manipulasi sejarah aceh oleh wali nanggroe
Post on 31-Dec-2015
144 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Manipulasi Sejarah Aceh oleh Wali Nanggroe
Wali Nanggroe, Paduka Yang Mulia Muhammad Hasan Tjik di Tiro, nama ini begitu akrab
bagi sebagian besar masyarakat Aceh. Bagi orang Aceh, nama Hasan Tiro berasal dari kaum terhormat, ibarat raja yang sangat dicintai oleh rakyatnya, hingga kepergiannya pun untuk berpulang ke Rahmatullah diantar oleh ribuan rakyat Aceh dan ditangisi oleh jutaan lainnya.
Sementara itu, rekan seperjuangan almarhum yang saat ini menjabat sebagai Pemangku Wali, Malik Mahmud juga dianggap sebagai figur bersih dan berwibawa yang membawa kedamaian
bagi rakyat Aceh atas kepemimpinan dan tauladannya. Tapi benarkah demikian kenyataannya? Bagaimana jika itu semua adalah bualan semata dengan cara memanipulasi sejarah dan
merekayasa keadaan supaya berpihak kepada keuntungan pribadi? History, bisa berarti HIS
STORY.
SYAHDAN, adalah seorang "sultan" yang hendak memegang tampuk kepemimpinan di Aceh, dengan nama monarkis yang terlampau panjang: Al Mudzabbir Al Maulana Al Malik Al
Mubin Profesor Doktor Sultan Di Tiro Muhammad Hasan Ibnal Sultan Maat di Tiro. Memang panjang gelarnya itu. Sepanjang riwayat bualannya dari Swedia dan perjalanan sejarah
Aceh yang bersimbah darah akibat ulah Sultan "jadi-jadian" ini.
Nama berbaris-baris itu terdengar jumawa. Anehnya, Hasan mengangkat anak tunggalnya, Karim Tiro, sebagai putra mahkota untuk menggantikan posisinya sebagai "raja" Aceh. Cara
yang feodalistis dan dinastik ini sangat bertentangan dengan sikap masyarakat Aceh yang egaliter dan demokratis. Manipulasi sejarah ini ditetapkan Hasan Tiro yang menjadi landasan pengukuhan dirinya sendiri sebagai wali nanggroe dan rekan sejawatnya Malik Mahmud sebagai
Pemangku Wali dalam rapat rahasia sigom donya di Stavanger Norwegia. Lucunya lagi, rapat tersebut dijadikan landasan oleh DPRA yang memang sebagian besar merupakan kader yang
berasal dari Partai eks kombatan GAM, Partai Aceh. Klop sudah kebohongan dan bualan
yang diundangkan.
Fakta Sejarah
Semasa hidupnya, Hasan Tiro sering mengaku sebagai keturunan ulama Di Tiro, bahkan berani mengklaim dirinya sebagai pewaris tunggal Teungku Chik Di Tiro. Padaha l, menurut catatan
sejarah, ahli waris Teungku Chik Di Tiro (dari garis keturunan laki-laki) berakhir pada 5
September 1910. Yakni, setelah wafatnya Teungku Chik Mayet di Tiro yang gugur membela
Indonesia melawan Belanda. Bukan seperti Hasan Muhammad Tanjong Bungong yang lari ke luar negeri diuber-uber tentara republik. Lelaki bertubuh kurus pendek ini lahir di Tanjong Bungong, Lamlo, Pidie, sebagai putra kedua Leubee Muhammad Tanjong Bungong, pada 1923.
Tidak sebuah riwayat pun yang menukilkan ayahnya, Leubee Muhammad, sebagai
seorang ulama maupun berdarah biru. Juga tidak ada pertautan dengan Teungku Chik Di
Tiro. Hasan lahir sebagai anak petani.
Hasan Tiro= Hasan Leubee Muhammad Tanjong Bungong
Jika merunut garis keturunan, maka Hasan mesti menyebut nama lengkapnya Hasan Leubee
Muhammad Tanjong Bungong, bukan Hasan Tiro, konon katanya pula sultan Aceh. Bahkan
ada sumber yang menyebutkan bahwa sesungguhnya ia juga keturunan Jawa-Banten. Aneh dan lucu bukan? Jika semasa hidupnya ia menjadikan kebodohan dan kekurangan orang Jawa sebagai bagian dari propaganda negatif yang selama ini ditebar di Aceh hingga membuat orang Aceh
percaya sebuah kebohongan daripada kebenaran dan fakta. Ibarat menjilat ludanya sendiri, Hasan Tiro semasa hidupnya telah menyebarkan kebencian demi keuntungan pribadinya sendiri
Sekarang, Hasan Tiro telah wafat, ketika rakyat Aceh telah terlanjur memercayai segala hal yang menjadi rekayasa politik demi keuntungan pribadinya semata. Sejarah yang dalam bahasa inggris
adalah History yang saya plesetkan dalam kasus ini menjadi HIS STORY( ceritanya=bualannya). Bualan Hasan Tiro yang berhasil menempatkan dirinya pada posisi yang begitu terhormat di
mata rakyat Aceh. Setelah Hasan Tiro tiada, masihkah bualan dan kebohongan ini berlanjut? Mungkin masih, karena Pemangku Wali, Malik Mahmud Al Haytar sangat mungkin menjadi suksesor manipulasi sejarah Aceh, entah sampai kapan.
