madiun affairs 19 september 1948 -...
Post on 27-Feb-2018
228 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
Madiun Affairs 19 September 1948
Batara R. Hutagalung
Saturday, September 23, 2006
Pengantar
Penulisan sejarah adalah suatu proses tanpa akhir (never ending process), karena apabila
ditemukan bukti atau dokumen baru, maka harus dilakukan revisi terhadap sesuatu
penulisan. Hal ini berlaku untuk semua penulisan mengenai sejarah di Indonesia,
termasuk peristiwa Madiun dan peristiwa-peristiwa lain.
Penulisan sesuatu kejadian atau peristiwa tidak terlepas dari sosok penulisnya. Susah
untuk menyatakan, bahwa sesuatu penulisan itu 100% obyektif, karena hal ini bukan
hanya tergantung dari sumber yang diperolehnya, melainkan juga tergantung dari sudut
pandang si penulis. Juga yang sangat penting adalah kesimpulan berdasarkan fakta dan
data yang tersedia.
Misalnya mengenai yang dinamakan “Serangan Umum 1 Maret 1949”, walaupun sudah ada
bukti-bukti dan dokumen yang baru ditunjukkan, tetap saja ada 3 versi mengenai
peristiwa tersebut.
Peristiwa Madiun, dahulu tidak pernah disebutkan sebagai Pemberontakan Partai
Komunis Indonesia (PKI), melainkan dikenal sebagai Madiun Affairs, juga di berbagai
penulisan sebelum tahun 1965.
Salah satu sumber referensi saya yang sangat penting adalah almarhum ayah saya,
Letkol TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung (10.3.1910 – 29.4.2002). Catatan dr. W.
Hutagalung diberikan kepada saya pada bulan Agustus 1979, ketika mengunjungi saya
di Hamburg, Jerman.
Sebelum Re-Ra (Reorganisasi dan Rasionalisasi) TNI, dr. W. Hutagalung berpangkat
Kolonel. Dalam pertempuran 28-29 Oktober 1945 di Surabaya Hutagalung memimpin
pasukan yang mengepung tentara Inggris di daerah Darmo, dan menerima Kapten Flower
(berkewarganegaraan Australia) yang membawa BENDERA PUTIH.
Salah seorang ajudan Hutagalung di Surabaya adalah Wijoyo Suyono, yang kemudian
menjadi KSAD dengan pangkat Jenderal bintang empat. Sebelum agresi milter Belanda
ke II selain bertugas di Kementerian Pertahanan di Yogya, juga sebagai seorang dokter
2
spesialis paru, dr. W. Hutagalung ikut merawat Panglima Besar (Pangsar) Sudirman
yang menderita penyakit paru.
Bulan September 1948 dr. W. Hutagalung diangkat menjadi perwira teritorial yang
ditugaskan membangun jaringan gerilya di Jawa Tengah dalam persiapan menghadapi
agresi militer Belanda ke II.
Selama agresi militer II, Hutagalung menjadi penghubung antara Panglima divisi II dan
III dengan Pangsar Sudirman. Markas Hutagalung di lereng Gunung Sumbing bersama
Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang Sugeng.
Dr. W. Hutagalung pada waktu itu juga adalah atasan Letkol Suharto, komandan
Wehrkreis 10.
Setelah berakhirnya agresi militer II, dr. W. Hutagalung diangkat menjadi Kepala Staf
Q (Kwartiermeestergeneraal Staf “Q”) dan memimpin delegasi TNI dalam perundingan
serah-terima perlengkapan KNIL kepada TNI Januari 1950 di Bandung.
Pihak Belanda diwakili oleh Kepala Staf tentara Belanda Mayor Jenderal van Langen.
Wakil Hutagalung dalam perundingan tersebut adalah Kolonel GPH Jatikusumo [hal ini
dituturkan oleh alm. Kol. TNI.(Purn). Alex E. Kawilarang pada 9 November 1999 di
Gedung Joang 31.
Menurut beliau, pada waktu itu kepangkatan tidak memegang peran penting, yang
menentukan adalah jabatan yang dipegang oleh seseorang].
Akhir tahun 1949 sampai awal tahun 1950, dr. W. Hutagalung bersama keluarga tinggal di
Paviliun rumah Pangsar Sudirman di (nama dahulu) Jl. Widoro No. 10, Yogyakarta, dan
ikut dalam tim dokter yang merawat Jenderal Sudirman hingga beliau meninggal akhir
Januari 1950.
Dr. W. Hutagalung hadir hampir dalam setiap perundingan penting yang dilakukan oleh
Jenderal Sudirman, baik sebelum agresi militer II, dan setelah agresi militer II selesai.
Hutagalung selalu hadir bersama Jenderal Sudirman, karena selain sebagai Kepala Staf
“Q”, juga sebagai satu-satunya perwira yang juga adalah dokter yang ikut merawat
Pangsar, yang penyakit parunya semakin parah akibat berbulan-bulan kurang dirawat
selama perang gerilya.
