makalah analisis
Post on 07-Apr-2016
316 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
EKOLOGI TERESTRIAL
TEKNIK ANALISIS VEGETASI DAN HEWAN
oleh:
Mazaya Dzati Hulwani (131810401050)
Astin Indriani (131810401055)
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS JEMBER
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Vegetasi merupakan kumpulan tumbuh - tumbuhan, biasanya terdiri dari
beberapa jenis yang hidup bersama-sama pada suatu tempat. Dalam mekanisme
kehidupan bersama tersebut terdapat interaksi yang erat, baik diantara sesama
individu penyusun vegetasi itu sendiri maupun dengan organisme lainnya
sehingga merupakan suatu sistem yang hidup dan tumbuh serta dinamis. Analisis
vegetasi adalah suatu cara mempelajari susunan atau komposisi dan bentuk
(struktur) vegetasi tumbuhan. Unsur struktur, vegetasi adalah bentuk
pertumbuhan, stratifikasi dan penutupan tajuk. Untuk keperluan analisis vegetasi
diperlukan data-data jenis, diameter dan tinggi untuk menentukan indeks nilai
penting dari penvusun komunitas hutan tersebut. Dengan analisis vegetasi dapat
diperoleh informasi kuantitatif tentang struktur dan komposisi suatu komunitas
tumbuhan (Syafei, 1990).
Selain vegetasi, juga penting sekali untuk melakukan analisis terhadap
hewan. Jumlah populasi dari hewan juga tidak kalah banyak. Analisis hewan
adalah suatu cara yang dilakukan untuk mengetahui jenis hewan pada suatu
ekosistem. Analisis tersebut dila kukan dengan mengambil sampel (stasiun) yang
mewakili suatu wilayah yang unit samplingnya bisa dalam satuan luas atau satuan
volume tertentu. Keragaman dapat diukur dengan mengetahui kekayaan spesies
yaitu jumlah jenis spesies disuatu ekosistem, kelimpahan spesies, atau kombinasi
kekayaan spesies dan dominasi spesies (Tjitrosoepomo, 2002). Untuk itu perlu
dilakukan analisis terhadap nilai keragaman jenis, nilai kekayaan jenis, dan nilai
kemerataan jenis guna mengetahui hubungan antar hewan dan faktor lingkungan.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1; Apakah pengertian dari analisis vegetasi dan analisis hewan?
2; Apa sajakah macam-macam metode analisis vegetasi dan hewan?
3; Bagaimanakah teknik sampling pada analisis vegetasi dan hewan?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah:
1 Untuk mengetahui pengertian dari analisis vegetasi dan analisis hewan
2 Untuk mengetahui macam-macam metode analisis vegetasi dan hewan
3 Untuk mengetahui teknik sampling pada analisis vegetasi dan hewan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1; Analisis Vegetasi
2.1.1 Pengertian Analisis Vegetasi
Vegetasi merupakan kumpulan tumbuh - tumbuhan, biasanya terdiri dari
beberapa jenis yang hidup bersama-sama pada suatu tempat. Vegetasi pada satu
tempat akan berbeda dengan vegetasi pada tempat yang lain. Hal ini karena factor
lingkungan yang berbeda (Irwanto, 2007).
Analisis vegetasi adalah suatu cara mempelajari susunan (komposisi) dan
bentuk (struktur) vegetasi dari tumbuh-tumbuhan. Cara ini akan menghasilkan
data yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Unsur struktur vegetasi adalah bentuk
pertumbuhan, stratifikasi dan penutupan tajuk. Untuk keperluan analisis vegetasi
diperlukan data-data jenis, diameter dan tinggi untuk menentukan indeks nilai
penting dari penvusun komunitas hutan tersebut. Dengan analisis vegetasi dapat
diperoleh informasi kuantitatif tentang struktur dan komposisi suatu komunitas
tumbuhan. Berdasarkan tujuan pendugaan kuantitatif komunitas vegetasi
dikelompokkan ke dalam 3 kategori yaitu :
1; Pendugaan komposisi vegetasi dalam suatu areal dengan batas-batas jenis
dan membandingkan dengan areal lain atau areal yang sama namun waktu
pengamatan berbeda.
2; Menduga tentang keragaman jenis dalam suatu areal.
3; Melakukan korelasi antara perbedaan vegetasi dengan faktor lingkungan
tertentu atau beberapa faktor lingkungan (Greig-Smith, 1983).
Parameter yang digunakan dalam analisis vegetasi ada 2, yaitu parameter
kualitatif dan kuantitatif. Beberapa parameter kualitatif komunitas tumbuhan
yaitu:
1; Fisiognomi
Adalah kenampakan umum komunitas tumbuhan. Komunitas tumbuhan
yang besar dan menempati suatu habitat yang luas diklasifikasikan ke dalam
komponen komunitas sebagai dasar fisiognominya. Komponen komunitas yang
menjadi dasar fisiognomi ini ialah yang berada dalam bentuk dominan. Sebagai
contoh : komunitas hutan, padang rumput, stepa, tundra, dan sebagainya.