SUMBER : http://m.kompasiana.com/user/profile/yusufdaud
Mengenal Malik Mahmud MENURUT DR HUSAINI HASAN (MP-GAM)
Tulisan ini ditujukan untuk meluruskan pemahaman tentang keberadaan Majelis Pemerintahan Gerakan Aceh Merdeka (MP-GAM). Sangat disesalkan, ambisi-ambisi kekuasaan beberapa orang yang berada dilingkaran gerakan perjuangan telah menyebabkan terjadinya pertikaian
antar sesama petinggi GAM.
Bahkan orang yang tidak bersalah pun ikut menjadi korban fitnah tersebut. Tulisan ini tidak ditujukan untuk membuka aib orang lain, apalagi hal itu menyangkut tentang eksistensi kawan
seperjuangan.
Tetapi mengingat adanya kesimpang-siuran sejarah yang sengaja diciptakan, yang boleh jadi akibat dari infiltrasi kepentingan-kepentingan asing guna mengacaukan konsolidasi internal,
maka tulisan ini kiranya perlu saya tuliskan. Konon lagi saat ini, berita-berita fiktif itu telah berkembang dalam masyarakat Aceh, dan belum ada pihak yang memiliki otoritas sejarah yang berani meluruskannya. Almarhum Tgk Hasan M. di Tiro pernah berpesan ”sesuatu yang salah
akan dianggap benar, bila kebanyakan orang mengatakan itu benar, sebaliknya kebenaran yang diketahui harus ditegakkan meskipun kita hanya seorang diri”
.Sedikit flash back, MP-GAM adalah organ yang dibentuk di Kuala Lumpur pada tahun 1999,
oleh para senior GAM yang masih setia kepada perjuangan. Inisiatif pembentukan majelis ini merupakan sikap antisipatif mengingat kondisi kesehatan Wali yang mulai menurun akibat terkena stroke pada Agustus 1997, ditambah lagi dengan fakta rancunya konsolidasi perjuangan
setelah diambil alih oleh Malik Mahmud
Malik telah menyingkirkan relatif 90% para loyalis perjuangan di Stockholm dan Malaysia, termasuk diantaranya Panglima Angkatan Darat Tgk. M. Daud Husin. Beberapa tokoh penting
generasi awal sudah tidak lagi mendapat tempat. Sebaliknya Malik pun mulai membangun hegemoni kekuasaannya bersama orang-orang yang relatif mudah dikendalikannya. Secara tidak langsung, bisa kita simpulkan bahwa Malik telah melakukan Kudeta Garis Kepemimpinan
Banyak orang yang lupa atau tidak mengetahui bahwa (alm.) Tgk. Hasan M. di Tiro telah membentuk Majelis Negara dan menandatangani dekrit pada tanggal 17 Maret 1979, sesaat sebelum beliau berangkat keluar negeri. Dekrit tersebut menegaskan bahwa dalam kondisi Wali
Negara yang absen, misalnya karena sakit atau keluar negeri, maka Pemerintahan dija lankan oleh Majelis Menteri (Council of Ministers), yang dikepalai oleh Perdana Menteri dengan beberapa
orang Wakil Perdana Menteri. Dalam kondisi absen tetap, seperti kematian, maka kepemimpinan digantikan secara berturut-turut sesuai dengan ranking senioritas yang telah ditentukan sebagai
berikut: Perdana Menteri-1 (PM-1): Dr. Mokhtar Y. Hasbi, Wakil PM-1: Tgk. Haji Ilyas Leube, Wakil PM-2: Dr. Husaini Hasan, Wakil PM-3: Dr. Zaini Abdullah, dan Wakil PM-4: Dr. Zubir
Mahmud
Urutan ini diatur berdasarkan senioritas kepemimpinan dalam Central Comittee National Liberation Front of Atjeh Sumatra. Hal ini termaktub dalam buku ”The Unfinished Diary of the Tgk. Hasan di Tiro”, edisi 1982 halaman 219. Buku yang sama telah diterbitkan ulang pada
tahun 1986 tetapi dengan beberapa perubahan isi dan substansi karena alasan pragmatism dan kepentingan dan justifikasi kekuasaan
Dekrit tersebut juga dikuatkan dan ditandatangani oleh para Madjelis Menteri dalam pertemuan
di Jengki Wilajah Peureulak awal tahun 1980, dua bulan setelah Tgk. Hasan berangkat keluar negeri. Pertemuan ini diikuti oleh Dr. Mokhtar Y. Hasbi, Tgk. Hadji Ilyas Leube, Dr. Husaini
Hasan, dan Dr. Zubir Mahmud. Sedangkan dr. Zaini Abdullah berada di Wilayah Pidie bersama Tgk. Mohammad Daud Husin. Menteri-menteri lainnya sebagian telah ditangkap seperti Tgk. Mohammad Tahir Husin, atau yang dipenjarakan seperti Tgk Muhammad Lampoih Awe dan
sebagian lagi telah ”turun gunung”
Dua menteri yang lain tinggal tetap di Singapura yaitu Malek Mahmud dan abangnya, Amir Mahmud. Para inisiator pembentukan MP-GAM diantaranya adalah Tgk Idris Mahmud
