melatih keterampilan proses sains melalui...
Post on 02-Mar-2019
217 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Proseding Seminar Nasional Fisika dan Aplikasinya
Sabtu, 21 November 2015
Bale Sawala Kampus Universitas Padjadjaran, Jatinangor
FP-10
MELATIH KETERAMPILAN PROSES SAINS MELALUI KEGIATAN
EKSPERIMEN DALAM SETTING KOMBINASI MODEL PEMBELAJARAN LANGSUNG DAN MODEL
PEMBELAJARAN KOOPERATIF
THEO JHONI HARTANTO*, TITIK UTAMI, SUPRIYANOR
Prodi Pendidikan Fisika,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Palangka Raya Jl. H. Timang, Palangka Raya 73112
email: sisohartanto@gmail.com
Abstrak. Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) melatih keterampilan proses sains siswa dan (2)
mengetahui ketuntasan hasil belajar kognitif melalui pembelajaran dengan metode eksperimen
dalam setting kombinasi model pembelajaran langsung dan model pembelajaran kooperatif pada
materi kalor. Penelitian ini merupakan penelitian pra-eksperimental dengan rancangan one-shot
case study. Penelitian dilaksanakan di kelas VII-6 SMP Negeri 6 Palangka Raya Tahun Ajaran
2014-2015. Berdasarkan hasil analisis data ditemukan bahwa: (1) Penguasaan keterampilan proses
sains siswa kelas VII-6, yaitu dilihat dari tes kinerja yang menghasilkan ketuntasan sebesar
83,87%; (2) Aktivitas siswa yang dominan pada pertemuan pertama adalah memperhatikan
penjelasan guru dan aktivitas yang dominan pada pertemuan kedua dan ketiga adalah melakukan
eksperimen melalui kegiatan LKS; dan (3) Secara klasikal, diperoleh ketuntasan hasil belajar
kognitif di kelas VII-6 sebesar 74,19%. Berdasarkan hasil-hasil itu, dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran dengan metode eksperimen dalam setting kombinasi model pembelajaran langsung
dan model pembelajaran kooperatif dapat melatih keterampilan proses sains siswa. Namun
demikian masih banyak hal yang perlu diperbaiki dalam kegiatan pembelajaran ini.
Kata kunci: model pembelajaran langsung, model pembelajaran kooperatif, metode eksperimen,
keterampilan proses sains
Abstract. The purpose of this research was to: (1) showed students' science process skills and (2)
showed the the cognitive mastery learning outcomes of students through experimental activities
based on combination of direct and cooperative learning models. This research was a pre-
experimental with a design a one-shot case study. The research was conducted in class VII-6 SMP
Negeri 6 Palangka Raya. Based on the data analysis, found that: (1) through learning with
experimental activities in combination of direct and cooperative learning models can trained
students’ science process skills, which is seen from the performance test that produces
completeness of 83.87%; (2) The dominant activities of students at the first meeting were to notice
the teacher's explanation. The dominant activities of students in the second and third meeting were
doing worksheets; And, (3)The completeness cognitive achievement at the class VII-6 were
74.19%. Based on the research findings, it could be concluded that the learning through
experimental activities based on combination between direct and cooperative learning models
were able to train students science process skills.
Keywords: direct instruction models, cooperative learning models, experimental activities, science
process skills
1. Pendahuluan
Ada dua hal yang diperoleh penulis ketika melakukan observasi pada
pembelajaran IPA fisika di SMPN 6 Kota Palangka Raya. Pertama, pembelajaran
IPA fisika melalui kegiatan percobaan lebih banyak dihindari oleh guru dengan
FP-11 Theo Jhoni Hartanto dkk
alasan memerlukan waktu yang lebih lama dan khawatir terjadi kegaduhan di
kelas. Kedua, kegiatan pembelajaran lebih berpusat pada guru yang berusaha
menjelaskan materi sedangkan aktivitas siswa hanya mencatat. Kegiatan
pembelajaran didominasi dengan menjelaskan, latihan menjawab soal, dan
menyelesaikan tugas. Siswa kurang memperoleh kesempatan untuk melatih
keterampilan proses sains dan mengembangkan kreativitas dan kemampuan
berpikirnya.
Kedua hal di atas membuat pelajaran IPA fisika dianggap sebagai pelajaran yang
membuat mereka menghafal, mengingat, dan mengulang rumus. Sahin (2009)
dalam penelitiannya menemukan bahwa beberapa siswa merasakan bahwa belajar
IPA fisika adalah seperti belajar mengingat rumus-rumus, memecahkan masalah-
masalah dengan cara matematika, dan sebagian siswa meyakini bahwa fisika tidak
berhubungan dengan dunia nyata [1]. Pola pembelajarn seperti ini yang bisa
memunculkan ketidakpahaman konsep pada siswa terhadap konsep-konsep IPA
fisika. Hartanto, Sinulingga, dan Suhartono (2015) menemukan bahwa banyak
siswa di SMPN 6 Kota Palangka Raya yang tidak memahami konsep walaupun
telah dijelaskan oleh gurunya dengan rincian 39,48% siswa mengalami
miskonsepsi, 40% siswa tidak tahu konsep, dan hanya 20,52% siswa yang paham
konsep [2]. Berdasarkan hasil observasi, penulis juga memperoleh keterangan
hasil belajar IPA untuk dua tahun ajaran terakhir (2013-2014 dan 2014-2015)
masih rendah dengan nilai rata-rata di bawah 60.
