mengenal allah melalui sifat nya
Post on 02-Aug-2015
199 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
1
MENGENAL ALLAH MELALUI SIFAT2 NYA
Urgensi dan Kesalahan dalam Ma’rifatullah
Oleh: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Mengenal Allah, Rabbul ‘alamin merupakan intisari dakwah dan risalah. Bahkan hal
inilah yang menjadi prioritas utama dalam dakwah setiap rasul. Di berbagai tempat
dalam kitab-Nya, Allah memperkenalkan diri-Nya dengan berbagai sifat yang Dia
miliki. Sebuah bukti yang jelas bahwa Allah menghendaki agar para hamba
mengenal diri-Nya. Bukti yang kongkrit bahwa ma’rifatullah (mengenal Allah) adalah
suatu hal yang dituntut dari diri seorang hamba. Bahkan tidak berlebihan kiranya,
jika kita mengatakan bahwa pribadi termulia adalah seorang yang paling mengenal
Allah ta’ala. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
“Saya adalah pribadi yang paling mengenal Allah dari kalian.” (Al Fath, 1/89).
Begitu pula, senada dengan makna hadits di atas, adalah apa yang dikatakan Ibnul
Qayyim rahimahullah, “Pribadi termulia yang memiliki cita-cita dan kedudukan
tertinggi adalah seorang yang merasakan kelezatan dalam ma’rifatullah (mengenal
Allah), mencintai-Nya, rindu untuk bertemu dengan-Nya serta mencintai segala
sesuatu yang dicintai dan diridhai-Nya.” (Al Fawaa-id, hal. 150).
Ma’rifatullah serta Mengenal Nama dan Sifat-Nya
Pertanyaan yang mungkin terbersit dalam benak kita adalah, “Siapakah ahli
ma’rifah tersebut?” atau “Bagaimanakah potret seorang yang dapat dikategorikan
sebagai ahli ma’rifah?” Biarlah hal ini dijawab oleh sang pakar hati, Abu Bakr Az
Zur’i yang terkenal dengan Ibnul Qayyim, Syaikhul Islam kedua. Beliau
mengatakan, “Al ‘arif (orang yang mengenal Allah dengan benar) menurut para
ulama adalah orang yang mengenal Allah ta’ala dengan berbagai nama, sifat dan
perbuatan-Nya. Kemudian dibuktikan dalam perikehidupannya yang dibarengi niat
dan tujuan yang ikhlas…” (Madaarijus Saalikin, 3/337).
Pernyataan beliau di atas menunjukkan bahwa pengetahuan dan keimanan
seorang hamba tidak akan kokoh, hingga ia mengimani berbagai nama dan sifat-
Nya dengan ilmu (pengetahuan) yang dapat menghilangkan kebodohan terhadap
Rabb-nya.
Prof. Dr. Muhammad Khalifah At Tamimi mengatakan, “Pengetahuan (pengenalan)
hamba terhadap berbagai nama dan sifat-Nya berdasarkan wahyu yang
disampaikan Allah di dalam kitab-Nya dan sunnah rasul-Nya akan mampu
membuat seorang hamba merealisasikan penghambaan (ubudiyah) kepada Allah
secara sempurna. Setiap kali keimanan terhadap sifat-Nya bertambah sempurna,
1
maka kecintaan dan keihklasan (kepada-Nya) akan semakin menguat. Manusia
yang paling sempurna dalam penghambaannya kepada Allah adalah orang yang
beribadah dengan (merealisasikan seluruh kandungan) nama dan sifat-Nya.”
(Mu’taqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah fii Tauhidil Asma wash Shifaat, hal.24).
Oleh karena itu, mempelajari dan memahami berbagai nama dan sifat Allah
merupakan hal yang sangat urgen karena memiliki kaitan yang erat dengan
kewajiban untuk mengenal Allah (ma’rifatullah).
Kaidah Dasar Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam Masalah Nama dan Sifat Allah
Kaidah pokok yang diyakini oleh ahlus sunnah wa jama’ah dalam hal ini adalah
meneliti semua dalil yang berbicara mengenai nama dan sifat Allah tanpa
merusaknya dengan cara mentakwil atau menyelewengkan maknanya. Hal inilah
yang akan menghantarkan seorang kepada ma’rifatullah yang benar. Ketika ia
mengimani berbagai sifat Allah yang ditetapkan oleh diri-Nya sendiri dan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia mengetahui bahwa Allah memiliki berbagai sifat
yang sempurna dan agung. Tidak ada ruang di dalamnya untuk menyelewengkan
berbagai sifat tersebut dengan makna-makna yang batil.
Al Imam Ibnu Katsir Asy Syafi’i dalam Tafsirnya (2/294) mengatakan,
“Sesungguhnya dalam permasalahan ini (pembahasan mengenai nama dan sifat
Allah) kami meniti (menempuh) madzhab salafush shalih, (yaitu jalan yang
ditempuh juga oleh) imam Malik, Al Auza’i, Ats Tsauri, Al Laits ibnu Sa’d, Asy
Syafi’i, Ahmad, Ishaq ibnu Rahuyah dan imam-imam kaum muslimin selain mereka,
baik di masa terdahulu maupun di masa ini. (Madzhab mereka dalam
permasalahan ini adalah) membiarkan dalil-dalil yang berbicara mengenai nama
dan sifat-Nya apa adanya, tanpa dibarengi dengan takyif menetapkan hakikat sifat),
tasybih (menyerupakan sifat-Nya dengan sifat makhluk) dan ta’thil (menolak sifat
bagi Allah). (Segala bentuk gambaran sifat) yang terbetik dalam benak kaum
musyabbihin (golongan yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk)
tertolak dari diri Allah. Tidak ada satupun makhluk yang serupa dengan-Nya dan
tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syura: 11). (Oleh karena itu, pendapat
yang benar dalam hal ini) adalah pendapat yang ditempuh oleh para imam, diantara
mereka adalah Nu’aim bin Hammad Al Khaza’i, guru imam Al Bukhari. Beliau
mengatakan, “Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka
sungguh dia telah kafir. Barangsiapa yang mengingkari sifat yang ditetapkan Allah
untuk diri-Nya sendiri, maka sungguh dia juga telah kafir. Segala sifat yang
ditetapkan Allah dan Rasulullah bagi diri-Nya bukanlah tasybih. Oleh karenanya,
seorang yang menetapkan segala sifat yang terdapat dalam berbagai ayat yang
tegas dan hadits-hadits yang shahih sesuai dengan keagungan-Nya serta
1
menafikan segala bentuk kekurangan dari diri Allah, maka dia telah menempuh
jalan hidayah.”
Beberapa Faktor yang Menghalangi Ma’rifatullah
Ma’rifatullah terhalang dari diri seorang hamba dengan menafikan sifat-sifat dan
menentang berbagai nama yang Dia tetapkan. Bagaimana bisa seorang yang tidak
mengakui berbagai nama yang Dia tetapkan berikut sifat yang terkandung di
dalamnya bisa mengenal Allah ta’ala?! Bisakah seorang yang tidak mengenal-Nya
bisa mencintai-Nya? Al Hasan Al Bashri rahimahullah ta’ala berkata, “Barangsiapa
yang mengenal Rabb-nya, niscaya dia akan mencintai-Nya.” (Al Hamm wal Hazn
hal.69; Ihya Ulumid Diin, 4/295).
Oleh karenanya Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Tatkala pujian dan
sanjungan dengan menggunakan nama, sifat dan perbuatan-Nya merupakan
sesuatu yang paling dicintai oleh-Nya, maka pengingkaran terhadap nama, sifat
dan perbuatan-Nya merupakan tindakan ilhad (kriminalitas) dan kekufuran terbesar
kepada-Nya. Tindakan ini lebih buruk daripada kesyirikan. Seorang mu’aththil
(menafikan nama dan sifat-Nya) lebih buruk daripada seorang musyrik, karena
kondisi seorang musyrik tidaklah sama (dengan derajat orang yang) menentang
berbagai sifat-Nya dan hakikat kerajaan-Nya serta mencela sifat yang Dia miliki dan
menyamakan/menyekutukan Allah dengan selain-Nya. Maka, (pada hakikatnya)
kelompok mu’aththil (golongan yang menafikan nama dan sifat-Nya) adalah musuh
sejati para rasul. Bahkan akar seluruh kesyirikan adalah tindakan ta’thil, karena jika
tidak dilatarbelakangi oleh ta’thil terhadap kesempurnaaan zat dan sifat-Nya serta
buruk sangka terhadap-Nya, tentulah Allah tidak akan disekutukan.” (Madaarijus
Saalikin, 3/347).
Berikut beberapa bentuk ilhad (kriminalitas) terhadap Allah yang terkait dengan
nama dan sifat-Nya, kami sajikan secara ringkas kepada anda dikarenakan
keterbatasan ilmu kami.
Pertama, menyerupakan (menganalogikan) sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya
atau yang dikenal dengan istilah tamtsil atau tasybih. Ketika Allah ta’ala
menetapkan diri-Nya memiliki wajah dan tangan, orang yang melakukan tamtsil
mengatakan wajah dan tangan Allah tersebut seperti wajah dan tangan kita. Hal ini
didustakan oleh Allah dalam firman-Nya (yang artinya), “Tidak ada sesuatupun
yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.” (QS.
Asy Syuura: 11). “Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah
(yang kamu serupakan dengan-Nya).” (QS. An Nahl: 74). Penganalogian sifat Allah
dengan makhluk-Nya merupakan aib, karena Allah, Zat yang Mahasempurna
diserupakan dengan makhluk yang penuh dengan kekurangan.
1
Kedua, menolak nama dan sifat Allah, baik menolak seluruhnya atau sebagiannya.
Termasuk bentuk penolakan nama dan sifat-Nya adalah menyelewengkan makna
nama dan sifat-Nya seperti memaknai sifat cinta yang ditetapkan Allah bagi diri-Nya
sendiri dengan arti iradatul lit tatswib (keinginan untuk memberi pahala). Orang
yang menafikan nama dan sifat-Nya beralasan jika kita menetapkan nama dan sifat
bagi Allah, maka hal ini akan berkonsekuensi menyerupakan-Nya dengan makhluk
karena makhluk pun memiliki cinta.
Hal ini tidak tepat dengan alasan bahwa Allah ta’ala telah menyatakan bahwa tidak
ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya dan di sisi lain Dia menetapkan bahwa
Dia memiliki sifat. Lihatlah surat Asy Syuura ayat 11 di atas! Allah ta’ala
menyatakan bahwa tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, namun Dia
juga menetapkan bahwa Dia memiliki sifat mendengar dan melihat yang sesuai
dengan keagungan dan kesempurnaan-Nya.
Penetapan sifat bagi Allah meskipun memiliki nama yang sama dengan sifat
makhluk tidak berkonsekuensi menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.
Perhatikan kembali perkataan Nu’aim bin Hammad Al Khaza’i, guru imam Al
Bukhari Jilani yang dibawakan oleh imam Ibnu Katsir atau kaidah yang disampaikan
oleh Syaikh Abdul Qadir Al Jilani di atas!
Demikian pula, alasan di atas dapat dibantah secara logika bahwa kesamaan nama
suatu sifat tidak berkonsekuensi adanya kesamaan hakikat sifat tersebut. Contoh
praktisnya, makhluk memiliki pendengaran dan penglihatan, apakah pendengaran
dan penglihatan mereka antara satu dengan yang lain memiliki hakikat dan bentuk
yang sama?! Tentulah kita akan menjawab tidak. Ketika Dia menetapkan sifat
mendengar, melihat atau cinta bagi diri-Nya, maka meskipun sifat tersebut juga
dimiliki oleh makhluk tentu hakikat sifat tersebut tidaklah sama dengan sifat
makhluk-Nya. Sifat yang Dia tetapkan bagi diri-Nya sendiri adalah sifat yang sesuai
dengan keagungan dan kesempurnaan-Nya, tidak seperti sifat yang dimiliki oleh
makhluk yang dipenuhi kekurangan.
Ketiga, menetapkan suatu kaifiyah (bentuk/cara) bagi sifat Allah ta’ala. Hal ini
dinamakan dengan takyif dan termasuk ke dalam bentuk ini adalah
mempertanyakan hakikat dan kaifiyah sifat Allah ta’ala. Contoh praktisnya semisal
perkataan, “Tangan Allah itu panjang dan besarnya sekian”. Hal ini salah satu
bentuk kelancangan terhadap-Nya karena berkata-kata mengenai Allah ta’ala tanpa
dilandasi dengan ilmu. Ketika hakikat dan bentuk Zat Allah saja tidak kita ketahui,
maka bagaimana bisa kita lancang menetapkan sifat Allah bentuknya begini dan
begitu?!
Oleh karena itu, ketika Imam Malik dan gurunya, Rabi’ah ditanya mengenai hakikat
sifat istiwa (bersemayam) Allah oleh seseorang, mereka mengatakan, “Istiwa
1
diketahui maknanya, namun hakikatnya tidak dapat dinalar (dijangkau oleh logika).
Beriman kepadanya wajib dan bertanya mengenai hakikatnya adalah bid’ah.” [Lihat
perkataan beliau ini dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah 3/398;
Itsbat Shifatil ‘Uluw hal. 119 dan Dzammut Takwil hal. 13 dan Lum’atul I’tiqad hal.
64 karya Abdullah bin Ahmad bin Qudamah Al Maqdisi); Idlohud Dalil fii Qath’i
Hujaji Ahlit Ta’thil hal. 14 (Muhammad bin Ibrahim bin Sa’ad bin Jama’ah); Al I’tiqad
hal. 116 (Ibnul Husain Al Baihaqi); Al ‘Ulum li ‘Aliyyil Ghaffar hal. 129 (Adz
Dzahabi).
Urgensi dan Kesalahan dalam Ma'rifatullah
Berbagai tindakan di atas merupakan perbuatan yang akan menghalangi seorang
hamba untuk mengenal Zat yang harus dia cintai. Berbagai tindakan tersebut akan
membuat seorang mengenal Rabb-nya dengan bentuk pengenalan yang keliru atau
bahkan menghantarkan seorang hamba menjadi pribadi yang tidak mengenal Allah
karena dirinya tidak mengenal sifat Zat yang dia cintai. Kita tutup pembahasan kita
ini dengan perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah yang menunjukkan pentingnya
memahami permasalahan nama dan sifat Allah ta’ala karena sangat terkait dengan
ma’rifatullah (pengenalan terhadap Allah). Beliau mengatakan, “Mengimani dan
mengetahui berbagai sifat-Nya, menetapkan hakikat (makna) bagi sifat tersebut,
keterkaitan hati dengannya serta menyaksikan (pengaruh) sifat tersebut merupakan
jalan awal, pertengahan dan tertinggi (untuk mengenal-Nya). Hal ini merupakan ruh
bagi para saalikin (orang-orang yang berjalan menuju Allah), kendaraan yang akan
menghantarkan mereka, penggerak tekad ketika malas dan penggugah semangat
ketika tidak maksimal dalam beribadah. Perjalanan mereka (menuju Allah)
bergantung pada bekal-bekal yang akan menopang perjalanan mereka. Setiap
orang yang tidak berbekal, maka pasti dia tidak mampu menempuh perjalanan.
(Dan ketahuilah) bekal terbaik adalah (pengetahuan) terhadap sifat Zat yang
dicintai dan (itulah) puncak keinginan mereka.” (Madaarijus Saalikin, 3/350).
Beliau melanjutkan, “Sesungguhnya berbagai sifat Allah yang sempurna dan
digunakan untuk berdo’a kepada-Nya serta hakikat berbagai nama-Nya adalah
faktor pendorong hati (seorang) untuk mencintai Allah dan sampai kepada-Nya. Hal
ini dikarenakan hati hanya akan mencintai orang yang dikenalnya, takut, berharap,
rindu, merasa senang dan tenteram ketika menyebut namanya sesuai dengan
(kadar) ma’rifah (pengenalan) hati terhadap sifatnya.” (Madaarijus Saalikin, 3/351).
Demikianlah pembahasan kita kali ini, besar harapan kami uraian ini dapat
bermanfaat bagi diri penulis dan orang yang membacanya. Wa shallallahu ‘ala
Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. [Muhammad Nur Ichwan Muslim]
● Tag: ahlus sunnah wal jama ' ah , Aqidah, asma ' wa shifat , ma ' rifatullah ,
manhaj
1
Tahukah Kamu, Di Manakah Allah?
Oleh: Yulian Purnama
Ada sebuah pertanyaan penting yang cukup mendasar bagi setiap kaum muslimin
yang telah mengakui dirinya sebagai seorang muslim. Setiap muslim selayaknya
bisa memberikan jawaban dengan jelas dan tegas atas pertanyaan ini, karena
bahkan seorang budak wanita yang bukan berasal dari kalangan orang terpelajar
pun bisa menjawabnya. Bahkan pertanyaan ini dijadikan oleh Rasulullah sebagai
tolak ukur keimanan seseorang. Pertanyaan tersebut adalah “Dimana Allah?”.
Jika selama ini kita mengaku muslim, jika selama ini kita yakin bahwa Allah satu-
satunya yang berhak disembah, jika selama ini kita merasa sudah beribadah
kepada Allah, maka sungguh mengherankan bukan jika kita tidak memiliki
pengetahuan tentang dimanakah dzat yang kita sembah dan kita ibadahi selama
ini. Atau dengan kata lain, ternyata kita belum mengenal Allah dengan baik, belum
benar-benar mencintai Allah dan jika demikian bisa jadi selama ini kita juga belum
menyembah Allah dengan benar. Sebagaimana perkataan seorang ulama besar
Saudi Arabia, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin: “Seseorang tidak dapat
beribadah kepada Allah secara sempurna dan dengan keyakinan yang benar
sebelum mengetahui nama dan sifat Allah Ta’ala” (Muqoddimah Qowa’idul Mutsla).
Sebagian orang juga mengalami kebingungan atas pertanyaan ini. Ketika ditanya
“dimanakah Allah?” ada yang menjawab ‘Allah ada dimana-mana’, ada juga yang
menjawab ‘Allah ada di hati kita semua’, ada juga yang menjawab dengan marah
sambil berkata ‘Jangan tanya Allah dimana, karena Allah tidak berada dimana-
mana’. Semua ini, tidak ragu lagi, disebabkan kurangnya perhatian kaum muslimin
terhadap ilmu agama, terhadap ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulullah yang
telah jelas secara gamblang menjelaskan jawaban atas pertanyaan ini, bak mentari
di siang hari.
Allah bersemayam di atas Arsy
“Dimanakah Allah?” maka jawaban yang benar adalah Allah bersemayam di atas
Arsy, dan Arsy berada di atas langit. Hal ini sebagaimana diyakini oleh Imam Asy
Syafi’I, ia berkata: “Berbicara tentang sunnah yang menjadi pegangan saya, murid-
murid saya, dan para ahli hadits yang saya lihat dan yang saya ambil ilmunya,
seperti Sufyan, Malik, dan yang lain, adalah iqrar seraya bersaksi bahwa tidak ada
ilah yang haq selain Allah, dan bahwa Muhammad itu adalah utusan Allah, serta
bersaksi bahwa Allah itu diatas ‘Arsy di langit, dan dekat dengan makhluk-Nya”
(Kitab I’tiqad Al Imamil Arba’ah, Bab 4). Demikian juga diyakini oleh para imam
mazhab, yaitu Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi) dan Imam
1
Ahmad Ibnu Hambal (Imam Hambali), tentang hal ini silakan merujuk pada kitab
I’tiqad Al Imamil Arba’ah karya Muhammad bin Abdirrahman Al Khumais.