2; Stratifikasi
Terjadi akibat terjadinya persaingan suatu jenis tertentu akan lebih
dominan dari yang lainnya sehingga membentuk struktur vertikal disamping
akibat perbedaan umur dan jenis vegetasi yang ditentukan berdasarkan tinggi
vegetasi. Pembagian stratifikasi adalah sebagai berikut :1) Stratum A Lapisan yang terdiri dari pohon-pohon yang tinggi totalnya > 30 meter, biasanya
tajuk diskontinyu, batang tinggi dan lurus, batang bebas,daun tinggi. Jenis pohon
dari stratum ini pada waktu muda (tingkat semai sampai sapihan) perlu naungan
tetapi untuk pertumbuhan selanjutnya perlu cahaya yang cukup banyak.2) Stratum BTerdiri dari pohon-pohon yang tingginya antara 20-30 meter, tajuk pada umumnya
kontinyu, batang pohon biasanya banyak cabang. Jenis-jenis pohon ini kurang
membutuhkan naungan (tahan naungan).3) Stratum CTerdiri dari pohon-pohon yang tingginya antara 4-20 meter, tajuk kontinyu,
pohon-pohonnya kecil, rendah dan banyak cabang.4) Stratum DLapisan perdu dan semak dengan tinggi 1-4 meter.5) Stratum E (forest floor)Lapisan tumbuh-tumbuhan penutup tanah (ground cover) tingginya 0-1 meter dan
pohon-pohon mati (masuk aspek ekologi karena disitu masih ada
tumbuhan/hewan lain yang hidup, contohnya : jamur, lumut, dan kumbang.
3; Kelimpahan
Adalah parameter kualitatif yang mencerminkan distribusi relatif spesies
organisme dalam komunitas. Menurut penaksiran kualitatif, kelimpahan dapat
dikelompokkan menjadi sangat jarang, jarang, sering, banyak atau berlimpah, dan
sangat banyak (sangat berlimpah).
4; Pola sebaran
Adalah parameter kualitatif yang menggambarkan keberadaan spesies
organisme pada ruang secara horizontal, antara lain random, seragam, dan
berkelompok.
5; Bentuk pertumbuhan
Sebagian besar kenampakan umum dan pertambahan spesies dalam
komunitas dikelompokkan ke dalam kelas bentuk pertumbuhan yang berbeda.
Misalnya pohon, perdu, semak, dan herba. Berdasarkan nilai persentase perbedaan
kelas bentuk pertumbuhan, habitat alami yang nyata dari komunitas dapat
diketahui. (Lumowa, 2012).
Sedangkan beberapa parameter kuantitatif komunitas tumbuhan yaitu:
1; Densitas (kerapatan)
Secara kualitatif dibedakan menjadi jarang, kadang-kadang, sering, dan
banyak sekali terdapat jumlah individu yang dinyatakan dalam persatuan ruang,
umunya dinyatakan sebagai jumlah individu atau populasi persatuan areal atau
volume.
2; Frekuensi
Frekuensi diperoleh berdasarkan kekerapan suatu spesies yang ditemukan
pada setiap garis yang disebar . Frekuensi merupakan ukuran dari uniformitas atau
regularitas. Terdapatnya suatu jenis frekuensi memberikan gambaran bagimana
pola penyebaran suatu jenis, apakah menyebar ke seluruh kawasan atau
kelompok. Hal ini menunjukan daya penyebaran dan adaptasinya terhadap
lingkungan. Raunkiser dalam shukla dan Chandel membagi frekuensi dalam lima
kelas berdasarkan besarnya persentase,yaitu:
Kelas A dalam frekuensi 01 –20 %
Kelas B dalam frekuensi 21-40 %
Kelas C dalm frekuensi 41-60%
Kelas D dalam frekuensi 61-80 %
Kelas E dalam frekuensi 81-100%
3; Dominansi
Dominansi dapat diartikan sebagai penguasaan dari satu jenis terhadap
jenis lain (bisa dalam hal ruang, cahaya, dan lainnya), sehingga dominansi dapat
dinyatakan dalam besaran:
Biomassa
Penutupan tajuk
Luas bidang dasar(LBD)/Basal area(BA)
Indeks nilai penting (INP)
(Irwan, 1997)
Dalam teknik analisis vegetasi, tentu tidak terlepas dari komponen
penyusun suatu vegetasi itu sendiri. Komponen tumbuhan penyusun vegetasi
secara umum terdiri dari:
1; Belukar (Shrub): Tumbuhan yang memiliki kayu yang cukup besar dan
memiliki tangkai yang terbagi menjadi banyak subtangkai.
2; Epifit (Epiphyte): Tumbuhan yang hidup dipermukaan tumbuhan lain
(biasanya pohon dan palma). Epifit mungkin hidup sebagai parasit atau
hemi-parasit.
3; Paku-pakuan (Fern): Tumbuhan tanpa bunga atau tangkai, biasanya
memiliki rhizoma seperti akar dan berkayu, dimana pada rhizoma tersebut
keluar tangkai daun.
4; Palma (Palm): Tumbuhan yang tangkainya menyerupai kayu, lurus dan
biasanya tinggi, tidak bercabang sampai daun pertama. Daun lebih panjang
dari 1 meter dan biasanya terbagi dalam banyak anak daun.
5; Pemanjat (Climber): Tumbuhan seperti kayu atau berumput yang tidak
berdiri sendiri namun merambat atau memanjat untuk penyokongnya
seperti kayu atau belukar.
6; Terna (Herb): Tumbuhan yang merambat ditanah, namun tidak menyerupai
rumput. Daunnya tidak panjang dan lurus, biasanya memiliki bunga yang
menyolok, tingginya tidak lebih dari 2 meter dan memiliki tangkai lembut
yang kadang-kadang keras.