(Gubernur Wilayah Peureulak), Tgk. Muhammad Mahmud (Panglima Wilayah Peureulak), Tgk. Abdullah Krueng (Ketua Majelis Orang Tuha di Kuala Lumpur), Tgk. Robert Suryadarma (Panglima Aceh Besar), Tgk. Sulaiman Amin (Panglima Wilajah Batee Iliek) dan sejumlah
petinggi lulusan Libya angkatan pertama
Lembaga ini difungsikan sebagai Majelis Pemerintahan Darurat bila pimpinan tertinggi gerakan berada dalam kondisi in-absentia. Disaming itu, inisiatif ini juga merupakan respon atas
melemahnya konsolidasi di bawah kepemimpinan Malek Mahmud. Malek telah mengganti secara radikal semua garis kepemimpinan yang sebelumnya ada. Sejumlah dokumen hasil rapat telah dikirimkan ke Markas Besar GAM di Eropa untuk persetujuan lebih lanjut. Markas Besar
membahas dokumen-dokumen tersebut dan memutuskan untuk mendukung keberadaan Majelis
Restu dari MB ini meninggalkan ketidakpuasan di lingkaran kepemimpinan Malik Mahmud yang bermuara pada pembunuhan Tgk. Haji Usman Pasi, Tgk. Abdul Wahab dan Teuku Don
Zulfahri. Lebih jauh dari itu, MP-GAM difitnah sebagai agen Jakarta, yang bekerjasama dengan pemerintah Republik Indonesia dan sepakat menerima otonomi untuk Aceh. Tak ayal, fitnah ini pun berkelanjutan sehingga timbul ancaman dan pengkambing-hitaman untuk setiap kegagalan
perjuangan GAM
Namun hari ini, rakyat bisa menilai sendiri, siapa sebenarnya yang menerima otonomi Aceh? Atau siapa mengkhianati Proklamasi 1976, serta membubarkan Gerakan Perlawanan?
Sementara Gerakan yang dipandu oleh Malek Mahmud dan Zaini Abdullah juga telah dibubarkan dan diganti dengan Partai Aceh (PA) yang hari ini sedang disibukkan dengan
beberapa agenda pragmatis, seperti merebut kursi Gubernur
Besar harapan, tulisan singkat ini bermanfaat bagi generasi muda Aceh, terutama dalam melihat sejarah Aceh secara objektif dan bebas dari fitnah-fitnah kelompok yang berkepentingan.
Sebagai salah seorang pelaku sejarah, saya merasa hal ini perlu diluruskan agar-cita-cita meraih kedaulatan sebagai bangsa yang berharga diri, serta dalam rangka menwujudkan perdamaian serta keadilan, bisa kita capai bersama-sama. Masih banyak hal yang bisa saya bagikan (sharing)
dan perlu kita diskusikan lebih jauh, berdasarkan data dan fakta yang ada. Kepada Allah juga kita memohon ampunan-Nya.
Beberapa pejuang Atjeh merdeka tahun 70an meminta saya untuk menyampaikan siapa
sesungguhnya Malik Mahmud yang disebut-sebut sebagai Meuntroe Malek. Tanpa bermaksud menyebarkan gossip apalagi fitnah keji, namun karena niat baik dan tulus demi generasi muda
Aceh yang akan datang dan demi konsistensi sikap para pejuang tua AM maka saya menyampaikan fakta-fakta sesuai pengalaman hidup yang saya ketahui selama ini
Malik Mahmud selama ini menggelari dirinya sebagai Meuntroe Malek bahkan dalam draft qanun Wali nanggroe yang dirancang oleh sebagian besar anak-anak Partai Aceh menempatkan
Malik Mahmud sebagai Perdana Menteri dan setelah wafatnya Yang Mulia Paduka Hasan Tiro maka Malik Mahmud bersiap untuk menggantikannya. Padahal sesungguhnya nama sebenarnya
adalah Khila Bin Mahmud alias Malik Haytar Bin Mahmud. Dia tinggal bersama Ibunya di Singapura, tidak berapa fasih berbahasa Aceh. Ayahnya keturunan India yang lahir di Aceh. Dulu dia tukang tenteng (bawa) tas Hasan Tiro. Dia menjadi da lang pengutipan dana dari buruh-
buruh kontrak warga Aceh di Malaysia sejak tahun 1985. Dia juga yang menjadi dalang terjadinya peristiwa Semenyih (Malaysia) pada tahun 1997 yang mengorbankan puluhan warga
Aceh. Semenjak sakitnya Wali negara Hasan Tiro pada tahun 1997, maka praktis komando GAM berada di tangannya
Gerak langkah GAM di bawah pimpinan Malik Mahmud (MM) sangat jauh berbeda dengan GAM yang kami pimpin pada permulaannya (saya dan Hasan Tiro maupun pejuang AM
lainnya). Meskipun nama MM telah dicantumkan sebagai Menteri Negara di tahun 1976, tetapi yang membuat MM berpengaruh di dalam GAM dimulai di tahun 1987, di saat ia mendapat
