mengenal dan memahami babad
Post on 12-Jun-2015
1.934 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Mengenal dan memahami Babad
A. Pengantar
“Gunamantra sang Dasaratha, wruh sira ring weda bhakti ring
dewa, tar malupeng pitrēpuja, masih sireng swagotra kabeh
(Ramayana, I.4).”
Krisis moneter yang berkepanjangan telah menimbulkan krisis
baru dalam berbagai bidang kehidupan politik, sosial budaya, bahkan
moral masyarakat Indonesia, tak terkecuali masyarakat Bali. Krisis
tersebut sangat potensial menimbulkan konflik, baik konflik eksternal
maupun internal, dan konflik dapat memicu terjadinya disintegrasi.
Di sisi lain, bangsa Indonesia (termasuk masyarakat Bali) sangat
kaya dengan peninggalan budaya atau warisan budaya masa lampau.
Salah satu warisan budaya tersebut adalah naskah. Di antara berbagai
jenis naskah, babad merupakan salah satu jenis karya sastra sejarah
yang masih hidup dan berkembang di tengah – tengah kehidupan
masyarakat Bali. Babad merupakan perwujudan nilai – nilai dan
peristiwa – peristiwa penting pada zamannya, seperti kehidupan
kebudayaan, alam pikiran, susunan tata pemerintahan, adat istiadat,
keadaan masyarakat, dan kegiatan kultural lainnya.
Tradisi penulisan babad telah dimulai sejak abad ke 16. Jika
kemudian kita berpikir bahwa masa kini merupakan perpanjangan
masa lampau, maka perkembangan bangsa dan masyarakat pada
masa kini semestinya dapat dipahami dan dikembangkan dengan
memperhatikan latar historisnya (kehidupan masa lampau). Hal ini
berarti bahwa perlu diperhatikan berbagai informasi masa lampau,
misalnya tentang buah pikiran, pandangan, nilai – nilai yang pernah
hidup dan berkembang pada masa lalu. Oleh karena itu, babad
mempunyai peranan penting.
Sehubungan dengan itu, kiranya persoalan yang dihadapi adalah
bagaimana cara kita memandang, memahami, dan memerankan
babad pada kehidupan ini? Hal inilah menurut hemat saya perlu
didiskusikan pada kesempatan ini.
B. Apa itu Babad
Istilah babad terdapat di Jawa, Madura, Bali, dan Lombok. Di
daerah – daerah lain, seperti Sulawesi Utara, babad disebut lontara, di
Sumatra Barat dikenal dengan istilah tambo, di Kalimantan, Sumatra,
dan Malaysia dikenal dengan sebutan hikayat, sisilah, sejarah; di
Burma dan Thailand dikenal dengan sebutan kronikel (Soedarsono,
1985).
Ada bermacam – macam pengertian babad. Menurut
Darusuprapta (1976), babad adalah salah satu jenis karya sastra –
sejarah berbahasa Jawa Baru yang penamaannya beraneka ragam,
anatar lain berdasarkan nama sendiri, nama geografi, nama peristiwa
atau yang lainnya. Sartono Kartodirdjo (1968) menjelaskan babad
merupakan penulisan sejarah tradisional atau historiografi tradisional
sebagai suatu bentuk dan suatu kultur yang membentangkan riwayat,
dimana sifat – sifat dan tingkat kultur mempengaruhi dan bahkan
menentukan bentuk itu sehingga historiografi selalu mencerminkan
kultur yang menciptakannya. Menurut Soekmono (1973), babad
merupakan cerita-sejarah yang biasanya lebih berupa cerita daripada
uraian sejarah meskipun yang menjadi pola adalah memang peristiwa
sejarah. Teeuw (1984) menjelaskan babad sebagai teks – teks historik
atau genealogik yang mengandung unsur – unsur kesastraan.
Demikanlah ada bermacam – macam pengertian babad. Akan tetapi,
pada prinsipnya babad merupakan teks – teks historis yang dikemas
dengan unsur – unsur kesastraan.
C. Hakikat Babad
Babad merupakan titk temu antara sastra dan sejarah. Realistas
dalam babad telah berpadu dengan kreativitas. Maka realitas itu telah
menunjukkan wajah baru. Dengan demikian, babad bukanlah mutlak
dipandang sebagai dokumen sejarah, tetapi juga dipandang sebagai
teks yang secara kreatif, dan menurut konvensi kebudayaan Bali,
menafsirkan dan membayangkan hal – hal sejarah dan bukan sejarah
dalam rangka pandangan dunia masyarakat Bali. Teks babad
merupakan kenyataan yang diberi nilai dan makna lewat cerita. Oleh
karena itu, babad menjadi semacam model gaya bercerita yang laku
dalam kebudayaan Bali pada zaman itu. Dengan demikian, seorang
penulis babad lebih menekankan pemberian makna dan eksistensi
manusia lewat cerita, peristiwa yang barangkali tidak benar secara
faktual tetapi masuk akal secara maknawi. Jadi, dalam membaca
babad kita selalu sadar bahwa kita berada dalam tegangan history dan
story. Dengan kata lain, manusia dapat hidup dalam perpaduan antara
kenyataan dan impian yang kedua – duanya hakiki untuk kita sebagai
manusia. Oleh karena itu, keobjektifan mutlak tidak pernah tercapai
karena beberapa hal, yaitu: (1) Fakta – fakta tidak pernah lengkap,
selalu fragmentaris; (2) Penulis babad mau tak mau harus berlaku
selektif, tidak semua fakta dan data sama penting dan relevennya. Ia
harus memilih dan kriteria objektif untuk penyelesaian tidak ada
sehingga cendrung menulis apa yang sebaiknya ditulis bukan apa yang
seharusnya ditulis; (3) Penulis babad adalah manusia yang latar
belakang, kecendrungan, pendiriannya bersifat subjektif, ditentukan
oleh pengalaman, situasi, dan kondisi hidupnya sebagai manusia sosio
– budaya pada masa dan masyarakat tertentu (Teeuw, 1988).
D. Sifat Babad
Sejalan dengan pengertian dan hakikat babad seperti di atas,
maka babad memiliki sifat – sifat sakral-magis (dikramatkan), religio-
magis (mengandung kapercayaan), legendaris (berhubungan dengan
alam semesta), mitologis (berhubungan dengan dewa – dewa),
hagiografis (mengandung kemukjizatan menyimpang dari hukum
alam), simbolis (mengandung lambang – lambang, kata – kata keramat
atau bhisama, benda – benda kramat), sugestif (mengandung ramalan,
suara gaib, tabir mimpi), istana sentris (berpusat pada kerajaan),
pragmentaris (tidak lengkap), raja-kultus (pengagungan leluhur), lokal
(bersifat kedaerahan), dan anonim (tanpa nama pengarang).
E. Peranan dan fungsi Babad pada Masyarakat Bali Masa Kini
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa babad pada
hakikatnya merupakan penafsiran terhadap kenyataan, alternatif
kenyataan, atau kenyataan diberi makna lewat cerita. Sejalan dengan
itu, makna babad bukan terletak pada peristiwa itu tetapi berada di
balik peristiwa. Sebagai produk budaya kiranya babad dapat dilihat
sebagai sistem simbol. Babad dapat dipandang menggambarkan suatu
cara masyarakat Bali memperkuat dan melestarikan dirinya melalui
simbolisasi dari nilai – nilai atau konsep – konsepsi sosio-religius yang
mendasari struktur sosialnya. Hal ini penting terutama ditinjau dari
segi proses interaksi masyarakat Bali sebagai makhluk sosial. Dalam
konteks ini interaksi itu dipahami sebagai interaksi simbolik. Babad
sebagai simbol digunakan oleh orang Bali dalam berinteraksi satu
sama lain atau untuk menyatakan gagasannya sebagai manusia
berkebudayaan. Selanjutnya, sebagai warisan budaya, kiranya babad
dapat dipandang sebagai konsepsi – konsepsi orang Bali dalam
menanggapi kehidupan dan lingkungan-nya demi eksistensinya secara
historis. Kecuali itu, babad juga dipandang sebagai suatu abstraksi
tingkah laku, sebagai mekanisme kontrol bagi kelakuan orang Bali.
Dalam konteks inilah hal - hal penting dalam babad, seperti bhisama
dan persoalan sesanan bagi klien bersangkutan dapat dipahami dalam
konteks yang lebih utuh. Sekalipun babad ditulis untuk mengenal dan
mengingat peristiwa – peristiwa historis dengan segala
konsekuensinya, maka kita lebih jauh dituntut untuk dapat memahami
dan memberikan penafsiran secara jernih dan komprehensif bahwa
fungsi dokumentasi babad hendaknya dipahami sesuai dengan
kodratinya sebagai ciptaan sastra. Bahwa realita dalam babad memiliki
hukumnya sendiri yang tidak harus sama dengan realita dalam fakta.
Hal ini karena dalam ciptaan yang dinamakan sastra itu terdapat
kepaduan antara mimesis dan creatio. Tidak hanya itu, fakta dan data
yang tersedia di dalam babad tidak dapat dipertanggungjawabkan
secara penuh. Informasi pada babad hanya dapat dimanfaatkan
sebagai bahan tambahan. Jika mengangkat informasi dalam babad
sebagai bahan penyusunan sejarah, semestinya harus melalui kritik
sumber, babad dibaca berdampingan dengan sumber – sumber
lainnya.
