makalah hemel
Post on 15-Feb-2015
82 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistem pencernaan dalam merupakan salah satu bagian penting di
dalam tubuh manusia. Sistem pencernaan mengolah makanan atau asupan
yang masuk untuk diubah menjadi zat-zat yang diperlukan oleh tubuh. Sistem
pencernaan dari bagian atas hingga bawah terdiri dari organ-organ vital,
misalnya esofagus, lambung, dan saluran intestinal. Oleh karena itu, sistem
pencernaan yang terdiri dari organ-organ tersebut harus selalu terjaga agar
tetap dapat menjalankan fungsinya secara optimal.
Walaupun sistem pencernaan harus selalu dipertahankan dalam
kondisi baik tetapi terkadang muncul berbagai gangguan yang muncul pada
sistem ini. Adanya hematemesis melena merupakan salah satu indikasi
munculnya gangguan dalam sistem pencernaan. Hematemesis melena dapat
disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya peptic ulcer atau ulkus peptikum.
Mengenai hematemesis melena, peptic ulcer, dan patofisiologinya akan
dibahas di bab selanjutnya.
Sebagai perawat, kita harus mengetahui penyebab hematemesis
melena, peptic ulcer, etiologi serta patofisiologinya. Hal ini diperlukan agar
perawat dapat melakukan tindakan-tindakan yang sesuai untuk menolong atau
menangani klien. Perawat juga perlu mengetahui tindakan medis atau non
medis yang akan dilakukan terhadap klien. Selain itu perawat juga harus
mengkaji dan mengetahui tanda-tanda vital klien untuk merumuskan asuhan
keperawatan yang akan dilakukannya untuk meningkatkan status kesehatan
klien. Hal itulah yang melatarbelakangi kami dalam penyusunan makalah ini.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diambil dalam makalah ini antara lain:
1.2.1 Apakah pengertian hematemesis melena serta penyebabnya?
1.2.2 Bagaimana proses patofisiologi peptic ulcer?
1
1.2.3 Bagaimana penatalaksanaan medis dan non medis pada klien dengan
hematemesis melena ec. Peptic ulcer?
1.2.4 Bagaimana asuhan keperawatan klien dengan hematemesis melenan
ec. Peptic ulcer?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini antara lain:
1.3.1 Memaparkan apakah hematemesis melena dan peptic ulcer dan proses
patofisiologinya.
1.3.2 Memaparkan penatalaksanaan medis dan non medis pada klien.
1.3.3 Memaparkan asuhan keperawatan yang akan dilakukan pada klien.
1.4 Metode Penulisan
Metode penulisan yang kami pergunakan adalah telusur pustaka, yaitu
mengadakan tinjauan kepustakaan untuk memperoleh bahan-bahan yang
berhubungan dengan judul makalah ini. Kami pun menggunakan internet
sebagai sarana referensi yang lain serta dilengkapi dengan diskusi kelompok
yang bertujuan untuk saling memberi masukan terkait materi.
1.5 Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari sampul/cover, kata pengantar, daftar isi, tiga
bab, dan daftar pustaka. Bab pertama adalah pendahuluan, terdiri dari latar
belakang, tujuan penulisan, rumusan masalah, metode penulisan, dan
sistematika penulisan. Bab kedua berisi tinjauan pustaka yang membahas isi
dari makalah. Bab ketiga berisi kesimpulan dan saran. Terakhir adalah daftar
pustaka.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Saluran percernaan merupakan rangkaian organ-organ yang berfungsi
dalam mengelola bahan makanan menjadi nutrien-nutrien yang dapat diserap oleh
tubuh yang akan digunakan dalam proses metabolisme. Namun dalam prosesnya,
beberapa organ dalam saluran percernaan mengalami trauma ataupun gangguan
yang menimbulkan beberapa kelainan. Salah satu kelainan dalam saluran
pencernaan adalah hematemesis melena ec peptic ulcer.
2.1 Hematemesis Melena
Hematemesis adalah muntah darah. Hematemesis terjadi sebagai
akibat trauma ataupun pembentukan lesi pada saluran percernaan bagian atas
(esophagus, lambung, usus halus) sampai duodenum (proksimal ligamentum
Treitz) yang menghasilkan perdarahan pada saluran cerna tersebut. Hasil
perdarahan ini, akan memasuki lambung dan akan menghasilkan berbagai
warna sesuai dengan kadar asam lambung saat itu. Jika hasil perdarahan
langsung dimuntahkan, akan terlihat vomitus kemerahan, jika sudah lama
bercampur dengan asam lambung maka akan berwarna merah tua, abu-abu,
atau hitam dan terkadang berbentuk seperti ampas kopi. Sedangkan jika
terjadi perdarahan pada bagian bawah duodenum seperti kolon (perdarahan
saluran percernaan bagian bawah/hematokezia), hasil perdarahan tidak dapat
memasuki lambung.
Hematemesis terkadang diikuti oleh melena. Namun, melena tidak
selalu diikuti oleh hematemesis. Melena adalah hasil defekasi (feses) yang
berwarna hitam akibat hasil perdarahan yang bercampur dengan asam
lambung yang membentuk hematin. Etiologi dari melena tidak hanya terjadi
pada saluran percernaan bagian atas, namun dapat pula terjadi gangguan pada
saluran perncernaan bagian bawah. Melena terjadi jika darah hasil perdarahan
berjumlah 60 ml dan berada di usus selama 8 jam.
3
Pada rentang dewasa muda, etiologi dari hematesis maupun melena
adalah ulkus peptikum (peptic ulcer disease/ PUD), lesi kongenital, dan
varises. Sedangkan pada dewasa akhir (lansia), diakibatkan oleh tumor, PUD,
dan angiodisplasia. Penyebab lain perdarahan saluran percernaan bagian atas
adalah robekan Mallory-weiss (robekan pada kerongkongan) dan karsinoma
lambung. Tanda-tanda yang ditemukan pada pemeriksaan fisik seperti syok
hipovolemik akibat banyaknya darah yang keluar dari tubuh, sehingga terjadi
ketidakseimbangan sistem sirkulasi yang dapat dikaji dari frekuensi denyut
jantung, tekanan darah, dan suhu tubuh. Penyakit hati kronis (CLD), dan
koagulopati yaitu muncul purpura dan memar.
