makalah sistersikosis nuna.pdf
Post on 20-Feb-2018
259 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
7/24/2019 makalah sistersikosis nuna.pdf
1/15
TUGAS MAKALAH ZOONOSIS
SISTISERKOSIS
OLEH:
ANDI AINUN KARLINA
O111 12 268
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2015
-
7/24/2019 makalah sistersikosis nuna.pdf
2/15
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena
dengan izin dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini
dengan judul Sistiserkosis . Shalawat dan salam selalu kita limpahkan kepada
junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kedamaian dan rahmat
bagi semesta alam.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mandiri dari mata Kuliah
Zoonosis. Penulis berharap makalah ini sedikit banyaknya memberikan manfaat
khususnya bagi penulis sendiri umumnya bagi semuanya. Akhirnya kepada Allah
jua penulis memohon ampun, jika terdapat kesalahan dan kekurangan dalam
penyusunan makalah ini. Besar harapan saya selaku penulis atas saran dari
pembaca guna perbaikan isi materi dari makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua. Amin ya Robalalamin.
Makassar, 19 November 2015
Penulis
i
-
7/24/2019 makalah sistersikosis nuna.pdf
3/15
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantar................................................................................................................
i
Daftar Isi ............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 2
1.3 Tujuan Makalah ................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi dan Etiologi Sistiserkosis ........................................................ 3
2.2 Gejala Klinis Sistiserkosis .................................................................... 4
2.3 Patogenesa dan Patofisiologi Sistiserkosis............................................ 5
2.4 Sejarah Penyebaran Penyakit dan Epidemologi Sistiserkosis ............... 6
2.5 Pengobatan dan Pencegahan Sistiserkosis ............................................ 8
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ......................................................................................... 10
3.2 Saran .................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 12
ii
-
7/24/2019 makalah sistersikosis nuna.pdf
4/15
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Taeniasis dan sistiserkosis merupakan penyakit yang menyerang
masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah, seperti yang dikonfirmasi pada
statistika yaitu daerah dengan standar kehidupan yang rendah. Beberapa
negara maju seperti Amerika Serikat, masyarakatnya juga dapat terinfeksi
Taenia sp. akibat perjalanan yang dilakukan di daerah endemis. Semua usia
rentan terhadap infeksi taeniasis, usia di mana konsumsi daging mentah
dimulai adalah faktor yang menentukan usia infeksi.
Taeniasis dan sistiserkosis merupakan infeksi parasit yang umum dan
dapat ditemukan pada seluruh bagian dunia. Sekitar 50 juta orang di seluruh
dunia terinfeksi Taenia saginata dan Taenia solium . Sekitar 2-3 juta orang
terinfeksi cacing Taenia solium, 45 juta orang terinfeksi Taenia saginata ,
dan sekitar 50 juta orang mengidap sistiserkosis dari Taenia solium.
Negara Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk
merupakan masyarakat beragama muslim dan tidak mengkonsumsi daging
babi. Namun, ada beberapa daerah, seperti Bali dan Papua, yang banyak
mengkonsumsi daging babi. Sampai saat ini, Papua masih menjadi daerah
endemik taeniasis dan sistiserkosis.
