moerta sebagai bagian dari jejaring historis-sosial1 file1 makalah disampaikan dalam seminar...
Post on 10-Sep-2019
5 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
MOERTA (2013) KARYA JACOB VIS SEBAGAI BAGIAN DARI JEJARING HISTORIS-SOSIAL1
Christina Suprihatin2
Abstrak
Novel Moerta. Roman over vrouwelijke indische arts en vermeend terrorisme(2013) karya Jacob Vis merupakan novel lanjutan dari Tandem. Roman over een plantersleven (2013). Moerta, adalah dokter perempuan pertama lulusan STOVIA, sekolah untuk dokter Jawa. Moerta menjalani kehidupan yang kontroversial sebelum meraih gelarnya. Kehidupan yang menantang juga terus dihadapinya di Hindia sebelum ia memutuskan untuk menetap di Belanda. Novel Moerta dikaji dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Interpretasi teks dilaksanakan mengikuti metode Vanheste (1981) dengan mencermati penggambaran ‘dunia’ dalam novel. Teks sastra sebagai bentuk komunikasi spesial mengandung aspek kenyataan yang menjadi bagian dari jejaring proses historis-sosial. Teks adalah sebuah fenomena yang mengkaji interaksi antara gejala dalam masyarakat dan aspek kenyataan lainnya dalam masyarakat. Pencermatan yang mendasar terhadap kenyataan yang dihadirkan dalam teks mengungkap ideologi teks. Gambaran dunia yang hadir dalam novel ini tidak selalu sejalan dengan kenyataan. Ketidakselarasan kenyataan yang sering dihadirkan dalam berbagai fragmen seringkali menganggu keberadaan teks sebagai sebuah jejaring proses historis-sosial. Mencermati fungsinya, novel ini dapat dianggap sebagai sebuah catatan sejarah yang bersifat realistis mengenai kehidupan dalam masyarakat kolonial. Kata kunci: penggambaran ‘dunia’, ideologi, konkubinasi, Hindia-Belanda
Pendahuluan
Pada bulan April 1927 Moerta, dokter perempuan lulusan STOVIA (School tot
Opleiding van Indische Artsen) mengirimkan catatan perjalanan hidupnya kepada
Caroline Sanders, anak perempuannya yang menetap di Belanda. Pada saat itu
Moerta sedang berada dalam sel tahanan di Medan karena didakwa membantu dan
1 Makalah disampaikan dalam Seminar Sosiologi Sastra 2016 di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 10-11 Oktober 2016. 2 Pengajar pada Program Studi Belanda, dan Departemen Susastra, FIB Universitas Indonesia.
2
bekerja sama dengan pemberontak yang menjadi buronan Pemerintah Kolonial
Belanda. Moerta terancam hukuman mati. Dirk Sanders, mantan pekebun tembakau
di Deli yang selama enam tahun menjadi pasangan hidup Moerta menyewa pengacara
ternama untuk membantu perempuan itu menjalani proses persidangan.
Novel Moerta. Roman over vrouwelijke indische arts en vermeend terroriste
yang terbit pada tahun 2013 merupakan lanjutan dari Tandem. Roman over een
plantersleven (2013) karya Jacob Vis. Vis (Haarlem, 1940) sebelumnya lebih dikenal
sebagai penulis cerita misteri. Kedua novel yang terbit pada tahun yang sama itu
merupakan cerita rekaan yang dikembangkan dari kehidupan kakek Vis yang bekerja
sebagai pekebun tembakau di Deli (Sumatra). Vis menciptakan tokoh Moerta, dokter
perempuan Jawa, terinspirasi dari keberadaan neneknya yang berasal dari Jawa.
Pendekatan sosiologi sastra dirasa tepat untuk membedah novel ini dengan
pertimbangan teks ini berupaya memperlihatkan keberadaan nyai sebagai bagian dari
masyarakat kolonial dengan kacamata yang berbeda. Perspektif yang tidak lazim itu
terkadang mengesankan teks berupaya menghadirkan ‘kenyataan’ yangberbeda
dengan wacana yang berterima dalam masyarakat kolonial, dengan lain kata teks
seolah berusaha mengungkap kebenaran yang berbeda. Dengan pendekatan sosiologi
ditelusuri seberapa jauh penyimpangan itu dihadirkan, dan selanjutnya dikaji
mekanisme manipulasi mana yang digunakan dalam teks. Dari hasil analisistersebut
diharapkan dapat ditemukan fungsi teks bagi masyarakat pembaca (Van Gorp 1991:
232-233).