2.2 Syok Hipovolemik
Syok adalah ketidakseimbangan cairan dalam ruang intravaskuler.
Syok berdasarkan etiologinya dibedakan menjadi:
a. Syok hipovolemik akibat perdarahan yang masif, trauma, atau luka
bakar.
b. Syok kardiogenik akibat infark miokard atau emboli paru.
c. Syok septik akibat pertumbuhan bakteri yang tak terkontrol.
d. Syok neurogenik akibat dari tonus vasomotor yang tidak adekuat.
e. Syok anafilaktik akibat dari respon imun.
Syok hipovolemik terjadi jika volume plasma atau darah tidak
adekuat, jika cairan yang berkurang mencapai 45% dari volume cairan total.
Syok semakin berbahaya jika terjadi kehilangan cairan dengan penurunan
asupan oleh sebab apapun, seperti mual, dan tidak dilakukan intervensi yang
tepat. Syok hpovolemik dapat disebabkan oleh perdarahan, luka bakar,
diabetes, muntah, diare, dehidrasi, dan sebagainya. Manifestasi klinis yang
terjadi yaitu hipotensi, denyut nadi lemah dan cepat, takipnea, kulit yang
dingin, lembab, dan sianosis. Salah satu penyebab syok hipovolemik adalah
perdarahan yang terlalu hebat (hemoragi).
Patofisiologi terjadinya syok hipovolemik hemoragi berawal dari
proses inflamasi atau trauma yang terjadi akan menghasilkan bradikinin dan
histamine. Efeknya terjadi kebocoran pembuluh darah pada jaringan yang
4
mengalami inflamasi. Bradikinin dan histamin berfungsi sebagai vasodilator
pembuluh darah. Darah keluar menuju ruang ekstravasikuler akibat trauma
atau pembentukan lesi seperti karsinoma, Peptic ulcer, robekan pada saluran
pencernaan. “Terkumpulnya cairan di dalam ruang non-ECF dan non-ICF
membuat cairan terperangkap dan tidak dapat dipakai oleh tubuh karena
tempat berkumpulnya cairan berada ruang tertentu yang tidak mudah terjadi
pertukaran dengan ECF” (Sylvia, 2003).
Darah yang seharusnya didistribusikan dengan normal namun
berkurang dan berpindah ke ruangan tertentu, membuat curah jantung
menurun. Penurunan curah jantung ini diikuti oleh aliran balik vena yang juga
menurun, tekanan arteri rerata juga menurun menyebabkan tekanan darah ikut
menurun. “Penurunan tekanan darah dideteksi oleh baroreseptor di arcus
caroticus, arcus aorta, atrium kiri, dan penbuluh darah pulmonal lalu
diteruskan ke pusat vasomotor di batang otak, yang kemudian menginduksi
respon simpatis terjadi pelepasan norepinefrin dan penurunan ambang dasar
tonus nervus vagus. Respon yang terjadi berupa vasokontriksi perifer, heart
rate meningkat, serta peningkatan kontraktilitas jantung” (Sylvia, 2003).
Segala respon ini bertujuan untuk mengembalikan curah jantung dan
pendistribusian darah yang adekuat sehingga perfusi ke jantung, otak, dan
pembuluh paru normal.
Respon simpatis juga terjadi pada ginjal, pembuluh darah yang
menuju ginjal mengalami vasokontriksi yang mengakibatkan perfusi ginjal
menurun. “Penurunan perfusi ginjal mengaktifkan mekanisme rennin-
angiotensin-aldosteron” (Sylvia, 2003). Renin akan mengubah
angiotensinogen menjadi angiotensin I, yang selanjutnya akan dikonversi
menjadi angiotensin II di paru-paru dan hati. Angiotensin II membantu
perbaikan akibat syok hipovolemik dengan melakukan vasokontriksi pada
arteriol otot polos dan mengaktifkan hormone aldosteron. Hormone
aldosteron berfungsi meningkatkan reabsorpsi natrium dan air oleh ginjal.
“Perubahan ini meningkatkan curah jantung dengan memulihkan volume dan
tekanan darah efektif ke nilai normal” (Sylvia, 2003).
5
Jika volume cairan yang berkurang tidak banyak (500 ml),
kompensasi yang dilakukan dapat membantu mengembalikan curah jantung
dan tekanan darah, walaupun denyut jantung masih cepat. Namun, jika cairan
yang keluar banyak (1000 ml), maka vasokontriksi simpatis dan yang
diperantai oleh Angiotensin II akan meningkat. Hal ini menyebabkan perfusi
jaringan ke organ-organ kecuali jantung dan otak akan menurun, dan aliran
darah ke jantung dan otak relative dpertahankan. Pendistribusian darah yang
tidak adekuat akibat dari penurunan jumlah volume darah yang diikuti dengan
tekanan darah yang menurun, membuat ketidakafektifannya perfusi jaringan
ke seluruh sistem tubuh.
