metode pengolahan limbah detergen

Post on 29-Nov-2015

272 Views

Category:

Documents

3 Downloads

Preview:

Click to see full reader

TRANSCRIPT

METODE PENGOLAHAN DETERGEN(Tinjauan pada suatu Instalasi Pengolahan Air).

 ABSTRAK

Pemakaian bahan pembersih sintesis yang dikenal dengan deterjen makin marak di masyarakat luas.

Dalam deterjen terkandung komponen utamanya, yaitu surfaktan, baik bersifat kationik, anionik maupun non-

ionik. Dengan makin luasnya pemakaian surfaktan sebagai bahan utama pembersih maka risiko bagi kesehatan

dan lingkungan pun makin rentan. Teknik pengolahan detergen dapat dilakukan menggunakan berbagai

macam teknik misalnya biologi yaitu dengan bantuan bakteri, koagulasi-flokulasi-flotasi, adsorpsi karbon aktif,

lumpur aktif, khlorinasi dan teknik representatif lainnya tergantung dari efektifitas kebutuhan dan efisiensi

financial.Detergen merupakan suatu derivatik zat organik sehingga akumulasinya menyebabkan meningkatnya

COD dan BOD dan angka permanganat sehingga dalam pengolahannya sangat cocok menggunakan teknik

biologi. Dibandingkan dengan proses lumpur aktif konvensional, oxidation ditch mempunyai beberapa

kelebihan, yaitu efisiensi penurunan BOD dapat mencapai 85%-90% (dibandingkan 80%-85%) dan lumpur yang

dihasilkan lebih sedikit.  Selain efisiensi yang lebih tinggi (90%-95%), kontak stabilisasi mempunyai kelebihan

yang lain, yaitu waktu detensi hidrolis total lebih pendek (4-6 jam).  Dengan tangki septic-filter up flow  yang

berisi pecahan batu bata sebagai media hidup mikroba sanggup mereduksi kandungan Metylene Blue Active

Surfactan atau MBAS (untuk mendeteksi kandungan detergen) hingga mencapai efesiensi 87,93 persen. Cara

koagulasi umumnya berhasil menurunkan kadar bahan organik (COD,BOD) sebanyak, 40-70 %. Zeolit dapat

menurunkan COD 10-40%, dan karbon aktif dapat menurunkan COD 10-60 %. Detergen mempunyai ikatan –

ikatan organik. Proses khlorinasi akan memecah ikatan tersebut membentuk garam ammonium khlorida

meskipun akan menghasilkan haloform dan trihalomethans jika zat organiknya berlebih.

 

Kata kunci : Detergen; Surfaktan; Sabun,; Metode pengolahan.

 

 

PENDAHULUAN

Jumlah industri untuk menghasilkan berbagai macam produk, guna memenuhi

kebutuhan manusia pada saat ini semakin meningkat. Selain menghasilkan produk yang

dapat digunakan oleh manusia, kegiatan produksi ini juga menghasilkan produk lain

yang belum begitu banyak dimanfatkan yaitu limbah. Seiring dengan peningkatan

industri ini, juga akan terjadi peningkatan jumlah limbah.

Limbah yang dihasilkan dapat memberikan dampak negatif terhadap sumber

daya alam dan lingkungan, seperti gangguan pencemaran alam dan pengurasan sumber

daya alam, yang nantinya dapat menurunkan kualitas lingkungan antara lain

pencemaran tanah, air, dan udara jika limbah tersebut tidak diolah terlebih dahulu.

Bermacam limbah industri yang dapat mencemari lingkungan antara lain : limbah

industri tekstil, limbah agroindustri (limbah kelapa sawit, limbah industri karet remah dan

lateks pekat, limbah industri tapioka, dan limbah pabrik pulp dan kertas), limbah industri

farmasi, dan lain-lain. Selain kegiatan industri, diperkotaan limbah juga dihasilkan oleh

hotel, rumah sakit dan rumah tangga. Bentuk limbah yang dihasilkan oleh komponen

kegiatan yang disebut di atas adalah limbah padat dan limbah cair.

Menurut Sugiharto (1987) air limbah adalah kotoran yang berasal dari masyarakat

dan rumah tangga dan juga berasal dari industri, air tanah, air permukaan, serta

buangan lainnya.

Secara garis besar zat-zat yang terdapat di dalam air limbah dapat dilihat pada

gambar dibawah ini :Sumber : [18

 

 

Bahan buangan yang dihasilkan dari kegiatan industri dapat menimbulkan

dampak yang merugikan bagi lingkungan yang selanjutnya akan mengganggu atau

mempengaruhi kehidupan masyarakt itu sendiri.

Dampak dari kegiatan industri yang berpengaruh buruk tersebut terutama

disebabkan oleh bahan-bahan pencemar yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik industri.

Bahan-bahan buangan tersebut dapat mencemari udara, perairan, dan tanah terutama

disekitar kawasan industri tersebut. Perairan di kawasan itu dapat tercemar oleh bahan-

bahan buangan yang sebagain besar berbentuk cair maupun limbah padat.

Pemakaian bahan pembersih sintesis yang dikenal dengan deterjen makin marak

di masyarakat luas. Dalam deterjen terkandung komponen utamanya, yaitu surfaktan,

baik bersifat kationik, anionik maupun non-ionik.

Surfaktan merupakan zat aktif permukaan yang termasuk bahan kimia organik. Ia

memiliki rantai kimia yang sulit didegradasi (diuraikan) alam. Sesuai namanya, surfaktan

bekerja dengan menurunkan tegangan air untuk mengangkat kotoran (emulsifier, bahan

pengemulsi). Pada mulanyasurfaktan hanya digunakan sebagai bahan utama pembuat

deterjen. Namun karena terbukti ampuh membersihkan kotoran, maka banyak

digunakan sebagai bahan pencuci lain.

Surfaktan merupakan suatu senyawa aktif penurun tegangan permukaan yang

dapat diproduksi melalui sintesis kimiawi maupun biokimiawi. Karakteristik utama

surfaktan adalah memiliki gugus polar dan non polar pada molekul yang sama.

Sifat aktif permukaan yang dimiliki surfaktan diantaranya mampu menurunkan

tegangan permukaan, tegangan antarmuka dan meningkatkan kestabilan sistem emulsi.

Hal ini membuat surfaktan banyak digunakan dalam berbagai industri, seperti industri

sabun, deterjen, produk kosmetika dan produk perawatan diri, farmasi, pangan, cat dan

pelapis, kertas, tekstil, pertambangan dan industri perminyakan, dan lain sebagainya.

Dengan makin luasnya pemakaian surfaktan sebagai bahan utama pembersih

maka risiko bagi kesehatan dan lingkungan pun makin rentan.

 

Permasalahan

Deterjen sangat berbahaya bagi lingkungan karena dari beberapa kajian

menyebutkan bahwa detergen memiliki kemampuan untuk melarutkan bahan dan

bersifat karsinogen, misalnya 3,4 Benzonpyrene, selain gangguan terhadap masalah

kesehatan, kandungan detergen dalam air minum akan menimbulkan bau dan rasa tidak

enak. Deterjen kationik memiliki sifat racun jika tertelan dalam tubuh, bila dibanding

deterjen jenis lain (anionik ataupun non-ionik).

Ada dua ukuran yang digunakan untuk melihat sejauh mana produk kimia aman

di lingkungan yaitu daya racun (toksisitas) dan daya urai (biodegradable). ABS dalam

lingkungan mempunyai tingkat biodegradable sangat rendah, sehingga deterjen ini

dikategorikan sebagai ‘non-biodegradable’.

