lapsus obsgyn
Post on 20-Jan-2016
51 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Penyebab terpenting kematian maternal di Indonesia adalah perdarahan 40-60%, infeksi
20-30% dan keracunan kehamilan 20-30%, sisanya sekitar 5% disebabkan penyakit lain yang
memburuk saat kehamilan atau persalinan.Perdarahan sebagai penyebab kematian ibu terdiri atas
perdarahan antepartum dan perdarahan postpartum. Perdarahan antepartum merupakan kasus
gawat darurat yang kejadiannya berkisar 3% dari semua persalinan, penyebabnya antara lain
placenta previa, solusio placenta, dan perdarahan yang belum jelas sumbernya.
Plasenta previa adalah placenta yang implantasinya tidak normal, sehingga menutupi
seluruh atau sebagian ostium internum kasus ini masih menarik dipelajari terutama di negara
berkembang termasuk Indonesia, karena faktor predisposisi yang masih sulit dihindari,
prevalensinya masih tinggi serta punya andil besar dalam angka kematian maternal dan perinatal
yang merupakan parameter pelayanan kesehatan.
Cairan amnion mempunyai peran yang sangat penting bagi perkembangan dan
pertumbuhan janin. Kelainan jumlah amnion dapat terjadi dan sering kali merupakan pertanda
yang paling awal terlihat pada janin yang mengalami gangguan. Di pihak lain, kelainan jumlah
cairan amnion dapat menimbulkan gangguan pada janin, seperti hipoplasia paru, deformitas
janin, kompresi tali pusat, prematuritas, kelainan letak, dan kematian janin. Oleh sebab itu,
kelainan jumlah cairan amnion yang terjadi oleh sebab apapun akan meningkatkan morbiditas
dan mortalitas perinatal.
Perdarahan post partum atau perdarahan pasca persalinan adalah salah satu penyebab
kematian ibu melahirkan. Tiga faktor utama penyebab kematian ibu melahirkan adalah
perdarahan post partum atau perdarahan pasca persalinan, hipertensi saat hamil atau pre eklamasi
dan infeksi. Perdarahan menempati prosentase tertinggi penyebab kematian ibu (28%).
Histerektomi merupakan suatu tindakan penanganan untuk mengatasi kelainan atau
gangguan organ atau fungsi reproduksi yang terjadi pada wanita. Dengan demikian, tindakan ini
merupakan keputusan akhir dari penanganan kelainan atau gangguan berdasarkan hasil
pemeriksaan dokter. Sebagian besar histerektomi paripartum dilakukan untuk menghentikan
perdarahan akibat atonia uterus yang tak teratasi, perdarahan segmen bawah uterus yang
1
berkaitan dengan insisi sesar atau implantasi plasenta, laserasi pembuluh besar uterus, mioma
besar, dysplasia serviks yang parah, dan karsinoma insitu. Gangguan implantasi plasenta,
termasuk plasenta previa dan berbagai plasenta akreta yang sering berkaitan dengan sesar
berulang, sekarang menjadi indikasi tersering untuk histerektomi saesar. Morbiditas yang
berkaitan dengan histerektomi darurat secara substantive meningkat. Pengeluaran darah pada
umumnya banyak dan hal ini berkaitan dengan indikasi operasi. Jika dilakukan atas indikasi
perdarahan, pengeluaran darah hampir slalu besar. Memang, lebih dari 90 persen wanita yang
menjalani histerektomi pasca partum darurat membutuhkan tranfusi
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PLASENTA PREVIA (1,2,3,4,5,6,7,9,10,11)
1. Definisi
Plasenta previa adalah suatu kelainan dimana plasenta berimplantasi pada segmen
bawah uterus sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri
internum. Implantasi plasenta yang normal ialah pada dinding depan, dinding
belakang rahim, atau di daerah fundus uteri
2. Kalsifikasi
Klasifikasi plasenta previa tidak didasarkan pada keadaan anatomik melainkan
fisiologik. Sehingga klasifikasinya akan berubah setiap waktu. Umpamanya,
plasenta previa total pada pembukaan 4 cm mungkin akan berubah menjadi
plasenta previa pada pembukaan 8 cm. Plasenta previa dapat diklasifikasikan
sebagai berikut
a. Menurut de Snoo, berdasarkan pembukaan 4-5 cm :
1. Plasenta previa sentralis (totalis), bila pada pembukaan 4-5 cm teraba plasenta
menutupi seluruh ostea.
2.Plasenta previa lateralis; bila mana pembukaan 4-5 cm sebagian pembukaan
ditutupi oleh plasenta, dibagi 2 :
2.1 Plasenta previa lateralis posterior; bila sebagian menutupi ostea bagian belakang.
2.2 Plasenta previa lateralis anterior; bila sebagian menutupi ostea bagian depan.
2.3 Plasenta previa marginalis; bila sebagian kecil atau hanya pinggir ostea yang ditutupi
plasenta.
b. Menurut Cunningham :
1. Plasenta previa totalis, yaitu seluruh ostium uteri internum tertutupi oleh plasenta
3
2. Plasenta previa parsialis, yaitu sebagian ostium uteri internum tertutupi oleh
plasenta
3. Plasenta previa marginalis, yaitu bila pinggir plasenta tepat berada di pinggir
ostium uteri internum
4. Low-laying placenta (Plasenta letak rendah), yaitu tepi plasenta terletak pada 3-4
cm dari tepi ostium uteri internum
Gambar 2. Klasifikasi plasenta previa. A. Implantasi plasenta yang normal B. Low-
laying placenta (Plasenta letak rendah) C. Plasenta previa parsialis D. Plasenta
previa totalis
3. Epidemiologi
Plasenta previa terjadi sekitar 1 dalam 200 kelahiran, tetapi hanya 20% termasuk
dalam plasenta previa totalis. Insiden meningkat 20 kali pada grande multipara.
Dari seluruh kasus perdarahan antepartum, plasenta previa merupakan penyebab
yang terbanyak. Oleh karena itu, pada kejadian perdarahan antepartum,
kemungkinan plasenta previa harus dipikirkan lebih dahulu (Miller, 2009).
4. Etiologi
Plasenta previa meningkat kejadiannya pada keadaan-keadaan yang
endometriumnya kurang baik, misalnya karena atrofi endometrium atau kurang
baiknya vaskularisasi desidua. Keadaan ini bisa ditemukan pada :
1. Multipara, terutama jika jarak antara kehamilannya pendek
4
2. Mioma uteri
3. kuretase yang berulang
4. Umur lanjut
5. Bekas seksio sesarea
6. Perubahan inflamasi atau atrofi, misalnya pada wanita perokok atau pemakai
kokain. Hipoksemi yang terjadi akibat karbon monoksida akan dikompensasi
dengan hipertrofi plasenta. Hal ini terjadi terutama pada perokok berat (lebih
dari 20 batang sehari).
7. Keadaan endometrium yang kurang baik menyebabkan plasenta harus tumbuh
menjadi luas untuk mencukupi kebutuhan janin. Plasenta yang tumbuh meluas
akan mendekati atau menutupi ostium uteri internum. Endometrium yang
kurang baik juga dapat menyebabkan zigot mencari tempat implantasi yang
lebih baik, yaitu di tempat yang rendah dekat ostium uteri internum
Ketika plasenta harus tumbuh membesar untuk mengkompensasi
penurunan fungsinya (penurunan untuk mengantarkan oksigen dan nutrisi lain),
ada kemungkinan untuk pertumbuhan plasenta previa. Beberapa contoh situasi
yang membutuhkan fungsi plasenta yang besar dan hasil peningkatan dari resiko
plasenta previa termasuk kehamilan multiple, merokok, dan hidup di dataran
tinggi. Plasenta previa juga dapat terjadi pada plasenta yang besar dan yang luas,
seperti pada eritoblastosis, diabetes melitus atau kehamilan multipel.
Menurut Sarwono (2005), plasenta previa tidak selalu terjadi pada
penderita dengan paritas yang tinggi akibat vaskularisasi yang berkurang atau
terjadinya atrofi pada desidua akibat persalinan yang lampau. Plasenta yang
letaknya normal dapat memperluas permukaannya sehingga menutupi sebagian
atau seluruh ostium uteri internum, seperti pada kehamilan kembar. Plasenta
previa berhubungan dengan paritas dan umur penderita. Hal ini dapat dilihat pada
tabel dan grafik 1 tentang hubungan plasenta previa dengan umur ibu dan
paritasnya
Tabel 1. Hubungan frekuensi plasenta previa dengan umur ibu dan paritasnya di
5
RS Dr. Cipto Managunkusumo Jakarta tahun 1971-1975
UMURPRIMIGRAVIDA
(%)
MULTIGRAVIDA
(%)
15-19 1,7 1,6
20-24 2,3 6,9
25-29 2,9 7,9
30-34 1,7 9,7
>35 5,6 9,5
JUMLAH 2,2 7,7
Grafik 1. Insiden plasenta previa dan solusio plasenta di Parkland Hospital dari tahun1988
sampai 1999
5. Patofisiologi
Menurut DeCherney dan Nathan (2003), perdarahan pada plasenta previa
mungkin berhubungan dengan beberapa mekanisme sebagai berikut :
6
a. Pelepasan plasenta dari tempat implantasi selama pembentukan segmen bawah
rahim atau selama terjadi pembukaan ostium uteri internum atau sebagai akibat
dari manipulasi intravagina (Vaginal Touchae)
b. Infeksi pada plasenta (Plasentitis)
c. Ruptur vena desidua basalis
6. Gejala klinik
Perdarahan tanpa nyeri
Pasien mungkin berdarah sewaktu tidur dan sama sekali tidak terbangun. Baru
waktu ia bangun, ia merasa bahwa kainnya basah. Biasanya perdarahan karena
plasenta previa baru timbul setelah bulan ketujuh dan perdarahan sebelum bulan
ketujuh memberi gambaran yang tidak berbeda dari abortus (Martaadisoebrata,
2005).
Perdarahan pada plasenta previa disebabkan pergerakan antara plasenta dan
dinding rahim. Setelah bulan ke-4 terjadi regangan pada dinding rahim karena isi
rahim lebih cepat tumbuhnya dari rahim sendiri. Akibatnya ismus uteri tertarik
menjadi bagian dinding korpus uteri yang disebut segmen bawah rahim
Pada plasenta previa, perdarahan tidak mungkin terjadi tanpa pergeseran
antara plasenta dan dinding rahim. Saat perdarahan bergantung pada kekuatan
insersi plasenta dan kekuatan tarikan pada istmus uteri. Dalam kehamilan tidak
perlu ada his untuk menimbulkan perdarahan. Sementara dalam persalinan, his
pembukaan menyebabkan perdarahan karena bagian plasenta di atas atau dekat
ostium akan terlepas dari dasarnya. Perdarahan pada plasenta previa terjadi karena
terlepasnya plasenta dari dasarnya.
Pada plasenta previa, perdarahan bersifat berulang-ulang karena setelah
terjadi pergeseran antara plasenta dan dinding rahim, regangan dinding rahim dan
tarikan pada serviks berkurang. Namun, dengan majunya kehamilan regangan
bertambah lagi dan menimbulkan perdarahan baru (Martaadisoebrata, 2005).
Darah yang keluar terutama berasal dari ibu, yakni dari ruangan intervilosa. Akan
tetapi dapat juga berasal dari anak jika jonjot terputus atau pembuluh darah
plasenta yang lebih besar terbuka.
7
2. Bagian terendah anak masih tinggi karena plasenta terletak pada kutub
bawah rahim sehingga bagian terendah tidak dapat mendekati pintu atas panggul
3. Pada plasenta previa, ukuran panjang rahim berkurang maka pada plasenta
previa lebih sering disertai kelainan letak.
4. Perdarahan pasca persalinan
Pada plasenta previa mungkin sekali terjadi perdarahan pascapersalinan karena
kadang-kadang plasenta lebih erat melekat pada dinding rahim (plasenta akreta),
daerah perlekatan luas dan kontraksi segmen bawah rahim kurang sehingga
mekanisme penutupan pembuluh darah pada insersi plasenta tidak baik.
5. Infeksi nifas
Selain itu, kemungkinan infeksi nifas besar karena luka plasenta lebih dekat pada
ostium dan merupakan port d’ entree yang mudah tercapai. Lagi pula, pasien
biasanya anemia karena perdarahan sehingga daya tahannya lemah.
7. Diagnose
Diagnosa dapat ditegakkan dari anamnesa dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang :
Anamnesa yang sesuai dengan gajala klinis, yaitu terjadi perdarahan spontan dan
berulang melalui jalan lahir tanpa ada rasa nyeri.
Pemeriksaan fisik :
Inspeksi : Terlihat perdarahan pervaginam berwarna merah segar.
Palpasi abdomen : Janin sering belum cukup bulan, jadi fundus uteri masih rendah;
Sering disertai kesalahaan letak janin; Bagian bawah janin belum turun, apabila letak
kepala, biasanya kepala masih dapat digoyang atau terapung; Bila pemeriksa sudah
cukup pengalaman dapat dirasakan suatu bantalan pada segmen bawah rahim,
terutama pada ibu yang kurus.
Inspekulo : Dengan pemeriksaan inspekulo dengan hati-hati dapat diketahui asal
perdarahan, apakah dari dalam uterus, vagina, varises yang pecah atau lain-lain.
8
Pemeriksaan dalam hanya boleh dilakukan di meja operasi (PDMO / Pemeriksaan
Dalam di Meja Operasi) karena dengan pemeriksaan dalam, akan menyebabkan
perdarahan pervaginam yang lebih deras.
