latar belakang edit
Post on 24-Oct-2015
25 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Pengaruh Peer Counseling terhadap Perilaku Personal Hygiene Alat Reproduksi
Remaja Putri dalam Pencegahan Kanker Serviks di SMP X
Oleh :
Ayu Ervyna Novita Sari
1002105051
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2013
BAB I
1. Latar Belakang
Masa remaja merupakan salah satu periode dari perkembangan manusia. Masa remaja
merupakan masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa yang meliputi perubahan biologis,
perubahan psikologis, dan perubahan sosial. Kehidupan remaja adalah kehidupan yang sangat
menentukan bagi kehidupan masa depan mereka selanjutnya. Remaja Indonesia saat ini
sedang mengalami peningkatan kerentanan terhadap berbagai ancaman risiko kesehatan
terutama yang berkaitan dengan kesehatan seksual dan reproduksi (Rahmayanti, 2012).
Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (2007), berbagai penelitian
menunjukkan bahwa remaja mempunyai permasalahan yang sangat kompleks seiring dengan
masa transisi yang dialami remaja. Masalah yang menonjol dikalangan remaja yaitu
permasalahan seputar kesehatan reproduksi remaja, yakni seksualitas, HIV/AIDS serta
Napza, dikarenakan rendahnya pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi remaja
(BKKBN, 2012).
Menurut Sensus Penduduk tahun 2010, jumlah remaja umur 10-24 tahun sangat besar
yaitu sekitar 64 juta atau 27,6% dari jumlah penduduk Indonesia sebanyak 237,6 juta jiwa.
Melihat jumlahnya yang sangat besar, maka remaja sebagai generasi penerus bangsa perlu
dipersiapkan menjadi manusia yang sehat secara jasmani, rohani, mental dan spiritual
(BKKBN, 2012). Remaja sehat menjadi aset bangsa yang sangat berharga bagi kelangsungan
pembangunan dimasa mendatang. Menurut WHO dalam Depkes RI (2009) kelompok remaja
yaitu penduduk dalam rentang usia 10-19 tahun, di Indonesia memiliki proporsi kurang lebih
1/5 dari jumlah seluruh penduduk. Ini sesuai dengan proporsi remaja di dunia dimana jumlah
remaja diperkirakan 1,2 miliar atau sekitar 1/5 dari jumlah penduduk dunia. Dengan demikian
status kesehatan remaja merupakan hal yang perlu dipelihara dan ditingkatkan agar dapat
menghasilkan generasi penerus bangsa yang sehat, tangguh, dan produktif serta mampu
bersaing (Astiti, 2011).
Salah satu pilar pembangunan kesehatan nasional adalah paradigma sehat. Dalam
perwujudan paradigma sehat yang diutamakan adalah upaya pencegahan penyakit (preventif)
dan peningkatan kesehatan (promotif) tanpa mengabaikan upaya pengobatan (kuratif) dan
pemulihan kesehatan (Herijulianti, 2002). Menurut UU Kesehatan No 23 tahun 1992, sehat
adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup
produktif secara sosial dan ekonomis. Menurut World Health Organization (WHO), sehat
adalah keadaan sejahtera secara fisik, mental, dan sosial bukan hanya sekedar tidak adanya
penyakit maupun cacat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sehat adalah suatu keadaan fisik,
mental, dan sosial yang terbebas dari suatu penyakit sehingga seseorang dapat melakukan
aktivitas secara optimal. Dalam hal ini, sehat secara fisik termasuk kesehatan reproduksi,
dimana dalam kebijakan nasional kesehatan reproduksi di Indonesia ditetapkan atas empat
komponen, antara lain: kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana (KB), kesehatan
reproduksi remaja, pencegahan dan penanganan penyakit menular termasuk HIV/AIDS.