Prevalensi infeksi Taenia saginata berbeda dengan Taenia solium ,
infeksi tertinggi Taenia saginata terdapat pada Asia Tengah, sekitar Asia
Timur, Afrika Tengah, dan Afrika Timur (lebih dari 10%). Daerah dengan
prevalensi infeksi 0,1% hingga 10% seperti negara pada daerah Asia
Tenggara seperti Thailand, India, Vietnam, dan Filipina. Daerah dengan
prevalensi rendah (sekitar 1% penderita) seperti beberapa negara di Asia
Tenggara, Eropa, serta Amerika Tengah dan Selatan. Epidemiologi
sistiserkosis tidak jauh berbeda dengan epidemiologi dari Taenia sp..Distribusi geografis sistiserkosis di dunia sangat luas. Lebih dari 50 juta
orang menderita sistiserkosis, namun jumlah ini masih diyakini melebihi
jumlah yang sebenarnya. Sekitar 50.000 ribu orang meninggal per tahun
akibat komplikasi sistiserkosis pada jantung dan otak. Prevalensi sistiserkosis
akibat Taenia solium paling sering terjadi di Amerika Latin, Amerika
Tengah dan Selatan, Asia Tenggara, dan Afrika Sub Sahara. Pada orang
dewasa yang menderita kejang di Negara seperti Meksiko, setengahnya
merupakan penderita neurosistiserkosis. Keadaan serupa ditemukan juga di
Afrika, India, dan China bahwa sebagian besar penyakit parasit otak
1
-
7/24/2019 makalah sistersikosis nuna.pdf
5/15
disebabkan oleh neu rosistiserkosis. Telah diketahui bahwa prevalensi
neurosistiserkosis di antara penderita kejang pada daerah endemis lebih dari
29%.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini, diantaranya:
1.
Apa definisi dan etiologi dari Sistiserkosis?
2. Apa saja gejala klinis yang muncul dan dapat diamati pada kasus
Sistiserkosis?
3. Bagaimana patogenesa dan patofisiologi dari Sistiserkosis?
4. Bagaimana sejarah penyebaran dan epidemologi Sistiserkosis?
5.
Bagaimana cara pengobatan dan pengendalian Sistiserkosis?
1.3 Tujuan Makalah
Adapun tujuan pembuatan makalah ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui definisi dan etiologi dari Sistiserkosis.
2.
Untuk mengetahui gejala klinis yang muncul dan dapat diamati pada
kasus Sistiserkosis.
3. Untuk mengetahui patogenesa dan patofisiologi dari Sistiserkosis.
4.
Untuk mengetahui sejarah penyebaran penyakit dan epidemologiSistiserkosis.
5. Untuk mengetahui cara pengobatan dan pengendalian Sistiserkosis.
2
-
7/24/2019 makalah sistersikosis nuna.pdf
6/15
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi dan Etiologi Sistiserkosis
Sistiserkosis (Cysticercosis) ialah infeksi oleh bentuk larva Taenia
solium(Cysticercus cellulosa) atau Taenia asiatica (jarang terjadi) pada
manusia. Nama lain dari larva adalah metasestoda, cacing gelembung, kista
atau cysticercus cellulosae. Sistiserkosis dapat menimbulkan gejala-gejala
yang berat, khususnya bila ditemukan di dalam otak, apabila infeksi tersebut
berlangsung pada sistem saraf pusat, maka disebut neurosistiserkosis
(neurocysticercosis).
Manusia berperan sebagai hospes definitif yaitu mengandung cacing
dewasa dan sekaligus sebagai hospes perantara yaitu tempat hidupnya larvae
Taenia solium. Manusia terinfeksi cysticercus cellulose jika manusia tertelan
telur Taenia solium, melalui tangan kotor penderita. Larva sistiserkus dapat
ditemukan pada berbagai jaringan atau organ. Sistiserkosis dapat juga terjadi
secara autoinfeksi karena tertelan muntahan dari isi lambung penderita sendiri
yang berisi telur cacing akibat terjadinya peristaltik balik. Di dalam lambung
telur akan dicerna, dinding telur hancur, embrio heksakan/onkosfer keluar,
menembus dinding lambung dan masuk ke dalam saluran getah bening serta
peredaran darah. Embrio heksakan kemudian tersangkut antara lain dijaringan subkutan, otot, otak, mata dan berbagai organ lain. Larva yang
menginfeksi sistim saraf pusat menyebabkan neurosistiserkosis, sedangkan
bila ditemukan di jaringan atau organ lain penyakit secara umum disebut
disini sistiserkosis
Kejadian sistiserkosis setelah dikontrol secara bersamaan mempunyai
keterkaitan dengan pola kebersihan manusia seperti cuci tangan, jenis
pekerjaan, frekuensi mandi, jenis sumber air bersih dan tempat buang air
besar. Perlu dilakukan pendidikan kesehatan kepada masyarakat tentang hal-
hal sebagai berikut: kebiasaan mencuci tangan, pentingnya mandi dengan
menggunakan air bersih serta membuang air besar pada tempat yang
terlindung.