7; Pohon (Tree): Tumbuhan yang memiliki kayu besar, tinggi dan memiliki
satu batang atau tangkai utama dengan ukuran diameter lebih dari 20 cm.
Untuk tingkat pohon dapat dibagi lagi menurut tingkat permudaannya,
yaitu:
a; Semai (Seedling): Permudaan mulai dari kecambah sampai anakan
kurang dari 1.5 m.
b; Pancang (Sapling): Permudaan dengan tinggi 1.5 m sampai anakan
berdiameter kurang dari 10 cm.
c; Tiang (Poles): Pohon muda berdiameter 10 cm sampai kurang dari 20
cm.
(Irwanto, 2007)
2.1.2 Metode Analisis Vegetasi
Analisis vegetasi membutuhkan suatu metode yang tepat. Hal ini untuk
mempermudah dalam mendeskripsikan suatu vegetasi sesuai dengan tujuannya.
Terdapat berbagai metode yang bisa digunakan seiring dengan bertambah
majunya teknologi. Tetapi meskipun demikian, tetap harus memperhitungkan
kendala yang ada. Macam-macam metode analisis vegetasi yaitu:
a; Metode Destruktif (Pengukuran yang bersifat merusak)
Metode ini umumnya dilakukan untuk bentuk vegetasi yang sederhana
dengan ukuran luas pencuplikan antara satu meter persegi sampai lima meter
persegi. Penimbangan bisa didasarkan pada berat segar materi hidup atau berat
keringnya. Metode ini sangat membantu dalam menentukan kualitas suatu padang
rumput dengan usaha pencairan lahan penggembalaan dan sekaligus menentukan
kapasitas tampungnya. Pendekatan yang terbaik untuk metode ini adalah secara
floristika, yaitu didasarkan pada pengetahuan taksonomi tumbuhan.
b; Metode non-destruktif
Metode ini dapat dilakukan dengan dua cara pendekatan, yaitu
berdasarkan penelaahan organisme hidup/tumbuhan (tidak didasarkan pada
taksonominya), dan pendekatan lainnya adalah didasarkan pada penelaahan
organisme tumbuhan secara taksonomi atau pendekatan floristika.
c; Metode non-floristika
Metode non-floristika telah dikembangkan oleh banyak pakar vegetasi,
seperti Du Rietz (1931), Raunkiaer (1934), dan Dansereau (1951), yang kemudian
diekspresikan oleh Eiten (1968) dan Unesco (1973) yang membagi dunia
tumbuhan berdasarkan berbagai hal, yaitu bentuk hidup, ukuran, fungsi daun,
bentuk dan ukuran daun, tekstur daun, dan penutupan. Untuk setiap
karakteristiknya dibagi-bagi lagi dalam sifat yang kebih rinci, yang
pengungkapannya dinyatakan dalam bentuk simbol huruf dan gambar.
d; Metode floristik
Metode ini didasarkan pada penelaahan organisme tumbuhan secara
taksonomi. Metode ini dapat menentukan kekayaan floristika atau
keanekaragaman dari berbagai bentuk vegetasi. Penelaahan dilakukan terhadap
semua populasi spesies pembentuk masyarakat tumbuhan tersebut, sehingga
pemahaman dari setiap jenis tumbuhan secara taksonomi adalah sangat
dibutuhkan (Lumowo, 2012).
2.1.3 Teknik Sampling Analisis Vegetasi
Terdapat 2 cara dalam teknik sampling, yaitu cara petak/kuadrat (Quadrat
Sampling Techniques ) dan cara tanpa petak (Plotless).
1; Cara Petak/Kuadrat (Quadrat Sampling Techniques)
Teknik sampling kuadrat ini merupakan suatu teknik survey vegetasi yang
sering digunakan dalam semua tipe komunitas tumbuhan. Plot yang dibuat dalam
teknik sampling ini bisa berupa petak tunggal atau beberapa petak. Petak tunggal
mungkin akan memberikan informasi yang baik bila komunitas vegetasi yang
diteliti bersifat homogen. Adapun plot yang dibuat dapat diletakkan secara
random atau beraturan.
Bentuk plot yang dibuat tergantung pada bentuk morfologis vegetasi dan
efisiensi sampling pola penyebarannya. Misalnya, untuk vegetasi rendah, plot
berbentuk lingkaran lebih menguntungkan karena pembuatan petaknya dapat
dilakukan secara mudah dengan mengaitkan seutas tali pada titik pusat petak.
Selain itu, plot berbentuk lingkaran akan memberikan kesalahan sampling yang
lebih kecil daripada bentuk petak lainnya, karena perbandingan panjang tepi
dengan luasnya lebih kecil. Tetapi dari segi pola distribusi vegetasi, petak
berbentuk lingkaran ini kurang efisien dibanding bentuk segiempat. Sehubungan
dengan efisiensi sampling banyak studi yang dilakukan menunjukkan bahwa
petak bentuk segiempat memberikan data komposisi vegetasi yang lebih akurat
dibanding petak berbentuk bujur sangkar yang berukuran sama, terutama bila
sumbu panjang dari petak tersebut sejajar dengan arah perobahan keadaan
lingkungan/habitat. Untuk memudahkan perisalahan vegetasi dan pengukuran
parametemya, plot biasanya dibagi-bagi ke dalam kuadrat-kuadrat berukuran lebih
kecil. Ukuran kuadrat-kuadrat tersebut disesuaikan dengan bentuk morfologis
jenis dan lapisan distribusi vegetasi secara vertikal (stratifikasi). Dalam hal ini
Oosting (1956) menyarankan penggunaan kuadrat, yaitu:
a. Ukuran 10 x 10 m untuk lapisan pohon
b. 4 x 4 m untuk lapisan vegetasi berkayu tingkat bawah (undergrowth) sampai
tinggi 3 m
c. 1 x 1 m untuk vegetasi bawah/lapisan herba.
