nilai tambah minerba.doc
Post on 26-Dec-2015
74 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PENINGKATAN NILAI TAMBAH PERTAMBANGAN(HULU HILIR DAN PENGEMBANGAN
WILAYAH/MASYARAKAT)
A. Latar Belakang
Kondisi pengelolaan sumber daya alam, khususnya sumber daya
mineral dan batu bara, di Indonesia saat ini masih umum banyak diekspor
masih dalam bentuk bahan mentah, tanpa diolah terlebih dahulu. Sedangkan
beberapa industri pengolahan yang menggunakan sumber daya mineral
sebagai bahan baku utama ataupun penunjang masih merupakan produk
impor. Kondisi tersebut berakibat tidak menghasilkan nilai tambah (value-
added) secara langsung maupun tidak langsung sebagaimana yang diharapkan.
Di sisi lain, negara-negara industri selalu berusaha untuk memperoleh
“keuntungan nilai tambah” dari negara-negara pengeskpor melalui proses
pengolahan lebih lanjut di negaranya ataupun di kelompok usahanya. Hal ini
terjadi karena ilmu pengetahuan dan teknologi pengolahan dapat dikatakan
masih dikuasai sepenuhnya oleh mereka atau belum tertransformasikan, di
samping itu strategi dan jaringan pemasaran secara umum masih berada di
tangan mereka.
Menjelang pelaksanaan globalisasi bidang pertambangan, isu
Peningkatan Nilai Tambah (PNT) menjadi sangat penting mengingat selama
ini peran Indonesia hanya sebagai produsen atau penjual bahan galian
tambang yang sebagian besar tanpa diolah terlebih dahulu sementara industri
dalam negeri yang berbasis tambang masih mengimpor bahan baku tersebut
dari negara lain yang bahan bakunya berasal dari Indonesia. Peningkatan
usaha dari produsen atau penjual bahan baku mentah meningkat menjadi
produsen bahan baku setengah jadi yang bertujuan untuk dapat menghasilkan
nilai tambah dan bermanfaat secara langsung bagi kepentingan nasional
umumnya dan khususnya bagi pengembangan suatu wilayah dimana bahn
galian tersebut berada.
Pada era otonomi daerah sekarang ini, pengembangan wilayah dan
masyarakat merupakan sesuatu yang tidak dapat dikesampingkan mengingat
pemerintah daerah dan masyarakat lokal se bagai stakeholder yang paling
menentukan dalam pengambilan keputusan bagi kelangsungan suatu usaha
pertambangan, di mana pemerintah hanya merupakan fasilitator dalam
pengambilan keputusan.
B. Konsep Dasar Kebijakan
1. Arahan kebijakan Pembangunan Nasional
Kebijakan nasional tentang pengolahan sumber daya alam,
termasuk sumber daya mineral, batubara dan panas bumi, pada dasarnya
diarahkan kepada peningkatan kesejahteraan rakyat dengan
memperhatikan aspek konservatif, rehabilitasi dan penghematan di dalam
pemanfaatannya melalui teknologi yang akrab lingkungan. Hal ini
memberi pengertian bahwa:
Pemanfaatan terhadap sumber daya mineral batu bara dan panas bumi
harus memperhatikan keseimbangan antara keungungan komunitas
dengan keuntungan bisnis perusahaan; industri mineral, batu bara dan
panas bumi yang baik dapat menjadi katalisator pertambangan bagi
pertumbuhan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat,
Pembangunan pertambangan juga harus tetap berpegang pada prinsip
pemerataan antar generasi, didasari pola pikir pembangunan
pertamnbangan yang berkelanjutan dan berwawasan jangka panjang.
Harus didasari kepada perencanaan yang matang dan efisiensi tinggi
serta penerapan prinsip good mining practice dengan mengacu pada
teknologi yang efektif dan efisien yang aman dan ramah lingkungan.
Koordinasi sejak dini diperlukan untuk melakukan sosialisasi secara
transparan segala sesuatu yang berkaitan dengan seluruh proses
kegiatan pertambangan (hulu-hilir) berikut dampak-dampaknya
dengan melibatkan segenap unsur terkait baik dari pemerintah, swasta
dan komponen masyarakat.
2. Tuntutan global
Deklasari Rio de Janeiro sebagai hasil dari Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT) Bumi 1992 telah melahirkan tata cara baru untuk mencapai
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) secara global di
abad 21. Rekomendasi yang diajukan mencakup cara baru dalam
mendidik, perhatian akan sumber daya alam dan rancangan ekonomi
berkelanjutan. Kemudian dipertegas dengan Deklarasi Yohanesburg, hasil
KTT 2002, yang mendukung tanggung jawab kolektif untuk memajukan
dan memperkuat soko guru pembangunan berkelanjutan dan action plan
yang aktual.
Pola pikir pembangunan berkelanjutan didasari oleh social justice
and equity, pendekatan yang holistik dan integratif, menghargai
keanekaragaman serta berwawasan jangka panjang. Tujuan pembangunan
adalah untuk meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan masyarakat
secara berkelanjutan antar generasi (inter-temporal).
3. Pembangunan berkelanjutan sektor Pertambangan
Pembangunan berkelanjutan dalam konteks usaha pertambangan
adalah transformasi sumber daya tidak terbarukan (non renewable
resources) menjadi sumber daya pembangunan terbarukan (renewable
resources). PNT Pertambangan harus berbasis sumber daya setempat atau
nasional (community based), dan berkelanjutan (sustainable). Manfaatnya
bukan saja dirasakan karena sedang ada pertambangan, tetapi juga karena
pernah ada kegiatan pertambangan.