Kompensasi yang dilakukan oleh sistem kardiovaskuler, sistem
renalis, serta sistem hematologi yang kurang akan mengakibatkan komplikasi
pada gangguan elekrolit. Gangguan ini tergambar dari konsentrasi pada hasil
perdarahan yang banyak mengandung natrium dan air, membuat alkalosis
metabolik atau asidosis metabolik. Jika hal ini diikuti oleh sekresi asam
lambung yang mengandung ion kalium dan hidrogen dalam jumlah besar,
maka kekurangan volume pada kondisi di atas disertai dengan alkalosis
metabolik dan hipokalemia. Namun, jika saluran cerna bagian bawah
mensekresi bikarbonat dalam jumlah yang besar, serta natrium dan kalium,
maka defisit volume cairan akan disertai dengan asidosis metabolik dan
hipokalemia. “Jika mampu bertahan lebih lama dari kompensasi awal, klien
akan memasuki tahap kedua yang didominasi oleh insufiensi renal dan
ditandai dengan penurunan pengeluaran urin secara progresif sehingga terjadi
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit yang berat (Sylvia, 2003)”
2.3 Penatalaksanaan Medis Klien Peptic Ulcer
2.3.1 Terapi Obat
Tujuan dari penatalaksaan medis yang diberikan kepada
klien dengan peptic ulcer yaitu untuk menetralisir asam, menghambat
sekresi asam, mengurangi aktivitas pepsin dan HCl, membasmi H.
Pylory dari saluran pencernaan, dan untuk melindungi barier mukosa.
Kriteria keberhasilan dari terapi medis yang diberikan yaitu penurunan
6
rasa sakit, klien mengkonsumsi makanan yang telah disarankan dan
melaporkan intoleransi terhadap beberapa makanan, mengikuti jadwal
pengobatan, dan dapat mengidentifikasi stressor dan memiliki cara
untuk mengatasinya.
Terdapat beberapa penatalaksanaan medis yang dapat
diberikan kepada pasien dengan peptic ulcer, yaitu obat antibacterial,
agen hyposecretory, mucosal barrier fortifiers, manajemen diet.
Berikut penjelasan dari masing-masing terapi medis yang akan
dilakukan.
a. Obat Antibacterial
Obat ini berfungsi untuk membunuh H.pylory dari saluran
pencernaan yang menggunakan regimen. Regimen tersebut
mengandung clarithromycin 250 mg, metronidazole 250 mg, dan
omeprazole 20 mg. Obat ini digunakan dalam jangka waktu 1
mingggu, namun terdapat beberapa orang yang menggunakannya
lebih dari 1 minggu.
b. Agen Hyposecretory
(1) Antagonis reseptor histamin (antagonis reseptor H2)
Antagonis reseptor histamin (antagonis reseptor H2)
menutup rangsangan sekresi lambung sehingga hal tersebut
efektif terhadap pengendalian penyakit ulkus. Klien biasanya
diberikan antagonis reseptor histamin setiap 6 jam untuk
pengobatan jangka pendek sampai ulkus sembuh dan setelah
mereda, kemudian diberikan sekali sehari pada waktu
sebelum tidur. Ulkus dapat kambuh setelah pengobatan
dihentikan, meskipun peningkatan hiperasiditas tidak terjadi
ketika klien menghentikan pengobatan. Antagonis reseptor
histamin memiliki empat tipe, yaitu simetidein (tagamet),
ranitidin (zantac), famotidin (pepcid), dan nizatidin (axid).
Tipe pertama antagonis reseptor histamin adalah
simetidein. Simetidein (tagamet) digunakan untuk
pengurangan penyebab dan pencegahan komplikasi ulkus
7
peptikum. Kerja utama dari simetidein adalah menghambat
sekresi asam dengan menutup kerja histamin pada reseptor
histamin dari sel pariteal di lambung. Kisaran dosis
simetidein yang digunakan pada klien dewasa adalah 800 mg
sebelum tidur atau 4 kali sehari sebanyak 300 mg setelah
makan dan sebelum tidur selama 4 sampai 6 minggu
(gangguan usus) atau 8 minggu (gangguan lambung). Apabila
terpasang intravena maka dosisnya tidak melebihi dari 2400
mg/d.
Simetidein memiliki kontraindikasi terhadap klien yang
mana hipersensitifitas terhadap obat dan ibu hamil.
Simetidein harus digunakan hati-hati pada klien dengan
kerusakan ginjal karena obat ini di metabolis oleh hati dan di
eksresikan oleh ginjal. Simetidein dapat menyebabkan
bingung, agitasi, pucat, sakit kepala, diare, dan ginekomastia
sementara (apabila digunakan lebih dari 1 bulan).
Pertimbangan keperawatan pada klien yang menggunakan
simetidein, yaitu:
o Jangan memberikan antasida dalam waktu satu jam dari
waktu pemberian simetidein.
o Simetidein diberikan setelah makan atau sebelum tidur.
o Simetidein bereaksi terhadap ophylline, phenytoin,
warfarin.
o Pengobatan lanjutan tidak lebih dari 8 minggu untuk
memastikan penyembuhan.
Tipe kedua antagonis reseptor histamin adalah
ranitidin (zantac). Ranitidin (zantac) memiliki dua indikasi
yaitu pemeliharaan erosif esofagitis dan mencegah kerusakan
lambung. Kerja utama dari ranitidin (zantac) adalah
menghambat sekresi asam dengan menutup kerja histamin
pada reseptor histamin dari sel pariteal di lambung.
8
Kisaran dosis ranitidin yang digunakan klien dewasa
adalah 2 kali sehari sebanyak 150 mg atau 300 mg sebelum
tidur dalam jangka pendek pada ulkus yang aktif. Efek
samping dari ranitidin berupa sakit kepala, konstipasi, mual,
bradicardia, dan peningkatan enzim liver. Pertimbangan
keperawatan pada klien yang menggunakan ranitidin
(zantac), yaitu: berikan antasida setidaknya 1 jam atau 2 jam
setelah ranitidin, dapat diberikan dalam dosis tunggal
sebelum tidur, memiliki interaksi rendah terhadap obat lain,
dan ranitidin harus digunakan hati-hati pada klien dengan
gangguan ginjal.
Tipe ketiga antagonis reseptor histamin adalah
famotidin (pepcid). Kerja utama dari famotidin (pepcid)
adalah menghambat sekresi asam dengan menutup kerja
histamin pada reseptor histamin dari sel pariteal di lambung.