Tetapi umummya para peneliti di bidang ekologi hutan membedakan
potion ke dalam beberapa tingkat pertumbuhan, yaitu:
a. semai (permudaan tingkat kecambah sampai setinggi < 1,5 m)
b. pancang (permudaan dengan > 1,5 m sampai pohon muda yang berdiameter <
10 cm)
c. tiang (pohon muda berdiameter 10 s/d 20 cm)
d. pohon dewasa (diameter > 20 cm).
Untuk memudahkan pelaksanaannya ukuran kuadrat disesuaikan dengan
tingkat perttunbuhan tersebut, yaitu umumnya 20 x 20 m (pohon dewasa), 10 x 10
m (tiang), 5 x 5 m (pancang), dan 1x1 m atau 2 x 2 m (semai dan tumbuhan
bawah).
1.1; Petak tunggal
Menurut cara ini digunakan satu petak (kuadrat) berupa tegakkan hutan
sebagai unit sampel. Besar unit sampel tidak boleh terlalu kecil sehingga tidak
dapat menggambarkan keadaan hutan yang dipelajari. Ukuran minimum dari
petak tunggal tergantung dari kerapatan vegetasi dan banyaknya jenis-jenis pohon.
Semakin jarang pepohonan yang ada atau semakin banyak jenis-jenis tumbuhan,
semakin besar ukuran kuadrat sebagai petak tunggal yang digunakan. Ukuran
minimum ditetapkan dengan menggunakan kurva lengkung spesies. Luas
minimum ditetapkan dengan dasar penambahan luas kuadrat yang tidak
menyebabkan kenaikan jumlah jenis lebih besar dari 10% atau 5%. Dengan
menggunakan kurva lengkung jenis untuk kebanyakan hutan hujan tropika
menurut Richard pada umumnya diperlukan petak tunggal seluas 1,5 Ha,
sebaliknya menurut vestal rata-rata luas petak tunggal yang diperlukan untuk
hutan hujan tropika adalah 3 Ha. Untuk itu unit sampel berbentuk persegi panjang
akan lebuh efektif dari pada kuadrat berbentuk bujur sangkar (Michael, 1995).
Gambar 2.1 Cara petak tunggal
1.2; Petak ganda
Menurut cara ini pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan
banyak kuadrat yang diletakkan tersebar merata dengan secara sistematis.
Penentuan besar atau luas unit sampel juga harus ditentukan kurva lengkung jenis.
Di Indonesia biasanya digunaka kuadrat berukuran 0,1 Ha untuk pohon, 0,01
untuk anakan pohon sampling dan semak atau 0,001 Ha untuk tumbuh-tumbuhan
bawah dan semai (seedling) (Michael, 1995).
Gambar 2.2 Cara petak ganda
1.3; Transek/Jalur
Metode ini paling efektif untuk mempelajari perubahan keadaan vegetasi
menurut kondisi tanah, topografi dan elevasi. Jalur - jalur contoh ini harus dibuat
memotong garis-garis topografi, misal tegak lurus garis pantai, memotong sungai,
dan menaik atau menurun lereng gunung. Perhitungan besarnya nilai kuantitatif
parameter vegetasi sama dengan metode petak tunggal (Michael, 1995).
Gambar 2.3 Cara jalur/transek
1.4; Garis berpetak
Metode ini dapat dianggap sebagai modifikasi metode petak ganda atau
metode jalur, yakni dengan cara melompati satu atau lebih petak-petak dalam jalur
sehingga sepanjang garis rintis terdapat petak-petak pada jarak tertentu yang sama
(Michael, 1995).
Gambar 2.4 Cara garis berpetak
2; Cara Tanpa Petak (Plotless)
2.1; Metode kuadran
Metode kuadran adalah salah satu metode yang tidak menggunakan petak
contoh (plotless) metode ini sangat baik untuk menduga komunitas yang
berbentuk pohon dan tiang, contohnya vegetasi hutan. Apabila diameter tersebut
lebih besar atau sama dengan 20 cm maka disebut pohon, dan jika diameter
tersebut antara 10-20 cm maka disebut pole (tihang), dan jika tinggi pohon 2,5 m
sampai diameter 10 cm disebut saling atau belta (pancang) dan mulai anakan
sampai pohon setinggi 2,5 meter disebut seedling (anakan/semai) (Syafei, 1990).