Keyakinan para imam tersebut tentunya bukan tanpa dalil, bahkan pernyataan
bahwa Allah berada di langit didasari oleh dalil Al Qur’an, hadits, akal, fitrah dan
‘ijma.
1. Dalil Al Qur’an
Allah Ta’ala dalam Al Qur’anul Karim banyak sekali mensifati diri-Nya berada di
atas Arsy yaitu di atas langit. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
“Allah Yang Maha Pemurah bersemayam di atas Arsy” (QS. Thaha: 5)
Ayat ini jelas dan tegas menerangkan bahwa Allah bersemayam di atas Arsy. Allah
Ta’ala juga berfirman yang artinya:
“Apakah kamu merasa aman terhadap Dzat yang di langit (yaitu Allah) kalau Dia
hendak menjungkir-balikkan bumi beserta kamu sekalian sehingga dengan tiba-tiba
bumi itu bergoncang” (QS. Al Mulk: 16)
Juga ayat lain yang artinya:
“Malaikat-malaikat dan Jibril naik kepada Rabb-Nya dalam sehari yang kadarnya
lima puluh ribu tahun” (QS. Al-Ma’arij: 4). Ayat pun ini menunjukkan ketinggian
Allah.
2. Dalil hadits
Dalam hadits Mu’awiyah bin Hakam, bahwa ia berniat membebaskan seorang
budak wanita sebagai kafarah. Lalu ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menguji budak
wanita tersebut. Beliau bertanya: “Dimanakah Allah?”, maka ia menjawab: “ Di atas
langit”, beliau bertanya lagi: “Siapa aku?”, maka ia menjawab: “Anda utusan Allah”.
Lalu beliau bersabda: “Bebaskanlah ia karena ia seorang yang beriman” (HR.
Muslim).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda yang artinya:
“Setelah selesai menciptakan makhluk-Nya, di atas Arsy Allah menulis,
‘Sesungguhnya rahmat-Ku mendahului murka-Ku’ ” (HR. Bukhari-Muslim)
3. Dalil akal
Syaikh Muhammad Al Utsaimin berkata: “Akal seorang muslim yang jernih akan
mengakui bahwa Allah memiliki sifat sempurna dan maha suci dari segala
kekurangan. Dan ‘Uluw (Maha Tinggi) adalah sifat sempurna dari Suflun (rendah).
Maka jelaslah bahwa Allah pasti memiliki sifat sempurna tersebut yaitu sifat ‘Uluw
(Maha Tinggi)”. (Qowaaidul Mutslaa, Bab Syubuhaat Wa Jawaabu ‘anha)
4. Dalil fitrah
1
Perhatikanlah orang yang berdoa, atau orang yang berada dalam ketakutan,
kemana ia akan menengadahkan tangannya untuk berdoa dan memohon
pertolongan? Bahkan seseorang yang tidak belajar agama pun, karena fitrohnya,
akan menengadahkan tangan dan pandangan ke atas langit untuk memohon
kepada Allah Ta’ala, bukan ke kiri, ke kanan, ke bawah atau yang lain.
Namun perlu digaris bawahi bahwa pemahaman yang benar adalah meyakini
bahwa Allah bersemayam di atas Arsy tanpa mendeskripsikan cara Allah
bersemayam. Tidak boleh kita membayangkan Allah bersemayam di atas Arsy
dengan duduk bersila atau dengan bersandar atau semacamnya. Karena Allah
tidak serupa dengan makhluknya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah” (QS. Asy Syura: 11)
Maka kewajiban kita adalah meyakini bahwa Allah berada di atas Arsy yang berada
di atas langit sesuai yang dijelaskan Qur’an dan Sunnah tanpa mendeskripsikan
atau mempertanyakan kaifiyah (tata cara) –nya. Imam Malik pernah ditanya dalam
majelisnya tentang bagaimana caranya Allah bersemayam? Maka beliau
menjawab: “Bagaimana caranya itu tidak pernah disebutkan (dalam Qur’an dan
Sunnah), sedangkan istawa (bersemayam) itu sudah jelas maknanya, menanyakan
tentang bagaimananya adalah bid’ah, dan saya memandang kamu (penanya)
sebagai orang yang menyimpang, kemudian memerintahkan si penanya keluar dari
majelis”. (Dinukil dari terjemah Aqidah Salaf Ashabil Hadits)
Allah bersama makhluk-Nya
Allah Ta’ala berada di atas Arsy, namun Allah Ta’ala juga dekat dan bersama
makhluk-Nya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
“Allah bersamamu di mana pun kau berada” (QS. Al Hadid: 4)
Ayat ini tidak menunjukkan bahwa dzat Allah Ta’ala berada di segala tempat.
Karena jika demikian tentu konsekuensinya Allah juga berada di tempat-tempat
kotor dan najis, selain itu jika Allah berada di segala tempat artinya Allah berbilang-
bilang jumlahnya. Subhanallah, Maha Suci Allah dari semua itu. Maka yang benar,
Allah Ta’ala Yang Maha Esa berada di atas Arsy namun dekat bersama hambanya.
Jika kita mau memahami, sesungguhnya tidak ada yang bertentangan antara dua
pernyataan tersebut.
Karena kata ma’a (bersama) dalam ayat tersebut, bukanlah kebersamaan
sebagaimana dekatnya makhluk dengan makhluk, karena Allah tidak serupa
dengan makhluk. Dengan kata lain, jika dikatakan Allah bersama makhluk-Nya
bukan berarti Allah menempel atau berada di sebelah makhluk-Nya apalagi bersatu
dengan makhluk-Nya.
1
Syaikh Muhammad Al-Utsaimin menjelaskan hal ini: “Allah bersama makhluk-Nya
dalam arti mengetahui, berkuasa, mendengar, melihat, mengatur, menguasai dan
makna-makna lain yang menyatakan ke-rububiyah-an Allah sambil bersemayam di
atas Arsy di atas makhluk-Nya” (Qowaaidul Mutslaa, Bab Syubuhaat Wa Jawaabu
‘anha) .
Ketika berada di dalam gua bersama Rasulullah karena dikejar kaum musyrikin,
Abu Bakar radhiallahu’anhu merasa sedih sehingga Rasulullah membacakan ayat
Qur’an, yang artinya:
“Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita” (QS. Taubah: 40)
Dalam Tafsir As Sa’di dijelaskan maksud ayat ini: “ ’Allah bersama kita’ yaitu
dengan pertolongan-Nya, dengan bantuan-Nya dan kekuatan dari-Nya”. Allah
Ta’ala juga berfirman yang artinya:
“Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
sesungguhnya Aku qoriib (dekat). Aku mengabulkan permohonan orang yang
berdoa apabila dia berdoa kepadaKu” (QS. Al Baqarah: 186)
Dalam ayat ini pun kata qoriib (dekat) tidak bisa kita bayangkan sebagaimana
dekatnya makhluk dengan makhluk. Dalam Tafsir As Sa’di dijelaskan maksud ayat
ini: “Sesungguhnya Allah Maha Menjaga dan Maha Mengetahui. Mengetahui yang
samar dan tersembunyi. Mengetahui mata yang berkhianat dan hati yang
ketakutan. Dan Allah juga dekat dengan hamba-Nya yang berdoa, sehingga Allah
berfirman ‘Aku mengabulkan doa orang yang berdoa jika berdoa kepada-Ku’ ”.
Kemudian dijelaskan pula: “Doa ada 2 macam, doa ibadah dan doa masalah. Dan
kedekatan Allah ada 2 macam, dekatnya Allah dengan ilmu-Nya terhadap seluruh
makhluk-Nya, dan dekatnya Allah kepada hambaNya yang berdoa untuk
mengabulkan doanya” (Tafsir As Sa’di). Jadi, dekat di sini bukan berarti menempel
atau bersebelahan dengan makhluk-Nya. Hal ini sebenarnya bisa dipahami dengan
mudah. Dalam bahasa Indonesia pun, tatkala kita berkata ‘Budi dan Tono sangat
dekat’, bukan berarti mereka berdua selalu bersama kemanapun perginya, dan
bukan berarti rumah mereka bersebelahan.
Kaum muslimin, akhirnya telah jelas bagi kita bahwa Allah Yang Maha Tinggi
berada dekat dan selalu bersama hamba-Nya. Allah Maha Mengetahui isi-isi hati
kita. Allah tahu segala sesuatu yang samar dan tersembunyi. Allah tahu niat-niat
buruk dan keburukan maksiat yang terbesit di hati. Allah bersama kita, maka masih
beranikah kita berbuat bermaksiat kepada Allah dan meninggakan segala perintah-
Nya?
Allah tahu hamba-hambanya yang butuh pertolongan dan pertolongan apa yang
paling baik. Allah pun tahu jeritan hati kita yang yang faqir akan rahmat-Nya. Allah
dekat dengan hamba-Nya yang berdoa dan mengabulkan doa-doa mereka. Maka,
1
masih ragukah kita untuk hanya meminta pertolongan kepada Allah? Padahal Allah
telah berjanji untuk mengabulkan doa hamba-Nya. Kemudian, masih ragukah kita
bahwa Allah Ta’ala sangat dekat dan mengabulkan doa-doa kita tanpa butuh
perantara? Sehingga sebagian kita masih ada yang mencari perantara dari dukun,
paranormal, para wali dan sesembahan lain selain Allah. Wallahul musta’an. [Yulian
Purnama]
Mengenal Allah S.W.T.
1. Mengenal Allah s.w.t adalah fardhu Ain atas tiap-tiap mukallaf dengan
mengetahui namaNya dan sifat-sifatNya yang bertepatan dengan syarak yang
berlandaskan ajaran para Nabi dan Rasul.
2. Nama-nama Allah s.w.t (Al-Asma ‘ul-Husna) dan sifat-sifat yang Maha Besar dan
Maha Tinggi. Nama Allah s.w.t yang lebih masyhur di antara segala nama-
namaNya ialah Allah, disebut lafaz Al-Jalalah (Lafaz yang Maha Besar) dan yang
lain daripada ini diketahui melalui Al-Quran dan Al-Hadith. Semuanya sentiasa
menjadi sebutan umat Islam contohnya Ar-Rahman, Ar-Rahim, Al-Quddus, As-
Salam, Al-Mukmin.
3. Sifat-sifat yang diketahui oleh mukallaf terbahagi kepada dua bahagian :-
1) Mengetahui sifat-sifat Allah s.w.t dengan Ijmali (Ringkas) iaitu bahawa beriktiqad
dan berpegang oleh seseorang dengan iktiqad yang putus (jazam) bahawa wajib
bagi Allah s.w.t bersifat dengan sifat-sifat kesempurnaan yang layak dengan
keadaan ketuhanan dan mustahil atasNya bersifat dengan apa-apa jua sifat
kekurangan.
2) Mengetahui sifat-sifat Allah s.w.t dengan jalan tafsili (satu persatu) iaitu bahawa
beriktiqad dan berpegang oleh seseorang dengan iktiqad yang putus dengan dalil
aqli (dengan akal) dan dalil naqli (dengan Al-Quran dan Hadith) bahawa wajib dan
beriktiqad dengan iktiqad yang putus dengan dalil aqli dan naqli. Maka mustahil
atas Allah s.w.t bersifat dengan segala lawan sifatyang wajib tersebut.
4. Mengenal Allah s.w.t wajib melalui tiga perkara :-
1) Iktiqad yang putus (jazam) iaitu tiada syak, dzan dan waham. Jika iktiqadnya ada
salah satu daripada tiga tadi maka tidak dinamakan mengenal Allah s.w.t.
2) Muafakat (bersetuju) iktiqad itu dengan yang sebenar (bertepatan dengan iktiqad
Ahli Sunnah Wal-Jamaah), maka tidak dinamakan mengenal jika iktiqad tidak
bertepatan dengan yang sebenar (Ahli Sunnah Wal-Jamaah) seperti iktiqad orang
1
Nasrani dan Yahudi.
3) Dengan dalil sekalipun dengan dalil ijmali, jika iktiqadnya putus (jazam) serta
bertepatan dengan Ahli Sunnah Wal-Jamaah tetapi jika tidak dengan dalil maka
dinamakan taqlid.
5. Iktiqad yang tidak terputus atau tidak bertepatan dengan Ahli Sunnah Wal-
Jamaah, maka para ulama membuat persetujuan bahawa menghukum orang itu
kafir. Dan bagi iktiqad orang bertaqlid itu timbul perselisihan ulama padanya.
Mengikut qaul yang muktamad orang yang bertaqlid itu tidak dihukumkan kafir jika
taqlidnya putus dengan dihukum mukmin yang menderhaka (jika ia belajar maka
tidak dihukumkan mukmin yang derhaka).
6. Makna taqlid ialah menerima perkataan orang lain dengan tidak mengetahui dalil
dan keterangan.
7. Taqlid terbahagi kepada dua bahagian :-
1)Taqlid Jazam (putus) Iktiqad yang teguh dan tidak akan berubah walaupun orang
yang diikuti itu berubah. Maka taqlid ini di sisi Ahli Sunnah Wal-Jamaah sah
imannya kerana ada mempunyai iktiqad yang jazam (putus).
2)Taqlid yang tidak Jazam (TidakPutus) Menerima perkataan orang lain dengan
tidak teguh sekiranya orang yang diikuti seperti guru-gurunya, ibubapanya atau
lainya. Iktiqad mereka berubah-ubah mangikut orang yang diikutinya. Maka taqlid
ini dihukumkan tidak sah imannya kerana serupa imannya dengan syak,zhan atau
waham(tiada putus).
8. Kesimpulannya iman orang yang bertaqlid sentiasa di dalam bahaya atau
bimbang dan tergantung kebenarannya atas orang yang diikutinya. Jika benar
perjalanan orang yang diikutinya seperti guru-gurunya maka mengikutnya selamat,
tetapi jika sebaliknya binasalah mereka.
9. Hendaklah seseorang itu bersungguh-sungguh menuntut Ilmu Tauhid yang sahih
supaya terlepas ia daripada syak dan waham dalam iman kerana di akhir zaman ini
terdapat ramai ahli-ahli bida’ah.
10. Taqlid itu membawa mudharat kerana jalan membawa kepada sesat yang amat
hina yang tiada layak pada seseorang manusia.
Rujukan : ( Kitab Risalah Tauhid – Abdul Ghani Yahya )
1. Wujud : Artinya Ada
Iaitu tetap dan benar yang wajib bagi zat Allah Ta'ala yang tiada disebabkan
dengan sesuatu sebab. Maka wujud ( Ada ) – disisi Imam Fakhru Razi dan Imam
Abu Mansur Al-Maturidi bukan ia a'in maujud dan bukan lain daripada a'in maujud ,
1
maka atas qaul ini adalah wujud itu Haliyyah ( yang menepati antara ada dengan
tiada) .
Tetapi pada pendapat Imam Abu Hassan Al-Ashaari wujud itu 'ain Al-maujud ,
kerana wujud itu zat maujud kerana tidak disebutkan wujud melainkan kepada zat.
Kepercayaan bahawa wujudnya Allah s.w.t. bukan sahaja di sisi agama Islam tetapi
semua kepercayaan di dalam dunia ini mengaku menyatakan Tuhan itu ada.
Firman Allah s.w.t. yang bermaksud :
" Dan jika kamu tanya orang-orang kafir itu siapa yang menjadikan langit dan bumi
nescaya berkata mereka itu Allah yang menjadikan……………"
( Surah Luqman : Ayat 25 )
2. Qidam : Artinya Dahulu
Pada hakikatnya menafikan ada permulaan wujud Allah s.w.t kerana Allah s.w.t.
menjadikan tiap-tiap suatu yang ada, yang demikian tidak dapat tidak keadaannya
lebih dahulu daripada tiap-tiap sesuatu itu. Jika sekiranya Allah Ta'ala tidak lebih
dahulu daripada tiap-tiap sesuatu, maka hukumnya adalah mustahil dan batil. Maka
apabila disebut Allah s.w.t. bersifat Qidam maka jadilah ia qadim. Di dalam Ilmu
Tauhid ada satu perkataan yang sama maknanya dengan Qadim iaitu Azali.
Setengah ulama menyatakan bahawa kedua-dua perkataan ini sama maknanya
iaitu sesuatu yang tiada permulaan baginya. Maka qadim itu khas dan azali itu am.
Dan bagi tiap-tiap qadim itu azali tetapi tidak boleh sebaliknya, iaitu tiap-tiap azali
tidak boleh disebut qadim. Adalah qadim dengan nisbah kepada nama terbahagi
kepada empat bahagian :
1 ) Qadim Sifati ( Tiada permulaan sifat Allah Ta'ala )
2 ) Qadim Zati ( Tiada permulaan zat Allah Ta'ala )
3 ) Qadim Idhafi ( Terdahulu sesuatu atas sesuatu seperti terdahulu bapa nisbah
kepada anak )
4 ) Qadim Zamani ( Lalu masa atas sesuatu sekurang-kurangnya satu tahun )
Maka Qadim Haqiqi ( Qadim Sifati dan Qadim Zati ) tidak harus dikatakan lain
daripada Allah Ta'ala.
3. Baqa' : Artinya Kekal
Sentiasa ada, kekal ada dan tiada akhirnya Allah s.w.t . Pada hakikatnya ialah
menafikan ada kesudahan bagi wujud Allah Ta'ala. Adapun yang lain daripada
Allah Ta'ala , ada yang kekal dan tidak binasa Selama-lamanya tetapi bukan
dinamakan kekal yang hakiki ( yang sebenar ) Bahkan kekal yang aradhi ( yang
mendatang jua seperti Arasy, Luh Mahfuz, Qalam, Kursi, Roh, Syurga, Neraka,
1
jisim atau jasad para Nabi dan Rasul ).
Perkara –perkara tersebut kekal secara mendatang tatkala ia bertakluq dengan
Sifat dan Qudrat dan Iradat Allah Ta'ala pada mengekalkannya. Segala jisim
semuanya binasa melainkan 'ajbu Az-zanabi ( tulang kecil seperti biji sawi letaknya
di tungking manusia, itulah benih anak Adam ketika bangkit daripada kubur kelak ).
Jasad semua nabi-nabi dan jasad orang-orang syahid berjihad Fi Sabilillah yang
mana ianya adalah kekal aradhi jua. Disini nyatalah perkara yang diiktibarkan
permulaan dan kesudahan itu terbahagi kepada tiga bahagian :
1) Tiada permulaan dan tiada kesudahan iaitu zat dan sifat Alllah s.w.t.
2) Ada permulaan tetapi tiada kesudahan iaitu seperti Arash , Luh Mahfuz , syurga
dan lain-lain lagi.
3) Ada permulaan dan ada kesudahan iaitu segala makhluk yang lain daripada
perkara yang diatas tadi ( Kedua ).
4. Mukhalafatuhu Lilhawadithi. Artinya : Allah Tidak sama dengan segala yang
baru.
Pada zat , sifat atau perbuatannya sama ada yang baru , yang telah
ada atau yang belum ada. Pada hakikat nya adalah menafikan Allah Ta'ala
menyerupai dengan yang baharu pada zatnya , sifatnya atau perbuatannya.