Dalam pengolahan limbah konvensional, ABS tidak dapat terurai, sekitar 50%

bahan aktif ABS lolos dari pengolahan dan masuk dalam sistem pembuangan. Hal ini

dapat menimbulkan masalah keracunan pada biota air dan penurunan kualitas air. LAS

mempunyai karakteristik lebih baik, meskipun belum dapat dikatakan ramah lingkungan.

LAS mempunyai gugus alkil lurus/ tidak bercabang yang dengan mudah dapat diurai oleh

mikroorganisme.

LAS relatif mudah didegradasi secara biologi dibanding ABS. LAS bisa

terdegradasi sampai 90 persen. Akan tetapi prorsesnya sangat lambat, karena dalam

memecah bagian ujung rantai kimianya khususnya ikatan o-mega harus diputus dan

butuh proses beta oksidasi. Karena itu perlu waktu. Menurut penelitian, alam

membutuhkan waktu sembilan hari untuk mengurai LAS. Itu pun hanya sampai 50

persen.

 Detergen ABS sangat tidak menguntungkan karena ternyata sangat lambat

terurai oleh bakteri pengurai disebabkan oleh adanya rantai bercabang pada

spektrumya. Dengan tidak terurainya secara biologi deterjen ABS, lambat laun perairan

yang terkontaminasi oleh ABS akan dipenuhi oleh busa, menurunkan tegangan

permukaan dari air, pemecahan kembali dari gumpalan (flock) koloid, pengemulsian

gemuk dan minyak, pemusnahan bakteri yang berguna, penyumbatan pada pori – pori

media filtrasi.

Kerugian lain dari penggunaan deterjen adalah terjadinya proses eutrofikasi di

perairan. Ini terjadi karena penggunaan deterjen dengan kandungan fosfat tinggi.

Eutrofikasi menimbulkan pertumbuahan tak terkendali bagi eceng gondok dan

menyebabkan pendangkalan sungai. Sebaliknya deterjen dengan rendah fosfat beresiko

menyebabkan iritasi pada tangan dan kaustik. Karena diketahui lebih bersifat alkalis.

Tingkat keasamannya (pH) antara 10 – 12.

 Tinjauan Pustaka

A.     Surfaktant

Surfaktan adalah zat yang dapat mengaktifkan permukaan, karena cenderung

untuk terkonsentrasi pada permukaan (antar muka), atau zat yang dapat menaik dan

menurunkan tegangan permukaan.

Tegangan permukaan adalah gaya dalam dyne yang bekerja pada permukaan

sepanjang 1 cm dan dinyatakan dalam dyne/cm, atau energi yang diperlukan untuk

memperbesar permukaan atau antarmuka sebesar 1 cm2 dan dinyatakan dalam erg/cm2.

Surface tension umumnya terjadi antara gas dan cairan sedangkan Interface tension

umumnya terjadi antara cairan dan cairan lainnya atau kadang antara padat dan zat

lainnya (namun hal ini belum diteliti).

Ada dua cara penggolongan zat aktif permukaan yaitu:

1.      Menurut sifat elektrokimia atau ionisasi molekul

Schwartz dan Perry menyebutkan bahwa molekul zat aktif permukaan terdiri dari

dua gugus yang penting, yaitu gugus liofil (menarik pelarut) dan gugus liofob (menolak

pelarut). Gugus liofob biasanya terdiri dari rantai alifatik atau aromatik, atau gugus aril

alkil (aralkil) yang biasanya terdiri dari paling sedikit sepuluh atom karbon. Dalam

medium air sebagai pelarut, gugus liofob yang juga disebut gugus hidrofob bersifat

menjauhi air. Sedang gugus liofil atau dalam air dikenal sebagai gugus hidrofil lebih

banyak menentukan sifat – sifat kimia fisika zat aktif permukaan daripada gugus

hidrofob.

Sifat dari pada zat aktif permukaan juga bergantung pada macamnya gugus

hidrofil, yang dapat dibagi sebagai berikut :

1. Zat aktif anion

Terjadi ionisasi dalam larutan dengan rantai panjang yang membawa muatan

negatif.

Contoh : karboksilat, ester sulfat, alkil sulfonat, dan anion lainnya yang hidrofil.

1. Zat aktif kation

Terjadi ionisasi dalam larutan dengan rantai panjang yang membawa muatan

positif.

Contoh : senyawa amino, senyawa amonium, alkali tak bernitrogen (sulfonium,

fosfonium, dsb.), alkali bernitrogen (alkil isotiourea, alkil isourea, dsb.).

1. Zat aktif nonion

Tak terionisasi dalam larutan dan stabil dalam keadaan asam maupun alkali.

Contoh : ikatan eter pada gugus terlarut, ester, amida, amin, dsb.

1. Zat aktif amfolitik/ amfoter.

Terionisasi dalam larutan dengan rantai panjang yang membawa muatan negatif

maupun positif, tergantung pada suasana pH larutan.

Contoh : ikatan amino dan karboksilat, amino dan ester sulfat, amino dan seter

sulfonat, dan ikatan lainnya.

2.      Menurut struktur kimia

Agster menyusun golongan ini atas tujuh bagian, penggolongan ini erat

hubungannya dengan cara pembuatan zat aktif permukaan. Misalnya dengan cara

penyabunan atau kondensasi terhadap asam lemak, sulfotasi terhadap rantai alifatik

tinggi, dan sebagainya.

Penggolongan menurut struktur kimia dapat dibagi sebagai berikut :

1. Sabun

Contoh : Na-laurat, Na-palmitat, Na-stearat, Na-oleat, dsb.

1. Minyak-minyak yang disulfatkan/disulfonkan.

Contoh : Minyak jarak yang disulfatkan (TRO).

1. Parafin atau olefin yang disulfurkan.

Contoh : senyawa sulfochlorida yang disabunkan (Mersolat), olefin yang

disulfatkan (Tepol).

1. Aralkil sulfonat

Contoh : alkil benzo sulfonat,  naftalin sulfonat seperti 1-iso propil natalin 2-

sulfonat-Na (Nekal A), dsb.

1. Alkil sulfat

Contoh : Alkil sulfat primer/ dari alkil alkohol primer seperti asam malonat

anhidrat + alkohol dengan Na-bisulfit (Nacconol. LAL), Alkil sulfat sekunder/ dari alkil

alkohol sekunder.

1. Kondensat asam lemak.

Contoh : kondensat dengan gugus amino (Medialan A, Sapamine A),  kondensat

mengandung gugus oksi (Immersol S, Soromin A), kondensat dengan gugus inti aromatik

(Melioaran F).

1. Persenyawaan polietilenaoksida (poliglikoeter).

Contoh : Alkil amin poliglikol eter (Peregal OK), Dispersol E.

Sifat – sifat umum surfaktant adalah :

1. Sebagai larutan koloid

Mc. Bain telah membuktikan bahwa larutan zat aktif permukaan larutan koloid.

Molekul-molekulnya terdiri dari gugus yang hidrofil (suka air) dan gugus yang hidrofob

(tak suka air).

Pada konsentrasi tinggi partikel koloid ini akan saling menggumpal, gumpalan ini

disebut misel atau agregat baik berbentuk sferik (daya hantar listriknya tinggi) atau

lamelar (daya hantar listriknya kecil disebut juga koloid netral) dan ada dalam

kesetimbangan bolak – balik dengan sekitarnya (pelarut atau dispersi larutan).

Kesetimbangan ini akan mencapai konsentrasi kritik misel menurut aturan Jones dan

Burry.

1. Adsorpsi

Apabila larutan mempunyai tegangan permukaan lebih kecil daripada pelarut

murni, zat terlarut akan terkonsentrasi pada permukaan dan terjadi adsorpsi positif.