Metode kuadran atau point-centered quartered method dapat diterapkan
untuk mengungkap struktur kuantitatif hutan berdasarkan jenis penyusunun dan
indeks nilai pentingnya. Perbedaan dengan metode ini tidak menggunakan
kuadrat. Metode ini dikategorikan sebagai metode tanpa plot atau antar titik
pengamaatan metode jarak. Secara garis besar pengolahan data sama dengan
metode kuadrat. Hasil metode ini sangat ditentukan oleh ketelitian penaksiran
kerapatan semua jenis. Selain itu asumsi bahwa pola spasial semua individu acak
perlu dipegang untuk mendapatkan hasil yang valid. Berikut langkah-langkah
kerja jika akan melakukan analisis vegetasi metode kuadran:
Menyebarkan 5 kuadrat ukuran 1 m2 secara acak di suatu vegetasi tertentu.
Melakukan analisis vegetasi berdasarkan variabel-variabel kerapatan,
kerimbunan, dan frekuensi.
Melakukan perhitungan untuk mencari harga relatif dari setiap variabel
untuk setiap tumbuhan.
Melanjutkan perhitungan untuk mencari harga nilai penting dari setiap
jenis tumbuhan.
Menyusun harga nilai penting yang sudah diperoleh pada suatu tabel
dengan ketentuan bahwa tumbuhan yang nilai pentingnya tertinggi
diletakkan pada tempat teratas.
Memberi nama vegetasi yang telah digunakan berdasarkan 2 jenis / spesies
yang memiliki nilai penting terbesar.
Gambar 2.5 Metode kuadran
2.2; Metode berpasangan acak
Berikut ini adalah langkah-langkah kerja jika menggunakan metode
berpasangan acak:
Meletakan titik-titik contoh secara acak atau beraturan (pada jarak tertentu
sepanjang garis rintisan)
Pemilihan satu individu (tumbuhan) pohon yang terdekat dengan titik
contoh. Kemudian tarik suatu garis khayalan yang melalui titik contoh dan
individu pohon yang terpilih dan satu garis khayalan lagi yang tegak lurus
terhadap garis khayalan pertama tadi. Tahap selanjutnya pilih satu individu
tumbuhan yang terdekat dengan individu tumbuhan pertama, tetapi
letaknya berada di sektor lain (di luar sektor 180° tempat pohon pertama
berada yang dibatasi oleh garis khayalan pertama).
Pengukuran jarak antar pohon (individu tumbuhan) pertama dan kedua.
Selain itu parameter-parameter vegetasi yang diinginkan dapat diukur pada
kedua individu tumbuhan tersebut.
Gambar 2.6 Metode berpasangan acak
2.3; Metode point intercept
Metode point intercept (intersepsi titik) merupakan suatu metode analisis
vegetasi dengan menggunakan cuplikan berupa titik. Pada metode ini tumbuhan
yang dapat dianalisis hanya satu tumbuhan yang benar-benar terletak pada titik-
titik yang disebar atau yang diproyeksikan mengenai titik-titik tersebut. Dalam
menggunakan metode ini variabel-variabel yang digunakan adalah kerapatan,
dominansi, dan frekuensi (Soerianegara, 1988). Berikut langkah-langkah kerja
jika akan melakukan analisis vegetasi metode intersepsi titik:
Membuat 10 titik yang masing-masing titik berjarak 10 cm pada seutas tali
rafia.
Menancapkan kawat atau lidi pada setiap titik dan menebar tali rafia
tersebut secara acak atau sistematis.
Melakukan analisis vegetasi berdasarkan variabel-variabel kerapatan,
kerimbunan, dan frekuensi pada setiap tumbuhan yang mengenai setiap
kawat atau lidi tersebut.
Melakukan 10 kali pengamatan, sehingga akan diperoleh 10 seri titik.
Melakukan perhitungan untuk mencari harga relatif dari setiap variabel
untuk setiap tumbuhan.
Melanjutkan perhitungan untuk mencari harga nilai penting dari setiap
jenis tumbuhan.
Menyusun harga nilai penting yang sudah diperoleh pada suatu tabel
dengan ketentuan bahwa tumbuhan yang nilai pentingnya tertinggi
diletakkan pada tempat teratas.
Memberi nama vegetasi yang telah digunakan berdasarkan 2 jenis / spesies
yang memiliki nilai penting terbesar.
Gambar 2.7 Metode point intercept
2.4; Metode line intercept
Metode line intercept (garis intercept) biasa digunakan oleh ahli ekologi
untuk mempelajari komunitas padang rumput. Dalam cara ini terlebih dahulu
ditentukan dua titik sebagai pusat garis transek. Panjang garis transek dapat 10 m,
25 m, 50 m, 100 m. Tebal garis transek biasanya 1 cm. Pada garis transek itu
kemudian dibuat segmen-segmen yang panjangnya bisa 1 m, 5 m, 10 m.
Pengamatan terhadap tumbuhan dilakukan pada segmen-segmen tersebut.
Selanjutnya mencatat, menghitung dan mengukur panjang penutupan semua
spesies tumbuhan pada segmen-segmen tersebut. Cara mengukur panjang
penutupan adalah memproyeksikan tegak lurus bagian basal atau aerial coverage
yang terpotong garis transek ketanah (Soerianegara, 1988).
Gambar 2.8 Metode line intercept
2.5; Metode bitterlich
Di dalam metode ini pengukuran dilakukan dengan Tongkat Bitterlich
(tongkat sepanjang 66 cm yang ujungnya dipasangi alat seng berbentuk bujur
sangkar berukuran 2 x 2 cm). Dengan mengangkat tongkat setinggi mata, plat
seng diarahkan ke pohon-pohon yang ada disekelilingnya.