Terjadinya penyakit sistiserkosis disebabkan oleh Taenia solium
(cacing pita daging babi).Siklus hidup T. solium secara umum memiliki pola
yang sama dengan Taenia yang lain yang membedakan adalah inang
antaranya yaitu babi. Babi adalah hewan omnivore termasuk memakan tinja
manusia.Larva ini mudah ditemukan dalam jaringan otot melintang tubuh
babi. Bahayanya telur T. solium juga menetas dalam usus manusia sehingga
3
-
7/24/2019 makalah sistersikosis nuna.pdf
7/15
manusia bertindak sebagai inang anatara walaupun secara kebetulan.
Seseorang akan menderita sistiserkosis apabila telur mencemari makanan
tertelan. Di dalam lambung telur akan akan dicerna, dinding telur hancur,
embrio heksakan/onkosfer keluar, menembus dinding lambung dan masuk ke
dalam saluran getah bening serta peredaran darah. Embrio heksakan
kemudian akan tersangkut antara lain di jaringan subkutan, otot, otak, mata
dan berbagai organ lain.
Manusia terkena taeniasis apabila memakan daging sapi atau babi
yang setengah matang yang mengandung sistiserkus sehingga sistiserkus
berkembang menjadi Taenia dewasa dalam usus manusia. Manusia terkena
sistiserkosis bila tertelan makanan atau minuman yang mengandung telur
Taenia solium. Hal ini juga dapat terjadi melalui proses infeksi sendiri oleh
individu penderita melalui pengeluaran dan penelanan kembali makanan.Sumber penularan cacing pita Taenia pada manusia yaitu:
1. Penderita taeniasis sendiri dimana tinjanya mengandung telur atau segmen
tubuh (proglotid) cacing pita.
2. Hewan, terutama babi dan sapi yang mengandung larva cacing pita
(sistisekus).
3. Makanan, minuman dan lingkungan yang tercemar oleh telur cacing pita.
2.2 Gejala Klinis Sisterkosis
Sistiserkosis pada hewan tidak selalu meunjukkan gejala klinis yangnyata. Pada beberapa kasus,pada babi yang terinfeksi menunjukkan gejala
hipersensitivitas pada hidung, paralisis pada lidah, dan konvulsi layaknya
epilepsy, namun gejala saraf jarang sekali muncul karena masa hidup babi
yang tidak panjang.
Penderita taeniasis pada manusia jarang menunjukkan gejala yang
khas walaupun di dalam ususnya terdapat cacing taenia selama bertahun-
tahun, tetapi biasanya hanya terdapat satu ekor. Justru keluhan yang sangat
mengganggu adalah dalam bentuk kejiwaan adalah keluarnya segmen gravid
dari anus penderita yang menimbulkan kegelisahan. Gejala umum yangbiasanya menyertai taeniasis adalah mual, sakit di ulu hati, perut mulas, diare
bahkan kadang-kadang sembelit, nafsu makan berkurang hingga menurunkan
berat badan, pening, muntah, nyeri otot, serta kejang-kejang) Pasien taeniasis
tetap mengeluarkan segmen gravid selama 1-30 tahun.
Gejala klinis sistiserkosis pada manusia sangat bergantung pada organ
serta jumlah cysticercus yang tinggal. Infeksi berat pada otot menyebabkan
peradangan (myocitis) yang bisanya menimbulkan demam. Jika menyerang
organ mata (Ocular- Cysticercosis) gejala yang paling berat adalah kebutaan.
Gejala-gejala syaraf seperti kelumpuhan, kejang, hingga epilepsi, dapat
4
-
7/24/2019 makalah sistersikosis nuna.pdf
8/15
dipastikan bahwa larva tersebut menempati organ-organ yang sarat dengan
jaringan syaraf seperti otak/selaput otak atau sumsum tulang belakang
(Retnani 2004).
