modul praktikum asuhan kebidanan neonatus, bayi …
Post on 15-Oct-2021
17 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
MODUL PRAKTIKUM ASUHAN KEBIDANAN NEONATUS, BAYI BARU
LAHIR, BALITA DAN ANAK PRAKSEKOLAH
PRODI D III KEBIDANAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO
2
HADIST & ALQURAN
Zaid bin Aslam rahimahullah berkata:
ر انأ انجزح اندو وأ ه وسهى أصابه جزح فاحتق عه صهى الل رسىل الل جلا ف سيا ي جم دعا رجه ز
ه وسهى عه صهى الل رسىل الل ا أ ه فشع ار فظزا إن ز ا ب أ ب خ ا أطب فقال أو ف انط ا أك قال نه
شل اندواء انذي أ ه وسهى قال أ عه صهى الل رسىل الل د أ فشعى س دواء رسىل الل شل ا
―Bahwa seseorang di jaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam terkena luka.
Kemudian luka tersebut mengeluarkan darah. Orang tersebut memanggil 2 orang
dari Bani Anmar, kemudian keduanya memeriksa orang tersebut. Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam berkata kepada keduanya: ―Siapakah yang paling
mengerti ilmu kedokteran di antara kalian berdua?‖ Keduanya
bertanya: ―Memangnya di dalam ilmu kedokteran terdapat kebaikan, wahai
Rasulullah?‖ Beliau menjawab: ―Dzat yang menurunkan penyakit telah menurunkan
obatnya.‖ (HR. Malik dalam al-Muwaththa: 1689 (2/943) dan Ibnu Abi Syaibah
dalam Mushannafnya: 23886 (7/361).
3
VISI MISI PRODI KEBIDANAN
I. Visi Program Studi :
Pada tahun 2036 menjadi Program Studi D III Kebidanan yang unggul dan
berdaya saing global menghasilkan tenaga bidan profesional berlandaskan nilai-nilai
islami dan berjiwa enterpreuner.
II. Misi Program Studi :
1. Menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran dalam ilmu kebidanan yang terkini.
2. Menyelenggarakan penelitian dan pengabdian pada masyarakat dengan
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kebidanandan kesehatan.
3. Menyelenggarakan pembelajaran kewirausahaan di bidang kebidanan.
4. Menyelenggarakan perkuliahan Al Islam Kemuhammadiyahan.
III. Tujuan Program Studi:
1. Menghasilkan lulusan kebidanan yang mempunyai pengetahuan, sikap dan
keterampilan di bidang kebidanan dan kesehatan yang terkini.
2. Menghasilkan karya ilmiah dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat dalam
bidang kebidanan dan kesehatan dengan mengamalkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam bentuk pengabdian masyarakat.
3. Menghasilkan lulusan yang berjiwa enterpreneur di bidang kebidanan dan kesehatan.
4. Mampu mengamalkan nilai-nilai Al-Islam Kemuhammadiyahan dalam kehidupan.
4
KATA PENGANTAR
Assalaamu’alaikum warohmatullohi Wabarokatuh
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan
rahmat dan hidayah Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan Modul Praktikum Asuhan
Kebidanan Neonatus, Bayi Baru Lahir, Balita dan Anak Prasekolah untuk mahasiswa Prodi D
III Kebidanan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Ponorogo. Modul
praktikum ini digunakan sebagai acuan bagi mahasiswa, pembimbing dan semua pihak untuk
kelancaran pelaksanaan kegiatan praktikum sehingga diperoleh kesatuan persepsi dan langkah
untuk mencapai kompetensi dalam mata kuliah Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi Baru
Lahir, Balita dan Anak Sekolah.
Modul Praktikum ini disusun atas bantuan dan kerja sama semua pihak, oleh karena
itu kami mengucapkan terima kasih bagi semua pihak yang telah membantu. Semoga Allah
SWT membalas semua bantuan dan kerjasama tersebut dengan kebaikan pula. Amin
Penyusun menyadari Modul ini jauh dari kesempurnaan, sehingga saran dan masukan
sangat diharapkan.
Wassalaamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh
Ponorogo, 2017
Tim Penyusun
5
DAFTAR ISI
HADIST ................................................................................................................................ I
VISIMISI ............................................................................................................................ II
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... III
PENDAHULUAN .............................................................................................................. IV
I. KONSEP DASAR KETERAMPILAN PERAWATAN BAYI SEHARI-HARI
A. DEFINISI .............................................................................................................. 1
B. ANATOMI DAN FISIOLOGI .............................................................................. 1
C. FAKTOR-FAKTOR YANG HARUS DIPERHATIKAN DALAM PERAWATAN
BAYI ......................................................................................................................... 4
II. PERAWATAN BAYI SEHARI-HARI ............................................................................ 4
III. PEMERIKSAAN FISIK BAYI BARU LAHIR ............................................................ 13
IV. PEMERIKSAAN TUMBUH KEMBANG
A.KPSP .................................................................................................................. 25
B. DENVER ........................................................................................................... 27
V. IMUNISASI
1. BCG .................................................................................................................... 43
2. HEPATITIS B .................................................................................................... 53
3.. POLIO ............................................................................................................... 71
4. DPT ..................................................................................................................... 85
5. CAMPAK ......................................................................................................... 110
1
KONSEP DASAR KETERAMPILAN
I. PERAWATAN BAYI SEHARI-HARI
A. DEFINISI
Perawatan bayi adalah suatu tindakan merawat dan memelihari kesehatan bayi dalam
bidang preventif dan kuratif(Baety,2011).
B. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Anatomi bayi baru lahir memiliki berbagai ciri khas yang membantunya untuk tumbuh
dan berkembang di luar rahim. Seorang bayi tumbuh lebih cepat di tahun pertama setelah
ia lahir dibandingkan waktu lain selama hidupnya.
1. Mata sembab
Kelopak mata bayi yang baru lahir seringkali sembap. Beberapa bayi matanya
tampak berwarna merah muda sesaat setelah dilahirkan yang disebabkan oleh
sumbatan saluran air mata atau infeksi bakteri jalan lahir.
2
2. Verniks
Zat putih berlemak di seluruh tubuh bayi mencegah kulit mengerut akibat paparan
cairan amnion selama berada di uterus (rahim). Verniks ini bisa dibilas atau dihapus
setelah lahir.
3. Tali pusat
Tali pusat lokal yang merupakan penghubung antara janin dan plasenta ibu
memiliki 2 arteri dan sebuah vena dengan selaput yang mirip seperti agar-agar. Tali
pusat ini akan dijepit dan dipotong segera setelah bayi lahir.
3
4. Fontanela
Fontela adalah sendi jaringan ikat yang lentur antara tulang-tulang tengkorak.
Fontela ini memungkinkan adanya perubahan bentuk tengkorak, serta membantu
perjalanan bayi melewati saluran lahir.
5. Kelenjar timus
Merupakan bagian dari sistem imun (kekebalan tubuh) yang memiliki ukuran
besar saat lahir karena sistem imun sedang berkembang pesat.
6. Hati
Ukuran hati bayi relatif besar saat lahir karena merupakan organ utama penghasil
darah pada janin.
4
7. Pelvis
Bagian tubuh ini terutama terbuat dari tulang rawan saat lahir. Pelvis akan
mengeras untuk membentuk jaringan tulang (osifikasi) saat usia kanak-kanak.
C. FAKTOR-FAKTOR YANG HARUS DIPERHATIKAN DALAM PERAWATAN
BAYI
1. Kasih sayang yang dapat membantu pembentukan bayi kearah positif dan membuat
rasa aman, nyaman dan bahagia.
2. Makanan yang sesuai kebutuhan gizi yang menunjang pertumbuhan otak
3. Lingkungan yang higienis akan menunjang kesehatan dan mengurangi terjadinya
infeksi kuman.
4. Tidur nyenyak sesuai dengan kebutuhan akan membantu produksi hormone
pertumbuhan saat tidur.
5. Kesehatan kulit agar terhindar dari penyakit kulit.
D. PERAWATAN BAYI SEHARI-HARI
1. Membersihkan kotoran mata
Gunakan kapas steril yang dibasahi air matang untuk membersihkan tahi mata.
Selalu gunakan kapas baru untuk tiap mata. Lakukan pijatan lembut dari sudut mata
kebawah dan kearah hidung selama 5-10 kali. Selewat usia 2 minggu lazimnya tahi
mata tak lagi berlebihan karena saluran air matanya sudah berfungs. Bersihkan mata
dari arah dalam keluar dengan bola kapas yang sudah dicelup dalam ai hangat. Ganti
5
kapas setiap kali membersihkan mata agar tidak terjadi perpindahan kuman. Gunakan
tisu untuk mengeringkan mata.
2. Membersihkan kerak kepala
Kerak di kulit kepala ada hamper setiap bayi. Kerak ini disebut sela karang atau
cradle crap. Meski tidak berbahaya, tetapi sungguh menjengkelkan. Cara
menghilangkannya dengan mengoleskan baby oil pada kepala bayi, diamkan 10-15
menit, lalu pijat perlahan sebelum mengeramasinya.
Jangan sampai kulit kepalanya berdarah. Ingat, ada peredaran darah di kepala
yang menyambung ke otak. Usahakan kulit kepala tetap sejuk dan kering supaya tidak
bertambah banyak.
3. Mencuci rambut
Mencuci rambut bayi yang masih kecil sebenarnya mudah. Selain belum banyak
bergerak, rambutnya pun sedikit. Jangan panic melhat ubun-ubun sikecil yang belum
rapat. Kulit yang melindungi ubun-ubun cukup kokoh. Cuci rambut bayi dengan
sampo bayi. Pegang kepalanya erat-erat dan jaga jangan sampai sampo masuk ke
matanya. Meski sampo bayi terbuat dari ramuan khusus sehingga lembut dan tidak
membuat mata pedih, bisa jadi ia kaget saat kemasukan sampo.
6
4. Membersihkan hidung
Bagian dalam hidung memiiki daya pembersih sendiri, sehingga tak perlu
perawatan khusus. Untuk membersihkan cuping hidung, gunakan kapas bertangkai
yang sudah dicelup dalam air hangat. Jangan dalam-dalam. Cuping hidung sikecil bisa
terluka nantinya. Ganti kapas bertangkai untuk cuping hidung lainnya. Saat nafasnya
terganggu karena lendir berlebih, gunakan aspirator. Lakukan satu per satu secara
bergantian karena menghisap kedua lubang sekaligus berbahaya. Lendir dapat naik
dan berpeluang menyebabkan infeksi.
7
5. Merawat tali pusat
PERAWATAN TALI PUSAT
Tali pusat dalam istilah medisnya disebut dengan umbilical cord. Merupakan
saluran kehidupan bagi janin selama ia di dalam kandungan, sebab selama dalam
rahim, tali pusat ini lah yang menyalurkan oksigen dan makanan dari plasenta ke
janin yang berada di dalam nya. Begitu janin dilahirkan, ia tidak lagi membutuhkan
oksigen dari ibunya, karena bayi mungil ini sudah dapat bernafas sendiri melalui
hidungnya. Karena sudah tak diperlukan lagi maka saluran ini harus dipotong dan dijepit,
atau diikat (Wibowo, 2008).
Diameter tali pusat antara 1cm - 2,5cm, dengan rentang panjang antara 30cm-
100cm, rata-rata 55cm, terdiri atas alantoin yang rudimenter, sisa-sisa omfalo
mesenterikus, dilapisi membran mukus yang tipis, selebihnya terisi oleh zat seperti
agar-agar sebagai jaringan penghubung mukoid yang disebut jeli whartor. Setelah tali
pusat lahir akan segera berhenti berdenyut, pembuluh darah tali pusat akan menyempit
tetapi belum obliterasi, karena itu tali pusat harus segera dipotong dan diikat kuat-kuat
supaya pembuluh darah tersebut oklusi serta tidak perdarahan (Retniati, 2010;9).
1. Definisi perawatan tali pusat
Perawatan tali pusat adalah perbuatan merawat atau memelihara pada tali pusat
bayi setelah tali pusat dipotong atau sebelum puput (Paisal, 2008).
Perawatan tali pusat adalah pengobatan dan pengikatan tali pusat yang
menyebabkan pemisahan fisik terakhir antara ibu bayi, kemudian tali pusat dirawat
dalam keadaan steril, bersih, kering, puput dan terhindar dari infeksi tali pusat
(Hidayat,2005).
8
2. Tujuan perawatan tali pusat
Tujuan perawatan tali pusat adalah mencegah terjadinya penyakit tetanus pada
bayi baru lahir, agar tali pusat tetap bersih, kuman-kuman tidak masuk sehingga tidak
terjadi infeksi pada tali pusat bayi. Penyakit tetanus ini disebabkan oleh clostridium
tetani yaitu kuman yang mengeluarkan toksin (Racun), yang masuk melalui luka tali
pusat, karena perawatan atau tindakan yang kurang bersih (Saifuddin, 2001).
Menurut Paisal (2008), perawatan tali pusat bertujuan untuk menjaga agar tali
pusat tetap kering dan bersih, mencegah infeksi pada bayi baru lahir, membiarkan
tali pusat terkena udara agar cepat kering dan lepas.
3. Penatalaksanaan perawatan tali pusat yang benar
(Panduan APN, 2010)
a. Peralatan Yang Dibutuhkan:
1) 2 Air DTT, hangat:
- 1 untuk membasahi dan menyabuni
- 1 untuk membilas
2) Washlap kering dan basah
3) Sabun bayi
4) Kassa steril
5) 1 set pakaian bayi
b. Prosedur Perawatan Tali Pusat:
1) Cuci tangan.
2) Dekatkan alat.
3) Siapkan 1 set baju bayi yang tersusun rapi, yaitu: celana, baju, bedong yang sudah
digelar.
9
4) Buka bedong bayi.
5) Lepas bungkus tali pusat.
6) Bersihkan/ ceboki dengan washlap 2-3x dari bagian muka sampai kaki/ atas ke
bawah.
7) Pindahkan bayi ke baju dan bedong yang bersih.
8) Bersihkan tali pusat, dengan cara:
a) Pegang bagian ujung
b) Basahi dengan washlap dari ujung melingkar ke batang
c) Disabuni pada bagian batang dan pangkal
d) Bersihkan sampai sisa sabunnya hilang
e) Keringkan sisa air dengan kassa steril
f) Tali pusat tidak dibungkus.
9) Pakaikan popok, ujung atas popok dibawah tali pusat, dan talikan di pinggir.
Keuntungan: Tali pusatnya tidak lembab, jika pipis tidak langsung mengenai
tali pusat, tetapi ke bagian popok dulu.
10) Bereskan alat.
11) Cuci tangan.
Menurut rekomendasi WHO, cara perawatan tali pusat yaitu cukup
membersihkan bagian pangkal tali pusat, bukan ujungnya, dibersihkan
menggunakan air dan sabun, lalu kering anginkan hingga benar-benar kering.
Untuk membersihkan pangkal tali pusat, dengan sedikit diangkat (bukan ditarik).
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa tali pusat yang dibersihkan
dengan air dan sabun cenderung lebih cepat puput (lepas) dibanding tali pusat yang
dibersihkan menggunakan alkohol.
10
Selama sebelum tali pusat puput, sebaiknya bayi tidak
dimandikan dengan cara dicelupkan ke dalam air, cukup dilap saja dengan air
hangat. Tali pusat harus dibersihkan sedikitnya 2x sehari selama balutan atau
kain yang bersentuhan dengan tali pusat tidak dalam keadaan kotor atau basah.
Tali pusat juga tidak boleh dibalut atau ditutup rapat dengan apapun, karena akan
membuatnya menjadi lembab. Selain memperlambat puputnya tali pusat, juga
dapat menimbulkan resiko infeksi. Intinya adalah membiarkan tali pusat terkena
udara agar cepat mengering dan terlepas.
4. Dampak positif dan dampak negatif
Dampak positif dari perawatan tali pusat adalah bayi akan sehat dengan kondisi
tali pusat bersih dan tidak terjadi infeksi serta tali pusat pupus lebih cepat yaitu antara
hari ke 5-7 tanpa ada komplikasi (Hidayat, 2005).
Dampak negatif perawatan tali pusat adalah apabila tali pusat tidak dirawat dengan
baik, kuman-kuman bisa masuk sehingga terjadi infeksi yang mengakibatkan penyakit
Tetanus neonatorum. Penyakit ini adalah salah satu penyebab kematian bayi yang
terbesar di Asia Tenggara dengan jumlah 220.000 kematian bayi, sebab masih banyak
masyarakat yang belum mengerti tentang cara perawatan tali pusat yang baik dan benar
(Dinkes RI, 2005). Cara persalinan yang tidak steril dan cara perawatan tali pusat
dengan pemberian ramuan tradisional meningkatkan terjadinya tetanus pada bayi baru
lahir (Retniati, 2010;11).
11
5. Cara pencegahan infeksi pada tali pusat
Cara penanggulangan atau pencegahan infeksi pada tali pusat
meliputi:
a) Penyuluhan bagi ibu pasca melahirkan tentang merawat tali pusat
b) Memberikan latihan tentang perawatan tali pusat pada ibu pasca persalinan.
c) Instruksikan ibu untuk selalu memantau keadaan bayinya.
d) Lakukan perawatan tali pusat setiap hari dan setiap kali basah atau kotor.
1. Skenario Kasus
Seorang bayi baru lahir sejak 24 jam yang lalu tampak tali pusat yang sudah
terbungkus kasa namun kotor karena terkena urin bayi melalui popok yang basah.
Selanjutnya buatlah roleplay merawat tali pusat sesuai dengan kasus!
2. Petunjuk Praktikum
Lakukan kegiatan praktikum sesuai dengan scenario kasus diatas!
3. SOP
PERAWATAN TALI PUSAT
Pengertian Perawatan tali pusat bayi baru lahir adalah memberikan perawatan
tali pusat pada bayi baru lahir sampai tali pusat mongering dan lepas
dengan spontan
Tujuan Untuk mencegah terjadinya infeksi dan mempercepat putusnya tali
12
pusat
Persiapan 1. Persiapan Tempat
2. Persiapan Alat/Bahan
Prosedur
Tindakan
A. Persiapan Alat
1. Ruang yang hangat dan menjaga privasi
2. Air hangat
3. Handuk tangan
4. Kapas air hangat
5. Kassa steril
6. Perlak
B. Prosedur Kerja
1. Menyapa pasien dengan sopan dan ramah
2. Menjaga Privasi dan kehangatan ruangan
3. Cuci tangan dengan air bersih dan sabun
4. Letakkan bayi diatas perlak
5. Buka pakaian bayi di area pusat
6. Bersihkan tali pusat dengan kapas air hangat
7. Keringkan tali pusat dengan handuk tangan
8. Pertahankan sisa tali pusat dalam keadaan terbuka agar terkena
udara dan tutupi dengan kassa steril secara longgar. Lipatlah
popok dibawah sisa tali pusat.
9. Kembalikan bayi ke ibu dan lakukan konseling pasca tindakan
10. Bereskan alat-alat
13
III. PEMERIKSAAN FISIK BAYI BARU LAHIR
1. Ciri Neonatus
Neonatus memiliki ciri berat badan 2700-4000 gram, panjang, panjang 4853 cm,
Lingkar kepala 33-35 cm. Neonatus memiliki frekuensi denyut jantung 120-160 x/menit,
pernapasan 40-60 x/menit, lanugo tidak terlihat dan rambut kepala tumbuh sempurna, kuku
agak panjang dan lemas, nilai APGAR >7, refleks-refleks sudah terbentuk dengan baik.
1) Bunyi jantung dalam menit pertama kira-kira 180/menit yang kemudian turun sampai
140/menit – 120/menit pada waktu bayi berumur 30 menit.
2) Pernapasan cepat pada menit-menit pertama (kira-kira 80/menit) disertai dengan
pernapasan cuping hidung, retraksi suprastenal dan intercostals, serta rintihan hanya
berlangsung 10 sampai 15 menit.
3) Nilai apgar 7-10 (Lihat tabel Apgar Score).
4) Berat badan 2500 gram- 4000 gram.
5) Panjang badan lahir 48-52 cm.
6) Lingkar kepala 33-35cm.
7) Lingkar dada 30-38 cm.
8) Lingkar lengan atas 11 cm.
9) Reflek isap dan menelan sudah terbentuk dengan baik.
10) Reflek moro sudah baik, apabila dikagetkan akan memperlihatkan gerakan memeluk.
11) Grasping reflek sudah baik, apabila diletakan suatu benda di atas telapak tangan, bayi
akan mengengam.
12) Genatalia : labia mayora sudah menutupi labia minora ( pada perempuan).
13) Testis sudah turun di scortum (pada laki-laki).
14) Eliminasi : baik urin, mekonium akan keluar dalam 24 jam pertama.mekonium bewarna
coklat kehijauan.
14
15) Kesadaran
Enam keadaan tentang kesadaran pada bayi baru lahir :
Menangis
Keadaan menangis bayi mengeluarkan aktifitas motorik yang tidak jelas dan aktif
menangis. Tangis yang normal adalah kuat dan keras/nyaring.
Tidur nyenyak
Keadaan tidur tenang bayi jarang bergerak dan pernapasan lambat serta teratur.
Tidur dengan gerakan mata yang tepat (REM, rapid eye movement)
Keadaan tidur REM bayi bernafas tidak teratur dan meringis serta gerakan mata yang
cepat.
Aktif - sadar
Keadaan aktif-sadar, bayi memperlihatkan gerakan tubuh yang aktif dengan ekpresi
wajah tenang atau meringis.
Tenang - sadar
Keadaan sadar-tenang, bayi sadar tapi relaks. Mata terbuka dan terfokus.
Transisional
Keadaan transisional bayi mengalami dari satu keadaan sadar ke keadaan sadar
lainnya.
Karakteristik Khusus Neonatus menurut Hamilton (2005 : 217-221) :
a. Kepala
Kepala neonatus ¼ dari panjang tubuh keseluruhan. Lingkar kepala bayi berkisar
12 ½ inci – 4 inci (31-35,5 cm), pada tulang kepala dapat terjadi saling tindih yang
disebut molding.