3
Hutagalung juga hadir dalam pertemuan pada 2 Agustus 1949 sore hari di rumah Pangsar
di Jl. Widoro No. 10. Hadir antara lain Kolonel Nasution, Kolonel Hidayat, Kolonel
Simatupang, Kolonel Gatot Subroto, Kolonel Bambang Sugeng, Kolonel GPH Jatikusumo
dan Letkol dr. W. Hutagalung.
Dalam pertemuan itu, Jenderal Sudirman meminta pendapat para perwira tersebut
mengenai persyaratan gencatan senjata yang telah disetujui oleh pimpinan sipil RI,
tanpa melibatkan unsur pimpinan militer.
Walau pun sebagian besar perwira Angkatan Perang sangat kecewa atas tindakan
pimpinan sipil yang pada fase terakhir perjuangan kelihatannya ingin jalan sendiri dan
mengabaikan peran TNI dan juga PDRI, namun semua sepakat, bahwa pada saat itu perlu
dihindari perpecahan, apalagi antara pimpinan militer dengan pimpinan Pemerintah
Republik.
Akhirnya Panglima Besar menerima pendapat tersebut dan mengirim utusan ke Istana,
guna menyampaikan kepada Presiden Sukarno, bahwa Angkatan Perang Republik
Indonesia menyetujui gencatan senjata yang sebelumnya telah disetujui oleh pimpinan
sipil RI, dan agar Presiden Sukarno mengumumkan hal itu.
Sebenarnya, Pangsar telah menulis surat tertanggal 1 Agustus 1949 mengenai
pengunduran dirinya dari jabatan Panglima Besar TNI, dan bahkan dari dinas aktif TNI.
Pangsar menerima pendapat para perwira TNI yang hadir, sehingga surat yang telah
ditandatangani tersebut tidak jadi dikirim ke Presiden Sukarno.
Letkol TNI Dr. W. Hutagalung bersama seluruh staf dan ajudannya keluar dari dinas
ketentaraan pada bulan Maret 1950, sebagai protes terhadap hasil keputusan
Konferensi Meja Bundar, yaitu:
Pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS),
Diterimanya mantan tentara KNIL ke tubuh TNI.
Setelah Jenderal Sudirman meninggal akhir Januari 1950, pangkat tertinggi di TNI
adalah Kolonel, baik itu Kepala Staf Angkatan Perang, Kolonel T.B. Simatupang, maupun
Kepala Staf Angkatan Darat Kolonel A.H. Nasution dan sejumlah Panglima Divisi dengan
pangkat Kolonel juga.
Ketika mengurus Bintang Gerilya tahun 1994, yang menandatangan sebagai saksi untuk
permohonan memperoleh Bintang Gerilya adalah Jenderal Besar TNI (Purn.) Suharto,
4
Presiden RI, dan Jenderal TNI (Purn.) Surono, mantan KSAD, yang juga pernah menjadi
bawahan Hutagalung ketika bertugas di Yogyakarta
Dalam waktu 11 hari surat keputusan mengenai pemberian Bintang Gerilya kepada
Hutagalung telah ditandatangani oleh Presiden Suharto. Pada 4 November 1994, dalam
kunjungan Hutagalung ke Presiden Suharto di Jl. Cendana No. 8, Presiden Suharto telah
menyampaikan, akan menandatangani dua kali, sekali sebagai saksi, dan sekali sebagai
Presiden.
Dr. W. Hutagalung meninggal pada 29 April 2002, di usia 92 tahun, dan dimakamkan
di Taman Makam Pahlawan di Kalibata.
Semoga tulisan ini dapat memberi kontribusi dalam upaya mencari kebenaran dan
meluruskan penulisan sejarah Indonesia, yang telah banyak diputar-balikkan.
Perang dingin (cold war) dimulai
Konflik kekerasan yang terjadi di Jawa Timur bulan September – Desember 1948, pada
waktu itu dinamakan Peristiwa Madiun (Madiun Affairs), dan tidak pernah disebut
sebagai pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI), karena PKI tidak pernah
dibubarkan, dan bahkan pada Pemilihan Umum pertama di RI tahun 1954, PKI menjadi
partai terkuat ke 4. Baru di zaman Orde Baru peristiwa tersebut dinamakan
pemberontakan PKI.
Untuk memahami latar belakang terjadinya tragedi nasional pertama ini, harus dilihat
situasi dunia pada waktu itu.
Setelah usai Perang Dunia II, dua negara yang menjadi super power, Amerika Serikat
dan Uni Sovyet, membangun kubu masing-masing. Dengan pengalaman PD II, di mana
sekitar 20 juta warganya tewas, Uni Sovyet tidak ingin lagi diserang secara mendadak
dan berdasarkan hasil keputusan Konferensi Yalta, Februari 1945 yang membelah Eropa
menjadi dua blok, Uni sovyet membuat negara-negara tetangga yang di bawah
pengaruhnya, menjadi tameng. Satu persatu negara tetangganya dikuasai oleh partai
komunis di negara masing-masing, yaitu Polandia, Hongaria, Rumania, Bulgaria dan
terakhir Cekoslovakia (kini pecah menjadi Republik Ceko dan Republik Slovakia).