Kalor merupakan salah satu konsep dalam kajian ilmu fisika yang selalu ditemui
dan dialami sendiri oleh siswa dalam kehidupannya sehari-hari. Banyak peristiwa
dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan kajian materi kalor. Oleh
karena itu, untuk mempelajari materi kalor adalah lebih baik jika siswa dibawa
untuk “mencari tahu” dan “berbuat” secara langsung dengan peristiwa yang
berkaitan dengan kalor itu sendiri. Inilah yang menjadi alasan mengapa metode
eksperimen sangat cocok digunakan untuk mempelajari dan mendalami materi
kalor. Siswa dapat melakukan kegiatan eksperimen untuk membuktikan atau
menemukan konsep-konsep fisika yang sedang mereka pelajari [3]. Pembelajaran
dengan metode eksperimen membuat siswa dapat melatih keterampilan-
keterampilan yang berkaitan dengan mengamati, mengukur, mengumpulkan data,
menganalisis data, dan menyimpulkan [4]. Artinya, siswa dapat melatih
keterampilan prosesnya melalui kegiatan eksperimen. Kegiatan pembelajaran
seperti ini sejalan dengan pendekatan konstruktivisme.
Pendekatan konstruktivisme merupakan pendekatan pembelajaran yang
menekankan pada proses membangun atau menyusun pengetahuan baru
berdasarkan pengalaman. Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan
konstruktivisme pada dasarnya mendorong siswa agar dapat membangun
pengetahuannya melalui proses pengamatan dan pengalaman, serta dapat
mendorong siswa untuk mampu mengkonstruksi pengetahuan melalui
pengalaman nyata. Implikasi pendekatan ini dalam pembelajaran IPA adalah guru
harus memberikan kesempatan sebanyak mungkin kepada siswa untuk berpikir
Melatih Keterampilan Proses Sains Melalui Kegiatan Eksperimen.... FP-12
dan menggunakan kemampuan akalnya. Pendekatan kontruktivisme dalam
pembelajaran di kelas salah satunya melalui model pembelajaran kooperatif.
Slavin (2011) menyatakan bahwa dalam pembelajaran kooperatif, siswa bekerja
sama dalam kelompok-kelompok belajar untuk saling membantu satu sama lain
[5]. Melalui pembelajaran ini, siswa diharapkan akan lebih mudah menemukan
dan memahami konsep-konsep. Dalam konteks pembelajaran fisika, model
pembelajaran kooperatif ini melibatkan kelompok-kelompok belajar untuk
melakukan kegiatan eksperimen dalam mempelajari konsep-konsep fisika. Dalam
aktivitas kelompok ini, siswa akan saling bahu-membahu untuk menyelesaikan
persoalan yang diajukan guru melalui keterampilan-keterampilan proses, misalnya
menyusun hipotesis, menentukan variabel, mengumpulkan data sesuai prosedur,
menganalisis data, dan menarik kesimpulan. Dengan demikian, siswa akan
cenderung lebih aktif dalam kegiatan pembelajaran.
Namun demikian, untuk melakukan eksperimen dan menggunakan keterampilan
proses sesuai dengan yang diharapkan, siswa kelas VII di SMPN 6 perlu dilatih
terlebih dahulu. Siswa kelas VII di sekolah ini terbiasa dengan pola belajar hanya
menerima materi pelajaran dari gurunya. Siswa perlu mengetahui apa sebenarnya
keterampilan proses sains, bagaimana mengaplikasikannya dalam kegiatan
eksperimen, dan bagaimana cara melakukan eksperimen dengan menggunakan
alat dan bahan yang ada. Hal ini sangat penting bagi siswa yang belum terbiasa
melakukan eksperimen dan belum mengenal keterampilan proses sains. Oleh
karena itu, guru perlu memodelkan terlebih dahulu terkait bagaimana melakukan
kegiatan eksperimen yang benar dan bagaimana menyelesaikan persoalan yang
diajukan guru melalui keterampilan-keterampilan proses. Salah satu model yang
memiliki karakteristik pemodelan ini adalah model pembelajaran langsung. Model
pembelajaran langsung menghendaki guru memberikan informasi, memodelkan
keterampilan yang sedang diajarkan, dan kemudian menyediakan waktu bagi
siswa untuk latihan keterampilan tersebut dan menerima umpan balik tentang apa
yang mereka lakukan [6].
Veenman et al. (2003) mengemukakan bahwa menghilangkan pembelajaran
langsung secara mutlak adalah sangat tidak mungkin, namun model ini akan
memiliki kekuatan sebagai alat pembelajaran jika dikombinasikan dengan
pandangan konstruktivisme [7]. Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa
model pembelajaran langsung dapat meningkatkan hasil belajar siswa dan sangat
efektif dalam mengajarkan keterampilan siswa. Bahkan, Klahr dan Nigam (2004)
melalui penelitiannya menemukan bahwa melalui pembelajaran langsung siswa
dapat belajar lebih banyak memahami tentang fenomena-fenomena ilmiah
(scientific phenomena) dan prosedurnya [8]. Pembelajaran langsung dirancang
untuk penguasaan pengetahuan prosedural, pengetahuan deklaratif dan
keterampilan-keterampilan. Oleh sebab itu, inilah yang menjadi alasan bahwa
perlu untuk mengombinasikan model pembelajaran kooperatif dengan model
pembelajaran langsung. Arends (2008) menyatakan bahwa guru-guru harus siap
untuk menerapkan model-model pembelajaran yang beragam dan
FP-13 Theo Jhoni Hartanto dkk
menghubungkannya secara kreatif dalam satu kegiatan pembelajaran atau suatu
unit pembelajaran [9].
Dalam mengkombinasikan dua model ini akan didahului dengan pembelajaran
dengan menerapkan model pembelajaran langsung. Pada pembelajaran dengan
model pembelajaran langsung ini akan didemonstrasikan tata cara melakukan
kegiatan eksperimen, bagaimana bekerja dalam kelompok, dan melatih
keterampilan proses sains langkah demi langkah. Kemudian, pada pembelajaran
berikutnya diterapkan model pembelajaran kooperatif. Selain melatih
keterampilan proses sains, penerapan kombinasi dua model ini diharapkan
memiliki dampak yaitu hasil belajar. Salah satu ciri model pembelajaran adalah
memiliki dampak pembelajaran yaitu hasil belajar yang dapat diukur [10].