15
Diantara 2 tulang atau lebih yang menjadi satu terdapat ruang yang disebut
pontanela (ubun-ubun kecil) denyutan kadang terlihat. Fontanela anterior lebih besar
(bregma) tertutup sampai usia 18 bulan. Fontanela posterior tertutup bulan kedua
pontanela anterior cekung menandakan dehidrasi, fontanel menonjol menunjukkan
peningkatan tekanan intra kranial.
b. Kulit,
kulit bayi sangat halus, merah kehitaman karena tipis dan lapisan lemak
subkutan belum melapisi kapiler. Karakteristik pada kulit bayi berupa:
1) Vernik kaseosa
Berupa pasta seperti keju yang melindungi kulit selama kehidupan di intra
uterin dalam cairan amnion, setelah lahir vernik kaseosa hilang dalam 2 atau 3 hari.
2) Milla
Bintik keputihan khas pada hidung, pipi dan dahi bayi baru lahir, milla
bertahap hilang sekitar 2 minggu.
3) Lanugo
Adalah rambut halus yang terdapat pada bahu, bokong, dan extremitas dan
menghilang selama minggu pertama kehidupan.
4) Eritema toksikum
Ini adalah jenis dari ―alergi kemerahan‖ yang terlihat sebagai bercak-bercak
kemerahan pada kulit bayi normal dan menghilang secara bertahap.
5) Bercak mongolian
Terkadang, terdapat area bercak lebar hitam berpigmen pada bokong atau
bagian bawah bayi dengan warna kulit kuning, menghilang sekitar 1 atau 2 tahun
pertama.
16
6) Tanda lahir (nevi)
Bersifat sementara dan permanen, akibat kelainan struktur pigmen,
pembuluh darah rambut atau jaringan lainnya.
7) Ikterik
Warna kuning pada kulit atau sklera mata disebabkan karena bilirubin
berlebihan dalam darah dan jaringan, imaturitas hepar bayi baru lahir, menghilang
sekitar hari ke tujuh yang biasa disebut ikterik neonatum.
c. Rambut dan kuku
Rambut bayi mungkin panjang dan tebal atau mungkin botak, bulu mata dan
alis terdapat sejak lahir. Kuku jarinya mungkin panjang dan cukup tajam.
d. Payudara
Payudara pada bayi laki-laki dan perempuan mungkin terlihat membesar
karena banyaknya hormon wanita dan darah ibu, kadang mensekresi colostrom.
e. Genetalia
Pada laki-laki testis normalnya turun selam kehidupan intrauterin dan telah
berada pada kantung skrotum pada saat lahir. Pada bayi perempuan labia minora dan
klitorisnya mungkin membengkak saat lahir akibat tingginya hormon wanita dalam
darah ibu. Keluaran lendir putih pada vagina kadang dengan darah (perdarahan
withdrawal). Reflek yang ditemukan pada neonatus yang normal menurut Ladewidg
(2005 : 174) adalah sebagai berikut
17
Reflek normal pada bayi lahir, menurut Ladewidg (2005:174) :
1) Refleks moro
Didapat dengan cara memberikan isyarat (teriakan, gerakan mendadak)
pada bayi. Respon bayi baru lahir berupa menghentakkan tangan dan kaki lurus
kearah ke luar, lutut fleksi dan bayi mungkin menangis.
2) Refleks menggenggam
Didapat dengan cara menstimulasi telapak tangan bayi dengan sebuah
obyek atau jari. Respon bayi berupa menggenggam dan memegang erat.
3) Refleks menghisap
Didapat saat sisi mulut bayi baru lahir atau dagu disentuh. Sebagai respon
bayi akan menoleh dan membuka mulut untuk menghisap obyek.
4) Rotting refleks
Rooting reflex terjadi ketika pipi bayi diusap (dibelai) atau di sentuh
bagian pinggir mulutnya. Sebagai respons, bayi itu memalingkan kepalanya ke
arah benda yang menyentuhnya, dalam upaya menemukan sesuatu yang dapat
dihisap. Refleks menghisap dan mencari menghilang setelah bayi berusia sekitar 3
hingga 4 bulan. Refleks digantikan dengan makan secara sukarela. Refleks
menghisap dan mencari adalah upaya untuk mempertahankan hidup bagi bayi
mamalia atau binatang menyusui yang baru lahir, karena dengan begitu dia dapat
menemukan susu ibu untuk memperoleh makanan.
5) Refleks tonus leher
Reflek tonik leher atau reflek‖ angguk‖ diobservasi pada neonatus dalam
posisi terlentang. Ketika kepala bayi digerakkan ke kiri atau kanan, bayi
membentangkan tangannya kemana kepalanya digerakkan dan menekukkan
18
tangan yang berlawanan. Reflek ini tidak terlihat pada bayi usia 1 hari. Reflek ini
dapat diamati sampai bayi berusia 3-4 bulan. Reflek yang terus menerus pada bayi
yang melebihi usia 4 bulan menunjukkan adanya kelumpuhan pada otak.
1. Skenario Kasus
Seorang ibu usia 24 tahun telah melahirkan bayi laki – laki AS 8 – 9 BB 3000 gr
TB 50 Cm, selanjutnya bayi tersebut akan dilakukan pemeriksaan fisik oleh bidan
2. Petunjuk Praktikum
Lakukan kegiatan praktikum sesuai dengan kasus yang telah tersedia
19
3. Standart Operasional Prosedur
SOP PEMERIKSAAN FISIK BAYI BARU LAHIR
Pengertian Kegiatan pengkajian fisik yang dilakukan oleh bidan terhadap bayi
baru lahir
Tujuan 1. untuk memastikan keadaan fisik bayi baru lahir dalam keadaan
normal atau abnormal
2. Untuk mendeteksi adanya penyimpangan dari normal atau
abnormal
Persiapan 1. Persiapan Tempat
2. Persiapan Alat/Bahan
Prosedur
Tindakan
Tahap Persiapan
1. Justifikasi Identitas klien
2. Menyiapkan peralatan
3. Mencuci tangan
Komunikasi terapeutik:
4. Memperkenalkan diri
5. Menjelaskan pada klien tujuan tindakan yang akan dilakukan
6. Mendapatkan persetujuan klien
7. Mengatur lingkungan sekitar bayi
8. Membantu bayi mendapatkan posisi yang nyaman
20
Tahap Kerja
9. Mengisi status kelahiran (tanggal lahir, jam)
10. Menulis identifikasi Jenis persalinan (spontan/ tindakan,atas
indikasi )
11. Menulis identifikasi penolong persalinan (bidan/ dokter/ dukun/
lain-lain)
12. Menulis evaluasi lama pertolongan persalinan (Kala I, II, III, IV,
berapa jam menit)
13. Menulis komplikasi persaliran dari ibu (HT / Hipotensi, Partus
Lama, Infeksi, KPD, Perdarahan dll)
14. Menulis komplikasi persalinan dari bayi (Prematur/ Postmatur,
Malposisi/ MaIpresentasi, Gawat janin, Ketuban campur
Mekoneum, Prolaps tali Pusat DII)
15. Mencuci tangan dengan sabun dan air
16. Mengeringkan tangan dengan handuk pribadi
17. Memakai sarung tangan
18. Melepas baju bayi, (bayi hanya menggunakan bedong)
19. Melakukan pemeriksaan fisik pada kulit BBL (warna, lanugo,
turgor, verniks kaseosa, oedema, kelainan, dll)
20. Melakukan pemeriksaan AS (APGAR SCORE)
21. Menimbang Berat Badan bayi menggunakan selimut
21
22. Mengukur PB bayi
23. Menghitung suhu tubuh (axiler) BBL
24. Menghitung pernafasan BBL (40 s/d 60 x/menit)
25. Menghitung denyut jantung BBL
26. Pemeriksaan Reflek morro
27. Melakukan pemeriksaan fisik pada kepala BBL (bentuk, UUB,
moulage, caput succedanum, cephal haematoma, perdarahan
intra cranial, dll)
28. Mengukur Lingkar Kepala BBL
29. Mengukur Diameter Kepala (cirkumferensia fronto oksipital/
CFO)
30. Mengukur Diameter Kepala (cirkumferensia mento oksipltalis/
CMO)
31. Mengukur Diameter Kepala (sub oksipito bregmatika/ SOB)
32. Mengukur Diameter Kepala (sub mento bregmatika/ SMB)
33. Mengukur Diameter Kepala (fronto oksipito/ FO)
34. Mengukur Diameter Kepala (mento oksipito/ MO)
35. Melakukan pemeriksaan fisik pada Muka BBL (bentuk, paralisis
syaraf facial, syndrom down)
36. Melakukan pemeriksaan fisik Pada muka BBL (bentuk, kotoran,
22
perdarahan, strabismus, sklera, konjungtiva, reaksi pupil, dll)
37. Melakukan pemeriksaan fisik Pada hidung BBL (bentuk, atresia
koana, mukosa, gerakan ujung hidung, sekresi dan kelainan
lainya)
38. Melakukan pemeriksaan fisik pada mulut BBL (bentuk, palatum
molle, palatum durum, saliva, bibir/ labiopalatoskisis (kelainan
pada daerah mulut, misalnya bibir sumbing)) dan lidah)
39. Memeriksa reflek rooting
40. Memeriksa reflek sucking
41. Memeriksa reflek swallowing
42. Melakukan pemeriksaan fisik pada telinga BBL (bentuk, daun
telinga, sekresi)
43. Melakukan pemeriksaan fisik pada leher BBL (meningokel,
gerakan dll)
44. Mengukur lila BBL
45. Melakukan pemeriksaan fisik pada lengan tangan BBL (bentuk,
pergerakan, kelainan, jumlah jari)
46. Memeriksa Refleks grabs dengan cara menyentuh telapak tangan
bayi
47. Memeriksa reflek tonick neck
48. Melakukan pemeriksaan fisik pada klavikula BBL (bentuk)
23
49. Melakukan pemeriksaan fisik pada dada BBL (bentuk,
pernafasan, ronchi, refraksi, denyut jantung, mur-mur, dll)
50. Mengukur Lingkar Dada Bayi
51. Memeriksa keadaan tali pusat BBL (melihat kondisi tali pusat
(mulai dari teksturnya, kesegarannya, jumlah pembuluh darah
arteri dan vena, serta ada tidaknya tali simpul))
52. Melakukan pemeriksaan fisik pada abdomen BBL (distended,
meteorismus, bising usus, kelainan dll)
53. Melakukan pemeriksaan fisik pada punggung BBL (spinabifida)
54. Melakukan pemeriksaan fisik pada genetalia BBL
Laki-laki: memperlihatkan skrotum, apa sudah turun, penis
berlubang/ tidak
Perempuan: memperhatikan vagina berlubang, labia
mayora/minora sudah tertutup/belum, uretra berlubang
55. Memeriksa sudahkah mengeluarkan urine
56. Melakukan pemeriksaan fisik pada anus BBL ( berlubang/tidak,
mekoneum)
57. Memeriksa sudahkah megeluarkan mekoneum/belum
58. Melakukan pemeriksaan fisik pada tungkai dan kaki BBL
(bentuk, pergerakan, kelainan, jumlah jari)
24
59. Memeriksa reflect Babinski
60. Memeriksa reflek walking
61. Memakaikan pakaian bayi dan menyelimuti bayi
62. Berikan bayi kepada ibunya untuk disusui
Tahap Terminasi
63. Membersihkan dan menyimpan kembali peralatan pada
tempatnya
64. Mencuci tangan
65. Melakukan evaluasi terhadap klien tentang kegiatan yang telah
dilakukan
66. Jelaskan kepada ibu hasil pemeriksaan bayinya
67. Tanyakan apakah klien masih mempunyai pertanyaan
Dokumentasi
68. Dokumentasikan tindakan yang telah dilakukan
25
IV. PEMERIKSAAN TUMBUH KEMBANG
A. KPSP
KUESIONER PRA-SKRINING PERKEMBANGAN (KPSP)
Formulir KPSP adalah alat/instrumen yang digunakan untuk mengetahuiperkembangan
anak normal atau ada penyimpangan. Skrining /pemeriksaan dilakukan oleh tenaga kesehatan,
guru TK dan petugas PADU terlatih.
Jadwal Screening KPSP
Jadwal screening/pemeriksaan KPSP rutin pada umur anak 3, 6, 9, 12, 15, 18, 21, 24,
30, 36, 42, 48, 54, 60, 66, 72 bulan. Jika anak belum mecapai umur skrining tersebut,
mintalah ibu datang kembali pada umur skrining yang terdekat untuk pemeriksaan rutin.Bila
anak berusia diantaranya maka KPSP yang digunakan adalah yang lebih kecil dari usia
anak.Sepertibayi umur umur 7 bulan maka yang digunakan adalah KPSP 6 bulan.Bila anak ini
kemudian sudah berumur 9 bulan yang diberikan adalah KPSP 9 bulan.
Alat/Instrumen Yang Digunakan
1. Formulir KPSP menurut umur. Formulir ini berisi 9-10 pertanyaan tentang
kemampuan perkembangan yang telah dicapai anak. Sasaran KPSP anak umur 0-72
bulan.
2. Alat bantu pemeriksaan berupa pensil, kertas, bola sebesar bola tenis, kerincingan,
kucus berukuran 2,5cm sebanyak 6 buah, kismis, kacang tanah, potongan biscuit
kecil berukuran 0,5-1 cm.
Cara Menggunakan KPSP
1. Pada waktu pemeriksaan anak harus dibawa
2. Tentukan umur anak dengan menjadikan dalam bulan.
- Bila umur anak lebih dari 16 hari dibulatkan menjadi 1 bulan. Contoh : bayi
umur 3 bulan 16 hari dibulatkan menjadi 4 bulan bila umur bayi 3 bulan 15 hari
dibulatkan menjadi 3 bulan
3. Setelah menentukan umur anak pilih KPSP yang sesuai dengan umur anak.
4. KPSP terdiri dari 2 macam pertanyaan, yaitu :
26
o Pertanyaan yang dijawab oleh ibu/pengasuh anak. Contoh : ―dapatkah bayi
makan kue sendiri?‖
o Perintah kepada ibu/pengasuh anak atau petugas untuk melaksanakan tugas
yang tertulis pada KPSP. Contoh : ―pada posisi bayi anda terlentang, tariklah
bayi pada pergelangan tangannya secara perlahan-lahan ke posisi duduk‖
5. Baca dulu dengan baik pertanyaan-pertanyaan yang ada. Bila tidak jelas atau ragu-
ragu tanyakan lebih lanjut agar mengerti sebelum melaksanakan.
6. Pertanyaan dijawab berurutan satu persatu.
7. Setiap pertanyaan hanya mempunyai satu jawaban YA atau TIDAK.
8. Teliti kembali semua pertanyaan dan jawaban.
Intrepetasi Hasil KPSP
1. Hitung jawaban Ya (bila dijawab bisa atau sering atau kadang-kadang)
2. Hitung jawabab Tidak (bila jawaban belum pernah atau tidak pernah)
3. Bila jawaban YA = 9-10, perkembangan anak sesuai dengan tahapan perkembangan
(S)
4. Bila jawaban YA = 7 atau 8, perkembangan anak meragukan (M)
5. Bila jawaban YA = 6 atau kurang, kemungkinan ada penyimpangan (P).
6. Rincilah jawaban TIDAK pada nomer berapa saja.
Intervensi
1. Untuk Anak dengan Perkembangan SESUAI (S)
• Orangtua/pengasuh anak sudah mengasuh anak dengan baik.
• Pola asuh anak selanjutnya terus lakukan sesuai dengan bagan stimulasi
sesuaikan dengan umur dan kesiapan anak.
• Keterlibatan orangtua sangat baik dalam tiap kesempatan stimulasi. Tidak usah
mengambil momen khusus. Laksanakan stimulasi sebagai kegiatan sehari-hari
yang terarah.
• Ikutkan anak setiap ada kegiatan Posyandu.
2. Untuk Anak dengan Perkembangan MERAGUKAN (M)
• Konsultasikan nomer jawaban tidak, mintalah jenis stimulasi apa yang
diberikan lebih sering .
• Lakukan stimulasi intensif selama 2 minggu untuk mengejar ketertinggalan
anak.
27
• Bila anak sakit lakukan pemeriksaan kesehatan pada dokter/dokter anak.
Tanyakan adakah penyakit pada anak tersebut yang menghambat
perkembangannya.
• Lakukan KPSP ulang setelah 2 minggu menggunakan daftar KPSP yang sama
pada saat anak pertama dinilai.
• Bila usia anak sudah berpindah golongan dan KPSP yang pertama sudah bisa
semua dilakukan. Lakukan lagi untuk KPSP yang sesuai umur anak.
Misalnya umur anak sekarang adalah 8 bulan 2 minggu, dan ia hanya bisa 7-8
YA. Lakukan stimulasi selama 2 minggu. Pada saat menilai KPSP kembali gunakan
dulu KPSP 6 bulan. Bila semua bisa, karena anak sudah berusia 9 bulan, bisa
dilaksanakan KPSP 9 bulan.
• Lakukan skrining rutin, pastikan anak tidak mengalami ketertinggalan lagi.
• Bila setelah 2 minggu intensif stimulasi, jawaban masih (M) = 7-8 jawaban
YA. Konsultasikan dengan dokter spesialis anak atau ke rumah sakit dengan fasilitas
klinik tumbuh kembang.
KUESIONER KPSP
(Terlampir)
B. DENVER II
DEFINISI
Perkembangan anak menggambarkan peningkatan kematangan fungsi individu dan
merupakan indikator penting dalam menilai kualitas hidup anak. Oleh karena itu,
perkembangan anak harus dipantau secara berkala. Bayi atau anak dengan risiko tinggi
terjadinya penyimpangan perkembangan perlu mendapat prioritas, antara lain bayi prematur,
berat lahir rendah, riwayat asfiksia, hiperbilirubinemia, infeksi intrapartum, ibu diabetes
melitus, gemeli, dll
Denver II merupakan salah satu alat skrining perkembangan, membantu tenaga
kesehatan atau dokter untuk mengetahui sedini mungkin penyimpangan perkembangan yang
terjadi pada anak sejak lahir sampai berumur 6 tahun.
28
TUJUAN
1. Tujuan Umum
- Mampu melakukan skrining perkembangan dengan cara Denver II secara mandiri
2. Tujuan Khusus
- Menjelaskan pengertian skrining perkembangan
- Mendemonstrasikan menyiapkan skrining perkembangan
- Mendemonstrasikan langkah-langkah tes perkembangan secara berurutan dan
tepat
- Dapat menginterprestasikan hasil tes perkembangan
- Membuat kesimpulan hasil tes perkembangan
- Menjelaskan tindak lanjut pada anak dengan masalah perkembangan
LANGKAH PERSIAPAN
1. Tempat
Tes perkembangan dilakukan di tempat yang tenang/ tidak bising, dan bersih.
Sediakan meja tulis dengan kursinya dan matras.
2 . Perlengkapan Test
Gulungan benang wool berwarna merah (dengan diameter 10 cm)
Kismis
Kerincingan dengan gagang yang kecil
29
10 buah kubus berwarna dengan ukuran 2,5 cm x 2,5 cm
Botol kaca kecil dengan diamater lubang 1,5 cm
Bel kecil
Bola tenis
Pinsil merah
Boneka kecil dengan botol susu
Cangkir plastik dengan gagang/ pegangan
Kertas kosong
SOP KPSP
Pengertian KPSP ( KUESIONER PRA SKRINING PERKEMBANGAN )
adalah alat / instrument yang di gunakakan untuk mengetahui
perkembangan anak,apakah normal atau ada penyimpangan.
Tujuan Sebagai acuan bagi petugas Untuk mengetahui apakah
perkembangan balita atau anak pra sekolah apakah normal/ sesuai atau
ada penyimpangan.
Persiapan 1. Persiapan Tempat
a. Mudah di Akses.
b. Penyiapan Tempat Pelayanan KPSP
c. Penyiapan Pelayanan KPSP
d. Pelaksanaan Pelayanan KPSP
e. Tidak terkena langsung terhadap sinar matahari cukup
terang.
g. Pemantauan Kejadian Ikutan Paska KPSP
30
2. Persiapan Alat/Bahan
Kuesioner (daftar pertanyaan) sesuai umur anak2. Kertas,
pensil,
Bola karet atau plastik seukuran bola tenis,
Kerincingan,
Kubus berukuran sisi 2,5 cm sebanyak 6 buah,
Benda-benda kecil seperti kismis/potongan biskuit kecil
berukuran 0,5-1 cm
Prosedur
Tindakan
Tahap Persiapan
3. Justifikasi Identitas klien
4. Menyiapkan peralatan
Komunikasi terapeutik:
5. Memperkenalkan diri
6. Menjelaskan pada klien tujuan tindakan yang akan dilakukan
7. Mendapatkan persetujuan klien
8. Mengatur lingkungan sekitar anak
9. Membantu anak mendapatkan posisi yang nyaman
Tahap Kerja
10. Petugas melakukan pemeriksaan, yaitu:
a) Menghitung umur anak (tanggal, bulan, tahun)
Bila umur anak lebih 16 hari dibulatkan menjadi 1
bulan. Contoh: bayi umur 3 bulan 16 hari, dibulatkan menjadi
4 bulan. Bila umur bayi 3 bulan 15 hari dibulatkan menjadi 3
31
bulan.
1) Buka kuesioner KPSP sesuai dengan umur anak
2) Menjelaskan tujuan KPSP pada orangtua
3) Menanyakan isi KPSP sesuai urutan atau melaksanakan
perintah sesuai KPSP
4) Interprestasi hasil KPSP
Hitung jawaban Ya (bila dijawab bisa atau sering atau
kadang-kadang)
Hitung jawaban Tidak (bila jawaban belum pernah
atau tidak pernah)
Bila jawaban YA = 9-10, perkembangan anak sesuai
dengan tahapan perkembangan (S)
Bila jawaban YA = 7 atau 8, perkembangan anak
meragukan (M)
Bila jawaban YA = 6 atau kurang, kemungkinan ada
penyimpangan (P).
Rincilah jawaban TIDAK pada nomer berapa saja.
11. Tindak Lanjut
Untuk Anak dengan Perkembangan SESUAI (S)
Orangtua/pengasuh anak sudah mengasuh anak dengan
32
baik.
Pola asuh anak selanjutnya terus lakukan sesuai dengan
bagan stimulasi sesuaikan dengan umur dan kesiapan
anak.
Keterlibatan orangtua sangat baik dalam tiap kesempatan
stimulasi. Tidak usah mengambil momen khusus.