Sesungguhnya zat Allah Ta'ala bukannya berjirim dan bukan aradh Dan tiada
sesekali zatnya berdarah , berdaging , bertulang dan juga bukan jenis leburan ,
tumbuh-tumbuhan , tiada berpihak ,tiada ber-
tempat dan tiada dalam masa. Dan sesungguhnya sifat Allah Ta'ala itu tiada
bersamaan dengan sifat yang baharu kerana sifat Allah Ta'ala itu qadim lagi azali
dan melengkapi ta'aluqnya. Sifat Sama' ( Maha Mendengar ) bagi Allah Ta'ala
berta'aluq ia pada segala maujudat tetapi bagi mendengar pada makhluk hanya
pada suara sahaja. Sesungguhnya di dalam Al-Quraan dan Al-Hadith yang
menyebut muka dan tangan Allah s.w.t. , maka perkataan itu hendaklah kita
iktiqadkan thabit ( tetap ) secara yang layak dengan Allah Ta'ala Yang Maha Suci
daripada berjisim dan Maha Suci AllahTa'ala bersifat dengan segala sifat yang
baharu.
5. Qiamuhu Binafsihi : Artinya : Allah Berdiri sendiri.
Tidak berkehendak kepada tempat berdiri ( pada zat ) dan tidak
berkehendak kepada yang menjadikannya
Maka hakikatnya ibarat daripada menafikan Allah s.w.t. berkehendak
kepada tempat berdiri dan kepada yang menjadikannya.
Allah s.w.t itu terkaya dan tidak berhajat kepada sesuatu sama ada
1
pada perbuatannya atau hukumannya.
Allah s.w.t menjadikan tiap-tiap sesuatu dan mengadakan undang-
undang semuanya untuk faedah dan maslahah yang kembali kepada
sekalian makhluk .
Allah s.w.t menjadikan sesuatu ( segala makhluk ) adalah kerana
kelebihan dan belas kasihannya bukan berhajat kepada faedah.
Allah s.w.t. Maha Terkaya daripada mengambil apa-apa manafaat
di atas kataatan hamba-hambanya dan tidak sesekali menjadi
mudharat kepada Allah Ta'ala atas sebab kemaksiatan dan kemung-
karan hamba-hambanya.
Apa yang diperintahkan atau ditegah pada hamba-hambanya adalah
perkara yang kembali faedah dan manafaatnya kepada hamba-hamba-
nya jua.
Firman Allah s.w.t. yang bermaksud :
" Barangsiapa berbuat amal yang soleh ( baik ) maka pahalanya
itu pada dirinya jua dan barangsiapa berbuat jahat maka bala-
sannya ( seksaannya ) itu tertanggung ke atas dirinya jua ".
( Surah Fussilat : Ayat 46 )
Syeikh Suhaimi r.a.h berkata adalah segala yang maujudat itu dengan
nisbah berkehendak kepada tempat dan kepada yang menjadikannya ,
terbahagi kepada empat bahagian :
1) Terkaya daripada tempat berdiri dan daripada yang menjadi-
kannya iaitu zat Allah s.w.t.
2) Berkehendak kepada tempat berdiri dan kepada yang men-
jadikannya iaitu segala aradh ( segala sifat yang baharu ).
3) Terkaya daripada zat tempat berdiri tetapi berkehendak
kepada yang menjadikannya iaitu segala jirim. ( Segala zat yang baharu ) .
4) Terkaya daripada yang menjadikannya dan berdiri ia pada zat
iaitu sifat Allah Ta'ala.
6. Wahdaniyyah.
Artinya : Allah Esa pada zat , pada sifat dan pada perbuatan.
Maka hakikatnya ibarat daripada menafikan berbilang pada zat , pada
sifat dan pada perbuatan sama ada bilangan yang muttasil ( yang ber-
hubung ) atau bilangan yang munfasil ( yang bercerai ).
Makna Esa Allah s.w.t. pada zat itu iaitu menafikan Kam Muttasil pada
Zat ( menafikan bilangan yang berhubung dengan zat ) seperti tiada zat
Allah Ta'ala tersusun daripada darah , daging , tulang ,urat dan lain-lain.
1
Dan menafikan Kam Munfasil pada zat ( menafikan bilangan yang ber-
cerai pada zat Allah Ta'ala )seperti tiada zat yang lain menyamai zat
Allah Ta'ala.
Makna Esa Allah s.w.t pada sifat iaitu menafikan Kam muttasil pada
Sifat ( menafikan bilangan yang berhubung pada sifatnya ) iaitu tidak
sekali-kali bagi Allah Ta'ala pada satu-satu jenis sifatnya dua qudrat
dan menafikan Kam Munfasil pada sifat ( menafikan bilangan –
bilangan yang bercerai pada sifat ) iaitu tidak ada sifat yang lain
menyamai sebagaimana sifat Allah s.w.t. yang Maha Sempurna.
Makna Esa Allah s.w.t. pada perbuatan iaitu menafikan Kam
Muttasil pada perbuatan ( menafikan bilangan yang bercerai –cerai pada
perbuatan ) iaitu tidak ada perbuatan yang lain menyamai seperti
perbuatan Allah bahkan segala apa yang berlaku di dalam alam semua-
nya perbuatan Allah s.w.t sama ada perbuatan itu baik rupanya dan
hakikatnya seperti iman dan taat atau jahat rupanya tiada pada hakikat-nya seperti
kufur dan maksiat sama ada perbuatan dirinya atau
perbuatan yang lainnya ,semuanya perbuatan Allah s.w.t dan tidak
sekali-kali hamba mempunyai perbuatan pada hakikatnya hanya pada
usaha dan ikhtiar yang tiada memberi bekas.
Maka wajiblah bagi Allah Ta'ala bersifat Wahdaniyyah dan ternafi bagi
Kam yang lima itu iaitu :
1) Kam Muttasil pada zat.
2) Kam Munfasil pada zat.
3) Kam Muttasil pada sifat.
4) Kam Munfasil pada sifat.
5) Kam Munfasil pada perbuatan.
Maka tiada zat yang lain , sifat yang lain dan perbuatan yang lain
menyamai dengan zat , sifat dan perbuatan Allah s.w.t .
Dan tertolak segala kepercayaan-kepercayaan yang membawa kepada
menyengutukan Allah Ta'ala dan perkara-perkara yang menjejaskan
serta merosakkan iman.
7. Al – Qudrah :
Artinya : Kuasa qudrah Allah s.w.t. memberi bekas pada mengadakan
meniadakan tiap-tiap sesuatu.
1
Pada hakikatnya ialah satu sifat yang qadim lagi azali yang thabit
( tetap ) berdiri pada zat Allah s.w.t. yang mengadakan tiap-tiap yang
ada dan meniadakan tiap-tiap yang tiada bersetuju dengan iradah.
Adalah bagi manusia itu usaha dan ikhtiar tidak boleh memberi bekas pada
mengadakan atau meniadakan , hanya usaha dan ikhtiar pada jalan menjayakan
sesuatu .
Kepercayaan dan iktiqad manusia di dalam perkara ini berbagai-bagai
Fikiran dan fahaman seterusnya membawa berbagai-bagai kepercayaan dan
iktiqad.
1) Iktiqad Qadariah :
Perkataan qadariah iaitu nisbah kepada qudrat . Maksudnya orang yang beriktiqad
akan segala perbuatan yang dilakukan manusia itu sama ada baik atau jahat
semuanya terbit atau berpunca daripada usaha dan ikhtiar manusia itu sendiri dan
sedikitpun tiada bersangkut-paut dengan kuasa Allah s.w.t.
2) Iktiqad Jabariah :
Perkataan Jabariah itu nisbah kepada Jabar ( Tergagah ) dan maksudnya orang
yang beriktiqad manusia dan makhluk bergantung kepada qadak dan qadar Allah
semata-mata ( tiada usaha dan ikhtiar atau boleh memilih samasekali ). 3) Iktiqad
Ahli Sunnah Wal – Jamaah :
Perkataan Ahli Sunnah Wal Jamaahialah orang yang mengikut perjalanan Nabi dan
perjalanan orang-orang Islam iaitu beriktiqad bahawa hamba itu tidak digagahi
semata-mata dan tidak memberi bekas segala perbuatan yang disengajanya, tetapi
ada perbuatan yang di sengaja pada zahir itu yang dikatakan usaha dan ikhtiar
yang tiada memberi bekas sebenarnya sengaja hamba itu daripada Allah Ta;ala
jua. Maka pada segala makhluk ada usaha dan ikhtiar pada zahir dan tergagah
pada batin dan ikhtiar serta usaha hamba adalah tempat pergantungan taklif
( hukum ) ke atasnya dengan suruhan dan tegahan
( ada pahala dan dosa ).
8. Al – Iradah :
Artinya : Menghendaki Allah Ta'ala.
Maksudnya menentukan segala mumkin tentang adanya atau
tiadanya.
Sebenarnya adalah sifat yang qadim lagi azali thabit berdiri pada
Zat Allah Ta'ala yang menentukan segala perkara yang harus atau setengah yang
harus atas mumkin . Maka Allah Ta'ala yang selayaknya menghendaki tiap-tiap
sesuatu apa yang diperbuatnya.
Umat Islam beriktiqad akan segala hal yang telah berlaku dan yang akan berlaku
adalah dengan mendapat ketentuan daripada Allah Ta'ala tentang rezeki , umur ,
1
baik , jahat , kaya , miskin dan sebagainya serta wajib pula beriktiqad manusia ada
mempunyai nasib ( bahagian ) di dalam dunia ini sebagaimana firman Allah s.w.t.
yang bermaksud :
" Janganlah kamu lupakan nasib ( bahagian ) kamu
di dalam dunia " .
( Surah Al – Qasash : Ayat 77 )
Kesimpulannya ialah umat Islam mestilah bersungguh-sungguh
untuk kemajuan di dunia dan akhirat di mana menjunjung titah
perintah Allah Ta'aladan menjauhi akan segala larangan dan
tegahannyadan bermohon dan berserah kepada Allah s.w.t.
9. Al – Ilmu :
Artinya : Mengetahui Allah Ta'ala .
Maksudnya nyata dan terang meliputi tiap-tiap sesuatu sama ada yang
Maujud (ada) atau yang Ma'adum ( tiada ).
Hakikatnya ialah satu sifat yang tetap ada ( thabit ) qadim lagi azali
berdiri pada zat Allah Ta'ala.
Allah Ta'ala Maha Mengetahui akan segala sesuatu sama ada perkara
Itu tersembunyi atau rahsia dan juga yang terang dan nyata.
Maka Ilmu Allah Ta'ala Maha Luas meliputi tiap-tiap sesuatu di
Alam yang fana' ini.
10. Al – Hayat .
Artinya : Hidup Allah Ta'ala.
Hakikatnya ialah satu sifat yang tetap qadim lagi azali berdiri pada zat
Allah Ta’ala .
Segala sifat yang ada berdiri pada zat daripada sifat Idrak ( pendapat )
Iaitu : sifat qudrat , iradat , Ilmu , Sama’ Bashar dan Kalam.
11. Al - Samu’ : Artinya : Mendengar Allah Ta'ala.
Hakikatnya ialah sifat yang tetap ada yang qadim lagi azali berdiri pada
Zat Allah Ta’ala. Iaitu dengan terang dan nyata pada tiap-tiap yang maujud
sama ada yang maujud itu qadim seperti ia mendengar kalamnya atau yang
ada itu harus sama ada atau telah ada atau yang akan diadakan. Tiada terhijab
( terdinding ) seperti dengan sebab jauh , bising , bersuara , tidak bersuara dan
sebagainya. Allah Ta'ala Maha Mendengar akan segala yang terang dan yang
1
tersembunyi. Sebagaimana firman Allah Ta'ala yang bermaksud :
" Dan ingatlah Allah sentiasa Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui ".
( Surah An-Nisa'a - Ayat 148 )
12. Al – Bashar : Artinya : Melihat Allah Ta'ala .
Hakikatnya ialah satu sifat yang tetap ada yang qadim lagi azali berdiri
pada zat Allah Ta'ala. Allah Ta'ala wajib bersifat Maha Melihat sama ada yang
dapat dilihat oleh manusia atau tidak , jauh atau dekat , terang atau gelap , zahir
atau tersembunyi dan sebagainya. Firman Allah Ta'ala yang bermaksud :
" Dan Allah Maha Melihat akan segala yang mereka kerjakan ".
( Surah Ali Imran - Ayat 163 )
13 . Al – Kalam : Artinya : Berkata-kata Allah Ta'ala.
Hakikatnya ialah satu sifat yang tetap ada , yang qadim lagi azali ,
berdiri pada zat Allah Ta'ala. Menunjukkan apa yang diketahui oleh ilmu daripada
yang wajib, maka ia menunjukkan atas yang wajib sebagaimana firman Allah Ta'ala
yang bermaksud :
" Aku Allah , tiada tuhan melainkan Aku .........".
( Surah Taha - Ayat 14 )
Dan daripada yang mustahil sebagaimana firman Allah Ta'ala yang
bermaksud :
" ........( kata orang Nasrani ) bahawasanya Allah Ta'ala
yang ketiga daripada tiga..........".
( Surah Al-Mai'dah - Ayat 73 )
Dan daripada yang harus sebagaimana firman Allah Ta'ala yang
bermaksud :
" Padahal Allah yang mencipta kamu dan benda-benda yang
kamu perbuat itu".
( Surah Ash. Shaffaat – Ayat 96 )
Kalam Allah Ta'ala itu satu sifat jua tiada berbilang.
Tetapi ia berbagai-bagai jika dipandang dari perkara yang dikatakan
iaitu :
1) Menunjuk kepada 'amar ( perintah ) seperti tuntutan mendiri-
solat dan lain-lain kefardhuan.
2) Menunjuk kepada nahyu ( tegahan ) seperti tegahan mencuri dan lain-lain
larangan.
1
3) Menunjuk kepada khabar ( berita ) seperti kisah-kisah Firaun
dan lain-lain.
4) Menunjuk kepada wa'ad ( janji baik ) seperti orang yan taat
dan beramal soleh akan dapat balasan syurga dan lain-lain.
5) Menunjuk kepada wa'ud ( janji balasan seksa ) seperti orang
yang menderhaka kepada ibubapa akan dibalas dengan azab
seksa yang amat berat.
14. Kaunuhu Qadiran :
Artinya : Keadaan Allah Ta'ala Yang Berkuasa Mengadakan Dan Mentiadakan.
Hakikatnya iaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta'ala ,
tiada ia maujud dan tiada ia ma'adum , iaitu lain daripada
sifat Qudrat.
15.Kaunuhu Muridan :
Artinya : Keadaan Allah Ta'ala Yang Menghendaki dan menentukan tiap-tiap
sesuatu.
Hakikatnya iaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta'ala ,
tiada ia maujud dan tiada ia ma'adum , iaitu lain daripada
sifat Iradat.
6.Kaunuhu 'Aliman : Artinya : Keadaan Allah Ta'ala Yang Mengetahui akan
Tiap-tiap sesuatu.
Hakikatnya iaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta'ala , tiada ia maujud dan
tiada ia ma'adum , iaitu lain daripada sifat Al-Ilmu.
17.Kaunuhu Haiyan : Artinya : Keadaan Allah Ta'ala Yang Hidup.
Hakikatnya iaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta'ala, tiada ia maujud dan tiada
ia ma'adum , iaitu lain daripada sifat Hayat.
18.Kaunuhu Sami'an : Artinya : Keadaan Allah Ta'ala Yang Mendengar akan tiap-
tiap yang Maujud.
Hakikatnya iaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta'ala, tiada ia maujud dan tiada
ia ma'adum, iaitu lain daripada sifat Sama'.
19.Kaunuhu Bashiran : Artinya : Keadaan Allah Ta'ala Yang Melihat akan tiap-tiap
yang Maujudat ( Benda yang ada ).
Hakikatnya iaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta'ala, tiada ia maujud dan tiada
1
ia ma'adum , iaitu lain daripada sifat Bashar.
20.Kaunuhu Mutakalliman : Artinya : Keadaan Allah Ta'ala Yang Berkata-kata.
Hakikatnya iaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta'ala, tiada ia maujud dan tiada
ia ma'adum , iaitu lain daripada sifat Qudrat.
Bab 7 : Sifat Mustahil Bagi Allah s.w.t
Wajib atas tiap-tiap mukallaf mengetahui sifat-sifat yang mustahil bagi Allah yang
menjadi lawan daripada dua puluh sifat yang wajib baginya. Maka dengan sebab
itulah di nyatakan di sini sifat-sifat yang mustahil satu-persatu :
1. ‘Adam beerti “tiada”
2. Huduth beerti “baharu”
3. Fana’ beerti “binasa”
4. Mumathalatuhu Lilhawadith beerti “menyerupai makhluk”
5. Qiyamuhu Bighayrih beerti “berdiri dengan yang lain”
6. Ta’addud beerti “berbilang-bilang”
7. ‘Ajz beerti “lemah”
8. Karahah beerti “terpaksa”
9. Jahl beerti “jahil/bodoh”
10. Mawt beerti “mati”
11. Samam beerti “tuli”
12. ‘Umy beerti “buta”
1
13. Bukm beerti “bisu”
14. Kaunuhu ‘Ajizan beerti “keadaannya yang lemah”
15. Kaunuhu Karihan beerti “keadaannya yang terpaksa”
16. Kaunuhu Jahilan beerti “keadaannya yang jahil/bodoh”
17. Kaunuhu Mayyitan beerti “keadaannya yang mati”
18. Kaunuhu Asam beerti “keadaannya yang tuli”
19. Kaunuhu A’ma beerti “keadaannya yang buta”
20. Kaunuhu Abkam beerti “keadaannya yang bisu”
Bab 8: Sifat Harus Bagi Allah s.w.t
Adalah sifat yang harus pada hak Allah Ta’ala hanya satu sahaja iaitu Harus bagi
Allah mengadakan sesuatu atau tidak mengadakan sesuatu atau di sebut sebagai
mumkin. Mumkin ialah sesuatu yang harus ada dan tiada.
Mengenal Allah & Menemukan Tujuan Hidup
1
Sebenarnya ada jalan pintas untuk mengenal-Nya. Pandanglah matahari dengan
mata hati. Matahari yang berukuran 300 kali lipat lebih besar dari bumi ini sungguh
bagian dari kebutuhan pokok hidup manusia. Tidak akan ada siang bila ia tidak
menunjukkan diri. Pandang pula ketika ia akan terbenam, bentangkan mata ke
samudera lepas, akan ada rasa kagum akan kebesaran dan keagungan matahari.
Ini akan menjadi bagian dari proses pengenalan Ilahi. Nah, itu benda besar yang
dijadikan contoh.
Mari menggunakan makhluk yang sangat kecil sebagai contoh berikutnya. Di dalam
Alquran, Allah berfirman: “Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka
dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru
selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka
bersatu menciptakannya. dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah
mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah
dan amat lemah (pulalah) yang disembah.” (QS. Al-Hajj: 73)
Sebagai ilustrasi, akan dipaparkan contoh yang dapat membantu pemahaman, dan
dimulai dengan pertanyaan: apakah kita mengenal Abu Bakar as-Shiddiq? Jika ada
seseorang yang menjawab bahwa ia mengenal Abu Bakar as-Shiddiq adalah
seorang sahabat rasul yang mendapat gelar as-Shiddiq, salah seorang sahabat
1
yang termasuk dalam as-Sabiqun al-Awwalun, salah seorang dari Khulafa' ar-
Rasyidin, dsb, maka jawaban ini tentu benar. Di sisi lain, bila ada orang sekarang
yang menjawab, bagaimana kita dapat mengenal Abu Bakar as-Shiddiq yang hidup
sekitar 14 abad yang lalu, mana mungkin dapat mengenalnya, bertemu pun tidak
pernah, apalagi mengetahui kondisi keluarga dan lingkungannya sewaktu kecil.
Tentu ini jawaban yang benar pula.