Pemeriksaan penunjang :
Plasenta previa hampir selalu dapat didiagnosa dengan menggunakan USG abdomen,
yang 95% dapat dilakukan tiap saat.
8. Diagnose banding
Gejala dan tanda Faktor
predisposisi
Penyulit lain Diagnosis
* Perdarahan tanpa nyeri, usia
gestasi >22 minggu
* Darah segar atau kehitaman
dengan bekuan
*Perdarahan dapat terjadi
setelah miksi atau defekasi,
aktivitas fisik, kontraksi
braxton hicks atau koitus
* multipara
* mioma uteri
* usia lanjut
*kuretase
berulang
* bekas SC
* merokok
* Syok
* perdarahan setelah
koitus
* Tidak ada kontraksi
uterus
* Bagian terendah janin
tidak masuk PAP
*Bisa terjadi gawat
janin
Plasenta
previa
* Perdarahan dengan nyeri
intermitten atau menetap
* Warna darah kehitaman dan
cair, tapi mungkin ada bekuan
jika solusio relatif baru
* Jika ostium terbuka, terjadi
perdarahan berwarna merah
segar.
* Hipertensi
* versi luar
*Trauma
abdomen
* Polihidramnion
* gemelli
* defisiensi gizi
* Syok yang tidak
sesuai dengan jumlah
darah (tersembunyi)
* anemia berat
* Melemah atau
hilangnya denyut
jantung janin
* gawat janin atau
hilangnya denyut
jantung janin
* Uterus tegang dan
Solusio
plasenta
9
nyeri
* Perdarahan intraabdominal
dan/atau vaginal
* Nyeri hebat sebelum
perdarahan dan syok, yg
kemudian hilang setelah
terjadi regangan hebat pada
perut bawah (kondisi ini tidak
khas)
* Riwayat seksio
sesarea
*Partus lama atau
kasep
*Disproporsi
kepala /fetopelvik
*Kelainan
letak/presentasi
*Persalinan
traumatik
*Syok atau takikardia
*Adanya cairan bebas
intraabdominal
*Hilangnya gerak atau
denyut jantung janin
*Bentuk uterus
abnormal atau
konturnya tidak jelas.
* Nyeri raba/tekan
dinding perut dan
bagian2 janin mudah
dipalpasi
Ruptur
uteri
*Perdarahan berwarna merah
segar.
* Uji pembekuan darah tidak
menunjukkan adanya bekuan
darah setelah 7 menit
* Rendahnya faktor
pembekuan darah, fibrinogen,
trombosit, fragmentasi sel
darah
* solusio plasenta
* janin mati
dalam rahim
* eklamsia
* emboli air
ketuban
* perdarahan gusi
* gambaran memar
bawah kulit
* perdarahan dari
tempat suntikan jarum
infus
Gangguan
pembekuan
darah
9. Penanganan
Setiap ibu hamil dengan perdarahan antepartum harus segera dirujuk ke rumah sakit
yang memiliki fasilitas transfusi darah dan operasi, tanpa dilakukan pemeriksaan dalam
terlebih dahulu. Perdarahan yang pertama kali jarang mengakibatkan kematian dengan syarat
tidak dilakukan pemeriksaan dalam sebelumnya, sehingga masih cukup waktu untuk
mengirimkan penderita ke rumah sakit. Bila pasien dalam keadaan syok karena perdarahan
yang banyak, harus segera diperbaiki keadaan umumnya dengan pemberian infus atau
tranfusi darah .
10
Selanjutnya penanganan plasenta previa bergantung kepada :
Keadaan umum pasien, kadar Hb
Jumlah perdarahan yang terjadi
Umur kehamilan/taksiran BB janin
Jenis placenta previa
Paritas dan kemajuan persalinan
Penanganan pasien dengan plasenta previa ada 2 macam, yaitu:
1. Penanganan Pasif / Ekspektatif
Dahulu ada anggapan bahwa kehamilan dengan plasenta previa harus segera diakhiri
untuk menghindarkan perdarahan yang fatal. Namun sekarang ternyata terapi ekspektatif
dapat dibenarkan dengan alasan sebagai berikut:
Perdarahan pertama pada plasenta previa jarang fatal
Untuk menurunkan kematian bayi karena prematuritas
Kriteria penanganan ekspektatif:
Umur kehamilan kurang dari 37 minggu
Perdarahan sedikit
Belum ada tanda-tanda persalinan
Keadaan umum baik, kadar Hb 8 % atau lebih
Perdarahan pada plasenta previa pertama kali terjadi biasanya sebelum paru-paru
janin matur sehingga penanganan pasif ditujukan untuk meningkatkan survival rate dari
janin. Langkah awal adalah transfusi untuk mengganti kehilangan darah dan penggunaan
agen tokolitik untuk mencegah persalinan prematur sampai usia kehamilan 36 minggu.
Sesudah usia kehamilan 36 minggu, penambahan maturasi paru-paru janin
dipertimbangkan dengan beratnya resiko perdarahan mayor. Kemungkinan terjadi
perdarahan berulang yang dapat mengakibatkan IUGR harus dipertimbangkan. Sekitar
75% kasus plasenta previa diterminasi pada umur kehamilan 36-38 minggu.
Dalam memilih waktu yang optimum untuk persalinan, dilakukan tes maturasi
janin meliputi penilaian surfaktan cairan amnion dan pengukuran pertumbuhan janin
dengan USG. Penderita dengan umur kehamilan antara 24-34 minggu diberikan preparat
11
tunggal betamethason (12 mg im 2x1) untuk meningkatkan maturasi paru janin.
Berdasarkan data evidence based medicine didapatkan pemakaian preparat ganda steroid
sebelum persalinan meningkatkan efek samping yang berbahaya bagi ibu dan bayi.
Pada terapi ekspektatif, pasien dirawat di rumah sakit sampai berat anak ± 2500 gr
atau kehamilan sudah sampai 37 minggu. Selama terapi ekspektatif diusahakan untuk
menentukan lokasi plasenta dengan pemeriksaan USG dan memperbaiki keadaan umum
ibu. Penderita plasenta previa juga harus diberikan antibiotik mengingat kemungkinan
terjadinya infeksi yang besar disebabkan oleh perdarahan dan tindakan-tindakan
intrauterin. Setelah kondisi stabil dan terkontrol, penderita diperbolehkan pulang dengan
pesan segera kembali ke rumah sakit jika terjadi perdarahan ulang
2. Penanganan aktif / terminasi kehamilan
Terminasi kehamilan dilakukan jika janin yang dikandung telah matur, IUFD atau
terdapat anomali dan kelainan lain yang dapat mengurangi kelangsungan hidupnya, pada
perdarahan aktif dan banyak.
Kriteria penanganan aktif/terminasi kehamilan:
Umur kehamilan >/= 37 minggu, BB janin >/= 2500 gram
Perdarahan banyak 500 cc atau lebih
Ada tanda-tanda persalinan
Keadaan umum pasien tidak baik ibu anemis Hb < 8 gr %
Jenis persalinan apa yang kita pilih untuk penanganan plasenta previa dan kapan
melaksanakannya bergantung pada faktor-faktor sebagai berikut :
Perdarahan banyak atau sedikit
Keadaan ibu dan anak
Besarnya pembukaan
Tingkat plasenta previa
Paritas
Ada 2 pilihan cara persalinan, yaitu persalinan pervaginam dan seksio sesarea.
Persalinan pervaginam bertujuan agar bagian terbawah janin menekan bagian plasenta
yang berdarah selama persalinan berlangsung, sehingga perdarahan berhenti. Seksio
12
sesarea bertujuan mengangkat sumber perdarahan, memberikan kesempatan pada uterus
untuk berkontraksi menghentikan perdarahannya, dan menghindari perlukaan servik dan
segmen bawah uterus yang rapuh apabila dilakukan persalinan pervaginam.
Persalinan per vaginam dapat berupa :
Pemecahan ketuban
Versi Braxton Hicks
Cunam Willet-Gauss
Pemecahan selaput ketuban merupakan cara pilihan untuk melangsungkan
persalinan pervaginam, karena (1) bagian terbawah janin akan menekan plasenta dan
bagian plasenta yang berdarah; dan (2) bagian plasenta yang berdarah dapat bebas
mengikuti regangan segmen bawah uterus, sehingga pelepasan plasenta dari segmen
bawah uterus lebih lanjut dapat dihindarkan.
Apabila pemecahan selaput ketuban tidak berhasil menghentikan perdarahan, maka
dapat dilakukan pemasangan cunam Willet dan versi Braxton-Hicks. Dalam dunia
kebidanan kedua cara ini telah ditinggalkan karena seksio sesaria dinilai lebih aman bagi
ibu dan janin. Akan tetapi pada keadaan darurat cara ini masih dilakukan sebagai
pertolongan pertama untuk mengatasi perdarahan yang banyak atau apabila seksio sesaria
tidak mungkin dilakukan.
Cara ini mungkin dapat menolong ibu dengan menghentikan perdarahan, tetapi
tidak selalu menolong janinnya. Tekanan yang ditimbulkan terus menerus pada plasenta
dapat mengurangi sirkulasi darah uteroplasenta, sehingga mengakibatkan anoksia sampai
kematian janin. Oleh karena itu, cara ini biasanya dilakukan pada janin yang telah mati,
janin yang prognosis untuk hidup di luar uterus kurang baik, atau pada multipara yang
persalinannya lebih lancar sehingga tekanan pada plasenta tidak terlalu lama .
Di rumah sakit yang lengkap, seksio sesarea merupakan cara persalinan terpilih. Di
rumah sakit dr. Cipto Mangunkusumo antara tahun 1971-1975, seksio sesarea dilakukan
pada kira-kira 90% dari semua kasus plasenta previa. Gawat janin bukan merupakan
kontraindikasi dilakukan seksio sesarea demi keselamatan ibu. Akan tetapi, gawat ibu
mungkin terpaksa menunda seksio sesarea sampai keadaannya dapat diperbaiki misalnya
penanganan syok hipovolemik dengan resusitasi cairan intravena dan darah.
13
Plasenta previa totalis merupakan indikasi mutlak untuk seksio sesarea. Plasenta
previa parsialis pada primigravida sangat cenderung untuk seksio sesarea. Perdarahan
banyak dan berulang merupakan indikasi mutlak seksio sesarea karena perdarahan itu
biasanya disebabkan oleh plasenta previa yang lebih tinggi derajatnya dari pada yang
ditemukan pada pemeriksaan dalam, atau vaskularisasi yang hebat pada servik dan
segmen bawah uterus. Multigravida dengan plasenta letak rendah, plasenta previa
marginalis atau plasenta previa parsialis pada pembukaan lebih dari 5 cm dapat
ditanggulangi dengan pemecahan selaput ketuban. Tetapi jika dengan pemecahan selaput
ketuban tidak mengurangi perdarahan yang timbul, maka seksio sesaria harus dilakukan .
Pada kasus yang terbengkalai dengan anemia berat karena perdarahan atau infeksi
intrauteri, baik persalinan pervaginam maupun seksio sesaria sama-sama tidak aman bagi
ibu dan janin. Akan tetapi dengan bantuan transfusi darah dan antibiotik yang adekuat,
seksio sesaria masih lebih aman dibanding persalinan pervaginam untuk semua kasus
plasenta previa totalis dan kebanyakan kasus plasenta previa parsialis. Seksio sesaria
pada multigravida yang telah mempunyai anak hidup cukup banyak dapat
dipertimbangkan dilanjutkan dengan histerektomi untuk menghindari terjadinya
perdarahan postpartum yang sangat mungkin akan terjadi, atau sekurang-kurangnya
dipertimbangkan dilanjutkan dengan sterilisasi untuk menghindari kehamilan berikutnya .
Persiapan untuk resusitasi janin perlu dilakukan. Kemungkinan kehilangan darah
harus dimonitor sesudah plasenta disayat. Penurunan hemoglobin 12 mg/dl dalam 3 jam
atau sampai 10 mg/dl dalam 24 jam membutuhkan transfusi segera. Komplikasi post
operasi yang paling sering dijumpai adalah infeksi masa nifas dan anemia.
Tindakan seksio sesarea pada plasenta previa, selain dapat mengurangi kematian
bayi, terutama juga dilakukan untuk kepentingan ibu. Oleh karena itu, seksio sesarea juga
dilakukan pada plasenta previa walaupun anak sudah mati.
14
10. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu hamil dengan plasenta previa, adalah:
1. Perdarahan antepartum
2. Perdarahan post partum
3. Hipovolemik
4. Infeksi
5. Abortus
6. Prolaps plasenta
7. Plasenta melekat, sehingga harus dikeluarkan manual dan kalau perlu dibersihkan
dengan kerokan
8. Robekan jalan lahir
9. Bayi prematur atau lahir mati
11. Prognosis
Dengan penanggulangan yang tepat kematian ibu karena plasenta previa
seharusnya dapat ditanggulangi. Sejak dilakukan penanganan pasif pada tahun
1945, kematian perinatal berangsur-angsur dapat diperbaiki. Walaupun demikian,
hingga kini kematian perinatal yang disebabkan prematuritas tetap memegang
peranan utama. Dengan persalinan seksio sesarea, fasilitas transfusi darah, dan
metode anestesi yang benar kematian ibu dapat diturunkan sampai kurang dari
1%. Sedang kematian perinatal yang dihubungkan dengan plasenta previa sekitar
10%
15
B. POLIHIDROAMNION (13,14,15,17,18,19)
1. Definisi
Hidramnion atau poli hidramnion adalah suatu keadaan dimana jumlah air
ketuban (amnion) melebihi batas normal. Biasanya melebihi 2 liter (4-5 liter).