Informasi tentang kesehatan reproduksi penting untuk disebarluaskan. Terutama
infeksi saluran reproduksi karena perempuan lebih mudah terkena infeksi saluran reproduksi
dibandingkan dengan pria. Pada perempuan saluran reproduksi mempunyai dampak buruk ke
masa depan seperti kemadulan, kanker leher rahim, kehamilan diluar kandungan dan kelainan
pada janin/bayi (Depkes RI, 2001). Infeksi alat reproduksi wanita ditularkan melalui 3 cara :
pertama, infeksi yang disebabkan oleh penyakit menular seksual. Kedua adalah infeksi
endogen yaitu infeksi dari dalam alat reproduksi, karena pertumbuhan kuman yang
berlebihan ada dalam alat reproduksi, seperti bakteri dan kandida (jamur). Ketiga, adalah
infeksi iatrogenic yaitu infeksi yang terjadi karena kesalahan penanganan yang dilakukan
terhadap alat reproduksi oleh petugas kesehatan (Depkes RI, 2001). Salah satu hal yang harus
dipersiapkan terhadap proses reproduksi adalah tentang personal hygiene sehingga tidak
beresiko terjadinya infeksi khususnya infeksi saluran kemih (ISK). Pada tahun 1999, insiden
ISK di inggris mengatakan kejadian ISK pada wanita 3-4 kali dibandingkan laki-laki. Salah
satu faktor penyebabnya adalah karena uretra wanita lebih pendek dari pada laki-laki.
(Rahayu, 2011)
MASALAH KESPRO
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2010, persentase remaja usia 10-24 tahun di
Indonesia yang telah mendapatkan penyuluhan kesehatan reproduksi sebesar 25,1 %,
sebanyak 74,9% remaja yang belum mendapatkan pendidikan kesehatan mengenai kesehatan
reproduksinya. Sedangkan di Provinsi Bali, sebanyak 56,9 % remaja yang belum
mendapatkan penyuluhan mengenai kesehatan reproduksi. Sehingga dapat disimpulkan,
bahwa lebih dari 50 % remaja masih kurang mendapatkan penyuluhan tentang kesehatan
reproduksi. Sementara, persentase remaja yang belum mendapatkan penyuluhan kesehatan
reproduksi berdasarkan karakteristik kelompok umur didapatkan bahwa, remaja usia 10-14
tahun sebanyak 86,3 % yang belum mendapatkan penyuluhan kesehatan mengenai kesehatan
reproduksi, usia 15-19 tahun sebanyak 65,8 %, dan usia 20-24 tahun sebanyak 69,6 %.
(Riskesdas, 2010). Pendidikan tentang kesehatan reproduksi merupakan masalah penting
yang perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak. Pada masa remaja, pertumbuhan fisik
dan seksualnya mulai berkembang dengan pesat. Remaja yang akan menikah dan menjadi
orang tua sebaiknya mempunyai kesehatan reproduksi yang prima, sehingga menghasilkan
generasi yang sehat. Di lingkungan masyarakat, baik orang tua ataupun remaja itu sendiri
harus lebih terbuka tentang masalah kesehatan terutama kesehatan reproduksi (Ririn,dkk,
2011).
Salah satu komplikasi dari masalah kesehatan reproduksi adalah kanker serviks.
Kanker serviks atau kanker leher rahim adalah penyakit yang banyak menyerang wanita.
Kanker serviks adalah keganasan yang terjadi pada serviks (leher rahim) yang merupakan
bagian terendah dari rahim yang menonjol ke puncak liang senggama atau vagina (Depkes
RI, 2006). Penyakit ini berawal dari infeksi virus yang merangsang perubahan perilaku sel
epitel serviks. Insidensi dan mortalitas kanker serviks di dunia menempati urutan kedua
setelah kanker payudara. Sementara di negara berkembang masih menempati urutan pertama
sebagai penyebab kematian akibat kanker pada wanita usia reproduktif. Hampir 80% kasus
berada di negara berkembang (Aziz et al., 2006).
Infeksi Human Paviloma Virus (HPV) dapat terjadi saat hubungan seksual pertama,
biasanya pada masa awal remaja dan dewasa. Prevalensi tertinggi (sekitar 20%) ditemukan
pada wanita usia kurang dari 25 tahun. Pada wanita usia 25-55 tahun dan masih aktif
berhubungan seksual berisiko terkena kanker serviks sekitar 5-10 persen (Barr, 2007). Selain
disebabkan oleh HPV, kanker serviks juga dapat timbul karena personal hygiene (kebersihan
diri) yang kurang baik. Di antara semua jenis personal hygiene, genetalia merupakan organ
reproduksi wanita yang harus dijaga kebersihannya, karena dapat menimbulkan keputihan,
gatal-gatal, bau tidak sedap dan dapat terjadi infeksi yang memicu terjadinya kanker serviks
(Yayasan Kanker Indonesia, 2012).