Larva yang menginfeksi sistim saraf pusat menyebabkanneurosistiserkosis, sedangkan bila ditemukan di jaringan atau organ lain
penyakit secara umum disebut disini sistiserkosis. Larva T. solium yang
terdapat di dalam jaringan subkutan dan otot di bawahnya membentuk suatu
benjolan yang disebut benjolan di bawah kulit atau subcutaneous nodule.
Setelah beberapa tahun terjadi kalsifikasi (pengapuran) pada sistiserkus.
Cysticercus cellulosae di dalam sistim saraf pusat seperti otak atau medulla
spinalis jarang mengalami kalsifikasi. Larva di dalam sistim saraf pusat dapat
menyebabkan serangan kejang seperti ayan (epilepsi), meningo-ensefalitis,
gejala yang disebabkan oleh tekanan intrakranial yang tinggi seperti nyerikepala dan kadang-kadang ada gejala kelainan jiwa.
Sistiserkosis dapat menimbulkan gejala-gejala yang berat, khususnya
bila ditemukan di dalam otak, sedangkan taeniasis menyebabkan gejala-gejala
saluran pencernaan yang lebih ringan.
Gejala klinis oleh kista tergantung dari letak, jumlah, umur dan lokasi
dari kista, namun kadang-kadang tidak menyebabkan gejala meskipun
terdapat sejumlah besar kista pada organ tubuh penderita. Bila kista
ditemukan pada jaringan subkutan nodul-nodul kista akan teraba padapalpasi. Tidak selalu mudah menemukan benjolan kista di dalam jaringan
subkutan. Kista teraba sebagai jaringan lunak yang menonjol dengan batas-
batas tidak tegas, karena letaknya agak dalam di dalam jaringan subkutan.
Dapat pula kista ditemukan pada jaringan mata dan menyebabkan ocular
cysticercosis.
Kista yang tetap hidup dan umumnya ditemukan pada cairan vitreus
menyebabkan uveitis, palpebral conjunctivitis dan gangguan visus. Kista di
dalam jaringan otak menyebabkan brain cysticercosis (neurocysticercosis)
yang kadang-kadang menimbulkan kejang epilepsi yang di Papua disebutmati-mati ayam dengan keluhan sakit kepala dan muntah. Munculnya epilepsi
berlangsung secara mendadak baik siang maupun malam hari, kemudian
hilang dengan sendirinya.
2.3 Patogenesis dan Patofisiologi Sistiserkosis
Sistiserkus hidup hanya menimbulkan sedikit peradangan jaringan
sekitar dan hanya sedikit mononuklear serta jumlah eosinofil yang bervariasi.
Untuk melengkapi siklus hidupnya, sistiserkus harus mampu hidup dalam
otot hospes selama berminggu - minggu sampai bulanan. Oleh karena itu,
5
-
7/24/2019 makalah sistersikosis nuna.pdf
9/15
kista akan mengembangkan mekanisme untuk mengatasi respon imun
penjamu. Pada hewan yang telah terinfeksi sebelumnya dengan stadium kista
kebal terhadap reinfeksi onkosfer. Imunitas ini dimediasi oleh antibodi dan
komplemen. Meskipun begitu dalam infeksi alami, respons antibodi dibangun
hanya setelah parasit berubah menjadi bentuk metacestoda yang lebih resisten
(Wiria, 2008).
Metacestoda dapat mengembangkan sebuah mekanisme untuk
memproteksi diri dari destruksi yang dimediasi komplemen dengan
menghasilkan paramiosin. Paramiosin akan mengikat C1q dan menghambat
jalur klasik aktivasi komplemen. Parasit juga akan mensekresikan inhibitor
protease serin ya ng disebut taenia statin. Taeniastatin dapat menghambat
jalur aktivasi klasik atau alternatif, berintegrasi dengan kemotaksis leukosit,
dan menghambat produksi sitokin. Sedangkan polisakarida sulfa, yangmelapisi dinding kista, mengaktivasi komplemen untuk menjauhi parasit,
menurunkan deposisi komplemen, dan membatasi jumlah sel radang yang
menuju parasit. Antibodi saja tidak dapat membunuh metacestoda matang.
