oleh: atmadja pengantar
Post on 01-Oct-2021
6 Views
Preview:
TRANSCRIPT
433
PERUNDANG-UNDANGAN DALAM
.SISTEM HUKUM NASIONAL
_________ Oleh: Atmadja _________ _
Pengantar Suatu penilaian atau evaluasi terha
dap hukum positip menunjukkan bahwa hukum positip yang merupakan ius constitutum beluIll merupakan hu.kum . nasional ius constituendum, karena hukum yang berlaku di negara kit a adalah sebagai berikut:
a. Berasal dari zaman kolonial dan tentunya tidak berdasarkan Pancasila, UUD 1945, serta Wawasan Nusantara.
b. Merupakan kaedah hukum adat , masih berorientasi sempit (lokal) maka belum sepenuhnya mencerminkan nilai-nilai Pancasila , UUD 1945 , dan Wawasan Nusantara, sekalipun Pancasila itu sendiri digali dari hukum adat,dan;
c. Perundang-undangan serta Yurisprudensi yang terbentuk sesudah tanggal 17 Agustus 1945 , mungkin juga banyak yang belum sesuai dengan jiwa Pancasila, UUD 1945 maupun Wawasan Nusantara, walaupun undang-undang yang ber-
• sangkutan di dalam konsiderans atau pertimbangan hukumnya me-
)
nyebutkan Pancasila dan UUD I 945 se bagai landasannya. 1 )
• Sunaryati Hartono & Albert Wijaya, Ekonomi Pancasila, Sistem Ekonomi Indonesia dan Hukum Ekonomi Pembangunan. Prisma No.1 Januari 1981, hal. 7.
Dengan demikian terutama mengenai perundang-undangan apapun bentuk- nya (undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan Presiden, dan peraturan pelaksanaan lainnya) agar meru-
•
pakan suatu sistem Hukum Nasional seyogyanyalah ditempatkan ke dalam suatu pola pemikiran ten tang cita--cita Hukum Nasional Rechtsidee.
Sistem Hukum Nasional Sistem hukum -adalah keseluruhan
kaedah-kaedah hukum yang merupakan satu kesatuan yang teratur, dan
•
terdiri dari sejumlah sub sistem (misal-nya sub sistem Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi ,Negara, Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Dagang dan Hukum Ekonomi), yang saling berkaitan dan saling pengaruh mempengaruhi. 2)
Beranjak dari rumusan ini, maka sistem hukum nasional itu selalu harus dikaitkan pula landasan Grondnorm yaitu Pancasila , UU D 1945, dan Azasazas Hukum Umum 3
) , yang merupakan penjabaran dari pada grdndnorm tersebut'.
~ Ibid.
3) Menurut Karl Larenz, a:tas-azas hu-kum umum ialah ukuran-ukuran hukumiah-ethis yang memberikan arah kepada pembentukan hukum (Uh.t, O. Notohamidjojo, Vemi KeadUan dan Kemanusiaan, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1975, hal. 49). - ,
434
Untuk dapat merekam kerangka . ideal sistem Hukum 'Nasional yang mencerminkan pola rechtsidee Hukum Indonesia, kiranya periu dijadikan bahan pemikiran hasil-hasil Seminar Hukum Nasional ke IV tanggal 30 Maret 1979, mencakup dua · aspek, yaitu "pencetminan nilai-nilai Pancasila dalam perundang-undangan dan sistem Hukum Nasional itu sendiri" .
Mengenai sistem hukum Nasiortal yang berhubungan dengan perundang-undahgan adalah merupakan penjelasan kembali bahwa perundang-undangan menduduki posisi sentral, utama dalam pembangunan Hukum Nasional, yang akan dilengkapi oleh hukutn tidak tertulis (hukum adat) . Disamping itu dikemukakan pula perIunya unifikasi dengan tidak meninggalkan kebhinekaan terutama dalam bidang-bidang kehidupan spritual. Berikutnya hal yang
.. menyangkut persoalan nilai-nilai Pancasila, pada pokoknya seminar menetapkan bahwa pembentuk Undang-undang (Presiden dan DPR) dalam Penyusunan Undang-undang perlu dengan tepat tnenunjukkan nilai-nilai Pancasila yang mendasari undang-undang itu .