Kisaran dosis famotidin (pepcid) pada klien dewasa adalah
40 mg/d sebelum tidur atau 2 kali sehari sebanyak 20 mg
selama 6 sampai 8 minggu. Efek samping dari famotidin
(pepcid) adalah sakit kepala, diare, konstipasi, mual, BUN
dan kreatinin meningkat. Pertimbangan keperawatan pada
klien yang menggunakan famotidin (pepcid), yaitu: jangan
diberikan lebih dari 8 minggu, boleh diberikan bersamaan
dengan antasida, tidak ada interaksi terhadap obat lain, dan
dapat diberikan dalam dosis tunggal sebelum tidur.
Tipe keempat antagonis reseptor histamin adalah
nizatidin (axid). Kerja utama obat sama dengan tipe 1
sampai 3. Kisaran dosis pada klien dewasa dengan ulkus aktif
adalah 300 mg sekali dalam sehari sebelum tidur atau 150 mg
2 kali sehari. Efek samping dari nizatidin (axid) adalah diare,
ruam bronkospasme, somnolence, nyeri sendi, dan
berkeringat. Pertimbangan keperawatan pada klien yang
menggunkan nizatidine (axid), yaitu: kaji kantuk yang
9
berlebihan, jangan berikan antasida dalam waktu satu jam
dari pemberian nizatidin (axid), harus diberikan selama 4
sampai 8 minggu untuk penyembuhan ulkus, beritahu dokter
apabila somnolence meningkat.
(2) Prostaglandin Analog
Prostaglandin merupakan hormon jaringan lokal yang mana
di formulasikan dari asam lemak esensial. hormon ini tampak
dalam berbagai bentuk di hampir setiap jaringan tubuh. Dua
jenis prostaglandin E1 dan E2, mengahalangi sekresi asam
lambung. Kategori yang termasuk prostaglandin jenis tersebut
adalah misoprostol.
Misoprostol (cytotec) merupakan suatu prostaglandin
sintetis yang melindungi mukosa lambung dari agen
ulserogenik dan meningkatkan produksi mukus sitoprotektif
dan kadar bikarbonat. Efek samping dari penggunaan obat ini
adlah diare dan kram (termasuk kram uterus). Pertimbangan
keperawatan berupa: tidak bisa digunakan pada ibu hamil
karena obat ini menstimulasi kontraksi uterus, di sarankan
untuk klien dengan terapi obat anti inflamsi dan penggunaan
jangka panjang aspirin.
(3) Antikolinergis
Jenis antikolinergis yang dapat digunakan untuk
pengobatan ulkus peptikum adalah dicyclomine
hydrochloride (bentyl). Cara kerja obat ini adalah
menghambat kerja aserilkolin (yang merangsang sel-sel
parietal lambung untuk mensekresikan asam) dan karenanya
mengurangi sekresi asam. Antikolinergis baik diberikan satu
jam setelah makan.
Efek dari obat ini akan terasa setalah 4 sampai 5 jam.
Pertimbangan keperawatan: obat ini jangan diberikan untuk
klien yang mengalami perdarahan karena perutnya dapat
menjadi distensi, jangan di berikan pada klien dengan
10
obstruksi uropati, obstruksi GI, dan megakolon. Efek
samping dari obat ini dapat menyebabkan pusing,
kebingungan, konstipasi, retensi urin, dan mulut kering.
(4) Inhibitor Pompa Proton (asam lambung)
Jenis dari inhibitor pompa proton (asam lambung) adalah
omeprazol. Cara kerja dari obat ini adalah menurunkan
sekressi asam lambung dengan memperlambat pompa
hidrogen: kalsium adenosin trifosfat (H+, K+, -ATpase) pada
permukaan sel-sel pariteal. Dosis standar yang digunakan
adalah 20 mg dalam satu kali sehari selama 4 sampai 8 minggu
sebelum sarapan. Efek samping dari obat ini dalam
penggunaan jangka waktu yang lama dapat menyebabkan
tumor lambung dan invasi bakteri.
(5) Antasida
Antasida digunakan untuk mengurangi keasaman.
Antasida efektif digunakan untuk waktu yang panjang. Obat
ini diminum secara oral 1 jam setelah makan, dan sebelum
tidur dengan tujuan menjaga pH lambung antara 3-3,5. Saat
meminm antasida, disarankan untuk dihansurkan dengan air
untuk memastikan antasida masuk kedalam lambung dan
tidak mudah larut saat di kerongkongan. Terdapat beberpa
jenis dari antasida, yaitu:
Alumunium hidrosida: berfungsi sebagai penetralisir
asam di saluran pencernaan. Efek samping yang ditimbulkan
yaitu konstipasi, anorexia, obstruksi usus halus, dan
hypophosphatemia. Berikan alumunium hydroxida 1 jam atau
2 jam setelah makan dan jangan berikan H2 reseptor
antagonis dalam jangka waktu 1-2 jam setelah konsumsi
alumunium hidroksida atau tertracy cline. Kocok suspensi
sebelum diminum, dan jika berbentuk tablet minum dengan
air. Kontraindikasinya yaitu digunakan dalam jumlah yang
11
besar pada pasien dengan sodium restricted diets karena
mengandung garam.
Magnesium oksida: berfungsi untuk meningkatkan pH
lambung untuk mengurangi aktivitas pepsin, serta
memperkuat barier mukosa lambung dan esophageal
sphyncter tone. Efek samping yang ditimbulkan dari obat ini
yaitu diare, mual, dan hypermagnesema. Kontra indikasi dari
obat ini yaitu kepada pasien dengan gangguan ginjal. Jika
terjadi diare, hentikan pengobatan dengan obat ini, dan ganti
dengan alumunium atau produk kombinasinya. Selama 1-2
jam, pasien tidak boleh mengkonsumsi H2-reseptor
antagonis, tetracycline, dan enteric coated tablets.