Berdasarkan uraian di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk: melatih
keterampilan proses sains siswa, mengaktifkan siswa melalui aktivitasnya dalam
pembelajaran, dan mengetahui ketuntasan hasil belajar kognitif melalui
pembelajaran dengan metode eksperimen dalam setting kombinasi model
pembelajaran langsung dan model pembelajaran kooperatif pada materi kalor.
2. Metode Penelitian
Rancangan Penelitian
Penelitian dilaksanakan di SMP Negeri 6 Palangka Raya, Kalimantan Tengah.
Subyek penelitian ini adalah kelas VII-6 semester genap tahun ajaran 2014-2015
yang berjumlah 31 orang siswa. Rancangan penelitian mempergunakan rancangan
pre-experimental one-shot case study.
Pelaksanaan Penelitian
Pada pembelajaran yang dirancang oleh peneliti, model pembelajaran langsung
akan dikombinasikan dengan model pembelajaran kooperatif selama mempelajari
materi tentang kalor. Adapun rancangan pembelajaran ini disajikan dalam Tabel 1
berikut ini.
Tabel 1. Rancangan pembelajaran dengan kombinasi model pembelajaran langsung dan model
pembelajaran kooperatif
Pertemuan Sub materi Model
Pertama Pengertian kalor, tata cara eksperimen, dan
keterampilan proses sains
Model pembelajaran langsung
Kedua Hubungan kalor dengan massa zat, jenis zat
dan perubahan suhu zat Model pembelajaran
kooperatif Ketiga Kalor dan perubahan wujud zat
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kegiatan pembelajaran yang dirancang
ini akan melibatkan metode eksperimen terbimbing. Tabel 2 memperlihatkan
rancangan kegiatan-kegiatan eksperimen yang akan dilakukan oleh siswa SMP
kelas VII-6 dalam belajar materi pokok kalor.
Melatih Keterampilan Proses Sains Melalui Kegiatan Eksperimen.... FP-14
Tabel 2. Rancangan kegiatan eksperimen siswa pada materi pokok kalor
No. Sub Materi Pokok Kegiatan Eksperimen
1. Pengertian kalor, tata
cara eksperimen, dan
keterampilan proses
sains
Siswa dapat melakukan percobaan dan menemukan: ketika
dua benda berbeda suhu disentuhkan/dicampurkan, kalor
mengalir dari benda bersuhu tinggi ke benda bersuhu rendah
2. Hubungan kalor
dengan massa zat, jenis
zat, dan perubahan
suhu
Siswa dapat melakukan percobaan dan menemukan:
a. kalor dipengaruhi massa zat
b. kalor berhubungan dengan perubahan suhu
c. kalor berhubungan dengan jenis zat
3. Kalor dan perubahan
wujud zat
Siswa dapat melakukan percobaan dan menemukan:
a. suhu akan bernilai tetap pada saat zat mengalami
perubahan wujud
b. kalor yang diperlukan untuk mengubah wujud
bergantung pada massa dan jenis zat
Definisi Operasional Variabel Penelitian
1) Keterampilan Proses Sains
Keterampilan proses sains siswa merupakan keterampilan siswa dalam
merumuskan hipotesis, menentukan variabel, melakukan pengumpulan data dan
menganalisisnya, dan menyimpulkan hasil percobaan pada saat siswa
melaksanakan tes kinerja. Penguasaan siswa terhadap keterampilan proses sains
ini dilihat dari ketuntasan siswa dalam melakukan tes kinerja dimana siswa
minimal harus mencapai 70. Ketuntasan diperoleh dengan membagi jumlah skor
yang diperoleh siswa pada tes unjuk kerja dibagi jumlah skor maksimum
dikalikan dengan 100%.
2) Aktivitas Siswa
Aktivitas siswa merupakan persentase kegiatan yang dilakukan siswa selama
kegiatan pembelajaran berlangsung yaitu dengan cara dengan frekuensi tiap
aktivitas dibagi seluruh frekuensi aktivitas dikalikan dengan 100%. Aktivitas
siswa didasarkan pada sintaks pada model pembelajaran langsung (pertemuan
pertama) dan model pembelajaran kooperatif (pertemuan kedua dan pertemuan
ketiga).
3) Ketuntasan Hasil Belajar Kognitif Produk
Ketuntasan hasil belajar kognitif produk siswa merupakan ketuntasan hasil belajar
yang diperoleh siswa pada tes akhir dimana siswa dikatakan jika memperoleh
nilai lebih dari atau sama dengan 70. Ketuntasan belajar siswa diperoleh dengan
membagi jumlah skor yang diperoleh siswa pada post-test dengan jumlah skor
maksimum post-test dikalikan dengan 100%.
FP-15 Theo Jhoni Hartanto dkk
3. Hasil dan Pembahasan
Hasil Penelitian
a) Keterampilan Proses Sains
Siswa diminta untuk melakukan tes kinerja untuk mengetahui keterampilan proses
sains yang dimiliki siswa. Keterampilan proses yang diamati pada saat siswa
mengerjakan tes meliputi merumuskan hipotesis, mengidentifikasi variabel,
melakukan eksperimen dan menganalisis data, serta menyusun kesimpulan hasil
eksperimen. Hasil analisis tes kinerja dan rekapitulasinya disajikan pada Tabel 3
dan Tabel 4 sebagai berikut.
Tabel 3. Hasil analisis tes kinerja No.
Siswa Ketuntasan Kategori KPS
No.