Kista yang hidup juga dapat menstimulasi produksi sitokin yang dibutuhkan
untuk menghasilkan imunoglobulin yang kemudian diambil oleh kista dan
diperkirakan ini merupakan sumber protein (CFSPH, 2005; White, 1997).
Taeniastatin dan molekul parasit juga dapat menekan respon imun
seluler dengan menghambat proliferasi limfosit dan fungsi makrofag. Gejala
akan muncul ketika kista tidak dapat lagi memodulasi respons penjamu(White, 1997).
2.4 Sejarah Penyebaran Penyakit dan Epidemologi Sistiserkosis
2.4.1 Sejarah Penyebaran Sistiserkosis
Penyakit taeniasis/ sistiserkosis telah dikenal manusia sejak
zaman prasejarah dan sejak tahun 1602 telah dikenal pembedaan
antara Taenia saginata dan Taenia solium. Tetapi meskipun begitu,
daur hidup kedua cacing ini baru diketahui pada abad ke-19.
Penyakit ini telah menyerang manusia sejak ribuan tahun yang
lalu ketika antelope atau hewan ruminansia lainnya merupakan
hewan buruan. Pada awalnya hyena dan kucing besar sebagai
inang definifnya, sedangkan inang antaranya adalah ruminansia liar.
Tentunya hal ini terjadi jauh sebelum domestikasi babi maupun
babi yang disertai dengan perkembangan pertanian dan kehidupan
manusia moderen.
Distribusi T. saginata dan T. solium hampir ke seluruh penjuru
dunia dan diperkirakan terjadi seratus juta kasus penyakit setiap
6
-
7/24/2019 makalah sistersikosis nuna.pdf
10/15
tahunnya. Kejadiannya pada umumnya berkaitan dengan masalah
sosial-budaya-keagamaan masyarakat tertentu dalam hal
mengonsumsi daging babi. Selain itu sanitasi lingkungan dan yang
berhubungan dengan manajemen ternak dan cara pembuangan tinja
manusia. Dari berbagai faktor tersebut terbukti bahwa penyebaran
taeniasis/cysticercosis di Indonesia terdapat di daerah-daerah
tertentu yang berhubungan dengan adat- istiadat penduduk setempat
2.4.2 Epidemologi Sistiserkosis di Indonesia
Kasus sistiserkosis di Indonesia pertama kali dilaporkan oleh
LeCoultre di Bali pada tahun 1920 yang agennya adalah Cysticercus
cellulosae. Secara historis, taeniasis karena T. saginata di Indonesia
pernah dilaporkan di Jawa Timur pada tahun 1867 dan taeniasis
karena T. solium pernah dilaporkan di Kalimantan Timur pada
tahun 1940. Kasus taeniasis dan/atau sistiserkosis juga pernah
dilaporkan di beberapa propinsi lainnya di Indonesia.
Propinsi Papua adalah salah satu propinsi di Indonesia
yang terletak paling timur. Penyakit sistiserkosis di propinsi Papua
ditemukan pertama kali di Kabupaten Paniai dan kemudian
menyebar ke wilayah timur pegunungan Jayawijaya sampai ke
Lembah Baliem dan kabupaten lain, termasuk Kabupaten Jayawijaya.
Prevalensi taeniasis/sistiserkosis di beberapa propinsi di
Indonesia berada pada rentang 1,0%-42,7% dan prevalensi tertinggi
ditemukan di Propinsi Papua pada tahun 1997 yaitu 42,7%. Jumlah
wilayah yang terkontaminasi di Papua telah meningkat dari dari satu
wilayah (Paniai) pada tahun 1970 ke empat wilayah (Paniai,
Jayawijaya, Manokwari dan Nabire) dalam kurun waktu 10 tahun
terakhir. Hal ini disebabkan karena penduduk lokal di Papua yang
berpindah dari satu wilayah ke wilayah yang lain dengan membawa
serta ternak babi mereka, sehingga penyakit ini muncul dan
menyebar dari wilayah endemis ke wilayah lain.