Sempurna sudah pagar negara yang dibangun Uni Sovyet di Eropa. Tiongkok yang
kemudian jatuh ke tangan komunis, juga merupakan tameng Uni Sovyet di bagian timur.
5
Di lain pihak, Amerika Serikat yang takut akan bahaya komunis, juga tidak tinggal diam
dalam upaya membendung penyebaran komunisme ke seluruh dunia. Tahun 1947,
pendukung komunis di Yunani dan Turki semakin kuat, sehingga sangat mengkhawatirkan
Inggris dan Amerika. Dalam rapat antara pejabat Departemen Luar Negeri dengan para
anggota Kongres, Wakil Menteri Luar Negeri, Dean Acheson, menyampaikan, bahwa
apabila Yunani dan Turki jatuh ke tangan komunis, maka komunisme akan menjalar ke
Iran dan bahkan sampai ke India. Di sinilah munculnya domino theory (teori domino).
Truman menyatakan, bahwa apabila ada satu negara jatuh ke bawah pengaruh komunis,
maka negara-negara tetangganya akan juga akan terancam jatuh ke tangan komunis,
seperti layaknya dalam permainan kartu domino. Oleh karena itu, dia sangat gigih dalam
memerangi komunis di seluruh dunia.
Pada 12 Maret 1947, Presiden Harry S. Truman meminta persetujuan Kongres untuk
memberikan dana kepada Yunani dan Turki sebesar 400 juta Dollar, guna menghancurkan
komunis di kedua negara tersebut. Truman menyampaikan doktrinnya, yang kemudian
dikenal sebagai The Truman Doctrin (Doktrin Truman), yang menjadi pedoman politik
luar negeri AS untuk 40 tahun berikutnya. Inti doktrin ini adalah policy of containment
( containment = pembendungan) atau mengisolasi Uni Sovyet secara politik dan ideologi,
dan AS akan menghadang komunisme di manapun di seluruh dunia.
Pada bulan Juni 1947, AS menyusun Marshall Plan yang dirancang oleh Menteri Luar
Negeri AS, George Marshall, sebagai bagian dari kebijakan untuk membendung upaya Uni
Sovyet dalam mempengaruhi negara-negara Eropa yang sedang dalam kesulitan finansial.
Kongres AS menyetujui dana sebesar 12 milyar Dollar untuk program Mashall Plan, di
mana dalam kenyataannya hanya dikucurkan kepada negara-negara Eropa Barat dan
Yugoslavia, yang tidak ikut menjadi anggota Pakta Warsawa (kubu Uni Sovyet).
Sedangkan negara-negara Eropa Timur lainnya yang berada di bawah kekuasaan Uni
Sovyet tidak memperoleh, bahkan menolak dana dari Marshall Plan.
Perang Dingin (cold war) telah dimulai, dan makin memanas ketika Uni Sovyet melakukan
blokade atas Berlin Barat, yang berada di bawah pengawasan AS. Marshall Plan kemudian
tidak terbatas kepada negara-negara Eropa, namun di seluruh dunia. AS memberikan
dana kepada negara-negara yang menyatakan kesediaannya akan membasmi komunisme,
termasuk kepada Pemerintah Indonesia.
Pada bulan Maret 1948, AS. Inggris, Prancis, Belgia, Luxemburg dan Belanda
membentuk organisasi yang menjadi cikalbakal pakta pertahanan NATO (North
6
Atlantic Treaty Organization), yang disahkan pada 4 April 1949.
Tujuannya bukanlah untuk mempertahankan demokrasi atau free world (dunia yang
merdeka) seperti yang digembar-gemborkan AS, melainkan hanya untuk menghadang ide
komunisme, yang sangat menghantui para kapitalis, karena pada waktu itu, hampir semua
negara-negara Eropa tersebut masih memiliki jajahan di Asia, Afrika dan Amerika
Selatan. Inggris, Perancis, Belanda dan Belgia, yang tidak mau memberikan kemerdekaan
kepada jajahan mereka. Bahkan Belanda dan Perancis dengan kekuatan militer yang
besar, berusaha untuk menjajah kembali Indonesia dan Vietnam, yang telah menyatakan
kemerdekaannya.
Di AS sendiri, warga kulit hitam hingga tahun 1968 belum memperoleh hak
demokratisnya untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum.
Pada 4 April 1968, Martin Luther King Jr, tokoh kulit hitam AS yang sedang
memperjuangkan hak politik dan demokrasi di AS, mati ditembak oleh kelompok rasis
kulit putih AS.
Pada 18 September 1947 di AS, selain diresmikannya National Security Council
(Dewan Keamanan Nasional) juga diresmikan berdirinya Central Intelligence Agency
–CIA (Badan Pusat Intelijen), sebagai pengganti CIG (Central Intelligence Group).