Menurut International Union Against Cancer /UICC (2009), dewasa ini insiden
kanker sebagai salah satu jenis penyakit tidak menular semakin meningkat. Menurut WHO
jumlah penderita kanker di dunia setiap tahun bertambah sekitar 7 juta orang, dan dua per tiga
diantaranya berada di negara-negara yang sedang berkembang. Jika tidak dikendalikan,
diperkirakan 26 juta orang akan menderita kanker dan 17 juta meninggal karena kanker pada
tahun 2030. Ironisnya, kejadian ini akan terjadi lebih cepat di negara miskin dan berkembang
(Yayasan Kanker Indonesia, 2012). Data yang berhasil dihimpun oleh Departemen Kesehatan
Republik Indonesia menunjukan bahwa angka kejadian kanker di Indonesia sampai saat ini
diperkirakan setiap tahun muncul sekitar 200.000 kasus baru dimana jenis terbesar kanker
tersebut adalah kanker serviks (Ginting, 2012).
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2007, faktor risiko yang menyebabkan tingginya
kejadian kanker di Indonesia yaitu prevalensi merokok 23,7%, obesitas umum penduduk
berusia ≥ 15 tahun pada laki-laki 13,9% dan pada perempuan 23,8%. Prevalensi kurang
konsumsi buah dan sayur 93,6%, konsumsi makanan diawetkan 6,3%, makanan berlemak
12,8%, dan makanan dengan penyedap 77,8%. Sedangkan prevalensi kurang aktivitas fisik
sebesar 48,2%.
Tingginya tingkat kematian akibat kanker terutama di Indonesia antara lain
disebabkan karena terbatasnya pengetahuan masyarakat tentang bahaya kanker, tanda-tanda
dini dari kanker, faktor-faktor resiko terkena kanker, cara penanggulangannya secara benar
serta membiasakan diri dengan pola hidup sehat. Tidak sedikit dari mereka yang terkena
kanker, datang berobat ketempat yang salah dan baru memeriksakan diri ke sarana pelayanan
kesehatan ketika stadiumnya sudah lanjut sehingga biaya pengobatan lebih mahal (Yayasan
Kanker Indonesia, 2012). Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai kanker serviks dan
keengganan untuk melakukan deteksi dini menyebabkan lebih dari 70% mulai menjalani
perawatan medis justru ketika sudah berada pada kondisi parah dan sulit disembuhkan.
Hanya sekitar 2% dari perempuan Indonesia mengetahui kanker serviks (Sabrina, 2009).
Sosialisasi mengenai pencegahan kanker serviks sangat diperlukan untuk dapat
mengubah perilaku wanita dalam menjaga kesehatan organ reproduksinya, karena kanker
serviks merupakan jenis kanker yang paling dapat dicegah yaitu dengan menghindari faktor
resiko, melakukan skrining atau deteksi dini, dan vaksinasi HPV. Deteksi dini kanker serviks
dapat dilakukan dengan metode IVA (Inspeksi Visual dengan Asam Asetat) atau pemeriksaan
pap smear. Akan tetapi menurut Emilia (2010) bahwa kendala sosial masyarakat berkaitan
dengan konsep “tabu” merupakan salah satu hambatan tes skrining kanker serviks. Sementara
itu program vaksinasi HPV masih merupakan hal yang baru meskipun telah dilisensi pada
tahun 2006, akan tetapi sosialisasinya belum menjangkau wanita secara luas (Herlina,dkk.
2013).
