na ruu prov. kepulauan
Post on 24-Jul-2015
66 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia (selanjutnya disingkat dan ditulis
NKRI), merupakan negara kepulauan (archipelagic state), terdiri dari
sejumlah besar pulau besar maupun kecil. Di samping beberapa pulau besar
yakni pulau Sumatera, pulau Jawa, (sebagian besar) pulau Kalimantan, pulau
Sulawesi dan (sebagian) pulau Papua, terdapat pulau-pulau kecil yang
diperkirakan jumlahnya berkisar antara 17,480 sampai 18,3006 buah.
(17,508 (Dishidros), 17,480 (Fredy Numberi), 17,508 ( Pussurta ABRI),
18,306 (LAPAN 1982 berdasar pantauan Satelit Citra).
Sebagian besar dari pulau-pulau tersebut merupakan pulau kecil yang
memiliki kekayaan alam dan jasa lingkungan (environmental service) yang
sangat potensial untuk pembangunan ekonomi (Departemen Kelautan dan
Perikanan RI, 2001 : 5), maupun pembangunan bidang sosial, politik, budaya
di samping penyelenggaraan keamanan dan pertahanan dan beberapa fungsi
lainnya yang penyelenggaraannya dilakukan oleh pemerintahan negara.
Kehadiran provinsi-provinsi, kabupaten/kota-kabupaten/kota, bahkan
kesatuan-kesatuan masyarakat pedesaan maupun kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat di berbagai pulau dalam NKRI, merupakan
kenyataan-kenyataan yang lahir melalui proses-proses politik bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara dan ditetapkan sebagai ketentuan yang menjamin
1
terlaksananya upaya pensejahteraan rakyat dalam lingkup-lingkup yang lebih
kecil. Artinya, baik pada awal kemerdekaan maupun dalam perjalanan hidup
selanjutnya dari bangsa dan negara Indonesia, bagian-bagian wilayah yang
disebut di atas sama sekali tidak dapat eksistensinya sebagai ruang wilayah
atau teritori yang di atasnya diselenggarakan upaya pensejahteraan rakyat
yang dilakukan pemerintahan yang dibentuk di wilayah atau teritori melalui
kegiatan di bidang-bidang sosial, ekonomi, politik, sosial, budaya di samping
penyelenggaraan keamanan dan pertahanan dan beberapa fungsi lainnya
yang penyelenggaraannya dilakukan oleh pemerintahan negara.
Daerah-daerah yang berciri atau karakter khusus kepulauan yang merupakan
bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, harus mendapat
perhatian serius pemerintah, karena secara konstitusional terdapat jaminan
yang kuat.
Berbagai kebijakan pemerintah dalam bidang pembangunan dan
pemerintahan selama ini belum sepenuhnya mengakomodir berbagai
kebutuhan masyarakat pada wilayah-wilayah yang berciri kepulauan atau
berkarakter khusus, sehingga sering dirasakan adanya ketidakadilan.
Secara teoretis pemerintah atau negara mengakui eksistensi wilayah-wilayah
yang berciri kepulauan, dimana perlakuan khusus terhadap eksistensi
masyarakat termasuk dalam pengelolaan sumberdaya alam dan wewenang
pemerintah serta hak dan kewajiban tertentu, patut mendapat perhatian
serius untuk diatur dalam sebuah produk hukum yang representatif.
Eksistensi wilayah sedemikian merupakan asal-usul yang melekat pada
daerah-daerah berkarakter kepulauan yang wilayahnya didominasi perairan
2
laut, yang nyata, diakui dan tetap hidup sehingga perlu memperoleh
perlakuan yang khusus atau keistimewaan dalam bidang pengelolaan sumber
daya alam maupun sumber daya manusia di dalam wilayah Kepulauan
masing-masing.
Sebagai satu kesatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia,
tuntutan untuk mendapat perlakuan yang khusus merupakan hak yang sudah
tentu merupakan cerminan dari prinsip keadilan dan pemerataan
pembangunan yang berdimensi luas, dimana dalam arak-arakan
pembangunan tidak boleh ada wilayah-wilayah yang tertinggal.
Berlandaskan Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, Negara Kesatuan RI
dibagi atas daerah-daerah provinsi; daerah-daerah provinsi itu dibagi atas
kabupaten dan kota. Hal ini berarti bahwa keberadaan provinsi-provinsi,
kabupaten/kota-kabupaten/kota, bahkan kesatuan-kesatuan masyarakat
pedesaan maupun masyarakat-masyarakat hukum adat di berbagai pulau
dalam NKRI, merupakan kenyataan-kenyataan yang lahir melalui proses-
proses politik bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan ditetapkan
sebagai ketentuan perundang-undangan yang menjamin terlaksananya
penyelenggaraan pemerintahan dalam upaya mensejahterakan rakyat dalam
lingkup-lingkup yang lebih kecil.
Pemerintah daerah baik itu Provinsi maupun Kabupaten/kota setelah era
reformasi dituntut melaksanakan prinsip good governance sehingga
diharapkan dapat mencapai masyarakat yang adil dan makmur di samping
mampu memberikan pelayanan publik yang berkualitas.
3
Di dalam upaya perwujudan kesejahteraan rakyat, provinsi yang luas wilayah
laut lebih luas dari wilayah darat dan memiliki ratusan pulau-pulau yang
berpenghuni seperti Provinsi Maluku yang terdiri dari kurang lebih 1.000
pulau dengan luas 92,6 % wilayah laut, Provinsi Kepulauan Riau terdiri dari
96 % wilayah laut, Provinsi NTT terdiri dari 1.192 pulau dengan luas 80,8 %
wilayah laut, Provinsi Bangka Belitung terdiri dari 79,9 % wilayah laut, dan
Provinsi Sulawesi Utara terdiri dari 95,8 % wilayah laut, mengalami kesulitan
dalam rangka pemenuhan kesejahteraan rakyat maupun pelayanan publik
yang berkualitas.
Hal itu disebabkan oleh kondisi geografis dengan pulau-pulau yang banyak,
yang membutuhkan pembiayaan yang jauh lebih besar untuk suatu kegiatan,
sedangkan untuk kegiatan yang sama yang dilakukan pada provinsi yang
wilayah daratannya lebih luas biaya yang dikeluarkan tidak sebesar biaya
yang dikeluarkan pada provinsi berbasis kepulauan. Akibatnya adalah muncul
kesan adanya ketidakadilan dalam pembangunan, atau tidak ada pemerataan
pembangunan sehingga proses peningkatan kesejahteraan masyarakat di
daerah yang berkarakteristik akuatik teristerial (laut lebih luas dari daratan)
menjadi lamban.
Dengan demikian maka dalam kepelbagaian kondisi geografis dengan
karakter masing-masing atau karakter khusus , perlu ditempuh kebijakan
khusus pula, sehingga sasaran pembangunan bisa tercapai dan masyarakat
dapat menikmati hasil hasil pembangunan secara adil.
Atas latar belakang itulah, maka dibutuhkan pengkajian untuk menyiapkan
Rancangan Undang-Undang tentang Provinsi Kepulauan yang diharapkan
dapat menjadi perangkat yang mampu mencapai pembangunan yang
4
berkeadilan bagi rakyat Indonesia yang mendiami wilayah-wilayah
kepulauan.
1.2. Identifikasi Masalah
Kajian ini berupaya menjawab masalah-masalah sebagai berikut:
1. Apa yang membedakan kondisi wilayah di daerah kepulauan dari
kondisi wilayah di daerah daratan (kontinental)?
2. Apa yang menjadi sebab lambannya pembangunan kesejahteraan rakyat
di daerah kepulauan?
3. Apakah pengaturan daerah kepulauan dapat mendorong pembangunan
berkeadilan di wilayah-wilayah tersebut?
4. Apa yang menjadi landasan filosofis, sosiologis dan yuridis bagi
pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang Provinsi Kepulauan?
5. Apa sasaran yang hendak dicapai, ruang lingkup pengaturan, jangkauan
dan arah pengaturan Rancangan Undang-Undang tentang Provinsi
Kepulauan?
1.3. Tujuan dan Kegunaan kegiatan Penyusunan Naskah Akademik
Sesuai ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, maka
tujuan penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang
Provinsi Kepulauan adalah sebagai berikut:
1. Mengedepankan perbedaan kondisi daerah kepulauan dari kondisi
daerah daratan.
5
2. Mengedepankan sebab-sebab kelambanan pembangunan kesejahteraan
rakyat di daerah kepulauan.
3. Mengedepankan pertimbangan bahwa pengaturan untuk daerah
kepulauan dapat mendorong pembangunan berkeadilan di wilayah-
wilayah kepulauan tersebut.
4. Merumuskan pokok-pokok yang menjadi landasan filosofis, sosiologis
dan yuridis mengenai pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang
Provinsi Kepulauan.
5. Merumuskan sasaran yang hendak dicapai, ruang lingkup pengaturan,
jangkauan dan arah pengaturan Rancangan Undang-Undang tentang
Provinsi Kepulauan.
Dengan demikian, kegunaan penyusunan Naskah Akademik ini dijadikan
acuan dalam pembahasan dan penyusunan Rancangan Undang-Undang
tentang Provinsi Kepulauan.
1.4. Metode
Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Provinsi
Kepulauan ini berdasar: (1) masukan pemikiran dari beberapa anggota
Dewan Perwakilan Daerah dalam diskusi pada Rapat Dengar Pendapat
Umum (RDPU) dari nara sumber; (2) kajian-kajian terhadap pendapat nara
sumber menyangkut pokok-pokok tertentu; (3) masukan
pikiran/pendapat/kehendak para pemangku kepentingan yang dilakukan
pada Diskusi Kelompok Terarah (Focus Group Discussion) di beberapa
provinsi berbasis kepulauan yakni di Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi
Bangka Belitung dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dengan demikian maka
metode yang ditempuh ini adalah Metode Asesmen (Assesment Method)
6
terhadap keinginan masyarakat pemangku kepentingan di provinsi-provinsi
berbasis kepulauan dilihat dari aspek politik, sosial, ekonomi, dan budaya.
Metode ini dilaksanakan berdasar pertimbangan:
a. Keinginan-keinginan para pemangku kepentingan di provinsi-provinsi
berbasis kepulauan merupakan keinginan nyata adanya perlakuan
khusus dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah kepulauan, harus
diketahui langsung dari mereka;
b. Penyelenggaraan Diskusi Kelompok Terarah (Focus Group Discussion)
dibatasi hanya pada tiga provinsi yang dipilih karena ketersediaan sarana
dan prasarana pendukung, keterbatasan waktu dan tenaga, dan tingkat
kepentingan yang membutuhkan perhatian secara menyeluruh dan cepat.
c. Pendapat nara sumber dari instansi maupun pakar merupakan masukan
penting dalam penyusunan argumentasi bagi diperlukannya pengaturan
perlakuan khusus dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah
kepulauan.
Selain Metode Asesmen yang dikemukakan di atas, penyusunan Naskah
Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Provinsi Kepulauan ini
dilakukan juga dengan melakukan kajian atas peraturan perUndang-
Undangan yang terkena implikasi adanya (perlakuan khusus terhadap)
provinsi berbasis kepulauan. Banyak peraturan perundangan yang akan
berkaitan dengan adanya keinginan mengatur secara khusus
penyelenggaraan pemerintahan daerah kepulauan. Dengan demikian metode
kedua yang dipergunakan adalah Metode Yuridis Normatif.
Kedua metode di atas dipergunakan dengan pertimbangan:
7
a. Pemenuhan kehendak baru para pemangku kepentingan memerlukan
pengetahuan tentang apa yang dikehendaki yang dikemukakan
pemangku kepentingan sendiri.
b. Pemikiran-pemikiran para pakar di bidang tertentu seperti di bidang
kelautan, sosial kemasyarakatan maupun di bidang hukum menjadi
bahan masukan penting bagi penyusunan argumentasi perlunya
Rancangan Undang-Undang tentang Provinsi Kepulauan.
Kajian yuridis normatif dilakukan dengan bertolak dari Falsafah Pancasila
sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang
menjadi landasan atau yustifikasi meta-yuridis bagi dapat atau tidak dapatnya
pengaturan tentang Provinsi Kepulauan, diikuti dengan telaah terhadap pasal
dalam konstitusi yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
(UUD NRI Tahun 1945) yang dipandang menjadi dasar adanya pengaturan
tentang provinsi kepulauan berikut pemerintahannya. Kajian atau telaah
terhadap peraturan perundangan yang berhubungan dengan pemerintahan
daerah dilakukan untuk memperoleh landasan yuridis maupun solusi atas
masalah yang berkaitan dengan pengaturan tentang Provinsi Kepulauan
.
BAB II
KAJIAN TEORITIK DAN PRAKTEK EMPIRIK
8
1. Kajian Teoritik
Kajian teoretik yang menjadi landasan utama dalam upaya menata wilayah-
wilayah negara yang berkarakter khusus mencakup, teori wewenang serta
teori penguasaan wilayah atau teritori tertentu, teori pengelolaan atau
manajemen, yang didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan, pemerataan,
harmonisasi dan sinkronisasi. Hal itu berarti bahwa pemerintah harus
mampu mengelola secara adil, wilayah negara yang luas dan memiliki
berbagai karakter khusus sehingga tidak menimbulkan berbagai problem
dalam implementasi penyelenggaraan pemerintahan.
Hal tersebut sudah tentu harus diikuti dengan sejumlah hak dan kewajiban
dari semua komponen pengelolaan, sehingga dapat menimbulkan
harmonisasi dan sinkronisasi yang bermanfaat bagi sebuah negara hukum
dengan Ideologi Pancasila.
1.1. Teori Wewenang serta Teori Penguasaan Wilayah atau Teritori
Tertentu
Teori wewenang serta teori penguasaan wilayah atau teritori tertentu, pada
hakekatnya berkaitan dengan luas lingkup dan sifat pemerintahan daerah
menurut UUD NRI Tahun 1945.
Salah satu aspek penting yang turut direformasi adalah konstitusi Indonesia.
Selama orde baru, UUD 1945 dikeramatkan dan dimanfaatkan secara licik
oleh penguasa untuk mempertahankan dan melanggengkan kekuasaan.