Kabupaten Flores Timur merupakan salah satu daerah
endemis bagi taeniasis/sistiserkosis di Propinsi Nusa Tenggara
Timur terkait dengan cukup tingginya tingkat konsumsi daging
khususnya daging babi di Kabupaten Flores Timur serta peranan
babi dalam transmisi taeniasis/sistiserkosis.
Survei pernah dilakukan untuk melihat sebaran taeniasis dan
sistiserkosis manusia di empat desa pada empat kecamatan di Bali
(Gianyar, Badung, Denpasar, Karang Asem) tahun 2002 2005 dan
7
-
7/24/2019 makalah sistersikosis nuna.pdf
11/15
survei tersebut dilakukan pada 540 orang penduduk lokal daerah
tersebut. Tingkat prevalensi ditemukan pada kisaran 1,1% di Badung
tahun 2004 dan Karang Asem tahun 2006 sampai 27.5% di Gianyar
tahun 2004.
Tingkat prevalensi taeniasis T. saginata meningkat tajam di
Gianyar, termasuk data prevalensi tahun 2002 (25,6%) dan 2005
(23,8%) dibandingkan dengan survei yang pernah dilakukan
sebelumnya pada tahun 1977 (2,1%) dan 1999 (1,3%). Keadaan ini
dapat disebabkan oleh banyak penduduk lokal yang mengonsumsi
daging mentah (daging lawar) dengan sangat minimnya kontrol
kesehatan dan kelayakan daging dan makanan lawar tersebut. Faktor
resiko dari taeniasis T. saginata antara lain umur, jenis kelamin,
tingkat pendidikan, konsumsi daging lawar, dan asal dari daging lawar.
Survei pada tahun 2003 2006 telah dilakukan di Pulau
Samosir Danau Toba, Sumatera Utara, untuk menilai tingkat
prevalensi yang diambil dari 240 penduduk lokal. Sebanyak enam
orang (2,5%) terinfeksi oleh T. saginata, dan data dari survei tahun
2003 memperlihatkan tingkat prevalensi 3.4% (2/58) dan 2.2%
(4/182) di tahun 2005. Hal ini terjadi karena kebiasaan penduduk lokal
yang mengonsumsi jeroan babi yang dimasak tidak matang
2.5 Pengobatan dan Pengendalian Sistiserkosis
2.5.1 Pengobatan Sistiserkosis
Sediaan yang sering digunakan untuk pengobatan taeniasis
dengan hasil yang memuaskan adalah niklosamid dan diklorofen.
Kedua obat ini merupakan obat pilihan karena dosis yang diperlukan
kecil dan sedikitnya efek samping yang ditimbulkan. Sementara untuk
sistiserkosis, penderita diberikan zat-zat anti konvulsan untuk
mengurangi epilepsi. Tindakan pembedahan jika dapat dilakukan untuk
menghilangkan sistiserkosis pada jaringan badan, terutama di daerah
yang dapat teraba di luar/ di bawah kulit. Pengobatan sistiserkosis pada
ternak jarang dilakukan karena dinilai kurang ekonomis, disamping itu
sebelumnya perlu diagnosis terlebih dahulu dengan biaya yang cukup
mahal.
2.5.2 Pengendalian dan Pencegahan Sistiserkosis
Sebagai siklozoonosis T. saginata dan T. solium akan terus
berputar di alam bila hubungan antara inang definitif yaitu manusia dan
inang antara yaitu hewan terus berlangsung. Pengendalian penyakit ini
akan berhasil bila penularan diantara keduanya dapat dicegah.