2. Etiologi
Etiologi hidramnion ini belum jelas. Secara teori hidramnion bisa terjadi karena:
a. Produksi air ketuban bertambah
Yang diduga menghasilkan air ketuban ialah epitel amnion, tetapi air
ketuban dapat juga bertambah karena cairan lain masuk ke dalam
ruangan amnion misalnya air kencing anak atau cairan otak pada
anencephalus.
b. Pengaliran air ketuban terganggu
Air ketuban yang telah dibuat dialirkan dan diganti dengan yang baru.
Salah satu jalan pengaliran ialah ditelan oleh janin, diabsorpsi oleh usus
dan dialirkan ke placenta, akhirnya masuk kedalam peredaran darah ibu.
Jalan ini kurang terbuka kalau anak tidak menelan seperti pada atresia
aesophagei, anencephalus atau tumor-tumor placenta.
Kelainan kongenital yang sering menimbulkan polihidramnion adalah
a) Defek tabung neural
b) Obstruksi traktus gastrointestinal
c) Hidrops fetalis (jenis imun dan non imun)
16
d) Dysplasia skelet
e) Kelainan ginjal unilateral
f) Kelainan kromosom (trisomi 21, 18 dan 13)
3. Epidemiologi
Kasusnya berkisar 0.5 - 1 % dari kehamilan. Multigravida (hamil >1) lebih
sering daripada primigravida (hamil pertama).
4. Klasifikasi
Hidramnion berdasarkan onset nya :
1. Hidroamnion kronis
Pertambahan air ketuban terjadi secara perlahan-lahan dalam beberapa
minggu atau bulan dan biasanya terjadi pada kehamilan yang lanjut.
2. Hidroamnion akut
Terjadi pertambahan air ketuban yang sangat tiba-tiba dan cepat dalam
waktu beberapa hari saja. Biasanya terdapat pada kehamilan yang agak
muda, bulan ke 5 dan ke 6.
17
Berdasarkan berat ringannya hidroamnion dibagi menjadi :
1. Hidroamnion ringan
Didefinisikan sebagai kantung-kantung yang berukuran vertikal 8-11 cm,
terdapat pada 80% kasus dengan cairan berlebihan.
2. Hidroamnion sedang
Didefinisikan sebagai kantung-kantung yang hanya mengandung bagian-
bagian kecil dan berukuran kedalaman 12-15cm, dijumpai pada 15 %
kasus.
3. Hidroamnion berat
Didefinisikan adanya janin mengambang bebas dalam kantung cairan yang
berukuran 16 cm atau lebih, terjadi hanya pada 5 % kasus.
5. Patofisiologi
Pada awal kehamilan, rongga amnion terisi oleh cairan yang komposisinya
sangat mirip dengan cairan ekstrsel. Selama paruh pertama kehamilan,
pemindahan air dan molekul kecil lainnya berlangsung tidak saja melalui
amnion tetapi juga menembus kulit janin. Selama trimester kedua, janin mulai
berkemih, menelan, dan menghirup cairan amnion (Abramovich dkk. 1979;
Duenhoelter dan Pritchard, 1976). Proses-proses ini hampir pasti secara
bermakna mengatur pengendalian volume cairan. Walaupun pada kasus
hidramnion epitel amnion sering dianggap sebagai sumber utama cairan amnion
belum pernah ditemukan adanya perubahan histologik pada amnion atau
perubahan kimiawi pada cairan amnion.
Karena dalam keadaan normal janin menelan cairan amnion, diperkirakan
bahwa mekanisme ini adalah salah satu cara pengaturan volume cairan ketuban.
Teori ini dibenarkan dengan kenyataan bahwa hidramnion hampir selalu terjadi
apabila janin tidak dapat menelan, seperti pada kasus atresia esophagus. Proses
18
ini jelas bukan satu-satunya mekanisme untuk mencegah hidramnion. Pritchard
(1966) dan Abramovich (1970) mengukur hal ini dan menemukan bahwa pada
beberapa kasus hidramnion berat, janin menelan cairan amnion dalam jumlah
yang cukup banyak.
Pada kasus anensefalus dan spina bifida, factor etiologinya mungkin
adalah meningkatnya transudasi cairan dari meningen yang terpajan ke dalam
rongga amnion. Penjelasan lain yang mungkin pada anensefalus, apabila tidak
terjadi gangguan menelan, adalah peningkatan berkemih akibat stimulasi pusat-
pusat di serebrospinal yang tidak terlindungi atau berkurangnya efek
antidiuretik akibat gangguan sekresi arginin vasopresin. Hal yang sebaliknya
telah dijelaskan, bahwa kelainan janin yang menyebabkan anuria hampir selalu
menyebabkan oligohidramnion.
Pada hidramnion yang terjadi pada kahamilan monozigot, diajurkan
hipotesis bahwa salah satu janin merampas sebagian besar sirkulasi bersama dan
mengalami hipertrofi jantung, yang pada gilirannya menyebabkan peningkatan
keluaran urin. Naeye dan Blanc (1972) menemukan pelebaran tubulus ginjal,
pembesaran kandung kemih, dan peningkatan keluaran urin pada masa neonatus
dini, yang mengisyaratkan bahwa hidramnion disebabkan oleh peningkatan
produksi urin janin. Sebaliknya, donor dari pasangan transfuse transplsenta
parabiotik mengalami penciutan tubulus ginjal disertai oligohidramnion.
Hidramnion yang sering terjadi pada diabetes ibu selama hamil trimester
ketiga masih belum dapat diterangakan. Salah satu penjelasannaya adalah
bahwa hiperglikemia ibu menyebabkan hiperglikemia janin yang menimbulkan
diuresis osmotik. Barhava dkk (1994) membuktikan bahwa volume air ketuban
trimester ketiga pada 399 diabetes gestasional mencerminkan status glikenik
terakhir. Yasuhi dkk. (1994) melaporkan peningkatan produksi urin janin pada
wanita diabetic yang puasa dibandingkan dengan control nondiabetik. Yang
19
menarik, produksi urin janin meningkat pada wanita nondiabetik setelah makan,
tetapi hal ini tidak dijumpai pada wanita diabetic.
6. Manifestasi klinis
Tanda dan gejala polihidramnion adalah sebagai berikut :
a) Pembesaran uterus, lingkar abdomen, dan tinggi fundus uteri jauh
melebihi ukuran yang diperkirakan untuk usia kehamilan.
b) Dinding uterus tegang sehingga pada auskultasi bunyi detak jantung
janin sulit atau tidak terdengar dan pada palpasi bagian kecil dan besar
tubuh janin sulit ditemukan.
c) Pada hidramnion berat akan timbul dispnea, edema pada vulva dan
ekstremitas bawah, nyeri tekan pada punggung abdomen, dan paha,
nyeri ulu hati, mual dan muntah.
d) Letak janin sering berubah (letak janin tidak stabil).
7. Diagnose banding
Bila seorang ibu dengan perut yang lebih besar dari kehamilan yang seharusnya
kemungkinan:
a) Gemeli
b) Asites
c) Kista ovarii
8. Diagnose
a) Anamnesa
Perut lebih besar dan terasa lebih berat dari biasa
Pada yang ringan keluhan-keluhan subyektif tidak banyak
Pada yang akut dan pada pembesaran uterus yang cepat, maka
terdapat keluhan-keluhan yang disebabkan karena tekanan pada
organ, terutama pada diafragma, seperti sesak, nyeri ulu hati, dan
sianosis
Nyeri perut karena tegangnya uterus, mual dan muntah
Edema pada tungkai, vulva, dinding perut
20
Pada proses akut dan perut besar sekali, bisa syok, berkeringat
dingin dan sesak.
b) Inspeksi
Kelihatan perut sangat buncit dan tegang, kulit perut berkilat, retak-
retak kulit jelas dan kadang-kadang umbilikus mendatar.
Kalau akut si ibu terlihat sesak dan sianosis, serta terlihat payah
membawa kandungannya.
c) Palpasi
Perut tegang dan nyeri tekan serta terjadi edema pada dinding perut,
vulva dan tungkai
Fundus uteri lebih tinggi dari tuanya kehamilan sesungguhnya.
Bagian-bagian janin sukar dikenali karena banyaknya cairan.
Kalau pada letak kepala, kepala janin bisa diraba, maka ballotement
jelas sekali.
Karena bebasnya janin bergerak dan kepala tidak terfiksir, maka
dapat terjadi kesalahan-kesalahan letak janin.
d) Auskultasi
Denyut jantung janin sukar didengar atau kalau terdengar halus
sekali. 5
e) Pemeriksaan Ultrasonografi untuk memastikan diagnosis dan untuk
mengetahui derajat berat ringannya hidramnion dengan melihat jumlah
AFI (amniotic fluids index).
f) Rontgen foto abdomen
Nampak bayangan berselubung kabur karena banyaknya cairan,
kadang-kadang bayangan janin tidak jelas.
Foto rontgen pada hidramnion berguna untuk diagnostik dan untuk
menentukan etiologi, seperti anomali kongenital (anensefali atau
gemeli).
g) Pemeriksaan dalam
Selaput ketuban teraba tegang dan menonjol walaupun di luar his.
21
9. Penatalaksanaan
Terapi hidramnion dibagi dalam 3 fase:
a) Waktu hamil
Hidramnion ringan jarang diberi terapi klinis, cukup diobservasi dan diberikan
terapi simtomatis
Pada hidramnion yang berat dengan keluhan-keluhan, harus dirawat di rumah
sakit untuk istirahat sempurna. Berikan diet rendah garam. Obat-obatan yang
dipakai adalah sedativa dan obat diuresis. Bila sesak hebat sekali disertai
sianosis dan perut tegang, lakukan pungsi abdominal pada kanan bawah
umbilikus.
Tujuan utama amniosintesis adalah untuk meredakan penderitaan ibu.
Untuk mengeluarkan cairan amnion, masukkan sebuah kateter plastik yang
secara erat menutupi sebuah jarum berukuran 18 melalui dinding abdomen
yang telah dianastesi local ke dalam kantung amnion, jarum ditarik dan set
infus intravena disambungkan ke kateter. Ujung selang yang berlawanan
diturunkan kedalam sebuah silinder berskala yang diletakkan setinggi lantai,
da kecepatan aliran air ketuban dikendalikan dengan klem putar sehingga
dikeluarkan sekitar 500 ml/jam. Setelah sekitar 1500-2000 ml dikeluarkan,
ukuran uterus biasanya telah cukup berkurang sehingga kateter dapat
dikeluarkan dari kantung amnion. Pada saat yang sama, ibu mengalami
kelegaan dramatic dan bahaya terlepasnya plasenta akibat dekompresi sangat
kecil. Dengan menggunakan teknik aseptik ketat, tindakan ini dapat diulang
secara bertahap sesuai kebutuhan agar ibu merasa nyaman.
b) Waktu partus
Bila tidak ada hal-hal yang mendesak, maka sikap kita menunggu
Bila keluhan hebat, seperti sesak dan sianosis, maka lakukan pungsi
transvaginal melalui serviks bila sudah ada pembukaan.
22
Bila sewaktu pemeriksaan dalam ketuban tiba-tiba pecah maka untuk
menghalangi air ketuban mengalir keluar dengan deras, masukkanlah tinju
kedalam vagina sebagai tampon beberapa lama supaya air ketuban keluar
pelan-pelan.
c) Waktu postpartum
Harus hati-hati akan terjadinya perdarahan postpartum, jadi sebaiknya
lakukan pemeriksaan golongan dan transfusi darah atau donor serta
sediakan obat uterotonika.
Untuk berjaga-jaga pasanglah infus untuk pertolongan perdarahan
postpartum
Kalau perdarahan banyak dan keadaan ibu setelah partus lemah, maka
untuk menghindari infeksi berikan antibiotik yang cukup.
10. Komplikasi
Komplikasi yang bisa tejadi adalah
Pre-eklampsia
KPD
Persalinan kurang bulan preterm
Perdarahan pra-persalinan
Malpresentasi janin
Ketuban pecah
Prolaps tali pusat
Gangguan pernafasan pada ibu
11. Prognosis
Pada janin, prognosisnya agak buruk (mortalitas ±50 %) terutama karena :
Kongenital anomali
Prematurritas
Komplikasi karna keselamatan anak yaitu pada letak lintang atau tali pusat
menumbung
Eritroblastosis
23
Diabetes melitus
Solusio plasenta kalau ketuban pecah tiba-tiba
C. HEMORAGIC POST PARTUM (20,21,22,23)
1. DefInsI
Perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan atau hilangnya darah 500
cc atau lebih yang terjadi setelah anak lahir. Perdarahan dapat terjadi sebelum,
selama, atau sesudah lahirnya plasenta.
Defense lain menyebutkan Perdarahan Pasca Persalinan adalah perdarahan
500 cc atau lebih yang terjadi setelah plasenta lahir.
Menurut waktu terjadinya dibagi atas dua bagian :
a. Perdarahan postpartum primer (early postpartum hemorrhage) yang terjadi
dalam 24 jam setelah anak lahir.
b. Perdarahan postpartum sekunder (late postpartum hemorrhage) yang terjadi
antara 24 jam dan 6 minggu setelah anak lahir.
2. Epidemiologi
Angka kejadian perdarahan postpartum setelah persalinan pervaginam
yaitu 5-8 %. Perdarahan postpartum adalah penyebab paling umum perdarahan
yang berlebihan pada kehamilan, dan pisio semua tranfusi pada wanita hamil
dilakukan untuk menggantikan darah yang hilang setelah persalinan.