Ternyata dengan tuntutan reformasi untuk mewujudkan civil society dan
9
terciptanya good governance, maka dilakukan beberapa kali amandemen
terhadap UUD 1945 yang kini disebut UUD NRI Tahun 1945. Pada
Amandemen yang kedua, telah dilakukan perubahan rumusan Pasal 18 UUD
1945 dengan rumusan terdiri dari Pasal 18, 18A, dan 18B UUD NRI Tahun
1945.
Bilamana pengaturan dimaksud dicermati, maka dapat dipetik beberapa
prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai berikut:
a. Pemerintahan Daerah terdiri dari dua tingkatan, yaitu Pemerintahan
Propinsi dan Pemerintahan Kabupaten dan Kota;
b. Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berpijak pada asas otonomi dan
tugas pembantuan;
c. Masing-masing Pemerintahan Propinsi, Kabupaten dan Kota memiliki
DPRD, yang anggota-anggotanya dipilih melalui Pemilihan Umum, serta
setiap Pemerintahan Propinsi, Kabupaten dan Kota dipimpin oleh
Gubernur, Bupati dan Walikota yang dipilih secara demokratis;
d. Setiap Pemerintahan Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,
kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang mengenai urusan
Pemerintah Pusat;
e. Dalam rangka melaksanakan otonomi daerah, setiap pemerintahan
daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan
lainnya.
f. Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
propinsi, kabupaten, dan kota memperhatikan kekhususan dan
keragaman daerah;
g. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam
dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan
10
daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan
Undang-Undang;
h. Satuan–satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat
istimewa diakui dan dihormati. Juga diakui dan dihormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan pekerbangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-
Undang.
Pertanyaan yang mengedepan adalah: apakah satuan-satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus dan istimewa memiliki tingkatan pemerintahan
yang sejajar dengan pemerintahan Propinsi, Kabupaten dan Kota? Ataukah
terlepas dari satuan pemerintahan yang ada?
Bilamana mencermati prinsip Pemerintahan Daerah yang terdiri dari dua
tingkatan, yaitu Pemerintahan Propinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota,
kemudian dihubungkan dengan prinsip satuan–satuan pemerintahan daerah
yang bersifat khusus atau istimewa yang diakui dan dihormati, serta prinsip
hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
propinsi, kabupaten/kota serta memperhatikan kekhususan dan keragaman
daerah, maka dapat dideskripsikan struktur pemerintahan daerah
berdasarkan luas tingkatan pemerintahan daerah dan kekhususan atau
keistimewaan pemerintahan daerah sebagai berikut:
a. Pemerintahan tingkat Propinsi yang khusus atau istimewa;
b. Pemerintahan tingkat Kabupaten/Kota yang khusus atau istimewa
Konstruksi pemerintahan daerah ini tidak diatur lebih jauh dalam UUD NRI
Tahun 1945 dan semakin kabur ketika status Penjelasan UUD 1945 menjadi
11
goyah sebagai akibat amandemen UUD 1945 itu, menjadi UUD NRI Tahun
1945.
Oleh karenanya maka perlu diatur lebih lanjut dalam Undang Undang
Pemerintahan Daerah, dengan memperjelas kriteria/tolok ukur kekhususan
atau keistimewaan pemerintahan daerah dan bagaimana bentuk perlakuan
terhadap kekhususan dan keistimewaan pemerintahan daerah dimaksud
(wujud dari prinsip hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan
pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota memperhatikan
kekhususan dan keragaman daerah).
Oleh karenanya pula, salah satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam
perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah memasukkan
Propinsi dan juga Kabupaten Kepulauan sebagai salah satu bentuk
kekhususan pemerintahan daerah dan memperjelas bentuk dan luas
perlakuan pemerintah terhadap kekhususan dan keistimewaan pemerintahan
daerah dimaksud.
Perlunya perlakuan pemerintah terhadap kekhususan dan keistimewaan
pemerintahan daerah sejalan dengan eksistensi Indonesia sebagai Negara
Kesatuan. Dalam Negara kesatuan, semua kekuasaan pemerintahan ada di
tangan pemerintah (pusat). C.F. Strong (1966:80) mengedepankan bahwa "a
unitary state is one in which we find 'the habitual exercise of supreme legislative
authority by one central power' . . .". (negara kesatuan ialah bentuk negara
dimana wewenang legislatif tertinggi dipusatkan dalam satu badan legislatif
pusat/nasional). Kekuasaan terletak pada pemerintah pusat dan tidak ada
pada pemerintah daerah. Pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk
menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak
12
otonomi, tetapi pada tahap terakhir kekuasaan tertinggi tetap di tangan
pemerintah pusat. Demikian pula James MacGregor Burn, et all (1978:43)
menandaskan bahwa pemerintah pusat dapat mendelegasikan kekuasaannya
kepada unit-unit konstituen tetapi apa yang didelegasikan itu mungkin juga
ditarik kembali.
Senada dengan pandangan tersebut, Wolhoff dalam Zen Zanibar (2003:109)
menyatakan bahwa dalam negara kesatuan pada asasnya kekuasaan
seluruhnya dimiliki pemerintah (pusat). Artinya, peraturan-peraturan
pemerintah pusatlah yang menentukan bentuk dan susunan pemerintahan
daerah otonom, termasuk macam dan luasnya otonomi menurut inisiatifnya
sendiri.
Pemikiran yang dipaparkan di atas hendak menegaskan bahwa prinsip yang
dianut dalam Negara kesatuan ialah kewenangan pemerintah (pusat) untuk
campur tangan yang lebih intensif terhadap persoalan-persoalan di daerah.
Tetapi kewenangan dimaksud terdapat dalam suatu pengaturan yang jelas
dan tegas. Pada prinsipnya pemerintah (pusat) dapat mencampuri urusan
apapun juga sepanjang mengenai kepentingan umum.
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa ruang intervensi pemerintah
(pusat) terhadap pemerintahan daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota)
memiliki legitimasi dalam konteks Indonesia sebagai negara kesatuan.
Legitimasi intervensi pemerintah (pusat) ini juga ditujukan kepada Propinsi
atau kabupaten Kepulauan sebagai wujud dari kekhususan dan keistimewaan
pemerintahan daerah. Bentuk dan luas intervensi pemerintah (pusat)
dimaksud mestinya diatur dalam Undang Undang Pemerintahan Daerah.
13
Oleh karenanya, dalam perubahan Undang Undang Pemeritahan Daerah perlu
dipertegas dan diperjelas pengaturan tentang daerah istimewa dan daerah
khusus, dengan merumuskan kriteria daerah khusus dan daerah istimewa,
serta menentukan luas perlakuan/intervensi pemerintah terhadap daerah-
daerah dimaksud.
Hal yang perlu dipertimbangkan adalah daerah-daerah yang secara geografis
mengalami persoalan seperti daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah
pesisir dan kepulauan, pulau terluar. Seyogyanya dalam UU Pemerintahan
Daerah diberikan ruang kepada setiap Propinsi dan Kabupaten/Kota untuk
mengatur kekhususan dan keistimewaannya, dengan titik berat pada daerah
tertinggal, daerah terpencil, daerah pesisir dan kepulauan, pulau terluar dan
daerah-daerah yang beresiko terhadap bencana.
Pemikiran mengenai pengakuan terhadap kekhususan daerah kepulauan
(atau wacana lain tentang pengakuan daerah-daerah yang bersifat istimewa)
dimaksud sesungguhnya memiliki wacana akademik sebagaimana
dikemukakan Charles D. Tarlton yang disitir Robert Endi Jaweng (Suara
Pembaruan, Selasa, 21 Desember 2010: 5). Dalam pandangan Tarlton, model
desentralisasi teridentifikasi dalam desentralisasi simetris dan desentralisasi
asimetris. Model desentralisasi simetris/biasa ditandai kesesuaian
(conformity) dan keumuman (commonality) dalam hubungan daerah dengan
sistem politik nasional, pemerintah pusat maupun antar daerah. Sedangkan
model desentralisasi asimetris dengan ciri sebaliknya, artinya suatu daerah
khusus/istimewa memiliki pola hubungan berbeda dan tak lazim terjadi di
14
daerah-daerah lain, utamanya hal ihwal relasi dengan pusat, relasi dengan
daerah sekitar, dan pengaturan internal daerah itu sendiri.
Lebih lanjut mengenai letak kekhususan dan keistimewaan suatu daerah,
Tarlton menandaskan bahwa subyek utamanya adalah soal kewenangan.
Dasar pemberian dan isi kewenangan khusus/istimewa mempresentasikan
alasan-alasan unik. Subyek kewenangan inilah yang nantinya menentukan
bangunan relasi daerah khusus/istimewa dengan pusat atau daerah lain
maupun arah kebijakan internal dan tata kelola pemerintahannya (ibid).
Dasar Alasan memberlakukan desentralisasi asimetris pada sebagian Negara
adalah bertolak dari political reason seperti respons atas keberagaman
karakter regional atau primordial, bahkan ketegangan etnis (seperti kasus
Quebeck di Kanada); sebagian lain dilandasi efficiency reasons, yakni
bertujuan untuk penguatan kapasitas pemerintah daerah dan administrasi
pemerintahan (ibid).
Sesuatu yang dipandang sebagai kekhususan seperti di atas, tampaknya
sangat dipahami dari perspektif demokrasi. Jimly Asshiddiqie (2005: 245 et
seq) mengedepankan bahwa “…dalam perspektif yang bersifat horizontal,
gagasan demokrasi yang berdasar atas hukum (“constitutional democracy”),
mengandung empat prinsip pokok, yaitu: (i) adanya jaminan persamaan dan
kesetaraan dalam kehidupan bersama, (ii) adanya pengakuan dan
penghormatan terhadap pluralitas atau perbedaan, (iii) adanya aturan yang
mengikat dan dijadikan sumber rujukan bersama, dan (iv) adanya mekanisme
penyelesaian sengketa berdasarkan mekanisme aturan yang disepakati
bersama itu.”
Daerah kepulauan yang terdiri dari pulau-pulau kecil merupakan daerah yang
berbeda dari daerah pulau-pulau besar seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan,
15
Sulawesi dan Papua. Daerah-daerah kepulauan yang terdiri dari pulau-pulau
kecil ini yang merupakan wilayah daerah kepulauan yang didominasi laut,
yang berbeda dari pulau-pulau besar, dapat dimasukkan dalam prinsip pokok
kedua dari “constitutional democracy” yang dikedepankan Jimly Asshiddiqie
itu.
Tentang desentralisasi asimetris ini, Tri Widodo W. Utomo (2009: 58)
mengedepankan bahwa:
“Decentralization has multiple meaning, interpretation, and implementation in
different country and different context. But there is common essence of
decentralization, that is, strengthening local authorities through transfer of
power and resources from the central government. It must never be forgotten
that the purpose of decentralization is not to reinforce local powers or to
preserve central power but exclusively to ensure the best service to the citizen,
service that is closer, more comprehensible and less costly. By quoting
Bernard:“Decentralization cannot be forced. It must be made alive for and by
the inhabitants of the City of Mankind.” Consequently, contrasting unitary and
federal states, or contrasting decentralization and deconcentration, is no longer
relevant. The more important thing to be noticed is that both unitary and
federal states have equal opportunity to promote asymmetrical
decentralization. Asymmetrical decentralization constitutes a win-win solution
to resolve any conflict between Unitarian supporters and separatist movement”.
Sedikit berbeda dari kesimpulan Tri Widodo W. Utomo yakni kehendak
melakukan penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi berbasis
kepulauan, tidak bertumpu pada pemikiran separatis sebagaimana di negara-
negara lain. Kajian empiris sebagaimana dikemukakan pada angka 2 bab ini
akan memperlihatkan bahwa kehendak melakukan penyelenggaraan
16
pemerintahan daerah di provinsi berbasis kepulauan lebih ditekankan pada
penyelenggaraan pemerintahan yang lebih dekat kepada masyarakat untuk
mencapai hasil pembangunan yang lebih baik bagi kesejahteraan masyarakat.
Hal ini dilihat dari kenyataan sebagai berikut. Aksesibilitas pemerintah
provinsi bersama rakyatnya di wilayah perairan pedalaman provinsi menjadi
berkurang. Dalam menentukan luas wilayah daerah kepulauan yang
didominasi laut maka penentuan batas wilayah di pulau-pulau yang masuk
daerah kepulauan itu yang diukur dengan menggunakan penarikan garis
dasar lurus yang menghubungkan dua titik awal berdekatan dan berjarak
tidak lebih dari 12 mil laut sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penegasan Batas
Daerah, adalah tidak adil. Sebab, dengan cara seperti itu maka bagian terbesar
wilayah laut yang berada dalam batas-batas wilayah provinsi sebagaimana
disebutkan dalam undang-undang, akan hilang. Hal ini tidak sekedar
menyangkut pembagian Dana Alokasi Umum (DAU) yang ditentukan berdasar
luas wilayah daratan.
Masalah terbesar ialah ruang atau wilayah pengelolaan sumber daya alam di
laut pada perairan pedalaman provinsi yang berada di luar jarak 12 mil laut
tidak berada di dalam otoritas penyeelenggara pemerintah daerah kepulauan.
Oleh karena itu untuk menciptakan keadilan wilayah di antara semua daerah
yang telah terbagi-bagi secara konstitusional di dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia, maka penggunaan cara pengukuran garis dasar lurus
seperti disebutkan di atas, cukup dilakukan pada tempat-tempat yang
menghadap keluar (outward position) dari pulau-pulau pada batas provinsi
17
berbasis kepulauan, bukan melakukan perhitungan keliling atau melingkar
(circle position) masing-masing pulau.
Dengan cara demikian maka daerah kepulauan dengan kondisi sosial,
ekonomi, budaya maupun satuan-satuan masyarakat hukum adat dengan
sistemnya memiliki wilayah nyata atas sumber daya alam di laut di antara
pulau-pulau yang dapat dikelola untuk kesejahteraan masyarakatnya dan
pembangunan.
Jadi, jelaslah bahwa pengakuan daerah kepulauan sebagai model
pemerintahan daerah yang bersifat khusus juga memiliki rujukan akademik
yaitu sebagai wujud model desentralisasi asimeteris yang berlandaskan pada
political reasons (keberagaman karakter regional) dan efficiency reason, yakni
bertujuan untuk penguatan kapasitas pemerintah daerah. Oleh karenanya,
pembentukan daerah kepulauan sebagai daerah yang bersifat khusus di
Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki landasan konstitusional dan
landasan akademik yang tak perlu diragukan lagi.