Kedua jawaban di atas tentu berkaitan erat dengan perjalanan sejarah peradaban
Islam, khususnya tentang siapa Abu Bakar ini. Jawaban pertama benar sebab
seseorang itu memahami makna mengenal Abu Bakar dalam arti mengenal nama
dan sifat as-Shiddiq yang digelarkan kepada Abu Bakar. Jawaban kedua berkaitan
dengan perkenalan dengan Abu Bakar phisically (secara fisik), secara langsung.
Bagaimana dengan mengenal Allah? Tentunya tidak ada peluang untuk
menyepakati bahwa jawaban dengan menggunakan pendekatan kedua di atas
dapat dilakukan, mengingat Allah, tiada yang serupa dengan-Nya: “(Dia) Pencipta
langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-
pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya
kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa
dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.” (QS. as-Syura: 11)
Oleh karena itu terbuka peluang yang besar untuk menggunakan pendekatan yang
pertama. Artinya, mengenal adalah mengetahui nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
Bedanya, mengenal nama dan sifat Abu Bakar as-Shiddiq harus dilakukan dengan
pendekatan sejarah makhluk yang hidup 14 abad yang lalu ini, serta mempelajari
sifat makhluk yang disandangnya dari literatur sejarah. Astagfirullah al-'Azim.
Subhanallah! Bagaimana dengan Allah. Dia hanya dapat dikenal dari nama-nama
dan sifat-sifat-Nya. Tidak dikenal adanya sejarah khaliq, karena memang Allah tidak
berpermulaan, dan sumber informasi nama dan sifatnya dapat dieksplorasi dari
kitab yang diturunkan-Nya sebagai user guide atau sebagai pedoman bagi makhluk
untuk mengenal-Nya, termasuk penulis yang lancang menebar tinta ini. Bagaimana
mungkin kelelawar dapat menatap matahari. Kelu lidah ini dalam mencari tahu titik
permulaan, sungguh khawatir bila apa yang akan disajikan tidak sesuai dengan apa
yang dikehendaki-Nya.
Dialah Allah yang disembah di waktu pagi (shubuh), siang (zhuhur), sore (ashar),
petang (maghrib) dan malam (isya). Tidakkah akan lebih bermakna bila
persembahan itu dilakukan tatkala benar-benar mengenal-Nya? Dan tidakkah
mengenal-Nya akan melahirkan jiwa yang tenang dalam sanubari? Inilah saatnya
1
kita akan mengenal-Nya, sesuai dengan kadar pengenalan manusia. Dan ini hanya
dapat diperoleh melalui pengenalan langsung dari-Nya melalui user guide (Alquran)
dan informasi dari utusan-Nya (al-Hadis).
Ada bermacam cara mengenal Allah tanpa merujuk kepada Alquran dan Hadis. Ada
yang melalui nalar, melalui pengalaman ruhani, melalui pengampunan dan
pemaafan-Nya, melalui murka dan pembalasan-Nya, melalui ilmu, hikmah, dan
kebijaksanaan-Nya, atau melalui ketelitian ciptaan dan pengaturan-Nya.
Sungguh tiada pengenalan yang sempurna sebelum merujuk kepada Alquran dan
al-Hadis. Dia berfirman: "Itulah Kitab yang tiada keraguan padanya, petunjuk
(hidayah) bagi kaum yang bertaqwa." (QS. al-Baqarah: 2). Bila selama ini ada
keinginan dan hasrat untuk mendapatkan dan memohon hidayah dari-Nya, mulailah
dengan bijaksana untuk menggunakan Alquran dan memahami terjemah dan tafsir
untuk menjemput hidayah itu.
Al-Ghazali pernah menulis: "Siapa yang mendengar nama-nama Allah, memahami
dari segi bahasa tafsiran dan sifatnya serta meyakini bahwa makna tersebut wujud
di sisi Allah, maka sebenarnya dia baru mendapat bagian yang sedikit dan masih
rendah tingkatannya. Tidak wajar baginya berbangga dengan apa yang dimilikinya."
Selanjutnya al-Ghazali menjelaskan bahwa ada tiga tingkatan dalam mengenal
Allah: Pertama, mengenal makna nama-nama Allah dalam bentuk mukasyafah
(terbukanya tabir penutup) dan musyahadah (disaksikan dengan pandangan mata
hati). Kedua, mengenal dan secara berkesinambungan terdorong untuk berbudi
pekerti dengan mengamalkan sifat-sifat Allah sebatas kemampuan insaniah. Dan
dengan demikian, orang-orang yang berada pada tingkatan ini akan mirip dengan
para malaikat yang dekat dan didekatkan di sisi Allah. Jiwa yang terlahir kemudian
adalah jiwa yang sungguh merindukan kehadiran Allah dalam hidup, dan sungguh
ingin menghiasi diri dengan sifat-sifat Ilahiah. Ketiga, mengenal Allah dengan
sungguh-sungguh dalam setiap detik kehidupan dan dengan sepanjang
kemampuan insaniyyah terus meraih sifat-sifat Allah, menghiasi diri dan berakhlak
dengannya. Inilah insan Rabbani.
Akhirnya, keberhasilan dalam mengenal Allah dan meneladani sifat-sifat-Nya dapat
dilakukan dengan tiga tahapan: Pertama, meningkatkan ma'rifah melalui
pengetahuan dan ketakwaan; kedua, membebaskan diri dari perbudakan syahwat
dan hawa nafsu; dan ketiga, menyucikan jiwa dengan jalan berakhlak dengan
akhlak Allah.
1
MA’RIFATULLAH
Muqadimah
Mengenal Allah merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan setiap
insan. Karena dengan mengenal Allah, seseorang akan lebih dapat mengenali
dirinya sendiri. Dengan mengenal Allah seseorang juga akan dapat memahami
menegenai hakekat keberadaannya di dunia ini; untuk apa ia diciptakan, kemana
arah dan tujuan hidupnya, serta tanggung jawab yang dipikulnya sebagai seorang
insan di muka bumi. Dengan lebih mengenal Allah, seseoran juga akan memiliki
keyakinan bahwa ternyata hanya Allah lah yang Maha Pencipta, Maha Penguasa,
Maha Pemelihara, Maha Pengatur dan lain sebagainya. Sehingga seseorang yang
mengenal Allah, seakan-akan ia sedang berjalan pada sebuah jalan yang terang,
jelas dan lurus.
Sebaliknya, tanpa pengenalan terhadap Allah, manusia akan dilanda
kegelisahan dalam setiap langkah yang dilaluinya. Ia tidak dapat memahami
hakekat kehidupannya, dari mana asalnya, kemana arah tujuannya dan lain
sebagainya. Seakan akan ia sedang berjalan di sebuah jalan yang gelap, tidak
tentu dan berkelok. Dalam Al-Qur’an Allah SWT menggambarkan (QS. 6 :122) :
�س� �ي ل �م�ات� الظ ل ف�ي �ه� �ل م�ث �م�ن� ك �اس� الن ف�ي �ه� ب �م�ش�ي ي ا ��ور ن �ه� ل �ا �ن ع�ل و�ج� �اه� �ن �ي ي ح�� ف�أ �ا �ت م�ي �ان� ك و�م�ن�
� أ
�ه�ا م�ن ار�ج+ �خ� ب
�ون� �ع�م�ل ي �وا �ان ك م�ا �اف�ر�ين� �ك �ل ل 0ن� ي ز� �ك� �ذ�ل ك
“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami
berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan
di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya
berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya?
Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah
mereka kerjakan.”
Urgensi Ma’rifatullah
Sebagaimana disinggung di atas, bahwa orang yang mengenal Allah, ia akan
memahami hakekat kehidupannya. Oleh karenanya ia tidak akan mudah silau dan
tertipu oleh kemilaunya kehidupan dunia. Allah berfirman (QS. 51:56) mengenai
tujuan hidup manusia di dunia:
�د�ون� �ع�ب �ي ل � �ال إ �س� �ن و�اإل �ج�ن� ال �ق�ت� ل خ� و�م�ا
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku.
1
Berikut adalah beberpa poin penting mengenai urgensi (baca; ahamiyah)
ma’rifatullah:
1. Tidak akan tertipu oleh kemilaunya kehidupan dunia.
Allah berfirman (QS. 6 : 130):
�م� �ك �ي ع�ل �ق�ص ون� ي �م� �ك م�ن س�ل@ ر� �م� �ك �ت �أ ي �م� �ل أ �س� �ن و�اإل �ج�ن0 ال ر� �ام�ع�ش� ه�ذ�ا ي �م� �و�م�ك ي �ق�اء� ل �م� �ك ون �ذ�ر� �ن و�ي �ي �ات آي
ع�ل�ى �ا ه�د�ن ش� �وا ق�ال
�اف�ر�ين� ك �وا �ان ك �ه�م� ن� أ ه�م� �ف�س� �ن أ ع�ل�ى ه�د�وا و�ش� �ا �ي الد ن �اة� ي �ح� ال �ه�م� ت و�غ�ر� �ا ن �ف�س� �ن أ
“Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dari
golongan kamu sendiri, yang menyampaikan kepadamu ayat-ayat Ku dan memberi
peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini? Mereka berkata:
"Kami menjadi saksi atas diri kami sendiri", kehidupan dunia telah menipu mereka,
dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri, bahwa mereka adalah orang-
orang yang kafir.”
2. Karena Allah SWT adalah Rab semesta alam.
Allah berfirman (QS. 13 : 16):
ه�م� �ف�س� أل �ون� �ك �م�ل ي � ال �اء� �ي و�ل� أ �ه� د�ون م�ن� �م� �خ�ذ�ت �ف�ات أ ق�ل� �ه� الل ق�ل� ر�ض�
� و�األ م�و�ات� الس� ب ر� م�ن� � ق�ل� و�ال �ف�ع�ا ن
�ق�وا ل خ� �اء� ك ر� ش� �ه� �ل ل �وا ع�ل ج� �م� أ ور� و�الن �م�ات� الظ ل �و�ي ت �س� ت ه�ل� �م� أ �ص�ير� �ب و�ال �ع�م�ى األ �و�ي ت �س� ي ه�ل� ق�ل� ا Uض�ر
�ق�ه�ار� ال �و�اح�د� ال و�ه�و� ي�ء+ ش� �ل0 ك ال�ق� خ� �ه� الل ق�ل� �ه�م� �ي ع�ل ل�ق� �خ� ال �ه� اب �ش� ف�ت �ق�ه� ل �خ� ك
“Katakanlah: "Siapakah Tuhan langit dan bumi?" Jawabnya: "Allah." Katakanlah:
"Maka patutkah kamu mengambil pelindung-pelindungmu dari selain Allah, padahal
mereka tidak menguasai kemanfaatan dan tidak (pula) kemudharatan bagi diri
mereka sendiri?". Katakanlah: "Adakah sama orang buta dan yang dapat melihat,
atau samakah gelap gulita dan terang benderang; apakah mereka menjadikan
beberapa sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga
kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka?" Katakanlah: "Allah adalah
Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa".
3. Karena wujud (eksistensi) dan keberadaan Allah SWT didukung oleh dalil-dalil
yang kuat:
a) Dalil Naqli (tekstual)
Allah berfirman (QS. 6 : 19):
�م� ك �ذ�ر� �ن أل آن� �ق�ر� ال ه�ذ�ا �ي� �ل إ �وح�ي� و�أ �م� �ك �ن �ي و�ب �ي �ن �ي ب ه�يد@ ش� �ه� الل ق�ل� �ه�اد�ة ش� �ر� �ب �ك أ ي�ء+ ش� ي� أ و�م�ن� ق�ل� �ه� ب
�غ� �ل ه�د�ون� ب �ش� �ت ل �م� �ك �ن �ئ م�م�ا أ �ر�يء@ ب �ي �ن �ن و�إ و�اح�د@ �ه@ �ل إ ه�و� �م�ا �ن إ ق�ل� ه�د� �ش� أ � ال ق�ل� ى �خ�ر� أ ��ه�ة آل �ه� الل م�ع� �ن� أ
�ون� ر�ك �ش� ت
“Katakanlah: "Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?" Katakanlah: "Allah. Dia
menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan Al Qur an ini diwahyukan kepadaku�
supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang
yang sampai Al Qur an (kepadanya). Apakah sesungguhnya kamu mengakui�
1
bahwa ada tuhan-tuhan yang lain di samping Allah?" Katakanlah: "Aku tidak
mengakui". Katakanlah: "Sesungguhnya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan
sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah)".
b) Dalil Akal
Allah berfirman (QS. 3 : 190):
�ب� �ا �ب األل �ول�ي أل �ات+ �ي أل �ه�ار� و�الن �ل� �ي الل �ف� �ال ت و�اخ� ر�ض��� و�األ م�و�ات� الس� ل�ق� خ� ف�ي �ن� إ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.”
c) Dalil Fitrah
Allah berfirman (QS. 7 : 172):
�ل�ى ب �وا ق�ال �م� 0ك ب �ر� ب �ل�س�ت� أ ه�م� �ف�س� �ن أ ع�ل�ى ه�د�ه�م� �ش� و�أ �ه�م� �ت ي ذ�ر0 ظ�ه�ور�ه�م� م�ن� آد�م� �ي �ن ب م�ن� ك� ب ر� �خ�ذ� أ �ذ� و�إ
�ين� غ�اف�ل ه�ذ�ا ع�ن� �ا �ن ك �ا �ن إ �ام�ة� �ق�ي ال �و�م� ي �وا �ق�ول ت �ن� أ �ا ه�د�ن ش�
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari
kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-
orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",
4. Memiliki manfaat atau faidah yang banyak:
Dengan mengenal Allah secara baik dan benar, maka secara langsung atau tidak
langsung akan lebih mendekatkan diri kita kepada Allah SWT. Dan jika kita dekat
dengan Allah, maka Allah pun akan dekat pula dengan kita. Hal ini merupakan hal
yang paling pokok bagi seorang hamba. Karena bagi dirinya orientasinya hanya lah
Allah dan Allah. Tiada kebahagiaan hakiki baginya, selain cinta Ilahi. Namun di
samping itu terdapat hal-hal positif lainnya dengan adanya ma’rifatullah ini,
diantaranya adalah:
a) Kebebasan (الحرية)
Allah berfirman (QS. 6 : 82)
�د�ون� م�ه�ت و�ه�م� �م�ن� األ �ه�م� ل �ك� �ئ �ول أ + �م �ظ�ل ب �ه�م� �يم�ان إ وا �س� �ب �ل ي �م� و�ل �وا آم�ن �ذ�ين� ال
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan
kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan
mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.
b) Ketenangan (الطمأنينة)
Allah berfirman (QS. 13 : 28)
�ق�ل�وب� ال �ن �ط�م�ئ ت �ه� الل �ر� �ذ�ك ب � ال� أ �ه� الل �ر� �ذ�ك ب �ه�م� �وب ق�ل �ن �ط�م�ئ و�ت �وا آم�ن �ذ�ين� ال
1
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan
mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi
tenteram.”
c) Barakah (البركة)
Allah berfirman (QS. 7 : 96):
�اه�م� �خ�ذ�ن ف�أ �وا �ذ�ب ك �ك�ن� و�ل ر�ض�� و�األ م�اء� الس� م�ن� �ات+ ك �ر� ب �ه�م� �ي ع�ل �ا ن �ح� �ف�ت ل �ق�و�ا و�ات �وا آم�ن ى �ق�ر� ال �ه�ل� أ �ن� أ �و� و�ل
�ون� ب �س� �ك ي �وا �ان ك �م�ا ب
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami
akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya.”
d) Kehidupan yang baik ( الطيبة (الحياة
Allah berfirman (QS. 16 : 97)
م�ا ح�س�ن�� �أ ب ه�م� �ج�ر� أ �ه�م� �ن �ج�ز�ي �ن و�ل ��ة 0ب ط�ي ��اة ي ح� �ه� �ن �ي ي �ح� �ن ف�ل م�ؤ�م�ن@ و�ه�و� �ى �ث �ن أ و�
� أ �ر+ ذ�ك م�ن� �ح�ا ص�ال ع�م�ل� م�ن�
�ون� �ع�م�ل ي �وا �ان ك
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan
dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
e) Syurga (الجنة)
Allah berfirman (QS. 10 : 25-26)
ف�يه�ا ه�م� �ة� ن �ج� ال ص�ح�اب�� أ �ك� �ئ �ول أ �ة@ ذ�ل � و�ال �ر@ ق�ت و�ج�وه�ه�م� ه�ق� �ر� ي � و�ال �اد�ة@ و�ز�ي �ى ن �ح�س� ال �وا ن �ح�س� أ �ذ�ين� �ل ل
�د�ون� ال خ�
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan
tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula)
kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.”
f) Mardhatillah. ( الله (مرضاة
Allah berfirman (QS. 98 : 8)
ض�وا و�ر� �ه�م� ع�ن �ه� الل ض�ي� ر� �د�ا �ب أ ف�يه�ا �د�ين� ال خ� �ه�ار� ن� �أل ا �ه�ا ت �ح� ت م�ن� �ج�ر�ي ت ع�د�ن+ �ات� ن ج� 0ه�م� ب ر� �د� ن ع� اؤ�ه�م� ج�ز�
�ه� �ه� ع�ن ب ر� خ�ش�ي� �م�ن� ل �ك� ذ�ل
“Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga `Adn yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap
mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi
orang yang takut kepada Tuhannya.”
1
Cara Untuk Mengenal Allah
Untuk menuju tujuan tertentu, tentulah diperlukan cara atau metode yang
telah tertentu pula. Metode yang baik dan benar akan dapat mengantarkan kita
pada hasil yang baik dan benar pula. Demikian juga sebaliknya, cara atau metode
yang salah, akan membawa kita pada hasil yang salah pula. Dan secara garis
besar, terdapat dua cara untuk mengenal Allah SWT. Pertama, melalui ayat-ayat
Allah yang bersifat qauliyah. Kedua, melalui ayat-ayat Allah yang bersifat kauniyah.
Pertama : Melalui ayat-ayat qauliyah.
Ayat-ayat qauliyah adalah ayat-ayat Allah SWT yang difirmankan-Nya dalam kitab
suci Al-Qur’an. Ayat-ayat ini menyentuh berbagai aspek yang dapat menunjukkan
kita untuk lebih mengenal dan meyakini Allah SWT. Sebagai contoh, Allah SWT
berfirman dalam (QS. 88: 17 – 20), dimana Allah SWT memberikan pertanyaan-
pertanyaan yang sangat menghujam lubuk hati seorang insan yang paling dalam,
untuk membenarkan keberadaan Allah Yang Maha Pencipta:
* * ف�ع�ت� ر� �ف� �ي ك م�اء� الس� �ل�ى و�إ �ق�ت� ل خ� �ف� �ي ك �ل� �إلب ا �ل�ى إ ون� �ظ�ر� �ن ي � �ف�ال * أ �ت� �ص�ب ن �ف� �ي ك �ال� ب �ج� ال �ل�ى و�إ
س�ط�ح�ت� �ف� �ي ك ر�ض�� األ �ل�ى *و�إ
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan
langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?
Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?”