Laksanakan stimulasi sebagai kegiatan sehari-hari yang
terarah.
Ikutkan anak setiap ada kegiatan Posyandu.
Untuk Anak dengan Perkembangan MERAGUKAN (M)
Konsultasikan nomer jawaban tidak, mintalah jenis
stimulasi apa yang diberikan lebih sering .
Lakukan stimulasi intensif selama 2 minggu untuk
mengejar ketertinggalan anak.
Bila anak sakit lakukan pemeriksaan kesehatan pada
dokter/dokter anak. Tanyakan adakah penyakit pada anak
tersebut yang menghambat perkembangannya.
Lakukan KPSP ulang setelah 2 minggu menggunakan
daftar KPSP yang sama pada saat anak pertama dinilai.
Bila usia anak sudah berpindah golongan dan KPSP yang
pertama sudah bisa semua dilakukan. Lakukan lagi untuk
33
KPSP yang sesuai umur anak.
Lakukan skrining rutin, pastikan anak tidak mengalami
ketertinggalan lagi.
Bila setelah 2 minggu intensif stimulasi, jawaban masih
(M) = 7-8 jawaban YA. Konsultasikan dengan dokter
spesialis anak atau ke rumah sakit dengan fasilitasklinik
tumbuh kembang.
Untuk Anak dengan Penyimpangan perkembangan (P)
Segera rujuk ke Rumah Sakit
Tulis jenis dan jumlah penyimpangan perkembangan (mis.
gerak kasar, halus, bicara & bahasa, sosial dan
kemandirian)
Tahap Terminasi
12. Membersihkan dan menyimpan kembali peralatan pada
tempatnya
13. Melakukan evaluasi terhadap klien tentang kegiatan yang telah
dilakukan
14. Jelaskan kepada ibu hasil pemeriksaan anaknya
15. Tanyakan apakah klien masih mempunyai pertanyaan
Dokumentasi
16. Dokumentasikan tindakan yang telah dilakukan kedalam
Rekam Medis, Buku register pasien, Buku KIA, lembar KPSP,
34
kohort bayi dan balita
A. FORMULIR DENVER II
Deteksi dini penyimpangan perkembangan anak umur < 6 tahun, berisi 125 gugus
tugas yang disusun dalam formulir menjadi 4 sektor untuk menjaring fungsi berikut:
1. Personal social (Personal sosial)
Penyesuaian diri dengan masyarakat dan perhatian terhadap kebutuhan
perorangan
2. Fine motor adaptive (Adaptif-Motorik halus)
Koordinasi mata tangan, memainkan, menggunakan benda-benda kecil
3. Language (Bahasa)
Mendengar, mengerti, dan menggunakan bahasa.
4. Gross motor (Motorik kasar)
Duduk, jalan, melompat, dan gerakan umum otot besar
- Skala umur tertera pada bagian atas formulir yang terbagi dari umur dalam bulan dan
tahun, sejak lahir sampai berusia 6 tahun.
- Setiap ruang antara tanda umur mewakili 1 bulan, sampai anak berumur 24 bulan.
Kemudian mewakili 3 bulan, sampai anak berusia 6 tahun.
- Pada setiap tugas perkembangan yang berjumlah 125, terdapat batas kemampuan
perkembangan yaitu 25%; 50% dan 90% dari populasi anak lulus pada tugas
perkembangan tersebut.
6 9 12 15
25% 50% 75% 90%
Berjalan dg baik
35
- Pada contoh diatas menunjukkan bahwa 25% populasi anak sudah dapat berjalan dengan
baik pada usia 11 bulan lebih, 50% pada usia 12 1/3 bulan. Pada ujung sebelah kiri dari
daerah hitam menunjukkan bahwa 75% populasi sudah dapat berjalan dengan baik pada
usia 13 ½ bulan, pada ujung kanan dari daerah hitam menunjukkan 90% populasi anak
sudah dapat berjalan dg baik pada usia 15 bulan kurang.
- Pada beberapa tugas perkembangan terdapat huruf dan angka pada ujung kotak sebelah
kiri:
o R (report) = L (laporan) artinya tugas perkembangan tersebut dapat lulus berdasarkan
laporan dari orang tua/ pengasuh. Akan tetapi apabila memungkinkan maka penilai
dapat memperhatikan apa yang bisa dilakukan oleh anak.
o Angka kecil menunjukkan tugas yang harus dikerjakan sesuai dengan nomor yang ada
pada formulir.
B. LANGKAH PELAKSANAAN
1. Sapa orang tua/ pengasuh dan anak dengan ramah
2. Jelaskan tujuan dilakukan tes perkembangan, jelaskan bahwa tes ini bukan untuk
mengetahui IQ anak.
3. Buat komunikasi yang baik dengan anak.
4. Hitung umur anak dan buat garis umur
- Instruksi umum: catat nama anak, tanggal lahir, dan tanggal pemeriksaan pada
formulir.
- Umur anak dihitung dengan cara tanggal pemeriksaan dikurangi tanggal lahir.
(1 thn = 12 bulan; 1 bulan = 30 hari; 1 minggu = 7 hari)
Tahun Bulan Hari
Tgl pemeriksaan (26/4-12) ……………… 12….……4………….26
Tgl lahir (20/2-11)……….………………..-11……...-2…...……-20
Umur anak : …………………………….…1............2…………..6
.....…………………………………..…………………14
Tgl pemeriksaan (11/3-12)………….…….12….……3…….…….11
Tgl lahir (20/7-11)……….………………..-11…...….-7…………-20
R
1
36
Umur anak………………………………….0……….7……...…..21
5. Bila anak lahir prematur, koreksi faktor prematuritas
Untuk anak yang lahir lebih dari 2 minggu sebelum tanggal perkiraan dan
berumur kurang dari 2 tahun, maka harus dilakukan koreksi.
(1 thn = 12 bulan; 1 bulan = 30 hari; 1 minggu = 7 hari)
Tahun Bulan Hari
Tanggal pemeriksaan (11/3-12) ……………12….……3………….11
Tanggal lahir (4/2-11)......……………………11……….2…………..4
Umur anak:.........................…………………..1……….1…………..7
Prematur 6 minggu .....................……………………...-1……..…-14
Umur yang sudah dikoreksi …………………11……..…23
6. Tarik garis umur dari garis atas ke bawah dan cantumkan tanggal pemeriksaan pada
ujung atas garis umur.
9-9-2004
6 9 12 15
-------------------------------------------------------------------------------------------
Umur anak 13 ½ bulan, tgl pemeriksaan 9 Sept 2004
7. Lakukan tugas perkembangan untuk tiap sektor perkembangan dimulai dari sektor
yang paling mudah dan dimulai dengan tugas perkembangan yang terletak di sebelah
kiri garis umur, kemudian dilanjutkan sampai ke kanan garis umur.
a. Pada tiap sektor dilakukan minimal 3 tugas perkembangan yang paling dekat di
sebelah kiri garis umur serta tiap tugas perkembangan yang ditembus garis umur
b. Bila anak tidak mampu untuk melakukan salah satu ujicoba pada langkah i
(―gagal‖; ―menolak‖; ―tidak ada kesempatan‖), lakukan ujicoba tambahan ke
sebelah kiri garis umur pada sektor yang sama sampai anak dapat ―lulus‖ 3 tugas
perkembangan
c. Bila anak mampu melakukan salah satu tugas perkembangan pada langkah i,
lakukan tugas perkembangan tambahan ke sebelah kanan garis umur pada sektor
yang sama sampai anak ‖gagal‖ pada 3 tugas perkembangan.
37
8. Beri skor penilaian
Skor dari tiap ujicoba ditulis pada kotak segi empat.
- P: Pass/ lulus. Anak melakukan ujicoba dengan baik, atau ibu/ pengasuh anak
memberi laporan anak dapat melakukannya.
- F: Fail/ gagal. Anak tidak dapat melakukan ujicoba dengan baik atau
ibu/pengasuh anak memberi laporan anak tidak dapat melakukannya dengan
baik.
- No: No opportunity/ tidak ada kesempatan. Anak tidak mempunyai
kesempatan untuk melakukan uji coba karena ada hambatan. Skor ini hanya
boleh dipakai pada ujicoba dengan tanda R.
- R: Refusal/ menolak. Anak menolak untuk melakukan ujicoba.
9. Selama tes perkembangan, amati perilaku anak. Apakah ada perilaku yang khas,
bandingkan dengan anak lainnya. Bila ada perilaku yang khas tanyakan kepada orang
tua/ pengasuh, apakah perilaku tsb merupakan perilaku sehari-hari yang dimiliki anak
tsb. Bila tes perkembangan dilakukan sewaktu anak sakit, merasa lapar. dll dapat
memberikan perlaku yang menghambat tes perkembangan
TEST PERILAKU
- Khusus
- Patuh
- Tertarik sekeliling
- Ketakutan
- Lama perhatian
C. INTERPRETASI PENILAIAN INDIVIDU
1. Lebih (advanced)
Bilamana lewat pada ujicoba yang terletak di kanan garis umur, dinyatakan
perkembangan anak lebih pada ujicoba tsb.
garis umur
P
38
2. Normal
Bila gagal atau menolak melakukan tugas perkembangan disebelah kanan garis
umur, dikatagorikan sebagai normal.
garis umur garis umur
Demikian juga bila anak lulus (P), gagal (F) atau menolak (R) pada tugas
perkembangan dimana garis umur terletak antara persentil 25 dan 75, maka
dikatagorikan sebagai normal.
garis umur garis umur garis umur
3. Caution/ peringatan
Bila seorang anak gagal (F) atau menolak (R) tugas perkembangan, dimana
garis umur terletak pada atau antara persentil 75 dan 90
C C C
4. Delayed/keterlambatan
Bila seorang anak gagal (F) atau menolak (R) melakukan ujicoba yang terletak
lengkap disebelah kiri garis umur.
5. No Opportunity/ tidak ada kesempatan.
Pada tugas perkembangan yang berdasarkan laporan, orang tua melaporkan
bahwa anaknya tidak ada kesempatan untuk melakukan tugas perkembangan tsb. Hasil
ini tidak dimasukkan dalam mengambil kesimpulan.
F R
P F R
F F R C
R
NO
R
F
NO
39
40
LANGKAH MENGAMBIL KESIMPULAN
1. Normal
- Bila tidak ada keterlambatan dan atau paling banyak satu caution.
- Lakukan ulangan pada kontrol berikutnya.
2. Suspect/ Suspek
- Bila didapatkan > 2 caution dan/atau > 1 keterlambatan.
- Lakukan uji ulang dalam 1-2 minggu untuk menghilangkan faktor sesaat
seperti rasa takut, keadaan sakit atau kelelahan
3. Untestable/ Tidak dapat diuji
- Bila ada skor menolak pada > 1 uji coba terletak disebelah kiri garis umur atau
menolak pada > 1 uji coba yang ditembus garis umur pada daerah 75-90%
- Lakukan uji ulang dalam 1 -2 minggu
D. TINDAK LANJUT
SKRINING PERKEMBANGAN
SUSPEK/CURIGA ADA GANGGUAN NORMAL
EVALUASI UNTUK DIAGNOSTIK MONITORING/STIMULASI
(Development Assesment)
MASALAH PERKEMBANGAN NORMAL
INTERVENSI DINI MONITOR/STIMULASI
E. PENUTUP
Beri pujian kepada orang tua atau pengasuh atas tindakannya membawa anak
untuk dilakukan tes perkembangan
41
Beri penjelasan mengenai hasil tes perkembangan, kapan harus kembali,
anjuran di rumah dan apabila ada anjuran tindak lanjut
Ucapkan terima kasih atas kunjungannya
1. Petunjuk Praktikum
Berdasarkan skenario kasus maka selanjutnya mahasiswa praktikan melakukan
kegiatan KIE secara lengkap terhadap pasien.
2. Standart Operasional Prosedur
PEMERIKSAAN DENVER
Pengertian Salah satu metode screening terhadap kelainan perkembangan
anak. Tes ini bukanlah tes diagnostic atau tes IQ
Tujuan Untuk menaksir perkembangan personal sosial, motorik halus,
bahasa dan motorik kasar pada anak umur 1 bulan sampai 6
tahun
Persiapan
Alat/Bahan
1. Persiapan Tempat
a. Mudah di Akses.
b. Penyiapan Tempat Pelayanan DDST
c. Penyiapan Pelayanan DDST
d. Pelaksanaan Pelayanan DDST
e. Tidak terkena langsung terhadap sinar matahari cukup
terang.
g. Pemantauan Kejadian Ikutan Paska DDST
Persiapan Alat-alat
1. Formulir pencatatan DDST
2. Benang wol
3. Manik-manik dan botol
4. Boneka
5. Bola
6. Kertas dan pensil
7. Alat permainan sesuai usia
42
Prosedur
Tindakan
Tahap Persiapan
1. Justifikasi Identitas klien
2. Menyiapkan peralatan
3. Mencuci tangan
Komunikasi terapeutik:
1. Memperkenalkan diri
2. Menjelaskan pada klien tujuan tindakan yang akan
dilakukan
3. Mendapatkan persetujuan klien
4. Mengatur lingkungan sekitar klien
5. Membantu klien mendapatkan posisi yang nyaman
Tahap Kerja
Pelaksanaan
1. Tentukan usia anak
(<15 hari dibulatkan kebawah, ≥ 15 hari dibulatkan keatas)
2. Beri garis vertical pada form DDST sesuai usia anak
(memotong semua kotak-kotak tugas perkembangan pada
semua sector)
3. Lakukan penilaian sector motorik kasar, bahasa, motorik
halus dan personal social pada sebelah kiri garis vertical
secara bergantian (tidak harus berurutan)
4. Selanjutnya nilai juga tugas perkembangan setiap kotak
yang terpotong garis vertical pada setiap sector
5. Beri tanda P (Passed) didepan kotak tugas perkembangan
bila anak mampu melaksanakan. Beri tanda F (Fail) bila
anak tidak mampu dan R (Refused) bila anak menolak
6. Lakukan penilaian selesai pemeriksaan
a. Abnormal
Jika ada ≥2 keterlambatan pada sektor / lebih
Jika satu sektor ada > 2 keterlambatan 1> sektor dengan
1 keterlambatan 1 sektor yang sama tidak ada yang
lulus pada kotak yang berpotongan garis vertikal
43
b. Meragukan
Jika pada 1 sektor didapatkan 2 keterlambatan atau lebih
Jika pada 1 sektor atau lebih didapatkan 1 keterlambatan
dan pada sektor yang sama tidak ada yang lulus pada
kotak yang berpotongan dengan garis vertikal usia
c. Tak dapat dites
Apabila terjadi penolakan yang menyebabkan hasil tes
menjadi
abnormal atau meragukan
d. Normal semua
Semua yang tidak tercantum dalam kriteria diatas
Tahap Terminasi
1. Membersihkan dan menyimpan kembali peralatan pada
tempatnya
2. Mencuci tangan
3. Melakukan evaluasi terhadap klien tentang kegiatan yang
telah dilakukan
4. Minta klien mengulangi instruksi sambil menanyakan ada
hal – hal yang belum dimengerti
5. Tanyakan apakah klien masih mempunyai pertanyaan
6. Beritahukan kepada klien untuk kembali tiap waktu apabila
ia mempunyai masalah atau pertanyaan
7. Ucapkan terima kasih dan minta klien untuk kembali lagi
Dokumentasi
1. Dokumentasikan tindakan yang telah dilakukan
2. Melakukan konseling akhir (jangan lupa sampaikan, kapan
ibu harus kembali)
44
V. IMUNISASI
Imunisasi yang diwajib
Imunisasi Wajib inilah ada 5 jenis imunisasi yang wajib diperoleh bayi sebelum usia
setahun. Penyakit-penyakit yang hendak dicekalnya memiliki angka kesakitan dan kematian
yang tinggi, selain bisa menimbulkan kecacatan.
1. Imunisasi BCG
a) Definisi Vaksin BCG
BCG (Bacillus calmet-Guerin) berasal dari strain bovinum M. tuberculosis
yang dikultur Calmette dan Guerin 1906. Mereka menyelidiki bahwa bila empedu
ditambahkan ke medium tempat tumbuhnya bakteri ini maka kelompok
mikroorganisme akan tersebar dan terjadi perubahan di dalam bentuk dan
virulensinya. Mereka mendalilkan bahwa subkultur lama di dalam medium yang
mengandung empedu menghasilkan suatu strain vaksin yang dilemahkan sesudah
selama 1-3 tahun.
Vaksin bcg atau pemberian imunisasi bcg bertujuan untuk menimbulkan
kekebalan aktif terhadap penyakit Tuberculosis (TBC). Vaksin bcg mengandung
kuman bcg yang masih hidup. Jenis kuman TBC ini telah dilemahkan. Seorang
anak menderita TBC karena terhisapnya percikan udara yangmengandung kuman
TBC, yang berasal dari orang dewasa berpenyakit TBC.Mungkin juga bayi sudah
terjangkit penyakit TBC sewaktu lahir. Ia terinfeksi kuman TBC sewaktu masih
dalam kandungan, bila ibu mengidap penyakit TBC. Pada anak yang terinfeksi,
kuman TBC dapat menyerang berbgai alat tubuh yangdiserangnya adalah peru
(paling sering), kelenjar getah bening, tulang, sendi, ginjal, hati, atau selaput otak.
45
Vaksin BCG menimbulkan sensitivitas terhadap tuberkulin. Efek proteksi
timbul 8-12 minggu setelah penyuntikan. Efek proteksi bervariasi antara 0-80%.
Hal ini mungkin tergantung jenis vaksin yang dipakai, lingkungan dengan
Mycobacterium atipik, atau faktor penjamu
b) Fungsi Imunisasi BCG
Imunisasi BCG merupakan pemberian vaksin yang mengandung kuman TBC
yang telah dilemahkan. BCG juga merupakan imunisasi yang diberikan untuk
menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit tuberkulosis (TBC) yaitu penyakit
paru-paru yang sangat menular. Imunisasi ini berguna untuk mencegah terjadinya
penyakit TBC yang primer atau yang ringan dan juga TBC yang berat seperti TBC
pada selaput otak, TBC milier yaitu pada seluruh lapangan paru dan TBC tulang
(Maryunani Anik, 2010).
Imunisasasi BCG merupakan vaksin yang digunakan di Indonesia yang
diproduksi oleh PT. Biofarma Bandung. Vaksin ini berisi suspensi Mycobacterium
bovis hidup yang sudah dilemahkan. Vaksin BCG tidak mencegah infeksi
tuberkulosis tetapi mengurangi resiko tuberkulosis berat seperti meningitis
tuberkulosa dan tuberkulosis milier (Ranuh dkk, 2011).
c) Sifat Imunisasi BCG
Vaksin BCG merupakan vaksin yang sensitif terhadap panas atau heat
sensitive yaitu golongan vaksin yang akan rusak jika terpapar dengan suhu panas
yang belebihan. Vaksin yang bersifat seperti ini antara lain vaksin polio, vaksin
BCG dan vaksin campak (Dwi Andhini dan Proverawati, 2010). Penyimpanan
Imunisasi BCG Menurut WHO dalam Ranuh dkk (2011) penyimpanan vaksin BCG
dalam thermostability of vaccines umur vaksin dapat bertahan sampai 1 tahun
46
dengan suhu penyimpanan 2-8°C dan pada suhu beberapa °C di atas suhu udara
luar atau ambient temperature lebih dari 34 drj C.
Vaksin BCG berbentuk bubuk kering harus dilarutkan dengan 4 cc NaCL 0,9
%. Setelah dilarutkan atau setelah vaksin dibuka harus segera dipakai dalam waktu
3 jam, sisanya dibuang. Penyimpanan pada suhu lebih dari5°C terhindar dari sinar
matahari atau indoor day light (Marimbi Hanum, 2010).
d) Waktu Pemberian
Dibawah 2 bulan. Jika baru diberikan setelah usia 2 bulan, disarankan tes
Montoux (tuberculin) dahulu untuk mengetahui apakah pada bayi telah terdapat
kuman Mycrobacterium tuberculosis atau belum. Vaksinasi dilakukan bila hasil
tesnya negatif. Jika ada penderita TB yang tinggal serumah atau sering bertandang ke
rumah, segera setelah lahir bayi harus di imunisasi BCG.
e) Pemberian Imunisasi BCG dan Dosis
Menurut WHO dan International Union Againts Tuberculosis and Lung
Disease dalam buku Miller Fred dkk (2002) bahwa di negara-negara dengan
prevalensi tuberkulosis yang tinggi hendaknya BCG diberikan secara rutin kepada
semua bayi tetapi dengan beberapa pengecualian, misalnya pada AIDS yang aktif.
Dosis normal adalah 0,05 ml untuk neonatus dan bayi di bawah 1 tahun dan 0,1 ml
untuk anak lebih dari 1 tahun dan orang dewasa. Frekuensi pemberian imunisasi
BCG adalah satu kali dan tidak perlu diulang (booster). Sebab, vaksin BCG berisi
kuman hidup sehingga antibodi yang dihasilkannya tinggi terus. Berbeda dengan
vaksin yang berisi kuman mati, hingga memerlukan pengulangan (Maryunani Anik,
2010).
47
f) Cara Pemberian Imunisasi BCG
Sesuai anjuran WHO cara pemberian imunisasi BCG adalah melalui
intradermal dengan lokasi penyuntikan pada lengan kanan atas atau penyuntikan
pada paha kanan. Imunisasi BCG disuntikkan secara intrakutan didaerah lengan
kanan atas. Disuntikkan ke dalam lapisan kulit dengan penyerapan pelan-pelan.
Dalam memberikan suntikan intrakutan, agar dapat dilakukan dengan tepat, harus
menggunakan jarum pendek yang sangat halus dengan panjang jarum 10 mm dan
ukuran jarum 26 mm. Kerjasama antara Ibu dengan petugas imunisasi sangat
diharapkan, agar pemberian vaksin berjalan dengan tepat (Dwi Andhini dan
Proverawati, 2010). Penyuntikan imunisasi BCG ini sebaiknya diberikan pada
muskular deltoid kanan atau lengan kanan atas sehingga bila terjadi limfadenitis
pada aksila akan lebih mudah terdeteksi. Vaksin BCG disuntikkan pada intrakutan
didaerah muskular deltoid karena vaksin BCG lapisan chorium kulit sebagai depo
berkembang biak reaksi indurasi, eritema, pustula. Bayi kulitnya tipis jadi cocok
disuntikkan secara intrakutan dibandingkan suntikan secara subkutan yang terlalu
dalam disuntikkan pada bayi (Marimbi Hanum, 2010).
g) Kontra indikasi :
Tidak dapat diberikan pada anak yang berpenyakit TB atau menunjukan
mantoux positif. Adanya penyakit kulit yang berat dan menahun seperti : eksim,
furunkulosis dan sebagainya
48
h) Efek Samping:
Imunisasi BCG tidak menimbulkan reaksi yang bersifat umum seperti demam.
