjidin RachmatDewa K.S. Swastika
Reny KustiariSri Nuryanti
PUSAT SOSIAL EKONOMI DANKEBIJAKAN PERTANIANBADAN PENELITIAN DAN
PENGEMBANGAN PERTANIANKEMENTERIAN PERTANIAN
2011
0
OUTLOOK PERTANIAN 2010-2025
Oleh:
Prajogo U. HadiSri Hery SusilowatiMuchjidin RachmatDewa K.S. Swastika
Reny KustiariSri Nuryanti
PUSAT SOSIAL EKONOMI DANKEBIJAKAN PERTANIANBADAN PENELITIAN DAN
PENGEMBANGAN PERTANIANKEMENTERIAN PERTANIAN
2011
1
I. PENDAHULUAN
Kebijakan pembangunan pertanian lingkup Kementerian Pertanian mencakup empat
subsektor yaitu Subsektor Tanaman Pangan, Subsektor Hortikultura, Subsektor Perkebunan
dan Subsektor Peternakan. Target-target utama yang ingin dicapai oleh Kementan adalah:
(1) Pencapaian swasembada untuk gula, kedelai dan daging sapi dan swasembada
berkelanjutan untuk padi dan jagung; (2) Peningkatan diversifikasi pangan; (3) Peningkatan
nilai tambah, daya saing dan ekspor; dan (4) Peningkatan kesejahteraan petani. Di tingkat
makro, sasaran yang ingin dicapai mencakup PDB, neraca perdagangan, investasi
pertanian, penyerapan tenaga kerja dan nilai tukar petani (Kementan, 2010).
Banyak faktor yang menentukan keberhasilan pencapaian target-target tersebut
diatas. Salah satu cara untuk melihat potensi pencapaian target-target tersebut adalah
melakukan analisis outlook pertanian. Sehubungan dengan itu, maka tujuan kegiatan
penyusunan outlook komoditas pertanian ini, sesuai dengan Surat Penugasan Kepala Pusat
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Nomor 1026/KP.440/A.9/10/2011 adalah: (1)
Melakukan analisis kinerja komoditas pertanian periode 2000-2010; (2) Melakukan analisis
prospek komoditas pertanian jangka pendek periode 2010-2014 dan jangka panjang periode
2011-2025; dan (3) Menyusun buku “Outlook Komoditas Pertanian 2011-2025”.
Keluaran yang diharapkan dari analisi ini adalah satu set data dan informasi
mengenai: (1) Kinerja komoditas pertanian periode 2000-2010; (2) Prospek komoditas
pertanian jangka pendek periode 2010-2014 dan jangka panjang periode 2011-2025; dan
(3) Tersusunnya buku “Outlook Pertanian 2010-2025”.
Analisis outlook ini dibatasi pada variabel-variabel sebagai berikut: (1) Untuk
tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan adalah luas areal, produksi, ekspor, impor,
PDB, investasi dan penyerapan tenaga kerja; dan (2) Untuk peternakan.adalah populasi,
jumlah pemotongan (khusus untuk ternak besar seperti sapi potong, sapi perah, kerbau dan
kuda, dan ternak kecil seperti kambing, domba dan babi), produksi daging (ternak besar,
ternak kecil, dan unggas), telor (ayam dan itik), dan susu, serta ekspor, impor, PDB,
investasi dan penyerapan tenaga kerja.
Dengan adanya hasil analisia outlook ini akan dapat diketahui perkiraan
perkembangan luas areal, produksi, ekspor, impor, PDB, investasi dan penyerapan tenaga
kerja subsektor tanaman tanaman pangan, subsektor hortikultura, dan subsektor
perkebunan, serta populasi, jumlah pemotongan, produksi daging, telor dan susu, ekspor-
impor, PDB, investasi dan penyerapan tenaga kerja pada subsektor peternakan.
2
II. PENDEKATAN
Kegiatan penyusunan outlook komoditas pertanian ini dibatasi hanya mencakup
proyeksi kuantitatif yang menyangkut produksi, PDB, neraca perdagangan, investasi, dan
penyerapan tenaga kerja pertanian. Pendekatan yang digunakan untuk proyeksi produksi
cukup sederhana, yaitu dengan mempertimbangkan trend (historical trend) periode 2000-
2010.
Namun trend tersebut tidak bisa digunakan begitu saja untuk memproyeksikan
produksi periode 2010-2014 dan periode 2011-2025 karena dua alasan. Pertama, pola
perkembangan produksi, dan lain-lain, selama periode 2000-2010 mungkin bervariasi,
sehingga perlu dilihat scatter diagram selama periode tersebut. Berdasarkan scatter diagram
tersebut, kemudian dipilih segmen waktu terakhir yang menunjukkan perkembangan yang
lebih smooth. Dengan data segmen waktu terakhir ini kemudian dihitung trendnya untuk
digunakan sebagai basis proyeksi produksi periode berikutnya. Kedua, adanya faktor
pembatas ekspansi produksi, utamanya ketersediaan lahan pertanian yang makin terbatas.
Karena itu, dalam membuat proyeksi, perlu dibuat skenario penurunan trend setiap tahun,
tergantung pada jenis komoditasnya, terlepas dari target-target pertumbuhan yang telah
ditetapkan pemerintah, termasuk target laju pertumbuhan PDB sektor pertanian.
Metode penghitungan trend rata-rata per tahun menggunakan persamaan semi-
logaritma karena dengan cara ini variasi antar tahun diperhitungkan secara statistik. Metode
pertumbuhan geometric yang hanya menggunakan data awal dan akhir periode tidak
digunakan karena tidak memperhitungkan variasi antar tahun.
Untuk menghitung trend pada segmen waktu terpilih untuk proyeksi (misalnya 2005-
2010), maka hanya data dalam segmen waktu ini yang digunakan. Sementara untuk
proyeksi 2010-2014 dan 2011-2025 digunakan pendekatan sebagai berikut: (1) Gunakan
koefisien trend hasil penghitungan trend untuk segmen waktu terakhir terpilih, misalnya
5%/tahun, sebagai basis trend awal; dan (2) Kurangi trend tersebut sebesar 5% untuk trend
tahun 2011 sehingga menjadi 0.95*5% = 4.75%/tahun, dan untuk tahun 2012 adalah
0.95*4.75% = 4.51%, dan seterusnya untuk tahun-tahun berikutnya. Persentase penurunan
trend tersebut bisa lebih besar atau lebih kecil dari 5%, dan bisa juga dipercepat, tergantung
pada kondisi masing-masing komoditas. Untuk komoditas perkebunan tanaman keras,
dimana perluasan areal menggunakan areal hutan, penurunan trend akan lebih cepat pada
periode 2020-2025 dibanding periode sebelumnya karena makin banyak kritik dari dunia
internasional terhadap pembukaan hutan di Indonesia untuk perkebunan. Untuk komoditas
pangan dan hortikultura juga akan mengalami hal yang serupa. Trend produksi bisa saja
dipercepat melalui perbaikan teknologi, namun produktivitas tanaman ada batas
3
maksimumnya sesuai dengan sifat geneticnya, sehingga trend produktivitas juga ada
batasnya dan pada suatu saat produktivitas akan stagnan.
Untuk membuat proyeksi PDB, perlu dibuat analisis regresi logaritma ganda terlebih
dahulu dengan menggunakan data tahun 2000-2010, dimana total produksi menjadi variabel
penjelas. Pendekatan ini mengambil logika bahwa besarnya PDB dipengaruhi oleh total
produksi. Mungkin saja metode tersebut kurang tepat, karena seharusnya menggunakan
jumlah nilai produksi bukan jumlah kuantitas produksi. Tetapi karena data harga produsen
tidak selalu ada maka metode tersebut hanya untuk pendekatan saja sehingga
penghitungan proyeksi PDB ada dasarnya, walaupun kasar (tidak diambil begitu saja dari
langit). Dengan menggunakan parameter elastisitas total produksi dan laju pertumbuhan
total produksi, maka proyeksi PDB dapat dihitung. Selanjutnya, kebutuhan investasi dan
penyerapan tenaga kerja di masing-masing subsector dapat diperoleh dengan menghitung
elastisitas investasi atau jumlah penyerapan tenaga kerja terhadap jumlah produksi dalam
subsector yang bersangkutan dikalikan dengan laju pertumbuhan total produksi.
4
III. KINERJA 2000-2010
3.1. Komoditas Pangan
3.1.1. Perkembangan Luas Panen
Tabel 3.1.1. Perkembangan Luas Panen Komoditas Tanaman Pangan Utama diIndonesia, 2000-2010 (ha).
Tahun Padi Jagung Kedele K.Hijau K.Tanah Ubi Jalar Ubi Kayu
2000 11,793,575 3,500,318 824,484 131,312 683,554 194,262 1284,040
2001 11, 89,997 3,285,866 678,848 339,252 654,838 181,926 1317,912
2002 11,521,166 3,109,448 544,522 313,563 646,953 177,275 1276,533
2003 11, 488,034 3,358,511 526,796 344,558 683,537 197,455 1244,543
2004 11,922,974 3,356,914 565,155 311,863 723,434 184,546 1255,805
2005 11,839,060 3,625,968 621,541 318,337 720,526 178,336 1213,460
2006 11,86,430 3,346.000 580,534 309,103 706,753 176,507 1227,459
2007 12,147,637 3,630.000 459,116 306,207 660,480 176,932 1201,481
2008 12,327,425 4,001,724 590,956 278,139 633,922 174,561 1204,933
2009 12,883,576 4,160,659 722,791 288,125 622,149 183,874 1175,666
2010 13,118,120 4,133,785 672,242 258,157 620,563 181,073 1183,047Laju (% / th):2000-2005 0.36 0.91 -5.70 12.20 1.76 -0.79 -1.29
2005-2010 2.27 4.02 3.72 -3.87 -3.34 0.53 -0.72
2000-2010 1.18 2.44 -0.70 1.93 -0.76 -0.56 -1.03
3.1.2. Perkembangan Produktivitas
Tabel 3.1.2. Perkembangan Produktivitas Komoditas Tanaman Pangan Utama diIndonesia, 2000-2010 (ku/ha).
Tahun Padi Jagung Kedelai K Tanah K Hijau U Kayu U Jalar2000 44.01 27.65 12.34 10.77 8.95 125.30 94.08
2001 43.88 28.45 12.18 10.82 8.87 129.41 96.62
2002 44.69 30.88 12.36 11.10 9.19 132.49 99.94
2003 45.38 32.41 12.75 11.50 9.73 148.84 100.83
2004 45.36 33.52 12.80 11.58 9.95 154.68 103.05
2005 45.74 31.78 13.00 11.61 10.08 159.22 106.37
2006 46.20 34.70 12.88 11.86 10.23 162.83 105.05
2007 47.05 36.60 12.91 11.95 10.53 105.01 106.64
2008 48.94 40.78 13.13 12.15 10.72 180.57 107.80
2009 50.00 42.30 13.50 12.15 10.79 187.50 107.48
2010 50.10 44.30 13.70 12.56 11.30 202.20 113.27Laju
2000-2010(%/th)
1.39 4.60 1.04 1.46 2.36 3.78 1.56
5
3.1.3. Perkembangan Produksi
Tabel 3.1.3. Perkembangan Produksi Komoditas Tanaman Pangan Utama di Indonesia,2000-2010 (ton).
Tahun Padi Jagung Kedele K. Hijau K.Tanah Ubi Jalar Ubi Kayu2000 51,898,900 9,676,900 1,017,600 289,880 736,483 1,827,687 16,089,000
2001 50,460,800 9,347,200 826,900 301,020 708,770 1,749,070 17,054,600
2002 51,489,700 9,654,100 673,100 288,090 718,071 1,771,642 16,913,100
2003 52,137,600 10,886,400 671,600 335,220 786,000 1,991,000 18,523,800
2004 54,088,500 11,252,200 723,500 310,410 837,500 1,901,800 19,424,700
2005 54,151,100 11,523,900 808,100 320,960 836,300 1,896,970 19,321,200
2006 54,454,937 11,609,463 747,611 316,134 838,096 1,854,238 19,986,640
2007 57,157,435 13,287,527 592,534 322,487 789,089 1,886,852 12,617,000
2008 60,325,925 16,317,252 775,710 298,059 770,054 1,881,761 21,756,991
2009 64,398,890 17,629,748 974,512 286,234 763,527 1,947,311 21,990,381
2010 65,980,670 17,844,676 905,015 291,705 779,228 2,051,046 23,918,118Laju (%/th):2000-2005 1.24 4.43 -4.44 2.15 3.50 1.58 3.99
2005-2010 4.41 4.41 4.66 -2.44 -1.88 1.53 5.42
2000-2010 2.58 6.91 0.25 -0.12 0.73 0.96 2.74
3.1.4. Perkembangan Perdagangan
Tabel 3.1.4. Perkembangan Nilai Ekspor Komoditas Tanaman Pangan Utama diIndonesia, 2000-2010 (US$).
Tahun Beras Jagung Kedele KTanah Ubijalar UbiKayu2000 11,129,300 4,984,000 159,000 2,201,862 1,888,384 10,750,6722001 10,778,871 10,500,000 358,000 8,216,617 1,964,629 16,627,3232002 4,584,327 3,334,000 4,508,611 6,871,834 3,721,624 10,036,3082003 720,870 5,517,000 6,303,174 9,153,232 3,821,644 3,355,0832004 1,462,186 9,074,000 6,703,110 7,655,578 5,208,844 57,345,8592005 9,087,080 9,048,000 3,152,573 14,214,662 11,113,460 12,639,6502006 625,854 4,305,603 8,405,990 10,743,155 6,259,034 16,683,5692007 905,665 18,503,000 32,049,014 5,715,626 6,197,464 43,426,3382008 935,086 28,906,247 8,252,100 14,070,293 6,593,920 35,871,3782009 2,036,774 19,219,000 8,030,426 11,050,955 6,052,634 32,371,4192010 435,460 11,235,027 5,709,300 11,544,784 4,768,308 28,595,772
Laju (%/th)2000-2010 -25.48 13.31 32.40 10.02 10.91 13.88
6
Tabel 3.1.5. Perkembangan Nilai Impor Komoditas Tanaman Pangan Utama di Indonesia,2000-2010 (US$).
Tahun Beras Jagung Kedele KTanah Ubijalar UbiKayu2000 320,788.294 157,949.000 557,148,000 13,391,032 5,214.000 02001 135,968.439 125,512.000 494,232,000 36,965,470 0 10,084,3972002 344,929.303 137,982.000 582,475,032 45,613,311 5,182.000 5,000,1622003 294,610.273 168,658.000 706,753,132 43,147,215 0 33,563,6422004 64,948.048 177,675.000 967,957,301 45,707,875 2,732.000 10,445,7882005 53,753.361 30,850.000 493,212,716 44,086,910 16,372.000 24,632,5092006 133,905.420 277,497.733 809,055,650 59,526,740 98,493.000 70,284,4892007 157,722.748 151,613.000 1,200,950,532 48,273,073 123,249.000 77,822,9962008 123,783.147 87,395.332 732,721,934 102,529,656 7,275.000 57,948,3912009 107,954.608 107,379.000 647,702,910 179,108,665 49,649.000 49,912,3482010 209,442,732 409,623,035 758,387,652 199,694,730 40,754 119,643,541
Laju (%/th)2000-2010 25.35 34.13 3.81 15.33 27.57 29.19
3.1.5. Perkembangan Produk Domestik Bruto
Tabel 3.1.6. Perkembangan PDB Tanaman Pangan di Indonesia,2000-2010.
Tahun PDB PertSempit (Rp’ m)
PDB Pangan(Rp’m)
Kontribusi(%)
2000 168,672 111,324 66.002001 175,635 113,020 64.352002 181,905 115,926 63.732003 188,506 119,165 63.222004 193,134 122,612 63.492005 197,959 125,802 63.552006 204,297 129,549 63.412007 211,245 133,889 63.382008 222,146 141,800 63.832009 231,315 149,058 64.442010 236,636 151,750 64.132011* 193,148 125,382 64.91
Laju (%/th)2000-05 3.20 2.532005-010 3.76 4.052000-10 3.34 3.22
7
3.2. Komoditas Hortikultura
3.2.1. Status Komoditas Hortikultura
Tanaman hortikultura meliputi buah-buahan, sayuran, tanaman hias (florikultura),
dan tanaman obat (biofarmaka). Berdasarkan Kepmentan Nomor 511/Kpts/PD.9/2006,
komoditas hortikultura yang perlu ditangani adalah sebanyak 323 jenis komoditas yang
terdiri dari buah-buahan 60 jenis, sayuran 80 jenis, tanaman hias 117 jenis, dan tanaman
obat 66 jenis. Secara umum, komoditas hortikultura bercirikan: jenisnya sangat banyak
tetapi masing-masing jenis dibutuhkan dalam jumlah yang relatif kecil, mudah rusak dan life
time-nya pendek, pada umumnya dibutuhkan dalam bentuk segar, dan tergantung pada
selera konsumen yang cenderung cepat berubah.
Komoditas hortikultura, khususnya buah-buahan dan sayuran, merupakan komoditas
strategis karena perannya dalam pencapaian Pola Pangan Harapan untuk memenuhi
“gizi bermutu dan berimbang”. Komoditas hortikultura selain menjadi sumber karbohidrat,
protein, dan lemak nabati, yang sangat penting adalah juga menjadi sumber vitamin,
mineral, serat, antioksidan, senyawa yang berkhasiat obat, dan senyawa-senyawa
berguna lainnya. Oleh karena itu, produk hortikultura perlu selalu tersedia setiap saat
dalam jumlah yang cukup, mutu yang baik, aman dikonsumsi, harga yang terjangkau, serta
mudah diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Masyarakat sebagai konsumen
merupakan pasar yang sangat potensial, dari tahun ke tahun menunjukkan kenaikan
tingkat konsumsi hortikultura.
Komoditas hortikultura juga merupakan komoditas yang mempunyai nilai ekonomis
yang tinggi, sehingga usaha hortikultura dapat menjadi sumber pendapatan masyarakat
petani dan pelaku usaha lainnya, baik yang skala mikro, kecil, menengah maupun besar.
Usaha hortikultura mempunyai keunggulan karena mempunyai nilai ekonomi tinggi, jenisnya
sangat beragam, ketersedian sumber daya (alam, buatan dan manusia) dan teknologi
pendukung, serta potensi pasar di dalam negeri maupun di luar negeri yang terus
meningkat.
3.2.2. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas
Produk hortikultura buah dan sayur merupakan bahan pangan sebagai sumber
utama vitamin, mineral, serat, antioksidan, dan energi yang sangat baik bagi kesehatan. Di
samping dikonsumsi segar, produk buah, sayuran dan tanaman obat juga berperan sebagai
bahan dasar produk olahan dalam industri pangan dan industri kesehatan.
Produksi komoditas hortikultura dari tahun ke tahun cenderung meningkat khususnya
pada komoditas buah, sayur, tanaman obat dan beberapa jenis tanaman hias. Peningkatan
8
produksi buah dan sayur dilatarbelakangi besarnya permintaan buah dan sayur ini akibat
pertambahan penduduk, peningkatan kesadaran penduduk akan manfaat buah dan sayur
bagi kesehatan serta peningkatan kesejahteraan.
Upaya peningkatan produksi hortikultura dilakukan melalui perluasan area panen dan
peningkatan produktivits. Dalam tahun 2000-2010, secara keseluruhan produksi komoditas
hortikultura mengalami peningkatan dari 17.34 juta ton menjadi 31.18 juta ton, atau
peningkatan sebesar sebesar 3,68%/tahun. Peningatan terbesar terjadi pada kelompok
tanaman hias dengan laju sebesar 10.16%/th, menyusul kelompok Tanaman Obat dengan
laju 5,45 %/tahun, diikuti kelompok Buah sebesar 4,98%/tahun dan kelompok sayuran
sebesar 1.32 %/tahun.
Peningkatan produksi buah dan sayuran terutama karena peningkatan luas panen
yaitu masing masing sebesar 1.97%/tahun dan 2.25%/tahun, sementara produktivitas buah
hanya meningkat 0.58%/tahun dan bahkan produktivitas sayuran menurun 1.28%/tahun.
Pada tanaman obat peningkatan produksi terjadi karean kontribusi luas panen yang
meningkat sebesar 2.72%/tahun dan produktivitas sebesar 2.60%/tahun. Sedangkan
peningkatan Tanaman obat terjadi karena perbaikan teknologi yang mampu meningkatkan
produktivitas yang tinggi yaitu sebesar 15.34%/tahun sementara luas panen cenderung
menurun sebesar 11.05%/tahun (Tabel 3.2.1).
Tabel 3.2.1. Laju Pertumbuhan Luas Panen, Produksi dan ProduktivitasKomoditas Hortikultura Tahun 2000-2010 (%/tahun).
Komoditas Luas panen Produksi ProduktivitasBuah 1.97 4.98 0.58Sayur 2.25 1.32 -1.28Tanaman Obat 2.72 5.45 2.60Tanaman Hias -11.05 10.16 15.34
Total 2.64 3.68 2.68Keterangan: Selengkapnya pada Lampiran 3.2.1 sampai Lampiran 3.2.3.
Dengan produksi diatas, konsumsi buah dan sayuran masing-masing berada pada
tingkat 32,59 kg dan 40,66 kg per kapita per tahun. Tingkat konsumsi tersebut masih di
bawah rekomendasi Organisasi Pangan Dunia (FAO) yaitu 73 kg per kapita per tahun.
Tingkat konsumsi buah dan sayuran masyarakat Indonesia relatif tertinggal dibandingkan
dengan di negara-negara lainnya di Asia Tenggara, apalagi dibandingkan dengan negara-
negara maju. Permintaan konsumen yang rendah mengakibatkan jumlah produksi tidak
mampu didorong hingga melebihi jumlah permintaan. Oleh karena itu, konsumsi komoditas
hortikultura perlu dinaikkan. Produk hortikultura umumnya dikonsumsi dalam bentuk segar,
9
namun demikian pengembangan pasar produk olahan meningkat pesat. Sejalan dengan itu
permintaan bahan baku produk hortikultura untuk industri terus meningkat.
Permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam peningkatan produksi masih
beragam, yang mencakup: (1) Usaha budidaya komoditas hortikultura sebagian besar
berskala mikro dan kecil, bahkan hanya diusahakan sebagai tanaman pekarangan,
lokasinya terpencar, dan penerapan GAP masih sangat terbatas; (2) Kurangnya
ketersediaan lahan yang dapat digunakan untuk perluasan areal tanam, dimana lahan untuk
komoditas hortikultura digunakan secara tumpang sari atau bergiliran dengan tanaman
pangan; (3) Sistem pengairan belum baik, dimana sebagian besar lahan hortikultura masih
tergantung pada hujan; (4) Ketersediaan dan penggunaan benih bermutu varietas unggul
masih terbatas; (5) Keterbatasan penyediaan dan penerapan inovasi tekologi pada
prapanen dan pascapanen, dimana penelitian dan pengembangan masih kurang fokus
dalam mengatasi permasalahan di dalam usaha tani hortikultura; (6) Serangan OPT masih
tinggi, sistem peringatan dini belum berkembang, penerapan PHT masih terbatas,
pengendalian OPT masih banyak yang menggunakan pestisida sehingga residunya dapat
mengganggu kesehatan atau keamanan pangan; (7) Terjadinya perubahan iklim dan cuaca
yang ekstrim; (8) Kondisi infrastruktur yang kurang memadai (jalan, sumber air, sistem
irigasi dan listrik); (9) Kurangnya kemampuan SDM, baik manajerial maupun teknis dalam
usaha hortikultura; dan (10) Kelembagaan pedagang belum berkembang dan pola
hubungan pedagang besar – menengah – kecil – mikro belum tertata secara baik.