Kanker serviks dan upaya pencegahannya masih merupakan masalah yang menarik
perhatian para professional kesehatan. Dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat, maka program Dinas Kesehatan melalui Puskesmas saat ini lebih menekankan
pada upaya promotif dan preventif. Dalam hal ini penting dilakukan upaya pencegahan
terhadap penyakit seperti kanker serviks karena kanker serviks merupakan jenis kanker yang
dapat dicegah dan dideteksi secara dini sehingga sangat diperlukan sosialisasi dan skrining
terhadap penyakit ini. Salah satu sasaran dari upaya pencegahan kanker serviks yaitu remaja
putri. Untuk itu perlu diberikan informasi dan pengetahuan sejak dini mengenai pencegahan
kanker serviks. (Herlina dkk. 2013). Salah satu upaya pencegahan kanker serviks dalam level
pencegahan primer adalah promosi dan edukasi pola hidup sehat dan menghindari faktor
risiko, serta melakukan vaksinasi HPV (Dinkes Bali, 2009). Upaya pencegahan kanker
serviks dapat dimulai dari hal yang paling kecil yakni meningkatkan kepedulian wanita
terhadap kebersihan perineum (perineal hygiene). Karena salah satu faktor yang
mempengaruhi kesehatan rahim adalah perineal hygiene. Pendidikan kesehatan merupakan
suatu cara penunjang program–program kesehatan, yang dapat menghasilkan perubahan dan
peningkatan pengetahuan dalam waktu yang pendek. Konsep pendidikan kesehatan
merupakan proses belajar pada individu, kelompok atau masyarakat dari tindakan tidak tahu
tentang nilai-nilai kesehatan menjadi tahu, dari tidak mampu mengatasi masalah kesehatan
menjadi mampu. Dalam waktu pendek (immediate impact) pendidikan kesehatan
menghasilkan perubahan dan peningkatan pengetahuan masyarakat. Pengetahuan kesehatan
akan berpengaruh kepada perilaku sebagai hasil jangka menengah dari pendidikan kesehatan
(Notoatmodjo, 2007). Menurut Notoatmodjo (2003), keberhasilan suatu proses pendidikan
atau penyuluhan tergantung dari materi atau pesannya dan metode penyampaiannya. Agar
tercapai suatu hasil yang optimal maka metode pendidikan haruslah tepat dan materi yang
disampaikan mudah dimengerti.
Siswa SMP, SMA, dan SMK sesuai dengan usia perkembangannya berada pada masa
remaja. Pada masa ini, ketertarikan dan komitmen serta ikatan terhadap teman sebaya
menjadi sangat kuat. Hal ini antara lain karena remaja merasa bahwa orang dewasa tidak
dapat memahami mereka. Keadaan ini sering menjadikan remaja sebagai suatu kelompok
yang eksklusif karena hanya sesama merekalah dapat saling memahami. Sebagian besar
siswa lebih sering membicarakan masalah-masalah serius mereka dengan teman sebaya,
dibandingkan dengan orang tua dan guru pembimbing. (Ririn,dkk, 2011).
Berdasarkan hasil penelitian Fathiyah dan Harahap (2008) yang berjudul “Konseling
Sebaya untuk Meningkatan Efikasi Diri Remaja terhadap Perilaku Berisiko”, disebutkan
bahwa tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan efektivitas konseling sebaya untuk
meningkatkan efikasi diri remaja terhadap perilaku berisiko. Subjek penelitian ini adalah 5
siswa yang berpartisipasi sebgai konselor sebaya dan 23 siswa kelas 1 yang diberi konseling
sebaya. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode angket, wawancara
mendalam, focus group discussion, dan observasi. Secara kuantitatif hasil penelitian ini
menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan efikasi diri siswa yang diberi konseling
sebaya sebesar 26,08 %. Pada konselor sebaya peningkatan skor efikasi diri sebesar 14,3 %.
Secara kualitatif hasil penelitian menunjukkan peningkatan efikasi diri subjek penelitian
ditinjau dari kognitif, motivasi, afektif, dan kecenderungan perilakunya.