Sehubungan dengan hasil seminar tersebut di atas relevan apa yang dikemukakan oleh Podgorecki berkenaan adanya empat prinsip yang perIu diperhatikan pembentuk Undang-undang yaitu:
1. Mempunyai pengetahuan yang cukup tentang keadaan senyatanya.
2. Mengetahui sistem nilai yang berlaku dalam masyatakat.
3. Mengetahui benar-benar hubungan kausal antara sarana. yang digunakan oleh undang-undang seperti sanksi, baik sanksi negatif (punishment) maupun sanksi positif (reward) dan tujuan yang hendak dica-
• pal.
Hukum dan Pembangunan
4. Melakukan penelitian terhadap efek dari Undang-undang itu, termasuk efek sampingan yang tidak diharap-kan
•
Penggarapan Perundang-undangan dalam Era Hukum
Penggarapan perundang-undangan diartikan penentuan mengenai Undang-undang yang akan dibentuk danl atau diperbaharui sesuai dengan karakteristik Era Hukum.
Era Hukum ditinjau dari segi kerangka pembangunan, ia menunjukkan suatu sikap bahwa hukum bukan hanya obyek tetapi juga subyek ~i dalam pembangunan. Sedangkan dari segi
. hukum, merujuk pada fungsihukum nasional kita terutama bukan hanya sebagai problem solver, atau social controle akan tetapi berfungsi as a tool of social - social engineering, secara operasional dapat digambarkan, di mana hukum nasional fungsinya tidak hanya menyelesaikan masalah-masalah hukum yang sudah timbul, namun justru merupakan kaidah-kaidah hukum yang mampu mencegah berbagai masalah inflic hukum, kebenturan social , (Social conflict) , serta menjadi sarana pembangunan. S
)
Selanjutnya karakteristik Era Hukum ditinjau dari ciri Hukum modern
Sudarto, Perkembangan Ilmu Hukum dan Politik, Hukum dan Keadilan, No. 5 Januari - Pebruari 1979, hal. 1 7.
Daniel Lev, mengemukakan Social . Engineering mempunyai dua arti, yaitu secara formal sebagai suatu prosedur untuk merubah masyarakat, dan secara material menentukan masyarakat macam apa yang dike hendaki. Selanjutnya beliau memperingatkan Social engineering itu ada bahaY(ii:ya yaitu ia memberikan kekuasaan yang penuh kepada pemerintah (Lihat Erman Rajagukguk, Bu-· kum dan Masyarakat, Bina Aksara, hal. 73) .
-Sistem Hukum Nasional
.
dapat diformulasikan sebagai berikut:
Pertama: perundang-undangan bersifat transaksional di mana hak dan kewajiban di dalam undang-undang tidak ditentukan berdasarkan status, akan tetapi berdasarkan kontrak. Ini berarti undang-undang di dalam penegakannya tidak mengenai perbedaan agama, ras, suku, kasta.6
)
Kedua: perundang-undangan merupakan instrumen kebijaksanaan publik (in-. -strument of public policy). Di sini hukum mempunyai sifat instru- ' mental digunakan secara sadar dalam pembangunan. Seperti diputuskan oleh seminar Hukum Nasional III (1974) di mana undang-undang merupakan sarana untuk merealisir kebijaksanaan di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan sesuai dengan skala prioritas Pembangunan Nasional. ')
Ketiga:
6)
perundang-undangan dalam hubungannya dengan politik melahirkan tipe hukum responsive. Ini berarti hukum dapat menunjang tertib politik, kekuasaan politik (power politic) akan memperkuat penegakan hukum dan karenanya dapat menunjang wibawa hukum. 8)
Robert B. Siedman, La'w and Deve-lopment; A General Model, Disarikan oleh Satjipto Raharjo, Hukum dan Masyarakat, Pusat Studi Hukum dan Pembangunan, FH Un air, 1976, hal. 85. Lihat juga Marc Galanter, "Modemi· ,
sasi Dinamika Pertum buhan ", Gajah Mada University Press, 1980, hal. 102.
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Per· ubahan Sosial, Alumni, Bandung, 1979, hal. 162.
Philippe Nonet & Philip Selznick, Law and Society Transition Toward
435
Keempat, perundang-uT,ldangan harus dapat memperluas sasaran keadilan so sial. Secara normatif ini dapat diartikan sebagai usaha mengeksplisitkan jiwa keadilan sosial ke dalam perumusan undang-undilng. Sedangkan operasionalnya adalah mengakhiri kepincangan domestik yang muncul dalam sosok kemiskinan struktural , baik kepincangan ekonomi, politik, . budaya dan hukum.