Di pisio kurang berkembang merupakan penyebab utama dari kematian
maternal hal ini disebabkan kurangnya tenaga kesehatan yang memadai,
kurangnya layanan pisiotom, kurangnya layanan operasi.
3. Etiologi Banyak faktor potensial yang dapat menyebabkan hemorrhage postpartum,
faktor-faktor yang menyebabkan hemorrhage postpartum adalah atonia uteri,
perlukaan jalan lahir, retensio plasenta, sisa plasenta, kelainan pembekuan
darah.
24
Tone Dimished : Atonia uteriAtonia uteri adalah suatu keadaan dimana uterus gagal untuk
berkontraksi dan mengecil sesudah janin keluar dari rahim.
Perdarahan postpartum secara fisiologis di control oleh kontraksi
serat-serat myometrium terutama yang berada disekitar pembuluh darah
yang mensuplai darah pada tempat perlengketan plasenta. Atonia uteri
terjadi ketika myometrium tidak dapat berkontraksi. Pada perdarahan
karena atonia uteri, uterus membesar dan lembek pada palpusi. Atonia
uteri juga dapat timbul karena salah penanganan kala III persalinan,
dengan memijat uterus dan mendorongnya kebawah dalam usaha
melahirkan plasenta, sedang sebenarnya bukan terlepas dari uterus.
Atonia uteri merupakan penyebab utama perdarahan postpartum.
Disamping menyebabkan kematian, perdarahan postpartum
memperbesar kemungkinan infeksi puerperal karena daya tahan
penderita berkurang.
Perdarahan yang banyak bisa menyebabkan “ Sindroma Sheehan “
sebagai akibat nekrosis pada hipofisis pars anterior sehingga terjadi
insufiensi bagian tersebut dengan gejala : pisioto, hipotensi, dengan
anemia, turunnya berat badan sampai menimbulkan kakeksia, penurunan
fungsi seksual dengan atrofi alat-alat genital, kehilangan rambut pubis
dan ketiak, penurunan pisiotomy dengan hipotensi, amenorea dan
kehilangan fungsi laktasi.
Beberapa hal yang dapat mencetuskan terjadinya atonia meliputi :
Manipulasi uterus yang berlebihan,
General anestesi (pada persalinan dengan operasi ),
Uterus yang teregang berlebihan :
Kehamilan kembar
Fetal macrosomia ( berat janin antara 4500 – 5000 gram )
polyhydramnion
Kehamilan lewat waktu,
25
Portus lama
Grande multipara ( fibrosis otot-otot uterus ),
Anestesi yang dalam
Infeksi uterus ( chorioamnionitis, endomyometritis, septicemia),
Plasenta previa,
Solutio plasenta,
Tissue a) Retensio plasentab) Sisa plasentac) Plasenta acreta dan variasinya
Apabila plasenta belum lahir setengah jam setelah janin lahir, hal itu
dinamakan retensio plasenta. Hal ini bisa disebabkan karena : plasenta
belum lepas dari dinding uterus atau plasenta sudah lepas akan tetapi
belum dilahirkan.
Jika plasenta belum lepas sama sekali, tidak terjadi perarahan, tapi
apabila terlepas sebagian maka akan terjadi perdarahan yang merupakan
indikasi untuk mengeluarkannya.
Plasenta belum lepas dari dinding uterus karena :
kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta ( plasenta
pisioto )
Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vilis komalis
menembus desi dua sampai miometrium–sampai dibawah
peritoneum ( plasenta akreta – perkreta )
Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum
keluar disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena
salah penanganan kala III. Sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada
bagian bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta ( inkarserasio
plasenta). Sisa plasenta yang tertinggal merupakan penyebab 20-25 % dari
kasus perdarahan postpartum.
26
Penemuan Ultrasonografi adanya masa uterus yang echogenic
mendukung pisioto retensio sisa plasenta. Hal ini bisa digunakan jika
perdarahan beberapa jam setelah persalinan ataupun pada late postpartum
hemorraghe. Apabila didapatkan cavum uteri kosong tidak perlu dilakukan
dilatasi dan curettage.
Trauma Sekitar 20% kasus hemorraghe postpartum disebabkan oleh trauma jalan
lahir
a) Rupture uterus
b) Inverse uteri
c) Perlukaan jalan lahir
d) Vaginal hematom
Ruptur spontan uterus jarang terjadi, faktor resiko yang bisa
menyebabkan antara lain grande multipara, malpresentasi, riwayat operasi
uterus sebelumnya, dan persalinan dengan induksi oxytosin. Repture
uterus sering terjadi akibat jaringan parut section secarea sebelumnya.
Laserasi dapat mengenai uterus, cervix, vagina, atau vulva, dan
biasanya terjadi karena persalinan secara operasi ataupun persalinan
pervaginam dengan bayi besar, terminasi kehamilan dengan vacuum atau
forcep, walau begitu laserasi bisa terjadi pada sembarang persalinan.
Laserasi pembuluh darah dibawah mukosa vagina dan vulva akan
menyebabkan hematom, perdarahan akan tersamarkan dan dapat menjadi
berbahaya karena tidak akan terdeteksi selama beberapa jam dan bisa
menyebabkan terjadinya syok.
Episiotomi dapat menyebabkan perdarahan yang berlebihan jika
mengenai artery atau vena yang besar, jika episitomi luas, jika ada
penundaan antara episitomi dan persalinan, atau jika ada penundaan antara
persalinan dan perbaikan episitomi.
27
Perdarahan yang terus terjadi ( terutama merah menyala ) dan
kontraksi uterus baik akan mengarah pada perdarahan dari laserasi
ataupun episitomi. Ketika laserasi cervix atau vagina diketahui sebagai
penyebab perdarahan maka repair adalah solusi terbaik.
Pada inversion uteri bagian atas uterus memasuki kovum uteri,
sehingga tundus uteri sebelah dalam menonjol kedalam kavum uteri.
Peristiwa ini terjadi tiba-tiba dalam kala III atau segera setelah plasenta
keluar.
Inversio uteri dapat dibagi :
Fundus uteri menonjol kedalam kavum uteri tetapi belum keluar
dari ruang tersebut.
Korpus uteri yang terbalik sudah masuk kedalam vagina.
Uterus dengan vagina semuanya terbalik, untuk sebagian besar
terletak diluar vagina.
Tindakan yang dapat menyebabkan inversion uteri ialah perasat
crede pada korpus uteri yang tidak berkontraksi baik dan tarikan pada tali
pusat dengan plasenta yang belum lepas dari dinding uterus.
Pada penderita dengan syok perdarahan dan fundus uteri tidak
ditemukan pada tempat yang lazim pada kala III atau setelah persalinan
selesai. Pemeriksaan dalam dapat menunjukkan tumor yang lunak diatas
servix uteri atau dalam vagina. Kelainan tersebut dapat menyebabkan
keadaan gawat dengan angka kematian tinggi ( 15 – 70 % ). Reposisi
secepat mungkin pisio harapan yang terbaik untuk keselamatan penderita.
Thrombin Gejala-gejala kelainan pembekuan darah bisa berupa penyakit keturunan
ataupun didapat, kelainan pembekuan darah bisa berupa :
Hipofibrinogenemia
28
Trombocitopeni
Idiopathic thrombocytopenic purpura
HELLP syndrome ( hemolysis, elevated liver enzymes, and low
platelet count )
Disseminated Intravaskuler Coagulation
Dilutional coagulopathy bisa terjadi pada pisiotom darah lebih
dari 8 unit karena darah donor biasanya tidak fresh sehingga
komponen fibrin dan trombosit sudah rusak.
4. Faktor resikoRiwayat hemorraghe postpartum pada persalinan sebelumnya merupakan faktor
resiko paling besar untuk terjadinya hemorraghe postpartum sehingga segala
upaya harus dilakukan untuk menentukan keparahan dan penyebabnya.
Beberapa faktor lain yang perlu kita ketahui karena dapat menyebabkan
terjadinya hemorraghe postpartum :
a) Grande multipara
b) Perpanjangan persalinan
c) Chorioamnionitis
d) Kehamilan multiple
e) Injeksi magnesium sulfat
f) Perpanjangan pemberian oxitosin
5. DiagnosisHemorraghe postpartum digunakan untuk persalinan dengan umur
kehamilan lebih dari 20 minggu, karena apabila umur kehamilan kurang dari 20
minggu disebut sebagai aborsi spontan.
Beberapa gejala yang bisa menunjukkan hemorraghe postpartum :
a) Perdarahan yang tidak dapat dikontrol
b) Penurunan tekanan darah
c) Peningkatan detak jantung
d) Penurunan hitung sel darah merah ( hematocrit )
e) Pembengkakan dan nyeri pada jaringan daerah vagina dan sekitar
Perineum
29
Perdarahan hanyalah gejala, penyebabnya haruslah diketahui dan
ditatalaksana sesuai penyebabnya.
Perdarahan postpartum dapat berupa perdarahan yang hebat dan
menakutkan sehingga dalam waktu singkat ibu dapat jatuh kedalam keadaan
syok. Atau dapat berupa perdarahan yang merembes perlahan-lahan tapi terjadi
terus menerus sehingga akhirnya menjadi banyak dan menyebabkan ibu lemas
ataupun jatuh kedalam syok.
Pada perdarahan melebihi 20% volume total, timbul gejala penurunan
tekanan darah, nadi dan napas cepat, pucat, extremitas dingin, sampai terjadi
syok.
Pada perdarahan sebelum plasenta lahir biasanya disebabkan retensio
plasenta atau laserasi jalan lahir, bila karena retensio plasenta maka perdarahan
akan berhenti setelah plasenta lahir. Pada perdarahan yang terjadi setelah
plasenta lahir perlu dibedakan sebabnya antara atonia uteri, sisa plasenta, atau
trauma jalan lahir. Pada pemeriksaan obstretik kontraksi uterus akan lembek dan
membesar jika ada atonia uteri. Bila kontraksi uterus baik dilakukan eksplorasi
untuk mengetahui adanya sisa plasenta atau laserasi jalan lahir.
Berikut langkah-langkah sistematik untuk mendiagnosa perdarahan
postpartum
a) Palpasi uterus : bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri
b) Memeriksa plasenta dan ketuban : apakah lengkap atau tidak
c) Lakukan ekplorasi kavum uteri untuk mencari :
Sisa plasenta dan ketuban
Robekan rahim
Plasenta succenturiata
d) Inspekulo : untuk melihat robekan pada cervix, vagina, dan varises yang
pecah.
e) Pemeriksaan laboratorium : bleeding time, Hb, Clot Observation test dan
lain-lain
30
6. Pencegahan dan Managemen Pencegahan perdarahan post partum
Perawatan masa kehamilanMencegah atau sekurang-kurangnya bersiap siaga pada kasus-
kasus yang disangka akan terjadi perdarahan adalah penting.
Tindakan pencegahan tidak saja dilakukan sewaktu bersalin
tetapi sudah dimulai sejak ibu hamil dengan melakukan antenatal
care yang baik. Menangani anemia dalam kehamilan adalah
penting, ibu-ibu yang mempunyai predisposisi atau riwayat
perdarahan postpartum sangat dianjurkan untuk bersalin di
rumah sakit.
Persiapan persalinanDi rumah sakit diperiksa keadaan fisik, keadaan umum, kadar
Hb, golongan darah, dan bila memungkinkan sediakan donor
darah dan dititipkan di bank darah. Pemasangan cateter intravena
dengan lobang yang besar untuk persiapan apabila diperlukan
pisiotom. Untuk pasien dengan anemia berat sebaiknya langsung
dilakukan pisiotom. Sangat dianjurkan pada pasien dengan resiko
perdarahan postpartum untuk menabung darahnya sendiri dan
digunakan saat persalinan.
Persalinan
Setelah bayi lahir, lakukan massae uterus dengan arah gerakan
circular atau maju mundur sampai uterus menjadi keras dan
berkontraksi dengan baik. Massae yang berlebihan atau terlalu
keras terhadap uterus sebelum, selama ataupun sesudah lahirnya
plasenta bisa mengganggu kontraksi normal myometrium dan
bahkan mempercepat kontraksi akan menyebabkan kehilangan
darah yang berlebihan dan memicu terjadinya perdarahan
postpartum.
Kala III dan Kala IV
31
1. Uterotonica dapat diberikan segera sesudah bahu depan dilahirkan.
Study memperlihatkan penurunan insiden perdarahan postpartum
pada pasien yang mendapat oxytocin setelah bahu depan
dilahirkan, tidak didapatkan peningkatan insiden terjadinya
retensio plasenta. Hanya saja lebih baik berhati-hati pada pasien
dengan kecurigaan hamil kembar apabila tidak ada USG untuk
memastikan. Pemberian oxytocin selama kala tiga terbukti
mengurangi volume darah yang hilang dan kejadian perdarahan
postpartum sebesar 40%.
2. Pada umumnya plasenta akan lepas dengan sendirinya dalam 5
menit setelah bayi lahir. Usaha untuk mempercepat pelepasan tidak
ada untungnya justru dapat menyebabkan kerugian. Pelepasan
plasenta akan terjadi ketika uterus mulai mengecil dan mengeras,
tampak aliran darah yang keluar mendadak dari vagina, uterus
terlihat menonjol ke abdomen, dan tali plasenta terlihat bergerak
keluar dari vagina. Selanjutnya plasenta dapat dikeluarkan dengan
cara menarik tali pusat secra hati-hati. Segera sesudah lahir
plasenta diperiksa apakah lengkap atau tidak. Untuk “ manual
plasenta “ ada perbedaan pendapat waktu dilakukannya manual
plasenta. Apabila sekarang didapatkan perdarahan adalah tidak ada
alas an untuk menunggu pelepasan plasenta secara spontan dan
manual plasenta harus dilakukan tanpa ditunda lagi. Jika tidak
didapatkan perdarahan, banyak yang menganjurkan dilakukan
manual plasenta 30 menit setelah bayi lahir. Apabila dalam
pemeriksaan plasenta kesan tidak lengkap, uterus terus di
eksplorasi untuk mencari bagian-bagian kecil dari sisa plasenta.