Contoh lain adalah bagaimana Allah SWT memberikan pertanyaan-pertanyaan
yang sesungguhnya tiada jawaban yang dapat mereka berikan melainkan hanya
kesaksian mengenai Keagungan, Kebesaran dan Kekuasaan Allah SWT. Allah
berfirman (QS. 27 : 60 – 66)
�م� �ك ل �ان� ك م�ا �ه�ج�ة+ ب ذ�ات� �ق� ح�د�ائ �ه� ب �ا �ن �ت �ب ن� ف�أ �م�اء م�اء� الس� م�ن� �م� �ك ل ل� �ز� �ن و�أ ر�ض�
� و�األ م�و�ات� الس� ل�ق� خ� م�ن�� أ
ا * ��ه�ار ن� أ �ه�ا خ�الل و�ج�ع�ل� ا �ار ق�ر� ر�ض�
� األ ج�ع�ل� م�ن�� أ �ون� �ع�د�ل ي ق�و�م@ ه�م� �ل� ب �ه� الل م�ع� �ه@ �ل �ئ أ ه�ا ج�ر� ش� �وا �ت �ب �ن ت �ن� أ
* �ج�يب� ي م�ن�� أ �م�ون� �ع�ل ي � ال ه�م� �ر� �ث �ك أ �ل� ب �ه� الل م�ع� �ه@ �ل �ئ أ ا �ح�اج�ز �ن� ي �ح�ر� �ب ال �ن� �ي ب و�ج�ع�ل� و�اس�ي� ر� �ه�ا ل و�ج�ع�ل�
ون� �ر� �ذ�ك ت م�ا � �يال ق�ل �ه� الل م�ع� �ه@ �ل �ئ أ ر�ض�� األ �ف�اء� ل خ� �م� �ك ع�ل �ج� و�ي وء� الس �ك�ش�ف� و�ي د�ع�اه� �ذ�ا إ �م�ض�ط�ر� م�ن�* ال
� أ
�ه� الل �ع�ال�ى ت �ه� الل م�ع� �ه@ �ل �ئ أ �ه� ح�م�ت ر� �د�ي� ي �ن� �ي ب ا �ر �ش� ب �اح� ي الر0 س�ل� �ر� ي و�م�ن� �ح�ر� �ب و�ال �ر0 �ب ال �م�ات� ظ�ل ف�ي �م� �ه�د�يك ي
* �وا ه�ات ق�ل� �ه� الل م�ع� �ه@ �ل �ئ أ ر�ض�� و�األ م�اء� الس� م�ن� �م� ق�ك ز� �ر� ي و�م�ن� �ع�يد�ه� ي �م� ث ل�ق� �خ� ال � �د�أ �ب ي م�ن�
� أ �ون� ر�ك �ش� ي ع�م�ا
ون� * ع�ر� �ش� ي و�م�ا �ه� الل � �ال إ �ب� �غ�ي ال ر�ض�� و�األ م�و�ات� الس� ف�ي م�ن� �م� �ع�ل ي � ال ق�ل� ص�اد�ق�ين� �م� �ت �ن ك �ن� إ �م� �ك ه�ان �ر� ب
* ع�م�ون� * �ه�ا م�ن ه�م� �ل� ب �ه�ا م�ن pك ش� ف�ي ه�م� �ل� ب ة� �آلخ�ر� ا ف�ي �م�ه�م� ل ع� ك� اد�ار� �ل� ب �ون� �ع�ث �ب ي �ان� �ي أ
“Atau siapakah yang telah menciptakan langit dan bumi dan yang menurunkan air
untukmu dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu kebun-kebun yang
berpemandangan indah, yang kamu sekali-kali tidak mampu menumbuhkan pohon-
pohonnya? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Bahkan (sebenarnya)
mereka adalah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran). Atau siapakah
1
yang telah menjadikan bumi sebagai tempat berdiam, dan yang menjadikan sungai-
sungai di celah-celahnya, dan yang menjadikan gunung-gunung untuk
(mengkokohkan) nya dan menjadikan suatu pemisah antara dua laut? Apakah di
samping Allah ada tuhan (yang lain)? Bahkan (sebenarnya) kebanyakan dari
mereka tidak mengetahui. Atau siapakah yang memperkenankan (do`a) orang yang
dalam kesulitan apabila ia berdo`a kepada-Nya, dan yang menghilangkan
kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi?
Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati
(Nya). Atau siapakah yang memimpin kamu dalam kegelapan di daratan dan lautan
dan siapa (pula) kah yang mendatangkan angin sebagai kabar gembira sebelum
(kedatangan) rahmat-Nya? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Maha
Tinggi Allah terhadap apa yang mereka persekutukan (dengan-Nya). Atau siapakah
yang menciptakan (manusia dari permulaannya), kemudian mengulanginya (lagi),
dan siapa (pula) yang memberikan rezki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah di
samping Allah ada tuhan (yang lain)?. Katakanlah: "Unjukkanlah bukti
kebenaranmu, jika kamu memang orang-orang yang benar". Katakanlah: "Tidak
ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali
Allah", dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan. Sebenarnya
pengetahuan mereka tentang akhirat tidak sampai (kesana) malahan mereka ragu-
ragu tentang akhirat itu, lebih-lebih lagi mereka buta daripadanya.”
Selain dua contoh di atas, masih banyak sekali contoh-contoh lain yang dapat
mengantarkan kita untuk dapat mengenal dan lebih mengenal Allah SWT lagi.
Kedua : Melalui ayat-ayat kauniyah
Ayat-ayat kauniyah adalah tanda-tanda kebesaran Allah yang terdapat pada
ciptaan-Nya, baik yang berada di dalam diri manusia, di alam, di angkasa, di dalam
lautan, di jagad raya dan lain sebagainya. Karena pada hekekatnya, ketika manusia
merenungkan segala ciptaan Allah yang Maha Sempurna ini, akan membawa pada
pengenalan dan pengesaan (baca; pentauhidan) terhadap Allah SWT. Allah
berfirman dalam QS. 67 : 3 – 4:
م�ن� ى �ر� ت ه�ل� �ص�ر� �ب ال ج�ع� ف�ار� �ف�او�ت+ ت م�ن� ح�م�ن� الر� ل�ق� خ� ف�ي ى �ر� ت م�ا �اق�ا ط�ب م�و�ات+ س� �ع� ب س� ل�ق� خ� �ذ�ي ال
ف�ط�ور+*
ير@ ح�س� و�ه�و� �ا ئ خ�اس� �ص�ر� �ب ال �ك� �ي �ل إ �ق�ل�ب� �ن ي �ن� �ي ت �ر� ك �ص�ر� �ب ال ج�ع� ار� �م� ث
“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat
pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka
lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?
Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu
1
dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan
payah.”
Bahkan dalam ayat lain, Allah seolah memberikan tantangan kepada orang yang
tidak mengakui ciptaan-Nya, untuk menunjukkan ciptaan-ciptaan selain-Nya. Allah
mengatakan (QS. 31 : 11)
�ين+ م�ب �ل+ ض�ال ف�ي �م�ون� الظ�ال �ل� ب �ه� د�ون م�ن� �ذ�ين� ال ل�ق� خ� م�اذ�ا �ي ون ر�� ف�أ �ه� الل ل�ق� خ� ه�ذ�ا
“Inilah ciptaan Allah, maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah
diciptakan oleh sembahan-sembahan (mu) selain Allah. Sebenarnya orang-orang
yang zalim itu berada di dalam kesesatan yang nyata.”
Pada intinya adalah bahwa sesungguhnya segala apa yang ada di bumi, di langit, di
jagad raya, juga di dalam diri kita sendiri, merupakan tanda-tanda kebesaran Allah
SWT. Tanda-tanda tersebut demikian banyaknya hingga dapat dikatakan tak
terbilang. Hanya karena keterbatasan kitalah, kita tidak mampu untuk menghitung
ayat-ayat Allah tersebut. Berikut adalah diantara ayat-ayat kauniyah yang dapat
mengenalkan kepada Allah SWT:
1. Fenomena adanya alam.
Jika terdapat sesuatu yang sangat indah dan mempesona, maka pastilah ada yang
membuatnya. Sebagai contoh, ketika kita melihat ada sebuah rumah yang sangat
bagus dan indah. Tentulah rumah tersebut ada yang membangunnya. Karena tidak
mungkin, rumah itu ada dan berdiri sendiri dengan kebetulan, tanpa ada yang
menciptakannya. Demikian juga dengan alam yang sangat indah ini, dengan
berbagai siklus alamnya yang demikian sempurna. Ada sinar matahari yang tidak
membakar kulit, ada oksigen yang kadar dan komposisinya sangat sesuai dengan
manusia, ada air yang merupakan sumber kehidupan, ada pepohonan, ada hewan,
ada bakteri dan demikian seterusnya. Sesungguhnya hal seperti itu merupakan
tanda-tanda yang jelas mengenai Allah SWT. Bila ciptaan-Nya saja begitu indah
dan sempurna, maka apatah lagi dengan Penciptanya.? Mengenai hal ini, Allah
berfirman (QS. 3 : 190):
�اب� �ب �ل األ �ول�ي أل �ات+ آلي �ه�ار� و�الن �ل� �ي الل �ف� �ال ت و�اخ� ر�ض�� و�األ م�و�ات� الس� ل�ق� خ� ف�ي �ن� إ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.”
Kita dapat membayangkan, sekiranya dunia ini tidak diselimuti oleh atmosfer, atau
tiada pepohonan yang mengeluarkan oksigen, atau tiada penawar kotoran seperti
lautan, atau hal-hal lain yang menyeimbangkan siklus perputaran kehidupan di
dunia? Barangkali kita semua saat ini sudah punah. Belum lagi jika kita menengok
ke angkasa raya, di mana seluruh planet berserta gugusan bintang-bintang, semua
1
berjalan sesuai dengan ‘jalurnya’ masing-masing. Sehingga tiada yang saling
bertabrakan satu dengan yang lainnya. Lagi-lagi sebuah pertanyaan muncul,
siapakan yang dapat mengatur segalanya dengan sangat teliti, sempurna dan tiada
cacat? (Biarkanlah relung hati kita yang paling dalam untuk menjawabnya sendiri..)
2. Fenomena kehidupan dan kematian
Kehidupan dan kematian juga merupakan salah satu tanda kebesaran Allah SWT.
Di mana hal ini ‘memaksa’ manusia untuk berfikir keras tentang fenomena hidup
dan mati. Jika seluruh makhluk itu hidup dan kemudian mati, tentulah di sana
terdapat Dzat yang Menghidupkan dan Mematikan. Jika seseorang, Allah
kehendaki untuk mati, maka apapun yang dilakukan untuk menolongnya akan
menjadi sia-sia. Demikian juga dengan fenomena kehidupan; terkadang seseorang
yang telah terfonis ‘mati’ oleh medis, ternyata dapat dan mampu bertahan hidup
hingga beberapa tahun ke depan. Dan menyikapi hal seperti ini, manusia terpaksa
harus mengakui ‘kekerdilannya’, meskipun tekhnologi canggih telah mereka kuasai.
Namun mereka sama sekali tidak kuasa menghadapi fenomena ini. Mereka
akhirnya harus mengembalikan segala sesuatunya hanya kepada Allah. Karena
pada-Nyalah kita semua akan kembali. Mengenai hal ini Allah berfirman (QS. 2 :
28)
ج�ع�ون� �ر� ت �ه� �ي �ل إ �م� ث �م� �يك ي �ح� ي �م� ث �م� �ك �م�يت ي �م� ث �م� �اك ي ح�� ف�أ �ا م�و�ات
� أ �م� �ت �ن و�ك �ه� �الل ب ون� �ف�ر� �ك ت �ف� �ي ك
“Mengapa kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah
menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali,
kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?”
Penghalang Dalam Mengenal Allah
Meskipun demikian, manusia tetaplah manusia dengan segala sifat baik dan buruk
yang terdapat dalam dirinya. Bagi mereka yang dapat memenejemen dirinya
mengikuti sifat baiknya, maka hal ini tidak akan menjadi masalah. Namun manakala
mereka mengikuti sifat buruk dalam dirinya, tentulah hal ini dapat menjadi
penghalang dalam menempuh jalan menuju pengenalan terhadap Allah SWT.
Secara garis besar terdapat beberpa hal (yang harus kita hindari) yang
menghalangi manusia untuk mengenal Allah, diantaranya adalah:
1. Kefasikan (الفسق)
Fasik adalah orang yang senantiasa melanggar perintah dan larangan Allah,
bergelimang dengan kemaksiatan serta senantiasa berbuat kerusakan di bumi.
Sifat seperti ini akan menghalangi seseorang untuk mengenal Allah SWT. Allah
menggambarkan mengenai sikap fasik ini dalam (QS. 2 : 26 – 27):
م�ن� �ح�ق ال �ه� �ن أ �م�ون� �ع�ل ف�ي �وا آم�ن �ذ�ين� ال م�ا� ف�أ ف�و�ق�ه�ا ف�م�ا ��ع�وض�ة ب م�ا � �ال م�ث �ض�ر�ب� ي �ن� أ �ي ي �ح� ت �س� ي � ال �ه� الل �ن� إ
� �ال م�ث �ه�ذ�ا ب �ه� الل اد� ر�� أ م�اذ�ا �ون� �ق�ول ف�ي وا �ف�ر� ك �ذ�ين� ال م�ا
� و�أ 0ه�م� ب �ض�ل ر� ي و�م�ا ا ��ير �ث ك �ه� ب �ه�د�ي و�ي ا ��ير �ث ك �ه� ب �ض�ل ي
1
* �وص�ل� ي �ن� أ �ه� ب �ه� الل م�ر�� أ م�ا �ق�ط�ع�ون� و�ي �اق�ه� م�يث �ع�د� ب م�ن� �ه� الل ع�ه�د� �ق�ض�ون� �ن ي �ذ�ين� ال ق�ين� �ف�اس� ال � �ال إ �ه� ب
* ون� ر� �خ�اس� ال ه�م� �ك� �ئ �ول أ ر�ض�� األ ف�ي د�ون� �ف�س� و�ي
“Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau
yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin
bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir
mengatakan: "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?" Dengan
perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan
itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan
Allah kecuali orang-orang yang fasik. (yaitu) orang-orang yang melanggar
perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang
diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat
kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.”
2. Kesombongan (الكبر)
Kesombongan merupakan suatu sikap dimana hati seseorang ingkar dan
membantah terhadap ayat-ayat Allah, dan mereka tidak beriman kepada Allah
SWT. Allah berfirman (QS. 16 : 22):
ون� �ر� �ب �ك ت م�س� و�ه�م� ة@ �ك�ر� م�ن �ه�م� �وب ق�ل ة� �اآلخ�ر� ب �ون� �ؤ�م�ن ي � ال �ذ�ين� ف�ال و�اح�د@ �ه@ �ل إ �م� �ه�ك �ل إ
“Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka orang-orang yang tidak beriman
kepada akhirat, hati mereka mengingkari (keesaan Allah), sedangkan mereka
sendiri adalah orang-orang yang sombong.”
3. Kedzaliman (الظلم)
Sifat kedzaliman merupakan sifat seseorang yang menganiaya, baik terhadap
dirinya sendiri, terhadap orang lain, ataupun terhadap ayat-ayat Allah SWT.
Mengenai sifat ini, Allah berfirman dalam (QS. 32 : 22):
�ق�م�ون� �ت م�ن �م�ج�ر�م�ين� ال م�ن� �ا �ن إ �ه�ا ع�ن �ع�ر�ض� أ �م� ث 0ه� ب ر� �ات� �آي ب 0ر� ذ�ك م�م�ن� �م� �ظ�ل أ و�م�ن�
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan
ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami
akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.”
4. Kedustaan (الكذب)
Kedustaan merupakan sikap bohong dan pengingaran. Dalam hal ini adalah
membohongi dan mengingkari ayat-ayat Allah SWT. Allah berfirman QS. 2 : 10
�ون� �ذ�ب �ك ي �وا �ان ك �م�ا ب �يم@ �ل أ ع�ذ�اب@ �ه�م� و�ل ض�ا م�ر� �ه� الل اد�ه�م� ف�ز� م�ر�ض@ �ه�م� �وب ق�ل ف�ي
“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi
mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.”
1
5. Banyak melakukan perbuatan maksiat (dosa) ( المعاصي (كثرة
Allah berfirman (QS. 83 : 14):
�ون� ب �س� �ك ي �وا �ان ك م�ا �ه�م� �وب ق�ل ع�ل�ى ان� ر� �ل� ب � �ال ك
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu
menutup hati mereka.”
6. Kejahilan/ kebodohan (الجهل)
Allah berfirman (QS. 29 : 63) :
�ه� �ل ل �ح�م�د� ال ق�ل� �ه� الل �ن� �ق�ول �ي ل �ه�ا م�و�ت �ع�د� ب م�ن� ر�ض�� األ �ه� ب �ا ي ح�
� ف�أ �م�اء م�اء� الس� م�ن� ل� �ز� ن م�ن� �ه�م� �ت ل� أ س� �ن� �ئ و�ل
�ون� �ع�ق�ل ي � ال ه�م� �ر� �ث �ك أ �ل� ب
“Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: "Siapakah yang
menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah
matinya?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah". Katakanlah: "Segala puji bagi
Allah", tetapi kebanyakan mereka tidak memahami (nya).”
7. Keragu-raguan (اإلرتياب)
Allah berfirman dalam (QS. 22 : 55) :
+ ع�ق�يم + �و�م ي ع�ذ�اب� �ه�م� �ي ت� �أ ي و�
� أ ��ة �غ�ت ب اع�ة� الس� �ه�م� �ي ت� �أ ت �ى ح�ت �ه� م�ن �ة+ ي م�ر� ف�ي وا �ف�ر� ك �ذ�ين� ال ال� �ز� ي � و�ال
“Dan senantiasalah orang-orang kafir itu berada dalam keragu-raguan terhadap Al
Qur an, hingga datang kepada mereka saat (kematiannya) dengan tiba-tiba atau�
datang kepada mereka azab hari kiamat. Dan senantiasalah orang-orang kafir itu
berada dalam keragu-raguan terhadap Al Qur an, hingga datang kepada mereka�
saat (kematiannya) dengan tiba-tiba atau datang kepada mereka azab hari kiamat.”
8. Penyimpangan (اإلنحراف)
Allah berfirman (QS. 5 : 13):
م�م�ا ح�ظUا وا �س� و�ن م�و�اض�ع�ه� ع�ن� �م� �ل �ك ال ف�ون� �ح�ر0 ي ��ة ي ق�اس� �ه�م� �وب ق�ل �ا �ن و�ج�ع�ل �اه�م� �ع�ن ل �اق�ه�م� م�يث �ق�ض�ه�م� ن �م�ا ف�ب
�ح�ب ي �ه� الل �ن� إ و�اص�ف�ح� �ه�م� ع�ن ف�اع�ف� �ه�م� م�ن � �يال ق�ل � �ال إ �ه�م� م�ن �ة+ �ن ائ خ� ع�ل�ى �ع� �ط�ل ت ال� �ز� ت � و�ال �ه� ب وا 0ر� ذ�ك
�ين� ن �م�ح�س� ال
“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan
hati mereka keras membatu. Mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-
tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah
diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat
kekhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak berkhianat),
maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berbuat baik.”
1
9. Kelalaian (الغفلة)
Allah berfirman dalam (QS. 7 : 179):
�ه�ا ب ون� �ص�ر� �ب ي � ال �ن@ �ع�ي أ �ه�م� و�ل �ه�ا ب �ف�ق�ه�ون� ي � ال ق�ل�وب@ �ه�م� ل �س� �ن و�اإل �ج�ن0 ال م�ن� ا ��ير �ث ك �م� ه�ن �ج� ل �ا �ن أ ذ�ر� �ق�د� و�ل
�ه�م� آذ�ان@ و�ل
�ون� �غ�اف�ل ال ه�م� �ك� �ئ �ول أ �ض�ل أ ه�م� �ل� ب � �ع�ام �ن �أل �ا ك �ك� �ئ �ول أ �ه�ا ب م�ع�ون� �س� ي � ال
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin
dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk
memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka
mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat
Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka
itulah orang-orang yang lalai.”
