legenda n cerpen kepariwisataan
Post on 14-Jul-2015
55 Views
Preview:
TRANSCRIPT
LEGENDA TELAGA MEKAR
Telaga Mekar adalah nama sebuah desa di Kabupaten Aceh Tenggara,
Kutacane. Pada zaman dahulu, desa ini merupakan tempat tinggal para ulama-ulama
besar. Salah satunya yaitu Tengku Ipul. Dalam bahasa daerah kutacane (alas), tengku
maksudnya ustad. Beliau, merupakan pejuang yang gugur di medan perang ketika
mempertahankan Desa Telaga Mekar yang dijajah pada waktu itu.
Konon, Tengku Ipul meninggal diatas pohon kayu. Jasad beliau baru
diketahui ketika salah satu prajurit Belanda terkena tetesan darah beliau. Kematian
Tengku Ipul samar-samar diketahui sebabnya, ada yang menyebutkan, beliau
meninggal karena tertembak oleh Belanda, meskipun dalam keadaan luka parah dan
tidak memungkinkan untuk perang, tapi beliau tetap bias hidup dan terus berperang,
sampai akhirnya semua musuh mati terbunuh.
Beliau telah wafat sebelum menghabisi Belanda. Konon, beliau menggunakan
“ilmu agama” ketika hendak mempertahankan diri, beliau naik keatas pohon kayu,
yang tersangkut diatas adalah jasad beliau, sedangkan yang berperang adalah ruh
beliau. Jadi, beliau berperang tidak bias dilihat oleh belanda. Dalam bahasa Daerah
Kutacane, beliau sering disebut perang dengan cara silem-silem (hilang-timbul).
Tempat beliau berperang diabadikan namanya menjadi Tungipul, beliau
dikuburkan di Tungipul tersebut, sampai saat ini kuburan beliau masih banyak yang
menjiarahi, para pejiarah percaya jika berjiarah disana akan mendapatkan berkat dan
doa yang dipanjatkan terkabul. Masyarakat percaya dan berspektif bahwa, doa yang
dipanjatkan terkabul karena beliau Metuah.
Konon beliau perang dengan menggunakan PisoMesikhat (pisau besar
berukir) yang dipakai sebagai pedang dan pisau tersebut dijadikan sebagai symbol
khas daerah Kutacane ketika melaksanakan acara pernikahan, maupun acara sunatan.
Pisau mesikhat tersebut biasanya dipakai oleh laki-laki dan diletakkan di pinggang
ketika memakai baju adat. Bukan hanya itu keunikan cerita sejarah yang ada di Desa
Telaga mekar, ada juga cerita yang bias dijadikan objek wisata keramat selain
kuburan Tengku Ipul, yaitu sebuah legenda tentang asal mula nama Desa Telaga
Mekar.
Konon, di desa ini ada sebuah sumur yang sangat jernih, bersih, dan sangat
dingin.Airnya tidak pernah habis meskipun musim kemarau melanda, banyak desa
tetangga yang berdatangan mengambil air kesana. Sayangnya, telaga/ sumur tersebut
tidak terawatt lagi karena kurangnya pengetahuan dan penyuluhan dari pemerintah
sehingga masyarakat setempat tidak sadar bahwa itu merupakan asset kekayaan
daerah yang bias dijadikan wisata. Meskipun telaga tersebut diacuhkan warga
setempat dan dipenuhi tanaman semak belukar yang menutupi mata airnya sekarang,
tapi tetap saja sumur tersebut mengeluarkan air yang jernih nan bersih. Itu sebabnya
desa tersebut dinamakan Desa Telaga mekar. Telaga yang berarti sumur (sumber
mata air), dan mekar berarti subur, cantik, indah nan bagus.
Nama sebuah desa yang indah, konon pola hidup warganya pun sangat
tenteram dan damai meskipun bertolak belakang dengan keadaan sekarang. Konon,
ketika berkumandang azan, siapa pun yang mahu melintas atau hanya sekedar
melewati desa tersebut, baik dalam keadaan berjalan kaki maupun sedang
berkendaraan, orang akan berhenti seketika, semua aktivitas berhenti sejenak, orang
enggan untuk lewat jika pakaiannya tidak sopan. Hal ini dipatuhi bukan karena ada
lampu merah atau ada aturan tertulis yang harus dilaksanakan, tetapi hal ini terlaksana
dengan sendirinya sesuai kesepakatan bersama saja, meskipun orang yang lewat
tersebut bukan penduduk Desa Telaga mekar, tapi semua orang tahu bagaimana dan
seperti apa desa tersebut.