Setelah 1-2 minggu akan timbul indurasi dan kemerahan ditempat suntikan yang
berubah menjadi pustula, kemudian pecah menjadi luka. Luka tidak perlu
pengobatan, akan sembuh secara spontan dan meninggalkan tanda parut. Kadang-
kadang terjadi pembesaran kelenjar regional di ketiak dan atau leher, terasa padat
tidak sakit dan tidak menimbulkan demam. Reaksi ini normal tidak memerlukan
pengobatan dan akan menghilang dengan sendirinya.
SOP IMUNISASI BCG
Pengertian Pemberian imunisasi BCG adalah menyiapkan dan memberikan
obat tertentu melalui suntikan ke dalam jaringan kulit pada bayi
umur 0 bln – 12 bln yang dilakukan pada lengan kanan atas.
Tujuan Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk memberikan
kekebalan agar anak mempunyai daya tahan terhadap penyakit
Tuberkulosis.
Persiapan 3. Persiapan Tempat
a. Mudah di Akses.
b. Penyiapan Tempat Pelayanan Imunisasi
c. Penyiapan Pelayanan Imunisasi
d. Pelaksanaan Pelayanan Imunisasi
49
e. Tidak terkena langsung terhadap sinar matahari Cukup terang.
f. Pemantauan Kejadian Ikutan Paska Imunisasi.
4. Persiapan Alat/Bahan
a. Vaksin BCG (Bacillus Calmette Guerin)
b. Pelarut BCG
c. Termos / Vaccine Carrier.
d. Cool Pack / kotak dingin cair.
e. Alat suntik (spuit 0,05ml, spuit 5ml ).
f. Pemotong Ampul pelarut.
g. Safety Box.
h. Kapas basah dan wadah.
i. Bahan penyuluh.
j. Alat tulis.
k. Kartu Imunisasi/ KMS.
l. Buku Regester bayi, anak, BIAS dan Bumil.
m. Tempat sampah
n. Sabun untuk cuci tangan.
3. Sebelum melakukan Imunisasi harus diyakini bahwa vaksin
mencukupi dan aman untuk diberikan dengan prosedur sebagai
berikut :
a. Periksa vaksin dan pelarut,jika label rusak atau tidak ada
jangan gunakan.
b. Periksa alat pemantau vaksin (VVM),jika label vaksin
menunjukkan kriteria C dan D jangn digunakan.
50
c. Periksa tanggal kadaluarsa,jangan gunakan vaksin dan
pelarut jika kadaluarsa.
d. Periksa dan pastikan suhu lemari es menunjukkan suhu 2 – 8
derajat celsius.
e. Selama pelayanan imunisasi, vaksin dan pelarut harus dalam
vaksin carrier dengan menggunakan Cool Pack agar suhu
vaksin tetap terjaga pada suhu 2 – 8 derajad celcius.
f. Hindari Vaccine Carrier yang berisi vaksin dari sinar
matahari.
g. Sebelum sasaran datang vaksin dan pelarut harus tersimpan
dalam Vaccine Carrier yang tertutup rapat.
h. Jangan membuka vaksin atau pelarut vaksin bila belum ada
sasaran.
i. Pada saat melarutkan vaksin pastikan vaksin dan pelarut
pada suhu yang sama.
j. Tidak diperbolehkan membuka vaksin baru sebelum vaksin
yang terbuka/terpakai habis.
k. Vaksin yang terpakai diletakkan di lubang busa yang
terdapat di dalam atas vaccine carrier dan tertutup rapat.
l. Dalam setiap vaccine carrier terdapat empat Cool Pack.
m. Selain pada pelayanan Statis sisa vaksin tidak dapat
dipergunakan lagi.
Prosedur
Tindakan
Tahap Persiapan
69. Justifikasi Identitas klien
51
70. Menyiapkan peralatan
71. Mencuci tangan
Komunikasi terapeutik:
72. Berikan salam dengan ramah dan akrab
73. Memperkenalkan diri
74. Tanyakan pada ibu/keluarga tujuan dari kunjungan
75. Tanyakan apakah ibu/keluarga telah mendapat penyuluhan
tentang imunisasi
76. Menjelaskan pada klien tujuan tindakan yang akan
dilakukan
77. Mendapatkan persetujuan klien
78. Mengatur lingkungan sekitar bayi
79. Membantu bayi mendapatkan posisi yang nyaman
Tahap Kerja
12. Mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, kemudian
keringkan dengan handuk kering
13. Peganglah ampul antara ibu jari dengan jari tengah,
pergunakan telunjuk untuk menyangga leher ampul,
gergajilah leher ampul.
14. Patahkan leher ampul dengan, hati — hati, leher ini akan
patah apabila sudah terbuat goresan, ambil pelarut.
15. Ambilah spuit 5 cc dan jarum yang steril, spuit dan jarum ini
hanya dipergunakan untuk oplos, bukan untuk suntikan,
sedotlah pelarut
52
16. Sebelum ampul dibuka, ketuk — ketuklah agar semua
serbuk vaksin turun, apabila ini tidak dilakukan
kemungkinan vaksin akan berkurang sewaktu mematahkan
leher ampul.
17. Bersihkan bagian lehen ampul dengan kapas lembab steril,
hal ini adalah untuk menghilangkan serbuk gelas dan
rnencegah jangan sampai masuk kedalam vaksin, patahkan
leher ampul
18. Masukkan pelarut yang berada pada spuit 5 cc kedalam
ampul vaksin,
19. Hisap vaksin pelan - pelan, dan suntikkan kembali ke dalam
ampul beberapa kali sampai vaksin tercampur
20. Sediakan spuit BCG untuk pemberian vaksin BCG
Mengisi spuit
21. Masukkan jarum ke dalam ampul yang telah dibuka, hisap
vaksin sebanyak 0,05 cc
22. Keluarkan udara dengan posisi spuit tegak lurus, bila udara
telah terkumpul dibagian atas, doronglah pisionnya sampai
gelembung udara dan sedikit vaksin keluar, dan vaksin tepat
pada skala 0,05cc
23. Sapa ibu dan jelaskan cara memegang bayi ―bila bayi baru
lahir tidak rnemerlukan pegangan yang terlalu kuat‖
24. Membuka pakaian, penutup lengan kanan bayi
25. Peganglah lengan kanan atas bayi dengan tangan kiri
53
26. Tentukan lokasi penyuntikan yaitu : 1/3 bagian lengan kanan
atas (intertia musculuc deItoideus)
27. Bersihkan lengan dengan kapas DTT
28. Pegang semprit dengan tangan kanan, lubang jarurn
menghadap keatas, Ietakkan jarum hampir sejajar dengan
lengan kanan anak
29. Tusuk jarum kedalam kulit secara intracutan, usahakan
sedikit mungkin melukai kulit, masukkan vaksin 0,05 cc dan
cabut jarum setelah semua vaksin Masuk
30. Jelaskan pada ibu tentang reaksi yang akan tirnbul setelah
penyuntikkan
31. Jelaskan pada ibu bila timbul infeksi:
32. Pembengkakan lokasi penyuntikkan tidak boleh diberi obat
apapun, cukup hanya ditutup dengan pembalut kering, bila
pembengkakan sangat besar dan terjadi pembengkakan
disekitar ketiak bawalah anak tersebut ke Puskesmas/ RS/
dokter untuk mendapatkan pengobatan
Tahap Terminasi
33. Membersihkan dan menyimpan kembali peralatan pada
tempatnya
34. Mencuci tangan
35. Melakukan evaluasi terhadap klien tentang kegiatan yang
telah dilakukan
36. Jelaskan kepada ibu hasil pemeriksaan bayinya
54
37. Tanyakan apakah klien masih mempunyai pertanyaan
Dokumentasi
38. Mencatat dalam KMS/ kartu kontrol bayi, ucapkan salam
dan terima kasih
39. Beritahukan kepada ibu kapan ia harus datang kembali
2. Imunisasi Hepatitis B
a) Definisi Hepatitis B
Menurut Ling dan Lam (2007) Hepatitis B adalah infeksi yang terjadi pada hati
yang disebabkan oleh Virus Hepatitis B (VHB). Penyakit ini bisa menjadi kronis atau
akut dan dapat pula menyebabkan radang hati, gagal hati, sirosis hati, kanker hati, dan
kematian.
Menurut Wening S, dkk (2008), Hepatitis B merupakan tipe hepatitis yang
berbahaya. Penyakit ini lebih sering menular dibandingkan hepatitis jenis lainnya.
Hepatitis B menular kontak darah atau cairan tubuh yang mengandung virus hepatitis
B (VHB).
b) Etiologi Penyakit Hepatitis B
Menurut National Institutes of Health (2006) etiologi Hepatitis B adalah virus
dan disebut dengan Hepatitis B Virus (VHB). Virus ini pertama kali ditemukan oleh
Blumberg pacta tahun 1965 dan di kenal dengan nama antigen Australia. Virus ini
termasuk DNA virus.
Virus hepatitis B berupa partikel dua lapis berukuran 42 nm yang disebut
"Partikel Dane". Lapisan luar terdiri atas antigen HBsAg yang membungkus partikel
55
inti (core). Pada inti terdapat DNA VHB Polimerase. Pada partikel inti terdapat
Hepatitis B core antigen (HBcAg) dan Hepatitis B antigen (HBeAg). Antigen
permukaan (HBsAg) terdiri atas lipo protein dan menurut sifat imunologik proteinnya
virus Hepatitis B dibagi menjadi 4 subtipe yaitu adw, adr, ayw dan ayr. Subtipe ini
secara epidemiologis penting, karena menyebabkan perbedaan geografik dan rasial
dalam penyebarannya.
Misnadiarly (2007) menguraikan VHB terbungkus serta mengandung genoma
DNA melingkar. Virus ini merusak fungsi lever dan sambil merusak terus berkembang
biak dalam sel-sel hati (hepatocytes). Akibat serangan itu sistem kekebalan tubuh
kemudian memberi reaksi dan melawan. Kalau tubuh berhasil melawan maka virus
akan terbasmi habis, tetapi jika gagal virus akan tetap tinggal dan menyebabkan
Hepatitis B kronis dimana pasien sendiri menjadi karier atau pembawa virus seumur
hidupnya (Misnadiarly, 2007).
c) Manifestasi Klinik Hepatitis B
Infeksi Hepatitis B yang akut akan terjadi dalam waktu 30 sampai 180 hari
setelah virus memasuki tubuh. Pengaruh infeksi Hepatitis B banyak kasus yang tidak
menunjukkan gejala klinis yang khas. Namun, pada sebagian orang akan
menunjukkan gejala klinis yang klasik seperti dimulai dengan gejala prodromal atau
gejala pertama yang dirasakan oleh pasien adalah demam tidak terlalu tinggi,
rasa tidak selera makan, mual, dan kadang-kadang muntah. Gejala lain juga akan
terjadi rasa lemas, sakit kepala, rasa takut cahaya, sakit menelan, batuk, dan pilek.
Gejala Hepatitis B sangat mirip dengan flu, dimana 1 sampai 2 minggu
kemudian barulah timbul kuning pada seluruh badan penderita. Saat ini biasanya
penderita sudah pergi berobat karena merasa ada kelainan pada tubuhnya yang
56
berwarna kuning. Warna kuning ini diikuti oleh perubahan fungsi hati (biasanya
meningkat) pada pemeriksaan laboratorium. Fungsi hati biasanya digambarkan oleh
kenaikan SGOT dan SGPT. Satu sampai lima hari sebelum badan kuning, keluhan
kencing seperti teh pekat dan warna buang air besar yang pucat seperti diliputi lemak
juga dirasakan oleh penderita.
Pada saat badan kuning, biasanya diikuti pula dengan oleh pembesaran
hati dan diikuti oleh rasa sakit bila ditekan di bagian perut kanan atas. Setelah gejala
tersebut akan timbul fase resolusi yang biasanya berada dalam rentang waktu 2 –
12 minggu. Pada fase ini, badan kuning dan ukuran hati berangsur kembali normal.
Demikian juga dengan kenaikan fungsi hati dari hasil pemeriksaan laboratorium
akan berangsur-angsur mencapai normal kembali.
Hepatitis B akut tidak ada komplikasi, akan mengalami resolusi lengkap
berkisar 3 sampai dengan 4 bulan. Bila fungsi hati ini tidak mencapai normal dalam
waktu 6 bulan atau lebih, maka inilah yang dikatakan dengan Hepatitis B
kronis (Zain, 2006).
d) Pengobatan Hepatitis B
Penderita yang diduga terkena penyakit Hepatitis B, untuk kepastian diagnosa yang
ditegakkan maka akan dilakukan pemeriksaan darah. Setelah diagnosa ditegakkan
sebagai Hepatitis B, maka ada cara pengobatan untuk hepatitis B, yaitu pengobatan telan
(oral) dan secara injeksi.
(1)Pengobatan oral yang terkenal adalah:
a. Pemberian obat Lamivudine dari kelompok nukleosida analog, yang dikenal dengan
nama 3TC. Obat ini digunakan bagi dewasa maupun anak-anak, Pemakaian obat ini
cenderung meningkatkan enzyme hati (ALT) untuk itu penderita akan mendapat
monitor bersinambungan dari dokter.
57
b. Pemberian obat Adefovir dipivoxil (Hepsera). Pemberian secara oral akan lebih
efektif, tetapi pemberian dengan dosis yang tinggi akan berpengaruh buruk
terhadap fungsi ginjal.
c. Pemberian obat Baraclude (Entecavir). Obat ini diberikan pada penderita Hepatitis
B kronik, efek samping dari pemakaian obat ini adalah sakit kepala, pusing, letih,
mual dan terjadi peningkatan enzyme hati. Tingkat keoptimalan dan kestabilan
pemberian obat ini belum dikatakan stabil.
(2)Pengobatan dengan injeksi/ suntikan adalah:
Pemberian suntikan Microsphere yang mengandung partikel radioaktif pemancar
sinar ß yang akan menghancurkan sel kanker hati tanpa merusak jaringan sehat di
sekitarnya. Injeksi Alfa Interferon (dengan nama cabang INTRON A, INFERGEN,
ROFERON) diberikan secara subcutan dengaan skala pemberian 3 kali dalam
seminggu selama 12-16 minggu atau lebih.
Efek samping pemberian obat ini adalah depresi, terutama pada penderita yang
memilki riwayat depresi sebelumnya. Efek lainnya adalah terasa sakit pada otot-otot,
cepat letih dan sedikit menimbulkan demam yang hal ini dapat dihilangkan dengan
pemberian paracetamol.
2. Pencegahan Penyakit
Pencegahan penyakit dapat dilakukan melalui immunisasi baik aktif maupun
pasif.
a. Immunisasi Aktif
Pada negara dengan prevalensi tinggi, immunisasi diberikan pada bayi yang
lahir dari ibu HBsAg positif, sedang pada negara yang prevalensi rendah
58
immunisasi diberikan pada orang yang mempunyai resiko besar tertular. Vaksin
hepatitis diberikan secara intra muskular sebanyak 3 kali dan memberikan
perlindungan selama 2 tahun.
Program pemberian sebagai berikut:
Dewasa: Setiap kali diberikan 20 μg IM yang diberikan sebagai dosis
awal, kemudian diulangi setelah 1 bulan dan berikutnya setelah 6 bulan.
Anak: Diberikan dengan dosis 10 μg IM sebagai dosis awal, kemudian
diulangi setelah 1 bulan dan berikutnya setelah 6 bulan.
b. Immunisasi Pasif
Pemberian Hepatitis B Imunoglobulin (HBIG) merupakan immunisasi pasif
dimana daya lindung HBIG diperkirakan dapat menetralkan virus yang infeksius
dengan menggumpalkannya. HBIG dapat memberikan perlindungan terhadap Post
Expossure maupun Pre Expossure. Pada bayi yang lahir dari ibu, yang HbsAs
positif diberikan HBIG 0,5 ml intra muscular segera setelah lahir (jangan lebih dari
24 jam). Pemberian ulangan pada bulan ke 3 dan ke 5. Pada orang yang
terkontaminasi dengan HBsAg positif diberikan HBIG 0,06 ml/Kg BB diberikan
dalam 24 jam post expossure dan diulang setelah 1 bulan.
K. Tahap-Tahap Pengelolaan Program Imunisasi Hepatitis B
a. Persiapan
1) Petugas kesehatan
Persiapan petugas dalam rangka pelaksanaan program imunisasi HB adalah:
a) Pelatihan semua vaksinator di puskesmas dan semua bidan di desa.
59
b) Pelatihan semua Balai Pengobatan, Rumah Sakit pemerintah dan swasta serta
Puskesmas.
c) Sosialisasi kepada seluruh petugas puskesmas.
2) Lintas sektoral dan masyarakat
Persiapan lintas sektor dan masyarakat adalah sebagai berikut:
a) Sosialisasi pentingnya imunisasi Hb kepada camat, PKK, tokoh masyarakat, tokoh
agama, kader, aparat desa, RT, RW dan tokoh potensial lainnya pada momen dan
setiap kesempatan.
b) Penyuluhan langsung tentang imunisasi Hb kepada semua ibu hamil pada waktu
memeriksakan kehamilan (K1 s/d K4).
c) Penyuluhan lewat media yang ada (pengumuman di masjid, arisan, pengajian dll),
pemasangan spanduk dan poster di puskesmas, posyandu.
b. Perencanaan
Perencanaan merupakan salah satu unsur yang penting dalam pengelolaan
program imunisasi. Pada dasarnya perencanaan program imunisasi meliputi:
1) Menentukan target cakupan
Menentukan target cakupan adalah menetapkan berapa besar cakupan
imunisasi yang akan dicapai pada tahun yang direncanakan untuk mengetahui
kebutuhan vaksin yang sebenarnya. Contoh target cakupan yang akan dicapai:
HB 0 ≤ 7 hari = 80 %.
2) Menghitung Jumlah sasaran
Pada program imunisasi menentukan jumlah sasaran merupakan suatu
unsur yang paling penting. Menghitung jumlah sasaran bayi berdasarkan
besarnya angka persentasi kelahiran bayi dari jumlah penduduk masing-masing
wilayah atau dapat berdasarkan besarnya jumlah sasaran bayi tahun lalu yang
60
diproyeksikan untuk tahun ini. Untuk tingkat desa dapat berdasarkan pendataan
sasaran per desa atau dengan rumus:
Desa = × Jumlah bayi kecamatan tahun ini
3) Lokasi Pelayanan
Lokasi pelayanan imunisasi Hb dilakukan di semua komponen pelayanan
kesehatan baik swasta maupun pemerintah. Pelayanan bisa melalui kunjungan
rumah/ KN 1 oleh bidan di desa.
4) Menghitung kebutuhan logistik
Setelah menghitung jumlah sasaran imunisasi, menentukan target cakupan
maka data-data tersebut digunakan untuk menghitung kebutuhan vaksin.
Puskesmas mengirimkan rencana kebutuhan vaksin ke kabupaten, kompilasi
dilakukan kabupaten/kota, selanjutnya kebutuhan vaksin tersebut dikirim ke
propinsi kemudian dilanjutkan ke pusat untuk proses pengadaannya. Menghitung
kebutuhan vaksin Hepatitis B (PID):
Buah = (Sasaran x target HB-0 80%)
Bidan merencanakan kebutuhan vaksin HB PID berdasarkan data perkiraan
persalinan 1 bulan, petugas imunisasi puskesmas menyediakan vaksin.
5) Kebutuhan Format Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan tentang adanya kelahiran bayi yang dilakukan oleh bidan desa
sebagai dasar menjadi sasaran yang akan diberi imunisasi. Pencatatan dan
pelaporan mempergunakan alur dan format laporan yang dipakai pada program
KIA rutin. Pencatatan menggunakan kohort bayi, buku KIA, buku harian
imunisasi di desa.
61
Pelaporan hasil imunisasi harus lengkap dan tepat waktu. Pelaporan
menggunakan formulir desa, formulir rekapitulasi puskesmas untuk program
imunisasi. Laporan dilaksanakan setiap bulan kepada koordinator imunisasi
Puskesmas.
c. Pelaksanaan
Program imunisasi dituntut untuk melaksanakan ketentuan program secara
efektif dan efisien. Untuk itu pengelola program imunisasi harus dapat menjalankan
fungsi koordinasi dengan baik meliputi koordinasi horizontal terdiri dari kerjasama
lintas program dan kerjasama lintas sektoral. Untuk koordinasi pelaksanaan
imunisasi HB-0 melalui kerjasama dengan bidan di desa pada pertolongan
persalinan, kunjungan neonatal. Kerjasama pemberian imunisasi HB-0 juga
dilakukan dengan penolong persalinan di rumah bersalin/ rumah sakit.
d. Monitoring dan Evaluasi
Fungsi monitoring/pemantauan adalah untuk meningkatkan kinerja program,
sehingga sejalan dengan ketentuan program. Ada 2 alat pemantau yang dimiliki
program imunisasi yaitu:
1) Pematauan Wilayah Setempat (PWS)
Alat pemantau ini berfungsi untuk meningkatkan cakupan. Jadi sifatnya
lebih memantau kuantitas program.
2) Pembinaan
Tingginya cakupan saja tidak cukup untuk mencapai tujuan akhir program
imunisasi. Cakupan yang tinggi harus diikuti dengan mutu program yang tinggi
pula. Untuk meningkatkan mutu program pembinaan dari atas (supervisi) sangat
diperlukan. Pimpinan puskesmas juga dapat mengadakan supervisi intern/
62
pembinaan internal kepada bidan di desa dengan menggunakan hasil analisa
supervisi.
