laporantahunan skim hibah bersaingbalitbang.pemkomedan.go.id/tinymcpuk/gambar/file/dra....
Post on 07-Mar-2019
230 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
LAPORANTAHUNAN
SKIM HIBAH BERSAING
MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN E-PROCUREMENT
DALAM MEWUJUDKAN TRANSPARANSI PENGADAAN
BARANG/JASA PEMERINTAH DI SUMATERA UTARA
Tahun Ke 2 (Dua) Dari Rencana 2 (Dua) Tahun
Ketua : Dra. Februati Trimurni, M.Si
NIDN : 0012026602
Anggota I : Dra. Asima Yanty Sylvania Siahaan, M.A, Ph.D
NIDN :0026016404
Anggota II : Dra. Dayana, M.Si
NIDN :0028076003
Dibiayai oleh DIPA Direktorat Penelitian Pengabdian Kepada Masyarakat Tahun
Anggaran 2015, sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Pelaksanaan Hibah
Penelititan bagi Dosen Perguruan Tinggi Batch I Universitas Sumatera Utara Nomor:
120/SP2H/PL/Dit.Litabmas/II/2015, tangga 05 Pebruari 2015
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
NOVEMBER 2015
2
3
RINGKASAN
Kebijakan e-procurement di Indonesia merupakan salah satu bentuk reformasi di
bidang pengadaan yang tujuannya diantaranya untuk meningkatkan transparansi, efisiensi
dan akuntabilitas dalam pengadaan barang/jasa. E-procurement dapat dilakukan dengan
metode e-tendering dan e-purchasing dengan menggunakan e-katalog. Kajian mengenai
model implementasi kebijakan e-procurement dalam mewujudkan transparansi
pengadaan barang/jasa pemerintah di Sumatera Utara menjadi semakin mendesak dan
relevan sehubungan dengan tuntutan dan kebutuhan pengadaan barang/jasa secara
elektronik yang terus meningkat ditengah karakteristik Pemerintah Kota Medan, Kota
Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai yang berbeda serta dinamika birokrasi lokal yang
terbatas.
Judul penelitian ini ”Model Implementasi Kebijakan e-Procurement Dalam
Mewujudkan Tranparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Sumatera Utara.” Di
tahun pertama tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan model implementasi
kebijakan e-procurement dalam mewujudkan transparansi pengadaan barang/jasa
pemerintah di Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai. Dengan
menggunakan metode kualitatif ditemukan model implementasi kebijakan e-procurement
terdiri dari tiga faktor yaitu landasan hukum, infrastruktur dan sumber daya manusia
terutama berkaitan dengan kapasitas dan budaya organisasi.
Penelitian di tahun kedua ini bertujuan melihat seberapa besar pengaruh model
implementasi kebijakan e-procurement terhadap transparansi pengadaan barang/jasa.
Karena itu digunakan metode kuantitatif untuk mencari besarnya pengaruh kedua
variabel tersebut. Tujuan lainnya, mendeskripsikan tahapan atau proses e-procurement
baik dengan menggunakan metode e-tendering maupun e-purchasing di tiga lokasi
penelitian dan menjelaskan model implementasi kebijakan e-procurement bekerja dalam
mewujudkan transparansi pengadaan barang/jasa. Dua tujuan penelitian terakhir ini
menggunakan metode kualitatif dan pendekatan studi kasus. Karena itu dipilih Dinas
Kesehatan Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai sebagai lokasi dari
studi kasus penelitian ini. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara
mendalam, observasi, dokumentasi dan studi pustaka.
Capaian hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh model implementasi
kebijakan e-procurement terhadap transparansi pengadaan barang/jasa di tiga lokasi
penelitian sebesar 14.8%. Selain itu ketiga faktor dari model implementasi kebijakan e-
procurement belum bekerja dengan optimal sehingga transparansi pengadaan belum
sepenuhnya terwujud di tiga lokasi penelitian. Temuan lainnya, pengadaan dengan
metode e-purchasing lebih diminati dari pada e-tendering di Dinkes Kabupaten/Kota di
tiga lokasi penelitian. Hal ini karena metode e-purchasing dengan menggunakan e-
katalog jauh lebih aman bagi pegawai yang bertanggung jawab di bidang pengadaan.
--------
Kata Kunci :Model Implementasi Kebijakan, e-procurement, transparansi
4
P R A K A T A
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian tahun kedua yang
berjudul “Model Implementasi Kebijakan e-Procurement Dalam Mewujudkan
Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Sumatera Utara”.
Penelitian ini merupakan salah satu tugas dari Tri Dharma Perguruan Tinggi
disamping pengajaran dan pengabdian kepada masyarakat. Sumber dana penelitian ini
berasal dari DIPA Universitas Sumatera Utara Tahun Anggaran 2014, sesuai dengan Surat
Perjanjian Pelaksanaan Penugasan Penelitian Hibah Bersaing Nomor;
1082/UN5.1.R/KEU/2014, tanggal 17 Pebruari 2014.
Dalam menyelesaikan penelitian ini penulis mendapat bantuan dari berbagai
pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada:
1. Bapak Prof.Dr.Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara
2. Bapak Dr.Ir. Harmein Nasution, MSIE selaku Ketua LP3M Bidang Penelitian USU
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari
kesempurnaan baik dari isi maupun teknik penyusunannya. Akhir kata penulis berharap
semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.
Medan, November 2015
Penulis,
Dra Februati Trimurni, M.Si
Dra Asima Yanty Sylvania Siahaan, M.A., Ph.D
Dra Dayana, M.Si
5
DAFTAR ISI
HALAMANSAMPUL
HALAMAN PENGESAHAN
RINGKASAN…………………………………………………………………………….….... i
PRAKATA…………………………………………………………………………………..... ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………….......iii
DAFTAR TABEL…………………………………………………………………………...... v
DAFTAR BAGAN......................................................................................................................vi
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………………….....vii
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………………….......viii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………….......... 1
1.0 Latar Belakang Penelitian……………………………………………………………........... 1
1.1 Perumusan Masalah…………………………………………………………………............. 5
BAB II Model Implementasi Kebijakan dan Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
2.0 Implementasi Kebijakan Sebagai Sebuah Model................................................................... 6
2.1 Bekerjanya Model Kebijakan Publik...................................................................................... 7
2.2 Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.................................................................. 9
2.3Pengaruh Model Implementasi Kebijakan E-Procurement Terhadap................................... 12
2.4 Hipotesis Penelitian................................................................................................................ 16
2.5 Definisi Konsep...................................................................................................................... 16
2.6 Definisi Operasional............................................................................................................... 17
2.7 Peta Jalan Penelitian............................................................................................................... 18
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN…………………………………….......... 20
3.0 Tujuan Penelitian................................................................................................................... 20
3.1 Manfaat Penelitian.................................................................................................................. 20
BAB IV METODE PENELITIAN………………………………………………………........... 21
4.0Metode Penelitian Kuantitatif .........…………………………………………..……........... 21
4.0.1Populasi dan Sampel Penelitian ...........……………………………………….......... 21
4.0.2 Teknik Pengumpulan Data ……………………………………………………........ 23
4.0.3Teknik Analisis Data ……………………………………………………………...... 23
4.0.4 Koefisien Determinan.................................................................................................. 23
4.1 Metode Penelitian Kualitatif................................................................................................... 25
4.1.1 Penentuan Informan.................................................................................................... 25
4.1.2 Teknik Wawancara...................................................................................................... 25
4.1.3 Teknik Observasi......................................................................................................... 25
4.1.4 Studi Kasus.................................................................................................................. 26
4.1.5 Teknik Analisis Data.................................................................................................. . 26
4.2 Catatan Penelitian................................................................................................................... 26
BAB V Model Implementasi E-Procurement..................................... ……………………......... 31
5.0Pengantar.....................………………………………………………................................... 31
5.1Deskripsi Lokasi Penelitian.................................................................................................... 32
5.1.0 Lokasi dan Wilayah Kota Medan................................................................................. 32
5.1.1 Lokasi dan Wilayah Kabupaten Serdang Bedagai....................................................... 33
5.1.2 Lokasi dan Wilayah Kota Binjai.................................................................................. 33
5.1.3 Dasar Hukum Terbentuknya ULP Barang/Jasa di Tiga Lokasi Penelitian.................. 33
5.1.4 Dasar Hukum Terbentuknya LPSE di Tiga Lokasi Penelitian..................................... 34
5.2 Interpretasi dan Analisis Data................................................................................................ 35
5.3 Perubahan Terbaru Regulasi Pengadaan............................................................................... 42
5.4Organisasi Pengadaan ……………………………………………….................................... 44
6
5.4.0Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran....................................................... 44
5.4.1Pejabat Pembuat Komitmen........…………................................................................ 45
5.4.2Unit Layanan Pengadaan/Pejabat Pengadaan.............................................................. 47
5.4.3 Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan................................................................... 50
5.5Kebijakan e-Procurement Sebuah Reformasi Di Bidang Pelayanan……………..…........... 51
5.6 Pokja ULP dan PPK: Posisi Strategis di Era Keterbukaan?...……….................... .............. 53
5.7 Kebijakan e-Procurement: Sebuah Pandangan Pesimistis Dari Penyedia?.................... 58
5.8Transparansi dalam Implementasi E-Procurement di Provinsi Sumatera Utara.............66
5.9 E-Procurement di Dinas Kabupaten/Kota, Provinsi Sumatera Utara.............................. 85
5.9.0 E-Tendering.......................................................................................................... 86
5.9.1 E-Purchasing......................................................................................................... 87
5.9.2 Pengadaan Langsung............................................................................................. 91
5.9.3 E-Procurement di Dinkes Kabupaten/Kota........................................................... 92
BAB VI RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA……………....................................................... 102
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN........................................................................................... 103
7.0 Kesimpulan.................................................................................................................................. 103
7.1 Saran............................................................................................................................................ 107
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………............ 109
LAMPIRAN
7
DAFTAR TABEL
Tabel 1.0 Peta Jalan Penelitian..................................................................................... 18
Tabel 4.0 Instansi/Bagian Responden.......................................................................... 21
Tabel 4.1 Kota/Kabupaten Responden......................................................................... 21
Tabel 4.2 Jabatan Responden....................................................................................... 22
Tabel 4.3 Frekuensi Mengikuti Diklat.......................................................................... 22
Tabel 4.4 Usia Responden............................................................................................ 22
Tabel 4.5 Pendidikan Responden.................................................................................. 22
Tabel 5.0 Memahami Secara Umum Inti Perpres No. 54 Tahun 2010......................... 36
Tabel 5.1 Memahami Pasal Demi Pasal Perpres No. 54 Tahun 2010.......................... 36
Tabel 5.2 Penafsiran dan Pemahaman yang Berbeda Dari Pelaksanaan Perpres.......... 37
Tabel 5.3: Infrastruktur Dalam Mendukung Kegiatan E-procurement........................... 37
Tabel 5.4 Penguasaan SDM Terhadap TI Berbasis Komputer...................................... 38
Tabel 5.5 Kekhawatiran Untuk Memiliki Sertifikasi Pengadaan.................................. 38
Tabel 5.6 Transparansi Pada Sistem Pengadaan Secara Elektronik.............................. 39
Tabel 5.7 Transparansi Pada Sistem Pengadaan Barang/Jasa...................................... 39
Tabel 5.8 Regulasi Tentang Pengadaan Barang/Jasa Yang Jelas................................. 40
Tabel 5.9 Infrastruktur Pengadaan Barang/Jasa Yang Memadai.................................. 40
Tabel 5.10 Pentingnya Peran Penyelenggara Pengadaan............................................... 41
Tabel 5.11 Model Summary............................................................................................. 41
8
DAFTAR BAGAN
Bagan 4.0 Tahapan Penelitian Tahun Kedua................................................................ 24
Bagan 5.0 Struktur Organisasi LPSE........................................................................... 34
Bagan 5.1 Perangkat ULP............................................................................................ 47
Bagan 5.2 Struktur Organisasi Pengadaan Melalui Penyedia Barang/Jasa.................. 50
9
DAFTAR GAMBAR
Gambar 5.3 Alur Proses Rekanan Melalui Sistem LPSE.................................... 58
Gambar 5.4 LPSE Kota Medan: Nama Lelang, Agency, Tahap dan HPS........... 68
Gambar 5.5 Informasi Lelang di LPSE Kabupaten Serdang Bedagai................. 70
Gambar 5.6 Hasil Evaluasi Peserta Lelang di LPSE Kota Medan....................... 71
Gambar 5.7 Harga Penawaran di LPSE Kota Medan........................................... 72
Gambar 5.8 Informasi Pemenang Lelang di LPSE Kota Medan.......................... 73
Gambar 5.9 Regulasi Berkaitan Dengan e-Procurement di LPSE Kota Binjai.... 75
Gambar 5.10 Pengumuman Pengadaan di LPSE Kabupaten Serdang Bedagai...... 76
Gambar 5.11 Pengumuman Pemenang Lelang........................................................ 78
Gambar 5.12 Tahap Lelang Saat Ini........................................................................ 79
Gambar 5.13 Jumlah Peserta/Penyedia Yang Mengikuti Lelang............................ 81
Gambar 5.14 E-Catalogue Obat Pemerintah........................................................... 88
Gambar 5.15 Ruang LPSE Pemerintah Kota Medan.............................................. 95
Gambar 5.16 Ruang LPSE Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai..................... 95
Gambar 5.17 Ruang LPSE Pemerintah Kota Binjai................................................ 96
10
DAFTAR LAMPIRAN
1. Biodata Peneliti
2. Artikel 1
3. Artikel 2
4. Pedoman Wawancara
5. Angket/Kuesioner
6. Variabel X dan Variabel Y
7. Surat pengantar penelitian dari Lembaga Penelitian USU
8. Surat rekomendasi penelitian dari Litbang Pemko Medan
9. Surat izin penelitian dari Pemko Binjai
10. Surat izin penelitian dari Pemkab Serdang Bedagai
11. Surat undangan seminar hasil penelitian dari Bappeda Pemkab Serdang Bedagai
12. Academic Paper Acceptance Letter
13. Surat pernyataan ketua peneliti/pelaksana
14. Surat keterangan selesai penelitian dari Litbang Pemko Medan
15. Surat keterangan selesai penelitian dari Pemkab Serdang Bedagai
16. Surat keterangan selesai penelitian dari Pemko Binjai
17. Dokumentasi hasil ekspose penelitian di Bappeda Serdang Bedagai
11
BAB I
PENDAHULUAN
1.0 Latar Belakang Penelitian
Pengadaan barang/jasa pemerintah yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN/APBD) dapat
dikatakan merupakan kegiatan penting dari suatu pemerintahan. Karena melalui
pengadaan barang/jasa maka pembangunan sarana dan prasarana dari suatu negara dapat
terpenuhi. Mengingat pentingnya hal ini, maka kegiatan pengadaan barang/jasa perlu
dilaksanakan lebih efektif dan efisien, mengutamakan penerapan prinsip-prinsip
persaingan usaha yang sehat, transparan, dan berlaku adil bagi semua pihak. Harapan ini
tidak berlebihan mengingat jumlah pengadaan barang/jasa di lembaga-lembaga
pemerintah rata-rata mencapai 15%-30% dari Gross Domestic Product (GDP), sebuah
angka yang besar.
Persentase yang besar dari pengadaan barang/jasa ini tidak dapat dihindari
menjadi peluang terjadinya korupsi di sektor pengadaan barang/jasa dan terbukti
mendominasi kasus-kasus korupsi lainnya di Indonesai yakni sebesar 61% (Penelitian
Pusat Kajian dan Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada pada tahun 2013)1. Proses
pengadaan barang/jasa juga merupakan kasus dugaan korupsi yang paling banyak diusut
dan ditangani oleh institusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebanyak 96 kasus
atau mencapai 40.9 % sejak tahun 2004 hingga 20112. Sementara berdasarkan kajian
Indonesia Corruption Watch, pelaku korupsi pengadaan barang/jasa ini berasal dari
berbagai kalangan baik swasta, kepala dinas, bupati dan kepala daerah seperti gubernur3.
Mengingat rawannya bidang pengadaan barang/jasa ini terhadap perekonomian
negara maka dilakukan reformasi di bidang pengadaan dari sistem yang manual ke sistem
pengadaan secara elektronik (e-procurement). Pengadaan barang/jasa secara manual ini
mempertemukan langsung pihak-pihak yang terkait dalam pengadaan yakni panitia
pengadaan dan penyedia barang/jasa. Pertemuan-pertemuan antara panitia pengadaan dan
penyedia ini tidak dapat dipungkiri menimbulkan praktek-praktek korupsi, kolusi dan
nepotisme. Sementara melalui sistem e-procurement intensitas pertemuan antara panitia
1 http://jogja.tribunnews.com/2014/01/27/korupsi-tertinggi-berada-di-sektor-pengadaan-barang-dan-jasa/.
Diakses 24 Oktober 2013, Jam 11.15 WIB. 2http://beritasore.com/2012/04/10/korupsi-pengadaan-paling-banyak-ditangani-kpk/. Diakses 19 April
2013, Jam 21.00 WIB. 3http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52cbfe8f5c500/pengadaan-barang-dan-jasa-dominasi-kasus-
korupsi-di-2013. Diakses 24 Oktober 2013, Jam 11.44 WIB.
12
pengadaan dan penyedia dapat diminimalisir sehingga penyimpangan yang sering
mewarnai proses pengadaan barang/jasa dapat ditekan atau bahkan dicegah.
Tujuan dari pelaksanaan e-procurement salah satunya adalah mewujudkan
transparansi dan efisiensi dalam pengadaan (Perpres No. 4 Tahun 2015). Kota Surabaya
sebagai salah satu best practices dalam pelayanan publik menempatkan sistem
implementasi e-procurement sebagai best practice yang inovatif, bertujuan untuk
meningkatkan efektifitas, efisiensi dan transparansi proses pengadaan barang dan jasa.
Implementasi e-procurement ini berhasil menghemat 20-30% anggaran untuk pelayanan
publik(Partnership for Democratic Local Governance in Southeast Asia, 2003)4.
Sementara di Kementerian Keuangan RI, pelaksanaan e-procurement berhasil
menghemat anggaran, mengurangi tingkat kebocoran dan menjamin keterbukaan.
Kontribusi penghematan anggaran diperoleh sampai 18.4% pada tahun 20095.
Selanjutnya pengadaan barang/jasa di Kementerian Perhubungan tahun 2015 dengan nilai
pagu sebesar Rp 1,4 triliun, sementara nilai transaksinya Rp 1,17 triliun. Ini artinya ada
penghematan Rp 230 miliar.6
Namun sebenarnya best practices dari pelayanan e-government di Indonesia
masih sangat kurang. Banyak faktor yang menyebabkan, seperti belum memadainya
kapasitas SDM pengelola teknis, keterbatasan infrastruktur pendukung, lemahnya
regulasi dan kelembagaan, terbatasnya dukungan anggaran pemerintah, serta rendahnya
komitmen dan keseriusan dari para pemimpin di berbagai level pemerintahan7. Masalah
yang hampir sama ditemukan pada implementasi e-procurement di Indonesia, seperti
belum adanya ketegasan tentang peraturan hukum yang menjadi payung hukum dari
proses e-procurement sehingga standar baku mengenai tata kelola proses e-procurement
baik dari segi rantai birokrasi, waktu, penggunaan teknologi informasi dan sumber daya
manusia belum ada. Selain itu, komitmen pimpinan tertinggi maupun jajaran di tingkat
menengah masih rendah akibat kurangnya dukungan politik yang pada akhirnya memicu
pada merebaknya korupsi di bidang pengadaan barang/jasa. Terakhir, tantangan dari
4Democratic Local Governance in Southeast Asia (DELGOSEA). 2014.
5Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP). 2009.
6http://www.lkpp.go.id/v3/#/read/3614. Diakses 16 Juni 2015, Jam 15.20 WIB.
7Pramusinto, Agus dan Erwan Agus Purwanto. 2009. Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan
Publik: Kajian tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia. Penerbit Gava Media, Jian-UGM, MAP-
UGM. Yogyakarta.
13
panitia pengadaan, penyedia, legislatif dan infrastruktur yang sangat terbatas, seperti
mahalnya biaya internet tidak dapat diremehkan juga8.
Sementara, di beberapa negara EU pelaksanaan e-procurement tidak lepas dari
berbagai permasalahan. Studi terhadap transparansi e-procurement menemukan data
diterbitkan dalam bentuk pdf dan html bukan dalam bentuk database. Ini artinya data
tersedia dalam berbagai volume buletin yang terpisah sehingga sulit untuk menelusuri
fase-fase dalam procurement. Di Hungaria publik harus membuka setiap buletin jika
ingin mengetahui berapa tender yang dimenangkan, berapa nilai tender dan apakah nilai
tender telah sesuai dengan kontrak. Di Czechs transparansi dalam e-procurement masih
terbatas, hal ini dapat dilihat dari ketiadaan statistik dan ringkasan dari procurement serta
informasi mengenai justifikasi pemenang di website, namun data atau informasi dapat
diperoleh secara individual. Baik di Polandia maupun di Czech modifikasi kontrak tidak
diterbitkan, tetapi dapat diminta oleh siapa saja yang ingin mengetahui. Slovakia
merupakan negara yang menyelenggarakan e-procurement sangat transparan yaitu
dengan menayangkan update data dalam format yang mudah untuk diproses. Tersedia
juga database online yang menyediakan informasi mengenai seluruh kontrak yang telah
disepakati (Lederer, 2012)9.
Kebijakan e-procurement di Indonesia diawali dengan keluarnya Keputusan
Presiden (Kepres) Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah. Beberapa tahun kemudian, diterbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor
54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang menandakan Keppres
Nomor 80 Tahun 2003 beserta Perubahannya resmi dicabut dan tidak berlaku efektif
mulai tahun 2011. Tidak lama berselang, terbit Perpres Nomor 35 Tahun 2011 yang
merupakan Perubahan Pertama atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Selanjutnya dilakukan perubahan kedua dan ketiga
yakni Perpres Nomor 70 Tahun 2012 dan Perpres No. 172 Tahun 2014. Kemudian diawal
tahun 2015, keluar Perpres Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Atas
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
dan Penjelasannya yang telah diundangkan pada tanggal 16 Januari 2015. Perubahan
peraturan beberapa kali ini bertujuan untuk kesempurnaan kebijakan ini karena di masa
yang akan datang, semua belanja pemerintah dilakukan dengan menggunakan elektronik.
8http://politik.kompasiana.com/2013/03/09/implementasi-e-procurement-sebagai-inovasi-pelayanan publik-
541293.html. Diakses 21 April 2013, Jam 20.15. 9Lederer, 2012.
14
Namun setelah berjalan lebih dari satu dekade, kegiatan pengadaan secara elektronik ini
belum berjalan sebagaimana yang diharapkan, masih ditemukan praktek-praktek korupsi,
kolusi dan nepotisme sebagaimana disebutkan diawal.
Sementara kegiatan pengadaan barang/jasa secara elektronik baru dimulai pada
tahun 2011 di Pemerintah Kota Medan dan Kabupaten Serdang Bedagai serta tahun 2013
di Kota Binjai sehingga menarik untuk diteliti. Kajian mengenai model implementasi
kebijakan e-procurement ini menjadi semakin mendesak dan relevan karena tuntutan dan
kebutuhan pengadaan secara elektronik yang terus meningkat ditengah perbedaan
karakteristik Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai serta
keterbatasan dinamika birokrasi lokal. Selain itu penelitian ini menggunakan studi kasus
untuk dapat melihat kasus-kasus yang berkaitan dengan proses dan transparansi
pengadaan barang/jasa secara elektronik yang terjadi di Dinas Kesehatan Kota Medan,
Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai. Kasus-kasus ini cukup kompleks dan riskan
karena menyangkut banyak pihak dan anggaran yang besar. Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dipilih menjadi lokasi dari studi kasus ini karena instans ini
bertanggungjawab di bidang kesehatan yang merupakan salah satu kebutuhan dasar
masyarakat di tingkat kabupaten/kota.
Salah satu tujuan dari pelaksanaan e-procurement adalah mewujudkan
transparansi dan efisiensi dari pengadaan barang/jasa. Namun sebagaimana dijelaskan di
atas, dari hasil beberapa survey di Indonesia, efisiensi dari penggunaan e-procurement
lebih banyak didiskusikan dari pada tujuan lainnya seperti transparansi. Sementara dari
hasil penelitian tahun pertama ada hubungan antara model implementasi kebijakan e-
procurement dan transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah di Kota Medan, Kota
Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai10
. Ini artinya salah satu cara mewujudkan
transparansi pengadaan barang/jasa adalah melalui landasan hukum, infrastruktur dan
sumberdaya manusia sebagai sebuah model implementasi kebijakan e-procurement.
Namun penelitian tersebut tidak mencari seberapa besar pengaruh keduanya. Maka untuk
tujuan inilah penelitian tahun kedua ini dilakukan, selain dua tujuan lainnya yakni melihat
proses e-procurement dan transparansi pengadaan serta menjelaskan bekerjanya model
implementasi kebijakan e-procurement.
10
Trimurni, Februati dan Siahaan, Asima Yanty. 2014. “Model Implementasi Kebijakan E-Procurement
Dalam Mewujudkan Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Provinsi Sumatera Utara”.
Penelitian Tahun Pertama. Skim Hibah Bersaing. Universitas Sumatera Utara.
15
Penelitian ini menjadi lebih menarik karena model implementasi kebijakan e-
procurement dilihat dari faktor-faktor landasan hukum, infrastruktur dan sumber daya
manusia yang benar-benar berasal dari kondisi real di Pemerintah Kota Medan, Kota
Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai. Berbeda dengan penelitian-penelitian
sebelumnya yang menggunakan model implementasi kebijakan yang berasal dari negara-
negara barat yang belum tentu sesuai dengan kondisi real kabupaten/kota di Indonesia
khususnya di Provinsi Sumatera Utara, serta beberapa penelitian mengenai e-
procurement yang fokus kajiannya pada teknologi informasi.
1.1 Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1.1.1 Seberapa besar pengaruh landasan hukum, infrastruktur dan sumber daya manusia
secara bersama-sama sebagai sebuah model implementasi kebijakan e-
procurement terhadap transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah di Provinsi
Sumatera Utara, Indonesia?
1.1.2 Bagaimana proses e-procurement baik dengan metode e-tendering maupun
metode e-purchasing di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Provinsi Sumatera
Utara, Indonesia?
1.1.3 Bagaimana proses e-procurement dalam mewujudkan transparansi pengadaan
barang/jasa dilihat dari model implementasi kebijakan di Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia?
16
BAB II
MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN E-PROCUREMENT
DAN TRANSPARANSI PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH
2.0 Implementasi Kebijakan Sebagai Sebuah Model
Dalam proses kebijakan publik, implementasi merupakan tahapan yang paling
penting karena merupakan sebuah tahapan dimana alternatif yang telah ditetapkan
diwujudkan dalam tindakan yang nyata. Hal ini karena implementasi kebijakan
merupakan rantai yang menghubungkan antara formulasi kebijakan dan hasil (outcome)
kebijakan yang diharapkan. Dengan demikian tanpa adanya implementasi, suatu
kebijakan akan sia-sia karena hanya berupa konsep semata.
Implementasi kebijakan bila dipandang dalam pengertian yang luas, merupakan
alat administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik bekerja
bersama-sama untuk menjalankan sebuah kebijakan guna meraih dampak atau tujuan
yang diinginkan.11
Karena implementasi dipandang sebagai sebuah alat maka didalam
pengimplementasian suatu kebijakan terdapat beberapa variabel atau faktor yang
menentukan pencapaian dari tujuan kebijakan tersebut. Keberadaan variabel-variabel atau
faktor-faktor ini dapat mendukung proses implementasi kebijakan namun sebaliknya
dapat pula menghambat pelaksanaan kebijakan. Karena banyak dan kompleksnya faktor-
faktor dalam implementasi kebijakan ini maka diperlukan sebuah model konseptual
(conceptual model) untuk membantu menganalisis atau mengevaluasi sehingga
implementasi kebijakan dapat mencapai tujuan yang ditentukan sebelumnya.
Menurut Thomas R. Dye (1972)12
“A model is a simplified representation of
some aspect of the real world.” Sementara Rendall B. Ripley (1985)13
mengatakan “The
major utility of any model is that it simplities complex reality in ways that can be readily
understood.” Melalui sebuah model, variabel-variabel atau faktor-faktor yang
mempengaruhi implementasi kebijakan dapat disederhanakan sehingga mudah untuk
dipahami. Penyederhanaan ini penting karena dari begitu banyak variabel atau faktor,
sebenarnya tidak semua dominan mempengaruhi implementasi sebuah kebijakan. Dengan
demikian suatu model hanya terdiri dari beberapa variabel atau faktor saja yang dominan
dapat mempengaruhi implementasi suatu kebijakan. Manfaat lain dari suatu model adalah
11
Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo. 12
Dye, Thomas R. Understanding Public Policy. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall, Inc. 13
Ripley, Randall B. 1985. Policy Analysis in Political Science. Chicago: Nelson Hall, Inc.
17
dapat menunjukkan variabel atau faktor penting dari suatu implementasi kebijakan. Ini
memberikan kemudahan baik bagi pelaksana maupun perumus kebijakan untuk melihat
lebih fokus pada variabel atau faktor tersebut yang bisa saja membuat kebijakan tersebut
berhasil atau gagal diimplementasikan.
2.1 Bekerjanya Model Implementasi Kebijakan Publik
Tiga komponen dasar yang biasanya dimiliki oleh kebijakan publik, yaitu tujuan
yang hendak dicapai, sasaran yang spesifik dan cara mencapai sasaran tersebut. Cara
mencapai sasaran inilah yang disebut dengan implementasi kebijakan. Implementasi
kebijakan bukanlah proses yang sederhana, tetapi sangat kompleks dan rumit yang
dipengaruhi oleh berbagai faktor baik faktor individual maupun organisasional. Beragam
model telah dikaji oleh para ahli dalam melihat proses implementasi kebijakan publik.
Dalam setiap model implementasi masing-masing ahli menemukan faktor-faktor tertentu
yang saling berhubungan satu dengan lainnya dan mempengaruhi tujuan
implementasinya.Dengan demikian, perlu diketahui bagaimana faktor-faktor atau
variabel-variabel itu bekerja dalam sebuah model implementasi kebijakan.
Grindle memperkenalkan model implementasi sebagai proses politik dan
administrasi. Model tersebut bekerja dengan menggambarkan proses pengambilan
keputusan yang dilakukan oleh beragam aktor, dimana keluaran ditentukan oleh baik
materi program yang telah dicapai maupun melalui interaksi para pembuat keputusan
dalam konteks politik administratif. Proses politik dapat terlihat melalui proses
pengambilan keputusan yang melibatkan berbagai aktor kebijakan, sedangkan proses
administrasi terlihat melalui proses umum mengenai aksi administratif yang dapat diteliti
pada tingkat program tertentu.
Sementara Van Meter dan Van Horn mengembangkan cara bekerjanya Model
Proses Implementasi Kebijakan. Keduanya berpendapat bahwa perubahan, kontrol dan
kepatuhan dalam bertindak merupakan konsep penting dalam prosedur implementasi.
Keduanya juga mengembangkan tipologi kebijakan menurut: jumlah perubahan yang
akan dihasilkan dan jangkauan atau ruang lingkup kesepakatan mengenai tujuan oleh
berbagai pihak yang terlibat dalam proses implementasi, yang selanjutnya melahirkan
enam variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi.
Variabel pertama adalah standar dan sasaran kebijakan. Setiap kebijakan publik
harus mempunyai standar dan sasaran kebijakan yang jelas dan terukur supaya tujuan dari
suatu kebijakan dapat terwujud. Apabila standar dan sasaran kebijakan jelas akan
18
membuat kebijakan tidak bias sehingga tidak terjadi multi-interpretasi ataupun
menimbulkan kesalahpahaman dan konflik diantara para agen implementasi. Variabel
kedua yaitu sumber daya. Pengimplementasian kebijakan perlu dukungan sumber daya,
baik sumberdaya manusia (human resources) maupun sumberdaya materi (material
resources) dan sumber daya metoda (method resources). Dari ketiga sumber daya
tersebut, yang paling penting adalah sumber daya manusia, karena disamping sebagai
subjek implementasi kebijakan juga termasuk objek kebijakan publik. Ketiga, hubungan
antar organisasi. Dalam banyak program implementasi kebijakan, sebagai realitas dari
program kebijakan perlu hubungan yang baik antar instansi yang terkait. Komunikasi dan
koordinasi memegang peranan penting karena merupakan salah satu urat nadi dari sebuah
organisasi agar program-programnya dapat direalisasikan.Selain itu, variabel keempat
adalah karakteristik agen pelaksana. Implementasi kebijakan dapat mencapai
keberhasilan maksimal dengan cara mengidentifikasi karakteristik agen pelaksana yang
mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam
birokrasi. Hal ini berkaitan dengan variabel kelima yaitu disposisi implementor. Dalam
implementasi kebijakan, sikap atau disposisi implementor dibedakan menjadi tiga, yaitu
respon implementor terhadap kebijakan, kondisi yakni pemahaman terhadap kebijakan
yang telah ditetapkan dan intens disposisi implementor yakni preferensi nilai yang
dimiliki tersebut.Variabel terakhir adalah kondisi lingkungan sosial, politik dan ekonomi.
Hal ini mencakup sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan memberikan dukungan
bagi implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan apakah mendukung atau
menolak, bagaimana sifat opini publik dan apakah elite politik mendukung implementasi
kebijakan.
Model implementasi kebijakan e-procurement yang ditemukan pada penelitian
sebelumnya terdiri dari tiga variabel atau faktor14
.Landasan hukum sebagai faktor
pertama menunjukkan bahwa sebuah kebijakan memerlukan landasan hukum yang jelas
serta kelembagaan yang tetap. Sistem pengadaan secara elektronik ini dilandasi dengan
beberapa peraturan yang salah satunya adalah Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun
2015.Berlakunya sistem pengadaan secara elektronik juga memberikan kewajiban bagi
pemerintah daerah untuk membentuk Lembaga Pengadaan Sistem Elektronik (LPSE) dan
14
Trimurni, Februati dan Siahaan, Asima Yanty. 2014. “Model Implementasi Kebijakan E-Procurement
Dalam Mewujudkan Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Provinsi Sumatera Utara”.
Penelitian Tahun Pertama. Skim Hibah Bersaing. Universitas Sumatera Utara.
19
Unit Layanan Pengadaan (ULP) di daerah. Kedua lembaga ini berfungsi untuk
melancarkan proses pengadaan barang/jasa secara elektronik di daerah (kabupaten dan
kota). Faktor kedua dari model implementasi kebijakan e-procurement adalah
infrastruktur. Infrastruktur mencakup sarana dan prasarana seperti perangkat keras,
diantaranya server dan jaringan komunikasi serta piranti lunak. Penggunaan teknologi,
sistem dan prosedur yang baku, pengaturan jadwal dan waktu yang ketat merupakan hal
yang penting diketahui oleh semua pihak baik oleh penyedia maupun penyelenggara e-
procurement. Peranan infrastruktur amat dibutuhkan sebagai alat untuk mencapai tujuan
kebijakan. Faktor ketiga yaitu sumber daya manusia berkaitan dengan kapabilitas dan
budaya organisasi. Kapabilitas sumber daya manusia disini berhubungan dengan
penguasaan TI yang berbasis komputer, karena kegiatan e-procurement identik dengan
penggunaan TI. Selain itu diperlukan budaya organisasi yang adil, tidak diskriminatif dan
jauh dari praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) untuk memperlancar
kegiatan e-procurement.
Bekerjanya model implementasi kebijakan e-procurement ini mempengaruhi
terwujudnya transparansi pengadaan barang/jasa. Sementara model implementasi ini
bekerja tergantung pada tiga faktor tersebut. Kebijakan e-procurementyang lahir dari
suatu landasan hukum tidak dapat berfungsi optimal tanpa adanya infrastruktur yang
memperlengkapi pelaksanaan sistem pengadaan secara elektronik dansumber daya
manusia sebagai faktor penggerak kebijakan. Selanjutnya pemanfaatan teknologi yang
canggih harus diimbangi oleh kemampuan sumber daya manusia penyelenggara.
Karenanya, sumber daya manusia sebagai penyelenggara harus memiliki kemampuan TI
berbasis komputer yang handal. Apabila sumber daya penyelenggara sudah memiliki
kapabilitas dalam TI dan mampu menafsirkan peraturan dengan tepat, maka dapat
terbentuk budaya organisasi yang adil dan jauh dari praktek-praktek KKN.
2.2 Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Sebagai Tujuan Pelaksanaan
E-Procurement
Pengadaan secara elektronik (e-procurement) merupakan salah satu bentuk dari
pelayanan e-government. Definisi yang cukup sederhana dari e-procurement diberikan
oleh Van Weele (1994)15
yaitu “The use the Internet Tecnology in the process of
providing, that is, buying and selling of goods and sevices”. Sama dengan definisi diatas,
15
Van Weele, A., 1994. “Purchasing Management: Analysis, Planning and Practice”. London. UK:
Chapman & Hall.
20
Turban dkk (2006)16
mengatakan bahwa “e-procurement refers to the purchase of goods
and services for organizations”. Definisi berikutnya difokuskan pada implementasi e-
procurement di organisasi pemerintahan yang mengatakan “e-procurement refers to the
use of electronic communications and transaction processing by government institutions
and other public sector organisations when buying supplies and services or tendering
public works”.17
Beberapa pengertian e-procurement di atas sebenarnya tidak jauh
berbeda dengan pengertian e-government. Pelayanan yang dilakukan keduanya
menggunakan Teknologi Informasi (TI) yang berbasis komputer. Hanya bedanya e-
procurement fokus pada proses pengadaan, pembelian dan penjualan barang/jasa
sementara jangkauan e-government lebih luas karena menyangkut kategori publish,
interact dan transact.
Banyak alasan dan manfaat penggunaan e-procurement,Vaidyadkk (2006)18
mengatakane-procurement digunakan karena adanya tuntutan dari manajemen sektor
publik untuk transparan, efisien dan efektif dalam memberikan pelayanan. E-
procurementjuga menjadi temaumum daribanyak organisasidi negara maju dan
berkembang untuk mempromosikan transparansidan good governance. Dalam hal inie-
procuremant dijadikan sebagai sebuah instrument dari reformasi sektor publik19
.
Sementara Mitchell (2000)20
mendefinisikan e-procurement dengan membandingkannya
dengan metode pengadaan yang tradisional dimana pengadaan secara elektroniklebih baik
karena dapat mengintegrasikan proses dari rantai pasokan yang masuk(darikonsumenke
pemasokdankembali lagike konsumen) denganlancar, waktu yang tepatdandapat
dilakukan secaraberulang-ulang.Sedangkan Kelman (1990)21
mengkategorikan tiga
karakteristik dalam sistem pengadaan barang dan jasa di organisasi pemerintah yakni
equity, integrity, economy and efficiency. Ekuitasyakni menyediakanakses yang adil bagi
16
Turban, E., King, D., Lee, J. and Viehland, D. 2006. Electronic Commerce: A Managerial Perspective.
Pearson/Prentice-Hall, Englewood Cliffs. NJ. 17
E-Procurement of Golden Book and Good Practice, Final Report. 2013. This report was prepared for DG
MARKT by PwC EU Services EESV Contract reference: MARKT/2011/097/C4/OP LOT2 Version: v1.3
Project. 18
Vaidya, K., Sajeev, A.S.M. & Callender, G. 2006. “Critical Factors that Influence e-Procurement
Implementation Success in the Public Sector”. Journal of Public Procurement, 6 (1&3), 70-99. 19
E-Procurement: Towards Transparency and Efficiency in Public Service Delivery. Report of the Expert
Group Meeting. Department of Economic and Social Affairs. 4-5 October 2011. United Nations
Headquarters, New York. 20
Mitchell, K. 2000. “Instituting E-Procurement in the Public Sector”. Government Finance Review. 16 (1),
9-12. 21
Kelman, S. 1990. “Procurement and Public Management: The Fear of Discretion and the Quality of
Government Performance”. Washington, DC. The AEI Press.
21
penyedia; integritasyakniadanya kejujuran dalam proses pengadaan; ekonomi dan
efisiensiyakni mendapatkan hargaterendah dengan kualitas yang diinginkan.
Sebagaimana di jelaskan di atas banyak alasan dan tujuan dari pelaksanaan e-
procurement dan salah satu diantaranya adalah mewujudkan tranparansi. Transparansi
(transparency) itu sendiri adalah sebuah prinsip yang menjamin kebebasan bagi setiap
orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan baik itu
berkaitan dengan informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya
serta hasil-hasil yang dicapai. Dengan demikian adanya transparansi dapat menjadi entry
point bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi tentang apa yang dilakukan
pemerintah. Selain itu, masyarakat juga dapat melakukan checks and balances terhadap
apa yang dilakukan pemerintah tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Clem (2010:
4)22
bahwa transparansi sebagai “Government should provide citizens with information
about what their government is doing so that government can be held
accountable.”Pengertian Clem di atas memberikan pemahaman yang sangat luas
terhadap makna transparansi, dimana pemerintahharus menyediakan informasi kepada
warga negara tentangapa yang pemerintah lakukan. Dengan demikian pemerintah dapat
mempertanggung jawabkan apa yang sedang dikerjakan.
Namun pemaknaan transparansi di lingkungan pemerintahan tidak seluas
pendapat Clem diatas. Memangmerupakan kewajiban bagi pemerintah untuk memberikan
informasi ke publik tentang apa yang pemerintah lakukan, tetapi pemerintah juga
memiliki kategori informasi yang harus dirahasiakan dari masyarakat, seperti
menyangkut rahasia negara, informasi intelijen, membahayakan negara, kepentingan
perlindungan usaha dari persaingan usaha tidak sehat, hak-hak pribadi, rahasia jabatan
dan lainnya (Pasal 17 Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik).
Sementara menurut Perpres No. 4 Tahun 2015 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah Pasal 5 bahwa transparansi merupakan salah satu prinsip dari pengadaan
secara elektronik selain efisiensi, efektif, terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif dan
akuntabel. Selanjutnya di Penjelasan Perpres No.54 tahun 2010 dikatakan bahwa
transparan berarti semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan barang/jasa
bersifat jelas dan dapat diketahui secara luas oleh penyedia barang/jasa yang berminat
22
Clem, Constance,. 2010. “Government Online: Improving Service and Engaging Communities”. Ark in
Association with Inside Knowledge.
22
serta oleh masyarakat pada umumnya. Jadi tranparansi disini selain dimaknai agar
ketentuan dan informasi dapat diketahui secara luas oleh masyarakat umum tetapi juga
ketentuan dan informasi tersebut harus bersifat jelas. Pentingnya hal ini karena proses
pengadaan barang/jasa pemerintah menyangkut belanja negara yang menggunakan
keuangan negara.Karena itu proses pengadaan barang/jasa perlu dikelola dengan benar,
sehingga diperoleh barang/jasayang terjangkau dan berkualitas serta dapat
dipertanggung-jawabkan baik dari segifisik, keuangan, maupun manfaatnya bagi
kelancaran tugas pemerintah danpelayanan masyarakat.
Berkaitan dengan penjelasan perpres diatas mengenai transparansi, maka
pendapat Heald (dalam Bannister dan Connoly, 2011)23
mengenai pengkategorian
tranparansi tepat digunakan untuk melihat transparansi di website LPSE terutama di
tingkat kabupaten/kota. Heald mengkategorikan tiga hal dalam membicarakan
transparansi yakni transparansi data, transparansi proses dan transparansi
keputusan/kebijakan. Transparansi data berhubungan dengan angka dan fakta-fakta
pemerintah, seperti biaya penyediaan (memproses data hingga mudah diakses dan
dipahami masyarakat); misinterpretasi data atau informasi; resiko terhadap
masyarakat/anonimitas. Transparansi proses berkaitan dengan ketersediaan informasi dari
berbagai proses pemerintahan, mulai dari pembuatan keputusan hingga produk
keputusan. Transparansi ini menjadikan seluruh tahapan dalam proses jelas, menunjukkan
dimana proses suatu transaksi tertentu dapat ditemukan dan menjelaskan mengapa
langkah-langkah tertentu harus dilaksanakan. Transparansi keputusan atau kebijakan
menguraikan alasan (rasionalitas) dari keputusan-keputusan, dan/atau tindakan-tindakan
dan kebijakan pemerintah.
2.3 Pengaruh Model Implementasi Kebijakan E-Procurement Terhadap
Transparansi Pengadaan Barang/Jasa
Transparansi (transparency) dapat diartikan sebagai keterbukaan pemerintah
dalam memberikan informasi yang terkait dengan aktivitas pengelolaan sumber daya
publik kepada pihak-pihak yang membutuhkan informasi.Dengan demikian
pemerintahharus menyediakan informasi selengkap-lengkapnya kepada warga negara
tentangapa yang pemerintah lakukan. Karena hal ini sebagai bentuk pertanggungjawaban
23
Bannister, Frank and Connolly, Regina. 2011. "The Trouble with Transparency: A Critical Review of
Openness in e-Government," Policy & Internet: Vol. 3: Iss. 1, Article 8. Policy Studies Organization.
http://www.psocommons.org/ policyandinternet / vol3 / iss1/art8.
23
pemerintah kepada masyarakat atau warga negaranya.Berkaitan dengan transparansi
pengadaan barang/jasa beberapa pertanyaaan yang perlu dan sering diajukan, yaitu: What
is being procured?Who is eligible to bid?How to bid?What are the evaluation
criteria?Who has got the award?At What cost?What is the quality of
work/product/service?24
Namun ada beberapa hal yang tidak bisa dipertanyakan atau
tidak bisa dibuka kepada masyarakat umum. Hal ini sejalan dengan Pasal 17, Undang-
Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Di Indonesia pentingnya prinsip transparansi dapat dilihat dalam azas-azas
umum penyelenggaraan negara sebagaimana diatur oleh UU No. 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Selain itu dalam UU No. 14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang merupakan regulasi yang
strategis guna mewujudkan demokratisasi dalam kerangka menuju kesejahteraan rakyat.
Dalam regulasi ini, negara harus membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif mengenai
penyelenggaraan negara. Hal ini berarti setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat
diakses oleh setiap pengguna informasi publik. Jadi semua pengelolaan badan-badan
publik, dalam proses penyelenggaraan negara dan pemerintahan, wajib dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Akses terhadap informasi ini akan
menimbulkan partisipasi masyarakat sebagai penerima pelayanan publik. Dengan
demikian transparansi berkaitan dengan hak sebagai warganegara.
Tujuan utama transparansi dalam konteks pengadaan barang/jasa ialah agar
semua pihak yang ambil bagian dalam kegiatan ini bisa mendapatkan informasi yang
jelas untuk mengetahui cara, sarana dan proses yang diperlukan untuk mendefinisikan
kontrak, syarat-syarat memenangkannya dan mengurusnya.25
Transparansi membuka
akses ke informasi agar ada persaingan yang fair dan memungkinkan pengawasan
berjalan efektif. Karena itu transparansi dalam pengadaan barang/jasa publik menuntut
lima syarat:
1. Tersedianya akses ke informasi yang berkaitan dengan aturan-aturan dan prosedur-
prosedur serta kesempatan mengikuti pengadaan barang/jasa.
24
http://himachaldit.gov.in/file.axd?file=2010%2F5%2Fe-ProcurementConcepts.pdf. Diakses 22 April
2013. Jam 20.00. 25
OECD, 2007: Integrity in Public Procurement dalam Haryatmoko. 2011. “Etika Publik”. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
24
2. Informasi harus jelas, konsisten dan relevan sehingga calon penyedia dan kontraktor
memahami proses pengadaan barang/jasa secara baik, tidak merasa dipermainkan
dan memperoleh jaminan perlakuan yang adil. Informasi yang jelas akan menjamin
tingkat persaingan penyedia dan menghindarkan kolusi.
3. Standardisasi proses yang memungkinkan kontrol kebijakan melalui benchmark.
Melalui benchmark, keputusan-keputusan bisa dibandingkan sehingga memudahkan
kontrol internal dan melacak pelanggaran atau penyimpangan dari praktek yang
normal.
4. Keputusan-keputusan penting didalam pengadaan barang/jasa terdokumentasi
dengan baik dan mudah diakses. Semua keputusan dalam setiap tahap tender harus
dicatat untuk memudahkan audit atau pemeriksaan publik. Catatan-catatan ini
disimpan sampai beberapa tahun kedepan setelah penentuan pemenang kontrak
sehingga bila terdapat revisi dari keputusan-keputusan pemerintah maka
memungkinkan untuk melakukannya.
5. Penerapan sistem teknologi informasi dalam e-procurement menjadi alat
transparansi. Penggunaan sistem ini dapat memudahkan pekerjaanmengaudit, yang
sangat bermanfaat untuk membuat revisi dan evaluasi kebijakan pengadaan
barang/jasa. Dengan demikian penggunaaan sistem ini menjamin semua aktivitas
pengadaan barang/jasa sesuai dengan perencanaan dan budget, serta semua informasi
yang diperlukan tersedia dan bisa dilacak.
Menurut OECD dalam Fighting Corruption and Promotion Integrity in Public
Procurement (2005)26
agar pengadaan barang/jasa berkualitas harus ada persaingan antar
penyedia. Cara untuk menarik minat banyak penyedia, maka aturan dan prosedur harus
terbuka dan adil. Tiga cara yang dapat dilakukan untuk menarik minat sebanyak
mungkin penyedia sehingga tercipta persaingan dalam kegiatan e-procurement.
Pertama, pemerintah mengumumkan persaingan terbuka melalui publikasi di
media atau pemberitahuan online. Perubahan atau perbaikan kontrak harus dengan alasan
yang bisa dibenarkan dan ditulis untuk memudahkan audit. Selain itu, komunikasi antara
pemerintah dengan calon penyedia harus dibangun untuk menumbuhkan saling percaya.
Kedua, pemerintah menetapkan statuta dan regulasi yang dirancang dengan standar yang
sama. Aturan dan prosedur baik itu berkaitan dengan metode tender, spesifikasi, kriteria
seleksi, keputusan pemenang tender, serta alasan-alasan mengapa peserta lain kalah
26
Haryatmoko. 2011. “Etika Publik”. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
25
dalam tender, termasuk penyingkapan kepentingan pribadi pejabat publik. Selain itu
standar yang sama juga dituntut kepada semua calon penyedia seperti memiliki sumber
daya finansial yang memadai, mempunyai catatan kinerja yang baik di masa lalu, catatan
integritas yang memuaskan dan menerapkan etika bisnis. Ketiga, sebelum berlaku efektif,
aturan-aturan ini harus dipublikasikan lebih dulu untuk mendapatkan masukan atau
perbaikan dari pihak-pihak yang berkepentingan. Menjamin agar revisi tidak memihak,
maka lembaga independen diminta memberi masukan dan koreksi. Setelah revisi
dilakukan, baru aturan-aturan ini bisa diberlakukan.
Sementara Haryatmoko (2011) berpendapat bahwa transparansi pengadaan
barang/jasa membutuhkan pejabat publik yang kompeten. Pejabat publik ini haruslah
secara khusus mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan pengadaan barang/jasa dan
meniti karier di bidang pengadaan. Karena itu pemerintah harus menjamin agar pejabat
publik memenuhi tuntutan kompetensi ini yakni menguasai seluk-beluk pengadaan
barang/jasa, termasuk didalamnya memiliki integritas pribadi. Selain itu insentif dan
kondisi yang baik dalam hal gaji, bonus, jenjang karier serta pengembangan diri perlu
dijamin. Dengan jaminan seperti ini dimaksudkan agar yang mengemban jabatan itu
sungguh seorang profesional. Karena pengadaan barang/jasa membutuhkan tenaga
profesional yang kompeten baik secara teknis, leadership maupun etis.
Salah satu cara mewujudkan transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah
adalah dengan tersedia dan bekerjanya faktor landasan hukum, infrastruktur dan sumber
daya manusia sebagai sebuah model implementasi kebijakan e-procurement.
Implementasi kebijakanmerupakan suatu proses yang dinamis yang mencakup semua
interaksi dari ketiga faktor tersebut. Landasan hukum mengenai e-procurement yang
jelas dan tidak berubah-ubah memudahkan pegawai (sumber daya manusia) untuk
memahaminya. Selain itu penguasaan sumberdaya manusia terhadap teknologi informasi
serta integritas yang kuat terhadap pekerjaan dapat memudahkan pegawai untuk
melakukan kegiatan pengadaan barang/jasa secara elektronik.
Selanjutnya keterkaitan antara faktor-faktor dari model implementasi kebijakan
e-procurement ini mempengaruhi transparansi pengadaan barang/jasa.27
Ini artinya
transparansi akan terwujud bila landasan hukum, infrastruktur dan sumber daya manusia
termasuk kapabilitas dan budaya organisasi secara keseluruhan sebagai sebuah model
27
Trimurni, Februati dan Siahaan, Asima Yanty. 2014. “Model Implementasi Kebijakan E-Procurement
Dalam Mewujudkan Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Provinsi Sumatera Utara”.
Penelitian Tahun Pertama. Skim Hibah Bersaing. Universitas Sumater Utara.
26
implementasi kebijakan tersedia dan bekerja dengan optimal. Landasan hukum berupa
aturan main dalam pengadaan secara elektronik dan peraturan berkaitan dengan
pembentukan institusi teknik harus jelas. Kapabilitas sumber daya manusia yang
menguasai TI dan budaya organisasi yang terbuka, adil dan bebas dari praktek-praktek
korupsi, kolusi dan nepotisme serta siap menerima keberadaan e-procurement dan
ketersediaan infrastruktur dalam menunjang kebijakan e-procurement. Sebaliknya bila
ketiga faktor ini tidak tersedia dan bekerja dengan optimal maka sulit mewujudkan salah
satu tujuan dari pelaksanaan e-procurement yaitu transparansi pengadaaan barang/jasa
pemerintah.
2.4 Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian.
Dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang
relevan, belum berdasarkan fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan
data28
. Hipotesis yang diajukan peneliti adalah sebagai berikut:
a. Hipotesis nol (Ho)
Tidak ada pengaruh ketiga faktor secara bersama-sama sebagai sebuah model
implementasi kebijakan e-procurement terhadap transparansi pengadaan barang/jasa
pemerintah di Provinsi Sumatera Utara.
b. Hipotesis Kerja (Ha)
Ada pengaruh ketiga faktor secara bersama-sama sebagai sebuah model
implementasi kebijakan e-procurement terhadap transparansi pengadaan barang/jasa
pemerintah di Provinsi Sumatera Utara.
2.5 Definisi Konsep
Menurut Singarimbun (1995: 33)29
, konsep adalah abstraksi mengenai suatu
fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari sejumlah karakteristik kejadian,
keadaan, kelompok atau individu tertentu yang menjadi pusat perhatian. Dengan
demikian untuk mendapatkan batasan yang jelas dari masing-masing konsep yang diteliti,
maka perlu pendefinisian dari konsep tersebut:
28
Sugiyono. 2007. “Penelitian Administrasi Negara”. Bandung: Alfabeta. 29
Singarimbun, Masri. Metode Penelitian Surve. 2006. Jakarta: LP3ES.
27
1. Model implementasi kebijakan e-procurement yang terdiri dari landasan hukum,
infrastruktur dan sumber daya manusia berkerja dengan saling mempengaruhisatu
dengan lainnya dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah secara
elektronik.
2. Transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah adalah sebuah keterbukaan dalam
pelayanan pengadaan barang/jasa pemerintah yang terdiri dari transparansi data,
transparansi proses dan transparansi keputusan/kebijakan.