3.2.3. Perkembangan Perdagangan
Di pasar domestic, produk hortikultura Indonesia saat ini sebagian besar masuk ke
pasar tradisional. Sementara proporsi produk buah dan sayur domestik di pasar modern
masing-masing baru mencapai sekitar 21,4% dan 16,2%, namun terus tumbuh sejalan
dengan berkembangnya peran pasar modern. Saat ini, setidaknya terdapat 2.000 unit pasar
modern dan 5.000 toko yang memasarkan produk hortikultura. Kinerja perdagangan produk
hortikultura dii pasar domestik tersebut dinilai belum optimal, disamping masih banyak
produk dengn mutu yang belum terstandarkan. Pasokan ke pasar cenderung fluktuatif, yang
sangat dipengaruhi oleh musim sehingga terjadi fluktuasi harga yang sangat tajam antar
waktu. Kondisi rantai tataniaga yang panjang dan menempatkan kekuatan pedagang
mengakibatkan adanya selisih margin yang besar antara harga yang diterima petani dan
harga yang dibayar konsumen.
Dalam perdagangan internasional, Indonesia berada pada posisi net importer yaitu
nilai impor lebih besar dibanding nilai ekspor. Hal ini sejalan dengan masih relatif sangat
kecilnya pangsa nilai ekspor Indonesia dibandingkan dengan pangsa pasar dunia dan
10
pertumbuhan ekspor juga lambat, sementara nilai impor tumbuh cepat yang jauh melebihi
nilai ekspor. Defisit perdagangan terutama terjadi pada kelompok komoditas buah dan
sayur, sementara pada tanaman obat dan tanaman hias menunjukkan surplus perdagangan,
walaupun nilainya lebih kecil daripada nilai defisit perdagangan buah dan sayur. Kinerja
perdagangan komoditas hortikultura terangkum dalam Tabel 3.2.2.
Tabel 3.2.2. Neraca Perdagangan Komoditas Hortikultura, 2005-2009 (US$ juta)
Tahun Buah Sayur T. Obat T. Hias Total2005 -84.01 -77.4 4.52 13.18 -143.712006 -193.03 -131.56 4.05 14.77 -305.772007 -355.51 -214.29 5.50 7.44 -556.862008 -239.12 -270.67 8.86 6.21 -494.722009 -464.01 -258.47 10.95 7.79 -703.74
Sumber : Ditjen Hortikultura (2010)
3.2.4. Perkembangan Produk Domestik Bruto
Pembangunan subsektor hortikultura telah memberikan sumbangan yang cukup
berarti, baik bagi sektor pertanian maupun perekonomian nasional, yang dapat dilihat dari
Produk Domestik Bruto (PDB), jumlah rumah tangga yang mengandalkan sumber
pendapatannya dari subsektor hortikultura, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan
pendapatan masyarakat (Tabel 3.2.3).
Tabel 3.2.3. Perkembangan PDB Riil Subsektor Hortikultura, 2000 -2010 (Rp’milyar)
Tahun Buah Sayur T.Obat T. Hias Hortikultura2000 22,865 14,006 397 2,711 39,9782001 24,886 15,244 432 2,950 43,5122002 29,168 17,867 506 3,458 50,9992003 30,819 18,878 535 3,654 53,8852004 32,512 19,915 564 3,854 56,8452005 35,341 21,648 613 4,190 61,7922006 39,124 24,023 686 4,805 68,6382007 42,618 26,169 748 5,234 74,7682008 47,892 29,407 840 5,881 84,0212009 48,974 30,072 859 6,014 85,9192010 50,809 31,130 1073 6,441 89,453
Laju (%/th) 6.71 7.61 9.34 8.22 3.95
Nilai PDB hortikultura terus meningkat dari tahun ke tahun. Angka PDB hortikultura
tahun 2005 mencapai 61,79 trilyun rupiah atau 21.91% dari total PDB Sektor Pertanian
(Ditjen Hortikultura, 2006). Pada tahun 2010, PDB subsector hortikultura diprediksikan
11
sebesar 153,22 trilyun rupiah atau menyumbang sebesar 21% terhadap PDB Sektor
Pertanian yang diprediksi sebesar 737,87 trilyun rupiah. PDB subsector hortikultura terbesar
di sumbang oleh komoditas buah-buahan (50,6%), disusul sayuran (29,0%), tanaman hias
(5.3%) dan tanaman obat (4.1%). Pada tahun 2010, PDB subsector hortikultura
diproyeksikan sebasar 89.45 trilyun rupiah, atau meningkat sebasar 3.95%/tahun.
Peningkatan terbesar ditunjukkan oleh kelompok tanaman obat dan tanaman hias.
sebagaimana terangkum dalam Tabel 3.2.3.
3.2.5. Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja
Berdasarkan hasil Sensus Pertanian (SP) tahun 2003, dari 24,9 juta rumah tangga
pertanian yang ada terdapat sekitar 8,4 juta rumah tangga yang bekerja di bidang
hortikultura. Jumlah ini meningkat 76,69% dibandingkan dengan SP tahun 1993 yang
berjumlah 5.04 juta rumah tangga. Penyerapan tenaga kerja pertanian di subsektor
hortikultura pada kegiatan on farm cenderung terus meningkat sejalan dengan
berkembangnya usaha komoditas hortikultura. Rata-rata peningkatan penyerapan tenaga
kerja hortikultura berkisar 5-35%/tahun. Angka penyerapan tenaga kerja tersebut mencakup
lapangan kerja dalam arti luas, yang terdiri dari sektor produksi (on farm), pasca panen dan
kegiatan pendukung usaha hortikultura lain seperti perbenihan, penyediaan sarana produksi
(pupuk, obat-obatan, dll.), pengolahan dan pemasaran hasil.
Sementara data dari Ditjen Hortikultura menunjukkan bahwa pada tahun 2004
jumlah tenaga kerja hortikultura di tingkat on-farm adalah 2,95 juta orang dan pada tahun
2010 diprediksi mencapai 4 juta orang atau meningkat 4.7%/tahun (Tabel 3.2.4). Serapan
tenaga kerja terbesar berasal dari komoditas sayuran, disusul tanaman buah-buahan,
tanaman obat dan tanaman hias.
Tabel 3.2.4. Penyerapan Tenaga Kerja Sub Sektor Hortikultura, 2004-2010 (‘000 orang).
Tahun Buah Sayur T. Obat T. Hias Total2004 587.17 2337.11 19.45 1.74 2945.472005 662.85 2433.56 20.52 1.92 3118.852006 743.01 2545.44 22.62 2.31 3313.362007 807.87 2642.53 23.75 2.48 3476.632008 872.75 2739.62 24.74 2.66 3639.762009 937.62 2836.71 25.62 2.84 3802.792010* 1002.49 2933.81 26.42 3.02 3965.74
Laju (%/th) 9.68 3.32 12.22 6.13 4.70Sumber : Ditjen Hortikultura (2009); *Angka Sementara
12
3.3. Subsektor Perkebunan
3.3.1. Status Komoditas Perkebunan
Komoditas perkebunan terdiri diri tanaman tahunan atau tanaman keras (perennial
crops) dan tanaman setahun/semusim (seasonal crops). Tanaman keras utama adalah
kelapa sawit, kelapa, karet, kakao, kopi, teh, cengkeh dan jambu mete, sedangkan tanaman
setahun/semusim adalah tebu/gula, tembakau, lada, dan panili1. Hampir semua jenis
komoditas perkebunan tersebut, kecuali tebu/gula dan tembakau, merupakan komoditas
ekspor andalan dan sumber devisa penting (net exporter) di subsektor perkebunan, bahkan
di sektor pertanian. Sementara produksi komoditas tebu/gula dan tembakau masih belum
cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga masih perlu diimpor (net
importer). Posisi komoditas tembakau masih dilematis karena di satu sisi merupakan salah
satu sumber pendapatan penting negara dari cukai tembakau dan rokok, sedangkan dari sisi
lain kurang mendukung kesehatan dan bertentangan dengan konvensi tembakau dunia
yang sudah diratifikasi oleh seluruh negara di dunia kecuali Indonesia.
3.3.2. Perkembangan Luas Areal dan Produksi
Pola pertumbuhan luas areal dan produksi komoditas perkebunan selama 2000-2010
ditunjukkan pada Tabel 3.3.1. Pola pertumbuhan umumnya mengalami perubahan selama
periode lima tahun terakhir (2005-2010) dibanding selama periode lima tahun sebelumnya
(2000-2005), Kelapa sawit mengalami pertumbuhan luas areal yang spektakuler yaitu dari
4.98% menjadi 7.30% per tahun sehingga pada tahun 2010 mencapai luas lebih dari 8 juta
ha, yang merupakan areal komoditas perkebunan paling luas. Pertumbuhan produksinya
juga luar biasa walaupun mengalami pelambatan, yaitu dari 10.15% menjadi 8.09%
sehingga produksinya pada tahun 2010 mencapai lebih dari 23.7 juta ton minyak sawit
(CPO) dan minyak inti sawit (PKO).
Laju pertumbuhan luas areal dan produksi yang spektakuler pada komoditas kelapa
sawit tersebut disebabkan oleh kenaikan harga CPO di pasar dunia yang cepat sebagai
akibat dari meningkatnya permintaan dunia akan komoditas ini dan meningkatnya harga
minyak mentah (crude oil) dunia. Insentif harga yang makin tinggi tersebut menyebabkan
sebagian areal komoditas perkebunan lain dan bahkan areal komoditas pangan terkonversi
menjadi areal kelapa sawit. Namun pembukaan hutan secara besar-besaran untuk
perluasan areal, utamanya oleh perkebunan besar swasta, mendapatkan kritikan dari
negara-negara lain karena kegiatan tersebut dapat mengganggu keseimbangan alam dunia,
1 Komoditas lain adalah pala, serat-seratan (kapas, rami, dll) dan minyak-minyakan (jarak pagar, jarakkepyar), dan lain-lain tidak dicakup dalam analisis ini karena produksinya masih sangat terbatas.
13
dimana Indonesia mempunyai peranan sangat penting dalam menjaga areal rain forest
sebagai salah satu paru-paru dunia. Karena itu pada tahun 2011 dilakukan moratorium
kelapa sawit untuk mengendalikan penebangan hutan guna perluasan areal kelapa sawit.
Tabel 3.3.1. Laju Pertumbuhan Luas Areal dan Produksi Komoditas Perkebunan Utama,2000-2010
KomoditasLuas Areal Produksi
Pertumbuhan (%/tahun) Luas 2010(ha)
Pertumbuhan (%/tahun) Prod 2010(ha)2000-2005 2005-2010 2000-2005 2005-2010
Kelapa sawit 4.98 7.30 8,036,431 10.15 8.09 23,712,013Kelapa 0.23 0.04 3,808,263 0.08 1.14 3,266,448Karet -0.64 0.94 3,445,121 8.33 1.22 2,591,935Kakao 8.90 6.63 1,651,539 10.97 2.39 844,626Kopi -0.28 -0.15 1,268,476 3.11 1.04 684,076Cengkeh 1.36 1.11 470,045 3.88 7.06 110,807Tebu/Gula 1.51 2.45 434,257 5.31 4.43 2,694,227Tembakau -4.94 1.14 193,916 -5.57 -1.58 122,276Lada 4.16 -0.82 186,296 1.26 1.84 84,218Teh -2.05 -2.51 124,573 0.34 -0.79 150,342Panili 11.05 -0.48 27,256 3.67 1.86 3,059Jambu mete 16.02 -11.01 1,020 12.39 1.12 145,081Keterangan: Data selengkapnya ditunjukkan pada Lampiran 3.3.1 dan Lampiran 3.3.2.
Komoditas perkebunan lainnya yang luas areal dan produksinya juga mengalami
pertumbuhan sangat cepat adalah kakao, walaupun melambat selama periode 2005-2010
dibanding selama periode 2000-2005. Untuk luas areal, laju pertumbuhannya melambat dari
8.90% menjadi 6.63% per tahun, namun produksinya mengalami pelambatan pertumbuhan
yang drastis yaitu dari 10.97% menjadi hanya 2.39% per tahun. Laju pertumbuhan luas areal
yang cepat disebabkan oleh permintaan pasar dan harga dunia yang meningkat, walaupun
sebagian areal kakao dikonversi menjadi areal kelapa sawit di beberapa wilayah, utamanya
Sumatera. Namun masalah paling berat yang dialami komoditas kakao adalah meluasnya
hama Penggerek Buah Kakao (PBK) di wilayah sentra kakao Sulawesi Selatan yang
berdampak negatif terhadap pertumbuhan produksi kakao nasional selama periode 2005-
2010. Program Gerakan Nasional Kakao (Gernas Kakao) berupaya mengatasi masalah
hama PBK tersebut, disamping memperbaiki mutu buah kakao rakyat yang masih rendah
karena tidak dilakukan fermentasi. Jika masalah hama PBK dapat diatasi secara lebih baik,
maka laju pertumbuhan produksi tersebut bisa dipacu menjadi lebih cepat lagi di masa
datang.
Luas areal komoditas karet hanya mengalami percepatan pertumbuhan yang
marjinal pada periode 2005-2010, sementara produksinya mengalami pelambatan laju
14
pertumbuhan yang sangat signifikan, yaitu dari 8.33% pada periode 2000-2005 menjadi
hanya 1.22% pada periode 2005-2010. Laju permintaan karet di pasar dunia sedikit
melemah karena terjadinya resesi ekonomi di negara-negara maju seperti AS, Eropa dan
Jepang, dimana laju permintaan terhadap otomotif melambat yang berdampak pada
melambatnya pertumbuhan permintaan akan ban kendaraan bernotor yang bahan bakunya
adalah karet alam.
Luas areal kopi terus menurun, namun pertumbuhan produksinya masih positif
walaupun melambat. Persaingan dengan kopi asal negara-negara lain, utamanya Brazil dan
Vietnam yang mutu kopinya lebih bagus (jenis Arabika), berdampak menekan pertumbuhan
produksi kopi Indonesia yang mutunya kurang bagus (jenis Robusta). Disamping itu,
peranan kopi Indonesia lebih sebagai bahan pencampur (blending material) di negara-
negara pengimpor seperti AS dan Eropa.
Untuk komoditas tebu/gula, luas arealnya terus meningkat dengan laju yang makin
cepat, yaitu dari 1.51% menjadi 2.45% per tahun. Namun pertumbuhan produksinya
melambat dari 5.31% menjadi 4.43% per tahun, yang masih tergolong cukup cepat.
Perkembangan yang cukup pesat ini disebabkan oleh adanya program pemerintah yaitu
revitalisasi kebun tebu (utamanya program “bongkar ratoon”) dan revitalisasi pabrik gula.
Reviltalisasi kebun tebu telah mampu meningkatkan kandungan gula dalam nira tebu,
sedangkan revitalisasi pabrik gula telah dapat memperbaiki ekstraksi nira dari tebu dan
rendemen gula yang dihasilkannya.
Kemunduran yang terjadi pada luas areal dan produksi komoditas teh disebabkan
oleh adanya persaingan yang makin ketat dari produk-poduk teh dari luar negeri. Disamping
itu, pertumbuhan yang pesat pada industri air mineral dan minuman ringan (soft drink)
lainnya juga berdampak negatif terhadap perkembangan teh nasional. Walaupun industri teh
sudah mencoba mempoduksi produk-produk baru (teh hijau, dan lain-lain), masih belum
mampu mendongkak pertumbuhan produksi komoditas ini.
Pertumbuhan negatif yang terjadi pada komoditas tembakau disebabkan oleh tidak
adanya lagi dukungan pemerintah dalam perluasan areal, disamping turunnya permintaan
akan rokok per kapita karena makin mahalnya harga rokok sebagai akibat dari cukai rokok
yang makin tinggi. Karena itu banyak industri rokok yang tutup, utamanya yang berskala
kecil, sehingga permintaan akan tembakau oleh industri rokok dalam negeri menurun.
Bersamaan dengan itu, laju permintaan dunia akan daun dan produk tembakau juga
melambat karena makin tingginya kesadaran masyarakat dunia akan bahaya asap rokok
terhadap kesehatan bagi perokok aktif dan perokok pasif. Sementara laju pertumbuhan
produksi teh yang negatif disebabkan oleh industri minuman pesaing berat bagi teh yang
15
tumbuh sangat pesat, disamping produk teh Indonesia di pasar dunia juga dikalahkan oleh
produk teh asal negara-negara lain. Produksi tanaman perkebunan lain seperti lada, jambu
mete, kapas dan panili masih tumbuh positif selama 2005-2010, bahkan laju peningkatan
produksi kapas meningkat sangat drastis,
Tabel 3.3.2. Pangsa Produksi Komoditas Perkebunan Menurut TipeManajemen, Tahun 2010 (%).
Komoditas PerkebunanRakyat
Perkebunan BesarTotal
Negara SwastaKelapa sawit 38.81 10.40 50.79 100Kelapa 97.45 0.07 2.48 100Karet 79.68 9.74 10.58 100Kakao 91.60 4.36 4.03 100Kopi 95.81 2.10 2.09 100Cengkeh 98.25 0.30 1.45 100Tebu/Gula 51.32 13.66 35.02 100Tembakau 66.98 2.29 30.37 100Lada 100.00 0 0 100Teh 23.14 52.57 24.29 100Panili 100.00 0 0 100Jambu mete 100.00 0 0 100
Sumber: Statistik Perkebunan, berbagai komoditas, 2009-2011.
Produksi beberapa komoditas perkebunan tersebut seluruhnya dihasilkan oleh
Perkebunan Rakyat (PR), yaitu jambu mete, lada dan panili (Tabel 3.3.2). Sementara itu,
produksi beberapa komoditas lainnya sebagian besar dihasilkan oleh PR dan sebagian kecil
oleh Perkebunan Besar, yaitu kelapa, kakao, karet, kopi, cengkeh, tembakau, dan tebu/gula.
Peranan Perusahaan Besar Swasta dalam memproduksi gula dan tembakau juga cukup
signifikan. Komoditas yang lebih banyak diproduksi oleh perkebunan besar adalah kelapa
sawit, utamanya Perkebunan Besar Swasta (PBS), dan the utamanya oleh Perkebunan
Besar Negara (PBN).
3.3.3. Perkembangan Perdagangan
Produksi semua komoditas perkebunan yang disebutkan diatas diekspor ke negara-
negara lain, kecuali gula yang selama ini Indonesia masih melakukan impor. Sebagaimana
ditunjukkan pada Tabel 3.3.3, nilai ekspor sebagian besar komoditas perkebunan selama
periode 5 tahun pertama (2000-2005) cenderung meningkat, yang bervariasi dari lambat
(1.23%/tahun) sampai sangat cepat (27.38%/tahun). Sebagian besar komoditas perkebunan
selama periode ini mengalami pertumbuhan nilai ekspor yang sangat cepat yang bervariasi
dari 10.44% smpai dengan 27.38% per tahun. Hanya lada dan panili yang mengalami laju
16
pertumbuhan nilai ekspor yang negatif. Total nilai ekspor mengalami pertumbuhan yang
sangat cepat yaitu 21.35% per tahun.
Tabel 3.3.3. Laju Pertumbuhan Nilai Ekspor dan Impor Komoditas Perkebunan Utama,2000-2009.
Komoditas
Ekspor Impor Neraca 2009Laju (%/th) Nilai 2009
(US$’000)
Laju (%/th) Nilai 2009(US$’000)
Nilai(US$'000) %2000-
20052005-2009
2000-2005
2005-2009
Kelapa sawit 27.38 31.92 11,605,431 8.73 26.75 16,822 11,588,609 99.86
Karet 25.03 7.86 3,241,534 -12.22 27.82 18,918 3,222,616 99.42
Kakao 12.05 19.08 1,413,535 35.11 11.66 119,321 1,294,214 91.56
Kopi 10.44 15.08 824,015 -5.04 31.82 24,012 800,003 97.09
Kelapa 17.03 9.62 422,127 103.88 -93.79 148 421,979 99.96
Teh 1.23 8.53 171,628 17.11 14.40 12,537 159,091 92.70
Lada -23.45 26.28 140,313 -54.77 20.92 1,528 138,785 98.91
Jambu mete 17.82 6.80 82,650 -2.08 110.38 3,997 78,653 95.16
Cengkeh 11.78 -31.42 5,586 -225.27 94.37 112 5,474 97.99
Panili -7.96 -1.57 5,087 8.84 -7.27 157 4,930 96.91
Tembakau 6.49 9.82 172,629 4.81 15.18 290,170 -117,541 -68.09
Tebu 20.81 26.59 62,454 10.82 -4.29 585,873 -523,419 -838.1
Total 21.33 22.23 18,146,989 8.64 4.10 1,073,595 17,073,394 94.08Keterangan: Data selengkapnya ditunjukkan pada Lampiran 3.3.3 untuk ekspor, Lampiran 3.3.4 untuk impor danLampiran 3.3.5 untuk neraca ekspor-impor.
Pada periode 5 tahun kedua (2005-2009), laju pertumbuhan nilai ekspor sebagian
komoditas meningkat, yaitu kelapa sawit, kakao, kopi, the, tembakau dan tebu, sebagian
mengalami pelambatan yaitu karet, kelapa, dan jambu mete, namun laju pertumbuhan
masih tergolong cepat yaitu sekitar 6.80% sampai dengan 31.92% per tahun. Ada komoditas
yang semula nilai ekspornya mengalami pertumbuhan positif berubah menjadi negatif yaitu
cengkeh dan kapas. Sementara nilai ekspor panili masih menurun tetapi dengan laju yang
melambat. Total nilai ekspor selama periode 2005-2009 meningkat lebih cepat yaitu 22.23%
per tahun dibanding pada periode 2000-2005 sebesar 21.33% per tahun.
Pada tahun 2009, total nilai ekspor 12 komoditas perkebunan tersebut mencapai
sekitar US$ 18.1 milyar. Penyumbang nilai ekspor terbesar adalah kelapa sawit (63.95%),
disusul karet (17.86%), kakao (7.79%), kopi (4.54%) dan kelapa (2.33%), sementara 8
komoditas lain hanya memberikan sumbangan nilai ekspor yang kecil (0.004-0.95%).
Nilai impor mayoritas komoditas perkebunan sangat kecil, sangat fluktuatif dan laju
pertumbuhannya selama periode 2005-2009 jauh lebih kecil dibanding selama periode
2000-2005 (Tabel 3.3.3). Hanya 2 komoditas yang nilai impornya besar yaitu gula dan
tembakau, yang selama periode 2005-2009 cenderung menurun untuk gula yaitu 4,29%
17
sedangkan untuk tembakau meningkat 15.18% per tahun, yang selama periode sebelumnya
masing-masing meningkat 10.82% untuk gula dan 4.81% untuk tembakau.
Pada tahun 2009, total nilai impor mencapai sekitar US$ 1,074 juta, yang 54.57% di
antaranya adalah impor gula, 27.03% impor tembakau dan 11.11% impor kakao. Nilai impor
yang besar pada gula disebabkan produksi gula belum mencukupi kebutuhan nasional.
Demikian pula, nilai impor tembakau cukup besar karena untuk menutupi kekurangan bahan
bakau pabrik rokok sebagai akibat kurangnya pasokan dan mahalnya harga bahan baku
produksi dalam negeri, sementara harga impor lebih murah. Impor kakao masih diperlukan,
utamanya sebagai bahan pencampur untuk meningkatkan mutu produk coklat (barang jadi)
hasil pengolahan industri coklat.
Mayoritas komoditas perkebunan merupakan penghasil devisa negara, dimana nilai
perdagangan internasionalnya mempunyai surplus. Pada tahun 2009, surplus tersebut
mencapai sekitar 5-11,589 juta US$ dengan persentase sekitar 91.56-99.96% dari nilai
ekspornya. Sementara 2 komoditas lainnya, yaitu gula dan tembakau, mengalami defisit
masing-masing US$ 523.4 juta dan US$ 117.5 juta. Total surplus mencapai US$ 17,074
juta. Kontribusi terbesar terhadap surplus perdagangan adalah kelapa sawit (67.87%),
disusul karet (18.87%), kakao (7.58%), kopi (4.69%) dan kelapa (2.47%), sementara
komoditas-komoditas lainnya kurang dari 1%. Komoditas gula dan tembakau bukan
penghasil devisa melainkan penguras devisa.
Daya saing suatu komoditas dapat diukur dengan berbagai indikator, yang salah
satunya adalah pangsa produksi di tingkat dunia dan perkembangannya selama periode
tertentu. Tabel 3.3.4 menunjukkan bahwa 4 komoditas perkebunan Indonesia mempunyai
pangsa produksi yang sangat tinggi dan meningkat pada tahun 2009 dibanding 2005 dan
menempati posisi pertama di dunia di antara sekian banyak negara produsen, yaitu
cengkeh, kelapa sawit, panili dan kelapa. Posisi kedua di dunia ditempati oleh karet, kakao
dana lada, dimana pangsa produksi karet dan kakao Indonesia meningkat sedangkan untuk
pala menurun. Posisi ke tiga, kelima, keenam, ketujuh dan kesebelas dunia diduduki oleh
pala, kopi, tembakau, jambu mete, teh dan gula.