Atas dasar pemikiran yang dipaparkan di atas, maka beralasan Rancangan
Undang Undang yang sedang digagas ini diberi judul “Rancangan Undang
Undang Tentang Provinsi Kepulauan”. Argumentasi penggunaan judul
tersebut secara lebih konkrit adalah sebagai berikut:
a. Daerah Kepulauan menunjukkan bahwa yang diakui sebagai satuan
pemerintahan daerah yang berkarakter/bersifat khusus kepulauan
meliputi propinsi, kabupaten/kota, dan tidak menutup kemungkinan
kelak diakui desa kepulauan.
18
b. Secara yuridis maupun secara akademik, satuan pemerintahan daerah
yang disebut daerah kepulauan telah mendapatkan justifikasi sebagai
konsekuensi negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan yang
menganut prinsip desentralisasi. Sebagai konsekuensi dari dianutnya
prinsip desentralisasi adalah pengaturan sistem pemerintahan daerah
di Indonesia dengan Undang Undang Pemerintahan Daerah.
c. Di dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia juga dikembangkan
desentralisasi asimetris, yaitu terwujud dalam pengakuan daerah yang
bersifat khusus dan daerah yang bersifat istimewa. Salah satu satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus dalam kerangka ini adalah
daerah kepulauan.
d. Kehadiran Rancangan Undang Undang tentang Provnsi Kepulauan
mempertegas bahwa RUU ini lahir sebagai konsekuensi dari penerapan
prinsip desentralisasi asimentris dan sebagai implikasi dari sistem
pemerintahan daerah sebagaimana diatur terdahulu dengan Undang
Undang tentang Pemerintahan Daerah.
1.2. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya
alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah
Prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah lainnya yang ditarik dari
pengaturan UUD NRI TAHUN 1945 adalah hubungan keuangan, pelayanan
umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara
pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang diatur dan dilaksanakan
secara adil dan selaras berdasarkan Undang Undang. Prinsip ini semestinya
diwujudkan dalam pengaturan Undang-Undang Pemerintahan Daerah,
19
terutama berkaitan dengan pengaturan hubungan Pemerintah dan
Pemerintah Daerah.
Namun justru pengaturan tentang hal tersebut belum dirumuskan secara
jelas. UU Nomor 32 tahun 2004 memberikan perhatian dalam pengaturan
tentang hubungan kewenangan pemerintah (pusat) dengan pemerintah
daerah.
Konstruksi hubungan pemerintah dengan pemerintah daerah, sebagaimana
dikemukakan Mohammad Fauzan (2006:34) adalah sebagai berikut:
a. Suatu pembagian kekuasaan yang rasional di antara tingkat-tingkat
pemerintahan dalam memungut dan membelanjakan sumber dana
pemerintah, yaitu suatu pembagian yang sesuai dengan pola umum
desentralisasi;
b. Suatu bagian dari sumber-sumber dana secara keseluruhan untuk
membiayai fungsi, penyediaan pelayanan, dan pembangunan yang
diselenggarakan oleh pemerintah daerah;
c. Pembagian yang adil di antara daerah-daerah atas pengeluaran
pemerintah, atau sekurang-kurangnya ada perkembangan yang memang
diusahakan ke arah itu;
d. Suatu upaya perpajakan (fiscal effort) dalam memungut pajak dan
retribusi oleh pemerintah daerah yang sesuai dengan pembagian yang
adil atas beban keseluruhan dari pengeluaran pemerintah dalam
masyarakat.
Atas dasar pemahaman tentang kontruktruksi hubungan pemerintah dan
pemerintah daerah seperti itu, maka hubungan keuangan, pelayanan umum,
20
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah harus diatur secara adil dan selaras. Pengaturan
yang adil dan selaras tentunya mempertimbangkan berbagai aspek terkait,
termasuk aspek kondisi geografis dan realitas masyarakat yang hidup dalam
satu tatanan pemerintahan daerah, namun berada di pulau-pulau yang
tersebar atau sering disebut sebagai daerah (propinsi atau kabupaten
kepulauan).
Penegasan ini harus mendapat perhatian khusus dalam pengaturan hubungan
pemerintah dan pemerintah daerah seiring dengan gagasan untuk merevisi
Undang Undang Nomor 32 tahun 2004.
Berkaitan dengan hubungan pemerintah dan pemerintah daerah dalam hal
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya, tentunya merujuk
pada ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yaitu “bumi air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Pengertian dikuasai Negara menurut
pendapat Mahkamah Konstitusi bahwa tidak dapat diartikan hanya sebatas
hak untuk mengatur dan mengawasi, karena hal tersebut dengan sendirinya
melekat dalam fungsi-fungsi Negara tanpa harus menyebut secara khusus
dalam UUD NRI TAHUN 1945. Sekiranya pun tidak dicantumkan dalam
konstitusi sebagaimana lazim di banyak Negara yang menganut paham
ekonomi liberal, sudah dengan sendirinya Negara berhak mengatur
perekonomian. Atas dasar itu, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
penguasaan Negara diartikan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas
segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
21
dalamnya”, sebagai pemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-
sumber kekayaan, dan kemudian rakyat tersebut secara kolektif
dikonstruksikan oleh UUD NRI TAHUN 1945 memberikan mandat kepada
Negara untuk mengadakan kebijakan (beleid), tindakan pengurusan
(bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (bestuursdaad)
dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas ijin,
lisensi, dan konsesi (Maruarar Siahaan, 2007:21-22).
Lebih jauh Abrar Saleng (2007:52) mengemukakan bahwa penggunaan Pasal
33 ayat (3) UUD 1945 dilakukan dengan pendekatan bahwa sumberdaya alam
dikuasai oleh negara dan merupakan milik bersama (common property)
bangsa-bangsa (nation) yang ada di Indonesia dan digunakan untuk
kesejahteraan dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dari satu generasi
ke generasi selanjutnya (intergeneration) secara berkelanjutan
(substainablility).
Juga Titahelu (1993:80-81), yang menunjuk pada pendapat Gaius dan
Javolenus dalam Vegting (1946:27), memperlihatkan bahwa negara bukanlah
pemilik dari benda-benda yang ditentukan penggunaannya untuk umum (de
staat noet den eigendom heft van de voor het publiek gebruik bestemde zaken).
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan
benda-benda atau sumber daya yang dimanfaatkan bagi sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Disini letak makna het publiek gebruik dari benda-benda
atau sumber daya alam atau kekayaan alam yang ada di dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Het publiek gebruik dimaknai sebagai pemilikan
dan pemakaian bersama.
22
Dalam era otonomi daerah, terjadi perubahan yang mendasar dalam sistem
dan praktek pengelolaan sumberdaya alam. Perubahan dimaksud terlihat
dalam kewenangan pemerintah daerah yang besar dalam pengelolaan
sumberdaya alam. Pasal 17 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah menentukan bahwa “Daerah berwenang mengelola
sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggungjawab
memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perUndang-
Undangan”.
2. Kajian Empirik
Hal-hal di atas menjadi dasar penting berhubung dengan masalah konkrit di
bidang kelautan dan perikanan yang sangat berdampak pada pembangunan
dan kesejahteraan masyarakat di Provinsi-provinsi yang memiliki wilayah
yang didominasi lautan, (Masengi, 2012). Kenyataan-kenyataan berupa:
1. Belum memadainya infrastruktur kegiatan budidaya sehingga potensi
sumber daya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil belum dimanfaatkan dan
dikelola secara optimal;
2. Masih terbatasnya infrastruktur pengendalian dan pengamanan bencana
sehingga kemungkinan impact akibat bencana alam, ancaman/gangguan
thd kelestarian ekosistem dan sumberdaya laut, pesisir, dan pulau-pulau
kecil masih sering dirasakan;
3. Masih terbatasnya infrastruktur pengendalian dan pengawasan
pembangunan sehingga sering terjadi tumpang tindih dan konflik
23
kepentingan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya laut,
pesisir, dan pulau-pulau kecil;
4. Masih terbatasnya infrastruktur perhubungan dan komunikasi antara
wilayah produksi dengan wilayah pemasaran khususnya di kawasan
potensial yang masih terbelakang.
Peta di bawah ini memperlihatkan bahwa peluang pengembangan
sumberdaya perikanan daerah pengelolaan perikanan di seluruh Indonesia,
yang dapat dikelola oleh pemerintah jauh lebih besar daripada wilayah
kelautan yang dikelola oleh masing-masing provinsi berbasis kelautan.
1. Selat Malaka; 2. Laut Cina Selatan; 3. Laut Jawa; 4. Selat Makasar dan Laut Flores; 5. Laut Banda;6. Laut Seram sampai Teluk Tomini; 7. Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik; 8. Laut Arafura; 9. Samudera Hindia
95oT 100o 105o 110o 115o 120o 125o 130o 135o 140oT
5oU
0o
5oS
10o
15o
1% - 20%20% - 40%40% - 60%< 1%
(Sumber: Masengi, 2012)
Sementara di provinsi berbasis kepulauan di sebelah barat Indonesia yakni
Provinsi Kepulauan Riau, dan Provinsi Bangka Belitung, memiliki masalah
tersendiri seperti masalah pasir. Diketahui bahwa ekspor pasir laut masih
terjadi dgn modus operasi baru (pasir laut/darat ditutupi oleh granit. Selain
24
itu terjadi tumpang tindih kewenangan penambangan antara pusat & daerah,
adanya kebijakan-kebijakan yang belum serasi, terjadinya manipulasi harga
pasir, manipulasi volume pasir yang dijual, dan hukum tidak ditegakkan.
Hal-hal tersebut sangat berimplikasi terhadap hilangnya sumber PAD,
hilangnya sumber pendapatan Pemerintah, hilangnya sumber pendapatan/
lapangan kerja masyarakat, dan menimbulkan dampak ekonomi dan politis di
Daerah bersangkutan (Masengi, ibid).
Oleh karena itu, diperlukan pemberian kewenangan atas wilayah pengelolaan
sumber daya kelautan dan perikanan kepada pemerintah di provinsi-provinsi
berbasis kepulauan sehingga pemerintahan di provinsi-provinsi berbasis
kepulauan memiliki peran yang lebih leluasa dan terfokus pada sumber daya
kelautan dan perikanan di wilayah perairan pedalaman dalam provinsi
berbasis kepulauan, dalam upaya mencapai kesejahteraan rakyatnya.
Dari gambaran yang dikemukakan Lasabuda (2012) berikut ini:
25
menunjukkan bahwa perdagangan antar daerah terpusat di Jawa dan
Sumatera (ditandai sebagai Blok Utara), sedangkan perdagangan antar daerah
di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua masih relatif kecil
dan belum berkembang. Wilayah ini memerlukan percepatan pembangunan.
Selain itu gambaran di atas menyimpulkan adanya ketimpangan sosiasl,
ekonomi, dan budaya yakni: (1) 70% dari total uang Indonesia hanya beredar
di P. Jawa; (2) Perguruan Tinggi Kelas Dunia (UI, Binus, Pelita Harapan, IPB,
ITB, UNPAD, UGM, UNAIR, dan ITS) terdapat di P. Jawa. (3) Rumah Sakit
terbaik juga terdapat di P. Jawa. (4) Infrastruktur terbaik juga terdapat di
Jawa dan Bali. (Lasabuda, ibid)
Pada saat ini provinsi-provinsi berbasis kelautan memiliki peluang untuk
mengembangkan diri berdasar pada beberapa faktor yakni:
26
1. Seiring dengan terus bertambahnya jumlah penduduk Indonesia maupun
dunia, maka kebutuhan (demand) domestik maupun global terhadap SDA
& JASLING kelautan akan semakin meningkat.
2. SDA daratan Indonesia sudah menipis, dan SD. kelautan negara-negara
lain juga semakin terbatas, menempatkan SDA & JASLING kelautan
Indonesia sangat potensial sebagai keunggulan kompetitif bangsa.
3. Sekitar 35% penduduk Indonesia bekerja di –bidang ekonomi kelautan.
Sebab itu, bila bidang ekonomi kelautan maju, maka 35% rakyat
Indonesia yang lebih sejahtera (purchasing power tinggi) akan membeli
berbagai produk & jasa dari sektor-sektor lainnya. Artinya: memajukan
sektor-sektor lainnya.
4. Sebagian besar sektor-sektor ekonomi kelautan berbasis pada SDA
terbarukan (renewable resources). Oleh sebab itu, pembangunan
ekonomi kelautan juga menjamin pembangunan bangsa secara
berkelanjutan (sustainable development).
Sementara itu juga diperlihatkan Lasabuda bahwa sektor ekonomi kelautan
adalah kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan,
dan/atau yang menggunakan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk
menghasilkan goods and services yang dibutuhkan umat manusia (Dahuri,
2003; Kildow, 2005).
Mencermati isu-isu terbaru di bidang kelautan (Lasabuda, ibid), berupa:
1. Peranan aquaculture, fishculture
2. Perubahan klimat dan naiknya permukaan laut.
3. Meningkatnya peranan coastal dan ocean economics.
27
4. Semakin berkembangnya prinsip co-management, baik antara pusat dan
daerah, antar sesame daerah, antar pemerintah dengan stakeholders,
maupun antara nasional dan regional-organizations.
5. Claim negara-negara atas continental margin di luar ZEE.
6. Berkembangnya konsep ICOM (Integrated Coastal and Ocean
Management).
7. Berkembangnya konsep LME (Large Marine Ecosystem) sebagai basis bagi
manajemen kelautan berdasar ekosistem.
8. Munculnya IMP (Introduced Marine Pests) seperti: Stripe Mussels, North
Pacific Star Fish.
9. Adanya perkembangan Marine Biotechnologi.
10. Berkembangnya riset-riset kelautan mengenai sumber kekayaan alam.
11. Hadirnya MPA (Marine Protected Areas)
12. Adanya Marine dan Eco tourism.
13. Adanya energi-energi baru seperti: otec, hydrothermal, arus dan ombak
dan lain-lain.