2.6 Definisi Operasional
Definisi operasional adalah unsur-unsur penelitian yang memberitahukan
bagaimana cara mengukur suatu variabel, sehingga dalam pengukuran ini dapat diketahui
indikator-indikator apa saja yang melekat dalam variabel tersebut. Dalam penelitian ini
terdapat dua variabel, yaitu variabel bebas (X) dan variabel terikat (Y).
1. Model implementasi kebijakan e-Procurement (Variabel Bebas (X)), dengan tiga
dimensi: landasan hukum, infrastruktur dan sumber daya manusia. Ketiga dimensi ini
dielaborasi menjadi beberapa indikator, sebagai berikut:
a. Pemahaman dan penerapan regulasi mengenai pengadaan barang/jasa
pemerintah.
b. Peranan dan ketersediaan infrastruktur dalam pelaksanaan e-Procurement.
c. Kualitas dan kuantitas SDM sebagai penyelenggara e-Procurement.
d. ULP dan LPSE sebagai lembaga penyelenggaran e-Procurement
e. Penting dan sulitnya RUP dalam implementasi pengadaan barang/jasa
pemerintah.
f. Sertifikasi pengadaan sebagai salah satu syarat penyelenggara pengadaan
barang/jasa pemerintah.
g. Penyetaraan gender dalam keanggotaan Pokja.
h. Hambatan pengadaan barang/jasa pemerintah.
2. Transparansi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah (Variabel Terikat (Y)),
dengan tiga dimensi: tranparansi data, proses dan keputusan/kebijakan. Ketiga
dimensi ini dielaborasi menjadi beberapa indikator penelitian, sebagai berikut:
a. Pemahaman sistem pengadaan secara elektronik dalam menciptakan
transparansi.
b. Dampak transparansi bagi penyelenggara dan penyedia.
28
c. Manfaat transparansi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.
d. Prasyarat mewujudkan transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah.
e. Transparansi data dan informasi.
f. Transparansi dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah.
g. Transparansi pengambilan keputusan pemenang dalam pengadaan barang/jasa
pemerintah.
2.7 Peta Jalan Penelitian
Beberapa penelitian mengenai e-procurement sudah dilakukan baik di dalam
maupun luar negeri, diantaranya:
Tabel 1.0
Peta Jalan Penelitian
Tahun Judul/Peneliti/Jurnal Hasil
2006 Critical Factors That Influence E-
procurement Implementation Success
in The Public Sector
(Kishor Vaidya, ASM Sajeev, Guy
Callender,Journal of Public
Procurement, Volume 6, Issues 1 &
3, 70-99).
Implementation Perspectives: Organization &
Management, Practices & Processes, Systems &
Technology.
2009 Studi Penerapan E-procurement Pada
Proses Pengadaan di Pemerintah
Kota Surabaya (Wahyu Hary Wijaya,
Retno Indryani, Yusronia Eka Putri;
Master Paper ITS).
Ada pengaruh antara variabel pemusatan
manajemen yang lebih baik, menciptakan proses
pengadan yang bersih transparan dan dapat
diterima, dan meningkatkan kepuasan klien dan
variabel mengurangi biaya per tenderdan
mengurangi waktu proses pengadaan.
2009 Persepsi Pengguna Layanan
Pengadaan Barang dan Jasa Pada
Pemerintah Kota Yogyakarta
Terhadap Implementasi Sistem E-
procurement (Ika Akyuna
Nightisabha, Djoko Suhardjanto,
Bayu Tri Cahya; Jurnal Siasat
Bisnis).
Ada perbedaan persepsi antara panitia
pengadaan barang/jasa dan penyedia
barang/jasa. Sehingga e-procurement dikatakan
tidak berhasil.
2012 E-procurement: Myth or Reality?
(Clifford Mc Cue and Alexandru
V.Roman; Journal of Public
Procurement, Volume 12, Issue 2,
212-238).
Public procurement has not yet led to significant
transformative changes. Unsuitability of
software platforms, organizational resistance,
lack of strategic systems’ integration and failure
to involve public procurement professionals in
the design of e-procurement systems were
identified as the primary obstacles of effectively
29
implementing digital Procurement.
2012 E-procurement Dalam Pengadaan
Barang dan Jasa Untuk Mewujudkan
Akuntabilitas di kota Yogyakarta
(Kodar Udoyono; Jurnal Studi
Pemerintahan Volume 3 Nomor 1
Februari).
Dimensi pertama fisibilitas dalam pengadaan
barang/jasa: regulatif, teknokratis dan
administratif, politik, dan kebutuhan masyarakat.
Kedua, dimensi akuntabilitas dalam pengadaan
barang/jasa: regulatif, politik, dan keuangan.
Jadi, implementasi E-procurement di kota
Yogyakarta fisibel tapi tidak akuntabel.
2014 Model Implementasi Kebijakan E-
procurement di Pemerintah Kota
Medan, Kota Binjai dan Kabupaten
Serdang Bedagai.
Tiga faktor dari model kebijakan e-
procurement di Pemerintah Kota Medan,
Kota Binjai dan Kabupaten Serdang
Bedagaiyaitu landasan hukum, infrastruktur
dan sumber daya manusia.
Implementasi model kebijakan e-procurement
di Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan
Kabupaten Serdang Bedagaiyang
menghasilkan proses „hybrid‟ dari kebijakan
e-procurement.
Hambatan pelaksanaan model kebijakan e-
procurement tersebut di Kota Medan, Kota
Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai.
2015 Model Implementasi Kebijakan E-
procurement di Pemerintah Kota
Medan, Kota Binjai dan Kabupaten
Serdang Bedagai.
Seberapa besar pengaruh landasan hukum,
infrastruktur dan sumber daya manusia secara
bersama-sama sebagai sebuah model
implementasi kebijakan e-procurement
terhadap transparansi pengadaan barang/jasa
pemerintah di Sumatera Utara?
Bagaimana proses e-procurement baik dengan
metode e-tendering maupun metode e-
purchasing di Dinkes Kabupaten/Kota,
Sumatera Utara?
Bagaimana proses e-procurement dalam
mewujudkan transparansi pengadaan
barang/jasa dilihat dari model implementasi
kebijakan di Dinkes Kabupaten/Kota,
Sumatera Utara?
2016 Model Implementasi Kebijakan E-
procurement di Pemerintah Kota
Medan, Kota Binjai dan Kabupaten
Serdang Bedagai.
Evaluasi dari model implementasi kebijakan
e-procurement tersebut di Pemerintah Kota
Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang
Bedagai.
Perbandingan model implementasi kebijakan
e-procurement di tiga lokasi penelitian.
Catatan: Kolom yang diarsir abu-abu muda (2014) sudah dilakukan penelitian, sementara
kolom yang diarsir abu-abu tua (2015) merupakan peta penelitian yang akan
diteliti. Tahun 2016 adalah peta yang direncanakan untuk diteliti.
30
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.0 Tujuan Penelitian
3.0.1 Menganalisis pengaruh landasan hukum, infrastruktur dan sumber daya manusia
secara bersama-sama sebagai sebuah model implementasi kebijakan e-
procurementterhadap transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah di Provinsi
Sumatera Utara.
3.0.2 Menganalisis kegiatan e-procurement baik dengan metode e-tendering maupun
metode e-purchasing di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Provinsi Sumatera
Utara, Indonesia.
3.0.3 Menganalisis proses e-procurement dalam mewujudkan transparansi pengadaan
barang/jasa dilihat dari model implementasi kebijakan di Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.
3.1 Manfaat Penelitian
3.1.1 Secara subyektif sebagai sarana untuk mengembangkan kemampuan berpikir
ilmiah, sistematis, dan kemampuan untuk menuliskannya dalam bentuk karya
ilmiah berdasarkan kajian Ilmu Administrasi Publik.
3.1.2 Secara praktis hasil penelitian ini diharapakn menjadi masukan atau sumbangan
pemikiran bagi pemerintah daerah (Kabupaten dan Kota) dalam
mengimplementasikan kebijakan e-procurement.
3.1.3 Secara akademis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi Ilmu
Administrasi Publik.
31
BAB IV
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan selama dua tahun. Metode yang digunakan dalam
penelitian tahun pertama adalah kualitatif, sementara penelitian saat ini adalah penelitian
tahun kedua yang dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif.
4.0 Metode Penelitian Kuantitatif
Pertanyaaan penelitian nomor satu dari penelitian ini dijawab dengan
menggunakan metode kuantitatif yang tujuannya mencari besarnya pengaruh variabel
model implementasi kebijakan e-procurement terhadap variabeltransparansi pengadaan
barang/jasa. Penelitian ini berlokasi di Kantor Walikota Medan, Kantor Walikota Binjai
dan Kantor Bupati Serdang Bedagai serta Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota di tiga lokasi
penelitian sebagai lokasi dari studi kasus penelitian ini.
4.0.1 Populasi dan Sampel
Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisa yang ciri-cirinya akan
diduga. Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Karena jumlah populasi
tidak terlalu besar maka semua populasi dijadikan sampel penelitian. Populasi dalam
penelitian ini sebanyak 64 orang yang selanjutnya diberikan kesempatan untuk mengisi
angket penelitian. Namun angket yang kembali hanya 54 set sehingga n dalam penelitian
ini 54. Berikut karakteristik dari responden:
Tabel 4.0: Instansi/Bagian Responden
No. Kategori Jawaban Frekwensi Persentase (100%)
1 Bagian Administrasi Pembangunan 41 75.9
2 Bagian Perlengkapan dan Aset 13 24.1
T o t a l 54 100
Sumber : Angket, 2015
Tabel 4.1: Kota/Kabupaten Responden
No. Kategori Jawaban Frekwensi Persentase (100%)
1 Medan 24 44.4
2 Binjai 17 31.5
3 Serdang Bedagai 13 24.1
T o t a l 54 100
Sumber : Angket, 2015
32
Tabel 4.2: Jabatan Responden
No Kategori Jawaban Frekwensi Persentase (100%)
1 Verifikator 4 7.4
2 Staf 21 38.9
3 Helpdesk 1 1.9
4 Penyusun Bahan Laporan 1 1.9
5 Sekretaris 4 7.4
6 Pengelola Pengadaan Barang/Jasa 1 1.9
7 Kepala ULP 2 3.7
8 Kasubbag Adpem dan Pengendalian 1 1.9
9 Ketua LPSE 1 1.9
10 Pokja ULP 18 33.3
T o t a l 54 100
Sumber : Angket, 2015
Tabel 4.3 : Frekuensi Mengikuti Diklat
No. Kategori Jawaban Frekwensi Persentase (100%)
1 Belum pernah 7 13.0
2 Satu kali 18 33.3
3 Dua kali 19 35.2
4 Tiga kali 2 3.7
5 Lebih dari tiga kali 8 14.8
T o t a l 54 100
Sumber : Angket, 2015
Tabel 4.4: Usia Responden
No. Kategori Jawaban Frekwensi Persentase (100%)
1 20-30 tahun 18 33.3
2 31-40 tahun 22 40.7
3 41-50 tahun 9 16.7
4 51-60 tahun 5 9.3
T o t a l 54 100
Sumber : Angket, 2015
Tabel 4.5: Pendidikan Responden
No. Kategori Jawaban Frekwensi Persentase (100%)
1 SMU 4 7.4
2 Diploma 9 16.7
3 S1 35 64.8
4 S2 6 11.1
T o t a l 54 100
Sumber : Angket, 2015
33
4.0.2 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penyebaran kuesioner (angket)
dan studi kepustakaan. Pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner bersifat terstruktur
dengan menggunakan daftar pertanyaan tertutup. Responden memilih salah satu jawaban
dari lima jawaban yang tersedia(Skala Likert). Skala Likert digunakan untuk mengukur
sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang suatu fenomena
sosial.30
Pertanyaan dalam angket ini terdiri dari 20 buah untuk variabel bebas dan 20
buah untuk variabel terikat. Sebagai tambahan dari pertanyaan terstruktur tersebut maka
diberikan beberapa pertanyaan yang bersifat terbuka yang tujuannya untuk menjelaskan
jawaban responden atas pertanyaan terstruktur tersebut.
4.0.3 Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan teknik analisis kuantitatif dengan menggunakan
analisis regresi yang bertujuan untuk mendifinisikan hubungan matematis antara variabel
dependen (Y) dengan satu atau beberapa variabel independen (X) (Hair et al, 1995)31
.
Selanjutnya, dalam pengolahan data statistik digunakan program komputer SPSS
(Statistical Package for Social Sciences).
Uji F digunakan untuk melihat bagaimana pengaruh variabel independen
terhadap variabel dependen. Atau untuk menguji apakah model regresi tersebut
baik/signifikan atau tidak baik/non signifikan. Uji F dapat dilakukan dengan
membandingkan F hitung dengan F tabel, jika F hitung > dari F tabel, (Ho di tolak Ha
diterima) maka pengaruh signifikan, hal ini juga ditandai dengan nilai kolom signifikansi
(%) < alpha. Sebaliknya jika pengaruh tidak signifikan. Jika pengaruh signifikan maka
bisa digunakan untuk prediksi/peramalan, sebaliknya jika non/tidak signifikan.
4.0.4 Koefisien Determinan
Koefisien determinan digunakan untuk mengetahui berapa persen besarnya
pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Perhitungan dilakukan dengan
mengkuadratkan nilai koefisien korelasi product moment (rxy) dan dikalikan dengan
100%.
30
Sugiyono. 2007. “Penelitian Administrasi Negara”.Bandung: Alfabeta. 31
Hair et al.1995
34
Bagan 4.0: Tahapan Penelitian Tahun Kedua
(Metode Kuantitatif dan Kualitatif)
Tahapan Kegiatan Keluaran
Faktor Model Implementasi
Kebijkan e-procurment Draft Pedoman Wawancara
Draft Temuan Lapangan Hasil Temuan Lapangan
Draft Analisis Hasil Temuan Hasil Penelitian:
Bekerjanya Model
Implementasi Kebijakan
Jurnal Kedua Dari Dua
Tahun Penelitian
Hasil Penelitian dari Metode
Kuantitatif dan Kualitatif
Indikator Variabel X dan
Variabel Y
Hipotesis diterima atau
ditolak
Penyebaran Angket
PengolahanData
Pengujian Hipotesis
Angket / Kuesioner
Transparansi Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah
Data
Penyajian Data
Hasil Penelitian: Besar Pengaruh
Model Implementasi Terhadap
Transparansi Pengadaan
Analisis dan Interpretasi Data
Model Implementasi Kebijakan e-
Procurement terdiri dari landasan
hukum, infrastruktur dan SDM
(Variabel X)
Hipotesis: Ho dan Ha
35
4.1 Metode Penelitian Kualitatif
Pertanyaan penelitian nomor dua dan tiga dari penelitian ini dijawab dengan
menggunakan metode kualitatif. Peneliti mendeskripsikan secara terperinci tahapan-
tahapan dari e-procurement baik dengan metode e-tendering maupun metode e-
purchasing yang menggunakan e-katalog. Selain itu dideskripsikan juga pemahaman
partisipan terhadap transparansi dalam pengadaan barang/jasa secara elektronik.
Selanjutnya, peneliti menjelaskan bekerjanya model implementasi kebijakan e-
procurement di Dinkes Kabupaten/Kota di tiga lokasi penelitian.
4.1.1 Penentuan Informan
Informan dipilih berdasarkan kategori-kategori tertentu seperti pernah bekerja di
bidang yang berkaitan dengan pengadaan barang/jasa sebagai Ketua/Sekretaris Bagian
Administrasi Pembangunan/LPSE di Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan
Kabupaten Serdang Bedagai, Ketua/Sekretaris ULP, Ketua/Anggota Pokja, PP, PPK dan
KPA di Dinas Kesehatan Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang
Bedagai baik yang mempunyai sertifikat pengadaan maupun tidak. Sementara untuk
kategori penyedia peneliti menetapkan penyedia yang pernah mengikuti paket lelang di
salah satu lokasi penelitian dan merupakan pengusaha lokal yang bernaung dalam sebuah
asosiasi pengusaha.
4.1.2 Teknik Wawancara
Penelitian ini menggunakan wawancara mendalam (in dept interview) kepada
informan yang berasal dari Bagian Administrasi Pembangunan/LPSE dan ULP di
Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai serta Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota sebagai lokasi dari studi kasus penelitian ini. Selain itu
wawancara mendalam dilakukan pada penyedia sebagai pengusaha yang mengikuti
kegiatan e-procurementdi salah satu lokasi penelitian. Dari hasil wawancara mendalam
didapat beberapa tema yang dianggap menarik untuk dianalisis (theme analysis).
4.1.3 Teknik Observasi
Observasi yang dilakukan peneliti sesuai dengan data yang dibutuhkan. Karena
itu, infrastruktur yang merupakan salah satu faktor dari model implementasi kebijakan e-
procurementmenjadi salah satu fokus observasi. Fokus observasi yang lain adalah website
LPSE, website LKPP, dan website e-katalog di bidang kesehatan dengan tujuan untuk
36
melihat transparansi data, proses dan keputusan dari sistem e-procurement. Hasil
observasi ini selanjutnya dianalisis dengan analisis isi (content analysis).
4.1.4 Studi Kasus
Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus. Kasus-kasus dalam kegiatan
e-procurement cukup kompleks karena melibatkan beberapa pihak dan cukup riskan di
lingkungan pemerintahan karena menyangkut anggaran yang sangat besar. Dengan
menggunakan penelitian studi kasus maka disamping dapat menjelaskan seperti apa
obyek atau kasus yang diteliti, juga menjelaskan bagaimana keberadaan dan mengapa
kasus tersebut dapat terjadi(Yin, 2003)32
.
4.1.5 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif yang
dilakukan dengan interaktif dan terus menerus hingga sampai pada titik jenuh.
Menganalisis data dengan menggunakan model interaktif33
, terdiri dari 3 (tiga) hal utama
yaitu:
1. Reduksi data, yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan,
pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis
dari lapangan. Reduksi data berlangsung secara terus menerus sejalan pelaksanaan
penelitian berlangsung.
2. Penyajian data, yaitu sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
3. Verifikasi dan penarikan kesimpulan, yaitu penarikan arti data yang telah
ditampilkan. Pemberian makna ini tentunya sejauh pemahaman peneliti dan
interpretasi yang dibuat.
4.2 Catatan Penelitian
Catatan penelitian ini dimulai dari penandatanganan kontrak penelitian dan
pencairan dana penelitian tahap pertama pada pertengahan April 2015. Setelah
penandatanganan kontrak, peneliti mengurus surat izin penelitian ke lokasi penelitian
dengan membawa Surat Tugas yang dikeluarkan oleh Lembaga Penelitian dan
32
Yin, Robert K. 2013. Case study research: Design and methods. New York: Sage Publications Inc. 33
Idrus, Muhammad. Metode Penelitian Ilmu Sosial (Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif). Penerbit:
Erlangga. Jakarta. 2009. Hal:147 – 150.
37
Pengabdian/Pelayanan Kepada Masyarakat Bidang Penelitian USU. Sebelum ke lokasi
penelitian, peneliti mengurus surat izin ke Kantor Balitbang dan Bakesbangpol Provinsi
Sumatera Utara. Kedua surat ini selanjutnya dibawa ke Litbang Kota Medan dan
kemudian keluar surat izin penelitian dari Litbang Kota Medan yang seterusnya
diserahkan ke Bagian Administrasi Pembangunan/LPSE dan ULP di Kantor Walikota
Medan; Kantor Dinas Kesehatan Kota Medan; Kantor Dinas Pendidikan Kota Medan.
Peneliti juga membawa surat izin penelitian dari Kantor Balitbang, Bakesbangpol
Provinsi Sumatera Utara dan Bidang Penelitian USU ke DPRD Kota Medan (Banggar).
Selain itu, peneliti mengantar surat tugas dari Bidang Penelitian USU ke beberapa
asosiasi pengusaha yang ada di Kota Medan. Hal yang sama peneliti lakukan di Kota
Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai.
Membutuhkan waktu yang lama untuk mengurus surat izin penelitian ini.
Berulang kali ditelepon dan didatangi tempat-tempat yang disebut diatas hanya untuk
menanyakan kapan surat izin penelitian selesai sehingga peneliti bisa memulai penelitian
yakni melakukan penyebaran angket dan wawancara serta mengumpulkan data sekunder.
Pada akhirnya lebih dari satu minggu berselang surat izin penelitian tersebut keluar.
Namun beberapa kantor dimana penelitian ini dilakukan mengeluarkan izin penelitian
setelah lebih dari dua minggu. Sementara di Dinas Pendidikan Kota Medan surat yang
dikirim peneliti tidak direspon hingga pada akhirnya diputuskan studi kasus penelitian
hanya dilakukan di Dinas Kesehatan (Dinkes) saja, sementara di Dinas Pendidikan
dibatalkan. Meskipun pada saat itu peneliti sudah melakukan wawancara mendalam di
Dinas Pendidikan Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai serta mengumpulkan data
sekunder. Demikian juga ketika peneliti ingin melakukan wawancara ke DPRD
(Banggar) Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai tidak ada respon yang positif.
Pada awalnya dilakukan wawancara dengan Sekretariat DPRD Kota Binjai tetapi ketika
dilanjutkan hendak mewawancarai ketua/anggota Banggar maka selalu diterima jawaban
„yang bersangkutan sedang sibuk‟ atau „tidak ada ditempat‟. Hal yang sama terjadi di
DPRD Kabupaten Serdang Bedagai. Karena di kedua lokasi sudah tidak memungkinkan
lagi untuk mewawancarai ketua/anggota Banggar DPRD, maka rencana untuk
mewawancarai ketua/anggota Banggar DPRD Kota Medan akhirnya dibatalkan.
Pengalaman yang hampir sama ditemukan ketika peneliti hendak mewawancarai
pegusaha yang pernah menjadi penyedia barang/jasa pemerintah di salah satu lokasi
penelitian. Awalnya peneliti telusuri melalui pegawai yang bekerja di Dinkes
Kabupaten/Kota untuk mendapatkan alamat pengusaha yang sering atau pernah
38
mengikuti tender di dinkes. Setelah alamat didapat peneliti menuju kantor pengusaha
tersebut tetapi sayang pengusaha tersebut tidak bersedia untuk diwawancarai. Karena
gagal, peneliti menanyakan alamat pengusaha kepada staf yang bekerja di LPSE
Pemerintah Kabupaten/Kota, namun alamat pengusaha tidak tercantum dengan jelas.
Akhirnya peneliti pergi ke beberapa asosiasi pengusaha di tiga lokasi penelitian. Cukup
sulit dan memakan waktu cukup lama untuk bertemu dengan pengusaha di kantor asosiasi
pengusaha. Setelah satu bulan lebih baru peneliti bisa melakukan wawancara. Peneliti
juga pada awalnya ingin mewawancarai pengusaha wanita sebagai partisipan penelitian
untuk melihat dari perspektif jender. Tetapi karena kesulitan menemui pengusaha wanita
dan keterbatasa waktu maka rencana itu di batalkan.
Berkaitan dengan penyebaran angket kepada responden juga memakan waktu
yang sangat panjang dan melelahkan. Rencana awal penelitian ini, peneliti atau tenaga
lapangan mendampingi responden yang sedang mengisi angket. Ini dilakukan supaya
jawaban yang diberikan oleh responden benar-benar yang dialaminya jadi bukan asal
menjawab. Selain itu bila ada pertanyaan yang membingungkan dapat segera dijelaskan
oleh peneliti atau tenaga lapangan. Namun pada akhirnya pendampingan ini tidak dapat
dilakukan terutama pada responden yang berlokasi di Kota Binjai dan Kabupaten Serdang
Bedagai. Karena beberapa kali peneliti atau tenaga lapangan datang ke lokasi penelitian,
anggota ULP/Pokja sebagai responden tidak ada di tempat. Akhirnya diputuskan, angket
ditinggalkan pada seorang pegawai untuk didistribusikan kepada rekan-rekannya
(responden lainnya).
Setelah hampir dua setengah bulan menunggu maka diputuskan untuk menyetop
pengembalian angket dari responden. Alasan penyetopan ini karena waktu yang
disediakan peneliti sudah sangat panjang. Selain itu alasan dari responden yang jamak
didengar adalah sibuk karena pekerjaan sangat padat sehubungan dengan proses lelang
akan dan sedang berlangsung. Pada akhirnya terkumpul lebih kurang 60 set angket,
namun setelah di verifikasi maka yang valid hanya 54 set angket.
Sebenarnya sebelum angket disebar, tenaga peneliti melakukan survey awal ke
tiga lokasi penelitian untuk mencari berapa jumlah populasi dan selanjutnya sampel dari
penelitian ini. Sulit untuk mendapat data yang pasti karena anggota Pokja ULP ada yang
bersifat tetap dan sementara seperti di Kota Medan, tetapi di Kota Binjai dan Kabupaten
Serdang Bedagai istilah ini tidak dikenal. Selain itu ada perbedaan nomenklatur terhadap
bagian yang bertanggungjawab di bidang pengadaan di tiga lokasi penelitian. Pada saat
itu didapat jumlah populasi sebanyak 120 orang. Namun setelah peneliti mengumpulkan
39
data sekunder dan melakukan wawancara maka jumlah ini tidak akurat karena beberapa
orang tidak memenuhi syarat untuk menjadi populasi. Sehingga yang menjadi populasi
hanya64 orang. Selanjutnya karena jumlah populasi tidak terlalu besar maka semua
populasi ini dijadikan sampel.
Selama proses pengumpulan data di lapangan, peneliti dan tenaga lapangan
menemukan beberapa hambatan terutama berkaitan dengan ketidakdisiplinan waktu
untuk wawancara. Misalnya sudah disepakati untuk bertemu dan melakukan wawancara
jam 14.00 WIB pada akhirnya bisa molor 1 atau 2 jam bahkan lebih. Tidak jarang peneliti
pulang karena tidak dapat mewawancarai partisipan meskipun sudah ada kesepakatan
sebelumnya. Sebagaimana diketahui, isu dalam penelitian ini berkaitan dengan
pengadaan barang/jasa secara elektronik. Sebuah isu yang cukup riskan di lingkungan
birokrasi pemerintahan sehingga beberapa partisipan enggan untuk diwawancarai atau
mengulur-ulur waktu untuk diwawancarai. Namun peneliti juga menemukan beberapa
partisipan yang sangat kooperatif dan memberikan waktu yang cukup panjang untuk
diwawancarai sehingga informasi yang didapat sangat banyak dan signifikan.
Dalam hal pengumpulan data, peneliti juga menemukan kesulitan terutama
berkaitan dengan proses atau tahapan dari pengadaan barang/jasa secara elektronik.
Peneliti menemukan data yang berbeda-beda dari masing-masing informan sehingga pada
akhirnya pertanyaan dilakukan berulang-ulang atau bahkan menambah partisipan baru
yang mengerti akan hal tersebut. Sama halnya dengan pemahaman mengenai transparansi
pengadaan. Dibutuhkan wawancara berulang-ulang untuk akhirnya diyakini bahwa
memang ada perbedaan pemahaman mengenai arti transparansi di bidang pengadaan.
Setelah data dari lapangan didapat maka dibuat transcribenya dan tahap
selanjutnya dilakukan analisis terhadap data tersebut. Beberapa data perlu divalidasi,
maka digunakan teknik triangulasi dengan menggunakan beberapa teknik pengumpulan
data seperti observasi website LPSE, wawancara mendalam dan angket. Tidak jarang
peneliti harus kembali ke lapangan untuk melakukan wawancara sehingga data benar-
benar valid. Sementara untuk data yang berasal dari angket penelitian, digunakan
program SPSS dan analisis regresi untuk mendapat besarnya pengaruh kedua variabel.
Penulisan laporan hasil penelitian ini tidak mencantumkan identitas partisipan
tetapi hanya dalam bentuk kode yaitu MI (Model Implementasi) seperti MI1, MI2 dan
seterusnya. Hal ini merupakan kesepakatan awal dengan partisipan ketika wawancara
mendalam dimulai dengan menggunakan alat bantu tape recorder. Tujuannya agar
partisipan lebih bebas dan terbuka menyampaikan jawaban pertanyaan yang diajukan
40
oleh peneliti dan juga lebih bebas bagi peneliti untuk menganalisis data yang didapat di
lapangan. Hal ini dapat dimaklumi karena isu yang diangkat oleh peneliti cukup
kompleks karena menyangkut banyak pihak dan cukup riskan karena rentan dengan
masalah hukum. Sementara hasil penelitian dengan menggunakan metode kuantitatif
yang berbentuk tabel frekwensi tidak akan di tampilkan seluruhnya dalam laporan
penelitian ini. Hal ini semata-mata karena keterbatasan waktu dan diyakini tidak akan
mengurangi nilai dari hasil penelitian ini.
Menyiapkan draft jurnal dan slide untuk seminar juga bagian dari penelitian ini.
Sebenarnya semuanya dapat dikerjakan dengan maksimal apabila waktu yang diberikan
cukup panjang. Namun hanya dengan waktu tiga bulan sudah dilakukan monev internel
(akhir Juli) dengan penilaian hasil penelitian kira-kira 76%, draft jurnal serta slide untuk
seminar. Padahal tidak dapat disangkal, untuk menghasilkan tulisan yang berkualitas
diperlukan data yang benar-benar lengkap dan valid dari lapangan. Ini artinya diperlukan
waktu yang cukup untuk berada dilapangan sehingga penulis dapat lebih mudah
menganalisis data tersebut untuk menemukan tema-tema yang menarik yang tentunya
dapat memperkaya sebuah tulisan ilmiah.
41
BAB V
Model Implementasi Kebijakan e-Procurement: Cara Mewujudkan Transparansi
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Provinsi Sumatera Utara
5.0 Pengantar
Penelitian ini berlokasi di Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang
Bedagai, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Dari hasil penelitian tahun pertama
ditemukan model implementasi kebijakan e-procurement terdiri dari landasan hukum,
infrastruktur dan sumber daya manusia khususnya kapabilitas sumber daya manusia dan
budaya organisasi. Ketiga faktor menghasilkan model yang hybrid (semu) karena
ketiganya belum berjalan sebagaimana yang diharapkan sehingga transparansi
pengadaan barang/jasa pemerintah sebagai salah satu tujuan dari kebijakan pengadaan
barang/jasa secara elektronik belum terwujud. Untuk melihat berapa persentase
besarnya pengaruh model implementasi e-procurement terhadap transparansi pengadaan
barang/jasa pemerintah di tiga lokasi penelitian, maka digunakan pendekatan kuantitatif.
Selain memperoleh besarnya pengaruh dari kedua variabel penelitian,
penelitian tahun kedua ini menemukan beberapa isu yang menarik berkaitan dengan
pelaksanaan e-procurement di Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang
Bedagai. Beberapa temuan yang didapat dan menjadi tema dalam penelitian ini
diantaranya berkaitan dengan reformasi di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah,
posisi ULP (Pokja) dan PPK dalam sistem e-procurement, pandangan pengusaha
(provider) terhadap kebijakan e-procurement, serta temuan-temuan lainnya. Semua
temuan ini didapat melalui penyebaran angket, khusus kepada anggota LPSE dan ULP
(Pokja), wawancara yang mendalam (in depth interview) dengan beberapa informan
penelitian baik yang berasal dari LPSE, ULP, SKPD yang melakukan pengadaan
barang/jasa dalam hal ini Dinkes Kabupaten/Kota, pengusaha (provider) yang ikut
melakukan penawaran.
Tema lain yang juga dieksplor dalam penelitian tahun kedua ini adalah
transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah di tiga lokasi penelitian. Tidak mudah
mendapatkan pemahaman yang utuh mengenai transparansi di bidang pengadaan
barang/jasa pemerintah karena baik panitia penyelenggara, SKPD sebagai user maupun
pengusaha sebagai penyedia (provider) memiliki perspektif yang berbeda-beda. Karena
itu dilakukan wawancara mendalam (in depth interview) berulang-ulang dengan
42
informan penelitian serta digunakan metode analisis isi dan observasi terhadap website-
website yang berkaitan dengan pengadaan barang/jasa baik di tingkat nasional maupun
di tingkat lokal khususnya di tiga lokasi penelitian.
Terakhir, tema yang ditemukan dalam penelitian ini berkaitan dengan tiga
aktor dalam kegiatan e-procurement yakni panitia pengadaan dan LPSE/ULP, user
(Dinkes Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai) dan providers
(penyedia) yang diwakili oleh pengusaha baik yang berada dibawah asosiasi Gapensi
maupun Kadin. Di bagian ini dapat dilihat bagaimana model kebijakan e-procurement
yang terdiri dari faktor landasan hukum, infrastruktur dan sumber daya manusia
terutama yang berkaitan dengan kapabilitas sumber daya manusia dan budaya
organisasi bekerja dalam kegiatan e-procurement terutama dalam metode e-tendering di
Dinkes Kabupaten/Kota di tiga lokasi penelitian. Jalinan ketiga faktor dan aktor ini
menentukan terwujud tidaknya transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah.
5.1 Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian tahun kedua ini dilakukan di tiga kota/kabupaten di Provinsi
Sumatera Utara yakni Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai.
Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi di Indonesia terdiri dari 25
Kabupaten, 8 Kota, 325 Kecamatan dan 5.456 Kelurahan/Desa. Sementara studi kasus
dari penelitian ini adalah Dinas Kesehatan yang terdapat di tiga lokasi penelitian.
Bidang Kesehatan merupakan salah satu pelayanan dasar yang sangat penting bagi
masyarakat.
5.1.0 Lokasi dan Wilayah Kota Medan
Luas wilayah Kota Medan adalah 265.10 km2atau 3.6 persen dari total luas
wilayah Provinsi Sumatera Utara. Secara administratif,Kota Medanberbatasan dengan
Selat Malaka di sebelah Utara dan Kabupaten Deli Serdang di sebelah Timur, Barat
serta Selatan.Kota Medan sebagai pusat pemerintahan Provinsi Sumatera Utara
memiliki posisi strategis baik secara regional maupun nasional. Posisi ini menjadi
modal dasar dalam pembangunan kota.
Secara administratif Pemerintahan Kota Medan terdiri dari 21 Kecamatan
dengan151 Kelurahan, yang terbagi atas 2.001 Lingkungan. Berdasarkan batas wilayah
administratif, Kota Medan relatif kecil dibanding kota lainnya, tetapi posisinya sangat
penting secara ekonomi regional.
43
5.1.1 Lokasi dan Wilayah Kabupaten Serdang Bedagai
Kabupaten Serdang Bedagai merupakan salah satu kabupaten yang berada di
kawasan Pantai Timur Sumatera Utara. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten
Serdang Bedagai Nomor 06 dan Nomor 10 Tahun 2006, Kabupaten Serdang Bedagai
terdiri dari 17 Kecamatan, 243 Desa/Kelurahan definitif. Kecamatan terluas adalah
Kecamatan Dolok Masihul dengan luas 237.417 Km2 dan Kecamatan terkecil adalah
Kecamatan Serbajadi dengan luas 50.690 Km2.
Batasan wilayah administrasi Kabupaten Serdang Bedagai adalah
disebelahUtara terletak Selat Malaka, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten
Simalungun, sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang, serta sebelah
Timur berbatasan dengan Kabupaten Batubara dan Kabupaten Simalungun.
5.1.2 Lokasi dan Wilayah Kota Binjai
Kota Binjai memiliki luas lebih kurang 90.23 km2 didiami oleh 285.530 orang,
dengan demikian rata-rata kepadatan penduduk Kota Binjai adalah 3.164 orang/km2.
Kecamatan yang paling tinggi kepadatan penduduknya adalah Kecamatan Binjai Kota
yakni sebanyak 9.354 orang/km2 sedangkan yang paling rendah/ jarang adalah
Kecamatan Binjai Selatan yakni sebanyak 1.968 /km2.
Secara administratif Pemerintah Kota Binjai terdiri dari 5 Kecamatan dan 37
Kelurahan. Wilayah Kota Binjai sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Binjai,
Kabupaten Langkat dan Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang. Sebelah
Timur berbatasan dengan Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang dan sebelah
Selatan berbatasan dengan Kecamatan Sei Bingei, Kabupaten Langkat dan Kecamatan
Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang serta sebelah Barat berbatasan dengan
Kecamatan Selesai, Kabupaten Langkat.
5.1.3 Dasar Hukum Terbentuknya Unit Layanan Pengadan (ULP) Barang/Jasa
Pemerintah di Tiga Lokasi Penelitian
Unit Layanan Pengadan (ULP) Barang/Jasa Pemerintah Kota Medan dibentuk
berdasarkan Peraturan Walikota Medan No. 52 Tahun 2012 tentang Pembentukan
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Unit Layanan Pengadaan (ULP) Pemerintah Kota
Medan. Sementara ULP di Kabupaten Serdang Bedagai diatur dalam Peraturan Bupati
Nomor 6 Tahun 2011 tentang Unit Layanan Pengadaan (ULP) Kabupaten Serdang
Bedagai. ULP di Kota Binjai disusun berdasarkan Peraturan Walikota Binjai Nomor 21
44
Tahun 2013 tentang Unit Layanan Pengadaan (ULP) Pemerintah Kota Binjai. Tidak ada
perbedaan antara susunan organisasi, tugas dan fungsi ULP Kota Medan, Kabupaten
Serdang Bedagai dan Kota Binjai.
5.1.4 Dasar Hukum Terbentuknya Layanan Pengadaan Barang/Jasa Secara
Elektronik (LPSE) di Tiga Lokasi Penelitian
Pembentukan lembaga pelaksana e-procurement di Indonesia didasarkan pada
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah. Untuk mengimplementasikan kebijakan ini maka LPSE Kota Medan
mengeluarkanPeraturan Walikota Medan No. 38 Tahun 2011 tentang Layanan
Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik (LPSE) Kota Medan. Sementara di
Kabupaten Serdang Bedagai dikeluarkan Keputusan Bupati Serdang Bedagai Nomor
312/810/Tahun 2014 tentang Pembentukan Tim Layanan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah Secara Elektronik (LPSE) Kabupaten Serdang Bedagai. Di Kota Binjai
dikeluarkan Keputusan Walikota Binjai Nomor 816-367/K/2014 tentang Tim Layanan
Pengadaan Secara Elektronik Kota Binjai. Tidak terdapat perbedaan susunan organisasi,
tugas dan fungsi LPSE di tiga lokasi penelitian.
Bagan 5.0: Struktur Organisasi LPSE
Sementara alamat, nomor telepon, email dan website LPSE sebagai berikut:
LPSE Kota Medan-Bagian Administrasi Pembangunan Sekretariat Daerah Kota Medan
Jl. Kapten Maulana Lubis No.2 Medan, Sumatera Utara
Helpdesk : (061) 4537949
Email : lpse@pemkomedan.go.id
Website : lpse.pemkomedan.go.id/
LPSE Kabupaten Serdang Bedagai-Bagian Administrasi Pembangunan Sekretariat
Daerah Kabupaten Serdang Bedagai
Jl. Negara No. 300 Kec. Sei Rampah Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara
Helpdesk : (0621) 441671/081376704014
45
Email : helpdesk_lpseserdangbedagaikab@yahoo.com
Website : lpse.serdangbedagaikab.go.id/
LPSE Kota Binjai-Bagian Administrasi Pembangunan Sekretariat Daerah Kota Binaji
Jl.Jenderal Sudirman No.6 Binjai
Helpdesk : (061) 8821748
Fax : (061) 8830076
Email : lpse@binjaikota.go.id
Website : lpse.binjaikota.go.id/
Tugas LPSE adalah sebagai penyelenggara sistem pelayanan pengadaan
barang/jasa secara elektronik serta memfasilitasi ULP/Pejabat Pengadaan dalam
melaksanakan pengadaan barang/jasa secara elektronik. Sebagai sebuah unit kerja,
LPSE dibentuk di seluruh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat
Daerah/lnstitusi lainnya (K/L/D/I). Pembentukan LPSE didasarkan pada Perpres Nomor
54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa pemerintah dimana ketentuan teknis
operasional dari peraturan ini diatur dalam Peraturan Kepala LKPP Nomor 2 Tahun
2010 tentang Layanan Pengadaan Secara Elektronik. Selain perpres diatas, LPSE juga
wajib memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
LPSE menggunakan SPSE (Sistem Pengadaan Barang dan Jasa Secara
Elektronik) sebagai aplikasi e-procurement yang dikembangkan oleh LKPP (Lembaga
Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah). LKPP merupakan Lembaga
Pemerintah Non Departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
Presiden dan dibentuk berdasarkan Perpres No 106 Tahun 2007. LKPP bekerja sama
dengan Lembaga Sandi Negara yang berfungsi untuk enkripsi dokumen serta Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembanguna yang berfungsi untuk sub sistem audit.
Layanan yang tersedia dalam Sistem Pengadaan Secara Elektronik adalah e-tendering
sesuai dengan Peraturan Kepala LKPP Nomor 1 Tahun 2011 tentang Tata Cara E-
Tendering serta e-Catalogue yang merupakan sistem informasi elektronik yang memuat
berbagai penyedia barang/jasa pemerintah, proses audit secara online, dan tata cara
pembelian barang/jasa melalui katalog elektronik.
5.2 Interpretasi dan Analisis Data: Pengaruh Model Implementasi Kebijakan e-
Procurement Terhadap Transparansi Pengadaan Barang/Jasa di Pemerintah
Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai
46
Landasan hukum merupakan salah satu faktor dari model implementasi
kebijakan e-procurement. Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang/jasa
merupakan salah satu landasan hukum mengenai pengadaan yang telah direvisi
beberapa kali. Revisi perpres ini yang terbaru adalah Perpres No. 4 Tahun 2015 tentang
Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah dan Penjelasannya yang telah diundangkan pada tanggal 16
Januari 2015.Landasan hukum selain sebagai pedoman atau tata cara dalam pelaksanaan
kegiatan pengadaan secara elektronik juga merupakan sumber hukum dari pembentukan
institusi-institusi yang berkaitan dengan pengadaan barang/jasa.
Tabel 5.0: Memahami Secara Umum Inti Perpres No. 54 Tahun 2010
dan Revisi Terbaru Menjadi Perpres No. 4 Tahun 2015
No Kategori Jawaban Frekwensi Persentase (100%)
1 Sangat Memahami 2 3.7
2 Memahami 35 64.8
3 Cukup Memahami 11 20.4
4 Kurang Memahami 5 9.3
5 Tidak Memahami 1 1.9
T o t a l 54 100
Sumber: Angket, 2015
Dari tabel diatas hanya 2% dan 35% pegawai yang sangat memahami serta
memahami garis besar peraturan tentang pengadaan barang/jasa pemerintah. Persentasi
ini sangat tidak memuaskan karena seharusnya pegawai yang bertanggung jawab di
sektor pengadaan sudah sangat memahami peraturan mengenai pengadaan barang/jasa,
setidak-tidaknya inti atau garis besar dari perpres tersebut. Tidak ada alasan bagi
pegawai untuk tidak memahami perpres tersebut, meskipun hampir setiap tahun perpres
ini direvisi.
Tabel 5.1: Memahami Pasal Demi Pasal
Perpres No. 54 Tahun 2010 Serta Revisi Terbaru
No Kategori Jawaban Frekwensi Persentase (100%)
1 Sangat Memahami - -
2 Memahami 23 42.6
3 Cukup Memahami 24 44.4
4 Kurang Memahami 6 11.1
5 Tidak Memahami 1 1.9
T o t a l 54 100
Sumber: Angket, 2015
47
Bila dilihat dari jawaban responden terhadap pasal demi pasal dari perpres
tentang pengadaan ini maka tidak seorangpun yang sangat memahami, sementara tidak
sampai 50% yang memahami. Sebanyak 13% kurang dan bahkan tidak memahami sama
sekali perpres itu secara detail. Ini menjadi pekerjaaan rumah bagi LPSE untuk lebih
intens melakukan pelatihan tentang pengenalan dan pemahaman perpres sehingga setiap
pegawai yang bertanggungjawab di bidang pengadaan mengerti dan memahami benar-
benar peraturan ini. Karena penguasaan pada peraturan dapat memperlancar pekerjaan.
Tabel 5.2: Penafsiran dan Pemahaman yang Berbeda Dari Pelaksanaan
Perpres Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
No Kategori Jawaban Frekwensi Persentase (100%)
1 Sangat Jarang Terjadi - -
2 Jarang Terjadi 2 3.7
3 Cukup Sering Terjadi 24 44.5
4 Sering Terjadi 14 25.9
5 Sangat Sering Terjadi 14 25.9
T o t a l 54 100
Sumber: Angket, 2015
Berkaitan dengan penafsiran dan pemahaman yang berbeda-beda terhadap
perpres tentang pengadaan, jawaban yang diberikan responden cukup mengejutkan.
Sangat sering terjadi perbedaan penafsiran terhadap perpres ini yakni sebesar 25.9% dan
sering terjadi penafsiran sebesar 25.9%. Tidak heran bahwa transparansi pengadaan
barang/jasa belum maksimal terwujud karena model implementasi kebijakan e-
procurement yang salah satu faktornya adalah landasan hukum belum maksimal
bekerja.
Tabel 5.3: Infrastruktur Dalam Mendukung Kegiatan E-procurement
No Kategori Jawaban Frekwensi Persentase (100%)
1 Sangat Memadai 5 9.3
2 Memadai 37 68.5
3 Cukup Memadai 6 11.1
4 Kurang Memadai 6 11.1
5 Tidak Memadai - -
T o t a l 54 100
Sumber: Angket, 2015
Infrastruktur merupakan salah satu faktor selain landasan hukum dan sumber
daya manusia dalam model implementasi kebijakan e-procurement. Berkaitan dengan
infrastruktur hanya 9.3% mengatakan sangat memadai, sementara 68.5% mengatakan
48
memadai. Infrastruktur yang dimaksud disini seperti unit komputer, kapasitas server,
ruang bidding dan lain sebagainya. Meskipun masih sederhana tetapi setidaknya
fasilitas yang mendasar untuk kegiatan pengadaan sudah tersedia dan sangat membantu
bagi pegawai yang bekerja di bagian pengadaan.
Tabel 5.4: Penguasaan SDM Terhadap TI Berbasis Komputer
No Kategori Jawaban Frekwensi Persentase (100%)
1 Semua Menguasai 12 22.2
2 Sebagian Besar Menguasai 19 35.2
3 Sebagian Menguasai 17 31.5
4 Sedikit Menguasai 4 7.4
5 Sangat Sedikit Menguasai 2 3.7
T o t a l 54 100
Sumber: Angket, 2015
Faktor terakhir dari model implementasi kebijakan e-procurement adalah
sumber daya manusia. Sistem pengadaan secara elektronik ini sudah pasti identik
dengan Teknologi Informasi (TI) berbasis komputer. Karena itu setiap pegawai yang
bekerja di bidang pengadaan seharusnya menguasai hal ini. Namun dalam tabel di atas
sebanyak lebih kurang 40% pegawai tidak terlalu menguasai TI. Hal ini tidak
mengherankan karena dari hasil wawancara dengan seorang partisipan sebenarnya
hampir setiap tahun dilakukan pelatihan berkaitan dengan TI tetapi banyak pegawai
yang tidak sungguh-sungguh mengikutinya. Menyiasati hal ini Ketua ULP yang
bertanggung jawab dalam pembentukan Pokja memberikan kesempatan kepada pegawai
yang menguasai TI untuk menjadi ketua Pokja, sementara yang kurang atau tidak
menguasai TI hanya sebagai anggota Pokja. Hal ini supaya kegiatan pengadaan
barang/jasa tidak menjadi terhambat.
Tabel 5.5: Kekhawatiran Untuk Memiliki Sertifikasi Pengadaan
Karena Besarnya Tanggungjawab Sebagai Penyelenggara Pengadaan
No Kategori Jawaban Frekwensi Persentase (100%)
1 Sangat Tidak Khawatir 2 3.7
2 Tidak Khawatir 18 33.3
3 Khawatir 24 44.4
4 Cukup Khawatir 10 18.6
5 Sangat Khawatir - -
T o t a l 54 100
Sumber: Angket, 2015
49
Dari tabel diatas hanya 3.7% responden sangat tidak khawatir memiliki
sertifikasi pengadaan. Ini artinya hanya sedikit pegawai yang sangat siap menjadi
panitia pengadaan. Padahal memiliki sertifikasi pengadaan merupakan suatu
kebanggaan tersendiri karena tidak semua orang mempunyai kesempatan untuk
mendapat sertifikat tersebut. Namun rasa bangga memiliki sertifikasi ini dikalahkan
dengan kekhawatiran berhadapan dengan pekerjaan yang cukup riskan.
Tabel 5.6: Transparansi Pada Sistem Pengadaan Secara Elektronik
Lebih Baik Dibandingkan Dengan Sistem Manual
No Kategori Jawaban Frekwensi Persentase (100%)
1 Sangat Setuju 26 48.1
2 Setuju 28 51.9
3 Kurang Setuju - -
4 Tidak Setuju - -
5 Sangat Tidak Setuju - -
T o t a l 54 100
Sumber: Angket, 2015
Salah satu tujuan reformasi pengadaan barang/jasa adalah mewujudkan
transparansi pengadaan dari manual ke elektronik. Proses pengadaan barang/jasa secara
elektronik ini dianggap lebih transparan dari pada proses pengadaan secara manual,
karena semua kegiatan dan proses pengadaan ditampilkan di website LPSE sehingga
siapa saja mempunyai akses untuk melihatnya. Jawaban responden sangat meyakinkan
bahwa pengadaan secara elektronik dapat mewujudkan tranparansi pengadaan dan tidak
seorangpun menjawab kurang setuju, tidak setuju apalagi sangat tidak setuju bahwa
proses pengadaan barang/jasa secara elektronik tidak bertujuan untuk mewujudkan
transparansi.
Tabel 5.7: Transparansi Pada Sistem Pengadaan Barang/Jasa
Secara Elektronik Memberi Rasa Aman Kepada Pegawai
No Kategori Jawaban Frekwensi Persentase (100%)
1 Sangat Setuju 9 16.7
2 Setuju 43 79.6
3 Kurang Setuju 2 3.7
4 Tidak Setuju - -
5 Sangat Tidak Setuju - -
T o t a l 54 100
Sumber: Angket, 2015
Pertemuan antara panitia pengadaan dan penyedia hampir tidak ada pada
sistem pengadaan secara elektronik, karena semuanya dilakukan secara online. Hal ini
50
dirasa sangat menguntungkan bagi pegawai karena memberikan rasa aman kepada
mereka dalam menjalankan pekerjaannya. Sebanyak 16.7% sangat setuju dan 79.6%
setuju bahwa pengadaan secara elektronik memberikan rasa aman bagi pegawai (panitia
pengadaan). Berbeda dengan pengadaan secara manual, panitia pengadaan dan penyedia
dapat bertemu ketika proses pengadaan barang/jasa sedang berlangsung sehingga tidak
dapat dihindari munculnya praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.
Tabel 5.8: Regulasi Tentang Pengadaan Barang/Jasa Yang Jelas
Dapat Mewujudkan Transparansi Dalam Pengadaan
No Kategori Jawaban Frekwensi Persentase (100%)
1 Sangat Setuju 11 20.4
2 Setuju 37 68.5
3 Kurang Setuju 4 7.4
4 Tidak Setuju 2 3.7
5 Sangat Tidak Setuju - -
T o t a l 54 100
Sumber: Angket, 2015
Regulasi tentang pengadaan barang/jasa pemerintah yang jelas atau tidak
ditafsirkan secara-berbeda-beda dapat memberikan pengaruh positif bagi terwujudnya
transparansi pengadaan, dengan jawaban sangat setuju 20% dan setuju 68.5%.
Persentase ini tinggi yang membuktikan bahwa responden sangat menyadari bahwa
perlu pemahaman yang sama atas regulasi pengadaan sehingga tidak menimbulkan
kesimpanggsiuran ketika melakukan kegiatan e-procurement dan ketika berhadapan
dengan penyedia. Penyedia dengan mudah mengatakan tidak ada transparansi di
kegiatan pengadaan bila penyelenggara pengadaan memberikan penjelasan yang
berbeda-beda berkaitan dengan regulasi yang berisi tentang tata cara dan persyaratan
lelang serta ketentuan-ketentuan lelang lainnya.
Tabel 5.9: Infrastruktur Pengadaan Barang/Jasa Yang Memadai
Dapat Mewujudkan Transparansi Dalam Pengadaan
No Kategori Jawaban Frekwensi Persentase (100%)
1 Sangat Setuju 1 1.9
2 Setuju 19 35.2
3 Kurang Setuju 18 33.3
4 Tidak Setuju 14 25.9
5 Sangat Tidak Setuju 2 3.7
T o t a l 54 100
Sumber: Angket, 2015
51
Pada Tabel 5.9 transparansi dikaitkan dengan infrastruktur pelaksanaan
pengadaan barang/jasa. Hanya sekitar 37.1% sangat setuju dan setuju bahwa ada kaitan
antara ketidaksiapan infrastruktur dengan tidak terwujudnya transparansi pengadaan
barang/jasa. Persentase ini jauh lebih kecil dibandingkan Tabel 5.8. Ini artinya pengaruh
landasan hukum (regulasi) tentang pengadaan barang/jasa jauh lebih besar dalam
mewujudkan transparansi pengadaan dibanding infrastruktur. Selanjutnya sebesar
25.9% menjawab tidak setuju dan bahkan 3.7% menjawab sangat tidak setuju bahwa
infrastruktur pelaksanaan pengadaan dapat mempengaruhi terwujudnya transparansi
pengadaan barang/jasa.
Tabel 5.10: Pentingnya Peran Penyelenggara Pengadaan Dalam
Mewujudkan Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
No Kategori Jawaban Frekwensi Persentase (100%)
1 Sangat Setuju 25 46.3
2 Setuju 16 29.6
3 Kurang Setuju 13 24.1
4 Tidak Setuju - -
5 Sangat Tidak Setuju - -
T o t a l 54 100
Sumber: Angket, 2015
Tabel 5.10 menunjukkan bahwa ada hubungan antara penyelenggara
pengadaan dan transparansi pengadaan barang/jasa dengan jawaban responden sebesar
46% sangat setuju dan 29.6% setuju . Tidak ada responden yang menjawab tidak setuju
dan sangat tidak setuju. Ini artinya dibandingkan dengan landasan hukum dan
infrastruktur, maka sumber daya manusia penyelenggara memberikan kontribusi paling
besar terhadap terwujudnya transparansi pengadaan barang/jasa yakni sebesar 75.9%
menjawab sangat setuju dan setuju.
Tabel 5.11: Model Summary
Model R R
Square
Adjusted
R Square
Std. Error
of the
Estimate
Change Statistics
R Square
Change
F
Change
df1 df2 Sig. F
Change
1 ,384a ,148 ,131 3,63819 ,148 9,005 1 52 ,004
Sumber: Hasil Pengolahan Dengan Statistik, 2015
Salah satu tujuan penelitian ini adalah melihat seberapa besar pengaruh model
implementasi kebijakan e-procurement terhadap transparansi pengadaan barang/jasa.
Untuk mencari seberapa besar pengaruh ini maka digunakan analisis regresi dengan
pengolahan data statistik menggunakan program komputer SPSS (Statistical Package
52
for Social Sciences).Uji F digunakan untuk menguji apakah model regresi tersebut
baik/signifikan atau tidak baik/non signifikan. Dengan derajat kepercayaan 98% maka
diperoleh R Square sebesar 0.148. Selanjutnya dengan menggunakan rumus korelasi
determinan maka diperoleh angka sebesar 14.8% (Tabel 5.11). Ini berarti model
implementasi kebijakan e-procurement yang terdiri dari faktor landasan hukum,
infrastruktur dan sumber daya manusia mempengaruhi secara signifikan transparansi
pengadaan barang/jasa di Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang
Bedagai, sebesar 14.8%. Sementara sisanya sebesar 85.2% merupakan faktor-faktor lain
yang dapat mempengaruhi transparansi pengadaan barang/jasa, seperti komitmen dan
kualitas kepemimpinan, kondisi sosial, ekonomi dan politik, dukungan publik,
komunikasi, koordinasi dan lain-lain yang bukan merupakan fokus dari penelitian ini.