Pendekatan kritis sosiologi sastra juga akan mengantar pada temuan terkait
dengan ‘pengungkapan’ kesastraan dan khususnya pada hal-hal yang berkait-kelindan
dengan aktualisasi praksis dalam kehidupan (Wurth & Rigney, 2006:424). Selanjutnya
juga ditelusuri fenomena spesifik mana saja yang terkait dengan ideologi, ras, kelas
sosial dan/atau gender yang disampaikan teks kepada pembaca.
3
Teks sastra merupakan sebuah tindak komunikasi. Saat menulis, seorang
pengarang memiliki publik yang hadir dalam pikirannya, setidaknya ia menulis untuk
dirinya sendiri (Escarpit 2008: 115). Seorang pengarang mengirimkan pesannya
kepada publik pembaca melalui sebuah teks. Berdasar proses komunikasi ini Vanheste
(1981:6-7)memilah empat bidang pengkajian dalam sosiologi sastra, yang pertama
yang terkait dengan pengarang, selanjutnya yang bersangkutan dengan teks. Ketiga,
bidang yang menyoroti pilihan jalur pengiriman pesan, dan yang terakhir yang
berhubungan dengan pembaca teks. Teks sastra merupakan suatu bentuk
komunikasi, dan ia menjadi bagian dari sebuah jejaring proses historis-sosial
(Vanheste 1981: 79). Teks sastra dapat dianggap sebagai sebuah bentuk komunikasi
yang memperlihatkanbagaimana berbagai isu berinteraksi dalam masyarakat. Teks
juga merupakan ekspresi pengalaman penulis yang meyakini adanya kebutuhan para
untuk ‘menangkap’ pesan yang dikirimkan pengarang(Vanheste 1981: 7, 50).
Seturut dengan pemaparan di atas, tulisan ini memperlihatkan bagaimana
wereldbeeld(penggambaran dunia)dihadirkan dalam teks. Untuk menemukan
penggambaran tersebut dilakukan analisis terhadap berbagai gambaran kenyataan
dalam teks seturut dengan langkah yang digagas Vanheste (1981: 206-210).
Gambaran kenyataan dalam teks diungkap dalam tiga tataran. Tataran pertama
dihadirkan melalui penggambaran tokoh-tokoh yang berlakuan, dan melalui
hubungan antar tokoh, serta peran tokoh dalam cerita. Dalam tataran pertama juga
dikaji norma dan nilai yang diungkap teks. Situasi keberadaan dan hubungan antar
tokoh dicermati dengan setiap kali mengkaitkannya dengan aspek kemasyarakatan.
Norma dan nilai mana saja yang dipertahankan, tabu mana yang dilanggar, dan sanksi
apa yang dijatuhkan bila terjadi pelanggaran. Semua aspek tersebut bersama-asama
akan membentuk sebuah bangun kenyataan dalam teks. Tataran kedua menelaah
upaya yag dilakukan untuk merombak bangun kenyataan yang telah tercipta pada
4
tataran pertama. Tataran ketiga mencermati apa saja yang dihasilkan dari
perombakan yang dilakukan pada tataran kedua.
Bangun Kenyataan pada tataran pertama: hierarki dan konkubinasi
Novel Moerta. Roman over vrouwelijke indische arts en vermeend terroriste dibuka
dengan sebuah prolog dan diakhiri dengan epilog. Dalam dua bagian ini, cerita
disampaikan oleh Carolien Sanders. Dalam prolog, pembaca dihadapkan pada tokoh
Moerta Tjondronegoro, seorang dokter kepala di rumah sakit Binjai yang
terancamhukuman mati karena memberikan pertolongan medis kepada seorang
pemberontak. Moerta direpresentasikan sebagai seorang dokter perempuan yang
dihormati, dicintai para pasiennya, dan sangat berdedikasi dalam bekerja. Sebagai
individu, tokoh Moerta ditampilkan dengan lengkap: status sosialnya (dulu dan kini),
dan aktivitasnya. Dalam prolog yang teramat singkat melalui kacamata pencerita
Carolien, dibangun kenyataan awal.