3. Lakukan pemeriksaan secara teliti untuk mencari adanya perlukaan
jalan lahir yang dapat menyebabkan perdarahan dengan
penerangan yang cukup. Luka trauma ataupun pisiotomy segera
dijahit sesudah didapatkan uterus yang mengeras dan berkontraksi
dengan baik.
32
Manajemen perdarahan post partum
Tentukan penyebab hemorraghe postpartum :
Atonia uteri
Periksa ukuran dan tonus uterus dengan meletakkan satu tangan
di fundus uteri dan lakukan massase untuk mengeluarkan
bekuan darah di uterus dan vagina. Apabila terus teraba lembek
dan tidak berkontraksi dengan baik perlu dilakukan massase
yang lebih keras dan pemberian oxytocin. Pengosongan kandung
kemih bisa mempermudah kontraksi uterus dan memudahkan
tindakan selanjutnya.
Lakukan kompres bimanual apabila perdarahan masih berlanjut,
letakkan satu tangan di belakang fundus uteri dan tangan yang
satunya dimasukkan lewat jalan lahir dan ditekankan pada fornix
anterior.
Pemberian uterotonica jenis lain dianjurkan apabila setelah
pemberian oxytocin dan kompresi bimanual gagal menghentikan
perdarahan, pilihan berikutnya adalah ergotamine.
Sisa plasenta
Apabila kontraksi uterus jelek atau kembali lembek setelah
kompresi bimanual ataupun massase dihentikan, bersamaan
pemberian uterotonica lakukan eksplorasi. Beberapa ahli
menganjurkan eksplorasi secepatnya, akan tetapi hal ini sulit
dilakukan tanpa general anestesi kecuali pasien jatuh dalam syok.
Jangan hentikan pemberian uterotonica selama dilakukan
eksplorasi. Setelah eksplorasi lakukan massase dan kompresi
bimanual ulang tanpa menghentikan pemberian uterotonica.
Pemberian antibiotic spectrum luas setelah tindakan ekslorasi
dan manual removal. Apabila perdarahan masih berlanjut dan
kontraksi uterus tidak baik bisa dipertimbangkan untuk dilakukan
laparatomi. Pemasangan tamponade uterrovaginal juga cukup
33
berguna untuk menghentikan perdarahan selama persiapan
operasi
Trauma jalan lahir
Perlukaan jalan lahir sebagai penyebab pedarahan apabila uterus
sudah berkontraksi dengan baik tapi perdarahan terus berlanjut.
Lakukan eksplorasi jalan lahir untuk mencari perlukaan jalan
lahir dengan penerangan yang cukup. Lakukan reparasi
penjahitan setelah diketahui sumber perdarahan, pastikan
penjahitan dimulai diatas puncak luka dan berakhir dibawah
dasar luka. Lakukan evaluasi perdarahan setelah penjahitan
selesai.
Hematom jalan lahir bagian bawah biasanya terjadi apabila
terjadi laserasi pembuluh darah dibawah mukosa,
penetalaksanaannya bisa dilakukan incise dan drainase. Apabila
hematom sangat besar curigai sumber hematom karena pecahnya
arteri, cari dan lakukan ligasi untuk menghentikan perdarahan.
Gangguan pembekuan darah
Jika manual eksplorasi telah menyingkirkan adanya rupture uteri,
sisa plasenta dan perlukaan jalan lahir disertai kontraksi uterus
yang baik mak kecurigaan penyebab perdarahan adalah
gangguan pembekuan darah. Lanjutkan dengan pemberian
product darah pengganti ( trombosit,fibrinogen).
Terapi pembedahan
1. Laparatomi
Pemilihan jenis irisan vertical ataupun horizontal (Pfannenstiel)
adalah tergantung operator. Begitu masuk bersihkan darah bebas
untuk memudahkan mengeksplorasi uterus dan jaringan
34
sekitarnya untuk mencari tempat rupture uteri ataupun hematom.
Reparasi tergantung tebal tipisnya rupture. Pastikan reparasi
benar-benar menghentikan perdarahan dan tidak ada perdarahan
dalam karena hanya akan menyebabkan perdarahan keluar lewat
vagina. Pemasangan drainase apabila perlu. Apabila setelah
pembedahan ditemukan uterus intact dan tidak ada perlukaan
ataupun rupture lakukan kompresi bimanual disertai pemberian
uterotonica.
2. Ligasi arteri
Ligasi arteri uterine
Prosedur sederhana dan efektif menghentikan perdarahan
yang berasal dari uterus karena uteri ini mensuplai 90%
darah yang mengalir ke uterus. Tidak ada gangguan aliran
menstruasi dan kesuburan.
Ligasi arteri ovarii
Mudah dilakukan tapi kurang sebanding dengan hasil
yang diberikan
Ligasi arteri iliaca interna
Efektif mengurangi perdarahan yang bersumber dari
semua traktus genetalia dengan mengurangi tekanan
darah dan circulasi darah sekitar pelvis. Apabila tidak
berhasil menghentikan perdarahan, pilihan berikutnya
adalah histerektomi.
3. Histerektomi
Merupakan tindakan curative dalam menghentikan perdarahan
yang berasal dari uterus. Total histerektomi dianggap lebih baik
dalam kasus ini walaupun subtotal histerektomi lebih mudah
dilakukan, hal ini disebabkan subtotal histerektomi tidak begitu
efektif menghentikan perdarahan apabila berasal dari segmen
bawah rahim, servix,fornix vagina. Referensi pemberian
uterotonica :
35
1. Pitocin
a. Onset in 3 to 5 minutes
b. Intramuscular 10-20units
c. Intravenous 40 units/liter at 250cc/hour
2. Ergothamine (methergin)
a. Dosing 0,2 mg IM or PO every 6-8 hour
b. Onset in 2 to 5 minutes
c. Kontraindikasi
1. Hipertensi
2. Pregnancy induced hypertension
3 hypersensitivity
3. Prostaglandin
d. Dosing 0,25 mg Intramuscular or intra-myometrium
e. Onset < 5 minutes
f. Administer every 15 minutes to maximum of 2 mg
4. Misoprostol 600 mcg PO or PR
D. HISTEREKTOMI (24,26,27,28,29,30)
1. Definsi
Istilah histerektomi berasal dari bahasa latin histeria yang berarti
kandungan, rahim, atau uterus, dan ectomi yang berarti memotong, jadi
histerektomi adalah suatu prosedur pembedahan mengangkat rahim yang
dilakukan oleh ahli kandungan.
Histerektomi obstetrik adalah pengangkatan rahim atas indikasi obstetrik.
Histerektomi adalah suatu prosedur operatif dimana seluruh organ dari
uterus diangkat. Histerektomi merupakan suatu prosedur non obstetrik untuk
wanita di negara Amerika Serikat.
36
Histerektomi adalah bedah pengangkatan rahim (uterus) yang sangat
umum dilakukan. namun organ-organ lain seperti ovarium, saluran tuba dan
serviks sangat sering dihapus sebagai bagian dari operasi.
Histeroktomi merupakan suatu tindakan penanganan untuk mengatasi
kelainan atau gangguan organ atau fungsi reproduksi yang terjadi pada wanita.
Dengan demikian, tindakan ini merupakan keputusan akhir dari penanganan
kelainan atau gangguan berdasarkan hasil pemeriksaan dokter. Namun
tindakan ini sangat berpengaruh terhadap system reproduksi wanita.
Diangkatnya rahim, tidak atau dengan saluran telur atau indung telur akan
mengakibatkan perubahan pada system reproduksi wanita, seperti tidak bisa
hamil, haid dan perubahan hormone.
Histerektomi adalah operasi pengangkatan kandungan (rahim,uterus) pada
seorang wanita, sehingga setelah menjalani ini dia tidak bisa lagi hamil dan
mempunyai anak. Histerektomi biasanya disarankan oleh dokter untuk
dilakukan karena berbagai alasan. Alasan utamanya dilakukan histerektomi
adalah kanker mulut rahim atau kanker rahim.
2. Indikasi dan kontraindikasi
b. Indikasi
Rupture uteri
Perdarahan yang tidak dapat dikontrol dengan cara-cara yang
ada, misalnya pada :
1. Atonia uteri
2. Afibrinogenemia atau hipofibrinogenemia pada solusio
plasenta dan lainnya.
3. Couvelaire uterus tanpa kontraksi
4. Arteri uterina terputus
5. Plasenta akreta dan perkreta
6. Hematoma yang luas pada rahim
37
Infeksi intrapartal berat
Pada keadaan ini biasanya dilakukan operasi Porro, yaitu uterus
dengan isinya diangkat sekaligus.
Uterus miomatosus yang besar.
Kematian janin dalam rahim dan missed abortion dengan
kelainan darah.
Kanker leher rahim.
c. Kontraindikasi
Atelektasis
Luka infeksi
Infeksi saluran kencing
Tromoflebitis
Embolisme paru
Terdapat jaringan parut, inflamasi, atau perubahan endometrial
pada adneksa
Riwayat laparotomi sebelumnya (termasuk perforasi appendix)
dan abses pada cul-de-sac Douglas karenadiduga terjadi
pembentukan perlekatan.
3. Jenis histerektomi
a) Histerktomi parsial (subtotal)
Pada histerektomi jenis ini, rahimn diangkat, tetapi mulut rahim
(serviks) tetap dibiarkan. Oleh karena itu, penderita masih dapat terkena
kanker mulut rahim sehingga masih perlu pemeriksaan pap smear
(pemeriksaan leher rahim) secara rutin.
b) Histerktomi total
Pada histerektomi ini, rahim dan mulut rahim diangkat secara
keseluruhan.
38
Keuntungan dilakukan histerektomi total adalah ikut diangkatnya
serviks yang menjadi sumber terjadinya karsinoma dan prekanker.
Akan tetapi, histerektomi total lebih sulit daripada histerektomi
supraservikal karena insiden komplikasinya yang lebih besar.
Operasi dapat dilakukan dengan tetap meninggalkan atau
mengeluarkan ovarium pada satu atau keduanya. Pada penyakit,
kemungkinan dilakukannya ooforektomi unilateral atau bilateral harus
didiskusikan dengan pasien. Sering kali, pada penyakit ganas, tidak ada
pilihan lain, kecuali mengeluarkan tuba dan ovarium karena sudah
sering terjadi mikrometastase.
Berbeda dengan histerektomi sebagian, pada histerektomi total
seluruh bagian rahim termasuk mulut rahim (serviks) diangkat. Selain
itu, terkadang histerektomi total juga disertai dengan pengangkatan
beberapa organ reproduksi lainnya secara bersamaan. Misalnya, jika
organ yang diangkat itu adalah kedua saluran telur (tuba falopii) maka
tindakan itu disebut salpingo. Jika organ yang diangkat adalah kedua
ovarium atau indung telur maka tindakan itu disebut oophor. Jadi, yang
disebut histerektomi bilateral salpingo-oophorektomi adalah
pengangkatan rahim bersama kedua saluran telur dan kedua indung
telur. Pada tindakan histerektomi ini, terkadang juga dilakukan tindakan
pengangkatan bagian atas vagina dan beberapa simpul (nodus) dari
saluran kelenjar getah bening, atau yang disebut sebagai histerektomi
radikal (radical hysterectomy).
Ada banyak gangguan yang dapat menyebabkan diputuskannya
tindakan histerektomi. Terutama untuk keselamatan nyawa ibu, seperti
pendarahan hebat yang disebabkan oleh adanya miom atau persalinan,
kanker rahim atau mulut rahim, kanker indung telur, dan kanker saluran
telur (falopi). Selain itu, beberapa gangguan atau kelainan reproduksi
yang sangat mengganggu kualitas hidup wanita, seperti miom atau
39
endometriosis dapat menyebabkan dokter mengambil pilihan
dilakukannya histerektomi.
c) Histerektomi dan salfingo-oofrektomi bilateral
Histerektomi ini mengangkat uterus, mulut rahim, kedua tuba falopii,
dan kedua ovarium. Pengangkatan ovarium menyebabkan keadaan
penderita seperti menopause meskipun usianya masih muda.
d) Histerektomi radikal
Histerektomi ini mengangkat bagian atas vagina, jaringan dan kelenjar
limfe disekitar kandungan. Operasi ini biasanya dilakukan pada
beberapa jenis kanker tertentu untuk bisa menyelamatkan nyawa
penderita.
Histerektomi dapat dilakukan melalui 3 macam cara, yaitu
abdominal, vaginal dan laparoskopik. Pilihan ini bergantung pada jenis
histerektomi yang akan dilakukan, jenis penyakit yang mendasari, dan
berbagai pertimbangan lainnya. Histerektomi abdominal tetap
merupakan pilihan jika uterus tidak dapat dikeluarkan dengan metode
lain. Histerektomi vaginal awalnya hanya dilakukan untuk prolaps uteri
tetapi saat ini juga dikerjakan pada kelainan menstruasi dengan ukuran
uterus yang relatif normal. Histerektomi vaginal memiliki resiko
invasive yang lebih rendah dibandingkan histerektomi abdominal. Pada
histerektomi laparoskopik, ada bagian operasi yang dilakukan secara
laparoskopi (garry, 1998).