Kelima, adanya mekanisme kontrol terhadap konstitusionalitas undang-undang. Hal ini menyangkut apakah diperlukan perluasan wewenang badan atau lembaga negara yang sudah ada atau pembentukan badan baru sebagai alternatif dalam mekanisme kontrol terse but.
Pemerintah kelihatannya mengarahkan penggarapan perundang-undangan di bidang hukum politik dan hukum ekonomi dengan sa saran kedua bidang itu dapat saling menunjang dalam meletakkan kerangka landasan pembangunan. Ini bertumpu pada prinsip bahwa laju pertumbuhan ekonomi hanya dapat dipertahankan apabila diser~ tai stabilitas politik yang mantap. Karena itu sasaran yang dibidik oleh pemerintah atas perundang-undaIigan kedua bidang ter~ebut yaitu:
Responsive Law, Hauper & Row, publisher, New York, 1978, hal. 33, 54, 74. la mengemukakan ada tiga tipe hukum, yaitu (1) Responsive Law, displays Characteristic, Legal institution are directly accessible to political power . •...... , (2) AutonomolU Law, law is separated from. politic', the system proclaim the indefendenceof the indiciary and draws up a sharp line between legislative and Judicial/Ungiions, (3) Responsive Law, as Jerem~ Frank noted a key purpose of legal realist was to make law mo~ responsive to social needs.
September 1984
436
-I. Menjamin laju pertumbuhan ekono-
l11i secara terkendali.
2. Oalam mencegah pertumbuhan ekonomi yang tidak terkendali, peme-
, .
rintah berniat melarang meraksasa-nya perusahaan asing maupun domestik, dan
3. Menata tatanan kehidupan sosial politik ke arah terciptanya iklim
•
sosial politik yang sta bi! dan meng-•
untungkan bagi pertumbuhan eko-nomi 9
)
Untuk sasaran yang pertama di satu pihak dilakukan pembaharuan perangkat peraturan kita yang ketinggalan zaman, seperti pembaharuan Kitab Un-
. dang-undang Hukum Perdata (KUH Perd.), serta di lain pihak memper
. siapkan RUU baru pad a sektor perekonomian yang belum sempat mendapatkan pengaturan. Misalnya menyusun RUU Asuransi. RUU Patent. dan RUU Pengalihan Teknologi. Se-
•
mentara itu pad a sasaran kedua dipikirkan penggarapan untuk memperbaharui undang-undang di sektor penanaman modal baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri, yait~l Undang-Undang No , 1/1967 (UUPMA) dan Undang-Undang No. 6/1968 (UUPMON), Oi sam ping itu akan lengkap pula kiranya bilamana diwaspadai oleh pemerintah bahwa masuknya modal Jillltl National Corporation (MNC) atau perusahaanperusahaan multi nasional tidak hanva -melalui Foreign Investment Law tetapi dapar lewat Technical Assistant, Management Agreement, dan Licensee Agreernent. IO
) Namun yang lebih jelek lagi adalah adanya p~nyelundupan mo-
T. Mulya Lubis. PembangllTlan Hukum dalam PeUta IV, Kompas. 16 April 1984. hal. II'.
10\ ) Rudolf H. Strahm. Yang Melimpah dan Yang Merana. Alih Bahasa Agus Setiadi. P. T. Gramedia. 1975. hal . .\".
HlIkum dall Pe,ll ballgllllan
dal asing melalui apa yang dikenal sebagai DUIlIIIlY Corporation. suatu perusahaan boneka. atau nama orang In--donesia akan tetapi modalnya milik orang asing. masuknya modal itu lewat pintu' bdakang (tidak melalui prosedur UUPMA),
Sasaran di bidang politik bertujuan •
pad a stabilitas sosial politik tanpa henti. di mana keresahan sosial sedapat mungkin ditekan ke titik rendah, Artinya pemerintah akan menciptakan pranata-pranata sosial politik yang terkt'ndali dalam iklim sosial politik yang menunjang pertumbuhan ekonomi St'karang, Oalam era hukum akan di;trahkan pada pt'rubahan dan pembuatan RUU yang mt'nata tatanan sosial politik kita men,uju terciptanya kt'stabilan politik dan mengun tungkan bagi pertumbuhan ekonomi agar kita bisa tinggal land as pada Pelita VI nanti, Persiapan pt'merintah untuk itl! meliputi pembaharuan UU Parpol dan Go lkar (UU No, 3( 1975). pembaharuan
UU susunan MPR. OPR. OPRO (UU No. I b/llJ69 jo. UlT No. 5/1 975), penyusunan RUU Keormasan menuju ke arah azas tungg31 Pancasila. R UU Pemilu dan Pt'nyusunan RUU Refrendum. RUU ini harus dikngkapi dalam paradigma stabilitaspolitik tanpa henti. sebab jib kita gagal menciptakan stabilitas sosial politik ini. lTIakJ sudah pasti pertllm buhan ekonomi yang sekarang mandeg. paling tidak akan terjadi penarikan inwstasi modal asing yang masih kita perlllkan kehadiran-
,
nya secara waJar.