14. Instalasi dan anjungan lepas pantai yang tidak terpakai lagi.
15. Masalah-masalah kabel dan pipa bawah laut.
16. Masalah peninggalan-peninggalan budaya dan sejarah di dasar laut.
17. Kegiatan-kegiatan illegal di laut seperti penyelundupan barang dan
manusia, imigrasi gelap, kejahatan trans-nasional, bajak laut, terorisme di
laut, IUU Fishing, dan lain-lain.
18. Marine Environmental modification seperti coastal mining dan lain-lain.
19. Munculnya kekuatan-kekuatan baru di bidang kelautan yang saling
bersaing mencari resources dan pengamanan transportasi laut
28
Maka paradigma pembangunan yang berbasis daratan (pertanian-domestik,
wawasan monokultural yang terisolasi dan berdasar nasionalisme yang
eksklusif), perlu bergeser ke arah pembangunan berbasis kelautan
(Perdagangan antar pulau dan lintas lautan, wawasan multikultural yang kaya
interaksi budaya, dan berdasar nasionalisme yang inklusif).
Masalah spesifik bagi provinsi-provinsi berbasis kepulauan yang memiliki
beberapa pulau terluar yang berbatasan langsung dengan negara tetangga,
seperti di Provinsi Sulawesi Utara (kabupaten-kabupaten Kepulauan Talaud,
Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Sitaro), Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi
Bangka Belitung maupun di provinsi-provinsi lainnya memperlihatkan bahwa
di dalam wilayah provinsi berbasis kepulauan
1) ada pulau-pulau yang sangat strategis ditinjau dari aspek pertahanan dan
keamanan negara, adanya wilayah yang rentan terhadap intervensi
asing,
2) ada pulau-pulau yang karena letaknya diperbatasan, dimanfaatkan oleh
warga negara asing untuk melakukan kegiatan pengurasan sumber daya
laut dan perikanan (illegal fishing) dan trans-shipment.
3) Wilayah laut (secara turun temurun diakses masyarakat pulau) memiliki
potensi sumber daya alam yang sangat potensial dan relatif besar, namun
penduduknya miskin, termasuk daerah tertinggal, dan merupakan
wilayah rawan bencana.
4) Umumnya memiliki infrastruktur dasar dan sarana transportasi yang
sangat terbatas, dan prasarana-prasarana pelabuhan dan sarana
penunjang lainnya dalam kondisi tidak dapat digunakan.
29
3. Kesimpulan
Dengan demikian maka pemaknaan terhadap hak penguasaan Negara ini
secara rasional dapat juga diterapkan pada tingkat daerah di provinsi dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia, sepanjang penguasaan itu didelegasikan
kepada daerah dengan pemberlakuan asas desentralisasi asimetris. Oleh
karenanya, dalam era otonomi daerah yang antara lain ditandai dengan
tuntutan untuk pengakuan daerah berbasis kepulauan sebagai salah satu
bentuk kekhususan otonomi, maka kewenangan secara luas dalam
pengelolaan sumberdaya alam di darat maupun di laut di antara pulau-pulau
di dalam provinsi, merupakan sesuatu hal yang melekat dengan kekhususan
otonomi dimaksud.
30
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
1. Harmonisasi Hukum
Harmonisasi hukum mencakup penyesuaian peraturan perUndang-Undangan,
keputusan pemerintah, keputusan hakim, sistem hukum dan asas-asas hukum
dengan tujuan peningkatan kesatuan hukum, kepastian hukum, keadilan dan
kesebandingan, kegunaan dan kejelasan hukum, tanpa mengaburkan dan
mengorbankan pluralisme hukum (Gandhi, 1995:30).
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman (dalam
Wargakusumah, dkk, 1997:37), memberikan pengertian harmonisasi hukum,
yakni sebagai kegiatan ilmiah untuk menuju proses pengharmonisan hukum
tertulis yang mengacu baik pada nilai-nilai filosofis, sosiologis, ekonomis
maupun yuridis. Pengkajian terhadap rancangan peraturan perUndang-
Undangan, dalam berbagai aspek adalah untuk menjawab pertanyaan apakah
peraturan perundangan tertentu telah mencerminkan keselarasan dan
kesesuaian dengan peraturan perUndang-Undangan yang lain, hukum tidak
tertulis yang hidup dalam masyarakat, konvensi-konvensi dan perjanjian-
perjanjian internasional baik bilateral maupun multilateral yang telah
diratifikasi Indonesia.
Dengan demikian, harmonisasi hukum adalah upaya atau proses yang
ditujukan untuk mengatasi batasan-batasan perbedaan, hal-hal yang
31
bertentangan dan kejanggalan dalam hukum. Upaya atau proses untuk
merealisasikan keselarasan, kesesuaian, keserasian, keseimbangan di antara
asas-asas hukum, norma-norma dan lembaga-lembaga hukum di dalam
peraturan perUndang-Undangan sebagai sistem hukum dalam satu kesatuan
kerangka sistem hukum nasional. Harmonisasi merupakan ilmu, teknik
perancangan, seni penerapan metode dalam mencermati asas, norma, dan
pranata hukum dalam peraturan perUndang-Undangan, apakah ada konflik,
kontradiksi, tumpang tindih, kesenjangan atau disparitas (gap/disparity),
inkonsistensi, inkompatible (mismatch) dengan peraturan perUndang-
Undangan atau tidak, sehingga dapat diupayakan terwujudnya norma hukum
yang memiliki karakteristik 1) keterintegrasian (integration); 2) keteraturan
(regularity); 3) keutuhan (wholeness); 4) keterorganisasian (organization-
organized); 5) keterlekatan komponen satu sama lainnya (coherence); 6)
keterhubungan komponen satu sama lainnya (connectedness); dan 7)
kebergantungan komponen satu sama lainnya (interdependency).
Sering terlihat bahwa produk-produk hukum yang dihasilkan masih dirasakan
kurang sempurna. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor di antaranya
sumberdaya manusianya, perkembangan teknologi yang sangat pesat ataupun
sarana dan prasarananya. Di samping itu, yang tidak kalah pentingnya adalah
koordinasi antar lembaga atau instansi yang melaksanakannya. Oleh
karenanya, faktor-faktor yang semestinya diperhatikan dalam pembentukan
hukum tertulis dalam koordinasi, integrasi dan sinkronisasi di samping
substansi hukumnya sendiri harus mengakomodasi nilai-nilai filosofis,
sosiologis, dan yuridis, serta psiko-politis masyarakat. Hal ini dimaksudkan
agar produk hukum yang dihasilkan dapat memenuhi rasa keadilan
32
masyarakat dan sesuai dengan teknis peraturan perUndang-Undangan yang
berlaku.
Di bidang hukum, seringkali ditemukan adanya suatu kondisi
ketidakharmonisan atau ketidaksinkronan antara satu peraturan perUndang-
Undangan dengan peraturan yang lain, baik yang sifatnya sederajat maupun
yang di bawahnya. Hal ini mungkin saja timbul karena beberapa sebab, antara
lain:
a. Adanya perbedaan antara rumusan peraturan dalam berbagai peraturan
perUndang-Undangan. Selain itu, jumlah peraturan yang makin besar
menyebabkan kesulitan untuk mengetahui atau mengenal peraturan
tersebut secara keseluruhan. Adagium yang menyebutkan bahwa semua
orang dianggap mengetahui semua hukum yang berlaku menjadi tidak
efektif.
b. Adanya perbedaan pengaturan antara peraturan perUndang-Undangan
nasional dengan peraturan-peraturan tingkat daerah.
c. Adanya perbedaan pengaturan antara peraturan perUndang-Undangan
dengan hukum kebiasaan, hukum adat, dan/atau hukum agama.
d. Adanya perbedaan pengaturan antara Undang Undang dengan peraturan
pelaksanaannya, antara Peraturan Daerah dengan peraturan
pelaksanaannya, misalnya biasa dikenal Petunjuk Pelaksanaan (Juklak)
atau Petunjuk Teknis (Juknis) yang sifatnya kebijakan, yang dalam
prakteknya mungkin saja bertentangan dengan peraturan perUndang-
Undangan yang akan dilaksanakan.
e. Adanya perbedaan pengaturan antara peraturan perUndang-Undangan
dengan peraturan-peraturan lain atau yurisprudensi.
33
f. Kebijakan-kebijakan antar instansi pemerintah dan pemerintah daerah
yang saling bertentangan serta adanya perbedaan antarkebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah.
g. Adanya rumusan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang
kurang tegas atau jelas dan mengundang perbedaan tafsir.
h. Adanya benturan antara wewenang instansi-instansi pemerintah karena
pembagian wewenang yang tidak sistimatis dan jelas.
Sebagai konsekuensi logis dari pemahaman inilah, maka perumusan
rancangan undang undang yang mengatur tentang provinsi berbasis
kepulauan harus secara ”tailor made” disusun dalam kerangka keharmonisan
tersebut. Pemahaman tersebut diperlukan untuk dapat menghasilkan suatu
peraturan perUndang-Undangan yang tidak kontroversial karena dilandaskan
pada penyelarasan dan penyerasian hukum yang optimal.
Upaya harmonisasi dalam kaitan penyusunan Rancangan Undang Undang
mengenai daerah kepulauan, dimaksudkan mengatasi hambatan hukum yang
kemungkinan timbul di kemudian hari karena adanya:
a. Tumpang tindihnya kewenangan. Berbagai peraturan perUndang-
Undangan umumnya telah memberikan mandat hukum kepada para
pemangku kepentingan untuk melaksanakan tugas-tugas pembangunan.
Oleh karenanya, perumusan isi peraturan-peraturan daerah dimaksud
harus diupayakan untuk mengatasi duplikasi berbagai kewenangan ini
dan mengubahnya menjadi arena kerjasama kelembagaan yang
menguntungkan.
34
b. Benturan/konflik kepentingan. Para pemangku kepentingan
pembangunan memiliki kepentingan yang berbeda-beda sesuai dengan
tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Perbedaan ini akan
mempengaruhi cara pandang pemangku kepentingan terhadap
permasalahan yang timbul dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah
di Indonesia. Dalam kaitan inilah Undang Undang Provinsi Kepulauan
diharapkan mampu mencegah benturan kepentingan, dan dapat menjadi
sarana penyatuan pandangan, serta mengubah potensi konflik menjadi
arena kerjasama yang konstruktif antar kepentingan yang berbeda
tersebut.
Pada saat ini ada beberapa peraturan yang secara substansial sangat erat
kaitannya dengan provinsi berbasis kepulauan, yaitu :
a. UUD NRI Tahun 1945: Pasal 1 jo Pasal 18, Pasal 18A ayat (1), Pasal 18A
ayat (2), Pasal 18B ayat (1), Pasal 25A, Pasal 33 ayat (3), 28A-28J;
b. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United
Nation Convention on The Law of The Sea 1982 (UNCLOS);
c. Undang Undang Nomor 6 Tahun 1996.
Di samping Peraturan PerUndang-Undangan yang telah disebutkan, masih
terdapat juga sejumlah peraturan perUndang-Undangan sektoral juga harus
diperhatikan dalam kaitan dengan perumusan norma tentang
penyelenggaraan pemerintahan yang akan diatur dalam Rancangan Undang-
Undang tentang Provinsi Kepulauan.
35
2. Menelusuri Berbagai Produk Aturan
Dalam rangka mendorong upaya-upaya yang sistematis dalam merespon
keinginan adanya provinsi berbasis kepulauan sebagai satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus serta desain penyelenggaraannya, maka
diperlukan sebuah Undang-Undang. Pembentukan peraturan perUndang-
Undangan pada umumnya, termasuk pembentukan Undang-Undang,
selayaknya didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yuridis.
Adanya sejumlah instrumen hukum yang dapat dijadikan pertimbangan
sebagai landasan pembentukan Undang-Undang ini, yaitu mencakup antara
lain:
a. landasan konstitusional,
b. komitmen HAM
c. deklarasi PBB yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia
d. serta peraturan perUndang-Undangan lainnya.
Eksistensi Provinsi Berbasis Kepulauan dimaksud sesungguhnya telah
memiliki landasan yuridis dalam sistem hukum Indonesia, yaitu:
Pertama, dalam UUD NRI Tahun 1945.
Ada sejumlah pasal dalam UUD NRI Tahun 1945 yang dapat dijadikan sebagai
landasan yuridis bagi adanya Provinsi Berbasis Kepulauan, yaitu:
36
a. Pasal 1 dan Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945
Negara Republik Indonesia telah menentukan pilihan pada negara kesatuan
sebagai bentuk negaranya. Hal ini tersirat dalam Pembukaan UUD NRI Tahun
1945 Alinea IV yang berbunyi: “Kemudian daripada itu untuk membentuk
suatu pemerintah negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia…”.
Selanjutnya gagasan negara kesatuan tersebut dirumuskan secara tegas dalam
Pasal 1 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dengan bunyi “Negara Indonesia ialah
negara kesatuan yang berbentuk Republik”.
Sebagai konsekuensi pengaturan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan,
maka lebih lanjut diatur dalam Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 tentang
Pemerintahan Daerah, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
(a)Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi
dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap
propinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang
diatur dengan Undang-Undang.
(b) Pemerintah daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan,
(c)Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui
pemilihan umum.
(d) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala
pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara
demokratis.
37
(e)Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh Undang-Undang ditentukan sebagai urusan
Pemerintah Pusat.
(f) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas
pembantuan.
(g)Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam
Undang-Undang.
Pengaturan dalam Pasal 1 jo Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 ini menganut
beberapa prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah, yaitu :
(a) Sebagai negara kesatuan, Indonesia dibagi-bagi atas daerah provinsi dan
daerah provinsi dibagi atas daerah kabupaten dan kota.
(b) Pemerintahan Daerah terdiri dari dua tingkatan, yaitu Pemerintahan
Propinsi dan Pemerintahan Kabupaten, dan Kota.
(c) Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berpijak pada asas otonomi dan
tugas pembantuan.
(d) Masing-masing Pemerintahan Propinsi, Kabupaten dan Kota memiliki
DPRD, yang anggota-anggotanya dipilih melalui Pemilihan Umum, serta
setiap Pemerintahan Propinsi, Kabupaten dan Kota dipimpin oleh
Gubernur, Bupati dan Walikota yang dipilih secara demokratis.
(e) Setiap Pemerintahan Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,
kecuali ditentukan lain oleh Undang Undang mengenai urusan
Pemerintah Pusat.