Prinsip pengadaan barang/jasa secara elektronik menurut Perpres No. 4 Tahun
2015 adalah efisien, efektif, transparan, terbuka, bersih, adil/tidak diskriminatif dan
akuntabel. Beberapa survey yang dilakukan di Indonesia menunjukkan kontribusi dari
efisiensi atau penghematan anggaran yang paling dominan didiskusikan dalam
implementasi pengadaan barang/jasa secara elektronik. Di Kota Surabaya, pelaksanaan
e-procurement berhasil meningkatkan efektivitas, efisiensi dan transparansi, dan
kontribusi penghematan anggaran diperoleh sebesar 20-30% dari anggaran untuk
pelayanan publik (Partnership for Democratic Local Governance in Southeast Asia,
2003).Di Kementerian Keuangan RI, pelaksanaan e-procurement berhasil menghemat
anggaran, mengurangi tingkat kebocoran dan menjamin keterbukaan. Sumbangan
penghematan anggaran diperoleh sampai 18.4% pada tahun 2009. Sementara di
Kementerian Perhubungan RI, nilai pagu pengadaan barang/jasa tahun 2015 sebesar Rp
1,4 triliun, sedangkan nilai transaksinya Rp 1,17 triliun. Ini artinya ada penghematan
sebesar Rp 230 miliar (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah/LKPP).
5.3 Perubahan Terbaru RegulasiPengadaan Barang/Jasa Pemerintah: Beberapa
Poin Penting
Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah merupakan awal munculnya sistem pengadaan
barang/jasa secara elektronik (e-procurement) di Indonesia. Selanjutnya beberapa tahun
kemudian, pada tanggal 6 Agustus 2010 diterbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor
54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang menandakan Keppres
53
Nomor 80 Tahun 2003 beserta Perubahannya resmi dicabut dan tidak berlaku efektif
mulai tahun 2011. Tidak lama berselang, terbit Perpres Nomor 35 Tahun 2011 yang
merupakan Perubahan Pertama atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Selanjutnya pada tanggal 31 Juli 2012
ditandatangani Perpres Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dua tahun
berselang, pada tanggal 1 Desember 2014 diundangkan Perpres No. 172 Tahun 2014
tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Kemudian diawal tahun 2015, Presiden Jokowi
menandatangani Perpres Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Atas
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
dan Penjelasannya yang telah diundangkan pada tanggal 16 Januari 2015.
Perubahan yang sudah dilakukan beberapa kali terhadap perpres tentang
pengadaan barang/jasa dapat dilihat dalam arti yang positif yakni sebagai bentuk
kepedulian pemerintah untuk membenahi sistem pengadaan barang/jasa secara
elektronik di Indonesia. Pembenahan ini diperlukan karena diharapkan untuk tahun-
tahun yang akan datang, semua belanja pemerintah dilakukan dengan menggunakan
elektronik. Namun bila dilihat dari kacamata penyelenggara atau panitia pengadaan
barang/jasa maka perubahan peraturan yang hampir setiap tahunnya dilakukan
memberikan beban tambahan bagi mereka. Selain harus memahami dan menguasai
peraturan dengan teliti, mereka juga dituntut untuk mempelajarinya dengan cepat,
karena jadwal tender atau lelang yang sudah didepan mata. Hal yang sama juga berlaku
bagi penyedia (provider) karena harus meluangkan waktu untuk mempelajari peraturan
yang direvisi berkali-kali, disela-sela kesibukan mereka menjalankan usahanya.
Salah satu poin yang menarik dari perubahan perpres ini berkaitan dengan
pasal 106 ayat (1) baik dalam Perpres No. 54 Tahun 2010 dan Perubahannya maupun
Perpres No. 4 Tahun 2015. Pada Perpres No. 54 Tahun 2010 dikatakan bahwa
pengadaan barang/jasa pemerintah “dapat” dilakukan secara elektronik. Sementara pada
Perpres No. 4 Tahun 2015, pengadaan barang/jasa pemerintah dilakukan secara
elektronik. Penghilangan kata “dapat” di Perpres No. 4 Tahun 2015 menandakan awal
berlakunya penggunaan elektronik dalam pengadaan barang/jasa di Indonesia. Dengan
kata lain, menjadi suatu kewajiban bagi K/L/D/I untuk melaksanakan pengadaan
barang/jasa secara elektronik sesuai dengan ketentuan yang ada.
54
Poin menarik lainnya, baik Perpres No. 54 Tahun 2010 dan Perubahannya
maupun Perpres No. 4 Tahun 2015 Pasal 106 ayat (2) mengatakan bahwa pengadaan
barang/jasa secara elektronik dilakukan dengan cara e-tendering atau e-purchasing. Hal
ini berarti diluar keduanya seperti penunjukkan langsung dan pengadaan langsung tidak
dilaksakan secara elektronik melainkan dilaksanakan secara non elektronik. Namun
perbedaannya di Perpres No. 54 Tahun 2010 belum diatur dengan jelas hal-hal yang
berkaitan dengan e-tendering dan e-purchasing. E-tendering itu sendiri merupakan tata
cara pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan secara terbuka dan dapat diikuti
oleh semua penyedia barang/jasa yang terdaftar pada sistem pengadaan elektronik
dengan cara menyampaikan satu kali penawaran dalam waktu yang telah ditentukan
(Pasal 1 angka 39 Perpres No. 4 Tahun 2015). Sementara e-purchasing merupakan tata
cara pembelian barang/jasa melalui sistem katalog elektronik(Pasal 1 angka 41 Perpres
No. 4 Tahun 2015).
Selanjutnya di Pasal 109 Perpres No. 4 Tahun 2015, ruang lingkup e-tendering
meliputi proses pengumuman pengadaan barang/jasa sampai dengan pengumuman
pemenang yang dilaksanakan dengan menggunakan sistem pengadaan secara elektronik
yang diselenggarakan oleh LPSE. Pihak-pihak yang terlibat dalam e-tendering adalah
PPK, ULP/Pejabat Pengadaan, dan Penyedia Barang/Jasa. Sementara dalam melakukan
e-purchasing diperlukan sistem katalog elektronik (e-catalogue) yang diselenggarakan
oleh LKPP. Sistem katalog elektronik ini sekurang-kurangnya memuat informasi teknis
dan harga barang/jasa yang ditetapkan oleh Kepala LKPP. Setelah berlakunya Perpres
No. 4 Tahun 2015 maka K/L/D/I wajib melakukan e-purchasing terhadap barang/jasa
yang sudah dimuat dalam sistem katalog elektronik sesuai dengan kebutuhan K/L/D/I.
E-purchasing dilaksanakan oleh Pejabat Pengadaan/PPK atau pejabat yang ditetapkan
oleh Pimpinan Instansi/Institusi.
5.4 Organisasi Pengadaan: Pihak-Pihak Terkait Dengan Pengadaan Barang/Jasa
Menurut Perpres No. 54 Tahun 2010 yang telah direvisi beberapa kali dan
terbaru menjadi Perpres No. 4 Tahun 2015 pada Pasal 7 dikatakan bahwa organisasi
pengadaan barang/jasa untuk pengadaan melalui penyedia barang/jasa terdiri dari:
a. PA/KPA;
b. PPK;
c. ULP/Pejabat Pengadaan; dan
d. Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan
55
5.4.0 Pengguna Anggaran (PA)/Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)
Pengguna Anggaran(PA) menurut Pasal 1 angka 5 Perpres No. 4 Tahun 2015
adalah pejabatpemegang kewenangan penggunaan anggaran
Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Pejabat yangdisamakan
pada Institusi lain Pengguna APBN/APBD. Selanjutnya menurut Undang-Undang No. 1
Tahun 2004 Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (1) tentang Perbendaharaan Negara yang
menjadi konsideran dari Perpres No. 54 Tahun 2010 bahwa gubernur, bupati/walikota
selaku Kepala Pemerintah Daerah serta Kepala SKPD bagi SKPD yang dipimpinnya
dapat menjadi PA. Namun karena PA memiliki beban pekerjaan atau rentang kendali
organisasi yang besar seperti menetapkan Rencana Umum Pengadaan, mengumumkan
secara luas Rencana Umum Pengadaan paling kurang di website K/L/D/I, menetapkan
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), menetapkan Pejabat Pengadaan dan menetapkan
Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan maka PA pada Pemerintah Daerah dapat
mengusulkan 1 (satu) atau beberapa orang kepada Kepala Daerah untuk ditetapkan
sebagai KPA (Kuasa Pengguna Anggaran) sebagai mana tertuang dalam Pasal 9.
Pasal 1 angka 6 Perpres No. 4 Tahun 2015 mendefinisikan Kuasa Pengguna
Anggaran (KPA) sebagai pejabat yang ditetapkan oleh PA untuk menggunakan APBN
atau ditetapkan oleh Kepala Daerah untuk menggunakan APBD. Jadi jika kepala Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) merupakan instansi pengguna anggaran, maka KPA
adalah pejabat yang diberi kuasa untuk melaksanakan sebagian kewenangan pengguna
anggaran dalam melaksanakan sebagian tugas dan fungsi SKPD. Dengan perkataan lain,
KPA merupakan pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian
kuasa atau wewenang PA, dimana kewenangan yang dimiliki oleh KPA sesuai dengan
apa yang dilimpahkan oleh PA. PA dapat mengusulkan siapa saja baik yang memiliki
jabatan struktural maupun fungsional untuk menjadi KPA. Selanjutnya Kepala Daerah
menetapkanpejabat yang diusulkan PA untuk menjalankan kuasa sebagai KPA (Pasal
10 Ayat 2).
Di lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, yang dipilih menjadi lokasi
dari studi kasus penelitian ini, Kepala Dinas (Kadis) Kabupaten/Kota yang menjadi PA,
selanjutnya Kadis Kesehatan mengajukan satu atau beberapa nama ke Bupati/Walikota
untuk ditetapkan sebagai KPA di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tersebut. Namun
untuk tingkat pemerintah daerah, yang menjadi PA adalah Bupati/Walikota, sedangkan
KPA adalah kepala dinas (SKPD) kabupaten/kota.
56
5.4.1 Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
Di dalam Pasal 12Perpres No. 4 Tahun 2015, PA/KPA menetapkan Pejabat
Pembuat Komitmen (PPK) untukmelaksanakan Pengadaan Barang/Jasa. Dengan
demikian, PPKadalahpejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa yang memiliki tugas pokok dan kewenangan sebagai tertuang dalam Pasal
11 ayat 1 yakni:
a. menetapkan rencana pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa yang meliputi: 1)
spesifikasi teknis Barang/Jasa; 2) Harga Perkiraan Sendiri (HPS); dan 3)
rancangan Kontrak.
b. menerbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa;
c. menandatangani Kontrak;
d. melaksanakan Kontrak dengan Penyedia Barang/Jasa;
e. mengendalikan pelaksanaan Kontrak;
f. melaporkan pelaksanaan/penyelesaian Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA;
g. menyerahkan hasil pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA dengan
Berita Acara Penyerahan;
h. melaporkan kemajuan pekerjaan termasuk penyerapan anggaran dan hambatan
pelaksanaan pekerjaan kepada PA/KPA setiap triwulan; dan
i. menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa.
Selain tugas pokok dan kewenangan di atas PPK dapat:
a. mengusulkan kepada PA/KPA: 1) perubahan paket pekerjaan; dan/atau 2)
perubahan jadwal kegiatan pengadaan;
b. menetapkan tim atau tenaga ahli pemberi penjelasan teknis (aanwijzer) untuk
membantu pelaksanaan tugas ULP; dan
c. menetapkan besaran Uang Muka yang akan dibayarkan kepada Penyedia
Barang/Jasa.
Dari uraian mengenai tugas pokok dan kewenangan PPK di atas, maka tidak
berlebihan bila PPK memegang peranan sentral terhadap pengadaan barang/jasa
pemerintah, karenamemiliki tanggung jawabyang besar baik secara administrasi, teknis
maupun finansial (Perpres No. 4 Tahun 2015 Pasal 7).Sedangkan berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara, PPK adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk
57
mengambil keputusan dan/atau melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan
pengeluaran anggaran belanja negara. Karena besarnya tanggung jawab yang diemban
oleh PPK maka seorang yang menjadi PPK baik yang memiliki jabatan struktural atau
eselon harus memiliki persyaratan teknis maupun manajerial sebagaimana tercantum
dalam Pasal 12 ayat (2), antara lain memiliki integritas, disiplin tinggi, tanggung jawab
dan kualifikasi teknis serta manajerial untuk melaksanakan tugas. Selain itu mampu
mengambil keputusan, bertindak tegas, memiliki keteladanan dalam sikap perilaku dan
tidak pernah terlibat KKN serta memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa.
5.4.2 Unit Layanan Pengadaan (ULP)/Pejabat Pengadaan
Unit Layanan Pengadaan (ULP) adalah unit organisasi
Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah/Institusi yang berfungsi melaksanakan
Pengadaan Barang/Jasa yang bersifatpermanen, dapat berdiri sendiri atau melekat pada
unityang sudah ada (Perpres No. 4 Tahun 2015 Pasal 1 angka 8). Sementara Pejabat
Pengadaan adalah personil yang ditunjuk untukmelaksanakan Pengadaan Langsung.
Baik anggota ULP maupun Pejabat Pengadaandapat berasal dari pegawai negeri,baik
dari instansi sendiri maupun instansi lainnya.
Selanjutnya pada Pasal 4 dikatakan bahwa Perangkat Organisasi ULP
ditetapkan sesuai kebutuhan, setidak-tidaknya terdiri atas:kepala;sekretariat;staf
pendukung; dankelompok kerja.Ini artinya setiap kabupaten/kota memiliki perangkat
ULP yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan daerah atau beban kerja dari ULP di
masing-masing kabupaten/kota. Kepala ULP adalah pejabat pimpinan tinggi pratama
ataujabatan administrator atau jabatan pengawas. Sementara sebagai personil
ketatausahaan/sekretariat adalah jabatan administrator atau jabatan pengawasatau
jabatan pelaksana atau pejabat fungsional. Serta yang menjadi anggota ULP yakni
pejabat fungsional umum atau jabatanpelaksana atau pejabat fungsional
keahlian/tertentu.
Bagan 5.1: Perangkat ULP
Kepala ULP
Sekretariat Staf
Pendukung
Kelompok
Kerja (Pokja)
58
Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan (Pokja ULP) yang merupakan
perangkat organisasi ULP dapat dikatakan menjadi ujung tombak berjalannya proses e-
procurenment,karena Pokjamerupakan pihak yang ditunjuk dan dipersiapkan sebagai
panitia pengadaan yang akan memutuskan penyedia mana yang akan dimenangkan
dalampelaksanaan lelang secara elektronik. Di Kota Medan, ULP terdiri dari Pokja yang
sifatnya tetap dan tidak tetap. Pokja tetap berasal dari Bagian Perlengkapan dan Aset
Pemerintah Kota Medan, sementara Pokja tidak tetap keanggotaannya berasal dari
beberapa SKPD yang ada di Kota Medan. Hal yang sama ditemukan di Kabupaten
Serdang Bedagai dan Kota Binjai, namun bedanya yang menjadi anggota Pokja tetap
berasal dari fungsional Bagian Pengadaan Barang/Jasa (BPJ). Dikatakan tidak tetap
karena tidak selalu ikut dalam semuapaket lelang. Selain itu keanggotaannya juga
berganti-ganti sehingga Surat Keputusan (SK) sebagai Pokja tidak tetap
harusdiperbaharui setiap tahunnya.Saat ini Pokja tetap ULP Pemko Medan berjumlah
17 orang,sementara Pokja yang tidak tetap atau yang berasal dari SKPD yang ada di
Kota Medan berjumlah 11orang. Di Kota Binjai jumlah Pokja tetap 16 orang sedang di
Kabupaten Serdang Bedagai berjumlah 20 orang.
Proses pengrekrutan Pokja ULP diawali dengan permintaan Kepala ULP
kepada SKPD untuk mengirimkan pegawainya menjadi salah satu tim di Pokja tidak
tetap. Sama dengan Kota Medan, di Kabupaten Serdang Bedagai dan Kota Binjai
penetapan Pokja dipilih berdasarkan usulan dari SKPD atau Kepala Dinas yang ada di
Kabupaten Serdang Bedagai dan Kota Binjai. Jadi tidak semua SKPD memiliki wakil di
ULP kota/kabupaten. Karena itu, seseorang yang berasal dari SKPD X bisa saja terlibat
dalam pelelangan di SKPD Y, tetapi untuk SKPD X orang tersebut diposisikan sebagai
koordinator sementara di SKPD Y, yang bersangkutan hanya sebagai anggota Pokja.
Setelah ULP menerima beberapa orang yang berasal dari wakil SKPD untuk
menjadi anggota Pokja, maka tahap selanjutnya Ketua ULP melakukan seleksi siapa
yang berhak menjadi koordinator Pokja dan anggota Pokja dalam sebuah paket lelang.
Karena memang salah satu tugas dari Ketua ULP adalah
menugaskan/menempatkan/memindahkan anggota Pokja sesuai dengan beban kerja
masing-masing Pokja ULP dan mengusulkan pemberhentian anggota Pokja yang
ditugaskan di ULP (Perpres No. 4 Tahun 2015). Selain melihat latar belakang yang kuat
atas jenis lelang yang akan dilakukan, Ketua ULP juga melihat pengalaman kerja dalam
59
menentukan tim dalam Pokja ULP. Anggota yang mempunyai latar belakang serta
pengalaman kerja yang tinggi akan menduduki posisi koordinator Pokja. Sebaliknya
yang belum mempunyai pengalaman diposisikan sebagai anggota tim. Tujuannya agar
proses pengadaan barang/jasa dapat berjalan dengan lancar. Tahapan terakhir, Ketua
ULP mengeluarkan SK Pokja dan membuat SPT (Surat Perintah Tugas) kepada anggota
Pokja (Wawancara dengan MI10, 4 Juni 2015).
Salah satu tugas pokok dan tanggungjawab Pokja ULP adalah melakukan
verifikasi terhadap spesifikasi teknis barang/jasa dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS)
yang sudah ditetapkan oleh PPK dari SKPD yang hendak melakukan lelang (Pasal 11
ayat (1)). PPK menyerahkan HPS dan spesifikasi yang masih global ke Pokja beserta
dengan dokumen pengadaan sesuai dengan spesifikasi yang dimiliki dinas/SKPD.
Namun dapat terjadi Pokja mengusulkan kepada PPK untuk mengubah HPS dan
spesifikasi teknis pekerjaan (Perpres No. 4 Tahun 2015). Dalam keadaan seperti ini
Ketua ULP tidak dapat mencampuri keputusan Pokja tersebut. Karena Ketua dan
Sekretaris ULP tidak mempunyai hak untuk mengubah HPS yang diserahkan PPK ke
Pokja ULP. Mereka hanya bisa melihat atau memantau prosesnya saja. Proses secara
langsung hanya dapat diketahui oleh orang-orang yang punya user ID. Sebenarnya
Ketua dan Sekretaris ULP juga mempunyai user ID, tetapi hanya sekedar bisa melihat
informasi di website LKPP.
Selama proses pengadaan, tidak ada komunikasi antara Ketua dan Sekretaris
ULP dengan Pokja. Artinya Ketua dan Sekretaris ULP tidak mempunyai hak untuk
mencampuri proses yang dilaksanakan oleh Pokja.Jadi kalau ada masalah di Pokja
dalam kaitan dengan proses lelang, maka yang bertanggung jawab untuk
menyelesaikannya adalah Pokjasendiri. Kepala ULP hanya berurusan dengan masalah
administrasi, mengawasi seluruh kegiatan pengadaan barang/jasa di ULP dan
melaporkan apabila ada penyimpangan dan/atau indikasi penyimpangan. Setelah selesai
proses pengadaan, Pokja akan melaporkan hasilnya kepada Kepala ULP dan selanjutnya
LPSE mengumumkan hasil tersebut melalui sistem SPSE.
Dari uraian di atas jelaslah mengapa Ketua ULP tidak memerlukan sertifikat
pengadaan dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya. Namun akan berbeda bila
Ketua ULP merangkap Pokja maka wajib baginya untuk memiliki sertifikat pengadaan.
Sejalan dengan amanat Perpres No 4 Tahun 2015 bahwa salah satu persyaratan untuk
menjadi Kepala ULP/Anggota Pokja ULP/Pejabat Pengadaan adalah memiliki sertifikat
keahlian pengadaan barang/jasa sesuai dengan kompetensi yang dipersyaratkan.
60
Persyaratan sertifikasi keahlian pengadaan barang/jasa ini dapat dikecualikan untuk
Kepala ULP yang tidak merangkap anggota Kelompok Kerja ULP.
5.4.3 Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP)
Menurut Perpres No. 4 Tahun 2015 Angka 8, Panitia/Pejabat Penerima Hasil
Pekerjaan (PPHP) adalahpanitia/pejabat yang ditetapkan oleh PA/KPA yangbertugas
memeriksa dan menerima hasil pekerjaan. Anggota PPHPini berasal dari pegawai
negeri, baik dari instansi sendiri maupun instansi lainnya. Namun ada pengecualian bagi
anggotaPanitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan pada Institusi lainPengguna
APBN/APBD atau Kelompok Masyarakat Pelaksana Swakelola,dapat berasal dari
bukan pegawai negeri.
Tugas utama PPHP sebagaimana tertuang dalam pasal 18 Perpres No. 54
Tahun 2010 dan Perubahannya adalah melakukan pemeriksaan/pengujian hasil
pekerjaan pengadaan barang/jasa sesuai yang tercantum dalam dokumen kontrak, yang
mencakup kesesuaian jenis, spesifikasi teknis, jumlah/volume/kuantitas, mutu/kualitas,
waktu dan tempat penyelesaian pekerjaan apakah sesuai dengan yang tertuang dalam
kontrak atau tidak, serta membuat berita acara hasil pemeriksaan dan pengujian
tersebut.Sehingga seorang PPHP harus memahami setiap spesifikasi barang/jasa yang
akan diadakan dan memahami setiap jenis-jenis kontrak yang digunakan. Apabila
didalam pemeriksaan/pengujian dibutuhkan tenaga teknis maka KPA dapat membentuk
tim teknis/menunjuk tenaga ahli untuk membantu tugas PPHP.
Bagan 5.2: Struktur Organisasi Pengadaan Melalui Penyedia Barang/Jasa
Pengguna Anggaran
(PA)
PPK ULP/Pejabat
Pengadaan
Panitia/Pejabat
Penerima Hasil
Pekerjaan
(PPHP)
KPA KPA KPA
61
Sumber: Modul LKPP, 201034
5.5 Kebijakan e-Procurement: Sebuah Reformasi di Bidang Pelayanan Publik
Pengadaan barang/jasa secara elektronik merupakan salah satu bentuk
pelayanan publik. Dalam hal ini organisasi publik sebagai pihak yang memberikan
pelayanan yakni aparatur pemerintahan yang bertanggungjawab di bidang pengadaan
barang/jasa beserta segenap kelengkapan kelembagaannya. Sementara yang menjadi
penerima pelayanan publik adalah penyedia (provider) yakni pengusaha (badan hukum)
yang ikut melakukan penawaran dalam kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah.
Pelayanan publik di bidang pengadaan telah mengalami perubahan atau
reformasi secara signifikan terutama setelah berlakunya Perpres No. 54 Tahun 2010
atau berakhirnya Kepres No. 80 Tahun 2013. Reformasi pelayanan di bidang pengadaan
barang/jasa ini salah satu tujuannya adalah untuk mewujudkankan transparansi
pengadaan barang/jasa yang sebelumnya dirasakan sangat tidak transparan karena
kegiatan-kegiatan dalam pengadaan barang/jasa tidak diketahui secara terbuka oleh
publik terutama calon penyedia (provider).
Berlakunya Perpres No. 54 Tahun 2010 menjadi awal perubahan dari sistem
pengadaan secara manual ke sistem elektronik (e-procurement). Dengan demikian,
sisteme-procurementini merupakan penyempurnaan dari sistem pelelangan secara
manual. Di dalam sistem yang manual, pelelangan harus dipersiapkan dengan hal-hal
yang cukup merepotkan. Seperti yang terjadi di salah satu lokasi penelitian dimana
harus disediakan polisi di tempat atau lokasi pelelangan untuk menghindari terjadinya
tindakan-tindakan yang anarkis yang dilakukan oleh penyedia. Selain itu, tindakan-
tindakan teror sering mewarnai jalannya proses pelelangan. Hal ini terjadi karena tidak
adatrust yang terbangun diantara panitia penyelenggara dan penyedia. Bahkan beberapa
penyediamemiliki pemikiran bahwa ada pengarahan pemenang terhadap sekelompok
penyedia yang merupakan saingan mereka. Hal lain yang terjadi pada proses pelelangan
secara manual adalah mudahnya untuk menyampaikan keberatan secara langsung
kepada panitia penyelenggara, sehingga pelelangan yang ada berjalan alot, bertele-tele
dan tidak sistematis. Namun saat ini tindakan tersebut bisa ditekan bahkan tidak ada
sama sekali setelah keberadaan sistem elektronik (Wawancara dengan MI5,5 Mei
2015).
34
Modul Pelatihan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. LKPP. 2010. Dikutip 13 Juni 2015. Jam 14.02
WIB.
62
Proses pelelangan secara elektronik di tiga lokasi penelitian dalam
perjalanannyamemiliki kelebihan dan kekurangan.Salah satu kelebihan dari kebijakane-
procurement dalam implementasinyaadalah dapat meningkatkan transparansi dan
akuntabilitas karena prosesnya sangat terbuka sehingga mendorong persaingan yang
sehat, adil dan non-diskriminatif antar pelaku usaha yang pada akhirnya efisiensi dan
efektifitas belanja negara dapat terwujudkan. Hal ini juga didukung dengan sistem yang
memiliki kapabilitas untuk berinteraksi dan berfungsi dengan sistem lain tanpa batasan
akses atau implementasi(interopabilitas) serta Jaminan Keamanan Data (security)
sehingga proses pengadaan secara elektronik dapat berjalan efisien dan efektif.
Kelebihan lain yang sangat nyata terlihat adalah proses pengadaan secara
elektronik lebih aman dan nyaman dibanding pengadaan secara manual. Tidak perlu
lagi mempersiapkan keamanan yang berlebihan karena dijamin tidak ada tindakan-
tindakan yang anarkis dan tidak sistematis. Nyaman, karena sangat sederhana dan
penawaran bisa dilakukan di mana saja selama tersedia akses internet yang memadai.
Selain itu proses secara elektronik ini cukup efisien karena tidak membutuhkan banyak
anggaran untuk mengumukan lelang dan hasil lelang di media cetakkarena dapat
langsung diakses diwebsite LPSE, proses pencatatan penawaran jugatidak memerlukan
banyak kertas.
Kekurangan yang ada dari sistem elektronik diakui sangat sedikit terutama
pada kemampuan SDM, baik sebagai penyedia maupun panitia, yang berurusan
langsung dalam sistem pengadaan barang/jasa. Apabila penyedia tidak memahami
sistem komputerisasi, maka terkendalalah proses pelelangan karena mereka pasti tidak
dapat mengikuti proses yang ada. Selain itu, e-procurement memang diciptakan untuk
mempermudah proses pelelangan, sehingga tidak pernah ada keluhan atau pernyataan
tidak setuju dari pihak penyedia meskipun kebanyakan dari pihak merekalah yang
menghadapi kesulitan (Wawancara dengan MI5, 5 Mei 2015; MI1, 21 Mei 2015).
Sementara tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam pengadaan barang/jasa
secara manual dan elektronik adalah sama, yakni sebagai berikut: Pengumuman lelang;
Pendaftaran dan pengambilan dokumen; Penjelasan dokumen dan perubahan dokumen;
Dokumen penawaran dan pembukaan dokumen penawaran; Evaluasi penawaran;
Evaluasi kualifikasi; Usulan calon pemenang; Penetapan pemenang; Pengumuman
pemenang; Sanggah hasil lelang; Penujukan penyedia barang/jasa; dan Penandatangan
kontrak.Semua tahapan ini pada dasarnya sama. Perbedaannya hanya tidak ada lagi
pertemuan langsung antara penyedia dan panitia pengadaan di sistem pengadaan secara
63
elektronik. Pertemuan dengan penyedia hanya dilakukan apabila pemenang harus
menandatangani kontrak setelah ditetapkan menjadi pemenang lelang. Jadi di dalam
sistem yang baru interaksi hanya dapat dilakukan melalui komunikasi online.
Proses pelelangan secara elektronik menjadi harapan baru bagi pihak yang
berkecimpung di dalamnya, baik itu penyedia maupun panitia pengadaan, dengan cara
tetap memelihara prinsip efisien, efektif, terbuka, transparan, adil, tidak diskriminatif
dan akuntabilitas. Transparansebagai salah satu prinsip dari pelayanan publik dan juga
prinsip dari pengadaan barang/jasa secara elektronik yang menjadi fokus dalam
penelitian ini haruslah menjadi pegangan agar kepercayaan pada sistem tetap terjaga.
5.6 Pokja ULP dan PPK: Posisi Strategis di Era Keterbukaan?
Kelompok Kerja ULP (Pokja ULP) atau Pokja adalah kelompok kerja yang
terdiri dari pejabat fungsional pengadaan yang berjumlah gasal dan beranggotakan
paling kurang 3 (tiga) orang. Jumlah ini dapat ditambah sesuai dengan kompleksitas
pekerjaan,seperti pekerjaan yang memerlukan teknologi tinggi atau mempunyai risiko
tinggi. Pokja yang menentukan peserta lelang (penyedia) menjadi pemenang. Dengan
demikian tugas Pokja adalah mulai dari proses perencanaan pemilihan penyedia sampai
dengan proses pemilihan dan hasil akhir berupa penetapan pemenang dari pengadaan
barang/jasa yang dilaksanakan.Tahapan selanjutnya,ULP menyampaikan hasil
pemilihan kepada PPK untuk diberikan Surat Penunjukan Penyedia Barang Jasa
(SPPBJ) dan menandatangani kontrak antara penyedia dengan PPK.Sebagaimana
dikatakan di dalam Perpres No. 4 Tahun 2015 Pasal 17 ayat (2), tugas pokok dan
kewenangan Kelompok Kerja ULP (Pokja ULP) adalah:
a. menyusun rencana pemilihan Penyedia Barang/Jasa;
b. menetapkan Dokumen Pengadaan;
c. menetapkan besaran nominal Jaminan Penawaran;
d. mengumumkan pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa di website K/L/D/I masing-
masing dan papan pengumuman resmi untuk masyarakat serta menyampaikan ke
LPSE untuk diumumkan dalam Portal Pengadaan Nasional;
e. menilai kualifikasi Penyedia Barang/Jasa melalui prakualifikasi atau
pascakualifikasi;
f. melakukan evaluasi administrasi, teknis dan harga terhadap penawaran yang
masuk; dan lain sebagainya;
64
g. menjawab sanggahan; menetapkan Penyedia Barang/Jasa; menyampaikan hasil
Pemilihan dan salinan dokumen Pemilihan Penyedia Barang/Jasa kepada PPK;
menyimpan dokumen asli pemilihan Penyedia Barang/Jasa; membuat laporan
mengenai proses pengadaan kepada Kepala ULP.
Uraian di atas menjelaskan posisi Pokja sangat menentukan dalam proses
pengadaan barang/jasa. Beberapa poin penting yang ditemukan dilapangan adalah
berkaitan dengan penilain Pokja terhadap kualifikasi penyedia barang/jasa serta evaluasi
administrasi, teknis dan harga yang dilakukan Pokja terhadap penawaran yang masuk.
Kedua tugas ini memberikan posisi yang strategis bagi Pokja. Dikatakan strategis
karena hasil dari penilaian dan evaluasi Pokja inilah yang menentukan seseorang
menjadi pemenang lelang atau tidak. Berbeda dengan posisi LPSE yang hanya
mengumumkan informasi mengenai lelang termasuk kualifikasi barang/jasa yang
dikehendaki serta kemudian mengumumkan pemenang lelang melalui
portalnya.Sementara bila dikaitkan dengan posisi Pokja, maka Ketua ULP tidak dapat
menghalangi Pokja yang ingin melakukan survey bila ada kecurigaan dan keraguan
terhadap penetapan HPS yang telah dilakukan oleh PPK.Karena dalam sebuah proses
lelang, Pokja sama sekali tidak bertanggung jawab terhadap Kepala ULP.
Sementara PPK menurut Pasal 11 (poin a sampai i) memiliki tugas pokok dan
kewenangan yang tidak kalah strategisnya dibanding Pokja. Tugas pokok dan
kewenangan ini menjadikan posisi PPK strategis dalam proses pengadaan barang/jasa
selain Pokja ULP. Namun bedanya PPK bisa mengajukan pergantian Pokja dalam
sebuah pelelangan.Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa Pokja berhak menentukan
peserta lelang (provider) menjadi pemenang. Namun keputusan ini dapat dianulir oleh
PPK dengan cara mengusulkan kepada PA/KPA. Jadi bila PA/KPA sependapat dengan
PPK maka SPPBJ tidak dapat ditandatangani. Selanjutnya bila tidak ada juga
kesepakatan antara PPK dan Pokja maka PPK bisa mengajukan pergantian Pokja
kepada PA/KPA.
Dari penjelasan di atas peranan PPK juga sangat besar dalam e-procurement.
Karena itu pejabat yang memiliki posisi sebagai PPK tidak sembarangan. Bahkan dari
hasil temuan di lapangan kata-kata “pejabat yang menduduki posisi PPK harus bisa
mengamankan proses pengadaan yang sedang berlangsung” sangat jamak didengar.
Penentuan pejabat yang berhak menempati posisi ini adalah kewenangan dari pejabat
yang menjadi KPA. Sedangkan KPA bisa saja pimpinan dari SKPD yang mengajukan
pengadaan proyek. Dengan demikian tidak heran bahwa posisi sebagai PPK selain
65
memenuhi kriteria Pasal 12 Perpres No. 4 Tahun 2015 juga memiliki „kedekatan‟
dengan KPA dan PA. Bahkan karena rentan dengan tekanan-tekanan baik yang datang
dari Pokja maupun penyedia maka bisa saja posisi sebagai KPA sekaligus menjadi PPK.
Namun di alam keterbukaan seperti saat ini, posisi strategis yang dimiliki oleh
Pokja ULP dan PPK tidak serta merta dapat dengan mudah disalahgunakan. Lembaga-
lembaga seperti Inspektorat, BPK, LSM, media massa dan masyarakat menjadi
pengawas yang selalu siap sedia mengawasi segala gerak-gerik Pokja dan PPK
khususnya bila sedang berlangsung lelang pengadaan. Sedikit ditemukan kesalahan
lembaga-lembaga ini tidak segan untuk mengangkat isu tersebut kepermukaan melalui
pemberitaan di media massa bahkan bisa juga sampai ke pengadilan. Demikian juga
penyedia terutama yang bermodal besar siap siaga memantau proses lelang yang sedang
berlangsung dengan menyebarkan orang-orangnya sebagai mata-mata. Sementara
secara legal formal, Perpres No. 4 Tahun 2015 Pasal 17 ayat (2) poin g mengakomodir
tuntutan penyedia bila dirasa terdapat ketidakadilan atau ketidakjelasan berkaitan
dengan proses pengadaan. Dikatakan dalam poin g bahwa penyedia yang tidak lulus
kualifikasi dapat melakukan sanggah terhadap keputusan yang diambil oleh
Pokja.Dengan demikian PokjaULP melalui SPSE bertanggungnjawab untuk
menjelaskan kepada penyedia yang tidak lulus kualifikasi.Alasan-alasan yang diberikan
kepada penyedia harus bisa meyakinkan penyedia yang tidak terpilih. Hal ini sejalan
dengan prinsip-prinsip dari e-procurementyakni transparan, terbuka, bersaing, adil dan
tidak diskriminatif.
Posisi Pokja dan PPK yang strategis ini juga menjadi sumber “ketakutan”
terkait perannya dalam proses pengadaan barang/jasa yang sangat lekat dengan resiko
hukum. Sebagaimana dikatakan di atas, Inspektorat, BPK, LSM dan media massa
adalah beberapa lembaga pengawas formal dan informal yang selalu menjadi momok
bagi siapapun yang mempunyai posisi sebagai Pokja dan PPK.Bahkan tidak sedikit dari
penyedia yang curiga dengan keputusan yang diambil oleh Pokja atau PPK. Karena itu
tidak mengherankan banyak pegawai SKPD yang sengaja “buang badan” untuk tidak
terlibat dalam proses pengadaan barang/jasa (Wawancara dengan MI11, 4 Juni 2015;
MI1, 21 Mei 2015;MI3, 27 Mei 2015; MI6,1 Juni 2015).
Salah satu cara yang dilakukan untuk menghindari duduk di posisi-posisi
penting ini adalah dengan sengaja menggagalkan ujian untuk mendapatkan sertifikat
pengadaan. Perlu diketahui bahwasanya pelatihan dan ujian untuk memperoleh
sertifikasi tidaklah sulit, apalagi ada semacam modul atau kisi-kisi soal yang diberikan
66
sebelum mengikuti tes. Salah seorang anggota Pokja ULP mengatakan, “ujian dalam
pengambilan sertifikat pengadaan cukup sulit, karena tahun lalu dari 104 yang
mengikuti hanya 16 orang yang lulus. Tapi bila ditelisik lebih dalam bukanlah materi
soal yang sulit akan tetapi ada keengganan dari peserta untuk menang.”Salah satu
alasannya adalah karena menjadi Pokja ULP atau PPK memiliki tanggung jawab yang
besar dan rentan terhadap KKN (Wawancara dengan MI6, 1 Juni 2015).
Selain dekat dengan resiko hukum, posisi sebagai Pokja khususnya yang tidak
tetap belum dihargai dengan kecilnya honorarium yang didapat dari sebuah paket
lelang. Honorarium yang ditentukan untuk Pokja tertulis di dalam Permenkeu No.
53/PMK.02/2014 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2015 yang
berfungsi sebagai batas tertinggi. Berdasarkan peraturan di atas, honorarium panitia
pengadaan barang/jasa dan pokja ULP diberikan sesuai dengan nilai pagu pengadaan
dengan menyesuaikan batas tertinggi nilainya. Contohnya pada pembangunan rumah
dinas dokter di Dinas Kesehatan dengan nilai pagu Rp 245 juta. Permenkeu mengatur
batas tertinggi honorarium untuk nilai pagu di atas 200 juta s.d. 500 juta adalah Rp
850.000. Karena nilai pagu pengadaan adalah Rp 245 juta maka setiap anggota Pokja
ULP hanya mendapat honor Rp 508.000. Besaran honorarium ini tentunya tidak
sebanding dengan beban pekerjaan, resiko pekerjaan dan beban mental dari panitia
pengadaan ((Wawancara dengan MI9, 4 Juni 2015).
Selain jumlah honor yang kecil, pekerjaan di Pokja dirasakan sangat menyita
waktu karena harus bekerja selama 24 jam. Ditambah lagi jam kerjanya yang tidak
lazim karena jam kerja yang paling aman adalah sekitar jam 10 atau 11 malam. Bahkan
bila sedang melakukan pelelangan, Pokja tidak bekerja di kantor dinas, melainkan di
rumah posko yang disediakan oleh pemerintah. Fungsi rumah posko ini adalah untuk
kenyamanan kerja dan mengurangi resiko ancaman dari penyedia. Ada kalanya Pokja
menginap di rumah posko khususnya pada waktu akan menerbitkan berita acara
penetapan pemenang lelang karena memang harus dilakukan pukul 12 malam
(Wawancara dengan MI9, 4 Juni 2015).
Berisikonya tugas menjadi panitia pengadaan secara elektronik memang
menjadi momok yang menakutkan, akan tetapi semua kembali kepada orangnya. Di
awal LPSE Kota Medanterbentuk pada tahun 2011, banyak pegawaiyang enggan ikut di
dalam kepanitiaan. Namun akhir-akhir ini, animo untuk menjadi panitia pengadaan
barang/jasa sudah semakin meningkat. Salah satu buktinya adalah dengan semakin
tingginya keinginan pegawai/SKPD mengikutipelatihan untuk mendapatkan sertifikasi
67
pengadaan. Sehingga regenerasi untukmenduduki posisi Pokja ULP pun akhirnya
berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Selain itu kinerja yang ditunjukkan oleh Pokja ULP di Kota Medan, baik yang
tetap maupun tidak tetap, sudah cukup terorganisir pada saat ini. Masing-masing
anggota Pokja telah bekerjasama dengan baik dalam menjalankan kegiatane-
procurement. Meskipun beberapa paket tidak selalu ada hubungannya dengan
backgroundanggota Pokja karena anggota Pokja berasal dari berbagai SKPD, namun
mereka tetap mampu menangani dan memilah barang/jasa apa yang boleh
dimenangkan. Hal ini karena jam terbang mereka yang sudah banyak sehingga mereka
mengerti. Selain itu mereka juga dibantu oleh deskripsi spesifikasi barang yang ada.
Pendapat yang hampir sama disampaikan oleh seorang partisipan.
“Keengganan para peserta ujian sertifikasi menjadi anggota Pokja adalah tidak
beralasan. Penyelenggaraan lelang maupun penyedia sebenarnya akan berjalan baik bila
dijalankan sesuai dengan prosedur yang ada. Adapun tindakan-tindakan berisiko dalam
pengadaan biasanya dalam halmark-up atau menggelembungkan HPS. Seperti yang
terjadi di Dinkes Provinsi Sumatera Utaradalam pengadaan alat-alat.Panitia pengadaan
dan PPKpasti ada hubungan dengan masalah ini, karena merekalah merupakan pihak
yang mengetahui dan menyetujui spesifikasi dan HPS yang telah disusun” (Wawancara
dengan MI9, 4 Juni 2015).
Karena penting, beresiko dan strategisnya posisi Pokja ULP dan PPK, maka
persyaratan untuk menjadi Pokja ULP dan PPK diakomodir dalam perpres tentang
pengadaan barang/jasa. Cukup banyak persyaratannya diantaranya adalah memiliki
integritas, disiplin tinggi dan sertifikat pengadaan barang/jasa. Dari beberapa
persyaratan tersebut yang nomor satu disebutkan adalah memiliki integritas. Ini artinya
persoalan pengadaan barang/jasa pemerintah di Indonesia sangat strategis sehingga
organisasi pengadaan barang/jasa menempatkan integritas pada poin yang pertama.
Galer35
mengatakan “Integrity is what we say, what we do, and what we say we
do.” Jadi seseorang yang memiliki integritas harus menjaga konsistensi antara apa yang
ia katakan dan apa yang ia lakukan. Ketika apa yang dikatakan tidak sesuai atau sejalan
dengan apa yang dilakukan maka seseorang itu dapat dikatakan tidak jujur atau tidak
berintegritas. Ketidakjujuran ini pada akhirnya akan meruntuhkan kredibilitas
seseorang, karena kredibilitas dibangun dari sikap jujur yang konsisten. Dengan
35
Galer, Don. http://thinkexist.com/quotes/don_galer/. Dikutip 17 Juni 2015. Jam 10.00 WIB.
68
demikian jelaslah mengapa memiliki integritas diletakkan pada nomor pertama dari
persyaratan menjadi Pokja dan PPK, karena tanpa memiliki integritas persyaratan-
persyaratan lainnya tidak ada artinya.
5.7 Kebijakan e-Procurement: Sebuah Pandangan Pesimistis Dari Penyedia?
Menurut Perpres No. 4 Tahun 2015 angka 12 bahwa penyedia barang/jasa
adalah badan usaha atau orang perseorangan yang menyediakan barang/pekerjaan
konstruksi/jasa konsultansi/jasa lainnya. Dengan demikian baik badan usaha maupun
orang perseorang dapat mengikuti pengadaan yang dilakukan oleh K/L/D/I, meskipun
dengan persyaratan yang berbeda pula.
Salah satu persyaratan bagi penyedia barang/jasa adalah berkaitan dengan
memiliki sumber daya manusia, modal, peralatan dan fasilitas lain yang diperlukan
dalam pengadaan barang/jasa. Baik penyedia dalam bentuk badan usaha maupun orang
perseorangan harus memenuhi persyaratan ini. Sementara khusus untuk badan usaha
yangingin mengikuti proses pengadaan barang/jasa wajib memenuhi persyaratan
memperoleh paling kurang 1 (satu) pekerjaan sebagai penyedia barang/jasa dalam kurun
waktu 4 (empat) tahun terakhir, baik di lingkungan pemerintah maupun swasta.Namun
hal ini tidak berlaku bagi badan usaha yang baru berdiri kurang dari 3 (tiga) tahun.
Persyaratan ini juga tidak berlaku bagi orang perseorangan. Hal ini dimaksudkan agar
semua badan usaha maupun orang perseorangan dapat berpartisipasi dalam pelelangan
secara elektronik dengan tetap mengikuti proses pengadaan yang dilakukan secara
online.
Gambar 5.3: Alur Proses Rekanan Melalui Sistem LPSE
Sumber: LPSE Serdang Bedagai, 2015
69
Di proses awal pengadaan secara elektronik,penyedia harus mendaftar melalui
SPSE untuk mendapatkan user IDdan password. Meskipunsudah online,tetapimasih
memungkinkanterjadi pertemuan langsung antara penyedia dan anggota LPSE dalam
proses pendaftaran. Ini dapat terjadi karena ada gangguan jaringan yang menyebabkan
penyedia tidak dapat menerima userID dan password sebagai proses awal pendaftaran.
Setelah melakukan pendaftaran, panitia pengadaanmelalui komunikasionline
menginformasikan dokumen pengadaan bagi calon penyedia. Dokumen ini ditetapkan
oleh Pokja ULP/PejabatPengadaan yang memuat informasi dan ketentuanyang harus
ditaati oleh para pihak dalam proses pengadaan barang/jasa. Informasi ini diantaranya
berkaitan dengan HPS, persyaratan kualifikasi, jenis kontrak, jadwal pelaksanaan lelang
dan lain-lain. Berkaitan dengan isi dokumen ini bila ada hal yang perlu dipertanyakan
maka penyedia dapat meminta penjelasan (aanwijing) kepada panitia pengadaan.
Aanwijzing merupakan proses penjelasan pelelangan yang dilakukan secara online tanpa
tatap muka melalui website LPSE. Namun bila tidak memungkinkan memberikan
informasi lapangan ke dalam dokumen, maka panitia pengadaan dapat melakukan
penjelasan di lapangan atau lokasi pekerjaan.
Sebelum memasuki prosesberikutnya, Pokja ULP harus memastikan bahwa
calon penyedia tidak tercantum didalam daftar hitam (black list).Daftar hitam adalah
daftar yang dibuat oleh K/L/D/I yang memuat identitas penyedia barang/jasa yang
dikenakan sanksi oleh PA/KPA berupa larangan mengikuti pengadaan barang/jasa pada
K/L/D/Idan/atau yang dikenakan sanksi oleh Negara/Lembaga PemberiPinjaman/Hibah
pada kegiatan yang termasuk dalam ruang lingkup Peraturan Presiden tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah36
. Tidak sulit bagi panitia pengadaan untuk
mengecek nama-nama penyedia yang masuk dalam daftar hitamkarena nama-nama
tersebut dimuat dalamPortal Pengadaan Nasional.Sebuah badan usahaatau perseorangan
masuk ke dalam black listdapat disebabkan beberapa hal. Tidak hadir dalam
penandatanganan kontrak ketika dinyatakan menang dalamsebuah paket lelang. Selain
itu dapat pula terjadi karenapenyedia tidak memenuhi isi kontrak, misalnya dengan
menyediakan barang kurang dari yang disepakati. Penyebab lainnya karena tidak
jelasnya (fiktif) keberadaan penyediatersebut.
Selanjutnya pada halaman websiteLPSE, panitia mengumumkan siapa saja
penyedia yang dapat mengikuti proses berikutnya dan juga penyedia yang gagal.
36
Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah No. 18 Tahun 2014 tentang
Daftar Hitam Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.Bab I, Pasal 1, Angka 6.
70
Penyedia yang memenuhi kualifikasi dapat dikatakan sebagai peserta lelang dan berhak
untuk melakukan penawaran. Pada tahap ini,para peserta lelang harus mempersiapkan
dokumen penawaran dalam sebuah file penawaran dan mengunggahdokumen tersebut.
Panitia akan membuka dokumen dan melakukan evaluasi penawaran dari semua peserta
lelang yangmemasukkan tawaran.Proses evaluasi (administrasi dan teknis, harga,
kualifikasi) terhadap file penawaran dilakukan secara manual (off line) di luar SPSE.
Setelah proses evaluasiselesai dilakukan, maka proses berikutnya penetapan pemenang
lelang oleh PPK melalui SPSE.
Calon pemenang lelang bisasatu atau dua peserta, tergantung pada semakin
terpenuhuinya persyaratan sebagai pemenang. Sedangkan yang menjadi pemenang
adalah satu orang/badan yakniorang/badan yang berhak mengadakan barang/jasa yang
diminta sementara calon pemenang pertama dan kedua menjadi pemenang cadangan
yang akan menggantikan posisi pemenang apabila terjadi sesuatu yang tidak
memungkinkan bagi pemenang dalam melakukan kegiatan pengadaan.
Pengumumandiwebsite LPSEtidakmenjelaskan secara rinci alasan mengapa peserta
lelang tersebut menang, namun dapat dilihat tanda atau nilai di kolom administrasi,
teknis, harga penawaran dan harga terkoreksi dari peserta tersebut.
Setelah pengumuman pemenang, peserta yang merasa keberatan atas penetapan
pemenang dapat menyampaikan sanggahan sebanyak satu kali kepada PPK yang
dilakukan secara online melalui SPSE satu jam setelah pengumuman pemenang lelang.
Sanggahan dari peserta lelang yang merasa keberatanini dijawab PPK setelah batas
akhir waktu sanggah yakni lima hariuntuk lelang biasa dan tiga hari untuk lelang cepat.
Jawaban dari PPKhanyabisa dibaca oleh peserta yang mengikuti penawaran. Jadi tidak
bisa dibaca oleh masyarakat luas atau penyedia yang tidak mengikuti penawaran.
Apabila peserta tetap tidak merasa puas atas jawaban PPKmaka pesertadapat melakukan
proses sanggah banding.
Proses sanggah banding dilakukan di luar SPSE dimana peserta lelang
mengirimkan sanggahanya kepada pejabat terkait, misalnya kepala daerah (bupati atau
walikota) sebagai PA untuk tingkat pemerintahan daerah. Dalam keadaan seperti ini
biasanya bupati atau walikota dengan bantuan panitia pengadaan mencari jalan damai
misalnya dengan menjanjikan proyek yang lain atau yang akan datang untuk diserahkan
kepada peserta lelang yang gagal tersebut. Karena pada prinsipnya bupati atau walikota
tidak ingin permasalahan ini naik kepermukaan. Jadi melalui sanggah banding seperti
ini, maka sisi hukumnya tidak tercapai. Namun pada saat ini apabila pesertatetap tidak
71
puas dalam proses sanggah, maka dapat berlanjut melaluijalur hukum di PTUN. Melalui
PTUN sisi hukumnya tercapai karena bila ditemukan tindakan pidana (KKN) dalam
proses pengadaan, maka panitia pengadaan dapat diajukan ke pengadilan. Karena salah
satu persyaratan dalam sistem e-procurement adalah semua pihak yang terlibat harus
menandatangani Pakta Integritas yakni surat pernyataan yang berisi ikrar
untukmencegah dan tidak melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme(Wawancara dengan
MI2, 21 Mei 2015).
Melalui jalur PTUN proses sanggah bisa dikatakan cukup sulit dan memakan
biaya karena peserta harus memberikan jaminan sebesar 1% dari jumlah pagu lelang
yang sedang berlangsung. Apabila peserta menang dalam putusan PTUN, maka uang
jaminan tersebut akan dikembalikan dan bila tidak menang akan masuk ke dalam kas
negara.Sementara menurut Bapak Basaruddin Kepala Bagian Administrasi
Pembangunan /LPSE Kota Medan, aktivitas sanggahdi Pemerintah Kota Medan sudah
hampir tidak ada. Ini salah satu bukti bahwa keterbukaan proses lelang secara elektronik
terlaksana dengan baik. Namun tidak dapat dipungkiri, hal ini dapat pula terjadi karena
peserta tidak mau repot menggunakan jalur hukum atau khawatir malah rugi apabila
kalah di PTUN.
Setelah masa sanggah telah dilalui atau selesai maka peserta lelang yang
menjadi pemenang diundang untuk datang ke SKPD dan melakukan penandatangan
kontrak dengan PPK.PPK selanjutnya membuat dan menyampaikan Surat Penetapan
Pemenang kepada pemenang lelang secara tertulis, sementara pemenang lelang
membawa dokumen asli penawaran. Jadi proses pengadaa suatu paket lelang selesai bila
PPK telah menetapkan pemenang lelang, panitia pengadaan mengirimkan pengumuman
pemenang lelang kepada peserta lelang melalui SPSE dan masa sanggah telah dilalui.
Dari uraian diatas proses pengadaan barang/jasa secara elektronik sangat tepat
untuk menciptakan transparansi, keterbukaan, persaingan, keadilan/tidak diskriminasi
dan akuntabilitas bila dibandingkan dengan pengadaan secara manual. Namun dari
perspektif penyedia khususnya pengusaha lokal, reformasi pengadaan barang/jasa ini
belum memberikan kemudahan dan keuntungan yang nyata bagi mereka terutama bila
dikaitkan dengan semangat otonomi daerah. Karena berlakunya sistem e-procurement
menuntut penyedia untuk memiliki keahlian, pengalaman, kemampuan teknis dan
manajerial dalam menyediakan barang/jasa secara elektronik. Persyaratan-persyaratan
ini sangat memberatkan khusus bagi pengusaha lokal yang mempunyai keahlian,
pengalaman, kemampuan teknis dan manajerial yang terbatas.
72
Kemampuan di bidang teknologi informasi termasuk penguasaan akan
komputer bagi sebahagian besar pengusaha lokal masih hal yang langka dan
sulit.Dengan demikian, secara teknis proses pengadaan secara elektronik belum terlalu
akrab bagi mereka.Bahkan seorang pengusaha yang mempunyai sebuah CV tidak
pernah membuka website LPSE untuk melihat informasi mengenai paket-peket
pengadaan. Sementara ada penyedia yang mengikuti lelang tetapi tidak mengunggah
sama sekali dokumen-dokumen yang diminta dengan alasan tidak mengerti. Mengatasi
hal-hal seperti ini, para pengusahaakhirnya memakai dan membayar seseorangyang
menguasai teknologi informasi untuk bisa mengikuti penawaran secara elektronik.
Selain perlu penguasaan teknologi informasi, sistem pengadaan secara
elektronik menjadi lebih terbuka bagi penyedia yang memiliki modal yang kuat. Hal ini
menimbulkan kecemburuandiantara para pengusaha khususnya pengusaha lokal yang
mempunyai modal terbatas. Karena pada umumnya penyedia yang memiliki modal
kuat, perusahaannya memiliki sumber daya manusia dengan kompetensi yang tinggi
dalam membuat penawaran secara elektronik. Selain itu, pengusaha dengan modal yang
kuat lebih mudah untuk mendapatkan rekomendasi dari agen resmi (distributor) yang
menyediakan garansi purna jual. Penyedia yang memiliki rekomendasi (lampiran-surat
dukungan) dan mengikuti penawaran akan lebih besar untuk memenangkan sebuah
paket lelang.Namun untuk mendapatkan rekomendasi tersebut tidak mudah bagi
pengusaha lokal yang memiliki modal dan akses yang terbatas. Karena biasanya hanya
ada satu pemasok (distributor) yang memberikan rekomendasi dan tidak semua
pengusaha mendapat rekomendasi tersebut.