Namun demikian, masih dapat diakui bahwa babad diciptakan
dalam rangka struktur dan pemenuhan fungsi. Sejalan dengan itu,
fungsi babad, antara lain: berfungsi melegitimasi (mengesahkan) asal –
usul / silsilah leluhur, kejadian / peristiwa, desa, pura atau hal – hal
lainnya. Sehubungan dengan fungsi legitimasi inilah faktor – faktor
kepercayaan dan ritus religius berhadapan dan saling menentukan
satu sama lain. Unsur – unsur mitos, legenda, hagiografi, simbolisme,
dan sugesti sangat dibutuhkan dalam upaya menambah kakramatan
dan kewibawaan tokoh atau peritiwa yang dilegitimasi.
Di samping itu, babad berfungsi sebagai, penghormatan kepada
leluhur. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu kepercayaan
(sradha) orang Bali adalah kepercayaan terhadap leluhur. Banyak
kasus ditemukan dala kehidupan masyarakat Bali bahwa karena faktor
“tidak mengenal leluhur” (tak kenal maka tak sayang) orang tersebut
hidup sengsara, tetapi setelah menemukan dan mengenal leluhurnya
kehidupannya berubah menjadi lebih bahagia. Hal ini pula
diamanatkan dalam petikan Kekawin Ramayana di atas, bahwa untuk
dapat menjadi seorang gunamanta (memiliki kewajiban), seperti Sang
Dasaratha, maka kita diwajibkan berbakti kepada leluhur (tar
malupeng pitrepuja) di samping bertaqwa kepada Tuhan (bhakti ring
dewa).
Lebih jauh, babad berfungsi sebagai penuntun para keturunan
(pratisantana) dalam menjalankan kewajiban masing – masing. Dalam
tataran ini, babad dapat dipandang sebagai suatu mekanisme untuk
penataan tingkah laku, sebagai mekanisme kontrol bagi tingkah laku
orang Bali. Babad merupakan kristalisasi pandangan hidup dan ajaran
– ajaran luhur para leluhur pada masa lampau. Dikatakan demikian
karena hampir dalam setiap babad memuat bhisama leluhur tentang
sesanan (tetegenan, kewajiban) yang wajib dilaksanakan oleh
keturunannya. Babad mengajarkan kepada keturunannya untuk lebih
mengenal diri, untuk memahami hakikat dan eksistensi diri sebagai
individu dan makhluk sosial. Artinya, babad tidak mengajarkan
keturunannya untuk hidup terkotak – kotak, membatasi diri terhadap
linkungan, namun sebaliknya, babad mengajarkan interaksi orang Bali
sebagai makhluk sosial. Dalam tataran ini babad merupakan kepaduan
antara ontologis dan kosmologis. Oleh karena itu, diperlukan usaha
pemahaman komprehensif, baik terhadap manusia dan dunia maupun
Tuhan dalam satu keseluruhan konseptual yang koheren. Hal ini tentu
memaksa pikiran untuk meraih sampai ke inti paling murni yang
tersembunyi dalam struktur – struktur pengalaman manusia (leluhur
pada masa lalu). Akan menjadi sangat baik apabila keturunan suatu
klien mampu melakukan pemahaman seperti itu tentang babad
sehingga tumbuh kesadaran yang tereflaksikan dalam bentuk
pelaksanaan dharma masing – masing (dharma agam dan dharma
nagara) meniru jejak para leluhur. Dalam rangka meniru jejak leluhur
itu, kita mesti tetap dalam kesadaran bahwa babad adalah produk
masa lampau yang diberi makna pada masa kini. Artinya, sangat
diperlukan kepekaan terhadap situasi dan kondisi zaman pada saat
pembacaan. Apabila keturunan suatu klien telah mampu menjalankan
kewajibannya dengan baik, maka mereka akan menikmati haknya
dengan baik. Dalam rangka inilah kerapkali terjadi kesalahpahaman
dalam menafsirkan babad. Yang menjadi horison harapan adalah hak
dan melupakan kewajiban apa yang diamanatkan oleh leluhur. Oleh
karena itu, sering menimbulkan konflik, baik internal maupun
eksaternal.
Babad juga berfungsi sebagai sumber inspirasi seni. Cabang seni
yang lain, seperti seni pertunjukan, seni rupa, seni patung, bahkan
genre sastra lainnya (kidung, geguritan) kerapkali mengambil sumber
pada teks – teks babad. Namun hal penting yang perlu diperhatikan
dalam memilih dan mengangkat babad sebagai sumber inspirasi atau
sumber lakon seni pertunjukan adalah adanya kesinambungan yang
mampu menunjukan ciri khas babad lain berupa legitimasi, genealogi,
simbolisme, hagiografi, mitologi, dan sugesti.
PEMBAHASAN
BABAD PASEK
Zaman bahari tatkala nusa Bali dan Lombok masih berkeadaan goncang, sebagai perahu di atas lautan selalu goyang dan oleng. Nusa Bali dan Lombok ketika itu hanya ada gunung di Bali, bagian Timur gunung Lempuyang namanya. Bagian selatan gunung Andakasa, bagian Barat gunung Watukaru, bagian Utara Gunung Mangu namanya dan pula gunung Bratan. Sebab itu mudahlah oleh Hyang Haribhawana menggoyangkan nusa ini.
Dengan demikian bhatara Pasupati sangat belas kasihan melihat
halnya pulau Bali ini, maka berkenanlah Bhatara membongkar
sebagian lereng gunung Mahameru, dibawa ke Pulau Bali dan Lombok,
si Badawang nala diperintahkan diam bertahan di pangkal gunung,
Sang Anantabhoga dan Naga Basuki menjadi tali gunung itu, sedang
Naga Taksaka menerbangkan. Diturunkan di Bali pada hari Kamis
Keliwon wuku Merakih, sasih kedasa (April) bulan mati (tilem), rah 1,
tanggek 1, tahun Caka 11.
Setelah beberapa tahun lamanya rusaklah nusa Bali, pada hari
Kamis Keliwon wuku Telu, sedang hari Purnama raya, sasih Kasa (Juli),
rah 7, tenggek 2, tahun Caka 27, ketika itu hujan sangat lebat disertai
angin topan guruh kilat bersambungan, akhirnya terjadi gempa bumi
disertai suara dentuman – dentuman sehingga dua bulan lamanya
hujan saja, akhirnya meletus gunung Agung (Tolangkir) keluar air
salodaka (air belerang) dari sana.
Setelah beberapa tahun antaranya, maka pada hari Selasa
Keliwon wuku Kulantir, sasih Kalima (Nopember), kebetulan bulan
Purnama, tahun Caka 31, meletus, pula gunung Agung itu, maka
tampak keluar Bhatara Hyang Putrajaya disertai adiknya Bhatari Dewi
Danu, turun menuju Besakih, terus menetap bertempat di sana disebut
Parhyangan bergelar Hyang Mahadewa. Bhatara Dewi Danu
berparhyangan di Ulu Danu Batur dan Bhatara Hyang Genijaya
berparhyangan di Gunung Lempuyang.
Demikianlah riwayatnya pada zaman bahari, ketika Bhatara itu
berangkat ke Bali diutus Hyang Pasupati, dengan sabdanya “Anakku
bertiga kamu Mahadewa, Danu, dan Genijaya tidak lain hanya
engkaulah kusuruh pergi ke Bali menjadi Pujangga orang Bali”.
Demikianlah sabda Hyang Pasupati lalu tiga Bhatara aitu datang
menyembah, katanya: “Ya Tuhanku Bhatara, bukan karena kami akan
menolak perintah Bhatara, hanya kami perlu kemukakan bahwa kami
masih dalam keadaan anak - anak belum dewasa, tentunya kami tidak
tahu jalan mana yang harus kami tempuh”.
Jawab Hyang Pasupati: “Anakku, janganlah bersusah hati, aku
akan memberi engkau wahyu, supaya segala kehendakmu itu
kesampaian hendaknya, sebab engkau adalah anakku sekarang”.
Setelah itu maka Bhatara tiga itu diberi yoga, ditempatkan
dengan gaib didalam kelapa gading, kemudian berjalanlah mereka itu
melalui dasar laut dengan segera tiba di gunung Tolangkir
berparhyangan di Besakih. Demikianlah riwayatnya.
Diceritakan pula Bhatara Hyang Pasupati di Gunung Himalaya,
memberikan nasehat kepada para Mpu semuanya, katanya: “Cucuku
semua, dengarkanlah nasehatku kepada cucuku sekalian, bahwa aku
telah memberi izin kepadamu sekalian untuk ke Bali, melaksanakan
yoga disana, menyertai anakku Hyang tiga itu”.
Dalam antara itu diceritakan pula orang – orang yang bertapa di
lereng Gunung Tolangkir yang berlanjut timbulnya raja yang
memerintah pulau Bali. Konon permulaan penjelmaan raja ini
diperintahkan oleh Tuhan untuk menjelma dimasukkan ke dalam
selubung buah kelapa. Setelah duduk sebagai raja, digelari Shri Aji
Masula – Masuli. Ketika itu sangat sejahtera masyarakat Bali, karena
raja itu selalu melakukan Dharma keparamerthan, cinta bakti kepada
dewa – dewa dan kawitan – kawitan.