PNT Pertambangan merupakan action plan actual sektor energi
dan sumber daya mineral, khususnya di bidang pertambangan umum,
untuk menjawab tantangan global yang menjadi kesepakatan Indonesia di
dunia internasional sebagai implementasi pembangunan berkelanjutan
pertambangan.
C. Peningkatan Nilai Tambah Pertambangan
1. Pemahaman
PNT Pertambangan sebagai action plan actual pembangunan
pertambangan yang berkelanjutan, pada dasarnya merupakan implementasi
kegiatan konservasi pertambangan, yaitu dalam hal keberlanjutan manfaat
ekonomi dan lingkungan sosial kemasyarakatan yang diperolehnya
semenjak perencanaan, selama berlangsungnya kegiatan pertambangan
sampai dengan pasca tambang.
Dengan demikian PNT adalah upaya optimalisasi atas pengelolaan
proses hulu-hilir kegiatan pertambangan serta pengembangan wilayah dan
pengembangan masyarakat di sekitar kegiatan pertambangan baik secara
langsung maupun tidak langsung dalam rangka mewujudkan
pembangunan berkelanjutan.
2. Pola pikir
Pola pikir kebijakan PNT Pertambangan adalah sejalan dengan
paradigma pembangunan berkelanjutan kegiatan pertambangan, yaitu
transformasi sumber daya tidak terbarukan menjadi sumber daya
pembangunan terbarukan. Implementasinya adalah dengan
menginternalkan aspek dasar pembangunan berkelanjutan ke dalam setiap
komponen kegiatan pertambangan sebagai berikut.
Transformasi sosial
Empowerment, mendorong masyarakat untuk dapat kesempatan
dan berperan aktif lebih besar.
Cooperation, mendorong terciptanya kerja sama di masyarakat
sehingga merasa sebagai bagian dari kelompok.
Equity, di samping masyarakat mendapatkan kesempatan financial
juga dalam mendapatkan pelayanan sosial.
Sustainability, pemenuhan kebutuhan sekarang tanpa mengabaikan
kebutuhan generasi mendatang.
Security, masyarakat merasa bebas atas ancaman dan ketidak-
pastian harapan hidup.
Desentralisasi dan dekonsentrasi pengelolaan
Memungkinkan daerah untuk lebih banyak terlibat dalam kegiatan
pertambangan dan mendapatkan manfaat, sehingga kegiatan
tersebut menjadi lebih terarah, efektif dan efisien.
Adanya koordinasi antara pusat dengan daerah yang lebih efektif
dan mengurangi rantai birokrasi.
Adanya koordinasi di antara daerah pengelola pertambangan
dengan stakeholders lainnya.
Pengakuan hak-hak masyarakat
Makna kemakmuran adalah secara utuh, di samping secara ekonomis
juga makmur secara batiniah dan spiritual.
Hak atas tanah.
Hak untuk hidup dalam habitat sosial budaya asal secara
berkelanjutan.
Hak untuk hidup dalam lingkungan yang sehat dan aman.
Hak untuk menikmati dan memanfaatkan sumber daya alam di
sekitarnya.
Hak untuk turut menjaga kebutuhan generasi mendatang.
Integrasi pengelolaan
Pengelolaan sumber daya mineral secara terintegrasi dari hulu-hilir
pertambangan; meliputi setiap tahapan kegiatan dari eksplorasi,
konstruksi, eksploitasi, pengolahan/pemurnian, handling dan
pemasaran.
Keterlibatan masyarakat
Masyarakat berhadapan dan berinteraksi langsung dengan
perusahaan.
Masyarakat sebagai penyandang resiko.
Masyarakat sebagai penilai kelaikan berusaha.
Pemanfaatan sumber daya alam inter temporal
Pertambangan bersifat sementara, sumber daya alam tidak
terbarukan.
Transformasi sosial perlu waktu, tidak dapat dipaksakan, kecepatan
tiap daerah berbeda.
Setiap wilayah di Indonesia mempunyai ciri khas; kondisi dan taraf
sosial, ekonomi dan budaya berbeda.
Ratio rate of depletion vs rate of transformation harus optimal.
Good governance and good corporate governance
Kelompok-kelompok yang terlibat di dalam pengelolaan sumber daya
alam harus menjalankan kewajiban masing-masing secara bertanggung
jawab, transparan, partisipatif dan public accountable.
Gambar Pola Pikir Peningkatan Nilai Tambah Pertambangan
3. Strategi peningkatan nilai tambah
a. Pengembangan teknologi dan inovasi
Pengembangan teknologi terutama teknologi tepat guna dan
melakukan inovasi-inovasi yang harus diprioritaskan. Beberapa
langkah yang dapat dilakukan antara lain: perusahaan pertambangan
selain disibukkan oleh kegiatan rutinitas yang berkaitan dengan aspek
bisnisnya, juga harus memperhatikan aspek penelitian dan
pengembangan / research and development (R&D) teknologi terapan
yang berdasarkan kebutuhan pasar agar perusahaan dapat berupaya
untuk memproduksi kebutuhan tersebut. Perusahaan pertambangan
harus memperkuat kerja sama dengan pihak Perguruan Tinggi dan
Lembaga Riset untuk melakukan penelitian terapan pada bidang-
bidang tertentu berdasarkan kebutuhan pengembangan perusahaan
(company development needs).