Sebaliknya adsorpsi negatif menunjukkan bahwa molekul-molekul zat terlarut lebih

banyak terdapat dalam rongga larutan daripada dipermukaan.

Hubungan antara derajat penyerapan dan penurunan tegangan permukaan

dinyatakan dalam persamaan Gibbs.

1. Kelarutan dan daya melarutkan

Murray dan Hartly dalam pernyataanya menunjukkan bahwa partikel-partikel

tunggal relatif tidak larut, sedangkan misel mempunyai kelarutan tinggi.

Makin panjang rantai hidrokarbonnya, makin tinggi temperatur kritik larutan.

Sifat – sifat khusus surfaktant adalah :

1. Pembasahan

Perubahan dalam tegangan permukaan yang menyertai proses pembasahan

dinyatakan oleh Hukum Dupre.

1. Daya Busa

Busa ialah dispersi gas dalam cairan dan zat aktif permukaan memperkecil

tegangan antarmuka, sehingga busa akan stabil, jadi surfaktant mempunyai daya busa.

1. Daya Emulsi

Emulsi adalah suspensi partikel cairan dalam fasa cairan yang lain, yang tidak

saling melarutkan. Sama hanya dengan pembasahan, maka surfaktant akan menurunkan

tegangan antarmuka, sehingga terjadi emulsi yang stabil.

Surfaktan dapat menyebabkan permukaan kulit kasar, hilangnya kelembaban

alami yamg ada pada permukan kulit dan meningkatkan permeabilitas permukaan

luar. Hasil pengujian memperlihatkan bahwa kulit manusia hanya mampu memiliki

toleransi kontak dengan bahan kima dengan kandungan 1 % LAS dan AOS dengan akibat

iritasi ‘sedang’ pada kulit.

Surfaktan kationik bersifat toksik jika tertelan dibandingkan dengan surfaktan

anionik dan non-ionik. Sisa bahan surfaktan yang terdapat dalam deterjen dapat

membentuk chlorbenzene pada proses klorinisasi pengolahan air minum

PDAM. Chlorbenzene merupakan senyawa kimia yang bersifat racun dan berbahaya bagi

kesehatan.

Umumnya surfaktan berinteraksi dengan membran dan enzim. Pengaruh ini dapat

sedang dalam tumbuhan dengan penyerapan surfaktan dan imobilisasi pada dinding sel

sehingga terjadi perubahan struktur ultra seluler. Toksisitas timbul dari penghambatan

enzim atau transmisi selektif ion – ion melalui membran.

Pengaruh lain yaitu penghambatan pertumbuhan dalam tumbuhan, ikan,

dan budding dalam hidra, kerusakan Lepomis gibbosus, kerusakan organ sensoris luar

yang peka sehingga dapat mengganggu pemilihan makanan, mempengaruhi sinergis zat

– zat dan surfaktan subletal menyebabkan pengambilan zat lipofilik yang lebih cepat dan

memperkuat toksisitas zat ini. Toksisitas memperlihatkan suatu korelasi dengan

tegangan permukaan menurut jumlah atom karbon dalam homolog jenis surfaktan.

Toksisitas surfaktan ABS bertambah dengan kelinearan gugus alkil, disebabkan

oleh penerobosan gugus alkil linier yang lebih dalam. Interaksi surfaktan – protein juga

bertambah bila ekor hidrofobik bertambah dan menyebabkan bertambahnya toksisitas.

(Toksisitas surfaktan terhadap beberapa makhluk Perairan sesuai dengan tabel Lundahl

& Cabridenc (1978)).

Sesuai dengan waktu ketahanan surfaktan yang cukup singkat dalam daerah

perairan, maka tidak diakumulasikan sampai batas manapun juga tidak terjadi

biomagnifikasi dalam rantai makanan. Air yang mengandung surfaktan (2 –

4  ppm), tidak dapat dideteksi perubahan apapun dalam struktur komunitas karena

surfaktan. (Hynes dan Roberts,1962).

 

B.     Deterjen

Produk yang disebut deterjen ini merupakan pembersih sintetis yang terbuat dari

bahan-bahan turunan minyak bumi. Dibanding dengan produk terdahulu yaitu sabun,

deterjen mempunyai keunggulan antara lain mempunyai daya cuci yang lebih baik serta

tidak terpengaruh oleh kesadahan air.

Detergen adalah Surfaktant anionik dengan gugus alkil (umumnya C9 – C15) atau

garam dari sulfonat atau sulfat berantai panjang dari Natrium (RSO3- Na+ dan ROSO3

- Na+)

yang berasal dari derivat minyak nabati atau minyak bumi (fraksi parafin dan olefin).

Setelah Perang Dunia II, detergen sintetik mulai dikembangkan akan tetapi

karena gugus utama surfaktant ABS yang sulit di biodegradabel maka pada tahun 1965

industri mengubahnya dengan yang biodegradabel yaitu dengan gugus utama surfaktant

LAS

Proses pembuatan detergen dimulai dengan membuat bahan penurun tegangan

permukaan, misalnya : p – alkilbenzena sulfonat dengan gugus alkil yang sangat

bercabang  disintesis dengan polimerisasi propilena dan dilekatkan pada cincin benzena

dengan reaksi alkilasi Friedel – Craft Sulfonasi, yang disusul dengan pengolahan dengan

basa. 

Pada umumnya, deterjen mengandung bahan-bahan berikut:

1. Surfaktan (surface active agent) merupakan zat aktif permukaan yang

mempunyai ujung berbeda yaitu hydrophile (suka air) dan hydrophobe (suka lemak).

Bahan aktif ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan air sehingga dapat

melepaskan kotoran yang menempel pada permukaan bahan. Surfaktant ini baik berupa

anionic (Alkyl Benzene Sulfonate/ABS, Linier Alkyl Benzene Sulfonate/LAS, Alpha Olein

Sulfonate/AOS), Kationik (Garam Ammonium), Non ionic (Nonyl phenol polyethoxyle),

Amphoterik (Acyl Ethylenediamines)

2. Builder (Permbentuk) berfungsi meningkatkan efisiensi pencuci dari surfaktan

dengan cara menon-aktifkan mineral penyebab kesadahan air. Baik berupa Phosphates

(Sodium Tri Poly Phosphate/STPP), Asetat (Nitril Tri Acetate/NTA, Ethylene Diamine Tetra

Acetate/EDTA), Silikat (Zeolit),  dan Sitrat (asam sitrat).

3. Filler (pengisi) adalah bahan tambahan deterjen yang tidak mempunyai

kemampuan meningkatkan daya cuci, tetapi menambah kuantitas atau dapat

memadatkan dan memantapkan sehingga dapat menurunkan harga. Contoh : Sodium

sulfate

4. Additives adalah bahan suplemen/ tambahan untuk membuat produk lebih

menarik, misalnya pewangi, pelarut, pemutih, pewarna dan sebagainya yang tidak

berhubungan langsung dengan daya cuci deterjen.Additives ditambahkan lebih untuk

maksud komersialisasi produk. Contoh : Enzyme, Borax, Sodium chloride, Carboxy Methyl

Cellulose (CMC) dipakai agar kotoran yang telah dibawa oleh detergent ke dalam larutan

tidak kembali ke bahan cucian pada waktu mencuci (anti Redeposisi). Wangi – wangian

atau parfum dipakai agar cucian berbau harum, sedangkan air sebagai bahan pengikat.