Pohon yang tampak berdiameter lebih besar dan sama dengan plat seng didaftar
namanya dan diukur. Sedangkan pohon yang tampak berdiamater lebih kecil dan
sisi plat seng tidak masuk hitungan (Kusmana, 1997).
Gambar 2.9 Metode bitterlich
2.1.4 Rumus Perhitungan Kerapatan, Frekuensi, Dominansi, dan INP
a; Densitas (kerapatan=K) adalah jumlah individu per satuan luas atau per
unit volume. Densitas spesies ke-i dapat dihitung dengan cara:
K-i = jumlah individu satuan jenis (i)
Luas seluruh plot
K Relatif (KR)-i = K suatu jenis x 100%
K total seluruh jenis
b; Frekuensi spesies tumbuhan adalah jumlah plot tempat ditemukannya
suatu spesies dari sejumlah plot yang dibuat. Frekuensi merupakan
besarnya intensitas ditemukannya spesies dalam pengamatan keberadaan
organisme pada komunitas atau ekosistem. Untuk analisis komunitas
tumbuhan, frekuensi spesies (F), frekuensi spesies ke-i (F-i), dan frekuensi
relatif spesies ke-i (FR-i) dapat dihitung dengan rumus berikut:
F-i = jumlah satuan petak yang diduduki oleh jenis (i)
Jumlah seluruh plot
FR-i = frekuensi jenis(i) x 100%
Jumlah frekuensi seluruh jenis
c; Dominansi menyatakan suatu jenis tumbuhan utama yang mempengaruhi
dan melaksanakan kontrol terhadap komunitas dengan cara banyaknya
jumlah jenis, besarnya ukuran maupun pertumbuhannya yang dominan.
Berikut rumusnya:
D-i = jumlah kerimbunan individu suatu jenis (i)
luas area sampel
DR-i = dominansi jenis (i) x 100%
Jumlah dominansi seluruh jenis
d; Indeks Nilai Penting (INP) atau important value index merupakan indeks
kepentingan yang menggambarkan pentingnya peranan suatu vegetasi
dalam ekosistemnya. Apabila nilai INP suatu jenis vegetasi bernilai tinggi,
maka jenis itu sangat mempengaruhi kestabilan ekosistem tersebut.
Indeks nilai penting (INP) dapat digunakan untuk menentukan dominansi
jenis tumbuhan terhadap jenis tumbuhan lainnya, karena dalam suatu
komunitas yang bersifat heterogen data parameter sendiri-sendiri dari nilai
frekuensi, kerapatan, dan dominansinya tidak dapat menggambarkan
secara menyeluruh, maka untuk menentukan nilai pentingnya yang
mempunyai kaitan dengan struktur komunitasnya dapat diketahui dari INP
nya. Yaitu suatu indeks yang dihitung berdasarkan jumlah seluruh nilai
kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dan dominansi relatif (DR) :
INP = KR+FR+DR
Untuk mengetahui INP pada tingkat tumbuhan bawah (under
stories), semai (seedling), dan pancang (sapling) dihitung dari nilai
kerapatan relatif (KR) dan frekuensi relatif (FR):
INP = KR+FR
e; Indeks Keanekaragaman (Index of Diversity) merupakan ciri tingkatan
komunitas berdasarkan organisasi biologinya. Keanekaragaman spesies
dapat digunakan untuk menyatakan struktur komunitas. Keanekaragaman
spesies yang tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas memiliki
kompleksitas tinggi karena interaksi spesies yang terjadi dalam komunitas
tersebut sangat tinggi.
Suatu komunitas tersebut dinyatakan memiliki keanekaragaman spesies
yang tinggi jika komunitas tersebut disusun oleh banyak spesies.
Sebaliknya, suatu komunitas dinyatakan rendah apabila komunitas tersebut
disusun oleh spesies yang sedikit dan hanya ada spesies yang dominan.
Untuk memprakirakan keanekaragaman spesies ada ineks keanekaragaman
yang dapat digunakan dalam analisis komunitas tumbuhan adalah Indeks
Shanon atau Shanon Index of General Diversity (H’) (Odum, 1993).
Rumus untuk Indeks Keanekaragaman Shanon-Wiener atau Shanon Index
Of General Diversity (H’):
H’ = - ∑ { ¿N
log ( ¿N )}
Keterangan:
H’ = indeks Shanon= indeks keanekaragaman Shanon
ni = jumlah individu dari suatu jenis I
N = jumlah total individu seluruh jenis.
2.2; Analisis hewan
2.2.1 Pengertian Analisis Hewan
Analisis hubungan antar spesies dalam suatu ekosistem adalah salah satu
kajian yang sering dilakukan dalam bidang biologi. Analisis tersebut dilakukan
dengan mengambil sampel (stasiun) yang mewakili suatu wilayah yang unit
samplingnya bisa dalam satuan luas atau satuan volume tertentu. Analisis yang
umum digunakan untuk mengkaji hal seperti ini biasa disebut sebagai analisis
klaster (ada juga menyebutnya klasifikasi) dan ordinasi. Tujuan dari analisis
klaster adalah untuk mendapatkan gambaran secara umum bagaimana sampel
mengelompok (secara alamiah) dalam sebuah wilayah. Pengelompokan ini terjadi
karena sampel tersebut memiliki kemiripan yang sama dibandingkan dengan
sampel dari kelompok yang lain, sedangkan ordinasi adalah sebuah peta dari
sampel yang digambarkan dalam dua atau tiga dimensi, yang penempatan sampel
bukanlah untuk menunjukkan lokasi geografis dari sampel tersebut, melainkan
mencerminkan kemiripan komunitas secara biologi. Jarak antar sampel dalam
ordinasi dicoba untuk sesuai dengan ketidakmiripan dalam struktur komunitas,
dengan perkataan lain titik-titik yang berdekatan mencerminkan komunitas yang
sama, atau sampel yang jauh terpisah memiliki sedikit spesies yang sama
(Soedibjo, 2008).