Founding fathers dari CIA adalah William "Wild Bill" Donovan dan Allen Dulles, kedua
orang ultra konservatif tersebut beragama Katolik Roma dan anggota dari perkumpulan
rahasia "Knights of Malta" (Ksatria Malta).
CIA melakukan infiltrasi, subversi, bahkan pembunuhan dan melancarkan perang
gerilya di negara-negara yang terindikasi tidak mendukung AS (Lihat: The CIA- The
Police State dalam http://www.ezpz.co.za/cia.htm).
Peranan perempuan dalam dinas rahasia AS sangat menonjol. Sebelum CIG, pada tahun
1942 Presiden Roosevelt mendirikan Office of Strategic Service, di mana terdapat
4.500 agen rahasia perempuan (National Women’s History Museum Exhibition on Woman
Spies Opens Today, "Clandestine Women: The Untold Stories of Women in Espionage".
Documents Women's History in the Undercover World, dalam
http://www.nmwh.org/news/pressmarch25.htm).
Sepak terjang CIA dilakukan di berbagai belahan dunia, termasuk terlibat dalam
7
penggulingan kepala negara atau kepala pemerintahan yang tidak mau tunduk kepada AS,
seperti Perdana Menteri Mosadegh di Persia, Perdana Menteri Ngo Dinh Diem di
Vietnam Selatan, Perdana Menteri Patrice Lumumba di Kongo, Presiden Salvador
Allende (mati tertembak dalam kudeta yang disponsori oleh CIA) di Chile dan Presiden
Sukarno di Indonesia.
Langkah CIA bahkan sampai kepada pembunuhan kepala negara seperti Presiden Ecuador
Jaime Roldos dan Presiden Panama Omar Torrijos (lihat: John Perkins, Confessions of
an Economic Hit Man, Berret-Kohler Publishers, Inc. San Francisco 2004).
Perang dingin antara AS dan Uni Sovyet menjalar ke seluruh penjuru dunia, termasuk ke
Indonesia, di mana kedua super power bersama sekutu mereka, berusaha menarik para
pemimpin Republik Indonesia ke pihak masing-masing, yang memuncak pada Madiun
Affairs (peristiwa Madiun), September 1948.
Semula, AS menghindari kritik terhadap Belanda karena AS percaya, bahwa Eropa
Barat harus dibangun dengan segala cara, dan apabila Eropa kehilangan jajahan
mereka yang kaya, maka ini akan memperkecil kemampuan negara-negara Eropa untuk
memulihkan diri.
Di Belanda muncul istilah Indië verloren, rampspoed geboren (India hilang, timbul
malapetaka.
Sebutan Belanda untuk Indonesia adalah Indië, yaitu India). Tahun 1938, kekayaan
yang dikuras dari Indonesia mencapai 16% dari pendapatan nasional Belanda. Bahkan
antara 1851 – 1860, sumbangan dari Nusantara untuk pendapatan nasional Belanda
mencapai sekitar 35% !
Padangan Pemerintah AS ini berdasarkan analisis CIA pada bulan September 1947.
Ancaman terbesar bagi keamanan AS adalah kemungkinan runtuhnya perekonomian
Eropa Barat dan akibatnya adalah makin kuatnya pengaruh komunis (McMahon, Robert J.,
Colonialism and Cold War: The United States and the Struggle for Indonesian
Independence. London: Cornell University Press, 1981, dalam History of U.S. Diplomatic
Relations in Indonesia, Lihat http://courreges.freeservers.com/indonesia.htm).
Perhatian AS lebih ditujukan kepada kesejahteraan Belanda, sekutunya sejak Perang
Dunia II, sehingga perhatian terhadap tuntutan Republik Indonesia sangat terbatas.
8
Namun setelah terlihat, bahwa Belanda tidak dapat menguasai Indonesia kembali, dan
kuatir Indonesia yang merdeka akan masuk ke kubu Uni sovyet, AS merubah politiknya
terhadap Indonesia.
Dinas rahasia militer AS pada 23 Desember 1947 menyatakan, bahwa AS akan
kehilangan muka di seluruh Timur Jauh apabila tidak mendukung gerakan-gerakan
kemerdekaan yang merupakan hak mereka:
“…the US might lose prestige throughout the Far East, if we do not adequately support
legitimate independence movements. The US State Department has further
considered that a settlement with the present moderate Republican leaders would
preclude Communist domination of the independence movement …”
Dana dari Marshall Plan untuk Indonesia
Setelah proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, muncul berbagai organisasi
yang membina kader-kader mereka, termasuk golongan kiri. Selain tergabung dalam
Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), juga terdapat kelompok-kelompok kiri lain, antara
lain Kelompok Diskusi Patuk, yang diprakarsai oleh Dayno, yang tinggal di Patuk,
Yogyakarta.