Menurut kandungan gugus aktifnya maka detergen diklasifikasikan sebagai

berikut :

 

1.           Detergen jenis keras

Detergen jenis keras sukar dirusak oleh mikroorganisme meskipun bahan

tersebut dibuang akibatnya zat tersebut masih aktif. Jenis inilah yang menyebabkan

pencemaran air.

Contoh: Alkil Benzena Sulfonat (ABS).

Proses pembuatan ABS ini adalah dengan mereaksikan Alkil Benzena dengan

Belerang Trioksida, asam Sulfat pekat atau Oleum. Reaksi ini menghasilkan Alkil Benzena

Sulfonat. Jika dipakai Dodekil Benzena maka persamaan reaksinya adalah

C6H5C12H25 + SO3                       C6H4C12H25SO3H    (Dodekil Benzena Sulfonat)

Reaksi selanjutnya adalah netralisasi dengan NaOH sehingga dihasilkan Natrium Dodekil

Benzena Sulfonat

2.           Detergen jenis lunak

Detergen jenis lunak, bahan penurun tegangan permukaannya mudah dirusak

oleh mikroorganisme, sehingga tidak aktif lagi setelah dipakai .

Contoh: Lauril Sulfat atau Lauril Alkil Sulfonat. (LAS).

          Proses pembuatan (LAS) adalah dengan mereaksikan Lauril Alkohol dengan asam

Sulfat pekat menghasilkan asam Lauril Sulfat dengan reaksi:

C12H25OH  + H2SO4              C12H25OSO3H + H2O

Asam Lauril Sulfat yang terjadi dinetralisasikan dengan larutan NaOH sehingga dihasilkan

Natrium Lauril Sulfat.

Awalnya deterjen dikenal sebagai pembersih pakaian, namun kini meluas dalam

bentuk produk-produk seperti:

1.      Personal cleaning product, sebagai produk pembersih diri seperti sampo, sabun

cuci tangan, dll.

2.      Laundry, sebagai pencuci pakaian, merupakan produk deterjen yang paling populer

di masyarakat.

3.      Dishwashing product, sebagai pencuci alat-alat rumah tangga baik untuk

penggunaan manual maupun mesin pencuci piring.

4.      Household cleaner, sebagai pembersih rumah seperti pembersih lantai, pembersih

bahan-bahan porselen, plastik, metal, gelas, dll.

Kemampuan deterjen untuk menghilangkan berbagai kotoran yang menempel

pada kain atau objek lain, mengurangi keberadaan kuman dan bakteri yang

menyebabkan infeksi dan meningkatkan umur pemakaian kain, karpet, alat-alat rumah

tangga dan peralatan rumah lainnya, sudah tidak diragukan lagi. Oleh karena banyaknya

manfaat penggunaan deterjen, sehingga menjadi bagian penting yang tidak dapat

dipisahkan dari kehidupan masyarakat modern.

Tanpa mengurangi makna manfaat deterjen dalam memenuhi kebutuhan sehari-

hari, harus diakui bahwa bahan kimia yang digunakan pada deterjen dapat menimbulkan

dampak negatif baik terhadap kesehatan maupun lingkungan. Dua bahan terpenting dari

pembentuk deterjen yakni surfaktan dan builders, diidentifikasi mempunyai pengaruh

langsung dan tidak langsung terhadap manusia dan lingkungannya.

Umumnya pada deterjen anionik ditambahkan zat aditif lain (builder) seperti

golongan ammonium kuartener (alkyldimetihylbenzyl-ammonium cloride,

diethanolamine/ DEA), chlorinated trisodium phospate (chlorinated TSP) dan beberapa

jenis surfaktan seperti sodium lauryl sulfate (SLS),sodium laureth sulfate (SLES)

atau linear alkyl benzene sulfonate (LAS).Golongan ammonium kuartener ini dapat

membentuk senyawa nitrosamin. Senyawa nitrosamin diketahui bersifat karsinogenik,

dapat menyebabkan kanker.

Senyawa SLS, SLES atau LAS mudah bereaksi dengan senyawa golongan

ammonium kuartener, seperti DEA untuk membentuk nitrosamin.SLS diketahui

menyebabkan iritasi pada kulit, memperlambat proses penyembuhan dan penyebab

katarak pada mata orang dewasa.

Dalam laporan lain disebutkan deterjen dalam badan air dapat merusak insang

dan organ pernafasan ikan yang mengakibatkan toleransi ikan terhadap badan air yang

kandungan oksigennya rendah menjadi menurun. Keberadaan busa-busa di permukaan

air menjadi salah satu penyebab kontak udara dan air terbatas sehingga menurunkan

oksigen terlarut. Dengan demikian akan menyebabkan organisme air kekurangan

oksigen dan dapat menyebabkan kematian.

Builders, salah satu yang paling banyak dimanfaatkan di dalam deterjen adalah

phosphate. Phosphate memegang peranan penting dalam produk deterjen, sebagai

softener air. Bahan ini mampu menurunkan kesadahan air dengan cara mengikat ion

kalsium dan magnesium. Berkat aksi softenernya, efektivitas dari daya cuci deterjen

meningkat.

Phosphate yang biasa dijumpai pada umumnya berbentuk Sodium Tri Poly

Phosphate (STPP). Phosphate tidak memiliki daya racun, bahkan sebaliknya merupakan

salah satu nutrisi penting yang dibutuhkan mahluk hidup. Tetapi dalam jumlah yang

terlalu banyak, phosphate dapat menyebabkan pengkayaan unsur hara (eutrofikasi)

yang berlebihan di badan air, sehingga badan air kekurangan oksigen akibat dari

pertumbuhan algae (phytoplankton) yang berlebihan yang merupakan makanan bakteri.

Populasi bakteri yang berlebihan akan menggunakan oksigen yang terdapat

dalam air sampai suatu saat terjadi kekurangan oksigen di badan air dan pada akhirnya

justru membahayakan kehidupan mahluk air dan sekitarnya. Di beberapa negara,

penggunaan phosphate dalam deterjen telah dilarang. Sebagai alternatif, telah

dikembangkan penggunaan zeolite dan citrate sebagai builder dalam deterjen

Deterjen Sintetik mempunyai sifat-sifat mencuci yang baik dan tidak membentuk

garam-garam tidak larut dengan ion-ion kalsium dan magnesium yang biasa terdapat

dalam air sadah. Deterjen sintetik mempunyai keuntungan tambahan karena secara

relatif bersifat asam kuat, oleh karena itu tidak menghasilkan endapan sebagai asam-

asam yang mengendap suatu karakteristis yang tidak nampak pada sabun.

Unsur kunci dari deterjen adalah bahan surfaktan atau bahan aktif permukaan,

yang beraksi dalam menjadikan air menjadi lebih basah(wetter) dan sebagai bahan

pencuci yang lebih baik. Surfaktan terkonsentrasi pada batas permukaan antara air

dengan gas (udara), padatan-padatan (debu), dan cairan-cairan yang tidak dapat

bercampur (minyak). Hal ini terjadi karena struktur “Amphiphilic“, yang berarti bagian

yang satu dari molekul adalah suatu yang bersifat polar atau gugus ionik (sebagai

kepala) dengan afinitas yang kuat untuk air dan bagian lainnya suatu hidrokarbon

(sebagai ekor) yang tidak suka air.

Deterjen Sintetik mempunyai sifat-sifat mencuci yang baik dan tidak membentuk

garam-garam tidak larut dengan ion-ion kalsium dan magnesium yang biasa terdapat

dalam air sadah. Deterjen sintetik mempunyai keuntungan tambahan karena secara

relatif bersifat asam kuat, oleh karena itu tidak menghasilkan endapan sebagai asam-

asam yang mengendap suatu karakteristis yang tidak nampak pada sabun.

