materi dari buku utilitas
Post on 14-Apr-2016
51 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
COGENERATION
Produksi kerja (daya mekanik atau listrik) melalui pembakaran bahan bakar fosil
merupakan proses yang sangat tidak efisien, dibandingkan terhadap fue cell. Efisiensi power
plant berkisar antara 30% sampai dengan 45%. Artinya 55% sampai dengan 70% energy bahan
bakar terbuang, berupa panas ke lingkungan. Sebagian panas terbuang ini dapat diambil kembali,
misalnya untuk pemanas proses melalui produksi uap. Dengan pengambilan panas buang ini,
energy bahan bakar yang memanfaatkan dapat mencapai 80%. Usaha untuk meningkatkan
efisiensi penggunaan sumber energi antara lain adalah cogeneration dan combined cycles.
Cogeneration adalah produksi serempak dua bentuk energy akhir atau lebih, dari satu
sumber energi. Di dalam pabrik kimia, cogeneration biasanya digunakan untuk memproduksi
energy mekanik (listrik) dan energy termal (uap). Cogeneration juga dikenal dengan nama lain,
seperti total energy system atau waste heat utilization system. Sistem ini telah dikenal sejak
lama, tetapi baru menjadi topik hangat pada akhir-akhir ini sebagai akibat kesadaran terhadap
penghematan sumber energy.
Combined cycles adalah pemanfaatan satu bahan bakar untuk produksi daya (kerja,
listrik) melalui siklus termodinamika. Kombinasi siklus yang umum dipakai adalah siklus
Brayton dan Rankine, yang diterapkan pada produksi listrik di PLTGU (Pusat Listrik Tenaga
Gas dan Uap).
7.1 Topping Cycle dan Bottoming Cycle
Konfigurasi dasar cogeneration ada dua macam, yaitu topping cycle dan bottoming cycle.
Pada konfigurasi topping cycle, energy bahan bakar dimanfaatkan prtama kali untuk
memproduksi energy mekanik melalui suatu siklus termodinamika (Lihat gambar 7.1). Energi
termal sisa produksi energy mekanik, yang dapat berupa uap atau panas gas buang ,
dimanfaatkan untuk menggerakkan proses kimia (reaksi, pemanasan, dan lain-lain). Konsumsi
bahan bakar untuk pembangkit kerja dan energi termal engan topping cycle lebih hemat daripada
konsumsi bahan bakar untuk pembangkit energi mekanik dan energi termal secara terpisah.
GAMBAR 7.1
Di dalam bottoming cycle , kebutuhan panas proses di pabrik kimia dipenuhi langsung
dengan bahan bakar (lihat gambar 7.2). Energi termal sisa proses kemudian dimanfaatkan untuk
produksi energi mekanik melalui suatu siklus termodinamik. Akhirnya, energi mekanik tersebut
digunakan untuk membangkitkan listrik. Penggunaan Bottoming cycle juga menghemat sumber
energy. Salah satu contoh bottoming cycle adalah pemanfaatan gas cerobong steam reforming
untuk produksi uap di dalam waste heat boiler (WHT). Uap tersebut selanjutnya digunakan
sebagai penggerak turbin uap.
Konfigurasi topping cycle lebih sering dijumpai di dalam pabrik kimia, dengan siklus
Rankine (turbin uap), siklus Brayton (turbin gas) atau siklus Diesel (motor diesel) sebagai pilihan
penggerak mula (mesin panas pembangkit kerja).