tugas untuk merekrut anak-anak muda dari Aceh dan dari Malaysia untuk dilatih di Libya dan dari Libya dipulangkan ke Aceh. Semua mereka ini sebelum pulang ke Aceh juga harus melalui MM. Semua pemuda latihan Libya hanya mengenal MM sebagai pemimpin AM, tidak tahu
menahu seluk beluk ideologi AM apatah lagi sejarah Pra AM. Tidaklah heran kalau garis perjuangan TNA di bawah MM berbeda daripada dari tujuan semula. Secara garis besarnya
GAM MM memisahkan diri dari rakyat. Mereka menunjukkan dirinya sebagai penguasa dan mendikte rakyat
Siapa yang membangkang langsung ditindak. Hanya ada dua pilihan, yaitu: jalankan perintah atau bayar pajak yang ditetapkan atau anakmu yatim, kehilangan bapaknya. Bukan saja kepada
rakyat, bahkan kepada rekan seperjuangan yang berlainan pendapat langsung digeser, difitnah dan tidak sedikit yang dihukum mati. Contoh rekan seperjuangan yang saya maksud: T. Don
Zulfahri, Tgk. Haji Usman, Tgk. Abdul Wahab, Tgk. Abdullah Shafii dll. Guraa Rahman difitnah dan diperangkap hingga dimasukkan ke dalam penjara Malaysia. Tgk. Daud Husin
difitnah dan dicopot dari jabatannya serta diperintah bunuh. Besar dugaan pembunuhan Djafar Siddik SH, Prof. Safwan Idris, dan Prof. Dr. Dayan Daud pun ada sangkut-pautnya dengan
perebutan kuasa di kalangan masyarakat Aceh dan dalam usaha pembersihan lawan politik MM
Latar belakang MM yang kurang jelas dan dasar pendidikan yang belum dapat dibuktikan menjadikan MM dinilai oleh para pejuang tua AM tidak layak menempati posisinya seperti sekarang. Meskipun kami, tidak begitu dekat macam dia dengan para anak muda GAM yang
sekarang banyak direkrut olehnya sejak dulu. Oleh karenanya, kami berniat mengungkap fakta-fakta ini dalam forum yang entah kredibel, pantas atau tidak seraya berharap para pemuda Aceh
tetap waspada atas semua bujuk rayu dan hasutan yang bermuatan kepentingan pribadi orang-orang yang “mengaku” sebagai pejuang Aceh
Semoga Aceh tetap selalu berada di bawah lindungan Nya dari orang-orang jahat dan terkutuk.
Insyaallah.
Dr. Husaini Hasan
Penulis adalah Menteri Pendidikan Aceh Merdeka angkatan tahun 1976
Mengenal Malik Mahmud, Sang Pemangku Wali (1)
Malik Khaidir Mahmud. Demikianlah nama asli beliau. Seorang tokoh elit eks Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) yang dikenal dekat dengan Wali Nanggroe, Hasan Tiro. Tokoh yang satu ini memang sungguh unik, tertutup dan sangat berhati-hati dalam berbagai isu yang menyangkut akan latar belakang dan riwayat hidupnya. Sehingga tidak diperoleh catatan yang jelas apa dan
siapa Malik Mahmud tersebut. Sementara itu, arah politik Aceh pasca penandatanganan MoU Helsinki, menjadikan tokoh ini begitu populer sebagai Perdana Menteri GAM yang “berhasil”
membawa perdamaian ke Aceh melalui jalur politik. Hingga saat ini, tidak ada catatan yang jelas mengenai siapa sebenarnya Malik Mahmud ini. Dari mana ia berasal, kompetensinya dalam karir yang digelutinya selama ini, catatan pendidikan dan pengalaman pekerjaan, keluarga, anak dan
istri serta hal-hal lain yang terasa gelap bagi masyarakat Aceh tentang sosok yang disebut-sebut akan menjadi figure pemersatu bagi rakyat Aceh.
Riwayat Kehidupan
Ia lahir pada tahun 1939 si Singapura. Menghabiskan sebagian besar hidupnya di perantauan
mengikuti orang tuanya yang bekerja sebagai Saudagar di Singapura. Semasa tinggal di Singapura, ia sempat bekerja sebagai pegawai pencatatan dan kelahiran sipil lalu terdaftar
sebagai Tentara Marinir Singapura akibat program wajib militer yang diberlakukan oleh negara itu. Tidak ada catatan yang jelas mengenai kiprah maupun karir Malik di militer. Selanjutnya, asal nama Malik Mahmud Al Haythar berasal dari kesulitan beliau di masa kecilnya dengan
menyebut nama tengahnya, “Khaidir”. Sehingga menggantinya dengan ejaan yang lebih mudah menjadi Hayther atau Haythar. Kata penambahan “Al” itu hanyalah reka-reka sendiri mengingat
orang Aceh senang dengan hal-hal yang berbau ke Arab-araban.