(f) Dalam rangka melaksanakan otonomi daerah, setiap pemerintahan
daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan
lainnya.
38
Berkaitan dengan pembagian daerah dalam negara kesatuan Indonesia harus
dipahami bahwa pembagian dimaksud dilakukan terhadap wilayah daratan
dan laut, sehingga pemerintahan provinsi dan kabupaten dan kota itu
memiliki otoritas atas wilayah daratan dan juga wilayah laut bilamana satuan
pemerintahan itu bersentuhan/meliputi wilayah laut.
b. Pasal 18A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menentukan bahwa, ”hubungan
wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur
dengan undang undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman
daerah.”
Kekhususan dan keragaman daerah sebagaimana dimaksudkan di atas
seyogyanya juga mengandung pengertian tentang kekhususan dan keragaman
daerah berbasis kepulauan.
c. Pasal 18A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
Pasal 18 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menentukan bahwa, ”hubungan
keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan
dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang- undang”.
Salah satu hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang harus
diperhatikan adalah pemanfaatan sumberdaya alam laut pada daerah-daerah
berbasis kepulauan. Pengakuan pemerintah pusat terhadap kewenangan dan
pemanfaatan sumberdaya dimaksud diarahkan pada upaya mensejahterakan
rakyat di kawasan tersebut dengan tetap mempertimbangkan aspek keadilan
39
dan keselarasan. Hal ini berkonsekuensi juga pada pengakuan otonomi
khusus Daerah Kepulauan.
d. Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 ini menegaskan bahwa, “Negara
mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang Undang”.
Pengakuan tentang bersifat khusus atau bersifat istimewa tersebut belum
dijabarkan lebih rinci sebagai acuan untuk pembentukan daerah yang bersifat
istimewa dan khusus.
e. Pasal 25A UUD NRI Tahun 1945
Pasal 25A UUD NRI Tahun 1945 ini menegaskan bahwa, “Negara Kesatuan
Republik Indonesia adalah sebuah Negara Kepulauan yang berciri Nusantara
dengan wilayah dan batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang
undang.” Pemaknaan dari ketentuan ini pada hakekatnya menunjukkan
realitas bahwa, wilayah Indonesia terdiri dari gugusan pulau-pulau besar dan
gugusan pulau-pulau kecil yang disatukan oleh hamparan laut yang sangat
luas, yang terbentang dari Sabang sampai ke Merauke dan dari Miangas
sampai ke Rote. Konsekuensi dari legitimasi negara Indonesia sebagai Negara
Kepulauan seyogyanya berdampak juga kepada legitimasi yuridis formal
kepada provinsi berbasis kepulauan sebagai provinsi yang memiliki otonomi
khusus.
40
f. Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945
Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 ini menegaskan bahwa, “Bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Hal ini berarti, Negara diharuskan untuk bersikap bijak dalam mengatur
kekayaan alam yang ada sehingga semua masyarakat Indonesia, baik yang
berdomisili di wilayah daratan dan wilayah kepulauan harus
memanfaatkannya secara optimal untuk peningkatan kesejahteraan jasmani
dan rohaninya.
g. Pasal 28A-28J UUD NRI Tahun 1945
Pasal 28A-28J UUD NRI Tahun 1945 ini mengatur tentang Hak Asasi Manusia.
Secara eksplisit, perjuangan untuk mengakomodasi kehendak adanya provinsi
berbasis kepulauan dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan pembentukan Rancangan Undang-Undang
tentang Provinsi Berbasis Kepulauan, bermuara pada terakomodasinya Hak
Asasi Manusia sebagaimana termaktub dalam Pasal 28C ayat (1) yang
menentukan bahwa: “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui
pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan
memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya,
demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat
manusia”. Pada pasal 28C ayat (2) ditentukan bahwa: “Setiap orang berhak
memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk
membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”. Sedangkan pada Pasal 28H
ayat (1) ditentukan bahwa: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan
41
sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan; dalam pasal 28H ayat
(3) ditentukan: “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”.
Kedua, dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985.
Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United
Nation Convention on The Law of The Sea 1982 (UNCLOS) pada dasarnya harus
mendapat perhatian dalam pengaturan pemerintahan daerah terkait dengan
penetapan kewenangan daerah otonom pada wilayah laut. Salah satu hal yang
diatur dalam UNCLOS 1982 adalah prinsip Negara Kepulauan (archipelagic
states) dan perairan negara-negara demikian yang diperjuangkan oleh
Indonesia sejak Deklarasi Djuanda 1957.
Negara Kepulauan menurut UNCLOS adalah, “suatu negara yang seluruhnya
terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain,”
(Pasal 46 ayat 1). Wujud suatu Negara Kepulauan ditentukan berdasarkan
penentuan garis pangkal lurus kepulauan (Archipelagic Straight baseline)
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 47 ayat (1) Konvensi Hukum Laut 1982:
“Suatu Negara Kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan yang
menghubungkan titik terluar pulau-pulau dan karang kering terluar
kepulauan itu, dengan ketentuan bahwa di dalam garis pangkal demikian
termasuk pulau-pulau utama dan suatu daerah dimana perbandingan antara
daerah perairan dan daerah daratan, termasuk atol, adalah antara satu
berbanding satu dan sembilan berbanding satu”.
42
Penarikan garis pangkal lurus kepulauan di atas dilakukan bagi Negara
dengan karakteristik kepulauan. Ketentuan tersebut tidak menjadikan
penarikan garis-garis pangkal lurus kepulauan sebagai suatu kewajiban,
melainkan hanya sebagai suatu pilihan.
Negara Kepulauan mempunyai kebebasan untuk menetapkan cara penarikan
garis pangkal lain sepanjang tidak bertentangan dengan Konvensi PBB
tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982. Garis pangkal lain dalam
konteks ini, pada dasarnya diberlakukan pada negara yang tidak memiliki
karakteristik kepulauan yaitu penarikan garis pangkal biasa (normal baseline)
atau garis pangkal lurus (straight baseline) sebagaimana dimaksud pada Pasal
5 dan Pasal 7 ayat (1) Konvensi Hukum Laut 1982. Pasal 5 menegaskan
bahwa, “kecuali ditentukan lain dalam Konvensi ini, garis pangkal biasa untuk
mengukur lebar laut teritorial adalah garis air rendah sepanjang pantai
sebagaimana terlihat pada peta skala besar yang diakui resmi oleh negara
pantai tersebut.” Sedangkan Pasal 7 ayat (1) menegaskan bahwa “Di tempat-
tempat di mana garis pantai menjorok jauh ke dalam dan menikung ke dalam
atau jika terdapat suatu deretan pulau sepanjang pantai di dekatnya, cara
penarikan garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik yang tepat
dapat digunakan dalam menarik garis pangkal dari mana lebar laut teritorial
diukur”.
Pada pasal 3-7 Konvensi PBB tentang Hukum Laut tertanggal 10 Desember
1982 tersebut di atas, juga mengatur tentang batas laut teritorial tidak
melebihi 12 mil laut diukur dari garis pangkal. Dimaksudkan dengan garis
pangkal biasa (normal) adalah garis pangkal yang ditarik pada pantai pada
waktu air laut surut dengan mengikuti lekukan-lekukan pantai.
43
Namun demikian, dalam hal kepulauan yang terletak pada atol-atol atau
kepulauan yang mempunyai karang-karang di sekitarnya, garis pangkal itu
adalah garis pasang surut pada sisi karang ke arah laut sebagaimana yang
ditunjukkan oleh tanda yang jelas pada peta-peta yang secara resmi diakui
oleh negara pantai.
Garis pangkal lurus dapat dipakai sesuai dengan keadaan-keadaan yang
diuraikan dalam Pasal 7 (bandingkan dengan Pasal 4 dari Konvensi 1958),
yang sebegitu jauh merupakan perwujudan prinsip-prinsip yang diakui dalam
Anglo-Norwegian Fisheries Case. Garis-garis demikian yang menghubungkan
“titik-titik yang tepat” dapat ditarik untuk “tempat-tempat” di mana garis
pantai menjorok ke dalam dan menikung ke dalam atau apabila terdapat
suatu deretan pulau sepanjang pantai di dekatnya.
Dalam Konvensi Hukum Laut di Jenewa tahun 1958, ternyata Garis Pangkal
Lurus ini dikukuhkan sebagai salah satu Garis Pangkal yang dapat diterapkan
dalam pengukuran lebar laut teritorial, di samping ini garis pangkal normal.
Hal ini dimuat dalam Pasal 4-5 Konvensi tentang Laut Teritorial dan Zona
Tambahan. Dengan isi dan jiwa yang sama seperti Konvensi Jenewa 1958
tersebut, dalam Konvensi Hukum Laut 1982, Garis Pangkal Lurus inipun juga
masih tetap diakui sebagai salah satu Garis Pangkal dalam pengukuran lebar
Laut Teritorial (Pasal 7).
Konvensi Hukum Laut 1982 menerapkan “prinsip pembedaan” dalam
menentukan lebar laut teritorial suatu negara sebagaimana dimaksudkan di
atas, melalui penerapan ketiga cara penarikan garis pangkal untuk
44
menentukan lebar laut teritorial, sehingga dapat mencerminkan adanya
keadilan dalam masyarakat internasional.
a) Bagi negara-negara dengan karakteristik kontinental dipergunakan garis
pangkal biasa (normal baseline) untuk mengukur lebar laut territorial.
b) Bagi negara-negara kontinental dengan karakteristik teluk yang lebar
atau terdapat pulau-pulau di depan pantainya dipergunakan garis
pangkal lurus (straight baseline) untuk mengukur lebar laut teritorialnya,
c) Sedangkan bagi negara-negara dengan karakteristik kepulauan dapat
dipergunakan garis pangkal lurus kepulauan (archipelagic straight
baseline) untuk mengukur lebar laut teritorial.
Sebagaimana dikedepankan di atas, dalam menentukan batas wilayah
provinsi atau kabupaten/kota, yang menggunakan garis lurus kepulauan
dengan cara melingkari pulau sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2006, justru mengosongkan jangkauan
wewenang pemerintah dan masyarakat di provinsi berbasis kepulauan atas
sumber daya alam yang berada di laut di sisi-sisi dalam antar pulau.
Bertolak dari prinsip keadilan pula, maka penentuan batas wilayah provinsi
dilakukaan dengan menarik garis lurus kepulauan pada sisi luar pulau yang
berada dekat garis perhinggan provinsi.
Dengan demikian maka wilayah laut di luar 12 mil laut dari batas perhinggaan
provinsi berbasis kepulauan, yang dihitung dari sisi luar (out ward position)
dari pulau yang terdekat dengan garis perhinggaan, menjadi wilayah laut yang
wewenang pengelolaannya berada di tangan Pemerintah.
Makna perbedaan penarikan garis-garis pangkal sedemikian itu dalam
lingkup Hukum Internasional memperlihatkan penerapan prinsip keadilan
45
yang lebih substantif berdasarkan karakter wilayah. Oleh karena itu pula
berdasarkan prinsip keadilan, melalui pemahaman keserasian, keselarasan
dan keseimbangan antara Pusat dan Daerah, maka wilayah laut dalam daerah-
daerah provinsi berbasis kepulauan pun layak berada dalam tangan
pemerintah daerah dan masyarakatnya. Sedangkan wilayah laut selebihnya
berada dalam pengelolaan pemerintah.
Ketiga, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996.
Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 pada dasarnya
merupakan produk hukum yang menggantikan Undang-Undang Nomor
4/Prp/1060 mengenai Perairan Indonesia. Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1996 juga menganut prinsip pembedaan sebagaimana dalam UNCLOS 1982
yang telah menjadi Hukum Nasional Indonesia berdasarkan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 1985.
Beranjak dari ulasan-ulasan sebelumnya, dapatlah disimpulkan bahwa secara
konstitusional telah terkandung prinsip-prinsip penyelenggaraan
pemerintahan daerah dalam UUD NRI Tahun 1945. Prinsip-prinsip dimaksud
antara lain memberikan ruang bagi pengembangan daerah-daerah khusus dan
istimewa (termasuk mempertimbangkan realitas geografis dan sosial sebagai
daerah kepulauan).
Namun prinsip dimaksud belum dijabarkan secara tegas dan jelas dalam
ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Demikian pula pengaturan
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menentukan pembagian
kewenangan yang concurrent secara proporsional dengan
46
mempertimbangkan asas ekternalitas. Namun demikian belum ada ketentuan
yang mengatur kewajiban pemerintah untuk memfasilitasi penyelenggaraan
pemerintahan daerah kepulauan.
47
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS
1.1 Landasan Filosofis Provinsi Berbasis Kepulauan
Seperti dikemukakan di atas, daerah-daerah yang berciri atau berkarakter
khusus kepulauan adalah daerah-daerah yang merupakan bagian integral dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagaimana juga dikemukakan di atas bahwa berlandaskan Pasal 18 ayat (1)
UUD NRI Tahun 1945, Negara Kesatuan RI dibagi atas daerah-daerah provinsi;
daerah-daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota. Ada dua karakter
utama yang muncul daerah-daerah daerah yakni daerah dengan ruang
wilayah atau teritori yang terdiri dari wilayah utama daratan dengan atau
tanpa pulau kecil disertai perairan pedalaman di darat maupun di laut, dan
provinsi dengan ruang wilayah atau teritori yang terdiri dari satu atau
beberapa pulau sedang dan kecil sebagai daratan-daratan terpisah dengan
sebagian besar perairan pedalaman berada di laut.
Jadi, dalam lingkup itulah terdapat ciri:
(1) ruang wilayah atau teritori yang terdiri dari wilayah utama daratan (main
land) sebagai bagian terbesar dengan atau tanpa pulau-pulau kecil
termasuk perairan pedalaman (baik di darat maupun di laut) di
sekitarnya;
(2) ruang wilayah yang terdiri dari satu atau beberapa pulau sedang dan
kecil sebagai daratan-daratan terpisah (isle land) beserta perairan
48
pedalaman di darat maupun di laut di antara pulau-pulau, perairan mana
menghubungkan pulau satu dengan pulau lainnya.
Ruang-ruang wilayah yang didominasi daratan, maupun ruang wilayah yang
didominasi laut di atas, dengan sendirinya merupakan wilayah yang di
atasnya terletak wewenang-wewenang oleh pemerintahan pada provinsi-
provinsi yang bersangkutan.