 

C.     Sabun

Sabun adalah suatu gliserida (umumnya C16 dan C18 atau karboksilat suku rendah)

yang merupakan hasil reaksi antara ester (suatu derivat asam alkanoat yaitu reaksi

antara asam karboksilat dengan alkanol yang merupakan senyawa aromatik dan

bermuatan netral) dengan hidroksil dengan residu gliserol (1.2.3 – propanatriol). Apabila

gliserol bereaksi dengan asam – asam yang jenuh (suatu olefin atau polyunsaturat) maka

akan terbentuk lipida (trigliserida atau triasilgliserol).

Sabun ditemukan oleh orang Mesir kuno (egyptian) beberapa ribu tahun yang

lalu. Pembuatan sabun oleh suku bangsa Jerman dilaporkan oleh Julius Caesar. Teknik

pembuatan sabun dilupakan orang dalam Zaman Kegelapan (Dark Ages), namun

ditemukan kembali selama Renaissance. Penggunaan sabun meluas pada abad ke – 18.

Gliserida (lelehan lemak sapi atau lipida lain) dididihkan bersama – sama dengan

larutan lindi (dulu digunakan  abu kayu karena mengandung K-karbonat tapi sekarang

NaOH) terjadi hidrolisis menjadi gliserol dan garam Sodium dari asam lemak, setelah

sabun terbentuk kedalamnya ditambahkan NaCl agar sabun mengendap dan dapat

dipisahkan dengan cara penyaringan. Gliserol, lindi dan NaCl berlebih dipisahkan dengan

cara destilasi. Sabun yang masih kotor dimurnikan dengan cara pengendapan berulang –

ulang (represipitasi). Akhirnya ditambahkan zat aditif (batu apung, parfum dan zat

pewarna)

Jenis – jenis Sabun :

1.      Sabun keras atau sabun cuci.

Dibuat dari lemak dengan NaOH, misalnya Na – Palmitat dan Na – Stearat.

2.      Sabun lunak atau sabun mandi.

Dibuat dari lemak dengan KOH, misalnya K-Palmitat dan K-Stearat

Suatu molekul sabun mengandung suatu rantai hidrokarbon panjang plus ujung

ion. Bagian hidrokarbon dari molekul itu bersifat hidrofobik dan larut dalam zat – zata

non polar, sedangkan ujung ion bersifat hidrofilik dan larut dalam air. Karena adanya

rantai hidrokarbon, sebuah molekul sabun secara keseluruhan tidaklah benar – benar

larut dalam air. Namun sabun mudah tersuspensi dalam air karena membentuk misel

(micelles), yakni kumpulan (50 – 150) molekul sabun yang rantai hidrokarbonnya

mengelompok dengan ujung – ujung ionnya menghadap ke air.

Sifat umum  Sabun dan Detergen:

1.      Bersifat basa

R – C-O-   +  H2O                   R – C-OH   +  OH-

2.      Tidak berbuih di air sadah (Garam Ca, Mg dari Khlorida dan Sulfat)

 C17H35COONa + CaCl2                               Ca (C17H35COO)2  +  NaCl

3.      Bersifat membersihkan

R- (non polar dan Hidrofob) akan membelah molekul minyak dan kotoran menjadi

partikel yang lebih kecil sehingga air mudah membentuk emulsi dengan kotoran dan

mudah dipisahkan. Sedangkan -C-O- (polar dan Hidrofil) akan larut dalam air membentuk

buih dan mengikat partikel – partikel kotoran sehingga terbentuk  emulsi.

Suatu gambaran dari stearat terdiri dari ion karboksil sebagai“kepala” dengan

hidrokarbon yang panjang sebagai “ekor ” :

 

        H H H H H H H H H H H H H H H H H  O

H – C-C-C-C-C-C-C-C-C-C-C-C-C-C-C-C-C-C-O

        H H H H H H H H H H H H H H H H H 

 

Dengan adanya minyak, lemak, dan bahan organik tidak larut dalam air lainnya,

kecenderungan untuk “ekor” dan anion melarut dalam bahan organik, sedangkan

bagian “kepala ” tetap tinggal dalam larutan air. Oleh karena itu sabun mengemulsi atau

mensuspensi bahan organik dalam air. Dalam proses ini, anion-anion membentuk

partikel-partikel koloid micelle.

Keuntungan yang utama sebagai bahan pencuci karena terjadi reaksi dengan

kation-kation divalen membentuk garam-garam dari asam lemak yang tidak

larut. Padatan-padatan tidak larut ini, biasanya garam-garam dari magnesium dan

kalsium.

2 C17H35COO- Na+  Ca2+                        Ca (C17H35CO2)2 (s) + 2 Na+

Sabun yang masuk kedalam buangan air atau suatu sistem ekuatik biasanya

langsung terendap sebagai garam – garam kalsium dan magnesium. Oleh karena itu

beberapa pengaruh dari sabun dalam larutan mungkin dapat dihilangkan. Akibatnya

dengan biodegradasi, sabun secara sempurna dapat dihilangkan dari lingkungan.

 

D.     Sistem pengolahan

Pengolahan air sangat tergantung dari karakteristik atau kualitas air baku yang

digunakan, metode pengolahan air yang digunakan berkaitan dengan pencemaran-

pencemaran yang ada dalam air. Pencemaran-pencemaran yang harus diperhatikan

pada kebanyakan persediaan air adalah :

1.      Bakteri pathogen

2.      Kekeruhan dan bahan-bahan terapung

3.      Warna

4.      Rasa dan bau

5.      Senyawa-senyawa organic

6.      Kesadahan

     Faktor-faktor ini terutama berhubungan dengan kesehatan dan estetiks (Ray.K

dan Joseph. B, 1991)

Tujuan pengolahan air baku menjadi air bersih pada prinsipnya menurut Geyer

dan Okun (1968) meliputi :

1.      Penjernihan, proses ini diperlukan karena dalam air yang berasal dari badan air

banyak membawa kotoran yang berupa butiran-butiran baik kasar maupun halus, ada

yang tersuspensi berupa koloid dan harus diendapkan terlebih dahulu.

2.      Desinfeksi, pemberian desinfektan dengan dosis tertentu untuk mematikan virus

dan bakteri pembawa penyakit, juga menekan pertumbuhan lumut (algae) untuk

menjaga nilai estetika. Pengolahan air yang akan digunakan dapat digolongkan

menurut sifatnya yang akan menghasilkan perubahan yang diamati.

          Pengolahan air secara umum dapat digolongkan menjadi :

1.      Pengolahan Fisis

          Pengolahan air yang bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan kotoran-

kotoran yang kasar, penyisihan lumpur dan pasir serta mengurangi zat-zat organik dalam

air yang akan diolah.

Contoh : filterisasi, evaporasi, sekrining, sentrifugasi, flotasi, RO, dan sebagainya.

2.  Pengolahan Kimiawi

          Proses pengolahan dengan penambahan bahan kimia tertentu dengan tujuan

untuk memperbaiki kualitas air.

Contoh : koagulasi, ion exchange resin, khlorinasi, ozonasi, dan sebagainya.

3. Pengolahan Biologis

Bertujuan menghilangkan atau mengurangi kandungan senyawa organik atau

anorganik. Fungsi ini dapat dicapai dengan bantuan aktifitas mikroorganisma gabungan

(mixed culture) yang heterotrofik.

Mikroorganisma mengkonsumsi bahan-bahan organik untuk membentuk

biomassa sel baru serta zat-zat organik, dan memanfaatkan energi yang dihasilkan dari

reaksi oksidasi untuk metabolismenya

Contoh : lumpur aktif, filter trickling, kolam oksidasi, fermentasi metan, dekomposisi

materi toksik, denitrifikasi, dan sebagainya.