Penguasaan teknologi informasi dan memiliki modal yang kuat, seorang
pengusaha juga harus mempunyai jaringan yang kuat di era pengadaan secara
elektronik.Sistem pengadaan secara elektronik dianggap masih belum transparan karena
ada celah yang membuat KKN “lebih halus” bermain didalamnya.Ada bargaining
proyek yaitu dengan memberikan setoran yang dibayar dimuka.Pembayaran dimuka
dilakukan untuk menghindari penyedia yang mendapat proyek „nembak‟ tidak
menyetor.Hal ini sudah terjadi sejak sistem pengadaan secara manual dan tidak berubah
hingga sistem pengadaan secara elektronik. Konspirasi penawaran dapat terjadi dengan
cara memberikan setoran kepada pihak penyelenggara. Setoran tanpa jaringan (orang
dalam) tidak menjamin dapat memenangkan penawaran. Karena itu, pengusaha yang
memiliki jaringan luas dianggap sebagai pengusaha profesional di kalangan penyedia
73
dan biasanya bukan berasal dari pengusaha lokal (Wawancara dengan MI8, 28 Mei
2015).
Uraian diatas menjelaskan bagaimana terjepitnya posisi dari pengusaha lokal
yang ikut dalam pengadaan secara elektronik. Jika dilihat dari semangat otonomi
daerah, potensi untuk belanja barang/jasa pemerintah seharusnya lebih diberikan
peluang kepada pengusaha lokal (daerah). Karena dengan begitu, pemerintah ikut dalam
pengembangan usaha bagi pengusaha di daerah. Namun faktanya selalu ada dominasi
pengusaha dari luar daerah yang biasanya mempunyai sumber daya manusia yang
kompeten, modal yang besar serta jaringan yang luas. Hal ini dapat terjadi karena
keterbukaan dalam SPSE yang menyebabkan penyedia dari mana saja yang ingin ikut
penawaran dapat mendaftarkan diri secara langsung. Sehingga tidak berlebihan bila
salah seorang anggota asosiasi penyedia memandang perbedaan terbesar antara sistem
pengadaan secara manual dan elektronik terletak pada masalah pemerataan kesempatan
mendapat proyek.
Bila lelang secara elektronik membuat pengusaha lokal tidak mampu berbuat
banyak, maka beda dengan pengadaan langsung yang dilakukan secara non elektronik.
Dari kacamata penyedia lokal, pengadaan langsung merupakan domainnyamereka.
Meskipun pagunya tidak sebesar lelang secara elektronik namun ini sudah cukup berarti
bagi pengusaha lokal. Menurut Perpres No. 4 Tahun 2015 pagu untuk pengadaan
langsung paling tinggi senilai Rp 200 juta untuk paket pengadaan barang/pekerjaan
konstruksi/jasa lainnya dan Rp 50 juta untuk paket pengadaan jasa konsultansi.
Biasanya secara tidak langsung kepala daerahatau kepala dinas sebagai PA menentukan
kepada siapa saja penawaran diberikan. Sehingga siapapun yang menang semata-mata
bukan hanya berdasarkan kualifikasi perusahaan penyedia melainkan jugakarena ada
hubungan secara pribadi atau ada setoran yang diberikan (Wawancara dengan MI8, 28
Mei 2015).
Terlepas dari adanya pengadaan secara langsung yang cukup menguntungkan
bagi pengusaha lokal, namun secara kuantitas jumlah proyek yang di tenderkan tidak
sebanding dengan jumlah pengusaha yang ada. Pada awal Kabupaten Serdang Bedagai
baru dimekarkan, banyak masyarakat yang membuka CV dengan harapan mendapat
proyek dari Pemerintah Daerah atau SKPD yang sedang melakukan lelang. Namun
faktanya pada saat ini setelah sistem pengadaan secara elektronik semakin mendominasi
proses pengadaan barang/jasa maka ada ribuan CV di kantor pajak PKB-nya dicabut
74
karena tidak aktif. Beberapa CV mengalami penurunan level sehingga hanya proyek
dengan pagu yang tidak terlalu besar yang boleh diikuti.
Dampak dari berlakunya sistem pengadaan secara elektronik membuat
persaingan untuk mengikuti penawaran semakin luas karena penyedia datang bukan
hanya berasal dari daerah setempat saja tetapi terbuka luas bagi siapa saja sepanjang
memenuhi persyaratan yang ada. Sehingga tidak mengherankan, sistem pengadaan
secara manual bagi sebagian pengusaha lokal dirasakan lebih menguntungkan. Ketika
pengadaan secara manual diterapkan, pengusaha luar tidak berani masuk karena
dihadang oleh pengusaha lokal. Selain itu, sesama pengusaha lokal biasanya ada
kesepakatan agar tidak bersama-sama mengikuti penawaran yang sedang dilakukan oleh
pemerintahan daerah atau salah satu SKPD. Jadi penyedia yang lain tidak boleh
mencolok paket yang sudah diikuti oleh seorang penyedia. Bila masih ada juga
penyedia yang hendak ikut lelang pengadaan tersebut maka secara kekeluargaan hal
tersebut dibicarakan agar penyedia tersebut mundur dari paket lelang yang sedang
berjalan. Dengan demikian pembagian proyek bisa lebih merata dan pengusaha lokal
dapat lebih diuntungkan (Wawancara dengan MI1, 21 Mei 2015; MI2, 21 Mei 2015;
MI8, 28 Mei 2015).
Pendapat yang cukup kontras datang dari salah seorang pengusaha yang kurang
setuju dengan sistem pengadaan secara elektronik. “Supaya otonomi daerah dapat
dinikmati oleh masyarakat lokal, maka tidak masalah jika para preman kembali
„mendatangi‟ panitia pengadaan asal mereka adalah putra daerah tersebut. Karena
perputaran uangakan tetap berada di daerah tersebut. Tingkat pertumbuhan ekonomi
juga akan lebih baik. Selain itu pengadaan secara manual dirasakan lebih nyaman
karena kesempatan bagi pengusaha lokal untuk mengikuti penawaran menjadi lebih
terbuka.Dari segi kualitas kerja, pekerjaan dari pengusaha lokal lebih baik daripada
pengusaha yang berasal dari luar daerah. Karena ada beban moral sebagai putra daerah
untuk membangun dan memelihara daerahnya.”
Namun apakah penyedia dalam hal ini pengusaha lokal diabaikan begitu saja di
era pengadaan secara elektronik? Seorang partisipan yang mempunyai posisi penting di
ULP sangat mengharapkan agar orang daerahlah yang menang dari paket lelang yang
ditawarkan, dibandingkan orang dari luar daerah. Karena bagaimanapun juga
seharusnya orang daerah yang pertama merasakan keuntungan dari pembangunan di
daerahnya. Karena itu ULP tidak menutup mata dengan kemampuan yang terbatas yang
dimiliki oleh pengusaha lokal berkaitan dengan sistem pengadaan secara elektronik.
75
Staf ULP dengan tangan terbuka bersedia mengajari penyedia yang mengalami
kesulitan berkaitan dengan proses pengadaan secara elektronik. Penyedia juga diundang
datang ke ULP bila menghadapi kendala dalam mengunggah dokumen yang
kapasitasnya besar. Ruangan yang nyaman dan tertutup juga disediakan bagi penyedia
yang datang ke ULP. Namun tidak banyak penyedia yang memanfaatkan kesempatan
ini. Selain itu, hampir setiap tahun ULP mengadakan pelatihanberkaitan dengan sistem
e-procurement dengan mengundang semua asosiasi pengusaha. Namun sayangnya
pihak penyedia kurang merespon undangan ini dengan positif, misalnya dengan
mengirim orang-orang yang tidak berkompeten seperti tukang sorong dan tukang angkat
batu ke pelatihan tersebut. Begitu pula dengan persyaratan untuk membawa komputer
dalam mengikuti pelatihan, selalu saja diabaikan (Wawancara dengan MI10, 4 Juni
2015).
Pendapat yang hampir sama datang dari user yang mengatakan banyak
penyedia yang menganggap bahwa sistem e-procurement sama dengan pengadaan
secara manual. Padahal dengan sistemonline siapa saja terbuka untuk mengikuti lelang
dan segala informasi dan tahapan lelang seperti pengumuman, persyaratan, pendaftaran,
jadwal lelang dan lain-lain harus dilihat dan dibaca di website LPSE. Karena itu
penyedia harus sering mengupdate informasi dari website LPSE kalau tidak mau
kehilangan kesempatan mengikuti lelang. Namun yang sering terjadi banyak penyedia
yang tidak siap karena malas atau tidak mau capek untuk membuka website LPSE dan
mempersiapkan dokumen sesuai jadwal sebagai persyaratan lelang. Penyedia
beranggapan toleransi ada ketika dokumen mereka tidak lengkap atau terlambat
diunggah dan lain sebagainya. Penyedia lupa bahwa mereka berhadapan dengan sistem
yang secara otomatis menolak atau tertutup ketika jadwal waktu yang sudah ditentukan
untuk mendaftar atau mengunggah sudah lewat (Wawancara dengan MI4, 10 Agt 2015).
Keengganan penyedia untuk datang ke ULP berkaitan dengan fasilitas yang
disediakan dalam rangka membantu mengikuti proses pengadaan secara elektronik,
ditanggapi pesimis oleh seorang pengusaha dibawah asosiasi Gapensi. “Reformasi
pengadaan barang/jasa secara manual ke pengadaan barang/jasa secara elektronik baik
adanya tetapi tidak ada artinya bila sumber daya manusia yang menjalankannya tidak
berubah. Ini artinya sama saja dengan melegalkan cara-cara yang lama dengan cara
yang baru. Mungkin mudah untuk mengubah sistem tetapi tidak gampang untuk
mengubah mindset seseorang. Sebagai penyedia ada keinginan untuk benar-benar
mengikuti sistem pengadaan secara elektronik, tetapi apakah panitia pengadaan juga
76
mau melakukan hal yang sama? Sulit untuk menyatukan kedua belah pihak selama tidak
ada saling percaya diantara keduanya.”
Pengadaan secara elektronik memang masih baru namun tidak bisa diabaikan
begitu saja dengan cara tidak mau tahu dengan sistem yang baru ini. Apalagi dalam
Perpres No. 4 Tahun 2015 jelas dikatakan bahwa L/K//D/I wajib menggunakan e-
procuremen. Ini artinya siapa saja penyedia baik dari dalam atau luar daerah yang ingin
ikut penawaran harus mengikuti sistem yang baru ini. Agar sistem pengadaan secara
elektronik ini dapat mencapai sasarannya yakni menciptakan efisiensi, efektifitas,
transparan, terbuka, adil dan tidak diskriminatif serta akuntabel maka perlu dibangun
saling percaya diantara penyedia dan penyelenggara pengadaan. Karena kalau tidak,
sistem pengadaan yang baru ini yang dirancang dengan sangat luar biasa dan dengan
biaya yang besar pula tidak ada bedanya dengan sistem-sistem sebelumnya.
5.8 Transparansi dalam Implementasi e-Procurement di Provinsi Sumatera Utara
Dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU
KIP) dikatakan siapa saja yang menjalankan tugas dan fungsi dengan dana yang
bersumber dari APBN/APBD dan sumbangan dana publik lainnya diwajibkan untuk
menyampaikan informasi tersebut secara terbuka kepada masyarakat. Informasi ini
dikecualikan bila membahayakan negara, berkaitan dengan kepentingan perlindungan
usaha dari persaingan usaha tidak sehat, hak-hak pribadi serta rahasia jabatan, dan lain
sebagainya. Karena Undang-Undang ini bertujuan untuk menjamin hak warga negara
mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik dan program kebijakan publik, proses
pengambilan keputusan publik dan alasan pengambilan suatu keputusan publik. Selain
itu mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik dan
mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yakni transparan, efektif dan efisien,
terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif serta akuntabel. Tujuan dari UU ini sejalan
dengan tujuan dari proses pengadaan barang/jasa secara elektronik yakni transparansi,
akuntabilitas dan efisiensi proses pengadaan.
Pentingnya transparansi sebagai salah satu tujuan dari e-procurement sudah
disadari oleh partisipan yang bekerja di LPSE dan ULP di tiga lokasi penelitian di
Provinsi Sumatera Utara. Perubahan tender secara manual ke sistem elektronik
merupakan usaha untuk mewujudkan transparansi tersebut, selain adil dan akuntabel
dalam pengadaan barang/jasa. Hal ini karena kegiatan pengadaan secara elektronik
dilakukan secara online sehingga semua pihak dapat melihat apa yang sedang terjadi
77
dalam proses pengadaan tersebut. Dengan demikian praktek-praktek KKN yang sangat
riskan dalam proses pengadaan dapat ditekan atau bahkan dihindari. Meskipun penyedia
dapat datang ke LPSE ketika menghadapi masalah dalam proses pengadaan, namun
hanya bisa bertemu dan dilayani oleh helpdesk. Dengan demikian e-procurement
dipandang jauh lebih transparan dari pada proses sebelumnya yang manual.
Heald (dalam Bannister dan Connoly, 2011)37
memberikan arti transparansi
dengan cara membedakannya berdasarkan kategori yang substansi dari kegiatan e-
procurement, sehingga cukup relevan digunakan dalam pembahasan dan analisis
mengenai transparansi dalam pelaksanaan e-procurement di Provinsi Sumatera Utara.
Menurut Heald, e-transparansi dapat dikategorikan dalam transparansi data, transparansi
proses dan transparansi keputusan/kebijakan. Transparansi data berkaitan dengan angka
dan fakta-fakta pemerintah. Di dalam transparansi data ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan yakni biaya yang dibutuhkan untuk memproses data hingga mudah diakses
dan dipahami masyarakat; misinterpretasi data/informasi; dan resiko terhadap
masyarakat/anonimitas. Selanjutnya, transparansi proses merupakan ketersediaan
informasi dari berbagai proses keputusan pemerintahan, mulai dari pembuatan
keputusan hingga produk keputusan. Transparansi ini menjadikan seluruh tahapan
dalam proses keputusan menjadi jelas, dimana proses suatu transaksi tertentu dapat
ditemukan dan mengapa langkah-langkah tertentu harus dilaksanakan. Terakhir,
transparansi keputusan atau kebijakan menjelaskan alasan (rasionalitas) dari keputusan-
keputusan, dan/atau tindakan-tindakan dari kebijakan pemerintah.
Berdasarkan observasi website LPSE di tiga lokasi penelitian dapat dikatakan
bahwa secara umum ketersediaan data dari pelaksanaan e-procurement sudah lengkap
dan transparan. Data yang dapat diakses bukan saja mengenai proses atau tahapan
lelang, tetapi juga berkaitan dengan berita seputar pengadaan secara elektronik seperti
pemadaman listrik, kerusakan sistem pada server, berita acara penjelasan pekerjaan
(aanwizjing), perubahan RUP, dan lain-lain. Bahkan beberapa regulasi yang berkaitan
dengan pengadaan secara elektronik dapat diunduh di website LPSE Kota Medan.
Namun masih ditemukan data atau informasi yang tidak diperbaharui, seperti di bagian
regulasi dan berita sehingga cukup mengganggu bagi yang ingin mengetahui informasi
terbaru tentang hal tersebut. Selain itu, terjadi kekosongan data atau informasi seperti di
37
Bannister, Frank and Connolly, Regina. 2011. "The Trouble with Transparency: A Critical Review of
Openness in e-Government," Policy & Internet: Vol. 3: Iss. 1, Article 8. Policy Studies Organization.
http://www.psocommons.org/policyandinternet / vol3 / iss1/art8.
78
kolom alasan dari peserta lelang yang gagal memenangkan paket lelang. Meskipun di
paket lelang lainnya informasi tersebut ditemukan. Ketidakkonsistenan ini dapat
menimbulkan berbagai spekulasi dari penyedia atau masyarakat umum yang mengakses
website LPSE.
Informasi mengenai kategori lelang sesuai dengan Perpres No. 4 Tahun 2015
yang terdiri dari Pengadaan Barang, Jasa Konsultasi Badan Usaha, Jasa Konsultasi
Perorangan, Pekerjaan Konstruksi dan Jasa lainnya sudah tersedia dalam website LPSE
di tiga lokasi penelitian. Bahkan dari penelusuran selanjutnya dapat dilihat informasi
mengenai Nama Lelang, Agency, Tahap dan HPS, dan berikutnya dari Nama Lelang
dapat ditemukan informasi mengenai Kategori, Jenis Lelang, Metode dan Nilai seperti
gambar website LPSE di bawah ini.
Gambar 5.4: LPSE Kota Medan: Nama Lelang, Agency, Tahap dan HPS
Sumber: WebsiteLPSE Kota Medan, 201538
Nama lelang berkaitan dengan barang/jasa yang sedang/telah dilakukan
pelelangan seperti misalnya pada Gambar 5.4 di atas, “Belanja Pengadaan Mobiler
Sekolah Kegiatan Pengadaan Mobiler Sekolah SMA/SMK”. Sementara yang dimaksud
dengan agency adalah panitia penyelenggara lelang. Dari gambar website diatas yang
menjadi agency adalah Pemerintah Kota Medan. Karena itu paket lelang ini berada di
website LPSE Kota Medan. Sedangkan pengertian Tahap disini adalah posisi dari
proses lelang dimana dalam satu paket lelang terdiri dari beberapa tahapan. Dalam
gambardiatas proses lelang berada pada tahap Pembukaan Dokumen Penawaran,
Evaluasi Penawaran, Evaluasi Dokumen dan Kualifikasi. Informasi berikutnya yang
38
http://www.lpse.pemkomedan.go.id/eproc/lelang?s=0. Dikutip 17 Juli 2015, Jam 12.15 WIB
79
dapat dilihat dalam website LPSE adalah berkaitan dengan nilai HPS, pada gambar
website diatas nilai HPS sebesar 5.65 M.
Selanjutnya di website LPSE di tiga lokasi penelitian juga menampilkan
informasi mengenai: Pengumuman, Peserta, Harga Penawaran dan Pemenang.
Informasi mengenai Pengumuman berisi hal-hal yang berkaitan dengan lelang dari
mulai kode lelang, nama lelang, tahap lelang saat ini, agency, satuan kerja, kategori,
metode pengadaan, metode dokumen, anggaran, nilai pagu paket, jenis kontrak,
kualifikasi usaha, lokasi pekerjaan, syarat kualifikasi dan peserta lelang. Data yang
disajikan disini cukup lengkap, sistematik dan mudah dimengerti.
80
Gambar 5.5: Informasi Lelang di LPSE Kabupaten Serdang Bedagai
Sumber: WebsiteLPSE Kabupaten Serdang Bedagai, 201539
39
http://lpse.serdangbedagaikab.go.id/eproc/lelang/view/292378. Dikutip 17 Juli 2015. Dikutip Jam 12.45
WIB.
Informasi Lelang
Kode Lelang 292378
Nama Lelang Pembangunan Kantor UPT BPAT Belidahan
Keterangan
Tahap Lelang Saat ini Lelang sudah selesai
Agency LPSE Kabupaten Serdang Bedagai
Satuan Kerja Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Serdang Bedagai
Kategori Pekerjaan Konstruksi
Metode Pengadaan e-Lelang Pemilihan Langsung Metode Kualifikasi Pascakualifikasi
Metode Dokumen Satu File Metode Evaluasi Sistem Gugur
Anggaran 2015 – APBD
Nilai Pagu Paket Rp 354.450.000,00 Nilai HPS Paket Rp 354.450.000,00
Jenis Kontrak Cara Pembayaran Gabungan Lump Sum dan Harga Satuan
Pembebanan Tahun Anggaran Tahun Tunggal
Sumber Pendanaan Pengadaan Tunggal
Kualifikasi Usaha Perusahaan Kecil
Lokasi Pekerjaan Desa Cempedak Lobang Kec. Sei Rampah - Serdang Bedagai (Kab.)
Syarat Kualifikasi
* Ijin Usaha
IjinUsaha Klasifikasi
TDP MASIH BERLAKU
SITU/HO MASIH BERLAKU
SIUJK MASIH BERLAKU
SBU BG 009 (JASA PELAKSANA UNTUK KONSTRUKSI
BANGUNAN GEDUNG LAINNYA) YANG MASIH BERLAKU
* Telah melunasi kewajiban pajak tahun terakhir
SPT TAHUN 2014
* MEMILIKI NPWP DAN SURAT PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA
PAJAK
* MEMILIKI AKTE PENDIRIAN DAN AKTA PERUBAHAN TERAKHIR
(JIKA ADA)
* MEMPEROLEH PALING SEDIKIT 1 (SATU) PEKERJAAN SEBAGAI
PENYEDIA DALAM KURUN WAKTU 4 (EMPAT) TAHUN TERAKHIR BAIK DI LINGKUNGAN PEMERINTAH MAUPUN SWASTA TERMASUK
PENGALAMAN SUBKONTRAK, KECUALI BAGI PENYEDIA USAHA
MIKRO, USAHA KECIL DAN KOPERASI KECIL YANG BARU BERDIRI
KURANG DARI 3 (TIGA) TAHUN
* MEMILIKI PENGALAMAN PADA SUBBIDANG JASA PELAKSANA
UNTUK KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG LAINNYA
* MEMILIKI SURAT KETERANGAN DUKUNGAN KEUANGAN DARI
BANK PEMERINTAH/SWASTA MINIMAL SEBESAR Rp. 35.445.000 (tiga puluh lima juta empat ratus empat puluh lima ribu rupiah)
* MEMILIKI KEMAMPUAN UNTUK MENYEDIAKAN
FASILITAS/PERALATAN/PERLENGKAPAN MELAKSANAKAN
PEKERJAAN INI YANG DIBUKTIKAN DENGAN MELAMPIRKAN DUKUNGAN ALAT ATAU BUKTI KEPEMILIKAN
* PERSYARATAN LAIN YANG DIPERSYARATKAN DALAM DOKUMEN
PENGADAAN
Peserta Lelang 21 peserta [Detil...]
81
Setelah informasi mengenai Pengumuman, hasil observasi website LPSE
menemukan informasi mengenai Peserta. Tidak semua penyedia lelang bisa lolos
menjadi peserta lelang yang dapat mengajukan harga penawaran. Setidaknya untuk
menjadi peserta lelang harus lolos dari evaluasi administrasi, teknis, harga penawaran
dan harga terkoreksi. Kalau dilihat dari gambar website di bawah ini ada 2 (dua) calon
pemenang dan 1 (satu) pemenang. Jumlah calon pemenang tergantung pada
kelengkapan persyaratan yang dipenuhi untuk menjadi pemenang. Jadi bisa 3 (tiga), 2
(dua) atau 1(satu) calon pemenang.
Gambar 5.6: Hasil Evaluasi Peserta Lelang di LPSE Kota Medan
Sumber: WebsiteLPSE Kota Medan, 201540
Dari penelusuran website LPSE pada kategori Jasa Konsultasi Badan Usaha,
Hasil Evaluasi dapat dilihat dari 5 (lima) hal berikut yaitu: Administrasi, Teknis, Skor
Teknis, Harga Penawaran dan Harga Terkoreksi. Pada gambar website di atas, nama
pemenang dengan tanda bintang berwarna kuning dapat dengan mudah dilihat. Di
kolom alasan tidak ada informasi yang ditemukan. Tetapi terlihat pada baris pemenang
ada tanda √ di persyaratan administrasi dan teknis serta skor teknis 79.23. Skor ini lebih
rendah dari dua pesaingnya. Bila dilihat dari harga penawaran dan harga terkoreksi,
maka nilai penawaran dan terkoreksi pemenang lebih rendah dari pesaingnya.
40
http://lpse.serdangbedagaikab.go.id/eproc/rekanan/lelangpeserta/293378. Dikutip 21 Juli 2015. Jam
10.00 WIB.
82
Gambar 5.7: Harga Penawaran di LPSE Kota Medan
Sumber: WebsiteLPSE Kota Medan, 201541
Setelah informasi mengenai Pengumuman dan Peserta, hasil observasi dari
website LPSE menemukan informasi mengenai Harga Penawaran. Pada gambar website
di atas, terlihat informasi dari tiga nama penyedia barang/jasa yang memberi harga
penawaran terendah dari sebuah paket lelang. Namun tidak ada penjelasan yang rinci
sehingga ketiga penyedia tersebut dapat menetapkan harga penawaran serendah itu.
Karena tidak dapat dipungkiri bahwa penetapan harga penawaran terendah, memberikan
kesempatan besar bagi penyedia untuk masuk pada tahap berikutnya. Bahkan
kesempatan untuk menjadi pemenang lelang sangat terbuka luas. Sementara informasi
mengenai penyedia lainnya yang memberikan harga penawaran tinggi tidak
dicantumkan pada website. Ini menunjukkan dari beberapa nama penyedia, hanya 3
(tiga) nama tersebut yang masuk ke proses berikutnya.
Dari pandangan penyelenggara pengadaan dan user, hal tersebut di atas sudah
menunjukkan adanya transparansi. Transparansi jangan diartikan bahwa semua yang
terjadi di dalam proses pengadaan secara elektronik harus dibuka selebar-lebarnya
kepada masyarakat umum. Tidak mungkin seorang peserta lelang yang melakukan
penawaran dari satu paket lelang akan menguraikan dengan rinci semua isi
penawarannya dalam website LPSE. Masyarakat umum atau pesaingnya cukup
mengetahui jumlah total dari harga penawarannya, tanpa harus mengetahui rinciannya.
41
http://www.lpse.pemkomedan.go.id/eproc/rekanan/lelanghargapeserta/1986308. Dikutip 21 Juli 2015.
Jam 10.25 WIB.
83
Karena kalau tidak, hal ini dapat dikategorikan melanggar peraturan tentang persaingan
usaha. Jadi menurut panitia pengadaan sistem yang baru ini sudah memberikan
transparansi bukan saja bagi penyedia tetapi juga bagi masyarakat umum (Wawancara
dengan MI1, 21 Mei 2015; MI7, 5 Juni 2015; MI4, 4 Agt 2015).
Gambar 5.8: Informasi Pemenang Lelang di LPSE Kota Medan
Sumber: WebsiteLPSE Kota Medan, 201542
Dari penelusuran website LPSE dan seperti gambar diatas, terlihat dengan jelas
Nama Pemenang Lelang dengan beberapa informasi berkaitan dengan pemenang dan
paket lelang yang dimenangkan seperti alamat dan NPWP pemenang serta kategori dan
pagu lelang. Pada laman yang sama juga ada informasi mengenai Hasil Evaluasi Peserta
Lelang. Jadi sebenarnya ada dua laman yang berbeda yang mencantumkan nama
pemenang dan calon pemenang. Bedanya di laman Informasi Pemenang Lelang
(Gambar 5.8) identitas pemenang telah diuraikan dengan cukup rinci, sementara di
laman Hasil Evaluasi Peserta Lelang (Gambar 5.6) informasi mengenai identitas
pemenang lelang belum diuraikan. Sementara informasi mengenai calon pemenang
baik pada laman Informasi Pemenang Lelang dan laman Hasil Evaluasi Peserta Lelang
adalah sama, mengenai kekurangan dokumen dari calon pemenang yang dapat
ditemukan di kolom alasan. Pengulangan informasi ini dapat diartikan untuk lebih
memperjelas bahwa peserta tersebut lebih memenuhi syarat menjadi pemenang
dibandingkan peserta lainnya.
42
http://www.lpse.pemkomedan.go.id/eproc/lelang/pemenang/1986308. Dikutip 21 Juli 2015. Jam 10.35.
84
Dari hasil observasi website LPSE di tiga lokasi penelitian kolom alasan untuk
calon pemenang dan bahkan peserta lelang ada yang diisi tetapi ada juga yang tidak
diisi. Biasanya yang diisi di kolom alasan ini adalah berkaitan dengan kurang
lengkapnya dokumen administrasi dan teknis peserta lelang. Alasan-alasan ini bisa
karena tidak melampirkan surat pernyataan bersedia membawa barang yang ditawarkan
pada saat klarifikasi dan pembuktian kualifikasi, tidak melampirkan Jaminan
Penawaran, tidak ada scan brosur/katalog yang dilegalisir dan lain sebagainya.
Ketidakkonsistenan dalam pengisian kolom alasan ini dapat membingungkan
masyarakat yang membaca dan dapat juga menimbulkan salah pengertian dari penyedia.
Sementara untuk pemenang lelang, kolom alasan sama sekali tidak diisi, ini
menunjukkan bahwa pemenang memang layak untuk menjadi pemenang. Namun di
bagian pemenang lelang ditemukan informasi mengenai persyaratan administrasi dan
teknis dengan tanda √ dan/atau harga penawaran dan harga terkoreksi paling rendah
dibanding peserta lainnya. Hal lain yang juga diobservasi diketiga website LPSE adalah
tidak semua harga penawaran dari penyedia dicantumkan dalam website LPSE, hanya
beberapa penyedia yang memberikan harga penawaran terendah saja yang dicantumkan.
Ini artinya seorang penyedia selain mengetahui harga penawaran yang diberikannya,
juga dapat melihat harga penawaran dari beberapa penyedia (sebagai pemenang dan
calon pemenang) yang tercantum di website LPSE, tetapi tidak mengetahui harga
penawaran dari penyedia-penyedia lainnya (lihat Gambar 5.7).
Sejalan dengan hasil observasi website LPSE di atas, menurut pandangan user
(SKPD)bahwa transparansi adalah bagaimana orang yang berhak bisa mengetahui apa
yang menjadi tanggung jawab dan kewajibannya. Dengan demikian, seseorang atau
masyarakat umum tidak berhak mengetahui secara detail proses lelang berlangsung,
sepanjang dia atau masyarakat umum tersebut tidak menjadi penyedia atau peserta
lelang. Seorang penyedia juga tidak berhak mengetahui informasi mengenai semua
saingannya. Selain itu, penyedia yang gagal di tengah berjalannya proses lelang, jadi
belum menjadi peserta lelang yang dapat memberikan harga penawaran, tidak berhak
mengetahui mengapa peserta tersebut yang menang dan mengapa peserta yang lain
gagal. Namun pandangan ini berbeda dengan pandangan penyedia yang berpendapat
bahwa transparansi berarti seorang penyedia dapat mengetahui informasi apa saja dari
para pesaingnya dan sebaliknya para pesaingnya dapat mengetahui informasi apa saja
mengenai dia (Wawancara dengan MI2, 21 Mei 2015; MI7, 5 Juni 2015).
85
Transparansi data bukan hanya mencakup ketersediaan informasi tentang
proses e-procurement tetapi juga harus mencakup informasi lainnya yang relevan
dengan proses e-procurement seperti peraturan, kebijakan dan pedoman yang
merupakan data penting yang memberikan kejelasan, dasar hukum dan pedoman dalam
melakukan pelelangan barang/jasa secara elektronik. Di website LPSE Kota Medan
dapat diunduh Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,
Peraturan Kepala LKPP No. 1 Tahun 2011 tentang Tata Cara e-Tendering dan UU No.
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun Perpres No 4 Tahun
2015 sebagai revisi terbaru dari perpres tentang pengadaan barang/jasa pemerintah
belum ada dalam website LPSE Kota Medan di bagian Regulasi43
. Sementara informasi
mengenai peraturan-peraturan yang relevan dengan e-procurement ini belum tercantum
sama sekali pada situs LPSE Kabupaten Serdang Bedagai dan Kota Binjai.
Gambar 5.9: Regulasi Berkaitan Dengan e-Procurement di LPSE Kota Binjai
Sumber: Website LPSE Kota Binjai, 201544
Alasan utama mengenai tidak dicantumkannya peraturan yang berkaitan
dengan pengadaan barang/jasa pemerintah secara elektronik pada situs LPSE Kota
Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai adalah karena LPSE diseluruh Indonesia sudah
terintegrasi sehingga publik dapat langsung mengakses situs LKPP untuk mendapatkan
43
http://www.lpse.pemkomedan.go.id/eproc/regulasi. Dikutip 24 Juli 2015. Jam 14.40 WIB. 44
http://lpse.binjaikota.go.id/eproc/regulasi. Dikutip 20 Juli 2015. Jam 11.30 WIB.
86
informasi mengenai kebijakan dan peraturan nasional yang diterbitkan oleh LKPP45
.
Namun tidak ada salahnya juga bila setiap LPSE melengkapi websitenya dengan
regulasi yang berkaitan dengan pengadaan secara elektronik untuk mempermudah dan
mempercepat masyarakat atau penyedia yang memerlukan informasi mengenai
pengadaan secara elektronik termasuk regulasi-regulasi yang berkaitan dengan
pengadaan tersebut. Jadi implementasi e-procurement selain dapat meningkatkan
transparansi publik juga dapat meningkatkan transparansi antar lembaga pemerintahbaik
di tingkat daerah maupun di tingkat pusat.
Gambar 5.10: Pengumuman Pengadaan di LPSE Kabupaten Serdang Bedagai
Sumber: Website LPSE Kabupaten Serdang Bedagai, 201546
Berita seputar pengadaan barang/jasa juga dapat ditelusuri di website LPSE di
tiga lokasi penelitian. Beberapa berita ini berkaitan dengan pengumuman mengenai
informasi pemadaman listrik, gangguan server akibat terputusnya aliran listrik, ralat
RUP, pengumuman pemenang, penjelasan pekerjaaan (aanwizjing) dan sebagainya. Dua
diantaranya diuraikan terlebih dahulu disini yakni yang berkaitan dengan informasi
pemadaman listrik di LPSE Kabupaten Serdang Bedagai dan gangguan sistem pada
server LPSE Kota Medan.
45
Trimurni, Februati dan Siahaan, Asima Yanty Sylvania. 2014. Model Implementasi Kebijakan e-
Procurement Dalam Mewujudkan Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Sumatera Utara.
Hasil Penelitian Tahun Pertama. Skim Hibah Bersaing. Universitas Sumatera Utara. 46
http://lpse.binjaikota.go.id/eproc/publicberita/pengumuman. Dikutip 17 Juli 2015. Jam 22.30.
87
Berita mengenai informasi pemadaman listrik di atas dikeluarkan pada tanggal
10 Juni 2015 jam 08.52 sementara pemadaman listrik terjadi pada tanggal yang sama
dari jam 08.00-16.00 WIB. Hal yang sama terjadi pada berita mengenai gangguan
sistem padaserver LPSE Kota Medan. Seharusnya berita pemadaman listrik seperti ini
diberitakan minimal satu hari sebelum pemadaman listrik. Sementara berita mengenai
gangguan sistem pada server langsung diinformasikan ketika terjadi gangguan. Karena
hal-hal seperti ini dapat menimbulkan spekulasi dari para penyedia bahwa panitia
penyelenggara sedang melakukan kecurangan (Wawancara dengan MI2, 21 Mei 2015;
MI3, 27 Mei 2015).
Berita juga dapat berisi mengenai pengumuman lelang, dimana pengumuman
pemenang lelang dilampirkan dalam format pdf, seperti dibawah ini.
Hasil observasi pada website LPSE, berita mengenai Pengumuman Pemenang
Lelang berisi tentang paket pekerjaan, total HPS, nama dan alamat perusahaan, NPWP
10 Juni 2015 08:52
Informasi Pemadaman Listrik
Berdasarkan surat edaran PT. PLN nomor : 0081/DIS.00.02/SRP2015 tanggal 09 Juni 2015
tentang rencana pekerjaan pemeliharaan tahunan trafo daya, Bay trafo daya, kubikel 20KV
dan trafo PS serta adanya pemeliharaan jaringan 20 KV untuk daerah Kec. Sei Bamban, Kec.
Tj. Beringin, Kec, Sei Rampah dan Kec. T. Mengkudu. Yang akan dilakukan Hari Rabu, 10
Juni 2015. Mulai pukul 08.00 s/d 16.00 WIB. Terkait dengan itu LPSE Kab. Serdang Bedagai
akan mengalami gangguan jaringan server LPSE Kab. Serdang Bedagai. Demikian
diberitahukan untuk dapat dimaklumi. Terima Kasih.
04 November 2014 15:55
Gangguan Sistem pada Server LPSE Kota Medan
Dengan ini diinformasikan bahwa telah terjadi gangguan sistem pada server LPSE Kota
Medan pada Senin, 3 Nopember 2014 pukul 16.00 WIB s/d Selasa, 4 Nopember 2014
pukul 15.30 WIB. Saat ini LPSE Kota Medan sudah dapat beraktifitas dengan normal
kembali.
Diinformasikan juga kepada seluruh panitia yang sedang dalam masa lelang untuk
memperhatikan dan mengubah jadwal apabila diperlukan.
Demikian diberitahukan untuk dapat dimaklumi.
Hormat Kami, LPSE Kota Medan.
19 September 2012 15:54
Pengumuman Pemenang
Berdasarkan hasil evaluasi, BAHP dan penetapan, Panitia mengumumkan pemenang paket
pekerjaan Penambahan Lajur Gedung Balai PKB Pinang Baris.
Attachment:
Pengumuman Pemenang Lelang.pdf
88
serta harga penawaran terkoreksi dari pemenang lelang. Selanjutnya peserta lelang
(calon pemenang) dapat menyampaikan sanggahan secara elektronik melalui aplikasi
SPSE atas penetapan pemenang kepada panitia pengadaan barang/jasa, disertai bukti
terjadinya penyimpangan.
Gambar 5.11: Pengumuman Pemenang Lelang
Sumber: WebsiteLPSE Kota Medan, 201547
Sebagaimana dikatakan Heald diawal selain transparansi data, transparansi
proses juga penting dalam pelaksanaan e-procurement. Transparansi proses ditandai
dengan ketersediaan informasi di setiap tahap dari proses pengadaan secara elektronik.
Berdasarkan observasi website LPSE di tiga lokasi penelitian secara umum dapat
dikatakan bahwa proses dari pelaksanaan e-procurement sudah cukup transparan.
Diawali dengan observasi mengenai kategori lelang di website LPSE, maka
dengan mudah ditemukan kategori lelang yang terdiri dari Pengadaan Barang, Jasa
Konsultasi Badan Usaha, Jasa Konsultasi Perorangan, Pekerjaan Konstruksi dan Jasa
lainnya. Selanjutnya ditelusuri informasi secara berturut-turut mengenai Nama Lelang,
Agency, Tahap dan HPS dalam satu laman sehingga memudahkan bagi siapapun
melihatnya. Dari Nama Lelang ini ditemukan informasi mengenai Kategori, Jenis
Lelang, Metode dan Nilai.
Pada informasi Tahap dapat dilihat tahapan-tahapan lelang yang bisa sampai 10
(sepuluh) ke 23 (dua puluh tiga) tahapan dari sebuah paket lelang. Semua tahapan ini
47
http://www.lpse.pemkomedan.go.id/eproc/publicberitadetail/356308. Dikutip 20 Juli 2015. Jam 11.45
WIB.
89
dapat dilihat pada website LPSE. Selain itu ada informasi mengenai kapan dimulai dan
berakhir tahapan tersebut serta histori perubahan. Kalau ada perubahan maka berapa
kali perubahan tersebut yang ditulis dengan tinta berwarna merah, kalau tidak ada
perubahan maka tertulis tidak ada. Selanjutnya bila ada perubahan maka ada penjelasan
di kolom keterangan, mengapa terjadi perubahan, namun banyak juga ditemukan tidak
ada alasan di kolom keterangan atau tidak ada informasi mengapa perubahan terjadi di
kolom keterangan. Tulisan tahapan lelang saat ini dibuat dengan warna yang lebih tebal
(bold) sehingga memudahkan siapapun yang membaca sudah sampai di tahap mana
suatu proses lelang berlangsung. Selain itu ada informasi kapan dimulai dan berakhir
tahapan tersebut serta histori perubahan. Kalau ada perubahan, maka berapa kali
perubahan tersebut yang ditulis dengan tinta berwarna merah, kalau tidak ada perubahan
maka tertulis tidak ada. Selanjutnya bila ada perubahan maka ada penjelasan di kolom
keterangan, mengapa terjadi perubahan. Namun, ketidakkonsistenan terjadi karena lebih
banyak ditemukan di kolom keterangan tidak ada informasi, pada hal seharusnya ada
alasan atau ada informasi mengenai perubahan itu terjadi (Gambar 5.11). Website LPSE
juga menampilkan informasi mengenai: Pengumuman, Peserta, Harga Penawaran dan
Pemenang yang merupakan proses akhir dari sebuah tahapan lelang.
Gambar 5.12: Tahap Lelang Saat Ini
Sumber: WebsiteLPSE Kota Medan, 201548
Selain transparansi data dan proses, Heald juga membahas mengenai
transparansi keputusan atau kebijakan yang menjelaskan alasan keputusan atau
kebijakan tersebut dibuat atau diambil. Berdasarkan observasi di website LPSE,
transparansi keputusan dalam pelaksanaan e-procurement sudah cukup memuaskan.
48
http://www.lpse.pemkomedan.go.id/eproc/lelang/tahap/2004308. Dikutip 20 Juli 2015. Jam 22.30 WIB.
90
Melihat transparansi keputusan ini dapat dilakukan dengan mengobservasi website
LPSE yang berkaitan dengan Hasil Evaluasi (Gambar 5.6). Seseorang peserta lelang
dengan kategori Jasa Konsultasi Badan Usahadikatakan menang bila hasil evaluasinya
yakni administrasi dengan tanda √, teknik juga dengan tanda √, skor teknik tinggi
dibanding peserta lelang lainnya serta harga penawaran dan harga terkoreksi paling
rendah dibanding peserta lainnya. Merujuk pendapat Heald diatas keputusan peserta
tersebut menjadi pemenang dapat dikatakan transparan. Karena keputusan diambil
dengan rasional berdasarkan data dan proses yang transparan. Namun ketika salah satu
unsur dari penilaian evaluasi di atas tidak maksimal maka penentuan pemenang menjadi
kurang transparan. Dari hasil penelusuran website LPSE di tiga lokasi penelitian ada
pemenang lelang dimana persyaratan administrasi dan teknik bertanda √, nilai
penawaran dan terkoreksinya lebih rendah dibanding dengan pesaingnya tetapi skor
tekniknya lebih rendah dari pesaingnya (lihat Gambar 5.8). Selain itu, ada juga
pemenang memiliki penilaian administrasi dan teknik bertanda √, sementara nilai
penawaran dan koreksinya lebih tinggi dari pesaingnya. Hal-hal seperti ini seharusnya
dapat dijelaskan dengan rinci dalam website LPSE sehingga tidak menimbulkan
spekulasi dari para penyedia.
Munculnya spekulasi-spekulasi ini sebenarnya sudah ada pada evaluasi
dokumen di tahap awal dari sebuah paket lelang. Meskipun kenyataannya pada tahap
evaluasi ini antara panitia penyelenggara dan penyedia tidak saling ketemu. Namun
tetap saja menimbulkan spekulasi dari beberapa penyedia bahwa panitia penyelenggara
dengan mudah menyingkirkan dokumen mereka karena alasan tidak lengkap sehingga
mereka tidak masuk ke tahap berikutnya. Pertanyaan yang jamak didengar, “Siapa yang
dapat menjamin bahwa panitia tidak „bermain‟ dalam proses evaluasi dokumen yang
dilakukan secara off line?” (Wawancara dengan MI2, 21 Mei 2015). Sementara dari
pihak panitia pengadaan mengatakan bahwa tahap evaluasi dokumen memang
dilakukan secara off line tetapi mereka tidak mengetahui nama-nama penyedia yang
mengikuti lelang. Karena yang mereka evaluasi adalah dokumen-dokumen yang
beridentitas Penyedia 1, Penyedia 2 dan seterusnya sehingga untuk melakukan
kecurangan sangat kecil (Gambar 5.13). Selanjutnya menurut panitia penyelenggara
bahwa beberapa penyedia tidak memanfaatkan tahapan pemberian penjelasan
(aanwijzing). Padahal pada tahap ini panyedia dapat bertanya apa saja kepada panitia
penyelenggara berkaitan dengan kegiatan pengadaan termasuk persyaratan dokumen
91
yang harus mereka lengkapi. Dengan demikian penyedia dapat mempersiapkan
dokumennya dengan lengkap sesuai dengan persyaratan yang diminta.
Gambar 5.13: Jumlah Peserta/Penyedia Yang Mengikuti Lelang
Sumber: Website LPSE Kota Medan, 201549
Sementara dari sisi penyedia, proses pengadaan secara elektronik dapat
dikatakan transparan bukan semata-mata data atau informasi sudah tersedia dalam
website LPSE, namun yang jauh lebih penting adalah transparansi dari alasan-alasan
rasional mengapa seseorang menang dalam paket lelang. Cara paling sederhana untuk
mendapatkan transparansi keputusan atau kebijakan ini adalah bila panitia pengadaan
baik Pokja/ULP maupun PPK adalah orang-orang yang mempunyai integritas dalam
melakukan pekerjaannya. Dengan demikian sistem pengadaan secara elektronik dapat
dikatakan mencapai sasarannya dalam mewujudkan transparansi bila didukung oleh
panitia pengadaan yang memiliki integritas. Tanpa integritas pelaksanaan e-
procurement akan tetap dicurigai atau memunculkan spekulasi-spekulasi (Wawancara
dengan MI2, 21 Mei 2015; MI3, 27 Mei 2015; MI8, 28 Mei 2015).
Kata spekulasi berasal dari bahasa Latin yakni “speculates” yang artinya
melihat kedepan, mengamati, dan menelaah. Selanjutnya muncul kata “speculation” dan
“speculationis” yakni suatu aktivitas penyelidikan filosofi. Kalimat ini berkembang
sebagai "suatu kegiatan berteori tanpa didukung dengan suatu dasar fakta yang
kuat.50
Sejalan dengan pendapat diatas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
spekulasi merupakan pendapat atau dugaan yang tidak berdasarkan kenyataan; tindakan
49
http://www.lpse.pemkomedan.go.id/eproc/rekanan/lelangpeserta/2023308. Dikutip 24 Juli 2015. Jam
14.50 WIB. 50
https://id.wikipedia.org/wiki/Spekulasi
92
yang bersifat untung-untungan.51
Bila dikaitkan dengan pelaksanaan lelang secara
elektronik maka kata-kata spekulasi ini bisa sangat menganggu bahkan merugikan baik
bagi penyelenggara lelang, user maupun penyedia.
Bagi penyelenggara lelang dan user imej yang dibangun bahwa sistem e-
procurement penuh dengan spekulasi tentunya tidak menguntungkan. Karena itu tidak
ada jalan lain selain menampilkan data, proses dan keputusan lelang dengan benar-
benar transparan. Data yang tersedia harus lengkap, konsisten dan diperbaharui terus
menerus serta tahapan lelang juga harus lengkap, jelas dan sistematik sehingga mudah
dimengerti. Bila kedua hal ini benar-benar sudah transparan maka kemungkinan
transparansi dalam keputusan dapat terwujud sehingga pada akhirnya tidak
memunculkan spekulasi-spekulasi dari pihak penyedia. Sementara pihak penyedia juga
tidak sembunyi di balik kata-kata spekulasi ketika gagal sebagai pemenang lelang.
Penyedia harus sadar dan siap bahwa pengadaan secara elektronik berbeda dengan
pengadaan secara manual. Artinya penyedia harus selalu memperbaharui informasi
mengenai pengadaan barang/jasa dari website LPSE. Karena semua informasi lelang
termasuk jadwal lelang dan tata cara lelang ada dalam website LPSE. Sistem pengadaan
secara elektronik juga menuntut penyedia untuk tepat waktu baik dalam menggunggah
dokumen maupun mengikuti proses penjelasan lelang (aanwijzing). Tidak ada istilah
bahwa kapan saja bisa mengunduh dan mengunggah dokumen lelang atau kapan saja
bisa meminta penjelasan (aanwijzing). Semuannya harus dilakukan sesuai dengan
jadwal yang ada di website LPSE. Bila semua pihak menyadari hal ini maka tidak ada
lagi yang namanya spekulasi yakni dugaan yang tidak mendasar antara penyedia dan
penyelenggara.
Selanjutnya penelusuran terhadap laman Berita yang berkaitan dengan
aanwijzing (proses pemberian penjelasan) di website LPSE di tiga lokasi penelitian
cukup sedikit. Aanwijzing merupakan satu tahapan dalam pelaksanaan e-procurement
dimana penyedia mempunyai kesempatan untuk bertanya kepada Pokja ULP tentang
segala sesuatu berkaitan dengan proses lelang dengan menggunakan komunikasi online
melalui portal LPSE. Aanwijzing ini dilakukan setelah pengumuman lelang di website
LPSE, yakni hari ke-tiga sampai hari ke-empat. Jadi sesudah penyedia mengunduh
dokumen lelang, tetapi sebelum mengunggah dokumen kualifikasi dan dokumen
penawaran. Dalam proses pemberian penjelasan (aanwijzing) ini penyedia yang
51
http://kbbi.web.id/spekulasi
93
bertanya dan Pokja ULP yang menjawab sama-sama tidak saling bertatap muka atau
bahkan tidak saling kenal. Komunikasi online ini hanya dapat diikuti oleh penyedia,
Pokja ULP, PPK atau yang memiliki user ID dan password, sementara masyarakat
umum atau yang bukan penyedia tidak dapat terlibat dalam chatting online ini.
Di dalam penelusuran website LPSE di tiga lokasi penelitian komunikasi online
antara penyedia dan Pokja ULP/PPK tidak dapat diakses oleh masyarakat umum.
Bahkan rekaman komunikasi online tersebutpun tidak dapat diakses. Informasi yang
ditemukan hanya pengumuman mengenai pelaksanaan aanwizjing pada tanggal, bulan
dan tahun sekian. Selanjutnya berita mengenai komunikasi online tersebut dituangkan
dalam Berita Acara Penjelasan Pekerjaan (aanwizjing) dalam format pdf. Dalam berita
acara tersebut ada 3 (tiga) hal yang diinformasikan yaitu waktu dan tempat pelaksanaan,
peserta rapat serta acara dan materi rapat penjelasan. Sementara dalam lampiran berita
acara penjelasan pekerjaan (aanwizjing), hanya ditemukan gambar website ketika
komunikasi online tersebut berlangsung. Karena hanya berbentuk gambar (dua dimensi)
dengan ukuran yang terbatas, maka masyarakat umum tidak dapat membaca dengan
jelas dan lengkap apa saja percakapan antara peserta (penyedia barang/jasa) dan Pokja
ULP atau PPK.
Penjelasan pekerjaan (aanwijzing) seperti diuraikan diatas, menurut pandangan
panitia pengadaan dan user sudah transparan karena penyedia dapat bertanya apa saja
berkaitan dengan proses lelang termasuk penjelasan mengenai dokumen-dokumen yang
dibutuhkan kepada Pokja ULP. Dengan demikian penyedia mendapatkan informasi baru
dan mengetahui kekurangan dan kelebihan dari dokumennya. Meskipundemikian tidak
ada sanksi bila penyedia tidak memanfaatkan proses aanwijzing ini, dalam arti penyedia
tersebut tidak dapat digugurkan.
Namun dari perspektif penyedia proses aanwijzingpada sistem pengadaan
secara elektronik tidak transparan.Karena forum tanya jawab ini dilakukan tanpa tatap
muka antara penyedia dan Pokja ULP/PPK. Sementara pada sistem manual, forum
tanya jawab ini dilakukan dengan tatap muka sehingga secara spontan seorang penyedia
dapat merespon penyedia yang sedang bertanya kepada Pokja ULP atau merespon Pokja
06 Juli 2012 10:43
BA Aanwijzing Pengadaan Mebeleur SMA/SMK
Attachment:
BA AANWIZJING PENGADAAN MEBELEUR SMA-SMK.pdf
94
ULP yang sedang memberi jawaban kepada seorang penyedia. Penyedia yang satu juga
dapat melihat dokumen saingannya, demikian juga sebaliknya. Suasana begini dianggap
oleh penyedia lebih terbuka, karena seorang penyedia bisa langsung mengetahui
kelebihan atau kekurangan dari dokumennya dan dokumen saingannya. Sementara tidak
salah juga bila saingannya mengetahui kelebihan atau kekurangan dokumennya. Hal-hal
seperti ini yang membuat penyedia merasa sistem pengadaan secara manual bersifat
terbuka dan sebaliknya sistem e-procurement justru bersifat tertutup. Tertutup bagi
mereka yang tidak mempunyai user ID dan password serta tertutup bagi penyedia yang
kurang akrab dengan komunikasi yang dilakukan secara online (Wawancara dengan
MI1, 21 Mei 2015; MI2, 21 Mei 2015; MI6, 1 Juni 2015; MI9, 4 Juni 2015; MI4, 10
Agt 2015).
Transparansi pengadaan barang/jasa sebagaimana diuraikan diatas
memiliki pemahaman yang berbeda-beda antara panitia penyelenggara dan user
di satu sisi dan penyedia di sisi lain. Kalau menurut penyedia semua informasi
dapat dilihat dan diketahui termasuk informasi mengenai pesaing seperti pada
sistem yang manual. Sementara menurut panitia pengadaan ada hal-hal tertentu
yang tidak bisa dibuka kepada penyedia atau penyedia yang gugur di tengah
proses pengadaan secara elektronik bahkan kepada masyarakat umum. Misalnya
summary lelang yang berisi tentang rincian dari evaluasi administrasi, teknis dan
kualifikasi serta rincian dari harga penawaran peserta lelang hanya dapat dilihat
oleh pemenang, calon pemenang lelang, Pokja ULP dan PPK. Jadi yang punya ID
card atau password saja, karena hal ini dilindungi oleh LKPP. Kalau summary
lelang ini dibuka untuk publik dikhawatirkan dapat dipersepsikan berbeda-beda
dan ini bisa menimbulkan kekacauan sehingga menghambat jalannya kegiatan
pengadaan barang/jasa (Wawancara dengan MI4, 10 Agt 2015). Namun bukan
berarti masyarakat umum tidak bisa mengetahui apa sebenarnya yang terjadi
dalam pembelanjaan barang/jasa pemerintah ini. Karena sebenarnya untuk
melihat transparansi penggunaan anggaran di instansi pemerintahan dapat juga
dilihat dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA).
DIPA dibuat atau disusun oleh satker pusat dan daerah yang berlaku untuk satu
tahun anggaransebagai dasar pelaksanaan kegiatan dan penggunaan anggaran yang
berasal dari dana APBN/APBD. DIPA memuat satuan-satuan terukur yang setidak-
tidaknya memuat informasi mengenai fungsi, subfungsi, program, dan kegiatan; hasil
(outcome) yang akan dicapai; indikator kinerja utama program dan indikator kinerja
95
kegiatan; keluaran (output) yang dihasilkan; pagu yang dialokasikan; rencana penarikan
dana yang akan dilakukan; dan penerimaan yang diperkirakan dapat dipungut. Pagu
dalam DIPA merupakan batas pengeluaran tertinggi yang tidak boleh dilampaui dan
pelaksanaannya harus dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian melalui DIPA
masyarakat bisa mengetahui secara rinci uang mereka dibelanjakan untuk apa saja,
biayanya berapa dan hasil atau manfaatnya apa. Jadi berbeda dengan pengalokasian
anggaran di APBN/APBD yang rinciandananya hanya berdasarkan sektor seperti sektor
kesehatan, sektor pendidikan dan lain sebagainya.