Hal ini didengar oleh Shri Aji Mayadanawa, tentang halnya orang
Bali semua, suka ria hatinya mempersembahkan Widhi – Widhana
pujawali. Kemudian ia menuju ke desa Manikmao. Raja ini berhenti
dengan maksud menanti orang – orang Bali yang akan pergi ke
Besakih. Kemudian datanglah orang – orang Bali berduyun – duyun laki
perempuan, bersama anak cucunya yang masih digendong, membawa
sesaji untuk persembahan. Raja Mayadanawa berkata: “Hai engkau
orang Bali, akan pergi kemana engkau membawa sesaji persembahan
sangat lengkap?”
Orang – orang Bali menjawab: “Ya, Tuhanku, kami sekalian pergi
ke Pura Besakih, ke Dalempuri, mempersembahkan bakti kepada
Bhatari!” Raja bersabda pula: “O, ya, engkau sekalian pergi ke Dalem?
Apa yang engkau minta disana?”
“Kami minta tirtha sarining tuwun (sari tanam – tanaman)
supaya makmur dan menjadi tanam – tanaman kami dan minta
keselamatan diri supaya mandapat umur panjang”, demikian jawab
orang – orang Bali.
Raja Mayadanawa menjawab dengan berang serta menghardik:
“Jika demikian halmu, aku tidak mengijinkan, jangan engkau kesana,
sesungguhnya akulah Dalem Jati di Dalempuri dan di Besakih tidak ada
dewa, tidak ada dalem disana, aku diberi bakti, aturi aku saji – saji.
Dengan hal yang demikian itu, tidak seorangpun yang berani
meneruskan perjalanannya, semua kembali dengan rasa sedih. Ketika
itu terjadi pada tahun Caka 896.
Perbuatan Mayadanawa itu didengar oleh Hyang Mahadewa,
yang kemudian ia mohon izin pada Bhatara Pasupati untuk
menghancurkan si Mayadanawa. Akhirnya terjadilah peperangan yang
sangat panjang. Maka datanglah saatnya Shri Mayadanawa
dibinasakan dalam pertempuran serta pula maha patihnya yang
bernama Kalawong. Hal itu terjadi dipangkung Patas di sana mereka
berdua menjadi tawulan batu padas. Dari seluruh sendi tulangnya
mengalir darah yang tiada hentinya sehingga merupakan anak kali.
Maka darah itu dikutuk oleh Bhatara Whai Mala yang sekarang dinamai
Tukad Petanu.
Dan lagi sebabnya ada yang disebutkan Tirtha Empul dan Whai
Cetik, dahulu ketika laskar dewa - dewa dalam keadaan tertekan
dalam perang yang banyak menemui ajalnya di Tegal Pegulingan,
karena kena air racun atas upayanya Mayadanawa dengan Kalawong,
ketika itu mengertilah Bhatara bahwa laskarnya kena tipu muslihat
musuh, segera Bhatara melakukan yoga dengan memancangkan panji
– panjinya (umbul – umbulnya), maka keluarlah Tirtha Amertha yang
sangat besar dan mujarab menghidupkan kembali para laskar dewa
yang telah meninggal.
Demikian riwayatnya dahulu diwarisi sampai sekarang.
Setelah beberapa tahun selang dari peperangan itu, Bhatara
Pasupati bersabda kepada para Panca Pandita, katanya: “Cucuku
sekalian, dengarlah kataku ini! Janganlah engkau lupa terhadap bathin
ketuhanan yang menjadi pokok kependetaan terutama ajaran
kemoksaan dan ajaran – ajaran filsafat. Kemudian apabila ada turun –
turunanmu, anak cucumu, sampaikan juga nasehatmu kepadanya,
supaya mereka ingat akan tugas dharmanya terhadap ke-Tuhanan dan
kependetaan. Jangan hendaknya anak cucumu lupa dan tidak setia
pustaka suci, bukanlah keturunanmu jika lupa akan dharmanya, moga
– moga mereka susut menurun menjadi ksatria. Dan yang penting
harus diperingatkan, supaya selalu diselenggarakan tempat – tempat
pemujaan kepada kawitan – kawitannya (leluhurnya) demikian pula
tentang pujawalinya sampai kemudian hari”. Demikian sabda Bhatara
Pasupati, maka seluruh Panca Pandita itu diperciki tirtha Amertha
baiknya.
Di lain pihak diceritakan Mpu Genijaya pergi ke Bali menumpang
perahu dari daun kiambang (kapu – kapu), memakai layar daun pangi,
pada hari Kamis Keliwon masa Kadasa tanggal satu (Pratipada gukla)
tahun caka 1079 (muka purwatadik witangcu).
Tidak diceritakan panjang lebar betapa hal di dalam perjalanan,
pada suatu ketika tibalah di Pantai Nusa Bali yaitu di Cilayukti. Maka
terlihat oleh adiknya Mpu Kuturan, bahwa kakaknya datang. Dengan
tergopoh – gopoh Mpu turun menjemput kakaknya di pantai, dengan
sujud menyembah lalu berkata.
“Selamat datang kakak pendeta, silahkan masuk ke dalam
Parhyangan”. Mpu Genijaya mengangguk mengiakan seraya berkata
“Marilah kita bersama –sama”, demikian katanya lalu tangannya
dituntun oleh adiknya menuju Parhyangan. Setelah sampai dalam
parhyangan lalu masing – masing duduk di tempat yang telah tersedia.
Selama dalam parhyangan pendeta berkakak adik itu tiada putus –
putusnya bercakap – cakap memperbincangkan ajaran agama dan
filsafat mengenai Ketuhanan.
Setelah beberapa hari lamanya di Cilayukti, besok paginya
pergilah Mpu Genijaya diiringi adiknya Mpu Kuturan menuju ke Dasar.
Demi terlihat
oleh Mpu Gana bahwa kakaknya datang, maka dengan tergopoh –
gopoh menyongsong seraya menyembah, katanya: “Silahkan paduka
kakak pendeta masuk bersama adik Mpu Kuturan”.
Dengan bertuntunan tangan bertiga pendeta berkakak beradik
itu masuk dalam parhyangan.
“Silahkan kakak pendeta duduk – duduk katanya Mpu Gana.
Marilah adikku berdua, bersama – sama duduk dengan kakak”!
Setelah sama – sama duduk di tempatnya masing – masing
dalam parhyangan, maka mulailah pembicaraan yang mengenai ajaran
kebatinan, sampai kepada ajaran kemoksaan. Memang demikian
seharusnya bagi orang - orang yang telah menduduki derajat Pendeta.
Besoknya pagi – pagi Mpu Genijaya pergi ke Besakih diiringi oleh
dua orang adiknya Mpu Gana dan Mpu Kuturan. Setelah tiba, mereka
langsung menuju parhyangan tempatnya Mpu Semeru, bahwa
kakaknya datang disertai oleh dua orang adiknya, maka sangatlah
gembira hatinya seakan – akan mendapat percikan tirtha amertha
seraya bersujud mencakupkan tangan menyembah disertai dengan
ucapan weda jaya – jaya “selamat datang”. Demikian pula kakaknya
membalas dengan weda jaya – jaya, selamat, suara genta seakan –
akan kumbang mencari madu bunga. Setelah itu maka Mpu Semeru
berkata: ”Kakak Pendeta silahkan duduk bersama – sama adik
berdua”. Marilah sama- sama kita duduk adik – adik sekalian, kakak
mengijinkan “Jawab Mpu Genijaya”. Setelah sama – sama duduk
Pendeta empat itu, maka Mpu Semeru bertanya:”Kapankah kakak
pendeta turun ke Bali? Siapa yang mengiring”?
“Kakak sendiri saja tidak ada pengiring, turun di Cilayukti lebih
dulu, kemudian ke Dasar, akhirnya datang kemari”. Selanjutnya terus
mareka bercakap – cakap tentang hal ilmu bathin, filsafat ke-Tuhanan,
Reg dan Yajur Weda, sampai juga kepada satuan – satuan huruf suci
(Wijaksara).
Kemudian daripada itu tibalah hari Purnama Kapat, yaitu
patirthan Bhatara Putrajaya, lalu pendeta empat itu menghaturkan
puja wali. Tidak diceritakan betapa ramainya suasana yajna itu dan
sekalian orang sama girang menghaturkan sembah.
Setelah beberapa tahun antaranya, diceritakan kembali halnya
Mpu Ketek telah beristri seorang wanita anak dari Arya Padang
Subadera. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Sanghyang
Pamanea. Sedang Mpu Kananda beristri dari anaknya Mpu
Swetawijaya, telah juga berputra bernama Sang Kuladewa. Dan Mpu
Wiranjana beristri dari anak Mpu Wiranatha. Mpu Witadharma istrinya
adalah anak Mpu Darmaja yaitu cucu dari Mpu Yogiswara, berputra
bernama Mpu Wiradharma.
Mpu Ragarunting beristri anaknya Mpu Wiratanakung, putranya
Mpu Wirarunting. Mpu Prateka mengambil istri anaknya Mpu Pasuruan
bernama bang Senetan lalu berputra bernama Hyadnya. Mpu Dangka
beristri, anaknya Mpu Semedang. Dari pada itu lahir seorang putranya
bernama Mpu Wiradangka, memper seperti nama ayahnya dan
memper pula tinggi bathinnya.