Siswa Ketuntasan Kategori KPS
1 75 T 17 75 T 2 83 T 18 92 T 3 83 T 19 92 T 4 83 T 20 92 T 5 83 T 21 92 T 6 75 T 22 50 TT
7 75 T 23 92 T 8 83 T 24 92 T 9 75 T 25 75 T
10 42 TT 26 75 T 11 92 T 27 92 T 12 92 T 28 58 TT
13 83 T 29 42 TT
14 75 T 30 50 TT
15 75 T 31 83 T
16 83 T
Keterangan: T = tuntas; TT = tidak tuntas
Tabel 4. Rekapitulasi hasil tes kinerja
No. Ketuntasan Keterangan
1 Individu 26 siswa tuntas dan 5 siswa tidak tuntas
2 Klasikal 83,87% tuntas
b) Aktivitas Siswa
Aktivitas siswa pada pertemuan pertama berkaitan dengan pembelajaran model
pembelajaran langsung. Hasil pengamatan aktivitas siswa pada pertemuan
pertama ini dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil pengamatan aktivitas siswa di tiap pertemuan
No.
Aktivitas siswa yang
diamati saat diterapkan
model pembelajaran
langsung
Hasil
Pengamatan
Pertemuan 1 No.
Aktivitas siswa yang
diamati saat diterapkan
Model Kooperatif
Hasil Pengamatan
Pertemuan 2 Pertemuan 3
R P (%) R P (%) R P (%)
1. Memperhatikan
penjelasan guru 15,5 29,52
1. Memperhatikan
penjelasan guru 11,5 27,06 11,5 28,75
2. Memperhatikan
demonstrasi yang 12 22,86
2. Melakukan eksperimen
yang disajikan dalam 13,5 31,76 14,5 36,25
Melatih Keterampilan Proses Sains Melalui Kegiatan Eksperimen.... FP-16
No.
Aktivitas siswa yang
diamati saat diterapkan
model pembelajaran
langsung
Hasil
Pengamatan
Pertemuan 1 No.
Aktivitas siswa yang
diamati saat diterapkan
Model Kooperatif
Hasil Pengamatan
Pertemuan 2 Pertemuan 3
R P (%) R P (%) R P (%)
dilakukan oleh guru LKS secara berkelompok
3. Melakukan kegiatan
eksperimen terbimbing pada LKS
12,5 23,81
3. Menyajikan
/mempresentasikan hasil percobaan kelompok
4,5 10,59 4 10
4. Bertanya kepada guru 5,5 10,48 4. Bertanya kepada guru 9,5 22,35 7,5 18,75
5. Menyampaikan/
mempresentasikan hasil kegiatan
4 7,62
5. Melakukan aktivitas yang
tidak relevan 3,5 8,24 2,5 6,25
6. Melakukan aktivitas yang tidak relevan
3 5,71
Total Hasil Pengamatan 52,5 Total Hasil Pengamatan 42,5 40
Keterangan: R = aktivitas rata-rata hasil pengamatan; P = persentase aktivitas
Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat rata-rata tabulasi hasil pengamatan terhadap
aktivitas siswa pada pertemuan pertama, pertemuan kedua, dan pertemuan ketiga
di kelas VII-6. Aktivitas siswa yang paling menonjol pada pertemuan pertama
adalah memperhatikan penjelasan dari guru yaitu sebesar 29,52%. Aktivitas
berikutnya adalah melakukan kegiatan eksperimen yang ada pada LKS dan
memperhatikan demonstrasi yang dilakukan guru.
Aktivitas siswa pada pertemuan kedua dan ketiga berkaitan dengan pembelajaran
model pembelajaran kooperatif. Berdasarkan Tabel 5 disajikan rata-rata hasil
pengamatan terhadap aktivitas siswa pada pertemuan kedua dan ketiga memiliki
kesamaan. Aktivitas siswa yang paling menonjol pada pertemuan kedua adalah
kegiatan mengerjakan eksperimen yang disajikan pada LKS secara berkelompok
yaitu sebesar 31,76%. Pada pertemuan ketiga, kegiatan mengerjakan eksperimen
yang disajikan pada LKS secara berkelompok juga paling dominan dengan
persentase 36,25%. Aktivitas yang dominan berikutnya adalah memperhatikan
penjelasan guru dan bertanya pada guru.
c) Ketuntasan Hasil Belajar Kognitif
Tabel 6 dan 7 menunjukkan ketuntasan hasil belajar kognitif di kelas VII-6 setelah
dilakukan kegiatan pembelajaran dengan metode eksperimen dalam setting
kombinasi model pembelajaran langsung dan model pembelajaran kooperatif.
Secara individu, 23 siswa tuntas dan 8 siswa tidak tuntas. Artinya 74,19% siswa di
kelas VII-6 sudah mencapai ketuntasan.
Tabel 6. Hasil analisis untuk ketuntasan hasil belajar kognitif No.
Siswa Ketuntasan Kategori KPS
No.
Siswa Ketuntasan Kategori KPS
1 81 T 17 75 T
2 72 T 18 63 TT
3 75 T 19 81 T
4 38 TT 20 78 T
5 78 T 21 72 T
6 38 TT 22 47 TT
FP-17 Theo Jhoni Hartanto dkk
No.
Siswa Ketuntasan Kategori KPS
No.
Siswa Ketuntasan Kategori KPS
7 72 T 23 84 T
8 81 T 24 78 T
9 72 T 25 72 T
10 47 TT 26 72 T
11 72 T 27 78 T
12 81 T 28 34 TT
13 72 T 29 25 TT
14 94 T 30 34 TT
15 72 T 31 72 T
16 88 T
Tabel 7. Reapitulasi ketuntasan hasil belajar kognitif
No. Ketuntasan Keterangan
1 Individu 23 siswa tuntas dan 8 siswa tidak tuntas
2 Klasikal 74,19% tuntas
Diskusi
a) Keterampilan Proses Sains
Siswa diminta untuk melakukan tes kinerja yang berkaitan dengan materi kalor
untuk melihat keterampilan proses sains. Topik tes ini adalah tentang titik didih
dua jenis zat (air dan air garam). Adapun hasil dari tes kinerja secara keseluruhan
seperti yang disajikan pada Tabel 4. Secara individu, 26 siswa tuntas dan 5 siswa
tidak tuntas. Artinya 83,87% siswa di kelas VII-6 sudah mencapai ketuntasan.