Namun permasalahannya adalah di satu sisi masyarakat belum sepenuhnya
menyadari bahwa DIPA dapat menjadi acuan apakah pemerintah sudah melakukan
tanggungjawabnya dalam mengelola keuangan negara (masyarakat) atau tidak. Disisi
lain tidak mudah juga bagi masyarakat untuk mendapatkan DIPA ini. Karena di
lingkungan instansi pemerintah DIPA dianggap seperti dokumen rahasia yang tidak
semua orang boleh mengaksesnya. Bahkan di beberapa instansi pemerintahan tidak
semua pegawai dapat mengakses DIPA di satkernya. Padahal jelas dalam Surat Edaran
Komisi Informasi Pusat (KI Pusat) No. 1 Tahun 2011 menyatakan bahwa Rencana
Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKAK/L) dan Daftar Isian Pelaksanaan
Anggaran (DIPA) merupakan informasi publik yang wajib disediakan dan diumumkan
secara berkala sepanjang tidak memuat informasi yang dikecualikan berdasarkan Pasal
17 Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
5.9 E-Procurement di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Provinsi Sumatera Utara
Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 Pasal 4 tentang Kesehatan mengatakan
bahwa setiap orang berhak atas kesehatan. Sebagai sebuah hak maka kesehatan sifatnya
mutlak yakni setiap manusia (warga negara) menerima apa yang seharusnya diperoleh.
Dengan demikian pemerintah harus bertanggung jawab agar hak warga negara dalam
hal kesehatan terjamin.
Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten/Kota merupakan lembaga pemerintahan
di tingkat kabupaten/kota yang tugasnya melayani kebutuhan dasar manusia di bidang
kesehatan. Penyelenggaraan upaya kesehatan yang dilakukan oleh Dinkes
Kabupaten/Kotaini membutuhkan sumber daya di bidang kesehatan diantaranya adalah
kesediaan farmasi seperti obat-obatan dan alat kesehatan sebagai salah satu bentuk
tanggung jawab pemerintah yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
96
Pemenuhan alat kesehatan dan obat-obatan di Dinkes Kabupaten/Kota dapat
menggunakan e-procurement yang secara umum dilakukan melalui metode e-tendering
dan e-purchasing dengan memanfaatkan teknologi informasi, disamping pengadaan
langsung, penunjukkan langsung dan lain-lain yang bersifat non elektronik. Sesuai
dengan Perpres No. 4 Tahun 2015 proses pengadaan barang/jasa pemerintah ini
dilakukan dengan lebih sederhana, tidak saja proses pengadaannya dilakukan secara
elektronik melalui e-tendering dan e-purchasing, tetapi juga menyederhanakan
persyaratan yang harus dipenuhi oleh penyedia barang/jasa khususnya didalam
mengikuti e-tendering.
Pengadaan obat-obatan di lingkungan Dinkes Kabupaten/Kota secara umum
dilakukan dengan dua cara. Dinkes Kabupaten/Kota dalam hal ini PPK menerima
rencana kebutuhan obat-obatan dari user yakni Puskesmas. PPK selanjutnya membuat
Daftar Pengadaan Obat berdasarkan e-katalog obat bagi obat yang sudah tercantum di e-
katalog obat dan Daftar Pengadaan Obat diluar e-katalog obat sesuai dengan kebutuhan
dan anggaran yang dimiliki. Selanjutnya kedua Daftar Pengadaan Obat ini diserahkan
ke Pokja ULP dan proses berikutnya dilakukan dengan menggunakan metode e-
purchasing untuk obat yang ada di e-katalog obat dan metode e-tendering atau
Pengadaan Langsung atau metode lain diluar metode e-purchasing (sesuai dengan
Perpres No. 4 Tahun 2015) bagi obat yang belum ada di e-katalog obat.
5.9.0 E-Tendering
E-tendering merupakan tata cara pemilihan penyedia barang/jasa yang
dilakukan secara terbuka dan dapat diikuti oleh semua penyedia barang/jasa yang
terdaftar pada sistem pengadaan secara elektronik dengan cara menyampaikan satu kali
penawaran dalam waktu yang telah ditentukan (Pasal 1 angka 39 Perpres No. 4 Tahun
2015). Batas pagu dari proses lelang secara elektronik ini sebesar Rp 200juta ke atas.
Namun di DinkesKabupaten/Kota pagu untuk sebuah lelang yang bernilai di atas Rp
200 juta tidak terlalu banyak. Karena pada dasarnya lelang secara elektronik ini hanya
berhubungan dengan bangunan (infrastruktur) atau barang yang bukan bersifat
pabrikan. Sementara barang seperti alat kesehatan yang bersifat pabrikan dan obat-
obatan dilakukan dengan metode e-purchasing dengan menggunakan e-katalog.
Melaluie-tendering semua aktivitas lelang diharapkan berjalan lebih transparan,
terstruktur dan sistematis karena dapat diawasi oleh semua pihak.
97
Proses tender di Dinkes Kabupaten/Kota sama dengan yang dilakukan di
SKPD lainnya. Sebelum dilakukan pengadaan, Dinkes Kabupaten/Kota dalam hal ini
PPK menerima rencana kebutuhan barang/jasa yang berasal dari kebutuhan user, yakni
Puskesmas. Selanjutnya PPK membuat HPS dan spesifikasi dari barang/jasa yang akan
dipesan. Dalam penentuan HPS, SKPD memberitahukan distributor bahwa akan
diadakan pengadaan dan meminta mereka untuk menginformasikan terkait harga barang
yang akan dibeli. Pemberitahuan ini sifatnya resmi karena melalui surat dari Dinkes
Kesehatan Kabupaten/Kota. Setelah mengetahui harga dari satu distributor maka dicari
distributor lain yang memproduksi barang yang sama untuk dibandingkan harga
jualnya. Kendala dalam pembuatan HPS dan spesifikasi barang terjadi bila spesifikasi
dari distributor tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan atau diminta Dinkes
Kabupaten/Kota. Setelah HPS ditetapkan, proses selanjutnya adalah Dinkes
Kabupaten/Kota melalui PPK mengusulkan HPS dan spesifikasi barang/jasa ini ke
Pokja ULP yang berada di Pemerintahan Kabupaten/Kota untuk diverifikasi. Apabila
ada perbedaan dalam penentuan HPS dan spesifikasi barang/jasa, maka Pokja ULP akan
memberitahukanDinkes Kabupaten/Kota melalui surat dan selanjutnya dokumen
pengadaan akan dikembalikan.Proses lainnya seperti pemasukan dokumen, pemberian
penjelasan (aanwijzing), pembukaan dan pengevaluasian dokumen, pengusulan calon
pemenang dan penetapan pemenang, sanggah serta pengumuman pemenang dengan
menggunakan website LPSE dilakukan seperti proses lelang secara elektronik lainnya.
5.9.1E-Purchasing
E-purchasing berbeda dengan e-tendering. E-purchasing merupakan tata cara
pembelian barang/jasa melalui sistem katalog elektronik(Pasal 1 angka 41 Perpres No. 4
Tahun 2015). Pembelian dapat dilakukan bila barang/jasa tercantum dalam katalog
LKPP seperti pada e-Cataloque Obat Pemerintah dan e-Catalogue Alat Kesehatan serta
menggunakan aplikasi LKPP. Sama seperti konsep belanja online, e-purchasing
memastikan pembeli melayani kebutuhan mereka sendiri berdasarkan katalog elektronik
yang memuat daftar, jenis, spesifikasi teknis, dan harga barang tertentu dari berbagai
penyedia barang/jasa pemerintah. Jadi pembeli tinggal menyesuaikan kebutuhannya
dengan spesifikasi dan harga yang diingankan.
98
Gambar 5.14: E-Catalogue Obat Pemerintah
Sumber: Website LKPP, 201552
Dalam PMK No. 63 Tahun 2014 tentang Pengadaan Obat Berdasarkan Katalog
Elektronik (E-Catalogue) Pasal 3 Ayat 1 dikatakan seluruh Satuan Kerja di bidang
kesehatan baik Pusat maupun Daerah melaksanakan pengadaan obat melalui e-
purchasing berdasarkan katalog elektronik (e-catalogue) sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan. Tujuannya untuk menjamin transparansi, efektifitas dan efisiensi
proses pengadaan obat dalam rangka memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan yang
hasilnya dapat dipertanggungjawabkan. Dinkes Kabupaten/Kota lebih banyak
melakukan kegiatan pengadaan dengan metode e-purchasing ini dibandingkan dengan
metode e-tendering. Karena lebih dominannya kebutuhan obat-obatan dan alat
kesehatan yang sifatnya pabrikan dengan pagu paling tinggi sebesar Rp 200 juta.
Penggunaan e-katalog memberikan keuntungan yang signifikan bagi Dinkes
Kabupaten/Kota. Harga obat e-katalog jauh lebih murah dibawah harga obat non e-
katalog. Harga yang lebih murah ini bukan berarti kualitasnya rendah. Namun karena
pabrik yang diberi proyek untuk memproduksi obat mendapat kepastian pembeli dalam
jumlah besar. Selain itu, harga obat e-katalog lebih murah, karena adanya pemangkasan
biaya produksi dan biaya jalur distribusi. Hal lain yang juga menjadi kelebihan dari
penggunaan e-katalog adalah cara kerjanya lebih sederhana dan cepat dibanding dengan
lelang biasa sehingga mempercepat penyerapan anggaran di SKPD. Selain itu, sistem e-
purchasing dengan menggunakan e-katalog lebih transparan karena daftar, jenis,
spesifikasi teknis serta harga barang dari penyedia ditampilkan secara elektronik dan
dapat diakses oleh publik. Terakhir, penggunakan e-katalog lebih memberikan rasa
52
https://katalog-buku.lkpp.go.id/e-katalog-obat/. Dikutip 24 Juli 2015. Jam 16.05.
99
aman kepada pegawai yang bertanggungjawab atas kegiatan pengadaan barang/jasa di
Dinkes Kabupaten/Kota (Wawancara denganMI11, 4 Juni 2015; MI7, 5 Juni 2015; MI4,
10 Agt 2015).
Namun penggunaan e-katalog tidak terlepas dari beberapa kelemahan. Jumlah
obat-obatan e-katalog adakalanya terbatas atau malah kosong. Pesanan yang secara
serentak dari pihak Dinas Kesehatan dan RSUD di seluruh Indonesia terhadap jenis obat
yang sama menyebabkan pabrik kekurangan stock obat. Selain itu keterlambatan
distributor obat memenuhi pesanan Dinkes Kabupaten/Kota juga menjadi masalah yang
sering terjadi. Keterlambatan dapat terjadi karena biaya pengiriman ditanggung oleh
distributor yang biasanya berdomisili di Jawa. Atas alasan penghematan, distributor
mengirim obat-obatan dengan menggunakan paket pengiriman dengan biaya paling
murah sehingga di satu sisi distributor tidak mengalami kerugian, namun di sisi lain
sangat mungkin terjadi keterlambatan dalam pengiriman. Sebenarnya keadaan seperti
ini dipicu oleh harga obat e-katalog yang bersifat nasional. Jadi misalnya harga sebuah
obat sebesar Rp 1200,- maka untuk seluruh daerah di Indonesia dari Sumatera sampai
Papua harganya sama yaitu Rp 1200,-. Jadi bila menghadapi keterlambatan pengiriman
seperti ini, Dinkes Kabupaten/Kota menggunakan cadangan obat yang memang harus
dimiliki oleh setiap SKPD di bidang kesehatan. Namun dari sisi penyerapan anggaran
hal ini tentunya merugikan SKPD (Wawancara dengan MI11, 4 Juni 2015).
Secara teknis administrasi tata cara e-purchasing dengan menggunakan e-
katalog juga mempunyai kendala. Proses e-purchasing dilakukan melalui beberapa
tahapan seperti pembuatan paket, memasukkan harga barang, mengunduh format
standar kontrak, cetak Surat Pesanan (SP) dan sebagainya. Memasukkan data,
mengunduhdan mengunggah dokumen ini tidak gampang karena jaringan atau sistem e-
katalog tidak mampu atauoverload sehingga membutuhkan waktu yang sangat lama.
Karena itu memasukkan data, mengunduhdan mengunggah dokumen dilakukan di
malam hari dengan menanggung sendiri biaya internet karena pekerjaan dilakukan
diluar kantor dan jam kerja. Kendala lainnya adalah penggandaan dokumen
kontrak/perjanjian pembelian yang merupakan proses akhir dari e-purchasing.
Dibutuhkan sebanyak 7-9 eksemplar dokumen kontrak/perjanjian pembelian dalam
sebuah proses pembelian dengan menggunakan e-katalog. Biaya untuk satu eksemplar
lebih kurang Rp 300.000,- , sehingga untuk 9 eksemplar diperlukan dana Rp 2.7 juta,-.
Hal ini menjadi masalah karena siapa yang menanggung biaya penggandaan yang cukup
besar ini. Tidak ada penjelasan yang lugas di dalam peraturan mengenai biaya
100
penggandaan ini. Mengatasi hal seperti ini, panitia pengadaan di Dinkes
Kabupaten/Kota menambah klausal baru yang dibicarakan di awal proses pengadaan
bahwa biaya penggandaan kontrak/perjanjian pembelian ditanggung oleh penyedia.
Namun ada juga panitia pengadaan di Dinkes Kabupaten/Kota yang membicarakan hal
ini hanya secara lisan bahwa biaya penggandaan kontrak/perjanjian pembelian
ditanggung oleh penyedia (Wawancara dengan MI11, 4 Juni 2015; MI7, 5 Juni 2015).
Pengadaan barang/jasa melalui e-katalog di bidang kesehatan merupakan
kerjasama antara Kementerian Kesehatan dan LKPP. Sementara penentuan harga di
sistem elektronik ditentukan oleh LKPP bekerja sama dengan pabrikan langsung. Saat
ini kelengkapan barang dalam e-katalog sudah cukup banyak dan bervariasi. Tercatat
777 items tercantum di dalamnya, seperti biaya fotocopy/lembar, jaringan wifi, ATK,
obat-obatan, kenderaan bermotor dan sebagainya sehingga Dinkes Kabupaten/Kota
sangat terbantu dan dimudahkan dalam proses e-purchasing (Wawancara dengan MI6, 1
Juni 2015; MI11, 4 Juni 2015).
Pengadaan barang/jasa melalui e-katalog di bidang kesehatan merupakan
kerjasama antara Kementerian Kesehatan dan LKPP. Sementara penentuan harga di
sistem elektronik ditentukan oleh LKPP bekerja sama dengan pabrikan langsung. Saat
ini kelengkapan barang dalam e-katalog sudah cukup banyak dan bervariasi. Tercatat
777 items tercantum di dalamnya, seperti biaya fotocopy/lembar, jaringan wifi, ATK,
obat-obatan, kenderaan bermotor dan sebagainya sehingga Dinkes Kabupaten/Kota
sangat terbantu dan dimudahkan dalam proses e-purchasing (Wawancara dengan MI11,
4 Juni 2015).
Terlepas dari beberapa kelemahan dari motode e-purchasing dengan
menggunakan e-katalog, namun secara keseluruhan metode ini lebih diminati
dibandingkan e-tendering oleh pegawai yang bertanggungjawab di bidang pengadaan di
Dinkes Kabupaten/Kota. Penambahan item dalam e-katalog yang terus dilakukan oleh
LKPP memberikan nilai positif sehingga e-procurement melalui metode e-purchasing
semakin dominan dikemudian hari. Sebaliknya, e-procurement melalui metode e-
tendering semakin difokuskan pada bangunan infrastruktur dengan pagu yang besar
sehingga dapat mempercepat kegiatan pembangunan dan penyerapan anggaran. Rasa
aman menggunakan e-katalog ini berbanding lurus dengan semakin sempitnya tindakan
untuk melakukan penyalahgunaan wewenang. Karena e-katalog membuat segala
sesuatu terang benderang (transparan) yang berakibat pada berkurangnya kebocoran
dalam proses pengadaan barang/jasa secara elektronik. Bila di metode e-tenderingmasih
101
memungkinkan untuk mendapat fee dari sebuah penawaran, maka di metode e-
purchasing dengan menggunakan e-katalog hal ini tidak mungkin lagi terjadi
(Wawancara dengan MI3, 27 Mei 2015; MI11, 4 Juni 2015; MI7, 5 Juni 2015; MI4, 4
Agt 2015).
5.9.2 Pengadaan Langsung
Pejabat Pengadaan adalah personil yang ditunjuk untuk melaksanakan
Pengadaan Langsung, Penunjukan Langsung, dan E-Purchasing (Pasal 1 angka 9,
Perpres No. 4 Tahun 2015). Sementara di angka 32 perpres yang sama dikatakan bahwa
Pengadaan Langsung adalah pengadaa barang/jasa langsung kepada penyedia
barang/jasa, tanpa melalui pelelangan/seleksi/penunjukan langsung. Proses pengadaan
langsung ini merupakan salah satu kegiatan pengadaan yang dilakukan dengan pagu
paling tinggi Rp 200jutauntuk paket pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa
lainnya dan Rp 50 juta untuk paket pengadaan jasa konsultansi. Karena nominal
pagunya tidak besar maka proses pengadaan dilakukan oleh pihak SKPD sendiri dengan
membentuk panitia pengadaan yang dilakukan oleh Pejabat Pengadaan.
Pengadaan langsung dilakukan salah satu tujuannya karena barang yang
dibutuhkan sifatnya mendesak dan hanya memenuhi kebutuhan lokal SKPD, sehingga
tidak perlu melalui proses yang memakan waktu seperti lelang biasa. Selain itu,
pengadaan langsung secara tersirat berupaya untuk membangun badan usaha daerah
melalui perluasan rentang pagu yang ditetapkan pada awalnyaberjumlah paling tinggi
Rp 100 juta. Dalam perpres yang baru besaran pagu dinaikkan menjadi paling tinggi Rp
200juta yang bertujuan agar semakin banyak usaha mikro dan usaha kecil terlibat dalam
proses pengadaan.
Meskipun tidak melalui proses lelang secara elektronik, informasi mengenai
pengadaan langsung dapat diketahui melalui Rencana Umum Pengadaan (RUP) dengan
menggunakan SiRUP dan ditayangkan melalui situs LPSE. PPK menyusun spesifikasi
dan HPS yang disesuaikan dari e-katalogdan harga di daerah, bila barang tersebut sudah
ada di e-katalog. Namun bila belum terdapat di e-katalog maka penetapan HPS dan
spesifikasi dilakukan seperti di lelang biasa. Proses pemilihan penyedia tidaksulit bagi
panitia pengadaan, karena pada umumnya beberapa penyedia yang sering disebut
rekanan sudah beberapa kali bekerjasama dengan Dinkes Kabupaten/Kota
sehinggapenyedia yang memiliki kredibilitas dan track record yang baik sudah dikenal
(Wawancara dengan MI1, 21 Mei 2015; MI9, 4 Juni 2015).
102
5.9.3E-procurement di Dinkes Kabupaten/Kota: Bagaimana Model Implementasi
Kebijakan Bekerja?
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota merupakan salah satu SKPD yang
memberikan pelayanan dasar kepada masyarakat. Sebagai instansi pemerintahan yang
memberikan pelayanan dasar di bidang kesehatan, maka Dinkes dituntut untuk bekerja
secara profesional dengan cara memenuhi kebutuhan masyarakat di bidang kesehatan.
Banyak cara pemenuhan kebutuhan kesehatan ini diantaranya adalah melalui persediaan
obat-obatan dan alat kesehatan. Pemenuhan keduanya dapat dilakukan melalui
pengadaan barang/jasa secara elektronik, baik dengan menggunakan e-purchasing
maupun e-tendering. Di Dinkes Kabupaten/Kota, metode e-purchasing dengan
menggunakan e-katalog lebih dominan dilakukan dibandingkan metode e-tendering. Ini
bisa terjadi karena user dari Dinkes Kabupaten/Kota sebagai sebuah SKPD adalah
Dinkes Kabupaten/Kota itu sendiri dan Puskesmas yang kebutuhan sumber dayanya
tidak sebesar Rumah Sakit Umum Daerah yang juga sebagai sebuah SKPD. Jadi
penggunaan metode e-tendering yang salah satu syaratnya dapat dilakukan dengan pagu
lelang berjumlah di atas RP 200 juta tidak terlalu banyak dilakukan di Dinkes
Kabupaten/Kota (Wawancara dengan MI11, 4 Juni 2015).
Pengadaan secara elektronik sebagai sebuah kebijakan harus dilaksanakan
dengan tepat sehingga tujuan dari pengadaan barang/jasa ini dapat tercapai. Salah satu
tujuan kebijakan ini adalah mewujudkan transparansi pengadaaan barang/jasa. Banyak
cara yang dapat dilakukan untuk membantu mewujudkan implementasi kebijakan ini,
diantaranya adalah dengan menggunakan sebuah model, seperti model Donald Van
Meter dan Carl Van Horn, model Paul Sabatier dan Daniel Mazmanian serta model
Merile S.Grindle. Menurut Thomas R. Dye (1972)53
, “a model is simplified
representation of some aspect of the real world.” Dengan demikian, melalui sebuah
model, implementasi sebuah kebijakan yang biasanya sangat kompleks karena terdiri
dari begitu banyak faktor atau aspek dapat disederhanakan. Model dari suatu
implementasi kebijakan juga membantu pemerintah untuk lebih fokus memperhatikan
atau memperbaiki atau mengawasi faktor-faktor atau aspek-aspek dari model tersebut
sehingga kebijakan pengadaan secara elektronik dapat mencapai sasarannya. Dari hasil
penelitian tahun pertama di tiga lokasi penelitian ditemukan model implementasi
kebijakan e-procurement terdiri dari tiga faktor yaitu landasan hukum, infrastruktur dan
53
Dye, Thomas R. 1972. Understanding Public Policy. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall, Inc.
103
sumber daya manusia dalam hal ini kapabilitas sumber daya manusia dan budaya
organisasinya54
.
Landasan hukum dalam pengadaan secara elektronik di Indonesia salah satu
diantaranya adalah Perpres No. 4 Tahun 2015. Perpres ini sudah mengalami perubahan
beberapa kali dan salah satu perubahan penting dari perpres yang baru ini adalah
penjelasan yang lebih detail mengenai metode e-purchasing dengan menggunakan e-
katalog yang banyak digunakan di Dinkes Kabupaten/Kota pada saat ini. Melalui e-
purchasing, pengadaan barang/jasa lebih mudah, sederhana, transparan dan aman
dilakukan. Selain e-purchasing, Dinkes Kabupaten/Kota juga menggunakan e-tendering
yang proses lelangnya lebih panjang dibandingkan e-purchasing, namun sama dengan
e-purchasinglebih efisien, efektif, transparan dan akuntabel dibandingkan dengan
sistem pengadaan yang manual.Perubahan penting lainnya adalah berkaitan dengan
pasal 106 ayat (1) dalam Perpres No. 54 Tahun 2010 dan Perubahannya serta Perpres
No. 4 Tahun 2015. Pada Perpres No. 54 Tahun 2010 dikatakan bahwa pengadaan
barang/jasa pemerintah “dapat” dilakukan secara elektronik. Sementara pada Perpres
No. 4 Tahun 2015, pengadaan barang/jasa pemerintah dilakukan secara elektronik.
Penghilangan kata “dapat” di Perpres No. 4 Tahun 2015 menandakan awal berlakunya
penggunaan elektronik dalam pengadaan barang/jasa di Indonesia. Dengan kata lain,
menjadi suatu kewajiban bagi K/L/D/I untuk melaksanakan pengadaan barang/jasa
secara elektronik sesuai dengan ketentuan yang ada.
Namun ketika regulasi ini masih ditafsirkan berbeda-beda baik oleh panitia
pengadaan maupun pengusaha sebagai penyedia barang/jasa, maka tidak dapat dihindari
kegiatan pengadaan barang/jasa terutama yang menggunakan metode e-tendering tidak
dapat berjalan maksimal. Berkaitan dengan penjelasan lelang (aanwijzing) misalnya
perbedaan pendapat terjadi antara panitia pengadaan (Pokja ULP) dan user (Dinkes
Kabupaten/Kota) di satu sisi dan penyedia di sisi lain. Panitia pengadaan dan user
mengatakan bahwa penjelasan lelang (aanwijzing) pada pengadaan secara elektronik
sudah tepat karena pada dasarnya dilakukan secara online sehingga tidak ada tatap
muka antara penyedia dan panitia pengadaan. Ini membuat kegiatan penjelasan lelang
(aanwijzing) dapat berjalan efektif dan tidak bertele-tele. Sementara dari perspektif
penyedia hal ini merupakan bentuk ketertutupan dari sistem yang baru padahal salah
54
Trimurni, Februati dan Siahaan, Asima Yanty Sylvania. 2014. Model Implementasi Kebijakan e-
Procurement Dalam Mewujudkan Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Sumatera Utara.
Penelitian Tahun Pertama. Skim Hibah Bersaing. Universitas Sumatera Utara.
104
satu tujuan dari sistem e-procurement adalah transparan. Hal lain yang juga
dipertanyakan oleh penyedia adalah perpres menyebutkan bahwa salah satu tugas Pokja
ULP adalah berkaitan dengan evaluasi dokumen penawarandari para penyedia yang
dilakukan secara off line. Apa jaminan bahwa panitia penyelenggara tidak „bermain‟
dengan beberapa penyedia yang masuk dalam lingkaran kekuasaan atau yang
merupakan keluarganya sendiri? (Wawancara dengan MI1, 21 Mei 2015; MI2, 21 Mei
2015; MI7, 5 Juni 2015).
Infrastruktur dalam mendukung pengadaan barang/jasa di ULP dan LPSE
Pemerintahan Kabupaten/Kota setiap tahunnya mengalami perbaikan atau peningkatan
meskipun belum sebaik dan selengkap sebagaimana yang seharusnya dimiliki oleh
LPSE dan ULP, terutama LPSE dan ULP di Kota Binjai.Di LPSE Kota Medan, ruang
biddingyakni ruanguntuk memfasilitasi para calon penyedia yang mengalami kesulitan
dalam proses mengunggah data dan dokumen saat melakukannya di luar LPSEsudah
cukup nyaman. Selain itu fungsi ruang bidding ini jugadigunakan sebagai tempat untuk
melakukan pelatihan berkaitan dengan perubahan perpres tentang pengadaan secara
elektronik bagi para anggota baru LPSE, ULP maupun para calon penyedia. Sementara
di LPSE Kabupaten Serdang Bedagairuang bidding sudah semakin nyaman dengan
jumlah unit komputer semakin banyak yang salah satu fungsinya untuk mengunggah
dokumen yang dapat digunakan oleh penyedia. Kapasitas server juga semakin besar
sehingga dokumen yang memiliki kapasitas besar mampu diunduh dan diunggahdengan
mudah. Sama halnya dengan kapasitas server di LPSE Kota Binjai yang sudah semakin
besar, meskipun ruang bidding masih sangat sederhana, tidak ada penyekat antara satu
unit dengan unit komputer lainnya.
Namun berkaitan dengan infrastruktur, masih terjadi jaringan listrik yang tiba-
tiba mati ketika penyedia sedang mengunggah dokumen pengadaan atausistem pada
server rusak tanpa ada penjelasan yang resmi dan segera sehingga dokumen pengadaan
tidak dapat diterima panitia. Hal ini diperparah dengan waktu minimal yang diambil
panitia ketika mengumumkan sebuah paket lelang atau mengambil waktu dimana hari
libur cukup panjang sehinggakesempatan untuk mendaftar bagi penyedia menjadi
semakin sempit. Selain itu,undangan pelatihan bagi penyedia belum sepenuhnya
melibatkan asosiasi pengusaha. Karena itu tidak jarang pengusaha mengirim orang yang
tidak berkompeten untuk mengikuti pelatihan sehingga pelatihan yang menghabiskan
dana yang cukup besar tidak memberikan hasil yang maksimal (Wawancara dengan
MI2, 21 Mei 2015; MI3, 27 Mei 2015; MI10, 4 Juni 2015).
105
Gambar 5.15: Ruang LPSE Pemerintah Kota Medan
Sumber: Hasil Penelitian, 2015
Gambar 5.16: Ruang LPSE Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai
Sumber: Hasil Penelitian, 2015
106
Gambar 5.17: Ruang LPSE Pemerintah Kota Binjai
Sumber: Hasil Penelitian, 2015
Sumber daya manusia termasuk kompetensi dan budaya organisasi masih terus
berbenah diri di lingkungan Dinkes Kabupaten/Kota serta organisasi ULP dan LPSE
Pemerintah Kabupaten/Kota, dengan cara melakukan pekerjaan lebih profesional di
bagian pengadaan barang/jasa. Meskipun bekerja secara profesional ini dilakukan
semata-mata karena kekhawatiran bersentuhan dengan masalah hukum, jadi bukan
karena kesadaran sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Tapi setidaknya hal ini
merupakan langkah awal yang posistif di tengah tingginya ketidakpercayaan penyedia
dan masyarakat umum kepada panitia pengadaan.
Namun bila dilihat dari kemampuan sumber daya manusia khususnya berkaitan
dengan Teknologi Informasi (TI) masih jauh dari yang diharapkan. Baik penyedia,
panitia pengadaan maupun user belum sepenuhnya mengerti mengenai TI sehingga
pelaksanaan pengadaan secara elektronik belum berjalan lancar. Selain itu tingginya
resistensi pegawai untuk mendapat sertifikasi pengadaan karena resiko pekerjaan yang
tinggi tidak dapat dianggap remeh. Meskipun di Perpres No. 4 Tahun 2015 telah
dinyatakan bahwa panitia pengadaan diberikan bantuan hukum dalam menjalankan
tugasnya, namun hal ini masih belum teruji. Sementara pekerjaan yang sarat dengan
masalah hukum ini juga belum didukung dengan honorarium yang layak. Artinya
besarnya honor yang diperoleh sebagai panitia pengadaan belum sebanding dengan
beban mental yang ditanggung ketika melakukan kegiatan pengadaan. Masalah lainnya
adalah berkaitan dengan budaya organisasi di lingkungan pemerintahan dimana
organisasi ULP, LPSE dan SKPD (user) berada, belum sepenuhnya berubah. Praktek-
praktek korupsi, kolusi dan nepotisme sudah berakar di tubuh organisasi
107
pemerintahansehingga panitia pengadaan dan user sebagai bagian dari pemerintahan
tidak lepas dari dampak ini. Di sisi lain sebagian penyedia masih menggunakan mindset
lama bahwa sistem e-procurement sama dengan sistem manual. Selain itu, sebagian
penyedia belum memiliki integritas ketika memenangkan sebuah paket lelang secara
elektronik, dengan cara tidak bertanggungjawab terhadap kualitas barang atau proyek
yang dimenangkannya (Wawancara dengan MI2, 21 Mei 2015; MI8, 28 Mei 2015; MI9,
4 Juni 2015; MI4, 10 Agt 2015).
Model implementasi kebijakan yang terdiri dari tiga faktor ini saling
mempengaruhi satu dengan lainnya dalam kegiatan pengadaan barang/jasa secara
elektronik. Dari ketiga faktor ini, sumber daya manusia lebih dominan dibandingkan
kedua faktor lainnya. Faktor landasan hukum mempengaruhi faktor infrastruktur dan
sumber daya manusia dan selanjutnya faktor yang lainnya mempengaruhi dua faktor
yang lain. Demikian pula secara bersama-sama faktor landasan hukum dan sumber daya
manusia mempengaruhi faktor infrastruktur dan berikutnya kedua faktor yang lain
mempengaruhi faktor yang satunya. Interaksi ketiga faktor yang belum bekerja
optimalini mempengaruhi implementasi kebijakan e-procurement.
Pemahaman pegawai yang bertanggungjawab di bidang pengadaan terhadap
regulasi tentang pengadaan barang/jasa secara elektronik berbeda dengan pemahaman
penyedia. Selain itu, infrastruktur sebagai pendukung pelaksanaan e-procurement belum
tersedia dan bekerja dengan optimal. Integritas dari panitia pengadaan juga diragukan
telah melakukan praktek-praktek KKN kepada beberapa penyedia yang merupakan
keluarga atau lingkaran dalam dari pejabat yang berkuasa. Budaya organisasi LPSE,
ULP dan user juga dianggap masih sarat dengan nilai-nilai ketidakadilan, diskriminasi
dan tertutup. Ketidakpercayaan yang menumpuk ini menyulut pada ketidakpercayaan
penyedia terhadap panitia pengadaan dan sistem pengadaan secara elektronik. Beberapa
penyedia tidak merespon dengan positif bantuan fasilitas yang disediakan oleh LPSE
dan ULP Pemerintah Kabupaten/Kota. Selain itu, mereka juga mengabaikan informasi
mengenai proses pengadaan secara elektronik, yang salah satu diantaranya menolak
untuk mengikuti pelatihan yang di fasilitasi oleh LPSE. Bahkan beberapa dari mereka
tetap denganmindset yang lama yang berkeyakinan bahwa ada toleransi ketika terlambat
melakukan pendaftaran untuk mengikuti tender, terlambat mengunduh dokumen,
terlambat melengkapi berkas, atau terlambat mengunggah dokumen. Pada akhirnya
ketika penyedia tidak bisa mengikuti tender atau gagal memenangkan sebuah paket
108
lelang, maka yang disalahkan adalah panitia pengadaan dengan berbagai macam
spekulasi.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) spekulasi merupakan
pendapat atau dugaan yang tidak berdasarkan kenyataan; tindakan yang bersifat untung-
untungan.55
Dari perspektif penyedia, munculnya kata spekulasi ini tidak lepas dari
rendahnya kredibilitas panitia pengadaan di mata penyedia. Menumbuhkan kredibilitas
ini bukan pekerjaan yang gampang karena dibutuhkan waktu yang lama. Namun
setidaknya hal yang dapat segera dilakukan oleh LPSE dan ULP adalah menampilkan
data, proses dan keputusan lelang dengan benar-benar transparan di website LPSE
sehingga tidak ada celah bagi penyedia atau masyarakat umum untuk berspekulasi
mengenai proses lelang dan juga hal-hal yang berkaitan dengan pengadaan. Sementara
di mata panitia penyelenggara, pihak penyedia tidak sembunyi dibalik kata-kata
spekulasi karena hal ini dapat merugikan diri sendiri. Dalam Perpres No. 4 Tahun
2015pasal 106 ayat (1) dikatakan bahwa pengadaan barang/jasa pemerintah dilakukan
secara elektronik. Ini artinya, merupakan suatu kewajiban bagi pemerintah untuk
melakukan pengadaan barang/jasa secara elektronik. Karena itu, penyedia harus
mengubah mindset nya mengenai pengadaan secara elektronik. Berbeda dengan
pengadaan secara manual, pengadaan secara elektronik menuntut penyedia untuk
mematuhi jadwal dari proses atau tahapan lelang yang ketat dengan terus
memperbaharui informasi melalui website LPSE.Dengan demikian spekulasi-spekulasi
dapat hilang dari kegiatan atau proses pengadaan barang/jasa secara elektronik.
Selanjutnya ketiga faktor yang belum optimal dari model implementasi
kebijakan e-procurement ini menimbulkanmakna yang berbeda-beda dari transparansi
pengadaan.Hal yang paling mendasar ditemukan di tiga lokasi penelitian adalah
perbedaan pemahaman antara panitia pengadaan dan user di satu sisi dan penyedia di
sisi lain.
Menurut panitia pengadaan sistem yang baru ini sudah memberikan
transparansi bukan saja bagi penyedia tetapi juga bagi masyarakat umum. Namun
transparansi disini jangan diartikan bahwa semua yang terjadi di dalam proses
pengadaan secara elektronik harus dibuka selebar-lebarnya kepada masyarakat umum.
Dengan kata lain, transparansi jangan dimaknai secara berlebihan. Misalnya, tidak
mungkin summary lelang yang berisi tentang evaluasi administrasi, teknis, kualifikasi
55
http://kbbi.web.id/spekulasi
109
serta harga penawaran di tayangkan secara terbuka dan detail di website LPSE.
Masyarakat umumbahkan penyedia yang gagal ditengah proses pengadaan cukup
mengetahui hasil akhir dari evaluasi administrasi dan teknis dengan tanda √ atau tidak
ada tanda √ serta jumlah total dari penawaran, tanpa dapatmelihat dengan rinci semua
isi penawaran. Selain pemenang, calon pemenang, Pokja ULP, dan PPK saja yang dapat
melihat summary lelang ini. Namun menurut penyedia justru hal ini membuat sistem
pengadaan secara elektronik menjadi tertutup. Berbeda dengan sistem pengadaan secara
manual dimana semua penyedia dapat melihat kekurangan dan kelebihan dari dokumen
pesaingnya. Sebaliknya semua pesaingnya dapat melihat keberadaan dokumennya
(Wawancara dengan MI1, 21 Mei 2015; MI7, 5 Juni 2015; MI4, 10 Agt 2015).
Sejalan dengan pendapat panitia pengadaan, user beranggapan bahwa
transparansi adalah bagaimana orang yang berhak bisa mengetahui apa yang menjadi
tanggung jawab dan kewajibannya. Artinya seseorang atau masyarakat umum tidak
berhak mengetahui secara detail proses lelang, jika dia atau masyarakat umum tersebut
tidak menjadi peserta lelang. Bahkan penyedia yang gagal di tahap evaluasi dokumen
lelang, jadi belum menjadi peserta lelang yang dapat mengajukan penawaran, tidak
berhak mengetahui mengapa peserta tersebut yang menang. Sementara dari sisi
penyedia, transparansi berarti semua penyedia lelang dapat mengetahui mengapa
peserta tersebut yang menang dari sebuah paket lelang bukan yang lain (Wawancara
dengan MI2, 21 Mei 2015; MI7, 5 Juni 2015; MI4, 10 Agt 2015).
Dari sisi penyedia, proses pengadaan secara elektronik dapat dikatakan
transparan bila semua tahapan dan proses lelang dapat diketahui oleh semua penyedia
yang mengikuti lelang. Selain itu dalam sistem pengadaan secara elektronik masih ada
kegiatan yang bersifat offline, karena itu sistem ini dapat dikatakan transparan bila
panitia pengadaan adalah orang yang mempunyai integritas dalam melakukan
pekerjaannya. Dengan demikian sistem pengadaan secara elektronik dapat dikatakan
mencapai sasarannya yakni mewujudkan transparansi pengadaan bila didukung oleh
panitia pengadaan yang memiliki integritas. Selama integritas pelaksananya tidak ada
maka sebaik apapun sistem e-procurementini dibangun akan terus dicurigai atau
memunculkan spekulasi-spekulasi (Wawancara dengan MI2, 21 Mei 2015; MI3, 27 Mei
2015; MI8, 28 Mei 2015; MI9, 4 Juni 2015).
110
Menurut Clem (2010: 4)56
transparansi merupakan “Government should
provide citizens with information about what their government is doing so that
government can be held accountable”.Pengertian di atas memberikan makna yang
sangat luas terhadap transparansi, dimana pemerintahharus menyediakan informasi
kepada warga negara tentangapa yang pemerintah lakukan. Hal ini bertujuan
agarpemerintah dapat mempertanggung jawabkan apa yang sedang dikerjakan. Namun
pemerintah juga memiliki kategori informasi yang harus dirahasiakan dari masyarakat,
seperti menyangkut rahasia negara, kepentingan perlindungan usaha dari persaingan
usaha tidak sehat, hak-hak pribadi dan lain sebagainya seperti pada Pasal 17 Undang-
Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Di dalam konteks kegiatan pengadaan barang/jasa secara elektronik beberapa
kategori informasi tidak dapat dibuka ke masyarakat umum tetapi dapat dibuka atau
dilihat oleh pemenang dan calon pemenang lelang saja, disamping Pokja ULP dan PPK
seperti informasi di summary lelang. Dengan demikian pegawai yang bertanggung
jawab di bidang pengadaan barang/jasa harus mampu menjelaskan mengapa beberapa
informasi boleh dibuka kepada masyarakat umum melalui website LPSE, sebaliknya
beberapa informasi tidak dapat dibuka kepada masyarakat umum. Penjelasan ini perlu
dijelaskan sejelas-jelasnyaterutama kepada penyedia sehingga perbedaan pemahaman
makna transparansi tidak terjadi lagi. Namun informasi mengenai pengadaan
barang/jasa yang tidak termasuk kategori sebagaimana disebutkan diatas, harus di buka
selebar-lebarnya kepada masyarakat di website LPSE baik menyangkut data, proses
maupun keputusan dari tahapan lelang.Karena hal ini juga merupakan bentuk dari
akuntabilitas pemerintah kepada masyarakat.
Mewujudkan kesamaan pemahaman dari makna transparansi ini dapat juga
dilakukan melalui pelatihan yang berkaitan dengan TI berbasis komputer dan perubahan
peraturan (perpres) tentang pengadaan barang/jasa kepada penyedia, user dan panitia
pengadaan secara berkala. Pelatihan yang selama ini dilakukan belum dimanfaatkan
dengan optimal. Pelibatan semua asosiasi pengusaha sebagai pemberi rekomendasi bagi
penyedia yang ingin berpartisipasi dalam pelatihan belum dilakukan. Padahal ini
penting, sehingga pengusaha yang mengikuti pelatihan benar-benar orang yang
berkompeten. Sama halnya dengan keterlibatan pimpinan LPSE dan ULP untuk
mengevaluasi peserta pelatihan yakni pegawai yang bertanggungjawab pada bidang
56
Clem, Constance,. 2010. “Government Online: Improving Service and Engaging Communities”. Ark in
Association with Inside Knowledge.
111
pengadaan sangat diperlukan. Melalui pelatihan diharapkan didapat pemahaman yang
sama berkaitan dengan e-procurement dan transparansi pengadaan antara penyedia dan
panitia pengadaan serta menumbuhkan integritas semua pihak yang berhubungan
dengan kegiatan e-procurement.
Tidak semua dari proses pengadaan secara elektronik dapat dibuka di website
LPSE sebagaimana dijelaskan diatas. Namun hal ini bukan berarti masyarakat umum
tidak bisa mengetahui apa sebenarnya yang terjadi dalam pembelanjaan barang/jasa
pemerintah. Karena sebenarnya untuk melihat transparansi penggunaan anggaran di
instansi pemerintahan dapat juga dilihat dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran
(DIPA). DIPA ini mengacu pada Peraturan Presiden tentang Rincian Anggaran Belanja
Pemerintah Pusat (RABPP) untuk satuan kerja pusat dan Surat Rincian Alokasi
Anggaran (SRAA) untuk satuan kerja daerah.
DIPA dibuat atau disusun oleh satker (satuan kerja) yang memuat satuan-
satuan terukur mengenaibanyak hal seperti program dan kegiatan yang akan
dilaksanakan, hasil (outcome) yang akan dicapai, keluaran (output) yang dihasilkan dan
pagu yang dialokasikan.Dengan demikian melalui DIPA masyarakat bisa mengetahui
secara rinci uang mereka dibelanjakan untuk apa saja, biayanya berapa dan hasil atau
manfaatnya apa. Jadi berbeda dengan pengalokasian anggaran di APBN/APBD yang
rinciandananya hanya berdasarkan sektor seperti sektor kesehatan, sektor pendidikan
dan lain sebagainya.
Namun permasalahannya adalah di satu sisi masyarakat belum sepenuhnya
menyadari bahwa DIPA dapat menjadi acuan apakah pemerintah sudah melakukan
tanggungjawabnya dalam mengelola keuangan negara (masyarakat) atau tidak. Disisi
lain tidak mudah juga bagi masyarakat untuk mendapatkan DIPA ini. Karena di
lingkungan instansi pemerintah DIPA dianggap seperti dokumen rahasia yang tidak
semua orang boleh mengaksesnya. Bahkan di beberapa instansi pemerintahan tidak
semua pegawai dapat mengakses DIPA di satkernya. Padahal jelas dalam Surat Edaran
Komisi Informasi Pusat (KI Pusat) No. 1 Tahun 2011 menyatakan bahwa Rencana
Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKAK/L) dan Daftar Isian Pelaksanaan
Anggaran (DIPA) merupakan informasi publik yang wajib disediakan dan diumumkan
secara berkala sepanjang tidak memuat informasi yang dikecualikan berdasarkan Pasal
17 Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
112
BAB VI
RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA
Penelitian tahun kedua ini menemukan pengaruh model implementasi kebijakan
e-procurement terhadap transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah di Kota Medan,
Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai sebesar 14.8%. Angka ini cukup tinggi yang
memberi makna bahwa transparansi pengadaan patut menjadi sorotan selain penghematan
(efisiensi) ketika membicarakan pengadaan barang/jasa secara elektronik. Selanjutnya
dengan menggunakan metode kualitatif dideskripsikan proses e-procurement baik dengan
menggunakan metode e-tendering maupung e-purchasingserta perbedaan pemahaman
partisipan terhadap makna transparansi pengadaan barang/jasa di Dinkes Kabupaten/Kota
di Provinsi Sumatera Utara. Terakhir,bekerjanya model implementasi kebijakan e-
procurement serta hambatannya di Dinkes Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara.
Hasil penelitian tahun pertama sudah dipublikasikan di jurnal internasional yang
berjudul “Public Policy and Administration Research” (ISSN 2224-5731 (print) dan (ISSN
2225-0972 (online) terbit di Amerika Serikat. Hasil penelitian tahun kedua juga sudah
diterima (accepted) dan akan dipublikasikan di jurnal yang sama. Selain itu satu
bagian/tema dari hasil penelian ini juga sudah diterima dan dipublikasikan di jurnal
“Komunika” yang diterbitkan atas kerjasama Program Pascasarjana Komunikasi USU dan
Departemen Ilmu Komunikasi USU dengan judul “Pemanfaatan Website Dalam
Pengadaaan Barang/Jasa (E-Procurement) di Provinsi Sumatera Utara: Dilihat Dari Prinsip
Transparan.” Selain dipublikasikan, hasil penelitian ini sudah diseminarkan di Kantor
Bappeda Kabupaten Serdang Bedagai pada tanggal 26 Agustus 2015 (undangan terlampir).
Penelitian lanjutan yang direncanakan di tahun-tahun mendatang adalah berkaitan
dengan pengadaan barang/jasa pemerintah dengan menggunakan metode e-purchasing.
Karena di tahun berikutnya pengadaan barang/jasa didominasi dengan penggunaan e-
katalog. Meskipun penggunaan metode ini semakin sederhana tetapi tidak lepas dari
kendala yang belum terangkat dalam penelitian tahun kedua ini. Selain itu evaluasi dari
pengadaan barang/jasa secara elektronik sangat menarik dilakukan karena sistem
pengadaan ini juga masih menimbulkan praktek-praktek korupsi.
113
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.0 Kesimpulan
Salah satu tujuan penelitian ini adalah melihat seberapa besar pengaruh model
implementasi kebijakan e-procurement terhadap transparansi pengadaan barang/jasa di
Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai. Dengan
menggunakan analisis regresi dan koefisien determinan maka diperoleh angka sebesar
14.8%. Ini berarti model implementasi kebijakan e-procurement yang terdiri dari faktor
landasan hukum, infrastruktur dan sumber daya manusia mempengaruhi secara signifikan
transparansi pengadaan barang/jasa di Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan
Kabupaten Serdang Bedagai, sebesar 14.8%. Sementara sisanya sebesar 85.2%
merupakan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi transparansi pengadaan
barang/jasa, seperti komitmen dan kualitas kepemimpinan, kondisi sosio-ekonomi,
dukungan publik, dukungan politik, komunikasi, koordinasi dan lain-lain yang bukan
merupakan fokus dari penelitian ini.
Dari hasil wawancara mendalam, dari ketiga faktor maka sumber daya manusia
yang paling dominan mempengaruhi terwujudnya transparansi pengadaan barang/jasa di
Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai. Dalam penelitian ini faktor
sumber daya manusia difokuskan pada kapabilitas TI berbasis komputer dan budaya
organisasi. Namun budaya organisasi lebih memegang peranan penting bekerja tidaknya
model implementasi kebijakan e-procurement. Budaya organisasi dari penyelengara
pengadaan yang masih kental dengan praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme
menimbulkan spekulasi dan pesimisme dari penyedia terhadap kegiatan pengadaan secara
elektronik.
Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten/Kota merupakan salah satu Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD)di Provinsi Sumatera Utara yang tugasnya memberikan
pelayanan dasar di bidang kesehatan kepada masyarakat. Sebagai instansipemerintah,
Dinkes dituntut untuk bekerja secara profesional dengan cara memenuhi kebutuhan
masyarakat di bidang kesehatan. Banyak cara pemenuhan kebutuhan kesehatan ini
diantaranya adalah melalui ketersediaan obat-obatan dan alat kesehatan. Pemenuhan
keduanya dapat dilakukan melalui pengadaan barang/jasa secara elektronik, baik dengan
menggunakan meode e-purchasing maupun metodee-tendering. Namun di Dinkes Kota
Medan, Kota Binjai dan Kabupten Serdang Bedagai, metode e-purchasing dengan
114
menggunakan e-katalog lebih diminati dibandingkan dengan metode e-tendering. Hal ini
didukung dengan semakin dominannya digunakan metode e-purchasing. Sebaliknya, e-
procurement melalui metode e-tendering semakin difokuskan pada bangunan
infrastruktur dengan pagu yang besar sehingga dapat mempercepat kegiatan
pembangunan dan penyerapan anggaran.
Beberapa keuntungan yang signifikan didapat dari metode e-purchasing dengan
menggunakan e-katalog. Pertama, harga obat dengan menggunakan e-katalog jauh lebih
murah dibawah harga obat non e-katalog. Kedua, cara kerja e-purchasing lebih sederhana
dan cepat dibanding dengan lelang biasa sehingga mempercepat penyerapan anggaran di
SKPD.Ketiga, sistem e-purchasing dengan menggunakan e-katalog lebih transparan
karena daftar, jenis, spesifikasi teknis serta harga barang ditampilkan secara elektronik
dan dapat diakses oleh publik. Keempat, penggunakan e-katalog lebih memberikan rasa
aman karena tidak perlu menentukan HPS dan spesifikasi barang. Kedua kegiatan ini
cukup riskan bagi sebagian pegawai yang bertanggungjawab di bidang pengadaan
barang/jasa.
Terlepas dari beberapa kelebihan di atas, metode e-purchasingdengan
menggunakan e-katalog juga mempunyai beberapa kelemahan. Jumlah obat-obatan di e-
katalog kadang kala terbatas atau malah kosong karena pesanan yang secara serentak
terhadap jenis obat yang sama dari pihak Dinkes dan RSUD di seluruh Indonesia. Selain
itu keterlambatan distributor obat mengirim pesanan Dinkes Kabupaten/Kota juga
menjadi masalah yang sering terjadi. Sementara secara teknis administrasi tata cara e-
purchasing dengan menggunakan e-katalog juga mempunyai kendala. Proses e-
purchasingyang dilakukan melalui beberapa tahapan dan proses menuntut user
memasukkandata, mengunduh dan mengunggahdokumen cukup banyak. Namun jaringan
atau sistem e-katalog tidak mampu atauoverloadsehingga diperlukan waktu yang sangat
lama untuk melakukan hal itu semua. Kendala lainnya adalah tidak ada penjelasan yang
lugas di dalam peraturansiapa yang bertanggungjawab untuk menggandakan dokumen
kontrak/perjanjian pembelian yang merupakan proses akhir dari e-purchasing.
E-procurement sebagai sebuah kebijakan harus diimplementasikan dengan tepat
sehingga tujuannya untuk mewujudkan transparansi pengadaaan barang/jasa dapat
tercapai. Cara yang dapat dilakukan untuk membantu mewujudkan tujuan dari
implementasi kebijakan ini adalah dengan menggunakan sebuah model implementasi
kebijakan e-procurement yang terdiri dari tiga faktor yaitu landasan hukum, infrastruktur
dan sumber daya manusia.
115
Ketiga faktor dari model implementasi kebijakan e-procurement belum optimal
di tiga lokasi penelitian sehingga menghasilkan spekulasi-spekulasi yang biasanya
ditujukan penyedia kepada panitia pengadaan. Spekulasi dalam arti sederhana merupakan
pendapat atau dugaan yang tidak berdasarkan kenyataan,menjadi hal yang jamak
didengar dalam kegiatan pengadaan barang/jasa secara elektronik. Dari pandangan
penyedia, kata-kata spekulasi ini muncul karena rendahnya kredibilitas panitia pengadaan
termasuk pada sistem e-procurement. Kredibilitas menyangkut masalah kepercayaan dan
kepercayaan tidak dapat segera diperoleh begitu saja tanpa adanya tindakan yang nyata
dan segera. Karena itu tindakan yang segera dapat dilakukan adalah LPSE dan ULP
adalah menampilkan data, proses dan keputusan lelang dengan benar-benar transparan di
website LPSE sehingga tidak ada celah bagi penyedia atau masyarakat umum untuk
berspekulasi mengenai tahapan atau proses lelang dan juga hal-hal yang berkaitan dengan
pengadaan. Sementara di mata panitia penyelenggara, pihak penyedia untuk tidak
sembunyi dibalik kata-kata spekulasi karena hal ini dapat merugikan diri sendiri. Dalam
Perpres No. 4 Tahun 2015pasal 106 ayat (1) dikatakan bahwa pengadaan barang/jasa
pemerintah dilakukan secara elektronik. Ini artinya penyedia harus mempersiapkan diri
dengan pengadaan secara elektronik dan mengubah cara berpikirnya bahwa pengadaan
secara elektronik berbeda dengan pengadaan secara manual. Dengan demikian spekulasi-
spekulasi dapat hilang dari kegiatan atau proses pengadaan barang/jasa secara elektronik.
Selanjutnya ketiga faktor tersebut saling mempengaruhi yang berdampak pada
pemaknaan tansparansi yang berbeda-beda baik dari panitia pengadaan dan user di satu
sisi dan penyedia di sisi yang lain.Menurut panitia pengadaan transparansi jangan
diartikan bahwa semua yang terjadi di dalam proses pengadaan harus dibuka selebar-
lebarnya kepada masyarakat umum melalui website LPSE. Beberapa hal seperti harga
penawaran yang diberikan peserta lelang tidak dapat ditampilkan di website LPSE secara
rinci. Juga dalam hal summary lelang hanya dapat dibuka bagi pemenang dan calon
pemenang lelang. Pendapat yang sama disampaikan oleh user bahwa transparansi adalah
bagaimana orang yang berhak bisa mengetahui apa yang menjadi tanggung jawab dan
kewajibannya. Artinya seseorang atau masyarakat umum tidak berhak mengetahui secara
rinci proses lelang, jika seseorang atau masyarakat umum tersebut tidak menjadi peserta
lelang. Bahkan penyedia yang gagal di tengah proses lelang, misalnya sewaktu evaluasi
dokumen lelang, jadi belum menjadi peserta lelang yang dapat mengajukan penawaran,
tidak berhak mengetahui mengapa peserta tersebut yang menang. Sementara dari sisi
penyedia, proses pengadaan secara elektronik dapat dikatakan transparan bila semua
116
tahapan dan proses lelang dapat diketahui oleh semua penyedia yang mengikuti lelang.
Selain itu karena di sistem pengadaan secara elektronik masih ada kegiatan yang bersifat
offline, maka sistem e-procurement dapat dikatakan transparan bila panitia pengadaan
adalah orang yang mempunyai integritas dalam melakukan pekerjaannya. Selama
integritas pelaksananya tidak ada maka sebaik apapun sistem e-procurementini dibangun
akan terus dicurigai atau memunculkan spekulasi-spekulasi.
Sementara transparansi menurut Heald dapat dikategorikan menjadi tiga yakni
data, proses dan keputusan. Dari hasil observasi website LPSE di tiga lokasi penelitian,
transparansi data sudah menunjukkan hasil yang memuaskan, sementara transparansi
proses dan keputusan sudah cukup memuaskan.