GAMBAR 7.2
7.2 Cogeneration Dengan Turbin Uap
Turbin uap merupakan suatu system pembangkit kerja yang paling banyak digunakan
didalam cogeneration. Turbin uap yang digunakan dalam cogeneration biasanya turbin back
pressure. Uap bekas ekspansi di dalam turbin back pressure adalah uap jenuh atau sedikit diatas
jenuh. Uap bekas turbin dalam system cogeneration sederhana ini dialirkan ke unit-unit
pemroses di dalam pabrik (lihat gambar 7.3)
GAMBAR 7.3
Satu kelemahan cogeneratin sederhana itu adalah saling ketergantungan antara beban
listrik dan beban termal. Untuk mengurangi ketergantungan kedua beban tersebut, jaringan listrik
dan cogeneration dihubungkan dengan sumber listrik independen (misalnya dari jaringan listrik
umum atau pembangkit listrik tenaga diesel). Cogeneration dioperasikan menurut kebutuhan
energy termal unit-unit proses, sedang produksi listrik tergantung pada laju alir uap yang lewat
turbin. Jika produksi listrik berlebih , maka power plant akan mengirimkan kelebihan listrik
tersebut ke jaringan listrik umum. Sebaliknya, kekurangan energy listrik dipenuhi dengan
pengambilan listrik dari jaringan umum.
Kinfigurasi lain yang lebih fleksibel adalah pengaturan laju uap dengan Pressure
Reducing Valve (PRV) beserta desuperheater (DS), dan Surplus Valve (SV) (lihat gambar 7.4).
Jika kebutuhan uap untuk energy termal proses lebih besar daripada kebutuhan uap untuk
menggerakkan turbin, maka pemenuhan kebutuhan uap untuk proses dilakukan dengan
pengaliran uap lewat PRV.
Di dalam PRV, uap mengalami ekspansi isentalpi, sehingga uap makin superheated.
Karena uap pemanas proses harus pada kondisi sekitar titik jenuh, maka uap panas yang keluar
PRV dibasahi dengan air di dalam desuperheater (lihat bab V, Neraca Uap).
GAMBAR 7.4
Pengendalian laju alir uap dilakukan dengan pengukuran tekanan uap disaluran yang
menuju unit-unit proses (lihat gambar 7.4). Jika terjadi kekurangan uap, tekanan uap di dalam
saluran turun. Penurunan tekanan ini selanjutnya akan membika PRV. Pengendalian temperature
uap dilakukan dengan pengukuran temperature uap DS. Jika temperature masih tinggi, maka laju
alir air ke DS dibesarkan. Sebaliknya, kelebihan uap ke unit proses akan keluar lewat Surplus
Valve. Uap lebih ini dikondensasi untuk diumpankan kembali ke boiler. Hal terakhir ini
merupakan pemborosan energy.
Sistem cogeneration dengan PRV sesuai untuk kebutuhan uap pemanas lebih tinggi
daripada kebutuhan uap untuk penggerak turbin. Jika kebutuhan uap pemanas lebih rendah
daripada kebutuhan uap ke turbin, maka pengaturan kebutuhan uap dan daya keluar turbin
dilakukan dengan penggunaan Extraction Turbine (lihat gambar 7.5)
Turbin ekstraksi paling tidak terdiri dari dua tahap ekspansi uap :
a. Suatu tahap ekspansi uap seperti dalam turbin Back Pressure, jadi uap tidak mencapai
ekspansi penuh.
b. Ekspansi akhir dilakukan ditingkat berikutnya yang mirip Condensing Turbine, uap
diekspansi sampai jenuh atau bahkan terkondensasi sebagian.
Uap proses diambil dari ekspansi tahap pertama (uap ekstraksi). Jika kebutuhan uap
proses meningkat, ekstraksi uap meningkat. Laju uap lewat turbin pertama meningkat, tetapi laju
uap lewat turbin terakhir berkuang. Hasilnya, daya keluar turbin dapat dijaga tetap. Sebaliknya,
jika kebutuhan uap proses menurun, laju alir uap ke turbin pertama dikurangi, sehingga daya
keluar turbin juga dapat dijaga tetap.
GAMBAR 7.5
Kondisi uap pertama masuk turbin merupakan satu hal penting dalam cogeneration. Uap
ini harus mempunyai tekanan dan temperature tingg, karena uap bekas turbin masih akan
digunakan sebagai uap proses. Boiler untuk cogeneration harus mampu untuk memproduksi uap
tekanan tinggi, tetapi kapasitasnya relatif rendah.
top related