Pengembangan dan penerapan teknologi harus tetap mengacu
pada prinsip-prinsip ekonomi, konservasi dan lingkungan hidup. Di
samping itu, adanya upaya untuk memproduksi produk-produk baru
sesuai dengan dinamika permintaan pasar harus selalu menjadi
perhatian perusahaan.
Di sisi lain, pihak pemerintah juga harus secara pro aktif
mendukung kegiatan R&D, misalnya dalam bidang pendanaan,
informasi, kerja sama dan koordinasi dengan pihak-pihak yang dapat
dikaitkan. Produk hasil usaha pertambangan tentunya harus seoptimal
mungkin dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri, di samping untuk
kebutuhan ekspor.
b. Dukungan pemasaran dan kerja sama antar negara penghasil
Untuk mengoptimalkan usaha peningkatan nilai tambah,
dukungan pemasaran terhadap produk hasil usaha pertambangan perlu
dilakukan yaitu dengan membuat jaringan kerja sama antara negara-
negara penghasil komoditas tambang tertentu juga perli ditingkatkan.
Untuk menunjang hal-hal tersebut di atas, beberapa langkah
yang perli dilakukan, antara lain:
Adanya “Trading House” atau institusi sejenis yang dapat
memfasilitasi berbagai hal dalam upaya optimalisasi usaha
peningkatan nilai tambah. Institusi ini harus dapat melakukan
berbagai fungsi antara lain: sebagai sumber informasi, melakukan
promosi, menganalisis keadaan pasar, membuat strategi pemasaran
dan melakukan konsultasi.
Adanya usaha dari pemerintah untuk memfasilitasi kerja sama
antara perusahaan skala kecil, menengah dan besar agar dapat
bersinergi dalam produk masing-masing.
Adanya usaha dari pemerintah bersama dengan perusahaan
pertambangan untuk menjalin kerja sama dengan negara-negara
penghasil komoditas pertambangan tertentu untuk menghindari
persaingan yang tidak sehat.
c. Hubungan antara industri hulu-hilir
Kaitan atau hubungan (linkage) antara industri hulu-hilir
produk usaha pertambangan harus diperkuat melalui beberapa hal:
Adanya usaha dari berbagai pihak. Terutama dari pihak pemerintah
untuk menciptakan dan memperkuat hubungan hulu-hilir sektor
pertambangan, pengembangan industri hilir sektor pertambangan,
pengembangan fasilitas jaringan informasi, infrastruktur serta
fasilitas umum.
Adanya kondisi yang kondusif serta hubungan yang harmonis
antara industri hulu-hilir produk pertambangan. Adanya dukungan
pemerintah antara lain berupa kebijakan dan koordinasi antar
sektor yang dapat memperkuat hubungan industri hulu-hilir usaha
pertambangan.
d. Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM)
Faktor lin yang sangat penting dalam usaha peningkatan nilai
tambah adalah pengembangan SDM:
Pengembangan SDM harus dilakukan di seluruh strata, mulai dari
tingkat buruh sampai dengan level manajer. Pengembangan SDM
harus mengacu pada prinsip profesionalisme.
Perusahaan pertambangan harus concern dengan peningkatan
keterampilan dari setiap personilnya, misalnya dengan
menyediakan dana dan memberi kesempatan kepada personil
perusahaan untuk peningkatan kemampuan sesuai dengan
kebutuhan.
Pengembangan manajemen SDM, dalam hal ini dukungan
pemerintah untuk mencari peluang dalam pengembangan SDM,
misalnya kerja sama dengan negara industri melalui program
beasiswa jangka pendek dan jangka panjang.
e. Aspek sosial
Hubungan antara perusahaan pertambangan dengan masyarakat
setempat selalu menjadi isu sentral dalam pengusahaan pertambangan.
Hubungan yang harmonis perlu selalu dijalin berdasarkan prinsip win-
win solution.
Sejak awal suatu kegiatan usaha pertambangan, baik kegiatan
utama maupun kegiatan penunjang lainnya harus disiapkan secara
terarah dan benar. Beberapa kegiatan penunjang seperti pengadaan
pasokan kebutuhan pegawai, pengadaan peralatan dan suku cadang
ataupun kebutuhan jasa lainnya selayaknya dirancang dari awal secara
terpadu. Hal yang terpenting adalah masyarakat setempat harus diberi
prioritas untuk memenunhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Disarankan kepada perusahaan pertambangan agar dapat juga
mendukung usaha yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam
memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Hal ini dapat menghasilkan
suatu hubungan yang positif dan dapat melahirkan kondisi yang saling
menguntungkan untuk pihak perusahaan dan untuk masyarakat
setemmpat.
4. Pengembangan Wilayah dan Masyarakat di Sekitar Wilayah
Pertambangan
Eksploitasi bahan galian bersifat tidak terbarukan, merupakan
kesempatan dan harapan bagi masyarakat untuk mendapatkan
kesejahteraan yang hanya datang sekali. Eksploitasi mineral oleh
perusahaan dengan menggunakan tolok ukur Return of Invesment (ROI),
harus diimbangi oleh Return of Assets (ROA) yang optimal bagi
masyarakat. Hilangnya aset dan timbulnya dampak lingkungan merupakan
biaya sosial yang seharusnya diperhitungkan dalam investasi
pertambangan.