Transparansi adalah sebuah prinsip yang menjamin kebebasan bagi setiap orang
untuk memperoleh informasi. Namun ada beberapa kategori informasi yang tidak bisa
dibuka kepada masyarakat umum, misalnya informasimenyangkut persaingan usaha,
rahasia negara, intelijen dan sebagainya (Pasal 17 Undang-Undang No. 14 Tahun 2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik). Hal ini dilakukan untuk tidak disalahgunakan
oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Namun selama tidak menyangkut
kategori pada pasal 17 diatas, maka semua informasi mengenai pengadaan barang/jasa,
harus di buka selebar-lebarnya kepada masyarakat di website LPSE.Karena hal ini juga
merupakan bentuk dari akuntabilitas pemerintah kepada masyarakat. Sementara
pemerintah dalam hal ini pegawai yang bertanggung jawab di bidang pengadaan
barang/jasa harus dapat menjelaskan kepada masyarakat umum terutama kepada
penyedia, alasan mengapa informasi tersebut tidak dibuka kepada masyarakat atau tidak
ditayangkan di website LPSE. Hal ini penting sehingga tidak ada lagi perbedaan makna
transparansi di antara semua pihak yang berhubungan dengan kegiatan pengadaan
barang/jasa pemerintah.
Kesamaan pemahaman makna transparansi di bidang pengadaan ini dapat juga
dilakukan melalui pelatihan yang berkaitan dengan TI berbasis komputer dan perubahan
peraturan (perpres) tentang pengadaan barang/jasa kepada penyedia, panitia
penyelenggara dan user. Selain itu pelibatan semua asosiasi pengusaha sebagai pemberi
rekomendasi bagi penyedia yang ingin berpartisipasi dalam pelatihan serta pelibatan
pimpinan untuk mengevaluasi peserta pelatihan yakni pegawai yang bertanggungjawab
pada bidang pengadaan sangat diperlukan. Melalui pelatihan juga dapat ditumbuhkan
integritas semua pihak sehingga proses pengadaan dapat berjalan dengan baik.
117
Tidak semua tahapan pengadaan secara elektronik dapat dibuka di website LPSE
sebagaimana dijelaskan diatas, namun bukan berarti masyarakat umum tidak bisa
mengetahui apa sebenarnya yang terjadi dalam pembelanjaan barang/jasa pemerintah.
Karena sebenarnya untuk melihat transparansi penggunaan anggaran di instansi
pemerintahan dapat juga dilihat dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). Karena
DIPA bukan merupakan dokumen rahasia yang tidak semua orang dapat mengaksesnya.
Jelas dikatakan dalam Surat Edaran Komisi Informasi Pusat (KI Pusat) No. 1 Tahun
2011 bahwa Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKAK/L) dan Daftar
Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) merupakan informasi publik yang wajib disediakan
dan diumumkan secara berkala.
7.1 Saran
Pengaruh model implementasi kebijakan e-procurement terhadap transparansi
pengadaan barang/jasa sebesar 14.8%. Persentase ini cukup besar dan meyakinkan
(significant). Bila suvey di Indonesia selama ini lebih banyak mendiskusikan kegiatan e-
procurement dari sudut penghematan yang didapat setelah menggunakan e-procurement
maka hasil penelitian ini menunjukkan ada hal lain yang juga menarik dan penting untuk
didiskusikan yaitu kaitan penggunaan e-procurement dengan transparansi pengadaan
yang merupakan salah satu cara untuk melihat akuntabilitas dari penyelenggaraan negara.
Pengadaan secara elektronik dengan menggunakan metode e-purcashing lebih
diminati dibanding metode e-tendering di Dinkes Kota Medan, Kota Binjai dan
Kabupaten Serdang Bedagai.Rasa aman menggunakan e-katalogsejalan dengan semakin
sempitnya tindakan untuk melakukan penyalahgunaan wewenang, menjadi salah satu
alasan pemilihan metode e-purcashing ini. Sementara kelemahan dari metode e-
purchasing yang ditemukan di lapangan berkaitan dengan komitmen distributor obat agar
tidak ada lagi kekosongan stock obat atau keterlambatan obat sampai di Dinkes
Kabupaten/Kota serta pihak yang bertanggungjawab atas biaya penggandaan
kontrak/perjanjian pembelian. Sementara secara teknis jaringan ke sistem e-katalog
seharusnya menjadi perhatian sehingga pekerjaan memasukkan data serta menggunggah
atau mengunduh dokumen dapat dilakukan dengan waktu yang cepat. Beberapa temuan
ini menjadi catatan bagi pimpinan di lingkungan Dinkes Kabupaten/Kota untuk segera
ditindaklanjutin ke LKPP sehingga tidak menghambat proses pengadaan. Karena bila
proses pengadaan terhambat maka berdampak pada tidak maksimalnya pelayanan di
bidang kesehatan yang merupakan salah satu kebutuhan dasar masyarakat.
118
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) yang telah disahkan oleh Menteri
Keuangan merupakan dokumen pelaksanaan kegiatan dan penganggaran bagi satuan
kerja (satker) yang berisi antara lain,program dan kegiatan yang akan dilaksanakan, hasil
(outcome) yang akan dicapai, keluaran (output) yang dihasilkan dan pagu yang
dialokasikan. Sementara yang menjadi pelaksanaan anggaran dalam satker adalah Kuasa
Pengguna Anggaran (KPA). Karena itu DIPA dari suatu satker, seharusnya lebih
disosialisasikan ke masyarakat umum melalui website kabupaten/kota sebagai bentuk
transparansi dalam anggaran dan dalam arti lain bentuk transparansi dalam pengadaan
barang/jasa.
119
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ballard, Therese,. 2011. “Transparancy and Public Procurement”. Supplement to the
2011 Annual Statistical Report on United Nations Procurement. UNOPS.
Bannister, Frank and Connolly, Regina. 2011. "The Trouble with Transparency: A
Critical Review of Openness in e-Government," Policy & Internet: Vol. 3: Iss. 1,
Article 8. Policy Studies Organization. http://www.psocommons.org/
policyandinternet / vol3 / iss1/art8.
Buku Panduan Mencegah Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa Publik, TII, 2006
dalam 25.-Korupsi-dalam-Proses-Pengadaan-Barang-dan-Jasa.pdf. Diakses
19 April 2013 Jam 19.30.
Clem, Constance,. 2010. “Government Online: Improving Service and Engaging
Communities”. Ark in Association with Inside Knowledge.
Democratic Local Governance in Southeast Asia (DELGOSEA). 2014.
Dye, Thomas R. 1972. Understanding Public Policy. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice
Hall, Inc.
Grindle, Merilee S. 1980. “Politics and Policy Implementation in the Third
World”.Princeton University Press.Princeton. New Jersey.
Heald, D. 2006. “Varieties of Transparency.” In Transparency, The Key to Better
Governance, eds. C. Hood, and D. Heald. Proceedings of the BritishAcademy.
Oxford: Oxford University Press, 25-43.
Jeppesen, Rasmus. 2010. Capacity is Development. Accountability in Public
Procurementtransparency and the role of civil society. United Nations
Procurement Capacity Development Centre September. www.unpcdc.org
Kelman, S. 1990. “Procurement and Public Management: The Fear of Discretion and
theQuality of Government Performance”. Washington, DC. The AEI Press.
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP). 2009.
Mazmanian, Daniel A dan Sabatier, Paul A, 1983.“Implementation and Public Policy”.
Scott, Foresmant and Company. New Jersey.
Nugroho, Riant. 2006. Kebijakan Publik Untuk Negara-Negara Berkembang. Jakarta:
PT. Elex Media Komputindo.
Nurmandi, Achmad. 2013. E-procurement in Indonesia: Policy and its Implementation.
Research Project of International Scholar Exchange Program
2013/2014.Korean Foundation for Advance Studies.
OECD E-Government Task Force. 2003. The Case for E-Government:Excerpts from the
OECD Report“The E-Government Imperative”. OECD Journal on Budgeting –
Vol. 3, No. 1.
Pramusinto, Agus dan Erwan Agus Purwanto. 2009. Reformasi Birokrasi,
Kepemimpinan dan Pelayanan Publik: Kajian tentang Pelaksanaan Otonomi
Daerah di Indonesia. Penerbit Gava Media, Jian-UGM, MAP-UGM.
Yogyakarta. Ripley, Randall B. 1985. Policy Analysis in Political Science. Chicago: Nelson Hall, Inc.
Sherman, Laura B & Nadgrodkiewicz (eds). 2011. APEC Procurement Transparency
Standards in Indonesia. A Work in Progress. Transparency International- USA
and Center for International Private Enterprise:USA.
Singarimbun, Masri. Metode Penelitian Surve. 2006. Jakarta: LP3ES.
Sugiyono. 2007. “Penelitian Administrasi Negara”. Bandung: Alfabeta
Tangkilisan, Hessel Nogi S. 2003. ”Implementasi Kebijakan Publik, Transformasi
120
Pikiran George Edwards”. Lukman Offset dan Yayasan Pembaruan
Administrasi Publik Indonesia. Yogyakarta.
Subarsono, AG. 2008. Analisis Kebijakan Publik (Konsep, Teori dan Aplikasi).
Yogyakarta: PustakaPelajar.
Turban, E., King, D., Lee, J. and Viehland, D. 2006. Electronic Commerce: A
Managerial Perspective. Pearson/Prentice-Hall, Englewood Cliffs. NJ.
Van Weele, A., 1994. “Purchasing Management: Analysis, Planning and Practice”.
London. UK: Chapman & Hall.
Wahid, Fathul. Institutionalization of Public Systems in Developing Countries: A Case
Study of eProcurement in Indonesian Local Government. May 8th – 9th 2012,
Brunel University, University Kingdom
Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo.
Yin, Robert K. 2013. Case study research: Design and methods. New York: Sage
Publications Inc.
Jurnal/Artikel
“Best Practices in E-Procurement: Reducing Costs and Increasing Value through
Online Buying”. Diakses 1 Juli 2014, Jam 10.00.
“Case Studies on E-procurement Implementations: Italy, New South Wales, New
Zealand, Scotland, Western Australia”. 2005. Commonwealth of Australia.
2005. Diakses 3 Juli 2014, Jam 12.00.
“E-Procurement: Towards Transparency and Efficiency in Public Service
Delivery”.Report of the Expert Group Meeting.Department of Economic and
Social Affairs. 4-5 October 2011. United Nations Headquarters, New York.
“E-Procurement of Golden Book and Good Practice”. 2013. This report was prepared for
DG MARKT by PwC EU Services EESV Contract Reference:
MARKT/2011/097/C4/OP LOT2 Version: v1.3 Project. Final Report. Diakses 1
Juli 2014, Jam 15.00.
McCue, Clifford dan Roman, Alexandru V., 2009. “E-Procurement: Myth or Reallity?”
Journal of Public Procurement, Volume 12, Issue 2, 212-238.
Mitchell, K. 2000. “Instituting E-Procurement in the Public Sector”.Government Finance
Review. 16 (1), 9-12.
Ndou, V. 2004. “E-Government for Developing Countries: Opportunities and
Challenges”. The Electronic Journal on Information System in Developing
Countries (EJISDC). 18 (1), 1-24. http://www.ejisdc.org
Neupane, Arjun., Soar, Jeffrey., Vaidya, Kishor., 2012. “Evaluating The Anti-Corruption
Capabilities of Public e-Procurement in Developing Country”. EJISDC (2012)
55, 2, 1-17 The Electronic Journal on Information Systems in Developing
Countries.
Nightisabha, Ika Akyuna., Suhardjanto, Djoko,. Cahya, Bayu Tri,. 2009. “Persepsi
Pengguna Layanan Pengadaan Barang dan Jasa Pada Pemerintah Kota
Yogyakarta Terhadap Implementasi Sistem “e-Procurement”. Jurnal Siasat Bisnis.
OECD E-Government Task Force. 2003. “The Case for E-Government: Excerpts from the
OECD Report the E-Government Imperative”. OECD Journal on Budgeting –
Vol. 3, No. 1.
Trimurni, Februati dan Siahaan, Asima Yanty. 2014. “Model Implementasi Kebijakan
E-
121
Procurement Dalam Mewujudkan Transparansi Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah di Provinsi Sumatera Utara”. Penelitian Tahun Pertama. Skim Hibah
Bersaing. Universitas Sumatera Utara.
Udoyono, Kodar. 2012. E-Procurement Dalam Pengadaan Barang dan Jasa Untuk
Mewujudkan Akuntabilitas di Kota Yogyakarta. Jurnal Studi Pemerintahan
Volume 3 Nomor 1 Februari.
Vaidya, K., Sajeev, A.S.M. & Callender, G. 2006.“Critical Factors that Influence e-
Procurement Implementation Success in the Public Sector”. Journal of Public
Procurement, Volume 6, Issues (1&3), 70-99.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Undang-UndangNomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah.
Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2011 tentang Perubahan Pertama atas Peraturan
Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Peraturan Presiden Nomor 172 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan
Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Atasa Peraturan
Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
dan Penjelasannya.
Peraturan Pemerinta Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan
Transaksi Elektronik.
Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan
Korupsi.
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2013 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasa
Korupsi.
Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintaha (LKPP)
No.2 Tahun 2010 tentang Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).
Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah No.1 Tahun
2011 Tentang Tata Cara E-Tendering.
Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Secara Elektronik di
Lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.
Peraturan Walikota Medan Nomor 38 Tahun 2011 tentang Layanan Pengadaan Secara
Elektronik (LPSE).
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 63 Tahun 2014 tentang Pengadaan Obat
Berdasarkan Katalog Elektronik.
Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah.
122
Sumber Internet
https://id.wikipedia.org/wiki/Spekulasi
http://kbbi.web.id/spekulasi
www.lpse.pemkomedan.go.id/
www.lpse.binjaikota.go.id
www.lpse.serdangbedagaikab.go.id/eproc/
http://www.lpse.pemkomedan.go.id/eproc/lelang
http://lpse.binjaikota.go.id/eproc/lelang http://lpse.serdangbedagaikab.go.id/eproc/lelang
http://jogja.tribunnews.com/2014/01/27/korupsi-tertinggi-berada-di-sektor-pengadaan-
barang-dan-jasa/. Diakses 24 Oktober 2013, Jam 11.15 WIB.
http://beritasore.com/2012/04/10/korupsi-pengadaan-paling-banyak-ditangani-kpk/.
Diakses 19 April 2013, Jam 21.00 WIB.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52cbfe8f5c500/pengadaan-barang-dan-jasa-
dominasi-kasus-korupsi-di-2013. Diakses 24 Oktober 2013, Jam 11.44 WIB.
http://www.lkpp.go.id/v3/#/read/3614. Diakses 16 Juni 2015, Jam 15.20 WIB.
http://politik.kompasiana.com/2013/03/09/implementasi-e-procurement-sebagai-inovasi-
pelayanan publik- 541293.html. Diakses 21 April 2013, Jam 20.15 WIB.
123
LAMPIRAN
124
BIODATA KETUA PENELITI
A. Identitas Diri
1 Nama Lengkap Dra Februati Trimurni, M.Si
2 Jenis Kelamin Perempuan
3 Jabatan Fungsional IV/b / Pembina Tingkat 1
4 NIP/NIK/ Identitas lainnya 19660212 199009 2 001
5 NIDN 0012026602
6 Tempat dan Tanggal Lahir Laras, 12 Februari 1966
7 E-mail feb_tambunan@yahoo.com
8 Nomor Telepon/ HP 081361405260
9 Alamat Kantor Jl. Prof A. Sofyan No.1 Kampus USU Padang
Bulan Medan 20155
10 Nomor Telepon/ Faks 061 8211965, 061 8201652
11 Lulusan yang telah Dihasilkan S-1= 120 orang; S-2= - orang
12. Mata Kuliah yang Diampu
1. Etika Administrasi
1. Teori Birokrasi
2. Teori dan Perilkau Organisasi
3. Manajemen Sumber Daya Manusia
B. Riwayat Pendidikan
S-1 S-2 S-3
Nama Perguruan Tinggi FISIP USU Pascasarjana UNPAD -
Bidang Ilmu Ilmu Administrasi
Negara
Ilmu Administrasi Negara -
Tahun Masuk-Lulus 1984 – 1989 1994 – 1997 -
Judul Skripsi/Tesis Pengaruh Pendidikan
dan Latihan terhadap
Produktivitas Kerja
Pengaruh Perampingan
Birokrasi terhadap
Produktivitas Kerja
Pegawai
-
Nama
Pembimbing/Promotor
Drs Amru Nasution,
M.Si
Prof. Dr Winardi, SE. -
125
C. Pengalaman Penelitian Dalam 5 Tahun Terakhir(bukan Skripsi, Tesis, maupun
Disertasi)
No Tahun Judul Penelitian Pendanaan
Sumber* Jml (Juta Rp)
1 2015 Model Implementasi
Kebijakan e-Procurement
dalam Mewujudkan
Transparansi Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah di
Provinsi Sumatera Utara
(Tahun 2)
DIPA Direktorat
Penelitian Pengabdian
kepada Masyarakat TA
2015, sesuai dengan
Surat Perjanjian
Penugasan Pelaksanaan
Hibah Penelitisan Bagi
Dosen PT Batch I USU
Rp 67.500.000
2 2014 Model Implementasi
Kebijakan e-Procurement
dalam Mewujudkan
Transparansi Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah di
Provinsi Sumatera Utara
(Tahun 1)
Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi,
Kementerian
Pendidikan dan
Kebudayaan, sesuai
dengan Surat Perjanjian
Pelaksanaan Penugasan
Penelitian TA 2014
Rp 51.047.500
3 2012 Perencanaan
Pembangunan Wilayah
Dalam Mewujudkan
Pembangunan Masyarakat
di Desa Pantai Gemi,
Kecamatan Stabat,
Kabupaten Langkat
Universitas Sumatera
Utara, Sesuai dengan
Penugasan Dalam
Rangka Pelaksanaaan
Program Penelitian
Dosen Muda TA 2012
Rp 5.000.000
4 2009 Model Pengembangan
StrategiPembelajaran Guru
Dalam Meningkatkan
Kualitas Lulusan SMA di
Sumatera Utara
Hibah Penelitian
Potensi Pendidikan
Kabupaten/KotaDirjen
Dikti Depdiknas
Rp 95.000.000
*Tuliskan sumber pendanaan baik dari skema penelitian DIKTI maupun dari sumber
lainnya.
D.Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir
No. Tahun Judul Pengabdian Kepada
Masyarakat
Pendanaan
Sumber* Jml (Juta Rp)
1 2013 Pemberdayaan Kelompok
Masyarakat Berbasis
Keagamaaan Dalam
Pencegahan dan
Penanggulangan Kekerasan
Terhadap Perempuan dan
Anak di Desa Tandam Hilir,
Dana PNPB USU
Tahun 2013 Rp 7.300.000
126
Kecamatan Hamparan Perak,
Kabupatena Deli Serdang
2 2012 Penyuluhan Pelaksanaan
Tata Kelola Perusahaan
yang Baik Pada Hotel
Madani Medan
Dana PNBP FISIP
USU TA 2012 Rp 2.000.000
3 2012 Sosialisasi Tata Cara
Pembayaran Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) Pada
Kecamatan Medan Polonia
Dana PNBP FISIP
USU TA 2012 Rp 2.000.000
4 2009 Penyuluhan: Perilaku
Birokrasi Dalam
Memberikan Pelayanan di
Desa Hulu, Kec.Pancur
Batu, Kab. Deli Serdang,
2009
S PP-DPP FISIP-USU Rp 2.000.000
E. Publikasi Artikel Ilmiah Dalam Jurnal dalam 5 Tahuin Terakhir
Judul Artikel Ilmiah Nama Jurnal Volume/ Nomor/ Tahun
E-Procurement Policy Model: Striving
towards Transparency in Goods and
Services Procurement in North
Sumatera, Indonesia
Public Policy and
Administration
Research
Vol.4/No.12/2014
Transparansi Dalam Pelayanan Publik di
Indonesia
Komunika Vol.IX/No.2/2013
Implementasi PP No 61 Tahun 2010 di
Pemerintah Kota Pematangsiantar
Politea Vol. 4/No 2/2012
Responsivitas Birokrasi Dalam
Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Kewarganegaraan Vol. 18/No 1/2012
Evaluasi Perkembangan Pemerintahan
Humbang Hasundutan Sebagai Hasil
Pemekaran
HEKSPI, Jurnal
Non Eksakta
Vol. 2/ No 2/2010
F. Pemakalah Seminar Ilmiah (Oral Presentation) dalam 5 Tahun Terakhir
Nama Pertemuan Ilmiah/
Seminar Judul Artikel Ilmiah Waktu dan Tempat
Ekspose Tentang Hasil-
Hasil Penelitian di
Kabupaten Serdang
Bedagai
Model Implementasi Kebijakan
e-Procurement dalam
Mewujudkan Tranparansi
Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah
26 Agustus 2015,
Kantor Bappeda
Kabupaten Serdang
Bedagai
Hasil Penelitian Perencanaan Pembangunan
Wilayah Dalam Mewujudkan
Pembangunan Masyarakat
2012, Medan
127
Hasil Penelitian
Pemerintah Kota Medan
Kajian Organisasi Pemerintah
Kota Medan Sesuai Kebutuhan
Daerah.
2012, Medan
Seminar DPRD Dalam
Rangka Kunjungan Kerja
Fungsi DPRD dan Peranan
Bamus (Badan Musyawarah)
DPRD.
2010, Medan
Pelatihan Diklat Teknis
Pelayanan Publik
Akuntabilitas dan Pengelolaan
Mutu di Pandan Kabupaten
Tapanuli Tengah, 2010.
2010, Sibolga
G. Karya Buku dalam 5 Tahun Terakkhir
Judul Buku Tahun Jumlah
Halaman Penerbit
- - - -
H. Perolehan HKI dalam 5-10 Tahun Terakhir
Judul/ Tema HKI Tahun Jenis Nomor P/ ID
- - - -
I. Pengalaman Merumuskan Kebijakakn Publik/ Rekayasa Sosial Lainnya dalam 5
Tahun Terakhir
Judul/ Tema/Jenis Rekayasa Sosial
lainnya yang Telah Diterapkan Tahun
Tempat
Penerapan
Respon
Masyarakat
- - - -
J.Penghargaan dalam 10 Tahun Terakhir (dari Pemerintah, asosiasi, atau Institusi
lainnya)
Jenis Penghargaan Institusi pemberi
Penghargaan Tahun
Satyalancana Karyasatya X Tahun Lembaga Kepresidenan 2006
128
(Penghargaan atas pengabdian,
kesetiaan, kejujuran, kecakapan dan
kedisiplinan dalam melaksanakan
tugas sebagai PNS selama 10 Tahun).
Dosen Favorit III Departemen
Administrasi Negara FISIP USU
dalam Rangka Dies Natalis FISIP
USU ke 30, 2010.
FISIP – USU 2010
Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata dijumpai ketidak-
sesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima sanksi.
Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan
dalam pengajuan Hibah Bersaing.
Medan, 01 November 2015
Peneliti,
Dra Februati Trimurni, M.Si
NIP: 19660212 199009 2 001
129
BIODATA ANGGOTA TIM PENELITI
A. IdentitasDiri
1 NamaLengkap Dra. AsimaYanty Sylvania
Siahaan M.A, PhD
2 JenisKelamin Perempuan
3 JabatanFungsional Lektor
4 NIP/NIK/ Identitaslainnya 19640126 198803 2 002
5 NIDN 0026016016404
6 TempatdanTanggalLahir Medan/26 Januari 1964
7 E-mail siahaan@policy.hu
8 NomorTelepon/ HP 081376367800
9 Alamat Kantor Jln.dr.Mansyur 1
10 NomorTelepon/ Faks 0618219768
11 Lulusan yang telahDihasilkan S-1=150 orang; S-2= 1 orang
12. Mata Kuliah yang Diampu
1 Problem Pembangunan
2 Metodologi Penelitian
Kualitatif
3 Demokrasi dan Ham
Dst
B. RiwayatPendidikan
S-1 S-2 S-3
Nama Perguruan Tinggi USU/Indonesia Monash
University/Australi
a
Massey
University/New
Zealand
BidangIlmu Administrasi
Negara
Development
Studies
Development
Studies
TahunMasuk-Lulus 1982 -1987 1995-1997 2000-2004
JudulSkripsi/Tesis/Dis
ertasi
Ketahanan
Nasional
Regional
ASEAN
Decentralization
and Housing in
Indonesia
„Women and
Local
Governance in
Indonesia: A
Case Study of
Engendering
Local
Governance in
North
130
Sumatra‟
NamaPembimbing/Prom
otor
Drs.
T.D.Marpaung
M.A.
DR.Susan
Blackburn
Barbara Nowak
PhD/Regina
Scheyvens PhD
C. Pengalaman Penelitian Dalam 5 Tahun Terakhir(bukan Skripsi, Tesis,
maupunDisertasi)
No Tahun JudulPenelitian
Pendanaan
Sumber* Jml
(JutaRp)
1 2010 Social Capital Development
in Coastal Ecosystem
Conservation Strategy in
KabupatenTapanuli Tengah
Sumatera Utara.
Dikti
50
2 2009 The capacity of Local
Government in South
Tapanuli. .
URS 30
3 2009 Review of Sustainability
Practices Within Multi Donor
Fund for Aceh and Nias
Portfolio. Oxford Policy
management/OPM.
MDF 150
4 2008 Evaluation Research on
Performance of Traditional
Markets in Post Tsunami
Aceh..
CHF 65
Dst
*TuliskansumberpendanaanbaikdariskemapenelitianDIKTI maupundarisumberlainnya.
D. Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir
No. Tahun Judul Pengabdian Kepada
Masyarakat Pendanaan
Sumber Jml (Juta Rp)
1 2012 Mempersiapkan Masa Depan
Melalui telusur Talenta dan
Sadaar Hidup Sehat Bagi
Anak Binaan di Lapas Kelas
II-A Medan
Mandiri 4.000.000
2 2011 Sosialisasi Kepemerintahan
yang Baik dan Etika
Pemerintah di Kabupaten Karo
Mandiri 1.000.000
3 2011 Penyuluhan Pemahaman
Nilai-Nilai Good Governance
Kepada Masyarakat
Dana
Masyarakat
1.750.000
131
Pengusaha Peserta Pengadaan
Barang dan Jasa Instansi
Pemerintah di Kab.Labuhan
Batu
FISIP USU
E. Publikasi Artikel Ilmiah Dalam Jurnal dalam 5 Tahun Terakhir
No JudulArtikelIlmiah NamaJurnal Volume/ Nomor/ Tahun
1
2
3
Dst
F. Pemakalah Seminar Ilmiah (Oral Presentation) dalam 5 TahunTerakhir
No NamaPertemuanIlmiah/ Seminar JudulArtikelIlmiah WaktudanTempat
1 Indonesia-Malaysia-Thailand
Growth Triangle (IMT-GT)
Uninet Leadership Camp
IMT-GT: Striving
Towards Resilient
Community in
Globalization.
UUM.Kedah-
Malaysia. January
2011.
22 New Zealand Sociology
Association Conference.
Local Knowledge
and Disaster: Case
Study of Aceh.
Palmerston
North/New
ZealandNovember
2009.
G. Karya Buku dalam 5 Tahun Terakkhir
No JudulBuku Tahun Jumlahhaal
aman Penerbit
1 Decentralization and Women in
Indonesia. Engendering Local
Governance in North Sumatra.
2012 346 Lambert
Academic
Publishing:Germ
any
2 „Pendidikan Tinggi dan
Pembangunan:perspektif Gender‟
dalam Luther dan Pendidikan.
2012 204 KN-
LWF:Sumatera
Utara
3 „Politik Gender dan Desentralisasi
di Indonesia‟ dalam Drama
Indonesia.Ketidakpastian Dalam
Dunia yang
Mengglobal.Hainsworth&Setiawan
(eds). UGM Press:Yogyakarta.
2007.
2007 430 UGM Press:
H. Perolehan HKI dalam 5-10 TahunTerakhir
No Judul/ Tema HKI Tahun Jenis Nomor P/ ID
132
1
2
3
I. Pengalaman Merumuskan Kebijakan Publik/ Rekayasa Sosial Lainnya dalam 5
Tahun Terakhir
No
Judul/
Tema/JenisRekayasaSosiallainny
a yang TelahDiterapkan
Tahun Tempat
Penerapan ResponMasyarakat
1
2
J. Penghargaandalam 10 TahunTerakhir (dariPemerintah, asosiasi,
atauInstitusilainnya)
No JenisPenghargaan InstitusipemberiPenghargaan Tahun
1 PiagamSatyaLancanaKaryasa
tya X Tahun
PresidenRepublik
Indonesia
2006
2
3
dst
Semua data yang
sayaisikandantercantumdalambiodatainiadalahbenardandapatdipertanggungjawabkansecara
hukum. Apabila dikemudianhariternyatadijumpaiketidak-sesuaiandengankenyataan,
sayasanggupmenerimasanksi.
Demikianbiodatainisayabuatdengansebenarnyauntukmemenuhisalahsatupersyaratandalampen
gajuanHibah Bersaing
Medan, 01 November 2015
Peneliti,
(Asima Yanty Sylvania Siahaan)
133
BIODATA ANGGOTA TIM PENELITI
A. IdentitasDiri
1 NamaLengkap Dra. Dayana, M.Si
2 JenisKelamin Perempuan
3 JabatanFungsional IVb/Lektor Kepala
4 NIP/NIK/ Identitaslainnya 19600728 198703 2 002
5 NIDN 0028076003
6 TempatdanTanggalLahir Tapanuli Utara/28 Juli 1960
7 E-mail bu_dayana@yahoo.co.id
8 NomorTelepon/ HP 081397036969
9 Alamat Kantor Jln. Prof. A. Sofyan No. 1
Kampus USU Padang Bulan
Medan 20155
10 NomorTelepon/ Faks 0618217168
11 Lulusan yang telahDihasilkan S-1=170 orang; S-2= -orang
12. Mata Kuliah yang Diampu
1 Komunikasi Pembangunan
Sosial
2Teknik-teknik Hubungan
Masyarakat
3Praktikum Humas
Dst
B. Riwayat Pendidikan
S-1 S-2 S-3
Nama Perguruan Tinggi FISIP USU Pascasarjana
UNPAD
-
BidangIlmu Ilmu Komunikasi Ilmu Penyuluhan
Pembangunan
-
TahunMasuk-Lulus 1981-1986 1996-1998 -
JudulSkripsi/Tesis/Disert
asi
Peranan Penyuluh
Pertanian
Lapangan Dalam
Persepsi Masyarakat
Terhadap Konsep
Keluarga Berencana
134
Meningkatkan
Produksi
Pertanian
dan Faktor-faktor
yang Mempengaruhi
NamaPembimbing/Prom
otor
Drs. H. R.
Danandjaja, M.A
Prof. Dr. Marqono,
M.Sc
-
C. Pengalaman Penelitian Dalam 5 Tahun Terakhir
(bukan Skripsi, Tesis, maupunDisertasi)
No Tahun JudulPenelitian Pendanaan
Sumber* Jml (JutaRp)
1 2013 Pola Penggunaan Media Pada
Kalangan Aktivis Mahasiswa
FISIP USU Medan
Dana PNBP
Pascasarjana
FISIP USU
2013
3.000.000
2 2013 Riset Penonton Program TVRI
di Sumatera Utara
Kerjasama
Departemen
Ilmu
Komunikasi
dan TVRI Pusat
97.000.000
*TuliskansumberpendanaanbaikdariskemapenelitianDIKTI maupundarisumberlainnya.
D. Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir
No. Tahun Judul Pengabdian Kepada
Masyarakat Pendanaan
Sumber Jml (Juta Rp)
1 2013 Pembinaan Komunikasi
Keluarga Bagi Ibu-Ibu di Desa
Karang Rejo Kecamatan
Stabat
Dana PNBP
FISIP USU
2013
2.000.000
2 2012 Workshop Pembuatan Film
Pendek Bagi Mahasiswa,
Pelajar dan Pencinta Film di
Medan
Dana PNBP
FISIP USU
2012
2.000.000
135
E. Publikasi Artikel Ilmiah Dalam Jurnal dalam 5 Tahun Terakhir
No JudulArtikelIlmiah NamaJurnal Volume/ Nomor/ Tahun
1 Persepsi Stakeholder Dan
Kompetensi Alumni
Komunika Volume X. No. 1
Maret 2014
2 Implementasi Event
Sponsorship Program Acara
Televisi dan Citra Perusahaan
Komunika Volume VIII. No. 2
September 2012
3 Komunikasi Penyuluhan dan
Adopsi Inovasi
Perspektif Volume IV No. 2
Oktober 2011
F. Pemakalah Seminar Ilmiah (Oral Presentation) dalam 5 TahunTerakhir
No NamaPertemuanIlmiah/ Seminar JudulArtikelIlmiah WaktudanTempat
1 Pelatihan Refreshing Bagi
PLKB/PKB Kab/Kota Se-
Sumatera Utara
Komunikasi
Penyuluhan
01-06 Juli 2012 /
BKKBN Provinsi
Sumatera Utara
G. Karya Buku dalam 5 Tahun Terakkhir
No JudulBuku Tahun
Juml
ah
Halaman
Penerbit
1 Teori-Teori Komunikasi 2010 400 USU Press
H. Perolehan HKI dalam 5-10 TahunTerakhir
No Judul/ Tema HKI Tahun Jenis Nomor P/ ID
1
2
3
Dst.
I. Pengalaman Merumuskan Kebijakan Publik/ Rekayasa Sosial Lainnya dalam 5
Tahun Terakhir
No
Judul/
Tema/JenisRekayasaSosiallainny
a yang TelahDiterapkan
Tahun Tempat
Penerapan ResponMasyarakat
1
2
136
J. Penghargaan dalam 10 Tahun Terakhir (dari Pemerintah, asosiasi, atau
Institusi lainnya)
Jenis Penghargaan Institusi pemberi
Penghargaan Tahun
Satyalancana Karyasatya X Tahun Lembaga Kepresidenan 2006
Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata dijumpai ketidak-
sesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima sanksi.
Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan
dalam pengajuan Hibah Bersaing.
Medan, 01 November 2015
Peneliti,
Dra Dayana, M.Si
NIP: 19600728 198703 2 002
137
Artikel 1
E-Procurement Policy Model: Case Study of Health Agency in
North Sumatra Province, Indonesia
Februati Trimurni 1*
Asima Yanty Siahaan 2 Dayana
3
Faculty of Social and Political Sciences, University of Sumatera Utara, Jln. Dr. Sofyan no.1, Medan
20155 – Indonesia
* E-mail of the corresponding author: feb_tambunan@yahoo.com
The Research and publication of this paper is funded by the Directorate General of Higher Education of
Indonesia.
Abstract
E-procurement policy is one form of reformation in procurement in Indonesia which aims at enhancing
transparency in public procurement. E-procurement can be implemented through e-tendering and e-purchasing
methods by utilizing e-catalogue. Policy implementation model was used to assist the realization of the goal of e-
procurement policy. This study found three significant factors of e-procurement policy implementation model,
namely legal foundation, infrastructure and human resources.
This article entitled "E-procurement Policy Implementation Model: Case Study of Regency/City Health Agency,
North Sumatra Province, Indonesia. Applying qualitative research method and case study approach, this study
describes in detail stages of e-tendering and e-purchasing methods and transparency. It also explains how this e-
procurement policy implementation method works and its relation with transparency in public procurement at
Health Agency at Medan City, Binjai City and Serdang Bedagai Regency.
In-depth interview, observation, document and literature analysis were utilised as interrelated data gathering
techniques. In-depth interviews were conducted with head of Development Administration/LPSE of Medan City,
Binjai City and Serdang Bedagai and Working Group of Procurement Service Unit (ULP), Commitment
Authorities, Procurement Official and business as providers of e-procurement. This study also applies
observation technique on Electronic Procurement Services (LPSE) website to examine transparency of data,
process and decision of e-procurement activities.
This study reveals e-purchasing methods is more interested for e-procurement implementers compare to e-
tendering at all research sites. Security resulted from the utilization of e-catalogue is one of the reason for
preference in using this method. This study also finds out that the three factors of e-procurement implementation
model as mentioned previously were yet to function optimally causing speculations in e-procurement activities
which usually addressed by providers to e-procurement implementers, and diverse understanding and
interpretation on transparency between implementers and providers. Observation on LPSE websites reveals data
transparency has been satisfactory while process and decision transparency are yet to be satisfactory.
Keywords: Policy model, E-procurement, Public service, Transparency.
138
1. Introduction
Public goods and services funded by national budget is an essential activity of government. Public goods and
services procurement ensures the fulfilment of a country's development infrastructure. At this point, public
procurement should be conducted more efficient and effective, prioritizing the implementation of healthy
competitive principle which is transparent and just for related parties. This is a realistic expectation considering
that the huge total amount of public procurement at governments' institutions reach out to 15% - 30% of GDP.
The high percentage of public procurement unavoidably created opportunity for the occurrence of corruption in
public procurement and evidently dominates 61% of corruption cases in Indonesia (Tribune News. 2014). Public
procurement process is also the most investigated corruption cases handled by Indonesia's Corruption (KPK)
which consists of 96 cases or reaching to 40.9 % since 2004 to 2011 (Berita Sore.2012). Based on a study
conducted by Indonesia Corruption Watch (ICW), public procurement corruptors includes private sector, head of
government agency, head of local and provincial government (Hukum Online.2013).
Considering the vulnerability of public procurement towards the achievement of national economy, government
implemented reformation in transforming manual procurement into electronic procurement (e-procurement).
Manual procurement provided opportunity for direct interaction between government officials and providers.
This face to face interaction significantly creates corruption and nepotism practices. On the other hand, through
e-procurement the intensity of these corrupt practices can be decreased, thus, avoid and suppress these corrupt
practices.
One of the objectives of e-procurement is to realize transparency and efficiency in public procurement
(Presidential Regulation (Perpres) No. 4/2015). Surabaya city as one of best practices in public service delivery
places the implementation of e-procurement as an innovative best practice, aiming at enhancing effectiveness,
efficiency and transparency in public procurement process (Partnership for Democratic Local Governance in
Southeast Asia, 2003). The implementation of e-procurement successfully saved 20 to 30% of public service
budget. The implementation of e-procurement in Indonesia's Finance Ministry has saved budget, reduce leakages
and ensured transparency. It contributed to 18.4% budget saving in 2009 (LKPP.2009). The efficiency also
applies to the Transportation Ministry with its basic budget of IDR 1.4 trillion, while the transaction value is IDR
1.17 trillion which mean a saving of IDR 230 billion.
In reality best practices of e-government in Indonesia is still at a minimum. Various intertwined factors such as
inadequate human resources, limited supporting infrastructure, weak regulation and institution, limited
government budget support, and the low commitment and seriousness of leaders at various government level,
contributes to limited best practices of e-government. Similar problem occurred in the implementation of e-
procurement in Indonesia, such as the absence of obvious regulative law which serves as umbrella law of e-
procurement process in order for the realization of basic standard on the management of e-procurement process
whether from the bureaucracy chain, time, the utilization of information technology and human resources.
Moreover, the low commitment of top and middle level leaders due to low political support at the end
encouraged corruption in public procurement. Also, the challenges from procurement committee, providers and
legislators and limited infrastructure such as the expensive cost of internet, cannot be ignored
(Kompasiana.2013).
Meanwhile, the implementation of e-procurement in European countries has its problems too (Lederer.2013).
Studies on e-procurement transparency found data published in 'pdf' and html and not in the database form. This
means data are found in different volumes of bulletins which makes it hard to explore the phases of procurement.
In Hungary, the public must open every bulletin to know how many tenders won, value of the tender and if the
tender is the same as it is in the contract. In Czechs transparency in e-procurement is still limited, this can be
seen through the non-existing statistical data and review of the procurement or justification of the winner of the
procurement on the website, but the data can still be acquired individually. In Poland or Czech the modification
of the contract are not published, but can be requested by anyone that needs the information. Slovakia is a
country which implements a very transparent e-procurement where they update the information constantly and
provide data in format that are easy to process. There are also available an online database about all the approved
contracts.
139
Policy on e-procurement in Indonesia began with the issuing of Presidential Regulation (Perpres) No. 80 Year
2003 about the implementation of goods/service procurement. Several years later, Perpres No. 54 Year 2010 was
issued concerning Procurement of Government Goods /Services which indicate Presidential Decree No. 80 of
2003 null and void in 2011. Not long after, Presidential Decree No. 35 of 2011 was issued which is the First
Amendment to Presidential Regulation No. 54 Year 2010 concerning Procurement of Government
Goods/Services. Furthermore, some changes are made which results in the Presidential Decree No. 70 Year 2012
and Presidential Decree No. 172 Year 2014. Then, in the beginning of 2015, Presidential Decree No. 4 Year
2015 was issued about the Fourth Amendment to the Presidential Decree Number 54 Year 2010 concerning
Procurement of Government Goods/Services and explanation which was enacted on January 16, 2015. Several
changes in the rules aim to perfect the policy because in the future all government spending is done through
electronic means. This policy was established as a correction of the weaknesses of manual procurement system
both in terms of efficiency, effectiveness, transparency and accountability.
However, procurement of goods/services electronically only began in Medan, Serdang Bedagai in 2011 and
Binjai in 2013, which makes it interesting to study. This research utilised case studies to be able to see the cases
related to the process and the transparency of procurement of goods/services electronically which occurred in the
City Health Office of Medan, Binjai and Serdang Bedagai. These cases are quite complex and risky because it
involves many parties and a significant budget. District Health Office was chosen to be the location of this case
study because this instance is responsible in the field of health which is one of the basic needs of people in the
district city. This research is interesting because policy implementation of e-procurement be seen from different
factors such as legal laws, infrastructure and human resources that are actually derived from real conditions in
Medan, Binjai and Serdang Bedagai. In contrast to previous studies that used a model of policy implementation
that comes from western countries that do not necessarily correspond with the actual condition districts/cities in
Indonesia, especially in the province of North Sumatra, as well as several studies on e-procurement which
focuses its studies on information technology. From the description above formulation of the problem in this
research are:
1. How does the e-procurement process apply both with the method of e-tendering and e-purchasing
method at the District Health Office of North Sumatra Province?
2. How does the process of e-procurement in achieving the transparency of goods/service procurement be
seen from the model of policy implementation at the District Health Office/City, North Sumatra Province,
Indonesia?
2. Literature Review
2.1 Implementation Model
In process of public policy, implementation is the most important part because it is a stage where pre-determined
alternatives embodied into real action. This is because the policy implementation is a chain that links between
policy formulation and expected results. Thus without implementation, the policy will be in vain because it is
only a mere concept.
Implementation of policies when viewed in a broader sense, is a legal administration tool where various actors,
organizations, procedures and techniques work together to carry out a policy in order to achieve the desired
impact or goal (Winarno.2002). Since the implementation is seen as a tool in implementing the policy, there are
several variables or factors that determine the achievement of the policy objectives. The existence of these
variables or factors could support the implementation process of policies but may also hamper the
implementation of the policy. Because of the many and complex factors in the implementation of a policy, it will
require a conceptual model (conceptual model) to help analyse or evaluate the implementation of policies so that
it can achieve predetermined objectives.
According to Thomas R. Dye (1972) a model is a simplified representation of some aspect of the real world.
While Rendall B. Ripley (1985) argues that the major utility of any model is that it simplifies complex reality in
ways that can be readily understood. Through a model, variables or factors that influence policy implementation
can be simplified to make it easier to understand. Simplification is important because there are so many variables
or factors, where not all of the factors influence the implementation of a policy. Thus a model consists only of a
140
few dominant variables or factors that influence the implementation of a policy. Another benefit of the model is
that it can show important variables or factors of a policy implementation. This makes it easier for both
implementers and policy makers to focus more on the variables or factors that could make the policy
implementation a success or a failure.
2.2 Functioning Model of Public Policy Implementation
There are three basic components that are found in public policy, which are the goals to be achieved, specific
objectives and how to achieve these objectives. How to achieve this goal is called policy implementation. Policy
implementation is not a simple process, it is very complex and complicated which are influenced by various
factors both individual and organizational factors. Various models have been studied by experts to understand
the public policy implementation process. In each model of implementation, experts found certain factors that
are interconnected with each other and influence the implementation goals. Thus, we need to know how factors
and variables work in a policy implementation model.
Grindle (1980) introduced implementation model as the political and administrative processes. The model works
by describing the decision process performed by a variety of actors, where the output is determined by both the
material and the program that has been achieved through the interaction of decision-makers in the context of
administrative politics. The political process can be seen through the decision making process that involves
various policy actors, while the administration looks through a public process regarding the administrative
actions that can be studied at the level of a particular program.
Meanwhile Van Meter and Van Horn (2009) developed the manner of policy implementation process model
work. Both found the change, control and compliance in action is an important concept in the implementation
procedures. Both also develop a policy typology according to the number of changes that will be generated and
the range or scope of the agreement on the purpose by the various parties involved in the implementation
process, which in turn gave birth to the six variables that affect the performance of the implementation.
The first variable is the standard and policy targets. Every public policy standards should have clear and
measurable policy objectives so the goals of the policy can be realized. The standards and policy targets will
clearly make no policy bias so that there will be no multi-interpretations or misunderstandings and conflicts
among the implementation agents. The second variable is resource. Implementing policies needs to be supported
by resources, human resources, material resources and method resource. From the three resources, the most
important resource is human resource, because besides being the subject of policy implementation it is also the
object of policy implementation. Third is organizational relationship. In many policy implementation programs,
to make an implementation successful, there needs to be good relationship between relevant entities.
Communication and coordination plays an important role because it is one of the lifeblood of an organization so
that programs can be realized. In addition, the fourth variable is characteristics of the implementing agencies.
Implementation of policies can achieve maximum success by identifying the characteristics of the implementing
agencies which include bureaucratic structures, norms and patterns of relationships that occur within the
bureaucracy. This relates to the fifth variable the attitude of the implementer. In implementing the policy,
attitude or disposition of the implementer is divided into three, namely the implementer response to the policy,
the condition of the understanding of the policy defined and intense disposition implementer which is preference
of the implementer. The final variable is the environmental conditions of social, political and economic. This
includes the extent to which interest groups provide support for policy implementation, the characteristics of the
participants whether to support or reject, what is the nature of public opinion and whether the political elite
supports the implementation of the policy.
Model of policy implementation of e-procurement in an earlier study consisted of three variables or factors. The
legal basis as the first factor showed that a policy requires a clear legal basis and fixed institution. This electronic
procurement system is based on a number of regulations, one of which is the Presidential Decree No. 4 Year
2015. Applicability of electronic procurement systems also requires an obligation for local governments to form
the Institute of Electronic Procurement System (LPSE) and the Procurement Services Unit (ULP) in the area.
Both institutions serve to expedite the process of procurement of goods / services electronically in the area
(counties and cities). The second factor of models of e-procurement policy implementation is infrastructure.
141
Infrastructure includes infrastructure such as hardware, including servers and communication networks and
software. The use of technology, systems and standardized procedures, setting strict time schedule is an
important thing known by all parties, both by the provider or providers of e-procurement. The role of
infrastructure is needed as a tool to achieve policy objectives. The third factor is related to the human resources
capability and organizational culture. Human resource capabilities here relate to IT-based control of computers,
because e-procurement activities synonymous with the use of IT. In facilitating e-procurement activities,
organizational culture that is fair, non-discriminatory and away from the practices of corruption, collusion and
nepotism (KKN) are also significantly required.
The success of an e-procurement policy implementation will affect the transparency of procurement of goods
and services. The success of implementation model depends on those three factors. E-procurement policy that is
born of a legal basis cannot function optimally without the infrastructure needed for the implementation of
electronic procurement systems and human resources policies as the driving factor. Furthermore, the use of
advanced technology must be balanced by the ability of human resources. Therefore, the human resources as a
service provider must have reliable skill in computer-based IT. If the organizers‟ human resource has the IT
capabilities and is able to interpret the rules correct, only then there will be an organization behavior that is fair
and free of corruption practices.
2.3 Transparency Procurement of Government Goods/Services as the objective of the Implementation of
E-Procurement
E-procurement is a form of e-government service. A modest definition of e-procurement by Van Weele (1994)
stated that the use the Internet Technology in the process of providing, that is, buying and selling of goods and
services. Together with the above definition, Turban et al (2006) stated that e-procurement refers to the purchase
of goods and services for organizations. Other definition focused on the implementation of e-procurement in the
government organization argued that e-procurement refers to the use of electronic communications and
transaction processing by government institutions and other public sector organization when buying supplies and
services or tendering public works. Some understanding of e-procurement above is actually not much different
from the understanding of e-government. Services performed both using Information Technology (IT),
computer-based. Only difference of e-procurement to focus on the process of procurement, purchase and sale of
goods/services while the reach of broader e-government because it involves publishing category, Interact and
Transact.
There are many reasons and benefits from the use of e-procurement, Vaidya et al (2006) argued that e-
procurement was used because of the demands of public sector management to be transparent, efficient and
effective in providing services. E-procurement is also a common theme of many organizations in developed and
developing countries to promote transparency and good governance. In this case the e-procurement used as an
instrument of public sector reform. While Mitchell (2000) defined e-procurement by comparing it with
traditional procurement methods where electronic procurement is better because it can integrate the processes of
the supply chain (from customers to suppliers and back again to the consumer) smoothly, at the right time and
can be done repeatedly. Kelman (1990) categorized three characteristics of the procurement system in
government organizations namely equity, integrity, economic and efficiency. Equity means fair access to
providers. Integrity connotes transparency in the procurement process. Economic and efficiency where the price
is equal to the quality provided.
As explained above, there many reasons and purposes for the implementation of e-procurement and one of them
are to create transparency. Transparency itself is a principle which guarantees freedom for every person to obtain
information about the good governance with regard to information about the policies, the manufacturing process
and its implementation and the results achieved. Thus transparency can be an entry point for people to get
information about what the government does. In addition, people can also do checks and balances on what has
been done by the government. This is in line with the opinion of Clem (2010) that explained transparency as the
obligation of government in providing citizens with information about what Reviews their government is doing
so that government can be held accountable. Understanding Clem provides insight into a very wide meaning of
transparency, where the government must provide information to citizens about what is being done by the
government. Thus the government must take responsibility for what is being done. But the meaning of
transparency in government is not as wide as the explanation by Clem above. It is an obligation for the
142
government to provide information to the public about what the government is doing, but the government also
has a category of information that should be kept secret from the public, such as state secrets, intelligence
information, the interests of business protection from unfair competition, rights personal rights, and other
professional secrecy (Article 17 of Law No. 14 of 2008 on Public Information).
Meanwhile, according to Presidential Decree No. 4 Year 2015 concerning Procurement of Government Goods
/Services Article 5 where transparency is one of the principles of electronic procurement in addition to
efficiency, effective, open, competitive, fair/non-discriminatory and accountable. Furthermore, in the
explanation regulation 54 in 2010 said that transparency means all the provisions and information on the
procurement of goods/services is clear and widely known by providers of goods/services as well as by the public
interest in general. So transparency here besides being interpreted that provision and information must be widely
known by the general public, the terms and the information must also be clear. This is important because the
process of procurement of goods and services is a spending that uses state finances. Because of this the process
of procurement of goods and services needs to be managed properly, in order to obtain goods/services that are
affordable and of good quality, and also accountable both in terms of physical, financial, beneficial for the
operation of government and public service tasks.
In relation to the Presidential Regulation on transparency, the opinion of Heald (in Bannister and Connolly,
2011) concerning the proper categorization of transparency should be used to see the transparency in LPSE
website especially in district/city level. Heald categorized transparency in three categories which are data
transparency, process transparency and decision/policy making transparency. Data transparency are associated
with the numbers and facts of the government such as the cost of providing (process data are easily accessible
and understandable to the public); misinterpretation of data/information; the risks to the public/anonymity.
Process transparency relates to the availability of information from various government processes, ranging from
decision-making to the product decision. This transparency makes all stages of the process clear, showing where
a particular transaction can be found and explains why certain measures must be done. Transparency of
decisions/policy outlines the rationality of the decisions made by the government.
3. Research Methods
This study applied qualitative method, in which the researchers describe in detail the stages of e-procurement
either by the method of e-tendering and e-purchasing which used e-catalogues as well as the transparency of the
procurement of goods/services electronically. Furthermore, the researchers explain the workings of the
implementation model of e-procurement policy at the District Health Office/City in the three study sites.
Informants were selected based on specific categories such as having previous experience in fields related to
procurement of goods and services as head/secretary of administration in Medan, Binjai, Serdang Bedagai.
While the categories set by researcher for providers are providers who attended the auction package at one of the
study sites and the local entrepreneurs who are members of an entrepreneurs' association.
This study utilised a case study approach. By using this approach, in addition to explaining what kind of objects
or cases studied, it also explains how and why the existence of such cases may occur (Yin, 2003). While data
analysis technique used is the analysis of qualitative data while data collection is done by interviews and
observations. Data were analyzed with literature data is reinforced through books and regulations relating to the
cases in this study.
4. Research Findings and Discussion
4.1 Organization of Procurement: Parties Related to Procurement of Goods/Services
According to Presidential Decree No. 4 of 2015 Article 7 says that the organization's procurement of
goods/services to procure through the providers of goods/services consists of:
4.1.1 Budget User (PA)/Budget Authority (KPA)
Budget users (PA) according to Article 1 paragraph 5 of Presidential Decree No. 4 2015 is the official holder of
authority to use the budget of the Ministry/Agency/SKPD or officials who are the same as the other institutions
143
users of APBN/APBD. Furthermore, according to Law No. 1 of 2004 Article 5 (1) and Article 6 paragraph (1) of
the State Treasury the Preamble of Presidential Decree No. 54 of 2010 that the governor, regent/mayor as the
Head of Local Government and Head SKPD for SKPD he leads can be a PA. However, because the PA has the
burden of work or span of control of large organizations, the PA on Local Government may propose one (1) or
several people to the Regional Head for the set as NAC (Budget Authority) as set out in Article 9. Article 1, item
6 of Presidential Decree No. 4 of 2015 defines the Budget Authority (KPA) as defined by PA officials to use the
budget or stipulated by the Regional Head for using the budget. So if the head of the regional work units (SKPD)
is the agency budget, the KPA is an official who is authorized to carry out part of the authority budget users in
performing some tasks and functions SKPD.
In the environment of Health Office (DHO) Regency/City, which was chosen to be the location of the case study
research, Head of Department (Head) Regency/City which became the PA, then Head of Health propose one or
several names to the Regent/Mayor to set as the NAC in District Health Office/the City. But for the local
government level, the PA is the Regent/Mayor, while the NAC is the Head of Department (SKPD)
Regency/City.
4.1.2 Committing Officer (CO)
In Article 12 of Presidential Decree No. 4 of 2015, PA/KPA assigns the Committing Officer (PPK) to implement
the procurement of Goods/Services. Thus, KDP officials who are responsible for the implementation of the
Procurement of Goods/Services that have the main task and authority as stipulated in Article 11.
Based on the basic tasks and authority of PPK, it is not excessive if KDP holds a central role for the procurement
of government goods/services. According to Government Regulation No. 45 of 2013 on the Implementation of
the State Budget, the CO is an official authorized by the PA/KPA to take a decision and/or action that may have
led to the use of the state budget. Because of the magnitude of the responsibility carried by the KDP, the man
who became the CO either has a structural position or echelon must have the technical requirements and
managerial as stated in Article 12 paragraph (2), among others, integrity, discipline, responsibility and technical
qualifications as well as managerial skills to carry out the tasks. Besides being able to make decisions, act
decisively, have exemplary behavior as well as attitude and has never been involved in corruption practices and
also has a Certificate of Expertise for Procurement of Goods/Services.
4.1.3 Procurement Services Unit (ULP)/Procurement
Procurement Services Unit (ULP) is an organizational unit of the Ministry/Agency/Local
Government/Institutions that serve to carry out the Procurement of Goods/Services which is permanent, can
stand alone or attached to a unit that already exists (Presidential Decree No. 4 of 2015 Article 1 paragraph 8).
While the Procurement officer is the designated personnel to carry out Direct Procurement. Both members of
ULP and Procurement official can be derived from civil servants, both from the agency itself as well as other
agencies.
Furthermore, Article 4 said that the Organization of ULP devices are set as needed, it consists of: head,
secretariat, support staff and working groups. This means that each district /city has ULP devices which vary
according to the needs of the region or the workload of the ULP in each district/city.