Ibunya berasal dari Lampreh, Lambaro. Ayahnya, Haji Mahmud, berasal dari Lampuuk, Banda Aceh, campuran Arab dan India. Haji Mahmud pindah ke Singapura untuk mengembangkan bisnis perdagangan. Almarhum Haji Mahmud Khaidir (demikian ia disebut)
merupakan pedagang Aceh yang hebat, sangat kaya, dengan sejumlah tanah yang dimilikinya hingga di Singapura. Semasa ia hidup, sebagai orang dagang, Haji Mahmud menjalin
persahabatan dengan berbagai kalangan baik di Aceh maupun di Singapura. Ia juga cukup dekat dengan tokoh-tokoh DI/TII seperti Teungku Ilyas Leubeu dan Tengku Daud Bereueh. Sementara Hasan Tiro sudah dianggap seperti anak sendiri olehnya. Sementara itu, di kalangan Singapura
pun Haji Mahmud cukup akrab dengan tokoh-tokoh kawasan Geylang tempatnya tinggal seperti kelompok See Tong, Wo Shing Wo, Sun Tee On hingga Roland yang merupakan cikal bakal
tokoh mafia terkenal yang sangat dekat dengan Malik Mahmud.
Sementara itu, Hasan Tiro selama tergabung dalam DI sangat dekat dengan keluarga Mahmud, terutama dengan Amir Rashid (abang Malik Mahmud yang juga salah seorang Mentri GAM). Haji Mahmud sendiri dianggap sangat berjasa bagi masyarakat Aceh di Singapura, juga bagi
orang Melayu, sehingga ia dikenal engan sebutan Ayah Aceh. Ketika terjadi racial clash di Singapura, orang Melayu di Geylang lari berlindung ke rumahnya dengan aman akibat koneksi
yang cukup baik dengan tokoh-tokoh Mafia dan Triad di Singapura tersebut.
Malik Mahmud dan Mafia Singapura
Sekitar tahun 1969 merupakan tahun dimana Roland dan anggota geng mafia See Tong mulai menancapkan “kukunya” di wilayah Singapura setelah sekian lama membangun reputasi bisnis
ilegalnya di Negeri Singa tersebut.
Tahun itu juga merupakan awal jalinan kedekatan persahabatan Malek Mahmud dan ketua geng, Roland alias Hylam-kia. Pada malam tanggal 23 Oktober 1969, sekitar sepuluh dari sesama
anggota geng dari See Tong menyerang dua anggota geng saingan mereka, Pek Kim Leng ( Putih Golden Dragon). Salah satu anggota geng saingan, yang juga bersenjata, tewas dan yang lainnya terluka parah dalam serangan itu.
Bentrokan terjadi akibat dari perselisihan sebelumnya antara tahta Tong (See Tong) yang dekat dengan kelompok perantau di Geylang termasuk Malik Mahmud dan Ayahnya, dengan Kim Pek Leng di sebuah bar. Krisis pun terjadi di antara keduanya, ketika negosiasi tidak tercapai untuk
menghasilkan solusi damai. Pertarungan antara dua geng pun terjadi dimana anggota geng akan saling menyerang saat melihat satu sama lain. Untuk menghindari adanya kejaran dari pihak
kepolisian Singapura, Roland dengan dibantu kelompok See Tong dan Malik Mahmud melarikan diri ke Malaysia dan atas bantuan koneksi dari Haji Mahmud yang luas, Roland berhasil ke Belanda dengan dibantu oleh mantan pelaut Singapura yang telah bermukim di Belanda,
bernama “Big Jhonny”. Atas rekomendasi Haji Mahmud lah, Big Jhonny membuka jalan Roland untuk bertemu dengan tokoh-tokoh TRIAD Hongkong di Belanda seperti Wo Shing Wo dan Sun
Tee On.
Kelompok ini yang selanjutnya terkenal dengan sebutan geng Ah Kong yang beroperasi hingga ke seluruh dunia termasuk Amsterdam, Belanda. Malik Mahmud yang kala itu telah mendukung perjuangan Hasan Tiro, ditunjuk sebagai penggalang dana dengan cara memasok kebutuhan akan
ganja dan zat-zat adiktif lainnya ke Belanda yang memang cukup tinggi permintaannya. Sebagaimana diketahui, Amsterdam merupakan salah satu kota dunia yang melegalkan
penggunaan ganja dan sejenisnya untuk dikonsumsi oleh warganya. Persahabatan geng Ah Kong terus berlanjut hingga saat ini bahkan setelah kematian Bos Ah Kong tahun 2010.