Program Pengembangan Wilayah dan Masyarakat di sekitar
tambang merupakan kesempatan bagi proses pembangunan daerah yang
belum terjangkau oleh program pemerintah. Umumnya usaha
pertambangan terpencil, tersebar, teknologi tinggi, tenaga terampil, modal
besar, membangun sarana dan prasarana. Upaya untuk dapat
berkelanjutan, program Pengembangan Wilayah dan Masyarakat di sekitar
tambang adalah melalui kemitraan yang sinergis di antara stakeholder.
Dengan menyelaraskan program perusahaan dengan program pemerintah
dan kebutuhan masyarakat, maka akan tercipta adanya proses transformasi
sosial.
Gambar Pola Pikir Pengembangan Wilayah dan Masyarakat di
Sekitar Tambang
a. Kemitraan sinergis stakeholder
Keterlibatan antar dan intergenerasi pada usaha pertambangan
hanya dapat terlaksana secara konsisten bila melibatkan stakeholder
secara optimal dalam sebuah kemitraan yang sinergis. Musyawarah
dan mufakat dapat meningkatkan rasa partisipasi masyarakat yang
dapat berkembang menuju rasa ikut memiliki (sense of belonging)
yang sebenarnya merupakan basis tertinggi dari program
Pengembangan Wilayah dan Masyarakat di sekitar tambang.
Lembaga fasilitasi sebagai sarana interaksi stakeholder
Perwujudan kemitraan yang sinergis di beberapa perusahaan
pertambangan antara lain dengan dibentuknya suatu lembaga
fasilitasi sebagai sarana atau wadah bagi stakeholder, baik berupa
yayasan, komisi, tim atau special project. Adapun keanggotaan
daru lembaga fasilitasi adalah memuat tiga unsur utama
pengembangan wilayah dan masyarakat, yaitu pemerintah,
perusahaan dan masyarakat. Sedangkan dari komponen masyarakat
dapat terdiri dari:
o Ornop/LSM
o Tokoh masyarakat
o Ketua suku/lembaga adat
o Pemuka keagamaan
o Tokoh informal/organisasi wanita
o Organisasi buruh/petani
o Akademi/peneliti
o Organisasi kepemudaan
o Tokoh/ketua kelompok masyarakat marjinal
o Tokoh lingkungan hidup.
Lembaga fasilitasi alternatif mediasi resolusi konflik
Kemitran yang sinergis antar stakeholder sangat tergantung pada:
o Kesamaan persepsi
o Pengertian tentang peran dan posisi masing-masing.
o Kemampuan menyesuaikan diri dengan situasi yang diciptakan
untuk kepentingan bersama.
o Etika sosial dan profesionalisme.
Tidak adanya komunikasi di antara komponen stakeholder dapat
menimbulkan perbedaan persepsi terhadap kegiatan pertambangan
sehingga dapat memicu konflik. Lembaga fasilitasi dapat
diberdayakan sebagai media komunikasi di antara stakeholder di
dalam mengantisipasi dan resolusi konflik.
Prinsip kemitraan yang harus dikembangkan di dalam lembaga
fasilitasi:
o Hubungan yang harmonis, terbuka dan transparan (mutual
cooperation and respect) sangat diperlukan agar semua pihak
mendapatkan keuntungan. Perusahaan dapat menjalankan
bisnis dengan aman, teratur, menguntungkan sementara lainnya
mendapatkan manfaat yang nyata dari pembangunan
masyarakat dan pemasukan finansial.
o Pemerintah daerah dan masyarakat harus proaktif dalam
penyelesaian masalah atau konflik dalam menjamin
kelangsungan usaha pertambangan.
o Perusahaan proaktif berdialog tentang rencana kegiatan dari
awal eksplorasi maupun setiap tahapan kegiatan. Tidak hanya
keuntungan tetapi dampak dari kegiatan, rencana pengelolaan,
antisipasi dan rencana mitigasi penanggulangannya.
b. Konsepsi program
Komitmen perusahaan
Keterpaduan kepedulian Pengembangan Wilayah dan Masyarakat
dalam kebijakan perusahaan, akan mempengaruhi pola pikir
manajemen dalam melakukan kegiatan perusahaan, sehingga
penanganan isu Pengembangan Wilayah dan Masyarakat akan
sistematik, efektif dan efisien. Promosi keterpaduan ini antara lain:
o Membangun rasa memiliki perusahaan terhadap masyarakat
melalui dialog, pelatihan, karyawan sukarela.
o Memprogramkan Pengembangan Wilayah dan Masyarakat ke
dalam rencana strategis perusahaan.
o Melaksanakan Pengembangan Wilayah dan Masyarakat
sebagai bagian kinerja terukur perusahaan.
Di samping itu diperlukan komitmen perusahaan terhadap:
o Keselamatan pertambangan pada setiap tahapan kegiatan.
o Perlindungan dan peningkatan mutu lingkungan.
o Pasrtisipasi masyarakat lokal.
o Pembangunan lokal.
o Menghargai hak asasi manusia.
o Berpegang pada etika bisnis.
o Jujur dan transparan kepada masyarakat.
Pendekatan program
o Program pengembangan Wilayah dan Masyarakat berdasarkan
analisis kebutuhan komunitas (community need analysis) bukan
sekedar keinginan (wants).
o Kegiatan pertambangan menjadi bagian dari pembangunan
daerah dan mengikuti prinsip-prinsip tata ruang.
o Program Pengembangan Wilayah dan Masyarakat didasarkan
kepada Peta Sosial dan Potensi Sumber Daya Daerah sebagai
acuan prioritas kegiatan.
o Program sejalan dengan pembangunan infrastruktur,
pengembangan SDM dan pengembangan kegiatan penunjang
lainnya yang dapat memberikan efek ganda.
o Mengacu kepada teknologi tepat guna yang efektif dan aman,
konservasi dan melestarikan fungsi-fungsi lingkungan hidup.
o Optimalisasi peningkatan nilai tambah dengan mengantisipasi
kebutuhan masa depan.
o Program berkelanjutan dilakukan dengan penjadwalan
pelimpahan tanggung jawab atas dasar indikator dan target
terukur.