Setelah prolog, cerita dibagi dalam delapan belas bagian bernomor yang
diikuti dengan penunjukan tempat dan waktu berlangsungnya cerita. Kedelapan belas
nomor dibangun dengan alur maju, dimulai dengan nomor 1 yang berjudul Java, 1885-
1896 dan diakhiri dengan nomor 18, Sumatra 1926. Rentang waktu penceritaan
kehidupan Moerta meliputi tiga puluh tahun. Dalam delapan belas catatan/surat yang
ditulis Moerta, pembaca mengikuti perjalanan hidup perempuan Jawa itu melalui
pencerita aku-an. Cerita nomor 1 dibuka dengan ‘Soms heb ik dringend behoefte om
met je te praten. Gewoon een praatje tussen moeder en dochter, zoals ik deed met
mijn moeder, destijds in de Preanger (...) Het is vreemd dat zoiets simpels nu
onbereikbaar is’(Vis 2013:11)3.Sejak awal pembaca sudah diajak untuk berempati
3Terkadang aku sangat butuh bicara denganmu. Cuma sebuah percakapan antara ibu dan anak, seperti yang dulu kulakukan dengan ibu, waktu kami tinggal di Priangan. (...) Aneh, yang begitu sederhanapun sekarang tak dapat dicapai.
5
kepada tokoh Moerta. Seorang ibu yang karena satu dan lain hal, tidak memiliki
kesempatan untuk berbicara dengan anak perempuannya. Moerta diposisikan
sebagai ‘perempuan yang kehilangan haknya menjadi ibu’. Inventarisari tokoh Moerta
melalui pemaparan masa kecilnya, memberikan gambaran mengenai Moerta sebagai
individu dan sekaligus bagian dari kelompok yang kecil, ia adalah anak kepala desa,
memiliki seorang kakak perempuan yang bernama Sarima. Pada lingkup kelompok
yang lebih besar, Moerta adalah murid sekolah yang didirikan oleh para misionaris
Belanda, dan memiliki seorang guru yang bernama Suster Angelique. Moerta juga
menjadi bagian dari masyarakat kolonial yang dicirikan dengan hadirnya hierarki.
Tatanan masyarakat kolonial dibangun dengan menghadirkan pengkotak-kotakan
berdasarkan ras dan gender yang dinarasikan secara ekplisit. Pemilahan tersebut
memperkuat representasi wilayah koloni sebagai daerah yang didominasi kuasa laki-
laki, ketimpangan kuasa kental hadir dalam berbagai lakuan tokohnya.
Karakter yang dilekatkan pada tokoh Moerta dan tokoh-tokoh bawahan
(kedua orang tua, tokoh kakak perempuan/Sarima, tokoh suster Angelique)
memperlihatkan keberagaman etnis yang menjadi bagian dari masyarakat kolonial.
Masing-masing individu digambarkan menjalani hidup seturut dengan norma dan nilai
budaya yang berlaku. Interaksi antar individu lagi-lagi mengukuhkan diskursus
kolonial, seperti yang ditunjukkan dalam kutipan berikut, ‘Op Java liepen de
arbeiderverhoudingen op Hollandse plantages uiteen. (...) Andere waren humaner,
maar ook op die plantages was de hiërarchie strikt als in een apenkolonie met de
planter als het alfamannetje’ (Vis 2013: 32)4. Hierarki dalam teks juga dimunculkan
dengan kebiasaan Moerta untuk menyapa Dirk Sanders dengan sebutan Tuan Sandes.
Dengan sapaan itu perempuan Jawa ini memposisikan dirinya lebih rendah dari Dirk
4Di Jawa hubungan buruh di perkebunan Belanda sangat berbeda-beda. (...) Beberapa pekebun bertindak lebih manusiawi, tetapi di perkebunan selalu ditemukan hierarki yang kuat, seperti umumnya dalam sebuah koloni, pekebun bak kepala suku.
6
Sanders. Kebiasaan itu telah terinternalisasi dalam lakuan tokoh Moerta, dan
dianggap sebagai sesuatu yang lumrah.
Norma dan nilai budaya dalam teks dibangun melalui berbagai aspek. Hierarki
dan ketidaksetaraan dalam berbagai aspek kehidupan diterima sebagai hal yang
semestinya. Kehadiran orang Belanda di Hindia dibenarkan, ‘Pa en hij konden goed
met elkaar overweg en wat meer zegt: Paul viel bij mijn moeder in de smaak.(...)