Perjalanan Malik Mahmud dalam “dunia bawah tanah” Singapura belum benar-benar berakhir meskipun dengan meninggalnya bos Ah Kong. Jalinan persahabatan terus dibangun sebagai
wujud kebersamaan dalam membangun reputasi di dunia hitam.
Mengenal Malik Mahmud, Sang Pemangku Wali (2)
Melanjutkan tulisan kemarin tentang sosok Sang Pemangku Wali Nanggroe, Malik
Mahmud Al Haythar, yang misterius dan tertutup serta keunggulannya dalam menjalin
dan memelihara kerjasama dan hubungan dengan “dunia bawah tanah” Singapura,
pembahasan kali ini akan mendeskripsikan kelihaian Malik Mahmud sebagai seorang
yang lihai dalam memanfaatkan peluang “kekosongan” sejarah Aceh dalam mendukung
langkah dan gerakan yang dilakukan oleh Hasan Tiro dalam memerdekakan Aceh.
Tahun 2002, adalah tahun penting bagi Malik Mahmud setelah perjalanan panjang yang ia
lakukan bersama Hasan Tiro sejak mengenalnya tahun 1964. Tahun itu, adalah tahun penetapan sekaligus pengukuhan dirinya sebagai Perdana Menteri GAM sekaligus Pemangku Wali Nanggroe dalam rapat rahasia yang dihadiri secara terbatas oleh para kombatan GAM di luar
negeri. Rapat rahasia itu dilaksanakan di Stavanger Norwegia atas inisiatif Malik Mahmud dalam upayanya menetapkan posisi dan kedudukan para elit GAM kala itu sekaligus sebagai usaha
untuk tidak kehilangan reputasi di tengah perlawanan keras yang dilakukan oleh para pejuang
GAM di Aceh yang sangat berwibawa saat itu yaitu Tengku Abdullah Syafei. Pemangku Wali sendiri dapat diartikan sebagai pelaksana tugas-tugas Wali Nanggroe apabila sang wali
berhalangan sementara ataupun tetap. Namun demikian, muncul pertanyaan, apakah
pengukuhan tersebut merupakan kehendak rakyat Aceh seluruhnya? Apakah pengukuhan
tersebut semata-mata merupakan strategi menuju ke puncak kekuasaan Aceh dengan
mengabaikan peranan Kesultanan Aceh yang sesungguhnya?
Sejarah mencatat, bahwa sejatinya wali nanggroe telah ada semasa Kesultanan Aceh di masa penjajahan Belanda yaitu Tuanku Hasyim Banta Muda, Syaikh Abdur Rauf al-Singkili yang
pernah mewakili kerajaan Aceh. Kesultanan Aceh sendiri berawal dari kepemimpina n Sultan Ali Mughayat Syah (1500-1530) hingga Sultan Muhammad Dawud Syah (1874-1903). Namun
demikian, dengan berlandaskan buku yang dikeluarkan oleh Parlemen Inggris, New Birth of Freedom tahun 1992, Hasan Tiro mengaku sebagai keturunan dan penguasa kesultanan Aceh yang ke-41 yaitu sejak tahun 1976. Ini adalah hal yang sungguh aneh di tengah para keturunan
langsung Sultan dan Wali Nanggroe Aceh Darusalam yang terikat oleh sejarah dan tradisi kesultanan Aceh melihat kedudukan Hasan Tiro maupun Malik Mahmud sebagai tokoh yang
memanipulasi sejarah Aceh untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya.
Dalam diskusi Panteue yang turut dihadiri Tuanku Raja Yusuf bin Tuanku Raja Ibarim sebagai cucu Sultan Alaidin Muhammad Dawud Syah (Sultan Aceh yang terakhir), juga hadir cucu Wali
Nangroe Tuanku Hasyim Banta Muda, Adli Abdullah tanggal 12 Desember 2010 di Lampriet Banda Aceh, menurut Adli bahwa dalam daftar Piagam Bate Kureng, SAMA SEKALI
TIDAK ADA NAMA Tgk. Hasan Tiro, kecuali Tengku Zainal Abidin Muhammad Tiro
dan Tengku Umar Tiro.
Selanjutnya, simbol kerajaan dan pemerintahan Aceh berupa cap Sikureng yang pernah diberikan kepada Tgk Chik di Tiro, setelah sepeninggal beliau pada tahun 1891, telah diserahkan
kepada Habib Samalanga (Reid, 2005:275). Melihat symbol kerajaan yang dipegang oleh
Habib tersebut, apakah keturunan habib itu juga berhak atas gelar Wali Nanggroe?
Melihat penelusuran sejarah singkat di atas tentang Wali Nanggroe, tentunya terbentuk pemahaman, siapa sebenarnya Hasan Tiro dan apa yang melandasi penunjukan Malik Mahmud
sebagai Pemangku Wali Nanggroe untuk menduduki sebuah jabatan yang memiliki nilai-nilai kultur dan sejarah Keacehan yang sangat tinggi dan tak ternilai?