Perundang-lindangan hak-hak azasi warganegara memang dipt'rintahkan oleh GBHN (Tap MPR '\0. I1/MPR( 1 (83) dalam hllbllngannya dt'ngan pt'mbangunan hukum. di mana usah" sad;;r ini menurut Herbert Feith dapat dikatakan sebagai penangkal agar pembangunan na$ional yang tengah kita
. Sistem Hukum Nasional
kerjakan tidak dikatagorikan ke dalam pelll bangunan rezim-rezim repressivedel'c lopmelltalist atau "Modernisasi dari atas" menurut Barrington Moore l1
)
Da lalll kaitannya dengan hukum tat a n egara m~narik pendapat Mr. M.V . Po lak bah wa petunda ng-undangan di
bedakan atas perundang-undangan mengenai soal-soal administ rasi dan ' ekonOllli di satu pihak serta perundangun dangan mengenai hak-hak azasi warga negara atau Ch'iI liberties pada pihak lain. dalam arti yang kedua ini Konrrol konstitusionalitasnya (Judical rel'iell' jnya dituntu t ukuran yang lebih tajam l2
)
Logika ny a p<:'m be n tuk U ndang-undang akan lebih mudah memperbaiki keke liman perundang-undangan di bidang adlllinistrilsi dan ekonomi dibandingkan dengan memperbaiki kekeliruan dalam hal perundang-u ndangan mengenai CiFilliberties.
Sebagai perbandingan dengan negara lain dapat dikatakan bahwa Amerika Serikat. I\egara yang Mahkamah
•
Agungnya atas inisiatif sendiri sejak tahun 1803 hingga sekarang menjadi kon\'ensi Ketatanegaraan menggunakan hak judicial' el'iew ~hak menguji secara mat~rial) yaitu hakim dapat menyatakan suatu undang-undang konstitusional atau tidak. karena isinya bertentangan atau tidak dengan peraturan yang kbih tinggi derajatnya. Sedangkan Jepang negara yang secara tegas di dalal11 Undang-undang Dasarnya mengatur hak judicial review bagi
1 1) Herbert Feith, rezim-rezim Develop-mentalist Represi[ di Asia: Kekuatan Lama. Kerawanan Bani, Prisma 11 Nopember 1 980, hal. 7:!.
1 ~ _Hr. M.I-. Polak, Jkll tisar Hukum Tatanegara Amerika Serikat, Alii! bahasa oleh Soedjono Hardjosoediro, PI/staka Sa rjan a. Yayasan Pembangun<Jn, Jakarta. 1953. lIal. 5.
437
Mahkamah Agungnya. Pasal 81 UUD negara J epang menentukan "The supreme court is the court of last resort with power to determine the constitutionality of any law, order, regulation or official act" (Mahkamah Agung adalah Mahkamah terakhir yang mempunyai kek uasaan untuk menentukan konstitu sional tidaknya suatu Undangundang. peraturan, penetapan atau tindakan pemerintah).1 3)
Kete n tuan UUD 1945 tidak me-•
l11uat larangan maupun membolehkan hak menguj i material bagi Mahkamah Agung,14) hanya dalam pasal 26 UU No. 14/1970 dan kemudian dipertegas oleh MPR sebagaimana ditentukan Tap MPR No. III / MPR/ I 978 pasal 11 ayat 4, di mana ditegaskan Mahkamah Agung hanya mempunyai hak menguji material atas Peraturan Pemerintah, Kepres, dan peraturan pelaksanaan lainnya. jadi tidak terhadap Undangundang. Padahal judicial review terhadap UU inilah memiliki dampak prinsipial dalam hal menghindari prod uk pembentuk UU jangan sampai bertentang~n dengan Pancasila dan UUD 1945. serta hak azasi. Dengan demikian tertutuplah mekanisme kontrol terhadap konstitusionalitas undang-undang melalui lembaga hukum judicial review. toet singsreht at au hak menguji material. Alternatif lain yang mungkin bisa ditempuh menuru t sistem ketata negaraan Indonesia berdasarkan UUD 1945, adalah satu di antara tiga hal di bawah inL
, 1 3) A to Masuda, Undang-undang Duar
Negara Republik Indonesia taIIu" 1 945 dan Perba"dingan"ya dengGn Undang-undang Duar Negara Jepang. Penerbitan Universitas, Ja1clJrta, 1962. hal. 232.