Natuurlijk waren er meer vriendschappelijke betrekkingen tussen Hollanders en
Javanen’ (Vis 2013: 33)5. Suster dan dan para pastur misionaris diterima dengan
tangan terbuka, kehadiran mereka tidak dipermasalahkan malah dibutuhkan untuk
mencerdaskan rakyat desa. Perbedaan agama tidak menjadi penghalang untuk
menolakatau mengkritisi kehadiran berbagai sekolah misi (Vis 2013: 19).
Orang Eropa digambarkan sebagai sekelompok manusia rasional yang tidak
mempercayai hal-hal yang gaib. Suster Angelique dihadirkan sebagai guru yang bijak
dan mampu menjawab pertanyaan mengenai makhluk supranatural dengan logis
seturut pemikiran Barat (Vis 2013: 23). Pemikirannya yang logis, rasional, berhasil
membuka wawasan Moerta: tidak semua hal yang dianggap benar oleh kedua orang
tuanya rasional.Tidak ada tindakan yang berarti dari orang tua Moerta untuk
‘melindungi’ putri mereka dari tekanan pemikiran Barat. Suster Angelique yang
rasional melihat kompetensi Moerta, seorang anak perempuan yang berbeda (Vis
2013: 24).
Dalam masyarakat kolonial yang dihadirkan dalam cerita, konkubinasi
dilegalkan. Tidak ada keberatan dari kedua belah pihak untuk mempraktikkannya. ‘Hij
is rijk, of hij zal het worden. Hij heeft aanzien, papa en mama zijn op hem gesteld en
de regent is bang voor hem. Als je met hem trouwt kan je niks gebeuren’(Vis 2013:
5 Pa dan Paul cocok dan yang lebih baik lagi: Paul memenuhi selera ibuku. (...) Tentu saja ada banyak hubungan baik yang terjalin antara orang Belanda dan Jawa.
7
36)6. Sesama nyai saling membangun sisterhood, Moerta tidak mempermasalahkan
keberadaan No Chi sebagai nyai dari Dirk Sanders, pekebun yang nanti akan menjadi
pasangan hidupnya. Pada saat yang bersamaan di antara para perempuan di Deli juga
muncul rasa curiga dan persaingan. No Chi tidak menyukai Moerta dan
menganggapnya sebagai pesaing (Vis 2016: 120-121). Sarima membujuk Moerta
untuk menerima tawaran Dirk Sanders, karena ia mencurigai suaminya menaruh hati
pada Moerta.
Moerta dan Sarima, juga tokoh-tokoh perempuan lain dalam teks ini, memilih
menjalani konkubinasi dengan berbagai pertimbangan: dengan menjadi nyai mereka
akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik secara finansial, dan lebih mudah untuk
mencapai keinginan tertentu. Sarima menerima lamaran Paul Metz karena laki-laki
Belanda itu kaya, dan baik hati. Moerta menyetujui permintaaan Dirk Sanders untuk
menjadikannya pengurus rumah tangga Sanders mendapatkan penghasilan besar
sehingga memungkinkan Moerta membayar pendidikannya di STOVIA. Tidak ada
kritik yang berarti yang menyuarakan ketidaksetujuan terhadap praktik konkubinasi.
Keberatan terhadap konkubinasi tidak menyentuh hal-hal yang esensial dan lebih
berada pada tataran permukaan. ‘En zij wende aan zijn lichaamsgeur, die, zoals bij alle
blanken, heel anders was dan die van ons. Hij was schoon op zichzelf en (...) badde hij
zich minstens drie keer per dag (Vis 2013: 39)7Kekayaan menjadi jaminan, usia tidak
dipermasalahkan, masa lalu Paul yang pernah memiliki nyai-nyai lain tidak menjadi
kendala, keberatan Sarima menerima Paul Metz pada awalnya hanya terkait masalah
bau badan.
Pelanggaran terhadap norma dan nilai budaya mendapat sanksi. Pada saat
yang bersamaan imbalan diberikan kepada individu/kelompok yang menjalani
6 Ia (= Paul Metz) kaya, calon orang kaya. Ia punya karisma, papa dan mama menyukainya dan bupati takut padanya. Kalau kamu (= Sarima) menikah dengannya, kamu akan aman. 7 Ia (= Sarima) membiasakan dengan bau tubuh Paul, yang seperti juga pada laki-laki kulit putih lainnya, sangat berbeda dari kami. Ia sebenarnya bersih, (...) Paul mandi setidaknya tiga kali sehari.