2.2.2 Metode Analisis Hewan
Adapun metode yang dapat digunakan dalam mengukur kepadatan
populasi suatu daerah atau wilayah adalah sebagai berikut :
1; Metode Sensus
Salah satu metode yang paling akurat untuk mengetahui kepadatan
populasi di suatu wilayah adalah dengan melakukan sensus. Tetapi kendala dari
diadakannya sensus adalah lokasi penelitian. Misalnya jika penghitungan sensus
dengan lokasinya berada di hutan terbuka dengan hewan liar seperti ular yang
akan dihitung kerapatan populasinya. Pergerakan hewan yang akan dihitung juga
mempengaruhi keakuratan sensus (Soegianto, 1994).
2; Metode tangkap dan tangkap lagi
Metode capture-recapture, merupakan metode yang sudah populer
digunakan untuk menduga ukuran populasi dari suatu spesies hewan yang
bergerak cepat, seperti ikan, burung atau mamalia kecil. Metode ini dikenal juga
sebagai metode Lincoln-Peterson berdasarkan nama penemunya. Metode ini
dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut.
Daerah yang akan dijadikan sampel ditentukan luasnya
Dilakukan penangkapan hewan dan diteliti. Setiap hewan yang ditangkap
diberi tanda
Penangkapan dilakukan sampai tidak lagi menemukan hewan yang tidak
bertanda
Selang beberapa waktu dilakukan penangkapan hewan. Penangkapan ini
diharapkan mengenai individu yang bertanda dan belum bertanda
Setelah penangkapan selesai, jumlah individu yang bertanda dan tak bertanda
di jumlah
Berdasarkan populasi yang ada pada daerah yang diteliti menggunakan metode ini
dapat dihitung dengan rumus:
Populasi total = BC
x A
Keterangan : A = Jumlah individu yang diberi tanda pada penangkapan pertama
B = Jumlah individu (bertanda dan tidak bertanda) yang tertangkap
pada penangkapan kedua (A + C)
C = Jumlah individu bertanda yang tertangkapa pada penangkapan
kedua
(Susanto, 2000).
3; Metode Sampling
Pengukuran populasi dengan cara menghitung seluruh individu yang ada
pada daerah pengamatan jarang dilakukan karena cara itu hampir tidak mungkin
untuk dilakukan, terutama jika daerah yang di amati sangat luas. Cara yang biasa
dilakukan adalah menghitung individu hewan dalam daerah sampel dalam bentuk
petak-petak. Masalah yang perlu diperhatikan dalam penggunaan metode
sampling adalah jumlah, ukuran, bentuk, dan penyebaran petak-petak sampel
(Kendeigh, 1961). Macam-macam metode sampling dibagi menjadi dua yaitu
Probability sampling dan Nonprobability sampling.
a; Probability Sampling
Pada pengambilan sampel secara random, setiap unit populasi, mempunyai
kesempatan yang sama untuk diambil sebagai sampel. Faktor pemilihan atau
penunjukan sampel yang mana akan diambil, yang semata-mata atas
pertimbangan peneliti, disini dihindarkan. Bila tidak, akan terjadi bias. Dengan
cara random, bias pemilihan dapat diperkecil, sekecil mungkin. Ini merupakan
salah satu usaha untuk mendapatkan sampel yang representatif. Keuntungan
pengambilan sampel dengan probability sampling adalah sebagai berikut:
Derajat kepercayaan terhadap sampel dapat ditentukan.
Beda penaksiran parameter populasi dengan statistik sampel, dapat
diperkirakan.
Besar sampel yang akan diambil dapat dihitung secara statistik. Ada 5 cara
pengambilan sampel yang termasuk secara random, yaitu Simple Random
Sampling, Systematic Random Sampling, Stratified Random Sampling,
Cluster Sampling, dan Multi Stage Sampling.
(Rozaini, 2003).
b; Nonprobability Sampling
Pemilihan sampel dengan cara ini tidak menghiraukan prinsip-prinsip
probability. Pemilihan sampel tidak secara random. Hasil yang diharapkan hanya
merupakan gambaran kasar tentana suatu keadaan. Cara ini dipergunakan bila
biaya sangat sedikit , hasilnya diminta segera, tidak memerlukan ketepatan yang
tinggi, karena hasil yang didapatkan hanya sekedar gambaran umum saja.
Terdapat beberapa cara yang dapat digunakan, yaitu:
Porposive Sampling
Quota Sampling
Accidental Sampling
Saturation Sampling
Snowball Sampling
Direct Searching
Water Traps
Flight Interception Traps
Light Traps
Ekstraksi Kimia
Pitfall Traps
Metode statistik Mark/Recapture
Schnabel Estimator
Metode Plot (Berpetak)
Metode Transek
(Rozaini, 2003).