Sekianlah jumlah anak dari tujuh bersaudara itu tersebut dalam
kitab. Diceritakan pula anaknya Mpu Bradah dua orang laki – laki. Yang
pertama bernama Mpu Ciwagandu mengambil istri anaknya Mpu
Wiraraga, lalu berputra lima orang, wanita empat, laki seorang, semua
elok rupanya, namanya masing – masing ialah: Yang laki bernama Mpu
Wiranaga, yang perempuan bernama Ni Dewi Ratna Semeru, Ni Dewi
Girinatha, Ni Dewi Patni, Ni Dewi Sukerti.
Anaknya yang kedua bernama Mpu Bahula beristri anak janda
raja Jirah bernama Ni Dewi Ratnamanggali. Dari perkawinan ini
berputra lima orang, empat orang perempuan dan seorang laki – laki.
Namanya masing – masing yang laki – laki bernama Mpu Wiranatha,
yang perempuan bernama: Ni Dewi Dwaranika, Ni Dewi Adnyani, Ni
Dewi Amrtajiwa, Ni Dewi Amrtamangguli. Itulah semua keturunan
Brahmana, tingkah laku dan bathinnya sesuai dengan kawitannya.
Apabila salah seorang dari keturunannya itu melanggar nasehat
Bhatara Kawitan, maka ia akan kena kutuk tidak dapat berlaku dalam
jalan yang benar (mungpang selaku lampah) dan lagi selalu menurun
derajatnya menjadi orang hina.__
Diceritakan Sang Mpu Bradah turun ke Bali dengan maksud akan
datang menghadap kakaknya di Cilayukti, berhasrat hendak
mengetahui bukti – bukti kakuasaan bathin kakaknya. Tidak direntang
panjang betapa halnya dalam perjalanan, dikisahkan telah tiba di
Cilayukti dengan berperahu kayu pelud yang hanya segenggam
panjangnya. Mpu Kuturan seraya katanya: “Adikku selamat datang,
silahkan duduk”.
“Ya paduka kakak pendeta, maksud saya datang menghadap ini
adalah ingin mengetahui kekuasaan bathin paduka kakak paduka, jika
boleh harap diperlihatkan kepada saya. Jawab Mpu Kuturan: “Jika
demikian maksud adik baiklah kakak penuhi hasrat adik. Itu di sana
ada seekor ayam baru bertelur tiga butir”.
“Terimakasih jika demikian kata Mpu Bradah”. Lalu Mpu Kuturan
mengeluarkan kekuasaan bhatin hatinya, yaitu ditarik dengan
kekuatan bathin telur itu, maka dengan seketika itu tiga butir telur itu
datang dengan sendirinya kehadapan Sang Maharani. Oleh karena itu
Mpu Kuturan tiga butir telur itu ditaruh bertumpuk tiga, lalu bertanya:
“Adikku, coba terka apakah nanti lahir dari masing – masing telur ini?
“Baiklah”, jawab adiknya, seraya menenangkan bathinnya untuk
mempersatukan ketajaman pandangan jiwanya ke dalam telur itu.
Tiada lama antaranya Mpu Bradah berkata: “Kakak Pendeta, telur yang
tempatnya teratas saya dengar suaranya menyerupai angsa, kiranya
angsalah yang lahir dari padanya”.
Jawab kakaknya: “Tidak, naga keluar dari dalamnya”. Tiada lama
antaranya, telur yang dibicarakan tadi pecah, lalu keluar anak angsa
dari dalamnya.
Mpu Kuturan berkata pula: “Adik, coba terka telur yang ditengah
ini; apa nanti lahir dari dalamnya”?
“Baiklah kakak pendeta”, jawab Mpu Bradah. Sebaiknya saya
menerka telur terbawah lebih dulu. Gagak putih akan keluar dari
dalamnya. Tiba – tiba telur tadi pecah, keluar seekor Gagak putih dari
dalamnya, sekejap mata itu telah mulai belajar terbang di udara.
Kata Mpu Kuturan pula: “Adik, kini masih sebutir, coba terka
lagi!”
Jawab adiknya: “Ya kakak pendeta, telur ini akan melahirkan dua
ekor naga”.
Sekejap itu telur yang ketiga (di tengah) itu pecah keluar dua
ekor naga yang buas, mulutnya menganga hebat dahsyat, taringnya
tampak tajam – tajam, culanya berapi – api mengkilat – kilat lalu
terbang ke udara turun di Besakih. Demikian ceritanya.
Setelah selesai peristiwa yang mentakjubkan itu, lalu Mpu
Bradah bersemadi sejenak mencipta dengan kekuatan ilmu aji
Basundari dan ketajaman pemandangan, kelihatan olehnya butir telur
mengambang di tengah lautan sebelah timur Gunung Cilayukti.
Apabila tidak keberatan, coba persatukan pandangan bathin, apa
gerangan lahir dari padanya nanti.
“Baiklah kanda coba permintaan adinda” Jawab Mpu Kuturan
seraya mengumpulkan dan semusatkan bathinnya dengan ilmu aji
Antasiksa guhjawijaya, akan keluar dari dalamnya pancawarna”.
Mpu Bradah berkata: “Tidak”. Tiba – tiba pecah telur itu,
keluarlah dari dalamnya hujan bunga panca warna harum semerbak
memenuhi udara. Mpu Bradah berkata pula: “Wah benar kakak, coba
yang lainnya diterka lagi!”. “Adikku jawab Mpu Kuturan, telur yang di
tengah air tirtha Kamandalu asinya”. Tiba – tiba pecah telur yang
ditengah itu. Seketika itu bergelora samudra itu, karena kaluarnya air
tirtha Kamandalu bertempatkan kendi manik. Mpu Bradah berkata
pula: “Kakak pendeta telur yang masih sebutir lagi yang tempatnya
terbawah, apa gerangan keluar dari dalamnya, cobalah diterka baik –
baik!” Mpu Kuturan menjawab: “Adikku, telur yang terbawah itu
Badawangnala lahir dari padanya”. Baru pecah telur itu, memang
benar lahir seekor Badawangwala dari dalamnya bersayap gerinsing
wayang, berbulu piteala sutra yang sangat mentakjubkan. Ketika itu
timbul benci hatinya Mpu Bradah, lalu mengucapkan kutuk katanya.
“Hai kamu Bedawangnala! Karena engkau ia jatuh ke Bumi, dari
sejak ini sampai kemudian tidak boleh engkau bertelur dalam lautan
moga – moga engkau dimakan ikan besar, salahmu durhaka
kepadaku”. Demikianlah sabda Mpu Bradah sangat manjurnya. Itulah
sebabnya bangsa penyu bertelur di daratan pantai laut dan banyak
makhluk lahir dari padanya misalnya menjadi ular, penyu, empas, dan
kura – kura. Beberapa hari antaranya, tibalah hari Kamis Wage dan
Jumat Kliwon Wuku Sungsang, yaitu Sugihan Jawa dan Bali, maka
beliau itu turut melakukan hari sugihan manik itu. Ketika itu pertama
kali dirayakan hari Sugihan Jawa dan Bali. Yang disebut Sugihan Manik
atau Ulihan Jawa, hari Kamis Wage, sedangkan Sugihan atau Ulihan
Bali, hari Jumat Keliwon Sungsang.
Tiada diceritakan betapa kehidupan selanjutnya, pada suatu hari
pulang Mpu Bradah itu ke Jawa, setelah mohon diri kepada kakaknya
Mpu Kuturan. Setelah meninggalkan padang lalu pergi ke Gelgel menju
Dasarbhuwana. Tidak disebutkan apa pembicaraannya di Gelgel,
setelah mohon diri daripada kakaknya disana lalu pergi ke Besakih,
kemudian dari Besakih menuju Gunung Lempuyang. Setelah selesai
mohon diri kepada kedua kakaknya ini, maka Mpu Bradah melanjutkan
perjalannya ke Jawa berparhyangan di Pejarakan.
Tidak diceritakan betapa halnya Mpu Kuturan mengatur
kesejahteraan masyarakat. Lama kelamaan maka pulanglah Sang
Pancatirtha itu ke Suksmataya (ke alam baka), merupakan dhat Tuhan
atau roh suci. Yang disebut Panca Tirtha itu ialah: Mpu Genijaya, Mpu
Semeru, Mpu Gana, Mpu Kuturan, Mpu Bradah. Kini diceritakanlah
lebih lanjut, anak cucu dan turun – turunan dari Sang Panca Tirtha itu
semua, sangat astiti dan bakti terhadap Tuhan, terutama terhadap
leluhurnya yang telah merupakan Dewata. Pada suatu ketika pada saat
akan datangnya hari Purnama Kapat yaitu pujawali Bhatara – Bhatari di
Besakih maka bermusyawarahlah Sang Sapta Pandita disertai oleh
anak – anaknya sekalian, terutama Mpu Ketek, Mpu Kananda, Mpu
Wiradnyana, Mpu Wira Dharma, Mpu Ragarunting, Mpu Prateka, Dan
Mpu Dangka.