Tauhidullah
Tauhidullah berarti mengesakan Allah SWT, dari segala apapun yang ada di
dunia ini. Dan secara garis besar, tauhid dibagi menjadi tiga bagian; pertama
Tauhid Rububiyah. Kedua; Tauhid Mulkiyah, dan Ketiga; Tauhid Uluhiyah.
1. Tauhid Rububiyah.
Dari segi bahasa, Rububiyah berasal dari kata rabba yarubbu ( - uيرب uرب) yang
memiliki beberapa arti, yaitu : ( ) ,al-Murabbi) Pemelihara/ المربي (al-Nashir/النصير
Penolong, ( الملك /al-Malik) Pemilik, ( المصلح / al-Muslih) Yang Memperbaiki, ( السيد
/al-Sayid) Tuan dan ( الولي / al-Wali) Wali.
Sifat rububiyah bagi Allah merupakan sifat Allah sebagai Maha Pencipta, Maha
Pemilik, dan Maha Pengatur seluruh alam. Dalam tauhid ini, kita diminta untuk
mengesakan Allah sebagai Pencipta yang telan mencipta segala sesuatu dari yang
paling kecil hingga yang paling besar. Hanya Allah-lah yang memberikan rizki dan
hanya Allah lah sebagai Penguasa yang menguasai seluruh alam ini.
Menurut fungsinya, tauhid rububiyah pada Dzat Allah terbagi menjadi tiga:
a) Allah sebagai Pencipta (خالقا)
Allah SWT berfirman (QS. 2 : 21-22):
�ق�ون� * �ت ت �م� �ك �ع�ل ل �م� �ك �ل ق�ب م�ن� �ذ�ين� و�ال �م� �ق�ك ل خ� �ذ�ي ال �م� �ك ب ر� �د�وا اع�ب �اس� الن ه�ا ي� �اأ ر�ض� ي
� األ �م� �ك ل ج�ع�ل� �ذ�ي ال
�ه� �ل ل �وا ع�ل �ج� ت � ف�ال �م� �ك ل ق�ا ر�ز� ات� �م�ر� الث م�ن� �ه� ب ج� �خ�ر� ف�أ �م�اء م�اء� الس� م�ن� ل� �ز� �ن و�أ ��اء �ن ب م�اء� و�الس� ا �اش ف�ر�
* �م�ون� �ع�ل ت �م� �ت �ن و�أ �د�اد�ا �ن أ
1
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang
yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah Yang menjadikan bumi sebagai
hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari
langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki
untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah,
padahal kamu mengetahui.”
b) Allah sebagai Pemberi rizki (رازقا)
Allah berfirman (QS. 51 : 57-58):
* �ط�ع�م�ون� ي �ن� أ ر�يد�� أ و�م�ا ق+ ر�ز� م�ن� �ه�م� م�ن ر�يد�
� أ * م�ا �ين� �م�ت ال �ق�و�ة� ال ذ�و اق� ز� الر� ه�و� �ه� الل �ن� إ
“Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki
supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi
rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.”
c) Allah sebagai Pemilik (مالكا)
Allah berfirman (QS. 284) :
�غ�ف�ر� ف�ي �ه� الل �ه� ب �م� �ك ب �ح�اس� ي �خ�ف�وه� ت و�� أ �م� ك �ف�س� �ن أ ف�ي م�ا �د�وا �ب ت �ن� و�إ ر�ض�
� األ ف�ي و�م�ا م�و�ات� الس� ف�ي م�ا �ه� �ل ل
�م�ن� ل
ق�د�ير@ ي�ء+ ش� �ل0 ك ع�ل�ى �ه� و�الل اء� �ش� ي م�ن� �ع�ذ0ب� و�ي اء� �ش� ي
“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan
jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu
menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu
tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan
menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu.”
Tauhid rububiyah ini merupakan landasan bagi seluruh kaum muslimin untuk
bersyukur kepada Allah SWT. Karena pada hakekatnya dalam menempuh
kehidupan dunia, mereka senantiasa bertemu dengan ciptaan Allah, dengan
pemberian rizki dari Allah dan juga menggunakan segala ‘fasilitas’ miliki Allah SWT.
Mereka tidak mungkin lari dari kenyataan ini.
2. Tauhid Mulkiyah.
Dari segi bahasa, mulkiyah berasal dari kata malika yamliku ( - يملك ,(ملك yang
artinya memiliki dan berkuasa penuh atas yang dimiliki. Sedangkan dari segi
istilahnya adalah mengesakan Allah SWT sebagai satu-satunya penguasa,
1
pemimpin, satu-satunya pembuat hukum (aturan) dan pemerintah. Tauhid mulkiyah
pada Allah meliputi
a) Allah sebagai pemimpin (وليا)
Allah berfirman (QS. 7 : 196):
�ح�ين� الص�ال �و�ل�ى �ت ي و�ه�و� �اب� �ك�ت ال ل� �ز� ن �ذ�ي ال �ه� الل 0ي� �ي و�ل �ن� إ
“Sesungguhnya pelindungku ialah Allah yang telah menurunkan Al Kitab (Al
Qur an) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh.”�
Dalam ayat lain Allah menggambarkan (QS. 18 : 50)
�ه� �خ�ذ�ون �ت �ف�ت أ 0ه� ب ر� م�ر�� أ ع�ن� ف�ف�س�ق� �ج�ن0 ال م�ن� �ان� ك �ل�يس� �ب إ u �ال إ ج�د�وا ف�س� آلد�م� اس�ج�د�وا �ة� �ك �م�آلئ �ل ل �ا �ن ق�ل �ذ� و�إ
� �د�ال ب �م�ين� �لظ�ال ل �س� �ئ ب xو�ع�د �م� �ك ل و�ه�م� �ي د�ون م�ن� �اء� �ي و�ل� أ �ه� �ت ي و�ذ�ر0
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu
kepada Adam", maka sujudlah mereka kecuali iblis. Dia adalah dari golongan jin,
maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. Patutkah kamu mengambil dia dan
turunan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah
musuhmu? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang
zalim.”
b) Allah sebagai pembuat hukum/ undang-undang (حاكما)
Allah berfirman (QS. 6 : 57):
�ه� �ل ل � �ال إ �م� �ح�ك ال �ن� إ
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. “
c) Allah sebagai pemerintah/ yang berhak memerintah (آمرا)
Allah berfirman (QS. 7 : 54)
�م�ين� �ع�ال ال ب ر� �ه� الل ك� �ار� �ب ت �م�ر� و�األ ل�ق� �خ� ال �ه� ل � �ال أ م�ر�ه�� �أ ب
“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah,
Tuhan semesta alam.”
3. Tauhid Uluhiyah.
Uluhiyah berasal dari kata Aliha ya’lihu, ( يأله - artinya menyembah. Sedangkan (أله
dari segi istilah adalah mengesakan Allah SWT dalam penyembahan/ peribadahan.
Tauhid uluhiyah pada Allah ini mencakup tiga hal:
a) Allah sebagai tujuan (غاية)
Allah berfirman (QS. 6 : 162):
�م�ين� �ع�ال ال ب0 ر� �ه� �ل ل �ي و�م�م�ات �اي� ي و�م�ح� ك�ي �س� و�ن �ي �ت ص�ال �ن� إ ق�ل�
“Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah
untuk Allah, Tuhan semesta alam.”
1
b) Allah sebagai Dzat yang kita mengabdikan diri pada-Nya (معبودا)
Allah berfirman (QS. 109: 1-6)
* ون� �اف�ر� �ك ال ه�ا ي� �اأ ي * ق�ل� �د�ون� �ع�ب ت م�ا �د� �ع�ب أ � * ال �م� * �د�ت ع�ب م�ا �د@ ع�اب �ا �ن أ � و�ال �د� �ع�ب أ م�ا �د�ون� ع�اب �م� �ت �ن أ � �م� و�ال �ت �ن أ � و�ال
* * د�ين� �ي� و�ل �م� �ك د�ين �م� �ك ل �د� �ع�ب أ م�ا �د�ون� ع�اب
“Katakanlah: "Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang
kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku
tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah
(pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan
untukkulah, agamaku".
Dengan mentauhidkan Allah melalui tiga bentuknya ini, insya Allah akan membawa
kita untuk menjadikan Allah sebagai:
1. ( مقصودا (ربا
Rab yang menjadi tujuan segala amalan dan aktivitas kita, baik yang bersifat ibadah
ataupun muamalah, bersifat individu maupun secara bersama-sama. Karena tiada
tujuan lain dalam hidup kita selain hanya Allah dan Allah.
2. ( مطاعا (ملكا
Penguasa yang senantiasa kita taati segala undang-undang dan aturan hukum
yang Allah berikan kepada kita, baik yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun yang
terdapat dalam sunnah Rasulullah SAW.
3. ( معبودا (إلها
Tuhan yang senantiasa kita sembah, di mana tiada sesembahan lain dalam hati
kita, dalam fikiran kita dan dalam jasad kita selain hanya untuk pengabdian kepada
Allah SWT.
Penutup
Dengan mengenal Allah SWT, kita akan lebih dapat untuk mendekatkan diri
kita kepada-Nya secara baik dan benar. Karena pemahaman yang baik akan
mengantarkan pada amalan yang baik. Amalan yang baik akan mengarah pada
hasil yang baik. Dan hasil yang baik, insya Allah akan mendapatkan keridhaan
Allah SWT. Semoga Allah SWT menjadikan kita semua sebagai hamba-hamba-Nya
yang benar-benar mentauhidkannya dalam segenap aspek kehidupan kita. Dan kita
berlindung kepada-Nya dari kemusyrikan-kemusyrikan, baik yang kita sadari
ataupun yang tidak kita sadari…
نعلمه ال لما ونستغفرك نعلمه شيئا بك نشرك أن من بك نعوذ إنا اللهم
1
MA’RIFATUR RASUL
الرسول معرفة
Muqadimah
Dalam setiap kehidupannya, fitrah seorang insan akan senantiasa mengakui
keberadaan suatu Dzat yang Maha segala-galanya. Namun dalam perjalanannya,
untuk memahami secara benar mengenai Dzat yang Maha segala-galanya ini
manusia tidak mungkin dapat mengetahuinya hanya dengan mengandalkan fitrah
dan akalnya saja. Manusia ‘memerlukan’ seorang penuntun yang mengantarkan
dirinya pada Allah, beserta cara untuk menyembah-Nya dengan baik dan benar.
Di sinilah, Allah SWT mengutus para rasul, guna membimbing mereka ke
jalan yang benar. Rasul yang juga meluruskan berbagai fenomena ‘kekeliruan’
dalam menyembah Allah. Di tambah lagi dengan adanya kelicikan syaitan yang
senantiasa menjerumuskan insan dalam berbagai bentuk kemusyrikan. Tanpa
seorang rasul, maka dapat dipastikan seluruh manusia akan tersesat dalam lembah
kehinaan yang sangat mencekam.
Oleh karena itulah, sangat urgen bagi kita semua untuk kembali memahami
hakekat para rasul, kedudukannya, urgensitasnya, sifat-sifatnya, tugas-tugasnya
dan yang terakahir mengenai karakteristik risalah Nabi Muhammad SAW. Karena
semua rasul adalah manusia. Semua rasul, mengajak pada satu ajaran yaitu
mengesakan Allah dengan merealisasikan ibadah hanya kepada-Nya.
Ta’rif Rasul.
Dari segi bahasa, rasul berasal dari kata ‘rasala’ yang berarti mengutus.
Sedangkar rasul, adalah bentuk infinitif (baca; masdar) dari kata ‘rasala’ ini berarti
utusan, atau seseorang yang diutus. Adapun dari segi istilahnya rasul adalah:
�اس� الن �ل�ى إ �ة� ال س� �الر0 ب الله� م�ن� س�ل� �م�ر� ال �م�ص�ط�ف�ي ال ج�ل� الر�
1
Seorang laki-laki yang dililih dan diutus Allah SWT dengan membawa risalah
kepada umat manusia.
Rasul merupakan seorang pilihan diantara sekian banyak manusia yang berada di
muka bumi. Ia adalah manusia yang mulia dan terbaik, karena akan mengemban
sebuah amanah yang tidak ringan, yaitu menunjukkan jalan Allah kepada umat
manusia. Oleh karena itulah, sejak kecil, seorang rasul sudah terlihat dengan
memiliki ciri-ciri khusus yang tidak dimiliki oleh orang lain. Karena ia akan
membawa amanah yang tidak ringan. Secara garis besar, amanah yang
diembankan kepada rasul adalah:
1. ( الرسالة Membawa dan menyampaikan risalah (al-Islam) (حامل
Mengenai hal ini, Allah berfirman (QS. 5 : 67):
م�ن� �ع�ص�م�ك� ي �ه� و�الل �ه� �ت ال ر�س� �غ�ت� �ل ب ف�م�ا �ف�ع�ل� ت �م� ل �ن� و�إ 0ك� ب ر� م�ن� �ك� �ي �ل إ �ز�ل� �ن أ م�ا 0غ� �ل ب س�ول� الر� ه�ا ي� �اأ ي
�اف�ر�ين� �ك ال �ق�و�م� ال �ه�د�ي ي � ال �ه� الل �ن� إ �اس� الن
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika
tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan
amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”
2. ( الرسالة تطبيق في menjadi (قدوة qudwah (baca; tauladan) bagi umat manusia
dalam mengaplikasikan risalah yang dibawanya. Karena manusia tidak akan
mungkin dapat melaksanakan apa yang diperintahkan Al-Qur’an jika tidak dengan
contoh dan tauladan dari Rasulullah SAW. Demikian juga para nabi-nabi yang lain,
mereka memiliki tugas untuk menjadi qudwah dalam mengaplikasikan risalah. Allah
SWT berfirman (QS. 33 : 21) :
ا ��ير �ث ك �ه� الل �ر� و�ذ�ك اآلخ�ر� �و�م� �ي و�ال �ه� الل ج�و �ر� ي �ان� ك �م�ن� ل �ة@ ن ح�س� و�ة@ س�� أ �ه� الل س�ول� ر� ف�ي �م� �ك ل �ان� ك �ق�د� ل
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan dia banyak menyebut Allah.”
Mengenai nabi yang lain, Allah mencontohkan dalam Al-Qur’an (QS. 60 :4)
�د�ون� �ع�ب ت و�م�م�ا �م� �ك م�ن آء� �ر� ب �ا �ن إ �ق�و�م�ه�م� ل �وا ق�ال �ذ� إ م�ع�ه� �ذ�ين� و�ال اه�يم� �ر� �ب إ ف�ي �ة@ ن ح�س� و�ة@ س�� أ �م� �ك ل �ت� �ان ك ق�د�
�ه� الل د�ون� م�ن�
و�ح�د�ه� �ه� �الل ب �وا �ؤ�م�ن ت �ى ح�ت �د�ا �ب أ �غ�ض�اء� �ب و�ال �ع�د�او�ة� ال �م� �ك �ن �ي و�ب �ا �ن �ن �ي ب �د�ا و�ب �م� �ك ب �ا ن �ف�ر� ك
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-
orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka:
"Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah
selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu
1
permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada
Allah saja.”
Kemudian sebagai seorang muslim, kita perlu tahu secara jelas mengenai rasul
beserta ciri-cirinya. Diantara ciri-ciri rasul adalah sebagai berikut:
1. ( األساسية .Memiliki sifat-sifat asasiyah (الصفات
Sifat asasiyah ini terdiri dari sidiq, amanah, tabligh dan fathanah. Sifat ini harus
dimiliki oleh setiap rasul yang mengemban atau membawa risalah dari Allah SWT.
.Memiliki mu’jizat (المعجزات) .2
Salah satu contohnya adalah mu’jizat Rasulullah SAW ketika membelah bulan.
Allah berfirman dalam (QS. 54 : 1 - 2):
* xم�ر� ت م�س� ح�ر@ س� �وا �ق�ول و�ي �ع�ر�ض�وا ي ��ة آي و�ا �ر� ي �ن� و�إ �ق�م�ر� ال ق� �ش� و�ان اع�ة� الس� �ت� ب �ر� *اق�ت
“Telah dekat (datangnya) saat itu dan telah terbelah bulan. Dan jika mereka (orang-
orang musyrikin) melihat sesuatu tanda (mu`jizat), mereka berpaling dan berkata:
"(Ini adalah) sihir yang terus menerus".
.Berita kedatangannya (البشارات) .3
Dalam al-Qur’an Allah mengatakan (QS. 61 : 6):
اة� �و�ر� الت م�ن� �د�ي� ي �ن� �ي ب �م�ا ل م�ص�د0ق�ا �م� �ك �ي �ل إ �ه� الل س�ول� ر� 0ي �ن إ �يل� ائ ر� �س� إ �ي �ن �اب ي �م� ي م�ر� �ن� اب ع�يس�ى ق�ال� �ذ� و�إ
�ين@ م�ب س�ح�ر@ ه�ذ�ا �وا ق�ال �ات� 0ن �ي �ب �ال ب ج�اء�ه�م� �م�ا ف�ل �ح�م�د� أ م�ه� اس� �ع�د�ي ب م�ن� �ي �ت �أ ي س�ول+ �ر� ب ا �ر �ش0 و�م�ب
“Dan (ingatlah) ketika Isa Putra Maryam berkata: "Hai Bani Israil, sesungguhnya
aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku,
yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang
akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)" Maka tatkala rasul
itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka
berkata: "Ini adalah sihir yang nyata".
.Berita kenabian (النبوات) .4
Setiap rasul senantiasa membawa perintah Allah untuk mengajak umatnya ke jalan
yang baik. Perihal kerasulan merekapun Allah beritahukan. Dalam al-Qur’an Allah
berfirman (QS. 7 : 158)
�ح�ي�ي ي ه�و� � �ال إ �ه� �ل إ � ال ر�ض�� و�األ م�و�ات� الس� م�ل�ك� �ه� ل �ذ�ي ال ج�م�يع�ا �م� �ك �ي �ل إ �ه� الل س�ول� ر� 0ي �ن إ �اس� الن ه�ا ي
� �اأ ي ق�ل�
�ه� �الل ب �وا ف�آم�ن �م�يت� و�ي
�د�ون� �ه�ت ت �م� �ك �ع�ل ل �ع�وه� �ب و�ات �ه� �م�ات �ل و�ك �ه� �الل ب �ؤ�م�ن� ي �ذ�ي ال �م0ي0 األ �ي0 �ب الن �ه� ول س� و�ر�
“Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu
semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan
1
(yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka
berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul Nya, Nabi yang ummi yang beriman
kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia,
supaya kamu mendapat petunjuk".
.Adanya hasil dari da’wah yang dilakukannya (الثمرات) .5
Hal ini dapat kita lihat, pada hasil da’wah Rasulullah SAW yang dari segi kualitas,
mereka memiliki keimanan yang sangat kokoh, tidak tergoyahkan oleh apapun juga.