Artinya, pembelajaran pada materi kalor ini sudah bisa melatihkan keterampilan
proses sains pada siswa di kelas VII-6.
Peneliti beranggapan bahwa hasil ini dicapai karena metode eksperimen yang
telah diterapkan melalui kombinasi model pembelajaran langsung dan model
pembelajaran kooperatif yang diterapkan dalam pembelajaran. Pembelajaran ini
telah mencoba untuk memberikan kesempatan dan membiasakan siswa untuk
belajar IPA dengan cara “berbuat”, tidak hanya pasif seperti yang selama ini
mereka lakukan. Di setiap kegiatan pembelajaran (tiga kali pertemuan) siswa
dilatih untuk bereksperimen yang melibatkan keterampilan proses sains
didalamnya. Sehingga, ketika diberikan tes kinerja yang berkaitan dengan
kegiatan eksperimen, siswa-siswa di kelas VII-6 dapat melakukannya.
Selain itu, eksperimen yang ada pada tes kinerja dapat dilakukan oleh siswa atau
sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh siswa yang duduk di kelas VII-6
SMPN 6. Kegiatan eksperimen dilakukan melalui lembar kegiatan siswa (LKS)
yang telah dirancang sebelumnya merupakan eksperimen terbimbing yang
memperhatikan kemampuan siswa di kelas VII-6 yang menjadi subyek penelitian.
Eksperimen terbimbing merupakan eksperimen yang jalannya percobaan telah
dirancang oleh guru sebelum percobaan dilakukan oleh siswa dan ada petunjuk
langkah-langkah yang harus dilaksanakan oleh siswa. Penelitian yang dilakukan
oleh Johnstone Al-Shuali (dikutip dari Urbancic dan Glazar, 2012) memperoleh
kesimpulan bahwa siswa akan mengalami kesulitan apabila eksperimen yang
dilakukannya terlalu sulit untuk dilakukan [3].
Melatih Keterampilan Proses Sains Melalui Kegiatan Eksperimen.... FP-18
Namun demikan, masih ada kelemahan yang ditemui berkaitan dengan
keterampilan proses ini yaitu banyak kesalahan dalam menentukan variabel.
Beberapa contoh hasil pekerjaan siswa yang masih belum tepat itu disajikan di
bawah ini.
Siswa nomor 28:
Siswa nomor 29:
Siswa nomor 30:
Berdasarkan pada hasil beberapa jawaban siswa di atas, terlihat bahwa mereka
masih belum tepat dalam menentukan variabel. Artinya, siswa masih perlu
diberikan penekanan dan koreksi berkaitan dengan penentuan variabel dalam
eksperimen yang dilakukannya. Hasil yang hampir sama seperti ini juga pernah
ditemukan oleh Chabalengula et al (2012) juga menemukan beberapa siswa
mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi variabel [11].
Secara keseluruhan, berdasarkan hasil ketuntasan tes kinerja, siswa sudah cukup
mampu untuk berlatih keterampilan prosesnya. Namun demikian, siswa masih
memerlukan latihan secara berkelanjutan agar mereka terbiasa untuk
menggunakan keterampilan proses dalam memecahkan masalah-masalah dalam
pelajaran sains dan hasil belajar yang diharapkan dapat dicapai lebih optimal.
Apalagi, tes kinerja yang menuntut penguasaan keterampilan proses sains adalah
sesuatu yang baru bagi siswa. Subiyanto (1988) menyatakan bahwa keterampilan
hanya akan dikuasai siswa apabila siswa itu melakukan praktik atau latihan yang
berulang-ulang [12].
Ada beberapa catatan-catatan dalam upaya melatih keterampilan proses sains di
kelas VII-6 ini. Catatan-catatan tersebut dirangkum dalam Tabel 8 berikut. Tabel 8. Catatan-catatan saat pelaksanaan pembelajaran
No. Pertemuan Catatan hasil pengamatan
1. Pertemuan Pertama dengan
model pembelajaran
langsung
Waktu banyak dihabiskan pada fase presentasi dan
mendemonstrasikan, memberikan latihan
terbimbing (eksperimen), dan memberikan latihan
lanjutan (eksperimen lanjutan).
2. Pada pertemuan kedua dan
ketiga dengan menerapkan
model pembelajaran
kooperatif
Waktu banyak dihabiskan guru pada fase keempat
dan kelima. Pada fase keempat, siswa yang bekerja
dalam kelompok-kelompok. Fase kelima: guru juga
memberikan kesempatan kepada setiap kelompok
untuk mempresentasikan hasil eksperimen.
FP-19 Theo Jhoni Hartanto dkk
Berdasarkan Tabel 8, ada kesamaan pada pertemuan pertama, kedua, dan ketiga.
Kesamaan tersebut adalah pembelajaran memerlukan waktu yang lama terutama
pada fase melakukan eksperimen. Hal ini disebabkan oleh dua hal, yaitu kegiatan
eksperimen dan materi kalor merupakan hal yang baru bagi siswa sehingga
memerlukan waktu pembahasan dan pembimbingan yang banyak. Slavin (2011)
menyatakan bahwa jika guru memperkenalkan keterampilan atau konsep baru
kepada siswa, mungkin dibutuhkan pembahasan dan pembimbingan yang lebih
panjang [5].
b) Aktivitas Siswa
Berdasarkan data pada Tabel 5 diketahui bahwa terdapat beberapa aktivitas siswa
yang dominan selama mengikuti kegiatan pembelajaran dengan model
pembelajaran langsung pada pertemuan pertama. Aktivitas-aktivitas tersebut
adalah memperhatikan penjelasan dari guru, melakukan kegiatan eksperimen
terbimbing pada LKS, dan memperhatikan demonstrasi yang dilakukan guru.