Yang ikut dalam kelompok diskusi ini tidak hanya dari kalangan sipil seperti, melainkan
kemudian juga dari kalangan militer dan bahkan beberapa komandan brigade, antara lain
Kolonel Joko Suyono, Letkol Sudiarto (Komandan Brigade III, Divisi III), Letkol
Suharto (Komandan Brigade X, Divisi III. Kemudian juga menjadi Komandan Wehrkreis
10), Letkol Dahlan, Kapten Suparjo, Kapten Abdul Latief dan Kapten Untung Samsuri.
Bersama Suripno, Wakil Indonesia di Praha, Musso, kembali dari Moskow, Rusia.
Tanggal 11 Agustus 1948, Musso tiba di Yogyakarta dan segera menempati kembali
posisi di pimpinan Partai Komunis Indonesia. Banyak politisi sosialis dan komandan
pasukan bergabung dengan Musso, a.l. Mr. Amir Syarifuddin Harahap, dr. Setiajid,
kelompok diskusi Patuk, dll.
Aksi saling menculik dan membunuh mulai terjadi, dan masing-masing pihak menyatakan,
bahwa pihak lainlah yang memulai. Beberapa perwira TNI pendukung Pemerintah RI dan
juga Ketua Mahkamah Agung Suryo (mantan Gubernur Jawa Timur) dibunuh, demikian
juga dr. Muwardi dari golongan kiri, diculik dan dibunuh. Tuduhan langsung dilontarkan,
bahwa pihak lainlah yang melakukannya.
9
Kelompok kiri menuduh sejumlah petinggi Pemerintah RI, termasuk Wakil Presiden
Hatta telah dipengaruhi oleh Amerika Serikat untuk menghancurkan Partai Komunis
Indonesia, sejalan dengan doktrin Harry S. Truman, Presiden AS dan gagasannya
yaitu “Domino Theory”.
Red Drive Proposal. Konflik bersenjata internal RI yang pertama.
Pada bulan Maret 1948, sebelum kembali ke Amerika, Graham bertemu dengan Sukarno
untuk membicarakan kemungkinan bantuan AS kepada Republik Indonesia.
Kemudian pada 21 Juli 1948 telah diadakan pertemuan rahasia di hotel "Huisje Hansje"
Sarangan, dekat Madiun yang dihadiri oleh Sukarno, Hatta, Sukiman, Menteri Dalam
negeri, Mohamad Rum (anggota Masyumi) dan Kepala Polisi Sukanto, sedangkan di
pihak Amerika hadir Gerald Hopkins (penasihat politik Presiden Truman), Merle
Cochran (pengganti Graham yang mewakili Amerika dalam Komisi Jasa Baik PBB).
Dalam pertemuan Sarangan, yang belakangan dikenal sebagai "Perundingan Sarangan",
diberitakan bahwa Pemerintah Republik Indonesia menyetujui "Red Drive Proposal"
(proposal pembasmian kelompok merah) yang disampaikan oleh Amerika.
Sebagai “imbalan” kesediaan Pemerintah Indonesia untuk membasmi komunisme di
Indonesia, maka Indonesia pun mendapat kucuran dana sebesar 60 juta US $, yaitu
bantuan untuk kepolisian RI.
Namun ditekankan, bahwa bantuan tersebut tidak boleh dipergunakan untuk melawan
Belanda.
Dengan bantuan Arturo Campbell, Sukanto berangkat ke Amerika guna menerima
bantuan untuk kepolisian RI.
Campbell yang menyandang gelar resmi Atase Konsuler pada Konsulat Jenderal Amerika
di Jakarta, sesungguhnya adalah anggota Central Intelligence Agency - CIA (lihat:
Rosihan Anwar, Agen CIA yang saya kenal. Peristiwa Madiun 1948, Kompas Online, Kamis,
18 September 1997).
Kemudian disusunlah suatu skenario untuk memojokkan kelompok kiri, untuk mencari
alasan penumpasan komunisme di Indonesia.
Diisukan, bahwa Sumarsono tokoh Pesindo, pada 18 September 1948 melalui radio di
10
Madiun telah mengumumkan terbentuknya Pemerintah Front Nasional bagi Karesidenan
Madiun.
Pada 19 September 1948, Presiden Sukarno dalam pidato yang disiarkan melalui radio
menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, untuk memilih: Musso atau Sukarno-Hatta.
Maka pecahlah konflik bersenjata, yang pada waktu itu disebut sebagai Madiun Affairs
(Peristiwa Madiun), dan di zaman Orde Baru kemudian dinyatakan sebagai
pemberontakan PKI.
Maka muncullah tudingan adanya “provokasi” dari Pemerintah Republik, karena keputusan
yang telah diambil pimpinan Republik dengan wakil-wakil AS (lihat: T.B. Simatupang,
Laporan dari Banaran, Kisah pengalaman seorang prajurit selama perang kemerdekaan,
Penerbit Sinar Harapan, Jakarta 1960, hlm. 82).
Sumarsono membantah tuduhan, bahwa pada 18 September 1948 dia mengumumkan
terbentuknya Front Nasional Daerah (FND), dan telah terjadi pemberontakan PKI.