4; Pengukuran Nisbi
Beberapa populasi hewan sulit diteliti dengan metode sampling maupun
sensus. Menurut Soetjipta, (1992) dalam Susanto, (2000), ukuran hewan-hewan
tersebut biasanya ditentukan dengan ukuran nisbi. Penentuan ukuran populasi
dilakukan dengan perkiraan berdasarkan jumlah hewan yang ditangkap, dilihat,
didengar suaranya, dilihat telapaknya atau berdasarkan tanda-tanda lain. Hasil
yang didapat bukan berupa data akurat, melainkan hanya berupa petunjuk tentang
perkiraan kelimpahan. Dengan kata lain, pengukuran populasi dengan metode ini
tidak memberikan hasil yang akurat.
Nilai keragaman yang umum digunakan adalah indeks keragaman spesies
Shannon-Wiener yaitu untuk menghitung keragaman berdasarkan hitungan
gabungan antara jumlah dan kelimpahan spesies. Indeks keanekaragaman dari
Shannon dan Wiener (1963) dalam Odum (1994) dengan rumus :
H' = - (pi ln pi )
Keterangan : H' = Indeks keanekaragaman jenis
Pi = Probabilitas penting untuk tiap species
Pi = ni/N
ni = Jumlah individu dari masing-masing species
N = Jumlah seluruh individu
(Sune, 2012).
Analisis data tentang variabel keanekaragaman hayati dan keberadaan
flora dan atau fauna langka atau endemik, dengan cara menghitung kerapatan (K),
frekuensi (F), Indeks Nilai Penting (INP), dan untuk mengetahui besarnya potensi
mangrove berdasarkan kriteria nilai penting (NP), yaitu dengan menjumlahkan
antara kerapatan relatif (KR), frekwensi relatif (FR) dan dominansi relatif (DR).
Adapun rumus perhitungannya sebagai berikut :
I a. Kerapatan = Jumlah individu suatu jenis
II Luas areal contoh
III
IV Kerapatan Realtif (KR) = Kerapatan suatu jenis x 100
%
V Kerapatan semua jenis
VI
VII b. Frekwensi = Jumlah plot yang ditempati
suatu jenis
VIII Jumlah plot pengamatan
IX
X Frekwensi Relatif (FR) = Frekwensi suatu jenis x 100
%
XI Frekwensi semua jenis
XII c. Dominansi = Jumlah basal area suatu jenis
XIII Luas areal contoh
XIV
XV
XVI Dominansi Relatif (DR)= Dominansi suatu jenis
x 100 %
XVII Dominansi semua jenis
XVIII
XIX d. Nilai Penting (NP) = KR + FR + DR
(Sune, 2012).
BAB III
KESIMPULAN
Adapun kesimpulan dari makalah ini adalah:
a; Analisis vegetasi adalah suatu cara mempelajari susunan (komposisi) dan
bentuk (struktur) vegetasi dari tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan data
bersifat kualitatif dan kuantitatif. Sedangkan analisis hewan adalah suatu cara
yang dilakukan untuk mengetahui jenis hewan pada suatu ekosistem. Analisis
tersebut dilakukan dengan mengambil sampel (stasiun) yang mewakili suatu
wilayah yang unit samplingnya bisa dalam satuan luas atau satuan volume
tertentu.
b; Metode yang digunakan untuk analisis vegetasi adalah metode destruktif, non
destruktif, floristic, dan non floristic. Sedangkan analisis hewan adalah
metode sensus, tangkap dan tangkap lagi (capture re-capture), sampling, dan
nisbi.
c; Teknik sampling yang digunakan untuk analisis vegetasi adalah cara
petak/kuadrat (Quadrat Sampling Techniques) dan cara tanpa petak (Plotless).
Sedangkan pada analisis hewan adalah probability sampling dan
nonprobability sampling.
DAFTAR PUSTAKA
Greig-Smith, P. 1983. Quantitative Plant Ecology, Studies in Ecology. Volume 9.
Oxford: Blackwell Scientific Publications.
Irwan, D.Z. 1997. Prinsip – Prinsip Ekologi. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Irwanto. 2007. Analisis Vegetasi Untuk Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung
Pulau Marsegu, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku.
Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Kendeigh, C.S.1961. Animal Ecology. Englewood Cliffs: Prentice Hall Inc.
Kusmana, C. 1997. Metode Survey Vegetasi. Bogor: IPB Press.
Lumowa, S. 2012. Diktat Ekologi Tumbuhan. Samarinda: Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Mulawarman.
Michael, P. 1995. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium.
Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Rozaini N. 2003. Teknik Sampling. Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara Press.
Soedibjo, B. 2008. Analisis Komponen Utama dalam Kajian Ekologi. Oseana volume XXXIII No 2 tahun 2008: 43-53. www.oseanografi.lipi.go.id.
Soegianto, A. 1994. Ekologi Kuantitatif. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional.
Soerianegara, I. dan Indrawan, A. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Sune, Nawir N. 2012. Pemodelan Spasial Ekologis Zona Inti Taman Nasional. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press.
Susanto, P. 2000. Pengantar Ekologi Hewan. Jakarta: Depdiknas.
Syafei, 1990. Dinamika Populasi: Kajian Ekologi Kuantitatif. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Tjitrosoepomo, G. 2002. Taksonomi Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
top related