8
-
7/24/2019 makalah sistersikosis nuna.pdf
12/15
Berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya penyakit
merupakan titik kritis dalam menentukan strategi pencegahan maupun
pengendalian. Titik kritis tersebut adalah sumber infeksi, inang yang
rentan, serta transmisi penyakit yang sangat dipengaruhi oleh faktor-
faktor lingkungan. Manusia maupun hewan penderita
taeniasis/sistiserkosis menghasilkan telur/segmen gravid atau larva
infektif serta segala sesuatu yang tercemar telur cacing merupakan
sumber penularan potensial. Pemberian anticestoda bagi penderita
adalah upaya pengendalian yang penting terutama pada manusia.
Perbaikan tata laksana peternakan sapi maupun babi adalah satu
hal yang harus dilakukan untuk pencegahan sistiserkosis pada ternak.
Pada prinsipnya adalah mencegah kontak antara ternak/pakan ternak
dengan tinja manusia penderita taeniasis. Hasil penelitian menunjukkanbahwa faktor pengolahan pakan paling berpengaruh terhadap kejadian
sistiserkosis dimana babi yang diberi pakan tanpa diolah (dimasak)
terlebih dahulu mempunyai risiko 14 kali lebih besar terkena
sistiserkosis bila dibandingkan dengan yang diberikan pakan yang telah
diolah/ dimasak. Pada babi dengan kondisi kandang dan tempat pakan
yang jarang dibersihkan memiliki risiko 5,8 kali lebih besar terkena
sistiserkosis bila dibandingkan dengan kandang dan tempat pakan yang
rutin dibersihkan. Faktor sanitasi dan higiene personal juga
mempengaruhi kejadian penyakit dimana peternakan yang memiliki
sanitasi dan higiene personal buruk erat hubungannya dengan
kebersihan lingkungan, sistem pembuangan sampah dan kebiasaan
mencuci tangan maka babi yang dipeliharanya memiliki risiko 5,5 kali
lebih besar untuk terkena sistiserkosis.
Dapat disarankan pula untuk melakukan penyuluhan kesehatan
yang bersinambungan yang antara lain membahas mengenai kebersihan
diri seperti mencuci tangan sebelum makan dan mandi tiap hari dengan
air bersih serta penggunaan kamar mandi. Penyuluhan tersebut selain
dapat memutus mata rantai penularan sistiserkosis, juga akan mencegahpenularan terhadap oraltransmitted diseases lain seperti cacingan,
disentri, tifus, kolera dan hepatitis.
9
-
7/24/2019 makalah sistersikosis nuna.pdf
13/15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sistiserkosis (Cysticercosis) ialah infeksi oleh bentuk larva Taenia
solium(Cysticercus cellulosa) atau Taenia asiatica (jarang terjadi) pada
manusia. Nama lain dari larva adalah metasestoda, cacing gelembung, kista
atau cysticercus cellulosae. Sistiserkosis dapat menimbulkan gejala-gejala
yang berat, khususnya bila ditemukan di dalam otak, apabila infeksi tersebut
berlangsung pada sistem saraf pusat, maka disebut neurosistiserkosis
(neurocysticercosis).
Manusia terkena taeniasis apabila memakan daging sapi atau babi
yang setengah matang yang mengandung sistiserkus sehingga sistiserkus
berkembang menjadi Taenia dewasa dalam usus manusia. Manusia terkena
sistiserkosis bila tertelan makanan atau minuman yang mengandung telur
Taenia solium. Hal ini juga dapat terjadi melalui proses infeksi sendiri oleh
individu penderita melalui pengeluaran dan penelanan kembali makanan.
Sumber penularan cacing pita Taenia pada manusia yaitu:
1. Penderita taeniasis sendiri dimana tinjanya mengandung telur atau segmen
tubuh (proglotid) cacing pita.2. Hewan, terutama babi dan sapi yang mengandung larva cacing pita
(sistisekus).