Posisi Indonesia yang cukup sampai dengan sangat tinggi tersebut merupakan
indikator bahwa Indonesia menempati posisi yang cukup sampai sangat penting dalam
memproduksi komoditas perkebunan tersebut di dunia. Sementara pangsa produksi yang
meningkat pada tahun 2009 dibanding 2005 mengindikasikan daya saing produk
perkebunan Indonesia yang makin tinggi, yaitu cengkeh, kelapa sawit, kelapa, karet, kakao,
dan jambu mete. Di masa datang, daya saing dan posisi Indonesia di dunia dalam
memproduksi komoditas perkebunan perlu ditingkatkan atau minimal dipertahankan jangan
18
sampai turun. Program-program revitalisasi perkebunan perlu ditingkatkan dengan
perencanaan dan mutu pelaksanaan yang lebih baik lagi.
Tabel 3.3.4. Posisi Indonesia dalam Produksi Komoditas PerkebunanDunia Tahun 2005 dan 2009.
KomoditasPangsa (%) Rangking
Indonesia2009
Jumlah NegaraProdusen
20092005 2009
Cengkeh 74.51 77.23 1 12Kelapa sawit 45.01 55.04 1 92Panili 45.07 44.44 1 9Kelapa 31.62 34.95 1 14Karet 24.13 27.64 2 29Kakao 15.86 19.60 2 58Lada 20.44 17.73 2 41Kopi 8.73 8.41 5 56Tembakau 2.27 2.52 6 128Jambu mete 4.25 4.33 6 30Teh 4.90 4.05 7 46Gula 2.23 1.50 11 103
3.3.4. Perkembangan Produk Domestik Bruto
Sektor pertanian dalam arti sempit terdiri dari Subsketor Tanaman Bahan Makanan,
Subsektor Perkebunan dan Subsektor Peternakan. Perkembangan PDB Sektor Pertanian
Sempit dan PDB Subsektor Perkebunan selama 2000-2009 diperlihatkan pada Tabel 3.3.5.
Selama periode 2000-2005, laju pertumbuhan PDB Subsektor Perkebunan lebih cepat
dibanding PDB Sektor Pertanian (sempit), yaitu masing-masing 3.96% dan 3.09% per tahun.
Namun pada periode 2005-2009 terjadi yang sebaliknya, yaitu masing-masing menjadi
3.65% dan 3.96% per tahun. Lebih cepatnya laju pertumbuhan PDB Sektor Pertanian
disebabkan oleh program-program pembangunan pertanian oleh pemerintah yang makin
terfokus kepada Subsektor Tanaman Bahan Makanan, utamanya beras, untuk mencapai
swasembada dalam rangka penguatan ketahanan pangan nasional. Hal ini terbukti bahwa
laju pertumbuhan PDB Subsektor Tanaman Bahan Makanan pada periode 2005-2009 yang
hampir dua kali lipat dibanding pada periode 2000-2005, yaitu masing-masing 4.26% dan
2.42%. Namun Subsektor Perkebunan memberikan kontribusi terhadap PDB Sektor
Pertanian yang sedikit lebih tinggi yaitu dari rata-rata 20% pada periode 2000-2004 menjadi
20.15% pada periode 2005-2009.
19
Tabel 3.3.5. Perkembangan PDB Sektor Pertanian danSubsektor Perkebunan, Tahun 2000-2009.
TahunPertanian
Sempit(Rp’ milyar)
PerkebunanPDB
(Rp’ milyarPangsa
(%)2000 170,077.9 32,491.4 19.12001 175,634.9 34,845.2 19.82002 181,485.3 37,073.3 20.42003 188,505.7 38,693.9 20.52004 193,133.5 38,849.3 20.12005 197,959.2 39,810.9 20.12006 204,296.8 41,318.0 20.22007 211,308.4 43,199.2 20.42008 222,211.2 44,785.5 20.22009 231,322.3 45,887.1 19.8
Laju (%/th):2000-2005 3.09 3.96 -2005-2009 3.96 3.65 -
3.4. Komoditas Peternakan
3.4.1. Status Komoditas Peternakan
Daging merupakan bahan pangan utama sumber protein hewani. Kekurangan
konsumsi daging, terutama pada masa pertumbuhan, dapat menyebabkan lambatnya
pertumbuhan badan dan intelegensia anak-anak. Sompotan (2011) mengungkapkan
bahwa kekurangan konsumsi daging merupakan ancaman bagi kecerdasan anak.
Menurut Ariani (2004), pangan dari sumber hewani merupakan salah satu kelompok
pangan yang sangat berperan dalam pembentukan kualitas sumberdaya manusia.
Hal ini disebabkan bahan pangan tersebut mengandung asam amino esensial,
seperti lisin, dan treonin. Oleh karena itu, pangan sumber protein hewani sangat
penting bagi pertumbuhan, intelegensia, dan daya tahan tubuh manusia terhadap
berbagai penyakit.
Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agriculture Organization = FAO)
pada tahun 2008 menetapkan bahwa konsumsi daging segar untuk hidup sehat adalah 33
kg per kapita per tahun (Sompotan, 2011). Namun data statistik dari FAO menunjukkan
bahwa pada tahun 2009 konsumsi daging utama masyarakat Indonesia baru mencapai rata-
rata 8,62 kg per kapita per tahun, yang terdiri dari 6,17 kg daging unggas, 2,13 kg daging
sapi dan kerbau, serta 0,32 kg daging kambing dan domba. Faktor utama penyebab
rendahnya tingkat konsumsi daging adalah rendahnya daya beli masyarakat,
sedangkan daging merupakan komoditas pangan yang harganya mahal. Faktor lain
20
adalah rendahnya produksi daging, terutama daging sapi yang berasal dari ternak
dari dalam negeri.
Salah satu jenis usaha ternak yang prospektif dalam memenuhi kebutuhan daging
adalah peternakan ayam, terutama ayam ras, baik pedaging maupun petelur. Simatupang
dan Maulana (2006) mengemukakan bahwa laju pertumbuhan peternakan ayam ras
pedaging cukup pesat. Hal ini telah menjadikan daging ayam ras sebagai jenis daging yang
paling banyak dihasilkan di indonesia. Pada periode 1990-1999, produksi daging ayam ras
rata-rata 412.639 ton per tahun, melampaui produksi daging sapi yang rata-rata 316.535 ton
per tahun dalam periode yang sama. Produksi daging ayam ras juga melampaui produksi
daging unggas lainnya.
Berbeda dengan produksi daging ayam yang tumbuh pesat, pertumbuhan produksi
daging sapi masih memprihatinkan. Ilham (2009) mengungkapkan bahwa Indonesia
menghadapi masalah lambatnya pertumbuhan produksi daging dalam negeri, terutama
daging sapi. Manajemen dan teknologi pemeliharaan ternak sapi masih rendah. Menurut
Ilham et al (2009), lambatnya pertumbuhan produksi daging sapi disebabkan oleh sebagian
besar usaha ternak sapi merupakan usaha peternakan rakyat dengan ciri-ciri sebagai
berikut: (1) Skala usaha kecil yaitu 2-4 ekor per peternak; (2) Hanya sebagai usaha
sambilan dengan tujuan untuk tabungan; dan (3) Menggunakan teknologi sederhana.
Rendahnya laju pertumbuhan produksi daging sapi juga diungkapkan oleh Simatupang dan
Maulana (2006), yaitu bahwa dalam periode 1990-1999 produksi daging sapi tumbuh hanya
rata-rata 1,11% per tahun dan bahkan menurun tajam menjadi -0,91% per tahun dalam
periode 2000-2005. Penurunan pertumbuhan produksi daging sapi terutama disebabkan
oleh menurunnya kapasitas produksi usaha ternak sapi potong secara absolut. Populasi
ternak sapi potong menurun dari rata-rata 11,28 juta ekor per tahun pada periode 1990-1999
menjadi 10,71 juta ekor per tahun pada periode 2000-2005.
Selama beberapa dekade terakhir, produksi daging dari sapi dalam negeri belum
bisa memenuhi kebutuhan yang terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk.
Upaya pemenuhan kebutuhan konsumsi daging sapi dalam negeri masih dilakukan melalui
impor, baik sapi hidup maupun daging sapi beku. Pada tahun 2011 tidak kurang dari 500
ribu ekor sapi hidup dan 58 ribu ton daging sapi diimpor dari luar negeri terutama dari
Australia (Suhendra, 2011a; Purnomo, 2011; dan FAO, 2011). Ketergantungan pada impor
daging akan sangat melemahkan kondisi ketahanan pangan nasional, terutama daging
sebagai sumber protein hewani.
Untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada daging impor, maka pemerintah
Indonesia bertekad untuk mencapai swasembada daging sapi pada tahun 2014.
21
Pencanangan program swasembada daging sapi tahun 2014 dituangkan dalam Peraturan
Menteri Pertanian Nomor 19/Permentan/OT.140/2/2010 tentang Pedoman Umum Program
Swasembada Daging Sapi 2014.
3.4.2. Perkembangan Populasi dan Pemotongan Ternak
Selama dekade terakhir, populasi ayam tumbuh rata-rata 5,97%/tahun selama
periode 2000-2005 dan 3,19%/tahun selama periode 2005-2009. Meskipun pertumbuhannya
menurun, pertumbuhan selama periode 2000-2009 masih tetap tinggi yaitu rata-rata 3,69
persen per tahun (Tabel 3.4.1). Pertumbuhan yang tinggi dipacu oleh pertumbuhan populasi
ayam ras pedaging (broiler) yang berkembang pesat dengan pertumbuhan rata-rata
5,14%/tahun selama periode 2005-2009 (Ditjennak, 2011).
Tabel 3.4.1. Perkembangan Populasi dan Pemotongan Ternak di Indonesia, 2000-2009
Uraian Ayam Itik SapiPotong Kerbau Kambing +
DombaPopulasi:
Rataan 2000-2005 1.094.447 34.324 10.859.967 2.355.487 20.528.777Rataan 2005-2009 1.246.870 36.592 11.637.020 2.047.348 23.911.356Rataan 2000-2009 1.162.610 35.650 11.266.540 2.224.117 22.099.312Laju 2000-2005 (%/th) 5,97 0,83 -1,12 -1,43 1,66Laju 2005-2009 (%/th) 3,19 7,40 4,91 -3,16 4,39Laju 2000-2009 (%/th) 3,69 2,15 1,38 2,75 3,14
Pemotongan:Rataan 2000-2005 (ekor/th) 1.296.187 22.870 1.738.538 200.371 5.389.667Rataan 2005-2009 (ekor/th) 1.692.006 32.617 1.702.828 224.176 6.386.980Rataan 2000-2009 (ekor/th) 1.483.001 27.659 1.720.959 214.623 5.921.290% Pemotongan 2000-2005 118,42 67,36 8,51 16,03 26,26% Pemotongan 2005-2009 135,39 89,57 11,02 14,69 26,65% Pemotongan 2000-2009 126,77 77,88 9,78 15,33 26,75
Keterangan: Populasi ayam dan itik dalam ribu ekor; kerbau, sapi, dan kambing dalam ekor.Selengkapnya pada Lampiran 3.4.1.
Dalam periode yang sama, jumlah pemotongan ayam melampaui populasinya, baik
pada periode 2000-2005 maupun 2005-2009. Ini berarti bahwa Indonesia masih mengimpor
ayam hidup dari luar negeri. Impor ayam hidup bisa berupa bibit ayam (DOC) karena impor
ayam hidup siap potong tidak diizinkan. Sampai saat ini pemerintah secara resmi masih
melarang impor daging ayam dan ayam hidup untuk mencegah penyebaran penyakit.
Namun pada tahun 2010 ada kasus temuan 4 juta ekor ayam impor dari Malaysia dan
Singapura (Suhendra, 2011b). Pada periode 2005-2009, jumlah pemotongan ayam rata-rata
1.692,01 juta ekor per tahun. Data ini menunjukkan bahwa impor ayam hidup masih tinggi,
rata-rata 445,14 juta ekor per tahun selama periode 2005-2009.
22
Populasi itik tidak sebesar populasi ayam, yaitu rata-rata 34,32 juta ekor per tahun
selama periode 2000-2005, yang meningkat menjadi rata-rata 36,59 juta ekor per tahun
pada periode 2005-2009. Pertumbuhan populasi itik rata-rata 0,83%/tahun selama periode
2000-2005 dan 7,40%/tahun selama periode 2005-2009. Berbeda dengan ayam,
pemotongan itik tidak melampaui populasinya, yang mencerminkan tidak adanya impor itik
hidup. Pemotongan itik rata-rata 22,87 juta ekor/tahun atau 67,36% dari populasinya selama
periode 2000-2005, dan 32,62 juta ekor/tahun atau 89,57% dari populasinya selama periode
2005-2009.
Populasi sapi potong rata-rata adalah 10.859,97 juta ekor/tahun pada periode 2000-
2005 dan 11.637,02 juta ekor/tahun selama periode 2005-2009. Dalam periode yang sama,
populasi sapi potong menurun rata-rata adalah 1,12%/tahun selama 2000-2005 dan
meningkat lagi menjadi 4,91%/tahun selama periode 2005-2009. Peningkatan ini diduga
disebabkan oleh peningkatan kelahiran anak sapi (pedet) dan impor sapi induk dan bakalan,
terutama dari Australia.
Jumlah pemotongan sapi rata-rata 1,74 juta eko/tahun selama periode 2000-2005,
kemudian menurun menjadi rata-rata 1,70 juta ekor/tahun selama 2005-2009. Selama
periode 2000-2009, pemotongan sapi rata-rata mencapai 1,72 juta ekor/tahun atau sekitar
15% dari populasinya pada periode 2000-2009. Jika jumlah sapi yang dipotong melampaui
kelahiran anak sapi dalam negeri, maka impor sapi hidup akan terus meningkat. Jika itu
yang terjadi, maka swasembada daging pada tahun 2014 akan sulit dicapai.
Sumber daging ruminansia besar lainnya adalah kerbau. Selama dekade terakhir
(2000-2009), populasi ternak ini rata-rata adalah 2,22 juta ekor/tahun. Populasi kerbau pada
periode yang sama menurun rata-rata 2,75%/tahun. Secara absolut, jumlah kerbau yang
dipotong rata-rata adalah 214.623 ekor/tahun pada periode 2000-2009, yang merupakan
9,65% dari populasi pada periode yang sama. Meskipun persentase kerbau yang dipotong
relatif kecil terhadap populasi, populasinya terus menurun. Fakta ini menunjukkan bahwa
jumlah kerbau yang lahir jauh lebih kecil daripada yang dipotong. Hal ini diduga disebabkan
oleh tidak adanya penerapan teknologi maju dalam pembibitan kerbau. Kerbau umumnya
dipelihara secara sederhana dengan pemberian pakan hijauan seadanya (tanpa konsentrat)
dan banyak yang digunakan sebagai tenaga pembajak di sawah.
Selain ruminansia besar, ruminansia kecil (kambing dan domba/kado) juga
merupakan salah satu jenis ternak penghasil daging. Populasi kambing dan domba rata-rata
20,53 juta ekor/tahun selama periode 2000-2005 dan 23,91 juta ekor/tahun selama 2005-
2009. Pemotongan kedua jenis ternak ini rata-rata mencapai 5,39 juta ekor/tahun (26,26%
23
dari populasi) pada periode 2000-2005, dan 6,39 juta ekor/tahun (26,64% dari populasi)
pada periode 2005-2009.
Jika populasi kado betina seimbang dengan kado jantan, maka total kado yang
dipotong hampir 54% dari populasi kado betina. Ini berarti bahwa untuk mempertahankan
populasi kado, angka kelahiran anak kado harus mencapai 54 ekor dari tiap 100 ekor
kambing-domba betina per tahun.
3.4.3. Perkembangan Produksi Daging, Susu dan Telor
Daging
Sejalan dengan populasi dan pemotongan ayam dan itik, produksi daging unggas
rata-rata 1,06 juta ton/tahun pada periode 2000-2005 dan 1,32 juta ton/tahun pada periode
2005-2009 atau rata-rata 1,18 juta ton/tahun selama periode 2000-2009 (Tabel 3.4.2).
Pertumbuhan produksi daging unggas rata-rata 7,26%/tahun pada periode 2000-2005 dan
5,19%/tahun selama periode 2005-2009.
Tabel 3.4.2. Produksi Daging di Indonesia, 2000-2009 (ton)
Tahun Unggas Sapi & Kerbau Kado Total
2000 817.740 385.795 44.890 1.248.4252001 923.520 382.329 48.702 1.354.5512002 1.104.790 372.599 58.170 1.535.5592003 1.138.960 410.350 63.860 1.613.1702004 1.213.120 487.810 57.130 1.758.0602005 1.147.060 396.800 50.600 1.594.4602006 1.284.681 439.729 65.014 1.789.4242007 1.339.945 381.236 63.615 1.784.7962008 1.380.530 431.543 66.027 1.878.1002009 1.434.590 442.819 74.106 1.951.515
Rataan:2000-2005 1.057.532 405.947 53.892 1.517.3712005-2009 1.317.361 418.425 63.872 1.799.6592000-2009 1.178.494 413.101 59.211 1.650.806
Laju (%/th):2000-2005 7,26 2,77 3,35 5,872005-2009 5,19 2,01 7,79 4,532000-2009 5,54 1,34 4,26 4,41
Produksi daging unggas dari pemotongan dalam negeri terus meningkat, namun
belum bisa memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri, sehingga Indonesia masih
24
mengimpor daging unggas. Selama periode 2005-2009, net impor daging unggas rata-rata
mencapai 7.705 ton/tahun.
Produksi daging sapi dan kerbau juga meningkat dari rata-rata 405.947 ton/tahun
pada periode 2000-2005 menjadi 418.425 ton/tahun selama periode 2005-2009. Selama
periode 2005-2009, produksi daging sapi dan kerbau meningkat rata-rata 2,01%/tahun.
Volume dan pertumbuhan produksi daging sapi belum mampu memenuhi kebutuhan
konsumsi dalam negeri, sehingga masih mengimpor daging sapi.
Produksi daging kambing dan domba juga meningkat dari rata-rata 53.892 ton/tahun
selama periode 2000-2005 menjadi 63.872 ton/tahun selama periode 2005-2009. Selama
periode 2005-2009, pertumbuhan produksi daging kambing rata-rata 7,79%/tahun. Namun
demikian, produksi daging kambing belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging kambing dalam negeri, Indonesia masih
mengimpor daging kambing.
Susu dan Telur
Komoditas peternakan utama yang menghasilkan susu adalah sapi perah dan
kambing, namun dalam analisis outlook ini hanya akan menganalisis produk susu sapi.
Secara umum kinerja pertumbuhan populasi sapi perah dan Indonesia selama dekade
terakhir ini menunjukkan arah yang positif. Populasi sapi perah dan produksi susu tampak
fluktuatif dengan kecenderungan yang meningkat.
Populasi sapi perah dan produksi susu meningkat dengan laju pertumbuhan masing-
masing sebesar 3.41% dan 6.41% persen per tahun, selama tahun 2000-2010 (Tabel 3.4.3).
Populasi sapi perah naik dari sekitar 354 ribu ekor pada 2000 menjadi 495 ribu ekor,
sedangkan produksi susu meningkat dari 495.7 ton pada 2000 menjadi 927.8 ton pada
2010. Keberadaan koperasi susu di tingkat peternak dan lembaga persusuan secara vertical
sampai ke tingkat pusat dengan GKSI (Gabungan Koperasi Susu Indonesia) diduga turut
mendorong berkembangnya usaha persusuan pada periode tersebut. Namun, peternak
mengeluhkan kondisi harga yang sering tidak stabil, ditambah lagi harga pakan yang
cenderung meningkat setiap tahunnya dan lahan untuk rumput yang terbatas.
Dalam rangka meningkatkan produksi susu dalam negeri, Pemerintah juga telah
menetapkan beberapa program, antara lain memberikan Bantuan Langsung Sapi (BLS)
senilai 200 Milyar rupiah kepada kelompok petani/peternak. Selain itu juga sebelumnya
Pemerintah juga telah menyalurkan Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS). Program ini juga
ditujukan untuk meningkatkan konsumsi susu segar oleh masyarakat, sebagaimna telah
dikemukakan sebelumnya bahwa konsumsi susu per kapita Indonesia masih sangat rendah
25
sekitar 7-8 liter/tahun. Saat ini kebutuhan susu dalam negeri hanya 30% dipenuhi dari dalam
negeri sedangkan 70% berasal dari impor. Hal ini menjadi tantangan Pemerintah untuk
meningkatkan produksi susu lokal yang diharapkan dapat terpenuhi melalui program
tersebut. Tantangan lain yang dihadapi adalah skala pengusahaan petani masih sangat kecil
yaitu kurang dari empat ekor, yang idealnya adalah 8 ekor sapi per petani.
Tabel 3.4.3. Perkembangan Populasi Sapi Perah dan Ayam Petelur serta ProduksiSusu dan Telur di Indonesia, 2000-2010.
Tahun
Susu TelurPopulasi
Sapi Perah(‘000 ekor)
ProduksiSusu
(‘000 ton)
PopulasiAyam Petelur
(juta ekor)
ProduksiTelur
(‘000 ton)2000 354.253 495.650 69.366 5032001 346.998 479.950 70.254 5382002 358.386 493.400 78.039 6142003 373.753 553.400 79.206 6122004 364.062 549.900 93.416 7622005 361.351 535.960 84.790 6812006 369.008 616.550 100.202 8172007 374.067 567.680 111.489 9442008 457.577 647.000 107.955 9562009 474.701 881.800 111.418 9102010 495.231 927.800 116.188 959Laju
(%/tahun) 3.51 6.41 5.48 6.65
Sumber : BPS, Statistik Peternakan (berbagai terbitan), diolah
Sapi perah adalah ternak penghasil susu yang dengan proses pasteurisasi dan
sterilisasi maka produk susu tersebut dapat langsung dikonsumsi. Jadi permintaan akan
ternak sapi perah tergantung dari permintaan produk susunya itu sendiri. Pada tahun 1979
produksi susu mencapai 72.200 ton sedangkan konsumsi susu mencapai 532.700 ton. Ini
menunjukkan bahwa hanya 13.5% susu dalam negeri yang mampu memenuhi permintaan
konsumen tersebut. Artinya 86.5 persen kekurangan susu tersebut dipenuhi dari impor susu
luar negeri. Begitu pula dengan tahun-tahun berikutnya, permintaan akan susu belum
mampu dipenuhi oleh produksi susu dalam negeri (Firman, 2007).
Perkembangan peningkatan produksi sapi perah hingga tahun 1999 kental dengan
campur tangan pemerintah, baik dalam pengaturan pemasaran,tataniaga,impor sapi perah
memaksa IPS membeli susu segar koperasi dengan mengkaitkan ijin impor susu dengan
penyerapan susu segar koperasi. Untuk hal ini koperasi mendapat dana dalam bentuk
pengadaan bibit sapi perah impor untuk dibagikan kepada anggotanya sebagai pinjaman.
26
Peternak harus mengembalikan pinjaman dari hasil susu dan harus mengikuti semua aturan
koperasi (Yusdja, 2008).
Komoditas telur yang dianalisis dalam bab pembahasan ini adalah telur yang berasal
dari ayam petelur (layer). Perkembangan populasi ayam petelur dan produksi telur dapat
dilihat pada Tabel 3.4.3 di atas. Pertumbuhan produksi telur tampak lebih cepat
dibandingkan dengan populasi ayam petelur pada periode 2000-2010, yaitu masing-masing
sebesar 5.48% dan 6.65% per tahun. Ini mengimplikasikan adanya peningkatan
produktivitas ayam petelur, yaitu sekitar 1.29% per tahun.