8
kehidupan sesuai dengan norma atau nilai budaya yang berlaku. Ketika Moerta
berumur dua belas tahun, ia mendapat hukuman cambuk dari orang tuanya karena
diam-diam mendaki gunung di desanya (Vis 2013: 26-27). Perpektif Barat
menganggap hukuman kekerasan tidak layak dijatuhkan kepada anak yang karena
rasa ingin tahunya mendaki gunung. Suster Angelique sebagai wakit dari masyarakat
rasional, menganggap sikap kritis Moerta terhadap keberadaan ‘penunggu gunung’
sangat wajar, ia memutuskan untuk berbicara dengan ayah Moerta. Sejak
pembicaraan itu Moerta tidak pernah lagi menerima kekerasan fisik dari ayahnya,
rasionalitas mengalahkan hal-hal yang bersifat takhayul (Vis 2013: 27-28). Namun,
tidak semua orang Barat direpresentasikan menentang kekerasan. Hukuman fisik
menjadi bagian dari kehidupan di perkebunan tembakau di Deli. Para kuli yang
melanggar peraturan menerima hukuman cambuk. Dalam teks berbagai tindak
kekerasan yang dihadirkan mengukuhkan ketimpangan dalam masyarakat kolonial.
Moral ganda secara ekplisit diungkap dalam teks. Tidak ada ruang
pengampunan bagi nyai yang berselingkuh. Moerta yang tertangkap tangan oleh Dirk
Sanders menjalin hubungan terlarang dengan seorang penduduk lokal, harus
meninggalkan rumah dan anak perempuannya (Vis 2013: 166-168). Teks
mengukuhkan kenyataan betapa masyarakat kolonial mendiskreditkan nyai, dan
menyisakan banyak pengertian bagi para lelaki yang mencampakkan nyainya.
Upaya merombak bangun kenyataan dan isu mutakhir dalam masyarakat kolonial
Novel Moerta juga berupaya mengangkat isu-isu mutakhir, seolah teks ini mencoba
memperkenalkan norma dan nilai kehidupan yang baru. Upaya tersebut sering kali
disuarakan dengan lantang, dan dihadirkan melalui tokoh Moerta. Selain menerima,
dan/atau mengukuhkan norma dan nilai yang sudah berterima dalam masyarakat
kolonial, upaya mengubah kenyataan dalam teks secara konkrit dan detil
diperlihatkan teks. Pilihan untuk membingkai cerita kehidupan Moerta melalui surat
9
yang dituliskan kepada anak perempuannya, dan menjadikan Carolien Sanders
sebagai pencerita pada prolog dan epilog bukannya tanpa maksud. Pada prolog
pembaca digiring untuk berempati pada tokoh Moerta, dan bila simpati itu memudar
sejalan dengan perjalanan hidup Moerta yang dituturkan dalam delapan belas bagian
bernomor, maka pada bagian prologupaya untuk merevisi sosok Moerta kembali
diperlihatkan.
Mengikuti perjalanan hidup Moerta, pembaca dihadapkan pada sosok
perempuan perkasa namun tak luput dari banyak kesalahan. Ia bukan superhero
tanpa cela, tak jarang ia hadir sebagai manusia biasa yang tidak mampu
mengendalikan nafsunya sehingga melakukan tindakan-tindakan bodoh melanggar
norma dan aturan yang berlaku. Secara akademis, Moerta berhasil telah memperoleh
capaian tinggi. Kecakapan akademis tidak diimbangi dengan kebijakan sosial.
Pilihannya untuk menjadi nyai, semata-mata karena faktor finansial, ironis karena
pada awalnya Moerta begitu mengagungkan hubungan yang didasari rasa cinta.
Moerta juga hadir sebagai sosok yang keras, nyaris tidak memiliki perasaan. Tidak ada
air mata yang diumbar saat kehilangan orang tua, tidak ada hati yang bergelora saat
jatuh cinta, tidak ada kepedihan berpisah dengan anak. Seolah mati rasa, juga tidak
ada penyesalan meratapi kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat.Seorang ibu
berhati batu, mengabaikan perannya, dan menyerahkan tugas pengasuhan kepada
perempuan lain. Rasanya tidak ada penanda yang mencirikan sifat perempuan pada
sosok Moerta.