Disinilah letak kelihaian Malik Mahmud dalam merencanakan dan memanipulasi sejarah Aceh
yang terputus karena didera konflik selama puluhan tahun. Malik Mahmud tampaknya menyadari posisinya yang sangat lemah dalam silsilah kesultanan Aceh sehingga merekayasa pertemuan rahasia Sigom Donya di Stavanger sebagai upayanya dalam mengukuhkan
kedudukannya andaikan Hasan Tiro tiada. Hal ini sama dengan ketika marsekal Perancis Jean Baptiste Bernadotte menggantikan Raja Swedia Carl XIII yang tidak memiliki putra mahkota.
Dengan musyawarah kerajaan yang diinisiasi oleh Bernadotte, maka mau tak mau dalam musyawarah tersebut menunjuk Bernadotte sebagai Raja Swedia pada tahun 1810.
Bisa dikatakan, apa yang dilakukan oleh Malik Mahmud dan mendiang Hasan Tiro dalam rapat
Stavanger tersebut adalah Coup D etat atas sejarah dan nilai-nilai kultur serta budaya Aceh
maupun pengkhianatan terhadap kejayaan Kesultanan Aceh masa lalu. Semuanya dilakukan bukan karena dilandasi oleh niat yang tulus dan ikhlas dalam mensejahterakan rakyat Aceh atau
bahkan memerdekakannya, namun lebih karena nafsu kekuasaan.
Mengenal Malik Mahmud, Sang Pemangku Wali (3)
Setelah berkisah tentang kelihaian Malik Mahmud dalam memanipulasi sejarah Aceh pada rapat Sigom Donya di Stavanger Norwegia 10 tahun lalu, cerita tentang Malik Mahmud kali ini akan
lebih menyoroti tentang “petualangan” Malik Mahmud dengan banyak wanita. Silsilah keluarga yang tidak jelas dan ketertutupan Malik Mahmud akan hal-hal yang bersifat pribadi, adalah hal
wajar bagi kebanyakan orang yang hidup dalam dunia hitam. Tidak jelas siapa orangnya yang disebut dengan Mrs. Malik Mahmud atau Nyonya Malik, namun yang sudah menjadi rahasia umum adalah banyak wanita di sekeliling Malik Mahmud.
“Petualangan” Malek Mahmud dan perempuan bukanlah hal baru bagi rakyat Aceh maupun kalangan eks kombatan GAM. Beberapa kesaksian dari sahabat yang gemar dalam “berpetualang” di dunia hiburan malam seluruh dunia, menyebutkan bahwa sosok Sang
Pemangku Wali ini, adalah orang yang sangat flamboyant, santai dan bersahabat. Hal ini tentunya berbeda dengan yang dikenal oleh rakyat Aceh selama ini, dimana Malik Mahmud
adalah figur yang tegas, tertutup dan keras.
Namun semua kesan keras dan ketegasannya tersebut hilang seketika dalam “petualangannya” ke
Palm Hills Casino resort Las Vegas tahun 2006 lalu, disebutkan bahwa ia menghabiskan hampir
seluruh waktunya di dalam Hugh Hefner club Sky Villa sebuah klub yang dimiliki oleh bos
majalah Playboy, Hugh Hefner. Klub ini memang luar biasa, dengan menyuguhkan hiburan-
hiburan kelas dunia dengan menu wanita-wanita paling cantik sejagad koleksi majalah Playboy
dari seluruh dunia. Artis-artis top Hollywood, pengusaha hingga para dictator negara-negara
ATimur Tengah kerap menjadi tamu istimewa klub yang berharga $35,000 USD per malamnya.
Malik Mahmud tentu dengan kekuatan dan pengaruhnya yang begitu besar di Aceh maupun
kalangan eks kombatan GAM tidak terlalu kesulitan untuk memperoleh dan membelanjakan
uang sebesar itu untuk membeli sebuah surga di dunia.
Selain di Amerika dan Eropa, petualangan Sang Pemangku Wali juga dilakukan di local area,
juga regional. Seperti di Singapura dan Medan, dua kota yang menjadi tempat favorite Malik
untuk menghabiskan weekendnya. Setiap akhir sholat Jumat, Malek Mahmud secara rutin
“terbang” ke Singapura maupun Medan untuk menuntaskan hasrat dan syahwatnya yang tertahan
selama lebih kurang 5 hari berada di Serambi Mekah.Di Singapura, sasaran penuntasan syahwat
Malik adalah di Orchad Tower maupun Huxon Hill, dua tempat yang terkenal dengan wanita-
wanita penjaja seks high class. Sementara itu di Medan, Malek kerap memanfaatkan “jasa”
penyedia layanan “pesan-antar” untuk melayaninya di hotel-hotel seperti Medan Deli maupun
Polonia Medan.