Penyelenggaraan wewenang pemerintahan di dalam ruang wilayah
didominasi daratan (main land) dengan atau tanpa pulau-pulau kecil yang
menyertainya, berlangsung secara penuh di dalam batas-batas ruang wilayah
yang geografinya ditentukan dalam Undang-Undang pembentukan provinsi-
provinsi yang bersangkutan.
Sedangkan penyelenggaraan wewenang pemerintahan di dalam ruang-ruang
wilayah atau teritori yang didominasi lautan, terdiri dari sejumlah pulau
sedang maupun kecil beserta perairan di laut yang berada di antara pulau-
pulau, tidak berlangsung secara penuh di dalam batas-batas ruang wilayah
yang geografinya ditentukan dalam Undang-Undang pembentukan provinsi.
Artinya, penyelenggaraan wewenang daerah kepulauan hanya ada di atas
ruang wilayah daratan pulau-pulau beserta sedikit perairan laut pedalaman
yang ada di antara pulau-pulau dalam daerah kepulauan itu. Padahal batas-
batas geografi daerah kepulauan disebutkan dalam Undang-Undang tentang
pembentukan masing-masing provinsi.
49
Dalam kajian yuridis di atas ternyata bahwa konsekuensi dari legitimasi
negara Indonesia sebagai konstruksi Negara Republik Indonesia yang adalah
juga sebagai Negara Kepulauan, selayaknya berdampak juga kepada legitimasi
yuridis formal kepada daerah kepulauan sebagai provinsi yang memiliki
otonomi khusus. Kelayakan ini dapat dibenarkan secara filsafati menurut
falsafah Pancasila.
Dari sila KeTuhanan Yang Maha Esa
Eksistensi atau keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tegak
berdiri sampai saat ini adalah atas berkat dan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa
Kehadirannya dipertahankan melalui perjuangan seluruh rakyat Indonesia
dan selanjutnya atas kerja keras bangsa bersama pemimpin-pemimpinnya.
Negara Kesatuan Republik Indonesia hadir di atas dan pada geografi wilayah
kepulauan kepulauan dengan ciri-ciri pulau-pulau besar dan ribuan gugus
kepulauan serta perairan laut di antara pulau-pulau maupun sekeliling luar
pulau-pulau, yang membentuk kemajemukan ciri geografi. Kemajemukan ciri
geografi kepulauan besar dan kecil yang membentang dari Merauke di timur
sampai ke Pulau Sabang di barat, dan dari Pulau Rote di selatan sampai Pulau
Miangas di utara, serta perairan laut di antara dan disekelilingnya, merupakan
ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa yang dianugerahkan kepada bangsa
Indonesia. Ruang-ruang wilayah itulah yang disebut sebagai ruang wilayah
yang didominasi oleh daratan maupun ruang wilayah yang didominasi oleh
perairan laut. Pemikiran arif para pendiri bangsa yang membagi-bagi Negara
Kesatuan Republik Indonesia ke dalam daerah-daerah provinsi, kemudian
daerah-daerah provinsi dibagi ke dalam daerah kabupaten dan daerah kota,
memberi konsekuensi logis pada penyelenggaraan pemerintahan di daerah-
50
daerah provinsi, kabupaten dan kota. Penyelenggaraan pemerintahan
diselenggarakan di atas daerah provinsi bahkan daerah kabupaten dan kota
yang ada pada masing-masing ruang wilayah, baik dalam ruang wilayah yang
didominasi daratan maupun ruang wilayah yang didominasi lautan. Arti dari
eksistensi ruang wilayah didominasi daratan maupun ruang wilayah
didominasi lautan adalah anugerah Tuhan Yang Esa, adalah juga sesuatu yang
prima facie ataupun by nature terbentuk jauh sebelum hadirnya NKRI.
Ciri geografi sedemikian sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa, bukanlah
satu-satunya yang diperhatikan oleh para pemimpin bangsa. Tuhan Yang
Maha Kuasa pun menganugerahkan keragaman ciri sosial, budaya, di atas
masing-masing ruang wilayah. Hal sedemikian inilah yang membenarkan
pengaturan pemerintahan di Yogyakarta melalui Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Jogyakarta; di Nanggroe
Aceh Darussalam melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta
melalui Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan
Republik Indonesia, dan di Papua melalui Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi
Papua.
Bertolak dari pemikiran sedemikian itulah, maka dari sila KeTuhanan Yang
Maha Esa terdapat pembenaran untuk memperlakukan atau menjustifikasi
adanya ruang-ruang wilayah yang didominasi oleh laut sebagai daerah-
51
daerah kepulauan, di dalam hal menyelenggarakan pemerintahannya disertai
kewenangan-kewenangan yang dilekatkan kepadanya.
Dari sila Persatuan Indonesia
Makna sila Persatuan Indonesia dalam Pancasila, dengan semboyan Bhineka
Tunggal Ika meneguhkan arti keragaman atau kemajemukan ciri itu. Sila
Persatuan Indonesia ini merupakan dasar kokoh yang melihat, mengakui dan
meyustifikasi kenyataan adanya ruang-ruang wilayah yang didominasi
daratan maupun adanya ruang wilayah yang didominasi lautan. Baik ruang
wilayah yang didominasi daratan maupun ruang wilayah yang didominasi
lautan adalah ruang-ruang wilayah yang merupakan satu kesatuan.
Pengaturan ciri wilayah berbasis kepulauan di samping wilayah-wilayah yang
berciri utama daratan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan serentak dengan itu pula diterbitkan
pengaturan lewat Undang-Undang terhadap beberapa daerah seperti Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa
Jogyakarta; Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam; Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang
Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota
Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua,
seluruhnya tidak keluar dari makna Persatuan Indonesia.
Dengan demikian dari dimaknai sila Persatuan Indonesia dalam Pancasila,
adanya pengaturan tentang provinsi berbasis kepulauan di dalam Undang-
Undang tentang Provinsi Kepulauan justru memperkokoh makna persatuan
dan kesatuan Indonesia.
52
Terlepas dari adanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, pengaturan terhadap daerah-daerah tertentu seperti
dikemukakan di atas, memberi arti adanya pengakuan terhadap keragaman
kondisi di Indonesia, yang justru mengokohkan makna nasionalisme. Dengan
demikian, kehendak yang didasarkan pada pemikiran diperlukannya
pengaturan lewat Undang-Undang mengenai pemerintahan di provinsi
berbasis kepulauan adalah kehendak dan pemikiran yang tidak keluar dari
makna persatuan Indonesia bahkan makna nasionalisme. Keragaman ciri
sebagai sesuatu yang prima facie ataupun by nature telah terbentuk jauh
sebelum hadirnya NKRI, tidaklah memecahkan persatuan Indonesia.
Dari Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Dengan menerapkan makna sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia di dalam Pancasila, maka sepatutnya penyelenggaraan wewenang
pemerintahan di ruang wilayah yang didominasi lautan dilangsungkan
(berkonsentrik) di atas ruang wilayah yang geografisnya ditetapkan dalam
Undang-Undang pembentukan provinsi yang bersangkutan, sama seperti
penyelenggaraan wewenang pemerintahan di ruang wilayah yang didominasi
daratan, yang geografinya juga disebut dalam Undang-Undang pembentukan
provinsi yang bersangkutan.
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia di dasarkan pada hikmat dan
kebijaksanaan atau berdasar kebajikan (by virtue) dalam memperlakukan
pemerintah dan rakyat di dalam ruang wilayah yang secara geografis maupun
kondisi sosial budaya yang sangat beragam.
53
Penyelenggaraan wewenang pemerintahan di atas ruang yang didominasi
daratan maupun pada ruang wilayah yang didominasi lautan patut
diselenggarakan secara berkeadilan dan berkeseimbangan atau bijaksana
berdasar kebajikan karena setiap manusia atau masyarakat yang berada di
dalam tiap kategori ruang wilayah, memiliki kedudukan yang sama. Dengan
demikian masyarakat bersama pemerintah di provinsi berbasis kepulauan
seharusnya memiliki akses penuh di atas geografi yang ditetapkan dalam
Undang-Undang pembentukan provinsi yang bersangkutan, sama seperti yang
diberlakukan terhadap masyarakat bersama pemerintah di atas geografi
wilayah kategori 1 yang memiliki akses penuh atas geografi daratan yang luas,
bahkan termasuk perairan pedalaman di sekitarnya.
Menghindari ketidakadilan terhadap masyarakat dan pemerintah dan di
provinsi berbasis kepulauan, maka masyarakat dan pemerintah di pulau-
pulau dalam lingkup provinsi kepulauan perlu memperoleh akses atas
sejumlah besar ruang wilayah atau teritori di perairan kepulauan Jadi,
hakekat provinsi berbasis kepulauan berarti memberikan secara adil,
berdasarkan hikmat dan kebajikan, proses atau cara-cara bertindak atau
bereaksi secara tertentu dalam hubungan dengan manusia (masyarakat dan
pemerintah) dalam ruang wilayah kategori 2, maupun dalam hubungan
dengan segala sesuatu dalam arti ekonomi (antara lain sumber daya alam),
relasi-relasi sosial, budaya, sipil maupun politik.
Keadilan yang dimaksud adalah tidak mengosongkan atau mengurangi
wewenang masyarakat dan pemerintah provinsi berbasis kepulauan dalam
54
mengelola sumber daya alam di dalam ruang wilayah kategori 2. Jadi,
masyarakat maupun pemerintah provinsi tetap memiliki wewenang
mengelola sumber daya lam yang ada di daratan (pulau-pulau) maupun
perairan laut di sisi dalam antar semua pulau yang ada di dalam ruang
wilayah kategori 2.
Dari Sila Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan
Kehendak adanya pengaturan provinsi berbasis kepulauan melalui Undang-
Undang yang dibentuk untuk itu merupakan aspirasi dari berbagai komponen
masyarakat dari 7 provinsi dengan memperhatikan masukan dan saran-saran
dari 3 provinsi yang berbasis kepulauan masing-masing Provinsi Bangka
Belitung, Provinsi Sulawesi Utara dan Provinsi Nusa Tenggara Timur melalui
Focus Group Discussion ( FGD ). Sorotan kajian meliputi (1) memberdayakan
dan mengangkat masyarakat di daerah kepulauan dari kemiskinan dan
kemelaratan, (2) memberi perhatian pada perbedaan karakteristik daerah
kepulauan dan daerah yang dominan daratan, (3) disparitas pembangunan
antara provinsi yang daratannya lebih luas dengan provinsi yang luas
wilayahnya didominasi oleh laut, (4) perlu adanya perlakuan khusus pada
provinsi berbasis kepulauan dengan menekankan jawaban atas persoalan:
bagaimana memperhitungkan formulasi anggaran untuk daerah-daerah yang
berkarakteristik kepulauan dan (5 ) pengelolaan provinsi berbasis kepulauan
masih terbatas pada pengelolaan sumber-sumber daya alam di pulau-pulau
tertentu. Adalah kehendak rakyat di provinsi-provinsi berbasis kepulauan
untuk adanya Undang-Undang yang memberikan perlakuan khusus pada
55
provinsi berbasis kepulauan sebagai perUndang-Undangan yang tidak
bertentangan dengan UUD NRI TAHUN 1945.
Masyarakat di provinsi-provinsi berbasis kepulauan memahami sepenuhnya
adanya visi pembangunan nasional sebagaimana tertuang dalam
Undang - Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025. Masyarakat di
provinsi-provinsi berbasis kepulauan pun menyadari bahwa visi
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi adalah´Mewujudkan
Masyarakat Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur.
Melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah terdapat ketentuan dalam Pasal 18 ayat (4) yang menentukan
bahwa kewenangan untuk mengola sumberdaya di wilayah laut
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling jauh 12 mil laut diukur dari
garis pantai kea rah laut lepas dan/atau kearah perairan kepulauan
untuk provinsi dan 1/3 dari wilayah kewenangan dari wilayah
kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. Ketentuan pasal tersebut
membuat ketentuan Pasal 18 ayat (4) ini isinya bertentangan dengan
makna Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945, yakni dalam wilayah NKRI
terdapat kekosongan pengelolaan wilayah oleh daerah-daerah
kepulauan.
Kondisi ini telah menyebabkan ketimpangan dalam pembangunan
dibeberapa daerah khususnya daerah kepulauan, yang memiliki wilayah
laut yang luas.
56
Masyarakat menyadari keterkaitan ekologis antara darat (pulau-pulau kecil
yang ditempatinya) dengan laut di sekitarnya bahkan yang mengantarai
pulau-pulau di dalam lingkup provinsi, dimana laut dan darat secara
ekosistem tidak dapat dipisahkan, dan dipandang sebagai satu kesatuan yang
utuh dimana sistem pengelolaan, pemanfaatan dan pengamanan serta
pelestarian merupakan tanggungjawab semua komponen masyarakat
termasuk pemerintah atau penguasa di daerah kepulauan;
Di lain pihak, masyarakatpun menghendaki adanya perlindungan terhadap
kesatuan masyarakat hukum adat dengan memeprhatikan nilai-nilai dan
prinsip-prinsip kearifan lokal yang terdapat dalam Hukum adat dan adat
istiadat yang hidup dalam mensyarakat adat.
Masyarakat di provinsi-provinsi berbasis kepulauan menyadari bahwa seiring
dengan terus bertambahnya jumlah penduduk Indonesia maupun dunia, maka
kebutuhan (demand) domestik maupun global terhadap SDA & Jasa
Lingkungan Kelautan akan semakin meningkat.
SDA daratan Indonesia sudah menipis, dan SDA kelautan negara-negara lain
juga semakin terbatas. Hal itu menempatkan SDA & Jasa Lingkungan Kelautan
Indonesia sangat potensial sebagai keunggulan kompetitif bangsa, khususnya
dalam wilayah laut sebagai perairan pedalaman yang berada dalam geografi
daerah kepulauan.