Pengolahan air secara teknik dapat dilakukan dengan berbagai cara.

Teknik koagulasi dapat diterapkan dengan bantuan koagulan kimia seperti

Polyelektrolit (misalnya : PAC atau Poly Aluminium Chloride, PAS atau Poly Aluminium

Sulfat), garam Aluminat (misalnya : Alum, Tawas), garam Fe, khitin, dan sebagainya.

Untuk Flokulasi dapat digunakan polimer kationik, anionik, atau nonionik (misalnya :

poliakrilik, poliakrilamida). Sedangkan untuk pengendapan dapat digunakan

teknologi baffle, settler, lumpur aktif, aerasi, dan lain – lain. Untuk lakuan yang optimal

teknik tersebut dapat digabung.

Teknik filtrasi dapat diterapkan dengan bantuan media filter seperti pasir

(misalnya : dolomit, diatomae, silika, antrasit), senyawa kimia atau mineral (misalnya :

kapur, zeolit, karbon aktif, resin, ion exchange), membran (Osmosis, RO, dialisis,

ultrafiltrasi), biofilter atau teknik filtrasi lainnya.

Teknik Redoks dapat diterapkan dengan bantuan inhibitor seperti senyawa khlor

(misalnya : Cl2, kaporit, Na-Hypo, Isosyanurat), non khlor (misalnya : H2O2, O3, UV, KMnO4,

garam sulfit, terusi), oksida asam basa (HCl, NaOH, H2SO4, garam kalsium, karbonat,

amonium) atau teknik redoks lainnya.

Bioremoval merupakan teknik pengolahan menggunakan biomaterial. Biomaterial

tersebut antara lain lumut, daun teh, sekam padi, dan sabut kelapa sawit, atau juga dari

bahan non biomaterial seperti perlit, tanah gambut, lumpur aktif dan lain-lain.

Bioremidiasi merupakan pengembangan dari teknik bioremovaldengan bantuan

mikroorganisma seperti bakteri, kapang dan jamur baik aerobik maupun anaerobik atau

dengan menggunakan alga, tanaman dan hewan.

Teknik pengolahan lainnya yaitu adalah Elektrolisa. Elektrolisa mampu

memisahkan kation – anion dengan menggunakan efek beda potensial dari masing –

masing muatan elektrolit. Apabila ion – ion ditangkap oleh membran selektif atau media

lain maka disebut Elektrodialisis. Sedangkan bila digabung dengan koagulasi maka

disebut elektrokoagulasi.

Elektrodialisis adalah proses pemisahan elektrokimia dengan ion – ion berpindah

melintasi membran selektif anion dan kation dari larutan encer ke yang lebih pekat

akibat aliran arus searah (DC).

Elektrodialisis memisahkan bahan (ion) dari larutan, proses ini menggunakan

perbedaan tegangan listrik sebagai driving force, membrane pertukaran ion (ion

exchange membrane) diatur sedemikian rupa sehingga terjadi perpindahan ion secara

bolak balikdiantara dua elektroda dalam suatau larutan. Pengembangan proses

dilaksanakan dengan muatan eletroda bolak – balik (elektrodialisa bolak – balik).

Reverse osmosis adalah kebalikan dari proses osmosis alami. Osmosis adalah

perpindahan cairan dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah yang melewati

membran semipermeabel sedangkan untuk reverse osmosis adalah perpindahan cairan

dari konsentrasi rendah ke konsentrsai tinggi. Reverse osmosis memiliki keunggulan,

seperti : efisiensi yang tinggi, biaya yamg rendah dan kualitas air yang dihasilkan sangat

berkualitas.

Pengolahan air dapat menggunakan sistem adsorpsi maupun absorpsi. Media

adsorben diantaranya adalah kaliksarena (calixarene), karbon aktif, zeolit, bioabsorpsi,

dan lainnya. Beberapa jenis mikroorganisme yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan

bioabsorpsi terutama adalah dari golongan alga yakni alga dari divisi Phaeophyta,

Rhodophyta dan Chlorophyta.

 

Pembahasan

Zat aktif permukaan mempunyai sifat khas, yaitu mempunyai kecenderungan

untuk berpusat pada antarmuka dan mempunyai kemampuan menurunkan dan

menaikkan tegangan antarmuka atau tegangan permukaan.

Suatu molekul dalam rongga cairan akan mengalami tarik – menarik dan tolak

menolak kesegala arah, tetapi suatu molekul pada antarmuka tak sama tarik menariknya

kesegala arah, sehingga molekul akan mengalami gaya tarik total kedalam dan terjadi

tegangan permukaan (surface tension)atau tegangan antar muka (interface tension).

Permukaan disini adalah perbatasan dan perbedaan fasa dari yang bersangkutan.

Dalam hal ini perbatasan permukaan antara fasa gas dan cair.

Dijelaskan bahwa molekul – molekul yang ada di tengah – tengah cairan

mengalami gaya tarik atau tolak dari segala jurusan (intermolekul). Sedangkan molekul –

molekul di permukaan mengalami gaya tarik dan tolak kurang seimbang, karena diatas

permukaan terdapat moleku-molekul gas yang letaknya tidak serapat molekul cairan,

sehingga gaya yang ditimbulkan oleh molekul – molekul gas tidak sebesar gaya tarik dan

tolak dari molekul – molekul cairan. Sehingga didalam cairan, molekul – molekul dari

dalam cairan ke permukaan, diperlukan energi.

Energi ini menyebabkan molekul menyusup disamping molekul-molekul lain di

permukaan, sehingga permukaan harus menjadi besar dan ini berarti tegangan

permukaan terpaksa berkurang setiap satuan luas. Disini terjadi pengurangan tegangan

permukaan, disertai dengan pemakaian sejumlah molekul permukaan. Peristiwa ini

dinamakan adsoprsi positif dan keadaan sebaliknya adsorpsi negatif.

Sifat surfaktant bergantung pada suatu molekul yang memiliki sifat lipofilik dan

hidrofilik. Pada batas antarfase (misalnya, minyak lemak dan air atau udara dan air),

molekul surfaktant bergabung menyebabkan turunnya tegangan permukaan.

Keberadaan busa menyebabkan terbentuknya perluasan daerah antarfase dan akumulasi

surfaktant dalam air busa dan akibatnya terjadi penurunan kepekatan surfaktant dalam

massa air.

Surfaktant ABS terutama dalam garam – garam Na, terdapat dalam jalur alamiah

sebagai garam kalsium. Garam ini memiliki kelarutan dalam air yang rendah dan

terdapat sebagai suatu suspensi yang tidak stabil dan memasuki sedimen dalam bentuk

deposit.

Surfaktant dalam sedimen bertindak sebagai dua fraksi yaitu sebuah fraksi labil

dan sebuah fraksi yang lebih kuat dijerap. Pada saat sedimen disuspensikan

kembali (menurut angka Reynold), fraksi labil tersebar kembali menyebabkan

keberadaan surfaktant pada massa air dan menurunkan tegangan permukaan.

Beberapa molekul lipofilik yang dapat dibiodegradasi  dapat dilindungi sementara

dari degradasi oleh adanya surfaktant. Misel yang mengandung molekul yang rentan

menjadi terkurung oleh molekul surfaktant. Misel terdiri dari sebuah struktur teraliminasi

secara membulat yang mana kulit bagian luar terdiri dari gugus bermuatan dan kulit

bagian dalam mengandung bagian lipofilik molekul. Lapisan kulit luar mencegah kontak

dengan misel lainnya dan membentuk suatu lapisan yang dapat menyediakan

perlindungan sementara kepada molekul lipofilik internal.