14) K etentuan ini mengundang pena!si,.. an bahwa >.>e MA untuk menguji secara matuiai itu hanu ditentukan ! sendiri oleh MPR, buka" oleh 'pembentuk UU.
• Septembu 1984
•
438
Pertama, sebelum Presiden mengundangkan undang-undang yang telah disetujui DPR, Undang-undang terse but
'disampaikan terlebih dahulu kepada Mahkamah Agung untuk dimintakan pertimbangan ada - tidaknya aspek-aspek yang secara Yllridis bertentangan dengan UUD 1945. Alternatip ini dapat dilakukan berdasarkan pasal 11 ayat 2 Tap MPR No. lIIjMPT j 1978, yang berbunyi: "Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum baik di-
•
minta maupun tidak, kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara ".
Kedua, MPR membentuk suatu badan permanen berupa "Panitia Hukum MPR", terdiri dari sejumlah anggota MPR dari kalangan sarjana hukum untuk menilai konstitusionalitas semua Undang-undang sebelum diundangkan. Karena MPR berdasarkan pasal I ayat 2 UUD 1945 sebagai pemegang kedaulatan rakyat, dapat dikatakan merupakan Supremasi MPR, maka dengan sendirinya Panitia Hukum MPR berwenang menilai konstitusionalitas undang-undang yang dibuat oleh Presiden dan DPR sebelum undang-undang itu diundangkan, untuk menjaga pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekwen. Sistem penilaian konstitusionalitas undang-undang seperti ini dapat disebut juga Political review at au "Kontrol Politik". Seperti dikatakan oleh Mauro Cappeletti dan W. Cohen, an tara lain: ''In Certain Countries a political review operates alongside or instead of judicial review. Usually under their systems, the control is not exercised after the anactment of the law, but is preventive, \t intervener before the law come into force. Sometimes the control is merely consultative, in rhat an opinion is given which does not have binding forces upon legislature' and executive ,,1 5) ("Dalam beberapa negara, political riew dilaku-
•
Hukum dan Pembangunan
kan berdampingan dengan judicial review. Biasanya berdasarkan sistem ini kontrol tidak dilakukan sesudah UU disahkan, tetapi bersifat preventif, sebelum UU itu mempunyai kekuatan.
•
Kadang-kadang kontrol ini hanyalah bersifat konsultatif, dalam mana pendapat yang dikemukakan tidak mempunyai kekuatan mengikat badan legislatif dan eksekutif"). Atau jika dikomparasikan dengan sistern Political Control Konstitusi di Uni
•
Soviet dapat dikatakan sarna halnya dengan kontrol politik yang dilakukan oleh Presidium Soviet terhadap tindakan lem baga-Iem baga atau organ-organ. negara agar bertindak sesuai dengan yang ditentukan Konstitusi. Seperti dikemukakan juga oleh Mauro Cappeletti dan William Cohen, sebagai berikut: It is important to remember that the Presidium is a body composed of 39 members elected from the Supreme Soviet". Given its political nature the Presidium Cleary exercises control which is political, not judical in character. The scope of this control would be to guide the political organs and individuals along the paths set by the Constitution ".
Ketiga, alternatip ini adalah membentuk badan negara baru untuk menguji konstitusionalitas undang-undang, yaitu "Mahkamah Konstitusi" atau The Constitutional Court, seperti halnya di beberapa negara Eropa Barat. Dasar Hukum Mahkamah Konstitusi ini dapat kita letakkan berdasarkan pasal 24 ayat I UUD 1945 yang mana masih memungkinkan adanya
15\ ) Mauro Cappelletti etal, Comporative Constitutional Law, Cases and Materials, The Boles Merrill Company Inc, New York, hal. 19. "The supreme Soviet is a political organ roughly Comparable to the Parlement of Western Countries". Lihat Mauro Cappelletti, et ai, hal. ' 22.