Kebutuhan umum komunitas
o Terbuka kesempatan berusaha yang seluas-luasnya.
o Tersedianya infrastruktur ekonomi (jalan, jembatan).
o Tersedianya fasilitas penunjang kesehatan.
o Tersedianya fasilitas pendidikan dan pelatihan.
o Terbukanya kesempatan untuk bekerja.
o Perlindungan lingkungan.
o Dihargai dan dihormatinya adat istiadat dan budaya setempat.
o Kepemilihan lahan jelas.
o Terjaminnya keamanan.
Pendanaan
o Sistem dan sumber pendanaan progam Pengembangan
Wilayanh dan Masyarakat.
o Hibah.
o Kucuran dana tetap per tahun sesuai dengan persentasi
keuntungan.
o Micro loan dari perusahaan, dengan bungan ataupun tanpa
bunga.
o Sharing dengan komposisi tetap dengan stakeholder lain,
terutama pemerintah daerah.
o Pengurangan komposisi dana bertahap: giving, involving,
sharing, participating sesuai kemajuan kegiatan, atau
jangka/periode waktu tertentu.
o Penyediaan dana abadi sebagai jaminan keberlanjutan
Pengembangan Wilayah dan Masyarakat pasca tambang.
o Mekanisme pendanaan melalui perbankan.
5. Kesimpulan
a. Sasaran dari usaha peningkatan nilai tambah pertambangan adalah
timbulnya efek ganda bagi pembangunan secara lokal, regional
maupun nasional dan pertumbuhan ekonomi mikro maupun makro,
antara lain:
o Pengembangan Industri Kecil dan Menengah.
o Pengembangan Wilayah.
o Pengembangan tenaga kerja lokal.
o Pengembangan masyarakat.
o Pemenuhan kebutuhan bahan baku energi dan industri dalam
negeri.
o Kemampuan industri pertambangan dalam negeri yang mampu
bersaing dalan penyediaan bahan baku hilir yang berbasis bahan
tambang.
b. Tiga keuntungan perusahaan dengan pelaksanaan Pengembangan
Wilayah dan Masyarakat antara lain:
o Memperoleh “lisensi/pengakuan lokal” untuk berusaha/beroperasi.
o Dapat membuat strategi menguntungkan melalui kegiatan
Pengembangan Wilayah dan Masyarakat.
o Addressing specific business issues.
c. Kebijakan peningkatan nilai tambah pertambangan diharapkan dapat
mewujudkan pembangunan regional maupun nasional. Manfaatnya
bukan saja dirasakan karena sedang ada pertambangan, tetapi juga
karena pernah ada kegiatan pertambangan.
STANDARDISASI PERTAMBANGAN
1. Latar Belakang
Kegiatan standardisasi di lingkungan Departemen Energi dan Sumber
Daya Mineral, khsususnya yang berkaitan dengan pertambangan mineral dan
batu bara mulai berkembang sejak awal tahun 1990. kegiatan pada saat itu
diantaranya adalah kegiatan perumusan Rancangan Standar Nasional
Indonesia (RSNI) bidang Pertambangan Umum yang disusun oleh suatu tim
khusus Tim Perumus Standar yang diangkat berdasarkan Ketetapan Direktur
Jenderal.
Kegiatan Perumusan Standar Nasional Indonesia (SNI) tersebut terus
berkembang, didorong oleh adanya kesepakatan negara-negara dunia menuju
era perdagangan bebas di tingkat ASEAN pada tahun 2003 serta tingkat Asia
Pasifik 2010 dan tingkat dunia pada tahun 2020, yaitu dengan terus
meningkatkan mutu produk dan produktivitas kerja di masing-masing
negaranya melalui penerapan standar-standar internasional sebagai acuan.
Dengan adanya persaingan dalam perdagangan global tersebut, perdagangan
dan negeri dan distribusi lebih diarahkan untuk kemandirian perekonomian
nasional, peningkatan efisiensi, produktivitas masyarakat, serta peningkatan
daya saing dalam menghasilkan barang dan jasa.
Untuk melindungi barang produksi dalam negeri, perlu dibuat standar-
standarm bagi barang impor sejenis yang standarnya harus minimal sama
dengan produksi dalam negeri. Juga dalam menyikapi pasar bebas AFTA ini
yang lebih penting lagi yaitu menerapkan Standar Kompetensi Tenaga Teknik
Khusus Geologi dan Pertambangan terhadap Tenaga Kerja Asing yang bekerja
di Indonesia, sekaligus untuk mengangkat derajat tenaga geologi dan
Pertambangan Indonesia agar mendapatkan pasar kerja di lingkungan
ASEAN.
Dengan memperhatikan kecenderungan perkembangan global dan
kondisi pemerintahan kita dewasa ini dan dalam rangka melaksanakan UU No.