Surfaktan dapat mengubah sifat aliran hidraulik media porous suatu mineral.

Pembentukan misel garam kalsium tensides ABS dalam sistem alamiah memungkinkan

surfaktan menjadi lebih mudah diendapkan daripada garam Natrium. Pengendapan

surfaktant ini menyebabkan pembentukan suatu lapisan gelatin garam kalsium yang

dapat menghalangi aliran melalui sistem porous. Lapisan permukaan molekul surfaktant

pada batas antarfase udara – air dapat mencegah perpindahan Oksigen menurut

bertambah panjangnya rantai alkil dalam surfaktan.

 Gugus yang bercabang  sukar dibiodegradasi dibanding gugus yang

lurus (linier). Biodegradabilitas bertambah sampai panjang alkil kira – kira 15 atom

Karbon dan kemudian menurun, memperlihatkan kenaikan biodegradabilitas pada

panjang rantai yang lebih panjang lagi. Gugus alkil terdegradasi secara cepat dan

surfaktant aslinya menghilang, tetapi moiety polietilat tertinggal untuk waktu yang lama

(gugus yang tertinggal ini kemungkinan toksik terhadap kehidupan perairan).

Detergen merupakan suatu derivatik zat organik sehingga akumulasinya

menyebabkan meningkatnya COD dan BOD dan angka permanganat sehingga dalam

pengolahannya sangat cocok menggunakan teknik biologi.

Proses biologis dapat dikelompokkan berdasarkan pemanfaatan oksigen, sistem

pertumbuhan, proses operasi.

Ditinjau dari pemanfaatan oksigennya, proses biologis untuk mengolah air

buangan dapat dikelompokkan ke dalam empat kelompok utama, yaitu : proses aerobic,

proses anaerobic, proses anoksid dankombinasi antara proses aerobik dengan salah satu

proses tersebut.

Berdasarkan sistem pertumbuhannya, proses pengolahan biologis terbagi atas :

sistem pertumbuhan tersuspensi, sistem pertumbuhan yang menempel pada media inert

yang diam atau kombinasi keduanya.

Proses biologis dapat pula dikelompokkan atas dasar proses operasinya. Ada tiga

macam proses yang termasuk dalam cara pengelompokan ini, yaitu :

1. Proses kontinu dengan atau tanpa daur ulang

2. Proses batch

3. Proses semi batch

Proses kontinu biasa digunakan untuk pengolahan aerobik, sedangkan proses

batch atau semi batch lebih banyak digunakan untuk sistem anaerobic.

 Apabila BOD tidak melebihi 400 mg/l, proses aerob masih dapat dianggap lebih

ekonomis dari anaerob.  Pada BOD lebih tinggi dari 4000 mg/l, proses anaerob menjadi

lebih ekonomis.

Pada  beberapa penelitian membuktikan bahwa alkyl-benzena sulfonat dapat

diuraikan dengan bakteri Staphylococcus epidermis, Enterobacter gergoviae,

Staphylococcus aureus, Pseudomonas facili, Pseudomonas fluoroscens, Pseudomonas

euruginosa, Kurthia zopfii, dan sebagainya. [27

Bakteri ini akan merombak detergen yang juga merupakan zat organik sebagai

bahan makanan menjadi energi. Degradasi lebih efektif jika menggunakan lumpur aktif.

Dengan cara tersebut air limbah dengan lumpur aktif yang, megandung mikroba diaerasi

(untuk memasukkan oksigen) hingga terjadi dekomposisi sebagai berikut :

Organik + O2—-> CO2 + H20 + EnergiSumber : [23

 

Cara lumpur aktif yang telah dilakukan dapat menurunkan COD, BOD 30 – 70 %,

bergantung pada karakteristik air limbah yang, diolah dan kondisiproses lumpur aktif

yang dilakukan.[1

Proses lumpur aktif terus berkembang dengan berbagai modifikasinya, antara

lain: oxidation ditch dan kontak-stabilisasi.Dibandingkan dengan proses lumpur aktif

konvensional, oxidation ditchmempunyai beberapa kelebihan, yaitu efisiensi penurunan

BOD dapat mencapai 85%-90% (dibandingkan 80%-85%) dan lumpur yang dihasilkan

lebih sedikit.  Selain efisiensi yang lebih tinggi (90%-95%), kontak stabilisasi mempunyai

kelebihan yang lain, yaitu waktu detensi hidrolis total lebih pendek (4-6 jam). 

Dengan tangki septic-filter up flow  yang berisi pecahan batu bata sebagai media

hidup mikroba sanggup mereduksi kandungan Metylene Blue Active Surfactan atau

MBAS (untuk mendeteksi kandungan detergen) hingga mencapai efesiensi 87,93 persen.

Dari sampel, air limbah yang sebelum dimasukkan tangki memiliki kandungan MBAS

sekitar 2,7 mg per liter. Setelah keluar tangki, air hanya mengandung MBAS sekitar

0,326 mg per liter, atau lebih rendah dari baku mutu yang digariskan, yakni 0,5 mg per

liter. Adapun BOD yang didapat adalah 483,75 mg per liter (sebelum proses) dan 286,25

mg per liter (setelah proses) atau kandungan BOD berkurang 40 persen lebih. [10

Detergen mempunyai sifat koloid. Karakteristik dari partikel koloid dalam air

sangat dipengaruhi oleh muatan listrik dan kebanyakan partikel tersuspensi bermuatan

negative. Cara mendestabilkan partikel dilakukan dalam dua tahap. Pertama dengan

mengurangi muatan elektrostatis sehingga menurunkan nilai potensial zeta dari koloid,

proses ini lazim disebut sebagai koagulasi. Kedua adalah memberikan kesempatan

kepada partikel untuk saling bertumbukan dan bergabung, cara ini dapat dilakukan

dengan cara pengadukan dan disebut sebagai flokulasi.

Pengurangan muatan elektris dilakukan dengan menambahkan koagulan seperti

PAC. Di dalam air PAC akan terdisosisi melepaskan kation Al3+ yang akan menurunkan

zeta potensial dari partikel. Sehingga gaya tolak-menolak antar partikel menjadi

berkurang, akibatnya penambahan gaya mekanis seperti pengadukan akan

mempermudah terjadinya tumbukan yang akan dilanjutkan dengan penggabungan

partikel-partikel yang akan membentuk flok yang berukuran lebih besar. Flok akan

diendapkan pada unit sedimentasi maupun klarifikasi. Lumpur yang terbentuk akan

dibuang menggunakan scraper.

Cara koagulasi umumnya berhasil menurunkan kadar bahan organik (COD,BOD)

sebanyak, 40-70 %.[1

Molekul organik bersifat polar sehingga salah satu ujungnya akan cenderung

tertarik pada air (disebut sebagai hidrofilik/suka air) sedangkan ujung yang lain bersifat

hidrofobik (benci air).  Permukaan molekul aktif seperti ini akan tertarik pada antarmuka

air-gas pada permukaan gelembung udara, sehingga molekul-molekul tersebut akan

membentuk suatu lapisan tipis disana dan membentuk buih/busa. Dalam suatu

proteinskimmer; ketika gelembung udara meninggalkan air menuju tampungan busa,

gelembung udara tersebut akan kolaps sehingga pada akhirnya bahan-bahan organik

akan tertinggal pada tampungan busa.

Detergen dan sabun mampu memecah minyak dan lemak membentuk emulsi

sehingga dapat diendapkan dengan menambahkan inhibitor garam alkali seperti kapur

dan soda. Buih yang terbentuk akan dapat dihilangkan dengan

proses skimming (penyendokan buih) atau flotasi.