Penurunan populasi ayam petelur dan produksi telur terjadi pada saat terjadi wabah
flu burung. Pada 2005, populasi ayam petelur dan produksi telur mengalami penurunan
masing-masing sebesar 9.69% dan 11.24% dibandigkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini
menunjukkan bahwa terjadinya wabah flu burung sangat merugikan peternak Indonesia.
Pada periode setelah wabah flu burung terjadi perbaikan populasi ayam telur dan
porduksi telur. Hal ini ditunjukkan oleh laju pertumbuhan masing-masing sebesar 3.7% dan
4% per tahun. Terjadi sedikit peningkatan produktivitas ayam petelur yaitu sekitar 0.3% per
tahun selama 2006-2010. Rendahnya peningkatan produktifitas ini diduga karena harga
pakan yang cenderung meningkat dari waktu ke waktu, sehingga peternak menurunkan
kualitas dan kuantitas pakan.
3.4.4. Perkembangan Neraca Perdagangan Daging
Seperti telah disebutkan di depan, produksi daging unggas dari pemotongan ternak
dalam negeri belum mampu memenuhi konsumsi dalam negeri. Meskipun impor daging
unggas selama periode 2000-2005 menurun rata-rata 21,85%/tahun, volumenya masih
tergolong tinggi, yaitu rata-rata 4.000 ton/tahun (Tabel 3.4.4). Selama periode 2005-2009,
impor daging unggas meningkat menjadi rata-rata 5.020 ton/tahun dengan pertumbuhan
rata-rata 3,89%/tahun. Secara keseluruhan, dalam dekade terakhir volume impor daging
unggas rata-rata 4.483 ton/tahun dengan pertumbuhan rata-rata -11,31%/tahun. Di sisi lain,
volume ekspor daging ayam relatif sangat kecil dibandingkan dengan impor, sehingga net
impor daging ayam masih relatif tinggi, yaitu rata-rata 2.415 ton/tahun selama periode 2000-
2005 dan meningkat menjadi 4.971 ton/tahun selama periode 2005-2009. Pada periode
2005-2009, net impor daging unggas meningkat rata-rata 3,77%/tahun.
Volume impor daging sapi selama dekade terakhir masih terus meningkat. Pada
periode 2000-2005 impor daging sapi rata-rata 22.575 ton/tahun dengan laju pertumbuhan
rata-rata -4,61%/per tahun. Pada periode 2005-2009, impor meningkat menjadi rata-rata
27
45.609 ton/tahun dengan laju pertumbuhan rata-rata 19,56%/tahun. Seperti halnya daging
ayam, ekspor daging sapi juga relatif sangat kecil dibandingkan dengan impornya. Oleh
karena itu, net impor daging sapi masih sangat besar yaitu rata-rata 22.452 ton/tahun pada
periode 2000-2005 dan meningkat menjadi rata-rata 45.569 ton/tahun selama periode 2005-
2009.
Untuk daging kambing dan domba (kado), masih terdapat impor rata-rata 599
ton/tahun dengan pertumbuhan rata-rata 6,97%/tahun selama periode 2000-2005. Pada
periode 2005-2009, impor daging kado rata-rata 649 ton/tahun, namun pertumbuhannya
menurun menjadi rata-rata -9,14%/tahun. Seperti halnya daging unggas dan daging sapi,
volume ekspor daging kado juga sangat kecil, sehingga net impor daging kado rata-rata 523
ton/tahun pada periode 2000-2005 dan 647 ton/tahun selama 2005-2009.
Tabel 3.4.4. Perkembangan Neraca Perdagangan Daging di Indonesia, 2000 2009
TahunUnggas Sapi & Kerbau Kado
Impor Ekspor NetImpor Impor Ekspor Net
Impor Impor Ekspor NetImpor
2000 14.658 750 13.908 36.047 39 36.008 592 35 557
2001 1.717 1.841 -124 22.085 92 21.993 692 86 606
2002 1.148 3.070 -1.922 16.221 85 16.136 482 300 182
2003 669 3.708 -3.039 15.288 270 15.018 476 17 459
2004 1.536 121 1.415 17.318 199 17.119 520 4 516
2005 4.274 20 4.254 28.492 52 28.440 829 10 819
2006 3.905 29 3.876 34.004 55 33.949 712 0 712
2007 6.329 86 6.243 52.279 31 52.248 571 1 570
2008 5.613 63 5.550 55.131 30 55.101 568 1 567
2009 4.979 46 4.932 58.138 29 58.109 565 0 565
Rataan:
2000-2005 4.000 1.585 2.415 22.575 123 22.452 599 75 523
2005-2009 5.020 49 4.971 45.609 39 45.569 649 2 647
2000-2009 4.483 973 3.509 33.500 88 33.412 601 45 555
Laju (%/th):
2000-2005 -21,85 -51,56 -21,09 -4,60 5,92 -4,61 6,97 -22,16 8,02
2005-2009 3,89 23,15 3,77 19,52 -13,58 19,56 -9,14 -96,84 -8,86
2000-2009 -11.31 -26.61 -10.81 5.45 -3.23 5.46 -0.51 -39.82 0.33
3.4.5. Perkembangan Konsumsi Daging
Dengan memanfaatkan data produksi pada Tabel 3.4.2 dan net impor pada Tabel
3.4.4, dapat dihitung volume daging yang tersedia untuk konsumsi dalam negeri yang
merupakan penjumlahan antara produksi dan net impor. Ketersediaan daging untuk
konsumsi dan konsumsi per kapita disajikan pada Lampiran 3.4.3
28
Pada periode 2000-2005, daging unggas, daging sapi/kerbau, dan daging kado yang
tersedia untuk konsumsi berturut-turut rata-rata 1,06 juta ton, 428.400 ton, dan 54.415 ton
per tahun, sehingga ketersediaan daging untuk konsumsi rata-rata 1,54 juta ton/tahun.
Dengan rataan jumlah penduduk pada peiode tersebut 217,61 juta jiwa per tahun, maka
konsumsi per kapita daging unggas, daging sapi/kerbau, dan daging kado rata-rata 4,86 kg,
1,97 kg, dan 0,25 kg per tahun. Untuk semua daging, konsumsi per kapita pada periode
2000-2005 rata-rata 7,08 kg/tahun.
Pada periode 2005-2009, ketersediaan daging unggas, daging sapi/kerbau, dan
daging kado berturut-turut rata-rata 1,32 juta ton, 463.995 ton, dan 64.519 ton per tahun.
Dengan rataan jumlah penduduk pada periode ini 229,85 juta jiwa/tahun, maka konsumsi
per kapita daging unggas, daging sapi/kerbau, dan daging kado rata-rata 5,75 kg, 2,02 kg,
dan 0,28 kg per tahun. Untuk semua daging tersebut, konsumsi per kapita pada periode
2005-2009 rata-rata 8,05 kg per tahun. Pada tahun 2009, konsumsi ketiga kelompok daging
tersebut sebesar 8,58 kg per kapita (Lampiran 3.4.3). Tingkat konsumsi ini masih jauh dari
sasaran yang direkomendasikan FAO, yaitu 33 kg/kapita/tahun (Sompotan, 2011). Fakta
ini menunjukkan bahwa konsumsi daging masyarakat Indonesia baru mencapai 26
persen dari rekomendasi FAO. Oleh karena itu, masih diperlukan langkah-langkah
strategis untuk meningkatkan produksi dan konsumsi daging penduduk Indonesia.
3.4.6. Perkembangan Produk Domestik Bruto
Sumbangan sub sektor peternakan dalam pendapatan nasional bruto (PDB) selama
dekade terakhir relatif kecil meskipun pada lima tahun terakhir mempunyai kecenderungan
yang meningkat, seperti terlihat pada Gambar 3.4.1. Secara nominal sumbangan sektor
pertanian terhadap total PDB meningkat rata-rata 9,31%/tahun selama periode 2000-2005
dan 22,17%/tahun selama periode 2005-2009. Pada periode yang sama, sumbangan
sektor peternakan terhadap PDB juga meningkat 8,19% dan 21,94% per tahun masing-
masing selama periode 2000-2005 dan 2005-2009, seperti disajikan pada Lampiran 3.4.4.
29
Gambar 3.4.1. Kontribusi Relatif Sektor Pertanian Dalam Total PDBIndonesia, 2000-2009.
Secara relatif sumbangan sektor pertanian pada PDB rata-rata 15,26% selama 2000-
2005 dan 13,91% selama periode 2005-2009. Sementara itu, pada periode yang sama sub
sektor peternakan hanya menyumbang terhadap total PDB rata-rata 1,93% selama periode
2000-2005 dan 1,64% selama periode 2005-2009. Sumbangan sektor pertanian pada
periode 2000-2005 secara relatif menurun rata-rata 5,29%/tahun dan meningkat lagi rata-
rata 3,89%/tahun selama periode 2005-2009. Demikian juga sumbangan sub sektor
peternakan terhadap total PDB secara relatif menurun rata-rata 5,71%/tahun selama periode
2000-2005 dan meningkat 3,85%/tahun selama periode 2005-2009.
Pertumbuhan positif kontribusi relatif sektor pertanian termasuk sub sektor
peternakan terhadap total PDB pada periode 2005-2009 mencerminkan lebih baiknya
pertumbuhan sektor pertanian dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya dalam periode
tersebut. Menurut Ilham (2007), sub sektor peternakan berpotensi untuk dijadikan sumber
pertumbuhan baru pada sektor pertanian, selain karena pertumbuhannya dalam sektor
pertanian, juga karena mempunyai efek pengganda yang besar, baik di hulu (industri pakan)
maupun di hilir (industri pangan olahan).
3.5. Perkembangan Investasi Pertanian
3.5.1. Jenis Investasi
Selama sepuluh tahun terakhir (2000-2010), Indonesia banyak diminati investor
asing (PMA) dan domestik (PMDN) untuk melakukan investasi termasuk di sektor pertanian
dan perikanan. Data realisasi investasi modal asing dan dalam negeri menunjukkan bahwa
nilai dan jumlah unit investasi mengalami peningkatan secara signifikan (Tabel 3.5.1).
-
5.00
10.00
15.00
20.00
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
T a h u n
Kon
trib
usi p
d G
NP
(%)
Pertanian Tan Pangan Peternakan
30
Tabel 3.5.1. Perkembangan Realisasi Nilai dan Jumlah Proyek InvestasiPMA dan PMDN, 2000-2010.
TahunPMA PMDN
Nilai(US$ juta)
Jumlah(unit)
Nilai(Rp’ milyar)
Jumlah(unit)
2000 95,63 18 1.918,22 202001 79,43 17 1.121,67 152002 18,05 3 387,24 42003 221,23 12 194,45 112004 186,54 13 526,98 82005 230,11 27 3.192,64 262006 403,44 25 3.558,77 282007 290,11 28 4.997,96 212008 154,29 14 1.234,48 72009 150,16 13 2.621,92 252010 773,67 187 9.080,83 231Laju
(%/tahun) 19 16 21 17
Sumber: Kementerian Pertanian (2011).
Laju pertumbuhan nilai PMA dan PMDN selama kurun waktu tersebut masing-
masing adalah sebesar 19% dan 21% per tahun. Jumlah proyek investasi keduanya juga
cenderung meningkat rata-rata 16% dan 17% per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa
investasi di Indonesia layak secara ekonomi sehingga tetap menarik bagi investor untuk
melakukan investasi walaupun pada masa krisis ekonomi global (2008-2009) PMA dan
PMDN menurun tajam dalam nilai dan jumlah proyek investasi. Perekonomian dunia
berangsur pulih, sehingga nilai dan jumlah proyek investasi melonjak tajam pada tahun
2010, sehingga laju rata-rata pertumbuhan nilai dan jumlah investasi PMA dan PMDN
menjadi positif kembali. Nilai PMA pada tahun 2010 meningkat hampir tiga kali lipat
dibanding tahun 2007 (tahun sebelum krisis). Demikian juga dengan nilai PMDN, pada 2010
meningkat hampir dua kali lipat dari tahun 2007.
Implikasi dari kinerja investasi PMA dan PMDN 2000-2010 adalah, perekonomian
Indonesia tidak mengalami dampak jangka panjang akibat krisis ekonomi global 2008-2009,
sehingga menciptakan iklim usaha yang mendukung investasi berkembang dari sisi asal
modal maupun kelompok bidang lapangan industri, sebagaimana akan dibahas dalam sub
bagian 1.2.
31
3.5.2. Investasi Pertanian menurut Subsektor
Berdasar kelompok bidang lapangan industri (Lampiran 3.5.1) dalam realisasi
investasi 2000-2010 menunjukkan bahwa PMA mempunyai lebih banyak bidang lapangan
industri dibandingkan PMDN. Investor asing mengusahakan 15 bidang lapangan industri,
sedangkan investor domestik hanya 11 bidang lapangan industri, namun keduanya
didominasi oleh subsektor tanaman pangan, tanaman perkebunan dan peternakan (Tabel
3.5.2 dan 3.5.3).
Tabel 3.5.2. Perkembangan Nilai Realisasi PMA menurut SubsektorPertanian, 2000-2010 (US$ juta).
Tahun T. Pangan Hortikultura Perkebunan Peternakan2000 4,5 0,0 64,1 13,52001 10,9 0,0 53,1 2,42002 9,0 0,0 0,0 10,02003 2,7 0,0 216,5 1,12004 1,9 0,0 159,0 20,22005 4,7 0,0 166,9 52,82006 5,3 0,0 346,6 18,82007 24,3 0,0 38,3 44,72008 0 0,0 147,4 4,52009 10,0 0,0 132,5 2,52010 14,5 0,0 736,4 4,7Laju
(%/tahun) 3,9 -16,8 25,6 -0,1
Sumber:
Tabel 3.5.3. Perkembangan Nilai Realisasi PMDN Menurut SubsektorPertanian, 2000-2010 (Rp’ milyar).
Tahun T. Pangan Hortikultura Perkebunan Peternakan2000 1.899,2 7,5 11,6 0,02001 123,8 0,0 615,9 210,62002 0,0 0,0 263,6 123,72003 0,0 0,0 130,9 29,92004 0,0 0,0 507,4 19,62005 25,3 0,0 3.054,1 108,32006 124,5 0,0 3.345,1 72,02007 189,6 0,0 4.689,8 113,82008 149,8 0,0 1.037,4 30,62009 113,4 0,0 2.195,8 288,02010 276,8 16,2 8.612,6 174,2Laju
(%/tahun) 4,9 12,7 61,8 24,4
Sumber:
32
Dari kedua tabel tersebut dapat diketahui bahwa selama 2000-2010 subsektor
hortikultura kurang diminati investor. Kecuali investasi PMA untuk subsektor peternakan,
semua investasi menunjukkan laju pertumbuhan positif. Laju pertumbuhan investasi PMA
tertinggi terjadi pada subsektor perkebunan, yaitu 25,6%/tahun, disusul subsektor tanaman
pangan 3,9%/tahun. Sementara itu, investasi pada subsektor peternakan cenderung
menurun 0,1%/tahun. Realisasi PMA pada subsektor hortikultura menurun 16,8%/tahun.
Subsektor perkebunan selain diminati oleh investor asing, juga banyak diminati oleh
investor dalam negeri. Selama 2000-2010, PMDN pada subsektor ini meningkat
61,8%/tahun, disusul subsektor peternakan 24,4%/tahun, subsektor hortikultura
12,7%/tahun dan subsector tanaman pangan 4,9%tahun. Nilai investasi PMDN untuk
subsektor hortikultura sangat rendah, namun selam 2000-2010 cenderung naik dengan
adanya investasi pada tahun 2000 dan 2010, sehingga perubahannya menghasilkan laju
pertumbuhan yang besar, walaupun dalam realisasinya terdapat kekosongan investasi dari
tahun 2001-2009 (Tabel 3.5.3).
Investasi pada subsektor tanaman perkebunan didominasi oleh perkebunan tanaman
buah-buahan penghasil minyak (Oleaginous), yaitu pembukaan perkebunan kelapa sawit.
Dengan adanya moratorium lahan pada tahun 2011, maka dalam analisa proyeksi jangka
menengah (2010-2014) dan panjang (2015-2025) diasumsikan bahwa akan terjadi
penurunan laju pertumbuhan setiap tahun pada tahun-tahun berikutnya sebesar 5% dari
tahun sebelumnya.
33
IV. PROSPEK JANGKA PENDEK (2011-2014)
4.1. Komoditas Pangan
4.1.1. Produksi
Tabel 4.1.1. Proyeksi jangka Menengah Komoditas Tanaman Pangan, 2014-2025 (ton)
Tahun Beras Jagung Kedele K.Tanah Ubi Jalar Ubi Kayu2010 65,980,670 17,844,676 905,015 291,705 779,228 2,051,0462011 69,389,661 20,002,902 935,093 291,385 784,598 2,069,7172012 72,974,783 22,422,154 966,171 291,064 790,005 2,088,5592013 76,745,135 25,134,003 998,281 290,745 795,450 2,107,5722014 80,710,289 28,173,837 1,031,459 290,425 800,932 2,126,758
Laju (%/th)2010-2014
34
4.2. Komoditas Hortikultura
4.2.1. Status Komoditas Hortikultura
Selain berperan sebagai bahan pangan masyarakat, hortikultura juga mempunyai
peranan penting dalam hal penyediaan lapangan kerja dan berusaha, penyedia bahan baku
industri, kesehatan manusia, sosial budaya, dan pariwisata. Komoditas hortikultura terutama
tanaman obat (biofarmaka) mempunyai peranan yang penting dalam menjaga dan
memperbaiki kesehatan manusia.
Kecenderungan masyarakat untuk “back to nature” dewasa ini, permintaan
konsumen terhadap obat (jamu) dan suplemen makanan herbal terus meningkat di dalam
negeri maupun luar negeri. Komoditas hortikultura juga sangat penting dalam kehidupan
sosial budaya masyarakat, terkait dengan keindahan baik indoor maupun outdoor,
acara/upacara budaya, dan kegiatan lain yang memerlukan tanaman hias, buah dan
sayuran. Komoditas hortikultura juga berperan besar dalam pariwisata, antara lain
menyediakan buah-buahan, sayuran, dan tanaman hias di tempat wisata, hotel,
restoran/rumah makan, agrowisata, dll. . Kondisi ini memacu peningkatan kebutuhan akan
obat tradisional maupun fitofarmaka. Produksi tanaman hias menunjukkan fluktuasi produksi
sebagai akibat perubahan preferensi konsumen seperti halnya yang terjadi pada
mode/fashion.
Subsektor hortikultura harus dibangun berbasis pada kekayaan sumberdaya genetik
nasional yang memiliki kespesifikan keunggulan dan cita rasa yang tidak dapat disaingi oleh
produk serupa dari negara lain. Dengan mengatur pola produksi, kapasitas produksi, dan
proses produksi yang ramah lingkungan akan diperoleh produk yang bersih dan berdaya
saing global. Mengingat permintaan pasar meningkat pesat, maka proses produksi
hortikultura akan berkembang ke lokasi baru bersamaan dengan penerapan program
intensifikasi di lahan yang telah mapan. Seiring dengan membesarnya volume kegiatan
usaha hortikultura di dalam negeri, dampak pengembangan subsektor ini dapat dirasakan
dari peningkatan kinerja pembangunan ekonomi dari tahun ke tahun.
4.2.2. Luas Panen, Produksi Dan Produktivitas
Dari potensi plasma nuftah yang dimiliki Indonesia, baru sekitar 323 komoditas
hortikultura teridentifikasi mempunyai nilai ekonomi dan sekitar 70 komoditas yang tercatat
sebagai data statistik di dalam negeri. Ini menunjukkan bahwa prospek pengembangan
komoditas hortikultura masih dapat ditingkat, khusunya bagi pengembangan komoditas baru
untuk membangun trend pasar yang berdampak terhadap penumbuhan kegiatan ekonomi
di tengah masyarakat.
35
Dalam tahun 2000-2014 umum produksi komoditas hortikultura diproyeksikan
mengalami peningkatan sebesar 4.55%/tahun. Peningatan terbesar terjadi pada kelompok
tanaman hias dengan laju sebesar 9.58 %/th, menyusul kelompok Tanaman Obat dengan
laju 8.30%/tahun, diikuti kelompok Buah sebesar 5.65%/tahun dan kelompok sayuran
sebesar 2.54%/tahun. Dengan proyeksi tersebut, maka dalam tahun 2014 produksi buah
akan mencapai 21,33 juta ton, sayuran sebasar 11,44 juta ton, tanaman obat sebesar 0,61
juta ton dan tanaman hias sebesar 0,40 juta ton.
Peningkatan produksi buah dan tanaman hias terutama terjadi karena peningkatan
produktivitas yaitu masing masing dengan laju 3,92%/tahun dan 11,87%/tahun, semantara
laju luas`areal buah sebesar 1,79%/tahun dan luas panen tanaman hias malah cenderung
menurun 4.01%/tahun. Produksi sayuran dan tanaman obat terjadi karena kontribusi
pertambahan luas panen yang meningat masing masing sebesar 2,42%/tahun dan
6.29%/tahun, sementara produktivitas sayuran dan tanaman obat meningkat masing
masing sebesar 0,12%/tahun dan 2.17%/tahun (Tabel 4.2.1)
Tabel 4.2.1. Proyeksi Pertumbuhan Luas Panen, Produksi dan ProduktivitasKomoditas Hortikultura Tahun 2000 -2014 (%/tahun)
Komoditas Luas Panen Produksi ProduktivitasBuah 1.79 5.65 3.92Sayur 2.42 2.54 0.12Tanaman Obat 6.29 8.30 2.17Tanaman Hias -4.01 9.58 11.87
Total 2.18 4.55 1.52
4.2.3. Produk Domestik Bruto
Sejalan dengan peningkatan produksi hortikultura, maka PDB juga akan meningkat.
Dalam tahun 2014 PDB hortikultura diproyeksikan sebasar 103,59 trilyun rupiah atau
peningkatan dengan laju 6.51%/tahun (Tabel 4.2.2). Kelompok komoditas buah akan
memberikan kontribusi PDB hortikultura terbesar yaitu senilai 58.8 trilyun rupiah (56.8%),
disusul kelompok sayuran sebasar 36,04 trilyun rupiah (34,8%), kelompok tanaman hias
sebasar 7,46 trilyun rupiah (7,2%) dan kelompok tanaman obat senilai 1,24 trilyun rupiah
(1,2%).
Dilihat dari laju pertumbuhan masing-masing, sampai dengan tahun 2014
pertumbuhan PDB terbesar terjadi pada kelompok komoditas tanaman obat sebesar
7.7%/tahun, disusul tanaman hias 6,9%/tahun, kelompok buah 6.64%/tahun dan sayuran
6.46%/tahun.
36
Tabel 4.2.2. Proyeksi PDB Hortikultura, 2010-2014
Tahun Buah Sayur T. Obat T. Hias Total2000 22,864.84 14,005.97 396.65 2,710.732 39,978.22010 50,809.19 31,129.57 1,073.43 6,440.602 89,452.82011 52,816.45 32,359.37 1,115.84 6,695.042 92,986.72012 54,823.70 33,589.17 1,158.24 6,949.483 96,520.62013 56,830.96 34,818.97 1,200.65 7,203.924 100,054.52014 58,838.21 36,048.76 1,243.06 7,458.365 103,588.4
Laju (%/th) 6.64 6.46 7.70 6.90 6.51
4.2.4. Perdagangan
Globalisasi dan liberalisasi perdagangan menyebabkan semakin terintegrasinya
sistem perdagangan produk-produk pertanian Indonesia ke dalam perdagangan pertanian
dunia seperti: pembentukan harga dan preferensi konsumen yang semakin mengarah
kepada preferensi yang bersifat universal. Dinamika yang bersifat multi-facet tersebut
membawa pengaruh terhadap kinerja agribisnis hortikultura nasional dan tidak mungkin bisa
dihindari, namun sekaligus memberikan peluang dan tantangan yang harus dihadapi dalam
pembangunan hortikultura kedepan.
Pasar komoditas akan semakin luas sejalan dengan dihapuskannya berbagai
hambatan perdagangan antar negara, namun juga dapat menimbulkan masalah jika
komoditas yang diproduksi secara lokal tidak mampu bersaing dengan negara lain sehingga
pasar domestik semakin dibanjiri oleh komoditas impor, yang pada gilirannya akan
merugikan petani. Kecenderungan tersebut tampaknya terus meningkat, yang ditandai oleh
makin intensnya upaya dominasi melalui kaidah-kaidah pengintegrasian sistem ekonomi dan
non ekonomi lintas negara, baik berupa pasar, perusahaan multi nasional, produksi,
finansial maupun investasi, dan lain-lain ke dalam skala global bersamaan dengan nuansa
persaingan antar negara yang makin tajam.