Para ulama yang hidup disana dengan mudah pergi naik haji, konon alat
transportasi mereka hanya dengan menggunakan Bulung Kosap (daun kelor/ daun
talas) melalui sungai Alas. Kendaraan yang mereka pakai tidak menggunakan bensin,
mereka akan sampai hanya dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim. Tidak
masuk akal memang, konon begitulah kenyataannya. Uniknya, setiap pergi haji
mereka selalu membawa buah durian ke Makkah, sehingga terjadi dialog antara
Orang Arab (OA) dan Suku Alas (SA).
OA: Assalamu’alaikum ya akhi?
SA: wa’alaikum salam ya akhi…..
OA: apa yang kamu bawa itu?
SA: ini adalah buah-buahan yang paling enak di dunia dan akhirat.
OA: hah? Mana mungkin enak, diluarnya saja banyak duri yang tajam, aromanya pun
sangat menyengat. Lagi pula, mana ada buah-buahan yang enak di dua dunia
sekaligus.
SA: Kalau ini tidak enak, lantas buah-buahan apa menurut mu yang paling enak di
dunia dan akhirat wahai penghuni surga?
OA: buah kurma lah, rasanya saja sangat manis. Manisnya mengalahkan madu.
SA: hai orang arab, kamu jangan terlalu banyak mengharap, kamu belum coba buah-
buahan ini. Rasanya sangat sedap, aromanya pun nikmat. Percaya atau tidak,
aroma kentut mu akan berubah menjadi bau bunga kasturi. Hua …a…a…a. ini
saya tinggalkan satu untuk mu, kalau kamu suka, nanti saya akan memberikan
buah-buahan pilihan yang dapat merubah kamu. Assalamu’alaikum!
Beberapa bulan kemudian, mereka bertemu kembali saat orang dari suku Alas
tersebut hendak umroh kesana. Ternyata orang Arab itu masih mengingat tantangan
yang diberikan suku Alas saat pertemuan pertama mereka.
OA: hai saudaraku, masih ingatkah kau kepadaku?
SA: maaf penghuni surga, aku lupa. Tolong kau ingatkan.
OA: pertemuan kita waktu itu saat terjadi perdebatan sedikit mengenai buah-buahan
ternikmat di dunia dan akhirat.
SA: o…… iya, saya baru ingat. Maaf saudaraku. Bagaimana? Buah-buahan yang
mana menurutmu yang paling enak di dunia dan akhirat?
OA: kamu betul ya akhi, ternyata buah-buahan yang kamu bawalah yang paling enak.
bagaimana dengan tantangan yang kamu berikan mengenai buah-buahan yang
dapat merubah saya? Apa kamu masih ingat? Dulu kamu pernah berjanji akan
membawanya kepadaku.
SA: o…. mengenai itu, saya tidak membawanya wahai penghuni surga. Bagaimana
kalau buah-buahan tersebut saya bawa ketika saya pergi beribadah kesini?
OA: saya takut nanti kamu lupa, soalnya saya penasaran sekali ya akhi . . . mungkin
kamu ada alternatif lain?
SA: kalau saya balik ke daerah asal saya dan kembali lagi kesini khusus membawa
buah-buahan tersbut, tidak mungkin rasanya. Karena banyak hal yang perlu
dipertimbangkan, bagaimana kalau kamu pulang bersama kami dan langsung
melihat pohonnya dan merasakan reaksi buah-buahan yang dapat merubah
kamu tersebut?
Begitulah terjadi percakapan singkat antara orang Arab dan Suku Alas ketika
para ulama di Desa Telaga mekar pergi ke Makkah untuk beribadah. Tidak disangka,
canda yang ditimbulkan dari percakapan tersebut membuat keakraban yang terjadi
sehingga setiap penduduk Desa Telaga mekar pergi beribadah haji kesana
dipermudah, terutama saat hendak berbelanja.
Dialog tersebut ditulis bukan untuk membuat unsur SARA, menyudutkan
suatu kelompok maupun menjatuhkannya. Namun, begitulah cara orang Alas
melakukan pendekatan untuk bisa berbaur dan lebih akrab. Biasanya mereka akan
membuat atau bertingkah maupun berkata hal-hal yang lucu agar lawan bicara
mereka merasa senang, sehingga akhirnya timbul kenyamanan tersendiri saat
berjumpa.
top related