3. Makanan, minuman dan lingkungan yang tercemar oleh telur cacing pita.
Sistiserkosis pada hewan tidak selalu meunjukkan gejala klinis yang
nyata. Pada beberapa kasus, pada babi yang terinfeksi menunjukkan gejala
hipersensitivitas pada hidung, paralisis pada lidah, dan konvulsi layaknya
epilepsy, namun gejala saraf jarang sekali muncul karena masa hidup babi
yang tidak panjang. Gejala klinis sistiserkosis pada manusia sangat
bergantung pada organ serta jumlah cysticercus yang tinggal. Infeksi berat
pada otot menyebabkan peradangan (myocitis) yang bisanya menimbulkan
demam. Jika menyerang organ mata (Ocular- Cysticercosis) gejala yang
paling berat adalah kebutaan. Gejala-gejala syaraf seperti kelumpuhan,
kejang, hingga epilepsi, dapat dipastikan bahwa larva tersebut menempati
organ-organ yang sarat dengan jaringan syaraf seperti otak/selaput otak atau
sumsum tulang belakang.
Sementara untuk sistiserkosis, penderita diberikan zat-zat anti
konvulsan untuk mengurangi epilepsi. Tindakan pembedahan jika dapat
10
-
7/24/2019 makalah sistersikosis nuna.pdf
14/15
dilakukan untuk menghilangkan sistiserkosis pada jaringan badan, terutama di
daerah yang dapat teraba di luar/ di bawah kulit. Pengobatan sistiserkosis
pada ternak jarang dilakukan karena dinilai kurang ekonomis, disamping itu
sebelumnya perlu diagnosis terlebih dahulu dengan biaya yang cukup mahal.
3.2 Saran
Dapat disarankan untuk melakukan penyuluhan kesehatan yang
bersinambungan yang antara lain membahas mengenai kebersihan diri
seperti mencuci tangan sebelum makan dan mandi tiap hari dengan air
bersih serta penggunaan kamar mandi. Penyuluhan tersebut selain dapat
memutus mata rantai penularan sistiserkosis, juga akan mencegah
penularan terhadap oral-transmitted diseases lain seperti cacingan, disentri,
tifus, kolera dan hepatitis.
Penyuluhan tentang penyakit zoonotik khusus kepada masyarakat
luas perlu dilakukan tanpa memandang strata latar belakang pendidikan,
kebudayaan, maupun keyakinan beragama. Walaupun dalam berbagai
perbedaan, masyarakat tidak akan lepas dari saling berinteraksi /
bersosialisasi satu sama lain. Peningkatan kualitas dan kuantitas
kerjasama dan koordinasi yang optimal diantara berbagai lembaga /
instansi pemerintah yang berwenang dengan masyarakat terutama yang
berisiko tinggi sangat membantu dalam keberhasilan pengendalian penyakit.
11
-
7/24/2019 makalah sistersikosis nuna.pdf
15/15
DAFTAR PUSTAKA
Estuningsih, S. Endah. 2009. Taeniasis dan Sisterkosis Merupakan PenyakitZoonosis Parasiter.Jurnal Wartazoa vol. 19 no. 2(hlm 84-92). Bogor: Balai
Besar Penelitian Veteriner.
Marianto. 2011.Kontaminasi Sistiserkus pada Daging Sapi dan Hati Sapi dan
Babi yang Dijual Di Pasar Tradisional pada Kecamatan Medan Kota.
Skripsi tidak diterbitkan. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
Retnani EB .2004. Taeniasis dan Cysticercosis : Penyakit Zoonosis yang Kurang
Dikenal oleh Masyarakat di Indonesia. Makalah Pribadi FalsafahSains. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
White, C.A., 1997. Neurocysticercosis: A Major Cause of Neurological Disease
Worldwide. Clin Infect Dis 24: 101-115.
Wicaksono, Ardilasunu. 2010. Sistiserkosis di Indonesia. Makalah Pribadi. Bogor
: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Wiria, A.E., 2008. Sistiserkosis. Dalam: Sutanto I., Ismid, I.S., Sjarifuddin, P.K.,
dan Sungkar, S., ed. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran ed 4. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 86-89.
12
top related