Supervisi merupakan salah satu bagian dari fungsi penggerakan
pelaksanaan dari suatu manajemen. Dengan supervisi yang baik diharapkan
dapat dilakukan pembinaan dan pemantauan terhadap pelaksanaan program
secara teratur. Dengan supervisi diharapkan dapat mempercepat pencapaian
tujuan program sesuai target dan sasaran yang telah ditetapkan. Supervisi
diharapkan akan menimbulkan motivasi untuk meningkatkan kinerja petugas
lapangan. Hal tersebut dapat dicapai dengan membina hubungan kerja yang
baik, melalui prinsip‖ kemitraan dan cara fasilitasi ‖ bukan prinsip atasan
bawahan, serta memberikan penghargaan kepada prestasi kerja mereka.
Evaluasi bertujuan untuk mengetahui hasil ataupun proses kegiatan bila
dibandingkan dengan target atau yang diharapkan. Berdasarkan sumber data, ada
dua macam evaluasi: evaluasi dengan data primer melalui survey cakupan, survey
dampak. Evaluasi dengan data sekunder meliputi stok vaksin, cakupan pertahun.
e. Indikator Penilaian
Indikator Penilaian program imunisasi Hb adalah sebagai berikut:
1) % Cakupan imunisasi Hepatitis B.
2) Jumlah kemasan yang dipakai.
3) Semua sasaran yang diimunisasi tercatat dalam kohort bayi.
4) Semua sasaran yang diimunisasi terlaporkan sesuai catatan.
Jadwal Imunisasi Hepatitis B
63
Pada dasarnya jadwal imunisasi Hepatitis B sangat fleksibel sehingga tersedia
berbagai pilihan untuk menyatukannya kedalam program imunisasi terpadu. Namun
demikian ada beberapa hal yang perlu diingat :
a. Minimal diberikan sebanyak 3 kali.
b. Imunisasi pertama diberikan segera setelah lahir.
c. Jadwal imunisasi dianjurkan adalah 0, 1, 6 bulan karena respons antibodi paling
optimal (Hadinegoro, 2008).
Jadwal imunisasi Hepatitis B yaitu :
a. Imunisasi hepB-1 diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12 jam) setelah lahir.
b. Imunisasi hepB-2 diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dari imunisasi hepB-1 yaitu
saat bayi berumur 1 bulan. Untuk mendapat respons imun optimal, interval
imunisasi hepB-2 dengan hepB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. Maka imunisasi
hepB-3 diberikan pada umur 3-6 bulan (Hadinegoro, 2008).
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2. berikut:
Tabel 1. Jadwal Imunisasi Hepatitis B
Umur Bayi Imunisasi Kemasan
Saat lahir Hep B-0 Uniject (hepB-monovalen)
2 bulan DTwP dan hepB-1 Kombinasi DTwP/hepB-1
3 bulan DTwP dan hepB-2 Kombinasi DTwP/hepB-2
4 bulan DTwP dan hepB-3 Kombinasi DTwP/hepB-3
Sumber : Departemen Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2008
Pemberian imunisasi Hepatitis B berdasarkan status HBsAg ibu pada saat
melahirkan adalah :
64
a. Bayi yang lahir dari ibu yang tidak diketahui status HbsAg-nya mendapatkan 5 mcg
(0,5 mL) vaksin rekombinan atau 10 mcg (0,5 mL) vaksin asal plasma dalam waktu
12 jam setelah lahir. Dosis kedua diberikan pada umur 1-2 bulan dan dosis ketiga
pada umur 6 bulan. Kalau kemudian diketahui ibu mengidap HBsAg positif maka
segera berikan 0,5 mL HBIg (sebelum anak berusia satu minggu).
b. Bayi yang lahir dari ibu HBsAg positif mendapatkan 0,5 mL HBIg dalam waktu 12
jam setelah lahir dan 5 mcg (0,5 mL) vaksin rekombinan. Bila digunakan vaksin
berasal dari plasma, diberikan 10 mcg (0,5 mL) intramuskular dan disuntikkan pada
sisi yang berlainan. Dosis kedua diberikan pada umur 1-2 bulan dan dosis ketiga
pada umur 6 bulan.
c. Bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg negatif diberi dosis minimal 2,5 mcg (0,25
mL) vaksin rekombinan, sedangkan kalau digunakan vaksin berasal dari plasma,
diberikan dosis 10 mcg (0,5 mL) intramuskular pada saat lahir sampai usia 2 bulan.
Dosis kedua diberikan pada umur 1-4 bulan, sedangkan dosis ketiga pada umur 6-
18 bulan.
d. Ulangan imunisasi Hepatitis B diberikan pada umur 10-12 tahun (Wahab, 2002).
Cara Pemberian :
Pada anak di lengan dengan cara intramuskuler. Sedangkan pada bayi dipaha
lewat anterolateral (antero = otot-otot di bagian depan; lateral = otot bagian luar).
Penyuntikan di bokong tidak dianjurkan karena bisa mengurangi efektivitas vaksin.
Alat dan bahan :
1. Spuit diposibel 2,5 cc dan jarumnya
2. Vaksin hepatitis dan pelarutnya dalam termos es.
3. Kapas alcohol dalam tempatnya.
4. Sarung tangan bersih.
65
Prosedur :
1. Cuci tangan
2. Gunakan sarung tangan
3. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
4. Ambil vaksin hepatitis dengan spuit sesuai program/anjuran, yakni 0,5.
5. Atur posisi bayi (bayi dipangku ibunya, tangan kiri ibu merangkul bayi,
menyangga kepala, bahu, dan memegang sisi luar tangan kiri bayi, tangan
kanan bayi melingkar kebadan ibu dan tangan kanan ibu memegang kaki
bayi dengan kuat).
6. Lakukan desinfeksi didaerah 1/3 tengah paha bagian luar yang akan
diinjeksi dengan kapas alcohol.
7. Tegangkan daerah yang akan diinjeksi.
8. Lakukan injeksi dengan memasukkan jarum ke intramuscular didaerah
fermur
9. Cuci tangan
10. Catat reaksi yang terjadi.
Kontraindikasi dan Efek Samping
Vaksin hepB diberikan kepada semua orang termasuk wanita hamil, bayi baru
lahir, pasien dengan immunocompromised, yaitu pasien dengan kelainan sistem
imunitas seperti penderita AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) (Dalimartha,
2004).
Gejala Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) yang disebabkan vaksin
umumnya sudah dapat diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang
vaksin dan secara klinis biasanya ringan.Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala
klinis hebat seperti reaksi anafilaktik sistemik dengan resiko kematian. Reaksi
66
simpang ini sudah teridentifikasi dengan baik dan tercantum dalam petunjuk
pemakaian tertulis oleh produsen sebagai indikasi kontra, indikasi khusus, perhatian
khusus, atau berbagai tindakan dan perhatian spesifik lainnya termasuk kemungkinan
interaksi dengan obat atau vaksin lain. Petunjuk ini harus diperhatikan dan ditanggapi
dengan baik oleh pelaksanan imunisasi (Ranuh dkk, 2011).
Reaksi lokal setelah dilakukan vaksinasi hepatitis B, antara lain:
1. Rasa nyeri pada tempat suntikan.
2. Bengkak dan kemerahan ditempat suntikan sekitar 10%.
Reaksi sistemik setelah dilakukan vaksinasi hepatitis B, yaitu demam sekitar
10%, juga reaksi lain seperti irritable, malaise dan gejala sistemik lainnya.
Reaksi berat yang dapat terjadi setelah dilakukan vaksin hepatitis B, antara lain:
1. Kejang
2. Trombositopenia
3. Hypotonic Hyporesponsive Episode (HHE)
4. Persistent inconsolable screaming yang merupakan rekasi yang bersifat self-imiting
dan tidak merupakan masalah jangka panjang
5. Anafilaksis yaitu kejadian yang berpotensial menjadi fatal tetapi dapat disembuhkan
tanpa dampak jangka panjang.
Pemberian imunisasi hepatitis B jarang menimbulkan efek samping yang
serius.Efek samping yang paling umum dari vaksin tersebut biasanya ringan dan cepat
hilang. Efek samping yang terasa pada umumnya antara lain: rasa sakit pada tempat
yang disuntik, sakit demam dan sakit pada tulang sendi (Cahyono dkk, 2010).
Efek samping yang terjadi setelah dilakukan vaksinasi hepatitis B biasanya
berupa reaksi-reaksi lokal, yaitu:
1. Rasa sakit kemerahan disekitar tempat penyuntikan
67
2. Pembengkakan disekitar tempat penyuntikan
Reaksi-rekaksi yang terjadi tersebut bersifat ringan dan biasanya hilang setekah
2 hari. Vaksin ini tidak boleh diberikan kepada penderita infeksi berat yang disertai
kejang.
Menurut Pernyataan Informasi Vaksin yang dikeluarkan oleh CDC,
kebanyakan orang yang mendapatkan vaksin hepatitis B tidak mengalami efek
samping. Efek samping yang dilaporkan adalah sebagai berikut:
1. Rasa sakit pada area suntikan, yang berlangsung satu atau dua hari: terjadi pada satu
dari sebelas anak dan remaja serta satu dari empat orang dewasa.
2. Demam ringan sampai menengah: pada satu dari empat belas anak dan remaja serta
satu dari seratus orang dewasa.
3. Reaksi alergi yang serius, yang bisa termasuk ruam, suara napas mengdengking, pucat,
lemah, denyut jantung yang cepat, pusing dan sulit bernapas: sangat jarang terjadi.
Pabrik pembuat vaksin hepatitis B melaporkan bahwa selain efek buruk yang
dinyatakan oleh CDC, reaksi lain yang bisa terjadi pada sampai 17% orang yang
menerima suntikan termasuk keletihan, diare, sakit kepala, infeksi tenggorokan dan
saluran pernapasan, kepala terasa ringan, menggigil, muntah, nyeri dan kejang
lambung, hilangnya selera makan, mual, berkeringat, flu, ruam, nyeri seperti arthritis,
pembengkakan kelenjar getah bening, insomnia, sakit telinga dan tekanan darah
rendah.
SOP IMUNISASI HEPATITIS B
68
Pengertian Suatu proses pemberian hepatitis (0) pada semua BBL secara injeksi
intramuscular sebanyak 0,5ml dosis tunggal (diberikan 1-2 jam
setelah injeksi vit K) untuk mencegah infeksi hepatitis B terhadap
bayi terutama alur penularan ibu bayi
Tujuan • Tercapainya target pemberian profilaksis hepatitis B pada
bayi baru lahir
• Tercapainya target pelayanan kesehatan bayi baru lahir yang
komprehensif di tingkat pelayanan dasar
Terlindunginya bayi baru lahir terhadap infeksi Hepatitis B
Persiapan 1. Persiapan Tempat
a. Mudah di Akses.
b. Penyiapan Tempat Pelayanan Imunisasi
c. Penyiapan Pelayanan Imunisasi
d. Pelaksanaan Pelayanan Imunisasi
e. Tidak terkena langsung terhadap sinar matahari Cukup terang.
f. Pemantauan Kejadian Ikutan Paska Imunisasi.
2. Persiapan Alat/Bahan
1. Sediaan vaksin Hepatitis B Pertama (Hb0) 0,5 ml
2. Kapas DTT
3. Sarung tangan
4. Safety box
5. Alcohol
69
6. Handuk cuci tangan
Prosedur
Tindakan
Tahap Persiapan
1. Justifikasi Identitas klien
2. Menyiapkan peralatan
3. Mencuci tangan
Komunikasi terapeutik:
4. Berikan salam dengan ramah dan akrab
5. Memperkenalkan diri
6. Tanyakan pada ibu/keluarga tujuan dari kunjungan
7. Tanyakan apakah ibu/keluarga telah mendapat penyuluhan
tentang imunisasi hepatitis B
8. Menjelaskan pada klien tujuan tindakan yang akan dilakukan
9. Mendapatkan persetujuan klien
10. Mengatur lingkungan sekitar bayi
11. Membantu bayi mendapatkan posisi yang nyaman
Tahap Kerja
12. Cuci tangan dari lengan dengan sabun dibawah air mengalir,
kemudian keringkan dengan handuk
13. Ambil flakon vaksin dan cek label flakon vaksin
14. Ambil semprit Hepatitis dan hisaplah vaksin sesuai ketentuan
15. Jelaskan pada Ibu cara memegang bayi
16. Tentukan lokasi penyuntikan yaitu pada paha sebelah luar,
desinfeksi lokasi penyuntikan
70
17. Letakkan ibu jari dan jari telunjuk anda pada posisi yang akan
disuntik. Peganglah otot paha diantara jari-jari telunjuk dan ibu
jari
18. Masukkan jarum ke dalam kulit secara intramuscular (posisi
jarum tegak lurus) pada paha bayi
19. Tarik piston sedikit untuk meyakinkan bahwa jarum tidak
mengenai pembuluh darah
20. Dorong pangkal piston perlahan dengan ibu jari untuk
memasukkan vaksin dan cabut jarum. Apabila ada darah usap
dengan kapas kering
21. Mengembalikan alat-alat dan vaksin ketempat semula
22. Jelaskan pada ibu reaksi yang akan timbul setelah penyuntikan
23. Jelaskan pada ibu tentang penanganannya bila timbul reaksi
setelah pemberian imunisasi
24. Memberi kesempatan pada ibu untuk bertanya tentang hal-hal
yang kurang jelas
25. Mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir dan keringkan
dengan handuk kering
Dokumentasi
26. Mencatat dalam KMS/kartu control bayi, ucapkan salam dan
terima kasih
71
3. Imunisasi Polio
a. Pengertian Imunisasi Polio
Polio adalah infeksi virus yang berkembang di tenggorokan dan saluran
pencernaan manusia, yang dapat menyebabkan kelumpuhan permanen.
Penyebaran virus antar manusia umumnya karena adanya kontak dengan
kotoran dari orang yang terinfeksi dan melalui lendir atau cairan dari hidung dan
mulut. Jadi kebersihan diri dan lingkungan harus menjadi perhatian.
Virus polio sangat berbahaya, karena kebanyakan orang yang terinfeksi virus
tidak menunjukan adanya gejala apapun, namun beberapa orang yang terjangkit
virus polio dapat mengalami kelumpuhan yang bisa mengakibatkan cacat permanen
dan bahkan kematian. Karena risiko dan dampaknya yang berat, setiap anak
dianjurkan mulai mendapat vaksin sedini mungkin; segera setelah kelahiran.
Imunisasi polio adalah imunisasi yang diberikan untuk menimbulkan
kekebalan terhadap penyakit poliomielitis yaitu penyakit radang yang menyerang
syaraf dan dapat mengakibatkan lumpuh kaki (Anik Maryunani,2010).
b. Etiologi Poliomielitis
Polio, disebut juga sebagai paralisis infantil, etiologi disebabkan oleh virus
polio, virus RNA yang berasal dari famili Picornaviridae, genus Enterovirus. Virus
ini memiliki inti dari single-stranded RNA diliputi oleh kapsul protein tanpa sampul
lipid sehingga tahan terhadap zat yang dapat melarutkan lipid, dan stabil pada pH
rendah. Virus polio dapat dinonaktifkan dengan panas, formaldehida, klorin, sinar
ultraviolet.
Virus polio terdiri dari 3 jenis strain antigen atau serotipe wild poliovirus
(WPV) atau virus polio liar, yaitu tipe 1, tipe 2, dan tipe 3.
72
a) Virus Polio Tipe 1
Virus polio tipe 1 merupakan penyebab dari 85% kasus polio paralitik.
Virus ini memiliki sifat imunitas heterotipik minimal, yaitu imunitas terhadap
satu tipe, tidak melindungi tubuh terhadap infeksi tipe lainnya. Namun, imunitas
yang timbul dari tiap tipe adalah untuk jangka panjang, atau seumur hidup.
b) Virus Polio Tipe 2 dan 3
Virus polio tipe 2 secara resmi dideklarasikan dan disertifikasi pada bulan
September 2015, sebagai tipe yang telah dieradikasi. Virus polio tipe 3 juga
tidak terdeteksi sejak November 2012. Karenanya, diperkirakan hanya tipe 1
WPV yang masih bersirkulasi saat ini.
b. Tujuan
Imunisasi polio bertujuan untuk mencegah penyakit poliomyelitis.
c. Manfaat
Vaksin diberikan dengan jumlah dosis yang sedikit, yang berfungsi membantu
mengembangkan kekebalan tubuh terhadap penyakit. Vaksin ini tidak akan
mengobati infeksi aktif yang sudah berkembang di dalam tubuh.
Vaksin polio untuk digunakan pada orang dewasa dan anak-anak yang berusia
minimal 6 minggu. Seperti halnya vaksin apa pun, vaksin polio mungkin tidak
memberikan perlindungan dari penyakit pada setiap orang.
Seseorang tidak boleh menerima vaksin ini jika pernah mengalami reaksi alergi
yang mengancam jiwa terhadap vaksin yang mengandung virus polio hidup atau
tidak aktif, atau jika Anda alergi terhadap 2-phenoxyethanol, formaldehyde,
neomycin, streptomycin, atau polymyxin B.
73
Sementara itu, seseorang tidak boleh menerima vaksin ini jika memiliki
penyakit sedang atau berat dengan demam. Vaksin ini harus dihindari jika:
Memiliki penyakit sedang atau berat dengan demam
Pernah mengalami reaksi alergi yang mengancam jiwa terhadap vaksin apa
pun yang mengandung virus polio hidup atau tidak aktif
Alergi terhadap 2-phenoxyethanol, formaldehyde, neomycin, streptomycin,
atau polymyxin B.
d. Fungsi
Merupakan imunisasi yang bertujuan mencegah penyakit poliomyelitis.
Pemberian vaksin polio dapat dikombinasikan dengan vaksin DPT. Terdapat 2
macam vaksin polio:
1 Inactivated Polio Vaccine (IPV = Vaksin Salk), mengandung virus polio yang
telah dimatikan dan diberikan melalui suntikan.
IPV dihasilkan dengan cara membiakkan virus dalam media pembiakkan,
kemudian dibuat tidak aktif (inactivated) dengan pemanasan atau bahan kimia.
Karena IPV tidak hidup dan tidak dapat replikasi maka vaksin ini tidak dapat
menyebabkan penyakit polio walaupun diberikan pada anak dengan daya tahan
tubuh yang lemah.
Vaksin yang dibuat oleh Aventis Pasteur ini berisi tipe 1, 2, dan 3 dibiakkan
pada sel-sel VERO ginjal kera dan dibuat tidak aktif dengan formadehid. Selain
itu dalam jumlah sedikit terdapat neomisin, streptomisin dan polimiksin. IPV
harus disimpan pada suhu 2 – 8 C dan tidak boleh dibekukan. Pemberian vaksin
tersebut dengan cara suntikan subkutan dengan dosis 0,5 ml diberikan dalam 4
kali berturut-turut dalam jarak 2 bulan.
74
Orang yang mempunyai kontraindikasi atau tidak diperbolehkan
mendapatkan OPV maka dapat menggunakan IPV. Demikian pula bila ada
seorang kontak yang mempunyai daya tahan tubuh yang lemah maka bayi
dianjurkan untuk menggunakan IPV.
2 Oral Polio Vaccine (OPV = Vaksin Sabin), mengandung vaksin hidup yang telah
dilemahkan dan diberikan dalam bentuk pil atau cairan. Bentuk trivalen
(Trivalen Oral Polio Vaccine; TOPV) efektif melawan semua bentuk polio,
sedangkan bentuk monovalen (MOPV) efektif melawan satu jenis polio.
Vaksin OPV pemberiannya dengan cara meneteskan cairan melalui mulut.
Vaksin ini terbuat dari virus liar (wild) hidup yang dilemahkan. Komposisi
vaksin tersebut terdiri dari virus Polio tipe 1, 2, dan 3 adalah suku Sabin yang
masih hidup tetapi sudah dilemahkan (attenuated). Vaksin ini dibuat dalam
biakan jaringan ginjal kera dan distabilkan dalam sucrosa. Tiap dosis sebanyak 2
tetes mengandung virus tipe 1, tipe 2, dan tipe 3 serta antibiotika eritromisin
tidak lebih dari 2 mcg dan kanamisin tidak lebih dari 10 mcg.
Virus dalam vaksin ini setelah diberikan 2 tetes akan menempatkan diri di
usus dan memacu pembentukan antibodi baik dalam darah maupun dalam
dinding luar lapisan usus yang mengakibatkan pertahan lokal terhadap virus
polio liar yang akan masuk. Pemberian air susu ibu tidak berpengaruh pada
respon antibodi terhadap OPV dan imunisasi tidak boleh ditunda karena hal ini.
Setelah diberikan dosis pertama dapat terlindungi secara cepat, sedangkan pada
dosis berikutnya akan memberikan perlindungan jangka panjang. Vaksin ini
diberikan pada bayi baru lahir 2, 4, 6, 18 bulan, dan 5 tahun.
75
Gejala yang umum terjadi akibat serangan virus polio adalah anak
mendadak lumpuh pada salah satu anggota geraknya setelah demam selama 2-5
hari. Terdapat 2 jenis vaksin yang beredar dan di Indonesia yang umum
diberikan adalah vaksin sabin (kuman yang dilemahkan). Cara pemberiannya
melalui mulut. Dibeberapa negara dikenal pula tetravaccine yaitu kombinasi
DPT dan polio. Imunisasi dasar diberikan sejak anak baru lahir atau berumur
beberapa hari atau selanjutnya diberikan setiap 4-6 minggu. Pemberian vaksin
polio dapat dilakukan bersamaan dengan BCG, vaksin hepatitis B, dan DPT.
Imunisasi ulang diberikan bersamaan dengan imunisasi ulang DPT, pmberian
imunisasi polio dapat menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit
poliomyelitis. Imunisasi polio.
Imunisasi ulang dapat diberikan sebelum anak masuk sekolah (5-6 tahun)
dan saat meninggalkan sekolah dasar (12 thun). Cara memberikan imunisasi
polio adalah dengan meneteskan vaksin polio sebanyak dua tetes langsung ke
dalam mulut anak. Imunisasi ini jangan diberika pada anak yang sedang diare
berat, efek samping yang terjadi sangat minimal dapat berupa kejang.