Mpu Ketek berkata: “Adik – adikku dan putra – putraku sekalian,
oleh karena Abra Sinuhun (Kawitan) kita telah pulang ke alam baka,
serta mengingat nasehat – nasehat beliau dulu, apabila hari Purnama
Kapat harus ada pujawali di Besakih. Kini hari yang penting itu akan
tiba maksudnya kita harus berkemas akan pergi ke Bali menghadap
Bhatara dan menghaturkan Pujawali dan Widhi – Widhana”. Jawa adik –
adiknya sekalian: “Jika demikian, kami sangat setuju pendapat paduka
kakak, marilah berkemas berangkat”.
Kemudian daripada itu datanglah hari Kemis Wage Sungsang,
lalu para Mpu sekalian ke Besakih untuk melakukan Sugimanik di sana
dahulu. Setelah selesai di sana dilanjutkan ke Lempuyang, dari
Lempuyang ke Dasar dan terakhir di Cilayukti.
Setelah selesai tugas persembahan sekalian para Mpu itu maka
mohon dirilah mereka pergi sekalian kembali ke Jawa. Selanjutnya tiap
– tiap tahun (ngatewag) para Mpu itu pergi ke Bali menghaturkan
pujawali kepada Bhatara – Bhatara (di sebelah Tuhan Yang Maha Esa
terhadap roh – roh suci leluhurnya).
Setelah beberapa tahun lamanya, diceritakan bahwa Mpu Ketek
telah mempunyai seorang anak dewasa bernama Sanghyang Pamanca
mengambil istri seorang Mpu Ciwangandu yang bernama Ni Dewi
Daranika termasuk sepupu tingkat kedua (mindon).
Adapun anaknya Mpu Kananda bernama Mpu Swetawijaya
beristrikan anaknya Ni Dewi Dwaranika bernama Ni Dewi Adnyani.
Anaknya Mpu Wirajaya bernama Mpu Wiranata beristrikan
anaknya Mpu Bahula bernama Ni Ratna Dewi Sumanggali.
Anaknya Mpu Wiradharma bernama Mpu Wiradarma mengambil
seorang istri anaknya Mpu Bahula juga yang bernama Ni Dewi
Girinatha.
Anaknya Mpu Ragarunting bernama Mpu Paramadaksa beristri
kepada anaknya Mpu Ciwagandu bernama Ni Dewi Amrthajiwa. Dan
anaknya Mpu Prateka bernama Mpu Pretekayadnya beristri anaknya
Mpu Bahula bernama Ni Dewi Sumanggali.
Demikian pula anaknya Mpu Dangka bernama Mpu Wiradangka
pun telah beristri anaknya Ciwagandu juga bernama Ni Dewi Sukerti.
Demikian masing – masing para putra Mpu itu telah sama
beristri mengambil dari sepupu dan dua pupu (misan dan mindon),
semuanya ahli dengan ajaran agama sama halnya dengan ayahnya
masing – masing.
Kemudian Mpu Wiradharma berputra Mpu Lempita namanya
mengambil istri anaknya Sang Hyang Pamanca bernama Ni Ayu
Subrata, kemudian berputra seorang bernama Mpu Jiwaksara.
Dan seorang yang bernama Ni Ayu Sadra adik dari Ni Ayu
Subrata dipakai istri Sang Kulpetak melahirkan seorang putra bernama
Danghyang Sang Kulputih. Mpu Wiranatha berputra tiga orang,
seorang laki – laki bernama Mpu Purwanatha dan dua orang wanita
bernama Ni Ayu Wetan dan Ni Ayu Tirtha. Ni Ayu Wetan diperistrikan
oleh anaknya Mpu Pradaksa yang bernama Mpu Wirarunting, lalu
berputra dua orang laki perempuan. Yang laki – laki bernama Mpu Wira
Ragarunting.
Anak Mpu Prateka Adnyana bernama Sang Prateka. Anak Mpu
Dangka tiga orang, seorang laki bernama Sang Iradangka, dua orang
wanita bernama Ni Ayu Dangka dan Ni Ayu Dangki.
Demikianlah keadaanya anak – anaknya para Mpu waktu di Daha
Jawa, semuanya taat melakukan dharma kepanditaan.
Sampai disini kembali lagi diceritakan, bahwa dahulu ketika para
Mpu pergi dari negara Daha, diusir oleh Shri Dangdang Gendis yaitu
Mpu Pamanca, Mpu Swetawijaya, Mpu Wiranatha, Mpu Wiradharma,
Mpu Paramadaksa, Mpu Pratekayadnya, Mpu Wiradangka, semua itu
dulu pergi dari Daha disertai oleh anak cucunya berasrama di
Tumapel.
Diceritakan pula dahulu anaknya Mpu Pamacekan anaknya Sang
Kulpotak, anaknya Mpu Purwanatha, anaknya Mpu Wiradarma,
anaknya Mpu Wirarunting, anaknya Mpu Prateka, anaknya Mpu
Wiradangka, semuanya itu pergi dari Tumagel, lalu pergi menuju
Negara Majapahit, di sanalah mereka berasrama ketika Raja Shri Aji
Harsawijaya, ketika itu mulai adanya tujuh bersaudara itu (sanak pitu).
Yang disebut sanak pitu itu adalah: Mpu Pamacekan berputra
dua orang laki perempuan yang bernama Arya Pamacekan, yang
perempuan bernama Ni Ayu Ler, dipakai istri oleh putranya (cucunya)
Mpu Wiradharma, bernama Mpu Wijaksana. Dan anaknya Sang
Kulputih, dua orang laki perempuan yang laki bernama Wira Sang
Kulputih , yang perempuan bernama Ni Ayu Swani. Adapun anaknya
Mpu Purwanatha dua orang laki –laki perempuan bernama Ken Dedes,
yang laki – laki bernama Mpu Purwa. Dahulu waktu di Tumapel Mpu
Purwa beristri anak Aji Tatar berputra dua orang perempuan yang
bernama Ni Swaranika diperstrikan oleh cucunya Mpu Dwijaksana.
Adapun Arya Tatar beristrikan anaknya sang Kultul Putih yang
bernama Swani.
Adapun anaknya Mpu Ragarunting, anaknya perempuan
bernama Ni Wirarunting diperistrikan oleh anaknya Mpu Pratekayadnya
yang bernama Mpu Prateka. Dua orang adiknya lagi perempuan
bernama Ni kamareka, diperistri oleh anaknya Mpu Wiradangka yang
bernama Sang Wira dangka yang bernama Ni Kamawaka. Sedang Ni
Swarareka diperistri oleh Arya Kepasekan dan adiknya Wira Kadangkan
bernama Ni Swari Dangka. Demikianlah keadaanya di Majapahit,
diceritakan setelah wafatnya Shri Aji Bedamuka karena daya upayanya
Krian Gajah mada, demikian pula mahapatihnya Krian Pasung Grigis
telah dipenjarakan di Desa Tengkulak. Dan setelah meninggalnya Krian
Patih Kebo Mayura, sangat sunyi sepi negara Bali, pelaksanaan adat
agama sudah lenyap, disebabkan karena tidak ada brahmana diam di
Pulau Bali.
Pada waktu menjelang sasih: 6,7,8,9, dan 10 Krian Patih Gajah
Mada mengaturi Mpu Dwijaksara supaya turun ke Bali untuk
menyelesaikan kewajiban terhadap puja wali Bhatara di Besakih, di
Gelgel, di Cilayukti, di Lempuyang, dengan tujuan supaya Pulau Bali
mendapat keselamatan dan supaya menjadi Bhagawan Tanya Dalem
yang memerintahkan pulau Bali seluruhnya. Demikian permintaan
Krian Gajah Mada, sebab itu Mpu Dwijaksara turun ke Bali disertai oleh
anak istri dan putranya semua.
Tidak dibicarakan lebih lanjut, pada suatu hari telah tiba di Pura
Besakih. Dengan segera memerintahkan orang – orang Bali yang
berdiam di sebelah menyebelah parhyangan supaya segera
memperbaiki bangunan – bangunan yang ada di dalam parhyangan
terutama di Besakih. Orang – orang Bali semua dengan girang
memperbaiki masing – masing terutama di Sad Kahyangan masing –
masing. Apabila Kajeng Keliwon: 6, 7, macaru ayam pancawarna, itik
belang kalung.
Pada sasih 8, caru sanak, ayam manca warna, anjing bang
bungkem, itik belang kalung, angsa, kambing, kerbau hitam Sasih 9
ditambah kerbau brakawos, kucit butuh pitu, dinamai tabuh gentuh. Di
Besakih mancawalikrama. Sasih 4 anyiabrahma, setelah itu turun
Bhatara Kabeh.
Demikian nasehatnya, maka semua orang – orang Bali
menghaturkan wali di parhyangan, demikian juga di Besakih, di
lempuyang, di Batukaru, di Beratan, di Pejeng, di Andakasa di Gelgel,
dan di Cilayukti, mengingat kebijaksanaan jalannya yang ulu dulu.
Adapun Dwijaksara berasrama di Gelgel membuatTaman Darmada,
harumnya memenuhi taman itu,
karena kebetulan pertengahan masa kapat, kumbang berdengungan
suaranya mengisap bunga.