Berdasarkan penelitian Herniyatun (2008) yang berjudul “Efektivitas Edukasi Peer
Group Terhadap Perubahan Pengetahuan, Sikap Dan Ketrampilan Dalam Pencegahan
Kanker Servik Di Kabupaten Kebumen”, tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh
edukasi kelompok sebaya atau peer group terhadap perubahan perilaku dalam pencegahan
kanker servik, jenis penelitian eksperimen semu, desain non-equivalent pretest-postest with
control group, dengan intervensi edukasi kelompok sebaya yasinan RT oleh kader yang sudah
dilatih. Proses penelitian telah dilaksanakan pada bulan September – November 2008 di
Kabupaten Kebumen dengan metode multistage random sampling, jumlah sampel 176 (88
responden kelompok perlakuan, dan 88 responden kelompok kontrol). Hasil penelitian
menunjukkan rata-rata umur WUS 33.5 tahun dengan pendidikan wanita terbesar SD. Ada
perbedaan yang signifikan rata-rata nilai pengetahuan (p:0,000: α<0.05), sikap (p:0,024;
α<0.05), ketrampilan (p:0,000;α<0.05), antara sebelum dan setelah pada kelompok perlakuan.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa antara kelompok perlakuan dan kontrol ada
perbedaan yang signifikan rata-rata nilai sikap (p:0,027: α<0.05), ketrampilan (p:0,000;
α<0.05) tetapi tidak signifikan untuk meningkatkan pengetahuan (p:0,150; α<0.05). Sikap
dan ketrampilan pencegahan kanker servik tidak dipengaruhi oleh umur dan tingkat
pendidikan tetapi dipengaruhi oleh intervensi edukasi peer group. Edukasi ini akan bisa
merubah perilaku pencegahan kanker servik jika dilakukan oleh kader kesehatan yang
terpilih, yang bisa menstransfer ilmu tentang pencegahan ini secara tuntas, sehingga tidak
hanya sikap dan ketrampilan yang bisa berubah tetapi pengetahuan yang luas tentang kanker
servik juga bisa dimiliki oleh semua anggota peer group yang ada di masyarakat Kebumen.
Hasil penelitian Aisah, dkk. (2010), menunjukkan bahwa terdapat “Pengaruh Edukasi
Kelompok Sebaya Terhadap Perubahan Perilaku Pencegahan Anemia Gizi Besi Pada Wanita
Usia Subur. Ada hubungan yang signifikan antara usia dengan pengetahuan (p<0.05). Ada
hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan pengetahuan dan sikap (p<0.05). Ada
perbedaan yang signifikan (p<0.05) rata-rata nilai pengetahuan, sikap, ketrampilan antara
sebelum dan setelah pada kedua kelompok, namun masih lebih tinggi pada kelompok
perlakuan yang mendapat intervensi edukasi kelompok sebaya. Ada perbedaan yang
signifikan (p<0.05) rata-rata nilai pengetahuan, sikap, ketrampilan antara kelompok
perlakuan dan kontrol. Intervensi edukasi kelompok sebaya mempengaruhi pengetahuan,
sikap, dan ketrampilan yang dapat dilihat dari nilai p<0.05, berarti bahwa pengetahuan, sikap,
dan ketrampilan tidak dipengaruhi oleh umur dan tingkat pendidikan tetapi dipengaruhi oleh
intervensi edukasi kelompok sebaya. Berdasar hasil tersebut perlu optimalisasi kelompok
sebaya wanita yang sudah ada di masyarakat, mengintegrasikan upaya promotif dan preventif
AGB kedalam programnya.
Menurut penelitian Rahmayanti, 2012 yang berjudul “Gambaran perilaku perawatan
kebersihan alat reproduksi dalam pencegahan kanker serviks pada siswi SMAN 9 Kebon
Pala Jakarta Timur tahun 2011”, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perilaku
siswi SMAN 9 Kebon Pala Jakarta Timur dalam menjaga kebersihan alat reproduksinya dan
faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan pendekatan studi kuantitatif dengan desain cross sectional terhadap 97
responden yang merupakan siswi SMAN 9 Kebon Pala Jakarta Timur. Hasil uji bivariat
menunjukkan bahwa variable pengetahaun, keterpaparan informasi dari media massa dan
lingkungan sosial memilki hubungan yang bermakna dengan perilaku perawatan kebersihan
alat reproduksi. Dari penelitian tersebut diharapkan bahwa pemberian informasi mengenai
perilaku kebersihan alat reproduksi yang baik dapat dilakukan dengan tepat dan jelas.
Konseling sebaya dipandang cukup efektif karena diberikan oleh teman sebayanya
sendiri. Konseling merupakan proses yang dilakukan oleh profesional terlatih dalam
hubungan saling percaya terhadap individu yang membutuhkan bantuan. Pada remaja ada
kecenderungan untuk memiliki personal fable yaitu keyakinan bahwa hanya dia yang
mengalami pengalaman unik, bukan orang dewasa lain. Oleh karena itu, penguatan melalui
konseling sebaya dipandang cukup bermakna untuk dilakukan (Thompson dkk, 2004).