Vaksin dari virus polio (tipe 1,2, dan 3) Virus polio terdiri atas tiga strain,
yaitu strain 1 (brunhilde), strain 2 (lanzig), dan strain 3 (leon) yang dilemahkan,
dibuat dalam biakkan sel-vero: asam amino, antibiotic, calf serum dalam
magnesium clorida, dan fenol merah. Vaksin yang berbentuk cairan dengan
kemasan 1 cc atau 2 cc dalam flacon, pipet. Pemberian secara oral sebanyak 2
tetes (0,1 ml). Vaksin polio diberikan 4 kali, interval 4 minggu. Penyimpana
pada suhu 2-8ºC.
76
e. Gejala
Gejala dari penyakit polio ini dapat muncul bermacam-macam. Kendati 95
hingga 99% dari orang yang terinfeksi virus polio ini tidak memiliki gejala apapun.
Namun, perlu diketahui, meskipun pengidap polio tidak memiliki gejala, ia tetap
dapat menyebarkan virus ini kepada orang lain yang berada disekitarnya.
Gejala dari polio tipe non-paralisis adalah sebagai berikut:
Demam.
Nyeri menelan.
Nyeri kepala.
Muntah.
Lemas.
Meningitis.
Gejala dari polio tipe paralisis yaitu sebagai berikut:
Gejala awal yang muncul dapat menyerupai polio tipe non-paralisis namun
setelah satu minggu, gejala lainnya akan mengikuti.
Kehilangan refleks.
Nyeri otot dan kram otot yang parah.
Kaki menjadi terkulai.
Paralisis yang terjadi tiba-tiba, hal ini dapat bersifat temporer maupun
permanen.
Kelainan ekstremitas bawah, terutama pada pinggul dan pergelangan kaki.
Sindroma paska polio
77
Polio sangat mungkin untuk muncul kembali meskipun seseorang telah
dinyatakan sembuh. Hal ini dapat terjadi 15 - 40 tahun setelah seseorang pertama
kali terinfeksi. Gejala yang sangat umum terjadi antara lain adalah:
Kelemahan pada otot dan sendi.
Nyeri otot yang terus memburuk.
Menjadi mudah lelah dan lesu.
Berkurangnya massa otot.
Kesulitan dalam menelan dan bernapas.
Sleep-apnea, gangguan bernapas pada saat tidur.
Rendahnya toleransi terhadap coach dinging.
Depresi.
Masalah dalam konsentrasi dan daya ingat.
f. Diagnosis Polio
Diagnosis dari polio sendiri ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan dapat dibantu dengan pemeriksaan penunjang. Dalam anamnesis, dokter
akan mencari gejala-gejala yang muncul, kemudian melalui pemeriksaan fisik dokter
akan mencari tanda-tanda penyakit seperti adanya kaku kuduk, dan kelainan pada
refleks.
Pemeriksaan penunjang melalui pemeriksaan swab tenggorok, pemeriksaan
feses dan analisis cairan sistem taraf pusat juga dapat dilakukan untuk mencari
keberadaan dari virus polio.
g. Kriteria penyakit
Adalah penyakit pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh satu
dari tiga virus yang berhubungan yaitu virus polio 1, 2, 3. Secara klinis
78
penyakit polio adalah dibawah umur 15 tahun yang menderita lumpuh layu
akut. Penyebarannya melalui kotoran manusia yang terkontaminasi.
Kelumpuhan dimulai dengan gejala demam, nyeri otot dan kelumpuhan terjadi
pada minggu pertama sakit. Kematian bisa tejadi jika otot-otot pernafasan
terinfeksi dan tidak segera ditangani.
h. Penyebab dan Faktor Resiko
Virus polio menyebar melalui kontak dengan feses yang terinfeksi. Barang-
barang yang dekat dengan feses yang terinfeksi juga dapat menjadi pusat penyebaran
dari virus. Tidak jarang pula virus ini ditularkan dari pengidap ke orang sekitar
melalui bersin maupun batuk.
Orang-orang yang memiliki risiko tinggi terkena penyakit ini adalah:
Orang yang tinggal di daerah terpentin dengan sulitnya akses air mengalir yang
bersih terutama untuk MCK.
Ibu hamil dengan HIV positif.
Anak-anak yang tidak divaksinasi.
Bagi orang-orang yang tidak pernah divaksinasi, risiko tertular penyakit ini
akan semakin tinggi, bila:
Bepergian ke daerah yang baru saja terjadi wabah polio.
Tinggal atau merawat pengidap polio.
Bekerja dengan spesimen virus.
Sudah menjalani operasi tonsilektomi.
i. Penanganan Polio
Sampai saat ini obat untuk menyembuhkan polio belum ditemukan. Maka
jika seseorang mengidap penyakit polio, dokter akan merawat dan memberi terapi
79
suportif, selain itu pengidap polio juga perlu diisolasi. Terapi suportif yang diberikan
dapat berupa:
Tirah baring.
Obat anti nyeri.
Obat antispasmodic untuk membuat otot menjadi relaks.
Antibiotik untuk mengobati infeksi saluran kemih.
Ventilator portabel untuk membantu pernapasan.
Fisioterapi.
j. Pencegahan Polio
Pencegahan dari penyakit polio ini adalah dengan vaksinasi. Vaksinasi polio
sendiri sudah ditemukan sejak tahun 1957 dan menjadi salah satu upaya pencegahan
yang paling efektif. Vaksinasi diberikan sebanyak 3x dan ditambah dengan 1x
booster. Vaksinasi perlu diberikan pada anak di usia 2 bulan, 4 bulan, 6-18 bulan dan
booster-nya di antara usia 4-6 tahun.
k. Usia Pemberian :
Saat lahir (0 bulan), dan berikutnya di usia 2, 4, 6 bulan. Dilanjutkan pada usia
18 bulan dan 5 tahun. Kecuali saat lahir, pemberian vaksin DPT.
l. Cara pemberian
Imunisasi dasar polio diberikan 4 kali (polio I, II, III dan IV) dengan interval
tidak kurang dari 4 minggu. Imunisasi ulangan diberikan 1 tahun setelah
imunisasi polio IV, kemudian pada saat masuk SD (5-6 tahun) dan pada saat
meninggalkan SD (12 tahun). Di Indonesia umumnya diberikan vaksin Sabin.
Vaksin ini diberikan sebanyak 2 tetes (0,1 ml) langsung kemulut anak atau
80
dengan atau dengan menggunakan sendok yang berisi air gula. Setiap membuka
vial baru harus menggunakan penetes (dropper) yang baru.
Cara pemakaian:
1 Orang tua memegang bayi dengan lengan kepala di sangga dan
dimiringkan ke belakang.
2 Mulut bayi dibuka hati-hati menggunakan ibu jari atau dengan menekan
pipi bayi dengan jari-jari.
3 Teteskan dengan 2 tetes vaksin dari alat tetes ke dalam lidah. Jangan
biarkan alat tetes menyentuh bayi.
m. Efek samping
Pada umunya tidak terdapat efek samping. Efek samping berupa
paralisis yang disebabkan oleh vaksin jarang terjadi.
n. Kontra Indikasi :
Tidak dapat diberikan pada anak yang menderita penyakit akut atau demam
tinggi (di atas 38 derajat Celsius), muntah atau diare, penyakit kanker atau
keganasan, HIV/AIDS, sedang menjalani pengobatan steroid dan pengobatan radiasi
umum, serta anak dengan mekanisme kekebalan terganggu.
Pada anak dengan diare berat atau yang sedang sakit parah, imunisasi polio
sebaiknya ditangguhkan, demikian juga pada anak yang menderita penyakit
gangguan kekebalan (difisiensi imun). Alasan untuk tidak memberikan vaksin polio
pada keadaan diare berat adalah kemungkinan terjadinya diare yang lebih parah.
Pada anak dengan penyakit batuk, pilek, demam, atau diare ringan imunisasi polio
dapat diberikan seperti biasanya.
81
SOP IMUNISASI POLIO
Pengertian Vaksin polio merupakan vaksin yang digunakan imunisasi aktif
terhadap polio yang berisi virus polio tipe 1,2 dan 3 yang masih
hidup tetapi sudah dilemahkan. Pemberian secara oral, dosis 2
tetes (0,1 ml). Untuk imunisasi diberikan 3 dosis dengan interval
pemberian 4 minggu mulai usia 2 bulan, dan diulang pada usia 9
bulan
vaksin bivalent Oral Polio Vaccine (bOPV) adalah merupakan
vaksin sangat efektif melawan tipe 1 dan tipe 3 virus polio dalam
waktu yang bersamaan.
Tujuan Untuk mencegah penyakit poliomyelitis.
Persiapan 1. Persiapan Tempat
Mudah di Akses.
Penyiapan Tempat Pelayanan Imunisasi
Penyiapan Pelayanan Imunisasi
Pelaksanaan Pelayanan Imunisasi
Tidak terkena langsung terhadap sinar matahari Cukup terang.
Pemantauan Kejadian Ikutan Paska Imunisasi
2. Persiapan Alat/Bahan
Termos es + cool pack
82
Vaksin Polio
Pipet plastik khusus untuk vaksin polio
Handuk cuci tangan
Kapas alcohol
Prosedur
Tindakan
Tahap Persiapan
1. Justifikasi Identitas klien
2. Menyiapkan peralatan
3. Mencuci tangan
Komunikasi terapeutik:
4. Berikan salam dengan ramah dan akrab
5. Memperkenalkan diri
6. Tanyakan pada ibu/keluarga tujuan dari kunjungan
7. Tanyakan apakah ibu/keluarga telah mendapat penyuluhan
tentang imunisasi polio
8. Menjelaskan pada klien tujuan tindakan yang akan dilakukan
9. Mendapatkan persetujuan klien
10. Mengatur lingkungan sekitar bayi
11. Membantu bayi mendapatkan posisi yang nyaman
Tahap Kerja
1. Mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, kemudian
keringkan dengan handuk kering
2. Ambil flakon vaksin dan cek label flakon vaksin
3. Ambil pipet dari kantong dan pasanglah pipet pada flakon vaksin
polio, usahakan tangan jangan sampai menyentuhujung flakon
83
4. Membuka mulut bayi dengan cara menggunakan 2 jari (ibu jari
dan jari telunjuk)
5. tekanlah kedua pipi bayi sehingga mulutnya tebuka
6. Teteskan langsung vaksin polio pada mulut bayi sebanyak 2 tetes
7. Beritahukan pada ibu bahwa pemberian imunisasi polio sudah
selesai (bayi digendong kembali oleh ibunya)
8. Mengembalikan alat-alat vaksin ke tempat semula
9. Jelaskan pada ibu tentang reaksi setelah pemberian imunisasi
diberikan
10. Jelaskan pada ibu tentang penanganannya bila timbul reaksi
setelah pemberian imunisasi polio
11. Memberi kesempatan pada Ibu/keluarga untuk bertanya tentang
hal-hal yang kurang jelas
12. Mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, keringkan
dengan handuk kering
Tahap Terminasi
13. Membersihkan dan menyimpan kembali peralatan pada
tempatnya
14. Mencuci tangan
15. Melakukan evaluasi terhadap klien tentang kegiatan yang telah
dilakukan
16. Jelaskan kepada ibu hasil pemeriksaan bayinya
17. Tanyakan apakah klien masih mempunyai pertanyaan
Dokumentasi
84
18. Mencatat dalam KMS/kartu control bayi, ucapkan salam dan
terima kasih
19. Beritahu ibu kapan imunisasi selanjutnya dilaksanakan
85
A. MASA INKUBASI DAN PENULARAN DPT
1. Difteri
Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4
minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6 bulan.
Penyakit difteri yang diserang terutama saluran pernafasan bagian atas.
Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita
maupun sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita
pada masa inkubasi atau kontak dengan carier. Caranya melalui:
a. Penularan penyakit difteri terjadi melalui tetes udara yang dikeluarkan oleh
penderita ketika batuk atau bersin.
b. Penularan juga dapat terjadi melalui tissue/ sapu tangan atau gelas bekas minum
penderita atau menyentuh luka penderita.
c. Barang rumah tangga, penularan dapat terjadi melalui berbagai barang rumah
tangga yang dipakai bersamaan seperti handuk atau mainan.
2. Pertusis
Masa inkubasi pertusis 6 - 20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan
penyakit ini berlangsung antara 6 – 8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam waktu
7 - 10 hari setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan
saluran udara sehingga pembentukan lendir semakin banyak.
Bordetella pertusis diitularkan melalui sekresi udara pernapasan yang
kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Basil biasanya bersarang
pada silia epitel thorax mukosa, menimbulkan eksudasi yang muko purulen, lesi
86
berupa nekrosis bagian basal dan tengah epitel torak, disertai infiltrate netrofil dan
makrofag.
3. Tetanus
Masa inkubasi berkisar dari 2 hari sampai sebulan, dengan sebagian besar
(rata-rata) kasus terjadi dalam 14 hari. Pada neonatus, masa inkubasi biasanya 5-14
hari. Secara umum, periode inkubasi pendek berhubungan dengan terkontaminasi
luka, penyakit lebih parah, dan prognosis yang buruk.
Masa inkubasi berkisar antara 3 sampai 21 hari, biasanya sekitar 8 hari.
Semakin pendek masa inkubasi, semakin tinggi peluang kematian, biasanya kurang
dari 72 jam. Dalam gejala tetanus neonatorum, biasanya muncul 4-14 hari setelah
kelahiran, rata-rata sekitar 7 hari.
B. Gejala dan Tanda Penyakit serta Diagnosis
1. Difteri
a. Gejala
Gejala penyakit ini mulai timbul dalam waktu 1-4 hari setelah terinfeksi.
Tanda pertama dari difteri adalah sakit tenggorokan, demam dan gejala yang
menyerupai pilek biasa. Bakteri akan berkembang biak dalam tubuh dan melepaskan
toksin (racun) yang dapat menyebar ke seluruh tubuh dan membuat penderita
menjadi sangat lemah dan sakit. Gejala-gejala lain yang muncul, antara lain:
1) Menelan sakit, batuk keras dan suara menjadi parau
2) Mual dan muntah-muntah
3) Demam, menggigil dan sakit kepala
4) Denyut jantung meningkat
87
5) Terbentuk selaput/membran yang tebal, berbintik, berwarna hijau kecoklatan atau
keabu-abuan di kerongkongan sehingga sukar sekali untuk menelan dan terasa
sakit.
6) Bila difteri bertambah parah, tenggorokan menjadi bengkak sehingga
menyebabkan penderita menjadi sesak nafas, bahkan yang lebih membahayakan
lagi, dapat pula menutup sama sekali jalan pernafasan.
7) Kelenjar akan membesar dan nyeri di sekitar leher.
8) Kadang-kadang telinga menjadi terasa sakit akibat peradangan
9) Penyakit difteri dapat pula menyebabkan radang pembungkus jantung sehingga
penderita dapat meninggal secara mendadak.
Gejala-gejala ini disebabkan oleh racun yang dihasilkan oleh kuman difteri.
Jika tidak diobati, racun yang dihasilkan oleh kuman ini dapat menyebabkan reaksi
peradangan pada jaringan saluran napas bagian atas sehingga sel-sel jaringan dapat
mati.
Sel-sel jaringan yang mati bersama dengan sel-sel radang membentuk suatu
membran atau lapisan yang dapat menggangu masuknya udara pernapasan. Membran
atau lapisan ini berwarna abu-abu kecoklatan, dan biasanya dapat terlihat. Gejalanya
anak menjadi sulit bernapas. Jika lapisan terus terbentuk dan menutup saluran napas
yang lebih bawah akan menyebabkan anak tidak dapat bernapas. Akibatnya sangat
fatal karena dapat menimbulkan kematian jika tidak ditangani dengan segera.
Racun yang sama juga dapat menimbulkan komplikasi pada jantung dan
susunan saraf, biasanya terjadi setelah 2-4 minggu terinfeksi dengan kuman difteri.
Kematian juga sering terjadi karena jantung menjadi rusak.
Serangan berbahaya pada periode inkubasi 1 sampai dengan 5 hari, jarang
ditemui lebih lama. Dapat menyebabkan infeksi nasopharynx yang menyebabkan
88
kesulitan bernapas dan kematian. Penyebab utamanya adalah radang pada membran
saluran pernapasan bagian atas, biasanya pharynx tetapi kadang-kadang posterior
nasal passages, larynx dan trakea, ditambah kerusakan menyeluruh ke seluruh organ
termasuk myocardium, sistem saraf, ginjal yang disebabkan eksotosin (Plotkins)
organisme.
Ketika difteri menyerang tenggorokan dan tonsil, gejala awalnya adalah
radang tenggorokan, kehilangan nafsu makan dan demam. Dalam waktu 2-3 hari,
lapisan putih atau aba-abu ditemukan di tenggorokan atau tonsil. Lapisan ini
menempel pada langit-langit dari tenggorokan dan dapat berdarah. Jika terdapat
pendarahan, lapisan berubah menjai aba-abu kehijauan atau hitam. Penderita difteri
biasanya tidak demam panas tapi dapat sakit leher dan sesak napas.
b. Diagnosis
Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian
antitoksin sangat mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosis harus segera
ditegakkan berdasarkan gejala-gejala klinik tanpa menunggu hasil mikrobiologi.
Karena preparat smear kurang dapat di percaya, sedangkan untuk biakan
membutuhkan waktu beberapa hari. Adanya membran di tenggorok tidak terlalu
spesifik untuk difteri, karena beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya
membran, tetapi membran pada difteri agak berbeda dengan membran penyakit lain,
warna membran pada difteri lebih gelap dan lebih keabu-abuan disertai dengan lebih
banyak fibrin dan melekat dengan mukosa dibawahnya. Bila diangkat terjadi
pendarahan. Biasanya dimulai dari tonsil dan menyebar ke uvula.
Diagnosa banding
Pada difteri nasal perdarahan yang timbul harus dibedakan dengan perdarahan
akibat luka dalam hidung, korpus alienium atau sifilis kongenital.
89
a. Tonsilitis folikularis atau lakunaris
Terutama bila membran masih berupa bintik-bintik putih. Anak harus dianggap
sebagai penderita difteri bila panas tidak terlalu tinggi tetapi anak tampak lemah dan
terdapat membran putih kelabu dan mudah berdarah bila diangkat. Tonsilitis lakunaris
biasanya disertai panas yang tinggi sedangkan anak tampak tidak terlampau lemah, faring
dan tonsil tampak hiperimis dengan membran putih kekuningan, rapuh dan lembek, tidak
mudah berdarah dan hanya terdapat pada tonsil saja.
b. Angina plaut vincent
Penyakit ini juga membentuk membran yang rapuh, tebal, berbau dan tidak
mudah berdarah. Sediaan langsung akan menunjukkan kuman fisiformis (gram positif)
dan spirila (gram negatif).
c. Infeksi tenggorok oleh mononukleosus infeksiosa
Terdapat kelainan ulkus membranosa yang btidak mudah berdarah dan disertai
pembengkakan kelenjar umum. Khas pada penyakit ini terdapat peningkatan monosit
dalam darah tepi.
d. Blood dyscrasia (misal agranulositosis dan leukemia)
Mungkin pula ditemukan ulkus membranusa pada faring dan tonsil. Difteri laring
harus dibedakan dengan laringitis akuta, laringotrakeitis, laringitis membranosa
(dengan membran rapuh yang tidak berdarah) atau benda asing pada laring, yang
semuanya akan memberikan gejala stridor inspirasi dan sesak.
2. Pertusis
a. Gejala
Penyakit ini cukup parah bila diderita anak balita, bahkan dapat berakibat
kematian pada anak usia kurang dari 1 tahun. Gejalanya sangat khas, yaitu anak tiba-
90
tiba batuk keras secara terus menerus, sukar berhenti, muka menjadi merah atau
kebiruan, keluar air mata dan kadang-kadang sampai muntah. Karena batuk yang
sangat keras, mungkin akan disertai dengan keluarnya sedikit darah. Batuk akan
berhenti setelah ada suara melengking pada waktu menarik nafas, kemudian akan
tampak letih dengan wajah yang lesu. Batuk semacam ini terutama terjadi pada
malam hari. Bila penyakit ini diderita oleh seorang bayi, terutama yang baru berumur
beberapa bulan, akan merupakan keadaan yang sangat berat dan dapat berakhir
dengan kematian akibat suatu komplikasi. Masa tunas 7 – 14 hari penyakit dapat
berlangsung sampai 6 minggu atau lebih dan terbagi dalam 3 stadium, yaitu :
1. Stadium kataralis lamanya 1 – 2 minggu
Pada permulaan hanya berupa batuk-batuk ringan, terutama pada malam hari. Batuk-
batuk ini makin lama makin bertambah berat dan terjadi serangan dan malam. Gejala
lainnya ialah pilek, serak dan anoreksia. Stadium ini menyerupai influenza.
2. Stadium spasmodik lamanya 2 – 4 minggu
Pada akhir minggu batuk makin bertambah berat dan terjadi paroksismal berupa
batuk-batuk khas. Penderita tampak berkeringat, pembuluh darah leher dan muka
melebar. Batuk sedemikian beratnya hingga penderita tampak gelisah. Gejala – gejala
masa inkubasi 5 – 10 hari. Pada awalnya anak yang terinfeksi terlihat seperti terkena
flu biasa dengan hidung mengeluarkan lendir, mata berair, bersih, demam dan batuk
ringan. Batuk inilah yang kemudian menjadi parah dan sering. Batuk akan semakin
panjang dan seringkali berakhir dengan suara seperti orang menarik nafas
(melengking). Anak akan berubah menjadi biru karena tidak mendapatkan oksigen
yang cukup selama rangkaian batuk. Muntah-muntah dan kelelahan sering terjadi
setelah serangan batuk yang biasanya terjadi pada malam hari. Selama masa
penyembuhan, batuk akan berkurang secara bertahap.
91
3. Stadium konvalesensi Lamanya kira-kira 4-6 minggu
Beratnya serangan batuk berkurang. Juga muntah berkurang, nafsu makan
pun timbul kembali. Ronki difus yang terdapat pada stadium spasmodik mulai
menghilang. Infaksi semacam ―Common Cold‖ dapat menimbulkan serangan
batuk lagi.
b. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesis penting ditanyakan adanya riwayat kontak
dengan pasien pertusis, adakah serangan khas yaitu paroksismal dan bunyi whoop yang
jelas. Perlu pula ditanyakan mengenai riwayat imunisasi. Gejala klinis yang didapat
pada pemeriksaan fisis tergantung dari stadium saat pasien diperiksa. Diagnosis dapat
dibuat dengan memperhatikan batuk yang khas bila penderita datang pada stadium
spasmodik, sedang pada stadium kataralis sukar dibuat diagnosis karena menyerupai
common cold.