Dalam jangka pendek, sampai dengan tahun 2014, perdagangan hortikultura akan
menghadapi persaingan pasar dunia yang makin tajam, terutama dengan Negara satu
ASEAN kawasan seperti Thailand, Malaysia dan Vietnam. Hal ini karena produk yang
diperdagangkan relatif sama yaitu produk tropis. Sejalan dengan penguatan agribisnis
hortikultura dalam negeri juga akan diikuti oleh meningkatnya permintaan akan produk
hortikultura yang makin beragam. Pasar domestik yang besar tidak cukup dipenuhi oleh
pasar produksi dalam negeri sehingga impor tidak terbendung, terutama buah dan sayuran.
Pada komoditas tanaman hias akan terjdi peningkatan perdagangan sejalan dengan
peningkatan kemampuan industri tanaman hias domestik, dan sejalan dengan itu ekspor
37
produk tanaman hias akan mengalami peningkatan. Pada sisi lain berkembangnya pasar
dan kemampuan industri pengoalahan domestik telah menghela peningkatan produksi
bahan baku tanaman obat, peningkatan kualitas produk yang dihasilkan akan
menumbuhkan ekspor
4.2.5. Penyerapan Tenaga Kerja
Keberhasilan pembangunan hortikultura kedepan akan sangat ditentukan oleh
kemampuan pelaku usaha hortikultura, baik yang bergerak di bidang usahatani (on farm),
maupun pasca panen, pengolahan dan pemasaran. Untuk itu kualitas sumber daya manusia
hortikultura, baik pelaku usaha, maupun petugas lapang/pembina, pakar, pemerintah dan
pemerhati lain menjadi unsur sentral penentu keberhasilan.
Pertumbuhan usaha agribisnis hortikultura dengn sendirinya akan membuka peluang
lapangan kerja baru di masyarakat. Sampai dengan tahun 2014, penyerapan tenaga kerja
pada kegiatan on farm akan meningkat menjadi 4,6 juta jiwa atau peningkatan sebesar 91%
dalam kurun waktu 14 tahun, atau 4.43%/tahun (Tabel 4.2.4). Apabila diperhitungkan usaha
agribisnis secara keseluruhan, dengan asumsi pertumbuhan penyerapan lapangan kerja
sama, maka dalam tahun 2014 agribisnis hortikultura diproyeksikan akan menyerap tenaga
kerja sebesar 13.7 juta jiwa, suatu kenaikan sebesar 138% dibandingkan penyerapan
tenaga kerja tahun 2003 sebesar 8.4 juta jiwa. Penyerapan tenaga kerja terbesar adalah
pada usaha sayuran (71.9%) menyusul usaha buah (27,3%), sementara usaha tanaman
obat dan tanaman hias relatif rendah (di bawah 1%).
Tabel 4.2.4. Proyeksi Penyerapan Tenaga Kerja Hortikultura Tahun 2000-2014 (orang)
Tahun Buah Sayur T. Obat T. Hhias Total2000 351.18 2,051.57 5.87 1.49 2,410.112010 1,002.49 2,933.81 26.42 3.02 3,965.742011 1,067.37 3,030.89 27.15 3.21 4,128.622012 1,132.24 3,127.98 27.83 3.39 4,291.432013 1,197.11 3,225.07 28.45 3.57 4,454.202014 1,261.99 3,322.17 29.03 3.75 4,616.93
Laju (%/th) 8.52 3.25 9.39 5.87 4.43
4.3. Komoditas Perkebunan
4.3.1. Luas Areal dan Produksi
Sebagian besar komoditas perkebunan diproyeksikan masih akan mengalami
pertumbuhan luas areal dan produksi selama 2010-2014, dengan laju pertumbuhan luas
38
areal sekitar 0.04-5.73% dan laju pertumbuhan produksi sekitar 0.004-8.85% per tahun
(Tabel 4.3.1). Jambu mete, kelapa sawit dan kakao masih akan mengalami pertumbuhan
luas areal yang cepat, sedangkan lainnya lambat (tebu dan cegkeh) dan sangat lambat
(kelapa, karet, dan lada).
Tabel 4.3.1. Proyeksi Luas Areal dan Produksi Komoditas PerkebunanUtama, Tahun 2010-2014.
Komoditas
Luas Areal ProduksiLaju
2010-2014(%/th)
Luas2014(ha)
Laju2010-2014
(%/th)
Produksi2014(ton)
Kelapa sawit 5.33 9,892,260 8.75 33,165,165Kelapa 0.32 3,857,784 0.17 3,289,052Karet 0.30 3,486,548 1.74 2,777,600Kakao 5.73 2,063,553 4.18 995,127Kopi -0.84 1,226,631 -0.53 669,820Cengkeh 1.38 496,529 2.70 123,263Tebu 2.39 477,299 4.13 3,167,811Lada 0.85 192,699 0.57 86,171Tembakau -0.24 192,083 -0.22 121,226Teh -2.45 112,821 -1.11 143,791Panili -0.47 26,749 -0.33 3,019Jambu mete 0.04 1,022 0.004 145,106Keterangan: Data selengkapnya diperlihatkan pada Lampiran 4.3.1.
Untuk produksi, laju pertumbuhan yang cepat dialami oleh kelapa sawit, kakao, dan
tebu, sedangkan pertumbuhan lambat terjadi pada cengkeh dan karet, dan pertumbuhan
sangat lambat dialami oleh kelapa, lada dan jambu mete. Sementara itu, 4 komoditas
diproyeksikan akan mengalami penurunan luas areal dan produksi, yaitu teh, kopi, panili dan
tembakau, yaitu sekitar 0.24-2.45% per tahun untuk luas areal dan sekitar 0.22-1.11% per
tahun untuk produksi.
Luas areal dan produksi komoditas perkebunan pada tahun 2014 diproyeksikan
seperti pada Tabel 4.3.1, yaitu sekitar 1,022 ha sampai 9,892,260 ha untuk luas areal dan
3,019 ton samai 33,165,165 ton untuk produksi. Lima komoditas akan tetap mendominasi
luas areal, yaitu kelapa sawit, kelapa, karet, kakao dan kopi.
4.3.2. Perdagangan
Nilai ekspor komoditas perkebunan utama selama 2010-2014 diproyeksikan
sebagian besar akan meningkat dan sebagian kecil menurun (Tabel 4.3.2). Komoditas yang
akan meningkat nilai ekspornya adalah yang berasal dari kelapa sawit, karet, kakao, kelapa,
39
lada, jambu mete, tebu, dan cengkeh dengan laju peningkatan yang bervariasi dari 0.96-
18.54%. Sementara komoditas yang menurun nilai ekspornya adalah yang berasal dari kopi,
the, panili dan tembakau dengan laju penurunan yang bervariasi sekitar 0.30-1.52%.
Komoditas dengan laju peningkatan nilai ekpor paling cepat adalah yang berasal dari kelapa
sawit (18.54%) dan tebu (17.27%). Proyeksi nilai ekspor yang meningkat atau menurun
berkorelasi dengan perkembangan produksi pada masa sebelumnya (existing). Secara total,
laju peningkatan nilai ekspor diproyeksikan akan meningkat rata-rata 16.71% dan pada
tahun 2014 total nilai ekpor akan mencapai sekitar US$83 milyar dengan kontribusi utama
dari kelapa sawit, karet dan kakao.
Tabel 4.3.2. Proyeksi Nilai Ekspor, Nilai Impor dan Neraca Perdagangan KomoditasPerkebunan Utama, 2010-2014.
Komoditas
Nilai Ekspor Nilai Impor NeracaLaju
2010-2014(%)
Nilai2014
(US$’000)
Laju2010-2014
(%)
Nilai2014
(US$’000)
Nilai2014
(US$’000)%
Kelapa sawit 18.54 76,956,702 -6.12 8,331 76,948,371 99.99Karet 5.24 5,721,958 -1.01 16,892 5,705,066 99.70Kakao 7.49 3,157,210 -8.11 47,192 3,110,018 98.51Kopi -1.49 697,079 1.78 29,213 667,865 95.81Kelapa 1.21 482,530 -0.14 146 482,384 99.97Lada 0.95 155,801 -0.82 1,395 154,406 99.10Jambu mete 5.61 151,729 -7.92 1,594 150,134 98.95Teh -1.52 144,784 6.14 24,343 120,441 83.19Tebu 17.27 367,360 -4.64 345,000 22,359 6.09Cengkeh 2.40 7,276 -12.10 27 7,250 99.63Panili -0.30 4,920 0.76 171 4,749 96.53Tembakau -0.34 166,290 0.44 304,762 -138,471 -83.27Total 16.71 88,013,639 -2.43 779,066 87,234,573 99.11
Total nilai impor komoditas perkebunan selama 2010-2014 diproyeksikan akan
menurun 2.43% (Tabel 4.3.2). Komoditas-komoditas yang nilai ekspornya diproyeksikan
akan meningkat, nilai impornya diproyeksikan akan menurun dan sebaliknya jika proyeksi
nilai ekpornya menurun. Total nilai impor pada tahun 2014 diproyeksikan akan mencapai
US$779 juta.
Neraca perdagangan hampir semua komoditas perkebunan, kecuali tembakau,
selama 2010-2014 diproyeksikan akan mengalami surplus sebesar 6.09-99.99%, sedangkan
tembakau mengalami deficit 83.27%. Total surplus perdagangan pada tahun 2014
diproyeksikan akan mencapai sekitar US$ 87 milyar, atau surplus 99.11%. Surplus terbesar
adalah pada kelapa sawit, diikuti karet dan kakao. Ini menunjukkan bahwa mayoritas
40
komoditas perkebunan adalah pencetak devisa negara, sementara tembakau adalah
penguras devisa.
4.3.3. Produk Domestik Bruto
PDB riil subsector perkebunan pada periode 2010-2014 diproyeksikan aakn
meningkat rata-rata 2.75%/tahun. Dengan laju pertumbuhan ini, maka PDB rill diproyeksikan
akan meningkat dari Rp 45,887 milyar pada tahun 2009 menjadi Rp 52,641 milyar pada
athun 2014. Dengan demikian, maka subsector perkebunan diharapkan akan memberikan
kontribusi dalam pembentukan PDB sektor pertanian dan PDB nasional.
Gambar 4.3.1. Proyeksi PDB Riil Subsektor Perkebunan Indonesia, 2010-2014 (Rp’ milyar).
4.4. Komoditas Peternakan
4.4.1. Produksi
Daging
Untuk prospek jangka pendek, tingkat pertumbuhan awal yang digunakan untuk
melakukan proyeksi produksi dan konsumsi adalah pertumbuhan selama periode terakhir
(2005-2009). Selain itu, skenario ini mengasumsikan bahwa pertumbuhan produksi daging
dan penduduk sejak 2010 menurun 5%/tahun dari rataan pertumbuhan 2005-2009,
sehingga pertumbuhan tahun-tahun berikutnya tidak sama. Sedangkan pertumbuhan
konsumsi per kapita diasumsikan mengikuti pertumbuhan periode 2005-2009. Hasil proyeksi
0
10,000
20,000
30,000
40,000
50,000
60,000
2009PDB Kebun 45,887
40
komoditas perkebunan adalah pencetak devisa negara, sementara tembakau adalah
penguras devisa.
4.3.3. Produk Domestik Bruto
PDB riil subsector perkebunan pada periode 2010-2014 diproyeksikan aakn
meningkat rata-rata 2.75%/tahun. Dengan laju pertumbuhan ini, maka PDB rill diproyeksikan
akan meningkat dari Rp 45,887 milyar pada tahun 2009 menjadi Rp 52,641 milyar pada
athun 2014. Dengan demikian, maka subsector perkebunan diharapkan akan memberikan
kontribusi dalam pembentukan PDB sektor pertanian dan PDB nasional.
Gambar 4.3.1. Proyeksi PDB Riil Subsektor Perkebunan Indonesia, 2010-2014 (Rp’ milyar).
4.4. Komoditas Peternakan
4.4.1. Produksi
Daging
Untuk prospek jangka pendek, tingkat pertumbuhan awal yang digunakan untuk
melakukan proyeksi produksi dan konsumsi adalah pertumbuhan selama periode terakhir
(2005-2009). Selain itu, skenario ini mengasumsikan bahwa pertumbuhan produksi daging
dan penduduk sejak 2010 menurun 5%/tahun dari rataan pertumbuhan 2005-2009,
sehingga pertumbuhan tahun-tahun berikutnya tidak sama. Sedangkan pertumbuhan
konsumsi per kapita diasumsikan mengikuti pertumbuhan periode 2005-2009. Hasil proyeksi
2009 2010 2011 2012 2013 201445,887 47,165 48,478 49,827 51,215 52,641
40
komoditas perkebunan adalah pencetak devisa negara, sementara tembakau adalah
penguras devisa.
4.3.3. Produk Domestik Bruto
PDB riil subsector perkebunan pada periode 2010-2014 diproyeksikan aakn
meningkat rata-rata 2.75%/tahun. Dengan laju pertumbuhan ini, maka PDB rill diproyeksikan
akan meningkat dari Rp 45,887 milyar pada tahun 2009 menjadi Rp 52,641 milyar pada
athun 2014. Dengan demikian, maka subsector perkebunan diharapkan akan memberikan
kontribusi dalam pembentukan PDB sektor pertanian dan PDB nasional.
Gambar 4.3.1. Proyeksi PDB Riil Subsektor Perkebunan Indonesia, 2010-2014 (Rp’ milyar).
4.4. Komoditas Peternakan
4.4.1. Produksi
Daging
Untuk prospek jangka pendek, tingkat pertumbuhan awal yang digunakan untuk
melakukan proyeksi produksi dan konsumsi adalah pertumbuhan selama periode terakhir
(2005-2009). Selain itu, skenario ini mengasumsikan bahwa pertumbuhan produksi daging
dan penduduk sejak 2010 menurun 5%/tahun dari rataan pertumbuhan 2005-2009,
sehingga pertumbuhan tahun-tahun berikutnya tidak sama. Sedangkan pertumbuhan
konsumsi per kapita diasumsikan mengikuti pertumbuhan periode 2005-2009. Hasil proyeksi
201452,641
41
produksi daging adalah seperti disajikan pada Tabel 4.4.1. Total produksi daging pada tahun
2014 adalah sebesar 2,39 juta ton yang sebagian besar (75,41%) merupakan daging
unggas, sementara daging sapi dan kerbau hanya 20,24%, dan daging kambing dan domba
4,35 persen dari total produksi daging.
Tabel 4.4.1 Proyeksi Produksi Daging di Indonesia, 2009-2014 (ton)
Tahun Unggas Sapi/Kerbau Kado Total2009 1.434.590 442.819 74.106 1.951.5152010 1.509.090 451.705 79.876 2.040.6702011 1.583.540 460.316 85.783 2.129.6392012 1.657.757 468.652 91.811 2.218.2202013 1.731.568 476.715 97.939 2.306.2222014 1.804.810 484.507 104.150 2.393.467
Untuk konsumsi, pertumbuhan per kapita diasumsikan masih tetap mengikuti
pertumbuhan periode 2005-2009, yaitu berturut-turut 4,30%, 3,01%, dan 8,55% untuk
daging unggas, daging sapi dan kerbau serta daging kambing dan domba. Dengan laju
pertumbuhan ini, konsumsi untuk semua jenis daging sampai tahun 2014 diproyeksikan
akan melampaui proyeksi produksi. Jika rasio antara produksi dengan konsumsi dijadikan
indikator swasembada, maka tidak ada satu jenis dagingpun yang mencapai swasembada
sampai tahun 2014 (Tabel 4.4.1), terlebih lagi daging sapi yang dicanangkan mencapai
swasembada pada tahun 2014. Dengan pertumbuhan yang hanya 2,01%/tahun selama
periode 2005-2009 dan cenderung menurun, maka tanpa terobosan yang berarti,
swasembada daging sapi tidak akan pernah tercapai.
Tabel 4.4.2. Proyeksi Konsumsi dan Tingkat Swasembada Daging di Indonesia, 2009-2014.
TahunKonsumsi Daging (ton) Tingkat Swasembada (%)*
Unggas Sapi/Kerbau Kado Total Unggas Sapi/
Kerbau Kado Total
2009 1.439.522 500.928 74.671 2.015.121 99,66 88,40 99,24 96,842010 1.518.385 521.868 81.971 2.122.223 99,39 86,56 97,44 96,162011 1.600.671 543.379 89.934 2.233.984 98,93 84,71 95,38 95,332012 1.686.520 565.476 98.618 2.350.613 98,29 82,88 93,10 94,372013 1.776.074 588.173 108.086 2.472.333 97,49 81,05 90,61 93,282014 1.869.485 611.488 118.406 2.599.379 96,54 79,23 87,96 92,08
*) = (Produksi/Konsumsi)*100%
42
Susu dan Telur
Populasi sapi perah diproyeksikan akan meningkat dari 498.6 ribu ekor pada 2011
menjadi 507 ribu ekor pada tahun 2014. Sementara itu, produksi susu sapi diproyeksikan
meningkat jauh lebih tinggi dibandingkan dengan populasi sapi perah, yaitu dari 961.48 ribu
ton pada tahun 2011 naik menjadi 1059.19 ribu ton pada tahun 2014. Hal ini
mengimplikasikan produktifitas sapi perah diproyeksikan juga akan meningkat dari 1.87
ton/ekor naik menjadi 2.09 ton/ekor (Tabel 4.4.3.).
Tabel 4.4.3. Proyeksi Populasi Sapi Perah dan Ayam Petelur serta Produksi Susu danTelur di Indonesia, 2010-2014.
Tahun
Susu Telur
PopulasiSapi Perah(‘000 ekor)
ProduksiSusu
(‘000 ton)
Produk-tifitas
(ton/ekor)
PopulasiAyam
Petelur(juta ekor)
ProduksiTelur (‘000
ton)
Produk-tifitas
(kg/ekor)
2010 495.23 927.80 1.87 116.18 959.00 8.252011 498.60 961.48 1.93 121.32 1021.94 8.422012 501.82 994.64 1.98 126.42 1085.34 8.592013 504.90 1027.22 2.03 131.46 1149.30 8.742014 507.84 1059.19 2.09 136.44 1213.65 8.90
Sementara itu, populasi ayam petelur diproyeksikan akan meningkat dari 121.32 juta
ekor pada 2011 menjadi 136.44 juta ekor pada 2014, dan produksi telur diproyeksikan akan
meningkat lebih tinggi lagi dibandingkan dengan populasi ayam petelur, yaitu dari 1021.94
ribu ton pada 2011 naik menjadi 1213.65 ribu ton pada 2014. Hal ini mengimplikasikan
bahwa produktifitas ayam petelur meningkat dengan laju pertumbuhan yang relatif besar,
yaitu dari 8.42 kg/ekor pada 2011 naik menjadi 8.9 kg/ekor pada 2014 (Tabel 4.4.3).
4.4.2. Produk Domestik Bruto
PDB sub sektor peternakan diproyeksikan akan meningkat dari Rp 108.56 triliun
pada 2011 menjadi Rp 128.69 triliun pada 2014 (Gambar 4.4.1). Agar hal ini tercapai maka
pemerintah harus selalu berupaya menjaga kestabilan harga input dan harga output
peternakan sehingga hal ini dapat memacu peternak untuk meningkatkan skala
produksinya. Hal ini menjadi penting karena sebagian besar permintaan produk peternakan
dipenuhi oleh produk impor yang pada gilirannya akan menguras devisa negara.
43
Gambar 4.4.1. Proyeksi PDB Riil Sektor Peternakan, 2010-2014 (Rptriliun).
4.5. Investasi Pertanian
Berdasar data realisasi PMA dan PMDN pertanian untuk empat subsektor, dilakukan
proyeksi jangka pendek untuk periode 2011-2014 dengan menggunakan dasar laju
pertumbuhan tahun 2000-2010 yang dikoreksi dengan tingkat penurunan sebesar 5% setiap
tahun. PMA dalam jangka pendek diproyeksikan meningkat untuk subsector perkebunan
sebesar 31,2%/tahun dan subsector tanaman pangan 11,1%/tahun. Sementara itu, untuk
subsektor peternakan dan hortikultura kemungkinan akan turun masing-masing dengan laju
rata-rata 3,2% dan 4,0% per tahun (Tabel 4.5.1). Dalam jangka pendek, moratorium lahan
tidak menunjukkan pengaruh pada laju peningkatan investasi pada subsektor tanaman
perkebunan.
Tabel 4.5.1. Proyeksi Jangka Pendek Nilai PMA menurut Subsektor,2010-2014 (US$ juta).
Tahun T. Pangan Hortikultura Perkebunan Peternakan2010 14,5 0,0 736,4 4,72011 16,2 0,0 929,9 5,12012 18,0 0,0 1.162,1 5,42013 19,9 0,0 1.437,7 5,82014 21,9 0,0 1.761,5 6,1Laju
(%/tahun) 11,1 -4,0 31,2 -3,2
0
20
40
60
80
100
120
140
2010PDB Ternak 108.56
43
Gambar 4.4.1. Proyeksi PDB Riil Sektor Peternakan, 2010-2014 (Rptriliun).
4.5. Investasi Pertanian
Berdasar data realisasi PMA dan PMDN pertanian untuk empat subsektor, dilakukan
proyeksi jangka pendek untuk periode 2011-2014 dengan menggunakan dasar laju
pertumbuhan tahun 2000-2010 yang dikoreksi dengan tingkat penurunan sebesar 5% setiap
tahun. PMA dalam jangka pendek diproyeksikan meningkat untuk subsector perkebunan
sebesar 31,2%/tahun dan subsector tanaman pangan 11,1%/tahun. Sementara itu, untuk
subsektor peternakan dan hortikultura kemungkinan akan turun masing-masing dengan laju
rata-rata 3,2% dan 4,0% per tahun (Tabel 4.5.1). Dalam jangka pendek, moratorium lahan
tidak menunjukkan pengaruh pada laju peningkatan investasi pada subsektor tanaman
perkebunan.
Tabel 4.5.1. Proyeksi Jangka Pendek Nilai PMA menurut Subsektor,2010-2014 (US$ juta).
Tahun T. Pangan Hortikultura Perkebunan Peternakan2010 14,5 0,0 736,4 4,72011 16,2 0,0 929,9 5,12012 18,0 0,0 1.162,1 5,42013 19,9 0,0 1.437,7 5,82014 21,9 0,0 1.761,5 6,1Laju
(%/tahun) 11,1 -4,0 31,2 -3,2
2010 2011 2012 2013 2014108.56 113.28 118.20 123.34 128.69
43
Gambar 4.4.1. Proyeksi PDB Riil Sektor Peternakan, 2010-2014 (Rptriliun).
4.5. Investasi Pertanian
Berdasar data realisasi PMA dan PMDN pertanian untuk empat subsektor, dilakukan
proyeksi jangka pendek untuk periode 2011-2014 dengan menggunakan dasar laju
pertumbuhan tahun 2000-2010 yang dikoreksi dengan tingkat penurunan sebesar 5% setiap
tahun. PMA dalam jangka pendek diproyeksikan meningkat untuk subsector perkebunan
sebesar 31,2%/tahun dan subsector tanaman pangan 11,1%/tahun. Sementara itu, untuk
subsektor peternakan dan hortikultura kemungkinan akan turun masing-masing dengan laju
rata-rata 3,2% dan 4,0% per tahun (Tabel 4.5.1). Dalam jangka pendek, moratorium lahan
tidak menunjukkan pengaruh pada laju peningkatan investasi pada subsektor tanaman
perkebunan.
Tabel 4.5.1. Proyeksi Jangka Pendek Nilai PMA menurut Subsektor,2010-2014 (US$ juta).