Diceritakan lebih lanjut tentang hal kembalinya para utusan dari
Jawa telah tiba di Gelgel. Setibanya di Bali segera mengatur
pemerintahan dan menjaga tata tertib susila di seluruh Bali serta
mengatur jalannya adat agama mengadakan pura – pura desa balai
Agung di seluruh desa di Bali. Demikian pula yang dijaganya
parhyangan di Besakih dan sekitarnya gunung Agung, dan pura – pura
lainnya di Gelgel, Lempuyang, Cilayukti, Watukaru, Bratan, Andakasa,
Pejeng, dan lainnya.
Diatur dan diselenggarakan sesuai dengan yang berlaku dahulu –
dahulu, sebagai halnya para leluhur yang telah ke alam baka dulu.
Demikian halnya Krian Patih Ulung bersama saudara – saudaranya
mengatur pemerintahan. Diceritakan Ki Patih Ulung telah mengambil
seorang istri yaitu cucunya Sang Mpu Prateka.
Dari perkawinan ini menghasilkan seorang anak laki – laki
bernama Kyai Smaranatha beristrikan cucunya Mpu Wiradangka
bernama Rudani, melahirkan seorang anak laki – laki bernama I Rare
Angon.
Sementara itu Kyai Bendesa mengambil seorang istri ke desa
Manikhyang lalu berputra dua orang laki – perempuan. Yang laki – laki
bernama I Bendesa Manikan, yang perempuan bernama Ni Luh
Manikan diperistri oleh Kyai Rare Angon ada seorang putranya
bernama I Pasek Gelgel. Demikian riwayatnya dahulu keadaan para
Mpu tujuh bersaudara itu. Lambat laun turun – turunannya tidak taat
kepada Dharmanya, sehingga menurun derajatnya, ada pula yang
menjadi orang tani. Disebutkan pula anaknya Mpu Ketek bernama Arya
Kepasekan. Anaknya ini beranak pula 2 orang laki perempuan, yang
laki bernama Kyai Agung Pamacekan, yang perempuan bernama Ni
Luh Pasek. Anak itu diperistrikan oleh Gusti Pasek Agung Subadra
berputra 2 orang laki – laki bernama I Pasek Gelgel dan Pasek
Denpasar.
Lain lagi anaknya Kyai Gusti Agung Kapasekan bernama Sang
Kulputih saudara dari mangku Sang Kulputih, adalah seorang anaknya
bernama Kyai Gusti Agung Subadra. Kyai Gusti Agung Subadra
berputra 2 orang laki – laki bernama Kyai Tohjiwa dan Kyai Agung
Pasek Subadra. Dan putranya Mpu Kananda dulu yang bernama Mpu
Swetawijaya, Sang Kuladewa Wara Sang Kulputih, Sang Kulputih ada
dua orang anaknya laki perempuan, yang laki bernama Dukuh Sorga,
bertempat tinggal di desa Sorga sama –sama taat beryoga semadi di
Besakih. Sekalian turunan Dukuh Sorga ini menjadi Mangku Sang
Kulputih. Dan pula anaknya Mpu Wiradnyana bernama Mpu Wiranatha
telah bernama Mpu Purwanatha, Mpu ini berputra bernama Arya Tatar.
Ki Arya tatar ini berputra Kyai Gusti Pasek Lurah Tatar, anaknya
bernama De Pasek Tatar. Apa sebabnya demikian, karena lahirnya
dahulu dari seorang perempuan dari Shri Aji Tatar.
Adapun anak turunannya Mpu Withadarma tiga orang bernama:
Mpu Lempita, Mpu Panandha, dan Mpu Pastika.
Dua orang Mpu ini yaitu Pananda dan Mpu Pastika berasrama di
Cilayukti melakukan yoga sangat taat dan melakukan dharma Sukla
Brahmacari meniru halnya Mpu Kuturan yaitu terhitung Kempiang dari
saudara. Adapun Mpu Lampita berputra Mpu Dwijaksara beristrikan
anaknya Arya Tatar lalu bernama Patih Ulung. Patih Ulung ini dijadikan
Patih oleh Raja Bali yang bergelar Shri Aji Tapohulung turunan Dalem
Masula – Masuli dulu.
Ada diceritakan lagi seorang anak perempuan dari Pangeran
Tangkas sedang remaja putri, diambil istri oleh Kyai Pasek Agung
Gelgel yaitu saudara sepupu olehnya. I Gusti Tangkas Kuri Agung
merasa akan diri keputungan (keputusan warisan turunan), maka ia
beramanat kepada I Gusti Agung Pasek Gelgel katanya: “Hai anakku
Gusti Agung Pasek Gelgel, karena engkau suka kepadaku, kini bapa
menyerahkan diri kepadamu, oleh karena bapa tidak akan mempunyai
keturunan lagi (tidak beranak laki- laki). Kini ada seorang anakku
perempuan saudara sepupu olehmu, apabila kamu suka, bapa akan
berikan kepadamu Gusti Agung.
Dan lagi ada harta benda bapa yaitu isi rumah tangga serba
sedikit serta pelayanan 200 orang, semuanya itu anakku
mengusahakan. Pendeknya engkau manjadi anak angkatku. Kemudian
apabila bapa pulang ke alam baka supaya anakku menyelesaikan
upacara jenazahku. Yang penting permintaanku adalah agar sama
olehmu melakukan upacara sebagai bapa kandungmu sendiri. Dan
peringatanku kepadamu, oleh karena dahulu ada permintaannya
Pangeran Mas kepada leluhur kita, yaitu supaya jangan putus turun –
turunan kita dengan sebutan Bandesa. Sebabnya ialah supaya mudah
oleh beliau kelak mengingati turunan - turunan beliau bila ada lahir
dari beliau.
Kini oleh karena bapa memang berasal dari sana, sebab itu bapa
minta kepadamu, bila kemudian ada anugerah Tuhan kepadamu
terutama kepada bapa, ada anakku lahir dari sepupumu Ni Luh
Tangkas, supaya ada juga yang memakai sebutan Bandesa Tangkas itu
sampai kemudian, supaya mudah leluhur kita mengingati turun –
turunannya nanti di Sorga.
Demikian kata Gusti Tangkas Kori Agung kepada Gusti Pasek
Gelgel. Ketika itu I Gusti Pasek Gelgel belum berani memutuskan
sendiri dan menurut permintaan itu, lalu minta timbangan suadara –
saudara sepupu dan mindonnya. Akhirnya disetujui oleh sekalian
saudara – saudaranya, maka ketika itu barulah I Gusti Pasek Gelgel
menurut katanya Gusti Tangkas Kori Agung.
Diceritakan I Gusti Agung Pasek Gelgel kawin dengan Ni Luh
Tangkas dengan upacara yang besar dan meriah. Kecuali dari sanak
saudaranya tamu undangan lainnya sangat banyak datang yang turut
memeriahkan perkawinan itu.
Lambat laun cucu Kyai Pasek Agung Gelgel makin mengembang
banyak, selalu menjadi tangan kaki Dalem, pengatur balai Agung di
pelosok desa di Bali.
Diceritakan pula De Gurun Pasek Gelgel ada dua anaknya, yang
sulung bernama De Gurun Pasek Gelgel menjadi kepala pengatur Bale
Agung di Desa Gelgel, adiknya bernama De Pasek Togog menjadi
pengatur di Besakih berumah di desa Muntig, ahli dalam hal
Rajapurana, ahli kependetaan dan segala pengetahuannya terutama
upacara jenazah serta adat penyelesaiannya, sampai kepada
kemoksaan dan kajang rwabhineda. Kemudian ada tiga orang anaknya
laki – laki yang sulung bernama I Dukuh Ambengan, adiknya De Dukuh
Sabudi yang bungsu Dukuh Bunga. Adapun De Dukuh Ambengan
kemudian bernama De Dukuh Badeg, lalu beranak bernama De Dukuh
Prawangsa, semua mengembangkan turunan, semua itu berasal dari
satu kawitan.
Lain lagi anak I Gusti Pasek Agung Gelgel yang lahir dari Luh
Tangkas Kori Agung berputra empat orang laki – laki, yang sulung
bernama I Tangkas Kori Agung, adiknya I Bendesa Tangkas, I Nyoman
Pasek Tangkas, dan Pasek Bendesa Tangkas Kori Agung.
Adapun menjadi patindih sebagai Bendesa yang dikirim oleh
Dalem ke desa – desa yaitu: I Bendesa Muncan membukti sawah winih
50, I Bendesa Selat Duta mabukti winih 50, Bendesa Sebetan mabukti
winih 50, I Bendesa Bugbug mabukti rakyat di Bugbug, I Bendesa
Sangkiding mabukti winih 50, I Bendesa Sabegan mabukti winih 50, I
Bendesa Timbrah mabukti winih 50, yang bernama Atakapi. Dan I
Bendesa Babi mabukti winih 50, I Bendesa Tumbu mabukti winih 50,
adapun I Bendesa Manikan mabukti winih 100, I Bendesa Ujung
mabukti winih 50.
Adapun I Pasek Agung Gelgel yang menjadi penghulu di Bale
Agung yaitu: I Pasek Budaga, De Pasek Sangkan Buana, De Pasek
Manduang, De Pasek Ahan, De Pasek Akah, De Pasek Gobleg, De Pasek
Bebetin, dan De Pasek Depaa.