40
4. Patofisiologi
5. Pemerikasaan diagnostic
a. USG
Untuk menentukan jenis tumor, lokasi mioma, ketebalan endometrium dan
keadaan adnexa dalam rongg apelvis. Mioma juga dapat dideteksi dengan
CT scan ataupun MRI, tetapi kedua pemeriksaan itu lebih mahal dan tidak
41
memvisualisasi uterus sebaik USG. Untungnya leiomiosarkoma sangat
jarang karena USG tidak dapat membedakannya dengan mioma dan
konfirmasinya membutuhkan diagnose jaringan.
b. Foto BNO/IVP pemeriksaan ini penting untuk menilai masaa di rongga
pelvis serta menilai fungsi ginjal dan perjalanan ureter
c. Histerografi dan histeroskopi untuk menilai pasien mioma submukosa
disertai dengan infertilitas.
d. Laparaskopi untuk mengevaluasi massa di pelvis
e. Laboratorium, darah lengkap, urine lengkap, gula darah, tes fungsi hati,
ureum, kreatinin darah.
f. Tes kehamilan
g. D/K (dilatasi dan kuretase) pada penderita yang disertai perdarahan untuk
menyingkirkan kemungkinan patologi pada rahim (hyperplasia atau
adenokarsinoma endometrium).
a. Teknik operasi histerektomi
Pilihan teknik pembedahan tergantung pada indikasi pengangkatan uterus,
ukuran uterus, lebarnya vagina, dan juga kondisi pendukung lainnya. Lesi
prekanker dari serviks, uterus, dan kanker ovarium biasanya dilakukan
histerektomi abdominal, sedangkan pada leimioma uteri, dilakukan
histerektomi abdominal jika ukuran tumor tidak memungkinkan diangkat
melalui histerektomi vaginal.
a) Histerektomi abdominal
Pilihan teknik pembedahan tergantung pada indikasi pengangkatan uterus,
ukuran uterus, lebarnya vagina, dan juga kondisi pendukung lainnya. Lesi
prekanker dari serviks, uterus, dan kanker ovarium biasanya dilakukan
histerektomi abdominal, sedangkan pada leimioma uteri, dilakukan
histerektomi abdominal jika ukuran tumor tidak memungkinkan diangkat
melalui histerektomi vaginal.
42
b) Histerektomi vaginal
Dilakukan melalui irisan kecil pada bagian atas vagina. Melalui irisan
tersebut, uterus (dan mulut rahim) dipisahkan dari jaringan dan pembuluh
darah di sekitarnya kemudian dikeluarkan melalui vagina. Prosedur ini
biasanya digunakan pada prolapsus uteri. Kelebihan tindakan ini adalah
kesembuhan lebih cepat, sedikit nyeri, dan tidak ada jaringan parut yang
tampak.
c) Histerektomi laparoskopi
Teknik ini ada dua macam yaitu histeroktomi vagina yang dibantu
laparoskop (laparoscopically assisted vaginal hysterectomy, LAVH) dan
histerektomi supraservikal laparoskopi (laparoscopic supracervical
hysterectomy, LSH). LAVH mirip dengan histerektomi vagnal, hanya saja
dibantu oleh laparoskop yang dimasukkan melalui irisan kecil di perut
untuk melihat uterus dan jaringan sekitarnya serta untuk membebaskan
uterus dari jaringan sekitarnya. LSH tidak menggunakan irisan pada
bagian atas vagina, tetapi hanya irisan pada perut. Melalui irisan tersebut
laparoskop dimasukkan. Uterus kemudian dipotong-potong menjadi
bagian kecil agar dapat keluar melalui lubang laparoskop. Kedua teknik
ini hanya menimbulkan sedikit nyeri, pemulihan yang lebih cepat, serta
sedikit jaringan parut.
Tindakan pengangkatan rahim menggunakan laparoskopi dilakukan
menggunakan anestesi (pembiusan) umum atau total. Waktu yang
diperlukan bervariasi tergantung beratnya penyakit, berkisar antara 40
menit hingga tiga jam. Pada kasus keganasan stadium awal, tindakan
histerektomi radikal dapat pula dilakukan menggunakan laparoskopi.
Untuk ini diperlukan waktu operasi yang relatif lebih lama. Apabila
dilakukan histerektomi subtotal, maka jaringan rahim dikeluarkan
menggunakan alat khusus yang disebut morcellator sehingga dapat
dikeluarkan melalui llubang 10 mm.Apabila dilakukan histerektomi total,
43
maka jaringan rahim dikeluarkan melalui vagina, kemudian vagina dijahit
kembali. Operasi dilakukan umumnya menggunkan empat lubang kecil
berukuran 5‐ 10 mm, satu di pusar dan tiga di perut bagian bawah.
6. Efek samping dan komplikasi
1. Efek samping
Efek samping yang utama dari histerektomi adalah bahwa seorang wanita
dapat memasuki masa menopause yang disebabkan oleh suatu operasi,
walaupun ovariumnya masih tersisa utuh. Sejak suplai darah ke ovarium
berkurang setelah operasi, efek samping yang lain dari histerektomi yaitu
akan terjadi penurunan fungsi dari ovarium, termasuk produksi
progesterone.
Efek samping histerektomi yang terlihat :
a. Perdarahan intraoperative
Biasanya tidak terlalu jelas, dan ahli bedah ginekologis sering kali
kurang dalam memperkirakan darah yang hilang (underestimate). Hal
tesebut dapat terjadi, misalnya, karena pembuluh darah mengalami
retraksi ke luar dari lapangan operasi dan ikatannya lepas
b. Kerusakan pada kandung kemih
Paling sering terjadi karena langkah awal yang memerlukan diseksi
untuk memisahkan kandung kemih dari serviks anterior tidak dilakukan
pada bidang avaskular yang tepat.
c. Kerusakan ureter
Jarang dikenali selama histerektomi vaginal walaupun ureter sering kali
berada dalam resiko kerusakan. Kerusakan biasanya dapat dihindari
dengan menentukan letak ureter berjalan dan menjauhi tempat tersebut.
44
d. Kerusakan usus
Dapat terjadi jika loop usus menempel pada kavum douglas, menempel
pada uterus atau adneksa. Walaupun jarang, komplikasi yang serius ini
dapat diketahui dari terciumnya bau feses atau melihat material fekal
yang cair pada lapangan operasi. Pentalaksanaan memerlukan
laparotomi untuk perbaikan atau kolostomi
e. Penyempitan vagina yang luas
Disebabkan oleh pemotongan mukosa vagina yang berlebihan. Lebih
baik keliru meninggalkan mukosa vagina terlalu banyak daripada terlalu
sedikit. Komplikasi ini memerlukan insisi lateral dan packing atau stinit
vaginal, mirip dengan rekonstruksi vagina.
2. Komplikasi
a. Hemoragik
Keadaan hilangnya cairan dari pembuluh darah yang biasanya terjadi
dengan cepat dan dalam jumlah yang banyak. Keadaan ini
diklasifikasikan dalam sejumlah cara yaitu, berdasarkan tipe pembuluh
darah arterial, venus atau kapiler, berdasarkan waktu sejak dilakukan
pembedahan atau terjadi cidera primer, dalam waktu 24 jam ketika
tekanan darah naik reaksioner, sekitar 7-10 hari sesudah kejadian
dengan disertai sepsis sekunder, perdarahan bisa interna dan eksterna.
b. Thrombosis vena
Komplikasi hosterektomi radikal yang lebih jarang terjadi tetapi
membahayakan jiwa adalah thrombosis vena dalam dengan emboli
paru-paru, insiden emboli paru-paru mungkin dapat dikurangi dengan
penggunaan ambulasi dini, bersama-sama dengan heparin subkutan
profilaksis dosis rendah pada saat pembedahan dan sebelum mobilisasi
sesudah pembedahan yang memadai.
45
c. Infeksi
Infeksi oleh karena adanya mikroorganisme pathogen, antitoksinnya
didalam darah atau jaringan lain membentuk pus.
d. Pembentukan fistula
Saluran abnormal yang menghubungkan 2 organ atau menghubungkan
1 organ dengan bagian luar. Komplikasi yang paling berbahaya dari
histerektomi radikal adalah fistula atau striktura ureter. Keadaan ini
sekarang telah jarang terjadi, karena ahli bedah menghindari pelepasan
ureter yang luas dari peritoneum parietal, yang dulu bisa dilakukan.
Drainase penyedotan pada ruang retroperineal juga digunakan secara
umum yang membantu meminimalkan infeksi.
Pencegahan komplikasi
a. Pencegahan perlekatan
Perlekatan dapat dicegah dengn cara manipulasi jaringan
secara lembut dan hemostasis yang seksama. Untuk
mempertahankan integritas serosa usus, pemasangan tampon
dgunakan apabila usus mengalami intrusi menghalangi
lapangan pandang operasi. Untuk mencegah infeksi, darah
harus dievakuasi dari kavum peritonei. Hal ini dapat dilakukan
dengan mencuci menggunakan larutan RL dan melakukan
reperitonealisasi defek serosa dengan hati-hati
b. Drainase
Pada luka bersih (aseptic), pemasangan drain untuk
mengevakuasi cairan yang berasal dari sekresi luka dan darah
berguna untuk mencegah infeksi. Pada luka terinfeksi
pemasangan drain dapat membantu evakuasi pus dan sekresi
luka dan menjaga luka tetap terbuka. System drainase ada yang
46
bersiat pasif (drainase penrose), aktif (drainase suction) da juga
ada yang bersiat terbuka atau tertutup.
c. Pencegahan thrombosis vena dan emboli
1) Saat praoperasi, perlu dicari faktor resiko. Usahakan
menurunkan berat badan dan memperbaiki keadaan
umum pasien sampai optimal. Kontrasepsi oral harus
dihentikan minimal empat minggu sebelum operasi.
Mobilisasi pasien dilakukan sedini mungkin dan
diberikan terapi fisik dan latihan paru.
2) Upaya intraoperasi, dilakukan hemostasis yang teliti
san pencegahan infeksi. Selain itu, cegah juga hipoksia
dan hipotensi selama pembiusan. Hindari statis vena
sedapat mungkin, terutama dengan memperhatikan
posisi kaki.
3) Pada pascaoperasi, antikoagulasi farmkologis dan fisik
dilanjutkan. Upaya fisik meliputi mobilisasi dini pada
4-6 jam pertama pascaoperasi, bersamaan dengan
fisioterapi. Disamping itu bisa juga dnegan pemakaian
stocking ketat dan mengankat kaki.
7. Penatalaksanaan
a. Preoperative
Pemulihan dari operasi histerektomi biasanya berlangsung dua hingga
enam minggu. Selama masa pemulihan, pasien dianjurkan untuk tidak
banyak bergerak yang dapat memperlambat penyembuhan bekas luka
operasi. Dari segi makanan, disarankan untuk menghindari makanan yang
menimbulkan gas seperti kacang buncis, kacang panjang, brokoli, kubis
dan makanan yang terlalu pedas. Seperti setelah operasi lainnya, makan
makanan yang kaya protein dan meminum cukup air akan membantu
proses pemulihan.
47
b. Post operative
Prinsip-prinsip umum perawatan pasca operatif untuk bedah abdomen
diterapkan, dengan perhatian khusus diberikan pada sirkulasi perifer untuk
mencegah tromboflebitis dan TVP (perhatikan varicose, tingkatkan
sirkulasi dengan latihan tungkai dan menggunakan stoking.
8. Pemulihan dan diet pasca operasi
Pemulihan dari operasi histerektomi biasanya berlangsung dua hingga enam
minggu. Selama masa pemulihan, pasien dianjurkan untuk tidak banyak
bergerak yang dapat memperlambat penyembuhan bekas luka operasi. Dari
segi makanan, disarankan untuk menghindari makanan yang menimbulkan gas
seperti kacang buncis, kacang panjang, brokoli, kubis dan makanan yang
terlalu pedas. Seperti setelah operasi lainnya, makan makanan yang kaya
protein dan meminum cukup air akan membantu proses pemulihan.
48
BAB III
ANALISA KASUS
3.1 STATUS PASIEN
1. Identitas
Nama : Ny.D
Umur : 33 Tahun
Nama Suami : Tn R
Umur : 44 Tahun
Alamat : Probolinggo
Pekerjaan : PNS
Agama : Islam
Masuk tanggal : 12-12-2013 Pukul 08.00 WIB
2. Anamnesa
Keluhan utama : Belum adanya tanda-tanda melahirkanRiwayat Penyakit Sekarang :Ibu mengatakan hamil 37 minggu. Tidak merasakan
kenceng-kenceng dan tidak keluar air maupun darah pervaginam, periksa ke dr.Sp.OG hasil USG placenta previa + polihidroamnion lalu dirujuk ke RSUD dr. Moh Saleh Probolinggo
Riwayat Penyakit Dahulu :Diabetes Mellitus (-), Hipertensi (-), Allergi (-), Asma (-), Riwayat Pernikahan : Menikah 1 kali, lama menikah 3 tahun
Riwayat menstruasi
Haid : teratur/tidak : teratur
Sebulan : 1 kali
Siklus : 28 hari
Nyeri - /+ sebelum/selama/sesudah haid darah yang keluar
banyak/sedikit/encer/menggumpal : nyeri - .darah yang
keluar banyak dan encer.