Tahun T. Pangan Hortikultura Perkebunan Peternakan2010 14,5 0,0 736,4 4,72011 16,2 0,0 929,9 5,12012 18,0 0,0 1.162,1 5,42013 19,9 0,0 1.437,7 5,82014 21,9 0,0 1.761,5 6,1Laju
(%/tahun) 11,1 -4,0 31,2 -3,2
2014128.69
44
Nilai PMDN dalam jangka pendek diproyeksikan akan meningkat untuk semua
subsektor (Tabel 4.5.2) dan menurut laju pertumbuhan tertinggi secara berturut-turut adalah
subsector perkebunan (59,8%/tahun), subsector peternakan (18,0%tahun), subsektor
tanaman pangan (16,7%/tahun) dan subsector hortikultura (3,0%/tahun). Hal ini juga
menunjukkan bahwa susbsektor perkebunan lebih diminati para investor, terutama untuk
perkebunan tanaman penghasil minyak (Oleaginous) yaitu kelapa sawit. Apabila dalam PMA
subsektor peternakan cenderung tumbuh menurun, maka dalam PMDN realisasi dan jumlah
proyeknya cenderung meningkat. Hal ini sejalan dengan salah satu program pemerintah
yang saat ini sedang berlangsung, yaitu Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) 2014.
Tabel 4.5.2. Proyeksi Jangka Pendek Nilai PMDN menurut Subsektor, 2000-2010 (Rp Milyar).
Tahun T. Pangan Hortikultura Perkebunan Peternakan2010 276,8 16,2 8.612,6 174,22011 230,8 0,0 16.279,3 170,82012 194,3 0,0 30.046,3 167,62013 165,1 0,0 54.185,2 164,62014 141,6 0,0 95.540,4 161,8Laju
(%/tahun) 16,7 3,0 59,8 18,0
Berdasarkan kelompok bidang lapangan industri, baik untuk PMA maupun PMDN
menunjukkan kesamaan bahwa bidang pada subsektor tanaman yang banyak diminati
adalah tanaman serealia selain padi, kacang-kacangan dan biji-bijian penghasil minyak.
Untuk subsektor perkebunan adalah perkebunan tebu, tanaman semusim, tanaman
penghasil minyak, tanaman bahan minuman, tanaman rempah-rempah, tanaman
aromatik/penyegar, narkotika dan obat serta tanaman tahunan lainnya. Investasi pada
subsektor peternakan meliputi usahaternak sapi, kerbau dan ternak lainnya.
45
V. PROSPEK JANGKA PANJANG (2014-2025)
5.1. Komoditas Pangan
5.1.1. Produksi
Tabel 5.1.1. Proyeksi Jangka Panjang Komoditas Tanaman Pangan, 2014-2025 (ton)
Tahun Beras Jagung Kedele K.Tanah Ubi Jalar Ubi Kayu2014 80,710,289 28,173,837 1,031,459 290,425 800,932 2,126,7582015 82,795,298 30,120,973 1,048,599 290,115 806,307 2,145,6092016 84,934,170 32,202,678 1,066,024 289,804 811,717 2,164,6272017 87,128,296 34,428,252 1,083,738 289,494 817,164 2,183,8142018 89,379,104 36,807,639 1,101,747 289,185 822,648 2,203,1712019 91,688,057 39,351,470 1,120,055 288,875 828,168 2,222,7002020 93,938,228 41,935,126 1,137,737 288,575 833,575 2,241,8692021 96,243,622 44,688,414 1,155,698 288,274 839,017 2,261,2032022 98,605,594 47,622,472 1,173,942 287,974 844,495 2,280,7052023 101,025,532 50,749,168 1,192,475 287,674 850,009 2,300,3742024 103,504,859 54,081,151 1,211,300 287,375 855,559 2,320,2132025 106,045,033 57,631,897 1,230,422 287,076 861,145 2,340,223
Laju (%/th)2014-20192019-2025
46
5.2. Komoditas Hortikultura
5.2.1. Status Komoditas Hortikultura
Pertumbuhan hortikultura kedepan dinilai mempunyai prospek yang sangat baik.
Optimisme tersebut didasarkan kepada adanya potensi yang belum didayagunakan baik
sumberdaya alam, genetic dan potensi pasar. Potensi pengembangan hortikultura sangat
besar mencakup keanekaragaman varietas dan kondisi tanah agroklimat sangat kondusif
bagi untuk kegiatan produksi berbagai jenis buah-buahan, sayuran, tanaman hias dan
tanaman biofarmaka. Potensi tersebut belum didayagunakan secara optimal. Semantara itu,
membaiknya kondisi perekonomian di dalam negeri dan internasional akan menumbuhkan
permintaan terhadap produk hortikultura yang beragam.
Kualitas hidup penduduk Indonesia tahun 2025 akan meningkat dibandingkan tahun
2010. Hal ini diikuti dengan perubahan gaya hidup dan pola konsumsi. Preferensi konsumsi
penduduk akan mengarah pada pola makan sehat dengan mengurangi konsumsi
karbohidrat dan memperbanyak konsumsi produk hortikultura untuk pemenuhan serat,
vitamin, mineral dan penyegar stamina tubuh. Selain itu perubahan gaya hidup pun akan
terjadi yang diindikasikan dengan peningkatan kebutuhan tanaman hias, khususnya untuk
keindahan lingkungan sekitar. Peningkatan permintaan tersebut mendorong berkembangnya
kegiatan produksi yang diikuti dengan tumbuhnya sektor pendukung di tingkat hulu dan hilir.
Potensi Komoditas hortikultura mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, sehingga
usaha hortikultura dapat menjadi sumber pendapatan masyarakat petani dan pelaku usaha
lainnya, baik skala mikro, kecil, menengah maupun besar. Usaha hortikultura mempunyai
keunggulan karena mempunyai nilai ekonomi tinggi, jenisnya sangat beragam, ketersediaan
sumber daya (alam, buatan dan manusia) dan teknologi pendukung, serta potensi pasar di
dalam dan di luar negeri yang terus meningkat.
Dalam tahun 2025 diprediksi agribisnis hortikultura akan berada pada tahap maju,
sehingga sub sektor hortikultura akan mempunyai peran dalam ekonomi nasional, baik
dalam pendapatan nasional (PDB), sumber lapangan kerja dan pendapatan masyarakat,
maupun devisa. Permintaan domestik akan produk hortikultura akan meningkat cukup besar
yang didasarkan pada beberapa asumsi sebagai berikut: (1) Jumlah penduduk tahun 2025
akan bertambah menjadi 285 juta jiwa; dan (2) Konsumsi produk hortikultura akan
meningkat tajam sejalan dengan kondisi ekonomi Indonesia pada tahun 2025 yang akan
berada pada level ekonomi sedang-menengah dengan pendapatan masyarakat Indonesia
US$ 13 ribu per kapita.
Proyeksi membaiknya kondisi perekonomian nasional pada tahun 2025 akan
berdampak positif bagi pembangunan subsektor hortikultura di dalam negeri. Perbaikan
47
kondisi ekonomi tahun 2025 yang dipicu oleh perubahan mendasar kebijakan akan
berdampak positif terhadap perbaikan iklim usaha hortikultura. Investasi hortikultura
diperkirakan akan berkembang di semua lini di dalam sistem agribisnis.
Di sisi lain, permintaan pasar internasional juga akan meningkat sejalan dengan
membaiknya kondisi ekonomi di berbagai negara. Hal ini berdampak terhadap peningkatan
peluang ekspor yang potensial sebagai penerimaan devisa negara. Akumulasi permintaan
pasar domestik dan internasional perlu diantisipasi dengan peningkatan kegiatan di sektor
produksi. Sejalan dengan hal tersebut, sektor-sektor pendukung juga akan tumbuh
mengikuti intensitas kegiatan sektor produksi. Pada akhirnya terbangun jaringan kerja
ekonomi yang bersifat lintas sektoral yang secara agregat berpengaruh terhadap
pertumbuhan perekonomian nasional.
5.2.2. Luas panen, produksi dan produktivitas
Berdasarkan perkiraan optimis terhadap dinamika nasional dan global, produksi
hortikultura pada tahun 2025 akan meningkat menjadi 39.5 juta ton atau peningkatan
sebasar 227% dibandingkan dengan kondisi pada tahun 2000 akan meningkat rata-rata
3.18%/tahun. Pertumbuhan tertinggi diproyeksikan akan terjadi pada tanaman hias dengan
laju 7,19%/tahun dan tanaman obat 6.38%/tahun. Sementara produksi buah meningkat
3.59%/tahun dan sayuran 2.27%/tahun (Tabel 5.2.1).
Tabel 5.2.1. Proyeksi Laju Pertumbuhan Luas Panen, Produksi dan ProduktivitasKomoditas Hortikultura, Tahun 2000-2025 (%/tahun)
Komoditas` Luas panen Produksi ProduktivitasBuah 1.65 3.59 1.99Sayur 2.17 2.27 0.10Tanaman Obat 5.04 6.38 1.43Tanaman Hias 2.99 7.19 2.78Total 1.98 3.18 0.71
Pada tahun 2025, produksi buah diproyeksikan akan mencapai 23.8 juta ton (naik
119.4% dibanding tahun 2010), produksi sayuran 14.16 juta ton (naik 135.5% dibanding
tahun 2010), produksi tanaman obat 0.92 juta ton (naik 203.8% dibanding tahun 2010, dan
produksi tanaman hias 39.55 juta ton (naik 126.8% dibanding tahun 2010).
Kenaikan produksi hortikultura terjadi karena peningkatan luas area panen dan
peningkatan produktivitas. Secara keseluruhan luas panen hortikultura pada tahun 2000-
2025 akan meningkat dengan laju 1.98%/tahun. Pertumbuhan luas panen lebih cepat terjadi
pada tanaman obat 5.04%/tahun, disusul Tanaman hias sebesar 2.99%/tahun, sayuran
2.17%/tahun dan buah 1.65%/tahun. Pada tahun 2025 luas tanaman buah diproyeksikan
48
seluas 23.8 juta ha; sayuran 14.16 juta ha, tanaman obat 0,94 juta ha dan tanaman hias
0.64 juta hektar.
Produktifitas hortikultura tahun 2000-2025 akan meningkat dengan laju 0,71%/tahun.
Laju kenaikan produktifitas paling tinggi terjadi pada tanaman hias yaitu 2.78%/tahun sejalan
dengan penerapan inovasi teknologi yang cepat. Kenaikan produktifitas juga terjadi pada
tanaman buah sebesar 1.99%/thun, tanaman obat 1.43%/tahun dan sayuran 0,1%/tahun.
Kenaikan produksi hortikultura berarti pula kenaikan ketersediaan produk hortikultura
di masyarakat, sehingga konsumsi per kapita masyarakat Indonesia akan produk
hortikultura akan mengalami peningkatan. Dalam tahun 2010 – 2025 konsumsi buah dan
sayuran akan meningkat masing masing dari 32,6 kg/kapita/tahun dan 40,7 kg/kapita/tahun
menjadi masing-masing sebesar 75 kg/kapita/tahun atau meningkat sebesar 130% untuk
buah dan 84,3% untuk sayuran. Dengan kondisi demikian maka konsumsi buah dan
sayuran pada tahun 2025 akan memenuhi standar minimal FAO sebesar 73 kg/kapita/tahun.
5.2.3. Produk Domestik Bruto
PDB pada hortikultura tahun 2025 diproyeksikan sebesar 142.46 trilyun rupiah atau
peningkatan sebesar 156% dibandingkan tahun 2000 dengan laju peningkatan sebesar
4.90%/tahun (Tabel 5.2.2). Besarnya nilai PDB pada tahun 2025 tersebut merupakan 356%
dibandingkan PDB tahun 2000 atau peningkatan 159% dibandingkan PDB tahun 2010.
Kelompok komoditas buah akan memberikan kontribusi PDB hortikultura terbesar yaitu
56.7%, disusul kelompok sayuran 34.0%, kelompok tanaman hias 7,8% dan kelompok
tanaman obat 1,2%.
Tabel 5.2.2. Proyeksi PDB Riil Subsektor Hortikultura, Tahun 2000-2025 (Rp’milyar)
Tahun Buah Sayur T. Obat T. Hias Total2000 22,864.84 14,005.97 396.65 2,710.73 39,978.22015 60,845.47 37,278.56 1,285.46 7,712.81 107,122.32016 62,742.07 38,231.72 1,383.20 8,299.22 110,656.22017 64,745.79 39,452.68 1,427.37 8,564.26 114,190.12018 66,749.51 40,673.64 1,471.55 8,829.30 117,724.02019 68,753.23 41,894.60 1,515.72 9,094.34 121,257.92020 70,756.95 43,115.57 1,559.89 9,359.39 124,791.82021 72,760.67 43,630.74 1,860.72 1,0073.57 128,325.72022 74,764.39 44,832.26 1,911.96 1,0350.98 131,859.62023 76,768.11 46,033.79 1,963.20 1,0628.39 135,393.52024 78,771.84 47,235.32 2,014.44 10,905.80 138,927.42025 80,775.56 48,436.84 2,065.68 11,183.21 142,461.3
Laju (%/th) 4.87 4.78 6.26 5.45 4.90
49
Dilihat dari laju pertumbuhan masing-masing kelompok komoditas, dalam jangka
panjang sampai dengan tahun 2025 pertumbuhan PDB terbesar terjadi pada kelompok
komoditas tanaman obat yaitu 6kelompok sayuran 4.78%/tahun.
5.2.4. Perdagangan
Dengan peningkatan produksi juga dimungkinkan terjadinya peningkatan ekspor.
Dirjen Hortikultura memproyeksikan dalam tahun 2010-2025 ekspor produk hortikultura
meningkat dari US$ 297,1 juta menjadi US $ 970 juta atau peningkatan 226,5%. Sementara
Impor produk hortikultura dapat ditekan, sehingga pada tahun 2025 Indonesia mencapai
surplus perdagangan produk hortikultura.
Peningkatan ekspor terutama didorong oleh ekspor produk tanaman hias dan
tanaman obat. Pada tahun 2025, Indonesia diperkirakan akan menempati posisi kelima
terbesar pemasok bunga potong di wilayah Asia setelah Jepang, China, India dan Korea
Selatan. Sementara itu, pada tahun 2025 produksi tanaman obat diperkirakan akan
mencapai 0.942 juta ton dengan luas areal 41,9 ribu ha, yang juga akan berkontribusi dalam
perdagangan hortikultura dunia.
5.2.5. Penyerapan Tenaga Kerja
Peran SDM pelaku usaha akan sangat menentukan keberhasilan pembangunan
hortikultura kedepan. Pengusaha/pelaku usaha pada komoditas hortikultura tersebut adalah
pelaku produksi/petani, pelaku pemasaran (pedagang, pengepul, supplier, pengecer/
retailer, dll), pelaku usaha pengolahan produk hortikultura, pelaku penyedia sarana produksi
untuk komoditas hortikultura (penangkar benih, penjual pupuk, dll.), dan lain sebagainya.
Disamping itu, peran dari petugas lapang/pembina, pakar dan pemerintah juga makin
penting.
Pertumbuhan usaha agribisnis hortikultura akan menciptakan peluang lapangan
kerja baru dari masyarakat. Pada tahun 2025 kegiatan on farm hortikultura akan menyerap
tenaga kerja sebesar 6.4 juta jiwa. Penyerapan tenaga kerja terbesar adalah usaha
sayuran (68.54%) menyusul usaha buah (30.84%), tanaman obat sebasar 0.53% dan
tanaman hias 0,09% (Tabel 5.2.3). Apabila diperhitungkan usaha agribisnis secara
keseluruhan, dengan asumsi pertumbuhan penyerapan lapangan kerja yang sama, maka
pada tahun 2025 agribisnis hortikultura diproyeksikan akan menyerap tenaga kerja sebesar
19.7 juta jiwa atau 170% dibandingkan penyerapan tenaga kerja pada tahun 2014.
50
Tabel 5.2.3. Proyeksi Penyerapan Tenaga Kerja Subsektor Hortikultura, Tahun2000-2025 (000 orang).
Tahun Buah Sayur T. Obat T. Hias Total2000 351.18 2,051.57 5.87 1.49 2,410.112014 1,261.99 3,322.17 29.03 3.75 4,616.932015 1,326.86 3419.26 29.57 3.93 4,779.612016 1,391.73 3,516.35 30.08 4.11 4,942.272017 1,456.61 3,613.44 30.56 4.29 5,104.892018 1,521.48 3,710.53 31.02 4.47 5,267.492019 1,586.35 3,807.62 31.45 4.65 5,430.072020 1,651.22 3,904.71 31.86 4.83 5,592.622021 1,716.11 4,001.81 32.25 5.02 5,755.162022 1,780.97 4,098.89 32.62 5.21 5,917.682023 1,845.84 4,195.98 32.98 5.38 6,080.182024 1,910.72 4,293.08 33.32 5.56 6,242.672025 1,975.59 4,390.17 33.65 5.74 6,405.14
Laju (%/tahun) 6.52 2.92 5.85 4.96 3.77
5.3. Komoditas Perkebunan
5.3.1. Luas Areal dan Produksi
Dalam jangka panjang (2014-2025), sebagian besar komoditas perkebunan
diproyeksikan masih akan mengalami pertumbuhan luas areal dan produksi selama dengan
laju pertumbuhan luas areal sekitar 0.04-10.74% dan laju pertumbuhan produksi sekitar
0.002-9.05% selama 11 tahun (Tabel 5.3.1). Kapas, kakao dan kelapa sawit masih akan
mengalami pertumbuhan luas areal areal yang cepat, sementara kopi, teh, tembakau dan
panili akan mengalami penurunan luas areal. Untuk produksi, laju pertumbuhan yang cepat
dialami oleh kelapa sawit dan kapas, sedangkan kopi, teh, tembakau dan panili akan
mengalami penurunan luas areal.
Luas areal dan produksi komoditas perkebunan pada tahun 2025 diproyeksikan
sekitar 1,026 ha sampai 17,155,619 ha untuk luas areal dan 2,916 ton sampai 61,198,230
ton untuk produksi. Lima komoditas akan tetap mendominasi luas areal, yaitu kelapa sawit,
kelapa, kakao, karet, dan kopi.
Dalam jangka panjang, komoditas perkebunan akan dihadapkan pada persaingan
dengan sesama komoditas perkebunan di dalam negeri dan komoditas perkebunan negara
lain di pasar dunia. Komoditas kelapa sawit, karet dan kakao masih akan tetap menjadi
komoditas andalan, baik di dalam negeri maupun di pasar global. Pesaing utama Indonesia
untuk kelapa sawit, yaitu Malaysia sudah ditundukkan oleh Indonesia dari segi kuantitas
51
produksi karena unggul dalam ketersediaan lahan dan tenaga kerja. Demikian pula, untuk
karet, Indonesia sudah mengalahkan Malaysia dan akan mengalahkan Thailand yang saat
ini masih merupakan produsen utama. Untuk kakao, pasar masih bagus dan masalahnya
tinggal mengatasi hama penggerek buah kakao (PBK).
Tabel 5.3.1. Proyeksi Luas Areal dan Produksi Komoditas Perkebunan,2014-2025.
KomoditasLuas Areal Produksi
Laju2014-2025(%/tahun)
Luas2025(ha)
Laju2014-2025(%/tahun)
Produksi2025(ton)
Kelapa sawit 5.01 17,155,619 5.49 61,198,230Kelapa 0.31 3,992,029 0.20 3,360,121Kakao 5.37 3,723,523 3.85 1,520,743Karet 0.29 3,598,649 0.83 3,052,245Kopi -0.81 1,122,411 -0.54 631,333Tebu 2.28 613,052 2.59 4,229,695Cengkeh 1.32 574,095 1.63 147,942Lada 0.81 210,736 0.56 91,658Tembakau -0.23 187,312 -0.18 118,836Teh -2.38 86,797 -1.41 123,317Kapas 10.74 75,970 9.05 16,192Panili -0.45 25,453 -0.32 2,916Jambu mete 0.04 1,026 0.02 145,383
5.3.2. Perdagangan
Nilai ekspor komoditas perkebunan utama selama 2014-2025 diproyeksikan
sebagian besar akan meningkat dan sebagian kecil menurun (Tabel 5.3.2). Komoditas yang
akan meningkat nilai ekspornya adalah yang berasal dari kelapa sawit, karet, kakao, kelapa,
lada, tebu (produk sampingan), jambu mete, dan cengkeh dengan laju peningkatan yang
bervariasi dari 0.26-261.76% selama 11 tahun. Sementara komoditas yang menurun nilai
ekspornya adalah yang berasal dari kopi, teh, panili dan tembakau dengan laju penurunan
yang bervariasi sekitar 3.14-19.46% selama 11 tahun. Komoditas dengan laju peningkatan
nilai ekpor paling cepat adalah yang berasal dari kelapa sawit (261.76%) dan tebu
(226.15%). Proyeksi nilai ekspor yang meningkat atau menurun berkorelasi dengan proyeksi
produksi. Secara total, laju peningkatan nilai ekspor diproyeksikan akan meningkat 213,29%
selama 11 tahun dan pada tahun 2025 total nilai ekpor akan mencapai sekitar US$ 112.5
milyar dengan kontribusi utama dari kelapa sawit, karet dan kakao.
52
Total nilai impor komoditas perkebunan selama 2014-2025 diproyeksikan akan
menurun rata-rata 15.91% (Tabel 5.3.2). Komoditas-komoditas yang nilai ekspornya
diproyeksikan akan meningkat, nilai impornya diproyeksikan akan menurun dan sebaliknya
jika proyeksi nilai ekpornya menurun. Total nilai impor pada tahun 2025 diproyeksikan akan
mencapai US$768 juta.
Tabel 5.3.2. Proyeksi Nilai Ekspor, Nilai Impor dan Neraca Perdagangan KomoditasPerkebunan Indonesia, 2014-2025
Komoditas
Ekspor Impor NeracaLaju
2014-2025(%/th)
Nilai 2025(US$'000)
Laju2014-2025
(%/th)
Nilai 2025(US$'000)
Nilai 2025(US$’000) %
Kelapa sawit 261.76 100,320,840 -37.20 7,640 100,313,200 99.99Karet 33.15 5,608,291 -5.52 16,964 5,591,327 99.70Kakao 115.29 4,406,946 -59.39 31,750 4,375,196 99.28Kopi -15.92 641,402 22.52 32,202 609,200 94.98Kelapa 16.50 523,066 -1.72 144 522,922 99.97Lada 10.96 163,390 -8.67 1,338 162,052 99.18Tebu 226.15 460,630 -29.19 324,983 135,647 29.45Teh -19.46 127,802 130.28 39,197 88,605 69.33Jambu mete 0.26 82,893 -0.37 3,980 78,913 95.20Cengkeh 18.17 7,456 -59.02 24 7,433 99.68Panili -3.20 4,849 8.57 177 4,672 96.35Tembakau -3.14 164,354 4.27 309,485 -145,131 -88.30Total 213.29 112,511,920 -15.91 767,885 111,744,036 99.32
Neraca perdagangan hampir semua komoditas perkebunan, kecuali tembakau,
selama 2014-2025 diproyeksikan akan mengalami surplus sebesar 29.45-99.99%,
sedangkan tembakau mengalami deficit 88.30%. Total surplus perdagangan pada tahun
2025 diproyeksikan akan mencapai sekitar US$ 111.7 milyar, atau surplus 99.32%. Surplus
terbesar adalah pada kelapa sawit, diikuti karet dan kakao. Ini menunjukkan bahwa
mayoritas komoditas perkebunan adalah pencetak devisa negara, dan hanya tembakau
yang menjadi komoditas penguras devisa.
5.3.3. Produk Domestik Produk
PDB riil subsektor perkebunan selama 2014-2025 diproyeksikan akan meningkat
rata-rata 1.85%/tahun, sejalan dengan proyeksi produksi perkebunan untuk periode yang
sama. Sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 5.3.1, PDB riil sektor perkebunan akan
meningkat dari Rp 52,641 milyar pada tahun 2014 menjadi Rp 64,709 milyar pada tahun
53
2025. Dengan demikian, maka subsector perkebunan diharapkan akan memberikan
kontribusi dalam pembentukan PDB sektor pertanian dan PDB nasional.