Kombinasi alumunium-magnesium: aksi yang
ditimbulkan sama dengan magnesium oksida. Efek
sampingnya yaitu konstipasi ringan atau diare. Kontra
indikasi dari obat ini yaitu kepada pasien dengan gangguan
ginjal. Jika terjadi diare, hentikan pengobatan dengan obat
ini, dan ganti dengan alumunium atau produk kombinasinya.
Selama 1-2 jam, pasien tidak boleh mengkonsumsi H2-
reseptor antagonis, tetracycline, dan enteric coated tablets.
Kalsium karbonat: fungsi yang dimilikinya sama dengan
magnesium oksida, dan kombinasi alumunium-magnesium.
Efek samping yang ditimbulkan yaitu konstipasi, distensi
lambung, peningkatan hyperacidity, hypercalsemia, dan
hypophosphatemia. Kontra indikasi dari obat ini yaitu kepada
pasien dengan gangguan ginjal. Jika terjadi diare, hentikan
pengobatan dengan obat ini, dan ganti dengan alumunium
atau produk kombinasinya. Selama 1-2 jam, pasien tidak
boleh mengkonsumsi H2-reseptor antagonis, tetracycline, dan
enteric coated tablets. Obat ini juga tidak boleh dikonsumsi
dengan susu.
12
c. Mucosa barrier fortifiers
Mucosa barrier berfungsi mencegah ion hidrigen
berdifusi kembali kedalam mukosa lambung. Selain itu,
mucosa barrier fortifiers juga akan menstimulasi sekresi
mukus ikut berperan dalam penyembuhan peptic ulcer.
mucosa barrier fortifiers akan membentuk kompleks
protein yang melapisi dan menjadi mantel pelindung.
Fungsinya yaitu untuk mneghalangi aksi dari asam dan
pepsin. mucosa barrier fortifiers dikonsumsi 1 jam sebelum
makan dan sebelum tidur. Dalam jangka waktu 30 menit
pasien tidak boleh mengkonsumsi antasida.
Contoh dari mucosa barrier fortifiers yaitu
sulfacrate. Efek samping yang ditimbulkan yaitu pusing,
konstipasi, mengantuk, mual, dan ketidaknyamanan
lambung. Sulfacrate paling baik dikonsumsi saat perut
masih kosong, yaitu 1 jam sebelum makan dan sebelum
tidur.
d. Manajemen Diet
Pada pasien dengan peptic ulcer dan menyebabkan
hematemesis melena, hindari makanan yang dapat
meningkatkan keasaman lambung. Keasaman lambung
dapat memperparah kondisi peptic ulcer yang dimiliki
pasien. Hindari makanan yang menyebabkan peningkatan
keasaman lambung, seperti kopi, alkohol, dan susu.
2.3.2 Intervensi Bedah
Intervensi pembedahan dianjurkan untuk klien dengan
ulkus yang tidak sembuh (yang gagal untuk sembuh setalah 12
sampai 16 minggu pengobatan medis), hemoragi yang mengancam,
perforasi atau obstruksi pyloric. Prosedur pembedahan mencakup
vagotomi, dan antroktomi billroth I atau II.
13
a. Vagotomi
Vagotomi adalah pemotongan saraf vagus, untuk
menurunkasn asma lambung dengan menguangi stimulasi
kolinergik pada sel parietal dan membuatnya kurang responsif
terhadap gastrin. Vagotomi dapat dilakukan untuk mengurangi
sekresi asam lambung. Vagotomi merupakan suatu tipe
prosedur drainase yang berfungsi untuk membantu
pengosongan lambung (bila ada denovasi total ke lambung).
Setelah melakukan vagotomi beberapa klien mengalami
masalah seperti sindrom dumping, perasaan penuh pada
lambung, diare serta gastritis. Ada beberapa tipe vagotomi
yaitu vagotomi trunkus, vagotomi selektif, vagotomi dengan
piloroplasti, dan vagotomi lambung proksimal tanpa
piloroplasti.
(1) Vagotomi Trunkus adalah pemotongan saraf vagus kanan
dan kiri saat saraf ini memasuki ambung pada bagian
distal esofasgus. Tipe vagotomi ini paling umum
digunakan untuk menurunkan sekresi asam dan
mengurangi motilitas lambung dan usus. Angka
kekambuhan ulkus setalah melakukan vagotomi trunkus
adalah 10% samapai 15 %.
(2) Vagotomi Selektif adalah pemotongan persarafan vagal
ke lambung tetapi mempertahankan persarafan pada
seluruh abdomen.
(3) Vagotomi Piloroplasti adalah suatu operasi drainase di
mana insisi longitudinal dibuat ke dalam pilorus dan
secara transversal dijahit dekat pada pembesaran jalan
keluar dan merilekskan otot. Vagotomi tipe ini biasanya
menyertai vagotomi trunkus dan vagotomi selektif,
dimana menimbulkan pelambatan pengosongan lambung
karena penurunan inervasi.
14
(4) Vagotomi lambung proksimal (sel pariteal) tanpa
piloroplasti adalah denevarsi sel pariteal yang mensekresi
asam tetapi mepertahanakan inervasi vagal pada antrum
dan pilorus lambung. Pada vagotomi tipe ini tidak ada
sindrom dumping.
b. Antroktomi Billroth I dan II
Prosedur pembedahan kedua mencakup antroktomi billroth I
(gastroduodenosiom) dan billroth II (gastrojejunostomi). Billroth I adalah
pengangkatan bagian bawah porsi antrum lambung (yang mengandung sel-
sel yang mensekresi gastrin) serta bagian kecil dari duodenum dan pilorus.
Pada billroth I adanya penurunan terhadap insiden sindrom dumping yang
mana sering terjadi setelah prosedur billroth II. Billroth II meliputi
reanastomosis perut bagian proksimal ke proksimal jejunum. Pembedahan
dengan teknik billroth II lebih baik dilakukan untuk ulkus duodenal karena
angka kekambuhan ulkus lebih rendah dengan prosedur ini sekitar kurang
dari 1 %.