Aktivitas yang dominan ini merupakan ciri khas karakteristik dari model
pembelajaran langsung. Joyce dan Weil (2009) menyatakan bahwa model
pembelajaran langsung terdiri dari penjelasan guru mengenai konsep atau
keterampilan serta memberikan peragaan, dilanjutkan dengan melakukan praktik
di bawah bimbingan guru, dan mendorong mereka meneruskan ke praktik mandiri
(latihan lanjutan) [6]. Aktivitas yang paling dominan pada pertemuan pertama ini
mencerminkan bahwa pembelajaran masih didominasi guru. Suprijono (2012)
menyatakan bahwa model pembelajaran langsung mengacu pada gaya mengajar
dimana guru terlibat aktif dalam mengusung materi pelajaran kepada peserta didik
dan mengajarkan secara langsung kepada seluruh kelas [13]. Berdasarkan
pengamatan yang dilakukan sepanjang kegiatan pembelajaran pada pertemuan
pertama ini, guru dominan karena siswa masih belum terbiasa melakukan kegiatan
eksperimen dan materi kalor merupakan materi yang baru dipelajari oleh siswa.
Hal ini mengharuskan guru untuk memberikan informasi tentang materi kalor dan
mendemonstrasikan keterampilan melakukan kegiatan eksperimen serta
membimbing siswa melakukan kegiatan di LKS.
Walaupun guru masih tampak dominan, namun siswa tetap masih terlibat aktif
dalam pembelajaran. Siswa beraktivitas melakukan kegiatan eksperimen pada
LKS dalam kelompok kecil. Hal ini terlihat dari aktivitas yang diamati pada Tabel
5. Aktivitas siswa ini mengedepankan kegiatan eksperimen dimana siswa terlibat
dalam berlatih dan berdiskusi merumuskan hipotesis, mengidentifikasi variabel,
melakukan pengamatan/mengumpulkan data, dan menarik kesimpulan. Melalui
kegiatan terbimbing dan kegiatan lanjutan, siswa dapat mengerjakan kegiatan
ekperimen pada LKS dan menemukan konsep hubungan kalor dengan massa,
perubahan suhu, dan jenis zat.
Pada pertemuan kedua dan pertemuan ketiga, aktivitas siswa berkaitan dengan
penerapan model pembelajaran kooperatif. Berdasarkan data pada Tabel 5
diketahui bahwa terdapat beberapa aktivitas siswa yang dominan selama
mengikuti kegiatan pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif.
Melatih Keterampilan Proses Sains Melalui Kegiatan Eksperimen.... FP-20
Aktivitas-aktivitas tersebut adalah melakukan eksperimen yang disajikan dalam
LKS secara berkelompok, memperhatikan penjelasan guru, dan bertanya pada
guru. Siswa terlibat dalam mengerjakan LKS dalam kelompok untuk melakukan
pengamatan/melakukan eksperimen. Siswa melakukan kegiatan diskusi untuk
menyelesaikan dan membahas hasil kerja kelompoknya. Nur (2008) menyatakan
bahwa model pembelajaran kooperatif mengacu pada pembelajaran dimana siswa
bekerjasama dalam kelompok kecil dan saling membantu dalam belajar [14].
Tujuan yang hendak dicapai tidak hanya kemampuan akademik dalam pengertian
penguasaan materi pelajaran, tetapi juga adanya unsur kerja sama untuk
penguasaan materi tersebut.
Tabel 5 juga menunjukkan bahwa guru masih tetap terlibat selama kegiatan
pembelajaran. Hal ini terlihat dari persentase sebesar 27,06% (di pertemuan
pertama) dan 28,75% (di pertemuan kedua), siswa mendengarkan penjelasan guru.
Guru kembali harus membimbing siswa untuk menentukan hipotesis dan
menentukan variabel, dan menyimpulkan data serta mengingatkan tata cara
melakukan eksperimen. Selain itu, guru memimpin kegiatan diskusi juga untuk
menjelaskan konsep kalor dan pengaruhnya terhadap perubahan wujud zat. Guru
memberikan penekanan dan koreksi terhadap hasil kerja siswa dan konsep yang
mereka pelajari.
Kegiatan pembelajaran pada pertemuan kedua ini jelas masih memerlukan
pembimbingan dari guru karena bagaimana pun kegiatan eksperimen yang
diterapkan ini masih baru bagi siswa sehingga masih banyak siswa yang bertanya
pada saat kegiatan pembelajaran. Hal ini terlihat dari rata-rata persentase hasil
pengamatan bahwa aktivitas bertanya pada guru pada tiap pertemuan adalah
10,48% (pertemuan pertama), 22,35% (pertemuan kedua), dan 18,75%
(pertemuan ketiga).
Pada pertemuan pertama, pertemuan kedua, dan pertemuan ketiga frekuensi
aktivitas mempresentasikan hasil eksperimen masih rendah seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 5. Berdasarkan pengamatan sepanjang kegiatan
pembelajaran, ketika guru memberikan kesempatan mempresentasikan hasil kerja
kelompoknya, siswa cenderung saling tunjuk atau berdiam diri. Guru harus
mendorong siswa-siswa tersebut untuk memberanikan diri. Dillon (dikutip dari
Hofstein et al, 2005) menemukan bahwa umumnya pertanyaan dimulai oleh guru
dan sangat jarang siswa memulai pertanyaan atau menyampaikan gagasan,
sehingga mereka harus didorong untuk bertanya atau berpendapat [15]. Hanya
siswa-siswa tertentu yang berani tampil untuk membacakan atau menyampaikan
hasil pekerjaan di depan teman-temannya. Peneliti berpendapat bahwa hal ini
terjadi karena siswa masih belum terbiasa untuk bertanya atau menyampaikan
pendapatnya di kelas karena selama ini mereka hanya belajar fisika sebagai
pendengar. Sanjaya (2011) menyatakan bahwa pembelajaran dalam kelompok-
kelompok kecil melatih siswa untuk mampu berkomunikasi, namun untuk dapat
menguasai kemampuan ini memang memerlukan waktu sampai pada akhirnya
siswa menjadi komunikator yang baik [16]. Jones (2007) juga menyatakan bahwa
siswa yang tidak pernah bekerja dalam kelompok kecil sebelumnya, harus berlatih
FP-21 Theo Jhoni Hartanto dkk
dan memerlukan banyak dukungan serta dorongan untuk menumbuhkan rasa
percaya dirinya [17].