Selain itu, sekitar 35% penduduk Indonesia bekerja di bidang ekonomi
kelautan. Sebab itu, bila bidang ekonomi kelautan maju, maka 35% rakyat
Indonesia akan lebih sejahtera (purchasing power tinggi) dan akan membeli
57
berbagai produk & jasa dari sektor-sektor lainnya. Artinya: memajukan
sektor-sektor lainnya. Sebagian besar sektor-sektor ekonomi kelautan
berbasis pada SDA terbarukan (renewable resources). Oleh sebab itu,
pembangunan ekonomi kelautan di provinsi-provinsi berbasis kelautan juga
menjamin pembangunan bangsa secara berkelanjutan (sustainable
development). Hal ini disebabkan sektor ekonomi kelautan adalah kegiatan
ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan/atau yang
menggunakan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk menghasilkan
goods and services yang dibutuhkan umat manusia.
Kehendak masyarakat untuk adanya pengaturan terhadap provinsi berbasis
kepulauan didasarkan pada kehendak yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan. Disini letak makna kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan.
Dari Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Kemampuan penyelenggaraan pemerintahan di daerah-daerah kepulauan
lebih dapat difokuskan pada penetapan kebijakan bagi kesejahteraan rakyat
secara umum, khususnya di daerah kepulauan. Contoh kebijakan untuk
meningkatkan dan mengembangkan sarana dan prasarana infrastruktur
wilayah; kebijakan untuk meningkatkan fungsi kawasan pulau-pulau kecil
termasuk pulau-pulau di perbatasannegara; kebijakan untuk meningkatkan
fungsi kawasan rawan bencana alam, khususnya di pulau-pulau; kebijakan
untuk meningkatkan potensi, sumber daya, aksesibilitas pemasaran produksi
dan kualitas sumber daya manusia di bidang kelautan, perikanan, pariwisata
dan pertanian; serta kebijakan meningkatkan dan melestarikan fungsi
58
lingkungan hidup, adalah kebijakan-kebijakan yang bertumpu pada
kebutuhan provinsi.
Dengan demikian penanganan pembangunan tidak akan bersifat parsial dan
dapat ditangani secara terpadu dan terintegrasi oleh pemerintah provinsi
berbasis kepulauan.
Mengatur secara khusus penyelenggaraan pemerintahan daerah kepulauan
akan merupakan kenyataan adanya keberpihakan pemerintah dalam
pembangunan dan pengembangan wilayah kepulauan antarnegara di daerah
kepulauan sebagai halaman depan NKRI, sehingga dapat mengatasi
kesenjangan kesejahteraan masyarakat di provinsi yang memiliki daratan
yang luas dengan daerah kepulauan (aquatic), termasuk mengatasi
ketidakseimbangan penyediaan sarana dan prasarana wilayah serta berbagai
pelayanan publik.
Makna adil dan beradab bagi bangsa Indonesia akan tampak pada cara
berpikir dan pola pembuatan UU yang mengakomodasikan aspek-aspek
konkrit dalam masyarakat dan wilayahnya, dalam keseimbangan antara
wilayah-wilayah yang memiliki daratan yang dominan dengan wilayah-
wilayah yang memiliki lautan yang lebih dominan.
Pokok-pokok di atas itulah yang menjadi landasan filosofis berdasarkan
Pancasila mengenai perlunya Undang-Undang tentang Provinsi Kepulauan.
1.2 Landasan Sosiologis Daerah Kepulauan
59
Kekhususan dalam bentuk ketetentuan tersebut di atas, merupakan dasar
bagi penguatan (to strengthening) kemampuan masyarakat dan pemerintah di
daerah kepulauan. Hasil-hasil sumber daya alam di dalam wilayah laut
pedalaman pada sisi dalam antar pulau, merupakan sumber yang memenuhi
kemaslahatan masyarakat di dalam daerah kepulauan maupun terhadap
masyarakat Indonesia seluruhnya.
Kelembagaan adat yang masih ada sampai saat ini dan masih berfungsi,
merupakan lembaga-lembaga yang dikenal dengan baik oleh masyarakat dan
pemerintah masing-masing daerah kepulauan. Lembaga-lembaga adat
sedemikian pada hakekatnya memiliki kapasitas untuk didinamisasikan bagi
kehidupan masyarakat dalam daerah kepulauan. Kerjasama di bidang
perekonomian atau usaha yang dilakukan masyarakat di pulau-pulau, yang
saat ini dilakukan secara tradisional dan dalam skala kecil dan menengah,
dapat didinamisasikan menjadi kelompok kerja sama dalam bidang usaha
yang lebih besar. Pemerintah Daerah kepulauan mengenal dengan baik
kelompok-kelompok kerjasama yang ada pada masyarakat di lingkup masing-
masing. Praktek-praktek yang telah mentradisi dalam masyarakat di lingkup
kepulauan, dapat menjadi locus of power yang masih berguna untuk masa
depan. Cara sedemikian diyakini mampu memberdayakan dan mengangkat
masyarakat dalam daerah kepulauan dari kemiskinan dan kemelaratan.
Masyarakat yang menempati pesisir, pulau-pulau kecil dan laut di sekitarnya
masih memiliki kemampuan mengelola sumber daya alam di perairan laut
yang berada pada sisi dalam antar pulau di ruang wilayah dari daerah-daerah
kepulauan.
60
Hal ini dapat dihubungkan dengan pandangan bahwa “masalah wewenang di
daerah kepulauan berhubungan sangat erat dengan kehendak melakukan self-
regulation oleh pemegang otoritas di lingkup daerah kepulauan, yang
melibatkan masyarakat hukum adat di wilayah-wilayah kepulauan yang
kehidupannya sangat berkaitan dengan pesisir dan laut. … Self-regulation ini
berkaitan dengan keragaman susunan sosial maupun ekonomi, dan juga
tujuan untuk memenuhi hak-hak sipil, politik, budaya dan ekonomi dalam
mencapai tujuan yang dikehendaki … ” (Titahelu, 2010) yang ada dalam
daerah kepulauan.
Sementara itu, pengelolaan kehidupan bermasyarakat dan bernegara di
tingkat lokal (pedesaan di pulau kecil), bahkan di beberapa tempat di tingkat
kabupaten, memperlihatkan adanya peran-peran dan fungsi institusi adat,
maupun institusi sosial dalam penyelenggaraan pemerintahan yang erat
hubungannya dengan pengelolaan sumber daya alam mereka.
Bagi kelompok masyarakat tertentu laut dipandang tidak terpisah dari
daratan namun laut dipandang sebagai daratan yang berair seperti
pandangan masyarakat di Kepulauan Kei, Kabupaten Maluku Tenggara . Hal
ini mengandung makna filosofis yang dalam bahwa antara laut dan darat,
mempunyai hubungan ekologi dalam suatu ekosistem dan tidak dapat
dipandang secara terpisah.
Hal ini memperlihatkan masyarakat di setiap pulau kecil maupun gugus-gugus
pulau kecil memahami kekhususan lingkungan fisik, ekosistem, ekologis
maupun biologis, yang berperan terhadap perekonomian maupun sosial
budaya mereka.
61
Oleh karena itu, makna “perlakuan khusus” terhadap pemerintah dan
masyarakat di daerah-daerah kepulauan hendaknya dilakukan bukan semata-
mata sebagai sebuah tindakan-tindakan istimewa, melainkan memperlakukan
ruang wilayah yang didominasi oleh lautan sebagai satu kesatuan geografis
secara utuh baik di darat maupun perairan laut pada sisis-sisi dalam antar
pulau atau laut pedalaman. Selain itu, oleh karena ruang wilayah yang
didominasi lautan “… memiliki kekhususan lingkungan fisik, ekosistem,
maupun biologis, yang berperan terhadap perekonomian maupun sosial
budaya masyarakatnya,”, dan bersama-sama merupakan kekayaan sekaligus
kekuatan yang tidak ternilai harganya yang mendorong tercapainya
kehidupan yang sejahtera bagi manusia yang ada di dalamnya” (Titahelu,
ibid), Oleh karenanya, diperlukannya perUndang-Undangan terhadap provinsi
kepulauan menjadi lebih penting lagi.
Selain itu, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025,
khususnya menyangkut penataan kembali langkah-langkah antara lain
pengelolaan sumber daya alam, sumber daya manusia, lingkungan hidup dan
kelembagaan, sehingga bangsa Indonesia, dapat mengejar ketertinggalan dan
mempunyai posisi yang sejajar serta daya saing yang kuat (Dewan Kelautan,
2010:9). Maksud ini harus diartikan mencakup juga bangsa Indonesia di
daerah berbasis kepulauan. Kehadiran Undang-Undang ini akan memberi
peluang atau jalan masuk untuk memberi wewenang kepada pemerintah
provinsi dan masyarakat untuk mengelola sumber daya alam di dalam ruang
wilayah dalam daerah kepulauan.
Dengan demikian diperoleh dasar atau argumentasi sosiologis tentang:
62
(1) adanya daerah kepulauan (archipelagic based province) di dalam negara
kepulauan (archipellagic state).
(2) ruang wilayah atau teritori provinsi berbasis kepulauan yang mencakup
(a) seluruh wilayah daratan yang ada di pulau-pulau kecil di
dalamnya,
(b) seluruh wilayah perairan di darat maupun di laut yang terletak
pada sisi dalam antara pulau-pulau dalam daerah provinsi
kepulauan.
(3) penegasan dan pemberian makna hukum batas geografi provinsi
kepulauan yang ditetapkan di dalam Undang-Undang pembentukan tiap
provinsi, termasuk daerah provinsi kepulauan, menunjukkan adanya
yurisdiksi ajudikatif, atau daerah yang berada di bawah kompetensi
hkum provinsi.
(4) penegasan adanya wewenang pemerintah daerah provinsi kepulauan
bersama-sama masyarakatnya di ruang wilayah atau teritori yang
didominasi oleh lautan.
Oleh karena itu, dipertimbangkan lebih rasional dan logis jika disusun
peraturan perundangan tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah
kepulauan sebagai salah satu cara untuk melaksanakan tercapainya tujuan
yang dikandung oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
1.3. Landasan Yuridis
A. Landasan Hukum Dasar (metayuridis): Pancasila.
B. Landasan Konstitusional dalam UUD NRI Tahun 1945:
63
a. Pasal 1 dan Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945
b. Pasal 18A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
c. Pasal 18A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
d. Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
e. Pasal 25A UUD NRI Tahun 1945
f. Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945
g. Pasal 28A-28J UUD NRI Tahun 1945
C. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
XV/MPR/1998
D Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985.
E. Undang Undang Nomor 6 Tahun 1996.
BAB V
64
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP MATERI
MUATAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PROVINSI
KEPULAUAN
1.1. Jangkauan dan Arah RUU Tentang Provinsi Kepulauan
Jangkauan Rancangan Undang-undang ini lebih mencakupi aspek kewenangan
atau otoritas penguasaan dan pengelolaan sumber daya kelautan dan
perikanan di wilayah perairan laut pedalaman pada daerah kepulauan, dan
pengaturan lain yang berhubungan dengannya yakni di bagian darat daerah
kepulauan yang bersangkutan.
Istilah Daerah Kepulauan tidak dimaksudkan untuk mengubah bentuk dan
susunan pemerintahan pada daerah-daerah yang memiliki luas lautan yang
lebih besar dari luas daratan. Dengan kata lain daerah kepulauan adalah
daerah yang terdiri dari wilayah pulau-pulau kecil dan sedang serta perairan
pedalaman lautan di antaranya, dan luas perairan pedalaman laut ini jauh
lebih besar dari wilayah daratan.
Hal di atas dikedepankan oleh karena dalam undang-undang pembentukan
provinsi yang bersangkutan, disebutkan adanya batas-batas wilayah. Arti dari
kata batas secara geografis adalah garis perhinggaan pada satu daerah yang di
atasnya terdapat pemegang otoritas tertentu. Arti ini memiliki implikasi
terhadap kewenangan-kewenangan. Disadari bahwa kewenangan tertinggi,
yang diartikan sebagai kedaulatan, ada di dalam tangan negara. Namun untuk
mengatur, mengelola dan memanfaatkannya negara menyerahkan
65
kewenangan itu kepada bagian-bagian negara yakni provinsi, sebagaimana
dimaksud dalam konstitusi. Dengan demikian maka provinsi sebagai bagian
dari negara memegang wewenang mengatur, mengelola dan memanfaatkan
sumber-sumber daya yang ada di dalam wilayah yang ditetapkan baginya,
baik wilayah darat (termasuk wilayah perairan danau, sungai), maupun
wilayah perairan laut pedalaman).
Pengaturan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya yang ada di dalam
wilayah provinsi berbasis daratan mencakupi semua sumber daya di darat
maupun di laut yang merupakan kesatuan wilayah yang utuh.
Paralel dengan hal tersebut maka pengaturan, pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya yang ada dalam daerah kepulauan mencakupi semua sumber
daya di darat dan juga di laut yang masuk dalam keutuhan wilayah provinsi
berbasis kepulauan. Perairan laut di antara pulau-pulau dalam provinsi
berbasis kepulauan inilah yang disebut sebagai perairan laut pedalaman
Daerah Kepulauan.
Jadi, dimaksudkan dengan wilayah perairan laut pedalaman Daerah
Kepulauan adalah sisi-sisi dalam perairan laut yang berada di antara seluruh
rangkaian pulau dalam Daerah Kepulauan yang dimulai dari 12 mil laut dari
perhinggan terluar garis lurus kepulauan, ke arah perairan laut di dalam
lingkaran yang merangkaikan pulau-pulau.
Rancangan Undang-undang tentang Provinsi Kepulauan yang diusulkan tidak
mengubah bentuk dan susunan pemerintahan di daerah-daerah kepulauan.
1.2. Sasaran yang Ingin Dicapai
66
Sasaran yang ingin dicapai adalah adanya keleluasaan menyelenggarakan
pemerintahan yang otonom secara lebih tepat di daerah-daerah kepulauan,
yang dijalankan di dalam wilayah-wilayah darat dan laut (khususnya wilayah
perairan laut pedalaman) yang menjadi bagiannya. Keleluasaan
menyelenggarakan pemerintahan yang otonom secara lebih tepat ini
diperlukan agar pemerintahan di daerah-daerah kepulauan dapat turut serta
secara signifikan menyelenggarakan pembangunan dengan menggunakan
seluruh sumber daya alam di darat dan di laut (perikanan dan sumber daya
kelautan) yang ada di dalam wilayah masing-masing, dengan menurut-
sertakan sumber daya manusia dalam wilayahnya.