Working Group on Procurement Services Unit (WG ULP) which is the organization ULP can be said to be the
spearhead of the e-procurement process, because the Working Group was appointed and prepared as a
procurement committee that will decide the provider which has won the auction electronically. In Medan, ULP
consists of Working Groups that are in nature fixed and not fixed. The Working Group still comes from
equipment and assets in Medan, while the Working Group with no permanent membership comes from several
SKPD in the city of Medan. The same thing is found in Serdang Bedagai and Binjai, but the difference is that a
member of the Working Group still comes from the functional part of the Procurement of Goods/Services
(CPM). It is said not fixed because it does not always participate in all auctions packages. Moreover its
membership is always changing that the Decree (SK) as a Working Group is not fixed must be renewed
annually.
144
4.1.4 The Committee/Official Receiver Job Results (PPHP)
According to Presidential Decree No. 4 of 2015 Number 8, the Committee/Official Job Receiver (PPHP) is a
committee/authority designated by the PA/KPA which is in charge of examining and accepting the work result.
PPHP members come from civil servants, both from the agency itself as well as other agencies. However there is
an exception for the members of the Committee/Official Job Results Receiver in other institutions APBN/APBD
user or Community Group Managing self-management, can derive from non-civil servants. The main task of
PPHP as stated in Presidential Decree No. 4 of 2015 is the inspection /testing of the results of the procurement of
goods/services as stated in the contract, which include the suitability, technical specifications, quantity, quality,
time and place of completion if it is in accordance with that stated in contract, as well as making official reports
on the results of inspections and tests. So a PPHP must understand every specification of goods/services being
held and understand different types of contracts used. If the inspection/testing team required technical personnel,
the KPA can form a technical team/appoint experts to assist.
4.2 E-Procurement Method E-Tendering and e-Purchasing at District Health Office
Health Office (DHO) Regency/City is a government agency at the district/city level responsible for serving the
basic human needs in the health sector. Implementation of health efforts undertaken by the District Health Office
city is in need of resources in the health sector including the willingness of pharmaceutical such as drugs and
health equipment. Fulfillment of drugs and health equipment can be done with e-procurement using e-tendering
and e-purchasing by utilizing information technology, in addition to direct procurement, direct appointment and
others that are non-electronic.
4.2.1 E-Tendering
E-tendering is the procedure of selecting a supplier of goods/services conducted openly and can be accessed by
all providers of goods/services listed on the electronic procurement system by means of submitting one time bid
in the allocated time (Article 1 point 39 of Presidential Decree No. 4 of 2015). Budget ceiling of the electronic
auction process is IDR 200 million and above. But in District Health Office budget ceiling to an auction that is
worth over IDR 200 million is not much because it is usually done to building (infrastructure) or items that are
not manufactured. Items such as medical equipment that are manufactured and drugs are conducted by e-
purchasing using e-catalogues.
The tender process in DHO/City is similar to that carried out by the other SKPD. Prior to the acquisition,
DHO/City in this case KDP accept the plans for the needs of goods/services from the user, which is the health
center. Furthermore, PPK makes HPS and specification of the goods/services to be tendered. In determining the
HPS, SKPD notify the distributor that there will be held a procurement of goods and services and asks them to
inform the relevant price of the goods to be purchased. This notification is of official nature because it is through
the Health Office District. After knowing the price of a distributor, the organizers will look for other distributors
who produce goods with similar selling price. Constraints in the HPS and specification of goods occurs when the
specifications of the distributor does not comply with what is required or requested DHO/city. After the HPS is
set, the next process is the District Health Office/City through KDP proposes the HPS and specification of
goods/services to the Working Group ULP is located in the County Government/Municipal for verification.
After the Working Group ULP specify documents containing the information and regulations that must be
obeyed by the providers in the process of the procurement of goods/services. This document contains details of
HPS, qualification requirements, types of contracts, auction schedule and other requirements. In case of inquiry
regarding, the provider may ask for an explanation (aanwijzing) to the procurement committee. Aanwijzing an
explanation of the process of auction conducted online without face-to-face via the website LPSE. But if not
possible to provide information, the procurement committee can explain on the field.
Furthermore on LPSE website, the committee will announce the providers who can proceed to the next process
and also providers that failed. Providers who were qualified can be listed as an auction participant and is entitled
to make an offer. At this stage, bidders must prepare bidding documents in a file and upload the document. The
committee will open the document and evaluate offers from all bidders who submitted bids. The evaluation
process (administrative and technical, price, qualifications) the bidding is done manually (off line) outside SPSE.
145
Once the evaluation process is completed, the next process is the determination of the winning bidder by the
procurement committee through SPSE.
Winner of the auction can be one or two participants, depending on the fulfilment of the requirements as the
winner. While the winner is the person or entity that is the person/entity that has the right to procure
goods/services requested first and second candidate will replace the winners if something happens that does not
allow for the winners to undertake procurement activities. announcement on the website is not explained in
details why the auction participant wins, but can be seen a sign or value in the field of administration, technical,
bid price and the price offset from the participant. After the announcement of the winners, participants objected
to the determination of winners may deliver one-time rebuttal to the CO conducted online via the SPSE an hour
after the announcement of the winner of the auction. Rebuttal of bidders who feel this objection is answered by
KDP after the deadline of five days for regular auctions and three days for a quick auction. Answers from KDP
can only be read by participants in the bidding. So it cannot be read by the public or providers that do not follow
the bidding. If the participant still does not feel satisfied with the answers to the CO, the participants can make
the process of appeal.
Appeal process was carried out outside of the SPSE, where the auction participants send their appeals to relevant
officials who are considered as the PA for district level government. In these circumstances the mayor with the
help of the procurement committee finds a peaceful way such as by promising another project or giving the loser
of the auction an upcoming project. If the appealer is still not satisfied with the appeal process, it can be taken to
court. Through court the law point will be reached because if corruption was found in the process, the
procurement organizers would be taken to court. This is because the requirement in an e-procurement is that all
entities participating must sign an integrity pact which prevents the act of corruption.
Court process can be quite difficult and costly because the participant must provide a guarantee of 1% of the
total number of on-going auction budget ceiling. If the participant wins in administrative court ruling, then the
security deposit will be returned, and if they do not win will go into the state treasury. Appeal activity in Medan
City Government has been almost non-existent. This is one proof that the openness of the electronic auction
process carried out well. But it cannot be denied, But it cannot be denied, it may also occur because the
participants do not want to be bothered using the legal system or losing more money in the law process.
After the objection period has passed or completed the bidders who became winners are invited to come SKPD
and sign a contract with the KDP. PPK will create and deliver Determination Letter to the winner of auction
winner in writing, winner of the auction is required to bring original documents quote. So the process of
procuring an auction package is complete when the KDP has determined the winner of auction, procurement
committee sends announcement of auction winners through SPSE and when objection period has passed.
4.2.3 E-Purchasing
E-purchasing differs from e-tendering. Based on Presidential Regulation No.4/2015 chapter 1/41, E-purchasing
is goods and services purchase through electronic catalogue system. Purchasing can only be done if goods and
services are listed in LKPP catalogues such as Government's Medicine e-catalogue and Health Equipment
catalogue. Similar to online shopping, e-purchasing ensure buyers in serving their own needs based on e-
catalogue which contains list, types, technical specification and products price from various providers. Hence,
buyers merely adjust their needs with specification and price they require.
Health Minister Regulation No. 63/2014 on E-Catalogue Based Medicine Provision chapter 3 states that all
working unit within health sector at central and local level implemented medicine provision through e-
purchasing based on e-catalogue based on government regulations. This policy aim at ensuring transparency,
effectiveness and efficiency of medicine provision process in order to fulfill health services need which results
can be accounted. At present, regency/city government conduct goods and services provision more by using e-
purchasing method compare to e-tendering. This is due to the dominant needs of manufactured medicine and
health equipment with budget limit of IDR 200 million.
146
Utilization of e-catalogue provides more significant benefit to regency/city Health Agency. The price of e-
catalogue medicines are cheaper than non e-catalogue ones. Lower price does not mean lower quality. Cheaper
price can be realized since manufacturers which were given the project to produced the medicine has fix and
certain buying order in large amount. Besides, e-catalogue medicine is cheaper due to the cutting of production
and distribution cost of products. The simpler and faster working method which resulted in faster government
working unit budget absorption compared to other procurement method is another advantage of e-catalogue. E-
purchasing which utilizes e-catalogue is more transparent because the list, types, technical specification and
price of products are published electronically and can be accessed widely by public. The use of e-catalogue also
provides more security to e-procurement implementers in carrying out their tasks (Interview. C4, June 5, 2015;
B3, June 5, 2015; A4, August 10, 2015).
However e-catalogue also inhibits some weaknesses. The medicine listed in e-catalogue is sometimes limited
and even run out of stock. Simultaneous order from Health Agency and Local Public Hospital all over Indonesia
on similar medicine contributed to the deficiency of medicine stock. Delay and lateness of distributors in
fulfilling medicine order also created problems. Delay sometimes occurs because distributors in Java bear
transportation cost. To save this cost, distributors send ordered medicine by using transportation with cheapest
price which resulted in late medicine distribution. For example, the price of similar medicine is the same for all
regions in Indonesia. In case of delay in deliverance, regency/city Health Agency will use stock of medicine
which have to be ready and owned by all working unit of Health Agency. Viewed from budget absorption, it is
certainly of disadvantage to local working units (Interview. C4, June 4, 2015).
E-purchasing process which uses e-catalogue also experienced obstacles. E-purchasing process is conducted
through several stages including determination of packages, products' price, contract format download, Letter of
Order printing, etc. Downloading and uploading documents were not easy since e-catalogue network or system
were frequently overload, thus, it required long time to complete all these activities. Sometimes e-procurement
implementers had to carry out the above activities in the evening, and have to bear internet cost because they
were done outside working hours and outside office. The multiplication of contract documents which is the final
process of e-purchasing is also another obstacle in conducting e-purchasing. A purchasing process requires 7-9
copies of contract document. The cost of 1 copy of document is IDR.300.000. Thus, for the multiplication of 9
contract copies requires IDR.2.7 million. It becomes a problem since there is no clear explanation in regulation
on the cost of this copy. Dealing with this problem, regency/city Health Agency added a new clause which was
discussed with providers at the beginning of procurement process that providers bear the cost of document
multiplication (Interview. C4, June 4, 2015; B3, June 5, 2015).
The provision of goods and services using e-catalogue in health sector is a cooperation form between Health
Minister and LKPP. While product price listed in e-catalogue is determined by LKPP in cooperation with
manufacturers. To date goods/equipment listed in e-catalogue are many and various. With 777 items listed
including copying, wi-fi network, office equipment, medicine, vehicles, regency/city Health Agency were
greatly assisted in conducting e-purchasing process (Interview. C4, June 4, 2015).
Despite the weaknesses of e-purchasing method which utilizes e-catalogue, this method is of more interest to e-
procurement implementers compared to e-tendering. Continuous adding of items in e-catalogue by LKPP
provides positive value which contributed to increasing dominant of e-purchasing method. In contrary, e-
procurement using e-tendering method focused more on infrastructure construction with higher budget limit in
order to foster development activities and budget absorption. The feeling of security of e-procurement
implementers in using e-catalogue is in line with the narrowing of abuse of power. E-catalogue provides
transparency which then resulted in the decreasing of leakages in e-procurement. Whilst e-tendering method still
provides opportunity to get 'fee' in an offer, it is impossible in e-purchasing method which uses e-catalogue
(Interview. A3, May 27, 2015; C4, June 4, 2015; B3, June 5, 2015).
4.3 The Working of E-Procurement Policy Implementation Model at Regency/City Health Agency
Regency and City Health Agency is one of local government working unit which provides basic services to
public. As a working unit, Health Agency is required to work professionally by delivering and fulfilling health
needs of public. Many strategies in fulfilling health need namely through provision of medicine and health
147
equipment electronically which can be carried out through e-purchasing and e-tendering. Utilization of e-
purchasing method by using e-catalogue is more dominant than e-tendering method at these Health Agencies.
This is because the user of Health Agency is itself and Community Health Center (Puskesmas) with needs that
are not as large as Local Public Hospital which is also a local government working unit. Therefore, e-tendering
which requires that bidding limit of IDR. 200 million was rarely conducted at Regency/City Health Agency
(Interview C4, June 4, 2015).
E-procurement as a policy should be implemented appropriately in order to fulfil its objective. Transparency in
provision of goods and services is one of the objectives of this policy. The utilization of implementation model
such as of Donald Van Meter and Carl Van Horn, Paul Sabatier and Daniel Mazmanian and Merile S.Grindle
implementation model is one of the strategy in fulfilling this objective. According to Thomas R. Dye (1972), a
model is simplified representation of some aspect of the real world. Thus, through a model, the implementation
of a policy which is very complex since it consists of many factors or aspects can be simplified. Model of a
policy implementation also assists government to focus more on addressing and improving factors or aspects of
the model until a policy reach its targets. The first year of this research at the three research sites found e-
procurement policy implementation model consists of three variables namely legal foundation, infrastructure and
human resource, which includes human resource capability and organizational culture.
Presidential Regulation No.4/2015 is one of the legal foundations of e-procurement in Indonesia. This regulation
has been amended few times and one of the most significant amendments is detail explanation on e-purchasing
method using e-catalogue. Through e-purchasing, the provision of goods/services becomes simpler, more
transparent and safe to implement. Beside e-purchasing, Regency and City Health Agency also use e-tendering
which have longer bidding process, but similar to e-purchasing is more efficient, effective, transparent and
accountable compared to manual procurement. Another significant amendment of Presidential Regulation
No.54/2010 is the wording of government goods and services 'can' be conducted electronically. The most recent
regulation of procurement, Presidential Regulation No.4/2015 deletes the word 'can' which signifies the
obligation for all government institutions to implement e-procurement in the provision of government goods and
services provision based on existing regulations.
However, when this regulation was interpreted differently by procurement committee and business as the
providers, the implementation of e-tendering could not operate optimally. The procurement committee (ULP
working group) and Health Agency as user differs with providers on bidding explanation (Aanwijzing).
Procurement committee and user argued that bidding explanation of e-procurement is appropriate since
explanations have been conducted electronically, thus, there was no direct face to face interaction between
providers and procurement committee. It also contributes to the effectiveness of bidding explanation. On the
other hand, providers perceived it as in-transparency of a new e-procurement system. Providers also questioned
the amended regulation on point of ULP working group task related to bidding documents evaluation which
proposed by providers manually. They proposed questioned of how to ensure that e-procurement committee will
not favor or interact with providers that have relation with power holders of even their own relatives (Interview
A1, A2, Mei 21, 2015; B3, June 5, 2015).
Infrastructures supporting the provision of goods and services at Regency/City ULP and Electronic Procurement
Service Institution (LPSE), improve annually although not as good and comprehensive as should be, especially
at Binjai city LPSE and ULP. At LPSE Medan, bidding room which is used to facilitate prospective providers
who experience difficulties in uploading data and other documents has been comfortable. Besides, this bidding
room also function as a place to conduct training related to changes in e-procurement regulations for LPSE and
ULP staffs and also for providers. Bidding room of LPSE Serdang Bedagai regency has been equipped with
more computers which also can be used by providers to upload their documents. The capacity of server at this
LPSE was increased so that large capacity documents can be downloaded or uploaded easily by providers.
Similar to the server capacity at Binjai City LPSE has been increased, though the bidding room is still modest,
with no separation between units of computers.
However sudden blackout still frequently occur while providers uploading their documents and the server
breakdown without official explanation from related authority, thus procurement documents could not accepted
by procurement committee on time. The announcement of bidding package which conducted by procurement
148
committee in short time or during holidays contributed to shorter time for providers to apply. Also, training for
providers were yet to involve business associations. Therefore, business parties frequently sent incompetent
participants to attend training which contributed to ineffective training and the spending of large amount of
money for training (Interview A2, Mei 21, 2015; A3, Mei 27, 2015; C3, June 4, 2015).
Human resource competence and organizational culture of ULP and LPSE are still being improved by
conducting activities of the provision of goods and services more professionally. However the effort to work
professionally was driven more by anxiety of regulation problems rather than awareness of being civil servants
whose priority is to serve the state and community. Yet, this is a significant positive starting point considering
the high public and providers distrust to procurement committee.
However, human resource capacity especially related to information technology is still far below expectation.
Providers, procurement committee and user are yet to fully understand and have knowledge on technology and
information which resulted in ineffective e-procurement. Moreover, high resistance of e-procurement
implementers to procurement certification due to the perceived high risk of this occupation cannot be ignored.
Although Presidential Regulation No.4/2015 stated that procurement committee will be given law assistance in
carrying out their task, yet it is to be realized. Also, e-procurement implementers considered that salary their
salary is insignificant compared to psychological burden they bear in conducting e-procurement activities.
Persistent organizational culture which characterized by the rooted corruption, cronyism and nepotism is a
crucial problems since it is very difficult for e-procurement implementers to break away from this organizational
culture. On the other side, providers also still have old mindset which perceives that the implementation of e-
procurement is similar to previous manual procurement. Providers also still lack of integrity as demonstrated by
their irresponsibility to ensure the quality of product or project they won (Interview, A2, Mei 21, 2015; C1, Mei
28, 2015; C2, June 4, 2015; A4, August 10, 2015).
The three factors of e-procurement policy implementation model described above interact and influence each
other in determining the implementation of e-procurement. The understanding of procurement officials on e-
procurement regulations differs from those of providers. Moreover, the existing infrastructure is yet to support
the implementation of e-procurement optimally. There was widespread doubt on integrity of e-procurement
committee that these officials still conduct corruption and cronyism by favoring providers with close relationship
or part of those who connected to high government officials. Organization culture of LPSE, ULP and user was
perceived as contain with values of unjust, discrimination and closure. This view ignites distrust towards e-
procurement committee and system. Some providers did not respond positively to facilities which were provided
by LPSE and ULP. They also ignored information on process of e-procurement and some even rejected
government offer to participate in training facilitated by LPSE. Some providers also convinced that there was
tolerance to some providers who were late in registering their interest to participate in bidding process, late in
uploading and completing bidding documents. In case that some providers fail to participate in bidding or lost
bidding package, then the e-procurement committee was blamed with various speculations.
Based on providers' perspective, these speculations were closely related to the low credibility of e-procurement
committee. Nurturing credibility is difficult and requires long time. However, LPSE and ULP need to publish
data, process and decision of bidding immediately in their website so that transparency will be realized which
then will avoid speculations on bidding and other e-procurement related activities. On the other hand, e-
procurement committee argued that providers should not hide behind speculations because it will of their own
disadvantage. Presidential Regulation has required that all government goods and services provision should be
conducted electronically. Therefore, providers had to change their mindset on participating in procurement.
Different from previous manual procurement, e-procurement requires providers to obey all bidding process and
stages strictly, thus, they need to continuously gain update information available in LPSE website. Update
information will eliminate speculations regarding e-procurement activities and processes.
The three policy implementation factors found in research sites were yet to work optimally resulting to the
emergence of different understanding of the meaning of e-procurement transparency especially between e-
procurement committee and providers. E-procurement committee perceived that the implementation of e-
procurement has been transparent. Transparency need not to be meant as all information widely open to public.
For example, bidding summary which contains administration evaluation, technical evaluation, qualification and
offered price are impossible to publish widely in detail at LPSE website. Public in general and prospective
149
providers who failed the process need only to know the final result of administration and technical evaluation
and total amount of bidding offered without having to know all content of bidding offer in detail. Besides
bidding winners, only ULP working group and Commitment Official may access bidding summary. However,
providers argued that this process contributed to the closure of e-procurement process. This process differs from
manual procurement in which all providers have access to know their strengths and weaknesses in bidding
process. Thus, this process is not transparent and providers suggested that it will be better if all competitors in
the bidding process may have access to other competitors' documents (Interview, A1, Mei 21, 2015; B3, June 5,
2015; A4, August 10, 2015).
In line with e-procurement committee, users considered that transparency is how persons who have their right
may know what are their responsibilities and obligations. Thus public in general do not have the right to know
bidding process in detail if they do not participate in bidding. Even, providers who failed at bidding document
evaluation thus were yet to be considered as bidding participant, do not have the right to know the reason for
winning the bidding. On the other hand, providers argued that transparency means that all applicants of bidding
may know the reason for participants who win the bidding (Interview. A2, May 21, 2015; B3, June 5, 2015; A4,
August 10, 2015).
E-procurement is considered transparent if all applicants participate in bidding are informed about all stages and
processes. Considering that some of e-procurement activities are still conducted off line, e-procurement system
and process can only be perceived as transparent if e-procurement committee is persons with high integrity in
carrying out their task. Hence, even with the best designed e-procurement system, the lack of implementers'
integrity in carrying out their obligations will create public distrust and speculations to e-procurement policy and
implementation (Interview. A2, Mei 21, 2015; A3, Mei 27, 2015; C1, Mei 28, 2015; C2, June 4, 2015).
Heald (2006) categorized transparency as data, process and decision transparency. This categorization is used to
examine transparency of e-procurement at LPSE website at research sites. Observation on related e-procurement
websites highlighted that data transparency has been satisfactory, while process and decision transparency were
yet to be satisfactory. Data transparency is characterized by complete publication of data and information at
LPSE website. Data available on websites includes stages of bidding, explanation on blackout, server
breakdown, changes in procurement plan, etc. However, some information was yet to be updated regularly. Also,
there is no information on reason and explanation of biding winners and inconsistency in informing data. Process
transparency is revealed by available information in every stage of e-procurement processes. Information on
stages of e-procurement can be seen from 10 to 23 stages of bidding package. These stages were written in bold
thus it is easy for everyone to know at what stages the e-procurement has been. Information on the time of when
a stage start and end along with history of changes were also available on website. However, no information is
found on explanation of why these changes occur. Decision of policy transparency is characterized by the
availability of information regarding the explanation of decision taken. This transparency was not yet optimal.
Although the winner of bidding was decided rationally based on transparent data and process, but when one of
the elements of evaluation criteria was not optimal, then it means decision of who win was not highly
transparent. Observation and analysis on LPSE website demonstrated that there were bidding winners whose
administration requirement and technique were marked with √, offer and corrected value were lower, but their
technique score was lower compare to other competitors. On the other hand, there was also a case of winners
with administration and technique evaluation was marked with √, while their offer and correction values were
higher than their competitors.
Clem (2010) noted that for transparency “Government should provide citizens with information about what their
government is doing so that government can be held accountable”. It connotes that government should be
accountable to what they do. However, government also have information category which should be kept secret
from the public such as state's secret, private rights and other mentioned by Law No.14/2008 on Public
Information Transparency. At this point, some e-procurement information, such as the summary of bidding,
cannot be revealed to public but can be accessed by the winner or prospective winners of bidding and by ULP
working group and Commitment Official. Hence, e-procurement implementers should be capable to explain why
certain can or cannot be open to public. It should be explained obviously to providers so that differences in
understanding the meaning of transparency will not occur. However, out of the above category information, all
150
information including data, process and decision of all e-procurement stages should be open extensively to
public at LPSE website since it is a form of government accountability to public.
Training related to computer based technology information and changes of regulations on e-procurement can be
conducted regularly to providers, users and e-procurement committee in order to realize shared understanding on
transparency. Trainings that have been conducted were yet to be utilized optimally. Business associations as
recommendation giver were yet to be involved in these trainings. The participation of the head of LPSE and ULP
in evaluating training participants which consists of staffs that are responsible for the implementation of e-
procurement is also crucial. Through training it is hoped that shared understanding and knowledge related to e-
procurement and transparency, and integrity of all parties involved in e-procurement will be realized.
As mentioned above, not all e-procurement information can be accessed in LPSE website. However, it does not
mean that public cannot know what really happen regarding government goods and services budget. Public may
access Budget Implementation List (DIPA) to examine transparency in the use of budget at government's
institutions. This list refers to Presidential Regulation on Central Government Expense Budget Detail (RABPP)
and Budget Allocation Detail for local government working unit. Budget Implementation List which was
arranged by working unit contains measurable units on programs and activities which will be implemented,
intended outcome and output and allocated budget limit. Through Budget Implementation List, public may know
in detail about how their money are spent, the cost and the benefits. Thus, this list is different from budget
allocation in National and Regional Expense and Income Budget which budget detail only based on sectors such
as health, education and other development sectors.
However the problem is public is yet to fully understand that Budget Implementation List can be used as a
reference to assess whether government has fulfilled their responsibilities in managing public fund. On the other
hand, it is not easy for public to access this Budget Implementation List since many government institutions
consider this List as a secret document which cannot be accessed by all people. Even in some government
institutions, not all staffs may access Budget Implementation List of their own working units. Central
Information Commission Circulation Letter No.1/2011 stated that Ministry/institution Working Plan and Budget
and Budget Implementation List are public documents which are obligatory available and should be announced
regularly as long they do not contain secretive information as described in Law No.14/2008 chapter 17 on Public
Information Transparency.
5. Conclusions and Recommendations
5.1 Conclusions
Health Agency at regency and city level is the working unit at North Sumatra province which provides basic
health services to public. As a government institution, Health Agency is required to work professionally by
fulfilling public health need. Provision of medicines and health equipment are some of the ways in fulfilling
community needs on health. The provision of public needs on health services can be realized through electronic
provision of goods and services which use e-purchasing and/or e-tendering. E-purchasing method through the
use of e-catalogue is of more interest to government officials than e-tendering method. E-procurement through e-
tendering method has been focused more on physical infrastructure with huge amount of budget limit in order to
accelerate development activities and budget absorption.
There are some significant benefits accrued from e-purchasing method which utilizes e-catalogue. First, the price
of medicine using e-catalogue is much lower than non e-catalogue medicine. Second, e-purchasing working
system is simpler and quicker compare to other procurement method, thus, foster budget absorption of local
government working units. Third, e-purchasing system suing e-catalogue is more transparent because products'
list, type, technical specification and price are electronically published and can be accessed by public. Fourth, the
use of e-catalogue provides security to procurement implementers since they did not have to determine the price
and specification of goods. These activities were considered risky for some officials responsible for public goods
and services provision.
Apart from its advantages, e-purchasing method using e-catalogue also inhibits some weaknesses. Sometimes
the supply of required medicine in e-catalogue was limited and even lack of supply due to simultaneous order on
151
similar medicine by Health Agency and local government public hospital all over Indonesia. Besides, the
tardiness of distributors in delivering Health Agency order was frequently occurred as part of the problem.
Technically, e-purchasing administration using e-catalogue also posed obstacles. E-purchasing process which
conducted through several stages and process required user to insert, download and upload large amount of data.
However, e-catalogue network or system did not have the capacity or overload which required long time to
process these stages. Vague description of regulation on who was responsible in multiplying purchasing contract
which was the final stage of e-purchasing process was another obstacle in this e-procurement method.
As a policy, e-procurement needs to be implemented accurately in order to fulfil its objective in realizing
transparency in the provision of goods and services. Policy implementation model is a way to assist in realizing
the objective of this e-procurement implementation policy. This study found e-procurement policy
implementation consists of three factors namely law, infrastructure and human resources. All these factors of e-
procurement policy implementation in research sites were yet to be optimal and thus created speculations
towards public procurement committee. In its simplest form, these speculations took form in opinions which
were not based on reality. From providers' view, speculation emerged due to the low credibility of procurement
committee and also to e-procurement system. This credibility related to public trust and this trust could not be
gained without real and immediate actions. Therefore, LPSE and ULP need to publish data, process and decision
of the tender transparently so that there will be no loophole for providers or public to speculate on stages and
processes of tenders and other issues related to procurement. Meanwhile, procurement committee required
providers not to hide and use these speculations. Presidential Regulation N0.4 Year 2015 verse 1 stated that
government goods and services provision should be conducted electronically. This means that providers had to
anticipate and prepare themselves for electronic procurement and change their way of thinking to understand that
e-procurement is different from manual procurement.
The above factors also respectively influenced each other which resulted in different perception and meaning of
transparency between procurement committee and users. According to procurement committee, transparency did
not mean that all process of procurement should be open to public through LPSE website. Some issues such as
bidding price could not be published in LPSE website in detail. Also the summary of auction can only be reveal
to the winners of bidding. Similar view was expressed by users that transparency is how a person who is eligible
may know what is his/her responsibility and obligation. Thus, public in general does not have the right to know
bidding process in detail. Even prospective providers who failed in the middle of bidding process, such as during
bidding document evaluation, do not have the right to know why other bidding participants win. Based on
providers' view, electronic procurement process can be considered transparent if the whole stages and process of
bidding were known by all prospective bidding participants. Since in electronic procurement there was still off
line/manual activities, e-procurement system can only be considered as transparent if procurement committee
consisted of persons with integrity in carrying out their job. As long as implementer integrity is absent,
speculations and suspicions on e-procurement will remain.
This study revealed that data transparency has been satisfactory, while process and decision transparency were
still inadequate. Transparency is a principle which guarantees the freedom of all people to get information. Yet
based on Law No.14/2008, there are some information categories which cannot be revealed to public, such as
business competition information, state secret, intelligent and others. This regulation is aimed to avoid the
misuse of data by irresponsible parties. Apart from information category mentioned above, all information
regarding public goods and services provision should be widely open to public through LPSE website since it is
one form of government's accountability to public, Government officials should have the capability in explaining
why certain information cannot be disclosed to public or do not published at LPSE website especially to
providers. This explanation is crucial so that there will be no differences between all stakeholders related to
government's goods and services provision activities.
Shared interpretation and meaning of transparency in procurement may also be realized through training related
to computer based technology information and amendment to regulation on procurement to providers,
procurement committee and users. Moreover, the involvement of all related business association as those which
give recommendation to providers who intend to participate in training as well as the involvement of head of
related procurement agency to evaluate training participants, those who are responsible for the enactment of
152
procurement is crucial. Trainings may enhance integrity of all parties which then contribute to successful
implementation of e-procurement.
Not all stages of e-procurement can be disclosed at LPSE website as explained above. But it does not mean that
public cannot get information on what really occur in government goods and services provision. Transparency of
the use of government institutions can be viewed in government Budget Implementation List (DIPA) which is
not a secret document, thus, public may access this document. It is obviously mentioned in Central Information
Commission Letter No.1/2011 that Work Plan and Budget of Ministry/institutions and government Budget
Implementation List is public information which is provided and announced by government to public routinely.
5.2 Recommendations
Compared to e-tendering, e-procurement using e-purchasing method is of more interest to public procurement
implementer at Health Agency in Medan, Binjai and Serdang Bedagai. The security in using e-catalogue provide
government officials is in line with the narrowing of the opportunity in abuse of authority has been one of the
reasons in choosing e-purchasing method. On the other hand, the weakness of e-purchasing has been related to
medicine distributors‟ commitment in avoiding the lack of medicine supply and the late arrival of the required
medicine at regency and city Health agencies and also the issue of who is responsible on the cost of the
multiplication of the purchasing contract document. Technical network of e-catalogue system should be the
prime attention in order for prompt upload and download of document. These findings provides reminder for
implementer at regency/city Health Agency to immediately conduct follow-up action to avoid obstructions to
procurement process. Delays in public procurement will impact on reduction on optimal deliverance of health
services which is one of public basic needs.
Law, infrastructure and human resource factors of e-procurement implementation model were yet to function
optimally at all research sites. Thus, these factors need to be address in order for the realization of data, process
and decision transparency at LPSE website. It will also create similar understanding on the meaning and
substance of transparency as a fundamental principle in procurement system as well as building integrity of all
stakeholders involve in goods and services provision.
Implementation Budget form (DIPA) which has been legalized by Finance Minister is the activity and budget
implementation document for working units which contains program and activities, intended outcome and output
and allocated budget limit. Meanwhile, the executer of the budget is working unit is Budget User Authority
(KPA). Therefore, Budget Allocation List of a working unit should be disseminated to public both as a form of
budget and goods and services provision transparency.
References
Ballard, Therese,. 2011. “Transparency and Public Procurement”. Supplement to the 2011 Annual Statistical
Report on United Nations Procurement. UNOPS.
Bannister, Frank and Connolly, Regina. 2011. "The Trouble with Transparency: A Critical Review of Openness
in e-Government," Policy & Internet: Vol. 3: Iss. 1, Articl 8. Policy Studies Organization.
http://www.psocommons.org/ policyandinternet / vol3 / iss1/art8.
Buku Panduan Mencegah Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa Publik, TII, 2006 dalam 25.-Korupsi-
dalam-Proses-Pengadaan-Barang-dan-Jasa.pdf. Diakses 19 April 2013 Jam 19.30.
Clem, Constance,. 2010. “Government Online: Improving Service and Engaging Communities”. Ark in
Association with Inside Knowledge.
Democratic Local Governance in Southeast Asia (DELGOSEA). 2014.
Dye, Thomas R. 1972. Understanding Public Policy. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall, Inc.
Grindle, Merilee S. 1980. “Politics and Policy Implementation in the Third World”.Princeton University
Press.Princeton. New Jersey.
Heald, D. 2006. “Varieties of Transparency.” In Transparency, The Key to Better Governance, eds. C. Hood, and
D. Heald. Proceedings of the BritishAcademy. Oxford: Oxford University Press, 25-43.
153
Jeppesen, Rasmus. 2010. Capacity is Development. Accountability in Public Procurementtransparency and the
role of civil society. United Nations Procurement Capacity Development Centre September. www.unpcdc.org
Kelman, S. 1990. “Procurement and Public Management: The Fear of Discretion and the
Quality of Government Performance”. Washington, DC. The AEI Press.
Lederer, 2012.
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP). 2009.
Mazmanian, Daniel A dan Sabatier, Paul A, 1983.“Implementation and Public Policy”. Scott, Foresmant and
Company. New Jersey.
Nugroho, Riant. 2006. Kebijakan Publik Untuk Negara-Negara Berkembang. Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo.
Nurmandi, Achmad. 2013. E-procurement in Indonesia: Policy and its Implementation. Research Project of
International Scholar Exchange Program 2013/2014.Korean Foundation for Advance Studies.
OECD E-Government Task Force. 2003. The Case for E-Government:Excerpts from the OECD Report“The E-
Government Imperative”. OECD Journal on Budgeting – Vol. 3, No. 1.
Pramusinto, Agus dan Erwan Agus Purwanto. 2009. Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan
dan Pelayanan Publik: Kajian tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia. Penerbit Gava Media, Jian-
UGM, MAP-UGM. Yogyakarta.
Ripley, Randall B. 1985. Policy Analysis in Political Science. Chicago: Nelson Hall, Inc.
Sherman, Laura B & Nadgrodkiewicz (eds). 2011. APEC Procurement Transparency Standards in Indonesia. A
Work in Progress. Transparency International- USA and Center for International Private Enterprise:USA.
Singarimbun, Masri. Metode Penelitian Surve. 2006. Jakarta: LP3ES.
Sugiyono. 2007. “Penelitian Administrasi Negara”. Bandung: Alfabeta.
Tangkilisan, Hessel Nogi S. 2003. ”Implementasi Kebijakan Publik, Transformasi Pikiran
George Edwards”. Lukman Offset dan Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia. Yogyakarta.
Subarsono, AG. 2008. Analisis Kebijakan Publik (Konsep, Teori dan Aplikasi). Yogyakarta: PustakaPelajar.
Turban, E., King, D., Lee, J. and Viehland, D. 2006. Electronic Commerce: A Managerial
Perspective. Pearson/Prentice-Hall, Englewood Cliffs. NJ.
Van Weele, A., 1994. “Purchasing Management: Analysis, Planning and Practice”. London. UK: Chapman &
Hall.
Wahid, Fathul. Institutionalization of Public Systems in Developing Countries: A Case Study of eProcurement in
Indonesian Local Government. May 8th – 9th 2012, Brunel University, University Kingdom
Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo.
Yin, Robert K. 2013. Case study research: Design and methods. New York: Sage Publications Inc.
Laws and Regulations
Acts No.1/2004 on State Treasury.
Acts No.11/2008 on Electronic Information and Transaction.
Acts No.14/2008 on Public Information Openness.
Acts N0.25/2009 on Public Service Delivery.
President Regulation No.54/2010 on Government‟s Procurement.
154
President Regulation No.4/2015 on the Fourth Amendment of President Regulation No.54/2010 on
Government‟s Procurement.
Government Regulation No.82/2012 on the Implementation of Electronic System and Transaction.
President Decree No.80/2003 on Government‟s Goods and Services Provision.
Head of LKPP Regulation No.2/2010 on LPSE.
LPSE‟s Head Regulation No.1/2011 on E-Tendering.
Electronic Resources
“Best Practices in E-Procurement: Reducing Costs and Increasing Value through Online Buying”. Accessed on
July 1, 2014 at 10AM.
“Case Studies on E-procurement Implementations: Italy, New South Wales, New Zealand, Scotland, Western
Australia”. Commonwealth of Australia. 2005. Accessed on July 3, 2014, at 12.00.
“E-Procurement: Towards Transparency and Efficiency in Public Service Delivery”.Report of the Expert Group
Meeting.Department of Economic and Social Affairs. 4-5 October 2011. United Nations Headquarters, New
York.
“E-Procurement of Golden Book and Good Practice”. 2013. This report was prepared for DG MARKT by PwC
EU Services EESV Contract Reference: MARKT/2011/097/C4/OP LOT2 Version: v1.3 Project. Final Report.
Accessed on July 1, 2014 at 15.00.
McCue, Clifford dan Roman, Alexandru V., 2009. “E-Procurement: Myth or Reality?” Journal of Public
Procurement, Volume 12, Issue 2, 212-238.
Mitchell, K. 2000. “Instituting E-Procurement in the Public Sector”.Government Finance Review. 16 (1), 9-12.
Ndou, V. 2004. “E-Government for Developing Countries: Opportunities and Challenges”. The Electronic
Journal on Information System in Developing Countries (EJISDC). 18 (1), 1-24. http://www.ejisdc.org
Neupane, Arjun., Soar, Jeffrey., Vaidya, Kishor., 2012. “Evaluating The Anti-Corruption Capabilities of Public
e-Procurement in Developing Country”. EJISDC (2012) 55, 2, 1-17 The Electronic Journal on Information
Systems in Developing Countries.
Nightisabha, Ika Akyuna., Suhardjanto, Djoko,. Cahya, Bayu Tri,. 2009. “Persepsi Pengguna Layanan
Pengadaan Barang dan Jasa Pada Pemerintah Kota Yogyakarta Terhadap Implementasi Sistem “e-Procurement”.
Jurnal Siasat Bisnis.
OECD E-Government Task Force. 2003. “The Case for E-Government: Excerpts from the OECD Report the E-
Government Imperative”. OECD Journal on Budgeting – Vol. 3, No. 1.
Trimurni, Februati dan Siahaan, Asima Yanty. 2014. “Model Implementasi Kebijakan E-Procurement Dalam
Mewujudkan Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Provinsi Sumatera Utara”. Penelitian Tahun
Pertama. Skim Hibah Bersaing. Universitas Sumatera Utara.
Udoyono, Kodar. 2012. E-Procurement Dalam Pengadaan Barang dan Jasa Untuk Mewujudkan Akuntabilitas di
Kota Yogyakarta. Jurnal Studi Pemerintahan Volume 3 Nomor 1 Februari.
Vaidya, K., Sajeev, A.S.M. & Callender, G. 2006.“Critical Factors that Influence e-Procurement Implementation
Success in the Public Sector”. Journal of Public Procurement, Volume 6, Issues (1&3), 70-99.
https://id.wikipedia.org/wiki/Spekulasi
http://kbbi.web.id/spekulasi
www.lpse.pemkomedan.go.id/
www.lpse.binjaikota.go.id
www.lpse.serdangbedagaikab.go.id/eproc/ http://www.lpse.pemkomedan.go.id/eproc/lelang
http://lpse.binjaikota.go.id/eproc/lelang
http://jogja.tribunnews.com/2014/01/27/korupsi-tertinggi-berada-di-sektor-pengadaan-barang-dan-jasa/
http://beritasore.com/2012/04/10/korupsi-pengadaan-paling-banyak-ditangani-kpk/
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52cbfe8f5c500/pengadaan-barang-dan-jasa-dominasi-kasus-korupsi-
di-2013
http://www.lkpp.go.id/v3/#/read/3614
http://politik.kompasiana.com/2013/03/09/implementasi-e-procurement-sebagai-inovasi-pelayanan publik-
541293.html
155
Artikel 2
PEMANFAATAN WEBSITE DALAM PENGADAAN BARANG/JASA SECARA
ELEKTRONIK (E-PROCUREMENT) DI PROVINSI SUMATERA UTARA:
DILIHAT DARI PRINSIP TRANSPARAN*
Februati Trimurni
Asima Yanty Siahaan
Dayana
ABSTRAK
Di Indonesia, pengadaan barang/jasa dengan memanfaatkan media website
merupakan salah satu bentuk reformasi di bidang pengadaan yang salah satu tujuannya
meningkatkan transparansi dalam pengadaan. Kajian mengenai transparansi dalam e-
procurement di Sumatera Utara menjadi semakin mendesak dan penting sehubungan
dengan masih terdapatnya penyimpangan dalam kegiatan pengadaan barang/jasa secara
elektronik di Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai di
satu sisi serta terbatasnya dinamika birokrasi lokal di sisi lain.
Judul tulisan ini ”Pemanfaatan Website Dalam Pengadaan Barang/Jasa Secara
Elektronik (e-Procurement) di Provinsi Sumatera Utara: Dilihat Dari Prinsip
Transparan.” Tujuannya, melihat transparansi pelaksanaan pengadaan barang/jasa secara
elektronik yang memanfaatkan media website dengan menggunakan metode kualitatif.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam dengan
beberapa partisipan dan observasi website sebagai media komunikasi massa yang
digunakan dalam kegiatan pengadaan barang/jasa secara elektronik di tiga lokasi
penelitian. Sementara analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif.
Capaian hasil penelitian menunjukkan bahwa makna dari transparansi
pengadaan masih dipahami berbeda-beda diantara panitia pengadaan dan user (SKPD) di
satu pihak dan penyedia barang/jasa (provider) di pihak lain. Sementara dilihat dari
kategori transparansi yang dikemukakan oleh Heald, maka website yang dikelola LPSE di
tiga lokasi penelitian untuk kategori data sudah transparan, sedangkan untuk transparansi
proses dan keputusan masih pada kategori cukup.
--------
Kata Kunci: E-procurement, Transparansi
* Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang berjudul “Model Implementasi Kebijakan e-Procurement
Dalam Mewujudkan Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Provinsi Sumatera Utara”
dibiayai oleh DIPA Direktorat Penelitian Pengabdian kepada Masyarakat Tahun Anggaran 2015. Skema
Penelitian Hibah Bersaing Tahun Kedua. Universitas Sumatera Utara.
156
PENDAHULUAN
Pengadaan barang/jasa pemerintah merupakan salah satu tugas pemerintah yang
penting, mengingat kegiatan pengadaaan ini dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN/APBD) dengan
pengalokasian dana rata-rata mencapai 15%-30% dari Gross Domestic Product (GDP).
Mengingat pentingnya hal ini, maka kegiatan pengadaan barang/jasa harus dilaksanakan
dengan efektif dan efisien, mengutamakan penerapan prinsip-prinsip persaingan usaha
yang sehat, transparan dan adil bagi semua pihak.
Namun besarnya persentase dana untuk pengadaan barang/jasa ini menjadi
peluang terjadinya korupsi di sektor pengadaan barang/jasa. Sebesar 61% kasus-kasus
korupsi di Indonesia didominasi oleh penyalahgunaan pelaksanaan pengadaan
barang/jasa (Penelitian Pusat Kajian dan Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada pada
tahun 2013) (http://jogja.tribunnews.com/2014/01/27/korupsi-tertinggi-berada-di-sektor-pengadaan-
barang-dan-jasa/. Diakses 24 Oktober 2013, Jam 11.15 WIB.) Selain itu korupsi dalam proses
pengadaan barang/jasa paling banyak diusut dan ditangani oleh institusi Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yakni sebanyak 96 kasus atau mencapai 40.9 % sejak
tahun 2004 hingga 2011 (http://beritasore.com/2012/04/10/korupsi-pengadaan-paling-banyak-
ditangani-kpk/. Diakses 19 April 2013, Jam 21.00 WIB.) Sementara pelaku korupsi pengadaan
barang/jasa ini berasal dari berbagai kalangan baik swasta, kepala dinas, bupati dan
kepala daerah seperti gubernur (Indonesia Corruption Watch)
(1http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52cbfe8f5c500/pengadaan-barang-dan-jasa-dominasi-kasus-
korupsi-di-2013. Diakses 24 Oktober 2013, Jam 11.44 WIB).
Sebenarnya masih tingginya penyimpangan di bidang pengadaan barang/jasa ini
menjadi pertanyaan besar bagi banyak pihak. Karena untuk menekan terjadinya praktek-
praktek korupsi, kolusi dan nepotisme ini, pemerintah telah mengeluarkan Keputusan
Presiden (Keppres) No. 80 Tahun 2003 yang merupakan awal lahirnya kebijakan e-
procurement. Keppres ini menjadi pertanda dimulainya reformasi di bidang pengadaan,
dari sistem manual ke sistem elektronik (e-procurement). Bila pengadaan barang/jasa
secara manual masih mempertemukan langsung antara panitia pengadaan dan penyedia
barang/jasa yang dapat menimbulkan praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme,
maka dalam sistem e-procurement intensitas pertemuan antara panitia pengadaan dan
penyedia sangat sedikit sehingga penyimpangan dalam proses pengadaan barang/jasa
dapat ditekan atau bahkan dicegah.
157
Terlepas dari masih ditemukannya penyimpangan dalam bidang pengadaan,
namun beberapa best practises ditemukan di lingkungan birokrasi Indonesia. Kota
Surabaya sebagai salah satu best practices dalam pelayanan publik menempatkan sistem
e-procurement sebagai best practice yang inovatif, bertujuan untuk meningkatkan
efektifitas, efisiensi dan transparansi proses pengadaan barang/jasa yang berhasil
menghemat 20-30% anggaran untuk pelayanan publik(Partnership for Democratic Local
Governance in Southeast Asia, 2003). Di Kementerian Keuangan RI, pelaksanaan e-
procurement berhasil menghemat anggaran, mengurangi tingkat kebocoran dan menjamin
keterbukaan, dimana kontribusi penghematan anggaran diperoleh sampai 18.4% pada
tahun 2009 (LKPP, 2009). Sementara pengadaan barang/jasa di Kementerian
Perhubungan RI pada tahun 2015 memiliki nilai pagu sebesar Rp 1,4 triliun sedang nilai
transaksinya Rp 1,17 triliun sehingga diperoleh penghematan sebesar Rp 230 miliar
(http://www.lkpp.go.id/v3/#/read/3614. Diakses 16 Juni 2015, Jam 15.20 WIB).
Salah satu tujuan dari pelaksanaan e-procurement adalah mewujudkan
transparansi dan efisiensi dari pengadaan barang/jasa. Namun sebagaimana uraian di atas,
dari hasil beberapa survey di Indonesia, efisiensi dari penggunaan e-procurement lebih
banyak didiskusikan dari pada tujuan lainnya seperti transparansi. Berbeda halnya dengan
yang terjadi di beberapa negara EU. Studi terhadap transparansi dari pelaksanaan e-
procurement menemukan bahwa data diterbitkan dalam bentuk pdf dan html bukan dalam
bentuk database yang menyebabkan data yang tersedia terpisah-pisah dalam berbagai
volume buletin. Ini membuat fase-fase dalam procurement sulit untuk ditelusuri.
Sementara di Hungaria publik harus membuka setiap buletin jika ingin mengetahui
berapa tender yang dimenangkan, berapa nilai tender dan apakah nilai tender telah sesuai
dengan kontrak ditemukan. Berbeda dengan di Czechs, transparansi dalam e-procurement
masih terbatas dengan tidak tersedianya statistik dan ringkasan dari procurement serta
informasi mengenai justifikasi pemenang di website, sementara data atau informasi dapat
diperoleh secara individual. Baik di Polandia maupun di Czech modifikasi kontrak tidak
diterbitkan, tetapi dapat diminta oleh siapa saja yang ingin mengetahui. Sementara
Slovakia sebagai negara yang menyelenggarakan e-procurement sangat transparan yaitu
dengan menayangkan update data dalam format yang mudah untuk diproses. Selain itu
tersedia database online yang menyediakan informasi mengenai seluruh kontrak yang
telah disepakati (Lederer, 2012)
Penelitian ini ingin melihat transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah
secara elektronik (e-procurement) dengan menggunakan teknik observasi terhadap
158
website yang dikelola oleh LPSE (Layanan Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik)
sebagai lembaga penyelenggara pengadaan barang/jasa pemerintah di Indonesia. Website
atau situs internet merupakan media komunikasi maya dari tipe atau bentuk komunikasi
massa yang sifat pesan atau informasinya terbuka, terencana dan dapat diakses oleh
masyarakat umum. Kajian mengenai transparansi pengadaan barang/jasa secara
elektronik menjadi menarik karena masih jarang ditemukan penelitian seperti ini di
Indonesia sebagaimana dijelaskan diatas. Selain itu penelitian ini semakin penting dan
mendesak sehubungan dengan tuntutan dan kebutuhan e-procurement yang terus
meningkat ditengah karakteristik Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten
Serdang Bedagai yang berbeda-beda serta dinamika birokrasi lokal yang terbatas.
Dari uraian latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
Bagaimana transparansi dari implementasi pengadaan barang/jasa secara elektronik (e-
procurement) dilihat dari media website LPSE di Provinsi Sumatera Utara?
TINJAUAN PUSTAKA
Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik (e-Procurement)
Pengadaan secara elektronik (e-procurement) merupakan salah satu bagian dari
pelayanan e-government. Pelayanan e-procurement fokus hanya pada proses pengadaan,
pembelian dan penjualan barang/jasa, sementara e-government menjangkau pelayanan
yang lebih luas yakni menyangkut kategori publish, interact dan transact. Karena itu
definisi dari e-procurement tidak jauh dari hal-hal yang berkaitan dengan pengadaan,
pembelian dan penjualan barang/jasa, seperti yang dikemukakan Van Weele (1994) yaitu
“The use the Internet Tecnology in the process of providing, that is, buying and selling of
goods and sevices” dan Turban dkk (2006) bahwa “e-procurement refers to the purchase
of goods and services for organizations”. Tidak jauh berbeda dari definisi diatas namun
lebih difokuskan pada organisasi pelaksananya, mengatakan “e-procurement refers to the
use of electronic communications and transaction processing by government institutions
and other public sector organisations when buying supplies and services or tendering
public works”. Selain fokus pada kegiatan dan organisasi pelaksananya, pengertian e-
procurement juga menekankan pada penggunaan Teknologi Informasi (TI) yang berbasis
komputer sebagai medianya.
Penggunaan e-procurement memberikan banyak manfaat, Vaidyadkk (2006)
mengatakan e-procurement digunakan oleh sektor publik untuk mewujudkan transparan,
efisien dan efektif dalam memberikan pelayanan. Selain itu e-procurement dijadikantema
159
umum oleh banyak organisasi di negara maju dan berkembang dalammempromosikan
transparansi dan good governance (“E-Procurement: Towards Transparency and Efficiency in
Public Service Delivery.” Report of the Expert Group Meeting. Department of Economic and Social
Affairs. 4-5 October 2011. United Nations Headquarters, New York.). Transparansi sebagai salah
satu tujuan atau prinsip dari pelaksanaan e-procurement merupakan jaminan kebebasan
bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan
baik yang berkaitan dengan informasi tentang kebijakan, proses pembuatan maupun
pelaksanaannya serta hasil-hasil yang dicapai. Dengan demikian transparansi dapat
menjadi entry point dan checks and balances bagi masyarakat untuk mendapatkan
informasi tentang apa yang dilakukan pemerintah serta bentuk pertanggungjawaban
pemerintah terhadap masyarakatnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Clem (2010: 4)
bahwa transparansi sebagai “Government should provide citizens with information about
what their government is doing so that government can be held accountable.”
Sementara transparansi di dalam Pasal 5 Perpres No. 4 Tahun 2015 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dikatakan sebagai salah satu prinsip dari pengadaan
secara elektronik selain efisiensi, efektif, terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif dan
akuntabel. Pengertian transparansi selanjutnya dijelaskan dalam Penjelasan Perpres
No.54 Tahun 2010 yang mengatakan bahwa “transparan berarti semua ketentuan dan
informasi mengenai pengadaan barang/jasa bersifat jelas dan dapat diketahui secara luas
oleh penyedia barang/jasa yang berminat serta oleh masyarakat pada umumnya.” Jadi
transparansi disini menekankan pada dua hal yakni ketentuan dan informasi mengenai e-
procurement diketahui secara luas oleh masyarakat umum dan ketentuan dan informasi
tersebut harus jelas.
Kedua hal ini menuntut pemerintah (LPSE) mengelola kegiatan pengadaan
barang/jasa dengan menggunakan media website, dimana semua data atau informasi
berkaitan dengan proses pengadaan barang/jasa harus jelas dan mudah dimengerti serta
dapat diakses oleh siapa saja. Dengan demikian banyak penyedia (providers) atau
masyarakat yang terlibat sehingga terpilih penyedia yang benar-benar memiliki
kemampuan dan integritas dalam kegiatan pengadaan. Melalui proses pengadaan yang
transparan ini diharapkan diperoleh barang/jasa yang terjangkau dan berkualitas serta
dapat dipertanggung-jawabkan baik dari segi fisik, keuangan, maupun manfaatnya bagi
kelancaran tugas pemerintah dan pelayanan masyarakat.
Berkaitan dengan pengertian transparansi di atas, maka pendapat Heald (dalam
Bannister dan Connoly, 2011) mengenai pengkategorian tranparansi tepat digunakan
160
untuk melihat transparansi melalui website LPSE terutama di tingkat kabupaten/kota.
Heald mengkategorikan tiga hal dalam membicarakan transparansi yakni transparansi
data, transparansi proses dan transparansi keputusan/kebijakan. Transparansi data
berhubungan dengan angka dan fakta-fakta pemerintah, seperti biaya yang disediakan
(pemrosesan data hingga mudah diakses dan dipahami masyarakat); misinterpretasi data
atau informasi; resiko terhadap masyarakat/anonimitas. Transparansi proses berkaitan
dengan ketersediaan informasi dari berbagai proses pemerintahan, mulai dari pembuatan
keputusan hingga produk keputusan. Transparansi ini menjadikan seluruh tahapan dalam
proses jelas, menunjukkan dimana proses suatu transaksi tertentu dapat ditemukan dan
menjelaskan mengapa langkah-langkah tertentu harus dilaksanakan. Transparansi
keputusan atau kebijakan menguraikan alasan (rasionalitas) dari keputusan-keputusan,
dan/atau tindakan-tindakan dan kebijakan pemerintah.
Website (Situs) Sebagai Salah Satu Bentuk Media Komunikasi Massa
“Communication is the transfer of information from one person to another
person” (Newstrom, John W. dan Davis, Keith,1993: 91). Definisi komunikasi ini cukup
sederhana yang menggambarkan beberapa unsur penting dari komunikasi yaitu pengirim
informasi, informasi atau pesan itu sendiri, media yang digunakan untuk menyampaikan
informasi tersebut dan penerima atau sasaran dari informasi tersebut. Unsur-unsur
komunikasi ini selanjutnya dapat digunakan untuk membedakan tipe atau bentuk
komunikasi, apakah komunikasi massa (mass communication), komunikasi dengan diri
sendiri (intrapersonal communication), komunikasi antar pribadi (interpersonal
communication) atau komunikasi publik (public communication).