22/1999 dan PNT Pertambangan No. 25/2000, pemerintah daerah dapat
melihat kendala-kendala yang mungkin dihadapi dalam pembangunan
industri dan perdagangan daerah, khususnya dalam kaitannya dengan
standardisasi dan penialaian kesesuaian yang memerlukan prasarana teknis,
antara lain: keterlibatan dan kesadaran masyarakat yang masih belum merata;
ketersediaan laboratorium penguji dan lembaga sertifikasi terakreditasi masih
sangat terbatas.
Hasil kemajuan pembangunan yang telah tercapai selama ini
menunjukkan bahwa suatu landasan ekonomi yang kuat. Hal ini terlihat
dengan ketidakberdayaan para pelaku usaha dalam menghadapi gejolak
moneter eksternal dan kesulitan makro maupun mikro ekonomi. Dalam upaya
pemulihan ekonomi secara nasional, diperlukan reorientasi terhadap
perekonomian pembangunan, baik jangka pendek maupun jangka panjang
antara lain dengan pelaksanaan secara bertahap penyelenggaraan otonomi
daerah, pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya mineral
nasional serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Standardisasi
membantu pemerintah daerah dalam memantau pengembangan produk
unggulan daerahnya serta untuk peningkatan pertumbuhan penerimaan daerah.
Masalahnya sekarang adalah terletak pada kesiapan pemerintah daerah untuk
menciptakan institusi atau lembaga-lembaga yang memenuhi aturan nasional
maupun internasional.
2. Sistem Standardisasi Nasional
Sesuai ketentuan BAB IV Pasal 7 ayat (2) UU No. 22/1999,
pelaksanaan kegiatan standardisasi secara nasional, kewenangannya berada
pada pemerintah pusat, karena standardisasi nasional merupakan unsur
penunjang kegiatan pembangunan, yang merupakan prasarana teknis dalam
pembangunan industri dan perdagangan. Dengan demikian diharapkan bahwa
di seluruh Indonesia hanya akan ada satu jenis standar nasional yaitu SNI.
Prasarana teknis lainnya yang mencakup metrologi, pengujian dan mutu akan
dapat mengikuti satu sistem yang berlaku di seluruh Indonesia, yaitu aturan-
aturan yang berlaku baik secara nasional maupun internasional.
Standardisasi secara nasional berpedoman pada PP No. 102/2000 serta
suatu sistem yaitu Sistem Standardisasi Nasional (SSN) yang telah ditetapkan
oleh Kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN). Dalam sistem tersebut
ditetapkan tata cara perumusan SNI, program penerapan dan pengawasannya,
program informasi dan pemasyarakatan standardisasi serta kegiatan-kegiatan
lainnya yang terkait dengan kegiatan akreditasi, sertifikasi dan metrologi
teknis. Dalam sistem ini juga ditetapkan pembagian kewenangan antara BSN,
departemen teknis dan daerah serta program-program kerja sama
internasional. Berkaitan dengan prasarana teknis seperti Lembaga Sertifikasi,
Laboratorium Penguji, Laboratorium Kalibrasi, Laboratorium Sertifikasi
Sistem Mutu Lingkungan dan Lembaga Sertifikasi Personilo, kewenangan
diberikan kepada mereka atau daerah dimana lembaga tersebut berdomisili
dengan mengikuti sistem yang berlaku.
3. Standardisasi Pertambangan Umum
a. Dasar hukum
Kebijakan standardisasi mulai diterapkan di lingkungan
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral sejak tahun 1991 dengan
ditetapkannya Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi pada saat itu,
sesuai dengan keputusan MPE No. 1748/1992 tanggal 31 Desember 1992
serta adanya perubahan Sistem Standardisasi Nasional, maka kebijakan
tantang standardisasi diperbaharui dengan keputusan MPE No.
02.P/0322/M.PE/1995 tanggal 12 Juni 1995 tentang standardisasi,
sertifikasi dan akreditasi dalam lingkungan pertambangan dan energi.
Bersamaan dengan itu, dalam hal mengatur tentang organisasi dan tata
kerja komite akreditasi departemen Pertambangan dan Energi, maka telah
ditetapkan Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No.
850.K/20/M.PE/1995 tanggal 12 Juni 1995.
Kebijakan terbaru yang saat ini diterapkan dalam pengembangan
kegiatan standardisasi di lingkungan Departemen Energi dan Sumber Daya
Mineral adalah Keputusan Menteri ESDM No. 1086.K/40/MEM/2003
tentang Standardisasi Kompetensi Tenaga Teknik Khusus Bidang Geologi
dan Pertambangan, tentunya dengan mengacu pada UU No. 13/2003, PP
No. 102/2000 serta SSN yang berlaku.
b. Perumusan Standar Nasional Indonesia
Kegiatan perumusan SNI bidang Pertambangan Umum sampai
tahun 2003 telah menghasilkan standar dan telah disahkan oleh BSN
menjadi SNI. Dalam pelaksanaannya, kegiatan perumusan standar
merupakan kerjasama antara para stakeholder yaitu Departemen Energi
dan Sumber Daya Mineral, Instansi terkait dan Pemda selaku wakil
Pemerintah dengan masyarakat standardisasi, yaitu:
a. Pengusaha tambang.
b. Konsumen tambang.
c. Kalangan ilmu pengetahuan/teknologi/perguruan tinggi.