Penggunaan seluruh sumber daya alam di darat dan di laut (perikanan dan
sumber daya kelautan) yang ada di wilayah daerah-daerah kepulauan oleh
masing-masing daerah kepulauan merupakan pemenuhan dari maksud yang
ditetapkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah,
Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang
Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
1.3. Materi Muatan
1.3.1.Ketentuan Umum
Di dalam ketentuan umum selain menyangkutkan pengertian-pengertian
tentang Pemerintah, dimuat pula pengertian tentang Pemerintah Daerah
Kepulauan, Provinsi Kepulauan, Kabupaten/Kota Kepulauan, wilayah
67
perairan laut pedalaman, batas wilayah Provinsi Kepulauan, wilayah Provinsi
Kepulauan, dan lain-lain.
1.3.2.Asas-asas
Penyusunan RUU tentang Provinsi Kepulauan berpangkal pada asas-asas
sebagai berikut:
a. Asas Kebangsaan
Pengertian dari asas ini yakni rakyat Indonesia seluruhnya adalah satu
bangsa, walau terdapat keragaman corak budaya, etnis, agama,
kehidupan sosial maupun politik
b. Asas Kenusantaraan
Pengertian dari asas ini yakni seluruh wilayah di Indonesia yang terdiri
dari geografi berbasis daratan dengan wilayah utama didominasi
daratan, dan geografi berbasis kepulauan dengan wilayah utama
didominasi lautan, adalah wilayah nusantara Indonesia
c. Asas Bhineka Tunggal Ika
Pengertian dari asas ini yakni seluruh keragaman corak budaya, etnis,
agama, kehidupan sosial maupun politik, dan keragaman corak geografi
adalah kenyataan yang ada dan diakui dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia
d. Asas Desentralisasi Asimetris
Pengertian asas ini yakni adanya pelimpahan wewenang dalam pola
hubungan khusus atau spesifik berdasar pertimbangan politik atas
68
keberagaman karakter (etnis, budaya, sosial maupun regional) yang
menentukan bangunan relasi khusus/istimewa antara daerah dengan
pusat atau dengan daerah lain, maupun arah kebijakan internal dan tata
kelola pemerintahannya. Asas Desentralisasi Asimetris ini memiliki
kedudukan dengan Asas Desentralisasi Simetris.
e. Asas Pengayoman
Pengertian asas ini yakni adanya proses atau perbuatan melindungi dari
negara terhadap kepentingan bangsa keseluruhan yang meliputi juga
perbuatan melindungi kepentingan bangsa Indonesia yang beragam
corak etnis, budaya, sosial, dan kepentingan ekonomi yang berada di
wilayah-wilayah geografis yang didominasi daratan maupun yang
didominasi lautan atau berbasis kepulauan.
f. Asas Kekeluargaan
Pengertian asas ini yakni penyelenggaraan pemerintahan pusat maupun
daerah yang berdasar asas Desentralisasi Simetris dan asas
Desentralisasi Asimetris, dilakukan dalam suasana hikmat dan penuh
kebijaksanaan di antara sesama saudara.
g. Asas Kesejahteraan
Pengertian asas ini merujuk pada tercapainya kehidupan masyarakat dan
bangsa yang makmur dan bahagia di seluruh wilayah Tanah Air
Indonesia, melalui perlindungan, pengakuan dan pelaksanaan wewenang-
wewenang pemerintahan di pusat dan daerah yang memiliki keragaman
corak kehidupan.
69
h. Asas Ketertiban dan Kepastian Hukum
Asas ini berarti political reason yang didasarkan pada kepentingan dan
kehendak masyarakat Indonesia umumnya, dan khusus kepentingan dan
kehendak masyarakat di wilayah-wilayah berbasis kepulauan yang
didominasi lautan mendapat kemasan perUndang-Undangan atas dasar
legitimasi filosofis Pancasila dan atas dasar UUD NRI TAHUN 1945, dan
memenuhi kebutuhan hukum masyarakat di wilayah-wilayah berbasis
kepulauan yang didominasi oleh lautan.
i. Asas Pemberdayaan
Asas ini memiliki arti yakni memberi kemampuan bagi pemerintah dan
masyarakat di wilayah berbasis kepulauan yang didominasi oleh lautan,
melalui penyelenggaraan wewenang berasaskan Desentralisasi Asimetris.
j. Asas Keserasian, Keselarasan dan Keseimbangan
Asas ini mengandung makna adanya keadilan yang diselenggarakan
secara bijaksana berdasarkan kebajikan terhadap keragaman corak etnik,
budaya, sosial,kepentingan ekonomi bahkan perbedaan corak geografi
wilayah Indonesia, baik yang memiliki wilayah yang didominasi daratan
maupun wilayah berbasis kepulauan yang didominasi lautan.
k. Asas Kemanusiaan
Asas ini mengandung arti yakni memahami dan memperlakukan secara
manusiawi, masyarakat Indonesia yang beragam corak etnik, budaya,
beragam geografi.
70
Asas-asas di atas merujuk pada diperlukannya suatu perundang-undangan
yang mengatur eksistensi provinsi berbasis kepulauan. Pengaturan itu perlu
diselenggarakan pada penyelenggaraan pemerintahan daerah kepulauan.
Asas-asas dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah kepulauan
didasarkan pada asas-asas sebagai berikut.
1. Asas kepastian hukum,
Asas ini mengandung makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan
daerah kepulauan didasarkan pada jaminan kepastian hukum bagi semua
pihak.
2. Asas persatuan dalam perbedaan,
Asas ini mengandung makna bahwa dalam penyelenggaraan
pemerintahan di provinsi berbasis kepulauan semua pihak diperlakukan
sama secara proporsional.
3. Asas non diskriminasi,
Asas ini mengandung makna bahwa dalam penyelenggaraan
pemerintahan di daerah provinsi berbasis kepulauan tindakan-tindakan
pemerintah daerah dilakukan tanpa diskriminasi apapun.
4. Asas diskresi,
Asas ini mengandung arti bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan
di daerah provinsi berbasis kepulauan pengambilan keputusan-
keputusan penting sebagai kebijaksanaan pemerintah daerah tetap dapat
dipertanggungjawabkan berdasarkan undang-undang.
5. Asas tidak menyalahgunakan kekuasaan,
Asas ini mengandung makna bahwa pemerintah daerah provinsi berbasis
kepulauan dalam menyelenggarakan wewenang wewenangnya tidak
melakukan penyalahgunaan kekuasaannya.
71
6. Asas keseimbangan dan tanggung jawab Negara.
Asas ini mengandung makna bahwa pemerintah daerah provinsi berbasis
kepulauan dalam memenuhi kepentingan masyarakat di daerahnya,
menjalankan wewenangnya tersebut secara seimbang dengan memenuhi
tanggung jawabnya terhadap negara.
1.3.3. Pokok-pokok Ketentuan tentang Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah Kepulauan
Ketentuan pokok yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang tentang
Provinsi Kepulauan ini lebih ditekankan pada pengelolaan sumber daya
alam, khususnya sumber daya kelautan dan perikanan dalam wilayah
perairan laut pedalaman Daerah Kepulauan
1.3.4. Pokok-pokok Ketentuan tentang Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah Kepulauan
Pokok yang diatur adalah tentang provinsi-provinsi yang menjadi
Provinsi Kepulauan, wilayah Provinsi Kepulauan, wewenang
Pemerintah Daerah Provinsi Kepulauan atas pengelolaan sumber daya
kelautan dan perikanan di dalam wilayah perairan laut pedalaman
Provinsi Kepulauan, asas-asas penyelenggaraan pemerintah daerah
provinsi berbasis kepulauan tidak ada perubahan pada bentuk dan
susunan pemerintahan di Provinsi Kepulauan, perihal keuangan yang
diperlukan sehubungan kewenangan Provinsi Kepulauan dalam hal
72
pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan di dalam wilayah
perairan laut pedalaman Provinsi Kepulauan, dan ketentuan peralihan
sehubungan dengan bantuan pembiayaan oleh Pemerintah kepada
Provinsi
1.3.5. Ketentuan Lain-lain
Menyangkut tetap berlakunya peraturan perundangan sebelum adanya
undang-undang tentang Provinsi Kepulauan, sampai adanya ketentuan
lain yang mengatur lebih lanjut hal-hal yang dimuat dalam undang-
undang tentang Provinsi Kepulauan.
BAB VI
PENUTUP
1.1. Simpulan
73
Simpulan yang ditarik dari uraian di atas adalah sebagai berikut.
1.1.1. Pengaturan dalam undang-undang tentang Provinsi Kepulauan bertolak
dari aspirasi langsung masyarakat di daearah-daerah Kepulauan, yang
disuarakan lewat Focus Group Discussion dengan para Senator (anggota-
anggota DPD);
1.1.2. Aspirasi yang dikemukakan menghendaki adanya wewenang yang lebih
bermakna dalam pengelolaan sumber daya laut dan perikanan dalam
wilayah Kepulauan oleh Pemerintah Daerah dan masyarakatnya,
khususnya dalam wilayah perairan laut pedalaman daerah Kepulauan;
1.1.3. Para pemangku kepentingan di daerah Kepulauan tidak bermaksud
mengubah bentuk dan susunan pemerintahan di daerah Kepulauan.
1.1.4. Konsekuensi-konsekuensi hukum yang timbul (jika) Pemerintahan
Daerah Kepulauan diakui sebagai satuan pemerintahan daerah yang
memiliki ciri dan karakter kewilayahan yang khusus, tidak mengubah
bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
1.1.5. Pemenuhan aspirasi adanya Daerah Kepulauan dapat mengatasi
ketimpangan kehidupan sosial, ekonomi dan budaya antara sentra-
sentra kehidupan sosial, ekonomi dan budaya antara wilayah berbasis
daratan dengan wilayah berbasis kepulauan yang didominasi perairan
laut pedalaman.
1.1.6. Wilayah perairan teritorial Indonesia dan laut pedalaman lainnya yang
menjadi wewenang Pemerintah dalam mengelola sumber daya laut dan
perikanan di luar Daerah-Daerah Kepulauan, masih lebih luas
74
dibandingkan dengan jumlah keseluruhan wilayah perairan laut
pedalaman dari seluruh Daerah Kepulauan.
1.1.7. Argumentasi akademik, filosofis, dan sosiologis mengenai adanya
Provinsi Berbasis Kepulauan, menepis argumentasi akan adanya
disintegrasi bangsa jika status Daerah Kepulauan ditetapkan.
1.2. S a r a n
Isi Undang-undang tentang Provinsi Kepulauan sebaiknya hanya difokuskan
pada wewenang Pemerintah Daerah Kepulauan dalam mengelola sumber
daya kelautan dan perikanan di wilayah perairan laut pedalaman di Daerah
Kepulauan, dan hal-hal lain yang berhubungan dengannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abrar Saleng, Implementasi Bentuk Negara Kesatuan Dalam Dalam
Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Kekayaan Negara Dari Perspektif
75
Otonomi Daerah, Jurnal Hukum Yurisprudensia, Volume 6 Nomor 1
Januari 2007.
Dewan Kelautan Indonesia-Pascasarjana Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Institut Pertanian Bogor, Buku Putih: Merajut Kejayaan Laut
Untuk Membangun Bangsa (Sumbang Pikir Untuk Pembangunan Kelautan
Nasional), Jakarta-Bogor, 2010.
Gandhi, L.M., Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Yang Responsif, Pidato
Pengukuhan Guru Besar Tetap FH UI., 1995.
James MacGregor Burn, et all., Government by the People, Prentice-Hall
International, Inc., London, 1978.
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar Demokrasi: Serpihan
Pemikiran Hukum, Media dan HAM, Jakarta, Juli 2005.
Maruarar Siahaan, Relevansi Penguasaan Negara atas Cabang Produksi
Strategis Menurut UUD 1945, Jurnal Konstitusi, Volume 4 Nomor 3,
September 2007.
Muhammad Fauzan, Hukum Pemerintahan Daerah, Kajian tentang Hubungan
Keuangan Antara Pusat dan Daerah, UII Press, Yogyakarta, 2006.
Robert Endi Jaweng, Anomali Desentralisasi Asimetris, Suara Pembaruan,
Selasa, 21 Desember 2010.
76
Seidmann, Ann, dkk., Penyusunan Rancangan UU Dalam Perubahan
masyarakat Yang Demokratis: Sebuah Panduan Untuk Rancangan UU,
Terjemahan Johannes Usfunan, dkk., ELIPS, 2002.
Strong, C.F., Modern Political Constitutions, English Language Book Society and
Sidgwick & Jackson Limited, London, 1966.
Tri Widodo W. Utomo, Rethinking Decentralization and Deconcentration in the
Unitary State, Graduate School of International Development (GSID),
Nagoya University, Japan, June 18 2009.
Titahelu, Ronald Z., Penetapan Asas-asas Hukum Umum Dalam Penggunaan
Tanah Untuk Sebesar-besar Kemakmuran Rakyat, Disertasi, Universitas
Airlangga, Surabaya, 1993.
_________________, Positition Paper, dalam rangka penyelenggaraan Pre
Conference menghadapi International Small Island Conference (ISIC) di
Ambon, kerjasama Pemerintah Provinsi Maluku dengan Universitas
Pattimura, 2010.
Vegting, Mr. W.G., Publiek Domein en Zaken Buiten den Handel, N. Samsom N.V.,
Alphen aan de Rijn, 1946.
Wargakusumah, Moh. Hasan,dkk., Perumusan Hamonisasi Hukum tentang
Metodologi Harmonisasi Hukum, BPHN Departemen Kehakiman,
1996/1997.
77
Zen Zanibar, Otonomi Desa Dengan Acuan Khusus Pada Desa di Propinsi
Sumatera Selatan, Disertasi, UI, Jakarta, 2003.
Lain-lain:
Lasabuda, Ridwan, Materi Dalam Rangka FGD Komite I DPD RI Dalam Rangka
Inventarisasi RUU Tentang Provinsi Kepulauan, Manado, 28 Februari
2012.
Masengi, K. W. Alex, Potensi Sumber Daya Pesisir dan LautSerta
Pengelolaannya Untuk Kesejahteraan Bangsa, dibawakan Pada Focus
Group Discussion Dalam Rangka Inventarisasi Materi Undang-Undang
Tentang Provinsi Kepulauan Di Hadapan Komite I DPD RI, Manado, 28
Februari 2012
78
top related