Justru kebalikannya, bahwa FND dibentuk sebagai perlawanan terhadap ancaman dari
Pemerintah Pusat. Sumarsono yang kini menetap di Sidney, Australia, mengungkap hal
tersebut kepada Radio Nederland dalam kunjungannya ke Belanda bulan Oktober 2002.
Dia juga menyatakan, bahwa Suharto sebenarnya sangat mengetahui hal ini, namun
mendiamkannya.
Berikut adalah wawancara Radio Nederland dengan Sumarsono (lihat: Kolom Ibrahim Isa
dalam milis Nasional):
Sumarsono: “Jadi setelah Bung Karno pidato, pidatonya itu menusuk hati Musso itu, lalu
spontan dijawab sama Musso itu, ‘Ya, keadaannya jadi lain. Sebab pidatonya
menggambarkan bahwa kita ini mesti dibasmi. Jadi karena itu,kita memikirkan bagaimana
kita bela diri’ Jadi kami membentuk pemerintah Front Nasional Daerah. Saya dipilih
sebagai gubernur militer. Lalu mulailah ada perlawanan pemerintah daerah Front
Nasional Madiun terhadap usaha pemerintah pusat yang mengatakan kita melakukan
pemberontakan dan mesti dibasmi.
Nah, dalam keadaan kayak begitu, Panglima besar Sudirman menyuruh Letkol Suharto,
komandan resimen di Yogyakarta untuk meninjau Madiun. Dia telpon. Saya kebetulan
yang menerima.
Dia bilang: ‘Ini mas, saya diutus oleh Pak Dirman untuk menjumpai mas Sumarsono.’
Oh, welcome, saya juga senang karena ini utusan Pak Sudirman supaya menyaksikan
11
keadaan ini. Bahwa kami tidak berontak. Kami membela diri. Nah, datanglah yang
namanya Letkol Suharto itu di Madiun. Sudah agak malam.
Radio Nederland [RN]: Sendiri?
Sumarsono: Sama sopirnya. Lalu saya bilang, saya senang ini dik Harto datang ke mari
diutus Pak Sudirman. Tapi ini sudah malam dik Harto. Bagaimana kalau besok pagi dik
Harto sama saya keliling kota, melihat keadaan di kota, bahwa kami nggak ada
pemberontakan apa-apa. Dan apa yang disiar-siarkan oleh surat kabar Yogyakarta,
karena itu Overste Suharto mengemukakan, ‘o surat-surat kabar di Yogyakarta ini
mengatakan bendera merah-putih diturunkan, bendera palu arit Sovyet dinaikkan,
pembunuhan, penangkapan massal, orang-orang baru dimasuk ke dalam penjara.’ Begitu di
koran-koran. Besok kita saksikan. Nggak ada gitu dik Harto, nggak ada. Dan bagaimana
dik Harto membantu kami? Kan nggak bagus ini, kita sedang hadapi Belanda, kok
sekarang kita ini bertempur sendiri?”
RN: “Lalu apa tanggapan dik Harto ini?”
Sumarsono: “Waktu itu dia nanggapi dengan baik dan besok pagi bersama dengan dia
kami keliling kota. Menyaksikan apa yang ditulis surat-surat kabar di Yogyakarta itu, itu
nggak benar. Lalu saya ajak masuk penjara, lihat apa ada daftar orang baru yang
ditangkap.”
Lalu sesudah itu saya minta sama dia: ‘dik Harto, tolong dik Harto ini nanti nyampaikan
surat kami kepada Presiden Soekarno. Lalu tolong deh bikin pernyataan dik Harto supaya
itu jangan sampai ada tanggapan itu seperti disiar-siarkan oleh surat kabar Yogyakarta.’
Dia berkata, ‘Baik, baik mas, tapi mas aja bikin pernyataan itu, nanti saya teken, saya
tanggung jawab’.
RN: “Bapak bikin?”
Sumarsono: “Saya bikin. Bahwa keadaan di Madiun normal, tidak sebagaimana
disiar-siarkan oleh surat-surat kabar di Yogyakarta. Tidak ada bendera merah-putih
diturunkan, tidak ada bendera merah-palu arit dinaikkan. Di Madiun tidak ada
penangkapan massal, tidak ada banjir darah. Keadaan di Madiun normal. Teken: Letkol
Suharto. Dan pernyataan itu disiarkan oleh surat kabar daerah, radio Madiun. Nah,
waktu dia mau pulang ke Yogya ini, dia bawa surat yang ditulis oleh Amir Syarifuddin
untuk Bung Karno, supaya Bung Karno bisa turun tangan dan menyelesaikan secara baik.
Karena kita masih butuh bersatu untuk melawan Belanda. Tapi kita dengar belakangan
bahwa Suharto ini di Sragen ditahan oleh Siliwangi. Katanya surat itu tidak sampai
kepada Presiden.”
RN: “Bagaimana dengan laporannya kepada Jenderal Sudirman?
Sumarsono: “Itu kami nggak tahu. Yang kami dengar, dia ditahan oleh Siliwangi. Tapi
sebentar, terus dilepas lagi, kembali ke Yogya juga. Surat Amir itu nggak tahu ke mana.”