Sistem Hukum Nasional
lain-lain badan kehakiman di sam pingnya Mahkamah Agung di dalam melakukan kekuasaan kehakiman.
Sebenarnya dari segi tujuannya dalam hal menguji isi undang-undang, maka hakekatnya fungsi Mahkamah Agung tidak berbeda dengan Mahkamah Konstitusi. Namun di dalam prosedur atau tekniknya melaksanakan hak menguji tersebut ada perbedaan. Mahkamah Agung yang mempunyai wewenang Judicial review baru dapat menyatakan pendapatnya apakah suatu undang-undang atau peraturan hukum lainnya bertentangan tidak dengan UUD, apabila Mahkamah Agung secara kongkrit menghadapi suatu perkara dalam mana masalah tersebut dipersoalkan . Perkara mana sebelumnya dengan sendirinya sudah melewati tahap pemeriksaan di muka Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang dapat memerIukan waktu beberapa tahun lamanya . Bahkan bisa juga terj adi dalam sistem judicial review Mahkamah Agung , di mana suatu peraturan hukum atau undang-undang nyatanyata bertentangan dengan UUD, lepas dari jangkauan hak menguji materialnya , oleh karena t idak adanya perkara yang menggugat inkonstitusionalitas dari pasal-pasaJ undang-undang yang bersangkutan. Wewenang menguji seperti p rosedur di atas dilakukan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat dan Mahkamah Agung J epang.
Mahkamah Konstitusi tidak meny atakan pendapatnya mengenai berten-
-tangan atau t idaknya undang-undang dengan UUD melalui suatu perkara konkrit yang dihadapinya. Prosedurnya adalah sebagai berikut : Apabila DPR telah menyetujui Undang-Undang , maka sebelum Undang-Undang ini ditandatangani oleh Presiden dan diundangkan dalam Lem baran Negara, sehingga menjad i Undang-Undang yang
439
sah dan mengikat seluruh warga negara , maka Undang-Undang terse but disampaikan kepada Mahkamah Konstitusi , yang m embahas segi konstitusionalitas Undang-Undang yang bersangkutan. Apabila Mahkamah Konstitusi tidak menemukan hal-hal yang bertentangan dengan UUD pada Un-
•
dang-Un dang yang bersangkutan, maka Undang-Undang itu diteruskan kepada Presiden yang menandatanganinya dan kemudian diundangkan dalam Lembaran Negara. Akan tetapi apabila menuru t anggapan Mahkamah Konstitusi , Undang-Undang yang bersangkutan baik secara keseluruhan maupun beberapa bagian saja di dalamnya nyatanyata bertentangan dengan UUD, maka Undang-Undang yang bersangkutan dikem balikan kepada DPR. Dan kemudian DPR dapat meminta agar Presiden atau pem erintah menarik kembali Undang-Undang itu atau DPR mengadakan amandemen, perobahan bagian-bagian yang dianggap bertentangan sesuai dengan pendapat Mahkamah Konstitusi.1 6)
Sebagai l11ustrasi dapat dikemukakan tugas Mahkamah Konstitusi menuru t pasal 134 UUD Italia, memutuskan hal-hal sebagai berikut:
I ) Sengketa mengenai konstitusionalitas Undang-Undang, dan tinaakan hukum yang berasal dari negara dan wilayah-wilayah otonominya,
2) Konflik yang timbul sekitar tugas wewenang konstitusional dalam negara antara negara dan wilayah-wi-
16) S. Tasrif, Menegakkan Rule of Law Di Bawah Orde Baru, Peradin, Jakarta, 1971, hal. 208. L ihat juga S . . Tasrif, Ha k ·Hak Azasi Warga Negara Ditinjau Dari Sudut UUD 1945 Dan Perundang·undangan, Kertas Kerja Dalam Seminar Hukum Nasional IV BPHN, 1979, hal. 21 - 22.
September 1984
440
layah otonominya, serta an tara wi. layah-wilayah otonomi itu sendiri.