(gbr 1. Antroktomi Billroth I) (gbr 2. Antroktomi Billroth II)
2.4 Penatalaksanaan Komplikasi Peptic Ulcer: Hemoragi
Komplikasi dari peptic ulcer, yaitu hemoragi ditandai dengan timbulnya
hematemesis (muntah yang mengandung darah) dan melena (terdapatnya
darah pada feses). Intervensi yang diberikan untuk klien dengan komplikasi
hemoragi bertujuan untuk mengobati syok hipovolemik, mencegah dehidrasi
dan keseimbangan eletrolit, serta menghentikan pendarahan. Berikut tindakan
yang dilakukan kepada klien dengan komplikasi dari peptic ulcer: hemoragi.
15
2.4.1 Pemasangan NGT
Hematemesis melena ec peptic ulcer merupakan salah satu
penyakit yang menyebabkan perdarahan yang disebabkan oleh adanya
area berlubang pada dinding lambung. Penyakit ini menyebabkan klien
kehilangan banyak darah dan cairan sehingga diperlukan salah satu cara
penatalaksanaan untuk menjaga keseimbangan cairan dan darah.
Pemakaian selang nasogastrik merupakan salah satu cara untuk menjaga
keseimbangan tersebut. Dalam kasus dikatakan klien memakai selang
nasogastrik dengan drainase darah 400 cc/5 jam, hal tersebut
menandakan klien mengeluarkan darah sebanyak drainase darah yang
dibutuhkan. Ada beberapa jenis selang nasogastrik yang mempunyai
fungsinya masing-masing, yaitu: (Smeltzer & Bare, 2002)
a. Selang Levin
Selang ini digunakan pada orang dewasa untuk menghilangkan
cairan dan gas dari saluran gastrointestinal atas, untuk
mendapatkan spesimen isi lambung, untuk uji laboratorium, dan
untuk memberikan obat-obatan atau pemberian makanan (gavase)
secara langsung ke dalam saluran gastrointestinal.
b. Selang Gastrik Sump
Selang ini digunakan untuk dekompresi lambung dan
mempertahankannya tetap kosong.
c. Selang Nutriflex
Selang nasogastrik nutriflex panjangnya 76 cm (30 inci) dan
mempunyai ujung dengan pemberat air raksa untuk memudahkan
pemasukan.
d. Selang Moss
Selang dekompresi lambung nasoesofagus moss panjangnya 90 cm
(35 inci) dan mempunyai lumen tripel. Selang ini dibenamkan
dalam lambung dengan mengembangkan balon. Kateter
dekompresi mengaspirasi esofagus dan lambung sebagai lavase.
Lumen ketiga adalah untuk pemberian makanan duodenal.
16
e. Selang Sengstaken-Blakemore
Selang ini digunakan untuk mengatasi perdarahan varises esofagus.
Selang ini mempunyai 3 lumen. 1 lumen digunakan untuk
mengembangkan balon lambung, lumen lain digunakan untuk
mengembangkan balon esofagus, dan lumen terakhir digunakan
untuk lavase lambung dan perdarahan.
Jika dilihat dari jenis-jenis NGT tersebut, dapat dilihat jenis
NGT yang cocok untuk klien hematesis melena ec. peptic ulcer
adalah selang nasogastrik Sengstaken-Blakemore, karena Intubasi
nasogastrik digunakan untuk membedakan darah segar dari materi
“kopi gelap” membantu menghilangkan bekuan dan asam,
mencegah mual dan muntah, dan untuk pemantauan lebih lanjut.
Selain itu selang nasogastrik juga dapat memantau pH sekresi
lambung dan juga untuk untuk aspirasi cairan lambung, lavage
(kumbah lambung) dengan air , dan pemberian obat-obatan.
Pemberian air pada kumbah lambung akan menyebabkan
vasokontriksi lokal sehingga diharapkan terjadi penurunan aliran
darah di mukosa lambung, dengan demikian perdarahan akan
berhenti. Kumbah lambung ini akan dilakukan berulang kali
memakai air sebanyak 100- 150 ml sampai cairan aspirasi
berwarna jernih dan bila perlu tindakan ini dapat diulang setiap 1-2
jam. Pemeriksaan endoskopi dapat segera dilakukan setelah cairan
aspirasi lambung sudah jernih. Adapun intervensi keperawatan
untuk intubasi nasogastrik, yaitu:
a. Menjelaskan pada klien tentang tujuan selang dan
prosedur yang diperlukan untuk memasang dan
memasukkannya.
b. Mengidentifikasi sensasi yang diperkirakan selama
pemasukan selang.
c. Memasang selang
Pasien ditempatkan pada posisi fowler dan handuk
dilebarkan menutupi dada. Perawat menggunakan sarung
17
tangan selama prosedur. Siapkan tisu. Berikan privasi dan
cahaya yang adekuat. Anjurkan pada pasien untuk berkumur
dengan cairan anestetik atau menyimpan bata es dalam mulut
selama beberapa menit. Dorong klien untuk bernapas melalui
mulut atau napas pendek cepat, atau menelan air, bila
diijinkan. Ujung hidung klien ditinggikan dan selang
disejajarkan masuk orofaring. Apabila selang mencapai
nasofaring, pasien diinstruksikan untuk menurunkan kepala
sedikit dan mulai menelan saat selang dimasukkan. Pasien juga
dapat menghisap air melalui sedotan untuk memudahkan
pemasukan selang.
d. Memastikan penempatan selang nasogastrik
Sinar X dapat dilakukan, akan tetpi terdapat studi baru yaitu
dengan menentukan pH aspirat selang.
e. Memantau pasien
Pemastian tempat selang penting dilakukan sebelum
cairan atau obat dimasukkan. Perubahan posisi selang dapat
disebabkan oleh tegangan selang (bila pasien bergerak
disekitar tempat tidur atau ruangan), batuk, penghisapan trakea
atau nasotrakea, dan intubasi jalan napas.