RN: “Tapi kemudian sejak Suharto menjadi Presiden, dia membisu tentang peristiwa
12
Madiun?”
Sumarsono: “Tapi dia tulis juga di otobiografinya bahwa waktu peristiwa Madiun itu, dia
ada di Madiun. Dia sebut ketemu sama Musso.”
Pada awal konflik Madiun, pemerintah Belanda berpura-pura menawarkan bantuan untuk
membantu menumpas pemberontakan tersebut, namun tawaran itu jelas ditolak oleh
pemerintah Republik Indonesia.
Pimpinan militer Indonesia bahkan memperhitungkan, Belanda akan segera
memanfaatkan situasi tersebut untuk melakukan serangan total terhadap kekuatan
bersenjata Republik Indonesia.
Memang kelompok kiri termasuk Amir Syarifuddin Harahap, tengah membangun
kekuatan untuk menghadapi Pemerintah RI, yang dituduh telah cenderung kepada kaum
imperialis AS.
Hal ini diungkapkan oleh dr. W. Hutagalung, yang juga pernah dibujuk oleh Amir
Syarifuddin untuk ikut bergabung dengan gerakan mereka. Hutagalung menuturkan
pembicaraannya dengan Amir Syarifuddin, antara dua putra Batak di Yogyakarta, yang
telah saling kenal sejak di Surabaya awal tahun 40-an:
“ …Pada suatu hari, sekitar pertengahan tahun 1948, kami bertemu dan Amir Syarifuddin
menceriterakan mengenai rencana gerakan mereka, kekuatan pendukungnya serta
rencana pengembangan pasukan pendukungnya. Dia tentu, mengetahui peran penulis
dalam pertempuran di Surabaya Oktober/November 1945 dan selama perang gerilya di
Jawa Timur.
Kemudian dia mengatakan: “Bung Willy, pimpinlah pasukan kami. Saya angkat saudara
menjadi Mayor Jenderal.”
Saya menjawab: “Bung Amir, kau dibohongi orang-orangmu. Pasukanmu tidak begitu kuat
dan tidak betul berpengalaman. Juga tidak betul senjatanya begitu banyak. Saya
mengetahui dengan jelas jumlah pasukan beserta persenjataannya dan saya dari
permulaan di daerah pertempuran di Jawa Timur. Saya tidak pernah melihat pasukan
yang Bung Amir sebutkan. Di rumah sakit selalu didaftar mengenai korban, dari pasukan
atau laskar mana, di mana kejadiannya, luka-lukanya karena apa. Tidak pernah saya lihat
di daftar-daftar rumah sakit catatan pasukan-pasukan yang Bung Amir maksud. Untuk
membangun pasukan yang Bung Amir rencanakan untuk merebut kekuasaan, perlu dana
yang sangat besar. Selain itu saya tidak tertarik dengan pangkat Mayor Jenderal.” (Pada
waktu itu, dr. W. Hutagalung berpangkat Kolonel. Pangkat Brigadir Jenderal belum
dikenal di TNI waktu itu yang masih mengikuti sistem kepangkatan tentara Belanda,
13
sehingga pangkat setelah Kolonel adalah Mayor Jenderal).
Saya juga mengemukakan, bahwa pergerakan sebesar itu memerlukan dana yang sangat
besar, namun Amir Syarifuddin menjelaskan, bahwa ‘teman-temannya’ akan membantu
menyediakan dana yang dia butuhkan. Saya ingat, bahwa Amir pernah menyatakan telah
menerima uang dari Idenburg untuk membangun jaringan bawah tanah melawan tentara
Jepang, dan saya duga, yang dimaksud dengan temannya itu adalah Idenburg. Bagi saya
jelas, bahwa Belanda juga berada di balik gerakan Musso-Amir Syarifuddin…”
Demikian penuturan dr. W. Hutagalung.
Ketika Jepang menduduki Indonesia, Amir Syarifuddin mengakui telah menerima uang
sebesar 25.000 gulden dari Dr. Idenburg untuk melakukan gerakan bawah tanah
melawan Jepang.
Namun sejumlah kalangan menyebutkan, bahwa melihat besarnya dana yang dikeluarkan
oleh Syarifuddin, dana yang diberikan lebih dari itu, diperkirakan sebesar 50.000
gulden.
Bagi Belanda, dan beberapa negara Eropa Barat, untuk melawan negara fasis seperti
Jepang dan Jerman, termasuk orang-orang yang dipandang sebagai kolaborator fasis
Jepang seperti Sukarno-Hatta, segala cara ditempuh, termasuk kerjasama dengan
pihak sosialis dan komunis, dalam hal ini dengan Partai Komunis Indonesia dan kelompok
kiri lainnya.