Tes Diagnostik
a. Pemeriksaan sputum
b. Pemeriksaan serologis untuk Bordetella pertussis
c. ELISA
Elisa dapat dipakai untuk menentukan IgM, IgG, dan IgA serum terhadap
―filamentous hemoaglutinin (FHA)‖ dan toksin pertussis (TP). nilai IgM-FHA dan
IgM-TP serum tidak bernilai dalam penentuan seropositif oleh karena menggambarkan
respon imun primer dan dapat disebabkan oleh penyakit atau vaksinasi. IgG langsung
terhadap toksin pertussis merupakan test yang paling sensitif dan spesifik untuk
infeksi akut. IgA-FHA dan IgA-TP kurang sensitif daripada IgG-TP tetapi sangat
spesifik untuk infeksi natural dan tidak terlihat sesudah imunisasi pertussis.
92
d. Leukositosis (15.000-100.000/mm3) dengan limfositosis absolut selama stadium 1
(catarrhal) dan stadium 2 (paroxysmal).
e. Didapatkan antibodi (IgG terhadap toksin pertusis)
f. Diagnosis pasti dengan ditemukannya organisme Bordetella pertussis pada apus
nasofaring posterior (bahan media Bordet-Gengou).
g. Polymerase chain reaction (PCR) assay memiliki keuntungan sensitivitasnya lebih
tinggi daripada kultur pertusis konvensional.
h. Foto toraks
Infiltrat perihiler (perihilar infiltrates), edema (atau mild interstitial edema) dengan
berbagai tingkat atelektasis yang bervariasi, mild peribronchial cuffing, atau empiema.
Konsolidasi (consolidation) merupakan indikasi adanya infeksi bakteri sekunder
atau pertussis pneumonia (jarang). Adakalanya pneumothorax, pneumomediastinum,
atau udara di jaringan yang lunak dapat terlihat.
Radiography tidak diindikasikan pada pasien dengan tanda-tanda vital (vital
signs) yang normal. Vital signs ini meliputi: tekanan darah, nadi, heart rate,
respiration rate, dan suhu tubuh.
3. Tetanus
a. Gejala
Gejala tetanus yang khas adalah kejang, dan kaku secara menyeluruh,
otot dinding perut yang teraba keras dan tegang seperti papan, mulut kaku dan
sukar dibuka. Tetanus tak segera dapat terdeteksi karena masa inkubasi
penyakit ini berlangsung hingga 21 hari setelah masuknya kuman tetanus ke
dalam tubuh. Pada masa inkubasi inilah baru timbul gejala awalnya. Gejala
penyakit tetanus bisa dibagi dalam tiga tahap, yaitu:
93
1) Tahap awal
Rasa nyeri punggung dan perasaan tidak nyaman di seluruh tubuh
merupakan gejala awal penyakit ini. Satu hari kemudian baru terjadi
kekakuan otot. Beberapa penderita juga mengalami kesulitan menelan.
Gangguan terus dialami penderita selama infeksi tetanus masih berlangsung.
2) Tahap kedua
Gejala awal berlanjut dengan kejang yang disertai nyeri otot pengunyah
(Trismus). Gejala tahap kedua ini disertai sedikit rasa kaku di rahang, yang
meningkat sampai gigi mengatup dengan ketat, dan mulut tidak bisa dibuka
sama sekali. Kekakuan ini bisa menjalar ke otot-otot wajah, sehingga wajah
penderita akan terlihat menyeringai (Risus Sardonisus), karena tarikan dari
otot-otot di sudut mulut.
Selain itu, otot-otot perut pun menjadi kaku tanpa disertai rasa nyeri.
Kekakuan tersebut akan semakin meningkat hingga kepala penderita akan
tertarik ke belakang. (Ophistotonus). Keadaan ini dapat terjadi 48 jam
setelah mengalami luka.
Pada tahap ini, gejala lain yang sering timbul yaitu penderita menjadi
lambat dan sulit bergerak, termasuk bernafas dan menelan makanan.
Penderita mengalami tekanan di daerah dada, suara berubah karena
berbicara melalui mulut atau gigi yang terkatub erat, dan gerakan dari
langit-langit mulut menjadi terbatas.
3) Tahap ketiga
Daya rangsang dari sel-sel saraf otot semakin meningkat, maka terjadilah
kejang refleks. Biasanya hal ini terjasi beberapa jam setelah adanya
kekakuan otot. Kejang otot ini bisa terjadi spontan tanpa rangsangan dari
94
luar, bisa pula karena adanya rangsangan dari luar. Misalnya cahaya,
sentuhan, bunyi-bunyian dan sebagainya. Pada awalnya, kejang ini hanya
berlangsung singkat, tapi semakin lama akan berlangsung lebih lama dan
dengan frekuensi yang lebih sering.
Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni:
1) Localited tetanus (Tetanus Lokal)
Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten,
pada daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator).
Hal inilah merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut
biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progressif dan
biasanya menghilang secara bertahap.
Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus,
tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian.
Bisajuga lokal tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus
atau dijumpai secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah
pemberian profilaksis antitoksin.
2) Cephalic Tetanus
Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa
inkubasi berkisar 1 –2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti
dilaporkan di India), Luka pada daerah muka dan kepala, termasuk
adanya benda asing dalam rongga hidung.
3) Generalized Tetanus (Tetanus umum)
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan
komplikasi yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala
timbul secara diam-diam. Trismus merupakan gejala utama yang sering
95
dijumpai (50 %), yang disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter,
bersamaan dengan kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya
kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa Risus Sardonicus
(Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka, opistotonus (kekakuan otot
punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot
pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia.
Bisa terjadi disuria dan retensi urine, kompressi fraktur dan pendarahan
didalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi
begitupun bisa mencapai 40’ C. Bila dijumpai hipertermi ataupun
hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan dijumpai takhikardia, penderita
biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan gejala
klinis.
4) Neonatal Tetanus
Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali
pusat sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora yang masuk
disebabkan oleh proses pertolongan persalinan yang tidak steril, baik
oleh penggunaan alat yang telah terkontaminasi spora C. tetani, maupun
penggunaan obat-obatan Wltuk tali pusat yang telah terkontaminasi.
Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat tradisional
yang tidak steril, merupakan faktor yang utama dalam terjadinya neonatal
tetanus.
b. Diagnosis
Diagnosis tetanus ditegakkan berdasarkan:
1) Riwayat adanya luka yang sesuai dengan masa inkubasi.
2) Gejala klinis.
96
3) Penderita biasanya belum mendapatkan imunisasi.
Diagnosis tetanus dapat diketahui dari pemeriksaan fisik pasien sewaktu istirahat,
berupa:
1) Gejala klinik
2) Kejang tetanic, trismus, dysphagia, risus sardonicus (sardonic smile).
3) Adanya luka yang mendahuluinya. Luka adakalanya sudah dilupakan.
4) Kultur: C. tetani (+).
5) Lab: SGOT, CPK meninggi serta dijumpai myoglobinuria
Pemeriksaan laboratorium kurang menunjang dalam diagnosis. Pasca
pemeriksaan darah rutin tidak ditemukan nilai-nilai spesifik, leukosit dapat normal
atau dapat meningkat. Pemeriksaan mikrobiologi, bahan diambil dari luka berupa pus
atau jaringan nekrotis kemudian dibiakkan pada kultur agar darah atau kaldu daging.
Tetapi pemeriksaan mikrobiologi hanya pada 30% kasus ditemukan Clostridium
tetani.
Pemeriksaan cairan serebrospinalis dalam batas normal, walaupun kadang-
kadang didapatkan tekanan meningkat akibat kontraksi otot. Pemeriksaan
elektroensefalogram adalah normal dan pada pemeriksaan elektromiografi hasilnya
tidak spesifik.
Diagnosa Banding
1. Meningitis Bakterial
Pada penyakit ini trismus tidak ada dan kesadaran penderita biasanya menurun.
Diagnosis ditegakkan dengan melakukan lumbal fungsi, di mana adanya kelainan
cairan serebrospinalis yaitu jumlah sel meningkat, kadar protein meningkat dan
glukosa menurun.
97
2. Poliomielitis
Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus.
Pemeriksaan cairan serebrospinalis menunjukkan leukositosis. Virus polio diisolasi
dari tinja dan pemeriksaan serologis, titer antibodi meningkat.
3. Rabies
Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang ditemukan,
kejang bersifat kronik.
4. Keracunan strichnine
Pada keadaan ini trismus jarang, gejala berupa kejang tonik umum.
5. Tetani
Timbul karenahipokalsemia dan hipofasfatemia di mana kadar kalsium dan fosfat
dalam serum rendah. Yang khas bentuk spasme otot adalah karpopedal spasme dan
biasanya diikuti laringospasme, jarang dijumpai trismus.
6. Retropharingeal abses
Trismus selalu ada pada penyakit ini, tetapi kejang umum tidak ada.
7. Tonsilitis berat
Penderita disertai panas tinggi, kejang tidak ada tetapi trismus ada.
8. Efek samping fenotiasin
9. Adanya riwayat minum obat fenotiasin. Kelaianan berupa sindrom ekstrapiramidal.
Adanya reaksi distonik akut, torsicolis, dan kekakuan otot. lobaris atas, miositis leher
dan spondilitis leher.
I. Pencegahan DPT
1. Difteri
Setiap orang dapat terinfeksi oleh difteri, tetapi kerentanan terhadap infeksi
tergantung dari pernah tidaknya ia terinfeksi oleh difteri dan juga pada
98
kekebalannya. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kebal akan mendapat kekebalan
pasif, tetapi taka akan lebih dari 6 bulan dan pada umur 1 tahun kekebalannya
habis sama sekali. Seseorang yang sembuh dari penyakit difteri tidak selalu
mempunyai kekebalan abadi. Paling baik adalah kekebalan yang didapat secara
aktif dengan imunisasi.
Berdasarkan penelitian Basuki Kartono bahwa anak dengan status imunisasi
DPT dan DT yang tidak lengkap beresiko menderita difteri 46.403 kali lebih besar
dari pada anak yang status imunisasi DPT dan DT lengkap. Keberadaan sumber
penularan beresiko penularan difteri 20.821 kali lebih besar daripada tidak ada
sumber penularan. Anak dengan ibu yang bepengetahuan rendah tentang
imunisasi dan difteri beresiko difteri pada anak-anak mereka sebanyak 9.826 kali
dibandingkan dengan ibu yang mempunyai pengetahuan tinggi tentang imunisasi
dan difteri. Status imunisasi DPT dan DT anak adalah faktor yang paling dominan
dalam mempengaruhi terjadinya difteri (Kartono,2008).
Pencegahan paling efektif adalah dengan imunisasi bersamaan dengan
tetanus dan pertusis (DPT) sebanyak tiga kali sejak bayi berumur dua bulan
dengan selang penyuntikan satu – dua bulan. Pemberian imunisasi ini akan
memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus dalam
waktu bersamaan. Efek samping yang mungkin akan timbul adalah demam, nyeri
dan bengkak pada permukaan kulit, cara mengatasinya cukup diberikan obat
penurun panas. Berdasarkan program dari Departemen Kesehatan RI imunisasi
perlu diulang pada saat usia sekolah dasar yaitu bersamaan dengan tetanus yaitu
DT sebanyak 1 kali. Sayangnya kekebalan hanya diiperoleh selama 10 tahun
setelah imunisasi, sehingga orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster
(DT) setiap 10 tahun sekali.
99
Selain pemberian imunisasi perlu juga diberikan penyuluhan kepada
masyarakat terutama kepada orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya
imunisasiaktif diberikan kepada bayi dan anak-anak. Dan perlu juga untuk
menjaga kebersihan badan, pakaian dan lingkungan. Penyakit menular seperti
difteri mudah menular dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi
rendah. Oleh karena itulah, selain menjaga kebersihan diri, kita juga harus
menjaga kebersihan lingkungan sekitar. Disamping itu juga perlu diperhatikan
makanan yang kita konsumsi harus bersih. Jika kita harus membeli makanan di
luar, pilihlah warung yang bersih. Jika telah terserang difteri, penderita sebaiknya
dirawat dengan baik untuk mempercepat kesembuhan dan agar tidak menjadi
sumber penularan bagi yang lain. Pengobatan difteri difokuskan untuk
menetralkan toksin (racun) difteri dan untuk membunuh kuman Corynebacterium
diphtheriae penyebab difteri. Setelah terserang difteri satu kali, biasanya penderita
tidak akan terserang lagi seumur hidup.
Perawatan umum penyakit difteri yaitu dengan melakukan isolasi, bed rest:
2-3 minggu, makanan yang harus dikonsumsi adalah makanan lunak, mudah
dicerna, protein dan kalori cukup, kebersihan jalan nafas, pengisapan lendir.
Penanggulangan melalui pemberian imunisasi DPT (Dipteri Pertusis
Tetanus) dimana vakisin DPT adalah vaksin yang terdiri dari toxoid difteri dan
tetanus yang dimurnikan serta bakteri pertusis yang telah diinaktifkan. Imunisasi
DPT diberikan untuk pemberian kekebalan secara simultan terhadap difteri,
pertusis dan tetanus, diberikan pertama pada bayi umur 2 bulan, dosis selanjutnya
diberikan dengan interval paling cepat 4 (empat) minggun (1 bulan). DPT pada
bayi diberikan tiga kali yaitu DPT1, DPT2 dan DPT 3. Imunisasi lainnya yaitu DT
100
(Dipteri Pertusis) merupakan imunisasi ulangan yang biasanya diberikan pada
anak sekolah dasar kelas 1.
2. Pertusis
Cara terbaik untuk mengontrol penyakit ini adalah dengan imunisasi. Banyak
laporan mengemukakan bahwa terdapat penurunan angka kejadian pertusis
dengan adanya pelaksanaan program imunisasi. Pencegahan dapat dilakukan
melalui imunisasi aktif dan pasif.
1) Imunisasi pasif
Dalam imunisasi pasif dapat diberikan human hyperimmune globulin,
ternyata berdasarkan beberapa penelitian di klinik terbukti tidak efektif
sehingga akhir-akhir ini tidak lagi digunakan untuk pencegahan.
2) Imunisasi aktif
Remaja usia 11-18 tahun (terutama usia 11-12 tahun) harus mendapat dosis
tunggal Terdapat 0,5 mL i.m. di daerah m. deltoideus. Kontra indikasi bila
terdapat riwayat reaksi anafilaksis terhadap komponen vaksin dan
ensefalopati (koma, kejang lama) dalam 7 hari pemberian vaksin pertusis.
Pencegahan penyebarluasan penyakit dilakukan dengan cara:
1) Isolasi
Mencegah kontak dengan individu yang terinfeksi, diutamakan bagi bayi dan anak
usia muda, sampai pasien setidaknya mendapatkan antibiotik sekurang-kurangnya
5 hari dari 14 hari pemberian secara lengkap. Atau 3 minggu setelah batuk
paroksismal reda bilamana pasien tidak mendapatkan antibiotik.
2) Karantina
Kasus kontak erat terhadap kasus yang berusia <7 tahun, tidak diimunisasi, atau
imunisasi tidak lengkap, tidak boleh berada di tempat publik selama 14 hari atau
101
setidaknya mendapat antibiotik selama 5 hari dari 14 hari pemberian secara
lengkap.
3) Disinfeksi
Direkomendasikan untuk melakukan pada alat atau ruangan yang terkontaminasi
sekret pernapasan dari pasien pertussis
3. Tetanus
Seorang penderita yang terkena tetanus tidak imun terhadap serangan
ulangan artinya dia mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapat tetanus
bila terjadi luka sama seperti orang lainnya yang tidak pernah di imunisasi. Tidak
terbentuknya kekebalan pada penderita setelah ia sembuh dikarenakan toksin yang
masuk ke dalam tubuh tidak sanggup untuk merangsang pembentukkan antitoksin
(karena tetanospamin sangat poten dan toksisitasnya bisa sangat cepat, walaupun
dalam konsentrasi yang minimal, yang mana hal ini tidak dalam konsentrasi yang
adekuat untuk merangsang pembentukan kekebalan).
Vaksinasi adalah cara pencegahan terbaik terhadap tetanus. Komite
Penasehat untuk Praktik Imunisasi (ACIP) merekomendasikan bahwa semua anak
menerima serangkaian rutin dari 5 dosis difteri dan vaksin tetanus pada usia 2, 4,
6, 15-18 bulan, dan 4-6 tahun. Dosis booster difteri dan tetanus toxoid harus
diberikan dimulai pada usia 11-12 tahun (minimal 5 tahun sejak dosis terakhir)
dan diulangi setiap 10 tahun sesudahnya. Saat ini, DTaP dan DT harus digunakan
pada orang kurang dari tujuh tahun, sedangkan Td diberikan kepada mereka yang
berusia tujuh tahun atau lebih. Jadwal catch-up imunisasi Td bagi mereka dimulai
pada usia tujuh tahun atau lebih terdiri dari tiga dosis. Dosis kedua biasanya
diberikan 1-2 bulan setelah dosis pertama, dan dosis ketiga diberikan 6 bulan
setelah dosis kedua. Aselular formulasi vaksin pertusis bagi remaja dan orang
102
dewasa yang berlisensi dan dikombinasikan dengan difteri dan tetanus-toxoid.
Jadwal yang disarankan untuk DTap belum ditentukan, tetapi vaksin ini harus
diterima dalam kondisi yang tepat.
Untuk pencegahan tetanus neonatorum, langkah-langkah pencegahan,
selain imunisasi ibu, adalah program imunisasi untuk gadis remaja dan wanita
usia subur serta pelatihan yang tepat bidan dalam rekomendasi untuk imunisasi
dan teknik aseptik dan pengendalian infeksi. Maternal and Neonatal Tetanus
Elimination (MNTE) merupakan program eliminasi tetanus pada neonatal dan
wanita usia subur termasuk ibu hamil. Strategi yang dilakukan untuk
mengeliminasi tetanus neonatorum dan maternal adalah:
1) Pertolongan persalinan yang aman dan bersih;
2) Cakupan imunisasi rutin tt yang tinggi dan merata; dan
3) Penyelenggaraan surveilans.
Beberapa permasalahan imunisasi Tetanus Toksoid (TT) pada wanita usia
subur yaitu pelaksanaan skrining yang belum optimal, pencatatan yang dimulai
dari kohort WUS (baik kohort ibu maupun WUS tidak hamil) belum seragam, dan
cakupan imunisasi TT2 bumil jauh lebih rendah dari cakupan K4. Cakupan
imunisasi TT2 selama tahun 2003-2007 tidak mengalami perkembangan, bahkan
cenderung menurun. Namun sejak dua tahun terakhir terjadi peningkatan cakupan
imunisasi TT2+, dari 26% pada tahun 2007 menjadi 42,9% pada tahun 2008,
kemudian meningkat lagi menjadi 62,52% pada tahun 2009 (Kemenkes RI. 2009).
4. Pencegahan dengan Program Imunisasi DPT
Pengertian Imunisasi DPT
Imunisasi adalah suatu upaya untuk mendapatkan kekebalan terhadap
suatu penyakit dengan cara memasukkan kuman atau produk kuman yang sudah
103
dilemahkan atau dimatikan kedalam tubuh. Dengan memasukkan kuman atau
bibit penyakit tersebut diharapkan tubuh dapat menghasilkan zat anti yang ada
pada saatnya nanti digunakan tubuh untuk melawan kuman atau bibit penyakit
yang menyerang tubuh. Imunisasi adalah memasukkan vaksin kedalam tubuh
untuk membuat zat anti untuk mencegah penyakit.
Vaksin adalah suatu bahan yang terbuat dari kuman, komponen kuman,
atau racun kuman yang telah dilemahkan atau dimatikan. Vaksin difteri terbuat dari
toksin kuman difteri yang telah dilemahkan. Vaksin Tetanus yaitu toksin kuman
tetanus yang telah dilemahkan dan kemudian dimurnikan. Vaksin Pertusis terbuat
dari kuman Bordetella Pertusis yang telah dimatikan. Selanjutnya ketiga vaksin ini
dikemas bersama yang dikenal dengan vaksin DPT.
Imunisasi DPT adalah upaya untuk mendapatkan kekebalan terhadap
penyakit Difteri, Pertusis, Tetanus dengan cara memasukkan kuman difteri,
pertusis, tetanus yang telah dilemahkan dan dimatikan kedalam tubuh sehingga
tubuh dapat menghasilkan zat anti yang pada saatnya nanti digunakan tubuh untuk
melawan kuman atau bibit ketiga penyakit tersebut (Markum, 2005). Imunisasi
DPT (Diphteri, Pertusis dan Tetanus) merupakan imunisasi yang digunakan untuk
mencegah terjadinya penyakit difteri. Imunisasi DPT ini merupakan vaksin yang
mengandung racun kuman difteri yang telah dihilangkan sifat racunnya akan tetapi
masih dapat merangsang pembentukkan zat anti (toksoid). Frekuensi pemberian
imunisasi DPT adalah tiga kali, dengan maksud pemberian pertama zat anti
terbentuk masih sangat sedikit (tahap pengenalan) terhadap vaksin dan
mengaktifkan organ-organ tubuh membuat zat anti, kedua dan ketiga terbentuk zat
anti yang cukup (Alimul, 2008)
104
Manfaat Imunisasi DPT Dasar
Salah satu upaya agar anak-anak jangan sampai menderita suatu penyakit
adalah dengan jalan memberikan imunisasi. Dengan imunisasi ini tubuh akan
membuat zat anti dalam jumlah banyak, sehingga anak tersebut kebal terhadap
penyakit. Jadi tujuan imunisasi DPT adalah membuat anak kebal terhadap penyakit
Difteri, Pertusis, Tetanus. Selain itu manfaat pemberian imunisasi DPT adalah :
1. Untuk menimbulkan kekebalan aktif dalam waktu yang bersamaan terhadap
penyakit difteri, pertusis (batuk rejan), tetanus.
2. Apabila terjadi penyakit tersebut, akan jauh lebih ringan dibanding terkena
penyakit secara alami.