Menarche : 12 tahun
49
Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT) :27-3-2013
Tanggal Perkiraan: 23-11-2012
Usia kehamilan : 39 minggu 3 hari
Fluor albus : -/- : -
Berapa lama: -
Sejak kapan : -
Bau: -
Banyaknya : -
Riwayat Obstetri GIP00000 (a-p-i-a-h)
Goyang anak terasa pada bulan ke-4
Bersuami 1 kali selama : 3tahun
Jumlah anak : -
Anak ke- Suami ke- Tempat bersalin Tahun Kehamilan
Jenis Persalinan
1
2
3
4
5
Kelainan lain : Nafsu makan : Normal
Berat Badan : Meningkat
Buang Air Besar : Lancar
Buang Air kecil : Lancar
Sesak : -
Berdebar-debar : -
50
Pusing : -
Mata Kabur : -
Epigastric pain : -
Anamnesa Keluarga
Tumor : -
Gemelli : -
Operasi : -
1. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Cukup anemis Kesadaran : Compos mentis
Anemis : +
Ikterus :-
Cyanosis :-
Dyspnea :-
GCS : 4-5-6
Gizi : Cukup
Tensi : 120/80 mmHg
Nadi : 88x/menit
Suhu : 363º C
Pernapasan : Normal
Kepala
Bentuk : Normocephal
Tumor :-
Rambut : Hitam
Mata :
Konjungtiva : cukup anemis +/+
Sclera : ikterik -/-
Pupil : bulat +/+
51
Telinga dan hidung : Tidak ada kelainan
Mulut :
Leher
Struma :-
Bendungan vena :-
Thorax
Jantung : S1S2 tunggal
Paru-Paru : Suara dasar vesikuler, ronkhi -/- , wheezing -/-
Payudara : Membesar, puting menonjol
Abdomen
Hepar : Tidak teraba adanya pembesaran (dalam batas normal)
Lien : Tidak teraba adanya pembesaran (dalam batas normal)
Genitalia External :
oedema : −¿− ¿−¿−¿¿ ¿
Ekstremitas
Akral hangat : hangat
Oedema : -
Refleks fisiologis : +
Refleks patologis : -
Kelainan orthopedic : -
2. Status Obstetri
Muka
Cholasma gravidarum : -
Exopthalmus : -
Leher
Struma : -
52
Thorax
Mamae
o Membesar ? +
o Lember/ tegang? Lember
o Hiperpigmentasi? +
o Colostrum? +
Palpasi Abdomen
Inspeksi
o Perut membesar? +
o Striae gravidarum alba? –
o Striae gravidarum lividae ? +
o Hiperpigmentasi linea Alba ? +
o Nampakkah gerakan anak? +
Leopold I :Tinggi fundus uteri 4 jari dari processus xyphoideus
(29cm),bagian paling atas janin terdapat massa yang lunak dan tidak
melenting (bokong)
Leopold II :Teraba bentukan padat keras memanjang di bagian kanan
(punggung sebelah kanan), teraba bentukan kecil-kecil di sebelah kiri
(kaki dan tangan janin)
Leopold III :Bagian terendah belum memasuki pintu atas panggul
Leopold IV : Tidak terdapat penurunan kepala
VT : (tidak dilakukan)
Portio
Posisi : -
Konsistensi : -
Bukaan : -
53
Penipisan : -
Presentasi :Tidak dapat ditentukan karena tidak ada bukaan,hanya dapat ditentukan melalui pemeriksaan Leopold
Denominator :Tidak dapat ditentukan
Ukuran Panggul dalam
Promontorium : -
Linea inominata : -
Bidang tengah panggul : -
Spina ischiadica : -
Sacrum : -
Arcus pubis : -
UC : Baik
Pervaginam : -
DJJ : 146x/menit
3. Pemeriksaan Laboratorium Tanggal (12 Desember 2013)
Tanggal : Hb :10,3 g/dl ( L :13-16%, P : 12-16 g/dL)
Leukosit :10.000/cmm (4000-11.000/cmm)
Diff.count :-/-/4/65/30/1
PCV :31% (L :40-54, P :35-47%)
Trombosit :327.000/cmm (150.000-450.000/cmm
HbSag : - (negative)
Alkali Fosfatase
Bilirubin direct
Bilirubin total
SGOT :
SGPT :
54
4. Kesimpulan : GIP00000 umur kehamilan 37-38 minggu janin tunggal hidup intra uterine
dengan plasenta previa totalis dan polihidroamnion.
Hasil pemeriksaan : Tensi :120/80 mmHg
Nadi : 88x/menit
Suhu :Normal
Pernapasan :Normal
Mata :bulat isokor
Oedema kedua tungkai : -
5. Diagnosa : GIP00000 umur kehamilan 37-38 minggu janin tunggal hidup intra uterine
dengan plasenta previa totalis dan polihidroamnion.
6. Prognosa : Dubois et bonam kalau penanganan segera
BAB IV
55
PEMBAHASAN
Pasien Ny D kiriman dari dr.Sp.OG dengan diagnose GIP00000 umur kehamilan 37-38
minggu janin tunggal hidup intra uterine dengan plasenta previa totalis dan polihidroamnion. Ibu
mengatakan hamil 37 minggu. Tidak merasakan kenceng-kenceng dan tidak keluar air maupun
darah pervaginam, periksa ke dr.Sp.OG hasil USG placenta previa + polihidroamnion lalu
dirujuk ke RSUD dr. Moh Saleh Probolinggo. Pada saat datang pasien dalam kondisi yang baik,
dengan Tensi : 120/80 mmHg, Nadi: 88x/menit,Suhu: 363º C, Pernapasan : 16/menit. Pada
pemeriksaan Leopold didapatkan Leopold I : Tinggi fundus uteri 4 jari dari processus
xyphoideus (29cm), bagian paling atas janin terdapat massa yang lunak dan tidak melenting
(bokong), Leopold II : Teraba bentukan padat keras memanjang di bagian kanan (punggung
sebelah kanan), teraba bentukan kecil-kecil di sebelah kiri (kaki dan tangan janin), Leopold III :
Bagian terendah belum memasuki pintu atas panggul, Leopold IV : Tidak terdapat penurunan
kepala. Pemeriksaan dalam tidak dilakukan karena pada plasenta previa bila dilakukan
pemeriksaaan dalam beresiko perdarahan. Pada pemeriksaan labolatorium didapatkan hasil Hb :
10,3 g/dl ( L :13-16%, P : 12-16 g/dL), Leukosit : 10.000/cmm (4000-11.000/cmm),
Diff.count:-/-/4/65/30/1,PCV: 31% (L :40-54, P :35-47%),Trombosit :327.000/cmm (150.000-
450.000/cmm, HbSag : - (negative).
Pada teori dikatakan penanganan pada plasenta previa terdapat dua penanganan yaitu
penanganan pasif / ekspektatif dan penanganan aktif /terminasi kehamilan. Penanganan pasif
Dahulu ada anggapan bahwa kehamilan dengan plasenta previa harus segera diakhiri untuk
menghindarkan perdarahan yang fatal. Namun sekarang ternyata terapi ekspektatif dapat
dibenarkan dengan alasan sebagai berikut:
a. Perdarahan pertama pada plasenta previa jarang fatal
b. Untuk menurunkan kematian bayi karena prematuritas
Kriteria penanganan ekspektatif:
Umur kehamilan kurang dari 37 minggu
Perdarahan sedikit
Belum ada tanda-tanda persalinan
56
Keadaan umum baik, kadar Hb 8 % atau lebih
Penanganan aktif / terminasi kehamilan
Terminasi kehamilan dilakukan jika janin yang dikandung telah matur, IUFD atau
terdapat anomali dan kelainan lain yang dapat mengurangi kelangsungan hidupnya, pada
perdarahan aktif dan banyak.
Kriteria penanganan aktif/terminasi kehamilan:
Umur kehamilan >/= 37 minggu, BB janin >/= 2500 gram
Perdarahan banyak 500 cc atau lebih
Ada tanda-tanda persalinan
Keadaan umum pasien tidak baik ibu anemis Hb < 8 gr % (Hanafi, 2005)
Jenis persalinan apa yang kita pilih untuk penanganan plasenta previa dan kapan
melaksanakannya bergantung pada faktor-faktor sebagai berikut :
Perdarahan banyak atau sedikit
Keadaan ibu dan anak
Besarnya pembukaan
Tingkat plasenta previa
Paritas
Pada pasien ini dilakukan tindakan seksio sesaria atas indikasi plasenta previa totalis dan
poli hidroamnion dengan umur kehamilan 37-38 minggu. Penatalaksanaan pada pasien dengan
plasenta previa totalis adalah dengan tindakan seksio sesaria, karena pada plasenta previa totalis
seluruh jalan lahir tertutupi oleh plasenta dan resiko terjadi perdarahan lebih besar dan dapat
membahayakan ibu dan janin. Pada pasien ini kadar haemoglobin darah 10,3 g/dl dan ditakutkan
terjadinya perdarahan yang akan memperparah keadaan ibu. Dalan hasil USG pada pasien ini
selain plasenta previa juga didapatkan polihidroamnion. Polihidroamnion ini dapat
mengakibatkan Solusio plasenta, Atonia uteri, Perdarahan post partum, Retensio plasenta, Syok
pada ibu, pada janin dapat terjadi Kongenital anomaly, Prematurritas, Eritroblastosis. Dengan
kondisi ibu yang beresiko terjadi komplikasi yang membahayakan maka dilakukan terminasi.
Setelah dilakukan seksio secaria pasien dipindahkan ke ICU pukul 10.30 dengan kondisi
lemah, kesadaran somnolen, GCS 4-5-6, tekanan darah 63/33mmHg, HR 74x/menit, suhu 360C,
perdaraha pervaginam ++, Hb 4,8 g/dl, TFU 2jari bawah pusat, kontrkasi uterus lembek,
perdarahan ±300cc, dilakukan eksplorasi stolsel dikeluarkan, dilakukan massage uterus kontraksi
57
uterus tetap lembek dan tetap perdarahan diberikan transfuse darah WB dan cek Hb cito
didapatkan hasil Hb 4,8g/dl. Pada pukul 11.45 wib pasien mengatakan masih lemah dan
perdarahan pervaginam banyak dan stolsel ±100cc, tekanan darah 94/52 mmHg, HR 70x/menit,
dilakukan pemasangan infuse 2 jalur dan laboratorium lengkap cito, injeksi metergin 2ampul/IU
pukul 10,30, infuse RL (tangan kanan) drip induxin 20IU, injeksi asam tranexamat 1 ampul
pukul 11.00, injeksi ranitidine 50mg pukul 11.00, infuse RL (tangan kiri) diganti NaCl 0,9%
transfuse WB pertama masuk, perdarahan belum berhenti dan kontraksi uterus lembek (atonia
uteri) dan disarankan histerektomi keluarga acc dan pasien berangkat ke OK. Pukul 13.10 pasien
datang dari OK dengan post op tamponade (evaluasi s/d 24jam) tekanan darah 86/52mmHg, HR
119x/menit, suhu 330C, mual muntah +, infuse NaCl 0,9% (tangan kanan), transfuse WB ke II
diberikan di OK, transfuse WB ketiga habis pukul 14.00, transfuse WB ke 4 lalu cek Hb, injeksi
Ca glukonas 1ampul IV, cendantron 2x1ampul, berbaring sampai pukul 16.00, observasi
perdarahan, dan puasa. Pukul 14.00 pasien mengatakan pusing, KU lemah, kesadaram compos
mentis, GCS 4-5-6, pernafasan spontan, sesak -, RR 20x/menit, tekanan darah 87/52mmHg, nadi
106x/menit, suhu 370C, anemis, mual muntah -, diberikan infuse frutroit 1000cc,infuse D5
500cc, infuse Pan Amin G 500cc, RL drip induksin 2ampul selama 24jam, observasi
perdarahannya, pukul 16.00 darah WB 2kolf dimasukkan, observasi perdarahn pervaginam,
pukul 16.00 transfusi WB ke 5, pukul 16.30 transfusi WB ke 6, pukul 17.00 lalu dilakukan
eksplorasi tampon, dosis nonephinephrin diturunkan hingga dosis minimal dan direncanakan
USG abdomen, hasil observasi perdarahan pervaginam +++, tekanan darah 120/62mmHg, nadi
106x/menit dengan nonephinephrin minimal. Pukul 17.15 pasien berangkat USG dan didapatkan
perdarahan intrauteri langsung berangkat ke ruang OK dengan membawa darah 4 kolf WB dan
2kolf darah segar, hasil GDA 248mg/dl. Pukul 19.00 pasien datang dari OK dengan diagnose
reopen ketiga dengan histerektomi, selama operasi transfuse WB 3kolf masuk, selama operasi
tidak menggunakan nonephineprin, tensi stabil, sisa darah 1kolf WB dan 2kolf darah segar, tensi
126/82mmHg, suhu 360C, nadi 105x/menit.
Dalam teori penatalaksanaan pada pasien hemoragic post partum adalah
Tentukan penyebab hemorraghe postpartum :
Atonia uteri
58
Periksa ukuran dan tonus uterus dengan meletakkan satu tangan di fundus uteri
dan lakukan massase untuk mengeluarkan bekuan darah di uterus dan vagina.
Apabila terus teraba lembek dan tidak berkontraksi dengan baik perlu dilakukan
massase yang lebih keras dan pemberian oxytocin. Pengosongan kandung kemih
bisa mempermudah kontraksi uterus dan memudahkan tindakan selanjutnya.
Lakukan kompres bimanual apabila perdarahan masih berlanjut, letakkan satu
tangan di belakang fundus uteri dan tangan yang satunya dimasukkan lewat jalan
lahir dan ditekankan pada fornix anterior.