f. Memberikan higiene dan perawatan oral dan nasal
Swab berujung kapas yang dilembabkan dapat
digunakan untuk membersihkan hidung, diikuti dengan
pembersihan dengan minyak larut air untuk pelumasan. Plester
nasal diganti setiap 2 hari sekali. Bila mukosa nasal dan faring
sangat kering, lembabkan atau inhalasi uap dingin mungkin
menguntungkan.
g. Pemantauan dan penatalaksanaan komplikasi potensial
Pasien dengan intubasi nasogastrik rentan terhadap berbagai
masalah, yaitu:
(1) Kekurangan volume cairan. Gejala-gejala yang
menunjukkan kekurangan volume cairan mencakup:
18
o Kekeringan kulit dan membran mukosa
o Penurunan haluaran urin
o Letargi dan kelelahan
o Penurunan suhu tubuh
Pengkajian kekurangan volume cairan mencakup mempertahankan
catatan akurat tentang hal berikut:
o Drainase. Jumlah, warna, dan tipe, setiap 8 jam.
o Jumlah cairan yang dimasukkan dengan irigasi selang
nasogastrik dan jumlah air yang diminum.
o Jumlah dan karakter muntahan bila ada.
o Keseimbangan cairan selama 24 jam.
o Air yang diberikan dengan selang pemberian makan.
o Durasi adanya periode dimana alat penghisap tambahan
tidak berfungsi.
o Efek yang dihasilkan oleh pengobatan.
(2) Komplikasi paru
o Intubasi nasogastrik meningkatkan insiden komplikasi paru
pascaoperatif dengan mempengaruhi batuk dan
pembersihan faring.
o Perawat mengkaji bidang paru dengan teratur, melalui
auskultasi untuk menentukan adanya kongesti.
(3) Iritasi yang berhubungan dengan selang
o Perawat mengobservasi membran mukosa akan adanya
tanda-tanda iritasi atau kekeringan berlebihan dan
mempalpasi area disekitar parotis untuk mendeteksi adanya
sariawan atau benjolan dan adanya iritasi kulit atau
membran mukosa atau nekrosis.
o Hidung, mukosa oral, esofagus, dan trakea rentan terhadap
iritasi dan nekrosis. Pasien dikaji untuk adanya esofagitis
dan trakeitis.
19
h. Pengangkatan selang
Sebelum mengangkat selang, perawat dapat mengklem selang
secara intermiten dan melepaskan klem nasogastrik selama periode 24
jam untuk menjamin bahwa klien tidak mengalami mual, muntah, atau
distensi. Pakai sarung tangan pada saat mengangkat selang. Sebelum
mengangkatnya, selang dibilas dengan salin normal 10 ml untuk
menjamin bahwa selang bebas dari debris dan jauh dari lambung.
Selang ditarik dengan perlahan dan halus, selama 15 sampai 20 cm,
pada interval 10 menit, sampai ujung selang mencapai esofagus;
sisanya ditarik dengan cepat dari hidung. Saat selang ditarik, letakkan
selang dalam handuk. Setelah selag diangkat lakukan higiene oral.
Indikasi dan Kontraindikasi Pemasangan NGT (Nasogastric Tube)
a. Indikasi pemasangan Nasogastric Tube (NGT) antara lain:
(1) Adanya perdarahan gastrointestinal, walaupun perdarahan
tersebut diduga berada di saluran gastrointestinal bagian bawah.
(2) Adanya perdarahan di saluran gastrointestinal bagian atas.
(3) Pemasangan tabung di perut dapat digunakan untuk
mendiagnosa permasalahan yang terjadi.
(4) Memonitor perdarahan yang sedang terjadi dan mendeteksi
adanya perdarahan kembali.
(5) Sebagai terapi.
(6) Untuk pemberian obat.
(7) Rute pemberian nutrisi.
(8) Dekompresi obstruksi usus.
b. Kontraindikasi pemasangan Nasogastric tube (NGT), antara lain:
(1) Adanya perdarahan diatesis yang ditunjukkan dengan adanya
perdarahan yang tidak terkontrol di bagian nasal.
(2) Sinusitis.
(3) Fraktur maksilofasial.
(4) Koagulopati parah
20
2.4.2 Pemberian Terapi Intravena
Infus intravena adalah salah satu metode umum pemberian
cairan, nutrisi, dan pengobatan untuk pasien serta intravena solution
merupakan satu-satunya sumber makanan dan cairan untuk banyak
pasien akut (Kozier & Erb, 1982). Terapi intravena digunakan kepada
klien untuk menyediakan air, elektrolit, dan ntrien untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari, untuk menggantikan air dan memperbaiki
kekurangan elektrolit serta untuk menyediakan suatu medium untuk
pemberian obat secara intravena.
Pada klien yang mengalami kekurangan cairan dan elektrolit
akibat hematemesis melena. Cara yang dapat dilakukan untuk
mengganti cairan yang hilang yaitu dengan memberikan terapi
intravena. Jenis infus set yang digunakan dalam pemasangan terapi
intravena ada dua yaitu makro drip dan mikro drip. Kedua jenis infus
set ini memiliki jumlah tetes atau faktor tetes yang berbeda per ml.
Makro drip: 20 tetes/cc dan mikro drip: 60 tetes/cc. Rumus yang
digunakan untuk mengitung jumlah tetesan cairan yang dibutuhkan
klien permenit yaitu:
Ada beberapa jenis larutan intravena, yaitu:
a. Cairan isotonis, yaitu cairan dengan osmolalitas total yang
mendekati cairan ekstraseluler dan tidak menyebabkan sel darah
merah mengkerut atau membengkak. Contohnya saline normal
(0,9% natrium klorida), larutan ringer lactate.
b. Cairan hipotonik, yaitu cairan yang bertujuan untuk menggantikan
cairan seluler, karena larutan ini bersifat hipotonis dibandingkan
dengan plasma. Pada saat-saat tertentu, larutan natrium hipotonik
digunakan untuk mengatasi hipernatremia dan kondisi hiperosmolar
yang lain. Contohnya natrium klorida 0,45%, salin 0,33%, atau
dekstrosa 2,5% dalam air.
c. Cairan hipertonik, yaitu dekstrosa 5% dalam salin 0,45%,
dekstrosa 5% dalam salin normal, atau dekstrosa 5% dalam ringer
21
laktat yang diberikan untuk membantu memenuhi kebutuhan kalori.