Terlepas dari baik ataupun buruknya keadaan ini jika dilihat dari sisi religius, paling tidak kita
semua menyadari bahwa kita hidup di dunia dan alam yang sama, kita pun menghirup udara
yang sama pula sehingga tentu apa yang dilakukan oleh Pemangku Wali adalah hal yang
manusiawi dimana semua manusia lahir disertai dengan akal dan nafsu. Apapun baju yang
dikenakannya, Pendeta, Ustadz atau bahkan Pemangku Wali sekalipun. Semuanya tetap manusia
dan masih memiliki nafsu, namun hanya dengan akal lah kehormatan dan reputasi dapat
dibangun sehingga tampil sebagai sosok yang pantas untuk menjadi panutan. Apakah Sang
Pemangku Wali pantas untuk menjadi panutan kita? Andalah yang memilih sesuai dari sudut
pandang mana anda melihat.
Pada 2 November tahun lalu, DPR Aceh secara resmi mengesahkan Rancangan qanun Wali
Nanggroe dalam rapat paripurna III di gedung utama DPRA dipimpin oleh Wakil Ketua DPRA Sulaiman Abda. Rancangan qanun kontroversial yang memperoleh tentangan dari banyak pihak
(selain Partai Aceh tentunya) tersebut mengumumkan urut-urutan Wali Nanggroe mulai dari yang pertama hingga yang ke-9. Sebagaimana yang telah dilansir oleh media-media lokal disebutkan bahwa Malik Mahmud Al Haytar adalah Wali Nanggroe ke-9 seperti berikut:
Wali Nanggroe dari Masa ke Masa
1. Tgk Chik di Tiro Muhammad Amin bin Muhammad Saman (1 Januari 1892 - 1896)
2. Tgk Chik di Tiro Abdussalam bin Muhammad Saman (1896 -1898)
3. Tgk Chik di Tiro Sulaiman bin Muhammad Saman (1898 - 1902)
4. Tgk Chik di Tiro Ubaidillah bin Muhammad Saman (1902 - 1905)
5. Tgk Chik di Tiro Mahjuddin bin Muhammad saman (1905 - 11 Desember 1910)
6. Tgk Chik Ulèë Tutuë alias Tengku Tjhik di Garôt Muhammad (11 Desember 1910 - 3 Juni
1911)
7. Tgk Chik di Tiro Muaz bin Muhammad Amin (4 Juni 1911 - 3 Desember 1911)
8. Tgk Hasan Muhammad di Tiro (4 Desember 1976 - 3 Juni 2010)
9. Tgk Malik Mahmud Al Haytar (2 November 2012 - sekarang )
Melihat urutan tersebut, sebagai orang Aceh yang banyak berkecimpung pada masa konflik dan perjuangan lalu, saya melihat ada hal yang perlu diluruskan dalam memahami urut-urutan WN
ini. Entah dari mana rujukan sehingga Malik Mahmud Al Haytar dapat dijadikan sebagai Wali Nanggroe ke-9. Apakah karena rapat Sigom Donya di Stavanger 2002 lalu? ataukah hanya kesepakatan antara kelompok Malik semata?
Untuk menjadi Wali Nanggroe, seseorang diwajibkan memiliki ilmu pengetahuan yang
tinggi, terutama dalam bidang Agama Islam dan adat resam Aceh. Selain itu wajib dilihat
juga asal dari keturunannya. Bahkan, dulu untuk dapat menjabat sebagai Raja atau pemimpin
golongan sangat ketat peraturannya. Wajib dilihat sejarahnya dari keturunan, pendidikan, tingkah laku, ibadat (tidak pernah dengan sengaja meninggalkan shalat jamaah), pergaulan, makanannya (tidak pernah makan makanan haram) dan lainnya. Yang sangat pokok adalah keturunan, Ilmu
Agama, Ilmu Umum, menguasai beberapa bahasa asing selain bahasa Arab yang wajib, pergaulannya, berapa lama pernah mengajar atau berapa banyak buku pernah ditulis. Mengapa
pergaulan sangat terutama disini? Karena jika calon pemimpin itu pernah berkawan dengan pencuri misalnya, jadi naluri mencuri harta negara sudah ada dalam tubuhnya. Pertanyaannya
sekarang adalah, apakah Wali Nanggroë sekarang sudah termasuk dalam katagori ini?
Tidak banyak rakyat Aceh yang mengenal siapa sebenarnya Malik Mahmud ini, bagaimana
silsilah keluarga dan keturunannya, ilmu agamanya dan bahkan pergaulannya. Sebelumnya saya pernah menulis bagaimana kiprah Malik Mahmud sebelum ikut Paduka Tjik Hasan Tiro,
pergaulannya di Singapura dan kabar bahwa dalam Raqan Qanun ia menolak untuk membaca ayat-ayat suci alquran. Inikah Wali Nanggroe yang diharapkan dapat mempersatukan rakyat Aceh?
Sedih rasanya jika perjalanan bangsa Aceh yang gemilang harus terjerembab dalam perangkap Wali Nanggroe ke-9 beserta orang-orang yang ada di lingkarannya. Mau kemana bangsa Aceh ini dibawa? Kemana lagi rakyat Aceh harus meminta perlindungan? Dimanakah Syariah Islam
berpihak? Semoga Allah SWT memberikan kekuatan dan kesabaran bagi semua rakyat Aceh.
SUMBER : http://m.kompasiana.com/user/profile/yusufdaud
top related