Ini bukanlah pertama kalinya satu negara kapitalis membantu kelompok komunis untuk
menggulingkan suatu pemerintahan yang menjadi lawannya. Hal ini dilakukan oleh Kaisar
Wilhelm II dari Jerman, yaitu ketika membantu Lenin pada tahun 1917 untuk
mengadakan revolusi di Rusia, yang waktu itu sedang berperang melawan Jerman dalam
Perang Dunia I. Dengan harapan melalui revolusi Bolsyewik di Rusia, kekuatan Rusia akan
melemah, pada 16 April 1917 pihak Jerman membantu Lenin kembali dari exilnya di Swiss
dengan kereta api khusus menuju Swedia, kemudian melalui Finlandia dan sampai di Rusia.
Selama Perang Dunia II di Eropa, banyak pemuda Indonesia beraliran kiri, bertempur di
pihak Belanda melawan fasisme Jerman.
Kekuatan pasukan pendukung Musso digempur dari dua arah: Dari barat oleh pasukan
Divisi II di bawah pimpinan Kolonel Gatot Subroto, yang diangkat menjadi Gubernur
Militer Wilayah II (Semarang-Surakarta) tanggal 15 September 1948, serta pasukan
dari Divisi Siliwangi, sedangkan dari timur diserang oleh pasukan dari Divisi I, di bawah
14
pimpinan Kolonel Sungkono, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Jawa Timur, tanggal
19 September 1948 (Pengangkatan diumumkan melalui radio, sedangkan surat
pengangkatan resmi baru diterima kemudian), serta pasukan Mobiele Brigade Besar
(MBB) Jawa Timur, di bawah pimpinan M. Yasin.
Panglima Besar Sudirman menyampaikan kepada pemerintah, bahwa TNI dapat
menumpas pasukan-pasukan pendukung Musso dalam waktu 2 minggu. Memang benar,
kekuatan inti pasukan-pasukan pendukung Musso dapat dihancurkan dalam waktu singkat.
Tanggal 30 September 1948, kota Madiun dapat dikuasai seluruhnya.
Pasukan Republik yang datang dari arah timur dan pasukan yang datang dari arah barat,
bertemu di Hotel Merdeka di Madiun. Yasin menggambarkan peristiwa tersebut seperti
situasi di Jerman, yaitu ketika pasukan Amerika Serikat dan pasukan Rusia bertemu di
kota Berlin pada tahun 1945 [Wawancara dengan Komjen POL (Purn.) DR. M. Yasin, bulan
Desember 1998].
Namun pimpinan kelompok kiri beserta beberapa pasukan pendukung mereka, lolos dan
melarikan diri ke beberapa arah, sehingga tidak dapat segera ditangkap.
Baru pada akhir bulan November 1948 seluruh pimpinan dan pasukan pendukung Musso
tewas atau dapat ditangkap.
Sebelas pimpinan kelompok kiri, termasuk Mr. Amir Syarifuddin Harahap, mantan
Perdana Menteri RI, dieksekusi pada 20 Desember 1948, atas perintah Kol. Gatot
Subroto.
Catatan akhir:
Dr. W. Hutagalung menuturkan, bahwa ketika Perang Dunia II, baik di Eropa maupun di
Asia kelompok kiri Indonesia menjadi sekutu Belanda melawan fasisme Jerman dan
Jepang.
Namun setelah Perang Dunia (PD) II usai, berkembangnya pengaruh kelompok kiri di
Indonesia yang juga mendukung kemerdekaan RI membuat Pemerintah Belanda kuatir.
Ketika Amerika Serikat datang dengan gagasan pembasimian komunisme di seluruh dunia,
termasuk di Indonesia, Belanda langsung menyetujuinya dan bahkan ikut berperan
dengan bermuka dua, seolah-olah membantu kelompok kiri yang adalah mantan sekutunya
15
selama PD II, dan juga kepada Pemerintah Indonesia menawarkan “bantuan” untuk
membasmi komunisme.
Sejarah mencatat, bahwa di tengah-tengah konflik bersenjata internal RI yang pecah
sejak 19 September 1948, Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua pada 19
Desember 1948 dengan menyerbu Yogyakarta, Ibukota Republik Indonesia waktu itu,
dan menangkap seluruh pimpinan sipil RI.
Tokoh-tokoh kiri yang ditangkap, a.l. Mr. Amir Syarifuddin Harahap, mantan Perdana
Menteri RI, diekseksi pada 20 Desember 1948 atas perintah Kolonel Gatot Subroto,
karena TNI tidak mau dibebani dengan tawanan di masa perang melawan agresi militer
Belanda.
PKI sendiri tidak pernah dibubarkan oleh Pemerintah RI waktu itu, dan ironisnya, selama
agresi militer Belanda II, banyak pengikut kelompok kiri juga ikut bertempur di pihak
Republik Indonesia melawan Belanda, yang merupakan sekutunya selama PD II.
Hal ini juga menunjukkan, bahwa di dalam politik, tidak ada kawan atau lawan yang
abadi. Yang ada hanya kepentingan masing-masing, apakah kelompok, partai atau
bahkan negara.
Jakarta, September 2006
Batara R. Hutagalung
Posted by batarahutagalung at 10:34 PM
top related