Dalam pengamatan aktivitas siswa di tiap pertemuan juga terlihat bahwa masih
ada aktivitas lain yang ditemukan oleh pengamat (aktivitas yang tidak relevan).
Namun demikian, aktivitas-aktivitas tersebut tidak mengganggu keterlaksanaan
proses pembelajaran. Dalam setiap proses pembelajaran guru harus memantau
semua kegiatan yang dilakukan oleh siswa untuk meminimalisir adanya aktivitas
yang tidak dikehendaki.
c) Ketuntasan Hasil Belajar Kognitif
Tabel 7 memperlihatkan bahwa pada kelas VII-6 terdapat 74,19% siswa yang
tuntas belajarnya dari aspek kognitif. Hasil ini menunjukan bahwa kegiatan
pembelajaran dengan kegiatan eksperimen dengan kombinasi model pembelajaran
langsung dan model pembelajaran kooperatif dapat membantu siswa mempelajari
konsep kalor. Pembelajaran yang dilakukan tidak hanya memfokuskan pada
bagaimana melakukan kegiatan eksperimen yang benar dengan menggunakan
keterampilan-keterampilan ilmiah di dalamnya, namun juga tetap menekankan
pada aspek pengetahuan tentang kalor.
Walaupun ketuntasan sudah lebih dari 70%, masih ada indikator yang sulit bagi
siswa dilihat dari hasil tes yang mereka kerjakan. Kesulitan dalam mencapai
ketuntasan indikator pembelajaran menunjukkan bahwa sejumlah siswa belum
menguasai secara tuntas bahan yang dipelajari. Peneliti merangkum indikator-
indikator yang sulit tersebut dalam Tabel 9 berikut ini.
Tabel 9. Indikator-indikator yang masih sulit bagi siswa
No. Indikator Temuan
1. Menerapkan hubungan
antara kalor dengan
kenaikan suhu, massa dan
jenis zat dalam soal
Siswa sudah bisa menghitung dengan benar banyaknya
kalor (Q) yang diperlukan dengan menggunakan
persamaan kalor, namun mereka masih kesulitan ketika
menghitung massa zat (m) dan menghitung perubahan
suhu (T)
2. Menerapkan persamaan
kalor laten untuk
menyelesaikan masalah
Siswa sudah bisa menghitung dengan benar banyaknya
kalor (Q) yang diperlukan untuk mengubah wujud zat,
namun mereka masih kesulitan ketika menghitung massa
zat (m).
3. Menganalisis persoalan
yang berkaitan dengan
hubungan kalor dengan
perubahan wujud zat
Siswa sudah bisa menganalisis data yang disajikan dalam
tabel berkaitan dengan pemanasan terhadap suatu zat,
namun masih kesulitan dalam menganalisis data jika data
disajikan dalam bentuk grafik
Berdasarkan Tabel 9 menunjukkan bahwa masih ada kesulitan pada siswa
terhadap tiga indikator pembelajaran. Siswa sudah bisa menghitung dengan benar
banyaknya kalor (Q) yang diperlukan dengan menggunakan persamaan kalor,
namun mereka masih kesulitan ketika menghitung massa zat (m) dan menghitung
perubahan suhu. Siswa sudah bisa menghitung dengan benar banyaknya kalor (Q)
yang diperlukan untuk mengubah wujud zat, namun mereka masih kesulitan
Melatih Keterampilan Proses Sains Melalui Kegiatan Eksperimen.... FP-22
ketika menghitung massa zat (m). Artinya, siswa masih kesulitan untuk
mengoperasikan persamaan-persamaan matematis. Siswa kesulitan untuk
menyelesaikan soal ketika yang ditanyakan adalah massa (m) atau perubahan suhu
(T) karena mereka sulit mengubah persamaan dari bentuk asli persamaan Q =
mcT. Hal ini juga terjadi lagi pada kalor laten. Siswa kesulitan untuk
menyelesaikan soal ketika yang ditanyakan adalah massa (m) karena mereka sulit
mengubah persamaan dari bentuk asli persamaan Q = mL.
Selain masalah operasi matematis, siswa kesulitan menganalisis permasalahan
yang disajikan dalam bentuk grafik. Siswa sudah bisa menganalisis soal yang
disajikan berupa tabel, namun mereka kesulitan ketika data tersebut disajikan
dalam bentuk grafik. Artinya, siswa belum memahami secara tuntas dalam
menganalisis data dalam soal yang disajikan dalam dua bentuk yang berbeda
(grafik dan tabel).
Tabel 7 memperlihatkan bahwa pada kelas XI MIA 1, 74,19% siswa tuntas
belajarnya dari aspek kognitif. Artinya, pembelajaran yang dilakukan tidak hanya
memfokuskan pada bagaimana melatih keterampilan proses sains melalui kegiatan
percobaan, tetapi juga tetap menekankan pada aspek pengetahuan tentang kalor.
Namun demikian, masih ada 8 siswa yang masih belum mencapai ketuntasan hasil
belajar kognitif. Berdasarkan Tabel 3 dan Tabel 6, diantara kedelapan siswa ini,
terdapat lima siswa yang KPS-nya juga hanya berkategori cukup baik. Artinya,
kelima siswa ini memang mengalami kesulitan dalam pembelajaran. Suwarto
(2013) menyatakan bahwa kesulitan belajar pada siswa dapat dilihat dari beberapa
gejala, salah satunya adalah siswa menunjukkan hasil belajar yang rendah [15].