Proses flotasi banyak digunakan untuk menyisihkan bahan-bahan yang

mengapung juga dapat digunakan sebagai cara penyisihan bahan-bahan tersuspensi

(clarification) atau pemekatan lumpur endapan (sludge thickening) dengan memberikan

aliran udara ke atas (air flotation).Adsorpsi menggunakan karbon aktif dapat digunakan untuk mengurangi

kontaminasi detergen. Detergen yang merupakan molekul organik akan ditarik oleh

karbon aktif dan melekat pada permukaannya dengan kombinasi dari daya fisik

kompleks dan reaksi kimia. Karbon aktif memiliki jaringan porous (berlubang) yang

sangat luas yang berubah-ubah bentuknya untuk menerima molekul pengotor baik besar

maupun kecil.

Permukaan karbon yang mampu menarik molekul organik misalnya merupakan

salah satu contoh mekanisme jerapan, begitu juga yang terjadi  pada antar muka air-

udara, yaitu mekanisme yang terjadi pada suatu protein skimmer.  Jerapan adalah suatu

proses dimana suatu partikel “menempel” pada suatu permukaan akibat dari adanya

“perbedaan” muatan lemah diantara kedua benda (gaya Van der Waals), sehingga

akhirnya akan terbentuk suatu lapisan tipis partikel-pertikel halus pada permukaan

tersebut. Disamping karbon aktif sebagai adsorben juga tergolong sebagai zat pemberat.

Zeolit dapat menurunkan COD 10-40%, dan karbon aktif dapat menurunkan COD

10-60 %.[1

Detergen mempunyai ikatan – ikatan organik. Proses khlorinasi akan memecah

ikatan tersebut membentuk garam ammonium khlorida meskipun akan menghasilkan

haloform dan trihalomethans jika zat organiknya berlebih.

Dari pembahasan diatas umumnya pengolahan detergen secara teknik dapat

mengadopsi prinsip pengolahan limbah cair dimana skemanya dapat dilihat seperti

dibawah ini :

 Kesimpulan

1.      Detergen merupakan salah satu polutan air yang harus dihilangkan.

2.      Teknik pengolahan detergen dapat dilakukan menggunakan berbagai macam

teknik misalnya biologi yaitu dengan bantuan bakteri, koagulasi-flokulasi-flotasi,

adsorpsi karbon aktif, lumpur aktif, khlorinasi dan teknik representatif lainnya

tergantung dari efektifitas kebutuhan dan efisiensi financial.

 Sumber : [23

 

Daftar Pustaka1.      ….”Paket Terapan Produksi Bersih pada Industri Tekstil. Forlink 2.      Alaerts,G. Dr. Ir; Santika Sumestri, Sri. 1987. Metode Penelitian Air. Surabaya: Usaha Nasional 3.      Arifin. 2007. Tinjauan dan Evaluasi Proses Kimia (Koagulasi, Netralisasi, Desinfeksi) di

Instalasi Pengolahan Air Minum Cikokol, Tangerang. Tangerang : PT. Tirta Kencana Cahaya Mandiri

  4.      Ahmad, Rukaesih. 2004. Kimia Lingkungan. Yogyakarta: Andi offset 5.      Busch, D.H; Shull. H; Conley R.T. 1928. Chemistry. edisi kedua. Boston : Allyn and Bacon Inc. 6.      Dede Karyana. dkk. 2003. Kajian Bahan Kimia Khusus Untuk Tekstil. Bandung : Institut

Teknologi Tekstil 7.      Eaton, Andrew, et al. 2005. Standard Methods for Examination of Water and Wastewater.

21st Edition. American Public Health Association. Marryland USA. 8.      Fessenden, Ralp J; Fessenden, Joan, S. 1994. Kimia Organik. Edisi III, Jilid 2; Jakarta : Erlangga 9.      Hopp. Vollrath. Dasar – dasar Teknologi Kimia untuk Pendidikan dan penerapan di pabrik

Industri Kimia. Jakarta: Hoechst 10.  Hasil Penelitian. Tangki “Septic-Filter up flow” Pereduksi Detergen. dariKompas, Kamis, 23

Februari 2006 11.  Isminingsih, Msc. S. Teks. 1972. Analisa Zat Aktif Permukaan Dan Detergensi. Bandung :

Institut Teknologi Tekstil. 12.  Jr. Day Clyde, M: Selbin, Joel. 1987. Kimia Anorganik Teori. Jogjakarta : Gadjah Mada University

press. 13.  Kosasih. Diktat Mata Kuliah Kimia Zat Pembantu Tekstil (Surface Active Agent atau

Surfactants). Tangerang : Universitas Islam Syekh Yusuf 14.  PERPAMSI, FORKAMI. 2002. Peraturan Teknis Instalasi Pengolahan Air Minum. Jakarta : Tirta

Dharma 15.  Pelczar, Michael J. dkk. 1986. Dasar – Dasar Mikrobiologi. Jakarta : UI Press 16.  Putu Suardana. Pengaruh Surfaktan Linear Alkylbenzena Sulfonat dalam Mempercepat

Bioremediasi Limbah Minyak Bumi (Studi Kasus : Pengelolaan Lingkungan di Lapangan Minyak

Duri – PT. Caltex Pacific Indonesia, Riau) dari http://www.digilib.ui.edu/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=72235&lokasi=lokal 

17.  Ralph H. Petrucci, 1993. Kimia Dasar, Prinsip dan Terapan Modern, Edisi keempat, Jilid 3. Jakarta : Erlangga 

18.  Sugiharto, 1987. Dasar – dasar pengelolaan air limbah. Jakarta: UI 

19.  Sastrawijaya, A. Tresna.1991. Pencemaran Lingkungan. Jakarta : Rineka Cipta. 

20.  Sukardjo, 1990. Kimia Anorganik. Jakarta : Rineka Cipta 21.  Sienko. J. Michell; Plane. A. Robert. 1961. Chemistry. edisi kedua. New York: Mc. Graw  Hill

Book Company Inc. 22.  Sri Hidayati, Sapta Zuidar, Ahmad. 2007. Kaman Proses Pembuatan Surfaktan Anionik Berbasis

Ester Asam Lemak C16 dalam Minyak Kelapa Sawit. Bandar Lampung : F-Pertanian, Unila. 23.  Tjandra Setiadi;Retno Gumilang Dewi. Dasar-Dasar TeknologiPengolahan Limbah Industri.

Bandung : D-T. Kimia, F-MIPA. ITB 24.  Unus Suriawiria, Drs. 1985. Mikrobiologi Air. Bandung : ITB 25.  Wood, Kleinfelter. Keenan. dkk. Kimia Untuk Universitas. Jakarta : Erlangga 26.  Widajanti Wibowo. dkk. Studi Pengolahan Air Sirkulasi Proses Painting dengan

Menggunakan Lumpur Aktif. Depok : F-MIPA UI 27.  Wignyanto. dkk. Teknik Baru Cara Peningkatan Efektifitas dan Efisiensi Kemampuan

Biodegradasi Surfaktan Deterjen Alkylbenzene Sulfonate. Malang : F-MIPA Unibraw. 28.  Yunasfi. 2002. Pemanfaatan Limbah Cair Industri untuk Sektor Kehutanan. Medan : F.

Pertanian. Universitas Sumatera Utara 29.  www.chem.is.try.org 30.  www.wikipedia.or.id 31.  http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Metropolis&id=136527 32.  http://www.sinarharapan.co.id/berita/0110/24/ipt02.html

 33.  http://www.pom-obat.go.id/v2.0/articles.php?id=8 

top related