I Pasek Akah beranak tiga orang laki – laki bernama: I Wayan
Pasek Akah, I Pasek Tabola, I Pasek Wangsian. Adapun De Pasek
Muntig, De Pasek Babi, De Pasek Tista, De Pasek Denpasar, De Pasek
Batudawa, De Pasek Tulamben, De Pasek Narga, De Pasek Kekeran,
semuanya itu turunan De Pasek Gelgel.
Dan De Pasek Tohjiwa turunannya yang menjadi penjaga bumi
Tohjiwa, anak – anaknya juga banyak, semuanya menjadi
penyelenggara Bale Agung di desa – desa seluruh Bali.
Yang Tertua bernama Ki Paseki Tohjiwa, sebagai nama bapanya,
adiknya bernama De Pasek Tanggun Titi, De Panatahan, De Pasek
Antasari, De Pasek Galih Ukir, De Pasek Alanglinggah, De Pasek ring
Basang, De Pasek Beda, De Pasek Wanagiri, De Pasek Pejaan, De
Pasek Pupuan, De Pasek Sanda, sekian jumlah turunan Kyai Pasek
Tohjiwa.
Adapun turunan Kyai Agung Pasek Subadra, diminta keluar dari
Gelgel menuju Bale Agung di seluruh Bali. Anaknya tertua bernama
Pasek Padang Subadra, beruma di Padang, menyelenggaraan Pura
Cilayukti, De Pasek Suladri menjadi Dukuh di Suladri, beryoga di Pura
Dalem menjadi Pamangku, sebab itu bernama Dukuh Suladri.
Semenjak itu bernama Dalem Suladri.
Dan De Pasek Kusamba, De Pasek Bale Agung Bangli, De Pasek
Dukuh Pahang, De Pasek Paguyangan, De Pasek Cemangi Munggu, dan
De Pasek di Munggu, De Pasek Titigatung, De Juntal. Demikian banyak
turunan Kyai Pasek Agung Padang Subadra. Banyak turunannya
bercabang ranting.
Adapun turunan De Pasek Tatar, yang sulung bernama Ki Pasek
Tatar, adik – adiknya Ki Pasek Panataran di Desa Telengan, De Pasek
Mangku Bale Agung Bukit Cemeng, De Pasek Bale Agung, De Pasek
Pidpid. Sekian turunan De Pasek Tatar sama – sama mengembangkan
turunannya.
Dan turunannya De Pasek Prateka yaitu De Pasek Dukuh
Gamengan, De Pasek Dukuh Bilatung, De Pasek prateka ring Akah, De
Pasek ring Nongan, De Pasek Rendag, De Pasek Kusaban.
Sekian mulanya turunan I Gusti Pasek Prateka makin
berkembang.
Dahulu ada diceritakan Danghyang Nirartha, pergi dari Daha
menuju Majapahit menuju Danghyang panataran, di sana berputra dua
orang laki- laki. Kemudian pergi ke Pasuruhan di tempat Dnaghyang
Parawasikan, berputra dua orang laki- laki, akhirnya beliau ke
Brambangan Keniten semuanya, diterima oleh Dalem juru di
Brambangan baik – baik. Tetapi lama kelamaan adalah timbul
pertikaian – pertikaian, sebab disangka permaisurinya Keniten
menaruh cinta kepada Danghyang Nirartha, dituduh memasang guna –
guna, sebab itu harum bau keringatnya.
Adapun Dalem juru ada agak kurang beres ingatannya, disuruh
istrinya mengarangkan hal dirinya sebab itu ada termasuk dalam
nyanyian (poezi) “Siapakah yang akan mengobati birahiku tidak lain
permaisuri Kaniten yang seakan – akan Saraswati”.
Danghyang Nirartha pergi dari Brambangan menuju Pulau Bali,
mengendarai Waluhkele, tangan dan kakinya digunakan dayung dan
kemudian sedang istrinya dan tujuh putrinya dibuat dengan jukung
bocor.
Tidak diceritakan betapa halnya dalam pelayaran, pada suatu
saat turun Danghyang Nirartha di Kapurancak yaitu di Pantai Pulau
Bali. Demikian diceritakan tak dapat taida Dalem Juru akan memenuhi
kehancuran sebab seakan – akan telah kena bajra – wisa dan Dalem
Baturenggong seakan – akan Parupati.
Setelah Danghyang Nirartha turun di Kapurancak lalu
meneruskan perjalanannya ke daratan, diiringi oleh istri dan tujuh
orang anaknya.
Di tengah jalan berjumpa dengan seorang gembala, karena
ditanya ditanya pendeta, menunjuk arah ke Timur. Dalam perjalanan
menempuh hutan itu tiba – tiba bertemu dengan seekor kera besar
menghalangi menghadang di tengah jalan kecil itu. Pendeta berkata:
“Hai kera besar berikanlah kami jalan.” Lalu kera itupun
menghindarkan diri, maka pendeta beserta rombongannya
melanjutkan perjalannya.
Tiba – tiba bertemu pula dengan seekor naga besar
menghadang di perjalanan, mulutnya menganga setinggi orang berdiri.
Pendeta lalu masuk ke mulut naga itu sampai ke dalam perutnya maka
dijumpainya sekuntum bunga tunjung lalu dicabutnya. Kemudian
keluarlah beliau dengan wajah muka yang hitam warnanya. Dengan
hal yang demikian larilah anak istrinya kemudian warna muka pendeta
itu berubah menjadi warna emas, maka dikumpulkanlah pula anak
istrinya, tetapi sayang seorang anaknya hilang. Putrinya yang hilang
itu bernama Ida Ayu Swabawa, tidak lagi merupakan manusia. Ia itu
merupakan orang halus yang luput dari umur tua dan mati. Beliaulah
dianggap Dalem Melanting di Pulaki. Demikian diceritakan.
Sementara itu Sang Rsi Nirartha sampai di Desa Gadingwani,
dan kebetulan waktu itu orang – orang desa Gadingwani diserang
penyakit, maka diobati oleh Sang Pendeta dengan sepahnya (adem,
susur, bhas, Bali) maka sembuh semuanya. Dengan demikian tahulah
Kepala Desa (Bendesa) Gadingwani, bahwa Danghyang Nirartha itu
adalah seorang pendeta yang sakti lalu ia menghadap dengan
sembahnya serta memohon agar diberi tirtha pembersihan dirinya
(diniksan).
Demikianlah tersebar pula kabar yang menyenangkan ini di
seluruh Desa Mas. Maka Pangeran menghadap kepada pendeta,
dengan sangat hormat memohon supaya memberi ajaran agama
kepadanya seraya memberikan tirtha pembersihan (inangshara).
Demikianlah riwayatnya.
Ni Ayu Swabhawa yang berbadan gaib di Pulaki, ketika itu
ayahnya pergi ke Gelgel akan memberi tirtha pembersihan (ndisain)
Dalem Baturenggong, bermalam di Jembrana di Banjarwani Tengah
dulu, di rumah De Bendesa Mas karena sangat lama Ni Ayu
ditinggalkan oleh ayahnya sangat panas hatinya, lalu beliau mengutuk
desa disana yaitu disebelah Utara Rambut Siwi, orang desa di sana
sebanyak 800 perinduhan agar terbakar seluruhnya beserta
penghuninya. Ki Bendesa minta dengan hormat supaya jangan terus
mengutuk desa itu, sementara menanti pendeta dari Gelgel. Tetapi Ni
Ayu Swabhawa tidak meluluskan. Hanya ada pemberiannya yaitu
santra utama yang dapat dilakukan dalam hidup dan mati bernama
Canting Mas dan Siwer Mas, Weda Sulambang Geni, Pasupati rencana.
Semua itu boleh dipakai oleh Bedesa Mas dan turun- turunannya
selama hidup dalam Pulau Bali.
Kutuk Ni Ayu Makbul. Sebab itu beliau didudukan sebagai
Bhatari di Pura Pulaki dijaga oleh orang – orang yang tidak kelihatan
yang disebut Sumedang.
Sementara itu ada diceritakan lain, yaitu Danghyang
Sidhimantra berputra seorang laki –laki yang tabiatnya suka benar
berjudi kesana kemari, terkenal dengan namanya Ida Manik Angkeran.
Dahulu semasa beliau masih di Pulau Jawa kalah dalam perjudian,
sangat duka cita, lalu dicuri genta bajra pendeta (ayahnya) yang
bernama: I Brahmana, segera pergi ke Pulau Bali menuju Tolangkir
yaitu: di Besakih, lalu berdoa dengan memusatkan pandangannya ke
ujung hidung (angkrana sika) pada sudut sebuah goa, seraya
membunyikan genta I Brahmana itu. Maak terdengarlah suara genta
itu oleh Bhatara Naga Basuki dari patala, lalu segera beliau keluar
menjumpai orang yang membunyikan bajra itu, katanya: “Apa
sebabnya engkau Bagus datang ke Bali memanggil aku ini” Ida Manik
Angkeran menjawab: “Ya, Bhatara maafkanlah, hamba ingin mohon
bunga gilosawit, kembang kuning sawit, agar selalu menang dalam
perjudian, untuk bekal ke Majapahit.