Secara alamiah sampai batas tertentu tubuh juga memiliki cara membuat
kekebalan tubuh sendiri dengan masuknya kuman-kuman kedalam tubuh. Namun bila
jumlah yang masuk cukup banyak dan ganas, bayi akan sakit. Dengan semakin
berkembangnya teknologi dunia kedokteran, sakit berat masih bisa ditanggulangi
dengan obat-obatan. Namun bagaimanapun juga pencegahan adalah jauh lebih baik
dari pada pengobatan (Markum, 2005).
Jadwal Pemberian Imunisasi
Imunisasi dasar DPT diberikan tiga kali, karena saat imunisasi pertama belum
memiliki kadar antibodi protektif terhadap difteri dan akan memiliki kadar antibodi
setelah mendapatkan imunisasi 3 kali dengan interval 4 minggu. Imunisasi DPT tidak
boleh diberikan kepada anak yang sakit parah dan anak yang menderita penyakit
kejang demam kompleks. Jika tidak boleh diberikan pada anak dengan batuk yang
diduga mungkin sedang menderita batuk rejan. Bila pada suntikan DPT pertama
terjadi reaksi yang berat maka sebaiknya suntikan berikut jangan diberikan DPT lagi
melainkan DT saja (tanpa P). DPT biasanya tidak diberikan pada anak usia kurang dari
105
6 minggu, disebabkan respon terhadap pertusis dianggap tidak optimal, sedangkan
respon terhadap tetanus dan difteri adalah cukup baik tanpa memperdulikan adanya
antibodi maternal (Markum, 2005).
Kekebalan terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus adalah dengan
pemberian vaksin yang terdiri dari toksoid difteri dan toksoid tetanus yang telah
dimurnikan ditambah dengan bakteri Bortella pertusis yang telah dimatikan. Dosis
penyuntikan 0,5 ml diberikan secara subkutan atau intramuscular pada bayi yang
berumur 2-12 bulan sebanyak 3 kali dengan interval 4 minggu. Vaksin DPT adalah
vaksin 3-in-1 yang bisa diberikan kepada anak yang berumur kurang dari 7 tahun.
Biasanya vaksin DPT terdapat dalam bentuk suntikan, yang disuntikkan pada otot
lengan atau paha. Imunisasi DPT diberikan sebanyak 3 kali, yaitu pada saat anak
berumur 2 bulan (DPT I), 3 bulan (DPT II) dan 4 bulan (DPT III); selang waktu tidak
kurang dari 4 minggu. Imunisasi DPT ulang diberikan 1 tahun setelah DPT III dan
pada usia prasekolah (5-6 tahun). Jika anak mengalami reaksi alergi terhadap vaksin
pertusis, maka sebaiknya diberikan DT, bukan DPT. Setelah mendapatkan serangkaian
imunisasi awal, sebaiknya diberikan booster vaksin DPT pada usia 14-16 tahun
kemudian setiap 10 tahun (karena vaksin hanya memberikan perlindungan selama 10
tahun, setelah 10 tahun perlu diberikan booster).
Reaksi spesifik yang timbul setelah penyuntikan tidak ada. Gejala biasanya
demam ringan dan reaksi lokal tempat penyuntikan. Bila ada reaksi yang berlebihan
seperti suhu yang terlalu tinggi, kejang, kesadaran menurun, menangis yang
berkepanjangan lebih dari 3 jam, hendaknya pemberian vaksin DPT diganti dengan
DT. (Depkes RI, 2005).
106
SOP IMUNISASI DPT
Pengertian Imunisasi DPT adalah usaha untuk memberikan kekebalan kepada
bayi dan anak terhadap penyakit difteri, pertusis, tetanus, hepatitis
B dan peradangan selaput otak.
Tujuan Membentuk daya tahan tubuh sehingga bayi./anak
terhindar dari penyakit tersebut dan kalau terkena penyakit ini
tidak sampai menyebabkan kecacatan dan kematian
Persiapan 1. Persiapan Tempat
a. Mudah di Akses.
b. Penyiapan Tempat Pelayanan Imunisasi
c. Penyiapan Pelayanan Imunisasi
d. Pelaksanaan Pelayanan Imunisasi
e. Tidak terkena langsung terhadap sinar matahari Cukup
terang.
f. Pemantauan Kejadian Ikutan Paska Imunisasi.
2. Persiapan Alat/Bahan
1. Vaksin DPT/HB/HIB
2. Spuit 1 cc / 0,5 ml
3. Kapas DTT
4. Register imunisasi, KMS dan alat tulis
107
Prosedur
Tindakan
Tahap Persiapan
1. Justifikasi Identitas klien
2. Menyiapkan peralatan
3. Mencuci tangan
Komunikasi terapeutik:
4. Berikan salam dengan ramah dan akrab
5. Memperkenalkan diri
6. Tanyakan pada ibu/keluarga tujuan dari kunjungan
7. Tanyakan apakah ibu/keluarga telah mendapat penyuluhan
tentang imunisasi
8. Menjelaskan pada klien tujuan tindakan yang akan
dilakukan
9. Mendapatkan persetujuan klien
10. Mengatur lingkungan sekitar bayi
11. Membantu bayi mendapatkan posisi yang nyaman
Tahap Kerja
1. Mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, kemudian
keringkan dengan handuk kering
2. Cek label flacon vaksin, kocok hingga endapan vaksin
tercampur dengan sempurna apabila vaksin tidak tercampur
sempurrn anda akan memberikan dosis yang tidak tepat
3. Hangatkan sebentar dengan cara menggenggam flacon
untuk mencegah abses steril
4. Buka tutup Bacon kemudan masukkan pelarut dalam vaksin
108
dan pastikan benar-benar tercampur
5. Ambil semprit DPT buka sermprit yang telah disiapkan dan
hisaplah vaksin sesuai dengan dosis yang ditentukan
6. Semprit ditegakkan keatas untuk melihat menggelembung
udara. Apabila ada gelembung udara ketuklah pelan - pelan
supaya gelembung naik ke atas lalu doronglah piston
sehingga gelembung naik ke atas
7. Jelaskan pada ibu cara memegang bayi
8. Tentukan tempat penyuntikkan yaitu pada bagian paha
sebelah luar. Usaplah daerah pada baglan luar paha sebelah
luar. Usaplah daerah paha bagian luar dengan kapas DTT
9. Letakkan ibu jari dan jari telunjuk anda pada posisi yang
akan disuntik. Peganglah otot paha diantara jari telunjuk dan
ibu jari
Mengisi Semprit
10. Tarik pistonnya sedikit untuk meyakinkan bahwa jarum
tidak mengenai pembuluh darah
11. Dorong pangkal piston perlahan-lahan dengan ibu jari untuk
memasukkan vaksin, cabut jarum.
12. Jelaskan pada ibu tentang reaksi yang akan timbul setelah
penyuntikan
13. Jelaskan pada ibu bila timbul reaksi:
Suhu tubuh meningkat segera meminumkan obat
penurun panas sesuai dengan dosis yang telah ditentukan,
109
anak tidak boleh dibungkus dengan selimut tebal dan
jangan memandikan bayi (cukup diseka dengan air
hangat)
Rasa sakit didaerah suntikan: lakukan pengompresan
pada tempat penyuntikan dengan air hangat dan yakinkan
ibu pada keadaan ini tidak berbahaya dan tidak perlu
pengobatan
Pembengkakan lokasi penyuntikan: bawalah anak
tersebut ke puskesmas/RS untuk pengobatan
14. Jelaskan pada ibu cara memberi (meminumkan) obat
penurun panas
15. Memberi kesempatan pada ibu/keluarga untuk bertanya
tentang hal-hal yang kurang jelas
16. Mencuci tangan dengan sabun can air mengalir, keringkan
dengan handuk keringkan
Tahap Terminasi
17. Membersihkan dan menyimpan kembali peralatan pada
tempatnya
18. Mencuci tangan
19. Melakukan evaluasi terhadap klien tentang kegiatan yang
telah dilakukan
20. Jelaskan kepada ibu hasil pemeriksaan bayinya
21. Tanyakan apakah klien masih mempunyai pertanyaan
110
Dokumentasi
22. Mencatat dalam KMS/kartu kontrol bayi, ucapkan salam
dan terima kasih
23. Beritahu ibu kapan imunisasi selanjutnya dilaksanakan
4. Campak
1. Jenis Imunisasi Campak
a. Vaksin Campak Kering
1) Deskripsi
Vaksin campak merupakan vaksin virus hidup yang dilemahkan. Setiap
dosis (0,5 ml) mengandung tidak kurang dari 1000 infective unit virus strain
CAM 70, dan tidak lebih dari 100 mcg residu kanamycin dan 30 mcg residu
erythromycin. Vaksin ini berbentuk vaksin beku kering yang harus dilarutkan
hanya dengan pelarut steril yang tersedia secara terpisah untuk tujuan
tersebut. Vaksin ini telah memenuhi persyaratan WHO untuk vaksin campak.
Jumlah pemberian imunisasi campak diberikan sebanyak 2 kali; 1 kali di
usia 9 bulan, 1 kali di usia 6 tahun. Dianjurkan, pemberian campak ke-1
sesuai jadwal. Selain karena antibodi dari ibu sudah menurun di usia 9 bulan,
penyakit campak umumnya menyerang anak usia balita. Jika sampai 12 bulan
belum mendapatkan imunisasi campak, maka pada usia 12 bulan harus
diimunisasi MMR (Measles Mump Rubella).
2) Indikasi
Untuk Imunisasi aktif terhadap penyakit campak.
3) Komposisi
Tiap dosis vaksin yang sudah dilarutkan mengandung :
111
Virus Campak >= 1.000 CCID50
Kanamycin sulfat <= 100 mcg
Erithromycin <= 30 mcg
4) Dosis dan Cara Pemberian
Imunisasi campak terdiri dari dosis 0,5 ml yang disuntikkan secara
Subkutan, lebih baik pada lengan atas. Pada setiap penyuntikan harus
menggunakan jarum dan syringe yang steril. Vaksin yang telah dilarutkan hanya
dapat digunakan pada hari itu juga (maksimum untuk 8 jam) dan itupun berlaku
hanya jika vaksin selama waktu tersebut disimpan pada suhu 2°-8°C serta
terlindung dari sinar matahari. Pelarut harus disimpan pada suhu sejuk sebelum
digunakan. Satu dosis vaksin campak cukup untuk membentuk kekebalan
terhadap infeksi. Di negara-negara dengan angka kejadian dan kematian karena
penyakit campak tinggi pada tahun pertama setelah kelahiran, maka dianjurkan
imunisasi terhadap campak dilakukan sedini mungkin setelah usia 9 bulan (270
hari). Di negara-negara yang kasus campaknya sedikit, maka imunisasi boleh
dilakukan lebih dari usia tersebut. Vaksin campak tetap aman dan efektif jika
diberikan bersamaan dengan vaksin-vaksin DT, Td, TT, BCG, Polio, (OPV dan
IPV), Hepatitis B, dan Yellow Fever.
Tata Cara Pemberian Imunisasi Campak
Imunisasi campak dilakukan dengan menggunakan alat suntik sekali pakai
(autodestruct syringe). Penggunaan alat suntik tersebut dimaksudkan untuk
menghindari penularan penyakit HIV/AIDS dan Hepatitis B.
Dengan cara :
1. Vaksin Campak dilarutkan dulu sebelum saat pelayanan akan dimulai.
112
2. Buka tutup torak dan tutup jarum.
3. Tusukkan jarum tersebut ke vial vaksin. Pastikan ujung jarum selalu berada
didalam cairan vaksin, jauh dibawah permukaan cairan vaksin, sehingga tidak
ada udara yang masuk kedalam semprit.
4. Tarik torak perlahan-lahan agar cairan vaksin masuk kedalam semprit, sampai
torak terkunci secara otomatis, torak tidak dapat ditarik lagi.
5. Cabut jarum dari vial, keluarkan udara yang tersisa dengan cara mengetuk alat
suntik dan mendorong torak sampai pada skala 0,5 cc.
6. Bersihkan kulit dengan air hangat, kemudian suntikan vaksin secara
intramuskular (lakukan aspirasi sebelumnya untuk memastikan apakah jarum
tidak menembus pembuluh darah). Alat suntik yang telah dipakai langsung
dibuang kedalam insinerator tanpa penutup jarum dan penutup torak.
Untuk menghindari resiko tertusuk jarum, petugas kesehatan tidak
boleh memasang kembali penutup jarum.
Insinerator berisi alat suntik bekas pakai dibawa kembali ke Puskesmas
dan kemudian setelah penuh, baru dipakai.
Perhatian !
Alat suntik ini bersifat sekali pakai (autodestruct), maka torak tidak
boleh ditarik sebelum jarum tersebut ditusukkan kedalam vial vaksin. Torak
yang sudah ditarik sebelum diisi vaksin tidak akan dapat digunakan lagi.
113
7. Vaksin campak yang telah dilarutkan hanya bertahan 3 jam, setelah lewat
waktu tersebut tidak boleh dipakai lagi.
8. Lokasi penyuntikan sebaiknya paha anak, tekhnis penyuntikan sesuai juknis
imunisasi.
5) Efek Samping
Hingga 15 % pasien dapat mengalami demam ringan dan kemerahan selama
3 hari yang dapat terjadi 8 - 12 hari setelah vaksinasi. Terjadinya Encephalitis
setelah vaksinasi pernah dilaporkan yaitu dengan perbandingan 1 kasus per 1
juta dosis yang diberikan.
6) Kontraindikasi
Terdapat beberapa kontraindikasi yang berkaitan dengan pemberian vaksin
campak. Walaupun berlawanan penting untuk mengimunisasi anak yang
mengalami malnutrisi. Demam ringan, infeksi ringan pada saluran nafas atau
diare, dan beberapa penyakit ringan lainnya jangan dikategorikan sebagai
kontraindikasi. Kontraindikasi terjadi bagi individu yang diketahui alergi berat
terhadap kanamycin dan erithromycin. Karena efek vaksin virus campak hidup
terhadap janin belum diketahui, maka wanita hamil termasuk kontraindikasi.
Individu Pengidap Virus HIV (HUMAN IMMUNODEFFICIENCY
VIRUS). Vaksin Campak kontraindikasi terhadap individu-individu yang
mengidap penyakit immune deficiency atau individu yang diduga menderita
gangguan respon imun karena leukimia, lymphoma atau generalized
malignancy. Bagaimanapun penderita HIV, baik yang disertai gejala ataupun
tanpa gejala harus diimunisasi vaksin campak sesuai jadual yang ditentukan.
114
7) Penyimpanan dan Daluarsa
Vaksin Campak beku-kering harus disimpan pada suhu dibawah 8 °C (kalau
memungkinkan di bawah 0 °C) sampai ketika vaksin akan digunakan. Tingkat
stabilitas akan lebih baik jika vaksin (bukan pelarut) disimpan pada suhu -20 °C.
Pelarut tidak boleh dibekukan tetapi disimpan pada kondisi sejuk sampai dengan
ketika akan digunakan. Vaksin harus terlindung dari sinar matahari.
Daluarsa : 2 tahun
8) Kemasan
Vaksin tersedia dalam kemasan vial 10 dosis + 5 ml pelarut dalam ampul.
Gambar Vaksin Campak
115
JADWAL IMUNISASI 2008
REKOMENDASI IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA (IDAI) PERIODE 2008
JENIS
VAKSIN
UMUR PEMBERIAN VAKSINASI
BULAN TAHUN
L
H R 1 2 3 4 5 6 9
1
2
1
5
1
8 2 3 5 6
1
0
1
2
PROGRAM PENGEMBANGAN IMUNISASI (PPI diwajibkan)
BCG
HEPATITIS
B 1 2
3
POLIO 0 1 2 3 4 5
DTP
1
2
3
4
5
6
CAMPAK
1
2
PROGRAM IMUNISASI NON-PPI (dianjurkan)
Hib
1
2
3
4
PNEUMOK
OKUS (PCV)
1
2
3
4
INFLUENZ
A DIBERIKAN SETAHUN SEKALI
MMR 1 2
116
TIFOID ULANGAN TIAP 3
TAHUN
HEPATITIS
A
2x INTERVAL 6 - 12
BULAN
VARISELA
HPV
Keterangan Jadwal Imunisasi Periode 2008
117
Vaksin Keterangan
BCG Diberikan sejak lahir.
Apabila umur > 3 bulan harus
dilakukan uji tuberkulin terlebih
dulu, BCG diberikan apabila uji
tuberkulin negatif.
Hepati
tis B
HB diberikan dalam
waktu 12 jam setelah lahir,
dilanjutkan pada umur 1 dan 3-6
bulan.
Interval dosis minimal 4 minggu.
Polio Polio-0 diberikan saat
kunjungan pertama. Untuk bayi
yang lahir di RB/RS OPV
diberikan saat bayi dipulangkan
(untuk menghindari transmisi
virus vaksin kepada bayi lain).
DTP Diberikan pada umur ³ 6
minggu, DTwP atau DTaP atau
secara kombinasi dengan Hep B
program BIAS SD kelas VI. atau
Hib. Ulangan DTP umur
Campa
k
Campak-1 umur 9
bulan,campak-2 diberikan pada
program BIAS pada SD kl 1,
umur 6 tahun.
Vaksin Keterangan
Hib Diberikan mulai umur 2
bulan dengan interval 2 bulan.
Diberikan terpisah atau
kombinasi.
Pneum
okokus ( PCV
)
Pada anak yang belum
mendapat PCV pada umur > 1
tahun PCV diberikan dua kali
dengan interval 2 bulan. Pada
umur 2 - 5 tahun PCV diberikan
satu kali.
Influe
nza
Umur < 8 tahun yang
mendapat vaksin influenza
trivalen (TIV) pertama kalinya
harus mendapat 2 dosis dengan
interval minimal 4 minggu.
MMR MMR dapat diberikan
pada umur 12 bulan, apabila
belum mendapat campak 9
bulan.
Umur 6 tahun diberikan untuk
ulangan MMR maupun catch-up
immunization.
Tifoid Tifoid polisakarida
injeksi diberikan pada umur ³ 2
tahun, diulang setiap 3 tahun.
Hepati
tis A
Hepatitis A diberikan
pada umur > 2 tahun, dua kali
dengan interval 6-12 bulan.
118
HPV Vaksin HPV diberikan
pada umur >10 tahun dengan
jadwal 0, (1-2) dan 6 bulan
Sumber : Buku Pedoman Imunisasi Di
Indonesia –
IDAI Edisi III, 2008
119
SOP IMUNISASI CAMPAK
Pengertian Pemberian vaksin (antibody) kepada bayi dan balita dalam upaya
meningkatkan kekebalan tubuh terhadap penyakit.
Tujuan Sebagai acuan dalam pemberian imunisasi campak agar
anak mempunyai daya tahan terhadap penyakit campak.
Persiapan 1. Persiapan Tempat
a. Mudah di Akses.
b. Penyiapan Tempat Pelayanan Imunisasi
c. Penyiapan Pelayanan Imunisasi
d. Pelaksanaan Pelayanan Imunisasi
e. Tidak terkena langsung terhadap sinar matahari Cukup terang.
g. Pemantauan Kejadian Ikutan Paska Imunisasi.
2. Persiapan Alat/Bahan
a. Vaksin Campak
b. Pelarut Vaksin
c. Kapas
d. Disposable 0,5cc
e. Alcohol
Prosedur
Tindakan
Tahap Persiapan
1. Justifikasi Identitas klien
2. Menyiapkan peralatan
120
3. Mencuci tangan
Komunikasi terapeutik:
4. Berikan salam dengan ramah dan akrab
5. Memperkenalkan diri
6. Tanyakan pada ibu/keluarga tujuan dari kunjungan
7. Tanyakan apakah ibu/keluarga telah mendapat penyuluhan
tentang imunisasi
8. Menjelaskan pada klien tujuan tindakan yang akan dilakukan
9. Mendapatkan persetujuan klien
10. Mengatur lingkungan sekitar bayi
11. Membantu bayi mendapatkan posisi yang nyaman
Tahap Kerja
12. Cuci tangan dari lengan dengan sabun dibawah air mengalir
kemudian keringkan dengan handuk
13. Cek label flakon vaksin berapa cc pelarut yang dibutuhkan
14. Ambil semprit 5cc dan jarum yang steril, dan jarum ini hanya
digunakan untuk oplos
15. Buka ampul pelarut/flakon pelarut yang diperlukan sedot
pelarut dalam semprit
16. Masukkan pelarut ke dalam vaksin
17. Kocoklah sampai vaksin betul-betul tercampur
Mengatur posisi bayi
18. Beritahu Ibu untuk menunjukkan bayi diatas pengkuannya dan
jelaskan pada ibu cara memangku bayinya
121
19. Ambil spuit Campak untuk mengambil vaksin sesuai dengan
dosis yang ditentukan
20. Spuit ditegak luruskan keatas untuk melihat gelembung udara
keluar, ketuk pelan — pelan supaya gelembung udara, keatas
lalu dorong fiston sehingga gelembung udara
21. Tentukan tempat yang akan disuntik yaitu 1/3 lengan kiri
bagian atas
22. Jepitlah lengan yang akan disuntik dengan jari — jari kiri
perawat
23. Tusukkan jarum ke dalan kulit yang di jepit tadi dengan sudut
30 derajat terhadap lengan
24. Tekan pistonnya pelan — pelan cabut jarum dan usap bekas
suntikan dengan kapas lembab dan buang kapas ke dalam
bengkok
25. Jelaskan pada ibu tentang penanganannya bila timbul reaksi
setelah pemberian imunisasi
26. Jelaskan pada ibu bila timbul reaksi suhu tubuh meningkat
segera minumkan obat penurun panas sesuai dengan dosis
yang telah ditentukan
27. Jelaskan pada ibu cara memberi (meminumkan) obat penurun
panas
28. Memberi kesempatan pada ibu/keluargai untuk bertanya
tentang hal-hal yang kurang jelas
29. Mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, keringkan
122
dengan handuk kering
Tahap Terminasi
30. Membersihkan dan menyimpan kembali peralatan pada
tempatnya
31. Mencuci tangan
32. Melakukan evaluasi terhadap klien tentang kegiatan yang telah
dilakukan
33. Jelaskan kepada ibu hasil pemeriksaan bayinya
34. Tanyakan apakah klien masih mempunyai pertanyaan
Dokumentasi
35. Mencatat dalam KMS/kartu kontrol bayi, ucapkan salam dan
terima kasih
top related