Pemberian uterotonica jenis lain dianjurkan apabila setelah pemberian oxytocin
dan kompresi bimanual gagal menghentikan perdarahan, pilihan berikutnya
adalah ergotamine.
Sisa plasenta
Apabila kontraksi uterus jelek atau kembali lembek setelah kompresi bimanual
ataupun massase dihentikan, bersamaan pemberian uterotonica lakukan
eksplorasi. Beberapa ahli menganjurkan eksplorasi secepatnya, akan tetapi hal ini
sulit dilakukan tanpa general anestesi kecuali pasien jatuh dalam syok. Jangan
hentikan pemberian uterotonica selama dilakukan eksplorasi. Setelah eksplorasi
lakukan massase dan kompresi bimanual ulang tanpa menghentikan pemberian
uterotonica.
Pemberian antibiotic spectrum luas setelah tindakan ekslorasi dan manual
removal. Apabila perdarahan masih berlanjut dan kontraksi uterus tidak baik bisa
dipertimbangkan untuk dilakukan laparatomi. Pemasangan tamponade
uterrovaginal juga cukup berguna untuk menghentikan perdarahan selama
persiapan operasi.
Trauma jalan lahir
59
Perlukaan jalan lahir sebagai penyebab pedarahan apabila uterus sudah
berkontraksi dengan baik tapi perdarahan terus berlanjut. Lakukan eksplorasi
jalan lahir untuk mencari perlukaan jalan lahir dengan penerangan yang cukup.
Lakukan reparasi penjahitan setelah diketahui sumber perdarahan, pastikan
penjahitan dimulai diatas puncak luka dan berakhir dibawah dasar luka. Lakukan
evaluasi perdarahan setelah penjahitan selesai.
Hematom jalan lahir bagian bawah biasanya terjadi apabila terjadi laserasi
pembuluh darah dibawah mukosa, penetalaksanaannya bisa dilakukan incise dan
drainase. Apabila hematom sangat besar curigai sumber hematom karena
pecahnya arteri, cari dan lakukan ligasi untuk menghentikan perdarahan.
Gangguan pembekuan darah
Jika manual eksplorasi telah menyingkirkan adanya rupture uteri, sisa plasenta
dan perlukaan jalan lahir disertai kontraksi uterus yang baik mak kecurigaan
penyebab perdarahan adalah gangguan pembekuan darah. Lanjutkan dengan
pemberian product darah pengganti ( trombosit,fibrinogen).
Terapi pembedahan
Laparatomi
Pemilihan jenis irisan vertical ataupun horizontal (Pfannenstiel) adalah tergantung
operator. Begitu masuk bersihkan darah bebas untuk memudahkan
mengeksplorasi uterus dan jaringan sekitarnya untuk mencari tempat rupture uteri
ataupun hematom. Reparasi tergantung tebal tipisnya rupture. Pastikan reparasi
benar-benar menghentikan perdarahan dan tidak ada perdarahan dalam karena
hanya akan menyebabkan perdarahan keluar lewat vagina. Pemasangan drainase
apabila perlu. Apabila setelah pembedahan ditemukan uterus intact dan tidak ada
perlukaan ataupun rupture lakukan kompresi bimanual disertai pemberian
uterotonica.
60
Ligasi arteri
Ligasi arteri uterine
Prosedur sederhana dan efektif menghentikan perdarahan yang berasal
dari uterus karena uteri ini mensuplai 90% darah yang mengalir ke uterus.
Tidak ada gangguan aliran menstruasi dan kesuburan.
Ligasi arteri ovarii
Mudah dilakukan tapi kurang sebanding dengan hasil yang diberikan
Ligasi arteri iliaca interna
Efektif mengurangi perdarahan yang bersumber dari semua traktus
genetalia dengan mengurangi tekanan darah dan circulasi darah sekitar
pelvis. Apabila tidak berhasil menghentikan perdarahan, pilihan berikutnya
adalah histerektomi.
Histerektomi
Merupakan tindakan curative dalam menghentikan perdarahan yang berasal dari
uterus. Total histerektomi dianggap lebih baik dalam kasus ini walaupun subtotal
histerektomi lebih mudah dilakukan, hal ini disebabkan subtotal histerektomi
tidak begitu efektif menghentikan perdarahan apabila berasal dari segmen bawah
rahim, servix,fornix vagina.
Pada pasien ini terjadi perdarahan postpartum disebabkan karena atonia uteri, dimana atonia uteri
adalah suatu keadaan dimana uterus gagal untuk berkontraksi dan mengecil sesudah janin keluar
dari rahim dan pencetus terjadinya perdarahan postpartum pada kasus ini adalah plasenta previa
dan polihidroamnion.
Pada pasien ini telah dilakukan tindakan pemberian uterotonika, eksplorasi dan masase uterus.
Dikarenakan perdarahannya tetap terjadi maka di pasang tampon dan dilakukan ligasi arteri
uterine karena ateri uterine ini mensuplai 90% darah yang mengalir ke uterus dan setelah
dilakukan tindakan ini ternyata perdarahan tetap terjadi dan kondisi pasien semakin menurun dan
pada akhirnya dilakukan tindakan histerktomi.
61
Pada histerektomi subtotal, Pada histerektomi jenis ini, rahimn diangkat, tetapi mulut rahim
(serviks) tetap dibiarkan. Oleh karena itu, penderita masih dapat terkena kanker mulut rahim
sehingga masih perlu pemeriksaan pap smear (pemeriksaan leher rahim) secara rutin.
Pada pasien ini dilakukan tindakan histerektomi sub total, dimana pada kasus ini diputuskan
dilakukan histerektomi karena perdarahan pasca persalinan yang dapat mengancam nyawa ibu.
BAB V
KESIMPULAN
1. Pasien datang kiriman dr.SpOG dengan diagnose GIP00000 umur kehamilan 37-38
minggu janin tunggal hidup intra uterine dengan plasenta previa totalis dan
polihidroamnion.
62
2. Pada pasien ini dilakukan tindakan seksio sesaria atas indikasi plasenta previa totalis dan
poli hidroamnion dengan umur kehamilan 37-38 minggu. Penatalaksanaan pada pasien
dengan plasenta previa totalis adalah dengan tindakan seksio sesaria, karena pada
plasenta previa totalis seluruh jalan lahir tertutupi oleh plasenta dan resiko terjadi
perdarahan lebih besar dan dapat membahayakan ibu dan janin.
3. Pada kasus ini selain plasenta previa juga didapatkan polihidroamnion. Polihidroamnion
ini dapat mengakibatkan Solusio plasenta, Atonia uteri, Perdarahan post partum, Retensio
plasenta, Syok pada ibu, pada janin dapat terjadi Kongenital anomaly, Prematurritas,
Eritroblastosis. Dengan kondisi ibu yang beresiko terjadi komplikasi yang
membahayakan maka dilakukan terminasi.
4. Pada kasus ini setelah dilakukan tindakan seksio sesaria pasien mengalami perdarahan
pervaginam. Dimana perdarahan post partum merupakan salah satu komplikasi yang
terjadi pada ibu dari plasenta previa dan polihidroamnion.
5. Pada pasien ini terjadi perdarahan postpartum disebabkan karena atonia uteri, dimana
atonia uteri adalah suatu keadaan dimana uterus gagal untuk berkontraksi dan mengecil
sesudah janin keluar dari rahim dan pencetus terjadinya perdarahan postpartum pada
kasus ini adalah plasenta previa dan polihidroamnion.
6. Pada pasien ini telah dilakukan tindakan pemberian uterotonika, eksplorasi dan masase
uterus. Dikarenakan perdarahannya tetap terjadi maka di pasang tampon dan dilakukan
ligasi arteri uterine karena ateri uterine ini mensuplai 90% darah yang mengalir ke uterus
dan setelah dilakukan tindakan ini ternyata perdarahan tetap terjadi dan kondisi pasien
semakin menurun dan pada akhirnya dilakukan tindakan histerktomi.
7. Pada pasien ini dilakukan tindakan histerektomi total, dimana pada kasus ini diputuskan
dilakukan histerektomi karena perdarahan pasca persalinan yang dapat mengancam
nyawa ibu.
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF. Antepartum Bleeding. Williams Obstetrics. 20th
ed. Norwalk: Appleton & Lange, 1997.
2. Chalik TMA. Plasenta Previa. Dalam: Hemoragi Utama Obstetri dan Ginekologi. Ed.1.
Jakarta: Widya Medika, 1997. hal 129-143
63
3. Prawirohardjo. S, Ilmu Kebidanan, Ed. III, cet.II, Jakarta, Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, 1992,hal.365-376.
4. Mochtar. R, Sinopsis Obstetri I, Ed. II, Jakarta, EGG, 1989,hal.300-311.
5. Bagian Obstetri & Ginekologi Fak. Kedokteran Universitas Sumatera Utara/R.S Dr. Pringadi
Medan, Pedoman Diagnosis dan Therapi Obstetri-Ginekologi R.S. Dr. Pringadi Medan, 1993,
halo 6-10,
6. Bagian Obstetri & Ginekologi Fak.Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung, Obstetri
Patologi, Ed. 1984, Elstar Offset Bandung, halo 110-120
7. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1999. hal 362-376. Perdarahan Antepartum
dalam: Obstetri Patologi. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran Bandung. Elstar Offset Bandung, 1982. hal. 110-120
8. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran UNPAD Bandung. Obstetri Patologi.
Bandung: Elstar offset, 1982; 110-27.
9. PB. POGl, Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi. Bagian 1, Jakarta: Balai
Penerbit FK UI, 1991; 9-13.
10. Mochtar R. Sinopsis Obstetri 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1990; 296-322.
11. Heller L. Emergencies in Gynaecology and Obstetrics. diterjemahkan oleh Mochaznad
Martoprawiro dan Adji Dharma. Gawat Darurat Ginekologi dan Obstetri. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC, 1988; 25-9.
12. Klapholz H. Placenta Previa.. In: Friedman EA, Acker DB, Sachs BP, Obstetrical Decision
Making,2 nd ed. Philadelphia: BC Decker mc, 1987; 88-9.
13. Cunningham FG, dkk. Gangguan volume cairan amnion dalam buku Obsetri Williams edisi
21. Jakarta 2005, EGC. Hal 909-915
14. Mochtar Rustam. Anatomi dan fisiologi alat-alat kandungan, janin dan wanita hamil dalam
buku Sinopsis Obstetri Jilid 1 edisi 2. Jakarta 1998, EGC. Hal 24-26
15. Benson Ralph. Penyesuaian fisiologi ibu terhadap kehamilan dalam buku saku Obstetri dan
ginekologi edisi 9. Jakarta 2008, EGC. Hal 86
64
16. Sinclair Constance. Komplikasi kehamilan dan penatalaksanaannya dalam buku saku
kebidanan. Jakarta 2009, EGC. Hal 103-104
17. Mochtar Rustam. Komplikasi akibat langsung kehamilan dalam buku Sinopsis Obstetri Jilid
1 edisi 2. Jakarta 1998, EGC. Hal 251-255
18. Varney Helen, Kriebs M Jan. penapisan dan penatalaksanaan kolaboratif komplikasi
antepartum dalam buku ajar asuhan kebidanan edisi 4 volume 1. Jakarta 2006, EGC. Hal 634
19. Llewellyn Derek. Penyakit plasenta dan membran dalam buku dasar-dasar obsetri dan
ginekologi edisi 6. Jakarta 2001, Hipokrates. Hal 137.
20. Ilmu Kebidanan, editor Prof.dr. Hanifa Wiknjosastro, SpOg, edisi Ketiga cetakan
Kelima,Yayaan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta 1999
21. Williams Obstretics 21 st Ed: F.Gary Cunningham (Editor), Norman F.Grant MD,Kenneth
J,.,Md Leveno, Larry C.,Iii,Md Gilstrap,John C.,Md Hauth, Katherine D.,Clark,Katherine
D.Wenstrom,by McGraw-Hill Profesional (April 27,2001)
22. Gabbe : Obstretics – Normal and Problem Pregnancies,4th ed.,Copyright © 2002 Churchil
Livingstone, Inc.
21. Prof.Dr.Rustam Mochtar, MPH, Sinopsis Obstretis, edisi 2 jilid 1, Editor Dr. Delfi Lutan,
SpOG
22. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ke tiga Jilid Pertama , Editor Arif Mansjoer , Kuspuji
Triyanti, Rakhmi Savitri , Wahyu Ika Wardani , Wiwiek Setiowulan.
23. Curren Obstretric & Gynecologic Diagnosis & Tretment, Ninth edition : Alan H. DeCherney
and Lauren Nathan , 2003 by The McGraw-Hill Companies, Inc.
24. Rasjidi, Imam. 2008. Manual Histerektomi. Jakarta: EGC
25. Kasdu, Dini. 2008. Solusi Problem Wanita Dewasa. Jakarta: Puspa Swara
26. Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri. Jilid 2. Edisi 2. Jakarta: EGC.
27. Leveno, Kenneth J . 2009. Obstetric wiliam. Jakarta : EGC.
28. Bagian obstetri & gineekologi FK. Unpad. 1993. Ginekologi. Bandung : Elstar
29. Friedman, Borten, Chapin. 1998. Seri skema Diagnosa & penatalaksanaan Ginekologi Edisi
2. Jakarta : Bina Rupa Aksara
30. Saifudin, Abdul Bari, dkk. 2001. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo & JNKKR-POGI.
31. Carpenito, Lynda Juall, 2000. Buku saku Keperawatan, edisi 8. EGC. Jakarta
65
66
top related