Gambar Pola Pikir Perumusan Standardisasi Bidang Geologi dan
Pertambangan
Proses perumusan tersebut kemudian berlanjut dengan
menyebarluaskan konsep standar yang telah dibahas kepada masyarakat
pertambangan pengguna standar untuk mendapatkan tanggapan, kemudian
dilaksanakan forum Konsensus secara nasional. Hasil forum Konsensur
tersebut kemudian diusulkan kepada BSN untuk ditetapkan menjadi SNI
melalui pembahasan dalam Komisi Perumusan Standar BSN. Proses akhir
perumusan Sni adalah dengan memberlakukan secara wajib atau sukarela
di bidang pertambangan umum (pertambangan mineral dan batu bara)
melalui Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.
Transparansi dan demokrasi sangat dominan dalam proses
perumusan standar. Konsep standar belum dapat ditetapkan sebagai suatu
standar kalau dalam pembahasannya belum tercapai konsensus, pihak-
pihak yang bernegoisasi untuk menelorkan standar boleh mengusulkan
keberatan, keuntungan, kesulitan maupun argumentasi dari sudut pandang
teknis maupun bahasa secara bebas, bahkan satu langkah sebelum konsep
standar disahkan, konsep tersebut akan didistribusikan di antara pihak
yang terkait untuk memperoleh masukan terakhir. Pada dasarnya standar
dirumuskan dengan selalu mengikuti perubahan ilmu pengetahuan dan
teknologi, kesehatan, keselamatan kerja dan pelestarian fungsi lingkungan
hidup untuk keuntungan semua pihak, dan berdasarkan konsensus. Sejak
konsep standar dibuat oleh kelompok kecil sampai dengan penetapannya
menjadi SNI, langkah-langkah yang dilalui selalu diinformasikan kepada
semua pihak yang terkait.
c. Pembinaan dan pengawasan
Kegiatan pembinaan bidang standardisasi, akreditasi dan sertifikasi
bertujuan agar standardisasi dapat berfungsi sebagai alat dalam
meningkatkan produk dan produktivitas usaha pertambangan sehingga
dapat bersaing dengan produk dan jasa pertambangan dari negara lain.
Kegiatan tersebut terkait juga untuk selalu memperbaharui standar-standar
yang telah dirumuskan dan telah disahkan agar dapat selalu mengikuti
perkembangan teknologi dunia, hal ini dalam rangka mengantisipasi pada
saat penerapannya tidak mengakibatkan timbulnya kesenjangan teknologi
antara pihak produsen dan konsumen baik di dalam maupun di luar negeri.
Pengawasan standardisasi adalah suatu kegiatan dalam rangka
memantau secara langsung penerapan SNI dan standar internasional pada
para penggunanya, antara lain perusahaan-perusahaan tambang, para
pengguna lahan galian tambang serta masyarakat yang terkait secara
langsung dengan proses penerapan standar sehingga akan tercipta suatu
kegiatan pertambangan yang baik dan benar dengan mengacu pada SNI
yang telah disahkan serta standar internasional yang berlaku. Selain
sebagai bahan evaluasi terhadap standar-standar yang telah dikembangkan
dan diterapkan pada perusahaan pertambangan, kegiatan pengawasan
standar terkait juga dengan kegiatan inventarisasi standar pertambangan
untuk dapat dirumuskan dan diangkat menjadi SNI bidang pertambangan
umum melalui pross perumusan standar.
4. Akreditasi dan Sertifikasi
Salah satu kegiatan penerapan standar dalam PNT Pertambangan No.
102/2000 antara lain dengan pelaksanaan kegiatan akreditasi dan sertifikasi,
kegiatan akreditasi adalah rangkauan pengakuan formal berupa pemberian
akreditasi kepada lembaga sertifikasi dan laboratorium penguji/kalibrasi oleh
Komite Akreditasi Nasional (KAN) atau Badan Akreditasi lain, yang
menyatakan bahwa lembaga sertifikasi/laboratorium penguji tersebut telah
memenuhi persyaratan untuk melakukan kegiatan sertifikasi tertentu. KAN
sebagai bagian dari BSN, merupakan badan akreditasi independen di
Indonesia yang dibentuk untuk menunjang pelaksanaan penerapan SNI.
Lembaga sertifikasi/laboratorium penguji yang telah terakreditasi oleh KAN
tersebut berhak menerbitkan sertifikat sesuai kewenangan yang dimilikinya.
Adapun kegiatan kegiatan sertifikasi adalah proses penerbitan sertifikat
oleh lembaga sertifikasi/laboratorium penguji yang telah terakreditasi
KAN/Badan Akreditasi Asing kepada perusahaan/perseorangan atau
produk/jasa yang telah memenuhi SNI/standar tertentu.
a. Akreditasi Laboratorium Penguji
Sudah cukup banyak laboratorium di lingkungan perusahaan
pertambangan umum dan pemerintah yang telah terakreditasi oleh KAN.
Laboratorium yang telah diakreditasi olah KAN sesuai ISO 17025 antara
lain adalah:
o Puslitbang Tekmira Lab. Kimia Mineral
Lab. Batubara
o PT Aneka Tambang Tbk Unit Logam Mulia
o PT Freeport Indonesia Lab. Lingkungan
o PT BA Tbk Tiga Lab di Sumsel dan Lampung
o PT Geoservices Ltd Lab. Batubara
o PT Sucofindo Tbk Lab. Batubara (KAN dan NATA)
o PT Interfek Utama Service Lab Mieral/Logam
Sedangkan pemberian sertifikat sistem mutu ISO seri 9000 dan
14000 telah diterima beberapa perusahaan tambang, antara lain PT Timah
Tbk, PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk, PT Aneka Tambang Tbk
Unit Bisnis Pomalaa dan Unit Bisnis Pongkor, PT Freeport Indonesia, Pt
Indominco Mandiri dan PT Kaltim Proma Coal.
b. Sertifikasi Kompetensi Personil
Rancangan kebijakan standardisasi yang sedang dikembangkan
oleh DJGSM adalah terkait dengan penerapan sertifikasi personil tenaga
teknik khusus bidang geologi dan pertambangan. Kegiatan tersebut
sebagai bagian dari usaha pemerintah dalam menyiapkan peningkatan
kompetensi tenaga teknis khusus bidang geologi dan pertambangan
Indonesia sehingga dapat bersaing dengan tenaga kerja asing sebagai
tenaga ahli dan operator di perusahaan pertambangan.