Siswa-siswa ini perlu diberikan perhatian lebih agar dapat memperbaiki dan
meningkatkan hasil belajarnya.
4. Simpulan
Sebagian besar siswa telah memperlihatkan penguasaan keterampilan proses sains
melalui tes unjuk kerja. Secara individu, 26 siswa tuntas dan 5 siswa tidak tuntas.
Artinya 83,87% siswa di kelas VII-6 sudah mencapai ketuntasan. Artinya,
pembelajaran pada materi kalor ini sudah bisa melatihkan keterampilan proses
sains pada siswa di kelas VII-6. Namun demikian, masih ada kelemahan yang
ditemui berkaitan dengan keterampilan proses ini adalah banyak kesalahan siswa
dalam mengidentifikasi variabel eksperimen.
Aktivitas siswa kelas VII-6 selama penerapan perangkat pembelajaran sudah
menggambarkan kesesuaian dengan model pembelajaran langsung dan model
pembelajaran kooperatif. Aktivitas siswa yang dominan pada pertemuan pertama
adalah mendengarkan penjelasan dari guru dan melakukan kegiatan terbimbing.
Sedangkan, aktivitas siswa yang dominan pada pertemuan kedua adalah
mengerjakan LKS dan memperhatikan penjelasan guru. Namun, masih perlu
perbaikan untuk meningkatkan aktivitas siswa untuk berani mengemukakan
pendapat dan mempresentasikan hasil pekerjaannya.
FP-23 Theo Jhoni Hartanto dkk
Sebanyak 74,19,5% siswa kelas VII-6 telah mencapai ketuntasan hasil belajar
kognitif. Namun demikian, masih ada kesulitan pada siswa terhadap tiga indikator
pembelajaran. Dua indikator berkaitan dengan penyelesaian matematis yaitu
menerapkan hubungan antara kalor dengan kenaikan suhu, massa dan jenis zat
dalam soal dan menerapkan persamaan kalor laten untuk menyelesaikan masalah.
Sedangkan satu indikator lain berkaitan dengan menganalisis persoalan yang
berkaitan dengan hubungan kalor dengan perubahan wujud zat yang disajikan
dalam bentuk grafik. Guru harus memberikan perhatian terhadap indikator ini
sebab walaupun siswa telah melakukan eksperimen berkaitan dengan kalor laten,
tetap saja masih banyak siswa yang belum memahami tentang kalor laten ketika
disajikan dalam bentuk grafik dan tabel.
Ucapan Terimakasih
Ucapan terimakasih disampaikan kepada Lembaga Penelitian Universitas
Palangka Raya, seluruh dosen di Program Studi Pendidikan Fisika Universitas
Palangka Raya, Dinas Pendidikan Kota Palangka Raya, kepala sekolah beserta
seluruh staf di SMP Negeri 6 Palangka Raya, dan semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian penelitian.
Referensi
1. Sahin, M. 2009. Exploring University Students' Expectations and Beliefs
About Physics and Physics Learning in Problem Based Learning Context.
Eurasia Journal of Mathematics, Science, Technology Education, 321-333.
2. Hartanto, Sinulingga, dan Suhartono. 2015. Analisis Pemahaman Konsep IPA
(Fisika) Siswa SMP di Kota Palangka Raya. Makalah disampaikan pada
Seminar Nasional Fisika di Universitas Palangka Raya tanggal 26 Maret 2015.
3. Urbancic dan Glazar. (2012). Impact of Experiments on 13 years-old pupils'
Understanding of Selected Science Concepts. Eurasia Journal of
Mathematics, Science, and Technology Education , 207-218.
4. Suparno, Paul. 2007. Metodologi Pembelajaran Fisika: Konstruktivistik dan
Menyenangkan.Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
5. Slavin, R. 2011. Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik Jilid Satu. Jakarta:
PT Indeks.
6. Joyce dan Weill. 2009. Models of Teaching: Model-model Pengajaran.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
7. Veenman, Denessen, van den Oord, dan Naafs. 2003. The Influence of a
Course on Direct and Activating Instruction upon Student Teachers'
Classroom Practice. Journal of Experimental Education, 197-225.
8. Klahr dan Nigam. 2004. The Equivalence of Learning Paths in Early Science
Instruction: Effect of Direct Instructon and Discovery Learning. Association
for Psychological Science, 661-667.
9. Arends, R. I. 2008. Learning to Teach : Belajar untuk Mengajar Edisi Ketujuh
Buku Dua. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
10. Rusman. 2013. Model-model Pembelajaran: Mengembangkan
Profesionalisme Guru Edisi Kedua. Jakarta: Raja Grafindo.
Melatih Keterampilan Proses Sains Melalui Kegiatan Eksperimen.... FP-24
11. Chabalengula, Mumba, dan Mbewe. 2012. How Pre-service Teachers’
Understand and Perform Science Process Skills. Journal of Research in
Science Teaching, 167-176.
12. Subiyanto. 1988. Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
13. Suprijono, A. (2012). Cooperative Learning: Teori dan Aplikasi PAIKEM.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
14. Nur, M. (2011). Pengajaran Berpusat pada Siswa dan Pendekatan
Konstruktivis dalam Pengajaran edisi 5. Surabaya: Unesa: PSMS.
15. Hofstein, Navon, Kipnis, dan Naaman. 2005. Developing Students' Ability to
Ask More and Better Questions Resulting from Inquiry-Type Chemistry
Laboratories. Journal of Research in Science Teaching, 791-806.
16. Sanjaya, Wina. 2011. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
17. Jones, Leo. 2007 The Student-Centered Classroom. Cambridge University
Press.
top related