Larutan-larutan ini menarik air dari kompartemen intraseluler ke
ekstraseluler dan menyebabkan sel-sel mengkerut. Jika diberikan
dengan cepat dan dalam jumlah besar, dapat menyebabkan
kelebihan volume ekstraseluler dan mencetuskan kelebihan cairan
sirkulatori dan dehidrasi.
Penghentian pemberian terapi intravena berkaitan dengan dua
kemungkinan bahaya yaitu perdarahan dan emboli kateter. Perdarahan
dapat dicegah dengan menggunakan spons yang kering dan streil yang
harus diletakkan di atas tempat penusukkan pada saat kanul dilepaskan.
Jika suatu kateter IV plastik putus, hal tersebut dapat mengalir ke
ventrikel kanan dan menyumbat aliran darah sehingga menimbulkan
emboli kateter. Emboli kateter dapat dengan mudah dicegah dengan
mengikuti peraturan sederhana seperti tidak menggunakan gunting di
dekat kateter dan tidak menarik kateter melalui jarum penginsersi.
22
BAB III
PEMBAHASAN
“Pasien laki-laki berusia 40 tahun dirawat di rumah sakit dengan diagnosa medis
hematemesis melena ec peptic ulcer. Saat ini pasien masih terpasang nasogastric
tube (NGT) dengan drainase darah sejumlah 400 cc/5 jam. TTV= TD= 90/60
mmHg. Kesadaran compos mentis. Infus terpasang di tangan kiri sejak 2 hari yang
lalu. Pasien ada perencanaan pemeriksaan lab untuk evaluasi masalah cairan
terkait perdarahan yang muncul. Pasien juga mendapatkan terapi pengobatan
untuk masalah perdarahannya.”
3.1 Definisi Masalah
Klien laki-laki mengalami hematemesis melena ec peptic ulcer sehingga
mengalami perdarahan yang mengakibatkan cairan di tubuhnya berkurang
(hipovolemik).
3.2 Analisis Masalah
3.2.1 Apakah pengertian hematemesis melena serta etiologinya?
3.2.2 Bagaimana proses patofisiologi peptic ulcer?
3.2.3 Bagaimana patofisiologi peptic ulcer menyebabkan hematemesis
melena?
3.2.4 Mengapa hematemesis melena ec. Peptic ulcer menyebabkan
hipovolemik?
3.2.5 Bagaimana penatalaksanaan medis pada klien dengan hematemesis
melena ec. Peptic ulcer (obat-obatan)?
3.2.6 Bagaimana penatalaksanaan non medis pada klien dengan
hematemesis melena ec. Peptic ulcer (NGT dan terapi intravena atau
infus)?
3.2.7 Apa saja pemeriksaan diagnostik yang dilakukan untuk klien dengan
hematemesis melena ec peptic ulcer?
23
3.2.8 Bagaimana asuhan keperawatan klien dengan hematemesis melena ec.
Peptic ulcer?
3.3 Hipotesis
Klien mengalami hipovolemik karena mengalami perdarahan yaitu
hematemesis melena yang disebabkan oleh peptic ulcer.
3.4 Pembahasan Kasus
24
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Saluran percernaan merupakan rangkaian organ-organ yang berfungsi
dalam mengelola bahan makanan menjadi nutrien-nutrien yang dapat diserap oleh
tubuh yang akan digunakan dalam proses metabolisme. Namun dalam prosesnya,
beberapa organ dalam saluran percernaan mengalami trauma ataupun gangguan
yang menimbulkan beberapa kelainan. Salah satu kelainan dalam saluran
pencernaan adalah hematemesis melena.ec peptic ulcer. Komplikasi dari peptic
ulcer, yaitu hemoragi ditandai dengan timbulnya hematemesis (muntah yang
mengandung darah) dan melena (terdapatnya darah pada feses).
Intervensi yang diberikan untuk klien dengan komplikasi hemoragi
bertujuan untuk mengobati syok hipovolemik. Syok hipovolemik diakibatkan oleh
pendarahan yang masif. Intervensi yang dapat di lakukan untuk menangani
komplikasi peptic ulcer: hemoragi, berupa pemberian obat-obatan antasida dan
golongan H2 reseptor antagonis (simetidin atau ranitidin) berguna untuk
menanggulangi perdarahan. Selain obat-obatan, klien juga mendapatkan intervensi
berupa pemasangan NGT dan pemasangan infus intravena.
25
DAFTAR PUSTAKA
Ahern, Nancy R dan Wilkinson, Judith M. (2012). Buku saku diagnosis
keperawatan (diagnosis NANDA, intervensi NIC, dan kriteria hasil
NOC). 9th Edition. Jakarta: EGC.
Doenges, Marylin E, dkk. (2000). Rencana asuhan keperawatan pedoman untuk
perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. 3rd ed. Jakarta:
EGC.
Polaski, Arlene L dan Tatro, Suzanne E. (1996). Lukmann’s core principales and
practice of medical surgical nursing. Philadelphia: WB Saunders
Company.
Potter, Patricia A dan Perry, Anne Griffin. (2005). Buku ajar fundamental
keperawatan: konsep, proses, dan praktik. Edisi 4. Volume 1. Jakarta:
Penerbit buku kedokteran EGC.
Kozier, Barbara et al. (2009). Buku Ajar Keperawatan Klinis. Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzane C. & Bare, Brenda G. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner & Suddath. Jakarta: EGC.
26
top related