Kemudian dari segi kuantitas, jumlah mereka demikian banyaknya, tersebar
kesluruh pelosok jazirah Arab, bahkan melewati jazirah Arab. Allah SWT berfirman
(QS. 48 : 29):
� ف�ض�ال �غ�ون� �ت �ب ي س�ج�د�ا �ع�ا ك ر� اه�م� �ر� ت �ه�م� �ن �ي ب ح�م�اء� ر� �ف�ار� �ك ال ع�ل�ى د�اء� �ش� أ م�ع�ه� �ذ�ين� و�ال �ه� الل س�ول� ر� م�ح�م�د@
�ا و�ر�ض�و�ان �ه� الل م�ن�
ج� �خ�ر� أ ع+ ر� �ز� ك �ج�يل� �ن اإل ف�ي �ه�م� �ل و�م�ث اة� �و�ر� الت ف�ي �ه�م� �ل م�ث �ك� ذ�ل الس ج�ود� �ر� �ث أ م�ن� و�ج�وه�ه�م� ف�ي يم�اه�م� س�
�ه� الل و�ع�د� �ف�ار� �ك ال �ه�م� ب �غ�يظ� �ي ل اع� ر� الز �ع�ج�ب� ي وق�ه� س� ع�ل�ى �و�ى ت ف�اس� �غ�ل�ظ� ت ف�اس� ه� ر� ف�آز� ه�� ط�أ ش�
�ذ�ين� ع�ظ�يم�ا ال ا ��ج�ر و�أ �ة م�غ�ف�ر� �ه�م� م�ن �ح�ات� الص�ال �وا و�ع�م�ل �وا آم�ن
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia
adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka,
kamu lihat mereka ruku` dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya,
tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah
sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti
tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat
lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu
menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan
hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu min). Allah menjanjikan�
kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara
mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Kedudukan Rasul.
Sebagai manusia, seorang rasul juga memiliki ciri dan sifat yang sama
dengan manusia lain pada umumnya. Rasulullah SAW juga demikian, beliau
memiliki fisik yang sama sebagaimana sahabatnya, beliau juga memiliki nasab.
Hanya beliau mendapatkan wahyu yang tentunya tidak didapatkan oleh orang lain,
dan beliau memiliki kewajiban untuk menyampaikan risalah tersebut kepada
seluruh umat manusia. Berikut adalah beberapa penjelasan mengenai kedudukan
Rasulullah SAW:
1. ( الله عباد من (عبد
1
Seorang rasul, ia merupakan seorang hamba diatara hamba-hamba Allah lainnya.
Rasulullah SAW merupakan seroang hamba Allah sebagaimana yang lainnya.
Beliau juga beraktivitas sebagaimana mereka beraktivitas. Beliau makan, minum,
pergi ke pasar, beristri dan lain sebagainya. Beliau juga merasakan sesuatu yang
kita rasakan, baik rasa suka ataupun rasa duka. Beliau juga mengalami sakit dan
penderitaan sebagaimana kita mengalaminya. Bahkan penderitaan yang beliau
rasakan, jauh lebih besar daripada penderitaan kita. Oleh karena itulah,
sesungguhnya hal-hal yang beliau lakukan, juga dapat kita lakukan. Karena kita
sama-sama manusia. Dan sesungguhnya tidak ada alasan bagi kita untuk
mengerjakan perintah Rasul karena Allah telah mengutus rasul itu dari kalangan
mereka sendiri yang sangat dekat dengan kehidupan mereka. Hanya yang
membedakannya adalah bahwa beliau mendapatkan wahyu dari Allah SWT. Allah
berfirman (QS. 18 : 110)
� ع�م�ال �ع�م�ل� �ي ف�ل 0ه� ب ر� �ق�اء� ل ج�وا �ر� ي �ان� ك ف�م�ن� و�اح�د@ �ه@ �ل إ �م� �ه�ك �ل إ �م�ا �ن أ �ي� �ل إ �وح�ى ي �م� �ك �ل م�ث ر@ �ش� ب �ا �ن أ �م�ا �ن إ ق�ل�
ا ��ح ص�ال
�ح�د�ا أ 0ه� ب ر� �اد�ة� �ع�ب ب ر�ك� �ش� ي � و�ال
Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang
diwah
Tetap update tulisan dari iman muslim18 di manapun dengan
http://m.cybermq.com dari browser ponsel anda!
Mengenal Sang Pencipta Melalui Asma dan Sifat-SifatNya
Penulis : Sylvia Nurhadi
“Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang
Mengetahui yang ghaib dan yang nyata (Al-‘Aalimul Ghoib wa Syahaadah) , Dia-lah
Yang Maha Pemurah (Ar-Rahmaan) lagi Maha Penyayang (Ar-Rahiim). Dia-lah
Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Raja (Al-Maalik), Yang
Mahasuci (Al-Quddus), Yang Mahasejahtera (As-Salam), Yang Mengaruniakan
Keamanan (Al-Mu’min), Yang Maha Memelihara (Al-Muhaimin), Yang Mahaperkasa
(Al-Azis), Yang Mahakuasa (Al-Jabbaar), Yang Memiliki Segala Keagungan (Al-
Mutakabbir), Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dia-lah Allah
Yang Menciptakan (Al-Khaaliq), Yang Mengadakan (Al-Baari’), Yang Membentuk
Rupa (Al-Mushawwir), Yang Mempunyai Nama-Nama Yang Paling Baik. Bertasbih
kepadaNya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah Yang Mahaperkasa lagi
Mahabijaksana." (QS. Al-Hasyr [59] : 22-24).
Ilmu Pengetahuan dan Sains menyatakan bahwa cahaya Matahari adalah sumber
1
kehidupan bagi manusia, binatang dan tumbuhan yang ada di dunia ini. Tanpanya,
berbagai bakteri dan virus akan bebas menyerang dan mengancam kehidupan.
Tidak ada keraguan di dalamnya, setiap orang mengetahui dan meyakini hal
tersebut. Cahaya matahari ini dipancarkan setiap hari dimulai sejak terbitnya hingga
terbenamnya. Di pagi dan siang hari inilah manusia dan segala hewan serta
tumbuhan memanfaatkan keberadaan matahari dan sinarnya secara maksimal.
Tumbuhan memanfaatkan cahaya matahari agar terjadi proses pembentukan hijau
daun yang berfungsi sebagai dapur umumnya. Demikian pula manusia. Pada waktu
itu manusia tidak hanya pergi bekerja mencari nafkah. Namun yang terpenting,
manusia tanpa disadari sesungguhnya sedang menyempurnakan proses
perkembangan hidupnya. Pada saat itu dengan bantuan cahaya matahari, sel-sel
manusia atas izinNya bekerja menyempurnakan perkembangan tubuhnya, tulang,
dan sendi adalah di antaranya. Betapa banyak penyakit yang disebabkan oleh
kekurangan cahaya matahari.
Sebaliknya, terus menerus di bawah sorotan cahaya matahari yang terik juga
berbahaya bagi kesehatan. Cahaya matahari dapat dihindari, dapat terhalang dan
dihalangi oleh sesuatu. Ketika matahari sedang terik-teriknya, kita bisa
menggunakan bantuan payung atau topi untuk melindungi diri kita. Cahaya
matahari juga bisa terhalang oleh bangunan-bangunan tinggi di kota ataupun
terhalang oleh gunung-gunung. Bahkan di kutub, terutama kutub selatan, orang
jarang sekali menerima cahaya matahari.
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah,
adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar.
Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya)
seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak
berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan
tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi,
walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah
membimbing kepada cahayaNya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat
perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu." (QS. An-Nuur [24] : 35).
Namun tidak demikian dengan cahaya Allah. Cahaya Allah berlapis-lapis dan kekal.
Cahaya ini menembus hingga ke segenap penjuru dan sudut jagat raya. Bumi,
bulan, bintang, langit, dan seluruh galaksi yang jumlahnya diperkirakan mencapai
milyaran ini semuanya menerima cahaya Allah. Sebaliknya, benda-benda kecil
1
yang tersembunyi seperti semut hitam yang bersembunyi di balik batu hitam di
dalam gua di hutan rimba belantara ketika malam gelap gulita pun dapat
ditembusnya. Demikian pula hati manusia. Oleh sebab itulah Allah mengetahui apa
yang berada di balik hati manusia dan apa yang dibisikkannya. Itulah Allah SWT,
Yang Maha Mengetahui, Yang Maha Mendengar, Yang Maha Menyaksikan, Yang
Mahatinggi.
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang
mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di
lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya
(pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu
yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh
Mahfuzh)." (QS. Al-An’am [6] : 59).
Di bawah kekuatan Mahadahsyat inilah diatur dan ditataNya seluruh jagat raya ini
hingga sedemikian rupa. Semua benda-benda ini tunduk patuh terhadap
kemauanNya. Semua bertasbih dengan caranya masing-masing. Inilah kerajaan
Allah, Yang Mahacerdas, Yang Mahaagung, Yang Mahamulia, Yang Maha
Memiliki, Yang Maha Mengatur, Yang Maha Pemelihara, Yang Ghaib, Yang
Mahabenar.
”Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah.
Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memujiNya, tetapi kamu
sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun
lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Isra’ [17] : 44).
Cahaya Allah ini begitu sempurna dan indah. Namun sebagaimana sifat cahaya
yang menyilaukan, bila cahaya matahari saja manusia tak sanggup menatapnya,
apalagi menatap Sang Maha Pemilik Cahaya. Inilah yang terjadi terhadap Nabi
Musa AS ketika ia memohon Allah SWT agar diizinkan menatapNya.
Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah
Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa,
"Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat
kepada Engkau." Tuhan berfirman, "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihatKu, tapi
lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya
kamu dapat melihatKu." Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu,
dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah
Musa sadar kembali, dia berkata, "Mahasuci Engkau, aku bertaubat kepada
1
Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman." (QS. Al-‘Araaf [7] : 143).
Allah, Dia-lah Yang Maha Bercahaya, Yang Mahaindah, Sang Pemancar Kasih
Sayang, Sang Pembawa Kebaikan, Yang Mahasabar, Yang Memberi Rezeki, Yang
Maha Menentukan. Allah, Dia-lah yang menunjuki manusia cahaya kepada jalan
yang lurus, jalan yang benar. Sesungguhnya mengenal dan menyembah hanya
kepadaNya adalah fitrah manusia, namun bila hati manusia kotor, maka cahayaNya
tidak menampakkan diri, tertutup oleh kotoran yang menyelimutinya. Namun bila
manusia mau bertobat dan membersihkan diri, maka Dia akan mengampuni dan
memaafkannya. Allah, Dia-lah Yang Maha Pengampun, Yang Maha Pemaaf, Yang
Maha Memberi Petunjuk, Yang Maha Pemberi Taubat.
Katakanlah, "Dia-lah Allah, Yang Mahaesa, Allah adalah Tuhan yang bergantung
kepadaNya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan dan
tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia." (QS. Al-Ikhlas [112] : 1-4).
Tiada kecintaan yang lebih dalam, lebih murni, dan lebih suci daripada kecintaan
terhadap Sang Maha Pencipta, Allah SWT. Bukan hanya karena Dia telah
memberikan segalanya kepada mahlukNya, namun terlebih karena Dia-lah kita
menjadi ada. Dia yang memberi kehidupan, hingga dengan demikian, kita pun
berkesempatan mengenalNya. Dia yang membuat kita mengenal dan mengetahui
arti sebuah kehidupan, Dia yang mengajari segala kebaikan, kelembutan, dan kasih
sayang. Dia yang mengajari arti sebuah kesabaran sekaligus ketegasan serta
kedisiplinan. Dia yang tidak pernah bosan merahmati mahluknya, membimbing
serta menunjuki jalan yang benar, jalan yang lurus.
Rasulullah bersabda bahwa kenikmatan tertinggi di surga adalah kenikmatan
memandang Wajah Allah Azza wa Jalla, Sang Maha Pencipta, Sang Raja Dari
Segala Raja. Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah pernah ditanya seseorang,
“Wahai Rasulullah, apakah kita bisa memandang Rabb?” Beliau menjawab,
“Apakah ada yang menghalangi pandangan kalian terhadap rembulan pada malam
purnama, ketika tidak terhalang awan?” Orang itu menjawab, “Tidak.” Beliau
bersabda, “Begitu pula kalian memandangNya pada hari Kiamat.”
Dia yang dengan setia setiap waktu dan senantiasa mau menyediakan waktuNya
untuk mendengar keluh kesah apa pun dan dalam keadaan bagaimana pun
hambaNya yang datang mengadu. Dan Dia yang selalu siap memberikan maafNya
betapa pun besar kesalahan dan kotornya jiwa ini. Dia Yang Memiliki 99 nama yang
disebut dan sejumlah nama yang tersembunyi. Hanya kepadaMu-lah semua
1
mahluk kembali. Maka kembalikanlah kami kelak ke tempat kembali yang mulia, di
sisiMu Ya Allah, di sisi kekasihMu Muhammad SAW, di sisi para Rasul, di sisi para
hambaMu yang taqwa, Yang MemuliakanMu, Yang MengagungkanMu. Ya Allah,
kabulkanlah permohonan kami ini, Amin Ya Rabbal ’Alamin.
Sabda Rasulullah, “Allah SWT memiliki sembilan puluh sembilan nama – seratus
kurang satu – tidaklah menghafalnya kecuali akan dimasukkan ke dalam surga,
Allah itu ganjil (tunggal) dan menyukai yang ganjil.” (HR. Bukhari – Muslim).
Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang banyak kesedihan atau gundah gulana
lalu berdo’a : “Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hambaMu, anak hambaMu,
ubun-ubunku ada pada tanganMu, keputusanMu berlaku atasku, ketentuanMu adil
untukku, aku memohon kepadaMu dengan semua namaMu yang engkau namakan
kepadaMu atau yang telah engkau ajarkan kepada seseorang dari mahlukMu atau
yang telah Engkau turunkan di dalam kitabMu atau nama yang Engkau rahasiakan
di dalam ilmu ghaibMu, jadikanlah Al-Qur'an sebagai pelipur lara hatiku dan cahaya
dadaku dan penghapus kesedihan dan kerisauanku," maka pastilah Allah SWT
akan menghilangkan kegalauan dan kesedihannya dan diberikannya jalan keluar."
(HR. Ahmad).
Wallahu a'lam bishshawab.
Mengenal Allah (Part #2)
27 02 2010
الرحيم الرحمن الله بسم
Penulis: Ummu Ziyad F. Mustikawati
Muraja’ah: Ust. Aris Munandar
Tauhid asma dan sifat adalah pengakuan seorang hamba tentang nama-nama
Allah yang telah Allah tetapkan bagi diri-Nya dalam kitab-Nya ataupun sunnah
Nabi-Nya tanpa melakukan empat hal berikut:
1. Penyimpangan (tahrif),yaitu merubah atau mengganti makna dari apa yang telah
Allah tetapkan untuk diri-Nya dan yang ditetapkan oleh Rasul-Nya.
Misalnya:
Sifat marah Allah diganti maknanya menjadi keinginan untuk menghukum, sifat
istiwa Allah diselewengkan menjadi istaula (menguasai).
2.Penolakan (ta’thil), yYaitu meniadakan nama dan sifat yang telah Allah tetapkan,
baik sebagiannya ataupun seluruhnya. Misalnya membatasi sifat Allah hanya
1
bebeberapa sifat saja dan menolak sifat lainnya karena (mereka katakan) akan
menyerupakan Allah dengan makhluk. Padahal penetapan sifat Allah tidak berarti
menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.
3.Membahas bagaimana bentuk nama dan sifat Allah (takyif), yaitu membatasi
bagaimanakah sifat dan nama yang dimiliki oleh Allah. Padahal hal ini tidak
mungkin. Untuk mengetahui bentuk dan hakekat dari sebuah sifat, dapat diketahui
dari tiga hal:
1. Melihat zat tersebut. Dan ini tidak mungkin kita lakukan karena manusia di
dunia tidak ada yang pernah melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
2. Ada sesuatu yang semisal zat tersebut. Dan ini juga tidak mungkin kita
lakukan kepada Allah karena Allah tidak serupa dengan makhluknya.
3. Ada berita yang akurat (khobar shodiq). Orang yang paling tahu tentang
Allah adalah Rasul-Nya, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
pernah memberitakan tentang bentuk sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
4. Menyamakan Allah dengan makhluk-Nya.
Inipun tidak mungkin karena Allah tidak serupa dengan hamba-Nya, akan tetapi
Allah tetap memiliki nama dan sifat sebagaimana yang ditetapkan oleh-Nya dalam
kitab-Nya dan sunnah Nabi-Nya.
�ص�ير� الب م�يع� الس� و�ه�و� ي�ء@ ش� �ه� �ل �م�ث ك �س� �ي ل
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha
Mendengar dan Melihat.” (Qs. Asy-Syuura: 11)
Agar kita tidak terjatuh dalam empat penyimpangan besar dalam tauhid nama dan
sifat Allah ini, maka terdapat kaidah umum yang ditetapkan oleh para ulama, yaitu
sebagai berikut:
1.Mengimani segala nama dan sifat-sifat Allah yang terdapat dalam al-Qur’an
dan sunnah (hadits-hadits shahih).
Artinya, kita tidak membedakan dalam mengimani segala ayat yang ada dalam Al-
Qur’an, baik itu mengenai hukum, sifat-sifat Allah, berita, ancaman dan lain
sebagainya. Sehingga tidaklah tepat jika seseorang kemudian hanya mengimani
ayat-ayat hukum karena dapat dicerna oleh akal sedangkan mengenai nama dan
sifat Allah, harus diselewengkan maknanya karena tidak sesuai dengan jangkauan
akal mereka.
“… Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar
terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat
demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari
kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah
dari apa yang kamu perbuat.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 85)
1
Begitupula dalam mengimani hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Hendaknya kita tidak membedakan apakah itu hadits mutawatir
ataupun hadits ahad, karena jika itu shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam maka ia wajib diimani walaupun akal kita tidak dapat memahaminya. (Lihat
artikel Tasirul Mustholah Hadits, bagaian 2 dan 3).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Segera saja ada seorang yang duduk di atas sofanya lalu disampaikan kepadanya
sebuah hadits dariku baik sesuatu yang aku perintahkan atau sesuatu yang aku
larang maka ia berkata, ‘Kami tidak tahu, kami hanya mengikuti apa yang kami
dapatkan dalam kitab Allah.’” (HR. AbuDawud dan at-Tirmidsi, dishahihkan oleh
syaikh al-Albani).
Al-Ustadz Ali Misri mengatakan, “Sebagian ulama memberikan perumpamaan akal
dengan wahyu bagaikan mata dengan cahaya. Sebagaimana mata tidak dapat
melihat sesuatu kecuali ketika ada cahaya – baik cahaya matahari pada siang hari
atau cahaya lampu pada malam hari -, akal tidak akan bisa menentukan sesuatu
terutama dalam hal yang ghaib kecuali jika ada penjelasan dari wahyu.” (majalah
Al-Furqon)
2.Menyucikan Allah dari menyerupai makhluk dalam segala sifat-sifat-Nya.
Ketika kita mengakui segala nama dan sifat yang Allah tetapkan, seperti Allah maha
melihat, Allah tertawa, betis Allah, tangan Allah, maka kita tidak diperbolehkan
menerupakan sifat-sifat tersebut dengan sifat makhluk.
Sayangnya, hal inilah yang sering terjadi pada sekelompok orang, dan hal ini
pulalah yang memicu penyimpangan yang terjadi pada tauhid asma wa shifat.
Kesalahan yang berbuah kesalahan. Contohnya sebagai berikut:
Seseorang tidak ingin menyerupakan sifat Allah dengan makhluk sehingga ia
menyimpangkan (tahrif) sifat-sifat yang Allah tetapkan bagi diri-Nya karena
menganggap jika ia menetapkan sifat tersebut maka ia akan menyerupakan Allah
dengan makhluk. Padahal tidak demikian. Allah sendiri menyatakan dalam firman-
Nya,
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, dan ia Maha Mendengar lagi
Maha Melihat.”