Jawab Bhatara: “Jika demikian aku anugrahi engkau menang
dalam sambungan ayam supaya banyak mendapat mas, pulanglah
engkau Manik Angkeran.” Hingga tiga kali Bhatara mengulangi
sabdanya itu. Ida Manik Angkeran masih juga tetap diri tidak pergi dari
tempatnya akhirnya ia berkata: “Ya Bhatara hamba ucapkan terima
kasih atas anugerah Bhatara. Sebelum hamba meninggalkan tempat
ini sebaiknya paduka Bhatara masuk ke Istana terlebih dahulu.”
Bhatara Naga Basuki masuk dalam goa. Setelah setengah
bagian ke dalam goa, maka terlihat oleh Manik Angkeran sebuah Intan
besar yang gemerlapan menjadi perhiasan ekor Bhatara Naga Raja.
Gairah hati Manik Angkeran ingin memiliki intan besar itu tidak
tertahan olehnya, lalu segera menghunus keris pejenengan yang
bernama I Gopang, dengan secepat kilat diparangkan kepada ekor
Bhatara itu. Sekali parang, ekor Naga Raja itu putus, maka segera
diambil intan itu, terus dilarikan.
Tidak terperikan murka Bhatara Naga Basuki dengan hal yang
demikian itu, segera bekas tapak kaki Manik Angkeran itu dijilat yang
sedang lari sangat deras tersungkur jatuh lalu terbakar hangus
menjadi abu. Sekalipun demikian akibatnya, namun Bhatara Naga Raja
tetap berduka cita.
Diceritakan Danghyang Shidimantra merasa was – was akan
terjadi sesuatu bahaya yang menimpa diri anaknya, karena tidak
kembali dalam tiga hari dari kepergian bermain sambung ayam. Ketika
itu kebetulan hari Purnama masa Kapat, Danghyang Sidhimantra
hendak memuja, dicarinya genta bajra si Brahmana sudah hilang, kian
bertambah duka cita Sang Pendeta dan merasa dalam bathinnya:
“Wahai kiranya I Bagus (Manik Angkeran) pergi ke Bali” segera
diambilnya daun alang – alang dikucanya keluar api.
Tidak diceritakan lebih lanjut, lalu Sang Pendeta pergi ke Bali
menuju ke Besakih. Di muka goa Bhatara Naga Raja beliau memuja.
Tetapi Bhatara tidak keluar. Hingga tiga kali Sang pendeta memuja,
tiba – tiba gemetar permukaan bumi berbarengan dengan keluarnya
Bhatara Naga Basuki. Terlihatlah oleh Bhatara seorang pendeta pucat
lesi wajah durjanya bersanda: “Apa sebab Sang gede datang ke Bali
memujaku?”
“Ya Bhatara, hamba mencari anak hamba Ki Manik Angkeran”, jawab
Bhatara Sidhimantra. Sabda Bhatara: “Wah ia telah hangus menjadi
abu. Sebabnya terjadi demikian itu Manik Angkeran sangat durhaka
kepadaku yaitu memotong ekorku ini. Kini apa kehendak Sang Gede?
Apa ingin supaya ia hidup? Saya akan meluluskan apabila Sang Gede
dapat menyambung ekorku kembali sebagai sediakala.”
Demikian sabda Bhatara.
Jawab Sang Pendeta: “Baiklah hamba mengerjakan perintah
Bhatara”. Seketika itu ekor Bhatara Naga Raja yang putus itu
dirapatkan dan diberi mantram, maka kembalilah sebagai sedia kala
tidak ada cacatnya.
Sabda Bhatara: “Terima kasih Sang Gede karena Sidhi Mantram
Sang Gede, mulai saat ini berhenti bernama Mpu Bekung, Mpu
Sidhimantra nama yang tepat bagi Sang Gede. Sekarang lihatlah anak
Sang Gede, Ki Manik Angkeran. Sang Pendeta menengok ke tempat
abu anaknya, tampak sebuah intan di dalamnya. Intan itu diambil lalu
abunya diludahi oleh Mpu Sidhimantra. Seketika itu Manik Angkeran
hidup kembali, tidak ingat kepada dirinya bahwa ia menjadi abu,
segera bangun menggapai intan itu, hendak melarikan diri. Danghyang
Sidhimantra cepat berkata: “Hai bagus apa kehendakmu ini? Intan
yang kamu gapai – gapai itu telah Bapa yang membawanya”.
Manik Angkeran membuka matanya lebar – lebar
memperhatikan orang memanggil namanya. Terlihatlah olehnya
Pendeta ayahnya berdiri di hadapannya bersama Bhatara Naga Basuki.
Manik Angkeran berdiam malu. Pendeta Sidhimantra berkata: “Anakku
Manik Angkeran, ketahuilah dirimu bahwa engkau telah mati kemarin,
disebabkan karena terlalu durhaka kepada Bhatara. Kini demi belas
kasihan Bhatara engkau hidup kembali, kuserahkan engkau kepada
Bhatara supaya menjadi juru sapu Bhatara Gunung Agung, diberi
wewenang turun menyelenggarakan sembah bakti rakyat Bali”.
Manik Angkeran menuruti perintah ayahnya seraya menyembah,
demikian pula terhadap Bhatara Nagaraja. Danghyang Sidhimantra
gembira hatinya melihat anaknya hidup kembali dan telah menuruti
nasehatnya, lalu memohon diri kepada Bhatara pulang kembali ke
Jawa. Setelah sampai di Pantai Desa Gadingwani maka beliau berhenti
berjalan seraya berpikir – pikir: “Jika tidak dibuatkan empengan, tentu I
Bagus kembali lagi ke Jawa. Lalu Sang Pendeta Anggranasika (melihat
ujung hidung) mempersatukan bathinnya untuk mengadakan suatu
ciptaan. Tiba – tiba Desa Gadingwani lenyap seketika itu, lalu
digoreskan tongkatnya maka terjadilah suatu hubungan laut Utara
dengan laut Selatan merupakan selat kecil dinamai segara Rupet.
Demikianlah riwayatnya yang tercantum dalam pustaka
Rajapurana, asal mulanya anak cucu dan turunan – turunan Ida Manik
Angkeran menjadi juru sapu paming di Parhyangan Besakih.
Kemudian dari pada itu turun – turunan Ki Pangeran Mas
membuat pula pura disana diberinya nama juga Bukeabe, yang patut
diselenggarakan oleh Sang Brahmana Wangsa semua terutama oleh
turun – turunan I Pangera Mas.
Apabila ada kemudian turun – turunan I Bendesa Mas tidak ingat
dengan persembahyangannya terhadap Pura Pule dan Bukeabe,
seluruh keluarga Pangeran Masti tidak mendapat selamat, surut
kebijaksanaannya, anak cucunya putus, berlaku durhaka dan
menyalahi tata tertib/susila, tidak putus – putusnya dirundung
kemalangan, karena tidak menuruti ucapan piagam – piagam.
Demikianlah amanat I bendesa Mas kepada anak cucunya. “Janganlah
engkau anak cucuku lupa terhadap amanatku ini”. Demikianlah kata
Bendesa Mas terakhir.
Ada pula anugerah Ida pedanda Dwijendra dulu terhadap I Pasek
dan I Bendesa Mas, yaitu:
Pada waktu mati kemudian, boleh memakai trilaksana,
menggunung pitu, ancak taman, kapas warna sembilan, karang liman,
memakai Bhoma bersayap, berbulu cintya reka, saluyang lengkap
dengan segala upakara yang utama, berkajang, berkalasa, berpatrang,
berkemul, terpana, paturalangan yang berbentuk serba bintang, boleh
dipergunakan nista media utar, matebas – tebas, utamanya dengan
uang 8000, madya 4000, nista 2500, nistaning nista 1700.
Semua itu patut diwarisi oleh anak cucunya terus menerus,
Amanat paduka Bhatara Sakti Wahurawuh demikian itu dinasehatkan
oleh Pangeran Mas kepada anak cucunya.
KESIMPULAN
BABAD PASEK
Berdasarkan penjabaran Babad Pasek diatas dapat saya tarik
kesimpulan:
1. Bahwa pada prinsipnya babad merupakan teks – teks historis
yang dikemas dengan unsur – unsur kesastraan.
2. Masyarakat Bali mengenal kawitannya berdasarkan fakta dan
bukti – bukti yang ada bukan pada khayalan dan cerita
semata. Untuk itu semua babad yang ada di Bali pada
dasarnya bersifat sakral magis, religio magis, legendaris,
mitologis, hagiografis, simbolis, sugestif, istana sentris,
pragmentaris, raja kultus, dan lokal.
3. Babad berfungsi antara lain yaitu:
a. Untuk melegitimasi (mengesahkan) asal – usul/silsilah
leluhur, kejadian/peristiwa, desa, pura atau hal – hal
lainnya.
b. Sebagai penghormatan kepada leluhur.
c. Sebagai penuntun para keturunan dalam menjalankan
kewajibannya masing – masing.
d. Sebagai sumber inspirasi seni.
PENUTUP
Demikianlah secara singkat Babad Pasek yang telah saya uraikan
diatas semoga dapat bermanfaat bagi pembaca khususnya bagi
generasi muda agar dapat lebih memahami dan mengenal lebih dalam
cerita dari babad pasek tersebut
Akhirnya kritik dan saran yang membangun saya harapkan dari pembaca.
top related