Teman sebaya atau peers adalah anak-anak dengan tingkat kematangan atau usia yang
kurang lebih sama. Salah satu fungsi terpenting dari kelompok teman sebaya adalah untuk
memberikan sumber informasi dan komparasi tentang dunia di luar keluarga. Melalui
kelompok teman sebaya, anak-anak menerima umpan balik dari teman-teman mereka tentang
kemampuan mereka. Anak-anak menilai apa-apa yang mereka lakukan, apakah dia lebih baik
dari pada teman-temannya, sama, ataukah lebih buruk dari apa yang anak-anak lain kerjakan.
(Santrock, 2004 : 287). Hubungan yang baik di antara teman sebaya akan sangat membantu
perkembangan aspek sosial anak secara normal. Gladding (1995) mengungkapkan bahwa
dalam interaksi teman sebaya memungkinkan terjadinya proses identifikasi, kerjasama dan
proses kolaborasi. Proses-proses tersebut akan mewarnai proses pembentukan tingkah laku
yang khas pada remaja.
Fungsi konselor sebaya adalah sebagai 1) sahabat yang bersedia membantu,
mendengarkan, dan memahami, 2) fasilitator yang bersedia membantu remaja untuk tumbuh
dan berkembang bersama kelompoknya, dan 3) sebagai pemimpin yang karena
kepeduliannya pada orang lain menjadi penggerak perubahan sosial. Dalam prakteknya,
konseling sebaya hendaknya dapat memberikan pemahaman yang utuh tentang perilaku dan
risikonya terhadap kesehatan fisik maupun psikis baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang. Selain itu, diharapkan konseling kesehatan pada remaja dapat 1) menumbuhkan
keyakinan personal remaja untuk tetap melakukan perilaku sehat meskipun tantangannya
besar, 2) meningkatkan keyakinan remaja untuk mampu mempelajari semua kemampuan
untuk menghindari perilaku berisiko, dan yakin mampu mengendalikan diri dari perilaku
berisiko meskipun tekanan internal maupun eksternal sangat kuat.
Proses psikologis yang diharapkan tercipta dalam konseling sebaya mencakup 4
proses yang meliputi : a) proses kognitif, b) proses motivasional, c) proses afektif, dan d)
proses seleksi. Proses kognitif menumbuhkan pemikiran remaja mengenai kapasitas dan
komitmennya untuk berperilaku sehat dan menghindari perilaku berisiko. Proses
motivasional menjadikan remaja dapat menetapkan tujuan sendiri, menentukan besarnya
usaha, dan menetapkan kegigihan menghadapi kesulitan dan kegagalan. Proses afektif
menjadikan remaja tidak akan mengalami gangguan pola berfikir dan berani menghadapi
tekanan dan ancaman. Proses seleksi yang terjadi menjadikan remaja dapat memilih jenis
aktivitas dan lingkungan yang dapat mendukung perilaku sehat dan menghindari perilaku
berisiko. (Kusmilah dkk, 2004)
Perubahan pengetahuan diharapkan akan merubah sikap dan bila sikap telah dirubah
ini merupakan modal untuk merubah perilaku, dan bekal pengetahuan yang cukup, besar
kemungkinan orang bersikap positif terhadap suatu objek. Sikap merupakan reaksi atau
respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap belum
merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu
perilaku dan sikap juga merupakan efek positif atau negatif terhadap objek psikologis
(Notoatmodjo, 2003).
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti Pengaruh
Peer Counseling terhadap Perilaku Personal Hygiene Alat Reproduksi Remaja Putri dalam
Pencegahan Kanker Serviks di SMP xxx.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti merumuskan masalah penelitian sebagai
berikut :
“Adakah Pengaruh Peer Counseling terhadap Perilaku Personal Hygiene Alat Reproduksi
Remaja Putri dalam Pencegahan Kanker Serviks di SMP X?”
3. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh peer counseling terhadap perilaku personal hygiene
alat reproduksi remaja putri dalam pencegahan kanker serviks.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi karakteristik remaja putri terhadap perilaku perilaku
personal hygiene alat reproduksi remaja putri dalam pencegahan kanker
serviks.
b. Mengidentifikasi tingkat pengetahuan remaja putri tentang perilaku personal
hygiene alat reproduksi remaja putri dalam pencegahan kanker serviks.
c. Mengidentifikasi ketrampilan remaja putri dalam perilaku personal hygiene
alat reproduksi remaja putri dalam pencegahan kanker serviks.
d. Mengidentifikasi sikap remaja putri dalam perilaku personal hygiene alat
reproduksi remaja putri dalam pencegahan kanker serviks.
e. Mengidentifikasi tingkat pengetahuan remaja putri tentang perilaku personal
hygiene alat reproduksi remaja putri dalam pencegahan kanker serviks.
f. Mengidentifikasi tingkat pengetahuan, ketrampilan, dan sikap remaja putri
sebelum diberikan peer counseling tentang perilaku personal hygiene alat
reproduksi remaja putri dalam pencegahan kanker serviks.
g. Mengidentifikasi tingkat pengetahuan, ketrampilan, dan sikap remaja putri
setelah diberikan peer counseling tentang perilaku personal hygiene alat
reproduksi remaja putri dalam pencegahan kanker serviks.
h. Mengidentifikasi pengaruh peer counseling terhadap perilaku personal
hygiene alat reproduksi remaja putri dalam pencegahan kanker serviks.
4. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
a. Melalui penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi
sekolah, orang tua, dan tenaga kesehatan mengenai bagaimana pengetahuan,
ketrampilan dan sikap remaja putri tentang perilaku personal hygiene alat
reproduksi dalam pencegahan kanker serviks, sehingga nantinya dapat
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
2. Manfaat Teoritis
a. Bagi instansi pemerintah
Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan dapat menjadikan hasil penelitian ini
sebagai masukan untuk membuat perencanaan pengembangan program PKPR
(Program Kesehatan Peduli Remaja) yang dapat meningkatkan pengetahuan
tentang kesehatan reproduksi remaja khususnya pada siswi SMP terhadap
perilaku personal hygiene remaja putri dalam pencegahan penyakit kanker
serviks.
b. Bagi sekolah
Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan untuk
membuat perencanaan pengembangan program PKPR (Program Kesehatan
Peduli Remaja) yang yang dapat meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan
reproduksi remaja khususnya pada siswi SMP terhadap perilaku personal
hygiene remaja putri dalam pencegahan penyakit kanker serviks.
c. Bagi tenaga kesehatan
Diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan untuk menambah pengetahuan dan
mengaplikasikan ilmu yang diperoleh.
b. Bagi masyarakat dan orang tua
Memberi informasi tentang perilaku personal hygiene alat reproduksi dalam
pencegahan kanker serviks
d. Bagi peneliti
Dapat menambah wawasan bagi mahasiswa dan sebagai bahan bacaan di
perpustakaan atau referensi serta sebagai bahan dalam melanjutkan penelitian
terkait dengan pengaruh peer counseling terhadap perilaku personal hygiene
alat reproduksi remaja putri dalam pencegahan kanker serviks. Dapat
memberikan informasi atau data dasar bagi peneliti selanjutnya untuk
menyadari pentingnya upaya pencegahan kanker serviks.
Daftar Pustaka
Aminati Dini, 2013. Cara Bijak Menghadapi dan Mencegah Kanker Leher Rahim (serviks).
Yogyakarta : Brilliant Books
Aziz, MF., Andrijono, Saifuddin AB, editors., 2006. Buku Acuan Nasional Onkologi
Ginekologi. Edisi kedua. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Ginting, Herlina. 2012. Hubungan antara dukungan sosial dengan optimisme pada penderita
kanker serviks. Karya Tulis Ilmiah. Universitas Pendidikan Indonesia : Bandung.
Aisah, Siti , Sahar,Jahar, Hastono, P.S. 2010 Pengaruh Edukasi Kelompok Sebaya Terhadap
Perubahan Perilaku Pencegahan Anemia Gizi Besi Pada Wanita Usia Subur. Semarang :
UNIMUS
Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta : Jakarta.
Herniyatun, Diah Astutiningrum dan Nurlaila. 2008. Efektivitas Edukasi Peer Group
Terhadap Perubahan Pengetahuan, Sikap Dan Ketrampilan Dalam Pencegahan Kanker
Servik Di Kabupaten Kebumen. jurusan Keperawatan Stkes Muhammadiyah Gombong
Thompson CL, Rudolph LB, dan Henderson DA. 2004. Counseling for Children. USA:
Thompson Brooks/Cole.