Gambar 5.3.1. Proyeksi PDB Riil Subsektor Perkebunan Indonesia, 2014-2025 (Rp’ milyar)
5.4. Komoditas Peternakan
5.4.1. Produksi
Daging
Hasil proyeksi produksi daging tahun 2014-2025 adalah seperti disajikan pada Tabel
5.4.1. Total produksi daging pada tahun 2015 adalah sebesar 2,48 juta ton, yang terdiri dari
75,71% daging unggas, 25,05% daging sapi dan kerbau, dan 17,38% daging kambing dan
domba (kado). Pada tahun 2025, total produksi daging diproyeksikan sebesar 3,26 juta ton.
Kontribusi daging unggas tetap mendominasi produksi daging, bahkan meningkat menjadi
77,75%. Sementara itu, kontribusi daging sapi dan kerbau serta daging kado terhadap total
produksi daging pada tahun 2025 diproyeksikan masing-masing 17,28% dan 18,93%.
Untuk konsumsi, pertumbuhannya melampaui proyeksi pertumbuhan produksi,
sehingga tingkat swasembada makin rendah. Dengan menggunakan rasio produksi
terhadap konsumsi sebagai indikator swasembada, maka tingkat swasembada daging pada
tahun 2015 dan 2025 masing-masing adalah 90.77% dan turun menjadi 73.68%. Penurunan
tingkat swasembada diproyeksikan terjadi pada daging unggas, daging sapi dan kerbau,
serta daging kambing dan domba (Tabel 5.4.2).
0
10,000
20,000
30,000
40,000
50,000
60,000
70,000
14 15 16PDB Kebun 52,64 53,25 53,88
53
2025. Dengan demikian, maka subsector perkebunan diharapkan akan memberikan
kontribusi dalam pembentukan PDB sektor pertanian dan PDB nasional.
Gambar 5.3.1. Proyeksi PDB Riil Subsektor Perkebunan Indonesia, 2014-2025 (Rp’ milyar)
5.4. Komoditas Peternakan
5.4.1. Produksi
Daging
Hasil proyeksi produksi daging tahun 2014-2025 adalah seperti disajikan pada Tabel
5.4.1. Total produksi daging pada tahun 2015 adalah sebesar 2,48 juta ton, yang terdiri dari
75,71% daging unggas, 25,05% daging sapi dan kerbau, dan 17,38% daging kambing dan
domba (kado). Pada tahun 2025, total produksi daging diproyeksikan sebesar 3,26 juta ton.
Kontribusi daging unggas tetap mendominasi produksi daging, bahkan meningkat menjadi
77,75%. Sementara itu, kontribusi daging sapi dan kerbau serta daging kado terhadap total
produksi daging pada tahun 2025 diproyeksikan masing-masing 17,28% dan 18,93%.
Untuk konsumsi, pertumbuhannya melampaui proyeksi pertumbuhan produksi,
sehingga tingkat swasembada makin rendah. Dengan menggunakan rasio produksi
terhadap konsumsi sebagai indikator swasembada, maka tingkat swasembada daging pada
tahun 2015 dan 2025 masing-masing adalah 90.77% dan turun menjadi 73.68%. Penurunan
tingkat swasembada diproyeksikan terjadi pada daging unggas, daging sapi dan kerbau,
serta daging kambing dan domba (Tabel 5.4.2).
16 17 18 19 20 21 22 2353,88 54,51 55,15 55,80 56,46 58,02 59,62 61,27
53
2025. Dengan demikian, maka subsector perkebunan diharapkan akan memberikan
kontribusi dalam pembentukan PDB sektor pertanian dan PDB nasional.
Gambar 5.3.1. Proyeksi PDB Riil Subsektor Perkebunan Indonesia, 2014-2025 (Rp’ milyar)
5.4. Komoditas Peternakan
5.4.1. Produksi
Daging
Hasil proyeksi produksi daging tahun 2014-2025 adalah seperti disajikan pada Tabel
5.4.1. Total produksi daging pada tahun 2015 adalah sebesar 2,48 juta ton, yang terdiri dari
75,71% daging unggas, 25,05% daging sapi dan kerbau, dan 17,38% daging kambing dan
domba (kado). Pada tahun 2025, total produksi daging diproyeksikan sebesar 3,26 juta ton.
Kontribusi daging unggas tetap mendominasi produksi daging, bahkan meningkat menjadi
77,75%. Sementara itu, kontribusi daging sapi dan kerbau serta daging kado terhadap total
produksi daging pada tahun 2025 diproyeksikan masing-masing 17,28% dan 18,93%.
Untuk konsumsi, pertumbuhannya melampaui proyeksi pertumbuhan produksi,
sehingga tingkat swasembada makin rendah. Dengan menggunakan rasio produksi
terhadap konsumsi sebagai indikator swasembada, maka tingkat swasembada daging pada
tahun 2015 dan 2025 masing-masing adalah 90.77% dan turun menjadi 73.68%. Penurunan
tingkat swasembada diproyeksikan terjadi pada daging unggas, daging sapi dan kerbau,
serta daging kambing dan domba (Tabel 5.4.2).
24 2561,27 62,96 64,70
54
Tabel 5.4.1. Proyeksi Produksi Daging Di Indonesia, 2010-2025 (ton).
Tahun Unggas Sapi/Kerbau Kado Total
2015 1.877.333 492.030 110.424 2.479.7872016 1.948.999 499.288 116.744 2.565.0302017 2.019.680 506.284 123.091 2.649.0552018 2.089.262 513.024 129.449 2.731.7352019 2.157.643 519.512 135.801 2.812.9562020 2.224.731 525.754 142.131 2.892.6162021 2.290.446 531.755 148.425 2.970.6262022 2.354.719 537.521 154.669 3.046.9092023 2.417.492 543.058 160.851 3.121.4012024 2.478.716 548.372 166.958 3.194.0472025 2.538.352 553.470 172.980 3.264.803
Seperti halnya dalam prospek jangka pendek, dalam prospek jangka panjangpun
tanpa terobosan yang berarti dalam pembangunan sub sektor peternakan swasembada
daging makin tidak tercapai. Dengan asumsi pertumbuhan produksi ternak dan penduduk
yang makin menurun dan pertumbuhan konsumsi per kapita tetap, maka senjang antara
produksi dengan konsumsi daging sampai tahun 2025 makin lebar, sehingga indikator
tingkat swasembada makin rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa di masa mendatang
impor daging akan makin meningkat.
Tabel 5.4.2. Proyeksi konsumsi dan tingkat swasembada daging di Indonesia, 2010-2025
TahunTotal Konsumsi Daging (ton) Tingkat Swasembada Daging (%)
Unggas Sapi/Kerbau
Kado Total Unggas Sapi/Kerbau
Kado Total
2014 1.869.485 611.488 118.406 2.599.379 96,54 79,23 87,96 92,08
2015 1.966.909 635.437 129.652 2.731.998 95,45 77,43 85,17 90,77
2016 2.068.512 660.036 141.905 2.870.453 94,22 75,65 82,27 89,36
2017 2.174.466 685.306 155.251 3.015.023 92,88 73,88 79,29 87,86
2018 2.284.951 711.263 169.786 3.166.001 91,44 72,13 76,24 86,28
2019 2.400.155 737.929 185.613 3.323.697 89,90 70,40 73,16 84,63
2020 2.520.274 765.323 202.844 3.488.441 88,27 68,70 70,07 82,92
2021 2.645.514 793.467 221.599 3.660.580 86,58 67,02 66,98 81,15
2022 2.776.090 822.383 242.010 3.840.483 84,82 65,36 63,91 79,34
2023 2.912.224 852.094 264.222 4.028.540 83,01 63,73 60,88 77,48
2024 3.054.152 882.622 288.389 4.225.163 81,16 62,13 57,89 75,60
2025 3.202.118 913.994 314.680 4.430.791 79,27 60,56 54,97 73,68
Untuk mengurangi ketergantungan pada impor daging (terutama daging sapi),
beberapa alternatif kebijakan yang dibutuhkan antara lain adalah: (1) Meningkatkan skala
55
pemeliharaan ternak melalui program pembibitan sapi; (2) Memberikan bantuan kredit sapi
bakalan kepada petani/peternak; (3) Memperbaiki menejemen pemeliharaan sapi melalui
sekolah lapang peternakan sapi; dan (4) Menyediakan kredit lunak untuk sub sektor
peternakan, agar petani/peternak mampu membeli sapi bakalan dan menerapkan teknologi
pemeliharaan sapi, sesuai dengan teknologi yang diperoleh melalui sekolah lapang.
Susu dan Telur
Populasi sapi perah diproyeksikan akan tumbuh relatif lambat selama 2011-2025
yaitu 0.47% per tahun. Dengan laju pertumbuhan tersebut, maka populasi sapi perah
diproyeksikan akan meningkat pada tahun 2011 menjadi 498.6 ribu ekor, lalu meningkat lagi
pada tahun 2020 menjadi 522.90 ribu ekor dan kemudian menjadi 532.63 ribu ekor pada
tahun 2025 (Tabel 5.4.3).
Tabel 5.4.3. Proyeksi Populasi Sapi Perah dan Ayam Petelur serta Produksi Susu danTelur di Indonesia, 2011-2025.
Tahun
Susu TelurPopulasi
Sapi Perah(‘000 ekor)
ProduksiSusu Sapi(‘000 ton)
Produk-tifitas
(ton/ekor)
PopulasiAyam Petelur
(juta ekor)
ProduksiTelur
(‘000 ton)
Produk-tifitas
(kg/ekor)2011 498.60 961.48 1.93 121.32 1021.94 8.422012 501.82 994.64 1.98 126.42 1085.34 8.592013 504.90 1027.22 2.03 131.46 1149.30 8.742014 507.84 1059.19 2.09 136.44 1213.65 8.902015 510.66 1090.51 2.14 141.35 1278.20 9.042016 513.34 1121.14 2.18 146.19 1342.78 9.192017 515.91 1151.05 2.23 150.94 1407.24 9.322018 518.36 1180.23 2.28 155.60 1471.41 9.462019 520.70 1208.66 2.32 160.16 1535.15 9.592020 522.93 1236.31 2.36 164.62 1598.33 9.712021 525.06 1263.18 2.41 168.98 1660.82 9.832022 527.09 1289.26 2.45 173.23 1722.51 9.942023 529.03 1314.55 2.48 177.36 1783.29 10.052024 530.87 1339.04 2.52 181.39 1843.07 10.162025 532.63 1362.75 2.56 185.30 1901.76 10.26Laju
(%/tahun)0.47 2.45 1.99 2.96 4.31 1.39
Sejalan dengan proyeksi populasi sapi perah tesebut, produksi susu sapi
diproyeksikan akan tumbuh relatif cepat selama 2011-2025 yaitu 2.45% per tahun. Dengan
laju pertumbuhan produksi susu sapi tersebut, maka produksi susu sapi diproyeksikan akan
meningkat pada tahun 2011 menjadi 961.48 ribu ton, lalu meningkat lagi pada tahun 2020
menjadi 1236.31 ribu ton dan kemudian menjadi 1362.75 ribu ton pada tahun 2025.
56
Langkah ke depan yang perlu dilakukan antara lain adalah meningkatkan upaya
mencegahan penyakit berbahaya bagi ternak sapi perah dan memberikan bantuan kredit
kepada peternak rakyat guna pengembangan usaha.
Populasi ayam petelur diproyeksikan akan tumbuh relatif cepat selama 2011-2025
yaitu 2.96% per tahun. Dengan laju pertumbuhan populasi ayam petelur tersebut, maka
populasi ayam petelur diproyeksikan akan meningkat pada tahun 2011 menjadi 121.32 juta
ekor, lalu meningkat lagi pada tahun 2020 menjadi 164.62 juta ekor dan kemudian menjadi
185.3 juta ekor pada tahun 2025 (Tabel 5.4.3).
Produksi telur diproyeksikan akan tumbuh sedikit lebih cepat dibandingkan dengan
populasi ayam petelur selama 2011-2025 yaitu 4.31% per tahun. Dengan laju pertumbuhan
produksi telur tersebut, maka produksi telur diproyeksikan akan meningkat pada tahun 2011
menjadi 1021.94 ribu ton, lalu meningkat lagi pada tahun 2020 menjadi 1598.33 ribu ton
dan kemudian menjadi 1901.76 ribu ton pada tahun 2025.
5.4.2. Produk Domestik Bruto
PDB sub sektor peternakan diproyeksikan akan tumbuh relatif cepat selama 2011-
2025 yaitu 4.22% per tahun. Dengan laju pertumbuhan PDB sub sektor peternakan tersebut,
maka PDB sub sektor peternakan diproyeksikan akan meningkat pada tahun 2011 menjadi
Rp 108.56 triliun, lalu meningkat lagi pada tahun 2020 menjadi Rp 166.11 triliun dan
kemudian menjadi Rp. 205.47 triliun pada tahun 2025 (Gambar 5.4.1).
Gambar 5.4.1. Proyeksi PDB Riil Subsektor Peternakan, 2010-2025 (Rp’triliun)
0
50
100
150
200
250
14 15PDB Ternak 128. 134.
56
Langkah ke depan yang perlu dilakukan antara lain adalah meningkatkan upaya
mencegahan penyakit berbahaya bagi ternak sapi perah dan memberikan bantuan kredit
kepada peternak rakyat guna pengembangan usaha.
Populasi ayam petelur diproyeksikan akan tumbuh relatif cepat selama 2011-2025
yaitu 2.96% per tahun. Dengan laju pertumbuhan populasi ayam petelur tersebut, maka
populasi ayam petelur diproyeksikan akan meningkat pada tahun 2011 menjadi 121.32 juta
ekor, lalu meningkat lagi pada tahun 2020 menjadi 164.62 juta ekor dan kemudian menjadi
185.3 juta ekor pada tahun 2025 (Tabel 5.4.3).
Produksi telur diproyeksikan akan tumbuh sedikit lebih cepat dibandingkan dengan
populasi ayam petelur selama 2011-2025 yaitu 4.31% per tahun. Dengan laju pertumbuhan
produksi telur tersebut, maka produksi telur diproyeksikan akan meningkat pada tahun 2011
menjadi 1021.94 ribu ton, lalu meningkat lagi pada tahun 2020 menjadi 1598.33 ribu ton
dan kemudian menjadi 1901.76 ribu ton pada tahun 2025.
5.4.2. Produk Domestik Bruto
PDB sub sektor peternakan diproyeksikan akan tumbuh relatif cepat selama 2011-
2025 yaitu 4.22% per tahun. Dengan laju pertumbuhan PDB sub sektor peternakan tersebut,
maka PDB sub sektor peternakan diproyeksikan akan meningkat pada tahun 2011 menjadi
Rp 108.56 triliun, lalu meningkat lagi pada tahun 2020 menjadi Rp 166.11 triliun dan
kemudian menjadi Rp. 205.47 triliun pada tahun 2025 (Gambar 5.4.1).
Gambar 5.4.1. Proyeksi PDB Riil Subsektor Peternakan, 2010-2025 (Rp’triliun)
15 16 17 18 19 20 21 22 23 24134. 140. 146. 152. 159. 166. 173. 180. 188. 196.
56
Langkah ke depan yang perlu dilakukan antara lain adalah meningkatkan upaya
mencegahan penyakit berbahaya bagi ternak sapi perah dan memberikan bantuan kredit
kepada peternak rakyat guna pengembangan usaha.
Populasi ayam petelur diproyeksikan akan tumbuh relatif cepat selama 2011-2025
yaitu 2.96% per tahun. Dengan laju pertumbuhan populasi ayam petelur tersebut, maka
populasi ayam petelur diproyeksikan akan meningkat pada tahun 2011 menjadi 121.32 juta
ekor, lalu meningkat lagi pada tahun 2020 menjadi 164.62 juta ekor dan kemudian menjadi
185.3 juta ekor pada tahun 2025 (Tabel 5.4.3).
Produksi telur diproyeksikan akan tumbuh sedikit lebih cepat dibandingkan dengan
populasi ayam petelur selama 2011-2025 yaitu 4.31% per tahun. Dengan laju pertumbuhan
produksi telur tersebut, maka produksi telur diproyeksikan akan meningkat pada tahun 2011
menjadi 1021.94 ribu ton, lalu meningkat lagi pada tahun 2020 menjadi 1598.33 ribu ton
dan kemudian menjadi 1901.76 ribu ton pada tahun 2025.
5.4.2. Produk Domestik Bruto
PDB sub sektor peternakan diproyeksikan akan tumbuh relatif cepat selama 2011-
2025 yaitu 4.22% per tahun. Dengan laju pertumbuhan PDB sub sektor peternakan tersebut,
maka PDB sub sektor peternakan diproyeksikan akan meningkat pada tahun 2011 menjadi
Rp 108.56 triliun, lalu meningkat lagi pada tahun 2020 menjadi Rp 166.11 triliun dan
kemudian menjadi Rp. 205.47 triliun pada tahun 2025 (Gambar 5.4.1).
Gambar 5.4.1. Proyeksi PDB Riil Subsektor Peternakan, 2010-2025 (Rp’triliun)
24 25196. 205.
57
5.5. Investasi Pertanian
Hasil proyeksi jangka panjang (2011-2025) investasi pada empat subsektor
pertanian menunjukkan bahwa PMA akan mengalami peningkatan pada empat subsektor
dengan rata-rata laju pertumbuhan 11.1%/tahun untuk subsektor tanaman pangan,
0.6%/tahun untuk subsector hortikultura, 25.5%/tahun untuk subsector perkebunan, dan
0.2%/tahun untuk subsector peternakan (Tabel 5.5.1). Sementara PMDN dalam jangka
panjang diproyeksikan akan mengalami peningkatan pada tiga subsektor, yaitu subsektor
tanaman pangan (4,8%/tahun), subsector perkebunan (54,0%/tahun) dan subsector
peternakan (7,1%/tahun). Subsektor hortikultura diproyeksikan akan mengalami penurunan
sebesar 0,5%/tahun.
Tabel 5.5.1. Proyeksi Jangka Panjang Nilai PMA menurut Subsektor, 2000-2010 (US$ juta).
Tahun T. Pangan Hortikultura Perkebunan Peternakan2015 24,0 0,0 2.138,6 6,52016 26,2 0,0 2.573,4 6,92017 28,4 0,0 3.070,5 7,32018 30,8 0,0 3.633,9 7,62019 33,2 0,0 4.267,4 8,02020 35,6 0,0 4.974,1 8,42021 38,1 0,0 5.756,7 8,82022 40,7 0,0 6.617,1 9,12023 43,2 0,0 7.556,6 9,52024 45,8 0,0 8.575,9 9,92025 48,5 0,0 9.674,9 10,2Laju
(%/tahun) 11,1 0,6 25,5 0,2
Berdasarkan hasil proyeksi jangka panjang, diketahui bahwa subsektor perkebunan
masih menjadi primadona investasi asing dan dalam negeri. Sebaliknya subsektor
peternakan lebih diminati oleh investor dalam negeri, sedangkan investor asing masih
berminat pada subsektor tanaman pangan.
58
DAFTAR PUSTAKA
Ariani, M. 2004. Analisis Situasi Ketersediaan Dan Konsumsi Pengan Hewani. MonographSeries No. 24. Prospek Usaha dan Pemasaran Beberapa Komoditas Pertanian. PusatPenelitian Dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Ilham, N. 2007. Alternatif Kebijakan Peningkatan Pertumbuhan PDB Subsektor PeternakanDi Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian. Vol.5 (4): 335-357.
Ilham, N. 2009. Kelangkaan Produksi Daging: Indikasi dan Implikasi Kebiakannya. AnalisisKebijakan Pertanian. Vol. 7 (1): pp. 43-63.
Ilham, N., Y. Yusdja, A. R. Nurnanaf, B. Winarso, dan Supadi. 2009. Perumusan ModelPengembangan Skjala Usaha dan Kelembagaan Usaha Sapi Potong. Laporan HasilPenelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Kustiari, R., D.K.S. Swastika, Wahida, H.J. Purba, P. Simatupang, A. Purwoto, dan T.Nurasa. 2009. Model Proyeksi Jangka pendek Permintaan dan Penawaran KomoditasPertanian Utama. Laporan Akhir Hasil Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi danKebijakan Pertanian. Bogor
Purnomo, S. 2011. Impor Sapi Australia Resmi Dibuka Lagi. http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2011/07/110708_cattleimport.shtml. Downloaded: 11November 2011.
Simatupang, P. Dan M. Maulana. 2006. Propspek Penawaran dan Permintaan PanganUtama: Analisis Masalah, Kendala, dan Opsi Kebijakan Revitalisasi Produksi.Prosiding Seminar Sehari Hari Pangan Sedunia ke-XXVII, 26 Novemver 2006 diMakasar. ISBN. 797-3566-53-1.
Sompotan, J. 2011. Kurang Konsumsi Daging, Kecerdasan Anak Terancam.http://lifestyle.okezone.com/read/2011/10/12/195/514365/kurang-konsumsi-daging-kecerdasan-anak-terancam Downloaded: 8 November 2011.
Suhendra. 2011a. Realisasi Kuota Impor Sapi Bakal Meleset. Detik.com. http://finance.detik.com/read/2011/10/23/114520/1750288/4/realisasi-kuota-impor-sapi-bakal-meleset. Downloaded: 11 November 2011.
Suhendra. 2011b. Peternak Lokal Khawatir Serbuan Daging Ayam Impor Ilegal.detikFinance. http://finance.detik.com/read/2011/07/03/160111/1673403/4/peternak-lokal-khawatir-serbuan-daging-ayam-impor-ilegal. Downloaded: 28 November 2011.