Dalam teks ini pembaca berhadapan dengan sebuah masyarakat kolonial yang
‘sangat mutakhir’, sebuah tatanan masyarakat kolonial yang berbeda. Teks
memberikan ruang pada Moerta untuk menyuarakan pendapatnya, dan perempuan
ini diberi keleluasaan untuk bertindak, bahkan juga melakukan kesalahan fatal.
Pendidikan Barat yang diterima Moerta terinternalisasi sedemikian dalam sehingga
dalam diri Moerta hampir-hampir tidak ditemukan ‘elemen Timur’. Secara fisik ia
10
memang perempuan Jawa, namun prilaku, tindak, karakter, kepribadiannya sangat
Barat. Moerta memiliki ‘keliaran’ yang tidak sejalan dengan norma dan nilai budaya
semasanya. Moerta dan Sarima tidak mempermasalahkan ‘tuan’ mereka sudah
pernah memiliki nyai, mereka tidak meributkan masalah keperawanan. Moerta
membenarkan dan mempraktikkan hubungan seksual sebelum pernikahan. Dalam
dua kesempatan, sesaat pembaca diajak untuk mencermati Moerta yang ‘manusia
yang memiliki rasa’, terhanyut nafsu dan menikmati kehidupan seksual (Vis 2013: 83,
166). Narasi menempatkan Moerta jauh dari ‘norma dan budaya Timur’. Moerta
adalah prototipe pemikiran Barat yang dikemas dalam tubuh perempuan Timur.
Pandangannya mengenai pasangan hidup, seks sebelum pernikahan, dan pendidikan
menjadikan teks ini berbeda dari teks dari genre serupa dalam ranah Sastra Hindia-
Belanda.
Isu-isu mutakhir juga hadir dalam teks ini.Beberapa tokoh digambarkan
memiliki prilaku yang ‘menyimpang’, namun tidak ada rasa takut atau malu untuk
mengakui penyimpangan tersebut. Masyarakat pun seolah tidak mempermasalahkan
kehadiran mereka. Keterbatasan manusia menjadi hal yang berterima, dan tidak ada
sanksi dan hukuman yang dijatuhkan. Beberapa tokoh digambarkan sebagai manusia
yang bisa saja memiliki ketertarikan terhadap sesama jenis. Tokoh suster Angelique,
biarawati yang menjalani kehidupan selibat jatuh cinta dan menjalin hubungan
dengan sesama calon biarawati. Dua tokoh lain dalam cerita juga dihadirkan sebagai
sosok yang tidak tertarik menjalin hubungan dengan lawan jenis. Meski telah berumur
mereka tidak menikah dan mengakui keadaan mereka. Salah satunya adalah tokoh
dukun yang dihormati dan mendapat kepercayaan dari penduduk desa (Vis 2013: 54-
55).
Intertekstualitas dalam teks dibangun dengan penyebutan beberapa nama
besar dalam sejarah perjuangan Indonesia. Selama Moerta menjalani pendidikan di
STOVIA, ada interaksi yang terjalin dengan Dr. Soetomo dan Dr. Jacob Samallo. Nama
11
besar dalam dunia kedokteran, Dr. H.R. Roll, dan Antonie van Leeuwen, juga
dimunculkan dan bersentuhan dengan sosok Moerta. Keterkaitan Moerta
denganSTOVIA sebagai institusi yang mencetak dokter Jawa tidak terlihat mendalam.
Peristiwa dalam sejarah, seperti keberadaan Boedi Utomo yagn bergiat dengan
gerakan nasionalisme berulang kali diungkap dalam teks. Dalam berbagai percakapan
dengan dokter berkebangsaan Belanda Moerta telah menyinggung nasionalisme,
namun tidak ada pemaparan yang mendalam terkait dengan sikap Moerta
menanggapi isu nasionalisme dan gerakan perjuangan menuju kemerdekaan.