Riskesdas. 2007. Perempuan Merupakan Kelompok Yang Paling Banyak Terkena Kanker.
http://www.infodokterku.com/ index.php. Diakses tanggal 3 oktober 2013.
Dinkesbali. 2009. Sosialisasi Faktor Risiko Penyakit Kanker. Dinas Kesehatan Provinsi Bali.
http://dinkesbali.wordpress.com (diakses tanggal 3 Oktober 2013)
YKI. 2012. http://yayasankankerindonesia.org/2012/yki-jakarta-race/ ( diakses tanggal 3
oktober 2013)
Riskesdas 2010. Tabel Riskesdas 2010. Badan Penenlitian dan Pengembangan Kesehatan
kementrian Kesehatan RI tahun 2010
www.riskesdas.litbang.depkes.go.id/download/TabelRiskesdas2010.pdf (diakses 3 oktober
2013)
Glading, S.T. (1995). Group Work : A Counseling Specialty. Englewood Cliffs : Prentice-
Hall.
Santrock, J.W. (2004). Life-Span Development. Ninth Edition. Boston : McGraw-Hill
Companies.
Dr. Suwarjo, M.Si. 2008. Konseling Teman Sebaya (Peer Counseling) Untuk
Mengembangkan Resiliensi Remaja. Makalah. Yogyakarta: FIP UNY
Kusmilah, S, Rimayanti, Aini, N, Hartanto D, dan Purwoko, F. 2004. Model Peer Counseling
dalam Mengatasi Problematika Remaja Akhir. Laporan Penelitian. Yogyakarta: FIP UNY
Fathiyah, Kartika Nur dan Harahap, Farida. 2008. Konseling Sebaya untuk Meningkatan
Efikasi Diri Remaja terhadap Perilaku Berisiko. Laporan Penelitian. Yogyakarta : FIP UNY
Herlina,dkk. 2013. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Tingkat Pengetahuan Siswi
Tentang Pencegahan Kanker Serviks Di Sma Negeri 1 Manado. ejournal keperawatan (e-Kp).
Manado : PSIK FK Universitas Sam Ratulangi
Rahmayanti, Novita. 2012. Gambaran perilaku perawatan kebersihan alat reproduksi dalam
pencegahan kanker serviks pada siswi SMAN 9 Kebon Pala. Jakarta : FKM UI
Sabrina, M. 2009. Mengenal 13 Jenis Kanker dan Pengobatannya. Yogyakarta: Kata Hati.
Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume 7, No. 3, Oktober 2011 Efektivitas
Penyuluhan Peer Group Dengan Penyuluhan Oleh Petugas Kesehatan Terhadap Tingkat
Pengetahuan Tentang Menarche Ririn Tri Rahayu1 Cokro Aminoto2, M.Madkhan Jurusan
Keperawatan STIKes Muhammadiyah Gombong
Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI, 2007)
Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI,
2007)
Sensus Penduduk, 2010
BKKBN. 2012. Pedoman Pengelolaan Pusat Informasi Dan Konseling Remaja Dan
Mahasiswa (Pik Remaja/Mahasiswa). Badan Kependudukan Dan Keluarga Berencana
Nasional Direktorat Bina Ketahanan Remaja : Jakarta
Herijulianti, dkk. 2002.Pendidikan Kesehatan. Jakarta: EGC
Astiti. 2011. Tesis Hubungan Faktor Pelatihan Kesehatan Reproduksi Dengan Implementasi Pasca Pelatihan Pada Konselor Sebaya Kesehatan Reproduksi Remaja Di Provinsi Bali. Psikm Program Pascasarjana Unud : Bali
Menurut definisi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), remaja (adolescence) adalah mereka yang berusia 10-19 tahun. Sementara PBB menyebut anak muda (youth) untuk usia 15-24 tahun.
Outlook.2000. volume 16
Konselor Sebaya (KS) adalah Pendidik Sebaya yang secara fungsional punya komitmen dan motivasi yang tinggi untuk memberikan konseling bagi kelompok remaja/mahasiswa sebayanya, telah mengikuti pelatihan/orientasi konseling atau yang belum dilatih dengan mempergunakan Panduan Kurikulum dan Modul Pelatihan yang telah disusun oleh BKKBN, serta bertanggung jawab kepada Ketua PIK R/M.
top related