Sampai akhir tahun 2004, telah dirumuskan sebanyak sembilan
SNI tenaga teknik khusus bidang geologi dan pertambangan dan telah
disahkan oleh BSN untuk ditetapkan sebagai SNI, yaitu:
Kompetensi kerja tenaga teknis khusus geologi teknisis geoteknik.
Kompetensi kerja tenaga teknis khusus geologi pengelolaan air bawah
tanah.
Kompetensi kerja tenaga teknis khusus geologi teknisi pengeboran
eksplorasi.
Kompetensi kerja tenaga teknis khusus pertambangan juru bor
peledakan.
Kompetensi kerja tenaga teknis khusus pertambangan teknisi juru
ledak penambangan bahan galian.
Kompetensi kerja tenaga teknis khusus pertambangan manajer
keselamatan dan kesehatan kerja.
Kompetensi kerja tenaga teknis khusus pertambangan operator
peremuk batuan.
Kompetensi kerja tenaga teknis khusus pertambangan penyurvei
tambang.
Kompetensi kerja tenaga teknis khusus pertambangan teknisi
revegetasi tambang.
Sejak terbitnya UU No. 13/2003 tentang ketenagakerjaan, proses
perumusan standar kompetensi kerja ditangani oleh Depnakertrans sebagai
pelaksana masa transisi selaku Badan Nasional Sertifikasi Profesi proses
berfungsi secara optimal.
c. Sertifikasi produk pertambangan
Globalisasi perdagangan telah membawa seluruh kegiatan
produksi, distribusi dan konsumsi, menyatu dalam skala global. Lalu lintas
barang dan jasa semakin lancar, dan bahkan tanpa batas. Di tengah lalu
lintas barang dan jasa itulah, dibutuhkan rambu-rambu penertib agar
konsumen sebagai end-user tidak dirugikan oleh produk-produk tersebut.
Di samping itu dibutuhkan produk yang ramah terhadap lingkungan hidup
(isu lingkungan global). Kebutuhan akan rambu-rambu tersebut
diimplementasikan melalui penerapan standardisasi dan sertifikasi.
Saat ini kualitas produk tidak cukup ditentukan berdasarkan hasil
pengujian akhir terhadap produk yang siap dipasarkan (end-point
inspection) berdasarkan standar produk tertentu, tetapi juga diperlukan
adanya pengujian terhadap proses produksinya berdasarkan standar
manajemen tertentu. Berkaitan dengan pengujian terhadap proses
produksinya berdasarkan standar manjemen tertentu. Berkenaan dengan
pengujian terhadap proses produksi tersebut, International Organization
for Standardization (ISO) mempromosikan penggunaan standar
internasional untuk produk-produk perdangan dan jasa seluruh dunia, yang
meliputi sistem manajemen mutu (QMS) yaitu ISO 9000 series dan sistem
manajemen lingkungan (EMS) yaitu ISO 14000 series dan sistem
manajemen K3 yaitu OSHAS 18000.
5. Kesimpulan
a. Kegiatan standardisasi di lingkungan pertambangan umum berkembang
sesuai sistem standardisasi nasional yang berlaku. Hal ini terlihat dengan
telah lengkapnya komponen standardisasi yang selama ini merupakan
kegiatan rutin unit teknis. Oleh sebab itu, program yang diperlakukan saat
ini adalah pengembangan kegiatan yang selaras dengan perkembangan
standardisasi secara nasional serta peningkatan kualitas sumber daya
manusia yang mampu sebagai bagian dari perangkat yang dibutuhkan
dalam pengelolaan dan pengembangan standardisasi di lingkungan
Departemen Energi dan Sumber Daya Mieral.
b. Di samping itu, dalam mendukung serta memacu program penerapan
standardisasi di lingkungan pemerintah daerah, maka diperlukan perangkat
kebijakan yang mapan dan transparan sehingga mempunyai dampak
positif bagi perkembangan usaha pertambangan di Indonesia, terutama
dengan kebijakan penerapan SNI baik wajib maupun sukarela dalam setiap
kegiatan usaha pertambangan. Oleh sebab itu, dengan terbitnya PP No.
120/2000 yang akan segera diangkat menjadi Undang-undang, maka
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Cq. Direktorat Jenderal
Geologi dan Sumber Daya Mineral terus merumuskan kebijakan baru di
bidang standardisasi pertambangan yang selaras dengan kebijakan
standardisasi secara nasional.
c. Dengan berlakunya UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, maka
seluruh komponen industri dan jasa berkewajiban meningkatkan
kompetensi profesi tenaga kerjanya agar dapat bersaing dengan tenaga
kerja asing. Untuk itu menjadi kewajiban dari Departemen Energi dan
Sumber Daya Mineral dengan Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber
Daya Mineral untuk merumuskan kebijakan yang terkait sehingga dalam
penerapannya berjalan secara optimal.
top related