Keterkaitan dengan kemerdekaan ditanggapi dengan isu keberadaan pemberontak
atau justru seringkali disebut dengan kaum teroris. Kelompok ini diwakili dengan dua
bersaudara keturunan Cina, bermarga Siauw, yang pernah bekerja untuk Paul Metz
dan Sarima. Tindakan Moerta membantu Sauw yang lebih didasarkan panggilan hati
dan kenangan akan jasa kedua bersaudara, lagi-lagi digambarkan bukan hal yang bijak
dan menyeretnya ke dalam penjara. Keberadaan Moerta, capaiannya menjadi dokter
Djawa, kelebihan akademisnya tidak selalu sejalan dengan tindak dan prilaku
kesehariannya. Keberadaan sebagai dokter Djawa seolah hanya sekedar kolase yang
ditempelkan pada sosok Moerta.
Kehadiran kelompok etnis yang lain, seperti orang Cina, orang Batak, orang
Deli juga diperlihatkan dalam teks. Namun teks tidak mencermati kehadiran berbagai
kelompok tersebut dalam masyarakat kolonial. Demikian juga berbagai religi yang
disebut sepintas dalam teks, tidak ada cukup datayang akurat untuk mengkajinya
dalam masayrakat kolonial.
Dalam epilogperuntungan Moerta sebagai tahanan diungkap. Pembelaan Mr.
Hendrik pengacara yang disewa oleh Dirk Sanders, penjelasan dari saksi-saksi yang
mengenal Moerta, membuatnya bebas dari hukuman mati. Sesaat setelah mendengar
vonis pembebasannya, pembaca tiba-tiba dihadapkan pasa sosok Moerta yang
memiliki rasa dan yang tidak malu memperlihatkan perasaannya. Ia yang sepanjang
12
hidup digambarkan sebagai perempuan yang kuat berubah menjadi seorang yang
tidak berdaya ‘Ma zat stilletjes te huilen in haar bankje. Moeizaam als een oude vrouw
stond ze op terwijl de rechters de zaal uitliepen en toen pas liet ze zich door pa en mij
omhelzen (Vis 2013: 369)8. Nasib baik terus berpihak pada Moerta, ia tidak saja lepas
dari hukuman, dipulihkan nama baiknya sebagai dokter di Hindia, Dirk Sanders juga
melamarnya. Sebuah pernikahan resmi yang legal akan dilangsungkan di Belanda.
Sebuah akhir yang bahagia.
Penutup
Gambaran dunia yang hadir dalam novel ini tidak selalu sejalan dengan kenyataan.
Upaya untuk merubah tataran kenyataan itu terus menerus dihadirkan melalui
berbagai manifestasi. Pembaca dihadapkan pada berbagai manuver yang
mengupayakan perubahan, upaya itu tidak selamanya selaras dengan cakrawala
pengharapan pembaca. Ketidakselarasan kenyataan yang sering dihadirkan dalam
berbagai fragmen seringkali menganggu keberadaan teks sebagai sebuah jejaring
proses historis-sosial. Mencermati hasil analisis dapat disimpulkan unsur informasi
mendominasi dalam teks ini, sehingga novel ini dapat dianggap sebagai sebuah
catatan sejarah kecil yang bersifat realistis mengenai kehidupan dalam masyarakat
kolonial yang masih saja menyisakan sisi gelap. Vis sebagai pengarang mencoba
menggambarkan sisi yang gelap itu dengan objektif, dan terkesan tidak menghakimi
siapapun. Ia menyerahkan penilaian sepenuhnya kepada pembaca. Tidak
dipermasalahkan siapa yang bersalah, teks menginginkan pengertian untuk
keputusan-keputusan ‘berani’ yang sudah diambil Moerta.
8Ma diam-diam menangis di bangkunya. Susah payah seperti perempuan tua ia bangkit sementara para hakim meninggalkan ruang sidang, lalu ia baru mau dipeluk pa dan aku.
13
Daftar Pustaka
Escarpit. R. 2008. Sosiologi Sastra. Penerjemah Ida Sundari Husen. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Wurth K.B & Rigney (red.) 2006. Het leven van teksten, een inleiding tot de
literatuurwetenschap. Amsterdam: Amsterdam University Press. Vanheste. B. 1981. Literatuursociologie. Theorie en methode. Assen: Van
Gorcum. Van Gorp. H. e.a. 1991. Lexicon van Literaire Termen. Groningen: Wolters-
Noordhoff. Vis. J. 2013. Moerta. Roman over vrouwelijke indische arts en vermeend
terrorisme. Den Haag; Uitgeverij Converse. Vis. J. 2013. Tandem. Roman over een plantersleven. Den Haag: Uitgeverij
Converse.
top related