Hal ini disebabkan kesamaan dalam nama tidak berarti kesamaan dalam bentuk
dan sifat. Contohnya adalah kaki gajah dan semut. Mereka sama-sama memiliki
kaki, namun bentuk dan hakekat kaki tersebut tetaplah berbeda.
Atau seseorang tidak ingin menyerupakan Allah dengan makhluk karena khawatir
akan menghinakan Allah sehingga ia menolak segala nama dan sifat yang Allah
tetapkan baik sebagian atau seluruhnya. Contohnya adalah orang-orang yang
1
menyatakan nama-nama Allah hanya ada 13. Padahal apa yang mereka lakukan
justru menghinakan Allah karena penetapan mereka memiliki konsekuensi Allah
memiliki sifat-sifat yang terbatas.
3. Menutup keinginan untuk mengetahui bentuk hakikat sifat-sifat Allah
tersebut.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa salah satu bentuk
penyimpangan dalam tauhid asma wa shifat adalah menanyakan bagaimana
bentuk dan hakekat sifat-sifat Allah. Dan hal ini tidak mungkin dapat kita ketahui
karena Allah dan Rasul-Nya tidak menjelaskan hal tersebut. Sebagai contoh,
seseorang tidak dapat menanyakan kaifiyat (bagaimananya) sifat tertawa Allah,
atau bentuk tangan Allah, atau bagaimanakah wajah Allah.
Yang perlu kita imani adalah Allah memiliki sifat yang bermacam-macam dan Allah
maha sempurna dengan segala sifat yang dimiliki-Nya.Dan untuk mengimani
sesuatu tidaklah mengharuskan kita harus mengetahui hakikat zat tersebut.
Sebagai contoh, kita meyakini adanya roh (nyawa) walaupun kita tidak pernah
mengetahi bentuk dan hakekat dari roh tersebut. Padahal roh adalah sesuatu yang
sangat dekat dengan manusia namun akal kita tidak pernah mampu mengetahui
bentuk dan hakekatnya.
Termasuk larangan dalam hal ini adalah membayangkan bagaimana bentuk dan
hakikat sifat Allah, karena akan membuka pada penyimpangan lainnya, yaitu
penyerupaan dengan makhluk. Yang perlu diluruskan adalah, larangan untuk
mengetahui bentuk dan hakekat dari sifat-sifat Allah bukan berarti
meniadakan adanya bentuk dan hakekat dari sifat-sifat Allah. Hakekat sifat
Allah tetaplah ada dan hanya Allah-lah yang mengetahuinya.
Sekarang kita praktekkan ilmu yang kita telah pelajari dalam memahami salah satu
hadits tentang salah satu sifat Allah, yaitu Allah turun ke langit dunia setiap malam,
sebagaimana terdapat dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala turun pada setiap malam ke langit dunia, ketika
masih tersisa sepertiga malam terakhir. Dia berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepada-
Ku, niscaya Aku mengabulkannya, siapa yang memohon kepada-Ku, niscaya Aku
memberinya, siapa yang meminta ampun kepada-Ku, niscaya Aku
mengampuninya.’” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sesuai kaidah, maka kita tetapkan sifat turun pada Allah Ta’ala.Kita tidak
menyerupakan sifat turun ini dengan makhluk (dimana sifat turun pada makhluk
adalah dari atas ke bawah dan memiliki sifat kurang (naqish)) dan juga kita tidak
menanyakan atau membayangkan bagaimana Allah turun ke langit dunia setiap
malam (seperti banyak orang menakwilkan (tepatnya menyelewengkan) hadits ini
karena menganggap tidak mungkin bagi Allah turun ke langit dunia setiap malam
1
karena dunia ada yang malam dan ada yang siang, lalu bagaimana Allah turun atau
pertanyaan-pertanyaan lainnya yang memustahilkan sesuatu bagi Allah karena
berpikir dengan logika makhluk). Allah sempurna dengan segala sifatnya dan tidak
memiliki sifat kurang dalam seluruh sifat tersebut. Jika kita tidak mampu memahami
ini, maka cukuplah bagi kita mengimaninya bahwa sifat turun ini ada pada Allah.
Contoh lainnya adalah mengimani sifat al-wajhu (wajah), al-yadain (dua tangan)
dan al-’ainain (dua mata), sebagaimana Allah tetapkan bagi diri-Nya dalam Al-
Qur’an
� ام �ر� �ك و�اإل� ل� �ج�ال� ال ذ�و 0ك� ب ر� و�ج�ه� �ق�ى �ب و�ي
“Dan tetap kekal wajah Rabb-Mu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Qs.
Ar-Rahman: 27)
�ق�وم� ت ح�ين� 0ك� ب ر� �ح�م�د� ب 0ح� ب و�س� �ا �ن �ن ع�ي� �أ ب �ك� �ن ف�إ 0ك� ب ر� � �م �ح�ك ل �ر� و�اص�ب
“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Rabb-mu, sesungguhnya kamu
berada dalam penglihatan mata Kami.” (Qs. Ath-Thur: 48)
�ين� �ع�ال ال م�ن� �نت� ك �م� أ ت� �ر� �ب �ك ت س�� أ �د�ي� �ي ب �ق�ت� ل خ� �م�ا ل ج�د� �س� ت �ن أ �ع�ك� م�ن م�ا �ل�يس� �ب إ �ا ي ق�ال�
“Apakah yang menghalangi kamu sujud kepada (Adam) yang telah Ku-ciptakan
dengan kedua tangan-Ku.” (Qs. Shad: 75)
Dari apa yang telah Allah kabarkan untuk diri-Nya ini, maka sesuai kaidah, kita
mengimani (menetapkan) sifat tersebut bagi Allah, dan tidak menyerupakan sifat-
sifat tersebut dengan makhluk, serta tidak menanyakan bagaimana bentuk atau
penggunaan dari sifat-sifat Allah tersebut, misalnya mempertanyakan bagaimana
wajah Allah, atau membayangkan mata Allah seperti manusia atau membayangkan
bagaimana Allah menggunakan kedua tangannya.
Demikian ’sedikit’ pengetahuan tentang Allah dengan nama dan sifat-Nya.
Pembahasan ini sungguh sangat luas sehingga tidak dapat dicukupkan dengan
satu artikel ini. Semoga Allah memudahkan untuk mewujudkan ilmu tentang ini
pada artikel-artikel selanjutnya, insya Allah.
Mengenal Allah Sebagai TUAN bukan TUHAN
Mengenal Allah adalah jalan utama menuju keselamatan sacara rasional. Inilah
cara mengabdi yang benar, yaitu kenali dulu Allah. Bagimana mungkin kita dapat
mengabdi kepada sesuatu yang tidak kita kenal? Bagaimana mungkin seorang
hamba dapat mengabdi kepada tuannya kalau dia tidak mengetahui karakter atau
sifat tuannya, tidak mengenali apa yang disenangi dan dibenci oleh tuannya.
Bagaimana mungkin seorang hamba akan diterima pengabdiannya oleh tuan yang
dia tidak kenal?
1
Seorang budak yang mengabdi kepada tuan yang tidak dikenalnya, maka seluruh
perbuatannya pasti akan ditolak dan pasti akan bertentangan dengan kehendak
tuannya. Sebab pemikiran seorang budak tidak akan sama dengan pemikiran
seorang tuan, ilmu seorang budak tidak akan sama dengan ilmu seorang tuan,
demikian pula selera budak tidak akan sama dengan selera seorang tuan. Tatkala
seorang budak mengabdi berdasarkan pikiran dan ukuran-ukuran pribadinya, maka
pasti seluruh pengabdiannya akan ditolak, dan dia akan terkena murka dari
tuannya.
Secara rasional dalam kehidupan sehari hari pasti demikian, dan tidak ada orang
yang akan menyanggah pendapat ini. Ini adalah jalan utama agar pengabdiannya
bisa diterima oleh tuannya. Maka mengertilah kita mengapa yang pertama-tama
diajarkan oleh Allah kepada para nabi dan rasul Nya adalah pengenalan tentang
sifat-sifat Nya, sebagai langkah awal dalam melaksanakan pangabdiannya itu.
Manusia tidak bisa hidup dengan dua tuan. Kalau mengabdi kepada dua tuan,
maka tatkala kita mengabdi kepada salah satu tuan, maka tuan yang lain akan
menjadi cemburu, iri-hati. Ini merupakan esensi iman yang tidak bisa ditawar-tawar,
bahwa manusia tidak bisa mengabdi kepada dua tuan.
Sengaja kita menggunakan kata-kata “tuan” karena asal kata “tuhan” sebenarnya
berasal dari kata-kata “tuan” (bahasa Melayu). Kata-kata “tuhan” dimunculkan pada
tahun 1668 M, oleh salah seorang pendeta Belanda, ketika mereka menjajah bumi
nusantara. Kata-kata “tuhan” mereka adopsi dari kata-kata “tuan” dari bahasa
Melayu yang memiliki makna “sesuatu yang ditaati, sesuatu yang dihormati”. Kata
“tuan” itu penuh dengan muatan spirit (energi). Sedangkan kata-kata “tuhan” tidak
memiliki makna spirit (ruh) pengabdian.
Kita lihat sejarah Bani Isr ael contohnya. Bani Isr ail adalah bangsa budak, tatkala
mereka mengetahui akan dirinya, maka dia tidak mau diperbudak, karena
esensinya dia adalah budak Allah, tidak boleh ada yang berhak menjadi tuan dalam
dirinya kecuali Allah. Tatkala Bani Israel, mengetahui dirinya bahwa esensinya dia
adalah budak Allah, yang di dalam kitab Allah tertulis, kata Allah: “Aku tidak
menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menjadi budak Aku”, sesungguhnya
mereka (bani Israel) diciptakan untuk mengabdi hanya kepada Allah, bukan kepada
Fir’aun yang mengaku diri sebagai tuan. Maka terjadilah sebuah kebangkitan. Ruh
All ah masuk di dalam diri bani Israel. Bani Isr ael bangkit untuk melepaskan diri
dari perbudakan. Apa yang dimaksud dengan membangkitkan? yakni dari tidak
sadar, menjadi sadar. Dari orang yang tidak tahu harga dirinya, menjadi tahu harga
dirinya. Dari orang yang tadinya mati, sekarang dia bangkit hidup. Tentu saja
setelah ditiupkan ruh kepadanya. Maka Bani Isr ael bangkit dari kematian. Dan
sejarah mencatat, bani Israel yang tadinya menjadi bangsa budak, kemudian dia
sadar dan bangkit dari perbudakan, dan Allah telah menuntunnya, maka Bani Israel
1
diangkat oleh Allah, ditinggikan derajatnya, dimuliakan di antara bangsa-bangsa
yang lain, menjadi bangsa yang memimpin dunia, menjadi wasit daripada dunia.
Itulah nikmat yang pernah Allah berikan kepada Bani Israel, karena bani Israel mau
beriman kepada Allah. Apa yang terjadi pada sejarah bani Israel saat itu akan
terjadi pula pada dunia hari ini , karena rumusannya sejarah akan mengulang.
Banyak orang yang mengaku iman kepada Allah. Bahkan Abu Jahal (sebutan bagi
pemimpin bangsa jahiliyah) adalah orang yang sangat kental imannya kepada
Allah, sangat dominan dengan perkataan-perkataan agamis dan ritus-ritus agamis
di Ka’bah. Tetapi dia adalah orang yang tidak percaya, bahwa mengabdi kepada
Allah harus taat dan tunduk patuh kepada aturan atau hukum Allah. Ketika
Muhammad datang dengan membawa sistem kehidupan langit/Allah, maka dia
menolaknya.
Abu Jahal adalah orang yang yakin dan percaya bahwa alam-semesta dan manusia
adalah ciptaan Allah, adalah Kerajaan-Allah. Tetapi disebabkan Muhammad Rasul
Allah dia tidak mau mengimaninya, maka karena itu dia dikatakan orang yang kafir
kepada Allah dan Rasul-Nya. Artinya, percaya kepada Allah saja bukanlah berarti
telah menjadi orang beriman. Setiap orang bisa saja mengatakan “my-god”
(tuhanku). Itu bisa saja tuhan pribadi, tidak menjadi jaminan bahwa itu adalah
Tu(h)an yang sama seperti “Tu(h)an-nya” Abraham. Orang boleh saja menyebut
nama Allah, tetapi Allah yang menurut gambaran pribadi mereka.
Hari ini, Ideologi Tuan Allah Abraham, tidak ada pada kaum Nashrani, tidak ada
pada kaum Yahudi dan tidak ada pada kaum Islamisme. Mereka semua datang
berbicara di depan manusia pada hari ini tidak lain atas nama partai-partai,
pemimpin partai-partai, golongan, dan bukan mengatasnamakan Allah Tuan
Semesta Alam; Allah Abraham. Tidak ada bangsa-bangsa di dunia hari ini yang
berbicara atas nama Allah Tuan Semesta Alam; Allah Abraham, karena itu adalah
sebuah ideologi. Mereka berbicara hanya atas nama negara mereka masing-
masing, ideologi mereka masing-masing, partai masing-masing.
Bekas imperium Kerajaan Yerusalem pertama telah musnah. Dan bekas imperium
Yerusalem kedua pun juga telah musnah. Demikian juga halnya dengan bekas
imperium Darussalam, juga telah musnah. Tidak ada satu pun bangsa-bangsa
dunia yang dahulu mendukung Kerajaan Allah yang ditegakkan oleh Muhammad,
Yesus, dan Musa, hari ini tampil Atas Nama Allah Tuan Semesta Alam, Allah
Abraham.
Kenapa dunia hari ini tidak ada yang tampil atas nama Allah Tuan Semesta Alam;
Allah Abraham? Sebab mereka mengabdi kepada Tuan yang lain selain Tuan
semesta alam. Sebab mereka telah menduakan Tuan Semesta Alam. Mereka
menyembah secara ritus kepada Allah dengan cara masing-masing tetapi mereka
1
mengabdi kepada Tuan lain selain Allah, hukum dan aturan yang mereka taati jelas
bukan kehendak Allah. Itulah sebabnya mereka menduakan Allah. Sehingga
ideologi atau falsafah hidup mereka bukan Allah semesta alam, tetapi Tuan berhala
yang menjadi pengatur mereka di bumi.
Tue, 1 Dec 2009 @05:03
Mari Kenali ALLAH, Tiada Tuhan Melainkan Dia
Wed, 2007-01-17 13:07 — firman
Rasullulah SAW pernah bersabda yang bermaksud “Awal-awal agama adalah
mengenal ALLAH”. Ini menunjukkan pentingnya mengenal ALLAH sebagai Tuhan,
sehingga yang pertama mesti dikenalkan kepada manusia adalah ALLAH.
Mengajak manusia untuk mengenal ALLAH tidak sama dengan mengajak untuk
percaya kepada ALLAH. Hari ini pun jika kita tanya setiap orang tentang adanya
Tuhan pasti percaya akan adanya Tuhan. Tetapi dalam kenyataannya seolah-olah
Tuhan sudah tidak ada dalam kehidupannya. Pada perasaan terkesan ada atau
tidaknya Tuhan sama saja. Manusia sudah tidak mengkaitkan setiap kejadian
dengan ALLAH, hanya dikaitkan dengan sebab-sebab lahirnya saja. Banjir, gempa
tsunami, angin puyuh dan bencana alam lain dianggap sebagai bencana alam
biasa, tidak dikaitkan oleh peringatan dan hukuman ALLAH bagi hamba-hambaNya
yang sudah lalai denganNya.
Bila orang telah mengenal ALLAH barulah jiwanya hidup. ALLAH Maha Berkuasa,
Menghidupkan dan Mematikan, Maha Mendengar dan Melihat, Penjaga dan
Pelindung, yang mewujudkan apa saja di dunia ataupun di akhirat. Tidak ada
sebutir debu pun yang wujud tanpa sepengetahuan ALLAH. ALLAH-lah yang
menciptaan langit dan bumi seisinya, yang menciptakan manusia, hewan,
tumbuhan dan lainnya.
Tidak takut dan cintakah kita dengan ALLAH? Padahal baru beberapa sifat saja
yang kita lihat.Jika orang telah merasakan nikmat yang diberikan ALLAH dan
kehebatanNya, barulah timbul rasa cinta dan takut kepada ALLAH. Jika melakukan
perbuatan, meskipun kecil, dia akan bertanya-tanya dalam hatinya apakah ALLAH
suka atau tidak dengan perbuatanku ini. Inilah obat yang paling mujarab, obat
utama untuk manusia terhadap penyakit-penyakitnya di dunia ini.
Bila rasa cinta kepada ALLAH telah timbul dan tertanam dalam hati seorang
manusia, maka dia akan menyayangi seluruh milik ALLAH, baik itu
manusia,tumbuhan, hewan, dan seluruh makhluk serta isi bumi baik yang terlihat
mata ataupun tidak. Bila manusia telah takut dengan ALLAH maka manusia tidak
akan melakukan hal-hal yang negatif, sehingga sebenarnya tidak lagi diperlukan
1
suatu undang-undang atau peraturan untuk mengatur manusia yang dibuat
manusia sendiri, karena pada hakekatnya manusia tidak berani melakukan hal-hal
negatif dan akan berkasing sayang dengan setiap apapun ciptaan ALLAH jika
manusia telah cinta dan takutkan ALLAH, Tuhan semesta alam.
Kalau begitu dunia hari ini perlu kembali mempromosikan ALLAH. Setiap manusia
perlu memperjuanagkan ALLAH, agar orang kenal ALLAH. Sehingga akan timbul
kehidupan manusia yang damai dan sejahtera sesuai fitrah manusia. Pada
kenyataannya pada hari ini sebagian umat Islam jika akan memperjuangkan Islam,
diperjuangkannya dulu syariatnya. Bukan memperjuangkan ALLAH dulu supaya
kenal dengan ALLAH. Padahal yang mempunyai syariat adalah ALLAH, dan
sepatutnya diperkenalkan dan diperjuangkan terebih dulu. Rasullulah SAW
berjuang selama 13 tahun untuk menanamkan iman dan tauhid. ALLAH
diperkenalkan dulu, sehingga mereka kenal ALLAH dan timbul rasa cinta dan takut
dengan ALLAH. Bila mengenalkan syariat dulu orang akan menerima Islam tidak
dengan suka rela tetapi denga terpaksa, sebab telah diikat oleh ini halal, ini haram
dst.
Misal saja anak disuruh begitu saja untuk menyiram bunga, tidak diceritakan dulu
bahwa bunga ini milik ibunya yang melahirkannya, mengasihinya memeliharanya
dari kecil. Anak itu akan melakukan dengan terpaksa. Tetapi bila telah tahu bahwa
bunga itu milik ibunya yang telah merawatnya tentulah di akan merasa sangat
nikmat untuk berkhidmat kepada ibunya, dan rela melakukan apa saja demi ibunya.
Begitu juga dengan ALLAH sebelum dikenalkan kepada syariatnya maka
semestinya dikenalkan dulu dengan yang empunya syariat. Bukan hanya sekedar
hafal, tahu sifat-sifatnya tapi mengenal ALLAH dengan hati sehingga di hayati.
Maka akan timbul rasa cinta dan takut dan ingin berkhidmat. Beribadah kepada
ALLAH melalui berbagai ibadah dan berkhidmat kepada masyarakat akan terasa
indah dan nikmat, sebab atas dasar cinta dan takut dengan ALLAH.
Mengenal ALLAH sebagai Tuhan, itulah rahmat paling besar. Itulah obat bagi
penyakit-penyakit manusia di dunia ini.
top related