3) Inpeachment terhadap Presiden dan Menteri-menteri, menurut normanorma Konstitusi. I 7)
Secara empiris ada tiga persoalan pokok yang perlu segera dipikirkan un-
o .
tuk dapat menggarap Undang-Undang agar operasional , tidak terkatung-ka-tung dalam pelaksanaannya: , Ketiga persoalan pokok terse but adalah:
Pertama, perlu dilakukan sistem paket dalam penyusunan suatu RUU. Ini berarti RUU itu harus dilengkapi penyusunannya dengan peraturan pelaksanaar,nya, apakah itu RPP (Rancangan Peraturan Pemerintah) atau Rancangan Kepres. Sebab sampai sekarang masih cukup banyak contoh UU yang tidak dapat dilaksanakan karena belum ada peraturan pelaksanaannya. Sekedar contoh dapat disebutkan antara lain mengenai bantuan hukum sebagai
• pelaksanaan Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No.14 Tahun 1970, tentang perlindungan lingkungan hidup sebagai realisasi dari UndangUndang No. 4/1982 (Undang-Undang Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup) .
Kedua, perlunya pemikiran menge-. " nal pemantapan policy perundang-un-
dangan". Pemantapan ini dimaksudkan perlunya ada badan yang mengkoordi-
1'7\ ) Teks Bahasa Inggeris UUD Italia pa-sal 134, The Constitutional Court decides: on controversies regarding the Constitutionality of law, and of acts having the force of law, emaniting from the state and the Regions. On Conflicts arinsing . ove r Constitutional assignment of power within the state, between the state and Re-
• glons, and between Regiolls, On im-peachments of the President of the ' Republic and of the Minister, according to nonns of the Constitution.
•
Hukum dan Pembangunan
nasikan dalam kegiatan perundang-undangan, seperti menentukan segaJa prioritas RUU yang akan diajukan ke DPR untuk dibahas , di sam ping itu tentunya bad an ini dapat ,menentukan
•
keseragaman istilah-istilah hukum yang digunakan dalam berbagai R UU , guna mengakhiri keadaan yang kita hadapi saat ini, yaitu di mana RUU yang diajukan oleh berbagai Departemen dan Lembaga Non Departemen menggunakan berbagai istilah dan tidak uniform.
Untuk merealisir badan yang memegang "policy perundang-undangan tersebut, kiranya perlu disimak gaga san almarhum Mudjono, SH, agar DeNrtemen Kehakiman dirubah menjadi Departemen Undang-undang, sehingga menjadi pemegang Po-licy Perundangundangan". Atau juga gagasan yang telah dirintis oleh Ali Said (Ketua Mahkamah Agung) ketika masih menjabat Menteri Kehakiman membentuk Law Center, akan menjadi embriyo badan pemegang "Policy Perundang-undangan" itu. Jika dalam "era hukum" masih tetap tidak ada kejelasan ditangan siapa Policy Perundang-undangan itu berada, maka akan masih saja kita saksikan adanya kegiatan perundangundangan yang acak-acakan. 1 ~
Ketiga, dalam usaha kita untuk membentuk atau memperbaharui hukum nasional melalui perundang-undangan , kita selalu dihadapkan pada dua sistem hukum yaitu "Pola Kontinental atau Pola Anglo Saxon". Karena di. Indonesia kita sudah kurang lebih tiga setengah abad memakai pola Kontinental, maka sistem hukum Eropa Kontinental boleh dikatakan begitu meresap dalam kehidupan Hukum Indonesia, sehingga dapat dimaklumi banyak yang berpendapat bahwa dalam pembaharuan hukum itu, kita se-
Is,. ) S. Tqsrif, Op Cit, hal. 154 .
Sistem Hukum Nasional
baiknya tetap berorientasi pada pola Kontinental.! 9) Namun demikian tentunya kita tidak boleh melupakan hukum adat yang harus diberikan temp at dalam pembaharuan hukum·. Pemikiran ini jika dikaitkan dengan sistem hukum, pengembangan hukum adat mempunyai tempat baik secara ilmiah maupun secara politik. Dari segi kerangka pemikiran ilmiah, seperti dikemukakan oleh Henry Heimann bahwa tinjauan budaya hukum yaitu sikap dan nilai-nilai masyarakat atas hukum , menunjukkan ada empat sistem hukum didunia yakni:
1. Sistem hukum Romawi merupakan akar-akar sistem atau pola kontinental,
2. Sistem Anglo Saxon, 3. Sistem Hukum Islam, dan 4. Sistem hukum lainnya.
Kerangka pernik iran ini m em berikan temp at dari segi budaya hukum untuk secara luas mengem bangkan pola "hukum adat" dalam perundang-undangan. Dari segi politik dapat dikemukakan sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia , kita ingin mengorganisasi negara dan masyarakat kita menurut pandangan dan interpretasi yang pas/ cocok pada dasar masyarakat Pancasila , bukan pada pandangan masyarakat bangsa lain , masyarakat liberal, maupun masyarakat komunis . Menjadi tugas kita untuk mengisi konsepsi negara yang didasarkan atas hukum bersandar pada pengalaman-pengalaman serta dengan segala milik kita, berupa berbagai sum ber day a yang ada pada kita dan kita kuasai, sehubungan dengan ini Padmo Wahyono , Guru Besar UI berbicara ten tang "Ram bu-ram bu " yang hendaknya di-
! ~ K omar Andasasmita, Masalah Hukum Perdata Nasional Indonesia, Alumni Bandung 1983, hal. 88.
441
patuhi dalam membentuk sistem hukum Indonesia baru , rambu-rambu yang kita gali sendiri dari kandungan UUD 1945. Di bagian lain ia juga mengatakan pembangunan Hukum Indonesia dikehendaki untuk menjadi khas Indonesia, yaitu suatu cara yang dipilih oleh bangsa ini berdasarkan Wawasannya Sendiri. 20)
Ketetapan sikap untuk menentukan pilihan terhadap sistem hukum di da
·lam mengisi karya perundang-undangan seperti digambarkan di at as akan mempengaruhi efektifitas Undang-Undang yang bersangkutan. Kesemuanya itu merupakan tantangan bagi perundang-undangan kita dalam kerangka sistem hukum nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Penutup Meski secara teoritis berhasilnya re
volusi Indonesia yang titik kulminasinya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 dengan sendirinya dikatakan menciptakan hukum nasional, ia hanya melegakan dalam arti politik saja. Secara hukum justru " Teori Revolusi" terse but yang antara lain dikemukakan oleh Hans Kelsen itu sampai kini memprihatinkan bangsa Indonesia , karena bukankah masih cukup banyak peraturan hukum di bidang kehidupan yang mendasar dan menyentuh hajat hidup rakyat banyak masih dikuasai peraturan hukum berasal dari zaman penjajahan , seperti KUHP, KUHPerd. dan KUHD .
Keadaan ini tentunya telah kita sadari , dan kesadaran tersebut menumbuhkan semangat untuk melakukan pembangunan hukum sebagai bagian dari pembangunan nasional. Satjipto
20:> Satjipto Rahardjo, Persoalan-persoalan dasar dlllam hukum kita, Kompas, Z3 Mei 1984, hal. IV.
September 1984
•
442
Rahardjo menamakan karakteristik pembangunan hukum yang revolusionero Kata revolusioner ini dipakai dalam arti, di negeri ini dikehendaki terjadinya perubahan yang tajam, yang memisahkan antata sistem hukum penjajahan dengan niat untuk membangun sistem hukum yang baru sarna sekali. Salah satu ciri dari kebaharuan terse-
Hukum dan Pembangunan
but adalah kehendak untuk membangun suatu sistem hukum at as dasar nilai bam · atas dasar kerokhlmian Pancasila. Ide seperti itu, seperti dikemukakan pada uraian di muka mem berikan tempat yang luas un'tuk menggali azas-azas hukum adat dalam menggarap perundang-undangan agar 'sesuai dengan cita-cita hukum (recht idee Indonesia) .
• DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Cappelletti, Mauro, et ai, Comparative Constitutional Law, Cases and MiIterials, The Babbs Merrill Company, Inc. Publisheer, New York (.?)
2. Galanter, Mare, Modemisasi Sistem Hukum, Modemisasi dan Pertumbuhan, Gajah Mada University Press, 1980.
3. Masuda, Ato, Undang·undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Perban· dingannya Dengan Undang·undang Dasar Negara Jepang, Penerbitan Universitas, 1962.
4. Philippe Nonet, et al, Law and Society Transition Toward Responsive Law, Harper & Row Publishers, New York, 1978.
5. Polak, MV, Ikhtisar Hukum Tatanegara Uni Amerika Serikat, Alih Bahasa Soedjono Har· djosoediro, Yayasan Pembangunan Jakarta, 1953.
6. Tasrif, Menegakkan Rule Of Law Di Bawah Orde Baru, Jilid I, Peradilan, Jakarta, 1971.
- From hearing comes wisdom, and from speaking repen· tance.
Italian Proverb • ~ •
top related