Komunikasi massa sebagai salah satu tipe atau bentuk komunikasi dapat
dijelaskan dari beberapa unsur komunikasi tersebut. Sifat pesan atau informasi yang
disampaikan di dalam komunikasi massa biasanya lebih formal dan terencana. Media
dari komunikasi massa yang digunakan untuk menyampaikan informasi bersifat formal
atau melembaga. Sementara sasaran atau penerima informasi berjumlah besar dengan
jangkauan yang luas yang berasal dari berbagai lapisan masyaraka dengan latar belakang,
usia, jenis kelamin, suku dan lain sebagainya yang berbeda-beda (Cangara, 2012).
Perspektif komunikasi massa ini dapat digunakan untuk melihat implementasi
pengadaan barang/jasa pemerintah secara elektronik (e-procurement). Pesan atau
informasi yang disampaikan berupa peraturan, kebijakan atau kegiatan yang berkaitan
dengan pengadaan barang/jasa. Sementara media atau sumber yang digunakan adalah
161
website yang dapat diakses oleh siapa saja. LPSE sebagai komunikator atau pengirim
informasi yang merupakan lembaga pemerintah, bertanggungjawab atas penyelenggaraan
pengadaan barang/jasa secara elektronik. Karena itu media komunikasi dalam e-
procurement disebut dengan website LPSE yang dimiliki oleh setiap pemerintah
kabupaten/kota di Indonesia. Selanjutnya sasaran dari informasi ini adalah masyarakat
khususnya penyedia (providers) yang mengikuti kegiatan pengadaan barang/jasa
pemerintah secara elektronik.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan mendeskripsikan
pemahaman partisipan terhadap transparansi dari pelaksanaan pengadaan barang/jasa
secara elektronik dengan menggunakan teknik wawancara mendalam. Informan atau
partisipan dipilih berdasarkan kategori-kategori tertentu seperti pernah bekerja di bidang
pengadaan barang/jasa yakni Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE); Unit
Layanan Pengadaan (ULP); Pejabat Pembuat Komitmen (PPK); Kuasa Pengguna
Anggaran (KPA) baik yang mempunyai sertifikat pengadaan maupun tidak. Sementara
untuk kategori penyedia, peneliti menetapkan penyedia yang pernah mengikuti paket
lelang di salah satu lokasi penelitian dan merupakan pengusaha lokal yang bernaung
dalam sebuah asosiasi pengusaha. Peneliti juga menjelaskan transparansi kegiatan atau
proses e-procurement di tiga lokasi penelitian dengan menggunakan teknik observasi
terhadap website LPSE sebagai media dari kegiatan e-procurement. Sementara analisis
kualitatif dilakukan dengan interaktif dan terus menerus kepada informan hingga sampai
pada titik jenuh
HASIL DAN DISKUSI
Transparansi dalam Implementasi e-Procurement di Provinsi Sumatera Utara
Dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP)
dikatakan siapa saja yang menjalankan tugas dan fungsi dengan dana yang bersumber
dari APBN/APBD dan sumbangan dana publik lainnya diwajibkan untuk menyampaikan
informasi tersebut secara terbuka kepada masyarakat. Karena Undang-Undang ini
bertujuan untuk menjamin hak warga negara mengetahui rencana pembuatan kebijakan
publik dan program kebijakan publik, proses pengambilan keputusan publik dan alasan
pengambilan suatu keputusan publik. Selain itu mendorong partisipasi masyarakat dalam
proses pengambilan kebijakan publik dan mewujudkan penyelenggaraan negara yang
162
baik, yakni transparan, efektif dan efisien, terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif serta
akuntabel. Sementara informasi yang membahayakan negara, berkaitan dengan
kepentingan perlindungan usaha dari persaingan usaha tidak sehat, hak-hak pribadi serta
rahasia jabatan, dan lain sebagainya merupakan pengecualian yang tidak dibuka kepada
masyarakat.
Pentingnya transparansi sebagai salah satu tujuan dari e-procurement sudah
disadari oleh partisipan yang bekerja di LPSE dan ULP di tiga lokasi penelitian di
Provinsi Sumatera Utara. Perubahan tender secara manual ke sistem elektronik
merupakan usaha untuk mewujudkan transparansi tersebut, selain adil dan akuntabel
dalam pengadaan barang/jasa. Hal ini karena kegiatan pengadaan secara elektronik
dilakukan secara online sehingga semua pihak dapat melihat apa yang sedang terjadi
dalam proses pengadaan tersebut. Dengan demikian praktek-praktek KKN yang sangat
riskan dalam proses pengadaan dapat ditekan atau bahkan dihindari. Pengadaan
barang/jasa secara elektronik pada akhirnya dipandang jauh lebih transparan dari pada
proses sebelumnya yang manual.
Heald (dalam Bannister dan Connoly, 2011) memberikan arti transparansi
dengan cara membedakannya berdasarkan kategori yang substansi dari kegiatan e-
procurement, sehingga cukup relevan digunakan dalam pembahasan dan analisis
mengenai transparansi dalam pelaksanaan e-procurement di Provinsi Sumatera Utara.
Menurut Heald, e-transparansi dapat dikategorikan dalam transparansi data, transparansi
proses dan transparansi keputusan/kebijakan.
Berdasarkan observasi website LPSE di tiga lokasi penelitian dapat dikatakan
bahwa secara umum ketersediaan data dari pelaksanaan e-procurement sudah lengkap
dan transparan. Data yang dapat diakses bukan saja mengenai proses atau tahapan lelang,
tetapi juga berkaitan dengan berita seputar pengadaan secara elektronik seperti
pemadaman listrik, kerusakan sistem pada server, berita acara penjelasan pekerjaan
(aanwizjing), perubahan Rencana Umum Pengadaan (RUP), dan lain-lain. Bahkan
beberapa regulasi yang berkaitan dengan pengadaan secara elektronik dapat diunduh di
website LPSE Kota Medan. Namun masih ditemukan data atau informasi yang tidak
diperbaharui, seperti di bagian regulasi dan berita sehingga cukup mengganggu bagi yang
ingin mengetahui informasi terbaru tentang hal tersebut. Selain itu, terjadi kekosongan
data atau informasi seperti di kolom alasan dari peserta lelang yang gagal memenangkan
paket lelang. Meskipun di paket lelang lainnya informasi tersebut ditemukan.
163
Ketidakkonsistenan ini dapat menimbulkan berbagai spekulasi dari penyedia atau
masyarakat umum yang mengakses website LPSE.
Transparansi data di atas dapat lebih diurai dengan menelusuri informasi
mengenai kategori lelang yang menurut Perpres No. 4 Tahun 2015 terdiri dari Pengadaan
Barang, Jasa Konsultasi Badan Usaha, Jasa Konsultasi Perorangan, Pekerjaan Konstruksi
dan Jasa lainnya. Semua kategori ini sudah tersedia dalam website LPSE di tiga lokasi
penelitian. Bahkan dari penelusuran selanjutnya dapat dilihat informasi mengenai Nama
Lelang, Agency, Tahap dan HPS. Nama lelang berkaitan dengan nama barang/jasa yang
sedang/telah dilakukan pelelangan. Sementara yang dimaksud dengan agency adalah
panitia penyelenggara lelang seperti Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai atau
Kabupaten Serdang Bedagai yang masing-masing mempunyai website. Sedangkan
pengertian Tahap disini adalah posisi dari proses lelang dimana dalam satu paket lelang
terdiri dari beberapa tahapan serta HPS yang merupakan nilai Harga Perkiraan Sendiri
yang ditetapkan oleh PPK.
Selanjutnya di website LPSE di tiga lokasi penelitian juga menampilkan
informasi mengenai: Pengumuman, Peserta, Harga Penawaran dan Pemenang. Informasi
mengenai Pengumuman berisi hal-hal yang berkaitan dengan lelang dari mulai kode
lelang, nama lelang, tahap lelang saat ini, agency, satuan kerja, kategori, metode
pengadaan, metode dokumen, anggaran, nilai pagu paket, jenis kontrak, kualifikasi usaha,
lokasi pekerjaan, syarat kualifikasi dan peserta lelang. Data yang disajikan disini cukup
lengkap, sistematik dan mudah dimengerti.
Setelah informasi mengenai Pengumuman, hasil penelusuran website LPSE
menemukan informasi mengenai Peserta. Tidak semua penyedia lelang bisa lolos menjadi
peserta lelang yang dapat mengajukan harga penawaran. Setidaknya untuk menjadi
peserta lelang pada kategori Jasa Konsultasi Badan Usaha harus lolos dari Hasil Evaluasi
yang terdiri dari: Administrasi, Teknis, Skor Teknis, Harga Penawaran dan Harga
Terkoreksi. Sementara yang menjadi pemenang lelang dengan mudah dapat dilihat dalam
website dengan tanda bintang berwarna kuning. Karena menjadi pemenang maka di
kolom alasan tidak ada informasi yang ditemukan, tetapi terlihat di Hasil Evaluasi tanda
√ di persyaratan administrasi dan teknis serta skor di kolom teknis. Skor dari harga
penawaran dan harga terkoreksi juga dapat dilihat dengan mudah.
Setelah informasi mengenai Pengumuman dan Peserta, hasil observasi dari
website LPSE menemukan informasi mengenai Harga Penawaran. Pada website, dapat
dibaca informasi dari beberapa nama penyedia barang/jasa yang memberi harga
164
penawaran terendah dari sebuah paket lelang. Namun tidak ada penjelasan atau uraian
yang rinci mengapa beberapa penyedia dapat menetapkan harga penawaran sangat
rendah. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa penetapan harga penawaran terendah,
memberikan kesempatan besar bagi penyedia untuk masuk pada tahap berikutnya.
Bahkan kesempatan untuk menjadi pemenang lelang sangat terbuka luas. Sementara
informasi mengenai penyedia lainnya yang memberikan harga penawaran lebih tinggi
tidak dicantumkan pada website. Ini menunjukkan dari begitu banyak nama penyedia,
hanya beberapa nama saja yang masuk ke proses berikutnya.
Dari pandangan panitia pengadaan dan user (SKPD), hal tersebut di atas sudah
menunjukkan adanya transparansi. Transparansi tidak dapat diartikan bahwa semua yang
terjadi di dalam proses pengadaan secara elektronik dapat dibuka selebar-lebarnya kepada
masyarakat umum. Tidak mungkin seorang peserta lelang yang melakukan penawaran
dari satu paket lelang akan menguraikan dengan rinci semua isi penawarannya dalam
website LPSE. Masyarakat umum atau pesaingnya cukup mengetahui jumlah total dari
harga penawarannya, tanpa harus mengetahui rinciannya. Karena kalau tidak, hal ini
dapat dikategorikan melanggar peraturan mengenai persaingan usaha. Jadi menurut
panitia pengadaan sistem yang baru ini sudah memberikan transparansi bukan saja bagi
penyedia tetapi juga bagi masyarakat umum (Wawancara dengan A1, 21 Mei 2015; B3, 5
Juni 2015; A4, 3 Agt 2015).
Sejalan dengan pandangan di atas, menurut user (SKPD)bahwa transparansi
adalah bagaimana orang yang berhak bisa mengetahui apa yang menjadi tanggung jawab
dan kewajibannya. Dengan demikian, seseorang atau masyarakat umum tidak berhak
mengetahui secara detail proses lelang berlangsung, sepanjang dia atau masyarakat umum
tersebut tidak menjadi penyedia atau peserta lelang. Seorang penyedia juga tidak berhak
mengetahui informasi mengenai semua saingannya. Selain itu, penyedia yang gagal di
tengah berjalannya proses lelang, jadi belum menjadi peserta lelang yang dapat
memberikan harga penawaran, tidak berhak mengetahui mengapa peserta tersebut yang
menang dan mengapa peserta yang lain gagal (Wawancara dengan B3, 5 Juni 2015; A4, 3
Agt 2015)).
Dari penelusuran website LPSE di tiga lokasi penelitian, kolom alasan untuk
calon pemenang dan bahkan peserta lelang ada yang diisi tetapi ada juga yang tidak diisi.
Biasanya yang diisi di kolom alasan ini adalah berkaitan dengan kurang lengkapnya
dokumen administrasi dan teknis peserta lelang. Alasan-alasan ini bisa karena tidak
melampirkan surat pernyataan bersedia membawa barang yang ditawarkan pada saat
165
klarifikasi dan pembuktian kualifikasi, tidak melampirkan Jaminan Penawaran, tidak ada
scan brosur/katalog yang dilegalisir dan lain sebagainya. Ketidakkonsistenan dalam
pengisian kolom alasan ini dapat membingungkan masyarakat yang membaca dan dapat
juga menimbulkan salah pengertian dari penyedia. Sementara untuk pemenang lelang,
kolom alasan sama sekali tidak diisi, ini menunjukkan bahwa pemenang memang layak
untuk menjadi pemenang.
Transparansi data bukan hanya mencakup ketersediaan informasi tentang proses
e-procurement tetapi juga harus mencakup informasi lainnya yang relevan dengan proses
e-procurement seperti peraturan, kebijakan dan pedoman yang merupakan data penting
yang memberikan kejelasan, dasar hukum dan pedoman dalam melakukan pelelangan
barang/jasa secara elektronik. Di website LPSE Kota Medan dapat diunduh Perpres No.
54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Peraturan Kepala LKPP No.
1 Tahun 2011 tentang Tata Cara e-Tendering dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun Perpres No 4 Tahun 2015 sebagai revisi
terbaru dari perpres tentang pengadaan barang/jasa pemerintah belum ada dalam website
LPSE Kota Medan di bagian Regulasi (http://www.lpse.pemkomedan.go.id/eproc/regulasi. Dikutip
24 Juli 2015. Jam 14.40 WIB.) Sementara informasi mengenai peraturan-peraturan yang
relevan dengan e-procurement ini belum tercantum sama sekali pada situs LPSE
Kabupaten Serdang Bedagai dan Kota Binjai.
Alasan utama mengenai tidak dicantumkannya peraturan yang berkaitan dengan
pengadaan barang/jasa pemerintah secara elektronik pada situs LPSE Kota Binjai dan
Kabupaten Serdang Bedagai adalah karena LPSE diseluruh Indonesia sudah terintegrasi
sehingga publik dapat langsung mengakses situs LKPP untuk mendapatkan informasi
mengenai kebijakan dan peraturan nasional yang diterbitkan oleh LKPP(Trimurni,
Februati dan Siahaan, Asima Yanty Sylvania, 2014). Namun sebenarnya tidak salah juga
bila setiap LPSE melengkapi websitenya dengan regulasi yang berkaitan dengan
pengadaan secara elektronik untuk mempermudah dan mempercepat masyarakat atau
penyedia yang memerlukan informasi mengenai pengadaan secara elektronik termasuk
regulasi-regulasi yang berkaitan dengan pengadaan tersebut. Jadi implementasi e-
procurement selain dapat meningkatkan transparansi publik juga dapat meningkatkan
transparansi antar lembaga pemerintahbaik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat.
Berita seputar pengadaan barang/jasa juga dapat ditelusuri di website LPSE di
tiga lokasi penelitian. Beberapa berita berkaitan dengan pengumuman mengenai
166
informasi pemadaman listrik, gangguan server akibat terputusnya aliran listrik, ralat
RUP, pengumuman pemenang, penjelasan pekerjaaan (aanwizjing) dan sebagainya.
Namun dalam website adakalanya berita mengenai informasi pemadaman listrik
terlambat diumumkan dengan waktu terjadinya pemadaman. Hal-hal seperti ini dapat
menimbulkan spekulasi dari para penyedia bahwa panitia penyelenggara sedang
melakukan kecurangan (Wawancara dengan A2, 21 Mei 2015; A3,27 Mei 2015).
Sebagaimana dikatakan Heald diawal selain transparansi data, transparansi
proses juga penting dalam pelaksanaan e-procurement. Transparansi proses ditandai
dengan ketersediaan informasi di setiap tahap dari proses pengadaan secara elektronik.
Berdasarkan observasi website LPSE di tiga lokasi penelitian secara umum dapat
dikatakan bahwa proses dari pelaksanaan e-procurement masih dalam kategori cukup
transparan. Misalnya, pada informasi Tahap dapat dilihat tahapan-tahapan lelang yang
bisa sampai 10 (sepuluh) ke 23 (dua puluh tiga) tahapan dari sebuah paket lelang. Semua
tahapan ini dapat dilihat pada website LPSE. Selain itu ada informasi mengenai kapan
dimulai dan berakhir tahapan tersebut serta histori perubahan. Kalau ada perubahan maka
berapa kali perubahan tersebut yang ditulis dengan tinta berwarna merah, kalau tidak ada
perubahan maka tertulis tidak ada. Selanjutnya bila ada perubahan maka ada penjelasan
di kolom keterangan, mengapa terjadi perubahan, namun banyak juga ditemukan tidak
ada alasan di kolom keterangan atau tidak ada informasi mengapa perubahan terjadi di
kolom keterangan. Ketidakkonsistenan ini sangat mengganggu dan dapat menimbulkan
spekulasi bagi siapapun yang membaca. Sementara tulisan tahapan lelang saat ini dibuat
dengan warna yang lebih tebal (bold) sehingga memudahkan siapapun yang membaca
sudah sampai di tahap mana suatu proses lelang berlangsung.
Selain transparansi data dan proses, Heald juga membahas mengenai
transparansi keputusan atau kebijakan yang menjelaskan alasan keputusan atau kebijakan
tersebut dibuat atau diambil. Berdasarkan penelusuran di website LPSE, transparansi
keputusan dalam pelaksanaan e-procurement masih dalam kategori cukup memuaskan.
Hal ini dapat dilihat dari website LPSE yang berkaitan dengan Hasil Evaluasi. Seseorang
peserta lelang dengan kategori Jasa Konsultasi Badan Usahadikatakan menang bila hasil
evaluasinya yakni administrasi dengan tanda √, teknik juga dengan tanda √, skor teknik
tinggi dibanding peserta lelang lainnya serta harga penawaran dan harga terkoreksi paling
rendah dibanding peserta lainnya. Merujuk pendapat Heald diatas keputusan peserta
tersebut menjadi pemenang dapat dikatakan transparan. Karena keputusan diambil
dengan rasional berdasarkan data dan proses yang transparan. Namun ketika salah satu
167
unsur dari penilaian evaluasi di atas tidak maksimal maka penentuan pemenang menjadi
kurang transparan. Hal ini karena tidak didukung dengan penjelasan yang rinci sehingga
menimbulkan spekulasi dari para penyedia.
Spekulasi-spekulasi ini sebenarnya sudah ada pada evaluasi dokumen di tahap
awal dari sebuah paket lelang. Meskipun kenyataannya pada tahap awal ini antara panitia
penyelenggara dan penyedia tidak saling ketemu. Namun tetap saja menimbulkan
spekulasi dari beberapa penyedia bahwa panitia penyelenggara dengan mudah
menyingkirkan dokumen mereka karena alasan tidak lengkap sehingga mereka tidak
masuk ke tahap berikutnya. Pertanyaan yang jamak didengar, “Siapa yang dapat
menjamin bahwa panitia tidak „bermain‟ dalam proses evaluasi dokumen yang dilakukan
secara off line?” (Wawancara dengan A2, 21 Mei 2015). Sementara dari pihak panitia
pengadaan mengatakan bahwa tahap evaluasi dokumen memang dilakukan secara off line
tetapi mereka tidak mengetahui nama-nama penyedia yang mengikuti lelang. Karena
yang mereka evaluasi adalah dokumen-dokumen yang beridentitas Penyedia 1, Penyedia
2 dan seterusnya sehingga untuk melakukan kecurangan sangat kecil (Wawancara dengan
A1, 21 Mei 2015).
Dari sisi penyedia, proses pengadaan secara elektronik dapat dikatakan
transparan bukan semata-mata data atau informasi sudah tersedia dalam website LPSE,
namun yang jauh lebih penting adalah transparansi dari alasan-alasan rasional mengapa
seseorang menang dalam paket lelang. Cara paling sederhana untuk mendapatkan
transparansi keputusan atau kebijakan ini adalah bila panitia pengadaan adalah orang-
orang yang mempunyai integritas dalam melakukan pekerjaannya. Dengan demikian
sistem pengadaan secara elektronik dapat dikatakan mencapai sasarannya dalam
mewujudkan transparansi bila didukung oleh panitia pengadaan yang memiliki integritas.
Tanpa integritas pelaksanaan e-procurement akan tetap dicurigai atau memunculkan
spekulasi-spekulasi (Wawancara dengan A2, 21 Mei 2015; A3, 27 Mei 2015; C1, 28 Mei
2015).
Bila dikaitkan dengan pelaksanaan lelang secara elektronik maka kata spekulasi
sangat mengganggu bahkan merugikan baik bagi penyelenggara lelang, user maupun
penyedia. Bagi penyelenggara lelang dan user imej yang dibangun bahwa sistem e-
procurement penuh dengan spekulasi tentunya tidak menguntungkan. Karena itu tidak
ada jalan lain selain menampilkan data, proses dan keputusan lelang dengan benar-benar
transparan. Data yang tersedia harus lengkap, konsisten dan diperbaharui terus menerus
serta tahapan lelang juga harus lengkap, jelas dan sistematik sehingga mudah dimengerti.
168
Bila kedua hal ini benar-benar sudah transparan maka kemungkinan transparansi dalam
keputusan dapat terwujud sehingga pada akhirnya tidak memunculkan spekulasi-
spekulasi dari pihak penyedia. Sementara pihak penyedia juga tidak sembunyi di balik
kata spekulasi ketika gagal sebagai pemenang lelang. Penyedia harus sadar dan siap
bahwa pengadaan secara elektronik berbeda dengan pengadaan secara manual. Artinya
penyedia harus selalu memperbaharui informasi mengenai pengadaan barang/jasa dari
website LPSE. Karena semua informasi lelang termasuk jadwal lelang dan tata cara
lelang ada dalam website LPSE. Sistem pengadaan secara elektronik juga menuntut
penyedia untuk tepat waktu baik dalam menggunggah dokumen maupun mengikuti
proses penjelasan lelang (aanwijzing). Tidak ada istilah bahwa kapan saja bisa
mengunduh dan mengunggah dokumen lelang atau kapan saja bisa meminta penjelasan
(aanwijzing). Semuannya harus dilakukan sesuai dengan jadwal yang ada di website
LPSE. Bila semua pihak menyadari hal ini maka tidak ada lagi yang namanya spekulasi
yakni dugaan yang tidak mendasar antara penyedia dan penyelenggara.
Selanjutnya penelusuran terhadap laman Berita yang berkaitan dengan
aanwijzing (proses pemberian penjelasan) di website LPSE di tiga lokasi penelitian cukup
sedikit. Aanwijzing merupakan satu tahapan dalam pelaksanaan e-procurement dimana
penyedia mempunyai kesempatan untuk bertanya kepada Pokja ULP tentang segala
sesuatu berkaitan dengan proses lelang dengan menggunakan komunikasi online melalui
portal LPSE. Dalam proses pemberian penjelasan (aanwijzing) ini penyedia dan Pokja
ULP tidak saling bertatap muka atau bahkan tidak saling kenal. Komunikasi online ini
hanya dapat diikuti oleh penyedia dan panitia pengadaan atau yang memiliki user ID dan
password, sementara masyarakat umum atau yang bukan penyedia tidak dapat terlibat
dalam chatting online ini.
Penjelasan pekerjaan (aanwijzing) seperti diuraikan di atas, menurut pandangan
panitia pengadaan dan user sudah transparan karena penyedia dapat bertanya apa saja
berkaitan dengan proses lelang termasuk penjelasan mengenai dokumen-dokumen yang
dibutuhkan kepada Pokja ULP. Dengan demikian penyedia mendapatkan informasi baru
dan mengetahui kekurangan dan kelebihan dari dokumennya. Meskipun demikian tidak
ada sanksi bila penyedia tidak memanfaatkan proses aanwijzing ini, dalam arti penyedia
tersebut tidak dapat digugurkan. Namun dari perspektif penyedia proses aanwijzing pada
sistem pengadaan secara elektronik tidak transparan.Karena forum tanya jawab ini
dilakukan tanpa tatap muka antara penyedia dan Pokja ULP/PPK. Sementara pada sistem
manual, forum tanya jawab ini dilakukan dengan tatap muka sehingga secara spontan
169
seorang penyedia dapat merespon penyedia yang sedang bertanya kepada Pokja ULP atau
merespon Pokja ULP yang sedang memberi jawaban kepada seorang penyedia. Penyedia
yang satu juga dapat melihat dokumen saingannya, demikian juga sebaliknya. Suasana
begini dianggap oleh penyedia lebih terbuka, karena seorang penyedia bisa langsung
mengetahui kelebihan atau kekurangan dari dokumennya dan dokumen saingannya.
Sementara tidak menjadi masalah bila saingannya mengetahui kelebihan atau kekurangan
dokumennya. Hal-hal seperti ini yang membuat penyedia merasa sistem pengadaan
secara manual bersifat terbuka dan sebaliknya sistem e-procurement justru bersifat
tertutup. Tertutup bagi mereka yang tidak mempunyai user ID dan password serta
tertutup bagi penyedia yang kurang akrab dengan komunikasi yang dilakukan secara
online (Wawancara dengan A1, 21 Mei 2015; A2, 21 Mei 2015; B2, 1 Juni 2015; C2, 4
Juni 2015; A4, 3 Agt 2015).
Transparansi pengadaan barang/jasa sebagaimana diuraikan di atas memiliki
pemahaman yang berbeda-beda antara panitia penyelenggara dan user di satu sisi dan
penyedia di sisi lain. Kalau menurut penyedia semua informasi dapat dilihat dan
diketahui termasuk informasi mengenai pesaing seperti pada sistem yang manual.
Sementara menurut panitia pengadaan ada hal-hal tertentu yang tidak bisa dibuka kepada
penyedia atau penyedia yang gugur di tengah proses pengadaan secara elektronik bahkan
kepada masyarakat umum. Misalnya summary lelang yang berisi tentang rincian dari
evaluasi administrasi, teknis dan kualifikasi serta rincian dari harga penawaran peserta
lelang hanya dapat dilihat oleh pemenang, calon pemenang lelang, Pokja ULP dan PPK.
Jadi yang punya ID card atau password saja. Kalau summary lelang ini dibuka untuk
publik dikhawatirkan dapat dipersepsikan berbeda-beda dan ini bisa menimbulkan
kekacauan sehingga menghambat jalannya kegiatan pengadaan barang/jasa (Wawancara
dengan A4, 3 Agt 2015). Namun bukan berarti masyarakat umum tidak bisa mengetahui
apa sebenarnya yang terjadi dalam pembelanjaan barang/jasa pemerintah ini. Karena
sebenarnya untuk melihat transparansi penggunaan anggaran di instansi pemerintahan
dapat juga dilihat dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA).
DIPAdibuat atau disusun oleh baik satuan kerja (satker) pusat dan daerah yang
berlaku untuk satu tahun anggaransebagai dasar pelaksanaan kegiatan dan penggunaan
anggaran yang berasal dari dana APBN/APBD. DIPA memuat satuan-satuan terukur
yang memuat informasi mengenai program dan kegiatan; hasil (outcome) yang akan
dicapai; keluaran (output) yang dihasilkan; pagu yang dialokasikan; rencana penarikan
dana yang akan dilakukan; dan penerimaan yang diperkirakan dapat dipungut. Pagu
170
dalam DIPA merupakan batas pengeluaran tertinggi yang tidak boleh dilampaui dan
pelaksanaannya harus dapat dipertanggungjawabkan sehingga melalui DIPA masyarakat
bisa mengetahui secara rinci uang mereka dibelanjakan untuk apa saja, biayanya berapa
dan hasil atau manfaatnya apa.
Namun manfaat DIPA belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat dan di sisi
lain tidak mudah juga bagi masyarakat untuk mendapatkan DIPA ini. Bahkan di
lingkungan instansi pemerintah DIPA dianggap seperti dokumen rahasia yang tidak
semua orang boleh mengaksesnya termasuk pegawainya. Padahal jelas dalam Surat
Edaran Komisi Informasi Pusat (KI Pusat) No. 1 Tahun 2011 menyatakan bahwa DIPA
merupakan informasi publik yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala
sepanjang tidak memuat informasi yang dikecualikan berdasarkan Pasal 17 Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Sementara dari perspektif komunikasi massa, kegiatan pengadaan barang/jasa
pemerintah secara elektronik dapat berjalan maksimal bila pemerintah dalam hal ini
LPSE memahami bahwa masyarakat atau penyedia merupakan salah satu aktor yang
menentukan keberhasilan dari kegiatan pengadaan. Selain itu, penyedia atau masyarakat
yang menerima informasi mempunyai tingkat pengetahuan dan ketrampilan yang
berbeda-beda. Oleh karena itu ketika terjadi perbedaan pemahaman dalam mengartikan
makna transparansi maka LPSE harus mensosialisasikan secara terus menerus makna
transparansi dalam pengadaan kepada penyedia atau masyarakat. Sementara dari sisi
penerima informasi dalam hal ini penyedia, kemampuan memanfaatkan media
komunikasi (media online) tidak dapat dihindarkan. Penyedia harus mengetahui
karakteristik dari media komunikasi maya yang digunakan dalam kegiatan pengadaan
barang/jasa. Semua informasi baik jadwal lelang, persyaratan lelang, dokumen yang
dibutuhkan dan lain-lain harus dilakukan sendiri dengan membuka website LPSE. Karena
itu penyedia harus secara rutin membuka dan membaca website LPSE sebagai sumber
informasi kegiatan pengadaan. Selain itu semua jadwal dari tahapan lelang harus diikuti
dengan disiplin karena tidak ada toleransi bila terlambat mendaftar untuk mengikuti
lelang, mengunggah dokumen dan persyaratan lainnya. Sementara itu media komunikasi
dalam hal ini informasi dalam website yang dikelola oleh LPSE harus terus menerus
diperbaharui. Disamping itu, kejelasan informasi juga penting sehingga mudah untuk
dimengerti dan tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda yang dapat
menimbulkan beragam spekulasi dari penyedia.
171
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Tansparansi dimaknai berbeda-beda baik oleh panitia pengadaan dan user di satu
sisi maupun penyedia di sisi lain. Menurut panitia pengadaan transparansi tidak boleh
diartikan bahwa semua yang terjadi di dalam proses pengadaan harus dibuka selebar-
lebarnya kepada penyedia dan masyarakat umum melalui website LPSE. Pendapat yang
sama disampaikan oleh user (SKPD) bahwa transparansi adalah bagaimana orang yang
berhak bisa mengetahui apa yang menjadi tanggung jawab dan kewajibannya. Karena itu
seseorang atau masyarakat yang tidak menjadi peserta lelang, tidak berhak mengetahui
secara rinci bagaimana proses lelang berjalan. Sementara dari sisi penyedia, proses
pengadaan secara elektronik dapat dikatakan transparan bila semua tahapan dan proses
lelang diketahui oleh semua penyedia yang mengikuti lelang. Selain itu, karena di dalam
sistem pengadaan secara elektronik masih ada kegiatan yang bersifat off line, maka sistem
e-procurement dapat dikatakan transparan bila panitia pengadaan adalah orang yang
mempunyai integritas di dalam melakukan pekerjaannya.
Sementara transparansi menurut Heald dapat dikategorikan menjadi tiga yakni
data, proses dan keputusan. Dari hasil penelusuran website LPSE di tiga lokasi penelitian,
transparansi data sudah menunjukkan hasil yang memuaskan. Data yang dapat diakses
selain mengenai tahapan lelang juga mengenai hal-hal seputar pengadaan secara
elektronik seperti berita pemadaman aliran listrik, kerusakan sistem pada server bahkan
beberapa regulasi yang berkaitan dengan e-procurement dapat diunggah di website LPSE.
Sementara transparansi proses masih dalam kategori cukup memuaskan karena masih
banyak ditemukan kekosongan data atau informasi di kolom keterangan berkaitan dengan
perubahan-perubahan yang terjadi pada sebuah tahap lelang. Transparansi keputusan juga
masih dalam kategori cukup memuaskan karena masih ditemukan data mengenai
pemenang lelang yang hasil evaluasinya menunjukkan harga penawaran dan harga
terkoreksi lebih tinggi dibanding peserta lainnya. Merujuk pendapat Heald di atas, sulit
mengatakan bahwa keputusan ini sudah transparan, karena tidak ada alasan mengapa
dengan harga penawaran dan harga terkoreksi yang lebih tinggi dari pesaingnya
seseorang bisa menang. Meskipun tidak ada jaminan, seorang penyedia otomatis menjadi
pemenang bila memberikan harga penawaran rendah.
Transparansi sebagai sebuah prinsip, menjamin kebebasan bagi setiap orang
untuk memperoleh informasi. Namun ada beberapa kategori informasi yang tidak bisa
dibuka kepada masyarakat umum (Pasal 17 Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang
172
Keterbukaan Informasi Publik). Hal ini agar tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang
tidak bertanggung jawab. Namun sepanjang informasi tersebut tidak menyangkut dalam
kategori Pasal 17 di atas, maka tidak ada alasan bagi pemerintah (LPSE) untuk tidak
menginformasikan hal mengenai pengadaan barang/jasa kepada masyarakat melalui
website LPSE. Karena hal ini juga sebagai bentuk dari akuntabilitas pemerintah kepada
masyarakat. Selain itu pemerintah (LPSE) harus dapat menjelaskan kepada masyarakat
umum terutama kepada penyedia, alasan mengapa informasi tersebut tidak dibuka kepada
masyarakat atau tidak ditayangkan di website LPSE. Ini penting sehingga tidak ada lagi
perbedaan pemahaman dari makna transparansi pengadaan.
Mewujudkan kesamaan pemahaman ini dapat juga dilakukan melalui pelatihan
yang berkaitan dengan TI berbasis komputer serta sosialisasi mengenai perubahan
peraturan (perpres) tentang pengadaan barang/jasa baik kepada penyedia, panitia
penyelenggara maupun user. Namun sebelum pelatihan dan sosialisasi dilakukan,
penentuan peserta perlu melibatkan semua asosiasi pengusaha sebagai pemberi
rekomendasi bagi penyedia serta melibatkan pimpinan sebagai pemberi rekomendasi bagi
pegawai yang bertanggungjawab pada bidang pengadaan. Melalui pelatihan dan
sosialisasi ini juga dapat ditumbuhkan integritas semua pihak sehingga proses pengadaan
dapat berjalan dengan baik.
Tidak semua tahapan pengadaan secara elektronik dapat dibuka di website
LPSE, namun bukan berarti masyarakat umum tidak bisa mengetahui apa sebenarnya
yang terjadi dalam pembelanjaan barang/jasa pemerintah. Masyarakat dapat melihat
transparansi penggunaan anggaran di instansi pemerintahan melalui Daftar Isian
Pelaksanaan Anggaran (DIPA). DIPA bukan merupakan dokumen rahasia, karena itu
semua orang dapat mengaksesnya. Sebagaimana tercantum dalam Surat Edaran Komisi
Informasi Pusat (KI Pusat) No. 1 Tahun 2011 bahwa DIPA merupakan informasi publik
yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala.
Sementara dari perspektif komunikasi massa, keberhasilan pengadaan
barang/jasa secara elektronik tidak lepas dari peran komunikan atau masyarakat atau
penyedia yang menerima informasi. Karena itu pemerintah (LPSE) sebagai komunikator
harus memahami benar karakteristik dari komunikan. Selain itu LPSE sebagai pengelola
webisite pengadaan barang/jasa harus terus menerus memperbaharui serta memperjelas
informasi dalam website sebagai sebuah media, sehingga mudah dimengerti dan tidak
menimbulkan spekulasi bagi masyarakat atau penyedia .
173
Saran
Penelitiandi Indonesia selama ini lebih banyak mendiskusikan penghematan
yang didapat setelah menggunakan sistem e-procurement. Berbeda dengan hasil
penelitian ini yang menunjukkan ada hal lain yang juga menarik dan penting untuk
didiskusikan yaitu implementasi e-procurement dilihat dari prinsip transparan yang juga
merupakan salah satu cara untuk melihat akuntabilitas dari penyelenggaraan negara.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) yang telah disahkan oleh Menteri
Keuangan merupakan dokumen pelaksanaan kegiatan dan penganggaran bagi satuan
kerja (satker). Sementara yang menjadi pelaksanaan anggaran dalam satker adalah Kuasa
Pengguna Anggaran (KPA). Karena itu DIPA dari suatu satker, seharusnya lebih
disosialisasikan ke masyarakat umum melalui media website pemerintah kabupaten/kota
sebagai bentuk transparansi dalam anggaran dan dalam arti lain bentuk transparansi
dalam pengadaan barang/jasa.
174
PEDOMAN WAWANCARA
“Model Implementasi Kebijakan e-Procurement dalam Mewujudkan Transparansi
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Sumatera Utara”
1. Siapa saja yang bertanggungjawab dengan masalah pengadaan barang dan jasa secara
elektronik di Dinkes/Dispen?
2. Apa perbedaan sistem pengadaan barang dan jasa secara elektronik dan
konvensional/manual?
3. Apa kelebihan dan kelemahannya?
4. Apa yang dimaksud dengan transparansi dalam sistem pengadaan barang dan jasa
secara elektronik?
5. Bagaimana pendapat Bpk/Ibu mengenai regulasi pengadaan barang dan jasa (yang
selalu berubah)?
6. Seberapa penting sertifikasi sebagai penyelenggara pengadaan barang dan jasa?
7. Apakah PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) penting memiliki sertifikasi keahlian
pengadaan barang/jasa?
8. Apa kendala PPK dalam membuat spesifikasi teknis Barang/Jasa danHarga Perkiraan
Sendiri (HPS)?
9. Bagaimana hubungan kerja PPK dengan ULP (Pokja)? Berkaitan dengan spesifikasi
teknis barang/jasa dan HPS?
10. Apa kesulitan PA (Pengguna Anggaran)/KPA (Kuasa Pengguna Anggaran) dalam
pembuatan RUP (Rencana Umum Pengadaan)?
11. Apa penyebab bila terjadi keterlambatan dalam mengumumkan RUP dan apa
konsekuensinya?
12. Mengapa terjadi pemecahan paket pengadaan barang dan dan jasa?
13. Bagaimana proses penunjukkan langsung pemenang tender yang dilakukan oleh
Dinkes/Dinpen?
14. Apa keuntungan yang Bpk/Ibu rasakan setelah menggunakan pengadaan barang dan
jasa secara elektronik?
15. Siapa saja providers di Dinkes/Dispen?
Peneliti:
Dra Februati Trimurni, M.Si
Dra Asima Yannty Siahaan, M.A, Ph.D
Dra Dayana, M.Si
175
PENGANTAR
Yth. Bapak/Ibu/Sdr/i
di Tempat
Sebagai tenaga pengajar di FISIP-USU kami diwajibkan melakukan penelitian, yang
merupakan salah satu wujud dari pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi disamping
pengajaran dan pengabdian kepada masyarakat. Oleh karena itu, pada saat ini kami sedang
melakukan penelitian dengan judul “Model Implementasi Kebijakan e-Procurement Dalam
Mewujudkan Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Sumatera Utara”.
Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian tahun pertama yang telah kami
lakukan pada tahun 2014. Adapun tujuan dari penelitian tahun kedua ini adalah untuk melihat
seberapa besar pengaruh model kebijakan e-procurement terhadap transparansi pengadaan
barang/jasa pemerintah di Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai.
Kami memohon kesediaan Bapak/Ibu/Sdr/i menjadi responden dalam penelitian ini
dengan menjawab seluruh pertanyaan dalam angket yang telah kami sediakan. Jawaban yang
Bapak/Ibu/Sdr/i berikan sangat berarti bagi kami dan tentunya kami jaga kerahasiaannya,
karena pada dasarnya maksud dari penelitian ini adalah untuk pengembangan ilmu
pengetahuan.
Atas perhatian dan kerja sama Bapak/Ibu/Sdr/i, kami mengucapakan terima kasih.
Hormat kami,
Dra Februati Trimurni, M.Si
Dra Asima Yanty Siahaan, M.A, Ph.D
Dra Dayana, M.Si
176
DAFTAR PERTANYAAN KUESIONER
I. Petunjuk Pengisian Kuesioner
1. Bacalah terlebih dahulu pertanyaan di bawah ini sebelum Bapak/Ibu/Sdr/i
memberikan jawaban.
2. Pilihlah satu dari lima pilihan jawaban yang menurutBapak/Ibu/Sdr/i paling sesuai
dengan kondisi yang sebenarnya dengan memberikan tanda silang (X) pada jawaban
yang terpilih.
3. Pada beberapa pertanyaan yang membutuhkan penjelasan, Bapak/Ibu/Sdr/I diminta
untuk menuliskan alasan dari jawaban yang dipilih.
4. Jawablah seluruh pertanyaan tanpa ada yang terlewatkan.
II. Identitas Responden
1. Instansi/Bagian :
2. Kota/Kabupaten :
3. Jabatan :
4. Mengikuti Diklat Pengadaan Barang/Jasa:
a. Belum Pernah d. Tiga kali
b. Satu kali e. Lebih dari tiga kali
c. Dua kali
5. Lama bekerja di bagian yang berhubungan dengan pengadaan barang/jasa: ….. tahun
6. Jenis Kelamin :
a. Laki-laki b. Perempuan
7. Usia saat ini :
a. 20 – 30 tahun c. 41 – 50 tahun
b. 31 – 40 tahun d. 51 – 60 tahun
8. Pendidikan Terakhir :
a. SMU d. S2
b. Diploma e. S3
c. S1
177
III. Pertanyaan
III.1 Model Kebijakan e-Procurement(Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik)
1. Apakah Bapak/Ibu/Sdr/i memahami secara umum (inti) dari Peraturan Presiden No.
54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan kemudian direvisi
menjadi Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012?
a. Sangat memahami
b. Memahami
c. Cukup memahami
d. Kurang memahami
e. Tidak memahami
2. Apakah Bapak/Ibu/Sdr/i memahami pasal per pasal Peraturan Presiden mengenai
Pengadaan Barang dan Jasa tersebut?
a. Sangat memahami
b. Memahami
c. Cukup memahami
d. Kurang memahami
e. Tidak memahami
3. Apakah dalam pelaksanaannya sering terjadi perbedaan penafsiran atau pemahaman
terhadap Perpres mengenai pengadaan barang/jasa tersebut?
a. Tidak pernah terjadi
b. Jarang terjadi
c. Cukup sering terjadi
d. Sering terjadi
e. Sangat sering terjadi
Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/I : …………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
4. Menurut Bapak/Ibu/Sdr/i, apakah ketersediaan infrastruktur, seperti ruangan khusus bagi
penyedia (supplier), internet, komputer dll memegang peranan penting bagi kelancaran
proses pengadaan barang/jasa pemerintah?
a. Sangat berperan
b. Berperan
c. Cukup berperan
d. Kurang berperan
e. Tidak berperan
Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ……………………………………………………………
………………………………………………………………………………………….
………………………………………………………………………………………….
5. Apakah infrastruktur dan fasilitas pengadaan barang/jasa elektronik telah tersedia dan
memadai di lingkungan kerja Bapak/Ibu/Sdr/i?
a. Sangat memadai
b. Memadai
c. Cukup memadai
178
d. Kurang memadai
e. Tidak memadai
Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ……….……………………………………………………
…………………………………..……………………………………………………….
……………………………………..…………………………………………………….
6. Menurut Bapak/Ibu/Sdr/i, apakah jumlah sumber daya manusia yang menangani
pengadaan barang/jasa di lingkungan kerja sudah memadai?
a. Sangat memadai
b. Memadai
c. Cukup memadai
d. Kurang memadai
e. Tidak memadai
7. Apakah semua sumber daya manusia yang menangani pengadaan barang/jasa di
lingkungan kerja Bapak/Ibu/Sdr/I menguasai teknologi informasi berbasis komputer?
a. Semua menguasai TI
b. Sebagian besar menguasai TI
c. Sebagian menguasai TI
d. Sebagian kecil menguasai TI
e. Hanya sebagian kecil menguasai TI
Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ……………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
8. Dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa, Unit Layanan Pengadaan (ULP) masih
disatukan dengan unit lain (Bidang Administrasi Pembangunan). Apakah ini menjadi
hambatan bagi pelaksana/penyelenggara pengadaan barang/jasa?
a. Sangat menghambat
b. Menghambat
c. Cukup menghambat
d. Tidak menghambat
e. Sangat tidak menghambat
Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: …………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
9. Menurut Bapak/Ibu/Sdr/i, apakah ada perbedaan pelayanan apabila ULP berdiri sendiri
sebagai sebuah unit dibandingkan ULP menyatu dengan unit lain?
a. Sangat berbeda
b. Berbeda
c. Cukup berbeda
d. Kurang berbeda
e. Tidak berbeda
Berialasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ……………………………………………………………
………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………..
179
10. Apakah keterlambatan SKPD dalam mengumumkan RUP (Rencana Umum Pengadaan)
dalam kegiatan lelang barang/jasa akan menghambat kerja Pokja?
a. Sangat menghambat
b. Menghambat
c. Cukup menghambat
d. Tidak menghambat
e. Sangat tidak menghambat
Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ………..…………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
11. Perpres No.70 Tahun 2012 pasal 112 ayat (2) menyatakan K/L/D/I wajib menayangkan
RUP di website K/L/D/I masing-masing dan Portal Pengadaan Nasional melalui LPSE.
Seberapa penting RUP dalam pengadaan barang/jasa secara elektronik?
a. Sangat penting
b. Penting
c. Cukup penting
d. Tidak penting
e. Sangat tidak penting
Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: …………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
12. Menurut Bapak/Ibu/Sdr/i, seberapa besar kesulitanSKPD mengumumkan RUP dengan
tepat waktu dalam kegiatan lelang barang/jasa pemerintah?
a. Sangat sulit
b. Sulit
c. Cukup sulit
d. Tidak sulit
e. Sangat tidak sulit
Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ……………………………………………………………
………………………………………………………………………………………….
………………………………………………………………………………………….
13. Perpres No. 54 Tahun 2010 mewajibkan agar SDM sebagai penyelenggara pengadaan
barang/jasa mendapatkan sertifikasi, karena bertanggung jawab terhadap proses
pelelangan. Adakah kekhawatiran Bapak/Ibu/Sdr/I untuk memiliki sertifikasi
karenabesarnya tanggungjawab sebagai penyelenggara pengadaan?
a. Sama sekali tidak khawatir
b. Khawatir
c. Cukup khawatir
d. Tidak khawatir
e. Sangat tidak khawatir
180
Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ….…………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
14. Apakah seseorang yang memiliki sertifikasi pengadaan akan dengan mudah
menjalankan pekerjaannya sebagai penyelenggara pengadaan barang/jasa atau lelang?
a. Sangat setuju
b. Setuju
c. Kurang setuju
d. Tidak setuju
e. Sangat tidak setuju
Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ……………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………………
15. Menurut Bapak/Ibu/Sdr/i apakah sulit untuk mendapat sertifikasi pengadaan
barang/jasa?
a. Sangat sulit
b. Sulit
c. Cukup sulit
d. Tidak sulit
e. Sangat tidak sulit
Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: …………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………….
16. Menurut Bapak/Ibu/Sdr/i, apakah jumlah keanggotaan Pokja perlu mempertimbangkan
komposisi yang seimbang antara laki-laki dan perempuan?
a. Tidak perlu
b. Kurang perlu
c. Cukup perlu
d. Perlu
e. Sangat perlu
Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i:…………………………………………..............................
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
17. Apakah pegawai laki-laki lebih sesuai atau tepat menjadi anggota Pokja pengadaan
barang/jasa dibanding pegawai perempuan?
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Kurang setuju
d. Setuju
e. Sangat setuju
181
Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i:…………………………………………..............................
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
18. Dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa, seberapa besar hambatan yang muncul
ketika penyelengara pengadaan barang/jasa tidak memahami peraturan yang berkaitan
dengan pengadaan barang/jasa?
a. Sangat besar
b. Besar
c. Cukup besar
d. Kurang besar
e. Tidak besar
Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: …………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
19. Menurut Bapak/Ibu/Sdr/i, apakah infrastruktur yang tidak memadai seperti tidak adanya
ruang khusus bagi penyedia (supplier), sulitnya akses internet dll dapat menyulitkan
penyelenggara dalam menghadapi penyedia (supplier)?
a. Sangat setuju
b. Setuju
c. Kurang setuju
d. Tidak setuju
e. Sangat tidak setuju
Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: …………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
20. Dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa, seberapa besar hambatan yang muncul
ketika penyelengara pengadaan barang/jasa tidak menguasai teknologi informasi?
a. Sangat besar
b. Besar
c. Cukup besar
d. Kurang besar
e. Tidak besar
Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ……………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………………
III. 2 Transparansi Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
1. Menurut Bapak/Ibu/Sdr/i, apakah transparansi dalam sistem pengadaan secara
elektronik lebih baik dibandingkan dengan sistem pengadaan secara
konvensional/manual?
a. Sangat setuju
b. Setuju
c. Kurang setuju
182
d. Tidak setuju
e. Sangat tidak setuju
Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: …………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………….
2. Menurut Bapak/Ibu/Sdr/i, apakah transparansi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah
memberi kemudahan bagi penyelenggara dalam menghadapi masyarakat khususnya
penyedia (supplier)?
a. Sangat setuju
b. Setuju
c. Kurang setuju
d. Tidak setuju
e. Sangat tidak setuju
Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ……………………………………………………………..
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
3. Apakah transparansi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah memberi rasa aman bagi
penyelenggara dalam menghadapi masyarakat khususnya penyedia (supplier)?
a. Sangat setuju
b. Setuju
c. Kurang setuju
d. Tidak setuju
e. Sangat tidak setuju
Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: …………………………….…………………………….
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
4. Menurut Bapak/Ibu/Sdr/i, apakah transparansi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah
memberi keuntungan atau kemudahan bagi penyedia (supplier)?
a. Sangat setuju
b. Setuju
c. Kurang setuju
d. Tidak setuju
e. Sangat tidak setuju
Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ……..,……………………………………………………..
……………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………..
5. Menurut Bapak/Ibu/Sdr/i, apakah pengadaan barang/jasasecara elektronik dapat
mempersempit peluang terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)?
a. Sangat setuju
b. Setuju
c. Kurang setuju
d. Tidak setuju
183
e. Sangat tidak setuju
Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ……………………………..………………………………
…………………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………………
6. Pemecahan paket pengadaan yang memiliki batas dibawah 200 juta untuk paket
pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya dan dibawah 50 juta untuk paket
jasa konsultasi, menyebabkan SKPD menggunakan penunjukan langsung sebagai
pemenang lelang. Apakah tindakan pemecahan paket oleh SKPD sudah cukup tepat
dalam mencapai transparansi publik?
a. Sangat tidak tepat
b. Tidak tepat
c. Kurang tepat
d. Tepat
e. Sangat tepat
Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ……………………………………….……………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
7. Apakah Bapak/Ibu/Sdr/i setuju bahwa transparansi dalam pengadaan
barang/jasasangat menentukan kualitas akuntabilitas penyelenggaraan pengadaan
barang/jasa?
a. Sangat setuju
b. Setuju
c. Kurang Setuju
d. Tidak setuju
e. Sangat tidak setuju
Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ……………………..…………………………………….
………………………………………………………………………………………….
………………………………………………………………………………………….
8. Menurut Bapak/Ibu/Sdr/i, apakah prinsip transparansi dalam pelaksanaan pengadaan
barang/jasa secara elektronik telah membantu pemerintah untuk menghemat anggaran?
a. Sangat setuju
b. Setuju
c. Kurang setuju
d. Tidak setuju
e. Sangat tidak setuju
Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ………….………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
9. Menurut Bapak/Ibu/Sdr/i, apakah regulasi atau peraturan yang jelas berkaitan dengan
pengadaan barang/jasa dapat mewujudkan transparansi dalam pengadaan?
a. Sangat setuju
b. Setuju
184
c. Kurang setuju
d. Tidak setuju
e. Sangat tidak setuju
Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: …………………………………………..…………………
…………………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………………
10. Apabila infrastruktur seperti ruang khusus untuk penyedia (supplier), internet, komputer
dll dalam pengadaan barang/jasa tidak memadai, maka dapat menjadi celah tidak
terwujudnya transparansi dalam pengadaan?
a. Sangat setuju
b. Setuju
c. Kurang setuju
d. Tidak setuju
e. Sangat tidak setuju
Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ……………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………………….
………………………………………………………………………………………….....
11. Menurut Bapak/Ibu/Sdr/i, seberapa penting peran penyelenggara pengadaan barang/jasa
dalam mewujudkan prinsip transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah?
a. Sangat penting
b. Penting
c. Cukup penting
d. Kurang penting
e. Tidak penting
Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
12. Ketika proses pengadaan barang/jasa(pelelangan) secara elektronik dilakukan, apakah
penyedia (supplier) atau masyarakat sering mengeluh atau mengalami kesulitan
berkaitan dengan data-data dan informasi mengenai lelang pengadaan yang kurang
lengkap dan detail?
a. Sangat jarang
b. Jarang
c. Cukup sering
d. Sering
e. Sangat sering
13. Ketika proses pengadaan barang/jasa (pelelangan) secara elektronik dilakukan, apakah
penyedia (supplier) atau masyarakat sering mengeluh atau mengalami kesulitan
berkaitan dengan data-data dan informasimengenai lelang pengadaan yang susah
dimengerti?
a. Sangat jarang
b. Jarang
c. Cukup sering
185
d. Sering
e. Sangat sering
14. Ketikaproses pengadaan barang/jasa (pelelangan) secara elektronik dilakukan, apakah
penyedia (supplier) atau masyarakat sering mengeluh atau mengalami kesulitan
berkaitan dengan data-data dan informasi mengenai lelang pengadaan yang susah
diakses?
a. Sangat jarang
b. Jarang
c. Cukup sering
d. Sering
e. Sangat sering
15. Proses pengadaan barang/jasa dilakukan melalui beberapa tahapan. Apakah seluruh
tahapan tersedia dalam website pengadaan barang/jasa di lingkungan kerja
Bapak/Ibu/Sdr/i?
a. Seluruh tahapan tersedia
b. Sebagian besar tahapan tersedia
c. Sebagian kecil tahapan tersedia
d. Kurang tersedia
e. Sama sekali tidak tersedia
Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: …………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
16. Proses pengadaan barang/jasa dilakukan melalui beberapa tahapan. Apakah penyedia
(supplier) atau masyarakat sering mengeluh berkaitan dengan sulitnya dimengerti
seluruh tahapan tersebut?
a. Sangat jarang
b. Jarang
c. Cukup sering
d. Sering
e. Sangat sering
17. Proses pengadaan barang/jasa dilakukan melalui beberapa tahapan. Apakah penyedia
(supplier) atau masyarakat sering mengeluh berkaitan dengan sulitnya mengakses
seluruh tahapan tersebut?
a. Sangat jarang
b. Jarang
c. Cukup sering
d. Sering
e. Sangat sering
18. Apakah tersedia informasi mengenai alasan mengapa seorang penyedia (supplier)
menang dalam lelang pengadaan di website pengadaan barang/jasa di lingkungan kerja
Bapak/Ibu/Sdr/i?
a. Sangat tersedia dengan detail
b. Tersedia dengan detail
c. Cukup tersedia
186
d. Tidak tersedia
e. Sangat tidak tersedia
19. Apakah penyedia (supplier) atau masyarakat sering bertanya atau mengeluh berkaitan
dengan kurang jelasnya informasi mengenai alasan mengapa seorang (supplier)
menang dalam lelang pengadaan?
a. Sangat jarang
b. Jarang
c. Cukup sering
d. Sering
e. Sangat sering
20. Apakah penyedia (supplier) atau masyarakat sering bertanya atau mengeluh berkaitan
dengan sulitnya mengakses informasi mengenai alasan mengapa seorang (supplier)
menang dalam lelang pengadaan?
a. Sangat jarang
b. Jarang
c. Cukup sering
d. Sering
e. Sangat sering
Sekian &
Terima Kasih
187
188
189
190
191
192
193
194
195
196
197
198
DOKUMENTASI EKSPOSE HASIL PENELITIAN
DI BAPPEDA SERDANG BEDAGAI26 AGUSTUS 2015
top related