59
Lampiran 2.2.1. Perkembangan Produksi Komoditas Hortikultura Thaun 2000-2010 (ton)
Tahun Buah Sayur T.Obat T. Hias Total2000 9,127 7,981 179 97 17,3842001 12,249 8,228 210 118 20,8062002 14,076 8,476 240 140 22,9322003 15,372 8,723 271 162 24,5272004 16,377 8,970 301 184 25,8322005 17,198 9,217 332 205 26,9532006 17,893 9,465 362 227 27,9472007 18,494 9,712 393 249 28,8482008 19,025 9,959 424 271 29,,6782009 19,499 10,206 454 292 30,4522010 19,929 10,454 485 314 31,181
Laju (%/th) 4.98 1.32 5.45 10.16 3.68
Lampiran 2.2.2. Perkembangan Luas Areal Komoditas Hortikultura Thaun 2000-2010 (ha)
Tahun Buah Sayur T.Obat T. Hias Total2000 505,349 849,265 12,316 3,804 1,370,7342001 825,536 857,211 12,279 2,841 1,697,8672002 714,851 878,679 11,271 3,290 1,608,0912003 791,103 913,445 12,650 2,527 1,719,7252004 783,291 977,552 14,420 2,584 1,777,8472005 785,311 944,695 18,911 2,458 1,751,3762006 800,608 1,007,839 23,533 1,282 1,833,2622007 727,196 1,020,623 25,055 1,147 1,774,0212008 843,172 989,809 23,484 1,,287 1,857,7522009 880,637 1,070,331 21,220 1,548 1,973,7372010 719,763 1,103,890 17,853 1,902 1,843,408
Laju (%/th) 1.97 2.25 2.72 -11.05 2.64
60
Lampiran 2.2.3. Perkembangan Produktivitas Komoditas Hortikultura Thaun 2000-2010 (ton/ha)
Tahun Buah Sayur T.Obat T Hias Total2000 13.22 9.48 15.64 25.30 12.682001 17.39 9.50 16.55 35.63 12.252002 19.58 9.51 17.30 48.54 14.262003 20.97 9.53 17.92 64.46 14.262004 21.92 9.54 18.46 83.62 14.532005 22.58 9.55 18.92 105.82 15.392006 23.06 9.57 19.32 130.08 15.242007 23.41 9.58 19.67 154.41 16.262008 23.65 9.59 19.98 175.97 15.982009 23.82 9.60 20.26 191.80 15.432010 23.93 9.61 20.51 199.91 16.91
Laju (%/th) 0.58 -1.28 2.6 15.34 2.68
61
Lampiran 3.3.1. Perkembangan Luas Areal Komoditas Perkebunan Utama, Tahun 2000-2010 (ha)
Komoditas 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Sawit 4,158,077 4,713,435 5,067,058 5,283,557 5,284,723 5,453,817 6,594,914 6,766,836 7,363,847 7,873,294 8,036,431
Kelapa 3,691,414 3,897,467 3,884,850 3,913,130 3,797,004 3,803,614 3,788,892 3,787,989 3,783,074 3,799,124 3,808,263
Karet 3,372,421 3,344,767 3,318,359 3,290,112 3,262,267 3,279,391 3,346,427 3,413,717 3,424,217 3,435,270 3,445,121
Kakao 749,917 821,449 914,051 964,223 1,090,960 1,167,046 1,320,820 1,379,279 1,425,216 1,587,136 1,651,539
Kopi 1,260,687 1,313,383 1,372,184 1,291,910 1,303,943 1,256,272 1,308,732 1,295,912 1,295,110 1,266,235 1,268,476
Cengkeh 415,598 429,300 430,212 442,333 438,253 448,857 444,698 453,292 456,471 467,400 470,045
Tebu 340,660 344,441 350,722 335,725 344,793 381,786 396,441 427,799 436,505 422,953 434,257
Tembakau 239,737 260,738 256,081 256,801 200,973 198,212 172,234 198,054 196,627 204,450 193,916
Lada 150,531 186,022 204,068 204,364 201,464 191,992 192,604 189,054 183,082 185,941 186,296
The 153,675 150,872 150,707 143,604 142,548 139,121 135,590 133,734 127,712 123,506 124,573
Panili 15,797 14,749 15,922 15,653 24,251 25,486 31,379 31,806 30,006 27,040 27,256
Kapas 11,553 10,715 9,372 6,357 7,720 5,982 6,263 13,737 11,729 12,622 14,934
Mete 9,868 1,028 1,128 7,835 6,676 6,691 253 253 994 1,020 1,020
62
Lampiran 3.3.2. Perkembangan Produksi Komoditas Perkebunan Utama, Tahun 2000-2010 (ton)
Komoditas 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Sawit*) 8,400,610 10,072,148 11,453,414 12,545,556 13,097,660 14,336,147 20,821,018 21,197,670 21,047,746 23,189,152 23,712,013
Kelapa 3,044,528 3,163,018 3,098,496 3,254,854 3,054,511 3,096,844 3,131,158 3,193,266 3,239,672 3,257,970 3,266,448
Tebu 1,690,004 1,725,467 1,755,354 1,631,918 2,051,644 2,241,742 2,051,644 2,623,786 2,668,428 2,517,374 2,694,227
Karet 1,501,428 1,607,461 1,630,359 1,792,348 2,065,817 2,270,891 2,637,231 2,755,172 2,751,286 2,440,347 2,591,935
Kakao 421,142 536,804 571,155 698,816 691,704 748,828 769,386 740,006 803,594 809,583 844,626
Kopi 554,574 569,234 682,019 671,255 647,386 640,365 682,158 676,476 698,016 682,591 684,076
The 162,587 166,867 165,194 169,821 165,951 166,091 146,858 150,623 153,971 156,901 150,342
Mete 69,927 91,586 110,232 106,932 131,020 135,070 149,138 146,148 156,652 147,403 145,081
Tembakau 204,329 199,103 192,082 200,875 165,108 153,470 146,265 164,851 168,037 176,510 122,276
Cengkeh 59,878 72,685 79,009 76,471 73,837 78,350 61,408 80,404 70,535 82,033 110,807
Lada 69,087 82,078 90,181 90,740 77,008 78,328 77,533 74,131 80,420 82,834 84,218
Kapas 3,786 7,033 6,453 3,440 3,157 2,241 1,627 12,768 3,858 3,145 3,779
Panili 1,681 2,198 2,731 1,659 2,252 2,366 3,768 3,177 3,319 3,007 3,059
63
Lampiran 3.3.3. Perkembangan Nilai Ekspor Komoditas Perkebunan Utama, Tahun 2000-2009 (US$’000)
Komoditas 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009Sawit b) 1,326,398 1,227,165 2,348,638 2,719,304 3,944,457 4,344,303 4,139,286 8,866,445 14,110,229 11,605,431Karet 888,623 786,197 1,037,562 1,494,811 2,180,029 2,582,875 4,321,525 4,868,700 6,023,323 3,241,534Kakao 341,860 389,262 701,034 621,022 546,560 664,338 852,778 924,157 1,268,914 1,413,535Kopi 326,256 188,493 223,916 258,795 294,113 503,836 586,877 636,319 991,458 824,015Kelapaa) 215,163 127,622 181,356 175,980 288,474 437,099 286,448 606,781 803,540 422,127Tembakau 71,287 91,404 76,684 62,874 90,618 117,433 107,787 124,423 133,196 172,629The 112,105 112,524 103,427 95,970 116,018 121,777 134,515 125,243 158,958 171,628Lada 221,090 100,507 89,197 93,445 58,897 58,468 77,258 132,495 185,701 140,313Mete 31,502 28,929 34,810 43,534 58,187 68,972 56,584 82,833 77,755 82,650Tebu c) 5,926 6,288 8,089 4,613 11,396 19,914 50,391 48,649 73,199 62,454Cengkeh 8,281 10,670 25,973 24,929 16,037 14,916 23,533 33,951 7,251 5,586Panili 8,503 19,309 19,160 19,275 16,501 5,347 5,891 6,066 5,565 5,087Kapas 19,812 18,495 19,098 52,292 50,396 50,379 225 5,905 701 700
Total 3,576,806 3,106,865 4,868,944 5,666,844 7,671,683 8,989,657 10,643,098 16,461,967 23,839,790 18,147,689
64
Lampiran 3.3.4. Perkembangan Nilai Impor Komoditas Perkebunan Utama, Tahun 2000-2009 (US$’000)
Komoditas 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009Tebu 290,099 254,217 216,431 223,778 269,490 593,301 544,431 1,048,269 363,504 585,873Tembakau 114,834 139,608 105,953 95,190 120,854 179,201 189,915 267,083 330,510 290,170Kakao 18,953 15,699 64,001 76,205 77,023 82,326 74,185 82,786 113,381 119,321Kopi 11,227 5,085 4,413 5,892 6,867 6,220 11,406 78,314 18,442 24,012Karet 18,120 6,557 7,334 15,555 6,876 6,441 12,926 13,327 24,204 18,918Sawit 6,424 2,524 4,745 3,267 5,094 8,366 2,494 7,036 8,953 16,822The 3,091 3,091 3,651 3,807 5,531 7,161 8,703 11,855 11,990 12,537Mete 353 165 0 25 494 83 65 1,718 1,743 3,997Lada 2,654 4,302 3,115 173 290 516 994 729 918 1,528Panili 254 858 1,346 3,732 2,430 206 274 119 228 157Kelapa*) 78 18 14 610 1,541 3,653 3,693 3,341 190 148Cengkeh 52,390 17,365 653 151 8 1 1 0 0 112Kapas 728,651 1,065,615 707,433 645,838 681,474 581,610 765 188 37 80Total 1,247,128 1,515,104 1,119,090 1,074,223 1,177,972 1,469,085 849,852 1,514,766 874,101 1,073,675
65
Lampiran 3.3.5. Perkembangan Neraca Perdagangan Komoditas Perkebunan UTama, Tahun 2000-2009 (US$’000)
Komoditas 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009Kelapa sawit**) 1,319,974 1,224,641 2,343,893 2,716,037 3,939,363 4,335,937 4,136,792 8,859,409 14,101,276 11,588,609Karet 870,503 779,640 1,030,228 1,479,256 2,173,153 2,576,434 4,308,599 4,855,373 5,999,119 3,222,616Kakao 322,907 373,563 637,033 544,817 469,537 582,012 778,593 841,371 1,155,533 1,294,214Kopi 315,029 183,408 219,503 252,903 287,246 497,616 575,471 558,005 973,016 800,003Kelapa*) 215,085 127,604 181,342 175,370 286,933 433,446 282,755 603,440 803,350 421,979The 109,014 109,433 99,776 92,163 110,487 114,616 125,812 113,388 146,968 159,091Lada 218,436 96,205 86,082 93,272 58,607 57,952 76,264 131,766 184,783 138,785Mete 31,149 28,764 34,809 43,509 57,693 68,889 56,519 81,115 76,012 78,653Cengkeh -44,109 -6,695 25,320 24,778 16,029 14,915 23,532 33,950 7,250 5,474Panili 8,249 18,451 17,814 15,543 14,071 5,141 5,617 5,947 5,337 4,930Kapas -708,839 -1,047,120 -688,335 -593,546 -631,078 -531,231 -540 5,717 664 620Tembakau -43,547 -48,204 -29,269 -32,316 -30,236 -61,768 -82,128 -142,660 -197,314 -117,541Tebu***) -284,173 -247,929 -208,342 -219,165 -258,094 -573,387 -494,040 -999,620 -290,305 -523,419Total 2,329,678 1,591,761 3,749,854 4,592,621 6,493,711 7,520,572 9,793,246 14,947,201 22,965,689 17,074,014
66
Lampiran 3.4.1. Populasi dan Pemotongan Ternak di Indonesia, 1990-2009
TahunPopulasi Jumlah Pemotongan (ekor)
Ayam(rb ekor)
Itik(rb ekor)
Kerbau(ekor)
Sapi(ekor)
Kado(ekor) Ayam Itik Kerbau Sapi Kado
2000 859,497 29,035 2,405,280 11,008,000 19,992,590 1,004,900 15,322 224,000 1,695,370 4,489,0002001 960,164 32,068 2,333,430 11,137,700 19,865,020 1,125,500 25,689 213,000 1,784,040 4,870,0002002 1,218,410 46,001 2,402,990 11,297,600 20,189,780 1,353,800 24,200 207,000 1,692,830 5,820,0002003 1,204,310 33,863 2,459,430 10,504,100 20,532,800 1,397,140 23,610 199,000 1,789,850 6,386,0002004 1,149,370 32,573 2,403,300 10,532,900 20,856,150 1,488,640 24,678 182,346 1,733,360 5,713,0002005 1,174,930 32,405 2,128,490 10,679,500 21,736,320 1,407,140 23,722 176,881 1,735,780 5,060,0002006 1,188,810 32,481 2,166,610 10,875,100 22,769,850 1,575,180 27,255 215,000 1,733,360 6,501,4002007 1,275,400 35,867 2,085,780 11,514,900 24,329,870 1,663,710 49,000 241,000 1,500,000 6,361,5002008 1,253,430 39,840 1,930,720 12,256,600 24,752,740 1,904,000 34,420 282,000 1,730,000 6,602,0002009 1,341,780 42,367 1,925,140 12,859,000 25,968,000 1,910,000 28,690 206,000 1,815,000 7,410,000
Sumber: FAOStat 2011.
67
Lampiran 3.4.2. Produksi dan Net Impor Daging di Indonesia, 1990-2009
TahunProduksi (ton) Net Impor (ton)
DagingUnggas
DagingSapi/Kerbau
DagingKado
TotalDaging
DagingUnggas
DagingSapi/Kerbau
DagingKado
TotalDaging
2000 817,740 385,795 44,890 1,248,425 319 36,008 557 36,8842001 923,520 382,329 48,702 1,354,551 -124 21,993 606 22,4752002 1,104,790 372,599 58,170 1,535,559 -1,922 16,136 182 14,3962003 1,138,960 410,350 63,860 1,613,170 -3,039 15,018 459 12,4382004 1,213,120 487,810 57,130 1,758,060 1,415 17,119 516 19,0502005 1,147,060 396,800 50,600 1,594,460 4,254 28,440 819 33,5132006 1,284,681 439,729 65,014 1,789,424 3,876 33,949 712 38,5372007 1,339,945 381,236 63,615 1,784,796 6,243 52,248 570 59,0612008 1,380,530 431,543 66,027 1,878,100 9,548 55,102 572 65,2222009 1,434,590 442,819 74,106 1,951,515 14,602 58,111 574 73,288
Sumber: FAOSTAT 2011.
68
Lampiran 3.4.3. Ketersediaan dan Konsumsi Daging di Indonesia, 1990-2009
TahunTotal Ketersediaan Daging Penduduk
(000 jiwa)
Konsumsi/Kapita (kg)
Unggas Sapi &Kerbau Kado Total Unggas Sapi &
Kerbau Kado Total
2000 818,059 421,803 45,447 1,285,309 210,611 3.88 2.00 0.22 6.102001 923,396 404,322 49,308 1,377,026 213,395 4.33 1.89 0.23 6.452002 1,102,868 388,735 58,352 1,549,955 216,203 5.10 1.80 0.27 7.172003 1,135,921 425,368 64,319 1,625,608 219,026 5.19 1.94 0.29 7.422004 1,214,535 504,929 57,646 1,777,110 221,839 5.47 2.28 0.26 8.012005 1,151,314 425,240 51,419 1,627,973 224,607 5.13 1.89 0.23 7.252006 1,288,557 473,678 65,726 1,827,961 227,303 5.67 2.08 0.29 8.042007 1,346,188 433,484 64,185 1,843,857 229,919 5.86 1.89 0.28 8.022008 1,390,078 486,645 66,599 1,943,322 232,462 5.98 2.09 0.29 8.362009 1,449,192 500,930 74,680 2,024,803 234,951 6.17 2.13 0.32 8.62
69
Lampiran 3.4.4. Sumbangan Sektor Pertanian terhadap PDB Nasional, Tahun 2000-2009
TahunNominal PDB Sektor Pertanian (Rp’milliar) Persentase PDB Sektor Pertanian (%)
Pertanian TanamanPangan Peternakan Total PDB Pertanian Tanaman
Pangan Peternakan
2000 217.898 112.661 27.035 1.264.919 17,23 8,91 2,142001 263.328 137.752 34.285 1.684.281 15,63 8,18 2,042002 298.877 153.666 41.329 1.863.275 16,04 8,25 2,222003 305.784 157.649 37.354 2.013.675 15,19 7,83 1,862004 329.125 165.558 40.635 2.295.826 14,34 7,21 1,772005 364.169 181.332 44.203 2.774.281 13,13 6,54 1,592006 433.224 214.346 51.075 3.339.217 12,97 6,42 1,532007 541.932 265.091 61.325 3.950.893 13,72 6,71 1,552008 716.065 349.795 82.676 4.951.357 14,46 7,06 1,672009 858.252 418.964 104.040 5.613.442 15,29 7,46 1,85
Rataan:2000-2005 296.530 151.436 37.474 1.982.710 15,26 7,82 1,932005-2009 582.728 285.906 68.664 4.125.838 13,91 6,84 1,64
Laju (%/th):2000-2005 9,31 8,45 8,19 14,10 -5,29 -6,00 -5,712005-2009 22,17 21,65 21,94 18,03 3,89 3,37 3,852000-2009 14,22 13,38 12,90 16,01 -1,32 -1,94 -1,57
70
Lampiran 5.2.1. Proyeksi Produksi Hortikultura Tahun 2000-2025 (000 ton )
Data Tahun Buah Sayur T.Obat T. Hias Total
Aktual
2000 9,127 7,981 179 97 17,3842001 12,249 8,228 210 118 20,8062002 14,076 8,476 240 140 22,9322003 15,372 8,723 271 162 24,5272004 16,377 8,970 301 184 25,8322005 17,198 9,217 332 205 26,9532006 17,893 9,465 362 227 27,9472007 18,494 9,712 393 249 28,8482008 19,025 9,959 424 271 29,6782009 19,499 10,206 454 292 30,4522010 19,929 10,454 485 314 31,181
Proyeksi
2011 20,321 10,701 515 336 31,8722012 20,681 10,948 546 358 32,5322013 21,015 11,195 576 379 33,1662014 21,326 11,443 607 401 33,7762015 21,616 11,690 637 423 34,3661016 21,889 11,937 668 444 34,9392017 22,147 12,184 699 466 35,4962018 22,391 12,432 729 488 36,0392019 22,622 12,679 760 510 36,5702020 22,841 12,926 790 531 37,0892021 23,051 13,173 821 553 37,5982022 23,251 13,421 851 575 38,0982023 23,443 13,668 882 597 38,5892024 23,627 13,915 913 618 39,0732025 23,803 14,162 943 640 39,549
Laju (%/tahun)2000-2010 4.98 1.32 5.45 10.16 3.682000-2014 5.65 2.54 8.3 9.58 4.552000-2025 3.59 2.27 6.38 7.19 3.18
71
Lampiran 5.2.2. Proyeksi Luas Panen Hortikultura Tahun 2000-2025 (ha)
Data Tahun Buah Sayur T.Obat T. Hias Hortikultura
Aktual
2000 505,349 849,265 12,316 3,804 1,370,7342001 825,536 857,211 12,279 2,841 1,697,8672002 714,851 878,679 11,271 3,290 1,608,0912003 791,103 913,445 12,650 2,527 1,719,7252004 783,291 977,552 14,420 2,584 1,777,8472005 785,311 944,695 18,911 2,458 1,751,3762006 800,608 1,007,839 23,533 1,282 1,833,2622007 727,196 1,020,623 25,055 1,147 1,774,0212008 843,172 989,809 23,484 1,287 1,857,7522009 880,637 1,070,331 21,220 1,548 1,973,7372010 719,763 1,103,890 17,853 1,902 1,843,408
Proyeksi
2011 846,999 1,112,326 24,855 1,678 1,985,8582012 861,244 1,136,905 26,073 1,846 2,026,0682013 875,489 1,161,484 27,291 2,074 2,066,3382014 889,734 1,186,063 28,510 2,363 2,106,6692015 903,979 1,210,642 29,728 2,711 2,147,0602016 918,224 1,235,221 30,946 3,121 2,187,5122017 932,469 1,259,800 32,164 3,591 2,228,0242018 946,714 1,284,379 33,383 4,121 2,268,5962019 960,959 1,308,958 34,601 4,711 2,309,2292020 975,204 1,333,537 35,819 5,362 2,349,9232021 989,449 1,358,116 37,038 6,074 2,390,6762022 1,003,694 1,382,695 38,256 6,846 2,431,4912023 1,017,939 1,407,274 39,474 7,678 2,472,3652024 1,032,184 1,431,853 40,693 8,571 2,513,3002025 1,046,429 1,456,432 41,911 9,524 2,554,296
Laju (%/th2000-2010 1.97 2.25 2.72 -11.05 2,642000-2014 1.79 2.42 6.29 -4.01 2.182000-2014 1.65 2.17 5.04 2.99 1.98
72
Lampiran 5.2.3. Proyeksi Produktivitas Hortikultura Sampai Dengan Tahun 2025 (ton/ ha)
Data Tahun Buah Sayur T.Obat T Hias Hortikultura
Aktual
2000 13.22 9.48 15.64 25.30 12.682001 17.39 9.50 16.55 35.63 12.252002 19.58 9.51 17.30 48.54 14.262003 20.97 9.53 17.92 64.46 14.262004 21.92 9.54 18.46 83.62 14.532005 22.58 9.55 18.92 105.82 15.392006 23.06 9.57 19.32 130.08 15.242007 23.41 9.58 19.67 154.41 16.262008 23.65 9.59 19.98 175.97 15.982009 23.82 9.60 20.26 191.80 15.432010 23.93 9.61 20.51 199.91 16.91
Proyeksi
2011 23.99 9.62 20.73 200.08 16.052012 24.01 9.63 20.93 193.68 16.062013 24.00 9.64 21.12 182.86 16.052014 23.97 9.65 21.29 169.73 16.032015 23.91 9.66 21.44 155.90 16.011016 23.84 9.66 21.59 142.41 15.972017 23.75 9.67 21.72 129.83 15.932018 23.65 9.68 21.84 118.40 15.892019 23.54 9.69 21.96 108.17 15.842020 23.42 9.69 22.06 99.09 15.782021 23.30 9.70 22.16 91.07 15.732022 23.17 9.71 22.26 83.97 15.672023 23.03 9.71 22.34 77.70 15.612024 22.89 9.72 22.42 72.14 15.552025 22.75 9.72 22.50 67.21 15.48
laju(%/Tahun)
2000-2010 0.58 -1.28 2.6 15.34 2.682000-2014 3.92 0.12 2.17 11.87 1.522000-2014 1.99 0.1 1.43 2.78 0.71
73
Lampiran 5.2.4. Proyeksi PDB Hortikultura Tahun 2025 Atas Dasar Harga Berlaku
Data Tahun Buah Sayur T.Obat T Hias Total
Aktual
2000 22,864.84 14,005.97 396.65 2,710.73 39,978.22001 24,886.00 15,244.04 431.71 2,950.35 43,512.12002 29,168.00 17,867.00 506.00 3,458.00 50,999.02003 30,818.60 18,878.08 534.63 3,653.69 53,885.02004 32,511.52 19,915.09 564.00 3,854.39 56,845.02005 35,340.87 21,648.22 613.08 4,189.82 61,792.02006 39,123.66 24,023.30 686.38 4,804.66 68,638.02007 42,617.76 26,168.80 747.68 5,233.76 74,768.02008 47,891.97 29,407.35 840.21 5,881.47 84,021.0
Proyeksi
2009 48,973.77 30,071.62 859.19 6,014.32 85,918.92010 50,809.19 31,129.57 1,073.43 6,440.60 89,452.82011 52,816.45 32,359.37 1,115.84 6,695.04 92,986.72012 54,823.70 33,589.17 1,158.24 6,949.48 96,520.62013 56,830.96 34,818.97 1,200.65 7,203.92 100,054.52014 58,838.21 36,048.76 1,243.06 7,458.36 103,588.42015 60,845.47 37,278.56 1,285.46 7,712.81 107,122.32016 62,742.07 38,231.72 1,383.20 8,299.21 110,656.22017 64,745.79 39,452.68 1,427.37 8,564.26 114,190.12018 66,749.51 40,673.64 1,471.55 8,829.30 117,724.02019 68,753.23 41,894.60 1,515.72 9,094.34 121,257.92020 70,756.95 43,115.57 1,559.89 9,359.39 124,791.82021 72,760.67 43,630.74 1,860.72 10,073.57 128,325.72022 74,764.39 44,832.26 1,911.96 10,350.98 131,859.62023 76,768.11 46,033.79 1,963.20 10,628.39 135,393.52024 78,771.84 47,235.32 2,014.44 10,905.80 138,927.42025 80775.56 48,436.84 2,065.68 11,183.21 142,461.3
Laju (%/th) 2000-2010 6.71 7.61 9.34 8.22 3.952000-2014 6.64 6.46 7.70 6.90 6.512000-2025 4.87 4.78 6.26 5.45 4.90
74
Lampiran 5.2.5. Proyeksi Penyerapan Tenaga Kerja Sub Sektor Hortikultura Th 2000 -2025
Data Tahun Buah Sayur T Obat T.Hias Horti
Aktual
2000 351.18 2,051.57 5.87 1.49 2,410.112001 397.47 1,864.81 12.51 1.16 2,275.952002 476.96 2,237.76 15.02 1.45 2,731.192003 620.05 2,309.09 19.54 1.61 2,950.292004 587.17 2,337.11 19.45 1.74 2,945.472005 662.85 2,433.56 20.52 1.92 3,118.85
Proyeksi
2006 743.01 2,545.44 22.62 2.30 3,313.362007 807.87 2,642.53 23.75 2.48 3,476.632008 872.75 2,739.62 24.74 2.66 3,639.762009 937.62 2,836.71 25.62 2.84 3,802.792010 1,002.49 2,933.80 26.42 3.02 3,965.742011 1,067.37 3,030.89 27.15 3.21 4,128.622012 1,132.24 3,127.98 27.83 3.39 4,291.432013 1,197.11 3,225.07 28.45 3.57 4,454.202014 1,261.99 3,322.17 29.03 3.75 4,616.932015 1,326.86 3,419.26 29.57 3.93 4,779.612016 1,391.73 3,516.35 30.08 4.11 4,942.272017 1,456.60 3,613.44 30.56 4.29 5,104.892018 1,521.48 3,710.53 31.02 4.47 5,267.492019 1,586.35 3,807.62 31.45 4.65 5,430.072020 1,651.22 3,904.71 31.86 4.83 5,592.622021 1,716.10 4,001.80 32.25 5.02 5,755.162022 1,780.97 4,098.89 32.62 5.20 5,917.682023 1,845.84 4,195.98 32.98 5.38 6,080.182024 1,910.72 4,293.08 33.32 5.56 6,242.672025 1,975.59 4,390.17 33.65 5.74 6,405.14
laju (%/th)2000-2010 9.68 3.32 12.22 6.13 4.702000-2014 8.52 3.25 9.39 5.87 4.432000-2025 6.52 2.92 5.85 4.96 3.77
top related